Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 3

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 3


belakang kuda-kuda kami, sehingga kalian terpaksa sampai
kerumah kami pula" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun saling
berpandangan. Bahkan dengan geram Mahisa Pukat
bergumam "Baru beberapa langkah kami meninggalkan
Kabuyutan itu" "Ya" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu Aku kira,
kita masih berada didalam Pakuwon yang sama.
"Ya" jawab Mahisa Pukat. Tetapi kata-katanya
terpotong oleh suara orang bertubuh besar itu "Apa yang
kalian katakan" Jangan mengada-ada. Menyerahlah, agar
kalian tidak mengalami perlakuan yang kasar"
"Jangan memaksa begitu Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat
"tingkah laku kalian memaksa kami untuk ingin
mengetahui latar belakang dari sikap kalian"
Kedua orang itu benar-benar menjadi marah, sehingga
mereka tidak dapat menahan diri lagi.
Sejenak kemudian keduanya telah menambatkan kudakuda
mereka. Dengan langkah yang pasti keduanya
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih
saja termangu-mangu. "Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian.
Menyerahlah" berkata orang yang bertubuh tinggi kekuruskurusan.
"Jangan bersikap seperti kalian menghadapi seorang
penjahat. Kami tidak berniat mencuri. Kami tidak tahu
bahwa bambu liar itu ternyata ada yang memilikinya.
Sementara itu kamipun sudah bersedia menyerahkan
kembali apa yang telah kami ambil" jawab Mahisa Pukat.
"Tutup mulutmu" bentak yang berkuda besar "sikap
kalian miembuat kami sangat marah"
"Dan sikap kalian sangat menarik perhatian" jawab
Mahisa Pukat. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya "He, apakah
kalian datang dari antara sekelompok penjahat" Atau
sekelompok gerombolan yang mempunyai tujuan tertentu"
Jika kalian adalah orang-orang padukuhan kebanyakan,
kalian tidak akan bersikap seperti itu. Bahkan seandainya
kalian adalah pengawal-pengawal sebuah Kabuyutan,
kalian tentu akan dapat bertindak lebih baik"
"Cukup" orang bertubuh besar itu hampir berteriak "aku
memang ingin menyayat mulutmu"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Orang bertubuh
tinggi besar itu melangkah mendekatinya, sementara
kawannya yang lebih kecil meskipun tidak kalah tingginya,
mendekati Mahisa Murti. "Anak-anak yang malang" geram yang bertubuh kecil
"apaboleh buat. Nasibmu memang sangat buruk justru
karena sikapmu yang kasar"
"Kau aneh Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "apakah
sebenarnya sikap kami terlalu kasar" Apakah Ki Sanak
sudah memperbandingkan dengan, sikap Ki Sanak sendiri?"
"Aku dapat berbuat apa saja disini" jawab orang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu "tidak ada orang yang
dapat mencegah tingkah laku kami. Apakah yang kami
lakukan, adalah keputusan yang tidak dapat diganggu
gugat. Juga terhadap kalian"
"Kalian adalah orang-orang yang aneh. Terhadap
pengembara seperti kami berdua, kalian bersikap seolaholah
kalian menghadapi sepasukan pencuri yang tangguh"
berkata Mahisa Murti "Tetapi justru karena kalian bersikap
demikian, maka kami terpaksa mempertahankan diri kami"
"Anak setan" geram orang bertubuh besar "kalian belum
tahu siapa kami" "Memang belum" sahut Mahisa Pukat "kami memang
belum tahu siapakah kalian yang sebenarnya" Apakah
justru kalian yang harus ditangkap dan diserahkan kepada
Ki Buyut atau bahkan Akuwu"
Orang bertubuh besar itu tidak dapat menahan diri lagi.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil mengayunkan
tangannya kearah mulut Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sudah menduganya. Karena itu,
ketika tangan orang itu terayun, maka iapun bergeser seurut
sambil menarik tubuhnya. Dengan demikian tangan orang
bertubuh tinggi besar itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Orang bertubuh besar itu menjadi semakin marah.
Dengan serta merta iapun telah bersikap dan langsung
menyerang Mahisa Pukat. Tangannya seolah-olah ingin
menerkam wajah anak muda itu dengan jari-jarinya yang
terkembang. Sekali lagi Mahisa Pukat meloncat surut. Namun orang
itu ternyata telah memburunya. Ia tidak sabar lagi untuk
dapat benar-benar meremas mulut Mahisa Pukat. Tetapi ia
sudah salah menilai anak muda itu. Mahisa Pukat tidak
mudah untuk disentuhnya, sehingga serangan-serangannya
yang beruntun sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menjadi
heran. Justru karena itu ia tertegun diam. Dipandanginya
Kawannya yang bertubuh besar itu. Namun yang tidak
dapat segera menyakiti lawannya sebagaimana
dikehendakinya. Orang bertubuh tinggi itu terkejut ketika ia mendengar
Mahisa Murti berkata "Kawanmu terlalu garang Ki Sanak,
sehingga ia kurang dapat mengendalikan dirinya"
"Diam" orang bertubuh tinggi itu menggeram. Namun
kemudian iapun telah menghadapi Mahisa Murti sambil
berkata "Nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi. Sebentar
lagi kawanmu itu akan menjadi lumat. Tetapi kau akan
mengalaminya lebih dahulu. Seandainya kau memiliki
kecepatan gerak seperti kawanmu itu, namun akupun
memiliki ilmu yang lebih baik dari kawanku itu"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sebenarnya persoalan
kita tidak pantas untuk di selesaikan sampai dengan sikap
yang paling keras dan korban yang paling besar. Apakah
artinya pering cendani dibandingkan dengan nyawa
seseorang" "Kau memang dungu" bentak orang itu "bukan nilai
sebatang pering cendani. Tetapi bahwa kalian telah
melanggar hak dan harga diri kami. Tidak seorangpun yang
berani menyentuh segerumbul pering cendani yang khusus
beruas sangat panjang itu selain kalian. Karena itu, maka
hukuman yang paling berat akan kami berikan kepada
kalian" "Itu adalah sikap yang sangat cengeng. Apakah kalian
tidak dapat bersikap lebih baik Ki Sanak?" bertanya Mahisa
Murti. Orang itu tidak menjawab. Tetapi setapak ia maju.
Sesaat ia mempersiapkan diri. Katanya "Aku tidak akan
melepaskan anak-anak muda gila seperti kalian"
Mahisa Murtipun sadar, bahwa iapun harus bertempur
seperti Mahisa Pukat. Orang bertubuh tinggi kekurusan itu
nampaknya memang mempunyai kelebihan dari orang yang
bertubuh raksasa yang telah mengerang Mahisa Pukat
dengan kasar. Dalam pada itu, Mahisa Murtipun telah mempersiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan. Ia harus berhati-hati
menghadapi orang bertubuh tinggi itu, karena menilik
sikapnya, ia tentu memiliki sesuatu yang dapat
dibanggakannya. Selangkah orang itu mendekat. Ketika Mahisa Murti
bergeser, maka tiba-tiba saja orang itupun melenting sam bil
menjulurkan tangannya menyerang.
Mahisa Murti yang sudah bersiap sepenuhnya itupun
bergeser pula secepat datangnya serangan, sehingga
serangan itutidak mengenainya sama sekali. Tetapi seperti
tatit, orang bertubuh tinggi itu meloncat dengan kaki
terjulur menyamping. Dangan kecepatan dan derasnya
serangan itu menyamhar Mahisa Murti. Tetapi serangan
yang cepat itu tidak mangejutkan Mahisa Murti yang sudah
bersiaga menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun
juga. Karena itu, maka iapun masih sempat mengelak ke
samping sambil menarik tubuhnya.
Lawannya menggeram. Bahwa serangannya sama sekali
tidak mengenai sasarannya, telah membuatnya semakin
marah itu, demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun
segera berputar bertumpu pada tumitnya. Sedangkan kaki
yang lain menyambar Mahisa Murti pada lambungnya.
Mahisa Murti mulai berniat untuk menyerangnya
kembali. Karena itu. Ketika ia bergeser surut, tangannya
telah dengan cepat disertai dengan mengerahkan
kekuatannya pada tangannya itu, menangkis kaki
lawannya. Sambil merendah Mahisa Murti menempatkan
tangannya berjajar rapat di muka dadanya, ditekuk pada
sikunya. Sehingga ayunan kaki lawannya telah membentur
kedua tangan Mahisa Murti yang telah dijadikannya
sebagai perisai. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Mahisa Murti
yang belum mengetahui sepenuhnya kekuatan lawannya,
ternyata telah terkejut. Bukan karena ia terlempar surut,.
tetapi justru lawannyalah yang terlempar beberapa langkah
dan kemudian jatuh berguling di tanah berpasir.
Mahisa Murti yang masih berdiri tegak itu memandangi
lawannya dengan termangu-mangu. Ternyata kekuatan
lawannya tidak seimbang dengan tingkah lakunya yang
seolah-olah sangat meyakinkan itu.
Tetapi orang itu dengan cepat melenting berdiri.
Meskipun demikian, pada wajahnya nampak betapa ia
berusaha menahan sakit pada kakinya yang seolah-olah
telah membentur batu padas di lereng pegunungan.
"Gila" geramnya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ketika
ia sempat berpaling kearah Mahisa Pukat, maka iapun
melihat, bagaimana Mahisa Pukat menguasai lawannya
sepenuhnya. "Kau sangka bahwa ilmu iblismu itu akan dapat
menundukkan aku" geram orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Nampaknya
orang itu justru menjadi semakin marah. Sebenarnyalah
orang itupun kemudian bergeser mendekatinya sambil
berkata "Kau telah salah langkah anak muda. Kau sangka
bahwa dengan demikian, kau memiliki kekuatan jauh lebih
besar dari kekuatanku" orang itu berhenti sejenak, lalu
"tetapi ketahuilah, bahwa aku belum bersungguh-sungguh.
Aku masih berusaha untuk mengalahkanmu tanpa
merontokkan iga-igamu. Namun kau telah mulai dengan
sikap yang kasar. Karena itu, maka nasibmu akan menjadi
sangat buruk" Mahisa Murti tidak menjawab. Ia sudah bersiap
menghadapi apapun juga. Apalagi ketika ia sudah berhasil
menjajagi kekuatan lawannya, meskipun barangkali
kekuatan itu masih belum sampai kepuncak kekuatannya.
Tetapi yang dikerahkan oleh Mahisa Murti barulah
kekuatan wadagnya sewajarnya. Iapun masih belum
menambah pada kekuatan cadangannya. Karena itu,
seandainya orang itu masih akan meningkatkan
kemampuannya, maka Mahisa Murti akan menghadapinya
dengan tanggon. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah semakin mendesak
lawannya. Orang bertubuh tinggi besar itu ternyata tidak
mampu melawan kecepatan gerak dan kekuatan Mahisa
Pukat. Meskipun Mahisa Pukat masih juga
mempergunakan tenaga wajarnya. Benturan-benturan yang
terjadi telah mendesak orang bertubuh tinggi besar itu
sehingga ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk menyerang. "Menyerahlah" berkata Mahisa Pukat "aku dapat
berbuat baik, tetapi aku dapat berhuat kasar"
"Gila" geram orang bertubuh tinggi besar itu "jika
demikian kau tentu salah seorang gerombolan Hantu
Jurang Growong" "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan" jawab
Mahisa Pukat "apa artinya Hantu Jurang Growong"
"Jangan berpura-pura anak muda" jawah orang bertubuh
besar itu "orang-orang dari Hantu Jurang Growong benarbenar
bersikap seperti hantu. Mereka dapat berbuat baik,
tetapi sebenarnyalah mereka berhati iblis. Dan kaupun
dapat berbuat seperti itu. Apalagi menilik rencanamu
mencuri pering cendani itu. Maka aku mengambil
kesimpulan, bahwa kalian adalah orang-orang dari Hantu
Jurang Growong" "Kau membingungkan" sahut Mahisa Pukat "yang kau
maksudkan orang-orang dari Jurang Growong, atau Hantu
dari Jurang Growong"
"Kau memang dungu" bentak orang itu "yang disebut
Hantu Jurang Growong adalah orang-orang yang
menamakan dirinya demikian. Sama sekali bukan hantu.
Tetapi mereka memang memiliki ilmu seperti hantu" orang
itu berhenti sejenak. Tetapi tiba-tiba katanya "he, jangan
berpura-pura. Kau salah seorang dari antara mereka"
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat
lawannya mulai dibayangi oleh kecemasan. Sorot matanya
membayangkan ketegangan didalam jiwanya.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat aku bukan orang dari
Jurang Growong Aku sama sekali tidak tahu menahu
tentang orang apalagi hantu dari Jurang itu"
"Persetan" geram orang itu kau harus dibinasakan.
Seluruh penghuni Jurang Growong memang harus
dibinasakan" "Jangan mengigau seperti orang kesurupan" bentak
Mahisa Pukat. Ternyata orang itu benar-benar terkejut, sehingga ia telah
meloncat mundur. Ketegangan yang membayang disorot
mata orang itu telah berubah menjadi ketakutan.
Mahisa Pukat ingin memanfaatkan keadaan itu. Karena
itu sekali lagi ia membentak "Menyerahlah. Atau kau akan
aku cincang disini" Ketakutan yang sangat telah semakin mencengkam
orang bertubuh raksasa itu. Namun dalam pada itu, Mahisa
Murti dan orang bertubuh tinggi kekurusan itu masih saja
bertempur. Tetapi pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti telah menguasai lawannya pula. Sejenak
kemudian lawannya telah terdesak, sehingga akhirnya
orang bertubuh tinggi kekurusan itu tidak sempat melawan
lagi. Kedua orang itu akhirnya benar-benar harus mengakui
keunggulan lawannya. Meskipun rasa-rasanya nyawa
mereka belum terancam, tetapi mereka menyadari, bahwa
mereka sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika
pertempuran itu dilanjutkan, maka mereka hanya dapat
menggugah kemarahan yang lebih besar saja dari kedua
orang anak-anak muda itu.
Karena itu, maka akhirnya, pada batas tahan tertentu,
orang bertubuh tinggi kekurusan itu meloncat jauh surut
sambil berkata "Tunggu Ki Sanak. Aku masih ingin
berbicara" "Menyerah atau aku akan membunuhmu dengan cara
seperti yang kau katakan" Cara yang kau rencanakan akan
kau perlakukan terhadap kami?" bentak Mahisa Murti "jika
kau menyerah, cepat menyerahlah. Jika tidak, aku akan
mengikat tanganmu dan menyeretmu dibelakang kaki
kudamu sendiri" "Jangan Ki Sanak. Jangan" minta orang itu.
