Pencarian

Terjebak Di Gelombang Maut 1

Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU JLEGAAAARRRR!! Ledakan dahsyat yang membedah malam
itu mengejutkan seorang pemuda yang baru saja
memejamkan matanya. Kontan pemuda ini berdiri
dengan mata memperhatikan sekelilingnya. Saat
itu rembulan sedang terang bersinar, tak ada
gumpalan awan hitam yang menghalanginya. Di
sekitar tempat itu pun tak banyak tumbuh pepo-
honan tinggi hingga sinar rembulan dapat menyo-
rot jelas siapa si pemuda.
Pemuda itu mengenakan rompi berwarna
ungu. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor
kuda, bergerak-gerak saat kepalanya dipalingkan
ke kanan kiri. Parasnya tampan dengan... astaga!
Sorot mata pemuda itu... gila, benar-benar gila!
Sorot mata si pemuda sangat mengerikan! Angker
berkilat-kilat dan mampu menciutkan nyali siapa
saja yang melihatnya.
Pemuda ini membatin, "Ledakan itu sung-
guh luar biasa kerasnya! Aku yakin, ledakan itu
berasal dari satu tempat yang agak jauh dari sini.
Tetapi... ledakannya membuat tempat ini berge-
tar...." Pelan-pelan pemuda berusia tujuh belas tahun ini mengangkat tangan
kanannya. Saat itulah terlihat tangan kanannya sebatas siku dipe-
nuhi sisik berwarna coklat. Sisik yang sama pun
terdapat pada tangan kirinya.
Dari ciri yang melekat pada diri si pemuda,
dapat ditebak siapa dia adanya. Pemuda itu bu-
kan lain Boma Paksi atau yang lebih dikenal den-
gan julukan Raja Naga.
Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja
memutuskan untuk beristirahat, melewati malam.
Dia memang tak punya tujuan tertentu. Yang di-
lakukannya hanyalah memuaskan jiwa petualan-
gan yang ada di dadanya. Tetapi ledakan dahsyat
yang menggetarkan tempatnya, mengejutkannya.
"Hemmm... dari ilmu 'Rabaan Naga' dapat
kupastikan kalau ledakan itu berasal dari barat
laut," katanya sambil menurunkan lagi tangan kanannya. Pemuda bersisik coklat
ini terdiam beberapa saat sebelum berkelebat ke arah barat
laut. Sambil berlari, pemuda ini menajamkan
penglihatan dan pendengarannya. Tak ada sesua-
tu yang berubah kecuali malam yang terus berge-
rak. Ledakan itu pun tidak terdengar lagi. Raja
Naga masih mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga'
untuk menentukan sumber ledakan itu lebih te-
pat. Mendadak.... Jlegaaarrr!!
"Gila!" serunya tertahan sambil menghentikan larinya. "Ada apa ini" Apakah saat
ini bumi sedang mengamuk" Tanah ini lagi-lagi bergetar!"
Raja Naga terus memikirkan kemungkinan
asal ledakan itu. Diteruskan langkahnya. Setelah
melewati hampir sepenanakan nasi, dari kejau-
han dilihatnya tanah berhamburan di udara.
Asap putih menyelimuti tempat itu.
Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat lebih jelas. Tetapi asap putih yang menyelimuti udara ditambah hamburan
tanah yang be- lum luruh, membuatnya tak dapat melihat secara
jelas. Diputuskan untuk segera mendekati tempat
itu. Dan entah mengapa dia menjadi sedikit te-
gang. "Asap putih itu masih mengepul di udara, tanah juga belum luruh," katanya
berjarak dua belas langkah dari kepulan asap dan tanah.
"Aneh! Tak ada tanda-tanda seseorang berada di sini! Lantas... apa yang
menyebabkan ledakan itu
terjadi" Apakah... hei! Di sana tanah dan asap
putih telah mereda. Berarti... kedua ledakan tadi memang berasal dari sini...."
Berhati-hati pemuda pewaris ilmu Dewa
Naga ini melangkah. Dari sela-sela asap putih
yang masih menghalangi pandangan, dilihatnya
sebuah lubang di bawah asap itu. Sebuah lubang
yang kecil! "Astaga! Apakah lubang sebesar lingkaran
jari telunjuk dan jempol itu yang menyebabkan
ledakan tadi?" desisnya sambil bergerak ke tempat yang satunya lagi. Di tempat
yang mulai lebih jelas terlihat karena tanah sudah luruh kembali
dan asap putih telah meregang lepas, Raja Naga
juga melihat lubang yang sama. "Aneh! Di tempat ini masing-masing ada dua buah
lubang! Berarti... sukar bagiku untuk mempercayai ini sebe-
narnya, kalau lubang itulah yang menyebabkan
ledakan tadi."
Raja Naga berlutut. Diperiksanya lubang
itu. Ada sedikit hawa panas yang menerpa tan-
gannya saat dimasukkan tangannya ke dalam lu-
bang. "Ledakan tadi benar-benar dahsyat! Tetapi hanya lubang sebesar ini yang
terbentuk! Rasanya tidak masuk di akal! Karena... heiii!!"
Pemuda berompi ungu ini memutus kata-
katanya, karena saat itu dari ekor matanya dili-
hatnya satu sosok tubuh bergerak sangat cepat.
Melompati ranggasan semak tanpa mengeluarkan
suara. Segera Raja Naga bergerak untuk menyu-
sul bayangan tadi yang semakin menjauh. Yang
sempat dilihat, hanyalah warna kuning yang be-
rasal dari pakaian yang dikenakan orang yang
berkelebat tadi.
Belum lagi Boma Paksi menemukan kejela-
san dari kejadian aneh yang dialaminya ini, tiba-
tiba terdengar seruan di belakangnya, "Pemuda celaka! Rupanya kau-ah pencuri
celaka yang telah
mencuri bunga-bunga keramat!"
Serta-merta Raja Naga membalikkan tu-
buh. Dilihatnya dua sosok tubuh telah berdiri
berjarak sepuluh langkah dari tempatnya. Mata
masing-masing orang tegang, bersinar penuh ba-
haya! "Ada apa lagi ini?" desis Raja Naga yang belum menemukan kejelasan dari
apa yang diala-
minya. "Tadi yang laki-laki mengatakan aku mencuri bunga". Astaga Bunga"
Sekuntum bunga"!"
Orang yang berdiri di sebelah kanan men-
gertakkan rahangnya. Dia seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun. Bertubuh tegap dengan
cambang di pipi kanan kirinya, hingga menam-
pakkan kejantanannya. Dia mengenakan pakaian
berwarna biru yang terbuka di dada, hingga
memperlihatkan dadanya yang bidang.
Lelaki itu telah membentak, "Pemuda kepa-
rat! Serahkan Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru!"
Raja Naga yang masih belum memahami
keadaan hanya mengerutkan kening. Dia tak bu-
ka suara. Matanya memandangi si lelaki.
Lelaki itu sudah siap untuk keluarkan ben-
takan lagi, tetapi nampak dia sedikit terkejut sekarang.
"Gila! Tatapan pencuri keparat ini sungguh
mengerikan! Jantungku seperti diremas-remas!"
desisnya dalam hati. "Dapat kupastikan kalau pemuda bermata angker ini bukan
orang semba-rangan! Terbukti dia dapat mencabut Bunga Ke-
cubung Putih dan Bunga Anggrek Biru, yang be-
rarti berhasil menyingkirkan mantra yang dilaku-
kan Guru!"
Perempuan berparas jelita yang berdiri di
sebelahnya sudah membentak, "Kakang Purwa!
Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar Ungu telah
lenyap beberapa hari lalu! Demikian pula dengan
Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Me-
rah! Dan sekarang, Bunga Kecubung Putih dan
Bunga Anggrek Biru juga telah lenyap! Berhari-
hari kita melacak pencuri terkutuk! Dan sekarang
dia sudah tertangkap basah! Kita tangkap seka-
rang juga, Kakang!!"
Habis bentakannya, perempuan berpa-
kaian merah dengan baju dalam berwarna hijau
ini sudah melesat ke depan. Kedua tangannya di-
rangkapkan menjadi satu, lurus ke depan. Masih
melesat tiba-tiba saja kedua tangannya itu dite-
kuk, lalu diputar ke atas dan ke bawah.
Mendadak... wrrrrr!!
Gelombang angin dahsyat yang diiringi
dengan asap merah dan hijau yang menyilaukan
mata, menggebrak ke arah Raja Naga.
Sudah tentu Raja Naga tidak mau mati ko-
nyol. Tetapi dibiarkan saja gelombang serangan
itu mendekatinya. Berjarak tiga langkah, tiba-tiba dia mendeham.
Blaaammmm!! Gelombang angin deras itu putus di tengah
jalan, terhantam tenaga tak nampak yang keluar
dari dehemannya. Tetapi asap merah dan hijau
terus meluruk ke arahnya.
"Hebat!" desis anak muda ini sambil menggeser tubuhnya ke kanan. Bersamaan
dengan itu ditepuknya lengan kanannya.
Wuuuttt! Blaamm! Blaaammm!!
Asap merah dan hijau yang menerangi
tempat itu, putus di tengah jalan, muncrat ke
udara dan laksana air mancur berhamburan ke
sana kemari. Sebagian ranggasan semak menger-
ing terkena siraman asap yang muncrat itu, seba-
gian tanah meletup di sana-sini.
"Tahan!" seru Raja Naga tatkala melihat si perempuan sudah siap menyerang
kembali. Juga dilihatnya lelaki bercambang itu siap membantu
si perempuan. Kedua orang itu menghentikan gerakan
mereka. Raja Naga tak mau menyia-nyiakan ke-
sempatan. Segera dia angkat bicara, "Kita sama-sama belum saling kenal! Tetapi
kalian telah me-
nyerangku begitu saja tanpa memberikan satu
penjelasan! Yang lebih mengherankan lagi, kalian
menuduhku melakukan satu tindakan yang sama
sekali tak ku mengerti!"
"Di mana-mana... tak ada pencuri yang
mau mengaku sebagai pencuri!" seru si perem-
puan yang masih penasaran. Sesungguhnya dia
kaget karena serangannya tadi dapat dipatahkan
dengan mudah. "Tempat yang layak bagi seorang pencuri hanyalah di neraka!!"
