Pencarian

Kematian Eyang Legar 1

Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar Bagian 1


KEMATIAN EYANG LEGAR Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Kematian Eyang Legar
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Puncak Gunung Kalaban bergetar hebat, seper-
ti sedang terjadi gempa. Namun sejauh mata meman-
dang, tak ada tanda-tanda gunung itu akan meletus
setelah tertidur puluhan tahun lamanya.
Jika diperhatikan dengan teliti, yang terlihat di
tempat itu hanya empat lelaki berwajah bengis sedang berdiri tegak sambil
berteriak mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Rupanya gema suara me-reka yang
menggetarkan puncak Gunung Kalaban ini.
"Eyang Legaaar...! Keluar kau! Jangan bersem-
bunyi seperti tikus comberan! Keluar! Atau gunung ini kami ratakan dengan
tanah!" Gunung Kalaban kembali bergetar hebat. Se-
mentara di dalam sebuah gua yang berada enam tom-
bak dari puncak gunung, nampak seorang lelaki tua
berpakaian biru menyala ragu-ragu ingin berjalan keluar dari tempatnya.
Lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun itu
bukan tidak terganggu dengan teriakan-teriakan yang menghinanya sebagai tikus
comberan, tetapi....
Ah, haruskah aku kembali berurusan dengan
darah dan kematian" Kata hati lelaki tua yang tak lain Eyang Legar atau yang
berjuluk Hantu Pemburu Nyawa (untuk jelasnya, silakan baca serial Raja Petir
episode pertama: Pembalasan Berdarah).
Lelaki berpakaian biru menyala itu melayang-
kan pandangan ke luar gua. Teriakan-teriakan hinaan dan makian kembali terdengar
memanaskan telinga.
Namun Eyang Legar alias si Hantu Pemburu Nyawa
berusaha tidak peduli.
Mata lelaki tua itu nampak menyala, tertuju
pada satu titik. Eyang Legar kelihatan sedang memu-
satkan pikirannya pada teriakan-teriakan yang men-
gakibatkan dinding-dinding gunung bergetar hebat.
Siapakah mereka" Bisiknya dalam hati.
Lelaki tua itu mengakui pada puluhan tahun
silam, dirinya telah banyak menanam bibit permusu-
han. Hingga sekarang tidak dapat membedakan suara-
suara yang terdengar cukup membuat telinganya tera-
sa panas, yang mungkin dilakukan oleh bekas musuh-
musuhnya. Lelaki berpakaian biru menyala yang berusia
lebih dari delapan puluh tahun itu melangkahkan kaki perlahan, menuju sebuah
dinding batu yang digunakan sebagai lemari. Tangan tua Eyang Legar pun
menggeser dinding batu. Bunyi berderit terdengar cukup keras, menandakan dinding
itu sukar dibuka den-
gan menggunakan tenaga kasar.
Dari balik dinding batu, Eyang Legar meraih
sebuah kapak berukuran cukup besar. Kapak hitam
dengan bagian pinggirnya berkilat-kilat sinar putih, di-raba Eyang Legar dengan
perasaan tak menentu.
Sesungguhnya Eyang Legar merasa segan un-
tuk menggunakan senjatanya kembali, senjata yang
puluhan tahun silam selalu digunakannya sebagai
pencabut nyawa. Entah sudah berapa kepala terpeng-
gal oleh kapak itu.
"Ah...!"
Eyang Legar menarik napas berat. Hatinya ber-
janji, jika senjata itu digunakan bukan untuk mengulangi kekejamannya di masa
lalu, tapi hanya untuk
berjaga-jaga dari kemungkinan buruk atau sekadar
mempertahankan diri.
Setelah berpikir demikian, Eyang Legar si Han-
tu Pemburu Nyawa segera beranjak keluar gua. Gera-
kan kakek berusia lanjut itu masih seringan dan sege-sit dulu. Tak heran jika
dalam waktu singkat dirinya
sudah berada di hadapan empat lelaki yang tadi berteriak-teriak menghinanya.
"Hmmm.... Kukira siapa yang telah menggang-
gu semadi ku" Ternyata Dewa Kaki Langit, Cakar Sak-
ti, Iblis Kali Asin dan Mayat Merah" Ada perlu apa kalian bersusah-payah datang
ke kediamanku?" tanya Eyang Legar tenang, meski sesungguhnya hatinya sedikit
bergetar melihat kedatangan empat lelaki, yang pada puluhan tahun silam pernah
bentrok dengannya.
"Apa semudah itu kau melupakan kejadian pu-
luhan tahun silam, Eyang Legar!" hardik lelaki berju-bah biru muda yang tak lain
Dewa Kaki Langit.
"Tentu saja tidak, Resumuka," jawab Eyang Legar tetap tenang.
"Hhh...! Lalu mengapa nada bicaramu seperti
itu?" desak Dewa Kaki Langit yang nama sebenarnya Resumuka.
"Karena kupikir kalian telah menjadi orang-
orang yang bertobat seperti aku," jawab Eyang Legar seraya membalas tatapan
tajam Resumuka si Dewa
Kaki Langit "Huh! Kau pikir setelah bertobat lantas tak
punya urusan lagi dengan kami?" tandas lelaki berpakaian kuning jeruk yang
memegang senjata terbuat
dari lempengan baja berbentuk telapak tangan manu-
sia. Lelaki itu berjuluk Cakar Sakti.
"Tentu saja tidak, Kuruga. Kecuali jika kalian memang sudah melupakan kejadian
masa lalu," bantah Hantu Pemburu Nyawa.
"Kesombonganmu di masa lalu tak akan hilang
dari ingatanku, Eyang Legar. Kau harus menebusnya
sekarang!" bentak Sugraniri.
Lelaki berpakaian hitam dengan senjata sebilah
golok besar menuding wajah Eyang Legar. Iblis Kali
Asin nampak sangat geram. Namun untuk mulai me-
nyerang, Sugraniri harus meminta persetujuan teman-
temannya. "Bagaimana, Kakang Indagu" Kita habisi saja
lelaki tua ini sekarang!" tandas Iblis Kali Asin melepas kemarahannya.
"Sabar, Adi Sugra. Aku masih menyimpan per-
tanyaan untuknya," cegah lelaki berpakaian merah yang wajahnya putih pucat bagai
mayat, namun karena pakaiannya merah menyala, maka wajahnya terbias
oleh warna pakaiannya. Sehingga lelaki itu mendapat julukan Mayat Merah.
"Huh!"
Sugraniri si Iblis Kali Asin mendengus tak sa-
bar, ingin segera menghabisi nyawa Hantu Pemburu
Nyawa. "Eyang Legar. Bagaimana perasaanmu setelah bertobat selama puluhan
tahun?" tanya Mayat Merah perlahan namun terdengar tegas dan pasti.
Pertanyaan yang keluar dari mulut Watu Inda-
gu, sungguh di luar dugaan Dewa Kaki Langit, Iblis
Kali Asin, dan Cakar Sakti. Ketiga lelaki itu nampak mengerutkan dahi.
Eyang Legar pun merasakan hal yang sama. Le-
laki berusia delapan puluh tahun lebih itu sempat
mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan
Mayat Merah. "Ketenangan batin, itu yang kudapati Watu In-
dagu," jawab Eyang Legar.
"Hingga sampai kau tak menduga kami masih
mencarimu untuk membuat perhitungan?"
"Ya," jawab Eyang Legar terus terang. "Karena aku berharap kalian akan berbuat
sepertiku, kembali ke jalan yang benar sebelum ajal datang menjemput"
"Huh! Kata-katamu tak ubahnya seorang suci,
Eyang Legar!" bentak Resumuka geram.
"Bukan begitu, Dewa Kaki Langit!" mulai me-ninggi ucapan yang keluar dari mulut
Hantu Pemburu Nyawa. "Kalau saja kau mau merenungkan berapa
usiamu sekarang, maka kau akan menghitung kapan
kematianmu datang menjemput. Dan karena umur be-
rada di tangan sang Pencipta Jagat, maka manusia harus pandai memanfaatkan umur
atau sisa umurnya,"
jelas Eyang Legar panjang lebar.
"Huh! Muak aku bila mendengar khotbahmu,
Eyang Legar!" bantah Iblis Kali Asin. "Kita mulai saja sekarang!"
"Tunggu!" tahan Eyang Legar seraya membentangkan lima jari tangan kanannya. "Apa
tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh"!"
"Tidak! Kau harus mampus, Eyang Legar!" sentak Kuruga.
"Ya. Semua kesalahanmu harus kau tebus hari
ini!" timpal Dewa Kaki Langit
"Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Semula aku tak ingin menggunakan Kapak
Pemburu Nyawa ini
lagi, tapi karena kalian memaksa dan aku ingin melindungi diri, maka jangan
salahkan aku jika leher kalian terpenggal putus oleh Kapak Pemburu Nyawaku,"
gertak Eyang Legar, merasa sudah tak mampu menahan
keinginan empat lelaki yang pada puluhan tahun silam pernah bentrok dengannya.
Hantu Pemburu Nyawa teringat masa puluhan
tahun silam. Saat dirinya dengan angkuh meminta
empat lelaki yang kini berada di hadapannya, mengu-
rungkan niat meringkus seorang gadis yang telah me-
mikat hatinya, seorang gadis cantik yang kemudian di-ketahuinya bernama Selasih.
Tentu saja empat lelaki itu menolak, hingga bentrokan pun tak dapat dihinda-ri.
"Sombong kau, Eyang Legar! Lehermu yang
akan ku pisahkan dari badan!" bentak Iblis Kali Asin yang memiliki watak
pemarah. Lelaki berpakaian hitam yang menghunus sen-
jata sebilah golok besar, bergerak cepat diiringi teriakan menggelegar.
"Haaat..!"
Bet! Bet! "Uts!"
