Pencarian

Patung Darah Dewa 1

Raja Naga 06 Patung Darah Dewa Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU HEMBUSAN angin malam begitu dingin. Malam
sedemikian sunyi dan mencekam. Lain dengan malam-
malam sebelumnya. Di atas sana gumpalan awan hi-
tam merajai sebagian persada langit dan menghalangi sinar rembulan yang bersinar
terang. Padahal saat ini purnama sudah datang. Tetapi awan-awan hitam itu
telah menutupi sinar purnama. Keadaan yang jarang
sekali terjadi.
Suasana mencekam itu pun tak luput dari hati
seorang lelaki bernama Jaka yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Sejak tadi
dia tak bisa tidur. Hatinya gelisah. Kedua tangannya dilipat sebagai pengganjal
kepala. Tubuhnya yang bertelanjang dada diselonjorkan lurus-lurus.
Sesekali matanya melirik istrinya yang tertidur
pulas di samping kanannya. Dilihatnya ada senyuman
bahagia pada bibir istrinya yang ranum.
Mereka memang masih pengantin baru, baru
dua bulan melaksanakan upacara pernikahan. Tadi
mereka baru saja melepaskan hajat sebagai suami-
istri. Bila biasanya selesai melepaskan hajat si lelaki akan lelap tidurnya,
tetapi justru kali ini dia tak bisa tidur. Perasaan gelisah semakin merajai
hatinya. "Aneh! Mengapa perasaanku tak tenang?" desisnya pelan. Matanya menatap langit-
langit kamar yang terbuat dari rumbia. Sunyi merajai kamar itu.
"Ada apa ini" Aku seperti menangkap isyarat yang tak enak...."
Dilirik istrinya yang tersenyum dalam tidur.
Kemudian dia mendesis lagi, "Lebih baik aku
berada di luar saja. Mungkin angin malam akan bikin hatiku tenang kembali...."
Perlahan-lahan Jaka bangkit. Melihat istrinya
yang menggeliat sesaat. Selimut yang menutupi tu-
buhnya bergeser, memperlihatkan bukit kembar
mengkal sebesar kepalan tangan. Lalu ditariknya selimut itu untuk menutupi tubuh
istrinya. Kemudian dia beranjak hendak keluar kamar.
Tetapi baru saja tangannya hendak mendorong
pintu, mendadak saja terdengar suara,
"Braaakk!!"
Sangat keras hingga untuk beberapa saat Jaka
terdiam di tempatnya. Sejurus kemudian, wajahnya
yang gelisah berubah menjadi tegang. Cepat dia me-
lompat menyambar parang yang tersampir di dinding
kayu kamarnya. Ditariknya napas beberapa saat sebe-
lum dengan kewaspadaan tinggi dia membuka pintu.
Jaka dilahirkan dengan keberanian tinggi. Begi-
tu pintu dibuka dia langsung melompat bersiaga. Ma-
tanya memperhatikan sekeliling dengan mulut mera-
pat. Tak seorang pun yang berada di sana. Tetapi
saat dia mendongak, atap rumahnya telah jebol seperti tertimpa batu langit!
"Gila! Apa yang terjadi"!" desisnya dengan perasaan tak menentu. Dia kembali
melangkah dengan te-
tap menjaga kewaspadaannya.
Ruangan rumahnya tak begitu luas dan tak
memiliki perabotan yang bagus atau besar. Hingga sekali lagi dia memandang
sekelilingnya sampai diyakini betul tak seorang pun yang berada di sana kecuali
dirinya. Kembali ditatapnya atap yang jebol dan mem-
buat angin dingin menyergap masuk.
"Benar-benar aneh! Aku tak melihat ada orang
lain di sini, demikian juga dengan benda keras yang mungkin telah menimpa atap
rumahku ini! Lantas apa
yang bikin atap itu jadi jebol"!"
Belum habis ucapannya terdengar, mendadak
saja dipalingkan kepalanya ke samping kanan dengan
cepat. Menyusul teriakan tertahannya meluncur,
"Heiii!!!"
Satu sinar hitam yang entah dari mana, tiba-
tiba melesat dan melabrak dinding kamarnya.
Brooll!!! Dinding kamar itu seketika jebol berhamburan.
Lelaki gagah yang masih menggenggam parang
itu sesaat terdiam dengan wajah kaget. Kejap kemu-
dian dia segera bergegas menuju ke kamarnya. Tetapi gerakannya tertahan karena
secara mendadak pintu
kamarnya itu terbanting keras, bahkan copot dari eng-selnya, melayang deras ke
arahnya! "Heiiii!!"
Bila saja Jaka tak buru-buru menghindar, su-
dah tentu tubuhnya akan terseret begitu terhantam
lemparan pintu yang sedemikian keras!
Belum lagi dia dapat mengembalikan pikiran
jernihnya, dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di ambang pintu yang telah
copot itu. Cara berdiri sosok tubuh yang dilihatnya seperti sedang adakan satu
tantangan. Kedua tangannya bertengger pada sisi palang pintu, sementara kedua
kakinya membuka.
Untuk beberapa saat Jaka memicingkan ma-
tanya untuk melihat sosok tubuh yang telah berdiri di tempatnya.
"Astaga! Marinah! Ada apa"!" serunya begitu mengenali siapa adanya sosok tubuh
di hadapannya. Jaka bermaksud untuk mendekati istrinya, tetapi ge-
rakannya tertahan begitu mendengar suara gerengan
pelan, dingin dan dalam.
Kedua matanya seketika membelalak tatkala
melihat tatapan tajam mengarah padanya! Dan wajah
di hadapannya, yang biasanya selalu tersenyum disertai dengan siratan manja,
kini yang nampak hanyalah sebuah pemandangan yang mengerikan!
Marinah!" seru Jaka terkejut.
"Orang muda! Aku datang untuk menghirup
darahmu! Kemarilah... kemarilah!"
"Astaga! Ada apa ini" Ada apa?" desis Jaka dalam hati berulang-ulang.
Ketegangannya merambat
perlahan-lahan. "Penyebab atap yang jebol itu belum kuketahui, demikian pula
dengan sinar hitam yang
mendadak menjebol dinding kamar. Sekarang tahu-
tahu istriku bersikap bukan lagi seperti Marinah yang kukenal!"
Sosok tubuh sintal di hadapannya menggereng
pelan. Parasnya kaku dengan sorot mata tajam.
"Orang muda... kau adalah bagian dari hi-
dupku! Berarti... kau harus rela menerima apa yang
akan kulakukan...."
Jaka masih memandangi apa yang dilihatnya.
Rasa tak percaya semakin kuat mengikatnya.
"Sesuatu telah terjadi... sesuatu yang mengerikan... Ah! Apakah ini disebabkan
oleh sinar hitam
yang kulihat menghajar dinding" Kalau begitu... kalau begitu... atap yang jebol
itu bisa pula diakibatkan olehnya..."
"Kau adalah bagian dari hidupku... mendekat-
lah...." Entah mengapa Jaka yang sejak tadi berusaha mencari jalan keluar dari
urusan yang tiba-tiba, kini terdiam. Paras tegangnya menjadi kaku dan kini dia
bersikap laksana mayat hidup. Parang yang dipegang-
nya terlepas, menimbulkan suara yang sedikit keras begitu jatuh di atas lantai.
"Mendekatlah... mendekatlah...," suara Marinah serak. Kedua tangannya yang tadi
menempel pada sisi kanan kiri palang pintu kini telah berada di samping
pinggangnya. Perempuan itu masih tak mengenakan
pakaian. Bukit kembarnya yang mengkal menggantung
menggiurkan, seolah melambaikan tangan pada siapa
saja yang mendekatinya.
Tetapi bila orang melihat betapa mengerikan
paras si perempuan, sudah tentu akan urung menyen-
tuhnya! Sementara itu Jaka sudah melangkah mende-
kati istrinya. Langkahnya kaku, sekaku parasnya.
"Kau benar-benar bagian dari hidupku, Orang
Muda...." Jaka tak berkata apa-apa. Sorot matanya kini
tak menyiratkan cahaya kehidupan. Yang nampak ha-
nyalah kekosongan belaka.
Tangan mulus Marinah menjulur, menggapai
bahunya. Lalu dengan gerakan manja tetapi parasnya
tegang tajam, ditariknya sosok Jaka untuk masuk da-
lam dekapannya.
Kalau biasanya bila Marinah melakukan tinda-
kan seperti itu maka Jaka akan terbuai oleh gairah-
nya, kali ini seperti seorang anak kecil dia menyandar-kan tubuhnya pada tubuh
Marinah. Tangan halus Marinah mengusap-usap pung-
gungnya, lalu perlahan-lahan menjalar naik ke lehernya. Disibakkan sedikit
rambut gondrong Jaka. Kemu-
dian dengan sedikit berjinjit, dihujamkan ciumannya pada leher Jaka.
Kelembutan sikap Marinah itu tak membuat
Jaka bergeming. Kedudukannya tetap laksana mayat
hidup yang pasrah. Dan entah bagaimana mulanya,
mendadak saja dari mulut Marinah mencuat dua buah
taring berkilat tajam.
Diiringi gerengan kecil, Marinah siap menghu-
jamkan kedua taring tajamnya ke leher Jaka!
Braaakkk!! Pintu depan terbanting. Lima sosok tubuh ber-
hamburan masuk. Di tangan masing-masing orang
terpegang golok tajam.
"Jaka! Apa yang telah terjadi"!" seru salah seorang. "Kami mendengar suara keras
yang menjebol atapmu!" sambung salah seorang.
Dan ucapan-ucapan yang diiringi dengan suara
ribut itu terhenti tatkala mereka melihat Jaka berada dalam pelukan istrinya
yang menggereng.
"Astaga! Ada apa ini" Marinah! Apa yang akan
kau lakukan"!" seru orang yang berusia sekitar enam puluh tahun.
Marinah menggereng lagi, kali ini cukup keras
dan membuat bulu roma yang mendengarnya berdiri.
Lalu dengan satu sentakan kecil, dia membanting tu-
buh suaminya yang melesat dan menabrak dinding
rumah. "Astaga! Ada apa ini"!" seru yang lainnya.
