Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 5

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 5


menjadi kawan berlatih dari murid-muridku dan aku
sendiri" Pernyataan Empu Nawamula yang terakhir itulah yang
lebih menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian mereka akan mengenal satu cabang
perguruan lain dari yang pernah mereka kenal. Apalagi
karena mereka telah mendapat tuntunan, baik dari Mahisa
Agni maupun dari ayah mereka Mahendra dan Witantra,
bagaimana mereka harus memperbandingkan ilmu.
Merekapun telah berhasil meluluhkan unsur-unsur yang ada
didalam cabang ilmu Witantra dan ayah mereka Mahendra,
sementara mereka menyadap ilmu dari Mahisa Agni.
Bahkan sampai pada ilmu puncak yang berbedapun dapat
pula mereka kuasai dengan imbangan yang mapan dan
seolah-olah tidak ada persoalan yang harus dipecahkan
didalam penguasaannya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar telah tertarik untuk tinggal lebih lama
lagi. Pada hari-hari berikutnya, mereka justru hampir
melupakan kemanakan Empu Nawamula yang semula
mereka anggap akan dapat menimbulkan persoalan jika ia
datang. Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menempatkan diri mereka sebagaimana para cantrik
sehingga seandainya kemanakan Empu Nawamula itu
benar-benar datang, ia tidak akan menghiraukan kedua
anak muda itu lagi, sebagaimana ia tidak menghiraukan
para cantrik yang lain. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk
berlatih dengan ketiga orang pembantu Empu Nawamula.
Ternyata bahwa ketiga orang itupun memiliki ilmu yang
tinggi meskipun dengan rendah hati Empu Nawamula
mengatakan, bahwa ilmu mereka jauh berada dibawah
tataran ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi yang
paling menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
adalah kesempatan yang diberikan oleh Empu Nawamula
kepada kedua orang anak muda itu untuk berlatih langsung
bersamanya. Dalam beberapa hal, terasa oleh kedua orang anak muda
itu, bahwa sebenarnyalah Empu Nawamula berniat baik
terhadap mereka. Ternyata bahwa Empu Nawamula bukan
sekedar berlatih bersama, tetapi dalam beberapa hal Empu
Nawamula telah memperkenalkan mereka dengan unsurunsur
baru yang dapat mengisi kekurangan mereka.
"Anak-anak" berkata Empu Nawamula pada saat
mereka berada di sanggar kemudaan "kalian telah
memberikan gairah kepadaku untuk bekerja lebih keras.
Namun lebih dari itu, kalian berdua memang sangat
menarik perhatianku lebih dari murid-muridku sendiri.
Mereka telah lewat usia dewasanya. Karena itu, maka rasarasanya
peningkatan ilmu mereka tidak akan dapat bergerak
secepat kalian yang sedang tumbuh. Karena itu.
sebenarnyalah, aku ingin menitipkan sesuatu kepada kalian,
agar apa yang sudah aku dapat selama ini tidak begitu saja
dilupakan orang. Meskipun aku tahu, bahwa
kemampuanku tidak akan melampaui ayahmu Mahendra
yang perkasa itu, namun dengan meniupkan unsur-unsur
yang ada didalam jalur ilmuku, maka serba sedikit bagianbagian
yang dapat kau pergunakan itu akan tetap hidup
bersama ilmu yang telah kau kuasai lebih dahulu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya. Apalagi ketika Empu Nawamula mengatakan
"Anak-anak muda, sebenarnya kemampuan daya serap
murid-muridku tidak setajam kalian berdua. Karena itu,
bagaimanapun aku berbuat bagi mereka, namun tingkat
ilmu mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan
kalian berdua" "Tetapi mereka juga berilmu tinggi" berkata Mahisa
Pukat. "Tetapi mereka sudah terlalu sulit untuk maju dengan
cepat" berkata Empu Nawamula "meskipun aku tidak
pernah berputus-asa. Aku tetap meningkatkan kemampuan
mereka sesuai dengan kemampuanku sendiri. Namun yang
aku cemaskan, bahwa sebelum aku selesai, maka
kesempatanku telah patah, karena aku sadar, bahwa umur
manusia itu tetap terbatas"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mereka melihat kecemasan seorang guru yang
kurang puas terhadap kerjanya sendiri atas muridmuridnya.
Sehingga dengan demikian maka dengan tidak
langsung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
diterima menjadi murid Empu Nawamula itu pula.
Meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu itu, bahwa
ilmunya memang tidak melampaui Mahendra, Witantra
dan Mahisa Agni, namun ada beberapa hal yang dapat
mengisi bagian-bagian dari ilmu yang sudah dikuasai oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sehingga dengan
demikian, maka kedua anak muda itupun merasa sangat
berterima kasih kepada Empu Nawamula yang merasa
hidupnya sangat sepi disaat saat tertentu.
Namun dalam pada itu, padepokan itu sendiri sama
sekali tidak mengalami perubahan suasana. Tenang dan
terasa sejuk. Sementara itu. Empu Nawamula sendiri, merasa sangat
berbahagia bertemu dengan anak-anak muda yang sangat
menarik baginya. Sikapnya dan tingkah lakunya. Dengan
menilik sikap dan tingkah laku, maka Empu Nawamula
dapat membaca sifat dan watak anak-anak muda itu.
Dalam pada itu. akhirnya Empu Nawamula telah
menumpahkan segala macam ilmunya kepada kedua anak
muda itu. Seperti yang diduganya, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ternyata lebih cepat menangkap dan
menyadap ilmunya daripada ketiga murid Empu itu sendiri
Meskipun demikian, seperti yang dikatakannya. Empu
Nawamula tidak jemu-jemunya berusaha untuk
meningkatkan ilmu ketiga orang muridnya yang telah
sekaligus menjadi pembantunya. Tetapi yang dicapai oleh
murid-muridnya itu tidak sejauh yang dapat dicapai oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun ketiga orang murid Empu itu sama sekali tidak
menjadi sakit hati ketika Empu Nawamula berterus terang
kepada mereka. Dengan hati-hati Empu itu berkata "Bukan
maksudku mengkesampingkan kalian setelah kedua orang
anak muda itu hadir di padepokan ini. Tetapi aku ingin
segera mewariskan ilmuku sampai tuntas. Jika terjadi
sesuatu dengan aku kemudian, maka aku tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Yang aku wariskan adalah utuh
seperti yang aku miliki. Aku yakin bahwa dengan demikian
maka ilmu yang aku turunkan nilainya tidak akan susut,
justru akan semakin meningkat. Aku akan sangat
bergembira jika kalian dapat menyelesaikan usaha kalian
untuk menyadap ilmuku dengan baik. Tetapi seandainya
sebelum kalian selesai, aku tidak lagi dapat menuntunmu
karena sesuatu hal, maka aku berharap bahwa anak-anak
muda ini akan dapat membantumu. Aku akan memberikan
petunjuk kepadamu, dima-na kalian harus mencarinya,
karena ayahnya adalah sahabatku yang baik"
Ketiga orang murid Empu Nawamula itu menganggukangguk.
Namun mereka merasa, bahwa mereka seolah-olah
sudah sampai pada puncak kemampuan mereka untuk
menyadap tingkat ilmu yang lebih tinggi, sehingga
kemajuan merekapun serasa sangat lambat. Agak berbeda
dengan anak-anak muda yang sudah berbekal ilmu itu.
Mereka seolah-olah dapat menyerap dengan cepat dan
kemudian menguasainya. Namun dengan demikian ternyata bahwa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak dapat segera meninggalkan
padepokan itu. Dua pekan telah lewat. Tiga pekan, empat
pekan, bahkan dua bulan telah lampau. Keduanya tetap
berada di padepokan itu untuk menerima tuntunan ilmu
dari Empu Nawamula. Dengan ilmu itu kedua anak muda
itu dapat melengkapi ilmunya sehingga keduanya seolaholah
telah menjadi semakin meningkat. Pengalaman
mereka dalam kanuragan menjadi semakin banyak sehingga
dengan demikian maka keduanyapun mampu
mengembangkan dasar ilmu yang mereka terima dari
Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra.
Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
seolah-olah telah tenggelam didalam kesibukan di
padepokan itu. Namun demikian, kegiatan yang
dilakukannya itu masih saja selalu tersembunyi dari
pengamatan para cantrik kebanyakan. Hanya tiga orang
pembantu Empu Nawamula itulah yang tahu, siapa
sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun kedua anak muda itu dalam kehidupan
mereka sehari-hari berada diantara para cantrik, namun
ternyata bahwa mereka berada dalam satu tataran yang jauh
berbeda. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
tetap berbaur dengan mereka. Jika para cantrik itu
menerima tuntunan kanuragan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun ikut pula berlatih bersama mereka.
Keduanya berusaha untuk dapat menunjukkan kemampuan
yang sama dengan tataran para cantrik itu. Bagaimanapun
juga, ketiga orang pembantu Empu Nawamula itu kadangkadang
merasa segan pula bahwa diantara para cantrik yang
harus dibimbingnya itu terdapat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang sebenarnya memiliki kemampuan melampaui
mereka sendiri. Dalam usaha mewariskan ilmunya. Empu Nawamula
telah bekerja dengan keras di malam hari. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun rasa-rasanya telah dibebani satu
kewajiban untuk menerima uluran ilmu yang sangat berarti
bagi mereka. Karena itu, maka merekapun telah bekerja
sangat keras untuk dapat menanggapi keinginan Empu
Nawamula dan harapan bagi mereka berdua itu sendiri.
Namun bagaimanapun juga. Empu Nawamula akhirnya
merasa puas dengan Usahanya. Sebagian besar ilmunya
telah berhasil diwariskan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Empu Nawamula sadar, bahwa dengan demikian
ilmunya tidak akan dapat dipisah-pisahkan secara murni
lagi pada kedua anak muda itu. Tetapi Empu Nawamula
tidak menyesal. Apalagi setelah lebih dari dua bulan ia
bergaul dengan kedua orang anak muda yang mempunyai
sifat yang yang menarik baginya.
Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu, Empu
Nawamula masih saja digelisahkan oleh sifat dan watak
kemenakannya. Pada suatu saat ia akan datang ke
padepokan itu. Biasanya anak itu tidak berjarak terlalu lama
telah datang untuk menengok padepokan yang kelak akan
dipimpinnya. Dengan berbagai pesan. Empu Nawamula
mempersiapkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar
kehadiran mereka tidak akan menimbulkan persoalan jika
kemenakannya itu datang. Kedua anak muda itu akan
menjadi seolah-olah cantrik kebanyakan diantara para
cantrik yane lain. Meskipun bagaimanapun juga, terasa juga perbedaan
diantara para cantrik yang lain dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dalam hubungan mereka dengan Empu
Nawamula. Namun hal ini diterima dengan wajar ketika
Empu Nawamula memberitahukan kepada para cantrik,
bahwa perlu diadakan bimbingan khusus bagi kedua anak
muda yang datang kemudian itu oleh ketiga orang
pembantu Empu Nawamula agar kemampuannya dalam
olah kanuragan dapat segera menyusul dan kemudian
meningkat bersama-sama dengan para cantrik yang lain.
Namun dalam pada itu, setelah untuk waktu yang lebih
lama dari kebiasaannya, kemanakan Empu Nawamula itu
tidak datang ke padepokan, maka pada suatu hari, tiba-tiba
saja ia telah muncul di regol halaman bersama dengan dua
orang saudara seperguruannya.
Kedatangannya disambut oleh para cantrik dengan
penuh hormat. Namun bukan karena mereka merasa
bersenang hati atas kehadiran anak muda itu, tetapi sematamata
karena para cantrik menjadi ketakutan oleh
kehadirannya seperti setiap kali ia kembali.
"Hati-hatilah dengan anak muda itu" pesan seorang
cantrik kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat" putera
pemimpin padepokan ini yang telah meninggal setahun
yang lalu, adalah seorang anak muda yang keras hati dan
lebih dari itu, ia mempunyai kebiasaan yang kurang kami
senangi" "Kebiasaan apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Tangannya terlalu ringan. Ia sering memukul kawankawan
kami yang membuat kesalahan yang barangkali
tidak berarti apa-apa" jawab cantrik itu.
"Tetapi pada saatnya ia akan memimpin padepokan ini"
berkata Mahisa Pukat. "Itulah yang kami takuti. Dibawah pimpinan Empu
Nawamula padepokan ini terasa tenang dan sejuk" jawab
cantrik itu "tetapi pada suatu saat padepokan ini tentu akan
menjadi neraka" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Menurut ceritera para cantrik dan Empu Nawamula sendiri,
maka keduanya sudah dapat membayangkan, sifat dan
tabiat anak muda kemanakan Empu Nawamula itu.
Dari hari pertama anak muda itu tidak berbuat apa-apa.
Ia hanya berbincang saja dengan Empu Nawamula di
pendapa. Sementara itu anak muda itu justru kelihatan
ramah terhadap beberapa orang cantrik, bahwa mencoba
bergurau pula dengan mereka.
"Nampaknya ia baik" berkata Mahisa Murti kepada
seorang cantrik. "Kadang-kadang ia memang suka bergurau" jawab
cantrik itu "tetapi ia tidak dapat ditebak. Jika kami berusaha
untuk menanggapinya, kadang-kadang ia justru menjadi
marah dan tiba-tiba memukul kami. Justru di kepala
sehingga rasanya otak kami telah bergetar"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam pada itu Mahisa Murtipun berkata "Jika demikian,
lebih baik kami berdua tidak menampakkan diri saja"
"Itu lebih baik" jawab cantrik itu "tetapi jika secara
kebetulan hal itu terjadi?"
"Apa boleh buat. Mudah-mudahan kepalaku tidak
menjadi sasaran" desis Mahisa Pukat.
Dalam kegelisahan itu, ternyata salah seorang pembantu
Empu Nawamula itu dapat berceritera kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Katanya "Agak lama anak itu
tidak datang ke padepokan ini, agaknya ia sedang jatuh
cinta" "He" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya
berbareng "jatuh cinta"
"Ya. Justru karena itu ia tidak mau meninggalkan gadis
itu barang sehari" jawab pembantu Empu Nawamula itu.
