Pencarian

Dedemit Selaksa Nyawa 2

Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa Bagian 2


*** "Belum terlepas kami dari cengkeraman maut
yang begitu mengerikan, lelaki kerdil itu kembali
mempertontonkan kebiasaannya setiap pertengahan
tahun," tutur seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia duduk
bersama Jaka dan Mahisa
Ireng di pendopo rumah yang tak sempat terjamah li-
dah api. "Jadi Ki Baruwaseta kenal dengan lelaki kerdil berpakaian hijau terang itu?"
selidik Jaka. "Setahun sekali, lelaki kerdil berjuluk Setan
Kerdil Seruling Maut itu merampok kampung ini. Tapi, baru kali ini mereka
bertindak di luar perkiraan. Kami tak mengira sama sekali dengan tindakannya
yang membumihanguskan desa ini. Apakah mungkin ini
tindakannya yang terakhir! Karena mereka telah melihat kalau tak ada lagi harta
benda berharga yang patut dirampas dari desa ini, lalu melakukan pembantaian
keji" Tapi, untungnya ada...," Ki Baruwaseta menatap lekat wajah Mahisa Ireng,
penuh permintaan maaf dan rasa terima kasih.
Mahisa Ireng sebetulnya sungkan mendengar
ucapan Ki Baruwaseta dia merasa apa yang dilaku-
kannya adalah sebuah kewajiban. Padahal, kewajiban-
nya mencari obat untuk putrinya yang tengah sakit, tak kalah penting! Demi
putrinya itulah Mahisa Ireng pergi meninggalkan Perguruan Banteng Sakti pada
saat malam hari begini.
"Aku hanya kebetulan lewat saja, Ki Baruwase-
ta," elak Mahisa Ireng merendah.
Kerendahan diri Mahisa Ireng bukan karena di
sampingnya ada Raja Petir. Akan tetapi, memang su-
dah kebiasaannya. Menurutnya, setiap makhluk di
permukaan bumi ini harus saling membantu, agar ter-
cipta sebuah kebersamaan dan rasa saling menghor-
mati satu sama lain.
"Ki Baruwaseta barusan mengatakan, kalau di
sini belum lagi terlepas dari cengkeraman maut itu berarti ada orang lain
sebelum si Setan Kerdil Seruling Maut yang membuat penduduk desa ini tak
tenteram,"
tebak Jaka kemudian.
"Sosok itu begitu mengiriskan, Raja Petir," jawab Ki Baruwaseta
"Siapa dia, Ki?" tanya Mahisa Ireng ingin tahu!
"Dia mengaku berjuluk Dedemit Selaksa Nya-
wa." "Dedemit Selaksa Nyawa!?" selak Jaka dan Mahisa Ireng berbarengan. Tatapan
mereka tertuju ke wajah Kepala Desa Kapuratu.
"Apakah Dedemit Selaksa Nyawa sudah men-
dapatkan bayi-bayi di sini?" suara Jaka terdengar begitu penasaran.
"Itulah yang membuat kami semua tercekam,
Raja Petir. Setiap pergantian purnama, pada hari ketiga dan hari ketujuh belas,
Dedemit Selaksa Nyawa selalu minta seorang bayi untuk diambil hatinya," jelas Ki
Baruwaseta, nelangsa.
"Kalian mematuhi permintaan gila itu?" sedak Mahisa Ireng.
"Itu terpaksa kami lakukan, demi menjaga ke-
selamatan yang lain."
Jaka langsung melepaskan tinjunya ke udara.
Wajahnya seketika nampak kemerahan, saking mena-
han kegeraman. Demikian juga Mahisa Ireng. Giginya bergemeretuk sebagai tanda
kalau marah besar, atas
perbuatan Dedemit Selaksa Nyawa yang betul-betul bi-adab! "Kesaktian Dedemit
Selaksa Nyawa begitu tinggi, dan sifatnya begitu bengis," tambah Ki Baruwaseta.!
"Kami semua tak berani menanggung akibat kebengi-sannya."
Kebisuan sejenak tercipta. Semua orang yang
duduk di pendopo rumah besar itu menelan kegera-
mannya pada jalan pikiran masing-masing.
"Aku harus menghentikan perbuatan keji De-
demit Selaksa Nyawa," tegas Jaka dalam hati.
Meski menurut kabar kesaktian tokoh golongan
hitam itu sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya, namun bagaimanapun juga
manusia itu hanya terdiri
dari unsur kekuatan dan kelemahan. Dan walau dalam
takaran berbeda, tapi Jaka yakin Dedemit Selaksa
Nyawa memiliki kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
"Ki Baruwaseta kira-kira tahu ke mana Dedemit
Selaksa Nyawa pergi?" tanya Jaka memecah kebisuan di antara mereka.
Ki Baruwaseta menggelengkan kepala sebagai
tanda tak tahu ke mana perginya tokoh golongan hi-
tam yang mengiriskan itu.
"Apakah di sekitar sini ada desa lain yang lebih dekat?" "Ada, Jaka. Namanya
Desa Wargidami. Tapi, ja-raknya cukup jauh. Kalau ingin ke sana, kau harus
melewati hutan dan sungai, serta berhektar-hektar
pematang sawah yang tak lagi diurus pemiliknya," jelas Ki Baruwaseta. "Paling
tidak, perlu waktu satu hari perjalanan lebih jika ingin ke Desa Wargidami."
"Aku akan berangkat sekarang juga ke Desa
Wargidami, Ki," ucap Jaka.
Tubuh Raja Petir begitu cepat bangun dari du-
duknya. Kemudian seketika melesat cepat, hingga tu-
buhnya sekejap saja hilang ditelan kegelapan malam.
*** 6 "Aaa...!"
Talunjak terpekik ketika senjata aneh di tangan
Basil menggores tangannya. Darah seketika mengucur
deras dari tangan Kepala Desa Wargidami, yang seke-
tika keheranan mendapatkan tindakan Ketua Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati.
"Basil! Kau tidak sedang bergurau, bukan"!"
sentak Talunjak, terdengar bergetar hebat. Jelas ada kemarahan dan rasa ngeri
yang membaur jadi satu.
Pituk Lubar dan Katilan yang menyaksikan jun-
jungannya terluka, seketika membelalakkan mata. Me-
reka tak mengerti, apa maksud Basil dan temannya
berbuat seperti itu.
"Ha ha ha...!"
Basil, Pimpinan Tiga Pemenggal Kepala Hutan
Sulajati, terbahak menyaksikan Talunjak dan kedua
abdi setianya seperti kerbau dungu.
"Aku tidak sedang bergurau, Talunjak!" sentak Basil, menggelegar. "Kukatakan
padamu, bahwa seka-ranglah saatnya aku memimpin desa ini. Dan kalian
bertiga, akan kami singkirkan sekarang juga! Paham"!"
Talunjak mendengus hebat mendengar ucapan
Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati. Bola matanya berkilat-kilat, tanda
kemarahannya telah meng-gelegak dalam dada.
Sebentar Talunjak menoleh pada Pituk Lubar
dan Katilan yang masing-masing telah menghunus
senjata. Sebentar kemudian, dia telah nekat menye-
rang anggota Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
Dalam hal ini, yang dipilih sebagai lawannya adalah Baduk. "Hiaaa...!"
Diiringi lengkingan keras, Talunjak mengayun-
kan senjatanya ke arah lambung Baduk. Tapi, salah
seorang anggota Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati itu begitu lihainya dalam
mengelak serangan Talunjak Dengan gerakan ringan, kaki kanan Baduk melangkah
ke belakang seraya memiringkan tubuhnya.
"Uts!"
Tebasan senjata yang dilancarkan Talunjak
membentur tempat kosong. Malahan, tubuhnya ikut
terhuyung termakan tenaga yang tak menjumpai sasa-
ran. Melihat tubuh Talunjak terhuyung-huyung,
maka kesempatan itu digunakan Baduk sebaik-
baiknya. Langsung tubuhnya melesat dengan kaki lu-
rus ke depan. "Hiaaa...!"
Dugkh! Bruk! Tubuh Talunjak tersungkur mencium tanah,
ketika sodokan kaki Baduk telak menghajar pung-
gungnya. Kepala Desa Wargidami itu menggeliat sebentar, tanpa berusaha kembali
menyerang. Talunjak me-
rasa akan sia-sia saja melampiaskan kemarahannya
pada orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi. Untuk itu, Talunjak berpikir
untuk melarikan diri dan meminta pertolongan.
Sementara pada pertarungan lain, nampak dua
abdi setia Talunjak menjadi bulan-bulanan dua anggo-ta Tiga Pemenggal Kepala
Hutan Sulajati. Mereka se-
benarnya memiliki pikiran sama dengan junjungannya.
Akan tetapi....
"Habisi saja nyawa monyet-monyet busuk ini!"|
perintah Baduk menggelegar.
"Sebaiknya begitu," sambut Basil. "Tak perlu buang-buang waktu dan tenaga
percuma." Mendengar ucapan Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati, bukan kepalang terkejutnya hari Talunjak dan kedua pengikutnya.
Namun, karena kekerasan ha-ri, membuat kepala desa itu sekuat tenaga menghen-
takkan kakinya. Dan dia berusaha lari secepat mung-
kin, diikuti Pituk Lubar dan Katilan.
Menyaksikan apa yang dilakukan Kepala Desa
Wargidami dan kedua pengikutnya, seketika Baduk
tertawa menggelegar. Dan setelah tawanya lenyap, Basil dan Bantit segera
diperintah untuk mengejar Pituk Lubar dan Katilan.
Mudah saja bagi Basil dan Bantit untuk menge-
jar dua abdi Talunjak. Apalagi kemampuan ilmu silat mereka jauh berada di atas
Pituk Lubar dan Katilan.
Maka, dengan mudah dua anggota Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati menghadang mereka. Bahkan
langsung menyarangkan senjata ke tubuh Pituk Lubar
dan Katilan. "Hiaaa...!" Bret! Bret! "Aaa...!"
Jerit kematian melengking tinggi seketika ter-
dengar, mengiringi ambruknya tubuh Pituk Lubar dan
Katilan dengan punggung masing-masing terbabat sen-
jata yang begitu kuat. Darah kontan mengucur deras
dari punggung keduanya.
Tercekat hati Talunjak mendengar lengking
kematian dua abdi setianya. Malah larinya kontan terhenti. Kakinya terasa sulit
sekali digerakkan. Entah kenapa, badannya terasa begitu lemas. Tubuhnya seketika
menggigil, menahan kengerian yang teramat
sangat Keringat sebesar butir-butir jagung pun sudah meleleh dari dahi dan
dadanya. Talunjak memang belum ingin mati. Tapi harapan untuk hidup, rasanya
mustahil sekarang ini. Buktinya, Basil sudah melesat ke arahnya dengan senjata
teracung ke atas. Dan kini, Basil telah berada di depan Talunjak. Dia melangkah
perlahan-lahan menghampiri kepala desa itu dengan
senjata siap dilepaskan.
