Pencarian

Bocah Kembaran Setan 1

Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Bagian 1


BOCAH KEMBARAN SETAN Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Bocah Kembaran Setan
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Goa itu nampak sunyi, bagaikan mati
tiada berpenghuni. Angin menderu-deru, berpu-
tar-putar mengelilingi atas goa, sepertinya ada sebuah kekuatan yang menyetir
angin tersebut untuk terus berputar makin cepat dan cepat di
atas goa. Hembusannya menderu-deru, laksana
badai topan yang hendak membongkah goa terse-
but. Sayup-sayup bersamaan dengan hembu-
san angin, terdengar suara seseorang wanita
menggema. Suara itu keras, keras bagaikan berteriak. Namun orang yang
mengucapkannya tak
nampak batang hidungnya.
"Nok Jenah... Nok Jenah, bangunlah! Ba-
ngun dari semedimu. Bangun...! Anak yang eng-
kau kehendaki, yang kelak akan membantu diri-
mu telah lahir. Bangunlah! Cari anak tersebut!"
"Duar! Duar! Duar...!"
Bersamaan dengan habisnya suara gema
tersebut, terdengar ledakan bebatuan yang sangat dahsyat. Lalu dari dalam
ledakan bebatuan tersebut, seorang wanita cantik muncul seraya tertawa bergelak-
gelak. "Hua, ha, ha...! Sri Ratu memanggil ham-
ba"!"
"Ya!" kembali terdengar suara seorang wanita berkata: "Aku memang memanggilmu,
Jenah!" "Ada gerangan apa. Sri Ratu"!"
"Nok Jenah, Bayi Kembaran Setan telah
lahir. Bayi tersebut telah lahir ke muka bumi ini.
Carilah olehmu... cari dia sampai ketemu."
"Hanya itu yang Sri Ratu maksudkan?"
Nok Jenah miringkan kepalanya, seakan telinga
kanannya yang mampu mendengar. Dan memang
telinga kanannya yang mendengar, sedang telinga kirinya sudah tak berfungsi
lagi. Telinga kiri tersebut rusak oleh hantaman musuhnya. Itu pula
yang mengakibatkan Nok Jenah harus melakukan
tapa Brata terpendam dalam batu-batuan selama
hampir dua lima tahun. "Apakah aku boleh menuntut balas pada Pramanayuda, Sri
Ratu?" "Tidak usahlah! Dengar, Jenah! Kalau
pun engkau tidak menuntut balas pada Pramana,
kelak pun Pramana akan menanggung akibatnya.
Dunia persilatan akan geger oleh Bayi Kembaran
Setan. Orang-orang persilatan telah mengetahui
bahwa Bayi Kembaran Setan adalah cucu Prama-
na. Bukankah dengan kau menggunakan bocah
tersebut kau telah secara tidak langsung memba-
las kekalahanmu padanya?" suara Sri Ratu kembali menggemadi antara bebatuan:
"Bila kau membalas secara langsung, pastilah banyak
orang-orang persilatan yang akan mencerca diri-
mu. Namun bila engkau menggunakan Bocah
Kembaran Setan, tentunya orang-orang persilatan yang tahu siapa adanya pemilik
bocah tersebut akan menuduh bahwa Pramana dan keluarganya-
lah yang telah berbuat. Bukankah begitu, Jenah?"
Nok Jenah nampak terdiam, sepertinya ia
tengah memikirkan tentang apa yang pernah ter-
jadi dengan dirinya. 25 tahun bukanlah waktu
yang pendek. 25 tahun pula ia harus mendekam
dalam bebatuan untuk mendapatkan ajian yang
ia inginkan dan sebuah senjata sakti berupa
cambuk bergagang perak. Cambuk tersebut ber-
nama cambuk Rambut Perak Seribu, milik Nyai
Kencono Weni, gurunya yang telah tiada. Dengan
kekalahannya ketika bertarung dengan Pramana,
mengakibatkan dirinya kini harus menjadi murid
dan pengikut Ratu Siluman Ular.
"Bagaimana, Jenah?" suara Ratu Siluman Ular kembali bergema, menyentakan Nok
Jenah dari lamunannya. "Nampaknya engkau tengah
melamunkan sesuatu. Apa yang engkau lamun-
kan?" "Hamba sedang merenungkan diri hamba," jawab Nok Jenah dengan kembali
memiringkan kepala ke kiri, sehingga kuping kanannya berada di atas.
"Tentang apa...?"
"Hamba sedang berpikir bagaimana ham-
ba dapatkan seorang lelaki?"
Bergelak Ratu Siluman Ular mendengar
ucapan Nok Jenah. Ia pun menyadari, bagaima-
napun juga Nok Jenah memang masih mengha-
rapkan kehadiran seorang lelaki. Sejak cintanya ditolak oleh Pramana, Nok Jenah
memang sering berbuat yang tidak-tidak. Dia seakan putus asa, atau boleh dikatakan frustasi
berat seperti layaknya seorang anak remaja. Dan sejak cintanya di-
tolak tersebut, tingkah laku Nok Jenah sungguh
sangat berbahaya. Dia menjadi seorang wanita
nakal, pengganggu dan perusak rumah tangga
orang. Dan akhir dari segalanya, Pramana turun
tangan menghajarnya sampai telinga yang sebelah kiri pecah gendangnya hingga Nok
Jenah tak mampu mendengar lagi. Hanya kuping se-belah
kanan saja yang masih dapat dipergunakan, itu
pun harus dengan cara memiringkannya ke atas.
Jadilah Nok Jenah yang cantik itu seorang wanita yang cacat, yang harus
menengkelehkan kepalanya bila ingin mendengarkan ucapan orang lain.
Sri Ratu masih tertawa bergelak-gelak,
sehingga menjadikan Nok Jenah kerutkan kening
tidak mengerti akan apa yang menjadi bahan ke-
tawaan Sri Ratu. Dengan masih memiringkan ke-
palanya, Nok Jenah pun bertanya: "Sri Ratu, mengapa Sri Ratu tertawa" Apakah ada
hal yang lucu dalam ucapanku?"
"Nok Jenah, memang kau masih berhak
untuk memikirkan seorang lelaki yang kelak
mendampingi dirimu. Kau masih cantik jelita
layaknya seorang gadis. Kau masih dapat mencari seorang lelaki yang juga muda
dan tampan. Itu
semua memang harus kau dapatkan. Tapi apakah
engkau akan mendahulukan kemauan hatimu
dan mengesampingkan tujuanmu yang sebenar-
nya" Kuburlah dulu keinginanmu untuk dapat
bersanding dengan seorang pria. Kelak pun, kau
tentunya akan mendapatkan pria tersebut setelah kau dapat menjadi seorang tokoh
yang disegani. Bukankah itu tujuanmu" Menjadi seorang tokoh
yang disegani, Jenah?"
"Benar, Sri Ratu. Memang tujuan utama
hamba adalah menjadi seorang tokoh yang dis-
egani oleh orang-orang persilatan. Hamba ingin
menjadi seorang yang mampu mendirikan sebuah
perguruan yang akan ditakuti oleh perguruan-
perguruan lainnya."
"Hua, ha, ha...! Mudah Jenah! Itu sangat
mudah bila kau telah mampu menguasai bocah
tersebut. Untuk itulah, cari bocah tersebut dan bawalah ke tempatku. Bocah itu
akan aku didik agar menurut padamu."
"Daulat, Sri Ratu," Nok Jenah menyahut, lalu setelah menjura Nok Jenah pun
berkelebat terbang dengan pecut Rambut Perat Seribunya
mencelat pergi.
* * * Jaka Ndableg yang tengah mengejar Bo-
cah Kembaran Setan, malam itu tidak tidur seke-
jap pun. Matanya bagaikan tak mau dipicingkan.
Bila terdengar suara lenguhan, Jaka Ndableg se-
gera mencelat memburu ke asal suara tersebut.
"Wah, ke mana aku harus mencari Bocah
Kembaran Setan?" gumam Jaka seperti terjengah setelah mendapatkan bahwa yang
melenguh bukannya manusia tapi seekor sapi. "Sialan! Gara-gara Bocah Iblis itu
aku dibuat kalang kabut, sapi yang melenguh, eh aku kira lenguhan bocah iblis.
Kalau aku tak mampu menemukan bocah terse-
but, sungguh akan menjadi petaka di dunia persilatan. Apa lagi jika bocah
tersebut dapat dikuasai.
oleh tokoh sesat, wah... apa tidak akan dipergu-
nakan untuk kejahatan yang makin merajalela?"
Jaka Ndableg hanya mampu gelengkan
kepala menerima kenyataan tersebut. Sungguh ia
benar-benar telah dibuat kalang kabut oleh seo-
rang bocah. Memang bocah tersebut sangat ber-
bahaya. Kalau dalam sehari saja tidak minum da-
rah, entah apa jadinya. Dua ratus orang habis dalam sehari saja, mati dihisap
darahnya. "Ke mana aku harus mencari Bocah Se-
tan tersebut?" Jaka melenguh, seakan ada rasa berat yang mendera di dalam
kalbunya. Kalbu
seorang pendekar yang berdiri kokoh dalam
membela kebenaran dan keadilan, yang pantang
untuk mengalah pada segala macam kejahatan
dan kemungkaran. "Aku tak boleh putus asa. Bila aku putus asa, tentunya aku ini
telah menjadi seorang yang lemah. Ah, sungguh tantangan hi-
dup. Dan tantangan hidup ini semampuku harus
aku hadapi, walau apapun yang bakal menimpa
diriku." "Anak muda! Sedang apakah engkau malam-malam begini terbengong melamun
sambil berjalan?" terdengar suara seorang tua terarah pada Jaka. Seketika itu Jaka
tersentak dari lamunannya, tengokan kepala pada suara tersebut.
"Sungguh hanya manusia-manusia bodoh dan tak tahu jalan saja yang mesti
merenungi nasibnya.
Dan hanya manusia-manusia pintar serta tabah
saja yang tahu akan jalan yang sebenarnya ter-
bentang luas di hadapannya."
