Pencarian

Misteri Pembunuh Hantu 1

Dewi Ular 85 Misteri Pembunuh Hantu Bagian 1


KETIKA malam direnggut sepi, lolong anjing pun mencabik kesunyian yang ada. Roh-roh para penghuni kubur mulai bergentayangan.
"Bulu kudukku merinding, Mang."
"Iya, bulu kuduk saya juga merinding nih."
"Sepertinya ada sesuatu yang ganjil melintas disekitar warung ini. Ada apa ya?"
"Perasaan saya juga nggak enak." Mang Ayom, pemilik warung kopi itu clingak-clinguk menatap di sekeliling warungnya. Pemuda yang setiap harinya berprofesi sebagai tukang ojek itu juga menatap ke sana-sini. Wajahnya menampakkan kecemasan yang terpendam. Ada sesuatu yang dicurigai di sekitar mereka. Tapi tidak satu pun dari mereka menemukan kecurigaannya. Jalanan sangat sepi. Satu-satunya motor ojek yang parkir didepan warung itu hanya motornya Gagan, yang sedang ngopi di warungnya Mang Ayom.
"Aku mau pulang ajaah, Mang."
"Baru pukul sebelas, Gan."
"perasaanku makin nggak enak aja nih. Bukan malam Jumat Kliwon tapi suasananya terasa lebih seram malam sekarang. Iih, merinding lagi nihaku, Mang. Pulang aja, ah!" Gagan buru-buru menghabiskan minuman kopi panasnya- -
"Ya udah, kalo gitu saya juga mau tutup aja deh." tambah Mang Ayom dengan gelagat mulai siap berkemas menutup warungnya. Kaleng kerupuk yang biasanya ada didekat pintu masuk segera diangkat dan dipindahkan ke
kolong gerobaknya. - Angin berhembus pelan. Tercium aroma wangi bunga.
"Ihhmm...!" Gagan bergidik, sekujur tubuhnya bergetar sekejap. -
"Bau wangi apa ini, Gan" Bunga ya?"
"Kembang kuburan, Mang,"Gagan menjawab dengan suara berbisik. Keduanya saling memandang sekeliling. Makin penuh curiga. Gagan tergesa-gesa menyudahi minumnya. Mang Ayommakin memendam keresahan yang menggelisahkan hatinya.
"Ojek!"tiba-tiba terdengar seruan orang dari jalanan. Mang Ayom dan Gagan serempak berpaling menatap ke arah sana.
"Siapa itu, Gan?"bisik Mang Ayom.
"Nggak tahu. Jangan-jangan..."
"Ah,jangan punya pikiran jelek terus atuh, Gan. Nanti kita tersiksa sendiri." Orang yang berseru tadi tampak menyeberang jalan. Menghampiri warungnya Mang Ayom. Cahaya lampu kurang terang. Lampu jalanan itu dalam posisi dibelakang orang tersebut, sehingga tak bisa dikenali wajahnya dengan jelas. Satu-satunya penjelasan yang ada dalam benak mereka adalah figure orang tersebut. Sosoknya jelas seorang wanita. Rambutnya panjang. Mengenakan gaun terusan ketat setinggi lutut. Gaun itu tanpa lengan. Membentuk bayangan tubuhnya yang ramping dan seksi.
"Penumpang itu, Gan,"Mang Ayom berbisik lagi.
"Ahh, tapi... mencurigakan. Aku belum pernah melihat dia, Mang"
"Mungkin memang bukan orang daerah sini."
"Orang dari... dari alam kubur, begitu"lih...!"
"Ssst, dia makin dekat." - Mereka saling terbungkam. Wanita itu sudah ada di depan warung. Di pintu masuk. Wajahnya sedikit pucat dan sendu. Tapi tergolong punya kecantikan yang menggoda. Hanya saja, pandangan matanya yang sayu bagai memendam duka itu telah membuat Gagan dan Mang Ayom ragu-ragu menanggapinya. Kecurigaan mereka semakin membuat hati berdebar-debar penuh kecernasan. -
"Bang, ini motor ojek ya" Siapa tukang ojeknya?" Suaranya parau agak datar.
"Hmm, cehh, tukang ojeknya..." Gagan buru-buru memotong ucapan Mang Ayom.
"Tukang ojeknya lagi pergi, Neng Bukan saya kok. Sungguh!" Wanita yang tampak masih muda sekitar berusia 25 tahun itu mendesah pelan bernada kecewa.
"Yaah, gimana ya" Saya butuh ojek, Bang. Tolong deh carin tukang ojeknya. Tolong, Bang..."
"Neng mau ke mana?" Mang Ayom memberanikan diri bertanya pelan.
"Saya mau kerumah seseorang yang dapat membantu kesulitan saya. Bapak atan Abang ini, tahu rumahnya 'orang pintar yang bernama Kumala Dewi?"
"Non Kumala"! Paranormal yang masih muda belia dan cantik itu?" -
"Benar, Pak. Bapak tahu kan rumahnya" Bi sa antar saya ke sana?" Mang Ayom sedikit gugup, kar ena ia tahu persis tentang Kumala Dewi. Ia melirik Gag an, tapi Gagan tidak bereaksi. Padahal Gagan juga tahu persis rumah si paranormal cantik yang kesohor itu.
"Gan, sstt...!"
"Aku nggak tahu rumah orang yang dimaksud itu, Mang."
"Ah, jangan begitu, Gan." Mang Ayom mencolek lengan Gagan.Tapi pemuda itu justru bicara pada siwanita asing yang masih mencurigakan hati kecilnya.
"Neng salah alamat. Maksud saya, mestinya Neng tadi turun dari angkot jangan dijalanan sini, dijalanan seberang sana, supaya mudah mencapai alamat yang dituju. Kalau dari sini alamat itu jauh sekali, Neng."
"Berarti Abang tahu dong rumahnya Mbak Kumala Dewi" Ayo, dong... Anterin saya ke sana, Bang."
"Ta... tapi...," Gagan merasa terjebak oleh ucapannya sendiri."Tapi saya nggak punya motor. Itu bukan motor saya, melainkan motor teman saya. Orangnyalagi ke rumah dekat tikungan sana. Lebih baik Neng jalan ke arah jalan raya, naik omprengan lagi, lalu turun di..."
"Gan, kasihan dia," potong Mang Ayom berbisik sangat dekat dengan telinga Gagan. Bisikan itu membuat. Gagan semakin diliputi kebimbangan antara menolak keinginan wanita tersebut atau melayani permohonan bantuan tadi. Suara deru motor lain datang menghampiri mereka. Gagan bernapas lega seraya memandang ke arah datangnya motor.
"Naah, itu dia...! Sama teman saya yang itu saja ya Neng?" -
"Apakah dia tukang ojek juga?"
"Memang bukan sih. Tapi kadang-kadang kalo lagi
nggak punya duit dia suka ngojek juga. Asal berani bayar mahal, dia pasti mau mengantar situ."
"Siapa, Gan" Si Roman, ya?"
"Iya. Roman pasti mau nganterin neng ini, Mang." Pemuda yang dimaksud berkulit hitam, tapi bukan legam. Rambutnya ikal agak gondrong dan memiliki wajah lebih lumayan dibandingkan ketampanan Gagan. Selain dikenal bernama Roman, ia juga dikenal sebagai makelar jual-beli motor atau mobil bekas. Paling tidak sebelum mendapat pekerjaan yang tetap, Roman menjadikan usaha makelaran sebagai profesinya sementara waktu. Mendapat tawaran tersebut Roman tersenyum senang. Ia sama sekali tidak mempunyai kecurigaan apapun terhadap wanita muda itu. Satu-satunya yang membuat hatinya merasa heran hanya sikap Gagan dan Mang Ayom. Mengapa Gagan kelihatan takut mengantar penumpang itu, dan Mang Ayom tampak menyimpan kengerian juga dalam kekakuan sikapnya" Namun hal itu segera dilupakan Roman mengingat ia akan mendapat bayaran yang dapat untuk membeli rokok, ditambah lagi penumpang yang akan diantar tampak cantik. Menarik hati.
"Tahu rumahnya orang pintar Kumala Dewi kan?" kata Gagan terkesan mendesak kesanggupan Roman.
"Siapa sih orang sekitar sini yang nggak tahu rumah gadis cantik seperti dia" Kurasa semua orang tahu di
mana tempat tinggalnya."
"Ya, udah. Kamu aja yang antar neng ini. Dia mau ke sana." Roman menatap wanita itu lagi. Lebih dekat dari sebelumnya. - -
"Tolong antar saya, ya Bang?"
"Boleh. Tapi... sebelumnya saya boleh tahu nama situ nggak?"
"Hmm, hmm, nggg...."
"Aku bukan tukang ojek lho. Makanya kalo mau nganterin seseorang aku harus tahu lebih dulu siapa nama orang itu,"Roman bernada nakal.
"Nama saya... Windy, Bang." Roman tersenyum puas. Senang hatinya bisa'ngerjain'. orang itu. Ia bergegas pergi tanpa banyak basa-basi lagi. Motornya sengaja melaju cepat supaya Windy melingkarkan tangan ke perutnya lebih kuat lagi. Dan, ternyata harapannya tercapai. Anehnya Windy tidak bicara apapun. Tidak mengungkapkan rasa takutnya membonceng motor berkecepatan cukup tinggi itu. Kalau bukan karena pertanyaan Roman, wanita muda itu agaknya lebih suka bungkam daripada bicara.
"Tinggalnya dimana, Non?"
"Di Kebayoran."
"Kebayoran Baru apa Kebayoran Lama?"
"Lama." "Kenapa nggak diantar suaminya saja sih?"pancing Roman.
"Belum punya." "Pacar?" "Belum punya." Diam-diam hati Roman tersenyum girang. Ia mengurangi kecepatan motornya. Bahkan jalur jalan yang diambil agak menyimpang supaya lebih lama bersama si penumpang cantik itu. Mestinya ia belok kekiri.Tapi jika ia belok ke kiri maka ia akan cepat sampai ke rumah Kumala Dewi. Untuk itu ia sengaja belok ke kanan mengambil jalan yang lebih jauh untuk kemudian nanti akan memutar melalui arah yang berlawanan,
Percakapan terus diupayakan, karena Roman menyukai jenis suara Windy yang sedikit mendesis itu. Sementara di warungnya Mang Ayom pun percakapan juga masih berlanjut. Gagan tak jadi pulang lantaran sibuk membicarakan nasib Roman. Menurutnya, Roman sama sekali tidaktahu kalau gadis yang dibawanya adalah gadis yang penuh misteri. Tapi menurut Mang Ayom, Roman akan mengetahui secepatnya siapa gadis itu sebenarnya: Jika memang terjadi sesuatu Roman pasti akan segera kembali ke warung dan akan mempersalahkan Gagan yang telah memaksanya membawa penumpang misterius tadi.
