Pencarian

Api Di Suraloka 2

Raja Petir 15 Api Di Suraloka Bagian 2


"Dua hari jika berlari biasa."
Jaka tidak lagi melontarkan pertanyaan.
Pikirannya menerawang, mereka-reka tempat pe-
nawanan Mayang.
Daerah itu dapat kutempuh dengan perja-
lanan satu hari. Itu berarti menjelang sore aku baru sampai di sana. Gumam Jaka
dalam hati. Kalau begitu, aku harus berangkat sekarang juga.
"Terima kasih atas penjelasanmu, Bajing
Ireng. Minumlah pil pemunah rasa sakit ini.
Hanya dalam waktu tak lebih dari satu purnama
kakimu akan sembuh," tukas Jaka sambil menye-
rahkan pil berwarna putih.
Bajing Ireng menerima pil pemberian Jaka
dan langsung menelannya. Sedangkan Jaka ber-
kelebat meninggalkan Bajing Ireng. Setelah lebih dulu meninggalkan pesan pada Ki
Manggara dan teman-temannya agar tidak menyerang Bajing
Ireng yang sudah tidak berdaya.
*** 5 Di sore yang beranjak malam itu sesosok
tubuh berpakaian kuning berkelebat cepat menu-
ju arah utara. Sosok berpakaian kuning yang ti-
dak lain Jaka Sembada itu terus mengerahkan
ilmu lari cepatnya, menerobos kampung-kampung
dan hutan lebat. Begitu cepatnya kelebatan Jaka hingga tubuhnya tidak tampak
jelas. Hanya bayangannya yang kelihatan di keremangan sinar
bulan. Laki-laki muda nan digdaya itu berlari bagai elang terbang menuju kaki
Gunung Lumbo- rang. Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah ruang tahanan bawah tanah
Kerajaan Suraloka, mata Patih Sodrana menerawang jauh.
Mencoba menembus dinding-dinding tebal ruang
tahanan itu. Mata tua Patih Sodrana nampak
berkaca-kaca, ketika dari bibirnya mengalir cerita tentang kejadian dua malam
yang lalu. Malam itu kepatihan begitu sunyi dan len-
gang. Angin yang berhembus semilir memperden-
garkan bunyi gesekan daun dan ranting-ranting.
Di sebuah rumah dalam kepatihan, Patih Sodrana
sedang duduk di pembaringan dengan benak yang
dipenuhi kekhawatiran akan nasib Kerajaan Su-
raloka. Kekhawatiran Patih Sodrana timbul sejak kematian Punggawa Adikara (Baca
serial Raja Petir dalam episode "Ajian Duribang"). Nalurinya yang sudah terlatih
baik dalam membaca dan
menyimpulkan serentetan kejadian mengisya-
ratkan bahwa di Kerajaan Suraloka ada sekelom-
pok orang yang bermaksud menggulingkan kedu-
dukan Prabu Lokawisesa. Di benak Patih Sodrana
pun berkecamuk rasa khawatir akan diri Laga
Lembayung, putra satu-satunya.
Sementara di luar angin terus bertiup se-
milir. Dan sedikit menebarkan hawa dingin. Saat itulah muncul tiga sosok tubuh
berpakaian dan bertopeng hitam. Ketiga sosok tubuh itu bergerak cepat dan ringan. Setiap
pijakan kaki mereka sedikit pun tidak memperdengarkan bunyi. Menan-
dakan kalau mereka memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Namun ketika
salah seorang dari ketiga sosok bertopeng itu
mencongkel pintu rumah Patih Sodrana, sebuah
bentakan keras seketika terdengar.
"Siapa kalian"!" bentak sebuah suara dari dalam. Suara bentakan itu dikeluarkan
Patih Sodrana yang kebetulan baru keluar dari kamarnya.
Mendengar bentakan itu, ketiga sosok ber-
topeng tidak melarikan diri. Mereka melompat
mundur tiga langkah, menunggu Patih Sodrana
keluar. "Siapa kalian" Untuk apa malam-malam begini mendatangi kediamanku?"
tanya Patih Sodrana. Matanya menyelusuri tiga sosok tubuh
yang mengenakan topeng hitam.
"Tidak perlu tahu siapa kami, Patih!" jawab salah seorang sosok bertopeng. "Yang
perlu kau ketahui, malam ini adalah malam kematianmu!"
"Hm...," Patih Sodrana bergumam pelan mendengar ucapan itu.
"Bersiaplah, Patih!" ujar sosok itu lagi.
Tiga sosok berpakaian hitam itu segera
berkelebat menyerang Patih Sodrana. Sosok per-
tama yang bertubuh tinggi tegap melayangkan
tinjunya ke wajah Patih Sodrana. Sedangkan dua
sosok lainnya mencecar punggung dan ulu hati.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Ops!"
Patih Sodrana merendahkan tubuhnya.
Kemudian melemparnya ke kanan hingga cecaran
sosok pertama menghantam tempat kosong. Dan
penyerang lainnya pun mengalami hal yang sama.
Saat itu tidak ada penjaga di depan rumah Patih Sodrana.
Ke mana para penjaga" Tanya Patih Sodra-
na dalam hati. "Kepandaianmu boleh juga, Patih!" bentak salah seorang sosok bertopeng.
"Sekarang kami tidak akan main-main lagi!"
Srat! Srat..! Tiga sosok bertopeng itu mencabut senjata
masing-masing. Senjata itu berupa golok beruku-
ran sedang yang kini terhunus di tangan.
"Silakan kalau kalian bisa melukai tubuh-
ku," timpal Patih Sodrana seraya mencabut keris dari balik bajunya. Keris itu
memancarkan sinar kebiruan.
"Hiaaa...!"
Sosok pertama yang bertubuh tegap kem-
bali meloncat dengan menebaskan goloknya ke
arah leher Patih Sodrana. Tapi lelaki setengah
baya itu mampu membaca arah senjata lawan
yang berkelebat cepat. Dengan kecepatan yang
mengagumkan, Patih Sodrana melejit ke kiri. Saat itulah sosok bertopeng lainnya
mencoba memba-batkan senjatanya.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Uts!"
Crab! Lengking kematian segera terdengar ketika
tangan Patih Sodrana berkelebat menyongsong
tubuh sosok pendek berpakaian hitam itu. Keris
Patih Sodrana terbenam sampai setengahnya di
perut sosok naas itu.
"Hih!"
Patih Sodrana mencabut kerisnya yang
terbenam. Maka sosok berpakaian hitam itu
menggelepar-gelepar meregang nyawa. Dan ak-
hirnya diam tak bergerak dengan disaksikan ke-
dua temannya. "Kau telah membunuhnya, Patih! Kau ha-
rus menanggung akibatnya!" ancam sosok bertubuh tegap sambil menunjuk temannya
yang su- dah tidak bernyawa.
Patih Sodrana tidak menanggapi. Matanya
yang tajam menatap wajah dua sosok bertopeng
sebagai tanda tidak merasa gentar dengan anca-
man itu. "Hiaaa...!"
"Haaat...!"
Dua sosok bertopeng itu kembali bergerak.
Namun Patih Sodrana salah menduga. Di-
kiranya kedua sosok itu ingin menyerang. Ternya-ta.... Bret!
Salah seorang dari mereka menjambret to-
peng yang menutupi wajah temannya yang men-
jadi mayat. Lalu keduanya kabur meninggalkan
Patih Sodrana dengan menggunakan ilmu lari ce-
pat yang nyaris sempurna. Patih Sodrana terman-
gu-mangu melihat kepergian dua sosok bertopeng
itu. Sampai di situ Patih Sodrana mengakhiri
ceritanya pada Laga Lembayung. Akhir dari keja-
dian itu adalah dijebloskannya Patih Sodrana ke dalam penjara dengan tuduhan
membunuh lelaki
bertopeng. Yang ternyata, menurut pengakuan
Maha Patih Gempita, seorang telik sandi yang ditugaskan menyelidiki kediaman
Patih Sodrana yang menurutnya mencurigakan.
Yang lebih menyakitkan adalah tuduhan
Maha Patih Gempita bahwa Patih Sodrana ingin
memberontak. Dan menggulingkan kekuasaan
Prabu Lokawisesa.
"Mungkinkah Maha Patih Gempita yang
mengatur siasat untuk menjebloskan Ayah ke
penjara" Seperti siasatnya ketika menjebloskan aku ke tempat ini?" tanya Laga
Lembayung hampir mirip dugaan.
"Sepertinya begitu," jawab Patih Sodrana tenang. "Agaknya Maha Patih Gempita
bernafsu merebut kedudukan Prabu Lokawisesa."
"Ah! Kita harus bergerak cepat, Ayah! Aku
bisa menjebol dinding ini dengan 'Ajian Duri-
bang'ku," ucap Laga Lembayung. "Kasihan Prabu Lokawisesa, beliau harus kita
tolong." Patih Sodrana tersenyum getir.
"Tidak begitu caranya jika ingin menolong
beliau. Keadaan kita tidak bebas. Kita bisa dituduh lebih jauh sebagai
pemberontak sesungguh-
nya jika kita menjebol dinding tahanan ini. Kita harus mencari cara lain untuk
menyelamatkan Kerajaan Suraloka dari kehancuran," ucap Patih Sodrana bijaksana.
Laga Lembayung tidak membantah ucapan
ayahnya. Pemuda itu terpekur mencari cara me-
nyelamatkan Kerajaan Suraloka dari ancaman api
yang sebentar lagi berkobar.
