Pencarian

Bunga Kemuning Biru 2

Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru Bagian 2


"Kesombonganmu sudah kelewat batas, Anak
muda! Kau akan mengenalku lebih jauh!!"
Dewi Perenggut Sukma menggeser kaki kanan-
nya ke belakang. Tubuhnya agak sedikit dibungkuk-
kan. Kejap berikutnya dia sudah melesat ke depan.
Kedua kakinya bergerak laksana setan, menyeret ta-
nah hingga beterbangan.
Raja Naga menjerengkan sepasang matanya.
Sekali saja dapat dirasakannya kalau lawan melipat-
gandakan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba saja kaki kanannya dijejakkan di atas
tanah. Brrooll!!
Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom-
bang cepat ke arah Dewi Perenggut Sukma, anak muda
dari Lembah Naga itu sudah melompat ke depan se-
raya mendorong tangan kanan kirinya.
Blaaaam! Blaaammm!!
Gelombang angin yang disemburati asap merah
melabrak putus gelombang angin yang keluar dari do-
rongan kedua tangan Dewi Perenggut Sukma. Letupan
yang sangat keras terjadi. Tempat itu sesaat bergetar.
Dewi Perenggut Sukma berdiri tegak di atas ta-
nah setelah mundur tiga tindak.
Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, perempuan berpakaian merah
menggeram keras dan segera
menerjang kembali. Tubuhnya mumbul di udara. Lak-
sana berjalan di atas angin, kedua kakinya bergerak
cepat. Akibatnya, tanah berhamburan ke udara.
Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang
keluar dari gerakan kedua kaki lawan menerpa da-
danya. Sadar bila tidak bergerak cepat akan menda-
patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini
segera mendorong kedua tangannya ke atas.
Blaaamm! Blaaamm!!
Letupan yang terjadi semakin membuatnya ke-
hilangan keseimbangan. Sementara itu, Dewi Pereng-
gut Sukma yang masih berada di udara memutar tu-
buh. Dan mendadak saja dia meluruk dengan kedua
kaki siap menghantam dada Raja Naga.
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, mu-
rid Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan
kanannya digerakkan ke depan.
Buk! Kaki kanan Dewi Perenggut Sukma dapat dita-
hannya, tetapi kaki kiri perempuan itu tepat bersarang di dadanya!
Des! Dan... wussss!!
Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk.
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Dewi Pereng-
gut Sukma yang bergerak laksana setan itu akan
menghantam rengkah kepalanya.
"Huh! Kesombongan yang kau punyai ternyata
tak sepadan dengan ilmu yang kau miliki!!" dengus Dewi Perenggut Sukma ketika
berdiri lagi di atas tanah. "Lebih baik kusudahi saja kau sekarang!!"
Belum habis ucapan itu terdengar. Dewi Pe-
renggut Sukma sudah mundur dua langkah. Kepa-
lanya menegak dengan tatapan nyalang pada Raja Na-
ga yang hanya memperhatikan dengan kening berke-
rut. Dilihatnya perempuan berpakaian merah itu
perlahan-lahan menarik kaki kanannya ke belakang
sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya
sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan kedua
tangannya di depan dada, mulut si perempuan nam-
pak berkemak-kemik.
"Heiii!" desis Raja Naga dengan mata membelalak.
Dilihatnya bagaimana sekujur kulit di tubuh
perempuan itu berubah memerah dan semakin lama
bertambah merah semerah darah. Paras jelitanya pun
berubah, menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola ma-
tanya pun memerah, menyiratkan keganasan luar bi-
asa. "Gila! Nampaknya dia tidak main-main dengan ucapannya! Padahal tadi aku
sengaja mengalah, biar
dia puas dan tak melanjutkan lagi niatnya! Tetapi sekarang, aku malah termakan
oleh siasatku sendiri...."
Kata batin Raja Naga terputus karena terdengar
bentakan perempuan di hadapannya, "Raja Naga! Se-
belum kau mampus, kenanglah siapa aku! Dewi Pe-
renggut Sukma!!"
Menyusul kedua tangannya didorong ke depan!
* * * Gelombang angin berwarna semerah darah
menggebrak ke depan dengan kecepatan tinggi dan
memperdengarkan suara lintang pukang. Raja Naga
mundur satu langkah seraya mendehem, mencoba
memutus-kan serangan itu dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Namun di luar dugaannya, gelombang angin
itu terus saja menggebrak ganas ke arahnya!
Segera dikeluarkan jurus 'Barisan Naga Peng-
hancur Karang' yang begitu dijejakkan kaki kanan ki-
rinya di atas tanah, seketika tanah itu bergerak ke
atas, bergelombang deras, menyerbu ke arah Dewi Pe-
renggut Sukma. Terdengar letupan beberapa kali, tetapi gelom-
bang angin semerah darah itu tetap tak putus di ten-
gah jalan. Dengan wajah sedikit tegang, pewaris ilmu Dewa Naga itu cepat
melompat seraya melepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.
Namun upaya itu pun putus di tengah jalan,
bahkan.... Wrrrrr!! Gelombang angin semerah darah itu telah me-
lingkupi tubuhnya. Saat itu pula Boma Paksi merasa
nafasnya sesak. Dadanya laksana dihimpit dua tangan
kasar dari depan dan belakang. Belum lagi dapat dikuasai dirinya, tiba-tiba....
Bukkk!! Satu hantaman telak telah membuat tubuhnya
terlempar ke belakang.
Brruukkk! Laksana nangka busuk tubuhnya ambruk di
atas tanah. Bukan karena jatuh itu yang menyebabkan
Raja Naga sulit bernapas, tetapi gelombang angin me-
rah yang melingkupi tubuhnya mendadak telah beru-
bah menjadi gumpalan asap. Membuatnya terbatuk-
batuk dengan dada terasa sakit.
Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di-
alami olehnya, karena tiba-tiba saja tubuhnya menge-
jut-ngejut keras. Menyusul laksana sehelai daun yang tersedot pusaran angin,
tubuhnya meluncur deras ke
depan, ke arah Dewi Perenggut Sukma yang sedang
menunggunya dengan kedua telapak tangan membu-
ka. "Gila! Ini tidak main-main lagi!!' geram Raja
Naga keras dengan rahang merapat.
Dengan menahan sedotan tenaga tak nampak
itu, segera ditepukkan tangan kanannya pada lengan
kirinya. Plak! Wuuuttt!! Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar
dan membuat tanah terangkat dalam pusarannya.
Blaaarrr!! Tenaga tak nampak yang membuatnya tersedot
tadi sempat tertahan hingga tubuhnya terlempar ke
belakang akibat angin berputar yang dilakukannya ta-
di. Namun di kejap lain tubuhnya kembali tersedot ke depan! Begitu tubuhnya
tersedot lagi ke depan, terlihat sorot matanya bertambah angker, mampu membuat
siapa pun yang melihatnya akan terpaku. Sementara
itu sisik-sisik coklat yang menghiasi kedua tangannya sebatas siku, semakin
jelas terlihat. Pertanda anak
muda dari Lembah Naga itu sudah berada di ambang
kemarahannya. Dewi Perenggut Sukma yang sedang mengerah-
kan ilmu pamungkasnya, sesaat tersentak. Terbayang
kengerian di wajahnya tatkala melihat sorot mata pe-
muda berkuncir kuda itu. Namun di lain kejap dia tak pedulikan hal itu.
Seluruh kulit di tubuhnya yang sudah berubah
warna menjadi semerah darah, semakin bertambah
pekat hingga yang nampak tak ubahnya seperti gum-
palan darah belaka berwujud manusia. Samar-samar
asap merah keluar dari ubun-ubun kepalanya yang
membubung tinggi.
Kedua tangannya yang terbuka, siap menyam-
but dada Raja Naga yang akan segera disedotnya selu-
ruh tenaga dalam yang dimiliki anak muda itu dengan
ilmu 'Perenggut Sukma'nya.
*** ENAM SEBELUM kita ikuti apa yang terjadi dengan
Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu apa yang dialami oleh Ratih. Sepeninggal
kakak seperguruannya yang
mencari makanan. Ratih menyandarkan tubuhnya di
bawah sebatang pohon.
Ketika diingatnya apa yang dilakukannya sebe-
lumnya bersama Lesmana, wajah dara jelita berpa-
kaian ringkas warna kuning itu merona. Dicobanya
untuk mengingat siapa yang lebih dulu memulai saling dekap dan cium.
"Ih...!" desisnya dengan rona semakin kentara di wajahnya. "Memalukan saja....
Lebih baik aku memikirkan yang lain daripada memikirkan kejadian
itu...." Lalu diingatnya peristiwa di mana dia menya-
lahkan Lesmana yang gagal menyelamatkan gurunya,
si Setan Bayangan dari tangan Ketua Perguruan Laba-
laba Perak. Diingatnya pula bagaimana akhirnya dia
mengerti tentang kejadian yang sebenarnya dan siapa
gurunya. Karena asyik mengingat hal itu. Ratih tak me-
nyadari kalau sepasang mata indah namun bersinar
jahat memperhatikannya dari balik ranggasan semak.
"Kabar sudah kudengar kalau gadis itu dan
pemuda yang meninggalkannya tadi adalah murid Se-
tan Bayangan yang telah mampus. Berarti, perjalanan-
ku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru tak la-
ma lagi akan berakhir. Pada murid-muridnyalah Setan
Bayangan mewariskan Bunga Kemuning Biru..." desis orang di balik semak itu
sambil terus memperhatikan
Ratih. "Ketimbang didahului orang, lebih baik aku mendahului.... "
Lalu... wuuuttt!
