Pencarian

Asmara Sang Pengemis 2

Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Bagian 2


bergerak-gerak. Rasanya, mereka enggan beranjak dari situ.
"Akan tetapi, aku tidak habis mengerti kalau kalian berdua memiliki maksud dan
hasrat sama," lanjut Dewi Intan Baiduri.
"Ah, eh...! Tidak begitu maksud kedatangan kami, Dewi Intan Baiduri," elak salah
seorang dari Sepasang Pangeran Kelabang, tergagap. "Tak mungkin kalau kami
berdua sekaligus menginginkan Dewi sebagai seorang permaisuri. Biarlah, aku yang
masih muda, mengalah. Kakang Kanggara rasanya patut lebih dulu untuk mendapatkan
seorang pendamping hidup."
"Terima kasih, Adi Rasupaka," ujar salah seorang dari Sepasang Pangeran Kelabang
yang ternyata bernama Kanggara,
membenarkan ucapan adiknya.
"Putriku memang belum mempunyai seorang teman pendamping hidup, Sepasang
Pangeran Kelabang," kata Ki Wiryamanggala, hati-hati.
Wajah Kanggara seketika berbinar-binar mendengar ucapan orang tua yang berdiri
di sebelah Dewi Intan Baiduri.
"Akan tetapi," lanjut Ki Wiryamanggala. "Perlu diketahui, bahwa bukan hanya
kalian berdua yang datang meminta anakku untuk dijadikan pendamping hidup.
Beberapa lelaki lain sudah datang terlebih dahulu meminang putri tunggalku."
Seketika itu juga merah padam wajah Sepasang Pangeran Kelabang. Bahkan mereka
langsung mengangkat tombak bermata dua yang batangnya berkeluk tujuh. Sebuah
senjata aneh yang menggiriskan!
"Siapa lelaki yang telah berani mendahului maksudku"!" kasar ucapan Kanggara
yang keluar. Tapi, sepertinya ucapan itu tidak ditujukan pada Ki Wiryamanggala
yang berjuluk si Gagak Putih. Apalagi terhadap Dewi Intan Baiduri.
"Kami, Sepasang Pangeran Kelabang yang datang dari jauh, akan mengadu nyawa pada
lelaki lain yang lancang membayangi niatku untuk mempersunting Dewi Intan
Baiduri!" tegas Kanggara, lantang. Sua-ranya yang dikeluarkan melalui pengerahan
tenaga dalam, menggema sampai keluar pa-
gar halaman kediaman Dewi Intan Baiduri.
Sementara itu, seorang lelaki yang sedang mengintai, seketika melesat cepat
meninggalkan kediaman Dewi Intan Baiduri.
Lelaki berpakaian hitam bersenjata sebi-lah golok itu terus berlari, menuju
sebuah penginapan terdekat. Sementara, seorang pengemis yang duduk di bawah
pohon, mengikuti ke mana larinya lelaki yang sudah dapat dipastikan anak buah
Raja Pedang Merah dengan tatapan matanya.
Lelaki berpakaian hitam itu terus berlari, dan masuk cepat ke dalam penginapan
yang tidak begitu besar. Langsung ditemuinya Raja Pedang Merah yang ada di
kamarnya. "Ada apa, Mejan" Kenapa kau teren-gah-engah seperti itu?" tanya Raja Pedang
Merah begitu abdi setianya itu sudah masuk ke dalam kamar penginapan.
Lelaki berpakaian hitam yang ternyata Mejan sebentar menjernihkan napasnya yang
tersengal-sengal.
"Dua orang lelaki berjuluk Sepasang Pangeran Kelabang tengah berada di dalam
rumah Dewi Intan Baiduri, Kakang," jelas Mejan setelah deru napasnya kembali
tenang. Wajah Raja Pedang Merah seketika berubah tegang. Tangannya yang terkepal,
menandakan kegeramannya yang kuat.
"Kurang ajar!" bentak Raja Pedang
Merah menggelegar. Kilat di matanya tampak berkeredep, karena terbakar api ke-
cemburuan yang melanda hati.
*** Sementara itu di rumah kediaman De-wi Intan Baiduri, Sepasang Pangeran Kelabang
tengah pamit diri. Sedangkan Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala melepas
tamunya yang berpakaian aneh itu di depan pintu.
"Kami akan kembali lagi ke sini, kalau semua lelaki yang sudah menyampaikan
lamaran kepada Dewi Intan Baiduri telah kami kirim ke neraka," tegas Kanggara
mantap. Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala hanya menimpali ucapan salah seorang
dari Sepasang Pangeran Kelabang itu dengan sedikit senyum terkembang.
"Kami permisi, Dewi. Dan kau juga, Ki," pamit Sepasang Pangeran Kelabang
serempak. Dewi Intan Baiduri hanya melepas kepergian Sepasang Pangeran Kelabang dengan
tatapan mata jeli, mengandung daya pesona tinggi.
"Dia bukan jenis lelaki yang kudam-bakan," kata Dewi Intan Baiduri sambil
melangkah masuk, begitu Sepasang Pangeran Kelabang sudah tidak kelihatan lagi.
"Ka- laupun mereka berhasil mengalahkan Raja Pedang Merah atau Raksasa Tangan Hitam,
aku akan tetap menolak pinangan itu. Dan kalau mereka berkeras, akan kuajak
mereka bertarung sampai ada yang menemui ajal."
"Tenanglah, Anakku," kilah Ki Wiryamanggala, menghibur. "Kita akan bersama-sama
menghadapi orang-orang yang tidak bisa diajak mengerti."
Dewi Intan Baiduri tersenyum mendengar penegasan ayahnya yang menyejukkan kalbu.
Dirangkulnya lelaki tua di hadapannya.
"Ah! Andai saja ibu masih ada," ka-ta batin Dewi Intan Baiduri dengan air mata
tiba-tiba saja menitik.
Di tengah-tengah perasaan yang te-ringat ibunya, di luar pekarangan rumah Dewi
Intan Baiduri tengah berlangsung adu urat syaraf antara Sepasang Pangeran
Kelabang dengan Raja Pedang Merah.
"Wajah buruk seperti ini mau menjadi pendamping Dewi Intan Baiduri?" ejek Raja
Pedang Merah. "Jaga mulut busukmu, Raja Pedang Merah!" hardik Rasupaka, lelaki termuda dari
Sepasang Pangeran Kelabang. Dia memang gampang tersinggung dan cepat naik darah.
Raja Pedang Merah dan ketiga anak buahnya terbahak-bahak mendengar hardikan
lelaki setengah botak yang rambutnya di-
kuncir kelabang itu.
"Kau tak bisa menghindar dari kenyataan, Sepasang Pangeran Kelabang. Gigi depan
kalian yang tonggos itu, mana mungkin dapat menarik perhatian Dewi Intan
Baiduri?" kembali ejekan Raja Pedang Merah menghantam perasaan Sepasang Pangeran
Kelabang. "Kau pikir wajahmu sempurna, Raja Pedang Merah?" balas Kanggara, lelaki tertua
dari Sepasang Pangeran Kelabang.
"Kau sebenarnya lebih pantas dikatakan keturunan kambing domba. Lihatlah pipi
kananmu! Bukankah itu suatu bukti kalau kau betul-betul keturunan kambing
domba"!"
Kanggara dan Rasupaka yang berjuluk Sepasang Pangeran Kelabang tertawa terbahak-
bahak. "Diam!" bentak Raja Pedang Merah berang.
Srat! Raja Pedang Merah langsung meloloskan pedang merah dari warangkanya. Sinar
kemerahan seketika berpendar-pendar dari tubuh pedang yang memiliki perbawa
menggiriskan Kanggara dan Rasupaka seketika melompat ke belakang melihat senjata lawan yang
telah lolos dari warangkanya. Bukan karena takut, tapi hanya untuk menjaga
kewaspadaan. "Ha ha ha.... Pengecut juga kalian berdua," leceh Raja Pedang Merah sambil
mengelus senjatanya. "Pedang merah ini sebentar lagi akan memanggang tubuh
kalian!" "Sombong kau, Raja Pedang Merah!"
balas Rasupaka geram. "Kau belum pernah merasakan kehebatan tombak mata dua
berkeluk tujuh milik Sepasang Pangeran Kelabang!"
"Ha ha ha.... Silakan kalau kalian memang bisa membinasakan Raja Pedang Merah
dengan mainan anak-anak itu, Sepasang Pangeran Kelabang!"
"Keparat laknat!" bentak Rasupaka sambil menghentakkan kakinya ke tanah.
Tubuh Rasupaka seketika melesat cepat bagai kilat. Senjatanya yang berupa tombak
mata dua berkeluk tujuh teracung ke udara.
"Hiaaat...!"
Pekik melengking mengiringi tibanya serangan ganas yang dilancarkan Rasupaka.
Gerakan tangannya yang menggenggam tombak, berkelebat cepat dan mengarah ke
bagian tubuh Raja Pedang Merah yang mematikan.
Raja Pedang Merah tak menyangka kalau lawannya mampu melakukan serangan secepat
itu. Untung saja, gerakannya lebih cepat. Sehingga, tubuhnya yang melenting di
udara mampu mendahului sambaran senja-
ta lawan yang mencecar lambung.
"Hup!"
Raja Pedang Merah mendaratkan kakinya dengan manis, setelah berjumpalitan dua
kali di udara, Namun belum sempat menarik napas, serangan Rasupaka sudah kembali
menyusul. Sebuah serangan membahayakan yang tak mungkin bisa dihindari oleh Raja
Pedang Merah. Tiga abdi setia Raja Pedang Merah yang menyaksikan kelebatan cepat lawan,
sedikit membelalakkan mata. Dan mereka serempak berlompatan menghadang Rasupaka
dengan senjata terhunus.
Rasupaka yang tengah berada di udara, geram bukan main melihat tiga lelaki
menghadang gerakannya. Tombak yang semula ditujukan ke tubuh Raja Pedang Merah,
seketika dialihkan untuk lawan yang terdekat.
"Hih!"
Trang! "Ugkh...!"
Tubuh lelaki berpakaian hitam yang ternyata Karup seketika terpental ke
belakang, begitu goloknya ditebaskan untuk menyampok tusukan tombak Rasupaka.