Dua kali golok besar Sugraniri terarah tepat ke
leher Eyang Legar. Namun dengan gerak cepat Hantu
Pemburu Nyawa menggeser kedudukannya seraya
memiringkan kepala sedikit. Maka serangan Iblis Kali Asin jadi mentah karenanya.
Kendati Eyang Legar berhasil mematahkan se-
rangan pertama Sugraniri, bukan berarti dirinya bisa bernapas dengan leluasa.
Karena belum setegukan teh, kemudian serangan lelaki berjuluk Iblis Kali Asin
datang kembali. Kali ini dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam yang lebih
tinggi dari serangan pertama, gerakannya pun lebih cepat dan terarah.
Bunyi menderu mengiringi datangnya serangan
yang dilakukan lelaki yang berjuluk Iblis Kali Asin.
"Haaat...!"
Eyang Legar terkesiap melihat gerakan Su-
graniri. Lelaki tua itu tak percaya dengan peningkatan ilmu silat Iblis Kali
Asin, maka Eyang Legar pun tak mau meladeni serangan itu dengan mengandalkan
tangan kosong. Hentakan kuat dilakukan Eyang Legar dengan
menyilangkan senjatanya di depan leher, maka saat itu juga terjadilah benturan
keras yang menimbulkan
bunyi memekakkan telinga.
Trang! Percikan bunga api mengiringi terpentalnya so-
sok berpakaian hitam dengan golok masih tercekal
erat. Tubuh Sugraniri terpental balik sejauh satu setengah tombak. Namun berkat
kemampuannya, Iblis
Kali Asin mampu mementahkan daya dorong tenaga
lawan. "Heaaa...!"
"Hih!"
"Hop!"
Sugraniri menjejakkan kakinya dengan manis.
Matanya seketika menatap wajah Hantu Pemburu
Nyawa yang pada benturan keras tadi hanya terdorong dua langkah. Kenyataan itu
cukup memberitahu Iblis
Kali Asin, bahwa tenaga dalam Hantu Pemburu Nyawa
berada di atasnya.
Dewa Kaki Langit, Cakar Sakti, dan Mayat Me-
rah tersentak menyaksikan kemampuan Hantu Pem-
buru Nyawa. Ketiganya berpendapat, bahwa Eyang Le-
gar tidak mau menunjukkan kehebatannya dengan
alasan tidak ingin lagi berurusan dengan kekerasan, namun kenyataannya"
"Eyang Legar! Tobat mu ternyata hanya tobat
sambal!" bentak Kuruga keras.
"Apa maksudmu, Kuruga?"
"Kau tidak membuang kepandaianmu yang su-
dah jelas digolongkan sebagai ilmu aliran sesat!" jelas Cakar Sakti.
"Kau jangan bodoh, Cakar Sakti! Mana mung-
kin aku melupakan atau membuang ilmu yang telah
susah-payah kudapatkan. Tobat yang kujalani semata
tobat dari kebiasaan buruk, perbuatan keji, dan mem-pergunakan ilmu untuk
memuaskan nafsu setan. Apa
yang kau lihat barusan adalah naluri ku untuk menyelamatkan diri!" kilah Eyang
Legar tegas. "Itu hanya alasanmu untuk menutupi kelakuan
burukmu, Eyang Legar! Padahal kau tak ubahnya den-
gan tokoh-tokoh aliran hitam yang lain!" bantah Su-
graniri. "Terserah apa pendapatmu, Iblis Kali Asin!" tukas Eyang Legar.
"Nah, begitu lebih baik, Eyang Legar. Sekarang jemputlah kematianmu. Ayo Kakang
Kuruga, Kakang Resumuka, dan Kakang Indagu. Kita habisi Hantu
Pemburu Nyawa keparat itu!" ajak Sugraniri.
Empat tokoh sakti golongan hitam itu segera
berlompatan mengurung Hantu Pemburu Nyawa.
Keempat tokoh yang rata-rata memiliki kemampuan
berimbang, agaknya tidak ingin memberi kesempatan
pada Eyang Legar. Terbukti keempat tokoh kelas atas golongan sesat itu
mengeluarkan senjata andalannya
masing-masing. Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa, tentu
saja tak menganggap remeh keempat lawan yang su-
dah dijajaki kemampuannya. Secara perseorangan,
Eyang Legar mampu menumbangkan setiap lawannya,
namun jika keempat lelaki itu bergabung seperti sekarang ini"
"Hhh...!"
Eyang Legar menarik napas berat. Dirinya tak
menyangka kalau pada usia yang setua ini, harus
kembali berurusan dengan darah dan kematian.


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menebarkan pandangan pada empat le-
laki yang mengepungnya. Eyang Legar meningkatkan
daya kepekaannya. Otot-otot tua pada tubuhnya seke-
tika menegang, dan desahan kuat terdengar seiring tarikan napas dalam pengerahan
tenaga dalam. Eyang
Legar sedang bersiap menghadapi lawan-lawannya
dengan seluruh kemampuan.
"Hiaaa...!"
Serangan pertama dilakukan oleh Iblis Kali
Asin. Lelaki bernama Sugraniri itu melejit cepat dengan senjata terarah tepat ke
lambung Hantu Pembu-
ru Nyawa. Selang dua tegukan teh, kemudian Kuruga me-
lakukan hal yang sama. Lelaki berpakaian jingga itu meluruk cepat dengan senjata
dari baja berbentuk telapak tangan manusia, yang bergerak-gerak di udara.
Bunyi berdecitan terdengar seiring datangnya serangan Iblis Kali Asin dan Cakar
Sakti. "Hiaaa...!"
Wruuut! Bet! Hop! Eyang Legar bergerak cepat menghindari teba-
san golok besar yang datang lebih dulu. Sengaja Eyang Legar melakukan loncatan
tidak penuh, karena lelaki tua itu mampu membaca serangan kedua yang dilakukan
Cakar Sakti. Senjata Cakar Sakti segera berkelebat cepat ke
arah dada Eyang Legar setelah serangan Iblis Kali Asin lolos dari sasaran. Namun
Cakar Sakti sempat dibuat tercengang menyaksikan kecerdikan Hantu Pemburu
Nyawa. Ketika senjatanya yang berbentuk telapak ta-
ngan manusia bergerak cepat hendak menghantam
dada Hantu Pemburu Nyawa, ternyata gerakan Eyang
Legar melebihi kecepatan geraknya.
Dengan meminjam tangan Iblis Kali Asin seba-
gai landasan, tubuh Hantu Pemburu Nyawa melenting
tinggi ke udara, setelah ujung kakinya menotol punggung tangan Sugraniri.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
"Hop!"
Ringan dan manis gerakan yang dilakukan
Hantu Pemburu Nyawa. Tubuh yang terbalut pakaian
biru itu melakukan putaran dua kali dan mendarat
dengan mantap di tanah.
"Kau kira semudah menangkap kelinci untuk
menghilangkan nyawa Eyang Legar!" hardik Hantu Pemburu Nyawa lantang.
"Cuh! Jangan bangga dulu, Eyang Legar! Aku
dan Mayat Merah belum melakukan penyerangan!"
bantah Resumuka si Dewa Kaki Langit seraya meman-
dang Mayat Merah.
"Ayo, Kakang Resumuka, Sugraniri, dan kau
Kuruga. Kita lumat tubuh Eyang Legar!" ajak Mayat Merah. Lelaki berwajah mirip
mayat yang terpantul ro-na merah warna pakaiannya, segera berkelebat menye-
rang Eyang Legar tanpa menggunakan senjata.
Tangan kiri Watu Indagu yang terkepal kuat
nampak mengepulkan asap merah berbau tidak sedap.
'Pukulan Mayat Hidup'! Ucap Hantu Pemburu
Nyawa dalam hati ketika menyaksikan Mayat Merah
melakukan serangan.
Secepatnya Hantu Pemburu Nyawa merubah
kedudukan kakinya. Lelaki itu sudah mengetahui ke-
dahsyatan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu, ketika dirinya berusaha membebaskan
Nyi Selasih (baca serial Raja Petir episode: Pembalasan Berdarah) dari kebe-
jatan moral Mayat Merah dan kawan-kawannya.
Waktu itu hampir saja dirinya terhantam puku-
lan Watu Indagu yang dapat mengakibatkan kelumpu-
han. Namun beruntung gerakannya lebih cepat, hingga
'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu menghantam te-
lak dada pembokongnya.
"Hiaaa...!"
Wrrr...! Hampir tak percaya rasanya Eyang Legar me-
nyaksikan gerakan Watu Indagu. Lelaki berpakaian
merah itu begitu pesat kemajuan ilmunya, sebab sekarang telah mampu melepaskan
'Pukulan Mayat Hidup'
dalam jarak jauh.
Beruntung Eyang Legar mempunyai kesempa-
tan menghindari serangkum angin kemerahan yang
meluruk cepat ke arahnya, serangkum angin ganas
yang menimbulkan bau memualkan.
"Hiaaa...!"
"Heh"!"
Hantu Pemburu Nyawa memang mampu untuk
menghindari terjangan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu
Indagu, namun lelaki tua itu sempat terkejut merasakan hembusan pukulan itu
menghantam kulitnya. Se-
ketika itu juga Eyang Legar panas bukan kepalang dan rasa gatal yang menjalar
cepat sampai ke wajah.
"Gila!" maki Eyang Legar terkejut.
Hantu Pemburu Nyawa segera mengerahkan
kekuatan hawa murninya untuk melawan keganasan
angin pukulan Watu Indagu yang telah menelusup
masuk melalui pori-pori kulitnya.
Namun belum lagi lelaki tua itu mampu men-
gusir seluruh pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' Watu
Indagu, serangan lain telah datang mengancam nya-
wanya. Serangan gelap ini dilakukan Iblis Kali Asin.
"Hiaaattt..!"