"Ah. Aku tidak menemukan cara yang ter-
baik. Ayah," ujar Laga Lembayung putus asa.
"Bersabarlah, Anakku. Sebuah cara yang
tepat tidak akan lahir hanya dalam satu kali pikir," tukas Patih Sodrana sambil
menatap tajam wajah putranya.
Sesaat suasana hening melingkupi ruan-
gan tahanan bawah tanah itu.
"Sesungguhnya aku heran dengan Kera-
jaan Suraloka yang memiliki dua orang patih. Tidak seperti kerajaan-kerajaan
lain yang hanya
memiliki seorang patih. Siapakah sebenarnya
Maha Patih Gempita itu, hingga di Kerajaan Suraloka dia bisa menjabat sebagai
maha patih?" ujar Laga Lembayung memecah kesunyian.
Patih Sodrana menatap wajah Laga Lem-
bayung sebelum menjawab pertanyaan itu
"Maha Patih Gempita adalah saudara Pra-
bu Lokawisesa. Satu ayah, namun lain ibu. Kalau Yang Mulia lahir dari rahim
permaisuri, Gempita lahir dari rahim seorang selir," jelas Patih Sodrana.
"Lalu kenapa dia bisa menjabat sebagai
maha patih?" tanya Laga Lembayung masih penasaran. "Selama belasan tahun Gempita
hidup di luar lingkungan Istana Suraloka. Ketika dia kembali, kedudukan patih
telah diisi ayah selama kurang lebih sembilan tahun. Prabu Lokawisesa me-
rasa tidak enak jika Gempita diberi kedudukan di bawah patih. Lagi pula, Yang
Mulia sangat me-nyayangi saudara satu ayah itu. Maka dia diberi jabatan sebagai
maha patih. Setingkat lebih tinggi dari kedudukanku," jelas Patih Sodrana sejujur-nya. "Manusia serakah!" maki Laga Lembayung.
"Sudah mendapatkan kedudukan tinggi,
masih juga mau menggulingkan kedudukan orang
lain!" Kembali Patih Sodrana tersenyum menden-
gar ucapan putranya.
"Itulah manusia, Laga. Dia akan terbawa
hanyut jika tidak kuat mengekang hawa naf-
sunya. Dia masih ingin memiliki itu padahal su-
dah memiliki ini. Begitulah seterusnya, hingga dirinya diperbudak hawa nafsunya
sendiri," nasihat Patih Sodrana. "Yang pasti, dia akan binasa oleh
keserakahannya sendiri."
"Lalu apa yang harus kita lakukan seka-
rang, Ayah?" tanya Laga Lembayung. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu
diucapkan. "Tidak ada. Tapi aku berharap Jaka dapat
berbuat sesuatu untuk kita dan Kerajaan Suralo-
ka," jawab Patih Sodrana mantap.
"Jaka.... Ah. Ya... Jaka. Kenapa kita sampai melupakannya. Ah. Raja Petir, kau
pasti akan berbuat sesuatu untuk meredam api di Suraloka
hingga tak jadi berkobar," desah Laga Lembayung setengah berharap.
*** 6 Siang sudah kembali menjadi sore. Angin
yang bertiup semilir terasa begitu sejuk menerpa tubuh Jaka yang berkeringat.
Sudah semalaman
dia berlari tanpa henti. Maka wajar jika pakaiannya basah oleh keringat.
Kaki Gunung Lumborang memang tidak
jauh jaraknya. Hingga Jaka menggenjot larinya.
Tak lama kemudian tepi Hutan Cirueng sudah
tampak dalam jarak lebih kurang empat puluh
tombak. Jaka memperlambat larinya. Seluruh inde-
ranya dialiri kepekaan yang terlatih. Otot-otot tubuhnya menegang. Jaka tengah
mewaspadai dae-
rah yang diduganya sebagai sarang tokoh golon-
gan hitam yang telah menawan Mayang Sutera.
Saat memasuki Hutan Cirueng, Jaka se-
makin meningkatkan kepekaannya. Namun se-
makin jauh memasuki perut hutan, tidak dijum-
painya tanda-tanda yang mencurigakan. Hingga
Jaka dengan leluasa merambah Hutan Cirueng.
Tapi ketika kaki Jaka menjejak di ujung
hutan, terkejut bukan main pendekar muda itu.
Dia tidak percaya kalau di balik hutan yang tidak seberapa luas itu membentang
hamparan dataran
kaki gunung yang cukup luas. Pada sisi kanan-
nya terdapat jurang yang cukup dalam dengan
karang-karang runcing di bawahnya.
Yang mengejutkan Jaka bukan hanya ju-
rang yang menganga lebar. Dan ratusan prajurit


Raja Petir 15 Api Di Suraloka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerajaan Suraloka yang sedang berbaris rapi di
bawah pimpinan Maha Patih Gempita. Tapi kare-
na menyaksikan keadaan Mayang Sutera.
Sebuah tonggak kayu berdiri kokoh menjo-
rok ke mulut jurang. Pada bagian ujungnya ter-
dapat sosok tubuh gadis cantik berpakaian jing-
ga. Dialah Mayang Sutera, yang terkurung jaring-jaring berselimutkan sinar
kebiruan. "Setan!" maki Jaka menyaksikan keadaan
Mayang yang begitu mengkhawatirkan.
Sebelah hati Jaka ingin memberontak me-
nolong Mayang, tapi sebelah hati yang lain melarang. Pergolakan dalam hati Jaka
seketika terjadi.
"Ah!" Jaka mencoba meredakan pergolakan hatinya. Akhirnya, pemuda itu
berkeputusan untuk
mencari tahu lebih dulu apa yang akan dilakukan tokoh-tokoh golongan hitam yang
tengah berkumpul bersama ratusan prajurit Kerajaan Sura-
loka. Sepasang mata Jaka memandang tajam so-
sok-sosok mereka yang tengah berkumpul di da-
taran kaki Gunung Lumborang. Tampak di sana
Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, Naga Mata Tunggal, dan seorang lelaki
pembesar kerajaan
yang tengah memimpin ratusan prajurit. Sedang-
kan lelaki bertubuh tinggi bagai raksasa yang
mengenakan pakaian merah tidak dikenal Jaka.
Hm.... Untuk apa mereka berkumpul di sini
kalau bukan ingin mengadakan pemberontakan
pada Kerajaan Suraloka! Tebak Jaka dalam hati.
Maka untuk membuktikan kebenaran du-
gaannya, Jaka mengerahkan ilmu mendengar ja-
rak jauh 'Menyadap Guntur Menggelegar'. Sebuah
ilmu langka yang jarang sekali dipergunakan Ja-
ka. Ilmu itu diperolehnya dari Ki Terala. Seorang lelaki berusia lanjut yang
memimpin Perguruan
Hijau Kemuning. Beliau adalah kakak sepergu-
ruan almarhum ayah Jaka.
Dan yang diucapkan tokoh-tokoh golongan
hitam serta semua orang ada di dataran luas kaki
Gunung Lumborang pun terdengar.
"Sudah lama aku menginginkan kedudu-
kan sebagai raja di Kerajaan Suraloka! Meski aku hanya anak seorang selir! Namun
ada hakku juga untuk menduduki tempat tertinggi di Suraloka!
Aku akan menuntut hak itu! Api di Suraloka se-
bentar lagi akan berkobar, dan kalian yang turut mendukung cita-citaku, sebuah
kedudukan tinggi
akan kusediakan. Kalian setuju?"
"Setujuuu...!"
Secara serempak prajurit-prajurit bersera-
gam Kerajaan Suraloka itu menyahut. Tak terke-
cuali tokoh-tokoh golongan hitam yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Bagus!" sambut Maha Patih Gempita dengan wajah penuh suka-cita. Sepasang
matanya bersinar bahagia menatap wajah-wajah prajurit
Suraloka yang berkenan diajak memberontak.
"Jika cita-citaku berhasil, maka empat pen-juru angin di wilayah Kerajaan
Suraloka akan kupecah menjadi empat kepemimpinan dalam sa-
tu naungan kerajaan yang kupimpin. Wilayah itu
adalah, wilayah utara dengan pemimpin kuserah-
kan kepada Sepasang Iblis Api. Wilayah selatan
pada Tiga Hantu Putih. Wilayah barat pada Iblis Bunga Kematian dan wilayah timur
dipegang oleh Naga Mata Tunggal, Bajing Ireng, dan Kelelawar
Hitam," Jaka terkejut mendengar rencana Maha
Patih Gempita. Sudah begitu jauhnya keinginan
untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Lokawi-
sesa. Hm.... Harus segera kulaporkan rencana
busuk ini pada Prabu Lokawisesa! Batin Jaka.
"Bagaimana dengan gadis cantik itu, Ka-
kang Gempita?" tanya Iblis Bunga Kematian.
"Kekasih Raja Petir itu" Heh! Kenapa mesti repot-repot. Kalau kau
menginginkannya silakan
ambil, Serolapa," jawab Maha Patih Gempita tegas. Kaget luar biasa Jaka
mendengar ucapan
dua lelaki itu. Ah, hampir saja dirinya melupakan Mayang....
"Tapi ingat, Serolapa! Tidak sekarang kau
kuasai gadis cantik itu, tapi nanti setelah cita-citaku menjadi kenyataan. Kau
kupersilakan me-
nyuntingnya setelah tugas-tugasmu membantuku
selesai dengan baik," ujar Maha Patih Gempita la-gi.