Mereka melihat paras jelita Marinah yang su-
dah sangat mereka kenal, berubah dari biasanya. Kaku dan tegang. Tatapannya
laksana sembilu yang menghujam jantung. Yang mengejutkan mereka, Marinah
seperti tak memiliki rasa malu. Membiarkan dadanya
polos tanpa tertutup sehelai benang pun!
"Marinah!" bentak yang tua tadi, yang ternyata adalah ayah Marinah. "Apa yang
kau lakukan"!"
"Kalian adalah bagian dari hidupku.... Mende-
katlah! Aku membutuhkan darah segar kalian!"
"Gila! Gila! Apa-apaan ini"! Marinah!" bentak si lelaki tua sambil mendekat
dengan wajah kesal.
Namun mendadak saja dia terjungkal begitu
Marinah mengangkat tangannya.
Braakkk!! Tubuh lelaki tua itu menabrak palang pintu
depan. Tubuhnya segera terbanting lagi. Sesaat si lelaki tua menggeliat sebelum
kemudian diam tak berge-
rak sementara dari mulutnya mengalir darah segar.
"Gila! Marinah sudah berubah menjadi setan!"
"Tentunya dia menganut ilmu iblis!"
"Kalian lihat, Jaka dibantingnya begitu saja! La-lu dia bunuh ayahnya dengan
kejam! Kawan-kawan!
Kita bunuh perempuan penganut ilmu iblis itu!!"
Seruan-seruan keras penambah semangat itu
semakin mengudara. Empat orang lelaki dengan golok
di tangan sudah mengurung Marinah yang mendelik
gusar. "Tangkap dia!"
"Bunuh!!"
Bersamaan seruan-seruan itu mereka melom-
pat seraya menghunuskan golok di tangan! Marinah
menggeram dingin.
"Kalian mencari mati!"
Secara tiba-tiba perempuan yang mendadak be-
rubah kejam ini menggerakkan tangan kanannya ber-
keliling. Saat itu juga keempat lelaki yang siap menangkapnya, berlemparan ke
belakang. Terbanting
menabrak dinding rumah yang menjadi jebol. Tiga
orang menggeliat kesakitan, untuk kemudian diam tak bergerak dengan tulang
punggung patah dan mulut
yang mengeluarkan darah!
Yang seorang masih sanggup berdiri karena dia
terhempas di atas rumput. Tetapi saat itu pula kedua matanya seperti hendak
melompat keluar, karena Marinah tahu-tahu telah berada di hadapannya!
"Oh! Jangan... jangan... Marinah! Sadar, Mari-
nah! Ini aku... kakakmu... kakakmu...."
"Kau adalah bagian dari hidupku, jadi tak perlu takut...," suara dingin dan
serak Marinah terdengar.
Begitu mendengar suara itu, lelaki yang ter-
hempas di atas rumput tadi mendadak berdiri. Seperti yang dialami oleh Jaka
sebelumnya, lelaki ini pun berubah menjadi mayat hidup. Dia melangkah saat Ma-
rinah menggapai-gapainya. Dan jatuh pada pelukan
adik kandungnya sendiri.
Dua buah taring tajam mendadak mencuat dari
mulut Marinah. Lalu dihujamkan pada leher si lelaki yang sejenak menggeliat dan
berteriak tertahan. Terlihat darah segar mengalir melalui kedua taring yang
menghujam pada leher itu.
Lalu dengan sentakan kuat, diangkat kepalanya
dari leher korbannya yang kemudian didorong hingga
terbanting di atas tanah! Tubuh itu sejenak bergulingan sebelum terdiam menjadi
kering! "Grrrhhh! Menyenangkan! Menyenangkan!"
Mendadak kepala Marinah berpaling ke kanan.
Bukit kembar mengkalnya bergerak menggiurkan. So-
rot matanya bengis menyaksikan sekitar dua belas
orang lelaki berlari ke arahnya disertai suara-suara ramai. "Gila! Apa yang
dilakukan Marinah terhadap Maruto"!" seruan itu terdengar dari mulut salah
seorang. "Heiii! Kalian lihat! Teman-teman kita yang lain telah tewas! Juga
Pakde Jurmono, ayahnya sendiri!"
"Gila! Perempuan itu telah menjadi gila!"
Suara-suara ramai yang diiringi rasa geram dan
marah itu disambut dingin oleh Marinah.
"Kalian adalah bagian dari hidupku! Mendekat-
lah...." "Hati-hati! Dia rupanya penganut ilmu hitam!"


Raja Naga 06 Patung Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seru salah seorang.
"Hei! Mana Jaka"! Mana suaminya"!"
"Jangan-jangan dia telah dibunuh olehnya!"
"Kalau begitu... kita tangkap dia! Hati-hati!"
Dua belas lelaki gagah itu mengurung Marinah
dengan sejuta pertanyaan di kepala. Marinah meman-
dang satu persatu orang yang mengelilinginya dengan sorot mata bengis.
"Kanan adalah bagian dari hidupku! Kalian
adalah budak-budakku! Dan kau... bagian dari hi-
dupku!" desisnya sambil menunjuk lelaki berparas tampan.
Seperti dirasuki satu tenaga gaib, lelaki tampan
itu mendadak berdiri kaku. Golok di tangannya terlepas begitu saja. Lalu dia
melangkah mendekati Mari-
nah. "Hei! Dia telah menghipnotis. Bayu! Tahan pemuda itu! Tahan!!"
Dua orang segera melompat menarik pemuda
tampan bernama Bayu. Tetapi entah mengapa tahu-
tahu keduanya terlempar dan terbanting di atas tanah.
Sejenak menggeliat dan kemudian diam tak bergerak.
Kejadian itu membuat orang-orang yang men-
gurung Marinah menjadi mulai kecut hatinya. Mereka
memandang tak percaya dengan apa yang barusan ter-
jadi. Tetapi dua orang kemudian dengan sigapnya bergerak, menghunuskan golok di
tangan untuk dihujam-
kan pada tubuh Marinah yang bertelanjang dada!
Bersamaan dengan itu Marinah berbalik diiringi
gerengan dingin seraya mengibaskan tangan kanan-
nya. Wuuutt!! Des! Des!! Kedua orang gagah itu terlempar dua tombak
ke belakang. Yang seorang terbanting deras di atas tanah dengan kepala menegak
sesaat dan kemudian te-
was. Sementara yang seorang lagi menabrak sebuah
pohon yang kemudian terbanting ke depan dengan tu-
lang dada remuk!
"Gila! Hati-hati! Dia bukan hanya sudah men-
jadi aneh, tetapi juga kejam!" seru yang kenakan pakaian putih kusam.
"Mundur! Kita mundur!!"
"Ki Lurah! Bagaimana dengan Bayu"!"
Mendengar pertanyaan itu, lelaki setengah baya
yang mengenakan pakaian putih kusam menjadi bin-
gung. Di saat lain dia sudah berseru, "Kalian coba menahan Bayu! Yang lainnya
bersamaku menyerang Ma-
rinah!!" Tetapi orang-orang gagah itu hanya mengantar nyawanya saja, termasuk Ki
Lurah. Mereka beterban-gan seperti sehelai daun dihempas badai! Dan begitu
terbanting keras di atas tanah, masing-masing orang sudah putus nyawa!
Marinah sendiri kemudian dengan bengisnya
menghisap darah si lelaki tampan yang kemudian di-
lemparnya dengan cara menyentak dan terbanting ke-
ras di atas tanah!
"Huh! Puas! Puas aku sekarang! Kini tinggal
mencari Kiai Gede Arum. Manusia keparat yang telah
musnahkan ragaku dan masukkan ilmuku ke Patung
Darah Dewa!"
"Marinah! Ada apa ini" Mengapa denganmu"!
Apa yang terjadi"!" seruan itu terdengar keras dan bingung, disusul sosok Jaka
muncul keluar dengan paras agak pucat.
Perempuan jelita yang kini bertampang bengis
itu berpaling. "Orang muda... kau adalah bagian dari hi-
dupku! Mendekatlah padaku...."
"Marinah! Katakan... katakan padaku! Apa yang
telah terjadi"!" suara Jaka tersendat, parau dan kebingungan. Dia tak berani
teruskan langkahnya. Matanya memandang tak percaya pada mayat-mayat yang
bergeletakan di sekelilingnya. "Oh, Tuhan.. apa yang terjadi dengan istriku"
Mengapa dia berubah menjadi tak tahu malu dan sangat kejam?"
"Orang muda... mendekatlah.... Kau bagian dari hidupku... mendekatlah...."
Jaka berusaha mempertahankan akal pikiran-
nya. Dia tak tahu apa yang telah terjadi. Karena saat dia terbangun dari
pingsannya, dia sudah bersandar di tembok. Kepalanya dirasakan pusing bukan
main. Tetapi begitu mendengar suara teriakan di depan, dengan kuatkan hati Jaka
berjalan ke sana. Dan dilihatnya istrinya yang tetap bersikap bengis!
"Marinah... katakan padaku... mengapa semua
ini terjadi" Mengapa"!"
"Orang muda... kau adalah bagian dari hi-
dupku.... Mendekatlah...." suara serak dan dingin itu menyusup pada jantung Jaka
yang seketika berdebar
keras. Kejap lain lelaki gagah itu sudah berdiri kaku dengan kepala tegak. Lalu
dia melangkah mendekati
Marinah yang berdiri dengan kedua kaki sedikit dibu-ka.
Dan dia begitu pasrah saat Marinah meletak-
kan kepalanya pada dadanya. Perempuan yang beru-
bah menjadi bengis itu menggereng pelan dan taring-
taring tajam telah mencuat dari mulutnya kembali.
Dengan gerakan angker dan mencekam, dia
siap menghujamkan kedua taring tajamnya pada leher
suaminya yang saat ini tak dikenalinya lagi.
Mendadak kepala perempuan ini menegak. Di-
urungkan keinginannya untuk menghirup darah Jaka.
Menyusul kepalanya dipalingkan dengan mata dis-
ipitkan bengis. Satu gelombang angin yang ditaburi
asap merah menghambur ke arahnya!
"Keparat!!" makinya seraya mengibaskan tangan kanannya.
Wrrrr!! Menghampar angin berwarna hitam yang mem-
perdengarkan suara menggidikkan. Menyusul....