Sosoknya telah melompati ranggasan semak se-
tinggi dada yang berada di hadapannya. Hebatnya se-
mak itu sama sekali tak bergerak sedikit pun. Bahkan tatkala sosok tubuh itu
hinggap, tak terdengar suara sama sekali.
Namun kehadirannya sekarang telah diketahui
Ratih karena orang itu berdiri tepat di hadapannya.
Serta-merta gadis manis berambut dikuncir dua itu
berdiri. Matanya memperhatikan sosok di hadapannya
dengan seksama.
"Gadis berkuncir dua!" seru orang itu yang ternyata seorang perempuan yang
diperkirakan berusia
sekitar tiga puluh tahun. "Waktuku tidak banyak! Dan aku juga tidak suka
berbasa-basi! Serahkan Bunga
Kemuning Biru kepadaku maka kau akan tetap dapat
melihat matahari esok pagi!"
Ucapan kasar itu membuat Ratih bersiaga. Biar
bagaimanapun juga dia telah berpengalaman mengha-
dapi kejadian demi kejadian yang tidak mengenakan.
"Perempuan tak tahu malu berpakaian sea-
danya! Siapa kau" Tahu-tahu muncul dan berkata
yang tidak-tidak!"
Perempuan berambut hitam legam itu mengge-
ram. Sorot matanya tajam. Dia mengenakan pakaian
semacam kutang belakang berwarna merah. Memper-
lihatkan bahunya, sebagian besar buah dadanya ba-
gian atas, dan perutnya yang lebar terbuka. Sementara bagian bawah tubuhnya
ditutupi dengan kain hitam
yang cukup lebar.
"Kau boleh memanggilku Kembang Darah!" se-
runya dingin. "Huh! Kembang Darah! Julukanmu boleh juga!
Dan tindakanmu tadi sungguh tidak enak dilihat dan
didengar! Aku tak mau buka urusan! Lebih baik me-
nyingkir dari sini!"
Menyipit mata bengis itu mendengar bentakan
Ratih. "Setan muda! Kau belum mengenal siapa aku!"
Belum habis bentakannya, tangan kanannya menjen-
tik. Trik! Satu larik angin menderu cepat ke arah Ratih.
Yang diserang segera memiringkan kepalanya.
Plasss!! Begitu dia menoleh, dilihatnya batang pohon di
mana tadi dia bersandar bolong tepat sejajar dengan
wajahnya! Seketika Ratih menjadi geram.
"Rupanya kau termasuk orang yang suka ber-
buat hina! Baik! Aku ingin tahu kau bisa berbuat
apa!!" Dengan menekan kemarahannya, gadis ber-
kuncir dua itu menerjang ke depan. Perempuan berpa-
kaian seperti kutang itu menggeram dingin. Dimiring-
kan tubuhnya untuk menghindari jotosan Ratih. Lalu
dengan gerakan cepat kaki kanannya sudah mencuat
siap menghantam perut Ratih.
Plak! Ratih masih dapat menahannya dengan telapak
tangan kanannya, lalu melenting ke depan. Begitu ke-
dua kakinya memijak tanah, tubuhnya sudah melent-
ing kembali. Kedua pedang yang bersilangan di pung-
gungnya telah berada dalam genggamannya.
Segera digerakkan pedangnya dengan kecepa-
tan tinggi.

Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Darah menggeram.
"Huh! Gadis ini tak perlu kubunuh! Tugasku
hanya untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru dari
tangan murid-murid mendiang Setan Bayangan! Tapi...
ya! Lebih baik kubawa dia ke Tanah Kematian untuk
kupersembahkan pada Datuk Meong Moneng!"
Berpikir demikian, Kembang Darah mundur ti-
ga tindak. Menyusul jari jemarinya dijentikkan.
Trikkk! Sraaatt! Beberapa gelombang angin laksana jarum me-
lesat ke arah Ratih yang sesaat tercekat, lalu dengan cekatan digerakkan kedua
pedangnya. Trang! Trang! Gelombang-gelombang angin itu berpentalan.
Namun yang mengejutkan, karena gelombang-
gelombang angin laksana jarum itu memutar arah dan
kembali lagi ke arahnya!
"Heiiii!!"
"Kau tak memiliki kepandaian apa-apa. Gadis
manis!" desis Kembang Darah sambil memperhatikan.
Buah dadanya yang terbungkus pakaian seperti ku-
tang berwarna merah bergerak-gerak.
"Terkutuk!!" bentak Ratih seraya menghindar.
Nafasnya mulai sedikit terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Sepasang
dadanya yang mengkal
naik turun. Dia terus menghindari serangan gelom-
bang-gelombang angin seperti jarum itu.
Dua kejapan mata kemudian, terlihat sepasang
pedang Ratih memancarkan cahaya bening yang se-
makin lama bertambah kentara.
Kening Kembang Darah berkerut.
"Hemmm... nampaknya dia telah mengeluarkan
ilmu pedangnya. Setan! Buat apa aku berlama-lama!"
Ratih memang telah mengeluarkan ilmu 'Pe-
dang Bayangan' yang setiap kali digerakkan, setiap kali pula menggebah gelombang
angin dingin disusul dengan cahaya bening yang menyilaukan mata. Dengan
ilmu itu pula dia dapat mematahkan gelombang-
gelombang angin laksana jarum.
Lalu diiringi teriakan mengguntur dia mener-
jang ke arah Kembang Darah yang segera menghindar.
Sempat dirasakannya betapa tubuhnya seperti dis-
erang oleh hawa dingin yang sangat kuat.
"Membosankan!" makinya keras seraya menje-
jakkan kaki kanannya. Serta-merta tubuhnya melent-
ing ke depan. Kedua tangannya dirangkapkan menjadi
satu. Ketika cahaya bening yang menyilaukan mata itu mengarah padanya, dibuka
kedua tangannya dan diputar ke atas.
Wuuusss! Cahaya bening yang menyilaukan mata itu ter-
tahan, bahkan seperti tertangkap lenyap. Ratih tersentak kaget. Namun dia tak
mengurungkan niatnya un-
tuk menyerang. Kembang Darah meliukkan tubuhnya sebentar
dan.... Des! Des!
Tangan kanannya dengan cepat bergerak me-
motong, menghantam kedua pergelangan tangan Ratih
yang seketika membuat sepasang pedangnya terlepas.
Kejap itu pula telunjuk Kembang Darah bergerak.
Tuk! Tuk! Dua totokannya bersarang di tubuh Ratih, yang
mengejut sebentar untuk kemudian menggelosoh tan-
pa tenaga di atas tanah.
Kembang Darah menyeringai.
"Kau terlalu berani bersikap lancang terha-
dapku!" desisnya. Tanpa mempedulikan bentakan-
bentakan Ratih, diambilnya kedua pedang gadis itu.
Dengan salah satu pedang itu, digoreskan tulisan yang diyakininya akan dibaca
oleh pemuda yang bersama
gadis ini sebelumnya.
Lalu dengan membopong tubuh Ratih, diba-
wanya si gadis meninggalkan tempat itu yang berte-
riak-teriak keras tetapi tak mampu berbuat apa-apa.
Di sebuah hutan kecil yang sepi, Kembang Da-
rah menghentikan langkahnya. Diperiksanya tubuh
Ratih dan ditemukannya apa yang dicarinya. Dipan-
danginya bunga kemuning berwarna biru itu yang se-
pertinya hanya bunga biasa yang baru dipetik. Seperti tak ada keistimewaan apa-
apa. "Perempuan iblis! Kembalikan benda itu pada-
ku!" Kembang Darah menyeringai.
"Inilah yang diinginkan oleh Datuk Meong Mo-
neng, benda milik kakak seperguruannya yang telah
mampus dan dia akan...," tiba-tiba kata-kata Kembang Darah terputus. Dia tak
berkedip menatap Bunga Kemuning Biru. Lama dia terdiam sebelum terlihat kepa-
lanya mengangguk-angguk. "Mengapa itu tidak kula-
kukan?" desisnya.
Kejap itu pula dia berlalu, sementara Ratih ber-
teriak-teriak keras. Cukup lama Kembang Darah me-
ninggalkan Ratih sebelum akhirnya muncul kembali.
Diselipkannya Bunga Kemuning Biru ke balik pakaian
Ratih. Lalu dengan menyeringai lebar dibopongnya tubuh Ratih kembali.
Menjelang tengah malam. Kembang Darah yang
tak berhenti lagi sekali pun, tiba di sebuah tempat
yang sangat sepi. Kegulitaan menyelimuti tempat itu.
Sesaat dipandangnya tempat yang sepi itu.
Sementara Ratih mencium bau yang sangat bu-
suk yang membuat dadanya terasa sesak
"Kau belum terbiasa dengan Tanah Kematian,
tetapi tak lama lagi kau akan terbiasa karena kau akan menjadi penghuni tetap
tempat ini."
Kembang Darah berkelebat kembali. Bau busuk
itu kian menyengat. Di ujung tempat yang bernama
Tanah Kematian, terdapat sebuah bukit yang di bagian bawah-nya terdapat celah
menyerupai gua. Ke tempat
yang pertama gelap itu kemudian semakin ke dalam
bertambah terang, Kembang Darah masuk dengan
membawa tubuh. Ratih.
Suara keras yang menggema tiba-tiba terden-
gar, "Kau telah kembali, Kembang Darah! Tepat sepuluh hari dari yang kau
janjikan! Apakah kau sudah
mendapatkan apa yang kuinginkan"!"
Kembang Darah berlutut. Ratih yang tak bisa
bergerak diletakkan di atas tanah dalam gua itu.
"Perintah telah kujalankan dengan baik...," desis Kembang Darah seraya
menundukkan kepalanya.
