Misteri Menara Berkabut 1
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut Bagian 1
MISTERI MENARA BERKABUT Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga
Dalam Episode 003 :
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1 UNTUK sesaat Raja Naga merasakan
kepalanya agak bergoyang ke belakang.
Kedua kakinya pun surut. Tapi di saat lain sepasang matanya
yang bersinar angker memandang tajam pada gadis jelita berpakaian putih yang menatapnya tak
mengerti. "Boma... ada apa?" tanya si gadis pelan dan tanpa sadar dia merasa ngeri dengan
tatapan tajam itu.
"Diah Harum... ulangi lagi apa yang kau katakan tadi," kata Raja Naga, suaranya
dingin. "Apa... apa yang harus ku ulangi?"
tanya si gadis yang pada bagian atas kedua dadanya yang membusung itu terdapat
dua kuntum bunga mawar.
"Siapa gurumu?"
"Dia... bernama Dadung Bongkok...."
"Keparat!!"
"Boma! Ada apa ini" Mengapa kau kelihatan gusar"!" seru Diah Harum alias Dewi
Bunga Mawar terkejut.
Raja Naga menatapnya dalam.
"Diah... apakah kau tidak tahu siapa gurumu itu?"
"Yang kutahu Guru adalah seorang kakek baik-baik, seorang tokoh yang berada di
jalan kebenaran."
"Kau tahu siapa perempuan yang telah
dibunuh oleh gurumu dua belas tahun yang lalu"!"
"Dia... dia seorang perempuan biadab, istri seorang pendekar keparat berjuluk
Pendekar Lontar...."
"Dan kau tahu siapa orang yang berada di hadapanmu ini"!"
"Boma! Ada apa ini" Mengapa kau menjadi begitu kasar"!" seru Diah Harum makin
tak mengerti. Bentakan bernada menuntut dan serak itu menyadarkan Raja Naga dari amarah yang
mengamuk di dadanya. Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini menarik napas
sambil menghentakkan kepalanya ke atas. Sepasang matanya yang bersinar angker
menatap angkasa luas. Berulang kali dia menarik napas.
Dewi Bunga Mawar yang tak mengerti akan sikap Boma Paksi memandang pemuda gagah
yang berambut dikuncir, yang masih memandang angkasa.
"Rasanya ada sesuatu yang salah yang membuatnya menjadi gusar seperti itu. Ada
apa ini" Yang manakah ucapanku yang salah?" desisnya dalam hati bertanya-tanya.
Didengarnya lagi kata-kata pemuda yang masih menengadah itu, "Diah Harum...
maafkan sikapku tadi...."
"Boma... aku tak mengerti mengapa kau menjadi gusar seperti itu! Katakan
padaku, apakah ada ucapanku yang salah"!"
"Gadis ini sama sekali tak mengerti apa yang telah terjadi. Tentunya Dadung
Bongkok telah memutar kenyataan dan membikin si gadis menjadi mendendam pada
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Aku bisa meraba sekarang apa yang diinginkannya
menuju ke Lembah Naga. Tentunya Dadung Bongkok memerintahkannya untuk mengetahui
keberadaan Guru dan diriku. Karena menurut cerita Guru, dia telah mengancam
Dadung Bongkok atas perbuatannya yang menyebabkan Ibuku tewas," kata Boma Paksi
dalam hati. "Boma! Katakan padaku, katakan! Ada apa" Jangan kau berdiam seperti itu"!"
suara Dewi Bunga Mawar mengiba. Gadis yang baru saja ditolong dari kenistaan
yang akan dilakukan oleh Renggana itu merasa tidak enak bila membuat si pemuda
menjadi gusar terhadapnya.
Raja Naga perlahan-lahan menurunkan kepalanya. Walaupun tatapannya tidak
seangker tadi, tetapi tetap berkesan angker. Sesaat dipandanginya wajah jelita
yang telah menggedor dadanya.
"Diah Harum... kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gurumu telah
menanamkan bibit permusuhan di dalam
hatimu terhadap keturunan mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar...."
"Aku tak mengerti apa yang kau
katakan, Boma."
Murid Dewa Naga menarik napas
panjang. Sejenak dibawa pandangannya ke kejauhan sebelum kembali menatap wajah
jelita yang masih menunggu jawabannya dengan tidak sabar.
"Pendekar Lontar dan Dewi Lontar adalah sepasang suami istri yang berada di
jalan kebenaran. Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi karena pada malam dua
belas tahun lalu, Pendekar Lontar ditemukan telah tewas tanpa ada yang
mengetahui siapakah pelakunya. Menyusul kematian istrinya di tangan gurumu. Saat
itu Dewi Lontar memang telah menyerahkan pusaka Pendekar Lontar yang berupa
gumpalan daun lontar kepada putranya, yang kemudian muncul untuk membantu
ibunya. Alangkah pedih hati si bocah tatkala mengetahui ibunya telah meninggal.
Lalu dengan keberanian penuh dicobanya untuk menuntut balas kematian ibunya pada
orang yang telah membunuhnya.
Tetapi jelas dia bukanlah tandingan si pembunuh. Sampai kemudian muncul Dewa
Naga yang menyelamatkan si bocah. Si pembunuh sebenarnya sudah berulang kali
mencoba merampas pusaka Pendekar Lontar tetapi selalu gagal. Dan malam itu dia
juga gagal mendapatkannya karena ngeri terhadap Dewa Naga...."
"Boma... kau menceritakannya begitu
jelas seolah kau menyaksikan semua itu...," suara Diah Harum terdengar sinis.
Boma Paksi menganggukkan kepalanya pasti.
"Ya! Karena aku memang menyaksi-kannya!"
"Oh!" Bola mata si gadis menghujam tepat pada bola matanya. Lalu katanya terbata
dibaluri ketegangan, "Boma...
siapakah kau sebenarnya?"
"Aku adalah putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Bocah yang hendak
dibunuh oleh gurumu yang bernama Dadung Bongkok dan telah diselamatkan oleh Dewa
Naga...." "Astaga!" surut kedua kaki Dewi Bunga Mawar dengan pandangan tegang. Lalu
serunya tertahan, "Jadi... jadi... kau juga murid... Dewa Naga"!"
"Ya! Aku adalah murid Dewa Naga!"
Saat itu pula Dewi Bunga Mawar merasa kepalanya pusing. Otaknya kontan dipenuhi
berbagai pikiran yang simpang siur.
Berkali-kali gadis ini menggelenggelengkan kepalanya dengan cara disentak.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...."
"Itulah kenyataannya. Gurumu menghendaki pusaka Pendekar Lontar untuk
kepentingan pribadinya. Tetapi berulang kali dia gagal mendapatkannya. Bahkan di
saat dia sudah berhasil, masih gagal pula karena kemunculan Dewa Naga. Diah...
aku tahu apa yang diinginkan oleh gurumu dengan menyuruhmu untuk mendatangi
Lembah Naga. Gurumu hendak memantau keadaan putra dari Pendekar Lontar karena
dia tentunya teringat pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Dan perlu kau
ketahui... aku pun akan menuntut balas atas perbuatan gurumu terhadap ibuku!"
Diah Harum masih terdiam dengan
kepala laksana dibebani oleh berjuta batu besar. Gadis Ini tak bisa mempercayai
apa yang dikatakan Boma Paksi barusan.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...," desisnya berulang ulang.
Boma Paksi tak menjawab. Pemuda dari Lembah Naga ini hanya memandang saja.
Tiba-tiba dilihatnya Diah Harum
mengangkat kepala. Pandangannya angkuh dan tajam. Mulutnya merapat sebelum
membuka. "Boma! Belum lama ini aku kagum terhadapmu! Tetapi sekarang kekaguman itu
lenyap! Kau tak lebih dari seorang tukang fitnah belaka?"
Raja Naga tak menyahuti ucapan Dewi Bunga Mawar. Dia hanya memandang saja.
Karena sikap Boma Paksi itulah yang membuat Dewi Bunga Mawar yang sedang
dipusingkan dengan apa yang didengarnya,
meradang kembali.
"Aku tahu kau memiliki ilmu yang sangat tinggi! Tetapi aku tak peduli!
Siapa pun yang memfitnah guruku, dia akan mendapatkan balasan yang sangat
menyakitkan!"
"Diah... seharusnya aku yang marah karena ternyata kau adalah murid musuh
besarku! Tetapi tindakan itu adalah sebuah kesalahan bila kutumpahkan kepada mu!
Kau hanyalah seorang murid yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah
dilakukan gurumu dua belas tahun yang lalu!"
"Jangan banyak omong! Kau telah memfitnah, Boma!"
"Yang kukatakan adalah sebuah kebenaran! Dadung Bongkok telah menjejali
pikiranmu dengan sebuah penjelasan palsu!
Dia telah memutarbalikkan kenyataan!"
"Selama ini aku sangat menghormati guruku, karena kebaikannya yang telah
merawatku selama enam belas tahun! Dia adalah pengganti kedua orangtuaku yang
tak pernah kukenal!"
"Kau tahu bagaimana kau bisa menjadi muridnya"!"
"Apa pedulimu dengan pertanyaanmu itu, hah"!"
"Karena kau akan dapat menyusuri kebenaran!"
"Peduli setan!" bentak Dewi Bunga
Mawar berang. "Kau telah memfitnah guruku! Setinggi apa pun ilmu yang kau miliki aku tak
peduli! Mulutmu harus kutampar karena kelancanganmu itu!!"
Habis ucapannya dengan teriakan yang keras Dewi Bunga Mawar menerjang ke depan.
Tangan kanan kirinya segera di dorong dengan keras yang segera
menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi.
Raja Naga memandang tak berkedip.
Keangkeran matanya menggigit kembali.
"Gadis ini telah ditanamkan kebencian oleh gurunya pada keturunan Pendekar
Lontar dan Dewa Naga! Hemm... apa yang dilakukannya semata karena dia tak suka
mendengar gurunya dikatakan sebagai seorang pecundang."
Masih tanpa bergeser dari tempatnya Raja Naga mengangkat kedua tangannya.
Buk! Buk! Benturan keras itu terjadi. Tetapi jangankan berpindah, Raja Naga bergeming saja
tidak. Di pihak lain justru gadis jelita itu yang terpental ke belakang.
Raja Naga memandang dingin. Kekuatan kedua tangannya yang sebatas siku dipenuhi
sisik coklat memang luar biasa.
Kalau dia mau, tadi dia bisa mematahkan kedua tangan Diah Harum!
"Diah... kau terlalu dibutakan oleh
perasaanmu sendiri! Padahal bila kau mau memikirkannya lebih dulu, kau akan
sadar siapa gurumu!"
"Guruku adalah orang baik-baik! Dan sekarang kau melontarkan fitnah yang
menyakitkan! Boma... di balik perlakuan baikmu
terhadapku, kau sebenarnya
mempunyai maksud busuk! Aku yakin pertemuan kita yang kedua ini bukannya tidak
disengaja, bahkan kau sengaja! Kau telah membuntutiku dengan harapan agar aku
membawamu pada guruku!"
"Diah Harum! Tanpa dirimu pun aku akan mencari pembunuh ibuku! Tetapi kau salah
besar kalau mengatakan aku
membuntutimu! Tidak sama sekali!"
"Apakah aku harus mempercayai lagi ucapan seorang pembohong"!" seru Dewi Bunga
Mawar dengan kemarahan bergolak.
Dada padatnya bergerak turun naik.
Kali ini Raja Naga tak menjawab.
"Bila diladeni, gadis Ini akan menjadi semakin berang. Ternyata dia seorang yang
keras kepala dan memiliki kepatuhan tinggi pada gurunya. Hemm...
Dadung Bongkok yang memang harus bertang-gung jawab, dia telah mengisi perasaan
si gadis dengan kebencian terhadap orang-orang yang dimusuhinya," katanya dalam
hati. "Kau tidak menjawab, berarti kau memang menerima kukatakan sebagai seorang
pembohong! Dan itu artinya kau memang pembohong!!"
"Aku tak menjawab karena tak ingin menambah silang urusan ini semakin panjang!
Urusanku adalah dengan gurumu!"
"Setiap urusan Guru menjadi urusanku!
Kita selesaikan saat ini juga!!"
Habis bentakannya. si gadis memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.
Ketika tangannya dikeluarkan, telah terdapat sebuah benda sepanjang sebuah
pensil. Benda itu berwarna hitam
berkilat. Raja Naga hanya memperhatikan. Dan mendadak ditegakkan kepalanya karena begitu
digerakkan oleh Dewi Bunga Mawar, benda hitam sebesar pensil itu telah menjadi
sepanjang dua lengan orang dewasa.
"Urusan ini tak perlu berlarut-larut lagi! Harus diselesaikan sekarang juga!"
Belum habis seruannya, Dewi Bunga Mawar sudah menggebrak ke arah Raja Naga.
Senjata anehnya yang kini telah berubah menjadi sepanjang dua lengan orang
dewasa, dikibaskan dengan cepat ke arah leher Raja Naga. Yang diserang hanya
mundur satu tindak ke belakang.
Wuusss!! Angin yang keluar dari kibasan
senjata aneh Dewi Bunga Mawar mendadak menyebar. Kalau sebelumnya Raja Naga
hanya mundur satu tindak ke belakang, kali ini dia justru melompat ke samping!
Angin yang mendadak menyebar itu
menghantam ranggasan semak yang seketika berhamburan ke udara!
"Kau berilmu tinggi! Tapi kau hanya bisa melompat seperti seekor katak!"
"Diah... aku tak ingin berurusan denganmu! Urusanku adalah dengan gurumu!
Tak ada sangkut pautnya denganmu!"
"Kau telah menyebarkan fitnah yang akan menyebar luas! Sebelum aib yang kau
timpakan pada guruku semakin mengembang jauh, sebaiknya kau kubungkam terlebih
dulu!" Dewi Bunga Mawar semakin ganas
mencecar Raja Naga. Gadis jelita yang tersinggung karena gurunya dianggap
sebagai seorang pembohong terus menyerang bagian-bagian berbahaya dari tubuh
Raja Naga. Sesungguhnya menghadapi Dewi Bunga Mawar, Raja Naga tak mengalami kesulitan sama
sekali. Tetapi dia hanya menghindar saja setiap kali Dewi Bunga Mawar
melancarkan serangannya. Dan hal ini semakin membuat gusar Dewi Bunga Mawar.
Serangannya kian ganas dan
serampangan. Karena serampangan itu justru membuat Raja Naga agak
kelimpungan. Bukkk! Perutnya terhantam tendangan keras yang dilepaskan Dewi Bunga Mawar.
Mendapati serangannya berhasil mengenai sasarannya, gadis jelita itu terus
merangsek masuk.
"Diah! Tak ada gunanya kau melakukan tindakan ini! Kau telah dibutakan oleh
kata-kata gurumu yang jahat itu!"
Diah Harum tak menjawab, terus
menyerang ganas. Di lain pihak Raja Naga yang sejak tadi hanya menghindar dan
tak membalas, berpikir, "Kalau terus menerus diserang seperti ini aku bisa kena
juga karena serangannya semakin kalap dan serampangan. Tetapi kalau kulayani
justru akan memancing amarahnya. Berarti...."
Memutus jalan pikirannya sendiri
murid Dewa Naga segera melompat mundur sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dewi Bunga Mawar yang terus mendesak memekik keras tatkala merasakan tubuhnya
seperti disampok dari kiri. Cepat gadis ini memutar tubuh dua kali di udara
sebelum hinggap di atas tanah.
"Diah Harum! Sampai kapan pun aku tak ingin menjadi lawanmu! Aku hanya ingin
kita berkawan! Dan kupikir... lebih baik kita sudahi saja urusan ini!"
"Boma Paksi! Jangan kabur kau!
Sebelum kau menjalankan niat untuk membunuh guruku, hadapi aku lebih dulu!"
Pemuda berambut dikuncir itu geleng-
gelengkan kepalanya. Kalau biasanya tatapannya sedemikian angker, kali ini
terlihat sinar murung di sana. Lalu katanya sambil menggelengkan kepala,
"Saat ini mungkin kau tak akan bisa menerima segala yang kukatakan tentang
gurumu! Tetapi percayalah, suatu hari kau akan melihat kebenarannya!"
Diah Harum tak menyahuti seruan si pemuda. Dia telah menarik tangan kirinya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebatas dada, lalu didorong kuat-kuat.
Saat itu pula menghampar awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin!
Raja Naga menjerengkan matanya dengan dada sedikit berdebar. Dia menyesali
mengapa keadaan berkembang buruk. Awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin
itu semakin mendekat ke arahnya. Raja Naga segera menjentikkan telunjuk dan ibu
jarinya. Triikk! Wrrrrr!! Wuussss!! Pyaaar...!! Awan-awan hitam itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk sesaat
menghalangi pandangan. Pecahannya menghantam ranggasan semak yang seketika
membeku! Dewi Bunga Mawar menunggu tak sabar sampai awan-awan hitam yang menghalangi
pandangannya itu lenyap. Baru saja awan-
awan hitam itu lenyap, gadis ini sudah melesat ke
depan seraya mengibaskan
senjatanya. "Aku tak akan menyesal bila
membunuhmu hah ini juga, Boma!
Heaaaaattt...!!"
Wussss!! Blaairrr! Tanah langsung merengkah dan
membubung tinggi begitu senjata si gadis menyusurnya! Tubuh si gadis sendiri
masuk dalam kepulan tanah itu. Saat lain dia sudah melompat keluar dan berdiri
tegak. Sepasang mata indahnya melotot gusar.
"Brengsek! Di mana kau, hah"!"
serunya keras. Karena Boma Paksi sudah tak berada di tempatnya.
Dewi Bunga Mawar masih berteriak-
teriak penuh kegusaran. Dadanya yang membusung bulat dan akan memancing
perhatian kaum adam, bergerak turun naik.
Saat lain dia sudah mendengus. Lalu menekan hulu senjatanya yang kembali menjadi
sebesar telunjuk.
Setelah masukkan kembali ke balik pakaiannya, gadis jelita berpakaian putih
bersih itu sudah berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * 2 DEWI Bunga Mawar terus berlari dengan dada masih dibuncah kemarahan.
Kebenciannya pada Boma Paksi semakin menjadi-jadi.
"Walaupun dia pernah menolongku, aku tak peduli! Siapa pun orangnya yang
menghina Guru, akan kuhajar sampai babak belur!"
makinya sambil terus berlari. Wajah jelitanya dipenuhi rona merah karena amarah.
Di sebuah persimpangan, murid Dadung Bongkok ini menghentikan langkahnya. Di
hapus keringatnya dengan telapak tangannya sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling. "Keparat! Ke mana perginya pemuda bersisik coklat itu"!" desisnya geram karena
dia sudah kehilangan jejak pemuda yang dikejarnya. Dewi Bunga Mawar
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah yang seketika muncrat sebatas dengkul.
Dada padatnya yang selalu menarik mata lelaki untuk terus memandang, bergerak
naik turun. Gadis berpakaian putih ini kepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Aku akan tetap mencari Lembah Naga!
Perintah Guru harus kujalankan!" desisnya kemudian dengan mulut agak dirapatkan.
Baru saja habis ucapannya, Dewi Bunga Mawar menoleh ke samping kiri karena dia
menangkap suara bernada kesakitan. Saat itu pula dilihatnya seorang lelaki tua
berjubah hitam melangkah sempoyongan sambil memegangi dadanya.
Sejenak Diah Harum memperhatikan si kakek yang di kepala plontosnya terdapat
tanda matahari itu, sebelum kemudian dia melengak dan buru-buru bergerak. Karena
sosok si kakek sudah sempoyongan dan akan ambruk.
"Bertahan, Kek!" desisnya sambil merebahkan tubuh si kakek berjubah hitam di
atas rumput. Kakek yang bukan lain Iblis Telapak Darah adanya ini mengeluh. Wajahnya pucat
pasi. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
Dewi Bunga Mawar cepat bertindak.
Dibukanya pakaian yang dikenakan si kakek. Dilihatnya tanda merah di sana.
