Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 8

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 8


kesalahanku. Karena itu, aku tidak dapat membiarkannya
mengalami bencana dengan satu keadaan yang tidak adil.
Sekarang, terserah kepada guru dan paman. Aku tidak akan
dapat ikut campur" "Anak iblis" geram Pulung Geni "kau telah berkhianat.
Dan kau tahu, hukuman yang paling baik bagi seorang
pengkhianat" Terasa juga jantung Singatama bergetar. Ia tahu apa arti
kata-kata gurunya. Ia tahu, bahwa di lingkungannya tidak
pernah didengarnya kata pengampunan.
Karena itu, maka iapun sadar, bahwa hukuman yang
akan di bebankan kepadanya oleh gurunya tentulah
hukuman mati. Ternyata Singatama menjadi ngeri juga. la teringat
kepada upacara yang setiap kali dilakukan. Sementara
mereka masih mempergunakan tubuh seekor binatang
untuk membasahi senjata mereka sebelum dipergunakan.
Tetapi bagaimana jika dirinya, yang dianggap oleh gurunya
itu sebagai seorang pengkhianat mengalami nasib seburuk
seekor binatang" Selagi Singatama dicengkam oleh kegelisahan, terdengar
suara Empu Nawamula "Pulung Geni. Apakah arti
perbuatanmu itu" Bukankah dengan demikian kau telah
mengotori harga dirimu dengan satu perbuatan yang licik
sebagaimana dilakukan oleh para pengecut"
"Aku tidak peduli" geram Empu Pulung Geni "jika
muridku itu tidak berkhianat, kau telah mati oleh tanganku"
"Tetapi aku masih hidup sekarang ini" jawab Empu
Nawamula "kita telah berhadapan. Marilah. Kita akan
mengulangi pertempuran diantara kita, seorang melawan
seorang" Memang tidak ada pilihan lain. Karena itu. maka Empu
Pulung Genipun segera bersiap, sementara Empu
Nawamulapun telah memcabut senjatanya pula.
"Ikutlah bertempur bersama pamanmu pengkhianat"
geram Empu Pulung Geni. Tetapi Singatama melangkah surut sambil menjawab
"Tidak guru. Aku sama sekali tidak akan berani ikut
campur" "Jangan panggil lagi aku guru bentak Empu Pulung Geni
"kau bukan lagi muridku"
Singatama tidak menyebut Namun yang kemudian
berbicara adalah Empu Nawamula "Sudahlah. Jangan kau
umpati lagi anak itu, kau sekarang berhadapan dengan aku.
Marilah kita yang tua-tua ini membuat perhitungan"
Empu Pulung Geni sama sekali tidak menjawabnya lagi.
Dengan serta-merta iapun kemudian meloncat menyerang.
Tetapi Empu Nawamula telah bersiap. Dengan
demikian, maka iapun masih sempat menghindar sambil
berkata "Ah. kau terlalu tergesa gesa"
Empu Pulung Geni tidak menghiraukannya, bahkan
serangannyapun menjadi semakin cepat. Pedangnya
menyambar mendatar. Ketika dengan kerisnya yang besar
Empu Nawamula menangkisnya, maka pedang itupun telah
berputar dan mematuk kearah jantung.
Namun Empu Nawamula bergeser selangkah kesamping.
Ujung pedang Empu Pulung Geni sama sekali tidak
mengenainya. Bahkah Empu Pulung Genilah yang
kemudian harus meloncat surut, menghindari serangan
Empu Nawamula. Demikianlah perkelahian antara kedua orang itupun
semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak
bagaikan tidak menyentuh tanah. Namun seperti yang
pernah terjadi, maka Empu Pulung Geni memang tidak
akan mampu mengimbangi kemampuan Empu Nawamula.
Apalagi dengan kecemasan bahwa para cantrik dan seisi
padepokan akan terbangun dan kemudian beramai-ramai
mengepungnya. Dalam pada itu. pertemupuran itupun semakin lama
menjadi semakin sulit untuk membatasi diri. Benturan
senjata dan kadang-kadang hentakan yang tidak terkekang,
lelah menggetarkan sepinya malam di padepokan itu.
Para cantrik yang berada di pendapa memang tidak
segera mendengar pertempuran yang terjadi di kebun
belakang, di dekat blumbang yang terpisah. Namun
merekapun kemudian mendengar bunyi bentakan-bentakan
yang aneh yang tidak segera mereka ketahui artinya.
Bukan hanya cantrik yang sedang berjaga-jaga, tetapi
dirumah sebelah, Mahisa Agni dan Witantrapun telah
mendengarnya pula. "Suara apa itu agaknya" desis Mahisa Agni.
Witantra bangkit dari pembaringannya. Sejenak ia
mempernatikan suara yang lemah sekali menembus
dinding. Namun Mahisa Agnipun kemudian bangkit pula sambil
mengerutkan keningnya. Katanya "Aku agak curiga"
"Ya. Kita lihat, apakah yang terjadi" sahut Witantra.
Sesaat kemudian keduanya segera membenahi diri dan
keluar dari rumah itu. Mereka sama sekali tidak
membangunkan Ki Buyut yang juga berada di rumah itu
bersama anak perempuannya. Namun ketika keduanya
akan meninggalkan rumah itu untuk melihat apakah yang
telah terjadi, ternyata hampir berbareng keduanya tertegun
"Bagaimana dengan gadis itu" desis Mahisa Agni.
"Ia perlu diawasi. Mungkin terjadi sesuatu yang dapat
mengancam keselamatannya " sahut Witantra.
"Tunggulah disini" berkata Mahisa Agni "aku akan
melihat apakah yang terjadi. Agaknya telah terjadi sesuatu
yang perlu mendapat perhatian"
"Baiklah" berkata Witantra "aku akan berada di dalam"
Ketika Mahisa Agni meninggalkan tempatnya, Witantra
justru kembali masuk ke dalam untuk mengamati keadaan,
justru karena dirumah itu ada Widati.
Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyusuri
longkangan diantara barak-barak para cantrik. Tetapi ia
tidak segera menemukan sesuatu. Apalagi suara yang
mencurigakan itupun tiba-tiba saja tidak didengarnya lagi.
"Apa yang telah terjadi" bertanya Mahisa Agni kepada
diri sendiri "kemana suara itu tiba-tiba saja telah diam"
Tetapi ketajaman pendengaran Mahisa Agni telah
membawanya untuk pergi ke belumbang. Suara itu agaknya
bersumber dari pinggir blurnbang.
Meskipun suara itu sudah tidak terdengar lagi, namun
Mahisa Agni tidak mengurungkan niatnya. Dengan hatihati
ia mendekati blumbang yang sudah menjadi sepi.
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
melihat pepohonan perdu dan ranting-ranting yang
berpotongan. "Tentu telah terjadi pertempuran disini" berkata Mahisa
Agni di dalam hatinya. Sejenak Mahisa Agni termangumangu
la menyesali kelengahannya bahwa ia sama sekali
tidak mengetahui adanya pertempuran itu.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni menjadi
semakin berhati-hati. Sesuatu akan dapat terjadi setiap saat.
Untunglah bahwa Witantra tetap berada di rumah itu"
berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "mungkin gadis
itulah yang menjadi sasaran. Tetapi menilik bekas-bekas pertempuran itu. Mahisa
Agni dapat mengambil kesimpulan, bahwa pertempuran itu
terjadi antara orang-orang yang berilmu tinggi, meskipun
hanya sebentar. Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni mendengar suara
lamat-lamat "Nampaknya dua orang sedang berbicara
perlahan-lahan" Karena itu, maka dengan sangat hati-hati Mahisa
Agnipun mendekati suara itu. Mungkin suara itu akan
dapat memberikan jawaban atas peristiwa yang terjadi di
tepi belumbang itu. Ketika ternyata yang sedang berbicara itu adalah Empu
Nawamula dengan Singatama. Dengan nada rendah
Singatama berkata "Ampun paman. Sebenarnyalah, aku
terlibat dalam kecurangan ini. Tetapi menurut pendapatku,
guru memang hanya seorang diri"
"Tetapi nampaknya kau sudah menemukan satu
keputusan yang akan sangat berarti bagi hidupmu kelak
Singatama. Justru pada saat terakhir. Pada saat yang paling
sulit bagimu. Jika saat itu kau tidak menemukan satu
kebenaran tentang dirimu, mungkin akhir peristiwa ini akan
berbeda" sahut Empu Nawamula.
"Tetapi yang aku lakukan tidak sebanding dengan
kesalahan-kesalahan yang telah menodai hidupku" desis
Singatama. "Masih ada kesempatan. Sudah aku katakan" jawab
Empu Nawam pula. Mahisa Agni yang serba sedikit dapat menangkap
peristiwa yang sedang terjadi.
Namun demikian kakinya berdesir didedaunan yang
runtuh di tanah, Empu Nawamula telah bergeser sambil
mempersiapkan diri. "Aku Empu" desis Mahisa Agni.
"O" Empu Nawamula menarik nafas panjang "kenapa
Ki Sanak berada disini?"
"Aku mendengar suara-suara yang mencurigakan" jawab
Mahisa Agni. "Jadi kau mendengarnya Ki Sanak?" bertanya Empu
Nawamula. Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian iapun menjawab "Ya. Aku sedang pergj ke
pakiwan ketika aku mendengar suara yang mencurigakan.
Karena itu maka aku mencoba untuk melihat apa yang
terjadi. Tetapi tiba-tiba suara itu telah terdiam dan ketika
aku menelusuri kebun padepokan ini, aku telah
menemukan kalian berdua"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Sesuatu telah terjadi Untunglah, bahwa Yang Maha
Penyayang masih melindungi aku"
Dengan singkat, Empu Nawamula menceriterakan apa
yang telah terjadi. Kemudian "Ternyata seperti saat ia
datang, maka dengan licik Empu Pulung Geni itupun
meninggalkan padepokan ini"
Mahisa Agni menjangguk-angguk. Dengan menyesal ia
mengulangi "Empu Pulung Geni itu berhasil meninggalkan
padepokan ini" "Ya. Aku tidak dapat menangkapnya. Ternyata ia
memiliki kemampuan untuk berlari sangat cepat dan
meloncati dinding Halaman padepokan ini. Aku menjadi
ragu-ragu mengejarnya, karena menurut perhitunganku,
kecepatanku berlari tidak akan dapat melebihinya"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi bahwa Empu
Pulung Geni itu terlepas dari tangan Empu Nawamula,
berarti bahwa bencana masih akan selalu mengintip
padepokan itu. Tetapi ternyata bahwa Singatama telah menemukan satu
kesadaran tentang dirinya. Pada saat yang tidak terdugaduga,
Singatama merasa bahwa orang yang bernama Empu
Nawamula itu adalah pamannya.
Ternyata bahwa setitik demi setitik, tetesan kasih sayang
Empu Nawamula telah berhasil meluluhkan hati anak itu
perlahan-lahan. Bahwa Empu Nawamula tidak
menghukumnya dan bahkan menerimanya kembali sebagai
kemanakannya, telah membuat goncangan di hati anak
muda itu. Hampir di luar sadarnya Mahisa Agnipun berkata
"Namun agaknya Empu telah mendapatkan gantinya.
Angger Singatama telah menemukan dirinya yang selama
ini hanyut dalam arus yang kelam. Bagi Empu Nawamula,
hal itu tentu satu kurnia yang luar biasa"
"Ya Ki Sanak" jawab Empu Nawamula "sekarang aku
benar-benar telah menemukan kemanakanku yang hilang.
Ia telah membuktikan, bahwa di dalam kegelapan hati,
masih juga ada sumber cahaya yang dapat
dikembangkannya. Akhirnya, hatinya telah menjadi terang
kembali" "Sukurlah" berkata Mahisa Agni "namun masih ada satu
tantangan bagi angger Singatama. Bagaimana dengan ilmu
hitam yang lelah ada di dalam diri"
Empu Nawamula mengerutkan kuningnya. Katanya
kemudian "Masih ada satu cara untuk mengatasinya. He,
Ki Sanak, kau mengerti kesulitan itu?"
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun
Kemudian katanya "Bukankah Empu Nawamula sendiri
pernah menyinggung akan hal itu"
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Ya. Aku memang pernah mempersoalkan
sebelumnya. Tetapi segalanya masih juga tergantung
kepada Singatama" "Paman" berkata Singatama kemudian "mumpung
hatiku sedang terang. Aku bersedia membersihkan diri.
Bahkan aku mohon paman segera dapat melakukannya,
sebelum aku mengambil keputusan lain. Jika kegelapan itu
mencengkam jantungku lagi, mungkin aku akan kehilangan
kesempatan itu" Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Baiklah. Kita akan pergi ke Sanggar"
Lalu katanya kepada Mahisa Agni "Maaf Ki Sanak. Aku
persilahkan Ki Sanak kembali ke pondok Ki Sanak. Aku
akan berada di sanggar hanya dengan kemanakanku saja"
"Baik Empu" jawab Mahisa Agni "nampaknya hal itu
memang hanya penting bagi Empu dan Singatama saja"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara
Mahisa Agnipun telah kembali ke rumah yang dihuninya di
padepokan itu. Sementara Singatama pergi ke Sanggar, maka Empu
Nawamula telah memerintahkan para cantrik agar
membangunkan kawan-kawan mereka. "Kalian harus
mengamati halaman dan kebun padepokan ini dengan baik.
Baru saja ada orang memasuki kebun ini tanpa kalian
ketahui. Bahkan bukan orang kebanyakan" berkata Empu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nawamula kepada para cantrik yang bertugas. Lalu
"Karena itu, panggillah semua cantrik dan beri mereka
tugas malam ini. Mungkin orang itu kembali justru pada
saat aku berada di sanggar. Dalam keadaan yang paling
gawat, sebelumnya aku dapat keluar dari sanggar, maka
ketiga muridku dan kedua anak muda yang bernama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu akan dapat membantu
kalian" "Baik Empu" jawab para cantrik yang sedang bertugas.
Demikianlah, ketika kemudian Empu Nawamula
memasuki sanggar bersama Singatama, maka para cantrik
di padepokan itupun telah dibangunkan. Mereka harus
berjaga-jaga, karena baru saja ada orang yang memasuki
halaman padepokan dengan maksud Buruk.
"Kita harus mengawasi seluruh halaman padepokan"
berkata cantrik yang mendapat tugas dari Empu
Nawamula. Para cantrik itupun kemudian telah mengatur diri,
termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berada
di setiap sudut halaman. Namun bagaimanapun juga, ada
diantara para cantrik itu yang tidak dapat menahan
matanya untuk tidak terpejam.