"Bagus! Berarti aku bisa membalas kematian
kakak seperguruanku yang pernah dikalahkan oleh
Malaikat Biru!"
Belum habis kata-kata yang menggema itu ter-
dengar, mendadak saja angin berkesiur kencang dari
sebelah kanan. Ratih yang tergeletak di atas tanah
memekik pelan karena angin itu menampar wajahnya.
Ketika dipalingkan lagi kepalanya. dilihatnya
satu sosok tubuh tinggi besar telah berdiri di sana. Untuk kedua kalinya Ratih
memekik, tetapi kali ini kare-na terkejut melihat paras orang itu"
Orang yang baru muncul mengenakan pakaian
hitam dengan jubah hitam yang sangat pekat. Ram-
butnya jarang dengan dua buah anting besar di telin-
ganya. Di kedua pergelangan tangannya yang tak ter-
tutup, terlihat bulu-bulu halus yang tebal. Paras orang itulah yang mengerikan,
karena wajahnya tak ubahnya
seekor kucing. Dipenuhi bulu-bulu halus dengan ku-
mis jarang yang melintang kaku dan sorot mata meme-
rah. "Apakah gadis ini yang kau ceritakan, Kembang Darah?" suara orang itu
keras, dingin dan tajam.
"Tidak salah, Datuk...."
"Bagus! Mana benda yang kuinginkan"!"
Dengan kasar Kembang Darah menyingkap pa-
kaian Ratih hingga bagian bawah buah dada mengkal
yang dimiliki si gadis terlihat, hanya ditutupi pakaian dalam yang tipis.
Diambilnya Bunga Kemuning Biru
yang dengan menundukkan kepalanya diserahkan pa-
da orang tinggi besar berjuluk Datuk Meong Moneng.
Terbahak-bahak orang berjubah hitam itu
sambil memandangi Bunga Kemuning Biru.
"Luar biasa! Inilah yang kucari! Hahaha... kau
memang hebat, Kembang Darah! Hebat sekali!" Lalu diselipkan bunga itu ke balik
pakaiannya. "Dan aku yakin mengapa kau membawa gadis ini kepadaku"
Tentunya untuk kau persembahkan kepadaku, bu-
kan?" "Begitulah adanya. Datuk...."
"Dan... aku ingin kau yang melayaniku seka-
rang...." Mendengar kata-kata itu, perlahan-lahan Kembang Darah mengangkat
kepalanya. Satu senyuman
merangsang terpampang di bibirnya.
"Aku telah siap, Datuk...," desisnya dan dengan gerakan lembut digerakkan
payudaranya yang montok.
Di pihak lain, Ratih tersentak ketika mengeta-
hui apa yang hendak dilakukan oleh kedua orang itu.
"Terkutuk! Terkutuk kalian!"
Kembang Darah mengikik.
"Kau akan merasakannya juga, Anak gadis. Se-
karang... kau lihatlah bagaimana caranya melayani
Datuk Meong Moneng."
Lalu dengan gerakan lembut dan penuh rang-
sangan, perempuan berkutang merah itu merebahkan
tubuhnya, terlentang dengan kedua tangan dan kaki
membuka lebar-lebar.
Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit
kembar Kembang Darah semakin penuh. Bahkan seo-
lah terlempar keluar karena pakaiannya yang berben-
tuk kutang itu tak mampu menahan penuhnya bola-
bola asmara yang dimilikinya. Seiring nafasnya yang teratur, buah dadanya
bergerak turun naik. Sementara itu kain yang dikenakannya telah tersingkap dan
memperlihatkan gumpalan paha lembut, mulus dan
merangsang. Perlahan-lahan Kembang Darah memejamkan
matanya, seolah pasrah menerima apa yang akan ter-
jadi. Di pihak lain, Datuk Meong Moneng tertawa ke-
ras. Diperhatikannya perempuan yang berada di ba-
wah kekuasaannya itu. Penuh gairah ditubruknya tu-
buh montok yang pasrah itu. Mulutnya segera menci-
umi sekujur wajah Kembang Darah. Lalu hinggap dan
melumat bibir memerah itu sepuas-puasnya. Sementa-
ra tangan kanan dan kirinya bekerja meraba, menekan
dan meremas apa saja yang ada di tubuh perempuan
itu. Kembang Darah sendiri segera membalasnya
dengan penuh gairah. Mendapatkan balasan yang
memang diinginkannya gairah Datuk Meong Moneng
semakin menggebu-gebu. Tangannya meremas-remas
sepasang payudara Kembang Darah yang telah terbuka
secara bergantian. Lalu dengan gerakan cepat, tangan kanannya turun ke bawah.
Menyingkap kain yang menutupi bagian bawah
tubuh Kembang Darah. Diremas-remasnya gumpalan
paha itu bergantian sebelum tangannya menyusup
jauh lebih ke dalam. Tiga kejapan mata berikutnya,
kain yang menutupi bagian bawah tubuh Kembang
Darah telah terlempar.
Dengan kasar dan tak sabar. Datuk Meong Mo-
neng menarik sisa kain yang masih menutupi bagian
tubuh Kembang Darah yang sekarang dalam keadaan
polos. Setelah itu dilucutinya pakaiannya sendiri.
"Terkutuk! Terkutuk kalian!" maki Ratih keras dengan suara menggigil.
Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya.
Mereka terus melakukan kegiatan yang hendak mereka
capai. Ratih memalingkan kepalanya ke arah lain. Di-
pejamkan matanya. Ditulikannya kedua telinganya.
Namun tetap saja dia mau tak mau mendengar desa-
han-desahan birahi dari keduanya karena mereka be-
gitu dekat. Kembang Darah menggerakkan setiap tubuh-
nya untuk menyenangkan Datuk Meong Moneng.
Tatkala Datuk Meong Moneng memasuki tubuhnya,
Kembang Darah mendesis tinggi dengan memejamkan
matanya, terus menggerak-gerakkan pinggulnya den-
gan gerakan yang semakin lama bertambah cepat
hingga membuat Datuk Meong Moneng terbeliak-beliak
dengan napas bertambah memburu.
Dan terdengar jeritannya lirih seraya mendekap
tubuh lelaki berwajah kucing itu dengan kuat ketika
Datuk Meong Moneng menumpahkan seluruh kejanta-
nannya. Ratih semakin memalingkan kepalanya.
"Hahaha... kau memang hebat, Kembang Da-
rah! Hebat sekali!" seru Datuk Meong Moneng seraya berdiri dan mengenakan
pakaiannya kembali. "Aku memiliki satu perintah lagi untukmu!"
Kembang Darah yang masih terlentang di atas
tanah dan tak berusaha menutupi bagian-bagian tu-
buhnya yang polos, menyahut dengan mata setengah
terpejam, "Katakan, Datuk... aku akan segera melak-sanakannya...."
"Bunuh Raja Naga!"
Hanya itu yang terdengar, karena sosok Datuk
Meong Moneng telah lenyap entah ke mana.
Kembang Darah hanya menganggukkan kepa-
lanya saja. Masih diresapi apa yang barusan dirasa-
kan. Setelah beberapa kejap, barulah dia bangkit dan, mengenakan pakaiannya
kembali. Dipaksanya Ratih untuk menatapnya.
"Kau sudah melihat semua kenikmatan yang
kami lakukan, bukan" Anak gadis... tak lama lagi kau pun akan merasakannya..."
"Setan perempuan! Terkutuk! Kau telah mela-
kukan perbuatan terkutuk!"
Kembang Darah menyeringai.
"Inilah kenikmatan yang banyak dikejar orang!
Sayang, aku tak bisa melayani cacianmu sekarang!
Aku harus mencari Raja Naga untuk kubunuh!"
"Perempuan iblis! Kaulah yang akan mampus di
tangan Raja Naga!"


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Darah menggeram, tetapi di saat lain
dia sudah terbahak-bahak.
"Kita lihat nanti!"
Kejap berikutnya dia sudah berlalu meninggal-
kan gua itu. Tinggallah Ratih yang masih dalam kea-
daan terlentang tanpa dapat menggerakkan tubuhnya
kecuali lehernya belaka. Sementara sepasang pedang-
nya tergeletak di sisi kanannya.
Dan gadis itu terisak menyadari ketidakber-
dayaannya sekarang. Tanpa disadarinya dia berucap
serak, "Kakang Lesmana...."
*** TUJUH KEMBALI pada Raja Naga, pemuda berompi
ungu itu saat ini sedang meluncur deras ke arah Dewi Perenggut Sukma. Tinggal
beberapa langkah saja tubuhnya akan menempel pada kedua tangan perem-
puan berpunggung mulus yang membuka itu.
Namun mendadak saja dia mendehem keras.
Kedua tangannya sebatas siku di mana sisik-sisik coklat yang menghiasinya
semakin bertambah kentara, di-
gerakkan secara tiba-tiba ke atas. Menyusul kaki ka-
nannya dijejakkan di atas tanah.
Tiga letupan dahsyat saat itu pula menggebah
menjadi satu, Dewi Perenggut Sukma terpental ke be-
lakang tatkala satu dorongan keras menerjang ke
arahnya. Belum lagi dapat dikuasai keseimbangannya,
tanah bergelombang sudah meluncur deras ke arah-
nya. Perempuan yang sama sekali tak menyangka
tindakan yang akan dilakukan oleh Raja Naga, meme-
kik tertahan. Cepat dia memutar tubuhnya hingga me-
luncur ke atas dan hinggap pada tempat di sebelah
kanan. Blaaamm! Blaaamm!!
Tanah yang bergelombang tadi menghajar tiga
buah pohon sekaligus disertai letupan yang dahsyat.