"Terkutuk! Siapa yang membuatmu celaka begini, Orang Tua"!" serunya dengan
amarah yang mendadak naik.
Iblis Telapak Darah menahan sakit.
"Dia... dia... akhhh!"
"Jangan banyak bicara dulu! Kau tenanglah... kosongkan tenaga dalammu..,"
desis Dewi Bunga Mawar kemudian. Lalu segera ditempelkan telapak tangan kanannya
di atas dada Iblis Telapak Darah dan dialirkan tenaga dalamnya.
Dalam waktu yang singkat sekujur
tubuh si gadis sudah dibanjiri keringat.
Sesungguhnya Dewi Bunga Mawar memiliki kelembutan dan hati yang baik. Dia memang
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, terutama tentang gurunya sendiri.
"Gila!" desisnya dengan wajah agak pucat. "Telapak tanganku terasa panas!
Tentunya orang yang mencelakakan kakek ini memiliki ilmu yang tinggi!"
Lalu ditempelkan pula telapak tangan kirinya. Dengan kedua telapak tangan yang
menempel di dada si kakek, kembali dialirkan tenaga dalamnya. Ditahannya hawa
panas yang keluar dari tubuh si kakek kuat-kuat. Keringat makin banyak
membanjiri tubuhnya.
Mendadak dia melihat si kakek
mengembung. "Muntahkan, Kek!"
"Huaaakkk!!"
Darah hitam menyembur dari mulut
Iblis Telapak Darah, sebagian mengenai kedua tangan Dewi Bunga Mawar. Bersamaan
muntahan darah itu Iblis Telapak Darah jatuh pingsan.
Dewi Bunga Mawar mengangkat kembali kedua telapak tangannya. Dipandanginya wajah
si kakek yang pingsan.
"Aku tidak tahu siapa kakek ini.
Tahu-tahu dia muncul dengan membawa luka parah. Ah, bila saja aku tak segera
menolongnya, mungkin dia tak akan bisa
hidup lebih lama...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya yang sepi. Kemudian dia beranjak untuk mencuci
tangannya. Di sekitar sungai di mana dia mencuci tangan banyak tumbuh pohon
manggis hutan yang berbuah lebat. Dengan mudah saja Diah Harum mendapatkannya
dan kembali ke tempat Iblis Telapak Darah.
Iblis Telapak Darah masih pingsan.
"Ah, banyak waktuku yang terbuang sekarang padahal aku harus segera menemukan
Lembah Naga! Juga menemukan kembali di mana Boma Paksi berada! Aku tak mau
pemuda itu menyebarkan fitnahnya ke segenap penjuru! Tapi...."
Kembali dipandanginya wajah plontos yang pingsan ini.
"Bagaimana dengan Kakek ini" Tak mungkin aku meninggalkannya sendirian?"
desisnya pelan. Setelah beberapa saat terdiam, Dewi Bunga Mawar akhirnya
memutuskan untuk menunggu sampai si kakek siuman.
Hampir sepenanakan nasi dia berlutut di samping Iblis Telapak Darah yang pingsan
sebelum kemudian didengarnya suara batuk-batuk si kakek.
Cepat Diah Harum mengalirkan lagi tenaga dalamnya, kali ini melalui kedua ibu
jari kaki si kakek. Wajah pucat si kakek perlahan-lahan mulai menghilang,
demikian pula dengan keringatnya.
Iblis Telapak Darah membuka kedua matanya. Sesaat langsung dipejamkannya
kembali. "Anak gadis... terima kasih atas bantuanmu...," desisnya pelan.
Karena memburu waktu, Diah Harum
langsung mengajukan tanya, "Orang tua...
apa yang telah terjadi denganmu?"
Iblis Telapak Darah tak buka suara.
Dia berbaring sesaat. Di saat lain perlahan-lahan dia bangkit, duduk ber-
selonjor. Dadanya tidak lagi dirasakan nyeri. Napasnya sudah mulai teratur.
Lalu dipandanginya gadis di hadapannya ini.
"Siapa gadis ini sebenarnya" Dari caranya bertindak, aku yakin dia memiliki
sifat baik hati yang tinggi. Jarang sekali ada orang yang mau menolong sesama.
Peduli setan walau dia telah menolongku! Dan terlalu bodoh bila kulewatkan
kesempatan ini untuk menikmati kegairahan barang sejenak!"
Iblis Telapak Darah yang punya
pikiran kotor itu, masih memandang Diah Harum. Yang dipandang justru mengerutkan
keningnya. "Kenapa dia memandangiku seperti itu?" desisnya dalam hati.
"Kecantikannya sungguh luar biasa.
Kulitnya putih mulus. Tentu tubuhnya penuh gairah yang menjanjikan," kata
Iblis Telapak Darah dalam hati. "Aku harus mencari kesempatan untuk menikmati
apa yang dimilikinya...."
Kemudian katanya, "Anak gadis...
mungkin kau tak akan percaya dengan apa yang terjadi padaku...."
"Kau belum mengatakannya. Siapakah yang telah melakukan tindakan ini?"
Iblis Telapak Darah terdiam.
Kegeraman perlahan-lahan muncul pada wajahnya.
"Sahabatku telah mampus dibunuh pemuda keparat itu! Setan alas! Akan kucari dia!
Akan kubalas semua perlakuan ini!"
Kata-kata yang tak tahu juntrungannya itu membuat Diah Harum mengerutkan
keningnya. "Orang tua... aku tak mengerti apa yang kau katakan. Sebaiknya kau jelaskan agar
aku tidak banyak bertanya tanya...."
Kembali Iblis Telapak Darah memandang gadis jelita di hadapannya. Sifat kotor-
nya yang muncul itu semakin bergolak.
"Sungguh bodoh bila aku tidak bisa menikmati keindahan tubuhnya!" desisnya dalam
hati. Lalu katanya, "Sebenarnya aku mempunyai seorang sahabat yang berjuluk
Iblis Penghancur Raga. Kami adalah dua tokoh dari timur yang selalu membela
kebenaran! Dulu kami memang adalah pelaku keonaran tiada banding, tetapi kami
sudah insyaf." "Bagus bila kau sudah tak melakukan lagi apa yang kau lakukan dulu!"
"Beberapa hari lalu kami sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan kami
berjumpa dengan musuh bebuyutan kami yang banyak buat keonaran! Mereka berjuluk
Dua Serangkai Jubah Hijau!
Karena tahu kedua orang itu selalu menimbulkan petaka, kami mencoba untuk
menghentikan sepak terjang mereka! Tetapi begitu hampir berhasil, mendadak
seorang pemuda muncul! Dia membela Dua Serangkai Jubah Hijau! Bahkan...
sahabatku tewas di tangannya!!"
"Orang tua... siapa pemuda keparat itu?"
Iblis Telapak Darah yang memutar-
balikkan kenyataan itu memandang si gadis dalam-dalam. Kemudian katanya, "Dia
seorang pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat...." Dilihatnya kepala si
gadis menegak. Kendati merasa agak heran, Iblis Telapak Darah melanjutkan, "Dia
bernama... Boma Paksi atau berjuluk Raja Naga!"
Dilihatnya wajah si gadis berubah memerah. Ketegangan terbayang jelas, terutama
dari sorot matanya yang menyi-ratkan amarah tinggi. Menyusul....
"Keparat! Lagi-lagi pemuda itu! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!"
Sudah tentu Iblis Telapak Darah
terkejut mendengar ucapan Diah Harum.
"Dari kata-katanya aku yakin kalau gadis ini pernah berjumpa dengan Raja Naga
yang kesaktiannya seperti setan itu! Dan tentunya telah terjadi sesuatu yang
membuatnya murka."
Ditunggunya beberapa saat sampai
gadis jelita di hadapannya itu kelihatan tenang. Lalu katanya, "Anak gadis...
apa yang telah terjadi" Apakah kau mengenal pemuda itu?"
Kepala Diah Harum mengangguk kaku.
"Aku bukan hanya telah mengenalnya, tetapi juga akan membunuhnya!"
"Mengapa?"
"Pemuda itu telah memfitnah guruku!"
"Memfitnah" Siapakah gurumu itu?"
Diah Harum menatap tajam-tajam kakek yang di ubun-ubunnya terdapat gambar
matahari. Lambat-lambat dia berkata,
"Guruku bernama Dadung Bongkok!"
Kontan kepala Iblis Telapak Darah menegak.
"Astaga! Beruntung aku belum melakukan apa-apa terhadapnya! Dadung Bongkok!
Gila! Bila kujalankan maksudku untuk mempermalukannya, bisa hancur tubuh ku
dihajar oleh Dadung Bongkok!"
Kendati merasa aneh dengan sikap
kakek berjubah hitam itu, Diah Harum tak mempedulikannya. Gadis ini masih kesal
pada Boma Paksi. Bahkan sekarang dia tahu kalau Boma Paksi telah mencelakakan
kakek di hadapannya. (Bagi teman-teman yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi terhadap Iblis Telapak Darah dan Iblis Penghancur Raga, silakan baca :
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi telah memfitnah guruku!
Dia mengatakan kalau guruku adalah orang jahat! Dan pemuda yang ternyata putra
mendiang Dewi Lontar itu akan menuntut balas atas kematian ibunya yang tewas di
tangan guruku!"
"Aku pernah mendengar kematian Dewi Lontar, tetapi aku tidak tahu siapa yang
melakukannya. Dan sekarang aku tahu kalau Dadung Bongkok yang melakukan
pembunuhan itu," kata Iblis Telapak Darah dalam hati.
Kemudian katanya, "Anak gadis...
siapakah namamu?"
"Namaku Diah Harum. Guruku memberiku julukan Dewi Bunga Mawar...."
"Dewi Bunga Mawar... ketahuilah, aku dan gurumu adalah bersahabat. Dan tak
kusangka kalau pemuda berompi ungu itu adalah putra mendiang Dewi Lontar dan
Pendekar Lontar. Lantas apa yang
dilakukannya lagi?"
"Dia muncul kembali setelah dua belas tahun menghilang untuk membalas dendam
pada guruku! Padahal bila dia mau
mempergunakan otaknya, tentunya dia akan maklum apa yang dilakukan Guru terhadap
ibunya dua belas tahun yang lalu! Menurut Guru, Pendekar Lontar dan Dewi Lontar
adalah manusia-manusia keji yang telah banyak menimbulkan keonaran hingga Guru
merasa terpanggil untuk menghentikan sepak terjang kedua orang itu. Tetapi Boma
Paksi justru memutar
balikkan kenyataan!!"
"Hebat! Dadung Bongkok berhasil memperdayai muridnya sendiri dengan memutar
kenyataan yang ada! Bagusnya aku juga telah membohonginya! Dan nampaknya gadis
ini begitu menjunjung tinggi gurunya hingga tidak rela orang memfitnah gurunya!"
Habis membatin demikian, Iblis
Telapak Darah yang langsung surut niat busuknya tadi berkata, "Dewi Bunga
Mawar... apa yang dikatakan gurumu itu memang benar. Begitu pula dengan apa yang
kau pikirkan. Tak seharusnya pemuda itu melakukan fitnahan terhadap gurumu. Dan
juga tak seharusnya pemuda berompi ungu itu menolong Dua Serangkai Jubah Hijau,
orang-orang golongan sesat yang banyak membuat keonaran. Kau tentunya akan
bermaksud untuk menghajar pemuda itu, bukan?"
Dewi Bunga Mawar memalingkan
kepalanya. Memandang tajam pada Iblis
Telapak Darah. "Orang tua... aku bukan hanya akan menghajarnya! Tetapi aku juga akan
membunuhnya! Perlakuannya sudah kelewat batas mengingat kau terluka parah dan
sahabatmu juga telah tewas dibunuhnya!"
"Sebagai seorang sahabat gurumu dan seorang yang tak menyukai keonaran, sudah
tentu aku berada di pihakmu! Aku pun akan membalas kematian sahabatku itu!"
Dewi Bunga Mawar tersenyum.
"Aku senang karena berjumpa dengan sahabat-sahabat Guru...."
"Aku pun senang berjumpa dengan murid sahabatku itu," sahut Iblis Telapak Darah
sambil tersenyum. Lalu sambungnya dalam hati, "Tak kusangka perkembangannya jadi
seperti ini. Begitu mudah. Aku yakin, bila gadis ini tidak dalam keadaan amarah
dan tidak dipengaruhi oleh gurunya yang dihormatinya, tentunya akan sulit
mempengaruhinya. Aku yakin Dadung Bongkok pun
mengalami kesulitan untuk
mempengaruhinya...."
"Orang tua... apakah kau sudah lebih baik sekarang?"
Iblis Telapak Darah mengangguk.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Karena... aku juga hendak menuju ke
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lembah Naga!"
Iblis Telapak Darah yang sedang
berdiri mendadak terhuyung mendengar
kata-kata Dewi Bunga Mawar, dengan kedua mata terbeliak.
"Orang tua! Kau masih lemah!" seru Dewi Bunga Mawar sambil menyambar tubuh Iblis
Telapak Darah. Iblis Telapak Darah menggeleng-
gelengkan kepala dan diam-diam menelan ludahnya.
"Tidak, aku tidak apa-apa!"
"Kau yakin, Orang Tua?"
Iblis Telapak Darah buru-buru
mengangguk. "Ya! Kita berangkat sekarang! Tetapi menurutku, yang terpenting sekarang adalah
menemukan dulu pemuda bersisik coklat itu!. Karena aku khawatir dia sudah
menyebarkan fitnahnya!"
Kata-kata Iblis Telapak Darah di
setujui oleh Dewi Bunga Mawar.
"Ya! Kita lakukan itu sekarang!"
Lalu keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan, Iblis Telapak
Darah membatin, "Menemukan Lembah Naga" Astaga! Sudah tentu aku tak mau ke sana!
Aku hanya memanfaatkan kesempatan agar dia membantuku membunuh Boma Paksi!
Sebagai murid Dadung Bongkok, tentunya ilmunya tak perlu disangsikan lagi!"
* * * 3 MENJELANG senja Boma Paksi tiba di sebuah hutan kecil yang dipenuhi pepohonan
tinggi. Matahari masih mampu menerobosi pucuk-pucuk pepohonannya.
Pemuda dari Lembah Naga ini memperhatikan sekelilingnya yang sepi sebelum
kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali apa yang telah terjadi.
Menyesali kenyataan kalau Dewi Bunga Mawar ternyata adalah murid dari musuh
besarnya. "Dia begitu cantik, lembut dan bersahaja. Sungguh sangat disayangkan bila dia
menjadi seorang murid manusia sesat seperti Dadung Bongkok."
Sesaat murid Dewa Naga terdiam
sebelum menghela napas panjang.
"Ah, mengapa aku harus bertikai dengan gadis yang telah mengguncangkan
perasaanku?" keluhnya pelan. Lalu di arahkan pandangannya pada seekor kelinci
yang keluar dari sarang dan langsung berlari ke antara ranggasan belukar.
"Memaksanya untuk mengatakan di manakah Dadung Bongkok berada merupakan sebuah
tindakan yang tepat seharusnya, karena aku bisa mempersingkat waktu untuk
menemukan orang yang telah membunuh ibuku. Tetapi... ah, aku tak mengerti, aku
tak mengerti...."
Pemuda tampan bermata angker ini
kembali menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh keresahan. Untuk beberapa saat dia terdiam. Lalu ditariknya napas dalam-
dalam. "Aku tak boleh mendua hati. Dadung Bongkok adalah salah seorang musuh besarku.
Demikian pula halnya dengan Hantu Menara Berkabut. Kedua manusia itu harus
menerima ganjaran atas perbuatan mereka dua belas tahun yang lalu pada kedua
orangtuaku. Mereka harus mendapatkannya! Sayangnya... aku tak tahu di mana
mereka berada?"
Kalau sebelumnya murid Dewa Naga
dipusingkan dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Dewi Bunga Mawar, kali
ini dia segera memusatkan perhatiannya pada dua musuh besarnya. Sepasang matanya
yang dapat menciutkan nyali orang bila melihatnya kembali bersinar angker.
"Sebaiknya... kuteruskan langkah untuk menemukan di mana Menara Berkabut berada.
Nenek Konde Satu pernah berkata padaku, kalau aku harus terus melangkah ke arah
timur. Tetapi sampai sejauh ini aku belum menemukan tanda-tanda di mana Menara
Berkabut berada. Jangan-jangan...
aku telah melewatinya dan tidak tahu kalau di sanalah Menara Berkabut berada"
Mengingat, tempat itu selalu diliputi kabut tebal yang sukar ditembus oleh
pandangan" Ah... apa pun yang...."
"Brengsek! Brengsek betul! Bandung Sulang telah mampus! Aku yakin manusia
penghuni Menara Berkabut itu yang telah melakukannya! Keparat brengsek! Manusia
itu benar-benar sudah melaksanakan aksinya!"
Ucapan keras yang memutus kata-kata Raja Naga itu terdengar dari balik ranggasan
semak. Menyusul semak setinggi dada itu merebak dan menyeruak satu sosok tubuh
buntal memegang tombak warna biru.
Orang yang baru muncul ini masih
menggerutu panjang pendek.
"Keparat betul manusia satu itu! Dia bukan hanya telah membunuh Pendekar Lontar,
tetapi juga Bandung Sulang!
Sialan! Jangan-jangan Pendekar Harum pun telah mampus dibuatnya! Sayang, waktuku
masih dua hari lagi untuk menjumpai Dewa Segala Obat, jadi aku belum tahu apakah
Pendekar Harum memang sudah tewas atau belum! Keparat betul!"
Munculnya kakek gemuk berpakaian biru itu membuat kening Raja Naga berkerut.
Karena si kakek masih saja mendumal tak karuan seperti tak tahu adanya orang di
sana. Yang membuat Raja Naga merasa heran, karena dia sama sekali tak menangkap
adanya gerakan orang. Tahu-tahu telah terdengar suara keras dan munculnya kakek
gemuk itu! Bahkan tiba-tiba si kakek yang
seperti tak memiliki leher karena banyaknya lemak, mengangkat kepalanya.
Matanya memandang pada Raja Naga yang balas tak berkedip.
"Hei, anak muda! Kau tahu... manusia keparat itu telah membunuh sahabatku
Bandung Sulang! Bisa jadi dia juga telah membunuh Pendekar Harum! Terkutuk! Akan
kurajam tubuhnya dengan tombakku ini!"
Sementara itu kendati agak kaget
karena tiba-tiba diajak bicara oleh orang yang baru muncul, Raja Naga
mengerutkan keningnya. Matanya yang bersinar angker memandang tak berkedip pada
si kakek yang tingginya hanya sebahunya saja.
"Aneh! Baru kali ini aku berjumpa dengannya. Tetapi mengapa aku seperti sudah
sangat mengenalnya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, si kakek bertubuh
buntal sudah berseru lagi, "Kau tahu, melihat kuburannya yang masih baru, jelas
Bandung Sulang belum lama tewas! Brengsek tidak"! Manusia
keparat itu rupanya
memberi selang waktu selama dua belas tahun untuk membalas segala kekalahannya
dulu! Hei, Anak muda! Kau tahu apa yang akan kulakukan terhadap manusia sialan
itu"! Aku bukan hanya akan merajamnya dengan tombakku ini, tetapi juga
mencabik-cabik tubuhnya sampai menjadi ratusan kerat! Brengsek betul!"
Raja Naga tak menyahuti kata-kata orang. Dia masih mencoba mengingat-ingat
siapakah si kakek yang rasa-rasanya pernah dilihatnya. Dibiarkan saja si kakek
gemuk itu berbicara keras. Tetapi karena tak menemukan jawaban akan keheranannya
itu, berhati-hati Raja Naga buka suara,
"Kakek bertubuh buntal! Ada apa kau tiba-tiba muncul dan mengomel-ngomel
sendiri?" "Bagaimana aku tidak ngomel kalau sahabatku telah dibunuhnya"!" sahut si kakek
dengan kepala terangkat. "Ini namanya keterlaluan! Manusia itu benar-benar
sedang menjalankan aksi balas dendamnya!"