Kembali si perempuan menggebrak, men-
gulangi serangannya seperti yang pertama. Raja
Naga pun bertindak cepat mengatasi serangan
itu. Tetapi sekarang, si lelaki yang dipanggil Pur-wa tadi sudah menerjang pula.
Serangannya lebih
mengerikan dari si perempuan. Setiap kali diki-
baskan tangannya, gelombang angin yang menge-
luarkan suara berdenging-denging menggebrak
dengan kecepatan tinggi.
Raja Naga menahan napas seraya meng-
hindari serangan itu
"Ada sesuatu yang aneh di sini..." desisnya memaklumi apa yang dilakukan kedua
lawannya. Kendati demikian dia juga gusar karena tak diberi kesempatan untuk menjelaskan
keadaan yang sebenarnya. "Sibarani! Kurung dia dengan ilmu
'Bentang Gunung Banting Tanah'!" seru Purwa
sambil terus melancarkan serangan.
Mendengar seruan itu Raja Naga kembali
menahan napas. Matanya dijerengkan seraya
menghindar. Dia memang belum membalas. Tin-
dakan itu dilakukan agar kedua orang ini menger-
ti kalau mereka salah paham terhadapnya.
Dilihatnya bagaimana perempuan jelita
bernama Sibarani itu tiba-tiba duduk berlutut.
Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada.
Kepalanya sedikit diangkat dengan mata berkilat-
kilat penuh amarah.
Seraya menghindari sergapan ganas Purwa,
Boma Paksi melihat tubuh Sibarani bergetar he-
bat. Dia terkejut ketika melihat dari kepala si perempuan mengeluarkan asap
putih yang sangat
pekat. "Astaga! Ini tidak main-main lagi! Keduanya tetap menyangkaku sebagai
seorang pencuri!
Tetapi mencuri bunga" Gila! Bunga apa" Mengapa
bunga-bunga itu membuat keduanya menjadi be-
ringas liar seperti ini"!"
Tiba-tiba dilihatnya lelaki berpakaian biru
yang terbuka di dada itu mundur beberapa tin-
dak. Sesaat Raja Naga tidak mengerti mengapa le-
laki itu seperti sengaja menghentikan serangan-
nya. Tetapi di lain saat, murid Raja Naga ini tersentak kaget dengan mata
membuka lebar. Karena mundurnya lelaki itu, bermaksud
memberi kesempatan pada Sibarani untuk me-
lancarkan serangannya!!
Gemuruh liar laksana curahan air hujan
yang sangat deras, menggebrak ke arah Raja Na-
ga! Anak muda ini tersentak. Dia buru-buru
mundur dua tindak seraya mendorong kedua tan-
gannya. Wrrrrr!! Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak dari dorongan kedua tangannya.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blaaaammmm!! Bertemunya dua serangan itu membuat
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan
semak di sekitar tercabut dan berpentalan. Dua
buah potion bergetar dan tubuh bergemuruh. Ta-
nah di mana bertemunya dua serangan itu ber-
hamburan di udara setinggi dua tombak!
Yang mengejutkan Raja Naga, jurus 'Kiba-
san Naga Mengurung Lautan' yang dilepaskannya
tadi seperti tertelan ilmu aneh Sibarani yang ma-
sih berlutut dengan kedua tangan merangkap di
depan dada. Bahkan serangan Sibarani terus
menggebrak ke arahnya dengan kecepatan tinggi!
"Astaga! Ini memang tidak main-main! Aku
bisa celaka!!" serunya seraya bergulingan ke samping dan langsung berdiri tegak.
Saat itu pula dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk melancarkan jurus yang sama.
Ditambah dengan jeja-
kan kaki kanan di atas tanah untuk melepaskan
jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang' yang se-
ketika tanah berderak, bergelombang dan meng-
gebah hebat. Blaaammm! Blaaaammmm!!
Kali ini serangan Sibarani putus. Tetapi itu
bukan berarti bahaya yang dihadapi Raja Naga
berakhir. Karena Purwa sudah menggebrak den-
gan jurus yang sama!
Pontang-panting Raja Naga dibuatnya.
"Pemuda keparat! Kembalikan bunga-
bunga yang telah kau curi sebelum nyawamu le-
pas dari badan!"
Raja Naga tak sempat menjawab karena se-
rangan itu benar-benar mengerikan. Dia hanya
bisa menghindar sekarang dengan kecepatan
tinggi. "Bila begini terus, nyawaku memang bisa putus tanpa kuketahui masalah
yang sebenarnya!!" serunya dalam hati.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini membuat
gerakan memutar dengan kepala meliuk dan ke-
dua kaki berzig-zag. Purwa yang berlutut dengan
kedua tangan merangkap di depan dada, mengge-
ram melihat tindakan si pemuda. Dipercepat se-
rangannya! Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga beru-
saha menghindar, tiba-tiba saja dia melesat ke
depan dengan berzigzag. Melihat hal itu Purwa
semakin bernafsu. Dalam bayangannya pemuda
itu telah menyongsong maut!
Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga ter-
jadi. Karena mendadak saja Purwa terbanting di
atas tanah disertai seruan tertahan "Aaaakhhhh!!"
Melihat hal itu, Sibarani bertambah murka.
"Pencuri hina laknat! Kau semakin me-
nambah beban dosamu saja!!"
Raja Naga menghindari sambaran asap me-
rah dan hijau itu, lalu meluruk ke depan dengan
cara yang sama.
Dan... des!! Sibarani terjengkang pula di atas tanah.
Mulutnya menyembur darah segar!
Raja Naga sendiri melompat di udara bebe-
rapa kali sebelum hinggap di atas tanah. Rupanya
dia sudah mengeluarkan ilmu 'Hamparan Naga
Tidur' yang sulit diikuti oleh mata. Bahkan lawan tak mampu melihatnya.
Mata si pemuda yang angker memandang
kedua orang itu yang sedang berusaha untuk
berdiri. "Aku hanya mengenal kalian bernama
Purwa dan Sibarani! Tetapi aku tidak tahu men-
gapa kalian menuduhku telah mencuri bunga-
bunga yang kalian sebutkan! Apakah tidak se-
baiknya kalian jelaskan bunga-bunga apa yang
kalian maksud"!"
Sambil menahan sakit di dadanya, Purwa
menggeram. "Terkutuk! Kau bukan hanya telah mencuri
bunga-bunga keramat itu, tetapi kau juga men-
dustai telah melakukannya!!"
Kendati gusar karena pertanyaannya tak
dijawab, Boma Paksi masih dapat menindih kegu-
sarannya. "Biar urusan tidak berlarut-larut, sebaik-
nya kalian jelaskan semuanya!"
"Setan alas! Apa yang harus dijelaskan lagi, hah"! Sebutkan siapa kau adanya
sebelum orang-orang rimba persilatan memburumu!!"
Raja Naga menahan napas. Rasa penasa-
rannya membuatnya menjadi sangat gusar. Tetapi
lagi-lagi ditindih kegusarannya. Lalu dengan sua-
ra dingin dia berkata, "Namaku Boma Paksi...
orang-orang menjulukiku Raja Naga..."
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
berpandangan dengan mata membeliak. Di kejap
lain sama-sama mendengus.
Sibarani berseru, "Julukan Raja Naga telah
terdengar ke segenap penjuru sebagai seorang
pendekar yang membela kebenaran! Tetapi seka-
rang... ternyata tak ubahnya seorang pesakitan
belaka! Dan berani-beraninya mencuri bunga-
bunga keramat yang tentunya bila sudah berjum-
lah tujuh akan dipakai sebagai penambah kekua-
tan!!" Raja Naga mengerutkan keningnya.
"Aku semakin tak mengerti apa yang mere-
ka maksudkan. Tetapi untuk meminta penjelasan
rasanya... astaga! Aku ingat sekarang! Ya, ya...
aku mulai bisa memahaminya..."
Habis membatin demikian dia berkata,
"Aku mulai mengerti apa yang kalian maksudkan sekarang. Apakah kedua lubang
sebesar lingkaran jari telunjuk dan jempol itu tempat bunga
yang kalian maksudkan"!"
"Terkutuk! Seorang pendekar mulia ternya-
ta tak Lebih dari setan hina!" bentak Purwa dengan wajah geram. Kemarahannya
semakin menja- di, terutama mengingat kalau dia tidak mampu
menghadapi pemuda di hadapannya yang ternya-
ta Raja Naga. Raja Naga tak mempedulikan bentakan itu.
Dia berkata lagi, "Tadi Sibarani menyebutkan beberapa bunga yang telah dicuri
dan berjumlah enam buah! Lantas dikatakan masih ada sebuah
lagi sehingga berjumlah tujuh! Apakah...."
"Jangan banyak tanya!!" Sibarani telah
mendorong tangan kanannya.
Gelombang angin deras itu dihindari den-
gan mudah oleh Raja Naga. Tindakan yang dila-
kukan Sibarani tadi mencelakakannya sendiri.
Karena terluka dalam, dia memaksakan diri un-
tuk menyerang. Akibatnya perempuan itu ter-
sungkur ke depan dengan mulut mengeluarkan
darah. Raja Naga tercekat dan bermaksud meno-
long. Tetapi bentakan Purwa menghentikan gera-
kannya. "Jangan berlagak suci di hadapan kami!
Kau telah melakukan tindakan yang tak pernah
bisa dimaafkan!!" geramnya dan perlahan-lahan mengangkat tubuh Sibarani. Sambil
memanggul tubuh si perempuan, dengan suara bergetar ka-
rena marah, Purwa berseru, "Ingat Raja Naga...
semua ini belum berakhir! Dan tak akan kubiar-
kan kau mencuri Bunga Matahari Jingga!!"
Dipandanginya pemuda berompi ungu itu
dengan tatapan berapi-api. Kejap kemudian, den-
gan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Purwa
meninggalkan tempat itu dengan membopong Si-
barani. Tinggal Raja Naga yang urung untuk me-
nahan. Karena bila itu dilakukan, maka kesalah-
pahaman ini akan semakin terjadi. Kendati demi-
kian, perasaannya mulai tidak enak.
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku ini menggeleng-gelengkan
kepalanya seraya menghela napas panjang.
