Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 7

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 7


mengumpat-umpat. Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sudah menjadi
semakin dekat dengan orang-orang yang sedang bertempur.
Wajahnya kadang-kadang menegang. Namun kemudian
wajah itu kembali menjadi tenang.
"Orang ini memang luar biasa" berkata Mahendra di
dalam hatinya. Sehingga dengan demikian, maka
Mahendrapun bergeser semakin mendekati orang yang
disebut Empu Pulung Genii itu.
Ketika Empu Pulung Geni berhenti sejenak sambil
mengamati pertempuran, maka Mahendra bertempur
beberapa langkah saja dari padanya tanpa menarik
perhatiannya. Sementara itu Singatama berusaha dengan sekuat-kuat
kemampuannya untuk menembus pertahanan para cantrik
dengan memecah dinding. Beberapa orang saudara
seperguruannya telah berusaha untuk membantunya.
Mereka berteriak-teriak memanggil nama dua orang
saudara seperguruannya yang tertawan. Namun
sebenarnyalah yang lebih penting bagi Singatama adalah
Widati. Tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari
para cantrik. Dengan berdiri di atas alas kayu dan bambu,
para cantrik berusaha mengusir para pengikut Pulung Geni
dengan senjata mereka. Dalam pada itu, dua orang saudara seperguruan
Singatama yang tertangkap, masih tetap di sekap dalam
sebuah ruang di dalam barak itu diawasi oleh para cantrik
yang berada di antara barak-barak itu bersama seorang
prajurit Singasari yang ditugaskan bersama mereka
disamping para cantrik yang menunggui Widati. Namun
mereka merasa heran, bahwa mereka justru mendapat
perawatan yang baik. Luka-luka mereka telah diobati dan
mereka sama sekali tidak diperlakukan dengan kasar.
Sekali-sekali mereka memang dibentak dan dimaki, Tetapi
yang mereka alami itu sama sekali tidak berarti,
sebagaimana mereka memperlakukan orang lain.
Justru karena itulah, telah timbul berbagai pertanyaan di
dalam hati mereka tentang sikap dan tingkah laku mereka
sendiri sebelumnya, yang mereka anggap sebagai sikap yang
wajar dan akan dilakukan oleh setiap orang. Namun
ternyata bahwa mereka telah menjumpai satu sikap dari
sekelompok orang yang berbeda sekali dengan sikap mereka
dan orang orang dilingkungan perguruan mereka.
Dalam ketegangan yang semakin memuncak, maka
Empu Pulung Geni tidak dapat lagi menahan dirinya.
Dengan pasti ia telah mencabut pedangnya. Pedang yang
besar dan bertajam ganda. Pedang yang dibuat dengan
khusus sebagaimana seseorang membuat keris.
Sikap Empu Pulung Geni memang menumbuhkan
ketegangan tersendiri. Mahisa Agni dan Witantra sempat
menyaksikannya, bagaimana Pulung Geni itu menarik
pedangnya dan mengangkatnya di atas kepalanya. Pamor
dari pedang itu nampak berkilat sesaat diantara kehitaman
tubuh pedang itu sendiri.
"Bukan main" desis Witantra, sebagaimana Mahisa Agni
dan Mahendra yang mengagumi ujud pedang Empu Pulung
Geni itu. "Pedang itu akan dapat membantai lawan-lawannya"
berkata Mahendra di dalam hatinya. Karena itu, maka
iapun bergeser semakin dekat. Ia merasa wajib untuk
menghalangi pembantaian yang dapat dilakukan oleh
Pulung Geni Orang yang bersikap terlalu tenang dan dalam.
Namun menilik pengamatan Mahendra, orang itu justru
menyimpan sikap iblis di dalam dirinya.
Tetapi Mahendra yang bertempur diantara para prajurit
yang menyamar sebagaimana kebanyakan orang itu
tertegun ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang
muncul dari balik gerumbul perdu. Agaknya pertempuran
itu telah merampas segala perhatiannya, sehingga
Mahendra tidak melihat kapan orang itu bersembunyi di
belakang sebuah gerumbul yang tidak terlalu jauh dari ajang
pertempuran itu. "Empu Nawamula" desis Mahendra di dalam dirinya.
Tetapi ia tidak menyebutnya, sementara agaknya Empu
Nawamula juga tidak menduga, bahwa Mahendra berada
diantara mereka yang bertempur itu. Karena itu. Empu
Nawamula sama sekali tidak memperhatikan orang-orang
yang sedang terlibat di dalam pertempuran. Perhatiannya
sepenuhnya ditujukan kepada Empu Pulung Geni.
Dengan langkah yang mantap, Empu Nawamula
mendekati Empu Pulung Geni yang agaknya terkejut pula
melihat kehadiran orang itu. Dengan ragu-ragu ia
memperhatikannya. Sementara itu langkah Empu
Nawamula itupun menjadi semakin mantap.
Dalam pada itu, di luar sadarnya. Singatama telah
melihat pula orang yang datang itu ketika dengan tidak
sengaja ia berpaling kearah gurunya untuk menyatakan
kekesalannya oleh kegagalannya untuk meloncati dinding
yang tidak terlalu tinggi itu. Dengan demikian, maka di luar
sadarnya pula ia telah memanggil pamannya "Paman
Nawamula" Empu Nawamula memandang kearah kemanakannya itu
dengan sorot mata kemarahan. Tetapi ia tidak sempat
berbicara kepada kemanakannya karena Empu Pulung Geni
telah menegurnya "Empu Nawamula. Kenapa Empu
datang kemari?" Empu Nawamula memandang Empu Pulung Geni
dengan tajamnya. Kemudian katanya "Aku ingin melihat
bagaimana seorang guru memanjakan muridnya yang
paling dikasihinya" Wajah Empu Pulung Geni menjadi tegang. Tetapi
sejenak kemudian ia tersenyum "Aku tahu, bahwa muridku
itu adalah kemanakan seorang Empu yang mumpuni.
Karena itu, aku ingin membuat anak itu mumpuni pula
seperti pamannya. Nampaknya usahaku hampir berhasil. Ia
sudah memiliki ilmu yang barangkali sejajar dengan ilmu
Empu. Hanya karena kemanakan Empu itu kurang
berpengalaman, maka ia masih memerlukan waktu untuk
mengetrapkan ilmunya sebagaimana seorang yang berilmu
tinggi" Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Jadi menurutmu, Singatama telah memiliki ilmu
sebagaimana aku miliki?"
"Ya" jawab Empu Pulung Genii singkat.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya
"Apakah kau bermaksud mengatakan, bahwa dengan
demikian maka kau, gurunya memiliki ilmu yang jauh lebih
tinggi dari ilmuku?"
"Aku tidak mengatakankannya. Tetapi kau dapat
memperbandingkan Sendiri. Ilmumu setingkat dengan ilmu
muridku. Meskipun muridku yang bernama Singatama itu
adalah muridku yang sangat aku kasihi karena ia memiliki
kemungkinan masa depan yang sangat cerah, namun ia
bukan muridku yang memiliki ilmu tertinggi saat ini" sahut
Empu Pulung Geni. "Bagus sekali" desis Empu Nawamula "jika demikian
sepantasnyaian bahwa aku harus berguru kepadamu untuk
beberapa tahun, agar aku mampu mengimbangi muridmu
yang terbaik" "Aku tidak berkeberatan Empu. Tetapi minggirlah. Aku
akan bertempur melawan orang-orang sombong ini" jawab
Empu Pulung Geni. Tetapi Empu Nawamula justru menjawab "Tunggu Ki
Sanak. Aku masih ingin berbicara tentang rencanaku untuk
berguru. Apakah kau sama sekali tidak menaruh
perhatian?" "Jangan bicarakan sekarang justru dalam kesibukan
seperti ini" jawab Empu Pulung Geni.
"Maksudku, apakah kau tidak ingin melihat, sampai di
mana batas kemampuan calon muridmu. Dengan demikian
kau akan dapat menentukan tingkat yang manakah yang
akan kau pakai sebagai landasan untuk mulai dengan
latihan-latihan olah kanuragan yang akan kau berikan. Atau
Putut yang manakah yang paling pantas untuk menangani
seseorang dalam tataran tertentu setelah kau
mengetahuinya" "Sudahlah" berkata Empu Pulung Geni "katakan saja
bahwa kau menantangku. Aku kira dengan demikian
kerjaku akan lebih cepat selesai. Aku akan membunuhmu
kemudian membunuh orang-orang yang sombong, yang
aku kira adalah karena bujukanmu bahwa mereka telah
meninggalkan padepokan"
"Kau salah Ki Sanak" jawab Empu Nawamula "aku
sama sekali tidak membujuk mereka. Tetapi aku tidak
sampai hati membiarkan mereka akan menjadi sasaran
ketamakanmu sehingga kau akan membantai mereka tanpa
ampun" "Itu adalah hukuman yang paling pantas buat mereka"
sahut Empu Pulung Geni. "Itulah sebabnya aku hadir disini. Sudah sehari semalam
aku menunggu disekitar tempat ini. Aku yakin bahwa kau
tentu akan datang untuk membantai para cantrik atas
pengaduan muridmu. Tetapi lebih dari itu, kau tentu akan
menunjukkan kemampuanmu untuk menakut-nakuti
berbagai pihak, agar mereka tidak berani melawanmu "
berkata Empu Nawamula. "Sudahlah" geram Empu Pulung Geni "jangan banyak
bicara. Aku akan mulai. Dan kau akan terbunuh disini. Jika
kau mati, aku harus minta maaf kepada Singatama, karena
kau adalah pamannya. Tetapi aku memang tidak
mempunyai pilihan lain"
Empu Nawamulapun segera bersiap untuk menghadapi
Empu Pulung Geni. Sementara itu, Singatama justru
menjadi termangu-mangu. la akan menyaksikan gurunya
dan pamannya akan bertempur untuk saling membunuh. Ia
tahu, bahwa gurunya adalah orang yang mumpuni. Namun
iapun tahu, bahwa pamannya adalah orang yang pilih
tanding. Tetapi menurut penilaiannya, gurunya adalah
orang yang tidak terkalahkan.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah bergeser.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang tidak mengerti,
siapakah yang datang, berusaha untuk membatasi diri. Ia
membiarkan kedua orang itu menentukan sikap mereka
masing-masing. Jika mereka akan bertempur, biarlah
mereka bertempur. Ia sendiri masih mempunyai tugas
untuk menyelesaikan para pengikut Empu Pulung Geni itu.
Yang kemudian memperhatikan kedua orang itu dengan
seksama adalah Mahendra. Meskipun ia masih berada
diantara mereka yang bertempur, tetapi ia mampu
melakukannya. Dalam pada itu, maka Empu Pulung Genipun segera
bergeser mendekati lawannya. Ia sudah terlanjur membawa
pedang ditangannya. Pedang yang memilki kelebihan dari
pedang-pedang kebanyakan. Karena itu. iapun telah berniat
untuk dengan pedangnya mengakhiri perlawanan Empu
Nawamula. "Aku tidak akan menyarungkan pedangku lagi sekedar
untuk menjajagi kemampuan Empu gila ini" berkata Empu
Pulung Geni dalam hatinya. Karena itu, maka sejenak
kemudian, maka pedangnyapun telah terayun. Katanya
"Empu Nawamula. Menurut pendengaranku kau adalah
seorang ahli membuat senjata. Karena itu, kau tentu dapat
menilai pedangku ini. Pedang yang dibuat khusus dengan
tuah yang khusus pula. Karena itu, sebelum Empu
tersentuh oleh pedangku, sebaiknya Empu tidak
meneruskan niat Empu untuk mencampuri perkara ini"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya
"Luwuk ditanganmu itu memang sebuah senjata yang luar
biasa. Jarang aku melihat senjata segawat senjatamu.
Pamornya bagaikan menyala, sementara tajamnya yang
ganda kau ulasi dengan warangan yang berbahaya.
"Karena itu. minggirlah" berkata Empu Pulung Geni.
Tetapi Empu Nawamula tidak menghindar. Bahkan
kemudian iapun telah menarik sebilah keris lewat di atas
punggungnya Sebilah keris yang tidak juga seperti
kebanyakan keris. Keris itu terlalu besar dan panjang.
"Ki Sanak" berkata Empu Nawamula "aku memang
sudah menyiapkan senjata khusus untuk menghadapi
senjatamu. Meskipun aku belum sempat mematangkan
warangan pada kerisku seperti warangan pada luwukmu
itu, tetapi sentuhan warangan kerisku ini cukup untuk
mengantarkan menjelajahi daerah maut"
Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya. Keris itu
memang luar biasa. Bukan saja ukurannya yang teramat
besar, tetapi juga buatannya dan keris itu seolah-olah
memancarkan cahaya kebiru-biruan.
"Saat aku mulai dengan pembuatan keris ini" berkata
Empu Nawamula "aku telah mesu diri. Mengurangi makan
dan minum. Juga mengurangi tidur dan beristirahat.
Ternyata aku berhasil menyelesaikan keris ini dua hari yang
lalu meskipun kelak masih harus aku matangkan lagi
dengan berbagai laku. Tetapi saat ini keris ini sudah cukup
untuk melawan luwukmu itu"
Empu Pulung Geni memandang lawannya dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia mengayunkan
pedangnya. Tidak terlalu keras. Tetapi langsung mengarah
ke kening Empu Nawamula. Empu Nawamula terkejut. Karena itu dengan serta
merta, ia menangkis serangan itu dengan kerisnya yang
besar dan panjang. Ketika dua bilah senjata itu berbenturan, maka bunga
api-pun telah memercik ke udara. Seolah-olah kedua bilah
senjata itu telah menyala dan memercikkan api yang
berwarna merah kebiruan. Empu Pulung Geni melangkah surut. Dengan tegang
diamatinya senjata Empu Nawamula. Senjata yang baru
dua hari siap. Namun ternyata keris itu nampaknya telah
menjadi sebilah keris yang cukup berbahaya.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah kedua orang itupun segera terlibat kedalam
satu pertempuran yang sengit. Empu Pulung Geni
menyerang lawannya bagaikan badai yang menghantam
tebing pegunungan. Beruntun, susul menyusul.
Tetapi ternyata Empu Nawamula adalah seorang yang
memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan.
Betapapun dahsyatnya serangan Empu Pulung Geni,
namun Empu Nawamula masih selalu dapat
mengelakkannya, menangkis dan bahkan dengan cepat ia
dapat membalas menyerang kembali.
Untuk beberapa saat keduanya berputaran, saling
menyerang, desak mendesak. Keduanya memiliki kelebihan
yang sulit dicari bandingnya. Sementara senjata ditangan
mereka adalah senjata yang dapat dibanggakan.