-oo0dw0oo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari /
Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
--ooo0dw0ooo- Jilid 006 "HE" DESIS KAWANNYA sambil menyentuhnya
dengan sikunya. "Mataku tidak dapat terbuka lagi" jawab cantrik itu
"Jika tiba-tiba datang seseorang merundukmu dan menusuk
perutmu dengan pedang?" bertanya kawannya.
"Bukankah kau ada disitu" jawabnya.
"Anak setan" jawab kawannya "kau kira aku akan
melindungimu" Aku akan lari karena ketakutan. Biar saja
orang itu menusuk perutmu sampai tembus"
Cantrik yang mengantuk itu tertawa, katanya "Jangan
marah Mari kita bergantian. Sekarang aku akan tidur. Nanti
jika aku sudah bangun, kau dapat tidur"
"Nanti kapan kau akan bangun" Sesudah matahari
terbit?" geram kawannya.
Cantrik itu masih tertawa. Tetapi justru dengan
demikian, kantuknya menjadi berkurang, sehingga katanya
"Baiklah. Aku tidak akan tidur. Tetapi jika tanpa aku
sengaja aku tertidur, itu bukan salahku"
"Sudah aku katakan. Jika kau tidur atau tertidur, aku
akan pergi dan mencari kawan yang tidak tidur atau
tertidur" jawab kawannya.
Cantrik itu bergeser. Tetapi iapun kemudian bangkit
sambil berkata "Aku akan tetap jaga sampai pagi. Lihat
saku akan berjalan hilir mudik"
Kawannya tidak menyahut. Dibiarkannya saja
kawannya itu berusaha untuk melawan kantuknya.
Dalam pada itu. Empu Pulung Geni yang ternyata harus
mengakui kelebihan Empu Nawamula telah meninggalkan
medan. Peristiwa yang serupa telah terulang kembali.
Bagaimanapun juga, ternyata bahwa Empu Nawamula
memiliki kelebihan dari Empu Pulung Geni. Apalagi jika
Empu Nawamula itu berusaha membangunkan muridmuridnya
dan seisi padepokan. Maka Empu Pulung Geni
akan mengalami nasib yang sangat buruk.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Empu Pulung
Geni kecuali meninggalkan padepokan itu dengan hati yang
sakit. "Anak itu sudah berkhianat" geramnya "selama ini aku
pelihara anak itu dengan baik. Tetapi pada suatu saat, aku
harus membunuhnya. Tidak ada hukuman yang lain dari
kematian bagi seorang pengkhianat"
Empu Pulung Geni yang sudah jauh dari padepokan
muridnya yang berkhianat itu berdiri dengan nafas yang
berdesakkan. Dipandanginya arah padepokan yang
ditinggalkannya. Ketika ia yakin, bahwa tidak seorangpun
yang mengejarnya, maka iapun dapat beristirahat.
"Semuanya sia-sia" geramnya "aku bertempur melawan
Empu Nawamula karena aku berusaha memenuhi
permintaan anak itu. Tetapi pada saat yang paling
menentukan ia telah berkhianat. Seandainya aku tahu, aku
tentu sudah mencekiknya ketika ia merengek, minta agar
aku menolongnya, membalas sakit hatinya dan sekaligus
mengambil gadis itu"
Namun semuanya sudah terjadi. Dan Singatama
memang sudah berkhianat terhadap gurunya.
Empu Pulang Geni yang lelah itupun kemudian duduk di
atas sabuah batu yang besar. Ia bukan saja lelah wadagnya,
tetapi hatinyapun rasa-rasanya hampir patah menghadapi
pengkhianatan muridnya. Tetapi Empu Pulung Geni terikat pada satu tugas lain
yang lebih besar dari keterikatannya dengan muridnya.
Akhirnya sambil menggeretakkan giginya ia berkata
"Apapun yang terjadi, pada suatti saat aku akan
menghukumnya. Jika aku terpancang kepada itu, maka
kesanggupanku untuk satu tugas yang lebih penting akan
terbengkalai" Karena itu, maka untuk sementara Empu Pulung Geni
berusaha untuk melupakan sakit hatinya. Dengan luka di
dalam dadanya, maka iapun berkeputusan untuk kembali
saja kepadepokannya. "Masih ada beberapa orang yang setia kepadaku selain
Singatama" geram Empu Pulung Geni.
Tetapi untuk beberapa saat Empu Pulung Geni masih
tetap duduk diatas sebuah batu untuk menenangkan hatinya
dan mengatur pernafasannya.
Dalam pada itu, ketika langit menjadi merah maka
Empu Pulung Genipun telah bersiap-siap untuk
meninggalkan tempat itu. Kembali ke padepokannya.
Sementara itu, pada saat yang sama, Singatama duduk di
dalam sanggar dengan tubuh gemetar, seperti orang
kedinginaan. Pamannya duduk di helakangnya sambil
melekatkan kedua telapak tangannya pada punggungnya.
Keduanya dengan wajah yang tegang berusaha untuk
mencapai satu keseimbangan bagi Singatama yang telah
melepaskan ilmu hitamnya.
Untuk beberapa saat, Singatama masih tetap menggigil.
Namun beberapa saat kemudian, pernafasannyapun
menjadi semakin teratur, dan tubuhnya tidak lagi
berguncang-guncang oleh perubahan yang terjadi di dalam
dirinya setelah ia mengosongkan diri dari ilmunya.
Tepat pada saat langit menjadi cerah, maka Empu
Nawamula sudah selesai dengan tugasnya. Singatama
benar-benar menjadi seorang anak muda yang baru Seolaholah
baru dilahirkan kembali setelah beberapa tahun
lamanya ia bertualang didunia kelam.
"Berdirilah" berkata Empu Nawamula kemudian.
Singatama kemudian bangkit berdiri. Tetapi hampir saja
ia kehilangan keseimbangannya. Untunglah Empu
Nawamula cepat menangkapnya dan membantunya berdiri
tegak. "Ada sesuatu yang asing di dalam diriku paman" berkata
Singatama. "Ya. Justru yang asing itu adalah pribadimu yang
sebenarnya, yang sudah lama terselubung oleh ilmu
hitammu. Kau memang merasa asing dengan dirimu
sendiri, karena sudah terlalu lama kau kehilangan dirimu
itu" berkata Empu Nawamula.
Singatama mulai menggerakkan tangan dan kakinya.
Perlahan-lahan ia berjalan mengelilingi ruangan sanggar
pamannya itu. Semakin lama langkahnya semakin mantap
dan rasa-rasanya tenaganyapun telah pulih kembali.
"Kau telah kehilangan kemampuanmu untuk
mempergunakan segala tenaga di dalam dirimu yang
didorongkan oleh kekuatan ilmumu. Yang tersisa adalah
tenaga wadagmu sewajarnya dan kemampuanmu dalam
arti ketrampilan tubuhmu. Tetapi kau tidak akan dapat
membangunkan kekuatan di luar kemampuan wajarmu
dengan ilmumu" Singatama menarik nafas dalam-dalam Ketika ia
mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, pamannya
berkata "Cobalah. Kau bukan tidak dapat berbuat apa-apa
sama sekali" Ternyata Singatama yang kemudian menggerakkan
tangan dan kakinya masih juga mampu mengingat unsur
unsur gerak dari ilmunya. Namun sebagai gerak wantah
yang tidak mempunyai kekuatan pendukung selain tenaga
wadagnya saja. "Bagaimanapun juga, kau adalah kemanakanku" berkata
Empu Nawamula. Tetapi hal itu memang sudah dikehendaki. Singatama
sama sekali tidak menyesal. Apalagi ia masih tetap
mempunyai alat pelindung meskipun sekedar ketrampilan
gerak tubuhnya saja. "Mulai esok, jika kau kehendaki, kau akan dapat
mempelajari ilmu yang lain dari ilmu yang pernah kau
miliki" berkata pamannya.
"Aku akan melakukannya paman. Aku tidak mau
kehilangan waktu terlalu banyak. Jika aku memerlukan
waktu dua atau tiga tahun, untuk memiliki tataran ilmu
yang akan paman berikan maka aku masih mempunyai
kesempatan dalam umurku yang sekarang" berkata
Singatama. "Baiklah. Kau_membuat aku merasa sangat berbahagia
sekarang ini. Seolah-olah aku telah menemukan sesuatu
yang sangat berharga yang pernah hilang sebelumnya"
Demikianlah, maka Singatama benar-benar bertekad
untuk meruhah cara hidupnya. Sejalan dengan hatinya yang
ikhlas menanggalkan ilmu hitamnya, maka iapun telah
dengan berani minta maaf kepada Widati dan ayahnya atas
tingkah lakunya. "Aku tidak akan berharap apa-apa" berkata Singatama
kepada Ki Buyut "aku berusaha untuk menjadi orang baru.
Meskipun aku tidak akan dapat melupakan perasaanku
waktu itu, tetapi aku mulai mempergunakan nalarku"
"Terima kasih angger" jawah Ki Buyut "mudahmudahan
dengan demikian, anakku akan mendapatkan
ketenangan di dalam hidupnya"
"Ya Ki Buyut" sahut Singatama" sekali lagi aku berjanji,
bahwa aku tidak akan mengganggunya lagi. Aku lidak akan
mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu, apalagi
memaksakan kehendakku, karena aku sudah kehilangan
ilmuku" Mahisa Agni dan Witantra yang menyaksikannya,
merasa tersentuh pula hatinya. Ia melihat kesungguhan
pada Singatama untuk merubah cara hidupnya, sehingga ia
telah banyak memberikan bukti kesungguhannya.
Dengan demikian, maka Ki Buyutpun merasa lebih
tenang untuk kembali ke Kabuyutannya yang sudah terlalu
lama ditinggalkannya. Anak muda yang untuk beberapa
lama menghantui anak gadisnya ternyata telah berubah
sikap. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar
keputusan Singatama itupun menjadi gembira. Dengan
demikian, maka mereka tidak akan terikat untuk
mengamati gadis itu saja. Mereka akan serapat melanjutkan
perjalanan mereka untuk melihat-lihat hijaunya lembahlembah
yang membentang luas di tlatah Singasari.
Tetapi kedua anak muda itu masih mempunyai satu
kewajiban untuk mengantarkan Widati kembali ke
kabuyutannya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa
Mahisa Agni dan Witantrapun ingin juga kembali ke
Singasari. Mereka akan berangkat bersama dengan Ki
Buyut dan anak gadisnya yang akan diantar oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Pada hari yang sudah ditentukan, maka Ki Buyutpun
telah bersiap-siap. Meskipun demikian, ada juga kecemasan
di hati Ki Buyut meskipun Singatama telah merubah cara
hidupnya. Jika diperjalanan itu mereka bertemu, secara
kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh Empu
Pulung Geni, maka nasib anak gadisnya tentu akan menjadi
sangat buruk. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menenangkan hati mereka. Dengan penuh kesungguhan
Mahisa Pukat berkata "Kami akan berbuat sejauh dapat
kami lakukan" Ki Buyut mengangguk-angguk meskipun ia masih juga
meragukan. Tetapi bagaimanapun juga Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak mengatakannya, bahwa kedua orang
pamannnya itu akan dapat menyelesaikan tanpa kesulitan
seandainya mereka benar-benar bertemu dengan Empu
Pulung Geni. "Menurut pendapatku. Empu Pulung Geni telah
meninggalkan tempat ini" berkata Empu Nawamula "ia
tidak akan telaten menunggui sesuatu yang tidak
berkepastian, sejak muridnya telah meninggalkannya"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia percaya kepada Empu
Nawamula. karena menurut pendapatnya, Empu
Nawamula memiliki ketajaman penglihatan jauh
melampaui penglihatannya atas peristiwa yang baru saja
terjadi itu. Dengan demikian, maka akhirnya Ki Buyut dan anak
gadisnya itupun telah meninggalkan padepokan Empu
Nawamula kembali ke Kabuyutan mereka. Bersama mereka
adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Agni
dan Witantra. Ternyata diperjalanan mereka sama sekali tidak
menjumpai hambatan apapun juga. Perjalanan yang tidak
mereka selesaikan dalam sehari. Tetapi mereka masih harus


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermalam di perjalanan yang cukup panjang itu.
Tetapi rasa-rasanya kegelisahan mereka telah jauh
berkurang dari saat-saat sebelumnya, dengan demikian
maka rasa-rasanya perjalanan mereka itupun tidak
merupakan perjalanan yang terlalu berat sebagaimana saat
mereka berangkat. Bahkan ketika mereka harus bermalam
di perjalanan. Widati merasakannya sebagai satu
pengalaman yang menarik. Meskipun gelap malam
membuatnya berdebar-debar, tetapi kehadiran orang-orang
yang dapat dianggapnya sebagai pelindung yang
meyakinkan, membuatnya menjadi lebih tenang.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyalakan
perapian di dekat tempat mereka akan bermalam di
perjalanan, maka Widati telah mendekatinya.
"Hangatnya perapian ini" desisnya.
"Kau belum mengantuk?" bertanya Mahisa Murti.
Widati menggeleng. Katanya "Suara burung hantu itu
membuat aku tidak dapat tidur"
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Burung hantu itu
dapat membuat bunyi yang lain. Dalam segala keadaan
burung itu akan mengeluarkan bunyi yang sama"
Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika tidak dengan
sengaja ia mengangkat wajahnya dan memandang ke
dedaunan pepohonan yang berwarna kehitam-hitaman,
maka kulitnya serasa telah meremang.
Tanpa disadarinya ia telah bergeser mendekati Mahisa
Murti sambil berdesis "Dedaunan itu"
Mahisa Murtipun mengangkat wajahnya pula sambil
bertanya "Kenapa dengan dedaunan itu?"
"Menakutkan" jawab Widati.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Jika demikian,
jangan memandang dedaunan itu. Disiang hari dedaunan
itu nampak hijau segar. Tetapi dalam gelap, warna hijaunya
menjadi gelap juga" Widati mengangguk. Katanya "Cahaya api itu membuat
warna dedaunan itu menjadi aneh. Seperti wajah-wajah
raksasa" Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Raksasa yang akan
menelan kita" "Ah" Widati beringsut semakin dekat. Jangan takut"
berkata Mahisa Pukat kemudian "lihat saja bintang-bintang
yang bertaburan itu. Menyenangkan sekali. Tetapi sekaligus
memperingatkan kita, betapa kecilnya kita manusia
dihadapan luasnya alam yang tidak dapat di mengerti itu"
Widati mengangguk-angguk. Seleret nampak bintang
yang berpindah tempat, meluncur dengan cepat.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih juga
duduk berhincang dengan Ki Buyut beberapa langkah dari
anak-anak muda yang duduk diperapian itu.
