Pencarian

Terjebak Di Gelombang Maut 2

Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Bagian 2


nya yang terasa nyeri saat dilakukan.
Tenaga dalamnya masih dikerahkan untuk
menghindari terobosan isakan berdenging-
denging yang dahsyat itu.
"Aku harus mencoba lagi...," desisnya dalam hati. Masih sedikit sempoyongan,
anak muda bersisik coklat ini memasukkan tangannya ke ba-
lik rompi yang dikenakannya. Tersentuh olehnya
sebuah benda yang seperti menempel pada kulit
perutnya tetapi tidak menimbulkan tonjolan. Se-
gera diambil keluar benda yang memancarkan si-
nar hijau. Anehnya, benda yang tadi seperti lem-
pengan, begitu dipegangnya berubah bentuk.
Menjadi sebuah gumpalan berwarna hijau!
Itulah benda sakti warisan dari mendiang
ayahnya, Gumpalan Daun Lontar.
Di seberang Dewi Lembah Air Mata sempat
melihat benda di tangan Raja Naga.
"Kabar telah sampai di telingaku, kalau
mendiang Pendekar Lontar memiliki sebuah ben-
da berwujud gumpalan daun lontar. Rupanya
benda itu diwarisi oleh Raja Naga. Huh! Ingin ku-
lihat kebenaran cerita... apakah memang benda
itu sesuatu yang pantas diperebutkan!"
Memutuskan demikian, Dewi Lembah Air
Mata bertambah terisak. Ilmu anehnya ini me-
mang sukar dibendung. Isakan yang pelan itu te-
tapi akan melesat tajam mendenging-denging
dahsyat pada telinga orang-orang yang ditujunya.
Raja Naga sendiri terbanting lagi. Gumpa-
lan Daun Lontar itu masih erat dipegangnya. Lalu
tiba-tiba saja Gumpalan Daun Lontar itu dipecah
menjadi dua dengan gerakan yang sangat ringan.
Di kejap lain, kedua telinganya sudah ditutupi
Gumpalan Daun Lontar yang terbagi dua.
Begitu Gumpalan Daun Lontar yang terbagi
dua menutupi kedua telinganya, Raja Naga tak
lagi mendengar suara dahsyat berdenging-denging
yang hampir memutus nyawanya. Dan anak mu-
da ini melakukan satu siasat yang baik. Kendati
tak lagi dirasakan kedahsyatan suara yang mene-
robos telinganya, tetapi dia sengaja membuat tu-
buhnya terbanting dan terhuyung. Hal ini dilaku-
kan untuk mengelabui Dewi Lembah Air Mata.
Karena Raja Naga berpikir tak akan mung-
kin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pa-
da Dewi Lembah Air Mata. Bila dihadapinya si
nenek, itu artinya semakin menambah keyakinan
si nenek kalau dia memang bersalah.
Di seberang Dewi Lembah Air Mata men-
dengus penuh kebencian.
"Gumpalan Daun Lontar bukan sesuatu
yang hebat!" dengusnya. "Terbukti ilmu 'Air Mata Purnama' ini tetap membuatnya
seperti orang bodoh! Akan kusiksa dia lebih dulu sampai aku
puas, sebelum kuserahkan pada Dewa Segala
Dewa!" Dewi Lembah Air Mata semakin kuat mengerahkan ilmu anehnya itu. Berkali-
kali dia men- dengus puas melihat pemuda berompi ungu yang
kedua telinganya tertutup Gumpalan Daun Lontar
terhuyung, terbanting dan muntah darah.
Yang tak disadarinya, kalau jarak dirinya
dengan anak muda itu semakin lama cukup jauh.
Kalau sebelumnya Raja Naga hanya terbanting
sekitar jarak delapan langkah, sekarang anak
muda itu makin terhuyung dan menjauh.
Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata tersentak
seraya berseru, "Kurang ajar! Kau...."
Seruannya itu terputus karena Raja Naga
sudah melompat ke balik ranggasan semak dan
berlari. Dia berseru keras, "Dewi Lembah Air Ma-ta! Kelak kau akan tahu
kebenaran dari apa yang
terjadi!" Dewi Lembah Air Mata menggeram sengit
seraya menghentikan ilmu 'Air Mata Purnama'.
Parasnya mengeras dengan rahang berkali-kali
dikertakkan. "Terkutuk! Terkutuk! Mengapa aku baru
menyadari itu?" geramnya sengit. "Ilmu 'Air Mata Purnama' menyerang telinga dan
jantung. Kedua indera itu bila terendam hebat, maka akan men-
gakibatkan pendarahan. Dan tadi... terkutuk! Se-
jak dia menutup kedua telinganya dengan Gum-
palan Daun Lontar itu, tak lagi kulihat kalau dia muntah darah atau mengeluarkan
darah dari se-la-sela mulutnya..."
Kemarahan Dewi Lembah Air Mata sema-
kin tinggi mengingat kalau dia berhasil dimusliha-ti oleh pemuda dari Lembah
Naga itu. Di lain saat terdengar geramannya setinggi langit. Disusul sosoknya
melesat ke arah perginya Raja Naga.
"Tak akan pernah kulepaskan kau, Pemuda
celaka!!" *** Menjelang pagi, Raja Naga menghentikan
langkahnya di jalan setapak. Diperhatikannya se-
keliling tempat itu, barangkali saja perempuan
tua berkonde warna hijau itu menyusulnya. Sete-
lah ditunggu beberapa saat tak juga ada tanda-
tanda kemunculannya, Raja Naga menarik napas
pendek. Gumpalan Daun Lontar yang tadi dibagi
dua sudah disatukan kembali ketika berlari tadi.
Dia baru saja merendam Gumpalan Daun Lontar
itu di dalam air yang kemudian air itu diminum-
nya. Luka dalam yang dideritanya akibat hanta-
man ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata berangsur-
angsur lenyap hingga kini Raja Naga merasa telah
pulih kembali. Gumpalan Daun Lontar itu sendiri
telah dimasukkan ke balik rompinya yang seketi-
ka menyatu kembali dengan kulit perutnya.
"Urusan ini semakin melebar sementara
aku semakin kehilangan jejak Puspa Dewi. Huh!
Dasar aku yang lalai! Tak seharusnya aku menu-
ruti keinginannya untuk beristirahat!" geramnya sengit. "Tak ada sama sekali
jejak yang berarti, yang dapat membawaku kepadanya!"
Raja Naga terus berpikir keras. Kehadiran
Dewi Lembah Air Mata sesungguhnya memang ti-
dak disengaja. Dan itu terjadi karena permintaan
Puspa Dewi yang beristirahat di sana. Bila saja
tak dipenuhinya permintaan itu, mungkin saat ini
Puspa Dewi tak akan terlepas dari perhatiannya,
juga tak perlu melibat urusan dengan Dewi Lem-
bah Air Mata. "Tak ada yang perlu disesali," desahnya kemudian seraya menghela napas pendek.
Mata angkernya memandang ke depan. "Yang perlu ku-atasi saat ini, secepatnya
meluruskan tuduhan
yang kualami. Juga menemukan Puspa Dewi...."
Memutuskan demikian, pemuda yang len-
gan kanan kirinya sebatas siku bersisik coklat ini kembali meneruskan
langkahnya. Sambil melangkah setengah berlari, mata angkernya me-
mandang ke sana-kemari penuh perhatian.
Perasaannya masih dibuncah kejengkelan
yang terus ditindihnya sampai dia tak lagi mera-
sakan kejengkelan itu, kecuali bertekad untuk
menemukan Puspa Dewi yang dipikirnya pelaku
dari semua pencurian bunga-bunga keramat. Ka-
lau dia sudah berhasil menangkap si pencuri
yang sesungguhnya, maka dengan mudah dapat
dibersihkan namanya dari segala tuduhan yang
menyerang. Setelah melewati sebuah hutan dan tiba
pada jalan berdebu, Raja Naga terpaksa menyem-
bunyikan diri, ketika melihat sejumlah orang yang melangkah gagah. Empat orang
lainnya sedang menggotong sebuah tandu bagus.
Rombongan itu lewat di hadapannya tanpa
ada yang keluarkan kata-kata. Hanya derap lang-
kah mereka saja yang terdengar teratur. Raja Na-
ga tak sempat melihat apa atau siapa yang berada
di dalam tandu indah berwarna biru yang dipe-
nuhi untaian benang dan bunga keemasan, kare-
na tandu itu rapat dan tak tembus pandang.
Setelah rombongan itu berlalu, barulah Ra-
ja Naga keluar dari persembunyiannya. Dipan-
danginya orang-orang itu yang semakin menjauh.
"Siapa lagi mereka?" desisnya sambil memperhatikan sekelilingnya sejenak. "Baru
kali ini aku berjumpa dengan rombongan itu.... Ah, aku
menangkap sesuatu yang tidak enak dari kehadi-
ran orang-orang yang membopong tandu itu. Sia-
pa pula orang yang berada di dalam tandu itu"
Ah, apakah memang orang atau sesuatu yang be-
rada di sana?"
Raja Naga tak mau meneruskan lagi jalan
pikirannya, karena dia harus menemukan Puspa
Dewi. Anak muda ini tetap berkeyakinan kalau
Puspa Dewi adalah orang yang bertanggung jawab
atas urusan ini.
Dan tanpa sepengetahuannya, orang yang
berada di dalam tandu yang kini melewati hutan
yang tadi dilewati Raja Naga, membatin, "Kulihat ada tarikan dan helaan napas
ketika kulewati jalan berdebu tadi. Jelas kalau ada seseorang yang
mengintai. Kalau memang dia orang yang kucari,
tak mungkin dia bersembunyi atau menghindar.
Karena orang itu juga sedang mencariku. Berarti
bukan dia...."