"Kau juga harus mampus seperti kedua abdi se-
tia mu itu, Talunjak!" gertak Basil dengan suara dibuat seseram mungkin.
Tubuh Talunjak semakin terasa gemetar hebat.
Bahkan dua kakinya sudah tak lagi mampu menyang-
ga bobot tubuhnya.
Bruk! Talunjak langsung tersuruk ke tanah. Dua lu-
tutnya yang beradu keras dengan tanah, membuatnya
meringis menahan sakit
"Jangan bunuh aku, Basil. Kasihanilah aku.
Aku masih punya anak dan istri," rintih Talunjak, dengan badan dibungkukkan
hampir mencium tanah.
"Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati terba-
hak-bahak mendengar ratapan Kepala Desa Wargidami
yang layak anak kecil minta dibelikan mainan. Me-
mang setelah menghabisi nyawa dua abdi setia Talun-
jak Bantit dan Baduk segera melesat ke tempat Basil berada. Mereka seakan-akan
tak rela bila Basil bekerja sendirian.
"Heh! Rupa-rupanya kau masih sayang juga
dengan anak dan istrimu, Tua Bangka Culas!" bentak Basil. Kaki kanannya langsung
digunakan mencungkil
kepala Talunjak agar mendongak
"Ugkh!"
"Istrimu yang cantik itu akan kumiliki, tahu"!"
sentak Basil sambil melepas cukilan kakinya pada kepala Talunjak.
Dengan perbuatan Basil barusan itu, karuan
saja kepala Talunjak mencium tanah.
Bruk! Kembali Kepala Desa Wargidami meringis me-
nahan sakit. "Habisi saja, Basil," usul Bantit tak sabar.
"Ya! Kita memang harus menghabisi nyawa le-
laki tua bangka ini," sahut Basil sambil mengayunkan senjata anehnya.
"Jangan, Basil. Jangan bunuh aku. Aku akan
melepaskan kedudukanku sebagai kepala desa, kalau
itu memang kemauanmu," rengek Talunjak.
"Ha ha ha...!"
Tawa Basil kembali berderai, mendengar uca-
pan Kepala Desa Wargidami itu.
"Ucapanmu sudah terlambat, Tua Bangka. Mes-
tinya, itu diucapkan saat kami berhasil menyingkirkan Kawur Apuk. Aku jamin
umurmu akan tetap panjang,"
tukas Basil, kini ayunan senjatanya sudah diturun-
kan. Ucapan Basil barusan seperti menyengat hati
Kepala Desa Wargidami itu. Sungguh tak dikira sama
sekali kalau tindakannya menyewa Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati justru berakibat dirinya tersingkir dari jabatan. Bahkan
nyawanya terancam me-
layang. "Ahhh...!" Talunjak mendesah berat, mem-bayangkan kebodohannya menyewa
orang-orang sesat
macam Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati itu.
"Berdoalah, Talunjak Sebentar lagi, nyawamu
kukirim ke neraka!" kata Basil dengan suara keras.
Kembali Talunjak merasakan tubuhnya berge-
tar hebat Saat-saat kematiannya di rasakan begitu dekat. Apalagi ketika dengan
ekor matanya tangan Basil terlihat bergerak mengangkat senjata.
"Tamatlah riwayatku," ucap Talunjak dalam ha-ti. Dia memang sudah pasrah untuk
menjemput maut "Rasakan ini, Talunjak! Hiaaa...!"
Talunjak memejamkan matanya, tak kuasa me-
lihat senjata Basil yang mulai diayun mengarah ke batang lehernya. Tap! Bugk!
"Aaa...!"
Bukan main terkejutnya Talunjak, menyaksi-
kan tubuh Basil terpental deras sejauh dua batang
tombak, dan jatuh berderak bagai pohon tumbang. Ta-
pi, keterkejutan Kepala Desa Wargidami itu tak kalah hebatnya saat mendapatkan
sosok tinggi besar berpakaian merah menyala telah berdiri di sisi kirinya.
"Bangunlah, Kisanak Lawanmu semuanya akan
kukirim ke neraka," dingin ucapan yang keluar dari mulut lelaki bertubuh tinggi


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar dan berwajah bengis itu. Suaranya barusan sepertinya keluar dari jarak
yang begitu jauh, seperti menggema dari sebuah lem-
bah! "Terima kasih! Kau telah berjasa menyelamatkan nyawaku," ucap Talunjak
sambil membung-
kukkan tubuhnya. "Aku berhutang nyawa padamu, Kisanak" Lelaki bertubuh tinggi
besar terbalut pakaian merah menyala itu tersenyum dingin mendengar ucapan
Kepala Desa Wargidami. Kepalanya yang di toleh-
kan perlahan ke arah Talunjak membuat anting-anting besar yang tersemat di
telinga kirinya bergoyang-goyang. "Urusan hutang nyawa jangan dibicarakan
sekarang, Kisanak," ujar lelaki berwajah bengis itu pelan.
Setiap kata-kata yang keluar dari mulut lelaki yang sekeliling pinggangnya
terdapat pisau-pisau kecil dan pipih itu diucapkan tanpa menggerakkan bibir.
Bantit dan Baduk yang menyaksikan kejadian
sebegitu cepat terperangah kaget Sungguh di luar dugaan kalau senjata milik
Basil yang sejengkal lagi menebas putus leher Kepala Desa Wargidami, berhasil
di-tangkap lelaki berwajah bengis berpakaian merah me-
nyala yang tiba-tiba datang itu.
Mereka kini merasa orang yang akan dihadapi
merupakan lawan hebat Itu bisa dipastikan dari kecepatan geraknya yang sukar
diukur. Basil yang sudah bangkit dari lemparan tadi ja-
di mendengus geram. Matanya jalang, menatap lelaki
tinggi besar yang telah menyelamatkan Talunjak
"Manusia keparat!" geram Basil sambil melangkah dua tindak.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersenyum din-
gin, mendengar ucapan yang keluar dari mulut kasar
Basil. "Kau tak tahu, dengan siapa berhadapan sekarang!" bentak Basil kemudian.
"Tiga Tikus Kudisan Hutan Sulajati," ejek lelaki berwajah bengis itu.
"Kurang ajar! Serang dia!"
Bantit dan Baduk yang mendengar ucapan Ba-
sil segera merangsek maju. Senjata mereka yang beru-pa kapak dan bergagang
panjang itu diayunkan sekuat tenaga ke bagian yang mematikan dari tubuh lelaki
berpakaian merah.
"Hiaaat..!
"Heaaa...!"
Seketika mata Basil dan teman-temannya ter-
belalak menyaksikan lelaki tinggi besar itu tidak
menghiraukan serangan yang dikerahkan disertai te-
naga dalam tinggi.
Bret! Bret! Bret!
Basil dan kedua temannya terhenyak menyak-
sikan tubuh lawan sama sekali tidak bergerak, ketika senjata-senjata itu
mendarat telak di bagian tubuhnya yang kini mengucurkan darah segar!
Dan kembali Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati terhenyak, dan langsung serempak melompat
mundur. Betapa tidak! Ternyata darah segar yang ke-
luar dari tubuh lelaki berpakaian merah itu begitu menyentuh tanah langsung
berubah menjadi manusia!
Bahkan rupanya sama dengan rupa lelaki berpakaian
merah dengan anting-anting besar bergelantungan di
telinga kiri. "Hahhh..."!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati dan juga
Kepala Desa Wargidami kontan terhenyak tak percaya, menyaksikan pemandangan di
depannya. Bagaimana
mungkin darah segar yang menyentuh tanah dapat
terwujud begitu cepat, menjadi seperti wujud pemiliknya" Sebegitu saktikah
lelaki tinggi besar berpakaian merah menyala ini" Atau.... Dugaan-dugaan simpang
siur mengisi benak mereka.
"Lelaki itu pasti bukan manusia," gumam hati mereka.
"Ha ha ha...!"
Belum terpecahkan tanda tanya di benak mere-
ka, tawa terbahak dari laki-laki tinggi besar itu terlepas kembali. Untungnya,
tawa mengiriskan itu tidak dilanjutkan.
"Kalian Tiga Tikus Kudisan Hutan Sulajati tak
mengenal siapa aku"! Bodoh sekali! Diletakkan di ma-na mata dan telinga kalian?"
Suara yang keluar dari mulut yang tak terlihat
bergerak itu terdengar menggelegar. Bahkan seperti di-pantulkan dari lembah yang
berjarak begitu jauh.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati merasa
kalau lelaki berpakaian merah menyala itu merupakan lawan berat. Itulah
sebabnya, mereka bertiga bermaksud langsung menyiapkan jurus-jurus andalan yang
dimiliki. "Supaya kalian tak mati penasaran, akan kube-
ri tahu julukanku. Akulah yang berjuluk Dedemit Se-
laksa Nyawa!" suara bergema kembali tergelar dari mulut laki-laki tinggi besar
itu. "Dedemit Selaksa Nyawa..."!"
Merah padam wajah Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati. Tetapi mana sudi mereka menampakkan
keterkejutan di hadapan lawan.
"Apa istimewanya julukan murahan mu itu,
Kerbau Ompong!" bentak Basil menutup keterkejutannya. "Ha ha ha.... Sebentar
lagi, kau akan merasakan kehebatan julukanku, Tikus Kudisan!" timpal lelaki
berpakaian merah menyala yang ternyata berjuluk
Dedemit Selaksa Nyawa. "Serang ketiga tikus kudisan itu!" Begitu mendapat
perintah dari Dedemit Selaksa Nyawa, tujuh laki-laki yang tercipta dari tetes-
tetes darah itu merangsek maju ke arah Tiga Pemenggal Kepa-
la Hutan Sulajati yang telah menghunus senjata mas-
ing-masing ke depan dada.
Tujuh sosok jelmaan Dedemit Selaksa Nyawa
terus bergerak maju sambil menyarangkan pukulan-
pukulan menderu mengeluarkan hawa dingin yang
menusuk tulang.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati segera
mengerahkan hawa murni untuk mengimbangi puku-
lan-pukulan tujuh sosok berpakaian merah menyala
yang mengiriskan. Memang, hawa dingin yang keluar
hampir saja membuat aliran darah Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati tak bekerja!
"Hiat..!"
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Kini, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati se-
gera menyambut serangan tujuh sosok mengiriskan
dengan senjata ditebas-tebaskan ke arah tubuh yang
mematikan. Akan tetapi, bukan main terkejutnya me-
reka. Lawan mereka memang begitu mudahnya terte-
bas senjata, dan langsung terkapar. Namun, ternyata bisa bangkit kembali!
Sadar akan kemampuan yang berada jauh di
bawah kemampuan Dedemit Selaksa Nyawa, Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati bermaksud melarikan
diri dari pertempuran yang dirasanya berat sebelah.
