Pencarian

Babi Ngepet 1

Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap Bagian 1


?"bab 1 novel misteri BABI NGEPET
karya Abdullah Harahap diambil dari hasil edit teks oleh Tjareuh"Boelan yang di
upload di http://indozone.net
thank to Tjareuh"Boelan.
NYI IMAS tercenung menghadapi baskom berisi air di
atas meja. Daun sirih masih mengapung. Tenang, di
permukaan air yang diam seperti kaca. Nyi Imas
menarik napas lega. Menoleh pada lilin, satu-satunya
cahaya yang menerangi ruangan kamar yang tertutup
dan pengap itu. Beberapa saat sebelumnya air dalam
baskom itu bergerak-gerak dan perasaan was-was
Nyi lmas sudah mencekam dan membuatnya
ketakutan. Hampir saja ia meniup nyala lilin kalau
saja air itu tidak kembali tenang seperti semula.
Tubuh Nyi lmas tersandar pada kursi yang ia duduki.
"Jangan lengah!" masih ingat ia pesan suaminya
ketika laki-laki itu akan meninggalkan rumah setelah
lewat waktu Isya. "... perasaanku tidak enak malam
ini, tetapi rencanaku sudah matang. Aku sudah
menyelidiki keadaan rumah gedung di kampung
Lebak. Seorang isteri piaraan pejabat tinggal di situ,
dan suaminya baru menghadiahkan kalung berlia n
besar berharga ratusan ribu."
Ketika mendengar itu, Nyi lmas diam saja.
"Kau tidak senang"" suaminya bertanya.
"Aku mengkhawatirkan dirimu, Kang."
"Ah, kalau wujudku sudah berubah, aku nanti akan
kebal. Percayalah. Aku akan kembali lagi di rumah
sebelum fajar tiba!"
Lalu suaminya membuka lemari besar di sudut kamar
yang kini diawasi Nyi Imas. Terlalu besar lemari itu
untuk sepotong pakaian hitam, yang tak pernah
diketahui perempuan itu bentuka dan asal muasalnya.
Ketika ia kawin dengan lelaki itu, baju itu telah ada di
dalam lemari. Dan waktu Nyi Imas meminta lemari itu
ia pergunakan untuknya sendiri, suaminya menolak.
"Itu khusus untuk baju mu'zizat," menerangkan
suaminya. Nyi lmas mengeluh. Kembali memperhatikan lilin.
Masih menyala. Tampak seperti bentuk hati yang
memanjang. Kuning kemerah-merahan. Cahayanya
memantul ke permukaan air dalam baskom. Tenang,
tak bergerak-gerak. Nyi Imas tersandar lagi. Dan lagilagi lamunannya mengambang.
la sudah lama mengenal Dudung. Mereka sekampung,
dan teman sepermainan semenjak kecil. Ketika Nyi
Imas menjelang dewasa ia akan dipertunangkan
dengan Sugriwa, anak pamannya dari kota. Nyi Imas
yang sudah mengikat janji akan sehidup semati
dengan Dudung, menolak seraya menangis sepanjang
hari. Ayahnya menjadi marah besar.
""Apa yang kau harapkan dari si Dudung yang melarat
itu" Sawah pun ia tak punya. Rumah" Cuma sebuah
gubuk yang telah belasan tahun tidak diperbaiki ..."
"Kami saling mencintai, Pak," tangis Nyi Imas. "Kami
sudah berjanji." "Cinta. Puih!" bapaknya meludah.
Lalu ibu Nyi Imas menukas:
"Sugriwa orang kota. Sudah lulus sekolah tinggi, dan
sudah bekeria. Bahkan di kota ia sudah punya rumah,
lalu sebuah motor untuk kalian pakai kalau mau
menemui ibumu. Tidak puaskah kau, Nak""
Meskipun Nyi Imas bersikeras tahan hidup mela rat
asal bersama Dudung, orang tuanya tetap memaksa.
Akhirnya Imas dikawinkan dengan Sugriwa, diboyong
ke kota. Dan tinggallah Dudung menangisi dirinya.
Tetapi sehari sebelum Nyi Imas dibawa Sugriwa ke
kota, sempat mereka bertemu di kaki bukit,
sembunyi-sembunyi. Mereka bertangis-tangisan, dan
Dudung berbisik di telinga lmas:
"Aku akan merebutmu kembali, suatu hari.
Percayalah!" "Tetapi Kang, aku sudah menjadi isterinya."
"Aku yakin kalian tak lama. Dan kita akan berumah
tangga seperti yang telah lama kita cita-citakan."
Lalu Nyi Imas dibawa Sugriwa ke kota, dan memang
diberi sebuah rumah. Tetapi Sugriwa hanya mesra dan
sayang pada Nyi lmas sebulan dua bulan saja. Setelah
itu ia pun jarang di rumah, dan sering
marah-marah kalau datang. Setahun telah berlalu.
Sugriwa kemudian tidak muncul-muncul lagi. Ketika
Nyi Imas menanyakan ke kantor tempat suaminya
bekerja, ia peroleh jawaban bahwa Sugriwa punya
sebuah rumah lain, dimana ia tinggal bersama
seorang isteri dan lima orang anaknya!
Nyi Imas kontan minta cerai dan pulang ke kampung.
Orang tuanya tidak dapat berbuat lain kecuali
menerima lmas kembali ke rumah mereka. Mereka
pun menyatakan penyesalan, tetapi semuanya telah
terlambat. Imas menjadi sakit dan kurus. Karena,
begitu tiba di kampung ia tidak berjumpa lagi dengan
Dudung. Baru seminggu setelahnya ia mendapat
keterangan-keterangan dari teman-temannya
semenjak kecil, bahwa Dudung telah melarikan diri
setahun yang lalu. Konon ia bertapa di puncak gunung
di sebelah utara perkampungan mereka.
Imas lalu berpesan pada setiap pencari kayu bahkan
pada pemburu-pemburu babi hutan yang datang dari
kota, kalau bertemu Dudung di gunung agar
memberitahu bahwa Imas telah kembali. la yakin
kekasihnya itu masih hidup dan akan kembali
padanya, seperti yang mereka janjikan. Dan benar
saja. Tiga bulan setelah Imas kembali ke
kampungnya, muncullah seorang laki-laki tinggi tegap
dengan wajah berseri-seri. la adalah Dudung. la tidak
muncul dengan tangan kosong, tetapi dengan
sejumlah uang. Uang itu banyak sekali. Jarang orang
kampung mereka memiliki uang sebanyak itu.
Dudung dan kekasihnya segera kawin, dan kemudian
pindah ke kampung yang berdekatan dengan kota.
"Di sana kemungkinan menjadi kaya lebih cepat,"
kata Dudung yang rupa-rupanya mulai memikirkan
soal kekayaan saja, karena tersinggung oleh
penolakan orangtua lmas waktu ia miskin dan
melarat. Dan memang Dudung cepat menjadi kaya. Imas
berbahagia bersama suaminya.
Tetapi lama-kelamaan, ia mulai curiga Siang hari,
suaminya jarang ke luar rumah, dan kalau ditanya ia
tidak pernah memberitahu di mana ia bekerja.
Dudung baru sering keluar pada malam hari dan
pulang menjelang Subuh. Dan Imas beberapa kali
"terkejut ketika ia mengetahui, bahwa beberapa saat
sebelum suaminya tiba di rumah maka diatas tempat
tidur disisi Nyi lmas tahu-tahu telah ada segumpal
uang atau sejumlah barang perhiasan, bagaikan jatuh
dari langit. Dan kalau ia membukakan pintu untuk
suaminya, selalu Dudung bertanya lebih dulu:
"Uang itu sudah ada"" atau, "Perhiasan itu sudah kau
lihat"" Dan Nyi Imas yang tadinya merasa ia bermimpi
segera saja berlari-lari ke kamar tidurnya. Dan benar
saja. Gumpalan uang itu nyata. Barang-barang
perhiasan emas dan intan itu asli adanya. la ta'jub
dan tidak mengerti bagaimana itu semua bisa terjadi.
Sampai pada suatu hari Dudung pulang menjelang
Subuh dengan tubuh berlumuran darah. Matanya liar,
seluruh tubuhnya penuh keringat dan sebilah bambu
runcing menghujam di paha kanannya. Nyi Imas
terkejut dan cepat-cepat membawa suaminya ke
kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Kupanggilkan dokter"" tanyanya seraya menangis.
"Jangan!" suaminya bersikeras. Potong saja bambu itu.
Kalau bisa, tolong cabut ...."
Dengan susah payah dan basah kuyup oleh keringat
dingin, Nyi lmas mencabut bambu itu. Ternyata
ujungnya berbentuk pancing sehingga tak ayal lagi,
paha suaminya robek. Dudung jatuh pingsan, dan
setelah menurutkan pesan suaminya agar membakar
batang bambu itu, ia cepat-cepat mencari dukun.
Dudung diberi ramu-ramuan kampung untuk diminum
dan obat-obatan buatan si dukun sendiri untuk
ditempekan pada paha kanannya dan diganti tiap dua
kali sekali. Dan Dudung sembuh dalam waktu hanya
satu minggu. la sehat lagi seperti sedia kala, tetapi
dengan satu cacat. Kaki kanannya tidak normal lagi.
Dudung berjalan timpang. "Kau lihat lemari besar itu"" Dudung berkata pada
suatu hari setelah ia merasa sehat betul. "Kau tahu
apa sebabnya tak kuijinkan kau isi dengan barang
lain"" Nyi lmas menggeleng. Dudung membuka lemari itu dengan kunci yang selalu
dipegangnya sendiri dan tidak diijinkan diambil oleh
lmas. Kemudian ia mengeluarkan sehelai baju
berwarna hitam pekat. la hanya memperlihatkan baju
itu dari jauh pada lmas. "Jangan dekat. Dan jangan sekali-kali kau sentuh baju
ini," memperingatkan suaminya.
"Kenapa Kang""
"Inilah sumber rejeki kita."
"Sumber rejeki"" Nyi lmas keheranan.
"Ini baju mu'zizat."
"Darimana itu Akang peroleh""
"Darimana lagi" Dari puncak gunung. Hasil tapa-ku
selama satu tahun ..."
"Apa khasiatnya""
Dudung memperhatikan Nyi lmas beberapa lama.
Seperti menyelidiki kekuatan hati lmas, dan agak
cemas kalau isterinya melakukan sesuatu yang di luar
kehendak mereka bersama. Tetapi setelah lama
berfikir ia berkata: "Aku tak mau cidera lagi. Aku memerlukan
bantuanmu. Karena itu, aku harus membuka
rahasiaku padamu. Hanya kau yang boleh tamu. Nah,
perhatikanlah baik-baik...."
Lalu Dudung menyarungkan baju hitam itu ke seluruh
tubuhnya. lmas tiba-tiba mencium bau tidak enak. Dan ia
bagaikan bermimpi buruk ketika ia lihat tubuh
suaminya perlahan-lahan berubah menjadi bulat,
kakinya memendek dan tangannya juga memendek
dan menjejak di tanah seperti kaki belakang ....
"Belakang! lmas terpekik. Dan semakin terpekik ketika kemudian
wajah dan bentuk kepala suaminya berubah. Itu
bukan wajah Dudung. Yang ia lihat adalah, bentuk
tubuh dan kepala seekor babi besar, kehitam-hitaman
dan menakutkan. Imas terpekik. Hampir saja ia terjatuh dari kursi yang ia duduki. Ia
cepat-cepat berpegangan ke tepi meja dan melihat air
di baskom bergerak-gerak dan jantung Imas
berdegup. Suamiku dalam bahaya kembali. Tetapi
benarkah" Benarkah" Kalau dugaanku salah dan lilin
kumatikan, suamiku memang bisa kembali tetapi ia
akan jatuh sakit yang akan sangat parah, pikir nya.
Imas berpikir-pikir terus. Ah, mungkin aku terkejut
oleh lamunanku dan meja terantuk kakinya dengan
tumitku, sehingga air di permukaan baskom itu
bergerak. Berpendapat begitu, ia teliti daun sirih yang
mengapung di permukaan air. Diam, tak bergerak.
"Oh ...." Imas mengeluh. Lega. Dan tak berani lagi
bersandar. Namun pikirannya tidak tenang. Lamunan
itu mengganggunya lagi. Terlebih-lebih kalau ia
menolehkan mata pada air baskom, daun sirih
dipermukaan dan lilin di dekatnya.
"Jaga semua itu baik-baik!" Itulah pesan Dudung dulu,
ketika mula pertama Nyi Imas melihat wujud
suaminya berubah menjadi babi. Ia jatuh pingsan
waktu itu, dan ketika sadar ia lihat wujud suaminya
telah kembali seperti sedia kala.
"Selama aku pergi mencari kekayaan, kau harus jaga
air dan daun sirih itu. Kalau airnya bergoyang sirihnya
tidak, itu berarti aku tidak apa-apa. Terlebih-lebih
kalau airnya tenang saja. Tetapi kalau sirihnya
bergoyang-goyang seperti menari-nari di permukaan
air yang riaknya bergelombang, maka kau harus
cepat-cepat tiup lilin itu. Sampai mati."
"Kenapa, Kang"" tanya Nyi Imas tegang.
"Itu tandanya aku dalam bahaya. Kalau lilin kau
matikan, aku bisa selamat melarikan diri. Kalau
gagal... tetapi aku tidak akan mati. Aku yakin, kau
akan mematikan lilin sehingga air di baskom itu tidak
tumpah." "Tumpah sendiri""
"Ya, tumpah sendiri itu berarti aku mati!"
"Oh, tidak!" Nyi Imas memeluk suaminya. "Ini terlalu
menakutkan. Terlalu berbahaya. Jangan Iakukan lagi
semua ini, Kang Dudung."
Dudung mengelus-elus rambutnya.
"Tak mungkin, sayangku. Kita sudah terlanjur
memperoleh kekayaan dengan cara begini. Sekali
kuhentikan, kita akan jatuh seperti dulu. Bahkan
melarat sama sekali...."
"Aku sanggup!" Dudung menggelengkan kepala kembali. "Tak
semudah itu," katanya "Usahaku, setiap usahaku akan


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagal dan pembawaanku maupun engkau akan terus
sial sampai kita berdua mati ..."
Nyi Imas tidak bisa berkata apa-apa lagi. Terlebihlebih setelah suaminya mengingatkan dia tentang
begitu gampangnya mereka memperoleh uang.
"Kau ingat uang dan perhiasan yang begitu saja telah
ada di sampingmu kalau aku perg""
Nyi Imas manggut-manggut.
"Nah. Semuanya gampang sekali. Aku tinggal
menentukan sasaran. Kalau di sebuah rumah
kuperkirakan banyak uang atau perhiasannya, maka
aku tinggal merubah wujudku menjadi babi. Aku lalu
pergi mendekati rumah itu. Tentu saja sembunyisembunyi. Warnaku yang hitam memudahkan aku
untuk tidak dipergoki.."
"Lalu apa yang akan kau lakukan""
""Aku tinggal mengendus-endus dan menggeserkan
tubuhku di dinding atau tiang rumah itu. Maka, dalam
seketika semua uang atau perhiasan yang ada di
dalamnya, otomatis pindah ke rumah kita."
"Bagaimana mungkin"" lmas tercengang.
"Akupun tak tahu. Tetapi itulah yang kuperoleh dari
ajian guruku di gunung."
"Siapa guru Akang di gunung""
"Kau kira siapa"" Suaminya tersenyum. Kecut. "Seekor
babi yang katanya telah berumur puluhan tahun.
Bahkan ia dapat berbicara seperti manusia ...."
Nyi lmas tidak percaya, tetapi kenyataan
membuktikan. Dan akhirnya ia tidak bisa memprotes
apa-apa lagi. Dan ia pun mulai bertugas menjaga air
di baskom, melihat-lihat sirih di permukaannya dan
setiap saat siap untuk menyalakan api lilin. Masih
terngiang-ngiang berulang kali suaminya berpesan:
"Jangan biarkan air tumpah. Kalau lilin mati, cepat
ganti. Kalau air sampai tumpah, aku tidak saja tak
mungkin kembali berujud manusia, tetapi aku akan
mati...." Wajah Imas pucat. Dipandanginya baskom di depannya. Tenang saja.
Juga sirih itu. Lilin sudah hampir habis. Sebelum yang ada hampir
mati apinya, ia segera menggantinya dengan yan g
baru. Dan baru saja ia meletakkannya di dekat
baskom ketika dari kamar sebelah ia mendengar
suara tangis bayi. Imas terkejut dan bergegas kamar
sebelah. Nining, puteri mereka yang baru berusia dua bulan
menangis. Mula-mula Imas menyangka hanya bermimpi lalu
pipis. Tetapi setelah ia periksa, ternyata popok
anaknya tidak basah. Ia segera naik ke ranjang, dan
membujuk anaknya agar mau diam. Nyi Imas meraba
dahi Nining. Panas. Lehernya. Panas membara. Seluruh
tubuhnya panas, terutama perut.
Ia segera mencari obat angin, lalu menggosok perut
dan punggung Nining. Tangis anak itu merendah, Imas
lantas menyusui Nining. Tangis si bayi terhenti.
Kemudian matanya kembali mengatup. Tidur. Imas
mau melepaskan pentil dadanya dari mulut si bayi,
tetapi anak itu menangis lagi. la kembali menyusuinya
dan berbaring disebelah Nining. Pikirannya terpecah.
Antara anak yang panas luar biasa dan tak mau
berhenti menangis, dan baskom berisi air di ruangan
sebelah. Kalau tak ingat agar jangan membawa anak
mereka dalam urusan ini, mau rasa-rasanya Imas
membawa Nining ke sebelah dan menidurkannya
disana. Tetapi kata Dudung berbahaya, bisa-bisa
Nining kejangkitan sifat ayahnya dalam bentuk jiwa
seekor babi. Terpaksa ia menidurkan Nining. Dan... tanpa sadar, ia
tertidur. Mungkin capek menjaga lilin terus dan siangnya
bekerja keras memberes-beresi rumah dan ini adalah
tugas pertama suaminya keluar semenjak bayi
mereka lahir. Yang jelas, Nyi Imas tertidur, dan ketika
ia terbangun esok paginya dan dengan cemas berlarilari ke kamar sebelah, ia lihat lilin telah mati dan....
baskom bergelimpang di lantai. Airnya tertumpah dan
telah mulai mengendap di semen. Nyi Imas menjerit.
