Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 9

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 9


Karena keduanya tidak menjawab, maka Mahisa Murtipun
melangkah maju sambil berkata "Baiklah. Agaknya kalian
sudah tidak ingin melawan. Karena itu, maka kalian berdua
adalah tawanan kami"
Kedua orang berwajah kasar itu saling berpandangan.
Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu lagi.
Lawannya masih menggeram. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Bahkan iapun kemudian berdiri tegak bagaikan
membeku. "Tidak ada gunanya lagi kalian melawan" berkata
Mahisa Murti. Sekilas nampak wajah mereka menegang. Namun
kemudian kembali mereka harus menyadari kenyataan yang
mereka hadapi. "Kami tidak akan mengikat tangan dan kaki kalian.
Tetapi kami ingin kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan
kami" berkata Mahisa Murti.
"Katakan, siapakah kalian ini sebenarnya" desak Mahisa
Murti. Keduanya tidak segera menjawab. Namun ketika Mahisa
Pukat mulai menyentuh salah seorang dari kedua orang itu
dengan pedangnya, maka orang itupun berkata "Kami
hanya sekedar melakukan perintah"
"Perintah apa?" bertanya Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat menekankan pedangnya. Dan
orang itupun menjawab "Kami mendapat perintah untuk
menunggu di lereng bukit itu"
"Menunggu siapa?" bertanya Mahisa Murti kemudian.
"Kami tidak begitu jelas. Tetapi kami harus menunggu
orang-orang yang akan menyerahkan alat-alat penebang
kayu kepada kami" jawab orang itu.
"Kalian mendapat perintah untuk menebangi hutan di
lereng gunung" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya" jawab orang itu.
"Yang menghadap kearah Kotaraja?" desak Mahisa
Pukat pula. "Ya" jawab orang itu. Mahisa Pukat menarik nafas
dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kearah
Mahisa Agni dan Witantra yang berdiri termangu-mangu.
"Akan menjadi jelas bagi kita" berkata Mahisa Pukat
"bahwa ada satu gerakan untuk berbuat demikian"
Kedua orang itu memandang anak muda itu sekilas.
Namun ketika Mahisa Pukat berpaling kearah mereka,
maka merekapun telah berpaling pula.
"Kita bawa mereka ke Kabuyutan" berkata Mahisa
Murti. "Ya" jawab Mahisa Pukat "kita akan dapat berbicara
lebih panjang" Kedua orang itu menjajdi tegang. Agaknya mereka
kurang senang untuk dibawa ke Kabuyutan. Namun
mereka tidak akan dapat menolak seandainya kedua anak
muda itu memaksa mereka. Sebenarnya, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
itupun menyarungkan senjata masing-masing. Namun
dengan senjata kedua orang itu, mereka akan membawa
keduanya ke Kabuyutan. "Kalian harus menyadari, bahwa tingkah laku kalian
akan menyeret kalian kedalam kesulitan" berkata Mahisa
Pukat "kami berdua adalah pengawal-pengawal Kabuyutan.
Kalian harus selalu mengingat bahwa kalian tidak dapat
memenangkan perkelahian ini. Apalagi jika kami, para
pengawal di seluruh Kabuyutan bergerak bersama-sama.
Maka betapapun besar kekuatan kalian, maka kalian tidak
akan dapat mengalahkan kami. Karena itu, sebaiknya
kalian harus selalu mengingatnya"
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka
memang merasa heran, apabila kedua anak muda itu benarbenar
pengawal Kabuyutan, maka alangkah kuatnya
Kabuyutan itu. Dalam pada itu, Mahisa Pukat bahkan berkata
selanjutnya "Kau baru melihat kemampuan kami, anakanak
muda. Kalian belum melihat kemampuan guru-guru
kami. Jika guru-guru kami melibatkan diri maka kalian
tidak akan lebih dari debu yang akan dihembuskannya
tanpa mendapat kesempatan untuk melawan sama sekali.
Nah, apakah kalian ingin melihat, apa yang dapat
dilakukan oleh guru-guru kami itu?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun Witantra
berdesah. "Anak ini"
Namun dalam pada itu Mahisa Murtipun berkata
"Baiklah. Marilah mereka kita bawa.sekarang. Mungkin
kedua gadis itu memerlukan pertolongan segera"
"Biarlah mereka melihat, apa yang dapat dilakukan oleh
guru-guru kami. Sentuhan jari-jarinya sama sekali tidak
berarti apa-apa" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Agni dan Witantra hanya berpandangan saja
sekilas. Namun mereka tidak berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah membawa kedua orang itu ke Kabuyutan.
Betapapun perasaan tidak senang hampir memecahkan
jantung mereka, tetapi mereka tidak dapat menolak untuk
melakukannya. Sejenak kemudian, keduanyapun telah melangkah ke
tebihg diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra telah
mengikutinya pula. Demikian mereka muncul di atas tebing, maka perhatian
orang-orang yang berada di pinggir sungai itupun tertuju
kepada mereka. Beberapa orang yang masih saja
menunggui gadis-gadis yang sedang terbaring diam di
bawah sebatang pohon yang rimbun, setelah mereka di
singkirkan dari atas pasir tepian yang panas.
Beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Dua orang berwajah kasar itu menjadi ragu-ragu.
Sementara itu Mahisa Murti mendekatinya sambil berbisik
"Nah, marilah. Mereka adalah Ki Buyut, beberapa orang
bebahu dan pengawal seperti kami berdua. Tetapi mereka
tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak berbuat sesuatu
yang tidak kami kehendaki"
Dua orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi
merekapun kemudian turun ke tepian.
Beberapa orang gadis yang masih ada di tepian menunggui
kawannya yang sedang tertidur itu diluar sadarnya berkata
hampir berbareng "Itulah orangnya"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian berkata "Nampaknya mereka sudah menyerah"
Para bebahu dan anak-anak muda yang ada di tepian
itupun membenarkannya. Kedua orang itu nampaknya
memang sudah tidak berdaya"
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti oleh
Mahisa Agni dan Witantra menjadi dekat, maka orangorang
yang ada di tepian itupun bagaikan menyibak.
Namun merekapun kemudian mengeremuni kedua orang
berserta. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berhasil
menawan mereka. "Benarkah ini orangnya?" bertanya Ki Buyut kepada
Mahisa Murti. "Ya Ki Buyut" jawab Mahisa Murti "orang inilah yang
telah membuat kerusuhan di tepian ini. Mereka telah
mengganggu gadis-gadis yang sedang mandi"
"Lalu bagaimana dengan kedua gadis ini?" bertanya Ki
Buyut pula. Semua mata memandang kedua orang berwajah kasar
itu. Seolah-olah mereka telah menumpahkan segera
pertanggungan jawab kepada mereka, sehingga orang-orang
di tepian itu telah menuntut agar kedua gadis itu
dibangunkan. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari
kedua orang berwajah kasar itupun berkata "Biarlah kanii
berdua berusaha untuk membangunkan kedua gadis itu.
Kami sudah merasa bersalah, sehingga kami memang
seharusnya memikul tanggung jawab atas kesembuhan
kedua gadis itu" "Cepat, lakukan" sahut Ki Buyut lantang.
"Tetapi ketika kedua orang itu baru melangkah
selangkah, Mahisa Agni berkata "Jangan orang itu"
"Ya" tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut "Jangan
orang itu. Ia akan dapat berbuat lebih buruk lagi terhadap
kedua orang gadis itu, atau bahkan mempergunakan
mereka sebagai perisai untuk melepaskan diri"
Langkah orang itu tertegun. Sementara Ki Buyut dan
orang-orang Randumalang menjadi termangu-mangu.
Apakah dengan demikian berarti bahwa kedua orang gadis
itu akan tetap dibiarkan tidur nyenyak, sampai saatnya
terbangun dengan sendirinya".
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun berkata
"Jangan cemas. Kedua gadis itu tidak apa-apa"
Tetapi seorang laki-laki yang sudah mulai ubanan
menyibak maju sambil berkata "Kau dapat berkata seperti
itu karena mereka bukan anakmu. Tetapi aku adalah ayah
dari salah seorang gadis itu. Bagaimana aku dapat
menganggap bahwa gadis-gadis itu tidak apa-apa.
Suasana menjadi tegang. Tiba-tiba saja salah seorang
berwajah kasar itu berkata "Gadis-gadis itu terkena racun.
Tetapi aku mempunyai penawarnya. Racun itu memang
hanya sekedar membuat tidur. Tetapi dalam batas tertentu,
jika penawarnya tidak di trapkan, maka kedua gadis itu
akan mengalami nasib yang buruk. Racun itu akan bekerja
perlahan-lahan sebagaimana kena racun yang tidak terlalu
kuat. Tetapi dengan pasti akan dapat membunuh
korbannya. "Nah, kau dengar" berkata orang yang rambutnya mulai
ubanan itu "jika anak itu meninggal, akulah yang
kehilangan. Memang bukan kau"
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mendekati orang
berwajah kasar yang berbicara itu sambil berkata "Nah,
sekarang kita bertaruh. Jika kedua gadis itu nanti atau
kapanpun akan mati atau mengalami nasib buruk, biarlah
leherku menjadi taruhan. Tetapi jika gadis itu akan
terbangun, atau orang lain mampu membangunkannya,
maka lehermu menjadi taruhan. Leher yang menjadi
taruhan akan dipotong perlahan-lahan dengan golokmu
yang besar, berat tetapi tidak tajam sama sekali ini"
Terasa kulit orang itu meremang. Memang mengerikan
sekali, bahwa lehernya harus dipotong perlahan-lahan, apa
lagi dengan goloknya. Karena itu, maka untuk sesaat iapun
justru terdiam. Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa
Murtipun mendesak "Bagaimana" Apakah kau bersedia
mengadakan taruhan seperti yang kau katakan?"
Orang itu tidak menjawab. Namun dipandanginya
goloknya yang masih dibawa oleh Mahisa Pukat.
"Nah, Ki Buyut" berkata Mahisa Murti "orang itu tidak
menyanggupinya. Karena itu sebenarnya tahu, bahwa
kamipun dapat membangunkannya"
Orang yang mulai ubanan itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya "Jika benar kau dapat
membangunkan, maka bangunkanlah"
"Jangan tergesa-gesa" Jawab Mahisa Murti "sudah kami
katakan, gadis itu tidak akan mengalami sesuatu. Mereka
memang sedang tidur nyenyak. Tetapi perlahan-lahan, ia
akan bangun sendiri. Namun secara khusus merekapun
dapat juga dibangunkannya"
Orang itu menjadi tegang. Namun dalam pada itu,
Mahisa Agnipun berkata "Bangunkan mereka agar orangorang
Kabuyutan itu tidak dicengkam oleh ketegangan.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Bahkan
kemudian ditatapnya Mahisa Pukat yang berdiri dengan
tegangnya. Namun kemudian Mahisa Murti itupun melangkah
mendekati kedua gadis yang terbaring diam itu.
"Apakah kau benar-benar mampu melakukannya
sehingga tidak akan mencelakakan anakku itu?" bertanya
orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban itu.
"Percayalah" Mahisa Agnilah yang menjawab. Namun
nampaknya orang itu masih tetap ragu-ragu sehingga iapun
kemudian bertanya kepada Ki Buyut "Apakah aku dapat
mempercayainya?" Ki Buyut pernah mengalami satu peristiwa yang
membuatnya tidak akan dapat melupakannya. Menurut
penglihatannya, kedua anak muda itu memang memiliki
kemampuan yang luar biasa. Karena itu, meskipun agak
kurang yakin, Ki Buyut itupun berkata "Biarlah anak muda
itu mencobanya" Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian berjongkok disamping gadis-gadis yang
sedang tertidur nyenyak itu.
"Kenapa kau menjadi ragu-ragu" berkata Mahisa Agni
"bukankah kau mampu melakukannya" Sesuatu yang dapat
kau lakukan dengan tidak usah memikirkan lagi akan
menjadi terasa sulit jika kau harus merenunginya,
mempertimbangkannya dan apalagi menjadi ragu-ragu"
Mahisa Pukatlah yang kemudian mendekati Mahisa
Murti sambil berkata "Lakukan. Bukankah kita dapat
melakukannya?" Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia mulai
menggerakkan tangannya meraba tengkuk gadis yang
pertama. Dengan kemampuan yang sudah dipelajarinya
dengan baik, maka iapun segera menemukan simpul yang
tertutup oleh sentuhan tangan kedua orang berwajah kasar
itu. Dengan pengetahuannya itu, maka iapun segera
membuka simpul yang tertutup itu, meskipun masih ada
juga sisa gejolak pada perasaannya.
Sejenak kemudian, gadis itupun mulai menggeliat.
Perlahan-lahan ia mulai bangkit sambil memandang orangorang
di sekelilingnya.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang terjadi?" gadis itu bertanya. Namun perlahanlahan
ia mencoba mengingat kembali apa yang telah
dialaminya. Bahkan demikian ia melihat kedua orang
berwajah kasar itu, maka iapun telah menjerit ketakutan.
Tetapi ayahnya telah berada di sampingnya sambil
berkata "Aku ada disini. Jangan takut"
Gadis yang melihat ayahnya itupun telah memeluknya
sambil menangis sejadi-jadinya. Diantara isak tangisnya,
terdengar kata-katanya "Aku takut. Aku takut"
"Sudahlah" berkata ayahnya "kau sudah diselamatkan"
Kemudian katanya kepada Mahisa Murti "Terima kasih
anak muda. Ternyata kau benar-benar mampu
melakukannya" Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
telah melakukan hal yang sama terhadap gadis yang lain,
yang sesaat kemudian telah tersadar pula dari tidurnya.
"Di mana ayah gadis itu?" bertanya Ki Buyut.
"Ayahnya sudah pergi ke sawah ketika hal ini diketahui"
jawab salah seorang "tetapi ia sudah dipanggil"
Ki Buyut dan Widatilah yang kemudian menolong gadis
yang juga menjadi ketakutan sebagaimana kawannya.
"Orang itu tidak akan mengganggumu lagi" berkata Ki
Buyut. Gadis itupun menangis pula. Tetapi ia menganggukangguk.
Ia memang merasa aman dibawah pengawasan Ki
Buyut dan beberapa penghuni Kabuyutannya.