"Tetapi akhirnya iapun meninggalkan gadis itu" berkata
Mahisa Murti. "Ya. Ternyata gadis itu telah pergi" jawab pembantu
Empu Nawamula itu. "Pergi" Kemana" Apakah gadis itu tidak mencintainya?"
bertanya Mahisa Pukat. "Agaknya demikian" jawab murid Empu Nawamula itu
"semalam aku mendengar ia berbicara tentang gadis itu
dengan guru. Katanya Gadis itu telah disembunyikan oleh
pamannya" "Disembunyikan?" ulang Mahisa Pukat.
"Ya. Selebihnya aku tidak jelas" jawab murid Empu
Nawamula itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu.
Namun mereka tidak dapat bertanya lebih lanjut,
karena rnurid Empu Nawamula itu tidak dapat
mendengarkan pembicaraan itu selanjutnya.
"Lain kali dalam satu kesempatan, guru tentu akan
menceriterakannya kepada kalian" berkata murid Empu
Nawamula itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, merekapun menjadi gelisah jika
pada suatu saat anak muda itu melihat mereka dan tertarik
justru karena anak muda itu belum pernah melihat mereka
sebelumnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk menyingkir dari kemenakan Empu
Nawamula itu. Apalagi ketika kemudian dihari-hari
berikutnya, keduanya melihat apa yang telah terjadi dan
apa yang telah dilakukan oleb anak muda itu.
Sebenarnyalah bahwa ia seorang anak muda yang ringan
tangan. Demikian mudahnya ia menjadi marah dan
menampar para cantrik yang ketakutan. Dalam pada itu,
seperti yang dikatakan oleh salah seorang murid dan
sekaligus pembantu Empu Nawamula, maka pada satu
kesempatan, Empu Nawamula telah berceritera kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang kemanakannya
itu. "Ia lebih senang menyebut dirinya Singatama daripada
namanya sendiri" berkata Empu Nawamula.
"Siapa namanya sebenarnya?" bertanya Mahisa Murti"
bukankah setiap kali Empu juga menyebut namanya
Singatama?" "Namanya yang sebenarnya bukan Singatama. Ayahnya
menyebutnya dengan nama yang diberikan disaat lahirnya.
Sembada" "Nama yang bagus" desis Mahisa Pukat.
"Tetapi ia tidak senang dengan nama itu. Karena itu, ia
sampai saat ini memakai nama pemberian gurunya,
Singatama" jawab Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Empu Nawamulapun berceritera tentang
kemanakannya itu, bahwa ia memang sedang jatuh cinta
seperti yang dikatakan oleh salah seorang muridnya.
"Bukankah hal yang wajar jika seorang anak muda
mencintai seorang gadis" berkata Mahisa Pukat.
"Memang wajar sekali ngger" jawab Empu Nawamula
"tetapi yang tidak wajar adalah, bahwa gadis itu tidak
mencintainya" "O" Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
"Ia mencoba minta nasehatku. apa yang sebaiknya
dilakukannya" berkata Empu Nawamula.
"Lalu apa yang Empu katakan kepadanya?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku berusaha untuk menenangkannya. Aku
menasehatinya, bahwa sebaiknya ia melupakan saja gadis
itu. Bukankah masa depan Singatama itu masih panjang,
sehingga pada suatu saat ia akan dapat bertemu dengan
gadis yang lain, yang akan dapat menanggapi perasaannya"
jawab Empu Nawamula. Kemudian katanya melanjutkan
"Tetapi anak itu salah paham. Ia menganggap bahwa aku
tidak berusaha membantunya disaat ia dalam kesulitan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Agaknya sifat anak muda itu benar-benar sulit
dikendalikan. Ia tidak pernah mendengarkan nasehat yang
baik. "Tetapi aku tahu persoalannya" berkata Empu
Nawamula "gurunya, pertapa itu samasekali tidak berusaha
mencegah tingkah lakunya yang kurang baik. Aku kira
justru gurunya yang menganjurkannya, agar ia datang
kepadaku dan minta bantuanku"
"Apa yang ia kehendaki Empu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ia justru minta agar aku mencari gadis itu dan melamar
kepada orang tuanya bagi kepentingannya, karena aku
adalah satu-satunya orang tua baginya saat ini" jawab
Empu itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Memang agaknya menjadi kewajiban Empu Nawamula.
Tetapi sayang, bahwa persoalannya tidak berjalan dengan
lancar. Gadis itu sudah terlanjur menyatakan sikapnya.
Dalam pada itu, maka Empu itu akhirnya berkata
"Memang terasa sangat sulit bagiku ngger. Jika aku
menolak, maka aku akan mengalami satu peristiwa yang
sangat pahit. Anak itu tentu akan memaksaku dengan
caranya, sehingga aku harus mempertahankan diri. Jika
demikian, apakah akan terjadi benturan kekuatan antara
aku dan kemanakanku. Bukankah hal itu berarti satu
peristiwa yang sangat memalukan. Seandainya aku
kehilangan pengamatan diri atau sebaliknya sehinga salah
satu diantara kami menjadi korban, maka hal itu akan
merupakan satu malapetaka"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya "Lalu, apa yang
akan Empu lakukan?" "Empu Nawamula menjadi ragu-ragu pula. Namun
kemudian katanya "Sebaiknya aku memenuhi permintaan
itu ngger" "Empu akan memaksa gadis itu untuk menjadi isteri
seseorang yang tidak dicintainya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bukan begitu" jawab Empu Nawamula "aku hanya
akan melamarnya. Jika orang tuanya tidak mengijinkan.
atau gadis itu berkeberatan, maka aku akan
menyampaikannya kepada Singatama, bahwa lamarannya
ditolak" "Bagaimana jika anak itu menjadi marah?" bertanya
Mahisa Murti. Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bukankah gadis itu seharusnya mendapat perlindungan?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Meskipun tidak dikatakan, tetapi seolah-olah
tergetar didalam hati mereka, bahwa mereka berdua
mempunyai kewajiban untuk kepentingan sesama. Mereka
harus memenuhi darma seorang kesatria.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berkata "Baik
Empu. Jika Empu memang ingin mencobanya, agaknya
dapat dicoba. Tanpa menakut-nakuti dan tanpa memaksa.
Tetapi jika gadis itu atau orang tuanya menolak, maka
seperti yang Empu katakan, mereka memang sewajarnya
mendapat perlindungan"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Lalu
Katanya "Kalian ternyata dapat menanggapi sikapku.
Baiklah. Aku terpaksa mempergunakan cara ini. Aku tidak
mempunyai cara lain yang lebih baik"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Tetapi rasa-rasanya mereka telah membulatkan tekad untuk
melibatkan diri kedalam persoalan yang sebenarnya tidak
menyangkut mereka berdua. Tetapi sepanjang mereka
berkepentingan bagi sesama, maka rasa-rasanya mereka
terpanggil untuk melakukannya.
Karena itu, maka keduanyapun berpendapat, bahwa cara
yang akan ditempuh oleh Empu Nawamula itu adalah cara
yang paling baik. Jika anak muda yang menyebut dirinya
Singatama itu dapat menerima kenyataan, bahwa ia telah
ditolak, alangkah baiknya. Tetapi seandainya ia berkeras.
maka apaboleh buat. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun kemudian menunggu perkembangan keadaan.
Sehingga pada suatu saat Empu Nawamula akan
memberitahukan kepada mereka lebih lanjut.
Sebenarnyalah, bahwa pada akhirnya, rencana Empu
Nawamula itupun harus dilaksanakan. Anak muda yang
menyebut dirinya Singatama itu memang memaksa Empu
Nawamula untuk pergi melamar gadis yang
dikehendakinya itu. "Paman dan bertanya kepada paman gadis itu. Aku tidak
tahu, dimana gadis itu telah disembunyikan" berkata
Singatama. Lalu "Selama ini aku masih mencoba bersabar.
Aku memang ingin menempuh jalan yang sebaik-baiknya.
Paman yang akan mewakili orang tuaku datang melamar
gadis itu. Aku masih belum menempuh jalan yang paling
singkat, mengambil gadis itu disetujui atau tidak disetujui"
"Baiklah ngger" jawab Empu Nawamula "aku akan
menemui pamannya. Tetapi segala sesuatunya terserah
kepada paman gadis itu"
"Paman sudah cukup berpengalaman" jawab Singatama
"terserah cara yang akan paman tempuh"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya ia berkata "Aku akan pergi bersama dua orang
cantrik padepokan ini, sementara tiga orang pembantuku
masih harus menyelesaikan keris yang telah dipesan oleh
seseorang sahabatku"
"Terserah dengan siapa saja paman akan pergi" jawab
Singatama "dan akupun tidak peduli apakah pembantu
paman itu akan membuat keris atau tidur selama paman
pergi" Empu Nawamula mengangguk-angguk Jawabnya
"Baiklah. Besok aku akan berangkat"
"Semakin cepat semakin baik paman. Aku sudah tidak
mempunyai banyak waktu lagi. Umurku sudah menjadi
semakin tua sementara tidak ada perempuan lain yang
dapat menarik perhatianku kecuali gadis yang telah
disembunyikan oleh pamannya itu. Aku yakin bahwa gadis
itu tidak akan menolak. Tetapi pamannyalah yang menjadi
dengki. Agaknya pamannya ingin aku mengambil anak
pamannya itu sendiri. Tetapi aku tidak menyukainya"
berkata Singatama. Empu Nawamula mengangguk-angguk. Jika benar
demikian, gadis itu sebenarnya menerimanya, tetapi karena
pamannya sajalah yang mempunyai pokal tersendiri,
persoalannya akan berbeda.
Dalam pada itu, maka malam itu Empu Nawamula telah
mempersiapkan diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah diberitahu pula, bahwa esok pagi mereka akan
berangkat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat
masing-masing seekor kuda bagi perjalanan yang akan
ditempuhnya. (Ebook Novel, Teenlit) http://www.zheraf.net/
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 004 DEMIKIANLAH, maka ketika fajar menyingsing.
Empu Nawamula telah bersiap bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka akan menempuh perjalanan yang
cukup panjang. Empu Nawamula telah mendapat petunjuk
dari Singatama, arah manakah yang harus ditempuhnya,
sehingga Empu itu akan sampai pada sebuah padukuhan
tempat tinggal paman gadis yang telah menarik perhatian
Singatama itu. Namun agaknya dua orang cantrik yang telah ditunjuk
untuk mengikuti perjalanan Empu Nawamula itu telah
menarik perhatian Singatama.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap
meloncat kepunggung kudanya, Singatama yang sudah
berada di halaman padepokan itu pula, telah mendekati
keduanya. Diamatinya kedua anak muda itu seorang demi
seorang. Dengan nada berat Singatama itu berkata "Aku
belum pernah melihat kedua anak ini"
"Keduanya orang baru di padepokan ini" sahut Empu
Nawamula. Singatama mengangguk-angguk. Katanya pula "Selama
aku berada di padepokan ini, agaknya keduanya
bersembunyi saja. Atau sengaja menghindar. Atau
barangkali aku tidak memperhatikannya"
"Keduanya bekerja seperti kawan-kawannya" jawab
Empu Nawamula "mungkin kau tidak memperhatikannya"
Singatama mengangguk-angguk. Disentuhnya pundak
Mahisa Pukat. Katanya "Nampaknya tubuhmu kuat seperti
seekor banteng muda. He, kau juga seperti seekor anak
gajah. Nampaknya kau mempunyai tenaga yang luar biasa.
Tetapi kau tentu agak malas" katanya pula kepada Mahisa
Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti hanya menundukkan
kepalanya saja. Mereka berusaha untuk menahan diri agar
tidak timbul persoalan baru diantara mereka.
Mereka cukup rajin" berkata Empu Nawamuala "untuk
memberikan pengalaman kepada mereka, maka aku akan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa mereka menempuh perjalanan ini"
"Nampaknya keduanya masih terlalu dungu" berkata
Singatama "tetapi terserah kepada paman, bahwa paman
akan mengajak keduanya"
"Justru karena keduanya masih terlalu hijau, maka aku
ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka harus
menyesuaikan diri dengan kerasnya kehidupan" sahut
Empu Nawamula. "Tetapi jika paman menemui kesulitan di perjalanan,
maka paman tidak dapat berharap, kedua anak-anak
ingusan ini akan dapat membantu" desis Singatama.
Mudah-mudahan perjalananku lancar" jawab Empu
Nawamula. (ceritanya loncat : Emang dari sononya)
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun merasakan perubahan
suasana pertemuan itu. Ki Rangganiti tidak lagi bersikap
kasar. Bahkan kemudian sikapnya menjadi ramah.
Katanya selanjutnya "Ia menganggap bahwa segala yang
dikehendakinya tidak akan dapat di tentang"
"Dan anak itu menghendaki kemanakan Ki Rangganiti?"
sahut Empu Nawamula. "Ya, Ki Sanak. Ia menginginkan kemanakanku itu.
Tetapi ia sama sekali tidak berbuat sebagaimana
seharusnya. Ia tidak berkenalan dengan kemanakanku
sebagai mana sewajarnya seorang anak muda berkenalan
dengan seorang gadis. Tetapi Singatama mulai dengan
mengganggu kemanakanku. Karena itu, maka aku terpaksa
selalu mengawasinya. Setidak-tidaknya orang-orangku
selalu bersamanya kemana ia pergi. Akhirnya aku menjadi
cemas, bahwa pada suatu saat aku akan lengah, sehingga
kemanakanku itu akan mengalami kesulitan yang gawat"
berkata Ki Rangganiti dengan nada dalam.
"Ki Rangganiti" berkata Empu Nawamula kemudian
"ternyata yang aku dengar dari Singatama agak berbeda.
Menurut Sinaatama. la sudah sepakat dengan kemanakan
Ki Rangganiti. Tetapi Ki Rangganitilah yang berkeberatan,
karena Ki Rangganiti mempunyai perhitungan yang lain. Ki
Rangganiti menghendaki Singatama berhubungan saja
dengan anak gadis Ki Rangganiti sendiri.
"He" Ki Rangganiti terkejut. Lalu "Anak itu sudah
memutar balikkan kenyataan. Tetapi sekali lagi aku ingin
bertanya, apakah Ki Sanak benar-benar tidak akan berbuat
sesuatu melampaui seorang utusan" Jika Ki Sanak
berpendirian bahwa kemanakan Ki Sanak itu sudah sepakat
untuk hidup bersama dengan kemanakanku, selanjutnya Ki
Sanak akan dapat memaksakan kehendak Ki Sanak untuk
mengambil kemanakanku itu"
"Tidak Ki Rangganiti" jawab Empu Nawamula "aku
tetap seorang utusan yang tidak mempunyai kekuasaan
lebih dari menyampaikan satu permohonan. Ditolak atau
diterima, aku hanya dapat menyampaikan jawaban itu
kepada yang berkepentingan"
Ki Rangganiti mengangguk-angguk, katanya "Jika
demikian, baiklah aku katakan, bahwa yang dikatakan oleh
Singatama itu adalah satu ceritera ngayawara. Semuanya
tidak benar. Aku memang mempunyai seorang anak gadis.