"Jika demikian, menyerahlah" berkata Mahisa Murti
pula. Orang itu ragu-ragu. Agaknya ia masih juga berpikir
tentang harga dirinya. Namun orang itu bergeser surut
ketika Mahisa Murti sekali lagi membentak "Menyerahlah.
Cepat. Atau aku akan kehilangan kesabaranku"
"Baik. Baik" jawab orang yang kekurusan "aku
menyerah" Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu terdengar suara Mahisa Pukat "Nah, kau dengar.
Kawanmu telah menyerah. Apakah kau akan tetap
bertahan?" Orang itu tidak dapat lagi menyembunyikan
ketakutannya. Karena itu, maka dengan terbata-bata iapun
berkata "Aku, aku juga menyerah"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti berkata "Jika kalian telah menyerah,
maka berikan kedua tangan kalian. Kalian akan kami ikat
pada kuda kalian masing-masing. Kemudian kami akan
mencambuk kuda kalian kearah padang perdu yang liar itu.
Nah, kau akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi
atas kalian" "Jangan. Jangan lakukan itu" minta orang bertubuh
raksasa itu. "Kenapa" Bukankah kalian juga akan memperlakukan
kami demikian jika kalian memenangkan perkelahian ini?"
bertanya Mahisa Murti. "Tidak" jawab orang yang kekurus-kurusan "kami tidak
akan benar-benar berbuat demikian. Kami hanya
bermaksud menakut-nakuti kalian saja"
"Setelah kalian kami kalahkan, maka kau dapat berkata
seperti itu" bantah Mahisa Murti.
"Tidak. Sebenarnya kami tidak akan berbuat apa-apa.
Kami hanya ingin menggertak saja, agar kalian
menganggap kami orang-orang yang garang dan
menakutkan" jawab orang bertubuh kekurusan itu
"sebenarnyalah kami hanya ingin membawa kalian
kepadukuhan kami. "Untuk apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kalian kami anggap bersalah, karena kalian telah
mencuri pering cendani itu" jawab orang bertubuh
kekurusan Mahisa Murti menarik nafas panjang. Sementara itu
Mahisa Pukat telah melangkah maju sambil bertanya
"Kenapa kalian sangat berkeberatan jika seseorang
mengambil satu batang saja pering cendani vang kami
sangka tumbuh liar itu?"
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian
orang bertubuh kekurusan itu berkata "Marilah. Aku
berharap kalian singgah barang sebentar di padukuhan
kami. "Dan kalian akan mengeroyok kami berdua beramairamai"
jawab Mahisa Pukat. "Tidak. Sama sekali tidak" jawab orang bertubuh tinggi
kekurusan. "Aku tidak akan singgah. Aku akan mengikat kedua
tangan kalian masing-masing dibelakang kuda kalian"
berkata Mahisa Pukat. Lalu "Itu sudah menjadi keputusan
kami" "Jangan. Aku mohon" suara orang bertubuh raksasa itu
menjawab gemetar. "Karena itu, coba katakan. Kenapa kalian
mempertahankan pering cendani itu sampai dengan
mempertaruhkan nyawa kalian. Bukankah sebentar lagi
kalian akan mati diseret kuda-kuda kalian sendiri hanya
karena pering cendani itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Sebenarnyalah aku mohon. Jangan bunuh kami" suara
orang yang kekurusan itupun menjadi gemetar.
Mahisa Murti akhirnya tidak sampai hati untuk
menakut-nakuti orang itu lebih lama lagi. Karena itu, maka
katanya kemudian "Baiklah. Aku tidak akan membunuh
kalian. Tetapi katakanlah, apa arti pering cendani beruas
panjang ini bagi kalian"
Orang bertubuh tinggi kekurusan itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya "Sebenarnya kami minta kalian
untuk singgah. Kalian akan mendapat penjelasan lebih
terperinci" "Sementara itu kau menyiapkan orang-orangmu untuk
menangkap aku beramai-ramai dengan tuduhan, seolaholah
aku termasuk Hantu yang kau sebut dari Jurang
Growong itu" "Tidak. Aku berjanji" jawab orang bertubuh kekurusan
"Aku akan memperkenalkan kalian dengan tetanggatetanggaku.
Mereka akan dapat menceriterakan kepada
kalian tentang pering cendani ini"
"Tidak perlu" jawab Mahisa Murti "katakan menurut
pengertianmu tentang pering cendani itu"
Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak diamatinya wajah kawannya yang
tegang. Namun agaknya ia memang tidak mempunyai
pilihan lain, sehingga karena itu, maka katanya kemudian
"Baiklah. Tetapi bukankah kalian hukan orang-orang dari
gerombolan Hantu Jurang Growong?"
"Aku belum pernah mendengar nama itu. Seandainya
kami orang-orang dari Jurang Growong, apakah kalian
dapat menolak untul tidak mengatakan sesuatu tentang
pering cendani ini?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
menggeleng. Katanya "Kami memang tidak akan dapat
menolak. Tetapi aku kira mereka memang tidak akan
bertanya seperti Itu"
"Baiklah. Katakan apa yang kau ketahui tentang pering
cendani itu?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun
kemudian berkata "Aku memang harus mengatakannya,
siapapun kailan" ia berhenti sejenak, lalu "pada saat
terakhir, kami telah mendapat seorang tamu di padukuhan
kami yang telah memperkenalkan kami dengan pering
cendani ini. Bambu ini sebelumnya memang tumbuh liar
tanpa arti sama sekali. Tetapi sejak seorang tamu dari salah
seorang penghuni padukuhan kami itu memberitahukan
kemungkinan yang dapat kami lakukan dengan pering
cendani ini, maka kami menganggap bahwa pering cendani
itu merupakan tanaman yang sangat penting artinya"
"Apa yang dikatakan tamu itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tamu itu memperkenalkan satu jenis senjata yang
sangat menarik. Sumpit seperti yang kau sebut-sebut" jawab
orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya "Jadi kalian
mengenal sumpit belum terlalu lama?"
"Baru saja. Kami telah membuat beberapa contoh dan
kami sedang mempelajari, bagaimana kami
mempergunakannya" jawab orang bertubuh kurus itu
"karena itu, maka bagi kami, pering cendani ini sangat
penting artinya. Senjata yang diperkenalkan kepada kami
itu ternyata mempunyai kemungkinan yang jauh lebih baik
dari senjata-senjata seperti yang pernah kami miliki"
"Sungguh menarik" berkata Mahisa Pukat "bagaimana
mungkin Kalian mempergunakannya sebagai senjata" Kami
sudah mengenal sumpit sejak lama. Tetapi yang kami
lakukan, semata-mata sekedar untuk berburu. Dengan
sumpit kami memang dapat membunuh seekor burung.
Bahkan mungkin sekedar melumpuhkannya"
"Kami dapat membunuh lawan kami dengan sumpit"
berkata orang bertubuh tinggi kekurusan itu.
"Bagaimana mungkin. Apakah kau mempergunakan
cara tertentu yang belum kami kenal?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku tidak dapat mengatakannya, karena apa yang kami
ketahui itu adalah satu-satunya cara" jawab orang itu.
"Katakan, bagaimana kau membunuh lawanmu dengan
sumpit" Apa yang kalian lontarkan dengan sumpit itu?"
bertanya Mahisa Pukat. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bertanya "Apa yang kalian pergunakan?"
"Kami melontarkan biji-bijian, atau sebutir kecil
lempung yang sudah mengeras" jawab Mahisa Pukat.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia berkata "Kami melontarkan senjata yang
berbahaya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Bukannya mereka tidak mengerti, tetapi-mereka
memang ingin mendengar apa yang dikatakan oleh orangorang
itu. "Kami mempergunakan paser-paser kecil" jawab orang
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sebenarnyalah mereka sudah menduga. Orangorang
itu tentu mempergunakan paser-paser kecil yang
ujungnya beracun. Mungkin duri pepohonan, tetapi
mungkin pula duri ikan air. Duri itu telah direndam
didalam sejenis racun yang dapat membunuh seseorang
yang terluka karenanya. "Siapakah tamumu itu sebenarnya?" bertanya Mahisa
Murti kemudian. "Salah seorang tetangga kami mempunyai seorang
saudara yang pernah merantau dan kini menetap di Kota
Raja. Ia datang untuk menengok tetanggaku itu. Ketika ia
mengetahui kesulitan yang kami alami, maka iapun
berusaha membantu kami. Ia memperkenalkan kami
dengan senjata pering cendani, karena kebetulan ia melihat
sejenis bambu itu di pinggir padang perdu ini. Tetapi
ruasnya tidak sepanjang pering cendani yang tumbuh
disini" jawab orang yang tinggi kekurusan itu.
"Kami mengerti. Pering cendani bagi kalian adalah
lambang satu harapan. Tetapi apa yang sebenarnya telah
terjadi, sehingga kalian memerlukan senjata yang lebih baik
dari senjata yang sudah kalian miliki?" bertanya Mahisa
Murti. Kedua orang itu saling berpandangan Agaknya mereka
merasa ragu-ragu untuk mengatakannya. Namun menilai
sikap Kedua anak muda yang sungguh-sungguh dan tidak
memancarkan niat vang buruk itu, orang bertubuh tinggi
itupun berkata "Sudah kami sebut. Hantu Jurang Growong.
"Siapakah yang kalian maksud sebenarnya" Gerombolan
perampok" Atau gerombolan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mungkin. Kami tidak tahu pasti. Tetapi mereka
memang sering melakukan kejahatan seperti itu " jawab
orang bertubuh besar. "Dan kalian ingin melawan mereka?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Tingkah laku mereka sudah keterlaluan. Kami tidak
dapat tinggal diam. Sementara itu, kami tidak akan dapat
melawan mereka dengan senjata pendek. Kami tidak akan
mampu mengimbangi ilmu pedang mereka. Juga
kemampuan mereka mempergunakan tombak dan bahkan
bindi" jawab orang yang Kekurusan "karena itu kami
mencari senjata yang berjarak lebih panjang"
"Kenapa kalian tidak mempergunakan panah?" bertanya
Mahisa Pukat. "Kami juga sudah mempertimbangkan" jawab orang itu
"tetapi nampaknya kami akan lebih berhasil dengan
mempergunakan sumpit. Selebihnya, kami akan dapat
membuat sumpit jauh lebih banyak dari pada jika kami
membuat busur dan anak panah"
"Tetapi kau harus bermain-main dengan racun" sahut
Mahisa Murti "bukankah bukan pekerjaan yang mudah
untuk menampung racun dan merendam duri pada racun
itu. Jika duri itu tergores ditangan kalian sendiri, maka
kalian-punakan mengalami nasib yang buruk"
"Ada seorang dukun di padukuhan kami yang
mempunyai pengetahuan tentang racun dan bisa. Ia dapat
membantu kami" jawab orang bertubuh tinggi besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian katanya "Kami lebih senang
mempergunakan busur dan panah. Nampaknya lebih tanggon
dari pada mempergunakan racun. Anak panah memang
dapat melumpuhkan lawan. Tetapi tanpa racun mereka
yang terkena anak panah masih lebih mudah diobati,
meskipun lawan sekalipun"
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian
orang bertubuh tinggi besar itu bertanya "Tetapi bukankah
kita memang ingin membunuh" Dengan racun kita akan
dapat membunuh mereka"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka merasakan ketakutan yang mencengkam orangorang
itu terhadap yang disebutnya Hantu dari Jurang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Growong. Ketakutan yang sangat itu telah membuat orangorang
itu menjadi garang. Kasar dan bahkan hampir liar.
Tetapi pada saat tertentu, mereka masih menampakkan
sifat-sifat mereka yang sebenarnya.
"Mereka orang-orang padukuhan seperti yang lain"
berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam hatinya.
Justru karena itu, maka timbullah keinginan mereka untuk
singgah. Mereka ingin melihat suasana di padukuhan itu
dan tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk
tentang cara membuat dan mempergunakan sumpit.
Sementara itu, keduanya juga ingin mengetahui serba
sedikit tentang orang-orang yang mereka sebut Hantu dari
Jurang Growong itu. Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"KI Sanak. Seandainya kami bersedia singgah, apakah
kalian berdua menjamin bahwa tidak akan terjadi sesuatu
atas diri kami?" "Kami menjamin keselamatan kalian" jawab orang
bertubuh tinggi kekurusan itu.
"Bukan untuk keselamatan kami" sahut Mahisa Pukat
"tetapi sekedar mencegah agar kami berdua tidak
membunuh terlalu banyak. Karena jika kalian ingin berbuat
sesuatu yang tidak sewajarnya terhadap kami berdua, maka
kffmi akan melakukan satu usaha untuk mempertahankan
diri. Akibatnva dapat kau bayangkan. Mungkin orpng
sepadukuhanmu akan mati oleh kami. Sumpit beracun
kalian tidak akan berpengaruh terhadap kami yang
mempunyai obat penawar bisa"
Kedua orang itu nampak menjadi berdebar-debar.
Sementara itu Mahisa Murti telah menggamitnya. Tetapi
Mahisa Pukat justru tersenyum karenanya.