Dalam pada itu kedua orang berwajah kasar itupun
menjadi semakin cemas melihat sikap orang-orang
Kabuyutan Randumalang. Apalagi ketika tiba-tiba saja,
ayah gadis yang pertama sadar itu menuding kedua orang
itu sambil berkata "Merekalah sumber malapetaka itu"
"Ya, mereka" seorang anak muda menyahut "jika
mereka masih ada, maka malapetaka ini tentu akan
berulang kembali" "Keduanya itulah sumber bencana" teriak yang lain.
Adalah tiba-tiba saja, ketika terdengar seorang anak muda
berteriak "Bunuh keduanya"
Yang terdengar kemudian adalah teriakan-teriakan
marah dari orang-orang Kabuyutan Randumalang. Seorang
bertubuh gemuk justru telah mengangkat senjatanya sambil
berteriak lehih keras lagi "Bunuh mereka. Bunuh mereka"
Orang-orang Kabuyutan Randumalang itupun mulai
bergerak. Mereka mulai mengacu-acukan senjata mereka
dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi gelisah.
Merekapun kemudian telah berdiri dan bergeser mendekati
kedua orang berwajah kasar itu.
Namun adalah diluar dugaan, bahwa kedua orang
berwajah kasar itu telah menjadi sangat ketakutan melihat
orang-orang Kabuyutan Randumalang yang marah Bahkan
dengan suara gemetar salah seorang berkata kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat "Tolong anak muda. Tolonglah
aku. Bukankah kalian pengawal Kabuyutan ini"
Sebelum Mahisa Murti menjawab, Mahisa Pukatlah
yang menyahut "Kau takut mati?"
"Aku tidak takut mati. Tetapi tidak dengan cara ini"
jawab orang itu. "Dengan cara apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bunuh aku dengan pedangmu" jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang
mengerikan sekali menghadapi orang-orang yang marah
seperti itu. Mereka akan benar-benar melakukan seperti apa
yang mereka katakan. Dengan cara yang tidak terkendali,
justru karena dilakukan oleh sekelompok orang, mereka
akan membunuh kedua orang itu. Bahkan orang-orang yang
dalam kehidupannya sehari-hari tidak pernah membunuh
seekor tikuspun, akan dapat membunuh dengan sangat
kejam diantara banyak orang yang bersama-sama sedang
marah. Dalam pada itu, orang-orang Kabuyutan Randumalang
itupun menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan mereka
bergeser bersama-sama mendekati kedua orang berwajah
kasar itu. Mereka berteriak semakin keras dan merekapun
mulai merundukkan senjata mereka.
Mahisa Agni dan Witantrapun menjadi semakin cemas
melihat kemarahan orang-orang Randumalang itu. Karena
itu keduanya telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Cobalah, hentikan mereka" berkata Mahisa Agni
kepada Mahisa Murti. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berdiri menghadapi orang-orang yang
sedang marah itu. "Ki sanak" berkata Mahisa Murti "Cobalah dengar
keteranganku" Tetapi orang-orang itu masih saja berteriak "Bunuh
mereka, hunuh mereka"
"Kalian benar-benar akan membunuh mereka?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya. Kami akan membunuh mereka. Orang-orang itu
telah mencemaskan gadis-gadis kami" jawab salah seorang
diantara orang-orang Randumalang itu.
"Mereka memang bersalah" jawab Mahisa Murti "tetapi
bukan begini cara untuk mengadilinya"
"Aku tidak peduli" berkata ayah salah seorang gadis
yang pingsan. Orang-orang itu telah mengotori nama
anakku" "Tidak" jawab Mahisa Murti "orang-orang itu belum
berbuat apa-apa" "Anakku telah tertidur diluar kehendaknya" jawab orang
tua itu. "Tetapi anakmu sudah bangun" jawab Mahisa Murti.
"Jadi, apakah akan kita biarkan saja orang-orang itu
berbuat kesalahan yang sangat besar di Kabuyutan kami?"
bertanya yang lain lagi. "Mereka akan dihukum. Tetapi kita harus
mempertimbangkannya dengan bening. Kita dapat
menyerahkannya kepada Akuwu, atau mungkin wewenang
Ki Buyut akan dapat mengadilinya. Tetapi tidak dengan
beramai-ramai seperti ini, seolah-olah kalian berhak untuk
mengadilinya disini" jawab Mahisa Murti.
"Kami berhak mengadilinya. Kedua gadis itu adalah
anak-anak kami. Anak-anak Kabuyutan kami" jawab
seorang yang bertubuh tinggi besar.
"Tidak" jawab Mahisa Murti "kalian tidak berhak
mengadilinya bersama-sama. Orang-orang yang khusus
akan menentukan hukuman apa yang paling pantas ditilik
dari kesalahan yang telah dilakukannya"
"Serahkan kepada kami" teriak seorang anak muda.
"Serahkan kepada kami" teriak yang lain.
Mahisa Murti menjadi tegang. Orang-orang itu agaknya
sudah sulit untuk diajak berbicara. Seandainya mereka akan
memaksa, apakah berarti Mahisa Murti harus mencegahnya
dengan kekerasan sehingga ia harus berkelahi melawan
orang-orang itu". Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni
melangkah maju sambil berkata lantang "Ki Sanak.
Dengarlah. Ada yang ingin aku katakan kepada kalian"
"Serahkan kepada kami. Tidak ada lagi yang akan kami
bicarakan" sahut salah seorang dari mereka yang sedang
marah itu. "Dengarlah" suara Mahisa Agni semakin keras "aku
akan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi dengar
lebih dahulu" Ternyata suara Mahisa Agni itu menyentuh telinga
mereka, sehingga merekapun mulai mendengarkannya
Apalagi karena Mahisa Agni mengatakan bahwa orangorang
itu akan diserahkan kepada mereka.
"Dengar" berkata Mahisa Agni "kami memang akan
menyerahkan mereka, karena orang-orang ini sudah
melakukan satu kesalahan di daerah kalian. Apakah begitu
yang kalian maksudkan?"
"Ya. Serahkan kepada kami" sahut beberapa orang
bersama-sama. "Bukan hanya kedua orang ini yang akan aku serahkan
kepada kalian. Jika kalian tidak lagi mempunyai
pertimbangan lain, maka kami memang akan menyerahkan
semua persoalan ini kepada kalian" jawab Mahisa Agni.
Jawaban Mahisa Agni itu memang membuat orangorang
itu tercenung. Bahkan seorang anak muda bertanya
"Apa maksudmu?"
"Semua persoalan akan kami kembalikan" jawab Mahisa
Agni "karena kehadiran kami tidak berarti sama sekali di
hadapan kalian, maka anggap saja, bahwa kami tidak
pernah ada. Kedua anak itu akan dikembalikan kepada
keadaannya semula. Kemudian kedua anak muda itu akan
menyerahkan senjata kedua orang itu kepada mereka.
Seterusnya, lakukan apa yang akan kalian lakukan"
Kata-kata Mahisa Agni itu telah menyentuh perasaan
orang-orang yang marah itu. Seorang anak muda masih
mencoba berteriak "Mereka hanya berdua"
"Mereka hanya berdua. Anak-anak muda yang
mengalahkan mereka juga berdua. Kemampuan mereka
memang hampir seimbang" berkata Mahisa Agni.
Orang-orang Kabuyutan Randumalaug itu tidak segera
mengetahui maksud Mahisa Agni. Karena itu, mereka
masih saja berteriak-teriak "Kami bunuh mereka. Mereka
hanya berdua" "Baik-baik" jawab Mahisa Agni "mereka memang hanya
berdua. Tetapi bertanyalah kepada Ki Buyut, apa yang
dapat dilakukan kedua anak muda itu. Kedua orang itupun
tentu akan dapat melakukan sebagaimana dilakukan oleh
kedua anak muda itu"
Orang-orang Randumalang itu tertegun sejenak. Namun
semua orangpun kemudian berpaling kepada Ki Buyut.
Seolah-olah mereka ingin mendapat penjelasan maksud
kata-kata Mahisa Agni Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti
sepenuhnya maksud Mahisa Agni. Meskipun sebenarnya Ki
Buyutpun menjadi sangat marah kepada kedua orang itu,
tetapi ia masih mampu berpikir sebagaimana di kehendaki
oleh Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya kemudian
kepada orang-orangnya "He, orang-orang Randumalaug.
Aku minta kalian menjadi tenang"
"Perintahkan kepada kami untuk membunuhnya"
berkata salah seorang yang berjanggut lebat.
"Dengar" berkata Ki Buyut "Usahakan mengerti maksud
Ki Sanak itu" "Katakan" berkata seorang anak muda.
"Aku tidak dapat memerintahkan kepada kalian untuk
membunuhnya" berkata Ki Buyut.
"Kenapa?" bertanya orang tua dari gadis yang tertidur
itu. "Aku tidak sampai hati membantai kalian di tepian ini"
jawak Ki Buyut. "Kenapa kami?" bertanya seseorang "Kamilah yang akan
membunuh orang itu" "Tetapi kau dengar, bahwa kedua anak muda itu akan
menyerahkan kembali kedua senjata yang mereka bawa
kepada kedua orang itu" jawab Ki Buyut.
"Kami tidak takut" jawab seorang bertubuh tinggi.
"Dengar" berkata Ki Buyut "menurut anak-anak muda
dan kedua pamannya itu, kedua orang itu memiliki ilmu
yang hampir seimbang dengan kedua orang anak muda ini.
Nah, ketahuilah, bahwa aku pernah menyaksikan kedua
anak muda ini bertempur. Bertempur dalam satu perang
brubuh yang kisruh, maupun dalam perang tanding,
seorang melawan seorang. Aku tahu, apa yang dapat
mereka lakukan. Sedangkan akupun tahu, apa yang dapat
kalian lakukan" Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu "karena
itu, jika kalian berkeras untuk membunuh kedua orang itu
beramai-ramai, maka yang akan terjadi adalah satu
malapetaka" "Kenapa?" bertanya beberapa orang berbareng.
Ki Buyut memandang kedua orang itu. Sebenarnya ia
segan untuk mengatakannya, karena dengan demikian Ki
Buyut mengakui kelemahan Kabuyutannya, sehingga
dengan demikian maka bayangan yang buruk mulai
menerawang di matanya. Orang-orang itu atau kawankawannya
pada saat-saat lain tentu akan dengan berani
berbuat sesuatu yang mungkin akan sangat mengerikan.
Karena Ki Buyut menjadi ragu-ragu, maka Mahisa
Agnipun kemudian berkata "Cepat Ki Buyut. Ambillah satu
keputusan. Nampaknya nalar Ki Buyut telah mengalir
kejurusan yang benar. Tetapi keragu-raguan Ki Buyut akan
dapat menghambat penyelesaian"
Ki Buyut masih termangu-mangu. Sementara itu, orang
yang lain telah bertanya pula "Kenapa akan terjadi satu
malapetaka?" Ki Buyut mengangkat wajahnya. Agaknya ia sedang
mencari kekuatan dari dalam dirinya untuk menyatakan
maksudnya "Dengarlah. Jika kau memaksa untuk
membunuh mereka, maka keduanya tentu akan melawan.
Sementara itu, kedua gadis itu akan menjadi tertidur lagi
dan tidak seorangpun yang akan dapat membangunkannya"
"Baik. Katakan, beberapa orang diantara kalian akan
melindungi gadis itu. Tetapi jika kedua orang itu melawan
dengan kemampuan mereka sepenuhnya, maka tentu akan
terjadi perkelahian yang sengit. Mungkin kedua orang itu
akhirnya akan mati. Tetapi separo dari kalianpun akan
mati" Ki Buyut memandang orang-orang Kabuyutan
Randumalang itu dengan tajamnya. Seolah-olah ia
memandang seorang demi seorang, menatap langsung ke
matanya menghunjam sampai ke jantung. Lalu katanya
"Mungkin kau. Mungkin kau. mungkin kau yang masih
sangat muda. Mungkin justru ayah gadis itu atau setiap
orang diantara kalian mempunyai kemungkinan yang sama
untuk mati" Kata-kata Ki Buyut itu benar-benar telah menyentuh hati
orang-orang itu. Apalagi ketika Ki Buyut menunjuk ke arah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka, seolah-olah setiap orang telah ditunjuknya sambil
berkata "Kaulah yang mungkin akan mati. Atau kau. Atau
kau. Atau kalian bertiga bersama-sama"
Wajah-wajah menjadi semakin tegang. Beberapa orang
saling berpandangan. Sementara itu Ki Buyutpun berkata
"Baiklah. Mulailah. Siapa yang ingin terbunuh lebih
dahulu, berusahalah untuk membunuh kedua orang itu.
Senjata mereka akan segera diserahkan kepada mereka
sebelum kalian sampai kepadanya"
Tidak seorangpun yang beranjak dari tempatnya
"Marilah. Siapa yang akan mendahului?" bertanya Ki
Buyut kemudian. Orang-orang itu masih berdiri tetap berdiri tegak.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
memberikan senjata kedua orang itu seperti yang dikatakan
oleh Mahisa Agni. Suasana menjadi semakin tegang. Orang-orang
Randumalang berdiri dalam kebimbangan. Mereka masih
didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak
jantung. Tetapi mereka tidak dapat mengesampingkan
kenyataan, bahwa kedua orang itu memang akan dapat
membunuh sebagian dari orang-orang Randumalang itu.
Karena itu, maka keragu-raguan mulai merayapi
perasaan orang-orang Randumalang yang marah itu. Tidak
seorangpun diantara mereka yang ingin lebih dahulu.
Karena itu tidak ada diantara mereka yang bersedia untuk
me-K langkah pertama kali sambil mengacungkan
senjatanya menyerang kedua orang yang ingin mereka
bunuh itu. Dalam suasana yang tegang itu, maka Ki Buyut
Randumalang menarik nafas dalam-dalam. Ialah yang
kemudian baru saja terbangun dari tidur yang tidak
dikehendakinya itu. Sejenak orang-orang Kabuyutan
Randumalang itu termangu-mangu.
Namun sekali lagi Ki Buyut berkata "Marilah. Kita
kembali ke Kabuyutan?"
Karena orang-orang itu masih belum bergerak, Ki
Buyutlah /yang melangkah pertama-tama meninggalkan
tepian itu. Ketika ia berjalan di dekat orang tua gadis yang
baru sadar itu, ia berkata "Hati-hatilah dengan anak
gadismu" Orang itu menggangguk. Namun ia masih berdiri tegak
di tempatnya. Baru ketika beberapa orang bebahu kemudian
mengikutinya, maka yang lainpun mulai bergerak pula.