Tetapi ia tidak akan aku perbolehkan, apalagi hidup
bersama Singatama, berkenalanpun tidak akan aku ijinkan"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya "Aku
percaya kepada Ki Rangganiti. Aku mengerti, kenapa Ki
Rangganiti mengambil satu keputusan untuk
menyingkirkan kemanakannya Ki Rangganiti" Empu
Nawamula berhenti sejenak, lalu "Tetapi apakah di
tempatnya yang baru, anak gadis itu cukup mendapat
perlindungan?" Sebenarnya keadaannya tidak jauh berbeda. Disinipun
perlindungan yang sebenarnya kurang memadai. Mungkin
kami dapat mencegah usaha yang kasar dari Singatama
sendiri dengan mengerahkan beberapa orang. Tetapi jika
pada suatu saat, Singatama membawa kekuatan yang ada di
belakangnya, mungkin kami tidak akan dapat bertahan.
Justru karena itu, maka pertanggungan jawab atas gadis itu
kepada ayahnya akan menjadi terlalu berat bagiku, sehingga
akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan kembali
anak itu kepada orang tuanya. Tetapi aku sudah berpesan,
agar mereka berhati-hati mengawasi anak gadisnya.
Mungkin untuk beberapa lamanya, Singatama tidak akan
berhasil menemukan gadis itu. Tetapi jika ia masih selalu
memburunya, mencarinya dengan segala cara, mungkin
pada suatu saat ia akan menemukannya"
Empu Nawamula menarik nafa dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Kasihan gadis itu. Apakah
rumah orang tuanya cukup jauh dari padukuhan ini?"
Wajah Ki Rangganiti menjadi tegang. Tiba-tiba ia
berkata "Aku sudah terpancing untuk mengatakan bahwa
gadis itu ada pada orang tuanya. Itu satu kesalahan. Tetapi
sudah tentu bahwa aku tidak akan mengatakan, dimana
rumah orang tuanya. Maaf, bagaimanapun juga aku masih
belum dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya dalam
hubungannya dengan Singatama"
"Aku mengerti Ki Rangganiti" jawab Empu Nawamula.
"karena itu, baiklah aku tidak akan memaksa untuk
mengetahui, dimana rumah orang tuanya"
"Ya. Aku tidak akan mengatakannya. Bahkan aku
menyesal bahwa aku sudah mengatakannya, bahwa ia telah
aku kirimkan kembali kepada orang tuanya. Namun baiklah
aku katakan pula, bahwa perlindungan bagi gadis itu akan
lebih baik justru setelah padukuhan ayahnya baru saja
mengalami pergolakan. Dengan demikian, maka orangorang
padukuhan itu akan menjadi berhati-hati. Apalagi
aku sudah memberikan beberapa keterangan tentang
Singatama" berkata Ki Rangganiti.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya sikap Ki Rangganiti, sehingga karena itu, maka
beberapa saat Empu Nawamula tidak mengatakan sesuatu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatlah yang menjadi gelisah. Adalah diluar kehendak
mereka, jika tiba-tiba saja mereka telah teringat sesuatu.
Pengalaman dari perjalanan mereka yang belum terlalu
jauh itu. Karena itu, adalah juga diluar sadarnya, bahwa
tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata "Apakah gadis itu anak
seorang Buyut?" Wajah Ki Rangganiti tiba-tiba menjadi tegang.
Dipandanginya Mahisa Murti dengan tajamnya. Bahkan
kemudian dengan suara bergetar ia berkata "Darimana kau
tahu, bahwa ia anak seorang Buyut" Apakah dengan
demikian berarti bahwa kau sudah mengadakan
penyelidikan lebih jauh bagi kepentingan Singatama?"
Mahisa Murti terkejut mendengar pertanyaan itu. Baru
kemudian ia sadar, bahwa ia telah menyebul sesuatu yang
dapat menumbuhkan ketegangan baru. Tetapi ia sudah
mengucapkannya. Bahkan kemudian Empu Nawamulapun
memandanginya dengan tatapan mata keheranan.
"Coba katakan" berkata Ki Raganiti "siapa yang
mengatakan bahwa kemanakanku itu anak perempuan
seorang buyut?" Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Pukatlah
yang.kemudian menyahut "Ki Raganiti. Dalam
pengembaraan kami, kami telah singgah di sebuah
Kabuyutan. Anak perempuan Ki BuYut itu ternyata baru
saja pulang dari rumah pamannya. Hal itulah yang telah
mempengaruhi jalan pikiran kami, sehingga tidak sengaja
saudaraku itu telah menyebut anak perempuan seorang
Buyut" "Coba katakan, anak Kabuyutan manakah yang kau
maksud?" bertanya Ki Raganiti.
"Tentu saja tidak ada hubungannya dengan ceritera Ki
Raganiti" jawab Mahisa Pukat "Kabuyutan itu terletak
ditempat yang cukup jauh"
"Nama Kabuyutan itu" Ki Raganiti tidak sabar.
"Randumalang" jawab Mahisa Pukat dengan jujur.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Keterangan
Mahisa Pukat yang terus-terang itu justru telah
membuatnya agak tenang. Sehingga dengan demikian,
maka iapun akan dapat mengatakan sebagaimana adanya.
Tetapi adalah diluar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Jawaban Mahisa Pukat dengan menyebut nama
Kabuyutan itu, telah membuat wajah Ki Raganiti menjadi
semakin tegang. Bahkan kemudian dengan suara lantang ia
berkata "Anak-anak muda. Apakah kalian memang dengan
sengaja ingin mempermainkan aku. Empu Nawamula telah
mengatakan, bahwa ia hanya sekedar utusan. Semula aku
mempercayainya. Tetapi ternyata bahwa kalian bertiga,
datang dengan satu sikap pasti. Bahkan mungkin kalian
telah berhasil menculik gadis itu untuk kepentingan
Singatama, sehingga kehadiran kalian sekarang ini sematamata
adalah satu usaha penghinaan belaka"
Empu Nawrmulapun menjadi bingung. Bahkan
kemudian ialah yang bertanya kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat "Aku kurang mengerti, siapakah yang kalian
sebutkan. Mungkin satu pengalaman dalam pengembaraan
kalian sebelum kalian datang ke padepokanku"
"Ya Empu" jawab Mahisa Pukat "kami memang singgah
di Kabuyutan Randumalang"
"Jangan menganggap kami orang-orang yang sama
sekali tidak berarti. Sudah aku katakan, bahwa aku sudah
mempersiapkan orang-orangku. Sekarang, katakan. Apa
maksud kalian sebenarnya datang kemari. Apakah kalian
akan mengatakan, bahwa kalian telah berhasil menemukan!
gadis itu dan menculiknya" Atau kalian barangkali ingin
memeras kami?" "Jangan berprasangka terlalu buruk Ki Raganiti" berkata
Empu Nawamula "sebenarnyalah aku ingin mendengar,
apa yang telah dijumpai oleh kedua orang anak muda ini"
"Omong kosong" geram Ki Kaganiti "bagaimana
mungkin Ki Sanak masih akan bertanya kepada orangorang
dari padepokan Ki Sanak sendiri"
"Ki Raganiti" berkata Mahisa Murti kemudian "baiklah
aku menceriterakan apa yang aku ketahui tentang seorang
gadis. Hal ini sama sekali belum pernah aku ceriterakan
kepada Empu Nawamula di saat-saat aku berada di
padepokan, karena kami berdua menganggap bahwa
persoalan ini sama sekali tidak penting dan tidak ada
hubungannya dengan kehadiran kami di padepokan Empu
Nawamula" Ki Raganiti mengerutkan keningnya, sementara Mahisa
Murti menceriterakan perkenalannya dengan seorang gadis
Randumalang yang bernama Widati.
Ketegangan benar-benar mencengkam jantung Ki
Raganiti. Namun menilik cara mengucapkan dan urutan
ceriteranya, maka Mahisa Murti telah mengatakan dengan
jujur. "Ki Raganiti" berkata Mahisa Murti kemudian "menilik
sikap Ki Raganiti, maka aku dapat menduga, bahwa gadis
yang Ki Raganiti maksudkan, adalah gadis yang aku
sebutkan. Gadis yang meninggalkan rumah pamannya
karena gangguan seorang anak muda yang tidak
disukainya. Jika benar demikian, bahwa Widati yang
dipanggil Ireng itu adalah kemanakan Ki Raganiti yang
sedang bersembunyi di rumah orang tuanya, maka kami
berdua minta maaf, karena kami tidak sengaja telah
tersangkut kedalam persoalan itu.
Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Empu Nawamulapun berkata "Sebenarnyalah, bahwa aku
sama sekali tidak mengetahui peristiwa yang pernah
dialaminya" Sejenak Ki Raganiti terdiam. Namun akhirnya ia berkata
"Sekali lagi aku telah salah sangka. Aku percaya akan
keterangan anak-anak muda itu. Agaknya kalian mang
pernah singgah di Randumalang"
"Ya" desis Mahisa Pukat "kami beradu di Randumalang
justru pada saat Randumalang sedang bergejolak. Tetapi
pada saat kami berada di Kabuyutan itu. muka pergolakan
itu sudah berakhir. Sehingga beberapa hari kemudian aku
melihat anak perempuan Ki Buyut itu telah berada di
Kabuyutan" Ki Raganiti mengangguk-angguk. Katanya
"Sebenarnyalah Ki Sanak. Kemanakanku yang bernama
Widati itulah yang telah menimbulkan persoalan dengan
Singatama. Mudah-mudahan ayahnya mempunyai
kekuatan untuk melindunginya, apabila pada suatu saat
Singatama dapat menemukannya"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Diluar
dugaannya, bahwa gadis yang dipersoalkan itu justru telah
pernah ditemui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itulah, maka kedua anak muda itupun
mengetahuinya di mana gadis itu menyembunyikan diri
dari pengamatan Singatama.
Namun dalam pada itu, Ki Raganiti bertanya "Ki Sanak.
Aku tidak dapat ingkar, bahwa gadis itulah yang sedang
bersembunyi. Ternyata bahwa kedua anak muda itu telah
menemukannya. Tentu saja, terserah kepada kalian, apakah
kalian akan mengatakannya kepada Singatama atau tidak.
Tetapi sudah tentu bahwa kami bertekad untuk
menyelamatkan gadis itu dari tangan Singatama, dengan
cara dan pengorbanan apapun juga"
Empu Nawamula mengangguk-angguk sambil
bergumam "Ki Raganiti. Singatama adalah kemanakanku.
Sudah tentu bahwa aku tidak dapat mencuci tangan akan
tingkah lakunya. Maksudku, bahwa aku tidak akan
memenuhi segala keinginannya, tetapi adalah menjadi
kewajibanku untuk mengekangnya, apabila ia sudah
melakukan satu perbuatan yang dapat merugikan orang
kami" Ki Raganiti memandang wajah Empu Nawamula
dengan tajamnya. Sejenak ia berusaha merenungi kata-kata
Empu Nawamula. Baru kemudian ia berkata "Jadi maksud
Empu, bahwa niat Singatama itu harus dicegah"
"Jika benar seperti yang Ki Raganiti katakan, bahwa


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya Widati itu tidak bersedia menerima Singatama
untuk hidup bersama" berkata Empu Nawamula.
"Aku tidak mempunyai cara untuk membuktikannya.
Tetapi mungkin kedua anak muda yang telah mengetahui
tempatnya itu dapat bertanya langsung kepada gadis itu"
jawab Ki Raganiti "itupun harus mendapat pengawasan
sebaik-baiknya. Karena bagaimanapun juga. aku
berkewajiban melindungi kemanakanku"
"Ki Raganiti" berkata Mahisa Murti kemudian "aku
menjadi saksi, bahwa Widati sama sekali tidak tertarik ke
pada Singatama. Aku dapat memastikannya, karena gadis
itu kembali kerumah orang tuanya, karena menghindarkan
diri dari seorang anak muda. Menurut dugaanku, anak
muds yang dimaksud adalah Singatama"
Empu Nawamula mengangguk-angguk, sementara Ki
Raganiti berkata "Apakah kau pernah mendengar
pengakuannya itu?" "Ya" jawab Mahisa Murti "Widati pernah mengatakan
kepadaku. Meskipun saat itu keterangannya tidak jelas,
tetapi saat ini aku mampu menghubungkan persoalannya"
Ki Raganiti menarik nafas panjang. Katanya "Empu.
Bukankah sudah jelas"
"Ya Aku percaya kepada keterangan anak muda ini"
jawab Empu Nawamula "karena itu, maka aku
berkesimpulan, bahwa aku harus mencegah Singatama.
Sementara itu. akupun berkesimpulan, bahwa aku harus
tetap merahasiakan tempat gadis itu"
Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Terima kasih Ki Sanak. Ternyata bahwa Ki Sanak dapat
mengetahui kesulitan yang sedang kami alami"
"Baiklah Ki Raganiti" berkata Empu Nawamula "aku
akan kembali ke padepokan. Aku akan mengatakan kepada
Singatama, bahwa lamaranku ditolak. Dan akupun akan
mengatakan, bahwa gadis itu berada ditempat yang jauh
dan tidak diketahui, karena Ki Raganiti telah
merahasiakannya" "Mudah-mudahan Empu dapat mencegah tingkah laku
anak muda yang selama ini telah sangat menggelisahkan
keluarga kami" berkata Ki Raganiti.