Bagi Ki Buyut pengalaman yang baru saja terjadi itu
merupakan satu pengalaman yang menggetarkan hati. Jika
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat salah menilai lawan dan
para cantrik yang berdiri di pihaknya, maka anak gadisnya
akan ikut menjadi korban.
"Untunglah, semuanya telah lampau" desis Witantra.
"Ya. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang menggelisahkan"
jawab Ki Buyut. Tetapi kemudian "Untunglah, bahwa
tempat tinggalku tidak diketahui baik oleh Singatama
maupun oleh gurunya. Apalagi saat ini Singatama telah
merubah sikap" Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Keduanya mengerti, bahwa Ki Buyut masih belum dapat
menghapuskan kegelisahannya sepenuhnya. Tetapi beban
yang memberati jantungnya telah banyak berkurang oleh
sikap Singatama. Karena itu, maka seterusnya Ki Buyut sempat berbicara
tentang kehidupan di Kabuyutan. Tentang tanah pertanian.
Tentang parit-parit. Tentang pegunungan dan hutan-hutan
yang gersang. "Masih banyak kesempatan Ki Buyut" berkata Mahisa
Agni "Kabuyutan itu masih akan dapat berkembang dengan
baik. Kesulitan yang pernah mencengkam Kabuyutan. itu
menjadi pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman itu
ternyata telah dilengkapi dengan pengalaman Ki Buyut
selama Ki Buyut berada di sebuah padepokan semu itu"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Kesulitan yang
datang beruntun itu tentu terasa sangat berat bagi
Kabuyutan kami. Tetapi seperti yang Ki Sanak katakan,
mudah-mudahan di saat mendatang, kami dapat
memperbaiki keadaan itu perlahan-lahan"
Mahisa Agni melihat kesungguhan di wajah Ki Buyut
yang merasa sangat prihatin atas keadaan Kabuyutannya.
Namun dengan kesungguhan pula ia berniat untuk
mengejar kemunduran yang dialaminya itu. Beberapa saat
mereka masih berbincang. Mereka sempat menyinggung
para tawanan yang terluka dan masih berada padepokan.
Namun diantara mereka terdapat prajurit Singasari yang
semula terluka pula, sehingga para prajurit itu akan dapat
membantu mengawasi para tawanan yaryg ada suatu saat
akan diambil oleh para prajurit dari Singasari.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ki
Buyutpun beringsut setapak. Dibaringkannya tubuhnya
diatas rerumputan kering yang sudah dipersiapkannya.
Sementara Mahisa Agni dan Witantrapun telah berbaring
pula beberapa langkah di sebelah Ki Buyut.
Namun dalam pada itu, yang masih tetap duduk dan
berbicara tanpa berkeputusan adalah Mahisa Murti dan
Widati. Agaknya mereka menemukan bahan pembicaraan
yang sangat menarik. Sementara Mahisa Pukat agaknya
telah menjadi lelah dan beringsut semakin dekat dengan
perapian. Sambil meletakkan dagunya di lututnya, ia
bermain dengan sebatang ranting yang ujungnya sedang
menyala. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan, apa yang
sedang dipercakapkan oleh Mahisa Murti.
Tetapi di luar sadarnya, seolah-olah dalam nyala api di
hadapannya, telah membayang wajah seorang gadis pula.
Gadis yang pernah dilihatnya di rumah Ki Raganiti. Paman
Widati. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu
memang memiliki beberapa persamaan dengan Widati. Itu
adalah wajar sekali, karena keduanya adalah saudara
sepupu. "Persetan dengan gadis itu" desak Mahisa Pukat di
dalam hatinya. Namun justru karena itu, setiap kali ia
mengungkit bara di perapian yang menyala itu, rasarasanya
wajah itu telah membayang. Semakin lama iustru
semakin jelas. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian tidak dapat ingkar lagi, sebenarnya gadis yang
dijumpainya di rumah Ki Raganiti itu telah meninggalkan
secercah bekas dihatinya.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun tidak lagi berusaha
mengusir bayangan yang setiap kali timbul dan seakan-akan
menggodanya. Dibiarkannya saja bayangan itu bermain
justru di angan-angannya.
Sementara itu, Mahisa Murti masih saja berbincang
dengan Widati. Ada saja yang menarik untuk dibincarakan,
sehingga keduanya sama sekali tidak merasa bahwa malam
menjadi semakin kelam. Bahkan tanpa disadarinya, Mahisa Pukat ternyata telah
tertidur dengan nyenyaknya di pinggir perapian sambil
memegang sebuah ranting yang tidak lagi menyala
ujungnya. Mahisa Agni dan Witantrapun telah saling berdiam diri.
Tanpa berjanji mereka agaknya telah membagi waktu.
Justru ketika Mahisa Agni bangkit dan duduk di atas
sebuah batu, Witantra telah berusaha untuk dapat
memejamkan matanya barang sejenak.
Dalam pada itu, Ki Buyutpun ternyata tidak juga dapat
tidur. Bagaimanapun juga, ia tidak begitu senang melihat
anaknya berbincang seolah-olah tanpa akhir dengan Mahisa
Murti. Meskipun pandangannya terhadap Mahisa Murti
sudah berubah, namun rasa-rasanya sikap anaknya itu agak
kurang pantas bagi seorang gadis.
Karena Widati masih saja duduk di sebelah perapian
bersama Mahisa Murti, maka akhirnya Ki Buyut itupun
berkata "Widati. Malam telah lewat. Kau harus beristirahat.
Kita masih akan menempuh perjalanan yang cukup
panjang" Widati mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
menyadari maksud ayahnya. Malam memang sudah larut.
Dan ia masih saja berbicara dengan seorang anak muda.
Karena itu, maka Widatipun kemudian bangkit sambil
berdesis "Aku harus beristirahat"
"Tidurlah. Besok perjalanan masih panjang" berkata
Mahisa Murti. Widatipun kemudian meninggalkan Mahisa Murti
termangu-mangu sendiri. Perlahan-lahan ia mendekati
ayahnya yang kemudian duduk sambil berkisar. Katanya
"Tidurlah" Widatipun kemudian duduk bersandar sebuah batu yang
besar sambil berkata "Aku akan tidur disini ayah"
"Berbaringlah agar kau dapat tidur dengan baik" berkata
ayahnya. "Sama saja bagiku. Sambil bersandarpun aku dapat tidur
dengan nyenyak" jawab Widati.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Wajah Widati
nampak cerah di bayangan api perapian. Bahkan ketika
iapun kemudian tertidur, sebuah senyuman masih
membayang di bibirnya. Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Iapun menjadi
yakin, bahwa antara anak gadisnya dengan anak muda
yang sebenarnya bernama Mahisa Murti itu telah terjalin
satu hubungan yang rumit di dalam hati mereka.
Namun akhirnya Ki Buyut itupun tertidur juga setelah ia
yakin bahwa Widatipun telah tertidur pula.
Yang kemudian masih terbangun adalah Mahisa Agni
dan Mahisa Murti yang duduk di dekat Mahisa Pukat
terbaring. Sementara itu agaknya Witantrapun telah tertidur
pula. Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah mendekati
Mahisa Murti yang merenung. Sambil duduk di sebelah
anak muda itu Mahisa Agni bertanya "Kau tidak
beristirahat Murti" Mahisa Murti memandang wajah Mahisa Agni sekilas.
Kemudian katanya "Kita bergantian paman. Silahkan
paman beristirahat. Nanti, pada saatnya aku mengantuk,
aku akan membangunkan paman atau Mahisa Pukat atau
paman Witantra" Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Kau dapat bergantian
dengan Mahisa Pukat. Aku akan bergantian dengan
pamanmu Witantra. Tetapi jika kau ingin tidur, tidurlah.
Biarlah aku duduk mengawasi keadaan. Nampaknya tidak
ada sesuatu yang pantas di cemaskan di tempat ini"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Aku tidak mengantuk sekarang paman.
Mungkin nanti sebentar"
Mahisa Agni menepuk bahu anak muda itu. Tetapi
kemudian iapun bangkit dan berjalan mengelilingi orangorang
yang sedang tidur itu sebelum ia kembali duduk
diatas sebuah batu. Mahisa Murti memandangi Mahisa Agni beberapa lama.
Namun iapun kemudian beringsut lebih dekat dari api.
Dilontarkannya beberapa potong ranting kering ke dalam
api itu, sehingga untuk sempat, apipun melonjak semakin
besar. Lewai tengah malam, Witantra telah terbangun dengan
sendirinya. Setelah mengeliat, maka iapun kemudian duduk
di sebelah Mahisa Agni sambil berkata "Aku tertidur
nyenyak sekali" "Kau belum lama tertidur" jawab Mahisa Agni.
Namun Witantra menyahut sambil memandangi
bintang-bintang dilangit "Sudah cukup lama. Bintangbintang
telah bergeser terlalu jauh"
Mahis Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menunjuk Mahisa Murti yang masih duduk ditepi perapian
Mahisa Agni berkata "Anak itu belum sempat tidur"
Witantra mengangguk. Jawabnya "Ada sesuatu yang
mengganggunya" "Ya" jawah Mahisa Agni "perasaannya sendiri"
Witantra tersenyum. Katanya "Biarlah ia
membangunkan Mahisa Pukat, agar ia dapat beristirahat
barang sejenak" Witantrapun kemudian bangkit mendekatinya,
sementara Mahisa Agnipun kemudian berpindah duduk
bersandarkan pohon yang tidak terlalu besar. Namun
dengan demikian, iapun sempat memejamkan mata
menjelang dini hari. Witantrapun yang kemudian duduk di sebelah Mahisa
Murti sambil berkata "Sudah waktunya kau
membangunkan Mahisa Pukat"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya "Baiklah paman. Aku akan beristirahat"
Mahisa Murtipun kemudian membangunkan Mahisa
Pukat yang nampaknya sangat malas untuk membuka
matanya. Namun akhirnya iapun duduk pula sambil
menggeliat. "Aku akan tidur. Kau kawani paman Witantra" berkata
Mahisa Murti. Mahisa Pukat menggosok matanya.'Ketika ia
memandang berkeliling, dilihatnya Widati telah tertidur
sambil bersandar sebongkah batu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Tidurlah. Aku kawani paman Witantra"
Mahisa Murtipun kemudian beringsut selangkah. Sambil
berdesah iapun meletakkan kepalanya diatas setumpuk
rerumputan kering. Mahisa Pukatlah yang kemudian duduk di sebelah
Witantra sambil berkata "Mahisa Murti sedang diganggu
oleh perasaannya sendiri terhadap gadis yang bersandar


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu itu" Witantra tersenyum. Katanya "Hal yang wajar. Tetapi
Mahisa Murti harus ingat, apa yang pernah terjadi atas
Mahisa Bungalan sebelumnya. Hubungannya dengan gadis
itu harus diaturnya sebaik-baiknya agar tidak menjeratnya
ke dalam satu kesulitan"
"Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba
saja ia teringat pada seorang gadis yang pernah dilihatnya
dan telah meninggalkan kesan tersendiri pula dihatinya.
"Apapula kata paman Witantra jika ia mengetahuinya"
berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Namun tiba-tiba
saja Mahisa Pukat menguap. Agaknya matanya masih saja
ingin terpejam. "Tidurlah" berkata Witantra sambil tersenyum "aku
akan berjaga-jaga" "Ah" desis Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Murti
terbujur. Witantra tidak mendesaknya. Namun ketika Mahisa
Murti sudah tertidur, sekali lagi Witantra berkata
"Tidurlah" Mahisa Pukat ragu-ragu. Namun akhirnya iapun
beringsut untuk bersandar sebatang pohon pula. Katanya
"Aku tidak ingin tidur. Tetapi jika aku tertidur, justru
karena paman mengijinkan"
Witantra tersenyum. Katanya "Yah, tidurlah"
Mahisa Pukatpun kemudian tersenyum. Namun
akhirnya matanyapun telah terpejam pula.
Tidak ada yang menarik terjadi malam itu, selain
permainan perasaan anak-anak muda yang ada diantara
iring--iringan yang sedang beristirahat itu. Nampaknya
mereka tertidur sambil membawa angan-angan masingmasing.
Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar, maka
merekapun telah terbangun. Ki Buyut telah mengantarkan
anak gadisnya ke sebuah belik kecil yang tidak terlalu jauh
dari perapian. Sejenak kemudian maka orang-orang yang berada di
dalam sekelompok kecil itupun sudah siap membenahi diri,
sehingga merekapun telah siap untuk melanjutkan
perjalanan. "Marilah" berkata Mahisa Agni "mumpung hari masih
pagi" Sejenak kemudian, iring-iringan itupun mulai bergerak.
Kuda-kuda merekapun telah menjadi segar.
Dengan demikian perjalanan merekapun menjadi lebih
cepat. Apalagi jalan yang mereka tempuh kemudian adalah
jalan yang lebih baik. Meskipun mereka kadang-kadang
harus menyusup hutan-hutan kecil, namun perjalanan tidak
lagi terasa terlalu berat.
Namun mereka tidak dapat menempuh perjalanan
sepanjang hari tanpa beristirahat untuk makan dan minum.
Bagi orang-orarig yang terbiasa hidup dalam pengembaraan
dan berada di dalam lingkungan olah kanuragan, hal itu
tidak akan banyak terasa mengganggu. Tetapi tentu tidak
bagi Widati dan Ki Buyut.
Karena itu, ketika matahari yang terik menyengat ujung
pepohonan, maka iring-iringan itupun mendekati sebuah
pasar yang telah menjadi sepi. Tetapi masih ada satu dua
buah kedai yang melayani para pembelinya.
"Kita singgah sebentar" berkata Mahisa Murti yang
mengetahui keadaan Widati.
Sebenarnya Mahisa Agni dan Witanta ingin
memperingatkan Mahisa Murti karena, jumlah mereka
agaknya akan dapat menarik perhatian. Tetapi mengingat
keadaan Widati, maka keduanya akhirnya mengambil satu
sikap yang lain. "Mahisa Murti" berkata Mahisa Agni "kau, Mahisa
Pukat dan Ki Buyut serta anaknya, singgahlah di kedai itu.
Biarlah aku menunggu di tempat yang terpisah, agar tidak
terlalu menarik perhatian. Nampaknya jumlah kita terlalu
banyak untuk sekelompok pejalan biasa"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya kepada Mahisa Pukat perlahan-lahan "Bagaimana
pendapatmu?" "Aku mengerti pendapat paman Mahisa Agni" berkata
Mahisa Pukat "karena itu, agaknya kami persilahkan
paman Mahisa Agni dan paman Witantra untuk singgah di
kedai yang satu, sedang kita akan singgah dikedai yang lain.
