Pencarian

Pusara Keramat 1

Raja Naga 15 Pusara Keramat Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU Pratiwi yang masih dalam keadaan polos,
segera menyembunyikan dirinya di belakang Raja
Naga. Paras gadis jelita ini nampak tegang, karena tak disangkanya akan muncul
dua orang bersosok
aneh di tempat itu.
Di pihak lain pemuda berompi ungu dari
Lembah Naga, memandang tak berkedip pada
orang-orang yang baru muncul. Sorot mata anak
muda itu tetap tajam. Mereka masih berada di da-
lam sungai. Kedua orang yang muncul secara tiba-tiba
itu saling pandang dengan seringaian lebar di bibir masing-masing. Si nenek
berpakaian compang-camping hingga memperlihatkan pepaya busuk
yang menggantung di dadanya, harus menunduk.
Sementara lelaki tua kontet berambut sejumput
harus mendongak untuk balas memandangnya.
"Kontet!" seru si nenek berpunuk sambil terkikik. Cairan merah yang berasal dari
sirih yang dikunyahnya muncrat. Sedikit membasahi wajah
si kontet yang mengelap dengan punggung tangan
kanannya sambil mendengus. "Rupanya kita tidak perlu bersusah payah mencari
jejaka tampan dan
gadis jelita! Tuh, kau lihat sendiri, bukan"! Hik hik hik... mereka seperti
hidangan empuk yang memang telah disediakan untuk kita!"
Lelaki tua kontet berpakaian warna hijau
sangat kusam, terkekeh-kekeh geli. Tongkat yang
di ujungnya melingkar kawat berwarna hitam yang
dipegangnya digerak-gerakkan.
"Nyi Bawung! Kali ini sih aku tidak perlu
harus berpikir hingga mau tak mau menghisap
pepaya busukmu yang menggantung itu! Kita juga
tidak perlu memilih!"
Si nenek tanpa gigi yang rambutnya dige-
lung ke atas itu memandang kembali ke arah sun-
gai. Dia menyeringai lebar sebelum berkata, "Yang satu tampan..., yang satu
cantik! Amboi, betul-betul pasangan yang serasi! Betul, betul! Kau tidak perlu
berpikir sehingga dadaku yang montok ini tidak harus dihisap oleh mulutmu yang
bau!" Si Kontet mendengus.
"Montok"! Edan! Nyi Bawung... apa kau su-
dah sinting, model dada kayak pepaya busuk itu
kau katakan montok"! Tuli! Kau lihat tadi kan"
Sepasang bukit kembar gadis yang bersembunyi
karena malu padaku itu yang bisa disebut mon-
tok!" Si nenek tak peduli.
"Tapi sialannya, kita tidak melihat lagi ke-lanjutan kemesraan mereka! Ini gara-
gara kau, Kontet! Yang sudah tidak sabaran!"
Si Kontet yang bernama asli Beliung Kutuk
terkekeh-kekeh sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Mana bisa aku menahan lebih lama lagi.
Apa kau tidak lihat tadi, bukit kembar halus yang menggantung di dada gadis
itu"! Bagus betul! Tidak seperti bukitmu yang sudah rata begitu! Tidak tahu malu
lagi, karena nekat masih menggantung!
Benar-benar pepaya busuk!"
Tak! Si nenek menjitak kepala si Kontet yang se-
gera mengusap-ngusapnya.
"Ayo cepat hisap dadaku biar kau bisa ber-
pikir!" Si Kontet melotot.
"Buat apa aku menghisap dadamu lagi" Se-
karang sih tidak perlu dipikir aku juga sudah tahu apa yang harus kulakukan!"
Sementara orang-orang bersosok aneh itu
berbicara, Raja Naga berbisik, "Pratiwi... kau mundur pelan-pelan. Usahakan agar
tubuhmu tidak terlihat oleh mereka...."
Di belakangnya Pratiwi yang masih dalam
keadaan polos mengangguk. Ucapan pemuda yang
lengan kanan kirinya sebatas siku dipenuhi sisik coklat itu, menandakan kalau si
pemuda menganggap kedua orang yang baru muncul itu bukan
orang baik-baik.
Pratiwi sendiri juga menduga seperti itu. Pe-
lan-pelan dibenamkan tubuhnya di dalam air, lalu melangkah ke belakang.
Diputuskan dia akan segera melompat bila jarak sudah cukup dekat den-
gan tanah. Tetapi... blaaarrr!!
Serangkum angin telah menghantam air di
hadapannya hingga muncrat ke udara dan mau
tak mau membuat Pratiwi mengurungkan niatnya.
"Brengsek! Kau ini mau ke mana, hah"! Aku
masih ingin melihat tubuhmu!!" seru Beliung Kutuk yang tadi menggerakkan tongkat
berujung ka- wat melingkar. "Setan kontet!!" geram Pratiwi gusar. Hampir saja dia berdiri tegak untuk
melepaskan serangan balasan bila tak ingat keadaannya.
"Tahan amarahmu," bisik Raja Naga. "Kita sama-sama belum mengenal siapa kedua
orang ini. Dan nampaknya mereka bukan tergolong
orang baik-baik. Di mana kau simpan pakaian-
mu?" "Di balik ranggasan semak sebelah kanan...." Raja Naga tak buka suara lagi.
Sorot mata angkernya tetap tajam pada masing-masing orang
aneh yang berdiri di seberang.
"Kau memang tak sabaran, Kontet! Kau kan
seharusnya memberi gadis itu kesempatan untuk
berpikir"!"
"Berpikir" Berpikir apa?" sambar si Kontet diiringi dengusan. Kepalanya
mendongak pada Nyi
Bawung. "Ya... berpikir untuk memutuskan apakah
dia mau melayanimu atau tidak!" sahut Nyi Bawung sambil terkikik.
"Tidak lucu! Sudah tentu dia akan melaya-
niku! Lagi pula, kalau dia tidak mau... akan ku
cabik-cabik tubuh mulusnya! Tapi... tidak, ah!
Sayang, ah!"
Nyi Bawung terkikik seraya mengangkat ke-
palanya ke depan. Mulutnya yang tanpa gigi asyik mengunyah-ngunyah sirihnya.
"Hei, Jejaka tampan dan Gadis manis! Ayo
kalian cepat kemari! Kedua majikanmu ini sudah
tidak sabar untuk kau layani! Betul tidak, Tet"!"
"Nenek setan! Pergi kau dari sini!" bentak Pratiwi sengit. Gadis itu sudah tidak
sabar untuk membungkam mulut kedua orang itu. Tetapi karena keadaannya yang
tidak memungkinkan, maka
dia hanya bisa memendamnya dalam hati.
Di pihak lain, Raja Naga sejak tadi belum
juga beranjak dari tempatnya. Kalau dia beranjak, berarti dia membiarkan kedua
orang itu bebas
memandangi Pratiwi walaupun Pratiwi bisa me-
nyembunyikan tubuhnya di dalam air. Tetapi ke-
mungkinan lelaki kontet berpakaian hijau sangat
kusam segera memburu ke dalam air, tidak mus-
tahil terjadi. Di samping itu Raja Naga juga masih dibin-
gungkan oleh kenyataan mengapa dia tak menge-
tahui kehadiran kedua orang itu. Dari sikap mas-
ing-masing orang, jelas kalau keduanya sudah cu-
kup lama berada di sana. Bisa jadi di saat dia
bermesraan dengan Pratiwi di dalam air, menjadi
tontonan kedua orang aneh itu.
Memerah paras Raja Naga menahan geram
memikirkan soal itu. Sorot mata angkernya berki-
lat-kilat bertambah angker.
Beliung Kutuk berseru jengkel, "Nyi Ba-
wung! Mereka rupanya semacam anak-anak nakal
juga! Kau lihat sendiri kan, kalau mereka tak men-gindahkan perintahmu"!"
Nenek bongkok karena punggungnya ber-
punuk itu terkikik.
"Kalau kau berpikir begitu, mengapa tidak
segera kau sergap saja yang gadis" Lihat! Dia pasti
sudah menggigil kedinginan, dan itu tugasmu un-
tuk menghangatkannya! Tapi apa iya ya kau bisa
melakukannya kalau anumu itu cuma segede ke-
lingking"!"
"Kau lihat saja nanti! Kau pasti iri setelah melihat bagaimana gadis itu
menjerit penuh kenikmatan!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja Beliung Ku-
tuk melompat ke arah sungai. Lompatannya san-
gat cepat dan meninggalkan bekas kedua kakinya
di atas tanah. Pratiwi yang sudah tak kuasa menahan
amarahnya, siap untuk mendorong tangan kanan
kirinya, menyambut tubuh Beliung Kutuk. Tetapi
Raja Naga sudah bertindak lebih dulu.
Buk! Buk! Tangan kanannya membentur tangan ka-
nan Beliung Kutuk yang siap menyambar Pratiwi.
Benturan itu membuat Beliung Kutuk memekik
tertahan seraya membuang tubuh ke belakang.
Jarak tanah dengan tubuh Beliung Kutuk
cukup jauh sementara lompatan tubuhnya agak
sedikit limbung karena benturan tadi. Maka mau
tak mau tubuhnya pun masuk ke dalam air.
Byuuurrr!! Nyi Bawung seketika terkekeh keras.
"Busyet! Kau ini mau menikmati tubuh mu-
lus itu, atau mau mandi"!"
"Setan!!" seru Beliung Kutuk yang segera menggerakkan kedua kakinya bila tidak
ingin tenggelam. Dalamnya sungai itu sebenarnya hanya
sebatas pinggang Raja Naga, tetapi karena tubuh
Beliung Kutuk lebih pendek makanya dia bisa
tenggelam. Pyaaarrr!! Wrrruussss!! Air itu seperti terbelah dan bermuncratan
ketika Beliung Kutuk memukulkan telapak tangan
kirinya. Muncratan air sungai itu tidak seperti
muncratan biasa. Muncratan itu laksana puluhan
jarum berkekuatan tinggi
Raja Naga mendeham.
Blaaarrr!! Muncratan air yang menyerbu ke arahnya
tertahan dan beterbangan ke udara. Tatkala ber-
hamburan lagi di atas air terdengar suara letupan cukup keras.