"Bisa jadi dia bukan hantu, Mang. Kita aja yang
ketakutan sendiri. Terpengaruh oleh bayangan sendiri."
"Mudah-mudahan memang bukan hantu. Kalau sampai gadis itu tadi benar-benar hantu, Roman bisa mampus tuh."
"Udahlah, Mang. Jangan berpikiran buruk terus. Itu menyiksa batin kita sendiri." - Benar. Mereka mencoba untuk berpikir positif. Mereka mengalihkan pembicaraan ke masalah lain. Mereka anggap tidak pernah bertemu dengan gadis cantik yang bernama Windy itu. Hanya sebentar mereka tidak bicara soal perempuan. Toh pada akhirnya mereka kembali berpikir dan bicara tentang perempuan. Karena, beberapa saat kemudian warung kopi yang menyediakan mie rebus itu dikunjungi oleh seorang tamu wanita yang berusia lebih tua dari Windy, sekitar 30tahun.Tapi masih tampak cantik dan menarik. - Perempuan berambut pendek itu turun dari sebuah mobil angkot di jalan utama seberang sana. Mereka melihatnya sebelum perempuan bercelana jeans dan blus merah dirangkapi jaket cekak itu menyeberang jalan hingga menghampiri warung tersebut. Itulah sebabnya mereka menyambut kedatangan perempuan itu dengan keramahan dan ketenangan tersendiri. Berbeda dengan saat mereka menyambut kedatangan Windy tadi.
"Ojek, Non?" Penawaran Gagan belum ditanggapi karena
.. perempuan itu langsung bicara pada Mang Ayom.
"Jual rokok disini, Pak?"
"Ada, Non. Yang dicari rokok apa?"
"Miki." - "Wah, kalo rokok itu nggak ada, Non.". - Perempuan itu memandangi tempat rokok berdinding kaca. Memang tidak ada rokok yang diinginkan. Tapi dia punya alternatif pengganti rokok kesukaannya, sehingga tak keberatan untuk membelinya sebungkus. Perempuan itu dengan cuek dan santai sekali duduk dibangku, hingga praktis bersebelahan dengan Gagan.
"Mau pulang ke mana, Non?" Gagan meramahkan diri dengan senyum dan lirikan mata nakal.
"Mau ke rumah saudara saya."
"Dimana?" "Jalan Kenari. Abang tahu kan Jalan Kenari?"
"Perasaan di sini nggak ada jalan Kenari deh. Ada apa, Mang?" - Mang Ayom berkerut dahi, berpikir sesaat.
"Kayaknya sih nggak ada."
"Ada dong. Di ujung dalam sana. Saya pernah ke sini dua kali."
"Ooo... dekat perkampungan lama, ya?"
"Benar. Abang tukang ojek ya" Bisa antar saya ke sana, Bang?" -
"Boleh. Kapan" Sekarang?" Gagan tampak senang sekali. Menurutnya, ini kesempatan yang indah dan tak boleh dilewatkan begitu saja. Kapan lagi dapat penumpang cantik, sexy dan berdada montok seperti perempuan ini" Ia pun menirukan kegeqitan Roman tadi dengan menanyakan nama calon penumpangnya. Padahal biasanya hal itu tidak pernah atau jarang sekali dilakukan oleh seorang tukang ojek terhadap penumpangnya.
"Boleh saja, Non. Tapi sebelumnya kalo boleh saya kepingin tahu dulu nama Nona siapa" Hmm, biasa... buat langganan saja sih," Gagan nyengir dengan tawa menggoda yang terkesan kampungan.Tapi agaknya calon penumpangnya tidak merasa tersinggung dan bisa memaklumi hal itu sebagai kelakar yang wajar
"Kalau mau kenalan datang aja ke rumah, Bang. Jangan diwarung begini dong," seraya ia tertawarenyah. Menampakkan keakrabannya.
"Boleh juga sih kalau saya haruske rumah. Tapi tahu nama di sinikan nggak apa, yakan Mang Ayom?"
"Bisa ajalah, Gan," kata Mang Ayom di sela tawa kecilnya.
"Udahlah, yuk antar saya dulu, entar situ juga akan tahu sendirikalau nama saya Firda."
"Ooo, namanya Fidra," seraya Gagan semakin. melebarkan tawa dan perempuan bernama Firda itu tampak lebih geli lagi dalam tawanya. Keduanya pun-
segera pergi meninggalkan warungnya Mang Ayom. Setelah motor melaju baru terpikir oleh Mang Ayom adanya kejanggalan yang tadi tak sadar terlihat olehnya.
"Kok aneh"!" - - Ia diam sebentar. Meragukan pikiran ganjilnya sendiri.
"Ah, mungkin akunya saja yang salah lihat." Lelaki berusia 53 tahun itu diam tertegun meragukan pendapatnya sendiri. Warung menjadi lengang. Dan bulu kuduknya telah tiga kali meremang merinding sejak kepergian Gagan dengan perempuan bernama Fidra itu. Menjelang pagi, sebuah berita yang cukup menggemparkan mulai terdengar. Berita tersebut sempat . membuat Mang Ayom tersentak kaget, lalu diam tertegun di warungnya, Mang Ayom tak mempedulikan anak lelakinya, Udin, sibuk membereskan warung. Pagi itu giliran Udin yang jaga warung. Mestinya Mang Ayom pulang dan tidur di rumah petak mereka. Tapi lelaki berbadan kurus itu justru diam mematung di sudut warungnya. Beberapa orang yang mampir kewarungnya saling membicarakan tentang kejadian yang menggemparkan itu. Seorang lelaki ditemukan tewas di belakang rumah kosong, di antara semak belukar. Mayat lelaki itu ditengarai sebagai mayat seorang tukang ojek, karena motornya masih ada disekitar TKP. Dalam benak Mang
Ayom hanya ada dua wajah kelaki yang diduga sebagai korban pembunuhan:Gagan atau Roman, sebab jenis dan warna motornya Gagan sama persis dengan motornya Roman.
Pagi sangat cerah. Tanpa hujan dan tanpa mendung sedikitpun. Panasnya sinar matahari saat ini membuat Sandhi tak ragu-ragu untuk menjemur pakaiannyasendiri yang kemarin belum sempat kering. Ia habis mandi dan rambutnya masih tampak basah dalam keadaan acak acakan. Berbeda dengan Buron yang baru saja muncul dari kamar tidurnya, langsung menuju ke meja makan, mencari sesuatu yang bisa disantap dan diteguknya. Sementara itu, Mak Bariah, pelayan setianya Kumala Dewi, baru saja tiba dari pasar. Wajahnyatampak sedikit tegang dengan napas agak terengah-engah.
"San," serunya kepada Sandhi.
"Kamu nggak ke sana"!"
"Ke mana?" "Ke belakang Puskesmas sana!"
"Ngapain aku harus ke sana?"
"Ada mayat ditemukan di sana!"
"Mayat"! Mayat siapa?"
"Mana aku tahu"!" -
Buron menyahut dari ruang makan.
"Lain kali tanya siapa namanya pada mayat itu, Mak!"
"Pale luh empuk! Mayat pakai ditanya narnanya
segala!" Mak Bariah bersumgut-sungut mengomentari saran konyolnya Buron. Terlepas dari kekonyolan itu, kabar tersebut membuat Buron keluar dari ruang makan. menghampiri Mak Bariah hingga di depan dapur. Sandhi pun ikut mendekati ketempat itu. Mereka saling tertarik dengan adanya berita ditemukannya sesosok mayat lelaki dalam keadaan kepalanya menjadi biru legam, dan lidahnya terjulur keluar cukup panjang
"Kata orang-orang, korbannya seorang tukang ojek," ujar Mak Bariah melengkapi ceritanya. Sandhi menatap Buron sambil bicara pelan.
"Jangan-jangan korbannya tukang ojek yang nganterin tamu kita semalam, Ron?"
"Pelakunya?" "Tamu kita itu." Buron mencibir seraya menggelengkan kepala pendek. Ia menyangkal dugaan Sandhi. Bisa dimaklumi kalau Buron berani menyangkal pendapat seperti itu, karena Sandhi dan Mak Bariah sadar bahwa Buron bukan manusia biasa. Ia adalah jelmaan dari Jin Layon yang tentu saja memiliki kepekaan indera keenam, yang membuatnya mengetahui sesuatu yang bersifat rahasia gaib. Tetapi jika memang bukan tamu mereka yang membunuh si korban, lalu siapa" Rasa ingin tahu itulah yang membuat Sandhi bergegas menuju ke tempat kejadian. Ia pergi sendirian dengan
menggunakan mobil yang tadi baru selesai dicuci. Ketika tiba di TKP ternyata Buron sudah lebih dulu berada di tempat tersebut. tentu saja Buron menggunakan kesaktiannya sebagai jin yang dapat tiba di suatu tempat dalam waktu sangat singkat. Beberapa keganjilan ditemukan dalam diri mayat korban. Selain lidahnya terjulur keluar melebihi ukuran normal, wajah korban tampak biru legam. Kulit bagian leher menjadi berkeriput dan ukuran lehernya menjadi pendek serta kecil. Bagian dada hingga kaki juga mengalami penyusutan, kulituya mengkerut seperti pembungkus yang kehilangan separoh isi bungkusannya. Tak ada darah setetespun. Bahkan tubuh mayat itu jelas jelas kering sekali, nyaris seperti kayu yang henda dibakar.
"Kalau hanya dicekik saja oleh pelakunya, tidak mungkin akan menjadi sekering ini," ujar salah seorang yang berdiri di samping kanannya Sandhi. Yang lainnya pun menimpali.
"Lihat rongga matanya, menjadi cekung sekali. Sepertinya biji mata korban melesak masuk ke dalam, ya?"
"Iya. Kenapa bisa begitu ya" Lidahnya kel uar panjang"!"
"Kayaknya ditubuh mayat ini nggak ada cairan lagi, baik darah maupun air liur Kemana cairannya ya?"
Sandhi bergeser mendekati Buron. Jelmaan Jin Layon yang sering dijuluki sebagai Jim Usil itu tampak berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Tenang sekali. Matanya memandangi sosok mayat di depannya tanpa kesan heran, kaget ataupun ngeri. Datar-datar saja. Sikap seperti itu mencurigakan bagi Sandhi. Ia yakin, Buron mempunyai kesimpulan sendiri tentang tragedi yang dialami oleh si korban. Untuk itulah ia segera berbisik sangat pelan hingga orang laintak mendengar percakapan kasak-kusuk mereka.
