Pencarian

Manusia Serigala 3

Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap Bagian 3


tanya. "Tolong saya diberitahu, Kapten. Siapa orang
dibelakang pencuri-pencuri itu ...."
"Hai, Neng. Kau maksudkan..."
Kalimat Rukmana terputus sampai di situ, karena
Sumiyati telah masuk lagi ke kamar sekalian
mengunci pintu. Semua yang hadir sama bertukar
pandang, bingung. Kecuali ljah. Waktu mereka hanya
berdua saja di balik kamar tertutup itu, ljah telah
berusaha menghibur majikannya dari penderitaan
shock yang hebat ditinggal mati Ayahnya dan lebih
dari itu, rahasia Ayahnya akhirnya semakin terbuka di
mata lebih banyak orang. Sesudah Sumiyati agak
pulih, ia tampak memikirkan sesuatu lalu meminta
pembantunya menceritakan secara lengkap dan jelas
mengenai jalannya peristiwa tragedi di rumah
mereka. Sumiyati demikian telitinya, sehingga
beberapa kali ia memotong cerita ljah untuk
menanyakan sesuatu. Gadis itu kemudian berdiam
diri, tidak bertanya apa-apa lagi setelah ljah
mengulangi apa yang sempat ia dengar dari mulut si
pencuri dengan cacat bekas luka di pelipis:
"Sikat apa yang kau mau. Gadis itu bagianku!"
*cb***
EFISIENSI kerja Rukmana Hadinata tidak usah
diragukan lagi. la kerahkan satu tim khusus untuk
melacak berbagai sasaran. la cukup memberi petujuk-
petunjuk yang diperlukan, sementara ia sendiri tetap
stand by di kantornya untuk menjalankan tugas
sehari-hari. Hanya satu kali ia keluar dari kantor. ltu
pun karena orang yang ia butuhkan keterangannya, ia
ragukan dapat dihadapi anak-buahnya. Pukul 11 siang,
ia kembali ke kantor, di mana laporan-laporan yang
diharapkan sudah masuk. la membuat beberapa
catatan, sementara otaknya terus bekerja seperti
komputer. Tepat tengah hari, ia sudah dapat menarik
analisa yang ia perkirakan cukup akurat, meski hanya
untuk sementara. Pukul satu siang, ia menghadap
komandan untuk mendiskusikan beberapa hal. Dan
dua jam berikutnya, ia menelepon Sumiyati.
Hal pertama yang diberitahu Rukmana adalah
mengenai si pencuri yang segera dilarikan ke
rumahsakit untuk menjalani perawatan darurat. Si
celaka itu menghembuskan nafas terakhir dua menit
sebelum tiba di meja bedah, jadi tak dapat diperoleh
keterangan ana pun dari mulutnya. Namun file
tentang dirinya ada di kepolisian. la diketahui
bernama Ronggur Pangaribuan, kelahiran Balige
Sumatera Utara dan pernah aktif di ketentaraan,
dengan pangkat terakhir Sersan Satu.
Tahun 1970, Ronggur dihadapkan ke Mahkamah Militer
karena terbukti menyewakan senjata dinasnya pada
komplotan perampok. la juga dituduh melakukan
sejumlah tindakan indisipliner. Oleh Mahkamah, ia
dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 4 bulan, dan dipecat
dari dinas. Tahun 1975 ia masuk penjara untuk kedua
kalinya karena terlibat tindak pidana perampokan,
pembunuhan, perkosaan. Ronggur bebas dari penjara
tahun 1981, dan selama beberapa waktu namanya
menghilang dari peredaran. Diduga, ia 'istirahat' di
kampung halamannya, Balige. Namanya muncul lagi
ke permukaan pada tahun 1983 karena terlibat
perkelahian dan penganiayaan. Istri Alex, salah
seorang sahabat lamanya diperkosa orang. Ronggur
mencari si pemerkosa, memancingnya untuk memulai
perkelahian dan kemudian membuat orang itu babak
belur sehingga cacat seumur hidup. Oleh lawannya,
Ronggur digugat ke pengadilan.