Namun bukan kepalang terkejutnya, ketika tubuh me-
reka terasa sukar digerakkan. Bahkan hawa panas te-
rasa melingkar-lingkar di bagian dada mereka. Itulah ilmu 'Jerat Jiwa' ciptaan
Dedemit Selaksa Nyawa!
Di antara keterpakuan Tiga Pemenggal Kepala
Hutan Sulajati yang sudah tak mampu bergerak, tujuh sosok lelaki jelmaan darah
Dedemit Selaksa Nyawa seketika bergerak mundur. Dan begitu telah mencapai
sejauh tiga langkah, seketika itu juga ketujuh makhluk aneh itu lenyap.
"Itu baru jelmaan darahku saja yang kalian ha-
dapi, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati! Dan ka-
lian semua tak mampu!" kata Dedemit Selaksa Nyawa keras dan menggelegar.
Sehingga, sampai tak terban-tah oleh Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
"Sekarang, rasakanlah seranganku ini! Hih...!"
Slat! Slat! Slat!
Tiga bilah pisau kecil berbentuk pipih seketika
beterbangan cepat ke arah Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati yang sudah kehabisan tenaga. Begitu cepatnya hentakan tangan
Dedemit Selaksa Nyawa,
hingga Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati tak sempat lagi mengelak
Crab! Crab! Crab!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
"Ugkh!"
Tiga senjata pisau terbang Dedemit Selaksa
Nyawa tepat mendarat di jantung Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati yang seketika itu juga matanya
terbelalak. Bahkan keadaan tubuh mereka jadi membi-
ru. Racun ganas yang terdapat pada pisau pipih itu
begitu cepat bekerja. Hingga sekejapan mata saja, Tiga Pemenggal Kepala Hutan
Sulajati telah ambruk di tanah dengan nyawa melayang.
"Hih!"
Dedemit Selaksa Nyawa menghentakkan tan-
gannya ke depan. Hebatnya, tiga senjatanya seketika itu juga melesat keluar dari
tubuh Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
Tap! Tap! Tap! Secepat pisau pipih itu melesat, secepat itu De-
demit Selaksa Nyawa menangkapnya dan memasuk-
kan kembali ke tempat semula.
Sementara itu, Kepala Desa Wargidami terse-
nyum takjub menyaksikan kehebatan lelaki berpa-
kaian merah menyala yang berdiri di sampingnya. Se-
ketika itu juga, Talunjak menjura memberi hormat.
"Tinggi sekali ilmu yang kau miliki, Dedemit Selaksa Nyawa," puji Talunjak tanpa
mengangkat wajahnya yang tertunduk.
"Angkat kepalamu, Kisanak!" perintah Dedemit Selaksa Nyawa dingin.
Seperti kerbau dicucuk hidung, Talunjak men-
gikuti perintah Dedemit Selaksa Nyawa.
"Kau merasa berhutang nyawa padaku?" tanya Dedemit Selaksa Nyawa.
Talunjak tak menjawab. Kepalanya hanya men-
gangguk perlahan.
"Bukan begitu caramu menjawab pertanyaan-
ku!" hardik Dedemit Selaksa Nyawa, keras.
Talunjak mendongakkan kepala dengan wajah
kecut. "Aku berhutang nyawa padamu, Dedemit Selaksa Nyawa," kata Talunjak
kemudian. Dedemit Selaksa Nyawa tersenyum dingin.
"Akan kau bayar dengan apa hutangmu itu,
heh"!" "Aku..., aku tak tahu harus membayar dengan apa," tergagap jawaban
Talunjak. "Ha ha ha...!" Dedemit Selaksa Nyawa terbahak-bahak mendengar jawaban Kepala
Desa Wargidami itu.
"Bodoh sekali kau, Kisanak! Hutang nyawa tentu saja harus dibayar nyawa!"
Kontan bergetar hebat tubuh Talunjak men-
dengar ucapan yang keluar dari mulut Dedemit Selak-
sa Nyawa yang tidak main-main.
"Nyawaku hanya satu, Dedemit Selaksa Nyawa.
Aku mohon, jangan kau bunuh. Aku..., aku berjanji
akan memenuhi permintaanmu yang lain," rengek Kepala Desa Wargidami sambil
menjura-jura. Dedemit Selaksa Nyawa kembali terbahak-
bahak mendengar ucapan lelaki berusia sekitar empat puluh tahun di hadapannya.
"Janjimu bisa kau pegang, Heh"!" tekan Dedemit Selaksa Nyawa tegas.
"Aku akan memegang janji ku itu, Dedemit Se-
laksa Nyawa," tukas Talunjak kecut.
Kembali Dedemit Selaksa Nyawa tersenyum
dingin. "Aku minta, mulai saat ini sediakan seorang bayi setiap pergantian
purnama pada hari ketiga dan ketujuh belas."
Betapa terkejut hati Kepala Desa Wargidami
mendengar permintaan Dedemit Selaksa Nyawa.
"Untuk apa bayi-bayi itu, Dedemit Selaksa
Nyawa?" tanya Talunjak, memberanikan diri.
Dedemit Selaksa Nyawa menatap lekat wajah
Talunjak Dan itu membuat nyali kepala desa itu semakin ciut.
"Aku butuh hati bayi itu!"
Tersedak Talunjak mendengar ucapan Dedemit
Selaksa Nyawa. "Permintaan gila," dengus Kepala Desa Wargidami, lirih.
"Bicara apa kau barusan, heh"!"
Seketika pucat pasti wajah Talunjak. Sungguh
tak disangka kalau ucapannya yang begitu perlahan,
masih bisa terdengar.
"Permintaan itu memang gila menurutmu. Tapi,
Dedemit Selaksa Nyawa harus mendapat hati bayi-bayi itu!" Talunjak tak membantah
apa-apa. Perkataan Dedemit Selaksa Nyawa sepertinya merupakan sebuah
kepastian. "Kau bisa memenuhi permintaanku"!" desak lelaki berpakaian merah menyala itu.
Talunjak menganggukkan kepala.
"Bodoh sekali! Bukan begitu caramu menjawab
pertanyaanku!"
Plak! Talunjak langsung terhuyung-huyung terkena
tamparan tangan Dedemit Selaksa Nyawa yang tidak
disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun.
"Maju kemari!" bentak tokoh mengiriskan itu kemudian.
Talunjak maju menghampiri Dedemit Selaksa
Nyawa sambil menyeka darah yang merembes dari sela
bibirnya. "Kau bisa memenuhi permintaanku"!" desak
Dedemit Selaksa Nyawa.
"Akan ku usahakan," jawab Talunjak.
"Jawab yang pasti!" bentak lelaki berpakaian merah menyala itu, menggelegar.
"Yyy..., ya.... Ya!" putus Talunjak dengan suara tersendat.
"Kau perhatikan baik-baik perkataan ku. Bila
tidak menyediakan bayi saat kedatanganku nanti, ma-
ka seluruh penduduk desa ini akan kumusnahkan.
Desa ini juga akan kujadikan lautan api yang akan
memanggang tubuh-tubuh penduduknya! Termasuk
kau! Paham"!"
"Paham," jawab Talunjak sedikit bergetar.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Selaksa Nyawa kembali mengumbar
tawanya yang mengiriskan. Sejurus lamanya, tawa
yang mendirikan bulu kuduk itu terdengar. Dan seju-
rus kemudian, sebuah bayangan kemerahan berkele-
bat cepat meninggalkan Bukit Ular yang kini hanya
tinggal Talunjak dan mayat Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
"Ingat...! Aku akan datang menagih bayi itu pa-da hari ketiga bulan purnama
nanti...!"
Pesan bergema Dedemit Selaksa Nyawa diteri-
ma Kepala Desa Wargidami dengan perasaan tak me-
nentu. "Bagaimana mungkin aku mampu memenuhi
permintaannya..." Tapi kalau tidak" Ah! Seluruh penduduk desa ini harus menjadi
korban tokoh sesat yang mengiriskan itu," kata batin Talunjak, sambil melangkah
gontai. Kepala desa itu merasa telah terperosok ke mu-
lut harimau setelah terlepas dari moncong serigala.
Sementara, angin sore yang dingin seketika berhembus


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat. Bau anyir darah terasa menusuk hidung Talun-
jak yang berjalan lunglai.
*** 7 Desa Wargidami kini dicekam kegelisahan yang
teramat sangat Terlebih, kepala desanya yang bernama Talunjak Dia tak tahu harus
berbuat apa. Setelah kematian Pituk Lubar, Katilan, dan Tiga Pemenggal Kepa-la
Hutan Sulajati, dirinya seolah kehilangan kekuatan di mata penduduknya. Tak ada
lagi penduduk yang
sudi mematuhi perintahnya. Apalagi, terhadap pesan
Dedemit Selaksa Nyawa yang menginginkan bayi setiap hari ketiga dan ketujuh
belas tiap-tiap pergantian purnama. "Apakah..., apakah cucuku sendiri yang harus
ku korbankan?"
Pertanyaan itu tiba-tiba saja menyelinap masuk
ke benak Talunjak, yang seketika bangkit berdiri.
"Akan tetapi.... Ah!"
Talunjak melangkah gontai menuju kamar
Warsini. Hatinya merasa ragu untuk masuk ke kamar
putri satu-satunya yang baru tiga hari melahirkan pu-tra kedua. Namun, akhirnya
dia masuk juga ke kamar
Warsini. "Ayah belum mendapatkan bayi itu?" tanya
Warsini sambil menyusui bayinya yang montok.
"Hhh...!"
Talunjak menarik napas dalam-dalam menden-
gar pertanyaan Warsini. Ditatapnya wajah putrinya
yang ayu itu. Namun kemudian, tatapannya beralih
pada bayi montok yang tengah lahap menikmati air
susu ibunya. "Aku tak mungkin mengambil bayi-bayi secara
paksa dari penduduk. Apalagi di sampingku tak ada
lagi Pituk Lubar dan Katilan. Sedangkan untuk menca-ri orang-orang sewaan,
hatiku merasa sangsi. Aku
khawatir mereka seperti Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati juga. Orang-orang
macam itu bukan saja menginginkan uang bayaran, tetapi juga mengincar kedu-
dukanku. Dan itu tidak mustahil akan terulang kem-
bali." Warsini menatap wajah ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan
Talunjak yang mendapatkan
tatapan seperti itu tak kuasa berkata apa-apa.
"Kalaupun sekarang mampu merampas bayi
dari tangan penduduk itu hanya akan membuat hati
Ayah semakin ketakutan. Dugaanku, manusia iblis itu akan terus menekan Ayah
untuk mencari bayi-bayi."
Talunjak mengangkat kepalanya yang tertun-
duk. Matanya menatap wajah Warsini lekat-lekat.
"Dugaanmu benar, Warsini," sahut Talunjak parau. "Tapi..., ah! Aku tak tahu
harus berbuat apa."
"Kita tolak saja permintaan gila itu, Ayah. Tak ada seorang pun yang sudi
mengorbankan darah da-gingnya sendiri," tukas Warsini.
"K..., k., kau...."
"Ya! Aku memilih mati bersama, daripada me-
menuhi permintaan gila itu."