Belum juga Karup menguasai diri, Rasupaka cepat menusukkan tombaknya ke dada
lawan. Dan Karup tak mampu menghindar lagi, begitu tombak Rasupaka menembus
dadanya. "Aaakh...!"
Diiringi pekik kematian, Karup langsung ambruk ke tanah. Sebentar saja dia
menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi. Darah segar tampak membanjir,
membasahi bumi.
Sementara dua orang temannya yang menyaksikan kejadian cepat itu segera
memperganas serangan. Mereka menebaskan golok ke bagian tubuh Rasupaka yang
mematikan. "Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Hia!"
"Uts!"
Rasupaka cepat bergerak lincah, menghindari tebasan-tebasan golok lawan.
Sementara pada tempat lain, terlihat Kanggara sedang bertempur melawan Ra-ja
Pedang Merah. "Kau tak akan mampu menundukkanku, Raja Pedang Merah!" kata Kanggara.
Raja Pedang Merah mendengus sambil mengelakkan tusukan tombak yang mengarah ke
leher. "Buktikan saja, Pangeran Kelabang!"
tantang Raja Pedang Merah, setelah terhindar dari pang-angan tombak mata dua
berkeluk tujuh milik Kanggara.
Darah muda Kanggara kontan naik mendengar tantangan itu. Seketika itu ju-ga,
serangan-serangannya dipertajam. Tombaknya ditusukkan ke sana kemari, ke arah
bagian tubuh Raja Pedang Merah.
Raja Pedang Merah tentu saja merasakan peningkatan serangan-serangan lawan.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, jurus-jurus andalannya segera dimainkan.
"Hiaaa...!"
Tebasan dan tusukan Raja Pedang Merah menjadi berkali lipat keganasannya.
Pertarungan yang menarik itu keadaannya kini jadi terbalik.
Kanggara yang mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Raja Pedang Merah, nampak
terdesak hebat. Lawannya memang sedikit lebih unggul dalam hal tenaga dalam.
Terbukti setiap tangan mereka berbenturan, Kanggara selalu saja terdorong lebih
jauh. Trak! "Akh...!"
Kembali tubuh Kanggara terdorong satu tombak ke belakang, ketika sebuah sodokan
tangan yang terlalu keras mendera bagian dadanya. Karuan saja Kanggara merasakan
dadanya sesak bukan kepalang.
"Hoeeekh...!"
Sambil bergerak mundur, Kanggara memuntahkan darah berwarna kehitaman. Rupanya
dia telah mengalami luka dalam yang cukup hebat.
Rasupaka yang menyaksikan keadaan kakaknya sedemikian parah, menjadi begitu
geram bukan kepalang. Dia ingin terjun
langsung menghadapi lawan kakaknya, namun sisa anak buah Raja Pedang Merah
mengha-lang-halangi niatnya.
"Kurang ajar!" maki Rasupaka berang. "Mampus kalian!"
Rasupaka dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa, segera menggerakkan tombak
mata dua berkeluk tujuh. Gerakannya begitu cepat, membuat Kedas dan Mejan tak
mampu menghindar. Akibatnya....
Bles! Bles! Dua tusukan tombak berturut-turut tertanam di perut Kedas dan Mejan. Kedua
lelaki itu kontan ambruk dan menggelepar di tanah dengan darah berhamburan deras
membasahi bumi. Luka yang terlalu dalam, membuat mereka tak berkutik lagi. Mati!
Namun, kematian dua anak buah Raja Pedang Merah ternyata diikuti pula oleh
kematian kakak kandung Rasupaka. Kanggara yang saat itu tengah terhuyung-huyung
akibat gedoran tangan lawan pada dadanya, tak bisa berbuat banyak lagi. Begitu
pula saat Raja Pedang Merah mengkelebatkan pedangnya. Kanggara hanya bisa
mendelik me-nanti ajal. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Rasupaka membelalakkan matanya lebar-lebar menyaksikan leher Kanggara hampir
saja putus tertebas pedang Raja Pedang Merah. Kanggara telah ambruk, meng-
gelepar di tanah. Melihat hal ini bara dendam dalam hati Rasupaka seketika ber-
golak tak terbendung. Diiringi lengkingan membahana, langsung diterjangnya Raja
Pedang Merah. "Hiaaa...!"
Serangan Rasupaka yang tak kepalang tanggung, dilayani sampokan pedang Raja
Pedang Merah yang juga geram melihat ketiga abdi setianya sudah tergeletak tak
bernyawa. "Kau juga harus mampus!" hardik Ra-ja Pedang Merah, geram.
Kedua lelaki yang tengah dirasuki hawa nafsu setan itu terus bertarung dengan
kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Hingga yang terlihat ha-
nyalah dua bayangan kuning dan hitam ke-coklatan saja. Deru dan desing senjata
yang membentur tempat kosong, terdengar menyemaraki pertarungan.
Tak terasa, pertarungan antara Raja Pedang Merah dengan Rasupaka sudah berjalan
empat puluh jurus. Namun, di antara mereka belum nampak ada yang terdesak.
Dan tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Memasuki jurus kelima puluh, mendadak terdengar suara tawa serak. Dan seketika,
pertarungan yang sedemikian hebat-nya langsung berhenti.
Beberapa saat lamanya suara tawa
serak itu terdengar. Namun tak lama kemudian, suara tawa itu terhenti. Tiba-tiba
berkelebatlah sesosok tubuh berpakaian putih yang demikian cepat. Hingga sekejap
mata saja, sosok tubuh berpakaian putih itu sudah mendarat manis di hadapan Raja
Pedang Merah dan Rasupaka.
"Hantu Putih Lembah Pucung...!" ka-ta Raja Pedang Merah dan Rasupaka
berbarengan. "Kenapa" Kalian terkejut melihat kehadiranku?" tanya Hantu Putih Lembah Pucung,
mengejek. Raja Pedang Merah dan Rasupaka menggereng mendengar pertanyaan penuh penghinaan
itu. "Apa yang kalian perebutkan hingga bertarung mati-matian seperti itu" Lihat!
Mayat-mayat itu bergelimpangan karena di antara kalian tidak ada yang mengalah,"
lanjut Hantu Putih Lembah Pucung yang na-ma aslinya Ragendra.
"Hai, Kakek Renta! Kau juga, apa urusanmu mencampuri masalah anak muda?"
selak Raja Pedang Merah kesal.
"Ya. Apakah kedatanganmu ke sini juga berniat melamar Dewi Intan Baiduri"!"
tambah Rasupaka marah.
"Ha ha ha.... Sudah dapat kutebak, kalian bertarung karena memperebutkan da-ra
jelita putri tunggal si Gagak Putih,"
tukas Ragendra sambil tertawa terbahak-
bahak. "Seharusnya, kalian penggal kepala Wiryamanggala terlebih dahulu. Baru
kalian perebutkan putrinya. Karena kalau dia masih hidup, lamaranmu akan sia-sia
belaka. Karena, Wiryamanggala tak pernah sudi bermantukan wajah-wajah recehan
seperti kalian!"
Panas hati Raja Pedang Merah mendengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung yang
terakhir, karena mengandung penghinaan.
"Jaga bicaramu, Tua Bangka Keparat!


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak segan-segan merobek bacot busukmu!" bentak Raja Pedang Merah geram.
"Ha ha ha.... Bicara itu mudah sa-ja, Raja Pedang Merah. Tapi untuk membuk-
tikannya, kau perlu memiliki nyawa rang-kap," balas Ragendra ketus.
"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Merah seraya menghentakkan kaki, bermaksud
menerjang Hantu Putih Lembah Pucung.
"Tahan, Raja Pedang Merah!" bentak Hantu Putih Lembah Pucung dengan pengerahan
tenaga dalam cukup tinggi. Bentakan itu kontan menghentikan gerakan Raja Pedang
Merah. "Apakah kedatanganmu hanya untuk memperebutkan putri si Gagak Putih?"
"Kau sudah tahu, Tua Bangka! Kenapa bertanya lagi?" sentak Raja Pedang Merah.
Napasnya terdengar menderu, karena tak kuasa menahan nafsu amarahnya yang berge-
jolak. "Ha ha ha.... Kalau begitu, kita bisa bekerja sama untuk mewujudkan impianmu
itu, Raja Pedang Merah," ujar Ragendra, mengejutkan Raja Pedang Merah.
"Apa maksudmu, Ragendra?" selidik Raja Pedang Merah.
"Kita bisa sama-sama mendatangi kediaman Dewi Intan Baiduri, dengan terlebih
dahulu menghabisi nyawa Wiryamanggala," cetus Hantu Putih Lembah Pucung.
"Hm...," gumam Raja Pedang Merah, meyakini ucapan Hantu Putih Lembah Pucung.
Lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun dan berpakaian serba putih
serta berikat kepala juga warna putih itu mencoba menterjemahkan gumaman Raja
Pedang Merah. "Kau rupanya tidak percaya kepadaku, Raja Pedang Merah?" tukas Ragendra
kemudian. "Baiklah, aku akan berkata jujur kepadamu."
"Coba utarakan kejujuranmu itu. Mudah-mudahan aku akan mempertimbangkan-nya,"
ujar Raja Pedang Merah.
Lelaki berambut putih yang terge-lung ke atas itu sejenak mempermainkan
jenggotnya yang panjang berwarna putih.
Kemudian dipindahkannya ke kumis yang ju-ga berwarna putih.
"Kalau kau bermaksud mendapatkan
Dewi Intan Baiduri, lain lagi dengan maksudku. Aku hanya menginginkan senjata
Trisula Emas. Dan kita akan bekerjasama untuk itu," tukas Ragendra tegas.
"Trisula Emas?" tanya batin Raja Pedang Merah.
Dia memang sudah pernah mendengar kedahsyatan senjata itu. Dan diam-diam dia
berminat juga terhadap benda pusaka itu.
"Hm.... Apakah kau akan memegang ucapan itu, Ragendra?" tanya Raja Pedang Merah,
masih tak yakin juga.