Tersentak Jaka seraya kerutkan kening
mendengar penuturan seorang lelaki tua berjang-
gut merah. "Sungguh aneh orang ini. Jarang aku temui orang berjanggut merah,
atau barang kali
rambut janggutnya disemir?" Jaka menanya dalam hati. "Ah, dia begitu mengerti
apa yang ada di dalam hatiku."
"Kakek! Siapakah engkau adanya?" Jaka bertanya: "Dan apa tujuanmu menerka-nerka
hatiku?" "Aku hanyalah seorang gembel belaka.
Namaku tak terkenal seperti namamu," orang tua berjanggut merah ngomong sendiri,
seperti bertu-tur kata bahwa dirinya tak terkenal seperti nama pendekar Pedang
Siluman yang tersohor. "Sungguh engkau adalah seorang pendekar yang sejati.
Kau banyak teman, tapi maut pun akan selalu
mengintaimu di mana-mana. Hidupmu tak per-
nah menetap, berkeliaran dari satu tempat ke
tempat lainnya, apa yang sebenarnya engkau cari, Pendekar?"
Jaka makin jadi terkejut mendengar tutur
kata lelaki tua berjanggut merah. Betapa segala apa yang ada di dalam dirinya
lelaki berjanggut merah mengetahuinya. "Apakah dia seorang malaikat yang
menjelma menjadi manusia?" gumam Jaka dalam hati.
"Kakek, apakah engkau seorang malaikat
yang diutus Tuhan untuk menemui diriku?" tanya Jaka dengan ketidakmengertiannya.
"Kau benar begitu, untuk tujuan apakah" Apakah engkau diutus untuk mencabut
nyawaku" Biarlah, daripa-
da aku hidup harus selalu begini. Hidupku telah aku korbankan untuk jalan Tuhan,
namun aku selalu mendapat tantangan dan tantangan yang
tiada henti-hentinya. Kalau sekiranya Tuhan ber-kehendak mengambilku, aku rela."
"Hua, ha, ha...! Lucu... lucu!" Kakek berjanggut merah tertawa bergelak-gelak
demi men- dengar ucapan Jaka yang seperti anak kecil. Hal itu menjadikan Pendekar Pedang
Siluman Darah makin tak mengerti saja. "Lucu sekali dirimu, Pendekar! Ketahuilah, bahwa dirimu
akan selalu diberi kehidupan dan lindungan yang lama oleh
Tuhanmu. Dirimu akan menjadi seorang penegak
kebenaran dan keadilan. Tapi ingat, kelak pada
masa sepuluh tahun mendatang, yaitu masa ke-
lahiran Iblis Laknat dari dasar neraka, kau akan mengalami kesulitan yang akan
menjadikan dirimu harus berjuang antara hidup dan mati. Iblis
itu akan lahir sepuluh tahun kemudian, di mana
usiamu telah menginjak usia yang semakin tua.
Kini usiamu masih terlalu muda, baru dua puluh
dua tahun."
"Kakek, kau sungguh Paninggal benar.
Siapakah dirimu adanya, Kek?" Jaka terus bertanya mendesak.
"Sudah aku katakan, aku hanyalah seo-
rang gembel bulukan yang tak terkenal seperti dirimu. Namun aku ingin sekali
menolong dirimu.
Aku ingin meringankan bebanmu." Kakek ber-
janggut merah berkata: "Ketahuilah olehmu, Pendekar. Aku sering kali merenungkan
tentang di- rimu. Bila aku tidur, dirimu seolah-olah ikut dalam mimpiku. Bila aku bertapa,
dirimu seolah- olah ada dalam khayalanku. Karena itulah, aku
merasa bahwa aku memang harus berbuat sesua-
tu untuk dirimu. Aku ingin berusaha meringan-
kan bebanmu. Namun aku sendiri tak akan selalu
hadir di sisimu, aku akan datang bila kau benar-benar memerlukan diriku. Semua
orang menye- butku telah berbuat yang merugikan mereka. Aku
telah dituduh oleh mereka, bahwa akulah pem-


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat bencana di Gunung Slamet."
Jaka terdiam tanpa kata mendengarkan
penuturan yang diucapkan oleh kakek berjanggut
merah. Jaka sendiri belum tahu siapa adanya ka-
kek berjanggut merah yang ingin membantunya,
dan telah menceritakan siapa adanya dirinya yang sebenarnya. Jaka makin tak
mengerti setelah si
kakek mengatakan bahwa dirinya telah dikecam
oleh orang-orang persilatan. Siapa sebenarnya
kakek berjanggut merah" Mengapa dia tak mau
menampakkan dirinya terus menerus" Dan men-
gapa ia ingin membantu pendekar kita Jaka
Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah"
Semuanya itu akan saya beberkan pada bab-bab
selanjutnya, yang ada sangkut pautnya dengan
Nok Jenah yang kini tengah mencari Bocah Kem-
baran Setan. "Dapatkah kakek menceritakan siapa
adanya kakek" Lalu apa yang menjadikan kakek
ingin membantuku" Dan benarkah kakek bukan
seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk men-
cabut nyawaku?" tanya Jaka.
"Hua, ha, ha...! Lucu! Mana ada malaikat
mengeluh sepertiku" Hanya orang-orang lemah
saja yang mengeluh, termasuk diriku. Kau sebe-
narnya tak pantas untuk mengeluh, sebab kau
orang kuat."
"Tidak juga, Kek!" Jaka membantah. "Aku juga manusia seperti dirimu. Aku
merasakan la-par bila belum makan, juga merasakan sakit bila luka. Setiap orang
yang merasakan segalanya,
tentulah ia akan pernah mengeluh."
Kakek berjanggut merah angguk-
anggukan kepala, mengerti akan apa yang dikata-
kan oleh Jaka. Kini ia menyadari bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah bukan saja
tinggi ilmunya, namun tinggi pula budi pekertinya. Jarang sekali seorang
pendekar yang mau mengakui dirinya
masih rendah. Dan biasanya, seorang pendekar
tentulah mencari-cari kesalahan seseorang untuk dapat menjatuhkan orang
tersebut. Tetapi pendekar ini, jauh berbeda dengan kebanyakan. Pende-
kar ini sangat menghindari hal-hal yang sekiranya dapat merenggangkan hubungan
timbal balik seseorang. Kakek janggut merah masih terdiam,
memandang kagum ke arah Jaka Ndableg.
"Baiklah, Anak muda," katanya kemu-
dian. "Aku akan berusaha membantu dirimu, walau aku tahu kau mungkin tidak
memerlukan- nya." "Ah, mengapa kakek berkata begitu?" la-gi-lagi Jaka membantah, seakan ia
tak suka ka- lau dirinya harus disejajarkan dengan para nabi.
Ia bukanlah nabi, ia juga bukannya malaikat yang tidak membutuhkan bantuan. Ia
adalah manusia,
manusia yang memerlukan uluran tangan orang
lain. "Kakek, apapun bentuknya manusia, ten-
tunya ia akan memerlukan bantuan seperti diri-
ku. Diriku pun memerlukan uluran tangan dari
manusia lainnya, termasuk darimu. Janganlah
engkau mensejajarkan aku dengan para malaikat
Tuhan, atau nabi-nabi Tuhan yang memang su-
dah dikodratkan olehNya untuk dapat berdiri
sendiri." "Ooh... sungguh tinggi budi pekertimu, Pendekar." puji kakek
berjanggut merah. "Makin aku kagum dan salut padamu. Aku makin ingin
secepatnya dapat membantu dirimu, ataupun
berkorban untuk dirimu."
"Terima kasih sebelumnya, Kek," Jaka
berkata: "Sungguh sebenarnya saya tak ingin me-repotkan dirimu, namun karena itu
semua eng- kau yang minta, aku pun tak dapat menolaknya.
Nah, bukankah engkau belum menceritakan sia-
pa adanya dirimu, Kek" Kalau mengenai diriku,
tentunya engkau telah mengetahuinya, bukan?"
Kakek Janggut Merah tampak terdiam,
tercenung dalam hening menatap lekat ke arah
Jaka Ndableg. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu kemudian kembali berkata;
"Baiklah, memang kita perlu adanya saling mengenal. Aku
akan menceritakan siapa adanya diriku yang se-
benarnya."
Kembali kakek Janggut Merah hentikan
ucapan, menarik napas panjang. Sementara Jaka
masih terdiam, dengan sekali-kali matanya mem-
andang sekeliling, siapa tahu dalam kesempatan
itu ia dapat menemukan adanya Bayi Kembaran
Setan. 2 Setelah sesaat terdiam, saling jaga kalau-
kalau ada orang jahat yang bakal datang, atau
Bocah Kembaran Setan datang, kakek Jenggot
Merah akhirnya bercerita siapa adanya dirinya.
Tiga puluh tahun yang lalu, dia adalah
seorang pendekar bernama Gelang Kemulang. Dia
adalah seorang tokoh silat aliran lurus yang sepak terjangnya selalu membuat
tokoh-tokoh ali-
ran sesat banyak yang berusaha mengalahkan-
nya. Suatu hari... "Gelang! Aku minta, kau janganlah ikut
campur urusanku!" Kumilir Seta yang mendatangi Gelang Kemulang adalah seorang
pendekar aliran
sesat. Dia bermaksud hendak mengadakan per-
temuan para tokoh sesat untuk mendirikan se-
buah perserikatan dengan nama "Perserikatan Segala Iblis."
"Apa keperluanmu hingga mengancamku
begitu, Seta!" balas Gelang tak mau mengalah begitu saja. "Sebagai seorang tokoh
persilatan, kita sama-sama mempunyai tugas masing-masing.
Kau dari aliran sesat, tentunya kau pun memiliki tugas sendiri. Sebaliknya aku,
aku pun sebagai
pembela kebenaran akan mempunyai tugas sen-
diri yaitu menumpas segala kejahatan yang hen-
dak bercokol di muka bumi ini."