"Belum kuketahui secara pasti penyebab
ledakan dahsyat tadi, telah datang tuduhan yang
membuatku tidak enak. Keduanya benar-benar
menginginkan nyawaku, terbukti serangan-
serangan yang mereka lakukan tadi sangat ber-
bahaya. Ya... hanya seorang yang bisa menje-
laskan semua ini. Orang berpakaian kuning yang
sempat kulihat sebelumnya. Ah, bisa jadi kalau
orang berpakaian kuning itu yang telah mencuri
Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Bi-
ru...." Anak muda dari Lembah Naga ini terdiam.
Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang ter-
jadi dan apa yang akan dilakukannya.
"Jalan satu-satunya aku memang harus
menemukan orang berpakaian kuning yang tidak
kuketahui siapa dia adanya. Bahkan aku tidak
tahu apakah dia seorang perempuan atau lelaki.
Tetapi... nampaknya urusan ini tidak bisa ku di-
amkan saja. Mengingat bunga-bunga yang telah
dicuri dan dianggap keramat itu dapat menjadi
sebuah tenaga dahsyat bila telah terkumpul men-
jadi tujuh. Dan itu... tinggal Bunga Matahari
Jingga...."
Setelah terdiam beberapa saat, Raja Naga
segera meninggalkan tempat yang telah porak po-
randa itu, menuju ke arah orang berpakaian kun-
ing yang sempat dilihat sebelumnya.
DUA DUA hari kemudian setelah peristiwa itu.
Di ruangan tengah sebuah bangunan yang
cukup besar, yang terletak di depan sebuah gu-
nung yang menjulang tinggi, nampak beberapa
orang telah berkumpul di sana. Di hadapan me-
reka duduk seorang lelaki tua berpakaian serba
biru. Paras si kakek yang dipenuhi keriput ini kelihatan galau. Berulang kali
dia menarik dan
menghela napas seraya mengelus jenggotnya yang
putih. Mata teduhnya menatap satu per satu
orang-orang yang berada di sana. Di sana juga
duduk Purwa dan Sibarani yang sudah sembuh
dari luka dalamnya.
Saat ini matahari baru muncul di balik bu-
kit. Sebagian sinarnya menerobos masuk melalui
jendela yang terbuka pada bangunan itu.
"Aku mengundang kalian ke sini, karena
ada peristiwa penting yang harus ku kabarkan,"
kata si kakek dengan suara lembutnya. "Dua puluh tahun yang lalu, kau Dewa
Seribu Mata telah
menanam Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar
Ungu! Dan kau Dewi Lembah Air Mata, telah me-
nanam Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kambo-
ja Merah! Sementara aku menanam Bunga Kecu-
bung Putih, Bunga Anggrek Biru, dan Bunga Ma-
tahari Jingga! Ketujuh bunga keramat yang kita
tanam di tempat terpisah itu, telah kuberi mantra yang rasanya tak mungkin dapat
dilewati orang,
apalagi untuk mencabut bunga-bunga keramat
yang kita dapatkan di Bukit Genangan Setan! Te-
tapi sekarang, kejadian demi kejadian telah terja-di! Bunga-bunga itu telah
dicuri oleh se-seorang
yang sudah barang tentu memiliki ilmu tinggi
hingga dapat mengambilnya! Ketika orang itu se-
dang mencuri Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru, kedua muridku ini memergo-
kinya...."
"Dewa Segala Dewa," panggil lelaki bertubuh gemuk yang duduk di sebelah
kanannya. Le- laki berusia sekitar enam puluh tahun ini jelas-
jelas kelebihan lemak di beberapa bagian tubuh-
nya. Dia mengenakan pakaian hitam yang tak bi-
sa menutupi lemak di tubuhnya. Orang inilah
yang berjuluk Dewa Seribu Mata. "Siapakah pencuri laknat yang berilmu tinggi
itu?" Kakek bermata teduh yang berjuluk Dewa
Segala Dewa menarik napas pendek.
"Sesungguhnya, sangat sulit kupercaya.
Sangat sulit sekali. Tetapi kenyataan telah berbicara. Kedua muridku ini telah
memergoki si pen-
curi yang bukan lain... Raja Naga...."
Kepala Dewa Seribu Mata menegak.
"Raja Naga"!" serunya kaget.
Dewa Segala Dewa mengangguk lemah.
"Ya... Raja Naga-lah si pencuri itu...."
Perempuan tua berpakaian hijau dengan
kain kebaya lusuh berkata kaget, suaranya cem-
preng, "Apakah kedua muridmu itu tidak salah melihat"!"
Dewa Segala Dewa menggeleng.
"Mereka bukan hanya melihat, tetapi juga
bertarung dengan pemuda murid Dewa Naga itu,
Dewi Lembah Air Mata...."
"Terkutuk!" geram si perempuan berkonde warna hijau ini. "Tak kusangka... sama
sekali tak kusangka... Dewa Segala Dewa... memburu Raja
Naga, itu sama artinya memancing keluar Dewa
Naga...." "Aku pun memikirkan hal itu. Tetapi, kita
tak bisa berdiam diri. Raja Naga harus ditangkap.
Dan tentunya... saat ini dia sedang memburu
Bunga Matahari Jingga yang kutanam di sebuah
lembah yang sangat jauh dari sini...."
Dewa Seribu Mata berkata, "Apa yang dika-
takan Dewi Lembah Air Mata sangat benar, Dewa
Segala Dewa. Raja Naga murid tunggal Dewa Na-
ga. Memburunya dapat memancing kemarahan


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Naga. Kita sama-sama tahu, tokoh sakti itu
memiliki sifat angin-anginan. Kalau lagi datang sifat baiknya, mungkin dia tidak
akan mengambil pusing kita memburu muridnya. Tetapi bila dia
membantah, kita bisa diremuknya!"
Tak ada yang buka suara. Masing-masing
orang mengenal Dewa Naga, majikan Lembah Na-
ga yang memiliki ilmu setinggi dewa. Ketegangan
meliputi wajah masing-masing orang.
Purwa berkata, "Guru... maaf bila aku lan-
cang bicara. Tindakan yang dilakukan Raja Naga
tak bisa dimaafkan. Aku pikir. Dewa Naga dapat
mengerti bila kita memburu muridnya...."
Dewa Segala Dewa tersenyum.
"Kau belum pernah mengenal Dewa Naga,
Purwa. Tak ada yang bisa menebak kakek bersisik
hijau yang memiliki ilmu mengerikan. Aku tak in-
gin memancing pertikaian dengannya...."
"Tetapi Guru, tindakan Raja Naga dapat
mengacaukan rimba persilatan. Bukankah Guru
sendiri mengatakan, bila Bunga Matahari Jingga
yang masih tersisa itu berhasil dicurinya, dia
akan memiliki ilmu tiada banding" Dari tinda-
kannya jelas-jelas Raja Naga mementingkan di-
rinya sendiri...."
"Dewa Segala Dewa... yang dikatakan mu-
ridmu itu memang benar. Dewa Naga tentunya
dapat mengerti tindakan yang akan kita laku-
kan...." "Kau benar, Dewi Lembah Air Mata. Tetapi..." "Apa yang kau khawatirkan?"
Dewa Segala Dewa tak buka suara. Di-
usapnya jenggot putihnya dengan wajah bertam-
bah galau. Kemudian pelan-pelan dia berucap,
"Bagaimana bila ternyata bukan Raja Naga yang melakukan pencurian itu?"
"Hei! Apa maksudmu berkata demikian?"
seru Dewi Lembah Air Mata heran.
"Terkadang manusia yang telah berada di
jalan lurus, dapat berbelok arah dan mengubah
segalanya menjadi buruk. Hal itu tak luput dari
apa yang ada di diri Raja Naga. Tetapi... bagaima-na bila ternyata memang bukan
dia yang melaku-
kannya" Maksudku, dia kebetulan berada di sana
dan masih berada di sana saat kedua muridku ti-
ba?" Masing-masing orang bungkam. Tak ada
yang membantah kata-kata Dewa Segala Dewa
Kendati mulut mereka ingin berbunyi.
Sibarani memecah kesunyian, "Guru...
maaf aku juga lancang bicara. Pada kenyataanlah
kita harus berpijak. Raja Naga jelas-jelas telah
mencuri bunga-bunga keramat itu dan kami tidak
menyangsikannya lagi...."
Dewa Segala Dewa menghela napas pen-
dek. "Ya... memang kita harus berpijak pada kenyataan yang ada. Mungkin memang
Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga keramat itu...."
"Guru... keadaan itu bukan lagi sesuatu
yang mungkin. Tetapi sebuah kenyataan...."
Dewa Segala Dewa mengangguk.
"Ya... kau benar, Sibarani."
"Kau harus mengambil keputusan seka-
rang juga," kata kakek bertubuh gemuk luar biasa. "Ya, aku memang harus
mengambil kepu-
tusan." "Segeralah kau putuskan," kata Dewi Lembah Air Mata. "Tak kupedulikan
lagi apakah kita memang harus berhadapan dengan Dewa Naga
atau tidak. Tindakan Raja Naga harus dihentikan
sebelum dia menemukan Bunga Matahari Jing-
ga...." "Untuk menemukan Bunga Matahari Jingga, bukanlah sesuatu yang mudah.
Karena bunga keramat itu ditanam di antara tanaman bunga
matahari. Tetapi seperti kita ketahui, Raja Naga
memiliki ilmu tinggi hingga kemungkinan untuk
mendapatkan bunga itu bukanlah sesuatu yang
mustahil. Ya, aku harus mengambil keputusan.
Kita kesampingkan dulu masalah Dewa Naga
akan muncul dan ikut campur dalam urusan ini.
Kalaupun dia tidak mau mengerti, terpaksa kita
harus menghadapinya."
"Katakan keputusanmu," kata Dewa Seribu Mata. Dewa Segala Dewa tak segera
berbicara. Ditarik napasnya dalam-dalam. Dipandanginya
orang-orang yang berada di sana satu per satu.
Setelah itu barulah dia berkata, "Yah... kita harus memburu Raja Naga sekarang
juga. Kau Purwa
dan Sibarani, pergilah ke arah barat laut. Jangan kalian berhenti sebelum
menemukan sebuah
lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Di lem-
bah itu banyak tumbuh Bunga Matahari Jingga.
Kalian harus menjaga bunga-bunga itu...."
"Guru... kami tidak mengetahui yang ma-
nakah Bunga yang dimaksudkan...," ujar Purwa.
"Dari dinding bukit sebelah kanan yang
menghadap ke utara, kalian bergerak ke depan.
