Pencarian

Jejak Malaikat Biru 1

Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Episode I: BUNGA KEMUNING BIRU
Episode II: JEJAK MALAIKAT BIRU
RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(BUNGA KEMUNING BIRU)
"KETUA! KAMI MEMBAWA SEORANG
PENGACAU! KESAKTIANNYA CUKUP LUAR BI-
ASA. BILA KETUA BERMINAT MENGAMBILNYA
SEBAGAI PEMBANTU, KAMI AKAN MEMBIAR-
KANNYA HIDUP!"
"BAGUS! TAPI SAYANG, KALIAN BELUM
TAHU SIAPA PEMUDA YANG KEDUA LENGAN-
NYA BERSISIK COKLAT ITU," TERDENGAR SUA-
RA SEORANG PEREMPUAN. "BUKA IKATANNYA!"
RAJA NAGA MERASAKAN IKATAN KEDUA
TANGANNYA DIBUKA, MENYUSUL PENUTUP
MATANYA. SEGERA SAJA DIA MENCARI PEREM-
PUAN YANG BERSUARA TADI.
TEGAK DI HADAPAN RAJA NAGA SEO-
RANG PEREMPUAN YANG TERSENYUM DAN
BERKATA, "DUNIA INI BEGITU SEMPIT RU-
PANYA! BELUM LAMA KITA BERPISAH, KINI SU-
DAH BERTEMU LAGI! SELAMAT DATANG DI KE-
DIAMANKU, RAJA NAGA!"
"PRATIWI!"
SATU PEMUDA berompi ungu itu berdiri mematung.
Sepasang matanya yang selalu menyiratkan keangke-
ran, memandang tak berkedip pada gadis yang sedang
tersenyum di hadapannya. Sementara si gadis yang di-
pandanginya hanya tersenyum.
"Mengapa harus bersikap aneh seperti itu, Raja
Naga?" ucapnya sambil maju dua langkah. Lalu sam-bungnya sambil mengedipkan
sebelah matanya,
"Atau... kau masih gusar akan sikap anak buahku itu?" Raja Naga yang sempat
terkejut melihat siapa gadis di hadapannya, menghela napas pendek. Mata
angkernya sesaat mengerjap sebelum berkata, "Sebelumnya, kau kukenal sebagai
gadis yang sedang terbu-
ru-buru karena mendendam pada perempuan berjuluk
Kembang Darah! Tetapi sekarang, kau laksana seorang
ratu yang menguasai para prajurit!"
Gadis berpakaian putih bersih itu tersenyum.
Tangannya mengulap, memberi tanda pada lima lelaki
berpakaian dan bertopeng hitam yang masih berlutut
untuk meninggalkan tempat.
Setelah kelima orang itu dengan patuhnya berla-
lu, dia berkata pada Raja Naga, "Apa yang kukatakan sebelum kita berjumpa
kembali memang benar adanya.
Raja Naga... aku memang mendendam pada Kembang
Darah yang telah membunuh...."
"Apa yang membuatmu berada di sini?" potong Raja Naga. Sekali lagi matanya
mengerjap, ada keresa-han yang berusaha ditindihnya. "Dan mengapa kau menguasai
kelima orang bertopeng itu?"
Pratiwi yang sebelumnya tidak memakai jubah
putih tertawa kecil.
"Kau salah, Raja Naga. Aku tak merasa mengua-
sai kelima orang itu. Mereka adalah para begundal dari Bukit Waru. Kebetulan aku
dapat mengalahkan mereka kala mereka menuduhku sebagai orang Kembang
Darah." Raja Naga menyipitkan matanya. Lalu bersede-
kap. Nampaklah kedua tangannya mulai dari jari jema-
ri hingga sebatas siku dipenuhi sisik coklat.
"Berarti mereka juga mendendam pada Kembang
Darah. Dan secara tidak langsung, mereka mengikuti-
mu karena kebetulan pula mendendam pada Kembang
Darah?" "Tepat! Apakah itu artinya aku menguasai mere-
ka?" Raja Naga tak mempedulikan ucapan Pratiwi.
"Mengapa kau kembali ke tempatmu ini, padahal
sebelumnya kau sudah hendak langsung menuju ke
Tanah Kematian di mana Kembang Darah berada?"
tanya murid Dewa Naga. Nada suaranya dibuat biasa
saja hingga tak terkesan kalau dia sedang menyelidik.
Tetapi gadis yang kini mengenakan jubah putih
itu tahu kalau pemuda tampan berambut dikuncir ku-
da di hadapannya sedang menyelidik.
"Kau terlalu curiga rupanya, Raja Naga," katanya sambil tersenyum. "Tetapi apa
yang kau lakukan memang tidak salah, mengingat tindakan kurang ajar ke-
lima anak buahku itu. Tetapi seperti yang mereka ka-
takan, mereka tidak tahu siapa kau adanya. Raja Na-
ga, biar kau tidak lagi memandang curiga akan kuje-
laskan sedikit."
Pratiwi melangkah mondar-mandir sambil mene-
ruskan kata-katanya, "Setelah mencuri dengar perca-kapanmu dengan temanmu yang
bernama Lesmana,
kuputuskan untuk kembali ke sini untuk memberita-
hukan kelima temanku kalau aku sudah menemukan
di mana Kembang Darah berada. Dan malam nanti,
kami telah memutuskan untuk menuju ke Tanah Ke-
matian. Tetapi ya... dunia ini ternyata memang kecil, karena kau sudah berada di
sini." "Berarti kau mengetahui kedatanganku?"
"Siapa bilang aku mengetahui kedatanganmu?"
Pratiwi tersenyum lagi, membuat Raja Naga harus me-
nahan napas. Untuk sesaat pemuda berambut dikuncir kuda
itu teringat pada Diah Harum alias Dewi Kembang
Mawar. Tapi di saat lain, sudah ditindihnya ingatan
itu. "Pratiwi... siapa pun kau adanya dan apa yang kau inginkan dari Kembang
Darah itu adalah urusan-mu. Dan aku...."
"Bukankah kau juga menginginkan nyawa Kem-
bang Darah?" potong Pratiwi, lagi-lagi tersenyum.
Raja Naga terdiam dan entah mengapa wajahnya
memerah. "Ah, mengapa aku harus berjumpa lagi dengan
gadis yang hanya mengingatkanku pada Diah Harum"
Perasaanku jadi teraduk-aduk dan ada keinginan un-
tuk memeluknya...."
Di seberang, gadis berhidung bangir itu menge-
rutkan keningnya sambil menatap Raja Naga.
"Raja Naga... adakah ucapanku yang salah?"
"Oh! Tidak, tidak!" sahut Boma Paksi sedikit ki-kuk. Matanya yang biasanya
selalu memancarkan
keangkeran, kali ini mengerjap-ngerjap beberapa kali.
"Brengsek! Mengapa aku jadi gugup begini?" sam-bungnya dalam hati.
"Tetapi kau...."
"Pratiwi...," potong Raja Naga sedikit terburu-buru. Bahkan dia hampir-hampir
tak berani menatap
Pratiwi. "Kau salah bila mengatakan aku menginginkan
nyawa Kembang Darah! Tidak, tidak sama sekali! Aku
hanya berusaha untuk menolong kedua sahabatku
yang bernama Lesmana dan Ratih!"
Pratiwi terdiam, tatapan beningnya menghujam
tepat ke bola mata Raja Naga. Yang ditatap menjadi
makin gelisah. "Bila terus menerus aku berada di sini, rasanya akan semakin parah. Ingatanku
pada Diah Harum
akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya aku pergi saja,"
katanya dalam hati.
Dengan menenangkan perasaannya, pemuda dari
Lembah Naga itu berkata, "Bila kau masih hendak menunggu malam untuk menuju ke
Tanah Kematian, la-
kukanlah. Sementara aku akan berangkat sekarang."
Tanpa menunggu sahutan Pratiwi, pemuda itu
sudah berbalik meninggalkan tempat itu. Di tempat-
nya, sejenak Pratiwi mengerutkan keningnya melihat
tingkah gugup Raja Naga. Tetapi di saat lain, dia tersenyum sendirian.
Setelah meninggalkan Pratiwi, Raja Naga terus
berkelebat ke arah utara. Sepanjang larinya dia menge-luh dalam hati, memikirkan
mengapa dia harus ber-
jumpa dengan gadis yang berwajah mirip dengan Diah
Harum yang diam-diam dicintainya"
Bila saja Diah Harum alias Dewi Kembang Mawar
belum tewas, mungkin hatinya tak akan segelisah ini.
Karena akan dicarinya gadis yang dicintainya itu ke
mana pun juga. Tetapi Diah Harum, gadis itu, telah
tewas! "Mengapa aku harus memikirkan Diah" Sebaik-
nya kuteruskan ke Tanah Kematian. Kukhawatirkan
nasib Lesmana yang sudah menuju ke sana. Dan lebih
kucemaskan Ratih yang hingga saat ini belum diketa-
hui keadaannya."
Sambil membawa lara hatinya yang berusaha un-
tuk dipendam, pemuda dari Lembah Naga itu terus
berlari. * * * Tempat yang sunyi itu tiba-tiba menjadi riuh se-
saat, karena beberapa ekor burung kematian melewati
tempat itu dengan suara memekakkan telinga. Saat ini senja telah datang dan
tempat yang bernama Tanah
Kematian itu seperti telah diselimuti malam. Bau bu-
suk menguar di seantero Tanah Kematian.
Di dalam salah satu dinding bukit yang terdapat
di sana, seorang gadis berpakaian kuning tergeletak
tanpa daya. Paras manis gadis itu kuyu. Tubuhnya
sama sekali tak bisa digerakkan kecuali lehernya saja.
Sepasang pedang tergeletak di sisi kanannya.