Diiringi lengkingan nyaring, tubuh Sugraniri
berkelebat cepat. Tangan kanannya yang mencekal go-
lok besar terayun ke batok kepala Eyang Legar. Lelaki berpakaian hitam itu
rupanya ingin membelah kepala
Hantu Pemburu Nyawa.
Eyang Legar yang sedang berusaha mengusir
pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' tersentak ketika me-
rasakan desiran angin kuat dari arah belakang.
Dengan menggunakan segenap naluri dan ke-
pekaannya, Eyang Legar memiringkan tubuhnya. Ber-
samaan dengan itu, sambaran golok besar yang dila-
kukan Sugraniri dengan kekuatan tenaga dalam penuh
telah datang, mau tak mau serangan Iblis Kali Asin
meleset lima jengkal dari tubuh Eyang Legar. Dan
Eyang Legar yang memang mengharapkan keadaan
seperti itu, segera memanfaatkannya. Saat itu juga si-ku Eyang Legar bergerak
dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. "Hih!"
Blak! "Uuukh!"
Tubuh Iblis Kali Asin oleng ke kiri ketika rusuk
kanannya terhantam siku Hantu Pemburu Nyawa. Ka-
rena hantaman Eyang Legar tidak setengah-setengah,
maka tak heran jika Iblis Kali Asin tak kuasa menahan tenaga dorong yang
dilakukan Eyang Legar. Seketika
itu juga tubuh Sugraniri ambruk.
Brukh! "Akh!"
Menyaksikan Sugraniri terkulai tak berdaya,
Dewa Kaki Langit dan kawan-kawan semakin bertam-
bah geram. Tanpa ada yang memberi aba-aba, ketiga lelaki
bertampang sadis itu merangsek maju bersamaan. Dan
senjata mereka berkelebat ke bagian-bagian memati-
kan tubuh Hantu Pemburu Nyawa.
Eyang Legar yang harus mempertahankan se-
lembar nyawanya, segera mengebut-ngebutkan kapak
besar yang pada bagian tepinya berkilat-kilat sinar keperakan.
Wruuut..! Wruuut..! Putaran senjata Eyang Legar yang disertai pe-
ngerahan tenaga dalam tinggi, membuat arena perta-
rungan dipenuhi debu kaki gunung yang bergulung-
gulung, dan batu-batu kecil berpentalan.
Namun ketiga lawan Hantu Pemburu Nyawa ti-
dak mempedulikan keganasan senjata lelaki tua itu
yang berputar dahsyat. Ketiga lelaki itu tetap merangsek maju dengan diiringi,
teriakan membumbung ke
langit "Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
"Haaa...!"
*** 2 Tiga sosok tubuh yang tengah dilanda kemara-
han itu, terus berkelebat menyongsong tubuh lelaki
yang sedang memutar senjatanya dengan kekuatan te-
naga dalam penuh.
Maka ketika sambaran senjata ketiga lelaki itu
datang, tak pelak lagi, ketiga senjata lawan Eyang Legar menghantam kapak yang
tengah diputarnya.
Trang! Trang! Tring! "Aaa...!"
Percikan bunga api seketika tercipta, empat
senjata yang terbuat dari logam keras berbenturan
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Tubuh tiga lelaki penyerang Hantu Pemburu
Nyawa terdorong sejauh empat langkah, dan tubuh
Eyang Legar terpental lebih jauh lagi.
Gabungan tenaga dalam tiga lelaki itu tidak
kuasa ditandingi Eyang Legar. Lelaki berpakaian biru menyala berusia delapan
puluh tahun lebih itu terhempas sejauh dua batang tombak.
Kedua tangan Hantu Pemburu Nyawa, nampak
bergetar hebat, akibat benturan tadi. Eyang Legar me-
rasa tangannya seolah mati, hingga senjata andalan-
nya terpental dan jatuh tidak jauh darinya.
"Ah!"
Lelaki tua itu menarik napas berat ketika mera-
sakan dadanya sesak bukan main. Dicobanya untuk
menarik napas, tetapi....
"Hoeeek...!"
Eyang Legar merasa matanya berkunang-
kunang seiring dengan muncratnya cairan berwarna
merah dari mulutnya. Kendati demikian, Eyang Legar
masih berusaha menancapkan pandangan matanya
pada ketiga lelaki lawannya.
Dan ketika salah seorang lawannya kembali
merangsek maju, dengan sisa-sisa tenaga Eyang Legar mencoba memapaki serangan
itu. "Hiaaa...!"
Plak! Plak! "Aaa...!"
Kembali tubuh lelaki tua itu terhuyung tiga
langkah. Rasa nyeri berdenyut-denyut di kedua tan-
gannya. Kesempatan itu segera dimanfaatkan Mayat
Merah untuk mengirimkan pukulan jarak jauhnya
'Pukulan Mayat Hidup'.
Angin kemerahan seketika meluncur keluar da-
ri kepalan tangan Watu Indagu yang mengerahkan
'Pukulan Mayat Hidup'. Suara menderu mengiringi ke-
datangan pukulan yang cukup dahsyat itu.
Wrrr...! Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa terhe-
nyak melihat serangkum angin merah meluruk deras
ke arahnya. Lelaki tua itu berusaha bangkit menghindari pukulan jarak jauh Watu
Indagu si Mayat Merah, namun ternyata gerakan Eyang Legar kalah cepat dengan
lurukan angin kemerahan. Akibatnya....
Bresss...! "Akh!"
Pekikan tertahan segera terdengar dari mulut
Eyang Legar. Lelaki penghuni puncak Gunung Kalaban
itu terpental sejauh satu tombak. Eyang Legar merasakan hawa panas yang sangat
menyengat, dan rasa gat-
al yang menjalari sekujur tubuhnya. Pada permukaan
kulitnya pun mulai terlihat rona biru.
"Ha ha ha.... Sudah kukatakan, Eyang Legar!
Nyawamu berada di tangan kami. Apa yang akan kau
lakukan sekarang" Tubuhmu lumpuh setelah terhajar
'Pukulan Mayat Hidup'. Dan secara perlahan-lahan
kau akan mati oleh 'Racun Mayat Hidup' yang sudah
merasuk dalam aliran darahmu!" ucap Watu Indagu sambil tertawa-tawa dan
membusungkan dada.
Lelaki berpakaian merah menyala yang berju-
luk Mayat Merah segera memandang Dewa Kaki Lan-
git, Cakar Sakti, dan Iblis Kali Asin yang sudah bangkit kembali.
"Apa yang harus kita lakukan pada si tua
bangka yang telah banyak mengecewakan kita ini?" tanya Mayat Merah pada ketiga
rekannya. "Kita pasung lelaki tua ini pada pohon besar
itu! Dan biarkan dirinya mati perlahan-lahan!" jawab Iblis Kali Asin mantap.
"Bagaimana" Kalian berdua setuju dengan usul
Sugraniri?" tanya Watu Indagu pada Resumuka dan Kuruga.
"Usul yang bagus!" jawab Resumuka tenang.
"Aku setuju!" timpal Kuruga.
Setelah mendengar jawaban Resumuka dan
Kuruga, Mayat Merah segera menghampiri Eyang Le-
gar. Langkah kaki Watu Indagu diikuti oleh ketiga rekannya.
"Hop!"
Dibantu Resumuka dan Kuruga, Watu Indagu
membawa tubuh Eyang Legar ke sebatang pohon be-
sar. Eyang Legar tak dapat berbuat apa-apa dengan
tindakan lawan-lawannya. Lelaki tua itu merasa se-
kujur tubuhnya tak bertenaga. Seluruh otot-otot pu-
satnya tidak mampu digerakkan. Sementara rasa gatal yang terasa semakin kuat,
merupakan siksaan yang
sangat menyakitkan bagi lelaki tua itu.
Pada sebatang pohon berukuran tiga kali pelu-
kan lelaki dewasa, tubuh Eyang Legar disandarkan.
Resumuka dan Kuruga merentangkan tangan Hantu
Pemburu Nyawa pada pohon itu.
Dengan tatapan membara Iblis Kali Asin me-
nunjukkan sebilah belati ke wajah Hantu Pemburu
Nyawa. "Sekarang rasakan pembalasanku, Eyang Legar!" bentak Sugraniri kasar,


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya terbelalak seperti mau keluar. "Dengan belati ini tubuhmu ku pasung,
hingga nyawamu pergi meninggalkan ja-sadmu
dengan perlahan," lanjut Iblis Kali Asih.
Tangan Sugraniri terangkat ke udara, dan bela-
ti yang berada dicekalannya berkelebat cepat ke arah telapak tangan Eyang Legar
yang terentang.
"Rasakan ini, Eyang Legar!"
"Hiaaa...!"
Grab! "Akh!"
Eyang Legar memekik tertahan ketika belati
Sugraniri tertancap di telapak tangannya. Mau tak
mau telapak tangan lelaki tua itu menyatu dengan pohon besar itu. Dan darah
mengalir dari telapak tan-
gannya yang tertembus belati Iblis Kali Asin.
"Sekarang giliranku, Eyang Legar," ucap Cakar Sakti seraya melepas cekalannya
pada tangan kiri lela-
ki tua itu, yang sudah menyatu dengan pohon besar di belakangnya.
Eyang Legar dengan napas memburu menyak-
sikan Cakar Sakti mengeluarkan sebilah belati, yang sama dengan yang digunakan
Iblis Kali Asin. Rupanya mereka sudah mempersiapkan belati-belati itu untuk
memasung Hantu Pemburu Nyawa.
"Belati yang sama ini akan menembus telapak
tangan kananmu, Eyang Legar. Dengan demikian, kau
tak dapat pergi dari tempat ini. Maut akan menjemput mu dengan perlahan!" ucap
Kuruga keras-keras di telinga Eyang Legar.
Lelaki berpakaian warna biru menyala itu nam-
pak pasrah menerima kelakuan lawan-lawannya. Di-
rinya memang sudah tak punya daya lagi. Juga ketika Cakar Sakti mengangkat
belati ke wajahnya, lelaki berusia lanjut penghuni puncak Gunung Kalaban itu ti-
dak berusaha mencegah.