*** ?"Bab 2 DENGAN menggendong bayi mereka yang masih
kemerah-merahan itu, Nyi Imas naik bus ke perbagai
alamat keluarganya di dalam kota dan kemudian
pulang ke kampung. Dipangkuan ayah-ibunya ia
menangis dan menceritakan bahwa suaminya sudah
beberapa hari tidak pulang ke rumah. la telah minta
bantuan keluarga yang ada dalam kota untuk
memberi kabar kalau mendengar tentang suaminya,
Dudung. Tetapi ia tidak yakin kabar itu akan ada, oleh
karenanya Nyi Imas mengambil keputusan untuk
menitipkan Nining kecil pada neneknya.
"Ke mana suamimu pergi"" Ayah Nyi Imas keheranan.
"Aku tidak tahu." la berdusta. "la pergi begitu saja."
"Begitu saja""
"Katanya mau cari uang. Tetapi aku... aku lalai...."
"Kenapa" Kenapa kau lalai" Lalai terhadap apa""
Nyi Imas segera sadar, bahwa ia tidak mungkin
menceritakan bahwa ia telah lalai menjaga
keselamatan suaminya. la telah tertidur ketika
menina-bobokan Nining, sehingga ia lupa mengga nti
lilin di kamar suaminya dan lupa memperhatikan air
serta sirih di dalam baskom. Air itu telah tertumpah
pagi hari ketika Nyi Imas bangun dan sirih itu telah
mulai mengering. Dudung telah mati. Mati! Dan
matinya pasti penasaran...
Mengingat itu Imas menangis lagi.
"Lalu apa yang akan kau perbuat sekarang"" ibunya
bertanya. "Aku akan cari dia."
"Ke mana""
"Ke mana saja. Aku harus menemukan dia. Hidup
atau mati. Dan kalau ia... ia sudah mati," Imas
menangis pula, dan lama kemudian baru bisa
meneruskan: "Kalau Kang Dudung sudah mati, maka
aku harus menyempurnakan kematiannya."
Orang tuanya tercengang-cengeng oleh kalimat
terakhir Imas. Tetapi perempuan muda itu tidak
menceritakan apapun lagi. la terus saja menangis dan
tampak panik serta ketakutan. Sepanjang malam ia
terus menerus menciumi Nining sambil meratapi.
"Anakku yang malang. Anakku yang malang..."
Dan subuh esoknya ia pamit. Pada anaknya yang
masih bayi ia mendesah: "Akan kucari bapakmu, Nak. Kalau tak
kusempurnakan kematiannya, maka lebih baik aku
mati. Aku takut wujud dan sifat bapakmu dalam
penjelmaannya menurun padamu. Tidak, Nak. Tidak.
Aku cinta padamu. Dan aku akan sempumakan
kematian bapakmu." Lalu ia pergi, naik bus yang menuju ke kota
meninggalkan anak dan kedua orang tuanya yang
bingung dan cemas tidak karuan. Mereka menduga
"bahwa puteri mereka telah menjanda untuk kedua
kalinya, tetapi mereka tidak mengerti kenapa dan apa
pula maksud puteri mereka 'menyempurnakan
kematian' suaminya. TIBA dirumah, Nyi lmas menutup semua jendela dan
pintu rapat-rapat. Dalam ruangan pribadi suaminya ia memasang lilin
diatas meja, menyediakan baskom berisi air dan
kemudian menaruh sirih selembar di dalamnya. Tetapi
seperti yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, nyala
lilin seperti bertahan terhadap tiupan angin kencang
meski udara di dalam kamar pengap dan beku. Nyala
lilin itu, berkibar-kibar. Kemudian sirih di permukaan
air tenggelam. Tidak mengapung. Dan air itu
memercik-mercik, meski tidak ada sedikit goyangan
pun diatas meja. Nyi lmas memekik. Percikan air itu
mengenai mukanya. Lalu ia dengar suara: "... tolong aku, Imas. Tolong aku. Tolonglah aku!"
Bergetar tubuh Nyi Imas. la memandang ke sekeliling.
Tetapi ia tidak melihat Dudung. Hanya suara suaminya
itu yang terdengar terus meratap dengan pilu:
"Aku tak mau mati Imas. Tak mau. Tak mauuuuu. Oh,
tolonglah aku!" "Di mana kau"" Nyi Imas berteriak. "Di mana kau
Kang" Di mana""
"Carilah, lmas. Carilah."
"Tetapi di mana"" Imas hampir histeris.
Terdengar suara seperti menggereng di kamar itu. Nyi
lmas kian gemetar. Suara itu seperti erangan
suaminya, tetapi juga seperti gerengan babi yang
sedang disembelih. "Kang Dudung!" Nyi Imas meraung. "Mereka apakan
kau, kang"" Gerengan itu kian lemah. Lalu bau busuk memenuhi
kamar yang sempit dan remang-remang itu.
Nyala lilin kian bersimpang siur, tak menentu.
Kemudian sirih di dalam air bergerak-gerak, seperti
dicambuk dan dihempas-hempaskan.
"Mereka memotong leherku, Imas. Mereka
memotong...." "Tidaaaak!" Nyi Imas meraung nyaring dan kemudian
jatuh tak sadarkan diri. Ketika Nyi Imas bangkit dari lantai tempatnya j atuh
tengkurap, ia merasakan air yang sedingin es
menetesi wajahnya. Ternyata baskom itu telah
kosong, dan dengan cemas ia melihat bahwa seluruh
airnya telah tertumpah tanpa baskom itu berubah
posisinya. Dan daun sirih yang selembar itu,
merengkut seperti kena panggang matahari.
Warnanya hijau kehitam-hitaman. Lilin telah lama
padam rupanya. Nyi Imas segera berjalan gontai
menuju jendela, dan membukanya. Udara dingin di
Iuar segera menyapu masuk.
Nyi Imas menghela napas. Wajahnya tampak pucat,
seperti tidak dialiri darah dan matanya kebiru-biruan.
Seluruh tubuhnya terasa tegang. Dan ketika ia
memandang wajahnya di lemari pakaian suaminya,
pada sebuah kaca kecil ia melihat bahwa matanya
bercahaya-cahaya. Cahaya itu menakutkannya. Ia
melompati lemari itu, dengan paksa membukanya
dan... Iemari itu kosong.
Nyi imas jatuh terduduk di lantai. Menangis.
"Kalau jubah hitammu masih di sini, Kang Dudung, "
ratapnya. "Aku akan pakai. Aku akan mengikuti
jejakmu. Menjelma jadi babi. Dengan begitu aku lebih
baik menjejaki dan mencium tanah di mana engkau
terkubur. Biar mereka menyembelih leherku pula, aku
tak perduli. Biar mereka memamah daging-daging
tubuhku, aku tak perduli. Oh, Kang Dudung, Kang
Dudung...." "Tiba-tiba angin kencang bertiup. Daun jendela kamar
itu seperti terbanting dengan kerasnya kemudian
menghempas lagi ke luar, terbuka. Nyi Imas menoleh.
la lupa menyalakan lampu kebun di samping. Gelap
malam di Iuar seperti kegelapan di dalam rimba
belantara. Anginnya yang dingin menggigilkan sekujur
tuiang-tulang Nyi mas. la berdiri dengan gontai. Tetapi
terpekik Iagi ketika daun jendela menghempas
tertutup. Beberapa saat lamanya Nyi Imas tersandar
ke meja, saking kaget. Wajahnya semakin pucat, dan
bibirnya menggeletar. Ketika ia bukakan kembali
matanya yang tadi ia pejamkan, ternyata jendela itu
telah terbuka kembali. Sepasang mata Nyi Imas
nyalang menatap ke luar, ke dalam kegelapan.
Di luar angin kencang meniup dengan keras, suaranya
berdesir-desir, mendesah-desah, menderu... seperti
suara seseorang menjerit kesakitan, seperti suara
orang melolong minta pertolongan.
Dengan kaki gemetar Nyi Imas berlari kearah jendela
dan bermaksud menutup lantas menguncikannya.
Tetapi ia baru saja memegang kayu bendul jendela,
ketika... dari dalam kegelapan muncul sebentuk
bayangan! Nyi lmas tertegun. Mulutnya kelu, tak tahu mau
berbuat apa. Ia berdiri saja di jendela. Seperti tersihir.
Kedua matanya terpentang lebar, menatap ke depan,
jauh, jauh... dan bayangan dalam kegelapan itu kian
mendekat, kian mendekat dan kian nyata.
Napas Nyi Imas bagaikan terenggut. Ia mengira ia
telah mati kaku. Tetapi perasaannya masih hidup.
Pikirannya masih berjalan. Dan degup-degup
jantungnya yang memukul, memukul dengan keras
bagaikan dentuman-dentuman meriam, membuat ia
tersadar. "Ssssiii .. Siapa itu"" Ia bertanya, gugup.
Tak ada sahutan. Malah bayangan itu kian mendekat.
Jaraknya tinggal beberapa meter dari jendela.
Gerakannya pasti, namun seperti mengambang. Tidak
berjejak di tanah. "Siapa!" Nyi Imas menyentak. Ia terkejut sendiri oleh
suaranya. Dan bayangan di depan tertegun sejenak.
"Bicaralah. Atau... atau...."
Dan Iidah Nyi Imas menjadi kelu kembali.
Tenggorokannya bagai tersumbat. Dan seluruh
tubuhnya terpaku di lantai. Seperti buah jengkol,
kedua matanya membesar dan metotot melihat
bayangan yang telah rapat ke jendela. Benar. Kaki
orang itu tidak menjejak tanah.
Tetapi bukan itu sata yang membuat Nyi Imas punah


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangatnya. Sepasang kaki itu lengkap, juga
pinggang, perut, bahu dengan sepasang tangan
menjuntai di kedua sisi, akan tetapi... leher itu. Leher
itu terputus di tengah! Menganga dengan darah yang
mengucur... tanpa kepala!
Nyi Imas seketika jatuh terjerembab ke lantai. Kedua
matanya masih terbuka lebar, juga muIutnya, tetapi
ia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ia seperti bermimpi.
Melihat seseorang naik dari jendela. Berjongkok di
dekatnya, memegang kedua pergelangan tangan dan
kemudian orang yang misterius dan tidak ia kenal itu,
mengangkat tubuhnya dan membopongnya ke kamar
sebelah. Ke kamar tidur Nyi Imas bersama suaminya.
Seperti bermimpi pula dalam ketidak-sadarannya, Nyi
Imas merasakan tangan-tangan orang itu yang kukuh,
berbulu dan kehitam-hitaman, membelai kedua belah
pipinya dan kemudian dengan penuh rasa sayang
mengurut-urut dada Nyi lmas. Urutan itu lembut,
teratur, dan perlahan-lahan jalan darah Nyi Imas
kembali bekerja seperti sedia kala.
Ketika kesadarannya pulih, Nyi Imas menggerakkan
kepala berulang-ulang memejamkan mata. Tetapi apa
"yang ia lihat tetap tidak ia percayai. Ia berada di atas
tempat tidur di kamarnya sendiri. Dan d tepi ranjang,
seseorang yang dalam mimpinya muncul menguruturut dadanya, duduk dengan tenang tanpa bersuara.
Imas hampir saja menjerit kalau saja tangan orang
itu tidak menutup mulutnya. Dengan mata terbeliak,
Imas menatap leher itu. Leher yang putus dengan
darah mengucur tetapi tidak melewati tepi-tepi leher.
Tiada wajah. Tanpa kepala.
"... tenanglah. Imas."
Nyi Imas tertegun. Tangan yang membungkam mulutnya, ditarik mundur
dan terkulai di pangkuan orang itu.
"Jangan membuatku terkejut dengan pekikanmu,
sayang." Nyi Imas terbengong-bengong. Kemudian bangkit.
Berusaha duduk. Dan orang itu menggerakkan tangan.
Mengambilkan bantal, menyusunnya di belakang
punggung Imas, sehingga si perempuan bisa duduk
menyandar meski seluruh tubuhnya lemas sekali. Dan
ia semakin lemas, tak kuat melihat darah yang
menggelegak di leher yang putus itu. Suara gelegak
darah itu menakutkan, tetapi tidak berbau. Tidak
berbau! Dan Nyi Imas segera sadar, bahwa yang
datang itu bukan wujud, akan tetapi roh....
"Kau tidak Iupa suaraku bukan, Imas""
"Tidak, Kang...." Imas mulai membuka mulutnya.
"Seharusnya kau lihat baju dan celanaku," terdengar
suara itu Iagi. Dari arah atas leher itu. Leher yang
putus tanpa kepala. Seolah-olah kepala itu ada, tetapi
tidak berbentuk. "Aku sudah lupa, Kang Dudung."
"Aku mengerti. Telah hampir dua minggu bukan"
Celana dan bajuku ini adalah yang kupakai ketika
aku akan menjelmakan diri menjadi babi."
"Jadi, Kang...."
"Ya, ini aku, suamimu. Tetapi jangan!" Ia menahan
tangan Nyi Imas yang sudah mengembang ke depan,
akan memeluk suami yang ia cintai itu. "Tak ada
gunanya, sayang. Tak guna kau memelukku. Kau
hanya akan memeluk angin."
"Kang Dudung!" Nyi Imas hampir menangis. "Tadi kau
membopongku. Bahkan aku rasakan kau menguruturut dadaku."
"Hal itu terjadi, karena kau tak sadar. Pertemuan
tubuh di antara kita hanya bisa kalau kau dalam
keadaan tidak sadar. Tetapi kini... nah, kau rasakan
sendiri tanganku yang menahan ini, bukan""
Nyi Imas mengeluh. Memang telapak tangan mereka
seperti beradu, akan tetapi ia seperti membentur
angin dan tangannya terjulur ke depan; menembusi
telapak tangan suaminya. "Apa yang terjadi, Kang""
"Tak penting apa yang terjadi. Tetapi tolonglah aku,
sayang." "Bagaimana aku bisa menolongmu""
"Sempurnakanlah jasadku!"
"Tetapi Kang...."
Bayangan tubuh tidak berkepala itu bangkit,
seIangkah menuju jendela. Baru Imas memperhatikan
kaki kanan bayangan itu, timpang. ltu benar adalah
bayangan suaminya. Tiba di Iuar jendela, menembus
dinding berbisik pada Imas:
"Mari, Imas. Ikutlah denganku!"
GELAP sekali di luar. Tanpa berpikir panjang lagi Nyi
Imas meloncati tepi jendela, takut kehilangan
bayangan tubuh tidak berkepala itu. Angin semakin
kencang bertiup sehingga rambut si perempuan
tergerai-gerai dan terkadang menutupi wajahnya.
"Tutupkan jendela, Imas..." suara itu seperti
menggantung di kegelapan malam. "Jangan sampai
"orang curiga. Atau ada yang masuk...."
Sambil menyibakkan rambut yang menutupi wajah,
Nyi Imas menutupkan jendela. Untuk tidak sampai
terbuka, ia menjepitkan sebuah ranting kering kecil
diantara bendul dan tepi daun jendela.
"Kita ke mana, Kang Dudung""
"Ke kampung Jati."
"Jati" Bukankah kampung Lebak yang kau tuju waktu
itu"" "Semula begitu. Tetapi aku sudah diintai. Hampir aku
tertombak lagi di sana. Aku melarikan diri dan dikejarkejar. Tak mungkin aku menuju rumah ini, takut
dicurigai. Dan di kampung Jati aku dikepung ...."
"Tetapi kampung itu jauh, Kang..."
"Peganglah tanganku..." bayangan berkaki timpang itu
menjulurkan lengannya. Nyi Imas memegangnya,
tetapi ia hanya merasakan angin yang dingin. Namun
angin itu bagaikan menggenggam telapak tangannya.
Nyi Imas kemudian jalan bersisian dengan bayangan
itu. la tidak berani menoleh ke samping.
Dulu, ketika suaminya masih hidup normal, kepala
Imas hanya sampai di bahunya. Tetapi dengan leher
Dudung tanpa kepala, mau tidak mau Imas kini lebih
tinggi sedikit, dan ia tidak tega meiihat darah yang
menggelegak dipermukaan leher yang putus itu.
Suara angin yang ribut bercampur dengan bunyi
gelegak darah. Lama kelamaan Nyi Imas menjadi
biasa. "Hei....," terdengar suara lain.
Nyi Imas terkejut. Ia melihat seseorang berdiri dekat
pintu sebuah rumah, di tepi jalan. Ketika itu, Imas dan
Dudung sedang menyeberangi jalan.
"Kau itu, Imas""
"Jawablah," Imas mendengar suara Dudung yang
menggantung itu. "Jawablah...."
"Saya, Pak Bejo."
"Mau ke mana, malam-malam begini""
"Ada keperluan sedikit, Pak Bejo."
"Kok menuju hutan""
"Ah...," Nyi Imas bingung sebentar. "Tak sampai sejauh
itu. Hanya ke rumah Nyi Emeh, ada perlu sedikit...."
"Oooo. Tak perlu ditemani""
"Terima kasih. Saya mau sendiri saja."
"Beraninya..." orang tua itu bergumam sendiri,
kemudian masuk ke dalam rumah lalu menutupkan
pintu. Nyi Imas mengikuti bayangan suaminya
menyeberangi jalan. "Jangan heran," kata bayangan itu. "Tak seorang pun
yang bisa melihat kehadiranku kecuali engkau
sendiri." Kemudian mereka mulai memasuki hutan, setelah
melewati rumah Nyi Emeh yang sepi-sepi.
Penghuninya mungkin telah tertidur nyenyak, dan
untunglah pak Bejo sudah duluan masuk ke
rumahnya, kalau tidak tentu ia akan melihat Nyi lmas
tidak masuk ke rumah Nyi Emeh.
"Kang..." "Ya"" "Gelap sekali di hutan... Aku takut."
"TenangIah. Aku akan tetap bersamamu. Aku akan
melindungimu." Mereka semakin jauh memasuki hutan. Nyi Imas
merasa seperti kedua telapak kakinya terangkat dari
bumi. Angin kencang menerpa muka dan berhembus
keras di kedua belah sisi tubuhnya. Ya, ia merasa
seperti terbang. "Kang!" "Kenapa lagi Imas""
"Aku tidak bisa melihat apa-apa dalam kegelapan ini."