Gadis yang bukan lain Ratih adanya, menarik
napas pendek dan menghembuskannya perlahan-
lahan berusaha menghilangkan kegelisahan sekaligus
ketakutannya. "Aku tak boleh gentar... aku harus tabah," katanya dalam hati. Sekujur tubuhnya
tetap tak berge-
rak. "Bunga Kemuning Biru... aku baru tahu apa yang dihendaki oleh Kembang
Darah. Bunga Kemuning Bi-ru... ah, apakah ini ada urusannya dengan mendiang
Guru?" Untuk beberapa saat gadis murid mendiang Se-
tan Bayangan ini terdiam. Dia berusaha menghibur di-
ri guna mengatasi keadaan yang dialaminya sekarang.
Lalu diingatnya kejadian beberapa minggu lalu
yang dialaminya, di mana dia menyalahkan Lesmana
karena membiarkan guru mereka tewas. Dan sekarang
disesalinya sikapnya itu, setelah mengetahui Setan
Bayangan adalah orang golongan sesat!
"Walaupun sudah tewas, Guru masih tetap mem-
bawa bencana kepadaku dan Kakang Lesmana. Men-
gapa dia tak pernah menceritakan tentang Bunga Ke-
muning Biru" Dan sekarang...."
Kata batin gadis berkuncir dua itu terputus ka-
rena dirasakannya satu desiran angin menderu ke
arahnya. Kejap itu pula dipalingkan kepalanya ke ka-
nan. "Celaka! Dia muncul lagi!" desisnya dengan wajah pias. Orang yang baru
muncul itu menyeringai. Wajahnya yang mirip kucing semakin bertambah menge-
rikan. "Kembang Darah belum kembali dari tugas yang kuberikan untuk membunuh
Raja Naga, berarti masih
ada waktu yang bisa kita lewatkan untuk menda-
patkan kenikmatan. Bukankah kau sudah menunggu
kedatanganku, Anak manis?"
Ratih melotot. Kengeriannya tiba-tiba lenyap
mendengar kata-kata kotor itu.
"Manusia iblis! Lepaskan totokan setan betina itu dari tubuhku! Kita bertarung
sampai mampus!"
Lelaki tua berpakaian hitam dengan jubah hitam
yang sangat pekat itu terbahak-bahak. Dua buah ant-
ing yang mencantel di telinganya bergoyang-goyang
saat dia tertawa.
"Anak manis... berani betul kau bicara seperti itu pada Datuk Meong Moneng"
Menghadapi Kembang
Darah saja kau tak becus, apalagi menghadapi aku"!"
"Setan! ingin kubuktikan ucapanmu!" bentak Ratih dengan mulut mencibir.
Tawa Datuk Meong Moneng tiba-tiba terputus.
Sepasang matanya menghujam mengerikan. Dan dia
semakin murka karena Ratih berani membalas tata-
pannya. "Anak manis... kau sudah tak kubutuhkan Lagi!
Bunga Kemuning Biru telah kudapatkan! Tetapi... ha-
haha... sudah tentu kau akan kubunuh bila tidak ku-
butuhkan Lagi! Kau tahu apa artinya" Artinya... aku
masih membutuhkanmu!"
"Setan! Iblis! Berani kau menyentuh tubuhku,
aku bersumpah akan memotong tubuhmu sekecil-
kecilnya!!"
Lelaki berambut jarang itu tertawa semakin ke-
ras, hingga menggema di gua itu. Kumis jarang yang
melintang laksana kumis kucing bergerak beberapa
saat. Masih tertawa Datuk Meong Moneng berlutut.
Ratih menggeram, lalu....
Cuh! Ludahnya menempel di wajah kucing Datuk
Meong Moneng. Yang diludahi bukannya gusar, justru
mengusap wajahnya dan menjilat telapak tangannya
itu. "Cih!" bentak Ratih jijik.
"Mengapa, Manis" Mengapa kau jadi bersikap ti-
dak bersahabat begitu" Apakah kau...."
"Bila Raja Naga berada di sini, kau tak akan pernah diampuni olehnya!"
Menegak kepala Datuk Meong Moneng. Tatapan-
nya tajam pada Ratih. Seolah baru menyadari bahaya
yang mengancamnya, gadis berwajah manis itu bergi-
dik. "Keparat! Kau akan melihat nasib Raja Naga bila berada di hadapanku! Kau
tahu, Raja Naga bukanlah
tandinganku! Tetapi.... Malaikat Biru!!"
Sesungguhnya Ratih tidak mengenal siapa Malai-


Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kat Biru adanya, tetapi satu gagasan telah melintas di benaknya.
Dia mencibir. "Menghadapi Malaikat Biru kau
hanya akan membuang nyawa percuma meskipun kau
mempergunakan Bunga Kemuning Biru yang katanya
mampu membunuh Malaikat Biru! Manusia kucing!
Apakah kau tidak pernah mengkaji siapa dirimu sebe-
narnya"!"
"Terkutuk!" terdengar suara rahang dikertakkan.
Kedua tangan Datuk Meong Moneng yang dipenuhi bu-
lu-bulu halus mengepat kuat.
Ratih semakin berani untuk berucap, "Hei! Kalau kau memang ingin membuktikan
kemampuanmu dapat mengalahkan Malaikat Biru, akan kutunjukkan di
mana dia berada!"
Datuk Meong Moneng memandang tajam.
"Katakan!!"
"O ya" Jadi aku harus mengatakannya?"
"Setaaann!!" Tangan kanan Datuk Meong Moneng sudah terangkat, siap untuk
menempeleng wajah Ratih. "Tunggu!" seru Ratih dengan dada berdebar. Ketakutannya
kembali muncul. Tetapi dia harus bersikap tegar, karena dilihatnya Datuk Meong
Moneng mulai termakan ucapan omong kosongnya. Lalu dengan me-
nenangkan dirinya dia berkata, "Datuk! Membunuhku bukanlah sesuatu yang sulit
bila kau kehendaki. Tetapi ingat, bila kau membunuhku, kau tak akan men-
jumpai di mana Malaikat Biru berada!"
"Aku akan mencari manusia keparat itu tanpa
bantuanmu!"
"O ya?" seru Ratih dengan dada makin berdebar.
Tangan kanan yang terangkat itu melayang.
Plak!! Pipi Ratih langsung memerah. Darah mengalir
dari mulut dan hidungnya. Perihnya tak terkira, bahkan terasa hingga seluruh
tubuhnya yang sakit.
Datuk Meong Moneng menggeram. "Kau benar,
Anak Manis! Untuk apa kau kubunuh sekarang"!"
"Betul! Betul itu!" seru Ratih sambil menahan ra-sa sakitnya.
"Ya! Memang betul! Karena... kau akan kunikmati dulu sebelum kau mampus!"
"Oh!!" wajah Ratih seketika menjadi kaku. "Celaka! Aku memang tak akan mungkin
menghindarinya!
Tuhan... apakah nasibku akan sesial seperti seka-
rang?" "Mengapa kau menjadi tegang, Anak manis?" seringai Datuk Meong Moneng. Tangan
kanannya telah menempel di payudara Ratih sebelah kanan.
"Setan! Lepaskan! Lepaskan!"
Datuk Meong Moneng terbahak-bahak. Tanpa
menghiraukan seruan Ratih, dengan kasar tangan ka-
nannya meremas-remas payudara gadis itu. Bahkan
payudara yang sebelahnya lagi pun telah dihinggapi
oleh tangan jahatnya.
"Terkutuk! Aku bersumpah! Aku bersumpah
akan... oh!!"
Breeekk!! Pakaian di bagian dadanya telah robek. Terlihat
pakaian putih tipis yang menampakkan sepasang bu-
kit indahnya yang mengkal. Dengan kasar Datuk
Meong Moneng meremas-remasnya Lagi.
"Terkutuk! Lepaskan! Lepaskan!!"
"Meremas bukit sehalus dan seindah ini memang
sangat menyenangkan bila tak terlapisi apa-apa!" seringai lelaki bermuka kucing
itu sambil merobek lagi pakaian dalam Ratih. Hingga yang nampak sekarang
sepasang payudaranya yang putih dan halus.
Sementara Ratih terus berteriak-teriak minta di-
lepaskan, Datuk Meong Moneng terus meremas-remas
bukit-bukit halus yang menggiurkan itu. Ratih menje-
rit sekuat tenaga dengan ketakutan yang teramat san-
gat tatkala tangan kanan Datuk Meong Moneng mera-
ba perutnya untuk hinggap di tempat yang dituju.
"Manusia setan! Kubunuh kau! Kubunuh!!"
"Sudah kukatakan, aku tak memerlukanmu un-
tuk mendapatkan Malaikat Biru! Malah kau yang akan
kudapatkan!!"
Penuh seringaian, diremas-remasnya paha gadis
berkuncir dua itu yang berusaha meronta. Tetapi ka-
rena tubuhnya dalam keadaan tertotok, apa yang dila-
kukannya adalah sebuah kesia-siaan belaka. Ratih
hanya bisa memaki-maki keras yang sudah tentu tak
dihiraukan oleh Datuk Meong Moneng.
Bahkan sambil tertawa keras, tangan kanannya
merayap naik ke atas. Bertepatan dengan niat Datuk
Meong Moneng yang hendak hinggap di pangkal paha
si gadis, terdengar bentakan yang sangat keras di depan,
"Manusia keparat berjuluk Datuk Meong Moneng!
Cepat keluar untuk kucabut nyawamu!!"
"Keparaaatt!" maki Datuk Meong Moneng sambil memicingkan matanya ke arah mulut
gua. Tubuhnya bergetar menahan amarah karena ada orang yang be-
rani mengganggu keasyikannya. "Siapa manusia yang cari mampus itu"!"
Kejap lain, lelaki berjubah hitam itu sudah mele-
sat ke depan diiringi teriakan mengguntur, "Terkutuk hina! Kau telah membuat
kedua telingaku pekak!!"
Sementara itu, Ratih menangis tersedu-sedu,
tangis gembira karena masih terlepas dari kejadian
yang memalukan. Dan dia tetap menyadari kalau ba-
haya itu masih mengancamnya.
* * * DUA BEGITU Datuk Meong Moneng menginjakkan ka-
kinya di atas tanah. Terdengar bentakan keras diiringi tawa, "Rupanya kau
memiliki nyali juga untuk keluar, Datuk! Bagus! Inilah akhir kehidupanmu!"