"Kau tadi mengatakan kalau sahabatmu itu bernama Bandung Sulang?" tanya Boma
Paksi hati-hati.
"Betul! Kau mengenalnya"!"
Raja Naga mengangguk dan menggeleng.
"Busyet! Apa-apaan kau mengangguk dan menggeleng seperti itu, hah"! Kalau kau
mengenalnya ya kenal, tetapi kalau kau tidak mengenalnya ya tidak!"
"Aku mengenalnya karena aku
menemukannya dalam keadaan sekarat dan menguburkannya! Aku tidak mengenalnya
karena baru kali itu aku berjumpa dengannya! Kalaupun aku tahu siapa namanya
karena aku berjumpa dengan
perempuan tua berjuluk Nenek Konde Satu!"
(Untuk mengetahui soal ini, silakan baca:
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Busyet! Rupanya nenek itu muncul juga" Brengsek! Pasti dia mau cari gara-gara
lagi" Dulu dia yang menolak cinta Bandung Sulang, sekarang malah dia yang
mengejar-ngejarnya!" kakek bertubuh gemuk itu memaki-maki tak karuan.
"Kakek gemuk ini sepertinya bukan hanya mengenal kakek bernama Bandung Sulang
tetapi dia juga mengenal Nenek Konde Satu. Ah, mengapa aku begitu merasa akrab
dengannya" Siapa sebenarnya kakek ini?" tanya batin Raja Naga dalam hati sambil
memandang si kakek yang mulutnya masih berbentuk kerucut.
Tiba-tiba si kakek gemuk memalingkan kepalanya lagi dan berseru, "Kau tahu siapa
yang telah membunuhnya"! Kau...
hei!!" seperti baru menyadari keadaan pemuda di hadapannya, kakek gemuk ber-
senjata tombak biru itu melotot. Mulutnya menganga sejenak sebelum bicara,
"Kulit kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat, Anak Muda!"
Raja Naga hanya mengangguk.
Lama si kakek gemuk memandanginya seperti itu sampai kemudian dia buka mulut,
"Di dunia ini... hanya seorang yang memiliki kulit penuh sisik, tetapi berwarna
hijau! Dia adalah kakek brengsek
tukang kentut yang berjuluk Dewa Naga!
Anak muda... kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat. Aku tidak tahu apakah
kamu ada hubungannya dengan Dewa Naga atau tidak! Biar aku tidak banyak tanya,
sebaiknya kau jelaskan!"
Karena merasa sudah pernah mengenal si kakek gemuk tetapi tidak ingat lagi di
mana, Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Dia adalah guruku...."
"Astaga! Gurumu"! Busyet! Sejak kapan dia mengangkat seorang murid. hah"! Sejak
kapan"!"
"Sejak dua belas tahun yang lalu!"
Kakek gemuk itu menggeleng gelengkan kepalanya sambil memandang Raja Naga.
"Kau memiliki tatapan yang mengerikan, Anak muda. Tatapanmu seperti hendak
menerkam orang yang kau lihat!
Tetapi aku yakin kau memiliki hati yang lembut dan kebaikan tiada tanding! Tadi
kau katakan kalau Dewa Naga adalah gurumu... sekarang, bagaimana kabarnya"!"
"Sepeninggalku dari Lembah Naga, dia baik-baik saja...."
"Bagus! Apakah dia masih suka kentut sembarangan"!"
Raja Naga hanya tersenyum. Lalu
katanya, "Kakek bertubuh gemuk! Baru kali ini kita pernah bertemu, tetapi
mengapa aku seperti telah mengenalmu?"
"Brengsek! Apakah kau saja yang
merasa seperti itu" Aku juga seperti mengenalmu!" balas si kakek gemuk ketus.
"Astaga! Jadi dia juga merasa pernah mengenalku?" desis Boma Paksi dalam hati.
Tiba-tiba kepala si kakek menegak.
Karena seperti tak memiliki leher, jadi tegaknya kepala si kakek kelihatan lucu.
"Anak muda... kau mengatakan kalau kau adalah murid Dewa Naga! Apakah sisik
coklat pada kedua tanganmu, berasal dari ilmu yang diturunkan oleh Dewa Naga?"
"Menurut Guru, aku sudah memilikinya semenjak lahir."
"Tadi katamu pula kalau kau berguru padanya sudah dua belas tahun?"
"Begitulah adanya!"
"Berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh belas tahun!"
"Astaganaga!" Kakek gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu katanya
dengan suara sedikit tegang,
"Apakah... apakah kau bernama... Boma Paksi?"
Bersamaan dengan si kakek mengajukan pertanyaan seperti itu, Raja Naga pun
berseru, "Kek! Kau tentunya Dewa Tombak, bukan" Ya, ya! Dewa Tombak!"
"E, busyet! Ditanya apa menjawab apa!
Tapi apa yang kau katakan tadi memang benar! Orang-orang rimba persilatan
menjulukiku Dewa Tombak!"
Raja Naga tersenyum. Tatapannya tetap
berkesan angker.
"Kau juga tidak salah, Kek. Namaku Boma Paksi. Pantas aku seperti pernah
mengenalmu. Kalau tak salah ingat, kau hadir di saat ayahku meninggal, bukan?"
"Brengsek betul!" maki Dewa Tombak tiba-tiba. "Dicari ke sana kemari selama dua
belas tahun, rupanya kakek tukang kentut itu yang membawamu kabur, ya"!"
Raja Naga cuma tersenyum. Ingatannya kembali pada peristiwa dua belas tahun yang
lalu, di mana ayahnya ditemukan tewas tanpa diketahui penyebabnya. Dan kakek
gemuk berpakaian biru ini pun datang ke sana (Untuk mengetahui lebih jelas
silakan baca serial Raja Naga dalam episode : "Tapak Dewa Naga").
Di pihak lain si kakek gemuk yang ternyata Dewa Tombak masih mendumal tak
karuan. Setelah berpisah dengan Dewa Segala Obat, Dewa Tombak segera menuju ke
Bukit Gulungan untuk menjumpai Bandung Sulang. Karena saat itu Dewa Tombak punya
satu pikiran, kalau Hantu Menara Berkabut yang menurut Dewa Segala Obat adalah
orang yang telah membunuh Pendekar Lontar, saat ini sedang menjalankan aksi
balas dendamnya. Sementara itu Dewa
Segala Obat sendiri segera berangkat untuk melihat keadaan Pendekar Harum
(Baca : "Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi...," panggil Dewa Tombak.
"Tentunya Dewa Naga telah menceritakan apa yang terjadi pada mendiang ayahmu,
bukan?" "Ya!"
"Jadi aku tak perlu menceritakannya lagi. Hantu Menara Berkabutlah yang telah
membunuhnya."
"Tetapi Guru tak pernah mengatakan bagaimana Hantu Menara Berkabut membunuh
ayahku! Beliau memintaku untuk mencari Dewa Segala Obat!"
"Kau tak perlu mencarinya karena saat ini kakek tukang obat itu sedang menemui
Pendekar Harum! Boma... kau telah tumbuh menjadi pemuda gagah! Sisik-sisik
coklat di kedua tanganmu dulu sangat halus hingga tak begitu kentara, tetapi
sekarang cukup nyata! Anak muda...
menurut Dewa Segala Obat, Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu dengan
mempergunakan seekor lebah yang telah dilumuri berbagai jenis bisa ular!"
"Lebah?"
"Ya! Lebah itulah yang telah membunuhnya! Tetapi sayangnya, kendati ibumu
mengetahui bagaimana ayahmu dibunuh, tetapi dia tidak tahu kalau Hantu Menara
Berkabut yang telah
melakukannya! Sekarang, ada persoalan yang masih membingungkanku! Siapakah orang
yang telah membunuh ibumu?"
Kepala Boma Paksi terangkat. Sorot
angker mata nya semakin memancar dingin.
Dewa Tombak yang melihatnya tanpa sadar agak bergidik.
"Astaga! Tatapan itu benar-benar mengerikan!" desisnya dalam hati.
Lamat-lamat dilihatnya si pemuda
mengarahkan pandangannya ke kejauhan.
"Dewa Tombak... orang yang membunuh ibuku bernama Dadung Bongkok!"
"Busyet! Dia lagi rupanya! Aku juga sudah menduga seperti itu sebenarnya, tetapi
aku masih meragu!"
"Dewa Tombak... aku telah berjumpa denganmu, berarti aku tak perlu lagi mencari
Dewa Segala Obat untuk mengetahui sebab-sebab kematian ayahku! Sekarang aku
hendak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara Berkabut berada"!"
Kepala Dewa Tombak menggeleng.
"Menara Berkabut adalah sebuah tempat yang sangat sukar dilihat oleh mata karena
terhalangi oleh gumpalan kabut tebal! Sekencang apa pun angin berhembus kabut-
kabut tebal itu tak akan bergeser sedikit juga!"
"Kalau begitu... kau tahu di mana aku bisa menemukan Dadung Bongkok?"
"Manusia satu itu selalu berpindah-pindah tempat! Dia tak pernah menetap di satu
tempat lebih dari satu tahun! Kabar yang kudengar terakhir dia berdiam di Puncak
Angin! Tetapi bisa jadi kalau dia
sudah tidak berada di sana sekarang!"
Paras Raja Naga terlihat agak kecewa.
Sepasang matanya mengerjap-ngerjap.
"Boma... kau telah tumbuh menjadi seorang yang gagah dan aku yakin kau telah
mewarisi ilmu Dewa Naga! Kau tak sendiri di dalam niatmu untuk menemukan Dadung
Bongkok!" Raja Naga tak menyahuti ucapan si kakek gemuk. Otaknya dipenuhi berbagai
pikiran. Lalu katanya seraya memandang Dewa Tombak, "Terima kasih atas kesediaan
mu membantuku! Tetapi biarlah aku yang tangani urusan ini!"
"Sok tahu! Kau belum tahu kehebatan Hantu Menara Berkabut dan Dadung
Bongkok"! Mungkin kau bisa menghadapi mereka bila satu lawan satu! Tapi
bagaimana bila keduanya bergabung dan siap menghabisimu"! Bicara seenaknya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja!" Raja Naga tak menghiraukan kata-kata si kakek gemuk.
Dia berkata, "Kedua orangtuaku dibunuh secara kejam oleh Hantu Menara Berkabut
dan Dadung Bongkok! Biarpun keduanya bergabung, aku tak peduli! Aku akan
menghadapinya dengan segenap kemampuanku!"
"Kau tentunya telah mewarisi seluruh ilmu si kakek tukang kentut itu! Bisa jadi
kau memang akan mampu menghadapi
keduanya! Tetapi perlu kau ingat, ilmu yang telah kita miliki belum tentu
menjadi jaminan untuk menghadapi
seseorang! Karena terkadang kelicikan lebih mengerikan akibatnya daripada ilmu
kesaktian!"
Raja Naga membenarkan apa yang
dikatakan Dewa Tombak.
"Aku akan berhati-hati...."
"Bagus! Aku hanya mengetahui sedikit tentang Menara Berkabut! Menurut kabar
tempat itu berada di sebelah timur!
Teruslah kau melangkah ke sana untuk menemukan tempat penuh misteri itu! Dan
ingat, berhati-hatilah!"
Raja Naga merangkapkan kedua
tangannya. "Bukannya aku tak punya banyak waktu atau tak mau bercakap-cakap lebih lama,
tetapi aku ingin menyelesaikan urusanku secepat mungkin!"
"Ya, sudah! Sana pergi!"
Raja Naga mengangguk. Saat lain dia sudah berlari meninggalkan tempat itu.
Diiringi pandangan mata Dewa Tombak, murid Dewa Naga terus berlari ke arah
timur. "Kegagahannya tentunya diwarisi dari ayahnya! Dan di balik kegagahannya itu juga
terdapat kelembutan yang tentunya diwarisi dari ibunya! Tak kusangka, bocah yang
selama dua belas tahun membuatku
bertanya-tanya tentang nasibnya, rupanya sudah diambil murid oleh Dewa Naga!
Hemm... kakek tukang kentut itu berhasil juga menjalankan apa kemauannya! Karena
aku ingat kalau dia pernah meminta bocah yang pada punggungnya terdapat gambar
seekor naga hijau untuk dijadikan muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya karena
dia tentunya masih sedih atas kematian suaminya. Ah, waktu memang cepat
berjalan. Bocah itu sudah tumbuh menjadi pemuda gagah dengan sisik-sisik coklat
pada kedua tangannya sebatas siku yang semakin kentara" Heii! Apakah gambar
seekor naga hijau pada punggungnya yang dibawanya dari lahir itu masih ada?"
Dewa Tombak memutus kata-katanya
dengan pertanyaannya sendiri. Untuk beberapa saat kakek gemuk ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Sisik coklat pada kedua tangannya masih ada, tentunya gambar seekor naga pada
punggungnya juga masih ada. Ah, apa makna gambar seekor naga itu sebenarnya?"
Lagi si kakek gemuk terdiam sebelum memandang lagi ke tempat berlalunya Raja
Naga. "Mungkin hanya dia yang akan tahu kelak! Sebaiknya... aku menemui Dewa Segala
Obat di Gunung Menjangan! Mudah-mudahan Pendekar Harum tak mengalami nasib sial
seperti yang dialami oleh Pen-
dekar Lontar dan Bandung Sulang!"
Saat lain kakek gemuk berpakaian biru yang nampak sesak karena lemak pada
tubuhnya sangat banyak, sudah meninggalkan tempat itu,
menempuh arah yang
berlainan dengan yang ditempuh Raja Naga.
Kendati tubuhnya sangat gemuk, tetapi gerakannya sangat lincah sekali.
Sepuluh tarikan napas berikutnya, satu sosok tubuh melompat turun dari atas
sebuah pohon yang tak jauh dari tempat Raja Naga dan Dewa Tombak berdiri tadi.
Sosok tubuh kontet berkulit hitam legam itu hinggap di atas tanah tanpa
menimbulkan suara.
Untuk beberapa saat perempuan tua bertubuh kontet ini terdiam, matanya nyalang
menatap ke arah perginya Dewa Tombak.
"Apa yang menjadi kecemasanku selama ini memang terbukti! Putra mendiang
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar masih hidup! Bahkan dia telah menjadi murid Dewa
Naga! Terkutuk!" maki si perempuan tua berpakaian hitam dan berkulit hitam
legam. Kembali perempuan tua kontet yang bukan lain Ratu Sejuta Setan ini
menggeram, "Aku lebih dulu berada di sini sebelum pemuda bersisik coklat itu
datang! Dan aku lebih cepat melompat ke balik pohon itu! Sebenarnya aku hendak
menanyakan sesuatu pada pemuda itu, tetapi keburu muncul Dewa Tombak!
Keparat! Kakek gemuk itu pernah
mengalahkanku dua belas tahun yang lalu!
Dan beruntung aku bersembunyi hingga mengetahui apa yang terjadi! Terutama
siapakah pemuda bersisik coklat itu! Dia adalah Boma Paksi! Murid Dewa Naga! Ini
berita besar untuk Dadung Bongkok dan Hantu Menara Berkabut! Hemm... biar
kuikuti ke mana perginya pemuda bersisik itu!"
Kejap berikutnya, Ratu Sejuta Setan sudah berkelebat ke arah perginya Raja Naga.
* * * 4 PAGI kembali menghampar dengan
keindahan alam tiada banding. Bila pagi hari datang diiringi dengan sinar indah
matahari, akan jarang orang yang akan melewatkan kesempatan untuk menikmati
keindahan itu. Sama seperti halnya dengan kakek berambut jarang yang mengenakan
pakaian compang-camping. Si kakek yang pada pinggang kurusnya tercantel sebuah
pundi, sedang asyik memandang keindahan pagi.
Tak jauh darinya, Gunung Menjangan
menjulang tinggi. Bila dilihat dari kejauhan puncak gunung itu berbentuk seperti
kepala menjangan.
Kakek berambut jarang ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terkadang aku suka tak habis mengerti, mengapa manusia selalu dipenuhi ambisi
dan dendam berkepanjangan" Padahal alam yang begitu indah dapat dijadikan
sebagai tempat menghirup kehidupan baru ketimbang dipenuhi ambisi kotor dan
dendam...."
Kakek berpakaian compang-camping ini kembali
memandangi Gunung Menjangan.
Hijau seperti meronai tempat itu. Kabut-kabut
tipis yang perlahan-lahan akan
menghilang seiring dengan pagi beranjak siang, masih nampak menyelimuti puncak
Gunung Menjangan.
"Huh!! Aku terlalu cepat satu hari berada di sini. Jadi terpaksa nanti aku akan
bermalam di sini. Apa yang dialami Dewa
Tombak sekarang" Apakah dia
menemukan pemandangan mengerikan terhadap Bandung Sulang" Seperti pemandangan
mengerikan yang kulihat pada Pendekar Harum?"
Kakek yang bukan lain Dewa Segala Obat ini terdiam. Terbayang bagaimana ketika
dia tiba di tempat kediaman Pendekar Harum. Sejak muncul di sana Dewa Segala
Obat sudah merasa heran, karena
melihat pepohonan tumbang dan tanah yang merengkah. Rasa
herannya itu berubah
menjadi ketegangan tatkala dia tiba pada satu pikiran.
Penuh kehati-hatian Dewa Segala Obat melangkah untuk mencari Pendekar Harum.
Dan seperti yang telah diduganya, dia menemukan Pendekar Harum dalam keadaan
tewas dengan seluruh tubuh penuh luka.
Perasaan gundah merasuki hati Dewa Segala Obat sesaat begitu melihat keadaan
Pendekar Harum.
Lalu dengan keahliannya dia memeriksa tubuh Pendekar Harum. Pertama keningnya
berkerut. Lalu diedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang diduga keras sebagai
penyebab kematian Pendekar Harum.
Tatkala melihat tiga ekor lebah yang telah mati berada di sana, kakek berambut
jarang ini menarik napas dalam-dalam.
"Hantu Menara Berkabut...," desisnya.
Kemudian dikuburkannya mayat Pendekar Harum dan dia segera melakukan perjalanan
ke Gunung Menjangan sesuai janjinya dengan Dewa Tombak. Dan sekarang Dewa Segala
Obat telah berada di Gunung Menjangan, lebih awal dari waktu yang ditentukan.
"Pendekar Lontar dan Pendekar Harum telah tewas di tangan Hantu Menara Berkabut.
Kemungkinannya, Bandung Sulang pun akan mengalami nasib yang sama.
Tetapi mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan pula Dewa Tombak muncul dengan membawa
berita baik."
Dewa Segala Obat menggeleng gelengkan kepalanya, agak resah.
"Sampai hari ini aku masih
dibingungkan dengan hilangnya putra Pendekar Lontar. Dewi Lontar telah tewas
tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan kalau putranya dibunuh oleh orang yang
belum diketahui itu, kemungkinan mayatnya berada di sisi atau tak jauh dari Dewi
Lontar. Kendati begitu, tak mengurungkan pikiranku kalau si pembunuh membunuhnya
di sebuah tempat yang sukar dicapai.
Ah... urusan ini makin berkembang panjang! Aku merasa pasti, bukan Hantu Menara
Berkabut yang telah lakukan pembunuhan terhadap Dewi Lontar! Karena tak
kutemukan lebah-lebah beracun di sekeliling sana!"
Kembali Dewa Segala Obat menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak dipalingkan
kepalanya ke kanan.
"Hemmm... kutangkap satu gerakan tetapi sosok yang bergerak itu belum nampak.
Apakah si gemuk yang sudah datang ke sini?" desisnya dengan kening dikernyitkan.
Beberapa saat kemudian dia menyambung, "Aku tak perlu bersembunyi.
Biar kulihat siapa yang muncul."
Kakek berambut jarang ini segera
memutar tubuhnya menghadap ke kanan.
Sepasang matanya yang agak menyipit memandang tak berkedip pada jalan setapak
yang dilihatnya.
