Pencarian

Istana Gerbang Merah 2

Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah Bagian 2


merambat. "Tentunya orang dalam keranjang itu se-
dang melancarkan salah satu ilmunya yang he-
bat," desahnya gelisah dalam hati. "Oh! Bagaimana caraku menghadapinya" Aku tak
boleh menge- luarkan ilmuku" Segera meninggalkan tempat ini
pun tak mudah! Ah, kalau saja tadi perempuan
itu tak menghalangiku, mungkin aku sudah ber-
lalu bersama lelaki yang patah kaki itu...."
Keranjang itu telah melesat cepat. Asap hi-
tam mengiringi lesatannya.
Sepasang mata Galuh Tantri melebar. Dia
masih dapat menghindari ganasnya serangan ke-
ranjang itu. Tetapi dua gebrakan berikutnya, ga-
dis itu tak ubahnya seperti seekor tikus yang masuk perangkap seekor kucing.
"Aku harus menyelamatkan diri!" serunya dalam hati.
Seraya membuang tubuhnya ke samping
kiri, Galuh Tantri menyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Bersamaan bertemunya pergelan-
gan tangan kanannya dengan pergelangan tangan
kirinya, terlihat cahaya putih berkilau berulangulang, semakin lama semakin
membesar. Tiba-
tiba.... Wwrrrrr!!
Dipadu dengan gemuruh angin yang tinggi,
cahaya putih yang membesar itu tiba-tiba mence-
lat. Suara yang memekakkan telinga terdengar
berulang kali. "Heeiiiii!!" seruan itu terdengar dari mulut Sekar Sengkuni yang tegak dengan
mata melebar. Dilihatnya bagaimana keranjang yang me-
lesat cepat itu, tiba-tiba saja berbelok. Asap hitam yang mengiringinya lenyap
tertelan cahaya putih
yang keluar dari silangan kedua tangan Galuh
Tantri. Yang lebih mengejutkan, cahaya putih itu seperti memiliki mata. Berbalik
dan menyergap laksana sebuah kain lebar.
Plupp! Keranjang yang masih melayang itu ter-
tangkup cahaya putih. Seperti hendak menelan
bulat-bulat, cahaya putih itu menggulung Buntet
Kalamangsang yang masih berada dalam keran-
jang. Sementara Galuh Tantri makin memu-
satkan perhatiannya untuk mengendalikan se-
rangannya, terdengar teriakan keras orang yang
tak diketahui seperti apa rupanya itu. Cahaya putih yang menyelimuti keranjang
itu bergerak- gerak, pertanda kalau keranjang itu berusaha
membebaskan diri.
"Terkutuk!!" makian itu memecah suara
yang memekakkan telinga yang berasal dari ca-
haya putih. Tiba-tiba gerakan-gerakan cahaya pu-
tih itu semakin menguat.
Galuh Tantri bergetar. Kedua tangannya
yang menyilang di depan dada terasa panas.
Tiba-tiba... plaasss!!
Keranjang itu mental lebih tinggi ke udara
laksana sebuah bola yang memantul dari bumi.
Kejap lain keranjang itu menderu ke arah Galuh
Tantri. Kalau sebelumnya asap hitam hanya men-
giringi gerakannya saja, kali ini asap hitam telah menderu mendahului.
Blaaarrrr!! Asap hitam itu putus di tengah jalan kare-
na terhalang oleh cahaya putih yang tiba-tiba
menghadang. Seketika bermuncratan asap-asap
hitam ke udara dan cahaya putih ke berbagai
penjuru. Masih menyilangkan kedua tangannya di
depan dada, Galuh Tantri menggeser tubuhnya
sedikit ke kanan. Kemudian memutar kedua tan-
gannya di atas kepala dan disentak diiringi teriakan, "Heaaaattt!!"
Blaaamm! Keranjang itu terpental lebih jauh terkena
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di
udara sebelum terbanting di atas tanah dan ber-
gelundung. Setelah menabrak sebuah pohon yang
menggugurkan dedaunan, keranjang itu baru
berhenti. Terdengar suara orang muntah darah be-
berapa kali. "Setan alas!" memaki Sekar Sengkuni dengan tubuh bergetar hebat. Kemarahannya
bukan karena melihat Buntet Kalamangsang berhasil di-
pecundangi si gadis. Tetapi satu hal yang sangat akrab dengannya. "Gadis celaka!
Kau telah keluarkan ilmu 'Tenaga Pusat Bumi' dan 'Tenaga Pusat
Tanah'! Kedua ilmu itu hanya dimiliki oleh manu-
sia keparat bernama Resi Tala Kangkang!!"
Seketika Galuh Tantri tersentak. Wajahnya
menjadi tegang.
"Celaka! Aku telah melanggar perintah
Guru!" serunya menyadari sesuatu.
Di seberang, Sekar Sengkuni sudah men-
deru dengan jotosan tangan kanan kiri.
"Rupanya lelaki celaka itu telah mengambil
seorang murid! Bagus! Kaulah yang akan mam-
pus lebih dulu sebelum dirinya!!"
Serangan itu semakin bertambah dekat.
Galuh Tantri masih tertegun di tempatnya.
Masih menyesali kalau dia telah membuka siapa
dirinya! Gerakan Sekar Sengkuni semakin mende-
kat. Perempuan berpakaian hijau itu tak dapat
lagi menahan amarahnya setelah mengenali ilmu
yang dikeluarkan oleh si gadis.
Galuh Tantri sendiri seperti orang bodoh.
Dia tak berbuat apa-apa. Dapat dipastikan kalau
nyawanya akan putus saat itu juga.
Akan tetapi di saat yang kritis tiba-tiba saja
satu bayangan merah telah mencelat dari samp-
ing kanan. Lengannya mengibas. Terlihat cahaya
merah dan putih menggebrak ke arah Sekar
Sengkuni. Perempuan setengah baya yang dilanda
murka itu menjerit tertahan. Cepat ditarik pulang kedua tangannya, lalu
dipalangkan dan didorong.
Blaaamm! Blaaammm!!
Cahaya merah putih yang mengandung
hawa panas tinggi itu putus di tengah jalan. Kendati berhasil memutus serangan
itu, tetapi Sekar Sengkuni terbanting di atas tanah.
Dilihatnya bagaimana bayangan merah itu
menyambar tubuh Galuh Tantri yang masih terte-
gun dan menyambar tubuh lelaki yang telah pa-
tah kakinya. Sekar Sengkuni menyumpah keras seraya
mendorong kedua tangannya. Tetapi serangannya
itu putus di tengah jalan, terhantam cahaya me-
rah dan putih! Di lain kejap, bayangan merah itu telah le-
nyap dari pandangan.
"Keparat busuk! Kau...," seru Sekar Sengkuni setelah mengenali siapa orang yang
menye- rangnya dan berlalu itu. Pelan-pelan dia berdiri.
Dada membusungnya turun naik dengan napas
terengah-engah. Dari sela-sela bibirnya merembas darah segar.
Dari dalam keranjang terdengar suara,
"Kau mengenali orang itu, Sekar Sengkuni"!"
Sekar Sengkuni terdiam dengan napas
memburu. "Aku tidak melihat wajahnya! Tetapi... ilmu
'Kabut Bayangan Menembus Gelap' sangat kuke-
nali!" sahutnya penuh amarah tinggi.
"Siapa orang yang memiliki ilmu itu?"
Sekar Sengkuni tak segera buka mulut.
Sepasang mata celongnya seperti melompat ke-
luar karena gemuruh amarah di dadanya. Lam-
bat-lambat dia mendesis dingin,
"Manusia itu adalah orang yang hendak ki-
ta bunuh! Resi Tala Kangkang!!"
ENAM PAGI telah menghampar dengan segenap
keindahannya. Bukit kapur yang menjulang tinggi
itu berkilat-kilat diterpa sinar matahari. Kesejukan udara masih terasa. Tak
jauh dari bukit ka-
pur itu berdiri kokoh sebuah bangunan berben-
tuk sebuah istana. Tembok tinggi mengeliling is-
tana itu. Di muka pintu gerbang yang tinggi itu
berdiri dua orang lelaki gagah bertelanjang badan.
Dan gerbang itu berwarna merah!
Di bagian tengah Istana Gerbang Merah
yang megah, Galuh Tantri sedang duduk bersim-
puh. Di sebuah kursi indah, seorang kakek ber-
pakaian merah sedang duduk dan sesekali terse-
nyum. Kakek berwajah teduh ini mengusap ku-
misnya yang sudah memutih. Keriput pun mulai
menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mulai me-
mutih pula diikat ekor kuda.
"Galuh...," panggilnya lembut. "Tak usah berkecil hati. Tindakan yang kau
lakukan sangat benar. Kau memang harus mempergunakan ilmu-
ilmu yang telah kau pelajari untuk mengatasi se-
rangan orang dalam keranjang."
Gadis berpakaian merah muda itu tak
menjawab, bahkan mengangkat kepalanya tidak
berani. Disesalinya mengapa dia tidak menjaga
pesan kakek berpakaian merah di hadapannya
ini. "Muridku, Galuh... kau tak bersalah. Kau melakukan satu tindakan yang
tepat...." Galuh Tantri tetap tak bersuara.
"Ingatkah kau akan petuahku" Bila kita
bersalah, tidak seharusnya kita berdiam diri. Tindakan yang harus kita lakukan
adalah mengakui
kesalahan itu. Tetapi yang telah kau lakukan bu-
kanlah kesalahan. Kau menyelamatkan dirimu
sendiri...," senyum si kakek yang ternyata adalah Resi Tala Kangkang.
Mendengar kata-kata lembut gurunya, per-
lahan-lahan gadis berambut indah itu berani
mengangkat kepalanya, tetapi tidak berani mena-
tap wajah gurunya
"Aku mohon maaf, Guru...."
"Hei, hei!" senyum Resi Tala Kangkang.
"Tak ada yang salah dalam hal ini, sehingga tak
perlu ada yang meminta maaf...."