Pada hitungan langkah kedua puluh tiga, kalian
berhenti. Tepat pada langkah kedua puluh empat,
Bunga Matahari Jingga berada. Ingat, kalian jan-
gan mencabutnya. Jangan sama sekali...."
"Mengapa, Guru?"
"Kalian hanya menjaganya saja," kata Dewa Segala Dewa seperti menyembunyikan
sesuatu. Purwa tidak banyak bertanya lagi. Setelah
mengaturkan sembah, bersama Sibarani dia sege-
ra melaksanakan perintah itu.
Dewa Segala Dewa berkata, "Dewa Seribu
Mata... bila kau berkenan... kau kutugaskan un-
tuk mendatangi Dinding Kematian di perbukitan
Mamerah!" "Hei! Mengapa kau menyuruhku ke tempat
itu" Apakah kau menyuruhku menjumpai Ratu
Dinding Kematian?" seru Dewa Seribu Mata dengan kening berkerut.
"Aku tidak menyuruhmu menjumpainya.
Tetapi aku menyuruhmu mengamat-ngamatinya
saja...." "Aku tidak memahami maksudmu...."
"Aku menduga ini berkaitan dengan Ratu
Dinding Kematian...."
"Kau terlalu mengada-ngada!" dengus Dewa Seribu Mata. Dia ingin meneruskan
bantahannya, tetapi diurungkan. Lalu dengan gerakan yang
sangat ringan, berlainan sekali dengan bobot tu-
buhnya, kakek itu bangkit dan meninggalkan
tempat itu dengan pinggul bergerak-gerak.
"Dewa Segala Dewa...," berkata Dewi Lembah Air Mata. "Selama ini dan sampai hari
ini aku dan kakek buntal itu tetap menganggap kau sebagai pemimpin dari Tiga
Penguasa Bumi. Aku
juga tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba men-
gaitkan urusan ini dengan Ratu Dinding Kema-
tian?" "Aku hanya punya satu dugaan."
"Baiklah. Seperti sifatmu, kau memang tak
bisa terbuka sebelum mendapatkan kejelasan.
Lantas... apa tugasku?"
Kakek bermata teduh itu menatap si pe-
rempuan berkonde hijau.
"Cari Raja Naga dan bawa dia mengha-
dapku. Sementara aku sendiri, akan bersiap-siap
bila Dewa Naga muncul..."
Dewi Lembah Air Mata mengangguk den-
gan wajah puas. Sambil berdiri dia berkata, "Aku sudah tidak sabar untuk
mencekik leher pemuda
celaka itu!"
Lalu dia berbalik dan melangkah, mening-
galkan Dewa Segala Dewa yang terdiam di tem-
patnya. Dinding-dinding bangunan menatapnya
hampa, sehampa perasaan dalam dirinya.
*** Ketika senja menurun, pemuda dari Lem-
bah Naga menghentikan langkahnya di hadapan
sebuah sungai yang mengalir deras. Mata angker-
nya memandangi arus sungai itu. Beberapa helai
daun kering yang dahannya menjuntai di atas
sungai, gugur dan terbawa arus yang entah akan
berakhir di mana.
"Dua hari aku melacak siapa orang berpa-
kaian kuning itu, tetapi hingga hari ini belum kudapatkan jejak yang berarti,"
desisnya sambil menarik napas. "Persoalan yang datang ini begitu menghimpit
perasaanku. Dapat kubayangkan sekarang kalau aku menjadi seorang tertuduh...."
Anak muda dari Lembah Naga ini menen-
dang sebuah kerikil yang ada di hadapannya.
Wuuuttt! Kerikil itu mencelat, melewati sungai yang
cukup lebar dan bergulingan di seberang entah
berhenti di mana.
"Purwa dan Sibarani telah menganggapku
sebagai pencuri. Bila berita ini menyebar, sudah
tentu aku laksana telur di ujung tanduk. Ah, se-
belum masalah ini berlarut-larut... aku harus se-
gera menyelesaikannya...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya. Tak jauh
dari tempatnya berdiri nampak sebuah jalan se-
tapak. Raja Naga memutuskan untuk mengambil
jalan itu. Baru dua langkah dia bergerak, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap satu ge-
rakan di belakangnya. Bersamaan dia balikkan
tubuh, satu sosok tubuh telah berdiri di hada-
pannya. Tersenyum manis dengan sepasang bola
mata indah. "Maaf... kalau aku mengagetkanmu," kata orang yang baru muncul dan ternyata
seorang gadis. Raja Naga memandang tak berkedip pada
gadis itu. Wajahnya manis dengan tahi lalat pada
sisi kiri pelipisnya. Rambutnya indah dikuncir
ekor kuda dan diberi pita berwarna kuning. Di
punggung si gadis terdapat sebuah pedang berwa-
rangka indah dan pada ujung tangkai pedang ter-
dapat ukiran sebuah kepala burung elang.
Bukan karena keadaan itu yang membuat
Raja Naga tak berucap beberapa saat. Tetapi, ka-
rena dara itu mengenakan pakaian berwarna
kuning! Di pihak lain senyuman di bibir si dara le-
nyap. Keningnya berkerut karena tak menda-
patkan sahutan apa-apa dari pemuda di hada-
pannya. Sesaat matanya membeliak ketika ber-
benturan dengan mata angker si pemuda.
"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Aku menyapanya baik-baik, dia justru
memandangku seperti aku ini tidak berpakaian!"
Raja Naga masih terpaku di tempatnya, te-
tap tak berkedip memandangi gadis di hadapan-
nya. Si gadis berkata, "Heiii! Apakah kau tidak bisa bersuara?"
Mendengar ucapan si gadis, Raja Naga ter-
gagap sejenak sebelum tersenyum.
"Oh! Sudah tentu aku bisa bersuara...."
"Bagus!" kata si gadis yang kembali tersenyum. Rupanya dia memiliki sifat ceria.
"Kupikir aku bertemu dengan orang bisu!"
Raja Naga mencoba tersenyum
"Setelah peristiwa tidak mengenakan itu
terjadi, baru sekarang aku berjumpa dengan
orang berpakaian kuning. Apakah gadis ini orang
yang sedang kucari" Tetapi sudah tentu aku tak
bisa menduga seperti itu sebelum mendapat ke-
pastian," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku juga beruntung bertemu dengan
seorang gadis manis yang tidak bisu...."
Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan
lorong indah pada mulutnya. Sepasang dadanya
yang membusung sedikit bergerak.
"Ya, ya... kita sama-sama beruntung! Dan
kupikir, aku akan lebih beruntung bila kau dapat
menjawab pertanyaanku...."
"Aku tidak tahu apakah aku memang bisa
menjawab pertanyaanmu atau tidak. Tetapi se-
baiknya segera kau perdengarkan sebelum aku
tiba-tiba menjadi tuli dan bisu?"
Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu
tertawa kecil. "Kau ternyata pandai melucu juga," ka-
tanya dan menyambung dalam hati, "Wajahmu
tampan kendati memiliki mata yang angker."
Masih tersenyum dilanjutkan kata-
katanya, "Sudah hampir tujuh hari ini aku mencari sebuah tempat yang bernama
Daerah Tak Bertuan." Mendengar kata-kata itu, kepala Raja Naga
sedikit menegak.
"Daerah Tak Bertuan" Baru kali ini kuden-
gar nama tempat itu. Apakah... astaga! Aku ingat
sekarang! Sibarani dan Purwa mengatakan, masih
ada sebuah bunga keramat lagi yang bernama
Bunga Matahari Jingga. Jangan-jangan, gadis ini
mencari Daerah Tak Bertuan karena di sanalah
Bunga Matahari Jingga berada," kata Raja Naga dalam hati.
"Hei! Kenapa kau tidak menjawab" Kau
sudah mendadak tuli dan bisu, ya?" tegur si gadis sambil tertawa.
Raja Naga tersenyum tipis.
"Mengapa kau mencari tempat itu?"
"O ya" Karena... aku sedang mencari seseo-
rang yang berjuluk Dewa Segala Dewa. Apakah
kau mengenal orang itu?"
Raja Naga mengerutkan kening. "Dugaanku
salah. Tetapi dia bisa saja mengelabuiku," katanya dalam hati.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan berkata, "Aku baru mendengar julu-
kan itu." "Ah, sayang sekali."
"Kejadian yang kualami sebelumnya masih
membingungkanku. Pertemuanku dengan gadis
ini juga membingungkanku. Gadis ini mencari
Daerah Tak Bertuan untuk bertemu dengan orang
berjuluk Dewa Segala Dewa. Ah, apakah sebenar-
nya dia memang orang yang sedang kucari" Teta-
pi, nampaknya dia tidak membawa sesuatu atau
menyembunyikan sesuatu kalau memang dialah
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat
itu. Tetapi, bukankah dia bisa menyembunyikan-
nya di satu tempat?" tanya Raja Naga pada dirinya sendiri dalam hati.
Sambil memandang si gadis anak muda
dari Lembah Naga Itu berkata, "Tempat bernama Daerah Tak Bertuan dan Dewa Segala
Dewa baru kali ini kudengar. Bila kau tak keberatan, sudilah kiranya kau menceritakan
padaku mengapa kau
mencari Dewa Segala Dewa."
"Maaf, aku tak bisa menceritakannya. Te-
tapi kau boleh mengetahui, kalau guruku yang
memerintahkanku melakukan semua ini...."
"Kau juga keberatan mengatakan siapa gu-
rumu?" "Kalau mengatakan siapa namaku, aku ti-
dak keberatan sama sekali. Namaku Puspa Dewi.
Dan tentunya...," si gadis menyeringai lucu, "Kau juga punya nama, bukan?"
Terpaksa Raja Naga menelan keinginta-
huannya itu. Sambil mengangguk dia berkata,
"Namaku Boma Paksi...."
"Nama yang bagus! Baiklah Boma... bukan
maksudku untuk menjauhimu. Tetapi aku belum
menyelesaikan tugasku ini. Bukankah lebih baik
kita berpisah di sini?"
Raja Naga yang masih berusaha mencari
kejelasan tentang siapa gadis ini adanya segera
berkata, "Aku sama sekali tak berkeberatan kau meninggalkan aku di sini. Dan aku
juga sama sekali tak berkeberatan bila kau berkenan kutemani
untuk mencari Dewa Segala Dewa."