Dua kejapan mata berikut nampak satu sosok tubuh berpakaian kain batik telah
muncul di sana. Masih berada dalam jarak dua puluh langkah, perempuan setengah
baya itu melompat, berputar dan berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara sejarak
sepuluh langkah dari hadapan Dewa Segala Obat.
Dewa Segala Obat langsung mendengus begitu mengenali siapa yang datang.
"Siapa yang ditunggu, siapa yang datang!" gerutunya.
Perempuan setengah baya berkonde
mencuat itu juga mendengus.
"Aku memang tak merasa sedang ditunggu seseorang! Kalau aku tiba di sini, karena
memang sebuah kebetulan!"
"Kebetulan ya kebetulan! Lebih baik kau segera pergi saja dari sini"!"
"Keparat peot! Bicaramu masih sinis seperti dulu"!" bentak si pendatang.
Dewa Segala Obat mendengus.
"Ya, ya! Kalau kau tersinggung, aku minta maaf! Sekarang, mau apa kau berada di
sini, Nenek Konde Satu"!"
Nenek Konde Satu menggeram.
"Aku sedang lakukan satu perjalanan!
Kalau berada di sini karena kebetulan!"
"Kalau begitu, teruskan saja perjalananmu!"
"Sejak dulu Dewa Segala Obat selalu sinis padaku, semenjak diketahui kalau aku
mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang. Dia adalah sahabat Bandung Sulang! Dan
aku merasa menjadi orang yang paling malang karena selalu disinisi oleh para
sahabat Bandung Sulang! Okh! Apakah mereka tidak tahu kalau aku telah menyesali
tindakanku selama ini"! Bahkan aku tak sempat meminta maaf pada Bandung Sulang
karena orang itu sudah mati!"
"Hei! Kenapa kau terdiam" Sudah pergi sana! Atau... kau sedang melakukan
perjalanan untuk mencari Bandung Sulang"!
Kau ingin menyakiti hatinya lagi dengan pengkhianatan cintamu itu"!" makin sinis
suara Dewa Segala Obat.
Sepasang mata Nenek Konde Satu
membuka. Melotot gusar.
"Jaga mulutmu kalau bicara!"
"Bandung Sulang adalah sahabatku! Aku kecewa bila dia dikhianati cinta
kasihnya! Kau tahu, betapa tulus dia mencintaimu! Tetapi nyatanya kau justru
melakukan satu pengkhianatan yang membuatnya menyembunyikan diri di Bukit
Gulungan!"
"Aku datang
untuk meminta maaf
padanya!" "Mengapa baru sekarang kau
melakukannya, hah"! Setelah sekian lama berlalu"!"
"Karena aku tidak tahu dia berdiam di Bukit Gulungan!" sahut Nenek Konde Satu
keras, tetapi serak.
"Sejak dulu kau pandai memutar omongan! Kau bahkan terlalu pandai menyakiti
hatinya!" "Dewa Segala Obat! Apakah kau tak bisa menahan mulutmu dulu barang sejenak
sebelum kutampar"!"
"Kau hendak menamparku?" sinis suara Dewa Segala Obat. "Sebaiknya kau menjumpai
dulu Bandung Sulang, minta maaf padanya, baru kau menamparku!"
Nenek Konde Satu terdiam. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap. Lalu katanya
parau, "Aku telah menjumpainya!"
"Bagus, kalau kau sudah menjumpainya!
Seperti kataku tadi, ayo, tampar aku!!"
"Tapi... niatku tak pernah
kesampaian...."
Dewa Segala Obat mengangkat kepalanya. Kesinisannya menghilang. Dipandanginya
lekat-lekat perempuan berkonde di hadapannya. Dadanya bergemuruh.
Lalu didengarnya kata-kata Nenek
Konde Satu, "Ketika aku datang... dia telah tewas...."
Kepala Dewa Segala Obat menegak. Lalu katanya dalam hati, "Berarti... Hantu
Menara Berkabut telah menuntaskan seluruh
dendamnya."
* * * Nenek Konde Satu mengangkat
kepalanya. "Dewa Segala Obat... apakah kau masih memandang sinis kepadaku" Aku
telah lama melakukan perjalanan untuk menjumpainya, untuk meminta maaf padanya,
tetapi setelah aku menemukannya dia telah tewas! Apakah kau masih menganggapku
sebagai seorang pengkhianat?"
Dewa Segala Obat tak menjawab. Dia justru memalingkan kepalanya.
"Bila besok Dewa Tombak datang, berarti aku telah tahu jawabannya...."
katanya dalam hati.
"Selama ini aku memang telah mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang!
Aku telah dibutakan oleh cinta kotor manusia keparat yang ternyata justru
memperalatku! Baru kuketahui kalau manusia itu pernah dikalahkan oleh Bandung
Sulang! Dia sengaja mengencaniku dengan tujuan menyakiti hatinya! Dan aku
terlalu bodoh! Terlalu dibutakan oleh cinta palsu hingga aku tega mengkhianati
cinta Bandung Sulang!"
Dewa Segala Obat berkata tanpa
memalingkan kepala, "Kau telah melakukan kesalahan dalam hidupmu dengan
pengkhianatan cinta yang telah kau lakukan! Kau
telah membuat Bandung Sulang merana
berkepanjangan! Padahal kau tahu akan sifat Bandung Sulang! Dia termasuk salah
seorang yang tak banyak bicara! Sudah berulang kali kukatakan tak perlu
menyembunyikan diri! Kukatakan dia harus tabah menghadapi semua ini! Karena
masih banyak perempuan lain yang lebih baik dari kau, Nenek Konde Satu! Tapi
dasar dia yang memiliki sifat perasa, tak dihiraukannya saran saranku!"
"Kuakui kesalahan sekaligus kebodohan ku! Manusia keparat itu memperalatku! Dia
mendendam pada Bandung Sulang! Dan hendak membunuhnya dengan jalan menyiksa
perasaannya!"
"Hingga saat ini tak seorang pun, termasuk Bandung Sulang, yang mengetahui pada
siapa kau arahkan wajah! Apakah kau tidak mau mengatakannya saat ini?"
Nenek Konde Satu terdiam. Matanya yang tadi mengerjap-ngerjap menahan gejolak di
dada, perlahan-lahan membuka lebar. Mulutnya menggembung menyusul kata-katanya,
"Manusia keparat itu akan kubunuh! Aku sedang melakukan perjalanan untuk
membunuhnya! Dia adalah... Hantu Menara Berkabut!!"
Seketika kepala Dewa Segala Obat
berpaling. Mulutnya menganga lebar.
"Astaganaga! Kau melakukan
pengkhianatan pada musuh Bandung
Sulang"!"
"Aku tidak tahu kalau dia pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang!"
"Terkutuk!" maki Dewa Segala Obat keras. "Kau telah menyiksa perasaannya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara Hantu Menara Berkabut tertawa keras! Mentertawakan ketololanmu dan
kesedihan Bandung Sulang! Astaganaga!
Nenek Konde Satu! Apa yang
telah membutakan matamu hingga kau tidak tahu kalau Hantu Menara Berkabut adalah musuh
Bandung Sulang?"
Nenek Konde Satu menekan kesedihannya. Diangkat kepalanya sedikit dan berkata,
"Aku memang bodoh tidak tahu semua itu...."
"Bodoh atau tidak, kenyataannya kau telah melakukan kesalahan fatal! Dan kau
tahu siapa yang telah membunuh Bandung Sulang?"
Nenek Konde Satu terdiam. Lalu
katanya, "Sebelum aku menjumpai mayat Bandung Sulang, di sana ada seorang pemuda
berompi ungu. Aku menduga dialah yang telah membunuh Bandung Sulang hingga
kulakukan gebrakan padanya. Tetapi di luar dugaan, pemuda itu dapat mematahkan
seranganku dengan mudah. Lalu dia berkata, kalau dia menemukan Bandung Sulang
dalam keadaan sekarat. Pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat sebatas siku
itulah satu-satunya orang yang
terakhir melihat Bandung Sulang masih hidup."
"Pemuda bersisik coklat?" kening Dewa Segala Obat berkerut. "Siapakah pemuda
itu?" "Dia menyebut namanya, tetapi tidak mengatakan julukannya...."
"Siapakah namanya?"
"Boma Paksi!"
"Boma Paksi?" Kerutan di kening Dewa Segala Obat semakin banyak. Kakek itu
menggerak-gerakkan telunjuknya. "Boma Paksi... Boma Paksi... rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Tapi di mana ya" Di ma... astaga! Boma Paksi!"
Nenek Konde Satu ganti mengerutkan keningnya melihat kepala si kakek menegak.
Dia tak berkata apa-apa, hanya memandang penuh tanya.
"Boma Paksi!" seru si kakek lagi.
"Ya, ya! Tidak salah! Tidak salah lagi!
Pasti dia! Pasti! Dulu di kedua tangannya sebatas siku juga terdapat sisik-sisik
coklat! Dan ciri itu pun masih melekat sampai sekarang! Namanya juga sama! Ah,
tak salah lagi! Pasti dia!"
"Siapa orang yang kau maksudkan?"
tanya Nenek Konde Satu.
Dewa Segala Obat menengadah sedikit, tatapannya tajam.
"Kalau memang dia masih hidup, pemuda itu adalah putra Pendekar Lontar!"
"Putra Pendekar Lontar?"
"Ya! Dia... tapi... kau tadi mengatakan kalau seranganmu dipatahkannya dengan
mudah?" "Begitulah adanya!"
"Dia mengatakan siapa gurunya?" Nenek Konde Satu menggelengkan kepalanya.
"Tidak!"
Dewa Segala Obat mengangguk anggukkan kepalanya kembali.
"Pasti... pasti dia telah berguru pada seseorang," desisnya dalam hati.
Lalu dipandanginya lagi Nenek Konde Satu,
"Kau mengatakan kalau pemuda itu
menjelaskan keadaan Bandung Sulang! Kau juga meragukan kalau dia yang telah
membunuhnya! Lantas, siapakah yang kau duga sebagai pelaku pembunuhan itu?"
Nenek Konde Satu menahan napas
sejenak. Pancaran matanya menjadi berang.
Lalu katanya dengan suara ditekan, "Hantu Menara Berkabut!"
"Hantu Menara Berkabut"!"
Nenek Konde Satu mengangguk.
"Brengsek! Manusia itu memang telah menjalankan aksi balas dendamnya pada tiga
tokoh kenamaan rimba persilatan!
Pembantaian yang dilakukannya tak akan bisa dimaafkan!"
"Dan aku datang untuk menuntut balas!
Untuk melampiaskan perbuatannya padaku dulu!"
"Tak guna! Tak guna!"
"Dewa Segala Obat! Aku tahu kesaktian Hantu Menara Berkabut! Tetapi aku tak
peduli! Aku tak akan pernah tenang bila mendengar atau melihatnya masih hidup!
Aku telah bulatkan tekad untuk berjibaku menghadapinya!"
Kata-kata bernada tandas dari Nenek Konde Satu membuat Dewa Segala Obat
memandang si perempuan lekat-lekat. Yang dipandang agak risih kendati dia tak
lagi melihat tatapan sinis di bola mata tua itu.
"Bagus kalau kau punya pendirian seperti itu!"
"Terima kasih akhirnya kau mau mengerti...," sahut Nenek Konde Satu.
"Dan kuharap sahabat Bandung Sulang lainnya mau mengerti keadaanku! Dewa Segala
Obat! Aku telah bertekad untuk membunuh Hantu Menara Berkabut! Rasanya lebih
baik kita berpisah sekarang!"
Dewa Segala Obat memandang dalam-
dalam perempuan berkebaya itu. Lalu katanya seraya mengangguk, "Aku masih harus
menunggu Dewa Tombak di sini.
Berhati-hatilah..."
Mengembang senyuman di bibir keriput itu. Lalu dengan membawa ketenangannya,
Nenek Konde Satu segera meninggalkan tempat itu. Dia merasa sebagian bebannya
telah menghilang, karena akhirnya ada
juga orang yang mau menerima penjelasan-nya. Selama ini Nenek Konde Satu selalu
dicemaskan oleh keadaan itu, terutama sikap Bandung Sulang bila ditemuinya. Dan
penyesalannya kini semakin dalam karena dia tak sempat meminta maaf pada Bandung
Sulang. Sepeninggalnya, Dewa Segala Obat
menghembuskan napas panjang.
"Tak kusangka kalau cinta telah membutakan mata seseorang, telah membalikkan
hati seseorang yang semula bersih menjadi kotor. Yang tak kusangka sama sekali,
kalau Nenek Konde Satu melakukan pengkhianatan bersama Hantu Menara Berkabut!
Ah! Cinta memang sukar sekali ditebak! Sekali orang terjerat cinta, akan sulit
untuk melepaskan diri!"
Untuk beberapa saat kakek yang di pinggang kurusnya mencantel sebuah pundi itu
terdiam. Lalu diangkat kepalanya.
Diperhatikan sekelilingnya. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Kabut-kabut
tipis telah lenyap dari puncak Gunung Menjangan.
"Aku telah berjanji pada Dewa Tombak untuk bertemu dengannya di sini.
Berarti... aku harus menunggunya," katanya kemudian setelah menghela napas.
"Sebaiknya... aku cari makanan dulu sebagai pengganjal perut..."
Di lain saat kakek berambut jarang
ini sudah melangkah mencari apa saja yang bisa dimakan.
* * * 5 NENEK Konde Satu terus berlari
seiring matahari yang semakin menurun.
Dari gerakannya dia sama sekali tak bermaksud untuk menghentikan larinya sekali
pun, terus menuju ke arah timur.
Perjumpaannya dengan Dewa Segala Obat yang secara tidak langsung akhirnya
memaklumi apa yang selama ini pernah dilakukannya terhadap Bandung Sulang,
menambah semangatnya untuk membalas semuanya pada Hantu Merana Berkabut!
Kegagalannya untuk meminta maaf pada Bandung Sulang atas semua kesalahan yang
pernah dilakukannya, semakin menambah gejolak amarah di dadanya. Dia merasa
begitu bodoh karena tak sadar kalau sedang diperalat oleh Hantu Menara
Berkabut. Namun di balik semua itu, dia menyalahi dirinya sendiri karena begitu
mudah terpengaruh hingga ditinggalkannya Bandung Sulang yang tulus mencintainya.
Nenek Konde Satu bertekad untuk
menghapus semua kesalahan yang telah dilakukannya. Dan jalan satu-satunya adalah
melihat Hantu Menara Berkabut
mampus di tangannya!
Sebelum matahari hilang di balik
sebuah bukit, dihentikan langkahnya di sebuah jalan setapak. Sepasang matanya
memandang tak berkedip ke depan. "Hmmm...
ada gumpalan kabut tebal di ujung sana!
Kabut itu menjulang tinggi, menutupi bagian bawah hingga ke atas! Aneh! Nampak
seperti ada sesuatu yang ditutupi kabut itu!"
Untuk beberapa saat Nenek Konde Satu tak beranjak dari tempatnya. Matanya terus
memandang pada gumpalan kabut hitam tebal itu. Hatinya dipenuhi banyak tanya.
Setelah beberapa saat terdiam diputuskan untuk kembali berlari.
Tepat matahari sudah lenyap di balik bukit, Nenek Konde Satu kembali
menghentikan larinya. Dipandanginya keadaan di hadapannya. Dari jarak yang lebih
dekat dari semula, Nenek Konde Satu dapat melihat lebih jelas lagi gumpalan
kabut hitam tebal yang nampak menyelimuti sesuatu yang menjulang tinggi. Dari
gumpalan kabut tebal itu, dibawa
pandangannya agak ke bawah. Seluas mata memandang, yang nampak adalah ranggasan
semak dan lumpur-lumpur hitam. Dari sorot matanya yang tak berkedip, perlahan-
lahan terlihat keningnya berkerut.
"Astaga!" desisnya cukup keras hingga kepalanya menegak. Lalu diambilnya
sebatang dahan pohon yang kebetulan ada di sisi kanannya. Dilemparnya dahan
pohon itu ke ranggasan semak belukar.
Wlessss! Dilihatnya tiga ekor ular langsung keluar begitu dahan tadi mengenai salah satu
ranggasan semak yang banyak terdapat di sana, bergerak cepat dan menyelinap ke
semak lain. Tak puas sampai di sana, kembali
Nenek Konde Satu mengambil dahan pohon yang ada di sisinya lagi. Kali ini
dilemparkannya ke arah lumpur yang tak jauh darinya.
Pluss! Sejenak dahan itu mengambang, sebelum kemudian perlahan-lahan lenyap tertelan
lumpur. "Gila! Gila!" seru si nenek berkebaya ini kemudian. "Bukankah... bukankah...
apa yang kulihat ini adalah ciri dari Menara Berkabut"!"
Tiba pada pikirannya sendiri Nenek Konde Satu terdiam. Tanpa sadar dadanya
bergerak turun naik. Dia menjadi agak tegang sekarang.
"Menara Berkabut! Berarti... aku telah tiba di tempat manusia keparat itu!"
desisnya dengan kedua tangan mengepal. Mendadak dia berteriak keras,
"Manusia dajal! Keluar kau!! Aku datang untuk mencabut nyawamu!!"
Suaranya menggema di malam yang terus beranjak. Burung-burung malam bersuara
yang tak enak didengar. Membuat bulu roma berdiri dan seperti mengisyaratkan
kematian pada orang yang mendengarnya.
Nenek Konde Satu bersuara lagi yang kali ini dikirimkan melalui tenaga dalamnya.
Suaranya menggema, menyusul letupan dua kali terdengar. Tetapi tak satu sosok
tubuh pun yang muncul di sana.
Si nenek terdiam dengan mata
menyipit. "Jangan-jangan... aku salah menduga, kalau apa yang kulihat ini hanya
kebetulan sama seperti ciri Menara Berkabut?" desisnya agak meragu sekarang.
Mendadak dia meradang, "Terkutuk! Mengapa dulu aku begitu bodoh"! Terlalu bodoh
bahkan! Seharusnya aku menanyakan bagaimana caranya menuju ke Menara Berkabut
pada manusia keparat itu"! Kurang ajar!"
Untuk beberapa lama Nenek Konde Satu merapatkan mulut. Dada
tipisnya naik turun. Gelora amarahnya pada Hantu Menara Berkabut semakin membesar.
"Tetapi...." desisnya dengan pandangan tegang. "Sebelum aku mendapatkan jawaban
yang pasti, aku tak akan berhenti sebelum mengetahuinya! Hanya saja...
bagaimana caranya aku untuk tiba di tempat itu" Ranggasan semak belukar itu
dihuni oleh ular-ular yang tentunya
banyak jumlahnya. Kalau aku bisa
menanggulangi ular-ular itu, lumpur-lumpur hidup akan menelanku bulat-bulat...."
Nenek Konde Satu terdiam lagi.
Otaknya diperas memikirkan cara untuk tiba di balik kabut hitam itu. Malam terus
beranjak. Udara dingin mulai terasa menyengat. Burung-burung malam yang
beterbangan dan memperdengarkan suara tak enaknya terus melayang-layang.
"Rasanya... dalam keadaan gelap seperti ini, aku tak akan mungkin bisa menemukan
jalan teraman menuju ke balik kabut tebal itu. Sebaiknya... kutunggu saja sampai
besok pagi. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap aku dapat menentukan jalan
yang aman untuk tiba di sana...."
Kembali kepalanya dipalingkan ke
belakang. Kegelapan semata yang dilihatnya karena saat ini sinar rembulan tak
mampu menembus gumpalan awan-awan hitam yang menghalanginya.
"Brengsek!" maki si nenek sambil memutar kepala lagi ke depan.
Saat itulah dia melengak kaget,
bahkan tanpa sadar telah surut satu tindak ke belakang. Lalu dengan kegusaran
tinggi dibuka matanya lebar-lebar memandang ke depan.