"Bukan kematian yang wajar?"
"Ya. Bukan." - "Apa penyebabnya menurutmu?"
"Penyebabnya dibunuh."
"Nenek bunting juga tahu kalau mayat ini mati karena dibunuh!"Sandhi bernada kesal.
"Yang kumaksud, dengan
cara bagaimana dia dibunuh kok sampai kondisi mayatnya
mengkerut begitu?" - -
"Ada yang menghisap seluruh cairan dalam tubuhnya."
"Ada yang menghisap"! Termasuk darahnya"!" Buron mengangguk tetap tenang.
"Darah, sumsum, air liur, pokoknya semua cairannya terhisap habis."
"Lewat mana?" "Jelas lewat mulut. Lihat saja lidahnya sampai terjulur panjang. Iti akibat hisapan yang sangat kuat."
"Manusia macam apa yang melakukan penghisapan sampai seperti itu" Kira-kira perempuan biasa atau bencong?"
"Bukan manusia biasa!" tegas bisikan Buron yang membuat bulu kuduk Sandhi langsung meremang merinding. -
"Gue bilang apa semalam, akan ada kejadian yang datangnya dari alam lainkan" Ternyata bener"
"Pelakunya adalah gadis yang datang ke sini semalam?"
"Windy" 0, bukan. Tukang ojek yang mati itu kan juga bukan yang semalam nganterin Windy kemari."
"Terus, siapa dong pelakunya" Lu bisa menegarai nggak?" - Buron tersenyum tipis. Hambar se kali.
"Tadi sudah gue bilang, bukan manusia biasa pelakunya. Manusia jadi-jadian yang berasal dari alam gaib..." -
"Kayak elu?" "Tapi bukan bangsa gue; bangsa jim. Bukan!"
"Bangsa iblis maksudmu?"
"Bisa. Siluman juga bisa."
"Atau kakitangannya Lokapura, si Dewa Kegelapan itu?" Buron sedikit tarik napas.
"Itu yang kukhawatirkan dari tadi. Yang jelas, dia '
membutuhkan intisari kehidupan sebagai manusia bumi, sehingga ia menghirupnya dari korban melalui mulut. Tanpa sari kehidupan manusia bumi, ia tidak dapat bertahan hidup dialamini." Sandhi termenung dan menggumam lirih,
"Sayang Kumala nggak ada."
"Ya, sayang sekali Kumala belum kembali. Padahal bahaya ini dapat menjalarke mana-mana. Mungkin akan terjadi lagi kematian serupa dalam waktu dekat nanti."
"Bagaimana kalau kau menyusul Kumala?" Buron inenggeleng.
"Aku bisa babak belur dihajar Hyang Nath alaga. Kalau aku menyusul Kumala bukan Kumalayang marah, pasti beliau." Wajar saja kalau Buron sangat tak ut dengan Dewa Nathalaga, karena ia bangsa jin. Dew a Perang itu punya hak menyapu habis bangsa jin. Ana k jin seperti Buron dilarang keras mengusik atau bikin p erkara dengan Dewa Nathalaga. Bisa-bisa ia dimusuhi o leh keluarga jin, dianggap sebagai biang kehancuran ba ngsanya. Dulu bangsa jin pernah perang melawan Dew a Nathalaga dan kalah, sehingga muncul perjanjian yan g ditakuti oleh bangsajin, bahwa sekali lagi bangsajin ada yang bikin perkara dengan Dewa Perangitu, maka sang dewa punya wewenang untuk memusnahkan seluruh anak keturunan bangsa jin, (baca serial Dewi Ular dalam episode.:
"RACUN KECANTIKAN").
Oleh sebab itu Buron menolak bujukan Sandhi agar menemui Kumala. Penolakan pagi ini adalah penolakan yang kedua. Penolakan pertama terjadi pada malam harinya, ketika Windy datang dan bermaksud ingin meminta bantuan Kumala Dewi. Pada saat itu Sandhi pun tahu betapa berharapnya Windy untuk mendapatkan perlindungan dari Kumala Dewi. Ia sangat ketakutandan mengaku diburu seseorang yang akan melenyapkan dirinya. Padahal saat itu Buron sudah tahu bahwa Windy. bukan gadis biasa. Ia berbisik kepada Sandhi dengan suara pelan sekali.
"Gadis ini bukan manusia."
"Hah" Maksudmu...?"
"Dia hantu." "Ah, yang benerlah!" -
"Mata gaibku nggak bisa dibohongi, San.Tapi secara fisik kamu bisa lihat sendiri, apakah dia punya bayangan?"
"Wah iya!"Sandhi menjadi tegang ketika mengetahui Windy tak memiliki bayangan. Padahal cahaya lampu datang dari arahkanannya. Mestinya Windy mempunyai bayangan yang menempel di dinding sebelah kirinya. Ternyata dinding itu kosong. Dan, rupanya Windy mendengar bisikan Buron, sehingga iapun berkomentar dengan nada sedih.
"Saya memang sudah bukan manusia lagi. Saya sudah tidak memiliki raga asli sejak setahun yang lalu. Justru
karena itulah saya dikejar-kejar roh lain dan akan dimusnahkanjika saya tidak mau tunduk pada perintahnya Tolonglah saya, selamatkan roh saya dari perburuan itu. Saya yakin, hanya Mbak Kumala Dewi yang bisa menolong saya, karena banyak saya dengar kabar tentang itu dialam sana." -
"Kamu bisa tolong dia?"bisik Sandhi kepada Buron. Jawaban yang datang dari Buron terkesan meragukan, sehingga Sandhi membujuk Buron untuk menemui Kumala Dewi. Meski pun hantu, namun keadaan Windy sangat mengharukan, sehingga Sandhi punya kepedulian akan hal itu. Namun Buron hanya bisa memberi solusi kecil kepada Windy.
"Tinggallah disini sampai menjelang subuh, maka kau akan selamat dari ancaman si pembunuh hantu itu." Ke mana sebenarnya Kumala Dewi alias si D ewi Ular itu" Apa yang sedang dilakukannya bersama Dewa Perang: Nathalaga" Hampir setiap tamu ingin me ngetahui hal tersebut, namun tak satupun memperoleh keterangan.
POHON cemara tumbuh sejajar, sama tinggi dan samarapi. Berjajar bagaikan prajurit sedang berbaris. Di bawahnya adalah barisan makam yang rapi pula dengan kepala nisan warna putih. Pada tiap makam terdapat hiasan topi baja sebagai simbul kepahlawanan, yang oleh penghuni Kahyangan disebut-sebut sebagai Padma Nagari.
Di atas udara Taman Pahlawan itu terdapat lapisan dimensi gaib yang tidak mudah ditembus oleh mata batin seorang paranormal. Hanya paranormal yang benarbenar berhati dan berjiwa bersih yang nampu memandang tembus alam dimensi gaib tersebut.
Disana ada gumpalan mega hijau yang membentang luas bagaikan permadani lembut dan halus. Luasnya tak terhingga. Sulit untuk diukur dengan perkiraan logika. Di atas gumpalan awan hijau itu tampak bermunculan batu batu kristal yang memiliki beraneka ukuran dan bentuk. Bahkan warnanya pun bermacam-macam. Ada yang menjulang setinggi 100 meter lebih berbentuk seperti lembu raksasa yang berwarna biru uranium.
di atas batu berwama biru itulah berdiri sosok tua yang masih memancarkan pesona muda. Sosok tua tersebut tingginya sekitar 175 cm dengan potongan rambut botak di tengah, tapi tepiannya tumbuh rambut panjang sebahu berwarna abu-abu. Jenggot, kumis dan alisnya juga kebat berwarna abu-abu. Pakaian dalamnya yang berwarna orange tertutup sebagian jubah warna putih. Dari pancaran sinar matanya dapat dipastikan ia figur yang berwibawa dan tegas dalam sikapnya.
Sosok tua penuh kharisma itu sengaja datang dari Kahyangan untuk mencari Dewi Ular-Dan, oleh Dewi Ular ia dikenal sebagai Eyang Dewa Nathalaga, alias si Dewa Perang, (baca serial Dewi Ular dalam episode "RACUN KECANTIKAN") . -
Ada semilir angin yang menggeraikan anak rambut dan sebagian jubah putihnya Dewa Perang. Entah dari mana angin itu datang, yang jelas hembusan angin alam gaib mengandung embun kesejukan tersendiri. Mudah melelapkan nata, membuat siapa pun akan tertidur nyenyak dalam buaiannya. Namun agaknya si Dewa Perang pantang mengedipkan mata dalam posisinya yang tetap berdiri tanpa gerakan sedikitpun itu. Dan ld menatap ke satu arah, dimana sosok dara cantik jelita sedang duduk bersila diatas sebongkah batu runcing. Batu itu memiliki
puncak keruncingan setajam tombak. Daun jatuh di
puncak keruncingan itu akan tembus atau robek karena ketajamannya yang luarbiasa. Tetapi dara cantik berjubah hijau itu tampak duduk tenang tanpa mengalami luka sedikit pun pada bagian tubuhnya. Dialah yang dicari cari si Dewa Perang, yaitu Kumaladewi alias Dewi Ular.
"Apayang kau rasakan!"pertanyaan ini bernada datar. Pelan diucapkan, namun menggema ke seluruh penjuru alam tersebut. "Panas darahku, Eyang," terdengar jawaban lembut dari Dewi Ular. Ia tetap memejamkan mata dengan kedua tangan didada, telapak tangan saling merapat satu dengan yang satunya. - "Bagus..." - - Hembusan angin sejuk itu ternyata tidak dirasakan oleh Dewi Ular. Dari kulitnya yang mulus dan lembut tampak tersumbul butiran peluh. Terutama diwajah cantik Kumala Dewi tampak jelas dibasahi oleh peluh yang menetes lewat dagunya. Ini menandakan ia merasakan hawa panas yang begitu kuat dari dalam tubuhnya.