Sedikit lega perasaan Jaka mendengar ja-
waban tokoh pemberontak Kerajaan Suraloka. Itu
berarti masih ada kesempatan untuk menyela-
matkan Mayang. Sekaligus memberitahukan Raja
Suraloka akan api yang tak lama lagi berkobar di Kerajaan Suraloka.
"Lalu kapan waktunya penyerbuan ke Ke-
rajaan Suraloka, Kakang Gempita?" tanya Iblis Bunga Kematian merasa tak sabar.
"Lusa. Saat fajar menyingsing," jawab Maha Patih Gempita memastikan.
Tak ada lagi tanya jawab setelah keputusan
hari penyerbuan diputuskan. Semua prajurit
pemberontak mempersiapkan senjata maupun
strategi yang telah diberikan.
Lain halnya dengan Jaka. Rencananya saat
itu kembali ke Kerajaan Suraloka untuk memberi-
tahukan Prabu Lokawisesa akan niat busuk Maha
Patih Gempita yang akan menyerang Kerajaan
Suraloka. "Ah! Maafkan aku, Mayang. Aku belum bi-
sa menolongmu hari ini. Mungkin besok sebelum
matahari terbenam di ufuk barat. Sekarang aku
harus melaporkan rencana busuk Gempita pada
Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana. Maafkan
aku, Mayang," ucapan itu dikeluarkan Raja Petir hanya untuk Mayang dengan
menggunakan ilmu
'Bisikan Bayu'.
Mendengar suara yang dikirimkan Jaka,
Mayang tampak merasa lega. Wajahnya sekilas
terlihat berseri.
Kakang.... Lakukanlah apa yang menurut-
mu paling baik. Lakukanlah, Kakang.... Ucap su-
ara hati Mayang dalam keadaan tubuh yang le-
mah karena tertotok.
"Hops!"
Setelah mengucapkan sepatah kata perpi-
sahan, Jaka segera berkelebat dengan ilmu lari
cepat tingkat sempurna. Dia ingin lekas-lekas
memberitahukan rencana busuk Maha Patih
Gempita. *** Suasana sore yang begitu indah tidak dipe-
dulikan Jaka. Pemuda itu terus menggenjot la-
rinya agar lebih cepat tiba di Istana Suraloka. Ka-
rena Jaka mengerahkan seluruh kemampuannya
dalam ilmu lari cepat tingkat tinggi, maka tak heran dia tiba lebih cepat. Kini
pemuda itu sudah berdiri sepuluh tombak dari gapura Istana Suraloka. "Hm....
Sebuah penjagaan yang cukup ketat," gumam Jaka ketika melihat delapan prajurit
bersenjata tombak berdiri di samping kiri dan kanan gapura istana. Mereka tampak
bersiaga pe- nuh menghadapi kemungkinan bahaya yang akan
datang. Sedangkan beberapa tombak di belakang
gapura istana terlihat sebuah tembok kokoh yang di atasnya telah siap puluhan
ahli panah kerajaan. Hhh.... Apakah Gusti Prabu sudah menge-
tahui rencana busuk Maha Patih Gempita, hingga
penjagaan diperketat seperti ini" Atau mungkin
ini siasat Maha Patih Gempita agar tidak ada
orang luar yang masuk ke istana dan memberita-
hukan rencana biadabnya" Hhh! Aku harus
mampu melewati penjagaan ketat itu! Putus Jaka
dalam hati. Raja Petir pun meneruskan langkahnya
mendekati gapura Istana Suraloka yang dijaga ketat. "Berhenti!" bentak seorang
penjaga yang bertubuh tinggi besar. Penjaga itu melangkah dua tindak dengan
ujung tombak terhunus ke depan.
"Aku Jaka. Izinkan aku masuk untuk me-
nemui Yang Mulia Prabu Lokawisesa," ucap Jaka dengan lembut namun mengesankan
wibawa yang tinggi. Penjaga itu sesaat tertegun. Namun kemu-
dian.... "Tidak! Tak seorang pun diizinkan melewati gapura ini!" bentak penjaga
itu keras. "Siapa yang mengeluarkan larangan itu?"
tanya Jaka menyelidik.
"Maha Patih Gempita," jawab penjaga itu mantap.
"Hm.... Aku adalah sahabat Patih Sodrana.
Tidakkah aku mendapat izin untuk masuk?"
tanya Jaka. "Sodrana adalah seorang pemberontak!
Kau pasti juga seorang pemberontak!" tuding penjaga bertubuh tegap itu.
Telunjuknya lurus men-
garah ke wajah Jaka.
"Hei! Apa maksudmu?" tanya Jaka tidak mengerti.
"Jangan pura-pura tidak tahu! Sodrana
sudah dijebloskan ke dalam penjara! Kau juga
akan mendapat perlakuan yang sama jika bersi-
keras ingin menjumpai Yang Mulia Prabu Lokawi-
sesa!" ancam penjaga itu.
"Aku memang harus menemui Yang Mulia
Gusti Prabu. Ada hal penting yang harus kusam-
paikan padanya," kilah Jaka dengan tenang.
"Tidak bisa! Apa pun keperluanmu, Maha
Patih Gempita tidak akan mengizinkan!"
"Katakan pada Yang Mulia kalau Raja Petir
yang akan menghadap," ujar Jaka terpaksa memberi tahu julukannya. Jaka berharap
penjaga itu akan mau mengerti.
"Siapa pun kau. Raja Petir atau Raja Getir,
tidak kuizinkan setapak pun melewati gapura ini!"
"Kurang ajar!" maki Jaka geram.
Plak! Plak! Dengan cepat tangan Jaka mengirimkan
tamparan keras berturut-turut ke wajah penjaga.
Itu dilakukan Jaka dengan alasan para penjaga
sengaja ditugaskan Maha Patih Gempita yang
akan memberontak. Jadi tak ada gunanya bersi-
kap lembut pada orang yang jelas-jelas berkom-
plot untuk menggulingkan kerajaan.
Melihat temannya terjengkang ke tanah,
tujuh penjaga lainnya segera menyerang Jaka
dengan senjata terhunus.
"Pengacau! Seraaang...!"
"Hiaaat...!"
Wuuut! Wuut...!
Sedikit pun tak ada kegentaran di hati Ja-
ka. Dengan ketenangan yang luar biasa, pemuda
itu menghadapi gempuran tujuh penjaga gapura.
Tusukan dan babatan mereka dihindari
Jaka dengan bergerak lincah. Namun di balik
keindahan yang dipamerkan Jaka tersembunyi
sebuah serangan balik yang membahayakan.
"Hih!"
Plak! Plak! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua penjaga terkapar di tanah setelah
sambaran tangan Jaka berturut menghantam ke-
pala mereka. Kedua penjaga itu menggelepar.
Kemudian roboh tak berkutik.
"Hih!"
Plak! Plak! Dua penjaga lainnya mengalami nasib yang
sama. Sedangkan tiga penjaga yang tersisa nam-
pak ragu-ragu. "Pasukan panah! Seraaang...!"
Salah seorang dari mereka berteriak lan-
tang. Kemudian, diiringi dengan melesatnya tu-
buh ketiga penjaga itu menghindar, hujan anak
panah pun terjadi.
Twang...! Twang...!
Jaka segera mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-
dah Petir' untuk menghindari hujan anak panah.
Namun itu tidak berlangsung lama. Sebab Jaka
melejit dan berlindung di balik tembok gapura.
Hm.... Aku harus menghubungi Prabu Lo-
kawisesa melalui pengerahan ilmu 'Bisikan Bayu'.
Ucap Jaka dalam hati.
Maka Jaka segera mengerahkan ilmu pen-
girim suara jarak jauhnya. Sementara benturan
anak panah pada tembok gapura masih berlanjut.
"Kerajaan Suraloka dalam keadaan genting,
Gusti Prabu," ucap Jaka melalui ilmu 'Bisikan Bayu'. "Aku Jaka Sembada ingin
bicara empat mata dengan Gusti. Kuharap Gusti berkenan keluar dan menghentikan
serangan-serangan pasu-
kan jaga Istana Suraloka."
Prabu Lokawisesa yang berada di dalam
ruangan khususnya nampak ragu-ragu sesaat
mendengar suara tanpa wujud itu. Yang mengaku
sebagai Jaka Sembada alias Raja Petir.
"Benarkah dia Raja Petir?" gumam Prabu Lokawisesa. "Ah, aku harus menemuinya.
Ba- rangkali apa yang akan disampaikannya merupa-
kan jalan keluar yang tengah terjadi di dalam ke-rajaanku."
Kemudian langkahnya tercipta keluar dari
ruangan khusus. Melewati pendopo istana dan
bergegas ke arah pos penjagaan.
"Hentikan serangan kalian!"
Mantap perintah yang diucapkan Prabu
Lokawisesa. Para ahli panah yang tengah membi-


Raja Petir 15 Api Di Suraloka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikkan anak panahnya langsung menghentikan
serangan ketika mendengar perintah Prabu Loka-
wisesa. Jaka yang menyaksikan hujan anak panah
sudah berhenti segera menampakkan diri. Di ke-
jauhan tampak sosok wibawa Raja Kerajaan Sura-
loka itu. "Perintahkan anak muda itu masuk ke
pendopo menemuiku," tukas Prabu Lokawisesa pada salah seorang penjaga.
Penjaga itu menjura memberi hormat.
"Baik, Yang Mulia," ujar penjaga itu. Kemudian dia bergegas menghampiri Jaka.