"Secara tidak langsung aku telah mem-
bongkar siapa diriku sendiri."
"Kau melakukan tindakan yang tepat. Bila
kau tidak melakukan tindakan seperti itu, justru aku menyalahkanmu...."
"Aku telah melanggar pesan Guru...."
"Tidak. Kau telah menjalankan perintahku
dengan baik. Kau telah menemukan Sekar Seng-
kuni...." ' Aku tak sengaja menemukannya, Guru...."
"Itu artinya kau tetap telah menemukan-
nya, Galuh."
"Aku... ah, aku telah bertindak bodoh,
Guru. Kesalahanku... aku justru merasa bersalah
hingga seperti melupakan kalau bahaya siap me-
renggut nyawaku."
"Galuh...," senyum Resi Tala Kangkang.
"Keberanianmu membuatku kagum. Kau berani
menjalankan perintahku. Dan sudah tentu aku
tak bisa melepasmu begitu saja, karena aku tahu
tugas yang kuberikan padamu sungguh berat.
Tanpa kau ketahui aku selalu mengikutimu, Ga-
luh...." Kepala Galuh Tantri menegak.
"Guru...."
"Ya! Sekarang... kukatakan mengapa aku
menyuruhmu untuk mencari perempuan berna-
ma Sekar Sengkuni...."
Resi Tala Kangkang segera menceritakan
masa lalunya, termasuk menceritakan Sekar
Sengkuni dan Woro Lolo.
"Aku merasa pasti kalau Sekar Sengkuni,
tetap akan mencariku, tetapi untuk membalas
sakit hatinya...."
"Tak seharusnya perempuan itu sakit hati,
Guru!" seru Galuh Tantri yang kini mengetahui siapa sebenarnya Sekar Sengkuni.
"Kau betul. Tetapi, tidak semua orang bisa
menerima kenyataan dan kejujuran. Termasuk
Sekar Sengkuni."
"Lantas... apa yang hendak Guru lakukan?"
tanya Galuh Tantri. Dia sudah tidak segelisah dan merasa bersalah seperti tadi.
"Dari arah yang dituju oleh Sekar Sengkuni
dan orang dalam keranjang yang bernama Buntet
Kalamangsang, aku yakin dalam waktu dua hari
mereka akan tiba di Istana Gerbang Merah." Resi Tala Kangkang menghela napas
pendek. Ingatannya sesaat kembali pada masa lalunya. Sambil
memandang muridnya dia berkata lagi, "Dapat kubayangkan apa yang akan terjadi
bila Sekar Sengkuni dan Buntet Kalamangsang tiba. Untuk
itulah... siang nanti Istana Gerbang Merah harus sudah kosong kecuali
diriku...."
Galuh Tantri mengerutkan kening. Ma-
tanya memandang tak berkedip.
"Aku tak mengerti. apa yang Guru mak-
sudkan?" "Mulai hari ini... seluruh penghuni Istana
Gerbang Merah harus menyingkir. Termasuk kau,
Muridku...."
"Mengapa... mengapa Guru melakukan hal
itu?" Resi Tala Kangkang tak menjawab. Dia ter-


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senyum. "Kau pasti mengerti...."
Kemudian dia turun dart kursinya dan me-
langkah dengan kedua tangan berada di atas
pinggul. Galuh Tantri tak berani bersuara, hanya berani memandang gurunya saja
dari belakang. Tepat tengah hari di atas kepala, Istana
Gerbang Merah telah sepi. Resi Tala Kangkang
memberikan upah yang cukup banyak bagi orang-
orang yang telah mengabdi padanya.
Dia kembali ke tempat semula dan melihat
Galuh Tantri masih berada di sana.
"Tempat ini hampir kosong, Galuh. Silakan
tinggal-kan tempat ini...."
"Guru!" protes Galuh Tantri. "Bukan maksudku untuk membantah perintah Guru!
Tetapi... aku tak bisa meninggalkan Guru seorang diri di
sini!" Resi Tala Kangkang tersenyum. Sambil melangkah mondar-mandir dia berkata,
"Kau me- mang telah bertarung dengan Buntet Kalamang-
sang dan Sekar Sengkuni. Kau dapat mengalah-
kan Buntet Kalamangsang, tetapi itu terjadi kare-na orang dalam keranjang yang
tak pernah dike-
tahui seperti apa wujudnya, memandang sebelah
mata padamu. Itu artinya, dia dapat mengalah-
kanmu. Demikian pula dengan Sekar Sengkuni.
Muridku... bila kau masih berada di sini, itu sama artinya kalau aku membiarkan
kau masuk dalam
bahaya..."
"Aku tidak peduli!" sahut gadis itu keras kepala.
"Galuh... sejak kutemukan kau enam belas
tahun yang lalu di bawah sebuah pohon, seluruh
cinta kasih dan perhatianku kucurahkan bulat-
bulat untukmu. Tak ada yang tersisa. Kalau seka-
rang aku menyuruhmu meninggalkan Istana Ger-
bang Merah, bukan karena aku tidak sayang pa-
damu. Melainkan karena aku terlalu sayang pa-
damu, Galuh. Kau mengerti maksudku?"
Galuh Tantri tak buka suara. Matanya se-
dikit berkilat-kilat.
Resi Tala Kangkang berhenti melangkah.
Mengusap lembut rambut si gadis yang masih
duduk bersimpuh.
"Berpuluh tahun kubangun istana ini
hingga namanya dikenal dengan sebutan Istana-
Gerbang Merah. Berpuluh tahun aku mendiami
tempat ini. Dan berpuluh tahun aku berusaha
mengubur masa laluku. Mengubur kenangan ber-
sama Woro Lolo atau Mayang Kinanti yang hingga
saat ini masih kucintai. Mengubur kenangan ber-
sama Sekar Sengkuni yang berbalik memusuhi-
ku. Dan nampaknya... tak lama lagi semua ini
akan lenyap."
"Maksud Guru.... Istana Gerbang Merah
akan hancur?"
"Bukan hanya akan hancur. Tetapi mung-
kin.... di sinilah aku akan terkubur...."
"Guru!" suara Galuh Tantri tersekat. Resi Tala Kangkang tersenyum. "Bila kau
mengerti maksudku, tinggalkan tempat ini, Galuh...,"
Hanya itu yang dikatakan kakek bijak ber-
pakaian panjang warna merah, karena di lain saat
dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu.
Galuh Tantri urung berucap. Kepalanya pe-
lan-pelan tertunduk. Batinnya gelisah. Kepedihan sangat dirasakannya. Dia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya, tetapi dia sangat mematuhi pe-
rintah gurunya dan dia harus mematuhi perintah
gurunya sekarang ini.
Pelan-pelan dengan kegelisahan yang kian
merambat, gadis itu berdiri. Ditundukkan kepa-
lanya, dirangkapkan kedua tangannya di depan
dada. "Maafkan aku, Guru...."
Lalu dia berkelebat, melewati lorong istana
yang biasanya ramai kini hening. Tiba di halaman istana Gerbang Merah yang luas,
keheningan menerpanya kembali.
Bahkan Galuh Tantri seolah tak merasa-
kan desiran angin.
Dua kejapan mata kemudian, dia sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan
setapak yang sepi, Raja Naga memandangi pe-
rempuan setengah baya bertahi lalat di dagu se-
belah kiri itu. Dia telah mendengar semua keja-
dian yang menimpa si perempuan, termasuk sia-
pakah kakek bongkok berpakaian merah acak-
acakan. "Terkadang cinta tak terbalas merupakan
bibit permusuhan yang berbuah menjadi dendam
tiada banding. Kakek bongkok berjuluk Demit Se-
rigala itu mencintai seorang perempuan bernama
Sekar Sengkuni. Tetapi Sekar Sengkuni tidak
mencintainya, karena dia mencintai Resi Tala
Kangkang. Sementara Resi Tala Kangkang tidak
mencintai Sekar Sengkuni karena dia mencintai
perempuan di hadapanku ini. Astaga! Begitu ru-
mitnya perjalanan cinta di antara orang-orang
itu,..." Habis membatin demikian, pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya berkata,
"Woro Lolo... bila Demit Serigala hendak menuju ke Istana Gerbang Merah untuk
membunuh Resi Tala Kangkang, adakah kemungkinan perempuan
bernama Sekar Sengkuni akan melakukan hal
yang sama?"
Perempuan jelita berbulu mata lentik itu
tak segera menjawab. Ditatapnya pemuda berma-
ta angker di hadapannya. Lalu katanya,
"Aku tidak bisa memastikan. Seperti yang
kukatakan, aku baru beberapa hari di tanah Ja-
wa. Kedatanganku ke sini memang untuk mencari
Tala Kangkang yang kemudian kudengar kabar
seseorang bernama Resi Tala Kangkang tinggal di
Istana Gerbang Merah. Perjumpaanku dengan
Demit Serigala membuatku bertambah yakin ka-
lau penghuni Istana Gerbang Merah memang le-
laki yang sedang kucari...."
Raja Naga tak buka mulut. Dipandanginya
kejauhan. Ditatapnya matahari yang semakin be-
ranjak naik dari sela-sela dedaunan. Masih me-
mandang kejauhan dia berkata, "Demit Serigala sedang memburu Resi Tala Kangkang
demi men- dapatkan cinta Sekar Sengkuni. Karena selama
Resi Tala Kangkang masih hidup, maka dia tak
akan pernah mendapatkan cinta Sekar Sengkuni.
Dan tidak mustahil kalau ternyata Sekar Sengku-
ni sendiri juga sedang menuju ke Istana Gerbang
Merah...."