Mahisa Bungalan yang sempat menyaksikan
pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata
keduanya adalah orang-orang yang luar biasa. Keduanya
memiliki ilmu yang tinggi dan senjata yang jarang ada
duanya. Mahendrapun menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah
seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun menyaksikan
pertempuran kedua orang itu, ia masih juga berdebar-debar.
Demikian pula Mahisa Agni dan Witantra yang masih
berada di dalam lingkungan dinding apa yang disebut
padepokan itu. Keduanya ternyata kagum juga melihat dua
orang tua yang bertempur dengan senjata masing-masing
yang memiliki kelebihan dari senjata lainnya.
Pertempuran itu telah menarik perhatian Singatama,
sehingga seolah-olah ia menghentikan usahanya untuk
meloncati dinding meskipun saudara-saudara
seperguruannya tidak berbuat demikian. Ia tertarik untuk
menyaksikan pertempuran antara guru dan pamannya.
Pertempuran yang dalam waktu yang singkat telah
meningkat menjadi sangat dahsyatnya.
Dalam pada itu, Empu Nawamulapun telah melawan
Empu Pulung Geni dengan sangat hati-hati. ia melihat
sikap lawannya yang nampaknya tenang dan sabar
menghadapi perkembangan keadaan. Tetapi sikap itu bukan
sikapnya yang sebenarnya. Empu Pulung Geni telah
berusaha mengekang diri dan mempergunakan nalarnya
sebaik-baiknya menghadapi orang-orang yang dianggapnya
sangat berbahaya. Namun dalam pertempuran yang menjadi semakin dahsyat
itupun segera terasa, bahwa Empu Pulung Geni bukannya
orang yang tenang dan sabar. Semakin lama, maka
sikapnyapun semakin jelas, bahwa Empu Pulung Geni
adalah orang yang kasar dan keras.
Sekali-sekali terdengar juga Empu Pulung Geni itu
berteriak sambil mengayunkan pedangnya. Namun Empu
Nawamula ternyata mampu mengimbangi kekasaran gerak
lawannya dengan kecepatannya. Sehingga dengan demikian
pertempuran itu menjadi semakin lama semakin seru.
Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang Empu
itu tidak luput dari perhatian Mahisa Bungalan. Meskipun
ia sendiri masih harus bertempur dengan murid terpercaya
dari perguruan Empu Pulung Geni itu, namun ia selalu
berusaha untuk sekali-sekali dapat menilai apa yang telah
terja di dengan dua orang tua itu.
Ternyata bahwa kemampuan keduanya cukup
berimbang. Pertempuran itu semakin menjadi sengit.
Senjata-senjata mereka berbenturan dan memercikkan
bunga api. Kaki mereka berloncatan dengan cepat, sehingga
seolah-olah tidak menyentuh tanah. Sementara angin
putaran senjata mereka telah mengguncang dedaunan
gerumbul di sekitar arena pertempuran.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam ketika ia
hampir saja tergores ujung senjata lawannya. Namun dalam
pada itu. iapun segera mengambil satu sikap. Ia harus
mempercepat usahanya untuk menyelesaikan pertempuran
itu. Karena itu, maka dengan menggeretakkan giginya
Mahisa Bungalan bertempur semakin cepat. Bahkan para
prajuritnyapun telah ikut berbuat demikian pula.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan semakin mendesak
lawannya dan bahkan kemudian dengan pasti telah
menguasainya. Sedangkan para prajuritnyapun telah
mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah surut.
Dengan demikian, maka pengaruh pertempuran itupun
terasa pada mereka yang berusaha memecahkan dinding.
Ketika kawan-kawan mereka terdesak, maka mereka yang
ingin memecah dan meloncati dinding itupun mulai
menjadi gelisah. Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah memanfaatkan keadaan itu sebaikbaiknya.
Dengan cermat mereka memperhitungkan
kemungkinan untuk mengembangkan pertempuran itu.
Karena itu, ketika pasukan lawan di luar dinding itu
semakin terdesak oleh pasukan Mahisa Bungalan, maka
Mahisa Murtipun telah meneriakkan aba-aba, agar para
cantriklah yang kemudian memburu keluar dengan
meloncati dinding. "Kita mempunyai kesempatan lebih luas untuk
melakukannya " teriak Mahisa Murti.
Para cantrik menjadi ragu-ragu. Tetapi Mahisa Murti
telah mendahului meloncati dinding yang tidak begitu
tinggi, justru keluar. "Mahisa Pukat melihat saudaranya telah meloncat
keluar. Jika ia tidak berbuat serupa, maka Mahisa Murti
akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka iapun segera
meloncat pula sambil memerintahkan para cantrik untuk
melakukannya pula. Dalam keragu-raguan, para cantrik menyaksikan
beberapa orang lawan mulai mengepung Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Betapapun juga mereka telah merasa terikat
dalam sikap, sehingga sejenak kemudian ternyata beberapa
orang cantrikpun telah berloncatan pula keluar dinding apa
yang disebut padepokan itu. Bahkan akhirnya semua
cantrik yang berada di dalam dinding itupun telah berada di
luar. kecuali para cantrik yang harus mengawasi Widati,
para cantrik yang harus mengamati seluruh padepokan itu
bersama seorang prajurit, tetap berada di dalam halaman
padepokan. Dengan demikian, maka pertempuran yang sengitpun
telah terjadi seluruhnya di luar dinding apa yang disebut
padepokan itu. Kekuatan Mahisa Bungalan dan para
prajuritnya ternyata sangat mempengaruhi medan. Diantara
mereka justru telah menebar dan menyatu dengan para
cantrik, sementara yang lain berusaha mendesak lawanlawan
mereka semula. Mahisa Agni dan Witantrapun sudah berada di luar
dinding pula. Mereka berada diantara para cantrik. Namun
semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan
Mahendra. "Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh"
desis Witantra disamping Mahendra.
Mahendra berpaling sejenak kearah kedua Empu yang
sedang bertempur itu. "Pulung Geni memang sangat berbahaya" desis
Mahendra. "Sesuai dengan niat Mahisa Bungalan" jawab Mahisa
Agni "mereka harus dihentikan. Kegiatan padepokan
merekapun harus dihentikan pula"
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi
semakin jelas. Apalagi ketika Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra ikut pula, meskipun tanpa menarik perhatian,
karena mereka bertempur sebagaimana yang lain
bertempur. Namun dengan caranya sendiri, ketiga orang itu
telah berhasil memperlemah pertahanan lawan mereka.
Dalam pada itu. Empu Pulung Geni semakin lama
menjadi semakin tidak dapat lagi mengendalikan diri.
Wataknya yang sebenarnya akhirnya melonjak pula dalam
ujudnya yang mendebarkan. Semakin lama Empu Pulung
Geni itupun menjadi semakin garang. Teriakan-teriakannya
menjadi semakin keras dan tingkah lakunyapun menjadi
semakin keras dan kasar. Namun dengan demikian, ia
menjadi semakin berbahaya pula. Kekuatannya bagaikan
bertambah oleh hentakkan-hentakkan kekuatan dibarengi
dengan teriakan-teriakan nyaring.
Tetapi Empu Nawamulapun telah meningkatkan
kemampuannya pula sampai ke puncak. Ia menjadi
semakin cepat bergerak. Dengan cekatan ia berusaha
mengimbangi tingkah laku lawannya. Namun kemudian
Empu Nawamula tidak lagi banyak membentur kekuatan
Empu Pulung Geni yang bagaikan berlipat. Ia berusaha
menghindari benturan-benturan langsung. Namun dengan
cepat menyusup pertahanan lawan dengan seranganserangan
yang berbahaya. Ternyata bahwa kedua tajam senjata kedua Empu itu
masih belum berhasil menyentuh lawannya Keduanya
adalah senjata yang luar biasa. Meskipun keduanya tentu
membawa obat penawar racun, tetapi pengobatan itu tentu
juga memerlukan waktu. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan serta para prajurit
yang menyertainya menjadi semakin cepat mendesak
lawan-lawan mereka. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Betapa garang dan kasarnya lawan-lawan mereka,
namun ternyata bahwa mereka tidak dapat mengimbangi
kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seorang
melawan seorang. Karena itulah, maka mereka berusaha
untuk mengurung kedua anak muda itu dalam kepungan.
Singatama yang telah mengetahui tingkat kemampuan
kedua anak muda itu, telah memimpin beberapa orang
untuk bersamanya membatasi gerak Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu beberapa orang
bersama-sama telah mengepungnya.
Namun dalam pada itu. di luar perhitungan mereka,
maka dibagian lain dari arena itu, beberapa pengikut Empu
Pulung Geni telah terdorong surut dengan luka ditubuh
mereka. Meskipun luka-luka itu tidak terlalu parah, tetapi
luka-luka itu telah memperlemah mereka.
Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra
telah melakukan hal yang serupa. Mereka melukai lawanlawan
mereka. Tidak terlalu parah, tetapi memaksa mereka
menyingkir untuk mengobati luka mereka. Namun
bagaimanapun juga, luka-luka itu telah menghambat
perlawanan mereka, karena setiap kali, darah yang telah
pampatpun akan mengalir lagi jika mereka terlalu banyak
bergerak. Dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan
yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula, dan
yang kemudian menyingkir kedalam apa yang mereka sebut
padepokan itu, tidak lagi terlalu banyak mengalami
kesulitan. Meskipun pada dasarnya secara pribadi,
kemampuan saudara-saudara seperguruan Singatama lebih
baik, tetapi dalam keseluruhan, ternyata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat serta para cantrik itu mampu mendesak
lawan mereka Apalagi Mahisa Bungalan dan para prajurit
yang menyertainya. Empu Pulung Geni yang bertempur melawan Empu
Nawamula itupun akhirnya tidak dapat lagi mengingkari
satu kenyataan, bahwa para pengikutnya ternyata tidak
berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka, apalagi
menghancurkannya dan mengambil seorang gadis dari apa
yang disebut padepokan itu dan sekaligus membebaskan
dua orang diantara murid-muridnya yang tertawan.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan para prajuritnya
benar-benar berusaha untuk melumpuhkan para pengikut
Empu Pulung Geni. Meskipun mereka berusaha
menghindari pembunuhan, karena mereka ingin
menangkap lawan-lawan mereka hidup-hidup dan
membawa mereka ke Singasari, namun kadang-kadang para
prajurit itu tidak dapat menahan senjata mereka yang
terlanjur menghunjam kedalam tubuh lawan, menggores
jantung, sehingga lawan mereka itupun kemudian terkapar
tidak bernafas lagi. Empu Pulung Geni hanya dapat mengumpat kasar.
Ternyata ia tidak dapat mengalahkan Empu Nawamula
dengan cepat. Bahkan kemudian ia harus mengakui, bahwa
Empu Nawamula itupun mampu mengimbangi
kemampuannya. Kerisnya yang besar dapat mengimbangi
pedang kebanggaannya, sehingga dengan demikian maka
Empu Nawamula yang mampu bergerak dengan cepat itu,
sama sekali tidak akan dapat didesaknya.
Menyadari keadaannya, serta keadaan para pengikutnya,
maka Empu Pulung Geni harus cepat mengambil satu
sikap. Jika ia terlambat, maka seluruh pengikut yang datang
bersamanya itu akan dihancurkan oleh lawan yang ternyata
memiliki banyak kelebihan.
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain dari
Empu Pulung Geni selain menghindar dari pertempuran.
Karena itu. maka dalam satu kesempatan. Empu Pulung
Geni telah meloncat meninggalkan lawannya sambil bersuit
nyaring. Satu isyarat bagi para pengikutnya, bahwa mereka
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Isyarat itu tidak perlu diulangi. Para pengikutnya yang
kecemasan itupun memang tidak lagi mempunyai harapan.
Sehingga karena itu, maka dengan serta merta, para
pengikutnyapun telah berloncatan untuk mencari
kesempatan meninggalkan medan.
Tetapi Mahisa Bungalan dan para prajurit Singasari tidak
membiarkan mereka terlepas. Karena itu. maka merekapun
telah berusaha untuk mencegah sejauh mungkin. Bahkan
beberapa orang prajurit telah berusaha mengejar lawanlawannya
yang melarikan diri sampai jauh dari dinding apa
yang disebut padepokan itu.
Namun dalam pada itu, ada juga diantara mereka yang
berhasil lolos dari kejaran lawan-lawan mereka. Empu
Pulung Geni sendiri berhasil lepas dari tangan Empu
Nawamula. Bahkan ia masih sempat meneriakkan ancaman
"Empu, pada saatnya kau akan mati di tanganku"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Singatamapun telah menghindarkan diri
dari tangan Mahisa Murti.
Meskipun demikian, banyak diantara mereka yang tidak
lagi sempat melepaskan diri. Bagaimanapun juga, mereka
terpaksa melepaskan senjata mereka dan menjadi tawanan.
Empu Nawamula yang semula berusaha untuk mengejar
Empu Pulung Geni terpaksa menghentikan usahanya,
sebagaimana beberapa orang prajurit Singasari. Beberapa
orang, termasuk Empu Pulung Geni dan Singatama berhasil
mencapai kuda-kuda mereka dan dengan kecepatan yang
sangat tinggi, kuda-kuda itu berpacu menjauh.
Namun dalam pada itu. ternyata Mahisa Bungalan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil menguasai
sebagian besar dari lawan-lawan mereka, sehingga dengan
demikian, maka merekapun yakin bahwa kekuatan
padepokan Empu Pulung Geni sudah lumpuh sama sekali.
"Ia harus membangun kekuatan baru untuk waktu yang
lama" berkata Mahisa Bungalan kepada para prajuritnya.
Sementara itu, Empu Nawamula telah kembali
mendekati apa yang disebut padepokan itu. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun kemudian menyongsongnya, setelah
ia memerintahkan para cantrik untuk menguasai para
tawanan sepenuhnya. Namun Empu Nawamulapun kemudian terkejut ketika
ia melihat seseorang, yang pernah dikenalnya
mendekatinya. Sambil tersenyum orang itupun berkata
"Kau memang luar biasa Empu"
"Mahendra" desis Empu Nawamula "kau berada disini"
Mahendrapun tertawa sebagaimana Empu Nawamula.
Katanya "Aku memperhatikan, bagaimana kau bertempur
melawan Empu Pulung Geni. Ternyata bahwa kau
memiliki ilmu yang tidak ada duanya"
"Ah. Kau masih juga senang memuji" desis Empu
Nawamula "jika aku tahu kau ada disini, aku tidak akan
memaksa diri untuk datang ke tempat ini. Bahkan mungkin
kau berhasil menangkap orang yang menyebut dirinya
Empu Pulung Geni itu"
"Tentu tidak" jawab. Mahendra "ia bergerak terlalu
cepat dan tidak terduga"
"Ia sempat mengancamku" jawab Empu Nawamula.