'Tuan muda dipersilakan menemui Yang
Mulia Prabu Lokawisesa," ucap penjaga itu seraya membungkukkan badan.
Jaka tersenyum mendengar izin yang di-
ucapkan penjaga itu.
"Terima kasih, Kisanak," ucap Jaka seraya melangkah mantap.
*** "Hamba haturkan sembah penghormatan
pada Yang Mulia," ucap Jaka sopan, ketika tengah berhadapan dengan Prabu
Lokawisesa. Raja Kerajaan Suraloka itu tersenyum den-
gan kepala terangguk perlahan.
"Kepentingan apa yang hendak kau sam-
paikan padaku, Jaka?" tanya Prabu Lokawisesa langsung pada pokok persoalan.
Jaka tidak segera menjawab. Matanya
mencoba menatap wajah sang Prabu.
"Maaf, Yang Mulia. Apa tidak sebaiknya
kepentingan hamba dibicarakan di tempat yang
lebih aman. Ah, maaf. Hamba hanya khawatir
pembicaraan ini akan didengar orang lain," kilah Jaka dengan tutur kata yang
halus. Prabu Lokawisesa menatap lurus wajah
Jaka. "Apakah sebegitu pentingnya berita yang akan kau sampaikan, Jaka?" tanya
Prabu Lokawisesa. "Betul, Yang Mulia," jawab Jaka tegas. "Ini menyangkut
keselamatan Yang Mulia serta seluruh isi kerajaan ini."
Wajah Prabu Lokawisesa kelihatan terke-
jut. Dahinya berkerut mendengar jawaban Jaka.
Namun begitu sang Prabu tidak segera memenuhi
permintaan Jaka. Prabu Lokawisesa tampak
mempertimbangkan kebenaran ucapan pemuda
itu. "Baiklah. Silakan masuk, Jaka," putus Prabu Lokawisesa setelah sesaat
mempertimbangkan permintaan Jaka.
Pemuda itu segera mengikuti langkah Pra-
bu Lokawisesa. "Utarakan berita yang kau bawa untukku,
Jaka," pinta Prabu Lokawisesa setelah Jaka duduk di kursi yang ada di ruang
khusus itu. Jaka segera menceritakan apa yang dilihat
dan didengarnya di kaki Gunung Lumborang.
Semua rencana Maha Patih Gempita dan tokoh-
tokoh golongan hitam yang dibantu ratusan pra-
jurit istana. Begitu juga mengenai Mayang Sutera yang berada dalam tawanan Maha
Patih Gempita. "Biadab!" maki Prabu Lokawisesa sangat geram. Matanya menyala karena kemarahan
yang tidak terbendung.
"Kudengar Patih Sodrana dipenjarakan.
Benarkah itu, Yang Mulia?" tanya Jaka hati-hati.
"Ah. Betul, Jaka. Betul," jawab Prabu Lokawisesa. "Itu semua atas usul Gempita."
"Pasti itu hanya fitnah, Yang Mulia," kilah Jaka hati-hati.
Prabu Lokawisesa baru tersadar. Matanya
menatap tajam wajah Jaka.
"Kau betul, Jaka. Mungkin itu hanya fitnah agar Sodrana tidak lagi memberikan
suara. Su-paya Gempita keparat itu dengan leluasa menja-
lankan rencananya. Ah! Aku harus segera menge-
luarkan Sodrana," putus Prabu Lokawisesa.
"Juga Laga Lembayung," tambah Jaka.
"Ya," ucap Prabu Lokawisesa menyetujui.
Prabu Lokawisesa baru hendak ke luar
ruangan, ketika ucapan Jaka menghentikan ge-
raknya. "Hamba harus pamit sekarang, Yang Mulia.
Hamba harus menyelamatkan Mayang secepat-
nya," ucap Jaka.
"Baiklah, Jaka. Kuucapkan terima kasih
atas bantuanmu. Namun aku berharap kau mau
memberikan kepandaianmu untuk kepentingan
Kerajaan Suraloka dalam mengusir para pembe-
rontak jahanam itu. Terus terang aku membu-
tuhkan orang sepertimu, Jaka," pinta Prabu Lokawisesa.
Jaka tersipu mendengar perkataan Raja
Kerajaan Suraloka itu.
"Apalah artinya kepandaian hamba jika di-
bandingkan dengan ratusan prajurit Suraloka.
Tapi karena hamba merasa berkewajiban mengu-
sir tokoh-tokoh golongan hitam yang berwatak bejat, juga para pemberontak, maka
tanpa diminta pun hamba bersedia membantu meredakan keme-
lut di Kerajaan Suraloka ini," ucap Jaka merendah. Prabu Lokawisesa terharu
mendengar uca- pan Jaka. "Terima kasih, Jaka. Kau sungguh pende-
kar yang patut dipuji."
"Tidak begitu, Yang Mulia," kilah Jaka ma-lu-malu. "Ah. Kalau begitu, hamba
harus pergi sekarang."
"Silakan, Jaka. Silakan," sambut Prabu Lokawisesa.
Jaka segera meninggalkan ruangan khusus
Prabu Lokawisesa. Dan ketika telah melalui gapu-ra istana, pemuda berpakaian
kuning keemasan
itu melesat dengan ilmu lari cepatnya menuju ka-ki Gunung Lumborang. *** 7
Seluruh penghuni Istana Suraloka gempar
ketika Patih Sodrana dan Laga Lembayung dibe-
baskan langsung oleh Prabu Lokawisesa. Apalagi
saat itu juga Patih Sodrana mengambil alih pe-
nanganan keadaan di Kerajaan Suraloka. Atas
wewenang Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana sege-
ra memerintahkan para punggawa dan prajurit
kerajaan yang masih setia untuk meningkatkan
pertahanan. Mereka bergabung pada kesatuan masing-
masing. Namun jumlah mereka sudah berkurang.
Pada pasukan terlihat kekosongan karena seba-
gian telah menyeleweng dengan mengikuti jejak
Maha Patih Gempita. Begitu juga pasukan pedang
dan tombak. Sementara kegemparan dan persiapan-
persiapan tengah terjadi di Kerajaan Suraloka. Di tempat lain Jaka tengah
mengerahkan larinya untuk segera sampai di tempat Mayang Sutera. Den-
gan ilmu lari cepat yang digabung ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, dalam
waktu singkat keinginan Jaka terlaksana. Sebelum warna jingga lenyap di ufuk barat, Jaka sudah
tiba di ujung Hutan Cirueng. Tapi bukan main terkejutnya Jaka me-
nyaksikan pertarungan tak seimbang antara Tiga
Hantu Putih, Sepasang Iblis Api, dan puluhan
prajurit Suraloka melawan seorang kakek berpa-
kaian kuning. Pertarungan menjadi tidak seim-
bang karena kakek itu bertarung dengan me-
manggul tubuh berpakaian jingga. Sosok itu tak
lain Mayang Sutera, kekasih Raja Petir yang berjuluk Dewi Payung Emas.
Melihat kejadian di hadapannya, Jaka se-
gera menyimpulkan bahwa lelaki tua yang me-
manggul tubuh Mayang adalah seorang tokoh go-
longan putih yang berniat menyelamatkan
Mayang. Maka tak ayal lagi, Jaka segera terjun ke kancah pertempuran.
"Hiaaa...!"
Wusss...! Jaka langsung mengeluarkan 'Pukulan
Pengacau Arah' untuk mengusir tokoh-tokoh go-
longan hitam dan prajurit kerajaan yang tengah
merangsek maju.
"Aaa...!"
Beberapa prajurit Kerajaan Suraloka ber-
tumbangan ketika angin bergulung berhawa pa-
nas yang dilepas Jaka menghantam tubuh mere-
ka. Prajurit-prajurit itu jatuh bergelimpangan di tanah dengan tubuh menghitam
tanpa nyawa. Kakek berpakaian kuning itu merasa dapat
angin ketika Jaka turun ke kancah pertarungan.
Kakek berjenggot putih itu mendapat kesempatan
untuk bergerak mundur menghindari serangan
lawan. "Terima kasih, Anak Muda," ucap kakek berpakaian kuning seraya menatap wajah
Jaka. "Aku yang seharusnya berterima kasih pa-
damu, Kisanak," kilah Jaka.
Di tengah pertarungan seru itu mereka bi-
sa berbincang-bincang. Itulah kalau tokoh tingkat tinggi bertarung. Mereka
berbicara tanpa kehilan-gan pikiran ke arah pertarungan.
"Bawa lari gadis itu, Ki. Biar aku yang
menghalangi mereka," pinta Jaka.
Kakek berpakaian kuning yang berusia se-
kitar enam puluh tahun itu menuruti permintaan
Jaka. "Hiaaa...!"
Blak! Blak! Dua prajurit yang hendak melukai tubuh
kakek berpakaian kuning segera terkapar ketika
tendangan telak kakek itu mendarat tepat di dada dan perut. Sebuah tendangan
keras yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak heran jika dua
prajurit itu roboh di tanah dengan dada melesak dan darah muncrat dari mulut.
Sementara kakek berpakaian kuning itu melejit
ke belakang menjauhi arena pertempuran.
Gerakan kakek itu rupanya terbaca lawan-
lawannya. Mereka dengan cepat merangsek maju
menyerangnya. Tapi Jaka yang tengah mengha-
dapi keroyokan lawan segera melejit menghalangi maksud mereka.
"Hiaaa...!"
Wusss! Wusss...!
Kembali Jaka menggelar 'Pukulan Penga-
cau Arah' untuk menahan laju serangan lawan.
