Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 4

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 4


maka iapun telah terhuyung-huyung dan sesaat kemudian,
iapun telah terjatuh lagi.
Mahisa Pukat sendiri terkejut bukan buatan. Ia tidak
mengira bahwa akibatnya akan sangat tidak terduga. Justru
karena itu, maka iapun telah memalingkan wajahnya
sambil bergumam kepada diri sendiri "Bukan main. Aku
tidak sengaja berbuat seperti itu"
Mahisa Murtilah yang kemudian berlari-lari
mendekatinya. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa.
Demikian ia berjongkok disamping orang itu, maka orang
itu telah menarik nafasnya yang terakhir.
Mahisa Murtipun kemudian bangkit berdiri. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya di sebelah regol halaman.
"Kau tidak berniat membunuhnya dengan cara itu" ia
bergumam. "Bukan salahmu" berkata Mahisa Murti "yang
terjadi adalah diluar kemampuan kita untuk mencegahnya"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya iapun telah melangkah menjauhi orang-orang
yang kemudian berkerumun disekitar dua sosok mayat yang
terbaring di halaman banjar itu.
Dalam pada itu. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itupun
berpaling ketika Ki Jagabaya berkata "Ki Sanak. Kami
persilahkan Ki Sanak duduk"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
ketika terpandang olehnya orang yang hampir saja mati
ketakutan karena mengalami tekanan badan dan dalam
pemeriksaan yang tidak mapan itu, maka iapun telah
mendekatinya. "Kau akan bebas" berkata Mahisa Murti.
Orang itu memandang wajah Mahisa Murti sejenak.
Kemudian sambil mengusap air matanya yang meleleh di
pipinya ia berdesis "Terima kasih Ki Sanak. Aku tidak tahu,
bagaimana aku akan membalas kebaikan budi Ki Sanak"
"Jangan memikirkannya" sahut Mahisa Pukat "kami
melakukannya karena kami merasa berkewajiban. Tidak
ada yang dapat memberikan kepuasan lebih besar daripada
keberhasilan kita melakukan kewajiban"
"Tetapi bagiku, Ki Sanak telah menyelamatkan jiwaku"
berkata orang itu "aku tidak akan tahan mengalami Siksaan
yang tidak berukuran itu"
"Aku minta maaf" berkata Ki Jagabaya dengan nada
dalam "semuanya terjadi diluar kesadaran. Kami. beberapa
orang behahu telah terbius oleh hasutan orang-orang yang
tidak kita ketahui niatnya yang sebenarnya itu. Namun
yang menurut perhitunganku, mereka pulalah yang
menyebut dirinya Hantu Jurang Growong. karena sampai
saat ini kejahatan yang terjadi juga dilakukan oleh satu atau
dua orang saja yang mengenakan topeng yang menakutkan
itu" "Orang-orang itu sengaja menimbulkan keresahan Ki
Jagabaya" berkata Mahisa Murti "pengalaman ini
hendaklah menjadi pelajaran yang berharga. Kau tidak
boleh cepat terpengaruh oleh sesuatu yang belum pasti,
karena kau justru orang yang seharusnya memegang
payung perlindungan bagi rakyat padukuhan ini. Bukan
sebaliknya" "Ya. ya anak-anak muda" jawab Ki Jagabaya" aku
mengerti" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun yang kemudian
duduk dipendapa melihat kesibukan orang-orang
padukuhan itu mengurusi kedua sosok mayat yang
terbunuh dalam benturan kekerasan itu. Namun dalam
pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun merasa
bahwa orang-orang padukuhan itu tidak lagi membebankan
kesalahan kepada mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtipun kemudian
berkata "Ki Jagabaya. sebaiknya kau urusi lukamu itu"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku harap kalian berdua duduk sebentar.
Mungkin lukaku memang memerlukan pengobatan"
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Jagabaya, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat duduk bertiga saja dengan orang yang
mengalami nasib malang itu, yang hampir saja menjadi
korban yang tidak berarti apa-apa karena pengaruh sikap
orang-orang yang membuat isi padukuhan itu menjadi
gelisah. Sementara itu, maka Mahisa Murtipun bertanya "Ki
Sanak. Apakah kau tahu, berapa orang yang telah
mengalami nasib seperti yang kau alami" Apakah pernah
terjadi korban karena keadaan yang sama seperti kau
alami?" Orang itu termangu-mangu. Agaknya ada sesuatu yanp
menahannya untuk mengatakan apa yang sebenarnya
pernah terjadi. "Katakan" desis Mahisa Pukat "kami tidak akan berbuat
apa-apa Kami hanya ingin mengetahuinya. Nampaknya
keadaan akan berubah"
Orang itu mengangguk-angguk Katanya kemudian
dengan ragu-ragu "Nampaknya memang ada Ki Sanak.
Tetapi aku tidak tahu. siapakah yang telah melakukannya.
Sepengetahuanku. Ki Jagabaya sebelumnya bukan orang
yang demikian kasarnya. Tetapi pada saat terakhir, ia
seperti orang kesurupan. Ia menjadi garang, kasar dan
bahkan buas" "Apakah kebuasannya itu pernah menelan korban?"
desak Mahisa Pukat. "Aku tidak dapat mengatakannya Ki Sanak. Tetapi
kedua orang yang terbunuh itulah yang sebenarnya
membuat padukuhan ini menjadi rusak. Nampaknya
keduanya adalah orang-orang yang dengan penun
pengabdian berjuang bagi padukuhan ini. Seorang
penduduk padukuhan ini telah mendapat seorang tamu
yang dengan suka rela bekerja bagi kepentingan kami.
Tetapi ternyata bahwa kami telah dikelabuinya" berkata
orang itu. "Tetapi apakah benar bahwa padukuhan ini sering
didatangi oleh mereka yang disebut Hantu Jurang
Growong?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Itulah yang telah menyudutkan aku kedalam keadaan
yang sangat sulit. Adalah diluar kehendakku, bahwa pada
suatu malam aku bertemu dengan kedua orang itu di
tengah-tengah bulak. Aku menjadi curiga melihat cara
mereka berpakaian Namun aku tidak berprasangka buruk,
sehingga aku telah menyapa mereka" orang itupun
kemudian berceritera. "Kenapa kau berada di tengah bulak di malam hari?"
bertanya Mahisa Pukat. "Aku berada di sawah" jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara orang itu
melanjutkan "Agaknya kedua orang itu menganggap bahwa
aku telah melakukan kesalahan. Aku telah melihat sesuatu
yang dapat mengancam kedua orang itu"
"Apakah kau pernah berbuat sesuatu, menceriterakan
apa kau lihat, atau semacam itu kepada orang lain?"
bertanya Mahisa Murti. "Tidak. Aku tidak pernah mengatakannya kepada siapa
pun juga. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya bahwa
aku kemudian ditangkap dan mengalami perlakuan yang
sangat kasar itu Baru kemudian aku dapat menghubungkan
persoalan ini dengan apa yang pernah aku temui di bulak
itu. Jelasnya setelah aku mendengar pendapat kalian
tentang kedua orang itu" jawab orang yang malang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Merekapun menjadi yakin, bahwa yang mereka tiupkan ke
telinga orang-orang padukuhan ini dengan sebutan Hantu
Jurang Growong adalah semata-mata satu usaha untuk
membuat padukuhan itu gelisah, kehilangan pegangan dan
kemudian timbul tingkah laku dan perbuatan yang tidak
wajar. Dengan demikian mereka akan dapat mengambil
keuntungan tanpa dicurigai, karena segala kesalahan akan
ditimpakan kepada Hantu Jurang Growong yang
sebenarnya tidak ada. Sementara kesan hadirnya Hantu
Jurang Growong adalah tingkah laku kedua orang itu
sendiri. Merampas dan merampok. Karena tidak
seorangpun yang pernah melihat wajah-wajah Hantu
Jurang Growong. "Menurut keterangan, siapakah yang pernah melihat
dengan mata kepala sendiri atas tingkah laku Hantu Jurang
Growong yang telah membuat padukuhan ini resah?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tidak ada" jawab orang itu "Hantu Jurang Growong
selalu hadir dengan ujud yang menakutkan, meskipun
mereka tidak membantah bahwa mereka adalah manusia
biasa yang mempergunakan topeng, atau sebangsanya yang
memberikan kesan yang menakutkan. Karena itulah, maka
aku menjadi semakin jelas tentang apa yang terjadi
sebenarnya di padukuhan ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk
pula. Orang yang mengalami nasib buruk itu
ternyata memiliki kemampuan berpikir yang cukup cerdas.
Namun pembicaraan mereka tidak berlanjut, karena Ki
Jagabaya yang telah mengobati lukanya, telah hadir pula di
pendapa itu. Laporan tentang segara peristiwa yang terjadi itu,
membuat Ki Buyut sangat berprihatin. Tetapi ia merasa
bersukur bahwa segalanya telah dapat diatasi justru karena
kehadiran dua orang anak muda yang semula tidak mereka
kenal. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah diminta oleh Ki Buyut untuk berada di
rumahnya. Ki Buyut berharap banwa anak-anak muda itu
akan dapat membantu pulihnya kewibawaan di
Kabuyutannya. Berbeda dengan saat keduanya berada di padukuhan
yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru, maka di
Kabuyutan itu keduanya dikenal dengan nama Pratista dan
Narpada. "Rasa-rasanya aku tidak akan dapat menguasai keadaan"
berkata Ki Buyut ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah berada di Kabuyutan. Lalu "Ki Jagabaya dan
beberapa orang bebahu Kabuyutan ini seakan-akan telah
dikuasai oleh pengaruh yang asing. Mereka tidak lagi mau
mendengarkan kata-kataku. Bahkan akulah yang kemudian
tersisih. Ki Jagabayalah yang mengambil alih segala
kekuasaannya akan memerintahkan aku untuk tetap tinggal
dirumah" "Ki Buyut tidak berbuat apa-apa?" bertanya Mahisa
Murti. "Tidak akan ada pengaruhnya" jawab Ki Buyut
"segalanya kemudian aku serahkan saja kepada Ki
Jagabaya yang berhubungan dengan seorang tamu yang
belum kita kenal sebelumnya. Tamu seorang diantara
tetangga kami. Namun yang ternyata keduanya bukan
orang yang pantas dipercaya"
"Demikianlah pernyataan yang kita hadapi, Ki Buyut"
sahut Mahisa Pukat. Sukurlah, bahwa semuanya sudah teratasi" berkata Ki
Buyut. Lalu "Meskipun demikian, agaknya Ki Jagabaya
memang memerlukan perlindungan. Ia telah melukai hati
sebagian dari penduduk Kabuyutan ini. Karena itu, maka ia
minta kepada angger berdua untuk tinggal di sini beberapa
lama. Selebihnya, aku yang sudah terpisah dari
kekuasaanku untuk beberapa saat juga memerlukan
pengaruh angger berdua untuk memulihkannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat bertanya "Selama
ini, apakah Ki Buyut sudah mencoba berbuat sesuatu jika
Ki Buyut melihat keadaan yang timpang?"
"Tidak ada gunanya ngger" jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat memandang Ki Buyut sejenak. Namun
kemudian katanya "Seharusnya Ki Buyut tidak bersikap
demikian. Sebelumnya Ki Buyut sudah merasa bahwa
pengaruh Ki Jagabaya memang terlalu besar di Kabuyutan
ini. Sehingga ketika Ki Jagabaya tergelincir. Ki Buyut tidak
dapat mencegahnya" "Apa yang dapat aku lakukan?" bertanya Ki Buyut.
"Ki Buyut adalah orang yang bertanggung jawab atas
Kabuyutan ini. Hitam putih Kabuyutan ini terletak di bahu
Ki Buyut. Bukan Ki Jagabaya. Jika terjadi selisih pendapat
antara Ki Buyut dan Ki Jagabaya, maka Ki Buyutlah yang
harus mengambil keputusan" berkata Mahisa Pukat.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab "Ki
Jagabaya mempunyai banyak pembantu yang mendukung
setiap pendapatnya. Karena itu, maka pendapatnyalah yang
setiap kali berlaku di Kabuyutan ini"
"Tentu karena Ki Buyut tidak pernah berbuat sesuatu
untuk mengatasinya" berkata Mahisa Pukat. Lalu "Maaf Ki
Buyut. Tetapi baiklah aku katakan, bahwa Ki Buyut kurang
bersikap tegas. Seandainya Ki Buyut bersikap tegas, maka
aku kira pendukung Ki Buyut akan dapat ikut menentukan.
Karena akhirnya segala akibat dari perbuatan para
pemimpinnya, akan ditanggungkan pula oleh para penghuni
Kabuyutan ini, sebagaimana kita lihat"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Aku memang
kurang mempunyai keberanian untuk berbuat demikian.
Semula aku memang terlalu percaya kepada Ki Jagabaya,
sehingga segala sesuatunya telah dilakukannya. Tetapi aku
tidak pernah menyangka bahwa pengaruh kedua orang itu
telah mencengkamnya terlalu kuat sehingga ia tidak segera
dapat menyadarinya" "Apakah Ki Buyut pernah memberi peringatan kepada
Ki Jagabaya, setidak-tidaknya membicarakan sikap itu?"
bertanya Mahisa Murti. Ki Buyut termangu mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menggeleng sambil menjawab "Tidak ada gunanya..
Sudah aku katakan berulang kali, tidak ada gunanya"
"Tetapi Ki Buyut pernah mencobanya?" desak Mahisa
Murti.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Buyut memandang anak-anak muda itu bergantiganti.
Kemudian iapun menjawab "Belum anak muda"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Merekapun segera menyadari, bahwa Ki Buyut itu adalah
orang yang terlalu lemah bagi jabatannya. Tetapi karena
kedudukan itu adalah kedudukan turun-temurun, maka
Kabuyutan itu tidak mempunyai pilihan lain.
Meskipun demikian, agaknya masih ada kemungkinan
bagi masa depan. Ki Buyut telah melihat akibat yang pahit
bagi padukuhannya karena sikapnya.
Meskipun mereka belum sempat berbincang, tetapi
keduanya merasa bahwa mereka berkewajiban untuk
membantu Ki Buyut menemukan satu sikap yang lebih
baik. Karena itulah, maka ketika Ki Buyut minta agar
keduanya untuk tinggal bersamanya dan tidak usah berada
di banjar, keduanya tidak menolak. Sehingga dengan
demikian untuk seterusnya mereka tidak bermalam di
banjar, tetapi diru-mah Ki Buyut yang berterima kasih
sekali atas kehadiran keduanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, la
dapat membayangkan, apa yang telah terjadi. Ternyata dua
orang itu telah berhasil membuat kesan yang mengerikan.