"Pejamkan saja matamu!"
"Imas memejamkan matanya. Semakin kuat
mencekam angin, perwujudan dari telapak tanga n
suaminya. Dan sekujur tubuhnya terasa semakin
dingin. Sepi sekali hutan itu, dan pengap. Bau busuk
memancar kian kemari. Nyi Imas mengatupkan
hidungnya. la seperti mendengar suara bersorak.
Bersorak. "Suara apa itu, Kang Dudung""
"Di sini dimakamkan beberapa orang penduduk!"
Tubuh Imas menggigil. "Mereka... mereka tidak akan mengganggu""
"SeIama kau pejamkan mata, tidak. Mereka tidak
akan mengganggumu." "Aku" Dan kau, Kang""
"Mereka mengejekku," suara Dudung kedengaran
Iemah. "Mereka menghinaku...."
"Kenapa, Kang""
"Arwah-arwah itu mati wajar. Aku tidak...."
lmas terdiam. Lama. Sampai ia merasa mereka telah
ke luar dari hutan. "Sudan sampai, Kang""
"Belum. Pejamkan terus matamu. Kita sedang
melewati pinggiran kota."
"Tidak ada yang lihat, Kang.""
"Sepi di sini. Sudah hampir pagi."
"Kang Dudung." "Ya"" ?"Bab 3 "Aku capek." "Hiruplah udara lama-lama."
Nyi Imas menghirup udara dini hari yang dingin dan
segar itu. la merasa tubuhnya menjadi kuat kembali.
"Imas...." "Ya, Kang""
"Kita sudah sampai. Bukalah matamu."
Nyi Imas membuka matanya. Heran. Ia melihat ke
arloji tangan. Ia segera ingat, bahwa sejak berangkat
dari rumah mereka cuma menempuh perjalanan tak
sampai sepuluh menit. Padahal dari rumah mereka ke
kampung ini, kalau pakai mobil, bisa mencapai empat
jam! "Lihatlah itu. lmas...."
Di bawah sinar rembulan dan bintang-bintang, Imas
segera mengetahui bahwa mereka berada di sebuah
kebun ketela. Tak jauh dari tempat mereka berdiri,
ada sebuah gubuk. Tampaknya kosong. Tidak ada
suara atau tanda-tanda dari dalam gubuk itu. Nyi
Imas kemudian mengikuti arah telunjuk suaminya. la
segera mengenali segundukan tanah, tampaknya
masih belum begitu lama. "Di bawah sini tubuhku ditanam mereka. Tanpa
kepala." Imas mengatupkan mata. Terasa perih.
"Alangkah kejamnya mereka," la setengah menangis.
"Salahku sendiri, Imas. Ini adalah kutuk atas
perbuatanku selama ini. Mereka tidak berdosa."
"Tetapi menyembelih Akang, dan menanam tanpa
kepala....." "Justru itu aku membawamu ke sini. Supaya kau tahu
tempatku ditanam dan pada pemilik kebun ini bisa
kau tanya siapa yang menyimpan kepalaku."
"Kita gali tanah ini, Kang""
"Jangan. Kau tak akan kuat membawa jasadku yang
berupa babi itu." "Tetapi Kang, arwahmu akan tetap begini."
"Tidak. Setelah kau tahu siapa pemilik kepalaku,
tebuslah dengan apa saja. Lalu satukan kembali
dengan jasad tubuhku, dan seperti biasa lalu
selimutkan sehelai sarung, aku akan menjelma
menjadi manusia kembali. Dan aku memang mati,
tetapi arwahku akan tenang. Seperti arwah-arwah
mereka yang tadi di kuburan menyoraki dan
mengejekku." "Oh...," Imas mengeluh.
"Sekarang, marilah kita pulang!"
Imas mengatupkan matanya kambali. Dan merasa
seperti ia terbang...."
**** DENGAN mengendarai Morris milik suaminya, Imas
pagi-pagi esok harinya telah berada di kampung Jati.
"Setelah tanya sana sini siapa pemilik kebun ketela di
sebelah barat kampung, ia segera memarkir mobil di
mulut sebuah gang sempit. la kemudian bergegas
menuju rumah dengan petunjuk seorang anak kecil,
dan kemudian mengetuk pintunya.
Seorang perempuan tua membukakan pintu.
"Pak Karta di sini"" Imas bertanya.
Perempuan itu mengangguk, dan heran melihat
tamunya yang datang sepagi itu. Ia kemudian


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempersilahkan lmas masuk, dan menunggu. Melihat
suasana di rumah pak Karta, lmas ingat lagi pada
rumah orang-tuanya di kampung. Juga seperti ini.
Sederhana, dengan perabotan buatan kampung yang
telah berusia bertahun-tahun. Sesaat ia ingat akan
anaknya, Nining dan merasa sedih mengingat nasib
puteri kecilnya yang malang itu. Setelah semua
urusan ini beres, aku akan kembali ke kampung dan
hidup tenang dengan Nining, pikirnya dalam hati.
Dan pada saat itu muncul laki-laki sebaya perempuan
yang membukakan pintu. "Pak Karta"" Imas berdiri seraya mengulurkan tangan.
"Saya, Nyonya...," pak Karta menjawab tertegun-tegun
seraya matanya tidak lepas menatap gelang emas di
pergelangan tangan Nyi lmas, kemudian kalung emas
berintan mutiara di leher tamu perempuannya itu.
"Ada perlu apa""
Nyi Imas yang melihat keengganan tuan rumah, agak
susah memulai bicara. Tetapi ia tidak sampai hati
membiarkan suaminya terlunta-lunta, bertualang di
padang kutuk dan siksa tanpa akhir.
"Saya kehilangan seekor babi piaraan saya," lmas
memulai. Tampak kedua mata orang tua itu menyipit.
"Babi piaraan"" tanyanya bimbang.
"Ya. Warnanya kehitam-hitaman, gemuk dan kaki
kanannya yang belakang agak timpang...."
Wajah orang tua itu berubah. la memperhatikan Nyi
lmas sekilas, kemudian matanya meneliti seluruh
pakaian dan perhiasan yang melekat di tubuh
tamunya. la menjilat bibirnya yang kering, bersandar
di kursinya kemudian menggangguk-angguk lemah.
"Kau... isterinya"" bertanya laki-laki tua itu.
Nyi lmas gagap seketika. "Isteri siapa maksud Bapak""
"Babi itu." "lsteri babi," Nyi lmas pucat, dan mencoba tertawa.
"Mana mungkin."
"Maksudku, orang yang meminjam wujud dari babi
itu." "Oh...." lmas tak bisa berkata-kata lagi.
"Jangan takut, Nyonya," kata Iaki-laki tua itu. "Kami
mengerti. Juga tahu darimana kekayaan yang Nyonya
peroleh dan sekarang Nyonya pakai. Juga... eh,
Nyonya pakai mobil ke mari ya""
Nyi lmas mengangguk lemah. Kemudian, perlahanlahan mulailah matanya menjadi basah.
"Jangan menangis, Nyonya. Kami tahu, Nyonya
bermaksud baik..." "Saya mau menolong suami saya."
"Ya. Ya. Saya tahu," laki-laki tua itu manggut-manggut.
"Sayang sekali, cara suami nyonya memperoleh
kekayaan, tidak sebagaimana mestinya."
"Saya mengaku salah," Nyi lmas mulai menangis.
"Nyonya tidak salah. Suami nyonya yang melibatkan
nyonya." "Suami saya telah tobat."
"Telah tobat"" orang tua itu tertegun.
"Arwahnya telah datang menemui saya. Tubuhnya
yang tanpa kepala...."
"Tanpa kepala," laki-laki tua itu berpikir-pikir. "Ya, ya.
Kau benar. Babi yang ditanam di kebunku memang
"tidak ada kepalanya lagi. Memang mula-mula kami
tak setuju babi itu ditanam tanpa kepala. Itu
melanggar prikemanusiaan. Tetapi pemburu yang
berhasil membunuh bin... eh, manusia yang menjelma
menjadi binatang itu, bermaksud menyimpan kepala
hasil buruannya sebagai kenang-kenangan, katanya."
Perih jantung Nyi Imas. Ia terisak-isak. Katanya:
"Bagaimana terjadinya. Pak Karta""
Orang tua itu menatap Nyi lmas. Lama. Kemudian ia
mengangguk. Lemah. "Peristiwa buruk," katanya. Tetapi kau adalah isteri...
babi itu. Kau berhak untuk mengetahui bagaimana
kisah kematian suamimu."
PAGI hari itu, penduduk kampung Jati heboh,
demikian pak Karta membuka cerita tentang
kematian suami Nyi lmas. Pak Karta yang baru saja
akan berangkat ke kebunnya, didatangi oleh Jaja,
ketua er-te. "Ada babi masuk ke kebun Bapak," demikian kata
Jaja. "Babi"" pak Karta terkejut. "Ya Tuhan. Bakal habis
kebun ubiku." "Babi itu tidak makan ubi. Babi itu sedang
mengamuk." Pak Karta bergegas-gegas menuju kebunnya. Pagar
sebelah tenggara rusak berat bekas diterobos sang
babi. Lenguh yang keras terdengar dari dalam, tak
jauh dari arah gubuk. Sekeliling pagar penuh dengan
penduduk yang memegangi berbagai senjata tajam
berupa golok, belati, bambu bahkan banyak yang
membawa pentungan dan batu-batu.
"la benar-benar terkepung," menerangkan Jaja dengan
napas terengah-engah. "Tetapi tidak ada yang berani
mendekat. Babi itu punya taring panjang dan
mengerikan. Matanya merah bagaikan api yang
sedang berkobar-kobar."
Pak Karta menatap dari pintu pagar.
Tampak sebentuk wujud kehitam-hitaman, besar dan
seram tampaknya di antara udara pagi yang
berkabut. Seorang Iaki-laki yang berada di dekat pak
Karta dan kurang ia kenal, berbisik: "Ia sudah capek
seperti kami. Sejak malam kami terus mengubernya."
Lamas orang itu menunjuk sejumlah teman-temannya
yang nyelip diantara penduduk yang mangepung
kebun ketela pak Karta bagaikan sedang melakukan
gerakan pagar betis. "Darimana kalian"" tanya pak Karta.
"Lebak. Babi itu mau mengganggu rumah tante Susy."
"Hem..." pak Karta berpikir. "Berhasil kalian lukai""
"Tidak. la memang timpang sebelah kaki belakangnya,
dan memudahkan kami mengejar dan kemudian
mengepung. Tetapi tidak satu pun senjata yang
berhasi melukainya. Selalu mental. Kini ia tampaknya
kebingungan. Betapapun kebalnya babi itu, tetapi
ditimpuk oleh berpuuh-puluh tangan ia akan lemah
juga." Pak Karta dan penduduk segera mengatur siasat. Apa
boleh buat. Seluruh pagar dirombak, dan penduduk
yang kian banyak melakukan gerak berjingkrak,
mendekat. Babi itu menggereng. Dan orang-orang
pada mabur lagi. Hanya karena teriakan lantang dari
Jaja dan pak Karta menyebabkan keberanian orangorang muncul kembali.
"Kita harus panggil pak Jono."
Tidak berapa lama kemudian, yang dipanggil sudah
datang. "Babi"" tanya pak Jono, yang sehari-harinya adalah
petugas polisi dan punya kesenangan berburu. "Hanya
seekor"" la menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian
menyuruh semua orang mundur tetapi tetap siaga
menjaga kalau-kalau babi itu lari.
"Dengan pistolnya ia kemudian maju ke dekat gubuk.
Lagi babi itu menggereng. Taringnya tampak panjang
dan tajam-tajam. Matanya bernyala-nyala, bagaikan
api menantang pak Jono yang kian mendekat.
Persis pada saat babi besar dan hitam menakutkan itu
menggeser-geserkan kaki belakangnya ke tanah, siap
untuk menerkam, pak Jono membidikkan pistolnya.
Akan tetapi dengan kaget ia mundur sendiri. Peluru
pistolnya mental. Hampir mengenainya sendiri. Dan
sang babi, seperti sadar kalau ia tidak mempan
peluru, berdiri diam. Kemudian berbaring. Tampak
kelelahan. "AmbiIkan senapanku," pak Jono berteriak pada Jaka.
Jaka berlari-lari ke rumah pak Jono. Semenlara polisi
itu pergi ke sumur penduduk yang terdekat. la
mengambil air wudhu, dan minta sejadah. la
kemudian bersembahyang di rumah penduduk itu,
dan setelah selesai ia tampak berdoa panjang dan
lama. Sementara itu, orang-orang mulai gelisah. Babi itu
tenang-lenang saja, dan memperhatikan orang yang
mengepung dengan pandangan yang aneh. Seolaholah ia melarang mereka untuk mendekat, dan
membiarkan ia pergi. Taringnya yang panjangpanjang dan runcing serta sinar matanya yang merah
membara itu benar-benar membuat penduduk yang
mendekat ciut nyalinya. Orang-orang kemudian meminggir setelah pak Jono
menyelesaikan sholat dan menerima senjatanya dari
tangan Jaka. la kemudian mendekati sang babi yang
segera berdiri. Wajah pak Jono tenang. Dan tubuh
babi itu mendadak jadi tegang. Ia menggereng. Pilu
kedengarannya. Dan semakin tegang tubuh babi itu,
ketika ia melihat pak Jono menggosok-gosokkan laras
senapan berburunya ke tanah. Tiga kali, seraya
berucap: "Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar!"
Lalu, ia membidikkan senjatanya. Tepat menuju otak
babi itu. Ajaib, si babi merungkut, kemudian kedua kaki
depannya menekuk. la seperti bersujud, dengan
kepala mencium tanah bagaikan menyembah. Semua
yang melihat terdiam, kesima oleh keajaiban itu. Dan
pak Jono tampak ragu-ragu. la menurunkan
senjatanya. Berkata: "Kau jahat. Sudah seharusnya kau menerima
hukuman ini." Orang-orang pada heran. Kecuali pak Karta dan
beberapa orang-orang tua. Pada siapa pak Jono
berbicara" Babi itu menggereng. Lemah. Kaki belakangnya yang
timpang, ia gerak-gerakan. Juga ekornya yang pendek
seperti ekor tikus itu. "Tidak bisa!" pak Jono menggertak. "Kejahatanmu
sudah terlampau banyak. Minta ampunlah pada
Tuhan, yang telah kau syiriki. Sekarang, bersedialah
menerima kematianmu...."
Mendengar itu, sang babi tiba-tiba melonjak. la
meraung, saperti raungan manusia, dan ketika ia
sudah siap menerjang dan terbang di udara untuk
menghujamkan taring-taringnya kepada pak Jono,
pemburu itu cepat-cepat membidik dan dalam waktu
yang bersamaan, senjatanya meletus.
Sebagian kepala babi itu retak. Peluru menembus
lewat telinga dan setelah koprol di udara beberapa
kali dan hampir saja menimpa pak Jono, tubuh babi
itu kemudian menghempas ke bumi dengan derasnya.
Pak Karta memburu ke depan, menjangkau pak Jono
kalau-kalau orang itu terluka. Kemudian sekilas ia
memandang wajah babi itu. Kedua matanya yang
kecil, tampak berair... babi itu menangis. Dan samar-
"samar, pak Jono dan pak Karta mendengar suara
erangan yang samar-samar, seperti ratapan manusia
yang sekarat: "Tolong aku, isteriku lmas...."
Lalu babi itu pun menghembuskan napasnya yang
terakhir. *** lmas terpekik, dan jatuh tak sadarkan diri.
Pak Karta buru-buru mengangkat tubuh perempuan
itu keatas kursi panjang, dan dengan bantuan
isterinya yang bergegas-gegas datang segera
mengoleskan minyak angin ke hidung Imas. Pak Karta
menghela napas lega. Dan dengan mata prihatin ia
memperhatikan Nyi lmas kemudian bangun dari
pingsannya, dan setelah duduk ia pun menangis
tersedu-sedu. "I lsteri pak Karta membelai bahu Nyi Imas, seperti
membelai anaknya sendiri.
"Sabar, nyonya. Sabarlah, dan tabahlah menghadapi
hidup ini." Tetapi bujukan yang kosong dan kekampungkampungan itu tidak berhasil menghibur tamu
mereka. "Kejam nian." la menjerit. "Kejam nian kalian
memperlakukan sesama manusia..."
"Tetapi Nyonya...." pak Karta menjilat bibir. "Yang kami
tembak bukan manusia!"
Nyi Imas terdiam, dan ketika menangis suaranya
sudah perIahan. Tanpa sadar ia menyandarkan
kepalanya ke dada perempuan tua di dekatnya. lsteri
pak Karta merangkul tamunya itu, dan ikut menangis.
"Lalu kenapa lehernya dipotong" Kemana kepala Kang
Dudung"" Pak Karta menunggu sampai tamu mereka berhenti
menangis. Lalu ia menerangkan, bahwa seorang tamu
pak Jono dari kota telah meminta kepala babi itu
sebagai kenang-kenangan. Tamu pak Jono itu tetap
tidak percaya bahwa babi yang mereka tembak
adalah babi jadi-jadian. Betapa pun pak Karta dan
teman-temannya menjelaskan, orang itu tetap tidak
percaya. Dan untuk menghormati tamunya, pak Jono
akhirnya tidak bisa menolak.
"Pak Jono sendiri yang menyembelih binatang itu,"
pak Karta mengakhiri penuturannya.
"Lalu"" isak Nyi Imas.
"Kepala babi itu dibawa tamu pak Jono ke kota. Tetapi
sempat kami berpesan, agar iman tamu itu kuat.
Kalau tidak, ia akan tercelakakan oleh kepala babi
yang katanya akan dikeringkan dan ia jadikan
kenang-kenangan itu."
Semangat Nyi Imas kembali timbul.


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana orang itu tinggal""
"Sebaiknya kita tanyakan pak Jono."
Nyi Imas segera berdiri. Tetapi seperti ingat sesuatu, ia
membuka tasnya dan mengeluarkan segumpal uang
ribuan. "Maapkan. Saya tidak bisa memberikan apa-apa atas
budi baik Bapak menolong saya menemukan
kesempurnaan jasad suami saya," katanya seraya
menyerahkan uang itu ke tangan isteri pak Karta.