Sret! "Akh!"
Hantu Pemburu Nyawa terpekik kaget ketika
ujung belati Kuruga ditorehkan ke wajahnya. Darah
mengalir turun dari pipinya yang luka tertoreh belati.
"Kau sekarang menjadi orang yang tidak ber-
daya, Eyang Legar! Aku bebas melakukan apa pun pa-
da dirimu," ejek Cakar Sakti.
Eyang Legar dengan segenap kekuatan hati be-
rusaha menatap wajah Kuruga.
"Lakukanlah Cakar Sakti," ucap lelaki tua itu li-rih.
Ucapan itu keluar bukan karena kegentaran ji-
wa Hantu Pemburu Nyawa, tapi dari beragam rasa sa-
kit yang mendera tubuhnya.
"Aku memang akan melakukannya sekarang!
Rasakanlah!"
Kuruga segera mengangkat tangannya. Dengan
kegeraman yang memuncak, Cakar Sakti menan-
capkan belati itu ke telapak tangan kanan Hantu Pemburu Nyawa.
"Hih!"
Bles! Di luar dugaan Kuruga, Eyang Legar tidak me-
mekik ketika belati menembus telapak tangannya. Le-
laki tua itu hanya memejamkan mata dengan bibir ter-katup rapat.
"Huh! Jangan berlagak kuat, Eyang Legar!"
maid Kuruga geram.
Tangan kiri lelaki berjuluk Cakar Sakti itu sege-
ra bergerak cepat ke wajah Hantu Pemburu Nyawa.
Plak! Wajah Eyang Legar terdorong ke kanan terkena
tamparan keras Kuruga. Tamparan keras itu tidak juga membuat lelaki tua itu
memekik sedikit pun. Kenyataan itu membuat kemarahan Cakar Sakti semakin
memuncak. Dan baru saja tangan kanan Kuruga hen-
dak kembali dilayangkan ke wajah Hantu Pemburu
Nyawa, sebuah gerakan cepat menahannya.
Tap! Dewa Kaki Langit menangkap tangan Cakar
Sakti yang tengah melayang di udara.
"Sudah, Kuruga. Sekarang giliranku," ucap Resumuka mengingatkan.
Cakar Sakti tidak merasa tersinggung dengan
perlakuan Resumuka. Karena lelaki itu tahu Resu-
muka harus mengambil bagian untuk membalas sakit
hati mereka pada Hantu Pemburu Nyawa.
"Apa yang akan kau lakukan padanya, Kakang
Resumuka?" tanya Kuruga ingin tahu.
"Kedua tangan lelaki tua itu sudah kalian pa-
sung," ucap Resumuka seraya menatap wajah Sug-
raniri. "Aku ingin memasung tubuh Eyang Legar yang lain," lanjut Dewa Kaki
Langit "Bagian tubuh yang mana, Kakang?" tanya Sugraniri penasaran.
"Kalian lihat saja nanti," jawab Resumuka tenang. Dewa Kaki Langit kemudian
beranjak mendeka-
ti Hantu Pemburu Nyawa. Tangannya segera menyeli-
nap ke balik pakaian dan keluar dengan telapak tan-
gan menggenggam sebilah pisau berukuran lebih pan-
jang dari belati Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin.
"Sekarang sakit hatiku terbalas, Eyang Legar!"
keras ucapan Dewa Kaki Langit "Terimalah kematianmu yang perlahan-lahan ini!"
"Hih!"
Trugb! "Aaa...!"
Meski dengan susah-payah, lelaki tua itu ber-
usaha menahan rasa nyeri pada pangkal paha kanan-
nya yang ditusuk senjata tajam, tapi pekik tertahan terdengar juga.
Mata Eyang Legar terbelalak menahan sakit
yang sangat kuat. Hingga ketika tubuhnya tak sang-
gup lagi menahan sakit, lelaki tua itu terkulai pingsan.
"Kita tinggalkan saja lelaki tua ini di sini," pinta Watu Indagu sambil menatap
ke arah Cakar Sakti,
Dewa Kaki Langit, dan Iblis Kali Asin bergan-
tian. "Aku setuju! Kita biarkan saja Hantu tak ber-guna ini mati perlahan-
lahan," ucap Dewa Kaki Langit.
"Kalau begitu kita tinggalkan tempat ini seka-
rang juga, sebelum ada orang lain melihat perbuatan kita," ajak Iblis Kali Asin.
"Ayo," balas Cakar Sakti.
Setelah keempat lelaki itu menemui kata sepa-
kat, maka tubuh mereka pun berkelebat cepat me-
ninggalkan Eyang Legar yang terpasung.
Begitu cepat gerakan Watu Indagu dan kawan-
kawannya, maka dalam sekejap mata mereka sudah
berada di atas punggung kuda masing-masing.
"Hop! Hop!"
"Hea! Hea!"
Keempat lelaki itu segera menggebah kudanya.
Debu seketika mengepul dan membumbung tinggi ke
udara, seiring dengan derap kaki kuda yang berlari cepat
*** 3 Alam nampak kurang bersahabat hari ini, ma-
tahari yang berada tepat di atas ubun-ubun seperti
hendak memamerkan keperkasaannya. Sinarnya yang
menebar mengisi jagat semesta terasa begitu menggigit Seorang pemuda berpakaian
kuning keemasan
tampak merasakan panas yang menyengat, berkali-kali lelaki muda yang berjalan
dengan langkah pendek itu, menyeka peluh dengan punggung tangannya.
Wajah lelaki muda yang ternyata sangat tam-
pan, tampak dihiasi rona kebingungan. Tatapan ma-
tanya kosong memandang lurus ke depan. Sementara
pikirannya terbawa pada tidur semalam, yang tergang-gu oleh dua mimpi yang
membuatnya gelisah.
Bagaimana mungkin dirinya mau mempercayai
mimpi yang dianggapnya kembang tidur" Namun un-
tuk melupakan mimpi itu begitu saja, lelaki muda itu tidak mampu. Mimpi kematian
Eyang Legar dan mimpi
kedatangan Eyang Putri Selasih, membuat lelaki muda
bernama Jaka menduga mimpi itu benar dan saling
berkaitan satu sama lain.
"Semenjak kau turut meramaikan rimba persi-
latan, Jaka. Sejak itu pula kesibukan mu membuat
Eyang Legar dilupakan. Sekarang saatnya kau men-
gunjungi lelaki tua yang telah begitu berjasa padamu.
Setelah itu, eyang ingin kau mengunjungi ku," begitu kata-kata yang diucapkan
Nyi Selasih dalam mimpi
Jaka. Hhh.... Aku memang sudah kangen pada Eyang
Legar. Aku harus segera menemuinya, kata hati lelaki muda berpakaian kuning
keemasan yang ternyata Ja-ka alias Raja Petir.
Jaka baru hendak membelok ke kanan ketika
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang berlari dengan kecepatan tinggi.
Dan suara teriakan menggebah penunggangnya terdengar di telinga Jaka. Dari
suara derap lari kuda yang bergemuruh dan teriakan
penunggangnya, agaknya penunggang kuda lebih dari
satu. "Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Suara gebahan dan derap kaki kuda semakin
jelas terdengar. Sementara Jaka tak jadi berbelok ke kanan. Pemuda itu ingin
membiarkan para penunggang kuda berlalu lebih dahulu.
"Hiaaa!"
Empat penunggang kuda berlalu dari hadapan
Jaka. Keempat lelaki itu tak tahu Jaka memperhatikan mereka dari tikungan jalan.
Hmmm... Seperti sedang dikejar hantu saja
keempat penunggang kuda itu, kata hati Jaka seraya
mengusir debu-debu yang beterbangan ke wajahnya.
Tanpa mempedulikan keempat penunggang ku-
da tadi, pemuda itu kembali melangkah. Setelah bebe-
rapa tombak jauhnya, langkahnya dirubah dengan lari yang menggunakan ilmu
meringankan tubuh.
"Hop!"
Karena ilmu lari cepat dan meringankan tubuh-
nya telah sempurna, maka tak heran jika dalam waktu singkat lelaki berpakaian
kuning keemasan itu sampai di wilayah Gunung Kalaban.
Jaka segera mengganti lari cepatnya dengan
langkah panjang. Rasa rindu pada Eyang Legar mem-
buat hati pemuda itu ingin cepat bertemu lelaki yang telah begitu berjasa
padanya. Tetapi makin jauh Jaka memasuki kawasan ka-
ki Gunung Kalaban, hati pemuda itu semakin berde-
bar-debar tak menentu. Kegelisahan menyelimuti ha-
tinya dan mimpi kematian Eyang Legar kembali men-
gusik. Ah.... Pertanda apakah ini" Ucap hati Jaka.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu terus
melangkah. Sementara ketenangan hatinya semakin
tak terkendali.
"Ugkh!"
Jaka mencoba mengusir dugaan-dugaan buruk
yang melintas di benaknya. Karena tidak juga hilang, dengan kesal pemuda itu
menghentakkan kakinya
kuat-kuat. "Hia!"
"Hup!"
"Hah"!"
Lunglai tubuh lelaki muda yang berjuluk Raja
Petir. Betapa tidak" Di hadapannya terpampang pe-
mandangan yang cukup mengerikan, mengundang
kemarahannya hingga memuncak ke ubun-ubun. Tu-
buh Eyang Legar dilihatnya terpasung di sebatang pohon besar.
"Setan!" maki Jaka keras.
Secara tak sengaja pemuda itu mengerahkan
tenaga dalam saat berteriak, akibatnya bumi tempat-
nya berpijak bergetar, dan dedaunan kering bergugu-
ran. Hhh! Siapa yang melakukan perbuatan keji ini"
Tanya Jaka pada diri sendiri.
