Pencarian

Pendekar Wanita Baju Merah 1

Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


_________________________________________________________________
ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati
kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan
mencampuri urusan kami," terdengar suara yang kecil dan nyaring.
"Kiang-enghiong, kata-kata Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang
tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa
kau tidak tahu akan peraturan kang-ouw" Kami para ketua perkumpulan pengemis
sedang mengurus persoalan kami sendiri, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk
mencampuri urusan kami"
Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi
dirimu," kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.
Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan
persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan
adalah sekumpulan orangorang tua yang amat aneh baik bentuk tubuh, pakaian,
maupun gerak-gerik mereka. Mereka ini sudah jelas adalah sekumpulan pengemis-
pengemis, karena baju mereka penuh tambahan dan di tangan mereka kelihatan
tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain.
Jumlah mereka ada empat belas orang. Akan tetapi kalau orang tahu siapakah
adanya mereka ini, ia akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-
ketua dari seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh
Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar. Jangan
ditanya lagi tentang kepandaian mereka! Baru orang pertama yang bicara dengan
suara kecil nyaring tadi saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta
sebelah kiri, dia dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu) dan
kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu,
yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia
kangouw (baca Pendekar Sakti).
Seperti juga Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu
ini beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena ia menyerbu dapur dan
menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!
Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan
perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan
orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan),
kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai! Demikian pula,
dua belas orang pengemis yang lain, masing-Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
1 masing adalah ketua-ketua pengemis yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan
kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi pengemis
sakti mendiang Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu pula, maka mereka terkenal
sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras sehingga para anggauta perkumpulan
mereka berdisiplin, dan biarpun hidup sebagai pengemis-pengemis, namun merupakan
sekumpulan orang-orang yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang
tertindas! Segolongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis,
atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas seperti burung di udara.
Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang dapat hidup bebas
seperti burung di udara.
Empat belas orang ketua pengemis itu kini nampak tidak senang dan mereka
menghadapi seorang laki-laki muda yang usianya kurang lebih dua puluh lima
tahun. Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan
sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir
wanita. Dadanya bidang menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar dan ia nampak
lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung di punggungnya. Pemuda itu
mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira.
Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, ia
tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguhpun ia telah
mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan
telah maklum pula akan kelihaian mereka.
"Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat,
tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu" Pernah siauwte mendengar
ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti,
Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya" Kalau tidak
salah, beginilah maksudnya: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan,
menjalankan ilmu pengetahuan berarti mendekati welas asih dan tahu malu berarti
mendekati kegagahan!"
Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia
melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu, "Kau
anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin" Kaukutib-kutib
segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan
maksud apakah?"
"Sabarlah, Lo-kai. Kau yang terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan
sabar," kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil
Berlengan Delapan. "Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku sudah
mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan
tidak tahu malu! Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu."
"Apa maksudmu?" Pat-jiu Siauw-kai membentak,
"Maksudku" Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku
bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Setelah ilmu terdapat, aku
menjalankannya untuk menolog sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik
atau welas asih. Adapun hal tahu malu seperti kausinggung-singgung tadi, Guru
Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, berarti kita mendekati sifat gagah.
Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang
kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang hendak menyiksa dan
membunuh seorang kawan tua yang tidak berdaya" Apakah itu namanya tahu malu"
Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat
menganggap kalian ini orang-orang gagah!"
"Kiang Liat, kau sombong sekali!" Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk
Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah,
"Kau ini orang luar tahu apa" Di dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh
belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh
orang luar."
Pemuda itu yang bernama Kiang Liat tersenyum. "Peraturan dan undang-undangmu
hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa" Pendeknya, sebagai seorang
yang pernah Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2 mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan
menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan begitu
saja kalian menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!"
"Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!" Tiat-
tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh. Lucu dan
mengagumkan sekali gerakannya ini. Biarpun tubuhnya gemuk dan bundar, namun
gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur
seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat!
Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan
kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini.
Sesuai dengan julukannya, yakni Si Kepala Besi, kepala dari Si Pengemis ini yang
botak kelimis luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi dan kalau ia
menyeruduk, seekor kerbau pun takkan kuat menahan dengan kepalanya.
Para tokoh pengemis yang berada di situ mengira bahwa pemuda itu tentu akan
mengelak dan kalau ia berbuat demikian, belum tentu ia akan dapat meluputkan
diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan
dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apabila lawan mengelak
dari serudukannya.
Akan tetapi apa yang mereka lihat" Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat
bukannya mengelak, melainkan berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu
dengan perutnya!
"Capp!" Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda
itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak kelihatan
sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam dalam
perut berikut mulut dan hidung dan kedua kakinya bergerak-gerak! Ia mencoba
untuk melepaskan diri, untuk mencabut kepalanya akan tetapi sia-sia belaka
sehingga hanya kedua kakinya saja yang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia
bermaksud mempergunakan kedua tangan untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat
mendahuluinya dan secepat kilat ia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak
bertenaga lagi.
Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat
berseru, "Pergilah!" Dan bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar
sampai dua tombak lebih.
Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, akan tetapi ia tidak merasa terluka dan setelah
mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia
lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya mengancam lagi dan mulutnya
mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.
"Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam,
bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?" kata Kiang Liat.
Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai menghentikan langkahnya dan ia nampak
ragu-ragu. Memang ia bukan tidak tahu bahwa kalau Kiang Liat mau, tadi ketika
kepalanya tertanam pada perut, dengan lwee-kangnya yang amat tinggi, pemuda itu
tentu akan dapat membunuhnya. Tadi pun ia sudah merasa terheran mengapa ia bisa
keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar
ucapan Kiang Liat, ia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa
kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.
It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju dan matanya yang tinggal satu sebelah
kanan itu memancarkan sinar menakutkan.
"Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjuluk
Jeng-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi sekali ini kau
menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kai-pangcu, maka sekali lagi aku atas
nama semua kawan
mengharapkan agar kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan
menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu
menghaturkan maaf."
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3 "Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biarpun aku Kiang Liat masih muda, namun
berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan,
empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan
kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapapun juga
yang akan membunuh orang yang tak berdaya!" kata Kiang Liat dengan gagah.
"Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?" tanya It-gan Sin-kai marah.
"Tetap begitu dan takkan dapat dirubah oleh siapapun juga!" kata Kiang Liat
dengan suara tetap pula, karena ia sendiri pun sudah marah melihat betapa para
tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan perikemanusiaan dan akan membunuh
seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya. Ia sudah seringkali mendengar
tentang Cap-si Kai-pangcu ini, mendengar bahwa mereka adalah pendekar-pendekar
berkepandaian tinggi yang menjunjung tinggi kegagahan dan perikebajikan, mengapa
sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak
berdaya" "Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan kalau
sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan
kami!" kata It-gan Sin-kai.
"Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-
orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tidak mengenal
perikemanusiaan!"
kata Kiang Liat.
Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis
itu mengeluarkan senjata masing-masing ia pun lalu mencabut pedangnya yang
mengeluarkan sinar gemerlapan.
Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat
yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia
pikir bahwa biarpun ia takkan menang dan sekalipun ia akan mati dikeroyok oleh
Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela
kebenaran. Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak
serentak dan menyerangnya dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar
pedangnya menangkis dan terdengar suara tang-ting-tung ketika pedangnya beradu
dengan tongkat dari mereka. Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa
tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia
bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat lebih cepat lagi dan dalam lima
gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat!