Blaaaammm!! Letupan keras terdengar tatkala gelombang an-
gin yang mendadak datang tadi dihantam oleh angin
warna hitam yang keluar dari kibasan tangan kanan
Marinah. Tanah di mana terjadinya letupan itu seketi-ka muncrat ke udara yang
menghalangi pandangan
beberapa saat. Beberapa mayat yang bergeletakan se-
saat terpental dan terbanting lagi di atas tanah.
Mendadak terdengar gerengan keras dari mulut
Marinah. "Keparaattt!! Siapa yang berani menghalangiku, hah"!" Sosok Jaka yang tadi
punggungnya dipegang kuat-kuat olehnya, telah berpindah!
*** DUA PEMUDA berompi ungu yang tahu-tahu telah
muncul itu memegangi sosok Jaka yang masih berdiri
kaku. Pemuda inilah yang tadi melepaskan serangan
untuk menghalangi niat Marinah. Begitu dia menyada-
ri bagaimana keadaan si perempuan yang tadi siap untuk menghujamkan kedua
taringnya, sejenak pemuda
ini mengerutkan keningnya. Kedua tangan si pemuda
sebatas siku dipenuhi dengan sisik-sisik kecoklatan.
Matanya tak berkedip ke depan. Dan... astaga! Sorot mata itu sedemikian angker
dan mengerikan!
"Pemuda keparat! Siapa kau yang berani meng-
halangiku"!"
"Astaga! Apa yang telah terjadi" Siapa perem-
puan bertelanjang dada itu?" desis si pemuda tampan berambut gondrong acak-
acakan ini. Sorot matanya tetap angker. Tajam dan menusuk.
Tetapi bagi Marinah yang telah berubah menja-
di kejam itu, apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Bahkan
tatapannya bertambah
bengis. "Kau adalah bagian dari hidupku, Anak Muda!
Mendekatlah...," suaranya serak.
"Gila! Ku rasakan ada tenaga yang masuk mela-
lui gelombang suara itu," desis si pemuda yang bukan lain Boma Paksi alias Raja
Naga adanya. Hati pemuda dari Lembah Naga ini mendadak jadi tidak enak.
Ketegangan merambati hatinya. "Aku seperti menangkap kalau suara itu bukanlah
suara asli si perempuan. Gerakannya kaku dan seperti digerakkan oleh satu tena-
ga gaib! Astaga! Apakah ada orang yang memperalat-
nya" Atau ada sesuatu yang masuk dan menyebab-
kannya menjadi sedemikian rupa?"
"Kau adalah bagian dari hidupku! Mendekat-
lah... mendekatlah...."
Suara serak yang penuh dengan tenaga gaib itu
membuat Raja Naga menjerengkan matanya. Detak
jantungnya semakin keras berdebar. Perasaannya
mengatakan sesuatu yang mengerikan telah dan akan
terjadi lagi. "Perempuan itu seperti sedang mencoba untuk
menghipnotis ku! Aku harus bertahan! Aku harus ber-
tahan!" desisnya dalam hati. Tetapi dua kejapan mata kemudian, dia sudah
melepaskan tubuh Jaka yang
masih berdiri kaku.
Kemudian melangkah laksana mayat hidup
mendekati Marinah yang menyeringai dan memperli-
hatkan taring yang tiba-tiba mencuat kembali.
Di pihak lain, Jaka yang begitu terbanting sege-
ra tersadar dari apa yang terjadi. Dia terkejut melihat seorang pemuda sedang
melangkah mendekati istrinya. Kesadarannya saat itu juga muncul. Cepat-
cepat dia berdiri dengan seruan tertahan,
"Marinah! Apa yang akan kau lakukan"!"
Seruan itu dibalas oleh Marinah dingin, "Orang muda... kau adalah bagian dari
hidupku! Mendekatlah.. .." Kejap itu pula untuk yang ketiga kalinya Jaka
bertindak laksana mayat hidup. Dia melangkah di belakang Raja Naga. Seringaian
terpampang pada wajah
Marinah yang bengis.
"Bagus! Kalian adalah penghibur-penghibur ku
yang menyenangkan...."
Tangannya segera terangkat untuk menggapai
tubuh Boma Paksi yang lebih dulu mendekat. Gerakan
tangannya itu mengangkat sedikit payudaranya bagian
kanan. Namun mendadak saja tubuh Boma Paksi ter-
huyung. Dalam keadaan kaku terkena tenaga gaib
yang terpancar dari suara Marinah, dia tak hiraukan ke sekelilingnya. Bahkan tak
melihat sebuah batu yang menyebabkannya terhuyung jatuh.
Begitu ambruk di tanah, kesadaran Boma Paksi
terjaga kembali. Dia segera berdiri tegak. Dilihatnya perempuan bertelanjang
dada di hadapannya memandang sengit padanya.
Sebelum murid Dewa Naga ini berkata, dilihat-
nya satu sosok tubuh sedang melangkah kaku mende-
kati si perempuan.
"Heiii!!"
Boma Paksi berseru kaget setelah mengenali
sosok yang melangkah itu. Dia segera melompat me-
nyambarnya. Bersamaan dengan itu....
Wuussss!! Satu gelombang angin hitam menghampar ke
arahnya. "Gila!" desis pemuda bersisik coklat ini terkejut.
Serta-merta dia mendehem yang cukup keras. Dan....
Blaaaammm!! Gelombang angin hitam yang keluar dari do-
rongan kedua tangan Marinah, buyar di udara. Tetapi yang mengejutkan, buyaran
angin yang berpencar itu
mendadak bersatu kembali. Dan menyergap cepat ke
arah Raja Naga yang berusaha membuat jarak dari
tempat Marinah berdiri.
"Astaga!!" seru pemuda yang kedua lengannya sebatas siku ini bersisik coklat
dengan mulut membuka lebar. Dia cepat memutar tubuhnya hingga terden-
gar desingan cukup keras. Begitu hinggap di atas tanah, kaki kanannya segera
dijejakkan. Tanah yang dijejakkan keras itu seketika berge-
rak. Membentuk gelombang laksana di lautan. Mem-
buru ke arah gelombang angin hitam yang telah me-
nyatu kembali. Mendadak tanah bergelombang itu meletup ke
udara. Tenaga kuat menggebrak ke atas, menghantam
gelombang angin hitam.
Jlegaaarrr!! Tempat itu seperti bergetar. Mayat-mayat yang
bergeletakan terjingkat ke atas. Tanah membuyar di
udara dan menutupi pandangan. Gelombang angin hi-
tam yang pecah berantakan itu berhamburan meng-
hantam apa saja yang dikenainya, yang seketika
menghangus hitam legam!
"Perempuan itu memiliki ilmu yang mengeri-
kan...," desis Raja Naga sambil melirik Jaka yang kembali pingsan dan tergolek
pada bahu kanannya. "Tetapi... tetapi... aku tak percaya kalau dia memang
memiliki ilmu yang mengerikan itu! Aku lebih merasa pasti kalau perempuan itu
diperalat oleh seseorang yang entah siapa adanya!"
"Anak muda... kau telah berbuat lancang den-
gan berani mengganggu kesenanganku! Kau adalah
bagian dari hidupku! Mendekatlah!!"
Tatapan angker Raja Naga menghujam tepat ke
sepasang mata yang menatap bengis. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada tangan
sebatas sikunya bersinar
lebih terang, menandakan kalau pemuda itu telah dili-puti amarah.
"Perempuan kejam! Apa sebenarnya yang se-
dang kau lakukan"! Kau telah mencabut nyawa manu-
sia-manusia yang tak berdosa!" serunya dingin.
"Kau adalah bagian dari hidupku!"
"Astaga! Dia seperti tak mengetahui siapa di-
rinya kecuali berucap kalimat itu terus menerus! Aku semakin yakin kalau dia
telah diperalat seseorang! Tetapi... siapakah yang memperalatnya"!" desis Raja
Na-ga dengan perasaan tak menentu. "Aku bisa saja menyerangnya, hanya saja aku
tak mau sembarangan,
melakukan sebelum kudapatkan kejelasan...."
Baru saja habis kata batin murid Dewa Naga
ini, mendadak saja perempuan jelita bertelanjang dada itu sudah menerjang ke
depan. Tangan kanan kirinya
digerakkan membentuk jotosan.
Melihat datangnya serangan, Raja Naga segera
menggebrak pula.
Buk! Buk! Kedua tangan Boma Paksi yang mulai dari jari
jemarinya hingga batas siku dipenuhi sisik coklat sebenarnya memiliki kekuatan
yang luar biasa. Bahkan
kedua tangannya yang bersisik itu memiliki kekebalan menghadapi senjata apa pun.
Berarti, benturan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi pun dapat di-atasi.
Bahkan langsung dapat dibuat remuk bila diin-gininya. Namun yang terjadi
sekarang, justru sosok pemuda tampan itu yang terseret ke belakang. Kedua
tangannya terasa ngilu. Di seberang, kendati surut tiga langkah, tetapi
perempuan bertelanjang dada itu tak kurang suatu apa.
"Kurang ajar!!" geramnya dingin dan serta-merta dia menepuk kedua tangannya.


Raja Naga 06 Patung Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selembut apa pun tepukan tangan, tetap akan mengeluarkan bunyi.
Tetapi apa yang dilakukan si perempuan sama sekali
tak mengeluarkan bunyi apa-apa.
Namun kejap kemudian, menderu gelombang
angin hitam yang bergerak berputar-putar lima lang-
kah di hadapannya. Putaran angin hitam itu semakin
lama semakin membesar. Menyeret tanah bahkan tiga
sosok mayat yang bergeletakan di sana masuk dalam
putaran angin itu yang kemudian terlempar deras ke
beberapa tempat!
Raja Naga yang masih merasakan ngilu pada
kedua tangannya terbelalak. Sorot matanya tetap angker. Begitu putaran angin
hitam tadi bergerak ke
arahnya, anak muda dari Lembah Naga ini segera
menjejakkan kaki kanannya untuk melepaskan ilmu
'Barisan Naga Penghancur Karang' yang segera disusul dengan kaki kirinya yang
seketika tanah susul menyusul bergelombang ke depan. Suara bergemuruh dari
ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang' itu luar biasa mengerikan!