"Ahhh...!"
Talunjak menarik napas dalam-dalam. Tanpa
terasa, air mata menitik dari kelopak mata lelaki berusia empat puluh tahun itu.
Air mata penyesalan yang sudah terlambat!
*** "Oaaa...!"
Tangisan bayi yang terdengar melengking, seke-
tika memecah keheningan malam. Hal ini membuat
Talunjak dan Warsini gelisah bukan kepalang. Seben-
tar-sebentar mereka melongok wajah bayi yang tak
berdosa. Namun, itu hanya membuat kesedihan mere-
ka semakin bertambah. Warsini dan Talunjak sama-
sama mendesah berat
"Kau sudah menyediakan permintaanku...?"
Terkejut Talunjak mendengar suara yang seper-
tinya diucapkan dari jarak yang cukup jauh. Suara itu bergema dan memantul pada
dinding-dinding rumahnya. "Keluarlah! Dan bawa bayi itu ke hadapanku,"
kembali suara itu terdengar jelas. "
Oaaa...! Oaaa...!"
Warsini memeluk erat-erat bayinya. Sementara,
Talunjak segera melangkah gontai menemui Dedemit
Selaksa Nyawa. "Mana bayi itu, Kisanak?" tagih Dedemit Selaksa Nyawa menyaksikan Talunjak
keluar tanpa mem-
bawa seorang bayi.
"Aku tak mampu mencarikan bayi-bayi untuk-
mu, Dedemit Selaksa Nyawa," tukas Talunjak memberanikan diri. Namun,
sesungguhnya kakinya terasa
sudah tak mampu berdiri.
"Kurang ajar! Di dalam rumahmu terdengar
tangis bayi. Bayi siapa itu, heh"!"
"Dia cucuku. Aku tak mungkin menyerahkan-
nya padamu," jawab Talunjak, tergagap.
Dedemit Selaksa Nyawa tentu saja murka men-
dengar ucapan Talunjak. Tubuhnya seketika berkele-
bat cepat, menyempal tubuh Talunjak yang seketika
itu juga tersungkur. Kepala desa itu seperti tak mam-pu berbuat apa-apa ketika
Dedemit Selaksa Nyawa me-
lakukan tindakan selanjutnya. Brak!
Disertai segenap kemarahannya, Dedemit Se-
laksa Nyawa menghantam pintu rumah Talunjak hing-
ga berantakan. Sejenak tokoh mengiriskan itu mena-
tap wajah Warsini. Sedangkan wanita itu tampak ketakutan sambil mendekap erat-
erat bayinya. Beberapa
saat kemudian, Dedemit Selaksa Nyawa bergerak ce-
pat. Ditotoknya bagian tubuh Warsini hingga terkulai.
"Oaaa...!"
Bayi Warsini menangis keras ketika berada di
tangan Dedemit Selaksa Nyawa. Tokoh mengiriskan itu kemudian berjalan keluar dan
menemui Talunjak yang
baru saja bangkit dari tersungkurnya.
"Kau saksikan anak ini, Kisanak," ujar Dedemit Selaksa Nyawa sambil mengangkat
tangannya ke atas
kepala. Seketika itu juga...
Crab! Terkejut bukan kepalang hati Talunjak ketika
menyaksikan apa yang dilakukan Dedemit Selaksa
Nyawa. Dengan tangannya yang berkuku tajam, di
koyaknya perut bayi itu! Bahkan kini tangannya terbenam dalam di perut bayi tak
berdosa itu. "Uhhh...!"
Talunjak mengeluh manakala menyaksikan
tangan Dedemit Selaksa Nyawa ditarik keluar dari perut cucunya. Darah seketika
muncrat dari perut bayi yang terkoyak. Dan kini, di tangan Dedemit Selaksa
Nyawa tergenggam hati bayi Warsini.
"Hih!"
Brak! "Kukembalikan bayi itu! Ha ha ha...!" kata De-
demit Selaksa Nyawa seraya berkelebat meninggalkan
tempat itu. Sementara Talunjak hanya bisa terpaku mena-
tapi mayat cucunya yang sudah jadi mayat. Darah
tampak melumuri tubuh bayi itu.
"Aku akan datang lagi menagih bayi-bayi itu.
Ha ha ha....!"
Ucapan bergema didengar Talunjak kembali.
Pada saat yang sama, kepala desa itu membawa mayat
cucunya. Belum lama tangan Talunjak membopong bayi
Warsini, tiba-tiba berkelebat cepat sosok bayangan
kuning keemasan. Dan tahu-tahu saja, bayangan itu
berdiri di hadapan Kepala Desa Wargidami.
"Apakah tawa itu milik Dedemit Selaksa Nyawa,
Kisanak?" tanya sosok berpakaian kuning keemasan yang ternyata Jaka Sembada.
"Kau..., kau...," tersendat suara Talunjak menyaksikan kedatangan pemuda
berpakaian kuning
keemasan itu. "Sepertinya..., sepertinya aku pernah mendengar ciri-ciri mu
disebut-sebut orang. Apakah kau...?" "Aku Jaka Sembada, Kisanak," kata Jaka
mantap. "Kau..., kaukah yang berjuluk Raja Petir?"
Jaka Sembada menganggukkan kepala seraya
menyunggingkan seulas senyum.
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu
seketika menjatuhkan tubuhnya. Lututnya ditempel-
kan ke tanah dengan badan yang dibungkukkan,
hampir menyentuh bayi yang berada dalam pondon-
gannya. "Kuharap kau sudi membantu mengatasi keme-lut di desa ini, Raja Petir,"
ratap Talunjak, terisak. Di
sebelahnya nampak tubuh Warsini tergeletak pingsan.
"Memang itulah tujuanku datang ke desa ini,
Kisanak," jawab Jaka sambil merendahkan tubuhnya.
Dibawanya bangkit tubuh lelaki yang menggen-
dong bayi tanpa nyawa. Bagian perut bayi yang ter-
koyak lebar membuat Jaka menggemeretakkan gigi,
pertanda kemarahan yang amat sangat menggejolak
dalam dadanya. "Perempuan ini, ibu dari bayi itu?" tunjuk Jaka pada tubuh Warsini yang tergolek
di tanah. Kepala Desa Wargidami itu menganggukkan
kepala. "Dia anakku," sahut Talunjak, perlahan.
Tanpa diminta, tangan Jaka bergerak cepat
menyentuh bagian tubuh Warsini. Sebentar perem-
puan itu bergerak, dan sebentar kemudian sudah
membuka matanya.
"Ohhh...!"
Melihat Warsini sudah terjaga dari pingsannya,
Jaka segera memapahnya masuk ke rumah. Sementa-
ra, beberapa orang penduduk yang menyaksikan keja-
dian itu secara sembunyi, hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala.
"Kasihan juga Ki Talunjak" gumam seorang lelaki berkumis tipis.
"Itulah akibat dosa-dosanya yang sudah ber-
tumpuk" gerutu lelaki berperawakan kecil dengan alis mata begitu tebal.
Malam terus beranjak perlahan. Kesunyian se-
makin nampak mencekam. Di dalam rumah yang cu-
kup megah, Warsini terus menangisi bayinya yang su-
dah tak bernyawa lagi.
*** Fajar baru saja datang, ketika sosok bayangan
kuning melesat cepat bagai anak panah terlepas bu-
sur. Sosok tubuh itu bergerak terus ke arah barat dan berhenti pada sebuah
penginapan. Dia memang telah
seharian penuh berlari tanpa istirahat.
"Ada baiknya aku istirahat dulu," kata sosok be pakaian kuning keemasan yang tak
lain si Raja Petir.
Pemuda yang namanya semakin dikenal di kalangan
rimba persilatan itu terus melangkah perlahan menuju penginapan yang berhalaman
cukup luas, Perutnya
yang sudah berteriak minta diisi, membuat kecepatan langkahnya mesti ditambah.
Akan tetapi....
Brak! Wesss...! Bugkh! Seorang lelaki berpakaian biru muda tiba-tiba
terpental dari dalam penginapan, dan jatuh tepat di hadapan Jaka. Lelaki itu
menggeliat sebentar. Matanya yang setengah terpicing karena menahan kesakitan
diarahkan ke wajah Jaka.
Tercekat hati Jaka mendapatkan tatapan seper-
ti itu. Sebuah tatapan yang mengandung arti larangan untuk pergi. Dan belum lagi
Jaka mengetahui kejadian yang sesungguhnya, nyawa lelaki berpakaian biru itu
sudah melayang pergi!
Rasa penasaran di hati, membuat Jaka mene-
ruskan langkahnya yang terhambat oleh kematian le-
laki berpakaian biru terang tadi. Namun baru berjalan dua langkah, mendadak
suara tawa yang menggelegar
terdengar memekakkan telinga.
Untuk mengimbangi tawa yang dikeluarkan me-
lalui pengerahan tenaga dalam tinggi, Raja Petir segera mengaliri tenaganya. Ini
dilakukan untuk menyumbat
jalan pendengarannya.
"Ha ha ha...!"
Wesss! Brak...! Tiga tubuh lelaki berpakaian putih dan hitam
kembali berpentalan dari dalam penginapan. Dan se-
muanya jatuh tepat di depan mata Jaka yang seketika juga amarahnya timbul.
Kembali Jaka menggemeretakkan gigi, sebagai
tanda kegeramannya. Dia pun segera menatap salah
seorang dari tiga sosok tubuh yang terlempar deras.
"Jangan ke sana, Anak Muda. Percuma saja!
Kau hanya akan mengantar nyawa," ujar lelaki tua berpakaian putih, agak parau.
Jaka menatap wajah lelaki tua yang di sela-sela
bibirnya mengucur darah segar. Ditilik dari pakaiannya, lelaki itu sepertinya
pemilik penginapan ini. Dan pemuda berpakaian kuning keemasan itu juga mengu-
rungkan niatnya untuk menghadang sosok keji di da-
lam penginapan. Hatinya lebih tergerak untuk menye-
lamatkan tiga lelaki yang masih bernyawa, terlempar dari dalam kedai.
"Siapa orang yang melakukan perbuatan ini,
Ki?" tanya Jaka, seraya membawa bangun tubuh lelaki tua berpakaian putih itu.
Dengan gerakan cepat, dis-alurkannya hawa murni ke dalam tubuh lelaki tua
yang terluka dalam itu.
"Dia tokoh sakti golongan hitam, Anak Muda.
Julukannya Dedemit Selaksa Nyawa," jelas lelaki tua yang ternyata memang pemilik
tepat penginapan itu.
"Dedemit Selaksa Nyawa?" gumam Jaka. Darah mudanya langsung bergejolak. Dia jadi
ingin tahu, sampai di mana kesaktian Dedemit Selaksa Nyawa.
"Aku memang sedang mencari Dedemit Selaksa Nyawa,
Ki." "Untuk apa" Dia terlalu berbahaya untukmu,
Anak Muda," cegah lelaki tua berpakaian putih itu, begitu cemas.