Mereka dapat memberikan kesan, seolah-olah yang disebut
Hantu Jurang Growong itu terdiri dari berpuluh-puluh
orang yang melakukan kejahatan di mana-mana. Sementara
itu iapun dapat membuat orang-orang Kabuyutan itu
menjadi saling mencurigai, membenci dan saling
mendendam. "Luar biasa" tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis yang
sebenarnya hanyalah dua orang saja"
Tetapi Ki Jagabaya menyahut "Mungkin memang
demikian. Kami. penduduk Kabuyutan inilah yang dungu.
Tetapi mungkin dua orang itu benar-benar mempunyai
sekelompok orang yang mereka kendalikan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun dalam pada itu Ki Jagabaya berkata
"Tetapi aku condong mengatakan bahwa mereka memang
hanya berdua" "Baiklah Ki Jagabaya" berkata Mahisa Murti
"bagaimanapun juga, sepeninggal kedua orang itu, kalian
dapat menyusun perubahan tata kehidupan di padukuhan
ini. Sementara itu, kalian harus berusaha melenyapkan
perasaan takut, saling mencurigai dan saling mendendam.
Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya jangan lagi
melakukan tindakan kekerasan untuk mendapatkan
pengakuan seseorang seperti yang pernah kau lakukan.
Sementara orang yang telah mengalami kekerasan itu
belum tentu pernah melakukan kejahatan sekecil ujung
kuku sekalipun" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Pukatpun berkata "Kau harus memperhatikan
orang-orang yang menjadi cacat karena cara-cara yang
sudah kau tempuh Ki Jagabaya"
"Ya. Ya. Ki Sanak. Aku benar-benar seperti terbius oleh
kelicikan kedua orang itu. sehingga aku telah melakukan
satu kesalahan yang sangat besar" desis Ki Jagabaya.
"Jika kau melihat tingkah laku Ki Jagabava itu sebagai
satu kesalahan yang besar, artinya bahwa Ki Jagabaya tidak
akan melakukannya lagi" sahut Mahisa Pukat.
"Aku berjanji" desis Ki Jagabaya.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
akhirnya keduanyapun saling berpandangan. Sejenak
kemudian Mahisa Murti berkata "Kita dapat melanjutkan
perjalanan" "Jangan Ki Sanak" cegah Ki Jagabaya "tinggallah untuk
sementara di padukuhan ini. Aku memerlukan bantuan
kalian untuk memulihkan ketenangan. Aku merasa dosaku
sudah terlalu besar, sehingga aku tidak akan mempunyai
kekuatan untuk bangkit lagi di padukuhan ini tanpa
bantuan seseorang selama aku harus membuktikan bahwa
aku benar-benar telah bertaubat"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Ketika mereka kemudian saling berpandangan,
maka Mahisa Murtipun bertanya kepada Mahisa Pukat
"Apa pendapatmu?"
"Terserah kepadamu" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti
keraguan saudaranya. Tetapi jika demikian, maka Mahisa
Pukat memang mempunyai keinginan betapapun kecilnya
untuk membantu Ki Jagabaya yang mengalami kesulitan.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, persoalan yang
dihadapi padukuhan dan Kabuyutan itu berbeda dengan
Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan. Penghuni
Kabuyutan yang telah mereka tinggalkan masih
mempunyai kepercayaan dan pegangan sepenuhnya atas
wibawa Buyut mereka yang baru, sehingga Ki Buyut itu
tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk membina
dan mengembangkan tata kehidupan di Kabuyutannya.
Dengan demikian maka padukuhan dan Kabuyutan yang
baru mereka tinggalkan itu tidak akan banyak memerlukan
kebijaksanaan khusus untuk memulihkan kepercayaan yang
hilang sebagaimana terjadi di Kabuyutan itu.
Karena itu, atas dasar pertimbangan yang demikian,
maka Mahisa Murtipun menjawab "Baiklah Ki Jagabaya,
jika demikian maka aku tidak akan berkeberatan untuk
tinggal barang, satu dua hari. Aku akan berusaha
membantu menurut kemampuanku dan kemampuan
saudaraku agar kewibawaan di Kabuyutan ini dapat pulih
kembali" "Terima kasih Ki Sanak" desis Ki Jagabaya kemudian.
"Jika demikian, maka kalian berdua akan berada di
banjar untuk waktu yang tidak ditentukan. Kami akan
menunjuk seseorang untuk menyediakan segala kebutuhan
kalian. Makan, minum dan barangkali pering cendani
beruas panjang itu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Katanya
"Baiklah. Kami memang ingin memiliki satu dua ruas
pering cendani yang beruas panjang sekali itu. Tetapi aku
tetap tidak menganjurkan kalian mempergunakan senjata
beracun. Aku lebih senang melihat kalian belajar
mempergunakan anak panah dan busur yang dapat kalian
buat dengan kayu berlian. Apakah disini ada kayu berlian?"
"Di hutan ada beberapa pohon berlian yang kami
ketahui" jawab Ki Jagabaya "kamipun pernah membuat
busur dengan kayu berlian itu. Tetapi jika kami berpaling
kepada supit dan paser beracun, itu adalah karena
kebodohan kami sebagaimana kebodohan kami yang lain
dalam hubungan kami dengan kedua orang itu"
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "aku akan berusaha
untuk menyesuaikan diri dipadukuhan ini meskipun aku
tidak akan lama berada disini"
Ternyata Ki Buyut merasa gembira atas kesediaan itu.
Sehingga ia dapat menjadi agak tenang.
Ki Jagabayapun kemudian telah ikut pula duduk dengan
mereka sementara orang-orang padukuhan itu masih saja
sibuk di halaman. Namun sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
mengatakan sesuatu tentang tanggapan mereka atas
peristiwa yang terjadi di padukuhan itu, Ki Jagabaya telah
berkata "Selama ini, ternyata Seisi padukuhan ini, bahkan
Kabuyutan ini telah dapat dikelabui oleh dua orang itu.
Bukan saja kami telah kehilangan banyak harta benda,
bahkan kabuyutan ini telah dicengkam oleh keresahan yang
mengerikan. Aku sendiri telah menjadi korban kelicikan
mereka. Tetapi juga karena kedunguanku sendiri. Aku
agaknya telah mereka bentuk menjadi seekor serigala yang
paling bilas di Kabuyutan ini. justru karena aku adalah
jagabaya" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Satu
pengalaman yang sangat berguna Ki Jagabaya, betapapun
pahitnya" Ki Jagabaya mengangguk-angguk Sekilas dipandanginya
orang yang bernasib malang, yang hampir saja kehilangan
harapan untuk dapat hidup dan kembali kepada
keluarganya itu. "Aku minta maaf" berkata Ki Jagabaya "aku tidak saja
bersalah. Tetapi aku sudah berdosa. Aku telah menyakiti
orang yang sama sekali tidak bersalah. Bukan sekedar
mennyakiti, tetapi lebih biadab dari itu"
Mahisa Murti masih akan menyahut. Tetapi Mahisa
Pukat telah bertanya lebih dahulu "Ki Jagabaya. Apakah
dalam persoalan yang serupa, Ki Jagabaya atau orangorang
Ki Jagabaya pernah membunuh" Memaksa seseorang
untuk dengan menyiksanya sehingga orang itu mati?"
"Tidak, tidak anak muda" sahut Ki Jagabaya dengan
serta merta "Tetapi jangan bertanya tentang itu. Aku tidak
berani melihat persoalan-persoalan yang telah terjadi itu"
"Belum Ki Sanak" sahut orang yang tersiksa "menurut
pendengaran kami, orang-orang Kabuyutan ini, mereka
yang mengalami pemeriksaan seperti yang aku alami itu,
pada umumnya memang tidak mati. Tetapi hampir
semuanya menjadi cacat dan tidak berarti lagi"
"Bukan kehendakku" sahut Ki Jagabaya "tetapi kedua
orang yang telah mati itu yang melakukannya. Mereka
membuat orang-orang yang dicurigai menjadi cacat
sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa bagi
kepentingan Hantu Jurang Growong.
"Bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang Hantu
Jurang Growong?" bertanya Mahisa Pukat pula
"Aku seperti orang yang baru saja terbangun dari sebuah
mimpi yang mengerikan Ki Sanak. berkata Ki Jagabaya"
betapapun bodohnya aku. tetapi akhirnya aku dapat melihat
apa yang sebenarnya kami, orang-orang padukuhan ini,
hadapi pada saat-saat terakhir ini"
"Itulah yang aku tanyakan" desak Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Bagiku sekarang, semuanya itu ternyata hanyalah
permainan yang licik dan kasar.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata Ki
Jagabaya itupun kemudian menyatakan pendapatnya
tentang Hantu Jurang Growong seperti yang dikatakan oleh
orang yang bernasib buruk itu. Dengan nada dalam, Ki
Jagabaya itupun kemudian berkata "Sekali lagi aku minta
maaf. bahwa aku telah berbuat dosa terhadap beberapa
orang saudara-saudaraku di Kabuyutan ini"
"Tetapi kedua orang itu telah menerima hukumannya"
berkata orang yang bernasib buruk itu.
Ki Jagabaya mengangkat wajahnya. Dipandanginya
orang itu sejenak. Kemudian katanya "kau memaafkan
aku?" "Tentu Ki Jagabaya" jawab orang itu "kita semuanya
telah menjadi korban kelicikan kedua orang itu. la berhasil
membuat kami. seluruh isi Kabuyutan ini menjadi bingung,
gelisah dan kehilangan pegangan"
"Terima kasih" berkata Ki Jagabaya kemudian "tetapi
aku tidak tahu. apa kata mereka yang sudah terlanjur
menjadi cacat. Meskipun bukan tanganku langsung, tetapi
yang terjadi atas mereka adalah sepengetahuanku Aku tidak
yakin bahwa mereka semuanya akan dapat memaafkan
aku" "Mereka semuanya?" potong Mahisa Pukat berapa
orangkah yang sudah mengalami nasib yang sangat buruk
itu. "Tiga orang sudah menjadi cacat" jawab Ki Jagabaya
"tetapi kami sudah menyakiti lebih dari dua puluh orang.
Kami memeriksa siapa saja yang ingin kami periksa dengan
menyakiti mereka. Diantara mereka ada yang segera kami
lepaskan dengan peringatan-peringatan, karena mereka kita
sebut tidak terlibat langsung dengan Hantu Jurang
Growong. Mereka hanya memberikan peluang terjadi
kejahatan, karena mereka lalai meronda atau tugas-tugas
padukuhan lain. Tetapi mereka yang kami anggap tersangka
langsung dengan kegiatan Hantu Jurang Growong itu. kami
tidak memberikan ampun lagi. Kami membuat mereka
cacat meskipun sampai saat terakhir mereka tidak
mengaku" "Nampaknya memang demikian Ki Sanak sambung
orang yang hampir saja menjadi korban itu "aku menjadi
sangat ngeri. Bukan saja oleh kesakitan yang hampir tidak
tertanggungkan, tetapi juga karena ketakutanku bahwa
akhirnya aku akan cacat, karena aku telah dituduh terlibat
langsung dalam hubungan dengan Hantu Jurang Growong"
"Itulah kebodohanku" sahut Ki Jagabaya "tetapi suasana
padukuhan ini benar-benar dicengkam oleh kegelisahan dan
keresahan yang tidak tertanggungkan. Perampokan, tidak
saja dirumah-rumah, tetapi juga beberapa orang telah
disamun di bulak-bulak panjang. Seolah-olah Hantu Jurang
Growong itu terdiri dari sejumlah orang yang memiliki
kemampuan yang tidak terlawan"
Dirumah Ki Buyut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendapat tempat dan pelayanan yang sangat baik. Namun
justru karena itu keduanya merasa kurang mapan. Sehingga
karena itu, maka Mahisa Murtipun pada satu kesempatan
berkata kepada Ki Buyut. "Ki Buyut, perlakukan kami sebagaimana dua orang
pengembara yang mendapatkan tempat bermalam.