"Ki Sanak" berkata orang bertubuh tinggi kekuruskurusan
itu "kami mengerti, betapa tinggi kemampuan
kalian. Karena itu silahkan singgah, kami tidak akan
mengganggu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun hampir bersamaan keduanya mengangguk
kecil. "Baiklah" berkata Mahisa Pukat "kami akan singgah jika
kalian percaya bahwa kami bukan orang-orang dari Jurang
Growong" Mahisa Pukat berhenti sejenak. Namun
kemudian iapun bertanya "He, apakah kalian belum pernah
melaporkannya kepada Akuwu yang memiliki kemampuan
dan ilmu tidak ada bandingnya" Selain itu ia mempunyai
pasukan pengawal yang kuat, yang tentu akan dapat
menghancurkan Hantu Jurang Growong itu"
"Kami memang belum pernah melaporkannya" jawab
orang bertubuh tinggi kekurusan "kehadiran Hantu Jurang
Growong itu belum terlalu lama. Dan kami masih harus
meyakinkan, agar kami dapat memberi keterangan yang
jelas baru kemudian melaporkan kepada Akuwu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Bahkan keduanyapun mulai menimbang, apakah orangorang
yang berniat jahat di banjar Kabuyutan itu juga
orang-orang dari Jurang Growong. Jika demikian, maka
kekuatan di Jurang Growong itu tentu sudah jauh
berkurang, setelah beberapa orang dapat ditangkap dan
bahkan ada yang telah terbunuh"
"Tetapi mungkin pula bukan. Nampaknya mereka
adalah pendatang baru yang mulai dengan kegiatankegiatan
yang mengganggu orang-orang padukuhan "
berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatpun bertanya
kepada diri sendiri "Dimana letaknya Jurang Growong
itu?" Dalam pada itu, mrka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah sepakat untuK singgah barang sebentar di
padukuhan kedua orang berkuda yang berusaha untuk
memiliki pering cendani itu bagi mereka dan lingkungan
mereka sendiri tanpa memberi kesempatan kepada orang
lain untuk mengambil meskipun hanya sebatang saja.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua anak
muda itupun telah berkemas untuK mengikuti kedua orang
berkuda itu. "Pakailah kuda kami" berkata orang yang bertubuh
tinggi besar "Ya. Biarlah kami berjalan kaki" berkata yang
kekurusan. "Terima kasih" sahut Mahisa Murti "biarlah kami
berjalankah saja. Kami sudah terlalu biasa berjalan"
"Silahkan kalian berkuda" sambung Mahisa Pukat jika
kalian ingin mendahului kami, pergilah. Kami akan
menyusul" "Apakah kalian sudah mengetahui dimanakah letak
padukuhan kami?" bertanya orang yang bertubuh tinggi
kekurusan. "Bukan soal yang sulit bagi kami" jawab Mahisa Pukat
"kami dapat mengikuti jejak kuda kalian kemanapun kalian
pergi" Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Mereka
menjadi semakin kagum terhadap kedua orang anak muda
itu Nampaknya keduanya memang meyakinkan sekali.
Namun keduanya tidak ingin mendahului. Merekapun
kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka bersama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Apakah padukuhan kalian jauh?" bertanya Mahisa
Murti. "Tidak terlalu jauh. Jika kita sudah keluar dari padang
perdu ini, kita sudah sampai didaerah persawahan dari
padukuhan kami" jawab orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengetahui, bahwa letak padukuhan mereka memang
masih dalam lingkungan satu Pakuwon dengan Kabuyutan
yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru"
Demikianlah, kedua anak muda itu mengikuti dua orang
yang menuntun kudanya melintasi padang perdu yang agak
luas. Ternyata bahwa di padang perdu itu terdapat beberapa
rumpun pering cendani. Tetapi ruasnya tidak sepanjang
pering cendani yang telah menimbulkan persoalan diantara
kedua anak muda itu dengan orang-orang yang merasa
berhak. Pering cendani yang tumbuh di bagian lain dari
padang perdu itu ruasnya memang cukup panjang untuk
membuat sumpit, tetapi jauh lebih pendek dari pering
cendani yang khusus itu. Karena itu, maka pering cendani yang beruas panjang itu
telah mendapat perhatian yang khusus dari orang-orang
padukuhan yang sedang berusaha mempersenjatai diri
mereka dengan senjata-senjata yang belum pernah mereka
pergunakan sebelumnya. Beberapa saat empat orang itu berjalan di udara yang
terik. Beberapa batang perdu sempat melindungi tubuh
mereka dari sengatan matahari yang meskipun sudah
condong, tetapi panasnya masih terasa membakar kulit.
Namun akhirnya merekapun mencapai pinggir padang
perdu itu. Dihadapan mereka kemudian terbentang tanah
persawahan yang subur. Dengan parit yang membelah dan
kemudian menusuk sampai kesagenap bagian tanah
persawahan, maka tanamanpun menjadi hijau segar. Padi
dapat ditanam disegala musim, karena tidak tergantung
sekali kepada air yang turun dari langit. Parit yang
mengalirkan air yang diangkat dari sungai yang meskipun
tidak terlalu besar, tetapi mengalir cukup deras.
"Kita sudah memasuki daerah Kabuyutan kami" berkata
orang bertubuh tinggi dan agak kekurusan itu "padukuhan
yang nampak diseberang bulak panjang itu adalah salah
satu dari padukuhan di Kabuyutan kami"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Kau juga tinggal di padukuhan itu?"
"Tidak" jawab orang yang kekurusan "aku tinggal di
padukuhan dibelakang padukuhan itu Aku tinggal di
padukuhan induk" "Dan kau?" bertanya Mahisa Pukat kepada orang yang
bertubuh besar. "Aku juga tinggal di padukuhan induk" jawab orang
bertubuh besar itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Tetapi sikap kaiian pada mulanya sama sekali
tidak mencerminkan sikap orang-orang padukuhan. Aku
justru mengira bahwa kalian adalah bagian dari berandal
atau gerombolan penjahat yang lain"
"Kami minta maaf" sahut yang kekurusan "kami
berusaha untuk menutupi kekerdilan kami. Kami telah
menjadi sasaran yang menyakitkan hati dari orang-orang
yang menyebut diri mereka Hantu Jurang Growong"
"Dan kalian tidak dapat melawan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Terlalu sulit. Mereka terdiri dari orang-orang yang
memiliki kemampuan yang tinggi. Padukuhan-padukuhan
diseluruh kabuyutan kami telah menderita karenanya.
Bahkan Kabuyutan-Kabuyutan yang lainpun mengalami
nasib yang sama. Karena itu, kami telah berusaha mencari
cara yang paling baik untuk mempertahankan padukuhan
dan Kabuyutan kami" jawab orang yang kekurusan
"diantaranya dengan membuat senjata baru itu"
"Kenapa kaitan mempertahankan pering cendani itu
dengan segala macam pengorbanan Kenapa kalian tidak
justru berusaha memberi tahukan kepada tetangga-tetangga
Kabuyutan kalian untuk bersama-sama memanfaatkan
pering cendani itu" "Setelah kami merasa cukup. Sebelumnya kami akan
mempertahankannya" jawab orang bertubuh besar. Lalu
"Ketakutan dan kegelisahan telah membuat kami menjadi
orang-orang yang terlalu mementingkan diri sendiri.
Bahkan kemudian kamipun menjadi buas dan liar. Tetapi
pada dasarnya, kami ingin mempertahankan diri kami dan
segala macam milik kami"
Tetapi kalian berdua berani memasuki padang perdu.
Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang Jurang
Growong?" Orang bertubuh tinggi kekurusan itu mengerutkan
keningnya. Namun iapun kemudian menjawab "Jarang
sekali orang-orang Jurang Growong itu muncul. Apalagi
disiang hari. Tetapi sekali mereka datang, maka mereka
tidak akan kembali tanpa membawa sesuatu yang berharga.
Jika perlu mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa
sasarannya" "Kalian sudah mengenali tabiatnya" berkata Mahisa
Murti "tetapi kalian masih belum melaporkannya kepada
Akuwu. Apakah justru bukan kalian yang telah bersalah"
Jika kalian melaporkan hal ini, maka para pengawal akan
segera bertindak. Dan korbanpun tidak akan menjadi
semakin banyak" "Kami berusaha untuk mengenal mereka lebih banyak.
Kamipun belum tahu pasti, dimanakah sarang mereka"
jawab orang yang kekurusan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi heran. Dengan
demikian maka Mahisa Murtipun bertanya "Bukankah
mereka orang-orang yang bersembunyi di Jurang Growong
sehingga mereka disebut Hantu Jurang Growong"
"Mereka memang menyebut nama mereka demikian"
jawab yang bertubuh besar "tetapi kami belum tahu,
dimana letak Jurang Growong Itu"
"He" kedua anak muda itu menjadi semakin heran.
Dengan nada tinggi. Mahisa Pukat bertanya "Jadi kalian
tidak tahu, dimana letaknya jurang yang disebut Jurang
Growong itu?" Kedua orang itu menggeleng. Yang kekurusan menyahut
"Kami mengenal beberapa jurang di daerah ini. Tetapi
jurang itu bukan tempat yang dapat dihuni orang. Jurang
itu sekedar tebing sungai yang curam dan tinggi. Terdiri
dari batu-batu padas yang membujur panjang. Namun
jurang batu padas itu tidak mempunyai sebuah lekukpun
yang pantas untuk tempat tinggal, bahkan untuk berteduh
dari hujan gerimis sekalipun. Apalagi sebuah goa atau
semacamnya yang dapat dipergunakan oleh segerombolan
orang-orang yang menyebut diri mereka Hantu Jurang
Growong. Sementara Jurang dilembah sebelah pebukitan
itupun tidak akan dapat dihuni oleh satu orangpun. Apalagi
jurang d lembah itu terdiri dari tanah yang lebih lunak,
sehingga setiap kali akan dapat terjadi bencana tanah
longsor" "Lembah yang mana" Dan apakah di lereng itu sama
sekali tidak terdapat pepohonan?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak sebatang pohon pun. Menurut sebuah dongeng,
di lereng lembah di pebukitan itu terdapat sebuah hutan
cendana. Hutan yang ditumbuhi kayu cendana. Namun
karena setiap hari kayu itu ditebang orang, maka akhirnya
hutan dilereng itu menjadi gundul. Tanahnya menjadi
rawan dan setiap kali akan dapat longsor menimbun daerah
dibawahnya" jawab orang, bertubuh kekurusan "Kayu
cendana adalah sejenis kayu yang mahal"
"Hutan itu tidak dilindungi" Maksudku, apakah Akuwu
tidak melarang orang-orang yang menebangi kayu cendana
di hutan itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Akuwu sudah melarangnya. Tetapi orang-orang itu
telah mencurinya, sehingga kayu cendana Itu kini telah
habis. Yang tinggal hanyalah beberapa batang saja, yang
diawasi oleh orang-orang yang tinggi dipadukuhan terdekat
atas perintah Akuwu. Bahkan Akuwu telah mengancam
hukuman yang sangat berat bagi mereka yang mencuri kayu
cendana. Tetapi agaknya sudah terlambat. Lereng itu sudah
menjadi gundul" jawab orang bertubuh tinggi kekuruskurusan.
"Apakah mereka membawa dua orang tawanan?"
"Mungkin. Mungkin Ki Jagabaya melihat langsung
kedua orang anak muda itu melakukan kejahatan"
"Apakah sekarang masih ada sisa-sisa pohon cendana
itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Masih ada beberapa batang pohon" jawab orang itu
"dan Akuwu yang sekaranglah. yang memerintahkan
orang-orang padukuhan terdekat untuk mengawasinya.
Agaknya ia bersikap lebih keras dari Akuwu sebelumnya.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi yang dapat dilakukan tinggallah menyelamatkan sisa
pohon cendana itu. Akuwu yang sekarang tidak dapat
berbuat banyak mengatasi bukit yang lerengnya telah
dibersihkan itu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
mengangguk-angguk saja Jika mereka ingin mempersoalkan
lereng dan jurang yang gundul itu, maka mereka akan
bertemu lagi dengan Akuwu yang memiliki beberapa
macam benda upacara dihari wisuda itu.
Sementara itu, merekapun menjadi semakin dekat
dengan padukuhan dihadapana mereka. Tetapi padukuhan
itu bukannya padukuhan induk. Mereka masih harus
melintasi lagi bulak dibelakang padukuhan itu, sebelum
mereka memasuki padukuhan induk.
Ketika mereka memasuki padukuhan itu, maka beberapa
orang memperhatikan mereka dengan heran. Kedua orang
yang mereka kenal itu telah menuntun kudanya bersama
dua orang anak muda yang masih asing bagi mereka.
"Siapa mereka?" bertanya seseorang kepada tetangganya.
"Yang mana?" tetangganya ganti bertanya.
"Tentu yang dua orang anak muda itu" jawab yang lain.
Lalu "Yang dua orang aku tidak akan bertanya"
Tetangganya tidak sempat menjawab. Keempat orang itu
lewat dihadapan kedua orang yang sedang berbincang itu.
Orang yang menuntun kudanya itu mengangguk kecil
sambil tersenyum. Tetapi mereka tidak berbicara kepada
kedua orang di pinggir jalan itu.
Demikian kedua orang yang menuntun kuda itu
menjauh, seorang diantara kedua orang itu berkata
"Apakah mereka membawa dua orang tawanan?"
"Mungkin. Mungkin Ki Jagabaya melihat langsung
kedua orang anak muda itu melakukan kejahatan. Ki
Jagabaya sekarang ini nampaknya telah berubah menjadi
sangat keras. Bahkah kadang-kadang kasar" jawab yang
lain. "Ia telah didorong untuk berbuat demikian. Kesulitan
demi kesulitan telah terjadi di padukuhan dan bahkan di
Kabuyutan ini. Karena itu, diperlukan sikap yang keras"
berkata yang lain pula. Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka
berpaling, dua orang yang menuntun kuda bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu sudah hilang di balik tikungan.
Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka
bergumam "Kasihan. Mereka masih sangat muda. Apakah
mereka telah terdorong oleh kesesatan yang tidak teratasi
oleh jiwanya, sehingga anak-anak semuda itu telah
melakukan kejahatan"
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Lalu kepada
siapa masa depan ini akan kami percayakan, jika anak-anak
muda sebaya kedua anak itu telah terdorong melakukan
kejahatan" Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Sambil beranjak
pergi ia berkata "Aku akan kesawah. Selama ini siang
malam aku berdoa, jika anakku nanti menjadi dewasa,
mudah-mudahan ia tidak terseret kedalam arus yang
menyedihkan" "Ya. Sangat menyedihkan. Mereka memang harus
dikasihani. Bukan dimusuhi. Jika Ki Jagabaya salah
langkah, maka akibatnya akan sebaliknya" desis yang lain.
Keduanya kemudian berpisah. Masing-masing pergi ke
sawah mereka sendiri yang terletak diarah yang berbeda.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melalui padukuhan yang pertama. Mereka kembali berjalan
di bulak yang tidak begitu panjang. Padukuhan berikutnya
adalah padukuhan induk dari sebuah Kabuyutan yang
subur. .Namun karena sesuatu, maka telah terjadi beberapa
perubahan dalam tata kehidupannya. Ki Jagabaya dan
beberapa orang pembantunya menjadi garang. Kejahatan
telah mulai menjamah padukuhan-padukuhan di
Kabuyutan itu. Orang-orang padukuhan itu memang memerlukan
perlindungan Mereka mengerti, bahwa Ki Jagabaya
memang harus bersikap lain menghadapi suasana yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun yang kadangkadang
sikap itu justru menakutkan bagi penghuni
Kabuyutan itu sendiri. Ternyata pada suatu kali Ki Jagabaya pernah berkata
"Tentu ada pengkhianat didalam lingkungan kita sendiri.