Raja Naga terpaksa melakukan tindakan
itu. Karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa mengetahui siapa gadis ini.
Dengan berada di dekatnya, berarti dapat diketahuinya apa yang akan
dilakukannya. Di luar dugaannya, si gadis segera men-
ganggukkan kepala.
"Sangat menyenangkan! Selama tujuh hari
aku melangkah sendiri dan rasanya sangat lebih
baik bila ada teman berbicara...."
Raja Naga mengangguk.
"Terima kasih atas kesediaanmu. Melang-
kah bersama gadis cantik juga merupakan kese-
nangan tersendiri..."
Puspa Dewi cuma tertawa dan segera me-
langkah yang diikuti oleh Raja Naga.
TIGA HAMPARAN malam kembali merambat.
Udara dingin menyengat hingga ke tulang sum-
sum bagian dalam. Namun satu sosok tubuh ber-
pakaian kuning itu tak menghiraukan segalanya.
Dia tetap berdiri di hadapan sebuah bukit, di ma-
na perbukitan yang lain berada di sekitarnya
mengelilingi lembah sunyi di mana dia berdiri se-
karang. Saat ini gumpalan awan hitam berayun-
ayun di mata langit, tak bergerak sama sekali
hingga sinar rembulan tak mampu menembu-
sinya. Bayangan Kuning itu mendengus, "Tak kusangka kalau di tempat ini juga
ditumbuhi ba- nyak bunga matahari. Keparat! Sulit bagiku un-
tuk menemukan bunga yang kucari..."
Untuk beberapa lama Bayangan Kuning ini
terdiam di tempatnya. Matanya memicing mem-
perhatikan hamparan bunga-bunga matahari di
hadapannya. "Huh! Apakah sebenarnya aku salah tem-
pat?" desisnya setengah meragu. "Tetapi tidak!
Lembah yang dikelilingi perbukitan ini adalah
tanda di mana bunga yang kuinginkan berada!
Hanya saja... bunga-bunga matahari banyak
tumbuh di sini! Keparat busuk! Ketimbang buang
waktu, biar kusingkirkan saja seluruh bunga ma-
tahari ini!" desisnya dan lambat-lambat tangan kanannya terangkat. Seketika
membersit cahaya
hitam menggumpal pada tangannya yang men-
gepal. Tetapi di saat lain sudah diturunkannya
tangannya itu. "Setan alas! Bila kuhancurkan bunga-bunga itu tak mustahil bunga
yang kuke-hendaki pun akan terbawa. Dan ini semakin sulit
bagiku untuk menemukan bunga yang kucari!"
Si Bayangan Kuning menggeram beberapa
kali pertanda dia sangat gusar. Tak pernah terpi-
kirkan olehnya kalau dia akan menghadapi ha-
langan seperti ini.
"Enam bunga keramat lainnya telah kuda-
patkan dan dapat kupetik dengan mudah. Tetapi
Bunga Matahari Jingga... keparat busuk! Benar-
benar di luar dugaanku!!"
Si Bayangan Kuning memaki-maki sendiri,
jengkel pada kenyataan yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba saja dihentikan makiannya tatkala pen-
dengararmya menangkap dua kelebatan dari se-
belah kanan. Dengan gerakan ringan, si Bayangan Kun-
ing melompat ke balik sebuah batu besar yang
berada di sana. Dari balik batu itu, dilihatnya dua orang yang berlari semakin
mendekat. "Kakang Purwa! Kita telah tiba di tempat di
mana Bunga Matahari Jingga berada!" berseru salah seorang setelah menghentikan
larinya. "Ya! Seperti yang dikatakan Guru... di tem-
pat ini banyak ditumbuhi bunga matahari," sahutan itu terdengar. "Sibarani...
apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Guru menyuruh kita untuk menjaga Bun-
ga Matahari Jingga dari tangan si pencuri yang
kita ketahui Raja Naga! Sebaiknya, apa pun yang
terjadi kita memang harus tetap berada di sini!"
Di balik batu besar si Bayangan Kuning
mengerutkan keningnya
"Raja Naga yang telah mencuri" Astaga!
Mencuri bunga-bunga keramat" Hahaha... ini ba-
ru berita yang menyenangkan! Aku bisa menebak
siapa kedua orang itu sekarang. Dewa Seribu Ma-
ta dan Dewi Lembah Air Mata tak pernah terden-
gar memiliki murid. Hanya Dewa Segala Dewa
yang terdengar memiliki murid. Dan tiga orang
berjuluk Tiga Penguasa Bumi itulah yang telah
memiliki bunga-bunga keramat dan menanamnya
di tempat-tempat tertentu agar tak mudah dite-
mukan orang. Aku tahu siapa kedua orang ini,
mereka tentunya adalah murid-murid Dewa Sega-
la Dewa...."
Terdengar lagi suara yang perempuan, "Ka-
kang Purwa! Apakah menurutmu Raja Naga akan
muncul di sini?"
Purwa mendengus geram. Dipandanginya
Sibarani yang juga berwajah geram.
"Aku sangat berharap pencuri busuk itu
akan muncul di sini! Aku telah bulatkan tekad
untuk mengadu jiwa dengannya!"
Di balik batu besar itu, si Bayangan Kun-
ing membatin senang, "Kerjaku memang bagus,
hingga tak seorang pun yang mengetahui kalau
akulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat
ini! Aha, aku tahu! Aku tahu! Tentunya pemuda
berompi ungu yang sempat kulihat mendatangi
tempat setelah Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru kucabut, yang dimaksud dengan
Raja Naga! Ini sesuatu yang sama sekali tak ku-
sangka dan rasanya... aku dapat memuslihati ke-
dua orang itu. Tapi... biarlah mereka tenggelam
dalam amarah pada Raja Naga...."
Si Bayangan Kuning terus mendekam di
balik batu besar itu dengan tajamkan pendenga-
rannya. Purwa berkata lagi, "Dari dinding bukit se-
belah kanan yang menghadap ke utara ini, kita
harus melangkah ke depan dan pada hitungan
langkah kedua puluh tiga kita harus berhenti, ka-
rena pada langkah kedua puluh empat itulah
Bunga Matahari Jingga berada...."
"Lantas, apakah kita hanya mengamat-
ngamati saja dari sini, atau kita langsung menuju ke Bunga Matahari Jingga?"
"Sibarani... bila kita berada di dekat Bunga Matahari Jingga, sudah pasti Raja
Naga tak akan mau bertindak gegabah bila dia telah muncul di
sini. Sebaiknya kita bersembunyi saja untuk
mengamat-ngamati kedatangannya. Kita akan
mempergokinya lagi dan sekarang... akan ku kor-
bankan nyawaku untuk menangkap pemuda ce-
laka itu!"
Sibarani memandang kakak seperguruan-
nya yang berwajah tampan. Dalam keremangan
malam, Purwa merasa kalau Sibarani sedang me-
natapnya. Tanpa sadar dia balas menatap. Mas-
ing-masing orang menajamkan penglihatan untuk
melihat satu sama lain.
Sibarani berkata tersendat, "Kakang Pur-
wa... apa yang kita alami beberapa hari lalu itu
sebenarnya sangat memalukan. Pencuri busuk itu
telah kita pergoki tetapi kita tak mampu menang-
kapnya...."
"Kau benar, Sibarani. Beruntung Guru
memaklumi apa yang terjadi. Tetapi yang meng-
herankanku, mengapa Guru kelihatan masih ti-
dak mempercayai kalau Raja Naga yang telah me-
lakukan pencurian itu?"
Perempuan berpakaian merah dengan baju
dalam berwarna hijau di sampingnya tak segera
angkat bicara. Sesungguhnya Sibarani juga me-
mikirkan akan hal itu.
Keheningan merambat pelan. Malam terus
menuju titik puncaknya. Sinar rembulan masih
tetap tak mampu menerobos gumpalan awan hi-
tam yang menggelayut di hadapannya.
Lambat-lambat Sibarani buka mulut,
"Mungkin... Guru masih terpengaruh oleh nama besar Dewa Naga...."
"Apa yang dipikirkan Guru memang kita ti-
dak tahu sama sekali. Tetapi menurutku, Dewa
Naga tentunya memaklumi apa yang akan dilaku-
kan orang-orang rimba persilatan terhadap mu-
ridnya yang telah mencoreng arang di rimba per-
silatan ini" Seperti yang Guru katakan, kita me-
mang tak mengenal siapa dan bagaimana sifat
Raja Naga, akan tetapi itu bukan berarti Raja Na-
ga akan selalu membela muridnya bila berada di
jalan yang salah...."
Sibarani dapat memaklumi kegusaran hati
Purwa. Sedikit banyaknya dia juga gusar akan ke-
jadian ini. Kemudian katanya, "Sudahlah, Ka-
kang, kita tak perlu lagi memikirkan soal itu.
Yang pasti sekarang, kita akan tetap menunggu
Raja Naga datang ke tempat ini...."
Sibarani melangkah ke muka beberapa tin-
dak. Lalu... hup!
Dia melompat dan hinggap dalam kedudu-
kan bersila di sebuah batu besar. Berada di tem-
pat yang lebih tinggi, angin lebih keras mener-
panya. Purwa sendiri masih mencoba menemukan
apa yang dipikirkan gurunya. Setelah mencoba
dan tak mampu menemukan, akhirnya lelaki ber-
pakaian biru terbuka di dada itu melompat ke be-
lakang dan... hup! Hinggap di atas batu di sebelah batu yang diduduki Sibarani.
Tanpa sepengetahuan keduanya si Bayan-
gan Kuning yang masih mendekam di balik batu
besar itu, membatin dengan kening berkerut, "Secara tidak sengaja aku mendapat
keterangan yang
lebih baik. Keterangan yang benar-benar mengun-
tungkan. Raja Naga kini sebagai tersangka pelaku
pencurian dan pernah bentrok dengan murid-
murid Dewa Segala Dewa. Dari mulut masing-
masing orang, nampaknya mereka telah melapor-
kan semua ini pada Dewa Segala Dewa. Ini sangat
menguntungkan! Dan yang lebih membuatku be-
runtung, karena kini kuketahui yang mana bunga
yang kuinginkan dari sejumlah bunga matahari
yang berserakan itu...."