Datuk Meong Moneng memicingkan matanya,
memandang lelaki yang berdiri sejarak dua belas langkah dari hadapannya. Sekilas
saja, kakek bermuka
kucing itu tahu kalau orang di hadapannya sedang be-
rusaha mengendalikan jalan napasnya, karena bau
busuk yang menguar dari Tanah Kematian,
Kejap lain terlihat kegeraman pada wajah ku-
cingnya. "Huh! Rupanya Setan Keris Kembar yang berani
muncul di sini! Bila ingin mampus, mengapa baru se-
karang muncul"!"
Orang yang bukan lain Setan Keris Kembar
adanya menggeram. Memandang tak berkedip ke de-
pan. "Kesaktian kakek busuk ini sudah kudengar, walaupun aku belum pernah
menyaksikan atau merasa-
kannya sendiri! Tetapi, Bunga Kemuning Biru berada
di tangannya! Dan aku sudah mendapatkan kehanga-
tan tubuh Kembang Darah yang ingin lepas dari tan-
gannya! Peduli setan! Bunga Kemuning Biru harus ku-
dapatkan sekaligus dapat kunikmati panas dan liarnya tubuh Kembang Darah!"
Kakek berpakaian hitam dengan sulaman dua
buah keris bereluk delapan di kanan kirinya menger-
takkan rahang. "Ajalmu telah dekat, Datuk! Dan aku tak pernah
berpikir dua kali untuk mengirimmu ke neraka!" serunya keras. Dengan seringaian
di bibir dia melan-
jutkan dengan nada merendahkan, "Tetapi bila kau menyerahkan Bunga Kemuning Biru
padaku, maka kau akan dapat menikmati cahaya matahari esok!"
Mendengar kata-kata orang, kepala Datuk Meong
Moneng menegak. Tatapannya yang memerah menghu-
jam tajam dan lama-lama menjereng. Bulu-bulu hi-
dungnya yang keluar bergetar.
"Terkutuk!!"
Wussss!! Gelombang angin menggebrak secara tiba-tiba
tatkala tangan kanannya disentakkan ke atas. Sua-
ranya menggelegar dahsyat.
Setan Keris Kembar terperangah sesaat. Tanpa
sadar matanya mengikuti gelombang angin yang naik
ke atas itu. Dan di lain saat dia sudah menjerit tertahan, karena gelombang
angin yang mencuat ke atas itu tiba-tiba menyebar dan menimbulkan letupan
berkali-kali. Belum lagi tuntas keanehan yang terjadi, sebaran gelombang angin
tadi turun laksana hujan!
"Setan!!" geram Setan Keris Kembar seraya mengatupkan kedua tangannya di depan
dada. Kejap itu
pula diputar ke dalam dan disentakkan ke atas.
Blaaam! Blaaam! Blaaamm!!
Bertemunya hujan angin dari atas dengan luncu-
ran gelombang angin yang dilepaskan Setan Keris
Kembar menimbulkan letupan keras. Tempat itu se-
saat bergetar. Menyusul letupan itu Setan Keris Kembar meme-
kik, karena desingan angin deras siap menyambar da-
danya. Cepat diputar tangan kanannya ke samping dan
digerakkan dengan cara menyampok.
Plak! Plak! Setan Keris Kembar terseret ke belakang. Dipan-
danginya tangan kanannya yang membiru.
Di seberang, Datuk Meong Moneng berdiri den-
gan seringaian lebar. Wajah kucingnya semakin ben-
gis. Mulutnya perlahan-lahan membuka dan terdengar
suara, "Meeoong... meong...."
"Manusia satu ini memang memiliki ilmu tinggi!
Tapi aku tidak peduli! Bunga Kemuning Biru harus
kudapatkan!" batin kakek berambut dikuncir dengan pita putih.
Terdengar suara pakaian disibakkan dan tatkala
ditarik keluar, di tangan Setan Keris Kembar telah ter-pegang sepasang keris
berlekuk delapan yang meman-
carkan sinar hitam!
"Mainkan senjata busukmu itu! Perlihatkan sega-
la kemampuanmu! Kau telah berani menantangku, be-
rarti berani menerima kematian!!" geram Datuk Meong Moneng seraya melompat
seperti menerkam. Jari-jari
tangannya membuka membentuk cakar! Dari jarak se-
kitar delapan langkah, Datuk Meong Moneng telah
menggerakkan kedua tangannya yang seketika me-
mancar cahaya bening yang menyilaukan.
Setan Keris Kembar tak mau membuang tempo.
Cepat pula dijejakkan kaki kanannya di atas tanah
dan.... Wuuttt!! Tubuhnya mencelat cepat, menyongsong gerakan
Datuk Meong Moneng. Sepasang keris bereluk delapan
miliknya digerakkan dengan cepat.
Sinar-sinar hitam bergelombang delapan kali
menderu dengan suara menggebubu. Dan....
Jlegaaaarr!! Bertemunya cahaya bening yang memancar dari
jari jemari Datuk Meong Moneng dengan sinar hitam
bergelombang delapan dari sepasang keris kakek ber-
kuncir mengakibatkan ledakan yang luar biasa hebat-
nya. Seketika tanah berhamburan ke udara setinggi
dua tombak. Mendadak dari gumpalan tanah yang mengha-
langi pandangan, mencelat tubuh Setan Keris Kembar
yang tak mampu menguasai keseimbangannya. Belum
lagi tanah itu luruh kembali ke bumi, sosok Datuk
Meong Moneng sudah melesat dengan jari jemari men-
gembang, memburu Setan Keris Kembar.
Mendapati lawan siap mencabut nyawanya, wa-
jah Setan Keris Kembar pias seketika. Kedua matanya
melebar dan berkilat-kilat ketakutan. Namun dia bu-
kanlah anak kemarin sore. Masih belum mampu men-
guasai keseimbangannya, kakek berpakaian hitam itu
menggerakkan kedua kerisnya.
"Setan!!" maki Datuk Meong Moneng sambil
menggenjot tubuhnya hingga melayang ke depan.
Justru Setan Keris Kembar yang memekik terta-
han. Karena dirasakannya sambaran cakar Datuk
Meong Moneng di atas kepalanya. Dia masih mampu
hindari sambaran cakar lawan yang membuat telin-
ganya terasa pedas karena desingan angin yang keluar dari sambaran cakar itu.
Tetapi tendangan telak yang menghantam dadanya tak mampu dihindari lagi.
Kontan tubuhnya berguling-guling di atas tanah
yang menyebarkan bau busuk.
Datuk Meong Moneng memang orang kejam. Se-
tiap lawan harus dibunuhnya, apalagi orang yang se-
cara terang-terangan berani menantangnya.
Diiringi suara keras, dia memburu Setan Keris
Kembar yang memekik panik. Setan Keris Kembar be-
rusaha berguling menghindari sambaran cakar kedua
tangan lawan. Hanya sebentar dia dapat melakukan-
nya, karena....
Craasss!! "Aaaaaaakhhh!!!"
Jeritan membelah malam yang baru datang
menggema di Tanah Kematian, disusul ambruknya Se-
tan Keris Kembar. Tangan kanannya memegang bahu
kirinya yang telah buntung. Darah menghambur ke-
luar. Tetesannya berpadu dengan tanah busuk di saat
Setan Keris Kembar bergulingan, sementara tangan ki-
rinya yang buntung tergeletak. Sepasang kerisnya yang berlekuk delapan entah
jatuh di mana. Datuk Meong Moneng telah berdiri kembali di
atas tanah. Wajah kucingnya bergerak bengis. Jari jemari tangan kanannya yang
membentuk cakar dan te-
lah membuntungi tangan kiri Setan Keris Kembar diji-
lat-jilatnya sambil mendesis, "Meooonngg...."
Setan Keris Kembar masih berguling-guling me-
nahan rasa sakit pada tangan kirinya. Beberapa saat
laksana manusia sekarat, gulungan tubuh kakek itu
terhenti. Tetapi tubuhnya tetap mengejut-ngejut.
"Manusia yang berani menantang Datuk Meong
Moneng, berarti mencari mati! Tetapi malam ini kau
memiiiki peruntungan nasib yang baik, karena aku be-
lum mau mencabut nyawamu!!"
Setan Keris Kembar tak menjawab. Wajahnya
mengerut menahan sakit.


Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk saat ini kubiarkan saja dia hidup. Masih ada pertanyaanku tentang sebab-
sebab dia datang ke
sini. Juga mengapa dia tahu tentang Bunga Kemuning
Biru. Mencari sebab-sebabnya dapat kureka-reka. Bisa jadi di saat Kembang Darah
mendapatkan Bunga Kemuning Biru dia mengintip. Atau...." Datuk Meong Moneng
menghentikan kata batinnya. Masih memandangi
Setan Keris Kembar yang sudah tak berdaya, dilan-
jutkan jalan pikirannya, "Apakah Kembang Darah
berkhianat" Gila! Tak mungkin dia berkhianat! Ter-
bukti dia telah menyerahkan Bunga Kemuning Biru
padaku! Tetapi bagaimana manusia keparat ini tahu
kalau Bunga Kemuning Biru berada padaku?"
Untuk beberapa saat kakek muka kucing ini ter-
diam. Karena berpikir seperti itulah dia tidak membunuh Setan Keris Kembar
sekarang. Tiba-tiba dihentakkan kaki kanannya da atas ta-
nah. Sesaat tanah menghambur setinggi paha. Dua
buah keris bereluk delapan milik Setan Keris Kembar mencelat dan....
Clap! Clap! Menancap tepat pada tanah di sebelah kanan Se-
tan Keris Kembar. Lalu penuh seringaian, Datuk
Meong Moneng melangkah masuk kembali ke gua di
mana dia tadi keluar.
Sambil melangkah dipikirkannya tentang Ratih
yang sudah tak berdaya. Dibayangkannya kembali se-
pasang buah dada kenyal gadis tujuh belas tahun yang tadi diremas-remasnya.
Terbayang pula kenyamanan
yang akan dia dapatkan bila tangannya sudah meraba
pangkal paha si gadis.