Jika tidak maka para penjahat itu tidak akan segera
mengetahui sasarannya. Apalagi Hantu Jurang Growong
itu belum lama berada di sekitar daerah kita"
Pendapat Ki Jagabaya itu telah membuat hati setiap
orang menjadi kecut. Jika mereka melakukan satu
kesalahan yang tidak mereka sadari, maka mereka akan
mungkin sekali menjadi sasaran kecurigaan Ki Jagabaya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
mengikuti Ki Jagabaya memasuki padukuhan induk.
Mereka langsung dibawa ke banjar Kabuyutan yang terletak
di tengah-tengah padukuhan induk itu.
"Marilah Ki Sanak" Ki Jagabaya mempersilahkan kedua
anak muda itu "silahkan naik kependapa. Ini adalah banjar
Kabuyutan kita" Kedua anak muda itu termangu-mangu. Sejenak mereka
melayangkan pandangan mereka kesekeliling halaman
Kabuyutan itu. Kemudian, dipandanginya gandok
disebelah kiri yang lengang. Namun di gandok yang sebelah
kanan, beberapa orang sedang duduk dengan tegang.
Sekali-sekali kedua anak muda itu mendengar suara
orang yang sedang membentak-bentak. Kemudian terdengar
pula keluhan dan tangis. "Ada apa?" bertanya Mahisa Pukat hampir diluar
sadarnya. Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya "Tidak ada apa-apa"
"Jangan bohongi aku" sahut Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya memandangi orang-orang yang berada diserambi
gandok di sebelah kanan itu,. Iapun mendengar
bentakan-bentakan yang kasar dan keluhan yang tertahantahan
diantara tangis. "Katakan Ki Sanak" desis Mahisa Murti.
"Atau aku akan mengamuk disini?" sambung Mahisa
Pukat. Namun dalam pada itu, kehadiran Ki Jagabaya, seorang
pembantunya bersama kedua orang anak muda itupun
sangat menarik perhatian. Orang-orang yang berada di
serambi gandok itupun ternyata telah memandangi mereka,
dengan penuh kecurigaan. "Duduklah" Ki Jagabaya mempersilahkan "aku akan
memberikan keterangan setelah aku melihatnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk dipendapa.
Namun keduanya nampak gelisah. Mereka
melihat orang bertubuh tinggi kekurusan itu melangkah
keserambi gandok. "Ki Jagabaya membawa tawanan lagi?" bertanya
seorang bertubuh pendek. "Siapa yang didalam?" bertanya Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya itu tidak menunggu jawaban. Iapun
kemudian melangkah masuk.
Dalam pada itu, di tengah-tengah ruangan yang tidak
begitu luas di gandok sebelah kanan itu, seorang anak muda
duduk di lantai dengan wajah yang biru lembab. Seorang
yang bertubuh kecil berdiri di sebelahnya dengan
garangnya. "Ia tidak mengaku" geram orang yang berdiri itu.
"Apa katanya?" bertanya Ki Jagabaya.
"Ia tidak pernah berhubungan dengan siapapun diluar
Kabuyutan ini" jawab orang bertubuh kecil itu.
Ki Jagabaya melangkah mendekati. Dengan wajah yang
garang ia membentak "Jangan menunggu sampai kepalamu
hancur ya" Kau kemari dilihat oleh seseorang, datang dari
jurusan hutan ilalang disebelah padang perdu itu. Kau tentu
sudah berhubungan dengan para penjahat dari Jurang
Growong itu" "Tidak Ki Jagabaya. Aku sama sekali tidak tahu menahu
tentang Jurang Growong" tangis anak muda itu.
"Ingat" geram Ki Jagabaya "wajahnya akan dapat
berbentuk lain. Aku datang dengan dua orang saksi. Karena
itu mengakulah" Orang yang berada di gandok itu mengeluh. Tubuhnya
terasa semakin sakit. Apalagi ketika ia melihat sekilas,
tatapan mata Ki Jagabaya yang bagaikan membakar
jantungnya. "Cepat" bentak Ki Jagabaya.
"Aku berkata sebenarnya" tangis orang itu
"Baiklah" berkata Ki Jagabaya jika la tidak mengaku,
aku benar-benar akan memecahkan kepalanya"
"Jangan, jangan" anak muda itu berteriak.
"Diam" tiba-tiba saja tangan orang yang bertubuh kecil
yang berdiri di sebelahnya telah memukul mulut anak muda
itu dengan telapak tangannya.
Suara anak muda itu terhentak berhenti. Namun yang
terdengar kemudian adalah keluhan keluhan vang tertahantahan.
Sementara itu, tiba-tiba telah terjadi keributan di luar
pintu. Ketika Ki Jagabaya meloncat dan berdiri dipintu, ia
melihat tiga orang terbanting dilantai, sementara beberapa
orang yang lain bergeser surut.
"Jadi kegilaan semacam inilah yang terjadi di Kabuyutan
ini" geram Mahisa Pukat.
Wajah Ki Jagabaya menegang. Katanya "Aku hanya
sekedar menjalankan kewajiban. Aku ingin mendengar
pengakuan anak ini sebelum aku memberitahukan kepada
Ki Sanak berdua" "Siapa yang kau maksud dua orang saksi" Kami
berdua?" bertanya Mahisa Pukat pula.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun kemudian
jawabnya "Aku hanya ingin pengakuannya"
"Pengakuan apa" Begitu caramu untuk mendapatkan
pengakuan. Kau pukuli orang itu sampai tidak lagi
berpengharapan, sehingga ia akan mengaku. Mengaku
sebagaimana kau kehendaki. Bukan mengaku sebagaimana
telah terjadi atas dirinya yang sebenarnya"
Wajah Mahisa Pukat menjadi semakin tegang. Lalu tibatiba
ia membentak "He, orang gila. Yang kau inginkan
pengakuan atau kebenaran. Pengakuan yang keluar dari
mulutnya karena kau peras dengan caramu yang kasar dan
buas itu belum tentu kebenaran yang pernah terjadi"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu,
orang yang bertubuh kecil berkata "Siapa orang itu Ki
Jagabaya" Apakah orang itu justru orang Jurang Growong,
sehingga sudah sewajarnya jika kita akan menangkapnya?"
"Kau akan menangkap aku?" Mahisa Pukat menjadi
semakin marah "Jika kau ingin mencobanya, marilah. Yang
lain pergi untuk menyediakan kelengkapan untuk
menyelenggarakan mayat sebanyak orang yang ingin
menangkap aku" Wajah-wajah itupun menjadi tegang. Sementara Ki Jaga
baya melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata
"Tidak. Kami tidak ingin menangkap kalian. Tetapi kami
mohon kalian duduk di pendapa. Biarlah kami melakukan
tugas kami sebaik-baiknya"
"Tugas yang gila ini" sahut Mahisa Pukat. Lalu "Tidak.
Aku tidak akan membiarkan kelaliman ini berlangsung"
Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun akhirnya ia berkata
kepada orang yang bertubuh kecil Jaga orang itu baik-baik.
Aku akan pergi kependapa"
"Dan jangan kau lakukan lagi kesewenang-wenangan
itu" berkata Mahisa Pukat "mungkin kalian adalah orangorang
yang mendapat tugas membantu Ki Jagabaya.
Mungkin kalian merasa bahwa apa yang kalian lakukan itu
adalah kewajiban. Tetapi kalian telah melanggar hubungan
antara sesama. Kalian memperlakukan sesama kita dengan
cara yang tidak wajar. Kalian seharusnya dapat
membayangkkan, bagaimana jika perlakuan yang demikian
itu berlaku atas diri kalian. Seandainya pada suatu saat,
kalianlah yang ditangkap tanpa bersalah. Kalian kemudian
dipaksa untuk mengaku dan menjawab segala macam
pertanyaan derigcan jawaban yang sudah disediakan"
"Siapa anak ini Ki Buyut" orang yang bertubuh kecil
itupun bertanya. Lalu "Telingaku menjadi panas
mendengar kata-katanya. Jika Ki Jagabaya
memperkenankan, aku akan memperlakukan, anak ini
dengan caraku, agar ia dapat menghormati sikap kami
disini" "Tidak perlu" jawab Ki Jagabaya.
"Ia telah menghina kami" orang bertubuh kecil itu
menegaskan "sudah menjadi kewajiban kami untuk
bertindak atas mereka"
"Kalian memang orang-orang gila" geram Mahisa Pukat
"kalian telah melakukan kewajiban kalian dengan salah.
Kau sangka jika kalian dapat memaksa seseorang untuk
mengatakan sebagaimana kau kehendaki, kau sudah
melakukan kewajibanmu dengan baik" Apakah kau sangka
dengan sewenang-wenang kalian akan dapat dianggap
seorang pahlawan" "Tetapi kami tidak dapat berbuat lain disini" berkata Ki
Jagabaya "daerah kami adalah daerah yang penuh dengan
keadaan yang sangat gawat. Kami tentu tidak akan dapat
berbuat lain kecuali kekerasan"
"Itu adalah satu sikap yang sangat dungu" potong
Mahisa Pukat. "Dengar" orang bertubuh kecil Itu menyela "orang itu
menyebut kami dungu"
"Kau yang paling dungu" Mahisa Pukat berteriak.
Namun ternyata orang bertubuh kecil itupun tidak lagi
dapat mengendalikan kemarahannya. Tanpa minta ijin
lebih dahulu dari Ki Jagabaya, maka iapun telah meloncat
menyerang Mahisa Pukat. Namun yang terjadi adalah sangat mendebarkan jantung.
Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian terlempar dan
jatuh terbanting dilantai gandok membentur tiang. Sekali ia


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih menggeliat. Namun kemudian orang itupun telah
pingsan. "Sudah aku katakan, siapa yang ingin mati, cobalah
tangkap aku. berkata Mahisa Pukat.
Tidak seorangpun bergeser. Telah ada empat orang yang
pingsan diserambi gandok itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak dapat mencegah Mahisa Pukat. Orang-orang
padukuhan itu memang memerlukan sedikit peringatan atas
sikap mereka, meskipun Mahisa Murti mengerti, bahwa
mereka telah disudutkan oleh satu keadaan yang tidak
menguntungkan. Dalam pada itu, Ki Jagabayalah yang kemudian
melangkah maju sambil berkata "Aku minta maaf"
"Itu tidak cukup" jawab Mahisa Pukat "tetapi kalian
harus menyadari, bahwa sikap kalian tidak benar. Kalian
telah bertindak sewenang-wenang apapun alasannya. Jika
keadaan padukuhan ini dan barangkali seluruh Kabuyutan
ini, menjadi gawat, bukan satu alasan untuk menyakiti
arang tanpa sebab. Bukan alasan untuk memeras
keterangan seseorang yang tidak mengetahui persoalannya.
Dan bukan pula alasan untuk dengan kekerasan memaksa
orang memberikan jawaban atas pertanyaan kita
sebagaimana kita kehendaki tanpa melihat kebenaran itu
sendiri" Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengerti" "Kalian harus bersikap lebih bijaksana, justru dalam
keadaan seperti ini" berkata Mahisa Pukat
"Tetapi, dengan demikian apakah kami tidak akan
menjadi semakin sulit menghadapi orang orang dari Jurang
Growong itu" bertanya Ki Jagabaya.
"Kepada mereka kita akan bertindak tegas. Bukankah
seorang tamu di padukuhanmu telah menunjukkan satu
cara untuk melawan mereka?" bertanya Mahisa Pukat
"dengan tulup kalian akan dapat bertahan. Meskipun
sebenarnya ada senjata lain yang tidak memerlukan racun.
Busur dan panah, misalnya. Meskipun kalian pernah
mencoba, tetapi ada baiknya kalian mencoba lagi"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Murti telah memasuki gandok itu dan melihat
keadaan orang yang mengalami nasib yang malang.
"Lepaskan anak ini " berkata Mahisa Murti kepada Ki
Jagabaya. Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat
membentak "Cepat. Atau kami harus mengambil sikap
sebagaimana sikap kalian?"
Ki Jagabaya tidak dapat bersikap lain, kecuali
memerintahkan orang-orangnya untuk melepaskan orang
yang mengalami nasib buruk itu.
"Marilah Ki Sanak" ajak Mahisa Murti yang kemudian
membimbing orang itu keluar, dan kemudian membawanya
kependapa. Sementara itu Mahisa Pukat berkata "Rawatlah
kawan-kawanmu yang pingsan. Mereka belum benar-benar
mati. Tetapi jika perlu, aku memang akan membunuh"
Tidak ada yang menjawab Ketika Mahisa Pukatpun
menyusul Mahisa Murti kependapa, maka beberapa
orangpun telah merawat kawan-kawan mereka yang
pingsan. "Anak itu luar biasa" desis seseorang "seolah-olah yang
dilakukan itu tidak dapat Kita tangkap dengan indera kita"
Kawan kawannya mengangguk-angguk. Namun ia
berbisik "Jika ternyata mereka adalah diantara orang-orang
yang disebut Hantu Jurang Growong itu, maka kita akan
mengalami nasib yang sangat buruk"
"Aku kira mereka justru bukan dari antara mereka"
berkata yang lain. "Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
Orang itu memandang orang yang bertubuh tinggi besar,
yang bersama dengan orang bertubuh tinggi kekurusan,
yang ternyata adalah Ki Jagabaya.
Orang bertubuh tinggi besar itu mengangguk sambil
berkata "Bukan. Mereka bukan orang-orang dari Jurang
Growong. Mereka telah memaafkan kami di padang perdu
meskipun kami sudah berbuat kasar"
"Mereka berpura-pura" desis seseorang.
"Tidak. Mereka benar-benar melepaskan kami berdua.
Maksudku, aku dan Ki Jagabaya" jawab orang itu "Ki
Jagabayalah yang minta kepada keduanya untuk singgah.
Semula mereka sama sekali tidak ingin memasuki
Kabuyutan ini. Mereka ingin melanjutkan perjalanan,
karena keduanya adalah perantau"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun
demikian ada juga diantara mereka yang masih tetap
mencurigai kedua orang anak muda itu.
Sementara itu, dipendapa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat duduk berhadapan dengan orang yang sudah menjadi
biru pengab karena sikap orang-orang Kabuyutan itu.