*** Sementara itu dari tempat yang terlindung, seorang pengemis mendengarkan
pembicaraan Hantu Putih Lembah Pucung dengan Raja Pedang Merah. Pengemis itu
sedikit terkejut mendengar penuturan Hantu Putih Lembah Pucung.
"Trisula Emas..." Tak kusangka, senjata dahsyat itu berada di tangan Ki
Wiryamanggala," kata pengemis berpakaian tambalan warna-warni itu dalam hari.
Tatapan matanya tampak tetap tertuju pada Hantu Putih Lembah Pucung dan Raja
Pedang Merah. "Kalau setuju, kau harus mengerja-kan tugas pertamamu terlebih dahulu,"
ujar Hantu Putih Lembah Pucung.
"Apa tugas itu?" Raja Pedang Merah melempar pertanyaannya tak sabar.
"Singkirkan dulu sisa Sepasang Pangeran Kelabang itu!" tunjuk Ragendra pada
Rasupaka yang sejak tadi diam saja.
Rasupaka tentu saja terkejut mendengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung.
"Laknat kau, Kakek Peot!" maki Rasupaka tertuju pada Hantu Putih Lembah Pucung.
Sementara, pengemis yang berada pa-da tempat terlindung itu juga terkejut
mendengar ucapan Ragendra yang begitu licik.
Rasupaka berteriak nyaring sambil menerjang Hantu Putih Lembah Pucung. Namun,
langkahnya terhenti karena di hadapannya sudah menghadang Raja Pedang Merah
dengan senjata terhunus di depan dada.
Sinar kemerahan berpendar-pendar, keluar dari pedang milik Raja Pedang Merah.
"Minggir kau, Raja Pedang Merah!"
bentak Rasupaka berang.
"Langkahi dulu mayatku, Rasupaka!"
balas Raja Pedang Merah, tak kalah geram.
"Kurang ajar!" maki Rasupaka sambil meneruskan langkahnya, hendak menerjang Raja
Pedang Merah yang berdiri menghadang.
Senjata yang berada di tangan Rasupaka berkelebat cepat dan terarah. Namun, Raja
Pedang Merah tak kalah gesit meng-
hindari tusukan tombak mata dua berkeluk tujuh milik Rasupaka.
Bukan itu saja yang dilakukan Raja Pedang Merah. Sambil menghindari tusukan,
dikirimkannya tendangan menggeledek ke dada Rasupaka.
"Hiaaa...!"
Desss! "Akh!"
Tubuh Rasupaka langsung terpental ketika kaki kanan Raja Pedang Merah telak
mendera dadanya. Tubuh lelaki berambut kuncir kelabang itu jatuh berdebum ke
tanah. Wajahnya menyeringai pertanda merasakan sakit yang teramat sangat.
Rasupaka berusaha bangkit kembali untuk memberikan perlawanan. Namun ketika
badannya digerakkan, sakit yang mendera dadanya tak dapat lagi dipertahankan.
Rasupaka menekap dadanya yang seperti mele-sak ke dalam
"Hoeeekh...!"
Rasupaka langsung memuntahkan darah kehitaman. Wajahnya seketika berubah pucat
bagai mayat. Melihat hal ini, Raja Pedang Merah tak mau menyia-nyiakan
kesempatan yang terbentang di hadapannya.
Dengan gerakan cepat bagai kilat, diterjangnya Rasupaka dengan menggunakan
pedang merahnya.
"Hiaaa...!"
Cras! "Aaa...!"
Lengking berkepanjangan yang memi-lukan mengiringi melayangnya nyawa Rasupaka
dari raga. Tanpa ada kelojotan sedikit pun, Rasupaka pergi ke alam baka untuk
selamanya dengan luka menganga lebar di bagian perut.
"Ha ha ha...."
Tawa serak itu terdengar ketika Ra-ja Pedang Merah memasukkan pedang ke dalam
warangkanya. "Kau memang hebat, Raja Pedang Merah," puji Hantu Putih Lembah Pucung.
"Pantas bila kau bergelar seperti itu."
Raja Pedang Merah tersenyum jumawa mendengar ucapan lelaki tua berpakaian putih
yang bergelar Hantu Putih Lembah Pucung. Kemudian, dia bergerak meninggalkan
jasad Rasupaka yang terkapar, menghampiri Ragendra. Namun baru lima langkah Raja
Pedang Merah berjalan, Hantu Putih Lembah Pucung sudah melesat cepat bagai anak
panah terlepas dari busurnya.
Angin menderu mengiringi datangnya serangan Ragendra yang dilakukan secara
mendadak ke arah Raja Pedang Merah!
Raja Pedang Merah terkejut melihat kenyataan itu. Sebisanya, dia berusaha
mengelak serangan yang datang begitu mendadak. Namun, yang dilakukannya sia-sia
belaka. Serangan yang dilancarkan Hantu Putih Lembah Pucung telah lebih dahulu
menghantam keras di dadanya.
"Aaa...!"
Tubuh Raja Pedang Merah yang terbalut pakaian warna kuning, seketika terlempar
jauh. Kemudian, tubuhnya jatuh menimbulkan bunyi berdebuk keras.
"Kau terlalu bodoh, Raja Pedang Merah. Seharusnya kau mengerti hasrat setiap
lelaki. Tak ada lelaki yang tak ingin berdampingan dengan dara jelita bernama
Dewi Intan Baiduri! Sekarang, ter-banglah ke neraka bersama impianmu!
Hiaaa...!" ejek Ragendra.
Hantu Putih Lembah Pucung rupanya tak ingin melihat lawannya hidup lebih lama
lagi. Dengan gerakan cepat, lelaki berpakaian putih itu berkelebat. Senjatanya
bahkan sudah terangkat di atas kepala.
Crak! "Aaa...!"
Jeritan yang keluar dari mulut Raja Pedang Merah hanya sebentar saja. Karena
begitu trisula milik Ragendra tercabut dari batok kepalanya, jeritan Raja Pedang
Merah langsung menghilang.
Hantu Putih Lembah Pucung terkekeh, lalu beranjak dari tempat pertarungan.
Terlebih dahulu, dibersihkannya trisula yang bernoda darah dengan pakaian Raja
Pedang Merah. Sementara itu, pengemis berpakaian
tambalan warna-warni itu menarik napas melihat kekejaman Hantu Putih Lembah
Pucung. Dan ketika Hantu Putih Lembah Pucung masuk ke dalam kediaman Dewi Intan
Baiduri, ditinggalkannya tempat itu.
Meskipun, dengan perasaan cemas.
5 Di kedai yang sederhana itu, seorang pemuda berpakaian warna kuning keemasan
tengah menyantap hidangan dengan nikmatnya. Ketika sampai pada suapan terakhir,
pemuda yang ternyata Raja Petir itu menghentikan makannya.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan Dewi Intan Baiduri, Jaka," kata sosok bertubuh
sedang, yang tahu-tahu sudah duduk di hadapan Jaka.
"Sudah selesai rupanya penyelidi-kanmu, Soma?" tanya Jaka.
Lelaki bertubuh sedang berpakaian warna biru putih itu menatap lekat-lekat wajah
Jaka. "Hampir selesai, Jaka," kilah Somawiguna kemudian.
"Aku sudah mendengar perihal kematian Kuda Liar, Sepasang Pangeran Kelabang, dan
Raja Pedang Merah," kata Jaka.
"Secepat itu kabarnya sudah sampai di telingamu?" tanya Somawiguna, heran.
Dahinya nampak berkerut.
"Seberapa luas Desa Gindrang Loka ini, Soma?" tanya Jaka sambil menatap wajah
Somawiguna yang menyimpan kecemasan luar biasa.
Somawiguna memaklumi pertanyaan Ja-ka. Disadari kalau keadaan Desa Gindrang Loka
yang tidak seberapa luas, membuat berita sekecil apa pun bisa cepat terse-bar.
"Kau tahu, siapa yang melakukan itu, Soma?" selidik Jaka kemudian.
"Raja Pedang Merah dan Hantu Putih Lembah Pucung. Dan, Raja Pedang Merah sendiri
tewas di tangan Hantu Putih Lembah Pucung."
"Hantu Putih Lembah Pucung?" ulang Jaka. "Apakah lelaki tua itu juga hendak
meminang Dewi Intan Baiduri?" tanya Jaka heran.
Raja Petir memang pernah mendengar sepak terjang lelaki tua berpakaian serba
putih yang bersenjatakan trisula. Namun, dia belum pernah melihat sosok
orangnya. "Bukan hanya menginginkan Dewi Intan Baiduri, Jaka. Tetapi, lelaki tua yang
kejam itu juga menginginkan Trisula Emas yang berada di tangan Ki Wiryamanggala,
ayah Dewi Intan Baiduri!" jelas Somawiguna.
"Trisula Emas...?" tanya Jaka dalam hati. "Apa lagi yang kau dapat dari pe-
nyelidikanmu, Soma?"
"Hanya itu."
Jaka tak melanjutkan pertanyaannya.
Pikirannya langsung melayang, pada sebuah benda pusaka bernama Trisula Emas.
Apakah benar Trisula Emas berada di tangan Ki Wiryamanggala" Patutkah dipercaya
keas-liannya"
Menurut guru Jaka yang bernama Eyang Putri Selasih, benda pusaka dahsyat itu
adalah milik Eyang Reksajagat Lingit, sahabat karib almarhum Raja Petir yang
pertama. Dan setelah beliau wafat, benda pusaka itu jatuh ke tangan anaknya yang
tertua, Kiswarajati. Lalu, apa hubungan Kiswarajati dengan Ki Wiryamanggala"
Apakah mereka masih bersaudara"
"Kalau begitu, kita ke sana sekarang, Soma," ajak Jaka setelah beberapa saat
lamanya bermain-main dengan pikirannya.
"Kurasa, sekarang ini tidak tepat waktunya, Jaka," sangkal Somawiguna.
"Kenapa?"
"Menurut perhitunganku, bentrokan masih akan terjadi antara Hantu Lembah Pucung
melawan Raksasa Tangan Hitam. Tugas kita nantinya, adalah menghadang salah satu
pemenang itu. Dan kurasa, pertarungan itu besok akan terjadi. Kuharap, besok kau
ke tempat itu, dan mungkin aku sudah berada di sana lebih dahulu. Aku memang
terlalu mengkhawatirkan Dewi Intan
Baiduri. Dan aku tak rela kalau dia menjadi pendamping Hantu Lembah Pucung atau
Raksasa Tangan Hitam," sahut Somawiguna, mantap.