"Akan kuhabisi dia sampai aku lemas sendiri."
tawanya penuh gairah.
Namun begitu dia berada di tempat di mana di-
tinggalkannya Ratih, laksana dibetot setan lelaki berjubah hitam itu berdiri
tegak dengan kedua mata me-
lebar. Ratih sudah tidak ada di tempatnya!
"Terkutuk hina! Siapa manusia yang berani lan-
cang berulah seperti ini"!" geramnya laksana guntur.
Tiba pada satu pikiran, Datuk Meong Moneng ce-
pat melesat keluar.
"Setan Keris Kembar tentunya hanya sebagai
pengalih saja, dan ada orang lain yang masuk menye-
lamatkan gadis sialan itu!" geramnya sengit.
Dan biji mata Datuk Meong Moneng benar-benar
sudah hampir melompat ketika tak melihat sosok Se-
tan Keris Kembar di sana! Tetapi dia masih melihat
tetesan darah! "Keparaaattt!!" geramnya memecah keheningan malam.
* * * Sebenarnya siapa yang telah menyelamatkan Ra-
tih" Di saat Datuk Meong Moneng melayani Setan Ke-
ris Kembar, dari kejauhan seorang pemuda berpakaian
merah dengan garis hitam bersilangan di depan dada
tiba di ujung Tanah Kematian. Untuk beberapa lama
pemuda yang di keningnya melilit sebuah kain berwar-
na merah memicingkan matanya memperhatikan per-
tarungan sengit yang terjadi.
Setelah itu pemuda yang bukan lain Lesmana
adanya, memutuskan untuk meninggalkan pertarun-
gan yang dilihatnya. Tetapi dia teringat lagi akan jawaban orang yang ditanyanya
tentang letak Tanah Kema-
tian. Diputuskan untuk memutar jalan agar kedua
orang yang bertarung itu tidak menyadari kehadiran-
nya. Sambil melangkah berhati-hati, Lesmana melihat
mulut sebuah gua pada dinding bukit yang berada di
sana. "Tanah Kematian.... Tak salah, inilah memang Tanah Kematian. Bau busuk
yang menyengat ini cukup sebagai tanda kalau tempat ini adalah tempat
yang disebut Tanah Kematian. Tetapi, siapa kedua ka-
kek yang bertarung itu" Di mana perempuan berjuluk
Kembang Darah?" pikirnya sambil tetap berhati-hati agar kehadirannya tidak
diketahui oleh kedua orang
itu. "Di bawah bukit itu ada sebuah gua. Aku sudah di sini. Paling tidak, aku
harus mengecek apakah Ratih
memang berada di sini atau tidak. Raja Naga mengata-
kan, kalau perempuan berjuluk Kembang Darah tak
akan... ah, sudahlah! Sebaiknya kumasuki saja gua
itu!" Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya, kakak seperguruan Ratih ini
segera berkelebat menuju ke gua yang dilihatnya. Dikerahkan tenaga dalamnya
begitu memasuki mulut gua. Diperhatikan sejenak ke-
dua kakek yang sedang bertarung. Setelah diyakini keduanya tak ada yang melihat,
hati-hati Lesmana mulai melangkah.
Saat itulah didengarnya isakan yang cukup keras
karena menggema.
"Ratih!" desisnya dan secepat itu pula dia melesat masuk ke dalam gua.
Begitu dilihatnya gadis yang dicintainya dalam
keadaan tak berdaya, Lesmana segera mendekatinya.
Sejenak hatinya menjadi murka tatkala melihat
keadaan Ratih. Tapi di lain saat, segera dibuka pa-
kaiannya lalu dikenakannya pada Ratih.
Saat memakaikan pakaiannya pada Ratih, tahu-
lah Lesmana kalau gadis yang dicintainya dalam kea-
daan tertotok. Diusahakan untuk mencari totokan itu, tetapi tak ditemukannya.
Ratih yang begitu melihat kemunculan Lesmana
menjadi sangat gembira, berkata, "Kakang... cepat, cepat kita tinggalkan tempat
ini!" "Ratih...," suara Lesmana bergetar karena amarah. "Kakang... cepat! Cepat,
Kakang!" Walaupun amarahnya sudah tak dapat ditahan
Lagi, tetapi Lesmana masih berpikir jernih. Ucapan-
ucapan Ratih membuatnya merasa harus bergerak ce-
pat. Buru-buru diambilnya sepasang pedang milik Ra-
tih yang tergeletak di samping tubuh gadis itu, dis-
elipkannya di balik pinggangnya.
Dengan membopong gadis berkuncir dua dan
bertelanjang dada, Lesmana segera keluar dari gua itu.
Dipandanginya sejenak kedua kakek yang masih ber-
tarung. Saat itu dilihatnya kakek yang bersenjata keris telah buntung tangan
kirinya. "Kakang! Cepat!!"
Lesmana segera berlari dengan mengerahkan il-
mu peringan tubuhnya. Tepat tengah malam, pemuda
yang masih bertelanjang dada itu menghentikan la-
rinya di sebuah hutan yang ditumbuhi pepohonan
tinggi. "Kakang...," desis Ratih dengan air mata mengge-nang. Ingin rasanya memeluk
pemuda yang dicin-
tainya, tetapi dia tak mampu menggerakkan tubuhnya
kecuali kepalanya saja.
"Jangan banyak bicara dulu. Aku akan membe-
baskanmu dari totokan celaka ini, Ratih...."
Gadis itu mengangguk-angguk. Keyakinannya
membawa kenyataan, kalau Lesmana akan menca-
rinya. Dibiarkan saja pemuda yang dikaguminya itu
meraba tubuhnya, toh bermaksud untuk mencari di
mana letak totokan yang dilakukan oleh Kembang Da-
rah. Hampir setengah peminuman teh Lesmana beru-
saha menemukan di mana totokan yang mengaki-
batkan kekasihnya menjadi kaku seperti itu. Tetapi
masih diusahakan untuk menemukannya walaupun
tubuhnya sudah dialiri keringat.
"Sudahlah, Kakang...," kata Ratih akhirnya karena kasihan melihat Lesmana.
Lesmana tak mempedulikan. Dia masih berusaha
untuk menemukan totokan pada tubuh adiknya.
"Kakang...."
"Ratih, aku harus menemukan totokan itu! Nanti
kau bisa bersemadi memulihkan tenagamu!"
"Bukan aku tidak percaya padamu, Kakang Les-
mana... tetapi, rasanya kau akan kesulitan menemu-
kannya. Itu artinya... kau hanya akan membuang te-
naga...." Lesmana menggeleng walaupun apa yang dikata-
kan oleh Ratih benar. Karena untuk menemukan di
bagian mana sebuah totokan dilakukan, memerlukan
tenaga dalam yang tidak sedikit!
Dan akhirnya Lesmana menarik napas pendek.
"Maafkan aku...."
Ratih tersenyum.
"Kakang... kau muncul saja aku sudah bahagia.
Walaupun keadaanku seperti ini, aku tetap bahagia
Kakang...."
Lagi-lagi Lesmana menarik napas. Diingatnya ba-
gaimana dia seperti anak ayam kehilangan induk
tatkala tak menemukan Ratih di tempat semula. Be-
lum lagi dia salah menyerang, Dewi Perenggut Sukma
disangkanya sebagai penculik Ratih. Masih beruntung
dia diselamatkan oleh Raja Naga dari tangan telengas Dewi Perenggut Sukma
(Teman-teman pembaca bisa
mengetahui kisah itu dalam episode: "Bunga Kemuning Biru").
"Siapakah yang telah melakukannya, Ratih?"
tanya Lesmana kemudian. Pandangan lembutnya me-
nerpa bola mata bening milik Ratih. Yang dipandang
tersenyum lembut
"Maafkan aku, karena telah merepotkanmu, Ka-
kang...," sahut Ratih pelan.
"Mengapa harus kau yang minta maaf. Ingat, bila saja saat itu aku..."
"Sudahlah, Kakang. O ya, yang melakukan se-
mua ini adalah perempuan berjuluk Kembang Darah,"
kata Ratih. Lalu diceritakan semua yang dialaminya.
Lesmana mengangguk-angguk. "Berarti dugaan
Raja Naga benar."
"Kau sudah bertemu dengan pemuda dari Lem-
bah Naga itu kembali, Kakang?" Lesmana mengang-
guk. "Ya. Tetapi, dia justru melarangku untuk mencarimu di Tanah Kematian. Terus
terang, aku tak me-
nyukai larangannya itu."
Ratih tersenyum.
"Sudahlah. Toh kita sudah bersama lagi walau-
pun aku masih dalam keadaan tertotok. Tetapi yang
perlu kita ingat, Kakang... barangkali saja kita bisa meminta pertolongan Raja
Naga lagi untuk menemukan sekaligus melepaskan totokan yang kuderita ini...."
"Aku pun berpikir demikian. Tetapi aku masih
kesal akibat larangannya. Di samping itu, aku juga
malu karena telah bersikap kasar padanya."
"Kakang... selama kita mengenal Boma Paksi, kita sudah tahu siapa dia adanya.
Tak mungkin dia akan
gusar bila berjumpa denganmu."
Lesmana terdiam beberapa saat. Lalu sambil ter-
senyum dia berkata, "Ya... barangkali dia bisa melepaskan totokan yang kau
derita ini. Tetapi, bagaimana dengan Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng
yang telah memiliki Bunga Kemuning Biru?"
"Untuk saat ini kita tak perlu memikirkannya du-lu, Kakang. Dan yang kuketahui
tentang Datuk Meong
Moneng, dia hendak membunuh Malaikat Biru,"
"Aku sudah mendengar dari Raja Naga tentang
hal itu. Ratih... yang manakah dari kedua kakek yang bertarung itu yang berjuluk
Datuk Meong Moneng?"
"Kau sempat melihat wajah salah seorang yang
mirip seperti kucing?"
"Ya."
"Dialah Datuk Meong Moneng."
"Lantas siapakah kakek yang lengan kirinya bun-
tung akibat serangan Datuk Meong Moneng?"
"Aku tidak tahu siapa adanya kakek itu."