Orang di dalam tandu ini ternyata seorang
perempuan berpakaian biru keemasan dengan
perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan
tangannya. Anting-anting indah menghiasi kedua
daun telinganya, bertakhta mutu manikam. Ram-
butnya hitam berkilat, disanggul ke atas dengan
diberi sebuah jepitan terbuat dari emas. Parasnya hanya samar-samar terlihat,
karena cadar dari
sutera warna keemasan itu menghalangi di depan
wajahnya. Walaupun demikian, parasnya telah
memperlihatkan kejelitaannya. Hidungnya man-
cung dengan bibir memerah ranum menggiurkan.
Sepasang matanya indah, berkilat-kilat menan-
dakan kalau dia seorang perempuan yang cerdik.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu tiba-tiba berseru di pertengahan hutan
yang sedang mereka lewati, "Berhentiiii!!!"
Orang-orang berpakaian putih yang mem-
bopong tandu maupun yang mengiringi, seketika
berhenti. Empat orang yang membopong tandu
tak perlu menurunkan tandu itu di atas tanah,
karena.... Wuuuttt!! Tandu itu tiba-tiba saja melesat dengan
ringan. Menabrak beberapa ranting pohon sebe-
lum kemudian bertengger di antara cabang se-
buah pohon. Sentakan tandu itu sama sekali tak meng-
goyahkan keseimbangan pada penggotongnya. Ka-
laupun kemudian mereka duduk berlutut, karena
memang itulah kebiasaan yang mereka lakukan
bila orang dalam tandu memerintahkan berhenti
dan telah mencari sebuah tempat.
Suara merdu terdengar dari balik tandu
berwarna biru keemasan itu, "Hampir sebulan
lamanya kita meninggalkan Tanah Kayangan, te-
tapi hingga saat ini belum menemukan orang
yang kucari! Dan mulai hari ini... aku membe-
baskan kalian untuk pergi!!"
Salah seorang berkata sambil merang-
kapkan kedua tangannya, "Ketua! Sudah lima tahun kami mengabdi, dan rasanya tak
mungkin kami akan meninggalkan Ketua!"
"Urusan yang kuhadapi ini bukan urusan
ringan! Kalaupun aku mengajak kalian dalam
bentuk rombongan, karena aku tak mau mening-
galkan kalian di Tanah Kayangan! Karena tak
mustahil perempuan itu akan muncul dan meng-
hancurkan kalian selagi aku mencarinya!"
"Ketua... kami tak peduli dengan apa yang
akan terjadi pada kami! Tetapi...."
"Tahan ucapanmu, Menggala!" seruan pe-
rempuan dalam tandu yang tetap bernada merdu
itu terdengar lagi. "Dengarkan ucapanku sekarang... aku sama sekali tak
menyangsikan kese-
tiaan kalian kepadaku! Sejak lima tahun lalu ka-
lian mengabdi setulus hati padaku, hingga ra-
sanya aku tak pernah menganggap kalian sebagai
abdi-abdiku! Karena selama ini aku telah men-
ganggap kalian sebagai teman-temanku dan ku-
harap kalian juga menganggapku seperti itu, bu-
kan sebagai seorang Ketua yang harus kalian
hormati!" Si perempuan menghentikan ucapannya.
Lalu melanjutkan, "Dan pada malam purnama
bulan lalu, perempuan berjuluk Ratu Dinding
Kematian telah datang dengan membawa suasana
tak mengenakkan. Untung saat itu aku berada di
tempat hingga kehadirannya tak banyak menelan
korban!" "Dan seperti yang kalian ketahui" si perempuan melanjutkan, "Ratu Dinding
Kematian adalah kakak seperguruanku yang telah lama mem-
benciku! Aku sendiri tak pernah mengerti menga-
pa dia membenciku kecuali, kalau dia sebenarnya
juga menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma
yang diberikan guruku padaku. Padahal, dia telah


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Jiwa yang juga
tak kalah dahsyatnya. Kitab Ajian Selaksa Sukma
telah kusembunyikan di satu tempat setelah ku-
pelajari isinya. Rupanya, Ratu Dinding Kematian
tak pernah membiarkan keinginannya itu tertu-
tup hingga dia terus menerus berusaha untuk
mendapatkannya kembali. Dan pada purnama la-
lu, dia datang kembali, tetapi berhasil kugagal-
kan. Namun aku masih ingat apa yang dikata-
kannya kemudian...."
"Kami pun ingat, Ketua... karena kami
memang berada di sana...," sahut Menggala.
"Ya! Ratu Dinding Kematian mengatakan,
kalau dia akan mencariku dan menjumpaiku lagi
dua bulan mendatang dari kedatangannya waktu
itu! Dikatakannya juga, kalau dia telah menemu-
kan jejak bunga-bunga keramat milik Tiga Pengu-
asa Bumi yang akan dicabut dan dimilikinya!
Dengan kesaktian yang akan didapatkan itulah
dia akan membunuhku!"
"Ketua! Kami tak akan membiarkan hal itu
terjadi!" seru Menggala yang disahuti oleh yang lainnya.
Perempuan dalam tandu itu tersenyum.
"Ya... aku dapat mengerti semua itu karena
kalian memang orang-orang yang penuh bakti.
Tetapi, aku juga telah membayangkan kesaktian
macam apa yang akan didapatkan oleh Ratu
Dinding Kematian bila dia telah menyatukan
bunga-bunga keramat itu. Mungkin, aku sendiri
tak akan dapat mengalahkannya. Jadi kuminta
kalian dapat memaklumi keadaan ini, hingga ber-
sedia meninggalkanku sekarang juga...."
Kesepuluh lelaki berpakaian putih itu tak
ada yang menyahut. Bahkan mengangkat kepala
saja tidak. Di dalam tandu si perempuan menarik na-
pas masygul. Dia berkata sendiri, "Dengan 'Ajian Selaksa Jiwa', tak mustahil
Ratna Wangi atau
yang berjuluk Ratu Dinding Kematian dapat men-
gambil dengan mudah bunga-bunga keramat itu.
Tentunya dia telah mengetahui mantra yang dila-
kukan oleh Dewa Segala Dewa. Tetapi, semua
mantra apa pun akan punah oleh 'Ajian Selaksa
Jiwa' maupun 'Ajian Selaksa Sukma'. Karena pa-
da dasarnya, Dewa Segala Dewa adalah paman
guruku dan paman guru Ratna Wangi. Ah, apa-
kah Ratna Wangi memang sudah mendapatkan
bunga-bunga keramat itu" Aku jadi ingat pada
Puspa Dewi, gadis yang kudidik menjadi muridku
dan sekarang kuperintahkan untuk menjumpai
Dewa Segala Dewa di Daerah Tak Bertuan. Mu-
dah-mudahan Puspa Dewi membawa berita yang
cukup menggembirakan kalau sesungguhnya
bunga-bunga keramat itu masih berada di bawah
pengawasan Tiga Penguasa Bumi."
Setelah hening beberapa saat, si perem-
puan berkata, "Aku tak ingin mengorbankan kalian! Jadi lebih baik kita berpisah
untuk sementa-ra waktu! Bila aku masih memiliki umur panjang,
kita dapat bertemu lagi di Tanah Kayangan!"
Habis seruan itu terdengar, tiba-tiba saja
tandu yang berada di atas pohon itu meledak ke-
ras dan berhamburan segala yang telah beranta-
kan. Orang-orang di bawah segera berdiri den-
gan mata membuka lebar. Mereka hanya sempat
melihat, bayangan biru keemasan melesat dari sa-
tu pohon ke pohon lain dan kemudian lenyap dari
pandangan. Tak ada yang buka suara. Masing-masing
orang dilanda kebingungan dan tanggung jawab.
Lalu Menggala memutuskan untuk segera me-
ninggalkan tempat itu. Tidak menuju ke Tanah
Kayangan. ENAM MENUNGGU semalaman hingga matahari
sudah melewati batas kepala, sungguh suatu pe-
kerjaan yang tidak menyenangkan. Terutama ka-
rena orang yang diharapkan datang tak kunjung
tiba. Perasaan itu melanda Purwa dan Sibarani
yang terus menerus duduk di atas batu besar.
Di pihak lain, si Bayangan Kuning hanya
terdiam kendati otaknya terus merencanakan saat
yang tepat. Tak lama lagi senja akan datang. Se-
malam diputuskan untuk mendapatkan Bunga
Matahari Jingga paling lambat pada senja hari ini.
Diliriknya Purwa yang sedang menggeram.
Dilihatnya Sibarani yang kendati parasnya mem-
biaskan kebosanan tetapi sangat dipaksakan. Si
Bayangan Kuning sendiri tak memungkiri kalau
perutnya sudah berteriak-teriak minta diisi. Dia
juga merasa pasti kalau Purwa dan Sibarani juga
sudah kelaparan. Karena sejak semalam, tak seo-
rang pun yang turun dari batu yang masing-
masing duduki. Tak terkecuali untuk buang air.
Si Bayangan Kuning berkata, "Mengapa Ra-
ja Naga belum muncul juga?"
Purwa melirik. Lelaki bercambang tebal itu
tak menjawab. Kembali menatap ke depan. Ken-
dati bersikap acuh, Sibarani melihat ada sedikit
cahaya di mata Purwa.
Dia berkata, "Kami juga sedang menunggu
kedatangannya, jadi tak bisa menjawab perta-
nyaanmu." Si Bayangan Kuning tersenyum. Di saat
matahari menyalang garang ini, terlihat jelas so-
soknya. Dia seorang perempuan jelita berusia se-
kitar tiga puluh tujuh tahun. Hidungnya bangir
dengan bibir menawan. Tepat pada bagian tengah
keningnya, nampak sebuah tahi lalat. Rambutnya
digelung ke atas dan diberi pita warna kuning.
Pakaian kuning yang dikenakannya ternyata di-
penuhi dengan sulaman benang keemasan.
"Menunggu adalah pekerjaan yang membo-
sankan," kata si Bayangan Kuning mencoba mencari kesempatan. "Tetapi biar
bagaimanapun juga, aku tak akan mundur sebelum membunuh pemuda yang telah
mempermalukan dan membu-
nuh adik seperguruanku."