Berkali-kali pukulan dahsyat itu dilakukan Jaka.
Dan setiap kali pukulan maut itu dilancarkan,
beberapa lawan langsung bertumbangan di tanah.
Jaka baru berhenti menyerang ketika meli-
hat kakek berpakaian kuning telah pergi dari are-na pertarungan.
"Hiaaa...!"
"Hops! Hops!"
Dua kali Jaka melentingkan tubuh ke be-
lakang menjauhi pertarungan. Namun lawan-
lawannya tetap mengejar. Usaha mereka sia-sia.
Raja Petir telah melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busur.
"Jangan teruskan pengejaran!" cegah sebuah suara keras.
Beberapa tokoh golongan hitam dan pulu-
han prajurit yang bermaksud mengejar Jaka sege-
ra mengurungkan niatnya. Mereka menghampiri
Maha Patih Gempita yang tadi berteriak melarang.
"Aku tidak ingin rencana yang sudah ter-
susun, gagal karena kalian mengejar anak muda
gila itu. Huh! Penyerbuan ke Kerajaan Suraloka
harus kita majukan?" putus Maha Patih Gempita.
Tokoh-tokoh golongan hitam yang mem-
bantu rencana Maha Patih Gempita tidak berkata
apa-apa. Mereka kembali ke tempat masing-
masing. *** Setelah berhasil lolos dari kejaran orang-
orang Maha Patih Gempita, Jaka segera berlari
cepat menyusul kakek berpakaian kuning yang
berhasil menyelamatkan Mayang Sutera.
Itu mereka! Ucap Jaka dalam hati ketika
melihat sosok yang dikejarnya. Jaka segera men-
gerahkan ilmu larinya untuk menjajari lari kakek berjenggot putih itu.
"Tunggu, Kisanak! Tunggu!" teriak Jaka.
"Mereka tidak mengejar kita."
Kakek berusia enam puluh tahun itu
memperlambat larinya. Dan kemudian berhenti
sama sekali. "Terima kasih atas bantuanmu tadi, Anak
Muda," ujar kakek itu sambil menurunkan tubuh Mayang. "Tanpa bantuanmu belum
tentu aku berhasil menyelamatkan gadis ini dari kebiadaban tokoh-tokoh golongan hitam itu.
Ah. Entah apa urusannya mereka dan prajurit-prajurit kerajaan berkumpul di tempat itu."
"Ah. Seharusnya akulah yang mengu-
capkan terima kasih, Ki. Ah, ya. Namaku Jaka,"
kilah Jaka seraya memperkenalkan diri.
"Jaka Sembada?" tanya kakek itu.
Jaka tidak terkejut mendengar namanya
disebut lengkap. Mungkin kakek berpakaian kun-
ing itu telah mengenal sosoknya, atau pernah
mendengar namanya disebut-sebut orang.
"Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah
dapat menduga kau anak muda yang bergelar Ra-
ja Petir," tukas kakek berjenggot putih itu tanpa ragu-ragu. "Itu makanya aku
begitu yakin kau mampu menghalangi mereka, sementara aku ka-
bur menyelamatkan gadis ini."
"Gadis itu adalah temanku, Ki. Kedatan-
ganku ke kaki Gunung Lumborang memang sen-
gaja untuk membebaskannya dari tawanan tokoh-
tokoh sesat dan Maha Patih Gempita si pembe-
rontak," jelas Jaka. "Namun ketika aku tiba di sa-na, kulihat kau tengah
bertarung dengan me-
manggul Mayang Sutera. Aku langsung berkesim-
pulan kau ingin menyelamatkan Mayang dari ke-
bejatan mereka."
"Jadi nama gadis ini Mayang Sutera?"
tanya kakek itu menegasi.
"Betul, Ki. Kuharap kau juga mau mem-
perkenalkan diri," pinta Jaka.
"Panggil aku Ki Partugi," ucap kakek berpakaian kuning memenuhi permintaan Jaka.


Raja Petir 15 Api Di Suraloka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ilmu silat yang kau miliki cukup tinggi, Ki Partugi. Kau pasti seorang tokoh
persilatan yang mempunyai gelar. Kalau kau sudi, beritahulah
aku gelarmu itu," pinta Jaka.
"Apalah arti sebuah gelar," kilah Ki Partugi merendah.
"Ucapanmu betul, Ki Partugi. Namun tidak
ada salahnya aku mengetahui julukanmu, seperti
kau juga tahu julukanku," desak Jaka.
Ki Partugi, lelaki berjenggot putih yang be-
rusia enam puluh tahun itu tersenyum. Dasar
anak muda. Kemauannya harus selalu dituruti!
Gumam Ki Partugi dalam hati.
Sementara Jaka memandangi wajah tua Ki
Partugi sambil menunggu jawaban.
"Kalangan persilatan memberi julukan pa-
daku Pendekar Bunga Merah," beri tahu Ki Partugi akhirnya.
Jaka tidak lagi bertanya-tanya setelah Ki
Partugi memberi tahu julukannya. Kini matanya
tertuju pada sosok Mayang yang tergeletak tak
berdaya. "Sebaiknya kau bebaskan dulu gadis itu
dari totokan yang mengekangnya," perintah Pendekar Bunga Merah.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
Raja Petir mendekati Mayang. Lalu jari telunjuknya memberikan totokan ke bagian
tubuh gadis itu. Tuk! Tuk! "Aaah...!"
Suara keluhan Mayang terdengar. Seketika
itu juga gadis itu bangkit dan duduk di sisi Jaka.
"Kakang.... Untung...."
"Ssst...!"
Jaka menempelkan jari telunjuknya ke bi-
bir Mayang yang hendak mengucapkan terima
kasih padanya. "Sampaikan ucapan terima kasihmu pada
Pendekar Bunga Merah yang telah membe-
baskanmu dari tawanan Maha Patih Gempita,"
tukas Jaka. Tatapan Mayang segera beralih pada seraut
wajah tua yang berjenggot putih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pende-
kar Bu...."
"Panggil aku Ki Partugi, Nini Mayang," se-lak Ki Partugi merasa risih julukannya
disebut. "Ya. Terima kasih, Ki Partugi," ucap
Mayang menuruti permintaan Ki Partugi.
Ki Partugi tersenyum.
"Sebenarnya ada apa di kaki Gunung Lum-
borang. Kenapa begitu banyak prajurit berkum-
pul" Dan yang memimpin mereka kau sebut Ma-
ha Patih Gempita. Apakah kau mengenalnya" Dan
apakah dia memang seorang maha patih?" tanya Ki Partugi beruntun.
Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak
memberatkan Jaka. Tanpa menunggu lama, Ki
Partugi mendengar jawaban pemuda itu.
"Keberadaan mereka di sana adalah awal
dari sebuah pemberontakan yang akan dilakukan
terhadap Kerajaan Suraloka," jelas Jaka.
"Kerajaan Suraloka?" potong Ki Partugi.
"Betul," jawab Jaka. "Ki Partugi mengetahui kerajaan itu?"
Pendekar Bunga Merah mendiamkan per-
tanyaan Jaka. "Teruskan ceritamu," pintanya kemudian.
"Dia memang seorang maha patih di Kera-
jaan Suraloka. Seorang maha patih yang berhati
busuk. Yang telah menjebloskan Patih Sodrana
dan Laga Lembayung ke dalam penjara."
"Laga Lembayung?" tanya Ki Partugi dengan rasa kaget yang tidak mampu
disembunyi- kan. "Kau mengenalnya, Ki Partugi?"
"Dia muridku. Murid satu-satunya yang
sangat kusayangi," jawab Ki Partugi (Agar lebih jelas, silakan baca serial Raja
Petir dalam episode
"Ajian Duribang").
"Kalau begitu, mari kita segera ke Kerajaan Suraloka. Prabu Lokawisesa, Patih
Sodrana, dan Laga Lembayung pasti membutuhkan tenaga kita
untuk mengusir pemberontak-pemberontak kepa-
rat yang dipimpin Maha Patih Gempita," ajak Ja-ka.
"Ayolah, Jaka," sambut Pendekar Bunga Merah. "Baik, Ki. Ayo Mayang," putus Jaka
sambil meraih lengan kekasihnya.
Mayang Sutera menuruti saja tangannya
ditarik Jaka. Gadis itu segera mengimbangi lari Jaka.
*** Matahari baru muncul dari peraduannya
ketika Jaka, Pendekar Bunga Merah, dan Mayang
menginjakkan kaki di Desa Terajung. Lari mereka sudah tidak secepat semula.
Mereka kini berlari kecil untuk mengimbangi lari Mayang yang sudah
merosot. "Kakang Partugi!" panggil sebuah suara.
Ki Partugi menolehkan kepala ke arah sua-
ra yang memanggilnya. Kakek itu terkejut melihat seorang lelaki yang sepertinya
dia kenal betul. Ki Partugi langsung menghentikan larinya. Diikuti
Jaka dan Mayang.
"Adi Madrani"!" ucap Ki Partugi ketika mengenali sosok lelaki berpakaian hijau
yang berusia tidak jauh darinya.
Kedua lelaki berusia di atas setengah abad
itu segera berpelukan. Seolah ingin melepas rindu yang telah sekian lama
terpendam. "Kukira kau sudah terkubur sekian puluh
tahun di dasar laut, Adi Madrani," ucap Ki Partugi setelah melepaskan
rangkulannya. "Sebuah kapal penumpang yang bermua-
tan pesilat-pesilat tingkat tinggi telah menyelamatkanku yang tengah terapung-
apung di kelua-
san samudera," jelas Ki Madrani.