Tetapi perempuan tua itu menolak. Ia memandang
suaminya, seperti minta tolong untuk memberikan
penjelasan. Pak Karta kebingungan sebentar. Lalu:
"Maapkan kami, Nyonya. Meskipun kami ini miskin
dan tetap melarat semenjak kami kawin... tetapi kami
tidak mau menerima uang itu...."
"Tetapi... tetapi...." Nyi Imas tercengang.
"Sudahlah. Uang itu hasil pencaharian suami Nyonya,
bukan" Nah, kalau begitu uang yang Nyonya pegang
pastilah uang tidak halal."
"Nyi lmas terdiam. lsteri pak Karta buru-buru
memegang tangan tamunya. Menghibur dengan suara
yang lembut: "Jangan tersinggung, Nyonya. Apa yang dikatakan
suami saya pasti Nyonya akui benar adanya. Namun
yakinlah... kami tidak dikaruniai Tuhan seorang anak.
AnggapIah bantuan kami ini,bantuan dari orang
tuamu sendii!" Setelah mengucapkan terima kasih kembali, Nyi lmas
mengikuti pak Karta menuju ke luar. Tiba didekat
kebun mereka, pak Karta bertanya:
"Tidak melihat jasad..... babi itu dulu. Nyonya""
Nyi mas menggeleng. Pak Karta manggut-manggut. Mengerti.
Tiba di rumah pak Jono,orang yang dicari tidak ada.
Tetapi salah seorang anak gadisnya berkata:
"Saya tahu rumah Oom Primo. Saya bisa antar."
Tentu saja kesediaan gadis itu sangat menyenangkan
hati Nyi Imas. Lalu bertiga dengan pak Karta, mereka
naik ke mobil Monis Nyi lmas yang ia supiri sendiri. la
belum begitu paham dengan mobil suaminya itu, oleh
karena itu ia menjalankannya
perlahan-lahan saja. Mereka tiba di rumah yang mereka tuju ketika hari
sudah mulai malam. *** "MENGEMBALIKAN"" laki-laki tinggi dengan wajah
empat persegi dengan perut tambun itu
menggelengkan kepala. "Maafkan. Ini pemberian
seorang teman. Pantang diberikan lagi kepada lain
orang." Nyi lmas menangis. "Tetapi Tuan," katanya tersedu-sedu. "ltu adalah
kepala... suami saya."
Tuan rumah tertawa terbahak-bahak.
"Alangkah lucu cerita Anda itu. Tidakkah ada cerita
lain yang lebih masuk di akal""
Pak Karta menengahi: "Begini," katanya. "Setidak-tidaknya, kami
mengharapkan Tuan memberi ketenangan pada roh
binatang itu...." "Binatang. Apa perduli kita sama binatang" la sudah
mati. Kenapa diributkan" Lagipula hanya seekor
babi..." "Saya maklum," Nyi Imas berusaha menenangkan
hatinya yang panas. "Saya tahu Tuan sudah
mengeluarkan biaya yang banyak untuk
mengeringkan kemudian mendinginkan kepala
binatang itu, sehingga tetap seperti semula dan saya
pun tahu pajangan yang Tuan katakan, harganya
sangat mahal...." Ia berhenti sebentar. Sesak napasnya
karena bicara terlalu panjang. Kemudian dengan mata
bersinar-sinar ia berkata:
"Di luar ada mobil Morris kami. Di tubuhku juga ada
banyak perhiasan. Dan di rumah saya masih banyak
lagi yang Iain. Rumah gedung kami boleh pula Tuan
ambil. Asal..." "Ah, ah..." sungut tuan rumah. "Mustahil."
"Kenapa mustahil"" Nyi Imas kembali putus asa.
"Pertama, harta kekayaanku sendiri sudah cukup
banyak. Lagipula aku tidak mau mengambil harta
milik orang dengan cara begitu gampang...." la
kemudian mematikan sisa rokok putihnya di atas
asbak. Menekannya berulang-ulang. Keras, sampai
benar-benar hancur dan lumat bersama busa-busa
filter. "Yang kedua, kalau cerita Nyonya itu benar
adanya, maka harta Nyonya adalah harta yang
terhitung haram!" "Cerita saya benar...."
"Kalau begitu uang Nyonya haram."
"Lalu kalau Tuan memang tidak percaya, apalagi yang
"akan Tuan tunggu""
Orang itu menggeleng. Katanya:
"Sudah saya bilang; Pantang melepas pemberian
teman." "Ayah saya akan memberi izin," anak gadis pak Jono
menukas. "Ya, ya. Mungkin ia akan beri ijin. Tetapi menyesal...
saya sudah terlanjur mengagumi bentuk kepala babi
yang aneh itu!" *** ?"Bab 4 SETELAH tamu-tamunya pulang, Primo lama terdiam
di tempat duduknya. Kepada isterinya yang kemudian muncul ia berkata
agar jangan mengusik ketenangannya.
"Pergilah tidur. Temani anak-anak..." katanya.
Kemudian ia memasang sebatang rokok lagi di mulut,
dan segera menyulutnya dengan mancis gas di
tangannya yang lain. Terngiang-ngiang kembali di
telinganya suara Nyi Imas ketika ia bawa ke ruangan
perpustakaan untuk diperlihatkan pada benda
kesayangannya: "Ini kepala suami saya. Sungguh! Ini kepala suami
saya!" Primo tersenyum. Yang mereka lihat jelas kepala babi,
tetapi si perempuan mengatakan itu kepala suaminya.
"Benar-benar orang kampung!" Primo bersungutsungut lalu kemudian bangkit dari tempat duduknya.
la kemudian mematikan lampu ruangan tamu dan
bergerak menuju kamar tidurnya yang tersendiri.
Ketika melewati kamar perpustakaan, ia mendengar
sesuatu. Seperli ada yang menggedor-gedor. Pr imo
tertegun. Diam mendengarkan. Pencuri" Pikirnya,
seraya berjingkat-jingkat menuju arah suara gedoran
itu. Datangnya dari kamar perpustakaan. Perlahanlahan la membukanya. Gelap di dalam. Dan tak
terdengar apa-apa. "Hhh!" la mengeluh. Lega. "Aku terkena illusi oleh
cerita perempuan tadi," ia berbisik pada dirinya sendiri.
Supaya yakin, ia menghidupkan lampu. Ternyata
pintu-pintu dan jendela-jendela Iain dari
perpustakaan, terkunci rapat. Ketika ia melangkah dan
melongok ke meja kaca dimana terpajang kepala
babi yang matanya melotot merah itu, lagi-lagi ia
tertegun. Jantungnya berdenyut.
"Huh"" la bersungut-sungut. "Tamu kurang ajar itu
benar-benar membuat pikiranku terganggu..." lantas ia
mematikan lampu kamar perpustakaan dan bergegas
menuju pintu. la menguap sebentar, mengantuk.
Kemudian berjalan menuju kamar tidur pribadinya.
Lupa menutupkan pintu kamar perpustakaan....
*** PRIMO berpaling dengan gelisah.
"Ini kepala suamiku. Kepala suamiku...!" Terngiangngiang lagi suara Nyi Imas.
Primo tersentak duduk. la seperti mendengar ada
barang pecah. Seperti kaca yang diseruduk, sehingga
pecah berantakan. Berderai jatuh ke Iantai. Kedua
mata Primo terbelalak. "Siapa itu!" la berseru.
Tidak ada sahutan. Lantas dia pun sadar sendiri,
bahwa kamar tidurnya berdinding tembok yang tebal.
Tidak mungkin ada orang yang mendengar suara nya,
"siapa pun dia. Bahkan isteri dan anak-anaknya yang
tidur di kamar sebelahnya pun, tidak akan mendengar
apa-apa. Mungkinkah pak Mirta, penjaga kebun dan
garasi" Tetapi ketika Primo bangun dan membukakan
sedikit jendela, dan meninjau ke luar ia tidak
mendengar apa-apa dari belakang garasi, dimana pak
Mirta tidur. Ataukah bi Inem bangun tengah malam
begini dan ia menjatuhkan gelas, pikir Primo seraya
menutupkan kembali daun jendela.
Sambil memutuskan untuk menegur pembantu rumah
yang tidur dekat gudang itu besok pagi, ia kemudian
membaringkan tubuh lagi, di ranjang. Kantuknya
datang lagi, dan ia pun mulai terlelap.
"Primo.... Primo...."
Laki-laki itu gelisah dalam tidurnya.
"Primo.... Lepaskan aku, Primo...."
"Tidak!" Primo terbangun dengan kaget. Setelah
melihat sekelilingnya, ia menghela napas lega.
Kamarnya terang benderang. "Kiranya aku bermimpi..."
ia bersungut-sungut sendiri. Tangannya meraba
tombol lampu, dan mematikannya. Dalam gelap ia
Iebih cepat tertidur. ".... Primo!" Primo menyalangkan matanya dalam kegeIapan.
Menajamkan pendengaran telinganya.
"Lepaskan aku, lepaskanlah aku...."
Primo terduduk. Bulu kuduknya merinding.
"Setan!" ia coba menghibur dirinya sendiri. "Ilusi itu
ternyata mempengaruhi telingaku pula. Awas, besok
aku akan mengadukan perempuan itu. la telah
membuat tidurku gelisah...."
"Primo...!" Kini, laki-laki itu benar tertegak duduknya, ditengah
ranjangnya yang lebar. Ia diam mendengarkan.
Meyakinkan diri. Ia tidak mau menghidupkan lampu.
Tak mau suara gerakanya terdengar dan mengganggu
telinganya untuk mendengar kembali dari arah mana
suara itu datang. "... kemarilah, Primo. Kembalikan aku pada isteriku!'
Primo menjilat bibir. Ia tidak melihat apa-apa dalam
kegelapan kamarnya. Dan ia tidak mendengar
langkah-langkah kaki di luar. Ah, mungkin ada yang
coba bersenda gurau. Menggodanya. Kurang ajar,
berani benar orang itu. Tetapi... siapa"
Dengan berjingkat Primo turun dari atas ranjang.
Berjingkat-jingkat Primo melangkah ke arah pintu
kamar. Mendengarkan. Tidak ada suara apa-apa.
Desah napas pun tidak. Bahkan desah napasnya
sendiri. Tetapi ia tidak percaya. Jangan-jangan ada
pancuri licik yang menggoda bathinku agar mudah
melaksanakan niat jahatnya, pikir Primo seraya
memutar anak kunci pintu. Perlahan-Iahan... namun
bagai dentuman rasanya di telinga Primo.
Sepi mencekik di luar kamar.
Gelap. Primo tidak berani menghidupkan lampu. Siapa
tahu orang yang bermaksud jahat itu memakai
senjata. Kalau ia menghidupkan lampu, tamu tak di
undang itu akan menembak dan Primo akan jadi
sasaran empuk. Setidak-tidaknya, ia harus melawan
dulu. Tanpa adu senjata, Primo merasa dirinya lebih
mampu. Lalu ia lebih melebarkan daun pintu.
Dan muai melangkah ke luar...
Pintu kamar isteri dan anak-anaknya yang masih
kecil, tertutup rapat. Juga kamar Sumarjo, anak lakilakinya yang tertua di kamar yang berhadapan.
Koridor yang gelap itu tidak memberikan suatu
bayangan apa pun. Bahkan suara, apalagi orang.
Primo mepet ke dinding. Mungkin orang itu pakai
sepatu karet dan baju hitam-hitam, pikirnya seraya
beringsut maju. la telah melalui koridor. Dan tiba dipuncak tangga
"yang menuju ke bawah, di mana terdapat ruang
tamu, ruang perpustakaan, ruang istirahat dan ruang
makah. Lampu besar di ruang tamu yang besar itu
mati. Memang sengaja dimatikan. Yang menerangi
ruangan yang lebar dan penuh dengan perabotan
yang mewah serba antik itu, hanyalah sebuah
kapsalon lampu kecil berwarna merah dan biru di
sudut dekat pintu menuju kamar makan.
"Hem... tidak ada siapa-siapa," Primo bergumam.
Sewaktu Primo akan kembali ke kamar tidur, ia
mendengar ribut-ribut kecil dari arah ruang
perpustakaan. Primo tertegun. lngatannya terbagi dua.
Pertama, pajangan kepala babi itu. Lalu, almari
besinya. Meskipun almari besi itu pakai kunci khusus
dan baru, bisa dibuka dengan memakai nomor kode
yang hanya Primo sendiri yang tahu, ia tetap tidak
merasa percaya. Manusia ini luar biasa, ia berpikir.
Semakin maju tehnik manusia, semakin maju pula
tehnik orang-orang yang bertujuan jahat.
"Hem, jadi orang itu mau membongkar lemari besiku."
Primo tersenyum. Tipis. "Baiklah, aku akan
membantunya. Dengan sebuah jotosan!"
Lalu seraya menganang-anangkan tinjunya, ia
berjingkat-iingkat turun melewati anak tangga demi
anak tangga. Ruang perpustakaan tertetak di sebelah
kiri ruangan tamu. Dan dindiing tembok dimana
anak tangga tersusun, berada di sebelah kiri pula. la
lalu mepet ke dinding seraya turun, dan tangannya
kian terkepal. Hati-hati ia menuruni anak tangga.


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khawatir terpeleset dan menyebabkan buruannya
tahu dan melawan. Atau melarikan diri.
Tiba di anak tangga terakhir, ia mengumpuIkan
kekuatan. Menghela napas panjang. Mencoba
mengatur peredaran darah dan jantungnya yang
berdenyut-denyut. Tanpa sadar ia meraba dadanya.
Berdebur-debur. "Jadah!" Ia menggerutu dalam hati. "Akan kubalas
siksaan bathin ini!"
Lantas, dengan satu loncatan ia melompat kedepan,
dan loncatan berikut membawa tubuhnya persis ke
ambang pintu kamar perpustakaan. la sudah
bermaksud menerjang langsung dengan Ioncatan
panjang ke arah pintu almari besi ketika tubuhnya
terpaku di tempatnya berdiri. Mulutnya ternganga, dan
kedua matanya terbeliak. Tak sampai satu jangkauan tangan di depannya,
dimulut pintu perpustakaan, ia melihat dua sorot mata
kemerah-merahan memancar dalam kegeIapan. Sorot
mata itu besar, dan berapi-api. Primo mencoba
menajamkan pandangannya dan meyakinkan dirinya.
Tetapi itu bukan illusi! Bayangan itu kian jelas.
Sepasang mata merah bagaikan bara api itu, berasal
dari sebentuk kepala manusia. Tepat di antara kedua
mata kepala manusia itu, tampak sebuah lubang
bekas peluru. Jidat orang itu retak. dan darah
mengucur dari bekas lubang peluru itu.
"Ssiiappaaa," Primo tergagap.
Mulut orang itu menyeringai. Lebar. Tampak giginya
yang putih. Bagaikan bertaring di kedua sisinya.
Panjang, dan runcing-runcing.
"Aku, Primo... aku Dudung."
Primo menelan ludah. "Tidak." ia berkata dengan serak. 'Kau... kau...."
"Aku memang tidak sesempurna engkau, Primo, Eh...,"
Mata yang merah itu membesar ketika Primo coba
menjangkau tombol lampu. "Jangan hidupkan lampu
itu, Primo. Tanganmu akan kugigit, kalau kau lakukan
itu." "Tetapi, tetapi tubuhmu...."
Mulut itu menyeringai. "Memang tidak ada, Primo. Kau lihat pangkal leherku"
"Kau lihat""
Dan Primo melihatnya. Itu memang pangkal leher.
Tampak putih, denqan tepi bawahnya yang bulat,
merupakan lingkaran merah. Dan darah bercucuran
dari bagian leher itu. "Tidaaak!" Primo tiba-tiba berteriak, dan menghambur
ke anak tangga. la membentur tangan-tangan tangga,
dan jatuh terguling ke tengah ruangan baca. Dengan
susah payah dan tubuh gemetar ia bangkit berdiri dan
melihat kearah perpustakaan. Bayangan kepala yang
seperti menggantung ke udara itu, telah tiada!
Primo belum yakin. la segera menghambur ke tangga,
tiga-tiga sekaligus, melalui koridor dan berlari menuju
kamarnya. Begitu ia tiba disana, ia segera
menutupkan pintu. Menguncinya sekaligus dan
kemudian menghambur ke atas ranjang. Ditariknya
seIimut, dan ditutupnya seluruh tubuh.
"Primo.....!" "Waaaa!" Primo tersentak. la buka matanya lebarlebar. Suara itu jelas sekali .Dekat sekali. Ia melihat
ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Kepala itu tidak
kelihatan. Apalagi mata yang merah, mulut yang
menyeringai dan taring-taring yang menantang.
"Primo, aku di sini!'
Bagaikan disentak, kepala Primo menoleh ke samping.
Dan samar-samar, ia melihat kepala manusia yang
berlumuran darah itu tergolek pada bantal di sebelah
bantalnya sendiri. Mulut kepala ajaib itu
menyeringai.... "Kau!" Dan, tak ayal lagi, tubuh Primo merungkut,
terbang semangatnya dan kemudian ia terguling jatuh
dari tempat tidur, terhempas dan pingsan seketika.
Terdengar suara-suara ribut. pintu kamar dibuka dan
suara bertanya: "Papa" Papakah itu""
Lalu sebuah tangan menjangkau ke arah tombol
lampu. Memutarnya. Seketika, terang benderang di dalam kamar tidur
Primo. Sumarjo, anak laki-lakinya yang tertua berdri di pintu
dan tercengang melihat tubuh ayahnya tergelimpang
di kaki tempat tidur. la segera memburu, mengangkat
tubuh ayahnya ke atas tempat tidur dan berusaha
menyadarkannya. lbunya berlari-larian masuk diiringi
oleh adik-adiknya, dan Sumarjo menjelaskan pada
ibunya yang panik: "Papa cuma pingsan!"
"Tetapi kenapa..... Kenapa""
"Entah, Ma. Tadi aku dengar teriakan papa dibawah,
kemudian ia berlari-lari di depan kamar dan aku
segera mengikutinya setelah lama tidak
mendengarkan apa-apa...."
Primo segera membuka mata. Mula-mula ia akan
menjerit, tetapi Sumarjo membujuk:
"Ini aku, Papa. ini aku, Arjo!"
Primo melihat Sumarjo. Lalu isterinya. Dan anakanaknya.