"Baiklah" berkata Mahisa Murti yang kemudian
mendekati Ki Buyut sambil berkata "marilah. Kita akan
dapat singgah di kedai itu sebentar"
Ki Buyut tidak menolak. Ia tahu bahwa anak gadisnya
benar-benar telah haus dan lapar. Karena itu, maka
merekapun telah menggeser arah kudanya, berbelok menuju
ke pasar yang telah sepi itu.
Tetapi ketika mereka memasuki sebuah kedai dan
Mahisa Agni serta Witantra memasuki kedai yang lain,
maka Ki Bayutpun telah bertanya "Kenapa kedua
pamanmu itu tidak bersama-sama dengan kita disini?"
Mahisa Murtilah yang berbisik ditelinga Ki Buyut "Tidak
apa-apa. Sekedar untuk mengurangi perhatian orang.
Supaya mereka tidak bertanya-tanya, seolah-olah kita
sedang mengungsi dengan anak cucu"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sejenak
kemudian, merekapun telah duduk di dalam kedai itu.
Meskipun pasar itu sudah sepi, tetapi masih ada juga
beberapa orang yang berada di kedai itu. Agaknya disudut
pasar beberapa orang pandai besi masih sibuk
menyelesaikan pekerjaannya.
Mahisa Agni dan Witantra yang berada di kedai yang
lain, di luar sadar telah memperhatikan pandai besi itu.
Bahkan Witantra telah bertanya kepada pemilik kedai itu
"Apakah sudah terbiasa bahwa pandai besi itu bekerja
sehari penuh?" "Tidak Ki Sanak" jawab pemilik kedai itu "biasanya
mereka selesai sebelum tengah hari. Jika masih ada
pekerjaan, mereka akan mengerjakannya esok"
"Tetapi mereka hari ini bekerja terlalu keras" sahut
Mahisa Agni. "Mereka menerima pesanan khusus" jawab pemilik
kedai itu. "Apa?" bertanya Witantra.
"Mereka menerima pesanan lebih dari lima puluh kapak
" jawab pemilik kedai itu.
"Kapak demikian banyak?" bertanya Witantra "apakah
mungkin yang memesan itu seorang pedagang yang akan
menjualnya lagi di tempat lain yang masih belum memiliki
seorang pandai besipun?"
"Entahlah" jawab pemilik kedai itu "aku tidak tahu"
Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya ketika
tiba-tiba saja seorang bertubuh tinggi tegap menjulurkan
kepalanya di pintu belakang kedai itu sambil berkata "Ya.
Kau, memang tidak tahu apa-apa"
Pemilik kedai itu berpaling Orang itu berpegangan kedua
uger-uger pintu belakang kedainya, sementara kepalanya
terjulur ke dalam. Wajahnya yang keras membayangkan
sikapnya yang agaknya juga cukup keras seperti wajahnya
itu. Rasa-rasanya debar jantung pemilik Kedai itu menjadi
semakin cepat. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab.
Bahkan iapun kemudian menyibukkan dirinya dengan
melayani minuman Mahisa Agni dan Witantra.
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Namun merekapun tidak berkata sepatahpun. Bahkan
ketika pemilik kedai itu membuat minuman yang tidak
mereka pesan, merekapun tidak menolaknya, karena
mereka mengerti, bahwa pemilik kedai itu menjadi sangat
gelisah. Untuk beberapa saat kedai itu menjadi sepi. Baik pemilik
kedai itu, maupun Mahisa Agni dan Witantra, sama sekali
tidak mengatakan sesuatu. Mereka sibuk dengan
kepentingan mereka masing-masing. Pemilik kedai itu
membenahi barang-barangnya yang tidak sedang dipakai,
sedang Mahisa Agni dan Witantra sibuk dengan minuman
hangatnya, meskipun yang mereka pesan bukan air sere
seperti yang dihidangkan. Namun air sere dengan gula
kelapa itupun rasa-rasanya cukup segar. Apalagi bagi
mereka yang agak kurang tidur di malam sebelumnya.
Dalam kesepian itu. ternyata ada dua orang berkuda lagi
yang berhenti di depan kedai itu. Dua orang
penunggangnyapun kemudian turun dan setelah
menambatkan kudanya, memasuki kedai itu pula. Berbeda
dengan orang yang masih berdiri di pintu belakang, orang
yang memasuki kedai itu nampaknya lebih tertib, meskipun
keduanya agaknya orang-orang yang sombong.
"Beri aku minuman dan makanan yang paling baik"
berkata salan seorang dari kedua orang itu.
Pemilik warung itupun kemudian menjadi sibuk. Seperti
yang dibuatnya untuk Mahisa Agni dan Witantra, maka
iapun telah membuat minuman air sere dengan gula kelapa
bagi kedua orang tamunya yang baru itu. Baru kemudian
pemilik kedai itu telah menghidangkan setambir makanan
bagi mereka. Tetapi seorang dari kedua orang tamu itu mengerutkan
keningnya. Diamatinya mangkuk air sere itu dengan kerut
di dahi. "Minuman apa ini?" ia bertanya.
"Air sere" jawab pemilik kedai itu.
Orang itu mencicipi air sere itu setitik. Namun tiba-tiba
saja ia melemparkan mangkuk itu sambil membentak "Gila.
Kau beri minum apa aku he?"
Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Air yang masih
hangat itu telah terpercik ke tubuhnya. Sambil bergeser
surut iapun menjawab "Itu adalah jenis minuman yang
paling baik disini Ki Sanak"
"Kau gila" geram orang itu "beri aku minuman yang
lebih baik" "Apa yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya pemilik
kedai itu termangu-mangu.
"Tuak. Beri aku tuak sebumbung" geram orang itu.
Pemilik kedai itu menjadi tegang. Dengan wajah cemas ia
menjawab "Maaf Ki Sanak. Aku tidak mnyediakan tuak
disini. Yang ada hanyalah minuman-minuman panas. Air
sere, air salam dan barangkali dawet legen jika dikehendaki.
Aku dapat memesan di ke sebelah"
"Cukup" bentak orang itu "beri aku tuak. He, kau
dengar" Pemilik kedai itu menjadi bingung. Sekali lagi ia
mencoba menjelaskan "Aku tidak mempunyai tuak Ki
Sanak" "Aku tidak peduli. Apakah kau akan membeli, atau
mencuri atau merampok. Aku perlu tuak kau dengar"
Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak pernah
menjumpai pembeli yang tidak mau tahu, apakah ia
mempunyai persediaan jenis makanan atau minuman yang
dikehendaki. Kesan Mahisa Agni dan Witantra terhadap itupun segera
berubah. Jika semula mereka hanya menganggap dua orang
itu agak sombong, namun akhirnya merekapun melihat
kekasaran orang yang tidak mereka kenal itu.
Selagi pemilik kedai itu termangu-mangu, maka salah
seorang dari keduanya membentak sambil menghentakkan
tangannya pada paga bambu di hadapannya "Cepat,
sebelum aku robohkan kedaimu ini"
Demikian kerasnya orang itu menghentakkan tangannya,
sehingga mangkuk Mahisa Agni dan Witantrapun telah
bergoncang, sehingga minuman hangat di dalamnya telah
memercik pula ke tubuh mereka.
Tetapi baik Mahisa Agni maupun Witantra masih tetap
berdiam diri tanpa berbuat sesuatu menyaksikan sikap itu.
Namun dalam pada itu, yang tiba-tiba saja menyahut
adalah orang yang berwajah kasar yang berdiri di pintu
belakang itulah yang menyahut "Kau jangan gila Ki Sanak.
Kau sudah dengar bahwa di kedai ini tidak ada tuak?"
Kedua orang itu tiba-tiba saja telah berpaling. Dengan
kerut di dahi, seorang diantara mereka bertanya "Siapa
kau?" Tiba-tiba saja jawab orang itu mengejutkan Mahisa Agni
dan Witantra "Aku saudara pemilik kedai ini. Aku tidak
senang melihat kesombonganmu seperti itu"
"Persetan" teriak yang seorang. Tetapi yang lain justru
tertawa sambil berkata "Kau orang gila juga seperti
saudaramu pemilik warung ini. Kau jangan ikut campur
he?" Orang yang berdiri di pintu belakang itu melangkah
masuk. Wajahnya yang garang menjadi semakin garang.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap
berdiam diri. Namun keduanya mengerti, kenapa orang
yang berdiri di pintu belakang itu telah ikut campur.
Agaknya ia telah merasa tersinggung, seolah-olah kedua
orang yang baru datang itu adalah orang-orang yang paling
menakutkan di muka bumi. Sehingga dengan demikian,
didorong oleh harga dirinya yang menghentak maka orang
itupun telah ikut campur.
"Ki Sanak" berkata orang berwajah garang itu "aku
minta kalian secepatnya meninggalkan kedai ini sebelum
aku mengambil sikap"
"Apa yang akan kau lakukan" bertanya salah seorang
dari kedua orang itu. "Mengusir kalian dari tempat ini. Siapa kalian?" jawab
orang berwajah kasar itu.
Sekali lagi orang-orang itu tertawa. Salah seorang
berkata "Kau belum mengenal aku. Karena itu, kau berani
berkata seperti itu"
Orang berwajah garang itu menggeram. Katanya Sudah
aku katakan, siapapun kalian, kalian harus pargi dari
tempat ini" Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang
seorang kemudian berkata "Apa boleh buat sebenarnya kita
tidak ingin berbuat apa-apa disini. Tetapi orang ini telah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan"
"Kau kira apa yang kau lakukan itu tidak apa-apa"
bentak orang berwajah kasar "kau telah berbuat seolah-olah
kau tidak dibatasi oleh paugeran apapun. Apa yang ingin
kau lakukan dapat kau lakukan. Kau minta apa yang tidak
ada. Tetapi apa yang tidak ada itu harus ada. Bukankah itu
satu perbuatan gila. Dengan tidak langsung kau sudah
menantang aku yang melihat tingkah lakumu"
Seorang diantara kedua orang itu mengangkat bahunya.
Sedangkan yang lain berkata "Kita tidak mempunyai
pilihan lain. Orang ini harus disingkirkan. Ia bukan saja
akan menghalangi kita dalam permainan kecil-kecilan ini.
Tetapi dalam langkah-langkah yang besarpun ia akan selalu
ikut campur, la merasa dirinya terlalu besar. Mungkin
tukang-tukang kedai memang mempunyai orang-orang
kasar untuk menakut-nakuti pencuri-pencuri kecil. Tetapi
langkahnya kali ini telah menjerumuskannya ke dalam
kesulitan yang sebenarnya"
"Cukup" teriak orang berwajah kasar itu "aku bukan
orang upahan. Bukan pula apa-apa. Jika aku ingin mengusir
kalian, karena kesombongan kalian telah menyinggung
harga diriku" Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
keduanya terdiam. Namun tiba-tiba yang seorang berkata
"Marilah Ki Sanak. Aku ingin memperlihatkan kepadamu,
bahwa aku dapat merobek mulutmu"
Orang berwajah kasar itu menggeram. Tetapi ia
membiarkan kedua orang itu melangkah keluar. Agaknya
keduanya ingin berada di tempat terbuka, apapun yang
akan terjadi. Orang berwajah garang itupun kemudian menyusulnya.
Ketika kedua orang itu berhenti di halaman kedai itu. maka
orang berwajah garang itupun telah bersiap.
Kemarahan telah membakar jantung orang berwajah
garang itu karena sikap kedua orang yang menurut
penilaiannya sangat sombong dan tidak tahu diri itu.
"Kau tetap pada pendirianmu?" bertanya salah seorang
dari kedua orang itu. "Ya. Aku muak melihat orang-orang gila seperti kalian
berdua. Sangat menjengkelkan. Kalian minta apa yang
tidak ada" geram orang berwajah kasar itu.
Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang itu
melangkah maju sambil berkata "Bersiaplah"
"Jangan hanya seorang" geram orang berwajah kasar itu
"majulah bersama-sama"
Tetapi orang yang menghadapinya itu membentak
"Ternyata kau lebih sombong dari kami berdua. Cepat,
jangan banyak bicara lagi"
Orang berwajah kasar itu memang tidak menunggu.
Justru ia telah meloncat dan menyerang lawannya dengan
garangnya. Sejenak kemudian perkelahian diantara keduanya telah
terjadi. Semakin lama semakin sengit.
Dalam pada itu. Mahisa Agni dan Witantrapun telah
bergeser. Tetapi mereka masih tetap berada di dalam kedai
itu bersama pemilik kedai yang ketakutan.
"Aku akan menutup kedai ini" suara pemilik kedai itu
menjadi gemetar. "Jangan ditutup" sahut Mahisa Agni "mereka akan
menjadi semakin marah. Kedua orang itu akan dapat
membakar kedaimu" "Tetapi siapapun yang memang, aku akan menjadi
sasaran. Apalagi jika kedua orang itu nanti memaksa untuk
mendapatkan tuak. Darimana aku harus mengambilnya"
suara pemilik warung itu gemetar.
"Mudah-mudahan mereka menginginkan yang lain.
Tetapi mereka tidak akan membakar kedaimu" berkata
Witantra pula. Tetapi pemilik kedai itu justru menjadi semakin
ketakutan. Jika ia membiarkan kedainya terbuka, maka
mungkin sekali orang-orang itu, siapapun yang menang,
akan membuat kedainya menjadi rusak. Tetapi jika ia
menutupnya, seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan
Witantra. mungkin kedai itu akan dibakar.
Dalam kebimbangan itu, maka ia menyaksikan
perkelahian yang semakin seru. Sementara salah seorang
dari kedua orang yang datang kemudian itu memperhatikan
perkelahian itu dengan seksama.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang berada di kedai lainpun mendengar hiruk-pikuk
cli halaman kedai sebelah. Suara itu ternyata telah
mengejutkan mereka. Mereka menyangka bahwa telah
terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni dan Witantra. Sehingga
karena itu, maka keduanya telah meloncat keluar dari
dalam kedai. Tetapi merekapun kemudian menyaksikan, bahwa dua
orang sedang berkelahi. Diantara mereka bukannya Mahisa
Agni atau Witantra. Tetapi orang lain. Sejenak Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi karena
mereka tidak melihat Mahisa Agni dan Witantra. maka
merekapun kemudian bergeser surut.
Sementara orang-orang itu berkelahi semakin sengit,
maka orang-orang yang tersisa di pasar itupun menjadi
ribut. Pandai besi yang masih bekerja itupun dengan cepat
mengenai barang-barangnya dan memadamkan
perapiannya. Dalam pada itu, pemilik kedai sebelah telah berkata
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Masuklah, agar
kalian tidak disandang ikut campur dalam persoalan yang
tidak kalian ketahui"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu.