"Darahmu memang terasa panas, Kumala. Tapi sekarang rubahlah menjadi dingin. Lebih dingin dari angin. Lebih dingin dari salju." - Kumala Dewi tidak bicara sepatahkatapun. Ia tetap tenang dalam sikapnya. Namun tiba-tiba peluhnya berhenti menetes. Genangan air peluh yang membasahi
kening, pelipis, dagu, perlahan-lahan menyusut dan kini menjadi kering. Kumala Dewi mengikuti instruksi Dewa Perang. Dengan kesaktiannya ia dapat merubah hawa panas menjadi dingin. Bahkan kini mulai tampak busabusa putih tersumbul dari pori-pori tubuhnya. Busa-busa putih itu dapat dipastikan adalah busa-busa salju yang dihasilkan dari proses pendinginan suhudarahnya. Dalam waktu relatif singkat Dewi Ular telah terbungkus salju cukup tebal. Dewa Nathalaga tersenyum kecil dengan kepala menggangguk-angguk nyaris tak kentara. Agaknya ia cukup puas melihat hasil yang diperoleh Dewi Ular itu. - -
"Cakra Salju pancarkan sepenuhnya, sekarang!" tegas Dewa Perang. Kumala Dewi tetap diam. Tapi tak berapa lama tubuhnya terselimuti oleh lapisan es yang makin lama makin tebal. - Kini wajah kharismatik itu merentangkan kedua tangannya keatas. Beberapa detik kemudian datang angin dari berbagai penjuru. Hembusan angin itu mengarah ke bongkahan es yang membungkus tubuh Kumala Dewi. Angin semakin kencang, semakin kuat, dan berubah menjadi badai yang datang dari berbagai arah. Kumala Dewi dihajar oleh badai yang sekarang disertai dengan cahaya kilat. Cahaya itu datang beruntun, bertubi-tubi, setiap membentur bongkahan es mengeluarkan suara
yang sangat menggelegar Daaar, daar, daar... bleguuurrr...! Daaar, jelgaaar, blaaar... bleguuur...! Dewa Perang menurunkan kedua tangannya.
Seketika itu badai berhenti,
zzzzub...!Guntur pun bagai dikebiri. Tanpa cahaya dan bunyi. Kini yang ada hanyalah sunyi. Semilir angin kedamaian kembali hadir seperti menina bobokan setiap makhluk di alam itu. Dan, suatu keganjilan terjadi. Semua batu yang semula berwarnawarni dalam keindahannya kini telah berubah menjadi hitam hangus. Mungkin karena diamuk badai panas dan hujan guntur. Anehnya, batu tempat duduk Kumaladewi masih tetap utuh dengan warnanya yang merah bak delima itu. Bongkahan es yang menyelimuti Kumalapun tetap utuh dalam kebeningannya. Meski tanpa anggukkan kepala atau senyum seulas dibibir berkumisnya, namun lewat pancaran ekspresi wajahnya Dewa Perang tampak merasa lega dan puas. Tentu saja yang membuatnya lega dan puas adalah kemampuan Kumala Dewi bertahan dari serangan badai dan guntur bertubi-tubitadi. Kumala bukan hanya mampu mempertahankan dirinya namun juga berhasil mempertahankan lapisan es yang membungkus dirinya. Tidak ada bagian dari lapisan es itu yang rusak atau pun meleleh akibat hujan guntur dan badai panas tadi.
Dewa Perang mendongakkan kepala. Menatap ke langit alam gaib yang tanpa matahari itu Tiba-tiba dari langit muncul sinar ungu sebesar lidi. Sinar itu turun ke bawah tegak lurus dengan kecepatan tinggi. Makin ke bawah makin besar. Akhirnya sinar itu menghantam tepat di tengah kepala Dewi Ular yang terselimuti lapisan es.
Zuuub! Seluruh lapisan es berubah menjadi ungu. Sinar itu menembuskebawah, membuat batu runcing yang dipakai duduk Kumala menjadi berubah warna, dari merah menjadi ungu, makin lama makin hitam, dan
praaak..! Batu itu hancur menjadi debu. Lenyap seketika. Tapi posisi Kumala Dewi masih tetap duduk bersila terbungkus lapisan es, mengambang di udara. Utuh tanpa rusak sedikit pun, sementara batu yang ia duduki tadi sudah berubah menjadi abu hitam yang melebur lenyap dalam gumpalan mega hijau di bawahnya. Sinar ungu itu pun lenyap bagaikan terhisap kembali kelangit alam gaib.
"Bagus...," Dewa Perang menggumam sambil menganggukkan kepala.
"Kau sudah mulai mampu menguasai Aji Cakra Salju, Kumala. Seandainya kau belum menguasainya, maka tubuhmu akan hangus dihantam Pasak Langit tadi. Lokapura memiliki Aji Pasak' Langit seperti tadi, maka kau harus hadapi dia dengan Aji Cakra Salju."
Tidak ada suara Kumala. Tapi suara Dewa Nathalaga yang menggema itu tampaknya dapat didengar oleh Kumala dari balik lapisan es yang makin tebal membungkus dirinya.
"Aji Cakra Salju sudah kuturunkan padamu. Tapi itu belum cukup untuk menjadikan dirimu sebagai senopati perang dirgantara nanti, Kumala Dewi. Ada beberapa hal yang harus kamu capai." Lalu terdengar suara gadis menggema lirih tepat di seberang telinga Dewa Nathalaga. Suara merdu itu tak lain adalah suara Kumala sendiri.
"Apalagi yang harus aku lakukan. Eyang?" Dewa Nathalaga mengibaskan tangan kirinya dengan pelan. Sesuatu menghambur keluar dari tangan itu, sebuah energi sakti menerjang lapisan es yang membungkusi dewi Ular. Seketika itu juga pecah menyebar
Craaasss...! Hancur dan lenyap tanpa bekas. Tubuh Kumala tetap kering, tanpa setetes air yang membasahinya. Pada saat ituKumala baru menyadari bahwa batu tempat berdirinya Dewa Nathalaga sudah tidak ada. Dewa penuh wibawa itu berdiri melayang diudara, dan Kumalapun masih duduk bersila melayang diudara.Tak lama kemudian, keduanya turun perlahan-lahan, hingga sama-sama berdiri beralaskan bentangan kabut hijau bak permadani yang umat luasitu. Kumala buru-buru berlutut, tak berani berdiri
tegak di depan dewa senior yang terkenal kesaktiannya
sangat membahayakan itu. *
"Pandang ke langit atasmu!" Dewi Ular mendongakkan wajah. Menatap langit
alam gaib. - "Cari matahari disana. Tentukan arahnya. Tunjuki"
"Tidak ada, Eyang,"jawab Kumala setelah beberapa saat mencari, namun tak dilihatnya ada cahaya matahari seperti halnya di kehidupan alam manusia. -
"Ada. Cari, tunjukkan padaku, di mana matahari berada"!"
"Hmm, tidak ada, Eyang." :
"Harus adal" Kumala mencoba mencari, sekali lagi. Tapi tetap ia tidak temukan.
"Aku nggak tahu, Eyang."
"Harus tahu!" :
"Aku nggak tahu karena memang nggak ada matahari." -
"Harus ada!" tegas Dewa Nathalaga dengan suar: lebih keras lagi. Maka, sadarlah Kumala apa yang dimaksud dengan perintah tersebut.
Kedua mata Kumala pun segera terpejam. Kedua tangannya bergerak pelan-pelan menuju ke atas kepala Semua jarinya dilipat kecuali jari telunjuk yang saling
bertemu. Dengan tubuh gemetar maka kedua tangan itu bergerak serempak, menghentak ke atas.
Weeesst...! la menunjuk langit dengan kedua jari telunjuknya. Langit alam gaib yang semula temaram teduh, kini mulai tempak membias terang. Lama-lama muncul bola api raksasa yang dari tempat mereka hanya tampak sebesar telur mata sapi. Bolaapi itu bertambah besar, dan akhirnya tampaklah wujud sebuah matahari berwarna keperak-perakan. Alam itu menjadi lebih terang dari sebelumnya.
"Itu matahari, Eyang." Dewa Perang menyunggingkan senyum sangat tipis.
"Aku butuh dua matahari. Mama yang satunya lagi, Kumala?" Dengan gerakan kesaktian seperti tadi Kuinala mengulangi hal yang sama. Kini kedua tangannya Menyentak kearah kiri, karena tadi ia menyentak kearah kanan atas. Dan, saat itu pula muncul sebuah matahari lagi di langit kiri atasnya. Alam gaib menjadi semakin terang. -
"Itu yang satunya, Eyang." Dewa Perang kembali tersenyum tipis.
"Yang ketiga di mana?" - - Dewi Ular diam sesaat. Menatap agak kesal. Lalu menejamkan mata kembali dan tangannya bergerak
-seperti tadi. Weesst, weesst...! Ke arah atas depan dan atas belakang Maka, dua matahari sekaligus muncul bersamaan di langit depan dan langit-belakangnya.
"Masih kurangkah, Eyang?"
"Cukup," jawab Dewa Nathalaga dengan napas terhembus panjang pertanda dia sangat puas dengan kesaktian Dewi Ular, yang mampu menciptakan empat matahari dalam waktu sangat singkat. Dewa Perang segera mengibaskan tangai kirinya seperti menyambar nyamuk, dan saat itu pula keempat matahari ciptaan Dewi Ular pun lenyap tanpa bekas lagi. Tersapu oleh kesaktiannya.
"Baiklah. Sebagian kesaktianku sudah kamu kuasai, Kumala. Tapi masih belum cukup untuk tampil sebagai senopati perang melawan pasukan dari Istana Kegelapan. Ada beberapa yang harus kuturunkan lagi padamu untuk melengkapi perbekalan perangmu nanti."
"Apa yang harus aku lakukan lagi, Eyang?" Dewa Nathalaga mau bicara, tapi tertunda karena sesuatu yang terasa oleh indera kedelapannya ia memandang ke arah kanan. Pandangannya cukup jauh. Tidak ada sesuatu yang layak dipandang di arah ana. Kumala pun ikut memandangpula. Dan, merasa heran, mengapa Dewa Perang memandang ke sana. Hanya saja, dalam bati kecil si bidadari cantik jelitaitu merasa
yakin, pasti akan ada suatu penampakan yang datang dari arah tersebut. Sebuah meteor muncul. Warnanya kuning berekor Kecil sekali. Mungkin karena masih sangat jauh hingga tampak sangat kecil. Tapi mata dewa tetap menangkap gerakan meteor yang sangat cepatitu. Dewi Ular segera bangkit berdiri. Bersiaga. Tapi Dewa Perang tetap tenang dan berkata dengan suara seperti menggumam besar.