Di tengah kemarahan yang memuncak, suara
erangan tertahan didengar pemuda itu.
"Eyang.... Ah, kau masih hidup. Katakan siapa
yang melakukan perbuatan ini, Eyang. Katakanlah, bi-ar kuhancurkan mereka,"
kata-kata yang keluar dari mulut Jaka begitu syarat dengan kemarahan.
Perlahan-lahan mata lelaki yang berjuluk Han-
tu Pemburu Nyawa terbuka. Tatapannya yang kabur
menangkap sosok anak muda berdiri di depannya.
"Sss... si... siapa kau" Apakah...," ucapan Eyang Legar bergetar dan tersendat-
sendat. Hati Jaka bergetar, mendengar suara lelaki
yang selama sepuluh tahun lebih mendidiknya dan
menganggapnya sebagai cucu. Suara itu syarat dengan keteguhan dan ketabahan hati
seorang pendekar seja-ti.
"Aku Jaka, Eyang. Jaka, cucumu," jawab pemuda itu. Suaranya bergetar karena tak
kuasa me- nahan kesedihan dan kemarahan yang menggelegak
hebat "Oh. Kau.... Betulkah kau Jaka, Cucuku?" suara Eyang Legar kembali
terdengar bergetar di telinga Jaka. "Betul, Eyang. Aku Jaka, cucumu," jawab
pemuda itu penuh haru. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Eyang.
Katakanlah."
"Kedatanganmu tepat sekali, Jaka. Aku, aku,
oh...." Dengan perasaan hati yang perih, Jaka me-
nyentuh tubuh lelaki tua berpakaian biru menyala
yang telah ternoda percikan darah.
"Katankanlah, Eyang. Katakan apa yang hen-
dak Eyang sampaikan," pelan sekali ucapan yang keluar dari bibir Jaka yang ikut
bergetar. "Kau ingin membalas dendam pada mereka,
Jaka?" tanya Eyang Legar.
Jaka tak menjawab pertanyaan lelaki yang te-
lah berjasa sebagai seorang bapak dan guru. Tangan
pemuda itu terkepal kuat menahan geram, dan giginya saling beradu satu sama
lain. "Kalau kau ingin menumpas mereka semata
untuk menjaga korban-korban selanjutnya, Eyang se-
tuju. Tapi kalau kau melakukannya karena melihat
keadaan Eyang yang seperti ini, Eyang tak akan per-
nah mengizinkannya," pelan ucapan Eyang Legar.
"Katakan, Eyang. Aku akan menumpas mereka
bukan karena perasaan dendam, tapi karena kewaji-
banku menumpas segala jenis keangkaramurkaan
yang menjarah muka bumi," desak Jaka. Pemuda itu khawatir Eyang Legar akan
menghembuskan napas
sebelum sempat memberitahu siapa yang telah me-
nyiksanya. Bibir lelaki tua itu kembali bergerak-gerak. Dari
bibir keriput itu keluar suara perlahan, menyebutkan nama-nama lelaki yang telah


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatnya menderita
seperti itu. Jaka merasa getar hatinya semakin hebat, ke-
tika mendengar nama mereka. Jiwa lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir bergolak hebat. Wajahnya berubah merah padam penuh
kemarahan. "Kurang ajar!" maki Jaka dengan suara ditekan.
Makin membuat semu merah di wajah lelaki berpa-
kaian kuning keemasan bertambah jelas.
"Jaka, Cucuku. Ada tugas berat yang harus
kau pikul saat ini, tapi aku tak mungkin menjelaskannya sekarang, aku merasa...
oh... Ja...."
"Katakan tugas apa itu, Eyang. Katakan...."
Jaka mengguncang tubuh Eyang Legar perla-
han. Lelaki berusia delapan puluh tahun lebih itu
hanya mampu membuka sedikit kelopak matanya yang
terpejam. "Kau bisa menanyakannya pada Nyi Selasih,"
ucap Eyang Legar parau.
"Oh!"
Pemuda itu terkejut mendengar jawaban Eyang
Legar. Rasa khawatir akan mimpi semalam membuat
Jaka mengaitkan hubungan kedua mimpinya.
Mimpi itu benar, bisik hati Jaka.
Pemuda itu kembali memandang Eyang Legar
yang kedua telapak tangannya terpasung oleh dua be-
lati, yang terbenam hingga ke gagang.
Sengaja Jaka tidak segera melepas belati yang
menancap di telapak tangan dan paha kanan Eyang
Legar. Semata karena tak ingin lelaki tua itu meng-
hembuskan napas terakhir, sebelum memberitahu pe-
laku keji semua ini. Tapi sekarang....
Dengan cepat Jaka mencabut dua belati yang
terbenam di telapak tangan Eyang Legar.
"Ah...."
Desah tertahan terdengar seiring dengan terca-
butnya belati. Darah pun muncrat keluar dari telapak tangan yang berlubang.
Ngilu hati Jaka menyaksikan darah dan ringi-
san yang tergurat di wajah Eyang Legar. Namun lelaki muda usia yang berjuluk
Raja Petir, tetap meneguhkan hati mencabut pisau yang tertanam di paha kanan
lelaki tua itu.
"Aaa...!"
Pekikan tertahan kembali terdengar. Seiring de-
ngan terlepasnya senjata yang memasung tubuh Eyang
Legar, melorotlah tubuh tua yang terbalut pakaian biru menyala.
Jaka segera menyambut tubuh Eyang Legar,
kemudian meletakkan kepala tua itu dalam pang-
kuannya. "Aku ingin kau menyemayamkan jasadku di
puncak Gunung Kalaban, Cucuku," pinta Eyang Legar dengan suara parau.
Sekilas pemuda itu menatap wajah lelaki tua
yang semakin pucat. Jaka merasa saat-saat kematian
Eyang Legar sudah semakin dekat
"Baik, Eyang. Jaka akan membawamu ke pun-
cak Gunung Kalaban," ucap Jaka di telinga lelaki yang sudah lunglai itu.
Napas Hantu Pemburu Nyawa mulai terdengar
satu-satu. Jaka segera bangkit membopong tubuh tua
lelaki yang begitu dihormatinya.
Dengan sekali hentakan kuat tubuh pemuda
itu melenting ke udara, dan ketika ujung kakinya me-nyentuh bebatuan Gunung
Kalaban, tubuh yang terba-
lut pakaian kuning keemasan kembali melenting. Per-
sis bajing yang melompat dari tangkai satu ke tangkai yang lain.
Hanya dengan beberapa kali lentingan saja, tu-
buh Jaka yang membopong Hantu Pemburu Nyawa te-
lah mencapai puncak Gunung Kalaban.
Napas Jaka terdengar memburu. Bukan karena
telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu meri-
ngankan tubuhnya, tapi karena tak sanggup menahan
gejolak kesedihan saat melihat wajah Eyang Legar yang mirip mayat. Dan ketika
kepala Eyang Legar lunglai di pelukannya, Jaka segera menjatuhkan kepalanya ke
wajah lelaki berpakaian biru menyala.
"Eyaaang...," desah Jaka penuh kepiluan.
Lelaki yang berjuluk Raja Petir semakin mem-
pererat pelukannya pada tubuh Eyang Legar. Sementa-
ra tangan kanannya teracung ke udara dengan jari-jari mengepal kuat
"Kalian harus dihukum, Bangsat-Bangsat Lak-
nat!" pekik Jaka kuat dengan mengerahkan tenaga dalam. Puncak Gunung Kalaban
sesaat bergetar hebat,
namun getaran itu terhenti ketika pemuda itu meng-
hentikan teriakan kemarahannya. Lalu membawa tu-
buh Eyang Legar ke sebuah gua, tempat lelaki tua itu selama ini mengasingkan
diri untuk bersemadi.
Di dalam gua yang berukuran sedang itu, Jaka
pernah menetap selama sepuluh tahun. Saat dirinya
berguru pada Eyang Legar. Kini lelaki berpakaian kuning keemasan itu membuat
sebuah lubang untuk men-
gubur seorang lelaki tua bernama Eyang Legar, lelaki yang sangat dihormatinya.
Lelaki yang turut menahan andil cukup besar, sehingga Jaka tampil sebagai sosok
yang berjuluk Raja Petir. Sosok yang mampu mengge-gerkan rimba persilatan.
Sosok yang berpihak pada kebenaran, dan sela-
lu mengusir kebatilan serta kekejian yang menjarah
persada jagat raya.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya,
Jaka menggali liang lahat tanpa henti. Tak heran jika dalam waktu yang singkat
liang lahat telah siap untuk menyemayamkan jenazah Eyang Legar alias Hantu
Pemburu Nyawa. Dengan penuh hikmat dan rasa hormat tinggi,
Jaka membawa jenazah Eyang Legar memasuki lubang
kubur. Setelah meletakkan jenazah itu pada kedudu-
kan sebagaimana mestinya, lelaki berpakaian kuning
keemasan itu melompat ke atas dengan menghentak-
kan kakinya pada dasar liang lahat
"Hop!"
Tubuh pemuda itu mendarat dengan manis di
bibir lubang kubur Eyang Legar. Matanya menatap le-
kat tubuh Hantu Pemburu Nyawa yang terbujur tanpa
daya. Disadarinya manusia tidak akan mampu mena-
han kodrat yang telah digariskan sang Pen-cipta Maya Pada, sang Pencipta Roh
seluruh makhluk yang mengisi muka bumi ini.
Dengan dada dipenuhi rasa sedih yang menda-
lam. Jaka terus memandang tubuh Eyang Legar. Kali
ini tatapan matanya diiringi untaian doa untuk lelaki yang sangat dikasihi dan
dihormati. "Wahai Pencipta Langit dan Bumi. Wahai Pen-
guasa Kehidupan dan Kematian, seorang hamba da-
tang menghadap keharibaan-Mu, menghadap dengan
segala kekurangannya. Wahai Pencipta Roh dan Jasad, terimalah kedatangan Eyang
Legar di sisi-Mu. Terimalah tobatnya yang semata Eng-kau jualah yang meng-
gariskan. Ampunilah segala kesalahan dan dosa-dosa
yang telah dilakukannya. Amin."