Beberapa orang diantara mereka membayangi gadis-gadis
yang masih saja ketakutan, sementara yang lain dengan
ragu-ragu melangkah diantara batu-batu padas dengan
kepala tunduk. Pada saat orang-orang itu sampai di atas tebing,
seseorang telah berlari-lari kearah mereka. Orang itu adalah
ayah gadis yang seorang lagi. la tertegun ketika ia bertemu
dengan Ki Buyut yang berjalan di paling depan. Dengan
singkat Ki Buyut memberikan keterangan tentang anak
gadisnya. "Dimana anak itu sekarang?" bertanya orang itu.
"Diantara kawan-kawannya. Ia sudah tidak apa-apa"
jawab Ki Buyut sambil berjalan terus.
Ketika orang itu mendekati anaknya, maka sambil
menangis anak gadisnya memeluknya. Namun kemudian
bersama-sama dengan yang lain mereka mengikuti Ki
Buyut kembali ke padukuhan induk Kabuyutan
Randumalang melangkah mendekati Mahisa Agni sambil
berkata perlahan-lahan "Aku berada dalam kesulitan. Jika
kedua orang ini tetap hidup, maka akibatnya akan sangat
pahit bagi Kabuyutan ini. Kali ini ada kedua orang anak
muda itu, sehingga kami akan dapat melawan keduanya.
Tetapi pada saat lain keduanya dan bahkan mungkin
kawan-kawannya akan dapat berbuat apa saja. Mungkin
tidak hanya separo orang Randumalang yang akan menjadi
korban. Tetapi lebih dari itu"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan
yang dialami oleh Ki Buyut. Karena maka jawabnya "Hal
itu akan kita bicarakan kemudian. Kita akan mengambil
satu keputusan yang paling baik tanpa mengorbankan nilainilai
kemanusiaan" "Mereka tidak menghargai kemanusiaan" jawab Ki
Buyut. "Kita yang menghargai kemanusiaan. Dengan demikian
maka kita memang berbeda dengan mereka" jawab Mahisa
Agni. Ki Buyut menarik nafas. Sementara itu ketegangan di
tepian itu masih saja mencengkam. Karena itu, maka
sejenak kemudian, maka Ki Buyutpun bertanya lantang "
Nah, siapa yang akan melangkah lebih dahulu?"
Tidak seorangpun yang bergerak. Karena itu, maka
Buyutpun berkata "Jika demikian, agaknya kalian sudah
merubah sikap kalian. Kalian agaknya dapat menerima satu
pendapat, bahwa sebaiknya kita tidak mengadili mereka
beramai-ramai di tepian ini. Kita akan membawa mereka di
Kabuyutan" Namun kata-kata Ki Buyut rasa-rasanya kurang
meyakinkan. Bahkan Ki Buyutpun kemudian berpaling
kearah Mahisa Agni dengan lontaran pertanyaan pada sorot
matanya. "Tepat Ki Buyut" berkata Mahisa Agni "kita akan
membawa keduanya ke Kabuyutan. Kita akan dapat
membicarakannya, apa yang sebaiknya kita lakukan akan
orang-orang ini" Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu katanya "Marilah.
Kita akan kembali ke Kabuyutan. Kita akan berbicara
dengan hati yang lebih tenang"
Tidak ada yang mereka bicarakan disepanjang
perjalanan. Semua orang terbenam dalam angan-angan
mereka masing-masing. Iring-iringan itu bagaikan iringiringan
orang mengantar sanak kadang dalam keadaan
duka. Baru ketika orang-orang itu sudah naik keatas tebing dan
berjalan menjauh, Mahisa Agni berkata kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat "Marilah. Kita bawa kedua orang
ituke Kabuyutan Randumalang"
Mahisa Murtilah yang menyahut "Marilah paman"
Namun dalam pada itu salah seorang dari kedua orang
itu bertanya "Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang
yang marah itu kepadaku" Apakah kemarahan mereka tidak
akan terungkat lagi?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku
akan berusaha agar hal ini dapat diselesaikan dengan cara
yang sebaik-baiknya"
"Apakah mungkin aku akan dibebaskan?" bertanya
seorang yang lain. Tetapi jawab Mahisa Agni sangat mengecewakannya
"Tidak Ki Sanak. Kalian memang akan mendapat
hukuman. Tetapi tentu yang sesuai dengan kesalahan yang
kalian lakukan. Dan dengan cara yang paling wajar"
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya
mereka memang tidak dapat melihat kemungkinan lain.
Bahwa mereka tidak jatuh ke tangan orang-orang yang
sedang marah yang akan dapat mencincang mereka sampai
lumat, adalah satu hal yang terlalu baik bagi mereka.
Namun demikian, kedua orang itu masih saja dibayangi
oleh kemungkinan vang sangat buruk itu. Keduanya
memang tidak percaya bahwa anak-anak muda serta orangorang
yang disebut guru-guru mereka itu benar-benar akan
memberikan kembali senjata-senjata mereka jika orangorang
Kabuyutan Randumalang itu akan menghukum
mereka beramai-ramai. Dalam pada itu . selagi kedua orang itu lermangurnangu,
maka Mahisa Agnipun berkata pula "Marilah Ki
Sanak. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu"
"Kami tidak akan berkeberatan" jawab salah seorang
dari mereka "Tetapi kawan-kawan kami tentu akan mencari
kami jika pada saatnya kami tidak kembali di antara
mereka" "Tidak apa-apa" |awab Mahisa Agni "tidak ada
seorangpun di antara kawan-kawan mengerti, apa yang
telah terjadi sebenarnya"
"Tetapi orang-orang Kabuyutan itu akan mengatakan
kepada kenalan mereka temui di pasar atau di jalan-jalan,
apa yang telah terjadi di sini. Kawan-kawanku tentu akan
dapat mengambil satu kesimpulan jika merekapun pada
suatu saat mendengar ceritera seperti itu" berkata salah
seorang dari kedua orang itu kemudian.
"Kami mengerti" jawab Mahisa Agni "karena itu, kami
akan mengambil satu sikap yang paling baik dan paling
aman bagi Kabuyutan ini"
"Satu-satunya cara adalah, melepaskan kami untuk
kembali ke dalam lingkungan kami" berkata salah seorang
dari kedua orang itu. "Tidak Ki Sanak" jawab Mahisa Agni "hal yang buruk
masih dapat terjadi. Kami tidak yakin, bahwa kau berdua
akan dapat melupakan gadis-gadis Kabuyutan ini. Dan
kamipun tidak yakin bahwa kau masih mempunyai kawan
yang lain di daerah ini"
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menurut segala
perintah yang diberikan oleh Mahisa Agni.
"Marilah. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu"
berkata Mahisa Agni kemudian.
Kedua orang itu tidak menjawab. Merekapun kemudian
melangkah menyusul orang-orang Kabuyutan yang sudah
lebih dahulu meninggalkan tepian. Namun bagaimanapun
juga kedua orang itu masih selalu dibayangi kegelisahan.
Bukan karena kemungkinan bahwa mereka akan dihukum.
Tetapi hukuman itu akan sangat menyakitkan hati
menjelang saat-saat kematian, apabila mereka jatuh ke
tangan orang-orang Kabuyutan yang marah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menjadi ragu-ragu
pula. Jika mereka sudah sampai di Kabuyutan, maka terlalu
sulit bagi mereka untuk mencegah kemarahan orang-orang
Kabuyutan itu. Apalagi orang-orang yang berkerumun tentu
akan menjadi lebih banyak, sehingga akan lebih sulit lagi
untuk mengendalikan mereka.
"Mudah-mudahan Ki Buyut tidak justru berubah pikiran.
Jika ia tidak dapat mengendalikan diri, dan justru
mengambil sikap yang sebaliknya, maka akibatnya akan
menjadi parah" berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Namun dalampada itu, selagi kedua orang itu berjalan ke
padukuhan induk, diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka beberapa langkah di belakang mereka.
Mahisa Agni dan Witantrapun telah membicarakan, apa
yang paling baik dilakukan bagi kedua orang itu.
"Serba sulit" berkata Witantra "aku dapat mengerti
keterangan orang itu. Berita ini tentu tidak akan dapat
dicegah untuk merambat keluar dari Kabuyutan ini. Pada
suatu saat kawan-kawan kedua orang itu tentu akan
mendengar apa yang telah terjadi"
"Ya" jawab Mahisa Agni "hal itu memang mungkin
sekali. Akibatnya memang agak pahit bagi Kabuyutan ini"
Witantra tidak segera menjawab. Ia masih saja
melangkah di samping Mahisa Agni. Namun keduanyapun
kemudian melangkah dengan kepala tunduk.
Beberapa saat kemudian, dua orang yang diiringi oleh
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Agni dan Witantra
itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk.
Beberapa orang justru telah tidak kelihatan lagi setelah
hilang memasuki mulut lorong.
Namun keempat orang yang mendekati padukuhan
induk itu menjadi semakin cemas melihat keributan yang
terjadi di padukuhan. Beberapa orang yang terdahulu
memasuki gerbang padukuhan telah menceriterakan apa
yang terjadi kepada orang-orang yang berada di padukuhan
dan tidak sempat pergi ke sungai. Sebagian dari mereka
adalah anak-anak muda yang berkumpul setelah mereka
mendengar apa yang terjadi. Ketika orang-orang berkumpul
di Kabuyutan untuk mendengar ceritera Ki Buyut, anakanak
muda itu sebagian telah pergi ke sawah. Mereka
bergegas kembali ketika mereka mendengar berita tentang
peristiwa yang terjadi di sungai. Berita yang dibawa Widati
yang kemudian tersebar. Bahkan anak-anak muda dari
padukuhan yang lainpun telah berkumpul pula untuk
mendengar peristiwa yang terjadi itu dari dekat.
Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, kedua
orang yang berwajah kasar itu mulai memperlambat
langkah mereka. Seorang diantaranya berguman
"Mengerikan sekali"
Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, kedua
orang yang berwajah kasar itu mulai memperlambat
langkah mereka. Seorang diantaranya berguman
"Mengerikan sekali"
"Kita mencoba untuk percaya kepada sikap Ki Buyut"
desis Mahis Murti. Tetapi kedua orang berwajah kasar itu justru telah
berhenti. Seorang diantara mereka berkata "Sebenarnya
segala sesuatunya tergantung kepada kalian. Bagaimana
pendapat kalian, jika kalian tidak terlalu banyak ikut
campur. Aku yakin sekarang, bahwa kalian bukan para
pengawal padukuhan atau Kabuyutan ini"
"Apa maksudmu?" berkata Mahisa Murti.
"Jika kalian melepaskan saja kami, maka aku kira tidak
akan ada akibat apapun terjadi atas kalian, sementara
kamipun akan terlepas dari suasana yang sangat
menegangkan itu" "Kau akan mengadu kami dengan orang-orang
Kabuyutan yang marah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita harus mempergunakan cara. Dari kesempatan aku
melepaskan diri. Aku akan meloncat kearah kanan dan
kawanku kearah kiri. Kalian memang harus berusaha
mengejar kami, tetapi kalian tidak berhasil" jawab orang
itu.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Mahisa Pukat itu tertawa. Katanya "Satu pikiran
yang bagus. Tetapi khusus bagi kalian. Dan tidak bagi kami.
Kami tetap berpendirian, bahwa kalian harus dihukum.
Kalian telah melakukan satu perbuatan yang tercela sekali.
Bahkan kalian telah berusaha untuk mempertahankan
kesalahan kalian dengan berusaha untuk membunuh kami
berdua" "Tetapi kami belum melakukannya" jawab salah seorang
dari kedua orang itu. "Sudah. Kalian sudah melakukannya. Kalian telah
berusaha membunuh. Tetapi kalian tidak berhasil, karena
kalian dapat kami kalahkan" berkata Mahisa Pukat. Lalu
"Karena itu, marilah. Kita akan pergi ke Kabuyutan. Kita
percaya bahwa Ki Buyut akan berbuat sesuatu"
Kedua orang itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Ia
memandang ujung lorong yang memasuki padukuhan
induk dari Kabuyutan Randumalang itu dengan jantung
yang berdegupan. Sebenarnyalah pada waktu itu, di padukuhan induk itu
telah terjadi satu pembicaraan yang tegang. Ketika anakanak
muda menuntut untuk dengan langsung menghukum
orang-orang itu. maka Ki Buyut telah berusaha untuk
mencegahnya. "Kalian harus mendengarkan kata-kataku" berkata Ki
Buyut. "Kita tidak boleh terlalu lemah menghadapi penjahatpenjahat.
Kabuyutan ini harus mulai bangun. Pada saat-saat
lampau, kita adalah orang-orang yang paling lemah yang
sama sekali tidak berani berbuat apa-apa terhadap para
penjahat. Tetapi kita mulai menyadari, bahwa sikap itu
telah menyeret kami kedalam satu kesulitan. Sekarang
sudah saatnya kita menunjukkan, bahwa kita juga dapat
berbuat sesuatu. Kita juga mempunyai keberanian untuk
melawan kejahatan" berkata seorang anak muda.
"Coba kita melihat diri kita dengan jujur" jawab Ki
Buyut "apakah yang dapat kita lakukan tanpa kedua orang
anak muda itu" "Mereka telah mengajari kita sebelum mereka
meninggalkan Kabuyutan ini beberapa waktu yang lalu.
Mereka mengajari kami untuk menjadi pengawal yang baik
bagi Kabuyutan ini" "Tetapi mereka tentu tidak mengajari kalian untuk
berbuat kepadaku, dan kepada orang-orang yang ada di
tepian, bahwa kita jangan berbuat menuruti perasaan saja.