Lesmana terdiam sejenak sebelum tersenyum
dan berkata, "Ayo, Ratih! Kita cari pemuda itu!"
Setelah Ratih mengangguk, Lesmana segera
membopong gadis yang kini memakai pakaiannya se-
mentara dia sendiri bertelanjang dada. Sepanjang dia berlari, hati pemuda itu
masih diliputi kegeraman pada Datuk Meong Moneng.
Sementara itu dalam bopongan Lesmana Ratih
berkata dalam hati, "Ah, kapan lagi aku bisa bermanja seperti ini" Sayangnya,
aku dalam keadaan tertotok
hingga tak bisa kunikmati seluruhnya dengan sem-
purna...."
* * * TIGA PAGI menghampar kembali ketika Raja Naga tiba
di sebuah jalan setapak. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah
simpangan yang di sisi kanan kirinya ditumbuhi rerumputan liar. Belum lagi dipu-
tuskan untuk menempuh arah yang mana, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap suara keleba-
tan. Disusul dengan kelebatan lain yang tak kalah ce-patnya.
Dengan sekali empos saja, anak muda dari Lem-
bah Naga itu sudah berada di atas sebuah pohon. Dari atas sanalah dilihatnya
seorang perempuan berpakaian seperti kutang berwarna merah berlari dengan
cepat. Gerakannya sungguh menakjubkan. Karena
sama sekali tak terlihat adanya rerumputan yang ber-
goyang akibat desiran angin yang keluar dari keleba-
tannya. Belum lagi dikenalnya siapa perempuan itu, dili-
hatnya lagi seorang perempuan setengah baya berpa-
kaian warna merah panjang dengan punggung terbuka
memburu si perempuan yang pertama.
"Dewi Perenggut Sukma...," desis Raja Naga setelah mengenali siapa adanya
perempuan yang berlari
belakangan. "Dari tandanya, jelas kalau perempuan itu sedang mengejar perempuan
berkutang merah...
Hemm, aku jadi penasaran ingin mengetahui, apa yang
terjadi. Terutama siapa perempuan berkutang merah
itu...." Guna menuntaskan rasa penasarannya, pemuda yang kedua lengannya sebatas
siku bersisik coklat
menunggu sampai kedua perempuan itu menjauh. La-
lu dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya dis-
usulnya masing-masing orang.
Dari kejauhan Boma Paksi jelas melihat kalau pe-
rempuan berkutang merah menghentikan larinya di
sebuah tempat yang agak terbuka. Kalau tadi sikapnya laksana seorang pengecut,
kali ini dia berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit dibuka, sehingga kain hitam
yang dikenakannya agak meregang.
"Bagus akhirnya kau sadar kalau kau lari pun
tak ada gunanya!" seru Dewi Perenggut Sukma begitu hinggap di atas tanah.


Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatapan tajamnya menghujam
pada perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang berdiri sejarah lima belas
langkah. Perempuan itu menyeringai.
"Aku bukannya menghindar! Tetapi mencari tem-
pat yang lebih lapang agar kau dapat mampus dengan
nyaman!" "Terkutuk!" geram Dewi Perenggut Sukma. Saat
itu pula dia melesat ke depan. Kaki kanan kirinya bergerak laksana setan
menyeret tanah hingga beterban-
gan. Perempuan berkutang merah menyipitkan ma-
tanya, sedikit tertegun melihat kecepatan lawan.
"Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya!" desisnya dalam hati. Menyusul jari
jemarinya dijentikkan.
Trikkk! Sraaatt! Beberapa gelombang angin laksana jarum mele-
sat ke depan. Dewi Perenggut Sukma mengertakkan
rahangnya melihat serangan lawan. Dengan hanya
menggeser tubuhnya sedikit, serangan perempuan
berkutang merah melesat dari sasarannya.
Plaass! Plasss!!
Dua buah pohon yang berada di belakang Dewi
Perenggut Sukma bolong dan mengepulkan asap ter-
kena sambaran gelombang angin laksana jarum yang
dilepaskan perempuan berkutang merah.
Di pihak lain Dewi Perenggut Sukma terus mele-
sat. Perempuan berkutang merah memekik tertahan
tatkala merasakan betapa derasnya angin yang keluar
dari gerakan kedua kaki lawan. Sambil mundur tiga
langkah, perempuan ini mengatupkan kedua tangan-
nya di depan dada, lalu diputar dan dipentangkan le-
bar-lebar. Wrrrrr!! Blaaammm!! Letupan keras terjadi tempat itu sesaat seperti
bergetar. Dewi Perenggut Sukma terpelanting ke bela-
kang dan hinggap di atas tanah tanpa kehilangan ke-
seimbangan sedikit pun. Dan kejap itu juga dia mencelat lagi ke depan yang
secara tiba-tiba meluruk dengan kedua kaki siap menghantam dada perempuan berku-
tang merah. Des! Dada montok perempuan itu telak terhantam
hingga tubuhnya terjajar ke belakang. Masih belum
mampu menguasai keseimbangannya, Dewi Perenggut
Sukma sudah menerkam ke depan.
"Katakan padaku, di mana kau sembunyikan
Bunga Kemuning Biru, Kembang Darah"!"
Raja Naga yang sudah berada di atas pohon dan
menyaksikan pertarungan itu tersentak.
"Kembang Darah" Astaga! Jadi perempuan itu
adalah Kembang Darah" Hemm... bagaimana mereka
bisa bentrok" Atau... ya, ya... aku tahu jawabannya.
Tentunya Dewi Perenggut Sukma tahu semua itu keti-
ka dia diserang Lesmana yang menduganya Kembang
Darah dan menuduhnya sebagai penculik Ratih. Dewi
Perenggut Sukma tak menemukan Bunga Kemuning
Biru pada Lesmana dan sekarang dia merasa pasti ka-
lau Bunga Kemuning Biru berada di tangan Ratih yang
tentunya telah diambil oleh Kembang Darah"
Apa yang dipikirkan pemuda pewaris ilmu Dewa
Naga ini memang benar. Setelah menghasut Setan Ke-
ris Kembar dengan membiarkan kehangatan tubuhnya
dinikmati oleh kakek itu, Kembang Darah meneruskan
langkahnya untuk menjalankan perintah Datuk Meong
Moneng untuk membunuh Raja Naga. Hal itu dilaku-
kan oleh Kembang Darah, mengingat dia telah menipu
Datuk Meong Moneng kalau bunga kemuning biru
yang diberikannya pada Datuk Meong Moneng adalah
yang palsu! "Apakah dengan menghantam dadaku ini kau
sudah merasa yakin dapat mengalahkanku"!" ejek
Kembang Darah keras, padahal dia sedang menahan
sakit. Sesungguhnya disesalinya perjumpaan tak sen-
gaja dengan Dewi Perenggut Sukma.
Selama ini antara Kembang Darah dan Dewi Pe-
renggut Sukma memang tidak ada silang sengketa,
hingga ketika berjumpa dengan perempuan berpung-
gung terbuka itu Kembang Darah sama sekali tak me-
nyangka kalau Dewi Perenggut Sukma mengetahui apa
yang dilakukannya. Karena perempuan itu menghen-
daki Bunga Kemuning Biru, mau tak mau Kembang
Darah menghadapinya!
"Bagus!" dengus Dewi Perenggut Sukma sambil hinggap di atas tanah. "Akan
kuhancurkan seluruh tubuhmu!!"
Dengan gerakan lambat, ditarik kaki kanannya
ke belakang sementara kaki kirinya ditekuk ke depan.
Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan
kedua tangannya di depan dada, mulutnya berkemak-
kemik. Kejap itu pula sekujur tubuh Dewi Perenggut
Sukma berubah memerah yang semakin lama bertam-
bah merah. Paras jelitanya menjadi mengerikan. Bah-
kan kedua bola matanya pun memerah, menyiratkan
keganasan luar biasa.
"Nampaknya dia telah mengeluarkan ilmu Pe-
renggut Sukma," desis Kembang Darah sambil bersia-ga. "Kendati kukeluarkan ilmu
'Lemparan Kembang Darah' rasanya sulit untuk menandingi ilmu
'Perenggut Sukma'. Apa yang harus... astaga! Begitu
bodohnya aku ini! Bunga Kemuning Biru berada di
tanganku! Sebaiknya kucoba kehebatannya!!"
Baru habis kata batinnya, Kembang Darah meli-
hat lawan sudah mendorong tangan kanan kirinya.
Serta merta menggebrak gelombang angin berwarna
semerah darah dengan kecepatan tinggi dan menim-
bulkan suara laksana puluhan gajah mengamuk.
"Astaga!! Ganas sekali!!" seru Kembang Darah sambil mundur. Bukan main
terkejutnya perempuan
berpayudara montok itu tatkala gelombang angin me-
rah yang menyerbunya telah berubah menjadi gumpa-
lan asap. Di saat lain, tubuhnya mengejut-ngejut keras.
Menyusul laksana sehelai daun yang tersedot pusaran
angin, tubuhnya meluncur deras ke depan, ke arah
Dewi Perenggut Sukma yang sedang menunggunya
dengan kedua telapak tangan membuka.
"Heeiiii!!"
"Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!"
Raja Naga yang melihat keadaan Kembang Darah
sudah di ambang maut, bersiap untuk melesat, memo-
tong tarikan tenaga dari ilmu 'Perenggut Sukma' milik perempuan berpakaian
terbuka di punggung. Namun
sebelum dia melompat, sesuatu yang mengejutkan ter-
jadi. Karena....
Claasss!! Serangkum sinar berwarna biru tiba-tiba melesat
dari dalam kain hitam yang dikenakan Kembang Da-
rah! Menambah terangnya suasana pagi!
* * * Dewi Perenggut Sukma yang sudah bersiap un-
tuk menyedot seluruh tenaga dan darah Kembang Da-
rah, tersentak. Hawa panas telah menyergapnya yang
membuatnya menjerit tertahan. Namun yang mem-
buatnya terkejut bukan karena hawa panas yang me-
nyengat yang membuat kulitnya seperti melepuh, teta-
pi kekuatan dari ilmu Perenggut Sukma yang sedang
dikerahkannya seperti lenyap tertelan tenaga gaib.