Mereka ingin tahu, apa yang sebenarnya telah
terjadi. Tetapi merekapun nampaknya tidak ingin ikut
campur dalam persoalan yang tidak mereka mengerti.
Apalagi nampaknya Mahisa Agni dan Witantrapun tidak
ikut campur pula. Dalam pada itu, pemilik kedai itupun berkata "Silahkan
masuk Ki Sanak. Aku akan menutup saja kedai ini. Jika
perkelahian itu berkembang, maka lebih baik, kita sudah
tidak berada di tempat ini"
"Maksudmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku akan menutup kedaiku dan kemudian pulang saja"
berkata pemilik kedai itu. Lalu "Aku juga ingin memper
silahkan Ki Sanak untuk meninggalkan tempat ini"
"Apakah perkelahian itu akan dapat berkembang?"
bertanya Mahisa Pukat. Pemilik kedai itu bergumam "Silahkan masuk. Aku akan
menutup kedaiku. Kita akan pergi lewat pintu belakang
saja" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Keduanyapun kemudian masuk ke dalam kedai. Sementara
itu, Ki Buyut dan Widati nampak menjadi cemas. Agaknya
telah terjadi satu perselisihan yang gawat diantara orangorang
yang tidak mereka kenal"
Namun demikian, agaknya Mahisa Pukat masih belum
puas bahwa pertanyaannya belum terjawab. Karena itu,
maka sekali lagi ia bertanya "Apakah pertempuran ini
masih akan berkembang"
"Mungkin sekali. Nampaknya salah satu pihak tidak
seorang diri" jawab pemilik kedai itu.
"Ya. Nampaknya mereka berdua. Tetapi agaknya
mereka bersikap jantan, sehingga mereka berkelahi seorang
melawan seorang" berkata Mahisa Pukat pula.
"Tetapi jika kawnnya kalah, maka yang seorang itu tentu
akan mengambil sikap lain. Mungkin ia akan membantu,
sehingga yang seorang itu akan berkelahi melawan dua
orang. Padahal yang seorang itupun tidak sendiri di daerah
ini" jawab pemilik kedai itu.
"Apakah ia mempunyai kawan?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Mereka sudah lama berkeliaran di daerah ini.
Mereka sedang memesan kapak kepada pandai besi di sudut
pasar itu. Kapak penebang pohon" jawab pemilik kedai itu
pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun merekapun kemudian harus berkemas, ketika
mereka melihat pemilik kedai itu bersiap-siap untuk pergi.
Tetapi keterangan pemilik kedai itu memang menarik
perhatiannya. Orang yang sedang bertempur itu, ternyata
mempunyai banyak kawan. Sedang mereka berada di
tempat itu untuk memesan sejumlah kapak penebang
pohon. "Marilah Ki Sanak" berkata pemilik kedai itu "kita
keluar lewat pintu belakang"
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya "Kita akan
pergi kemana" Jika kita keluar dari kedai ini, apakah kita
tidak justru menarik perhatian. Kuda-kuda kami ada di
depan kedai ini" Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Mereka sedang berkelahi. Mereka tidak
akan memperhatikan kita"
"Tetapi saat kami mengambil kuda-kuda kami " sahut
Mahisa Pukat. Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Kemudian
iapun bertanya "Jadi apa yang akan kalian lakukan?"
"Kami akan bersembunyi di dalam kedai ini sampai
segalanya berakhir" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Sekali lagi aku katakan, perkelahian itu
akan dapat berkembang"
"Tetapi mereka tidak akan menghiraukan kami yang ada
di dalam kedaimu ini" jawab Mahisa Pukat.
Orang itu merenung sejenak. Namun akhirnya iapun
berkata "Baiklah. Kita akan tetap berada disini.
Nampaknya mereka tidak akan mengganggu orang-orang
lain yang tidak mencampuri persoalan mereka"
"Terima kasih" berkata Mahisa Murti "namun demikian,
agaknya menarik juga untuk mengintip mereka dari celahcelah
dinding agar kita dapat mengikuti perkembangan
yang terjadi" Pemilik kedai itu tidak melarang dan tidak berkeberatan
ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha
untuk mengintip perkelahian itu. Meskipun mereka tidak
dapat melihat dalam keseluruhan, tetapi mereka dapat
melihat sebagian dari apa yang terjadi, sehingga mereka
mendapat kesan, perkembangan dari perkelahian itu.
Ternyata perkelahian itu semakin lama menjadi semakin
seru. Keduanya memiliki kemampuan yang cukup,
sehingga dengan demikian maka keduanya telah
menunjukkan kelebihan mereka. Bukan saja kekuatan
wadag mereka, tetapi juga kecepatan gerak dan kemampuan
mereka mempergunakan unsur-unsur gerak yang
membahayakan lawan. Mahisa Agni dan Witantra masih memperhatikan
pertempuran itu dengan seksama. Tetapi mereka sama
sekali tidak memberikan kesan, bahwa mereka dapat
mengetahui apa yang sedang mereka saksikan, yang mereka
lakukan adalah, seolah-olah mereka menjadi cemas melihat
perkembangan yang terjadi.
Tetapi pemilik kedai itu benar-benar tidak berani
menutup kedainya, karena seperti yang dikatakan oleh
Mahisa Agni dan Witantra, bahwa dengan demikian,
mungkin sekali kedai itu justru akan dibakar.
Dalam pada itu, salah seorang diantara mereka yang
datang kemudian, yang tidak terlibat dalam perkelahian itu,
menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang
berdebaran. Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di
dalam kedai itu terkejut, ketika tiba-tiba saja pintu belakang
telah terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi kekuruskurusan
berdiri sambil memperhatikan seisi kedai itu.
"He, kau sedang mengintip?" bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Sementara itu orang itupun berkata "Kau sebenarnya tidak
perlu mengintip. Marilah, kita akan melihat apa yang
terjadi" Hampir di luar sadarnya, Mahisa Pukatlah yang
menjawab "Kami menjadi ketakutan"
Orang itu tertawa. Katanya "Jika kalian memang
ketakutan, memang sebaiknya kalian bersembunyi di dalam
kedai ini. Biar aku sendiri yang mendekat. Agaknya
perkelahian itu memang sangat menarik untuk dilihat.
Kalian akan dapat melanjutkan mengintip perkelahian itu"
Tidak seorangpun yang menjawab. Ketika orang itu
pergi maka pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa telah
menutup kembali pintu belakang kedainya.
"Kau kenal orang itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Orang itu adalah kawan dari orang yang. sedang
berkelahi itu. Aku tidak kenal mereka. Tetapi aku pernah
melihat mereka. Agaknya mereka akan berada di tempat ini
sampai pesanan mereka selesai" jawab pemilik kedai itu.
"Kapak-kapak itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya" jawab pemilik kedai itu pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi.
Mereka telah berusaha untuk mengintip lagi, apakah yang
akan terjadi di antara orang-orang yang sedang berkelahi
itu. Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itupun telah mendekati arena perkelahian
yang menjadi semakin seru. Dengan nada datar iapun
kemudian berkata "Marilah kita menonton bersama-sama"
Orang yang datang berkuda berdua dengan orang yang
sedang berkelahi itu termangu-mangu. Ternyata ada orang
lain yang datang tanpa ragu-ragu.
"Siapa kau?" bertanya orang itu.
"Aku kawan orang yang sedang berkelahi itu" jawab
orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Lalu "Kenapa
kawanmu itu berkelahi dengan kawanku" Aku mendengar
dari anak-anak yang berlari-lari ketakutan"
"Kawanmu telah mencampuri urusan kami" jawab


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu. "Urusan apa?" bertanya orang tinggi itu.
"Tidak apa-apa. Apakah kau juga akan turut campur?"
bertanya orang berkuda itu.
"Hanya jika perlu. Jika tidak perlu, aku akan menonton
saja di sini. Nampaknya perkelahian itu sangat sengit.
Keduanya memiliki ilmu dan kemampuan yang seimbang.
Jika kau merasa ilmumu setingkat dengan kawanmu itu,
maka jika kita berkelahi, akan menjadi sangat seru pula.
Siapa yang membuat kesalahan, akan tidak diampuni lagi.
Nyawanya akan menjadi taruhan" orang bertubuh tinggi itu
terdiam sejenak. Lalu "He, apakah kau berniat demikian?"
"Anak setan" geram orang berkuda itu "aku akan
menunggu sejenak. Tetapi pada saatnya aku akan
memperhatikan kesombonganmu itu"
Orang bertubuh tinggi itu tertawa. Tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu, perkelahian itupun sebenarnya menjadi
semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Mereka telah
bertempur dengan mempergunakan senjata masing-masing.
Sekali-sekali terdengar senjata itu berdentang. Namun
kemudian senjata-senjata itu berputaran bagaikan balingbaling.
Bahkan kadang-kadang terdengar senjata-senjata itu
bagaikan bersuit nyaring jika tebasan mendatar serta
ayunan serangan yang sangat keras membelah udara.
Sementara kedua orang itu berkelahi, kawannya yang
datang bersama-sama berkuda itu menjadi heran. Di tempat
yang terpencil dan sepi itu ada juga orang-orang yang
memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, hampir di luar
sadarnya ia bertanya kepada orang bertubuh tinggi yang
berdiri beberapa Langkah dari padanya "He, apakah kau
juga orang padukuhan ini?"
Orang bertubuh tinggi itu menggeleng. Sambil
memperhatikan pertempuran itu ia berkata "Aku bukan
orang padukuhan ini. Demikian pula kawanku itu"
"O" orang berkuda itu mengangguk-angguk "kenapa
kalian berada disini?"
"Itu urusan kami. Tetapi mungkin ada baiknya kau
mengetahui bahwa aku sedang menunggu pesanan kami
pada pandai besi di sudut pasar itu. Tetapi karena solahmu,
ia sekarang menjadi ketakutan dan menghentikan kerjanya,
padahal aku tergesa-gesa. Dalam beberapa hari ini,
pesananku harus sudah selesai" jawab orang bertubuh tinggi
itu. "Kau pesan apa?" bertanya orang berkuda itu.
"Bukan pula urusanmu" jawab orang bertubuh tinggi.
Tetapi ia berkata "Kami memesan kapak penebang kayu"
Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya
"He, kau memesan kapak. Kapak penebang kayu?"
"Ya, kenapa?" bertanya orang bertubuh tinggi itu.
"Tunggu. Apakah kau kawan orang yang bernama
Sambu?" bertanya orang berkuda itu.
"Ya. Sambu adalah kawanku yang berkelahi itu" jawab
orang bertubuh tinggi itu.
Sejenak orang berkuda itu termangu-mangu.
Dipandanginya orang yang berkelahi itu dengan seksama.
Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu berkata "Kau
mendendam orang yang bernama Sambu" Ingat, aku adalah
kawannya. Kawan baiknya"
Orang yang datang berkuda itu berdiri mematung.
Diantaranya orang yang berkelahi yang disebut bernama
Sambu itu. Sementara perkelahian itu sendiri menjadi
semakin sengit. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak "Hentikan.
Hentikan permainan itu"
"Kenapa?" orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan
itu bertanya dengan heran.
"Hentikan. Aku akan mengatakan sesuatu" orang itu
masih saja berteriak. Ternyata bahwa suaranya telah didengar oleh orangorang
yang berkelahi itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja
mereka telah. berloncatan mundur dan menghentikan
perkelahian. "Jangan bodoh" berkata orang yang menghentikan
perkelahian itu. Lalu iapun bertanya kepada orang berwajah
kasar yang telah menghentikan perkelahian itu "Kaukah
yang bernama Sambu?"
Orang berwajah kasar itu termangu-mangu. Namun
iapun menjawab "Ya. Aku yang disebut orang Sambu"
Tiba-tiba orang berkuda itu tertawa. Iapun kemudian
melangkah mendekati kawannya yang masih terengahengah.
Katanya "Untunglah bahwa senjatamu belum tergores di
kulitnya"' "Senjataku yang akan membelah jantungnya" jawab
orang yang disebut bernama Sambu itu.
"Perkelahian ini tidak ada gunanya. Bukankah kita
datang ketempat ini untuk mencari Sambu. Orang itulah
yang bernama Sambu" berkata orang yang tidak terlibat ke
dalam perkelahian itu. Kawannya mengerutkan keningnya. Dipandanginya
orang yang baru saja menjadi lawannya itu. Katanya
"Apakah benar, orang itu bernama Sambu?"
"Tidak ada dua atau tiga. Akulah Sambu itu" jawab
orang berwajah kasar itu.
"Baiklah. Menilik ciri-cirimu, agaknya memang benar,
bahwa kau bernama Sambu. Tetapi justru karena kau
mengaku kadang pemilik kedai itulah, maka aku sama
sekali tidak mengira, bahwa kaulah yang disebut Sambu
itu" berkata orang berkuda itu.
"Sikapmu terlalu sombong. Seolah-olah kau dapat
berbuat apa saja. Aku bukan sanak bukan kadang pemilik
kedai itu. Tetapi di hadapanku membuat telingaku panas.
Kau kira tidak ada orang lain yang dapat mengimbangi
kejantananmu yang gila itu" jawab orang yang disebut
Sambu. "Baiklah. Marilah kita hentikan kesalah-pahaman ini.
Kami adalah orang-orang dari Padepokan Mayang. Kami
adalah murid Ki Ajar Trumadipa yang bergelar Ki Ajar
Kembang Mayang" jawab salah seorang dari kedua orang
berkuda itu. Orang yang disebut Sambu itu menggeram. Katanya
"Kau memang orang-orang gila. Orang-orang padepokan
Mayang memang orang-orang gila.. Kenapa kalian berlaku
begitu sombong kepada pemilik kedai yang tidak berarti
apa-apa itu?" Orang padepokan Mayang itu tertawa. Salah seorang
diantara mereka berkata "Setiap orang harus mengerti,
bahwa orang-orang padepokan Mayang tidak dapat dicegah
untuk melakukan apa saja"
"Tetapi tidak menyombongkan diri dihadapanku"
berkata orang yang bernama Sambu itu.
"kita telah bertemu dalam keadaan yang khusus. Tetapi
itu baik sekali bagi kami. Dengan demikian kami benarbenar
mengetahui, bahwa orang-orang yang telah berada di
daerah ini memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan"
berkata salah seorang dari padepokan Mayang itu. Namun
kemudian tiba-tiba saja ia bertanya "Siapakah kedua orang
yang berada di dalam kedai itu?"