Kesempatan untuk tidur diserambi gandok sekalipun telah
sangat memenangkan bagi kami berdua. Sementara
makanan yang diberikan kepada kami terasa terlampau
berlebih-lebihan. Dengan demikian, kami justru merasa
segan dan kurang mapan"
"Jangan kau hiraukan anak-anak muda" berkata Ki
Buyut "biarlah kami memperlakukan kalian herdua sesuai
dengan sikap kami terhadap kalian berdua. Meskipun
kalian menyebut diri pengembara, tetapi kalian akan dapat
memberikan beberapa peruhahan yang akan sangat herarti
hagi kami" "Kami akan tetap berbuat sesuai dengan tingkat
jangkauan kami bagi kepentingan Kabuyutan Ini, Ki


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buyut" jawab Mahisa Murti "tetapi perlakuan Ki Buyut
membuat kami justru menjadi segan dan kaku"
"Sekali lagi aku minta, jangan hiraukan" berkata Ki
Buyut. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
berusaha untuk mencegah sikap yang justru membuatnya
tidak dapat bersikap wajar. Tetapi Ki Buyut ternyata kurang
sependapat. "Aku tidak peduli lagi" berkata Mahisa Pukat ketika
keduanya berada didalam biliknya aku akan berbuat apa
saja sesuai dengan sifat kebiasaanku"
Mahisa Murti tersenyum. Namun katanya "Kita terikat
pada unggah-ungguh. Itulah sebabnya, maka rasa-rasanya
kita justru terbelenggu disini"
Namun cemikian, pada saat-saat tertentu, keduanya
minta diri untjk pergi ke sungai atau kemanapun juga. Pada
saat-saat yang demikian, maka keduanya dapat berbuat apa
saja untuk mengendorkan kekuatan tatanan dirumah Ki
Buyut" Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mulai tertarik kepada ceritera tentang hutan pohon cendana
yang menjadi gundul. Dengan demikian, maka hekas
pohon cendana itu rasa-rasanya dapat di atur sehingga tidak
lagi berupa tanah terbuka yang akan dapat sedikit demi
sedikit menjadi aus. "Kita dapat melihat tanah gundul dilereng bukit sebelah"
berkata Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Namun
nampaknya Akuwu yang sekarang, sudah menaruh
perhatian yang cukup"
"Pada sisa-sisa pepohonan yang ada. Tetapi nampaknya
tidak ada rencana Akuwu untuk menanam pepohonan yang
baru apapun jenisnya untuk menghijaukan lereng yang
gundul itu" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Kita dapat
memberitahukan hal itu kepada Ki Buyut. Jika kita
langsung menanganinya, maka kita akan tertahan ditempat
ini untuk waktu yang lama. Kita mungkin akan bertemu
lagi dengan Akuwu, sehingga untuk beberapa saat kita akan
menjadi penghuni Pakuwon ini"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat
dengan Mahisa Murti, bahwa mereka berdua hanya dapat
memberikan pesan-pesan saja kepada Ki Buyut, karena
mereka tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan itu terlalu
lama. Mereka hanya ingin membantu Ki Buyut dan para
bebahu Kabuyutan itu memulihkan wibawanya, setelah Ki
Jagahaya melakukan perbuatan yang telah menyakiti hati
rakyatnya, sementara Ki Buyut yang lemah hati tidak
berbuat apa-apa. Justru karena keadaan yang sudah tersingkap itulah,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui, kenapa
orang-orang dan para bebahu di Kabuyutan itu tidak
melaporkan persoalan Hantu Jurang Growong itu kepada
Akuwu. Agaknya kedua orang itu pulalah yang telah
mempengaruhi mereka untuk tidak melaporkannya kepada
Akuwu, karena jika demikian, maka pasukan pengawal
Akuwu akan mengatasi kekalutan itu, sehingga keduanya
tidak akan berkesempatan lagi untuk melakukan tindakantindakan
yang nggegirisi yang dapat menakut-nakuti dan
membuat rakyat seisi Kabuyutan menjadi resah.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
mengikuti perkembangan keadaan Kabuyutan itu dengan
saksama Ki Buyut yang telah melihat akibat pahit itupun
mulai berusaha untuk menyusun tertib pemerintahan di
Kabuyutannya. Ia memanggil para bebahu untuk
mengadakan pertemuan. Mereka diminta untuk menilai apa
yang telah terjadi. "Katakan dengan hati terbuka" berkata Ki Buyut kita
akan mengambil pengalaman ini sebagai satu pelajaran
yang berguna" Beberapa orang semula merasa ragu-ragu, karena mereka
merasa cemas, bahwa perlakuan yang tidak wajar itu akan
dapat terjadi pula atas mereka.
Tetapi ternyata kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar memberikan arti. Para bebahu merasa
mereka akan mendapat perlindungan jika ada perlakuan
yang tidak adil atas mereka. Karena itulah, maka
merekapun kemudian dapat menyampaikan isi hati mereka
dengan terbuka. Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Para bebahu yang
lainpun melihat, bahwa ia telah terseret. Meskipun ia
berniat untuk membuat Kabuyutannya aman, tetapi ia telah
mengambil langkah yang salah.
"Baiklah" berkata Ki Buyut kemudian "kita sudah
melihat langkah-langkah kita yang salah. Kita akan
berusaha untuk memperbaikinya. Kita akan menjadi orangorang
baru yang akan memerintah daerah ini dengan sikap
yang baru. Para bebahti itu mengangguk-angguk. Ki Jagabayapun
mengangguk-angguk pula. Bahkan kemudian iapun berkata
"Ki Buyut. Aku tidak akan ingkar, bahwa aku telah
melakukan kesalahan. Tetapi aku mohon dinilai bahwa
kesalahanku terletak tidak pada niat. Tetapi pada cara.
sehingga menimbulkan kekalutan dan keresahan"
"Aku mengerti Ki Jagabaya" jawab Ki Buyut "karena itu
aku tidak mengambil satu tindakan terhadapmu dan
terhadap kedudukanmu. Yang kami inginkan adalah
perubahan sikap dan caramu. Tetapi niatmu untuk
mengabdi kepada Kabuyutan ini tetap aku hargai"
"Terima kasih Ki Buyut" berkata Ki Jagabaya.
"Tetapi bagaimanapun iuga,_kau tetap kami anggap
pernah melakukan kesalahan. Karena itu, maka kau harus
minta maaf kepada rakyat Kabuyutan ini. Bukan sekedar
sopan santun, tetapi dengan satu kesanggupan didaiam hati
untuk menebus kesalahan yang pernah kau lakukan"
berkata Ki Buyut. Ki Jagabaya mengangguk hormat sambi' menjawab
"Aku mengerti Ki Buyut"
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menyaksikan perubahan sikap yang terjadi di
Kabuyutan itu. Karena itu, maka keduanya merasa bahwa
mereka tidak perlu lagi terlalu lama berada di Kabuyutan
itu. "Kita sudah dapat meninggalkan rumah ini" berkata
Mahisa Murti. "Ya" jawab Mahisa Pukat "kapan saja kita dapat minta
diri. Nampaknya segala sesuatunya telah dapat diatasi. Ki
Jagabaya cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan
kesalahannya, dan Ki Buyutpun cukup bijaksana dengan
tanpa menghukumnya secara langsung"
"Tidak ada keberanian Ki Buyut untuk melakukannya"
jawab Mahisa Murti "tetapi dalam hubungannya dengan
persoalan yang dihadapinya kini, adalah kebetulan. Dengan
kelemahannya ia nampak bijaksana"
"Ah" Mahisa Pukat berdesis. Namun iapun kemudian
tertawa kecil. "Kita bermalam satu malam lagi" berkata Mahisa Murti
"besok kita minta diri. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang
dapat menghambat kita. Kita akan melanjutkan
pengembaraan. Sementara itu kita dapat berpesan kepada
Ki Buyut untuk memperhatikan lereng yang gundul itu,
sehingga tanahnya tidak akan menjadi semakin aus
dimakan air hujan yang bukan saja turun dari langit, tetapi
juga arus dari lereng yang lebih tinggi"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Malam nanti masih
ada kesempatan untuk berbincang dengan Ki Buyut tentang
banyak hal. Sekaligus mereka akan minta diri untuk
melanjutkan perjalanan. Namun dalam pada itu, ketika matahari condong ke
Barat, Mahisa Murti yang keluar dari gandok dan duduk
diserambi terkejut melihat seorang gadis yang melintasi
halaman. Selama ia berada di rumah Ki Buyut itu, ia tidak
pernah melihat gadis itu. Memang ada beberapa perempuan
di rumah Ki Buyut itu. Selain Nyi Buyut, beberapa orang
pembantunya terdiri dari perempuan dan mungkin juga
diantara mereka terdapat gadis-gadis. Tetapi yang seorang
ini belum pernah dilihatnya.
Sambil memperhatikan langkah gadis itu, terasa jantung
Mahisa Murti berdegup semakin keras, sehingga akhirnya
gadis itu melangkah naik kependapa dan hilang dipintu
pringgitan. "Tentu bukan sekedar pembantu Ki Buyut" berkata
Manisa Murti dalam hatinya "jika gadis itu sekedar
pembantunya, maka ia tidak akan masuk lewat pintu itu"
Mahisa Murti terkejut, ketika ia mendengar Mahisa
Pukat terbatuk-batuk kecil di belakangnya. Sambil berpaling
ia berkata "Kau mengejutkan aku"
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Apa yang kau
perhatikan sehingga kau tidak tahu aku hadir disini?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Kau tentu juga melihatnya"
"Apa?" desak Mahisa Pukat.
"Seorang gadis" jawab Mahisa Murti.
"Darimana kau tahu, bahwa ia seorang gadis. Siapa tahu
bahwa perempuan itu adalah isteri Ki Buyut" jawab Mahisa
Pukat. "Jangan berpikiran gila" potong Mahisa Murti "gadis tu
terlalu muda bagi isteri Ki Buyut. Mungkin ia anaknya,
atau bahkan cucunya"
Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Jangan hiraukan
perempuan itu" "Aku hanya memperhatikannya. Bukankah aku tidak
bersalah jika aku melihat kecantikan seseorang" Seperti aku
juga tidak bersalah memperhatikan kecantikan sekuntum
bunga ceplok piring. Bukankah begitu?" jawab Mahisa
Murti. Mahisa Pukat tertawa. Kemudian katanya "Kau cerdik.
Tetapi ingat pesan ayah. Kau harus belajar dari pengalaman
Kakang Mahisa Bungalan. Seorang gadis telah mengikatnya
sehingga pengembaraannya tidak lagi dapat berkisar lebih
jauh dari putaran gadis itu saja"
"Tetapi dengan demikian, ia mendapatkan pengalaman
yang sangat menarik dalam pengembaraannya itu. He, kau
katakan, bahwa kakang Mahisa Bungalan tidak berkisar
jauh dari gadis itu?"
"Ya" jawab Mahisa Pukat.
"Kau keliru. Tetapi seandainya demikian, namun ia
justru mendapat pengalaman yang terlalu hanyak. Bukan
saja Pengalaman lahir, tetapi juga pengalaman batin.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dipandanginya
Mahisa Murti sejenak. Lalu katanya "Tetapi bagaimanapun
juga, jangan kau abaikan pesan ayah"
"Ah" desah Mahisa Murti "aku tentu akan selalu
mengingatnya. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa.
Akupun tidak tahu, apakah gadis itu termasuk keluarga Ki
Buyut atau bukan" Mahisa Pukat menarik nafas aalam-dalam. Lalu katanya
"Marilah. Kita duduk didalam saja"
"Udara terlalu panas. Aku akan duduk disini" jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian medangkah masuk ke dalam gandok, yang
disediakan oleh Ki Buyut bagi tempat mereka berdua.
Untuk beherapa saat Mahisa Pukat duduk sendiri
didalam gandok itu sambil bersandar tiang. Diluar
sadarnya, iapun mulai menelusuri perjalanannya berdua
dengan Mahisa Murti yang masih terhitung sangat pendek
itu. Namun dalam perjalanan yang pendek itu, mereka
ternyata telah mengalami berbagai peristiwa yang dapat
dijadikan bekal dalam hidupnya kelak. Namun kadangkadang
terasa ngeri juga jika ia memikirkan kemungkinan
yang paling buruk dalam pengembaraannya itu. Meskipun
ia mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, tetapi
jika jiwanya terampas karenanya, maka pengalaman itu
tidak akan berarti apa-apa baginya.
"Tetapi akau tidak boleh menjadi seorang pengecut"
berkata Mahisa Pukat didalam hatinya.
Namun dalam pada itu ia terkejut ketika ia mendengar
suara Mahisa Murti bercakap-cakap dengan seorang
perempuan. Sambil mengangkat wajahnya ia bergeser. Dan
didengarnya suara perempuan itu "Silahkan minum Ki
Sanak" "Ya, ya. Terima kasih" jawab Mahisa Murti. Apakah
mangkuk ini harus aku letakkan didalam atau disini saja?"
bertanya perempuan itu. Dengan gagap Mahisa Murti menjawab "Baiklah
didalam, ah, maksudku disini saja"
"Mangkuk yang satu?" bertanya perempuan itu.
"Biarlah disini juga" jawab Mahisa Murti.
Suara itupun terdiam. Yang didengar oleh telinga tajam
Mahisa Pukat dalam langkah yang menjadi semakin jauh.
Mahisa Pukatpun bangkit dari duduknya dan melangkah
keluar. Dilihatnya dua buah mangkuk minuman panas dan
beberapa potong gula kelapa.
"Segarnya" desis Mahisa Pukat "air sere atau air jahe?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
"Kedua-duanya. Air jahe dengan sere. Terasa sedapnya
kayu legi pula didalamnya"
"Kau sudah minum?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Jawabnya "Belum"
"Darimana kau tahu, bahwa terasa sedapnya kayu legi
didalam minuman itu?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti masih tersenyum. Katanya kemudian
"Duduklah. Marilah kita minum"
"Kenapa tidak ditaruh didaiam saja?" bertanya Mahisa
Pukat selanjutnya. "Kita minum diserambi saja" jawab Mahisa Murti.
"Perempuan yang membawa minuman ini tidak mau
masuk" "Bohong" sahut Mahisa Pukat "kau yang minta


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya untuk meletakkan minuman ini disini"
"Kau dengar pembicaraan kami?" bertanya Mahisa
Murti. Aku mendengar" jawab Mahisa Pukat" siapakah
perempuan yang membawa minuman itu?"
"Kau tentu sudah mengintipnya" tebak Mahisa Murti.
"Tidak. Aku duduk saja diamben itu" Mahisa Pukat
menjelaskan. "Salah seorang pelayan Ki Buyut. Seorang perempuan
tua yang tadi pagi juga membawa minuman kita" jawab
Mahisa Murti. "Jangan bohong. Suaranya lain. Tentu bukan perempuan
tua itu" bantah Mahisa Pukat.
"Jadi siapa" Bukankah kau tidak melihatnya?" bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Pukat yang duduk disebelah Mahisa Murti itu
tersenyum. Jawabnya "Meskipun aku tidak melihatnya,
tetapi aku dapat membedakan warna suara. Aku yakin,
yang membawa minuman ini tentu perempuan yang kau
sangka gadis yang tadi melintasi halaman, dan yang belum
pernah kita lihat sebelumnya"
"Ah darimana kau tahu" Kau belum pernah mendengar
suaranya. Kau tentu tidak akan dapat mengatakan bahwa
kau mengenalinya lewat suaranya" sahut Mahisa Murti.
"Aku tidak mengenalinya lewat suara perempuan itu.
Tetapi lewat suaramu" jawab Mahisa Pukat.
"Bagaimana mungkin lewat suaraku?" bertanya Mahisa
Murti heran. "Suaramu menjadi gagap dan seolah-olah kau menjadi
bingung menjawab pertanyaan-pertanyaannya" tebak
Mahisa Pukat. "Ah desah Mahisa Murti "kau hanya menduga-duga"
"Katakan, apakah dugaanku salah?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia hanya
tersenyum saja sambil mengusap keringatnya di dahinya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukatlah yang kemudian
meraih mangkuk berisi minuman hangat itu. Sambil
meneguk isinya ia berdesis "Merasa segar sekali. Apakah
dengan gula kelapa?"
"Ya, dengan gula kelapa. He, bukankah benar dugaanku,
bahwa minuman itu memakai kayu legi?" bertanya Mahesa
Murti. Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menggeleng sambil menjawab "Tidak.