Sahabatnya, Alex, tidak mau tinggal diam. Alex
menemui majikannya, minta tolong dicarikan seorang
pembela buat Ronggur. Penasihat hukum Anwar
Sobirin SH, dengan lihai membuat keadaan
sedemikian rupa sehingga penganiayaan yang
dilakukan Ronggur tenggelam oleh perkara perkosaan
yang dilakukan si penggugat. Si penggugat mau tidak
mau terpaksa mencabut gugatannya. Ronggur
dibebaskan dari tuntutan hukum, lalu ditawari
pekerjaan oleh majikan Alex. Resminya sebagai
penjaga malam, tetapi tugasnya lebih banyak sebagai
tukang pukul. "Nah...." Rukmana berdecak sebentar, sebelum
melanjutkan di telepon: "Di sinilah persoalan menjadi
menarik, Neng. Pistol yang dipergunakan Ronggur
menyatroni rumahmu dan kini kami sita, memiliki
surat-surat izin pemilikan yang sah. Pistol itu tercatat
atas nama majikan Ronggur..."
"Siapa majikan Ronggur itu, Kapten?" tanya Sumiyati
tidak sabar. "Alaaa. Tak usah bermain kura-kura dalam perahu,
Neng!" Rukmana Hadinata menyeringai.
Setelah sepi beberapa saat, terdengar suara Sumiyati
menahan nafas, lalu berbisik: "Eddi Bratamenggala?"
"Hampir." "Barman Bratamenggala?"
"Persis, Neng."
"Oh ...." "Tunggu dulu, Neng. Jangan buru-buru mengambil
kesimpulan," Rukmana cepat-cepat menyela. "Aku
percaya bankir itu tidak terlibat dalam urusanmu..."
"Alasannya?" Rukmana Hadinata lalu menceritakan bahwa ia sendiri
yang pergi menemui Barman Bratamenggala untuk
dimintai keterangan. la diberitahu bahwa tukang
pukulnya terlibat tindak pidana tetapi tidak diberitahu
kalau yang bersangkutan sudah mati.
"Anak brengsek itu!" Barman langsung memaki.
"Apakah aku kurang menggajinya dan kurang
memberi bonus?" Ditanya apakah senjata miliknya masih ada padanya,
Barman mengiyakan lalu pergi ke meja kerjanya
untuk meyakinkan jawabannya pa
da Rukmana. Seketika ia blingsatan setelah mencari kian kemari
pistolnya tidak juga ketemu.
"Apakah yang ini?" desah Rukmana seraya
memperlihatkan barang bukti sitaan yang masih
terbungkus plastik. Barman meneliti senjata itu
sejenak, sambil bertanya darimana Rukmana
mendapatkannya. "Dari pegawaimu, Ronggur," jawab Rukmana
Hadinata. Dan meluaplah kemarahan si bankir. "Jadi anak sialan
itu sudah ada di tangan kalian, ya" la telah mengotori
kamar kerjaku, sekaligus mendatangkan aib padaku.
Kalau diperkenankan, Kapten, perbolehkan aku
menemuinya dan menembak kepalanya!"
Dalam pembicaraan telepon dengan Sumiyati,
Rukmana menjelaskan hal-hal lain yang ia simpulkan
dari sikap si bankir. "Aku mengenal banyak watak
orang dan kemudian menarik kesimpulan tentang
bankir itu. Bahwa, Neng, ia tidak sedang melakonkan
sarndiwara satu babak."
"Bagaimana dengan putranya, Eddi?"
"Letnanku telah berbicara dengan dia, dan
memperoleh keterangan bahwa diam-diam Ronggur
masih sering melakukan hal-hal memalukan tanpa
setahu majikannya. Eddi katanya mengetahui hal itu
dari Alex, tetapi katanya ia punya alasan kuat
memberitahu ayahnya. Katanya, selain takut pada
Ronggur, ia tak ingin mengusik ketentraman ayahnya
selama Ronggur tidak melakukan sesuatu yang dapat
merusak nama baik ayahnya. Alex mendukung
penjelasan tuan mudanya dalam suatu pemeriksaan
silang. Tetapi kami tidak bodoh, Neng," Rukmana
berdecak lagi. "Anak buahku memperoleh informasi
dari sana sini, bahwa Ronggur sudah cukup puas
dengan pekerjaannya yang sekarang dan
memutuskan untuk hidup damai bersama anak
istrinya. Selain dari majikannya, ia juga memperoleh
tambahan pemasukan dari putra majikannya untuk
menangani urusan-urusan tertentu. Tak diperoleh
keterangan, urusan tertentu apa.... Nah. Apa yang ada
dalam pikiranmu, Neng?"