"Mudah-mudahan saja aku dapat mengata-
sinya, Ki," putus Jaka, seraya berkelebat cepat meninggalkan pemilik penginapan
yang sudah mampu
bangkit Lelaki tua berpakaian. putih itu terkesima juga menyaksikan kecepatan
gerak Raja Petir yang sekejap mata saja sudah berada di ambang pintu penginapan.
Dengan penuh kewaspadaan, dimasukinya ruang pen-
ginapan. Seluruh urat syarafnya tampak menegang,


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanda telah bersiap-siap untuk menangkal seran-
gan mendadak. Namun, semakin dalam Raja Petir
memasuki ruangan penginapan itu, tak nampak tan-
da-tanda sesuatu yang mencurigakan.
"Ke mana perginya iblis itu," gumam Jaka dalam hati. "Begitu hebatkah tokoh
sesat itu, sehingga kepergiannya saja tidak dapat kuketahui?"
Dengan sikap tetap waspada, Jaka terus men-
cari Dedemit Selaksa Nyawa. Seorang tokoh yang telah banyak memakan korban
penduduk dan bayi-bayi tak
berdosa, untuk dijadikan tumbal dalam menyempur-
nakan kesaktiannya.
Setelah sekian lamanya Raja Petir mencari dan
tidak juga menemukan orang yang dimaksud, maka
diputuskannya untuk kembali menemui pemilik pen-
ginapan. "Kau tak melihatnya keluar, Ki?" tanya Jaka begitu tubuhnya melewati ambang
pintu, menemui si
pemilik penginapan.
Lelaki berpakaian putih itu menggelengkan ke-
pala sebagai tanda kalau tak melihat kepergian Dedemit Selaksa Nyawa yang telah
melempar tubuhnya ke
luar. Mendapatkan kehebatan tokoh yang berjuluk
Dedemit Selaksa Nyawa, Raja Petir berpikir kalau tokoh mengiriskan itu tak dapat
dicegah. Jadi memang tak mustahil kalau tokoh sesat mengiriskan itu mampu
menguasai dunia persilatan dengan kebengisan dan kekejamannya.
"Kalau begitu aku permisi, Ki," pamit Jaka.
Kaki Raja Petir segera bergerak cepat. Begitu
dihentakkan kuat ke tanah, seketika tubuhnya melenting dan berkelebat cepat.
Langsung dikerahkannya il-mu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Lelaki tua berpakaian putih itu kembali terpe-
rangah melihat kehebatan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Raja Petir. Belum sempat matanya berkedip, tubuh Jaka telah menghilang
dari hadapannya.
"Ahhh...!"
Lelaki tua pemilik penginapan itu mendesah
panjang. Kemudian kakinya melangkah perlahan, me-
nuju penginapan miliknya yang pintu utamanya jebol.
*** Sosok bayangan kuning keemasan yang berke-
lebat itu berhenti pada sebuah bangunan yang cukup
kokoh dan kuat.
"Hup!"
Sekali saja, sosok kuning keemasan menghen-
takkan kakinya ke tanah. Pagar bangunan setinggi sa-tu setengah tombak itu
berhasil dilewatinya dengan
melenting indah dan berputaran dua kali di udara.
Dan baru saja sosok kuning keemasan yang
ternyata Raja Petir itu menjejak pekarangan rumah
yang cukup luas, tiga orang bersenjata golok seketika datang menghadang.
"Berhenti!" bentak salah seorang yang menghadang. Jaka tersenyum mendengar
bentakan yang di-
keluarkan disertai pengerahan tenaga dalam itu.
"Eh...! Oh...! Ma..., maafkan kami, Raja Petir.
Maafkan kami," ucap lelaki bersenjata golok yang bertubuh kecil. "Kami kira
siapa." Raja Petir tersenyum mendengar ucapan lelaki
bertubuh kecil yang ternyata mengenalinya. Sementara dua orang lelaki bertubuh
tinggi yang barusan membentak, seketika itu juga menundukkan kepala.
"Ki Senati ada di dalam, Raja Petir. Silakan masuk saja," ucap lelaki bertubuh
kecil itu sambil menjura memberi hormat
Jaka segera melangkah ke dalam rumah Ki Se-
nati, Kepala Desa Galur Asih. Langkah kakinya yang
panjang-panjang, diikuti tatapan mata dua lelaki tinggi besar yang menjaga rumah
Ki Senati. Sambutan hangat diterima Jaka, begitu masuk
ke ruang utama Rumah Kepala Desa Galur Asih itu.
"Kau memerlukan tawanan itu, Raja Petir?"
tanya Ki Senati setelah menyilakan Jaka duduk.
"Aku membutuhkan keterangannya, Ki. Semoga
saja bisa membantu kita," jawab Jaka kalem seraya duduk. "Rasanya, keinginanmu
suatu hal yang mustahil, Raja Petir. Orang sesat seperti Iblis Mata Merah, mana
mungkin bisa berlaku sebaik itu. Biarpun kita
memintanya dengan jalan kekerasan," sanggah Ki Senati tanpa ragu-ragu.
"Jangan terlalu buruk sangka seperti itu, Ki,"
tandas Jaka. "Maaf, ucapanku semata hanya melihat pada sisi baik yang pada
dasarnya dimiliki setiap makhluk hidup. Kemungkinan setiap orang untuk berubah
pendiriannya, bisa saja terjadi, Ki. Yang baik hati, bisa saja suatu saat
berubah jahat Begitu juga sebaliknya.
Dan itu bisa terjadi jika keadaan seorang berada pada titik tertentu. Seperti
halnya, Iblis Mata Merah. Setelah sekian hari dirinya terkurung di sebuah
ruangan dalam keadaan tubuh tak mampu berbuat apa-apa, bu-
kanlah hal yang mustahil kalau dalam keadaan seperti itu tengah merenung. Dia
memikirkan apa-apa yang
telah dilakukannya selama ini. Mudah-mudahan dari
renungannya selama itu, hatinya tergerak untuk me-
rubah jalan hidupnya selama ini Sang Pencipta Jagat Semesta akan dengan mudah
menggerakkan hati
makhluk ciptaannya, jika berkehendak."
Kepala Desa Galur Asih terperanjat kagum
mendengar ucapan anak muda di hadapannya. Uca-
pan yang berisi kebenaran di dalamnya.
"Yaaah..., semoga saja kemungkinan itu terjadi bagi Iblis Mata Merah," sahut Ki
Senati sambil bangkit dari duduknya. "Sebaiknya, kita menemui iblis itu
sekarang, Raja Petir."
Jaka yang dikenal berjuluk Raja Petir segera
bangkit dari duduknya. Dia berjalan perlahan mengi-
kuti langkah kaki Ki Senati.
Kepala Desa Galur Asih itu berhenti tepat di
depan pintu yang tergembok rapat. Bunyi engsel pintu terdengar nyaring ketika
daun pintu terkuak lebar, sebagai pertanda kalau pintu itu jarang sekali dibuka.
Pemandangan di dalam ruangan yang cukup
pengap itu membuat hati Jaka trenyuh. Perasaannnya
yang halus tak tega menyaksikan Iblis Mata Merah me-ringkuk di lantai tanpa
dilapisi sehelai tikar pun.
Lelaki yang sebenarnya bernama Jempal Berek
seketika membuka matanya. Tatapannya yang tidak
sejalang hari-hari lalu, tertuju pada diri Jaka. Iblis Ma-ta Merah sedikit
terkejut menyaksikan kedatangan
pemuda yang telah berhasil melumpuhkannya.
"Aku butuh pertolonganmu, Jempal Berek" tukas Jaka sopan. "Kuharap, kau sudi
melakukannya untuk menebus dosa-dosamu yang lalu."
Jempal Berek tak menyahuti permintaan Jaka.
Matanya yang agak lebar tampak bergerak-gerak per-
lahan. "Ada masanya manusia berpijak pada jalan yang salah, Jempal Berek" kata
Jaka lembut "Namun manusia itu juga memiliki kesempatan berbuat baik
dengan menjauhi jalan yang salah."
Tersentuh juga hati Jempal Berek mendengar
ucapan Jaka. Namun sejauh ini, ucapan pemuda yang
berjuluk Raja Petir itu tidak di timpalinya.
"Aku bisa saja mendesak mu dengan jalan ke-
kerasan. Tapi, rasanya itu mustahil kulakukan," kata Jaka. Raja Petir menatap
mata Jempal Berek lekat-lekat. Tangannya yang berada di depan dada seketika
bergerak cepat. Begitu cepat kelebatan tangan kanannya, hingga Ki Senati dan
Jempal Berek tak kuasa
mengikutinya. Tiba-tiba saja Raja Petir bergerak meno-tok kaki dan tangan Jempal
Berek. Tuk! Tuk..! *** 8 Jempal Berek yang berjuluk Iblis Mata Merah
mengeluh sesaat Tapi sesaat kemudian, dirinya mera-
sakan perubahan yang begitu cepat Tubuhnya tak lagi terasa lemah, ketika tenaga
sedikit demi sedikit mera-suk ke dalam tubuhnya.
"Kenapa kau membebaskannya, Raja Petir"!"
tanya Ki Senati, keras. Dia heran melihat kelakuan
pemuda yang memiliki ilmu silat begitu tinggi itu.
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan Kepala
Desa Galur Asih yang begitu syarat kekhawatiran.
"Aku tak suka berbicara dengan orang yang
terbelenggu seperti itu, Ki Senati," jawab Jaka, setelah tatapan matanya
merayapi wajah Jempal Berek yang
tergambar suatu ungkapan terima kasih. "Lebih baik kita berbincang-bincang di
pendopo, Ki Senati."
Kepala Desa Galur Asih itu membelalakkan ma-
ta saking terkejutnya.
"Raja Petir..."!"
"Mari, Jempal Berek Kurasa tubuhmu perlu
mendapat angin segar," selak Jaka, memotong perkataan Ki Senati.
Jaka melangkah lebih dulu. Sementara, Jempal
Berek tanpa banyak bantahan menuruti ajakan pemu-
da berpakaian kuning keemasan itu.
Setelah Jaka dan Jempal Berek berjalan lima
tindak dari ruangan penyekapan, barulah Ki Senati
mengekor dengan sikap penuh siaga. Biar bagai mana-
pun juga, keberadaan Iblis Mata Merah masih di sang-sikannya. Dan begitu sampai
di ruangan pendopo,
Jempal Berek duduk berhadap-hadapan dengan Raja
Petir. Kepalanya tertunduk, tak kuasa menentang ta-
tapan Jaka. "Bagaimana keadaanmu, Jempal Berek Sudah
lebih baik kau?" tanya Jaka seperti berbicara pada bocah kecil. Sengaja
bicaranya seperti itu, karena untuk mengambil hati Iblis Mata Merah.