Gelombang-gelombang tanah yang bergerak ta-
di tertelan oleh putaran angin hitam yang keluar dari tepukan kedua tangan
perempuan bertelanjang dada.
Dan lenyap begitu saja!
"Astaga!!" seruan tertahan terdengar dari mulut Raja Naga, terutama tatkala
putaran angin tadi menderu ke arahnya.
Cepat anak muda ini menghindar ke samping
kanan. Lalu tangan kanannya didorong melepaskan
ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'! Seketika
menggebrak gelombang angin dahsyat yang memper-
dengarkan suara letupan berkali-kali. Kemudian...
Jlegaaarrr!! Gelombang angin tadi menabrak putaran angin
hitam yang terus memburu ke arahnya! Sesaat terlihat gelombang angin itu masuk
pada putaran angin hitam.
Terdengar suara letupan susul menyusul yang sangat
keras! Kejap lain terdengar letupan membahana!
Blaaaarrr!! Putaran angin hitam itu berpentalan ke sana
kemari! Atap rumah Jaka terpental terseret menjauh.
Dindingnya bergetar hebat untuk kemudian rumah itu
ambruk! Berhamburannya angin hitam disertai muncra-
tan tanah menambah kepekatan tempat itu hingga
sangat sukar ditembus oleh pandangan! Suara geren-
gan dari mulut Marinah terdengar sangat keras disusul dengan tanah yang
bergetar-getar hebat!
Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su-
dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa-
ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya melayang ke depan.
Jotosannya meluncur cepat. Tetapi
yang terhantam hanyalah tempat yang kosong!
Untuk sesaat seperti orang kebingungan pe-
rempuan yang menjadi kejam akibat masuknya sinar
hitam yang sebelumnya menghajar dinding kamar ru-
mahnya tadi ini memutar kepalanya ke kanan kiri. Sepasang matanya kian bersinar
bengis. Lamat-lamat terdengar suaranya dingin dan
bergetar, "Kau adalah bagian dari hidupku! Kau akan datang kepadaku untuk
menerima kematian!!"
Di saat lain perempuan yang telah hilang kesa-
daran aslinya ini sudah melesat meninggalkan tempat itu. Mulutnya mengeluarkan
suara geraman, "Kiai Gede Arum! Aku datang untuk mencabut nyawamu!!"
Hamparan matahari pagi telah mencapai bumi
kembali. Entah yang kali berapa dilakukan oleh matahari yang tak pernah bosan
dan lelah pada tugasnya.
Kokokan ayam jantan di kejauhan terdengar sahut
bersahutan. Di balik ranggasan semak belukar di mana di-
naungi oleh rindangnya pohon trembesi, Raja Naga
duduk bersemadi. Anak muda berompi ungu ini mera-
patkan kedua matanya. Mulutnya pun diam tak berge-
rak. Kedua tangannya merangkap di depan dada.
Begitu muncratan tanah menghalangi pandan-
gan, Raja Naga memutuskan untuk menghindari dulu
perempuan yang sedang mengganas itu. Pertimbangan
yang dilakukannya matang kendati dia hanya memer-
lukan waktu beberapa saat untuk menentukan kepu-
tusannya. Dengan cara meninggalkan seperti itu, dia menghindari korban yang
kemungkinan akan berjatu-han lagi. Bisa dirinya, bisa diri Jaka, bisa pula diri
orang lain. Raja Naga yakin sepeninggalnya, perempuan
kejam itu akan segera mencarinya. Paling tidak me-
ninggalkan desa itu.
Satu sosok tubuh yang tergolek lemah bersan-
dar pada batang pohon trembesi membuka kedua ma-
tanya. Sesaat orang ini memejamkan kembali kedua
matanya karena rasa pusing yang menyengat. Tetapi di saat lain dia sudah
membelalakkan matanya.
"Marinah! Marinah!" serunya seraya berdiri, tetapi langsung terhuyung dan
menimpa tubuh Raja Na-
ga yang sudah selesai bersemadi. Dengan cekatan pe-
muda bersisik coklat pada kedua tangannya sebatas
siku itu menahan jatuhnya tubuh Jaka.
"Jangan bergerak dulu!" desisnya. "Kau banyak kehilangan tenaga...."
Jaka membuka kedua matanya. Memperhati-
kan orang yang telah menahan tubuhnya. Sejenak dia
terkejut melihat sorot mata yang sedemikian angker.
Tetapi begitu teringat kembali pada istrinya, lelaki ini berseru pelan,
"Istriku... Marinah.... Di mana istriku" Di mana dia?" Raja Naga menghela napas
masygul. "Dari ucapannya, lelaki ini jelas-jelas tak mengetahui penyebab istrinya menjadi
begitu kejam. Ah, semakin kuat dugaanku kalau ada yang memperalat
istrinya dengan memasukkan ilmu hitam yang sangat
kejam," katanya dalam hati.
Lalu pelan-pelan dia berucap, "Jangan kau pi-
kirkan dulu tentang istrimu. Hemm... maaf, siapakah namamu?"
"Namaku Jaka...," sahut Jaka sambil menutup kedua matanya. Seraya membukanya
kembali dia bertanya, "Anak muda... siapakah kau adanya?"
"Namaku Boma Paksi... Kakang Jaka, coba kau
ceritakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Istrimu seperti kehilangan kendali
pikirannya...."
Bukannya segera menjawab apa yang diminta
Raja Naga, lelaki yang masih bertelanjang dada itu justru menundukkan kepalanya.
Desahan nafasnya pe-
nuh kerisauan dan kesedihan, mengundang rasa iba
bagi siapa saja yang mendengarnya.
Raja Naga mendiamkan dulu. Dia tak mau me-
maksa lelaki yang masih dirundung kesedihan. Setelah beberapa lama suasana
hening, perlahan-lahan Jaka
mengangkat kepalanya.
"Boma... aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan istriku.... Tahu-tahu dia
menjadi sedemikian kejam. Padahal... padahal istriku... adalah seorang gadis
yang penuh kelembutan dan selalu menjunjung
tinggi kehormatan. Kecuali di hadapanku, dia tak akan pernah mau memperlihatkan
tubuhnya. Tetapi dia...
dia... justru muncul dengan memperlihatkan payuda-
ranya...," ucapnya pelan. Lalu sambungnya penuh ke-luhan, "Ah... apa yang
sebenarnya terjadi?"
Raja Naga mengangguk pelan.
"Aku percaya apa yang kau katakan. Kakang
Jaka... ceritakanlah...."
Setelah terdiam beberapa lama disertai beru-
lang kali menghela dan mengeluarkan napas, penuh
kesedihan sekaligus rasa bingung yang kentara, Jaka menceritakan apa yang telah
terjadi. Suaranya sesekali terputus-putus.
"Sinar hitam?" ulang Raja Naga dengan kening berkerut.
"Ya! Setelah sinar hitam yang entah dari mana
datangnya menabrak jebol dinding kamarku, tahu-
tahu istriku muncul dalam keadaan yang benar-benar
mengerikan...."
Raja Naga tak membuka mulut. Otaknya berpi-
kir keras untuk menentukan jawaban dari keanehan
ini. "Jangan-jangan... sinar hitam itu memang dile-
paskan oleh seseorang yang memiliki ilmu hitam. Sa-
sarannya memang hendak memperalat istri lelaki ini
yang bernama Marinah. Ah, siapa orangnya yang me-
lakukan tindakan sekeji itu?" desisnya dalam hati. La-lu dipandanginya lagi
lelaki yang sedang menunduk-
kan kepalanya. Kemudian katanya, "Kang Jaka... sebaiknya Kang Jaka segera
kembali ke rumah...."
Kepala Jaka terangkat.
"Tidak! Aku akan mencari istriku! Aku akan
menyelamatkannya! Akan kubunuh orang yang telah
menjahatinya!"
"Sampai saat ini kita tidak bisa menentukan
apakah memang ada orang yang memperalat istrimu
dengan mempergunakan ilmu hitam yang dimilikinya.
Tetapi dugaan itu selalu ada, demikian pula dengan
apa yang kuduga. Dan urusan ini ku yakini tidaklah mudah...."
"Apa maksudmu tidak mudah?"
"Kang Jaka... dari ceritamu tadi, aku yakin istrimu tak pernah belajar ilmu
kanuragan, apalagi ilmu hitam yang mengerikan. Tetapi dia kini seperti memiliki
ilmu sakti yang sulit untuk ditandingi. Jadi maksudku... biarlah aku yang
menggantikan mu untuk
menemukan kembali istrimu, sekaligus menemukan
siapakah orang yang telah memperalatnya...."
Kepala Jaka menggeleng-geleng tegas. "Boma...
apa yang kau katakan sungguh menyenangkan hatiku,
karena kini aku tahu ada orang yang berpihak padaku dan hendak menolongku penuh
ketulusan. Tapi biar
bagaimanapun juga, Marinah adalah istriku. Dan aku
ingin melihat keadaannya...."
Raja Naga tak segera menjawab. Dipandanginya
Jaka dengan tatapannya yang angker.
"Kau memang berhak untuk mencari istrimu.
Tetapi ada yang sedikit ku khawatirkan...."
"Aku tak peduli dengan keadaanku!!" sahut Ja-ka tegas. "Aku harus mencari
istriku!" Raja Naga menggeleng. "Bukan itu maksudku."
"Lantas apa yang hendak kau katakan"!"
"Semalam... kalau tak salah menghitung, sudah
tujuh belas nyawa yang dicabut oleh istrimu yang tentunya bukan berada pada
kesadarannya. Untuk saat
ini kita berkeyakinan kalau istrimu telah diperalat seseorang dengan
mempergunakan ilmu hitam melalui
sinar hitam yang kau lihat. Tetapi apakah orang-orang di desamu dapat
memahaminya" Maksudku... bila kau
tiba-tiba menghilang, akan semakin luas tuduhan yang akan menimpamu dan istrimu.
Kau mengerti apa yang
kumaksudkan?"
"Aku tak mengerti...," sahut Jaka jujur. "Bisa jadi orang-orang di desamu
menganggap kalau kau
dan istrimu menganut sebuah ilmu hitam yang memin-
ta korban. Karena mereka selama ini mengenal kau
dan istrimu sebagai orang baik-baik. Kakang Jaka...
pikirkanlah hal itu...."