Selesai dengan doanya yang memantul di din-
ding hati dan dinding liang lahat, Jaka segera menim-buni jasad Eyang Legar
dengan tanah galian yang bercampur batu-batu gunung. Hanya sepeminum teh saja
Jaka menuntaskan pekerjaannya.
Segundukan tanah yang masih baru nampak
membumbung melebihi dasarnya. Pemuda itu kembali
bersimpuh dan mencium gundukan tanah itu.
"Maafkan aku, Eyang. Izinkan aku menumpas
orang-orang yang telah berbuat keji padamu, yang
mungkin akan dilakukannya juga pada orang lain.
Izinkan aku mengubur kebatilan yang mereka lakukan
untuk memuaskan nafsu setan. Izinkan aku, Eyang.
Aku mohon pamit."
Dengan dada masih dipenuhi kesedihan, Jaka
bangkit dari bersimpuhnya. Lelaki muda yang mem-
punyai kesaktian tinggi itu berjalan gontai meninggalkan gua tempat kediaman
Eyang Legar untuk sela-
manya. Namun baru beberapa tombak kakinya me-
langkah, kepala pemuda itu kembali menoleh ke se-
gundukan tanah kuburan Eyang Legar. Wajah lelaki
tampan itu nampak sangat keruh.
"Oh.... Selamat tinggal, Eyang," ucap Jaka pelan, mirip desahan.
Sesaat lamanya pemuda itu menatap tanah ku-
buran. Kemudian langkah panjangnya tercipta me-
ninggalkan gua Eyang Legar. Wajah keruh Jaka beru-
bah merah sesampainya di luar gua. Matanya menatap
tajam jauh ke atas langit.
"Ngrhhhk...!"
Tiba-tiba Jaka menggeram kuat. Tinjunya seke-
tika terangkat ke atas, hingga menimbulkan bunyi
yang cukup kuat dari gemeretuknya otot-otot tokoh
muda, yang namanya semakin diperhitungkan dan
disegani lawan.
"Kalian harus angkat kaki dari muka jagat ini!
Harus!" pekik Jaka.
Suaranya menyebar cepat mengisi setiap ruas
jagat, setiap sudut kosong, hingga menimbulkan gema berkepanjangan dan sating
susul-menyusul.
Wajah Jaka nampak semakin menegang, na-
mun dadanya terasa longgar. Laki-laki muda usia itu kini melanjutkan ayunan
langkahnya. Pada mulanya langkah kaki itu terayun begitu
pelan, namun setelah melampaui jarak tiga tombak,
Jaka membuat hentakan kuat pada ujung kakinya.
"Hiaaa...!"
Hop! Bagai gerakan kilat tubuh Jaka melesat cepat.
Hanya sekali hentakan saja tubuh terbalut pakaian
kuning keemasan itu meninggalkan puncak Gunung
Kalaban. Dan sekali lagi kakinya menghentak, maka
wilayah Gunung Kalaban ditinggalkannya sejauh dua
pal. Malam menjelmakan kekuasaannya seiring de-
ngan tubuh Jaka yang semakin jauh meninggalkan
puncak Gunung Kalaban. Lelaki muda itu terus berlari dan berlari, berpacu dengan
udara dingin dalam gelora hati yang menyandang tugas suci memberantas
keangkaramurkaan.
*** 4 Suasana di kedai yang berada lima tombak dari
tempat Jaka berdiri nampak begitu ramai. Siang yang cukup panas memungkinkan
orang-orang yang lalu-lalang di perbatasan Desa Lejaran, melongokkan wajah ke
kedai yang nampak sangat ter-jaga kebersihannya.
Kebanyakan dari mereka yang masuk ke kedai yang
memiliki dua pelayan perempuan itu, hanyalah seka-
dar mencari minum atau jika memang perut terasa la-
par mereka memesan penganan. Dan di antara pen-
gunjung kedai, ada yang hanya ingin menggoda dua
pelayan yang memiliki paras cantik lumayan.
Semula Jaka hendak ikut meramaikan kedai
itu, namun hasratnya diurungkan ketika melihat iring-iringan pada jarak lebih
kurang sepuluh tombak di sebelah timur.
Bendera kematian, ucap hati Jaka. Mata lelaki
muda yang berjuluk Raja Petir, terus mengikuti iring-
iringan lelaki yang mengusung tiga keranda yang ba-
gian atasnya ditaburi bunga warna-warni.
Sengaja Jaka tidak menuntaskan, rasa ingin
tahunya pada laki-laki yang mengiring keranda per-
tama, dengan menanyakan siapa orang yang tengah
diusung menuju pemakaman.
Pemuda itu malah ingin ikut mengiringi tiga ke-
randa dari belakang. Sambil turut mengiringi jenazah-jenazah yang ditandu, Jaka
melemparkan pertanyaan
pada lelaki yang kebanyakan mengenakan pakaian
perguruan. "Apa nama perguruan yang tengah dilanda du-
ka cita ini, Kisanak?" tanya Jaka pada lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun.
Lelaki tinggi kekar dengan kumis tebal kemera-
han, menoleh ke arah Jaka dengan tatapan menyeli-
dik. Tanpa menjawab pertanyaan Jaka, lelaki itu kembali melempar tatapannya ke
tempat semula. "Namaku Jaka, Kisanak. Aku hanya ingin tahu
kejadian yang menimpa perguruanmu. Tak ada mak-
sud lain, apa lagi memperkeruh suasana duka ini,"
ucap Jaka kemudian berusaha meyakinkan.
Kembali lelaki tinggi kekar berpakaian putih
dan berikat kepala, menatap wajah Jaka. Tatapannya
kali ini dibarengi dengan seulas senyum tipis, nyaris tak terlihat.
"Nama Perguruanku Bintang Timur, Anak Mu-
da," tanpa keraguan ucapan itu keluar dengan lancar dari mulut lelaki tinggi
kekar berkumis agak kemerahan. "Panggil saja Jaka. Oh, ya. Kisanak siapa?" tanya
Jaka lagi. "Talingga," jawab lelaki bertubuh kekar dengan tatapan mata lurus ke muka.
"Yang memakai pakaian biru sutera itu pimpi-
nan Perguruan Bintang Timur?"
Kali ini lelaki bernama Talingga hanya men-
ganggukkan kepala, pertanda dirinya tak mau lagi di-hujani pertanyaan.
Jaka paham akan kelakuan lelaki bernama Ta-
lingga. Dalam keadaan berduka seperti ini, memang
orang lebih banyak memilih diam daripada bicara. Dan tokoh muda digdaya
berpakaian kuning keemasan
mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun kakinya terus
bergerak mengiringi langkah murid-murid Perguruan
Bintang Timur menuju sebuah pemakaman.
*** Ketika upacara pemakaman tiga jenazah sele-
sai. Satu persatu murid Perguruan Bintang Timur me-
ninggalkan tiga gundukan tanah yang masih basah.
Langkah-langkah kaki mereka nampak begitu berat,
seperti masih ada segurat penyesalan yang bergelayut di hati mereka.
Mata Jaka yang berkeliling menatap wajah mu-
rid-murid Perguruan Bintang Timur, tertumbuk pada
sosok lelaki bertubuh tegap mengenakan pakaian sute-ra biru cerah.
Lelaki yang diketahui Jaka dari anggukan ke-
pala Talingga sebagai pimpinan Perguruan Bintang Timur, nampak berdiri dengan
tatapan mata tak lepas
dari tiga gundukan tanah yang masih baru.
Dari jarak lebih kurang empat tombak, Jaka


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat lelaki berpakaian biru itu menarik napas berat.
Dari tarikan nafasnya kemudian menjelma sebentuk
raut wajah yang menggambarkan rasa dendam. Perla-
han pemuda itu mengayunkan langkah menghampiri
pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Maaf, kalau aku mengganggu ketenanganmu
memandangi kuburan itu, Ki," sapa Jaka dengan lembut
Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah itu,
sedikit terkejut mendengar ucapan Jaka. Terlihat dari cara lelaki itu menoleh
dan menatap wajah Jaka dengan dahi berkerut
"Namaku Jaka Sembada, Ki," ucap pemuda itu memperkenalkan diri.
Sengaja lelaki muda yang berjuluk Raja Petir
memperkenalkan nama lengkapnya, dengan harapan
pimpinan Perguruan Bintang Timur mengenali siapa
dirinya sebenarnya. Dan terselip harapan agar tak menemui kesulitan dalam
mendapatkan keterangan,
mengenai kejadian sesungguhnya yang dialami Pergu-
ruan Bintang Timur.
Nama besar memang terkadang membuat se-
seorang lebih mudah mendapat kepercayaan. Itu ter-
bukti dari tatapan mata pimpinan Perguruan Bintang
Timur yang tidak lagi penuh selidik.
"Apakah...?" ragu-ragu lelaki berpakaian biru cerah melontarkan pertanyaan.
"Kenapa, Ki" Ah, jangan ragu-ragu bertanya
padaku," ucap Jaka sopan.
"Apakah kau Jaka yang berjuluk Raja Petir?"
Jaka menyuguhkan sesungging senyum pada
lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Betul sekali dugaan, Kisanak," jawab pemuda itu dengan senyum berkembang.
"Kisanak sendiri siapa?" Lelaki berpakaian biru pimpinan Perguruan Bintang
Timur, tidak segera menjawab pertanyaan Ja-ka. Lelaki itu hanya memandang Jaka
dengan wajah berubah cerah. "Aku Winduta, Raja Petir," jawab pimpinan Perguruan Bintang Timur diiringi
tarikan napas lega. "Se-
nang sekali dapat bertemu dengan orang yang punya
nama besar sepertimu, Raja Petir," lanjut lelaki bernama Winduta.