"Nimas Herning... mengapa kau jadi begitu
banyak omong?" tanya Sibarani dengan mata me-nyelidik. Lalu menyambung dalam
hati. "Ku-
sayangkan kalau Kakang Purwa mengatakan apa
yang sedang kami lakukan. Ah, rasanya ada se-
suatu yang disembunyikan oleh Nimas Herning.
Tetapi aku tidak tahu apa yang disembunyikan-
nya....!" Si Bayangan Kuning yang mengaku ber-
nama Nimas Herning tersenyum.
"Apakah kau memungkiri kalau kau juga
sudah jadi tidak sabaran, Sibarani?"
Dibalik ucap seperti itu membuat Sibarani
mendengus. Tetapi dibenarkan juga apa yang di-
katakan Nimas Herning.
Purwa buka suara seraya melompat turun.
"Aku akan mencari makanan!"
Itulah yang ditunggu oleh si Bayangan
Kuning. Dia berharap salah seorang dari kedua-
nya memutuskan untuk mencari makanan. Den-
gan cara seperti itu dapat dijalankan rencananya
dengan segera. Karena dia yakin, untuk menca-
but Bunga Matahari Jingga adalah sebuah peker-
jaan yang mempertaruhkan nyawa. Bila sekarang
dia hanya menghadapi salah seorang dari kedua-
nya, tentunya tak akan banyak membuang tena-
ga. Buru-buru dia berkata, "Aku menyukai ke-
linci panggang...."
Purwa tersenyum.
"Aku juga menyukai kelinci panggang."
Nimas Herning tertawa, sementara Sibarani
diam-diam mendengus. Entah mengapa dia men-
jadi gusar mendengar tawa dan sikap mesra Ni-
mas Herning. Terutama melihat Purwa terse-
nyum. Sungguh, sekali pun Sibarani belum per-
nah mendapatkan senyuman seperti itu.
Purwa sendiri sudah melesat meninggalkan
tempat itu. Sepeninggalnya, Sibarani berkata din-
gin, "Nimas Herning... siapa kau sebenarnya?"
Si Bayangan Kuning mengalihkan pandan-
gannya pada Sibarani. Bibirnya tersenyum.
"Astaga! Sungguh aneh pertanyaanmu, Si-
barani...."
"Setiap pertanyaan yang kulontarkan, tak
ada yang aneh!" sahut Sibarani dingin. Perasaan tak sukanya pada Nimas Herning
semakin menjadi-jadi. "Kau tahu aku dan Kakang Purwa sedang menjalankan tugas
yang tak bisa dipandang en-teng. Lebih baik kau menyingkir dari sini...."
"Sibarani, Sibarani... mengapa kau berkata
begitu" Semalam kau tak banyak ucap tatkala
kuputuskan untuk bergabung dengan kalian, Te-
tapi sekarang... ah" Nimas Herning tersenyum yang membuat Sibarani bertambah
jengkel. "Aku tahu apa yang menyebabkanmu bersikap demikian...."
"Kau tahu atau tidak, aku tidak peduli!"
"Sibarani... kalaupun Purwa tiba-tiba me-
nyukaiku, bukankah itu haknya?" kata Nimas
Herning sambil tersenyum.
Wajah Sibarani kontan memerah. Perem-
puan berpakaian dalam warna hijau itu menga-
lihkan perhatiannya ke tempat lain.
"Brengsek! Dia dapat menebak perasaan-
ku!" geramnya dalam hati. "Tetapi... ah, mengapa perasaanku jadi begin!?"
Si Bayangan Kuning sendiri tak mau pedu-
li. Dia memang sengaja menyakiti hati Sibarani
setelah mengetahui perasaan perempuan itu pada
Purwa. "Dan rasanya aku juga tak bersalah bila aku menyukai Purwa, bukan?"
"Tutup mulutmu itu!"
"Astaga! Mengapa kau menjadi gusar" Apa
yang kukatakan ini memang sebuah kenyataan!
Semalam aku belum melihat wajah kalian dengan
jelas! Dan begitu melihat wajah Purwa yang tam-
pan rasanya aku jatuh cinta padanya...."
Ingin Sibarani membungkam mulut usil
perempuan berpakaian kuning itu. Disesalinya
mengapa semalam dibiarkan saja Nimas Herning
bergabung. Perempuan berpakaian kuning keemasan
itu tersenyum dalam hati. "Ini kesempatan yang tak boleh ku sia-siakan! Akan
kucecar hatinya
hingga dia menjadi marah. Dan rasanya dia tak
punya alasan untuk menyerangku. Berarti... ya,
aku harus menyingkirkannya dari sini. Bila dalam
dua puluh kejapan mata dia tak menyingkir, be-
rarti dia harus kubunuh dan Bunga Matahari
Jingga harus kudapatkan sebelum Purwa kemba-
li." Kemudian dicecarnya Sibarani dengan
ucapan demi ucapan yang membuat telinga pe-
rempuan itu memerah. Tangan kanan kiri Siba-
rani sudah mengepal kuat. Ditahan amarahnya
yang sudah mendidih.
"Ya... kupikir memang tak ada salahnya bi-
la aku mencintai Purwa dan Purwa mencintaiku.
Sibarani... apakah kau merestui percintaan ka-
mi?" Sibarani tak menjawab. Melirik pun tidak.
Dikuatkan perasaannya agar tidak meledak ama-
rah. Dia memang tak punya alasan untuk mem-
bungkam mulut perempuan itu. Apa yang dikata-
kannya memang benar. Sungguh tak ada sesuatu
yang salah bila ternyata Purwa dan Nimas Hern-
ing akhirnya saling mencinta. Tetapi cara bicara
perempuan itulah yang membuat Sibarani ham-
pir-hampir tak mampu untuk menahan diri.
"Nimas Herning...," desisnya dengan tatapan tajam. "Sebaiknya kau membuat api
untuk memanggang daging kelinci...."
"Kupikir juga begitu. Seorang lelaki ten-
tunya akan semakin menyayangi seorang perem-
puan bila perempuan itu dapat bersikap lembut,
anggun, dan penuh perhatian...."
"Bagus! Buatlah api itu!"
Nimas Herning menyeringai.
Sibarani mengangguk-angguk dalam hati,
"Bagus! Aku tak punya alasan untuk membung-
kam mulut keparatnya. Tetapi aku bisa mem-
buatnya menjadi budakku! Menyuruhnya mem-
buat api termasuk pekerjaan pertama untuknya!"
Namun yang diduga Sibarani jauh dari ke-
nyataan. Karena tiba-tiba saja Nimas Herning
berkata, "Sibarani... bukanlah lebih baik bila yang membuat api adalah Purwa"
Membuat api adalah
tugas seorang laki-laki. Menguliti kelinci atau
ayam hutan juga tugas laki-laki. Tugas kita seba-
gai seorang perempuan... hanya memanggang lalu
memakannya...."
Mendidih darah Sibarani sekarang. Perem-
puan berpakaian merah itu tak bisa lagi menahan
diri. Kontan dia berdiri dengan tangan menuding.
"Siapa kau sebenarnya, Nimas Herning"!"
serunya berapi-api. Perubahan yang terjadi pada
Nimas Herning membuatnya bertambah heran.
Semalam perempuan itu bersikap begitu sopan
dan sekarang begitu pandai menyakiti hatinya.
Nimas Herning juga berdiri. Dipandanginya
Sibarani sambil berkata dalam hati, "Senja telah datang. Saat ini juga aku harus


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan Bunga Matahari Jingga."
Sambil menyeringai dia berkata, "Aku ada-
lah... perempuan jelita yang mencintai dan dicin-
tai Purwa. Sungguh menyedihkan memang, bila
kita mencintai orang lain tetapi tak mendapatkan
balasan darinya...!"
"Tutup mulutmu!!"
Wuuuduuttt!! Gelombang angin menggebrak ke arah pe-
rempuan berpakaian kuning itu yang masih ter-
tawa hanya mengibaskan tangan kanannya di
atas. Blaaarrr!!
Serangan itu putus di tengah jalan. Siba-
rani memicingkan matanya.
"Ah, mengapa aku jadi tak bisa menahan
diri" Tidak, tidak! Aku akan makin bikin kesala-
han bila kuserang dia! Yang dikatakannya itu
memang benar! Kalau Kang Purwa mencintainya,
aku memang tak bisa..."
"Mengapa kau hentikan seranganmu, Siba-
rani?" seruan Nimas Herning memutus kata batin Sibarani. "Ayo, tak usah
tanggung-tanggung! Tun-jukkan kemampuanmu untuk menghadapiku! Ini
sungguh kebetulan! Selagi Purwa tak ada di sini,
kita bisa mengadu kepandaian! Karena, yang
pandailah yang akan dipilih oleh Purwa!!"
Sibarani yang sudah memutuskan untuk
menahan sabar hanya menggeram.
"Tak perlu diperpanjang urusan!"
"Mendadak saja kau jadi penakut, hah"!"
ejek si Bayangan Kuning sambil tertawa keras.
Dia sengaja memancing amarah Sibarani "Atau
kau kini mulai sadar kalau Purwa memang men-
cintaiku" Di samping itu juga, kau merasa tak
akan mampu menghadapiku?"
"Keparat! Akan kuberi pelajaran perem-
puan keparat ini!!" geram Sibarani dalam hati.
Karena kemarahan yang membara di da-
danya, Sibarani tak mau bertindak tanggung. Ti-
ba-tiba saja dia melompat dari batu besar yang
didudukinya. Begitu hinggap di tanah, dia lang-
sung duduk berlutut.
Sambil menatap tajam pada perempuan
berpakaian kuning keemasan yang sedang me-
nyeringai di hadapannya, pelan-pelan Sibarani
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ke-
palanya sedikit diangkat. Sepasang matanya ber-
kilat-kilat penuh kebencian.
Di seberang, perempuan bermaksud busuk
itu membatin, "Nampaknya Sibarani tak mampu
lagi menahan kemarahannya. Bagus! Akan kuha-
bisi dia, dan kucabut Bunga Matahari Jingga lalu
meninggalkan tempat ini. Tapi...," perempuan ini memutus kata batinnya. "Mengapa
aku begitu bodoh" Akan kubuat satu permainan yang mena-
rik! Dan satu-satunya cara, adalah membuat Si-
barani tak bisa lagi bersuara!"