"Hebat!" desis Raja Naga dalam hati melihat hal itu. "Aku bisa jadi menjatuhkan
si Kontet itu sekarang juga. Tetapi bila aku bergeser dari tem-patku ini, maka
mau tak mau mereka akan meli-
hat tubuh Pratiwi yang masih polos" Ah, mengapa
aku tidak mengetahui kehadiran mereka?"
Semua itu terjadi karena Nyi Bawung telah
mengerahkan ilmu 'Penyesat Suara' yang dimili-
kinya. Bila ilmu itu sudah dikerahkan, maka tak
seorang pun yang akan mengetahui kehadirannya.
Nyi Bawung terkikik melihat wajah Beliung
Kutuk memerah. "Ayo! Kenapa kau masih main-main, hah"!
Masa menghadapi anak ingusan begitu kau harus
lintang pukang"!"
Beliung Kutuk melotot. Main-main" Sung-
guh keparat nenek itu! Padahal dia sudah mem-
pergunakan seperempat tenaga dalamnya untuk
menghamburkan butiran air sungai tadi.
"Nyi Bawung!" serunya sambil melompat dan hinggap di samping kanan Nyi Bawung.
Seluruh tubuhnya basah. Tetapi rambutnya yang se-
jumput tetap berdiri kaku. "Kau akan melihat apa yang akan kulakukan"!"
"Busyet! Sejak tadi aku juga melihatnya"!
Ayo, cepatan kau ambil gadis montok itu! Aku su-
dah tidak sabar untuk mendapatkan jejaka tam-
pan itu!" Mengkelap wajah Beliung Kutuk mendengar
ejekan Nyi Bawung. Tiba-tiba tangan kirinya sudah berada di depan dada,
sementara kepalanya sedikit ditegakkan. Sepasang matanya melotot gusar,
seperti hendak menelan Raja Naga yang dua kali
menghalangi niatnya.
Raja Naga memperhatikan tak berkedip. Ba-
tinnya mengatakan kalau si Kontet hendak menge-
luarkan salah satu ilmunya yang sudah tentu tak
bisa dipandang sebelah mata.
Di belakangnya, Pratiwi berbisik, "Boma...
apa yang harus kulakukan" Dalam keadaan seper-
ti ini aku seperti berada dalam pasungan."
"Kau tetap berada di dalam air. Usahakan
jangan menampakkan bagian tubuhmu. Pratiwi...
aku akan mencoba memancing manusia kontet itu
untuk mengalihkan perhatiannya sejenak darimu.
Setelah itu, kau cepat keluar dari dalam air. Mengerti?" Pratiwi mengangguk.
"Ya, ya...."
Di seberang Beliung Kutuk masih berdiri te-
gak, tetapi sekarang mulutnya telah berkemak-
kemik. Nyi Bawung terkikik-kikik sambil mundur
dua langkah. "Busyet! Kau mau keluarkan Ilmu 'Tongkat
Menohok Matahari'" Wah! Mana bisa kau pergu-
nakan ilmu jelek kayak begitu"!"
Beliung Kutuk tak mempedulikan ejekan itu
kendati hatinya menjadi mangkel. Karena ucapan
Nyi Bawung itu mengingatkannya akan kekala-
hannya dari Nyi Bawung.
Raja Naga sendiri tetap berdiri tegak di da-
lam air. Lambat-lambat dilihatnya dari kawat yang melingkari ujung tongkat si
Kontet mengeluarkan


Raja Naga 15 Pusara Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asap hitam yang menyebarkan bau busuk. Bahkan
baunya telah tercium oleh Raja Naga dan Pratiwi.
Menyusul asap hitam yang menyebarkan
bau busuk itu melingkar-lingkar ke udara dan
mengeluarkan suara cukup keras.
Mendadak.... Wussss!! Pusaran asap hitam yang menyebarkan bau
busuk itu meliuk, dan menyerbu ganas ke arah
Raja Naga. Kendati telah bersiaga untuk mengha-
dapi serangan si Kontet, tetapi pemuda dari Lem-
bah Naga itu tersentak juga.
Dia mendeham, yang merupakan pengera-
han tenaga dalam yang dapat memutuskan seran-
gan lawan. Blaaammm!! Letupan itu terdengar cukup memekakkan
telinga. Asap hitam yang menyerbu ke arahnya
meletup dan lenyap. Tetapi secara mengejutkan,
asap hitam busuk itu muncul kembali dan meng-
gebrak. Pusarannya bertambah membesar. Pepo-
honan yang tumbuh di sekitar sungai itu, lang-
sung mengering dedaunannya.
"Astaga!" seru Raja Naga tertahan. Segera saja didorong kedua tangannya untuk
melepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.
Serta-merta menderu gelombang angin yang
disemburati asap merah, menabrak pusaran asap
hitam yang menyebarkan bau busuk.
Bertemunya dua tenaga dalam tingkat tinggi
itu menyebabkan air sungai muncrat setinggi dua
tombak dan asap hitam serta merah berhamburan
di udara. Bau busuk menyengat keras.
Sosok Raja Naga terbanting, menimpa tu-
buh Pratiwi yang masih merendam di belakangnya.
Gadis itu menjerit tertahan. Raja Naga sendiri segera berdiri kembali. Sekujur
tubuhnya basah.
Di seberang, Beliung Kutuk berada dalam
tahanan kedua tangan Nyi Bawung. Rupanya lela-
ki tua kontet itu pun terlempar ke belakang yang segera ditangkap oleh Nyi
Bawung. "Sudah kubilang ilmu yang kau pergunakan
itu tak berguna!" gerutu Nyi Bawung.
Beliung Kutuk melotot. Tangan kanannya
yang memegang tongkat bergetar. Dari mulutnya
mengalir darah segar yang tak dirasakannya.
"Kalau sudah tahu begitu, mengapa kau di-
am saja"!" makinya gusar.
"Hik hik hik... diam saja bagaimana" Kau
sendiri yang mengambil bagianku! Kau tahu kan,
kalau pemuda itu adalah bagianku"!"
"Cepat kau bunuh dia!"
Tak! Kepala Beliung Kutuk kena jitak Nyi Ba-
wung. "Enaknya ngomong! Kalau dia mampus, aku mau berbagi kenikmatan sama
siapa"! Sama kau
yang punya barang segede kelingking itu"!"
Beliung Kutuk memaki-maki. Bara dendam
dan amarah bergolak di dadanya. Ketika dia hen-
dak melancarkan serangan Nyi Bawung mendesis,
"Busyet! Katanya pemuda itu bagianku" Kenapa masih mau menyerang juga"!"
"Pemuda itu penghalang bagiku untuk
mendapatkan gadis itu! Aku sudah tidak sabar un-
tuk membunuhnya!"
"Membunuh pemuda itu atau menggeluti si
gadis"!"
Beliung Kutuk memaki-maki tanpa kelua-
rkan suara. Raja Naga masih memperhatikan masing-
masing orang yang bertingkah laku aneh itu. Diliriknya Pratiwi yang masih
merendam di dalam air
sambil mengusap kepalanya. Bahu kanannya se-
dikit memerah akibat tertimpa tubuhnya tadi.
"Huh! Mengapa aku mesti terbawa arus
emosi gairahku tadi" Padahal aku bisa segera me-
lanjutkan perjalanan bersama Pratiwi ke Pusara
Keramat untuk mengabarkan pada Malaikat Biru
kalau bencana akan datang padanya. Apakah saat
ini Datuk Meong Moneng telah berjumpa dengan
Kembang Darah" Ah, aku masih belum tahu kea-
daan Lesmana dan Ratih. Dan kedua manusia
aneh itu...."
Raja Naga memutus kata batinnya sendiri.
Parasnya kini menegang. Kedua matanya makin
angker. Kemarahan sudah melanda diri murid De-
wa Naga itu. Di seberang Nyi Bawung sedang berkata,
"Mengapa aku tidak segera menyerangnya, begitu kan pertanyaanmu, Kontet"
Karena... aku sedang
berpikir!"
"Berarti kau harus menghisap pepaya bu-
sukmu sendiri!" maki Beliung Kutuk jengkel.
Nyi Bawung terkikik-kikik.
"Mana bisa aku menghisap buah dadaku
yang montok ini" Kalau menghisap... hik hik hik...
malu, ah!"
Beliung Kutuk memaki-maki. Penasaran
masih melanda dirinya. Berulang kali dicobanya
untuk melihat tubuh Pratiwi yang semakin mem-
benamkan tubuhnya di dalam air sungai.
"Kau berpikir apa"!"
"Serangan pemuda tampan itu!"
"Kenapa dengan serangannya"!"
"Rasanya... aku seperti pernah mendengar
kehebatan sebuah jurus sekitar tiga puluh tahun
yang lalu! "
"Kau masih muda waktu itu!"
"Hik hik hik... saat ini aku juga masih mu-
da, masih bergairah, masih penuh pesona dan ma-
sih...." "Terus apa"!" bentak Beliung Kutuk bosan.
Matanya terus berusaha mencuri lihat tubuh Pra-
tiwi. "Hik hik hik... ya, ya... aku ingat sekarang.
Hei, Kontet! Apakah kau lupa dengan seseorang
yang menghuni Lembah Naga?"
"Lembah aneh yang seluruhnya berwarna
merah?" "Tidak salah!"
"Kenapa dengan penghuni Lembah Naga
yang berjuluk Dewa Naga itu"!"
"Nah, itu dia! Aku yakin, yakin sekali... kalau jurus yang diperlihatkan si
pemuda saat me-
nahan serangan jelekmu itu, adalah salah satu jurus milik Dewa Naga!"
"Sinting! Apa kau pikir Dewa Naga menjadi
muda kembali"!"
"Dasar kontet! Sudah jelas itu tidak mung-
kin! Kita juga sudah sama-sama mendengar, kalau
Dewa Naga mempunyai seorang murid! Muridnya
itulah yang menghabisi jejak Dadung Bongkok, Ra-
tu Sejuta Setan dan Hantu Menara Berkabut!"
"Lalu kau pikir pemuda itu adalah murid
Dewa Naga"!"
"Siapa lagi" Pemuda itu tentunya orang
yang berjuluk Raja Naga!!"
DUA SEKETIKA kepala bulat Beliung Kutuk me-
negak. Sorot matanya bertambah penuh bahaya.
"Laknat!! Jadi dia yang telah membunuh saudaraku si Dadung Bongkok"!" geramnya
setinggi langit.