Minuman ini tidak diberi kayu legi"
"He?" dahi Mahisa Murti berkerut "tetapi meskipun
tidak diberi kayu legi tetapi minuman itu tetap segar
bukan?" "Ya. Segar sekali. Kenapa kau tidak minum?" bertanya
Mahisa Pukat. Mahisa Murtipun kemudian mengambil sepotong gula
kelapa Kemudian mengangkat mangkok berisi minuman
hangai itu dan menghirupnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Pukat
berkata "Malam nanti kita akan minta diri. Bukankah besok
kita akan melanjutkan perjalanan" Bagaimana jika kita
minta beberapa ruas pering cendani yang beruas panjang
itu" Dengan supit kita akan dapat berburu burung"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian menjawab "Kita akan mengambil beberapa ruas
pering cendani itu Pukat. Besok kita akan pergi ke padang
perdu itu. Tetapi dengan demikian kita tidak akan dapat
meninggalkan Kabuyutan ini besok"
"Kenapa" Kita minta diri. Sambil meninggalkan
Kabuyutan ini kita mengambil beberapa ruas pering
cendana itu. Jika pada saat kita meninggalkan Kabuyutan
ini, kita sudah menyatakan keinginan kita untuk mengambil
pering cendani itu, maka aku kira kita tidak akan dapat
dianggap bersalah, apalagi dituduh mencuri. Ki Jagabaya
tidak akan lagi berbuat seperti itu" berkata Mahisa Pukat
kemudian. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak Namun
kemudian sambil menggeleng ia berkata "Kita tidak akan
berbuat demikian. Sebaiknya kita mengambil beberapa ruas
pering cendani itu, dan kemudian membawanya ke
Kabuyutan ini sehingga dengan demikian Ki Buyut dan
para bebahu Kabuyutan ini tahu, seberapa banyak kita telah
mengambilnya. Dengan demikian, hal itu akan baik pula
akibatnya bagi kita. Jika ternyata ada kerusakan pada
rumpun pering cendani itu, bukan kitalah yang telah
merusaknya" "Jika demikian" jawab Mahisa Pukat "marilah. Kita
sekarang pergi ke padang itu dan mengambilnya. Malam ini
kita dapat menunjukkan kepada Ki Buyut beberapa ruas
paring cendani yang akan kita bawa"
"Kenapa sekarang" sahut Mahisa Murti "kenapa kau
tiba-tiba menjadi begitu tergesa-gesa" Bukankah
pengembaraan kita masih panjang. Apa artinya satu da hari
bagi kita seandainya kita masih tertahan di Kabuyutan ini.
Sekaligus kita dapat melihat, apakah keadaan di Kabuyutan
ini benar-benar sudah mantap"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bukan aku yang tiba-tiba saja menjadi tergesa-gesa. He,
bukankah kita sudah sepakat untuk meninggalkan
Kabuyutan ini esok pagi setelah malam nanti kita
memoerikan beberapa pesan kepada Ki Buyut tentang
lereng yang gundul itu?"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya Namun
kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata
"Sebaiknya kitapun pergi ke lereng bukit yang gundul itu.
Kita tidak saja memberikan pesan, tetapi kita akan dapat
memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti bagi mereka"
"Kau keliru Murti" jawab Mahisa Pukat" kita hanya
tahu arti keseluruhan dari tanah yang dihijaukan itu. Tetapi
kita bukan orang-orang yang mengerti cara-cara yang paling
baik untuk menanam jenis-jenis pepohonan di lereng itu.
Mungkin Ki Buyut dan orang-orang Kabuyutan ini justru
lebih banyak mengetahui"
"Yang aku katakan tidak pernah sesuai dengan
pendapatmu. Tetapi baiklah aku berharap, kau tidak terlalu
tergesa-gesa meninggalkan Kabuyutan ini. Masih ada
beberapa persoalan yang dapat kita sumbangkan kepada
penghuni Kabuyutan ini" berkata Mahisa Murti.
"Sebenarnya ada apa dengan kau?" bertanya Mahisa
Pukat kaulah yang tiba-tiba saja merubah sikapnya"
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Sementara itu
Mahisa Pukat melanjutkan "agaknya telah terjadi satu
gejolak didalam dirimu, sehingga kau sudah berubah sikap.
Tetapi jika perubahan sikap itu beralasan, aku tidak akan
berkeberatan" "Ya. Aku mempunyai alasan" jawab Mahisa Murti
"bukankah aku sudah mengatakan beberapa alasan?"
"Bukan alasan yang sebenarnya" jawab Mahisa Pukat.
"Apa yang kau maksud dengan alasan yang
sebenarnya?" bertanya Mahisa Murti.
"Tentu kaulah yang tahu. Cobalah bertanya kepada
dirimu sendiri. Alasan apakah yang sebenarnya telah
menahan kau disini?" berkata Mahis Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi ia tidak
menjawab, sehingga karena itu. Mahisa Pukatlah yang
memberikan jawabnya "He, bukankah karena kau telah
melihat perempuan yang sebut gadis itu?"
"Ah" desah Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Kau tidak usah
melingkar-lingkar. Katakan terus terang. Dan aku akan
mencoba mengekang diri agar aku tidak tergesa-gesa
meninggalkan tempat ini. Tetapi sekali lagi aku peringatkan
pesan ayah kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati"
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Dipandanginya
Mahisa Pukat sejenak. Namun iapun kemudian
mengalihkan tatapan matanya ke halaman, sementara
langitpun menjadi semakin terasa dingin karena matahari
yang merendah. Namun dengan demikian, maka Mahisa Pukatpun
menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat meninggalkan
rumah Ki Buyut esok pagi karena Mahisa Murti agaknya
mempunyai pertimbangan lain.
Meskipun sebenarnya Mahisa Pukat tidak sesuai dengan
sikap Mahisa Murti, tetapi ia tidak ingin mengecewakan
saudaranya. Namun demikian, ia memang berniat untuk
selalu memberi peringatan kepada Mahisa Murti agar tidak
terjerat oleh satu keadaan seperti yang di cemaskan oleh
ayahnya, justru karena Mahisa Bungalan pernah
mengalaminya. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan
berhasil menyelesaikan persoalannya dalam libatan
hubungannya dengan Ken Padmi dengan baik. Jika ia
gagal, maka persoalan itu akan dapat membawa nyawanya.
Demikianlah ketika lewat senja, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat duduk-duduk di pendapa bersama Ki Buyut
dan beberapa orang bebahu yang hadir, maka anak-anak
muda itu sama sekali tidak menyinggung rencana mereka
untuk minta diri. Yang mereka katakan hanyalah, bahwa
mereka ingin mendapatkan beberapa batang pering cendani
yang beruas panjang. "Tentu kami tidak akan berkeberatan" berkata Ki Buyut"
pering cendani itu tidak akan banyak artinya lagi bagi
kami" "Tetapi tidak ada jeleknya jika ketrampilan
mempergunakan supit itu dikembangkan" jawab Mahisa
Murti. "Tetapi kami tidak akan berkelahi lagi melawan Hantu
Jurang Growong" jawab seorang bebahu.
"Sekarang tidak" jawab Mahisa Pukat "mungkin lain
kali ada pihak lain lagi yang ingin mengganggu Kabuyutan
ini" "Tetapi, bagaimana dengan anak panah dan busur?"
bertanya seorang yang bertubuh, tinggi besar pembantu Ki
Jagabaya. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Bagus.
Jika kalian berminat, kalian dapat menyiapkan justru pada
saat-saat kalian mempunyai waktu untuk melatih diri"
Ki Jagabaya yang juga hadir, mengangguk-angguk.
Katanya "Pendapat yang baik sekali"
"Bukan saja berlatih mempergunakan busur dan anak
panah. Tetapi memperdalam olah kanuraganpun akan
sangat bermanfaat. Pada keadaan yang gawat, baru terasa
bahwa ilmu kanuragan itu kita perlukan"
Orang-orang yang berada di pendapa itu menganggukangguk.
Mereka memang memerlukan perlindungan. Pada
saat-saat yang gawat sangat terasa, bahwa mereka tidak
dapat berbuat banyak untuk melindungi diri sendiri.
"Anak muda" berkata Ki Buyut tiba-tiba "bagaimana
jika kami minta kalian berdua untuk tinggal barang
beberapa lamanya, sekedar untuk memberikan dasar-dasar
pengetahuan olah kanuragan?"
Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia
menjawab, Mahisa Murti telah mendahului "Jika hanya
untuk beberapa hari saja, kami tidak akan berkeberatan Ki
Buyut. Tetapi, sudah barang tentu, bahwa pada saatnya
kami akan meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan
pengembaraan kami" "Ya. Tentu hanya beberapa hari saja. Tetapi yang
beberapa hari itu tentu akan sangat bermanfaat bagi kami"
jawab Ki Buyut. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Jika ia bersikap lain,
maka persoalannya tentu akan menjadi rumit.
Karena itu. Mahisa Pukat hanya dapat memandangi
Mahisa Murti dengan senyum yang masam.
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih akan tetap berada di padukuhan itu untuk
beberapa lama. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah
mengetahui dengan pasti, kenapa Mahisa Murti masih lebih
senang tinggal beberapa lama di padukuhan itu.
Dihari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mulai memberikan beberapa tuntunan olah
kanuragan bagi anak-anak muda. Beberapa orang terpilih
telah terbagi menjadi dua kelompok, yang masing-masing
dibimbing oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menyempatkan diri mengambil beberapa ruas pering
cendani. Mereka telah membuat supit tidak untuk
membunuh seseorang, tetapi mereka pergunakan untuk
berburu burung yang banyak terdapat di pategalan dan di
pinggir-pinggir hutan. Dalam pada itu, pada kesempatan yang lain, Mahisa
Murti telah mengenal gadis yang baru kemudian hadir di
rumah Ki Buyut. Ternyata gadis itu adalah anak Ki Buyut.
"Kenapa kau baru hadir beberapa hari yang lalu?"
bertanya Mahisa Murti ketika keduanya sempat berbicara di
serambi gandok, pada saat gadis itu mengantarkan
minuman panas. "Aku berada di rumah paman" jawab gadis itu
"sebenarnya aku sudah lama ingin pulang. Tetapi daerah ini
justru tidak aman" "Kau tidak kerasan di rumah pamanmu?" bertanya
Mahisa Murti. "Sebenarnya aku kerasan tinggal di rumah paman.
Tetapi pada saat terakhir, aku mengalami beberapa
gangguan, sehingga paman menganggap bahwa lebih baik
aku kembali ke rumah ayah. Apalagi setelah Kabuyutan ini
menjadi tenang" "Gangguan apakah yang kau alami?" bertanya Mahisa
Murti. Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. Bahkan sejenak kemudian ia berkata
"Sudahlah. Tidak ada apa-apa"
Mahisa Murti masish akan menjawab, tetapi gadis itu
sudah lari.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah gadis anak Ki Buyut itu sangat menarik
perhatian Mahisa Murti. Dalam setiap kesempatan ia
berusaha untuk dapat berbincang tentang apa saja dengan
gadis itu. Apalagi nampaknya gadis itupun telah
memberikan banyak peluang pula kepada Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak jemujemunya
memperingatkan Mahisa Murti, bahwa mereka
baru mulai dengan suatu pengembaraan.
"Kita belum terlalu jauh dari Kota Raja" berkata Mahisa
Murti "jika perjalanan kita terhenti disini, maka jarak yang
pernah kita tempuh dalam pengembaraan ini untuk
mendapatkan pengalaman hidup tidak lebih jauh dari jarak
anak-anak bermain sembunyi-sembunyian di terang bulan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya iapun berkata "Baiklaah Mahisa Pukat. Aku
mengerti. Aku akan berusaha menguasai perasaanku. Kita
akan segera melanjutkan perjalanan. Seandainya aku tidak
dapat melupakan tempat ini. maka biarlah kelak aku akan
kembali lagi apabila aku masih mendapat kesempatan"
Mahisa Pukat memandang wajah saudaranya yang menjadi
buram. Terbersit pula perasaan iba didalam hatinya. Karena
itu. katanya "Baiklah Mahisa Murti, aku berjanji, bahwa
dalam perjalanan kita kembali kelak, kita akan berusaha
untuk melalui Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya Kita
akan mengingat nama Kabuyutan ini. Kabuyutan
Randumalang" "Dan kita akan selalu teringat kepada nama seorang
gadis He. siapa namanya?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Tetapi
sebenarnyalah ia merasa berat untuk meninggalkan rumah
Ki Buyut itu. Tetapi iapun menyadari, bahwa ia tidak boleh
tinggal terlalu lama di tempat itu.
Karena Mahisa Murti tidak segera menjawab, maka
Mahisa Pukat mendesaknya "Siapa nama yang sebenarnya
gadis itu" Tentu Ireng itu bukan namanya. Bukankah itu
hanya sebutannya saja karena gadis itu berkulit agak
kehitaman. Dan nampaknya justru hitam-hitam manis
itulah yang telah menarik perhatianmu"
"Sebut saja dengan Ireng. Aku tidak pernah bertanya
siapakah namanya yang sebenarnya, karena setiap kali aku
bertanya, ia selalu menjawab nama panggilannya itu pula"
jawab Mahisa Murti. Mahisa Pukat tertawa pendek. Katanya "Baiklah. Akupun
sudah puas menyebutnya Ireng. Rara Ireng"
Dalam pada itu, pada saat-saat kedua anak muda itu siap
meninggalkan Kabuyutan itu. maka mereka masih juga
memberikan tuntunan olah kanuragan.
Anak-anak muda di Kabuyutan itu. ternyata dengan
tekun mengikuti bimbingan itu. Mereka seolah-olah tidak
mengenal letih. Kapan saja mereka justru meminta kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memberikan
latihan-latihan, karena merekapun sadar, bahwa Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di
Kabuyutan mereka. Sebenarnyalah, maka pada suatu saat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menyatakan niatnya untuk
meninggalkan Kabuyutan itu. Mereka harus meneruskan
pengembaraan mereka untuk waktu yang tidak ditentukan.
Niat itu telah menumbuhkan kerisauan pada beberapa
orang di Kabuyutan itu. Beberapa orang anak muda ingin
menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar mereka
lebih lama lagi tinggal bersama anak-anak muda di
Kabuyutan Randumalang. Namun agaknya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah memutuskan, bahwa mereka harus
segera melanjutkan perjalanan.
"Kau akan pergi besok?" bertanya gadis itu.
"Ya Ireng. Aku harus melanjutkan perjalanan
kembaraku. Aku tidak dapat tinggal terlalu lama di satu
tempat" jawab Mahisa Murti.