Merekalah yang mengatakan, agar kedua orang itu
dihadapkan pada satu keputusan yang adil dan wajar,
sesuai dengan kesalahan mereka menurut pertimbangan
nalar dan paugeran. Merekalah yang mencegah agar kita
tidak menghukum mereka dengan sewenang-wenang,
meskipun mereka jelas melakukan kesalahan"
"Mereka dapat saja berkata begitu, karena gadis-gadis
yang menjadi korban itu bukan sanak dan bukan kadang
mereka" jawab salah seorang dari orang-orang tua yang
marah "tetapi kami, orang-orang tua yang mempunyai
anak-anak gadis, akan selalu dibayangkan kecemasan"
"Justru karena itu" berkata Ki Buyut kemudian "jika kalian
menghukum orang itu dengan semena-mena, maka kawankawannva
kedua orang itu tentu akan marah, karena
perasaan kedalian mereka tersinggung. Nah, apakah dengan
demikian, kita tidak akan justru menjadi terancam. Tetapi
jika kita memperlakukan kedua orang itu dengan adil,
meskipun kita menghukumnya juga. maka kawan-kawan
mereka mungkin akan justru mendukung sikap kita, bahwa
kedua orang itu harus dihukum karena telah melakukan
satu kesalahan" Tetapi anak-anak muda Kabuyutan itu nampaknya tidak
puas terhadap sikap Ki Buyut. Bahkan ada diantara mereka
yang berkata "Ki Buyut. Kami sudah cukup dewasa.
Sebaiknya Ki Buyut tidak menganggap lagi bahwa kami
adalah kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Seandainya
kawan-kawan mereka marah, biarlah kita menghadapinya"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
bergeser mendekati anak muda itu sambil berkata lantang
"He, apakah benar-benar kau berkata demikian. Apakah
benar kau mengucapkan kata-kata itu sebagaimana tersirat
di hatimu" Jika demikian, bagus. Aku setuju. Kalian adalah
anak-anak muda yang gagah berani anak-anak muda
Kabuyutan Randumalang yang terpercaya. Jika nanti
sepuluh atau duapuluh orang kawan kedua orang itu
datang, maka kita akan bertempur. Kita akan membunuh
orang-orang itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh salah
seorang diantara orang-orang yang datang Kabuyutan,
sebagian besar dari kita akan mati. Mungkin aku, mungkin
kau. Setiap orang mempunyai kemungkinan untuk mati.
Tetapi yang paling parah, apabila kita semua sudan mati.
tetapi orang-orang yang menyerang Kabuyutan ini belum
semuanya mati. Maka mereka akan mulai dengan satu
perbuatan yang akan merupakan malapetaka yang paling
besar bagi gadis-gadis Kabuyutan ini setelah semua orang
laki-laki terbunuh. Orang-orang yang sedang marah itu mulai berpikir.
Mereka mulai membayangkan, apakah yang akan terjadi
sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu.
Tetapi seorang laki-laki yang bertubuh kurus bertanya
"Apakah mungkin akan terjadi seperti yang dikatakan oleh
Ki Buyut itu" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya
"Mungkin sekali. Orang-orang kasar itu memiliki ilmu yang
tinggi. Kedua anak muda yang sudah aku ketahui dengan
pasti tingkat kemampuannya itupun mengakui, bahwa
mereka berdua berjuang dengan susah payah untuk
mengalahkan dua orang yang telah berusaha mengambil
gadis-gadis Kabuyutan ini"
"Tetapi Ki Buyut" bertanya seorang laki-laki bertubuh
pendek "seandainya kita akan mendapatkan jaminan bahwa
Kabuyutan ini tidak akan mengalami sesuatu?"
"Kita dapat berbicara dengan kedua anak-anak muda
itu" jawab Ki Buyut.
"Bukankah sama saja halnya" Seandainya kita
mengambil sikap yang tegas terhadap kedua orang itu,
maka kitapun akan dapat berbicara dengan kedua anak
muda itu" sahut seseorang.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun seolaholah
ia mendapat satu jalan untuk menekankan
pendapatnya. Jika semula ia hampir kehilangan harapan
untuk menahan gejolak kemarahan orang-orang
Kabuyutannya. maka justru karena pertanyaan itu ia mulai
berpengharapan lagi. Karena itu, maka jawabnya "Ya. Kita memang dapat
berbicara dengan kedua anak muda itu. Tetapi kita tidak
akan dapat memaksakan keinginan kita kepada mereka.
Yang ikut bersamaku ke tepian telah mendengar
keterangannya dan keterangan orang tua yang disebut
paman dari anak-anak muda itu. Kedua anak muda itu
justru akan menyerahkan kembali senjata kedua orang yang
sudah menyerah itu. Kedua senjata yang sudah dirampas
itu akan diserahkan kembali dan tidak mau lagi ikut campur
persoalan-persoalan yang akan terjadi kemudian"
Orang-orang itu menjadi tegang. Tetapi orang-orang
yang ikut ke tepian telah teringat akan kata-kata itu. Katakata
yang memang telah diucapkan.
Sejenak orang-orang itu saling berpandangan. Narnun
orang-orang yang ikut pergi ke tepian itupun mulai
menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat bertindak
sendiri tanpa kedua orang anak muda yang telah
mengalahkan kedua orang itu. Karena sebenarnyalah
mereka mulai mengakui betapa bahayanya persoalan yang
dapat timbul kemudian, jika kawan-kawan kedua orang itu
menuntut balas, sementara kedua orang anak muda itu
tidak mau ikut campur sama sekali.
Karena itu, maka orang-orang itupun mulai melihat
persoalannya dari beberapa segi, sehingga mereka tidak lagi
dengan garang mengacung-acungkan sanjata sambil
meneriakkan kata-kata ancaman.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar diiringi
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati
mulut lorong padukuhan induk Kabuyutan Randumalang.
Terasa betapa jantung kedua orang itu hampir rontok
karenanya. Mereka adalah orang-orang kasar yang memiliki
pengalaman yang luas dalam pengembangan yang berat dan
tugas-tugas yang membawa mereka kedalam satu perbuatan
yang kadang-kadang sangat bertentangan dengan
kemanusiaan. Namun menghadapi orang-orang yang marah, terasa
juga kengerian yang sangat. Mereka sama sekali tidak akan
menjadi ketakutan seandainya mereka dihadapkan pada
satu kemungkinan untuk mati dalam perkelahian yang
manapun. Tetapi tidak dicincang oleh orang-orang yang
sedang marah. Tetapi rasa-rasanya titik-titik air telah jatuh keatas
jantung mereka yang putus-asa. Mereka mulai melihat
suasana yang berbeda ketika mereka melihat beberapa
orang bergeser dari mulut lorong. Bahkan keduanya melihat
seseorang yang menyarungkan senjatanya dan yang
kemudian melangkah menepi.
Manisa Murti dan Mahisa Pukatpun menarik nafas
dalam-dalam, sementara Witantra berbisik ditelinga Mahisa
Agni "Nampaknya terjadi perubahan sikap diantara
mereka. Ki Buyut telah berusaha dengan sungguh-sungguh
jawab Mahisa Agni. Sebenarnyalah ketika mereka memasuki gerbang
padukuhan, maka tidak ada tindakan orang-orang
Kabuyutan Randumalang yang bertentangan dengan
kehendak Ki Buyut Orang-orang Randumalang telah
melihat satu kemungkinan yang dapat berakibat paling
buruk dan kemungkinan yang lain yang dapat melindungi
Kabuyutan mereka. Ki Buyut yang kemudian berdiri dimuka gerbang
padukuhan induknyapun kemudian mempersilahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk membawa kedua
orang itu memasuki padukuhan induk dan langsung dibawa
ke Kabuyutan. Beberapa orang kemudian telah mengikutinya, sehingga
iring-iringan itupun semakin lama menjadi panjang. Namun
dalam pada itu, keluarga gadis-gadis yang berada di tepianpun
telah membawa gadis-gadis mereka pulang dengan
tergesa-gesa. Apalagi kedua gadis yang telah tertidur di
tepian. Bahkan ibu gadis-gadis itu telah menangisinya di
rumahnya. seolah-olah mereka telah menemukan kembali
anak-anak gadis mereka yang telah hilang.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar itu berjalan
dengan kepala tunduk. Mereka tidak berani menatap wajahwajah
orang Kabuyutan Randumalang yang marah,
meskipun akhirnya mereka tidak berbuat apa-apa.
Demikianlah, akhirnya kedua orang itupun telah
memasuki halaman Kabuyutan. Tetapi mereka tidak
langsung dibawa ke pendapa. Tetapi mereka telah dibawa
ke gandok sebelah kanan. "Biarlah mereka berada di gandok" berkata Ki Buyut
"kita akan berbicara di pendapa"
"Tetapi keduanya perlu mendapat pengawasan yang
kuat" berkata Mahisa Murti.
"Biarlah anak-anak muda mengawasinya" jawab Ki
Buyut. "Di depan dan di belakang gandok. agar mereka tidak
melarikan diri dengan memecah dinding di belakang, atau
meloncat lewat bumbungan" Mahisa Pukat melanjutkan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara kedua orang
itu mencoba menatap wajah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Tetapi ketika mereka membentur pandangan kedua
anak muda itu, maka merekapun telah menundukkan wajah
mereka, meskipun mereka harus mengumpat di dalam hati.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
membawa keduanya memasuki gandok. Sementara itu Ki
Buyut talah me-nyerahkan pengawasan kedua orang itu
kepada Ki Jagabaya. "Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya"
berkata Ki Buyut. "Baiklah Ki Buyut" jawab Ki Jagabaya "aku akan
mencoba berbuat sebaik-baiknya atas kedua orang itu.
Anak-anak muda akan menjaga mereka di depan dan di
belakang. "Berapa orang yang akan kau siapkan?" bertanya Ki
Buyut. "Dua di belakang dan dua di depan" jawab Ki Jagabaya.
Ki Buyut mengerutkan keningnya, sementara Mahisa
Agni. berkata "Jangan salah menilai orang-orang itu Ki
Jagabaya. Sebaiknya Ki Jagabaya mengerahkan orang lima
kali lipat" "Duapuluh orang?" bertanya Ki Jagabaya.
"Ya. Sepuluh di depan dan sepuluh di belakang" jawab
Mahisa Agni "itupun mereka harus dengan cepat
mamberikan isyarat seandainya kedua orang itu benarbenar
berusaha melepaskan diri, karena sepuluh orang anak
muda itu tidak akan dapat menangkap kedua orang yang
memiliki ilmu yang tinggi itu"
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun Ki Buyutlah yang
kemudian berkata "Yakini kata-katanya Ki Jagabaya. Aku
tahu pasti, bagaimana orang-orang berilmu tinggi itu
mempergunakan ilmunya. Kerahkan anak-anak muda yang
paling baik untuk membantu mengawasi orang itu.
Duapuluh orang setiap kali, yang kemudian akan
digantikan oleh duapuluh orang berikutnya"
Ki Jagabaya mengngguk-angguk. Namun masih
tarbayang pada sorot matanya sikapnya yang ragu-ragu
bahwa untuk menu awasi kedua orang itu diperlukan
sepuluh orang di depan dan sepuluh orang di belakang.
Tetapi Ki Jagabaya tidak membantah.
Ketika Ki Buyut mempersilahkan keempat orang
tamunya duduk di pendapa, maka Ki Jagabayapun telah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghubungi anak-anak muda Kabuyutan Randumalang
untuk melaksanakan perintah Ki Buyut.
"Ki Buyut terlalu berhati-hati" berkata seorang anak
muda. "Ki Buyut kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sejak
Kabuyutan ini dibayangi oleh ketidak tenteraman, karena
dihantui oleh peristiwa-paristiwa yang mengerikan itu,
maka ia benar-benar menjadi seorang penakut" berkata
seorang anak muda yang lain.
Ki Jagabaya tidak menyahut, la justru telah terlihat ke
dalam satu sikap yang tidak menguntungkan anak-anak
muda Randumalang pada saat itu. Bahkan iapun telah
bertindak kasar terhadap anak-anak Kabuyutan itu sendiri,
karena tingkah laku seseorang.
Namun demikian, bagaimanapun juga, anak-anak muda
itu berusaha untuk melakukannya. Dengan malas mereka
telah menyusun kalompok-kelompok yang terdiri dari
sepuluh orang. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apabila kita mendapat kesempatan, maka sepuluh anakanak
yang berada di belakang itu tidak akan berarti apa-apa
bagi kita" "Ternyata gambaran kita tentang pangawal Kabuyutan
ini keliru. Kedua anak muda yang talah mengalahkan kita
itu, tentu bukan pengawal Kabuyutan ini" berkata yang
lain. "Ya. Menilik sikap dan tingkah laku mereka, maka anakanak
muda di Kabuyutan ini tidak akan mampu berbuat
apa-apa. Tetapi aku yakin bahwa kedua orang anak muda
itu masih ada di Kabuyutan ini. Mereka akan dapat berbuat
sesuatu, jika mereka mendengar isyarat dari anak-anak
muda yang sedang mengamati kita" sahut kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
berkata "Apakah kita tidak akan barusaha untuk dapat
keluar dari tempat tarkutuk ini"
Kawannya menggeleng. Jawabnya "Tidak ada gunanya.
Terlalu banyak mata yang mengamanti kita. Tetapi aku
tidak tahu, apakah malam nanti, kita akan mendapat
kesempatan" "Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi atas kita sebelum
malam nanti" jawab yang lain. Tetapi kemudian " Namun
demikian, ada kemungkinan bahwa kedua anak-anak muda
itu akan meninggalkan tempat ini"
"Kita tidak tahu" berkata kawannya "sebaiknya aku
tidur saja sekarang"
Yang lain tidak menjawab. Ketika kawannya kemudian
berbaring, maka iapun talah duduk di sudut bersandar
dinding. Dalam pada itu, di pendapa Ki Buyut sedang berbincangbincang
dengan keempat orang tamunya. Nampaknya
mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Persoalan yang
mereka bicarakan menyangkut kemungkinan yang paling
buruk yang dapat tarjadi dengan Kabuyutan Randumalang.
"Kita tidak akan dapat mencegah orang-orang
Kabuyutan ini berceritara tentang peristiwa yang telah
terjadi ini, Ki Buyut" berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata "Benar anak muda. Berita tentang tartangkapnya
dua orang itu akan tersebar. Jika keduanya memang
mempunyai kawan di sekitar tempat ini, maka kawankawan
mereka tentu akan berbuat sesuatu untuk
membebaskan mereka" "Hal itu akan dapat menjadi bencana bagi Kabuyutan
ini" berkata Mahisa Pukat.
"Itulah yang membuat kami sangat prihatin" jawab Ki
Buyut. Dalam pada itu maka Mahisa Agnipun kemudian
barkata "Ki Buyut. Barangkali aku mempunyai pendapat
yang dapat dipertimbangkan"
Ki Buyut memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu iapun
bertanya "Jika hal itu akan berakibat baik, maka aku akan
mengucapkan terima kasih"
Sekilas Mahisa Agni memandang Witantra yang
termangu-mangu. Kemudian katanya "Ki Buyut.