"Jadi kau masih tetap membandel dan
bermaksud menghalangi niatku untuk mendiri-
kan Perserikatan Segala Iblis!"
"Tergantung kenyataannya, Seta."
"Apa maksudmu!"
Gelang Kemulang tersenyum, seakan
memberikan sebuah gambaran nyata yang tergu-
rat dari goresan ulasan senyum di bibirnya. Se-
nyum itu, adalah senyum sebuah arti yang men-
gisyaratkan agar Seta harus hati-hati.
"Aku tak akan mengganggu perserika-
tanmu, asalkan engkau dan seluruh rekan-
rekanmu tidak membuat segalanya berubah. Bi-
arkan hidup ini berjalan semestinya."
"Jadi kau akan bertindak bila kami men-
gadakan sebuah perubahan total ataupun seba-
gian dari kehidupan?"
"Ya!" jawab Gelang pendek.
"Kau tak akan mampu," Kumilir Seta
sunggingkan senyum sinis penuh ejekan, lalu
mengulang katanya: "Kau tak akan mampu, sebab di dalam Perserikatan Segala Iblis
banyak terdapat tokoh sakti aliran sesat."
"Kita akan buktikan, Seta."
Mendengar ucapan Gelang, seketika Ku-
milir Seta tak bicara lagi. Ia diam, lalu dengan memandang tajam seperti hendak
menembus jan-tung Gelang, Seta pun berkelebat pergi mening-
galkannya. Gelang hanya dapat geleng kepala,
seakan tak mengerti dengan apa yang sebenarnya
ada di dalam hati Seta. Tanpa banyak bicara Ge-
lang pun akhirnya kembali masuk ke dalam pa-
depokannya menemui kembali para muridnya.
"Siapakah gerangan yang datang, Guru?"
tanya salah seorang muridnya. Murid Gelang Ke-
mulang atau Pendekar Bedah Jagad ada tiga
orang. Yang pertama adalah anak Kadipaten, ber-
nama Purbaya Anjasmara. Yang kedua anak seo-
rang pembesar istana, bernama Kemang Bende
Dewa. Sementara yang terakhir, dia anak angkat-
nya sendiri. Bocah itu ditemukan olehnya mana-
kala terjadi perampokan di desa Sanggana.
"Sepertinya mereka mengancam guru.
Benarkah begitu, Guru?" yang bertanya ini Bende Dewa. "Begitulah, Muridku."
"Mengapa ia mengancam, Guru?" kembali Bende Dewa bertanya.
"Apakah mungkin ia orang jahat, Guru?"
kini Purbaya yang ambil kata. "Atau mungkin ia mendendam pada guru" Kalau memang
ya, be-gaimana jika kami yang menanganinya, Guru?"
Gelang atau Pendekar Bedah Jagad
hanya mampu gelengkan kepala mendengar uca-
pan murid-muridnya yang masih muda-muda.
Memang ia menyadari bahwa seusia murid-
muridnyalah, masa-masa orang menunjukkan ge-
jolak kemauannya. Dan ia sebagai guru, patutlah memberikan wawasan yang luas
agar murid-muridnya itu tidak salah langkah. Sebab bila murid-muridnya salah
langkah, sudah dapat dipastikan gejolak mudanya yang bicara, bukan rasio
dan pikiran yang baik yang menentukannya.
"Tidak begitu, Murid-muridku. Kita me-
mang boleh merasa tidak senang bila diri kita di-ancam atau disakiti oleh orang
lain. Tetapi, kita
juga perlu melihat kenyataan sebagai apa kita ini"
Bila kita melihat diri kita sebagai manusia, tentunya kita akan menuruti
kehendak manusia
yang telah dikodratkan pada diri kita. Tetapi jika kita melihat dari sudut
masyarakat, tentunya kita akan menjadikan segala tindakan diri kita sebagai
bagian masyarakat. Nah, karena aku berdiri pada bagian masyarakat, aku pun harus
memikirkan masyarakat di sekitar kita. Coba kalian bertanya pada diri kalian. Apa yang
kalian akan lakukan
jika kalian sebagai masyarakat, melihat masyarakat lainnya tercengkeram oleh
tindakan orang atau golongan."
"Jelas kami akan menghalanginya, Guru,"
kedua orang muridnya menjawab, hanya seorang
muridnya yang tak menjawabnya, dialah Nok Je-
nah. Dan dikarenakan Nok Jenah tak menjawab,
maka sang guru pun bertanya padanya.
"Kenapa engkau terdiam, Jenah?"
"A-ampun, Guru. Hamba, belum menger-
ti,'' tergagap Nok Jenah manakala menjawab. Hal itu jelas membuat gurunya Si
Pendekar Bedah Jagad kerutkan kening tak mengerti, meman-
dangkan matanya tajam ke arah Nok Jenah.
"Sepertinya kau tengah melamun, Je-
nah?" "Ti-tidak, Guru," Nok Jenah mencoba menutupi.
"Kau mulai berani mendusta padaku, Je-
nah?" "Am-ampun, Guru," Jenah menangis se-senggukan. Hatinya merasa berdosa
telah men- dustai gurunya yang sekaligus orang tua angkat-
nya. "Oh, mengapa aku telah berani menen-
tang orang yang telah menolongku serta mendi-
dikku sejak kecil" Kenapa...?" Nok Jenah mengeluh dalam hati, sementara ia terus
menangis tun-dukan kepala tak berani menentang pandang pa-
da gurunya. "Kenapa engkau menangis, Jenah?"
Nok Jenah tak dapat berkata-kata, ia
bingung harus mulai dari yang mana. Sebenarnya
dalam hati Nok Jenah terhampar ratusan perta-
nyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu
ia jawab dan selesaikan. Pertanyaan mengenai
kehidupan, juga mengenai mengapa cintanya di-
tolak oleh seorang pendekar"
"Mengapa cintaku yang tulus harus ber-
tepuk sebelah tangan" Mengapa Pramana tidak
mau menerima diriku sebagai kekasih, padahal
aku sangat menyintainya?" keluh hati Nok Jenah.
"Kau terus melamun, Jenah?"
Tersentak Nok Jenah seketika dari lamu-
nannya. Bayang-bayang Pramanayuda menghi-
lang, bersamaan dengan suara gurunya. Den-
damnya pada Pramanayuda yang telah menolak
cintanya, menjadikan Nok Jenah harus mencari
jalan untuk dapat menjatuhkannya.
"Hamba... hamba prustasi, Guru."
Tersentak guru dan kedua kakak seper-
guruannya demi mendengar ucapan Jenah. Keti-
ganya seketika memandang lekat ke arah Jenah,
seakan ketiganya ingin mengorek hati Nok Jenah
yang dalam. Hati seorang gadis, yang kini terlun-ta-lunta akibat cintanya yang
suci harus dilakukan bertepuk sebelah tangan.
"Jenah! Apa artinya ucapanmu...?" Ge-
lang tergetar berkata, seakan ada sebuah kekua-
tan yang dahsyat mengguncang diri dan hatinya.
Kekuatan yang mampu menggoyahkan persen-
diannya. Gadis yang sedari kecil diangkat menjadi anaknya, ternyata telah
menjadikan segalanya berubah. Gadis itu seakan meluluh-lantahkan ha-
rapannya untuk kelak menggantikan dirinya se-
bagai seorang pendekar aliran lurus, yang mampu menegakkan kebenaran dan
keadilan. Kalau gadis
ini sudah prustasi, jelas jiwa kewanitaannya akan membawa dirinya ke jurang
kebencian dan dendam pada orang yang dianggapnya telah mem-
buatnya putus asa.
Tapi selaku orang tua, apalagi sudah ter-
kenal namanya sebagai orang bijaksana, Gelang
tak mau begitu saja mendamprat atau memarahi
sang anak angkat. Ditariknya napas panjang,
seakan hendak membuang keberatan beban yang
ada di hati. "Kau telah jatuh cinta, Jenah?"
"Benar, Guru," jawab Jenah masih ter-
tunduk. "Siapakah orang yang engkau cintai?"
Jenah memandang pada kedua kakak se-
perguruannya, seakan minta bantuan untuk


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakannya. Namun rupanya kedua kakak
seperguruannya pun tak tahu menahu dirinya,
sehingga Jenah dengan kesendirian akhirnya ber-
kata menjawab. "Pemuda itu... pemuda itu adalah Prama-
nayuda, Guru."
Sang guru hanya mampu menarik napas
kembali. Ia tahu, siapa adanya Pramanayuda.
Seorang pendekar yang memang saat itu na-
manya telah melangit dengan sebutan Pendekar
Pedang Sukma Layung. Namun bukannya ia ta-
kut pada orang tersebut, tapi dirinya juga tak dapat harus memaksakan kehendak
anak angkat- nya untuk memaksa Pramanayuda agar dia mau
menerima cinta anak angkatnya.
"Apakah ia menerima cintamu?"
Nok Jenah menggeleng.
"Mengapa engkau harus prustasi" Bu-
kankah engkau cantik, Anakku?" Gelang ber-
tanya: "Bukankah engkau mampu mencari lelaki lainnya" Mengapa engkau mesti
menuruti kemauan syetan?"
"Guru...!" Jenah membentak, sepertinya ada kekuatan yang mendorongnya untuk
bertindak demikian. Hal itu menjadikan kedua kakak
seperguruannya tersentak dari duduknya, lalu
kedua pemuda itu dengan sewot karena gurunya
diperlakukan seenaknya oleh Nok Jenah mem-
bentak. "Anak tak tahu diri! Berani lancang mu-lutmu membentak guru sendiri! Kau
harus diha- jar, Jenah!"
"Sabar, Anak-anakku."
Kedua murid laki-laki Gelang menurut,
turunkan tangannya yang sudah siap hendak di-
hantamkan ke arah Nok Jenah yang seperti pa-
srah. Bahkan kini Nok Jenah memandang tajam
pada keduanya dengan pandangan seperti menya-
la. Dari mulutnya sunggingkan senyum mengejek,
lalu dengan lantang tanpa mengenal rasa takut ia berseru: "Lakukan bila kalian
berani! Sejak saat ini, aku bukan adik seperguruan kalian!"