"Aku mendengar. Pada suatu saat ia akan membunuh
Empu" berkata Mahendra.
"Karena itu, aku harus selalu berhati-hati. Nampaknya ia
tidak bermain-main atau asal saja berteriak. Ia membawa
dendam yang tidak ada taranya" berkata Mahisa Bungalan.
Empu Nawamula memandang anak muda itu sambil
berkata "Kau juga luar biasa anak muda. Siapakah kau
sebenarnya" Kau tentu bukan seorang cantrik dari
padepokanku" "O" Mahendralah yang menyahut. Lalu "Aku memang
ingin memperkenalkan beberapa orang yang datang
bersamaku ke tempat ini. Anak ini bernama Mahisa
Bungalan. Salah seorang dari tiga orang anakku yang ada
disini" "O, jadi anak ini saudara angger Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat" sahut Empu Nawamula.
"Ya. Kakaknya" jawab Mahendra.
Empu Nawamulapun menganggukkan kepalanya,
sementara Mahisa Bungalan mengangguk pula dengan
hormatnya. Sementara itu, Mahendrapun berkata "Selain
anakku itu, aku datang bersama saudara-saudaraku. Mahisa
Agni dan Witantra. Keduanya adalah orang-orang yang
namanya pernah dikenal di Kediri, sebagai orang yang
mendapat kekuasaan pada masa kekuasaan Sri Rajasa di
Singasari" Empu Nawamulapun telah mengangguk hormat pula
sebagaimana Mahisa Agni dan Witantra. Sementara itu.
Empu itupun berkata "Kedatanganku ternyata telah sia-sia.
Aku kira aku telah berjasa menyelamatkan para cantrik dari
kekasaran dan kebuasan Empu Pulung Geni dan
pengikutnya. Ternyata apa yang aku lakukan tidak berarti
apa-apa. Bahkan seandainya aku tidak hadir disini, Empu
Pulung Geni tentu sudah dapat dibinasakan"
"Jangan diulang lagi" sahut Mahendra "Marilah. Kita
akan berbicara di dalam padepokan ini. Padepokan yang
sejak esok pagi sudah tidak akan berarti lagi"
"Aku mempersilahkan kalian singgah di padepokanku.
Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi agaknya akan lebih baik
daripada kalian berada disini. Selebihnya, akan
menenangkan hatiku, karena jika datang pembalasan dari
Empu Pulung Geni, maka aku akan dapat berlindung
diantara kalian. Mahendra tertawa. Katanya "Jangan Empu kira, kami
tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi kita akan dapat
berbicara lebih panjang. Sekali lagi kami mempersilahkan
Empu untuk singgah" Empu Nawamula tidak menolak. Iapun kemudian
bersama dengan Mahendra memasuki regolapa yang
dinamakannya padepokan diikuti oleh orang-orang lain.
Ternyata bahwa Empu Nawamula kagum juga melihat apa
yang disebut padepokan itu. Meskipun sederhana, tetapi
nampak bahwa barak-barak yang ada di dalamnya cukup
bersih dan terpelihara. Dalam pada itu, Widati yang ketakutan, hampir
menangis ketika ia mengetahui bahwa pertempuran telah
selesai. Bahwa isi apa yang disebut padepokan itu berhasil
mengalahkan lawan-lawannya. Bahkan menangkap
sebagian besar diantara mereka. Rasa-rasanya ia telab
terbebas dari tajamnya ujung duri yang sudah melekat di
jantungnya. "Bersukurlah anakku" berkata ayahnya.
Namun demikian Widati masih juga berkata "Tetapi
bagaimana kemudian ayah. Apakah mereka telah benarbenar
dilumpuhkan, ian tidak akan dapat bangkit kembali?"
Pertanyaan itu ternyata telah mendebarkan jantung
ayahnya pula. Tetapi ia masih juga menjawab untuk
menenangkan anaknya "Tetapi setidak-tidaknya kau
sekarang terlepas dari penderitaan yang paling pahit dan
bahkan maut" Widati tidak menjawab. Dalam pada itu. Empu Nawamulapun kemudian telah
duduk bersama dengan Mahendra, Mahisa Agni dan
Witantra, sementara beberapa orang telah mengambil
kudanya yang disembunyikannya di belakang sebuah
gerumbul. Bahkan para cantrik itu dapat pula menangkap
beberapa ekor kuda yang ditinggalkan oleh para pengikut
Empu Pulung Geni atau para pengikut yang tertangkap
Tidak banyak yang dibicarakan oleh orang-orang tua itu.
Namun mereka kemudian sepakat untuk meninggalkan
tempat itu dan memasuki padepokan Empu Nawamula.
"Bagaimana jika ia kembali" bertanya Mahisa Murti.
"Mudah-mudahan tidak segera" jawab Empu Nawamula
"sementara itu para cantrik sudah mendapatkan ilmu
kanuragan yang memadai. Selama ini, kanuragan seolaholah
sekedar untuk mengisi waktu mereka yang tertuang
saja. Bukan satu ilmu yang dituntut dengan sungguhsungguh.
Tetapi agaknya sekarang telah terbukti, bahwa
mereka memerlukan ilmu yang lebih baik"
Namun dalam pada itu, mereka tidak sempat untuk
berbicara terlalu panjang. Merekapun seeera dituntut uatuk
mengobati para cantrik yang terluka.
Bagaimanapun juga, dalam benturan kekuatan telah
jatuh beberapa orang korban. Babkan ada diantara mereka
yang dengan berat hati harus dilepaskan untuk selamalamanya.
Hari itu, orang-orang dari apa yang mereka sebut
padepokan kecil itu telah bekerja dengan keras. Bukan saja
para cantrik dari padepokan Empu Nawamula, tetapi
merekapun harus mengobati para pengikut Empu Pulung
Geni, yang dengan heran telah mengalami perawatan yang
tidak berbeda dengan lawan-lawan mereka.
"Mereka tidak membunuh kita" desis salah seorang dari
mereka. Tetapi kawannya menjawab "Ini adalah pemhunuhan
yang paling keji. Mereka mengobati luka-luka kita. Tetapi
sesudah kita sembuh mereka akan memerlukan kita dengan
sangat kejam" Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap
lawan mereka yang telah menawan mereka, agaknya
mereka mempunyai sikap yang lain dari lingkungan mereka
sehari-hari. Meskipun demikian, mereka masih belum
berani membayangkan, apa yang sebenarnya akan terjadi
atas diri mereka. Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Bungalan telah
berbincang dengan orang-orang tua, termasuk Empu
Nawamula. Sebagaimana ia berangkat mengikuti Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan telah
berniat untuk membawa orang-orang yang berhasil
ditangkap itu ke Singasari "Mereka akan mendapat
perlakuan sewajarnya dan dari mereka akan dapat di tarik
satu keterangan yang lebih luas tentang padepokan mereka.
"Silahkan" berkata Empu Nawamula "tetapi tentu tidak
dengan tergesa-gesa. Aku masih ingin mempeisilahkan
kalian untuk singgah"
"Ayah dan kedua paman akan singgah bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat" jawab Mahisa Bungalan "tetapi
kami akan membawa mereka kembali ke Singasari"
"Kenapa begitu tergesa-gesa" bertanya Empu
Nawamula. "Atas dasar perhitunganku, maka dalam waktu singkat
Empu Pulung Geni tentu belum akan bertindak lagi.
Karena itu, maka kami akan merasa aman untuk membawa
para tawanan ke Singasari"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun dalam
pada itu, Mahendralah yang menyahut "Bagaimanapun
juga, aku. tidak dapat melepaskan kau sendiri membawa
orang-orangnya Empu Pulung Geni, nampaknya seorang
yang sangat licik. Mungkin ia akan muncul dengan tibatiba.
Karena itu, biarlah aku ikut pergi ke Singasari. Biarlah
kakang Mahisa Agni dan Witantra tinggal bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat untuk sementara"
Ternyata Empu Nawamula tidak dapat mencegahnya.
Karena itu, maka Mahendra telah memutuskan untuk
kembali ke Singasari menyertai Mahisa Bungalan, karena
bagaimanapun juga, ia tidak sampai hati melepaskan
anaknya yang akan membawa para tawanan para pengikut
Empu Pulung Geni. Jika empu Pulung Geni tiba-tiba saja
mengganggu iring-iringan itu, meskipun hanya dengan
beberapa pengikutnya yang tersisa, maka Mahisa Bungalan
akan mengalami kesulitan, karena menurut
pengamatannya. Empu Pulung Geni adalah seseorang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apabila dengan
keamanan dan keliarannya. Maka Empu Pulung Geni
benar-benar seorang yang sangat berbahaya.
Dengan demikian, maka Mahendrapun kemudian telah
bersiap-siap bersamaan Mahisa Bungalan dan para prajurit
Singasari. Mereka akan berangkat ke Singasari dengan
membawa para tawanan Hanya mereka yang terluka parah,
akan tinggal dan akan dibawa oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ke padepokan Empu Nawamula. Pada
saatnya, prajurit Singasari akan mengambil mereka dan
mereka akan dikumpulkan kembali dengan kawan-kawan
mereka. Karena itulah, maka di hari berikutnya, Mahisa Bungalan
telah meninggalkan apa yang disebut padepokan itu
mendahului orang-orang lain yang akan singgah
kepadepokan Empu Nawamula. Dengan cermat Mahisa
Bungalan telah mengatur para prajuritnya yang akan
membawa para tawanan kembali ke Singasari. Berbeda
dengan saat mereka berangkat, maka agar perjalanan
mereka tidak mengalami gangguan dan menarik perhatian,
karena mereka membawa tawanan, maka Mahisa Bungalan
telah memerintahkan mereka untuk mengenakan tandatanda
keprajuritan mereka. Mahisa Bungalan sendiri telah
mengenakan pakaian keprajuritannya dengan pertanda
kebesaran pasukannya. Ia telah memasang kelebet pada
sepucuk tombak yang dipakainya sebagai tunggal. Ia
berharap bahwa dengan demikian, maka mereka tidak akan
mendapat banyak gangguan. Adalah wajar bahwa
sepasukan prajurit Singasari telah membawa sejumlah
tawanan. Mungkin iring-iringan itu akan bertemu dengan
sepasukan pengawal dari sebuah pasukan. Tanpa
mengenakan pakaian keprajuritan Singasari, maka akan
dapat timbul masalah antara mereka dengan para pengawal
dari Pakuwon yang mencurigai mereka karena mereka telah
membawa sekelompok orang yang tertawan.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
telah minta diri kepada paman-pamannya, kepada adikadiknya
dan kepada Empu Nawamula. Namun sementara
itu, maka iapun telah menyatakan akan kembali ke
padepokan Empu Nawamula untuk mengambil sisa para
tawanan yang terluka parah.
Ketika iring-iringan itu meninggalkan apa yang disebut
sebagai padepokan itu, maka Widati telah mengeluh disisi
ayahnya. Dengan suara dalam ia berkata "Apa yang dapat
akau lakukan ayah. Seorang perwira prajurit itupun masih
harus memperhitungkan kehadiran Empu Pulung Geni.
Apalagi aku. Bahkan kita. Singatama dapat saja setiap saat
datang kerumah kita. Adalah sangat mengerikan jika ia
datang bersama dengan gurunya yang terlepas dari tangan
Empu Nawamula, bahkan menurut pendengaranku, ia
masih juga sempat mengancam"
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti
kecemasan anak gadisnya. Namun dalam pada itu, ia
berkata "Singatama belum mengetahui, dimanakah rumah
kita" Widati mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil mengangguk ia berkata "Ya ayah. Singatama belum
tahu, di manakah rumah kita. Meskipun demikian, rasarasanya
aku ngeri juga untuk kembali"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung
sejenak maka iapun berkata "Widati. Sebenarnya aku agak
berkeberatan untuk mengatakan. Tetapi terdorong oleh satu
keinginan untuk mencari perlindungan. Bagaimana
pendapatmu jika untuk sementara kira ikut bersama dengan
orang-orang yang tinggal ini pergi ke padepokan Empu
Nawa mula?" Widati menundukkan wajahnya. Sebenarnya ia senang
sekali melakukannya. Kecuali ia akan mendapatkan
perlindungan untuk sementara, juga karena ia mengetahui,
bahwa anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Murti
itu akan pergi ke Padepokan itu juga.
"Bagaimana pendapatmu Widati" bertanya ayahnya.
Widati masih saja menunduk.
"Katakan pendapatmu Widati" desak ayahnya.
Dengan nada dalam Widati menjawab "Segalanya
terserah kepada pertimbangan ayah. Mana yang baik bagi
ayah, akupun menganggapnya baik juga"
Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian,
maka biarlah kita pergi ke padepokan itu. Pada sualu saat
yang baik, kita akan kembali ke Kabuyutan kita"
Widati tidak menjawab lagi. Namun jantungnya menjadi
berdebar-debar. Demikianlah, maka ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra merasa tidak
berkeberatan untuk pergi ke padepokan Empu Mawamula,
maka merekapun telah mengambil satu keputusan, bahwa
setelah mereka selesai berkemas dan memungkinkan untuk
meninggalkan tempat itu bersama mereka yang terluka,
maka mereka akan pergi ke padepokan Empu Nawamula.
Sebagaimana di harap oleh Ki Buyut, maka Empu
Nawamula itupun telah mempersilahkannya pula untuk
singgah. Sehingga tanpa diulangi, Ki Buyut menjawab
"Terima Kasih Empu. Meskipun sebenarnya aku ingin
sekali segera kembali ke Kabuyutan yang sudah terlalu lama
aku tinggalkan, namun rasa-rasanya ada semacam
kecemasan bahwa Singatama akan menemukan tempat
tinggal kami. Meskipun Singatama dan gurunya sudah
tidak mempunyai kekuatan lagi bagi kalian, tetapi bagi
kami, mereka tetap hantu yang sangat menakutkan"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia dapat
mengerti, betapa Ki Buyut itu akan dibayangi oleh
ketakutan selama Singatama atau Empu Pulung Geni masih
berkeliaran. Karena itu maka katanya "Kita harus menemukan
pemecahan Ki Buyut. Tetapi baiklah Ki Buyut dan anak
perempuan Ki Buyut berada bersama kami di padepokan
untuk satu dua hari. Mungkin kita akan menemukan satu
pemecahan yang paling baik"
Demikianlah, maka pada saat-saat kemudian, orangorang
seisi apa yang disebut padepokan itu telah mengemasi
diri. Mereka juga mengobati yang terluka sebaik-baiknya,
agar dalam waktu yang dekat, mereka dapat bersama-sama
menempuh perjalanan menuju ke padepokan Empu
Nawamula. Padepokan yang benar-benar sudah berujud
padepokan. Tetapi bagaimanapun juga Empu Nawamula selalu
ingat, bahwa padepokan itu bukan haknya. Yang
seharusnya memiliki padepokan itu adalah Singatama.