"Jangan menyebutku dengan julukan itu, Ki
Winduta. Cukup memanggilku Jaka saja," kilah Jaka polos. Ki Winduta tersenyum
sekilas, namun senyu-mannya segera berubah menjelmakan raut muka ke-
ruh, ketika matanya kembali bersirobok dengan tiga
gundukan tanah yang masih basah.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah tiga jenazah
yang baru disemayamkan itu, Ki Windu?" tanya Jaka seraya ikut memandang ketiga
kuburan itu. Ki Winduta menatap wajah Raja Petir dalam-
dalam. "Putra tunggalku, adik kandungku dan adik iparku," jawab Ki Winduta agak
bergetar. "Ah!"
Terkejut Jaka mendengar jawaban Ki Winduta.
"Iblis-iblis itu memang bukan tandingan Jala-
soka, putra tunggalku, begitu juga Sargana dan Mada-ka. Mereka bertiga memiliki
kemampuan yang jauh di
bawah iblis-iblis laknat itu!" papar Ki Winduta dengan penuh kegeraman.
"Siapa mereka itu, Ki?" selidik Jaka ingin tahu.
Ki Winduta tak menjawab pertanyaan pemuda
itu. Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur hanya menyelinapkan tangan ke balik
pakaiannya yang longgar.
Lelaki yang pada punggungnya tersampir seba-
tang pedang, yang di gagangnya tersemat lempengan
bintang dari logam keras, kemudian menyerahkan se-
carik surat pada Raja Petir.
"Apa ini, Ki Winduta?" tanya Jaka tak mengerti.
"Bacalah, Jaka. Di situ kau akan tahu siapa Ib-
lis-iblis yang telah menewaskan putra tunggalku, adik kandungku dan adik
iparku," jawab Ki Winduta.
Tanpa ragu-ragu pemuda itu membuka lipatan
serat kayu yang diberikan Ki Winduta. Mendadak wa-
jah sosok muda yang digdaya itu berubah, wajah tam-
pan nan putih segera menjadi kemerahan. Otot-otot
wajahnya menegang dan gigi-giginya disatukan dengan tekanan kuat.
"Kenapa kau, Jaka?" tanya Ki Winduta dengan benak dipenuhi keheranan.
"Biadab!" maki Jaka.
Ki Winduta jadi semakin heran menyaksikan
tingkah tokoh muda, yang namanya menggaung di
seantero rimba persilatan.
"Kau Juga mempunyai urusan dengan mereka,
Jaka?" tanya Ki Winduta menduga-duga.
"Ancaman ini tidak main-main, Ki Winduta. Ka-
lau saja kau izinkan aku membantumu mengusir iblis-
iblis itu," ujar Jaka mengalihkan pertanyaan Ki Winduta.
Sengaja Jaka melakukan hal itu, agar Ki Win-
duta tak mengetahui dirinya mempunyai persoalan
dengan orang-orang yang telah melenyapkan nyawa
Eyang Legar. "Aku gembira sekali jika kau mau melakukan-
nya untukku, Jaka," jawab Ki Winduta. Wajah lelaki itu kembali cerah. "Terus
terang, Jaka. Untuk menghadapi mereka sekaligus, atau hanya berdua rasanya
kepandaian yang kumiliki belum cukup," lanjut Ki Winduta.
"Ah. Jangan terlalu merendah, Ki. Kepandaian
yang kumiliki juga belum tentu dapat menaklukkan
mereka. Karena aku belum tahu ketinggian ilmu iblis-iblis itu," kilah Jaka
merasa ucapan merendah Ki Winduta untuk mengangkat dirinya.
"Aku yakin betul dengan nama besarmu, Raja
Petir," tandas Ki Winduta. "Kau pasti dapat memban-tuku mengusir iblis-iblis
laknat itu!"
"Kita sama-sama berdoa, Ki," timpal Jaka merasa keyakinan Ki Winduta akan
kemampuannya tak
dapat dipengaruhi lagi.
"Terima kasih, Jaka. Sekarang, mari ke gubuk-
ku," ajak Ki Winduta seraya meraih bahu Jaka.
Matahari tegak di atas kepala, ketika Jaka dan
Ki Winduta meninggalkan area pemakaman. Angin ber-
tiup semilir menebarkan hawa panas dan debu tanah
kering. *** "Sebenarnya Ki Windu mempunyai persoalan
apa dengan Mayat Merah dan kawan-kawannya, hing-
ga mereka dengan keji membantai keluarga Ki Windu?"
tanya Jaka sesaat setelah duduk di ruang khusus Ki
Winduta. "Sebenarnya kami tak punya urusan dengan
mereka, Jaka," jawab istri Ki Winduta yang tiba-tiba muncul dengan membawa dua
gelas air dan sepiring
makanan kecil. Pemuda itu segera menoleh pada perempuan
berusia sekitar empat puluh tahun. Perempuan ber-
pakaian merah darah itu nampak segar dan cantik.
"Maksud, Nyai?" tanya Jaka menyelidik.
"Mereka kecewa karena lamarannya ditolak
mentah-mentah oleh Ki Ranurota," jawab Ki Winduta.
"Aku jadi semakin tak mengerti, Ki," ucap Jaka.
"Ki Ranurota sahabat karib ku. Ia mempunyai
dua anak perempuan, yang sulung sudah berkeluarga
dan kini ikut suaminya. Sedang yang bungsu kekasih
Jalasoka, putra tunggalku," jelas Ki Winduta.
"Ki Ranurota menolak lamaran Mayat Merah
karena anak kami sudah saling mencintai. Di samping itu Ki Ranurota tidak ingin
berbesan dengan lelaki dari tokoh golongan hitam," tambah istri Ki Winduta.
"Pelampiasan kemarahan mereka tertuju pada
Jalasoka, yang dianggap penghalang utama dan pe-
nyebab lamaran ditolak Ki Ranurota. Bahkan dalam
surat mereka berjanji, akan melenyapkan seluruh
penghuni Perguruan Bintang Timur dan membumi-
hanguskan perguruannya," lanjut Ki Winduta.
"Mereka memang iblis!" maki istri Ki Winduta.
"Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini! Dan aku bersyukur kau berkenan
membantu kami, Jaka,"
lanjut istri Ki Winduta.
"Ini semata bagian dari kewajibanku, Nyai. Aku akan melaksanakannya sebatas
kemampuanku," ujar Jaka menimpali ucapan istri Ki Winduta.
Istri Ki Winduta tersenyum haru mendengar
ucapan tulus Jaka. Itu sebabnya tatapan mata pe-
rempuan berpakaian merah darah tak lepas dari wajah tampan sosok muda yang
memiliki kesaktian tinggi.
Sosok Raja Petir yang di mata Istri Ki Winduta sebagai malaikat penolong berbudi
luhur. Dan Jaka sebenarnya risih dengan tatapan istri Ki Winduta yang me-
mandangnya seperti itu.
"Apakah Ki Winduta dapat menduga, kapan ki-
ra-kira ancaman itu dilaksanakan Mayat Merah dan
teman-temannya?" tanya Jaka coba mengalihkan perhatian istri Ki Winduta.
Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah
menggelengkan kepala.
"Apa kau punya urusan lain, Jaka?" tanya istri Ki Winduta dengan nada penuh
kekhawatiran. Nyai Rasmanah takut jika Raja Petir pergi me-
ninggalkan Perguruan Bintang Timur. Dan pada saat
kepergiannya, ancaman Mayat Merah dan rekan-
rekannya dilaksanakan.
"Selama mengembara, aku selalu disibukkan
dengan urusan-urusan yang kuanggap sebagai kewaji-
banku, Nyai. Begitu juga dengan persoalan Ki Winduta.
Aku tidak akan meninggalkan perguruan ini, sebelum
urusan di Perguruan Bintang Timur selesai. Berdoalah untuk itu, Nyai," jelas
Jaka menangkap gurat kekhawatiran Nyi Rasmanah.
Suasana seketika berubah hening setelah Jaka
selesai bicara. Mata Nyai Rasmanah saling bersitatap dengan Ki Winduta.
Sementara langit di luar Perguruan Bintang Ti-
mur sedikit redup dan teduh karena hari beranjak
sore, angin bertiup menebarkan hawa dingin yang mu-
lai terasa menggigit.
Di dalam ruang khusus, Jaka dan Ki Winduta
tengah mengatur siasat menghadapi Mayat Merah dan
kawan-kawan. *** 5 Pagi datang dengan seluruh keindahannya. La-
ngit cerah sedikit pun tak dikotori awan hitam, yang sudah tujuh hari ini
bersemayam di atas bumi Lejaran.
Burung-burung kecil berlompatan dari tangkai pohon
satu ke tangkai pohon yang lain, ditingkahi nyanyian merdunya yang menjadikan
pagi begitu indah untuk
dinikmati. Dalam sebuah ruangan di rumah Ki Winduta,
Jaka nampak sedang duduk bersama Ki Winduta
menghadapi makan pagi yang disuguhi Nyi Rasmanah.
Makan pagi yang kelihatan nikmat itu membuat
Jaka dan Ki Winduta ingin segera mencicipi. Namun
ketika kedua lelaki itu hendak melaksanakan ke-
inginannya, suara gaduh membuat Jaka dan Ki Win-
duta mengurungkan niatnya.
Dua lelaki yang berpakaian kuning keemasan
dan biru cerah seketika bangkit dari duduk. Ki Win-
duta lebih dulu meninggalkan tempat duduknya, dis-
usul Jaka. Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur ber-
gegas keluar. "Hah"!"