"Aku akan berusaha" jawab Empu Nawamula. Lalu
"Sebaiknya kami minta diri. Kami akan dapat mengatur,
apa yang sebaiknya kami lakukan di sepanjang perjalanan
kami, sehingga saat kami sampai di padepokan, kami akan
dapat mennjawab segala pertanyaan Singatama dengan
mapan" "Jadi, apakah Empu akan kembali sekarang?" bertanya
Ki Raganiti. "Ya. Kami muhon diri" jawab Empu Nawamula Tetapi
ternyata Ki Raganiti menahannya. Katanya "Hari menjadi
malam. Sebaiknya Empu bermalam disini. Besok Empu
dapat kembali setelah hari menjadi terang"
Empu Nawamula tidak dapat menolak. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun sama sekuli tidak
berkeberatan. Dalam pada itu, Ki Raganiti yang kemudian mengetahui
bahwa tamu-tamunya bukan orang yang harus dicurigai
akan bertindak kasar, telah mengisyaratkan kepada
pembantu-pembantunya untuk memberikan hidangan
kepada tamu-tamunya. Setelah berbicara beberapa lamanya tentang persoalan
yang lain, yang tidak menyangkut gadis yang bernama
Widati itu, dan yang berkisar pada kehidupan sehari-hari,
maka pintu pringgitanpun terbuka. Seorang gadis dengan
membawa nampan berisi mimuman dan makanan berjalan
sambil bejongkok mendekati mereka yang sedang duduk
berbincang. "Ini adalah anak gadisku" berkata Ki Raganiti setelah
gadis itu masuk kembali keruang dalam "agaknya gadis
inilah yang telah disebut-sebut oleh Singatama"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya
"Singatama memang mengatakannya, bahwa Ki Raganiti
sebenarnya ingin menjodohkan anak gadis Ki Raganiti
sendiri. Karena itu, Ki Raganiti telah menolak Singatama
yang menginginkan gadis yang bernama Widati itu"
"Empu besok dapat bertanya langsung kepada anak
gadisku. Ia memilih membunuh diri daripada harus menjadi
isteri seorang anak muda yang bernama Singatama,
sebagaimana akan dilakukan oleh Widati. Karena itu, maka
aku harap Empu dapat menilai keterangan Singatama itu"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tetapi
sebagaimana Ki Raganiti mempercayai keterangannya dan
keterangan kedua anak muda yang bersamanya itu, maka
Empu Nawamulapun percaya kepada keterangan Ki
Raganiti. Dalam pada itu, ketika malam menjadi larut, ketiga
orang itupun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di
gandok. Namun dalam pada itu, maka Empu Nawamula
dan kedua orang anak muda yang menyertainya itupun
melihat, bahwa di halaman itu telah bersiap-siap beberapa
orang yang dapat bertindak apabila ketiga orang tamu Ki
Raganiti itu berbuat sesuatu yang bersifat kekerasan.
Namun dalam pada itu, hampir semalam suntuk Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memejamkan
matanya. Gadis yang bernama Widati itu ternyata telah
menimbulkan persoalan yang tidak pernah mereka duga
sebelumnya. Sehingga jika Singatama benar-benar ingin
memaksakan kehendaknya, maka Singatama itu tentu akan
berhadapan dengan Mahisa Murti. Jika demikian maka
Mahisa Pukatpun tidak akan melepaskan saudaranya itu
berbuat sendiri. Tetapi dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih belum tahu pasti, betapa tinggi dan lengkapnya ilmu
pertapa yang disebut sebagai guru Singatama. Bersumber
ilmu yang hitam, orang itu tentu mempunyai kemampuan
yang sangat tinggi. Meskipun tidak saling membicarakannya, kedua anak
muda itu rasa-rasanya telah menjadi kanak-kanak kembali.
Sebagaimana pada masa kanak-kanak mereka, jika mereka
gagal untuk melakukan sesuatu, maka merekapun segera
berlari kepada ayahnya untuk membantunya.
Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa bahwa mereka telah dibekali dengan ilmu yang
lengkap oleh ayah mereka. Bahkan oleh Witantra dan
Mahisa Agni. Karena itu, maka mereka tidak boleh lagi
merengek seperti kanak-kanak. Mereka harus berusaha
memecahkan masalah yang mereka hadapi.
"Tetapi dalam keadaan tertentu, apa salahnya jika ayah
mengetahui persoalannya" berkata kedua anak muda itu
didalam hatinya, karena menurut angan-angan mereka,
pertapa yang mengangkat Singatama sebagai muridnya itu
adalah seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa
dalam kesesatan. Disamping orang itu tentu terdapat
kekuatan yang mendukungnya. Satu lingkungan kekuatan
hitam yang cukup besar. Namun demikian, kedua anak muda itu masih harus
menunggu perkembangan pesoalannya. Mereka tidak dapat
berbuat tergesa-gesa. Baru ketika malam hampir menginjak dini hari, kedua
anak muda itu dapat tertidur untuk beberapa saat. Tetapi
tidak terlalu lama, karena sebentar kemudian, ayam
jantanpun telah berkokok untuk yang terakhir kalinya di
malam itu. Namun yang sebentar itu telah membuat mereka
menjadi segar kembali. Pagi-pagi benar Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan.
Tetapi langkahnya tertegun, ketika ia melihat seseorang
sedang mengambil air di sumur disebelah pakiwan. Namun
Mahisa Pukat menjadi herdebar-debar ketika ia mendengar
orang yang mengambil air itu menyapanya "Apakah Ki
Sanak akan pergi ke pakiwan?"
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ternyata yang berada di
sumur itu adalah gadis sang semalam menyuguhkan
minuman dan makanan di pendapa.
Dengan segan Mahisa Pukatun menjawab pendek "Ya"
"Silahkan" berkata gadis itu sambil melepaskan timba
senggol yang sudah hampir ditariknya. Dengan menjinjing
keienting maka gadis itupun meninggalkan sumur menuju
ke pintu dapur di hagian belakang rumahnya yang di batasi
oleh sebuah longkangan. Mahisa Pukat memandangi gadis itu sampai hilang di
balik pintu dapur yang masih diterangi dengan lampu
minyak. Ia sudah melihat wajah gadis itu semalam. Rasarasanya
ada sesuatu yang melekat didalam angan-angannya
tentang gadis itu. "Ada beberapa persamaannya dengan Widati" gumam
Mahisa Pukat diluar sadarnya.
Tetapi Mahisa Pukat itu menggeleng. Ia berusaha untuk
mengusir angan-angannya tentang gadis itu. Dengan
sigapnya iapun kemudian meraih senggot timba dan sejenak
kemudian senggot itupun telah berderit memanjang.
Mahisa Pukat dengan cepat mengisi pakiwan itu
sehingga penuh. Baru kemudian iapun mandi untuk
membuat tubuhnya menjadi semakin segar.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah
menyusulkan. Baru yang terakhir adalah Empu Nawamula.
Ketika langit menjadi terang, maka ketiga orang itupun
telah bersiap Mereka ingin segera kem bali ke padepokan
dan memberitahukan kepada Singatama hasil pembicaraan
mereka dengan Ki Raganiti. Mereka hanya akan
mengatakan bahwa Ki Raganiti tetap tidak setuju dan
menolak lamaran Singatma, sementara itu kemanakannya
telah disembunyikan ditempat yang tidak
diberitahukannya" Namun demikian, Ki Raganiti masih menahannya
barang sejenak untuk memberikan hidangan minuman dan
makanan hangat di pagi-pagi yang sejuk.
Baru kemudian Empu Nawamula bersama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah minta diri.
"Aku mohon maaf Empu" berkata Ki Raganiti
"mungkin keputusanku menolak lamaran kemanakan
Empu itu akan menimbulkan persoalan dalam keluarga
Empu" "Aku akan mencoba mengatasinya Ki Raganiti" jawab
Empu Nawamula "agaknya itu memang menjadi
kewajibanku" Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa Singatama tidak akan begitu saja menerima
keputusan atas lamarannya. Anak muda itu tentu akan
menjadi marah. Dan tidak mustahil bahwa ia akan
mengambil langkah-langkah tertentu yang akan dapat
menimbulkan persoalan baru.
Dalam pada itu. ketika segalanya telah siap, maka Empu
Nawamula dan kedua orang anak muda yang menyertainya
itupun sekali lagi minta diri untuk kembali
kepadepokannya. Dalam pada itu, diluar dugaan, anak gadis Ki Raganiti
itupun telah mengantarkan tamu-tamunya sampai keregol.
Bahkan ketika Mahisa Pukat memandanginya, gadis itu
telah menatapnya pula, sehingga justru karena itu, maka
keduanya cepat-cepat mengalihkan arah tatapan mata
mereka ke kejauhan. Sejenak kemudian, maka Empu Nawamula dan kedua
orang cantrik yang khusus itupun telah meninggalkan
rumah Ki Raganiti dengan kesan tersendiri. Bahkan dengan
demikian merekapun menjadi pasti, bahwa Singatama
memang ingin memaksakan kehendaknya untuk memiliki
seorang gadis yang bernama Widati, yang sejak beberapa
saat lamanya telah disembunyikan dirumah orang tuanya
dari penglihatan anak muda yang bernama Singatama.
"Apakah kira-kira yang akan dikatakan oleh kemanakan
Empu itu" bertanya Mahisa murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang hijaunya pepohonan ia kemudian berdesis
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi yang pasti, ia
akan tetap berusaha untuk memiliki gadis itu. Saat ini ia
masih berusaha untuk mencari jalan yang paling baik. Ia
minta aku untuk melamar gadis itu baginya. Tetapi agaknya
ia akan dapat bertindak lebih keras. Ia akan dapat
berhubungan dengan gurunya dan kekuatan disekitarnya "'
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Pukatpun berkata "Tetapi lingkungan
Ki Buyut di Randumalang telah berubah"
"Apa yang berubah?" bertanya Empu Nawamula.
"Anak-anak muda di Randumalang tidak lagi terlalu
lemah. Meskipun serba sedikit mereka telah memiliki dasar
pengetahuan mempergunakan senjata yang setiap hari tentu
akan mereka kembangkan sendiri" berkata Mahisa Pukat
"justru karena itu, mereka akan dapat membantu
melindungi anak gadis Ki Buyut yang terancam oleh
kogurangan Singatama itu"
"Mudah-mudahan" sahut Empu Nawamula sambil
mengangguk-angguk "tetapi jika Singatama datang bersama
sepuluh orang dan gurunya, maka anak-anak muda
Randumalang itu tidak akan banyak dapat berbuat banyak.
Mungkin mereka sempat mengusir Singatama. Tetapi
korban tentu akan terlalu banyak"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang
mungkin sekali terjadi. Sepuluh orang yang garang apalagi
guru Singatama yang bersumber pada ilmu hitam itu. tentu
bukan lawan yang akan dapat diatasi oleh anak-anak muda
Randumalang. Sementara itu, mereka bertigapun telah berpacu semakin
lama semakin jauh. Sekali-sekali mereka harus beristirahat.
Sehingga ketika matahari mulai merendah, merekapun
menjadi semakin mendekati padepokan mereka.
"Rasa-rasanya perjalanan kembali menjadi lebih pendek"
berkata Mahisa Pukat. "Tetapi bukankah jaraknya tidak berubah?" bertanya
Empu Nawamula. "Ya. Tentu tidak berubah" sahut Mahisa Pukat.
"Karena itu, perasaan kita bukanlah ukuran yang pasti.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang terasa pendek, sebenarnya adalah panjang dan
sebaliknya" berkata Empu Nawamula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Iapun sependapat,
bahwa perasaan bukanlah alat pengukur yang baik. Juga
terhadap kebenaran. Dalam pada itu, semakin mereka mendekati padepokan,
maka merekapun menjadi berdebar-debar. Bahkan Empu
Nawamula itupun berkata "Ada beberapa kemungkinan
terjadi di padepokan, ngger. Mungkin kita akan menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi mungkin kita akan mengumpat
di dalam hati. Mungkin pula kita akan disakiti, jika tidak
tubuh kita, adalah hati kita. Tetapi mungkin pula kita harus
membela diri" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi mereka berpendirian, bahwa mereka bukan
sanak bukan kadang Singatama. Karena itu, maka
merekapun tidak akan membiarkan diri mereka disakiti.
Apalagi mengalami nasib yang paling buruk dengan tanpa
membela diri sama sekali.
Karena itu, maka kedua anak muda itupun telah
mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka akan
menghadapi segala kemungkinan dengah sikap dan
landasan mereka. Sebenarnyalah, bahwa ketika mereka bertiga melihat
regol padepokan, maka jantung mereka serasa herdetak
semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba tiba
saja, diluar kehendak mereka sendiri, keduanya berkuda
sebelah menyebelah dibelakang Empu Nawamula. Seolaholah
mereka telah berjanji didalam diri mereka, bahwa
apapun yang akan terjadi, keduanya akan menghadapi
dengan tabah. Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun telah
sampai di depan regol padepokan. Meskipun padepokan itu
adalah padepokan sendiri, tetapi ternyata bahwa Empu
Nawamula telah berhenti didepan regol. Sekilas ia berpaling
kepada kedua orang anak muda yang mengikutinya, seolaholah
ingin memberi mereka peringatan, agar mereka bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, namun merekapun benar-benar telah mempersiap
kandiri mereka. Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun telah menyentuh leher kudanya yang
kemudian berjalan perlahan-lahan memasuki regol halaman
padepokannya diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Demikian mereka memasuki halaman, maka dengan
tergesa-gesa Singatama yang berada di pendapa, telah
menyongsong mereka. Demikian Empu Nawamula
meloncat turun diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, Singatama telah berteriak "Nah, bukankah paman
berhasil" Apa kata kelinci tua itu" Dan bukankah paman
telah diberitahu, dimana gadis itu bersembunyi?"
Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian jawabnya "Biarlah aku duduk dahulu di
pendapa. Biarlah nafasku senggang sehingga aku dapat
berkata kalimat demi kalimat"
"Ah" desah Singatama "paman mengada ada saja. Apa
beratnya mengatakan satu dua kalimat?"
"Aku lelah sekali. Jika kau mendesak aku begitu, aku
tidak akan mengatakannya sama sekali" jawab Empu
Nawamula. "Gila" geram Singatama "setua paman masih juga
merajuk" Empu Nawamula tidak menjawab. Iapun kemudian
mencuci kakinya pada sebuah belanga yang tersediu di
bawah ia sebatang pohon pacar kuning, demikian pula
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Biarlah kakiku kering. Aku akan duduk di pendapa dan
memberi tahukan hasil perjalananku" berkata Empu
Nawamula. "Berhasil atau tidak. Hanya itu jawab yang ingin aku
dengar" teriak Singatama.
Tetapi Empu Nawamula tidak menghiraukannya. Iapun
kemudian melangkah mendekati pendapa. Di tangga
pendapa ia duduk sambil membersihkan telapak kakinya
yang basah dan dilekati oleh debu.