Woro Lolo diam-diam menarik napas pen-
dek. "Semenjak kutinggalkan Pulau Andalas, yang hanya kubayangkan adalah
perjumpaan dengan Tala Kangkang. Bukan untuk menda-
patkan urusan segala macam seperti tindakan
Demit Serigala. Apa yang dikatakan pemuda ber-
juluk Raja Naga ini memang benar. Tak mustahil
kalau Sekar Sengkuni mempunyai niat yang sa-
ma." Raja Naga berkata, "Woro Lolo... sebenarnya Saat ini aku sedang mencari
pembunuh Ju- ragan Purna Setyo dari desa Karang Permata. Te-
tapi, aku juga penasaran ingin mengenal Resi Ta-
la Kangkang dan Sekar Sengkuni. Apakah kau
tahu di mana Istana Gerbang Merah berada?"
Woro Lolo menjawab, "Secara pasti tidak.
Dari petunjuk yang kudapatkan, kita harus me-
nuju ke arah barat. Di belakang sebuah bukit ka-
pur, Istana Gerbang Merah berada."
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku akan tetap menuju ke Istana Gerbang
Merah. Kejelasan sudah kudapatkan kalau Resi
Tala Kangkang yang mendiami Istana Gerbang
Merah adalah orang yang kucari," suara Woro Lo-lo tak mampu menyembunyikan rasa
rindunya yang dalam. "Di samping itu, aku juga harus memberitahukannya kalau bahaya
sedang men-gancamnya...."
Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya si
perempuan yang sedang memandang kejauhan.
Dilihatnya kilatan rindu pada sepasang mata jer-
nihnya, kerinduan dalam yang meletup-letup
meminta pelampiasan.
Dibiarkan saja Woro Lolo yang terbuai oleh
kerinduannya. Untuk beberapa saat hening terja-
ga. Pagi semakin beranjak menuju siang. Burung-
burung yang sejak tadi ramai beterbangan dan
bernyanyi, mulai berkurang.
Raja Naga mengusik lamunan Woro Lolo,
"Kita akan segera menuju ke Istana Gerbang Merah. Hanya saja, aku akan tetap
melacak si pem-
bunuh Juragan Purna Setyo."
Woro Lolo melirik.
"Anak muda... aku masih ingin berada di
tempat ini. Apakah kau tidak memahami getar pe-
rasaan gelisah, bingung, dan juga rindu yang bergelora di dadaku?"
Murid Dewa Naga itu cuma tersenyum.
"Aku sangat memahaminya. Karena... aku
juga pernah mengalami saat-saat seperti itu...."
Woro Lolo hendak bertanya lebih lanjut, te-
tapi anak muda berompi ungu itu sudah berlari
meninggalkannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Raja
Naga...," desis Woro Lolo sepeninggal Raja Naga.
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi
bila pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu tidak muncul. Kehorma-
tan dan harga dirinya akan tercabik-cabik! Hanya matilah jalan satu-satunya
untuk melepas aib itu!
Bahkan tanpa disadarinya, saat Raja Naga
mencoba menyadarkannya dari pengaruh ilmu
aneh milik Demit Serigala, Woro Lolo berulang
kali merangkul pemuda itu dengan geliatan-
geliatan tubuh penuh rangsangan. Mulutnya be-
rulang-ulang mendesiskan sesuatu yang mampu
membuat gairah seorang lelaki bergelora.
Raja Naga sendiri sempat beberapa kali
terpana melihat sesuatu yang jarang dilihatnya.
Tetapi dikuatkan hatinya untuk tidak terpenga-
ruh pada yang dilihatnya. Bahkan akan disesa-
linya bila dia tak dapat menyembuhkan Woro Lolo
dari pengaruh ilmu busuk Demit Serigala.
Dengan mempergunakan Gumpalan Daun
Lontar warisan dari mendiang ayahnya, Raja Naga
berhasil memunahkan pengaruh jahat ilmu Demit
Serigala pada Woro Lolo. Sementara itu, Woro Lo-
lo sendiri tidak tahu bagaimana caranya pemuda
berkuncir kuda bermata angker itu mengoba-
tinya. Dalam keadaan yang tidak wajar, Woro Lo-
lo hanya merasakan kalau dia diminumkan sesu-
atu oleh Raja Naga.
Perempuan berpakaian putih ini menarik
napas pendek. Sorot matanya sarat kerinduan
tinggi. Kegundahan tiba-tiba dirasakannya ketika die berpikir, "Apakah Tala
Kangkang masih men-gingatku?"
Untuk beberapa lamanya perempuan jelita
dari Pulau Andalas ini masih berdiri di tempat-
nya. Matanya sesekali menatap ke kejauhan. Di-
buang segenap kegelisahan yang ada di dadanya.
Lima belas tarikan napas kemudian, Woro Lolo
alias Mayang Kinanti segera meninggalkan tempat
itu. TUJUH KETIKA senja tiba, pemuda dari Lembah
Naga itu menghentikan larinya di sebuah jalan
yang lengang. Diperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi pepohonan.
Tiba-tiba matanya yang tajam menangkap
satu bayangan merah muda datang dari arah ba-
rat. Dari gerakan yang dilakukan oleh bayangan
itu yang semakin lama kelihatan siapa adanya,
nampaknya dia tak terlalu memperhatikan sekeli-
lingnya. Bahkan tak dilihatnya Raja Naga padahal orang itu melintas hanya
berjarak dua belas langkah di hadapan Raja Naga.
Tetapi pemuda dari Lembah Naga ini meli-
hat siapa adanya orang itu.
"Galuh Tantri...," desisnya dalam hati. "Dia datang dari arah barat. Dan cukup
aneh kalau gadis yang biasanya sigap dan tangkas itu berlalu begitu saja tanpa melihat
kehadiranku di sini.
Hemm... apakah telah terjadi sesuatu?"
Habis berpikir demikian, Boma Paksi su-
dah bergerak cepat menyusul gadis jelita berpa-
kaian merah muda.
Dalam waktu singkat saja dia sudah dapat
memperpendek jaraknya dengan Galuh Tantri.
"Dugaanku benar, nampaknya telah terjadi
sesuatu. Sepertinya dia berlari hanya mengikuti
kedua langkahnya saja, tanpa tahu harus berlari
ke mana...."
Lalu... hup! Dengan satu lompatan kecil Raja Naga te-
lah menjajari langkah gadis yang memang Galuh
Tantri adanya. Gadis berambut indah itu sejenak
terkejut begitu melihat seseorang di samping ka-
nannya. Tapi di saat lain dia sudah mendengus.
"Kau"!" serunya sambil berhenti berlari.


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Naga nyengir. "Ya, aku!"
"Mengapa kau berada di sini, hah"!"
"Astaga! Justru aku yang hendak bertanya
demikian padamu!"
"Kau tak perlu banyak tahu!"
Pemuda berompi ungu itu cuma mengang-
kat kedua bahunya. Hanya sekali lihat saja Boma
Paksi tahu kalau gadis jelita ini dalam keadaan
gundah. Wajah jelitanya sedikit tegang. Sorot matanya beriak-riak, laksana
getaran air di sebuah danau bening.
Raja Naga buru-buru tersenyum ketika me-
lihat sepasang bibir mungil indah itu hendak ke-
luarkan bentakan, "Kebetulan aku berjumpa denganmu di sini...."
Gadis itu memandang curiga. Apa yang di-
alaminya belum lama ini membuatnya menjadi
sedikit lebih pemarah.
"Apa maksudmu dengan kebetulan ber-
jumpa denganku di sini?" suaranya menyelidik.
Raja Naga tersenyum.
"Aku sedang menuju ke arah barat, semen-
tara kau datang dari arah barat. Bukankah ini
menunjukkan satu kebetulan?"
"Jangan banyak mulut!" bentak Galuh Tantri gusar. Saat ini dia ingin menyendiri,
mem- buang segala gundah yang ada di hatinya. Apa
yang dikatakan gurunya, Resi Tala Kangkang tak
pernah bisa membuatnya tenang. Dan dia telah
meninggalkan Istana Gerbang Merah, berarti me-
ninggalkan gurunya untuk menghadapi tindakan
busuk dari Sekar Sengkuni dan Buntet Kala-
mangsang yang diperkirakan tak lama lagi akan
tiba di sana. "Hemmm... aku bertambah yakin kalau be-
lum lama ini dia tengah mengalami hal-hal yang
membuatnya sedih, gelisah, dan tak tahu harus
berbuat apa," kata pemuda berompi ungu dalam hati sambil melirik si gadis. Lalu
pelan-pelan dia berucap, "Aku hendak menuju ke Istana Gerbang Merah. Apakah kau
mengetahui di mana tempat
itu?" Kepala Galuh Tantri menegak. Keningnya dikerutkan dengan mata tak berkedip
pada pemuda di hadapannya yang juga sedang menatap-
nya. Lambat-lambat sorot matanya yang tadi pe-
nuh kesedihan berubah berkilat-kilat.
Raja Naga menangkapnya sebagai kilatan
berbahaya! "Mengapa kau hendak menuju ke Istana
Gerbang Merah?" Galuh Tantri berseru dingin.
Tangan kanan kirinya mengepal keras. Tatapan-
nya tak berkedip. Kejadian yang dialaminya be-
lum lama ini justru membuatnya mudah curiga.
Saat ini dia tahu kalau Sekar Sengkuni dan Bun-
tet Kalamangsang akan datang ke Istana Gerbang
Merah untuk membunuh gurunya. Dan sekarang,
pemuda yang dikenalnya bernama Boma Paksi ini
menanyakan hal yang sama. "Bisa jadi kalau pemuda ini bermaksud buruk," kata
batin Galuh Tantri. Menangkap suara yang menjadi dingin dan
gusar serta tatapan mengandung sorot berba-
haya, Raja Naga hanya tersenyum saja. Justru
perubahan cepat yang terjadi pada gadis di hada-
pannya ini semakin memancing rasa penasaran-
nya, sekaligus membuktikan dugaannya kalau
gadis ini sedang mengalami satu persoalan yang
sukar dicari pemecahannya.
Boma Paksi menjawab, "Aku hanya ingin
tahu, apakah Resi Tala Kangkang memang tinggal
di Istana Gerbang Merah...."
"Mengapa kau ingin tahu soal itu, hah"!
Ada urusan apa kau dengan Resi Tala Kang-
kang"!"