"Siapa lagi" Nah! Ketimbang kita harus
mencari Kembang Darah yang telah memiliki Bun-
ga Kemuning Biru, mengapa tidak kau tuntaskan
dulu saja dendammu" Cuma ingat... pemuda itu
tidak boleh kau bunuh dulu sebelum kuperas te-
naganya untuk memuaskanku!!"
Sementara Beliung Kutuk dibuncah amarah
tinggi, tanpa sadar Raja Naga menjadi sedikit tegang. "Astaga! Rupanya si kontet
yang bernama Beliung Kutuk itu saudara dari Dadung Bongkok"
Ah... nampaknya urusan ini akan lebih lama, pa-
dahal aku harus segera menuju ke Pusara Kera-
mat. Aku juga masih memikirkan satu kejanggalan
yang terjadi ketika aku dan Pratiwi berjumpa dengan Datuk Meong Moneng... apakah
sebaiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, pemuda be-
rambut dikuncir kuda itu sudah mendorong tan-
gan kanan kirinya, melepaskan jurus 'Kibasan Na-
ga Mengurung Lautan'.
Baik Beliung Kutuk maupun Nyi Bawung
sama-sama membuang tubuh ke samping kanan.
Raja Naga terus melancarkan serangannya tanpa
bergeser dari tempatnya. Di saat kedua orang aneh itu terus menghindari
serangannya, disambarnya
tangan kanan Pratiwi. Lalu ditariknya.
"Sekarang!!"
Walaupun tidak sigap, Pratiwi masih bisa
memahami apa yang diinginkan Raja Naga. Diban-
tu sentakan tangan kanan anak muda itu, dike-
rahkan ilmu peringan tubuhnya untuk melompat.
"Heiiii!!"
Beliung Kutuk berteriak ketika melihat tu-
buh Pratiwi melayang dan hinggap di balik semak.
Diiringi kemarahan tinggi, dia memburu ke sana.
Raja Naga yang tak perlu lagi menghalangi
tubuh Pratiwi yang masih polos dari pandangan
Beliung Kutuk, segera melompat keluar dari dalam sungai untuk menghadang gerakan
Beliung Kutuk. Tetapi satu sambaran kuat dari samping kanannya
membuatnya harus membuang tubuh ke samping
kanan. "Biarkan temanku itu bermain-main dengan gadismu, Anak muda! Untukmu,
biar kulayani...."
Nyi Bawung terkikik sambil mengunyah sirihnya.
Raja Naga terdiam dengan mata memicing.
"Pratiwi tentunya bisa menghadapi lelaki
tua kontet itu bila dia sudah berpakaian. Dan tentunya dia sudah berpakaian
sekarang. Hemm... bi-
ar kuhadapi nenek ini...."
"Ayo, ayo, anak muda! Ingin kulihat kau
dapat apa dari Dewa Naga"!" seru Nyi Bawung.
"Atau... kau sebenarnya sudah tidak sabar untuk menggeluti tubuhku" Hanya karena
ada gadis itu saja kau merasa enggan" Hik hik hik... ayolah! Tidak perlu malu-malu sekarang,
toh dia sedang asyik melayani si Kontet!"
Raja Naga tak mempedulikan ucapan itu.
"Kita sama-sama tidak saling kenal, tetapi
kau dan temanmu itu telah buka urusan! Sudah
jelas aku tak bisa menghindarinya begitu saja!"
"Betul sekali! Apalagi ternyata kau adalah
pemuda berjuluk Raja Naga yang harus kulumat
habis!!" Belum habis gema suaranya, si nenek ber-
pakaian hitam compang-camping itu sudah mele-
sat ke arah Raja Naga. Kaki kanan kirinya berge-
rak secepat angin, yang terlihat hanyalah kepulan debu dan tanah. Serangkum
angin telah mendahului lesatan tubuhnya.
Raja Naga melirik. Kejap lain dijejakkan ka-
ki kanannya di atas tanah. Segera tanah berderak, bergelombang dan menghambur ke
arah Nyi Bawung. Nyi Bawung cuma mendengus. Tanpa men-
gurangi kecepatan lesatan tubuhnya, tangan ki-
rinya dipukulkan ke bawah.
Blaaaarrr!! Tanah berderak yang mengarah ke arahnya
itu terhenti di tengah jalan dan meletup di udara.
Raja Naga terkesiap, apalagi ketika tangan
kanan kiri Nyi Bawung siap menjotos wajahnya.
Serentak dipalangkan kedua tangannya di depan
kepala, menyusul digerakkan.
Buk! Buk! Tangan kanan kiri Raja Naga yang dipenuhi
sisik coklat sebatas lengan itu memiliki kekuatan yang mematikan. Kalau si
pemuda menghenda-kinya dia dapat memukul hancur sebuah pohon
menjadi serpihan. Dan kali ini, mengingat urusan yang harus segera
diselesaikannya. Raja Naga
memutuskan untuk memberi pelajaran Nyi Ba-
wung. Nyi Bawung memang terpental ke belakang
disertai suara mengaduh. Tetapi tubuhnya yang
masih berada di udara tiba-tiba saja berputar
dan.... Des! Des!
Kaki kanan kirinya menyambar telak dada
Raja Naga yang terhuyung ke belakang. Belum lagi Raja Naga dapat menguasai
keseimbangannya, Nyi
Bawung telah meluncur dengan kedua kaki yang
bergerak-gerak di udara.
Dalam keadaan terhuyung seperti Itu, Raja
Naga sulit untuk menghindar. Tetapi dia masih
dapat memiringkan tubuhnya, bahkan melancar-
kan pukulan. Plak! Pukulannya tersampok kaki kanan Nyi Ba-
wung yang begitu jatuh segera memukulkan tan-
gan kanannya di tanah. Seketika tubuhnya me-
lenting ke udara dan hinggap di atas tanah sambil terkikik-kikik. Cairan merah
yang berasal dari sirih yang dikunyahnya bermuncratan.
Sejarak sepuluh langkah. Raja Naga berdiri
sambil memegangi dadanya.
"Tak bisa kubiarkan ini berlarut-larut. Terpaksa aku harus bertindak lebih
kasar...," desisnya dalam hati. Mendadak saja Raja Naga menoleh
ke arah belukar di samping kanannya dengan wa-
jah tegang. Nyi Bawung mengerti apa yang membuat
Raja Naga menjadi tegang.


Raja Naga 15 Pusara Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hik hik hik... tak perlu gusar seperti itu,"
desisnya yang sama sekali tidak terlihat merasa kesakitan pada tangan kanan
kirinya. "Sudah tentu gadismu lagi asyik melayani si Kontet! Sungguh hebat kalau
si Kontet itu mampu memberikan ke-
nikmatan yang sama pada gadismu! Padahal... hik
hik hik... paling gede barangnya cuma sekelingk-
ing!" Memerah paras Raja Naga karena amarah.
Memang, setelah terlempar ke balik semak dan di-
buru oleh Beliung Kutuk, baik Pratiwi maupun Be-
liung Kutuk belum terlihat batang hidungnya. Raja Naga menjadi gusar.
"Nyi Bawung! Kaulah yang akan mengganti-
kan Beliung Kutuk untuk menerima kemarahan-
ku!!" Belum habis kata-katanya terdengar, Nyi Bawung sudah menerjang ke depan.
Gelombang angin bergemuruh dahsyat menerjang ke arah Ra-
ja Naga. Yang diserang hanya menjerengkan mata.
Keangkeran terpancar dalam dari sana.
Tanpa bergeser dari tempatnya, anak muda
dari Lembah Naga ini sudah mendorong kedua
tangannya ke depan. Menderu pula gelombang an-
gin yang mematahkan gelombang angin dari Nyi
Bawung. Nyi Bawung masih dapat meliukkan tu-
buhnya untuk menghindari serangan susulan
yang dilancarkan Raja Naga. Raja Naga sendiri melompat memburu.
Tap! Tap!! Telapak tangan masing-masing orang ber-
temu. Menempel kuat hingga menimbulkan asap
hitam. Nyi Bawung terkikik seraya melipatganda-
kan tenaga dalamnya. Di pihak lain. Raja Naga tetap terlihat tenang.
Tetapi dua kejap kemudian, wajahnya me-
negang. Karena dirasakan hawa panas masuk ke
dalam tubuhnya.
"Celaka! Hawa panas ini bukan hanya
membuat tubuhku seperti terbakar, tetapi juga
menyedot tenaga dalamku!" desisnya. Keringat mulai bercucuran. Gigi-giginya
mulai terdengar
bergemelutuk. Tubuhnya bergetar.
"Sungguh mengherankan, bagaimana kau
bisa membunuh yang lainnya, hah"!" ejek Nyi Bawung. Tubuh Raja Naga terus
bergetar. "Celaka! Hawa panas ini semakin kuat! Aku
harus berbuat sesuatu!!" desisnya dengan wajah makin berkeringat. Secara tiba-
tiba anak muda berompi ungu itu mendeham kecil, seraya mendo-
rong kedua telapak tangannya.
Wussss!! Nyi Bawung tersentak kaget ketika merasa-
kan wajahnya seperti ditampar satu tenaga tak
nampak. Belum disadari apa yang terjadi, tubuh-
nya sudah terpental ke belakang dan terbanting
kuat di atas tanah setelah menabrak pohon yang
langsung tumbang.
Raja Naga sendiri terpelanting di atas tanah.
Sesaat anak muda ini terlentang dengan napas
megap-megap. Dia memang belum bertindak pe-
nuh, karena tak ingin memancing silang sengketa
lebih panjang. Namun akibat dari niatnya itu, justru dapat mencelakakan dirinya.
"Pratiwi!" sentaknya tiba-tiba seraya berdiri.
Segera dia melompat ke balik semak.
Wussss!! Satu tenaga tak nampak yang keluar dari
tangan kanan Nyi Bawung memutuskan niatnya.
Bersamaan sebuah pohon terhantam tenaga itu
yang tumbang seketika. Raja Naga bergulingan ke
belakang. Tiba-tiba... cuiihhh!
Craaaattt!! Cairan merah yang berasal dari kunyahan
sirih Nyi Bawung menyerbu ke arahnya, Raja Naga
memutar tangan kanannya seraya bergulingan la-
gi. Sebagian cairan merah itu tertahan, dan le-
nyap ditelan pusaran angin yang dilepaskan Raja
Naga. Sebagian lagi menghanguskan semak belu-
kar di belakang anak muda itu.