"Asistemmu... Bukan bahaya!" Ketegangan siaga Kumalapun mengendur. Ia paham dengan yang dimaksud Dewa Nathalaga. Ia hanya bicara pelan seperti bicara pada dirinya sendiri. - |
"Mau ngapain dia kemari?" Benda terbang bercahaya yang menyerupai meteor kuning itu makin dekat makin besar, dan dalam jarak relatif dekat cahaya kuning itu pecah karena Dewa Nathalaga menghempaskan tangannya. Energi kesaktiannya terpancar keluar dan meghantam cahaya kuning tersebut. Dalam sekejap cahaya itu lenyap dan berubah menjadi sosok pemuda berambut kucai yang tak lain adalah jelmaan Jin Layon, alias Buron. - Buron muncul bukan dalam keadaan biasa. Wajahnya hitam hangus dan ia menyeringai kesakitan lantaran terhantam energi saktinya Dewa Nathalaga tadi. Kini ia sedang berusaha berdiri terbungkuk bungkuk menahan
sakit disekujur tubuhnya. Dewa Nathalaga menghampiri dengan langkah bernada marah. Belum sampai dewa senior itu menghajar Buron, Dewi Ular berkelebat mengambil posisi menghadang langkah Dewa Nathalaga.
"Jangan, Eyang!". -
"Anak itu harus dihajar. Dia mengganggu urusan kita!"
"Tidak. Eyang tidak boleh menghajardia. Dia datang pasti ada urusan penting denganku, Eyang! Mohon kebijakan Eyang untuk tidak merasa terganggu oleh kedatangan Buron!"
"Minggirkamu, Kumala!"
"Jangan, Eyang!" Kumala berlutut sangat menghormat. Ia sengaja melindungi asistennya karena ia yakin Buron tak akan berani senekad ini datang menyusulnya jika tidak ada urusan penting. Melihat sikap Kumala yang melindungi Buron dengan memohon penuh hormat, akhirnya Dewa Nathalaga pun menghentikan marahnya. Menurunkan emosinya. Buron sendiri dibelakang Kumala dalam posisi berlutut, berlindung dengan sangat takut. Dewa Nathaiaga adalah dewa paling berbahaya bagi bangsajin seperti halnya Buron. Dewa yang sangat ditakuti oleh bangsa jin itu kini berbalik arah dan melangkah menuju tempatnya tadi.
Kumala Dewi segera menyalurkan hawa saktinya ke
tubuh Buron, membuat luka bakar diwajah dan sebagian
tubuh Buron itu terobati. Kini Buron sudah tidak lagi merasakan kesakitan seperti tadi. Ia berdiri atas perintah Kumala Dewi.
"Kenapa menyusul kemari?" tanya Kumala pada Buron.
"Roh-roh bangkit dari alam kuburnya. Datang ke rumah kita. Meminta perlindungan. Tapi aku nggak sanggup melindungi mereka sendirian, Kumala. Kamu harus segera turun tangan menyelamatkan mereka dari ancaman kehancuran."
"Ancaman kehancuran" Darimana datangnya?"
"Ada pemburu hantu yang sulit kulacak energi gaibnya, yang berusaha merekurt para hantu. Bagi yang tidak tunduk padanya, dihancurkan, hingga tak mungkin melakukan penitisan reinkarnasi atau hal-hal lain yang masih menjadi hak mereka sebagai roh." Bibir ranum sensual itu terkatup diam. Mata indah bak berlian itu memandang lurus ketempat jauh, Kumala mencoba merenungi laporan Buron yang terkesan polos dan sedikitpun tidak dibuat-buat.
"Kau harus turun tangan secepatnya, Kumala."
"Tidak!" tiba-tiba suara menggema yang menggetarkan hati itu terdengar. Buron melirik Dewa Nathalaga yang sedang menatapnya dengan pancaran pandangan mata menciutkan nyali.
"Kumala belum selesai. Dia harus tetap bersamaku!" Buron tak berani,membantah sedikit pun. Bahkan kepalanya ditundukkan. Dia sadar, jika terlalu lama memandang sorot mata Dewa Perang, maka cepat atau lambat tubuhnya akan terbakar. Kumala Dewi membalikkan badan, menatap Dewa Perang. -
"Eyang..." "Kau harus tetap bersamaku!" sahut Dewa Perang. Ia melangkah menghampiri Kumala.
"Sebelum selesai tugasku mewariskan ilmu perangku, kau tidak boleh pergi ke mana-mana, Kumala!" -
"Ada pihak yang membutuhkan pertolongan kita, Eyang."
"Jangan hiraukan!"
"Eyang, utusan Dewa Kegelapan sudah mulai mengacau lagi. Apakah kita harus diam saja, Eyang?"
"Kamu harus sekesaikan dulu pelajaran terakhirku."
"Dengan membiarkan bencana terjadi?" Dewa Perang diam, tanpak mulai terdesak oleh katakata Kumala. -
"Para roh minta perlindungan, Eyang. Lokapura bermaksud memperdaya para roh untuk dijadikan prajurit pengacau bumi. Jika tidak segera dihentikan, maka apalah gunanya aku memiliki kesaktian yang lebih tinggi namun
bumi sudah hancur karena ulah,si Lokapura?" Dewa Perang berjalan mondar-mandir Bingung memutuskan sikap.
"Izinkan aku menyelesaikan urusan ini dulu, Eyang. Baru aku kembali melanjutkan pelajaran dari Eyang."
"Waktuku tidak bisa lama disini, Kumala."
"Mereka pun jangan diberi waktu lebih lama untuk menghancurkan kehidupan manusia, Eyang. Tugasku di bumi adalah menyelamatkan kehidupan manusia." Setelah hening sesaat terdengar suara Dewa Nathalaga bicara tanpa memandang Kumala maupun Buron.
"Ada cara lain untuk menghentikan tindakannya si Lokapura."
"Cara laln untuk menghancurkan utusan Lokapura, maksud Eyang?"
"Ya." "Tanpa aku turun tangan?"
"Ya." Dewi Ular berkerut dahi, melirik Buron yang sedang menundukkan kepala, belum berani mengangkat wajah sedikit pun. Kumala belum inengerti maksud Dewa Nathalaga, sehingga ia kembali menatapnya. Kali ini kebetulan Dewa Nathalaga juga sedang berpaling untuk memandangnya, sehingga pertanyaan batin Kumala pun.
terbaca oleh sang dewa senior.


Dewi Ular 85 Misteri Pembunuh Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemari kau...!" Kumala bergegas maju, tapi Dewa Perang buru-buru berkata,
"Bukan kamu. Dia...!"
"Buron?" - "Ya." - Buron kaget dan cemas. Dia ditunjuk oleh Dewa Perang, dan diberi isyarat oleh Kumala agar maju mendekati Dewa Perang. Buron jadi sangat bingung dalan keragu-raguannya.
"Cepat kemari!".
"Sa... saya?" "Iya!" Dewa Perang agak membentak, membuat Buron gemetar walau tetap harus melangkah menghampirinya. Sampai di depan Dewa Perang pemuda jelmaan Jin Layon itu berlutut dan menundukkan kepala rendah : rendah. Nyaris mencium kabut hijau yang menyerupai permadani dan menjadi alas berpijak mereka itu.
"Berdiri." Perintah bernada penuh wibawa itu makin membuat Buron gemetar. Namun ia pun tak berani membantah perintah itu. Maka, ia berdiri pelan-pelan dengan wajah masih tetap tertunduk. Tiba-tiba Dewa Nathalaga melayangkan tangan kirinya, plaaaak...!Tamparan pelan itu membuat Buron terlempar kesamping seperti diterjang
Tara 2agita Misteri Pembunuh Hantu
' banteng yang sedang mengamuk. Guu rrrub...! Ia jatuh ditanah yang berkabut hijau tebal, yang sebenarnya bukan tanah biasa. Separoh wajahnya merah matang. Ia menyeringai mengusap-usap pipinya. Tapi beberapa saat ia sadari ternyata tidak ada rasa sakit pada pipinya. Hanya perih sesaat, lalu lenyap seperti tak pernah kenatampar siapapun. - -
"Kenapa Eyang tampar dia"!" Kumala Dewi berani mengajukan protes.
"Dia yang akan jadi wakilmu! Dia yang akan hadapi utusannya si Lokapura! Kamu tetap di sini bersamaku, Kumala." - - -
"Tapi...." "Aku sanggup!" tiba-tiba Buron menyahut dari arah samping jauh Kumala. Suara itu membuat Kumala berpaling memandang dengat heran. "Kamu sanggup" Kalau kamu sanggup kenapa kamu datang menyusulku?" Buron tidak menjawab pertanyaan Kumala, namun ia justru menghampiri Dewa Perang, dan segera berlutut dengan satu kaki, kepala ditundukkan, satu tangan seakan tertumpu di tanah. .
" "Terima kasih atas pemberian kekuatan Hyang Dewa. Hamba merasakan hadirnya kekuatan baru dalam diri hamba ini, Hyang Dewa."
"Bagus!" - - Kumala membatin,
"Ooo, jadi tamparan tadi adalah cara Eyang Nathalaga menyalurkan kesaktiannya kepada Buron" Hmm, unik juga." "Kamu sanggup memerangi utusan si Lokapura itu?"
"Hamba sanggup, Hyang Dewa Nathalaga."
"Berangkat kau sekarang juga!"
"Baik!" "Tapi ingat, hanya sebatas tugas ini saja kamu memiliki kekuatanku itu.Tidak lebih." -
"Hamba mengerti, Hyang Dewa." .
Buron pun berdiri. Menatap majikan cantiknya yang masih tertegun karena tidak menyangka Buron akan mendapat sebagian kecil dari kesaktiannya Dewa Perang Pantasiah kalau sekarang Buron tampak penuh keberanian, karena pengaruh kesaktian yang dititipkan
Dewa Perang membuat nyalinya menjadi besar.
"Aku pulang sekarang, Kumala."
"Baik. Tapi... tunggu!" Kumala tiba-tiba mencegah langkah Buron. Ia hampiri asistennya di bidang urusan gaib itu. Ia pandangi dengan dahi mulai berkerut. Ada sesuatu yang ganjil pada diri Buron. Pandangan mata itu membuat Buron jadi salah tingkah dan mulai memperhatikan tangannya sendiri.
"Buron, kau... kau "Apa yang terjadi ini"!" Buron bernada tegang. Ada perubahan pada kulit tubuh Buron. Kulit itu menjadi kemerah-merahan. Kusam dan tampak tebal. Makin lama semakin merah, sampai akhirnya seperti tembaga. Wajahnya pun menjadi seperti wajah yang terbuat dari tembaga. Ketika Kumala memegang lengan Buron, ternyata kulit tubuh itu sangat keras. Seperti besi.
"Eyang, apa yang terjadi pada tubuh Buron ini"!"