"Suaranya semakin keras. Tubuhnya mulai
bergetar. Matanya semakin berbahaya. Hmmm...
aku menangkap gelagat yang tidak enak. Tetapi,
mengapa dia nampak begitu gusar ketika kuta-
nyakan tentang Istana Gerbang Merah dan Resi
Tala Kangkang" Apakah dia punya hubungan
dengan penghuni istana Gerbang Merah itu?"
"Pemuda bersisik!" menggelegar suara Ga-
luh Tantri sementara kaki kanannya digeser sedi-
kit ke samping. "Apakah kau tiba-tiba tuli"!"
Raja Naga lagi-lagi hanya tersenyum.
"Galuh... mengapa kau menjadi pemberang
seperti ini" Bila kau memang membutuhkan seo-
rang teman untuk berbicara, aku bersedia mela-
kukannya..."
"Kau belum jawab pertanyaanku, hah"!"
Raja Naga tak segera buka mulut. Tiba-tiba
dirasakan satu tenaga seperti telah menameng-
kan diri Galuh Tantri.
"Astaga! Dia telah mengalirkan tenaga da-
lamnya, pertanda benar-benar dalam kedudukan
siap menyerang! Hemmm... aku harus segera
menjelaskan masalah ini biar tak jadi salah du-
ga..." kata pemuda berompi ungu ini dalam hati dan segera berkata, "Galuh... aku
sama sekali tidak tahu di mana Istana Gerbang Merah berada
dan siapa Resi Tala Kangkang. Semua itu kuden-
gar dari seorang perempuan setengah baya ber-
nama Woro Lolo yang berasal dari Pulau Andalas.
Secara tak sengaja aku telah menyelamatkan Wo-
ro Lolo dari bahaya yang akan dilakukan manusia
busuk berjuluk Demit Serigala, yang ternyata
adalah orang yang mencintai seorang perempuan
bernama Sekar Sengkuni."
Raja Naga melihat kening Galuh Tantri
berkerut. Dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena cintanya ditolak Sekar
Sengkuni, Demit Serigala
memutuskan untuk membunuh Resi Tala Kang-
kang yang hingga saat ini masih dicintai Sekar
Sengkuni. Menurut Woro Lolo pula, dia sedikit
mendapat petunjuk di mana Resi Tala Kangkang
berada. Di Istana Gerbang Merah. O ya... aku ti-
dak tahu, apakah Sekar Sengkuni yang mencintai
Resi Tala Kangkang ini, sama dengan Sekar
Sengkuni yang telah kau duga sebagai pembunuh
Juragan Purna Setyo..."
Galuh Tantri tak buka mulut. Sorot ma-
tanya masih berkilat penuh bahaya.
Raja Naga berkata lagi, "Sebelum aku dan
Woro Lolo berpisah, kami sama-sama memikirkan
satu kemungkinan tentang Sekar Sengkuni.
Hingga saat ini sebenarnya aku belum dapat
mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi,
kendati telah kudengar dari mulut Woro Lolo, pe-
rempuan dari Pulau Andalas yang dicintai dan
sangat mencintai Resi Tala Kangkang."
"Kemungkinan apa yang kau pikirkan ten-
tang Sekar Sengkuni?" walau sikapnya tidak sete-gang tadi, tetapi suara Galuh
Tantri tetap dingin.
"Aku dan Woro Lolo sama-sama menduga
kalau Sekar Sengkuni akan datang ke Istana Ger-
bang Merah untuk menuntaskan sakit hatinya
pada Resi Tala Kangkang."
"Apakah kebenaran ucapanmu itu dapat
dipercaya?"
"Ucapan yang mana?"
"Tentang perempuan setengah baya ber-
nama Woro Lolo dan manusia busuk berjuluk
Demit Serigala?"
Mendengar pertanyaan itu pemuda dari
Lembah Naga justru membungkam. Matanya me-
nyelidik pada Galuh Tantri. Setelah beberapa
saat, lambat-lambat terdengar ucapannya, "Mengapa kau hanya menanyakan tentang
Woro Lolo dan Demit Serigala" Mengapa kau tak menanya-
kan tentang Sekar Sengkuni?"
Galuh Tantri menarik napas pendek. Selu-
ruh ketegangannya menurun. Raja Naga tak lagi
merasakan adanya getaran tenaga dalam yang
menamengi seluruh tubuh si gadis.
Sebelum gadis itu menjawab, Raja Naga
sudah mendahului. "Galuh... kau sebenarnya
mengetahui di mana istana Gerbang Merah dan
penghuninya yang bernama Resi Tala Kangkang
berada. Bahkan aku menduga kalau kau punya
hubungan erat dengannya. Pertanyaanmu yang
seolah melupakan Sekar Sengkuni, semakin
memperkuat dugaanku. Kalau kau juga mengenal
siapa Sekar Sengkuni. Dan aku merasa yakin, ka-
lau Sekar Sengkuni yang sedang kita bicarakan
ini, adalah Sekar Sengkuni yang kau duga seba-
gai pembunuh Juragan Purna Setyo. Galuh... be-
narkah apa yang kukatakan ini?"
Gadis jelita berambut indah itu tak menja-
wab. Justru pelan-pelan ditundukkan kepalanya.
Raja Naga mendengar gadis berpakaian merah
muda itu berulangkali menarik dan menghem-
buskan napas. Seolah membuang sebagian beban
yang menyarati dadanya.
Dibiarkan saja gadis itu bersikap demikian.
Lambat-lambat kepala gadis itu terangkat. Ma-
tanya memandang biasan senja di kejauhan, me-
natap bayangan beberapa ekor burung yang ter-
bang bermandikan sinar matahari senja.
Tanpa menoleh pada Raja Naga, Galuh
Tantri berkata, "Semua yang kau duga itu benar, Boma.... Benar sekali. Bahkan
aku tahu, kalau
Sekar Sengkuni siap membunuh Resi Tala Kang-
kang bersama seorang temannya yang entah se-
perti apa rupanya yang bernama Buntet Kala-
mangsang...."
Raja Naga ingin bertanya tentang orang
yang disebutkan terakhir oleh si gadis, tetapi pertanyaan lain yang lebih
penting segera diutara-
kan, "Galuh... siapakah Resi Tala Kangkang sebenarnya?"
Galuh Tantri memutar kepalanya, menatap
pemuda di hadapannya.
"Dia... dia... adalah guruku...."
Raja Naga cuma mendesah pendek.
"Ah, kini aku bisa meraba semuanya. Resi
Tala Kangkang menyuruh muridnya untuk me-
nyelidiki keberadaan Sekar Sengkuni karena dia
yakin kalau perempuan itu akan menuntut balas.
Kalaupun sebelumnya Galuh Tantri tak pernah
mengenal Sekar Sengkuni, adalah sebuah kejuju-
ran. Bila dia sekarang mengetahui kalau Sekar
Sengkuni bersama dengan temannya yang ber-
nama Buntet Kalamangsang sedang menuju ke Is-
tana Gerbang Merah, itu artinya dia pernah ber-
jumpa dengan kedua orang itu...."
Setelah terdiam beberapa saat Raja Naga
melontarkan jalan pikirannya yang segera diiya-
kan oleh Galuh Tantri. Gadis itu menceritakan
kalau dia telah bertarung dengan Sekar Sengkuni
dan Buntet Kalamangsang, bahkan secara tak
sengaja membuat Sekar Sengkuni mengetahui
siapa dirinya dari jurus-jurus yang diperguna-
kannya untuk menghadapi Buntet Kalamangsang.
"Aku tak mengerti dengan jalan pikiran
Guru," katanya kemudian sambil memandang
pemuda berkuncir di hadapannya. "Setelah Guru menyelamatkanku dan kembali ke
Istana Gerbang Merah, dia justru menyuruhku untuk meninggal-
kan Istana Gerbang Merah. Seluruh penghuni
yang berlainan tempat pun telah meninggalkan is-
tana atas perintah Guru, termasuk lelaki dari de-sa Karang Permata yang patah
kakinya..."
Boma Paksi menarik napas pendek. Tanpa
sadar ingatannya kembali ke Lembah Naga, di
mana selama dua belas tahun dia digembleng
oleh seorang tokoh sakti berjuluk Dewa Naga,
yang dengan enaknya menyuruhnya meninggal-
kan Lembah Naga setelah dianggap telah mengu-
asai seluruh ilmu yang diberikan Dewa Naga (ba-
ca : "Tapak Dewa Naga").
Tiba-tiba ia mendengus ketika ingat akan
sifat gurunya yang angin-angin. Bahkan selalu
buang angin betulan semau jidat saja, di mana
saja dan di hadapan siapa saja!
Dengusan itu membuat Galuh Tantri men-
gerutkan keningnya.
"Mengapa, Boma" Apakah kau anggap aku
tak pantas untuk menolak perintah Guru itu?"
Raja Naga buru-buru tersenyum.
"Kau pantas melakukannya. Tetapi sebagai
seorang murid yang menjunjung tinggi perintah
gurunya, kau harus mematuhi perintah itu," sa-
hutnya sambil menepiskan sehelai daun kering
yang jatuh di bahu kanannya.
"Aku tak bisa melakukan hal itu sebenar-
nya! Dengan kata lain, aku membiarkan Guru
menghadapi masalahnya seorang diri!"
"Resi Tala Kangkang tentunya telah memi-
kirkan semua ini sebaik-baiknya, Galuh. Gurumu
tak mungkin tidak memikirkan ke depan, memi-
kirkan apa yang akan dialaminya...."
"Aku memahami apa yang kau maksudkan,
Boma. Akan tetapi, tetap saja itu artinya aku
membiarkan Guru menghadapi maut. Dua orang
tokoh sesat tak lama lagi akan muncul di hada-
pan Guru, juga seorang tokoh yang berjuluk De-
mit Serigala. Bisakah kau bayangkan Boma, pera-
saan apa yang bergetar di dadaku membayangkan


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guru harus menghadapi tiga orang sesat itu seka-
ligus?" Boma Paksi tak menjawab. Dimaklumi apa yang dirasakan Galuh Tantri.