"Aku baru menyadari segala tindak-tanduk ku
selama ini di ruang penyekapan itu, Raja Petir. Betapa bejatnya masa lalu yang
telah kujalani," tutur Jempal Berek mengejutkan Jaka. Terlebih, Ki Senati yang
sa-ma sekali tak mengira kalau Iblis Mata Merah mau
berbicara begitu jujur.
"Syukurlah, Jempal Berek Sang Pencipta Jagat
Semesta ini telah menggerakkan hatimu untuk kemba-
li ke jalan benar," kembali mata Jaka menatap lekat wajah Jempal Berek
"Namun sakit hatiku pada Tampayak harus te-
tap terbalaskan!" suara Jempal Berek begitu penuh kegeraman.
Jaka dan Ki Senati sama-sama menaikkan alis
mendengar perkataan Iblis Mata Merah.
"Siapa Tampayak itu, Jempal Berek?" selidik Jaka, mewakili keingintahuan Ki
Senati. "Dedemit Selaksa Nyawa."
"Dedemit Selaksa Nyawa"!" berbarengan nama julukan itu keluar dari mulut Jaka
dan Ki Senati. "Kenapa kau mendendam dengannya" Bukan-
kah kau pernah mengatakan kalau Dedemit Selaksa
Nyawa adalah gurumu?" kejar Jaka, ingin tahu.
"Lelaki bejat bernama Tampayak itu telah
memperkosa calon istriku, Raja Petir. Di hadapan mata kepalaku! Coba kau
bayangkan...," kata Jempal Berek, geram. Tangannya nampak terkepal dan dipukul-
pukulkan ke telapak tangan yang satunya.
"Aku tak mengerti, kenapa bisa terjadi seorang
guru memperkosa calon istri muridnya sendiri?" Ki Senati mulai ikut bertanya.
"Perbuatan itu dilakukan Dedemit Selaksa
Nyawa, sebelum aku menjadi muridnya. Sebenarnya,
waktu itu aku harus mati di tangannya. Namun, dia
tidak melakukan hal itu. Malah di luar dugaanku sama sekali, Dedemit Selaksa
Nyawa menginginkan ku menjadi muridnya," jelas Jempal Berek.
"Hm..., apakah Dedemit Selaksa Nyawa tidak
sadar kalau suatu saat kau bisa melampiaskan den-
dam?" tanya Jaka.
"Entahlah. Mungkin juga, Dedemit Selaksa
Nyawa beranggapan kalau aku tak akan mampu men-
galahkannya. Lagi pula, ilmunya terlalu sedikit ditu-runkan padaku."
Jaka dan Ki Senati tak melancarkan perta-
nyaan lagi. Mereka tahu, Jempal Berek pernah menga-
lami keguncangan jiwa dan sekarang guncangan itu
kembali datang.
"Aku harus membunuhnya!" tegas Jempal Be-
rek, lantang. Jaka dan Ki Senati sempat terkesiap. Namun
sebentar kemudian keduanya segera memaklumi.
"Kenapa dendam itu tidak dilampiaskan sejak
dulu, Jempal Berek?"
"Aku belum berani, Raja Petir. Karena, aku me-
rasa bukan tandingannya," jelas Jempal Berek.
"Lalu sekarang...?"
"Sekarang ada kau, Raja Petir. Kita bisa bekerja sama untuk menyingkirkan
dedemit laknat itu," selak Jempal Berek cepat "Aku tahu persis kelemahannya."
"Hm.... Dari mana kau tahu kelemahannya
hingga begitu yakin?" selak Ki Senati penasaran.
"Aku mengetahuinya ketika Dedemit Selaksa
Nyawa tengah bertarung melawan Ketua Perguruan
Karang Sedayu. Waktu itu, dia nyaris kalah. Namun
berkat kecerdikannya, Ketua Perguruan Karang Se-
dayu berhasil ditundukkan. Di situlah kesombongan
hati Dedemit Selaksa Nyawa tak terbendung. Tanpa
sadar, dikatakannya kalau dirinya hanya bisa binasa dengan darah keturunannya
sendiri," jelas Jempal Berek seraya menatap wajah Raja Petir dan Ki Senati
bergantian. Raja Petir dan Ki Senati saling berpandangan.
Ada tersirat kegembiraan di hati mereka. Paling tidak, Raja Petir sudah
mempunyai modal untuk menghentikan sepak terjang tokoh sesat berjuluk Dedemit
Selak-sa Nyawa itu.
"Maaf, Raja Petir. Sesungguhnya aku tak ber-
maksud mengecilkan ketinggian ilmu yang kau miliki,"
ucap Jempal Berek dengan mata menatap wajah Jaka
lekat-lekat. "Aku tak mengerti, ilmu apa yang dimiliki Dedemit Selaksa Nyawa.
Dia menjadi demikian sakti.
Setiap darah yang keluar dari tubuhnya, maka darah
itu akan menjelma menjadi sosok yang persis dengan
dirinya. Bahkan jumlahnya bisa sebanyak yang dike-
hendaki. Anehnya, jelmaan darah yang menyentuh ta-
nah itu sama hebatnya dengan Tampayak!"
Tak percaya rasanya Jaka dan Ki Senati men-
dengar ucapan Jempal Berek. Tapi, memang mereka
harus mempercayainya, karena Jempal Berek mengu-
capkannya dengan penuh kejujuran.
"Dedemit Selaksa Nyawa juga memiliki banyak
senjata yang semuanya mengandung racun ganas dan
mematikan. Senjata yang berbentuk pisau pipih itu
berjejer mengelilingi pinggangnya," lanjut Jempal Berek Sementara, tatapan
matanya menerawang ke luar pendopo.
"Lalu, di mana letak kelemahan manusia-


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia Jelmaan itu, Jempal Berek?" tanya Ki Senati, tak sabar.
"Menghadapi jelmaan darah Tampayak, kita ti-
dak boleh mengadakan perlawanan. Bila kita diam saja seperti patung, maka
jelmaan itu akan menghilang
dengan sendirinya, setelah mundur sejauh tiga lang-
kah. Jelmaan darah itu akan muncul kembali jika De-
demit Selaksa Nyawa menginginkannya," lanjut Jempal Berek
Jaka dan Ki Senati terdiam mendengar penutu-
ran Iblis Mata Merah.
"Tampayak tak sadar kalau telah menanamkan
benih di dalam rahim Anjani. Dan benih itu sekarang, mungkin sudah menjadi
manusia," tambah Jempal Berek "Aku harus menemui Anjani untuk meminta setetes
darah dari tubuh anaknya. Iblis laknat itu harus mati secepatnya!"
"Aku akan menemanimu untuk menemui Anja-
ni, pinta Jaka.
"Yah! Kita memang harus menemuinya sece-
patnya." "Sebaiknya, besok pagi saja kalian berangkat,"
saran Ki Senati.
"Sebaiknya memang begitu," Jaka setuju.
Jempal Berek tak bisa membantah saran Ki Se-
nati, yang disetujui Jaka.
Malam semakin beranjak tua. Langit nampak
pekat, ditemani kerlip bintang yang sedikit dan jauh.
Sementara, secercah harapan bergayut di hati orang-
orang yang kini sudah terlelap.
*** Bocah kecil berusia sekitar satu tahun setengah
itu berlari lucu menghampiri ibunya. Suaranya yang
lucu, terdengar lantang.
Sementara Jempal Berek yang menyaksikan
keberadaan bocah lelaki yang menggemaskan itu, se-
makin merasa terpukul. Dendamnya pada Dedemit Se-
laksa Nyawa seolah meletup-letup hendak keluar.
"Maaf, Kakang Jempal. Dengan terpaksa aku
menanyakan maksud kedatanganmu kemari," ucap pe-rempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun.
Perempuan itu tak lain Anjani. Dia calon istri
Jempal Berek yang kehormatannya direnggut secara
paksa oleh Tampayak yang kini berjuluk Dedemit Se-
laksa Nyawa. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk me-
nyingkirkan Tampayak" jawab Jempal Berek "Dulu aku memang sempat menjadi
muridnya. Tapi, kini aku sadar. Kesadaranku telah bangkit, dan harus menuntut
balas pada Tampayak!"
Mata bening Anjani terbelalak mendengar uca-
pan Jempal Berek.
"Tampayak semakin merajalela kelalimannya,
Anjani. Tak terhitung lagi orang-orang yang menjadi korbannya. Bahkan bayi-bayi
telah dikoyak perutnya, hanya untuk diambil hatinya," jelas Jempal Berek.
"Bayi?"
Untuk kedua kalinya, mata Anjani terbelalak
lebar. "Ya! Untuk mengukuhkan kesaktiannya, Tampayak membutuhkan hati bayi yang
masih segar."
"Dedemit laknat!" maki Anjani, tak sadar.
Jaka yang duduk di sebelah Jempal Berek tak
berniat mencampuri pembicaraan itu.
"Mumpung ada Raja Petir yang bersedia mem-
bantuku, menyingkirkan Tampayak si Dedemit Selaksa
Nyawa. Dan kuharap, kau juga sudi menolongku,"
pinta Jempal Berek kemudian.
"Apa yang dapat kulakukan, Kakang Jempal?"
tanya Anjani. Wanita itu segera menatap wajah Jempal Berek,
seorang lelaki yang pernah menjadi bagian masa la-
lunya. Seorang lelaki yang mungkin masih mencin-
tainya. Tapi, dirinya sendiri....
Sejak perbuatan laknat Tampayak menimpa di-
ri nya, Anjani tidak lagi mencintai Jempal Berek Tapi justru dirinyalah yang
takut mencintai lelaki itu. Anjani merasa dirinya sudah ternoda.
"Aku perlu setetes darah keturunan Tampayak"
jelas Jempal Berek hati-hati.
"Darah Baraka?" seperti desahan saja suara Anjani yang keluar.
"Ya! Darah Baraka, anak kandungmu hasil per-
buatan dedemit laknat itu," jawab Jempal Berek, tak sadar. Wajah Anjani memerah
begitu mendengar ucapan Jempal Berek.
"Jangan lagi berkata sekasar itu, Kakang Jem-
pal," pinta Anjani. Wajahnya masih tampak bersemu merah, "Ah..., eh....Maafkan
aku, Anjani. Aku tak sadar bicara," ucap Jempal Berek, gugup.
Anjani diam saja mendengar permintaan maaf
tulus dari lelaki belahan masa lalunya. Matanya yang bening menatap wajah lelaki
tampan yang berpakaian
kuning keemasan.
Jaka yang mendapat tatapan sedemikian itu
hanya dapat membalasnya dengan seulas senyum.
"Tak kusangka, Raja Petir yang tersohor itu
masih begitu muda," ujar Anjani sambil tak lepas menatap wajah tampan Jaka. "Aku
senang sekali mendengar kau bersedia membantu Kakang Jempal, Raja
Petir." "Namaku Jaka, Nini Anjani," suara Jaka terdengar begitu merendah. "Aku
juga senang kalau kau bersedia memenuhi permintaan Jempal."