Kejap berikutnya, terdengar bentakan-
nya keras, "Manusia keparat! Ternyata kau punya nyali juga akhirnya berani
Pendekar Pedang Kail Emas 1 Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Tiga Mutiara Mustika 4
MISTERI MENARA BERKABUT Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga
Dalam Episode 003 :
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1 UNTUK sesaat Raja Naga merasakan
kepalanya agak bergoyang ke belakang.
Kedua kakinya pun surut. Tapi di saat lain sepasang matanya
yang bersinar angker memandang tajam pada gadis jelita berpakaian putih yang menatapnya tak
mengerti. "Boma... ada apa?" tanya si gadis pelan dan tanpa sadar dia merasa ngeri dengan
tatapan tajam itu.
"Diah Harum... ulangi lagi apa yang kau katakan tadi," kata Raja Naga, suaranya
dingin. "Apa... apa yang harus ku ulangi?"
tanya si gadis yang pada bagian atas kedua dadanya yang membusung itu terdapat
dua kuntum bunga mawar.
"Siapa gurumu?"
"Dia... bernama Dadung Bongkok...."
"Keparat!!"
"Boma! Ada apa ini" Mengapa kau kelihatan gusar"!" seru Diah Harum alias Dewi
Bunga Mawar terkejut.
Raja Naga menatapnya dalam.
"Diah... apakah kau tidak tahu siapa gurumu itu?"
"Yang kutahu Guru adalah seorang kakek baik-baik, seorang tokoh yang berada di
jalan kebenaran."
"Kau tahu siapa perempuan yang telah
dibunuh oleh gurumu dua belas tahun yang lalu"!"
"Dia... dia seorang perempuan biadab, istri seorang pendekar keparat berjuluk
Pendekar Lontar...."
"Dan kau tahu siapa orang yang berada di hadapanmu ini"!"
"Boma! Ada apa ini" Mengapa kau menjadi begitu kasar"!" seru Diah Harum makin
tak mengerti. Bentakan bernada menuntut dan serak itu menyadarkan Raja Naga dari amarah yang
mengamuk di dadanya. Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini menarik napas
sambil menghentakkan kepalanya ke atas. Sepasang matanya yang bersinar angker
menatap angkasa luas. Berulang kali dia menarik napas.
Dewi Bunga Mawar yang tak mengerti akan sikap Boma Paksi memandang pemuda gagah
yang berambut dikuncir, yang masih memandang angkasa.
"Rasanya ada sesuatu yang salah yang membuatnya menjadi gusar seperti itu. Ada
apa ini" Yang manakah ucapanku yang salah?" desisnya dalam hati bertanya-tanya.
Didengarnya lagi kata-kata pemuda yang masih menengadah itu, "Diah Harum...
maafkan sikapku tadi...."
"Boma... aku tak mengerti mengapa kau menjadi gusar seperti itu! Katakan
padaku, apakah ada ucapanku yang salah"!"
"Gadis ini sama sekali tak mengerti apa yang telah terjadi. Tentunya Dadung
Bongkok telah memutar kenyataan dan membikin si gadis menjadi mendendam pada
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Aku bisa meraba sekarang apa yang diinginkannya
menuju ke Lembah Naga. Tentunya Dadung Bongkok memerintahkannya untuk mengetahui
keberadaan Guru dan diriku. Karena menurut cerita Guru, dia telah mengancam
Dadung Bongkok atas perbuatannya yang menyebabkan Ibuku tewas," kata Boma Paksi
dalam hati. "Boma! Katakan padaku, katakan! Ada apa" Jangan kau berdiam seperti itu"!"
suara Dewi Bunga Mawar mengiba. Gadis yang baru saja ditolong dari kenistaan
yang akan dilakukan oleh Renggana itu merasa tidak enak bila membuat si pemuda
menjadi gusar terhadapnya.
Raja Naga perlahan-lahan menurunkan kepalanya. Walaupun tatapannya tidak
seangker tadi, tetapi tetap berkesan angker. Sesaat dipandanginya wajah jelita
yang telah menggedor dadanya.
"Diah Harum... kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gurumu telah
menanamkan bibit permusuhan di dalam
hatimu terhadap keturunan mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar...."
"Aku tak mengerti apa yang kau
katakan, Boma."
Murid Dewa Naga menarik napas
panjang. Sejenak dibawa pandangannya ke kejauhan sebelum kembali menatap wajah
jelita yang masih menunggu jawabannya dengan tidak sabar.
"Pendekar Lontar dan Dewi Lontar adalah sepasang suami istri yang berada di
jalan kebenaran. Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi karena pada malam dua
belas tahun lalu, Pendekar Lontar ditemukan telah tewas tanpa ada yang
mengetahui siapakah pelakunya. Menyusul kematian istrinya di tangan gurumu. Saat
itu Dewi Lontar memang telah menyerahkan pusaka Pendekar Lontar yang berupa
gumpalan daun lontar kepada putranya, yang kemudian muncul untuk membantu
ibunya. Alangkah pedih hati si bocah tatkala mengetahui ibunya telah meninggal.
Lalu dengan keberanian penuh dicobanya untuk menuntut balas kematian ibunya pada
orang yang telah membunuhnya.
Tetapi jelas dia bukanlah tandingan si pembunuh. Sampai kemudian muncul Dewa
Naga yang menyelamatkan si bocah. Si pembunuh sebenarnya sudah berulang kali
mencoba merampas pusaka Pendekar Lontar tetapi selalu gagal. Dan malam itu dia
juga gagal mendapatkannya karena ngeri terhadap Dewa Naga...."
"Boma... kau menceritakannya begitu
jelas seolah kau menyaksikan semua itu...," suara Diah Harum terdengar sinis.
Boma Paksi menganggukkan kepalanya pasti.
"Ya! Karena aku memang menyaksi-kannya!"
"Oh!" Bola mata si gadis menghujam tepat pada bola matanya. Lalu katanya terbata
dibaluri ketegangan, "Boma...
siapakah kau sebenarnya?"
"Aku adalah putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Bocah yang hendak
dibunuh oleh gurumu yang bernama Dadung Bongkok dan telah diselamatkan oleh Dewa
Naga...." "Astaga!" surut kedua kaki Dewi Bunga Mawar dengan pandangan tegang. Lalu
serunya tertahan, "Jadi... jadi... kau juga murid... Dewa Naga"!"
"Ya! Aku adalah murid Dewa Naga!"
Saat itu pula Dewi Bunga Mawar merasa kepalanya pusing. Otaknya kontan dipenuhi
berbagai pikiran yang simpang siur.
Berkali-kali gadis ini menggelenggelengkan kepalanya dengan cara disentak.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...."
"Itulah kenyataannya. Gurumu menghendaki pusaka Pendekar Lontar untuk
kepentingan pribadinya. Tetapi berulang kali dia gagal mendapatkannya. Bahkan di
saat dia sudah berhasil, masih gagal pula karena kemunculan Dewa Naga. Diah...
aku tahu apa yang diinginkan oleh gurumu dengan menyuruhmu untuk mendatangi
Lembah Naga. Gurumu hendak memantau keadaan putra dari Pendekar Lontar karena
dia tentunya teringat pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Dan perlu kau
ketahui... aku pun akan menuntut balas atas perbuatan gurumu terhadap ibuku!"
Diah Harum masih terdiam dengan
kepala laksana dibebani oleh berjuta batu besar. Gadis Ini tak bisa mempercayai
apa yang dikatakan Boma Paksi barusan.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...," desisnya berulang ulang.
Boma Paksi tak menjawab. Pemuda dari Lembah Naga ini hanya memandang saja.
Tiba-tiba dilihatnya Diah Harum
mengangkat kepala. Pandangannya angkuh dan tajam. Mulutnya merapat sebelum
membuka. "Boma! Belum lama ini aku kagum terhadapmu! Tetapi sekarang kekaguman itu
lenyap! Kau tak lebih dari seorang tukang fitnah belaka?"
Raja Naga tak menyahuti ucapan Dewi Bunga Mawar. Dia hanya memandang saja.
Karena sikap Boma Paksi itulah yang membuat Dewi Bunga Mawar yang sedang
dipusingkan dengan apa yang didengarnya,
meradang kembali.
"Aku tahu kau memiliki ilmu yang sangat tinggi! Tetapi aku tak peduli!
Siapa pun yang memfitnah guruku, dia akan mendapatkan balasan yang sangat
menyakitkan!"
"Diah... seharusnya aku yang marah karena ternyata kau adalah murid musuh
besarku! Tetapi tindakan itu adalah sebuah kesalahan bila kutumpahkan kepada mu!
Kau hanyalah seorang murid yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah
dilakukan gurumu dua belas tahun yang lalu!"
"Jangan banyak omong! Kau telah memfitnah, Boma!"
"Yang kukatakan adalah sebuah kebenaran! Dadung Bongkok telah menjejali
pikiranmu dengan sebuah penjelasan palsu!
Dia telah memutarbalikkan kenyataan!"
"Selama ini aku sangat menghormati guruku, karena kebaikannya yang telah
merawatku selama enam belas tahun! Dia adalah pengganti kedua orangtuaku yang
tak pernah kukenal!"
"Kau tahu bagaimana kau bisa menjadi muridnya"!"
"Apa pedulimu dengan pertanyaanmu itu, hah"!"
"Karena kau akan dapat menyusuri kebenaran!"
"Peduli setan!" bentak Dewi Bunga
Mawar berang. "Kau telah memfitnah guruku! Setinggi apa pun ilmu yang kau miliki aku tak
peduli! Mulutmu harus kutampar karena kelancanganmu itu!!"
Habis ucapannya dengan teriakan yang keras Dewi Bunga Mawar menerjang ke depan.
Tangan kanan kirinya segera di dorong dengan keras yang segera
menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi.
Raja Naga memandang tak berkedip.
Keangkeran matanya menggigit kembali.
"Gadis ini telah ditanamkan kebencian oleh gurunya pada keturunan Pendekar
Lontar dan Dewa Naga! Hemm... apa yang dilakukannya semata karena dia tak suka
mendengar gurunya dikatakan sebagai seorang pecundang."
Masih tanpa bergeser dari tempatnya Raja Naga mengangkat kedua tangannya.
Buk! Buk! Benturan keras itu terjadi. Tetapi jangankan berpindah, Raja Naga bergeming saja
tidak. Di pihak lain justru gadis jelita itu yang terpental ke belakang.
Raja Naga memandang dingin. Kekuatan kedua tangannya yang sebatas siku dipenuhi
sisik coklat memang luar biasa.
Kalau dia mau, tadi dia bisa mematahkan kedua tangan Diah Harum!
"Diah... kau terlalu dibutakan oleh
perasaanmu sendiri! Padahal bila kau mau memikirkannya lebih dulu, kau akan
sadar siapa gurumu!"
"Guruku adalah orang baik-baik! Dan sekarang kau melontarkan fitnah yang
menyakitkan! Boma... di balik perlakuan baikmu
terhadapku, kau sebenarnya
mempunyai maksud busuk! Aku yakin pertemuan kita yang kedua ini bukannya tidak
disengaja, bahkan kau sengaja! Kau telah membuntutiku dengan harapan agar aku
membawamu pada guruku!"
"Diah Harum! Tanpa dirimu pun aku akan mencari pembunuh ibuku! Tetapi kau salah
besar kalau mengatakan aku
membuntutimu! Tidak sama sekali!"
"Apakah aku harus mempercayai lagi ucapan seorang pembohong"!" seru Dewi Bunga
Mawar dengan kemarahan bergolak.
Dada padatnya bergerak turun naik.
Kali ini Raja Naga tak menjawab.
"Bila diladeni, gadis Ini akan menjadi semakin berang. Ternyata dia seorang yang
keras kepala dan memiliki kepatuhan tinggi pada gurunya. Hemm...
Dadung Bongkok yang memang harus bertang-gung jawab, dia telah mengisi perasaan
si gadis dengan kebencian terhadap orang-orang yang dimusuhinya," katanya dalam
hati. "Kau tidak menjawab, berarti kau memang menerima kukatakan sebagai seorang
pembohong! Dan itu artinya kau memang pembohong!!"
"Aku tak menjawab karena tak ingin menambah silang urusan ini semakin panjang!
Urusanku adalah dengan gurumu!"
"Setiap urusan Guru menjadi urusanku!
Kita selesaikan saat ini juga!!"
Habis bentakannya. si gadis memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.
Ketika tangannya dikeluarkan, telah terdapat sebuah benda sepanjang sebuah
pensil. Benda itu berwarna hitam
berkilat. Raja Naga hanya memperhatikan. Dan mendadak ditegakkan kepalanya karena begitu
digerakkan oleh Dewi Bunga Mawar, benda hitam sebesar pensil itu telah menjadi
sepanjang dua lengan orang dewasa.
"Urusan ini tak perlu berlarut-larut lagi! Harus diselesaikan sekarang juga!"
Belum habis seruannya, Dewi Bunga Mawar sudah menggebrak ke arah Raja Naga.
Senjata anehnya yang kini telah berubah menjadi sepanjang dua lengan orang
dewasa, dikibaskan dengan cepat ke arah leher Raja Naga. Yang diserang hanya
mundur satu tindak ke belakang.
Wuusss!! Angin yang keluar dari kibasan
senjata aneh Dewi Bunga Mawar mendadak menyebar. Kalau sebelumnya Raja Naga
hanya mundur satu tindak ke belakang, kali ini dia justru melompat ke samping!
Angin yang mendadak menyebar itu
menghantam ranggasan semak yang seketika berhamburan ke udara!
"Kau berilmu tinggi! Tapi kau hanya bisa melompat seperti seekor katak!"
"Diah... aku tak ingin berurusan denganmu! Urusanku adalah dengan gurumu!
Tak ada sangkut pautnya denganmu!"
"Kau telah menyebarkan fitnah yang akan menyebar luas! Sebelum aib yang kau
timpakan pada guruku semakin mengembang jauh, sebaiknya kau kubungkam terlebih
dulu!" Dewi Bunga Mawar semakin ganas
mencecar Raja Naga. Gadis jelita yang tersinggung karena gurunya dianggap
sebagai seorang pembohong terus menyerang bagian-bagian berbahaya dari tubuh
Raja Naga. Sesungguhnya menghadapi Dewi Bunga Mawar, Raja Naga tak mengalami kesulitan sama
sekali. Tetapi dia hanya menghindar saja setiap kali Dewi Bunga Mawar
melancarkan serangannya. Dan hal ini semakin membuat gusar Dewi Bunga Mawar.
Serangannya kian ganas dan
serampangan. Karena serampangan itu justru membuat Raja Naga agak
kelimpungan. Bukkk! Perutnya terhantam tendangan keras yang dilepaskan Dewi Bunga Mawar.
Mendapati serangannya berhasil mengenai sasarannya, gadis jelita itu terus
merangsek masuk.
"Diah! Tak ada gunanya kau melakukan tindakan ini! Kau telah dibutakan oleh
kata-kata gurumu yang jahat itu!"
Diah Harum tak menjawab, terus
menyerang ganas. Di lain pihak Raja Naga yang sejak tadi hanya menghindar dan
tak membalas, berpikir, "Kalau terus menerus diserang seperti ini aku bisa kena
juga karena serangannya semakin kalap dan serampangan. Tetapi kalau kulayani
justru akan memancing amarahnya. Berarti...."
Memutus jalan pikirannya sendiri
murid Dewa Naga segera melompat mundur sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dewi Bunga Mawar yang terus mendesak memekik keras tatkala merasakan tubuhnya
seperti disampok dari kiri. Cepat gadis ini memutar tubuh dua kali di udara
sebelum hinggap di atas tanah.
"Diah Harum! Sampai kapan pun aku tak ingin menjadi lawanmu! Aku hanya ingin
kita berkawan! Dan kupikir... lebih baik kita sudahi saja urusan ini!"
"Boma Paksi! Jangan kabur kau!
Sebelum kau menjalankan niat untuk membunuh guruku, hadapi aku lebih dulu!"
Pemuda berambut dikuncir itu geleng-
gelengkan kepalanya. Kalau biasanya tatapannya sedemikian angker, kali ini
terlihat sinar murung di sana. Lalu katanya sambil menggelengkan kepala,
"Saat ini mungkin kau tak akan bisa menerima segala yang kukatakan tentang
gurumu! Tetapi percayalah, suatu hari kau akan melihat kebenarannya!"
Diah Harum tak menyahuti seruan si pemuda. Dia telah menarik tangan kirinya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebatas dada, lalu didorong kuat-kuat.
Saat itu pula menghampar awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin!
Raja Naga menjerengkan matanya dengan dada sedikit berdebar. Dia menyesali
mengapa keadaan berkembang buruk. Awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin
itu semakin mendekat ke arahnya. Raja Naga segera menjentikkan telunjuk dan ibu
jarinya. Triikk! Wrrrrr!! Wuussss!! Pyaaar...!! Awan-awan hitam itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk sesaat
menghalangi pandangan. Pecahannya menghantam ranggasan semak yang seketika
membeku! Dewi Bunga Mawar menunggu tak sabar sampai awan-awan hitam yang menghalangi
pandangannya itu lenyap. Baru saja awan-
awan hitam itu lenyap, gadis ini sudah melesat ke
depan seraya mengibaskan
senjatanya. "Aku tak akan menyesal bila
membunuhmu hah ini juga, Boma!
Heaaaaattt...!!"
Wussss!! Blaairrr! Tanah langsung merengkah dan
membubung tinggi begitu senjata si gadis menyusurnya! Tubuh si gadis sendiri
masuk dalam kepulan tanah itu. Saat lain dia sudah melompat keluar dan berdiri
tegak. Sepasang mata indahnya melotot gusar.
"Brengsek! Di mana kau, hah"!"
serunya keras. Karena Boma Paksi sudah tak berada di tempatnya.
Dewi Bunga Mawar masih berteriak-
teriak penuh kegusaran. Dadanya yang membusung bulat dan akan memancing
perhatian kaum adam, bergerak turun naik.
Saat lain dia sudah mendengus. Lalu menekan hulu senjatanya yang kembali menjadi
sebesar telunjuk.
Setelah masukkan kembali ke balik pakaiannya, gadis jelita berpakaian putih
bersih itu sudah berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * 2 DEWI Bunga Mawar terus berlari dengan dada masih dibuncah kemarahan.
Kebenciannya pada Boma Paksi semakin menjadi-jadi.
"Walaupun dia pernah menolongku, aku tak peduli! Siapa pun orangnya yang
menghina Guru, akan kuhajar sampai babak belur!"
makinya sambil terus berlari. Wajah jelitanya dipenuhi rona merah karena amarah.
Di sebuah persimpangan, murid Dadung Bongkok ini menghentikan langkahnya. Di
hapus keringatnya dengan telapak tangannya sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling. "Keparat! Ke mana perginya pemuda bersisik coklat itu"!" desisnya geram karena
dia sudah kehilangan jejak pemuda yang dikejarnya. Dewi Bunga Mawar
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah yang seketika muncrat sebatas dengkul.
Dada padatnya yang selalu menarik mata lelaki untuk terus memandang, bergerak
naik turun. Gadis berpakaian putih ini kepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Aku akan tetap mencari Lembah Naga!
Perintah Guru harus kujalankan!" desisnya kemudian dengan mulut agak dirapatkan.
Baru saja habis ucapannya, Dewi Bunga Mawar menoleh ke samping kiri karena dia
menangkap suara bernada kesakitan. Saat itu pula dilihatnya seorang lelaki tua
berjubah hitam melangkah sempoyongan sambil memegangi dadanya.
Sejenak Diah Harum memperhatikan si kakek yang di kepala plontosnya terdapat
tanda matahari itu, sebelum kemudian dia melengak dan buru-buru bergerak. Karena
sosok si kakek sudah sempoyongan dan akan ambruk.
"Bertahan, Kek!" desisnya sambil merebahkan tubuh si kakek berjubah hitam di
atas rumput. Kakek yang bukan lain Iblis Telapak Darah adanya ini mengeluh. Wajahnya pucat
pasi. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
Dewi Bunga Mawar cepat bertindak.
Dibukanya pakaian yang dikenakan si kakek. Dilihatnya tanda merah di sana.