Si Bayangan Kuning mengikik puas dalam
hati. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan
Bunga Matahari Jingga, bunga terakhir dari tujuh
bunga keramat yang dicurinya. Tetapi saat ini
murid-murid Dewa Segala Dewa menjaganya. Si
Bayangan Kuning memaklumi kalau kedua murid
Dewa Segala Dewa tak bisa dipandang sebelah
mata kendati dia yakin dapat mengalahkan mere-
ka. Tetapi itu artinya akan banyak tenaga dan
waktu yang terbuang.
Tiba-tiba senyuman cerah terpampang di
bibirnya. Dalam keremangan malam, matanya
berkilat-kilat karena satu rencana yang menda-


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak muncul di kepalanya.
"Sangat bodoh bila aku tidak melakukan-
nya, karena tak ada alasan yang menyebabkan
aku harus tidak melakukannya," desisnya. "Mereka tidak tahu kalau akulah si
pencuri itu....?"
Berpikir demikian, dengan gerakan yang
tak menimbulkan suara si Bayangan Kuning ber-
kelebat ke belakang, lalu memutar dengan cepat.
Dalam waktu singkat dia sudah berada di jalan
setapak menuju ke lembah itu. Dengan cara se-
perti ini si Bayangan Kuning berharap kedua
orang itu tidak tahu kalau sebelumnya dia berada
di sana dan mencuri dengar percakapan mereka.
Sengaja ditampilkan sosoknya agar kedua
orang yang menjaga di sana melihat kehadiran-
nya. Dan seperti yang diharapkan, kedua orang
itu memang melihatnya dan melompat turun dari
batu besar yang diduduki masing-masing.
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
memicingkan mata. Karena saat ini malam sangat
pekat, mereka tak bisa melihat secara jelas paras
orang yang telah berhenti berjarak delapan lang-
kah dari hadapan mereka. Yang dapat mereka
pastikan, kalau orang itu bukanlah Raja Naga.
Karena pakaian kuning yang dikenakan orang itu
cukup kentara. Si Bayangan Kuning tak buka suara. Di-
perhatikannya kedua orang itu dengan seksama.
Keheningan itu dipecahkan olehnya sendiri, "Maaf kalau kemunculanku di hadapan
kalian cukup mengejutkan...."
Purwa membatin, "Suaranya menunjukkan
dia seorang perempuan. Sayang aku tak bisa me-
lihat wajahnya."
Sibarani sudah angkat bicara, "Orang da-
lam gelap... kemunculanmu di sini cukup menge-
jutkan sebenarnya. Tetapi kami memakluminya.
Apakah ada sesuatu yang penting?"
Si Bayangan Kuning mengangguk dan bu-
ru-buru berkata, "Ya... menurutku ini sangat penting dan kuharap, kalian dapat
membantuku untuk memecahkan persoalan yang kuhadapi...."
"Kami belum mengetahui apa persoalan
yang sedang kau hadapi. Tetapi, bila kami dapat
membantu, sudah tentu kami akan melakukan-
nya...." Si Bayangan Kuning menarik napas dan menghembuskannya. Sengaja keras-
keras agar kedua orang di hadapannya mendengar. Paling ti-
dak, dia telah membuat helaan napasnya bernada
gelisah. "Saat ini aku sedang mencari Raja Naga...."
Kata-kata yang tak disangka itu membuat
Purwa dan Sibarani terdiam dengan mata makin
memicing. Kening mereka berkerut. Purwa yang
sesungguhnya tidak begitu senang karena ke-
munculan orang ini di saat dia sedang menjalan-
kan perintah yang menurutnya cukup menegang-
kan, angkat bicara, "Mengapa kau mencari pemu-da itu?"
Sambutan seperti itulah yang dikehendaki
si Bayangan Kuning. Dengan suara sesekali di-
buat geram dan masygul dia berkata, "Raja Naga telah membunuh adik
seperguruanku!"
"Keparat!" amarah di dada Purwa seketika menggelora. Kebenciannya pada Raja Naga
semakin menjadi-jadi mendengar kata-kata orang.
"Orang dalam gelap, kami dapat merasakan ke-
marahanmu, karena kami juga sedang murka pa-
da pemuda celaka itu!"
Sibarani masih lebih dapat menguasai di-
rinya. "Bila kau tak keberatan, dapatkah kau menceritakan mengapa pemuda yang
juga kami cari itu membunuh adik seperguruanmu?"
Si Bayangan Kuning yang telah menyusun
rencana busuknya, sudah tentu dengan segera
dapat menciptakan cerita bohongnya. Dengan su-
ara dibuat geram dia berkata, "Sepuluh hari yang lalu, secara tak sengaja adikku
berjumpa dengan
Raja Naga. Pemuda yang julukannya amat keso-
hor itu sudah tentu dikenal oleh adik seperguru-
anku kendati tidak pernah melihat sosoknya. Da-
lam perjumpaan itu, Raja Naga merayu adikku.
Sayangnya... adikku yang belum banyak makan
asam garam di rimba persilatan ini, terlena oleh
rayuannya. Dan... akh... aku tak bisa mencerita-
kan kelanjutannya kecuali satu, kalau adikku
kemudian dibunuhnya."
"Terkutuk!!" geram Purwa seraya menger-
takkan rahangnya.
Si Bayangan Kuning semakin menggila
dengan rencana busuknya. "Dan aku tak pernah membiarkan pemuda hidung belang itu
banyak menelan korbannya. Di balik tindakannya yang
selalu membela kebenaran, dia tak lebih dari ma-
nusia busuk!"
Purwa menggeram.
"Perlu kau ketahui, kami juga sedang men-
cari pemuda keparat itu!"
"Keberatankah kau menceritakannya pa-
daku?" Kebencian yang ada di dada Purwa menyebabkan pemuda itu menceritakan
segala-galanya.
Sibarani sendiri sebenarnya tak menyetujui tin-
dakan kakak seperguruannya, karena secara ti-
dak langsung, dia telah mengungkapkan apa yang
sedang mereka lakukan saat ini.
"Aku pernah mendengar tentang bunga-
bunga keramat itu," kata si Bayangan Kuning.
"Huh! Raja Naga ternyata bukan hanya telah me-malingkan kepala orang-orang
darinya, tetapi ju-
ga telah menorehkan peristiwa buruk rimba persi-
latan! Kawan... kita punya keinginan yang sama
untuk membunuh Raja Naga. Bagaimana bila kita
saling bantu?"
"Sudan tentu usulmu itu kami sambut
dengan gembira!" sahut Purwa.
Sibarani buka mulut, "Kawan berpakaian
kuning! Sejak tadi kita banyak bicara, tetapi kau belum memperkenalkan diri...."
Si Bayangan Kuning tak segera menjawab.
Dia berkata dalam hati, "Hemm... kejelasan sudah kudapatkan. Tinggal mencari
kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga. Tetapi un-
tuk saat ini biarlah kutahan keinginan itu. Biar
kurasuki kebencian masing-masing orang pada
Raja Naga,..."
Kemudian katanya, "Kalian boleh menge-
nalku sebagai Nimas Herning!" Lalu sambungnya dalam hati, "Nama yang bagus. Ya,
Nimas Herning nama yang bagus dan mudah-mudahan mereka
tidak curiga kalau itu hanyalah nama palsu."
"Nimas Herning...." Purwa berkata lagi.
"Saat ini kami sedang menunggu kedatangan Raja Naga! Kami yakin kalau dia akan
datang ke sini untuk mendapatkan Bunga Matahari Jingga,
bunga keramat ketujuh! Seperti yang telah kita
sepakati sebaiknya kau tetap berada di sini!"
Purwa memutuskan demikian mengingat
dia dan Sibarani pernah dipecundangi oleh Raja
Naga. Dengan kehadiran Nimas Herning yang ten-
tunya memiliki ilmu tak bisa dipandang sebelah
mata, itu berarti menambah kekuatan mereka.
Lain yang dipikirkan Purwa, lain pula yang
dipikirkan Sibarani. Perempuan berpakaian me-
rah dengan baju dalam warna hijau itu sesung-
guhnya menyesali apa yang dilakukan kakak se-
perguruannya. Karena tugas yang mereka emban
sekarang ini adalah tugas sangat rahasia. Tak
seorang pun boleh mengetahuinya kecuali Dewa
Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi Lem-
bah Air Mata. Tetapi apa hendak dikata, Purwa
telah membeberkan semuanya.
Di pihak lain, Si Bayangan Kuning yang
sebenarnya bukan bernama asli Nimas Herning,
semakin mendapat kesempatan dengan kata-kata
Purwa. Dia akan menunggu kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga yang dica-
rinya. Menyerang keduanya saat ini, itu berarti
hanya akan membuang banyak tenaga. Terutama
setelah mengetahui kalau Raja Naga dapat dijadi-
kan kambing hitam. Ketimbang membuang tena-
ga, lebih baik merasuki hati keduanya dengan ke-
bencian pada Raja Naga. Juga, akan ditunggunya
kesempatan baik.
Si Bayangan Kuning memutuskan, paling
lambat besok senja dia sudah harus menda-
patkan Bunga Matahari Jingga.
Lalu katanya, "Terima kasih atas kesediaan
dan penjelasan kalian hingga aku tak perlu ber-
susah payah melacak di mana Raja Naga berada!"
Purwa melenting ke belakang dan hinggap
di atas batu yang tadi didudukinya.
"Kita tunggu kedatangan pemuda itu...."
Si Bayangan Kuning sudah melompat ke
batu besar di dekatnya. Sibarani sendiri, walau-
pun menyesali apa yang dikatakan Purwa, mau
tak mau hanya menuruti saja. Perasaannya saat
ini mengatakan, sesuatu yang tidak enak akan
terjadi. EMPAT PADA saat yang bersamaan, Raja Naga
menghentikan larinya di sebuah tempat yang se-
pi. Di sekelilingnya ditumbuhi oleh ranggasan be-
lukar dan pepohonan tinggi. Matanya yang angker
tak berkedip pada sebatang pohon, di mana tadi
Puspa Dewi berada sebelum ditinggalkannya
mencari makanan.
Dengan kening berkerut Raja Naga mende-
kati pohon itu.
"Hemmm... ke mana dia pergi?" desisnya.
Tiga ekor kelinci yang diburunya jatuh di atas tanah. Mats angkernya memandang
sekeliling. "Rupanya dia telah meninggalkanku. Bodoh! Bodoh
sekali aku ini!!"