Kata-kata yang diucapkan oleh Boma Paksi
membuat Jaka terdiam. Dari cahaya matanya dia ma-
sih punya keinginan untuk tetap mencari Istrinya. Tetapi alasan yang dikemukakan
pemuda di hadapannya
sungguh masuk akal.
Setelah terdiam beberapa saat, lelaki itu men-
ganggukkan kepala.
"Ya! Kau memang benar! Pikiran itu harus dile-
nyapkan dari pikiran orang-orang desa ku. Boma...
aku akan kembali ke desa ku untuk menjelaskan du-
duk perkaranya dan kuharap mereka mau mengerti...."
"Bila kau menjelaskannya secara sopan, rinci
dan jujur, aku yakin mereka akan mengerti...."
Jaka mengangsurkan tangan kanannya dan
menggenggam erat-erat tangan kanan pemuda di ha-
dapannya. "Kini aku bersandar dan berharap padamu,
Boma. Tolong kau kembalikan istriku padaku...."
Boma Paksi hanya mengangguk.
"Aku akan mengusahakannya...."
Mendengar jawaban itu, wajah Jaka berubah
lega. Kemudian dia berdiri. Ditatapnya pemuda tam-
pan berompi ungu yang juga sudah berdiri. Lalu tanpa berkata apa-apa, Jaka
segera berlari meninggalkan
tempat itu. Sepeninggal Jaka, Boma Paksi menarik napas
panjang. "Aku belum juga mendapatkan ketenangan se-
lama perjalananku berkelana," desisnya. "Satu urusan berhasil ku tuntaskan, kini
sudah menghadang lagi
urusan lain. Ah, apakah selamanya aku akan mampu
menghadapi urusan yang membentang ini?"
Cukup lama murid Dewa Naga ini terdiam sebe-
lum kemudian mengangkat kepalanya kembali me-
mandangi sekitarnya. Kejap kemudian, dia sudah me-
langkah, mengambil arah ke timur
*** TIGA PERGESERAN waktu memang begitu cepat. Pa-
gi telah berubah menjadi siang dan siang menjelma
menjadi senja. Di senja yang sejuk ini, satu sosok tubuh tua berpakaian putih
panjang ini sedang berdiri di sebuah persimpangan. Wajah sosok tubuh ini
dipenuhi keriput. Tak memiliki kumis tetapi jenggot putihnya menjulai panjang
hingga perut. Rambut putihnya di-kuncir ekor kuda.
Si kakek yang nampaknya selalu mengusap-
usap jenggot panjangnya ini mendadak menarik napas
panjang. Mata tuanya diarahkan ke kejauhan, terlihat bayang-bayang perbukitan
yang berjarak ratusan tombak dari tempatnya.
"Aku telah berpisah dengan Ki Dundung Kali,
yang memutuskan untuk mencari murid murtadnya
yang berjuluk Pengemis Pincang. Ah, apa yang akan
dilakukannya memang tak menyenangkan. Karena di
usia yang semakin menua ini seharusnya dia sudah


Raja Naga 06 Patung Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di tempat yang tenang tanpa adanya usikan da-ri mana pun juga," desis si
kakek pelan. Setelah menghela napas dia berkata lagi, "Tak
seharusnya tadi kukatakan kalau aku akan kembali ke tempatku untuk menghabisi
sisa umurku, padahal
masih ada yang harus kulakukan...."
Kakek ini mengusap-usap jenggotnya lagi.
"Patung Darah Dewa" Ah! Patung itu menyim-
pan rahasia yang kini hanya kuketahui seorang. Kiai Gede Arum telah tewas
diracuni oleh Ratu Dayang-dayang yang kini telah tewas di tangan Raja Naga. Adik
seperguruanku itu sejak lama ingin tahu ada rahasia apa di balik Patung Darah
Dewa. Tetapi Kiai Gede
Arum selalu tak mau mengatakannya, justru dia men-
gatakan rahasia itu kepadaku. Bahkan... ah, bahkan
dia juga mengatakan bagaimana caranya aku meme-
cahkan rahasia itu...."
Si kakek yang bukan lain Peramal Sakti adanya
ini mengusap-usap jenggot putih panjangnya lagi.
Otaknya semakin dipenuhi pikiran-pikiran yang jelas-jelas menggelisahkannya.
"Bila saja Ratu Dayang-dayang tahu rahasia
apa yang ada pada Patung Darah Dewa, apakah dia
akan tetap bersikeras memaksa untuk tahu" Bahkan
untuk mendapatkannya" Ah, aku sendiri tak pernah
berusaha untuk mengetahuinya kendati aku tahu se-
cara pasti dari mulut Kiai Gede Arum...."
Peramal Sakti tiba-tiba terdiam. Kepalanya se-
dikit ditegakkan. Mulutnya nampak berkemak-kemik
dengan tangan kanan tetap asyik mengusap-usap
jenggotnya. "Hemm... ramalanku mengatakan akan terjadi
sesuatu yang mengejutkan kembali, sesuatu yang lebih mengerikan dari urusan Kain
Pusaka Setan. Sebelum
aku pergi bersama Ki Dundung Kali, Raja Naga yang
telah berhasil merebut Kain Pusaka Setan bermaksud
menyerahkannya kembali kepada kami. Tetapi... tetapi satu tenaga gaib telah
menyentak Kain Pusaka Setan
dan tertarik masuk melalui wajah Patung Darah Dewa
yang berdiri tegak tak jauh dari tempat kami sebelumnya. Hanya saja...."
Memutus kata-katanya sendiri, si kakek ter-
diam lagi. Keningnya sesekali berkerut pertanda dia sedang memikirkan segala
kemungkinan. Kemudian
melanjutkan kata-katanya,
"Kiai Gede Arum pernah bercerita, kalau dia telah mengalahkan seorang manusia
durjana yang me-
miliki ilmu hitam yang sangat tinggi. Bahkan setelah orang itu tewas, sebuah
sinar hitam yang merupakan
kumpulan dari ilmu hitamnya melesat dari kepalanya.
Untungnya Kiai Gede Arum berhasil menangkapnya.
Hanya yang membuatnya bingung, ke mana dia harus
membuang sinar hitam itu yang kemungkinan besar
dapat menitis pada seseorang. Lalu dipikirkannya untuk membuat sebuah patung
yang diberi nama Patung
Darah Dewa. Pada patung itulah dia memasukkan se-
kaligus mengunci sinar hitam yang merupakan kum-
pulan dari ilmu hitam orang sesat itu."
Peramal Sakti menarik napas panjang.
"Dan sinar hitam itu akan keluar lagi bila satu benda yang memiliki kesaktian
tinggi masuk ke dalamnya. Sampai kemudian aku berurusan dengan
Durjana Kayangan yang memiliki Kain Pusaka Setan.
Dari mulut Kiai Gede Arum jugalah yang mengatakan
kalau Kain Pusaka Setan dapat membuat sinar hitam
itu keluar. Tapi... ah, aku tak mengerti. Aku tak mengerti...." Peramal Sakti
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keresahan yang jelas-jelas kelihatan.
"Kain Pusaka Setan yang hendak diberikan Ra-
ja Naga padaku mendadak tersedot masuk ke Patung
Darah Dewa. Tetapi tak ada sesuatu yang terjadi. Apakah Kiai Gede Arum salah
berucap" Telah kutunggu
beberapa saat untuk melihat perubahan yang terjadi.
Namun pada kenyataannya Patung Darah Dewa tetap
berdiri kokoh. Hanya saja... hanya saja... mengapa aku meramalkan sesuatu yang
mengerikan telah terjadi"
Ah... kepalaku jadi semakin bertambah pusing...."
(Untuk mengetahui tentang kejadian masuknya
Kain Pusaka Setan ke wajah Patung Darah Dewa, sila-
kan baca episode : "Kain Pusaka Setan").
Kali ini si kakek yang selalu mengusap-usap
jenggot putihnya terdiam cukup lama. Otaknya terus
diperas memikirkan kemungkinan demi kemungkinan
yang dihadapinya. Sampai kemudian dia mengangkat
wajahnya. Diperhatikan lagi sekitarnya.
"Ketimbang aku dipenuhi pikiran tak menentu,
sebaiknya aku kembali ke tempat Ratu Dayang-
dayang...."
Memutuskan demikian, Peramal Sakti segera
melangkah. Saat melangkah, terlihat dia menyeret kaki kirinya yang tulangnya
telah patah akibat dihantam
Setan Gemolong (Baca : "Kain Pusaka Setan").
* * * Malam telah tiba dan terus diseret sang waktu
untuk melintasi kehidupan menuju pagi. Malam yang
cerah dengan sinar rembulan yang cukup terang ini,
menaungi pula sebuah tempat yang cukup besar dan
megah. Dari dalam bangunan besar itu terdengar sua-
ra musik dan tawa yang sangat keras. Rupanya sang
pemilik rumah sedang mengadakan pesta besar-
besaran, terlihat dari banyaknya orang yang hilir mu-dik menuju ke tempat itu
yang melangkah disertai ta-wa keras.
Tepat tengah malam, para pengunjung sudah
berangsur-angsur tinggal sedikit. Sekarang di dalam bangunan itu, di sebuah
ruangan yang cukup besar,
tinggal lima orang saja termasuk si pemilik rumah. Mereka sedang tertawa-tawa
keras. Gelas-gelas berisi
arak merah tumpah ruah di atas meja. Bahkan ada
yang pecah di lantai. Kendi-kendi berisi tuak hanya tinggal beberapa saja yang
masih berisi. Suara gamelan keras masih terdengar.
Lelaki setengah baya berparas tampan yang
mengenakan pakaian hijau dipenuhi perak itu men-
gangkat gelas minumannya tinggi-tinggi. Dipandan-
ginya dulu empat orang tamunya yang masih tinggal di sana sebelum berseru,
"Ayo, Kawan-kawan! Kita habiskan malam ini
dengan segala kesenangan!! Jangan lagi kita dibodohkan dengan segala urusan!
Kita tinggalkan semuanya
untuk malam ini dan menggantikannya dengan kese-
nangan tiada banding!"