"Kau tak akan bisa meloloskan diri, Pemuda
celaka!!" Nyi Bawung menerjang. Kali ini apa yang
diperlihatkannya sungguh aneh, karena tubuhnya
melompat-lompat ke depan. Dan lompatannya se-
makin lama semakin tinggi, bahkan dua kali mele-
bihi tingginya Raja Naga. Dan setiap kali dia melompat, laksana sebuah palang
tegak lurus dengan langit, menggebah satu tenaga tak nampak.
Raja Naga kali ini memutuskan untuk tidak
bertindak ayal lagi. Terpaksa hal itu dilakukan, mengingat nyawanya bisa putus
sekarang juga bila dia masih bertindak setengah-setengah. Di samping itu, dia
juga merasa heran sekaligus cemas
mengapa Pratiwi belum muncul. Termasuk Beliung
Kutuk. Bahkan tak ada tanda-tanda pertarungan
di balik semak.
Selagi Nyi Bawung melompat tinggi dan Raja
Naga harus membuang tubuh karena tenaga tak
nampak menderu ke arahnya, segera saja dijejak-
kan kaki kanannya di atas pohon yang telah tum-
bang. Wuuuttt!!
Tubuhnya meluncur ke atas laksana anak
panah! Nyi Bawung menggerakkan kaki kanannya,
mencoba menginjak kepala Raja Naga. Namun pe-
muda itu sudah menahan dengan tangan kanan-
nya. Masih di udara tubuhnya berputar dan....
Des! Des! Jotosannya yang mengandung tenaga dalam
tinggi mampir di dada Nyi Bawung yang meluncur
ke belakang dengan deras.
Braaakk! Tubuhnya menabrak sebuah pohon bagian
atas, lalu terpelanting di atas tanah dalam kedudukan tengkurap. Terlihat si
nenek masih berusa-
ha untuk bangkit.
Kalau saja Raja Naga menginginkan kema-
tian nenek berpakaian compang-camping itu, den-
gan mudah dilakukannya sekarang juga. Namun
pemuda dari Lembah Naga ini tak menginginkan
hal itu sama sekali. Dia segera melompat ke balik ranggasan semak untuk melihat
keadaan Pratiwi.
"Pratiwi! Di mana kau"!" serunya ketika hanya menemukan pakaian dan jubah
Pratiwi yang tergeletak di balik semak. Dipungutnya ben-
da-benda itu dengan perasaan yang semakin tak
menentu. Kecemasannya kian menjadi-jadi. Sem-
bari berseru-seru memanggil Pratiwi diselusurinya jalan setapak yang terdapat di
balik semak belu-
kar. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Mata
angkernya menatap tak berkedip pada satu sosok
tubuh yang tergeletak dengan dada bolong di atas tanah berumput!
"Gila! Apa yang terjadi" Siapa yang melaku-
kannya?" serunya sambil memeriksa tubuh yang telah menjadi mayat itu. Untuk
beberapa saat pemuda berompi ungu ini hanya memandangi saja.
"Apakah Pratiwi yang melakukan ini?" desisnya la-gi. "Tidak! Tidak mungkin! Dia
dalam keadaan tak berpakaian, terbukti pakaian dan jubah putihnya
kutemukan di sana. Tetapi... kalau bukan dia, sia-pa yang telah membunuh Beliung
Kutuk?" Untuk sesaat Raja Naga terdiam, otaknya
berpikir keras.
"Dalam keadaan terpaksa, seseorang dapat
bertindak di luar kesadarannya. Bisa jadi memang Pratiwi yang melakukan hal ini
walaupun tanpa pakaian. Kalau begitu... di mana dia sekarang"
Apakah dia juga terluka atau... dia telah tewas di satu tempat?"
"Keparat bersisik! Berani-beraninya kau
membunuh sahabatku, hah"!" bentakan itu menggema di belakang Raja Naga disusul
satu gelom- bang angin yang menyeret ranggasan semak belu-
kar di belakangnya.
Raja Naga membalik seraya mendeham. Ge-
lombang angin itu putus di tengah jalan didahului satu letupan keras yang
membongkar tanah.
Buk! Buk! Tangan kanannya bergerak cepat, menahan
jotosan Nyi Bawung yang berteriak setinggi langit.
"Aku tak membunuh si Kontet ini!" seru Ra-ja Naga seraya mundur
Nyi Bawung yang sudah murka karena ber-
hasil dipercundangi dan lebih murka lagi melihat si Kontet terkapar dengan dada
bolong, menerjang membabi buta. Serangannya justru lebih ganas
dari sebelumnya. Ranggasan semak terpapas rata
ujungnya, tanah terbongkar dan letupan keras be-
berapa kali terdengar.
Raja Naga hanya menghindar saja. Dipu-
tuskan untuk segera menjauh dari tempat itu. Da-
lam satu kesempatan, pemuda gagah bersorot ma-
ta angker ini sudah berkelebat.
Tinggallah Nyi Bawung yang memaki-maki
panjang pendek. Pepohonan yang tumbuh di sana
menjadi sasaran kemarahannya. Berhamburan
laksana serpihan.
Tiba-tiba dia jatuh terduduk di samping
mayat Beliung Kutuk. Dipandanginya si Kontet
yang tak akan pernah bergerak lagi dengan kema-
rahan dan dendam membara.
Menyusul dia meraung-raung sangat keras.
Hampir setengah peminuman teh Nyi Bawung te-
rus meraung-raung sampai suaranya menjadi se-
rak. Tetapi tak ada tanda-tanda dia letih. Yang terlihat justru kemarahan yang
membabi buta. Dipandanginya tubuh si Kontet yang dadanya bo-
long. "Beliung Kutuk! Masih ada sesuatu yang tak kuceritakan padamu mengapa aku
memburu Ma- laikat Biru!" desisnya pada angin, karena Beliung Kutuk sudah tak mungkin bisa
mendengar atau berucap. "Hal itu memang kusembunyikan dari-mu, karena aku tak ingin kau
khianati! Biarpun
kau sebagai sahabat baikku, tetapi untuk yang sa-tu itu aku harus berhati-hati!"
Dipandanginya wajah si Kontet yang kaku.
"Aku telah mendengar sesuatu yang tak
pernah orang lain tahu kecuali Malaikat Biru dan mendiang Durga Marakayangan.
Pusara Keramat!
Ya, di Pusara Keramat terdapat sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang membuatku
penasaran untuk
mengetahui sekaligus memilikinya! Tetapi, penghalang masih ada di sana, yakni
Malaikat Biru! Itulah sebabnya mengapa dia harus mampus lebih
dulu, Beliung Kutuk"!"
Nyi Bawung tiba-tiba menggeram.
"Manusia satu itu hanya bisa mampus den-
gan Bunga Kemuning Biru! Kita harus menda-
patkan benda itu agar dapat menyingkirkannya
hingga kita bebas menemukan sesuatu yang ter-
sembunyi di Pusara Keramat! Tetapi sayang,
sayang sekali... kau telah mampus, Kontet!"
Si nenek tiba-tiba mengikik, kesedihan dan
kemarahannya seolah berubah menjadi uap.
"Aku yang akan mendapatkannya sesuai
dengan keinginanku, Kontet! Aku akan tetap men-
cari benda itu!!"
Diiringi kikikannya, ditendangnya tubuh
Beliung Kutuk yang terlempar dan jatuh entah di
mana. Lalu sambil terkikik keras, nenek berpa-
kaian compang-camping itu berlalu dari sana.
TIGA GARANGNYA sinar matahari mulai berang-
sur meredup. Angin yang ditaburi debu-debu pa-
nas pun kini tak lagi sepanas sebelumnya. Di ke-
jauhan nampak bayangan beberapa ekor burung
yang terbang menyongsong tenggelamnya mataha-
ri. Beberapa helai dedaunan kering gugur, me-
layang dibawa angin dan jatuh entah di mana.
Lelaki tua berpakaian hitam yang di dada
kanan kirinya terdapat sulaman keris bereluk de-
lapan itu bangkit dari duduknya. Parasnya yang
dipenuhi keriput begitu geram, pertanda dia se-
dang dilanda amarah. Apalagi ketika diliriknya
tangan kirinya yang telah buntung, kemarahan
semakin nampak di wajahnya.
"Setan alas! Mengapa aku harus terpancing
ucapan perempuan mesum itu"!" makinya sambil menghentakkan kaki kanannya di atas
tanah. Rambut panjangnya yang diikat dengan kain war-
na putih berlompatan sesaat. Diangkat kepalanya, ditatapnya kejauhan tanpa
diketahuinya apa yang
menarik untuk ditatapnya. Tetapi sorot matanya
memancarkan sinar bahaya. "Datuk Meong Mo-
neng!" geramnya sengit. "Kakek muka kucing itu harus kubunuh!"
Untuk beberapa saat lelaki tua yang bukan
lain Setan Keris Kembar ini terdiam dengan sepa-
sang rahang mengatup keras. Dadanya turun naik
dibuncah kemarahan.
"Terkutuk!" makinya lagi. "Sejak semula aku
berniat untuk membunuh Malaikat Biru, tetapi se-
telah bertemu, semua harapanku putus! Aku tak
akan mampu menghadapinya sebelum Bunga Ke-
muning Biru kudapatkan dari tangan Datuk
Meong Moneng, manusia celaka yang telah mem-
buntungi tangan kiriku!!"
Setan Keris Kembar terdiam lagi. Ingatan-
nya kembali pada Kembang Darah, gadis berku-
tang merah yang berhasil mengatakan kalau Bun-
ga Kemuning Biru berada di tangan Datuk Meong
Moneng. Setan Keris Kembar sama sekali tidak ta-
hu kalau dia telah masuk perangkap yang dimain-
kan Kembang Darah. Akibatnya, tangan kirinya
harus buntung akibat sambaran cakar Datuk
Meong Moneng! Yang menyakitkan hatinya, ter-
nyata dia ditolong oleh Malaikat Biru yang justru hendak dibunuhnya! (Untuk


Raja Naga 15 Pusara Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih jelasnya, teman-teman pembaca bisa membacanya dalam episode :
"Jejak Malaikat Biru").