Namun ia tidak akan sampai hati melepaskan padepokan
itu kepada pemiliknya, selama Singatama masih diliputi
oleh pikiran-pikirannya yang gelap.
"Mudah-mudahan pengalamannya kali ini akan berarti
bagi hidupnya. Ia akan melihat, bahwa seseorang tidak
akan dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Karena di dunia ini ada kekuatan yang merasa wajib
menghalangi tindak sewenang wenang seperti itu" berkata
Empu Nawamula di dalam hatinya.
Selama orang-orang seisi padepokan itu berkemas, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghubungi
orang-orang padukuhan terdekat sebagaimana selalu
dilakukannya. Ternyata bahwa orang-orang dipadukuhan
itupun menaruh perhatian atas peristiwa yang baru saja
terjadi atas padepokan yang baru saja dibuka itu.
"Kami memperhatikan dari jauh apa yang telah terjadi"
berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan terdekat
"kami melihat sekelompok orang yang kemudian telah
berkelahi dengan para penghuni padepokan itu"
"Ya" jawab Mahisa Murti "mereka ingin merampas hak
dan wewenang kami" "Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian"
bertanya yang lain. "Kami bersyukur, bahwa kami semuanya berhasil
mengusir mereka. Meskipun demikian ada juga kawankawan
kami yang terluka. Bahkan ada diantara kami yang
menjadi sangat parah. Mudah-mudahan dengan segala
usaha, mereka akan dapat tertolong dan dapat tetap
bersama kami" sahut Mahisa Pukat.
"Tetapi kami lihat, sebagian dari kalian telah
meninggalkan padepokan. Bahkan kami melihat satu
pertanda dari satu lingkungan yang resmi, karena kami
melihat kelebet pada tunggul yang dibawa oleh kawankawan
kalian yang mendahului kalian" bertanya seorang
yang sudah berambut putih, yang nampaknya memiliki
pengalaman yang lebih banyak dari kawan-kawan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun akhirnya Mahisa Murti berkata "Mereka membawa
lawan-lawan kami yang tertangkap untuk menghadap para
pemimpin keprajuritan di Singasari"
"Singasari" orang berambut putih itu berdesis "apakah
mereka prajurit Singasari?"
"Ya" jawab Mahisa Murti.
Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Diantara
bibirnya terdengar ia bergumam "Sukurlah. Kalian telah
tertolong" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Agaknya orang berambut putih itu memiliki satu
pengalamanan yang lebih luas dari tetangga-tetangganya,
sehingga ia mengenali pertanda keprajuritan yang dibawa
oleh Mahisa Bungalan. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengatakan pula kepada para penghuni padukuhan
itu, bahwa pada satu saat yang pendek, apa yang disebutnya
sebagai padepokan itu akan ditinggalkannya.
"Apakah kalian akan membuat padepokan yang lebih
baik" bertanya salah seorang penghuni padukuhan itu.
"Ternyata seorang Empu yang baik telah memberikan
kesempatan kepada kita untuk tinggal di padepokannya"
jawab Mahisa Murti. "Sukurlah. Kalian akan mendapat tempat yang lebih
baik dari yang kalian huni sekarang ini" berkata yang lain.
Namun dalam pada itu, salah seorang dari mereka
bertanya "Lalu, apakah padepokan kalian itu akan kalian
bongkar?" Mahisa Murti menggeleng. Katanya "Tidak. Justru kami
ingin menyerahkan apa yang kami sebut padepokan itu
kepada kalian. Terserah, apakah padepokan itu akan kalian
pergunakan untuk apa" Mungkin untuk satu lingkungan
peternakan, atau untuk kepentingan apapun juga"
"O" orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu orang berambut putih itu berkata "Terima
kasih Ki Sanak. Kami akan menerima dengan senang hati.
Ada satu hal yang barangkali dapat kami lakukan dengan
apa yang pernah kalian sebut sebagai padepokan itu"
"Terserahlah kepada kalian" berkata Mahisa Pukat pula
"jika kami harus meninggalkannya, maka apa yang pernah
kami anggap sebagai padepokan itu, tidak akan menjadi siasia"
Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu merasa
berterima kasih juga kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Barak-barak di lingkungan apa yang disebutnya
padepokan itu akan dapat dimanfaatkan oleh mereka.
Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
beberapa hari tinggal di padepokan mereka. Sementara itu
mereka yang terluka parahpun menjadi berangsur baik.
Tetapi ternyata bahwa ada diantara mereka, baik dari pihak
kawan-kawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun
diantara para pengikut Empu Pulung Geni yang tidak lagi
dapat tertolong jiwanya. Karena itu, dengan hati yang sangat berat, para cantrik
dari padepokan Empu Nawamula harus melepaskan
kawan-kawan mereka untuk selama-lamanya.
Demikianlah, ketika saatnya tiba, maka seisi padepokan
kecil itu telah siap untuk meninggalkan tempat itu. Mereka
akan menempuh satu perjalanan yang cukup panjang,
menuju ke sebuah padepokan yang pernah menjadi
landasan langkah yang menentukan bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Tetapi perjalanan yang panjang itu merupakan satu
langkah untuk menuju ke satu masa yang diharapkan akan
menjadi lebih baik baik para cantrik yang akan kembali ke
padepokan mereka semula. Ternyata bahwa perjalanan itu sama sekali tidak
mengalami hambatan. Meskipun para cantrik itu tetap
bersiaga, karena Empu Pulung Geni yang terlepas dari
tangkapan Empu Nawamula, bahkan yang sempat
mengancamnya pula, akan dapat muncul setiap saat.
Dengan pasti iring-iringan itu mendekati padepokan
yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula.
Meskipun mereka ternyata terhalang oleh gelapnya malam
yang turun, namun iring-iringan itu sama sekali tidak
berhenti untuk bermalam di perjalanan. Jika mereka harus
berhenti, adalah sekedar untuk beristirahat. Tetapi mereka
bertekad untuk mencapai tujuan.
Widati mengalami kelelahan yang membuat seluruh
tubuhnya terasa sakit. Tetapi ia tidak mengeluh. Ia tidak
mau menjadi hambatan yang dapat dipersalahkan apabila
terjadi sesuatu diperjalanan mereka.
Ternyata bahwa mereka memasuki regol padepokan
Empu Nawamula sebelum tengah malam. Perjalanan yang
terhitung tidak terlampau cepat itu mereka selesaikan
dengan hati yang lega. Seolah-olah mereka telah terlepas
dari satu ancaman yang dapat mengganggu mereka setiap
saat di perjalanan. "Marilah" berkata Empu Nawamula "inilah padepokan
yang untuk sementara harus aku pimpin. Padepokan yang
sebenarnya harus diwarisi oleh Singatama"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki regol itu
dengan hati yang gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
membuat mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun
mereka tidak melihat kelainan yang nampak pada saat-saat
mereka memasuki regol, namun padepokan yang lenggang
itu rasa-rasanya telah mencekam jantungnya.
Tetapi memang ada yang menarik perhatian. Pendapapadepokan
itu masih diterangi oleh lampu minyak
sebagaimana jika pendapa itu sedang dilangsungkan satu
pertemuan atau jika ada tamu yang mengunjungi
padepokan itu. Namun adalah menjadi kebiasaan, bahwa di
malam hari yang telah larut, lampu itu akan dikecilkan.
"Apa ada seseorang yang mengunjungi padepokan ini"
bertanya Empu Nawamula di dalam hatinya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa satu diantara murid
Empu Nawamula yang nampaknya mendapat giliran
berjaga-jaga, telah melihat kehadiran iring-iringan itu.
sehingga iapun telah menyosongnya.
"Empu" desis orang itu.
"Ya, aku dan para cantrik" jawab Empu Nawamula.
"Silahkan Empu" berkata murid itu sambil menerima
kendali kuda Empu Nawamula.
Dalam pada itu; maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah mendekatinya sambil bertanya "Bukankah kalian
dalam keadaan baik di padepokan ini?"
"Ya anak muda" jawab murid Empu Nawamula itu
"kami dalam keadaan baik. Justru kami mencemaskan
keadaan kalian. Ternyata kalian telah kembali dengan
selamat" "Tetapi ada yang terpaksa kami lepaskan untuk
selamanya" jawab Mahisa Pukat.
Murid Empu Nawamula itu memandangi gurunya
dengan tajamnya. Sementara Empu Nawamula
mengangguk sambil berdesis "Kami tidak kuasa berbuat
apapun juga atas takdir yang telah memungut mereka"
Murid empu Nawamula itu mengangguk-angguk kecil.
Namun kemudian terdengar suaranya lirih "Memang ada
seorang tamu di padepokan ini Empu"
"Siapa" bertanya Empu Nawamula.
"Singatama" jawab murid Empu Nawamula itu. Semua
orang yang mendengar jawab itu terkejut. Mahisa Pukat
telah terloncat mendekat sambil mengulang "Singatama?"
"Ya anak muda. Ia datang seorang diri ke padepokan
ini" jawab murid Empu Nawamula itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kearah
Mahisa Agni dan Witantra, sementara Widati bergeser
mendekati ayahnya dengan jantung yang berdebaran.
"Untuk apa ia datang kemari" bertanya Empu
Nawamula. "Empu dapat bertanya sendiri" jawab muridnya itu "ia
ada di dalam bilik dirumah induk. Aku tidak tahu. apakah
ia sudah tidur atau belum"
Empu Nawamula memandang pendapa padepokan yang
kosong itu. Namun ia tahu, bahwa di salah satu bilik di
rumah induk itu terdapat seorang anak muda yang bernama
Singatama. Sementara Empu Nawamula termangu-mangu, maka
pintu pringgitan di belakang pendapa itupun terbuka.
Seorang anak muda melangkah keluar perlahan-lahan.
Singatama. "Gila" geram Empu Nawamula "apakah ia memang
ingin membunuh diri?"
Empu Nawamula tiba-tiba saja telah melangkah dengan
tergesa-gesa mendekati kemanakannya. Wajahnya menjadi


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegang, dan sorot matanya memancarkan gejolak
perasaannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengikutinya dan membiarkan kudanya di halaman.
Namun seorang cantrik kemudian telah menarik kendali
kuda itu dan mengikatnya pada patok-patok yang terdapat
dihalaman. Demikian pula Mahisa Agni dan Witantrapun
telah mengikat kuda-kuda mereka. Sementara itu, para
cantrik menjadi sibuk. Sebagian mengikat kuda-kuda
mereka, sedang yang lain mengawasi para tawanan dan
membantu kawan-kawan mereka yang terluka.
Sesaat kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan.
Ketika Empu Nawamula sampai ke tangga pendapa, maka
iapun naik dengan wajah yang semakin tegang.
"Kenapa kau berada disini Singatama" bertanya Empu
Nawamula. Singatama menundukkan kepalanya. Namun kemudian
katanya "Paman, aku persilahkan paman duduk sejenak.
Aku akan mengatakan sesuatu yang barangkali
memerlukan waktu untuk dicernakan"
Empu Nawamula menjadi ragu-ragu. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di pendapa
pula. "Mungkin keteranganku agak panjang paman" berkata
Singatama. Bagaimanapun juga, Singatama adalah kemanakannya.
Apalagi agaknya Singatama tidak akan dapat berbuat
curang karena kekuatannya sudah dihancurkan. Meskipun
demikian Empu Nawamula itu berkata kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat "Biarlah para cantrik itu berjagajaga"
"Aku tidak akan berbuat sesuatu paman" berkata
Singatama yang agaknya mengetahui perasaan Empu
Nawamula. Empu Nawamula tidak menjawab. Tetapi iapun
kemudian duduk di atas tikar yang sudah terhampar,
sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memperingatkan kepada para cantrik untuk berhati-hati.
"Amati para tawanan sebaik-baiknya" berkata Mahisa
Murti. "Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaan
tubuh mereka belum memungkinkan" desis Witantra.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun
bagaimanapun juga, mereka memang tidak boleh dibiarkan
begitu saja tanpa pengamatan.
Dalam pada itu, Empu Nawamula yang duduk di
pendapa bersama Singatama telah bertanya "Apa yang akan
kau katakan?" Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya "Aku menyesal paman. Ternyata bahwa karena
sikapku, maka hal yang tidak perlu itu telah terjadi. Bahkan
mengakibatkan beberapa orang korban jatuh dari kedua
belah pihak" Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Sementara
Singatama berkata selanjutnya "Yang terjadi itu benarbenar
telah menyentuh perasaanku. Seolah-olah hatiku
menjadi terbuka, sehingga aku dapat melihat tembus ke
masa laluku" "Apa yang kau lihat" bertanya Empu Nawamula.
"Kegelapan" jawab Singatama "aku sangat menyesal.
Tetapi apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki
ketelanjuran itu" Empu Nawamula tidak menjawab. Dipandanginya
kemanakannya seolah-olah ingin melihat sampai ke dasar
jantung. Namun dalam pada itu, tidak jauh dari padepokan itu,
Empu Pulung Geni duduk di atas sebuah batu di dalam
bayangan kelam sambil berkata di dalam hatinya "Mudahmudahan
Singatama berhasil mengelabui hati pamannya.
Dengan itu tidak boleh membakar jantungku sendiri. Aku
harus mendapat kesempatan untuk membunuhnya, kapan
saja" Gejolak perasaan Empu Pulung Geni rasa-rasanya tidak
dapat dikendalikan lagi. Tetapi Empu Pulung Geni sadar,
bahwa ia harus mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya.