Seruannya disambut dengan tawa keras dan
suara-suara meracau oleh empat orang yang masih
tinggal di sana, yang sudah tentu adalah sahabat-
sahabatnya. "Setan Pemetik Bunga! Kau benar-benar berun-
tung memiliki segala kekayaan ini!" seru lelaki berke-pala botak dengan tubuh
sedikit gempal sambil terbahak-bahak. Arak sudah mempengaruhi otaknya. Dia
menunggingkan lagi gelas araknya ke mulutnya. Se-
raya mengusap dengan punggung tangan kirinya yang
gempal itu dia berseru, "Dan kami sebagai sahabat-sahabatmu pada akhirnya juga
turut dapat merasakan
kesenangan ini!"
Lelaki tampan yang dipanggil dengan julukan
Setan Pemetik Bunga tertawa.
"Itulah gunanya seorang sahabat!" senyumnya.
"Tetapi... pesta arak seperti ini rasanya belum lengkap, bila belum ada wanita-
wanita bertubuh montok yang
bisa bikin birahi pada puncak gunung tertinggi!" seru lelaki yang memiliki paras
sangat buruk. Dia mengenakan pakaian biru muda dengan dilapisi rompi hitam.
"Kalian akan mendapatkan suguhan yang me-
narik!" serunya sambil meletakkan gelas araknya. Lalu dia bertepuk tangan tiga
kali. Bersamaan dengan itu suara gamelan semakin
keras dan berkesan mesum. Suasana malam yang din-
gin telah dipanaskan dengan arak-arak merah yang
mengisi perut. Dan kini dipanaskan oleh sesuatu yang lain. Empat orang gadis
bermunculan dari balik sebuah pintu yang terdapat di samping kanan. Gadis-
gadis itu rata-rata memiliki wajah yang sangat cantik.
Rambut mereka panjang tergerai dan mengeluarkan
aroma yang memabukkan. Seiring dengan semakin
kencangnya suara gamelan, empat gadis itu meliuk-
liukkan tubuhnya dengan gerakan erotis.
Saat ini mereka masih mengenakan semua pe-
nutup pakaian yang berwarna merah. Tarian yang me-
reka suguhkan segera disambut oleh tepukan tangan
para tamu Setan Pemetik Bunga yang melotot dan be-
rucap mesum. "Gila! Gila! Setan Pemetik Bunga! Kau benar-
benar sangat tahu apa yang dibutuhkan sahabat-
sahabatmu ini!" seru seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian hitam dengan
jubah biru. Paras si kakek dipenuhi keriput. Sepasang matanya sudah memerah
kena pengaruh arak.
"Junjung Tala! Aku sangat tahu apa yang kau
gemari! Atau... tak ada yang kau minati dari keempat gadis itu"!"
"Gila! Aku justru ingin meniduri semuanya!
Bukan hanya seorang saja!"
"Junjung Tala! Apakah kau tak memikirkan ba-
gian kami"!" seru lelaki yang mengenakan pakaian Jingga terbuka di bahu kanan.
Di atas meja di hadapannya tergeletak sebuah gada.
Junjung Tala melirik, lalu terbahak-bahak.
"Bukan hanya kau saja yang akan menda-
patkan bagian, Gada Iblis! Setan Gempal dan Resi Kawula pun akan mendapatkan
bagian!" Lalu serunya pada Setan Pemetik Bunga, "Bukankah itu yang kau
maksudkan"!"
Setan Pemetik Bunga mengangguk-anggukkan
kepala. Lalu bertepuk tangan sebanyak dua kali. Ga-
dis-gadis dengan pakaian minim muncul membawa
kendi-kendi arak.
Junjung Tala sudah menarik seorang gadis ber-
tubuh bahenol yang karena pakaiannya begitu minim,
memperlihatkan bungkahan payudaranya yang padat.
Si gadis justru tertawa manja dan membiarkan tangan nakal si kakek menyusup pada
bukit kembarnya. Bahkan membiarkan pula saat si kakek meraba paha ha-
lusnya untuk kemudian merambat ke atas.
Apa yang dilakukan oleh Junjung Tala, dilaku-
kan pula yang lainnya. Gelas-gelas arak sudah ter-
banting. Masing-masing orang disibukkan dengan apa
yang ada di hadapan mereka.
Sementara itu empat orang gadis berpakaian
merah semakin liar menari. Perlahan-lahan mereka
membuka pakaian yang mereka kenakan satu persatu
dengan gerakan yang sangat merangsang. Saat pa-
kaian atasnya dibuka, terlihat sebuah pakaian tipis di dalam yang tak mampu
menutupi indahnya bukit
kembar yang masing-masing orang miliki.
Orang-orang liar yang sedang sibuk dengan ga-
dis-gadis yang pasrah dalam pangkuan masing-masing
berseru, "Ayo, lepaskan semua pakaian kalian! Lepaskan!"
Lelaki setengah baya berparas bukan main bu-
ruknya berseru pula, "Benar-benar menyenangkan!
Ayo, aku sudah tak sabar untuk melihat apa yang ka-
lian miliki"!"
Sementara itu Setan Pemetik Bunga diam-diam
tersenyum. "Hemm... kalian sudah masuk perangkapku.
Biar bagaimanapun juga, aku tetap menginginkan ke-
kuasaan dan kalian anggap aku sebagai orang yang
tak bisa dikalahkan. Biarlah... untuk saat ini mereka mabuk dalam arak dan
birahi. Setelah itu gadis-gadisku akan memasukkan pil racun ke gelas masing-
masing yang akan membuat mereka mau tak mau
tunduk pada perintahku bila masih ingin hidup dan
kuberikan pemusnah racun...."
Dari keempat orang yang telah mabuk arak dan
birahi itu, tak seorang pun yang mengetahui maksud
busuk dari Setan Pemetik Bunga yang mengundang
mereka menghadiri pestanya. Mereka sekarang tak bi-
sa lagi berpikir dengan jernih.
Suasana liar dan mesum semakin menjadi-jadi
tatkala empat gadis yang meliuk-liukkan tubuh itu
mulai membuka kain panjang yang mereka kenakan.
Sorakan keras terdengar dari mulut keempat lelaki itu.
Dan masing-masing orang menahan napas tatkala ga-
dis-gadis itu mulai membuka pakaian dalam tipis me-
reka yang segera bercuatan bukit-bukit kembar yang
menggiurkan. Semakin merangsang penuh tantangan
karena bergerak-gerak laksana bandul jam.
Pada puncaknya, tatkala masing-masing gadis
melepaskan penutup yang tinggal satu-satunya.
"Huaaaa!!"
Seruan itu terdengar secara bersamaan tatkala
para penari itu sudah dalam keadaan polos. Pesta gila itu bertambah liar.
Keempat lelaki yang telah masuk perangkap Setan Pemetik Bunga semakin tertawa-
tawa tatkala gadis-gadis yang telah polos itu mendekatinya.
Lalu ganti mencumbu mereka sementara gadis-gadis
yang sebelumnya membawa kendi-kendi arak masuk
kembali ke tempat semula.
"Ayo, ayo kalian nikmati kesenangan ini!!" seru Setan Pemetik Bunga. Kemudian
dia melangkah dengan agak sedikit sempoyongan, masuk ke tempat ga-
dis-gadis pengantar arak tadi.
Di tempat itu, keempat gadis yang sebelumnya
berpakaian minim itu telah mengenakan pakaian serba merah dengan celana pangsi
merah. Setan Pemetik Bunga mendesis, "Bagus! Aku
menyukai kerja kalian! Sekarang kalian berjaga-jaga di depan! Jangan izinkan
seorang pun masuk ke tempat
ini! Siapa pun juga walaupun kalian mengenalnya se-
bagai teman baikku!"
Keempat gadis itu menganggukkan kepala. "Ka-
lian sudah mempersiapkan kamar untuk manusia-
manusia celaka itu?"
"Kami sudah melakukan perintah, Ketua! Ter-
masuk pil-pil racun yang telah kami masukkan ke da-
lam kendi arak!"
"Bagus! Sekarang kalian keluar lewat pintu be-


Raja Naga 06 Patung Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakang! Jaga jangan sampai siapa pun sampai masuk
ke tempat ini!"
Keempat gadis itu segera menjalankan perintah
Setan Pemetik Bunga dengan patuh. Mereka kini ber-
siaga di empat penjuru bangunan megah itu.
Setan Pemetik Bunga tersenyum. Lalu dia kem-
bali ke tempat semula. Pemandangan yang dilihatnya
sudah benar-benar menggila dan ini membuatnya se-
makin tersenyum lebar.
"Untuk apa kalian menikmatinya di tempat se-
perti ini" Aku telah menyiapkan kamar untuk kalian
bersenang-senang!"
"Aku ingin di sini!" seru Setan Gempal meracau.
Tangan gempalnya meremas-remas bukit kembar gadis
di pangkuannya.
"Jangan ganggu kesenanganku, Setan Pemetik
Bunga!" seru Junjung Tala sambil terus menyusupkan mulutnya ke dada gadis
pilihannya. Ucapan-ucapan meracau itu semakin membuat
Setan Pemetik Bunga tersenyum kesenangan. Dia se-
gera memberi isyarat dengan satu tepukan tangan pa-
da keempat gadis yang telah polos tanpa sehelai be-
nang pun. Keempat gadis itu telah mengerti apa maksud-
nya. Lalu dengan segala bujuk rayu mereka membawa
keempat lelaki yang terbahak-bahak. Pengaruh arak
dan birahi telah membutakan mereka hingga seperti
kerbau dicocok hidung mereka menurut saja.
Resi Kawula mendesis seraya merangkul gadis
yang memeluk pinggangnya, "Kau memang benar-
benar sahabat yang baik, Setan Pemetik Bunga!"
Lelaki berparas tampan yang mengenakan pa-
kaian hijau dihiasi pernik perak itu mengangguk-
anggukkan kepala.
"Yah... inilah pesta yang sesungguhnya.... Ka-
lian nikmatilah sepuas-puasnya...."
Menyusul kemudian terdengar empat buah pin-
tu ditutup dengan cara disentakkan. Di lain saat sua-ra-suara cekikikan diiringi
napas terengah yang cukup
keras terdengar.
Di tempatnya Setan Pemetik Bunga tersenyum
sambil mengusap-usap dagunya yang kelimis.