"Jadi kau tidak tahu benar tentang Hantu Jurang
Growong?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak Ki Sanak" jawab orang itu dengan suara gemetar
karena menahan sakit yang menyengat diseluruh tubuh
"aku tidak tahu menahu"
"Baiklah. Aku percaya. Jika kau mengetahuinya, maka
keadaan tubuhmu itu sama sekali tidak berarti dibanding
dengan cacat jiwamu, karena kau sudah berkhianat. Tetapi
jika kau benar-benar tidak tahu dan tidak berhubungan
dengan Hantu Jurang Growong, besarkan hatimu. Kau
akan dilepaskan" berkata Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara
seseorang "Tidak begitu caranya berbicara dengan seekor
serigala anak-anak" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling. Dilihatnya
seorang yang mempunyai ciri yang agak herbeda dengan
orang-orang Kabuyutan itu. Orang itu mengenakan pakaian
yang agak lebih baik. serta pengetrapannya yang lebih
mapan. Sejenak kemudian orang itu sudah berdiri di tangga
pendapa. Katanya pula "Kau tidak perlu merubah sikap
yang telah diambil oleh para bebahu Kabuyutan ini. Aku
juga tidak, karena kita orang lain disini. Apalagi menurut
pendapatku, sikap keras dan tegas dari para bebahu disini
sudah tepat sebagaimana seharusnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mereka segera mengetahui, tentu orang itulah yang
dimaksud dengan seorang tamu yang telah memberikan
beberapa petunjuk tentang penggunaan sumpit sebagai
senjata. Namun kedua anak muda itu tidak mengira bahwa sikap
orang itu ternyata terlampau kasar menghadapi keadaan.
Agaknya orang itu pulalah yang mendorong Ki Jagabaya
dan para bebahu yang lain melakukan kekerasan yang
berlebihan. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menjawab, maka orang itupun berkata "Anak anak muda.
Serahkan orang itu kembali kepada Ki Jagabaya. Biarlah ia
menyelesaikan tugasnya. Orang itu harus mengaku. Ia
benar-benar salah satu dari sekian banyak orang yang
diperalat oleh Hantu Jurang Growong"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "marilah kita
berbicara tentang orang ini. Mungkin kita akan dapat
menyebut beberapa bukti tetapi juga beberapa keberatan.
Katakan, bagaimana mungkin Ki Sanak dapat memastikan
bahwa orang ini telah berhubungan dengan yang disebut
Hantu Jurang Growong itu"
"Ceriteranya cukup panjang, anak muda" jawab orang
itu "tetapi secara singkat dapat aku sebut, bahwa ia telah
pergi ke tempat yang tidak diketahui. Ia datang dari arah
yang mencurigakan. Ia datang dari hutan ilalang disebelah
padang perdu" "Apakah dengan demikian sudah cukup alasan bagi
kalian untuk menganggap bahwa orang ini bersalah?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tentu Ki Sanak" jawab orang itu "jika tidak
berhubungan dengan Hantu Jurang Growong, ia tidak akan
datang lewat hutan ilalang"
Mahisa Pukat mendekati orang itu. Kemudian katanya
"Katakan, apa alasanmu, bahwa kau telah melalui hutan
ilalang?" "Disebelah hutan ilalang terdapat sebuah rawa yang
tidak begitu besar. Aku mencari ikan di rawa itu" jawab
orang itu. "Apakah hal itu sudah kau katakan?" bertanya Mahisa
Murti. "Sudah Ki Sanak. Sebenarnya bukan aku sendirilah yang
sering mencari ikan di rawa-rawa itu. Orang-orang
padukuhanku yang lain telah melakukannya pula" berkata
orang itu dengan gemetar.
"Kau bukan orang padukuhan ini?" bertanya Mahisa
Pukat. "Bukan. Aku orang padukuhan sebelah. Tetapi juga
termasuk Kabuyutan ini" jawab orang itu.
"Nah, Ki Sanak. Bukankah ia sudah mengatakan
alasannya, bahwa orang ini mencari ikan di rawa-rawa
dibalik hutan ilalang itu" berkata Mahisa Pukat.
"Dan aku masih membawa sekepis ikan ketika aku
ditangkap" orang itu menjelaskan.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku lebih
percaya kepada orang ini. Aku tidak melihat kelicikan dan
kecerdikan disorot matanya. Ia orang sederhana dan jujur"
"Anak-anak" berkata orang asing itu kemudian "kau
terlalu berani mengambil keputusan. Tetapi aku
berpendirian lain. Orang itu tentu mempunyai hubungan
dengan Hantu Jurang Growong"
"Kaulah yang terlalu berani mengambil keputusan"
jawab Mahisa Pukat. "Ternyata kau bukan saja terlalu berani mengambil keputusan
" geram orang itu "tetapi kau juga terlalu lancang
dihadapanku. Kau harus sadar, bahwa sikapmu itu akan
dapat mencelakaimu" "Nanti dulu Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sebaiknya
Ki Sanak duduk dengan baik, dan kitapun dapat berbicara
dengan baik" "Tidak ada gunanya anak-anak" jawab orang itu "aku
hanya minta, serahkan kembali orang itu kepada Ki
Jagabaya. Persoalan diantara kita akan selesai. Kau boleh
pergi kemanapun yang kau inginkan. Sudah tentu, kalian
tidak boleh mencuri lagi pering cendani yang khusus itu.
Jika kalian menginginkan untuk membuat tulup sekedar
untuk menangkap burung, maka kau dapat mengambil
pering cendani yang lain, yang ruasnya cukup panjang
untuk keperluan itu"
"Maaf Ki Sanak" jawab Mahisa Murti "persoalannya
tidak akan berakhir sampai sekian. Aku tidak sekedar ingin
pering cendani. He, siapakah yang memberitahukan
kepadamu, bahwa aku telah mengambil pering cendani?"
"Aku sudah mengetahuinya" jawab orang itu.
"Baiklah. Tetapi masalahnya bukan pering cendani.
Bukan pula orang ini. Orang ini tentu hanya salah satu saja
dari korban yang pernah mengalami nasib yang serupa.
Menurut dugaanku, setiap orang yang kau curigai akan
mengalami nasib seperti orang ini. Aku tidak tahu, apakah
peristiwa semacam ini akan berakhir dengan kematian.
Tetapi sebenarnyalah bahwa perbuatan kalian sama sekali
tidak berarti" "Kematian adalah peristiwa yang wajar didalam keadaan
yang gawat seperti ini. Jika orang yang berkhianat seperti
orang itu tidak dibunuh, maka Kabuyutan ini akan menjadi
semakin parah" "Persetan" geram Mahisa Pukat "jadi kalian telah
pernah membunuh orang dalam persoalan seperti ini"
Yang sangat memanaskan hati Mahisa Pukat adalah
justru orang itu tertawa. Katanya "Orang-orang semacam
itu pantas untuk berlatih kemampuan bidik dengan
mempergunakan sumpit pering cendani yang beruas
panjang itu" "Gila" Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi.
Iapun kemudian bangkit dan melangkah menuruni tangga
pendapa sambil menggeram "Apakah Kabuyutan ini sudah
kehilangan citra kemanusiaannya" He, apakah kalian tidak
mempunyai paugeran yang dapat menjadi landasan untuk
menjatuhkan hukuman?"
"Kenapa kau menjadi bingung seperti itu" orang itu
masih tertawa. "Kalian memang pantas untuk dilaporkan kepada Sang
Akuwu. Sang Akuwu adalah orang yang bijaksana. Ia akan
dapat mengambil keputusan yang paling pantas untuk
menghukum kalian semuanya. Jika perlu, Kabuyutan ini
akan dapat dimusnahkan" geram Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun kemudian
ia berkata " Aku tidak yakin akan kata-katamu. Akuwu
tidak akan menerima kalian menghadap. Kalian pantas
untuk diusir dari halaman istana daripada didengar
keterangannya" Mahisa Murtipun kemudian teiah mendekat pula.
Katanya "Aku kenal Akuwu dengan baik. Aku dan
saudaraku pernah menerima undangannya untuk singgah
diistana. Apa yang kami berdua katakan tentu akan
dipercaya" "Itu omong kosong yang sangat menggelikan" jawab
orang itu "tetapi sebaliknya. Akuwu akan menerima aku.
Aku adalah orang penting di Pakuwon ini"
"Apakah aku harus mempercayaimu?" potong Mahisa
Pukat "ceriteramulah yang ngaya-wara. Seorang yang
mempunyai kedudukan penting tidak akan berbuat seperti
yang kau lakukan itu. Perbuatanmu adalah perbuatan orang
yang tidak berperadaban"
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya "Sekali lagi
aku peringatkan. Jika kata-kataku kali ini tidak kalian


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar, maka aku akan mengambil sikap lain. Sikap yang
barangkali paling sesuai untuk mengusir kalian dari tempat
ini. Kemudian kami harus melanjutkan tugas kami
memeriksa orang itu. Apakah orang itu akan mati karena ia
berkeras untuk tidak mengakui keadaannya, atau ia
kemudian akan mengaku, itu urusan kami. Apakah kami
akan menempatkan orang itu menjadi sasaran latihan dan
meningkatkan kemampuan bidik kami atau sasaran latihan
yang lain. itupun urusan kami"
"Baiklah Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sebaiknya
aku dan saudaraku mempergunakan cara yang kau pilih"
"Apa maksudmu?" bertanya orang itu "Aku tidak akan
meninggalkan tempat ini. Aku akan melakuKun apa yang
ingin kami lakukan. Bahwa kami akan membebaskan orang
itu adalah urusan Kami. Bahwa kami akan berbuat apa saja
disini adalah urusan kami. Kau tidak akan dapat melarang.
Jika kau menganggap bahwa kau akan mempergunakan
kekerasan, maka kamipun akan mempergunakan
kekerasan" "Tegasnya, aku tantang kau berperang tanding" potong
Mahisa Pukat "Kau dapat memilih senjata yang kau
kehendaki. Aku tidak berkeberatan jika kau memilih senjata
sumpit beracun sekalipun"
Sorot mata orang itu bagaikan membara. Bibirnya
nampak bergetar sedangkan giginya gemeretak menahan
gejolak perasaannya. Kemudian terdengar ia menggeram
"Anak setan. Kau akan aku bunuh bersama-sama"
"Jangan bicara tentang membunuh, agar tidak
menimbulkan rangsang padaku untuk membunuhmu pula"
bentak Mahisa Pukat. Orang itu menjadi semakin marah. Dengan suara
bergetar ia berkata "Kalian adalah orang-orang Jurang
Growong yang ingin membebaskan kawan kalian. Tetapi
kalian akan mati di banjar ini"
Tetapi jawaban Mahisa Pukat justru mengejutkan "Aku
mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah satu dari
Hantu Jurang Growong itu. Kau dengan sengaja telah
menimbulkan kegelisahan di padukuhan dan bahkan
Kabuyutan ini Kau telah menyesatkan orang-orang
padukuhan ini untuk mempergunakan sumpit sebagai
pangganti busur dan anak panah, karena bagi Hantu Jurang
Growong anak panah jauh lebih berbahaya dari sumpit
yang sulit mempergunakannya. Berlatih membidik dengan
sumpit adalah jauh lebih sulit dari mempergunakan busur
dan anak panah. Aku menguasai keduanya dan aku dapat
memperbandingkannya"
Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga
orang itu. Sementara orang-orang padukuhan itupun
menjadi berdebar-debar. Kata-kata Mahisa Pukat itu
ternyata menjadi perhatian mereka.
Tetapi Mahisa Pukat tidak sempat berkata sepatah
katapun lagi. Orang itu dengan serta merta telah
menyerangnya dengan garang. Kedua tangannya
mengembang dan jari-jarinya terbuka. Seolah-olah orang itu
hendak menerkamnya sebagaimana seekor harimau
menerkam mangsanya. Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiaga. Iapun sempat
meloncat menghindar. Namun dengan demikian, Mahisa
Pukat menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan lawan
yang tangguh, sehingga karena itu. maka iapun tidak mau
kehilangan waktu. Demikian ia bergeser, maka kakinyapun
telah berputar bertumpu pada kakinya yang lain. Demikian
derasnya langsung menyerang lambung dalam putaran
mendatar. Serangan Mahisa Pukat itu tidak diduga sama sekali oleh
lawannya yang menganggapnya masih terlalu kanak-kanak.
Karena itu, maka orang itu tidak bersiap untuk
menghindarinya. Meskipun ia berusaha juga bergeser, tetapi
serangan Mahisa Pukat datang lebih cepat, sehingga yang
dapat dilakukannya adalah dengan serta merta menangkis
sambaran kaki yang kuat itu.
Tetapi benturan kekuatan itu tidak seimbang. Justru
karena orang itu menganggap Mahisa Pukat tidak akan
mampu melakukan serangan seperti itu.
Karena itu. maka tangan orang itupun te.lah terdorong
oleh kekuatan serangan Mahisa Pukat, sehingga orang itu
terputar setengah lingkaran.
Mahisa Pukat telah mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Dengan cepatnya ia melenting. Kakinya
terjulur kesamping mendatar dengan lontaran badannya.
Benar-benar serangan yang sangat kuat, dilambari oleh
sebagian besar kemampuan Mahisa Pukat.
Dengan dahsyatnya serangan itu menghantam punggung
lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki
keadaannya setelah terputar oleh dorongan serangan
Mahisa Pukat. Demikian derasnya, sehingga orang itupun
telah terdorong dan jatuh terjerembab.
Untunglah, bahwa iapun memiliki kesigapan, sehingga
wajahnya tidak terbanting mencium tanah. Beberapa kali
orang itu berguling. Kemudian dengan sigapnya ia
melenting berdiri. Mahisa Pukat meloncat maju Namun ia harus berhati
hati. Orang itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi
pula. sehingga tubuhnya seolah-olah menjadi liat.
Sejenak kemudian keduanya telah berdiri berhadapan.
Keduanya telah siap untuk menyerang dan diserang.
Namun dengan demikian orang itupun mengetahui, bahwa
anak-anak itu memiliki kemampuan yang tidak diduga
sebelumnya. Meskipun demikian, orang itu masih juga sesumbar,
katanya "Marilah. Majulah berdua. Dengan demikian
pekerjaanku akan cepat selesai. Kalian memang harus
dibunuh untuk ketenangan padukuhan dan Kabuyutan ini"
"Kata-kataku tadi belum selesai" sahut Mahisa Pukat
"kau tentu orang dari gerombolan yang disebut Hantu
Jurang Growong" "Kau boleh mengigau apa saja. Tetapi kenyataan akan
membuktikan. Marilah, jangan banyak bicara lagi. Majulah
berdua" geram orang itu.
Mahisa Murti yang berdiri dipinggir arena menyahut
"Biarlah seorang diantara kami menunjukkan kepadamu,
bahwa kau bukan orang yang pantas diagungkan disini.