"lstigfar, Pak. lstigfar," isterinya berkata setengah
menangis. Primo mengucap lstigfar. Berkali-berkali. Kemudian ia
merasa kekuatannya pulih perlahan-lahan. Ia menoleh
ke samping. Tidak ada apa-apa. Tidak kepala. Dan
juga tidak tetesan-tetesan darah.
"Kepala itu...." ia bergumam. Lemas.
"Kepa"a apa, Papa"" tanya Sumarjo.
"Kepala babi itu. ..." Dan sambil meloncat dari atas
ranjang, Primo kemudian menghambur ke pintu.
Sumarjo mengikutinya, juga isteri dan anak-anaknya.
Mereka hidupkan lampu koridor, dan tiba di puncak
tangga Sumarjo memutar knop lampu besar. Terang
benderang di bawah. Ruang tamu tampak tenang.
"Juga ruang makan tidak terdengar apa-apa. Primo
menuruni anak tangga. Dan matanya mencari-cari. la
tidak melihat tetesan-tetesan darah.
Tiba di depan kamar perpustakaan, Primo lantas
mencari tombol lampu. Memutarnya. Suasana yang
gelap dan seram tadinya, menjadi terang benderang
dan tenang. Tetapi tiba-liba Primo terpekik:
"Lihat!" la berseru.
Sumarjo melihat. lsteri Primo melihat, anak-anaknya
melihat. Kaca pajangan yang berisi kepala babi yang
sudah dikeringkan itu, pecah berantakan. Primo
memburu ke sana, diikuti yang lain-lainnya. Benar.
Keempat sisi dan tubuh kaca telah berantakan dan
pecahan-pecahannya berserakan di atas meja. Dan di
atas pajangan, tampak kepala babi itu.
"Lihat, Papa," Sumarjo menunjuk pada mata kepala
babi itu. "Tadinya mata babi ini kecil dan menyipit. Kini
seperti membelalak. Dan... mulutnya menyeringai."
Primo duduk terhenyak diatas kursi joknya yang
tebal. "Harus kita kembalikan dia," ia bersungut-sungut
ketakutan, seraya mengatupkan kedua tangan ke
wajahnya. "Harus kita kembaikan. la telah
memintanya. Padaku...!"
*** UPACARANYA sederhana saja, dan tertutup buat
umum. Yang hadir dalam penyempurnaan kembali tubuh
Dudung, hanyalah Nyi lmas, isterinya, pak Karta dan
isteri, pak Jono dan tuan Primo, tanmu dan sahabat
lamanya. "KembaliIah arwahmu ke alam baka dengan tenang,
Kang Dudung," Nyi lmas berbisik setengah menangis
ketika melekatkan kepala babi itu ke pangkal leher
pada bahu. "Semoga Tuhan mengampuni engkau!" Ianjutnya. Lalu,
dengan disaksikan oleh berpasang-pasang mata yang
hadir, ia menangkupkan sebuah kain yang biasa
dipakai suaminya di rumah, ke atas tubuh babi yang
telah disatukan dengan kepalanya itu.
Kemudian Nyi Imas menutup mata. Terpejam,
membaca doa yang telah lama baik ia apalagi
suaminya, lupa dan tidak ingat sama sekali. Air
matanya mengucur. Sedih, harus berpisah dengan
suaminya tercinta. Bahagia, telah bisa
menyempurnakan kembali tubuh Dudung sehingga
arwahnya bisa tenang kembali sebagaimana arwaharwah wajar lainnya.
"... Lihat,' Nyi Imas mendengar suara pak Karta yang
sayup-sayup. Perempuan muda itu membuka matanya. Berkilaukilau, karena menangis. Dan dengan lutut goyah dan
hati bergetar, ia lihat bagaimana tubuh babi di dalam
kain sarung itu berubah perlahan-lahan, semakin
membesar dan semakin memanjang. Kemudian,
sepasang kaki manusia menjulur dari tepi bawah
sarung, lalu sebelah tangan dan seraut wajah
dari tepi atas. Ketika dengan tangan gemetar Nyi lmas
mengangkat kembali sarung itu, ia lihat suaminya
terbaring dengan mata terkatup dan mulut tersenyum.
Getir. *** ?"Bab 5 PERSEMBAHAN TERKUTUK HARI sudah menjelang malam, ketika Margono turun
dari oplet. Beberapa saat ia tegak ditepi jalan seraya
menyeka wajahnya dari kepulan debu. Jalan ke
desaku ini tak pernah mendapat perhatian
pemerintah, meski i-pe-da terus ditarik, pikirnya.
Bahkan tadi oplet terbanting di tengah jalan oleh
sebuah jalan berlubang seperti kubangan kerbau.
Tidak saja Margono terlambat tiba di kampung karena
as oplet patah dan ia terpaksa menunggu oplet
berikutnya, tetapi juga jidatnya benjol karena
terantuk pada sandaran jok di depannya.
Margono nyengir ketika meraba benjolan di jidatnya.
"Ay, lumayan. Tinggal jendulan kecil saja," ia
bergumam sendiri. Kemudian menyandang ranselnya.
Setelah meninjau oplet yang kian menjauh dan
hilang ditelan warna senja yang sudah mulai
menghitam, ia kemudian berjalan melalui sebuah
jembatan bambu kecil diatas sebuah sungai yang
airnya sedang meluap karena hujan yang terus
menerus turun. "Gelap benar!" la menggerutu sesampai di seberang
jembatan. Ia mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari
kantong kemeja, dan menyulutnya sebatang. Sesaat
ia menikmati hangat rokok di hidung, dan sambil
melepas napas ia memperhatikan bayangan hitam
pekat di depannya. Pepohonan yang tinggi dengan
daun-daunnya yang rimbun bagaikan hantu-hantu
raksasa dalam cerita seribu satu malam, pikirnya.
Tetapi ia hafal benar jalan kecil diantara pepohonan
dan semak yang semakin membelukar itu.
Lalu dengan Iangkah-langkah panjang ia meneruskan
perjalanannya. "Kalau kuliahku tamat," gumamnya lagi. "Aku akan
jadi lurah dan suatu ketika jadi camat disini. Akan
kuusahakan pembangunan, terutama gardu listrik." la
kemudian menyenandungkan sebuah lagu pop
daerahnya,"Bajing luncat" nya lbu Upit Sarimanah. Dan
tiba-tiba saja ia terjerembab jatuh.
"Setan!" la memaki seraya berdiri. Gundukan hitam di
depannya sama sekali ia tidak duga bahwa ini bukan
bayangan pohon. Terdengar lenguh kecil, tetapi seperti
ngauman yang dahsyat di tengah kesenyapan hutan
kecil itu. Sambil menyepak gundukan hilam itu, Margono
memaki. "He, kerbau siapa kau ha" Kau melarikan diri dari
kandang ya" Kurang makan""
Tentu saja ia tak mendapatkan jawaban. Kerbau itu
malah berdiri, dan kemudian berjalan memasuki
semak belukar. Sekilas Margono berpikir untuk
"menangkap kerbau itu dan dinaikinya sampai di
rumah. Tetapi semak yang dimasuki kerbau itu
ternyata penuh onak duri. Sambil mematikan korek
api yang dua kali ia nyalakan semenjak menabrak
kerbau yang menghalangi jalannya itu, Margono
kembali berjalan ke arah semula.
Di ujung hutan ia mulai melihat kelap kelip bayangan.
Bulan belum muncul, ia tahu betul. Itu pasti bayangan
lampu-lampu dari desaku, pikirnya sambil
mempercepat langkah. la jatuh lagi karena terpeleset
diatas tanah berlumpur, tetapi segera bangkit dan
lebih mempercepat jalan. Aneh, tiba-tiba ia
merasakan sesuatu yang ganjil yang selama ini tak
pernah ia alami. Hantu" Tidak, ia tak percaya pada
takhayul semacam itu. Lalu apa"
Akhirnya ia melihat bintang-bintang di langit. la telah
tiba di mulut persawahan penduduk desanya, dan
memandang pada gundukan jalan memanjang yang
membelah sawah. Sambil menarik napas Iega, ia
meneruskan perjalanan lagi. Baru saja ia
menginjakkan kaki di mulut tegalan sawah itu, ketika
terdengar bunyi kerosak-keresek dari arah belakang.
Margono terkejut, dan cepat pasang kuda-kuda
seraya membalikkan tubuh. Garong" Pikirnya.
Tetapi tak ada yang menyerang.
Matanya kembali meneliti ke dalam kegelapan hutan


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang barusan dilaluinya. Dan tiba-tiba jantungnya
bagai berhenti berdenyut. la melihat sepasang mata
berkilau samar-samar. Besar sekali. Melebihi besarnya
buah jengkol. Cahaya bintang yang samar-samar
membuat kilauan itu bagaikan berputar-putar. Tak
mungkin hantu, pikir Margono mengibur dirinya. Tetapi
tak urung nyalinya menciut.
Beberapa saat kedua pasang mata itu bertatapan.
Kemudian Margono berteriak:
"He, kau. Majulah!"
Terdengar lenguh. Lalu korosak koresek yang ribut.
Kemudian langkah-langkah yang besar-besar dan
berdebum-debum. Ketika Margono mempertajam
matanya, ia melihat bayangan hitam besar di
hadapannya, memutar dan kembali memasuki hutan
meninggalkan sebuah lenguh yang keras.
"Monyong! Betul-betul kerbau sialan!" Margono
memaki-maki dengan suara keras. Kemudian ia
mengancam: "Awas! Kalau besok tuanmu membawamu ke desa,
akan kupotong lehermu!"
Tetapi kerbau itu telah menghilang. Tinggal suara
langkahnya yang berdebum-debum itu. Makin lama,
makin menjauh. Dan, senyap kembali di seputar
Margono. Sambil mengurut dada, Margono tegak seperti semula.
Ia memutar tubuh, menghadap ke jalan desa.
"Oh.....," keluhnya. Hampir-hampir saja ia percaya
bahwa di desa ini terdapat hantu yang tak pernah
dibayangkannya akan bertemu. Mudah-mudahan
tidak akan pernah ketemu, gerutunya dalam hati.
Sebab hantu itu tak pernah ada!
Tetapi ketika melangkahi tegalan sawah, ia kurang
yakin akan dirinya. "....... cepatlah pulang," demikian ayahnya menulis
dalam sepucuk surat yang ia terima minggu yang lalu.
"Adikmu Rokayah dalam keadaan gawat. Kami tak
berdaya mengatasi Rokayah, anakku. Datanglah. la
takut hanya padamu....."
Ya. Mudah-mudahan Rokayah masih takut padaku,
pikir Margono. Dengan demikian aku mudah
menguasainya. Tetapi mungkinkah" Bukankah
Rokayah dalam keadaan yang ganjil seperti apa yang
dikatakan oleh ayahnya dalam surat itu" la masih
ingat lanjutannya: ""Adikmu sedang keedanan pada Sugandi. Orang itu
adalah penduduk baru di desa kita. Kau tak akan
kenal. la kaya, tapi tampaknya enggan pindah ke
kota. Mata pencahariannya tidak ada yang
mengetahui, tetapi kekayaannya seakan-akan terus
berlimpah. Kami tak tahu apakah karena kekayaan
Sugandi yang menyebabkan adikmu bagaikan orang
gila kalau mengingat laki-laki itu. Tetapi tahukah kau
anakku" Tahukah kau""
Dan hati Margono berdebar ketika ayahnya
memberitahu: "...... banyak tetua-tetua di desa kita memesankan,
agar jangan mengijinkan Rokayah dikawini oleh
Sugandi. Pertanda celaka akan menimpa keluarga
kita, demikian kata tetua-tetua itu. Sugandi punya
kekuatan-kekualan setan. Mungkin sihir. Dan ia telah
menyihir adikmu Rokayah. Segeralah pulang, Nak.
Kalau perlu, bawalah dulu Rokayah ke kota!"
Ya. Mungkin itu satu-satunya jalan. Rokayah masih
berumur 15 tahun. Belum pantas untuk kawin. la
memang cantik. Banyak yang menaruh minat,
sehingga banyak keluarga yang ingin menjodohkan
Rokayah dengan anak mereka. lngin melakukan
kawin gantung. Tetapi Margono melarang ayah
mereka berbuat itu. Biarkan Rokayah memilih
pasangannya sendiri, katanya. Dan orang tua mereka
setuju. Rokayah bisa melanjutkan sekolahnya di
sebuah es-em-pe di desa yang berdekatan. Dan
sementara itu, diperkenankan memilih pemuda yang
kira-kita kena dihatinya.
Lalu, apa yang teriadi"
Kata ayahnya, Rokayah memilih Sugandi. Sugandi
memang masih muda, demikian ayahnya pernah
menerangkan. Tetapi hidup sendirian di rumahnya
yang besar dan mewah itu, adalah sangat
mengherankan. Jarang ke luar, lebih-lebih
mengherankan. Karena itu orang tua mereka tidak
mempercayai Sugandi untuk diangkat mantu.
"Akan kuselidiki siapa Sugandi itu," janji Margono
dalam surat balasan pada ayahnya. "Setelah ujianujianku selesai beberapa hari ini, aku akan pulang."
Dan kini ia dalam perjalanan pulang. Menuju desa
mereka. Menuju Rokayah. Dan... menuju Sugandi.
Laki-laki ienis apakah kira-kira orang ini" Ah, mudahmudahan ia hanya seorang bekas perampok, yang
dengan harta kekayaannya melarikan diri ke
kampungku, begitu Margono berharap.
Dan dengan pikiran tetap, ia meneruskan langkahnya.
Pesawahan sudah ia lalui. Kini ia berhadapan dengan
kebun ketela penduduk, dan semak perkebunan
nenas. la baru melihat gubuk di tengah sawah. Belum
melihat satu pun rumah penduduk, apalagi manusia.
lni adalah suatu keadaan yang betul-betul lain dari
biasa. Dulu, bertahun-tahun yang silam, sebelum
Margono melanjutkan sekolah es-em-a dan kemudian
meneruskan di perguruan tinggi, masih juga ada satu
dua manusia yang ke luar. Mereka adalah penduduk
yang suka berdagang dari satu ke lain desa.
Kini tidak lagi, tampaknya. Apakah panen yang sudah
menurun karena kemarau panjang tahun yang labu.
Ataukah... ah, mungkin semenjak kemunculan
Sugandi. Mungkin. Tetapi kenapa, seperti kata ayah,
mereka takut sama penduduk baru itu" Mengapa"
Apakah yang menakutkan mereka pada diri Sugandi"
Apakah sesuatu yang.... "Hei!" la terpekik.
Sebuah bayangan melintas didepannya. Dan sempat
mereka berpandangan. Seperti manusia. Tetapi sedikil
bungkuk. "He. siapa itu"" Margono lagi-lagi pasang kuda-kuda.
Bayangan yang kita-kira sejauh 15 langkah
"didepannya itu, berhenti. Tampaknya baru datang dari
arah desa. Hati Margono tersentak waktu melihat
sepasang matanya. Bersinar-sinar, melebihi bintang.
Dari jarak yang sedekat itu, tampak bagaikan lidah
api yang menjilat. "Manusiakah kau"" tanya Margono dengan hati
tersentak. la memberanikan diri untuk mendekat. Tetapi tiba-tiba
bayangan itu mengeluarkan suara:
"Nyieeehhhh... Nyieeeh!" Lalu kemudian melompat
panjang kedalam semak-semak.
Margono memburu. Makhluk itu pasti manusia, ia
meyakinkan dirinya. Kakinya seperti kakiku, meski
tangannya seperti diangkat-angkat. Tetapi suaranya"
Suaranya" Dan dengan lompatan-lompatan panjang,
Margono menerjang ke arah bayangan itu
menghilang. Tetapi ia hanya menemukan suara
semak dihembus angin deras dan langkah-langkah
kaki bayangan itu menerobos ilalang-ilalang. Dengan
menahankan sakit di lengan kiri dan kanannya yang
telanjang terkena tusukan duri, ia terus mengejar.
Tetapi ketika tiba di pinggiran sawah, ia melihat
bayangan tadi melintasi sawah. Bukan lagi setengah
membungkuk, tetapi betu!-betul membungkuk.
Tangannya yang tadi terangkat, kini menjejak di
tanah. Makhluk itu berlari cepat sekali melintasi
tegalan-tegalan sawah, seperti melompat-lompat.
Hanya dalam beberapa kejap ia telah tiba di
seberang, dan menghilang dalam kegelapan hutan.
"Kera!' Margono mendesis. "Besar amat!"
Ia menyambar ranselnya yang terjatuh ketika tadi
melompat mengejar bayangan yang ia sangka kera
itu. Menyandangnya kembali. Dan untuk
menenangkan hatinya yang tergoncang ia kembali
menyulut sebatang kretek Iagi. Baru ia meneruskan
langkah menuju desa, yang lampu-lampu minyaknya
mulai kelihatan di kejauhan....
Kaget Margono ketika mendengar suara ribut-ribut di
dalam rumah. Seorang tetangga yang setelah berdekatan
dikenalnya sebagai pak Bakri yang mula-mula melihat
Margono muncul. Ketika itu pak Bakri baru saja turun
dari rumah orang tua Margono.
"Kau, Nak"" tanya orang tua itu. "Kebetulan sekali.
Temuilah keluargamu cepat-cepat....." Lantas seraya
memperhatikan Margono dari ujung rambut ke ujung
kaki, orang tua itu mengangguk ramah dan
kemudian pergi. Berdebar hati Matgono. Sikap pak Bakri yang
tampaknya berumur panjang itu, aneh. la
mengatakan kebetulan. Ada apa gerangan"
Sambil memikirkan itu, Margono menaiki anaktangga
demi anaktangga, sampai tiba di ambang pintu yang
masih terbuka. Lampu sempor diatas
meja depan menyala terang sekali setelah Margono
sejak tadi berjalan hanya di kegelapan dan kegelapan
semata. la lihat ibunya sedang merangkul Rokayah yang
dalam usia yang baru mencapapai 15 tahun, tampak
tinggi semampai dan montok. Sekilas ia teringat pada
si Sugandi yang "menyihir" adiknya itu, Ialu segera
melihat ayahnya yang tercengang memandangi
Margono. "Gono, Anakku!" Laki-laki tua itu tersenyum Iebar.