"Anak setan!" bentak Purbaya sewot.
"Bedebah! Anak tak tahu diri! Minggat
kau dari sini!" Bentak Dewa tak kalah marahnya, merasa gurunya telah diinjak
seenak udel oleh
Jenah. "Kalau kau tak minta ampun pada guru, jangan salahkan tanganku ini akan
menghancurkan batok kepalamu!"
"Anak-anakku, sudahlah. Mungkin ia be-
lum dewasa."
"Tidak guru. Dia bukan karena dewasa
atau belum. Tapi dia memang sudah bukan ma-
nusia lagi! Dia adalah iblis! Itulah mengapa Pramana yang tadinya mencintainya
kini memaling- kan muka!"
Terbelalak marah Nok Jenah, meman-
dang tajam penuh permusuhan pada Bende De-
wa. Begitu juga dengan Pendekar Bedah Jagad, ia pun tak kalah kagetnya. Ia tidak
menyangka kalau anak angkatnya itu telah benar-benar mela-
kukan kesalahan yang besar, kesalahan sebagai
manusia yang tidak mau menerima kodratnya.
"Benar apa yang dikatakan oleh kakak-
mu, Jenah?"
"Ya!" Jenah menjawab dengan ketus, sepertinya tak ada rasa takut setitik pun
pada da- rahnya untuk menghormati sang guru yang seka-
ligus ayah angkatnya. "Memang aku telah bersekutu dengan Siluman Ular Sanca!"
Bagaikan disengat halilintar di siang bo-
long, Gelang atau Pendekar Bedah Jagad tersen-
tak kaget, sampai-sampai ia bangkit dari duduk-
nya dengan mata melotot ke arah Nok Jenah.
"Kau...! Kau telah mencoreng arang di
mukaku. Minggat kau dari sini!" bentak Pendekar Bedah Jagad dengan marahnya,
karena merasa dirinya telah diberi malu besar oleh anak yang da-ri kecil telah diasuhnya.
Ternyata dia telah salah mengasuh. Dia telah mengasuh anak macan,
yang setiap saat pastilah akan menerkam dirinya sendiri. "Minggat kau dari sini,
cepat!" Jenah tersenyum sinis, bagaikan tiada
dosa. Matanya tajam memandang pada sang
guru, sepertinya sang guru hanyalah orang yang
tiada arti. Dengan senyum sinis Jenah berkata:
"Baik! Memang hal inilah yang aku tunggu-
tunggu. Ingat, Gelang! Kelak kau dan dua orang
muridmu ini akan menerima hukumannya!"
"Bangsat!" Purbaya berkelebat, dia sudah tak mampu menahan amarahnya. Tangannya
yang telah dialiri tenaga dalam menjurus ke arah batok kepala Nok Jenah. Namun
belum juga tangan itu sampai, tiba-tiba tangan Jenah telah berkelebat menangkis
dan sekaligus menyerang ba-
lik. Tak ayal lagi, tubuh Purbaya seketika mental ke belakang terhantam serangan
yang begitu tiba-tiba. Mata Bende Dewa dan gurunya terbelalak,
manakala melihat serangan yang dilakukan oleh
Nok Jenah. Serangan itu bukanlah jurus yang
mereka miliki, tapi sebuah jurus yang aneh. Ge-
rakannya begitu cepat, hampir tak dapat diikuti oleh mata yang melihatnya. Bende
Dewa hendak menyusul menyerang Nok Jenah manakala den-
gan cepat sang guru menghalanginya seraya ber-
seru: "Jangan! Jangan kau lakukan, Bende."
"Kenapa, Guru?" Bende Dewa protes,
seakan dirinya tak mau menerima ucapan gu-
runya yang membiarkan murid durhaka itu harus
berlalu dengan seenaknya. "Dia telah menyakiti kakang Purbaya, Guru."
"Biarkan dia pergi, Bende. Kau tolonglah
kakakmu." Sebagai seorang murid yang baik Bende
Dewa pun akhirnya menuruti kata-kata gurunya.
Dibiarkannya Nok Jenah berlalu meninggalkan
padepokan, sementara dirinya sendiri kini men-
gurusi tubuh kakaknya yang tergeletak pingsan
akibat hantaman Nok Jenah yang begitu keras-
nya. Sementara itu, Gelang sebagai seorang guru hanya mampu mendesah panjang.
Sulit baginya untuk menentukan tindakan. Kekecewaan me-
renggut hatinya, menjadikan Gelang hanya be-
ngong tanpa reaksi.
3 Sejak meninggalkan perguruan, makin
tampak nyatalah siapa sebenarnya Nok Jenah.
Dia makin telengas dan tak mengenai rasa bersa-
habat bagi siapa saja yang dianggapnya sebagai
musuh. Dia juga tak segan-segan membuat keo-
naran di muka bumi untuk memuaskan nafsu
angkara murkanya. Karena ganasnya segala tin-
dakan Nok Jenah, jadilah ia dijuluki Wanita Srigala Liar.
Bukan hanya perbuatannya yang telengas
pada setiap orang yang dianggapnya musuh, teta-
pi Nok Jenah pun kini seperti seorang gila. Gila dalam arti kata, bukan gila
sebenarnya. Tin-dakannya sangat memalukan, yaitu mengganggu
dan merusak rumah tangga orang.
"Aku harus dapat menjadikan semua le-
laki menjadi budakku! Aku harus dapat... hua,
ha, ha...!" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, menjadikan anak buahnya yang
berjumlah dua puluh orang wanita itu terdiam tiada kata. "Kau, Srigala Ungu. Cari lelaki muda
yang banyak. biar kita dapat berpesta pora."
"Daulat, Pimpinan."
"Jebak mereka dengan segala bujuk rayu.
Bila memang membandel, janganlah kalian segan-
segan lagi. Bunuh dia!"
"Daulat, Ketua!" Srigala Ungu, selaku ketua pengganti hanya mengiyakannya. Ia
takut pa- da ketuanya Nok Jenah yang sudah diketahui be-
rilmu tinggi. "Kalian sekarang berangkatlah! Cepat...!"
Nok Jenah memerintah dengan bengis, tetapi di
balik kebengisannya itu terdapat sebuah kepu-
tusasaan. Putus asa karena cintanya ditolak men-
tah-mentah. "Jenah! Keluar kau...!"
Terdengar suara seseorang berseru, men-
jadikan Nok Jenah dan dua puluh anak buahnya
seketika tersentak dan menghambur ke luar un-
tuk menemui orang yang berteriak tersebut. Mata Nok Jenah seketika melotot,
manakala melihat
siapa adanya yang datang.
"Kau...! Untuk apa engkau datang, hah!"
bentak Nok Jenah tanpa hormat, padahal yang
datang itu tak lain gurunya sekaligus ayah ang-
katnya yang telah mengasuh dan mendidiknya se-
jak kecil. "Ya! Aku, Jenah!"
"Kenapa engkau datang, Tua Bangka!"
kembali Jenah membentak marah, seakan Pende-
kar Bedah Jagad tak lain seorang musuh yang
sangat ia benci. "Pergilah! Jangan sekali-kali engkau datang bila nyawamu tidak
ingin aku remuk-
kan!" "Anak durhaka! Aku tak akan pergi sebelum engkau mau menyadari segala
tindakanmu yang keliru. Karena ulahmu, maka kedua murid-
ku harus menjadi korban. Maka aku tak akan
mau menjadi korban karena keberangasanmu!"
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasanku, Tua
bangka!" Nok Jenah bergelak tawa seperti tak merasa bersalah. Memang sejak Jenah
berbuat se- wenang-wenang, maka Padepokan Sanggrah Bu-
ana milik Pendekar Bedah Jagad telah banyak di-
datangi oleh para tokoh persilatan baik dari golongan lurus maupun golongan
sesat yang menu-
duh dirinya telah tidak mampu mengurus salah
seorang muridnya. Kedua muridnya yaitu Pur-
baya dan Bende Dewa, tak mau gurunya dituduh
sembarangan. Maka kedua murid setia itu pun
akhirnya harus mati demi membela nama baik
sang guru. Sementara Pendekar Bedah Jagad
sendiri, harus mengalami luka-Iuka karena se-
rangan yang datangnya bersamaan. Hampir saja
nyawanya lenyap, kalau saja tidak datang seorang pendekar yang menolongnya.
Pendekar itu tak
lain Pramanayuda adanya, atau Pendekar Pedang
Layung Sukma. "Bedebah! Anak setan! Kalau kau tak
mengakhiri segala tindakanmu dan tak mau me-
nyerah, maka aku tak akan segan-segan untuk
menghukummu!"
"Hua, ha, ha...! Lakukan bila engkau
mampu, Tua bangka!"
Murka Pendekar Bedah Jagad mendengar
ucapan Nok Jenah yang dirasa sudah bukan uca-
pan baik. Maka dengan mendengus marah, Pen-
dekar Bedah Jagad pun berteriak menyerang be-
kas murid dan anak angkatnya.
"Daripada seluruh tokoh persilatan
menghukummu maka akulah yang akan meng-
hukummu. Hiaat...!"
"Hua, ha, ha...! Jangan kira aku masih
seperti anak kecil saja, Tua bangka busuk!" Nok Jenah masih tertawa-tawa, dan
dengan penuh ejekan ia terus mengelitkan serangan Pendekar
Bedah Jagad dengan sekali-kali membalik seran-
gan. Pertarungan antar guru dan bekas mu-
ridnya terus berjalan dengan jurus-jurus yang
tinggi. Nampaknya memang Nok Jenah bukanlah
Nok Jenah yang dulu dalam asuhan Pendekar
Bedah Jagad. Terbukti serangan-serangannya
jauh lebih keras dan cepat. Serangan Nok Jenah
bukanlah menggunakan jurus-jurus yang diajar-
kan oleh gurunya, tetapi jurus-jurus yang aneh
yang belum pernah Pendekar Bedah Jagad keta-
hui. Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget,
lompatkan tubuhnya ke belakang manakala meli-
hat tangan Nok Jenah tiba-tiba menghitam laksa-
na arang. Tangan itu kini bukanlah tangan lagi, tetapi berubah menjadi seekor
ular yang besar
dari ganas. Ular Sanca hitam legam, berbisa ja-
hat. "Ilmu iblis!" memekik Pendekar Bedah
Jagad kaget. Tak luput juga keduapuluh anak
buahnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mata keduapuluh gadis cantik itu
melotot geli dan takut, demi melihat tangan ketuanya tiba-tiba telah menjadi
seekor ular yang hitam legam dan ganas.