Tiba-tiba Setan Keris Kembar memalingkan
kepalanya ke kanan. Dibuka indera pendengaran-
nya tajam-tajam.
"Kakang! Sebaiknya kita beristirahat saja
dulu...," terdengar suara seorang gadis.
"Ratih... waktu kita sangat sempit. Kita harus menemukan Raja Naga untuk
membebaskan totokan pada dirimu."
"Kakang... jangan terlalu memaksakan diri.
Aku tahu kau lelah."
"Tidak! Aku tidak lelah!" sahut si pemuda, tetapi suaranya terdengar tersendat
bersama he-laan napasnya yang berat.
"Kakang... beristirahatlah. Waktu kita masih banyak."
"Totokan pada tubuhmu bila tidak segera
ditemukan dan dibebaskan dapat mengakibatkan
kelumpuhan pada dirimu, Ratih."
"Aku tahu. Tapi aku tak ingin kau terlalu
banyak membuang tenaga."
Si pemuda menghentikan langkahnya. Di-
tundukkan kepalanya pada gadis yang berada da-
lam bopongannya.
"Baiklah. Kita beristirahat dulu," katanya sambil melangkah lagi untuk mencari
tempat yang nyaman. Setan Keris Kembar segera mengempos tu-
buh ke atas sebuah pohon. Tak lama kemudian di-
lihatnya seorang pemuda tampan bertelanjang da-
da sedang membopong seorang gadis yang nampak
tak berdaya. Tak jauh dari tempat di mana Setan Keris,
Kembar tadi duduk, si pemuda berhenti dan me-
nurunkan tubuh si gadis di atas tanah dalam ke-
dudukan terlentang.
Setan Keris Kembar segera menyembunyi-
kan tubuhnya di balik dedaunan.
"Kakang Lesmana... sudah berhari-hari kita
mencari Raja Naga, tetapi belum kita temukan ju-
ga. Begitu pula dengan Malaikat Biru. Ah, aku semakin tidak enak padamu,
Kakang...."
'"Hus!" si pemuda yang bukan lain Lesmana meletakkan telunjuknya pada bibir
merah kekasihnya. "Tidak perlu kau berkata begitu, Ratih. Bi-ar bagaimanapun
juga aku harus tetap menjaga-
mu...." Ratih menarik napas pendek. Ditatapnya wajah tampan kekasihnya itu yang
bertelanjang dada, karena pakaiannya dikenakan olehnya. Di-
alihkan pandangannya ke tempat lain, diperhati-
kannya pepohonan.
Tiba-tiba dirasakan sentuhan lembut pada
bibirnya. Sejenak Ratih melengak, tetapi di saat lain dibalasnya ciuman Lesmana.
Ingin sekali Ratih dapat merangkul tubuh kekasihnya. Tetapi hal itu tak bisa
dilakukan karena dirinya masih dalam keadaan tertotok. Hanya kepalanya yang
dapat digerakkan.
Lesmana terus mencium bibir kekasihnya
dengan penuh kasih sayang. Saat ini yang dapat
dilakukannya memang hanya menjaga Ratih. Se-
sungguhnya ada keinginan di hati Lesmana untuk
menemukan perempuan berjuluk Kembang Darah
yang telah mengambil Bunga Kemuning Biru dari
tangan Ratih. Tiba-tiba didengarnya Ratih berbisik, "Ada
orang di atas, Kakang. Jangan... jangan bergerak.
Teruslah menciumku. Lalu bawa aku ke tempat
yang aman. Aku tak ingin ada keributan di saat
keadaanku seperti ini..."
"Di mana orang itu, Ratih?" tanya Lesmana sambil terus berlagak menciumi
kekasihnya. Hatinya tiba-tiba saja menjadi sedikit tidak enak.
"Di pohon sebelah kananmu...."
"Kau mengenalinya?"
"Tidak... oh, aku... mengenalinya...."
"Siapa?"
"Kalau tak salah... kakek itulah yang bertarung dengan Datuk Meong Moneng di
Tanah Ke- matian,..."
Lesmana terdiam sejenak sebelum berkata,
"Aku ingat sekarang siapa orang itu. Kalau tidak salah, dia berjuluk Setan Keris
Kembar yang muncul bersama seorang perempuan berpakaian me-
rah yang berjuluk Dewi Perenggut Sukma...."
"Aku baru tahu kalau kau mengenal mere-
ka." "Ketika kau menghilang dan kubaca tulisan di atas tanah, kusangka perempuan
itu adalah Kembang Darah. Ratih, kita harus berhati-hati.
Dewi Perenggut Sukma dan Setan Keris Kembar
juga menginginkan Bunga Kemuning Biru.
Hemmm... sebaiknya, kubawa kau ke tempat
aman...." Perlahan-lahan Lesmana mengangkat kepa-
lanya. Sambil mengeraskan suaranya dia membo-
pong tubuh Ratih, "Udara semakin dingin! Kau bi-sa menghangatiku, Sayang!"
"Ih! Kau membuatku malu, Kakang!"
"Kau malu atau mau?" sahut Lesmana
sambil tertawa.
"Mengapa masih bertanya" Ayolah... cari
tempat yang sedikit tersembunyi biar kita bebas
melakukan apa yang kita inginkan."
Sambil bersiaga dan sengaja tertawa keras,
Lesmana membopong tubuh Ratih menjauh dari
sana. Lalu dengan cepat dia menyelinap ke balik
semak. "Aku akan mengalihkan perhatian kakek
itu...," bisik Lesmana setelah merebahkan tubuh Ratih di atas tanah.
"Kakang...."
Lesmana menatap kekasihnya.
"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Kau
aman di sini," jawabnya dan setelah melihat Ratih mengangguk, anak muda berikat
kepala merah itu
sudah bergerak cepat.
Sementara itu Setan Keris Kembar telah tu-
run dari atas pohon.
"Hemm... Kalau tak salah ingat, pemuda itu
adalah pemuda yang menyangka Dewi Perenggut
Sukma adalah Kembang Darah," desisnya. Tiba-tiba dia memaki, "Terkutuk! Di mana
perempuan cabul itu"!"
Dari memaki terlihat paras keriput Setan
Keris Kembar menjadi cerah. Matanya berkilat-
kilat licik. "Mengapa harus memikirkan perempuan
itu?" desisnya, ada nada puas dalam suaranya.
"Mengapa tidak kucari kenikmatan saja pada gadis yang sepertinya tertotok itu?"
Sambil tertawa Setan Keris Kembar segera
berlari ke arah yang dituju Lesmana dan Ratih ta-di. Lesmana yang sudah berada
di balik semak mendesis, "Aku harus mengalihkan perhatiannya dari Ratih."
Ditunggunya sampai kakek berlengan kiri
buntung itu mendekat. Dia akan langsung menye-
rangnya dan membawanya menjauh dari sana. Te-
tapi sebelum dilakukannya tiba-tiba saja terdengar suara, "Setan Keris Kembar!
Mengapa kau berlari
ke sana" Apakah kau tidak rindu padaku"!"
Setan Keris Kembar menghentikan larinya
dan berbalik. Dilihatnya satu sosok tubuh berku-
tang merah berdiri sambil menyeringai. Kontan Setan Keris Kembar terbahak-bahak.
Ingatannya pa- da Ratih dan Lesmana lenyap.
"Bagus kau muncul di hadapanku selagi
aku membutuhkanmu, Kembang Darah!"
Orang yang berseru tadi tertawa renyah.
Merentangkan kedua tangannya hingga sepasang
bukit mulusnya yang montok itu bergerak sesaat,
seperti sudah tak tahan untuk membebaskan diri
dari kungkungan kutang merah.
Setan Keris Kembar mendekat sambil ter-
bahak-bahak. Diraihnya pinggang ramping Kem-
bang Darah. Dikecupinya bibir dan leher perem-
puan itu yang terkikik-kikik dan melingkarkan kedua tangannya pada leher Setan
Keris Kembar. "Kenapa tangan kirimu?" desahnya sambil menggeliat karena bibir Setan Keris
Kembar terus menyerbu lehernya.
Tanpa mempedulikan pertanyaan Kembang
Darah, Setan Keris Kembar membanting tubuh pe-
rempuan itu di atas tanah. Tangan kanannya me-
narik kutang yang dikenakan Kembang Darah.
Plup! Sepasang bukit indah montok itu mencuat
keluar yang langsung menjadi sasaran mulut Se-
tan Keris Kembar. Kembang Darah hanya terkikik,
makin terkikik ketika kain hitamnya dibuka oleh
Setan Keris Kembar.
Lesmana yang masih berada di balik rang-
gasan semak, tak mau melihat adegan itu lebih
lanjut. Segera dia kembali ke tempat Ratih.
"Kau berhasil menghindarinya, Kakang?"
"Tidak," jawab Lesmana sambil membopong tubuh Ratih. "Kita menjauh dari sini."
"Dia... dia masih ada di sini?"
"Ya!" sahut Lesmana kaku. Dia terus berlari.
Ratih merasakan perubahan suara Lesma-
na. "Mengapa, Kakang?"
"Perempuan terkutuk berjuluk Kembang
Darah, saat ini bersama Setan Keris Kembar!"
Ratih mendesah pendek. Dia mengerti men-
gapa kekasihnya menjadi gusar dan tegang seperti itu. Karena tentunya dendam
pada Kembang Darah belum dapat dibalas saat ini.
Sementara itu Setan Keris Kembar sedang
mendesis kuat hingga urat pada lehernya me-
nyembul keluar. Lalu dia terlungkup di atas tubuh Kembang Darah yang perlahan-
lahan menurunkan
kedua kakinya yang tadi melingkar dan menekan
pinggul Setan Keris Kembar.
Kakek berlengan buntung itu berguling
dengan mata terpejam. Tubuhnya dibaluri kerin-
gat. Napasnya masih memburu. Ketika dibuka ma-
tanya, dilihatnya Kembang Darah sudah menge-
nakan lagi pakaiannya yang berbentuk kutang
berwarna merah.
"Mengapa kau berpakaian?" tanyanya dengan suara serak.
"Apakah kau masih menginginkannya?"
Kembang Darah menyeringai.
Setan Keris Kembang mendengus, menya-
dari nada ejekan dalam suara Kembang Darah. La-
lu dikenakan lagi pakaiannya.