Bahkan... Brakkkk!! Laksana terhantam sebuah godam besar tubuh-
nya terlempar ke belakang, menabrak sebuah pohon
yang sebagian besar dedaunannya saat itu pula bergu-
guran. Di pihak lain Kembang Darah telah berdiri tegak
tanpa kurang suatu apa. Rasa sakit pada seluruh tu-
buhnya seketika lenyap. Bahkan tenaganya seperti
berlipat ganda.
Tepat di pangkal pahanya, memancar sinar biru
yang sangat terang!
Bukan hanya Dewi Perenggut Sukma yang terke-
jut melihatnya, Raja Naga sendiri tersentak sebelum
menemukan satu pikiran.
"Bisa jadi kalau sinar biru itu berasal dari Bunga Kemuning Biru yang
dimilikinya...."
Di pihak lain Dewi Perenggut Sukma membelalak,
tak berkedip memandang pada pangkal paha Kembang
Darah. Kembang Darah tertawa keras.
"Mengapa kau menjadi seperti seorang lelaki yang sedang diamuk birahi, hah"!
Matamu lekat pada pangkal pahaku"! Apakah kau ingin membandingkan mi-
likmu dengan milikku" Apakah kau pikir berbeda ben-
tuk, atau berbeda dalam memberikan kenikmatan"!"
"Gila! Mengapa tahu-tahu kemaluannya seperti
mengandung tenaga sakti dan memancarkan sinar bi-
ru seperti itu?" desis Dewi Perenggut Sukma belum hilang rasa kagetnya. "Apakah
dia memiliki ilmu yang berpusat pada kemaluannya?"
Namun dugaannya itu lenyap tatkala tanpa ma-
lu-malu Kembang Darah menyibakkan kain yang dike-
nakannya hingga memperlihatkan sehelai kain kecil
yang menutupi pangkal pahanya. Tanpa sungkan pula
dibuka kain kecil itu, dimasukkan tangan kanannya.
Dewi Perenggut Sukma mendengus melihat kela-
kuan Kembang Darah. Akan tetapi dengusannya
menghilang ketika melihat apa yang diambil Kembang
Darah dari balik celana dalamnya.
"Bunga Kemuning Biru!!" serunya tertahan.
Kembang Darah tertawa.
"Ya! Ini benda yang kau inginkan! Mengapa kau
lantas menjadi bengong seperti kambing dungu, hah"!
Ayo, kau rebut benda ini dari tanganku!!"
"Setan alas!" geram Dewi Perenggut Sukma dalam hati. "Kesaktian Bunga Kemuning
Biru sudah lama kudengar! Dan benda itulah satu-satunya yang dapat
kupakai untuk membunuh Malaikat Biru yang hingga
saat ini belum kuketahui di mana dia berada! Menuju
Pusara Keramat di mana dikatakan dia tinggal pun
sangat sulit bila belum mendapatkan Bunga Kemuning
Biru!" "Dewi Perenggut Sukma! Apakah kau sudah tidak memiiiki keberanian Lagi
untuk menghadapiku"!"
"Terkutuk! Kurobek mulutmu!!"
Dengan mengerahkan lagi ilmu Perenggut Suk-
ma, perempuan berpakaian merah terbuka di pung-
gung itu menyerang kembali. Namun serangan itu
langsung kandas seketika tatkala sinar biru yang sangat terang dan mengandung
hawa panas luar biasa
menerjang. Sebagian pakaian Dewi Perenggut Sukma seketi-
ka hangus. Karena rasa panas menyiksanya, dibu-
kanya sisa pakaiannya hingga kini dia bertelanjang
dada! "Gila! Buah dadamu ternyata lebih montok dari yang kumiliki! Kau membuatku
iri, Dewi keparat!"
Di tempatnya Dewi Perenggut Sukma sedang ber-
diri dengan dada naik turun. Bukit kembarnya yang
menggunung ikutan bergerak, lembut dan agak sedikit
memerah di bagian pucuknya karena panas yang ke-
luar dari Bunga Kemuning Biru.
Dia tersentak ketika melihat kiri kanannya.
Ranggasan semak telah lebur menjadi debu!
"Celaka! Bisa habis aku di sini bila aku tetap
menghadapinya!" desisnya dengan wajah pias. Tak dihiraukan sepasang bukit
kembarnya yang menggan-
tung agak memerah. Matanya yang kini sesekali men-
gerjap menahan jeri mengarah pada Bunga Kemuning
Biru yang dipegang Kembang Darah.
Kembang Darah sendiri yang merasa sudah di
atas angin pentangkan senyum merendahkan.
"Perempuan satu ini sebaiknya memang kubu-
nuh saja. Dialah satu-satunya orang yang tahu kalau
Bunga Kemuning Biru berada di tanganku. Bukan per-
soalan bila banyak para tokoh yang hendak merebut
benda sakti ini dari tanganku. Tapi itu sama saja
membiarkan diriku diincar terus menerus," katanya dalam hati. Dia teringat pada
Setan Keris Kembar. "Bi-sa jadi kakek yang kubiarkan menikmati kehangatan
tubuhku telah tiba di Tanah Kematian. Bisa pula dia
sudah mampus."
Sementara itu Raja Naga sendiri tak berkedip
memandang bunga yang memancarkan sinar biru te-
rang. "Bunga itulah yang kini menjadi rebutan para orang golongan hitam yang
mendendam pada Malaikat
Biru. Ah, sampai hari ini aku belum pernah melihat
sosok Malaikat Biru. Tapi... sebaiknya kulihat saja apa yang akan terjadi
sekarang."
Kembang Darah saat ini sedang melangkah, se-
mentara Dewi Perenggut Sukma sedikit bergetar. Tan-
pa sadar dia surut tiga langkah.
"Menjijikkan!!" tiba-tiba menggelegar bentakan Kembang Darah menyusul digerakkan
tangan kanannya yang menggenggam Bunga Kemuning Biru.
Claasss!! Serangkum sinar biru yang mengandung hawa
panas luar biasa menderu ganas. Dewi Perenggut
Sukma memekik tertahan seraya bergulingan ke samp-
ing kiri. Dia masih mencoba untuk melepaskan ilmu
'Perenggut Sukma'nya.
Blaaamm! Jlegaaarrr!! Ranggasan semak di belakangnya rengkah ter-
hantam sinar biru itu, yang tatkala luruh telah menja-di debu. Menyusul
terdengar ledakan yang menggetar-
kan tempat itu tatkala gelombang angin disemburati
asap merah terhantam sinar biru yang panas.
"Aaaakhhhhh!!"


Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Perenggut Sukma terlempar ke belakang
dan.... Braaak...! Punggung mulusnya menghantam sebuah pohon
yang sedikit bergoyang. Lalu terbanting ke depan. Sadar bahaya mengancamnya,
perempuan yang bertelan-
jang dada hingga sepasang bukit montoknya bergoyang
laksana bandul jam cepat-cepat berdiri. Keseimban-
gannya agak goyah.
"Membosankan!!" geram Kembang Darah. Lalu
menggerakkan tangan kanannya membabi buta.
Betapa ganasnya serangan yang keluar dari Bun-
ga Kemuning Biru. Sinar-sinar biru yang mengandung
hawa panas sangat tinggi, telah menghanguskan pe-
pohonan di sekitar sana. Lima buah pohon telah luruh menjadi debu. Tanah
berhamburan ke sana kemari.
Nyali Dewi Perenggut Sukma putus sudah. Hanya
nalurinya saja yang masih membuatnya mampu
menghindari serangan-serangan berbahaya itu. Selu-
ruh tubuhnya kini sudah seperti berada di atas pang-
gangan. Pakaian bawahnya telah hangus di bagian pa-
ha hingga pangkal paha, hingga memperlihatkan cela-
na dalamnya yang berwarna putih. Samar-samar terli-
hat sesuatu yang hitam membayang.
Dan dia hanya bisa terus menghindar tanpa bisa
membalas. Namun mendadak saja satu dehaman keras ter-
dengar, menyusul satu tenaga tak nampak mengge-
brak, memotong sinar biru yang mengarah pada Dewi
Perenggut Sukma.
Tenaga tak nampak itu hanya sesaat berhasil
menahan gebrakan sinar biru panas, untuk kemudian
terus melesat ke arah Dewi Perenggut Sukma.
"Celaka!!" seru perempuan yang kini sudah kehilangan keberaniannya.
Sebelum sinar biru mengandung kekuatan panas
luar biasa menghantam tubuhnya yang tak mampu la-
gi menghindar, satu bayangan ungu telah bergerak
laksana setan. Tap! Langsung menyambar tubuhnya.
Dewi Perenggut Sukma merasa tubuhnya seperti
berputar dua kali di udara sebelum akhirnya dirasa-
kan dia menginjak tanah kembali.
Seketika diliriknya bayangan ungu yang telah
menyelamatkannya. Wajahnya sejenak berubah tatkala
mengetahui siapa orang yang menolongnya.
Di pihak lain, Kembang Darah menggeram keras,
"Pemuda berompi ungu! Siapa kau adanya"!"
* * * EMPAT SI BAYANGAN ungu yang bukan lain Raja Naga
adanya tersenyum. Kembang Darah yang geram meli-
hat ada orang yang menyelamatkan Dewi Perenggut
Sukma urung keluarkan bentakan tatkala melihat so-
rot mata angker dari si pemuda.
"Gila! Selama ini hanya Datuk Meong Moneng
yang kuanggap memiiiki tatapan mampu melumpuh-
kan keberanian lawan! Tetapi pemuda itu... keparat!
Siapa pemuda bersisik coklat itu"!"
Di pihak lain, Dewi Perenggut Sukma yang telah
selamat dari petaka yang akan diturunkan Kembang
Darah, berkata pada penolongnya, "Raja Naga! Walaupun kita pernah bersilang
pendapat sebelumnya, tetapi tetap kuucapkan terima kasih padamu!"