Tempat itu seketika bergetar, tanah berhambu-
ran di sana-sini menghalangi pandangan. Di tempat-
nya, Dewi Perenggut Sukma terdiam dengan napas
memburu. Tatkala semuanya sirap, dilihatnya sosok Raja
Naga tegak tanpa kurang suatu apa.
"Gila!" serunya keras dengan kedua mata membelalak. "Aku tak suka terlibat
silang urusan dengan siapa pun! Maafkan tindakanku barusan!" kata Raja Naga
seraya merangkapkan kedua tangannya. Sisik-sisik coklat pada kedua tangannya
masih jelas kelihatan, sementara matanya bertambah angker.
"Mengapa dia mendadak menjadi begitu hebat"
Padahal tadi dia kelihatan tak berdaya menghadapi-
ku?" desis Dewi Perenggut Sukma tidak mengerti. Tetapi di lain saat dia
menggeram sengit, "Terkutuk! Tentunya tadi dia berlaku bodoh dengan cara
mengalah! Keparat hina! Dia bukan hanya telah membuka kedua
mataku, tetapi menginjak-injak harga diriku!"
Di kejap lain perempuan berpakaian merah ter-
buka di punggung ini sudah melesat ke depan, mengu-
langi lagi serangannya dengan melepaskan ilmu
'Perenggut Sukma'.
Raja Naga menjerengkan matanya.
"Perempuan ini terlalu keras kepala! Aku belum
tahu apa yang sebenarnya dikehendakinya dari Les-
mana. Tetapi paling tidak, sesuai janjiku dengan Mu-
sang Berjanggut dan Langlang Benua, aku harus me-
nyelamatkan Lesmana dan... oh! Di mana Ratih"!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tidak sempat
meneruskan jalan pikirannya karena serangan berba-
haya Dewi Perenggut Sukma sudah mendekat.
Tanpa bergeser dari tempatnya, Raja Naga men-
jentikkan telunjuk dan ibu jarinya.
Triiikk! Wrrrrr! Wuussss!!
Pyaaar....! Gelombang angin merah yang telah berubah
menjadi gumpalan asap merah yang menyesakkan da-
da itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk
sesaat menghalangi pandangan. Pecahannya meng-
hantam beberapa ranggasan semak yang seketika
menghangus dan luruh tatkala terhembus angin.
Bersamaan gagalnya serangan tadi, Dewi Pe-
renggut Sukma memekik tertahan seraya mundur.
"Gila! Gila! Apa yang terjadi"!" serunya dengan mata membelalak dan mulut
terbuka lebar. Dia benar-benar tidak mengerti, karena ilmu 'Perenggut Sukma'
yang sangat dibanggakannya sekarang tak berarti ba-
nyak untuk Raja Naga. "Terkutuk! Dia benar-benar menghinaku! Dia tadi sengaja
mengalah! Terkutuk!
Kau akan...."
Terputus makian Dewi Perenggut Sukma ketika
tidak melihat Raja Naga di sana. Bahkan tak dilihatnya Lesmana yang jatuh
pingsan. Menggeram setinggi langit perempuan setengah
baya itu dengan kedua tangan mengepal keras.
"Demi langit dan bumi! Aku tak akan mampus
sebelum membunuhmu Raja Naga!!"
Lama Dewi Perenggut Sukma berteriak keras,
menumpahkan segala amarah yang bergejolak di da-
danya sebelum meninggalkan tempat itu.
* * * "Jadi kau menyangka perempuan berpakaian
merah itu yang telah menculik adik seperguruanmu,
Lesmana?" tanya Raja Naga pada Lesmana yang sejak tadi sudah siuman. Saat ini
malam telah datang. Kedua anak muda itu duduk di atas tanah berumput. Di
hadapan mereka sebuah sungai mengalir deras dan
memperdengarkan suara bergemuruh.
Pemuda berpakaian warna merah dengan garis
hitam yang bersilangan di depan dada mengangguk.
Wajah tampannya kelihatan lesu. Sorot matanya tak
bergairah. Dia baru saja menceritakan apa yang se-
benarnya terjadi. Dia juga baru tahu kalau Raja Naga yang telah menolong dan
mengalahkan perempuan
berpakaian merah yang terbuka di punggung itu.
Raja Naga memperhatikan Lesmana dalam-
dalam. "Aku merasa pasti bukan dia yang melakukannya...." Kepala Lesmana
menegak. Matanya menatap tajam, tanda tak suka mendengar ucapan Raja Naga.
"Mengapa kau menduga demikian, Boma?"
"Karena... dia berjuluk Dewi Perenggut Sukma,
sementara orang yang menculik adik seperguruanmu
mengaku berjuluk Kembang Darah."
"Boma! Bisa saja dia mengubah julukannya un-
tuk mengelabui kita! Katamu tadi, kau baru mengenal
perempuan itu! Aku pun baru mengenalnya! Hingga
tak mustahil kalau dia sengaja mengelabui kita dengan mengubah julukannya!"
Boma Paksi menggeleng.
"Hal itu mungkin saja dilakukannya dengan
maksud tertentu. Tetapi kurasa tidak."
"Boma... kau melarangku untuk segera mencari
perempuan celaka itu, sekarang kau menduga kalau
perempuan itu bukanlah orang yang bertanggung ja-
wab akan hilangnya Ratih!" seru Lesmana sedikit kesal. "Apa yang sebenarnya kau
pikirkan"!"
Raja Naga yang tadi memang melarang Lesma-
na untuk mencari Dewi Perenggut Sukma setelah pe-
muda itu siuman, tersenyum.
"Selain memikirkan Ratih, aku juga memikir-
kan, apa yang sebenarnya dikehendaki perempuan
itu." "Dia menginginkan Bunga Kemuning Biru! Dan gagal mendapatkannya!"
"Hemmm... sudah kuduga kalau perempuan itu
menginginkan Bunga Kemuning Biru," kata Raja Naga dalam hati. "Dan dia gagal
mendapatkannya. Berarti...." Memutus jalan pikirannya sendiri, pemuda tampan
bersorot mata angker itu berkata, "Lesmana....apakah Bunga Kemuning Biru berada
pada adik seperguruanmu?"
Lesmana yang masih kesal akan larangan Raja
Naga menganggukkan kepalanya. Dia tak menghirau-
kan apakah Bunga Kemuning Biru diambil orang atau
tidak. Yang diinginkannya hanyalah mendapatkan Ra-
tih kembali bersama dengannya.
Raja Naga berpikir sebentar sebelum tersenyum
pada Lesmana. "Mungkin kau masih ingat dengan Musang Ber-
janggut dan Langlang Benua. Belum lama ini aku telah berjumpa dengan kedua tokoh
kenamaan itu di Bukit
Tidar. Dari mulut mereka, aku mengetahui kalau ba-
nyak orang yang menginginkan kematian Malaikat Bi-
ru." "Aku tak pernah mengenal siapa Malaikat Biru!"
sahut Lesmana ketus.
"Mungkin kau memang tak mengenalnya."
"Aku juga baru mendengar julukan itu!"
"Ya, mungkin saja, karena gurumu mendiang
Setan Bayangan tidak pernah menceritakannya kepa-
damu." Kali ini Lesmana terdiam. Tak ada tanda-tanda dia akan menyahuti kata-
kata Raja Naga. Kendati demikian, parasnya yang masih jengkel belum berangsur
reda. Raja Naga tersenyum lagi dan berkata dalam
hati, "Dapat ku maklumi kalau dia begitu mencemaskan Ratih. Tetapi sebelum
mengetahui lebih jelas
siapa Kembang Darah, itu sama saja dengan mencari
jarum di tumpukan jerami."
Perlahan-lahan Raja Naga berdiri. Matanya
yang bersorot angker menatap aliran sungai yang saat ini jelas terlihat karena
rembulan bersinar terang.
"Mendiang gurumu adalah murid dari seorang
tokoh sesat berjuluk Durga Marakayangan, yang me-
rupakan musuh bebuyutan dari Malaikat Biru. Dialah
pemilik Bunga Kemuning Biru yang kemudian dis-
erahkan pada mendiang gurumu yang kemudian ditu-
runkan kepadamu dan Ratih." Raja Naga berpaling, dilihatnya Lesmana mulai
mendengarkannya. "Dan sekarang... banyak orang-orang yang belum diketahui sia-
pa, berniat membunuh Malaikat Biru."
"Itu bukan urusanku!"
"Ya! Tetapi... mereka menginginkan Bunga Ke-
muning Biru yang merupakan satu-satunya benda
yang dapat membunuh Malaikat Biru! Lesmana! Apa-
kah kau tidak berpikir, kalau Kembang Darah adalah
salah seorang yang ingin membunuh Malaikat Biru"
Juga.... Dewi Perenggut Sukma!"
Kepala Lesmana menegak. Matanya mengerjap
beberapa kali. "Kalau begitu... kalau begitu.... Ratih...."
"Ya! Nasib Ratih berada di ujung tanduk seka-
rang. Bila Kembang Darah sudah mendapatkan Bunga
Kemuning Biru, mungkin gadis itu akan dibunuhnya!"
"Oh!" Lesmana berdiri dengan wajah kaku.
"Boma Paksi! Aku harus mencari Ratih!"
"Tak lama lagi kita akan melakukannya!"
"Astaga! Kalau begitu kau membiarkan Kem-
bang Darah membunuhnya!"
Raja Naga tersenyum.
"Tenanglah, Lesmana. Dengan ketenangan kau
dapat menguasai segalanya," katanya. "Aku merasa pasti kalau Kembang Darah belum
membunuhnya."