Bukan main sakitnya, dan baiknya ia memiliki tenaga lwee-kang yang sudah tinggi
sehingga ia tidak terluka berat. Namun pukulan ini telah mengacaukan pikirannya
dan untuk menyelamatkan diri, ia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang
berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ketika keadaan Kiang Liat amat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya
itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba
berkelebat bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat
berpengaruh, "Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri
dengan pertempuran?"
Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang
bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri
di situ. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih
terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, demikian pun
jenggot dan kumisnya. Bajunya tambal-tambalan, akan tetapi bersih juga. Tangan
kanannya memegang sebatang tongkat kecil, sebesar ibu jari kaki dan di
pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.
Baik Kiang Liat maupun para tokoh pengemis itu tidak mengenal siapa adanya
pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang
baru Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4 datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar
sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.
"Siapakah kawan yang baru datang?" tanya It-gan Sin-kai dan suaranya jelas
menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang amat memalukan bagi
seorang ketua perkumpulan pengemis sampai menanyakan siapa adanya seorang
pengemis yang baru datang. Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua
kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan
mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh
pertanyaan. Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.
"Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak
terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik
sekali melihat orang hendak mengadu nyawa.
Demikian mengerikan! Mengapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan
tongkat dan pedang" Apakah gerangan yang terjadi di sini?"
Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi ia sudah banyak merantau dan namanya
sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi
ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa
pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia
memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu,
maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,
"Sahabat yang baru datang tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh
karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya tentang persoalan ini.
Sesungguhnya, aku sendiri pun seorang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut
dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika tiba di sini aku melihat empat
belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa dan
menghukum mati kepada seorang kakek yang tidak berdaya itu. Oleh karena inilah
maka terpaksa aku melupakah kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka
melakukan hal yang amat kejam itu." Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua
yang semenjak tadi duduk bersandar kepada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan
tidak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang
pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat entah apa isinya.
Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang kepada kawan-kawannya
dan berkata, "Perlukah kami memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang
dan yang tidak mau memperkenalkan namanya ini?"


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja," kata Pat-jiu Siauw-kai, "kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu
dia akan dapat membenarkan kami."
It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, dan berkata memberi
penjelasan, "Begini, kawan. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis berkumpul di
sini untuk memberi hukuman kepada seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan
yang telah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia telah berlaku curang,
mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan,
hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar
peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita
demikian pula nyawanya."
"Bagus! Peraturan macam apa itu" Merampas harta benda, merampas nyawa, benar-
benar amat rendah!" Kiang Liat memotong marah.
"Kiang-enghiong jangan kau membuka mulut sembarangan!" It-gan Sin-kai juga
membentak marah, "Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai
yang mulia, bagaimana kau berani menyatakan rendah?"
Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba pengemis yang baru datang
itu berubah mukanya.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5 "Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah tentang Ang-bin Sin-kai?" tanyanya
memandang tajam.
Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah.
"Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula
di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya" Apalagi orang yang hidup bebas sebagai
pengemis harus mengenalnya.
Kami memuliakan namanya dan kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?"
"Kalian mau tahu" Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!"
Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong.
Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat
sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar
Ang-bin Sin-kai, namun dia tak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah
meninggal dunia lama sekali.
Maka kini ia hanya memandang saja.
"Benar-benarkah, kawan" Awas, jangan kau main-main. Biarpun kami tidak pernah
mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, namun kami
tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su."
Han Le tertawa lebar, "Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh
lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar
untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku."
Kembali semua orang menyatakan ketidak-percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai
berkata, "Tidak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau bukan,
apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau
tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong
ini?" "Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?" tanya Kiang Liat,
suaranya mengejek. Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi,
dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.
"Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa
orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku
tidak setuju kalau hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan
tidak diakui menjadi anggauta lagi. Betapapun juga, dalam perselisihan ini,
Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan
rumah tangga lain orang."
Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat,
di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu.
Adapun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada
diri sendiri, "Aku orang she Song sudah merasa bersalah, akan tetapi bukan sekali-kali
terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku
yang satu-satunya.
Kalian mau bunuh boleh bunuh asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan
cucuku Bi Li!"
"Tutup mulutmu, jahanam rendah!" It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia
menghadapi Han Le. "Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai murid Ang-
bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang
diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar
murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Tanpa bukti, lebih
baik kau jangan mencampuri urusan kami."
Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala menyatakan persetujuannya. Han
Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguhpun kepala
itu tidak gatal.
"Bagaimana aku harus membuktikannya?"
It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati dan bisik-bisik. Kemudian
pengemis mata satu itu berkata, "Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin
Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat lihai dan tiada
keduanya di dunia ini, yang disebut Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo >
published by buyankaba.com
6 sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat
mainkan ilmu pedang itu."
Han Le tertawa, "Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?"
Mereka menggeleng kepala. "Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu,
bagaimana kalian bisa minta aku memainkannya?"
Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara
nyaring, seakan-akan ia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan
hal ini. "Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami
seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid
Locianpwe Ang-bin Sin-kai."
Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan
ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.
"Baiklah, bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk
berkenalan dengan Hun-khai-kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai."
It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu gin-
kangnya dan juga ilmunya mainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya.
Tongkat itu pendek saja dan sekali ia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat
dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!
"Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau bisa mainkan Hun-
khai-kiam-hoat!" katanya menantang.
"Bukankah kau It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang
disebut Siang-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)" Kau sendiri
mempergunakan tongkat sebagai pedang, biarlah aku pun menirumu, memang bagi
pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat daripada berpedang."
"Sesukamulah!" Jawab It-gan Sin-kai yang cepat menyerang dengan tongkat kirinya,
menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah
lambung. Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata, "Nah, inilah ilmu
pedang Hun-khai-kiam-hoat bagian khai (membuka)!" katanya. Dan It-gan Sin-kai
mengalami hal yang amat aneh yang baru ia alami kali ini dalam pertempuran-
pertempuran yang banyak ia lakukan. Kemanapun juga sepasang tongkatnya
menyerang, selalu tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan dan terbuka atau
terpalang sehingga semua serangannya terpental dan membuka. Kalau lawannya yang
jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan
memasuki bagian-bagian yang terbuka itu. Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le
tidak mau melukai lawan bahkan tidak mau membalas dengan serangan.
Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,
"Dan inilah bagian hun (memecah)!" Tongkatnya bergerak makin cepat, dengan
gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara
tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau-balau gerakannya, dan benar-
benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan.
Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan kalau ia tidak lekas-lekas melompat
mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.
Lihai sekali!" serunya sambil menjura, "Sungguhpun aku tidak dapat memastikan
apakah yang kaumainkan itu betul-betul Hun-khai-kiam-hoat, namun harus kuakui
bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai
itu." Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut kini maju menggantikan It-gan Sin-
kai. Pengemis itu senjatanya tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan
tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia hanya dapat bertahan tidak lebih dari
tiga puluh jurus saja, sungguhpun Han Le tak pernah menyerangnya sejurus pun.
Dengan tangkisan-tangkisan saja ia sudah merasa bingung dan kewalahan, bahkan
pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat
dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo
> published by buyankaba.com
7 kepalanya sendiri!
"Lihai benar, aku menyerah kalah!" katanya jujur.
Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah
menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.
"Kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin
Sinkai," kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. "Sekarang bagaimanakah menurut
pendapatmu, sahabat muda yang lihai?"
Han Le tersenyum senang. "Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kai-pangcu yang
terkenal adil dan gagah, dan ternyata memang betul demikian. Perkara kakek yang
melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang harus dihukum. Harta bendanya
boleh dirampas dan ia boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan
hukuman cambuk lima puluh kali."
"Setuju!" serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri lalu maju
dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.
Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum
pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang
Liat! "Aturan apa ini" Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun tetap berjiwa
pengemis dan berpikir seperti pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi
pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya,
bukankah itu baik sekali" Kalian seharusnya meniru perbuatannya, sungguh tidak
tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya
dan hidup bahagia sedangkan kalian masih jadi jembel?"
Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Ia suka
sekali melihat sikap pemuda itu, dan ia pun merasa kagum melihat caranya. Kiang
Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh
pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh,
melainkan gerakan biasa saja. Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan
hebat, ditambah dengan kembangan sendiri sehingga It-gan Sin-kai sampai tak
mengira cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang
Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat. Sebagian
besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari
dari guru masing-masing dan hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat
memperkembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang
amat baik, sesuai dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han
Le maka kini ia memandang dengan mata berseri.
"Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis
matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, mengapa ikut campur" Pernahkah kau
mendengar nama Ang-bin Sin-kai?" tanya Han Le.
"Tentu saja pernah," jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.
"Seperti apa kau mendengar tentang dia?"
"Ang-bin Sin-kai seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si
lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja dan tewas sebagai
seorang pahlawan,"
jawab Kiang Liat.
Han Le makin gembira. "Apakah kau tidak dengar bahwa dia juga seorang pengemis
seperti telah disebutkan oleh julukannya?"
"Biarpun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin
Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Tak dapat aku membayangkan bahwa pahlawan
besar itu boleh direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang hendak
mempergunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak
berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh
menyiksanya!"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8 "Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau berani menentangku" Han Le
menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.
"Mengapa tidak berani" Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau
lihai, akan tetapi aku akan menentangmu kalau kau hendak membantu pengemis-
pengemis tua yang kejam ini."
"Nah, kalau begitu mari kita bertaruh," kata Han Le dengan wajah berseri. "Kita
semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya
karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh."
"Apa taruhannya?" Kiang Liat membentak. "Untuk membela kaum lemah, aku
pertaruhkan kepala dan nyawaku!"
Han Le tersenyum. "Kalau tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh
aku dan semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!" Kembali semua
pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa
Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat
yang keras hati, akan tetapi ia sengaja memancing untuk melihat sampai di mana
pribudi pemuda tampan ini.
"Siapa mau jiwa kalian" Kalau aku menang dalam taruhan, cukup kalau kalian
membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya dan selanjutnya jangan
mengganggunya lagi."
Ia berhenti sebentar lalu berkata, "Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-
benar dalam dua puluh jurus kau dapat merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka
hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!"
"Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tidak kehendaki nyawamu, orang muda. Kalau
kau kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, adapun kau
sendiri, sebagai hukuman kau harus menjalani penghidupan sebagai pengemis selama
setahun dan ikut padaku ke mana aku pergi," kata Han Le.
Merah muka Kiang Liat dan ia marah sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya
karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,
"Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis" Bersiaplah
kau!" Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya
kembali. Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil. "Aku sudah bersiap sejak tadi. Hayo
majulah dengan jurus pertama!"
Melihat Han Le tersenyum-senyum seakan-akan amat memandang rendah, naiklah darah
Kiang Liat. Ia dikenal sebagai Jeng-ciang-sian Manusia Dewa Bertangan Seribu),
kepandaiannya sudah amat tinggi karena dia telah mewarisi seluruh ilmu silat
dari ayahnya, ilmu silat keluarga Kiang adalah keturunan dari ilmu silat yang
diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau
pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya. Ilmu silat ini turun-menurun dan
akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat
telah meninggal dunia. Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat
boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja ia
memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi keluarga
Kiang ini dan segan-segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu
belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.
Akan tetapi hari ini bertemu dengan seorang pengemis yang rambutnya gondrong,
yang kelihatannya begitu lemah, namun begitu berani menghinanya menantang untuk
merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat lagi yang lebih
membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis ini hendak menghadapi pedangnya
hanya dengan sebatang tongkat kecil!
"Orang tua," katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya agar kemarahannya tidak
memuncak. "Kau hendak merobohkan aku dalam dua puluh jurus, itu saja sudah
merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu
saja. Sekarang kau Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 9 masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterlaluan" Aku bukannya seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti
itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan
pedang dan aku melawan
tongkatmu itu dengan tangan kosong."
Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak, "Ha, ha, ha,
Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kaulihat
seranganku pertama dengan pedang!"
Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga
Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru ia memutar pedang menangkis
sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le
bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk
menyerang pundak Kiang Liat.
Adapun tongkatnya yang tadi, entah bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu
telah menancap di atas tanah!
Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa ia telah
dapat mengelak dari serangan pertama, ia lalu memasang kuda-kuda dan siap
menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi
seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya. Han Le yang tidak mau
membuang waktu sia-sia, cepat maju lagi dan melakukan dua kali serangan
beruntun. Serangannya ini demikian hebatnya serta cepatnya sehingga Kiang Liat
biarpun berhasil menangkis namun ia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga
langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang
keluarga Kiang, ia berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah
melewati tiga jurus dengan selamat!
Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat
itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-
kai dan ini masih belum hebat, kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena
ia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari
suhengnya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, dimana ia melihat lukisan-lukisan di
dinding gua dan melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu
(baca cerita Pendekar Sakti). Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini ia
telah merantau dan di dunia kang-ouw ia telah melihat banyak sekali ilmu-ilmu
silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang. Namun, melihat ilmu pedang
dari keluarga Kiang yang demikian kokoh kuat pertahanannya, mau tidak mau ia
harus memuji. Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, diam-diam ia menduga
bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu
sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Bukit Thian-san), yang
mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.
"Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, kurang tujuh belas jurus
lagi, akan kucoba mempertahankan diri!" Kiang Liat menantang dengan suara
gembira. Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah
kegembiraan di hati pemuda yang tabah ini, dan melihat wajah pengemis itu
seperti ragu-ragu, ia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya maka ia
menantang. Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh
lebih menang daripada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa
pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian dan dia sendiri
tidak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua
puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakannya.
Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya. Ketika
mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan di dalam gua di Pulau Pek-
hio-to ia mendapatkan ilmu silat yang amat aneh gerakannya dan juga amat aneh
tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan!
Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang
ia pelajari itu sebenarnya adalah pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu
silat yang terdapat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 10 dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian
ini ialah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat
atau terbuka dalam setiap serangan lawan. Sudah menjadi hukum alam bahwa segala
sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam
gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walaupun penyerangan itu tentu saja
bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah
dan terancam. Misalnya seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis
kedudukannya lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian
seterusnya. Han Le yang amat cerdik itu, hendak mempergunakan ketabahan dan kekerasan hati
Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu
menjawab, "Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun
aku akan dapat merobohkanmu. Apalagi kalau aku serang, sedangkan dengan
mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau tentu akan
terpelanting sendiri kelelahan!"
Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Ia benar-benar telah
dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras
hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan
hatinya membuat ia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia
berseru, "Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!"
Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung,
susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Pedangnya lenyap berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor
naga yang berlagak di angkasa. Para tokoh pengemis yang berada di situ diam-diam
kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama
sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu. Memang,
ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thiam-san-kiam-hoat akan
tetapi indah sekali gerak-geriknya, lebih indah daripada gerakan-gerakan ilmu
pedang Bu-tong-pai. Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu
muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding gua di Pulau Pek-
hio-to, agaknya dengan Hun-khai-kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat
mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!
Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena
lawan yang diserangnya itu seakan-akan bukan manusia, melainkan bayang-bayang
atau asap saja.
Ke mana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin dan bayangan lawannya
berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas,
tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas
jurus telah lewat!
Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Kalau dalam dua jurus
lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tak
mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Namun,
bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang
lenyap entah berada di mana.
Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok
oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali
renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya. Kiang Liat berusaha hendak
mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong
dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan
belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.
Cap-si Kaipangcu bersorak, bukan saja karena girang mendapat kemenangan dalam
taruhan, akan tetapi terutama sekali karena terkejut dan kagum. Tanpa ada yang
perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan
Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.
"Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga tadi
tidak percaya bahwa Tai-hiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai."
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11 Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh. "Cuwi Kai-yu yang baik.
Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap
perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Namun segala macam hukuman
itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggarnya. Menurut yang
kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu biarpun telah melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, namun pelanggarannya bukan
karena ia jahat. Ia ingin keluar dari keanggautaan pengemis karena ia ingin
mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama
karena tak dapat disangkal lagi amat rendah derajat seorang gadis cucu
pengemis!" Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lokai.
Kakek itu cepat menghampiri Han Le dan berkata, "Bukan demikian, Han-tai-hiap.
Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biarpun dihukum mati, aku Si
Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang
tuanya lagi dan kepada siapakah ia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku,
kakeknya" Oleh karena inilah maka sebelum aku mati, aku ingin meninggalkan
sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak ia takkan hidup terlantar. Untuk
kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah."
Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata kepada It-gan Sin-kai, "Kalian
mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?"
"Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Tai-hiap di sini dan telah memberi
peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin
Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Tai-hiap."
"Keputusan, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh
sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya."
"Baik, Tai-hiap, kami akan menjalankan keputusan itu," kata It-gan Sin-kai.
"Bagus, dan aku percaya kalian di kemudian hari akan memutuskan sesuatu lebih
bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang, sediakan seperangkat
pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu."
Memang aneh sekali, di antara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua
membawa pengganti pakaian, biarpun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan
yang buruk! Tidak heran apabila pakaian mereka biarpun buruk dan penuh tambalan,
selalu kelihatan bersih. Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama
dengan Kiang Liat, memberikan pakaiannya dan ramai-ramai mereka sambil tertawa-
tawa menanggalkan semua pakaian Kiang Liat, lalu menggantikan pakaian butut itu
kepada tubuh pemuda ini.
Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena ia telah tertotok dan lemas
semua tubuhnya. Andaikata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena
memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa ia harus menjalankan
hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah
menjadi gurunya!
Setelah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa,
"Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan patut menjadi muridku!" Setelah
berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia
lenyap bersama muridnya itu.
Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, dan pada saat itu, kakek tua she Song
berseru keras, "Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!"
Dalam sekejap mata saja, kembali Han Le kelihatan di tempat itu, mengempit tubuh
Kiang Liat. "Song Lo-kai, kau mau bicara apakah" Apa kau masih penasaran dengan keputusanku
tadi?" Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. "Sungguh mati, Han-
taihiap, lohu mana berani penasaran" Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi
lohu. Hanya ada Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12 permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li."
Han Le memandang heran. "Apa maksudmu" Apa yang kudapat lakukan untuk seorang
gadis yang menjadi cucumu itu?"
Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan kini dikempit oleh
Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, "Nyawa lohu yang tidak berharga
telah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang
sudah tua bangka ini takkan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang
kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah
perkasa berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat
menjamin kesentausaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan
cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong."
Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biarpun tidak berdaya namun masih dapat
mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.
"Ha, ha, ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tidak
berkuasa dalam hal ini, hanya kuberjanji bahwa setelah Kiang Liat menghabiskan
pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian
berdua dapat berunding sendiri."
Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali
lagi, Song-lokai girang sekali, sambil tertawa-tawa ia lalu berkata,
"Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku."
Hukuman dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le, pencambukan itu
dilakukan sekedar untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya
menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.
*** Kiang Liat sebenarnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Ketika orang tuanya
meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang besar dan penuh
dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang
yang ditinggalkan.
Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita
tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak ia terlahir, maka kebutuhan hidupnya
tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup
baginya. Hidupnya tidak mewah karena ia memang suka akan kesederhanaan, namun ia
tidak sayang mengeluarkan uang, apalagi untuk menolong orang dan untuk menjamu
kawan-kawannya. Ia biasanya hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke
mari sampai bekal uangnya habis baru ia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota
Siankoan. Kini setelah bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup
sebagai pengemis, tentu saja tadinya ia merasa terhina dan dapat membayangkan
bahwa ia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketiak ia
mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di
udara. Apalagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa
sekali, ia girang bukan main. Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han
Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, juga ia mendapatkan banyak
pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini ia tidak berani memandang
rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena
malas, melainkan sengaja hidup sebagai pengemis untuk pernyataan belasungkawa
akan keadaan rakyat yang banyak menderita. Mereka adalah pengemis-pengemis yang
sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seakan-akan
untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama
manusia, dan di balik semua sandiwara ini, mereka ternyata adalah pendekar-
pendekar yang tidak saja siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong
mereka yang sengsara, bahkan mereka siap sedia pula untuk mengulurkan tangan
menolong dengan sumbangan uang yang ternyata banyak disimpan di dalam
perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!
Setelah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat makin maju dan matang. Kini
seperti gurunya, jarang sekali ia mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang
ranting kecil saja Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 13 ia sudah dapat menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang
lihai. Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya
dan orang-orang miskin, bagaikan bumi-langit. Terbuka pula matanya bahwa di
dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.
Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang
Liat, ia tidak mau merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu
pedang lain. Sebaliknya, ia memberi pelajaran dari lukisan-lukisan di dinding tua Pulau Pek-
hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat
sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat. Bahkan,
dengan bantuan gurunya ini, Kiang Liat dapat menciptakan ilmu pedang yang halus
gerak-geriknya, tidak beda dengan orang menari-nari saja, namun di dalamnya
terkandung kekuatan yang maha hebat.
Han Le membawanya merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang
dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi,
terkenal di dunia kang-ouw. Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat telah menjadi murid
Han Le. Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di
dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.
"Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan
agaknya kau kini sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau takkan
melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu."
"Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh
tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid
Suhu," jawab Kiang Liat.
Han Le tersenyum, "Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena suka kepadamu dan
melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu.
Sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu adalah
pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suhengku. Kau
amat beruntung bisa bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar
mendapat tandingan di dunia kang-ouw.
Seorang laki-laki harus memegang janji, dahulu kita berjanji akan berkumpul
selama setahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku
berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang
ia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah kepadamu,
hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang bersemangat dan
berpribadi cukup baik. Kiranya cucunya takkan mengecewakan. Akan tetapi semua
keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta agar kau suka bertemu dengan
dia agar janjiku terpenuhi.
"Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasihat yang teecu
terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga daripada
sepuluh tahun yang sudah-sudah."
Pada saat itu, wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru
keras sekali, wajahnya berseri girang dan juga sepasang matanya terheran-heran.
"Suheng...! Kau di sini...?""
Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun tidak melihat sesuatu.
Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak ada apa-apa, terdengar suara yang halus
sekali, namun menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh
besar. "Sute, siapa anak muda itu?"
"Dia adalah Kiang Liat, muridku!"
Tiba-tiba debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun lebih, agak lebih tua daripada Han Le, berpakaian kusut sederhana namun
tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ. Kiang
Liat memandang dengan mulut Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 14 ternganga, karena ia yang telah memiliki kepandaian tinggi, bagaimana sampai
tidak dapat melihat dan mengikuti gerakan orang ini" Ibliskah dia"
Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya.
Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.
"Sute, kau kan tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?" tanya orang itu.
Han Le berubah mukanya dan kelihatan gugup. "Hanya sedikit, Suheng, bagian
permainan pedang dan lwee-kang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni
ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor."
"Hm, sute Han Le, betapapun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus
tahu bahwa ilmu kita itu berbahaya kalau dipergunakan oleh orang yang beriman
lemah. Sekarang kau sudah menurunkan kepadanya, biarpun sedikit hal itu sudah
berarti bahwa selamanya kau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan
sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!"
Han Le memandang kepada suhengnya dengan mata penuh keheranan, apalagi ketika ia
kini melihat wajah suhengnya kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah
suhengnya itu menunjukkan jelas bahwa suhengnya telah mengalami penderitaan
batin hebat selama ini.
Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suhengnya dan kini suhengnya benar-
benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasai
kebenaran ucapan suhengnya itu dan ia mengangguk-angguk.
Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan
tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han
Le, "Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-eng-hiong yang
baru datang ini."
"Bocah bodoh, dia inilah supekmu. Dia suhengku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu
Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!"
Kiang Liat terkejut sekali. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhunya
menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi ia masih penasaran dan sangsi,
karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu hebat sungguhpun
kedatangannya tadi seperti siluman saja.
"Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhumu?"
Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,
"Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh
belajar satu tahun."
"Perjanjian?" Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.
Han Le tertawa dan menceritakan tentang pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su
mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.
"Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-
orang muda selalu mendatangkan keributan di dunia, terdorong oleh nafsunya
sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu.
Berdirilah kau!"
Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.
"Cabut pedangmu!"
KIANG LIAT ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi
isarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun lalu mencabut
keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Liang, memegang pedang itu
lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk
terhadap orang di depannya.
Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,
"Serang aku dengan pedangmu!"
Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Ia tidak mau berlaku kurang ajar dan
lancang, maka bagaimana ia brani menyerang orang yang diperkenalkan kepadanya
sebagai supeknya"
"Hayo serang, bodoh!" Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya demikian
berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga
yang membuat ia Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
15 otomatis bergerak! Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supeknya itu. Namun
ia segera ingat bahwa ia terlalu kurang ajar kalau menyerang dengan sungguh-
sungguh, maka selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan
tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supeknya bahwa gurunya
tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga "berisi!"
Akan tetapi ia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki,
setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju
orang sakit itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya! Dari sepasang
tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu keluar tenaga luar biasa
sehingga angin tangkisannya saja selalu menahan pedangnya. Pedangnya selalu
terpental kembali seakan-akan terbentuk pada benda yang amat keras.
"Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!" Kembali Bu Pun Su membentak
dan kali ini Kiang Liat menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena ia
mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana
orang dapat membikin semua serangan pedangnya tidak berdaya hanya dengan hawa
tangkisan belaka" Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja. Ia
mengerahkan seluruh lwee-kangnya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling
lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan
gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.
Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak
dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, melainkan orang sakti itu
bergerak ke sana ke mari dengan amat lambat. Namun, betapapun lambatnya gerakan
kaki orang sakti itu, tak pernah pedang di tangan Kiang Liat mengenai sasaran,
bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!
Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini
merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga ia terpaksa
melepaskan pedangnya. Ketika ia memandang, pedangnya itu telah terampas oleh
gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!
Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang
Liat dengan muka merah.
"Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk," kata Kiang
Liat merendah. Kini ia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini
yang benar-benar luar biasa sekali ilmu kepandaiannya.
Bu Pun Su sekarang tertawa dan berpaling kepada Han Le, "Ah, Sute. Benar-benar
matamu awas sekali. Dalam setahun sudah dapat menggerakkan pedang seperti itu,
ah, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku sendiri
takkan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat biarpun kau mempergunakan pedang
seluruhnya atas dasar ilmu silat pedang dari keluarga Kiang, namun isinya
mengandung tenaga rahasia dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, kau
memang sudah menjadi murid kami. Hal ini tak boleh kauanggap main-main. Sekali
saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, biarpun
kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan
mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan.
Mengerti?"
"Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!" kata
Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar marah karena ketidak-
percayaan supeknya kepada dirinya ini.
"Bagus, akan kita lihat bersama. Kalau benar-benar kau tidak mengecewakan
menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu-dua
ilmu pukulan kepadamu.
Sute, mari kita pergi dari sini, aku ada urusan penting sekali untuk
dibicarakan!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari
pemandangan mata Kiang Liat.
"Muridku, berhati-hatilah dan kaucari Song Lo-kai. Sampai bertemu kembali kalau
ada Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
16 jodoh!" Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul
suhengnya yang luar biasa itu.
Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka
menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.
"Hebat... tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka
bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Aah,
sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau aku bisa menjadi
murid Supek, alangkah senangnya..."
Kemudian, setelah menyimpan pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti
suhunya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-chun
di mana tinggal Song Lo-kai.
Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, karena kepergiannya ini
adalah untuk menghadapi Song Lo-kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama
sekali belum memikirkan persoalan pelik ini. Namun, ada juga sedikit keinginan
tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-kai!
*** Song Lo-kai tinggal di Sui-chun, kini menjadi seorang hartawan yang hidup berdua
dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan
sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan
pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu. Semenjak
cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular,
kakek she Song ini telah berubah pendiriannya.
Tadinya ia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan suka hidup
bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia,
dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.
Kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta
terpendam di sebuah guha rahasia. Ia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini,
maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan
besar. Kejadian inilah yang membuat ia ditangkap oleh Cap-si Kai-pang dan hampir
dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.
Song Bi Li ternyata seorang gadis yang amat cantik, berwajah ayu manis bertubuh
langsing. Kulitnya putih halus, pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga ia amat
cerdas sehingga dengan mudah ia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca,
bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah. Di samping ini, ia pun terkenal
di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam kota Sui-chun,
tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga ia terkenal
sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi setelah kakeknya menjadi kaya-raya,
pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.
Dua tahun yang lalu, ketika ia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar
yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang
dan untuk pertama kalinya gadis yang baru berusia tujuh belas tahun di waktu
itu, mengalami godaan asmara.
Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang
gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak
pohon-pohon yang tak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami
bunga-bunga yang indah. Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur
sendiri cara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus
membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada
cucunya. Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di
rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di
dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin agar
cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang
cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak
itu menjadi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
17 majikannya. "Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan bangunan kecil untuk dapat
beristirahat, di depannya digali empang dan dipasangi jembatan melengkung. Di
ujung timur harus digali empang ikan emas dan diisi tanaman bunga teratai.
Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan disebelah sana. Kau
nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan
kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,"
kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil
terpelihara. "Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, dimaksud Kakek Song), tukang kebun akan
datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di
sini." "Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang
tengahnya saja, biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara)
itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain
boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang
cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi
pagar dan banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis
dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku."
"Memang benar, Siocia (Nona). Belum kalau ada maling masuk," kata Ceng Si.
Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi segera
ketawanya terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. "Aduh, dia benar-
benar datang, Siocia..."
Bi Li terkejut dan bertanya, "Kau bilang ada maling...?" Sambil berkata demikian,
ia membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.
Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu
melalui pagar yang sudah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya
berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa
laki-laki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.
"Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak
bekerja di sini?"
"Stt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun" Dia bukan
maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu
(tuan muda) dan orangnya begitu... begitu tampan!"
"Hush, genit kau...!" Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa
yang datang itu adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, berpakaian


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti seorang siucai (pelajar), sikapnya halus dan sopan. Bi Li dahulu tinggal
bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan
bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan
laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut
karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan
pelayannya, sungguhpun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini.
Ia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya ia lupa lagi bilamana dan di
mana. Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Ia
nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika ia memandang kepada Bi Li,
sungguhpun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.
"Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?" Bi Li menegur,
suaranya ketus dan matanya bersinar marah.
Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia menjura dengan
hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,
"Song-siocia, benar-benarkah kau lupa kepadaku" Benar-benarkah, setelah kini kau
menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin
yang menjadi penghuninya?"
Bi Li makin marah. "Aku tidak kenal padamu, lekas pergi dari sini, kalau Kong-
kong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!"
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
18 Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka. "Jangankan dipukul, dibunuh pun aku
rela. Kong-kongmu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu
tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah
Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kong-kongnya?"
"Siapakah kau" Mengapa kau begini kurang ajar?" Bi Li memandang dengan alis
dikerutkan. "Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di
dusun kita?" pemuda itu berkata.
Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.
"Ah, kau... kau Cia-siucai ...." katanya gagap.
Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih tinggal di dusunnya. Ketika
itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut telah meninggal dunia karena
penyakit yang merajalela di dusun itu. Ketika jenazah ayah bundanya dirawat di
dalam kuil, satu-satunya kuil di dusun itu di mana sebagian besar orang-orang
yang meninggal diurus dan disembahyangi, banyak orang dusun datang. Di antara
mereka, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja kembali ke dusun
setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini
adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.
Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-
mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu,
juga ia amat pandai membuat sajak. Tulisan-tulisan pada lian yang digantung di
kuil, tulisan yang amat indah itu semua adalah buatan Cia Sun.
Ketika itu, Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi
tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang sedang menjalani
upacara sembahyang, seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan
penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal
mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak
dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kong-kongnya. Cia Sun demikian
tergila-gila sehingga ketika ia terlalu banyak minum arak, tanpa pedulikan apa-
apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok
kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.
Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena melihat ribut-ribut ia
pun membaca tulisan itu yang berbunyi demikian :
Layu pucat Teratai Putih,
Kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan"
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih"
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci"
Sajak itu tentu saja dengan amat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang
berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim-
piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu
bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.
Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik
tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tak pernah bertemu muka
kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu
tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan
peristiwa itu. Akan tetapi siapa Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published
by buyankaba.com
19 kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul dihadapannya, dengan jalan
menerobos kebun!
Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, ia menjadi girang
sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.
"Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkar diriku
yang hina ini, Nona Song ..."
"Siapa bilang?" Bi Li membentak marah. "Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau
masuk ke sini tanpa permisi dan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak pada
tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?"
"Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku
cinta kepadamu ..."
"Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!" Bi Li membelalakkan matanya yang
indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora
hatinya. Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li. "Song-siocia, kakekmu sudah
menghinaku, sudah menolak pinanganku, kau masih mengusirku pula?" Suara ini
terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi
pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Adapun Bi Li ketika melihat pemuda itu, tiba-tiba berlutut di depannya, dan
mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.
"Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kaukehendaki?"
"Nona, Kong-kongmu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau sudah bertunangan
dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau
menjadi seorang yang tidak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku
secara terus terang, Nona apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain"
Betulkah kau sudah
bertunangan?"
"Kau peduli apakah dengan itu" Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, kau
lebih baik lekas-lekas pergi dari sini."
"Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain" Kalau
benar demikian, aku Cia Sun bersumpah takkan mau mengganggumu lagi."
Bi Li tak dapat menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini ia ketahui
benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan
siapapun juga. Akan tetapi, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja
tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.
Ceng Si melihat keraguan nonanya maka ia yang mewakili Bi Li menjawab,
"Sesungguhnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi
meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk
sekali bagi Siocia?"
Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan ia
masih tetap berlutut.
"Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku" Memang ia
membohong dan menolak pinanganku" Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak
akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-
siocia ...."
Mendengar ini, Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak
berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih
berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.
Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kong-
kongnya tidak ada di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena
memang belum memanggil pelayan-pelayan lain. Hatinya berdebar, tidak karuan
rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah mengapa, mengingat
betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun yang menjadi
rebutan dan mimpi para gadis dusun itu kini bertekuk lutut Ang I Nio Cu > karya
Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
20 kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan
hatinya. Akan tetapi ia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat
dia menjadi kebingungan.
Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.
"Siocia, bagaimana ini baiknya?" kata pelayan muda dan cantik itu sambil
meremas-remas tangan. "Dia tidak mau pergi..."
"Tidak mau pergi..." Habis bagaimana baiknya...?" Bi Li memandang kepada Ceng Si
dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.
"Siocia, dia harus dikasihi. Dia betul-betul mencinta kepada Siocia dengan
sepenuh hati dan nyawa. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai
mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian
ia bilang kepadaku, Siocia."
Kini air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga
bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kong-kongnya atau orang lain tahu
akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger" Bukankah orang lain akan
menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya" Sampai lama ia tidak menjawab.
Ah, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum
pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja
terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya. Begitu
ia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap
nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti
bisikan mesra, "Siucai, mengapa kau begitu lemah" Bangunlah, urusan ini dapat diatur bagaimana
baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu ..."
Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang
cantik itu, kemudian setelah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan
suara hati Ceng Si. Ia menjadi girang sekali dan memeluk pundak Nona pelayan itu
sambil berkata,
"Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan kepadaku yang
malang ini?"
Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,
"Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, sudah berubah hatinya dan hendak
membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!"
Cia Sun cepat menjura dan berkata dengan suara memohon, "Nona yang baik, siapa
orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis" Kasihanilah aku, aku benar-
benar lebih baik mati kalau Siociamu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk
siociamu agar ia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji,
kelak kalau aku berhasil menjadi suami siociamu, kaulah orang pertama yang akan
menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!"
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, "Benar-benarkah janjimu
ini" Atau hanya bujukan kosong belaka?"
"Demi langit dan bumi, aku bersumpah kelak kalau aku berhasil menjadi suami Nona
Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... eh, siapa namamu?"
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, "Benarkah itu" Namaku,
eh, Ceng Si," jawabnya cepat-cepat.