Dengan memperalat Singatama ia sudah membuat
perhitungan yang mapan, bahwa Empu Nawamula harus
dibunuhnya. "Jangan kau racun dengan cara apapun" pesan Empu
Pulung Geni kepada Singatama "aku sendiri harus dapat
menghunjamkan pedangku ke jantungnya selagi jantungnya
masih berdetak. Dengan demikian, maka tuah luwukku itu
akan bertambah-tambah. Darah seorang yang memiliki
ilmu yang setinggi ilmu Empu Nawamula, akan sangat
berarti bagiku" Dengan pesan itulah, Singatama memasuki
padepokannya yang untuk sementara masih dipimpin oleh
pamannya, Empu Nawamula. Sementara itu, Singatama masih duduk dengan kepala
tunduk Ternyata ia telah memainkan peranannya dengan
baik sekali, sehingga akhirnya Empu Nawamula berkata
"Aku akan melihat Singatama. Apakah yang kau katakan
itu benar-benar memancar dari ketulusan hatimu"
"Aku tidak mempunyai kemampuan untuk
mengatakannya paman" berkata Singatama kemudian
"tetapi aku berharap paman masih mempunyai sisa
kepercayaan kepadaku"
"Baiktah" Empu Nawamula mengangguk-angguk "aku
sekarang datang bersama para cantrik. Kau harus dapat
menyesuaikan dirimu, sehingga kau akan merasa satu
dengan mereka. Jika masih ada tanda-tanda bahwa kau
belum dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu hitammu,
maka aku akan mengambil satu jalan yang paling baik. Jika
kau benar-benar menghendaki dirimu terlepas dari
cengkeraman ilmu terkutuk itu, maka aku akan
menolongmu" Singatama mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak
benar-benar ingin melepaskan diri dari pengaruh gurunya,
namun ia bertanya "Apakah paman dapat berbuat
demikian?" "Tentu" jawab pamannya.
"Caranya" bertanya Singatama.
Empu Nawamula termangu-mangu. Tetapi nampaknya
Singatama benar-benar tertarik kepada rencananya. Karena
itu, maka iapun menjawab "Aku dapat mengosongkan
dirimu. Tetapi dengan demikian kau akan benar-benar
menjadi kosong. Kau kehilangan semua kemampuanmu"
"Dan aku sama sekali menjadi orang yang tidak berarti?"
bertanya Singatama. "Untuk sementara" jawab Empu Nawamula "karena
sesudah itu, semisal sebuah jambangan yang kosong, maka
jambangan itu akan dapat diisi dengan air yang baru.
Menurut keinginan. Yang jernih atau justru yang lebih
kotor" Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya
"Tetapi dengan demikian aku memerlukan waktu yang
lama untuk dapat memulihkan kemampuanku"
Empu Nawamula mengangguk. Jawabnya "Itu adalah
satu ujian bagi kesungguhan hatimu. Kau memang
memerlukan waktu dua atau tiga tahun untuk mempelajari
dasar-dasar olah kanuragan yang baru. Tetapi tata gerak
dasarnya memang tidak akan banyak berbeda. Yang lain
adalah watak dan sifat gerak serta landasan ilmu itu sendiri
sehinngga kemampuan cadangan yang muncul di dalam
diri kita mempunyai warna yang berbeda pula"
Singatama menganguk-angguk. Tetapi ia masih
bertanya, seolah-olah memang memancar dari dasar
jiwanya "Paman. Seandainya aku tetap memilih ilmuku
yang sekarang, tetapi aku sudah berjanji untuk melakukan
hal-hal yang baik, apakah tidak akan sama saja artinya?"
"Memang agak berbeda Singatama" jawab pamannya
"meskipun kau mendasari tingkah lakumu kemudian
dengan maksud baik, tetapi cara yang kau pergunakan
masih saja caramu sekarang, mungkin sekali akan dapat
berakibat sebaliknya. Untuk mencapai satu tujuan yang baik
dengan mempergunakan segala cara, termasuk cara yang
tidak baik, atau mempergunakan ilmu yang mempunyai
watak dan sifat tidak baik, maka akibatnyapun akan dapat
sebaliknya dari yang dikehendaki"
Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya
"Baiklah paman. Aku akan memikirkannya. Tetapi yang
sudah aku mulai adalah satu penyesalan. Mungkin aku
akan rnendapatkan satu cara. yang dapat merubah, bukan
saja sifat dan watakku, tetapi juga sifat dan watak ilmuku"
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Kemudian
katanya "Baiklah. Aku akan melihat, apakah kau berhasil
menaklukkan dirimu sendiri atau apakah lebih sulit
menguasai dirinya sendiri daripada menguasai orang lain"
Empu Nawamula berhenti sejenak, lalu "Para cantrik
sekarang telah kembali ke padepokan ini. Kau akan
mendapatkan kawan-kawanmu kembali dengan sifatmu
yang baru. Aku tidak akan menempatkanmu diantara
mereka dalam ujud lahiriah, karena sebenarnya kaulah yang
memiliki padepokan ini. Tetapi secara batiniah, kau harus
satu dengan para cantrik"
"Paman" berkata Singatama "secara lahiriahpun, aku
akan menyesuaikan diri dan menyatu dengan mereka. Aku
akan tidur bersama mereka dan aku akan bekerja
sebagaimana mereka bekerja"
Empu Nawamula memandangi kemanakannya sejenak.
Lalu katanya "Sukurlah. Baiklah, pergilah kepada mereka
dan nyatakan dirimu sebagaimana kau kehendaki. Mereka
masih berada di halaman untuk mendapatkan kepastian
sikapmu" Empu Nawamulapun kemudian mengajak Singatama
berdiri di tangga pendapa. Dengan lantang ia berbicara
kepada para cantrik "Anak-anakku, para cantrik. Kau tentu
masih menunggu, untuk mengetahui maksud kedatangan
Singatama di padepokan ini. Kalian tentu mencurigainya
dan bahkan mungkin ada yang mendendamnya. Baru saja
kalian bertempur melawan Singatama dan kawankawannya
beberapa saat lalu" Para cantrik itupun saling berpandangan. Mahesa Murti
dan Mahisa Pukat merasa heran juga mendengar kata-kata
Empu Nawamula, sementara Mahisa Agni dan Witantra
mendengarkan keterangan itu dengan berdebar-debar.
Dalam pada itu. Empu Nawamula melanjutkan "Para
cantrik sebaiknya kalian mendengar sendiri, apa yang akan
dikatakan oleh Singatama, sebagaimana dikatakan
kepadaku" Singatama mengerutkan keningnya. Kemudian iapun
berdesis "Biarlah paman saja yang mengatakannya"
"Katakanlah sendiri. Mereka akan mendengar langsung
isi hatimu. Mereka akan menjadi saksi, apakah kau benarbenar
mungucapkan kata-kata sebagaimana kau ucapkan di
dalam hatimu itu" berkata Empu Nawamula
Singatama termangu-mangu. Namun iapun kemudian
berdiri di tangga pendapa itu sarnbil memandangi para
cantrik yang berdiri dalam keremangan malam.
Ternyata ada juga keragu-raguan dihati Singatama. Para
cantrik itu akan menjadi saksi, apakah yang dikatakan itu
benar-benar sebagaimana kata nuraninya. Justru karena
Singatama sendiri menyadari, bahwa yang akan dikatakan
itu justru bertentangan dengan kata hatinya yang
sebenarnya, maka rasa-rasanya setiap pasang mata para
cantrik itu menghujam langsung memandang kearah
jantungnya. Namun dalam pada itu, perlahan-lahan Singatama
berhasil mengatasi gejolak didadanya. Dengan ragu-ragu ia
mulai berkata "Para cantrik. Aku mohon, kalian masih
bersedia mendengarkan kata-kataku"
Tidak seorangpun yang bergerak. Seolah-olah semua
telah membeku. Sementara itu Singatama melanjutkannya "Telah aku
katakan kepada paman Nawamula, bahwa aku berusaha
untuk memandang satu kenyataan yang tidak dapat aku
ingkari lagi" Para cantrik mendengarkan setiap kata yang diucapkan
oleh Singatama dengan jantung yang berdebar-debar. Sesaat
kemudian, maka Singatamapun mulai mengatakan
maksudnya, sebagimana dikatakannya kepada pamannya.
Dengan nada yang meyakinkan, Singatama minta maaf
kepada para cantrik dan berniat untuk hidup diantara
mereka. Ternyata bahwa Singatama bukan saja seorang yang
garang dan bengis serta mementingkan dirinya sendiri.
Iapun mampu untuk membuat dirinya memelas dan beribaiba.
Sehingga dengan demikian, maka ia telah berhasil
menyentuh hati para cantrik padepokan Empu Nawamula.
Namun dalam pada itu. Empu Nawamula Kemudian
berkata "Marilah, kita terima Singatama. Tetapi dengan
sikap yang tidak mutlak. Maksudku, kita akan melihat,
apakah ia benar-benar dapat dipercaya. Baru setelah kita
yakin, maka kita akan menganggapnya sebagai seseorang
yang memang pantas untuk memimpin padepokan ini, yang
memang sebenarnya adalah haknya"
Para cantrik itupun mengangguk-angguk. Sama sekali
tidak terkilas di dalam angan-angan mereka, kepalsuan
yang tersimpan di balik wajah Singatama yang memelas itu,
yang seolah-olah telah menjadi putus asa dan kehilangan
segala harapan untuk meneruskan sikapnya.
Apalagi nampaknya Empu Nawamulapun
mempercayainya, sehingga meskipun masih juga dengan
sikap hati-hati, namun Empu Nawamula telah
menerimanya. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Empu
Nawamula itupun berkata "Baiklah. Kita semuanya
memang letih sekarang ini. Karena itu, kembalilah ke
tempat kalian semula. Kalian tentu masih dapat mengenali
bilik dan barak kalian masing-masing. Kecuali beberapa
orang yang kami anggap sebagai tamu"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Widati menjadi bardebar-debar. Agaknya Singatama
belum melihatnya, karena ia berdiri di belakang ayahnya
yang memang berada di dalam kegelapan. Namun dalam
pada itu, Witantrapun berbisik di telinga Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat "Bukahkan kau pernah berada di padepokan
ini pula?" "Ya paman" jawab Mahisa Murti.
"Kau sudah mempunyai tempat disini" bertanya
Witantra pula. "Sudah paman" jawab Mahisa Murti selanjutnya.
"Bawa kami ke bilik kalian. Biarlah kami tinggal
bersama kalian saja" desis Mahisa Agni yang agaknya
mengerti maksud Witantra.
Namun dalam pada itu. Mahisa Murti bertanya "Tetapi
bagaimana dengan Ki Buyut dan anak gadisnya?"
Witantrapun termangu-mangu. Pertanyaan itu tidak
akan dapat dijawabnya. Tetapi sementara itu Empu
Nawamulapun berkata "Ada beberapa orang tamu yang
kita terima sekarang ini. Diantaranya adalah Ki Buyut
bersama anak gadisnya"
"O" Widati berpegangan baju ayahnya.
"Jangan takut Widati" berkata ayahnya "segalanya
masih akan dapat di atasi. Disini ada dua orang anak muda
yang nampaknya tidak terlalu mementingkan diri sendiri"
Widati mengerutkan keningnya. Ia masih ingat,
bagaimana ayahnya melarangnya bergaul terlalu dekat
dengan anak-anak muda yang belum diketahui lebih jauh
lagi tentang sifat-sifatnya itu.
Singatama yang mendengar keterangan pamannya itu
terkejut. Hanya ada seorang gadis yang diketahuinya berada
di dalam apa yang disebut padepokan kecil itu. Gadis itu
adalah Widati. Jika yang dimaksud gadis anak Ki Buyut itu
adalah Widati, maka hal itu akan dapat merupakan satu
masalah baru baginya, karena la sama sekali tidak
menyangka, bahwa gadis itu akan ikut pula ke padepokan
Empu Nawamula itu. Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Singatama
masih berusaha untuk menguasai dirinya sendiri sebaikbaiknya.
Betapapun jantungnya bergejolak, tetapi ia
berusaha untuk tidak memberikan kesan yang demikian.
Karena itu, ia sama sekali tidak menyahut. Bahkan ia
berkata kepada pamannya tentang dirinya sendiri, seolaholah
tidak menghiraukan bahwa pamannya telah menyebut
seorang gadis "Paman,apakah aku boleh tetap berada di
bilik di ruang dalam, atau aku harus berada di tempat lain?"
"Kau tetap berada disitu" berkata pamannya "biarlah
tamu-tamu kita berada di rumah sebelah"
Singatama mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian
menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia sudah
dapat mengatasi gejolak perasaannya yang paling berat.
Dalam pada itu, para cantrikpun telah pergi ke bilik
masing-masing, setelah mereka menempatkan kuda-kuda
mereka di kandang, yang sebagian adalah kuda-kuda yang
dapat mereka rampas dari kawan-kawan Singatama.
Sementara beberapa orang yang bertugas, telah
menempatkan para tawanan di tempat yang dengan tergesagesa
disiapkan. Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian telah bersiap
untuk mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kedalam
biliknya. Sementara Ki Buyut dan anak gadisnya telah
dipersilahkan untuk berada di rumah sebelah.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tiba-tiba saja telah berpikir lain. Jika kedua pamannya
itupun dapat dianggap tamu dan berada di rumah sebelah,
maka keadaan Widati tentu akan menjadi lebih baik.
Karena itu, maka ketika Empu Nawamula
mempersilahkan mereka juga pergi kerumah sebelah, maka
merekapun tidak membantahnya.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih
tetap dalam sikapnya yang sederhana. Bahkan Empu
Nawamula sendiri belum dapat menjajagi, betapa tinggi
sebenarnya ilmu kedua orang itu. Meskipun ia sudah
mendengar beberapa hal tentang Mahisa Agni dan
Witantra, namun dalam pertempuran yang baru saja terjadi,
kedua orang itu sama sekali tidak menunjukkan satu
kelebihan. Namun di dalam hati Empu Nawamula itupun berkata
"Juga Mahendra telah membaurkan diri dengan para
cantrik yang para prajurit kebanyakan, sehingga aku tidak
segera mengenalinya"
Bahkan dalam pada itu, Singatama memang agak kurang
memperhatikan kehadiran kedua orang tamu itu. Menurut
anggapan Singatama, maka keduanya dihormati, karena
usia mereka yang tua, sebagaimana Ki Buyut yang hadir
bersama anaknya. Meskipun Singatamapun kemudian
mengetahui, bahkan kedua orang tua itu adalah paman
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Bahwa pamannya telah dapat menerimanya untuk
tinggal bersamanya di padepokan itu, maka Singatama
merasa tugasnya yang pertama telah dapat diselesaikannya
dengan sebaik-baiknya. Sedang tugasnya yang berikut
adalah mencari kesempatan untuk mempersilahkan
gurunya dengan diam-diam memasuki padepokan itu dan
membunuh dengan tangannya sendiri Empu Nawamula.
Agaknya Empu Pulung Geni yang mendendam itu tidak
lagi memilih cara yang baik dan jantan untuk menghadapi
Empu Nawamula. Sementara itu, Empu Pulung Geni masih saja
berkeliaran disekitar padepokan itu. Ia harus dapat
meyakinkan diri, bahwa Singatama telah dapat diterima
kembali oleh pamannya, dan bukan sebaliknya, bahwa
Singatama mendapat bencana.