"Aku tidak tahu. Dua orang pejalan yang singgah dan
memesan minuman dan makanan" jawab orang yang
disebut Sambu itu. "Di kedai yang lain ada juga dua orang anak muda
bersama seorang tua dan seorang gadjs" berkata orang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya orang padepokan
Mayang. "Mengintip. Mereka menjadi ketakutan karena
perkelahian itu. Tetapi mereka ingin melihatnya. Kudakuda
di depan kedai itu tentu kuda-kuda mereka" berkata
orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
"Kuda yang bagus" berkata salah seorang dari
padepokan Mayang. "Ya. Kuda-kuda yang berada di depan kedai yang lain
itu tentu kuda-kuda kedua orang yang berada di dalam
kedai itu pula. He, apakah mereka secara kebetulan berhenti
di kedua kedai itu, atau mereka memang bersama-sama
datang ke tempat ini" bertanya Sambu kepada kawannya
yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
"Aku tidak melihat mereka datang. Ketika aku melihat
ke dalam kedai sebelah dari pintu butulan, aku melihat dua
orang anak muda yang ketakutan itu mengintip" jawab
orang yang bertubuh tinggi.
"Mereka bukan urusan kita" berkata Sambu kemudian
"nah, agaknya kalian membawa persoalan dari padepokan
Mayang" "Ya. Ada yang ingin kami katakan kepadamu dan
rencana-rencana yang akan kita lakukan" jawab salah
seorang dari kedua murid padepokan Mayang itu.
"Marilah. Singgahlah di pondok kami" berkata Sambu
kemudian. Namun salah seorang dari kedua murid padepokan
Mayang itu berkata "Kuda itu sangat menarik. Aku
memerlukannya" Sambu mengerutkan keningnya. Katanya "Kalian
memang suka membuat persoalan. Aku sama sekali tidak
memerlukan kuda itu. Aku sudah mempunyai kuda yang
baik yang selalu mengawani aku kemanapun aku pergi"
"Tetapi kudaku terlalu kecil. He, apakah anak-anak itu
masih ketakutan di dalam kedai itu?" bertanya orang
padepokan Mayang itu. Tetapi tingkah laku orang-orang padepokan Mayang itu
agaknya kurang sesuai dengan sikap Sambu sehingga
katanya "Kau telah memancing keributan. Aku merasa
tersinggung dengan sikapmu. Mungkin aku adalah orang
yang kasar dan kurang dapat berpikir tenang. Tetapi aku
tidak akan berbuat seperti yang kau lakukan di warung itu.
Ketika aku mendengar orang-orang di kedai itu berbicara
tentang kapak, aku berusaha untuk memaksa mereka
beralih ke masalah yang lain. Namun tiba-tiba saja kau
datang dengan sikap yang memang memancing keributan.
Sekarang kau akan membuat persoalan lagi dengan kudakuda
itu" "Jangan hiraukan aku" jawab orang padepokan Mayang
itu "kuda yang baik akan membantu tugas-tugas kita.
Sebentar lagi kita harus mulai. Sebagian dari percobaan
yang kita lakukan telah menunjukkan hasil yang baik.
Karena itu, maka kita harus melakukannya di pegunungan
di sekitar Kota Raja"
"Tetapi tidak ada hubungannya dengan kuda-kuda itu.
Dengan kudamu, kau cukup rancak melakukan tugasmu"
berkata Sambu. "Biarlah aku mempertanggung-jawabkannya berkata
orang padepokan Mayang itu.
Sambu tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian
berjalan bersama kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan
dan orang padepokan Mayang yang seorang lagi.
Sementara yang lain, benar-benar telah mendekati kuda
yang terikat di depan kedai yang tutup itu.
"Kuda yang bagus" desis orang itu "aku memang
memerlukannya" Iapun kemudian mengikat kudanya sendiri pada sebuah
patok di depan kedai itu. Kemudian iapun mendekati kuda
yang tegar berwarna coklat kehitaman diantara tiga ekor
kuda yang lain. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahis Pukat di dalam
kedai itu menggeram "Gila. Itu kudaku"
Mahisa Murtipun menjadi tegang. Sementara pemilik
kedai itu berdesis "Biarlah. Apakah artinya seekor kuda.
Jika kita mencegahnya, mungkin nyawa kitalah yang akan
mereka ambil. Sementara kuda itu akhirnya akan
dibawanya juga" "Tetapi aku tidak mau kehilangan" berkata Mahisa
Pukat. "Jangan cegah" desis pemilik kedai itu.
Tetapi Mahisa Pukat ternyata bersikap lain. Iapun telah
membuka selarak pintu dan pintu kedai itupun tiba-tiba
telah terbuka. Sambil berdiri dimuka pintu ia berkata
kepada orang yang sudah mulai melepas tali kudanya "Itu
kudaku" Orang padepokan Mayang itupun terkejut. Bahkan
kawan-kawannya yang lain, yang telah mendahuluinyapun
terkejut pula. Karena itu maka merekapun telah tertegun
dan berpaling. Orang padepokan Mayang yang sudah terlanjur melepas
tali kuda Mahisa Pukat itupun menjawab lantang "Aku
tahu, ini kudamu. Aku sengaja mengambilnya. Aku
memerlukannya" Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Dengan lantang
pula ia menjawab "He, apakah kau sama sekali tidak
menghormati hak milik seseorang?"
"Aku menghormatinya. Tetapi keinginanku memang
tidak dapat dicegah. Aku ingin membawanya. Dan karena
itu, maka aku akan membawanya. Kau dapat memakai
kudaku yang tidak kalah tegarnya dari kudamu"
"Jika kudamu tidak kalah baik dari kudaku, apa artinya
perbuatanmu itu" Hanya sekedar memancing persoalan?"
jawab Mahisa Pukat. Orang yang bertubuh tinggi kekurusan itu menjadi heran.
Ternyata anak muda itu tidak sedang ketakutan seperti yang
disangkanya. Bahkan anak muda itu menunjukkan sikap
yang berani dan tegas. Orang padepokan Mayang itupun mulai menjadi marah.
Dengan nada kasar ia berkata "Jangan mencoba untuk
mempertahankan kudamu. Aku dapat berbuat apa saja.
Aku tidak mau diganggu. Apalagi dicegah untuk
melakukan sesuatu" "Aku tidak akan mengganggumu dan tidak akan
mencegahmu melakukan apa saja. Tetapi tidak merugikan
orang lain. Apalagi yang kau rugikan itu adalah aku
sendiri" jawab Mahisa Pukat tanpa ragu-ragu.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika kau merasa dirugikan, kau mau apa?" orang
padepokan Mayang itupun telah kehilangan kesabaran.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menjadi takut. Iapun
melangkah kedepan mendekati orang padepokan Mayang
itu sambil berkata "Lepaskan kudaku, jika kau tidak ingin
terjadi keributan. Tetapi jika kau memang menghendaki
keributan, aku akan melayanimu"
Jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar tidak terduga.
Karena itu kemarahan orang padepokan Mayang itu tidak
terkendali lagi. Setiap kali ia memang tidak mau ditantang
oleh siapapun juga, sehingga karena itu, maka setiap kali ia
telah mempergunakan kekerasan.
Karena itu, maka iapun telah melepaskan kuda yang
diinginkannya itu. Dengan langkah satu-satu iapun
mendekati Mahisa Pukat pula sambil berkata "Anak muda.
Kau belum mengenal aku. Kau akan menyesal, jika kau
mengetahui siapa aku"
Sekali lagi jawaban Mahisa Pukat membuat telinga orang
itu menjadi panas "Kaupun belum mengenal aku. Jika kau
sudah mengenal aku, maka kau tidak akan berani
menyentuh kudaku" "Siapa kau?" teriak orang padepokan Mayang itu.
"Siapapun aku, aku akan membuktikan bahwa kau harus
berjongkok dan minta ampun kepadaku" jawab Mahisa
Pukat yang merasa sangat tersinggung oleh tingkah laku
orang itu. Mahisa Murti yang kemudian juga keluar dari kedai itu
menarik nafas panjang melihat sikap Mahisa Pukat. Tetapi
iapun mengerti, bahwa Mahisa Pukat benar-benar menjadi
marah. Orang itu benar-benar telah menghinanya dengan
mengambil kudanya dengan paksa.
Tetapi orang itupun tidak kalah marahnya. Dengan nada
tinggi ia berteriak "Jangan menentang orang-orang dari
padepokan Mayang. Kami akan membunuh jika kami ingin
membunuh. Jika kau lebih sayang kepada kudamu daripada
kepada nyawamu, marilah. Mendekatlah"
"O, jadi kau orang dari padepokan Mayang. Padepokan
yang tidak ada artinya sama sekali. Adalah menggelikan
sekali bahwa seseorang dari Padepokan Mayang akan
berani menentang orang dari Padepokan Mahesa" teriak
Mahisa Pukat tanpa berpikir panjang.
Mahisa Murti hanya dapat menggelengkan kepalanya.
Tetapi ia tidak mencegahnya. Dalam kemarahan yang
memuncak, Mahisa Pukat tidak akan mendengarkan
pendapat orang lain. Dalam pada itu, orang dari Padepokan Mayang itupun
menjadi sangat marah, sehingga ia tidak lagi dapat
mengendalikan dirinya. Dengan gigi gemeretak ia
mendekati Mahisa Pukat sambil berkata lantang "Kaulah
yang harus berjongkok dan minta ampun"
Tetapi Mahisa Pukat yang marah itu tidak menunggu
terlalu lama. Tiba-tiba saja ia sudah bergeser maju.
Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya yang
terkejut melihat sikapnya.
Tetapi Mahisa Pukat masih belum benar-benar ingin
menyakiti lawannya. Karena itu, maka ia masih
membiarkan lawannya beringsut mengelak. Namun
kemudian, keduanya benar-benar telah bersiap untuk
bertempur. Sambu. kawannya dan orang Padepokan
Mayang yang seorang lagi itupun terpaksa berhenti juga
menyaksikan perkelahian itu. Namun menilik pada
benturan yang pertama, mereka segera mengetahui, bahwa
anak muda yang disangkanya ketakutan itu ternyata
memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Karena itu, maka perkelahian itu segera menarik
perhatian. Dengan demikian maka ketiga orang itupun
kemudian telah memperhatikan pertempuran itu dengan
seksama. "Gila" geram Sambu " kenapa kau tadi mengatakan
bahwa anak itu mengintip perkelahian dengan ketakutan?"
"Kesan yang aku dapat memang demikian" jawab
kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan "tetapi ternyata
aku keliru. Atau mereka dengan sengaja membuat kesan
yang demikian" "Jika demikian, maka kawannya yang seorang, mungkin
juga dua orang berkuda yang lain yang datang bersamanya,
juga orang-orang yang harus diperhitungkan" berkata
Sambu kemudian. Kawannya tidak menyahut. Tetapi sekilas
dipandanginya Mahisa Murti yang berdiri termangumangu.
Namun karena ketiga orang kawan orang Mayang
yang berkelahi itu semakin mendekat, maka Mahisa
Murtipun telah beringsut mendekat pula.
Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Ke
Buyut berkata "Jangan tinggalkan kami berdua"
Mahisa Murti memandanginya sejenak. Ki Buyut berdiri
termangu-mangu dibelakang pintu.
"Tutuplah pintu itu" berkata Mahisa Murti "aku harus
mendekatinya. Ki Buyut tidak mencegahnya lagi. Tetapi Widati yang
ketakutan itupun beringsut mendekati ayahnya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang marah itupun
bertempur semakin lama semakin garang. Lawannya, orang
Padepokan Mayang itu berusaha untuk dengan segera
mengakhiri pertempuran. Tetapi ia terbentur pada satu kenyataan, bahwa
lawannya yang masih muda itu ternyata tidak semudah
yang disangkanya untuk dikalahkannya.
"Anak iblis" geram orang padepokan Mayang itu
"semakin gila tingkah lakumu, semakin dalam kau akan
menyesal, karena jalan kematianmu akan menjadi semakin
sulit" Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia bergerak
semakin cepat, sehingga demikian mulut lawannya
terkatup, ia telah terdorong dua langkah surut, karena
tangan Mahisa Pukat menyentuh dadanya.
Sekali lagi orang itu mengumpat. Dengan tergesa-gesa ia
memperbaiki keseimbangannya. Ketika Mahisa Pukat
menyerengnya, maka lawannya telah meloncat jauh-jauh
menghindar untuk mengambil jarak dari anak muda yang
bergerak cepat itu. Sejenak kemudian, ketika orang Padepokan Mayang itu
berhasil memperbaiki keadaannya, maka pertempurannya
telah menjadi semakin sengit, karena serangan Mahisa
Pukat datang bagaikan banjir bandang.
Sambil mengumpat orang padepokan Mayang itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi anak muda
yang dianggap penakut itu, benar-benar memiliki ilmu yang
tinggi, yang dapat menggetarkan pertahanannya.
Sebenarnyalah, semakin lama orang padepokan Mayang
itu menjadi semakin terdesak. Satu hal yang sama sekali
tidak disangkanya. Jika semula ia harus melihat kenyataan,
hadirnya Sambu dan kawannya, iapun harus malihat
kenyataan yang lain pula. Anak-anak muda yang memiliki
kemampuan jauh diatas yang diduganya.
Seorang kawannya yang berdiri termangu-mangu
bersama Sambu dan orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan
itu menjadi cemas melihat keadaan kawannya. Iapun
melihat, bahwa kawannya itu semakin lama menjadi
semakin terdesak oleh anak muda yang mampu bergerak
seperti burung sikatan. Tetapi setiap kali ja berniat melibatkan diri, maka iapun
harus memperhitungkan anak muda yang seorang lagi.
Anak muda yang nampaknya juga mempunyai kemampuan
seperti anak muda yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, Sambupun telah menggeram "Sudah
aku katakan. Orang itu memang senang mencari perkara.
Jika ia tidak menjadi sangat tamak dan berniat untuk
mengambil kuda itu, tidak akan mengalami kesulitan"
Kawannya yang berdiri di dekat Sambu itu menyahut
"Sudah menjadi kebiasaan kami untuk melakukan apa yang
kami inginkan. Karena itu, maka sudah menjadi kewajiban
ka untuk menyelamatkan saudara seperguruanku. Kuda itu
harus didapatkannya dan anak muda itu akan mati
ditangannya" "Kau harus memperhitungkan yang seorang itu" berkata
Sambu. "Kami akan memilih mati daripada niat kami tidak
terpenuhi" jawab orang padepokan Mayang itu.
"Hanya karena seekor kuda?" bertanya Sambu
"bukankah kalian mempunyai tugas yang lebih penting dari
merampas seekor kuda?"