"Gila! Bagaimana kau punya pikiran segila
itu"!" Lagi-lagi Raja Naga tersenyum. Kini dia dapat menduga kalau ada sesuatu
yang terjadi antara Lesmana dan Ratih. Dan sesungguhnya Raja Naga tidak
begitu mempercayai dugaannya. Kalaupun kemudian
dikatakannya, semata agar Lesmana tidak panik.
"Kembang Darah menulis, kau ditunggu di Ta-
nah Kematian. Untuk apa dia menunggumu di sana"
Itu artinya, dia-tidak akan membunuh bila dia me-
mang berniat membunuh Ratih sampai kau datang."
"Berarti, kita memang harus segera ke sana!"
seru Lesmana tidak sabar.
"Ya! Aku pun berniat untuk ke sana!"
"Bagus!"
"Tapi..."
Kata-kata Raja Naga terputus karena Lesmana
sudah berlari meninggalkannya.
"Hemm... kemarahannya telah membutakan si-
fat yang dimilikinya. Pemuda itu sebenarnya memiliki ketabahan dan kesopanan
tinggi. Dia selalu dapat
mempergunakan jalan pikirannya guna mengatasi hal-
hal yang membingungkan."
Raja Naga tetap berdiri di tempatnya, menatap
sosok Lesmana yang semakin lenyap ditelan kegela-
pan. Tahu-tahu dia mendesis pelan, "Orang itu masih berada di sini."
Apa yang didesiskannya itu memang benar. Se-
jak tadi Raja Naga mengetahui kalau ada seseorang
yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Kare-
na kehadiran orang itulah yang menyebabkan Raja
Naga bertindak seperti ragu-ragu menghadapi Lesma-
na. Bahkan dia sengaja memancing kemarahan Les-
mana, semata untuk menegaskan keyakinannya akan
orang yang bersembunyi di balik pohon besar. Ma-
kanya, dia tidak bermaksud untuk segera mengikuti
Lesmana sebelum mengetahui siapa orang yang ber-
sembunyi itu. Sementara itu, orang yang bersembunyi meng-
geram dalam hati, "Mereka menyebut-nyebut Kembang Darah. Bukankah perempuan
iblis itu yang telah
membunuh guruku" Huh! Rasanya pengejaranku su-
dah akan berakhir! Tanah Kematian! Mereka menye-
but-nyebut Tanah Kematian! Bisa jadi kalau perem-
puan iblis itu memang tinggal di sana! Bagus! Aku
akan mencari Tanah Kematian!!"
Habis membatin demikian, orang yang berada
di balik pohon besar itu mengintip lagi ke depan. Dilihatnya sosok pemuda itu
masih berada di sana.
Di lain saat, orang itu segera bergerak tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, bertanda dia memili-
ki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Setelah di-rasanya agak menjauh dari
tempat sebelumnya, diem-
pos tubuhnya dengan cepat. Namun baru beberapa
langkah, mendadak saja gerakannya terhenti.
Kepalanya menegak. Sepasang matanya yang


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulat indah memandang tak berkedip ke depan!
Raja Naga tersenyum.
"Ternyata seorang gadis...."
*** DELAPAN ORANG yang bersembunyi dan siap meninggal-
kan tempat itu ternyata seorang gadis berwajah bulat telur dan berhidung bangir.
Mata indahnya menghu-jam tepat ke mata orang yang menghadangnya. Namun
saat itu pula dialihkan pandangannya ke tempat lain.
"Astaga! Di tempat tadi aku sama sekali tidak
melihat tatapan matanya karena agak gelap. Tetapi di sini, jelas terlihat kalau
dia memiliki tatapan yang mengerikan," desisnya dalam hati dengan dada sedikit
berdebar. "Tetapi dia tersenyum. Dan nampaknya dia bukan termasuk pemuda berotak
jahat." Di saat lain, gadis yang mengenakan pakaian
putih bersih itu berkata, "Orang muda... jangan salah tanggap akan sikapku yang
mencuri dengar percakapanmu tadi. Aku tak bermaksud apa-apa."
"Bila kau tidak bermaksud apa-apa, tentunya
kau akan muncul di hadapan kami tadi," sahut Raja Naga sambil memperhatikan si
gadis. "Parasnya...
mengingatkan aku pada Diah Harum atau Dewi Bunga
Mawar." (Untuk mengetahui siapa Diah Harum alias Dewi Bunga Mawar, silakan baca
episode : "Kutukan Manusia Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut").
Gadis itu menganggukkan kepalanya. Rambut
indahnya bergerak sedikit.
"Maafkan tindakanku...."
"Aku merasa pasti kalau kau bukanlah orang
yang mempunyai kebiasaan mencuri dengar percaka-
pan orang lain. Dan melihat kau begitu terburu-buru
sekarang, adakah sesuatu yang sebenarnya dapat kau
petik dari percakapan kami tadi?"
"Sikap pemuda ini begitu sopan. Wajahnya pun
tampan meski sorot matanya angker mengerikan. Dia
juga... astaga! Kedua tangannya mulai dari jari jemari hingga sebatas siku
dipenuhi sisik coklat! Ah, siapakah pemuda berompi ungu itu?" desis si gadis
dalam hati. Untuk beberapa saat tak ada yang buka suara.
Masing-masing orang saling pandang. Entah mengapa
sorot mata Raja Naga yang biasanya tajam dan angker
kini kelihatan resah.
"Kehadirannya mengingatkan aku pada Diah
Harum... Ah, sayang gadis yang diam-diam kucintai itu telah tewas...," desisnya
dalam hati. Tanpa sadar Raja Naga sesaat mengingat kembali kematian Diah Harum
yang kemudian berganti julukan menjadi Ratu Tanah
Terbuang (Baca : "Ratu Sejuta Setan").
Gadis di hadapannya berkata, "Semula aku tak
berniat untuk mencuri dengar percakapanmu, tetapi
lama kelamaan aku tertarik untuk menyimak."
"Apa yang kau lakukan sebenarnya tak bisa di-
benarkan. Tetapi aku dapat memaafkan bila kau men-
gatakan apa kepentinganmu dengan percakapan kami
tadi." Gadis itu memperhatikan dulu pemuda di hadapannya yang sedang tersenyum
padanya. "Hmm... haruskah kukatakan apa yang hendak
kulakukan sekarang?" desisnya dalam hati memper-timbangkan. Setelah berpikir
beberapa saat, barulah
gadis itu berkata, "Pertama-tama, kuberi tahu namaku. Namaku Pratiwi. Aku datang
dari tempat yang cu-
kup jauh. Apa yang membuatku tertarik akan perca-
kapanmu tadi, ketika kalian menyebut-nyebut Kem-
bang Darah."
"Mengapa kau tertarik dengan orang yang ber-
juluk Kembang Darah" Apakah kau mengenalnya?"
Pertanyaan Raja Naga disambut dengan kepala
tegak oleh Pratiwi. Sorot mata indahnya tiba-tiba bersinar penuh bahaya. Raja
Naga juga melihat kedua
tangan gadis itu mengepal.
"Rasanya dia menyimpan dendam," desisnya
dalam hati. "Kembang Darah!" desis Pratiwi. "Perempuan setan itulah yang telah membunuh
guruku dua tahun
yang lalu!"
Kata-kata Pratiwi membuat kepala Raja Naga
menegak. Diperhatikannya dengan seksama gadis yang
memiliki wajah seperti Diah Harum.
"Bila kau tak keberatan, ceritakan tentang
Kembang Darah kepadaku...."
Pratiwi terdiam sejenak. Setelah menarik dan
menghembuskan napas, mulutnya pun membuka.
Kala itu malam Jumat Kliwon. Seperti kebia-
saannya bila malam Jumat Kliwon, Pratiwi selalu be-
rendam di Sungai Pengulu, seperti ajaran gurunya
yang berjuluk Kidang Bukit. Dan malam itu adalah
malam terakhir dia berjumpa dengan gurunya.
Karena begitu dia kembali ke tempat gurunya
keesokan paginya, dia menemukan gurunya dalam
keadaan sekarat. Dengan napas terputus-putus Ki-
dang Bukit menceritakan siapa orang yang telah men-
celakakannya. Dan orang itu berjuluk Kembang Darah.
Pratiwi mengangkat kepalanya.
"Itulah sebabnya, aku jadi tertarik untuk men-
dengarkan percakapan kalian! Aku memang belum
mengenal sosok perempuan keparat itu, tetapi dia ha-
rus mampus menerima balasan atas perbuatannya!"
Raja Naga menarik napas pendek.
"Ah, setiap saat rupanya darah selalu tumpah
dari jasad manusia. Melihat gelagatnya, gadis bernama Pratiwi ini jelas-jelas
tak akan bisa memendam den-damnya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Kau sudah
mendengar percakapanku dengan temanku tadi.
Ya, Kembang Darah memang berada di Tanah Kema-
tian." "Tahukah kau di mana Tanah Kematian berada?" Pemuda yang kedua tangannya
sebatas siku dipenuhi sisik coklat menggeleng.
"Aku tidak tahu. Tapi bila boleh kuberi saran,
sebaiknya kau lupakan dendammu itu...."
Seketika kedua mata Pratiwi membuka lebar.
"Aku tak butuh saran dari siapa-siapa! Yang
kuinginkan adalah melihat setan betina itu mampus!"
Habis bentakannya, gadis berhidung bangir itu
melesat. Gerakannya sangat cepat hingga Raja Naga
mau tak mau terkagum juga.
"Hebat! Tapi sayang, dia diamuk oleh dendam-
nya...," katanya pada dirinya sendiri. "Dan urusan Bunga Kemuning Biru semakin
lebar berkembang.
Keadaan Ratih sendiri belum diketahui."