Seorang diantara kami akan dapat mengalahkanmu"
Orang itu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak mau
tergesa-gesa. Iapun kemudian bergeser setapak.
Dipersiapkannya ilmunya sebaik-baiknya. Anak-anak itu
benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa mereka tidak mau
bertempur berpasangan. Jika benar demikian, maka ia tidak
lagi banyak mempunyai harapan.
"Kesombongannya akan menjebaknya dalam kesulitan"
berkata orang itu didalam hatinya "aku akan dapat
membunuhnya seorang demi seorang"
Sejenak kemudian, maka pertempuran diantara kedua
orang itupun telah berlangsung lagi dengan dahsyatnya.
Ternyata orang itu telah benar-henar mengerahkan
kemampuannya untuk segera membunuh Mahisa Pukat
untuk selanjutnya membunuh Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya menjadi
korban. Iapun-memiliki kemampuan yang dapat
mengimbangi kemampuan orang itu, sehingga dengan
demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin seru.
Keduanyapun kemudian sampai kepuncak kemampuan
mereka. Dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan
tatapan mata wadag. keduanya saling menyerang. Saling
mendesak dan saling bertahan.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang itupun
merasa bahwa ia tidak akan dengan cepat mengakhiri
pertempuran itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya
iapun telah meloncat surut. Ketika Mahisa Pukat bergeser
mendekat, orang itu telah menarik senjatanya. Sebilah
pedang yang panjang. Mahisa Pukat tertegun. Ia tidak mempunyai senjata
panjang. Yang ada padanya hanyalah sebilah pisau belati
di-bawah kain panjangnya. Namun, ia tidak dapat melawan
pedang itu dengan tangannya. Ia sudah menjajagi
kemampuan lawannya. Jika ia memiliki ilmu pedang
setinggi kemampuannya bertempur dengan tangannya,
maka ia akan dengan cepat mengalami kesulitan.
Karena itu. meskipun ia hanya mempunyai sebilah pisau
belati saja, namun iapun kemudian mencabut pisau
belatinya dan siap menghadapi pedang panjang lawannya.
Terdengar orang itu tertawa. Katanya "Kesombonganmu
memang tidak dapat dimaafkan Dengan senjata mainan
seperti itu. kau akan melawan ilmu pedangku"
"Aku tidak ingin menyombongkan diri Ki Sanak" Jawab
Mahisa Pukat "tetapi aku tidak mempunyai senjata lain.
Pisau inilah yang aku pergunakan untuk memotong pering
cendani sehingga timbul persoalan sehingga aku datang
kepadukuhan ini" "Tetapi kau benar-benar akan mati anak muda. Selagi
kau masih sempat, lihatlah betapa cerahnya langit disisa
hari ini" berkata orang itu diantara suara tertawanya.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
berpaling ketika Mahisa Murti berkata "Pertempuran itu
harus adil. Jika kau hanya membawa sebilah pisau belati
pendek Mahisa Pukat, maka kau sepantasnya membawa
dua" Sebelum Mahisa Pukat menjawab, Mahisa Murti telah
melemparkan pisau belatinya pula kepada saudara lakilakinya.
Dengan tangkas Mahisa Pukat menangkap pisau itu.
Kemudian dengan sepasang pisau belati di kedua
tangannya, maka iapun lelah siap menghadapi lawannya
yang bersenjata pedang panjang.
Orang yang berpedang panjang itupun termangu-mangu
sejenak, la melihat kedua tangan Mahisa Pukat
menggenggam sepasang pisau belati dengan sangat
meyakinkan, sehingga dengan maka iapun menduga,
bahwa anak muda itu memiliki kemampuan
mempergunakannya. Sejenak kemudian, maka keduanya telah bersiap. Orang
berpedang itu mulai menjulurkan pedangnya. Memutarnya
kemudian dengan cepat menyerang mendatar.
Mahisa Pukat sudah bersiap. Ia sadar, bahwa lawannya
berusaha untuk menjajagi kemampuannya mempermainkan
pisau-pisaunya. Karena itu. maka iapun tidak terlalu
banyak berbuat sesuatu. Namun ia justru bersiap-siap
menghadapi serangan-serangan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah benar-benar
terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya. Senjata
mereka berputaran, menyambar, mematuk dengan
dahsyatnya. Mahisa Pukat yang mempergunakan senjata
yang lebih pendek, mempunyai kesempatan lebih kecil
untuk menggapai lawannya dengan senjatanya. Namun ia
mampu mempergunakan sepasang pisau belati untuk
membentengi dirinya dengan rapat sekali. Seolah-olah
sepasang pisau belati itu tidak akan mungkin dapat
ditembus, meskipun hanya seujung duri sekalipun.
Orang berpedang itu mulai menyadari, bahwa anak
muda itu bukan orang kebanyakan. Ternyata anak muda
yang melawannya itu menguasai ilmu pedang sebaikbaiknya.
Meskipun yang ditangannya adalah senjata
pendek, tetapi sepasang senjata pendek ilu benar-benar
mampu melindungi dirinya dengan rapat sekali.
Benturan-benturan pun telah berlangsung dengan
dahsyatnya. sehingga bunga apinya berhamburan.
Dengan kemarahan yang bergejolak didadanya. orang
berpedang itu menyerang dengan kecepatan yang
mendebarkan. Senjatanya yang lebih panjang nampaknya
memberikan kemungkinan kepadanya lebih baik dari
lawannya. Meskipun demikian, ayunan senjatanya selalu
membentur senjata pendek anak muda yang melawannya
itu. Ketika ia menusuk lurus kearah dada. Mahisa Pukat
sempat bergeser sambil memukul pedang lawannya
kesamping. Namun lawannya itu memutar pedangnya
justru ancang-ancang untuk mengayunkannya langsung
mengarah kekepalanya. Mahisa Pukat menyadari, betapa dahsyatnya kekuatan
yang mendorong ayunan pedang itu. Karena itu, maka
iapun segera menyilangkan pisau belatinya diatas
kepalanya. Benturan yang dahsyat telah terjadi. Namun sekali lagi
orang berpedang itu merasa bahwa kekuatan anak muda itu
tidak berada dibawah tataran kekuatannya.
Karena itu, maka iapun menjadi gelisah. Anak muda itu
memiliki kelebihan. Bahkan kecepatannya bergerakpun
mulai mencemaskannya. Tetapi orang berpedang itu masih
tetap berpengharapan la masih berharap kelebihan pada
senjatanya. Dengan pedang panjang itu ia akan dapat
menjangkau kulit lawannya.
Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Mahisa Pukat berloncatan dengan
cepatnya. Sementara sepasang pisau belatinya bergetar
bagaikan sayap burung sikatan yang melindungi seluruh
tubuhnya. Mahisa Murti yang berdiri diluar arena menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia tidak terlalu mencemaskan
keadaan Mahisa Pukat. Ia melihat beberapa kelebihan
saudara laki lakinya. Meskipun demikian putaran senjata
lawannya yang lebih panjang itu membuatnya menahan
nafas. Orang-orang padukuhan itu memperhatikan
pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka
tidak tahu lagi, apa yang dapat mereka lakukan.
Pertempuran itu sudah berada diluar jangkauan
kemampuannya untuk mengikutinya. Mereka hanya
melihat loncatan-loncatan panjang, kemudian putaran
senjata dan benturan-benturan yang mendebarkan.
Namun mereka tidak dapat menilai, apa yang akan
terjadi dengan kedua orang yang sedang bertempur dengan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyatnya itu. Sementara itu, seseorang memperhatikan pertempuran
itu dengan saksama. Ia adalah seorang diantara orang-orang
padukuhan itu. Ia adalah orang yang mendapat seorang
tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk kepada
orang-orang padukuhan itu untuk membuat senjata dari
pering cendani" Namun beberapa lamanya ia telah dicengkam oleh
kecemasam. Agaknya orang bersenjata pedang panjang itu
semakin menjadi semakin sulit menghadapi seorang anak
yang masih terlalu muda denaan senjata sepasang pisau
belati ditangannya. "Anak itu berilmu iblis" berkata orang
itu. Sejenak ia memperhatikan pertempuran itu. Namun
kemudian, iapun memperhatikan Mahisa Murti yang
termangu-mangu. "Anak yang satu itu sudah tidak bersenjata. Pisau
belatinya telah diberikan kepada anak muda yang sedang
bertempur itu" berkata orang itu didalam hatinya
"seandainya anak itu juga memiliki kemampuan seperti
anak yang sedang bertempur itu, maka ia akan mengalami
kesulitan melawan pedang panjang.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Ia masih dicengkam
oleh keragu-raguan. Tetangga-tetangganya sama sekali
tidak mengetahui tentang dirinya sebagaimana sebenarnya.
Ia tidak pernah dikenal sebagai seseorang yang berilmu.
Hidupnya tidak lebih dari seorang petani biasa.
Namun demikian, pada saat yang penting,.ia tidak dapat
berdiam diri. Orang yang menjadi tamunya itu mulai
terdesak Nampaknya anak muda yang bersenjata sepasang
pisau belati itu benar-benar akan mengakhiri pertempuran
sampai tuntas. Karena itu, setelah mempertimbangkan
beberapa segi. akhirnya ia mengambil keputusan untuk
bertindak cepat, justru pada saat tamunya itu masih mampu
berbuat sesuatu. Bahkan kadang-kadang masih dapat
mendesak lawannya yang masih muda itu.
Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati Mahisa
Murti. Sebagaimana orang-orang padukuhan itu, pada saat
yang mereka anggap berbahaya itu, sebagian dari mereka
telah membawa senjata apa saja yang mereka miliki.
Karena itu, maka orang yang mendekati Mahisa Murti itu
sama sekali tidak menarik perhatian karena senjatanya.
Namun ketajaman penggraitan Mahisa Murti seolaholah
telah memperingatkannya, bahwa seseorang telah
mendekatinya dengan maksud tertentu. Karena itu, maka
Mahisa Murti pun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan
iapun sempat bergeser tanpa dicurigai oleh orang itu,
karena seolah-olah perhatian Mahisa Murti tertumpah
kepada pertempuran diarena. Seolah-olah ia bergeser
karena pertempuran itu memang sangat mendebarkan.
Tetapi Mahisa Murti telah mendekati seseorang yang
membawa senjata pula. Senjata yang barangkali tidak akan
dapat dipergunakan oleh pemiliknya. Karena senjata itu
adalah sebatang canggah yang sudah karatan bertangkai
kayu gelugu yang sudah kehitam-hitaman. Namun tangkai
itu adalah kayu yang terlalu tua, sehingga menjadi keras
dan liat seperti besi. Sejenak Mahisa Murti masih menunggu. Mungkin ia
keliru. Tetapi ia tetap waspada menghadapi setiap
kemungkinan. Untuk beberapa saat masih belum terjadi sesuatu atas
Mahisa Murti. Orang yang bergeser mendekatinya itu
masih memperhatikan Mahisa Pukat yang bertempur
dengan pisau belati rangkap.
Namun demikian. Mahisa Murtipun masih tetap berhatihati
menghadapinya. Sementara itu. Mahisa Pukat dan lawannya masih saja
bertempur dengan sengitnya. Sebenarnyalah Mahisa
Pukatpun menjadi heran, bahwa di tempat itu ia telah
berhadapan, dengan seseorang yang memiliki ilmu yang
tinggi. "Untunglah, bahwa kami membawa bekal yang
cukup" berkata Mahisa Pukat. Karena didalam diri Manisa
Pukat tersimpan kemampuan yang disadapnya bukan saja
dari ayahnya, tetapi juga dari pamannya Witantra yang
mempunyai sumber ilmu yang sama dengan ayahnya dan
dari orang yang memiliki sumber ilmu yang berbeda.
Mahisa Agni. Namun yang ternyata ilmu yang bersumber
dari perguruan yang berbeda itu telah luluh didalam diri
anak-anak muda itu. Karena itulah, maka iapun telah membuat lawannya itu
menjadi heran pula. Anak muda itu ternyata mampu
mengimbanginya. Bahkan dalam beberapa hal, anak muda
itu memiliki kelebihan sehingga ia bahkan dapat
mendesaknya. Sejenak pertempuran itu mencengkam semua orang yang
ada dihalaman itu. Namun sejenak kemudian, arena itu
telah dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah diduga oleh
orang-orang padukuhan itu sendiri.
Pada saat-saat perhatian mereka tercengkam oleh
pertempuran yang dahsyat antara Mahisa Pukat dan
lawannya yang bersenjata pedang panjang, tiba-tiba saja
terdengar teriakan nyaring di pinggir arena.
Semua orang telah berpaling. Bahkan yang sedang
bertempur itupun telah terpengaruh pula. sehingga
keduanya telah meloncat mengambil jarak.
Pada saat itulah, seseorang telah meloncat sambil
menyerang Mahisa Murti dengan sebilah pedang panjang.
Tetapi serangan itu tidak menggetarkan jantung Mahisa
Murti. la telah bersiap sepenuhnya. Karena itu. maka iapun
dengan tangkasnya telah menghindari serangan itu.
Bahkan dengan kecepatan yang mengherankan, ia telah
menyambar canggah ditangan seseorang yang berdiri
termangu mangu. "Aku pinjam senjatamu" berkata Mahisa Murti
"mungkin kau tidak pernah mempergunakannya
sebelumnya. Entah darimana kau dapat senjata semacam
itu" Orang yang memegang canggah itu hanya berdiri saja
mematung. Ketika tangkai canggahnya lolos dari
tangannya, iapun masih tetap berdiri kebingungan
Sementara itu. Mahisa Murti telah meloncat kehalaman.
la siap menyongsong lawannya yang memburunya dengan
pedang ditangan. Namun orang itu mengumpat ketika ia melihat, ditangan
Mahisa Murti telah tergenggam senjata yang akan dapat
melawan pedang panjangnya.
"Anak iblis" geram orang itu.
"Tunggulah Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "apakah
alasan Ki Sanak menyerang aku"
"Aku tidak peduli" geram orang itu "kawanmu telah
membuat jantung kami bergelora. Orang yang melawannya
itu adalah tamuku. Aku tidak akan dapat membiarkannya
bertempur tanpa ujung dan pangkal"
"Anak muda itu adalah saudaraku" jawab Mahisa Murti
"tetapi aku tidak mengerti alasanmu. Kenapa kau sebut
bahwa tamumu itu bertempur tanpa ujung dan pangkal?"
"Kau berdua adalah orang-orang yang telah merusak
segala usaha kami sepadukuhan ini untuk mengusut Hantu
Jurang Growong. Karena itu. Kalian memang harus
dimusnahkan" jawab orang itu.