"Terkutuk! Siapa yang membuatmu celaka begini, Orang Tua"!" serunya dengan
amarah yang mendadak naik.
Iblis Telapak Darah menahan sakit.
"Dia... dia... akhhh!"
"Jangan banyak bicara dulu! Kau tenanglah... kosongkan tenaga dalammu..,"
desis Dewi Bunga Mawar kemudian. Lalu segera ditempelkan telapak tangan kanannya
di atas dada Iblis Telapak Darah dan dialirkan tenaga dalamnya.
Dalam waktu yang singkat sekujur
tubuh si gadis sudah dibanjiri keringat.
Sesungguhnya Dewi Bunga Mawar memiliki kelembutan dan hati yang baik. Dia memang
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, terutama tentang gurunya sendiri.
"Gila!" desisnya dengan wajah agak pucat. "Telapak tanganku terasa panas!
Tentunya orang yang mencelakakan kakek ini memiliki ilmu yang tinggi!"
Lalu ditempelkan pula telapak tangan kirinya. Dengan kedua telapak tangan yang
menempel di dada si kakek, kembali dialirkan tenaga dalamnya. Ditahannya hawa
panas yang keluar dari tubuh si kakek kuat-kuat. Keringat makin banyak
membanjiri tubuhnya.
Mendadak dia melihat si kakek
mengembung. "Muntahkan, Kek!"
"Huaaakkk!!"
Darah hitam menyembur dari mulut
Iblis Telapak Darah, sebagian mengenai kedua tangan Dewi Bunga Mawar. Bersamaan
muntahan darah itu Iblis Telapak Darah jatuh pingsan.
Dewi Bunga Mawar mengangkat kembali kedua telapak tangannya. Dipandanginya wajah
si kakek yang pingsan.
"Aku tidak tahu siapa kakek ini.
Tahu-tahu dia muncul dengan membawa luka parah. Ah, bila saja aku tak segera
menolongnya, mungkin dia tak akan bisa
hidup lebih lama...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya yang sepi. Kemudian dia beranjak untuk mencuci
tangannya. Di sekitar sungai di mana dia mencuci tangan banyak tumbuh pohon
manggis hutan yang berbuah lebat. Dengan mudah saja Diah Harum mendapatkannya
dan kembali ke tempat Iblis Telapak Darah.
Iblis Telapak Darah masih pingsan.
"Ah, banyak waktuku yang terbuang sekarang padahal aku harus segera menemukan
Lembah Naga! Juga menemukan kembali di mana Boma Paksi berada! Aku tak mau
pemuda itu menyebarkan fitnahnya ke segenap penjuru! Tapi...."
Kembali dipandanginya wajah plontos yang pingsan ini.
"Bagaimana dengan Kakek ini" Tak mungkin aku meninggalkannya sendirian?"
desisnya pelan. Setelah beberapa saat terdiam, Dewi Bunga Mawar akhirnya
memutuskan untuk menunggu sampai si kakek siuman.
Hampir sepenanakan nasi dia berlutut di samping Iblis Telapak Darah yang pingsan
sebelum kemudian didengarnya suara batuk-batuk si kakek.
Cepat Diah Harum mengalirkan lagi tenaga dalamnya, kali ini melalui kedua ibu
jari kaki si kakek. Wajah pucat si kakek perlahan-lahan mulai menghilang,
demikian pula dengan keringatnya.
Iblis Telapak Darah membuka kedua matanya. Sesaat langsung dipejamkannya
kembali. "Anak gadis... terima kasih atas bantuanmu...," desisnya pelan.
Karena memburu waktu, Diah Harum
langsung mengajukan tanya, "Orang tua...
apa yang telah terjadi denganmu?"
Iblis Telapak Darah tak buka suara.
Dia berbaring sesaat. Di saat lain perlahan-lahan dia bangkit, duduk ber-
selonjor. Dadanya tidak lagi dirasakan nyeri. Napasnya sudah mulai teratur.
Lalu dipandanginya gadis di hadapannya ini.
"Siapa gadis ini sebenarnya" Dari caranya bertindak, aku yakin dia memiliki
sifat baik hati yang tinggi. Jarang sekali ada orang yang mau menolong sesama.
Peduli setan walau dia telah menolongku! Dan terlalu bodoh bila kulewatkan
kesempatan ini untuk menikmati kegairahan barang sejenak!"
Iblis Telapak Darah yang punya
pikiran kotor itu, masih memandang Diah Harum. Yang dipandang justru mengerutkan
keningnya. "Kenapa dia memandangiku seperti itu?" desisnya dalam hati.
"Kecantikannya sungguh luar biasa.
Kulitnya putih mulus. Tentu tubuhnya penuh gairah yang menjanjikan," kata
Iblis Telapak Darah dalam hati. "Aku harus mencari kesempatan untuk menikmati
apa yang dimilikinya...."
Kemudian katanya, "Anak gadis...
mungkin kau tak akan percaya dengan apa yang terjadi padaku...."
"Kau belum mengatakannya. Siapakah yang telah melakukan tindakan ini?"
Iblis Telapak Darah terdiam.
Kegeraman perlahan-lahan muncul pada wajahnya.
"Sahabatku telah mampus dibunuh pemuda keparat itu! Setan alas! Akan kucari dia!
Akan kubalas semua perlakuan ini!"
Kata-kata yang tak tahu juntrungannya itu membuat Diah Harum mengerutkan
keningnya. "Orang tua... aku tak mengerti apa yang kau katakan. Sebaiknya kau jelaskan agar
aku tidak banyak bertanya tanya...."
Kembali Iblis Telapak Darah memandang gadis jelita di hadapannya. Sifat kotor-
nya yang muncul itu semakin bergolak.
"Sungguh bodoh bila aku tidak bisa menikmati keindahan tubuhnya!" desisnya dalam
hati. Lalu katanya, "Sebenarnya aku mempunyai seorang sahabat yang berjuluk
Iblis Penghancur Raga. Kami adalah dua tokoh dari timur yang selalu membela
kebenaran! Dulu kami memang adalah pelaku keonaran tiada banding, tetapi kami
sudah insyaf." "Bagus bila kau sudah tak melakukan lagi apa yang kau lakukan dulu!"
"Beberapa hari lalu kami sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan kami
berjumpa dengan musuh bebuyutan kami yang banyak buat keonaran! Mereka berjuluk
Dua Serangkai Jubah Hijau!
Karena tahu kedua orang itu selalu menimbulkan petaka, kami mencoba untuk
menghentikan sepak terjang mereka! Tetapi begitu hampir berhasil, mendadak
seorang pemuda muncul! Dia membela Dua Serangkai Jubah Hijau! Bahkan...
sahabatku tewas di tangannya!!"
"Orang tua... siapa pemuda keparat itu?"
Iblis Telapak Darah yang memutar-
balikkan kenyataan itu memandang si gadis dalam-dalam. Kemudian katanya, "Dia
seorang pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat...." Dilihatnya kepala si
gadis menegak. Kendati merasa agak heran, Iblis Telapak Darah melanjutkan, "Dia
bernama... Boma Paksi atau berjuluk Raja Naga!"
Dilihatnya wajah si gadis berubah memerah. Ketegangan terbayang jelas, terutama
dari sorot matanya yang menyi-ratkan amarah tinggi. Menyusul....
"Keparat! Lagi-lagi pemuda itu! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!"
Sudah tentu Iblis Telapak Darah
terkejut mendengar ucapan Diah Harum.
"Dari kata-katanya aku yakin kalau gadis ini pernah berjumpa dengan Raja Naga
yang kesaktiannya seperti setan itu! Dan tentunya telah terjadi sesuatu yang
membuatnya murka."
Ditunggunya beberapa saat sampai
gadis jelita di hadapannya itu kelihatan tenang. Lalu katanya, "Anak gadis...
apa yang telah terjadi" Apakah kau mengenal pemuda itu?"
Kepala Diah Harum mengangguk kaku.
"Aku bukan hanya telah mengenalnya, tetapi juga akan membunuhnya!"
"Mengapa?"
"Pemuda itu telah memfitnah guruku!"
"Memfitnah" Siapakah gurumu itu?"
Diah Harum menatap tajam-tajam kakek yang di ubun-ubunnya terdapat gambar
matahari. Lambat-lambat dia berkata,
"Guruku bernama Dadung Bongkok!"
Kontan kepala Iblis Telapak Darah menegak.
"Astaga! Beruntung aku belum melakukan apa-apa terhadapnya! Dadung Bongkok!
Gila! Bila kujalankan maksudku untuk mempermalukannya, bisa hancur tubuh ku
dihajar oleh Dadung Bongkok!"
Kendati merasa aneh dengan sikap
kakek berjubah hitam itu, Diah Harum tak mempedulikannya. Gadis ini masih kesal
pada Boma Paksi. Bahkan sekarang dia tahu kalau Boma Paksi telah mencelakakan
kakek di hadapannya. (Bagi teman-teman yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi terhadap Iblis Telapak Darah dan Iblis Penghancur Raga, silakan baca :
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi telah memfitnah guruku!
Dia mengatakan kalau guruku adalah orang jahat! Dan pemuda yang ternyata putra
mendiang Dewi Lontar itu akan menuntut balas atas kematian ibunya yang tewas di
tangan guruku!"
"Aku pernah mendengar kematian Dewi Lontar, tetapi aku tidak tahu siapa yang
melakukannya. Dan sekarang aku tahu kalau Dadung Bongkok yang melakukan
pembunuhan itu," kata Iblis Telapak Darah dalam hati.
Kemudian katanya, "Anak gadis...
siapakah namamu?"
"Namaku Diah Harum. Guruku memberiku julukan Dewi Bunga Mawar...."
"Dewi Bunga Mawar... ketahuilah, aku dan gurumu adalah bersahabat. Dan tak
kusangka kalau pemuda berompi ungu itu adalah putra mendiang Dewi Lontar dan
Pendekar Lontar. Lantas apa yang
dilakukannya lagi?"
"Dia muncul kembali setelah dua belas tahun menghilang untuk membalas dendam
pada guruku! Padahal bila dia mau
mempergunakan otaknya, tentunya dia akan maklum apa yang dilakukan Guru terhadap
ibunya dua belas tahun yang lalu! Menurut Guru, Pendekar Lontar dan Dewi Lontar
adalah manusia-manusia keji yang telah banyak menimbulkan keonaran hingga Guru
merasa terpanggil untuk menghentikan sepak terjang kedua orang itu. Tetapi Boma
Paksi justru memutar
balikkan kenyataan!!"
"Hebat! Dadung Bongkok berhasil memperdayai muridnya sendiri dengan memutar
kenyataan yang ada! Bagusnya aku juga telah membohonginya! Dan nampaknya gadis
ini begitu menjunjung tinggi gurunya hingga tidak rela orang memfitnah gurunya!"
Habis membatin demikian, Iblis
Telapak Darah yang langsung surut niat busuknya tadi berkata, "Dewi Bunga
Mawar... apa yang dikatakan gurumu itu memang benar. Begitu pula dengan apa yang
kau pikirkan. Tak seharusnya pemuda itu melakukan fitnahan terhadap gurumu. Dan
juga tak seharusnya pemuda berompi ungu itu menolong Dua Serangkai Jubah Hijau,
orang-orang golongan sesat yang banyak membuat keonaran. Kau tentunya akan
bermaksud untuk menghajar pemuda itu, bukan?"
Dewi Bunga Mawar memalingkan
kepalanya. Memandang tajam pada Iblis
Telapak Darah. "Orang tua... aku bukan hanya akan menghajarnya! Tetapi aku juga akan
membunuhnya! Perlakuannya sudah kelewat batas mengingat kau terluka parah dan
sahabatmu juga telah tewas dibunuhnya!"
"Sebagai seorang sahabat gurumu dan seorang yang tak menyukai keonaran, sudah
tentu aku berada di pihakmu! Aku pun akan membalas kematian sahabatku itu!"
Dewi Bunga Mawar tersenyum.
"Aku senang karena berjumpa dengan sahabat-sahabat Guru...."
"Aku pun senang berjumpa dengan murid sahabatku itu," sahut Iblis Telapak Darah
sambil tersenyum. Lalu sambungnya dalam hati, "Tak kusangka perkembangannya jadi
seperti ini. Begitu mudah. Aku yakin, bila gadis ini tidak dalam keadaan amarah
dan tidak dipengaruhi oleh gurunya yang dihormatinya, tentunya akan sulit
mempengaruhinya. Aku yakin Dadung Bongkok pun
mengalami kesulitan untuk
mempengaruhinya...."
"Orang tua... apakah kau sudah lebih baik sekarang?"
Iblis Telapak Darah mengangguk.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Karena... aku juga hendak menuju ke
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lembah Naga!"
Iblis Telapak Darah yang sedang
berdiri mendadak terhuyung mendengar
kata-kata Dewi Bunga Mawar, dengan kedua mata terbeliak.
"Orang tua! Kau masih lemah!" seru Dewi Bunga Mawar sambil menyambar tubuh Iblis
Telapak Darah. Iblis Telapak Darah menggeleng-
gelengkan kepala dan diam-diam menelan ludahnya.
"Tidak, aku tidak apa-apa!"
"Kau yakin, Orang Tua?"
Iblis Telapak Darah buru-buru
mengangguk. "Ya! Kita berangkat sekarang! Tetapi menurutku, yang terpenting sekarang adalah
menemukan dulu pemuda bersisik coklat itu!. Karena aku khawatir dia sudah
menyebarkan fitnahnya!"
Kata-kata Iblis Telapak Darah di
setujui oleh Dewi Bunga Mawar.
"Ya! Kita lakukan itu sekarang!"
Lalu keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan, Iblis Telapak
Darah membatin, "Menemukan Lembah Naga" Astaga! Sudah tentu aku tak mau ke sana!
Aku hanya memanfaatkan kesempatan agar dia membantuku membunuh Boma Paksi!
Sebagai murid Dadung Bongkok, tentunya ilmunya tak perlu disangsikan lagi!"
* * * 3 MENJELANG senja Boma Paksi tiba di sebuah hutan kecil yang dipenuhi pepohonan
tinggi. Matahari masih mampu menerobosi pucuk-pucuk pepohonannya.
Pemuda dari Lembah Naga ini memperhatikan sekelilingnya yang sepi sebelum
kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali apa yang telah terjadi.
Menyesali kenyataan kalau Dewi Bunga Mawar ternyata adalah murid dari musuh
besarnya. "Dia begitu cantik, lembut dan bersahaja. Sungguh sangat disayangkan bila dia
menjadi seorang murid manusia sesat seperti Dadung Bongkok."
Sesaat murid Dewa Naga terdiam
sebelum menghela napas panjang.
"Ah, mengapa aku harus bertikai dengan gadis yang telah mengguncangkan
perasaanku?" keluhnya pelan. Lalu di arahkan pandangannya pada seekor kelinci
yang keluar dari sarang dan langsung berlari ke antara ranggasan belukar.
"Memaksanya untuk mengatakan di manakah Dadung Bongkok berada merupakan sebuah
tindakan yang tepat seharusnya, karena aku bisa mempersingkat waktu untuk
menemukan orang yang telah membunuh ibuku. Tetapi... ah, aku tak mengerti, aku
tak mengerti...."
Pemuda tampan bermata angker ini
kembali menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh keresahan. Untuk beberapa saat dia terdiam. Lalu ditariknya napas dalam-
dalam. "Aku tak boleh mendua hati. Dadung Bongkok adalah salah seorang musuh besarku.
Demikian pula halnya dengan Hantu Menara Berkabut. Kedua manusia itu harus
menerima ganjaran atas perbuatan mereka dua belas tahun yang lalu pada kedua
orangtuaku. Mereka harus mendapatkannya! Sayangnya... aku tak tahu di mana
mereka berada?"
Kalau sebelumnya murid Dewa Naga
dipusingkan dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Dewi Bunga Mawar, kali
ini dia segera memusatkan perhatiannya pada dua musuh besarnya. Sepasang matanya
yang dapat menciutkan nyali orang bila melihatnya kembali bersinar angker.
"Sebaiknya... kuteruskan langkah untuk menemukan di mana Menara Berkabut berada.
Nenek Konde Satu pernah berkata padaku, kalau aku harus terus melangkah ke arah
timur. Tetapi sampai sejauh ini aku belum menemukan tanda-tanda di mana Menara
Berkabut berada. Jangan-jangan...
aku telah melewatinya dan tidak tahu kalau di sanalah Menara Berkabut berada"
Mengingat, tempat itu selalu diliputi kabut tebal yang sukar ditembus oleh
pandangan" Ah... apa pun yang...."
"Brengsek! Brengsek betul! Bandung Sulang telah mampus! Aku yakin manusia
penghuni Menara Berkabut itu yang telah melakukannya! Keparat brengsek! Manusia
itu benar-benar sudah melaksanakan aksinya!"
Ucapan keras yang memutus kata-kata Raja Naga itu terdengar dari balik ranggasan
semak. Menyusul semak setinggi dada itu merebak dan menyeruak satu sosok tubuh
buntal memegang tombak warna biru.
Orang yang baru muncul ini masih
menggerutu panjang pendek.
"Keparat betul manusia satu itu! Dia bukan hanya telah membunuh Pendekar Lontar,
tetapi juga Bandung Sulang!
Sialan! Jangan-jangan Pendekar Harum pun telah mampus dibuatnya! Sayang, waktuku
masih dua hari lagi untuk menjumpai Dewa Segala Obat, jadi aku belum tahu apakah
Pendekar Harum memang sudah tewas atau belum! Keparat betul!"
Munculnya kakek gemuk berpakaian biru itu membuat kening Raja Naga berkerut.
Karena si kakek masih saja mendumal tak karuan seperti tak tahu adanya orang di
sana. Yang membuat Raja Naga merasa heran, karena dia sama sekali tak menangkap
adanya gerakan orang. Tahu-tahu telah terdengar suara keras dan munculnya kakek
gemuk itu! Bahkan tiba-tiba si kakek yang
seperti tak memiliki leher karena banyaknya lemak, mengangkat kepalanya.
Matanya memandang pada Raja Naga yang balas tak berkedip.
"Hei, anak muda! Kau tahu... manusia keparat itu telah membunuh sahabatku
Bandung Sulang! Bisa jadi dia juga telah membunuh Pendekar Harum! Terkutuk! Akan
kurajam tubuhnya dengan tombakku ini!"
Sementara itu kendati agak kaget
karena tiba-tiba diajak bicara oleh orang yang baru muncul, Raja Naga
mengerutkan keningnya. Matanya yang bersinar angker memandang tak berkedip pada
si kakek yang tingginya hanya sebahunya saja.
"Aneh! Baru kali ini aku berjumpa dengannya. Tetapi mengapa aku seperti sudah
sangat mengenalnya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, si kakek bertubuh
buntal sudah berseru lagi, "Kau tahu, melihat kuburannya yang masih baru, jelas
Bandung Sulang belum lama tewas! Brengsek tidak"! Manusia
keparat itu rupanya
memberi selang waktu selama dua belas tahun untuk membalas segala kekalahannya
dulu! Hei, Anak muda! Kau tahu apa yang akan kulakukan terhadap manusia sialan
itu"! Aku bukan hanya akan merajamnya dengan tombakku ini, tetapi juga
mencabik-cabik tubuhnya sampai menjadi ratusan kerat! Brengsek betul!"
Raja Naga tak menyahuti kata-kata orang. Dia masih mencoba mengingat-ingat
siapakah si kakek yang rasa-rasanya pernah dilihatnya. Dibiarkan saja si kakek
gemuk itu berbicara keras. Tetapi karena tak menemukan jawaban akan keheranannya
itu, berhati-hati Raja Naga buka suara,
"Kakek bertubuh buntal! Ada apa kau tiba-tiba muncul dan mengomel-ngomel
sendiri?" "Bagaimana aku tidak ngomel kalau sahabatku telah dibunuhnya"!" sahut si kakek
dengan kepala terangkat. "Ini namanya keterlaluan! Manusia itu benar-benar
sedang menjalankan aksi balas dendamnya!"