Pemuda dari Lembah Naga itu terdiam lagi be-
berapa saat. Otaknya berpikir untuk memecahkan ma-
salah yang dihadapinya.
"Sebaiknya, kucari saja di mana Tanah Kema-
tian berada!"
Memutuskan demikian, pemuda pewaris ilmu
Dewa Naga ini memutar tubuhnya, lalu berlari ke arah yang berlawanan dengan
Pratiwi. * * * Saat matahari bersinar kembali, satu sosok tu-
buh kurus menghentikan langkahnya di sebuah jalan
setapak. Diperhatikannya tempat sekitarnya yang sepi.
"Terkutuk!" makinya keras. "Ke mana perginya perempuan cabul itu?"
Orang yang tak lain Setan Keris Kembar ini
menggeram. Rambutnya yang dikuncir dengan pita pu-
tih bergerak ketika dipalingkan kepalanya ke kanan.
"Setan alas!" makinya ketika melihat seekor kelinci keluar dan berlari cepat.
Setelah ketahuan kalau dia bersembunyi, Setan
Keris Kembar memang menjauh untuk kemudian da-
tang lagi. Tetapi tak dilihatnya Dewi Perenggut Sukma di sana. Begitu pula
dengan Lesmana. Walaupun kakek berpakaian hitam dengan rajutan dua buah keris
berlekuk delapan di dada kanan kirinya ini melihat
tempat yang telah porak poranda, sedikit pun dia tak menaruh curiga. Mengingat
sebelumnya telah terjadi
pertarungan. "Huh! Bunga Kemuning Biru tidak berada pada
pemuda itu! Berarti, berada pada adik seperguruannya yang bernama Ratih! Aku
ingat, kalau sebelumnya dia
menuduh Dewi Perenggut Sukma telah menculik adik-
nya! Dan dia juga menyebutkan Tanah Kematian! As-
taga! Bukankah tempat itu.... Tanah Kematian... ada-
lah tempat tinggal Kembang Darah"!"
Tiba pada pikirannya sendiri, Setan Keris Kem-
bar terdiam. Keriput di wajahnya nampak bertambah
menumpuk ketika wajahnya ditekuk.
"Kalau memang Kembang Darah yang telah
menculik Ratih, berarti... dia juga menghendaki Bunga Kemuning Biru! Terkutuk!
Apa-apaan dia berani melakukannya! Rupanya ingin...."
"Tak kusangka kalau aku akan menjumpaimu
di sini, Kakek bau!" satu suara terdengar di belakang Setan Keris Kembar.
Seketika kakek berpakaian hitam itu berpaling.
Dilihatnya seorang perempuan muda yang mengena-
kan pakaian seperti kutang berwarna merah di sana.
Sesaat Setan Keris Kembar menggeram sebelum
terdengar tawanya keras.
"Panjang umurmu rupanya, Kembang Darah!
Baru saja kusebut namamu kau sudah berada di sini!
Bagus, bagus sekali! Aku hendak bertanya sesuatu!"
Kembang Darah menyeringai seraya mendekat.
"Tak perlu kau tanyakan aku sudah tahu apa
yang ingin kau tanyakan!"
"Bagus! Itu artinya kau tidak memungkiri apa
yang telah kau lakukan! Lantas, mengapa kau muncul
kembali ke sini, hah"! Apakah pada diri gadis yang kau culik itu tidak kau
temukan Bunga Kemuning Biru"!"
Kembang Darah makin menyeringai. Lalu den-
gan gerakan seperti tak disengaja, sepasang bukit
kembarnya digerakkan hingga bergetar lembut.
"Aku tidak salah memilih orang! Gadis itu ada-
lah sasaranku dan sudah tentu kudapatkan Bunga
Kemuning Biru padanya!"
"Bagus! Mana benda sakti itu sekarang"!"
Kembang Darah tersenyum dan berkata dalam
hati, "Telah cukup lama aku berada di bawah kaki Datuk Meong Moneng dan telah
lama pula aku menjadi
budaknya. Dan dia tidak tahu kalau sesuatu telah ku-
lakukan. Kehadiran Setan Keris Kembar semakin da-
pat menguatkan seluruh rencanaku untuk lepas dari
tangan Datuk Meong Moneng. Bagus! Aku akan memu-
lainya sekarang...."
Masih tersenyum perempuan itu berkata,
"Bunga Kemuning Biru memang telah kudapatkan, tetapi telah kuserahkan pada Datuk
Meong Moneng!"
Sampai mundur satu langkah Setan Keris
Kembar mendengar nama itu disebutkan. Untuk bebe-
rapa saat dia terdiam dengan mata mengerjap-ngerjap
cepat. Kembang Darah mendengus mengetahui kalau
Setan Keris Kembar putus nyali begitu mendengar ju-
lukan Datuk Meong Moneng.
"Kembang Darah! Ada urusan apa kau dengan
Datuk Meong Moneng"!"
"Dia telah menguasai diriku sejak aku dikalah-
kannya! Dan manusia keparat itulah yang memerin-
tahkanku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru!"
"Dungu! Bila kau memang sudah menda-
patkannya, mengapa kau menyerahkan kepadanya"!"
"Kau yang dungu! Apakah kau tidak tahu ke-
saktian yang dimilikinya"! Apa dayaku untuk mengha-
dapinya, hah"! Dengan berat hati dan menyimpan
amarah, terpaksa kuberikan Bunga Kemuning Biru
padanya!" "Tindakannya tidak salah. Nyawanya memang
patut lebih diutamakan ketimbang Bunga Kemuning
Biru. Tapi bila dia mau mempergunakan otaknya, su-
dah tentu dia tak akan menyerahkan bunga itu pada
Datuk Meong Moneng. Karena dengan bunga itu dia
dapat membunuh kakek muka kucing itu."
Habis membatin demikian dia berkata, "Lantas,
apa yang hendak kau lakukan sekarang?"
"Setan Keris Kembar! Sejak berada di bawah
kekuasaannya aku telah mencari jalan untuk meng-
hindarinya, untuk lari darinya! Tetapi hingga saat ini aku belum menemukan cara
yang tepat! Dan setelah
bertemu denganmu sekarang, terbukalah kedua mata-
ku...." "Apa maksudmu, Kembang Darah?" tanya Setan Keris Kembar waspada. Biar
bagaimanapun juga
dia mengenal siapa Kembang Darah adanya. Setan be-
tina berotak licik.
"Menghadapi Datuk Meong Moneng seorang di-
ri, aku memang tak mampu melakukannya. Tetapi
dengan bantuanmu, aku yakin dapat mengalahkan-
nya." kata Kembang Darah sambil menatap dalam-
dalam Setan Keris Kembar. Lalu sambungnya, "Setan Keris Kembar, apakah kau mau
membantuku?"
"Perempuan ini berotak licik dan selalu memili-
ki siasat yang mematikan. Tapi untuk saat ini, aku
percaya apa yang dikatakannya kalau dia berada di
bawah kekuasaan Datuk Meong Moneng. Dan ra-
sanya...," belum habis kata batin Setan Keris Kembar, Kembang Darah sudah
berkata seraya melangkah,
"Setan Keris Kembar... apa pun yang kau minta
akan kupenuhi asalkan kau mau membantuku untuk
melepaskan diri dari Datuk Meong Moneng."
Laksana dua ekor ular, kedua tangan Kembang
Darah sudah merangkul leher Setan Keris Kembar
yang sesaat gelagapan. Wajah dan tubuh perempuan
itu begitu dekat dengannya, aroma wangi menebar dan
menyergap indera penciumannya.
"Sudikah kau membantuku?" desis Kembang
Darah sambil menggerakkan sepasang bukit kembar-
nya. Ketika dilihatnya Setan Keris Kembar masih ter-
diam gelagapan, buru-buru disambungnya, "Aku rela kau apakan saja...."
Lalu dengan gerakan penuh rangsangan, Kem-
bang Darah melepaskan rangkulannya. Dengan gera-
kan penuh rangsangan dibukanya pakaiannya yang


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti kutang itu. Dalam sekejap saja sepasang bukit kembarnya yang padat sudah
melontar keluar.
Setan Keris Kembar yang tidak sempat berkata
apa-apa karena 'serangan' mendadak dari Kembang
Darah, mengerjap-ngerjap dengan napas agak membu-
ru. Melihat hal itu Kembang Darah tersenyum. Se-
tengah memejamkan matanya dia berkata, "Kau lihat
sendiri, betapa aku rela kau apakan saja...." Lalu sambungnya dalam hati, "Aku
telah menemukan siasat ba-ru untuk lolos dari tangan Datuk Meong Moneng. Mu-
dah-mudahan manusia muka kucing itu belum menge-
tahui kalau Bunga Kemuning Biru yang kuberikan pa-
danya adalah palsu. Dan kakek bersenjata sepasang
keris inilah yang akan kujadikan kambing hitam..."
Setan Keris Kembar masih terdiam dengan ma-
ta semakin nanar Nafasnya bertambah memburu. Da-
danya yang tipis bergerak cepat. Jakunnya bergerak
turun naik. Tak bisa lagi menahan diri karena dirangsang
terus menerus, disergapnya tubuh montok itu yang
memekik liar ketika tubuhnya ditindih Setan Keris
Kembar. "Kau terlalu merangsangku, Kembang Darah...,"
dengus Setan Keris Kembar. Tangannya segera me-
nyergap sepasang payudara montok yang terbuka lebar
itu. Diremas-remasnya penuh nafsu. Lalu diciuminya
hingga dia kehabisan napas sendiri. Puas menciumi
sepasang bukit kembar itu, dia menggelosoh ke bawah.