"Hm.... Lalu kau akan kembali menyelidiki sekarang?" tanya Jaka.
"Aku akan mengawasi gerak-gerik Hantu Putih Lembah Pucung yang culas itu," jawab
Somawiguna. "Datanglah besok.
Aku sudah menunggu di sana."
Somawiguna pergi diiringi tatapan mata Jaka. Raja Petir merasa aneh melihat
sikap Somawiguna yang berubah-ubah.
"Ah! Apa sebenarnya pikiran yang ada di batok kepalanya?" tanya Jaka dalam hati.
*** Seorang dara jelita melangkah ter-gesa-gesa sepagi ini. Langkahnya yang panjang-
panjang, bergerak menuju sebuah rumah yang halaman luasnya ditumbuhi be-ragam
bunga warna-warni.
"Aku ingin bertemu Dewi," kata dara jelita berpakaian biru cerah. Di punggungnya
tampak tersandang sebatang pedang yang gagangnya berbentuk kepala ular.
Dua penjaga rumah kediaman Dewi Intan Baiduri menatap wajah dara jelita itu
sekilas. "Apa keperluan Nini ingin bertemu
Dewi Intan Baiduri?"
"Urusan pribadi! Kau tak perlu ta-hu!"
"Bukan begitu, Nini...."
"Jangan banyak bacot!"
Tangan perempuan berpakaian biru cerah itu begitu cepat menotok dua lelaki
penjaga kediaman Dewi Intan Baiduri. Seketika, dua penjaga itu tergeletak tak
berkutik. "Kalian diam saja di sini, Cecun-guk!" dengus dara berpakaian biru cerah itu.
Selesai berkata demikian, gadis itu melangkah. Namun baru dua tindak kakinya
bergerak, di hadapannya sudah berdiri De-wi Intan Baiduri.
"Kukira, siapa lagi yang datang sepagi ini! Ternyata kau, Putri Cubung Bi-ru,"
sambut Dewi Intan Baiduri lembut.
"Kenapa kau datang ke sini sendiri?"
"Huh! Pantas saja semua lelaki me-lirik ke rumah ini. Rupanya si pemilik rumah
adalah dara jelita bersuara manja.
Seorang murahan yang biasa menggaet setiap lelaki," ketus ucapan yang terlontar
dari mulut perempuan yang ternyata berjuluk Putri Cubung Biru.
"Apa maksud perkataanmu, Putri Cubung Biru?" tanya Dewi Intan Baiduri, sedikit
terkelap. "Kau jangan berlagak bodoh, Dewi.
Sesungguhnya kau tidak lebih cantik dariku. Tetapi karena kau lebih lihai mem-
buai, maka tak heran bila banyak lelaki yang datang kemari untuk melamarmu.
Termasuk, Sepasang Pangeran Kelabang yang masih terhitung saudaraku. Dan bukan
itu saja, Dewi. Kau juga memiliki akal licik dengan mengadu domba setiap lelaki
yang datang ke sini. Akibatnya, mereka berani bertarung hanya untuk mendapatkan
dara bejat sepertimu. Seperti halnya yang telah dilakukan saudaraku, Sepasang
Pangeran Kelabang. Mereka akhirnya tewas hanya karena ingin mendapatkanmu! Maka
kedatan-ganku kemari, sekalian ingin membalas kematian Sepasang Pangeran
Kelabang!"
"Kalau begitu, kau belum mengetahui duduk persoalan yang sesungguhnya, Putri
Cubung Biru," bantah Dewi Intan Baiduri.
"Aku bukan perempuan murahan seperti yang kau katakan barusan! Kedatangan mereka
ke rumahku, sama sekali tak pernah kuha-rapkan. Mereka datang ke rumahku atas
keinginan mereka sendiri. Demikian pula pertempuran di antara mereka. Justru
mereka sendirilah yang menginginkan dan menciptakannya sendiri. Dan aku tak
pernah menghasut mereka!"
Putri Cubung Biru tersenyum sinis mendengar jawaban Dewi Intan Baiduri.
"Kau pikir, aku mempercayai mulut manismu itu, Dewi" Mana ada sih, pencuri
mengakui perbuatannya" Dan mana ada asap tanpa ada api?"
"Terserah kaulah, Putri Cubung Bi-ru," putus Dewi Intan Baiduri akhirnya.
"Yang jelas, aku bukan orang seperti yang kau tuduhkan itu. Dan aku akan
menuruti kemauanmu sekarang."
"Nyawa Sepasang Pangeran Kelabang harus dibayar dengan nyawamu dan nyawa
Wiryamanggala!"
"Silakan, kalau kau memang mampu mengambilnya, Putri Cubung Biru," tantang Dewi
Intan Baiduri berang.
"Baik, Dara Payung Merah! Jagalah seranganku!"
Dara jelita berpakaian biru cerah yang berjuluk Putri Cubung Biru itu berteriak
nyaring seraya menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang terbungkus pakaian
ketat warna biru cerah, melesat cukup cepat terarah ke tubuh Dewi Intan Baiduri.
Dewi Intan Baiduri yang ternyata bergelar Dara Payung Merah rupanya tak mau
kalah cepat. Sebelum kepalan tangan Putri Cubung Biru mendarat di tubuhnya,
badannya telah lebih dulu dimiringkan.
"Ternyata kau punya kebisaan juga, Dewi," ejek Putri Cubung Biru.
"Kau pikir, hanya dirimu yang bisa berbuat seperti itu?"


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai berkata seperti itu, Dewi
Intan Baiduri melesat cepat. Begitu cepat gerakannya, sehingga Putri Cubung Biru
kewalahan menghindarinya.
Plak! "Aaa...!"
Putri Cubung Biru memekik tertahan ketika sodokan tangan lawan yang disertai
pengerahan tenaga dalam dipapaknya. Tubuhnya langsung terjajar beberapa langkah.
Dan wajahnya tampak bersemu merah menahan marah.
Srat! Pada saat Putri Cubung Biru meloloskan senjata dari tempatnya, Ki Wiryamanggala
datang. Terkejut juga hatinya menyaksikan anaknya bertarung dengan tangan
kosong, sementara lawannya menggunakan pedang yang berkilat-kilat tertimpa sinar
matahari. Namun, kiranya Ki Wiryamanggala tahu betul kemampuan anaknya.
Itulah sebabnya, pertarungan itu tak mau dicampurinya.
"Bersiap-siaplah, Dewi. Itu kalau kau tak ingin kepalamu terpisah dari badan!"
hardik Putri Cubung Biru.
Tubuh wanita itu kembali melesat.
Maka berkelebatlah sosok berpakaian warna biru cerah dengan pedang teracung ke
atas. "Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Uts!"
Dewi Intan Baiduri berjumpalitan indah menghindari tebasan-tebasan pedang Putri
Cubung Biru yang cukup dahsyat dan berbahaya. Beberapa kali gadis yang berjuluk
Dara Payung Merah itu berputaran di udara, dan kemudian ringan sekali mendarat
di tanah. "Hup!"
"Kehebatanmu sudah menurun, Putri Cubung Biru," ejek Dara Payung Merah, setelah
tubuhnya mendarat tak bersuara.
"Tidak seperti tiga tahun lalu."
"Jangan sombong kau, Perempuan Murahan!" sentak Putri Cubung Biru.
Terkesiap hati Dewi Intan Baiduri mendengar hinaan Putri Cubung Biru.
"Mulut kotormu harus segera diku-ras, Putri Cubung Biru!"
"Kau yang harus mampus, Dara Hina!
Hiaaa...!"
Kembali Putri Cubung Biru mendahului menyerang, diiringi teriakan lantang.
Semula, Ki Wiryamanggala bermaksud memapak serangan berbahaya yang dilancarkan
Putri Cubung Biru, karena dilihatnya Dewi Intan Baiduri tak menggunakan senjata.
Namun kenyataannya Ki Wiryamanggala segera mengurungkan maksudnya, begitu
melihat payung kecil dari logam keras itu sudah terkembang di depan perut
putrinya. Dan payung berwarna merah muda itu segera dikibaskan untuk menangkis tebasan
ganas pedang Putri Cubung Biru.
Trang! Suara benturan keras seketika terdengar memekakkan telinga. Bunga api memercik
ke sana kemari dari senjata yang beradu lewat kekuatan tenaga dalam penuh.
Putri Cubung Biru tampak kembali terhuyung beberapa langkah. Dari sini bi-sa
diukur kalau tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dalam Dewi Intan Baiduri.
Dan dengan wajah beringas, dia bermaksud kembali menerjang lawan yang sudah ber-
siap-siap. Namun, langkah Putri Cubung Biru terhenti ketika....
"Hentikan niat jelekmu itu, Putri Cubung Biru!" Sebuah suara berat terdengar
cukup mengejutkan. Maka seketika pertarungan itu terhenti. Dan tahu-tahu, sosok
tubuh berpakaian putih bersih, seketika berkelebat dan mendarat tepat di tengah-
tengah arena pertempuran.
Sosok berpakaian putih bersih yang ternyata Hantu Putih Lembah Pucung, sekilas
menatap wajah Putri Cubung Biru. Namun sebentar kemudian tatapannya berpin-dah
ke arah Ki Wiryamanggala.
"Kenapa kau biarkan saja pertarungan ini terjadi, Wiryamanggala?" tanya
Ragendra, sinis. "Apa kau tak sayang kalau barang anakmu lecet?"
"Aku harus berbuat apa, Ragendra"
Apakah aku harus mengeroyok dara belia
seperti Putri Cubung Biru?" kilah Ki Wiryamanggala sewot
"Itu harus kau lakukan, Wiryamanggala. Daripada dara jelita anakmu menjadi rusak
tergores senjata tajam Putri Cubung Biru," bantah Hantu Putih Lembah Pucung,
dengan tatapan garang.
"Perbuatan seperti itu tak pantas kulakukan, Ragendra!" balas Ki Wiryamanggala.