"Hua, ha, ha...! Bagaimana, Tua Bangka"
Apakah engkau masih hendak menghukumku?"
Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, seakan ia ingin menunjukkan kesombongannya.
"Apapun resikonya, aku akan tetap
menghukummu, Anak Setan!"
"Lakukan bila engkau mampu, Tua bang-
ka!" "Bangsat!"
Mata Pendekar Bedah Jagad membara
penuh amarah, lalu dengan segera disilangkan
kedua tangannya di depan dada. Dari silangan
tangan tersebut, keluar asap mengepul putih bergulung-gulung menyelimuti
tangannya. Dan den-
gan memekik, pendekar Bedah Jagad pun segera
kembali menyerang dengan ajiannya Bedah Ja-
gad. Kini giliran Nok Jenah yang tersentak ka-
get, ternyata gulungan asap putih itu mampu
memunahkan ilmu silumannya. Tangannya. kem-
bali berubah menjadi tangan biasa, sementara ki-ni musuhnya telah bergerak
dengan cepat menuju
ke arahnya dengan serangan yang sudah ia den-


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gar sendiri kehebatannya. Ilmu Bedah Jagad, bu-
kanlah ilmu sembarangan. Kalau ilmu tersebut
sudah dikeluarkan niscaya siapa pun akan dapat
diterka segala apa yang ada pada dirinya. Maka
itu, sebelum asap Bedah Jagad menyerangnya,
seketika Nok Jenah berkelebat melarikan diri. Ia sadar, kalau ia meneruskan
perkelahian dengan
bekas gurunya, niscaya ia tak akan mampu. Na-
mun yang ia herankan, mengapa gurunya harus
mengalah pada tokoh-tokoh persilatan"
Melihat ketuanya melarikan diri, segera
kedua puluh anak buahnya pun berkelebat pergi
mengikutinya. Pendekar Bedah Jagad terpaku di-
am. Ia sebenarnya juga masih memendam rasa
kasihan pada anak angkatnya, itulah kenapa ia
mau berkorban untuk mengalah pada para tokoh
persilatan. Ia sengaja mengeluarkan Ajian Bedah Jagad, hanya karena ia tidak
ingin Siluman Sanca
turut campur. Dengan muka lesu, Pendekar Be-
dah Jagad pun kembali berkelebat pergi mening-
galkan tempat tersebut.
* * * Dua orang penunggang kuda nampak
memacu kuda mereka dengan cepatnya menuju
ke padepokan yang dihuni oleh Pendekar Bedah
Jagad. Kedua penunggang kuda tersebut, memili-
ki wajah yang hampir sama. Mereka tak lain Se-
pasang Iblis dari Gunung Dieng. Kedatangannya
ke padepokan milik Bedah Jagad, tak lain untuk
menyampaikan undangan dari ketuanya yaitu
Kumilir Seta yang bermaksud mendirikan Perse-
rikatan Iblis. Pendekar Bedah Jagad terpaku berdiri di
teras padepokan yang kini sepi bagaikan tak berpenghuni. Sejak kematian dua
orang muridnya, lan sejak ia dituduh oleh para tokoh persilatan bahwa dirinya
melindungi Iblis Srigala Liar atau Nok Jenah, padepokannya sepi. Padepokan itu
hanya dijadikan tempat mampirnya kalau ia ten-
gah enggan untuk melanglang buana layaknya
seorang pendekar.
"Mau apa mereka menuju ke mari," Pen-
dekar Bedah Jagad terdiam tanpa reaksi menung-
gu kedatangan dua orang utusan Kumilir Seta.
"Sepertinya mereka membawa surat. Mungkinkah surat itu untukku?"
Dua orang penunggang kuda yang sudah
diketahui Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, te-
rus mempercepat lari kuda mereka menuju ke
padepokan di mana Pendekar Bedah Jagad berdiri
menunggu kedatangan mereka.
Wajah kedua Iblis tersebut tak seperti bi-
asanya, yang memendam perasaan permusuhan.
Tetapi wajah kedua Iblis tersebut kini menggam-
barkan persahabatan. Keduanya segera turun da-
ri kuda, lalu dengan segera menjura hormat. Hal itu menjadikan Pendekar Bedah
Jagat terheran-heran kerutkan kening.
"Ada apa kalian datang ke mari?" tanya Pendekar Bedah Jagad pada keduanya yang
masih menjura hormat. "Apakah kalian memang diutus oleh pimpinan kalian Kumilir
Seta?" "Benar, Tuan Pendekar," jawab Iblis Sepuh. "Kami memang diutus untuk menyam-
paikan surat ini padamu, Tuan Pendekar," lanjut Iblis Kanoman. "Kami juga
disuruh menunggu keputusan darimu."
Disodorkannya surat tersebut oleh iblis
Sepuh pada Pendekar Bedah Jagad yang dengan
segera menerimanya. Di hadapan kedua Iblis dari Gunung Dieng itu, Pendekar Bedah
Jagad pun segera membacanya.
Bedah Jagad, Aku mengharap engkau mau mengubah
pendirianmu. Aku juga mengharapkan engkau mau ber-
gabung bersamaku.
Percuma kau masih menutupi dirimu sen-
diri. Muridmu juga telah ketahuan bersekutu den-
gan Siluman Ular Sanca, apakah engkau akan tetap menolak tuduhan dari para
pendekar yang mengatakan bahwa engkaulah pelindungnya"
Bedah Jagad, lebih baik kau bergabun-
glah bersama kami.
Mari kita dirikan bersama-sama Perserika-
tan Iblis. Bukankah dengan adanya Perserikatan Iblis engkau akan mendapat
dukungan" Camkanlah, Bedah Jagad.
Kumilir Seta. Dilipatnya kembali surat tersebut, lalu dengan mata tajam dipandangi kedua
utusan Kumilir Seta tersebut yang nampak tak berani
menentang pandang padanya. Kedua Iblis itu ta-
hu siapa adanya Pendekar Bedah Jagad. Seorang
pendekar yang akan mampu membaca ilmu yang
dimiliki oleh lawan-lawannya.
"Katakan pada ketuamu, aku Bedah Ja-
gad tak mau bergabung,"
"Tapi...!" Iblis Sepuh hendak berkata menyangkal, manakala Bedah Jagad segera
memo- tong berkata. "Tidak ada istilah tapi. Bagiku, aku lebih baik mati daripada harus mengikuti
kemauan ketua kalian. Aku akan mengasingkan diriku, men-
cari ketenangan. Bilang juga pada ketua kalian, bawa aku tak akan mengganggu
kalian apabila kalian tidak mengganggu diriku. Nah, kembalilah kalian." Dengan perasaan kecewa,
kedua utusan Kumilir Seta pun memacu kudanya meninggalkan
Pendekar Bedah Jagad yang masih berdiri mema-
tung di teras padepokannya dengan mata me-
mandang kosong ke arah larinya kuda-kuda me-
reka. "Aku sudah terlalu tua, tak ada artinya sama sekali bila aku harus terus
terlibat dalam dunia ramai," Bedah Jagad bergumam: "Biarlah mereka berjalan
menurut kodrat Yang Wenang.
Duh, Jagad Dewa Batara! sungguh sebuah perja-
lanan panjang telah aku lakukan. Kini tinggalah aku untuk mencari ketenangan."
Habis berkata begitu segera Bedah Jagad
membakar padepokannya. Api menyala dengan
tepatnya, berkobar-kobar laksana hendak melalap dunia. Setelah melihat
padepokannya musnah
terbakar, dengan secepat kilat Pendekar Bedah
Jagad berkelebat masuk ke dalam api dengan
maksud membakar dirinya. Namun ternyata su-
ratan takdir berkata lain, tiba-tiba seorang lelaki tua renta telah menerobos
masuk ke dalam dan
menyeret tubuhnya ke luar dari kobaran api.
"Anak bodoh!" bentak lelaki tua renta dengan pakaian compang camping sembari
menyeret tubuh Pendekar Bedah Jagad. "Untuk apa engkau bunuh diri! Dasar anak
tolol!" Bedah Jagad yang sudah terkulai ping-
san, tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya dibo-
pong oleh lelaki tua renta berpakaian compang
camping pergi entah ke mana, meninggalkan Pa-
depokannya yang sudah terlalap oleh api.
* * * "Sejak saat itulah aku digembleng oleh
dia, yang akhirnya aku ketahui bernama Penge-
mis Sakti Muka Aneh."
"Jadi engkaukah yang bernama Pendekar
Bedah Jagad?" tanya Jaka setelah Bedah Jagad mengakhiri ceritanya, yang
diangguki oleh Pendekar Bedah Jagad. "Oh, kalau begitu, sungguh akulah orang
yang bodoh, yang tidak mau mengerti siapa adanya orang yang kini tengah berdiri
di hadapanku. Maafkan kelancanganku ini, Pendekar." Kakek Berjenggot Merah atau
Pendekar Bedah Jagad hanya gelengkan kepala mendengar
penuturan Jaka.
"Tidak harus begitu, Pendekar. Bagiku,
kaulah orang yang patut dikatakan seorang Pen-
dekar sejati. Kau tanpa keluh, tanpa putus asa
dalam melakukan segala tugasmu yang tanpa
pamrih. Musuhmu bertebaran di mana-mana,
namun nyatanya engkau bagaikan tak mengenal
rasa takut. Sedangkan aku..." Bedah Jagad
menggeleng kepala kembali, lalu ia pun berkata meneruskan: "Aku seorang pendekar
lemah. Aku tak mampu mengalahkan batinku sendiri, sampai-sampai aku hendak
membakar diriku sendiri
hanya karena masalah yang sepele."