Baru kemudian, Empu Nawamula itupun bergeser ke
tengah pendapa padepokan itu diikuti oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Rasa-rasanya Singatama sudah tidak telaten lagi.
Demikian Empu Nawamula dan kedua anak muda itu
mapan, maka sekali lagi ia bertanya mendesak "Bagaimana
hasil perjalanan paman" Aku tidak sabar lagi menunggu"
Dengan sareh Empu Nawamula berkata "Singatama.
Cobalah kau bersabar sedikit. Biarlah nafasku agak teratur.
Baru saja aku datang dari perjalanan yang panjang"
"Sudahlah paman. Jika paman menjawab pertanyaanku,
maka persoalannya menjadi jelas. Satu kalimat saja aku kira
sudah cukup, sepanjang kalimat paman yang berisi keluhan
tanpa akhir itu" potong Singatama.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Baiklah. Aku akan mengatakan hasil
perjalananku" "Cepatlah" bentak Singatama.
Sikap Singatama itu membuat Empu Nawamula menjadi
marah. Bagaimanapun juga ia menahan diri, tetapi bahwa
kemanakannya itu telah membentaknya, rasa-rasanya
jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjawab "Baiklah.
Jika kau ingin cepat, dengarlah. Lamaranmu telah ditolak"
Jawaban itu bagaikan deru guntur yang menggelegar di
langit. Wajah Singatama menjadi tegang. Namun kemudian
warna merah telah membara di sorot matanya.
"Apakah maksud paman?" anak muda itu bertanya.
"Sudah jelas. Seperti yang kau inginkan. Aku berkata
apa adanya. Cepat dan satu kalimat" jawab Empu
Nawamula. Ketegangan di wajah Singatama menjadi semakin tajam.
Tetapi iapun mengerti, bahwa pamannya mulai kehilangan
kesabaran. Karena itu, Singatamalah yang berusaha
mengekang diri, karena ia tidak yakin akan jawaban
pamannya. "Katakanlah sebaik-baiknya paman" pinta Singatama.
"Sudah aku katakan. Lamaranmu ditolak. Ki Raganiti
tidak mau mengatakan di mana kemanakannya itu, dan
iapun mengatakan bahwa gadis itu lebih baik mati daripada
menjadi isterimu" jawab Empu Nawamula.
Terasa jantung Singatama bagaikan disentuh api. Tetapi
wajah dan kata-kata pamannya agaknya memang
meyakinkan. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya "Paman,
apakah yang telah paman lakukan menghadapi sikap Ki
Raganiti itu?" "Apa yang dapat aku lakukan" Aku datang untuk
melamar. Dan lamaran itu ditolak. Apa yang harus aku
lakukan kecuali kembali dan mengabarkan kepadamu,
bahwa lamaran itu ditolak?" jawab Empu Nawamula.
Singatama sekali tidak bersiap menghadapi sikap
pamannya itu. Karena itu ia justru menjadi bingung.
Tetapi sejenak kemudian, maka iapun menggeram.
Dengan nada kasar ia bertanya "Dan paman tidak
memaksa Ki Raganiti untuk menunjukkan dimana anak
gadisnya" Paman dapat juga menerima penghinaan itu,
bahwa lamaran paman telah ditolak tanpa kehadiran gadis
itu sendiri?" "Kau membohongi aku" jawab Empu Nawamula "kau
katakan bahwa sebenarnya gadis itu akan menerimamu.
Tetapi sudah aku katakan, bahwa gadis itu lebih baik
membunuh diri dari menerima lamaranmu"
"Gila" geram Singatama "padukuhan itu memang harus
dimusnahkan. Paman dapat melakukannya untuk
membalas penghinaan itu"
"Kenapa aku berbuat demikian" Aku tidak berhak.
Selebihnya ternyata padukuhan itu telah siap. Aku tidak
tahu darimana asalnya. Tetapi sepasukan pengawal telah
membayangi aku" berkata Empu Nawamula "apa lagi yang
dapat aku lakukan menghadapi orang se Kabuyutan?"
Menghadapi sikap pamannya, Singatama justru menjadi
bingung. Tetapi ia tidak dapat menerima jawaban seperti
yang dikatakan pamannya itu. Bahkan kemudian, ia mulai
menyesali sikap Empu Nawamula.
Tetapi Singatama juga mengetahui, bahwa pamannya
bukannya orang kebanyakan. Karena itu, jika ia ingin
berbuat keras terhadap pamannya, maka ia harus
memperhitungkan segala macam akibat yang dapat terjadi.
Karena itu, maka Singatama itupun berusaha untuk
mendapatkan jalan yang paling baik. Dengan nada tinggi ia
berkata "Paman, aku adalah kemanakan paman. Paman
tentu mengerti, bahwa paman seharusnya berusaha
membantuku. Juga dalam hubunganku dengan gadis itu"
"Aku sudah melakukan yang harus aku lakukan" jawab
Empu Nawamula "aku sudah datang melamar. Dan
akupun sudah menyampaikan jawabnya. Apalagi yang
masih kurang. Sementara sikapmu sama sekali tidak
mencerminkan sikap seorang kemanakan. Kau bersikap
terlalu kasar, dan menganggap aku sebagai budakmu yang
harus tunduk Kepada segala perintahmu"
Wajah Singatama menegang. Agaknya pamannya telah
benar-benar menjadi marah. Tetapi sifatnya yang angkuh
dan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan yang
demikian, masih juga menggelitik hatinya, sehingga
kemudian iapun berkata "Baiklah paman. Jika paman
sudah merasa cukup berbuat untukku, maka aku akan
berbuat sendiri" "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Empu
Nawamula. "Aku harus menemukan tempat persembunyian gadis
itu. Sebenarnya aku ingin menghancurkan Kabuyutan itu.
Sebenarnya aku ingin bantuan paman dan para cantrik di
padepokan ini, disamping guruku dan cantrik-cantriknya.
Aku yakin, bahwa betapapun besarnya kekuatan yang ada
di Kabuyutan itu, kita akan dapat dengan mudah
menghancurkannya" geram Singatama.
Empu Nawamula memandang kemanakannya dengan
tatapan mata yang tajam. Dengan tajam pula ia bertanya
"Apa hubungannya penghancuran Kabuyutan itu dengan
keinginanmu memperistri seorang gadis?"
"Orang-orang Kabuyutan itu ikut menghalangi niatku"
jawab Singatama. "Apa yang mereka lakukan?" bertanya Empu Nawamula
pula. "Bukankah paman mengatakan, bahwa mereka telah
membayangi paman, sehingga paman tidak dapat berbuat
apa-apa?" sahut Singatama.
"Ternyata nalarmu sudah keblinger. Mereka telah
melakukan satu kewajiban yang seharusnya mereka
lakukan" Mereka sama sekali tidak ikut campur dalam
persoalanmu dengan gadis yang kau sebut-sebut itu. Tetapi
adalah kewajiban mereka untuk membayangi orang yang
dicurigai" "Apakah paman dicurigai" Kenapa" Bukankah paman
tidak melakukan sesuatu?" bertanya Singatama.
"Aku memang tidak melakukan sesuatu. Tetapi bahwa
orang-orang di Kabuyutan itu mencurigai aku, tentu karena
pokalmu sebelumnya. Jika kau berbuat baik dan sopan,
tentu tidak akan terjadi anggapan yang buruk terhadapku.
Tetapi dari mereka aku tahu, apa yang telah kau lakukan.
Sikapmu telah memancing sikap seisi Kabuyutan itu.
Karena aku adalah orang yang kau minta untuk datang ke
rumah Ki Raganiti, maka tetangga-tetangganya
menganggap bahwa aku akan bersikap seperti kau juga"
Wajah Singatama menjadi merah menyala. Tetapi ia
tidak berani berbuat sesuatu terhadap pamannya yang
diketahuinya mempunyai kemampuan yang tinggi. Tetapi
dengan demikian, dendamnya kepada pamannya yang
sebenarnya sudah tertanam di hatinya itu menjadi mekar.
"Aku akan mengatakannya kepada guru, bahwa sikap
paman sangat menjengkelkan" berkata Singatama didalam
hatinya. Namun dalam pada itu, ia masih juga berkata "Paman.
Jika demikian, maka aku akan mengambil jalanku sendiri.
Seperti yang aku katakan, maka aku akan mencari tempat
tinggal gadis itu. Aku akan mengambilnya. Disetujui atau
tidak disetujui" "Kau harus menghargainya sebagai seorang manusia
seperti kau dan aku" berkata Empu Nawamula "kau tidak
dapat berbuat sewenang-wenang. Jika ia dan keluarganya
menolak, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa"
"Aku bukan seorang yang lunak hati seperti paman"
berkata Singatama. Lalu "Karena itu, aku akan bertindak
lebih keras. Aku akan memerintahkan setiap cantrik di
padepokan ini untuk menyebar. Aku akan membatasi kerja
mereka sepekan. Mereka harus berkumpul dan melaporkan
hasil perjalanan mereka untuk mencari seorang gadis yang
aku inginkan. Jika semua cantrik masih belum
mendapatkannya, maka aku akan menganggap semuanya
bersalah, sehingga aku akan menghukum mereka menurut
caraku. Aku mohon paman tidak ikut campur, karena
cantrik yang berada di padepokan ini adalah cantrik-cantrik
yang berada dibawah kuasaku. Paman hanya mewakili
kuasaku disini. Karena jika paman turut campur, maka aku
cemas bahwa gurukupun akan ikut campur pula. Tentu
hatiku tidak akan tenang melihat perselisihan antara paman
dan guru, karena apapun yang akan terjadi atas paman,
terasa sakit pula di hatiku"
"Terima kasih" berkata Empu Nawamula "tetapi apakah
dengan demikian kau bermaksud mengancam aku" Aku
tahu bahwa gurumu adalah orang luar biasa. Orang yang
tidak terkalahkan. Tetapi akupun bukan orang yang takut


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikalahkan. Bahkan mati sekalipun dalam mempertahankan
sikap" Wajah Singatama menjadi tegang. Ia belum pernah
melihat sikap pamannya sekeras itu. Bahkan pada saat-saat
lampau, betapapun juga, pamannya masih menunjukkan
sikap yang lunak dan cenderung memenuhi segala
keinginannya. Tetapi agaknya Empu Nawamula telah benar-benar
kehabisan kesabaran menghadapi kemanakannya. Apalagi
ketika ternyata Singatama telah kehilangan dasar
pertimbangan nalar dan martabat kemanusiaannya
menghadapi gejolak perasaannya terhadap seorang gadis,
"Jika sekali ini aku juga memenuhi keinginannya, maka
berarti bahwa akupun telah terlibat pada satu sikap yang
salah terhadap kemanusiaan" berkata Empu Nawamula
kepada diri sendiri. Sehingga dalam sikap yang demikian,
sementara itu Singatama masih saja selala bersikap kasar,
maka Empu Nawamulapun tidak lagi dapat bersikap lunak.
Namun dalam pada itu, Singatama bukannya
mempertimbangkan sikap pamannya sebagai satu usaha
pencegahan terhadap niatnya yang salah, namun justru
sebaliknya. Singatama telah mendendam kepada pamannya
dan sekaligus telah mengambil satu cara tersendiri untuk
mendapatkan gadis yang disembunyikan itu.
Untuk langsung mengambil sikap terhadap Ki Raganiti,
bahkan oleh gurunya sekalipun, Singatama memang masih
harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin
Raganiti tidak memiliki kemampuan sama sekali
dibandingkan dengan gurunya. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh Empu Nawamula, bahwa Ki Raganiti tidak
berdiri sendiri. Apalagi gurunyapun telah mengatakan
kepada Singatama, agar ia berusaha sejauh dapat
dilakukannya, baru kemudian jika ia benar-benar gagal,
gurunya akan turun memasuki persoalannya dengan
langsung. "Kau sudah dewasa" berkata gurunya persoalannya
bukan persoalan yang rumit. Katakan kepada pamanmu.
bahwa kau perlu gadis itu. Dan katakan kepada pamanmu,
bahwa ia harus melamar untukmu"
Pamannya memang sudah melakukannya. Tetapi tidak
seperti yang diharapkannya, bahwa pamannya akan dapat
memaksa Ki Raganiti untuk menerima lamarannya, atau
menunjukkan dimana gadis itu disembunyikan. Bahkan
pamannya itu sama sekali tidak merasa gentar ketika ia
menyebut-nyebut bahwa gurunya akan dapat mengambil
satu sikap tertentu terhadapnya.
"Paman sudah kehilangan tanggung jawabnya sebagai
wakil orang tuaku" berkata Singatama didalam hatinya
"seharusnya paman lebih baik bermusuhan dengan Ki
Raganiti daripada dengan kemanakannya sendiri yang tentu
akan dibantu oleh gurunya"
Tetapi sikap Empu Nawamula sudah jelas. Ia lebih
senang menghadapi kemanakan dan guru kemanakannya
itu daripada memaksakan kehendaknya kepada orang lain
yang justru memerlukan perlindungan.
Dalam kesesakan nalar, Singatama itu berkata kepada
diri sendiri "Agaknya paman benar-benar ingin
menyingkirkan aku, dan dengan demikian paman akan
memiliki padepokan ini sepenuhnya. Paman telah membuat
perapian untuk membuat keris di padepokan ini dan
menerima cantrik-cantrik baru yang tentu akan berpihak
kepadanya" Justru karena itu, maka sikap Singatamapun menjadi
semakin keras. Ia benar-benar ingin bertindak sebagaimana
di katakannya. Ia akan memerintahkan semua cantrik untuk
menyebar dan mencari gadis yang telah memikat hatinya,
kemanakan Ki Raganiti yang memang bernama Widati.
Karena itu, ketika Empu Nawamula benar-benar sudah
bersikap keras, maka Singatamapun telah mengambil satu
langkah yang sebenarnya sangat menyakiti hati Empu
Nawamula. Singatama yang marah itupun telah mengumpulkan para
cantrik tanpa persetujuan Empu Nawamula. Namun Empu
Nawamula tidak mencegahnya. Ia sedang mencari cara
yang paling baik untuk mengatasi persoalan yang justru
terasa menjadi semakin panas.
"Pergilah kalian kemana saja" berkata Singatama "kalian
harus kembali dalam sepekan. Satu diantara kalian harus
menemukan, dimana seorang gadis yang bernama Widati
bersembunyi" Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum
pernah melihat orang yang harus mereka cari, dan mereka
sama sekali tidak mendapat petunjuk arah yang dapat
menuntun mereka kemana mereka harus pergi.