Gadis itu menunduk. Namun ia mengangkat wajahnya
ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya "Tetapi apakah
aku dapat mendengar namamu sebelum aku pergi?"
Gadis itu memandang wajah Mahisa Murti. Lalu
katanya Bukankah kau sudah mengenal namaku?"
"Belum. Aku hanya mengenal sebutan atau panggilanmu
sehari-hari. Tetapi namamu tentu bukan Rara Ireng" sahut
Mahisa Murti. Lalu " Sebelum aku pergi, maka aku ingin
dapat selalu mengingat namamu"
Gadis itu menunduk. Namun kemudian katanya
"Namaku memang Ireng. Tetapi kadang-kadang paman
memanggil aku Widati"
"Widati" desis Mahisa Murti "aku lebih senang
memanggilmu dengan Widati. Bukan Ireng"
"Tidak. Disini namaku Ireng. Panggil aku dengan Ireng.
jawab gadis itu. "Ya. Disini aku akan tetap memanggilmu Ireng. Tetapi
aku akan lebih senang mengenang namamu Widati. Besok
pada suatu saat. jika aku kembali lagi. aku akan mencari
Widati" berkata Mahisa Murti.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Bahkan sejenak kemudian, maka gadis
itupun telah berlari meninggalkan Mahisa Murti yang
termangu-mangu diserambi gandok memandanginya
sampai hilang dibalik pendapa.
Mahisa Murti terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat
menegurnya "Sudahlah. Agar kau tidak menunda lagi
perjalanan kita. Pada saatnya kita akan kembali"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
berkedip ia masih saja memandangi pintu yang sudah
tertutup. Namun kemudian katanya "Aku mempunyai
perasaan aneh terhadap gadis itu"
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Kau tentu dapat
menyebut perasaan apa yang sebenarnya mencengkammu"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia
menjawab Mahisa Pukat telah berkata "Karena itu, maka
biarlah kita segera meninggalkan tempat ini sebelum
perasaan itu berakar dihatimu. Jika Yang Maha Agung
memang mengijinkan, gadis itu akan menjadi jodohmu,
maka pada suatu saat kau akan bertemu lagi dimanapun
juga" Mahisa Murti mtnsprfguk-angguk Katanya "Kau benar
Mahisa Pukat. Kita memang harus segera meninggalkan
tempat ini" Ketika kemudian malam turun, untuk terakhir kalinya
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang
dengan Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan. Pada
kesempatan terakhir itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sekali lagi menyinggung lereng pegunungan yang menjadi
gundul. Keduanya juga memberikan beberapa petunjuk
tentang penggunaan berbagai macam senjata jarak jauh.
Keduanya menganjurkan agar orang-orang Kabuyutan itu
lebih banyak mempelajari cara mempergunakan anak panah
dan busur daripada mempergunakan supit. Merekapun
memberitahukan beberapa jenis senjata lontar yang lain.
Bandil dan paser. Bahkan pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan para bebahu masih
ingin menahan kedua anak muda itu barang satu dua
pekan. Tetapi keduanya ternyata telah mengambil satu
keputusan untuk meninggalkan Kabuyutan itu, betapapun
berat hati mereka. Terlebih-Iebih adalah Mahisa Murti.
Demikianlah, maka malam itu, para bebahu dan Ki
Buyut sendiri telah mengucapkan beribu terima kasih
kepada kedua orang anak muda itu. Ada keinginan mereka
untuk memberikan sesuatu kepada keduanya sebagai tanda
terima kasih orang-orang seluruh Kabuyutan.
Namun dengan hati-hati Mahisa Murti menjawab
"Terima kasih Ki Buyut. Bukan berarti aku menolak, tetapi
aku masih ingin mengembara. Karena itu, maka hadiah
yang akan aku terima, tentu tidak sewajarnya jika aku bawa
berkeliaran tanpa tujuan"
"Kami mempunyai sepasang cincin dengan sebuah
permata yang baik" berkata Ki Buyut mungkin kalian
berdua pada suatu saat membutuhkannya. Tentu cincin itu
tidak akan memberati beban kalian diperjalanan"
Tetapi Mahisa Murti menjawab "Sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah kami menitipkan
cincin itu disini" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian
berdua akan kembali lagi ke Kabuyutan ini?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Pukatlah yang menjawab "Ya. Kami memang
berniat demikian. Pada suatu saat yang tidak dapat kami
sebutkan, karena kami sendiri belum dapat menentukan,
kami berdua berusaha untuk dapat singgah di padukuhan
ini. Pada saat itu kami akan mengambil barang-barang kami
yang kami titipkan" "Barang-barang apa saja yang kalian titipkan selain
sepasang cincin yang akan kami serahkan?" Ki Jagabaya
bertanya. Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi Mahisa Murti cepat
menyahut tidak ada. Memang tidak ada Beberapa orang
saling berpandangan. Tetapi akhirnya mereka tidak
mempersoalkannya lagi. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih saja cemas,
bahwa Mahisa Pukat pada suatu saat akan menyebut
hubungannya dengan gadis yang bernama Widati itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak tergelincir
dengan ucapan ucapannya, meskipun kadang-kadang
Mahisa Murti menjadi tegang juga.
Kedua anak muda itu duduk dipendapa sampai jauh
malam, justru karena malam itu adalah malam terakhir
mereka berada di Kabuyutan itu. Tetapi akhirnya Ki
Buyutpun telah mempersilahkan keduanya untuk
beristirahat, karena esok harinya keduanya akan menempuh
perjalanan yang tidak diketahui, betapa jauh dan betapa
lamanya. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengemasi bekal mereka yang tidak terlalu banyak, selain
sebungkus kecil pakaian yang tidak berarti. Tetapi sesaat
kemudian, ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur
nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap terjaga,
meskipun iapun sudah berbaring dipembaringan. Setiap kali
ia memejamkan matanya, justru ingatannya kepada gadis
yang bernama Widati itu serasa menjadi semakin tajam.
Namun bagaimanapun juga ia sudah bertekad bulat untuk
meninggalkan padukuhan itu.
Sesaat menjelang dini hari, Mahisa Murti sempat terlena
beberapa waktu. Namun justru Mahisa Pukatlah yang
kemudian telah terbangun. Meskipun demikian, Mahisa
Pukat tidak membangunkan Mahisa Murti karena iapun
seolah-olah dapat mengerti, bahwa hampir semalaman
Mahisa Murti tidak tidur, ternyata bahwa nampaknya ia
masih lelap menjelang dini hari. Karena bukan demikianlah
kebiasaannya. Karena itu, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian
mendahului pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri.
Tetapi Mahisa Murti tidak terlalu lama pulas dalam
tidurnya. Ia tidak terbiasa bangun setelah terbit. Karena itu,
maka iapun kemudian terbangun juga sebelum langit
menjadi terang. Namun pada pagi hari itu. keduanya benar-benar telah
berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan berat hati, orang-orang Kabuyutan itu telah
melepaskan kedua anak muda itu pergi. Apalagi mereka
yang serba sedikit telah menerima terutama olah
kanuragan. Mereka merasa bahwa yang mereka terima
masih terlalu sedikit, sehingga mereka masih memerlukan
jauh lebih banyak lagi. Tetapi kedua anak muda itu tidak lagi dapat ditahan.
Mereka benar-benar siap meninggalkan Kabuyutan itu.
Ketika keduanya sudah berada diregol, maka seorang gadis
berdiri dibawah sebatang pohon kemuning yang tumbuh di
halaman. Dengan wajah yang suram gadis itu
memperhatikan kedua anak muda yang sudah siap untuk
berangkat. Namun adalah diluar kehendaknya, ketika Mahisa Murti
tiba-tiba saja sudah berpaling. Ketika dilihatnya gadis itu
berdiri termangu-mangu, maka Mahisa Murti itupun
menarik nafas dalam-dalam.
Ki Buyut mengerutkan keningnya ketika ia melihat sikap
anak muda itu. Ketika ia berpaling kearah pandangan
Mahisa Murti, maka dilihatnya anak gadisnya berdiri
dengan kepala tunduk. Meskipun tidak terucapkan, agaknya Ki Buyut bertanya
didalam hatinya, hubungan apakah yang sudah terjalin
antara anak gadisnya dengan anak muda pengembara itu"
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat kemudian berkata
"Ki Buyut, sebagaimana sudah kami katakan, pada suatu
saat kami akan kembali. Seandainya kami tidak akan
mengambil kenangan yang akan diberikan oleh orang-orang
di Kabuyutan ini, kami memang benar-benar akan singgah"
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia
melihat Mahisa Pukat tersenyum sambil memandangi
Mahisa Murti, maka Ki Buyutpun dapat memaklumi,
perasaan apakah yang tersirat di hati anak muda itu.
Karena itu, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata
"Segala terserah kepada kehendak Yang Maha Agung.
Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata "Demikianlah
Ki Buyut. Tetapi bukankah kita wenang memohon kepada-
Nya?" "Ya. Kita memang wenang memohon" sahut Ki Buyut.
"Sudah tentu, dengan pengharapan, bahwa permohonan
kita akan terkabul" sambung Mahisa Pukat.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
kemudian menjawab "Kita akan memohon"
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua anak muda
itupun telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut.
Mahisa Murti sempat berpaling dan seleret pandang anak


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda itu telah membentur mata Widati. Namun gadis itu
kemudian menunduk dalam-dalam. Bahkan iapun telah
berlari masuk ke ruang dalam.
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak berkata apapun juga tentang anaknya.
Dalam pada itu. maka Mahisa Murti d.in Mahisa
Pukatpun kemudian menyusuri jalan padukuhan induk
menjauhi rumah Ki Buyut. Beberapa orang anak muda
telah mengikutinya sampai keregol padukuhan.
Sepeninggal kedua anak muda itu, maka Ki Buyutpun
kemudian masuk keruang dalam "Dilihatnya anak gadisnya
duduk tepekur di pembaringannya, sementara pintu
biliknya masih terbuka. Perlahan-lahan Ki Buyut mendekati anaknya, yang
terkejut melihat kehadirannya.
"Ireng, apa yang sebenarnya kau pikirkan?" bertanya Ki
Buyut. Widati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
jawabnya "Tidak ada ayah"
"Jangan kau bohongi orang tua ini Ireng" berkata
ayahnya kemudian "meskipun tidak kau ucapkan, aku
melihat sorot matamu ketika kau memperhatikan kedua
anak muda itu telah membentur mata Widati anak muda
yang meninggalkan Kabuyutan ini"
Widati menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya
lirih" Tidak ada apa-apa ayah"
"Baiklah" berkata ayahnya "Sukurlah jika tidak ada apaapa
diantara kalian. Namun demikian, baiklah ayah ingin
mengatakan sesuatu serba sedikit"
Widati menjadi tegang. Sementara itu ayahnya berkata
lebih lanjut "Aku tidak menyesali hubunganmu dengan
anak-anak muda. Aku kira hal itu wajar sekali. Tetapi
ternyata bahwa kau tidak kerasan tinggal dirumah
pamanmu, justru karena kau merasa diganggu oleh anak
muda yang tidak kau sukai"
Widati tidak menyahut. "Tetapi bagaimanapun juga, ayah mempunyai satu
sikap, bahwa hubunganmu dengan anak-anak muda itu,
harus kau batasi pada hubungan persahabatan saja. Jika
hubungan itu terasa menjadi semakin dalam, maka banyak
hal yang harus di amati. Misalnya, keturunan. Watak dan
tingkah laku, juga kemungkinan masa depan. Mungkin kita
bertemu dengan seseorang yang langsung kita kagumi.
Tetapi kita tidak tahu asal usulnya, kita tidak tahu sifat dan
tabiatnya yang sebenarnya, karena kita baru mengenal
dalam waktu singkat. Sebab seseorang dapat saja
menyelubungi sifat-sifatnya yang sebenarnya untuk sesuatu
maksud" Wajah Widati menjadi tegang, la mengerti maksud
ayahnya. Yang disebut-sebut itu tentu anak-anak muda
yang baru saja meninggalkan Kabuyutan itu, karena
sebenarnyalah Ki Buyut tidak tahu asal-usul anak-anak
muda itu. Ki Buyutpun tidak tahu sifat dan watak yang
sebenarnya. Bahkan Ki Buyut itu berkata lebih lanjut "Aku dapat
memberikan contoh yang jelas Ireng. Sebelum anak-anak
muda itu datang maka seorang tamu di Kabuyutan ini
merupakan orang yang kita kagumi. Sikapnya yang tegas
penuh wibawa, kepandaiannya bermain senjata dan
nasehat-nasehatnya yang semula terasa sangat berarti bagi
kita disini. Tetapi ternyata sikap itu adalah sikap yang
terselubung. Sikap yang semu seperti salah seorang tetangga
kita sendiri, yang bersikap semu pula. Seolah-olah ia tidak
lebih dari petani biasa seperti kebanyakan penghuni
Kabuyutan ini. Tetapi apa yang sebenarnya kita hadapi"
Widati menundukkan kepalanya. Ia mengerti maksud
ayahnya dan iapun tidak menganggap bahwa yang
dikatakan oleh ayahnya itu keliru. Tetapi ada sesuatu yang
bergejolak didalam hatinya. Menurut pendapatnya, salah
seorang dari kedua anak muda itu adalah seorang anak
muda yang mempunyai ciri yang terlalu baik. Ramah,
sopan dan mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Menurut
seorang kawannya, anak muda itu tentu tidak ada yang
mengalahkan. Tetapi iapun melihat tirai yang
menyelubungi anak-anak muda itu. Mereka tentu tidak
mengatakan tentang diri mereka yang sebenarnya. Karena
itu, tentulah beralasan bahwa ayahnya mempunyai sikap
tertentu. Namun agaknya sulit bagi Widati untuk menghilangkan
kenangannya terhadap anak muda yang seorang. Yang
nampaknya lebih lembut dari yang lain. Seolah-olah
segalanya mapan sebagaimana diidamkan pada seorang
laki-laki muda. Tetapi Widati sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu ayahnyapun berkata selanjutnya "Seterusnya
Widati, kau harus selalu berhati-hati menghadapi masa
datang. Kecuali kau harus dapat menjaga dirimu, maka
kaupun harus memperhitungkan apa yang kira-kira bakal
terjadi atasmu" Widati masih menunduk. Namun terasa degup
jantungnya menjadi semakin cepat.