Pelan-pelan perempuan berambut digelung
ke atas ini melihat tubuh Sibarani bergetar. Ke-
ningnya berkerut tatkala melihat dari kepala Si-
barani keluar asap putih yang sangat pekat.
Di saat lain, sambil merapatkan mulutnya,
perempuan berpakaian kuning keemasan ini
menggeser kaki kanannya ke belakang.
"Aku belum tahu seberapa dahsyat seran-
gan yang akan dilakukan Sibarani, Tetapi jelas-
jelas dia ingin mencelakakanku...."
Sibarani yang tak mampu lagi menahan
ejekan-ejekan Nimas Herning menggeram dingin.
Di dasar hatinya, dia merasa ada sesuatu yang di-
tutupi perempuan di hadapannya.
Akan diberinya perempuan itu pelajaran
agar bisa menahan mulut! Diiringi teriakan keras, Sibarani mendorong kedua
tangannya tanpa bergeser dari tempatnya. Laksana curahan air hujan
yang sangat deras, tiba-tiba saja menggebrak ge-
lombang angin dahsyat!
Perempuan berpakaian keemasan itu men-
dengus sebelum mendorong kedua tangannya pu-
la. Wrrrrr!! Gelombang angin disemburati asap kuning
menggebubu melesat dari dorongan kedua tan-
gannya. Jlegaaarrr!! Bertemunya dua serangan itu membuat
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan
semak di sekitar sana tercabut dan berpentalan.
Beberapa buah tangkai bunga matahari berwarna
jingga beterbangan. Tanah di mana bertemunya
dua serangan itu berhamburan di udara setinggi
satu tombak. Terlihat bagaimana sosok Nimas Herning
terlempar ke belakang. Masih untung dia dapat
berbalik dan menepakkan tangannya pada batu
besar yang siap menyambut tubuhnya. Di saat
lain, dia melenting ke atas dan hinggap di atas
batu yang tadi didudukinya.
"Sibarani! Kau terlalu menantang!"
Sibarani menyeringai.
"Sekarang sudah terbukti, siapa yang takut
dan siapa yang berani menghadapi maut"!"
"Sombong! Kau akan celaka!!"
Tiba-tiba saja si perempuan mengangkat
kedua tangannya ke udara. Menyusul terlihat ca-
haya berwarna-warni bertebaran di sekitar kedua
tangannya yang terangkat. Di saat lain tebaran
cahaya warna-warni itu menggumpal menjadi sa-
tu dan masuk serta lenyap pada kedua tangan si
perempuan yang kini terlihat seperti mengelua-
rkan cahaya. Sibarani hanya mendengus.
"Biar dia tahu siapa aku"!"
Saat itu pula dilancarkan serangannya lagi
pada si perempuan, yang mengertakkan rahang
dan menepukkan kedua tangannya. Suara tepu-
kan yang sangat keras itu menggema, menyusul
gelombang angin dahsyat yang diiringi oleh ca-
haya berwarna-warni menggebrak.
Blaaammm!! Kembali letupan keras itu terdengar. Na-
mun kali ini diiringi teriakan tertahan yang be-
rasal dari mulut Sibarani. Karena serangan yang
dilancarkannya seperti tertelan serangan menge-
rikan dari Nimas Herning. Bahkan serangan itu
terus menggebrak ke arahnya dengan kecepatan
tinggi! Seketika kepala Sibarani menegak. Dia sa-
dar kalau bahaya mengancamnya. Serentak dia
berguling ke samping kanan.
Blaaammm! Blaaammmm!!!
Tanah di mana dia tadi duduk berlutut,
seketika rengkah terhantam serangan itu. Belum
lagi dapat dikuasai keseimbangannya, tiba-tiba
saja dirasakan lehernya seperti disambar sesuatu.
Seketika dirasakan dingin yang cukup
menggigit, sebelum tubuhnya terbanting di atas
tanah dan bergulingan. Bunga-bunga matahari
berwarna Jingga hancur tertindih gulingan tu-
buhnya. "Itulah akibatnya bila berani menantang-
ku...," desis si perempuan berpakaian kuning.
"Sekarang saatnya untuk menjalankan rencana
berikut...."
Sementara Sibarani masih bergulingan
sambil memegangi lehernya yang terasa dingin, si
perempuan sudah berlari ke bukit sebelah kanan.
Lalu menghadap ke utara. Ditahan napasnya se-
jenak sebelum melangkah. Pada langkah kedua
puluh tiga, dia berhenti. Di hadapannya terlihat
sebuah bunga matahari berwarna jingga yang tak
jauh berbeda dengan bunga-bunga yang lain.
"Ini hitungan kedua puluh empat, seperti
yang kudengar sebelumnya di kala Sibarani dan
Purwa bercakap-cakap. Berarti, memang bunga
inilah yang kucari. Bagus! Setelah urusan selesai, tinggal memburu Ratu Tanah
Kayangan untuk kubunuh!!"
Pelan-pelan Nimas Herning yang sesung-
guhnya adalah Ratu, Dinding Kematian, meman-
dangi Bunga Matahari Jingga di hadapannya.
Kemudian ditahan napasnya sejenak. Sepasang
bola matanya tiba-tiba berkilat-kilat dan wajah-
nya dipenuhi dengan cahaya kemerahan.
Lalu terlihat bayangan-bayangan orang
yang bergerak-gerak, disekelilingnya yang kemu-
dian menyatu ke kedua tangannya. Itulah 'Ajian
Selaksa Jiwa' yang dimilikinya, yang mampu
mengalahkan mantra Dewa Segala Dewa.
Gerakan yang dilakukannya kemudian su-
kar diikuti oleh pandangan. Karena secara tiba-
tiba Ratu Dinding Kematian menyambar Bunga
Matahari Jingga
Tap! Begitu dicabut, dia langsung melompat ke
belakang Jlegaaaarrrr!!!
Suara ledakan yang sangat dahsyat mem-
bahana di tempat itu. Tanah diiringi asap putih
berhamburan ke udara dibukit-bukit di sekitar
sana bergetar. Bebatuan di bagian timur berham-
buran menimbulkan suara bergemuruh.
Sibarani yang telah mampu mengatasi rasa
nyeri dan hawa dingin pada lehernya segera ber-
diri tegak. Matanya membeliak melihat apa yang
dilakukan Nimas Herning. Lebih terkejut lagi
tatkala melihat Bunga Matahari Jingga berada di
tangan perempuan itu.
Sibarani segera membentak. Namun...
mendadak saja dia mundur beberapa tindak ke
belakang dengan wajah panik.
"Astaga! Suaraku... suaraku...!" serunya dalam hati. Kepanikan jelas membayangi
wajahnya. Dia mencoba berteriak lagi. Tetapi suaranya
tetap lenyap. Lenyap sama sekali.
Ratu Dinding Kematian yang kemudian
melihatnya tertawa keras.
"Sibarani... semua rencanaku telah berja-
lan dengan baik. Kini... kau tinggal mengikuti saja apa yang akan terjadi...."
Lalu... breekkk!!
Dengan sengaja perempuan itu merobek
pakaiannya di bagian dada. Juga merobek sedikit
pakaian bawahnya hingga memperlihatkan paha
yang gempal. Setelah itu dilemparnya Bunga Ma-
tahari Jingga yang lenyap entah ke mana. Hanya
dia yang tahu. Sementara Sibarani masih berusaha men-
geluarkan suaranya yang tiba-tiba lenyap
TUJUH BERSAMAAN ayam jantan berkumandang
di kejauhan, tarikan napas kencang itu terdengar
keras disertai dengusan dan engahan. Menyusul
suara keresek di bali semak terdengar, pertanda
seseorang bergulingan di atas rumput.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh ta-
hun yang masih dalam keadaan polos itu meme-
jamkan matanya. Sepasang payudaranya yang
besar bergerak turun naik, sedikit memerah se-
merah wajahnya saat ini. Diresapinya sesaat ke-
nikmatan yang baru saja diraihnya sebelum ter-
buru-buru meraih pakaiannya. Pemuda yang juga
dalam keadaan polos yang tergolek di samping-
nya, melirik. "Mau ke mana Nyai" Pagi masih buta..."
katanya dengan napas setengah memburu.
Si perempuan tersenyum. Membiarkan
payudaranya yang berputing merah itu di remas-
remas si pemuda.
"Aku harus pulang..."
"Pulang" " si pemuda menyahut segan. Se-kujur tubuhnya lemas karena baru saja
menum- pahkan kejantanannya. Dibalikkan tubuhnya,
memandang pada si perempuan yang sedang ber-
pakaian. "Mengapa terburu-buru" Tidak ada
orang di sini..."
"Hei, hei! Sebentar lagi tempat ini dilalui
banyak orang," kata si perempuan sambil tersenyum. "Masih lama...," si pemuda
merangkulnya. Walaupun setengah menolak, tetapi si pe-
rempuan bertubuh sintal itu membiarkan saja.
Dia jatuh dalam pelukan si pemuda yang segera
menciuminya sambil tertawa-tawa.
"Sudah, Dat Mala... sudah...."
"Aku masih ingin lagi...."
"Besok kita bisa mengulanginya lagi...," sahut si perempuan berusaha menolak.
Tetapi di- biarkan bibir si pemuda mencari-cari bibirnya.
Dibiarkan pula tangan si pemuda masuk ke balik
pakaiannya. Pemuda bernama Dat Mala itu sangat tahu,
bagian mana dari tubuh Nyai Ganda Arum yang
mengandung rangsangan tinggi. Sambil menciumi
bibir memerah itu, tangannya terus meremas-


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

remas payudara sebelah kanan Nyai Ganda Arum.
"Dat Mala... besok kita...
ehmmpphmmmphmm...."
"Aku mau sekarang...."
"Sudah, sudah, Dat Mala. Ayo, kita harus
segera pulang. Kalau orang-orang desa melihat ki-
ta berdua di sini, aku bisa kacau...."