Tetapi Singatama itu berkata "Tidak ada alasan yang
dapat kalian pergunakan untuk mengelak dari tugas ini. Jika
dalam sepekan tidak seorangpun yang dapat menemukan
orang yang aku kehendaki, maka kalian semuanya, seisi
padepokan ini akan aku hukum. Kalian tidak akan dapat
melawan aku, karena aku memiliki kekuatan yang tidak
akan dapat kalian lawan. Sementara itu, siapa yang dengan
sengaja melarikan diri dan tidak kembali ke padepokan ini,
maka keluarganya akan mengalami nasib yang buruk,
karena sebenarnyalah aku tahu tempat tinggal kalian dan
keluarga kalian" Perintah itu benar-benar telah menggelisahkan. Tetapi
tidak seorangpun yang berani membantah.
Dalam pada itu, satu-satu petunjuk yang mereka dapat
adalah, bahwa gadis itu adalah kemanakan Ki Raganiti dan
sedikit tentang ciri-ciri gadis yang harus mereka cari.
"Tidak masuk akal" berkata para cantrik didalam hati.
Tetapi mereka tidak berdaya untuk menolak. Jika mereka
berani menyatakan pendapat mereka, maka mereka tentu
akan dipukul oleh Singatama tanpa ampun.
Empu Nawamula sendiri tidak membantah atau
mencegah perintah itu. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menemukan gadis itu lebih dahulu
sebelum perintah Singatama itu diberikan. Namun Empu
Nawamula masih belum dapat membayangkan akhir dari
persoalan yang bergejolak itu.
Sementara itu, kegelisahan para cantrik itu benar-benar
telah menggelisahkan seisi padepokan. Para murid Empu
Nawamula dan para pembantu yang lain yang hidup di
padepokan itu, merasa sangat kasihan kepada para cantrik
yang harus memikul tugas yang sangat berat dengan
ancaman hukuman yang mendebarkan jantung. Tetapi
mereka tidak akan dapat menolongnya.
Tetapi satu hal yang luput dari perhatian Singatama,
bahwa mereka tidak mengenal Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sebagaimana ia mengenal para cantrik yang lain. Ia
tidak mengenal keluarganya, sehingga seandainya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu kemudian tidak kembali lagi ke
padepokan, maka Singatama tidak akan dapat mencari
keluarganya. Namun seandainya ia menemukan keluarga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, apakah arti Singatama itu bagi
Mahen-dra. Bahkan seandainya gurunya melibatkan diri
sekalipun, maka Mahendra tentu tidak akan gentar.
Dalam satu kesempatan, maka Empu Nawamulapun
telah bertanya kepada kedua orang anak muda itu, apakah
yang akan mereka lakukan.
"Kami menjadi bingung" jawab Mahisa Murti "apakah
yang sebaiknya kami lakukan menghadapi sikap Singatama
itu. Jika kami tidak menemukan gadis itu, maka para
cantrik yang lain akan mengalami satu penderitaan yang
tentu akan sangat buruk. Singatama benar-benar seorang
yang memiliki watak yang sulit dimengerti. Tetapi sudah
barang tentu, untuk mengatakan tentang gadis itu kepada
Singatama, akibatnyapun akan dapat menjadi sangat pahit
bagi gadis itu" Empu Nawamula itupun menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya "Sayang, aku sama sekali tidak
dapat memberikan takaran kemampuan guru Singatama itu.
Bukan berarti bahwa aku menjadi cemas menghadapinya.
Sudah aku katakan, bahwa aku tidak takut menghadapi
kekalahan. Tetapi jika terjadi demikian, maka aku tidak
akan dapat melindungi siapapun juga yang akan mengalami
nasib yang paling buruk"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun merekapun masih juga belum mendapat gambaran,
apakah yang sebaiknya dilakukan.
"Besok pagi kita harus berangkat. Waktu kita bpiya
sepekan. Apakah artinya yang sepekan itu bagi para
cantrik" desis Mahisa Pukat.
"Kita akan berpikir semalam suntuk. Mudah-mudahan
besok kita menemukan satu cara" berkata Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah. Kita akan berpikir semalam suntuk"
Sebenarnyalah mereka telah memikirkan cara yang
paling baik untuk dilakukan. Tingkah laku Singatama
bukan saja telah menyentuh rasa keadilan, tetapi adalah
satu kebetulan bahwa gadis yang disebut-sebut itu adalah
gadis yang bernama Widati, gadis yang mempunyai arti
khusus bagi Mahisa Murti.
Tetapi yang lebih penting lagi, bahwa di belakang
Singatama berdiri satu padepokan yang memiliki corak
tersendiri. Satu padepokan yang dipimpin oleh seseorang
yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bersumber pada
kekuatan hitam yang mengerikan.
Persoalan yang menyangkut Widati hanyalah satu dari
seribu persoalan yang dapat ditimbulkan oleh padepokan
itu. Pada dasarnya segala macam tingkah laku yang
menyimpang dari peradaban akan dapat terjadi.
Padepokan itu akan menjadi sumber yang akan
mengalirkan sikap dan tingkah laku yang merugikan
bebrayan manusia disekitarnya. Karena itulah, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggap bahwa
persoalannya sebenarnya tidak terbatas pada persoalan niat
Singatama untuk mengambil Widati saja, tetapi
menyangkut sikap isi padepokan itu dalam keseluruhan
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang berada di serambi didepan perapian, sempat berbicara
panjang tentang rencana yang akan mereka tempuh.
"Jika kita hanya memotong rencana Singatama kali ini,
maka kita baru dapat membendung salah satu saluran yang
bersumber dari padepokan itu. Padahal padepokan itu tentu
akan mempunyai banyak sekali saluran yang akan mengalir
kesekitarnya dengan membawa arus air yang beracun"
berkata Mahisa Murti. "Sayang bahwa kita belum dapat menjajagi kekuatan
yang tersimpan didalam padepokan itu" berkata Mahisa
Pukat. "Tetapi bagaimanapun juga, kekuatan di padepokan itu
mempunyai batas. Menurut pendengaran kita, hanya
seorang sajalah yang perlu disegani. Pemimpin padepokan
itu sendiri" berkata Mahisa Murti.
"Tentu ada beberapa orang putut yang mempunyai
kemampuan yang pantas diperhitungkan" berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya
"Perhitungan Empu Nawamula memang pantas
diperhatikan. Empu Nawamula sama sekali tidak menjadi
gentar Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka akibatnya
akan sangat buruk bagi orang-orang yang tersisa. Sehingga
dengan demikian, maka Empu Nawamula perlu membuat
perhitungan yang sebaik-baiknya"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera menjawab. Ketika ia melihat seorang cantrik berjalan
ke pakiwan, maka iapun berguman "Anak itu tidak dapat
tidur" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Seperti
kita, ia juga gelisah karena perintah Singatama"
"Tentu banyak diantara para cantrik yang masih belum
tertidur" berkata Mahisa Pukat.
"Ya. Dan kita tidak dapat membantu mereka" sahut
Mahisa Murti. Keduanyapun kemudian saling berdiam diri untuk
beberapa saat. Mereka sedang merenungi, apa yang
sebaiknya harus mereka lakukan. Waktu mereka tinggal
sedikit. Esok, mereka akan menyampaikan pendapat
mereka kepada Empu Nawamula, atau sebaliknya Empu
Nawamulalah yang menemukan jalan yang paling baik
untuk ditempuh. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata
"Mahisa Pukat. Apakah kita bersalah, jika seandainya kita
melibatkan orang lain dalam persoalan ini. justru dalam
satu usaha untuk menumpas langsung sumber dari tindakan
yang dapat mengotori pergaulan manusia itu"
"Maksudmu, kita melaporkannya kepada prajurit
Singasari atau katakanlah kepada kakang Mahisa Bungalan
agar ia membawa prajurit segelar sepapan?" bertanya
Mahisa Pukat. "Jika demikian, belum tentu usaha itu akan berhasil"
jawab Mahisa Murti "sebelum pasukan itu mengepung
padepokan Singatama, mereka tentu sudah berhasil
melarikan diri. Atau berusaha untuk menghapuskan segala
macam jejak kejahatan mereka sehingga para prajurit di
Singasari tidak akan dapat bertindak tanpa bukti yang kuat"
"Lalu apa maksudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita melaksanakannya sendiri. Jika kami menyeret
lingkungan keprajuritan dan kita tidak menunjukkan buktibukti
yang cukup, maka justru kita akan dapat dituduh
memfitnah sebuah padepokan" berkata Mahisa Murti.
"Ya. Dan apakah yang akan kita lakukan?" Mahisa
Pukat tidak sabar. 4- Kita menghubungi ayah" jawab Mahisa Murti.
" Ayah" Kita ajak ayah, paman Witantra, paman Mahisa
Agni dan beberapa orang lainnya untuk menyerang
padepokan itu?" bertanya Mahisa Pukat "apakah kita dapat
menyerang satu padepokan tanpa menunjukkan alasan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kuat. Kita tidak mempunyai persoalan apapun juga.
Tiba-tiba saja kita menyerangnya"
t- Bukan kita yang menyerang. Biarlah mereka yang
menyerang kita" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia
menggeleng "Aku tidak mengerti"
" Aku akan minta ";"ii dan sokurlah jika paman Witantra
dan paman Mahisa Murti bersedia melaksanakannya, untuk
menjebak guru Singatama itu" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia belum
jelas maksud Mahisa Murti. Maka katanya "Aku kurang
mengerti. Bagaimana kau akan menjebak mereka"
" Kita bujuk semua cantrik yang besok akan keluar dari
padepokan ini untuk berkumpul disebuah padepokan baru.
Kits minta ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni
untuk memimpin padepokan itu. Dengan demikian, maka
padepokan yang baru itu akan menarik perhatian
padepokan Singatama. Ia tentu akan marah karena para
cantriknya telah kita himpun"
" Dalam waktu lima hari?" bertanya Mahisa Pukat.
" Kita tidak perlu membuat sebuah padepokan yang sudah
jadi. Kita akan memagari sebuah lingkungan di hutan. Kita
bersama para cantrik akan membangun barak-barak untuk
berteduh. Aku kita, tidak akan ada tenggang waktu lama,
kita sudah berhasil memancing persoalan dengan
padepokan Singatama" berkata Mahisa Murti.
" Tetapi bagaimana sikap kita, jika ternyata guruSinga-tama
tidak mengambil sikap apapun juga" berkata Mahisa Pukat.
" Kita bekerja bersama dengan Ki Raganiti dan Ki Buyut
Randumalang"jawab Mahisa Murti.
" Caranya?" bertanya Mahisa Pukat pula.
" Jika kehadiran para cantrik disini tidak dapat memancing
persoalan, maka kita minta Ki Buyut Randumalang
membawa anak gadisnya kemari. Memang perlu penjelasan.
Tetapi untuk keselamatan gadis itu, dan lebih luas lagi,
untuk keselamatan lingkungan hidup disekitar padepokan
itu, aku kira mereka tidak akan berkeberatan" sahut Mahisa
Murti. " Satu kerja yang besar. Waktunya hanya lima hari. Aku
kurang yakin, bahwa usaha ini akan berhasil" berkata
Mahisa Pukat. Lalu "Tetapi aku. tidak akan segan untuk
mencobanya" i " Jika kau sependapat, kita temui Empu Nawamula. Kita
akan melaporkan rencana ini. Jika Empu Nawamula setuju,
kita akan melakukannya. Kita akan menghubungi para
cantrik dan minta mereka berkumpul disatu tempat sepekan
lagi. Sementara itu, kita akan minta ayah, paman Witantra
dan paman Mahisa Agni atau salah seorang diantara mereka.
Jika kita kemudian berhasil, kita akan menyerahkan
para cantrik kembali kepada Empu Nawamula disini"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Rencana itu belum
jelas dan belum terperinci. Tetapi Mahisa Pukat sudah
mendapat gambaran akan ujudnya. Karena itu, maka iapun
sependapat untuk menyampaikannya kepada Empu
Nawamula, untuk selanjutnya menghubungi para cantrik
yang sedang gelisah. Dengan hati-hati kedua orang anak muda itupun kemudian
berusaha menghubungi Empu Nawamula. Dengan singkat
merekapun memberitahukan rencana mereka.
" Apa kalian akan sempat melakukannya hanya dalam
waktu sepekan?" bertanya Empu Nawamula.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ada
juga terasa nada keraguan, tetapi ia berkata "Kami ber dua
akan berusaha sebaik-baiknya Empu. Tetapi sudah tentu,
kami akan memohon untuk mendapat pinjaman dua ekor
kuda" Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku akan mengusahakan dua ekor kuda. Jika Singatama
menanyakannya, biarlah aku yang menjawabnya"
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murtipun bertanya "Empu. Bagaimana pendapat
Empu jika mulai saat ini kami akan menghubungi para
cantrik?" " Baiklah. Kalian tidak usah menghubungi semua cantrik.
Kalian cukup mengatakannya kepada satu dua orang
diantara mereka dengan pesan agar mereka
menyampaikannya pula kepada kawan-kawan mereka"
" Tetapi apakah dengan cara demjkian, tidak akan mungkin
rencana ini sampai ketelinga Singatama?" bertanya Mahisa
Pukat. -] Tidak. Tidak seorangpun diantara para cantrik yang
tertarik untuk bekerja bersamanya" jawab Empu
Nawamula. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun menjadi mantap. Seperti yang dikatakan oleh Empu
Nawamula, maka mereka tidak lagi ingin menghubungi
semua cantrik, karena dengan demikian maka bahayanya
akan menjadi bertambah besar
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya
menghubungi seorang cantrik yang kepanasan di dalam
barak dan duduk dibawah sebatang pohon jam bu.
" Kenapa kau tidak tidur?" bertanya Mahisa Murti.
" Udara panas sekali" jawab cantrik itu.
" Lebih panas lagi denyut jantung didalam dada ini" desis
Mahisa Pukat. Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menanggapinya. Ada semacam ketakutan untuk
mengatakan sesuai dengan perasaannya, karena cantrik itu
sudah mengenal Singatama dengan baik.
Namun dalam pada itu Mahisa Murtipun kemudian duduk
di sebelahnya, sementara Mahisa Pukat duduk agak jauh
dari keduanya mengamati keadaan disekelilingnya.