"Dari dulu kau memang pengecut, Wiryamanggala. Sudahlah! Biar aku yang usir dara
liar ini!" sentak Hantu Putih Lembah Pucung, seraya cepat mengibaskan tangannya.
Siiing! Siiing...!
Ki Wiryamanggala terkejut bukan main melihat perbuatan Hantu Putih Lembah
Pucung. Tindakannya yang melempar senjata rahasia berbentuk butir-butir tasbih
itu tak sepatutnya dilakukan. Apalagi terhadap seorang wanita yang kepandaiannya
jauh berada di bawah.
"Memalukan!" rutuk Ki Wiryamanggala dalam hati.
Namun, rutukan Ki Wiryamanggala tak berarti bagi Putri Cubung Biru. Gadis itu
kini tengah berjuang menghindari terjangan senjata rahasia yang dilancarkan
Hantu Putih Lembah Pucung.
"Aaakh...!"
Putri Cubung Biru terpekik keras
ketika salah satu senjata rahasia milik Hantu Putih Lembah Pucung menghantam
dada sebelah kanan. Tubuhnya seketika terhuyung ke belakang dengan bagian dada
berlubang dan mengepulkan asap berbau anyir.
"Pengecut kau, Tua Bangka!" maki Putri Cubung Biru.
Mendapatkan makian seperti itu, ha-ti Ragendra terkelap.
"Kurang ajar kau, Bocah Liar!
Hiaaa...!"
Dengan kecepatan luar biasa, tubuh Hantu Putih Lembah Pucung melesat. Kedu-dukan
kaki kanannya yang berada di depan, seketika menerpa keras dada sebelah kiri
Putri Cubung Biru yang karuan saja langsung terpekik keras. Tubuh dara jelita
berpakaian biru cerah itu kontan terpe-lanting, sejauh satu setengah batang
tombak. Sebentar Putri Cubung Biru menggeliat. Namun sebentar kemudian, tubuhnya yang
terbalut pakaian biru cerah itu telah menegang kaku.
"Mampus kau, Gadis Liar!" maki Hantu Putih Lembah Pucung, geram.
*** 6 "Ha ha ha.... Tentu saja gadis kecil itu bisa kau buat mampus sedemikian mudah,
Tua Bangka! Jelas saja, dia bukan tandinganmu!"
Tersentak Ragendra mendengar hinaan yang tiba-tiba menggelegar. Begitu juga, Ki
Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri.
Mereka langsung menoleh cepat ke arah datangnya suara.
Sosok tinggi besar tahu-tahu saja berkelebat cepat dan mendarat ringan beberapa
tombak di hadapan Hantu Putih Lembah Pucung.
"Raksasa Tangan Hitam"!" ucap Hantu Putih Lembah Pucung dengan mata mendelik
geram. Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri hanya bisa menatap Raksasa Tangan Hitam
yang tinggi besar, mirip raksasa.
Kepalanya hanya bagian kanan yang ditumbuhi rambut. Jenggot panjangnya tak
terurus, semakin menambah keangkerannya. Apalagi kalau melihat kalung yang
menggan-tung sebatas perutnya yang buncit.
"Kenapa harus menurunkan tangan be-simu, kalau hanya menghadapi anak ingusan
itu, Ragendra?"
"Itu urusanku, Raksasa Tangan Hitam! Kau tak perlu turut campur!" hardik
Ragendra berang.
"Terserah kaulah, Hantu Putih Lembah Pucung. Yang jelas, pergilah sekarang!
Biarlah aku bersama pujaanku, Dewi Intan Baiduri." ujar Raksasa Tangan Hitam.
"Hm.... Rupanya jiwa kejantananmu juga tergelitik untuk memiliki dara jelita
itu" Pantas, dari jauh kau bersedia datang ke sini," ejek Ragendra.
"Bukan itu saja, Ragendra!" bentak Raksasa Tangan Hitam. "Aku juga menginginkan
Trisula Emas yang berada di tangan si Gagak Putih."
Bagai tersengat seribu kala Ragendra terkejut mendengar ucapan terakhir Raksasa
Tangan Hitam. Dan begitu juga yang dialami Ki Wiryamanggala. Sesungguhnya, ayah
kandung Dewi Intan Baiduri itu tidak percaya dengan apa yang didengarnya
barusan. Namun ucapan itu didengar oleh telinganya sendiri. Ki Wiryamanggala
heran, dari mana orang-orang sesat ini tahu kalau benda pusaka itu dia yang
menyimpan. Sementara itu, sosok lain yang bersembunyi di balik sebatang pohon besar pun
ikut tersentak kaget. Sosok pengemis berpakaian tambalan warna-warni, yang sejak
pertama menguntit kehadiran tokoh-tokoh hitam itu bahkan sampai termanggut-
manggut. Bukan itu saja. Di lain tempat, ju-
ga nampak sosok pemuda berpakaian kuning keemasan mendengarkan perdebatan yang
cukup seru itu. Hanya bedanya, pemuda yang tak lain dari Raja Petir itu nampak
begitu tenang. Tapi, hatinya tak yakin betul kalau trisula milik Eyang
Reksajagat Lingit berada di tangan Ki Wiryamanggala yang berjuluk si Gagak
Putih. "Ragendra! Sebaiknya menyingkirlah dari tempat ini. Lebih cepat, lebih baik.
Dan, jangan tunggu kesabaranku habis!"
lanjut Raksasa Tangan Hitam masih dengan nada membentak keras.
"Kau pikir, hanya kau saja yang menginginkan Dewi Intan Baiduri dan Trisula Emas
itu, Raksasa Tangan Hitam"!"
dengus Hantu Putih Lembah Pucung.
"Kita tentukan dengan adu nyawa ji-ka begitu," tantang Raksasa Tangan Hitam.
Tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat itu nampak terkepal di atas kepala.
"Kusambut tantanganmu, Raksasa Tangan Hitam!" balas Hantu Putih Lembah Pucung
seraya mengibaskan tangannya dengan cepat.
Zeb! Zeb! Zeb! Tiga bilah pisau terbang seketika melayang dari tangan kiri Ragendra yang
terkibas keras. Suara mendesing mengiringi luncuran pisau-pisau terbang ke arah
tubuh tinggi besar Raksasa Tangan Hitam.
Namun, Raksasa Tangan Hitam tidak-
lah bisa dianggap remeh. Kepandaiannya tidak bisa disamakan begitu saja dengan
Putri Cubung Biru yang tergeletak tak bernyawa tersambar senjata rahasia milik
Ragendra. Dengan gerakan luar biasa cepat, tahu-tahu golok besar bergerigi sudah dikibas-
kibaskan Raksasa Tangan Hitam dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa Trang!
Trang! Trang! Tiga bilah pisau terbang yang meluncur kontan luruh ke tanah, terhantam putaran
golok besar bergerigi milik Raksasa Tangan Hitam.
"Keluarkan seluruh senjata rahasia yang kau miliki, Setan Laknat!" maki Raksasa
Tangan Hitam geram.
Hantu Putih Lembah Pucung mendengus mendengar ucapan Raksasa Tangan Hitam.
"Gantian kau yang menyerangku, Raksasa Jorok! Keluarkan seluruh keampuhan
senjata-senjatamu, aku ingin mencoba!"
"Rasakan ini!" balas Raksasa Tangan Hitam.
Tras! Tras! Benda berbentuk kuku raksasa seketika beterbangan ke arah Hantu Putih Lembah
Pucung. Senjata yang dinamakan Kuku Terbang Beracun itu mengeluarkan sinar
kehijauan yang menimbulkan hawa dingin menyengat.
Ragendra cukup terkejut menyaksikan
senjata rahasia yang dimiliki lawannya.
Hawa dingin yang dikeluarkan senjata rahasia itu membuatnya sukar melakukan
gerakan. Namun, tentu saja Hantu Putih Lembah Pucung tak ingin mati konyol
begitu saja. Cepat-cepat dikerahkannya hawa murni untuk melawan dingin yang
sampai menusuk tulang.
"Hiyaaa...!"
Trang! Trang! Trang!
Senjata rahasia Kuku Terbang Beracun ternyata mampu dilumpuhkan Hantu Putih
Lembah Pucung. Namun belum lagi lelaki tua berpakaian putih bersih itu bergerak
dari pijakan kakinya, tubuh besar Raksasa Tangan Hitam telah mencelat hendak
memberi hajaran ke pelipis.
Bret! "Uts!"
Ragendra cepat memiringkan kepalanya ke kanan, berusaha menghindari serangan
mendadak yang dilancarkan Raksasa Tangan Hitam. Namun sambaran tangan lawan
begitu cepat, sehingga sempat menyerempet pelipisnya yang terlindung ikat
kepala. Hantu Putih Lembah Pucung terkejut menyaksikan ikat kepalanya terjatuh ke tanah,
dengan keadaan sudah tidak utuh lagi.
Di tempat lain, dua orang lelaki yang sama-sama berada pada tempat terlindung,
menyaksikan kejadian yang begitu
cepat dengan mata terbelalak. Raja Petir yang tak mau turut campur, hanya
menggelengkan kepala melihat keganasan serangan-serangan orang yang tengah
bertarung. Namun, pikirannya jelas tertuju pada Somawiguna yang berjanji akan datang lebih
dahulu. "Ke mana Somawiguna" Kenapa belum juga menampakkan batang hidungnya?" kata batin
Jaka sambil tak lepas menyaksikan pertarungan hidup dan mati antara Hantu Putih
Lembah Pucung melawan Raksasa Tangan Hitam.
Pertarungan sudah mencapai jurus yang kelima puluh. Namun, salah satu di antara
dua tokoh aliran hitam itu belum nampak ada
yang terdesak. Serangan-
serangan silih berganti masih tetap gen-car dilakukan. Desing senjata dan
dentang benda keras beradu yang ditingkahi memer-ciknya bunga api, meramaikan
suasana pertarungan. Lengking kegeraman dan hawa nafsu membunuh, menguasai
jalannya pertarungan. Bahkan keadaan sekitarnya telah porak-poranda, terhantam
pukulan nyasar.