"Kau belum menjawab mengapa tangan ki-
rimu buntung," kata Kembang Darah.
"Datuk Meong Moneng yang melakukan-
nya!!" sahut Setan Keris Kembar geram.
Kembang Darah tersenyum.
"Hemmm... sejak semula sudah kuduga ka-
lau dia tak akan mampu mengalahkan Datuk
Meong Moneng. Tetapi paling tidak, aku tahu ka-
lau dia sudah datang ke Tanah Kematian. Berarti
bila Datuk Meong Moneng muncul di hadapanku,
aku tetap bisa menjebak kakek dungu ini," katanya dalam hati.
Sambil menepuk dada Setan Keris Kembar.
Kembang Darah berbisik, "Maafkan aku... karena akulah tangan kirimu menjadi
buntung..."
"Aku tetap tak bisa mempercayai perem-
puan ini," desis Setan Keris Kembar dalam hati sambil melirik Kembang Darah yang
sedang tersenyum. "Tetapi untuk saat ini, biar aku bersikap mempercayainya.
Terutama... karena aku akan tetap menikmati tubuh montoknya... hahaha...."
"Kembang Darah," katanya kemudian. "Aku tak akan pernah membiarkan Datuk Meong
Moneng tertawa akan kemenangannya! Aku akan te-
tap mencarinya...."
"Oh! Apakah kau melakukannya untukku?"
Kembang Darah membuat suaranya senang.
"Ya! Tetapi... mengapa kau menolak mem-
bantuku" Mengapa kau justru berusaha menja-
lankan perintah kakek muka kucing itu untuk
membunuh Raja Naga?"
Perempuan montok berkutang merah itu
menangkap nada tajam dalam suara Setan Keris
Kembar. Dia buru-buru tersenyum.
"Karena aku tak ingin mendapat celaka...."
"Kau membiarkan aku celaka seperti ini!!"
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu," jawab Kembang Darah dan melanjutkan dalam
hati, "Bahkan aku ingin kau mampus di tangannya
hingga dapat kujalankan seluruh rencana yang
kususun dengan mudah."
Mata Setan Keris Kembar menajam.
"Kalau begitu... kita cari sekarang juga kakek muka kucing itu!"
"Ya! Sudah tentu itu akan kulakukan. Ka-
rena... aku sendiri sudah berhasil melukai Raja
Naga." "Masa bodoh dengan keberhasilanmu itu!
Aku tetap tak menyukai keadaan seperti ini!"
"Keparat!" dengus Kembang Darah dalam
hati. "Ucapan demi ucapannya membuat kedua
gendang telingaku menjadi panas! Huh! Apakah
dia akan kuhabisi sekarang juga"! Tidak! Dia ma-
sih berguna!"
"Mengapa kau diam?" sambar Setan Keris Kembar.
Kembang Darah tersenyum.
"Aku sedang berpikir, apakah kita memang
mampu menghadapi Datuk Meong Moneng?"
"Peduli setan! Mampu atau tidak, aku akan
tetap membalas kekalahanku ini!" geram Setan Ke-
ris Kembar. Lalu lanjutnya dalam hati, "Aku ingin lihat apakah kau memang sedang
menjalankan sa-tu rencana busuk atau tidak"!"
Perempuan berkutang merah itu tersenyum.
"Kita memang tak boleh membuang waktu! Ayo, ki-ta buru kakek muka kucing itu!"
Setan Keris Kembar segera mengikuti lang-


Raja Naga 15 Pusara Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kah Kembang Darah. Saat itulah dia teringat pada Lesmana dan Ratih. Tetapi di
saat lain, sudah dilupakan ingatannya itu.
EMPAT MALAM pun akhirnya jatuh mendekap
alam. Gugusan bintang menampakkan diri dan
memperlihatkan cahayanya yang bila dilihat dari
bumi berkerlap-kerlip. Di bawah naungan rembu-
lan itu dua sosok tubuh bergelut dalam keadaan
polos di atas tanah berumput. Masing-masing
orang saling dekap dengan kuat diiringi napas
memburu. Dinginnya udara malam, semakin membuat
masing-masing orang berusaha untuk segera tiba
pada puncak tindakan mereka. Keringat sudah
membanjiri tubuh keduanya yang menjadi satu.
Napas semakin memburu.
Tiba-tiba lelaki yang berada di atas tubuh
polos itu menggerakkan kedua tangannya yang di-
penuhi bulu-bulu halus, berguling dan mengang-
kat tubuh molek si perempuan muda ke atas un-
tuk menduduki tubuhnya. Kembali kegiatan itu
mereka lakukan ditingkahi dengusan napas yang
kian memburu. Perempuan muda yang berada di atas se-
makin menggila menggerakkan pinggulnya. Wa-
jahnya tegang dan memerah. Kedua tangannya se-
perti hendak merobek-robek tubuh si lelaki. Sam-
pai satu ketika gerakan liar si gadis bertambah cepat dan semakin cepat.
Menyusul tubuhnya seper-
ti tersentak mengejut. Dan dia jatuh dalam deka-
pan si lelaki yang menarik tubuhnya.
Lalu terdengar desahan napas diiringi sua-
ra, "Aaaakhh...."
Gerakan liar yang keduanya lakukan tadi
perlahan-lahan melambat. Keringat masih menga-
lir. Si gadis turun dari tubuh di bawahnya, terlentang di atas tanah. Membiarkan
tubuh polosnya bermandikan sinar rembulan.
"Hebat, sungguh hebat...," desis si lelaki yang wajahnya mirip seekor kucing.
Kumis jarang-nya melintang kaku. Dimiringkan tubuhnya. Dija-
mahnya payudara sebelah kanan si gadis. Dire-
masnya dengan gairah yang masih tersisa.
Si gadis berhidung bangir itu melirik.
"Aku senang dapat memuaskanmu.
Guru...." Lelaki tinggi besar bermuka kucing itu ter-
tawa. "Aku tak merasa sia-sia memiliki seorang murid sepertimu.... "
Si gadis tersenyum. Dibiarkannya tangan
penuh bulu halus itu meremas-remas payuda-
ranya. "Kecerdikan yang kau miliki juga sangat luar biasa. Kau dapat mengelabui
pemuda dari Lembah Naga itu."
"Aku tak sengaja melakukannya," sahut si gadis sambil sesekali memejamkan
matanya. Sen-sasi yang tadi dirasakannya terbit kembali akibat remasan tangan
penuh nafsu pada payudaranya
itu. "Aku tak sabar untuk mendengarnya. Kau ingat, betapa murkanya aku ketika
melihatmu bersikap kasar saat bersama pemuda itu berjumpa
denganku...."
Si gadis membuka matanya.
"Hal itu terpaksa kulakukan, Guru. Kalau
tidak, pemuda bersisik coklat itu pasti curiga padaku." "Aku memahaminya, bukan"
Bahkan... hahaha... tak kusangka kalau aku bisa berlakon se-
perti pentas panggung...."
"Kalau kau tidak bersikap seperti itu, sudah tentu seluruh rencanaku
berantakan."
"Apa yang kau rencanakan?"
"Aku ingin memperalat pemuda itu untuk
dapat menemukan Malaikat Biru. Bukankah Guru
ingin membunuh orang yang mengeluarkan ca-
haya biru dari tubuhnya itu?"
"Tak pernah kupendam keinginan itu!" sahut kakek muka kucing geram.
Kedua orang itu terus bercakap-cakap da-
lam keadaan polos.
"Ketika kucuri dengar percakapan pemuda
berompi ungu itu dengan seorang pemuda berna-
ma Lesmana, aku sedikit terkejut karena menge-
tahui kalau Bunga Kemuning Biru telah diambil
oleh Kembang Darah. Kupikir Kembang Darah
berkhianat padamu, Guru. Tetapi setelah kuden-
gar kalau Kembang Darah menuju ke Tanah Ke-
matian, keterkejutan ku itu sedikit hilang. Saat itu aku berpikir, kalau Kembang
Darah melakukannya atas perintahmu."
Si gadis melihat wajah lelaki tua muka kuc-
ing itu berubah. Sejenak dia ragu untuk melan-
jutkan. Tetapi karena orang di sampingnya tak
buka mulut, dilanjutkan ucapannya.
"Tak kusangka kalau pemuda berjuluk Raja
Naga itu kemudian mengetahui kalau aku mencuri
dengar percakapannya. Saat itu pula kubuat per-
mainan yang muncul secara tiba-tiba. Dan selagi
kuperintahkan anak buahku, dia muncul di tem-
patku. Semakin kuperpanjang permainanku, bah-
kan kusesatkan dia menuju ke Tanah Kematian.
Guru... satu hal yang membuatku merasa berada
di atas angin dalam permainan ini, karena Raja
Naga menganggap kehadiranku sebagai sesuatu
yang luar biasa."
"Mengapa?"
"Karena aku mengingatkannya kembali pa-
da kekasihnya yang bernama Diah Harum. Aku
pernah mendengar dia mengucapkan nama itu se-
cara tak sengaja. Tetapi sudah tentu aku berlaku bodoh. Sampai kita berjumpa dan
terpaksa aku mengingkari siapa dirimu, Guru."
"Aku mengerti mengapa kau melakukan-
nya." "Dan di sebuah sungai, aku mencoba menjerat Raja Naga untuk menggumuli
tubuhku. Den- gan cara seperti itu, aku akan membuatnya ber-
tanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi ternya-
ta dia memiliki mental yang kuat. Hingga aku gag-al menjeratnya. Dan tak
kusangka dua orang aneh
bernama Nyi Bawung dan Beliung Kutuk muncul,
padahal aku masih mencoba untuk menjerat Raja
Naga. Terus terang, kemarahanku sudah tak bisa
kubendung lagi. Tetapi karena di sana ada Raja
Naga, aku harus bersikap sopan, berusaha menja-
dikan diriku sebagai Diah Harum. Makanya aku
tak beranjak dari dalam sungai mengingat tubuh-
ku yang masih telanjang."
"Sampai kemudian kau berhasil melompat
keluar dari sungai itu?" senyum Datuk Meong Moneng. "Itu pun atas bantuan Raja
Naga. Dan ketika hendak kukenakan pakaianku, Beliung Kutuk
muncul. Hampir saja kulabrak dia bila saja kau tidak muncul di sana, Guru."
"Aku tak pernah tenang memikirkan kau
bersama pemuda itu."