Memang sangat sukar menentukan pilihan terbaik di saat seperti ini.
Akan tetapi, biar bagaimanapun juga, mematuhi
perintah seorang Guru adalah sebuah tindakan
bijak, keputusan tepat yang harus diambil.
Galuh Tantri berkata lagi, suaranya agak
tersendat, "Guru mengatakan, mungkin Istana Gerbang Merah akan menjadi
kuburannya. Bo-ma... bayangkan, bayangkan apa yang kurasa-
kan" Aku seolah hanya menikmati apa yang me-
nyenangkan saja, tetapi langsung kabur sipat
kuping bila ada masalah yang tidak menyenang-
kan! Aku tidak menginginkan seperti itu! Aku in-
gin membantu Guru!"
Raja Naga menarik napas pendek. Dipan-
danginya Galuh Tantri yang terdiam dengan na-
pas sedikit memburu. Sedikit banyaknya dibenar-
kan apa yang diinginkan Galuh Tantri. Di pihak
lain, dia juga tidak bisa menyalahkan sikap Resi Tala Kangkang yang tak mau
muridnya menerima
akibat dari masa lalunya.
Pelan-pelan pemuda tampan dari Lembah
Naga ini maju dua tindak. Dipegangnya kedua
bahu si gadis yang berlahan-lahan mengangkat
kepalanya untuk membalas menatapnya.
"Mungkin, apa yang akan kusulkan ini se-
suatu yang lebih baik..." katanya lembut.
"Apa.... Apa yang hendak kau usulkan,
Boma" "
"Kau telah meninggalkan Istana Gerbang
Merah, itu artinya kau tetap mematuhi perintah
gurumu. Dan sekarang, aku yang mengajakmu ke
Istana Gerbang Merah."
Kedua mata Galuh Tantri melebar cerah.
"Maksudmu... ah, ya, ya... dengan begitu,
aku tidak melanggar perintah Guru, karena aku
telah meninggalkan Istana Gerbang Merah sebe-
lumnya. Bukankah begitu maksudmu, Boma?"
"Kau gadis yang cerdik"
"Oh! Terima kasih, Boma! Terima kasih!"
seru Galuh Tantri. Dan karena gembiranya men-
dapatkan cara yang sama sekali tidak melanggar perintah gurunya, si gadis
merangkul pemuda di
hadapannya yang sejenak tergagap tetapi kemu-
dian mendiamkan saja.
Rangkulan itu begitu erat, hingga akhirnya
Raja Naga sedikit terbawa arus masa lalunya.
"Andaikata.. Diah Harum yang saat ini me-
rangkul ku... terasa akan lebih menyenangkan..."
desisnya dalam hati. Diah Harum atau yang ber-
juluk Dewi Bunga Mawar, adalah gadis pertama
yang dicintai Boma Paksi. Sayangnya, gadis itu
akhirnya telah tewas. (Untuk mengetahui siapa
Diah Harum, silakan baca : "Kutukan Manusia Sekarat" dan "Misteri Menara
Berkabut". Dan untuk mengetahui tewasnya Diah Harum, silakan
teman-teman pembaca membaca episode: "Ratu
Tanah Terbuang")
Sementara itu Galuh Tantri tiba-tiba mele-
paskan rangkulannya. Dipandanginya sejenak
pemuda tampan yang sedang tersenyum. Rasa
malu membiasi wajah Galuh Tantri yang seketika
bersemu merah. "Boma...," desisnya menahan malu. "Aku...
aku..." "Bila tak ada yang hendak dibicarakan lagi, kita berangkat sekarang ke
Istana Gerbang Merah..." kata Boma Paksi yang tidak ingin si gadis bertambah malu.
Galuh Tantri buru-buru mengangguk. Di-
biarkan pemuda berompi ungu itu mendahu-
luinya. Sejenak dipandanginya pemuda gagah itu
dari belakang. Biasan malunya tiba-tiba lenyap,
berganti dengan dada yang bergemuruh.
"Ah... mengapa aku melakukan hal itu" "
desisnya. "Apakah karena aku merasa gembira atas usulnya... atau karena..."
Galuh Tantri tak mau meneruskan desi-
sannya. Kejap berikutnya buru-buru dia menyu-
sul pemuda berkuncir kuda itu.
DELAPAN PAGI masih buta, butiran embun masih
menggayut di pepohonan, udara masih sangat
dingin tatkala bentakan membahana itu terden-
gar, "Tala Kangkang! Jangan menjadi tikus busuk yang hanya mendekam di istanamu
yang bagus ini! Keluar kau!!"
Di ruang tengah Istana Gerbang Merah,
kakek berpakaian merah mengangkat kepalanya
sejenak. "Dia telah datang...," desisnya pelan seraya mengusap kumis putihnya.
Di luar seruan yang mengalahkan petir di
siang bolong menggema lagi, "Keluar kau! Atau...
kuhancurkan Istana ini sekarang juga!"
Menyusul bentakan itu terdengar suara le-
tupan keras, Brooollll!! Batu-batu dinding bagian depan Istana
Gerbang Merah berpentalan terhantam dorongan
tangan kanan orang yang berseru.
"Sekar Sengkuni! Gerbang istana ini terbu-
ka! Hanya ada dua arti dari terbukanya gerbang
itu!" Sekar Sengkuni melirik tajam pada keranjang yang berada tak jauh darinya.
"Apa maksudmu"!" bentaknya sengit.
Dari dalam keranjang terdengar dengusan
keras, "Pertama, Resi Tala Kangkang memang
mengetahui kita datang dan membiarkan gerbang
ini terbuka untuk kita masuk! Kedua, dia telah
menyiapkan sebuah jebakan!"
"Aku telah lama mengenal Tala Kangkang!
Dia tak akan mungkin melakukan tindakan pen-
gecut!" "Melarikan diri setelah menyelamatkan muridnya dan lelaki yang patah
kakinya, apakah bu-
kan tindakan pengecut?" maki orang dalam keranjang.
"Buntet Kalamangsang! Kau belum menge-
nai dia!" "Astaga!" keranjang itu bergoyang-goyang sesaat. "Sekar Sengkuni, kau ingin
membunuhnya, atau mengajakku untuk mengenalnya lebih
dekat"!"
Ucapan orang yang tidak diketahui seperti
apa rupanya itu membuat Sekar Sengkuni men-
gertakkan rahangnya.
"Terkutuk!" geramnya seraya melangkah
memasuki pintu gerbang berwarna merah yang
terbuka. Di belakangnya, keranjang itu melom-
pat-lompat mengikutinya.
Berjarak lima belas langkah dari pintu ma-
suk ke dalam istana Gerbang Merah, Sekar Seng-
kuni menghentikan langkahnya bersamaan satu
sosok berpakaian merah muncul dari dalam.
Untuk beberapa saat perempuan setengah
baya berpakaian hijau ini terdiam tak berkedip.
Napasnya memburu. Getaran di dadanya memacu
amarahnya, tetapi juga memacu kerinduan yang
telah lama dipendam.
Resi Tala Kangkang mengembangkan se-
nyum. "Selamat datang di kediamanku ini, Sekar Sengkuni...," sapanya ramah.
Sekar Sengkuni masih terdiam. Seolah
meyakinkan diri kalau lelaki itu memang lelaki
yang pernah dan masih dicintainya.
Justru Buntet Kalamangsang yang menjadi
geram. "Perempuan celaka! Manusia yang telah menyakitimu telah berdiri di
hadapanmu! Mengapa kau bersikap seperti kambing dungu, hah"!"
Bentakan itu menyadarkan Sekar Sengkuni
dari tujuannya semula. Saat itu juga kemarahan-
nya muncul lagi. Kebenciannya menggebu-gebu
kendati dia harus susah payah menindih kerin-
duan yang datang di hatinya.
"Hampir tiga puluh tahun lewat tak jumpa,
ternyata kau masih tetap gagah, Tala Kangkang!"
Sementara dari dalam keranjang terdengar
dengusan, Resi Tala Kangkang tersenyum. Seraya
melangkah dia berkata, "Kau pun tak berbeda jauh dari tiga puluh tahun yang
lalu, Sekar Sengkuni!" Sekar Sengkuni terdiam. Dadanya berdebar. "Gila! Mengapa
aku jadi gagap begini" Ucapannya tadi... ah, dia seperti tetap mengin-
gatku...."
Selagi Sekar Sengkuni membatin begitu,
Buntet Kalamangsang menggeram, "Perempuan
celaka! Mengapa harus membuang waktu lagi" Ki-
ta bunuh manusia satu itu!"
Kembali amarah Sekar Sengkuni beranjak
naik. "Berhenti di sana!" bentaknya. Setelah Resi Tala Kangkang berhenti dia
membentak lagi, "Aku datang untuk mencabut nyawamu, Tala Kangkang!" "Meskipun
aku telah menduga demikian, tetapi aku merasa heran mengapa kau begitu
bernafsu menginginkan nyawaku!"
"Tiga puluh tahun lewat kau telah menya-
kiti hatiku! Dan rasa sakit hatiku itu telah berbuah dendam, baru akan padam
setelah meli- hatmu mampus!"
"Terkutuk!" desis Buntet Kalamangsang.
"Mengapa dia masih banyak bicara" Kalau begi-tu...." Memutus kata batinnya
sendiri dan sebelum Resi Tala Kangkang menjawab, Buntet Kala-
mangsang telah melesat cepat. Gemuruh angin
mendahului lesatan keranjang anyaman kayu la-
pis itu, di belakangnya mengikuti asap hitam
yang pekat. Sekar Sengkuni terkesiap melihat tindakan
yang dilakukan Buntet Kalamangsang. Di sebe-
rang, Resi Tala Kangkang hanya memperhatikan
saja lesatan keranjang yang mengarah pada da-
danya. Di saat lain, dia sudah menghindar dengan
gerakan yang sukar diikuti mata.