Satu dua pengikutnya yang lepas dari tangan Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan para cantrik telah
diperintahkannya untuk kembali ke padepokan dan
mempersiapkan sisa orang yang ada untuk kerja berikutnya
yang akan diberitahukan kemudian.
Ternyata bahwa di hari pertama, Singatama belum
berhasil memberikan penjelasan kepada gurunya, karena ia
masih merasa sulit untuk keluar dari padepokan. Tetapi ia
sudah memberikan satu isyarat sebagaimana telah
disepakati. Singatama telah meletakkan tiga buah batu disisi
kanan regol, berjajar. Ketika pada malam hari yang gelap. Empu Nawamula
lewat di jalan yang menjelujur di depan regol padepokan itu
dengan sangat hati-hati, maka ia melihat isyarat itu.
Meskipun ia belum dapat bertemu dan berbicara dengan
Singatama, namun ia sudah dapat mengetahui bahwa
Singatama telah berhasil.
"Sampai kapan aku harus menunggu" geram Empu Pulung
Geni. Tetapi iapun menyadari, bahwa Singatama harus
berhati-hati. Anak muda itu harus mendapatkan
kesempatan yang sebaik-baiknya untuk melakukan
kewajiban yang berat. Bukan saja di dalam langkah-langkah
kewadagan untuk mengatur Empu Pulung Geni dapat
memasuki bilik Empu Nawamula di malam hari, kemudian
membangunkannya tetapi tidak memberinya kesempatan
untuk melawan, sehingga dengan demikian Empu
Nawamula dapat dibunuh dengan menyadari sepenuhnya
bahwa pembunuhnya adalah Empu Pulung Geni. Tetapi
Singatama harus berjuang untuk menindas perasaan
segannya terhadap orang yang bernama Empu Nawamula
itu, karena orang itu adalah pamannya sendiri.
"Aku yakin, Singatama akan dapat melakukannya"
berkata Empu Pulung Geni kepada diri sendiri "pekerjaan
ini sebenarnya bukan satu kewajiban yang langsung
berkaitan dengan kewajibanku. Tetapi aku harus
melakukannya. Harga diriku telah dihancurkan oleh Empu
Nawamula dan cantrik-cantriknya"
Karena itulah, maka ia telah berhasil mengekang diri.
Menunggu sampai saatnya Singatama memberikan jalan
baginya untuk dengan diam-diam memasuki bilik Empu
Nawamula. Dalam pada itu, Widati benar-benar merasa tersiksa
untuk tinggal di padepokan itu. Tetapi sebagaimana
dikatakan oleh ayahnya, kembali ke rumahnyapun sangat
berbahaya. Mungkin Singatama benar-benar belum
mengetahui rumah itu. Tetapi jika dugaan itu salah dan
Singatama datang kepadanya, maka itu berarti malapetaka.
Karena itu. maka untuk beberapa saat lamanya. Widati
harus menekan perasaannya, karena ia masih harus tinggal
di padepokan itu. Sebenarnyalah, kehadiran Widati di padepokan itu telah
menyiksa Singatama pula. Hampir saja ia tidak dapat
menahan diri. Namun ketika ia menyadari, bahwa ia
mendapat tugas dari gurunya dan sekaligus merasa bahwa
dirinya terlalu kecil di hadapan Empu Nawamula. maka
iapun selalu berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya.
Namun pada saat-saat tertentu. Singatama berusaha
untuk berjalan lewat halaman depan rumah yang
diperuntukkan bagi Widati. dengan harapan untuk dapat
melihatnya barang sekilas.
Tetapi ternyata bahwa Widati tidak pernah dijumpai berada
di serambi depan maupun serambi samping. Sehingga
dengan demikian, maka Singatama selalu menjadi kecewa.
Namun bagaimanapun juga. Singatama berusaha untuk
menahan perasaan kecewanya.
Dalam pada itu, dengan dorongan keinginan yang kuat
untuk memenuhi perintah gurunya. Singatama selalu
berusaha untuk bersikap baik. Tidak pernah ia
memperlakukan para cantrik dengan kasar. Bahkan ia telah
berada dalam satu lingkungan sikap dengan para cantrik.
Singatama bekerja sebagaimana para cantrik bekerja.
Dengan demikian, muka kepercayaan terhadap
Singatamapun semakin lama menjadi semakin besar.
Empu Nawamula sendiri telah memberinya tugas yang
semakin besar diantara para cantrik Apalagi Empu
Nawamula masih tetap menganggap, bahwa Singatama
memang berhak atas padepokan itu apabila saatnya
dianggap tepat. Dalam keadaan yang demikian itu. Ki Buyut yang
melihat anak gadisnya selalu diliputi oleh kemurungan dan
kecemasan, pada satu malam telah berbincang dengan
Mahisa Agni dan Witantra. apakah yang sebaiknya
dilakukannya. "Apakah aku harus membawanya pulang?" bertanya Ki
Buyut. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dengan ragu ia menjawab "Bagaimana pendapat Ki Buyut
tentang Singatama?" "Aku jarang menemuinya. Tetapi menilik sikap Empu
Nawamula. agaknya ada kemajuan berpikir pada anak itu.
Agaknya ia benar-benar ingin memperbaiki hidupnya"
jawab Ki Buyut. "Aku juga menduga demikian" desis Witantra "agaknya
ia benar-benar telah menyesal"
"Bagaimana pendapat Ki Sanak, jika aku mengajak
anakku pulang?" bertanya Ki Buyut aku mempunyai
beberapa pertimbangan. Pertama. Singatama agaknya
belum pernah melihat rumahku. Kedua, ia sudah
menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya
sebelumnya" "Dalam waktu dekat ini?" bertanya Mahisa Agni.
"Bagaimana menurut pendapat Ki Sanak?" bertanya Ki
Buyut. Mahisa Agni termangu-mangu. Namun kemudian
katanya. Menurut penglihatanku, memang terdapat
perubahan pada anak muda itu. Tetapi aku ingin
menyarankan, agar Ki Buyut masih tetap berada di
padepokan ini untuk beberapa hari. Jika kita sudah yakin
benar, maka kita akan dapat menentukan sikap dengan
mantap dan dengan hati yang tenang"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kecemasan
memang masih ada terselip di hatinya. Persoalan Singatama
bukan persoalan yang dapat di tentukan oleh sikapnya satu
dua hari saja. Meskipun nampaknya anak muda itu sudah
menjadi jinak, tetapi pengaruh perasaan seorang anak muda
terhadap seorang gadis kadang-kadang membuat seseorang
tidak dapat dimengerti. Bahkan kadang-kadang seseorang
telah melakukan sesuatu yang menurut pertimbangan nalar
tidak akan pernah dilakukan.
Karena itu maka katanya "Baiklah Ki Sanak. Aku akan
tinggal di padepokan ini beberapa hari lagi. Meskipun aku
sadar, bahwa orang-orang di Kabuyutanku tentu sedang
menunggu aku, tetapi kecemasan itu agaknya telah
mencegahku untuk tergesa-gesa kembali ke Kabuyutanku,
betapapun Kabuyutanku menunggu kedatanganku"
Mahisa Agni dan Witantra menyadari betapa beratnya
hati orang tua itu. Ia merasa bertanggung jawab atas satu
wilayah yang ditinggalkannya. Tetapi ia tidak ingin
membiarkan anaknya menemui kesulitan yang parah.
Dalam pada itu. selagi Ki Buyut, Mahisa Agni dan
Witantra sedang berbincang, ternyata sebuah bayangan
telah melintas dengan cepat di kebun belakang padepokan
itu. Ketika bayangan itu mencapai dinding padepokan,
maka dengan ringannya bayangan itu meloncat naik dan
kemudian turun di bagian luar dari padepokan.
Demikian bayangan itu hilang dibalik dinding, maka
telah terdengar suara burung hantu berkumandang
memecah kesepian malam. Namun suara burung itu
bagaikan hanyut oleh angin malam yang sejuk, hilang tanpa
gema. Yang kemudian terdengar adalah desir angin itu
sendiri. Di luar dinding, bayangan itu tercenung membeku.
Namun kemudian bayangan itu melintas diantara
gerumbul-gerumbul perdu di luar dinding padepokan.
Dengan pasti bayangan itu menuju ke hutan yang tidak
terlalu jauh dari padepokan itu. diantarai oleh sebuah bulak
yang agak luas disambung dengan sebidang padang perdu
yang tidak terlalu panjang. Demikian bayangan itu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginjak padang perdu, maka sekali lagi mengumandang
suara burung hantu dikesenyapan malam.
Ternyata isyarat itu tidak sia-sia. Sejenak kemudian
terdengar suara yang serupa. Suara burung hantu dari
pinggir hutan yang tidak terlampau lebat itu. Arah suara
itulah yang Kemudian dituju oleh bayangan yang keluar
dari padepokan itu. "Aku kau biarkan terlalu lama menunggu disini" berkata
orang yang menirukan suara burung hantu di pinggir hutan
itu. Lalu "Hampir saja aku kehilangan kesabaran dan
bertindak sendiri. Hari-hari rasanya terlalu panjang.
Melampaui panjangnya tahun"
"Aku tidak dapat berbuat lebih cepat Guru" berkata
orang yang datang itu "Aku terikat oleh satu keadaan. Jika
aku tergesa-gesa, mungkin aku justru akan mengalami
kesulitan. Karena itu aku memilih terlambat, tetapi
meyakinkan, daripada cepat tetapi gagal"
Orang yang berada di pinggir hutan itu menganggukangguk.
Katanya kemudian "Baiklah Singatama. Katakan,
apa yang telah terjadi di padepokan itu. Apakah kau
melihat satu kemungkinan untuk melakukan rencanaku
semula" Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku masih belum dapat mengatakan dengan pasti
guru. Tetapi aku akan mencoba untuk berbuat sebaikbaiknya"
"Apakah ada kesulitan yang mungkin tidak dapat
teratasi" bertanya gurunya.
"Guru" berkata Singatama "kesulitan yang utama
adalahh datang dari diriku sendiri"
"Aku mengerti Singatama. Empu Nawamula adalah
pamanmu" sahut Empu Pulung Geni.
"Guru. Tetapi ada kesulitan lain" jawab Singatama. Lalu
"di padepokan itu tinggal seorang gadis yang telah
membuat hatiku selama ini gelisah. Gadis yang aku cari
selama ini" Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Usahakan untuk mengekang perasaanmu. Kau
harus dapat membedakan persoalan yang paling besar yang
kita hadapi sekarang. Meskipun jika kita dapal
menyelesaikan yang besar itu. yang kecilpun akan
terlesaikan juga" "Maksud guru" bertanya Singatama.
"Jika Nawamula telah dapat dilenyapkan, maka
padepokan itu akan segera, kau kuasai. Tidak seorangpun,
yang akan berani menentangmu. Ayah gadis itupun tidak"
"Bagaimana dengan dua orang anak muda yang ada di
padepokan itu guru" bertanya Singatama
"Jangan risau. Aku akan membunuh mereka, demikian
Nawamula terbunuh" jawab Empu Pulung Geni.
"Dan dua orang pamannya yang kini tinggal di
padepokan itu pula" bertanya Singatama lebih lanjut.
"Apakah mereka memiliki kelebihan" Empu Pulung
Geni justru bertanya. Singatama merenung sejenak. Kemudian sambil
menggeleng ia berkata "Menurul penglihatanku, tidak ada
lebihnya pada kedua orang itu. Ketika kita bertempur di
luar apa yang disebut padepokan itu. kedua orang itu sama
sekali tidak menunjukkan kelebihan apapun juga meskipun
mereka ikut meloncat keluar dan bertempur diantara para
cantrik" Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik.
Aku akan membunuh Empu Nawamula. Kemudian orangorang
yang tidak berarti itu akan dengan mudah aku bantai
pula. Tanpa mereka, apakah kesulitanmu untuk mengambil
gadis itu. Sementara itu. kita akan dapat melakukan satu
tugas yang memang dibebankan kepada kita"
Singatama mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata "Bukankah tugas itu tidak terlalu tergesa-gesa?"
"Memang tidak. Tugas ini termasuk satu tugas untuk
satu tujuan yang jauh. Bukan untuk tujuan esok seperti
keinginanmu mengambil gadis itu" jawab Empu Pulung
Geni. "Karena itu, kita dapat menunggu. Tugas itu akan
kita lakukan kemudian"
"Bukankah hutan itu tidak akan berubah. Bukit itu juga
tidak akan lari. Sementara hujan baru akan turun di musim
hujan mendatang" "Aku mengerti Singatama jawab Empu Pulung Geni
"tetapi jika kerja itu masih juga belum dimulai, maka kita
masih belum dapat mengatakan, bahwa kita telah
melaksanakan perintah itu"
Singatama menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Empu Pulung Geni berkata "Pemerintahan
Ranggawuni nampaknya terlalu kuat. Tetapi kita akan
dapat merintis sejak sekarang untuk memperlemah
kedudukannya. Kita tidak akan dapat mengimbangi
kekuatan prajuritnya yang tersebar. Tetapi kita dapat
memperlemah susunan dan kesejahteraan masarakatnya"
Singatama mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berguman "Satu kerja yang baru akan nampak hasilnya
setelah satu keturunan lewat"
"Mungkin aku tidak akan dapat melihat hasilnya"
berkata Empu Pulung Geni "tetapi kau, anak cucuku, akan
melihat, betapa Kediri dapat berdiri lagi dengan megahnya.
Tidak lagi sebagai satu negara yang takluk di bawah
pemerintahan apa yang sekarang disebut Singasari, satu
perkembangan dari Pakuwon kecil yang disebut Tumapel"
Singatama mendengarkan dengan seksama ketika
gurunya melanjutkan "Jika hutan-hutan di lereng gunung
dan perbukitan yang menghadap Kotaraja Singasari itu
ditebang sampai gundul, maka Singasari akan ditimpa
bencana. Bukan hanya sekali dua kali. Tetapi disetiap
musim hujan. Banjir bandang dan kerusakan tanaman di
sawah, di pategalan dan di kebun-kebun. Bendungan akan
pecah dan jalan-jalan akan terputus. Dengan demikian,
maka Singasari akan selalu terganggu oleh amukan alam
yang tidak terkendali. Sementara itu, Kediri dapat bersiapsiap
untuk menentukan satu saat bahwa Singasari akan
dapat dihancurkan. Jika tidak pada masa pemerintahan
sekarang, tentu paria masa pemerintahan berikutnya"
Singatama mengangguk-angguk. Tetapi saat itu ia tidak
begitu tertarik kepada beban gurunya itu. Ia lebih
memikirkan hari esok bagi dirinya sendiri. Jika gadis itu
dapat segera diambilnya, maka ia akan merasa bahwa
hidupnya menjadi lengkap.