"Setelah kalian minum arak yang telah dimasu-
ki pil-pil beracun itu, kalian akan tertidur sampai malam kembali datang. Dan
kalian akan terkejut dengan apa yang terjadi kemudian...," desisnya puas.
Lalu tawa kerasnya terdengar, menggema di
tempat yang telah dipenuhi dengan aroma arak dan
kemesuman. Suara gamelan tetap terdengar.
*** EMPAT MENJELANG pagi tiba, Raja Naga yang sedang
mencoba mencari Marinah tiba di sebuah perkampun-
gan. Dan anak muda dari Lembah Naga ini langsung
tersentak tatkala melihat betapa tempat itu telah porak poranda.
"Astaga! Apakah semalam telah datang sege-
rombolan gajah liar ke tempat ini?" desisnya dengan perasaan tak menentu.
Ditelitinya mayat-mayat yang
berserakan yang rata-rata patah punggungnya, kemu-
dian dicobanya untuk menemukan apakah memang
masih ada orang yang masih hidup.
Tetapi sampai matahari sepenggalah, murid
Dewa Naga ini tak menemukan ada orang yang masih
hidup di perkampungan kecil itu. Seketika dia merasakan kemasygulan dan
kepedihan yang dalam.
"Siapa orang yang telah dengan kejinya mem-
bunuhi orang-orang ini...," desisnya dalam hati. "Ah,
betapa banyaknya kekejian yang terpampang di muka
bumi ini...."
Baru saja habis ucapannya, tiba-tiba didengar-
nya satu suara dari belakangnya, "Oh! Ternyata aku salah! Ternyata masih ada
yang hidup di sini!"
Seruan itu seketika membuat Raja Naga mem-
balikkan tubuh. Dilihatnya satu sosok tubuh berkerudung warna jingga telah
berdiri di hadapannya.
Di pihak lain, perempuan berwajah cantik yang
diperkirakan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu urung untuk bersuara lagi
begitu melihat paras dan tatapan si pemuda.
"Astaga!" desis perempuan berpakaian serba jingga ini dengan mulut sedikit
menganga. Lorong indah membuka dan memperlihatkan warna merah jam-
bu di dalamnya. "Parasnya... parasnya begitu tampan.
Tetapi tatapan itu... gila! Tatapan itu sangat mengerikan! Dan... ah, kedua
tangannya sebatas siku bersisik coklat!" Raja Naga tahu arti dari tatapan si
perempuan yang tentunya terkejut melihat sorot angker dari sepasang matanya.
Lamat-lamat dia tersenyum.
"Perempuan berkerudung jingga! Kau tadi be-
rucap kalau masih ada yang hidup di sini, dan ten-
tunya yang kau maksudkan adalah aku! Apakah itu
artinya sebelumnya kau telah tiba di tempat ini?"
Masih dengan sorot mata tercengang si perem-
puan berkerudung mengangguk-anggukkan kepala.
"Apakah kau mengetahui siapa atau makhluk
apa yang telah bertindak sedemikian kejam seperti
yang kita lihat ini?"
Kembali perempuan berkerudung itu mengang-
guk. "Oh! Siapakah orang itu?" Kali ini perempuan
berkerudung jingga menarik napas lebih dulu. Kemu-
dian diedarkan pandangannya untuk menatap mayat-
mayat yang bergeletakan.
"Sesungguhnya, aku datang pada saat yang ti-
dak tepat...."
"Apa maksudmu dengan saat yang tidak tepat?"
Perempuan berparas cantik berkerudung jingga itu
mengangkat kepalanya.
"Anak muda... sebelum ini aku melangkah tak
jauh dari perkampungan ini. Tatkala terdengar suara letupan dan teriakan
kematian, aku segera mendatangi tempat ini. Dan yang kulihat kemudian hanyalah
seorang perempuan yang berusia sekitar dua puluh tahun yang sedang melempar
seorang lelaki yang seketika
mati. Aku segera memburu gadis itu yang sejenak berbalik padaku dengan tatapan
tajam. Karena melihat
keganasannya, aku mencoba untuk menahannya. Te-
tapi tahu-tahu gadis itu sudah berkelebat meninggalkan tempat ini. Aku pun
segera mengejarnya, tetapi
gadis itu lebih dulu lenyap...."
Raja Naga mengerutkan keningnya.
"Kau katakan seorang gadis" Apakah kau men-
genal gadis itu?"
"Tidak! Nampaknya dia seorang gadis yang ma-
sih muda, tetapi sudah memiliki ilmu yang sedemikian mengerikan. Dan satu hal
yang membuatku menduga
kalau gadis itu memiliki ilmu hitam, karena dia tak mengenakan pakaian.
Membiarkan payudaranya terbuka lebar...."
Mendengar kata-kata terakhir si perempuan
berkerudung, kepala Raja Naga menegak.
"Tak mengenakan pakaian katamu"!"
Perempuan di hadapannya memandang sejenak
sebelum menganggukkan kepala.
"Ya! Anak muda... apakah kau mengenalnya?"
Raja Naga menarik napas panjang.
"Siapa lagi orangnya yang lakukan tindakan ke-
jam ini kalau bukan Marinah" Perempuan yang tiba-
tiba mengamuk dan kuduga sedang diperalat oleh se-
seorang dengan masuknya sinar hitam pada tubuh-
nya...," katanya dalam hati.
Sadar kalau perempuan berkerudung jingga se-
dang menunggu jawabannya. Raja Naga segera mence-
ritakan apa yang dialaminya sebelumnya.
"Astaga! Sungguh kejam sekali orang yang telah memperalatnya!"
"Ya!"
"Jadi kemampuan dan kekejaman yang dilaku-
kannya itu bukan karena kehendaknya sendiri?"
"Aku lebih mempercayai kata-kata suaminya."
Tak ada yang keluarkan suara. Sehelai daun
gugur dan jatuh menimpa seorang lelaki tua yang telah menjadi mayat.
Perempuan berkerudung Jingga berkata, "Anak
muda... sejak tadi kita sudah bicara banyak, tetapi masing-masing orang belum
memperkenalkan diri.
Siapakah namamu, Anak Muda?"
Raja Naga tersenyum, tetap dengan sorot ma-
tanya yang angker.
"Namaku Boma Paksi. Aku datang dari Lembah
Naga dan julukanku Raja Naga...."
"Raja Naga?" ulang si perempuan terkejut.
Raja Naga mengangguk.
"Oh! Jadi... kau orangnya yang berjuluk Raja
Naga, Anak Muda" Pemuda yang kini ramai dibicara-
kan orang karena telah berhasil membunuh Hantu
Menara Berkabut beberapa waktu lalu?"
Raja Naga hanya tersenyum.
"Kau terlalu melebih-lebihkan diriku. O ya, aku belum mengetahui siapa kau
adanya...."
"Hemm... kau boleh memanggilku dengan sebu-
tan Dewi Kerudung Jingga."
Raja Naga tersenyum lagi.
"Baiklah kalau begitu. Dewi Kerudung Jingga,
sebaiknya kita kuburkan dulu mayat-mayat ini sebe-
lum burung-burung bangkai menjadikan mereka seba-
gai sasaran."
Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepala.
Lalu keduanya segera bekerja keras menggali
beberapa tanah di tempat itu. Empat sosok mayat di-makamkan pada satu lubang.
Hampir sepenanakan
nasi pekerjaan itu baru mereka selesaikan. Kini yang nampak gundukan tanah di
sana-sini. Perkampungan
itu telah berubah menjadi tempat pemakaman yang
angker. Raja Naga memandang Dewi Kerudung Jingga
yang sedang mengusap keringatnya.
"Dewi Kerudung Jingga, aku telah berjanji pada suami Marinah, perempuan yang
telah diperalat seseorang dengan memasukkan sinar hitam untuk men-
gembalikan padanya. Aku juga tak ingin perempuan
yang telah hilang kesadarannya itu akan semakin me-
nimbulkan keonaran hingga memancing kemarahan
para tokoh rimba persilatan. Sebaiknya... kita berpisah saja di sini...."
Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepa-
lanya. "Raja Naga... mendengar penjelasan mu aku menjadi kasihan atas nasib
perempuan bernama Marinah itu. Walaupun semula aku menjadi gusar akan
tindakannya. Yah... aku akan mencari perempuan itu
sebelum bermunculan orang-orang yang hendak
menghentikan sepak terjangnya...."
Raja Naga tersenyum.
"Terima kasih atas kesediaanmu. Bukan ber-
maksud mengajarimu, yang harus kita cari adalah
orang yang telah memperalatnya. Juga dengan maksud
apa orang itu memperalatnya...."
Dewi Kerudung Jingga mengangguk.
"Ya. Senang berjumpa denganmu...."
"Demikian pula denganku...."
Habis berkata demikian, murid Dewa Naga ini
segera melangkah meninggalkan Dewi Kerudung Jing-
ga. Perempuan cantik berkerudung Jingga itu mem-
perhatikannya sampai sosok pemuda bersisik hijau itu menghilang di balik
ranggasan semak.
Kemudian dia sendiri segera bergerak ke tempat
yang berlawanan arah.
* * * Sampai senja datang kembali, Raja Naga belum
menemukan jejak-jejak berarti dari orang yang dica-
rinya. Perasaan pemuda ini semakin tak enak saja
memikirkan kemungkinan demi kemungkinan yang
akan timbul. Dia dapat membayangkan bila orang-
orang rimba persilatan sudah bermunculan dan men-
ganggap perempuan tak berdosa itu adalah sebagai
musuh besar mereka.
"Orang yang telah memperalat istri Kakang Ja-
ka itulah yang harus kucari. Karena kupikir, akan sulit membuang ilmu yang
dimasukkannya ke tubuh Marinah. Tetapi... siapa orang yang telah memperalatnya?"
Perasaan bingung lamat-lamat mulai melanda
hati murid Dewa Naga. Dia memandang ke depan,
memperhatikan jalan setapak yang tumpang tindih
dan di sana-sini dipenuhi semak belukar.
"Urusan ini memang lebih membingungkan ka-
rena aku belum mengetahui siapa lawanku yang se-
sungguhnya. Bisa jadi orang itu akan muncul dan
membokongku atau bersikap laksana malaikat...."
Bersamaan habis ucapannya, Raja Naga meno-
leh ke kanan. Sepasang matanya yang tetap bersorot
angker dan berkesan bengis itu memandang tajam ke
balik ranggasan semak.