Brrooolll!!! Keranjang itu menghantam dinding di
samping kanan pintu utama yang berpentalan ke
dalam. Begitu menghantam dinding, keranjang itu
sudah melesat, memburu ke arah Resi Tala Kang-
kang. Kali ini kakek berpakaian merah tak
menghindar seperti tadi. Kaki kanannya dis-
urutkan ke belakang, lalu dengan tangan ditekuk
disongsongnya keranjang itu.
Plak! Keranjang itu terpental dan membalik lagi.
Di pihak lain Resi Tala Kangkang mundur dua
tindak seraya menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Kejap lain diputar kedua tangannya
di atas kepala lalu dihentakkan.
Blaaamm! Keranjang itu terpental lebih jauh terkena
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di
udara. Terdengar suara membentak keras, me-
nyusul keranjang itu hinggap di atas tanah yang
segera berhamburan.
"Perempuan celaka! Kau ingin melihatku
mampus, hah"!" geramnya sengit.
Seperti disadarkan, Sekar Sengkuni meng-
geram sengit. Dia sudah menggebrak cepat dis-
usul Buntet Kalamangsang.
Resi Tala Kangkang menarik napas pan-
jang. "Rasanya hal ini memang tak bisa dielak-
kan lagi. Aku harus menyelamatkan diri."
Seraya menghindari dua serangan yang da-
tang susul menyusul, Resi tala Kangkang mengi-
baskan tangan kanan kirinya. Dari tangan ka-
nannya mencelat cahaya merah sementara dari
tangan kirinya mencelat cahaya putih.
Dengan ilmu 'Kabut Bayangan Menembus
Gelap' Resi Tala Kangkang berhasil memukul
mundur kedua lawannya. Tetapi di saat lain, Se-
kar Sengkuni sudah melesat disertai teriakan,
"Ilmu 'Kabut Bayangan Menembus Gelap'
hanya akan menjadi sebuah nama belaka!!"
Masih melesat tiba-tiba saja tubuhnya ber-
balik dengan kepala di bawah. Kedua kakinya te-
rentang cepat dan memutar laksana baling-baling
kapal berkecepatan tinggi.
Segera berhamburan gelombang angin
yang perdengarkan suara bergemuruh. Tanah di
sekitar Istana Gerbang Merah berhamburan. Pe-
pohonan yang tumbuh di sana tumbang dan ter-
pental menabrak dinding yang seketika roboh.
Jendela-jendela Istana Gerbang Merah hancur be-
rantakan. Resi Tala Kangkang tercekat begitu melihat
cahaya merah dan putih yang keluar dari tangan
kanan kirinya terhantam dan berbalik menderu
ke arahnya. "Astaga!!" serunya terkejut seraya bergulingan. Blaaam! Blaaammm!
Cahaya merah dan putih itu menabrak
dinding istana hingga jebol dan bergetar. Belum
lagi si kakek berdiri, keranjang diiringi asap hitam sudah melesat ke arahnya.
Resi Tala Kangkang
masih berhasil memukul keranjang itu hingga
terpental, tetapi dia harus cepat menghindari
hamburan angin dahsyat yang keluar dari puta-
ran kaki Sekar Sengkuni seperti kepalanya tak
menyentuh tanah.
"Luar biasa! Rupanya selama bertahun-
tahun ini Sekar Sengkuni telah menciptakan ju-
rus yang luar biasa untuk menandingi ilmu
'Kabut Bayangan Menembus Gelap'," desisnya
dengan napas memburu.
Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh-
nya. Paras si kakek menjadi tegang. Sekar Seng-


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuni yang dilanda kemarahan tinggi terus mence-
car, sementara Buntet Kalamangsang hanya ter-
diam di dalam keranjangnya. Dia muntah darah
akibat dorongan kedua tangan Resi Tala Kang-
kang. Tetapi apa yang dilihatnya kemudian mem-
buatnya geram. Karena Sekar Sengkuni seperti
sengaja menurunkan kecepatan menyerangnya.
Terlihat dari gelombang angin yang tidak sedah-
syat sebelumnya.
"Terkutuk! Rupanya dia memang masih
mencintai Tala Kangkang! Terbukti dia menurun-
kan daya serangannya! Ini tak boleh terjadi! Tak boleh terjadi!!" dengus Buntet
Kalamangsang lalu berseru keras, "Sekar Sengkuni! Bila kau memang berniat untuk
membunuhnya, putuskan segala
apa yang kau rasakan! Hilangkan masa lalumu
kalau kau pernah mencintainya! Dia adalah mu-
suh besarmu yang telah menyakiti hatimu!!"
Sekar Sengkuni yang masih dalam kedu-
dukan kepala di bawah menggeram sengit.
"Keparat! Apa yang telah kulakukan?" desisnya gusar pada dirinya sendiri.
"Manusia celaka itu harus mampus! Harus mampus!!"
"Perempuan bodoh!"' maki Buntet Kala-
mangsang lebih keras. "Tindakanmu itu justru akan mencelakakanmu sendiri!"
"Diaaamm!!" bentak Sekar Sengkuni geram.
Kejap lain serangannya sudah sedahsyat
sebelumnya. Resi Tala Kangkang masih terus ber-
lompatan menghindari serbuan gelombang angin
raksasa yang mengerikan.
Bagian kiri Istana Gerbang Merah sudah
porak poranda. Di bagian tengah terdengar suara
atap ambruk. "Celaka! Aku harus bertahan!" serunya.
Tetapi tiba-tiba... dess!!
Resi Tala Kangkang terpental ke depan
tatkala satu jotosan menghantam punggungnya.
Dia sempoyongan tanpa dapat mengendalikan ke-
seimbangannya. Sekar Sengkuni yang semakin gila dengan
serangannya tiba-tiba saja menghentikan seran-
gannya, sehingga Resi Tala Kangkang urung ter-
kena sambaran gelombang angin memutar yang
keluar dari kedua kakinya. Bersamaan dia tegak
kembali di atas tanah, mulutnya membentak,
"Kakek keparat! Mengapa kau ikut campur urusanku, hah"!"
Berjarak dua puluh langkah dari tempat-
nya, Demit Serigala menyeringai. Dialah yang tadi membokong punggung Resi Tala
Kangkang. "Kekasihku... aku tahu, kau tak akan per-
nah membalas cinta kasihku sebelum Tala Kang-
kang mampus kubunuh...."
"Keparat!" geram Sekar Sengkuni penuh
kebencian. Matanya berapi-api menatap kakek
berpakaian compang-camping warna merah. "Biarpun kau membunuh Tala Kangkang, kau
tetap tak akan pernah mendapatkan cinta kasihku!"
Seringaian di bibir Demit Serigala seketika
lenyap. Matanya berkilat-kilat penuh bahaya.
"Perempuan celaka! Berpuluh tahun aku
berusaha mendapatkan ketulusan cintamu, tetapi
hingga sekarang belum juga kudapatkan! Bahkan
kau berani menghina keputusanku untuk mem-
bunuh Tala Kangkang"
"Bila kau berani melakukannya... kau akan
berhadapan denganku!"
Sebelum Demit Serigala yang tiba-tiba
muncul berseru, dari keranjang terdengar ma-
kian, "Perempuan bodoh! Apa yang dilakukan kakek itu adalah sesuatu yang benar!
Kau bisa mempergunakan tangannya untuk membunuh le-
laki yang kau benci!"
"Aku tak pernah berpikir demikian! Aku
tak pernah berharap kalau dia yang membunuh
Tala Kangkang!" seru Sekar Sengkuni tanpa melihat pada Buntet Kalamangsang.
Sementara itu, Resi Tala Kangkang sedang
berusaha bangkit. Punggungnya terasa nyeri. Tu-
buhnya bergetar karena ngilu.
Demit Serigala berseru jengkel, "Kuda-
patkan atau tidak cintamu, lelaki yang kuanggap
sebagai penghalang itu akan tetap kubunuh!"
Belum habis ucapannya Demit Serigala su-
dah melompat disertai gerengan laksana seekor
serigala murka. Kedua tangannya membuka den-
gan jari jemari melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua tangannya.
Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-
rasnya. Resi Tala Kangkang yang baru saja men-
gembalikan ke seimbangannya, terbanting lagi ka-
rena merasakan satu dorongan tenaga menerpa
dadanya. Belum lagi dia mampu untuk menghin-
dar, segumpal cahaya merah melesat dan tiba-
tiba meletup pecah. Muncratannya meluncur ke
arah Resi Tala Kangkang dengan suara mendeng-
ing-denging. Tetapi sebelum serangan ganas Demit Seri-
gala mengenai sasarannya, tiba-tiba saja gelom-
bang angin berputar berhamburan menghantam
muncratan cahaya merah itu.
Plas! Plas! Plas!!
Muncratan cahaya merah itu berpentalan
ke sana kemari dan menghantam tanah hingga
berlubang mengeluarkan asap.
Seketika bentakan Demit Serigala memba-
hana, "Perempuan celaka! Apa yang kau lakukan, hah"!" Sekar Sengkuni yang tadi
menghalangi serangan Demit Serigala pada Resi Tala Kangkang
menggeram sengit setelah kembali berdiri tegak,
"Jangan campuri urusanku! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kucabut
nyawamu!" "Perempuan setan! Kau benar-benar telah
menghinaku!!"
Sebelum Demit Serigala lancarkan seran-
gannya pada Sekar Sengkuni, keranjang yang tadi
bergerak-gerak melesat dan hinggap di tengah-
tengah antara Demit Serigala dan Sekar Sengku-
ni. "Tahan! Kita sama-sama kawan! Kedatan-
gan kita ke sini dengan tujuan yang sama, sama-
sama ingin mencabut nyawa Tala Kangkang! Hen-
tikan pertikaian ini! Karena kita bukanlah lawan!"
Kendati masih tidak puas dengan apa yang
dilakukan Sekar Sengkuni, Demit Serigala berse-
ru, "Kau dengar ucapan orang dalam keranjang itu! Bila kau tidak puas, setelah
kita bunuh Tala Kangkang, kita bisa teruskan urusan kita sendiri!"