Karena itu, maka katanya "Jika demikian guru. Yang
manakah yang akan guru lakukan lebih dahulu. Membunuh
paman Nawamula dan mengambil gadis itu, atau bersiapsiap
dengan pekerjaan guru yang sebenarnya dapat
dilakukan dalam jangka panjang"
"Sudah aku katakan Singatama, aku akan membunuh
Empu Nawamula itu dahulu. Sementara itu, gadis itu akan
dapat kau ambil pula dari padepokan itu" jawab gurunya.
"Baiklah guru" sahut Singatama "Aku akan mencari
kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu tidak terlalu mudah.
Kadang kadang aku tidak tahu, dimanakah paman tidur.
Mungkin di biliknya. Mungkin di sanggar, tetapi mungkin
di perapiannya bersama dengan murid-murid khususnya"
"Kau harus dapat menunjukkan dengan tapat. Pada
suatu saat jika kesempatan itu datang kau harus memberi
isyarat. Tetapi kau harus berusaha, agar jangan terlalu
lama. Pekerjaanku yang kemudian sudah menunggu.
Pekerjaaan besar bagi masa mendatang itu. Sehingga
dengan demikian, maka sebenarnya waktu kita tidak terlalu
panjang, berkata gurunya kemudian.
Singatama mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan
berusaha. Tetapi sudah barang tentu bukan sekedar
menunjukkan dimana paman tidur. Seandainya pada saat
itu guru berusaha untuk memasuki biliknya atau
sanggarnya atau perapian, sementara paman Nawamula
dapat melihat kehadiran guru, bukankah akibatnya justru
akan mempersulit kedudukan guru"
"Aku mengerti dan aku tidak akan ingkar, bahwa aku
tidak akan dapat membunuh Empu Nawamula jika ia
sempat melawan. Tetapi kau tentu mempunyai akal.
Mungkin kau akan dapat membuka pintu biliknya atau
sanggarnya, sehingga mempermudah pekerjaanku. Aku
harus berdiri disisinya. pada saat ia masih tidur. Aku akan
membangunkannya dengan ujung pedangku di depan
wajahnya, sehingga ia tidak mendapat kesempatan
melawan, tetapi ia mengerti bahwa akulah yang datang
untuk membalas dendam" geram Empu Pulung Geni.
Pekerjaan itu memang sulit. Tetapi Singatama yang
sudah berhasil menyusup di lingkungan padepokan itu tentu
akan mendapatkan satu cara untuk melakukannya. Apalagi
menurut gurunya, sepeninggal Empu Nawamula, maka
tidak akan ada lagi orang yang berarti, yang akan dapat
mencegahnya mengambil gadis itu. Dua anak muda yang
mengalahkannya itupun tentu tidak akan berarti apa-apa
bagi gurunya. Murid-murid Empu Nawamulapun tidak
akan berbahaya. Tetapi untuk mendapat kesempatan
memberikan jalan kepada gurunya memasuki bilik atau
sanggar pamannya itu adalah pekerjaan yang sangat berat
meskipun ia bertekad untuk melakukannya.
Untuk beberapa saat lamanya, Singatama masih berbincang
dengan gurunya. Namun kemudian katanya "Baiklah guru.
Aku akan kembali ke padepokan. Mudah-mudahan dalam
waktu dekat aku dapat melakukannya. Sebenarnya akupun
sudah terlalu lama menunggu satu kesempatan untuk
mengambil gadis itu. Apalagi aku tahu, bahwa gadis itu
tidak akan terlalu lama berada di padepokan. Pada suatu
saat gadis itu tentu akan dibawa pulang oleh ayahnya"
"Bukankah itu akan lebih baik" berkata gurunya "dengan
sangat mudah kau akan dapat mengambilnya"
"Tetapi aku belum pernah tahu, dimanakah rumahnya"
jawab Singatama "justru pada saat para cantrik aku
perintahkan untuk mengambil gadis itu atau untuk
mengetahui tempatnya, mereka telah melakukan satu
perbuatan yang terkutuk"
"Sudahlah" berkata gurunya "jangan mengumpat. Kita
semuanya telah melakukan satu kesalahan sehingga kita
terjebak ke dalam satu kesulitan. Hampir semua orang kita
tertawan. Tetapi justru karena itu, aku berharap kau akan
dapat membantuku melepaskan dendam yang membara di
jantung ini" Singatama kemudian minta diri kepada gurunya yang
akan tetap menunggu sampat kesempatan itu datang.
"Tetapi guru jangan berada terlalu jauh dari padepokan
Ku" minta Singatama.
"Apakah setiap malam aku harus melakukannya"
Mengintai kesempatan yang tidak pasti datangnya"
bertanya Empu Pulung Geni.
"Tetapi jika kesempatan itu datang, dan guru tidak ada
di tempat, maka kita harus menunggu lagi untuk satu
kesempatan yang lain" berkata Singatama.
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku
akan berada di dekat padepokanmu. Tetapi kau harus
berbuat lebih cepat"
Singatama menyanggupinya untuk berusaha. Karena itu,
maka sejenak kemudian, anak muda itupun telah
meninggalkan gurunya, kembali ke padepokannya
Demikian Singatama sampai di luar dinding, maka iapun
berusaha untuk berbuat dengan sangat berhati-hati. Ketika
ia yakin, bahwa tidak ada seseorang yang akan dapat
melihatnya, maka iapun telah meloncat dinding dibawah
bayangan sebatang pohon yang rimbun. Kemudian dengan
sangat hati-hati ia memasuki halaman belakang
padepokannya. Sejenak kemudian, Singatama sudah berada di dalam
biliknya. Tidak seorangpun yang mengetahuinya bahwa ia
telah meninggalkan padepokan itu untuk menemui gurunya
dan berbicara tdhtang satu usaha untuk membunuh Empu
Nawamula yang menganggap bahwa kemanakannya itu
sudah menemukan kembali jalan menuju ke kehidupan
yang sewajarnya, meskipun ia masih belum menyatakan
sikapnya yang pasti tentang ilmu hitamnya yang harus
ditanggalkannya. Namun dalam pada itu pertemuannya dengan gurunya,
telah mendorongnya untuk bekerja lebih giat. Segala usaha
harus dilakukannya. Bukan saja karena kesetiaannya
kepada gurunya, tetapi juga didorong oleh keinginannya
untuk segera menguasai gadis yang bernama Widati itu.
yang tidak diduganya, akan berada pula di padepokannya.
Malam berikutnya, Singatama sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk mengetahui dimana gurunya
berada. Yang dilihatnya adalah orang-orang tua, paman
kedua orang anak muda yang paling dibencinya itu
berbincang di rumah sebelah bersama Ki Buyut, ayah
Widati. Karena itu. malam itu Singatama sama sekali tidak
dapat berbuat apa-apa. Namun di malam berikutnya, ia mendapat akal. Ketika
senja turun, maka ia telah berkata kepada pamannya
"Paman, apakah paman mempunyai waktu barang
beberapa saat malam nanti?"
"Untuk apa?" bertanya Empu Nawamula.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan" jawab Singatama
"tidak tentang apa-apa. Tetapi tentang diriku sendiri"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku sekarang sudah tidak mempunyai pekerjaan apapun
juga Singatama Jika kau ingin mengatakan sesuatu, marilah
kita duduk di penclapa. Singatama mengerut kau keningnya. Jawabnya
"Bagaimana jika malam nanti paman. Mungkin aku akan
dapat mengatakan pengalamanku sendiri dengan leluasa.
Tidak diganggu oleh hilir mudiknya para cantrik yang
menyalakan lampu" Empu Nawamula berpikir sejenak. Kemudian katanya
"Baiklah. Aku akan menyediakan waktu bagimu"
"Terima kasih paman. Nanti tengah malam aku mohon
paman bersedia mengatakan sesuatu tentang diriku


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagaimana paman kehendaki" berkata Singatama.
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun mengangguk-angguk.
Ketika Singatama kemudian meninggalkannya, maka
Empu Nawamulapun berdesis "Apakah anak itu benarbenar
ingin melepaskan ilmu hitamnya?"
Namun dalam pada itu, ternyata Singatama telah
mempunyai rencananya sendiri. Karena itu, ketika malam
menjadi semakin pekat, maka iapun dengan mengendapendap
telah pergi ke kebun belakang. Dengan hati-hati
sekali, iapun kemudian meloncat keluar padepokan.
Sejenak ia menunggu. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada
seorangpun didekatnya. maka terdengar satu isyarat dari
mulutnya. Suara burung hantu. Beberapa saat Singatama
nrenunggu. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia
mendengar suara yang sama dari arah Kegelapan.
Sejenak ia masih memperhatikan suara itu. Namun
kemudian ternyata bahwa suara isyarat itu tentu suara
gurunya. Karena itu. maka sekali lagi ia menyahut dengan
suara burung hantu yang ngelangut.
Sebenarnyalah, seperti yang diharapkannya, ternyata
gurunya telah mendekatinya. Dengan suara rendah hampir
berbisik ia bertanya "Apakah kesempatan itu sudah kau
dapat sekarang?" "Guru" berkata Singatama "sulit untuk mengetahui
dimana paman tidur. Seandainya aku mengetahuinya,
maka untuk dapat memasuki tempat itupun agaknya terlalu
sulit pula" "Lalu. apa maksudnya memanggil aku sekarang"
bertanya gurunya. "Aku mempunyai satu cara. jika guru sependapat" desis
Singatama. "Cara bagaimana" bertanya gurunya pula.
"Aku telah minta paman untuk berbicara berdua saja.
Aku akan minta paman untuk berbicara di tempat yang
sepi. Apakah kesempatan itu sudah cukup" bertanya
Singatama. Empu Pulung Geni termangu-mangu. Namun kemudian
ia berkata Agaknya kau belum mengerti. Bukankah dengan
demikian aku masih harus berkelahi melawan Empu
Nawamula" Apalagi di padepokannya. Dalam waktu
sekejap, maka semua orang di dalam padepokan itu telah
mengepungku" "Bukan begitu guru" berkata Singatama "selagi paman
berbicara dengan sungguh-sungguh, guru dapat
merunduknya. Dengan demikian, maka guru akan
mendapat kesempatan untuk menguasainya lebih dahulu
dan kemudian membunuhnya, setelah Empu Nawamula
menyadari dengan siapa ia berhadapan"
Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya
"Tetapi apakah kau benar-benar akan mendapat tempat
yang menyendiri?" "Aku akan mohon kepada paman Nawamula" berkata
Singatama " tetapi tidak disanggar. -
"Jika terpaksa disanggar" bertanya Empu Pulung Geni.
"Tidak apa-apa guru. Aku akan berusaha agar pintu
sanggar tidak diselarak dari dalam. Jika Empu Nawamula
menyadari, seseorang memasuki sanggar, maka aku akan
lebih dahulu mengancamnya agar paman tidak bergerak.
Tetapi aku mohon paman-cepat mengambil sikap sebelum
perutku dibelah oleh paman Nawamula"
Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Pekerjaanku masih cukup banyak. Aku masih
harus mencari tempat itu. Sementara itu. para cantrik
berkeliaran di halaman. "Tidak guru" jawab Singatama "di malam hari hanya
tiga tiga orang cantrik yang bertugas. Itupun berada di
halaman depan menqawasi regol. Sementara itu, guru tentu
akan mendengar suaraku berbincang dengan paman
Nawamula. sebagai isyarat dimana kami berada"
Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Aku akan mencoba. Tetapi kau harus cukup
berhati-hati" Singatama mengangguk-angguk. Iapun menyadari
bahwa pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah. Ia
harus berbuat dengan hati-hati dan kesiagaan yang tinggi,
sehingga bukan justru dirinyalah yang akan menjadi
korban. Dalam pada itu, maka Singatamapun berkata "Sudahlah
guru. Aku akan kembali. Aku persilahkan guru memasuki
halaman dan bersembunyi di tempat yang paling baik
menurut pendapat guru"
"Aku belum mengetahui tempat-tempat yang terbaik untuk
bersembunyi di kebun padepokanmu, karena aku belum
pernah mengamati halaman dan kebun padepokanmu
dengan baik" jawab Empu Pulung Geni.
"Nanti, guru akan menemukannya. Pada tepat tengah
malam, aku mahon paman Nawamula untuk berbicara
berdua saja. saat itu tiba menurut pengamatan paman atas
bintang-bintang, biarlah paman mulai mencari, dimana aku
dan paman berbicara berkata Singatama.
Empu Puiung Geni tidak menjawab. Iapun kemudian
meninggalkan gurunya dan meloncat memasuki kebun
belakang. Namun dalam pada itu, gurunyapun telah
mengikutinya pula. Karena tengah malam masih beberapa saat lagi,
Singatama sempat kembali ke biliknya tanpa diketahui oleh
orang lain. Karena itu, maka iapun merasa bahwa
rencananya tentu akan dapat dilakukannya. Tengah malam
ia akan memanggil pamannya. Jika pamannya tidak
berkeberatan, ia akan mengajak pamannya duduk di pinggir
belumbang. "Para cantrik tentu akan terkejut melihat paman
Nawamula esok pagi terapung di belumbang itu menjadi
mangsa ikan. Tetapi ikan-ikan itupun akan mati, karena
racun luwuk guru yang menyentuh paman Nawamula
terlalu keras, sehingga ikan-ikan yang menggigit kulit
pamanpun akan mati pula" berkata Singatama di dalam
hatinya. Demikianlah, rasa-rasanya malam merambat terlalu
lambat. Singatama merasa terlalu lama menunggu. Ketika
ia keluar dari biliknya dan pergi ke pendapa, maka
dilihatnya seorang cantrik yang duduk terkantuk-kantuk,
sementara dua orang yang lain sedang berjalan memutari
halaman padepokan. Perlahan-lahan ia melangkah
menuruni tangga pendapa. Dipandanginya bintang yang
berhamburan di langit. "Hampir tengah malam" ia berdesis. Namun kemudian
"tetapi paman dimana?"
Perlahan-lahan Singatama kembali masuk ke ruang
dalam lewat pringgitan. Dilihatnya pintu butulan di bagian
samping ruang dalam tertutup rapat. Singatama sendirilah
yang menyelaraknya setelah ia memasuki ruang itu dengan
diam-diam. Namun ternyata bahwa Singatama tidak perlu gelisah
terlalu lama. Sejenak kemudian ia mendengar suara Empu
Nawamula berbicara dengan cantrik yang sedang terkantukkantuk
itu. "Dua orang kawanku sedang nganglang Empu" lapor
cantrik itu. "Jangan lengah" berkata Empu Nawamula "meskipun
nampaknya tidak akan terjadi sesuatu, tetapi kau harus
tetap berhati-hati" "Ya Empu" jawab cantrik itu sambil berusaha membuka
matanya lebar-lebar. Ketika Empu Nawamula memasuki ruang dalam,
Singatama sudah menunggunya. Ia duduk di sebuah amben
diruang tengah. "O" sapa Empu Nawamula "apakah kau bermaksud
berbicara sekarang?"