Si gadis merangkul tubuh gurunya.
"Tak mungkin aku berlaku bodoh. Kalau-
pun aku mencoba menjeratnya agar dia bertang-
gung jawab padaku. Dengan cara seperti itu, dia
dapat dengan mudah kukendalikan."
Si kakek muka kucing mendengus.
"Telah lama kudengar nama Beliung Kutuk
dan Nyi Bawung. Tetapi baru kemarin itu aku me-
lihat mereka. Huh! Bila saja kau tidak menahan-
ku, mungkin Nyi Bawung pun akan menyusul si
Kontet ke neraka!"
"Aku ingin Raja Naga mencariku, karena tak
menemukanku di sana. Pakaian dan jubahku pun
sengaja tak kuambil."
"Ya, ya! Bagus! Kau memang cerdik sekali!"
"Apa rencana Guru sekarang" Mengapa
Guru mengatakan Kembang Darah telah
mengkhianati Guru?"
Wajah kakek muka kucing itu berubah ge-
ram. "Perempuan keparat itu telah menipuku!
Bunga kemuning biru yang diserahkannya padaku
adalah bunga yang palsu, sementara yang asli tentunya berada padanya!"
"Keparat!" si gadis ikut-ikutan menjadi geram. "Guru! Kita harus segera
menemukannya!"
"Ya!" sahut si kakek sambil bangkit. Dikenakan lagi pakaian dan jubah hitamnya.
"Kita memang harus menemukannya!"
Si gadis sendiri segera mengenakan pakaian
berwarna putih kusam yang disambarnya dari je-
muran seorang petani. Lalu dikenakannya celana
pangsi hitam yang juga milik seorang petani.
"Guru... aku punya sedikit rencana."
"Kau memang cerdik! Katakan...."
"Kita berpisah untuk sementara. Maksudku,
bila aku berjumpa dengan Raja Naga, sudah tentu
pemuda itu tak akan curiga. Juga kesempatan un-
tuk menemukan Kembang Darah semakin terbu-
ka, karena kita bisa menyisir jalan yang berbeda
dalam waktu bersamaan."
"Tidak! Sebaiknya kau bersama anak muda
itu menuju ke Pusara Keramat. Ilmu yang dimiliki Raja Naga tak bisa dipandang
sebelah mata. Aku
berharap dia dapat membuka jalan menuju ke Pu-
sara Keramat."
"Kalau begitu, sembari menuju ke Pusara
Keramat, aku akan mencari Kembang Darah," kata si gadis. "Kebetulan anak muda
itu sedang kebin-gungan akan hilangnya dua sahabatnya yang ber-
nama Lesmana dan Ratih."
"Hmm.... Ratih telah menghilang dari Tanah
Kematian di saat aku menjamu Setan Keris Kem-
bar yang kuberikan kenang-kenangan pada tangan
kirinya! Ya... kau dapat berlagak membantu anak
muda itu untuk menemukan kedua sahabatnya."
"Baiklah, Guru... kita berpisah di sini."
"Kau kutunggu tanpa luka sedikit pun."
Si gadis tersenyum.
"Aku telah menyerahkan seluruh jiwa raga-
ku padamu. Sudah tentu aku tak ingin melihatmu
kecewa bila menemukan luka atau bekas luka pa-
da bagian-bagian tubuhku. Terutama... pada ba-
gian yang dapat menyenangkanmu...."
Kakek muka kucing itu tertawa.
"Tak salah, aku, Datuk Meong Moneng
mengambilmu sebagai murid."
"Dan kau tak salah Guru, mengambilku,
Pratiwi, sebagai muridmu...."
Datuk Moeng Moneng tertawa. Dilihatnya
Pratiwi berlalu dengan mempergunakan ilmu pe-
ringan tubuhnya.
"Aku masih menginginkanmu, Pratiwi!" serunya. Pratiwi cuma mengangkat tangan
kanannya dan tubuhnya pun menghilang di balik semak be-
lukar. "Murid yang hebat! Tetapi aku tak membutuhkan apa-apa darinya kecuali
tubuhnya yang panas!" tawanya keras. Lalu dipandanginya sekeli-lingnya. Diyakininya kalau
Pratiwi tidak akan
muncul lagi ke tempat itu. "Tak seorang pun yang tahu, termasuk Pratiwi dan
Kembang Darah, apa
yang sebenarnya kuinginkan dari kematian Malai-
kat Biru. Hemmm... kakek bercahaya biru itu me-
mang hanya dapat dibunuh dengan memper-
gunakan Bunga Kemuning Biru. Dan bila dia su-
dah mampus, berarti tak akan ada lagi yang men-
jaga Pusara Keramat. Aku beruntung, sebelum
mampus, Durga Marakayangan menceritakan ten-
tang Pusara Keramat, di mana di dalamnya ter-
simpan sesuatu yang sangat berharga! Ya! itulah yang kuinginkan sebenarnya!"
Datuk Meong Moneng terdiam dengan na-
pas memburu. Rasa tidak sabar membias pada
wajah kucingnya.
"Raja Naga akan membuka jalan menuju ke
Pusara Keramat!" serunya kemudian sambil berlalu dari tempat itu.
*** Malam terus bergerak dengan segala miste-
rinya. Sinar rembulan mulai tak kuasa untuk me-
nembus gumpalan awan hitam yang menghalan-
ginya. Nampak sekali kalau hujan tak lama lagi
akan segera turun.
Tak jauh dari dua buah pohon yang tum-
buh aneh karena kedua akarnya seperti melintir
sementara bagian atasnya bertemu dan bersilan-
gan, terdapat sebuah tempat yang sangat pekat.
Tidak hanya pada malam hari, pada saat matahari
garang bersinar pun tempat itu tetap pekat.
Tiba-tiba terlihat cahaya biru dari tempat
pekat itu yang semakin lama bertambah terang.
Disusul satu sosok tubuh bongkok muncul di
tempat pekat yang seketika menjadi terang oleh
warna biru yang ternyata berasal dari sekujur tubuh si kakek.
Kakek yang mengenakan pakaian serba biru
dan di bahunya terdapat empat buah gelang ber-
warna biru ini, memandang kejauhan. Sorot ma-
tanya teduh, wajahnya penuh wibawa. Rambut pu-
tihnya bertambah acak-acakan dipermainkan an-
gin malam. Si kakek yang tubuhnya memancarkan ca-
haya biru ini menghela napas panjang-panjang.
"Firasatku mengatakan, dua hari lagi tem-
pat ini akan menjadi ajang keributan. Ah... men-
gapa masih ada orang yang ingin menimbulkan pe-
taka?" Si kakek menghela napas masygul. Tangannya memainkan janggut putihnya.
"Seumur hidupku, aku selalu membela yang
lemah dan menegakkan kebenaran. Tetapi seka-
rang, semua yang pernah kulakukan dulu justru


Raja Naga 15 Pusara Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuah kepahitan. Karena begitu banyaknya
orang yang mendendam padaku dan menimbulkan
silang sengketa karena memperebutkan Bunga
Kemuning Biru...."
Si kakek yang bukan lain Malaikat Biru
adanya memandang sekitarnya. Dia tersenyum
melihat seekor kelinci meliriknya, lalu buru-buru menjauh.
"Walau begitu, aku tak merasa yakin kalau
orang-orang itu berniat membunuhku. Tidak...
mereka pasti sedang memburu sesuatu yang ter-
sembunyi di Pusara Keramat...."
Si kakek mulai melangkah ke arah timur.
Dihitung langkahnya. Pada langkah kedua puluh
dari tempatnya berdiri tadi, si kakek menghentikan langkahnya.
"Pusara Keramat, selama aku berdiam di si-
ni, baru tiga kali aku mendatangi tempat itu. Tempat yang merupakan pangkal
pertikaianku dengan
Durga Marakayangan. Dan kami sama-sama ber-
janji, siapa pun yang menang atau kalah, tak akan pernah memberitahukan tentang
Pusara Keramat.
Tetapi entah mengapa berita itu sudah tersebar"
Apakah karena aku tinggal di sekitar Pusara Ke-
ramat, yang mana kumaksudkan dapat menjaga
makam itu dari sentuhan dan niatan busuk orang
yang datang?"
Si kakek melangkah lagi, melewati pepoho-
nan dan ranggasan semak yang tinggi. Melihat
keadaan di sekitar sana, jelas sekali kalau tempat itu jarang sekali didatangi
orang. Termasuk Malaikat Biru sendiri yang tinggal tak jauh dari sana!
"Rasa-rasanya... aku tak bisa memperta-
hankan lagi Pusara Keramat dari keinginan busuk
orang-orang serakah. Hingga saat ini aku tidak ta-hu apa yang tersembunyi di
dalamnya kecuali de-
sas-desus yang mengatakan di tempat itu tersim-
pan sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu itu
pun aku tak tahu sama sekali." Diusap-usap janggut putihnya. Tempat yang gelap
itu diterangi oleh cahaya biru yang memancar dari sekujur tubuhnya. "Apakah
kucoba saja untuk mengetahui apa yang tersimpan berpuluh tahun di Pusara
Keramat?" Malaikat Biru sejenak terdiam, memikirkan keputusannya sendiri. Lalu
dihentikan langkahnya di sebuah tempat yang dipenuhi semak belukar.
Dipandanginya semak belukar itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah benar tindakan yang hendak kula-
kukan ini?" desisnya masih meragu. Pelan-pelan diangkat kepalanya. Ditatapnya
langit yang semakin kelam. Tumpukan awan hitam tak bergeming,
menghalangi sinar rembulan.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Ma-
laikat Biru kembali memandangi semak belukar di
hadapannya. Tangannya diangkat hingga dada,
sangat perlahan. Semak-semak di hadapannya
mendadak berhamburan ke belakang dan dalam
waktu yang sangat singkat, di hadapannya kini tak ada lagi semak belukar.
Yang terlihat hanyalah sebuah gundukan
tanah! Malaikat Biru terdiam kembali. Mata teduh-
nya kali ini memancarkan sinar pedih.
"Tidak, aku tak boleh membongkar makam
itu. Hanya seorang saja yang boleh, seseorang
yang merupakan keturunan dari seorang pendekar
sakti, seseorang yang memiliki tenaga sakti tiada banding. Karena.,.."