Dengan sedikit gemetar, disingkapkannya kain hitam
yang dikenakan Kembang Darah.
Dengan kasar tangannya meraba-raba di sana.
Di pihak lain wajah Kembang Darah sudah me-
rona. Nafasnya memburu dengan tubuh menggerijal-
gerijal. Lalu dengan kasar ditariknya tubuh Setan Keris Kembar.
Keduanya berpacu memburu kenikmatan mas-
ing-masing dan beberapa saat kemudian, sama-sama
menggelosoh dengan tubuh lemas setelah sama-sama
memekik dan saling dekap keras.
Dalam keadaan terlentang Kembang Darah me-
lirik. Dilihatnya Setan Keris Kembar sedang terengah-
engah dengan napas seperti mau putus.
"Rencanaku akan berhasil dengan baik" desisnya, lalu bangkit dan mengenakan
kembali pakaian-
nya. Di pihak lain, Setan Keris Kembar pun mema-
kai lagi pakaiannya. Dipandanginya perempuan berku-
tang merah itu dalam-dalam.
"Aku mempercayai apa yang diinginkannya se-
karang. Dia telah membuktikan dengan menyerahkan
tubuhnya tadi. Ya, mengapa aku tidak membantunya"
Apalagi kini kuketahui kalau Bunga Kemuning Biru
berada di tangan Datuk Meong Moneng."
Berpikir demikian, Setan Keris Kembar menye-
ringai. Matanya dihujamkan lekat-lekat pada sepasang bukit kembar yang padat
itu. Lalu dengan nakalnya
disentuhnya bagian puncak bukit itu.
"Kembang Darah... aku akan membantumu un-
tuk membunuh Datuk Meong Moneng. Tapi dengan sa-
tu syarat...."
"Astaga! Syarat apakah itu?" seru Kembang Darah dan berlagak kaget, padahal dia
yakin betul kalau kakek berpakaian hitam ini akan mengajukan syarat.
"Nyawa Datuk Meong Moneng adalah milikmu
yang sudah tentu akan kubantu untuk mendapatkan-
nya. Tetapi, Bunga Kemuning Biru harus menjadi mi-
likku." "Hemm... jadi itu yang kau hendaki" Ya! Kau boleh memiliki Bunga
Kemuning Biru! Lagipula aku
tak melihat tanda-tanda aku membutuhkan bunga
itu!" "Bagus! Di mana sekarang manusia keparat itu berada"!"
"Di Tanah Kematian!"
"Kita ke sana sekarang!"
"Tapi...."
Setan Keris Kembar urung melangkah. Tata-
pannya tajam pada Kembang Darah.
"Apa maksudmu dengan tapi?"
Kembang Darah membuat wajahnya menjadi
tegang. Matanya dikerjapkan beberapa kali seolah dia berada dalam ketakutan.
"Tak mungkin aku mendatanginya sekarang."
"Gila! Apa maksudmu tidak bisa mendatan-
ginya sekarang"! Kau menginginkan nyawanya, tetapi
kau justru menahan keinginanmu itu!"
Kembang Darah memalingkan kepalanya ke
samping kanan. Tanpa menatap Setan Keris Kembar,
dia berkata dengan suara dibuat sendu, "Setelah kuserahkan Bunga Kemuning Biru
termasuk gadis berna-
ma Ratih itu padanya, manusia bermuka kucing itu
memerintahkan aku untuk membunuh Raja Naga."
"Raja Naga"! Gila! Apa urusannya harus mem-
bunuh Raja Naga"!"
"Aku tidak tahu mengapa dia menyuruhku se-
perti itu."
"Di saat kau ingin membebaskan diri dari
kungkungan Datuk Meong Moneng, kau masih juga
berkeinginan untuk melaksanakan perintahnya!"
"Aku tak kuasa menolak."
"Urungkan niatmu itu! Kita berangkat ke Tanah
Kematian sekarang!"
"Tapi...."
"Persetan dengan tapimu itu!" seru Setan Keris Kembar bernafsu. Sesungguhnya
bukan karena dia ingin membantu Kembang Darah yang membuatnya
bernafsu, tetapi mengetahui kalau Bunga Kemuning
Biru yang diinginkannya berada di tangan Datuk
Meong Moneng! "Kita berangkat sekarang!"
Tetapi Kembang Darah tak beranjak dari tem-
patnya. Dia juga tahu apa yang membuat Setan Keris
Kembar begitu tidak sabaran.
"Keparat! Mengapa kau tak juga segera berang-
kat, hah"!" bentak kakek yang pada pakaiannya terdapat sulaman dua buah keris
bereluk delapan.
"Setan Keris Kembar... aku akan menjalankan
dulu perintah Datuk Meong Moneng, setelah itu aku
akan membunuhnya!"
Di saat lain, Kembang Darah sudah berkelebat
cepat. "Terkutuk!" maki Setan Keris Kembar sambil menghentakkan kaki kanannya di
atas tanah yang seketika berhamburan. "Apa yang sebenarnya diinginkan oleh
perempuan celaka itu" Dia ingin bebas dan membunuh Datuk Meong Moneng, tetapi
mengapa masih menjalankan juga perintahnya! Dasar setan buduk!"
Setan Keris Kembar masih memaki panjang
pendek sampai kemudian diputuskannya untuk segera
menuju Tanah Kematian.
Sepuluh kali tarikan napas, satu sosok tubuh
melenting ringan dari balik ranggasan semak. Sosok
tubuh yang bukan lain Kembang Darah adanya me-
nyeringai lebar.
"Huh! Rencanaku semakin matang! Dia dapat
kujadikan sebagai kambing hitam! Tak lama lagi ten-
tunya Datuk Meong Moneng mengetahui kalau Bunga
Kemuning Biru yang kuserahkan padanya adalah bun-
ga yang palsu! Dan aku punya alasan yang tepat bila
dia murka kepadaku! Akan kukatakan kalau bunga
yang asli telah direbut oleh Setan Keris Kembar!"
Perempuan berkutang merah itu terkikik pan-
jang memikirkan rencana yang disusunnya bertambah
matang. Lalu dia berkelebat ke tempat di mana perta-
ma kali dia datang ke tempat itu tadi. Dari balik sebuah ranggasan semak,
diambilnya Bunga Kemuning
Biru yang disusupkan di antara semak itu.
Dipandanginya bunga yang memancarkan war-
na biru indah berkilau itu.
"Dengan bunga ini, aku akan menjadi orang
yang tak terkalahkan! Dan untuk menguji kesaktian-
nya, akan kucari Raja Naga. Paling tidak, bila aku berhasil membunuhnya, Datuk
Meong Moneng akan men-
ganggapku telah menjalankan perintahnya!"
Kembali Kembang Darah tertawa keras. Lalu
diselipkan Bunga Kemuning Biru ke balik kain yang
menutupi tubuh bagian bawahnya sebelum mening-
galkan tempat itu.
Ketika dia sedang menatapi Bunga Kemuning
Biru di mana Ratih dalam keadaan tertotok di sebuah
hutan kecil, pikiran jahatnya muncul. Kala itu Kem-
bang Darah berpikir, tak mungkin kalau Bunga Ke-
muning Biru tak memiliki keistimewaan apa-apa, men-
gingat Datuk Meong Moneng menginginkannya. Tim-
bullah pikiran untuk menguasai Bunga Kemuning Bi-
ru. Ketika dia meninggalkan Ratih di hutan itu, di-
carinya bunga kemuning berwarna biru yang banyak
tumbuh di sana. Dipetiknya sebuah sementara Bunga
Kemuning Biru yang asli diselipkannya ke balik kain-
nya. Bunga kemuning berwarna biru yang dipetik-
nya itulah yang diserahkannya kepada Datuk Meong
Moneng! *** SEMBILAN MENJELANG malam, Raja Naga tiba di sebuah
tempat yang dipenuhi bebatuan. Sepanjang matanya
memandang yang nampak hanyalah batu-batu besar.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah bukit tegak
angkuh menantang langit.
Raja Naga memicingkan matanya ketika me-
nangkap gerakan-gerakan di depan sana. Belum lagi
dia dapat mengetahui siapa yang bergerak-gerak den-
gan cepat itu, mendadak saja lima orang lelaki berpakaian hitam-hitam telah
bermunculan dari balik bebe-
rapa buah batu besar.
Dan langsung mengurungnya! Raja Naga hanya
memandang orang-orang yang ternyata memakai to-
peng hitam itu.
"Manusia yang berani datang ke Bukit Batu,
kalau tidak untuk mengacau, adalah untuk mencari
mampus!" salah seorang yang berdiri di tengah mendesis, suaranya parau.
Raja Naga hanya tersenyum. "Kalian salah
sangka bila menduga aku seperti itu."
"Kau berani berucap, berarti memiliki kemam-
puan yang akan kau jadikan andalan! Tangkap pemu-
da itu!!" Serentak keempat temannya bergerak cepat memutari Raja Naga. Yang
mengejutkan, karena gerakan mereka semakin lama bertambah cepat. Dan tiba-
tiba saja mereka bergerak dengan jotosan tangan ka-
nan kiri ke arah Raja Naga,
Kendati cukup terkejut mendapatkan serangan
yang aneh dan tiba-tiba, Raja Naga masih dapat men-
guasai keadaan. Mengiringi putaran tubuh disertai serangan yang tiba-tiba,
pemuda dari Lembah Naga itu
menggerakkan kedua tangannya pula.
Buk! Buk! Buk! Berulang kali suara berbenturan terdengar ke-
ras dan keempat orang bertopeng itu tiba-tiba saja terlempar ke belakang dan
terpelanting di atas tanah.
Raja Naga sendiri telah tegak kembali tanpa ku-
rang suatu apa!