Dat Mala kontan menghentikan kegiatan-
nya. Matanya mendelik tanda tak senang men-
dengar ucapan Nyai Ganda Arum. .
"Kau takut pada suamimu?"
"Hei, hei! Mengapa kau jadi tegang begitu"
Bukannya aku takut. Tetapi...."
"Katakan saja kalau kau masih mencin-
tainya!" Dat Mala bangkit, menyambar pakaiannya. Melihat sikap si anak muda
bertubuh tegap itu, membuat Nyai Ganda Arum menjadi tidak
enak. Sesungguhnya memang dia yang mulai le-
bih dulu mendekati Dat Mala. Bermula ketika di-
ketahuinya Dat Mala sering mengintipnya mandi
di sungai. Perasaan marah saat itu menggebah
hatinya. Biar bagaimanapun juga, Nyai Ganda
Arum tak sudi tubuhnya dalam keadaan polos di-
lihat orang lain kecuali suaminya
Tetapi sesampai di rumah, dia justru mem-
bayangkan Dat Mala. Untuk ukuran orang de-
sanya, Dat Mala memiliki paras lumayan dan tu-
buh yang tegap. Nyai Ganda Arum sering melihat
tubuh si pemuda bila sedang membajak sawah
Namun ditekan semua itu mengingat dia
adalah istri dari seseorang. Tetapi ketika dilihatnya Dat Mala kembali
mengintipnya saat mandi,
perasaan aneh menyelinap di hatinya. Seperti
anak tujuh belasan yang senang tubuhnya dika-
gumi seorang pemuda, Nyai Ganda Arum mem-
biarkan tubuhnya dilahap mata Dat Mala. Bah-
kan sering kali dia sengaja bersabun sambil ber-
diri, hingga sepasang buah dadanya yang besar
dan montok itu mengarah pada Dat Mala
Rupanya membiarkan tubuhnya dilihat
oleh Dat Mala memberikan kesenangan tersendiri
bagi Nyai Ganda Arum. Kini dia tidak hanya
membiarkan bagian atas tubuhnya yang dilihat
oleh Dat Mala. Tetapi seluruh tubuhnya!
Ketika diketahuinya suaminya ada main
dengan janda di desa seberang, Nyai Ganda Arum
menjadi muak. Dia hendak membalas perbuatan
suaminya. Dan pikirannya tiba pada Dat Mala.
Sejuta rencana pun terpasang di benaknya
untuk menjerat anak muda itu. Dengan bermo-
dalkan kecantikan dan kesintalan tubuhnya, Nyai
Ganda Arum dapat menggiring Dat Mala untuk
melakukan apa yang di diinginkannya. Kendati
demikian, dia tak mau perbuatannya diketahui
oleh orang lain, apalagi suaminya.
Nyai Ganda Arum membelai pipi anak mu-
da itu. "Hei, hei... jangan merajuk seperti itu."
"Kau pernah bilang padaku, kalau kau
mencintaiku, Nyai..."
"Itu betul."
"Tapi nyatanya kau masih mencintai sua-
mimu" "Habis aku harus berbuat apa lagi" Aku masih hidup dengan suamiku. Kalau
tidak, bagaimana aku dan kedua anakku makan?"
Dat Mala berdiri. Parasnya kaku.
"Kita kembali saja!"
Kali ini Nyai Ganda Arum yang jadi tidak
enak. Biar bagaimanapun juga, Dat Mala memiliki
kelebihan dibandingkan suaminya. Pemuda itu
dapat memuaskannya, bahkan selalu menuruti
bila ini-itu dimintanya.
Buru-buru ditariknya tangan Dat Mala.
"Tidak usah marah seperti itu."
Dat Mala diam. Masih diam juga ketika
Nyai Ganda Arum mencoba membangkitkan gai-
rah anak muda itu. Tetapi tak lama kemudian,
pemuda itu sudah menubruknya. Membukai lagi
pakaiannya. Nyai Ganda Arum sendiri hanya ter-
kikik. Dibiarkan tangan si pemuda memegang,
meremas dan memilin buah dadanya yang segar
dan cukup besar itu. Dia menggelinjang ketika
Dat Mala menciumi sepasang bukit kembarnya.
Gerakan itu semakin membangkitkan gai-
rah Dat Mala. Anak muda itu terus menyusupkan
ciumannya. Memilin payudara itu sementara tan-
gan kanannya menjelajah bagian bawah tubuh
Nyai Ganda Arum.
Kedua orang yang sedang dipacu birahi itu
sama sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok
tubuh telah berada di sana. Dan memandangi ke-
duanya dengan sorot mata bengis.
"Ayo, Sayang... ayo! Cepat! Lebih cepat!!
Jangan lembek kayak suamiku!" suara Nyai Gan-da Arum meracau. Kehangatan itu
telah memba- kar tubuhnya. Orang yang telah berada tak jauh dari me-
reka, memperhatikan dengan sorot mata bengis.
Di tangannya terpegang sebuah parang besar.
"Manusia-manusia keparat!!" geramnya
mengguntur. Laksana disengat kalajengking, kedua
orang itu seketika menoleh. Dat Mala kontan me-
lompat dari tubuh Nyai Ganda Arum. Dengan pa-
nik disambar pakaiannya. Namun....
Crasss!! Parang besar itu telah menyambar pung-
gungnya. Seiring jeritan Nyai Ganda Arum, tubuh
Dat Mala ambruk bersimbah darah.
"Kau..." seru Nyai Ganda Arum tertahan
Suaminya yang tiba-tiba muncul itu meng-
geram sengit. "Perempuan terkutuk! Kau tak pantas un-
tuk hidup!!" bentaknya seraya mengayunkan parang besarnya.
Nyai Ganda Arum memekik setinggi langit.
Hatinya menjerit-jerit, mengapa suaminya harus
muncul" Mengapa"
Dan parang besar itu hanya tinggal bebe-
rapa jengkal saja sebelum tiba-tiba...
Tak! Sesuatu telah menyambarnya, sesuatu
yang nampak begitu keras. Karena bukan hanya
parang itu yang melenceng dari sasarannya, teta-
pi juga terlepas dari genggaman tangan si lelaki
bertubuh tegap! Dan begitu jatuh terlihatlah ka-
lau sesuatu yang menahan parang Kalamonto
hanyalah sehelai daun!
Seraya menahan tangannya yang seketika
kesemutan, lelaki bernama Kalamonto itu meno-
leh ke samping kanan diiringi bentakannya yang
keras "Siapa kau yang lancang campuri urusan rumah tangga orang"!"
*** Seorang lelaki tua bertubuh luar biasa ge-
muknya, telah muncul di sana dengan langkah
yang terasa sangat berat. Lehernya yang seperti
menyatu dengan badannya menggeleng-geleng.
"Huh! Memang keterlaluan kalau melihat
seorang istri berbuat serong seperti itu," katanya sambil memandang Nyai Ganda
Arum yang beringsut dengan wajah sangat pucat. Gairahnya
yang tadi berkobar seketika padam. Yang ada ha-
nyalah ketakutan yang luar biasa.
Kalamonto menggeram sengit.
"Orang tua bertubuh tambun! Jangan suka
ikut campur urusan orang! Aku berhak melaku-
kan apa saja pada perempuan jahanam ini!"
Kakek berpakaian hitam yang tak mampu
menutupi besar tubuhnya mendengus.
"Aku tak suka mencampuri urusan orang!
Tapi lebih baik berdamai! Ingat, kau telah menca-
but satu nyawa!"
"Pemuda seperti itu lebih baik mampus,
karena hidup hanya untuk mengganggu rumah
tangga orang!"
"Aku tak mau mengganggu urusan orang!
Ayo, pergi, pergi dari sini!!"
Diusir seperti itu amarah Kalamonto yang
sudah sampai ke ubun-ubun segera membludak
keluar. Tiba-tiba saja dia menerjang dengan teriakan keras. Kalamonto memang tak
memiliki ilmu apa-apa kecuali keberanian. Tetapi jotosan tan-
gannya mampu merobohkan sebatang pohon pi-
sang. Si kakek gemuk cuma mendengus. Mem-
biarkan Kalamonto memukuli tubuhnya.
"Lumayan kau menggaruki tubuhku...."
Semakin berang Kalamonto mendengar ka-
ta-kata itu. Dikerahkan seluruh tenaganya, diper-
cepat jotosan demi jotosannya. Tetapi sampai dia
lelah, si kakek gemuk tetap berdiri di tempatnya.
"Sudah, sana pergi!" usir si kakek ketika Kalamonto ambruk dengan napas
terengah-engah. Lalu dipalingkan kepalanya pada Nyai
Ganda Arum. "Kau telah melakukan satu kesalahan yang membuat harga diri seorang
laki-laki menjadi runtuh! Ingat, bila kau melakukannya la-
gi, kubiarkan suamimu berbuat apa saja pada-
mu...." "Aku ingin membunuhnya sekarang!" seru Kalamonto keras.
"Membunuhnya bukan urusanku" Tetapi
membunuhnya di depanku adalah urusanku...."
Kalamonto tak berani membantah begitu
melihat mata si kakek yang tiba-tiba seperti men-
jadi sangat banyak. Ketakutan mulai merambati
hatinya. Tiba-tiba dia beringsut dan berlari pon-
tang-panting. "Pakai lagi pakaianmu!" dengus si kakek gemuk pada Nyai Ganda Arum.
Terburu-buru penuh gemetar Nyai Ganda
Arum mengenakan pakaiannya kembali.
"Terima kasih... terima kasih atas pertolon-
ganmu, Orang tua...."
Si kakek gemuk cuma mendengus. Tak
menatap pada Nyai Ganda Arum yang menatap-
nya dengan takut-takut.
"Huh! Perempuan sepertimu memang tak
perlu dikasihani, tak perlu diampuni! Kau tak
pernah menghargai perhatian seseorang yang se-
benarnya kau kasihi dan mengasihimu!"
Nyai Ganda Arum ingin meneriakkan sesu-
atu yang dilakukan suaminya. Tetapi suara keras
penuh tekanan itu tak berani membuatnya mela-
kukan demikian.