Dalam pada itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, anak-anak Kabuyutan itupun seolah-olah
mendapat kesempatan untuk melihat kedalam diri sendiri.
Dua orang pengembara itu umurnya masih semuda dengan
mereka. Tetapi keduanya sudah memiliki ilmu yang luar
biasa. Yang menggelitik hati anak-anak muda itu adalah
pertanyaan salah seorang dari kedua anak muda itu "Jika
kami mampu melakukannya, kenapa kalian tidak" Apa
bedanya?" Anak-anak-muda itu memang berpikir untuk mencari
jawabnya. Anak muda yang menyebut diri mereka
pengembara itu memang mengatakan, mungkin
kesempatanlah yang telah membuat tingkatan mereka
demikian. Tetapi untuk seterusnya apakah anak-anak muda
itu tidak dapat berbuat sesuatu untuk menciptakan satu
kesempatan, meskipun tidak sama dan setingkat.
Karena itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, anak-anak muda yang mengantarkannya sampai ke
gerbang padukuhan induk itupun berbicara diantara
mereka" Kita harus mengembangkan apa yang telah diberikan
oleh kedua anak-anak muda itu"
"Ya" sahut yang lain "kita dapat berlatih terus. Kita
sudah menerima pokok-pokok unsur yang diperlukan. Jika
kita tidak terlalu bodoh, maka kita akan dapat
mengembangkannya meskipun serba sedikit"
"Kita akan mengembangkannya" jawab yang lain lagi.
Bahkan katanya kemudian "Bukan saja olah kanuragan.
tetapi pesan-pesannya yang lainpun perlu kita perhatikan.
Kita memang prihatin terhadap hutan dilereng yang gundul
itu. Kita memang cemas menghadapi tanah longsor.
Menghadapi banjir seperti yang dikatakannya itu"
"Ya. Sementara itu kitapun cemas menghadapi
kejahatan seperti yang pernah terjadi. berkata yang lain lagi.
Dengan demikian, maka kehadiran mahisa Murti dan
Manisi Pukat yang hanya beberapa hari saja di Kabuyutan
itu telah dapat menumbuhkan kesan yang mendalam,
terutama diantara anak-anak muda. Mereka merasa
tersentuh, bahwa pengembara yang asing bagi Kabuyutan
mereka, telah berbuat terlalu banyak terhadap Kabuyutan
itu melampaui apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak
muda di padukuhan itu sendiri"
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun telah
berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan lebih
banyak bekerja bagi Kabuyutan mereka sendiri"
Bekas yang ditinggalkan oleh kedua pengembara itu
memang terasa oleh Ki Buyut, terutama dilingkungan anak
anak mudanya. Bukan saja di bidang kewadagan dan ilmu
kanuragan, tetapi ternyata kehadiran mereka telah
menggetarkan gejolak jiwa anak-anak muda di padukuhan
itu sendiri. Meskipun demikian, ia tidak dapat bersikap seperti itu,
tanpa penp amatan yang lebih mendalam, apabila anaknya
telah memandang anak muda itu dari segi yang terlalu
khusus, justru karena anak gadisnya itu sudah menjelang
gadis dewasa. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berjalan semakin jauh. Mahisa Murti sendiri sama sekali
tidak pernah berpaling. Justru Mahisa Pukatlah yang sering
berpaling kearah jalur jalan yang panjang yang telah
dilewatinya. Rasa-rasanya jalan itu panjang sekali sehingga
malaslah untuk menjalaninya kembali disatu saat
mendatang. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menutup mata. Mahisa
Murti agaknya benar-benar tertarik kepada seorang gadis
yang bernama Widati, yang sehari-hari dipanggil Ireng itu.
Sementara itu Ireng sendiri sedang menelungkup di
pembaringannya. Meskipun ia tidak menjawab sepatah
katapun ketika ayahnya memberinya nasehat, tetapi ketika
ayahnya kemudian meninggalkannya, maka ia tidak dapat
menahan lagi gejolak perasaannya. Betapapun juga ia
berusaha, namun titik-titik air matanya telah mengembun
dipelupuknya. Anak muda yang meninggalkan halaman rumah itu
tentu bukan orang-orang yang bertabiat buruk. Seorang
diantaranya benar-benar telah memikat hatinya. Namun
agaknya ayahnya kurang sependapat, karena beberapa hal
seperti yang dikatakannya. Terutama bahwa ayahnya sama
sekali tidak mengenal asal-usul anak muda itu.
"Tetapi apakah asal-usul itu mutlak harus ditelusuri?"
bertanya Widati didalam hatinya "jika seseorang ternyata
menunjukkan sikap, sifat dan watak yang baik serta
bertanggung jawab, apakah artinya asai-usul itu Sebaliknya,
meskipun menurut silsilahnya seseorang adalah orang yang
terpandang, tetapi orang itu tidak bersikap dan bersifat
terpuji apalagi tidak bertanggung jawab, apakah artinya
nilai asal-usuinya itu?"
Namun demikian Widati tidak berani mengatakannya
kepada ayahnya. Iapun tidak berani pula mengatakannya
kepada ibunya, karena menurut dugaannya, ibunya tentu
sudah mendengarnya dari ayahnya, apa yang telah terjadi
atas dirinya serta sikap ayahnya itu sendiri.
Karena itu. ia berusaha untuk membawa beban perasaan
nya itu seorang diri. betapapun beratnya
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memasuki satu daerah yang mendebarkan. Mereka mulai
melintasi lereng pegunungan yang menjadi gersang. Jaiurjalur
air hujan yang mengalir dengan membawa lapisan
tanah nampak semakin lama agaknya menjadi semakin
dalam, sementara pepohonan yang nampak menjadi
semakin jarang. Mahisa Pukat memperhatikan lereng pegunungan itu
dengan hati yang berdebaran. Terbayang masa-masa
mendatang yang panjang. Jika tanah di lereng ini terusmenerus
di hanyutkan oleh air hujan, maka akibatnya akan
sangat terasa. Bukan saja saat-saat air hujan itu mengalir
tanpa kendali sehingga dapat menimbulkan bahaya yang
dahsyat di kaki pegunungan itu. namun akhirnya
pegunungan itu benar-benar akan terkelupas sehingga yang
tersisa dalah seonggok batu-batu padas raksasa yang kering
dan tandus. "Belum terlambat" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya
"Kau berkata sesuatu?"
Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya "Ya. Aku
mengatakan bahwa usaha menyelamatkan lereng
pegunungan ini masih belum terlambat. Mudah-mudahan
Ki Buyut bersama-sama dengan Kabuyutan tetangganya
disekitar daerah ini akan berhasil mengatasi keadaan ini
dengan satu kesadaran baru"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Agaknya angan-angannya masih saja
meloncat kembali ke Kabuyutan yang baru saja
ditinggalkannya. Mahisa Pukatpun tidak mengatakan apa-apa lagi.
Merekapun kemudian melangkah dengan cepat dilereng
pegunungan melintas ke lembah disebelahnya.
Keduanya tidak menghiraukan matahari yang menjadi
terik di puncak langit. Ketika mereka menyuruk dibawah
hutan yang tidak terlalu lebat, maka panasnya sinar
matahari tidak begitu terasa membakar kulit.
Meskipun demikian, ketika mereka sampai di pinggir
sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih, maka
merekapun memerlukan untuk berhenti barang sejenak.
Namun Mahisa Murti itupun kemudian berkata "Kita
dapat beristirahat disini. Disini banyak burung yang dapat
kita tangkap dengan supit. sehingga kita tidak akan
kelaparan" Mahisa Pukat memandang berkeliling. Memang terasa
sejuknya udara. Namun ternyata Mahisa Pukat itu
menjawab "Apakah tidak lebih baik kita berjalan terus
sampai saatnya matahari terbenam?"
"Jika kita tidak lagi menemukan tempat sesejuk ini"
berkata Mahisa Murti. "Tentu bukan tempat yang sejuk yang penting bagi kita"
Jawab Mahisa Pukat "jika demikian, maka kita tidak akan
bergeser dari tempat ini"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Nanti kita akan meneruskan perjalanan"
Demikianlah keduanya memang melanjutkan
pengembaraan mereka. Mereka berjalan menyusuri lerenglereng
pegunungan, lembah lembah dan melintasi padang
perdu. Tetapi sekali-sekali merekapun berjalan melalui
daerah berpenghunj yang padat tanpa menarik perhatian.
Demikianlah mereka melakukan dari hari kehari.
Padukuhan demi padukuhan mereka lalui, sehingga dengan
demikian mereka menjadi semakin jauh dari sebuah
Kabuyutan yang menyimpan seorang gadis yang bernama
Widati. Seorang gadis yang belum lama kembali ke rumah
orang tuanya setelah beberapa lamanya ia berada di rumah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pamannya. Tetapi berjalan terus meskipun dalam pengembaraan
adalah menjemukan. Mereka tidak menemukan
pengalaman baru yang dapat meningkatkan pengamatan
mereka terhadap kehidupan, sehingga karena itu, maka
mereka mulai berpikir lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
bersepakat untuk mencari tempat pemberhentian. Mungkin
di tempat itu mereka akan mendapatkan pengalaman yang
akan bermanfaat bagi hidup mereka kelak.
Ketika mereka mendekati sebuah padepokan yang besar,
maka Mahisa Murtipun berkata "Apakah kita akan
memasukinya?" "Ada juga baiknya" berkata Mahisa Pukat "mungkin
kita akan mendapat kesempatan barang sepekan untuk
tinggal di padepokan ini. Beruntunglah kita jika selama kita
tinggal di padepokan itu, kita akan mendapatkan sesuatu"
"Aku setuju" berkata Mahisa Murti "nampaknya
padukuhan ini sebuah padukuhan yang tenang.
Disekitarnya terdapat sawah yang hijau dan pategalan yang
subur" "Mudah-mudahan di padukuhan ini tidak ada seorang
gadis yang dapat menyentuh dasar perasaan yang paling
dalam" desis Mahisa Pukat.
"Ah" Mahisa Murti berdesah. Tetapi ia tidak berkata
lebih lanjut. Demikianlah keduanyapun kemudian memasuki jalur
jalan menuju ke padukuhan itu. Padukuhan yang nampak
hijau subur dan bahkan terasa ketenangan menyentuh hati
kedua anak muda itu. Sejenak kemudian mereka telah
memasuki lingkungan sebuah padepokan. Ketika mereka
sampai dj regol halaman yang luas. maka merekapun
menjadi termangu-mangu. Sebelum mereka berbuat sesuatu, mereka melihat
seorang cantrik yang tergesa-gesa mendekat. Sambil
membungkuk hormat, cantrik itupun Kemudian bertanya
"Ki Sanak, apakah kepentingan Ki Sanak mendekati regol
padepokan kami yang sunyi ini"
Mahisa Murtipun mengangguk pula. Katanya "Ki
Sanak. Kami adalah dua orang bersaudara yang sedang
mengembara. Kami melihat betapa sejuk dan damainya
lingkungan padepokan ini. sehingga rasa-rasanya kami
ingin singgah barang sejenak"
"O, tentu kami tidak akan berkeberatan. Marilah Ki
Sanak, aku akan menyampaikan kedatangan Ki Sanak
kepada Empu Nawamula yang untuk sementara memimpin
padepokan ini" Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan
ragu-ragu Mahisa Pukat "Kenapa untuk sementara?"
"Ya. Hanya untuk sementara. Pemimpin padepokan
kami yang sebenarnya sudah meninggal dunia hampir
setahun yang lalu. Empu Nawamula adalah adik satusatunya
dari pemimpin padepokan kami yang telah
meninggal itu. Karena tidak ada orang lain, maka Empu
Nawamula untuk sementara diserahi pimpinan padepokan
ini, sementara anak pemimpin padepokan kami yang telah
meninggal itu sedang berguru kepada seorang pertapa yang
tidak ada duanya di tempat yang jauh. Jika ia kembali
kelak, maka ialah yang berhak untuk menggantikan
kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu" jawab
cantrik yang menemui mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan rendah hati Mahisa Murti berkata "Ki Sanak
Apakah kiranya kami diperkenankan untuk singgah barang
satu dua hari di padepokan ini.
"Tentu. Empu Nawamula adalah orang yang baik. Ia
tentu tidak akan berkeberatan untuk menerima kedatangan
Ki Sanak berdua" jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
dibawa oleh cantrik itu memasuki padepokan. Sejak
keduanya melangkah di halaman, terasa betapa tenangnya
kehidupan di padepokan itu. Di antara beberapa buah
rumah yang terdapat di padepokan itu terdapat pohon
buah-buahan yang rimbun. Pohon jambu air yang berbuah
lebat. Manggis dan Srikaya yang berbuah pula. Agak
menyudut, nampak sebuah belumbang yang besar.
Beberapa ekor angsa berenang diairnya yang kehijauan.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Padepokan
itu benar-benar merupakan sebuah padepokan yang asri.
"Ki Sanak" bertanya Mahisa Murti "apakah Empu
Nawamula tidak mempunyai sebuah padepokan tersendiri
sebelum ia berada di padepokan ini?"
Cantrik itu menggeleng. Jawabnya "Empu Nawamula
bukan seorang pemimpin padepokan Ia tinggal disatu
lingkungan yang kecil. Empu Nawamula tenggelam dalam
pekerjaannya bersama tiga orang cantriknya"
"Pekerjaan apa yang dilakukannya" bertanya Mahisa
Murti. "Empu Nawamula adalah seorang ahli membuat keris.
Ia memang benar-benar seorang empu" jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk.
Sementara itu, Mahisa Murtipun bertanya
"Apakah disini Empu Nawamula juga masih membuat
keris?" "Ya" jawab cantrik itu "tiga orang pembantunya berada
disini pula. Jika kau melihat asap di kebun belakang yang
agak jauh itu, disanalah Empu Nawamula melakukan
tugasnya. Meskipun Empu Nawamula bukan seorang
Empu yang banyak menghasilkan. Tetapi satu dua keris
yang dibuatnya merupakan pusaka yang sangat berharga"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu maka cantrik itupun telah
mempersilahkannya naik kependapa sambil berkata
"Silahkan. Aku akan menyampaikannya kepada Empu
Nawamula" Terima kasih" jawab Mahisa Murti" biarlah aku
menunggu disini saja. Aku bukan seorang tamu yang
pantas. Kami berdua hanyalah pengembara yang ingin
singgah barang satu dua hari"
Cantrik itu tidak memaksanya. Dibiarkannya saja
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk di tangga pendapa,
karena mereka memang merasa bukan tamu tamu yang
harus mendapat penghormatan.