Mahisa Murti tidak bertanya lebih lanjut. Orang itu
menyerangnya dengan dahsyatnya.
Orang-orang padukuhan itu menjadi heran. Ternyata
tetangga yang mereka anggap tidak lebih dari mereka
sendiri itu, kemudian mampu bertempur dengan
dahsyatnya Ternyata orang itu memiliki ilmu yang tinggi
sebagaimana tamunya yang telah menganjurkan orangorang
padukuhan itu mempergunakan sumpit untuk
melawan Hantu Jurang Growong.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Jagabaya bukan
orang yang terlalu bodoh. Jika untuk beberapa saat ia dapat
dipermainkan oleh tamu yang bertempur melawan Mahisa
Pukat itu. kemudian ternyata bahwa ia mampu mengamati
keadaan. Justru karena tetangganya yang disangka tidak memiliki
kemampuan ilmu kanuragan itu kemudian menunjukkan
kemampuannya, maka ia menjadi curiga.
"Selama ini ia telah menyembunyikan keadaannya yang
sebenarnya" berkata Ki Jagabaya didalam hatinya.
Baru kemudian Ki Jagabaya sadar, bahwa tetangganya
itu pernah meninggalkan kampung halaman untuk waktu
yang lama. "Tentu selama itu ia berhasil menguasai ilmu yang
dahsyat Itu berkata Ki Jagabaya didalam hatinya "tetapi
apakah artinya, bahwa ia telah menyamarkan dirinya
seakan-akan ia tidak lebih dari tetangga-tetangganya?"
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyadari apa yang
telah terjadi, ternyata telah menjadi semakin marah pula.
Tetapi latihan-latihan yang tekun telah membuatnya sadar
sepenuhnya, bahwa ia tidak dapat bertempur semata-mata
dengan perasaannya. Ia harus tetap mempergunakan
nalarnya untuk melawan pedang panjang lawannya.
Demikianlah, dihalaman itu telah terjadi dua arena
pertempuran. Mahisa Pukat dengan pisau belati rangkap
melawan seorang yang berpedang panjang, sementara
Mahisa Murti juga melawan pedang panjang dengan
canggah bertangkai panjang.
Sejenak kemudian, ternyata bahwa Mahisa Murti
memiliki kemampuan yang tangguh untuk mempermainkan
senjatanya itu. Dengan canggah bertangkai kayu gelugu itu
Mahisa Murti telah melawan senjata yang berputaran di
tangan seorang yang memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Namun ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murtipun
mampu mengimbangi kemampuan orang itu.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Pedang panjang ditangan orang yang menyamar diri antara
tetangga-tetangganya, seolah-olah ia tidak lebih dari
seorang petani kebanyakan itu, ternyata sangat berbahaya.
(Ebook Novel, Teenlit) http://www.zheraf.net/
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 003 PEDANG itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Namun kemudian mematuk dengan cepat mengarah
jantung lawannya. Tetapi Mahisa Murtipun mempunyai kemampuan untuk
bergerak cepat. Canggahnya berputar pula seperti balingbaling.
Dalam benturan senjata, Mahisa Murti berusaha
untuk tidak dengan langsung membenturkan tangkai
canggahnya. Ia masih menjajagi kemampuan kayu gelugu
yang meskipun sudah cukup tua dan kering, namun sudah
terlalu lama tidak disentuh tangan. Dengan tangkas, Mahisa
Murti selalu mengelakkan serangan lawannya dan
menangkisnya kesamping. Namun akhirnya iapun semakin percaya kepada
kemampuan kayu gelugu, tangkai canggahnya yang
berwarna ke hitam-hitaman itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Murtipun menjadi
semakin berani. Sekali-kali ia menangkis serangan
lawannya dengan menyilangkan tangkai canggahnya.
Lawannya menjadi semakin marah menghadapinya.
Semakin lama semakin nyata pada lawannya itu, bahwa
kemampuan Mahisa Murtipun tidak akan dengan m udah
dapat diatasinya. Karena itu, maka lawan Mahisa Murti itu telah berusaha
dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menekan lawannya. Ilmu pedangnya yang dahsyat itupun
kemudian telah sampai kepuncaknya. Kecepatannya
bergerak ternyata tidak lagi dapat di nilai oleh tetanggatetangganya.
Yang dilihat oleh tetangga-tetanganya itu
adalah bayangan yang meloncat berputaran dan kilatankilatan
cahaya yang memantul didaun pedang yang
berputaran. Namun setiap kali, cahaya yang memantul dan putaran
pedang itu telah membentur putaran tangkai canggah yang
kehitam-hitaman, yang seolah-olah telah berubah menjadi
sebuah perisai yang besar melindungi tubuh Mahisa Murti.
Di arena yang lain, Mahisa Pukat menjadi semakin yakin
akan dapat mengalahkan lawannya. Karena itu ia justru
menjadi semakin berhati-hati. Jika ia membuat satu langkah
yang salah, mungkin keadaannya akan segera berubah.
Sepasang pisau belatinya meskipun jauh lebih pendek
dari pedang lawannya, namun mampu bergerak lebih cepat.
Kadang-kadang justru berbahaya sekali, melampaui senjata
panjang itu sendiri. Dengan sebilah pisau belati Mahisa
Pukat menangkis pedang lawannya kesamping. Namun
pada saat yang bersamaan ia meloncat maju sambil
menyerang dengan pisau belatinya yang lain.
Namun ternyata bahwa lawannya yang semakin terdesak
itu, tidak membiarkan pada suatu saat dirinya akan menjadi
sasaran goresan pisau Mahisa Pukat. Bahkan gejolak
kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk berbuat
lebih jauh lagi dari sekedar mempergunakan ilmu
pedangnya. Karena itu, ketika ia menjadi semakin terdesak, sebelum
kulitnya terluka oleh senjata lawannya, maka iapun
bertekad untuk mempergunakan njatanya yang paling
berbahaya. Senjata yang jarang sekali dipergunakannya.
Pada saat kesempatan, maka lawan Mahisa Pukat itu
telah meloncat mundur mengambil jarak. Dengan cepat, ia
telah mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya
yang lebar. Mahisa Pukat terkejut melihat sikap lawannya. Karena
itu, maka iapun segera mengerti, apa yang akan dilakukan.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat itu justru meloncat surut.
Ketika ia melihat tangan lawannya bergerak dan
melontarkan sesuatu, maka Mahisa Pukatpun dengan hati
yang berdebar-debar telah meloncat pula menghindarinya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat melepaskan tatapan
matanya pada tangan lawannya. Sekali lagi ia melihat
tangan lawannya mengambil sesuatu. Dan sekali lagi


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan itu terayun dengan derasnya.
Sekali lagi Mahisa Pukat harus melenting menghindari
sebuah paser kecil yang menyambarnya.
"Gila" geram Mahisa Pukat" kau pergunakan senjatasenjata
racun itu?" "Kau akan mati" sahut orang itu "tidak ada orang yang
mampu mengobati ketajaman racun yang terlontar lantaran
paser-paser kecilku"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi sekali lagi dan
sekali lagi ia harus berloncatan, la tidak mengabaikan katakata
lawannya bahwa paser itu telah direncam pada racun
yang sangat tajam, sehingga sentuhan ujungnya akan dapat
mengakhiri pengembaraannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murtipun melihat apa yang telah
terjadi. Karena itu, maka hatinyapun menjadi terguncang
pula. Senjata itu akan benar-benar berbahaya bagi
keselamatan jiwa saudaranya. Karena itu, maka ia ingin
memanfaatkan kelebihannya dari Mahisa Pukat. Ia
memiliki senjata panjang yang justru melampaui panjang
senjata lawannya. Karena itu, maka iapun telah berkata
kepada diri sendiri "Aku harus mampu mempergunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya"
Karena itulah, maka Mahisa Murtipun kemudian telah
menghentakkan kemampuannya. Ia tidak lagi dapat
bertempur dengan batas imbangan pada kemampuan
lawannya, karena ia melihat Mahisa Pukat yang mendesak
lawannya. Tetapi dalam keadaan yang gawat itu, ia harus
berbuat lebih banyak untuk mempercepat pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murtipun telah
mengerahkan kemampuannya pula. Ia yang sehari-hari
dianggap sebagai seorang petani biasa seperti juga tetanggatetanganya,
ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Murti. Dengan
kemampuan yang mengagumkan, iapun telah memutar
senjatanya. Canggah itu benar-benar merupakan senjata
yang sangat berbahaya bagi lawannya. Apalagi ternyata
bahwa tangkai canggah itu lebih panjang dari pedang
panjang lawannya. Karena itu, maka ketika Mahisa Murti benar-benar
menghentakkan kemampuannya, maka iapun mulai
berhasil mendesak lawannya. Tetapi lawannyapun
mempunyai perhitungan yang cerdik. Ia tidak melawan
Mahisa Murti dengan benturan ilmu yang sehenarnya.
Tetapi ia lebih banyak mengelak dan menghindar. Lawan
Mahisa Murti itu mampu juga mengurai keadaan. Ia
mengikat Mahisa Murti dalam pertempuran, sementara
kawannya berusaha untuk membinasakan Mahisa Pukat
dengan senjata-senjata racunnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan lawannya
memperpanjang waktu. Ia dengan cepat dan tangkas, selalu
memburunya. Canggahnya yang berputaran, sekali-kali
mematuk dengan dahsyatnya. Meskipun canggah itu tidak
lagi tajam berkilat-kilat karena karat yang kecoklatcoklatan,
namun jika Mahisa Murti berhasil mematuk leher
lawannya dengan canggah itu, maka ia akan dapat
mengakhiri pertempuran itu.
Dengan pedang panjangnya, lawan Mahisa Murti itu
masih mampu melindungi dirinya dan berusaha
memperpanjang waktu dengan loncatan-loncatan panjang
menghindari benturan ilmu yang langsung.
Sementara itu, Mahisa Pukat benar-benar dalam keadaan
gawat. Setiap kali ia harus berloncatan menghindari
serangan senjata senjata lembut dari lawannya, namun yang
mengandung racun yang sangat tajam.
Mahisa Pukat sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk menyerang dengan pisau-pisaunya yang pendek.
Sehingga dengan demikian, maka ia lebih banyak menjadi
sasaran serangan lawan dari sebuah perkelahian yang
tanggon. Untuk beberapa saat, Mahisa Pukat masih tetap dapat
mengelakkan dirinya. Serangan-serangan paser lawannya,
masih selalu dapat dihindarinya. Namun demikian, keringat
Mahisa Pukat telah membasahi seluruh tubuhnya.
Tenaganyapun menjadi semakin susut, karena ia harus
mengerahkan kemampuannya untuk menghindarkan diri
dari serangan-serangan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap mendesak
lawannya dengan canggahnya. Tetapi ia tidak dapat segera
menggakhiri pertempuran itu. Dengan cerdik lawannya
selalu menghindar, meloncat menjauhinya sambil
melindungi dirinya dengan pedangnya.
Tetapi kemarahan Mahisa Murti kemudian bagaikan
badai yang melanda hutan, ilalang. Serangan senjata
panjangnya yang terayun-ayun, berputar dan mematuk,
membuat lawannya bukan saja dengan sengaja meloncat
menjauhinya untuk memperpanjang waktu, namun
akhirnya lawannya benar-benar tidak mempunyai
kesempatan lain kecuali menghindar dan menjauhi amukan
kemarahan Mahisa Murti. Dalam tekanan yang semakin berat, lawannya telah
bergeser berputaran. Namun halaman yang luas itu serasa
menjadi semakin sempit. Meskipun orang-orang padukuhan
itu yang semula melingkari arena, kemudian berpencar
semakin jauh, namun rasa-rasanya lawan Mahisa Murti itu
tidak lagi mempunyai tempat untuk mengelakkan senjata
lawannya. Setiap saat, terasa angin putaran dan ayunan canggah
Mahisa Murti menyambar kulit lawannya. Bahkan dalam
serangan yang cepat mendatar, pedang lawannya terlambat
menangkis serangannya, sehingga canggah yang karatan itu
telah tergores pada kulit lawan Mahisa Murti itu.
Terasa betapa pedihnya. Darah mulai mengalir dari luka.
Sementara itu, Mahisa Murti masih saja menyerangnya
beruntun tanpa memberinya kesempatan.
Tetapi luka itu tidak mematahkan perlawanannya.
Lawan Mahisa Murti itu masih mampu berloncatan,
mengelak dan menangkis. Sementara itu, ia mengharap
kawannya akan segera menyelesaikan pertempurannya
dengan melumpuhkan anak muda yang seorang lagi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap
melawannya meskipun terasa kemampuan tenaganya
menjadi susut. Yang dapat dilakukan kemudian benar-benar
hanya sekedar mengelak sambil menunggu perkembangan
pertempuran antara Mahisa Murti dan lawartnya yang
semula hanya dikenal sebagai seorang petani biasa itu. Atau
menunggu sampai paser-paser beracun itu habis sama
sekali. Tetapi agaknya jumlah paser-paser itu cukup banyak
tersimpan di kantong ikat pinggang lawan Mahisa Pukat
itu. Satu-satu paser itu di lontarkan. Semakin lama semakin
cepat. Sementara itu Mahisa Pukat harus memperhatikan
tangan lawannya baik-baik.
Dalam keadaan yang semakin sulit, Mahisa Pukat tidak
dapat menunggu. Meskipun ia menyadari, bahwa Mahisa
Murti berhasil mendesak-lawannya. tetapi ia tidak tahu
pasti, kapan Mahisa Murti berhasil menguasai lawannya
sepenuhnya. Sementara itu senjata lawannya
menyambarnya tanpa henti-hentinya.
Karena itu, Mahisa Pukatpun akhirnya harus mencari
pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukannya,
dalam pertempuran berjarak panjang itu.
Sementara itu, orang-orang yang memperhatikan
pertempuran itupun menjadi semakin berdebar-debar.
Meskipun mereka tidak tahu pastai apa yang terjadi, tetapi
mereka melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Pukat.
Namun justru karena lontaran-lontaran paser itu, maka
orang-orang yang mengitari halaman itupun telah menyibak
untuk menghindari agar paser-paser itu tidak justru tersesat
mengenai mereka. Demikianlah, maka pertempuran di halaman itupun
menjadi semakin menegangkan. Mahisa Pukat yang
berloncatan menghindari serangan paser-paser lawannya
akhirnya harus mengambil satu keputusan untuk
melakukan sesuatu yang menentukan.