"Perempuan! Kau tahu bukan, kalau kau
tak mungkin kembali kepada suamimu lagi! Bila
kau masih mengharapkan belas kasihan suami-
mu, itu adalah sebuah kebodohan! Suamimu te-
lah mempergoki perbuatan busuk yang kau laku-
kan! Sekarang pergi jauh-jauh dari hadapanku!"
Kepanikan kini menghiasi wajah Nyai Gan-
da Arum. Apa yang dikatakan kakek gemuk itu
memang benar. Tak mungkin dia kembali pada
suaminya yang sudah tentu akan membunuhnya.
Tetapi untuk pergi dari sana, dia tidak tahu harus ke mana. Dat Mala sudah
menjadi may at. Kini
dia seorang diri.
Sesungguhnya tempat dia bergantung
hanya pada suaminya saja. Tak tahu harus ber-
buat apa, Nyai Ganda Arum menangis.
Kakek gemuk itu justru menjadi geram.
"Jangan suka mempergunakan senjatamu
untuk membuat orang merasa mengasihimu! Ka-
rena tak pantas orang seperti kau yang melaku-
kannya! Sana pergi, kau juga membuatku muak!"
Bentakan itu menghentikan tangis Nyai
Ganda Arum. Walaupun sorot matanya mengata-
kan dia telah memutuskan untuk pergi sejauh-
jauhnya, tetapi di hatinya timbul kebencian pada
siapa pun juga. Terutama pada laki-laki.
Tanpa berkata apa-apa, perempuan bertu-
buh sintal itu segera meninggalkan tempat itu
dengan langkah tersaruk-saruk. Keletihannya
akibat bercinta dengan Dat Mala, semakin ditam-
bah lagi dengan keletihan yang timbul akibat ke-
takutan. Nyai Ganda Arum terus berlari dengan ke-
bencian yang semakin menjadi-jadi. Saat berlari,
dia bersumpah, bersumpah untuk membunuh se-
tiap laki-laki!
Sepeninggal Nyai Ganda Arum, kakek ge-
muk itu mendengus. Tanpa berkata apa-apa, diin-
jaknya tanah di hadapannya.
Brrooll!! Berjarak satu tombak dari tempatnya ber-
diri, tanah ambrol dan membentuk sebuah lu-
bang. Sekali lagi dijejakkan kaki kanannya. Mayat Dat Mala tiba-tiba terangkat
naik dan terlempar
ke dalam lubang itu. Anehnya, tanah-tanah di se-
kitar sana bergerak untuk menutupi lubang itu.
"Keterlaluan! Amat keterlaluan!" maki si kakek kelebihan lemak ini. "Belum juga
dapat kupikirkan ke mana perginya Ratu Dinding Kematian... sudah ada persoalan
keparat seperti itu!
Memalukan! Apakah tak ada kerjaan lain selain
berzina dan berzina"!"
Sambil menggerutu, si kakek gemuk meng-
gerakkan lehernya, memandang ke sekitarnya.
"Huh! Aku benar-benar tak habis mengerti,


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa maunya Dewa Segala Dewa menyuruhku ke
Dinding Kematian! Untuk apa dia menyuruhku
menjumpai Ratu Dinding Kematian yang ternyata
tak ada di tempat!" makinya lagi dengan napas setengah memburu.
Kakek yang ternyata Dewa Seribu Mata ini
menggeram panjang pendek. Wajahnya menun-
jukkan betapa dia sedang memikirkan sesuatu
yang benar-benar membuatnya heran.
"Kenyataan sudah di depan mata, kalau
Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat! Purwa dan Sibarani telah memergokinya!
Apa yang menyebabkan Dewa Segala Dewa me-
nyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian"
Apakah dia mencurigai perempuan aneh itu?"
Udara dingin terus berhembus. Kendati
pakaian yang dikenakannya tak mampu menutu-
pi tubuhnya, si kakek gemuk sama sekali tak me-
rasakan hawa dingin itu.
"Ketimbang bikin pusing kepala, sebaiknya
aku menuju ke tempat Bunga Matahari Jingga
berada...."
Memutuskan demikian, si kakek gemuk ini
mulai melangkah. Anehnya, sambil melangkah
dia berkata seolah pada dirinya sendiri, "Sejak ta-di aku tahu kau berada di
sini, Perempuan! Men-
gapa kau tidak juga mau muncul" Atau ingin ku-
tampar dulu pantatmu baru muncul"!"
DELAPAN PEREMPUAN yang berada di balik semak
melengak mendengar kata-kata si kakek gemuk.
Sejak tadi dia memang berada di sana, tepat keti-
ka Kalamonto mengayunkan parangnya pada Dat
Mala. Sebenarnya perempuan ini tadi hendak
menghalangi sabetan parang Kalamonto pada
Nyai Ganda Arum. Tetapi sesuatu telah mengha-
dang parang itu.
Diperhatikannya siapa orang yang baru
muncul, yang menghalangi parang besar itu den-
gan lemparan sehelai daun. Diingat-ingatnya sia-
pa kakek gemuk itu. Walaupun sudah diingatnya,
tetapi perempuan ini memutuskan untuk tidak
keluar. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar
kehadirannya di sana tidak diketahui si kakek
gembrot. Dan yang mengejutkannya, si kakek
gemuk itu mengetahui keberadaannya di sana!
Mau tak mau akhirnya perempuan ini ke-
luar bertepatan dengan Dewa Seribu Mata meng-
hentikan langkahnya.
Dewa Seribu Mata memicingkan matanya
melihat pada perempuan berpakaian biru keema-
san dengan perhiasan pada kedua lengan dan
pergelangan tangannya. Wajah perempuan ini
terhalang oleh cadar terbuat dari sutera berwarna keemasan.
"Hemm... rasa-rasanya, aku pernah men-
dengar seorang perempuan bercadar sutera seper-
ti ini," kata Dewa Seribu Mata. Sepasang matanya tiba-tiba bergerak-gerak di
atas dan bawah wajahnya, laksana beberapa buah bayangan. Di lain
saat dia mendengus, "Sungguh kebetulan! Ratu Tanah Kayangan, di mana saudara
seperguruanmu yang berjuluk Ratu Dinding Kematian itu be-
rada"!"
Dibentak seperti itu, perempuan berambut
indah dengan anting-anting menghiasi kedua te-
linganya ini mengerutkan kening. Matanya tak
berkedip pada kakek
"Astaga! Apa-apaan ini" Mengapa tahu-
tahu dia menyerocos tentang Ratu Dinding Kema-
tian?" tanyanya dalam hati tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah
kelebihan lemak di hadapannya.
Setelah beberapa saat barulah dia angkat
bicara, "Kalau tak salah ingat, tentunya engkau-lah tokoh yang berjuluk Dewa
Seribu Mata...."
Bukannya sahuti kata-kata si perempuan
baik-baik, kakek gembrot itu malah membentak,
"Jawab pertanyaanku tadi, jangan bikin kesaba-ranku habis!"
Rata Tanah Kayangan segera tersenyum.
"Kau salah menduga kalau menganggap
aku tahu di mana Ratu Dinding Kematian. Karena
saat ini, aku juga sedang mencarinya," sahutnya.
"Sedang mencarinya atau tidak, tentunya
kau tahu apa yang dilakukannya akhir-akhir ini"!
Jelaskan padaku!"
Ratu Tanah Kayangan tak buka mulut. Bi-
ar bagaimanapun juga, dia tak suka dibentak-
bentak seperti itu. Tetapi karena nampaknya ka-
kek gemuk ini memang punya urusan penting
dengan Ratu Dinding Kematian dia segera berka-
ta, "Aku sama sekali tak mengetahui apa yang
dilakukannya akhir-akhir ini. Yang pasti, aku se-
dang mencarinya."
"Astaga! Sejak tadi kau berkata sedang
mencarinya! Aku tak peduli! Kau tak bisa menun-
jukkan di mana Ratu Dinding Kematian, mengapa
kau tetap berada di sini?"
Perempuan yang rambutnya disanggul ke
atas dengan diberi sebuah jepitan terbuat dari
emas membatin seraya pandangi si kakek gemuk,
"Dari suaranya dia begitu tak sabaran sekali. Aku
memang pernah mendengar kabar, kalau kakek
gemuk ini memiliki sifat tak sabaran. Kalaupun
dia menanyakan Ratu Dinding Kematian, nam-
paknya dia baru saja dari Dinding Kematian dan
tak menjumpai perempuan itu di sana. Ah, sudah
jelas dia tak menjumpainya...."
"Kau belum juga jawab pertanyaanku!"
Ratu Tanah Kayangan tetap tak buka mu-
lut. Dia teringat akan sesuatu.
"Jangan-jangan... dia mencari Ratu Dind-
ing Kematian sehubungan dengan bunga-bunga
keramat" Dewa Seribu Mata adalah salah seorang
dari Tiga Penguasa Bumi yang memiliki bunga-
bunga keramat. Kalau memang demikian adanya,
berarti Ratu Dinding Kematian telah menjalankan
rencananya untuk mendapatkan bunga-bunga
keramat yang kelak akan dipergunakan untuk
membunuhku."
Belum habis Ratu Tanah Kayangan mem-
batin, tiba-tiba saja dirasakan tanah yang dipi-
jaknya bergerak. Menyusul satu sentakan kuat
menerobos dari bawah.
Walaupun terkejut dengan kejadian yang
mendadak itu, tetapi perempuan bercadar ini te-
tap tenang. Bahkan tubuhnya tetap terangkat
naik tanpa kurang suatu apa tatkala tanah yang
mencelat ke atas itu menggebrak. Bersamaan
dengan tanah yang sirap kembali ke bumi, pe-
rempuan itu telah berdiri lagi, bergeser dua tin-
dak dari tempat semula.
Melihat hal itu Dewa Seribu Mata menden-
gus. "Mau pamer ilmu di hadapanku rupanya?"