"Soalnya bukan seekor kuda. Tetapi orang-orang
Padepokan Mayang tidak dapat dicegah semua
kemauannya" jawab orang Dadepokan Mayang itu.
Sambu dan kawannya menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada berat Sambu berkata "Kalian memang orangorang
sombong yang tidak tahu diri. Kau minta pemilik
kedai itu mengadakan apa yang tidak ada, dan tidak
mungkin diadakannya. Sekarang kalian memaksa diri untuk
mendapatkan seekor kuda dengan mengorbankan tugastugas
kalian yang lebih besar dan lebih berarti. Aku tidak
mengerti cara kalian berpikir"
"Karena kalian tidak mempunyai harga diri yang pantas"
jawab orang padepokan Mayang itu.
"Coba katakan. Apakah dengan merampok seekor kuda
itu kalian mempunyai harga diri?" bertanya Sambu.
Orang padepokan Mayang itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian jawabnya "Semua kehendak kami harus
terjadi" "Aku tidak turut campur dengan persoalanmu Aku
bukan ukuran perampok kuda yang tidak berarti"
Orang padepokan Mayang itu memandang Sambu dan
kawannya dengan wajah yang tegang. Katanya "Jadi kau
tidak berpihak kepada kami" Bukankah aku datang ke
tempat ini untuk mencarimu. Bukankah dengan demikian
ada hubungan diantara kita?"
"Ya. Kita mempunyai hubungan dalam tugas besar kita.
Bukan sebagai perampok kuda. Kita berbicara tentang
kapak penebang kayu dan persiapan untuk satu kerja besar
itu" jawab Sambu "aku akan berpihak kepadamu dalam
persoalan yang penting itu. Tetapi tidak dalam persoalanpersoalan
yang tidak berarti seperti yang kalian lakukan itu"
Orang padepokan Mayang itu termangu-mangu. Namun
kemudian ia menggeram "Persetan dengan pengecut seperti
kalian. Aku akan berbuat sebaik-baiknya sebagaimana anak
padepokan Mayang. Aku tidak mau harga diriku dinodai
dengan penolakan atas kehendak kawanku untuk memiliki
kuda itu" "Sungguh-sungguh pikiran gila" geram Sambu. Tetapi ia
tidak meninggalkan tempat itu. Bahkan ia masih
menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.
Sementara itu, maka orang padepokan Mayang yang
tidak sedang bertempur itupun mendekat. Wajahnya benarbenar
menjadi tegang. Ia tidak mengingkari kenyataan,
bahwa kawannya benar-benar telah terdesak.
Meskipun demikian, tidak ada niatnya untuk
mengurungkan maksudnya memiliki kuda Mahisa Pukat.
Orang itu masih berharap, bahwa anak muda yang berdiri
di luar arena itu, tidak memiliki kemampuan seperti anak
muda yang sedang bertempur itu. Bahkan orang itu
menganggap bahwa dirinya memiliki kelebihan dari
kawannya yang berkelahi melawan Mahisa Pukat itu.
Karena itu, maka ia telah bertekad untuk membantu
kawannya apabila kawannya itu benar-benar terdesak,
dengan perhitungan, bahwa anak muda yang seorang lagi
akan ikut serta bertempur pula.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantrapun
termangu-mangu melihat persoalan yang telah berkisar itu.
Semula pemilik kedai itu telah dapat menarik nafas lega
ketika orang-orang yang berselisih itu mengakhiri
perkelahian dan bahkan merekapun telah beranjak pergi.
Tetapi persoalannya justru berkembang lagi. Yang
kemudian terlihat ke dalam perselisihan itu, adalah orangorang
yang sedang berada di kedai sebelah.
"Seharusnya anak-anak muda itu tidak melayaninya"
berkata pemilik kedai itu.
"Orang itu akan mengambil kudanya" jawab Mahisa
Agni. "Ia tidak akan mengambilnya. Tetapi akan menukarnya.
Bukankah dengan demikian akan lebih baik dari pada anak
muda itu harus bertempur melawan orang-orang berilmu
tinggi" berkata pemilik kedai itu. Lalu "Dengan perkelahian
itu, maka ia akan dapat bukan saja kehilangan kudanya.
Tetapi juga nyawanya. Nampaknya kedua orang berkuda
itu adalah orang-orang yang keras pada sikapnya disediakan
tuak tanpa mengerti sama sekali, bahwa aku tidak akan
dapat mengusahakannya dengan apapun juga"
Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi mereka tidak dapat menjawab bahwa sudah
sewajarnya jika anak muda itu mempertahankan kuda
mereka. Dalam pada itu, perkelahian antara Mahisa Pukat dan
salah seorang dari padepokan Mayang itu menjadi semakin
seru. Tetapi juga menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa
Pukat akan dapat menguasai keadaan.
Karena itu, maka kawannya yang seorangpun bergeser
semakin dekat, la tidak dapat melihat kawannya dikalahkan
dan kuda itu tidak akan dapat dimilikinya. Tetapi iapun
sadar, bahwa ia harus memperhitungkan anak muda yang
juga bergeser semakin dekat itu.
"Anak setan" geram orang padepokan Mayang itu
"kawanmu telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam
kesulitan yang tidak akan dapat diatasinya"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun iapun
menjawabnya "Kau benar-benar tidak tahu, atau sekedar
pura-pura tidak tahu untuk membesarkan hatimu sendiri.
Kawanmu menjadi semakin terdesak. Sebentar lagi,
kawanmu itu akan kehabisan tenaga dan ia akan terkapar
dengan lemahnya"

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bunuh kawanmu" geram orang padepokan itu.
"Jika kau memasuki arena, kaupun akan mengalami
nasib seperti kawanmu. Kehabisan nafas dan tenaga" jawab
Mahisa Murti "he, apakah kau tidak melihat, bahwa
saudaraku itu tidak melakukan serangan-serangan yang
dapat benar-benar membahayakan jiwa kawanmu itu.
Meskipun saudaraku benar-benar marah karena terhina
oleh tingkah kawanmu, tetapi pada dasarnya ia memang
bukan pembunuh" "Omong kosong. Kawankulah yang akan
membunuhnya" Mahisa Murti memandang orang itu sekilas. Kemudian
kepada kedua orang yang lain, yang seorang diantaranya
justru telah berkelahi melawan salah seorang dari kedua
orang berkuda itu. Namun yang ternyata mereka adalah
orang-orang yang harus saling berhubungan dalam tugastugas
yang sangat menarik perhatian.
Tetapi agaknya kedua orang itu sama sekali tidak tertarik
unttuk ikut campur. Keduanya mengamati perkelahian itu
dengan tegang. Tetapi keduanya tidak bergeser dari
tempatnya ketika orang berkuda itu menjadi kecemasan.
Dalam pada itu, maka lawan Mahisa Pukat itu benarbenar
tidak mempunyai banyak kesempatan lagi.
Tenaganya menjadi semakin lemah dan nafasnyapun
menjadi semakin tersengal-sengal di lubang hidungnya.
Dengan demikian, kawannya dari padepokan Mayang
itu menjadi gelisah. Ia dihadapkan pada satu kenyataan
tentang kekalahan kawannya. Tetapi iapun tidak dapat
mengingkari bahwa anak muda yang seorang itu akan ikut
menentukan pula. jika ia turun ke arena.
Sekali-sekali orang padepokan Mayang itu berpaling
kearah Sambu dan kawannya yang bertubuh tinggi
kekurusan. Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya.
Agaknya mereka benar-benar berpegang kepada satu
keputusan untuk tidak ikut campur dalam persoalan yang
disebutnya perampokan seekor kuda.
"Persetan" geram orang padepokan Mayang itu di dalam
hati "aku tidak peduli apa yang terjadi Aku tidak peduli
apakah kedua orang gila itu akan membantuku. Aku harus
menyelamatkan nama padepokan Mayang"
Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia melangkah
mendekati kawannya yang sudah benar-benar terdesak
sambil berkata "Kita bunuh anak itu. Kehendak orangorang
padepokan Mayang tidak boleh ditentang oleh
siapapun juga" Namun dalam pada itu. terdengar Sambu berteriak
"Jangan gila. Biarkan kawanmu itu berkelahi seorang lawan
seorang. Kau bicara tentang harga diri. Tetapi berkelahi
berpasangan menghadapi seorang lawan, agaknya perlu
dipertimbangkan" Mahisa Murti berpaling kearah Sambu dan kawannya.
Tetapi ia sadar, bahwa keberatan kedua orang berwajah
kasar itu tentu tidak pada sifat kejantanan dan harga diri.
Tetapi kedua orang itu mempunyai nalar yang lebih baik
untuk memperhitungkan keadaan. Karena ternyata kedua
orang itupun sedang mengawasinya.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "kau dengar
peringatan kawanmu itu". Mereka mengerti bahwa
sebaiknya kau tidak usah bertempur berpasangan.
Akibatnya hanya akan menambah kesulitan saja"
"Persetan" geram orang itu.
Sebenarnyalah ia memang tdiak mau berpikir lagi ia
lebih memanjakan perasaannya. Bahkan agar ia tidak
mengurungkan niatnya, maka dengan tergesa-gesa ia telah
meloncat menyerang Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak membiarkan Mahisa Pukat
bertempur seorang diri melawan kedua orang lawannya.
Meskipun Mahisa Pukat akan memenangkan perkelahian
melawan seorang diantaranya, namun melawan dua orang
bersama-sama, masih harus dipertimbangkan, apakah ia
akan mampu melakukannya. Namun ketika Mahisa Murti mendekat, terdengar
Mahisa Pukat berkata "Tunggu. Aku akan membuktikan
bahwa kegilaan mereka berdua tidak ada gunanya. Karena
itu, amati saja aku di luar arena sehingga kau dapat
memberi kesempatan kepadaku untuk membuktikannya"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar ingin melakukan
seperti apa yang dikatakannya.
Karena itu, maka tata geraknyapun tiba-tiba menjadi
semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti,
betapapun kemarahan Mahisa Pukat menghentak
jantungnya, tetapi ia masih sempat menahan diri untuk
tidak melakukan satu perbuatan yang akan dapat
menumbuhkan persoalan yang berkepanjangan.
Namun menghadapi dua orang yang bertempur
berpasangan, Mahisa Pukat harus berbuat lain. Meskipun ia
tidak berniat untuk mambunuh, namun jika hal yang
demikian terjadi, adalah di luar kemampuannya untuk
mencegahnya. Karena itu, tata geraknyapun kemudian telah
mengejutkan lawannya. Lawannya yang pertama, yang
telah kehilangan sebagian besar tenaganya, benar-benar
tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Mahisa
Pukat. Dalam keadaan yang tidak terduga, justru pada saat
kehadiran kawannya, serangan Mahisa Pukat datang
dengan serta merta. Kakinya terjulur lurus tepat mengenai
dada, sehingga orang itu telah terdorong surut beberapa
langkah. Bahkan tubuhnya kemudian tidak lagi dapat
dikuasainya, sehigga orang itu telah terjatuh, meskipun
dengan serta merta ia masih mampu untuk bangkit.
Mahisa Pukat tidak dapat memburunya. Karena
lawannya yang baru telah menyerangnya pula. Sejenak
kemudian, maka Mahisa Pukatpun telah berloncatan
dengan cepatnya menghadapi kedua lawannya. Tetapi
seorang diantaranya benar-benar hampir tidak berdaya.
Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat tidak
hanya mengalami kesulitan dalam perkelahian itu.
Namun demikian, karena ia mendapat lawan yang masih
segar, maka iapun harus berbuat sebaik-baiknya, agar ia
dapat mengimbangi lawannya.
Dalam pada itu, Sambu berdiri termangu-mangu. Sekalisekali
terdengar ia mengumpat "Orang gila itu telah
membuat persoalan menjadi bertambah rumit"
"Apkah kita benar-benar akan diam saja?" bertanya
orang yang bertubuh tinggi kekurusan.
Sambu tidak segera menjawab. Diperhatikannya
pertempuran itu dengan seksama. Iapun kemudian melihat,
bahwa Mahisa Pukat yang muda itu berhasil mendesak
kedua lawannya, orang-orang dari padepokan Mayang.
"Salah mereka sendiri" tiba-tiba saja Sambu bergumam.
"Tetapi jika keduanya kalah, apakah tidak akan
berakibat buruk pula bagi kita" jawab orang yang tinggi
kekurusan. "Kenapa?" bertanya Sambu.
"Kedua orang itu dapat menganggap kita tidak
bersahabat. Dengan demikian, maka hubungan kita untuk
selanjutnya dengan orang-orang padepokan Mayang akan
menjadi buruk. Padahal kita akan saling memerlukan dalam
kerja yang besar itu bagi kepentingan Kediri" jawab orang
yang bertubuh kurus. "Aku sudah memperingatkan" jawab Sambu "tetapi
mereka sama sekali tidak menghiraukan. Aku dapat
melaporkan kepada para pemimpin di padepokan Mayang,
bahwa kedua orang itu memang mempunyai tingkah yang
tidak menguntungkan. Mereka selalu memancing
persoalan. Bahkan aku sendiri sudah terpancing untuk
melawan mereka, karena sikapnya yang sewenang-wenang.
Mungkin kita juga pernah melakukannya. Tetapi tentu tidak
akan sekarang keduanya, meskipun menilik ujud lahiriah,
kita adalah orang-orang yang jauh lebih kasar dari orangorang
padepokan Mayang itu"
Tetapi kawannya itu masih berkata "Mungkin para
pemimpin padepokan Mayang itu. mempercayai laporan
kita. Tetapi mungkin mereka lebih percaya kepada orangorannya
sendiri, sehingga sikap kita akan mereka gawat.
Apalagi jika salah seorang dari mereka, atau bahkan keduaduanya,
terbunuh disini" Sambu menarik nafas dalam-dalam. Diamatinya
perkelahian itu dengan seksama.
"Kita dapat bertempur melawan anak muda yang
seorang" berkata kawan Sambu itu.
"Anak muda itu tentu memiliki kemampuan seperti anak
muda yang sedang berkelahi itu. Anak muda yang berkelahi
itu dapat melawan kedua orang padepokan Mayang itu"
jawab Sambu. -oo0dw0oo- Jilid 007 "ANAK SETAN" geram yang bersenjata pedang yang
panjang "kalian mempelajari ilmu dari iblis yang mana?"
Namun demikian sebentar lagi kalian akan mati. Salah
seorang dari kalian telah terlanjur mendengar maksud
kehadiranku di tempat ini. Karena itu, tidak ada
kemungkinan lain bagi kalian kecuali mati"
Mahisa Murti dan mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Tetapi mereka bergeser saling menjauh beberapa langkah.