"Ah, sudahlah, Ki. Tak perlu engkau re-
nungkan masa silammu, masa yang akan menja-
dikan engkau sedih. Kini kau harus bersyukur telah dapat mewarisi ilmu-ilmu yang
dimiliki Kakek Pengemis Sakti Muka Aneh. Dia adalah tokoh silat yang segalanya
serba aneh, bukan saja mu-
kanya, tapi juga tingkah lakunya."
"Hai, rupanya engkau lebih dalam men-
gerti keadaan guruku, Pendekar"!" Bedah Jagad tersentak kaget, demi mendengar
penuturan Jaka Ndableg perihal gurunya. Penuturan Jaka Ndab-
leg, ternyata benar adanya, menjadikan dia begitu tersentak. Memang gurunya
memiliki serba kea-nehan pada diri gurunya. "Apakah engkau telah mengenalnya,
Pendekar?"
Jaka tersenyum, matanya kembali me-
mandang ke muka, sepertinya memandang pada
hamparan desa yang ada di sana. Desa yang su-
dah sunyi dan sepi, padahal malam begitu masih
belum larut. "Aku mengenalnya dari guruku," Jaka
menjawab. "Siapakah gurumu, Pendekar?"
"Guruku banyak. Guruku ada lima
orang," kembali Jaka menjawab dengan mata
yang terus memandang ke desa yang sudah begi-
tu sunyi. Jawaban Jaka seketika menjadikan ke-
rut kening Pendekar Bedah Jagad yang tersentak
kaget. Bagaimana mungkin ia mau mempercayai
ucapan Jaka, yang diucapkan dengan acuh tak
acuh. Tapi bila melihat ilmu si pemuda, itu semua dapat dimaklumi. Bukan tidak
mustahil, karena
gurunya banyak itulah sehingga Jaka menjadi
orang sakti dalam usia yang semuda itu.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah guru-
gurumu itu, Pendekar?"
"Guru-guruku tak lain adalah kakak-
kakak seperguruan misan gurumu. Keempat gu-
ruku, terkenal dengan sebutan Empat Pendekar
Sakti, di antaranya Ki Bayong, Nyi Rukmini, Ki
Darsa, dan Ki Barwa."
"Apa...!" tersentak kaget Bedah Jagad demi mendengar Jaka menyebutkan nama-nama
gurunya yang telah almarhum akibat kejahatan
Iblis Prahista. "Jadi kau adalah murid keempat Pendekar itu?"
"Ya!" jawab Jaka. "Kenapa" Apakah ada sesuatu dengan guru-guruku?"
"Tidak! Pantas engkau semuda ini sakti,
Pendekar. Oh, tak aku sangka, kalau akhirnya
aku menemukan adik seperguruanku sendiri,"
gumam Pendekar Bedah Jagad, seakan ingin
meyakinkan pada diri sendiri.
"Benarkah engkau kakak sepergurua-
nku?" Jaka bertanya, seakan belum percaya. "Kalau benar, siapakah gurumu
sebenarnya?"
"Guruku adalah kakak seperguruan
guru-gurumu." Pendekar. Bedah Jagad mene-
rangkan. "Guruku bernama Ki Sempani. Dialah yang memiliki Ajian Bedah Jagad.
Guru juga pernah menceritakan tentang keempat adik-adik se-
perguruannya yang tak pernah mau saling men-
gerti, dan terus memburu nama..."
"Heh, benar!" Jaka berseru girang. "Te-ruskan ceritamu."
"Guruku juga semasa hidup pernah me-
nerka, bahwa seandainya keempat adik sepergu-
ruannya masih bersikeras untuk mengadu ilmu,
tentulah yang akan keluar sebagai pemenangnya
tak lain hanya Ki Bayong."
"Eh, apa alasanmu berkata begitu?" Jaka yang sudah mengerti mencoba memancing
kebenaran cerita Pendekar Bedah Jagad.
"Karena menurut guru, Ki Bayong memi-
liki ajian yang aneh bernama Ajian Buto Dewa
Wisnu." Tak dapat lagi Jaka menahan luapan kegembiraan demi mendengar penuturan
Pendekar Bedah Jagad. Maka bagaikan orang gila Jaka pun
berseru girang: "Kau benar! Kau benar! Seratus untukmu!"
Dipeluknya Pendekar Bedah Jagad yang
hanya terbengong-bengong tak mengerti dengan
tingkah laku Jaka. Dan belum juga Pendekar Be-
dah Jagad mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba
Jaka telah berubah menjadi Buto Dewa Wisnu.
Ditangkapnya tubuh Pendekar Bedah Jagad, yang
seketika tersentak ketakutan melihat Jaka tiba-
tiba telah meraksasa.
"Jagad Dewa Batara, inikah ajian terse-
but?" Pendekar Bedah Jagad menggumam dalam hati dengan segenap ketakutan yang
amat sangat. "Lepaskan aku! Lepaskan...!" Bedah Jagad memberontak berteriak-teriak, tubuhnya
ba- gaikan remuk tergencet oleh jari-jari tangan sang Buto yang sebesar tubuhnya.
"Ampun! Lepaskan aku!" "Hua, ha, ha...! Kau ternyata kakak seperguruanku, maka
aku ingin mengayun-ayun
tubuhmu." Tubuh Bedah Jagad diayun, dilempar ke
sana ke mari. Sepertinya Buto Dewa Wisnu ingin
membuat Pendekar Bedah Jagad terkencing-
kencing ketakutan. Memang benar! Pendekar Be-
dah Jagad yang terkenal mampu menghadapi il-
mu macam apa pun, kini harus ketakutan sete-
ngah mati dilempar-lempar ke sana ke mari oleh
Buto Dewa Wisnu.
"Huah! Kenapa engkau ngompol, Ka-
kang?" "Aduh, aku takut jatuh. Lepaskan aku, taruhlah aku di tanah kembali,"
merengek-rengek Pendekar Bedah Jagad, dan air matanya pun seketika meleleh
membasahi pipinya. Segera Buto
Dewa Wisnu menurunkannya.
"Nah, sekarang engkau menyingkirlah du-
lu," Buto Dewa Wisnu segera kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg yang benar-


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar ndableg. Sesaat kemudian, perlahan-lahan tubuh raksasa
itu mengecil dan mengecil hingga kembali ke bentuk asalnya Jaka Ndableg.
"Wah, Kakang. Sekarang apa rencana-
mu?" tanya Jaka kemudian. "Aku kini tengah menghadapi masalah dengan lahirnya
Bocah Kembaran Setan."
"Bocah Kembaran Setan?"
"Ya!" jawab Jaka. "Bocah itu telah lahir, dan telah membawa korban dua ratus
orang di Telaga Warna."
"Aku akan membantumu, Jaka."
"Terima kasih, Kakang. Mari kita pergi!"
Tanpa hiraukan celananya yang bau
jengkol akibat air pancorannya mengalir deras karena takut manakala dalam
genggaman tangan
Buto Dewa Wisnu, Pendekar Bedah Jagat pun se-
gera mengikuti ke mana Jaka berlalu. Keduanya
segera meninggalkan desa yang sedari tadi diawa-sinya, yang dianggap Bocah
Kembaran Setan akan menuju ke situ.
Malam terus merambat, menelan kedua
tubuh kakak beradik perguruan yang bertemu
tanpa diduga-duga dengan perbedaan usia yang
jauh itu. Betapa pun usia mereka terpaut pulu-
han tahun, bahkan hampir setengah abad lebih,
namun karena memang keduanya dasarnya sau-
dara seperguruan hingga keduanya pun nampak
setujuan hidup.
4 Munculnya Bocah Kembaran Setan ter-
nyata mengundang para tokoh persilatan khu-
susnya aliran sesat berlomba untuk menda-
patkannya Mereka bermaksud mendapatkan bocah
tersebut sebagai tameng bagi golongannya. Bocah tersebut menurut kabar adalah
bocah sakti yang
sukar ditandingi.
Seperti halnya di Perguruan Bedak Bega-
wa, di mana Karsa Warsana sebagai pimpinannya
perguruan itu pun telah mendengar adanya Bo-
cah Kembaran Setan. Sebagai perguruan aliran
sesat, jelas Karsa Warsana tak mau menyia-
nyiakan kesempatan ini. Apalagi saingannya begi-tu banyak, di antaranya
Perguruan Lutung Sakti
Bibit Iblis, Tengkorak Beracun serta perguruan-
perguruan aliran sesat lainnya.
"Sumrah, kita harus mampu menda-
patkan Bocah Kembaran Setan tersebut," Karsa War-sawa berkata pada anak buahnya
yang sekaligus tangan kanannya. Anak buahnya yang seka-
ligus tangan kanannya adalah seorang lelaki berwajah panjang dengan mata biru
dan hidung pe- sek besar, sehingga tampangnya mirip seperti
tampang seekor kera raksasa. Tokoh ini yang
bernama Sumrah, adalah tokoh aliran sesat yang
ganas dan pantang untuk menyerah.
"Untuk apa, Pimpinan?" tanya Sumrah.
"Untuk apa! Apa kau belum tahu siapa
adanya bocah tersebut?"
"Belum, Pimpinan!"
"Pantas!" Karsa Warsana berkata keras, seakan mentololi anak buahnya yang
sekaligus tangan kanannya. "Maka itu, kau harus banyak mencari pengalaman! Kalau kau hanya
ngendon di tempat ini, manalah mungkin engkau mengerti
dunia luas!"
"Ampun, Pimpinan. Sungguh saya kurang
senang bila bepergian. Pertama dikarenakan saya banyak musuh. Bukannya saya
takut pada musuh-musuh saya, namun rasanya sekarang ini
saya sedang enggan untuk bertarung."