"Tunggu!" seru Ratu Tanah Kayangan. Biar bagaimana pun juga, dia tak ingin
memancing kemarahan kakek gemuk ini. Disadarinya pula
kalau dia tak akan bisa menang menghadapi De-
wa Seribu Mata. Berarti, dia harus berusaha jan-
gan sampai Dewa Seribu Mata menjadi gusar. Be-
gitu melihat si kakek gemuk mendengus, buru-
buru dia berkata,
"Apakah tidak sebaiknya kau menjelaskan
dulu sebab-sebab kau mencari Ratu Dinding Ke-
matian?" "Kau adalah saudara seperguruannya, sa-
ma-sama murid Dewa Pengasih! Dan tentunya ka-
lian terus berhubungan! Jadi tak ada gunanya
kau bertanya kecuali menjelaskan apa yang dila-
kukan Ratu Dinding Kematian akhir-akhir ini!"
kata Dewa Seribu Mata. Sesungguhnya dia me-
mang masih tidak tahu mengapa Dewa Segala
Dewa menyuruhnya menjumpai Ratu Dinding
Kematian. Kendati demikian, Dewa Seribu Mata
mulai menangkap satu isyarat mengapa Dewa Se-
gala Dewa menyuruhnya seperti itu.
"Kau salah besar, Orang tua gemuk! Sela-
ma ini orang memang memandang aku dan Ratu
Dinding Kematian adalah dua orang murid Dewa
Pengasih yang berdamai. Padahal tidak sama se-
kali." "Jangan dusta!"
"Kami selalu menjunjung tinggi kejujuran
dan selalu menghormati nama besar Dewa Penga-
sih! Bila pertikaian yang belum lama ini terjadi di
antara kami sampai terdengar dunia luar, secara
tidak langsung kami telah mencoreng arang di
wajah Dewa Pengasih!"
"Kau pandai bicara rupanya!"
"Kenyataan seperti ini memang tak ada
yang mengetahui kecuali aku dan Ratu Dinding
Kematian! Hingga bila kau menanyakan apa yang
dilakukan olehnya akhir-akhir aku jelas tidak ta-
hu kecuali dia hendak membunuhku!"
Memicing mata orang tua gemuk itu. Le-
hernya yang menyatu dengan badannya bergerak-
gerak sejenak. "Mengapa dia hendak membunuhmu?" Ra-
tu Tanah Kayangan tersenyum. Seraya merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada dia men-
jawab, "Biarpun kau hendak membunuhku saat
ini juga, aku tak bisa mengatakannya padamu.
Karena kau tentunya tahu Orang tua, kalau seo-
rang anak manusia berhak untuk menyimpan se-
gala rahasia yang menurutnya patut disimpan...."
Dewa Seribu Mata mendengus jengkel.
"Kau pandai bicara! Apakah tindakan yang
kau lakukan itu semata untuk menutupi keadaan
yang sebenarnya?"
"Apa maksudmu untuk menutupi keadaan
yang sebenarnya, Orang tua?"
"Kau mencoba mengalihkan perhatianku
dari Ratu Dinding Kematian...."
Kendati hatinya mulai geram, perempuan
berpakaian biru keemasan ini hanya tersenyum.
"Sebelum melihat kenyataan yang ada, je-
las kau tak akan bisa menerima setiap jawaban-
ku...." Dewa Seribu Mata mendengus. "Aku juga tidak tahu mengapa aku jadi
memaksa seperti ini.
Jelas-jelas Ratu Dinding Kematian tak ada hu-
bungannya dengan pencurian bunga-bunga ke-
ramat. Dewa Segala Dewa nampaknya mencurigai
keterlibatan Ratu Dinding Kematian. Aha! Aku
tahu! Dewa Pengasih satu-satunya orang yang di-
ketahui yang dapat mematahkan mantra Dewa
Segala Dewa. Tak mustahil memang bila Ratu
Dinding Kematian memiliki ilmu itu sehingga De-
wa Segala Dewa mencurigainya" Tetapi... Dewa
Pengasih memiliki dua orang murid. Mengapa
Dewa Segala Dewa tidak menyuruhku untuk
menjumpai perempuan di hadapanku ini?"
Suasana hening. Beberapa helai daun ber-
guguran, sebagian melayang dihembus angin pagi
dan jatuh entah ke mana. Pagi sudah merambat
pelan. Bias-bias sang fajar kini telah berubah
menjadi cahaya yang nanti akan datang segumpal
sinar terang menjadi penerang persada.
Tiba-tiba Ratu Tanah Kayangan berkata,
"Orang tua gemuk, bila kau tetap membungkam
mengapa kau mencari Ratu Dinding Kematian,
sebaiknya kita berpisah di sini! Tanpa menguran-
gi rasa hormatku padamu, aku suka berjumpa
denganmu, tetapi urusan yang ada di depanku
harus segera kuselesaikan!"
Dewa Seribu Mata hanya mendengus. Ratu
Tanah Kayangan menganggap dengusan itu seba-
gai satu tanda. Setelah menganggukkan kepa-
lanya sekali, perempuan jelita ini sudah berlari ke
arah timur. Hatinya dipenuhi tanya yang tak ber-
kesudahan. Juga dipenuhi kegelisahan ketika
menyadari kalau Ratu Dinding Kematian telah
menguasai bunga-bunga keramat. Hanya itulah
satu-satunya jawaban yang bisa dipergunakan
sebagai pegangan atas sikap Dewa Seribu Mata.
Dewa Seribu Mata sendiri tetap terdiam di
tempatnya. Sesaat terlihat matanya seperti mem-
bayang di bagian atas dan bawah wajahnya.
"Semuanya bikin otakku pusing! Pusing!
Padahal jelas-jelas Raja Naga yang bikin semua
urusan yang berantakan seperti ini! Huh! Seperti
niatku semula, sebaiknya aku pergi untuk meli-
hat Purwa dan Sibarani yang menjaga Bunga Ma-
tahari Jingga. Karena bunga itulah satu-satunya
yang belum didapatkan oleh Raja Naga!"
Setelah mendengus berulang-ulang, kakek
gembrot ini melangkah. Langkahnya terlihat san-
gat berat, tapi dua kejapan mata berikutnya, so-
soknya telah lenyap dari pandangan.
SEMBILAN PADA saat yang bersamaan, Raja Naga
bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon.
Hampir dua penanakan nasi dia memutuskan un-
tuk beristirahat. Sisa daging panggang dan bekas


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu-kayu bakar masih nampak. Aroma sisa dag-
ing panggang itu masih menguar, sedikit menerpa
hidungnya. Anak muda bersisik coklat ini memandangi
sekelilingnya. Perasaannya kian tak menentu.
Keinginan yang ada di hatinya adalah menun-
taskan persoalan yang teramat mengganggunya.
Raja Naga masih beranggapan, kalau Puspa Dewi-
lah yang melakukan semua ini.
"Aku bertambah yakin, kalau akan sema-
kin banyak orang-orang seperti Dewi Lembah Air
Mata yang memburuku. Kemungkinan besar
Purwa dan Sibarani telah mengatakannya pada
semua orang. Ah, bunga-bunga keramat. Aku
sendiri tidak tahu apa yang di maksudkan dengan
bunga-bunga keramat."
Raja Naga melangkah. Di hadapannya ada
sebuah pohon manggis hutan yang sedang ber-
buah lebat. Diambilnya sebatang kerikil yang se-
gera dilemparnya ke atas.
Tas! Serenceng manggis hutan meluncur ketika
tangkainya patah terhantam kerikil itu. Cekatan
sekali Raja Naga menyambarnya. Sambil menik-
mati manggis hutan itu, dia kembali memikirkan
kejadian yang dialaminya.
"Kalau kuputuskan untuk mencari Puspa
Dewi nampaknya juga tidak membawa keberun-
tungan. Mencari Purwa dan Sibarani untuk men-
jelaskan duduk masalah yang sebenarnya, bu-
kanlah sebuah tindakan yang bijak. Namaku su-
dah coreng moreng di benak mereka, termasuk
orang-orang yang tentunya berhubungan erat
dengan bunga-bunga keramat. Berarti...."
Sambil mengupas lagi sebuah manggis hu-
tan dan menikmati rasanya yang sedikit asam,
Raja Naga meneruskan ucapannya, "Ya... berarti satu-satunya cara yang tepat,
adalah mendatangi
Bunga Matahari Jingga. Mungkin aku bisa me-
nunggu kedatangan si pencuri yang sebenarnya
dan menangkap basah tindakannya. Cuma kesu-
litannya, aku tidak tahu di mana Bunga Matahari
Jingga itu berada..."
Lima buah manggis hutan telah masuk ke
perutnya. Sebagian sisanya diletakkan di tempat
yang langsung terlihat.
"Mudah-mudahan ada yang lewat dan me-
makannya hingga buah-buahan ini tidak sia-sia."
Kembali diperhatikan sekelilingnya yang
sepi. Angin yang berhembus cukup mendirire-
mangkan bulu roma, karena suaranya laksana
bisikan setan. Beberapa helai daun jatuh. Sejak
tadi burung-burung ramai beterbangan. Cahaya
matahari telah menerobos sela-sela dedaunan.
"Puspa Dewi! Aku harus bulatkan tekad
untuk mencarinya!!"
Segera anak muda berompi ungu ini berlari
untuk keluar dari hutan itu. Perasaannya benar-
benar tidak tenang. Hatinya juga geram. Karena
orang lain yang berbuat, dia yang harus memikul
beban tanggung jawab.
Tepat matahari sepenggalah, pemuda dari
Lembah Naga ini menghentikan langkahnya di ja-
lan setapak, tak jauh dari hutan yang baru dilin-
tasinya. Saat itu pula pendengarannya yang tajam
mendengar suara orang berteriak-teriak keras,
penuh amarah. Segera Raja Naga berkelebat untuk mencari
sumber keributan itu. Setelah ditemukannya, di-
lihatnya Puspa Dewi sedang menghindari serga-
pan-sergapan ganas dua lelaki berkepala gundul.