"Tidak perlu kalian khawatir tentang itu,"jawab Dewa Nathalaga. Jawaban itu bernada kalem. Kumala menghembuskan napas lega. Ia mulai mengerti maksudnya. Kulit tubuh Buron menjadi sekeras baja karena dalam aliran darah jin terdapat kekuatan sang mahadewa. Kesaktian Dewa nathalaga itulah yang telah membuat Buron menjadi sekeras baja dengan perubahan pada permukaan kulitnya. -
"Pergilah cepat! Perubahan itu hanya tampak sebentar, nantiakan hilang sendiri, tapi kekuatanmu masih tetap berlipatganda." -.
"Baik, Hyang Dewa...!"jawab Buron dengan sangat hormat. Kemudian iapun lenyap dari pandangan Kumala dan Dewa Nathalaga. Weessst...! Sinar kuning perubahanwujudnya bergerak luarbiasa cepatnya, hingg mengejutkan Kumala. -
LANGIT malam tetap kelam. Namun tak seorang pun peduli dengan kelamnya malam. Termasuk Sandhi yang memanfaatkan kesempatan untuk ber-keren-ria dengan mobil BMW hijau giok, selagi Kumala belum pulang dari kepergiannya. Dengan sedan m"wah itu Sandhi menghampiri sebuah fast food di sudut jalan. Baru saja Sandhi mematikan mesin mobil, HP-nya berdering. Ia buru-buru menyambutnya setelah mengetahui siapa yang meneleponnya. -
"Ya, Sayang... aku sudah sampai."
"Aku masih di perjalanan. Agak macet nih."
"Tadi mau kujemput kamu nolak."
"Nggak enak sama teman-temanku. Kamu tunggu sebentar ya?"
"Ya, Sayang... tapi jangan lebih dari sepuluh menit. Ntar aku digondol cewek lain lho." -
"Iiih, kamu! Gaksampai lima menit kok"
"Ya, ya... aku tunggu disini. Buat kamu,apasih yang nggak aku lakukan, Sayang."
"Huuh, Sayang... Sayang....gue bukan sayang lu!"
"Hahhha, ha, ha, ha..."Sandhi tertawa lalu mengakhiri telepon. Terbayang didalam benaknya seraut wajah cantik yang sedang jadi incarannya, dan yang membangkitkan - gairahnya setiap kali wajah itu terbayang bagaikan melekat dengan bola matanya. Senyum keceriaan pun mengiringi Sandhi keluardari mobil, lalu memasuki tempat makan yang tidak terlalu padat pengunjung itu. Langkahnya terhenti di pintu masuk. Diantara para pengunjung fast food ada sepasang mata yang beradu pandang dengannya. Senyum Sandhipun makin melebar.
"Hey, San...! Sama siapa"!"
"Sendiri aja,"Sandhi menghampiri.
"Wah, kayaknya asyik banget lu makan berduaan begini, Jim?" Jimmy tertawa malu, namun terpancar pula rasa bangga dari wajahnya, ketika Sandhi terkesan memuji seorang gadis yang duduk di sampingnya. Tampaknya Jimmy dan gadisnya baru selesai makan dan bermaksud untuk segera pergi. Namun karena bertemu Sandhi, maka niat itu ditundanya sebentar. Sandhi dikenalkan dengan gadis cantik berhidung mancung dan bermata indah yang tomyata bernama Zeona.
"Doi barunih?"bisik Sandhi menggoda Jimmy.
"Yaah, kira-kira begitu."
"Hati-hati." "Kenapa?" "Dari raut wajah dan sorot matanya aku, yakin
ganas di ranjang, doyan mengulang..."
"Haa, ha, ha... mengulang apa maksud lu?"
"Mengulang kata-kata," Sandhi pun tertawa setelah membelokkan persepsi yang sebenarnya tentang penilaiannya terhadap Zeona, Jimmy adalah pemuda berambut ikalagak gondrong dan berwajah cukup tampan. Kulitnya coklat dengan tangan sedikit berbulu. Jimmy yang berusia sekitar 30 tahun itu bekerja di sebuah perusahaan yang kantornya satu gedung dengan tempat kerjanya Kumala Dewi. Dia orang yang supei dan periang, sehingga meski beda perusahaan Kumaladan Sandhi cukup akrab dengannya.
"Gue mau cabut dulu, ah! Udah kelamaan di sini!"
"Yaaah, lu gimana sih, Jim... ntar yang bayarin gue siapa?" canda Sandhi sambil ikut berdiri, seakan menghantar kepergian Jimmy dengan cewek barunya yang bertubuh sexy dengan dada super montok itu. Pelayan segera membersihkan meja, dan tempat duduknya Jimmy tadi kini ditempati Sandhi. "Gila tuh orang. Dapat aja cewek sexy kayak gitu" Heran! Padahal baru dua hari yang lalu putus dari Tallia,
eeh... sekarang udah dapat gandengan baru lagi. Emang
jago dia kalau masalah menaklukkan cewek. Cuma Kumala aja yang nggak bisa ditaklukkan olehnya,"pikir Sandhi sambil mengenang masa lalu, di mana Jimmy pernah bermaksud maksir Kumala, namun usahanya itu
gagal karena kecantikan dan kebaikan hati Kumala membuatnya jadi minder sendiri
"Hey! Ngelamun aja!" Teguran itu membuat Sandhi terionjak kaget. Tepukan tangan berjari lentik menghangat di punggung Sandhi, membuat darahnya berdesir indah, karena seraut wajah cantik pun segera muncul di depannya.
"Lagi ngelamunin cewek ya?"
"Ya. Kamu cemburu?" -
"Dasar lelaki!" Ia pun segera duduk berhadapan dengan Sandhi.
"Cewek mana yang ada dalam lamunanmu, San?" -
"Nggak tahu cewek mana dia. Tadi barusan dari sini dengan Jimmy, pacarnya. Tapi aku tahu namanya Zeona. Cuma, kecantikannya tiba-tiba membuatku merasa aneh."
"Hmm, mulaimau selingkuh ya"!"
"Bukan aneh karena mau selingkuh, tapi naluriku mengatakan ada sesuatu yang kurang enak dirasakan pada diri cewek itu."
"Bilang aja kamu naksir dia!" Sandhi tertawa pelan."Hey,jangan cemberut begitu. Aku nggak naksir dia. Apalagi dia pacarnya Jimmy Aku malah naksirkamu, Tiffa."
"Hmm...!"Tiffa mencibir, bibir mungilnya tidak lagi cemberut. Kulit wajahnya tampak sedikit merah karena
tatapan mata Sandhi sangat menggoda hatinya. : Sandhi memang tidak naksir Zeona. Tapi Jimmy . sangat tertarik dengan teman barunya itu, sehingga di dalam mobil sebentar-bentar ia melirik Zeona yang duduk disampingnya, yang tangannya sengaja diletakkan dipaha Jimmy tanpa peduli Jimmy sibuk menyetir mobil.
"Kamu sudah lama kenal sama anak itu tadi?"
"Siapa?" "Sandhi." - "O, ya... cukup lamalah. Kenapa" Kamu Naksirdia?"
"Selama masih ada kamu, selama kamu ada dihatiku, mana mungkin aku bisa naksir cowok lain." Zeona mencubit kecil di paha Jimmy. Tidak sakit. Justru membangkitkan gairah kejantanan Jimmy. Pemuda beralis tebal itu melirik dengan senyum menggoda.
"Kamu nggak usah cemburu kalau aku bicara cowok lain."
"Habis, kayaknya Sandhi menjadi bahan perhatianmu daritadi." "Karena ada sesuatu yang aneh dalam diri anak itu"
"Aneh bagaimana?" Zeona diam. Tapi tampak merenung. Pasti benaknya berkecamuk tentang Sandhi. Sebenarnya Jimmy ingin tabu apa yang dimaksud Zeona dalam kata-kata tadi, tapi sebelum Jimmy bertanya kembali,Zeonasudah lebih dulu
bicara. "Kita jadi ke hotei?"
"Kenapa tidak" Jadi dong."
"Kalo aku menolak; bagaimana?"
"Aku akan sangat kecewa."
"Kalau aku meminta agar cepat-cepat sampai hotel : bagaimana?" -
"Aku akan bawa kamu terbang ke sana sekarang juga," lalu Jimmy tertawa ditimpali oleh tawa Zeona yang bernada mesum itu.. Zeona terkesan tak sabar,.sehingga Jimmy memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke sebuah cottage. Kurang dari dua menit mereka sudah tiba di sana. Zeona benar-benar wanita bergairah besar. Baru saja mereka masuk ke kamar, pintu terkunci, mulut Jimmy pun jadi sasaran emosi cinta Zeona, Bibir pemuda itu dilumatnya dengan liar, hingga napas Jimmypun terengah engah jadinya.
"Hey, hey... sabar dulu, Sayang..."
"Sulit aku untuk bertindak sabar kalau sudah begini. Kausejak tadi telah membakar gairahku, Jimmy, ooohh... ouummhh...!" - Jimmy jatuh terduduk di ranjang. Ciuman Zeona makin memburu, sehingga pemuda itu rebah 4engan cumbuan yang menghujaninya. Jimmy membalas ciuman
Zeona yang melambungkan jiwanya itu. Wanita muda dan super montok itu juga memiliki tangan-tangan yang cekatan dalam mencumbu Jimmy.
"Ganas sekali kamu,"bisik Jimmy dengan suara desah napas memburunya. Zeona menatap penuh hasrat.
"Kamu pria yang luar biasa, Jimmy. Kamu sangat membakar gairahku. Bikin aku nggak sabar ingin menikmati kehangatanmu."
"Aku... ouuhhmm...," Jimmy tak jadi meneruskan kata-katanya, karena Zeona buru-buru melumat bibirnya dengan lahap sekali, Sambil saling melumat bibir, tangan mereka saling mencumbu dengan agresif.
"Oouuhh, Zeo..."
"Kamu diam saja, Sayang Biar aku yang menjadi mahkodamu." -
Sambil berkata begitu Zeona nyata-nyata menguasai Jimmy. Matanyasangat sayu. Sangat menantang Jimmy membiarkan apapun yang dilakukan wanita super montok itu. Wajahnya diciumi, dipagut-pagut,bahkan daun telinga Jimmy digigit kecil,tanpa sakit namun menyengat gairah asmara yang menjadi semakin berkobar-kobar.