Sebenarnyalah kedua orang itu telah melakukan sesuatu
yang gawat tidak saja bagi Kabuyutan ini. Meskipun untuk
waktu yang panjang, namun kedua orang itu talah terlibat
dalam satu useha untuk mengguncangkan kekuasean
Singasari. Karena itu, maka aku cenderung mengatakan,
bahwa kedua orang itu tentu mempunyai banyak kawan di
sekitar kaki pegunungan itu"
Ki Buyut memandang wajah Mahisa Agni dengan
tatapan mata yang memancarkan kecemasan hatinya.
Dengan nada dalam ia bertanya "Jika damikian, apa yang
dapat kami lakukan?"
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya
"Ki Buyut. Sebenarnyalah kami memerlukan orang itu.
Kami ingin membawanya ke Singasari. Mereka akan dapat
memberikan beberapa katarangan yang kami perlukan,
sementara itu, Kabuyutan ini akan babas dari persoalan
yang menyangkut kedua orang itu. Ki Buyut dapat
mengatakan kepada orang-orang Kabuyutan ini, bahwa
kami, prajurit Singasari talah menangkap kedua orang itu
dan membawanya ke Singasari. Dengan demikian, maka
ceritara yang akan tersebar dari muiut ke mulut, akan
dilengkapi oleh ketarangan itu. Jika kawan-kawannya
mendengar lewat siapapun, maka mereka tidak akan tarlalu
mendendam orang-orang Kabuyutan ini. Tetapi mereka
harus memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat
terjadi" "Kemungkinan yang mana Ki Sanak?" bertanya Ki
Buyut. "Jika mereka mendengar bahwa kedua kawannya talah
dibawa oleh prajurit Singasari ke Singasari maka mereka
dapat membayangkan, apa yang tarjadi dengan dua orang
kawannya itu. Prajurit Singasari akan dapat mendengar dari
keduanya, apa yang talah mereka lakukan dan dari
keduanya pula akan dapat didengar keterangan tantang
kawan-kawannya" jawab Mahisa Agni "Dengan demikian,
memang ada kemungkinan bahwa kawan-kawan kedua
orang itu akan justru menyingkir untuk menghindarkan diri
dari tangan para prajurit Singasari"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah
Mahisa Agni sejenak. Kemudian wajah Witantra dan kedua
anak muda yang duduk sebelah menyebelah. Dengan raguragu
Ki Buyut itupun kemudian berkata "Tetapi, apakah
sebenarnya memang demikian" Bahwa kalian akan
membawa kadua orang itu sebagai prajurit Singasari dan
akan memperlakukan sebagaimana kau katakan itu?"
"Ki Buyut" jawab Mahisa Agni "kami akan membawa
keduanya dan memperlakukan sebagaimana kami katakan.
Ketarangan dari meraka akan sangat penting artinya bagi
kami. Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Katanya "Baiklah
Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih. Barangkali cara
yang akan kita ambil ini akan bermanfaaat bagi
keselamatan Kabuyutan Randumalang"
"Mudah-mudahan Ki Buyut. Tetapi Ki Buyut benarbenar
harus memberitahukan kepada orang-orang
Randumalang secepatnya, agar setiap ceritera yang
disampaikan kepada orang lain, telah di katakan pula,
bahwa keduanya akan dibawa ke Singasari" jawab Mahisa
Agni kemudian. Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian "aku
akan memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan anak-anak
muda yang ada di gandok. Barita ini tentu akan capat
tarsebar diantara mereka dan orang-orang Randumalang
yang lain" "Silakan Ki Buyut" jawab Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Buyut meninggalkan
penpada, Witantra berkata "Tetapi ada kamungkinan lain
yang dapat tarjadi" Mahisa Agni mengerutkan keningnya, sementara
Witantra berkata selanjutnya "Jika hal itu didengar oleh
kawan-kawan mereka, maka akan ada kamungkinan
kawan-kawan mereka akan menahan perjalanan kami,
membawa kedua orang itu ke Singasari"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawab "Ya. Kau
benar. Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Tetapi
bukanlah ada lebih dari satu jalur jalan menuju ke
Singasari. Mudah-mudahan kita dapat memilih jalan yang
tidak mereka perhitungkan, sehingga seandainya mereka
berniat untuk mencegat dan mengambil kawan-kawan
mereka, maka mereka tidak akan dapat menjumpai kita di
perjalanan" Witantra mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian
"Bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi yang
dikatakan oleh Witantra itu memang tidak mustahil terjadi.
Kawan-kawan kedua orang itu akan dapat mencegat dan
berusaha untuk merebut kedua orang itu, sehingga
keduanya tidak sempat dibawa ke Singasari.
Persoalannya bukan sekedar karena parsoalan mereka
dengan gadis-gadis Randumalang. Tetapi jika keduanya
dibawa ke Singasari, maka persoalan mereka yang lain,
justru yang jauh lebih besar dari persoalan gadis-gadis itu,
akan terungkap pula. Sementara itu, Ki Buyut talah berada di serambi gandok.
Iapun kemudian mengatakan kepada Ki Jagabaya dan
anak-anak muda yang berada di serambi itu, bahwa kedua
orang itu akan dibawa oleh kedua orang Singasari untuk
didengar keterangan mereka tentang tugas-tugas mereka di
daerah di sekitar Kabuyut an Randumalang.
"Jadi kedua orang itu tidak akan menjadi tanggungan
kita lagi?" bertanya Ki Jagabaya.
"Ya. Kita akan menyerahkan mereka kepada orangorang
Singasari itu. Dengan demikian, maka kita tidak
perlu bentanggung-jawab lagi. Baik mengenai
pengamatannya maupun hubungannya dengan kawankawan
mereka. Karena itu, maka setiap keterangan tentang
kedua orang itu harus dibarikan penjelasan, bahwa
persoalan mereka sebenarnya adalah dengan orang-orang
Singaseri, meskipun semula menyangkut juga gadis-gadis
Randumalang" barkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun ia masih
bertanya "Tetapi apakah dengan demikian, dapat menjamin
bahwa kawan-kawan mereka tidak akan mendendam lagi
kepada kita?" "Yang kita pilih adalah kemungkinan yang paling baik"
jawab Ki Buyut "bahwa kedua orang itu akan dibawa pergi,
merupakan pilihan satu-satunya"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam, la memang
tidak melihat kemungkinan lain yang lebih baik. Karena itu,
maka katanya kemudian "Segalanya terserah kepada Ki
Buyut!" "Tetapi seandainya ada akibat apapun, kita bersamasama
akan mempertanggung-jawabkan" sahut Ki Buyut.
Ki Jagabayapun mengangguk-angguk pula. Memang
tidak mungkin baginya dan para bebahu yang lain untuk
ingkar dari pertanggungan jawab.
Demikianlah, ketika Ki Buyut kembali ke pendapa, maka
keterangan itupun memang segera tersebar. Anak-anak
muda itupun kemudian mengatakan kepada kawan-kawan
mereka, bukan saja dari padukuhan induk, tatapi juga dari
padukuhan-padukuh-an lain dalam lingkungan Kabuyutan
Randumalang. Separti yang diharapkan, maka jika setiap orang
kemudian berbicara tentang peristiwa di pinggir sungai itu,
maka merekapun selalu mengatakan, bahwa kedua orang
itu akan segera dibawa ke Singasari oleh prajurit-prajurit
dalam tugas sandi mereka.
Di pendapa, Mahisa Agni dan Witantra telah mengambil
satu keputusan untuk membawa kedua orang itu, di
keesokan harinya ke Singasari.
"Kenapa begitu targesa-gesa?" bertanya Ki Buyut.
"Kami sudah terlalu lama pergi. Selebihnya, semakin
cepat kedua orang itu menyingkir dari Kabuyutan ini, rasarasanya
akan menjadi semakin baik" jawab Mahisa Agni.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian
bertanya "Bagaimana dengan kedua orang anak muda ini?"
Bahkan anak-anak muda dari padukuhan yang bukan
padukuhan induk itupun talah diikut-sertakan.
Kedua orang kasar itupun mengumpat-umpat kasar
ketika ketika mereka harus tinggal di sebuah bilik yang
sempit di gandok. Pintu bilik itu telah diselarak dari luar,
sementara tiga orang anak muda telah duduk di ruangan di
depan bilik yang tertutup itu.
"Ada sepuluh orang yang berada di depan, termasuk
anak anak yang barada di ruang depan ini dan sepuluh yang
lain berada di belakang" berkata salah seorang dari
keduanya. Mahisa Agni memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Sambil tersenyum Mahisa Agnipun kemudian
berpaling kepada Witantra sambil berkata "Bukankah kita
menyerahkan kepada keputusan mereka, apa yang akan
mereka lakukan?" Witantrapun tersenyum. Katanya "Memang terserah
kepada mereka. Mereka akan dapat mengambil keputusan"
Ki Buyut masih saja termangu-mangu. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, Mahisa Murtilah yang kemudian
menjawab "Paman. Sebenarnyalah bahwa kami masih
ingin tinggal. Tetapi dalam keadaan yang gawat bagi paman
berdua, kami ingin ikut mengantar kedua orang itu sampai
keperbatasan Kota Raja. Kami memang tidak ingin kembali ke Singasari, sebelum
kami puas dengan pengembaraan kami. Tetapi kami
melihat sesuatu yang penting saat ini untuk ikut bersama
paman berdua" Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Sejenak


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian Mahisa Agnipun berkata "Kami sama sekali
tidak berkeberatan. Terserah kepada kalian. Namun dengan
pertimbangan pamanmu Witantra, ada baiknya pula jika
kalian ikut mengantarkan kedua orang itu ke Singasari"
"Tetapi bagaimana dengan Kabuyutan ini" bertanya Ki
Buyut "jika kalian semuanya meninggalkan Kabuyutan ini,
bukankah berarti bahwa Kabuyutan ini akan mennjadi
sengat lemah dan tidak berarti sama sakali?"
"Kami tidak akan pergi terlalu lama" jawab Mahisa
Murti "Singasari tidak terlalu jauh"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang
kecemasan di wajahnya. Tetapi Mahisa Murtipun kemudian berkata "Aku kira, tidak
akan terjadi sesuatu di Kabuyutan ini. Jika kawan-kawan
orang itu ingin berbuat sesuatu, mereka tentu akan
melakukannya atas kami yang membawa kedua orang
kawannya ke Singasari"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi iapun merasa
segan untuk menahan kedua orang anak muda itu. Seolaholah
Kabuyutan mereka targantung dari kehadiran kedua
orang anak muda dari Singasari itu.
Apalagi ketika Mahisa Pukat kemudian berkata "Ki
Buyut. Menurut pengamatanku, anak-anak muda di
Kabuyutan ini sudah mulai menunjukkan keberanian
meraka untuk berbuat sesuatu. Biarlah mereka menjaga
ketenangan Kabuyutan ini untuk satu dua hari. Sementara
itu, kami akan segera kembali, meskipun kami juga tidak
berniat untuk tinggal di Kabuyutan ini"
Ki Buyut memang tidak menahan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Kecuali ia tidak ingin menunjukkan
ketergantungan Kabuyutannya kepada kedua orang anak
muda itu, maka iapun merasa segan, justru karena ia
mengetahui hubungan antara Mahisa Murti dan anak
gadisnya, yang tidak lagi dapat disembunyikan.
Karena itu, maka katanya kemudian "Baiklah, anakanak
muda. Nampaknya kalian benar-benar akan
mengantar kedua paman anak-anak muda yang akan
membawa kedua orang itu. Mudah-mudahan kalian
selamat di perjalanan, dan Kabuyutan inipun tidak
diganggu lagi oleh orang-orang yang tidak mengenal
perabadan itu" "Mereka memang tidak menganal peradaban Ki Buyut"
berkata Mahisa Murti "bahkan mereka ingin
menghancurkan peradaban dengan cara mereka. Hal itu
aken dapat segera diketahui jika mereka telah berada di
Singasari" *** Demikianlah, maka kegelisahan memang telah timbul
diantara kawan-kawan kedua orang itu, ketika dua orang
kawannya tidak kembali kedalam sarang meraka pada
saatnya. Ketika seseorang berusaha untuk mengetahui
sebab-sebabnya, maka orang itu telah mandengar berita
tentang dua orang yang ditangkap oleh dua orang prajurit
Singasari dan yang akan membawanya besok ke Singasari.
"Gila" geram pemimpin dari orang-orang yang bersarang
di hutan di lereng pegunungan "kenapa mereka dibawa oleh
dua orang prajurit Singasari"
Orang itupun talah menceritarakan apa yang
didengarnya tentang tingkah laku kedua orang kawannya
itu. Lalu katanya "Adalah satu kebetulan, bahwa di
Kabuyutan itu ada prajurit Singasari"
"Gila" geram pemimpinnya "kedua orang itu memang
harus dibunuh. Kenapa kedua prajurit Singasari itu tidak
membunuhnya saja" "Mereka sengaja menangkap mereka hidup-hidup.
Mungkin para prajurit Singesari itu sudah mencium tugastugas
kita disini, sehingga kedua orang kawan kita yang
tertangkap itu, akan dapat memberikan lebih banyak
keterangan tentang kita" berkata orang yang mendengar
tingkah laku kedua kawannya itu dari orang-orang
Kabuyutan. "Kapan orang-orang itu akan kembali ke Singasari?"
bertanya pemimpinnya. Menurut pendengaranku, segera. Kabar terakhirnya
mengatakan, bahwa besok mereka akan berangkat ke
Singasari" jawab orang yang mendapat katerangan ku.
"Kita akan mencegatnya" berkata pemimpinnya "Kita
akan mengambil kembali kedua orang itu. Jika gagal,
biarlah keduanya itu mati saja, sehingga dari mulut mereka
tidak akan lagi keluar keterangan yang akan dapat menjerat
leher kita disini, sementara tugas kita sama sekali belum
dapat kita lakukan. Dengan demikian, kita akan kehilangan
nilai perjanjian yang telah kita setujui yang akan
mamberikan hasil yang sangat menguntungkan bagi kita"
"Aku sependapat" berkata seorang kawannya "kita akan
mencegat orang-orang Singasari itu dan kita akan
mengambil atau membunuh sama sekali kedua orang
kawan kita yang tidak tahu diri itu"
Dengan demikian, maka sekelompok orang-orang kasar
yang berada di daerah hutan di lereng pegunungan itu, telah
mengambil satu keputusan. Namun mereka masih
membicarakan, dimana mereka akan mencegat orang-orang
Singasari itu. "Tidak hanya satu jalan menuju ke Singasari" berkata
pemimpin mereka. "Ya. Mereka dapat mengambil jalan yang tidak kita
duga. Sementara itu, kita tidak mampunyai cukup tenaga
untuk memecah orang-orang kita" berkata kawannya.