Malaikat Biru memutus kata-katanya sendi-
ri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu siapakah orang itu. Siapakah
dia," katanya bagai keluhan. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, "Yang kukhawatirkan...
kalau waktuku telah sampai, hingga aku tak bisa lagi menjaga Pusara Keramat. Ah,
urusan Bunga Kemuning Biru,
satu-satunya benda yang dapat mengalahkan ku
sudah banyak menimbulkan petaka dan kegempa-
ran. Bagaimana bila aku sudah mati" Tentunya
akan semakin menggila orang-orang rakus yang
menginginkan benda yang tersimpan di Pusara Ke-
ramat ini...."
Kali ini cukup lama kakek bijak yang se-
dang gundah terdiam. Mata teduhnya terus me-
mandangi makam di hadapannya. Makam itu tak
ubahnya makam kebanyakan, tak ada yang isti-
mewa sama sekali. Tak ada bunga-bunga yang
tumbuh di atasnya.
Tiba-tiba dia mendesis,
"Mengapa aku tak mencobanya dulu" Ya,
aku harus mencobanya! Mungkin... pemuda itu bi-
sa kuandalkan sebagai orang yang menggantikan
tugasku menjaga Pusara Keramat...."
Bersamaan habis kata-katanya, tiba-tiba
saja hujan turun, curahan air menghambur dari
udara. Kilat menyambar yang sesekali menerangi
tempat itu. Petir berpesta pora, laksana petasan raksasa. Kejap itu pula tempat
itu laksana hendak dihantam kiamat kecil.
Malaikat Biru tetap berdiri di tempatnya.
Tubuhnya tidak basah sama sekali. Karena, ca-
haya biru yang memancar dari tubuhnya mengha-
langi tumpahan air hujan.
Dia masih terpaku di sana.
LIMA HUJAN masih turun walaupun pagi sudah
datang. Sinar matahari kali ini sia-sia menerangi persada. Angin lintang pukang
bergemuruh ditingkahi sambaran kilat dan ganasnya salakan petir.
Tanah becek terjadi di mana-mana, air mengge-
nang. Beberapa buah pohon tumbang, terpental
dan ambruk di tanah becek.
Dengan membawa pakaian dan jubah putih
milik Pratiwi, Raja Naga terus berlari, menghindari hujan juga berusaha untuk
menemukan Pratiwi
dengan segera. Karena tempat di mana dia berlari sedang
diamuk badai. Raja Naga sukar untuk menentu-
kan arah yang dituju. Tetapi dia terus berlari. Sekujur tubuhnya telah basah.
Yang diinginkannya saat ini adalah mencari
tempat berteduh. Tetapi sepanjang jalan dia berlari hanya terdapat pohon-pohon
besar saja yang tak
mungkin dijadikannya sebagai tempat berteduh,
mengingat dapat disambar kilat atau petir. Dan
anak muda itu sendiri tidak tahu, sudah seberapa jauh dia berlari.
Tiba-tiba matanya yang tajam dan bersorot
angker, menangkap satu bayangan gubuk tatkala
kilat menyambar. Segera anak muda dari Lembah
Naga ini berlari ke sana. Langsung menyelinap ke dalam gubuk yang gelap gulita.
"Bila cuaca seperti ini terus, maka akan semakin banyak waktuku yang terbuang
sia-sia," desisnya sambil mengerahkan hawa panas dalam tu-
buhnya. Hanya beberapa kejap saja, seluruh tu-
buhnya termasuk pakaian yang dikenakan telah
mengering. Kembali pemuda berompi ungu ini mende-
sis, "Hingga saat ini aku belum menemukan di mana Lesmana dan Ratih berada. Dan
sekarang, Pratiwi yang tidak ketahuan batang hidungnya.
Kalau memang dia yang telah membunuh Beliung
Kutuk, mengapa dia harus meninggalkan tempat
itu?" Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan kirinya sebatas siku ini berpikir
keras untuk me-mecahkan masalah yang dihadapinya. Sedikit ba-
nyaknya dia mulai menangkap apa yang sesung-
guhnya sedang dihadapi.
Tiba-tiba saja kepalanya ditolehkan ke ka-
nan. Walaupun saat itu yang terdengar hanyalah
gemuruh hujan dan angin, namun pendengaran-
nya yang tajam menangkap satu gerakan di luar
menuju ke gubuk di mana dia berada.
"Hemmm... ada seseorang yang melangkah
dengan berat menuju ke sini. Nampaknya orang
itu sedang membawa sesuatu hingga langkahnya
menjadi berat. Apakah aku harus menghindar
atau..." Kata batin Boma Paksi terputus, karena orang yang didengar langkahnya
telah masuk ke dalam gubuk itu. Orang itu menurunkan sesuatu
di punggungnya pada dipan reyot yang ada di gu-
buk itu. Mendadak orang itu berpaling ke belakang
disertai bentakan, "Rupanya ada manusia busuk di sini!!"
Wuuutttt!! Dalam keadaan gelap, Raja Naga menang-
kap satu gerakan ke arahnya. Cepat digerakkan
tangan kanannya.
Buk! Terdengar jeritan dari orang yang melancar-
kan jotosan tadi. Sementara itu, sesuatu yang tadi diletakkannya di dipan reyot
bersuara, "Kakang!
Ada apa"!"
"Tenang! Diam-diamlah kau di situ! Ada pe-
nyelinap yang ingin mencari mampus!!"
"Heiii!!" Raja Naga berseru tertahan, karena merasa mengenali suara kedua orang
itu. Tetapi urung berseru lagi karena satu desiran angin mengarah padanya. Kali ini dia
tidak menangkis,
hanya menghindar saja.
Tetapi orang yang menyerang itu tak mau
tahu. Penuh kemarahan dipercepat serangannya.
Bahkan dapat membuat rubuh gubuk itu.
"Tahan!!" seru Raja Naga sambil memiring-
kan tubuhnya. Dan....
Des! Jotosannya mampir pada tulang iga si pe-
nyerangnya yang sedikit terhuyung. Karena Raja
Naga tak mempergunakan tenaga penuh, orang itu
segera dapat berdiri tegak kembali.
"Lesmana!!" serunya kemudian.
Orang yang menyerangnya tadi terdiam
dengan mata memicing. Dicobanya untuk melihat
siapa orang yang berseru. Tetapi hanya kegelapan yang nampak.
"Siapa kau"!" serunya curiga.
"Astaga! Apakah kau tidak mengenaliku?"
Bukannya orang yang menyerang yang ber-
seru, tetapi orang yang berada di dipan yang bersuara, "Boma! Kaukah itu Boma"!"
Raja Naga cepat mendekat.
"Benar, Ratih! Aku Boma!"
"Astaga!" seru orang yang menyerang tadi.
"Gila! Aku tidak tahu kalau itu kau adanya, Raja Naga!" Raja Naga tertawa pelan.
"Bila Ratih tak buka suara, aku pun tak
akan mengenali kalian. Hei, bagaimana kabarmu?"
Orang yang menyerang tadi yang bukan lain
Lesmana menarik nafas pendek. Kegembiraan ter-
bias di wajahnya. Apa yang dilakukan oleh Lesma-
na tadi hanyalah sebuah gerakan yang telah terlatih. Dalam keadaan seperti Ini,
Lesmana memang menjadi orang yang serba curiga. Apalagi amarah masih bergolak di dadanya.
Tanpa dapat menutupi kegembiraannya,
Lesmana menceritakan apa yang dialaminya ber-
sama Ratih. "Jadi dia berhasil tiba di Tanah Kematian
dan menyelamatkan Ratih," kata Raja Naga dalam hati. Kemudian berkata, "Aku
mungkin juga akan mendapatkan kesukaran seperti yang kau hadapi
untuk menemukan di mana letak totokan Kem-
bang Darah di tubuh Ratih. Tetapi, biarlah kuco-
ba...." Lesmana menyingkir ketika dirasakan Raja Naga mendekati Ratih yang masih
terbaring di dipan. Dipicingkan matanya untuk menatap sosok
gadis yang dalam keadaan tertotok itu.
Ratih bisa melihat sorot keangkeran di mata
yang menatapnya.
"Terima kasih, Gusti.... akhirnya kau sudahi juga penderitaanku ini...," katanya
dalam hati. "Maaf," desis Raja Naga sambil meraba lengan Ratih. Ditekannya lengan itu pelan-
pelan. Ratih merasa ada hawa panas mengalir dalam tu-
buhnya. Dalam gelap seperti ini, memang sulit buat
Raja Naga untuk dapat menemukan totokan di tu-
buh Ratih dengan segera. Makanya dia berulang
kali memeriksa.
"Di bagian atas tubuhmu tak ada tanda-
tanda totokan itu berada, Ratih."
"Aku tidak bisa berbalik."
"Tidak usah. Kau tahan sedikit, mungkin
sekarang akan terasa lebih panas dari sebelum-
nya." Ratih mengangguk-angguk. Tetapi segera berucap karena sadar Raja Naga
tidak akan meli-
hat anggukannya.
"Ya...."
Pemuda pewaris Ilmu Dewa Naga itu mena-
rik napas pendek. Lalu ditempelkan telunjuknya
pada punggung tangan Ratih yang segera merasa-
kan adanya hawa panas yang merambat. Seperti
apa yang telah diberitahukan Raja Naga, Ratih merasa hawa panas itu semakin lama
bertambah me- nyengat. Dia mengeluh. "Boma... apakah Ratih tidak apa-apa?"
tanya Lesmana cemas yang mendengar keluhan
itu. "Tidak apa-apa. Aku masih berusaha menemukan di mana letak totokan itu...,"
sahut Raja Naga. Sementara itu dalam waktu singkat sekujur tubuh Ratih telah
dibanjiri keringat. Berulang kali mulutnya keluarkan keluhan menahan hawa panas
yang tak terkira. Bila saat ini ada cahaya sedikit saja, maka akan terlihat
kalau wajah gadis ber-kuncir dua itu seperti kepiting rebus.
"Gagal...," desis Raja Naga sambil mengangkat telunjuknya dari punggung tangan
Ratih. Ratih menarik napas lega.
"Boma... kau tentunya tahu bukan, apa
akibatnya bila seseorang tertotok dan tak bisa dibuka dalam waktu beberapa
Bocah Kembaran Setan 1 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas Eng Djiauw Ong 6
^