"Ooh, Zeo... Ouuhh... Sayang...,"Jimmy hanya bisa : mengerang, mendesah-desah dan menggelinjang. Zeena seperti induk kucing yang memandikan anaknya. Namun pada kesempatan lain, Jimmy yang ganti mencium
dengan bibirnya. Kini ganti Zeona yang mendesis sambil sesekali menjambak rambut Jimmy. Seakan menahan deburan rasa nikmat yang luar biasa. Darah kemesraan bergolak bagaikan lahar gunung berapi. Bersamaan dengan itu angin malam pun datang bergemuruh, makin lama makin membuat gaduh alam sekitar cottage tersebut. Tanda-tanda hujan mulai tampak. Barangkali diatas ranjang mereka hujan peluh telah terjadi, namun barangkali pula hujan yang lainnya yang terjadi di belantara alam jagat raya ini. Yang jelas, suara guntur mulai menggelegar di langit pekat.
"Kita pulang?" "Terserah kamu."
"Atau cari tempat untuk bermalam?"
"Terserah kamu! Malam ini kamu menguasai segalanya, Sandhi," jawab Tiffa di saat mereka belum meninggalkan tempat makan di sudut jalan itu. Kepasrahan Tiffa tidak bertepuk sebelah tangan. Sandhi menyambutuya dengan sebentuk kehangatan. Ia bawa Tiffa ke hotel kecil yang ada di pinggiran kota. Namun ketika mereka melintasi jalanan sepi dengan penerangan sangat minim, tiba-tiba BMW hijau giok itu terpaksa harus direm mendadak. Ciiit...!
"Oohl Hati-hati, San! Ada apa?" sentak suara Tiffa yang sangat terkejut dengan tindakan Sandhi. - -
"Ada yang menyeberang jalan secara mendadak. Apa kamu nggak lihat?" seraya mata Sandhi memandang dengan tajam ke arah depan dan sekelilingnya.
"Ah, nggak ada orang menyeberangkok!"
"Ada Baru saja. Seorang lelaki kurus berambut pendek, seperti potongan ABRI."
"Mana...?" Tiffa ikut-ikutan mencari
"Ngaco aja kamu. Nggak ada siapa-siapa, Sandhi. Jalanan sepi begitu kan?"
"Tadi kulihat dia berlari cepat seperti terburu-buru dari arah kanan ke kiri, lalu... mungkin hilang di kerimbunan pohon samping kiri itu. Atau... diasembunyi dibalikkios bensin yang tutup itu."
"Ih, kamu! Orang nggak ada apa-apa kok masih aja ngotot!" - Sandhi merasa kesal namun juga mulai cemas. Ia tak bisa membuktikan apa yang dilihatuya. Satu-satunya langkah yang diambil adalah menjalankan mobilnya kembali. .
"Tapi kenapa bulu kudukku berdiriya, San?"bisik Tiffa mulai ragu akan keyakinannya sendiri.
"Bulu kudukku sudah berdiri sejak tadi. Sudahlah, nggak usah dipikirkan lagi." Namun dalam hatinya ia berkata lain.
"Aku yakin telah melihat sekelebat orang me
myeberang. Mungkin... mungkin bukan manusia biasa. Kalau Tiffa nggak bisa lihat, itu wajar saja, karena matanya tidak terlatih untuk melihat hal-hal yang bersifat gaib." Tiba-tiba Tiffa memekik tertahan,
"Astaga...!" Ciiiit...! Secara spontan kaki kanan Sandhi menginjak pedal rem. Mobil sempat dibuang ke kiri, sehingga kini berhenti tepat di pinggirjalan.
"Aku melihat! Aku melihatnya, San!"
"Ya, aku juga melihatnya. Seorang perempuan kan?"
"Benar. Memakai gaun putih!"
"Ya, memakai gaun putih." |
"Dia berlari cepat sekali." |
"Benar." "Tapi... tapi kurasa dia bukan berlari. Dia... melayang Terbang." -
"Ya, terbang."jawab Sandhi dengan tegang, matanya melirik sana-sini.
"Badanku merinding semua, San. Apa yang kita lihat itu tadi?" Sandhi menarik napas dalam-dalam. Mencnangkan diri.
"Sudahlah, Lupain aja...," Sandhi mencoba memenangkan Tiffa yang kelihatan sangat ketakutan. Mungkin karena hati kecil Tiffa mulai dapat me
nyimpulkan bahwa yang mereka lihat tadi bukan manusia biasa. -
"Cepat tinggalkan tempat ini, San. Aku takut...!" seraya Tiffa merapatkan diri ke badan Sandhi. Maka, Sandhi punburu-buru menjalankan mobil kembali. Namun belum sempat mobil meluncur ketengah jalan, mendadak sekelebat bayangan melintas di depan mereka. Weess! Belum sempat Tiffa terpekik sudah ada lagi sekelebat bayangan yang melintas bahkan menerjang bagian depan mobil. Weesss...! Wuuss, wees! -
"Se... se... setan...! It... itu tadi setan, Ssn...!" Tiffa mendekap Sandhi dengan menggigil.
"Tenang... tenang... mereka tidak mengganggu kita.'
Tenang, Fa!" "Ak... kautakuuut...,"Tiffa menenggelamkan wajah di keher Sandhi. Tidak ada kompromi lagi dalam benak Sandhi, ia harus meninggalkan jalanan sepi itu secepat mungkin. Karena. agaknya daerah gelap dan sepi itu menjadi ajang lalulintasnya para roh halus yang entah mengapa bermunculan dan melintas di sekitar tempat tersebut. Mobil pun berusaha dipacu secepat mungkin. Ngebut. Meskipun tampak sesuatu yang melintas di depan, Sandhi menerjangnya tanpa banyak pertimbangan lagi. Toh ia terasa seperti menerjang gumpalan asap yang tidak
membuat mobil membentur apapun. -
"Lihat itu! Lihat di depan sana, Sandhi!"suara Tiffa makin tegang dengan tangan menunjuk ke arah depan. Sandhi mengurangi kecepatan mobilnya. Ia ingin melihat lebih jelas juga, apa yang terjadi jauh di depannya sana. Merekamelihat sekelompok orang berlari-lari kesatu arah. Tampak seperti dikejar sesuatu dibelakang mereka. Tapi kakimereka berada sekitar 30 cm dari permukaan tanah. Jelas, mereka bukan manusia biasa. Wajah-wajah mereka tampak diliputi perasaan takut. Tua, muda, pria, wanita, semuanya sedang berusaha menghindari sesuatu yang amat mereka takuti.
"Mundur saja, San! Balik arah! Jangan lewat depan sana!"
"Jalanan ini jalan satu arah, Tiffa."
"Paksain balik arah! Aku takut kalau lewat sana. Mereka pasti hantu-hantu yang bergentayangan." "Tenang. Kita akan lewat sana kalau mereka sudah bubar. Mereka nggak ganggu kita kok. Kita bisa lihat apa yang mereka lakukan sebenarnya." -
"Aku nggak mau...! Ooh, please... balik arah! Aku nggak brani lewat sana, Sandhi...!"Tiffa merengek seperti mau menangis. -
"Ssst, liat! Liat itu!" sentak Sandhi dengan mata terbelalak dan tangan menunjuk tegas-tegas ke arah
depan. Mau tak mau Tiffa memandang ke arah tersebut walau sambil memeluk Sandhi makin kuat. Mobil telah berhenti dari tadi. Tetap di tepi jalan. Seberkas sinar perak seperti bola api muncul dari atas jalan layang Cahaya itu bergerak cepat dan menyambar sebagian kerumunan roh yang sedang ketakutan. Wuuus...! Craasss...! Sebagian roh yang tersambar itu pecah menjadi percikan cahaya merah. Menyebar ke udara dan lenyap seketika. Sebagian yang selamat dari sambaran cahaya perak melarikan diri dengan melayang cepat ke berbagai penjuru. Bahkan ada yang menuju ke mobilnya Sandhi dengan kecepatan tinggi, membuat Tiffa menjerit ketakutan sambil merundukkan kepala. Sementara itu cahaya perak yang menyerupai bola api itu mengejar sekelompok hantu yang menuju kearah lain. Tiba-tiba roh kelaki tua yang tadi melayang ingin menabrak kaca mobil itu berbalik arah, kembali ketempat semula. Ia seperti melihat sesuatu yang datang dari arah belakang mobil dan sangat menakutkan. Roh anak-anak dan roh seorang wanita muda juga kembali ke arah semula, karena takut terhadap sesuatu yang datang dari arah belakang mobil. Hal itu membuat Sandhi berkerut dahi, merasa heran serta ingin tahu. Namun untuk menengok ke belakang ia sangat sulit, karena kedua tangan Tiffa merangkul lehernya kuat-kuat.E
"Ada apa" Kenapa mereka ketakutan" Kenapa mereka balik ke arah semula?" pikir Sandhi sambil menunggu ketegangan berikutnya. Saat itu hembusan angin menjadi kencang. Dapat dilihat dari gerakan pohon yang mulai meliuk-liuk tak tentu arah. Seakan angin kencang pun tak memiliki arah hembusan yang pasti. Sesekali terdengar suara guntur menggelegar di langit sepi.
"Oh...?"!"suara Sandhi menyentak, membuat Tiffa memaksakan diri untuk ikut memandang apa yang dipandang Sandhi Cahaya kuning seperti meteor muncul dari arah belakang mobil. Sandhi sangat mengenali cahaya kuning itu, karenanya ia agak kaget sebab tidak menyangka cahaya itu akan muncul Dalam sekejap saja cahaya kuning tersebut hinggap di atas kawat-listrik tegangan tinggi. Blaaab...! Cahaya kuning itu pecah dan berubah wujud menjadi sosok seorang pemuda berambut kucai sedikit kurus. Siapa lagi kalau bukan sosok Buron, si jelmaan dari Jin Layon. Tentu saja arus listrik itu tidak dapat menyengatnya karena Buron memiliki ilmu kesaktian yang tidak mempan sengatan arus listrik.
"Ngapain dia bertengger di sana?" gumam Sandhi yang membuat Tiffa menatap heran padanya. Tiffa belum mengenal siapa Buron, bahkan dia belum tahu bahwa,
sandhi adalah sopir pribadinya Kumala Dewi. Perkenalannya dengan Sandhi belum lama, hingga belum tahu banyak siapa orang-orang yang ada di dekat kehidupan Sandhi.
"Ada orang berdiri di atas kawat listrik, San."
"Ya, aku tahu."
"Kamu kok nggak takut"Pasti diajuga bukan manusia biasakan?"
"Dia keturunan jin."
"Darimana kamu tahu?"
"Dia temanku." -
"Apa..."! Kamu berteman dengan bangsajin"!"