Margono tertawa. Wajah ayahnya yang tadi merah
padam dan keras, perlahan-lahan melembut dan
ketika mereka berpelukan. Menyusul ibunya yang
tampak semakin kurus juga, laIu Rokayah yang
seperti enggan mendekatinya. Ketika ia masuk, ibu
dan adiknya tengah bertangis-tangisan. Tangis ibunya
kini meninggi, dan tangis Rokayah mendadak terhenti.
"Margono melihat, bahwa mata adiknya itu seperti
mengambang, yang mengingatkan ia pada pencandupencandu narkotik di kotanya.
"Lihat!" ceracau ayah mereka. "Adikmu baru saja
bertemu dengan laki-laki terkutuk itu di kebun!"
Laki-laki terkutuk" Margono tersentak. Tentu yang
dimaksudkan ayahnya adalah Sugandi. Tetapi
Margono tidak melihat siapa-siapa, kecuali pak Bakri.
Dan tak mungkin orang tua itu yang dikatakan
ayahnya laki-laki terkutuk. Dan di kebun.... Margono
tidak melihat adanya orang lain sepanjang jalan desa.
Di kebun! Apakah maksud ayahnya kebun yang tadi
ia Ialui" Dan di sana. yang ia lihat..... kera besar dan
aneh itu! *** ?"Bab 6 HAMPIR sepanjang malam, Margono tidak bisa
memejamkan mata. "la penyihir! Sungguh-sungguh penyihir!" terngiangngiang di telinga Margono suara yang marah dari
ayahnya, untuk meyakinkan dirinya. Tetapi Margono
tetap bertahan. Katanya: "Tetapi pak. Rokayah tampaknya cinta benar pada
Gandi." "ltu sebabnya kau kupanggil pulang," sahut ayahnya
ketus. "Untuk memutuskan percintaan mereka""
"Kau kira, untuk mengawinkanmu, ha"" Dan ayah
Margono tiba-tiba terdiam. Tampak ia menyadari
sesuatu, yang perlahan-lahan ia ucapkan sendiri. "Ah,
Nak. Maafkan Ayah, marah-marah tanpa sebab
padamu. Dan he, apakah kau masih terus dengan
Norita teman sekuliahmu itu""
Margono pernah menceritakan pada orang tuanya,
bahwa di kota ia telah bertemu jodoh. Jadi jangan
dicarikan dari kampung. Norita anak baik. Lahir dan
besar di kota. Tetapi orang tuanya yang tidak terlalu
fanatik dalam agama, cukup telaten mendidik anak
mereka untuk menjadi seorang puteri yang bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang butuk.
Bayangkan! Untuk masa hubungan yang telah
mencapai hampir tiga tahun, Margono baru bisa
mencium dan sedikit raba-rabaan yang tak terlalu
menjurus pada tubuh pacarnya itu. "Kalau kau cobacoba mau nakal, kulapor pada polisi!" Pernah Norita
mengancam. Tentu saja hanya gurauan. Tetapi pernah
pula Margono nakal, coba-coba berbuat lebih dari
mencium dan meraba. Akibatnya fatal benar, Norita
menamparnya, kemudian tak mau ditemui untuk
jangka waktu satu bulan. Bahkan di ruang kuliah, tak
sepicing pun Norita melihat padanya, sehingga temanteman yang mengetahui hubungan mereka
menertawakan Margono. "Masa anak santri mau
ditimpa!" Demikian kata mereka tanpa tedeng alingaling.
Margono tersenyum. Kini, di dipannya yang tanpa
kasur. Hanya berlapis tikar dan bulu domba. Cukup
hangat. Uang orang tuanya dari hasil sawah
hampir seluruhnya dipergunakan untuk biaya kuliah
Margono, dan biaya sekolah Rokayah.
Rokayah. Adiknya memang masih muda benar. Tetapi
dari sinar matanya terpancar ketulusan hati yang
dalam. "Akang boleh memukulku," katanya sebelum tidur tadi
pada Margono. "Tapi Akang tak bisa melarangku
berhubungan dengan kang Gandi."
"Apa sih yang menarik dari laki-laki itu" Hartanya""
"Akang menilaiku serendah itu""
""Baiklah. Baiklah. Tapi kau tahu Iatar belakang hidup
lelaki itu""

Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Enggak penting."
"Bagaimana kalau ia bekas perampok""
"Jangan menghina Kang Gandi!"
"Aku cuma mau tanya..."" Margono membela diri.
"Tanyalah yang benar!"
"Hem. Kau mulai pintar mendebat ya""
Dan berakhirlah pembicaraan mereka malam itu.
Rokayah masuk ke kamarnya sambil merengut. Ayah
dan ibu mereka masuk ke kamar jauh sebelumnya,
dan tidak terdengar lagi suaranya. Kini, Margono
mendengar dengkur ayahnya yang keras dari kamar
sebelah. Bersahut-sahutan dengan dengkur ibunya.
Margono berpikir, apakah sewaktu tidur ia juga mendengkur"
Dan apakah dengkur merupakan penyakit turunan"
"Nyieeett!!." Margono tiba-tiba tersentak bangun.
"Nyieettt.....," suara itu kembali terdengar. Lebih halus.
Arahnya dari Iuar rumah. Kira-kita dekat jendela
kamar Rokayah. Margono tiba-tiba menjadi pucat Kera
besar itu pasti mengikutiku. Tetapi kenapa" Dan
kenapa ia kira aku tidur di kamar Rokayah"
"..... Kang Gandi ...," suara lain terdengar. Hampirhampir berupa bisikan. Margono semakin kaget. Itu
adalah suara Rokayah, dari kamar sebelah lain.
Terdengar bunyi jendela dibuka.
"Kang Gandi!" suara Rokayah semakin jelas terdengar.
"Tunggu Yayah...."
Terdengar bunyi jatuh yang tidak ribut. Margono
mengira, itu pastilah Rokayah yang meloncati jendeIa
dan turun diam-diam ke pekarangan samping. Apa
pula yang akan diperbuat adiknya, dan apa pula
maksud laki-laki itu datang tengah malam begini"
Dengan marah Margono mengenakan bajunya.
"Akan kupukul dia!" Ia bersungut-sungut. Dan ingat
dugaan-dugaannya kalau Sugandi soorang perampok
dan pastilah membawa-bawa senjata. Margono
membekali dirinya dengan sebilah pisau komando
yang ia bawa-bawa dari kota untuk menjaga-jaga
dirinya kalau ada apa-apa di jalan.
Dibukanya pintu kamar. Dengkur ayah masih
bersahut-sahutan dengan dengkur ibunya. Mereka
tampaknya sudah terlalu lelah memikirkan tingkahIaku Rokayah, dan terlalu lelah pula setelah
berbincang-bincang denganku sepanjang malam,
demikian pikir Margono. Baiklah. Ia tidak akan
membangunkan mereka. Ia sanggup untuk
menyelesaikan persoalan ini sendirian. la tak mau
ribut-ribut. Tetangga-tetangga yang rumahnya agak
berjauhan, pasti bisa mendengar kalau terjadi suatu
kegemparan. Margono bermaksud menyelesaikan
persoalan ini diam-diam. Tiba di pintu dapur, ia sudah
rencanakan untuk membanting si Sugandi itu,
membekuk lalu kemudian menyerahkannya pada pak
Bakri serta pembantu-pembantunya yang kata
ayahnya bertindak sebagai kepala keamanan desa.
Tiba dipekarangan dapur. la mendengar kerosakkerosek dari kolong rumah. Hati-hati, Margono
membungkuk. Dibiasakannya matanya dalam
kegelapan. Dan ketika ia dapat melihat, beberapa
cahaya berkilauan dari beberapa pasang mata
menerpa wajahnya. Margono termundur saking kaget.
Lalu dengan suara "Geeerr, grrr" makhluk-makhluk
dari kolong rumah pada serabutan ke luar. Untung tak
ada yang ke arah Margono. Sebab pastilah kera-kera
itu celaka dipisau komandonya yang sudah terhunus.
"Nyieeettt... apa-apaan"" terdengar suara halus.
Margono menoleh. Datangnya dari arah rimbunan
batang pisang dekat kandang ayam. Dan ayam-ayam
"di dalam kandang mengeluarkan suara berkotek yang
rendah. Margono melangkah maju. Tangannya siap
dengan pisau komando. Ketka melihat sesosok
bayangan mendekati tujuannya yang sama, Margono
tertegun. Itu adalan Rokayah. Membentangkan tangan
pada sesosok tubuh dekat batang pisang.
"Kang Gandi!" ujar adiknya dengan penuh kasih.
"Kayah! Rokayah, kekasih Akang!" balas Ielaki yang
bersembunyi dibalik batang pohon pisang. Kemudian
Margono melihat kedua bayangan itu saling
berdekapan. Panas rasa hati Margono. Betapa pun ia
sayang pada adiknya dan mengerti kalau adiknya
sedang kasmaran dilanda cinta, tetapi sama sekali ia
tak setuju Rokayah bercumbu-cumbu ditengah malam
buta di luar rumah. lni di kampung, bukan di kota.
Pasti. Pastilah laki-laki itu yang membujuk Rokayah.
Mungkin juga seperti kata ayahnya: menyihir
Rokayah! "He, tukang sihir!" Margono memperdengarkan suara.
Dua bayangan yang tengah berpelukan itu, samasama terkejut. Kemudian Rokayah buru-buru
menjauhkan diri, dan tampak setengah berlari
ketakutan ke arah jendela kamarnya yang terbuka.
Ketika Margono mendekati sosok laki-laki di dekat
batang pisang, Rokayah telah tiba di dalam dan
segera menutupkan jendela kamar.
"Kau, bajingan!" maki Margono dan melayangkan
tinju. Laki-laki itu mengelak. Terdengar mengekeh seperti
kakek-kakek. Margono merasa terhina, dan bangkit
dari tanah di mana ia barusan terjerembab.
"Jangan memukul, Bung," suara orang itu.
"Kurang ajar!" maki Margono.
"Tak sayang pada adikmu""
"Justru sayang, laki-laki sialan."
"Jangan begitu...." dan bayangan yang tinggi kukuh itu
mundur perlahan-lahan untuk menjauhi Margono yang
telah dipengaruhi kemarahannya. Kemudian, ia
memutar langkah dan cepat-cepat.... ambil langkah
seribu. "Hei. Tunggu!" teriak Margono.
Tetapi laki-laki itu terus berlari. Margono mengejar.
Melintasi rumah seorang tetangga, kemudian kebun
sayur-sayuran dan kaki-kakinya tanpa sadar telah
merambas beberapa tumbuh-tumbuhan di kebun itu.
Tetapi Margono tak perduli. Lari laki-laki didepannya
semakin cepat. Dalam bayangan bulan yang terang
benderang, tampak seperti membungkuk.
"Akan kukejar ke mana pun kau lari," Margono
bersungut-sungut. Akhirnya, mereka tiba di dekat sebuah rumah yang
tampak berpagar tinggi. Menjelang sampai di rumah
itu, bayangan si lelaki menghilang di dalam
semak belukar di dekat pagar. yang tampaknya
sengaja dibiarkan tak terurus. Margono menggerakgerakkan tangan ke kiri kanan, mencari jalan diantara
semak-semak. Kembali luka-luka goresan oleh onak
dan duri timbul pada kulit-kulit lengan dan wajahnya.
la meringis kesakitan, tetapi tak perduli. Ia terus
menerobos memasuki semak-semak seraya
beteriak-teriak lantang. "Pengecut! Kenapa bersembunyi! Hei, keluar!
Keluaaaaar!" Margono tiba-tiba tertegun. Ia mendengar dengus
napas yang kencang tak jauh di sebelah kanannya. la
coba meneliti, tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ia
hanya melihat sebuah pohon yang tinggi dan... itu dia!
Margono terpukau. Ia lihat sesosok bayangan
memanjat pohon yang tinggi itu dengan lincah. ltu
bukanlah Sugandi. Bayangan itu memang besar,
tinggi kukuh seperti pacar Rokayah, akan tetapi
"bentuk kepalanya lain, demikian juga paha dan
"tangan-tangan" nya. Makluk itu merayap di pohon
sepert..... "Kera besar itu!" desis Margono dengan jantung
berdebar. Ya, Margono benar. Yang ia lihat adalah kera besar
yang ia pergoki di jalan dan kemudian melarikan diri
melalui sawah dan hilang di tengah hutan. Tetapi kini
kera besar itu dekat sekali padanya. Sayang, Margono
tak berdaya. Ia terpukau saja saking terkejut, dan
melihat bagaimana kera itu di pertengahan pohon,
meloncat ke puncak pagar dan kemudian hilang di
bagian dalam. Barulah Margono sadar. "Busyet!" la memaki sendiri. "Laki-laki celaka itu punya
kera-kera peliharaan."
Dan sambil menyeka keringat dingin yang membasahi
jidatnya, ia meneruskan merembesi semak belukar. la
yakin, laki-laki itu masih bersembunyi disekitarnya.
Tak mungkin Sugandi meloncati pagar kayu yang
terbuat dari batang-batang pohon yang tinggi itu.
Kecuali..... Mungkin. Mungkin Sugandi punya jalan rahasia, pikir
Margono. Dan ia merapat ke tembok kayu pohon yang
merupakan pagar tinggi itu. Di bagian itu semak
belukar agak jarang. Dengan dibantu bayangan
rembulan, ia merayap sepanjang pagar. Tangannya
tetap memegang pisau komando, siap-siap kalau
terjadi sesuatu. la kemudian tiba di bagian pagar yang
tampaknya dibelah dua. Pada sisi-sisinya terdapat talitali besar dan kawat-kawat yang dipakai pengikat. Ini
tentunya pintu gerbang masuk ke dalam rumah yang
besar didalam. Huh,seperti pos tentara saja, gerutu
Margono, ingat film-film koboi yang sering ditontonnya
di kota. Tetapi ini bukan pos tentara. Dan tak ada tentara
didalamnya. Yang ada hanya rumah Sugandi. Besar
sekali mungkin, tetapi yang pasti Margono yakin
bahwa laki-laki itu belum masuk ke rumah. Ia terus
merayap. Mungkinkah bisa menemukan pintu rahasia.
Dan tangannya yang bebas, meraba-raba tiap batang
kayu dari pagar tinggi itu. Matanya melotot, awas
kalau ada hal-hal yang mencurigakan. Tetapi sampai
ia memutari pagar itu dikeempat penjurunya, ia tidak
menemukan jalan masuk. Jadi, yang ada hanya pintu
gerbang. Kalau begitu, kemana Sugandi menghilang"
?"Bab 7 Selagi memikirkan hal itu, tiba-tiba beberapa sosok
bayangan meloncat dari semak-semak beIukar.
Margono terkesiap. Ada tiga buah bayangan itu.
Merangkak, ah... tidak. Tapi berjalan ke arahnya.
Tangan-tangannya menggantung, dan tubuh-tubuhnya
membungkuk. Kera! "Hem, kalian jadi penjaga terkutuk itu heh"" maki
Margono. "Majulah!"
Dan ia amang-amangkan pisau komandonya. Kerakera itu tertegun sesaat. Margono hampir tak
mempercayai dirinya, ketika melihat bagaimana kerakera itu saling berpandangan, kemudian mengangguk
seperti manusia. Lalu, serentak mereka melihat
dengan mata membesar pada Margono. Dan serentak
pula, mereka melompat, maju menyerang. Margono
merapatkan dirinya ke tembok. la lupakan
keheranannya, dan segera mengayunkan pisau
komandonya pada kera yang menyerang dari depan.
Terdengar bunyi menggereng, mirip erangan manusia,
dan kera itu menggelupur dekat kakinya. la akan
menikamkan pisaunya kembali ke tubuh kera yang
telah sekarat itu, tetapi tidak keburu. Kedua ekor kera
lainnya telah menyerbu dari arah kiri dan kanan.
Diserang begitu, Margono cepat-cepat melompat ke
depan. Kedua ekor kera yang tampak menjadi
semakin buas melihat seekor teman mereka terkapar
di tanah berlumur darah, jadinya saling bertubrukan.
Keduanya mengeluarkan suara menggereng yang
nyaring dan tiba di tanah serentak melompat lagi.
Kembali Margono menyabitkan pisau komandonya
dengan gerakan silang. "Aaaa...," lagi-lagi suara seperti manusia terdengar.
Lalu seekor dari kera-kera itu menggeluput pula di
atas rerumputan. Kini tinggal seekor lagi. Yang satu ini
tegak selama beberapa saat. Di bawah sinar
rembulan, tampak sepasang matanya bersinar-sinar
mengerikan. Dua baris giginya yang runcing-runcing
dengan taring-taring yang panjang, menyeringai.
Kecut juga hati Margono. "Boleh. Majulah. Kau boleh menyusul kedua
temanmu," kata si pemuda dengan suara yang lemah.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa suaranya mulai
gemetar. Ya, ia telah ditimbuli rasa gentar. Tetapi
dengan musuh yang tinggal seekor saja, Margono
setengah membungkukkan dirinya, siap menerima
terkaman berikut. Lama manusia dan kera itu saling
berpandangan. Seakan-akan mengusut kekuatan
Iawan. Lalu, setelah berbunyi "Nyeeettt," binatang itu
kemudian melompat menghindari Margono. Dalam
sekejap ia telah hilang di balik semak belukar.
"Hhhh...," Margono membuang napas panjang. Lega
hatinya. "Setelah memandangi kedua tubuh kera yang semaput
dekat kakinya, Margono merasa ada sesuatu yang
ganjil dalam dirinya. la tak tahu apa, tetapi ia tiba-tiba
ingin melarikan diri dari tempat itu. Melarikan diri! Dan
Margono kemudian ikut meloncati semak seperti kera
tadi, lantas menerobos melalui ilalang, kebun, sebuah
selokan kecil, gundukan semak lagi, kebun, sebuah
rumah penduduk dan tiba di jalan utama desa, ia
melihat lampu obor mendatang.
"Siapa"" terdengar teguran.
Margono memelankan larinya.
"Saya!" sahutnya.
"Saya siapa""
"Gono...." "Oh!" Dan obor itu semakin mendekat. Tampak bayangan
yang semakin jelas dari wajah pak Bakri, dan
beberapa orang penduduk yang masing-masing


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang senjata ditangan. Ada yang bawa golok,
ada yang membawa alu dan ada pula yang
membawa pisau dapur. Setelah bertemu pak Bakri
memandangi sekujur tubuh Margono yang
berkeringat, dan bajunya yang lusuh.