"Sontoloyo! Bilang saja kau takut pada
Pendekar Pedang Siluman!" sindir Karsa menjadikan Sumrah hanya mampu cengar
cengir tak da- pat berkata-kata lagi. "Iya kan?"
"He, he, he...! Pimpinan tahu saja," Su-
mrah terkekeh. "Sekarang juga, kau bawa anak buahmu
ke Lembah Bangkai."
"Untuk apa, Pimpinan?"
"Bodoh! Kau ternyata bodoh!" bentak
Karsa jengkel melihat kebodohan anak buahnya.
"Sudah aku katakan, hampir semua perguruan aliran sesat kini menuju ke sana
untuk memperebutkan bocah tersebut. Bocah itu bukan bocah
sembarangan. Barang siapa yang mendapatkan-
nya, maka kita akan menjadi orang yang ditakuti dan disegani karena ada bocah
tersebut. Bocah
itu mempunyai ilmu yang tinggi, hampir sejajar
dengan ilmu Pendekar Pedang Siluman Darah.
Nah, bukankah dengan kita memiliki bocah terse-
but kita akan yang ditakuti di antara golongan ki-ta?"
Sumrah terdiam, sepertinya mengerti apa
yang dikatakan oleh ketuanya.
"Kau mengerti sekarang, Sumrah?" kem-
bali Karsa Warsana berkata, yang diangguki oleh Sumrah. "Bagus, sekarang juga
kau persiapkan anak buahmu untuk menuju ke Lembah Bangkai.
Sebisanya kau harus mendapatkan anak terse-
but. Bila belum dapat, jangan coba-coba kalian
pulang. Mengerti, Sumrah?"
"Daulat, Pimpinan," Sumrah menjura, la-lu dengan segera keluar dari bangsal
menuju ke tempat di mana para anak buahnya berkumpul
Setelah mengumpulkan hampir lima pu-
luh anggotanya, saat itu juga Sumrah dan anak
buahnya berangkat menuju ke Lembah Bangkai
di mana menurut kabar Bocah Kembaran Setan
berada. * * * Lembah Bangkai adalah sebuah lembah
yang sangat dikeramatkan bagi orang-orang dunia persilatan aliran sesat. Lembah
itu telah banyak memakan korban manusia. Sejak banyaknya korban di tempat
tersebut, maka para pendekar yang dulu berantusias untuk mencari Kitab Banyu Ge-
ni mengurungkan niatnya. Sudah banyak keja-
dian-kejadian yang akhirnya membuka mata me-
reka. Sebenarnya kematian para pendekar san-
gat misterius. Kematiannya sungguh secara tiba-
tiba. Entah karena apa, para pendekar yang ber-
maksud mencari kitab tersebut tiba-tiba menga-
lami sebuah guncangan berat dalam dirinya. Dan
manakala memasuki daerah Lingkaran Kematian,
tak seorang pun akan dapat keluar dengan kea-
daan selamat. Konon menurut cerita, bahwa lembah
tersebut dulu dihuni oleh seorang tokoh silat yang sakti mandraguna bernama Resi
Kumara Geni. Resi itu menaruh kitab Banyu Geni yang
terkenal mengandung segala macam ilmu di lem-
bah tersebut. Sebelum sang Resi meninggal, ter-
lebih dahulu ia membuat sebuah pagar gaib yang
tidak dapat ditembus oleh mahluk apa pun kecu-
ali oleh manusia berhati dan berbudi baik. Tapi sampai sedemikian jauh, tak ada
yang mampu membuka tabir tersebut.
Kini Lembah Bangkai akan menjadi ajang
pertarungan para tokoh persilatan aliran sesat
untuk dapat menjadi pemilik Bocah Kembaran
Setan. Apakah benar-benar Lembah Bangkai su-
dah terbebas dari pengaruh pagar gaib yang dipasang oleh sang Resi" Ternyata
belum. Pagar gaib tersebut masih ada dan tetap memagari tempat
yang dinamakan Lingkaran Kematian. Dan me-
mang Bocah Kembaran Setan hendak menuju ke
tempat itu karena dengan tujuan mencari kitab
tersebut. Bocah itu seakan ada yang menyuruh-
nya untuk datang ke tempat tersebut.
Dari empat penjuru nampak berdatangan
orang-orang yang hendak memperebutkan Bocah
Setan tersebut, semuanya hampir sebagian besar
merupakan perguruan-perguruan aliran sesat
yang memiliki ilmu tinggi. Memang, bila hanya
memiliki ilmu-ilmu setengah-setengah, tidak ba-
kalan mungkin akan dapat bersaing mempere-
butkan bocah tersebut.
Lembah Bangkai yang tadinya sepi, dan
hanya berserakan tulang belulang manusia kini
dipecahkan oleh keramaian orang-orang yang pa-
da berdatangan.
Tampak dari arah Timur, rombongan dari
Perguruan Cakra Gelap berjalan dengan langkah
mantap. Perguruan tersebut merupakan pergu-
ruan yang sangat kondang namanya. Cakra Gelap
dipimpin oleh seorang tokoh sesat yang sekaligus menjabat ketua Perserikatan
Segala Iblis. Di dalam Cakra Gelap, terdapat tokoh-tokoh aliran se-
sat yang berilmu tinggi. Di antaranya Sepasang
Iblis dari Gunung Dieng, juga Iblis Laksa Bertuah, dan ada juga Setan Tengkorak
Haus Darah. Tiga tokoh utama itu nampak berjalan di
belakang ketua mereka yaitu seorang lelaki ber-
wajah menyeramkan dengan rambut yang sudah
memutih seluruhnya. Orang tersebut, tak lain
Kumilir Seta adanya. Memang setelah hilangnya
Pendekar Bedah Jagad, pertumbuhan Perserika-
tan Segala Iblis begitu cepat, karena orang yang biasa menghalanginya telah
tiada. "Lihat Ketua, nampaknya dari perguruan
lain pun berdatangan menuju ke mari," yang berkata Sepasang Iblis yaitu Iblis
Sepuh, yang menjadi tangan kanan Kumilir Seta. "Mereka menyangka akan mampu
mendapatkan bocah terse-
but. Hua, ha, ha...!"
"Memang mereka besar adat," Kumilir Se-ta menimpali. "Mereka mengira bahwa kita
ini akan membiarkan mereka tumbuh dikira kita takut. Huh, apa yang ditakuti pada
diri mereka. Bukan begitu, Laksa?"
"Hua, ha, ha...! Memang benar! Mereka
mengira kita takut pada mereka. Tapi nanti, me-
reka akan tahu siapa adanya Iblis Laksa Bertuah, seorang Iblis yang segala
ucapannya akan mengandung tuah hebat."
Sepuluh golongan dari aliran sesat itu te-
rus merambat turun menuju ke Lembah Bangkai.
Wajah mereka diliputi dengan ketegan-
gan, sepertinya mereka hendak menghadapi ma-
sa-masa di mana para pendekar sakti yang mati
tanpa ampun di tempat tersebut.
"Aku heran, mengapa Bocah Kembaran
Setan menuju ke mari" Apakah bocah tersebut te-
lah tahu bahwa kita akan datang ke sini?" tanya Setan Tengkorak Darah seperti
pada diri sendiri.
"Bukan begitu, Setan. Bocah tersebut da-
tang ke mari semata-mata ingin mencari kitab
Banyu Geni. Entahlah, dari siapa bocah itu men-
getahuinya," Iblis Sepuh menuturkan. "Sepertinya bocah tersebut ada yang
menuntun untuk datang
ke mari." "Apakah tidak mungkin Pramanayuda yang menyuruhnya?" Tengkorak Darah
kembali bertanya.
"Aku rasa tidak. Aku, walaupun dari ali-
ran beda dengannya tahu persis siapa adanya di-
rinya. Dia adalah seorang tokoh yang tidak serakah, tidak mau mengambil milik
orang lain kalau bukan miliknya sendiri." jawab Kumilir Seta.
"Mungkin juga ada mahluk lain yang
mempengaruhi bocah tersebut, Ketua?" Laksa Bertuah ikut menanya. Ia pun tertarik
juga dengan berita-berita yang mengatakan bahwa Bocah
Kembaran Setan memiliki naluri tinggi, juga ilmu silat yang tinggi pula.
"Kabarnya Bocah Kembaran Setan juga memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan.
Dua ratus tokoh Silat wilayah Wetan ha-
bis dimangsanya hanya dalam sekejap, manakala
mereka hendak mengadakan penyerangan pada
ibunya si Penguasa Bukit Karang Bolong."
Tersenyum Kumilir Seta demi mendengar
ucapan Laksa Bertuah. Ia kini mempunyai akal
untuk dapat menaklukan Bocah Kembaran Setan,
tanpa harus berkorban banyak. Maka setelah
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kumilir Seta
pun berkata pada ketiga tangan kanannya. "Aku memiliki sebuah gagasan."
"Apa itu. Ketua...?" tanya ketiga tangan kanannya serempak.
"Begini!" Kumilir Seta pun menceritakan gagasannya. "Dengan kita salah satunya
menya-mar sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong, dan
yang lainnya menjadi Pramana, mungkin bocah
tersebut akan mau mengikuti kita."
"Bukankah Penguasa Bukit Karang Bo-
long masih muda?" Iblis Sepuh bertanya, nadanya ragu. "Sedangkan kita, mana ada
yang secantik dia?"
"Itu gampang! Bukankah Laksa Tuah
mampu melakukannya?"
"Benar, Ketua. Aku akan sanggup men-
gubah kalian menjadi mereka. Hua, ha, ha...!
Memang ketua tajam otaknya."
Dalam sekejap saja, ketua-ketua Perseri-
katan Segala Iblis bergelak tawa. Tawa mereka
yang kencang, seketika membahana hingga me-
nyentakkan para perguruan lainnya. Melihat hal
itu, perguruan lainnya tak mau kalah, mereka
pun seketika bergelak tawa dengan mengencang-
kan tawa mereka yang dilandasi tenaga dalam
yang tinggi. Seketika itu pula, Lembah Berkala
Darah yang ada di hadapan mereka beberapa ra-
tus tombak lagi tergetar oleh gelak tawa mereka.