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah
Naga ini terdiam, menyesali apa yang telah terja-
di. "Bisa jadi kalau Puspa Dewi mengetahui
kalau sesungguhnya aku mencurigainya. Dengan
kepergiannya ini, semakin menguatkan dugaan-
ku, kalau dialah si Bayangan Kuning yang kulihat
melarikan diri dan dialah si pencuri bunga-bunga
keramat sesungguhnya. Brengsek! Aku tertipu
mentah-mentah!"
Anak muda ini memaki-maki tak karuan,
menyesali kelalaiannya sendiri. Diingatnya ba-
gaimana sebelumnya Puspa Dewi nampak begitu
kelelahan hingga memutuskan untuk beristirahat
dulu sebelum melanjutkan langkah menuju ke
Daerah Tak Bertuan.
Karena tak mau memancing kecurigaan si
gadis berpakaian kuning, Raja Naga menyetujui
usulnya. Bahkan disetujuinya untuk mencari
makanan. "Brengsek! Aku telah ditipunya! Huh! Pasti
saat ini dia sedang mencari Bunga Matahari Jing-
ga! Sayang, aku tidak tahu di mana bunga kera-
mat yang belum dicuri itu,..."
Kekesalan Raja Naga kian menjadi-jadi. Te-
tapi kemudian ditindih kekesalannya itu mengin-
gat kalau itu memang kelalaiannya sendiri.
"Dia pasti belum jauh, karena aku belum
terlalu lama meninggalkannya. Tetapi, ke mana
arah yang harus kutempuh?"
Raja Naga menimbang-nimbang sesaat se-
belum diangkat tangan kanannya yang dipenuhi
sisik sebatas siku. Dipergunakannya ilmu
'Rabaan Naga' yang dapat melacak jejak apa pun
yang diinginkannya. Namun dia terkejut ketika
tak mendapatkan jejak apa-apa!
"Astaga! Apa yang telah terjadi?" desisnya kaget seraya menurunkan tangan
kanannya lagi. "Ilmu 'Rabaan Naga' seperti tak berguna. Celaka!
Dia memang tahu kalau aku mencurigainya, dan
ini semakin menambah keyakinanku kalau dialah
si pencuri bunga-bunga keramat. Gadis itu ten-
tunya telah mempergunakan ilmunya, entah ilmu
apa, hanya yang pasti dapat menangkap ilmu
'Rabaan Naga' yang kupergunakan...."
Raja Naga benar-benar di ambang kemara-
hannya mengingat semua itu.
"Huh! Saat ini namaku sudah coreng mo-
reng karena tuduhan itu. Aku harus segera mem-
bersihkan namaku sebelum..."
"Ternyata ada manusia di sini! Bagus! Aku
bisa bertanya sesuatu padamu!" suara cempreng itu memutus kata-kata Raja Naga.
Belum lagi habis terdengar suara cempreng itu, satu sosok tu-
buh telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat siapa yang datang.
"Hemmm... seorang perempuan tua berke-
baya lusuh dengan baju berwarna hijau. Ram-
butnya hitam, tetapi... kondenya berwarna hijau!"
katanya dalam hati.
Perempuan tua yang baru muncul itu me-


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

micingkan matanya sebelum berkata, "Anak mu-da! Kau berada di tempat sesunyi
ini, apakah se-
dang menunggu seseorang atau kau memang
hendak menjadikan tempat ini sebagai tempat pe-
lepas lelah?"
Raja Naga tak segera menjawab. Kembali
diperhatikannya sosok si perempuan yang ternya-
ta Dewi Lembah Air Mata adanya.
Setelah itu barulah dia berkata, "Aku sebe-
narnya bersama seseorang. Tetapi sayang, orang
itu sudah pergi.... "
"Satu pergi satu datang! Ya, aku yang da-
tang ke hadapanmu sekarang! Anak muda... aku
tidak mengenal siapa kau adanya! Dan kau ten-
tunya... hei!! Gila! Mengapa matamu bersorot
angker mengerikan seperti itu"! Apakah kau tidak
suka dengan kehadiranku di sini"!"
Raja Naga mendengus pelan.
"Tak perlu kau hiraukan tentang mataku
ini..." "Ya! Memang tak perlu kuhiraukan!" sahut Dewi Lembah Air Mata sambil
mengingat-ngingat
sesuatu. Raja Naga yang merasa harus segera men-
cari Puspa Dewi segera berkata, "Nek... aku tak punya banyak waktu. Aku harus
segera menemukan temanku itu."
"Mendengar nada bicaramu yang agak geli-
sah, aku dapat menebak siapa temanmu itu! Kau
masih muda, dan tentunya temanmu adalah seo-
rang gadis belia! Atau boleh dikatakan, tentunya
dia adalah kekasihmu!"
Raja Naga tidak menyahut.
Dewi Lembah Air Mata berkata lagi, "Kau
tentunya orang rimba persilatan dari pakaian
yang kau kenakan! Dan tentunya tak asing bagi
seorang rimba persilatan pernah mendengar satu
julukan yang menggemparkan rimba persilatan!"
"Aku tak paham maksud kata-katamu...."
"Apakah kau pernah mendengar julukan
Raja Naga?" seru Dewi Lembah Air Mata.
Raja Naga sesaat meragu sebelum berkata,
"Ya... kenapa dengan dia?"
"Aku juga pernah mendengar julukan yang
menggemparkan rimba persilatan karena sepak
terjangnya yang menggegerkan! Tetapi sayangnya,
aku belum pernah berjumpa dengan pemuda ber-
juluk Raja Naga hingga aku kesulitan untuk me-
nemukannya!"
Perasaan Raja Naga mulai dibaluri sesuatu
yang tidak enak. Dia menjadi gelisah sendiri.
"Harap jangan bicara berbelit-belit! Sebaik-
nya kau jelaskan saja apa maumu...."
"Orang yang hidup di rimba persilatan sela-
lu mau bertindak cepat, tak mengherankan me-
mang. Anak muda... saat ini aku sedang mencari
Raja Naga!"
Raja Naga menjerengkan matanya. "Kenapa
kau mencari Raja Naga?"
"Pemuda yang bersembunyi di balik tinda-
kannya yang menggegerkan, ternyata seorang
pencundang yang pengecut! Dia telah menanam-
kan bibit permusuhan di rimba persilatan ini dan
mencoreng namanya yang sudah melambung!"
"Aku memang mendengar julukan orang
yang kau maksud, tetapi aku makin tidak men-
gerti tentang apa yang kau katakan," kata Raja Naga. Kendati mulutnya berbunyi
demikian, namun hatinya menduga sesuatu yang tidak enak.
Dewi Lembah Air Mata menyahut, "Raja
Naga telah mencuri bunga-bunga keramat! Kau
masih sedemikian muda, tentunya kau belum
mendengar tentang bunga-bunga keramat! Aku
tak punya waktu untuk menjelaskan tentang
bunga-bunga itu! Dan yang kuminta sekarang,
apakah kau tahu di mana Raja Naga berada?"
Murid Dewa Naga itu diam-diam menarik
napas masygul. "Firasat tidak enakku ini membawa kenya-
taan. Tentunya berita buruk itu telah menyebar.
Aku terpaksa harus berbohong sekarang agar
urusan tidak semakin kapiran," katanya dalam hati. Lalu dengan menindih gemuruh
di dadanya, pemuda berompi ungu itu berkata, "Nek... kalau kau tanyakan aku pernah mendengar
julukan itu atau tidak, kujawab pernah. Tetapi aku tidak ta-
hu di mana orang yang kau maksudkan bera-
da...." "Sayang sekali, sayang sekali. Padahal aku berharap kau dapat memberikan
kejelasan padaku." "Apa yang hendak kau lakukan bila kau berjumpa dengannya?"
tanya Raja Naga berhati-hati. "Kecuali menangkap dan membawanya ke
hadapan Dewa Segala Dewa, tak ada keinginan
yang lain di hatiku! Dia, harus mempertanggung-
jawabkan tindakan busuknya! Bahkan kalau da-
pat, dia harus dihadapkan pada gurunya sendiri
hingga tak terjadi kesalahpahaman!"
Raja Naga menahan napas sejenak. "Dewa
Segala Dewa?" katanya dalam hati. "Bukankah orang itu yang hendak dijumpai Puspa
Dewi?" Kemudian dia berkata, "Nek... apakah De-
wa Segala Dewa orang yang berdiam di Daerah
Tak Bertuan?"
"Ya! Dialah majikan Daerah Tak Bertuan!
Dan tak mengherankan kalau kau mengeta-
huinya!" "Kau tadi mengatakan bunga-bunga kera-
mat, apa yang kau maksudkan dengan bunga-
bunga keramat itu?" tanya Raja Naga setelah ter-
diam beberapa jenak.
"Huh! Tadi sudah kukatakan, aku tak
punya banyak waktu untuk menjelaskannya! Te-
tapi kau boleh tahu sedikit saja! Bunga-bunga ke-
ramat berjumlah tujuh buah! Bila dijadikan satu
dan direndam di dalam air, maka air yang dimi-
num oleh seseorang akan menjadikan orang itu
kebal terhadap senjata apa pun. Dan memiliki
kekuatan seorang raksasa!"
"Astaga! Sungguh menakjubkan! Dan
sungguh mengerikan bila orang yang meminum
air itu melakukannya untuk tindakan kejaha-
tan...." desis anak muda dari Lembah Naga itu dalam hati. "Aku harus menemukan
Puspa Dewi. Gadis itu tentunya si pencuri yang se-
sungguhnya. Tetapi... mengapa dia mencari Dewa
Segala Dewa dan Daerah Tak Bertuan" Apakah
Bunga Matahari Jingga sesungguhnya berada di
Daerah Tak Bertuan?"
Raja Naga tak mencoba untuk menemukan
pertanyaannya sendiri. Kemudian berhati-hati
anak muda itu berkata, "Nek... sebaiknya kita berpisah di sini. Karena aku harus
menemukan temanku itu...."
"Baik! Bila kau berjumpa dengan Raja Na-
ga, katakan padanya, Dewi Lembah Air Mata da-
tang untuk menangkapnya!"