"Apa yang terjadi"" tanya pak Bakri.
"Ah, hanya soal kecil!"
"Tetapi kami mendengar teriakan-teriakan. Dan suara
yang ribut di dekat pagar rumah Sugandi...."
"Nanti saja saya ceritakan. Saya ingin secangkir
kopi...." "Mari. Kita ke rumahmu saja. Kami antar...."
*** Semua orang yang mendengar ceritaku, terdiam.
Mulut-mulut mereka sama tercengang, sedangkan
pasang demi pasang mata tampak tak percaya.
Bahkan ibuku yang pucat-pasi cepat-cepat
menegurku: "Jangan bumbui ceritamu. Nak."
"Aku sungguh-sungguh. Bu."
"Mana ada kera mengerang seperti manusia""
"Ya, ya Mana ada..." terdengar suara bergalau.
"Diamlah!" Tiba-tiba pak Bakri yang dari tadi diam saja
menukas. Semua memandangi orang tua yang
tubuhnya masih kukuh meski kurus itu. la tampak
sedang berpikir keras, seraya mengusap-usap
janggutnya. Topi lakennya tampak seperti
membenam di dahinya yang penuh keriput. Dalam
bayangan lampu lempor, ia seperti sebuah lukisan
mati saja. "Sebaiknya kita selidiki tempat itu...."
"Setuju!" seru yang lain.
"Jangan semua..." pak Bakri mengangkat tangannya.
"Kenapa"" ayah Margono bertanya heran.
"Sebaiknya tidak ribut-ribut."
"Apa pula yang perlu dirahasiakan""
"Kita jangan membuat Sugandi curiga."
"Sugandi"" hampir berbarengan suara bertanya itu.
Kemudian orang-orang pada saling pandang. Tak
terkecuali aku sendiri. Tetapi pak Bakri cuma
mengusap-usap jenggotnya. Katanya:
"Aku baru menduga. Sebaiknya kita semua bersikap
biasa, sampai aku menemukan kebenaran dugaanku!"
Kemudian pak Bakri dan dua orang pembantunya ke
luar dengan maksud mencari mayat-mayat monyet
yang berhasil disemaputkan oleh Margono. Yang
lainnya disuruh pulang. Dan kembali rumah sepi.
Tinggal Margono dengan kedua orang tuanya.
Beberapa saat Margono mengisap rokok kreteknya
dalam-dalam. Juga ayahnya. Lalu tiba-tiba laki-laki tua
itu bertanya: "Tadi belum kau ceritakan kenapa kau pergi keluar
rumah." ""Hanya ingin makan angin, pak."
"Bohong. Kau mengantuk benar. Ketika kami
tinggalkan beromong-omong dengan adikmu
Rokayah." Kembali aku teringat adikku itu. Semenjak aku masuk
ke rumah diiringkan pak Bakri dan penduduk lainnya,
Rokayah tidak memperlihatkan diri. Kuceritakan
sajalah sebab yang sebenanya" Tetapi Margono
membatalkan niatnya itu. la kemudian bersungutsungut:
"Bapak makin pencuriga saja belakangan ini."
"Adikmu yang jadi sebab!"
"Jangan menyalahkan Yayah terus, Pak," ibu Margono
menukas. "Kau sih!" Laki-laki tua itu menjadi marah. "Sela"u saja
memanja dan membela sibungsu."
"Kasihanilah dia, pak. Yayah masih kecil dan..."
"Dan sudah pandai bercinta-cintaan!" potong ayah
Margono. "Bahkan melawan orang tua! Itukah dia
anak kecilmu itu""
lsterinya diam, dan hanya menunduk dengan muka
sedih. Margono cepat-cepat menembal:
"Sudahlah, Bu. Ibu tidur saja. Biar aku dan bapak yang
menunggu kedatangan pak Bakri kembali."
Bapak mengiyakan. Dan ibu tak berkata apa-apa lagi.
la langsung masuk ke kamar. Margono kemudian
berdiri. Mundar-mandir di ruangan. Pikirannya kacau
balau. Tetapi ia tidak bisa menemukan suatu
gambaran yang memuaskan. Sejak semula ia sudah
berpendapat bahwa ia akan dapat menyelesaikan
perkara ini dengan mudah dan tanpa menimbulkan
ricuh. Tetapi ternyata apa yang kini ia alami, tidak bisa
ia pecahkan sendiri. Dan kembali suatu perasaan
ganjil menyenak di hatinya. Sesuatu yang ia tidak
ketahui apa. Dan tanpa ia sadari.... ia tertegun di depan pintu
kamar Rokayah. "Yah"" ia bertanya.
Laki-laki tua yang duduk di kursi, memperhatikan
tingkah Margono dengan heran.
"Kau sudah tidur, Yah"" tanya Margono lagi.
"... belum, Kang."
Margono didatangi perasaan ingin untuk bertanya
lebih banyak pada adiknya. Tetapi melihat ayah
mereka memperhatikan dengan penuh minat, ia
membatalkan keingingannya. Katanya:
"Jangan tidur terlalu larut. Dik. Kau bisa sakit...."
Lalu ia kembali duduk dekat ayahnya.
"... kau bikinlah kopi," kata laki-laki tua itu. "Sebentar
lagi pak Bakri pasti sudah datang...."
Gono pergi ke dapur. Menjerangkan air dan
mencampur bubuk kopi dan gula ke dalam beberapa
gelas dan mangkuk. Hanya secukupnya air yang ia
masak. Dan ketika kopi itu siap dihidangkan,
terdengar suara-suara orang di luar rumah. Lalu suara
pintu dibukakan ayahnya. Margono membawa
minuman itu ke depan dan melihat pak Bakri telah
hadir bersama ketiga orang pembantunya.
"Ke sinilah, Nak Gono." kata tetua kampung itu.
Margono mengambil tempat di sebuah kursi.
"Kau sungguh-sungguh telah membunuh dua ekor
kera itu"" Margono ta'jub. "Tentu saja," katanya. "Ini buktinya...." Dan ia
mengeluarkan pisau komandonya. Masih berlumur
darah yang mulai membeku. Semenjak tadi ia tidak
sempat mencucinya. Keempat orang itu manggut-manggut.
"Kami juga melihat bercak-bercak darah," kata pa k
Bakri. ""Dan mayat-mayat kera itu""
"Tak ada sama sekali."
"Ah"" "Tenanglah," pak Bakri berkata dengan nada
meyakinkan. "Kita akan selidiki besok. Aku akan mulai
semakin menjurus." "Ke mana"" tanya Margono.
"Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kediaman
Sugandi!" Dan semua orang kembali berpandang-pandangan. la
teringat kepada kera besar yang bentuknya seperti
manusia itu. Dan ingat bagaimana kera besar itu
memanjat pagar melalui sebatang pohon yang tinggi,
dan menghilang di dalam. Setelah mana, muncul tiga
ekor kera lain menyerangnya.
"Apa Bapak kira Sugandi memelihara kera""
Tetua kampung itu menggeleng.
"Memelihara"" tanyanya seraya tersenyum misterius.
"Aku tidak menyangka seperti itu...."
*** ?"Bab 8 SUGANDI yang membukakan pintu gerbang yang
lebar dan berat itu. Tampak ia tak senang dikunjungi, dan beberapa saat
ia memandangi Margono dengan penuh perhatian.
Meskipun udara siang itu panas, tetapi ia mengenakan
kemeja berlengan panjang dan sarung tangan karet.
"... silahkan masuk," katanya.
Dengan didahului tuan rumah, pak Bakri, Margono dan
ketiga pembantunya memasuki bangunan yang
terlindung di dalam lingkungan pagar-pagar kayu
yang bagaikan tembok yang siap untuk menghadapi
perang itu. Pekarangan rumah itu luas, dan ditumbuhi
banyak pohon pisang yang sedang berbuah ranum.
Laki-laki itu juga tampaknya punya kegemaran pada
bunga, yang ia bikinkan taman khusus dengan kolam
ikan. Tetapi apa yang lebih menarik ialah, banyaknya
pohon-pohon bercanang di pekarangan itu, dan
tampaknya adalah pohon-pohon buatan. Akarakarnya terbuat dari tali, yang menggantung di antara
beberapa cabang pohon tertinggi.
"Aku hampir-hampir tak percaya," pak Bakri berbisik
pada Margono. "Ketika orang ini...," ia menunjuk pada
Sugandi yang berjalan didepan. "..... mulai datang dan
membangun di tempat ini, ia hanya meminta bantuan
penduduk membangun pagar yang bagaikan tembok
itu. Tetapi seluruh bangunan didalam lingkungan pagar
itu sendirilah yang mengerjakan. Percayakah kau""
"Karena bapak sendiri tak percaya, apalagi saya,"
jawab Margono jujur. "Masuklah, tamu-tamuku yang terhormat," tiba-tiba
Sugandi menukas. Mereka telah tiba di beranda. Lalu
masuk ke ruangan dalam. Perabotan rumah serba
mewah, hanya bahannya sajalah bahan-bahan
kampung. Seperti meja kayu rotan, sofa rotan, lemari
dan rak hiasan kayu jati. Terdapat beberapa
jambangan besar-besar yang menurut pak Bakri
dibawa Sugandi ketika pindah ke desa ini.
"la masih menyimpan banyak perkakas-perkakas
yang bagus di dalam," kata pak Bakri setengah
berbisik, ketika Sugandi masuk ke dalam katanya
untuk mengambilkan minuman. "Kami sempat meIihat
mula-mula ia datang."
Dan Margono yakin, tentulah Sugandi orang terkaya di
desa mereka, bahkan diantara sekian ribu penduduk
dari enam desa lain dalam wilayah mereka. Ketika
Sugandi kemudian muncul dengan beberapa botol
minuman yang hanya bisa diperoleh di kota, ketiga
pembantu pak Bakri tampak menelan air liur. Tetapi
tetua kampung itu tampak memandang dengan
curiga pada minuman itu. Bahkan ketika Sugandi
menuangkan isinya ke dalam gelas dan
mempersilahkan minum, pak Bakri tidak pernah
"menyentuh-nyentuh gelas. Sampai setelah omongomong ngalor ngidul tak menentu dan kemudian
pulang, pak Bakri tak juga menyentuh minumannya.
Anehnya, Sugandi tampak tidak marah. Justru ia
memandang pak Bakri dengan mata agak ketakutan.
Tetapi dengan berbincang-bincang bersama orangorang lainnya, ia cepat bisa mengatasi diri.
"Terimakasih, saya dikunjungi. Jarang sekali saya
memperoleh kesempatan begini. Padahal saya juga
ingin berbaik-baik dengan tetangga-tetangga saya.
Mudah-mudahan hubungan kita semakin baik dilain
waktu," kata tuan rumah sambil mengantar tamutamunya ke luar dari rumah.
Margono ingin ke luar belakangan dan mengatakan
pada Sugandi agar jangan mendekati Rokayah,
apalagi memaksanya untuk bergendak di luar rumah
sampai tengah malam. Kau akan kutinju sekali lagi,
dan kali ini tidak akan meleset, demikianlah kata-kata
yang sudah dipersiapkan Margono. Tetapi pak Bakri
sudah menarik tangannya supaya segera mengikuti
mereka. "... bagus benar suasana di sini," pak Bakri tiba-tiba
berkata. "Oh ya"" Sugandi tampak bangga, "Datanglah lagi.
Kapan-kapan kita mengadakan pesta di sini."
"Pesta"" "Yah. Misalnya, kalau suatu ketika saya manemukan
jodoh yang sesuai," sahut Sugandi ketus seraya
melirik dengan ekor matanya pada Margono.
Merah telinga pemuda itu, dan tinjunya terkepal. la
hampir saja melabrak Sugandi dan berkata agar
jangan mengharap ia rela menyerahkan Rokayah,
ketika pak Bakri berkata lagi:
"Hai. Lagi bertanam ubi""
Sugandi menoleh ke arah yang ditunjuk pak Bakri.
Kebun yang tampaknya mau diolah di suatu
bagian dekat sudut pagar. Yang lain juga ikut
menoleh. Terutama Margono, yang melihat dua buah
gundukan tanah yang bentuknya agak
mengherankan. "Ap isi gundukan itu"" tanya pak Bakri seperti
mengerti perasaan Margono.
Sugandi pucat sebentar, tetapi segera menjadi biasa.
"... tadi pagi saya jalan-jalan ke luar. Dan menemukan
mayat-mayat kera. Saya tanam di situ."
"Tadi pagi"" dahi pak Bakri berkerut.
Sugandi gugup sebentar. Margono melihatnya. Juga
melihat bagaimana wajah Sugandi yang resah ketika
berkata seperti meralat: "Tampaknya kera itu diseret. Mungkin oleh kera-kera
lainnya. Tetapi setelah mengetahui yang mereka seret
sudah mati, lalu ditinggalkan begitu saja."
"Oh, begitu," sungut pak Bakri.
la tampak puas. Dan kemudian mengikuti yang lainlainnya ke Iuar, setelah mana Sugandi menutupkan
pintu gerbang dari dalam. Keempat orang itu berjalan
diam-diam meninggalkan perumahan yang
menakjubkan itu. Dan Margono sudah tak sabar
ketika pak Bakri bertanya:


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian perhatikan kuburan kera-kera itu""
"Ya," jawaban serempak.
"Tampak kalian ada yang aneh""
"Aneh"" "... kuburan itu besar-besar dan panjang-panjang.
Tampaknya seukuran dengan kuburan manusia biasa."
"Ha"" seruan serempak lagi.
"Alangkah butanya kalian. Aku percaya, kalian juga
tidak memperhatikan, bahwa kedua kuburan itu
dipasangi batu nisan!"
*** SETELAH naik bis hampir satu hari lamanya, pak Bakri
"dan Margono tiba di sebuah kota kecil. Setelah
menginap satu malam di sebuah losmen, mereka
meneruskan perjalanan dengan andong dan
menjelang matahari naik sepenggalahan, mereka tiba
di sebuah kampung. "Nama kampung ini tertera di dalam kartu penduduk
Sugandi sebagai tempat kelahirannya," begitu kata
orang tua itu. Meskipun usianya telah sangat Ianjut,
namun setelah perjalanan yang begitu jauh dan
melelahkan, ia tampak tetap bersemangat. "Sebagai
jalan termudah, kita datangi saja Lurahnya."
Nama lurah itu Junaidi. Hampir seusia pak Bakri.
"Senang bertemu dengan Bapak-bapak," sambut pak
Junaidi. "Tentang seseorang bernama Sugandi"" la
mengernyitkan dahi. "Bagaimana kira-kira tipe
orangnya"" "Tingginya hampir dua meter. Kulitnya kekuningkuningan, orangnya tampan dan kira-kira berusia 30
tahun," jawab pak Bakri.
Pak Junaidi mendadak menyeringai.
"Jadi ia telah mulai mengganggu keamanan di desa
Bapak," katanya. Pak Bakri mengangguk. "Bahkan ia mencoba menggoda adik, Nak Margono,"
kata orang tua itu. "Bapak maksud, memperisterinya""
"Begitulah kelihatannya."
"Wah, alamat celaka!"
"Saya juga sudah menduga demikian sejak mulamula, ia muncul secara misterius, dan hidup secara
misterius pula." "Ia bukan saja misterius. la itu setan!'
Pak Bakri tampak merah mukanya, dan matanya
kesenangan. Margono berkerut dahinya. Apakah aku
akan dihadapkan dengan persoalan takhayul,
demikian ia menduga-duga.
"30 tahun kata bapak"" pak Junaidi bertanya lagi. "Ah,
ia telah meninggalkan kampung ini tiga tahun yang
lalu. Waktu itu usianya telah hampir setengah abad!"
Margono dan pak Bakri sama-sama tercengang.
"Jangan kaget. Sugandi bisa awet muda. Ketika
berusia hampir 30 tahun ia pergi bertapa ke gunung
itu...." pak Junaidi menunjuk melalui jendela, Di
kejauhan tampak sebuah gunung yang menjulang
tinggi. "Pulangnya, ia mendadak jadi kaya raya.
Dengan cepat ia memperoleh banyak isteri. Bahkan
melampaui ketentuan agama. Orangtuanya sendiri
pusing memikirkannya. Tetapi pada waktu-waktu
tertentu, tiap isterinya segera minta cerai. Dua
diantatanya mati, satu menjadi gila. Yang seorang lagi
kawin dengan penduduk sini juga, dapat anak dan
kemudian mati juga. Sejak itu orang takut
memintanya menjadi mantu."
Pak Junaidi menghentikan ceritanya. la ketuk-ketukan
pipanya ke asbak. "Mari kita ke !uar...."
Margono dan pak Bakri mengikuti lurah itu ke luar
rumah, tetapi cuma sampai di beranda. Kemudian pak
Junaidi menunjuk pada sebuah bekas
bangunan tua di ujung kampung. Kelihatannya seperti
baru habis dibumi-hanguskan.
"ltu bekas tempat tinggal Sugandi bersama
keluarganya. Sebelum ia bertapa ke gunung, disitu
hanya ada sebuah gubuk. Dan setelah penduduk
merasa curiga padanya, suatu malam ia dipergoki...,"
Kemudian pak Junaidi masuk ke dalam diikuti kembali
oleh kedua tamunya. la menyuruh anaknya untuk
menambah air kopi dan gorengan ubi yang sudah
habis. "la merayu isteri seseorang yang digandrunginya.
Perempuan yang dulunya amat setia pada suami itu,
"lekas menjadi tertarik. Seperti dipelet. Suami
perempuan itu menjadi marah. Ia menantang Sugandi
untuk berduel. Tempatnya ditentukan. Di kaki gunung
tempat ia bertapa. Dan malam harinya. suami
perempuan itu pulang dalam keadaan luka parah.
Sebelum meninggal dunia, ia menceritakan bahwa ia
telah dikeroyok oleh berpuluh-puluh monyet. Ternyata
ia tidak beruntung sempat melarikan diri; sebab setiba
di rumah iapun mati. Penduduk jadi marah. Menyusul
ke kaki gunung. Dan menemukan Sugandi sedang
bersujud di depan monyet besar...."
"Monyet besar itu tampak menerima isteri si suami
yang malang itu, dan anehnya tak tampak ketakutan.