Sekar Sengkuni tak menjawab. Parasnya
diliputi oleh rasa bingungnya sendiri. Di satu pihak, keinginan untuk membunuh
Resi Tala Kangkang begitu mendesak. Tetapi di pihak lain,
begitu melihat lelaki yang sangat dicintainya ini, kelembutannya sebagai seorang
perempuan tiba-tiba muncul.
Buntet Kalamangsang membentak, "Cepat
kau ambil keputusan sebelum akhirnya berubah
menjadi tak karuan!"
Sekar Sengkuni masih tak buka mulut. Di-
perhatikannya bagaimana Tala Kangkang sedang
berusaha berdiri dengan kedua kaki goyah. Dari
mulutnya telah merembas darah segar.
"Perempuan keparat!" maki Demit Serigala.
"Kau mau membalas cintaku atau tidak, aku sudah tidak peduli! Tetapi lelaki itu
harus mampus saat ini juga!"
"Kau harus mengambil keputusan, Sekar
Sengkuni!" seru orang dalam keranjang: "Aku tak mengerti akan sikapmu yang
berubah menjadi
lembek seperti itu! Orang yang hendak kau bu-
nuh sudah tak berdaya, melakukannya pun bu-
kan sebuah kesukaran lagi! Cepat ambil keputu-
san, sebelum aku berubah pikiran untuk berada
sebagai pihak lawan denganmu!!"
Sekar Sengkuni memandangi orang-orang
yang berada di sana bergantian. Sorot matanya
memancarkan dendam dan kelembutan yang ter-
sisa. Gelora dadanya menyesakkan napasnya.
Ditariknya napas pelan-pelan sementara
kedua tangannya mengepal. Di lain kejap, terden-
gar desisannya dingin, "Bunuh lelaki keparat itu!!" Habis ucapannya, Demit
Serigala sudah menerjang dengan jari-jari membuka membentuk
cakar. Seperti serangan yang pertama tadi dila-
kukan, kembali segumpal cahaya merah melesat,
meletup dan bermuncratan ke arah Resi Tala
Kangkang yang hanya bisa memandang dengan
mata tegar! Namun mendadak saja terdengar suara
deheman yang sangat keras, menyusul dua ge-
lombang angin yang disemburati asap merah
menggebah. Menghantam serangan Demit Serigala.
Blaaamm! Blaaammm!!
Bersamaan letupan itu terjadi, satu bayan-
gan putih melesat dari sebelah kiri dan menyam-
bar tubuh Tala Kangkang.
"Woro Lolo!" seru Sekar Sengkuni terkejut begitu mengenali siapa orang yang
menyambar Resi Tala Kangkang.
SEMBILAN BAYANGAN putih yang memang Woro Lolo
memandang dingin pada Sekar Sengkuni. "Kau
tak pernah puas mencelakakan Tala Kangkang,
Sekar Sengkuni!" desisnya sementara Tala Kangkang sendiri terkejut melihat
kehadiran Woro Lo-
lo. "Mayang Kinanti...," desisnya memanggil nama asli Woro Lolo.
Di pihak lain, Demit Serigala menggeram
setinggi langit pada pemuda berompi ungu yang
tadi memutus serangannya.
"Lagi-lagi kau, Pemuda celaka!!" geramnya berang seraya menerjang.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-
ja Naga segera menjejakkan kaki kanannya. Seke-
tika tanah berderak, bergelombang dahsyat ke
arah Demit Serigala.
Sementara itu, Sekar Sengkuni menjadi
bertambah berang melihat kehadiran Woro Lolo.
Dia sama sekali tak menyangka kalau perempuan
itu akan muncul di sini. Kemarahannya kian me-
muncak. Segera diterjangnya Woro Lolo yang se-
gera melompat pula.
Di pihak lain, gadis berpakaian merah mu-
da sudah mendekati Resi Tala Kangkang.
"Guru...."
"Astaga! Kau datang kembali, Galuh...," desis Resi Tala Kangkang.
Galuh Tantri mengangguk. Dia memang
muncul bersama Raja Naga. Dan bersamaan Raja
Naga hendak memutuskan serangan Demit Seri-
gala pada gurunya, satu sosok tubuh berpakaian
putih tiba-tiba pula muncul menyelamatkan gu-
runya. Galuh Tantri sendiri baru sekarang men-
genal perempuan bernama Woro Lolo.
Dan gadis ini terpaksa harus menghindar
dulu dari gurunya, karena keranjang anyaman
kayu lapis sudah menderu. Rupanya Buntet Ka-
lamangsang tak mau membuang kesempatan.
Tetapi dia harus ditahan oleh Galuh Tantri!
Tiga pertarungan yang seketika terjadi itu
membuat tempat itu bertambah porak poranda.
Bagian dalam Istana Gerbang Merah menjadi sa-
saran serangan yang luput dari sasaran.
Resi Tala kangkang yang masih dalam kea-
daan terluka dalam dengan punggung yang san-
gat nyeri, terpaksa beringsut mundur. Hati lelaki ini dipenuhi luka, dipenuhi
kepedihan dalam
mengingat kalau semua yang terjadi sekarang ini
berasal dari dirinya.
Disesalinya mengapa dia harus jatuh cinta
pada Woro Lolo. Disesalinya mengapa dia tidak
mengetahui kalau Sekar Sengkuni mencintainya.
Tetapi begitu didapat jawaban kalau pangkal dari keributan ini berasal dari
Sekar Sengkuni, perasaan Reel Tala Kangkang sedikit tenang kendati
hatinya pedih. Raja Naga mencoba mencecar Demit Seri-
gala yang mengamuk. Dia memang agak kesulitan
untuk menerobos serangan demi serangan dari
Demit Serigala. Bahkan jurus 'Kibasan Naga Men-
gurung Lautan' dan 'Barisan Naga Penghancur
Karang' tak berguna sama sekali. Pemuda bersisik coklat ini mencoba melepaskan
jurus 'Hamparan
Naga Tidur' sebuah jurus yang menyerang secara
tiba-tiba. Tetapi jurus itu pun tak banyak berarti.
Hingga kemudian diputuskan untuk men-
geluarkan ilmu 'Naga Mengamuk'.
Di pihak lain, Woro Lolo tak sanggup
menghadapi gempuran-gempuran Sekar Sengkuni
yang semakin berang. Putaran angin dahsyat
yang berhamburan itu membuatnya tak berani
untuk lebih mendekat.
Sementara itu sesungguhnya Galuh Tantri
bukan hanya mampu mengimbangi Buntet Kala-
mangsang yang telah terluka, bahkan dia dapat
menjatuhkan keranjang itu dengan segera. Tetapi
karena terhantam pusaran angin yang keluar dari
putaran kedua kaki Sekar Sengkuni, gadis berpa-
kaian merah muda itu kini terdesak hebat.
Dadanya terasa nyeri, napasnya sesak. Ali-
ran darahnya bertambah kacau dengan keringat
yang membanjir.


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Naga melihat keadaan yang tak men-
guntungkan itu. Tiba-tiba saja dia merangsek ma-
suk ke dalam pusaran serangan Demit Serigala.
Selagi kakek bongkok berpakaian compang-
camping itu harus menghindar, dia segera mence-
lat ke arah Galuh Tantri.
Tap! Disambarnya Galuh Tantri. Dengan memu-
tar tubuh, tiba-tiba kakinya mencuat, menendang
keranjang yang sedang menderu kencang.
Buk! Keranjang itu terpental.
Raja Naga bertindak lebih cepat. Masih
membopong Galuh Tantri dia memburu keranjang
yang terpental itu. Dengan kekuatan yang terda-
pat pada lengannya yang bersisik, dihantamnya
keranjang itu dua kali.
Jeritan keras terdengar.
Keranjang itu bergulung di atas tanah
dan... plar! Plaarrr!
Anyamannya berpentalan lepas berhambu-
ran ke sana kemari. Sesuatu masih berguling de-
ras. Setelah menabrak dinding istana, barulah sesuatu itu berhenti. Sesuatu yang
ternyata seorang manusia bertubuh ringkih! Tanpa mengenakan
pakaian, berada dalam keadaan polos. Wajah
Buntet Kalamangsang ternyata mengerikan. Di-
penuhi dengan bopeng. Mata kirinya picak. Ram-
butnya hanya sejumput belaka. Tangan kanannya
dipenuhi luka yang memerah. Dan dia tidak me-
miliki kaki! Dan sekarang, manusia aneh berwu-
jud mengerikan itu telah tewas!
Melihat kematian Buntet Kalamangsang
perhatian Sekar Sengkuni menjadi pecah. Diting-
galkannya Woro Lolo yang sebenarnya sudah tak
berdaya. Diserbunya Raja Naga yang segera me-
lempar tubuh Galuh Tantri yang segera ditangkap
oleh Woro Lolo.
Bersamaan Sekar Sengkuni menyerangnya,
Demit Serigala juga melompat disertai gerengan
keras. Menghadapi dua tokoh sesat berilmu ting-
gi, Raja Naga terdesak hebat. Berulang kali wa-
jahnya terterpa putaran gelombang angin yang
keluar dari kedua kaki Sekar Sengkuni.
Perih tak terkira, tetapi masih ditahan se-
kuat tenaga. "Aku tak boleh menyerah!" desisnya men-guatkan hati. "Bila aku menyerah, bukan
hanya nyawaku yang putus, tetapi nyawa Resi Tala
Kangkang, Galuh Tantri, dan Woro Lolo juga akan
meninggalkan jasad!"
Dengan bara tekad yang kuat, Raja Naga
terus bertahan. Dia sengaja agak menjauh dari
yang lainnya agar tidak terkena sasaran seran-
gan. Sementara itu baik Sekar Sengkuni mau-
pun Demit Serigala, sama-sama bertambah buas.