"Tentu saja, Jaka. Permintaan Kakang Jempal
tidak seberapa. Setetes darah Baraka, tidaklah lebih berharga daripada darah-
darah orang yang terbantai
oleh dedemit laknat macam Tampayak" kilah Anjani, yang kemudian bangkit dari
duduknya. "Terima kasih, Nini Anjani," ucap Jaka.
"Kau balurkan darah Baraka pada ujung pisau
ini, Anjani," tahan Jempal Berek ketika Anjani hendak masuk ke dalam.
Anjani seketika menghentikan langkahnya. Di-
lihatnya sebilah pisau kecil berbentuk pipih berwarna keperakan.
"Aku bahagia kalau darah Baraka dapat meng-
hentikan kekejaman Dedemit Selaksa Nyawa," ujar Anjani sambil meraih pisau yang
disodorkan Jempal Be-
rek. Sejurus lamanya, mata bening Anjani menatap
wajah Jempal Berek. Dan sejurus kemudian, dirinya
telah berlalu. *** "Aaa...!"
Tangisan bocah kecil terdengar mengejutkan
Jaka dan Jempal Berek yang sedang membisu seribu
bahasa. Sesungguhnya mereka tak tahu, tindakan apa
yang telah diambil Anjani terhadap Baraka, anak kan-
dungnya. Namun yang jelas, tangisan itu sebentar kemudian reda. Dan kini, Jaka
dan Jempal Berek meli-
hat Anjani keluar dari ruangan dalam.
Tanpa diminta Jempal Berek Anjani segera me-
nyerahkan senjata tajam yang pada ujungnya telah dilumuri darah segar Baraka.
Dengan dada sesak dipenuhi keharuan, Jempal
Berek menerima senjata tajam dari tangan Anjani.
Gerakan Jempal Berek tampak kaku dan sedi-
kit getar. "Terima kasih atas bantuanmu, Anjani," ucap Jempal Berek setelah meletakkan
pisau yang telah ber-lumur darah di atas meja. Itu dilakukan Jempal Berek semata
untuk menunggu darah itu mengering.
Anjani menganggukkan kepala mendengar uca-
pan Jempal Berek.
"Aku juga berterima kasih atas kesediaanmu
untuk menyingkirkan Tampayak. Karena biar bagai-
manapun juga, di hatiku masih tersimpan dendam
yang harus dilampiaskan. Dengan darah Baraka yang
akan menghentikan sepak-terjang Dedemit Selaksa
Nyawa, kurasa dendam yang bersemayam dalam da-
daku akan hilang," kata Anjani, seraya melempar tatap matanya pada wajah Jaka.
"Aku juga berterima kasih atas kedatangan kalian ke sini."
"Sama-sama, Nini Anjani," balas Jaka. "Namun, ada satu permintaanku pada Kakang
Jempal...."
"Apakah itu, Anjani?" selak Jempal Berek tak sabar. Anjani terdiam sesaat Dia
nampak ragu-ragu
mengutarakannya.
"Katakanlah, Anjani. Jangan ragu-ragu. Aku
akan berusaha memenuhinya, apa pun bentuk per-
mintaan mu," pinta Jempal Berek
Anjani menatap lekat-lekat wajah lelaki berpa-
kaian merah bergaris hitam itu.
"Tapi, sebelumnya aku mohon maaf. Karena...,
karena aku tak ingin kau datang lagi ke rumah ini."
Terkejut juga hati Jaka mendengar permintaan
Anjani. Namun dia berusaha memaklumi, karena kea-
daannya belum begitu jelas. Sementara, Jempal Berek tak dapat berkata-kata atas
keinginan Anjani.
"Aku telah bersuami, Kakang Jempal," lanjut Anjani pelan. "Aku harap, kau sudi
memakluminya."
Jempal Berek menarik napas dalam-dalam. Se-
jurus lamanya hal itu dilakukan, sekadar untuk me-
nenangkan pikirannya. Sejurus kemudian, tatapan
matanya berpendar ke wajah Anjani.
"Aku dapat memakluminya, Anjani. Dan aku
akan memenuhi keinginanmu itu," putus Jempal Berek. Ada nada kegetiran menyertai
ucapannya. "Sebaiknya, aku pergi sekarang, Anjani. Sekali lagi, terima kasih
atas bantuanmu."
Jempal Berek menyelipkan pisau yang pada ba-
gian ujungnya telah dilumuri darah Baraka yang telah kering. Kemudian, dia
bergerak bangkit, diikuti Jaka.
"Terima kasih, Nini Anjani," ucap Jaka. "Kami permisi, karena harus secepatnya
mencegah perbuatan keji Dedemit Selaksa Nyawa."
Anjani menganggukkan kepala perlahan. Seir-
ing anggukannya, tubuh Jaka dan Jempal Berek mele-
sat cepat bagai kilat.
*** 9 "Ha ha ha...!"
Suara tawa yang dikerahkan lewat tenaga da-
lam tinggi seketika terdengar mendirikan bulu tengkuk Suara tawa itu menggema,
dan memantul dinding-dinding bangunan rumah Kepala Desa Wargidami.
Di halaman kediaman Talunjak yang cukup
luas, nampak sosok tinggi besar berpakaian warna merah darah tengah berdiri
pongah. Sosok yang tak lain Dedemit Selaksa Nyawa!
"Cepat serahkan bayi itu..!"
Kembali suara lelaki dengan anting-anting pada
telinga sebelah kiri itu menggema dan memantul dinding-dinding bangunan kediaman
Talunjak. Dan pada
saat yang sama, melesat bayangan kuning keemasan
begitu cepat dari dalam rumah Kepala Desa Wargida-
mi. "Hip!"
Sosok bayangan kuning keemasan yang ternya-
ta pemuda berjuluk Raja Petir itu mendarat manis beberapa tombak di hadapan
Dedemit Selaksa Nyawa.
Jaka segera menatap wajah lelaki berpakaian warna
merah darah yang berdiri pongah di hadapannya. Dia
sepertinya memandang sebelah mata akan kehadiran
pemuda yang begitu digdaya.
Raja Petir membalas tatapan Dedemit Selaksa
Nyawa yang meremehkan, dengan seulas senyum
mengejek. "Ha ha ha.... Besar juga nyalimu, Bocah," tukas Dedemit Selaksa Nyawa
merendahkan. "Aku senang pada keberanianmu. Namun sayang, keberanianmu itu
bukan pada tempatnya!"
Jaka mencibir mendengar ucapan Dedemit Se-
laksa Nyawa. "Tampayak! Ku ingatkan agar jangan sekali lagi
berkata sombong seperti itu! Kusarankan, tinggalkanlah tempat ini sebelum
kesabaranku habis!" hardik Ja-ka, membangkitkan kemarahan Dedemit Selaksa Nya-
wa. "Bocah edan! Dari mana kau tahu namaku,
heh"!" "Tak perlu kau tanyakan itu, Dedemit Laknat!
Yang perlu kau lakukan hanyalah merubah kelakuan
bejatmu!" kata Jaka menggelegar, karena dikeluarkan melalui pengerahan tenaga
dalam tinggi. "Hm...."
Terkejut Dedemit Selaksa Nyawa menyaksikan
kehebatan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning
keemasan yang berdiri tenang di hadapannya. Seketi-
ka, ingatannya terbawa akan kehebatan sosok muda
yang namanya menggemparkan dunia persilatan bela-
kangan ini. Sosok yang telah banyak menyingkirkan
tokoh golongan hitam.
"Bocah inikah yang berjuluk Raja Petir?" gumam Dedemit Selaksa Nyawa, setelah
memperhatikan Jaka dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Bocah!
Sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku. Jangan co-
ba-coba menghalangi keinginanku. Itu pun kalau kau
masih ingin tetap hidup!"
"Bukankah sebaiknya kau yang segera berto-
bat, Tempayak"!" timpal Jaka.
"Kurang ajar!"
Dedemit Selaksa Nyawa mundur selangkah. Ge-
rakan kakinya demikian ringan, namun ternyata di-
iringi kibasan tangan yang begitu cepat dan terarah.
Maka, selarik sinar berwarna merah seketika melesat cepat dari kibasan tangan
lelaki berpakaian merah darah itu. "Hih!"
"Hap!"
Jaka menghentakkan kakinya ke tanah. Tu-
buhnya bergerak ringan, melompat melambung tinggi
dan berputaran dua kali di udara.
"Hup!"
Tubuh Jaka yang sekejap berputaran di udara,
kini mendarat manis di tanah.
"Hanya sampai di situkah seranganmu, Tam-
payak"!" ejek Jaka.
Sesungguhnya, Jaka mengakui kedahsyatan
serangan lawan yang mengandung hawa begitu panas
menyengat Namun, semua itu ditutupi dengan ejekan-
ejekan yang membuat telinga panas.
Mendengar ejekan Jaka, Dedemit Selaksa Nya-
wa kembali melancarkan serangan. Tak tanggung-
tanggung, tiga larik sinar merah langsung melesat cepat. Namun gerakan Raja
Petir yang meloloskan bam-
bu kecil yang berlubang di bagian tengahnya, juga tak kalah cepat. Bambu kecil


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tahu-tahu sudah terselip di antara celah bibir pemiliknya. Dan seketika itu
ju-ga.... Slats! Slats! Slats!
Tiga larik sinar keperakan melesat cepat seperti
sambaran petir dari lubang bambu kuning yang ter-
tembus nafas Jaka.
Kini tampaklah tiga larik sinar merah dan tiga
larik sinar keperakan meluruk cepat ke arah yang berlawanan. Sinar-sinar itu
seketika bertemu di udara, dan.... Glarrr...!
Tiga ledakan dahsyat terjadi, seperti hendak
mengguncangkan Desa Wargidami.
Dedemit Selaksa Nyawa cukup takjub melihat
kemampuan yang dimiliki lawannya. Secara tak sadar,
diakuinya kehebatan Raja Petir yang belakangan ini
namanya cukup tersohor.
Belum selesai Dedemit Selaksa Nyawa dengan
keterpanaannya, tiba-tiba tubuh Jaka melesat cepat.
Tangannya yang menegang kaku dilayangkan ke tubuh
lawan, membawa hawa kematian.
Plak! Sambaran tangan Jaka yang mendarat telak di
ulu hati tak dirasakan Dedemit Selaksa Nyawa, meski harus terdorong satu langkah
ke belakang. Sementara, tubuh Jaka yang juga terdorong
oleh pengerahan tenaga dalam lawan, sudah mendarat
mulus di tanah setelah melakukan salto di udara. Raja petir juga takjub melihat
kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi dia ingin menjajalnya sekali lagi. Maka dengan
gerakan cepat diraihnya ranting kering yang bera-da tak jauh darinya. Ranting
kering itu seketika dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Bunyi berdesing terdengar mengiringi tibanya ranting kering itu.
Siiing...! Crat! Ranting kering yang dilempar Jaka berhasil
menembus kulit tubuh Dedemit Selaksa Nyawa yang
seketika itu juga mengucurkan darah segar.