"Ya paman. Aku rasa, hari telah tengah malam" jawab
Singatama. "Baiklah. Kita dapat duduk disini tanpa diganggu oleh
siapapun juga" berkata Empu Nawamula.
Tetapi Singatama mengerutkan keningnya.
Dipandanginya pintu pringgitan, seolah-olah ia ingin
mengatakan bahwa di pendapa ada seorang cantrik
padepokan. Tetapi Empu Nawamula yang seolah-olah mengetahui
apa yang ingin dikatakannya itu justru berkata "Cantrik itu
tidak akan tahu, apa yang kita perbincangkan disini. Karena
itu. Katakanlah" Namun ternyata Singatama menggelengkan kepalanya.
Katanya "Paman, ada satu hal yang sangat penting yang
ingin akan aku katakan. Satu rahasia yang sangat gawat
tentang ilmu yang selama ini aku miliki. Yang menurut
paman, ilmu itu harus dihapuskan. Hal itulah yang ingin
aku perbincangkan dengan paman" berkata Singatama.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun bertanya "Menurut pendapatmu,
dimanakah sebaiknya kita berbicara agar tidak akan
terganggu?" "Di kebun, paman" jawab Singatama "aku akan dapat
memperagakan beberapa tata gerak yang mungkin perlu
untuk memperjelas keteranganku"
Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun ia
masih bertanya "Di halaman belakang, di mana?"
"Bagaimana jika dipinggir belumbang" bertanya
Singatama. Empu Nawamula berpikir sejenak. Tetapi ia masih
bertanya "Kenapa di Pinggir belumbang?"
"Tidak apa-apa paman. Tetapi suasananya akan
menyegarkan" jawab Singatama kemudian. Lalu "Dengan
demikian, pikiranku akan menjadi bertambah bening.
Sehingga dengan demikian, apa yang ingin aku katakan
akan dapat aku katakan dengan gamblang, sehingga tidak
terjadi salah paham"
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun
iapun kemudian mengangguk sambil menjawab "Baiklah.
Kita akan pergi ke belumbang. Mudah-mudahan kolam itu
akan benar-benar dapat memberikan kesegaran baru bagi
kita" Keduanyapun kemudian pergi ke belakang seperti yang
diminta oleh Singatama. Dengan demikian, maka
Singatama mengharap bahwa gurunya akan sempat
merunduk Empu Nawamula. Dengan berlindung pada
dedaunan dan rumpun-rumpun perdu, Empu Pulung Geni
akan dapat mendekati pamannya yang sama sekali tidak
menduga, bahwa seseorang akan merunduknya. Apalagi
orang itu adalah Empu Pulung Geni. Seorang yang
memiliki nama menggetarkan.
Tetapi rupa-rupanya Empu Pulung Geni telah
kehilangan harga dirinya karena dendam yang membara di
jantungnya. Ia lebih senang membunuh Empu Nawamula
untuk melepaskan dendamnya daripada mempertahankan
harga dirinya. Dalam pada itu, Singatamapun telah
membayangkannya, bahwa gurunya akan meloncat dari
balik sebuah gerumbul yang rimbun sambil mengacukan
pedangnya. Sementara Empu Nawamula terkejut dan
berpaling gurunya akan tertawa sambil berkata "Aku Empu
Pulung Geni yang sedang dibakar oleh api dendam.
Sadarilah, bahwa akulah yang telah berbasil
membunuhmu" Empu Nawamula tidak akan sempat berbuat apa-apa.
Pedang gurunya akan segera menghunjam ketubuh Empu
Nawamula, sehingga pamannya itu akan mati. Singatama
menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, keduanya telah
berada ditepi kolam. "Kita duduk ditepi kolam paman" berkata Singatama.
Empu Nawamula merenung sejenak. Namun kemudian
iapun melangkah dekat ke tepi kolam dan duduk
membelakangi air yang bening yang bergetar oleh dedaunan
yang menguning yang runtuh dari dahannya.
"Kita duduk disini paman" minta Singatama "kenapa
paman duduk terlalu menepi?"
Tetapi Empu Nawamula menjawab "Wajah air itu terasa
sangat menyegarkan. Aku akan duduk disini. Kemarilah
Singatama. Mendekatlah"
Singatama menjadi berdebar-debar. Pamannya duduk
membelakangi air, sehingga sulit bagi Empu Pulung Geni
untuk merunduknya dari belakang.
"Gila" geram Singatama "apakah paman menyadari
niatku untuk menjebaknya?"
Tetapi pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri "Tentu
tidak. Hanya satu kebetulan. Tetapi kebetulan yang pantas
diumpati" "Duduklah Singatama" pamannya kemudian
mempersiapkan "kita dapat berbincang disini tanpa
diganggu orang lain. Kau dapat mengatakan apa saja yang
ingin kau katakan tanpa didengar orang lain pula"
Namun dalam pada itu kegelisahan telah mencengkam
jantung Singatama. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan
untuk merubah sikap duduk pamannya yang nampaknya
memang sudah mapan sekali.
Karena itu, maka perlahan-lahan Singatamapun duduk
dihadapan pamannya. Dengan jantung yang berdebaran ia
berusaha untuk mengatasi kesulitannya.
"Guru tentu mempunyai perhitungan sendiri" berkata
Singatama di dalam hatinya "jika ia merasa sulit untuk
melakukannya sekarang, biarlah ia mengambil kesempatan
yang lain. Aku akan berbicara dengan guru esok"
Dengan demikian maka Singatamapun harus
menyesuaikan diri. Meskipun rasa-rasanya ia sedang duduk
di atas bara, tetapi ia bertahan untuk tetap duduk.
"Singatama" berkata pamannya "apa yang ingin kau
katakan" Katakanlah, agar persoalan ini cepat selesai"
"Paman" berkata Singatama "bukankah paman pernah
berkata bahwa mungkin sekali ilmuku dapat dilepaskan
sehingga aku akan menjadi kosong dan bersih"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya "Benar Singatama. Ilmu hitammu memang dapat
ditanggalkan. Kau akan menjadi bersih. Dengan demikian
maka kau akan siap menempuh satu kehidupan baru"
Singatama mengangguk-angguk. Namun ia menjadi
semakin gelisah. Apa yang akan di katakannya dan akan
dilakukannya jika gurunya mengurungkan niatnya untuk
membunuh Empu Nawamula karena keadaan yang tidak
memungkinkan. Namun dalam pada itu, meskipun dengan tergagap,
Singatama masih dapat menemukan bahan pembicaraan
"Guru. Sebenarnya aku ingin melakukannya. Tetapi
bagaimanakah dengan aku pada masa-masa kosong itu"
Apakah aku menjadi orang yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan membela diri?"
"Bukan begitu Singatama" berkata pamannya "kau
masih akan tetap memiliki ketrampilan dasar ilmu
kanuragan. Tetapi benar-benar ketrampilan wadag. Kau
tidak akan mampu membangkitkan tenaga cadanganmu,
karena pada dasarnya, tenaga cadanganmu sudah terisi
dengan watak ilmu hitam. Untuk sementara, kau memang
banyak kehilangan. Tetapi kau akan dapat mulai dengan
satu babak baru dalam hidupmu, khususnya dalam ilmu
kanuragan" Singatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Apakah paman tidak mempunyai satu carapun yang dapat
ditempuh selain mengosongkan diriku"
Empu Nawamula menggelengkan kepalanya. Katanya
"Kau harus mengikhlaskan ilmumu. Tetapi dengan dasar
ketrampilan wadagmu yang masih kau kuasai, maka kau
akan dapat dengan cepat mengisi kekosongan itu dengan
ilmu kanuragan dalam wataknya yang baru"
Singatama mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya
menjadi semakin memuncak ketika ia melihat pada
gerumbul diarah samping Empu Nawamula bergerak.
"Agaknya guru telah menemukan tempat ini" desis
Singatama di dalam dirinya "tetapi apakah guru dapat
melakukan dari arah itu"
Tetapi Singatama berusaha untuk menenangkan dirinya.
Katanya kepada diri sendiri "Guru tahu apa yang baik
dilakukannya" Namun dalam pada itu, untuk sesaat Singatama telah
terdiam. Keringatnya mulai membasahi keningnya.
Sementara itu, Empu Nawamulapun berkata "Singatama.
Masih ada kesempatan. Ibarat orang yang tersesat, maka
langkahmu masih belum terlalu jauh. Karena itu,
kembalilah anakku" Terasa sesuatu berdenyut di jantung Singatama. Dalam
keadaan yang tegang itu, ia mendengar suara pamannya.
Pamannya. Yang duduk dihadapannya itu memang
pamannya. Saudara kandung orang tuanya. Tetapi
Singatama bukan seorang anak yang dekat dengan orang
tuanya. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Anak itu
seakan-akan tidak lagi mempunyai satu ikatan yang mantap
dengan ayah dan ibunya. Namun dalam pada itu, suara Empu Nawamula
didengarnya lagi "Yang aku tidak tahu Singatama. Apakah
yang sebenarnya kau cari dengan pengabdianmu kepada
ilmu hitam itu. Jika kau ingin memiliki kemampuan yang
tinggi, maka kau dapat melihat sendiri, bahwa ilmu gurumu
bukan ilmu yang tidak terkalahkan. Karena itu, kenapa kau
tidak mencari saja kemampuan ilmu kanuragan lewat jalan
yang lebih baik" Jantung Singatama menjadi semakin berdebaran. Disaat
yang menegangkan itu, ia dapat membayangkan kembali,
apa yang sudah terjadi atasnya. Sikap pamannya dan sikap
orang-orang di padepokan itu. Disaat ia dianggap orang
yang paling jahat, ia masih dapat diterima kembali oleh
pamannya karena ia menyatakan diri untuk bertobat. Rasarasanya
pamannya sama sekali tidak pernah
mendendamnya. Jika pamannya membentaknya, marah
dan mengancam itu adalah semata-mata sikapnya sebagai
seorang tua. Sekilas terbayang orang yang sudah tidak ada. Sepercik
pertanyaan tiba-tiba saja mengguncang jantungnya
"Apakah ayahku meninggal terlalu cepat karena aku?"
Dalam pada itu. Empu Nawamula masih berkata
selanjutnya "Singatama. Sebenarnya kau tidak terlalu
tergesa-gesa untuk mengambil satu sikap. Kau masih
sempat memikirkannya. Dan kau akan menjadi semakin
jelas melihat, langkah yang paling baik yang dapat kau
tempuh. Kau masih mudah. Menilik gelar lahiriah, kau
masih akan memiliki hari depan yang panjang. Karena itu,
bukankah kau masih mempunyai kesempatan untuk
memilih. Memilih dengan tepat setelah kau pikirkan masakmasak"
Degup jantung Singatama terasa memukul dinding
dadanya semakin keras. Pada saat yang demikian, Empu
Pulung Geni menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia
menyadari, bahwa kedudukannya agak kurang
menguntungkan, karena ia tidak dapat merunduk dari
belakang. Tetapi harus dari samping.
Namun didorong oleh dendamnya yang hampir
meledakkan jantungnya serta mendengar keterangan Empu
Nawamula yang akan dapat menggoyahkan kesetiaan
Singatama yang muda itu, maka rasa-rasanya Empu Pulung
Geni tidak lagi dapat menahan diri.
"Tingkat perbedaan ilmuku dengan ilmu Empu
Nawamula tidak terlalu jauh. Kalau aku sempat meloncat
dan mengancamnya, maka aku akan dapat menguasainya
dengan sebaik-baiknya" berkata Empu Pulung Geni di
dalam hatinya. Karena itu, maka Empu Pulung Geni tidak lagi berniat
menunda rencananya. Ia harus dapat membunuh Empu
Nawamula. Baru ia akan dapat melakukan tugasnya dengan
tenang, mengemban kewajiban yang disepakati oleh
sekelompok orang-orang yang tidak puas dengan keadaan
di atas Tanah Kediri dan Singasari
Tetapi Empu Pulung Geni masih menunggu satu
kesempatan yang baik. Jika Empu Nawamula sedang
dengan sungguh-sungguh memberikan petunjuk-petunjuk
kepada Singatama, maka perhatiannya tentu akan tertuju
kepada anak itu sepenuhnya.
Ternyata Empu Pulung Geni tidak perlu menunggu
terlalu lama. Ketika Empu Nawamula sedang berbicara
dengan sareh kata demi kata, kalimat demi kalimat, maka
dorongan dendam di jantung Empu Pulung Geni tidak
tertahankan lagi. Karena itu, maka iapun aaggra bersiap dengan hati-hati.
Namun demikian, ternyata bahwa dedaunan di gerumbul
tempatnya bersembunyi masih juga bergerak.
Tetapi untunglah, bahwa Empu Nawamula tidak
melihatnya. Karena seperti yang diperhitungkan oleh Empu
Pulung Geni, bahwa perhatiannya sepenuhnya tertuju
kepada Singatama. Empu Pulung Geni masih menunggu sesaat. Ketika saat
yang paling baik itu datang, maka iapun telah siap untuk
meloncat. Tetapi yang sesaat itu ternyata sangat menentukan. Yang
sesaat itu telah memberikan kesempatan kepada Singatama
yang bimbang untuk mengambil keputusan. Karena itu,
ketika tiba-tiba saja ia melihat dedaunan yang bergoyang,
maka dengan serta merta anak muda itu berteriak "Paman,
hati-hati" Peringatan Singatama itu telah menyengat naluri Empu
Nawamula. Dengan serta merta iapun telah meloncat tepat
pada saat Empu Pulung Geni meloncat pula dari balik
gerumbul sambil mengacungkan senjatanya.
Tetapi Empu Nawamula sudah tidak ada lagi ditampatnya,
sementara Singatamapun telah melenting berdiri dan
meloncat menjauh. Empu Pulung Geni berdiri dengan wajah yang tegang
Sorot matanya bagaikan menyala memandang Singatama
yang berdiri termangu-mangu.
"Maaf guru" suaranya terbata-bata "aku tidak dapat
mengingkari perasaanku. Paman selalu memaafkan
Pendekar Pedang Sakti 10 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Jala Pedang Jaring Sutra 1
^