"Lalu sedang apa kau di desa ini?" tanya Ki Partugi.
"Mencari Serolapa. Muridku, Kakang" sahut Ki Madrani.
"Oh, ya. Sebenarnya ada apa hingga kau
mencari-cari muridmu" Juga mengapa dia me-
ninggalkanmu, Adi Madrani?" tanya Ki Parhagi ingin tahu lebih jauh hubungan
Madrani dan Serolapa. "Menurutku Serolapa seorang murid yang berbakat besar
dalam ilmu silat. Susunan tulang dan otot-ototnya sangat bagus. Juga dia
memiliki otak cemerlang serta watak yang baik. Dia ramah dan sopan," ujar Ki
Madrani memenuhi pertanyaan Ki Partugi. "Karena itulah, ketika dia datang
kepadaku minta diangkat menjadi murid,
aku tidak keberatan. Malah kupikir tak ada sa-
lahnya mengembangkan ilmu yang kumiliki. Lima
tahun lebih Serolapa belajar denganku. Dan
sungguh tak ku percayai ilmu yang kuturunkan
padanya jauh lebih dahsyat jika dia yang me-
mainkan. Aku kagum padanya. Namun kekagu-
manku seketika redup ketika kuketahui dia ber-
komplot dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam. Mungkin karena itulah
dia menghin- dari ku. Dan aku akan tetap mencarinya agar dia segera memutuskan hubungan
dengan tokoh-tokoh itu."
"Sebenarnya kalian bertiga hendak ke ma-
na?" tanya Ki Madrani, setelah beberapa saat mengakhiri ceritanya.
"Hendak membebaskan Kerajaan Suraloka
dari kaum pemberontak," jawab Ki Partugi. "Ikut-lah bersama kami, Adi Madrani.
Tenagamu pasti sangat dibutuhkan."
Ki Madrani tidak menjawab permintaan Ki
Partugi. "Mengenai muridmu, bisa kita cari setelah
ini," kilah Ki Partugi melihat keraguan di mata adik angkatnya. "Oh ya, Jaka.
Apakah Kerajaan Suraloka masih jauh dari desa ini?"
"Tidak lebih dari tiga puluh lima pal lagi kukira," jawab Jaka.
"Sudah dekat kalau begitu. Ayolah, Adi
Madrani. Sumbangkan tenagamu untuk orang
lain yang membutuhkan," ajak Ki Partugi lagi.
"Ayolah!"
Pendekar Bunga Merah tersenyum men-
dengar persetujuan adik angkatnya. Empat sosok
tubuh itu pun melesat cepat menuju sebuah ke-
rajaan yang tengah dilanda kemelut besar.
Pendekar Bunga Merah yang mengkhawa-
tirkan keselamatan Laga Lembayung, murid tung-
galnya, tentu saja mempunyai semangat tersendi-
ri untuk menguar pemberontak. Begitu juga den-
gan Jaka dan Mayang.
Gadis cantik yang bergelar Dewi Payung
Emas itu merasa tak sabar lagi untuk membalas
sakit hatinya atas perlakuan tokoh-tokoh golon-
gan hitam yang telah menawannya. Itulah sebab-
nya semangatnya kembali bangkit. Dan larinya
pun dibuat lebih cepat. Hingga dalam waktu yang tidak begitu lama mereka sudah
memasuki wilayah kotaraja. Lalu terus menyelusup ke dalam
menuju Istana Suraloka.
"Lihat, Ki Partugi! Rupanya pertempuran
sudah berkobar," ucap Jaka keras ketika melihat asap hitam mengepul di bagian
bangunan sekitar
istana. "Ayo cepat kita bantu mereka!" tukas Ki Partugi penuh semangat seraya
bergerak lebih dulu. Jaka, Mayang, dan Ki Madrani segera ber-
kelebat ke kancah pertarungan.
*** 8 "Gusti Prabu! Paman Patih! Aku datang
membantumu!" teriak Jaka lantang.
Pertarungan sesaat terhenti ketika mereka
yang bertarung menyempatkan diri menoleh ke
arah suara yang berujar cukup keras itu.
Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana se-
nang bukan main melihat kemunculan Jaka dan
Mayang pada saat yang tepat ketika pasukan ke-
rajaan mulai tergempur mundur. Kegembiraan
juga terlihat jelas di wajah Laga Lembayung begi-tu melihat kemunculan Ki
Partugi. "Guru...," ucap Laga Lembayung perlahan.
Pertarungan kembali berlanjut. Dentang
senjata dan percikan bunga api semakin meng-
hiasi arena pertempuran. Pasukan Kerajaan Sura-
loka yang semula kewalahan menghadapi pasu-
kan pemberontak yang dipimpin Maha Patih
Gempita, kini mampu merangsek maju menggem-
pur lawan-lawannya. Itu tidak lain berkat kemunculan Raja Petir, Dewi Payung
Emas, Pendekar Bunga Merah, dan Ki Madrani.
Semangat prajurit-prajurit Kerajaan Sura-
loka bertambah dua kali lipat ketika mendapat
bantuan Raja Petir dan kawan-kawannya. Mereka
bertarung mempertahankan keutuhan kerajaan
dengan sepenuh hati.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat..!"
Teriakan-teriakan membahana terdengar
keras. Berpadu dengan dentang senjata.
Trang! Trang! Bret! "Aaa...!"
Pekik kematian yang diiringi terjungkalnya
sosok tubuh berlumuran darah menciptakan se-
buah pemandangan mengerikan di halaman de-
pan Istana Suraloka. Darah menggenang di sana-
sini. Korban-korban jatuh bergelimpangan, baik
dari pihak pemberontak maupun prajurit-prajurit istana yang setia. Hawa kematian
telah menyebar di Suraloka.
Jaka yang langsung terjun ke medan per-
tempuran mengambil alih lawan Prabu Lokawise-
sa. Pemuda itu tidak setengah-setengah mengha-
dapi musuhnya. Sepasang Iblis Api yang menjadi lawan Ja-
ka terkejut. Mereka kaget menyaksikan ilmu-ilmu dahsyat yang dimainkan Jaka.
Terlebih ketika
menyadari dengan siapa mereka berhadapan.
"Raja Petir...," gumam orang pertama Sepasang Iblis Api.
"Jangan pandang siapa aku, Iblis Laknat!
Keluarkan seluruh ilmu yang kalian miliki. Biar kalian tidak mati penasaran!"
bentak Jaka keras.
"Sombong kau!" maki orang termuda Sepasang Iblis Api marah.
Lelaki berpakaian hijau itu langsung men-
celat ke arah Jaka dengan pedang terayun ke leh-er.
"Hiyaaa...!"
Wuuung...! Wuuung...!
Pedang panjang yang memendarkan sinar
kemerahan itu berkelebat dahsyat ke arah leher
Raja Petir. Sebuah jurus yang bernama 'Pedang
Bara Neraka' diperlihatkannya.
"Heh..."! Uts!"
Jaka segera melejitkan tubuhnya ke bela-
kang ketika merasakan sambaran senjata yang
menyebarkan hawa panas itu. Gerakannya yang
ringan diimbangi dengan tubuh yang dimiringkan.
Hingga senjata lelaki berpakaian hijau itu mem-
bentur tempat kosong. Namun sambaran hawa
panasnya sempat dirasakan Jaka.
"Iblis-iblis bejat! Kalian memang harus merasakan hukuman dariku!" bentak Jaka
marah. Tubuhnya melesat cepat mengejar orang termuda
Sepasang Iblis Api.
"Haaat...!"
Dengan melancarkan jurus 'Petir Menyam-
bar Elang' tubuh Jaka berada di udara dengan
kedua tangan terentang dalam pengerahan tenaga
dalam penuh. Lelaki berpakaian hijau yang serangannya
berhasil dikandaskan Jaka tampak sangat terke-
jut melihat kedatangan serangan balasan Raja Petir yang begitu cepat. Orang
termuda Sepasang


Raja Petir 15 Api Di Suraloka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Api itu ingin mengelakkan serangan Raja Petir. Namun....
Plak! Blagkh! "Uaaagkh...!"
Tubuh lelaki berpakaian hijau itu terpental
akibat sambaran tangan pada pelipis dan gedoran tendangan memutar yang telak
menghantam da-da. Darah segar muncrat dari mulut lelaki termu-da Sepasang Iblis
Api. Bruk! Tubuh berpakaian hijau itu jatuh berdebuk
dan hanya sesaat menggelepar di tanah. Saat be-
rikutnya tubuh itu terbujur kaku untuk sela-
manya. Orang tertua Sepasang Iblis Api tentu saja
terkejut menyaksikan kejadian yang begitu cepat berlangsung itu. Sungguh dia
tidak menyangka
Raja Petir demikian hebat.
"Ghrrr...!"
Orang tertua Sepasang Iblis Api mengge-
ram marah. Kepalanya yang ditumbuhi rambut
berwarna merah terlihat bergerak-gerak seiring
dengan gerengannya. Lelaki itu agaknya hendak
menyajikan jurus 'Api Membelah Bukit'.
"Haaa!..!"
Saat berikutnya, orang tertua Sepasang Ib-
lis Api melejit ke arah Jaka dengan pedang yang memendarkan sinar kemerahan
tertuju ke kepala.