Agak lama, baru terdengar sahutan Sumiyati: "Dan
apa yang ada dalam pikiran Anda, Kapten?"
Pertanyaan balik itu disiratkan Rukmana Hadinata
sebagai suatu pernyataan tersembunyi serta
mengandung bahaya. Maka ia lalu merendahkan
tekanan suaranya. Berkata: "Mau menerima nasihati,
Gadis Cantik" Sebaiknya kau jauhi dan lupakan saja
anak beranak itu. Ada orang kuat di belakang
mereka. Selain itu lebih baik kau percayakan saja
pada kami apabila salah seorang dari mereka berdua
memang perlu diurus. Jangan melakukan sesuatu,
Neng, tanpa memberitahuku lebih dulu...!"
"Apa yang dapat saya lakukan, Kapten" Saya hanya
seorang perempuan lemah, tak berdaya...," jawab
Sumiyati lirih, lalu kemudian mengalihkan
pembicaraan dengan bijaksana: "Bagaimana dengan
janji Kapten mengenai ayah saya?"
"Tak ada yang perlu kau khawatirkan, Gadis Cantik,"
jawab Rukmana menghibur. "Kecuali aku dan dokter
Singgih, tak seorang pun orang luar mengetahui
hubunganmu dengan makhluk..., eh, maksudku
dengan penyerang Ronggur serta temannya yang
malang itu. Yang penting aku dapat membuat laporan
akurat mengenai orang yang kami cari sehubungan
dengan terbunuhnya Azis Partogi dan janda pemilik
warung di desa Buahbatu itu. Oh ya, apakah kau
tetap keberatan ayahmu diotopsi?"
"Dia sudah mati, Kapten..."
"Jelaskan, Neng."
"Makin cepat dia dikubur, makin baik," Sumiyati
berujar hambar, setelah mana tanpa berpikir panjang
ia putuskan begitu saja. Tinggal bunyi berdenging di telinga Rukmana, yang
membuat kapten polisi itu termangu-mangu beberapa
saat. la pandangi gagang telepon di tangannya, lalu
menyeringai sembari berkata-kata sendirian:
"Mengapa kau ini, Neng" Baru begitu saja kok sudah
merajuk. Oh, apa" Kau hanya bersenda gurau.
Syukurlah. Apakah kita jadi makan malam" Oh, jadi
kau tidak enak badan. Tak apalah. Lain kali saja kita
bicarakan lagi. Selamat siang, Neng!"
Gagang telepon ia letakkan di tempatnya, disertai
ucapan lembut untuk dirinya sendiri "Siang, Kapten!"
Tetapi duduknya seketika menjadi resah, dengan
kepala dipenuhi tanda tanya. Misalkan dugaan
Sumiyati benar. Pencuri Di kantor Satuan Reserse Poltabes Bandung, Kapten
Polisi Rukmana Hadinata sangat kecewa karena gagal
lagi menghubungi Eddi Bratamenggala. Ia juga
merasa cemas ketika lewat pesawat handie-talkie, ia
menerima laporan dari anak buahnya:
"Burung dara meninggalkan sarangnya, Kapten."
"Ikuti dan beritahu segera dimana ia hinggap, Sersan,"
Rukmana memberikan instruksi.
*
Sumiyati meninggalkan rumah dengan
mempergunakan taksi yang telah ia pesan lebih dulu.
la tidak mau mengambil resiko diikuti. Oleh
karenanya, setiba di Jalan Dalem Kaum dengan tiba-
tiba ia menyuruh taksi berhenti, membayar ongkos
secukupnya dihitung tarip per dua jam. Dengan cepat
ia menyelinap ke sebuah pusat perbelanjaan yang ia
ketahui selalu ramai dengan pengunjung karena
selain penjual model-model terbaru, pusat
perbelanjaan itu juga memasang obral. la sering
berbelanja di situ, sehingga tahu betul seluk-beluknya.
Dalam waktu tiga menit ia telah keluar lewat pintu
lainnya setelah menyelinap ke gang di samping
kamar kecil, dan langsung naik ke sebuah taksi yang
banyak mangkal di situ. Supir ia suruh tancap gas,
baru kemudian memberitahu agar ia dibawa berputar-
putar dulu. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti ia
minta diantarkan ke hotel "Kumala". Di buku tamu,
namanya telah terdaftar sebagai Nyonya Bustaman.