Dengan hati-hati Mahisa Murti menyatakan rencananya.
Dengan sungguh-sungguh cantrik itupun
mendengarkannya. Namun kemudian dengan nada cemas
cantrik itu berkata "Apa yang dapat kita lakukan" Setelah
kita berkumpul, lalu apakah dengan demikian kita akan
dapat menyelamatkan diri jika Singatama datang
menghukum kita" Katakanlah, kita dapat melupakan
kemungkinan Singatama mencari keluarga kita, karena
waktu yang sepekan itu kita pergunakan untuk
memberitahukan kepada keluarga kita agar menyingkir,
tetapi apakah artinya kita sendiri berkumpul disatu tem-pat
itu?" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
katanya "Kita akan menyusun kekuatan"
" Aku bukan pemimpin Ki Sanak" jawab cantrik itu "jika
kami melakukan seperti yang kau katakan, maka akan sama
artinya bahwa kita akan bunuh di ri"
Mahisa Murti termangu-mangu. Ia dapat mengerti jalan
pikiran cantrik itu. Karena itu maka katanya "Ki Sanak.
Singatama bukan iblis yang tidak terkalahkan. Jika kita
berani berbuat sesuatu bersama-sama, maka ia akan dapat
kita tundukkan. Aku dan saudaraku telah bersepakat,
bahwa kita semuanya tentu akan dapat mengalahkannya"
" Seandainya Singatama dapat kita kalahkan, DuKanKan
berarti kita sudah mengundang gurunya untuk membantai
kita semua?" berkata cantrik itu.
" Jika kita sendiri yang menghadapinya, memang benar.
Tetapi kita percaya kepada Empu Nawamula" berkata
Mahisa Murti ragu-ragu untuk menyebut nama itu. Tetapi
kemudian "Seandainya Empu Nawamula tidak mau
melibatkan diri, karena Singatama adalah kemanakannya,
maka aku mempunyai seorang paman yang memiliki ilmu
yang tinggi" Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau
tidak dapat membayangkan, betapa tingginya ilmu
Singatama dan apalagi gurunya"
" Tetapi kemampuan seseorang tetap terbatas" jawab
Mahisa Murti "aku yakin, bahwa pamanku dan kawankawannya
akan dapat mengatasinya, jika kalian benarbenar
berniat demikian. Jika kita berani mempertanggung
jawabkan segala tindakan kita, maka kita akan berhasil.
Seandainya tidak, kenapa kita takut mati" Aku orang baru
disini. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti kalian.
Karena itu, aku akan memilih untuk melawan. Jika dengan
demikian aku harus mati, apaboleh buat. Tetapi itu lebih
baik bagi seorang laki-laki"
Cantrik itu termangu-mangu. Anak muda itu menyatakan
satu sikap seorang laki-laki.
" He, apakah aku bukan laki-laki?" cantrik itu bertanya
kepada diri sendiri. Sejenak cantrik itu berpikir. Sementara itu Mahisa Murti
berkata "Kita selama ini terlalu merasa kecil, sehingga kita
tidak percaya bahwa didalam diri kitapun tersimpan
kemampuan yang dapat ikut menentukan hari depan kita
sendiri. Seandainya kekuatan kita itu tidak berhasil
memecah dinding yang membatasi hari depan kita, maka
biarkan kita berkubur sebagai pejuang yang
memperjuangkan masa depan kita sendiri"
Kata-kata cantrik itu benar-benar berpengaruh, sehingga
akhirnya cantrik itu berdesis "Kau dapat aku percaya?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai
berpengharapan bahwa usahanya akan berhasil.
Karena itu. maka Mahisa Murtipun menjadi semakin
bergairah untuk mempengaruhinya. Katanya "Aku menjadi
taruhan. Jika harus bertaruh nyawa, maka biarlah aku yang
pertama-tama" " Baiklah" berkata cantrik itu. Lalu "Sebenarnya akupun
telah menjadi jemu dibayangi oleh ketakutan dan
kecemasan. Rasa-rasanya aku ingin membebaskan diri. Kini
baru aku sadar, bahwa bagi laki-laki memang ada pilihan
lain dari ketakutan itu sendiri"
" Nah, percayalah" berkata Mahisa Murti kemudian "di
tempat yang akan kita tentukan kemudian, kita dapat ber
temu dan berkumpul untuk menentukan langkah, maka
alangkah baiknya. Kita akan dapat berbuat sesuatu sebagai
sekelompok laki-laki yang mempunyai pribadi yang
mantap. Bukan sekedar budak yang harus melakukan
perintah tanpa mengetahui ujung dan pangkalnya. Bahkan
lebih dari itu. Kita telah diperlakukan sebagai seekor kuda
yang berlari kalau dilecuti"
Cantrik itu mengangguk-angguk.- Jiwanya tiba-tiba saja
telah bergejolak. Namun ia masih bertanya "Tetapi
bagaimana dengan kawan-kawan kita?"
" Kita harus memberitahukan kepada mereka sesuatu yang
paling baik kita lakukan" jawab Mahisa Murti "kita akan
menentukan satu tempat untuk bertemu setelah sepekan.
Bahkan sebelum itu. Kita akan berkumpul dan membuat
satu padepokan baru. Tentu sikap itu akan menantang
kemarahan Singatama. Tetapi bukankah kita tidak takut
lagi menghadapinya. Lebih baik kita lebur menjadi debu
daripada kita dianggap sebagai seekor binatang yang dapat
diperlakukan sewenang-wenang?"
Cantrik itu menganguk-.-.ngguk. Sementara itu Mahisa
Murti berkata "Tentukan, dimana kita berkumpul. Dan beritahukan
semua cantrik yang ada di padepokan ini. Besok
pagi-pagi aku akan meninggalkan padepokan ini. Aku akan
Snencuri dua ekor kuda dan aku akan meninggalkan
padepokan ini untuk mempersiapkan segala-galanya"
" Tetapi kau benar-benar dapat dipercaya?" cantrik itu
masih bimbang. " AKu orang baru disini. Tetapi aku merasa bahwa tanpa
berbuat sesuatu, kita akan benar-benar menjadi budak yang
tidak lebih berharga dari debu" jawab Mahisa Murti.
" Baiklah. Jika demikian aku akan memberitahukan kepada
para cantrik" jawab cantrik itu.
" Tetapi hati-hati. Jika ada seorang saja diantara para
cantrik yang berkhianat, maka kita semuanya akan gagal.
Sebelum aku keluar dari padepokan ini esok pagi, aku
sudah narus membukukan kata-Kataku bahwa aku lebih
baik hancur menjadi debu daripada diperbudak oleh orang
lain. Sela ma aku berada disini, aku merasa.alangkah
damainya tempat ini. Tetapi kehadiran Singatama membuat
aku menjadi orang yang liar dan berdarah panas seperti ini"
berkata Mahisa Murti. " Tetapi apa gunanya kau mencuri kuda" Bukankah lebih
baik kau pergi sebagaimana kami pergi. Dengan demikian
Cantrik itu mengangguk-angguk.
Jiwanya tiba-tiba saja telah bergejolak. Marnun ia masih
bertanya" Tetapi bagaimana dengan kawan-kawan kita?"
kita tidak akan meninggalkan kesan apapun juga. Seolaholah
kita memang sedang melakukan tugas kita seba ikbaiknya"
berkata cantrik itu. " Tetapi tanpa kuda aku tidak akan dapat mencapai rumah
orang yang aku harap dapat bekerja sama dengan kita"
berkata Mahisa Murti "waktu kita hanya sepekan"
Cantrik itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
berkata "Terserahlah kepadamu. Tetapi jika kalian
tertangkap esok pagi, aku akan menyesal sekali. Semua
rencana tentu akan batal. Keberanian kita akan lenyap jika
pada langkah pertama kita sudah gagal"
" Aku akan berusaha, agar aku tidak tertangkap" berkata
Mahisa Murti. Demikianlah, maka cantrik itupun telah menyatakan
kesediaannya untuk melakukan rencana itu. Ia akan
menghubungi cantri-cantrik yang lain.
Setelah mereka menentukan tempat untuk bertemu setelah
mereka meninggalkan padepokan itu dengan batas waktu
sepekan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah
meninggalkan cantrik itu.
Seperti yang telah dijanjikan, maka cantrik itupun telah
menghubungi seorang kawannya. Ia mulai menjajagi sikap
kawannya itu. Namun akhirnya ia berhasil mengajak
kawannya itu untuk melakukannya. Demikianlah keduanya
mulai menghubungi kawannya yang lain, bertunda dan
berurutan, sehingga akhirnya sebelum pagi mereka
semuanya telah mendengar dan menyepakati rencana itu.
Kejantanan mereka ternyata telah tergugah, sehingga


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka memang memilih untuk melawan Singatama
daripada mereka harus menjalani kehidupan tidak lebih dari
budak yang tidak berarti apa-apa selain diperlakukan
sebagai seekor-binatang. Dengan demikian, maka para cantrik itupun tidak lagi
dapat tidur nyenyak di sisa malam. Mereka sudah
membayangkan, apa .yang akan terjadi setelah sepekan.
Namun dalam pada itu, mereka telah berdoa, agar kedua
anak muda yang akan melarikan diri dengan dua ekor kuda
iitu tidak tercium rencananya oleh Singatama, sehingga
keduanya akan dapat mengalam i nasib yang sangat buruk.
Seperti yang direncanakan, atas pengetahuan Empu
Nawamula, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menyiapkan dua ekor kuda. Mereka akan
mempertanggungjawabkan kedua ekor kuda itu. Keduanya
tidak akan membebani kesulitan kepada Empu Nawamula
jika Empu Nawamula yang harus
mempertanggungjawabkannya.
Empu Nawamula mengagumi sikap AJahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Bukan saja keberanian mereka mengambil
sikap, tetapi juga karena mereka siap untuk bertanggung
jawab atas sikap mereka. Dalam keheningan pagi, padepokan itu telah dikejutkan
oleh derap kaki kuda. Dua ekor kuda berlari meninggalkan
padepokan itu dengan dua orang penunggangnya.
Demikian cepatnya berlalu, sehingga tidak seorangpun yang
sempat mencegahnya. Singatama dan orang-orang yang mengawalnya terkejut.
Mereka berloncatan dari pembaringan dan berlari keluar.
Tetapi keheningan telah kembali mencengkam padepokan
itu. Dengan marah Singatamapun mengumpulkan semua
cantrik. Ia ingin segera mengetahui, apakah ada diantara
para cantrik itu yang meninggalkan padepokan.
Singatama yang marah itupun segera mengetahui, dua
diantara para cantrik telah lenyap. Dua orang cantrik yang
paling baru datang kepadepokan itu.
Jantung Singatama hampir meledak karenanya. Dengan
nada lantang ia berteriak Panggil paman Nawamula"
"Aku disini Singatama" jawab Empu Nawamula "jangan
berteriak-teriak begitu. Ada apa?"
Terasa sentuhan yang tajam di dadanya. Bagaimanapun
juga orang tua itu mempunyai pengaruh yang besar atasnya.
Bukan saja karena ia pamannya. Tetapi Singatamapun tahu
bahhwa pamannya adalah orang yang berilmu tinggi.
Sehingga karena itu, maka iapun harus menahan diri untuk
tidak bertindak tergesa-gesa.
Namun dalam pada itu, ketika Empu Nawamula
melangkah mendekatinya, Singatama itu bertanya "Paman,
apakah paman yang telah menerima kedua orang anak
muda itu di padepokan ini?"
"Ya. Akulah yang telah menerimanya" jawab Empu
Nawamula. "Apakah paman mengetahui, dimana rumahnya dan
siapa saja keluarganya?" bertanya Singatama pula.
Empu Nawamula menggeleng. Jawabnya "Belum. Aku
tidak mengenal kecuali kedua orang anak muda itu.
Keduanya datang di padepokan ini untuk mohon
perlindungan. Keduanya adalah perantau yang tidak
mempunyai tempat tinggal tertentu"
"Paman terlalu memanjakan mereka" bentak Singatama.
"Jangan membentak aku. Akulah yang lebih pantas
membentakmu, karena akulah pengganti orang tuamu"
sahut Empu Nawamula. Lalu katanya "Ketahuilah Selama
keduanya berada di padepokan ini, keduanya menunjukkan
sikap yang sangat baik. Mereka sama sekali tidak
menunjukkan gejala-gejala seperti yang baru saja terjadi.
Tetapi kedatanganmu dan sikapmu telah merubah segalagalanya.
Agaknya keduanya tidak terbiasa mengalami
kekerasan seperti yang kau lakukan"
Wajah Singatama menjadi merah. Tetapi sebelum ia
menjawab Empu Nawamula telah berkata "Apalagi
perintah yang kau keluarkan untuk mencari seseorang yang
tidak dikenal dengan batas waktu sepekan. Benar-benar satu
perintah yang tidak masuk akal. Karena itulah agaknya
mereka telah memilih untuk melarikan diri. Celakanya,
mereka telah membawa dua ekor kuda yang paling baik
dari padepokan ini" Singatama menggeretakkan giginya. Dengan nada kesal
ia berkata "Persetan dengan kedua orang itu. Tetapi bahwa
mereka telah membawa dua ekor kuda dari padepokan ini,
aku tidak akan pernah melupakan. Jika pada suatu saat aku
dapat menjumpai keduanya, maka aku tidak akan
memaafkannya. Aku akan mengambil tindakan yang paling
sesuai dengan kesalahan mereka"
"Terserah kepadamu. Jika kau tidak sedang berada di
padepokan ini, maka aku dapat kau tuntut untuk
mempertanggung-jawabkan hilangnya dua ekor kuda.
Tetapi justru kau berada disini, maka tanggung jawab itu
tidak seluruhnya terletak di pundakku" berkata Empu
Nawamula. Singatama hampir tidak dapat mengendalikan dirinya.
Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa pamannya adalah orang
yang berilmu tinggi. Karena itu, tiba-tiba ia telah
menumpahkan kemarahannya kepada para cantrik.