Pemuda bersisik coklat pada kedua tangannya
sebatas siku tak menjawab, melirik pun tidak. Mata
angkernya masih memandang Kembang Darah yang
kini memicingkan matanya hingga keningnya berkerut.
"Raja Naga.... Huh! Jadi pemuda ini yang berju-
luk Raja Naga"! Bagus! Walaupun aku tak menyukai
perintah Datuk Meong Moneng untuk membunuh Raja
Naga, tetapi saat ini tetap akan kujalankan perintah itu! Sekaligus saja dia
kujadikan uji coba kesaktian Bunga Kemuning Biru sebelum kupikirkan rencana
apa yang akan kulakukan dengan benda sakti ini!"
Memutuskan demikian, Kembang Darah men-
gangkat sedikit dagunya. Dengan sorot mata penuh
tantangan dia mendesis, "Tak kusangka... kalau orang yang selama ini kucari
untuk kubunuh yang berani
lancang menghalangi tindakanku!! Bagus kau muncul
di sini, hingga aku tak sulit mencarimu!"
"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia bicara sedang
mencari dan hendak membunuhku" Bertemu saja ba-
ru kali ini!" desis Raja Naga dalam hati.
"Raja Naga! Kau pernah mendengar petatah-
petitih, sekali kayuh dua atau tiga pulau terlampaui"!
Nah! Sekali hantam, nyawamu dan nyawa Dewi Pe-
renggut Sukma akan kuputuskan!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tersenyum.
"Kembang Darah! Aku sama sekali tak mengerti
apa yang kau maksudkan! Tetapi yang pasti, kau telah berlaku buruk! Pertama kau
telah menculik sahabatku
yang bernama Ratih, lantas merebut Bunga Kemuning
Biru untuk memuaskan nafsu busukmu! Kini dengan
benda sakti itu kau telah menyebarkan petaka! Kata-
kan padaku, di mana sahabatku yang bernama Ratih
kau sekap"!"
Kembang Darah tertawa keras.
"Hemm... rupanya kau sedang mencari gadis
yang bernama Ratih"! Sayang, sayang sekali kau ter-
lambat! Karena... gadis itu telah mampus kubunuh!"
Kepala pemuda dari Lembah Naga itu menegak.
Sorot matanya makin angker mengerikan.
"Apa pun yang kau katakan tentang nasib gadis
itu, aku akan tetap mencarinya! Sekarang, apakah ti-
dak sebaiknya kau serahkan benda itu kepadaku un-
tuk kukembalikan pada pemiliknya yang sah"!"
Menggema lagi tawa mengejek Kembang Darah.
"Bukan main! Apakah gertakan sambal seperti itu yang selalu kau perlihatkan
untuk mengkederkan hati
setiap lawanmu"!"
Sementara Raja Naga tetap tersenyum, Dewi Pe-
renggut Sukma menggeram dalam hati. Dia tak mau
bertindak gegabah walaupun di sisinya ada Raja Naga
yang diketahuinya akan menolongnya bila mendapat
celaka. Biar bagaimanapun juga, kebenciannya pada
Raja Naga masih ada. Juga dia merasa perlu berpikir
sepuluh kali menyerang Kembang Darah yang kini
mempergunakan Bunga Kemuning Biru sebagai senja-
ta. Tiba-tiba tawa Kembang Darah terputus. Menyu-
sul bentakannya, "Ingin kulihat seperti apa keheba-tanmu, Raja Naga"!!"
Claassss!! Serangkum sinar biru yang mengandung kekua-
tan panas luar biasa menggebrak ke arah Raja Naga.
Murid Dewa Naga menjerengkan matanya. Seraya
mendorong tubuh Dewi Perenggut Sukma ke samping
kanan, dia melompat ke belakang dan menjejakkan
kaki kanannya di atas tanah.
Serta-merta tanah yang dipijaknya berderak, lalu
bergelombang dengan kekuatan tinggi.
Blaaarrr!! Tenaga yang terpancar dari jurus 'Barisan Naga
Penghancur Karang' tertelan oleh sinar biru panas
yang terus menderu.
"Astaga!!"
Saat itu pula pemuda berompi ungu ini mem-
buang tubuh ke samping kanan.
Blaaamm!! Pohon yang tumbuh di belakangnya lebur dan
hangus sementara tanah terbongkar ke udara.
"Aku harus merebut Bunga Kemuning Biru dari
tangannya!" desis Raja Naga sambil memutar tubuh.
Dicobanya untuk menahan gempuran Kembang
Darah selanjutnya dengan jurus 'Kibasan Naga Mengu-
rung Lautan'. Tetapi tindakan yang dilakukannya sia-
sia belaka. Bahkan....
Bukkk!! Dadanya terhantam telak tendangan memutar
Kembang Darah. Walaupun terseret ke belakang hing-
ga tanah berhamburan, tetapi pemuda pewaris ilmu
Dewa Naga itu masih mampu menguasai keseimban-
gannya. Di pihak lain Kembang Darah sudah menyergap
dengan mengibaskan tangan kanannya. Kali ini Raja
Naga memutuskan untuk menghindar. Sadar akan ke-
hebatan Bunga Kemuning Biru di tangan Kembang Da-
rah, jalan satu-satunya hanyalah menguras tenaga pe-
rempuan itu. Tetapi dengan Bunga Kemuning Biru di tangan-
nya, perempuan berkutang merah itu justru menda-
patkan tenaga lebih yang luar biasa, hingga dia sama sekali tak kehilangan
tenaganya kendati banyak dikeluarkan. Hal itu terjadi karena kesaktian Bunga Ke-
muning Biru! "Perempuan ini nampaknya memang benar-benar
ingin membunuhku kendati aku tidak tahu penyebab-
nya! Tanpa Bunga Kemuning Biru kekejamannya tak
terkira, apalagi ditambah dengan kesaktian bunga itu yang membuatnya merasa di
atas angin!" desis Raja Naga dalam hati seraya terus menghindar.
Tempat itu sudah semakin porak poranda. Telah
banyak terbentuk lubang yang besar dan dalam akibat
hantaman sinar biru ganas yang keluar dari Bunga
Kemuning Biru. "Menguras tenaganya hanyalah sebuah tindakan
sia-sia! Berarti,..."
Memutuskan kata batinnya sendiri, Raja Naga
menggeram dingin. Samar-samar sorot mata angker
Raja Naga semakin berkilat-kilat mengerikan. Sisik-
sisik coklat yang terdapat di tangan kanan kirinya sebatas siku, semakin jelas
kentara. Rupanya anak mu-
da ini sudah berada di ambang kemarahannya.
"Kau terlalu memaksa, Kembang Darah!" desisnya dingin. Tiba-tiba terdengar
gerengannya yang sangat keras. Dedaunan seketika berguguran. Tanah di
sekitar dia berdiri beterbangan.
Dewi Perenggut Sukma yang memperhatikan ter-
sentak. "Astaga! Dia jadi lebih mengerikan dan penuh wibawa! Keparatth! Pantas dia dapat
mengalahkanku waktu itu, karena dia masih memiliki ilmu simpanan!"
Di pihak lain Kembang Darah yang berdiri tegak
menyipitkan matanya. Sejenak ada kengerian terpam-
pang di wajahnya. Tetapi di saat lain dia cuma men-
dengus. Raja Naga yang telah mengeluarkan ilmu 'Naga
Mengamuk' menerjang ke depan. Yang diinginkan bu-
kanlah nyawa Kembang Darah, melainkan merebut
Bunga Kemuning Biru yang merupakan pusat segala
petaka yang telah dan akan terjadi.
Kembang Darah sendiri tak mau bertindak ayal.
Dengan mengandalkan kesaktian Bunga Kemuning Bi-
ru, perempuan berkutang merah itu sudah melesat ke
depan. Sementara Dewi Perenggut Sukma yang masih
bertelanjang dada, buru-buru mundur menyadari ka-
lau akan terjadi sesuatu yang sangat mengerikan.
Apa yang terjadi kemudian memang sungguh
sangat mengerikan. Pepohonan di sana bertumbangan
terhantam desiran angin yang keluar dari tangan ka-
nan kiri Raja Naga. Paras tampannya meregang tegang.
Tatapan matanya angker dan bertambah angker. Sisik-
sisik coklat pada kedua tangannya semakin terang
menyala, berkilat-kilat.
Beberapa kali benturan dahsyat terjadi. Tempat
itu laksana diamuk kiamat. Tanah terbongkar, beter-
bangan menghalangi pandangan. Letupan demi letu-
pan terdengar keras dan angker. Masing-masing orang
telah masuk dalam pertarungan jarak dekat dengan
kecepatan luar biasa.
Hingga suatu ketika, gelombang sinar biru yang
panas luar biasa menderu berputar ke arah Raja Naga
yang segera mendorong kedua tangannya.
Gelombang angin raksasa disaputi asap merah
pun menderu. Akibatnya....
Jleegaaarrr!!! Laksana puluhan guntur yang menghantam bu-
mi, ledakan luar biasa meletup dahsyat. Tanah mun-
crat setinggi empat tombak. Pepohonan menghangus.
Dari muncratan tanah yang menghalangi pan-
dangan, terlempar dua sosok tubuh ke belakang.
Raja Naga cepat merangkapkan kedua tangannya
di depan dada. Karena dirasakan hawa panas tinggi
melingkupi sekujur tubuhnya. Di lain pihak, Kembang
Darah masih terhuyung-huyung dengan bibir menga-
lirkan darah segar.
Napasnya terputus-putus dengan sekujur tubuh
terasa ngilu. Tak disadarinya kalau kain hitam yang dikenakannya telah terlepas
hingga memperlihatkan
bagian pangkal pahanya yang tertutup sehelai kain
merah jambu. Buru-buru dikerahkan hawa murninya
untuk menghilangkan rasa sakit yang tak terkira.
Saat itulah Dewi Perenggut Sukma melesat cepat
diiringi teriakan keras untuk menyambar Bunga Ke-
muning Biru yang masih dipegang Kembang Darah.