"Kau tadi mengatakan kalau sahabatmu itu bernama Bandung Sulang?" tanya Boma
Paksi hati-hati.
"Betul! Kau mengenalnya"!"
Raja Naga mengangguk dan menggeleng.
"Busyet! Apa-apaan kau mengangguk dan menggeleng seperti itu, hah"! Kalau kau
mengenalnya ya kenal, tetapi kalau kau tidak mengenalnya ya tidak!"
"Aku mengenalnya karena aku
menemukannya dalam keadaan sekarat dan menguburkannya! Aku tidak mengenalnya
karena baru kali itu aku berjumpa dengannya! Kalaupun aku tahu siapa namanya
karena aku berjumpa dengan
perempuan tua berjuluk Nenek Konde Satu!"
(Untuk mengetahui soal ini, silakan baca:
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Busyet! Rupanya nenek itu muncul juga" Brengsek! Pasti dia mau cari gara-gara
lagi" Dulu dia yang menolak cinta Bandung Sulang, sekarang malah dia yang
mengejar-ngejarnya!" kakek bertubuh gemuk itu memaki-maki tak karuan.
"Kakek gemuk ini sepertinya bukan hanya mengenal kakek bernama Bandung Sulang
tetapi dia juga mengenal Nenek Konde Satu. Ah, mengapa aku begitu merasa akrab
dengannya" Siapa sebenarnya kakek ini?" tanya batin Raja Naga dalam hati sambil
memandang si kakek yang mulutnya masih berbentuk kerucut.
Tiba-tiba si kakek gemuk memalingkan kepalanya lagi dan berseru, "Kau tahu siapa
yang telah membunuhnya"! Kau...
hei!!" seperti baru menyadari keadaan pemuda di hadapannya, kakek gemuk ber-
senjata tombak biru itu melotot. Mulutnya menganga sejenak sebelum bicara,
"Kulit kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat, Anak Muda!"
Raja Naga hanya mengangguk.
Lama si kakek gemuk memandanginya seperti itu sampai kemudian dia buka mulut,
"Di dunia ini... hanya seorang yang memiliki kulit penuh sisik, tetapi berwarna
hijau! Dia adalah kakek brengsek
tukang kentut yang berjuluk Dewa Naga!
Anak muda... kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat. Aku tidak tahu apakah
kamu ada hubungannya dengan Dewa Naga atau tidak! Biar aku tidak banyak tanya,
sebaiknya kau jelaskan!"
Karena merasa sudah pernah mengenal si kakek gemuk tetapi tidak ingat lagi di
mana, Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Dia adalah guruku...."
"Astaga! Gurumu"! Busyet! Sejak kapan dia mengangkat seorang murid. hah"! Sejak
kapan"!"
"Sejak dua belas tahun yang lalu!"
Kakek gemuk itu menggeleng gelengkan kepalanya sambil memandang Raja Naga.
"Kau memiliki tatapan yang mengerikan, Anak muda. Tatapanmu seperti hendak
menerkam orang yang kau lihat!
Tetapi aku yakin kau memiliki hati yang lembut dan kebaikan tiada tanding! Tadi
kau katakan kalau Dewa Naga adalah gurumu... sekarang, bagaimana kabarnya"!"
"Sepeninggalku dari Lembah Naga, dia baik-baik saja...."
"Bagus! Apakah dia masih suka kentut sembarangan"!"
Raja Naga hanya tersenyum. Lalu
katanya, "Kakek bertubuh gemuk! Baru kali ini kita pernah bertemu, tetapi
mengapa aku seperti telah mengenalmu?"
"Brengsek! Apakah kau saja yang
merasa seperti itu" Aku juga seperti mengenalmu!" balas si kakek gemuk ketus.
"Astaga! Jadi dia juga merasa pernah mengenalku?" desis Boma Paksi dalam hati.
Tiba-tiba kepala si kakek menegak.
Karena seperti tak memiliki leher, jadi tegaknya kepala si kakek kelihatan lucu.
"Anak muda... kau mengatakan kalau kau adalah murid Dewa Naga! Apakah sisik
coklat pada kedua tanganmu, berasal dari ilmu yang diturunkan oleh Dewa Naga?"
"Menurut Guru, aku sudah memilikinya semenjak lahir."
"Tadi katamu pula kalau kau berguru padanya sudah dua belas tahun?"
"Begitulah adanya!"
"Berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh belas tahun!"
"Astaganaga!" Kakek gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu katanya
dengan suara sedikit tegang,
"Apakah... apakah kau bernama... Boma Paksi?"
Bersamaan dengan si kakek mengajukan pertanyaan seperti itu, Raja Naga pun
berseru, "Kek! Kau tentunya Dewa Tombak, bukan" Ya, ya! Dewa Tombak!"
"E, busyet! Ditanya apa menjawab apa!
Tapi apa yang kau katakan tadi memang benar! Orang-orang rimba persilatan
menjulukiku Dewa Tombak!"
Raja Naga tersenyum. Tatapannya tetap
berkesan angker.
"Kau juga tidak salah, Kek. Namaku Boma Paksi. Pantas aku seperti pernah
mengenalmu. Kalau tak salah ingat, kau hadir di saat ayahku meninggal, bukan?"
"Brengsek betul!" maki Dewa Tombak tiba-tiba. "Dicari ke sana kemari selama dua
belas tahun, rupanya kakek tukang kentut itu yang membawamu kabur, ya"!"
Raja Naga cuma tersenyum. Ingatannya kembali pada peristiwa dua belas tahun yang
lalu, di mana ayahnya ditemukan tewas tanpa diketahui penyebabnya. Dan kakek
gemuk berpakaian biru ini pun datang ke sana (Untuk mengetahui lebih jelas
silakan baca serial Raja Naga dalam episode : "Tapak Dewa Naga").
Di pihak lain si kakek gemuk yang ternyata Dewa Tombak masih mendumal tak
karuan. Setelah berpisah dengan Dewa Segala Obat, Dewa Tombak segera menuju ke
Bukit Gulungan untuk menjumpai Bandung Sulang. Karena saat itu Dewa Tombak punya
satu pikiran, kalau Hantu Menara Berkabut yang menurut Dewa Segala Obat adalah
orang yang telah membunuh Pendekar Lontar, saat ini sedang menjalankan aksi
balas dendamnya. Sementara itu Dewa
Segala Obat sendiri segera berangkat untuk melihat keadaan Pendekar Harum
(Baca : "Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi...," panggil Dewa Tombak.
"Tentunya Dewa Naga telah menceritakan apa yang terjadi pada mendiang ayahmu,
bukan?" "Ya!"
"Jadi aku tak perlu menceritakannya lagi. Hantu Menara Berkabutlah yang telah
membunuhnya."
"Tetapi Guru tak pernah mengatakan bagaimana Hantu Menara Berkabut membunuh
ayahku! Beliau memintaku untuk mencari Dewa Segala Obat!"
"Kau tak perlu mencarinya karena saat ini kakek tukang obat itu sedang menemui
Pendekar Harum! Boma... kau telah tumbuh menjadi pemuda gagah! Sisik-sisik
coklat di kedua tanganmu dulu sangat halus hingga tak begitu kentara, tetapi
sekarang cukup nyata! Anak muda...
menurut Dewa Segala Obat, Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu dengan
mempergunakan seekor lebah yang telah dilumuri berbagai jenis bisa ular!"
"Lebah?"
"Ya! Lebah itulah yang telah membunuhnya! Tetapi sayangnya, kendati ibumu
mengetahui bagaimana ayahmu dibunuh, tetapi dia tidak tahu kalau Hantu Menara
Berkabut yang telah
melakukannya! Sekarang, ada persoalan yang masih membingungkanku! Siapakah orang
yang telah membunuh ibumu?"
Kepala Boma Paksi terangkat. Sorot
angker mata nya semakin memancar dingin.
Dewa Tombak yang melihatnya tanpa sadar agak bergidik.
"Astaga! Tatapan itu benar-benar mengerikan!" desisnya dalam hati.
Lamat-lamat dilihatnya si pemuda
mengarahkan pandangannya ke kejauhan.
"Dewa Tombak... orang yang membunuh ibuku bernama Dadung Bongkok!"
"Busyet! Dia lagi rupanya! Aku juga sudah menduga seperti itu sebenarnya, tetapi
aku masih meragu!"
"Dewa Tombak... aku telah berjumpa denganmu, berarti aku tak perlu lagi mencari
Dewa Segala Obat untuk mengetahui sebab-sebab kematian ayahku! Sekarang aku
hendak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara Berkabut berada"!"
Kepala Dewa Tombak menggeleng.
"Menara Berkabut adalah sebuah tempat yang sangat sukar dilihat oleh mata karena
terhalangi oleh gumpalan kabut tebal! Sekencang apa pun angin berhembus kabut-
kabut tebal itu tak akan bergeser sedikit juga!"
"Kalau begitu... kau tahu di mana aku bisa menemukan Dadung Bongkok?"
"Manusia satu itu selalu berpindah-pindah tempat! Dia tak pernah menetap di satu
tempat lebih dari satu tahun! Kabar yang kudengar terakhir dia berdiam di Puncak
Angin! Tetapi bisa jadi kalau dia
sudah tidak berada di sana sekarang!"
Paras Raja Naga terlihat agak kecewa.
Sepasang matanya mengerjap-ngerjap.
"Boma... kau telah tumbuh menjadi seorang yang gagah dan aku yakin kau telah
mewarisi ilmu Dewa Naga! Kau tak sendiri di dalam niatmu untuk menemukan Dadung
Bongkok!" Raja Naga tak menyahuti ucapan si kakek gemuk. Otaknya dipenuhi berbagai
pikiran. Lalu katanya seraya memandang Dewa Tombak, "Terima kasih atas kesediaan
mu membantuku! Tetapi biarlah aku yang tangani urusan ini!"
"Sok tahu! Kau belum tahu kehebatan Hantu Menara Berkabut dan Dadung
Bongkok"! Mungkin kau bisa menghadapi mereka bila satu lawan satu! Tapi
bagaimana bila keduanya bergabung dan siap menghabisimu"! Bicara seenaknya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja!" Raja Naga tak menghiraukan kata-kata si kakek gemuk.
Dia berkata, "Kedua orangtuaku dibunuh secara kejam oleh Hantu Menara Berkabut
dan Dadung Bongkok! Biarpun keduanya bergabung, aku tak peduli! Aku akan
menghadapinya dengan segenap kemampuanku!"
"Kau tentunya telah mewarisi seluruh ilmu si kakek tukang kentut itu! Bisa jadi
kau memang akan mampu menghadapi
keduanya! Tetapi perlu kau ingat, ilmu yang telah kita miliki belum tentu
menjadi jaminan untuk menghadapi
seseorang! Karena terkadang kelicikan lebih mengerikan akibatnya daripada ilmu
kesaktian!"
Raja Naga membenarkan apa yang
dikatakan Dewa Tombak.
"Aku akan berhati-hati...."
"Bagus! Aku hanya mengetahui sedikit tentang Menara Berkabut! Menurut kabar
tempat itu berada di sebelah timur!
Teruslah kau melangkah ke sana untuk menemukan tempat penuh misteri itu! Dan
ingat, berhati-hatilah!"
Raja Naga merangkapkan kedua
tangannya. "Bukannya aku tak punya banyak waktu atau tak mau bercakap-cakap lebih lama,
tetapi aku ingin menyelesaikan urusanku secepat mungkin!"
"Ya, sudah! Sana pergi!"
Raja Naga mengangguk. Saat lain dia sudah berlari meninggalkan tempat itu.
Diiringi pandangan mata Dewa Tombak, murid Dewa Naga terus berlari ke arah
timur. "Kegagahannya tentunya diwarisi dari ayahnya! Dan di balik kegagahannya itu juga
terdapat kelembutan yang tentunya diwarisi dari ibunya! Tak kusangka, bocah yang
selama dua belas tahun membuatku
bertanya-tanya tentang nasibnya, rupanya sudah diambil murid oleh Dewa Naga!
Hemm... kakek tukang kentut itu berhasil juga menjalankan apa kemauannya! Karena
aku ingat kalau dia pernah meminta bocah yang pada punggungnya terdapat gambar
seekor naga hijau untuk dijadikan muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya karena
dia tentunya masih sedih atas kematian suaminya. Ah, waktu memang cepat
berjalan. Bocah itu sudah tumbuh menjadi pemuda gagah dengan sisik-sisik coklat
pada kedua tangannya sebatas siku yang semakin kentara" Heii! Apakah gambar
seekor naga hijau pada punggungnya yang dibawanya dari lahir itu masih ada?"
Dewa Tombak memutus kata-katanya
dengan pertanyaannya sendiri. Untuk beberapa saat kakek gemuk ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Sisik coklat pada kedua tangannya masih ada, tentunya gambar seekor naga pada
punggungnya juga masih ada. Ah, apa makna gambar seekor naga itu sebenarnya?"
Lagi si kakek gemuk terdiam sebelum memandang lagi ke tempat berlalunya Raja
Naga. "Mungkin hanya dia yang akan tahu kelak! Sebaiknya... aku menemui Dewa Segala
Obat di Gunung Menjangan! Mudah-mudahan Pendekar Harum tak mengalami nasib sial
seperti yang dialami oleh Pen-
dekar Lontar dan Bandung Sulang!"
Saat lain kakek gemuk berpakaian biru yang nampak sesak karena lemak pada
tubuhnya sangat banyak, sudah meninggalkan tempat itu,
menempuh arah yang
berlainan dengan yang ditempuh Raja Naga.
Kendati tubuhnya sangat gemuk, tetapi gerakannya sangat lincah sekali.
Sepuluh tarikan napas berikutnya, satu sosok tubuh melompat turun dari atas
sebuah pohon yang tak jauh dari tempat Raja Naga dan Dewa Tombak berdiri tadi.
Sosok tubuh kontet berkulit hitam legam itu hinggap di atas tanah tanpa
menimbulkan suara.
Untuk beberapa saat perempuan tua bertubuh kontet ini terdiam, matanya nyalang
menatap ke arah perginya Dewa Tombak.
"Apa yang menjadi kecemasanku selama ini memang terbukti! Putra mendiang
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar masih hidup! Bahkan dia telah menjadi murid Dewa
Naga! Terkutuk!" maki si perempuan tua berpakaian hitam dan berkulit hitam
legam. Kembali perempuan tua kontet yang bukan lain Ratu Sejuta Setan ini
menggeram, "Aku lebih dulu berada di sini sebelum pemuda bersisik coklat itu
datang! Dan aku lebih cepat melompat ke balik pohon itu! Sebenarnya aku hendak
menanyakan sesuatu pada pemuda itu, tetapi keburu muncul Dewa Tombak!
Keparat! Kakek gemuk itu pernah
mengalahkanku dua belas tahun yang lalu!
Dan beruntung aku bersembunyi hingga mengetahui apa yang terjadi! Terutama
siapakah pemuda bersisik coklat itu! Dia adalah Boma Paksi! Murid Dewa Naga! Ini
berita besar untuk Dadung Bongkok dan Hantu Menara Berkabut! Hemm... biar
kuikuti ke mana perginya pemuda bersisik itu!"
Kejap berikutnya, Ratu Sejuta Setan sudah berkelebat ke arah perginya Raja Naga.
* * * 4 PAGI kembali menghampar dengan
keindahan alam tiada banding. Bila pagi hari datang diiringi dengan sinar indah
matahari, akan jarang orang yang akan melewatkan kesempatan untuk menikmati
keindahan itu. Sama seperti halnya dengan kakek berambut jarang yang mengenakan
pakaian compang-camping. Si kakek yang pada pinggang kurusnya tercantel sebuah
pundi, sedang asyik memandang keindahan pagi.
Tak jauh darinya, Gunung Menjangan
menjulang tinggi. Bila dilihat dari kejauhan puncak gunung itu berbentuk seperti
kepala menjangan.
Kakek berambut jarang ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terkadang aku suka tak habis mengerti, mengapa manusia selalu dipenuhi ambisi
dan dendam berkepanjangan" Padahal alam yang begitu indah dapat dijadikan
sebagai tempat menghirup kehidupan baru ketimbang dipenuhi ambisi kotor dan
dendam...."
Kakek berpakaian compang-camping ini kembali
memandangi Gunung Menjangan.
Hijau seperti meronai tempat itu. Kabut-kabut
tipis yang perlahan-lahan akan
menghilang seiring dengan pagi beranjak siang, masih nampak menyelimuti puncak
Gunung Menjangan.
"Huh!! Aku terlalu cepat satu hari berada di sini. Jadi terpaksa nanti aku akan
bermalam di sini. Apa yang dialami Dewa
Tombak sekarang" Apakah dia
menemukan pemandangan mengerikan terhadap Bandung Sulang" Seperti pemandangan
mengerikan yang kulihat pada Pendekar Harum?"
Kakek yang bukan lain Dewa Segala Obat ini terdiam. Terbayang bagaimana ketika
dia tiba di tempat kediaman Pendekar Harum. Sejak muncul di sana Dewa Segala
Obat sudah merasa heran, karena
melihat pepohonan tumbang dan tanah yang merengkah. Rasa
herannya itu berubah
menjadi ketegangan tatkala dia tiba pada satu pikiran.
Penuh kehati-hatian Dewa Segala Obat melangkah untuk mencari Pendekar Harum.
Dan seperti yang telah diduganya, dia menemukan Pendekar Harum dalam keadaan
tewas dengan seluruh tubuh penuh luka.
Perasaan gundah merasuki hati Dewa Segala Obat sesaat begitu melihat keadaan
Pendekar Harum.
Lalu dengan keahliannya dia memeriksa tubuh Pendekar Harum. Pertama keningnya
berkerut. Lalu diedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang diduga keras sebagai
penyebab kematian Pendekar Harum.
Tatkala melihat tiga ekor lebah yang telah mati berada di sana, kakek berambut
jarang ini menarik napas dalam-dalam.
"Hantu Menara Berkabut...," desisnya.
Kemudian dikuburkannya mayat Pendekar Harum dan dia segera melakukan perjalanan
ke Gunung Menjangan sesuai janjinya dengan Dewa Tombak. Dan sekarang Dewa Segala
Obat telah berada di Gunung Menjangan, lebih awal dari waktu yang ditentukan.
"Pendekar Lontar dan Pendekar Harum telah tewas di tangan Hantu Menara Berkabut.
Kemungkinannya, Bandung Sulang pun akan mengalami nasib yang sama.
Tetapi mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan pula Dewa Tombak muncul dengan membawa
berita baik."
Dewa Segala Obat menggeleng gelengkan kepalanya, agak resah.
"Sampai hari ini aku masih
dibingungkan dengan hilangnya putra Pendekar Lontar. Dewi Lontar telah tewas
tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan kalau putranya dibunuh oleh orang yang
belum diketahui itu, kemungkinan mayatnya berada di sisi atau tak jauh dari Dewi
Lontar. Kendati begitu, tak mengurungkan pikiranku kalau si pembunuh membunuhnya
di sebuah tempat yang sukar dicapai.
Ah... urusan ini makin berkembang panjang! Aku merasa pasti, bukan Hantu Menara
Berkabut yang telah lakukan pembunuhan terhadap Dewi Lontar! Karena tak
kutemukan lebah-lebah beracun di sekeliling sana!"
Kembali Dewa Segala Obat menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak dipalingkan
kepalanya ke kanan.
"Hemmm... kutangkap satu gerakan tetapi sosok yang bergerak itu belum nampak.
Apakah si gemuk yang sudah datang ke sini?" desisnya dengan kening dikernyitkan.
Beberapa saat kemudian dia menyambung, "Aku tak perlu bersembunyi.
Biar kulihat siapa yang muncul."
Kakek berambut jarang ini segera
memutar tubuhnya menghadap ke kanan.
Sepasang matanya yang agak menyipit memandang tak berkedip pada jalan setapak
yang dilihatnya.