Katanya dengan keras "Persetan semuanya. Aku tidak mau
melihat kelambatan yang akan dapat membuat aku semakin
marah. Kalian, para cantrik yang dungu. Aku tidak mau
melihat kau dengan bodoh berdiri membeku. Sekarang juga
kalian harus pergi. Sepekan lagi kalian harus kembali. Siapa
yang tidak kembali akan mengalami hukuman yang sangat
berat. Tetapi jika tidak seorangpun diantara kalian yang
membawa gadis yang aku kehendaki, maka aku tidak akan
memaafkan kalian lagi. Tingkah laku kedua orang cantrik
itu membuat kepalaku pening dan darahku mendidih"
Para cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun
mereka merasa bersukur bahwa Singatama tidak berbuat
sesuatu yang dapat membuat mereka dalam kesulitan.
"Cepat" teriak Singatama semakin keras. Bersiaplah.
Sebelum matahari terbit, kalian harus sudah meninggalkan
padepokan ini. Jika aku masih melihat seseorang di
padepokan ini, maka ia akan aku cekik sampai mati"
Perintah itu tidak diulangi. Para cantrikpun dengan
tergesa-gesa telah pergi kedalam barak mereka untuk
membenahi diri dan barang-barang yang akan mereka bawa
dalam perjalanan mereka yang lima hari. Sebagaimana
mereka sepakati, maka merekapun telah membawa senjata
yang mereka punyai tanpa menimbulkan kecurigaan pada
Singatama, karena para cantrik itu akan menempuh sebuah
perjalanan yang mungkin akan menjumpai bahaya.
Seperti yang diperintahkan oleh Singatama, maka
sebelum matahari terbit, merekapun telah meninggalkah
padepokan itu. Tetapi justru karena mereka meninggalkan padepokan
sebelum matahari terbit dan dengan tergesa-gesa, maka
mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk
menentukan sikap mereka sebagaimana telah mereka
bicarakan semalam. Sambil meninggalkan padepokan, mereka sempat
berbicara lebih mantap tentang rencana mereka. Sementara
itu, merekapun berusaha untnk mengelabui Singatama
apabila ia melakukan pelacakan atas para cantrik dengan
memencar diri barang semalam, sebelum mereka akan
menuju kesatu tempat yang telah mereka sepakati.
Tetapi para cantrik itu tidak pergi sendiri-sendiri. Mereka
telah membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri
dari tiga orang. Bertiga mereka akan memencar dan
akhirnya akan berkumpul kembali tanpa menghiraukan
apakah gadis yang dicari oleh Singatama itu akan dapat
ditemukan. Yang penting bagi mereka, justru kesempatan untuk
menghubungi keluarga mereka. Agaknya ada diantara para
cantrik yang menganggap bahwa untuk sementara keluarga
mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka ke
tempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga, agar
mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama.
Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka
akan kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
jauh meninggalkan padepokan. Kuda mereka berpacu
dengan kecepatan yang tinggi. Sebagai pengembara,
merekapun berusaha untuk mengenali jalan yang mereka
tempuh, sehingga mereka akan dapat menemukan arah
kembali ke rumahnya. "Jarak kita dengan rumah kita belum terlalu jauh"
berkata Mahisa Murti "meskipun demikian, mungkin kita
tidak akan dapat mencapai rumah kita pada malam ini"
"Kita akan bermalam di perjalanan" berkata Mahisa
Pukat "meskipun dengan seekor kuda, kita dapat
mempersingkat jarak. Tetapi selambat-lambatnya esok kita
sudah berada dirumah. Jika kita bermalam semalam, maka
dihari berikutnya kita akan berangkat. Katakanlah kita akan
bermalam lagi semalam di perjalanan. Maka kita telah
mempergunakan tiga malam bagi perjalanan kita"
"Dengan demikian, kita masih mempunyai waktu untuk
menyusun diri. Mudah-mudahan usaha ini berhasil,
meskipun kita masih harus mengganggu ketenangan orang
tua. Tetapi masalahnya adalah masalah yang penting, yang
menyangkut peri kehidupan banyak orang" berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Setidak-tidaknya kita sudah berusaha untuk dapat
memberikan keterangan tentang orang-orang yang
mempunyai sikap yang tidak terpuji itu. Mudah-mudahan
ayah tidak menganggap bahwa ternyata kita masih terlalu
kanak-kanak yang merengek dalam kesulitan"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia yakin, bahwa
ayahnya tidak akan menganggapnya demikian. Persoalan
yang dihadapimya saat itu memang persoalan yang cukup
berat, karena mereka harus berhadapan dengan satu
padepokan yang dipimpin oleh seseorang yang menurut
pendengaran mereka mempunyai kemampuan yang sangat
tinggi, meskipun bersumber pada ilmu hitam.
Demikianlah, kedua anak muda itu berpacu terus. Sekalisekali
mereka memang berhenti untuk memberi kesempatan
kepada kuda mereka untuk beristirahat, minum ian makan
secukupnya. Sementara kedua anak muda itu justru tidak
merasa lapar sama sekali perlu untuk berhenti dan makan
secukupnya, karena mereka harus mempertahankan
keseimbangan tubuh mereka.
Ternyata kedua orang anak muda itu tidak mengalami
hambatan disepanjang perjalanan. Mereka memang harus
bermalam di lereng sebuah bukit padas kecil yang gundul.
Hanya ada satu dua batang pohon yang tumbuh
dilerengnya. Namun di sebelah bukit itu mengalir sebatang
sungai yang berair sangat bening.
Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengejutkan Mahendra. Karena itu maka dengan tergopohgopoh
ia menyongsong kedua anaknya sambil bertanya
langsung apakah ada sesuatu kesulitan di perjalanan
mereka. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesagesa.
Justru karena sikapnya itu, maka Mahendrapun
menjadi tenang. Baru setelah duduk, minum dan makan, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun mulai menceriterakan, dorongan
apakah yang telah membawa mereka kembali kepada
ayahnya setelah mereka menempuh perjalanan yang masih
terhitung sangat pendek. Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Kalian telah
mengambil langkah yang benar. Kalian memang tidak
sepantasnya menghadapi satu kekuatan yang tidak kalian
ketahui. Bahkan Empu Nawamulapun tidak dapat
menentukan apakah ia akan dapat mengatasi atau tidak.
Padahal menurut pengenalanku atas Empu itu, ia adalah
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Semenntara itu Mahisa Murtipun menceriterakan rencana
mereka untuk memancing persoalan, sehingga ada alasan
untuk melawan padepokan yang berilmu hitam itu. Yang
akan dapat melakukan tindak sewenang-wenang terhadap
pihak lain disekitar daerah pengaruh padepokan itu, bahkan
sampai ke tempat yang jauh.
"Satu contoh telah terjadi ayah" berkata Mahisa Pukat
kemudian "kesewenang-wenangan Singatama terhadap
seorang gadis, anak Ki Buyut Randumalang. Jika
keluarganya gagal melindunginya, maka ia akan mengalami
nasib yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, tentu
kesewenang-wenangan yang lain akan mungkin saja terjadi,
mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka
setempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga,
agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama.
Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka akan
kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula"
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
jauh meninggalkan padepokan. Kuda mereka berpacu
dengan kecepatan yang tinggi. Sebagai pengembara,
merekapun berusaha untuk mengenali jalan yang mereka
tempuh, sehingga mereka akan dapat menemukan arah
kembali ke rumahnya. Mahendra mendengarkan keterangan kedua anaknya itu
dengan seksama. Sehingga dengan demikian, maka rasa
keadilannyapun telah disentuh pula. Dengan demikian,
maka iapun merasa terpanggil untuk ikut bersama anakanaknya
itu menghadapi satu kekuatan hitam yang akan
dapat mengguncangkan ketenangan hidup bebrayan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatpun bertanya
"Apakah ayah akan pergi sendiri atau seperti biasanya,
ayah akan bertamasya bersama paman Witantra dan paman
Mahisa Agni?"

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman-pamanpun sudah menjadi semakin tua. Tetapi
jika aku mengajak mereka, aku kira merekapun tidak akan
berkeberatan" berkata Mahendra.
"Waktu kita sangat sempit, 'ayah" berkata Mahisa Murti.
"Baiklah. Hari ini aku akan menghubungi pamanpamanmu.
Jika mereka tidak sedang terlalu sibuk aku kira
mereka tidak akan berkeberatan pergi bersamaku" berkata
Mahendra. Namun kemudian iapun bertanya "Tetapi,
dapatkah kau mengatakan, apakah para pengikut guru
Singatama itu jumlahnya terlalu banyak?"
"Itulah yang sulit aku katakan, ayah" jawab Mahisa
Murti "tetapi menurut pendengaranku, padepokan itu
berkembang dengan cepat. Dengan demikian, maka
padepokan itu telah berhasil menghimpun kekuatan yang
semakin besar dalam landasan ilmu hitam. Justru karena
orang-orang padepokan itu merasa bahwa hidup dan sikap
mereka bebas tanpa kekang sama sekali, dan tidak ada
kekuatan yang akan dapat menghalanginya, maka
padepokan itu menjadi sangat menarik bagi orang-orang
yang menganut cara hidup yang sesat"
"Tetapi bagaimana Singatama itu dapat terjerat?"
bertanya Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
menceriterakan hal itu sebagaimana mereka dengar dari
Empu Nawamula. Sehingga orang tua Singatama sendiri
menjadi kehilangan kesempatan untuk memberikan arah
bagi sikap hidup anaknya.
Manendra mengangguk-angguk. Ia sudah mempunyai
gambaran sikap dari satu lingkungan yang memang dapat
membahayakan sesama. Sehingga karena itu, maka iapun
kemudian berkata "Baiklah. Aku akan menghubungi kedua
pamanmu. Kalian dapat beristirahat barang sejenak disini.
Demikianlah, maka Mahendrapun kemudian
meninggalkan rumahnya untuk menghubungi Witantra dan
Mahisa Agni. Agaknya kedua orang itu akan dapat diajak
berbuat sesuatu menghadapi tingkah laku yang
menyimpang dari sikap kewajaran hidup diantara sesama.
Sebenarnyalah yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat terpenuhi. Menjelang malam hari keduanya
telah datang ke rumah Mahendra untuk memenuhi
permintaannya. Namun dalam pada itu, Witantrapun sempat berkelakar.
Katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
"Ternyata pengembaraan kalian terlalu cepat berakhir"
"Tidak paman" jawab Mahisa Pukat "jika tidak ada
persoalan khusus, aku kira aku masih belum akan kembali
Tetapi dalam hal ini. kami berdua merasa bahwa kami
masih terlalu lemah untuk mengatasinya, sementara
persoalannya kami anggap cukup besar untuk ditangani"
Witantra tersenyum. Katanya "Sebenarnyalah kalian
memang harus dapat menilai diri. Adalah tidak ada artinya
sama sekali jika kalian memaksa diri untuk melakukan
sesuatu yang sudah kalian ketahui, diluar kemampuan
kalian untuk melakukannya. Karena itu, ketika ayah kalian
mengatakan persoalannya kepadaku, maka akupun merasa
tidak berkeberatan untuk pergi bersama kalian"
"Terima kasih, paman" berkata Mahisa Murti "ternyata
bahwa kami menghadapi satu keadaan yang belum dapat
kami jajagi" Tetapi kalian sudah dapat memberikan sedikit gambaran
tentang lingkungan yang akan kita hadapi" berkata Mahisa
Agni. Lalu "Karena itulah, maka ayahmu telah
menghubungi kakakmu, Mahisa Bungalan pula"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta
berpaling kepada ayahnya. Seolah-olah mereka ingin
mendapat penjelasan, apakah benar ayahnya telah
menghubungi Mahisa Bungalan yang sudan berada
dilingkungan keprajuritan"
Mahendra yang dapat membaca pertanyaan yang
terpancar pada sorot mata kedua anaknya itupun berkata
"Ya. Aku sudah menghubungi kakakmu Mahisa Bungalan.
Kakakmu sebagai seorang prajurit. Ia akan pergi bersama
kami dalam tugasnya, karena jija kami menyelesaikan
persoalan ini, kami tidak akan dapat berbuat sendiri. Kami
juga harus menyerahkan orangj.-orang padepokan itu
kepada para prajurit yang berwenang untuk mengambil
tindakan selanjutnya"
"Tetapi kami dapat menyerahkan kepada Akuwu yang
memerintah langsung daerah itu" berkata Mahisa Pukat.
"Kau tidak pernah menyebut-nyebut nama Akuwu. Kau
juga tidak dapat menghubunginya untuk mengatasi
persoalan itu. Sementara itu tidak akan ada salahnya, jika
prajurit Singasari akan langsung mengambil tindakan,
apabila mereka benar-benar melihat satu bukti pelanggaran
yang dilakukan oleh padepokan itu. Bukan sekedar tuduhan
atau dugaan, bahwa padepokan itu telah melanggar
paugeran pergaulan antara sesama penghuni tlatah
Singasari" jawab Mahendra.
"Tetapi mereka tidak akan terlalu bodoh untuk
menjerumuskan diri mereka, jika mereka mengetahui
bahwa mereka berhadapan dengan prajurit Singasari" sahut
Mahisa Pukat "dengan demikian kita justru tidak akan
dapat berbuat apa-apa"
Mahendra tersenyum. Ia melihat sikap yang lugu dari
kedua orang anaknya. Karena itu maka katanya "Sudah
tentu, Mahisa Bungalan tidak membawa pasukannya dalam
ujudnya sebagai prajurit Singasari"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
Mereka mengerti maksud ayahnya, sementara merekapun
menyadari, bahwa kekuatan padepokan yang akan mereka
hadapi itupun tidak akan dapat diabaikan. Mungkin di
padepokan itu tinggal berpuluh-puluh orang yang memiliki
ilmu yang setingkat dengan Singatama, atau bahkan ada
diantara mereka yang telah melampauinya. Sehingga
dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan Empu
Nawamula yang akan berkumpul itu tidak akan mampu
berbuat sesuatu merkipun mereka akan berdiri disatu pihak
dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni.
"Mungkin guru Singatama itupun mempunyai satu dua
orang kawan yang setingkat" berkata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat didalam hati.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murtipun berkata
"Baiklah ayah. Nampaknya memang lebih baik kita berjaga
jaga menghadapi kekuatan diluardugaan kita"
"Lebih baik kita menghadapi mereka dengan yakin"
berkata Mahendra "selebihnya, pasukan Singasari tentu
juga berkewajiban untuk melakukannya"
Demikianlah maka merekapun telah membenahi diri.
Setelah Kau Menikahiku 1 Jangan Percaya Pada Orang Mati Never Trust A Dead Man Karya Vivian Vande Velde Pendekar Wanita Baju Merah 1
^