"Sepuluh orang akan dapat dibagi menjadi dua" berkata
seorang bartubuh gemuk. "Kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan" jawab
pemimpinnya "kita tidak yakin, apakah lima orang kita
akan dapat melawan dua orang prajurit Singasari dan
mungkin ada orang yang akan menyertai mereka"
"Ya. Dua orang anak muda yang agaknya juga orangorang
Singasari itu akan pergi bersama kedua orang prajurit
itu" berkata orang yang mendapatkan keterangan tantang
kedua kawannya yang tertangkap.
"Dua orang anak muda itu harus kita perhitungkan pula"
berkata pemimpinnya "karena itu, kita akan bersepuluh.
Dua orang akan tetap berada di sarang kita"
"Ya. Tetapi dimana?" bertanya yang lain.
Pemimpinnya tarmangu-mangu. Dimana mereka akan
melakukannya. Tidak hanya ada satu jalur menuju ke
Singasari. Namun akhirnya pemimpinnya itu berkata "Kita
akan mencegatnya sebelum mereka sempat memilih jalan.
Demikian mereka keluar dari Kabuyutan, kita akan
menemui mereka di bulak panjang di sebelah Kabuyutan
itu" "Terlalu dekat" desis salah seorang diantara mereka.
"Aku tidak peduli. Orang-orang Kabuyutan itu tentu
tidak akan berani ikut campur. Jika mareka benar-benar
ikut campur, kita akan membinasakan mereka. Kabuyutan
itu akan menjadi karang abang"
Orang-orang yang mendengar penjelasan itu
mengangguk-angguk. Mereka memang tidak terlalu banyak
memperhitungkan orang-orang Kabuyutan di sekitar sarang
mereka, karena menurut pendapat mereka, orang-orang
Kabuyutan itu tidak akan berarti apa-apa.
Ternyata orang-orang yang berbincang itu talah
mengambil keputusan sebagaimana dikatakan oleh
pemimpinnya. Sepuluh orang akan mencegat orang-orang
Singasari itu. Jika mereka gagal mengambil kedua orang
kawannya, meka kedua orang itu akan dibinasakan saja.
Demikianlah, maka orang-orang itupun segera
mempersiapkan diri. pagi-pagi benar mereka harus sudah
berada di bulak panjang, di luar Kabuyutan Randumalang.
Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi cemas, seandainya
orang-orang Randumalang mengetahui apa yang akan
mereka lakukan. Dalam pada itu, sebagaimana direncanakan, maka
Mahisa Agni dan Witantrapun telah bersiap pula ketika
langit menjaui merah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah membenahi diri pula. Sementara itu, para pembantu
Ki Buyut telah menyediakan minuman dan makanan panas,
karena mereka telah mendapat perintah dari Ki Buyut
menyediakannya menjelang keberangkatan tamu-tamunya
ke Singasari. Dalam waktu yang singkat itu, Mahisa Murti masih
memerlukan menjumpai Widati untuk minta diri. Ki Buyut
yang melihat pertemu itu, sama sekali tidak
mengganggunya. Ia tidak lagi melarang anaknya
berhubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika
semula Ki Buyut masih membatasi hubungan anaknya
dengan anak muda itu, karena Ki Buyut sama sekali belum
mendapat gambaran, siapakah sebenarnya Mahisa Murti
itu. Terasa betapa beratnya Widati melepaskan Mahisa
Murti. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain. Ia
memang harus melepas Mahisa Murti meninggalkannya.
Jika tidak pada hari itu, namun pada saat yang lainpun
Mahisa Murti tentu akan pergi.
Meskipun demikian, Widati masih tetap
berpengharapan, bahwa pada suatu saat Mahisa Murti itu
akan kembali lagi kepadanya.
Demikianlah, ketika matahari muncul di cakrawala,
Mahisa Agni dan Witatra telah minta diri untuk pergi ke
Singasari bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, dengan
membawa dua orang tawanan yang telah berhasil ditangkap
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Setelah mereka makan pagi, maka merekapun segera
berkemas. Kuda-kuda yang akan mereka pergunakanpun
telah siap pula di halaman. Enam ekor kuda.
Sejenak kemudian, maka merekapun mulai bergerak
meninggalkan rumah Ki Buyut Randumalang. Dengan
berat hati, Ki Buyut telah melepaskan mereka sampai ke
regol halaman. Demikian pula dengan anak gadisnya.
Widatipun berada di regol pula ketika iring-iringan kecil itu
meninggalkan rumahnya. Dengan dilepas oleh beberapa orang penghuni
Kabuyutan Randumalang di regol rumah masing-masing,
maka iring-iringan itupun bergerak semakin lama semakin
cepat, lika mereka berkuda di bulak-bulak diantara
padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, maka
kuda-kuda merekapun berlari lebih cepat. Tetapi jika
mereka memasuki padukuhan-padukuhan, maka mereka
memperlambat derap kaki kuda mereka.
Dalam pada itu, maka kedua orang tawanan itupun
benar-benar merasa tersiksa. Meskipun mereka sama sekali
tidak diikat dan diperlakukan sebagai tawanan, namun
mereka mengerti, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun telah
sampai ke padukuhan terakhir dalam lingkungan
Kabuyutan Randumalang. Sebentar lagi, mereka akan
keluar dari Kabuyutan itu dan memasuki satu bulak
panjang, sebelum mereka akan sampai ke padukuhan
pertama dari Kabuyutan tetangga.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terbersit
satu dugaan pada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa satu
kemungkinan dapat terjadi, bahwa orang-orang yang akan
mengambil kembali kedua orang tawanan itu jika ada,
justru akan menunggu di satu tempat sebelum mereka
sampai kepada satu kemungkinan memilih jalan yang
menuju ke Singasari. "Aku kira mereka memang mempunyai sejumlah
kawan" desis Witantra.
"Ya" jawab Mahisa Agni "kemungkinan kawankawannya
akan mengambil satu tindakan memang besar.
Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang
mengatakan, bahwa mereka masih mempunyai kawankawan
yang mungkin sekali akan berbuat sesuatu"
Witantra mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling
dilihatnya kedua orang yang berkuda dibelakangnya
memandanginya. Agaknya mereka mendengar percakapan
antara Mahisa Agni dan Witantra itu. Tetapi sebenarnyalah
bahwa Mahisa Agni dan Witantra memang tidak
merahasiakan percakapannya.
Bahkan Mahisa Agnipun kemudian bertanya "Ada
berapa orang jumlah kawan-kawanmu?"
"Banyak Ki Sanak" jawab salah seorang dari mereka
"kami terdiri dari satu lingkungan yang terdiri dari banyak
sekali orang" "Jangan mengada-ada. Apakah kau bersedia menyebut,
berapa orang kawanmu?" bertanya Witantra kemudian.
Kedua orang itu termangu-mangu. Apa niat mereka
untuk berbohong dengan menyebut jumlah yang besar.
Tetapi mereka masih juga ragu-ragu.
"Sebut " tiba-tiba saja Mahisa Pukat yang ada di
belakangnya membentak. Kedua orang itu terkejut. Hampir berbareng mereka
menyebut satu jumlah. Tetapi jumlah itu ternyata jauh
berbeda. Seorang diantara mereka mengatakan, bahwa
kawannya berjumlah seratus lebih. Sementara yang lain
hanya menyebut duapuluh lima.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Sebaiknya kalian
membicarakan lebih dahulu sebelum berbohong. Berapa
orang kalian akan menyebut jumlah kawan-kawan mereka.
Baru setelah kalian sepakat, kalian dapat mengatakannya"
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi
mereka sama sekali tidak menyahut lagi.
Demikianlah iring-iringan itu telah sampai di ujung
padukuhan terakhir dari Kabuyutan Randumalang. Sesaat
kemudian, maka mereka telah meninggalkan regol
padukuhan. memasuki sebuah bulak yang sangat panjang.
Bulak yang separuh digarap oleh orang-orang
Randumalang. dan yang separuh oleh orang-orang di
Kabuyutan tetangga. Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di paling depan
telah memperlambat laju kuda mereka. Sambil


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandangi bulak panjang itu. Mahisa Agni berkata "Di
seberang padukuhan di ujung bulak panjang ini terdapat
jalan yang tercabang Kita akan dapat memilih salah satu
dari keduanya. Dan kita akan dapat mencapai Singasari
dengan pedalaman pengembaraan kita"
"Ya" jawab Witantra "aku sependapat, bahwa kita
memang harus berhati-hati"
Sambil berpaling kepada kedua orang tawanannya
Mahisa Agni berkata "Kalianpun harus berhati-hati. Jika
terjadi sesuatu di perjalanan, mungkin di bulak panjang ini,
tetapi mungkin juga di tempat lain, atau bahkan kita tidak
akan bertemu dengan kawan-kawanmu, namun kita
memang harus bersedia"
"Apa yang harus kami lakukan, jika kawan-kawan kami
benar-benar akan mencegat perjalananku ini" bertanya
salah seorang dari mereka.
"Tidak apa-apa. Justru kalian harus tidak berbuat apaapa"
jawab Mahisa Agni "sebab, jika kalian ikut campur,
maka kalian dapat mengalami nasib yang tidak
menyenangkan mendesak, kami dapat berbuat kasar"
Kedua orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu kuda
mereka berderap di jalan yang berdebu. Meskipun hari
masih pagi, namun kaki-kaki kuda itu telah melepaskan
debu yang putih mengepul. Namun sejenak kemudian larut
oleh angin yang bertiup dari arah pegunungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di depan
memang menjadi sangat berhati-hati. Naluri pengembaraan
mereka seakan-akan sudah memberitahukan, bahwa ada
sesuatu di hadapan mereka, di tengah-tengah bulak panjang
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berkuda di paling
belakang agaknya masih meragukan, bahwa kawan-kawan
kedua orang itu akan mengganggu perjalanan mereka.
"Mungkin keduanya tidak mempunyai kawan sama
sekali" berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan
peringatan yang diberikan oleh kedua pamannya yang
berkuda dipaling depan. Dalam pada itu. matahari yang memanjat kaki langit
sinarnya terasa hangat di segarnya udara pagi. Sekali-sekali
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menengadahkan wajah
mereka, memandang sekelompok burung bangau yang
terbang beriringan dari Tenggara.
"Daerah ini termasuk daerah yang subur" desis Mahisa
Murti. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Tetapi jika bukit-bukit itu menjadi gundul, maka
daerah ini akan segera menjadi gersang. Di musim hujan,
banjir akan melanda padukuhan dan sawah-sawah. Sungai
akan meluap karena tidak dapat menampung arus air dari
pegunungan. Di musim kering sungai-sungai akan menjadi
kering karena di pegunungan yang gundul tidak dapat
menyimpan air" "Satu usaha yang terkutuk" sahut Mahisa Murti "karena
itu, maka hal ini harus didengar oleh para pemimpin di
Singasari" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dipandanginya
kedua orang tawanannya yang berkuda di depannya.
"Meskipun demikian, mungkin kita akan dapat
menelusuri lewat orang-orang itu sampai akhirnya kita
menemukan orang yang memegang kendali atas rencana
mereka" sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu kudakuda
itupun berderap semakin jauh dari padukuhan terakhir
dari Kabuyutan Randumalang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra
merasakan sesuatu yang kurang wajar dihadapan mereka.
Dua orang dibawah sebatang pohon yang tidak terlalu
rimbun. Tentu bukan pengembara yang sedang beristirahat,
karena hari masih belum terlalu panas. Juga bukan petani
yang duduk menunggu giliran mendapatkan air bagi sawah
mereka, karena parit mengalir deras di tepi jalan yang
mereka lalui. Apalagi ketika keduanya melihat bahwa seorang diantara
keduanya bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam satu
tikungan yang dibayangi oleh pohon jarak kepyar yang
tumbuh di sudut tikungan.
Keduanya tanpa berjanji telah memperlambat kuda
mereka. Bahkan kemudian Mahisa Agni berpaling sambil
berkata "Berhati-hatilah. Kita akan sampai ke satu tikungan
yang perlu mendapat perhatian"
Kedua orang tawanan itu menjadi tegang. Namun
terbersit harapan, bahwa kawan-kawannya benar-benar
akan datang untuk membebaskan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian mendesak
maju, mendekati dua orang tawanannya. Dengan nada
datar Mahisa Murti berkata "Seandainya benar kawankawanmu
yang datang, sekali lagi aku peringatkan. Kalian
jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai diri kalian
sendiri" Sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang berada di
tikungan itu adalah kawan-kawan kedua orang tawanan
yang akan membebaskannya. Namun satu pengertian,
bahwa jika mereka gagal, maka kedua itu akan dibunuhnya
saja. Dalam pada itu. dua orang yang duduk di bawah pohon
itu adalah orang-orang yang bertugas untuk mengamati
jalan. Kawan-kawan kedua orang tawanan itu
memperhitungkan, bahwa pada saat yang demikian itu,
orang-orang Singasari akan lewat.
Karena itu, ketika mereka melihat sebuah iring-iringan
kecil orang berkuda, maka seorang diantara kedua orang
yang menunggu di pinggir jalan itu. segera memberitahukan
kepada kawan-kawan mereka.
"Berapa orang?" bertanya pemimpinnya yang duduk di
bawah sebatang pohon kepyar yang rimbun.
"Enam orang" jawab pengamat itu "dua diantara mereka
tentu kawan-kawan kita yang tertawan itu"
Pemimpin mereka itupun mengangguk-angguk. Lalu
bebaskan mereka, kita adalah kelinci-kelinci yang tidak
berarti. Kita tidak usah membunuh kedua kawan kita.
Tetapi kitalah yang sebaiknya membunuh diri"
Kawan-kawan tidak menjawab. Tetapi mereka sadar,
bahwa pemimpin mereka telah menentukan satu sikap.