Namun untuk beberapa saat Mahisa Pukat masih harus
menghindari paser-paser kecil itu. Ia melihat lawannya
menjadi semakin garang, sementara pedangnya telah
berpindah di tangan kirinya.
"Aku harus bertindak sekarang" berkata Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukatpun telah
mengerahkaan segenap kemampuannya. Meskipun terasa
tenaganya sudah susut, tetapi ia harus bertindak cepat
melampaui kecepatan tanggapan lawannya atas sikapnya
itu. Demikianlah ketika ia meloncat menghindari serangan
lawannya, maka iapun telah mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Demikian kakinya berjejak diatas tanah, maka
iapun telah mengayunkan tangannya dengan sisa kekuatan
yang ada padanya. Ternyata Mahisa Pukat telah menentukan satu pilihan.
Ia telah melemparkan senjata ditangannya, meskipun ia
sadar, bahwa jika ia gagal, maka hal itu akan sangat
berbahaya baginya. Pedang panjang lawannya akan dengan
mudah mematuknya justru karena ilmu pedang lawannya
cukup baik. sementara tenaganya sudah mulai susut.
Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Namun ia masih
berusaha mengelak. Paser yang sudah ditangannya tidak
sempat dilontarkannya, karena ia harus meloncat
menghindari sambaran pisau belati Mahisa Pukat.
Ternyata orang itu berhasil. Pisau belati Mahisa Pukat
meluncur setebal daun di samping kening lawannya.
Namun segalanya telah diperhitungkan oleh Mahisa
Pukat. Dalam keadaan yang demikian, kedudukan
lawannya tentu menjadi lemah. Ia masih dalam sikap
mengelak, ketika pisau yang sebuah lagi telah meluncur
menyusul pisau yang pertama. Demikian cepatnya,
melampaui kecepatan anak panah yang terlontar dari
busurnya. Serangan itu sama sikali tidak terduga. Lawan Mahisa
Pukat tidak mengira bahwa pisau yang sebuah lagi itupun
telah dilontarkannya. Karena dengan demikian Mahisa
Pukat tidak bersenjata sama sekali.
Tetapi dalam pada itu, perhitungan Mahisa Pukat itu
tidak meleset. Orang itu tidak sempat lagi mengelakkan diri
dari sambaran pisau yang kedua yang dilontarkan dengan
sepenuh sisa kemampuan yang masih ada.
Ternyata pisau itu benar-benar berakibat gawat bagi
lawannya. Pada saat terakhir, lawannya masih berusaha
untuk beringsut dan bahkan berusaha mempergunakan
pedangnya. Tetapi ia tidak berhasil. Pisau itu tidak terlepas
dari sasarannya meskipun tidak satajam bidikannya, karena
usaha lawannya untuk mengelak.
Tetapi pisau itupun kemudian menghunjam di dada
orang bersenjata pedang dan paser itu, meskipun tidak tepat
di arah jantungnya sebagaimana dibidik oleh Mahisa Pukat.
Meskipun demikian, namun pisau itu telah menentukan
akhir dari pertempuran itu.
Perasaan sakit dan pedih yang sangat telah menyengat
dada lawan Mahisa Pukat itu. Ia masih mencoba untuk
mengangkat tangannya melontarkan sisa pasernya. Tetapi
urat-uratnya yang terpotong oleh pisau Mahisa Pukat di
dadanya telah menghambat gerak tangan orang itu.
Bahkan kemudian, terhuyung-huyung ia bergeser surut.
Mahisa Pukatpun kemudian berdiri tegak
memandanginya. Ia masih melihat pedang ditangan kiri
orang itu berpindah ke tangan kanannya. Tetapi tangan itu
sudah tidak berdaya. Sejenak kemudian orang itu mulai terhuyung-huyung.
Pisau itu menghunjam terlalu dalam di dadanya, oleh
dorongan kekuatan Mahisa Pukat yang tersisa.
Ketika orang itu mengumpat, maka kedua kakinya tidak
lagi mampu bertahan. Sehingga akhirnya, orang itupun
tidak mampu lagi bertahan. Ia telah kehilangan
keseimbangan, sehingga akhirnya iapun jatuh pada
lututnya. Dengan tangannya yang lemah ia berusaha untuk
menarik pisau itu dari dadanya. Tetapi ia tidak lagi
mempunyai kemampuan melakukannya. Bahkan kemudian
kedua tangannyapun telah menyangga berat badannya
untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya iapun jatuh terguling.
Darahnya mengalir disela-sela lukanya yang masih
tersumbat oleh pisau belati Mahisa Pukat.
Perlahan-lahan Mahisa Pukat melangkah mendekatinya.
Ketika ia berdiri disebelah orang yang terbujur di tanah.
orang itu sama sekali sudah tidak mampu bergerak lagi.
Dalam pada itu, lawan Mahisa Murtipun tidak dapat
mengelakkan diri dari pengaruh keadaan itu Apalagi ia
sudah mulai terluka. Agaknya ia memang tidak akan
mampu mengimbangi kemampuan anak muda yang
seorang itu lagi, setelah yang lain melumpuhkan orang yang
selama ini disebut sebagai tamunya dan yang telah berbaik
hati memberikan beberapa petunjuk untuk melawan Hantu
Jurang Growong dengan mempergunakan supit yang
terbuat dari pering cendana beruas sangat panjang yang turn
buh di hutan perdu. Tetapi ia tidak mempunyai satu pilihanpun untuk
menyelamatkan diri. la melihat beberapa orang bergeser
menutup kepungan di seputar arena. Bahkan Ki Jagabaya
pun nampaknya telah menentukan satu sikap kepadanya, la
tidak dapat lagi mengelabui tetangga kebanyakan. Sehingga
akhirnya, iapun tidak akan lebih lama lagi bersembunyi di
baalik kebohongannya. Namun bagaimanapun juga, ia masih tetap bertempur
melawan Mahisa Murti yang bersenjata canggah bertangkai
panjang. Sementara itu terdengar Mahisa Murti berkata
"Saudaraku telah mengakhiri pertempuran. Bagaimana
dengan kau?" Orang yang semula disangka tidak lebih dari petani biasa
diantara tetangga-tetangganya itu mengumpat. Ia memang
tidak mempunyai pilihan. Namun ia sama sekali tidak ingin


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerah. Dengan demikian, maka ia akan menjadi
pengewan-ewan. Ia tahu, apa yang pernah dilakukan oleh
orang-orang padukuhan yang sudah terpengaruh oleh orang
yang disebut tamu itu, sehingga apa yang mereka lakukan
terhadap mereka yang sedang diperiksa, benar-benar telah
kehilangan paugeran. "Aku tidak mau diperlakukan seperti itu" berkata lawan
Mahisa Murti itu didalam hatinya. Namun demikian ia
tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia memang
tidak akan dapat berbuat banyak terhadap lawannya yang
masih muda itu. Ujung canggah lawannya yang karatan itu
telah menyayat kulitnya. Bahkan tidak hanya sekali, tetapi
telah terjadi sentuhan berikutnya pula.
Sementara orang itu masih berusaha mempertahankan
diri, maka iapun berusaha untuk melihat kemungkinan lain
yang dapat dilakukan. Ketika ia melihat kelemahan pada
lingkaran di halaman itu, maka tiba-tiba saja timbul niatnya
untuk melarikan diri. Dengan cerdik orang itu bergeser surut. Mahisa Murti
yang mendesaknya sama sekali tidak mengetahui rencana
orang itu dengan pasti. Ia merasa bahwa orang itu terdesak
oleh serangan-serangannya yang semakin deras.
Namun, tiba-tiba justru pada saat yang paling baik
menurut perhitungan lawan Mahisa Murti itu, orang itu
menghentakkan kemampuannya. Dengan sisa tenaganya,
orang itu justru berusaha menyusup di sela-sela putaran
canggah Mahisa Murti. Mahisa Murti terkejut. Ketika canggahnya terdorong
menyamping, tiba-tiba saja ia melihat lawannya meloncat
maju sambil menjulurkan pedangnya. Demikian cepatnya,
sehingga Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengelak sambil bergeser mundur.
Ternyata saat itulah yang ditunggu oleh lawan Mahisa
Murti. Ketika Mahisa Murti bergeser mundur, orang itu
sama sekali tidak memburunya. Bahkan dengan serta merta,
iapun telah meloncat pula meninggalkan arena.
Dengan pedang yang berputaran ia menerobos orangorang
yang berada di halaman itu. Dengan garangnya ia
berteriak menggetarkan setiap jantung, sehingga dengan
demikian, maka orang-orang yang berada didalam
lingkaran di seputar arena itupun menyibak.
Tidak seorangpun yang berani menahannya. Mereka
telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh orang yang
sehari-hari mereka sangka tidak lebih dari mereka sendiri.
Tetapi yang ternyata telah menunjukkan kemampuan yang
mengagumkan. Karena itu, maka orang itu tidak mengalami kesulitan
untuk menemhus kepungan yang semula menjadi semakin
rapat. Namun yang ternyata tidak dapat menahan orang
yang menembus dengan pedang berputaran itu.
Tetapi ternyata adalah diluar dugaan orang yang merasa
dirinya telah berhasil mematahkan kepungan itu. Ketika
orang itu benar-benar keluar dari kepungan, ternyata Ki
Jagabaya dan pembantunya yang bertubuh raksasa itu telah
siap menunggunya. "Gila" geram orang itu.
Tetapi Ki Jagabaya tidak bergeser. Ia justru
mengacungkan pedangnya, sebagaimana dilakukan oleh
pembantunya. Namun, ternyata kemampuan Ki Jagabaya tidak dapat
mengimbangi kemampuan orang itu. Bahkan hampir tidak
berarti sama sekali. Dengan sekali tebas, pedang pembantu
Ki Jagabaya itu telah terpental. Kemudian ketika Ki
Jagabaya menusuk lambung orang itu, maka orang itu
sempat mengelak. Putaran pedangnya yang cepat, justru
telah melukai pundak Ki Jagabaya sehingga Ki Jagabaya
terdorong surut, sementara pedangnya terlepas dari
tangannya. Untunglah bahwa orang yang melukainya itu tergesagesa.
Karena itu, orang itupun tidak sempat menusukkan
pedangnya langsung kedada Ki Jagabaya dan
pembantunya. Sekejap kemudian, orang itu telah meloncat pula untuk
menghindarkan diri dari kejaran Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti sengaja tidak mengejarnya. Karena
pada saat-saat yang gawat itu, Mahisa Pukat telah dengan
cepat mengambil sikap. Ia telah mengambil pedang
lawannya yang tidak berdaya lagi. Waktu yang sesaat, yang
telah dipergunakan oleh lawan Mahisa Murti melukai Ki
Jagabaya dan pembantunya, telah dapat dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Mahisa Pukat.
Karena itu, orang yang melarikan diri itupun terkejut
bukan buatan, ketika ia sadar, bahwa Mahisa Pukat dengan
pedang ditangan, telah berdiri ditengah-tengah pintu regol.
Namun orang itu ternyata tidak berhenti. Sambil
mengacungkan pedangnya ia berlari seakan-akan ingin
menembus pintu yang telah dijaga oleh Mahisa Pukat itu.
Sementara itu Mahisa Murtipun telab berlari-lari pula
mengikuti orang itu. Mahisa Pukat mengerti apa yang sedang dihadapinya.
Orang itu tentu orang yang telah kehilangan nalarnya.
Orang itu telah berbuat diluar perhitungan karena putus
asa. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak akan
menghadapinya sebagaimana ia menghadapi lawan yang
tanggon. Karena itulah, maka orang-orang yang menyaksikannya
terkejut ketika Mahisa Pukatpun kemudian telah meloncat
menepi ketika orang itu menjadi semakin dekat sambil
mengacu-acukan pedangnya, seolah-olah Mahisa Pukatpun
menjadi ngeri seperti orang-orang lain yang menyibakkan
kepungan. Ternyata orang yang ingin melarikan diri itu tidak
sempat berpikir lagi. Ia hanya melihat Mahisa Pukat
meloncat menepi. Karena itu, maka ia merasa jalannya
telah terbuka. Tanpa menghiraukan kemungkinankemungkinan
lain, orang itu berlari sambil menyiapkan
pedangnya, menangkis jika Mahisa Pukat menyerang pada
saat ia melintas. Dengan demikian, maka yang diperhatikan
oleh orang itu hanyalah tangan Mahisa Pukat yang
menggenggam pedang. Tetapi Mahisa Pukat justru telah menundukkan
pedangnya. Ia sama sekali tidak akan mempergunakan
senjata yang diambilnya setelah terlepas dari tangan
pemiliknya itu. Namun dalam pada itu, yang tidak terduga sama sekali
adalah bahwa Mahisa Pukat ingin menangkap orang itu
hidup-hidup. Ia ingin mendapat sumber untuk memberikan
penjelasan dengan orang-orang yang disebut Hantu Jurang
Growong. Apakah mereka memang ada, atau sekedar
rekaan orang itu untuk membuat padukuhan dan
Kabuyutan itu gelisah, sehingga orang itu dan kawannya
yang dengan senjata teiah menimbulkan keresahan itu
dapat mengambil keuntungan karenanya.
Karena itu, ketika orang itu berlari di depannya, Mahisa
Pukat tidak menyerangnya dengan senjatanya, sementara
orang yang herlari itu sudah siap melindungi dirinya
dengan pedangnya. Tetapi diluar dugaan orang itu, Mahisa Pukat justru telah
mengait kaki orang itu. Mahisa Pukat berharap bahwa
orang itu akan terjatuh sehingga ia akan dapat
menangkapnya hidup-hidup. Tetapi jika ia menyerang
dengan pedangnya, mungkin akibatnya akan lain.
Sebenarnyalah, ketika kaki orang itu terantuk kaki
Mahisa Pukat, maka bagaikan dihentakkan oleh kekuatan
larinya, orang itu telah terpelanting jatuh. Namun yang
tidak diduga oleh Mahisa Pukat, bahwa pedang orang itu
telah terlepas dari tangannya dan adalah sangat
mengejutkan, bahwa tajam pedang itu ternyata
menelentang ketika orang yang berlari itu jatuh
menimpanya. Yang terdengar adalah sebuah jerit yang panjang orang
itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi darah yang
bagaikan memancar dari dadanya yang luka dengan
goresan memanjang itu, telah membuatnya
kehilangankekuatan sama sekali. Demikian ia tegak berdiri,
Tanah Warisan 6 Siluman Ular Putih 19 Tapak Merah Darah Sumpah Palapa 13
^