"Ceng Si nama yang manis." Kemudian ia berdongak ke arah langit dar melanjutkan
sumpahnya, "Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah,
langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siociamu dan
bujuk agar supaya ia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi
sedikit tanda mata."
"Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan
menuntut balas!" Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi
Li. Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar
dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi
amat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga ia rela
mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
21 "Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?" kemudian ia bertanya, minta nasihat
pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.
Berbeda dengan Bi Li, dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini
lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Ia sudah dapat menduga ke mana
maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocianya yang memang amat
cantik itu, akan tetapi disamping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni
hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang
kaya-raya! Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga
siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun
menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar
Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan
kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).
Kedudukan nyonya kedua pada masa itu memang cukup tinggi jauh lebih tinggi
daripada kedudukan nyonya ke tiga, empat atau ke lima. Apalagi kalau bandingkan
dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!
"Siocia, apakah... apakah Siocia juga... suka kepadanya?"
Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata
terbuka 1ebar. Maksudnya hendak marah, namun ia tidak dapat, karena wajah Ceng
Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, dan ia sedang bingung dan membutuhkan
pertolongan pelayan ini.
"Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu ..."
"Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan
saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!"
"Aduh, bagaimana kalau Kong-kong datang dan melihat dia di sana?" Bi Li
ketakutan. "Apalagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-
bukan." Ceng Si menambah kebingungan siocianya dengan maksud agar nona majikannya itu
terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasihatkan.
Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena
bingung dan cemas. "Ceng Si, apakah yang harus kuperlakukan" Tolonglah aku, Ceng
Si!" Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun maupun Bi
Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak ia pasti
tercapai cita-citanya, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!
"Siocia, tidak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula
membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia
menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!"
"Memberi apa, Ceng Si" Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?"
Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna kalau memberi barang yang
berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu
giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu
terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Ia masih belum tahu akan isi hati Cia
Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.
"Lebih baik Siocia memberikan saputangan Siocia itu, agar ia merasa bahwa Siocia
menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar ia mau
pergi dari kebun."
Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat
saputangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi
tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi,
lebih celaka lagi!
"Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau
pergi." Ceng Si dengan girang menerima saputangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di
mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding,


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
22 Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya dengan licin sekali. Sampai kebun itu
berubah menjadi taman indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini
mengadakan hubungan dengan Cia Sun. Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga
sedemikian rupa sehingga Bi Li memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-
surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat
terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah babwa dia hanya akan
bersuamikan Cia Sun!
Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li
tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis
ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, namun
di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun. Tentu saja Cia
Sun menjadi besar hati, karena biarpun ia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek
Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek
itu meninggal dunia, akhirnya dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan menguasai
semua harta benda yang besar itu!
Akan tetapi, tiba-tiba setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu
hari Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah, yang
berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi
Li diperkenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kiang Liat setelah berpisah dari
suhunya, langsung menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke
kotanya di Siankoan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat
apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah
menjadi seorang pengemis.
Tidak tahunya, baru saja ia tiba di luar dusun Sui-chun, ia telah disambut oleh
Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menanti
dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang
pernah menolongnya itu sudah tiba. Maka begitu melihat Kiang Liat, ia segera
berlari menghampiri bersama pelayan-pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan
segala kehormatan.
"Kian Tai-hiap, sudah tiga hari lohu menanti di sini. Bagus sekali, kau
kelihatan, sehat-sehat saja dan lebih gagah!"
"Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek."
"Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin daripadamu, Tai-
hiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu" Marilah, kita bicara di rumah."
Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tidak berubah sama
sekali. Memang ia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan
tetapi ia belum melihat bagaimanakah macamnya cucu perempuan kakek ini yang
bendak dijodohkan dengan dia"
Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguhpun untuk di Sui-chun termasuk
paling baik namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di
kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika
memasuki gedung ini.
"Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang muliai!" kata Song Lo-kai
dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.
Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari
dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan muncullah seorang bidadari dalam
pandangan pemuda ini. Ia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang
Liat ketika ia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik. Ia memandang wajah
yang cantik jelita itu, yang bibirnya tersenyum manis dengan ramah-tamah,
wajahnya yang ayu berseri-seri dan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li
sudah pernah diceritakan oleh kong-kongnya bahwa ketika menghadapi bencana maut
kong-kongnya telah ditolong oleh seorang pendekar muda. Tentu saja kini
mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kong-kongnya ia harus
menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu
ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagah.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
23 Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada, memandang bagaikan dalam
mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk,
timbullah rasa sungkan dan malu kepada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya
menjura memberi hormat.
"Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap, tuan penolongku" Tidak saja Tuan
penolong, dia pun calon suamimu, Nak!" Setelah berkata demikian, kakek ini
mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata
saking terharu dan girangnya.
Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan kedua kakinya terjeblos ke dalam
jurang. Kagetnya bukan main dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi
ia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh terus lari ke dalam
kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.
Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan
malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.
"Lopek, sungguhpun aku sebatang kara yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di
Siankoan. Biarlah aku pulang lebih dulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil
untuk membicarakan urusan perjodohan ini."
Kakek Song mengerutkan keningnya dengan khawatir. "Akan tetapi kau... kau sudah
setuju, bukan?"
Kiang Liat menjadi merah mukanya, tak dapat menjawab, maka ia hanya
menganggukkan kepalanya dengan pasti!
Kakek Song tertawa bergelak, lalu dengan suara keras ia memberi perintah pada
para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.
Setelah minum arak dan menerima hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek
Song, Kiang Liat lalu berpamit dan sebgai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya.
Dengan hati girang pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota
tempat tinggalnya. Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang
sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat girang karena melihat rumahnya
tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya. Ia lalu
menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali ia bercerita
tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuhnya
girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus
hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun tentang
ketetapan hari pernikahan!
Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan
menyatakah tidak mau menikah.
"Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi" Apakah kau
mau menunggu kakekmu mati?" akhirnya Kakek Song berkata lemas.
Bi Li menubruk kakeknya. "Tidak demikian Kong-kong, akan tetapi aku... belum suka
menikah ..."
"Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kong-kongmu. Perjodohan ini
sudah kujanjikan kepada Kian-taihiap setahun yang lalu. Sebentar kalau utusannya
datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik kau
tak boleh berkeras kepala lagi kecuali kalau kau suka melihat kong-kongmu mampus
saking jengkel dan susah."
Bi Li tak dapat menjawab hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis
terisak-isak. Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada
Kakek Song untuk keluar. Kakek ini terheran akan tetapi ia menurut saja. Akhirya
mereka bicara di dalam ruangan belakangnya dan tak seorang pun pelayan lain
boleh mendekati mereka.
"Ceng Si, ada apakah" Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!" Kakek
Song berkata kurang senang.
Ceng Si berlutut. "Mohon beribu ampun Lo-ya. Sesungguhnya saya sudah berusaha
banyak untuk mencegah terjadi hal ini, akan tetapi apa mau dikata, sebelum saya
menjadi pelayan di Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 24 sini, hal itu sudah terjadi."
"Hal ini, hal itu, apa maksudmu" Bicaralah yang jelas!" Kakek Song membentak
dengan hati kurang enak.
"Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan
hati sendiri."
"Apa" Kau tahu akan hal ini dan tidak memberitahukan kepadaku" Berani betul kau
membiarkan Siociamu merusak nama baik keluarganya" Jahanam benar..." Wajah Kakek
Song menjadi pucat sekali.
"Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Biarpun Siocia sudah mempunyai
pilihan hati, namun Siocia tak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman
saja dan sebagainya."
"Bedebah...!"
"Kalau Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi
mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka
mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia
pindah ke sini, memang diantara Siocia dan pemuda itu sudah ada pertalian batin
yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah takkan menikah dengan
orang lain. Adapun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda
terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya
tidak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup berbahagia selama
hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan
sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri."
"Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa" Siapakah adanya jahanam
yang berani menggoda cucuku itu" Hayo katakan siapa dia?"
"Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang."
Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya.
Kemudian ia menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocianya.
"Katakan kepada Siociamu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik," katanya.
Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang pernah melamar Bi Li, dan menurut
penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, ia
sudah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang
gagah agar kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang
ahli silat dan biarpun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan
manfaat kegagahan pada jaman itu. Apalagi sekarang ia telah menjodohkan cucunya
kepada Kiang Liat seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang
amat dikaguminya, apalagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang
sakti. "Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana ia masih berani
mengganggu Bi Li" Ada maksud apakah sebenarnya dengan pemuda she Cia itu?"
Demikian Kakek Song berpikir-pikir. Kemudian ia mendapatkan akal. Ia maklum akan
keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun
Lee-hiang. Ia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah
dan penuh penghormatan, sebagaimana biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun
yang miskin. Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun
menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia dapat menduga
bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan ia
belum mendapat berita apa dari Ceng Si selama beberapa hari ini. Hatinya gelisah
sekali, namun ia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat
sebagaimana mestinya.
"Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan
cucuku," kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia
tidak tahu akan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
25 kelakuan puteranya maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.
"Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, pinangan puteramu terhadap cucuku
sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi
akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba
untuk berhubungan dengan cucuku.
Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar
puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa ia sudah
bertunangan."
"Hal itu tidak betul," Cia Sun memotong, "Aku mendengar bahwa Song siocia belum
bertunangan."
"Hemm, begitukah?" Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol sekali. "Itu hanya
dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kian di kota Sian-koan
dan dalam beberapa pekan ini pun akan dilangsungkan pernikahannya. Oleh karena
itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apabila kau mencoba untuk berlaku tidak
patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan
atau akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau
berjanji tak mengganggu dan
mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan takkan
melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian
sehingga tak perlu keluar rumah." Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak
dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyon Cia.
Nyonya janda Cia terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan
terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,
"Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan.
Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas
hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-
loya." Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa
menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi
puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya. Cia Sun menjatuhkan diri
di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Hancurlah cita-
citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!
"Anakku, bagaimana sih kau ini" Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana
katak bisa mencapai bulan" Kau benar-benar lancang dan sembrono sekali berani
mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa
Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya daripada marah kepada
kita, ia memberi peringatan dengan halus dan malah memberi uang begini banyak."
Namun Cia Sun masih terbenam dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang
sekantung ini dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah
gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya" Ia memutar-mutar otak
mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri, "Hanya Ceng Si yang
akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya kaulah
yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya..."
Adapun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa
orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar
bisa masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang
mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka
baik Cia Sun maupun Ceng Si sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk saling
bertemu atau menyampaikan berita.
Sementara itu, sepekan kemudian, datanglah utusan dari Sian-koan, dan Kakek Song
terkejut bercampur girang bukan main, juga ia merasa heran sekali. Utusan yang
datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datangnya membawa
sebuah kereta penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira
bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi ia menjadi
mlelongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang
di Sian-koan! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
26 "Saya datang atas perintah dari Kiang-kongcu untuk membawa sekedar hadiah bagi
Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan," kata utusan
itu. Ketika barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum
bukan main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang
jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah, lima buah barang ukiran dari
perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi
kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung
uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan
rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk
seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.
Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak dan
menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya-
raya, yang jauh lebih kaya daripada dirinya sendiri, yang akan dapat mengirimkan
hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.
Ia segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kongcu adalah ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal
kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang
ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main
girangnya hati Kakek Song mendengar ini. Mereka mengobrol sambil minum arak dan
makan hidangan yang mahal, kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-
kongcu tentang hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga.
Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang
dahulu berpakaian sebagai orang pengemis itu, ternyata seorang pemuda yang kaya-
raya, lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apalagi setelah ia melihat
barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya berdebar
dan matanya yang indah itu berseri-seri.
Diam-diam ia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian ia
berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-
barang hadiah itu, karena Kakek Song memberi perintah agar supaya barang-barang
itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.
"Siocia, kionghi!" Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.
"Ceng Si, apakah kau gila" Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat."
"Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti
pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!"
"Apa katamu" Seorang pangeran?" Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.
"Lihat saja, lihat saja barang-barang hadiahnya!" Pintu terbuka dan mengalirlah
barang-barang itu memasuki kamar.
Bi Li juga kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apalagi melihat hiasan
rambut yang indah sekali itu, ia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk
menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang
diambil dari tempatnya oleh Ceng Si.
Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-
cakap. "Siocia, kau benar-benar berbahagia sekali. Memang orang baik selalu mendapat
perlindungan dengan Thian. Siapa kira pemuda berpakaian tambalan itu ternyata
adalah seorang yang kaya-raya, yang jauh lebih kaya daripada Song-loya sendiri"
Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini."
"Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal."
"Akan tetapi orangnya pun amat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja,
kalau diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan daripada... pemuda she
Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa
Song-loya!"
"Ceng Si!" Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. "Aku bukan seorang yang
begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!"
"Siocia, dalam hal ini kita harus jangan menurutkan perasaan dan nafsu sendiri.
Ingatlah dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
27 pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu
dilakukan dalam keadaan melamun dan tidak sadar. Siocia bersumpah tidak di depan
Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak belaka.
Sebaliknya, cobalah pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kian
itu, pertama-tama dia sudah menolong nyawa kong-kongmu, kedua kalinya dia memang
patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga
kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-
siucai yang miskin itu."
"Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan
miskin." Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nanti. "Kalau begitu, Siocia,
mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu
memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah
menolongnya?"
"Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu" Kalau aku sudah menjadi isteri orang
lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?"
"Mudah saja Siocia. Kalau aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi
Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya" Kalau Siocia masih
selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya,
bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja,
bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?"
Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. "Akan tetapi aku
khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau
kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan
mendatangkan malapetaka hebat!"
Di dalam hatinya, Ceng Si tersenyum seperti iblis. Akan tetapi pada wajahnya
yang manis itu, tersungging senyum manis yang penuh hiburan. "Jangan khawatir,
Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu."
Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat
dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, menyerahkan semua surat itu kepada Ceng
Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar. Ceng Si memang melakukan
perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang
diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan
senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia, pikirnya.
Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya
yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.
*** Di lembah Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan.
Mereka ini adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang
berilmu tinggi.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja
meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-
cakap, "Lu-suheng, mengapa kau sekarang banyak berubah" Kau kelihatan seperti
orang yang menderita kesedihan besar,"
pertama-tama Han Le menegur suhengnya.
"Sute, sebelum kita bicarakan lebih lanjut, kuperingatkan kepadamu, jangan
sekali-kali lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu
Kwan Cu disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su,
Jari Malaikat 3 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Titisan Darah Terkutuk 3
^