Rasa kagetuya Tiffa tidak dihiraukan oleh Sandhi. Pandangan mata Sandhi lebih tertuju pada sebuah guci keramik yang ada di tangan Buron. Guci itu adalah guci hias yang biasa diletakkan di ruang tengah rumah Kumala Yang membuat Sandhi heran, apa maksud Buron tahu tahu muncul sambil membawa guci keramik yang memiliki tutup seperti kubah masjid itu"
Suara Buron terdengar besar dan menggema
"Masuk...!"sambil ia membuka tutup guci dan sedikit memiringkan guci tersebut. Beberapa roh y ang tadi ketakutan menjadi berhenti bergerak, tetap m elayang di udara. Mereka memandangi Buron.
"Cepat masuk semua ke sini!" seruan Buron makin
menggema lagi. Maka, roh-roh yang melayang itu saling beterbangan dari tempatnya. Wuuus, weess, wuuus...! Mereka seperti asap yang terhisap masuk ke dalam guci. Bahkan roh yang melayang ditempat jauh pun berdatangan dan ikut masuk ke dalam guci. Adegan itu dilihat dengan jelas oleh Tiffa, hingga membuatnya terpaku bengong ditempat, tak berkedip untuk beberapa saat. Rupanya para roh memiliki semacam naluri bahwa mereka akan selamat apabila masuk ke dalam guci yang dibawa Buron. Mungkin mereka menggunakan bahasa gaib, sehingga terkesan tidak satu pun dari para hantu yang merasa sangsi terhadap Buron. Bahkanjelmaan Jin Layon itupun tampak yakin betul akan mampu melindungi para hantu dari ancaman bola api warna perak tadi, sehingga begitu semua roh yang bertebaran ditempat itu sudah masuk ke dalam guci, maka guci pun ditutupnya kembali. Kreep...! Wuutt...! Buron melompat turun dari atas kawat listrik. Dalam sekejap sudah berdiri tepat didepan mobil.
"Gila! Dia ada di depan kita persis, San!"
"Tenang, tenang..." - -
"Gimana bisa tenang, katamu dia Jin"!"
"Ya, tapi dia jin yang udahjinak. Nggak gigit kok."
"Saaan...! Jangan becanda! Ayo, kita pergi dari sini!
Cepat!" Buron menghampiri mobil, ke samping kanan. San
dhi justru menurunkan kaca sampingnya. Tiffa mengerang
ketakutan sambil menyembunyikan wajah ke pangkuan
Sandhi. Samar-samar ia dengar Sandhi bicara dengan
pemuda yang diyakininya sebagai jelmaan sesosok jin.
"Bawa pulang guci ini."
"Ah, gila lu ya?"
"Nggak apa-apa. Bawa pulangsana. Gue mau ngejar si pembunuh hantu."
"Nggak mau, ah! Gue takut!"
"Gue bilang nggak apa-apa, ya nggak apa-apa!" Buron sedikit membentak, tapi suaranya tidak besar dan menggema seperti saat ia berada di atas kawat listrik tadi.
"Gue takut kalau..."
"Gue udah tutup pakai kekuatan gaib gue, nggak ada
yang bisa membuka kecuali gue sendiri. Nih...!" Buron menyodorkan guci itu.
"Ntar kalau..," Sandhi ragu-ragu menerimanya. Akhirnya dia buka kunci pintu belakang seraya berkata,
"Taruh dijok belakang aja!" Buron membuka pintu belakang dan meletakkan guci bukan dijok, melainkan dilantai mobil. Dengan diletakkan di situ maka guci tidak akan terguncang atau jatuh saat
mobil berjalan, karena terjepit antara jok depan dengan jok belakang. Tiba-tiba ada sesuatu yang menyambar kepala Buron. Weesss...! Buron terlempar bagaikan seonggok sampah disapu badai. Jauh didepan mobil ia terhempas, terbanting, dan berguling-guling menyedihkan.
"Apa itu"! Kenapa dia"!" sentak Sandhi kaget dan tegang. Tiffa bangkit pelan-pelandan menatap kearah depan dengan tubuh masih menggigil ketakutan. Rupanya cahaya perak seperti bola api itu datang lagi dan langsung menerjang Buron. Kini, Buron berusaha bangkit dengan cepat karena cahaya perak berubah membentuk bayangan makhluk tinggi besar, namun tak terlihat bentuk rupanya. Ia hanya tampak tinggi, besar, dengan dua kaki mengangkang dan kedua tangan direntangkan, seakan ingin mencengkeram dengan kukukuku runcingnya. -
"Makhluk apa itu, Sandhi, oooh... mengerikan sekali..."!"
"Ssst...!" Sandhi hanya mendesis sambil merangkul Tiffa, menepuk-nepuk. Memberi ketenangan. Tapi matanya tetap memandang ke depan tanpa berkedip, karena saat itu Buron tampak sedang melancarkan serangannya dengan mengeluarkan cahayakuning seperti
obor tapi putus-putus. Cahaya itu keluar dari telapak tangannya secara beruntun menghajar lawan. Namun sang lawan tidak bergeming sedikit pun. Sinar-sinar kuning itu bagaikan ditelan oleh cahaya perak tanpa suara apapun. Dan, ketika tangan cahaya perak itu berkelebat tanpa menyentuh Buron, maka hempasan tenaga saktinya seperti badai mencrjang rumput kering. Wccesss...! Buron terlempar lagi hingga membentur dinding jalan layang Gleeerrr...! Dinding beton itu r"mpel besar. Menandakan kekuatan yang menghantamnya sungguh luar biasa besarnya. - -
"Wah, mampus deh temen gue..."!" gumam Sandhi dalam kecemasan. Ia mau turun dari mobil untuk membantu Buron, tapi tangan Tiffa memeganginya kuatkuat, melarangnya keluar dari dalam mobil. Makhluk cahaya perak itu segera menghajar Buron dengan melepaskan sinar-sinar p"rak menyerupai batubatu sebesar kepala manusia. Buron terhajar nyaris tak mendapat kesempatan untuk menghindar atau mengadakan perlawanan bertahan. Melihat Buron terdesak tanpa mendapat kesempatan, Sandhi melakukan inisiatif yang cukup menguntungkan di pihak Buron. Ia membunyikan klakson panjang. - Biiim,biiiiiiiiiimmm....!! Suara itu berhasil memancing perhatian lawan Buron.
Makhluk bercahaya perak itu segera berpaling ke arah mobil. " . -
"Aaaaauuhh...!!" Tifa menjerit sangat ketakutan. Tapi pada saat itu Buron segera melepaskan kesaktiannya dengan menyentakkan kedua tangannya seperti mendorong benda berat di depannya. Seketika itu juga muncul cahaya ungu berbentuk pusaran kabut. Kabut tersebut menghantam lawannya dan menyerap bagaikan vacum cleaner yang sedang menghisap asap. Euuusssbbb...! Duuubbb...! - Lenyap sudah cahaya perak tanpa tersisa sedikitpun. Lenyap pula cahaya kabut ungu dari kedua tangan Buron. Dan, tampaknya Buron mulai bisa bernapas lega. Namun langkahnya masih sempoyongan akibat serangan lawannya tadi bagaikan meremukkan sekujur tulang. tubuhnya. - -
"Cepat bawa pergi guci itu!"serunya kepada Sandhi. "Lu nggak apa-apa, Ron?"
"Nggak. Udah sana, cabuuut...!"
"Iyy, iya, iya...!"jawab Sandhi dengan terbata-bata. Lalu, ia pun segera tancap gas meninggalkan Buron. Agaknya Buron belum maupulang. Masih ada yang ingin ia buru. Entah sampai kapan ia akan berkeliaran menembus alam nyata dan alam gaib. Namun, Sandhi
masih ingat cerita Buron tentang pesan dari Dewa Nathalaga tempo hari,bahwa Buron harus menggantikan Kumala Dewi untuk menyelamatkan hantu-hantu yang akan direkurt oleh utusan Dewa Kegelapan itu.
Roh yang dimasukkan ke dalam guci, adalah bentuk nyata dari tindakan Buron dalam menyelamatkan para roh terhadap ancaman si Dewa Kegelapan. Persoalannya adalah, apakah dengan berhasilnya Buron mengalahkan makhluk cahaya perak tadi adalah pertanda berhentinya aksi si pembunuh hantu"
KABAR duka cita diterima Sandhi melalui telepon. Kabar itu datang dari kantornya Kumala. Maryo, sopir di kantoritu, sengaja menelepon Sandhi dan menyampaikan kabar duka cita yang sangat mengejutkan.
"Sudah dengar kabar tragis ini, San?"
"Kabar apa" Aku belum terima telepon dari manamana. Baru dari kamu, Mar. Ada kabar apa sih?"
"Jimmy tewas." "Apaaa...?"! Jimmy"!. Orangnya PT Renata Indo itu"!" -
"Benar. Mayatnya ditemukan tadi pagi disebuah cottage." -
"Ya,Tuhan..."!"Sandhi terbengong sedih. Terbayang saat semalam ia bertemu dengan Jimmy difast food sudut jalan. - Tragis dan cukup mengerikan. Jimmy ditemukan tewas oleh petugas cottage yang melihat pintu kamar Jimmy terbuka lebar. Jimmy terkapar di samping ranjang, di lantai. Sendirian. Mayat Jimmy
dalam keadaan menyeramkan. Lidahnya terjulur keluar cukup panjang. Wajahnya biru legam. Kulit leher menjadi keriput dengan ukuran leher menjadi pendek dan kecil. Bagian dada hingga kaki juga mengalami penyusutan. Kulit tubuhnya mengkerut dan berkeriput seperti pembungkus kehilangan isinya.Tak ada darah setetes pun yang keluar dari tubuh Jimmy. Tubuh mayat itu jelas-jelas tampak kering, nyaris seperti kayu bakar. -
"Tanpa darah, tanpa air liur"!"gumam Sandhi yang segera teringat pada mayat tukang ojek yang ditemukan beberapa waktu yang lalu. Dengan cepat Sandhi dapat menyimpulkan, kematian Jimmy akibat suatu pembunuhan. Pelakunya bukan manusia biasa. Pasti pelakunya sama dengan yang membunuh tukang gjek itu. Pelakunya membutuhkan inti sari kehidupan sebagai manusiabumi, sehingga ia menghirup darah,sumsum, air liur atau apa saja cairan yang ada dalam tubuh Jimmy. Tanpa sari kehidupan itu ia tak akan mampu bertahan hidup di alam ini. Tentu saja sari kehidupan itu diambil melalui hisapan lewat mulut Jimmy.
Naga Bhumi Mataram 8 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Sepasang Naga Lembah Iblis 6
^