Soal administrasi, gampang. la tinggal menjelaskan
dengan nada menyesal: "Aduh, bagaimana ya. Kartu
pengenal saya terbawa oleh Bapaknya anak-anak.
Nantilah, kalau ia sudah datang menyusul..." Lalu
berikan tip lumayan pada si penerima tamu, dengan
ekstra senyuman manis dengan pandangan mata
sedikit binal, sehingga si resepsionis yang menerima
tip besar itu akan mengerti dengan sendirinya dan
tidak akan mengajukan pertanyaan apa pun lagi.
*
Dari kamar hotelnya, Sumiyati kemudian menelepon
orang yang ia anggap bakal mendukungnya tanpa
reserve. Baru pada telepon yang ketiga kannya, ia
mendengar suara serak Anton, wartawan majalah
Seecta Group yang tak pernah kenal lelah mengejar-
ngejarnya itu. Setelah menyatakan kebahagiaannya
mendengar Sumiyati baik-baik saja, Anton kemudian
bertanya harap-harap cemas:
"Apakah lamaranku sudah disampaikan Bu ljah?"
Sumiyati terkejut, kemudian tertawa. "Kok mesti
lewat orang lain sih?" komentarnya menggoda.
"Betul juga ya. Kalau begitu, kapan kau siap


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerimaku, Kekasih?"
"Nanti. Setelah urusanku beres."
"Urusan apa, Sayangku?"
Gombal, pikir Sumiyati seraya menahan ketawa. Lalu
dengan suara sungguh-sungguh dan bernada
ketakutan, ia berkata: "Aku terlibat suatu perkara yang tak dapat kuelakkan.
Menyangkut berita, Anton. Dan tanpa sadar aku
masuk perangkap sumber beritaku. Terpaksa aku kini
sibuk mencari alibi..."
"Hanya sekedar alibi, Kekasihku Sayang?" Anton
setengah berseru. "Kau suruh mengencingi si terkutuk
itu pun, aku siap demi kau!"
Mereka berbicara selama lima menit lagi. Kemudian
Sumiyati merebahkan diri di tempat tidur.
*
Di kantornya, Rukmana Hadinata justru baru tersentak
dari duduknya. Anak buahnya melapor:
"Burung dara menghilang. Kapten..."
"Dan apa saja yang kau kerjakan"!" Rukmana benar-
benar naik pitam. "Mengelus-elus burungmu sendiri,
ya"!" Sialan! Benar-benar sialan!
*
TETAPl Dewi Fortuna masih mau melirik Rukmana
Hadinata, meski cuma lirikan setengah hati. la
menyebar anak buahnya untuk melacak daerah
sekitar pusat perbelanjaan di Jalan Dalem Kaum itu,
yang mempunyai jalan tembus untuk keluar di arah
berlawanan, yakni ke Jalan Kapatihan. Di pangkalan
taksi mereka memperoleh petunjuk, bahwa gadis
yang ciri-cirinya mereka sebutkan memang terlihat
menaiki salah sebuah taksi liar disitu. Si gadis
tampaknya buru-buru karena taksi langsung tancap
gas. "Bahkan si Herman sampai lupa memberi bagianku!"
nyeletuk salah seorang calo taksi pada polisi yang
menanyainya. "Herman" Diakah supir taksi dimaksud?"
"Benar, Pak. la sedang mujur hari ini. Belum sam
pai lima menit ia kembali dari mengantarkan gadis itu, ia
sudah dicari seorang langganan yang minta
diantarkan ke Sumedang..."
"Sumedang" Wah. Kapan pulangnya?"
"Biasanya sih sekitar pukul tujuh malam ltu kalau
urusan langganannya berjalan lancar, dan lalu-lintas
tidak macet pula." Herman, supir taksi dimaksud, terkejut ketika pukul
setengah delapan malam ia kembali ke pangkalan
dan langsung berhadapan dengan dua orang polisi
berpakaian preman. la merasa lega karena ternyata ia
tidak terlibat perkara kriminil dan dengan senang hati
menceritakan bagaimana gadis yang dicari polisi itu
mengajaknya berputar-putar sebentar sebelum
kemudian minta diturunkan di hotel "Kumala".