Dua kejapan mata berikut nampak satu sosok tubuh berpakaian kain batik telah
muncul di sana. Masih berada dalam jarak dua puluh langkah, perempuan setengah
baya itu melompat, berputar dan berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara sejarak
sepuluh langkah dari hadapan Dewa Segala Obat.
Dewa Segala Obat langsung mendengus begitu mengenali siapa yang datang.
"Siapa yang ditunggu, siapa yang datang!" gerutunya.
Perempuan setengah baya berkonde
mencuat itu juga mendengus.
"Aku memang tak merasa sedang ditunggu seseorang! Kalau aku tiba di sini, karena
memang sebuah kebetulan!"
"Kebetulan ya kebetulan! Lebih baik kau segera pergi saja dari sini"!"
"Keparat peot! Bicaramu masih sinis seperti dulu"!" bentak si pendatang.
Dewa Segala Obat mendengus.
"Ya, ya! Kalau kau tersinggung, aku minta maaf! Sekarang, mau apa kau berada di
sini, Nenek Konde Satu"!"
Nenek Konde Satu menggeram.
"Aku sedang lakukan satu perjalanan!
Kalau berada di sini karena kebetulan!"
"Kalau begitu, teruskan saja perjalananmu!"
"Sejak dulu Dewa Segala Obat selalu sinis padaku, semenjak diketahui kalau aku
mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang. Dia adalah sahabat Bandung Sulang! Dan
aku merasa menjadi orang yang paling malang karena selalu disinisi oleh para
sahabat Bandung Sulang! Okh! Apakah mereka tidak tahu kalau aku telah menyesali
tindakanku selama ini"! Bahkan aku tak sempat meminta maaf pada Bandung Sulang
karena orang itu sudah mati!"
"Hei! Kenapa kau terdiam" Sudah pergi sana! Atau... kau sedang melakukan
perjalanan untuk mencari Bandung Sulang"!
Kau ingin menyakiti hatinya lagi dengan pengkhianatan cintamu itu"!" makin sinis
suara Dewa Segala Obat.
Sepasang mata Nenek Konde Satu
membuka. Melotot gusar.
"Jaga mulutmu kalau bicara!"
"Bandung Sulang adalah sahabatku! Aku kecewa bila dia dikhianati cinta
kasihnya! Kau tahu, betapa tulus dia mencintaimu! Tetapi nyatanya kau justru
melakukan satu pengkhianatan yang membuatnya menyembunyikan diri di Bukit
Gulungan!"
"Aku datang
untuk meminta maaf
padanya!" "Mengapa baru sekarang kau
melakukannya, hah"! Setelah sekian lama berlalu"!"
"Karena aku tidak tahu dia berdiam di Bukit Gulungan!" sahut Nenek Konde Satu
keras, tetapi serak.
"Sejak dulu kau pandai memutar omongan! Kau bahkan terlalu pandai menyakiti
hatinya!" "Dewa Segala Obat! Apakah kau tak bisa menahan mulutmu dulu barang sejenak
sebelum kutampar"!"
"Kau hendak menamparku?" sinis suara Dewa Segala Obat. "Sebaiknya kau menjumpai
dulu Bandung Sulang, minta maaf padanya, baru kau menamparku!"
Nenek Konde Satu terdiam. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap. Lalu katanya
parau, "Aku telah menjumpainya!"
"Bagus, kalau kau sudah menjumpainya!
Seperti kataku tadi, ayo, tampar aku!!"
"Tapi... niatku tak pernah
kesampaian...."
Dewa Segala Obat mengangkat kepalanya. Kesinisannya menghilang. Dipandanginya
lekat-lekat perempuan berkonde di hadapannya. Dadanya bergemuruh.
Lalu didengarnya kata-kata Nenek
Konde Satu, "Ketika aku datang... dia telah tewas...."
Kepala Dewa Segala Obat menegak. Lalu katanya dalam hati, "Berarti... Hantu
Menara Berkabut telah menuntaskan seluruh
dendamnya."
* * * Nenek Konde Satu mengangkat
kepalanya. "Dewa Segala Obat... apakah kau masih memandang sinis kepadaku" Aku
telah lama melakukan perjalanan untuk menjumpainya, untuk meminta maaf padanya,
tetapi setelah aku menemukannya dia telah tewas! Apakah kau masih menganggapku
sebagai seorang pengkhianat?"
Dewa Segala Obat tak menjawab. Dia justru memalingkan kepalanya.
"Bila besok Dewa Tombak datang, berarti aku telah tahu jawabannya...."
katanya dalam hati.
"Selama ini aku memang telah mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang!
Aku telah dibutakan oleh cinta kotor manusia keparat yang ternyata justru
memperalatku! Baru kuketahui kalau manusia itu pernah dikalahkan oleh Bandung
Sulang! Dia sengaja mengencaniku dengan tujuan menyakiti hatinya! Dan aku
terlalu bodoh! Terlalu dibutakan oleh cinta palsu hingga aku tega mengkhianati
cinta Bandung Sulang!"
Dewa Segala Obat berkata tanpa
memalingkan kepala, "Kau telah melakukan kesalahan dalam hidupmu dengan
pengkhianatan cinta yang telah kau lakukan! Kau
telah membuat Bandung Sulang merana
berkepanjangan! Padahal kau tahu akan sifat Bandung Sulang! Dia termasuk salah
seorang yang tak banyak bicara! Sudah berulang kali kukatakan tak perlu
menyembunyikan diri! Kukatakan dia harus tabah menghadapi semua ini! Karena
masih banyak perempuan lain yang lebih baik dari kau, Nenek Konde Satu! Tapi
dasar dia yang memiliki sifat perasa, tak dihiraukannya saran saranku!"
"Kuakui kesalahan sekaligus kebodohan ku! Manusia keparat itu memperalatku! Dia
mendendam pada Bandung Sulang! Dan hendak membunuhnya dengan jalan menyiksa
perasaannya!"
"Hingga saat ini tak seorang pun, termasuk Bandung Sulang, yang mengetahui pada
siapa kau arahkan wajah! Apakah kau tidak mau mengatakannya saat ini?"
Nenek Konde Satu terdiam. Matanya yang tadi mengerjap-ngerjap menahan gejolak di
dada, perlahan-lahan membuka lebar. Mulutnya menggembung menyusul kata-katanya,
"Manusia keparat itu akan kubunuh! Aku sedang melakukan perjalanan untuk
membunuhnya! Dia adalah... Hantu Menara Berkabut!!"
Seketika kepala Dewa Segala Obat
berpaling. Mulutnya menganga lebar.
"Astaganaga! Kau melakukan
pengkhianatan pada musuh Bandung
Sulang"!"
"Aku tidak tahu kalau dia pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang!"
"Terkutuk!" maki Dewa Segala Obat keras. "Kau telah menyiksa perasaannya
Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara Hantu Menara Berkabut tertawa keras! Mentertawakan ketololanmu dan
kesedihan Bandung Sulang! Astaganaga!
Nenek Konde Satu! Apa yang
telah membutakan matamu hingga kau tidak tahu kalau Hantu Menara Berkabut adalah musuh
Bandung Sulang?"
Nenek Konde Satu menekan kesedihannya. Diangkat kepalanya sedikit dan berkata,
"Aku memang bodoh tidak tahu semua itu...."
"Bodoh atau tidak, kenyataannya kau telah melakukan kesalahan fatal! Dan kau
tahu siapa yang telah membunuh Bandung Sulang?"
Nenek Konde Satu terdiam. Lalu
katanya, "Sebelum aku menjumpai mayat Bandung Sulang, di sana ada seorang pemuda
berompi ungu. Aku menduga dialah yang telah membunuh Bandung Sulang hingga
kulakukan gebrakan padanya. Tetapi di luar dugaan, pemuda itu dapat mematahkan
seranganku dengan mudah. Lalu dia berkata, kalau dia menemukan Bandung Sulang
dalam keadaan sekarat. Pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat sebatas siku
itulah satu-satunya orang yang
terakhir melihat Bandung Sulang masih hidup."
"Pemuda bersisik coklat?" kening Dewa Segala Obat berkerut. "Siapakah pemuda
itu?" "Dia menyebut namanya, tetapi tidak mengatakan julukannya...."
"Siapakah namanya?"
"Boma Paksi!"
"Boma Paksi?" Kerutan di kening Dewa Segala Obat semakin banyak. Kakek itu
menggerak-gerakkan telunjuknya. "Boma Paksi... Boma Paksi... rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Tapi di mana ya" Di ma... astaga! Boma Paksi!"
Nenek Konde Satu ganti mengerutkan keningnya melihat kepala si kakek menegak.
Dia tak berkata apa-apa, hanya memandang penuh tanya.
"Boma Paksi!" seru si kakek lagi.
"Ya, ya! Tidak salah! Tidak salah lagi!
Pasti dia! Pasti! Dulu di kedua tangannya sebatas siku juga terdapat sisik-sisik
coklat! Dan ciri itu pun masih melekat sampai sekarang! Namanya juga sama! Ah,
tak salah lagi! Pasti dia!"
"Siapa orang yang kau maksudkan?"
tanya Nenek Konde Satu.
Dewa Segala Obat menengadah sedikit, tatapannya tajam.
"Kalau memang dia masih hidup, pemuda itu adalah putra Pendekar Lontar!"
"Putra Pendekar Lontar?"
"Ya! Dia... tapi... kau tadi mengatakan kalau seranganmu dipatahkannya dengan
mudah?" "Begitulah adanya!"
"Dia mengatakan siapa gurunya?" Nenek Konde Satu menggelengkan kepalanya.
"Tidak!"
Dewa Segala Obat mengangguk anggukkan kepalanya kembali.
"Pasti... pasti dia telah berguru pada seseorang," desisnya dalam hati.
Lalu dipandanginya lagi Nenek Konde Satu,
"Kau mengatakan kalau pemuda itu
menjelaskan keadaan Bandung Sulang! Kau juga meragukan kalau dia yang telah
membunuhnya! Lantas, siapakah yang kau duga sebagai pelaku pembunuhan itu?"
Nenek Konde Satu menahan napas
sejenak. Pancaran matanya menjadi berang.
Lalu katanya dengan suara ditekan, "Hantu Menara Berkabut!"
"Hantu Menara Berkabut"!"
Nenek Konde Satu mengangguk.
"Brengsek! Manusia itu memang telah menjalankan aksi balas dendamnya pada tiga
tokoh kenamaan rimba persilatan!
Pembantaian yang dilakukannya tak akan bisa dimaafkan!"
"Dan aku datang untuk menuntut balas!
Untuk melampiaskan perbuatannya padaku dulu!"
"Tak guna! Tak guna!"
"Dewa Segala Obat! Aku tahu kesaktian Hantu Menara Berkabut! Tetapi aku tak
peduli! Aku tak akan pernah tenang bila mendengar atau melihatnya masih hidup!
Aku telah bulatkan tekad untuk berjibaku menghadapinya!"
Kata-kata bernada tandas dari Nenek Konde Satu membuat Dewa Segala Obat
memandang si perempuan lekat-lekat. Yang dipandang agak risih kendati dia tak
lagi melihat tatapan sinis di bola mata tua itu.
"Bagus kalau kau punya pendirian seperti itu!"
"Terima kasih akhirnya kau mau mengerti...," sahut Nenek Konde Satu.
"Dan kuharap sahabat Bandung Sulang lainnya mau mengerti keadaanku! Dewa Segala
Obat! Aku telah bertekad untuk membunuh Hantu Menara Berkabut! Rasanya lebih
baik kita berpisah sekarang!"
Dewa Segala Obat memandang dalam-
dalam perempuan berkebaya itu. Lalu katanya seraya mengangguk, "Aku masih harus
menunggu Dewa Tombak di sini.
Berhati-hatilah..."
Mengembang senyuman di bibir keriput itu. Lalu dengan membawa ketenangannya,
Nenek Konde Satu segera meninggalkan tempat itu. Dia merasa sebagian bebannya
telah menghilang, karena akhirnya ada
juga orang yang mau menerima penjelasan-nya. Selama ini Nenek Konde Satu selalu
dicemaskan oleh keadaan itu, terutama sikap Bandung Sulang bila ditemuinya. Dan
penyesalannya kini semakin dalam karena dia tak sempat meminta maaf pada Bandung
Sulang. Sepeninggalnya, Dewa Segala Obat
menghembuskan napas panjang.
"Tak kusangka kalau cinta telah membutakan mata seseorang, telah membalikkan
hati seseorang yang semula bersih menjadi kotor. Yang tak kusangka sama sekali,
kalau Nenek Konde Satu melakukan pengkhianatan bersama Hantu Menara Berkabut!
Ah! Cinta memang sukar sekali ditebak! Sekali orang terjerat cinta, akan sulit
untuk melepaskan diri!"
Untuk beberapa saat kakek yang di pinggang kurusnya mencantel sebuah pundi itu
terdiam. Lalu diangkat kepalanya.
Diperhatikan sekelilingnya. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Kabut-kabut
tipis telah lenyap dari puncak Gunung Menjangan.
"Aku telah berjanji pada Dewa Tombak untuk bertemu dengannya di sini.
Berarti... aku harus menunggunya," katanya kemudian setelah menghela napas.
"Sebaiknya... aku cari makanan dulu sebagai pengganjal perut..."
Di lain saat kakek berambut jarang
ini sudah melangkah mencari apa saja yang bisa dimakan.
* * * 5 NENEK Konde Satu terus berlari
seiring matahari yang semakin menurun.
Dari gerakannya dia sama sekali tak bermaksud untuk menghentikan larinya sekali
pun, terus menuju ke arah timur.
Perjumpaannya dengan Dewa Segala Obat yang secara tidak langsung akhirnya
memaklumi apa yang selama ini pernah dilakukannya terhadap Bandung Sulang,
menambah semangatnya untuk membalas semuanya pada Hantu Merana Berkabut!
Kegagalannya untuk meminta maaf pada Bandung Sulang atas semua kesalahan yang
pernah dilakukannya, semakin menambah gejolak amarah di dadanya. Dia merasa
begitu bodoh karena tak sadar kalau sedang diperalat oleh Hantu Menara
Berkabut. Namun di balik semua itu, dia menyalahi dirinya sendiri karena begitu
mudah terpengaruh hingga ditinggalkannya Bandung Sulang yang tulus mencintainya.
Nenek Konde Satu bertekad untuk
menghapus semua kesalahan yang telah dilakukannya. Dan jalan satu-satunya adalah
melihat Hantu Menara Berkabut
mampus di tangannya!
Sebelum matahari hilang di balik
sebuah bukit, dihentikan langkahnya di sebuah jalan setapak. Sepasang matanya
memandang tak berkedip ke depan. "Hmmm...
ada gumpalan kabut tebal di ujung sana!
Kabut itu menjulang tinggi, menutupi bagian bawah hingga ke atas! Aneh! Nampak
seperti ada sesuatu yang ditutupi kabut itu!"
Untuk beberapa saat Nenek Konde Satu tak beranjak dari tempatnya. Matanya terus
memandang pada gumpalan kabut hitam tebal itu. Hatinya dipenuhi banyak tanya.
Setelah beberapa saat terdiam diputuskan untuk kembali berlari.
Tepat matahari sudah lenyap di balik bukit, Nenek Konde Satu kembali
menghentikan larinya. Dipandanginya keadaan di hadapannya. Dari jarak yang lebih
dekat dari semula, Nenek Konde Satu dapat melihat lebih jelas lagi gumpalan
kabut hitam tebal yang nampak menyelimuti sesuatu yang menjulang tinggi. Dari
gumpalan kabut tebal itu, dibawa
pandangannya agak ke bawah. Seluas mata memandang, yang nampak adalah ranggasan
semak dan lumpur-lumpur hitam. Dari sorot matanya yang tak berkedip, perlahan-
lahan terlihat keningnya berkerut.
"Astaga!" desisnya cukup keras hingga kepalanya menegak. Lalu diambilnya
sebatang dahan pohon yang kebetulan ada di sisi kanannya. Dilemparnya dahan
pohon itu ke ranggasan semak belukar.
Wlessss! Dilihatnya tiga ekor ular langsung keluar begitu dahan tadi mengenai salah satu
ranggasan semak yang banyak terdapat di sana, bergerak cepat dan menyelinap ke
semak lain. Tak puas sampai di sana, kembali
Nenek Konde Satu mengambil dahan pohon yang ada di sisinya lagi. Kali ini
dilemparkannya ke arah lumpur yang tak jauh darinya.
Pluss! Sejenak dahan itu mengambang, sebelum kemudian perlahan-lahan lenyap tertelan
lumpur. "Gila! Gila!" seru si nenek berkebaya ini kemudian. "Bukankah... bukankah...
apa yang kulihat ini adalah ciri dari Menara Berkabut"!"
Tiba pada pikirannya sendiri Nenek Konde Satu terdiam. Tanpa sadar dadanya
bergerak turun naik. Dia menjadi agak tegang sekarang.
"Menara Berkabut! Berarti... aku telah tiba di tempat manusia keparat itu!"
desisnya dengan kedua tangan mengepal. Mendadak dia berteriak keras,
"Manusia dajal! Keluar kau!! Aku datang untuk mencabut nyawamu!!"
Suaranya menggema di malam yang terus beranjak. Burung-burung malam bersuara
yang tak enak didengar. Membuat bulu roma berdiri dan seperti mengisyaratkan
kematian pada orang yang mendengarnya.
Nenek Konde Satu bersuara lagi yang kali ini dikirimkan melalui tenaga dalamnya.
Suaranya menggema, menyusul letupan dua kali terdengar. Tetapi tak satu sosok
tubuh pun yang muncul di sana.
Si nenek terdiam dengan mata
menyipit. "Jangan-jangan... aku salah menduga, kalau apa yang kulihat ini hanya
kebetulan sama seperti ciri Menara Berkabut?" desisnya agak meragu sekarang.
Mendadak dia meradang, "Terkutuk! Mengapa dulu aku begitu bodoh"! Terlalu bodoh
bahkan! Seharusnya aku menanyakan bagaimana caranya menuju ke Menara Berkabut
pada manusia keparat itu"! Kurang ajar!"
Untuk beberapa lama Nenek Konde Satu merapatkan mulut. Dada
tipisnya naik turun. Gelora amarahnya pada Hantu Menara Berkabut semakin membesar.
"Tetapi...." desisnya dengan pandangan tegang. "Sebelum aku mendapatkan jawaban
yang pasti, aku tak akan berhenti sebelum mengetahuinya! Hanya saja...
bagaimana caranya aku untuk tiba di tempat itu" Ranggasan semak belukar itu
dihuni oleh ular-ular yang tentunya
banyak jumlahnya. Kalau aku bisa
menanggulangi ular-ular itu, lumpur-lumpur hidup akan menelanku bulat-bulat...."
Nenek Konde Satu terdiam lagi.
Otaknya diperas memikirkan cara untuk tiba di balik kabut hitam itu. Malam terus
beranjak. Udara dingin mulai terasa menyengat. Burung-burung malam yang
beterbangan dan memperdengarkan suara tak enaknya terus melayang-layang.
"Rasanya... dalam keadaan gelap seperti ini, aku tak akan mungkin bisa menemukan
jalan teraman menuju ke balik kabut tebal itu. Sebaiknya... kutunggu saja sampai
besok pagi. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap aku dapat menentukan jalan
yang aman untuk tiba di sana...."
Kembali kepalanya dipalingkan ke
belakang. Kegelapan semata yang dilihatnya karena saat ini sinar rembulan tak
mampu menembus gumpalan awan-awan hitam yang menghalanginya.
"Brengsek!" maki si nenek sambil memutar kepala lagi ke depan.
Saat itulah dia melengak kaget,
bahkan tanpa sadar telah surut satu tindak ke belakang. Lalu dengan kegusaran
tinggi dibuka matanya lebar-lebar memandang ke depan.
Kejap berikutnya, terdengar bentakan-
nya keras, "Manusia keparat! Ternyata kau punya nyali juga akhirnya berani
Pendekar Pedang Kail Emas 1 Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Tiga Mutiara Mustika 4