Perempuan itu bagaikan tak berdaya ketika monyet
besar itu berusaha menyetubuhinya. Pada saat
pakaian perempuan itu habis dirobek si monyet,
penduduk yang selama beberapa saat terkesiap
saking ta'jub menyerbu semua. Perempuan itu
berhasil diselamatkan, tetapi Sugandi dan monyet
besar itu menghilang entah ke mana. Pada malam itu
juga, penduduk kembali ke kampung ini, membakar
habis tempat tinggal Sugandi. Orangtuanya shock dan
meninggal beberapa hari kemudian, sedangkan
Sugandi tak pernah kembali...."
"Jadi benar Sugandi memuja monyet," pak Bakri
mengelus-elus janggutnya. Margono hanya terheranheran. Ia mendengar dan ia merasa yakin apa yang ia
dengar, ia hampir-hampir tidak percaya, tetapi ia
harus mempercayainya. "... beberapa waktu kemudian," lanjut pak Junaidi.
"Saya dengar kabar bahwa Sugandi tinggal di desa
Rahayu, 15 kilo dari sini. Tak sampai setengah hari
berjalan kaki, kalau bapak-bapak bermaksud mau
pergi ke sana." "Untuk apa"" tanya Margono.
"Bekas isteri Sugandi di sana masih hidup sampai
sekarang. Tidak seperti isteri-isterinya di sini.
Barangkali dari dia bapak-bapak bisa memperoleh
keterangan-keterangan tambahan untuk
menyelamatkan kampung dan... ah, siapa nama adik
Bapak itu"" tanyanya pada Margono, yang karena
pakaian dan lagaknya yang ke kota-kotaan
menyebabkan orang tua itu memanggilnya dengan
sebutan "bapak". "Rokayah," sahut Margono.
"Hem....," pak Junaidi manggut-manggut. "Nama
perempuan di desa Rahayu itu Imas. Setiap penduduk
tahu dan mudah sekali mencarinya!"
"Kalau begitu kami akan pergi sekarang," kata
Margono tak sabar. "Sabarlah. Makan siang sudah dihidangkan."
*** MEMANG, mudah sekali menemukan rumah lmas.
Sederhana saja, dan ia tinggal dengan suaminya yang
baru dan ia dalam keadaan mengandung. Sambil
menyeka keringat yang membasahi jidat, kedua tamu
lmas duduk-duduk di beranda yang lepas bebas
sehingga mereka bisa menikmati angin sore yang
segar. Menurut cerita lmas, sudah ada desas-desus tentang
kemisteriusan penduduk baru bernama Sugandi yang
tak ketahuan kerjanya tetapi kaya raya itu. Akan
tetapi ketika sedang mandi di kali, lmas bertemu
dengan Iaki-laki itu. Begitu berpandangan mata, ia
lantas jatuh cinta. "Maukah kau kuperisteri"" tanya Sugandi saat itu.
"Mau, Kang." "Kau cantik sekali."
"Dan Akang gagah benar," Imas membalas. Kemudian
mereka berpelukan, dan laki-laki itu mencium lmas.
"Orangtua lmas yang senang bisa memperoleh
menantu hartawan, tanpa mempedulikan desas-desus
diantara penduduk, segera saja menerima lamaran
Sugandi. Pesta nikah segera diadakan, lamanya s atu
hari satu malam. Banyak juga penduduk yang
berdatangan. Setelah upacara usai, Sugandi minta
ditinggalkan semua orang. Termasuk kedua orang tua
lmas. Rumah mereka yang besar segera menjadi sepi. lmas
katakutan oleh kesepian yang mencekik itu. Tetapi
dalam pelukan Sugandi, ia marasa nyaman dan
segera melupakan rasa takutnya. Ketika masuk ke
kamar, Imas hampir saja terpekik. Di tempat tidur,
duduk mencangkung seekor monyet besar. Besar
sekali. Lemah sekujur tubuh lmas. la ingin menjerit.
Tetapi tak bisa. la mau minta bantuan Sugandi
mengusir binatang itu, tetapi suaminya justru
membopong tubuh lmas yang tak berdaya dan
meletakkannya di depan monyet besar itu. Tampak
sepasang mata monyet itu bersinar berapi-api.
Sugandi bersujud, kemudian meninggalkan lmas
berdua dengan monyet itu di dalam kamar.
lmas hanya bisa menangis ketika dengan kasar dan
rakusnya sang monyet menyobek seluruh pakaian
pengantin lmas. Dan tanpa daya, seperti kena pukau
lmas menerima saja perlakuan binatang yang
menakutkan itu. Apa yang seharusnya dilakukan oleh
Sugandi sebagai suami di malam pertama, telah
dilakukan oleh monyet besar itu pada kegadisan dan
keperawanan lmas. Tetapi esok harinya, ketika lmas terbangun setelah
bermimpi buruk, Sugandi menemuinya di kamar. Lakilaki itu tampak sedih. Akan tetapi ketika lmas
bertemu pandang dengan Sugandi, segera saja
kesedihan Sugandi hilang. Dan rasa benci dan kutukan
lmas pada Sugandi yang menyerahkan dirinya bulatbulat kepada seekor monyet, hilang Ienyap seketika.
Tiap kali Imas beradu pandang dengan suaminya, tiap
kali itu pula Imas bagaikan penuh kebahagiaan dan
kecintaan. "Percayalah," rayu Sugandi. "Aku tak bermaksud jahat
menyerahkanmu pada monyet itu. Semua itu
kulakukan demi kebahagiaan kita selama hidup."
"Aku tak perduli, Kang," kata Imas.
"Kau akan awet muda, seperti aku lmas."
"Masa iya, Kang."
"ltulah mu'zizat sang monyet. Tahu kau usiaku berapa
sekarang" Bulan depan aku berusia 50 tahun."
Imas hampir-hampir tak percaya. Laki-laki di
depannya tampak puluhan tahun lebih muda dari
pengakuannya. "Kau pun akan seperti aku. Karena itu, relakanlah
dirimu karena telah ditiduri oleh monyet itu."
Imas benci mendengar itu, tetapi kebenciannya
lenyap seketika begitu ia memandang mata
suaminya. Mereka kemudian menempuh hidup
bahagia sebagai suami isteri sampai kemudian
beberapa bulan berikutnya Imas mulai merasakan
sesuatu yang aneh pada tubuh suaminya. Bulu-bulu
dada Sugandi tampak semakin tebal. Demikian juga
pada kaki dan tangannya. Yang mengerikan, adalah
sesuatu yang berusaha ditutup-tutupi oleh Sugandi.
Laki-laki itu selalu memakai celana yang tebal-tebal
atau berlapis. Tetapi tak juga bisa menutupi sesuatu
yang menonjol dari balik celana itu di bagian
pantatnya Sugandi. Begitulah, pada suatu malam kira-kira sepuluh bulan
setelah mereka menjadi suami isteri, Imas jadi nekad.
la telah memasukkan beberapa ramuan kampung
yang segera membuat Sugandi tertidur lelap.
Dengan hati-hati Imas membuka celana suaminya.
"Dan apa yang ia lihat di bagian pantat Sugandi, benarbenar membuat bulu kuduk Imas berdiri.
"Ekor!" la terpekik sendiri.
Jadi itulah yang ditutup-tutupi Sugandi. Ekor, yang
mula-mula tak ada, kemudian muncul, pendek, lalu
makin panjang, panjang dan pada waktu dibuka
Imas, ekor itu sudah membelit pinggang Sugandi
seperti tali pinggang biasa. Rupanya laki-laki itu
sengaja berbuat demikian, agar bentuk ekor itu tidak
begitu kelihatan. Ada beberapa jam Imas pingsan, dan ketika
terbangun ia lihat Sugandi masih tertidur. la cepat
mengenakan pakaian suaminya kembali. Lalu
bergegas meninggalkan rumah mereka, dan lari
kepada orang tuanya. la menceritakan apa yang ia
alami, dan penduduk segera heboh. Ketika rumah
Sugandi digerebeg, laki-laki itu telah hilang lenyap.
Rupanya ketika mendengar ribut-ribut itu ia terbangun
dan segera melarikan diri.
"...... konon, diantara semua isteri-isterinya, hanya
akulah yang sempat mengetahui rahasia ekor
Sugandi," demikian Imas menutup ceritanya. "lsteriisterinya yang lain juga ada yang mengetahui, tetapi
menjadi gila atau ada yang dibunuh. Selama satu
bulan aku dijampe dan diberi berbagai ramuan oleh
dukun-dukun kampung, barulah rasa cintaku pada
Sugandi hilang sama-sekali. Aku telah kebal, dan
kalau bertemu Sugandi akan takut padaku. Karena itu
ia tak pernah muncul-muncul lagi di kampung ini."
"Bulan apa ketika itu"" Tiba-tiba pak Bakri menukas.
"Bulan Maulud...."
"Maulud"" Pak Bakri menjadi pucat. la menoleh pada


Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Margono. "Kau tahu tanggal berapa sekarang,
Margono"" "23 Maulud, Pak...."
"Kau benar. Tapi, aduh. Celaka. Kita harus segera
pulang!" Margono terheran-heran melihat pak Bakri sibuk
berkemas-kemas. "Pulang" Tapi sudah mau malam...."
"Demi adikmu Rokayah. Sugandi memerlukan seorang
perawan untuk persembahan pada monyet pada
upacara ia "neukteuk buntut". Ekornya pasti telah
panjang sekarang, dan beberapa hari mendatang ini
ia akan siap mengorbankan adikmu sebelum monyet
pujaannya bersedia memotong ekor Sugandi!"
"Tuhanku!" Margono mengucap.
"Ya. Berdoalah pada Tuhan. Dan mari segera pulang."
Dengan wajah pucat dan bibir gemetar, Margono
segera berdiri. "Aku ikut!" kata lmas tiba-tiba. Dan pada suaminya ia
berkata: "Kuingin membunuhnya demi tentraman
hidup calon anak kita, Kang Omay!"
Dan malam pun segera tiba.
*** ?"Bab 9 DENGAN berpedoman pada katerangan lmas bahwa
pada bulan Maulud setiap malam Sugandi berkeliaran
dan hanya siang ada di rumah, maka Margono dan
ketiga pembantu pak Bakri memanjat pagar rumah
Sugandi dengan menggunakan tangga. Margono yang
lebih dulu naik meninjau ke dalam. Rumah yang besar
itu sepi. Tak ada suara, bahkan juga cahaya lampu.
Pekarangannya tampak menakutkan, dan selintas ia
memandangi tumpukan tanaman ketela, dekat mana
ia melihat dua gundukan tanah yang mereka lihat
beberapa hari yang lalu. "Aman..." bisiknya.
Ia kemudian meloncat turun dan tiba di bagian dalam
pekarangan. Menyusul tiga yang lainnya, dan yang
terakhir sebelum loncat turun terlebih dulu
mengangkat tangga yang kemudian disandarkan di
bagian dalam pagar. Dengan mengendap-endap
keempat orang itu terbungkuk-bungkuk menuju
gundukan tanah yang dikatakan oleh Sugandi tempat
menguburkan mayat kera-kera yang berhasil dibunuh
Margono. "Kita harus lebih yakinkan rencana kita," terngiangngiang ucapan pak Bakri di telinga Margono, ketika
mulai mengayunkan pacul. "Jangan kita sampai salah
membunuh orang!" Yang lain-lain ikut pula memacul dan dua orang
kemudian mempergunakan sekop.
"Cepatan dikit!" Margono berkata perlahan.
Dan bunyi pacul serta sekop semakin oepat juga.
"Hei, berhenti!"
Ketiga temannya menghentikan pekerjaan mereka
ketika mendengar suara Margono. Mereka sama
menyeka keringat yang membasahi wajah. Entah
keringat dingin entah ketingat karena capai, mereka
tidak yakin. Margono segera mengeluarkan senter.
Kemudian dinyalakan, dan disorotkan ke dalam
Iubang yang mereka gali. "... lihat!" seru salah seorang. Dan mereka melihatnya.
Sebentuk tangan manusia. "Gali lagi. Lebih hati-hati...."
Penggalian diteruskan, dibawah sinar lampu senter
agar pacul dan sekop tidak salah sasaran. Dan ketika
tubuh yang mulai rusak dan berbau busuk itu semakin
jelas terlihat, maka keempat orang itu sama-sama
tertegun. Yang mereka lihat adalah tubuh manusia,
bukan tubuh kera! Margono kemudian lebih mendekatkan senternya
dengan dada berdebur kencang. Dan ia menjadi pucat
seketika. la tidak saja melihat bekas tusukan pisau
komando di bagian dada mayat itu, tetapi juga
bentuk rupa yang lain. Wajah mayat itu menyeringai,
bulu matanya tebal sekali, demikian juga
"cambangnya. Dan dari sudut-sudut bibirnya, menonjol
taring-taringnya yang runcing.
"... mungkin sempat berproses jadi manusia kembali
menjelang kematiannya," salah seorang bergumam
dengan suara gemetar. "Tetapi ia keburu mati dan
jadilah rupanya demikian."
Satelah menyingkirkan batu nisan di kuburan kedua,
mereka menggali lagi. Kokok ayam yang pertama
subuh hari itu telah terdengar, ketika mereka
menemukan apa yang mereka cari. Tubuh mayat
yang itu tak kalah mengerikan. Romannya masih
seperti kera, tetapi anggota-anggota tubuhnya telah
menjadi seperti manusia biasa kembali.
"Yang ini tertusuk belikatnya," kata orang yang
menggantikan Margono memeriksa ke dalam lubang.
"Mungkin tembus ke jantung."
Margono bergidik tubuhnya. Terbayang saat-saat ia
berkelahi menghadapi kera-kera itu. Yang seekor
berhasil lolos. Tentulah yang satu itu pun adalah kera
jadi-jadian yang dulunya adalah manusia juga. Kedua
temannya memberanikan diri untuk menyerang ke
arah posisi yang berbahaya. Dengan demikian
kematian mereka lebih cepat datang. Berarti lebih
cepat pula lenyapnya penderitaan yang mereka alami.
Tetapi yang seekor itu, agaknya tak berani mati. Ngeri
melihat bagaimana kawan-kawannya menggelupur
bergelimang darah. Lalu lari terbirit-birit ketakutan.
"... dan ia akan jadi monyet, sampai muncul seseorang
untuk membunuh dia sampai mati," Margono
bergumam sendirian. "Dia siapa"" orang terdekat, bertanya.
Margono mengeluh. "Bukan siapa-siapa," katanya. "Mari kita tanam
kembali mayat-mayat itu. Hari sudah hampir pagi."
Benar saja. Ketika kokok ayam kedua terdengar dan
mereka telah ke luar dari pekarangan, mereka
mendengar suara-suara yang mencurigakan. Segera
saja mereka bersembunyi dalam bayangan semaksemak. Dengan hati berdebar-debar mereka
menunggu. Dan dari arah desa muncullah sesosok
bayangan. Tinggi kukuh, dengan langkah-langkah
panjang. "Sugandi....," Margono berbisik.
"Lihat," kata teman disebelahnya. "Ia membawa
buntelan." Bayangan Sugandi memang membawa buntelan.
Ketika membuka kunci gerbang, ia meletakkannya di
tanah, dan mengangkatnya kembali ketika akan
masuk. Tampaknya isinya banyak, karena berat sekali
kelihatan Sugandi mengangkatnya.
"Mari kita terjang!" bisik seseorang.
Tetapi Sugandi telah menghilang. Dan pintu pagar
telah tertutup. "Kita serbu ke dalam," usul orang itu lagi.
"Jangan!" Margono mencegah. "Kita tunggu komando
pak Bakri." Orang itu mengalah. Lalu dengan mengendap-endap
mereka pulang kembali. Sambil berjalan menuju jalan
utama desa, seseorang berkata:
"Selama ini kami mencurigai Sugandi penyebab
kehilangan uang dan harta penduduk secara misterius.
Tetapi kami tidak punya bukti-bukti. Apalagi
penduduk di desa-desa berdekatan juga mengalami
hal-hal yang sama. Jadi tak mungkin Sugandi yang
melakukan." "Kini aku tahu," cetus yang lain. "la dibantu monyetmonyetnya!"
Terdengar gumaman-gumaman mengiyakan. Dan
lampu-lampu di jalan utama desa mulai kelihatan,
sampai akhirnya mereka tiba di rumah orang
tua Margono. Mereka disambut pak Bakri dengan
"pertanyaan: "Bagaimana""
"Dugaan Bapak benar!" sahut Margono.
Pak Bakri tampak tersenyum puas.
"Tinggal menunggu waktu!" katanya, lalu beranjak
menuju ke kamar Rokayah. "Aku akan membantu
lmas menjampe dan membuatkan ramu-ramuan pada
Rokayah." Lalu ia menghilang dalam kamar adik
Margono. Pemuda itu segera mendatangi ayahnya yang
terpekur di sebuah kursi malas. Tampak orang tua itu
seperti kehilangan semangat, dan... baru habis
menangis. "Kasihan adikmu," kata orang tua itu begitu Margono
duduk pada sebuah kursi di dekatnya. "la sudah
seperti orang gila saja. Terpaksa aku mengikatnya di
tempat tidur, sebelum diselamatkan oleh pak Bakri
dan si lmas." la mengeluh.
"la baru habis mengumpul-ngumpul harta!" kata
Margono. Ayahnya tercengang. Dan Margono menceritakan apa
yang tadi ia lihat dengan mata kepala sendiri.
Termasuk mengenai penggalian mereka atas kuburankuburan yang semula mereka kira berisi kera itu.
"Pantas diberi batu nisan oleh Sugandi. Kera-kera itu
ternyata manusia juga!"
"Jadi kau kini sependapat dengan Bapak, untuk
memutuskan tali cinta Rokayah pada manusia
terkutuk itu"" Margono mengangguk dengan muka tunduk. Seolaholah mengaku salah.
*** SIANG hari esoknya, penduduk desa tercengang.
Lain dari biasa siang itu Sugandi berjalan-jalan di
sekitar desa, ia tersenyum ramah dan mengangguk
pada setiap orang yang ia jumpai. Janggal kelihatan ia
memakai kemeja berlengan panjang dan bersarung
tangan. Pak Bakri yang mendengar cerita penduduk
Gajah Kencana 18 Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat Terkurung Di Perut Gunung 2
^