Kedua lawannya itu berusia sekitar empat puluh
tahun. Mengenakan jubah berwarna jingga laksa-
na seorang pendeta. Di leher mereka melingkar
butiran tasbih yang cukup besar. Yang sebelah
kanan menyerang Puspa Dewi dengan tangan ko-
song, sementara yang sebelah kiri menyergap
dengan tongkat yang bagian ujungnya bundar
Raja Naga sendiri hanya memperhatikan
saja dari balik pohon. Dia senang kalau akhirnya
dapat menemukan Puspa Dewi lagi. Tetapi yang
membuatnya heran, mengapa kedua lelaki seperti
pendeta itu nampak berusaha untuk membunuh
Puspa Dewi yang menghindar dan melawan den-
gan mempergunakan pedangnya.
Dan anak muda berompi ungu itu tersen-
tak tatkala melihat pakaian bagian belakang yang
dikenakan Puspa Dewi. Pakaian itu telah robek
hingga memperlihatkan kulit punggungnya yang
mulus! "Apa yang sebenarnya terjadi?" desisnya tetap berada di balik pohon itu.
"Sebaiknya kubiarkan saja dulu...."
Pertarungan sengit itu terus berlangsung
alot. Dua lelaki berkepala plontos terus mendesak Puspa Dewi yang memainkan
pedangnya dengan
kelincahan luar biasa. Sesekali gadis jelita itu
membuat gebrakan yang mengejutkan. Tetapi di
lain saat dia mundur dengan tubuh tergontai-
gontai. Rambut indahnya yang dikuncir ekor ku-
da dan diberi pita berwarna kuning, melompat-
lompat seiring wajahnya yang mendadak pucat.
Raja Naga yang melihat akan hal itu ter-
sentak. "Astaga! Ada yang tidak beres pada Puspa Dewi! Dari gerakan yang
diperlihatkan, seharusnya dia sudah dapat mengalahkan kedua pendeta
itu! Tetapi, nampaknya dia mengalami gangguan
pernapasan hingga kesulitan untuk mengatur na-
pas guna keluarkan tenaga dalam. Tapi... biar
kuperhatikan sekali lagi...."
Letupan demi letupan yang terdengar se-
makin ramai. Ranggasan semak yang terpapas ra-
ta, tanah yang berhamburan ke udara, pepoho-
nan yang tumbang dan teriakan-teriakan keras,
mengudara. Membuat tempat itu bertambah po-
rak poranda. Di tempatnya Raja Naga mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Darah yang keluar dari bibir Puspa Dewi
memang menunjukkan kalau dia mengalami
gangguan pernapasan. Tenaga dalamnya jadi ter-
tahan dan itu menyebabkan pendarahan di da-
lam. Gadis itu tak boleh terluka, aku masih harus mengorek keterangan tentang
bunga-bunga keramat...."
Di seberang, lelaki gundul bersenjata tong-
kat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan kanan
kirinya erat menggenggam tongkatnya yang siap
mengetok pecah kepala Puspa Dewi. Di pihak
lain, temannya meluruk laksana banteng ketaton
mengamuk dengan kepala plontos yang siap
menghajar perut Puspa Dewi!
Puspa Dewi sendiri nampak kepayahan.
Napasnya terasa sangat sesak. Dia hanya mem-
buang tubuh ke samping kanan. Dua letupan ke-
ras terdengar. Namun pada serangan berikutnya,
gadis manis bertahi lalat pada pelipis sebelah kirinya memekik tertahan. Pedang
berhulu kepala elangnya terlepas ketika tersambar tongkat si
pendeta gundul.
Sementara lawannya yang seorang lagi, me-
luruk kembali dengan kepala siap menghantam
perutnya! Tiba-tiba saja terdengar suara orang men-
deham keras, disusul dengan menggebraknya ge-
lombang angin deras yang disemburati asap me-
reka! Tongkat si pendeta gundul yang siap
menghancurkan kepala Puspa Dewi tiba-tiba saja
tertahan satu tenaga yang tak nampak. Bersa-
maan orang itu tersentak ke belakang, lelaki yang satunya lagi merandek gusar
seraya buang tubuh
ke samping kanan tatkala merasakan adanya de-
ru gelombang angin deras ke arahnya.
Blaaammmm!! Gelombang angin itu menghantam sebuah
pohon yang seketika bergetar dan menggugurkan
dedaunannya. Dua kejapan mata berikut, pohon
itu tumbang perdengarkan suara bergemuruh.
Tiga pasang mata segera mengarahkan
pandangan ke depan. Puspa Dewi yang lebih dulu
berseru, "Boma Paksi!!"
* * * Boma Paksi tersenyum dan berkata, "Me-
nyingkir...."
Dua lelaki berkepala plontos itu sudah ten-
tu gusar bukan main. Mereka segera berdiri tegak
dengan mata membelalak lebar. Sorot kebencian
nampak jelas di mata masing-masing orang.
"Pemuda berompi ungu! Bila kau ingin
mampus, kau dapat tunggu giliran!!" bentak yang memegang tongkat. Wajahnya
menekuk. Saat itulah terlihat codetan pada keningnya.
Raja Naga tak menjawab. Bibirnya merapat
dingin. Sorot matanya yang angker menghujam
masing-masing orang.
"Aku tak pernah suka memperpanjang
urusan! Gadis itu adalah sahabatku dan aku ber-
hak untuk membantunya! Kuminta dengan san-
gat pada kalian, agar segera tinggalkan tempat
ini!" "Terkutuk! Anak kemarin sore berani ber-tingkah di hadapan Setan Gundul
Hutan Laran- gan!!" Raja Naga tersenyum.
"Setan Gundul" Astaga! Mengapa begun-
dal-begundal busuk macam kalian memakai baju
pendeta?" "Bunuh kedua manusia celaka itu, Boma!!"
seru Puspa Dewi sambil mengatur napasnya. Ke-
dua tangannya bergetar saat dirangkapkan di de-
pan dada. "Terkutuk!" makinya dalam hati. "Untung aku masih bisa mengendalikan
uap busuk ini. Kalau tidak...."
Si gadis tak lagi meneruskan kata batin-
nya. Dia segera bersemadi memulihkan keadaan-
nya. Di pihak lain, lelaki gundul bersenjata
tongkat yang bernama Cokro Kliwing sudah me-
nerjang dengan ayunan tongkatnya berujung bu-
lat. Wuuuttt!! Desiran angin keras menggebrak. Raja Na-
ga cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil
merunduk. Di lain saat dia harus mundur karena
lelaki bernama Jodro Kliwing pun sudah melan-
carkan jotosan.
"Hebat! Keduanya sama sekali tak menga-
lami surut tenaga! Sementara Puspa Dewi sudah
begitu kelelahan! Tapi itu jelas karena Puspa Dewi kesulitan bernapas. Dan aku
tak yakin kalau gadis itu mempunyai penyakit kesulitan bernapas.
Berarti... kedua orang ini yang telah meracuninya.
Meracuninya" Astaga! Kepalaku jadi pusing...."
Dua serangan ganas itu dibalas oleh Raja
Naga dengan dehemannya yang mengandung te-
naga dalam tinggi, juga tangkisan tangan kanan
kirinya yang sebatas siku dipenuhi sisik berwarna coklat. Tangan yang dipenuhi
sisik-sisik coklat itu memiliki kekuatan tiada tara.
Jodro Kliwing memekik kaget ketika tan-
gannya membentur tangan Raja Naga. Seketika
dia mundur dengan tangan kanan kiri yang mem-
biru. Melihat hal itu, Cokro Kliwing menjadi gu-
sar. Tetapi dia tak mampu meneruskan seran-
gannya ketika tanah tiba-tiba berderak dan berge-
lombang ke arahnya begitu Raja Naga men-
jejakkan kaki kanannya di atas tanah!
Menyusul suara menggetarkan jantung itu
terdengar keras, "Kalian sebaiknya menyingkir dari sini sebelum menyesal!"
Baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing
sama-sama mengangkat kepala, memandang ke
depan. Saat itu pula jantung mereka laksana di-
remas-remas tangan kasar.
"Gila! Tatapannya itu... Jodro kau melihat-
nya"!" "Ya! Kita bertemu dengan manusia iblis!"
sahut Jodro Kliwing yang tangannya masih mem-
biru. "Cokro! Untuk saat ini biar kita mengalah, juga gagal untuk menikmati
tubuh gadis yang
ternyata berisi itu! Kita menyingkir untuk kelak
muncul kembali!!"
Lelaki gundul dengan codet pada kening-
nya itu mengangguk-angguk kendati dia tidak
puas dengan yang dikatakan Jodro Kliwing. Mas-
ing-masing orang tak ada yang buka suara saat
berlalu, tetapi sorot mata mereka yang mengan-
dung kebencian mengisyaratkan kalau kelak me-
reka akan muncul kembali
Sepeninggal kedua lelaki berkepala plontos
itu, Raja Naga menghampiri Puspa Dewi yang se-
dang bersemadi. Diperhatikannya raut wajah ma-
nis di hadapannya itu. Sejenak hati Raja Naga
meragu. Apakah memang gadis manis ini yang
melakukan serangkaian pencurian terhadap bun-
ga-bunga keramat
Ditindih pertanyaannya itu. Dia harus
mengorek keterangan yang jelas. Juga akan dita-
nyakannya mengapa dia bisa bertarung dengan
Setan Gundul Hutan Larangan.
Setelah beberapa saat menunggu, Raja Na-
ga melihat Puspa Dewi menghentikan semadinya.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Napasnya mulai teratur dan wajahnya kembali
dihiasi kesegaran dan rona merah.
Raja Naga menyapa, "Apa kabarmu, Puspa
Dewi?" Tiba-tiba saja sepasang mata gadis bertahi lalat di pelipis sebelah kiri
itu membuka lebar.
Mulutnya merapat dingin. Pelan-pelan kilatan
berbahaya jelas di matanya. Kedua tangannya
mengepal kuat Raja Naga melengak kaget, karena tahu-
tahu gadis itu sudah menyerangnya!
SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini:
RATU DINDING KEMATIAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Misteri Selendang Biru 2 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Kemelut Di Pulau Aru 1
^