Mereka dapat merebut kedua orang kawan mereka. Itu
berarti bahwa mereka harus dapat membinasakan keempat
orang singasari yang membawa kedua orang kawan mereka
itu. "Kita tidak memerlukan seorang tawananpun. Karena
itu, maka ke empat orang itu harus kita bunuh" berkata
pemimpin mereka. Orang-orang itupun segera mempersiapkan diri. Ketika
orang yang menunggu di pinggir jalan itu memberikan satu
isyarat bunyi, maka sembilan orang yang lain serentak telah
berdiri dan melangkah ke tikungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berada di paling depan
telah menarik kendali kuda mereka, sehingga kuda itupun
berhenti. Dengan wajah tegang, Mahisa Agni dan Witantra
memandangi kesepuluh orang yang berada di tikungan itu.
Seorang diantara kesepuluh orang itupun melangkah
maju. Sejenak dipandanginya kedua orang kawannya yang
berkuda di belakang dua orang Singasari yang sudah lewat
setengah umur, sementara dua orang anak-anak muda
berkuda di belakang mereka.
Kedua orang berkuda itu tersenyum. Tanpa disadari,
seorang diantara merekapun berpaling memandangi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat menggeram. Terdengar ia berdesis "Ingat.
Jika kau berbuat sesuatu, maka nasibmu akan terhenti di
sini. Akan dapat membunuh kalian dengan cara apapun
juga" Tetapi orang itu tersenyum semakin lebar. Namun ia
sama sekali tidak menjawab. Namun demikian, kesan yang
menyentuh perasaan Mahisa Pukat membuatnya harus
berwaspada sepenuhnya. Nampaknya kedua orang itu tidak
akan tinggal diam pada saat-saat yang menentukan.
Dalam pada itu, pemimpin orang-orang yang mencegat
itu kemudian berkata "Ki Sanak. Kami minta maaf, jika
kami mengganggu perjalanan kalian"
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Kemudian
jawabnya "Tidak apa-apa Ki Sanak. Agaknya Ki Sanak
mempunyai satu keperluan yang barangkali kami dapat
membantunya" "Ya Ki Sanak. Aku kira kalian akan dapat membantu
kami" jawab pemimpin dari orang-orang yang mencegat
itu. Mahisa Agni mengangguk-angguk Dengan nada datar ia
bertanya "Apa yang dapat kami lakukan?"
"Ki Sanak" berkata pemimpin orang-orang yang
memcegat itu "ketahuilah, bahwa dua orang yang sekarang
berkuda di belakang Ki Sanak itu adalah kawan-kawanku.
Menurut pendengaranku, mereka akan kalian ajak pergi ke
Singasari. Bahkan kalian telah memperlakukan mereka
sebagai tawanan" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya "Kau
benar. Kedua orang yang kau sebut sebagai kawanmu ini
memang dua orang tawanan kami yang akan kami bawa ke
Singasari. Kami adalah petugas-petugas dari Singasari yang
secara kebetulan menemukan mereka sedang melakukan
satu kesalahan yang sangat mengganggu, sehingga kami
memutuskan untuk membawa mereka ke Singasari"
"Apakah kesalahan mereka?" bertanya pemimpin
kelompok yang mencegat iring-iringan itu
"Apakah kalian belum mengetahui?" bertanya Mahisa
Agni. "Sebetulnya. Apakah pendengaranku sesuai dengan
pendapatmu" jawab pemimpin kelompok itu.
"Mereka telah merampas kebebasan dua orang gadis dari
padukuhan Randumalang. Orang-orang Randumalang
sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya, sehingga
kami yang kebetulan sedang beristirahat di Kabuyutan itu
dalam perjalanan kami kembali ke Singasari, telah
menangkap kedua orang itu" jawab Mahisa Agni.
"Hanya itu?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Ya. Apalagi?" bertanya Mahisa Agni.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berkata "Apakah kalian tidak melihat
persoalan lain pada kedua orang kawan kami itu?"
"Persoalan apa?" Kami hanya melihat keduanya berbuat
sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Dan kami telah
menangkap mereka, jawab Mahisa Agni.
"Jika hanya itu, kenapa kalian bersusah payah membawa
mereka ke Singasari?" bertanya pemimpin kelompok itu
pula. "Lalu. harus kami bawa kemana?" Mahisa Agni justru
ganti bertanya "kami adalah prajurit Singasari. Bukan
pengawal yang bertugas di Kediri. Bukan pula pengawal
dari salah satu Pakuwon dan yang membawahi Kabuyutan
Randumalang" Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, salah seorang dari kedua tawanan
itu tiba-tiba saja berkata "Mereka ingin mengetahui, apa
yang kita lakukan di sini. Karena itu, mereka menangkap
kami" Semua orang yang ada di tempat itu berpaling kepada
tawanan yang menyahut pertanyaan pemimpinnya itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat telah membentaknya
"Diam kau" Tetapi orang itu tersenyum "Baiklah kita sekarang
melihat kenyataan yang kita hadapi. Kawan-kawanku telah
datang untuk membebaskan aku. Mereka tentu tidak akan
membiarkan aku kalian bawa ke Singasari dan kalian paksa
dengan segala cara untuk mengatakan, apa kerjaku di
sekitar Kabuyutan Randumalang ini"
Hampir saja Mahisa Pukat menyerang orang itu. Tetapi
Mahisa Murti sempat mencegahnya. Katanya "Biarkan saja
apa yang dikatakannya. Biarlah paman Mahisa Agni dan
paman Witantra mengambil keputusan, sikap apakah yang
harus kita lakukan" "Ternyata kau lebih bijaksana anak muda" berkata orang
itu. "Aku memang ingin bersikap bijaksana seperti yang kau
katakan, karena aku yakin, bahwa kami akan dapat berbuat
apa saja yang kami kehendaki atas kalian" jawab Mahisa
Murti. Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu
pemimpinnya menyahut "Kau terlalu sombong anak muda.
Jauh lebih sombong dari anak muda pemarah itu. Tetapi
baiklah, aku ingin mengatakan sebagaimana sudah
dikatakan oleh kawanku yang kau tawan itu. Kami ingin
membebaskan mereka. Mungkin dengan satu perjanjian.
Tetapi mungkin kalian akan merelakannya begitu saja.
Karena sebenarnyalah kalian memang sudah tidak
mempunyai pilihan apapun juga"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni "bukankah kami
wenang untuk memilih banyak kemungkinan "Memang
satu diantaranya adalah menyerahkan tawanan kami
kepada kalian. Tetapi kami dapat memilih yang lain?"
Kami dapat memilih untuk tetap membawa mereka ke
Singasari. Atau bahkan kami dapat memilih yang lebih
buruk dari itu. Membunuh mereka berdua misalnya"
"Jangan mengada-ada Ki Sanak" jawab pemimpin
kelompok itu "aku berusaha untuk tetap bersabar
menghadapi kalian. Kami memang ingin membebaskan
kedua orang kawan kami dengan cara yang paling baik.
Tetapi jika kalian masih tetap dalam kesombongan kalian,
maka mungkin aku akan kehilangan kesabaran dan
mengambil sikap yang kasar. Karena sebenarnyalah bahwa
kami adalah orang-orang yang kasar dan tidak mengenal
belas kasihan"

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu. Contohnya adalah kedua orang kawanmu
yang telah kami tangkap. Mereka memang tidak mengenal
belas kasihan. Apalagi terhadap gadis-gadis kecil dari
Kabuyutan Randumalang"
Terdengar pemimpin kelompok itu menggertakkan
giginya. Sementara itu seorang yang berdiri di belakangnya
menggeram "Tidak ada gunanya untuk berbicara lebih
panjang. Kita binasakan saja mereka, dan kita ambil kawankawan
kita" Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Jika mereka benar-benar tidak mau bersikap lebih
baik, kita akan membinasakan mereka, dan bukan saja
mengambil kawan-kawan kita. Tetapi kita akan mendapat
kuda yang tegar dan kuat. Kuda yang tentu cukup mahal
harganya" "Ki Sanak" berkata Witantra kemudian "nampaknya
kalian memang akan mempergunakan kekerasan. Tetapi
sebaiknya kalian berpikir ulang. Kami adalah prajurit
Singasari. Kami memiliki pengalaman berperang dan sudah
barang tentu kami tidak akan dapat kalian takut-takuti
dengan cara apapun juga. Karena itu, sebaiknya kalian
minggir saja. Relakan kedua orang kawan kalian yang telah
mencemarkan nama baik kelompok kalian. Tanpa kedua
orang ini mungkin kedudukan kalian akan menjadi lebih
aman, karena prajurit Singasari berikutnya tidak selalu
mengejar-ngejar kalian. Bukankah kalian menyadari bahwa
jika kami tidak kembali berarti Singasarai akan
menggerakkan prajuritnya lebih banyak dan lebih
bersungguh-sungguh" Kata-kata itu memang menyentuh perasaan pemimpin
kelompok itu sehingga iapun telah merenunginya. Namun
seorang yang berdiri di belakangnya berkata "Kaulah yang
ingin menakut-nakuti kami. Jika kalian mempunyai
pengalaman bertempur, kamipun mempunyai pengalaman
yang barangkali justru lebih luas dari pengalaman kalian.
Sementara itu, jika mayat kalian tidak diketemukan oleh
siapapun juga, maka tidak seorangpun yang akan dapat
mengatakan, bahwa kalian lelah mati di bulak ini, dan
prajurit Singasari tidak akan dapat mencari siapakah yang
bertanggung jawab atas kematian kalian"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
"Minggirlah. Kami tetap dalam pendirian kami"
"Bukankah tidak ada gunanya untuk berbicara?" sahut
seorang yang bertubuh tinggi.
Pemimpin kelompok itupun kemudian memberikan
isyarat kepada orang-orangnya "Bersiaplah. Kita akan
bertempur" Beberapa orangpun kemudian telah memencar.
Sementara itu. kedua orang tawanan yang berada di antara
Mahisa Agni dan Witantra serta Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu, telah bersiap-siap pula. Namun mereka terkejut
tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada
di samping mereka. "Sekali lagi aku peringatkan, jangan berbuat sesuatu"
berkata Mahisa Murti. Wajah orang itu menjadi tegang. Terasa ujung pedang
kedua anak muda itu telah menyentuh pinggangnya.
Tetapi salah seorang dari kedua orang itu berkata "Kau
tidak akan berani membunuh kami. Dengan demikian,
nasib kalian akan menjadi sangat buruk. Kawan-kawan
kami yang marah akan memperlakukan kalian di luar segala
macam sikap yang pernah kau pikirkan"
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi merah.
Merekapun hampir kehilangan kesabaran mereka. Namun
dalam pada itu, mereka masih berusaha menahan diri.
Namun Mahisa Pukat menggeram sambil menekankan
pedangnya "Kau kira mereka akan dapat membunuh
kami!?" "Jumlah kalian jauh lebih sedikit dari jumlah kawankawan
kami. Sementara itu, beberapa orang diantara
kawan-kawan kami ittu memiliki kemampuan di atas
kemampuan kami, sehingga dengan demikian, mereka yang
jumlahnya sepuluh orang itu akan dengan mudah
membunuh kalian berdua. Selebihnya dua orang pamanmu
itu tidak akan berdaya apa-apa" jawab salah seorang dari
kedua orang tawanan itu. Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba saja
tangannya menyambar tengkuk orang itu sambil berkata
"Diamlah orang gila"
Sentuhan tangan Mahisa Pukat benar-benar telah
membuat orang itu diam. Bahkan orang itu telah
kehilangan kesadarannya, sehingga ia telah terkulai di
punggung kudanya. "Gila" geram kawannya" Kau membunuh kawan kami
he?" "Tidak. Aku hanya membungkamnya untuk sementara"
jawab Mahisa Pukat. Orang itulah hampir saja berteriak mengumpat. Tetapi
Mahisa Murtilah yang kemudian memukul tengkuknya
sehingga orang itupun menjadi pingsan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun segera meloncat
turun dari kuda mereka. Tanpa menghiraukan orang-orang
yang telah berpencar itu, mereka menambatkan kuda
mereka, dan kuda kedua orang yang telah pingsan itu.
Pada saat sepuluh orang yang mencegat iring-iringan di
tengah-tengah bulak itu akan bergerak, pemimpinnya
berdesis "tunggu. Apa yang akan mereka lakukan atas
kawan-kawan kita yang sudah terlanjur pingsan itu"
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membaringkan keduanya di atas rerumputan setelah mereka
mengambil keduanya dari atas punggung kuda masingmasing.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mencegat
perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun
kemudian mereka masih belum mati. Tetapi ketahuilah
bahwa mereka memang tidak terlalu berharga buat kami.
Karena itu, seandainya mereka matipun kami tidak akan
merasa kehilangan" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian bertanya "Jadi buat apa kalian ingin
menyelamatkannya, jika mereka tidak cukup berharga buat
kalian. Apa lagi kalian masih harus mempertaruhkan
nyawa kalian" "Persetan" bentak pemimpin kelompok itu "siapa yang
mempertaruhkan nyawa untuk tikus-tikus kecil itu. Kau
sangka bahwa kalian berempat dapat berbuat sesuatu atas
kami?" Mahisa Pukat benar-benar menjadi muak menghadapi
orang-orang itu, sehingga iapun kemudian menjawab
"Kami akan membunuh kalian, bukan kalian akan
membunuh kami" Dalam pada itu, orang bertubuh tinggi diantara
kelompok itupun menyahut hampir berteriak "Cukup. Kita
tidak perlu berbicara terlalu banyak"
"Baiklah" berkata pemimpinnya. Namun ia masih,
berkata "Tetapi biarlah mereka menyadari kesia-siaan kerja,
mereka. Orang-orang itu memang tidak berharga bagi kami.
Jika kami gagal membebaskan mereka, maka biarlah
mereka akan kami bunuh saja"
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Dalam
pada itu Witantrapun berkata "Kau ingin menghilangkan
jejak?" "Ya. Ada dua cara yang dapat kami tempuh. Membunuh
kalian, dan membebaskan kawan-kawan kami, atau jika
kalian sempat mempertahankan diri, maka kedua orang
itulah yang akan kami bunuh" Jawab pemimpin kelompok
itu "tetapi satu hal yang harus kalian perhitungkan. Kalian
akan menghadapi kekuatan yang tidak mungkin kalian
lawan. Karena itu, maka lebih baik kalian
memperhitungkannya dengan cermat"
"Sekali lagi aku tegaskan" jawab Mahisa Agni "kami
tetap dalam pendirian kami"
Pemimpin kelompok itu benar-benar telah kehilangan
kesabaran mereka. Dengan satu isyarat, maka sepuluh
orang itupun segera mengepung empat orang yang
menyebut diri mereka prajurit-prajurit Singasari itu.
Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun segera mempersiapkan diri. Merekapun segera
bersiap diseputar kedua orang yang terbaring diam setelah
Mahisa Agni dan Witantra mengikat mereka pula.
Kepungan kesepuluh orang itupun menjadi semakin
lama semakin rapat. Beberapa orang diantara mereka telah
mengacukan senjata-senjata mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah menggenggam
pedang masing-masing. Dengan tegang mereka menunggu
orang-orang itu datang menyerangnya.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu telah
mendahului kawan-kawannya menyerang Mahisa Agni.
Senjatanya terjulur lurus ke dada Mahisa Agni yang siap
menangkisnya. Sehingga dengan demikian, maka ujung
senjata itu sama sekali tidak mengenai lawannya.
Tetapi pemimpin kelompok itu memang tidak ingin
melukai lawannya pada serangan pertama. Ia hanya
sekedar memberikan perintah kepada kawan-kawannya
agar mereka mulai menyerang.
Sebenarnyalah, sesaat kemudian maka kesepuluh orang
itupun telah menjulurkan senjata mereka bersama-sama.
Namun dalam pada itu, Mahhisa Murti dan Mahisa
Pukat telah benar-benar siap menghadapi segala
kemungkinan. Meskipun ia melihat senjata-senjata yang
teracu kepada mereka, namun mereka sama sekali tidak
menjadi gentar. Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan ketika
mereka mendengar Mahisa Agni berdesis "Hati-hatilah.
Mereka adalah orang-orang yang berbahaya"
Sebenarnyallah kesepuluh orang itu merupakan orangorang
yang berbahaya. Ketika mulai menyerang, maka
kesepuluh orang itu telah berusaha untuk membuat
keempat orang yang mereka kepung itu menjadi bingung.
Berganti-ganti mereka meloncat menyerang, semakin
lama semakin cepat, sehingga sejenak kemudian, maka
kesepuluh orang itu telah menyerang berganti-ganti beruruturutan
seperti gelombang yang didorong oleh badai
menghantam tebing. Dengan penuh keyakinan, mereka berharap bahwa
dalam waktu yang singkat mereka akan berhasil
melumpuhkan keempat orang yang menyebut diri mereka,
prajurit-prajurit Singasari itu.
Tetapi ternyata yang mereka hadapi adalah Mahisa
Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra. Karena itu.
maka pada putaran pertama dari cara mereka menyerang
keempat orang itu sudah mulai terasa, bahwa yang mereka
hadapi adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Justru karena itu, maka pemimpin mereka telah
memberikan isyarat, agar orang-orangnya menjadi semakin
berhati-hati. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuran
itupun menjadi semakin dahsyat. Orang-orang itu
berloncatan menyerang berganti-ganti. Beruntun tidak
henti-hentinya. Namun demikian serangan mereka hampir
tidak berarti sama sekali. Setiap kali senjata mereka yang
terjulur, seolah-olah telah membentur dinding yang
memagari Keempat orang itu dengan tangkisan-tangkisan
yang cepay. Bahkan kadang-kafang terasa, tangan mereka
menjadi pedih jika terjadi benturan yang keras.
Karena itu, maka pemimpin mereka menganggap bahwa
cara itu tidak akan segera dapat meng atasi keadaan.
Mereka tidak akan segera dapat membunuh keempat orang
itu, atau melukainya. Sejenak kemudian, terdengar isyarat dari pemimpin
orang-orang yang mengepung keempat orang itu. Mahisa
Agni, Witantra dan kedua anak Mahendra itupun segera
dapat mengetahuinya, bahwa akan terjadi satu perubahan
dalam tata gerak kesepuluh orang lawannya itu.
Sebenarnyalah, kesepuluh orang itupun segera
berloncatan mundur. Untuk seesaat, pertempuran itu
memang terhenti. Namun dalam pada itu, keempat orang
yang berada dalam kepungan itu segera melihat, bahwa
kesepuluh orang itu telah membuat satu cara yang lain
untuk melawan mereka. Dengan berdebar-debar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat kesepuluh orang itu telah terpecah dan membuat
kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi mereka.
"Satu cara yang lain" desis Mahisa Pukat.
Nampak baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Murti
menganggap hahwa cara itu adalah cara yang paling wajar
untuk bertempur menghadapi lawan yang sedikit
jumlahnya. Meskipun dengan demikian mereka berharap
bahwa mereka akan daqpat mengalahkan lawan mereka
seorang demi seorang. Sebenarnyalah dalam pada itu, pemimpin kelompok
itupun berkata "Sekarang kami bersungguh-sungguh setelah
kami mencoba untuk memberi kesempatan kepada kalian
menyerah. Jangan menyesal bahwa kalian akan mati
terbunuh. Seorang saja diantara kalian kami habisi, maka
beruntun yang lainpun akan segera menyusul"
"Kami menyadari" jawab Mahisa Agni tetapi untuk
membunuh seorang diantara kami, bukanlah satu pekerjaan
yang mudah. Karena telah menjadi naluri seseorang, bahwa
ia akan mempertahankan hidupnya sejauh dapat
dilakukan" "Tetapi usaha kalian akan sia-sia" berkata pemimpin
mereka "tetapi jika kalian ingin mati jantan dengan pedang
di tangan, kamipun tidak akan berkeberatan"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kearah Witantra. maka Witantrapun
memandanginya. Ketika Witantra mengangguk kecil, maka
Mahisa Agnipun telah mengangguk pula.
Agaknya keduanya telah sepakat untuk segera
menghalau orang-orang itu, meskipun mereka menyadari,
bahwa mereka harus bekerja keras. Apalagi Mahisa Murti


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Mahisa Pukat. Tetapi untunglah, bahwa kesepuluh orang itu telah
berdiri dalam kelompok-kelompok yang tidak sangat
membahayakan bagi kedua anak muda itu, meskipun
keduanya harus bekerja berat untuk bertahan sampai
saatnya Mahisa Agni dan Witantra dapat membantu
mereka. Kesepuluh orang itu telah terbagi dalam ampat
kelompok. Masing-masing tiga orang yang berdiri
berhadapan dengan Mahisa Agni dan Witantra. Kemudian
untuk menghadapi dua orang anak muda anak Mahendra
itu, empat orang yang tersisa telah membagi diri pula.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni dan
Witantra harus berhadapan masing-masing dengan tiga
orang, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
menghadapi masing-masing dua orang.
"Apakah kalian tetap pada pendirian kalian?" pemimpin
kelompok itu masih bertanya.
"Ya" Mahisa Agnilah yang menjawab.
Pemimpin kelompok itu menggeretakkan giginya.
Kemudian terdengar ia meneriakkan aba-aba, sekaligus
meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya terjulur
lurus kearah jantung Mahisa Agni.
Tetapi serangan itu tidak berarti apa-apa. Namun
demikian, serangan-serangan yang lainpun segera
menyusulnya. Seperti juga kelompok-kelompok yang
berhadapan dengan Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan demikian, maka pertempuran itupun telah
terjadi di empat lingkaran. Di luar sadar mereka yang
sedang bertempur itu. maka setiap lingkaran telah
mengambil jarak dari lingkaran pertempuran yang lain.
Mahisa Agni yang bergeser ke sawah telah bertempur
diantara tanaman yang sedang tumbuh. Batang-batang padi
yang hijau telah terinjak-injak oleh kaki mereka yang
sedang bertaruh nyawa. Sementara itu, seorang dari ketiga
lawannya adalah pemimpin kelompok yang garang.
Dalam pada itu. Witantra telah bertempur melawan tiga
orang pula. Tetapi mereka tetap bertempur di jalan
simpang. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah turun ke tanah persawahan pula. di
seberang menyeberang jalan. Merekapun telah menginjakinjak
tanaman yang tumbuh dengan suburnya. Tetapi
mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka
harus mempertahankan hidup mereka, sehingga karena itu,
maka mereka terpaksa mengorbankan tanaman yang hijau
di tanah persawahan itu. Dalam pada itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu
lama, mulai terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa untuk melawan masing-masing dua orang, ternyata
mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Seperti dua orang yang tidak sadarkan diri dan terbaring
diam itu, maka orang-orang yang bertempur berpasangan
itu memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu,
sebagaimana melawan dua orang yang terbaring itu, maka
baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat merasa, betapa
tekanan-tekanan yang berat mulai menggetarkan
pertahanan mereka. Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu sama
sekali tidak menjadi gentar. Mereka sadar bahwa mereka
memang harus mengerahkan segenap kemampuan. Mereka
harus mempergunakan nalar dan kemampuan untuk
mengatasi kesulitan mereka menghadapi masing-masing
dua orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dan Witantra
melihat kesulitan yang dialami oleh kedua orang anak
muda itu. Karena merekapun telah melihat kemampuan dua orang
yang terbaring diam itu, dan memang mempunyai
perhitungan bahwa kemampuan kawan-kawannyapun tidak
akan terpaut banyak, maka keduanyapun harus membuat
perhitungan yang sebaik-baiknya, agar kedua anak, muda
itu tidak mengalami kesulitan yang lebih parah, tetapi tanpa
datang membantu mereka. Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Mahisa Murti yang harus berloncatan dengan tergesa-gesa
menghindari serangan kedua orang lawannya. Sehingga
dengan demikian, maka Mahisa Murti itu seakan-akan telah
kehilangan kesempatan untuk membalas serangan kedua
lawannya, selain berloncatan menghindar. Sementara itu,
Mahisa Pukatpun telah mengalami kesulitan yang sama.
Betapapun ia berusaha, namun serangan lawannya yang
datang beruntun telah menggetarkan pertahanannya.
Sehingga karena itu, seperti Mahisa Murti, maka Mahisa
Pukatpun telah terdesak, sehingga ia terdorong semakin
jauh ke tengah-tengah sawah.
Namun demikian, perlawanan kedua orang anak muda
itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya. Meskipun
keduanya seolah-olah hampir tidak mempunyai
kesempatan, tetapi sekali-sekali kedua anak muda itu masih
juga berusaha untuk menyerang dengan tiba-tiba.
Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantrapun telah
terlibat dalam pertempuran yang sengit pula melawan
masing-masing tiga orang. Namun berbeda dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Agni dan Witantra
segera dapat menempatkan diri dalam perlawanan mereka
atas ketiga orang lawan mereka.
Namun demikian, tiga orang lawan itu bukannya lawan
yang dapat diabaikan. Mereka bertempur dengan cepat dan
kasar. Apalagi ketika mereka bertempur semakin cepat.
Setelah keringat mereka membasahi seluruh tubuh mereka,
maka seolah-olah mereka tidak lagi mengekang diri untuk
berbuat apa saja. Juga kekasaran dan kekerasan yang tidak
terkekang. Tetapi menghadapi Mahisa Agni dan Witantra,
mereka ternyata tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu telah berusaha
untuk memancing perhatian Mahisa Agni. Sementara itu,
seorang kawannya berusaha menyerangnya dari arah
kanan. Jika ia gagal, maka kawannya yang lain akan
menyerang dengan serangan yang mematikan dari arah
yang lain. Namun dalam pada itu, meskipun perhatian Mahisa
Agni seakan-akan telah terpancing oleh pemimpin
kelompok itu, namun serangan kawannya yang pertama
sama sekali tidak dapat mengenainya. Dengan cepat
Mahisa Agni bergeser mengelakkan serangan itu.
Tetapi masih ada serangan yang terakhir, yang
diharapkan akan dapat menghunjam ke dalam tubuhnya.
Namun ketika serangan itu datang, Mahisa Agni sama
sekali tidak dapat disentuhnya. Dengan tangkasnya Mahisa
Agni meloncat sambil berputar. Namun dalam pada itu,
tiba-tiba saja pedangnya telah menyambar senjata orang
ketiga itu. Kekuatan Mahisa Agni benar-benar tidak terlawan.
Ternyata sambaran pedang Mahisa Agni alas senjata orang
ketiga itu serasa telah mematahkan jari-jarinya. Dengan
demikian, maka senjatanya telah terlepas dan terlempar
beberapa langkah dari padanya.
Tetapi Mahisa Agni tidak sempat memburunya. Kedua
orang lawan orang itu hampir bersamaan telah menyerang
dari arah yang berbeda, sehingga Mahisa Agni harus
bergeser surut. Lawannya mendapat kesempatan untuk memungut
senjatanya ketika kedua orang lawannya melindunginya.
Namun jari-jarinya terasa tidak lagi mampu menggenggam
senjatanya seperti semula.
Meskipun demikian, ketiga orang itupun kemudian
masih tetap bertempur dengan gigihnya. Serangan mereka
datang beruntun bagaikan ombak di lautan.
Sementara itu, Witantrapun bertempur dengan serunya.
Tiga orang lawannya dengan kasar telah berusaha
menyerang dari tiga arah yang berlawanan. Dengan
gerakan yang cepat, mereka berusaha untuk berputar
mengelilingi Witantra sambil menyerang bergantian, dari
arah yang berbeda-beda. Tetapi ketiganya menjadi semakin berdebar-debar karena
Witantra sama sekali tidak terpengaruh oleh tata gerak
ketiga orang lawannya. Dengan tenang dan mapan ia
menghadapi lawan-lawannya. Dengan cara apapun juga.
ternyata ketiga lawannya itu telah mengalami kesulitan.
Bahkan dalam kemarahan yang memuncak, ketiganya
telah bersepakat untuk menyerang Witantra bersama-sama
dari satu arah mereka bersama-sama menjulurkan senjata
mereka. Namun, meskipun Witantra hanya menggenggam
sebilah pedang, tetapi rasa-rasanya pedang itu dapat
berubah juga menjadi tiga yang menangkis serangan ketiga
orang itu satu demi satu.
"Hantu mana yang telah masuk ke dalam dirinya" geram
salah seorang dari ketiga lawannya.
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya "Aku ngeri terhadap hantu-hantu. Karena itu.
aku sama sekali tidak berguru kepada hantu-hantu itu"
Monte Cristo 2 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Manusia Srigala 15
^