Sementara, Dewi Intan Baiduri tanpa sepengtahuan Hantu Putih Lembah Pucung dan
Raksasa Tangan Hitam, telah hijrah dari tempat pertarungan ditemani Ki
Wiryamanggala. Sedangkan pengemis yang menyaksikan pertarungan hidup mati itu, hatinya sedi-
kit lega begitu melihat Dewi Intan Baiduri menjauhi arena pertarungan. Karena
bi-sa jadi, serangan-serangan nyasar akan mengancam keselamatan gadis itu.
"Hiaaa...!"
"Uts!"
Trang! Trang! Tubuh Ragendra dan Raksasa Tangan Hitam sama-sama terdorong dua langkah, begitu
dua senjata masing-masing saling berbenturan. Mereka saling mendengus dan saling
menatap, seperti sedang mengukur sisa-sisa kemampuan masing-masing.
"Kau yang harus lebih dulu melayat ke neraka, Raksasa Tangan Hitam!" balas Hantu
Putih Lembah Pucung.
"Jangan asal bicara, Hantu Bengek!
Buktikan kalau kau mampu!"
"Baik! Jagalah aji 'Jagal Mayat'
ini, Raksasa Jorok!"
Hantu Putih Lembah Pucung melangkah mundur dua tindak. Tangannya yang membentuk
sikap hormat seketika dibawa turun, seiring tubuhnya yang bergerak turun. Ki-ni
Hantu Putih Lembah Pucung terduduk di tanah dengan kaki bersila.
"Aku akan mengimbangi aji murahan milikmu dengan aji 'Bedah Belantara', Hantu
Bengek!" balas Raksasa Tangan Hitam.
Tokoh sesat tinggi besar itu melakukan gerakan yang sama dengan gerakan
Hantu Putih Lembah Pucung.
Akibat yang ditimbulkan dari dua gerakan yang sama-sama mengeluarkan ajian
berbeda itu nampak demikian dahsyat. Dari dalam tubuh Ragendra seketika mengepul
asap tipis berbau anyir yang membuat napas terasa sesak. Hawa panas yang
ditimbulkan dari uap tipis itu menebar perlahan, menuju Raksasa Tangan Hitam
yang tengah memusatkan pikiran pada ajiannya.
Keringat sebesar butir-butir jagung keluar dari tubuh Raksasa Tangan Hitam,
ketika ajiannya sudah menemui titik ter-tinggi. Tubuhnya tampak bergetar hebat.
Namun, tangannya cepat bergerak mencabut golok besar bergerigi. Angin keras
seketika keluar dari dalam tubuh Raksasa Tangan Hitam yang seketika tegak
berdiri. Angin yang seketika bergulung-gulung keras itu membawa tubuhnya berputar bagai
gangsing. Senjatanya yang berupa golok besar bergerigi, ikut pula berputar
hingga menimbulkan bunyi bercericit.
Tubuh Raksasa Tangan Hitam terus berputar hebat, menuju tubuh Hantu Putih Lembah
Pucung yang tengah duduk bersila memusatkan pikirannya. Namun ketika tubuh
Raksasa Tangan Hitam yang tengah berputar hebat hendak menyentuh tubuh lawan,
seketika itu juga....


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaaa...!"
Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung se-
ketika melenting tinggi, dan melakukan putaran beberapa kali di udara.
"Hup!"
"Hih!"
Ragendra mendaratkan kakinya dengan manis, seraya memberi pukulan jarak jauh
yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Ma-ka seketika angin menderu meluncur
mengiringi tibanya pukulan yang dilancarkannya ke arah tubuh Raksasa Tangan
Hitam yang masih berputar.
Glarrr...! Ledakan dahsyat terjadi, ketika pukulan yang dilancarkan Hantu Putih Lembah
Pucung menemui sasaran. Tubuh Raksasa Tangan Hitam langsung terhuyung dua
langkah. Dari sela bibirnya nampak mengalir cairan darah berwarna kehitaman.
Jelas, Raksasa Tangan Hitam kalah dalam mengadu ajian yang mengandung kekuatan
dahsyat. "Hoekh...!"
Raksasa Tangan Hitam memuntahkan darah berwarna kehitaman. Dan pada saat itulah
bayangan putih berkelebat cepat, memberi serangan dahsyat.
Desss! "Aaa...!"
Tubuh tinggi besar milik Raksasa Tangan Hitam kontan terlempar sejauh dua batang
tombak, setelah tendangan keras mendera bagian dadanya yang bidang.
Raksasa Tangan Hitam memang memili-
ki hati yang kuat. Walaupun tubuhnya telah mengalami luka dalam yang sangat
parah, namun dia masih berusaha bangkit untuk meraih senjata yang tergeletak tak
jauh dari tempatnya terkulai.
Namun kenyataannya, Hantu Putih Lembah Pucung juga merupakan seorang tokoh
golongan hitam yang memiliki hati begitu kejam. Lelaki yang sudah cukup berumur
itu tak pernah iba hatinya melihat keadaan orang lain yang sudah tak berdaya.
"Hiaaa...!"
Diiringi lengkingan menggetarkan hati, Hantu Putih Lembah Pucung kembali
menerjang Raksasa Tangan Hitam yang langkahnya tertatih-tatih untuk meraih
senjatanya yang terlepas.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Kembali tubuh tinggi besar itu te-lempar sejauh dua batang tombak. Lengkingan
yang menyayat, mengiringi ambruknya tokoh sesat yang menggiriskan itu. Sesaat
lamanya Raksasa Tangan Hitam menggeliat menahan sakit yang teramat sangat. Namun
sebentar kemudian, nyawanya telah terbang meninggalkan jasadnya.
*** Ragendra berdiri angkuh sambil me-natapi mayat Raksasa Tangan Hitam yang
terbujur kaku. Kemudian, tatapan matanya yang liar langsung tertuju pada
bangunan tua rumah kediaman Ki Wiryamanggala.
"Wiryamanggala! Kenapa kau bersembunyi seperti pengecut"!" hardik Hantu Putih
Lembah Pucung, menggelegar. "Keluarlah! Jangan sembunyikan Dewi Intan Baiduri
dan Trisula Emas itu!"
Belum sekejap suara itu berlalu da-ri bibir Hantu Putih Lembah Pucung, Ki
Wiryamanggala sudah muncul tanpa Dewi Intan Baiduri.
"Aku bukan jenis lelaki pengecut seperti yang kau katakan, Ragendra yang
perkasa," sindir Ki Wiryamanggala, ketus.
"Hm.... Lalu, kenapa baru muncul sekarang" Dan di mana kau sembunyikan De-wi
Intan Baiduri dan Trisula Emas itu?"
"Aku tak pernah menyembunyikan apa-apa yang menjadi hakku, Ragendra," ujar Ki
Wiryamanggala. "Aku hanya ingin mem-pertahankan apa yang kumiliki dari inca-ran
orang tamak macam kau!"
"Berbisa juga bacotmu, Wiryamanggala! Apa kau mulai tumbuh gigi lagi"!"
ejek Hantu Putih Lembah Pucung.
"Gigiku bukan baru mulai tumbuh la-gi, Hantu Putih Lembah Pucung! Tapi, telah
lelah mengunyah makanan yang busuk macam kau. Dan karena kebusukanmu, liurku
telah terbit untuk segera menyantapmu!"
"Ha ha ha.... Ada macan ompong berkata sombong! Aneh! Benar-benar aneh!"
"Ragendra! Kehadiranku di hadapanmu kini adalah semata ingin menyampaikan to-
lakan atas pinanganmu terhadap Dewi Intan Baiduri, dan bantahanku atas
keinginanmu yang ingin menguasai Trisula Emas! Benda itu bukan hakmu!"
"Kurang ajar!" maki Hantu Putih Lembah Pucung, geram.
Tangan Ragendra seketika bergerak cepat, hendak melepas senjata rahasianya.
Namun.... "Tahan...!"
Sebuah bentakan menggeledek seketika menahan maksud keji Hantu Putih Lembah
Pucung. Sesosok tubuh tiba-tiba melesat cepat dan mendarat tak jauh dari hadapan Hantu
Putih Lembah Pucung.
"Maaf! Aku terpaksa mencampuri urusan kalian," ucap seseorang yang ternyata
pengemis berpakaian tambalan warna-warni.
"Jembel busuk!" maki Hantu Putih Lembah Pucung geram. "Rupanya kau sudah bosan
hidup, heh!"
Lelaki berpakaian tambalan yang bertubuh sedang itu ternyata tak marah disebut
jembel busuk. "Maaf, Hantu Putih Lembah Pucung dan Ki Wiryamanggala. Kedatanganku ke
tempat ini semata hanya ingin ikut bersaing untuk mengambil hati Dewi Intan
Baiduri. Namun, tidak untuk menguasai Trisula Emas."
Seperti ada seribu lebah yang menyengat kepala, Ragendra seketika terkejut
begitu mendengar ucapan lelaki berpakaian tak karuan bentuk dan warnanya itu.
"Jembel busuk! Apa kau tak salah omong, heh"! Apa tak dapat berkaca dengan
keadaanmu"!"
Sementara dari tempat persembu-nyiannya, pemuda berpakaian kuning keemasan yang
memang Raja Petir, tampak terka-gum-kagum akan keberanian lelaki yang pantas
disebut pengemis itu. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Somawiguna, yang
sampai sekarang belum muncul juga.
Dan tiba-tiba....
"Hiaaa...!"
Betapa terkejutnya hari Jaka begitu mendengar teriakan melengking yang keluar
dari mulut Hantu Putih Lembah Pucung. Sosok berpakaian putih bersih itu nampak
berkelebat cepat bagai anak panah terlepas dari busur, ke arah si pengemis.
Namun, keterkejutan Jaka semakin bertambah menyaksikan gerakan manis dan
mengagumkan yang dilakukan pengemis itu.
Begitu ringan gerakan menghindar yang dilakukannya. Wajahnya yang begitu buruk,
nampak tak dialiri ketegangan sedikit
pun. "Kurang ajar!" bentak Hantu Putih Lembah Pucung melihat serangannya hanya
membentur tempat kosong.