Jaka yang memang ingin cepat mengakhiri
perlawanan lelaki berambut merah segera menge-
rahkan aji 'Kukuh Karang'. Maka menjelmalah si-
nar kuning menyilaukan mata dari tubuhnya.
Dan ketika pedang lelaki berambut merah menu-
suk tepat ke jantung Jaka, maka....
Crutsss...! Sinar merah dan kuning bertemu dan ber-
pendar. Lelaki berambut merah terkejut bukan
main. Tubuh Raja Petir ternyata tidak tertembus pedangnya. Bahkan....
"Ih! Uhhh...!"
Orang tertua Sepasang Iblis Api berusaha
menarik pulang senjatanya yang menempel di tu-
buh Raja Petir. Namun semakin keras tenaganya
dikerahkan, semakin kuat pula daya sedot yang
dirasakan menahan senjatanya.
"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?" gumam lelaki berambut merah. Keringat
nampak mengucur membasahi wajahnya.
"Haaarrrtk...!"
Tiba-tiba tokoh sesat itu berteriak seraya
mengempos seluruh tenaganya. Tapi lagi-lagi dia gagal. Saat itulah tangan Jaka
berkelebat menepis tangan lawan yang mencekal hulu pedangnya.
Plak! "Aaakh...!"
Tubuh orang pertama Sepasang Iblis Api
terjerembab dengan pedang terlepas dari tangan.
Dan Jaka segera memanfaatkan senjata lawan
untuk mengakhiri hidup pemiliknya.
Siiing...! Crab! "Aaa...!"
Lolong kematian yang melengking seketika
terdengar. Pedang yang memendarkan sinar ke-
merahan itu tepat menghunjam ulu hati pemilik-
nya sendiri. Hanya beberapa saat tubuh lelaki berambut merah itu menggeliat,
lalu terdiam den-
gan nyawa melayang.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian juga terdengar dari mulut
prajurit-prajurit setia Kerajaan Suraloka. Itu bisa terjadi karena mereka
menghadapi Tiga Hantu
Putih yang memiliki kepandaian tinggi.
"Aku lawanmu, Hantu Bejat!" tantang Jaka setelah menyelesaikan pertarungannya
dengan Sepasang Iblis Api.
Para prajurit Kerajaan Suraloka segera
bergerak mundur untuk memberi kesempatan
pada Raja Petir menghadap lawan mereka. Meli-
hat Raja Petir berdiri di hadapannya, Tiga Hantu Putih segera bergerak mengurung
tokoh digdaya berpakaian kuning keemasan itu. Ketiganya
menghunus sebilah keris panjang yang memiliki
perbawa cukup dahsyat.
Jaka tentu bersikap hati-hati terhadap ke-
tiga lawannya. Maka seluruh kepekaannya dike-
rahkan untuk membaca serangan para penge-
royoknya. "Ilmu 'Melebur Gunung'!" ucap orang tertua Tiga Hantu Putih seraya menghentakkan
tangan ke depan. Gerakan seperti itu juga dilakukan orang
kedua dan orang ketiga.
Trat! Trat! Trat!
Sinar tipis kebiruan melesat dari ujung ke-
ris yang terhentak tangan Tiga Hantu Putih. Tiga larik sinar kebiruan itu
meluruk cepat ke arah
Raja Petir. "Hiaaa...!"
"Hops!"
Jaka menghentakkan kaki ke tanah keras-
keras dalam gerakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Tubuhnya yang terbalut pakaian kuning keema-
san tampak seperti terbang. Sementara sinar ke-
biruan yang keluar dari ujung keris Tiga Hantu
Putih tertarik kembali ke tempatnya.
Jleg! Jaka mendarat di tanah dengan ringan. Di
tangan lelaki muda nan digdaya itu kini tergenggam sabuk berwarna hijau. Sebuah
sabuk ber- pamor dahsyat yang bernama Sabuk Petir. Sinar
kuning yang menyilaukan mata memancar dari
sabuk yang tergenggam tangan Jaka.
Tiga Hantu Putih tidak pernah menyaksi-
kan kehebatan Sabuk Petir. Mereka tampak tidak
mempedulikan senjata itu. Dengan sikap yang
sombong, ketiga lelaki berpakaian putih itu kembali merangsek maju.
"Hiaaa! Hiaaa...!"
Ketiga sosok putih itu meluruk cepat ke
arah Jaka dengan senjata terhunus. Dan Jaka
sendiri memang sudah tidak ingin main-main la-
gi. Maka saat itu juga tangan kanannya yang
menggenggam Sabuk Petir menghentak cepat.
"Hih!"
Ctar! Ctar! Ctar!
Tiga ledakan keras terdengar berturut-
turut seiring dengan hentakan tangan Jaka. Tiga sinar keperakan susul-menyusul
melesat menyongsong tubuh Tiga Hantu Putih. Maka seketi-
ka itu juga....
Blar! Blar! Blar!
Tanpa terdengar erangan lagi, Tiga Hantu
Putih terpental sesaat setelah tubuh mereka ter-hantam sinar keperakan yang
melesat dengan ju-
rus 'Petir Membelah Malam'. Saat itu juga nyawa Tiga Hantu Putih pergi
meninggalkan raga dengan jasad hangus terbakar.
Bruk! Bruk! Bruk!
Tubuh Tiga Hantu Putih jatuh berderak di
tanah. *** Suasana di halaman depan Istana Suraloka
yang luas kelihatan tidak sedap dipandang.
Mayat-mayat bergelimpangan. Darah yang meng-
genang menimbulkan bau anyir menyesakkan.
Begitu juga keadaan di sekelilingnya. Po-
hon-pohon peneduh di sekitar istana bertumban-
gan. Tanah di sana-sini berlubang terkena puku-
lan-pukulan dahsyat yang tidak menemui sasa-
ran. Sementara itu pertarungan masih berlang-
sung seru. Pihak pemberontak kelihatan terdesak.
Hanya tokoh-tokoh golongan hitam dan Maha Pa-
tih Gempita yang masih bertahan.
Pertarungan Iblis Bunga Kematian dan La-
ga Lembayung tampak begitu alot. Tapi dengan
kematangan pengalaman bertarung yang dimiliki
Iblis Bunga Kematian, tokoh itu menjadi sedikit lebih unggul dari Laga
Lembayung. Pada jurus-jurus berikutnya Laga Lembayung terpukul mun-
dur. "Mampus kau, Bocah!" bentak Iblis Bunga Kematian.
Wruuukkk...! Sebuah senjata berbentuk bunga duribang
yang bertaut dengan rantai baja berkelebat cepat ke arah leher Laga Lembayung.
Pada kedudukan terjepit seperti itu mustahil bagi Laga Lembayung untuk mengelakkan sambaran-
sambaran senjata
yang menciptakan sinar kemerahan dan berbau
tak sedap itu. Tapi putra Patih Sodrana ini tidak mau menyerah begitu saja.
Pemuda ini berusaha
melompat. Namun....
Treps! Terbelalak mata Iblis Bunga Kematian
mendapatkan rantai baja senjatanya ditangkap
seseorang. Seorang lelaki berpakaian kuning yang bergelar Pendekar Bunga Merah.
"Guru...!" ucap Laga Lembayung melihat Ki Partugi menyelamatkan nyawanya.
"Mundurlah, Laga. Kau bantu yang lain.
Biar lelaki ini aku yang hadapi," perintah Ki Partugi pada muridnya.
Laga Lembayung tentu saja mematuhi pe-
rintah Pendekar Bunga Merah yang sangat di-
hormatinya. Pemuda itu segera membaur dengan
pertarungan lain.
Sementara itu, Ki Partugi mengerahkan te-
naga dalamnya untuk mempertahankan rantai
baja yang ditarik kuat pemiliknya. Tarik-menarik dengan mengerahkan tenaga dalam
tingkat tinggi pun terjadi. "Siapa kau sebenarnya hingga mengguna-
kan bunga duribang sebagai senjatamu?" tanya Ki Partugi.
"Aku Iblis Bunga Kematian!, yang sebentar
lagi mencabut nyawa tuamu!" jawab Iblis Bunga Kematian membentak.
"Hm.... Salah satu jurus milikmu begitu
sama dengan jurus yang kupunyai. Katakan, sia-
pa sebenarnya kau"!" desak Ki Partugi. "Dari ma-na kau dapatkan jurus 'Bunga
Merekah'"! Dan
siapa guru-mu?"
"Bedebah! Untuk apa kau tahu!?" hardik
Iblis Bunga Kematian sambil menarik ujung ran-
tai bajanya. "Hhh!"
Ki Partugi tidak mau kalah mempertahan-
kan. Namun tiba-tiba....
"Serolapa!"
Sosok berpakaian hijau tahu-tahu sudah
berdiri di tengah-tengah Iblis Bunga Kematian
dan Pendekar Bunga Merah.
Iblis Bunga Kematian yang nama sebenar-
nya Serolapa terkejut bukan main melihat kehadiran Ki Madrani yang tidak lain
gurunya. Demikian pula Ki Partugi. Sungguh tak disangkanya kalau
Ki Madrani mengenal Iblis Bunga Kematian.
"Dia muridku, Kakang Partugi. Aku menca-
rinya karena mendengar sepak terjangnya yang
salah," jelas Ki Madrani pada Ki Partugi.
"Huh!"
Mendadak Iblis Bunga Kematian melepas
genggaman pada senjatanya. Mau tak mau tubuh
Ki Partugi terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri.
"Hop!"