Laporan mengenai itu segera sampai ke telinga
Rukmana Hadinata. la lalu memutuskan untuk
bertemu dan bicara secara pribadi dengan Sumiyati.
Lalu ia ngebut ke hotel "Kumala", dimana ia kemudian
disambut oleh salah seorang anak buahnya yang
sudah tiba lebih dulu. "Burung dara kita tidak ada di tempat, Kapten," anak
buahnya melaporkan. "Resepsionis itu terpaksa saya
sudutkan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.
Dapat dipastikan, bahwa sasaran kita mendaftarkan
nama di hotel ini sebagai Nyonya Bustaman ...."
"Kau bilang, ia tak ada di kamarnya?" Rukmana
mengeluh kecewa. "Seorang laki-laki menjemputnya sekitar setengah
jam yang lalu, Kapten."
"Siapa?" "Laki-laki tak dikenal. Bertubuh tinggi kekar, tampan,
perlente. Penjaga malam hotel melihat mereka pergi
menaiki sebuah mobil berwarna gelap, diduga jenis
Corolla rakitan terbaru..."
Syaraf-syarat tubuh Rukmana Hadinata seketika
menjadi tegang. Naluri polisinya langsung beraksi. la
belum kenal Eddi Bratamenggala, karena yang
mendatangi lelaki itu di kantornya untuk diminta
keterangan mengenai almarhum Ronggur
Pangaribuan, adalah anak buah Rukmana. Tetapi
bunyi lonceng yang berdentang di otak polisinya
mengatakan bahwa lelaki yang menjemput Sumiyati
pastilah Eddi Bratamenggala.
Untuk meyakinkan kebenaran dugaannya, ia
meminjam telepon hotel dan menghubungi rumah
Eddi Bratamenggala. Yang menyahuti teleponnya
memperkenalkan diri dengan nama Anita, istri orang
yang ia cari. Perempuan itu memberitahu, suaminya
meninggalkan rumah sekitar satu jam sebelumnya.
"Heran," kata Anita di telepon. "Pesan Pak Rukmana
telah saya teruskan padanya. Malah sebelum pergi, ia
bilang justru akan menemui Bapak ...!"
"Seumur hidupku, suami Nyonya belum pernah
kulihat," tandas Rukmana.
"Wah, bagaimana ini. Padahal suami saya membawa
sejumlah besar uang, juga cheque...."
Panas telinga si perwira polisi. Ia merasa dituduh,
uang dan cheque itu diperuntukkan buat dirinya.
Tentulah perempuan itu berpikir bahwa suaminya
ingin agar sang Kapten menutupi sesuatu. Ha, apa
yang harus ia tutupi" Dan apa pula dibalik semua
urusan yang aneh ini" Apakah Rukmana keliru,
selama ini menganggap telah mengenal Sumiyati
cukup baik sehingga tak pernah percaya bahwa gadis
itu terlibat urusan pemerasan"
Dalam kebingungannya, Rukmana tiba-tiba
mendengar suara si perempuan berubah ketakutan:
"Tolonglah selamatkan suami saya, Kapten!"
"Apa maksud Anda, Nyonya?"
"Azis! Azis Partogi pernah mengalaminya! Ia
membawa sejumlah besar uang. Lalu ia ditemukan
mati terbunuh!" perempuan itu setengah menjerit.
Histeris. Dingin sekujur tubuh Rukmana Hadinata. Membeku. la
teringat peristiwa terbunuhnya Azis Partogi. Di mobil
almarhum, polisi menemukan sebuah amplop besar
dan tebal di tengah genangan darah. Isinya bundelan
uang kertas senilai Rp. 5 juta. Tampaknya baru
diambil dari bank. Masih pakai label, terikat rapi dan
dapat dipastikan tidak diusik sedikit pun oleh
pembunuh Azis. Jadi motifnya bukan uang. Bukan
pemerasan. Lalu apa yang dikehendaki Sumiyati"
Benarkah gadis itu terlibat dalam urusan mengerikan
ini" Diam-diam, Rukmana membayangkan gadis
secantik rupawan Sumiyati dalam wujud yang lain.
Rukmana merinding. Dicekam kengerian, ia
bergumam tak percaya: "Astaga, mengapa harus
Sumiyati ...!" "Sumiyati?" terdengar suara terkejut di telinga
Rukmana. "Apakah Bapak maksudkan si wartawati
yang dijuluki Sum Kuning?"