Sepeninggal cantrik itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang duduk di tangga pendapa itupun sempat
mengamati halaman padepokan yang luas tetapi bersih.
Sekali-sekali terdengar lenguh lembu di kandang di kebun
belakang. Sementara itu terdengar pula suara lesung dengan
iramanya yang rampak. Agaknya beberapa orang
perempuan tengah menumbuk padi didekat lumbung
padepokan itu. Namun dalam pada itu. tiba-tiba saja Mahisa Murti
berdesis Mahisa Pukat, rasa-rasanya aku pernah mendengar
nama Empu Nawamula. Dimana dan kapan, aku masih
belum berhasil mengingatnya.
"Ya. aku juga pernah mendengarnya. Mungkin pada
saat-saat kita ikut ayah yang sering memperjual belikan
batu-batu berharga dan kadang-kadang membawa pula wesi
aji. Agaknya ayah memang pernah berhubungan dengan
Empu Nawamula" jawab Mahisa Pukat.
"Ya" sahut Mahisa Murti dengan serta merta "ayah
memang pernah menemui seorang Empu untuk memesan
sebilah keris. Bukan untuk ayah sendiri, tetapi untuk
Seorang sahabatnya. Empu itu bernama Nawamula"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya "Ya.
Agaknya memang demikian. Jika Empu itu melihat kita di
sini. maka ia akan segera mengenal kita pula. Tetapi apakah
Empu itu bernama Nawamula?"
"Ya. Nawamula. Bukankah kau pernah mendengar
nama itu" Tentu Empu Nawamula adalah Empu yang
pernah membual keris untuk ayah. Meskipun keris itu
kemudian disampaikan oleh ayah kepada sahabatnya yang
memesannya. Aku sekarang ingat dengan gamblang.
Akupun ingat pula wajah Empu yang sejuk itu"
"Tetapi bagaimana dengan kita" Jika Empu itu
mengenali kita?" desis Mahisa Pukat.
Sebelum keduanya menemukan pemecahan, terdengar
langkah seseorang mendekat. Ternyata cantrik yang semula
mempersilahkannya itu datang pula kepada keduanya
sambil berkata Ki Sanak. Empu mempersilahkan kalian
datang ke sanggar. Empu sedang menyiapkan sebilah keris.
Baru sesaat nanti. Empu dapat meninggalkan
pekerjaannya" Keduanya ragu-ragu. Namun cantrik itu berkata pula
"Marilah. Aku sudah menyampaikan segalanya kepada
Empu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat membantah
lagi. Keduanyapun kemudian mengikuti cantrik itu menuju
ke bagian belakang padepokan.
Ketika mereka mendekati sebuah perapian yang terbuka,
muka cantrik isu berkata "Itu adalah sanggar khusus Empu
Nawamula. Bukan sanggar untuk olah kanuragan. tetapi
sanggar khusus untuk melakukan pekerjaannya, membuat
keris. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun keduanya tidak menjawab.
"Silahkan duduk Ki Sanak tantrik itu mempersilahkan
sebentar lagi. Empu Nawamula akan menemui kaiian
berdua" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun dipersilahkan
duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan diserambi
sebuah rumah kecil dihadapan sanggar Empu Nawamula.
Ketika cantrik itu kemudian meninggalkan mereka,
maka Mahisa Murti itupun kemudian berkata "Benar.
Empu itulah yang pernah kita kenal"
"Ya" Sahut Mahisa Pukat "aku tidak lupa lagi"
"Apa boleh buat. Bukankah kita tidak berbuat apa-apa"
Seandainya pada suatu saat Empu itu bertemu dengan ayah
dan mengatakan kehadiran kita di padepokan ini, justru
sekaligus memberikan kabar keselamatan kami kepada
ayah" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Iapun tidak
berkeberatan atas pengenalan mereka terhadap orang yang
untuk sementara memimpin padepokan yang sejuk itu.
Beberapa saat mereka menunggu. Namun akhirnya
Empu Nawamula itu meletakkan alat-alatnya. Kemudian
menyeka keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Baru
kemudian Empu itu berpaling kearah kedua orang anakanak
muda yang duduk diserambi menunggunya.
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian
iapun melangkah meninggalkan perapiannya mendekati
kedua orang anak yang sedang menunggunya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun serentak berdiri.
Sambil membungkuk hormat keduanya beringsut
kesamping. "Silahkan. Silahkan duduk anak-anak muda" Empu
Nawamula mempersilahkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun termangu-mangu.
Namun ketika Empu Nawamulapun duduk pula di atas
tikar itu, maka keduanyapun telah duduk kembali.
Sejenak Empu Nawamula mengamati kedua orang anak
muda itu. Kemudian katanya "Aku sudah tua ngger. Tetapi
rasa rasanya aku pernah mengenal kalian berdua. Tetapi
mungkin aku keliru karena aku sudah hampir menjadi
pikun" "Mungkin Empu benar" jawab Mahisa Murti "kami
berdua yang sedang mengembara, tidak menduga, bahwa
kami akan berjumpa dengan Empu disini"
"Jadi pengenalanku benar" Tetapi sebut, siapa namamu
berdua?" bertanya Empu itu.
"Aku Mahisa Murti Empu dan ini saudaraku Mahisa
Pukat" Jawab Manisa Murti.
Empu itu mengerutkan keningnya, la mencoba
mengingat nama itu Namun Mahisa Pukatlah yang
kemudian menjelaskan "Kami adalah anak-anak laki-laki
dari ayah. Mahendra"
"O" Empu itu mengangguk-angguk "jadi kalian ariak
Muhendra. Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan sudah
seperti saudara sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Ternyata Empu itu memang mengenal ayah mereka, dan
iapun pernah melihat keduanya pula.
Dalam pada itu. Empu itupun berkata "Aku ingat
sekarang. Aku ingat kalian berdua memang pernah
mengikuti ayah kalian pergi ke gubugku. Tetapi tidak di
padepokan ini" "Ya Empu" jawab Mahisa Murti "karena itu. Kamipun
tidak menyangka, bahwa kami menjumpai Empu di
padepokan ini" "Adalah kebetulan sekali" jawab Empu Nawamula
"tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?"
"Kami sedang mengembara Empu. Kami tidak
mempunyai tujuan tertentu. Kami hanya ingin melengkapi
pengalaman kami menginjak masa dewasa kami" jawab
Mahisa Murti. Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ketika seorang
cantrik menyuguhkan minuman panas dan beberapa potong
makanan, maka Empu itupun telah mempersilahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mencicipinya.
Sejenak kemudian pembicaraan merekapun telah
berkernbang. Empu Nawamula telah menanyakan
keselamatan seluruh keluarga Mahendra. Kemudian
menanyakan beberapa hal tentang perjalanan kedua orang
anak muda itu. "Kalian telah membekali hidup kalian kelak dengan
pengalaman yang akan sangat berarti" berkata Empu
Nawamula "ternyata Mahendra mempunyai wawasan yang
luas atas masa depan anak-anaknya"
Kedua anak muda itu hanya menundukkan kepalanya.
Sementara itu Empu Nawamula berkata Anakmas berdua.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaiknya kalian berdua tinggal di padepokan ini untuk
satu dua pekan. Selama ini kalian telah menempuh jarak
yang panjang. Sepekan dua pekan akan dapat kalian
pergunakan untuk sekedar beristirahat. Sementara itu.
kalian akan dapat menjadi kawan berbincang disini
disamping para cantrik"
Adalah kebetulan sekali bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang memang ingin beristirahat barang satu dua hari
setelah menempuh perjalanan yang panjang. Sementara itu
Empu Nawamula telah menawarkan agar mereka berada di
padepokan itu barang satu dua pekan.
Karena itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama
sekali tidak menolak. Bahkan dengan terus-terang Mahisa
Murti berkata "Empu. sebenarnyalah kami berdua memang
ingin menyatakan keinginan kami untuk dapat berada di
padepokan ini. Seandainya yang memimpin padepokan ini
bukan Empu. kami memang ingin mohon untuk tinggal
barang satu dua hari. Tetapi adalah kebetulan sekali, bahwa
Empu yang berada di padepokan ini"
"Ya. Meskipun hanya untuk sementara. Pada saatnya
aku harus menyerahkan padepokan ini kepada yang berhak.
Kemenakanku yang sekarang sedang berguru ditempai yang
jauh" Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menyatakan kesediaannya untuk tinggal di padepokan
itu barang satu dua pekan. Dalam waktu singkat, keduanya
telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di
padepokan itu. sehingga merekapun segera dapat luluh
dalam kehidupan para cantrik.
Namun dalam pada itu, pada saat-saat tertentu. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah duduk di pendapa
padepokan itu untuk berbincang dengan Empu Nawamula
pada saat-saat senggangnya. Terutama di ujung malam.
Dengan lampu minyak, mereka berbicara tentang satu segi
kehidupan meloncat kesegi kehidupan yang lain.
Namun akhirnya Empu Nawamula itupun sampai pula
kepada persoalan padepokan itu sendiri.
"Apakah pada suatu saat. Empu juga akan meninggalkan
padepokan ini?" bertanya Mahisa Murti.
"Tentu ngger" jawab Empu Nawamula aku tidak akan
tinggal disini seterusnya. Jika kemenakanku itu kembali dari
perguruannya maka padepokan ini akan aku serahkan
kepadanya" "Kapan kemenakan Empu itu akan kembali" bertanya
Mahisa Pukat. "Aku kurang pasti ngger" jawab Empu Nawamula
"tetapi pada saat-saat tertentu ia sering mengunjungi
padepokan ini Kadang-kadang sebulan sekali ia kembali
dan tinggal di padepokan ini sekitar dua tiga hari.
Kemudian ia kembali ke perguruannya. Namun sementara
itu ia minta agar aku tetap tinggal disini"
"la akan kembali dengan ilmu yang mumpuni" berkata
Mahisa Pukat "bukankah itupun satu usaha untuk
membekali hidupnya kelak?"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Tetapi ia bukan anakku sendiri. Jika ia
anakku, maka aku akan berusaha untuk menasehatinya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Terasa pada nada kata-kata Empu Nawamula,
seolah-olah ada penyesalan atas sikap kemenakannya itu"
"Angger berdua" berkata Empu itu selanjutnya "aku
sendiri tidak mempunyai anak. Ketika isteriku meninggal,
rasa-rasanya hidup ini menjadi sepi. Aku tidak ingin kawin
lagi dengan perempuan yang manapun juga. Namun
akibatnya, aku benar-benar tidak mempunyai keturunan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mendengar serba
sedikit tentang kemenakan Empu Nawamula. Tetapi
mereka tidak berani menanyakannya. Karena itu. mereka
hanya dapat menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh
Empu itu. Tetapi Empu itu berkata tentang dirinya sendiri Terasa
kesepian kadang-kadang mencengkam. "Tetapi aku
memang sudah berniat demikian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sekilas. Mereka melihat, terbersit satu perasaan yang kurang
mapan di hati Empu itu. Adalah diluar sadarnya, bahwa Mahisa Murti kemudian
berkata "Empu, kemanakan Empu itu akan dapat Empu
anggap sebagai anak sendiri"
Empu Nawamula itu menggeleng. Katanya "Ada
bedanya ngger. Jika ia anakku sendiri, aku akan dapat
memberinya arah" "Apa tidak demikian dengan kemanakan Empu itu?"'
bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba saja.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bukan maksudku untuk mengeluh. Kau berdua adalah
anak sahabatku yang menurut pengamatanku, kalian telah
dapat berpikir dewasa. Karena itu. aku kira kau akan dapat
mengatakan sesuatu yang akan dapat mengurangi beban
perasaanku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu
sejenak Sementara itu Empu Nawamula itupun berkata
selanjinnya "Ada sesuatu yang kurang sesuai dengan
perasaanku. Kemanakanku itu telah terjerumus kedalam
satu perguruan yang menurut pendapatku, kurang
menguntungkan bagi masa depannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan raguragu
Mahisa Murti bertanya "Perguruan yang
bagaimanakah yang Empu maksud" Seandainya perguruan
itu bukan perguruan yang baik, apakah ayahnya pada masa
hidupnya tidak pernah mencegahnya?"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Itulah yang selama ini memberati perasaanku. Saudara
tuaku, ayah anak itu, sudah tidak dapat mencegahnya lagi
Setiap kali keduanya berselisih, sehingga akhirnya ayah
anak itu tidak lagi mempunyai harapan bagi masa depannya
yang terasa sangat gelap. Tingkah laku anak laki lakinya
mempercepat surutnya kesehatannya. Namun agaknya
segalanya memang sudah menjadi guratan takdir.
Saudaraku itu meninggal hampir setahun yang lalu dengan
beban yang berat diliatinya karena tingkah laku anaknya.
Sebelum meninggal ia menitipkan padepokan ini beserta
anaknya kepadaku. Tetapi apa yang dapat aku lakukan atas
anak itu" Aku dapat mengatur padepokan ini sementara
anak itu belum bersedia memimpinnya. Tetapi untuk
mengatur anak itu sendiri, aku sama sekali tidak mampu.
Jangankan aku, ayahnyapun tidak dapat berbuat apa-apa"
"Apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak itu.
Empu" bertanya Mahisa Pukat
"Ia berguru kepada seorang pertapa ditempati yang jauh.
Pertapa yang menganut aliran yang kurang dapat
dipertanggung-jawabkan" berkata Empu Nawamula.