Namun Ragendra yang sudah matang pengalaman, segera menyadari kalau serangannya
semata-mata karena telah memandang remeh lawan. Hingga pukulannya yang deras
barusan tidak begitu terarah.
"Kau jangan menyesal, Jembel Busuk!
Hari ini wajahmu yang rusak akan terkubur bersama impianmu yang tak masuk akal!"
Selesai berkata seperti itu, Hantu Putih Lembah Pucung langsung melancarkan
serangan tangan kosong bertubi-tubi. Serangannya dialiri tenaga dalam penuh, dan
digerakkan dengan kecepatan luar biasa.
Suara bercicit dan menderu mengawa-li serangan-serangan ganas Ragendra. Namun,
kenyataannya sudah sepuluh jurus berlalu, tak nampak tanda-tanda kalau pengemis
itu terdesak. Meskipun sejauh ini dia belum mengadakan penyerangan.
"Mampus kau, Jembel!" dengus Hantu Putih Lembah Pucung ketika masuk pada jurus
yang kelima belas. Pukulan geledeknya hampir saja memecahkan batok kepala si
pengemis. Untung saja, kepalanya keburu ditundukkan.
Namun kejelian mata Ragendra rupanya dapat membaca arah gerakan lawan.
Dengan menggunakan punggung kaki, dilan-
carkannya sebuah tendangan keras secara mendadak, ke arah dada si pengemis yang
tanpa perlindungan.
Dugkh! Tubuh pengemis berpakaian tambalan itu terhuyung tiga langkah ke belakang.
Dadanya yang sempat terlindungi oleh kedua tangannya, masih tetap terasa sesak.
Tendangan yang diterima dari Hantu Putih Lembah Pucung memang demikian keras.
Dalam keadaan yang terhuyung seperti itu, pengemis berpakaian tambalan ini
membelalakkan matanya ketika melihat tubuh Hantu Putih Lembah Pucung kembali
melesat ke arahnya. Dan wajahnya yang buruk, nampak semakin seram ketika matanya
terbelalak. Dan begitu pukulan Hantu Putih Lembah Pucung hampir mendarat di tubuh si
pengemis, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan kuning keemasan.
"Hiaaa...!"
Plak! Bukan main terkejutnya Hantu Putih Lembah Pucung mendapatkan serangannya telah
digagalkan seseorang. Bukan itu saja.
Dia juga terkejut mendapatkan dirinya terlempar, ketika terjadi benturan keras.
Dan itu membuat otak Ragendra berpikir kalau lawan yang dihadapi kali ini tidak
bisa dianggap sembarangan. Jelas, tenaga dalam yang dimiliki bayangan kuning
tadi lebih tinggi sedikit daripada tenaganya.
Ketika tubuh pemuda yang memapak serangan Hantu Putih Lembah Pucung mendarat
marts, semua mata yang ada di sekitar tempat pertarungan terbelalak lebar.
Bahkan bibir masing-masing menyebutkan satu nama.
"Raja Petir..."!"
Beberapa wajah orang yang setelah menyebutkan nama besar itu seketika berubah
cerah. Namun, kenyataannya tidak bagi Ragendra. Nampaknya, dia marah bukan main
dengan keusilan tokoh berpakaian kuning keemasan yang belakangan ini julukannya
begitu tersohor.
"Pemuda usilan!" maki Ragendra panas. "Apa kehadiranmu ke sini juga untuk
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan Dewi Intan Baiduri, heh"!"
"Tidak untuk Dewi Intan Baiduri ataupun Trisula Emas!" tukas Jaka, kalem.
Namun ucapan itu cukup membuat Hantu Putih Lembah Pucung dan Ki Wiryamanggala
terkejut. "Lalu untuk apa, heh"!" hardik Hantu Putih Lembah Pucung keras.
"Untuk seorang temanku yang mencintai setulus hati," kata Jaka, tenang.
"Namun sayangnya, temanku itu sampai saat ini belum nampak kehadirannya."
"Ha ha ha.... Dasar Bocah Dungu!
Mau saja dibodohi teman sendiri. Tak sa-
darkah kau, kalau kedatanganmu ke tempat ini hanya untuk menyerahkan nyawa. Dan
setelah kau mampus nanti, temanmu itu akan berjingkrak-jingkrak di atas kubu-
ranmu!" kata Ragendra mengejek.
Sebenarnya Hantu Putih Lembah Pucung sendiri tahu, siapa sebetulnya pemuda yang
berdiri di hadapannya. Dia adalah pemuda yang begitu digdaya. Dan namanya
belakangan ini sering disebut-sebut tokoh tingkat tinggi kalangan persilatan.
"Kurasa, pikiran temanku tak seko-tor pikiranmu itu, Ragendra. Menurutku,
temanku itu telah memberi kepercayaan penuh kepadaku untuk menyingkirkan tua
bangka yang masih doyan daun muda sepertimu!" timpal Jaka dengan senyum
terkembang. Merah padam wajah Hantu Putih Lembah Pucung mendengar ucapan Jaka yang cukup
menusuk perasaan. Tangannya kontan menegang, membentuk sebuah kepalan yang
dialiri tenaga dalam tinggi.
"Akan kubungkam mulutmu yang lancang itu, Raja Petir! Hiaaa...!"
Kembali tubuh lelaki berpakaian putih bersih itu mencelat cepat ke arah Ja-ka
yang tetap berdiri tenang. Sementara mata Raja Petir yang jeli memperhatikan
gerakan tangan yang dilakukan lawan. Dan begitu hampir dekat, tiba-tiba....
Plak! Plak! Ringan saja gerakan yang dilakukan Jaka. Namun akibatnya, sungguh dahsyat!
Tubuh Ragendra terhuyung ke belakang ketika sodokan tangannya yang mengarah ke
ubun-ubun dan mata berhasil dipapak Raja Petir begitu saja.
Hantu Putih Lembah Pucung langsung merasakan tangannya jadi bergetar hebat.
Dia tahu, tenaga lawannya betul-betul berada di atas tenaga dalamnya. Untuk
itulah senjata andalannya yang berupa sebuah trisula berwarna keemasan segera
dicabut. Plak! Plak! Ringan saja gerakan tangan yang dilakukan Raja Petir! Namun akibatnya, sungguh
dahsyat! Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung terhuyung ke belakang, ketika sodokan tangannya
yang mengarah ke ubun-ubun berhasil dipapak Raja Petir.
Ketika tangan Hantu Putih Lembah Pucung meloloskan senjatanya, Jaka tak terkejut
sedikit pun. Sambil berdiri tenang, diperhatikannya apa yang akan dilakukan
lelaki tua berpakaian warna putih bersih itu.
"Hiaaa...!"
Trat! Trat! "Eit! Hup!"
Tubuh Raja Petir melenting ke udara ketika trisula lawan hendak membabat bagian
bawah tubuhnya. Kemudian, dia melakukan putaran dua kali dan mendarat manis di
tanah. "Mampus kau!"
Teriakan nyaring kembali terlontar dari mulut Ragendra begitu Jaka mendaratkan
kakinya. Melihat serangan yang begitu cepat, karuan saja Jaka kembali melempar
tubuhnya ke kanan, seraya bergulingan di tanah.
Dan pikiran licik Hantu Putih Lembah Pucung segera bergerak cepat. Sesaat
tubuh Jaka masih bergulingan di tanah, segera dilepaskannya beberapa senjata
rahasia. Maka, bunyi berdesingan terdengar mengiringi datangnya serangan gelap
yang dilakukan Ragendra.
Siiing! Siiing...!
Jaka yang telinganya memang terla-tih baik, segera merasakan datangnya serangan
gelap yang mengandung hawa maut.
Segera setelah dirasakan jaraknya cukup pas untuk menghalau sekaligus memukul
balik serangan gelap itu, Raja Petir melakukan gerakan yang sukar dipercaya.
Pada keadaan yang sulit itu, tubuhnya melenting pendek. Lalu dengan cepat, dia
mendarat manis seraya mengerahkan pukulan jarak jauh yang didapat dari Eyang
Putri Selasih. "Hiyaaa...!"
Wusss...! Angin deras bergulung-gulung seketika keluar dari telapak tangan Raja Petir yang
terbuka lebar. Angin keras yang bergulung itu laksana pusaran badai yang siap
menggeser benda-benda di hadapannya, termasuk senjata rahasia yang dilepaskan
Hantu Putih Lembah Pucung. Senjata yang berbentuk butiran-butiran tasbih itu
ber-tebaran ke sana kemari terhajar angin keras yang bergulung. Bahkan, beberapa
di antaranya terpental balik ke pemiliknya.
Siiing! Siiing...!
Ragendra terkejut bukan main melihat tindakan yang dilakukan pemuda yang
berjuluk Raja Petir itu. Tak ada waktu lagi untuk menyambut senjata miliknya
yang terpukul balik. Maka tubuhnya segera dilempar ke kanan. Dilakukannya
gerakan yang sama dengan yang dilakukan Jaka ta-di. Hanya bedanya, Jaka tak mau
melakukan serangan pada lawan yang tengah lengah seperti itu.
Pertarungan terus berlanjut seru ketika Ragendra sudah kembali bangkit.
Sementara pada tempat lain, nampak Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala
mendengarkan ucapan pengemis yang hampir ma-ti di tangan Hantu Putih Lembah
Pucung. "Maafkan aku yang tak tahu diri ini, Ki Wirya Manggala. Dan juga kau, De-wi
Intan Baiduri," kata pengemis itu seraya menundukkan kepala sebagai penghor-
matan. "Sesungguhnya aku tak berani menampakkan wajahku di hadapan kalian. Ta-
pi..., perasaanku tak dapat dikekang dan dipenjarakan begitu saja. Setiap saat,
sepasang mataku harus menyaksikan sosok dara jelita yang menjadi dambaan setiap
lelaki. Maaf, Dewi. Setulus hati, kukatakan kalau aku mencintai dan menyayangi-
mu." Dewi Intan Baiduri tersentak kaget mendengar ucapan laki-laki berwajah buruk di
hadapannya. Sungguh! Dirasakannya sen-
diri kalau ucapan lelaki buruk rupa itu keluar dari lubuk hati yang paling
dalam. Dari getaran suara dan mimik lelaki buruk rupa itu, Dewi Intan Baiduri mampu
memba-canya. Dan....