"Nyonya mengenalnya?" Rukmana segera tersadar
bahwa ia sedang berbicara di telepon.
"Hanya sambil lalu. Sum Kuning pernah memancing
saya untuk mengungkap hubungan segitiga antara
suami saya, mertua saya, dan Azis Partogi. Rupanya
Sum Kuning tahu banyak mengenai....," istri Eddi
Bratamenggala tiba-tiba bungkam seribu bahasa.
Mungkin kaget karena ia lepas omong.
Rukmana Hadinata tidak mau melepaskan
kesempatan baik itu lewat begitu saja. Maka ia
langsung mengultimatum: "Bagaimana kami dapat
menyelamatkan nyawa suami Nyonya, kalau Nyonya
sendiri tidak mau diajak kerja sama"!"
Akhirnya rasa takut keluar sebagai pemenang. Si
perempuan menyerah. Sayang, semua itu terlambat
sudah! *cb***
EDDl BRATAMENGGALA tertawa berderai-derai
sewaktu Sumiyati mengisahkan peristiwa-peristiwa
konyol yang ia alami semasih menjadi wartawati
amatiran. Lelaki itu telah membuang pikiran-pikiran
buruk mengenai si gadis. Lambat laun ia semakin
santai. Sambil menikmati hidangan makan malam di
restoran 'Bale Kambang', mereka ngobrol dengan
intimnya. Tak ubah dua orang bekas kekasih yang
telah berpisah sekian belas tahun dan takdir
menghendaki mereka tiba-tiba bertemu lagi.
Tidaklah mengherankan, apabila sekeluar dari 'Bale
Kambang', Eddi Bratamenggala langsung pasang
kuda-kuda: "Malam yang indah, Sum. Bagaimana
kalau sisa malam kita lewatkan di kamar hotelmu?"
"Aduh, jangan dong!" Sumiyati tertawa malu-malu.
"Kalau ada razia, 'kan gawat namanya!"
"Punya usul yang lebih menarik?"
"Yaaahhh..." Sumiyati berpikir keras, kemudian
memutuskan: "Ayo kita ke Lembang saja. Menikmati
hawa sejuk. Atau barangkali kau lebih suka mandi air
panas di Ciater?" "Ciater!" Eddi Bratamenggala berucap takjub. "Usul
yang gemilang, Sum. Mana aku bisa menolak?"
Lalu mobil ia luncurkan ke arah Lembang. Diiringi
obrolan yang kian lama kian intim jua. Seolah tanpa
disengaja, obrolan mereka berkembang kearah hal-
hal yang menyangkut birahi dan semakin menjurus
ketika mereka menceritakan pengalaman seksual
masing-masing. Eddi Bratamenggala yang sudah
keburu mabuk kepayang tidak bercuriga apa-apa
ketika Sumiyati tiba-tiba mengatakan agar mobil
dihentikan sebentar. "Aku tak tahan nih!" kata gadis itu seraya tertawa
tersipu-sipu. Eddi Bratamenggala mengerti. la memilih tempat yang
ia perkirakan paling aman. Mobil dapat ia simpangkan
keluar dari jalan raya, sehingga terhindar dari
kecelakaan karena tak terlihat pengendara lain lalu
menabraknya. Tempatnya tidak terlalu gelap pula,
karena disirami cahaya rembulan empat belas hari.
Hanya sedikit temaram karena udara berkabut.
Sumiyati bergegas membuka pintu mobil lalu berlari-
lari kecil ke balik semak belukar. Eddi Bratamenggala
menungguinya cukup dekat, ingin memperlihatkan diri
sebagai seorang pelindung apabila ketika sedang
buang air kecil, Sumiyati mengalami gangguan tak
terduga. Sambil menunggu, lelaki itu berpikir: "Ah.
Selain elok rupawan, ternyata ia juga pemberani!"
"Ed?" terdengar panggilan lembut Sumiyati dari balik
semak belukar. "Ada apa?" "Rokku tersangkut duri!"
Eddi Bratamenggala bergegas menerobos semak
belukar dan dengan heran ia kemudian menyadari
bahwa gadis itu tidak buang air. Mantel si gadis
terhampar di rerumputan dan pemiliknya berbaring
santai dengan posisi menantang birahi seorang laki-
laki! Lepas dari keheranannya, Eddi Bratamenggala
kemudian tersenyum nakal. "Kau ingin kita
melakukannya di sini?"