"Hemm... kutangkap langkah terseret yang
mengarah padaku...," desisnya dalam hati. "Tentunya orang ini sudah melihatku.
Kalau begitu, biar kutunggu saja...."
Tiga tarikan napas berikut, semak berjarak se-
puluh langkah dari hadapan Boma Paksi menguak. Sa-
tu sosok tubuh berpakaian putih panjang muncul den-
gan kaki kiri diseret.
"Peramal Sakti!" seru Boma Paksi setelah mengenali siapa adanya orang.
Orang yang melangkah itu tersenyum, lalu
menghentikan langkahnya sejarak lima langkah dari
hadapan Raja Naga.
"Hemmm... apa kabarmu, Anak Muda" Nam-
paknya dunia ini begitu sempit. Belum lama kita berpisah, kini sudah berjumpa
kembali...."
Raja Naga merangkapkan kedua tangannya di
depan dada. "Kabar ku baik-baik saja. Bagaimana dengan-
mu sendiri, Orang Tua?"
"Seperti yang kau lihat! Keadaanku baik-baik
saja...." Raja Naga melirik kaki kiri si kakek yang kelihatan tak berfungsi sama
sekali. Diam-diam anak mu-


Raja Naga 06 Patung Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da dari Lembah Naga ini menarik napas pendek.
"Hemm... hantaman mendiang Setan Gemolong
telah mengakibatkannya cacat seumur hidup...," desisnya dalam hati.
Peramal Sakti tersenyum melihat tatapan si
pemuda mengarah pada kaki kirinya. Dia mengusap-
usap Jenggot putihnya.
"Melihat keadaanmu, nampaknya kau sedang
dibingungkan oleh sesuatu. Benarkah apa yang kuka-
takan?" Raja Naga mengenal Peramal Sakti sebagai orang golongan lurus. Bahkan
pernah bersama-sama
dengannya menuntaskan urusan Kain Pusaka Setan.
Lalu tanpa menutupi apa yang diketahuinya, murid
Dewa Naga ini segera menceritakan urusan yang me-
musingkan kepalanya.
Lamat-lamat dilihatnya perubahan pada wajah
Peramal Sakti. Tetapi Raja Naga tak segera melontarkan keheranannya.
Dia justru mendengar kata-kata Peramal Sakti
kemudian yang tetap sambil mengusap-usap jenggot
putihnya, "Ternyata... ramalanku memang benar. Ah, se-
buah kenyataan yang sebenarnya ingin ku pungkiri
sendiri...."
Walaupun keheranannya semakin besar, Raja
Naga tetap menutup mulut.
Peramal Sakti menatapnya.
"Anak muda... ingatkah kau pada Kain Pusaka
Setan yang telah lenyap masuk ke Patung Darah De-
wa?" "Sudah tentu aku mengingatnya, Orang Tua."
"Dari sanalah petaka yang menimpa perempuan
bernama Marinah itu terjadi...."
Kali ini Raja Naga mengerutkan keningnya.
"Hemmm... ketika Kain Pusaka Setan tersedot
masuk melalui wajah Patung Darah Dewa, aku sempat
melihat ketegangan yang terpancar pada wajah kakek
ini, yang kemudian kelihatan tenang kembali. Tetapi tetap saja kala itu aku
berkeyakinan kalau dia mengetahui sesuatu."
Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Aku belum dapat memahami apa yang kau maksud-
kan, Orang Tua."
Peramal Sakti tak segera menjawab. Dibawa
pandangannya ke kejauhan sementara tangan kanan-
nya tetap mengusap-usap jenggot putih panjangnya.
Lalu terdengar kata-katanya. "Belum lama ini
aku baru saja kembali dari tempat Patung Darah Dewa berada. Menurut ramalanku,
akan terjadi sesuatu
yang mengerikan. Patung Darah Dewa telah berubah.
Ada tetesan darah yang telah mengering pada sekujur patung itu, yang membuatku
bertambah pasti kalau
sesuatu memang telah terjadi. Dan nampaknya, ilmu
manusia durjana yang telah tewas di tangan Kiai Gede Arum, guruku itu, yang
berupa sinar hitam telah keluar dari Patung Darah Dewa...."
"Astaga! Orang tua... apakah yang kau mak-
sudkan sinar hitam itulah yang menyebabkan perem-
puan bernama Marinah menjadi sedemikian kejam?"
potong Raja Naga membeliak.
Peramal Sakti mengangguk. "Ya... aku merasa
pasti akan hal itu. Perempuan bernama Marinah ber-
nasib sangat malang. Dialah orang yang dipilih ilmu hitam itu sebagai wadah."
"Orang tua... mengapa justru dia yang dipilih?"
"Aku tak pernah mengerti. Aku juga tak men-
gerti mengapa orang yang telah mati ilmunya dapat
berkumpul menjadi satu sinar hitam. Tetapi di muka
bumi ini, tak ada sesuatu yang aneh lagi. Semuanya
dapat saja terjadi...."
Raja Naga tak membuka mulut lagi. Otaknya
semakin dipenuhi pikiran demi pikiran yang tak me-
nentu. Kemudian dilihatnya Peramal Sakti menarik
napas panjang. "Anak muda... usiaku sudah semakin bertam-
bah. Kekuatanku juga sudah semakin berkurang. Te-
tapi tak kusangka kalau di usiaku yang semakin me-
masuki ambang malam ini urusan sudah terbentang
luas...." "Orang tua... biarlah aku yang akan menangani urusan Patung Darah
Dewa...." "Kau tak tahu apa yang sedang kau hadapi."
"Aku telah memahaminya."
"Tetapi hanya sebagian kecil yang dapat kau
pahami, karena aku sendiri tak memahaminya. Satu
satunya orang yang memahami urusan ini adalah Kiai
Gede Arum. Tetapi dia telah tewas akibat racun yang dilakukan oleh Ratu Dayang-
dayang yang merupakan
muridnya dan juga adik seperguruanku...."
Raja Naga tersenyum.
"Biarlah aku yang menangani urusan ini. Bila
aku tak mampu melakukannya, aku akan mencarimu
untuk meminta bantuan...."
Mendengar kata-kata itu Peramal Sakti terse-
nyum. "Anak muda ini memiliki sorot mata angker mengerikan, tetapi hatinya
sedemikian lembut," desisnya dalam hati. Kemudian berkata, "Kurasa... begitu
lebih baik. Raja Naga, kau lihat keadaanku sekarang.
Kaki kiriku sudah tak berfungsi dan ini membuat keadaanku serasa tak berdaya
walaupun aku tetap memi-
liki semangat besar untuk menuntaskan urusan Pa-
tung Darah Dewa."
Raja Naga tersenyum.
"Biarlah aku yang menanganinya. Kau memang
patut untuk berada di tempat yang tenang, Orang Tua.
Oya, ke manakah Ki Dundung Kali?"
"Dia sedang mencari murid murtadnya yang
menjadi pangkal petaka urusan Kain Pusaka Setan.
Mudah-mudahan dia tak akan mengalami kesulitan
untuk menemukannya...," sahut Peramal Sakti sambil menarik napas pendek. Lalu
berkata, "Kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu, Anak Muda...."
Raja Naga cuma mengangguk. Lalu diperhati-
kannya Peramal Sakti yang kemudian melangkah den-
gan menyeret kaki kirinya sampai sosok kakek berpa-
kaian putih panjang itu lenyap dari pandangan.
"Kini aku sudah mendapatkan kejelasan dari
urusan ini. Ternyata sinar hitam itu bukanlah milik seseorang yang memperalat
Marinah, melainkan kumpulan dari ilmu hitam yang telah berbentuk sebuah sinar
dari orang yang telah tewas di tangan Kiai Gede Arum. Hemm... malam sebentar
lagi datang, sebaiknya aku segera teruskan langkah...."
Dua tarikan napas berikut, Raja Naga sudah
meninggalkan tempat itu.
*** LIMA BANGUNAN besar yang di dalamnya masih ter-
cium aroma arak dan kemesuman kini telah sunyi.
Gamelan yang sebelumnya terdengar keras mengiringi
tarian erotis kemarin malam, tak terdengar sama seka-li.
Di tengah-tengah ruangan itu, duduk Setan
Pemetik Bunga dengan kaki terangkat di pegangan
kursi sebelah kiri. Sejak tadi bibirnya selalu tersenyum. Matanya memandang
beberapa orang lelaki
yang mengenakan blangkon dan pakaian lurik yang
bergeletakan menjadi mayat.
Astaga! Rupanya gamelan liar yang terdengar
sejak kemarin malam itu terhenti dikarenakan para
pemainnya telah tewas dengan dada bolong dibunuh
oleh Setan Pemetik Bunga sendiri!
Suara lelaki berparas dingin yang mengenakan
pakaian hijau dihiasi pernik perak ini terdengar,
"Hemmm... kalian adalah manusia-manusia bodoh
yang mau datang ke pestaku untuk mengiringi tarian
dengan gamelan. Yah... aku telah cukup membayar
pekerjaan kalian dengan nyawa kalian sendiri...."
Baru habis ucapannya terdengar, mendadak
terdengar teriakan dari salah satu kamar yang terdapat di sana. Menyusul pintu
terdorong copot dari engsel-nya terhantam sesuatu. Dan bersamaan pintu itu ter-
banting di atas tanah, satu sosok tubuh jelita yang tak mengenakan selembar
pakaian pun telah tergolek dengan leher patah!
Seketika Setan Pemetik Bunga berdiri.
Satu sosok tubuh tua berpakaian hitam dengan
jubah biru muncul dari kamar itu dengan langkah
sempoyongan. Mulutnya mengeluarkan makian-
makian kasar, "Manusia jahanam! Setan Pemetik Bunga! Di
mana kau"!"
Setan Pemetik Bunga menyeringai.
"Aku berada di sini, Junjung Tala!"
Si kakek segera mengarahkan pandangannya
pada lelaki tampan yang sedang menyeringai itu. Ma-
tanya yang memerah mendelik gusar.
"Manusia terkutuk! Apa yang kau lakukan se-
benarnya, hah"!"
Matahari Esok Pagi 16 Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Pedang Darah Bunga Iblis 4
^