"Ah! Kenapa hatiku jadi gelisah seperti ini...?" kata batin Dewi Intan Baiduri.
Gadis itu tak mengerti, kenapa hatinya begitu terpukau dengan ucapan lelaki
buruk rupa di hadapannya. Dan dia tak tahu, kenapa perasaan aneh seketika
menggeletar, menyelusup masuk ke rongga dadanya.
"Siapa kau ini sesungguhnya?" tanya Dewi Intan Baiduri lembut. Matanya mencoba
merayapi bola mata lelaki di hadapannya, seolah-olah ingin tahu keberadaan-nya.
"Sebentar lagi kita sama-sama akan tahu, Dewi," kata pengemis berpakaian
tambalan seraya memalingkan muka ke arah pertempuran antara Raja Petir melawan


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hantu Putih Lembah Pucung.
"Hiaaa...!"
Dugkh! "Aaakh...!"
Tubuh Ragendra seketika terlempar sejauh satu batang tombak, ketika tendangan
kasar Jaka menerjang tepat di perutnya. Lengking tertahan seketika terdengar
dari mulutnya. "Kau memang hebat, Raja Petir. Tapi kau belum merasakan kehebatan ajian-
ajianku!" geram Hantu Putih Lembah Pucung.
"Aku tidak bermaksud mencoba ajian yang kau miliki, Ragendra. Aku tak menyukai.
Tapi kalau kau memaksaku, jangan menyesal kalau kau sampai tak memiliki ajian
lagi," kata Jaka, tanpa bermaksud mengejek.
"Bocah sombong!" maki Hantu Putih Lembah Pucung.
Ragendra seketika menarik kaki kanannya ke belakang, hingga membentuk ku-da-kuda
rendah. Rupanya ajian lain yang dimilikinya ingin dipamerkannya.
"Jaga aji 'Racun Lembah Pucung'
ini, Raja Petir!" sentak Hantu Putih Lembah Pucung, keras.
Sebentar mata laki-laki berpakaian putih bersih itu dipicingkan. Namun sekejap
kemudian, kembali mata itu terbuka lebar. Seiring gerakan tangan yang dilakukan,
seiring itu pula tangannya berubah menjadi hijau, dari siku sampai ke ujung
jari. "Hih!"
Slat! Slat! Slat!
Tiga larik sinar melesat begitu cepat dari tangan Hantu Putih Lembah Pucung yang
kini berwarna hijau. Tiga larik sinar yang mengeluarkan bau busuk itu begi-
tu menyengat, membuat perut terasa mual dan kepala seperti berputar hebat.
Jaka pun merasakan perubahan pada perut dan kepalanya. Namun, segera
dikerahkannya hawa murni untuk mengusir bau busuk yang mengandung racun yang
sempat terhirup.
"Hiaaa...!"
"Hip!"
Disertai teriakan nyaring, tubuh Raja Petir melesat tinggi, menghindari
terjangan tiga larik sinar hijau yang mengandung racun ganas. Beberapa kali
tubuhnya berputaran di udara, kemudian hinggap ringan di tanah.
Slat! Slat! Slat!
Begitu Jaka menjejakkan kaki di tanah, tiga larik sinar berwarna hijau yang
berbau busuk kembali menyerangnya. Karuan saja tubuhnya kembali melenting dan
mendarat agak jauh, seraya mencabut sebatang bambu kuning yang bagian tengahnya
berlubang. Dengan cepat, bambu pusaka itu di-tempelkan ke bibirnya. Dan ketika
desahan napasnya terhembus, maka....
Slats! Slats! Slats!
Tiga larik sinar warna keperakan seketika melesat cepat dari lubang kecil bambu
kuning, begitu terhembus napas Ja-ka. Sinar keperakan itu terus meluruk cepat
menghadang tiga larik sinar hijau yang meluruk dari arah berlawanan.
Glarrr! Glarrr! Glarrr!
Tiga ledakan dahsyat seketika terdengar memekakkan telinga. Ragendra nampak
terkesiap menyaksikan serangannya ternyata berhasil dikandaskan lawan.
"Kurang ajar!" bentak Hantu Putih Lembah Pucung, sambil mencoba kembali
ajiannya. Namun, kenyataannya Jaka tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan untuk
melancarkan ajian. Tiga larik sinar keperakan yang keluar dari lubang bambu
kuning, seketika kembali melesat ke arah tubuh Hantu Putih Lembah Pucung begitu
Raja Petir menghembuskannya. Sinar keperakan yang seperti petir itu terus
meluruk cepat, hingga Hantu Putih Lembah Pucung kerepotan.
Glarrr! Glarrr!
Brakkk! Dua larik sinar berwarna keperakan, seketika membentur dua pohon besar. Dan
seketika itu juga, pohon itu tumbang. Salah satu di antaranya menabrak pagar
rumah kediaman Dewi Intan Baiduri.
Meskipun Hantu Putih Lembah Pucung tak terlanggar sinar keperakan yang di-tiup
Jaka, namun tetap saja terpental oleh ledakan dahsyat tadi.
"Bangsat licik!" maki Ragendra sambil menghunus trisulanya yang berwarna
keemasan. "Hiaaa...!"
Hantu Putih Lembah Pucung kembali menerjang ganas. Trisulanya yang berwarna
keemasan juga sudah diacungkan ke atas.
"Mampus kau...!"
Ragendra menyabetkan trisulanya ke kepala Raja Petir. Namun dengan sikap tenang,
Jaka menggerakkan tangan. Dan....
Tap...! Hantu Putih Lembah Pucung terkejut bukan kepalang ketika senjatanya ditang-kap
Raja Petir. Trisulanya berusaha ditarik sekuat tenaga, namun kedua telapak
tangan Jaka yang menjepitnya terlampau kuat.
Tarik-menarik dengan kekuatan tenaga dalam penuh pun tak terelakkan lagi.
Keringat sebesar butir-butir jagung membasahi dari dahi dan leher Hantu Putih
Lembah Pucung yang telah menguras seluruh tenaganya. Hingga ketika Jaka melepas
je-pitan tangannya, karuan saja tubuh lelaki berpakaian putih bersih itu
terpental deras, terdorong oleh tenaganya sendiri.
Begitu kerasnya, hingga Hantu Putih Lembah Pucung tak mampu menguasai diri.
Dan.... Brak! Crap! Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung yang melanda pagar rumah Dewi Intan Baiduri,
kontan tertancap runtuhan pagar yang berujung runcing, hingga tembus ke
depan dada. Hantu Putih Lembah Pucung menggeliat sesaat. Namun pada saat berikutnya, tubuh
lelaki tua berpakaian warna putih diam untuk selama-lamanya. Darah tampak
membasahi tubuhnya, hingga meleleh ke tanah.
*** Ketika berdiri dekat Dewi Intan Baiduri, barulah Jaka yakin kalau putri satu-
satunya Ki Wiryamanggala itu sungguh cantik. Namun, pemuda itu tak mampu
memandang kecantikan Dewi Intan Baiduri terlalu lama. Wajah dara jelita itu
sangat mengandung pesona yang luar biasa.
"Sayang, sahabatku yang sesungguhnya menaruh hati padamu, tak hadir sekarang,"
kata Jaka, pada Dewi Intan Baiduri. "Entah ke mana menghilangnya dia...."
"Biarlah aku yang menggantikan, Ra-ja Petir," selak pengemis yang berdiri di
sisi Jaka. "Kau...?" ucapan Jaka terputus sesaat.
"Kau tak percaya padaku, Jaka?" ka-ta pengemis itu seraya mengangkat tangannya
ke wajah. Gerakan yang dilakukannya seperti hendak menguliti kulit wajahnya.
Dan memang, jembel itu melakukannya.
"Somawiguna...?" Jaka, Ki Wirya-
manggala, dan Dewi Intan Baiduri terhe-nyak menyaksikan lelaki itu telah menge-
lupas topeng tipis yang melekat di wajahnya. Dan begitu sudah terkelupas, yang
terlihat ternyata wajah Somawiguna. Maka, sejenak mereka saling tatap tak
percaya. Terlebih, Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri.
"Dialah temanku yang kumaksudkan itu," kata Jaka, ketika terjadi kehenin-gan
sesaat Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri tersadar, dan sekilas memamerkan senyum.
Jaka merasa heran dengan perbuatan itu. Tapi ketika Ki Wiryamanggala menghampiri
dan membawanya pergi menjauhi Dewi Intan Baiduri dan Somawiguna, barulah Jaka
dapat memaklumi. Namun demikian, benaknya masih dihinggapi keanehan yang belum
terjawab. "Aku tak menyangka kalau Somawiguna tiba-tiba muncul," kata Ki Wiryamanggala.
"Maksud Ki Wiryamanggala?" selidik Jaka, semakin tak mengerti.
"Somawiguna adalah lelaki yang dulu pernah dijodohkan almarhumah ibunya Dewi
Intan Baiduri. Bertahun-tahun dia menghilang tanpa ada kabar sedikit pun. Namun
begitu, Dewi yang sudah kadung mencintai, tak dapat melupakannya begitu saja,"
jelas Ki Wiryamanggala.
Jaka mengerti sekarang. Pantas saja
Somawiguna berkeras hati mendapatkan Dewi Intan Baiduri. Dan ternyata....
Jaka menoleh ke belakang. Segera wajahnya dipalingkan ketika menyaksikan adegan
mesra Dewi Intan Baiduri bersama Somawiguna yang menyamar sebagai pengemis.
"Lalu, apa hubungan Ki Wiryamanggala dengan Kiswarajati?"
"Aku terhitung kemenakan, Raja Petir," jawab Ki Wiryamanggala.
Jawaban itu cukup memuaskan Raja Petir. Kepalanya terangguk-angguk karena teka-
teki yang selama ini membelenggu hatinya telah terjawab.
"Kalau begitu, aku pamit sekarang, Ki. Hup!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Jaka melesat cepat. Tubuhnya segera menghilang di
balik tikungan jalan, dengan meninggalkan tanda tanya di benak Ki Wiryamanggala.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Jamur Sisik Naga 3 Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan Golok Kilat 3
^