Pedang mereka mulai bergetar sementara dengan tajamnya
keduanya memandangi orang-orang yang paling dekat di
hadapannya. Kedua orang berwajah kasar itu mengumpat. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur seorang
melawan seorang. Sejenak kemudian, keduanyapun telah bersiap pula.
Namun agaknya Mahisa Pukat bersikap agak lain dari
Mahisa Murti. Mahisa Pukat tidak menunggu. Tetapi ialah
yang kemudian bergeser mendekati orang yang bersenjata
golok yang besar dan berat.
Dengan mengenali senjatanya, Mahisa Pukat menyadari,
banwa orang itu tentu mempunyai kekuatan yang sangat
besar. Tetapi ia benar-benar telah bersiap. Karena itu, maka
pedangnya yang bergetar itupun mulai terjulur ke depan,
meskipun anak muda itu belum dengan sungguh-sungguh
menyerang. Lawannya yang bersenjata golok itu mengumpat kasar.
Tetapi goloknyapun telah bergetar pula. Bahkan golok itu
kemudian terayun menghantam pedang Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat segera menarik pedangnya, sehingga
tidak terjadi benturan senjata. Namun pedang itupun
berputar-putar dan terayun menyambar lambung.
Orang bersenjata golok itu memang dengan sengaja tidak
menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis Dedang itu
dengan goloknya. Namun sekali lagi, Mahisa Pukat menghindari benturan,
la sekali lagi menarik serangannya dan memutar pedangnya
melingkar. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukatpun telah
berloncatan. Ia berusaha untuk mengimbangi kekuatan
lawan dengan kecepatan geraknya. Ia harus dapat memaksa
lawannya itu mengayun-ayunkan senjatanya yang berat.
Betapapun besar tangannya, tetapi pada suatu saat,
tenaganya itu tentu akan susut.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang sudah
menggenggam pedangnya menjadi jauh lebih tenang.
Karena itu, maka ia sama sekali tidak tergesa-gesa.
Dibiarkannya lawannya memperhatikan sikapnya.
Mungkin lawannya itu melihat satu perubahan padanya,
sebagaimana dilihatnya ketika Mahisa Murti itu bersenjata
sulur yang dibentakkannya dari batang beringin itu.
Ketenangan Mahisa Murti justru membuat lawannya
menjadi gelisah. Karena itu, maka untuk menutupi
kegelisahannya, orang berpedang itu telah membentakbentak"
"Menyerahlah sebelum kau aku perlakukan dengan
kasar" "Ketika aku bertempur seorang diri tanpa senjata yang
memadai, aku tidak mau menyerah. Apalagi sekarang"
jawab Mahisa Murti. Lalu "Sebaiknya kaulah yang menilai
dirimu" Orang itu menjadi sangat marah. Dengan kasar ia
berkata "Jika kau melawan, berarti kau telah membunuh
kedua gadis itu pula"
"Sudah aku katakan, jangan memperbodoh orang lain.
Sebaiknya kau sempat melihat dirimu sendiri" jawab
Mahisa Murti. Orang berpedang panjang itu menggeram.
Kemarahannya benar-benar telah membakar jantungnya.
Karena itu, maka kemudian, ia sudah meloncat menyerang
Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Murti merasa kedudukannya menjadi
lebih baik, tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan. Ia masih
tetap berhati-hati menghadapi lawannya yang menurut
penilaiannya mempunyai tenaga yang cukup besar.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi
dua lingkaran pertempuran. Mahisa Pukat melawan orang
yang bersenjata golok yang besar, sedangkan Mahisa Murti
bertempur melawan orang yang bersenjata pedang panjang.
Namun sejenak kemudian, mulai terasa bahwa
keseimbangan pertempuran itu telah berguncang. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera dapat mendesak lawannya.
Betapapun lawannya mengerahkan kekuatan dan
kemampuannya, tetapi kedua anak muda itu memang
memiliki kelebihan. Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertempur dengan sengitnya, maka beberapa orang telah
turun ke tepian. Ki Buyut dan Widati diikuti oleh Mahisa
Agni dan Witantra beserta beberapa orang bebahu yang
penghuni Kabuyutan itu. Ki Buyut terkejut ketika ia melihat dua orang gadis yang
terbaring di tepian. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya.
Sambil berjongkok ia meraba-raba tubuh kedua gadis itu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ternyata tidak menjadi beku.
"Keduanya masih hidup" berkata Ki Buyut.
Mahisa Agni dan Witantrapun telah berjongkok pula di
dekat kedua gadis itu. Keduanyapun segera mengetahui apa
yang telah terjadi. Gadis-gadis yang berada di tepian dan menjadi ketakutan
itu, tiba-tiba saja telah mendapatkan keberanian mereka,
ketika mereka melihat beberapa orang telah turun ke tepian,
termasuk Ki Buyut sendiri. Karena itu, maka merekapun
segera berlari-lari mendekati kedua kawannya yang
terbaring diam itu. Hampir berbarengan gadis-gadis itu berusaha untuk
menjelaskan apa yang telah terjadi. Ki Buyut yang telah
mendengar sebagian peristiwa itu dari Widati menganggukangguk
saja. Meskipun ia tidak dapat mengerti keterangan
dari gadis-gadis yang berbicara berbarengan dengan suara
yang masih gemetar, namun persoalannya memang sudah
didengarnya lebih dahulu. Dalam pada itu, maka Ki
Buyutpun kemudian bertanya tentang dua orang anak muda
yang telah lebih dahulu berada di tepian.
"Mereka berada disana" jawab gadis-gadis itu hampir
berbareng pula. Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu sejenak.
Namun mereka tidak dapat menyembunyikan kecemasan
mereka, karena mereka tidak tahu pasti, siapakah yang
dihadapi oleh kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka Mahisa Agnipun kemudian berkata
"Ki Buyut. Biarlah kami berdua melihat, apa yang telah
terjadi. Biarlah kedua gadis itu dalam keadaannya. Menurut
penglihatan kami mereka tidak dalam keadaan berbahaya"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan suara sendat
ia berkata "Bagaimana Ki Sanak berpendapat bahwa
keadaan gadis ini tidak berbahaya. Mereka memang masih
hidup, tetapi apakah mereka pingsan atau bahkan setengah
mati" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti
kegelisahaan Ki Buyut itu, karena kedua gadis itu masih
berdiam diri meskipun masih ada pernafasan dan denyut
nadi. Tetapi Mahisa Agnipun tidak dapat mengabaikan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika terjadi sesuatu atas
kedua anak muda itu. sementara ia ada didekatnya. maka
orang tua kedua anak muda itu tentu akan menyesalinya.
Karena itu, maka berkata Mahisa Agni kemudian "Ki
Buyut. Aku yakin bahwa keduanya tidak akan mengalami
keadaan yang lebih gawat lagi. Biarlah kami melihat kedua
anak muda itu sejenak. Sebaiknya kedua gadis itu dibawa
saja ke tempat yang teduh. Tetapi sebaiknya ia dibiarkan
saja dalam keadaannya. Kedua anak muda yang sedang
bertempur itu aku harapkan akan dapat membantu
membangunkan kedua gadis yang pingsan itu"
Ki Buyut tidak dapat menahan Mahisa Agni dan
Witantra untuk naik ketebing diseberang, untuk menyusul
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang bertempur.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni dan Witantrapun
bergegas meninggalkan Ki Buyut dan langsung memanjat
tebing di seberang. Sementara itu, Ki Buyut dan orangorangnya
telah mengangkat kedua gadis yang seolah-olah
pingsan itu menepi, ke tempat yang lebih teduh. Tetapi
seperti pesan Mahisa Agni, kedua gadis itu sama sekali
tidak diapa-apakan. Dalam pada itu, demikian Mahisa Agni dan Witantra
naik keatas tebing, maka merekapun segera melihat
perkelahian yang seru. Tetapi pada saat-saat terakhir,
Mahisa Agni dan Witantra melihat bahwa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berhasil mendesak lawan mereka.
Sambil menarik nafas Witantra berkata "Tidak banyak
yang perlu kita lakukan disini"
Mahisa Agnipun mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Agaknya mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran
itu. Tetapi apakah kedua orang itu tidak akan mendapat
bantuan dari kawan-kawannya?"
"Nampaknya mereka sudah cukup lama bertempur.
Tentu sejak sebelum Widati lari ke Kabuyutan Mahisa
Murti sudah bertempur melawan mereka berdua. Jika ada
kawan-kawan mereka, agaknya mereka tentu sudah datang
membantu" berkata Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk, ia sependapat dengan
Witantra. Sementara itu, pertempuran itupun masih berlangsung
terus. Namun kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu sudah tidak lagi banyak mendapat kesempatan
untuk melawan. Karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantrapun tidak
merasa perlu untuk mencampuri persoalan mereka. Mereka
hanya menunggu saja, saatnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengakhiri pertempuran itu.
Namun dalam pada itu kedua orang yang bertempur
melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun agaknya
tidak mau melihat kenyataan itu. Mereka telah mengumpatumpat
dan berteriak-teriak. Mereka bertempur dengan
kasarnya dan sama sekali tidak lagi mempergunakan
akalnya. Justru karena itu, maka kekalahan merekapun menjadi
semakin cepat. Senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya. Karena itu.
maka pada tubuh kedua orang berwajah kasar itu telah
mengalir keringat dan darah membasahi kulit mereka.
Meskipun demikian, orang bersenjata golok yang besar
itu masih berteriak "Menyerahlah atau aku akan
mencincangmu. Kawan-kawanku akan ikut membantaimu
jika mereka mengetahui bahwa kau telah berani menentang
kehendakku" "Apakah kau mempunyai kawan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Kawan-kawanku akan segera datang" jawab orang itu.
"Tidak" berkata Mahisa Pukat "kawan-kawanmu tidak
tahu bahwa kau bertempur di sini"
"Anak iblis" teriak orang itu "orang-orang yang
mengetahui pertempuran ini tentu akan saling berceritera.
Akhirnya kawan-kawanku akan mengetahuinya juga"
"Kau mulai putus asa" berkata Mahisa Pukat "kau harap
bahwa kawan-kawanmu akan menuntut balas jika kau mati
disini?" Orang itu mengumpat kasar. Katanya "Kau yang akan
mati. Bukan aku" Tetapi suaranya patah ketika pedang Mahisa Murti telah
menyentuh pundaknya, sehingga orang itu meloncat surut.
Perasaan pedih mulai menyengat tubuhnya yang basah.
Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun merasa bahwa mereka telah terlalu lama
bertempur. Mereka ingin segera menyelesaikan
pertempuran itu secepatnya. Mungkin yang dikatakan oleh
kedua orang itu benar, bahwa mereka mempunyai banyak
kawan di sekitar tempat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak merasa menjadi
gentar dan ketakutan. Tetapi mereka tidak menginginkan
persoalannya akan menjadi semakin luas. Sehingga dengan
demikian, maka keselamatan orang-orang Kabuyut an
Randumalang akan terancam.
Karena itu, maka sejenak kemudian serangan-serangan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menjadi semakin
cepat. Pedang mereka berputaran dan dengan loncatanloncatan
yang cepat, mereka membuat lawan-lawan mereka
menjadi kebingungan. "Menyerahlah" berkata Mahisa Murti "kami tidak akan
membunuh" "Kami yang akan membunuh kalian" teriak orang
bersenjata pedang panjang itu.
"Sudahlah" berkata Mahisa Murti "jangan seperti orang
yang kehilangan ingatan. Kalian harus melihat kenyataan
ini" "Persetan" geram orang yang bersenjata golok yang
besar "dua orang gadis itu benar-benar akan mati. Hanya
kami yang akan dapat menyelamatkan mereka"
"Jangan sebut-sebut itu lagi. Permainan itu adalah
permainan yang sangat sederhana. Hampir setiap orang
dapat mengurai sentuhan jari-jarimu, sehingga gadis-gadis
itu akan terbangun" Kedua orang itu mengumpat semakin kasar. Namun
mereka benar-benar sudah terdesak. Bahkan Mahisa Pukat
yang menjadi jemu, tiba-tiba telah melihat lawannya
dengan cepatnya. Sejenak kemudian, terdengar lawannya
itu mengeluh tertahan. Ketika ia meloncat surut, maka
goloknya telah terlempar dari tangannya dan terjatuh
beberapa langkah di sampingnya.
Dengan tanpa menghiraukan lawannya, orang itu
meloncat dan berusaha untuk meraih senjatanya. Namun ia
terkejut, ketika tiba-tiba saja kaki Mahisa Pukat telah
menginjak tangkai golok itu. Sambil mengacungkanpedangnya
ke lambung orang itu, Mahisa Pukat berkata
Aku tidak sedang bermain-main. Dalam keadaan yang
khusus akupun dapat membunuh"
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian
berubah mpnjadi pucat. Ketika Mahisa Pukat mendesak
lambungnya dengan tajam pedangnya.
"Kau mau mati?" geram Mahisa Pukat.
"Jangan" desis orang itu.
Beberapa langkah orang itu surut, sementara ujung
pedang Mahisa Pukat masih mengancamnya.
Sementara itu, lawan Mahisa Murti masih belum mau
melihat kenyataaan itu. Meskipun ia tahu, bahwa
kawannya telah kehilangan kesempatan untuk melawan,
namun ia masih juga berusaha untuk bertempur terus
sambil berteriak-teriak kasar.
Namun Mahisa Murtipun dengan cepat telah berusaha
mengakhiri pertempuran itu pula. Ketika lawannya
menyerangnya dengan sambaran pedang terayun mendatar,
maka Mahisa Murti meloncat selangkah surut. Kemudian
dengan sepenuh kekuatannya, Mahisa Murti telah
memukul pedang lawannya. Ia ingin mengalahkan orang
bersenjata pedang itu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa
Pukat. Ternyata bahwa kekuatan orang berwajah kasar itu
memang sudah jauh susut. Ketika pedangnya terbentur
pedang Mahisa Murti, maka ia tidak lagi mampu untuk
mempertahankannya. Seperti yang dikehendaki oleh
Mahisa Murti, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat,
maka senjata lawannya itupun telah terjatuh
Sejenak kedua orang itu termangu mangu. Tetapi mereka
benar-benar harus melihat kenyataan itu. Senjata mereka
telah terlepas dari tangan mereka.
"Katakan" berkata Mahisa Murti "apakah kalian akan
menyerah atau kalian masih akan melawan dengan tangan
kalian" Atau barangkali kalian ingin mengambil senjatasenjata
kalian" Kedua orang itu terdiam. Rasa-rasanya apapun yang
akan mereka lakukan sudah tidak akan berguna lagi.
Pedang Langit Dan Golok Naga 11 Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Geisha 1
^