Terutama setelah anak muda itu terkena tendan-
gan Demit Serigala pada perutnya yang mem-
buatnya tersungkur.
Bersamaan dengan itu Demit Serigala me-
lompat dan berbalik. Cakar-cakarnya siap men-
cabik-cabik punggung Raja Naga!
Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan,
sesuatu yang luar biasa terjadi! Karena mendadak
saja sebuah cahaya hijau melesat dari punggung
Raja Naga. Plaasss! Dan menghantam Demit Serigala yang me-
lolong keras, "Aaaakhhhh!!"
Tubuh kakek itu tergulung di atas tanah
Di pihak lain, Sekar Sengkuni yang siap
menyerang dari depan urung melakukan seran-
gannya. Matanya membeliak lebar melihat cahaya
hijau yang kini meliuk-liuk di atas punggung Raja Naga Bukan hanya Sekar
Sengkuni yang terkesiap kaget, yang lainnya pun tersentak, termasuk Demit
Serigala yang telah berhasil berdiri.
"Astaga!" seru Sekar Sengkuni tanpa sadar.
"Cahaya hijau itu... berbentuk seekor naga!!"
* * * Saat ini Raja Naga telah berdiri tegak. Ca-
haya hijau yang berbentuk seekor naga masih
meliuk-liuk di atas punggungnya. Paras pemuda
itu tiba-tiba berwibawa. Sorot matanya bertambah angker, bertambah mengerikan.
Sisik-sisik coklat yang memenuhi kedua lengannya sebatas siku,
semakin nyata. "Aku bukanlah orang yang kejam... silakan
tinggalkan tempat ini bila ingin selamat...," desisnya dingin.
Cahaya hijau yang menjelma menjadi see-
kor naga itu masih meliuk-liuk. Di punggung Raja Naga terdapat sebuah tato
seekor naga berwarna
hijau, tato yang dibawanya sejak dia dilahirkan.
Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ba-
gaimana tato naga hijau itu dapat menjelma men-
jadi seekor naga berbentuk cahaya
Bahkan Dewa Naga, guru Raja Naga pun
tak bisa menjelaskan tentang naga yang keluar
dari tato itu. Sebelum Raja Naga meninggalkan
Lembah Naga, Dewa Naga pernah berpesan agar
pemuda itu memecahkan rahasia tato naga hijau
pada punggungnya (Bila teman-teman pembaca
penasaran ingin mengetahui tentang tato naga di
punggung Boma Paksi, silakan baca episode :
"Tapak Dewa Naga").
Baik Sekar Sengkuni maupun Demit Seri-
gala yang telah berdiri di samping kanannya, tak ada yang buka suara. Mereka
masih memandangi
naga hijau berbentuk cahaya itu.
"Yang kudengar selama ini kalau Raja Naga
memiliki kesaktian tinggi dan memiliki sebuah
benda sakti bernama Gumpalan Daun Lontar. Te-
tapi tak pernah kuduga kalau dia memiliki ilmu
yang aneh itu...," desis Sekar Sengkuni dalam ha-ti.
Demit Serigala berbisik, "Kendati dia telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya...
aku tak akan mundur. Bagaimana dengan kau?"
Sekar Sengkuni melirik.
"Keinginanku untuk membunuh Tala
Kangkang. Dan pemuda itu telah menghalan-
ginya. Kita bunuh dia sama-sama!"
Habis desisannya, kembali Sekar Sengkuni
menerjang dengan kedua kaki berputar di atas.
Disusul oleh Demit Serigala.
Raja Naga menjerengkan sepasang ma-
tanya seraya membatin, "Manusia-manusia ini terlalu keras kepala. Dan
rasanya...."
Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba
saja naga hijau yang masih meliuk-liuk di atas
punggungnya menerjang keras. Sekar Sengkuni
yang masih berputar dengan kedua kaki di atas
itu terpelanting disertai jeritan tertahan. Di pihak lain, Demit Serigala
menjerit keras karena terkena cakaran dari naga hijau itu.
Menyusul gelombang jeritannya memecah
alam. Karena tubuhnya telah berada dalam gigi-
tan naga hijau itu yang menggoyang-goyangkan
kepalanya. Berulang kali terdengar suara berde-
rak keras sebelum kepala naga hijau itu bergerak ke samping kanan.
Tubuh Demit Serigala meluncur deras dan
ambruk di atas tanah menjadi mayat!
Sekar Sengkuni telah bangkit. Tanpa keli-
hatan jeri sama sekali dia menyerang lagi. Kejadian yang dialami oleh Demit
Serigala juga dialaminya. Tubuhnya pun terbanting di atas tanah
tanpa nyawa. Setelah kedua orang itu telah putus nyawa,
tiba-tiba saja naga hijau terbuat dari cahaya itu lenyap begitu saja.
Raja Naga membatin, "Aku belum berhasil
memecahkan rahasia Tato Naga Hijau pada pung-
gungku. Dan aku sama sekali tak menggerakkan
naga hijau ini untuk menyerang. Ah, terlalu men-
gerikan akibatnya, karena naga hijau ini seperti
memiliki mata dan kemampuan yang sangat luar
biasa...."
Lalu ditarik napasnya pelan-pelan. Setelah
tenaganya pulih didekatinya orang-orang yang
masih terluka di sana. Diperiksanya tubuh mere-
ka satu persatu. Dengan air yang diambil di su-
mur belakang dan direndam Gumpalan Daun
Lontar yang dikeluarkan dari balik rompinya, Ra-
ja Naga mengobati ketiga orang yang terluka itu.
Lalu dimasukkannya kembali Gumpalan
Daun Lontar sebesar dua kepalannya ke balik
rompinya yang seketika seperti bersatu dengan
perutnya. Resi Tala Kangkang berkata, "Aku sempat
bertanya tadi pada muridku tentang siapakah
kau, Anak Muda. Tak tahunya... kaulah pemuda
yang julukannya akhir-akhir ini begitu santer...."
Raja Naga tersenyum. Sorot matanya tetap
angker. "Aku tak ubahnya seperti orang kebanya-
kan, Orang Tua...."
"Pemuda seperti kaulah yang dibutuhkan
oleh rimba persilatan...."
"Banyak pemuda yang melakukan tindakan
seperti yang kulakukan...," kata murid Dewa Naga sambil tersenyum.
"Kau betul... tetapi jarang yang mau mem-
pergunakan ilmunya untuk membela orang lain.
Di samping juga, jarang yang mempunyai kesem-
patan seperti apa yang kau raih...."
Raja Naga tersenyum.
"Orang tua... terlalu lama kau didera oleh
bayangan kerinduanmu sendiri terhadap Woro
Lolo. Demikian pula dengannya. Dan sekarang
tak ada alasan lagi yang bisa membuat kalian
memutuskan untuk berpisah...."
Resi Tala Kangkang melirik Woro Lolo yang
menunduk dengan wajah bersemu merah.
"Seperti gadis belasan tahun," kata Raja Naga dalam hati. "Tapi... itulah
cinta...."
Kemudian dia berkata, "Perjalananku ma-
sih panjang. Sebaiknya aku berangkat seka-
rang...." Tanpa menunggu jawaban dari ketiga
orang itu, pemuda berompi ungu ini sudah me-
langkah. "Boma...," panggilan itu menghentikan
langkahnya. Galuh Tantri mendekat. Menatap dalam-
dalam wajah tampan di hadapannya. Terlihat ga-
dis itu seperti didera perasaan tak menentu di hatinya. Boma Paksi bertanya
lembut, "Ada apa, Galuh?" Gadis itu malah tertunduk. Rona merah mewarnai kedua
belah pipinya. "Aku... aku... ah... apakah kita akan ber-
jumpa lagi, Boma?"
Boma Paksi memegang dagu si gadis dan
mengangkatnya perlahan-lahan.
"Bila Gusti Allah mengizinkan, kita pasti
bertemu lagi...." katanya, lalu... cup!
Dikecupnya pipi kanan Galuh Tantri yang
tercekat. Mulutnya urung berucap, karena pemu-
da itu sudah lenyap di hadapannya.
"Boma...," desisnya pada angin.
Resi Tala Kangkang memanggil, "Galuh...
aku tahu apa yang kau rasakan...."
Gadis itu tetap terpaku di tempatnya.
Dibantu Woro Lolo, Resi Tala Kangkang
mendekati Galuh Tantri.
"Lupakan pemuda itu untuk sementara.
Seperti yang dikatakannya tadi, bila Yang Maha
Kuasa mengizinkan, pasti kalian akan bertemu
lagi...." Galuh Tantri mendesah pendek.
"Guru benar...."
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Istana
Gerbang Merah kini hanya tinggal kenangan...."
Perlahan-lahan seiring hari yang beranjak
siang, ketiganya melangkah meninggalkan Istana
Gerbang Merah. Baru tiga langkah berada di luar
pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara membe-
dah alam, "Untuk saat ini aku gagal membunuhmu,
Tala Kangkang! Tetapi kelak, aku akan mene-
ruskan niatku ini!"
Ketiganya terkejut. Galuh Tantri dan Woro
Lolo bersiap karena mengenali suara yang telah
lenyap itu. Resi Tala Kangkang mendesis pelan, "Ter-
nyata dia belum mati...."
"Guru! Mayatnya masih berada di sana!"
seru Galuh Tantri.
"Tidak! Kita tidak akan menemukannya la-
gi. Rupanya Sekar Sengkuni telah mengeluarkan
ilmu 'Muslihat Mata Bayangan' untuk mengelabui
Raja Naga. Dan... aku sangat mempercayai uca-
pannya kalau dia akan datang lagi...."
Resi Tala Kangkang melangkah ditemani
Woro Lolo. Galuh Tantri masih penasaran akan
kata-kata gurunya. Dia berbalik ke halaman Ista-
na Gerbang Merah.
Dan tak menemukan mayat Sekar Sengku-
ni di sana.... SELESAI Segera menyusul!!


Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TERJEBAK DI GELOMBANG MAUT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kelana Buana 9 Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat Dewi Ular 4
^