Akan tetapi, bukan main terkejutnya Jaka me-
nyaksikan darah yang menyentuh tanah seketika men-
jelma menjadi sosok Tampayak yang lain! Meskipun,
sebelumnya Jaka sudah mengira kalau hal itu akan
terjadi. Jaka mundur selangkah ketika tujuh sosok tubuh jelmaan Dedemit Selaksa
Nyawa merangsek maju.
Seketika itu juga, pikirannya teringat akan keterangan Jempal Berek yang
mengatakan kalau tak perlu mela-
wan jelmaan darah Dedemit Selaksa Nyawa.
Ketika jelmaan Tampayak semakin mendekati
tubuhnya, Jaka segera bertindak seperti yang di-
ucapkan Jempal Berek. Dia tetap berdiri tegak pada
tempatnya. Sikap yang dilakukan mirip sebuah pa-
tung. Namun, sesungguhnya Jaka tetap menjaga ke-
waspadaan. "Betul apa yang dikatakan Jempal Berek" gumam Jaka setelah menyaksikan jelmaan
darah Dede- mit Selaksa Nyawa bergerak mundur. Kemudian ketu-
juh sosok itu menghilang setelah tiga langkah bergerak ke belakang.
Melihat apa yang telah dilakukan Raja Petir, De
demit Selaksa Nyawa tersentak bagai disengat seribu kala berbisa. Wajahnya
seketika merah padam. Sungguh di luar perkiraan kalau lawannya mampu menge-
tahui kelemahannya. Padahal..., sejauh ini tak ada
seorang tokoh sakti pun yang mengetahui kelemahan-
nya, selain Jempal Berek yang berjuluk si Iblis Mata Merah. "Apakah Jempal Berek
yang telah membongkar kelemahan ku pada anak muda yang kini tengah ku
hadapi?" duga Tampayak dalam hari.
Dedemit Selaksa Nyawa menatap dalam-dalam
wajah Raja Petir. Dia menduga-duga, apa yang menye-
babkan kelemahannya dapat terbaca oleh lawannya.
"Ah!" bantah Dedemit Selaksa Nyawa kemu-
dian. "Jempal Berek tak mungkin melakukan hal itu, kecuali kalau kepalanya ingin
kupenggal! Dan apa
yang telah dilakukan Raja Petir, hanya sebuah kebetulan saja."
Dengan penasaran, Dedemit Selaksa Nyawa
kembali menjelmakan darahnya menjadi sosok yang
dua kali lipat banyaknya. Dan dengan segera makhluk-
makhluk jelmaan itu diperintah untuk merangsek ma-
ju. Menghadapi jelmaan-jelmaan darah Dedemit
Selaksa Nyawa, Raja Petir segera melakukan hal yang sama seperti tadi. Tubuhnya
tak bergerak seperti patung dengan tingkat kewaspadaan tinggi.
Kejadian seperti yang pertama, kembali disak-
sikan Jaka. Sosok-sosok jelmaan darah Dedemit Se-
laksa Nyawa yang berjumlah belasan itu bergerak tiga langkah ke belakang. Dan
tak lama kemudian, sosok-sosok itu lenyap semua.
"Nghmmm...!"
Dedemit Selaksa Nyawa menggeram keras meli-
hat lawannya melakukan hal yang serupa. Matanya
terbelalak lebar, dan memerah seperti bara.
"Raja Petir!" dengus Tampayak menggelegar.
"Aku tak tahu, bagaimana caranya kau dapat mengetahui kelemahan aji 'Selaksa
Sukma' yang kumiliki.
Tapi, Dedemit Selaksa Nyawa tak akan membiarkan
nyawamu berada terlalu lama dalam raga mu. Bersiap-
lah menjemput kematian, Bocah!"
Baru saja Dedemit Selaksa Nyawa hendak men-
gibaskan tangannya, seketika berkelebat sesosok
bayangan kemerahan disertai bentakan keras.
"Tunggu...!"
Sosok bayangan kemerahan yang melesat dari
dalam rumah Kepala Desa Wargidami itu seketika
mendarat tepat di samping kiri Jaka.
"Jempal Berek"!"
Terkejut bukan main Dedemit Selaksa Nyawa
melihat kehadiran muridnya. Pikirannya yang cermat
seketika dapat menduga kalau Jempal Berek melaku-
kan persekutuan dengan Raja Petir untuk menyingkir-
kannya. "Kau terkejut, Tampayak?" ejek Jempal Berek.
Tangannya yang memegang sebilah pisau pipih yang
telah terlumur darah, segera disodorkan ke hadapan
Jaka. Dedemit Selaksa Nyawa semakin terkejut me-
nyaksikan kelakuan Jempal Berek. Darahnya yang
mendidih, seketika naik ke ubun-ubun.
"Keparat kau, Jempal Berek!" maki Tampayak, geram. Jempal Berek sedikit pun tak
gentar mendengar bentakan Dedemit Selaksa Nyawa yang tidak main-main. Di
wajahnya malah tampak seulas senyum.
"Kematian akan segera menjemput mu, Tam-
payak!" ledek Jempal Berek.
"Nghmmm...!"
Dedemit Selaksa Nyawa menggeram keras. Tan-
gan kanannya secepat kilat dikibaskan ke arah Jaka
dan Jempal Berek
Wusss...! Tiga larik sinar merah seketika melesat cepat.
Jaka dan Jempal Berek segera melenting ke udara
dengan manis. Namun seiring lentingan itu, tangan
Dedemit Selaksa Nyawa bergerak cepat luar biasa. Beberapa senjata pipih yang
mengelilingi pinggang, tahu-tahu sudah melayang cepat ke arah tubuh Jaka dan
Jempal Berek yang tengah berputar di udara.
Suara berdesing mengiringi tibanya serangan
yang dilancarkan secara mendadak. Jaka yang kepe-
kaannya sudah mencapai taraf kesempurnaan, segera
dapat membaca hawa maut yang da tang ke arahnya.
Dalam keadaan masih di udara, tubuhnya segera di
lempar ke kanan dan jatuh di tanah, lalu bergulingan beberapa kali.
Akan tetapi tidak demikian halnya Jempal Be-
rek. Lelaki berpakaian merah dengan garis hitam itu tak mampu menghindari
terjangan senjata pipih yang
mengandung racun ganas dan mematikan. Dua dari
sekian banyak senjata pipih yang melayang cepat, menemui sasaran tepat di bagian
tubuh Jempal Berek.
Crab! Crab! "Aaa...! Bruk! Tubuh Jempal Berek jatuh berdebuk di tanah.
Sebentar tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Dan sebentar kemudian, tubuh-
nya menegang kaku dengan seluruh permukaan kulit
berwarna biru. Tersedak Jaka menyaksikan keganasan senjata
yang dimiliki Dedemit Selaksa Nyawa. Segera saja ke-waspadaannya ditingkatkan.
Lain halnya dengan Dedemit Selaksa Nyawa.
Wajahnya yang menegang geram, menandakan kalau
tidak puas akan kematian Iblis Mata Merah.
"Hih!"
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya,
Dedemit Selaksa Nyawa mengibaskan senjatanya yang
beracun ganas. Akan tetapi, Jaka telah dapat memba-
ca gerakan yang dilakukan lawan.
Dengan melangkahkan kaki kanan ke belakang
hingga membentuk kuda-kuda rendah, Raja Petir me-
lancarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin keras bergulung seketika keluar
dari telapak tangannya yang terbuka. Angin keras itu lebih mirip pusaran angin
yang siap menyapu benda-benda yang berada di seki-
tarnya. Angin bergulung ciptaan Jaka terus meluruk, menghadang senjata beracun
milik Dedemit Selaksa
Nyawa yang melesat dari arah berlawanan.
Trak! Trak! Senjata andalan Dedemit Selaksa Nyawa seke-
tika luruh ke bumi, tersapu angin bergulung yang meluruk cepat. Bukan itu saja.
Angin yang keluar melalui jurus 'Pukulan Pengacau Arah' terus maju, menerjang
Dedemit Selaksa Nyawa.
"Huh!"
Dedemit Selaksa Nyawa tidak berani main-main
menghadapi angin yang bergulung seperti pusaran an-
gin itu. Segera dilakukannya gerakan dengan melent-
ing tinggi-tinggi.
Namun siapa yang mengira kalau Jaka dengan
kecepatan luar biasa, cepat menghentakkan pisau ke-
cil yang telah dilumuri darah Baraka. Darah keturu-
nan Dedemit Selaksa Nyawa!
Siiing...! Suara berdesing mengiringi kedatangan senjata
yang dilemparkan Raja Petir dengan pengerahan siaga dalam penuh. Pisau kecil
yang bagian ujungnya telah dilumuri darah Baraka itu terus meluncur cepat,
dan.... Crab! Senjata itu tepat menghunjam jantung Dedemit
Selaksa Nyawa, hingga melesak masuk. Awalnya, De-
demit Selaksa Nyawa tidak merasakan apa-apa ketika
senjata itu menghunjam jantungnya. Akan tetapi keti-ka kakinya menjejak tanah,
kenyerian yang teramat
sangat segera dirasakannya. Tubuhnya seketika lim-
bung. Dan kesempatan baik itu segera dimanfaatkan
Raja Petir. Dengan sabuk yang telah lolos dari pinggang-
nya, Jaka merangsek maju. Dan sekali hentak saja,
sabuk warna kuning itu sudah berkelebat mengelua-
rkan sinar warna putih keperakan seperti petir. Begitu cepat sambaran sinar itu
meluruk mendekati tubuh
Dedemit Selaksa Nyawa yang tengah oleng.
Glarrr...! Ledakan keras tercipta begitu sinar putih kepe-
rakan melanda tubuh Dedemit Selaksa Nyawa. Tubuh
tokoh sesat mengiriskan itu kontan hangus. Tanpa
menimbulkan erangan lagi. Nyawa Tampayak me-
layang meninggalkan raga, begitu ambruk di tanah.
Raja Petir seketika menarik napas dalam-
dalam. Pertarungan yang baru saja diselesaikan telah banyak menguras tenaganya.
Sementara dari dalam bangunan luas, sosok
tubuh Talunjak terlihat berlari menghampiri Jaka.
Saat itu, Raja Petir tengah memandangi mayat Dedemit Selaksa Nyawa yang hangus
bagai terbakar.
Namun belum sempat Kepala Desa Wargidami
itu mendekati, pemuda berjuluk Raja Petir itu telah melesat cepat, meninggalkan tempat pertarungan.
"Tolong urus mayat-mayat itu, Ki," perintah Ja-ka dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sehingga
ketika tubuhnya tak terlihat lagi, suara itu masih terdengar. Kepala Desa
Wargidami tertegun sesaat la-
manya Namun sebentar kemudian sudah menyadari.
Matanya segera dilayangkan ke arah kepergian Raja
Petir. "Terima kasih, Raja Petir," gumam Talunjak SELESAI
E-Book By Abu Keisel Mutiara Hitam 12 Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas Pedang Angin Berbisik 31
^