"Tetapi kenapa ia dapat menjadi murid seorang pertapa
yang jauh itu?" bertanya Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam Katanya
"Semuanya terjadi diluar pengamatan. Nampaknya seorang
pertapa dari aliran yang tidak banyak disukai itu sedang
mengembara. Ketika dijumpainya kemanakanku itu. Ia
mulai tertarik. Dengan segala macam cara diluar
pengetahuan saudaraku, pertapa itu telah memikat
kemanakanku untuk menjadi muridnya, sehingga akhirnya
hal itu terjadi tanpa dapat dicegah lagi"
"Tetapi apakah tanda-tanda bahwa pertapa itu menganut
aliran yang kurang disukai?" bertanya Mahisa Murti
"Cara-cara pertapa itu memperoleh kekuatan" jawab
Emppu Nawamula "pertapa itu menganut aliran seperti
yang pernah terdapat di daerah Selatan. Satu aliran yang
pernah juga diceriterakan oleh ayahmu. Mungkin
kakakmulah yang pernah menemui satu aliran yang
mempergunakan darah sebagai satu cara untuk
menumbuhkan kekuatan di dalam dirinya"
"Darah?" bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
"Ya. Meskipun pada tahap pertama pertapa itu
mempergunakan darah seekor binatang. Sebenarnyalah
bahwa dengan minum darah kekuatan seseorang dapat
tumbuh dengan cepat. Bahkan mungkin melampaui
kekuatan orang kebanyakan. Apalagi dilambari dengan
ilmu kanuragan. Namun minum darah bukan kelajiman
yang pantas dianut. Apalagi dalam perkembangannya
kemudian. Pada saatnya untuk mencapai puncak
kemampuannya, ilmu yang demikian akan sampai pada
satu pilihan, darah sesama"
Terasa tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun
meremang. Mereka memang pernah mendengar dari
Mahisa Bungalan tentang satu aliran yang membasahi diri
mereka dan senjata-senjata mereka dengan darah manusia
disaat bulan bulat dilangit "Mengerikan" desis Mahisa
Pukat. "Itulah yang membuat ayah anak itu menjadi sangat
prihatin. Tetapi ternyata anak itu sudah tidak dapat dicegah
lagi. Ia lebih percaya kepada gurunya daripada kepada
ayahnya sendiri. Usaha ayahnya untuk menitipkan anak itu
kepadaku, sama sekali tiak berhasil. Menurut anak itu.
kemampuanku sama sekali tidak berani dibanding dengan
pertapa yang menjadi gurunya itu. Bahkan menurut
kemanakanku itu, gurunya telah sanggup untuk
membuatnya menjadi manusia yang paling kuat didunia.
Manusia yang memiliki ilmu tertinggi diantara sesamanya"
berkata Empu Nawamula. "Tetapi apakah memang demikian Empu?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku tidak tahu ngger. Tetapi aku yakin, bahwa pertapa
itu tidak akan lebih dari manusia biasa yang mempunyai
batas kemampuan" jawab Empu itu "aku tidak yakin akan
adanya kekuatan yang tidak terkalahkan didunia ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Empu Nawamula melanjutkan "Selebihnya
pertapa itu telah menyediakan sebuah pusaka yang tidak
ada duanya didunia" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja menganggukangguk.
Namun demikian, mereka mulai dapat
membayangkan, apa yang sebenarnya tersimpan di
belakang padepokan yang nampaknya tenang dan damai.
Namun yang pada saatnya, padepokan itu akan menjadi
sumber angin prahara yang sulit dikendalikan.
"Angger berdua" berkata Empu itu lebih lanjut "tingkah
laku anak itu benar-benar telah menyusahkan seluruh
keluarganya. Bukan saja karena ia telah menyadap ilmu
yang sesat. Tetapi tingkah lakunya kadang-kadang memang
sangat menyakitkan hati. Untunglah, bahwa ia masih
mempunyai rasa segan kepadaku. Betapa tinggi ilmunya, ia
merasa bahwa ia masih belum dapat mengimbangi ilmuku.
Karena itu, maka ia masib menghormatiku menilik sikap
lahiriahnya. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan didalam
hatinya. Tetapi menilik sikapnya kepada ayahnya dan
kadang-kadang melihat gelagat dan tatapan matanya, ia
justru mendendamku. Karena itu, maka pada suatu saat ia
akan datang mengusirku. Mungkin dengan kekuatannya
sendiri, tetapi mungkin ia akan mendapat pertolongan
gurunya" "Dan Empu akan bertahan?" bertanya Mahisa Pukat
"Jika ia berkata kepadaku dengan cara yang wajar, aku
akan pergi. Padepokan ini memang padepokannya. Tetapi
jika ia datang dan dengan sikapnya yang gila mengusir aku
seperti mengusir anjing liar, maka aku akan memilih mati
disini" jawab Empu Nawamula.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Murti bertanya "Apakah ada tanda-tanda bahwa ia
akan bersikap demikian?"
"Mungkin aku terlalu berprasangka ngger. Tetapi aku
merasa bahwa ia akan datang dan mengusir aku seperti
mengusir seekor anjing" jawab Empu Nawamula "karena
itu ngger. Aku telah berpuasa seratus hari sebelum aku
mulai membuat keris yang sedang aku kerjakan itu. Aku
membuat keris yang menurut niatku, akan menjadi keris
yang mempunyai tuah yang berarti. Sedangkan ujudnya,
memang mempunyai kelebihan dari keris-keris yang pernah
aku buat sebelumnya. Keris ini jauh lebih besar dari keris
kebanyakan" Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Tetapi mereka dapat merasa, betapa ketegangan sebenarnya
mencengkam padepokan itu. Namun agaknya Empu
Nawamula berhasil menyembunyikan gejolak perasaannya,
sehingga sama sekali tidak mempengaruhi para cantrik,
sementara kemanakannya yang datang pada hari-hari
tertentu itupun tidak berbuat sesuatu yang dapat
menimbulkan keresahan, karena ia masih mempunyai
perasaan segan kepada pamannya.
Namun sebenarnyalah bahwa ketenangan itu adalah
ketenangan yang semu. Sementara itu. tiba-tiba saja Empu Nawamula itu berkata,
"Angger berdua, sebenarnya aku tidak perlu mengatakan
semuanya itu kepadamu. Tetapi bahwa kalian adalah anak
Mahendra. tiba-tiba saja tumbuh kepercayaanku kepada
kalian, sehingga dengan demikian, aku sudah mengurangi
beba perasaanku. Selama ini seolah-olah tidak ada orang
yang pantas aku ajak berbincang. Tiga orang pembantuku,
memang orang-orang yang pantas diajak untuk berbicara.
Tetapi mereka adalah bagian dari aku sendiri, sehingga
meskipun aku telah mengatakan kepada mereka, namun
rasa-rasanya beban itu masih saja harus aku pikul
betapapun beratnya. Jika hal ini aku katakan kepada kalian,
bukan maksudku, bahwa kalian harus ikut berprihatin
karenanya. Anggaplah bahwa kalian cukup mengetahuinya
saja, karena masalahnya tidak akan menyangkut kalian
sama sekali" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti berkata "Seandainya aku
mempunyai kesempatan untuk membantu, maka aku dan
saudaraku tentu akan membantu. Tetapi kami berdua


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah orang-orang jang tidak berarti"
Empu Nawamula tersenyum. Katanya "Perbedaan yang
sudah aku duga. Kalian tentu akan mengatakan demikian.
Tetapi tidak dengan kemanakanku itu. Ia akan berkata
bahwa ia adalah orang yang paling berarti"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat menyambung "Kami hanya mengatakan
yang sebenarnya" Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia
berkata "Sikap kalian telah menggelitik aku untuk
mengukur kemampuan kalian. Benar-benar hanya untuk
mengukur. Aku kenal Mahendra, karena itu aku
mempunyai alasan untuk mengetahui ilmu kalian berdua"
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang
Sekejap mereka saling berpandangan. Sambil mengangguk
hormat Mahisa Murti kemudian berkata "Tentu tidak akan
terjadi Empu. Kami berdua tidak akan berani
melakukannya. Sebenarnyalah kami berdua adalah orangorang
yang tidak berilmu. Jika kami mengembara. bahwa
kami ingin melihat dunia ini dengan sikap paling dasar"
Tetapi Empu Nawamula tertawa pendek. Katanya
sikapmu menambah keyakinanku, bahwa Mahendra sudah
membekali kalian cukup banyak Anak-anak muda.
Bersiaplah. Kita akan pergi ke sanggar. Mumpung hari telah
semakin malam, agar para cantrik tidak menjadi heran.
Kalian tidak usah berpura-pura lagi kepadaku. Tetapi
kepada para cantrik, kau dapat berbuat demikian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai
kesempatan untuk membantah lagi. Mereka harus
memenuhi permintaan Empu Nawamula. Bahkan akhirnya
keduanya berkata didalam hatinya "Aku kira tidak akan
ada ruginya. Justru akan dapat menambah pengalaman
saja" Demikianlah. Empu Nawamula telah membawa kedua
orang anak muda itu kedalam sanggar. Adalah diluar
dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa tiga orang
pembantu Empu Nawamula itu telah hadir pula. Agaknya
mereka melihat tiga orang itu pergi ke Sanggar.
Dengan wajah bertanya-tanya kedua anak muda itu
memandang Empu Nawamula. Karena keduanya tidak
tahu, apakah ketiga orang itu termasuk cantrik seperti yang
dimaksudkan oleh Empu Nawamula.
Agaknya Empu itu mengetahui isi hati kedua anak muda
itu. Maka katanya "Anak-anak. Ketiga orang itu adalah
pembantu-pembantuku. Dalam olah kanuragan mereka
adalah murid-muridku. Kalian tidak usah
mencemaskannya. Mereka dapat dipercaya sepenuhnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun menganggukangguk.
Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak
menghiraukan lagi ketiga orang yang juga telah berada
dalam sangggar. "Kita akan mencoba saling menjajagi" berkata Empu
Nawamula "menurut pengertianku, Mahendra adalah
orang yang pilih tanding"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Empu itupun berkata "Bersiaplah. Kita akan
segera mulai" Ternyata bahwa Empu Nawamula sendirilah yang akan
langsung menjajagi kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Bukan ketiga muridnya.
"Siapakah yang pertama?" bertanya Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Baru sesaat kemudian Mahisa Murti berkata
"Baiklah, aku yang akan memenuhi perintah Empu yang
terdahulu" Empu itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
segera mempersiapkan diri.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun mulai saling
menjajagi. Namun Empu Nawamula telah berhasil
memancing kemampuan Mahisa Murti meningkat dengan
cepat. Sebenarnyalah Empu Nawamula benar-benar ingin
menjajagi kemampuan anak muda itu sampai tuntas.
Karena itu. maka iapun telah melakukannya dengan
sungguh-sungguh, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi ragu-ragu. apakah Empu Nawamula hanya
sekedar untuk memancingnya saja untuk sampai kepuncak
ilmunya. Namun agaknya Empu Nawamula tidak memaksa
Mahisa Murti bertempur sampai ke aji pamungkasnya.
Ketika Empu itu sudah mendapat gambaran tentang
kemampuan anak muda itu. maka iapun mulai
mengendorkan serangan-serangannya, sehingga akhirnya
berhenti sama sekali. "Terima kasih" berkata Empu Nawamula "aku tidak
perlu melakukan hal yang sama atas angger Mahisa Pukat,
karena agaknya ilmu kalian berimbang"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnyalah jika ia harus bertempur pula, maka
keadaannya tidak akan jauh berbeda dari yang sudah
terjadi. Dalam pada itu, maka Empu Nawamula berkata "Aku
memang sudah yakin, bahwa kalian memiliki ilmu yang
luar biasa. Aku mengerti, bahwa diatas kemampuan yang
nampak ini kalian tentu masih mempunyai ilmu pamungkas
yang benar-benar dapat dipercaya. Dengan demikian, maka
ternyata bahwa kemampuan kalian berada diatas
kemampuan murid-muridku, dalam olah kanuragan"
Mahisa Murti mengusap keringatnya sambil berkata
"Sekedar sebagai bekal perjalanan Empu. Sebenarnyalah
bahwa ilmu yang kami kuasai tidak berarti apa-apa"
"Kalian berdua sungguh sungguh mengagumkan ngger"
berkata Empu Nawamula "aku sudah kagum atas
kemampuan ilmu kalian, selebihnya kalian adalah anakanak
muda yang rendah hati. Dalam usia kalian yang masih
sangat muda. kalian sudah menguasai ilmu yang tinggi.
Namun kalian sama sekali tidak menjadi sombong dan
kehilangan pegangan sebagaimana anak-anak muda seumur
kalian. Murid-muridku yang lebih tua dari kalian, masih
harus berlatih untuk beberapa tahun lagi. apabila mereka
ingin menyejajarkan diri dengan kalian"
"Ah. Empu terlalu memuji" desis Mahisa Murti.
"Tidak ngger. Aku tidak sekedar memuji. Tetapi bahwa
kalian berdua memiliki bekal yang cukup, sebenarnyalah
kalian akan dengan tenang berada di padepokan ini. karena
apabila pada suatu saat kalian terbentur kepada satu
keadaan yang tidak dikehendaki, maka kalian akan dapat
mengatasinya" berkata Empu Nawamula.
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa
Murtipun kemudian berkata, "Empu, jika sekiranya
kehadiran kami akan dapat menumbuhkan persoalan, tentu
yang Empu maksud apabila kemanakan Empu itu
kebetulan pulang, maka biarlah kami meninggalkan
padepokan ini. Biarlah kami meneruskan pengembaraan
kami sambil melihat-lihat lingkungan yang belum pernah
kami kenal sebelumnya"
"Tidak ngger. Jangan pergi. Yang aku maksudkan,
hanya apabila kalian dalam keadaan terpaksa. Tetapi tentu
tidak harus terjadi demikian" jawab Empu Nawamula
"sudah aku katakan, bahwa kalian dapat menyembunyikan
keadaan angger yang sesungguhnya terhadap para cantrik
dan sudah tentu terhadap kemanakanku itu apabila
kebetulan ia datang. Hanya dalam keadaan terpaksa, jika
angger berdua harus melindungi jiwa kalian, maka aku
tidak akan dapat menghalangi apabila angger terpaksa
membela diri. Aku tidak akan menyalahkan angger berdua,
meskipun kalian harus melawan kemanakanku sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
pandangan wajah mereka menunjukkan keraguan. Sehingga
karena itu maka Empu Nawamulapun berkata "Percayalah,
bahwa aku berkata sebenarnya"
"Terima kasih Empu" jawab Mahisa Murti "jika
demikian, maka biarlah kami di padepokan ini barang dua
pekan" "Jangan kau batasi dengan dua pekan" jawab Empu
Nawamula "kau dapat berada disini lebih lama lagi. Kau
akan hidup sebagaimana para cantrik. Aku lihat kalian telah
berusaha menyesuaikan diri. Kau akan mendapat
kesempatan untuk melihat bagaimana aku membuat keris.
Terutama kerisku yang terakhir ini. Selebihnya, kalian akan
Kisah Sepasang Rajawali 19 Lima Sekawan 04 Petualangan Di Laut Sunyi Mustika Kuburan Tua 2
^