Orang yang tadi mengomandoi serangan itu
terbelalak, jelas terlihat dari balik topeng yang dikenakannya.
"Gila! Pemuda itu dengan mudah menjatuhkan
teman-temanku!" desisnya dalam hati.
Raja Naga memandang orang di hadapannya.
Sorot matanya yang angker berusaha menerobos to-
peng yang dikenakan orang itu. Bila saja tadi dia ingin mematahkan tangan-tangan
keempat orang bertopeng
yang menyerangnya, akan sangat mudah dilakukannya
mengingat kedua tangannya yang dipenuhi sisik seba-
tas siku memiliki kesaktian luar biasa.
"Maafkan sikapku barusan. Aku hanya membe-
la diri," katanya kemudian.
"Terkutuk! Rupanya kau memang benar-benar
hendak mengacau!" bentak orang bertopeng itu disusul dengan satu kibasan tangan.
Serta-merta menggebah gelombang angin ber-
kekuatan tinggi ke arah Raja Naga yang segera mende-
hem untuk memutuskan serangan itu. Sesaat orang
bertopeng terkesiap melihatnya, namun di lain saat dia sudah meluncur ke depan.
Kaki kanan kirinya bergerak ke atas dan ke
bawah. Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di-
lakukannya, karena tiba-tiba saja dia sudah menyusu-
ri tanah hingga tanah beterbangan.
Raja Naga menjerengkan matanya yang berso-
rot angker. Tanpa bergeser dari tempatnya, diangkat
tangan kanannya. Sekali gebrak saja dia dapat mema-
tahkan serangan orang bertopeng. Menyusul kaki ka-
nannya dijejakkan di atas tanah.
Tanah seketika bergelombang, menderu ken-
cang ke arah orang bertopeng yang sedang menyusur
tanah. Terlihat kedua bola mata orang bertopeng itu
terkesiap. Disertai pekikan tertahan, ditepukkan tangan kanannya di atas tanah
yang membuat tubuhnya
mumbul ke udara.
Bila saja Boma Paksi mau, dengan mudahnya
dia menghantam tubuh yang sedang mumbul di udara
itu. Tetapi dibiarkan saja sampai orang itu hinggap
kembali di atas tanah.
Di lain pihak keempat orang bertopeng lainnya
yang tadi terpelanting berantakan di atas tanah telah berdiri dan mendekati
orang bertopeng yang tadi menyerang Raja Naga.
"Dia bukan tandingan kita," kata salah seorang.
"Aku tahu. Kesaktiannya melebihi setan nera-
ka." "Apa yang kita perbuat sekarang?"
"Kita tetap akan menahannya, kalau bisa akan
kita bunuh pemuda itu."
"Gila! Kita sudah tak berdaya menghadapinya!"
"Kalau begitu... dua orang menghadap Ketua!
Katakan, kalau ada pemuda bersisik yang hendak


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat onar!"
Kendati kata-kata itu diucapkan dengan berbi-
sik, tetapi Raja Naga dapat mendengarnya. Sambil tersenyum dia berkata, "Kalian
salah sangka. Aku tak memiliki maksud buruk. Jadi tak perlu melaporkan
kejadian ini atau memanggil Ketua kalian keluar."
Sudah tentu kelima orang bertopeng hitam itu
tersentak mendengar kata-kata Raja Naga.
"Gila! Siapa pemuda itu"!" desis salah seorang.
Raja Naga berkata, "Hemm... namaku Boma
Paksi. Saat ini aku sedang menuju ke sebuah tempat.
Kalau pun aku tiba di sini, karena ketidaksengajaan.
Maksudku, tempat yang ku tuju memang belum kuke-
tahui berada di mana."
Walaupun agak jeri mengetahui kesaktian pe-
muda berompi ungu, tetapi kelima orang bertopeng itu tidak percaya begitu saja.
Orang yang terakhir menyerang Raja Naga tadi berkata, "Bila kau memang tak
bermaksud jahat, tunjukkan itikad baikmu!"
"Baik! Apa yang bisa kulakukan?" sahut Raja Naga. Sesungguhnya dia enggan untuk
melayani orang-orang ini mengingat dia harus cepat-cepat tiba di Tanah Kematian. Biar
bagaimanapun juga, dia men-cemaskan nasib Ratih dan Lesmana.
"Ikut dengan kami menjumpai Ketua!"
"Aku tak melihat kepentingan untuk itu!"
"Berarti kau memang tengah menjalankan satu
muslihat terhadap kami, agar kami lengah!"
Gusar juga pemuda dari Lembah Naga itu men-
dengar kata-kata orang bertopeng. Tetapi ditahan ke-
gusarannya. "Aku tak memiliki waktu banyak. Dan kuminta
kalian dapat memakluminya."
"Orang yang telah masuk ke Bukit Batu hanya
bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan tak ber-
nyawa." "Kalau begitu, berapa orang yang telah kalian bunuh?"
"Itu tak ada urusannya denganmu! Tangkap
dia!!" Kali ini orang itu juga ikut menyerang Raja Na-ga. Tetapi lagi-lagi
mereka harus berpelantingan satu persatu.
"Maaf... aku tak punya banyak waktu...."
"Tunggu!" seru orang bertopeng yang berbicara
mewakili teman-temannya tadi. "Siapa kau sebenarnya?" "Tadi sudah kukatakan,
namaku Boma Paksi!
Aku sedang menuju ke satu tempat dan secara tak
sengaja tiba di sini!"
"Ketua kami mencari orang-orang sakti untuk
membantunya! Apakah kau bersedia melakukannya"!"
Kali ini Raja Naga terdiam. Rasa penasarannya
timbul mendengar kata-kata orang bertopeng itu.
"Ketua" Siapa orang yang dimaksud Ketua oleh
orang-orang ini" Dan rencana apa yang diinginkan
oleh orang yang dipanggil Ketua?" desis Raja Naga dalam hati. Sambil menatap
orang-orang bertopeng itu
satu persatu dia berkata, "Sudah adakah orang yang memutuskan untuk membantu
Ketua kalian?"
"Tidak ada! Karena... mereka tak memiliki ke-
saktian! Sudah mampus sebelum berhasil melewati
kami!" "Nampaknya ada sesuatu yang disembunyikan," desis Raja Naga lagi dalam
hati. Lalu berkata,
"Apa yang sebenarnya hendak dilakukan oleh Ketua kalian dengan mencoba
mengumpulkan orang-orang
sakti?" "Kau akan mengetahuinya setelah berjumpa dengannya."
Raja Naga terdiam beberapa saat, memikirkan
kemungkinan apakah dia akan menuruti kemauan
orang-orang bertopeng itu atau tidak. Di lain saat, kepalanya mengangguk.
"Baiklah... untuk sementara aku menurut...."
"Bagus! Ikat dia! Tutup matanya!!"
Diikat dengan mempergunakan tali yang sangat
alot itu sebenarnya dengan mudah dapat diputuskan-
nya, tetapi Raja Naga hanya menurut saja. Menurut
pula ketika kedua matanya ditutup.
Lalu disertai makian-makian kasar, dia digiring
oleh orang-orang bertopeng itu.
"Hemmm... nampaknya mereka mencoba me-
nyesatkan ku dengan cara mengajakku berputar-
putar. Tetapi biar diajak berputar bagaimanapun juga, aku tetap tahu tempat yang
akan mereka tuju."
Cukup lama Raja Naga merasa hanya dibawa
berputar-putar saja sebelum kemudian dirasakannya
angin tak sedingin tadi. Bahkan dirasakan begitu lem-bab. "Aku yakin, kalau saat
ini telah memasuki sebuah gua," katanya dalam hati.
Lalu dirasakan pundaknya ditekan untuk ber-
lutut. Lagi-lagi Raja Naga hanya menuruti saja.
Didengarnya orang yang selalu berbicara tadi
berkata, "Ketua! Kami membawa seorang pengacau di Bukit Batu! Kesaktiannya cukup
luar biasa! Bila Ketua berkenan mengambilnya sebagai pembantu, kami akan
membiarkannya hidup!"
"Bagus! Tetapi sayangnya, kalian belum tahu
siapa pemuda yang kedua lengannya bersisik coklat
itu!" terdengar suara seorang perempuan.
Orang-orang bertopeng yang berlutut itu men-
gangkat kepala masing-masing. Sorot mata mereka
memancarkan keheranan yang luar biasa.
"Siapa dia sebenarnya, Ketua?"
"Pemuda itulah yang berjuluk Raja Naga!"
Menegak kepala masing-masing orang yang se-
ketika memalingkan kepalanya pada Raja Naga yang
masih dalam keadaan terikat dan mata tertutup kain
hitam. Orang-orang bertopeng itu bersujud tiga kali.
"Maafkan kami, Ketua! Kami tidak tahu siapa dia adanya!"
"Tak mengapa! Buka ikatan dan tutup ma-
tanya!" Raja Naga merasakan ikatan pada kedua tangannya dibuka, menyusul penutup
matanya. Segera
saja dia mencari si perempuan yang bersuara tadi.
Begitu melihat siapa adanya orang, kedua ma-
tanya membuka lebih lebar.
Orang yang berkata tadi tersenyum dan berka-
ta, "Dunia ini begitu sempit rupanya! Belum lama kita berpisah, kini sudah
bertemu lagi! Selamat datang di tem-pat kediamanku, Raja Naga!"
"Pratiwi!"
SELESAI Segera menyusul:
JEJAK MALAIKAT BIRU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Thanks to Culan Ode
untuk melengkapi halaman yang
hilang. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Mustika Lidah Naga 6 1 Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Kisah Si Pedang Kilat 9
^