Dengan segenap kepandaiannya, Pendekar
Bunga Merah berhasil mementahkan daya dorong
itu. Sementara Iblis Bunga Kematian tanpa didu-
ga Ki Madrani dan Ki Partugi melesat melarikan
diri. "Maaf, Kakang. Aku harus mengejarnya.
Perbuatannya harus segera diluruskan," ucap Ki Madrani.
Tanpa menunggu jawaban Ki Partugi, Ki
Madrani melesat mengejar Iblis Bunga Kematian
yang telah pergi dengan mengerahkan ilmu lari
cepat tingkat tinggi. Sedangkan Ki Partugi tertegun menyaksikan kejadian yang
sungguh tidak disangkanya itu.
Pada pertarungan lain tampak Laga Lem-
bayung telah mengambil alih lawan ayahnya,
yang bertempur melawan tokoh pengkhianat ke-
las satu di Kerajaan Suraloka. Dialah Maha Patih Gempita. Tokoh yang telah
mengobarkan api pe-perangan di Kerajaan Suraloka.
"Kau harus mampus, Pengkhianat!" bentak Laga Lembayung geram.
Tangannya yang menegang kaku bergerak
cepat melancarkan jurus 'Pukulan Pemecah Ka-
rang'. Sebuah pukulan dahsyat yang mengarah ke
batok kepala Maha Patih Gempita.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Blarrr! Pukulan maut bertenaga dalam tinggi itu
luput dari sasaran. Lalu menghantam tanah be-
rumput halus hingga membentuk lubang cukup
besar. Sementara Maha Patih Gempita yang sela-
mat dari incaran maut menjadi pucat wajahnya
menyaksikan pukulan dahsyat lawan.
"Kau tidak akan kubiarkan hidup,
Pengkhianat! Haaat...!"
Tanpa bergerak dari tempatnya, Laga Lem-
bayung bersiap melancarkan pukulan dengan
pengerahan 'Ajian Duribang' tingkat pertama. Ma-ka.....
Wrusss! Brefs!

Raja Petir 15 Api Di Suraloka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaa...!"
Ki Partugi menoleh ketika mendengar jeri-
tan menyayat yang begitu keras. Matanya me-
nangkap sosok bertubuh tinggi terpental deras
terkena pukulan maut Laga Lembayung. Tubuh
itu adalah sosok Maha Patih Gempita. Saudara
lain ibu Prabu Lokawisesa yang mendalangi pem-
berontakan. Bruk! Tubuh Maha Patih Gempita ambruk di ta-
nah dengan bagian-bagian tubuh memerah.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah mengelua-
rkan 'Ajian Duribang' untuk membinasakan
orang," ucap Laga Lembayung seraya berlutut di hadapan Ki Partugi yang
menghampirinya.
Ki Partugi tidak berkata apa-apa. Hanya
tangannya saja yang meraba punggung Laga
Lembayung. "Bangkitlah, Laga. Mungkin itulah huku-
man bagi seorang pemberontak," ucap Pendekar Bunga Merah.
Kemudian pandangan lelaki tua itu beralih
ke arah Patih Sodrana yang tengah menghadapi
beberapa orang prajurit pemberontak.
"Itukah ayahmu?" tanya Ki Partugi.
Laga Lembayung menganggukkan kepala.
Ki Partugi kemudian mengajak pemuda itu me-
nemui ayahnya. Pertarungan lain yang tak kalah serunya
antara Mayang Sutera melawan Naga Mata Tung-
gal. Gadis cantik berpakaian jingga itu sangat
menaruh dendam pada Naga Mata Tunggal yang
telah menawannya di tepi jurang di kaki Gunung
Lumborang. Maka tak heran jika seluruh kepan-
daiannya dikerahkan untuk memberi pelajaran
pada tokoh sesat itu.
Sebaliknya, Naga Mata Tunggal pun tidak
ingin ditaklukkan seorang gadis cantik yang se-
pantasnya menjadi istri yang baik. Maka dia pun mengeluarkan seluruh
kepandaiannya untuk
mengimbangi jurus-jurus Mayang.
"Hiaaat..!"
Pekik kemarahan yang cukup keras terlon-
tar dari mulut Dewi Payung Emas itu. Jurus
'Menepak Laut Menggenggam Air' segera dikerah-
kannya. Angin menderu menandai bahwa seran-
gan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Wruuuk! "Eits!"
Naga Mata Tunggal berkelit ke kanan saat
sambaran tangan Mayang meluruk ke pelipis.
Sambaran gadis itu luput dari sasaran. Namun
angin sambarannya sempat dirasakan Naga Mata
Tunggal. "Hops!"
Lelaki bermata satu itu melenting menjauhi
Mayang. Kini dia siap mengarahkan senjatanya
yang berupa bola berduri.
Wruuuk...! Wruuuk!
Wrrr! "Uts! Hop!"
Tubuh Mayang melenting ke udara meng-
hindari serangan Naga Mata Tunggal yang menga-
rah ke kaki. Blarrr! Serangan Naga Mata Tunggal menghantam
tanah hingga tercipta sebuah lubang. Sementara
Mayang segera mendarat. Dengan kecepatan yang
luar biasa kakinya menghentak, melejit ke arah
Naga Mata Tunggal dengan jurus 'Menepak Laut
Menggenggam Air'.
"Hiaaat...!"
Naga Mata Tunggal tidak menyangka gera-
kan Mayang begitu cepat. Tahu-tahu serangan
balasan itu sudah berada di depan wajahnya.
Brettt! "Aaa...!"
Naga Mata Tunggal memekik keras ketika
ujung payung baja Mayang yang terkembang
membabat perutnya hingga memuncratkan darah
dan mengeluarkan isi perutnya.
Tubuh Naga Mata Tunggal tergeletak di ta-
nah dengan perut menganga lebar. Darah mengu-
cur dari lukanya. Hingga membuat tubuh lelaki
itu semakin lemah. Di samping rasa sakit yang
amat sangat. Maka tak lama setelah tubuhnya
menggelinjang, Naga Mata Tunggal menghem-
buskan nafas terakhir. Tubuhnya lunglai tanpa
nyawa. "Hhh...!"
Mayang menarik napas menyaksikan la-
wannya terkapar tanpa nyawa. Kemudian tubuh-
nya berbalik dan langsung menghampiri Jaka
yang telah lebih dulu mengakhiri perlawanan mu-
suh-musuhnya. "Kakang...!"
"Mayang!" sambut Jaka menyongsong ke-
kasihnya. *** Halaman depan Istana Suraloka tengah di-
benahi. Mayat-mayat prajurit yang setia pada kerajaan dipisahkan dengan
prajurit-prajurit pem-
bangkang. Sementara mayat Maha Patih Gempita
dijadikan satu dengan mayat-mayat tokoh golon-
gan hitam. Sedangkan prajurit-prajurit pemberontak yang masih hidup segera
dimasukkan ke da-
lam penjara bawah tanah.
Di pendopo Istana Suraloka tampak Prabu
Lokawisesa tengah duduk di bangku berukir bun-
ga matahari yang dialasi kain beludru halus war-na merah darah. Hadir di situ
Jaka Sembada, Mayang Sutera, Ki Partugi, Patih Sodrana, dan
Laga Lembayung. Empat lelaki dan seorang gadis
cantik berpakaian jingga dengan tenang menden-
garkan perkataan Prabu Lokawisesa.
"Aku tidak tahu harus berkata apa atas ja-
sa-jasa kalian yang telah berhasil memadamkan
pemberontakan di Kerajaan Suraloka ini. Rasanya tidak pantas kalau hanya ucapan
terima kasih yang kuberikan atas jasa kalian yang begitu be-
sar," ujar Prabu Lokawisesa. "Tanpa kehadiran Raja Petir, dan kau, Nona Manis.
Juga Ki...."
"Nama hamba Partugi, Yang Mulia," potong
Ki Partugi memperkenalkan diri.
"Ya. Tanpa kalian, mungkin kerajaan ini
sudah jatuh ke tangan penguasa berwatak bejat.
Ah! Tak terbayangkan kehidupan rakyat jika hal
itu terjadi. Maka sebagai tanda hormatku pada
kalian bertiga, kuharap kalian bersedia menetap di istana ini," pinta Prabu
Lokawisesa berharap.
Ki Partugi tidak membantah ucapan Prabu
Lokawisesa. Namun Jaka dengan halus menolak
permintaan itu.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya
hamba tidak berkenan menerima penghormatan
yang begitu besar dari Yang Mulia. Tapi hamba
masih mempunyai urusan lain yang harus disele-
saikan," ucap Jaka sopan.
Prabu Lokawisesa terdiam mendengar tu-
tur kata Jaka. Sepasang matanya menatap haru
wajah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Baiklah kalau itu yang menjadi keingi-
nanmu, Raja Petir. Namun kuharap singgahlah di
istanaku kapan saja kau ada waktu!" ujar Prabu Lokawisesa.
"Lain waktu hamba pasti berkunjung ke
sini, Yang Mulia," sambut Jaka. "Sekarang kami berdua mohon pamit."
Prabu Lokawisesa tidak berkata-kata lagi.
Kepalanya mengangguk sebagai tanda menyetujui
permintaan Jaka.
"Hips!"
Jaka dan Mayang segera melesat setelah
lebih dulu berpamitan pada Patih Sodrana, Ki
Partugi, dan Laga Lembayung. Sementara mereka
yang ditinggalkan hanya dapat menatap haru ke-
pergian sepasang Pendekar yang begitu rendah
hati itu. SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Rembulan Berdarah 3 Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Tembang Tantangan 3
^