Raja Naga hanya mengangguk. Di kejap
lain dia sudah melangkah untuk meninggalkan
tempat itu. Perasaan tidak enaknya semakin,
menjadi-jadi. "Ah, beruntung dia mempercayai ucapan-
ku. Kalau tidak, urusan bisa jadi panjang! Aku
akan banyak kehilangan waktu untuk mengejar
Puspa Dewi, sementara menjelaskan keadaan
yang sebenarnya pun percuma saja. Tentunya dia
telah berjumpa dengan Purwa dan Sibarani yang
menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi.
Ah, apakah Purwa dan Sibarani menganggap ka-
lau ini hanya kesalahpahaman saja?"
Sambil terus melangkah, anak muda be-
rompi ungu ini terus membatin. Tetapi apa yang
dipikirkannya hanya sesaat membawa sedikit ke-
tenangan. Karena tiba-tiba saja satu suara cem-
preng yang sangat nyaring membentak keras,
"Pemuda celaka! Kau mencoba mengelabui Dewi
Lembah Air Mata rupanya! Untung aku ingat, ka-
lau Raja Naga memiliki sorot mata angker!"
Bersamaan bentakan itu terdengar, meng-
gebrak satu gelombang angin yang menyeret ta-
nah ke arah si pemuda!
*** "Heeiiii!!" teriak Raja Naga tertahan dan kejap itu pula dia membuang tubuh ke
samping ka- nan. Blaaarrrr!!
Ranggasan belukar di hadapannya terpa-
pas rata ujungnya. Dan tak jauh dari sana, suara
letupan disusul dengan gemuruh tumbangnya se-
buah pohon terdengar keras.
"Menurut cerita orang, Raja Naga memiliki
sorot mata angker! Dan mengenakan pakaian be-
rompi ungu! Dasar aku yang bodoh tidak tahu ge-
lagat! Pemuda keparat, kau hampir berhasil me-
muslihatiku, padahal kaulah Raja Naga sebenar-
nya!!" Dewi Lembah Air Mata melesat diiringi teriakan mengguntur. Kemarahannya
tiba-tiba mencuat dan harus dituntaskan.
Raja Naga sendiri merasa tak akan ada gu-
nanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenar-
nya. Cepat didorong kedua tangannya ke depan.
Wuutttt!! Blaaam! Blaaammm!!
Suara letupan dua kali berturut-turut ter-
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi
tanah itu luruh kembali, satu bayangan hijau te-
lah melesat, menerobos ke depan dengan tangan
kanan kiri digerakkan.
Tap! Tap! Raja Naga mundur dua tindak. Lalu....
Buk! Buk! Dihadangnya jotosan si nenek dengan tan-
gan kanan kirinya. Kedua tangannya sebatas siku
yang dipenuhi sisik coklat, memiliki kekuatan tersendiri yang mampu mematahkan
sebuah godam. Tetapi benturan yang terjadi itu tak membawa
akibat apa-apa pada Dewi Lembah Air Mata.
Bahkan tiba-tiba saja si nenek berkonde
hijau ini mencelat ke atas. Lalu meluruk ke ba-
wah diiringi suara dengingan yang memekakkan
telinga. Cepat, Raja Naga palangkan kedua tan-
gannya di depan dada. Didahului satu dehaman
keras, disentak kedua tangannya ke atas.
Dehaman yang mengandung tenaga tak
nampak itu tak mampu menahan lurukan tubuh
Dewi Lembah Air Mata. Tetapi ketika gelombang
angin disemburati asap merah yang keluar dari
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' mengge-
brak, membuat si nenek mengubah gerakannya.
Dia melenting ke samping dan hinggap di
atas tanah dengan ringannya.
Suara geramnya terdengar, "Tak menghe-
rankan kalau julukan Raja Naga telah membedah
langit, karena memang memiliki ilmu yang tak bi-
sa dipandang sebelah mata! Malam ini aku masih
memberimu kesempatan hidup, bila kau mau
menyerahkan bunga-bunga keramat yang telah
kau curi!"
Di tempatnya Raja Naga menjadi agak geli-
sah. "Apa yang harus kujelaskan kalau tuduhan itu telah melekat padaku" Tentunya
bukan hanya dia yang sedang mencariku, tetapi orang berjuluk
Dewa Segala Dewa juga sedang mencariku. Bisa
pula masih ada orang-orang yang lain...."
"Tak banyak waktu yang kau punyai, Pe-
muda keparat!!" bentak Dewi Lembah Air Mata geram. Raja Naga menghela napas
pendek. "Kau tak mengerti apa yang telah terjadi
dan tak seorang pun yang bisa mengerti...."
"Ya! Siapa pun orangnya tak akan mau
mengerti apa pun yang dikatakan pencuri busuk!
Serahkan bunga-bunga keramat itu padaku!!"
Raja Naga tak menjawab. Bergeming pun
tidak. Matanya yang angker semakin bertambah
angker. Dilihatnya bagaimana perlahan-lahan
Dewi Lembah Air Mata rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Kalau sejak tadi dia me-
mandang ke depan, kali ini kepalanya agak di-
tundukkan hingga tubuhnya membungkuk sedi-
kit. Jelas kalau si nenek telah siap melancarkan satu serangan.
Kendati Raja Naga dapat memahami apa
yang akan dilakukan Dewi Lembah Air Mata, te-
tapi dia tercekat tatkala tiba-tiba mendengar pe-
rempuan tua itu terisak.
"Astaga! Apa yang terjadi" Mengapa dia te-
risak?" Untuk beberapa saat pemuda berkuncir kuda ini merasa heran dengan apa
yang diden-garnya. Namun di kejap lain, dia tersentak. Kare-
na isakan yang pelan itu telah menggedor kedua
telinganya hingga berdenging-denging!
LIMA CELAKA! Apa yang terjadi" Ada apa ini?"
serunya seraya alirkan tenaga dalamnya pada in-
dera pendengarannya. Tetapi isakan pelan yang
menerobos dahsyat ke kedua telinganya, semakin
keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja,
tubuh Raja Naga bergetar hebat.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusul suara letupan berulang kali ter-
dengar. Tanah berhamburan ke udara yang sege-
ra membuat tempat itu laksana diselimuti kabut
tebal. "Aku harus berbuat sesuatu bila tidak ingin celaka!" seru anak muda itu
sambil tutup kedua telinganya dengan tangan kanan kirinya. Kini
disadari kalau isakan yang dilakukan si nenek
ternyata merupakan satu serangan mengerikan.
Tiba-tiba dia berteriak setinggi langit se-
raya mendehem berkali-kali.
Letupan demi letupan keras terdengar. Te-
naga tak nampak yang keluar dari dehemannya
berbenturan dengan tenaga aneh yang keluar dari
isakan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi isakan yang
berdenging-denging keras itu semakin kuat me-
nerpa kedua telinganya
Telinga adalah salah satu alat keseimban-
gan tubuh selain dagu dan kedua bahu. Akibat
dari terobosan suara isakan yang berdenging-
denging itu, Raja Naga terhuyung ke belakang.
Sakit tak terkira membuat aliran darahnya ber-
tambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti
dihantam gada besar berulang-ulang. Napasnya
mulai terasa sesak.
"Celaka... aku bisa celaka!" serunya berulang-ulang sambil terus mengerahkan
tenaga da- lamnya. Dari sela-sela bibirnya telah mengalir da-
rah segar. Keseimbangannya semakin terganggu,
sementara di seberang, Dewi Lembah Air Mata te-
tap bersikap seperti sebelumnya. Isakannya tetap
terdengar hanya pelan saja.
Mendadak anak muda dari Lembah Naga
itu melepaskan tangan kanan kirinya dari kedua
telinganya. Lalu diputar ke atas dan didorong ke
depan dengan wajah tegang.
Wuussss!! Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak deras dan.... Blaaammm!
Laksana terhantam tenaga tak nampak, se-
rangan yang dilakukan Raja Naga guna memu-
tuskan ilmu aneh si nenek putus di tengah jalan.
Raja Naga tidak putus nyali. Dia harus mele-
paskan diri dari isakan mengerikan itu.
Dengan mencoba mengembalikan keseim-
bangannya, dijejakkan kaki kanannya. Disusul
dengan kaki kirinya. Tanah di hadapannya seke-
tika berderak, terangkat naik dan menyusur den-
gan suara bergemuruh ke arah Dewi Lembah Air
Mata yang masih menunduk.
Masih tetap terisak, Dewi Lembah Air Mata
tiba-tiba menepukkan kedua tangannya di tanah.
Akibatnya.... Jlegaaarrrr!! Letupan yang membuat tempat itu seperti
bergetar terjadi. Tanah semakin berhamburan ke
udara. Namun kali ini Raja Naga merasakan te-
kanan menyakitkan pada kedua telinganya sedikit
berkurang. Ini terjadi karena Dewi Lembah Air
Mata terpaksa menurunkan tangannya yang di-
rangkapkan di depan dada tadi.
Kesempatan itu dipergunakan Raja Naga
untuk melesat ke depan. Jalan satu-satunya un-
tuk menghentikan serangan aneh itu dengan ja-
lan menghentikan sumbernya. Tetapi....
"Aaaakkhhhh!!"
Anak muda itu menjerit keras bersamaan
tubuhnya terpelanting ke belakang, karena Dewi
Lembah Air Mata telah merangkapkan kembali
kedua tangannya di depan dada disertai isakan-
nya yang tetap pelan namun terus terdengar.
Disusul dengan tubuhnya yang berguling-
guling berulang-ulang.
"Kau terlalu keras kepala, Pemuda terku-
tuk! Tak mau menyerahkan kembali bunga-bunga
keramat yang telah kau curi, itu artinya akan
menambah penderitaan yang kau alami!" seru
Dewi Lembah Air Mata tetap terisak dan sejauh
ini tak ada air mata yang mengalir.
Raja Naga merasa punggungnya remuk se-
telah menghantam sebuah pohon. Sempoyongan
pemuda tampan ini mencoba berdiri. Tulang-
tulang pada kakinya seperti telah terlolosi.
"Aku yakin, dalam dua gebrakan berikut-
nya... aku tak akan mampu menghadapi serangan
aneh si nenek...," desisnya dengan wajah tegang.
Darah yang merembes melalui sela-sela bibirnya
makin banyak. Diusap dengan punggung tangan-
Pendekar Remaja 15 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pendekar Satu Jurus 14
^