Dalam pikirannya dia akan dengan mudah dapat
menyambar Bunga Kemuning Biru di saat Kembang
Darah masih belum pulih benar. Namun tindakannya
itu justru membawanya pada satu kenyataan pahit
yang sangat fatal.
Karena masih mencoba memulihkan keadaannya,
Kembang Darah sudah menggerakkan tangan kanan-
nya yang sedikit gemetar. Sinar biru yang mengandung hawa panas melesat ganas ke
arah Dewi Perenggut
Sukma.

Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan yang masih bertelanjang dada itu
memekik tertahan tatkala merasakan hawa panas siap
menelannya bulat-bulat. Dicobanya untuk membuang
tubuh ke samping kanan, tetapi sinar biru itu sudah bertambah dekat.
Buk!! Tahu-tahu dirasakan pinggangnya terhantam sa-
tu tendangan, yang membuat nyawanya selamat. Ma-
sih sempat diliriknya siapa orang yang melakukan tindakan itu. Raja Naga!
Namun yang terjadi kemudian, tak mampu di-
hindarinya lagi. Kembang Darah sudah menyerang Ra-
ja Naga kembali sementara tangan kanannya mengibas
ke arah Dewi Perenggut Sukma!
Membelalak bola mata Dewi Perenggut Sukma
mendapat gelombang sinar biru menderu ke arahnya.
Kengeriannya menjadi-jadi. Sukmanya seakan putus
setengah. Dan....
"Aaaaakhhhhh!!"
Dadanya telak terhantam sinar biru panas yang
keluar dari Bunga Kemuning Biru!
Seketika dadanya jebol dan tubuhnya ambruk
laksana sebatang pohon tanpa nyawa Lagi. Buah da-
danya yang montok menggairahkan kini tak ada Lagi,
bahkan jantungnya lenyap karena dada itu bolong dan
mengeluarkan asap!
Raja Naga yang masih menghindari serangan
Kembang Darah berteriak keras melihat kenyataan pa-
hit yang dialami Dewi Perenggut Sukma. Kendati pe-
rempuan itu hampir pernah membunuhnya, tetapi Ra-
ja Naga tak menginginkan kematiannya. Bahkan tak
diinginkannya ada kematian di sini kecuali menda-
patkan Bunga Kemuning Biru!
Dia marah. Dia mengamuk ganas.
Kembang Darah tak mau kalah. Amukannya pun
lebih mengerikan. Benturan demi benturan terjadi La-
gi. Dan untuk kedua kalinya masing-masing orang ter-
seret ke belakang. Namun kali ini Kembang Darah tak
mau membuang tenaga lebih banyak. Begitu terseret
ke belakang, cepat dijejakkan kaki kirinya hingga sere-tan tubuhnya tertahan.
Kejap berikutnya, dia sudah melesat meninggal-
kan tempat itu sambil memegangi dadanya dengan
tangan kiri. Raja Naga menggeram keras. Dia berusaha men-
gejar. Tetapi napasnya terasa sesak, hingga mau tak
mau dihentikan pengejarannya.
Anak muda bersisik coklat pada tangan kanan
kirinya sebatas siku ini jatuh terduduk sambil meme-
gangi dadanya. Dia terbatuk beberapa kali sebelum
terlihat sepasang pipinya mengembung. Satu tekanan
kuat mendesak dari dalam perutnya dan....
"Huaaakkk!!"
Anak muda itu muntah darah.
"Aku tak boleh buang waktu. Dia harus kuke-
jar...," desisnya sambil menahan nyeri pada dadanya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, agak
terhuyung-huyung anak muda berompi ungu ini berla-
ri ke arah perginya Kembang Darah.
Tempat yang telah porak poranda itu kembali di-
rejam sepi. Hanya sosok Dewi Perenggut Sukma yang
berada di sana. Tetapi dia tidak tahu dan tak akan
pernah tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.
* * * LIMA PADA saat yang bersamaan, kakek yang lengan
kirinya buntung dan masih meneteskan darah itu am-
bruk di balik sebuah ranggasan semak. Wajahnya pu-
cat dengan tubuh lunglai. Gigi-giginya saling beradu untuk menahan rasa sakit
yang tak terkira.
"Keparattt!!" makinya dengan suara bergetar. Dikerahkan sisa-sisa tenaganya
untuk menotok urat da-
rah pada bahunya, agar darah tak terus menerus
mengalir. Dengan susah payah, lelaki tua berpakaian hitam
dengan sulaman sepasang keris pada dada kanan ki-
rinya, berhasil menotok urat darah pada bahunya sen-
diri. Tubuhnya mengejut dan dia berteriak keras me-
nahan sakit. Darah yang terus menetes sepanjang dia berlari
dengan terhuyung-huyung perlahan-lahan mulai ber-
henti tetesannya. Tetapi lelaki tua yang bukan lain Setan Keris Kembar adanya
seakan tak memiliki tenaga
lagi. Darah itu terlalu banyak keluar!
"Terkutuk! Aku harus menjauh dari tempat ini!"
serunya dengan susah payah. Dikuatkan hatinya un-
tuk bangkit, tetapi seketika itu pula dia jatuh kembali.
Perih pada bahunya itu sangat terasa.
"Kepaaraaatt! Bila aku masih hidup, demi langit dan bumi aku bersumpah, akan
kubalas perbuatan
terkutuk Datuk Meong Moneng!!" desisnya dengan gigi merapat. Keningnya
mengernyit kuat menahan sakit.
"Beruntung, nasibku masih beruntung... karena aku masih mampu meninggalkan Tanah
Kematian selagi...
kakek muka kucing itu masuk kembali ke tempat ting-
galnya. Kalau tidak... ah, Tanah Kematian jelas-jelas akan jadi kuburanku
terakhir.... Gila! Mengapa... mengapa harus kuikuti kata-kata Kembang Darah"
Tapi, tapi... aku menginginkan Bunga.... Kemuning.... Bi-
ru...." Memang, setelah tangan kirinya buntung tersam-bar cakaran Datuk Meong
Moneng, Setan Keris Kem-
bar merasa ajalnya sudah di ambang pintu. Walaupun
menahan sakit yang sangat luar biasa, Setan Keris
Kembar berusaha untuk tenang kendati nyalinya telah
putus. Ketakutannya sedikit lenyap ketika mendengar
keputusan Datuk Meong Moneng untuk tidak membu-
nuhnya. Tatkala Datuk Meong Moneng masuk kembali
ke tempat tinggalnya, Setan Keris Kembar segera men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya. Dia harus segera me-
ninggalkan Tanah Kematian.
Rasa sakit yang tak tertahankan lagi, tak dihi-
raukan. Setelah menyelipkan kembali sepasang keris
kembarnya ke balik pinggangnya, kakek berambut di-
kuncir dengan pita putih itu melangkah terseret-seret.
Sekali dua kali dia ambruk. Tetapi terus dipaksakan
untuk meninggalkan tempat itu.
"Aku harus pergi dari sini.... Kembang Darahlah harapanku satu-satunya yang
dapat mengobati pende-ritaanku ini...," desisnya seraya berusaha untuk berdiri
lagi. Tetapi lagi-lagi dia ambruk. Napasnya memburu dengan wajah semakin pucat
karena kekurangan darah. "Celaka... aku...."
Hanya itu kata-kata yang diucapkan oleh Setan
Keris Kembar, karena di saat lain dia sudah jatuh
pingsan. Dan dia belum siuman juga dari pingsannya
walaupun hari sudah menjelang senja. Beberapa helai
daun jatuh menerpa wajah dan tubuhnya. Debu-debu
menempel pada bagian atas tangan kirinya yang telah
buntung. Mendadak desiran angin yang mengarah ke barat
daya, tiba-tiba berputar, dan bergerak lagi ke tempat asalnya. Sungguh aneh
perubahan itu. Karena tak ada
tanda-tanda alam akan mengamuk. Tidak terlihat
adanya sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Wuussss!! Menderu satu desiran angin kuat yang mener-
bangkan ranggasan semak belukar, menyusul cahaya
biru menerangi tempat itu. Anehnya, cahaya biru itu
bergerak seperti orang yang sedang melangkah. Dan...
astaga! Cahaya biru itu memang berasal dari satu so-
sok tubuh yang sedang melangkah, sosok tubuh yang
agak bungkuk dan dari sekujur tubuhnya memancar-
kan cahaya biru!
Orang yang tubuhnya memancarkan cahaya biru
ini menghentikan langkahnya di hadapan Setan Keris
Kembar yang masih pingsan. Wajah orang ini dipenuhi
keriput, penuh wibawa. Sorot matanya bening dan te-
duh. Bila ada orang yang memandangnya, maka orang
itu akan merasa dikasihi.
Orang tua ini mengenakan pakaian berwarna
serba biru. Rambutnya putih panjang acak-acakan
hingga punggung. Di bahunya terdapat empat buah ge-
lang berwarna biru pula. Dan begitu si kakek yang tubuhnya memancarkan cahaya
biru ini berhenti di de-
pan sosok Setan Keris Kembar, angin kembali mende-
sir ke barat daya.
"Ah... kekejaman seorang manusia telah melukai
seorang manusia pula," desisnya sambil mengusap janggutnya yang putih. "Mengapa
selalu saja ada manusia yang suka menurunkan tangan telengas pada
sesama?" Si kakek masih memandangi sosok pingsan Setan
Keris Kembar sampai kemudian terlihat keningnya
berkerut. "Astaga! Aku mengenali ilmu apa yang dipakai
seseorang untuk melukai orang ini" 'Cakar Kucing
Gunung'. Hemm... kalau tak salah ingat, bukankah
Durga Marakayangan memiiiki jurus yang sama?"
Si kakek terdiam, berpikir.
"Durga Marakayangan telah tewas. Begitu pula
dengan muridnya si Setan Bayangan. Tetapi seingatku
pula, Durga Marakayangan tak pernah menurunkan
ilmu 'Cakar Kucing Gunung' pada Setan Bayangan"
Atau... dia sebenarnya memiiiki seorang murid lagi?"
Kembali si kakek terdiam. Mata teduhnya terus
Panji Tengkorak Darah 10 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Mendung Dilangit Kepatihan 3
^