Dasar manusia-manusia iblis, sepertinya mereka
tak hiraukan dengan ketenangan alam, dan me-
reka pun mengusiknya.
* * * Tersentak para tokoh aliran sesat lainnya,
manakala tiba-tiba dalam rombongan Perserika-


Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tan Segala Iblis telah muncul dua orang yang sudah cukup mereka kenal. Dua orang
tersebut tak lain Pramana atau Pendekar Pedang Layung, den-
gan anaknya Ningrum atau Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong. Entah dari mana datangnya mereka,
yang jelas setelah mereka menghilang dari bukit yang mengelilingi Lembah
Bangkai, tiba-tiba dalam rombongan Perserikatan Segala Iblis muncul
dua tokoh tersebut.
"Iblis! Eh, bukankah kita juga Iblis?" seorang pimpinan golongan lain memaki.
"Dasar mereka licik, dikiranya kita tidak tahu bahwa mere-ka adalah dua orang
tangan kanan Kumilir Seta."
"Maksudmu, Kakang Begong?"
"Kau tahu, Adik Sungil. Di dalam rom-
bongan Perserikatan Segala Iblis, ada terdapat
Laksa Tuah yang setiap katanya akan menjadi
kenyataan. Tapi kita tak perlu takut, sebab ada aku. Aku tahu kelemahan
ilmunya," menyombong Begong Damar.
"Apakah tidak mungkin Bocah Kembaran
Setan akan terkecoh demi melihat ada induknya
di sini?" "Hua...! Mana mungkin!" Begong Damar menggeresah. "Bocah Kembaran
Setan mempu- nyai naluri yang tinggi, sukar untuk dibohongi
walau dia masih orok."
Mereka terus melangkah, menapaki satu
demi satu kaki mereka turun ke bawah di mana
Lembah Bangkai Berdarah berada. Sungguh tepat
bila jarang pendekar yang mampu membebaskan
diri mereka dari tempat tersebut, sebab lembah
itu sungguh dalam bila harus dituruni. Dan
hanya tokoh-tokoh silat yang memiliki ilmu tinggi saja yang akan mampu. Terbukti
kini banyak anak buah perguruan dari golongan sesat yang
terpelanting jatuh dan tubuh mereka terus menu-
ju ke tempat Lingkaran Kematian. Dan sudah da-
pat diterka apa yang akan mereka alami" Mereka
seketika mengejang, lalu mati dengan lidah melelet dan mata melotot. Sungguh
pemandangan yang mengerikan. Tersirap darah para pimpinan
melihat hal tersebut, yang dengan segera menyu-
ruh mereka yang masih hidup untuk Tetap saja di atas.
"Kalian janganlah turun! Kalian tetaplah
di atas!" Dan memang itu yang mereka ingini. Mereka tampaknya juga ngeri bila
harus mengalami
nasib yang sama dengan teman-temannya yang
lain. Kini hanya pimpinan-pimpinan mereka saja beserta tangan kanannya yang
turun mengelilingi agak jauh Lingkaran Kematian. Mereka tidak berani untuk
mendekati, sebab mereka tahu akan
apa yang mereka alami jika mendekat, yaitu ke-
matian! 5 Lembah Bangkai kini telah penuh dikeli-
lingi oleh pagar-pagar manusia. Di bawah, di ma-na terdapat Lingkaran Kematian
para pimpinan dari kesepuluh perguruan dan perserikatan aliran sesat berjaga-jaga bersama para
tangan kanannya. Sementara di atas, para anak buahnya yang
berjumlah tidak kurang dari lima puluh anggota
seperguruan juga tengah berjaga-jaga.
Matahari yang tadinya nampak, lamat-
lamat makin menurun hingga akhirnya menghi-
lang di ufuk sebelah Barat. Petang pun datang
bersamaan datangnya hari gelap yang akan me-
nyelimuti jagad raya. Manakala malam hendak
beranjak datang, tiba-tiba terdengar jeritan di atas menggema.
"Aaah...!"
Satu persatu tubuh orang-orang yang
berjaga-jaga di atas tergeletak mati dengan darah kering. Yang lainnya segera
memburu, dan seketika itu juga mata mereka melotot tak percaya
demi melihat seorang bayi tengah menghisap da-
rah korbannya. "Bocah Kembaran Setan...!"pekik mereka serentak kaget.
Bocah Kembaran Setan seketika lepaskan
mangsanya, memandang ke arah orang-orang
yang terpaku ngeri melihat. Mata bocah tersebut menyala, laksana kilatan api
yang hendak membakar segala apa saja yang ada di situ. Bocah itu
seketika menggeram, "Ooaaaaar...! Oaar....!
Geerrtt..! Ngiik!"
Bersamaan dengan bunyi suara bocah
tersebut, seketika Bocah Kembaran Setan berke-
lebat dengan cepatnya merangsek ke arah mere-
ka. Orang-orang yang tadinya terkesima, seketika itu berusaha memapaki serangan
sang bocah. Tombak dan senjata lainnya berkelebat, namun
sungguh membuat penyerangnya kini surut dan
merasa takut sendiri. Tombak dan golok serta
senjata mereka bagaikan tak ada artinya. Setiap kali tombak atau golok mereka
beradu dengan tubuh si bocah, saat itu terdengar bunyi patahan.
"Plak!"
Tombak dan golok mereka yang terbuat
dari besi pilihan patah menjadi bongkahan-
bongkahan kecil. Sedangkan tubuh Bocah Kem-
baran Setan tiada cacat sama sekali, bahkan tu-
buh si bocah makin lama makin bertambah be-
sar. "Ketua... tolong...! Bocah Kembaran Setan
datang...!" mereka menjerit-jerit, menjadikan kon-sentrasi para ketuanya
seketika pecah. Serentak para ketuanya pun berkelebat naik menuju ke
atas. Dari golongan Perserikatan Segala Iblis
yang ada Ningrum dan Pramana segera mendeka-
ti, lalu Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bo-
long berseru pada si bocah yang masih asyik
menghisap darah korbannya. "Anakku...! Anakku, kau dengar suara ibu, Nak?"
Bocah Kembaran Setan seketika tersen-
tak, hentikan aksinya dan mengalihkan pandan-
gannya ke arah datangnya suara tersebut. Mata
bocah tersebut seketika memandang tajam, sea-
kan ingin melihat kebenaran suara yang ia kenal benar. "Oar...! Oaaar...!" bocah
itu mengerang, seakan mencari-cari di mana adanya suara sang
ibu, yang dengan segera Ningrum menjawabnya.
"Anakku, ini ibumu... Ini ibumu, Nak.
Apakah engkau mendengar suara ibu?"
Bocah Kembaran Setan menyeringai, me-
nunjukkan gigi-giginya yang panjang dan runcing.
Seringaiannya seakan menunjukkan betapa ke-
gembiraan si bocah. Bocah Kembaran Setan me-
layang, dan bermaksud mendekat ke arah Nin-
grum. Namun manakala bocah tersebut hampir
sampai, tiba-tiba wajah Ningrum atau Penguasa
Bukit Karang Bolong berubah menjadi wajah as-
linya yaitu Setan Tengkorak Darah.
Tersentak Bocah Kembaran Setan, ia
kembali menggeram marah merasa dirinya telah
dibohongi. "Oaar...!"
"Bangsat! Siapa yang telah lancang ber-
buat begini!" maki Laksa Tuah, merasa ilmunya telah ada yang memecahkannya.
"Awas! Bocah itu menyerang!"
Tersentak Tengkorak Darah, manakala
Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang ke
arahnya. Dengan segera Tengkorak Darah bua-
ngkan tubuh ke samping, dan hanya beberapa in-
ci saja tangan Bocah Kembaran Setan berkelebat
menyerangnya. "Kunyuk Busuk! Ternyata kau telah
menggagalkan rencana kami!" bentak Kumilir Se-ta marah, yang ditujukan pada
siapa adanya yang telah berbuat demikian. Kumilir Seta melihat selarik sinar
ungu berkelebat ke arah Tengkorak
Darah dan Iblis Sepuh, manakala keduanya ham-
pir mendapatkan hasil. Kini bukannya hasil yang mereka peroleh, malah nyawa
kedua tangan kanannya hampir saja lepas oleh serangan si bocah yang cepat
"Hua, ha, ha...! Jangan kalian pingin
enaknya sendiri!" bergelak tawa Begong Damar, merasa usahanya untuk menggagalkan
mereka berhasil. "Begong Damar! Tunggulah kematianmu bila masalah bocah ini telah
beres!" menggeretak Kumilir Seta. "Awas! Bocah itu!"
"Oaaar...!"
Bocah Kembaran Setan terus menggeram,
lalu kembali berkelebat menyerang mereka. Mera-
sa bahwa mereka tak akan mampu menghadapi
sang bocah, serta merta mereka pun lancarkan
pukulan jarak jauhnya ke arah si Bocah Kemba-
ran Setan. "Aji Api Berkala. Hiat...!" Iblis Sepuh menggeretak.
"Aji Pusaran Setan, hiat...!" Setan Tengkorak Darah tak mau kalah.
"Aji Sempal Raga, hiat..!" Kumilir Seta pun turut, dan yang terakhir adalah
Laksa Tuah dengan ajiannya Tuah Sakti yang biasanya akan
menjadi kenyataan segala ucapannya.
"Nurut kau...!"
"Duar...!"
Ledakan itu menggelegar, tepat manakala
tubuh Bocah Kembaran Setan berada tiga tombak
mendekat ke arah mereka. Namun mata mereka
seketika terbelalak, manakala ledakan itu hilang.
Ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak han-
cur, bahkan kini bertambah besar. Bocah Kemba-
ran Setan yang tadinya bayi, kini menjelma men-
jadi seorang bocah berumur setahun yang telah
Pahlawan Dan Kaisar 9 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi Pendekar Pemetik Harpa 21
^