Terkejut Ki Winduta menyaksikan enam orang
murid kelas dua, tengah bertarung menghadapi dua lelaki berpakaian hijau dan
hitam. Rasa terkejut Ki Winduta semakin bertambah,
ketika seorang murid kelas tiga menunjukkan tiga peti mati yang tergeletak di
bawah pohon besar.
Tanpa ragu-ragu Ki Winduta membuka peti ma-
ti itu. "Ah!"
Tercekat hati lelaki itu menyaksikan jenazah
Jalasoka pada ubun-ubunnya tertancap sebuah pate-
ram. Yakni sebilah keris kecil dengan hulu terbuat dari logam perak.
"Biadab!" maid Ki Winduta cukup keras. "Siapa yang telah lancang menggali kubur
anakku!" "Dua lelaki itu yang membawa tiga peti mati ini ke sini, Guru," lapor murid
kelas tiga Perguruan Bintang Timur. "Mereka mengaku berjuluk Dua Bajingan Hutan
Welirang."
"Keparat! Apa mereka yang telah menggali ku-
bur Jalasoka?"
Ki Winduta kembali membuka dua peti mati di
depannya. Kenyataan yang sama kembali didapati le-
laki berpakaian sutera biru cerah. Jenazah Sargara
dan Madaka pun pada ubun-ubunnya terbenam sebi-
lah pateram. Setelah menutup kembali peti mati Sargara dan
Madaka, Ki Winduta melempar pandangannya ke are-
na pertempuran. Tampak murid-murid Perguruan Bin-
tang Timur sedang menghadapi dua lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun,
yang mengaku berjuluk Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Minggir kalian semua!" bentak Ki Winduta pa-da murid-muridnya yang sedang
bertarung. Enam lelaki berpakaian putih yang tercatat se-
bagai murid kelas tiga Perguruan Bintang Timur, sege-ra berloncatan ke belakang
menghindari pertarungan
dengan dua lelaki berpakaian hijau dan hitam.
Ki Winduta menatap tajam dua lelaki berpa-
kaian hitam dan hijau bergantian, setelah seluruh muridnya menjauhi dua lelaki
bertubuh tinggi tegap itu.
"Hmmm.... Apakah kalian yang telah menggali
makam putra tunggalku dan saudara-saudaranya, lalu
meletakkan dengan sengaja di halaman rumahku?"
tanya Ki Winduta tajam.
"Tidak semua yang kau tanyakan benar!" jawab lelaki berpakaian hijau dengan
tatapan mata menco-rong tajam.
"Jangan main-main denganku, Kisanak! Kepa-
lamu bisa kupenggal sekarang juga! Jawab perta-
nyaanku dengan benar!" hardik Ki Winduta dengan darah naik ke ubun-ubun.
"Sombong sekali kau, Tua Bangka," balas lelaki berpakaian hitam. "Tapi baiklah,
aku akan menjawab sejelas-jelasnya pertanyaanmu, anggap saja sebagai
bingkisan dariku untuk menghadiri ke-matianmu! Tua
Bangka, yang meletakkan tiga peti mati di depan ru-
mahmu memang kami Dua Bajingan Hutan Welirang,
namun yang menggali kubur bukan kami!"


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, siapa yang menyuruhmu!" bentak Ki Winduta dengan tangan bergerak
hendak meraih hulu
pedang. "Untuk apa kau tahu! Kami dibayar mahal hanya untuk pekerjaan sepele
ini," elak lelaki berpakaian hitam dengan gaya menantang.
"Kurang ajar! Kalian berdua harus mampus!"
Lelaki berpakaian biru cerah itu segera melom-
pat ke arah Dua Bajingan Hutan Welirang. Gerakan
pimpinan Perguruan Bintang Timur begitu cepat, hing-ga tubuh Ki Winduta tahu-
tahu sudah berada di depan lelaki berpakaian hijau dengan kepalan tangan
mengarah ke wajah salah satu Dua Bajingan Hutan Welirang
"Hih!"
Wus! "Uts!"
Lelaki berpakaian hijau yang mendapat serang-
an cepat dari Ki Winduta nampak sedikit kewalahan
terlihat dari gerakan menghindar yang dilakukan sebi-sanya. Namun lelaki anggota
Dua Bajingan Hutan We-
lirang mampu mengelakkan serangan Ki Winduta,
bahkan memberikan sodokan balasan yang tak kalah
cepat, terarah ke iga pimpinan Perguruan Bintang Timur. "Mampus kau!"
"Uts!"
Ki Winduta melompat ringan ke belakang,
menghindari sodokan tangan lelaki berpakaian hijau.
Tapi rupanya anggota Dua Bajingan Hutan Welirang
yang lain, tak senang berpangku tangan.
Pada saat Ki Winduta melompat mundur, lelaki
berpakaian hitam juga melompat kuat dengan kedu-
dukan kaki kanan menciptakan tendangan lurus ke
dada pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Hiaaa...!"
"Heh"!"
Tendangan lurus keras yang dilancarkan lelaki
berpakaian hitam begitu cepat datangnya. Ki Winduta sempat terkejut mendapatkan
serangan yang tak didu-ga. Namun berkat pengalamannya selama ini, Ki Win-
duta segera menggerakkan tangan kirinya dengan pen-
gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya....
Plak! "Aaa...!"
Tubuh Ki Winduta terhuyung ke kanan, saat
tangkisan tangan kirinya berhasil melindungi dada da-ri sasaran tendangan lawan.
Tak urung pekik kesaki-
tan keluar dari mulut lelaki berpakaian sutera biru cerah. Ki Winduta merasa
getaran kuat menjalari tan-
gannya. Apa yang dialami Ki Winduta ternyata tidak
demikian dengan lelaki berpakaian hitam. Setelah benturan keras tadi, lelaki itu
mengalihkan daya bentur yang mendorong kuat kakinya dengan sebuah gerakan
indah dan manis. Tubuh lelaki yang terbalut pakaian longgar hitam, berputaran
dua kali di udara dan mendarat dengan ringan di tanah.
Jleg! "Habisi saja, Kakang Wiroga!" teriak lelaki berpakaian hijau.
Lelaki berpakaian hitam yang ternyata bernama
Wiroga, tersenyum seraya menatap lelaki berpakaian hijau. "Tentu saja, Adi
Galaba. Tua bangka ini sudah meremehkan kita, maka lelaki ini harus mati di
tangan kita," jawab Wiroga mantap.
"Kalau begitu kita habisi bersama-sama, Ka-
kang," ajak lelaki berpakaian hijau yang bernama Ga-
laba. "Ayo, Adi Galaba!"
Dua lelaki berpakaian hitam dan hijau yang
berjuluk Dua Bajingan Hutan Welirang, segera ber-
gerak cepat ke arah tubuh Ki Winduta. Angin menderu menyertai terjangan Dua
Bajingan Hutan Welirang, ditingkahi jeritan yang menggelegar keras.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Ki Winduta tersentak menyaksikan dua lelaki
itu menyerangnya bersama-sama. Pikiran lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur
segera bekerja cepat.
Kalau dirinya meladeni serangan dahsyat itu, hanya
dengan mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya
yang dirasa lebih rendah dari lawan, jelas akan menemui kesulitan. Berdasarkan
pertimbangan itu, Ki Winduta segera meloloskan senjata dari warangkanya.
Srat! Baru saja tangan lelaki pimpinan Perguruan
Bintang Umur meloloskan senjata, serangan Dua Ba-
jingan Hutan Welirang sudah tiba di depan mukanya.
Maka tanpa membuang-buang kesempatan, lelaki ber-
pakaian sutera biru cerah segera mengibaskan pe-
dangnya. "Hih!"
Trak! Des! "Akh!"
Tubuh Ki Winduta langsung terpental, ketika
hantaman senjatanya yang membentur tubuh lelaki
berpakaian hitam tak mampu berbuat banyak. Mala-
han pedang kebanggaan Perguruan Bintang Timur pa-
tah menjadi dua, sedang tubuh pemiliknya terpental
deras ketika tendangan lurus Gala mendarat telak di perut.
Murid-murid Perguruan Bintang Timur tersen-
tak menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Beberapa orang murid kelas dua
bergerak cepat menyongsong
tubuh gurunya, sedang dua orang murid utama Pergu-
ruan Bintang Timur meloncat ke depan, menghadang
Dua Bajingan Hutan Welirang yang sudah mengambil
ancang-ancang untuk kembali menyerang.
Bersamaan dengan itu, Jaka melompat dari
pintu utama kediaman Ki Winduta.
"Tunggu!" bentak Jaka pada murid kelas satu Perguruan Bintang Timur yang ingin
menyerang Dua Bajingan Hutan Welirang.
Dua lelaki berpakaian putih yang pada bagian
dada tersemat sebuah bintang kecil terbuat dari logam keras, segera melompat
mundur menyaksikan kedatangan Jaka.
"Mereka bukan tandingan kalian, sebaiknya ka-
lian menyingkir dan bawa masuk Ki Winduta," perintah Jaka tegas.
Dua murid kelas satu Perguruan Bintang Timur
langsung mematuhi perintah Jaka. Sedang Dua Ba-
jingan Hutan Welirang yang menyaksikan kedatangan
lelaki muda berpakaian kuning keemasan, menge-
rutkan dahinya.
"Siapa kau, Kisanak" Jangan coba-coba men-
campuri urusan Dua Bajingan Hutan Welirang, kalau
tak ingin mati konyol!" bentak Wiroga keras.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan lelaki
berpakaian hitam bernama Wiroga, mata Jaka hanya
menatap wajah Wiroga seperti tanpa beban.
"Aku, tamu Ki Winduta," jawab Jaka kemudian.
"Sedang namaku, ah! Kurasa tanpa kuberi-tahu kau sudah mengenalku, seperti
tokoh-tokoh persilatan
yang lain," lanjut pemuda itu memancing kemarahan Dua Bajingan Hutan Welirang.
Makhluk Jejadian 3 Dewi Ular Parit Kematian Bangau Sakti 15
^