"Lebih romantis bukan?" sahut si perempuan dengan
suara tergetar. "Sudah kubilang, kau seorang gadis dengan otak
cemerlang!" rungut Eddi Bratamenggala, ikut tergetar.
la kemudian berjongkok di sebelah Sumiyati dan siap
untuk memeluk dan mencium bibir yang mengundang
birahi itu. Tetapi Sumiyati mengelak, lalu berkata pelan:
"Tahukah kau, Ed?"
"Apa, Sum?" "Situasinya sedikit berbeda..."
"Situasi apa?" "Antara malam ini, dengan malam ketika Partogi
mengajakku jalan-jalan!"
"la... apa?" Eddi Bratamenggala tercengang.
"Mengajakku jalan-jalan. Menghirup udara malam ...,"
Sumiyati menjelaskan dengan tekanan suara yang
berubah misterius. "Kami sama-sama memarkir mobil
di tempat terpisah, di Alun-alun. Seolah tanpa kenal
satu sama lain, kami saling berpapasan di tangga
masuk pertokoan Palaguna. Azis lalu masuk lagi ke
mobilnya. Aku menyelinap kemudian. Lalu dengan
mobilnya itu kami meluncur ke arah Rancaekek.
Waktu pergi, ia yang mengemudi. Pulangnya, ganti
aku yang mengemudi. Azis kutinggalkan di tengah
jalan. Dengan mobilnya, aku kembali ke Alun-alun
dimana mobil Azis kutinggalkan dan aku pergi ke
mobilku sendiri. Beres dan lancar, bukan?"
Jantung Eddi Bratamenggala berdenyut keras.
"Apanya... yang beres ..., Sum?" ia tergagap.
"Azis!" jawab Sumiyati tenang. "la bukan membujukku
untuk tutup mulut. la juga mencoba memperkosaku.
Di dalam mobil, Ed. Di dalam mobil. Tetapi apa
bedanya dengan di tempat tidur" Seperti ketika
Ronggur melakukannya padaku..." wajah Sumiyati
sekonyong-konyong berubah secara aneh, matanya
pun ikut berubah. Merah, kehijau-hijauan dengan
sorot yang seketika memukau Eddi Bratamenggala.
"Kau yang menyuruh Ronggur melakukannya, bukan?"


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu berbisik serak desah-desah nafas memburu
yang keras dan ganjil nadanya. "Apakah kematian
lbuku belum memuaskan hatimu. Hai, lelaki
terkutuk"!" Selagi Eddi Bratamenggala kaget dan takut, Sumiyati
meraung keras sembari mencopoti pakaiannya
sedemikian rupa. Dan ketika sinar rembulan
menangkap tubuh telanjangnya, tampak di kulit
mulusnya muncul bulu-bulu panjang pirang
kecoklatan, yang dalam tempo hanya beberapa detik
telah memenuhi sekujur tubuhnya. Suatu saat,
Sumiyati meraung dalam lolongan menusuk, sembari
tengadah ke arah rembulan. Wajah cantik rupawan
itu pelan tetapi pasti berubah jadi lonjong, semakin
lonjong. Telinganya melebar, bertambah panjang.
Bulu-bulu yang sama bermunculan di wajah yang
tahu-tahu telah berubah seperti kepala serigala
dengan moncong yang kecil lancip, hitam berlendir.
Moncong serigala itu membuka lebar,
memperdengarkan raungan yang dahsyat. Lidahnya
terjulur panjang ke luar, merah kehitaman, berbuih-
buih diantara gigi-gigi taring yang mencuat runcing
mengerikan. Eddi Bratamenggala terpekik. la mundur ketakutan.
Kakinya tersangkut sesuatu, dan ia jatuh terjerembab
di semak belukar. Belum sempat ia bangkit untuk
melarikan diri, sosok makhluk mengerikan itu telah
menerkamnya. Lalu dengan kejam dan buas
merengkah lambungnya, mengoyaknya sedemikian
rupa lalu dengan suatu sentakan keras mencopot ulu
hatinya. Eddi Bratamenggala tidak sempat lagi
menjerit. Namun ia masih sempat mendengar bunyi-
bunyi mengerikan ketika tubuhnya dibantai dan ulu
hatinya direnggut. Samar-samar, sebelum ajal
meninggalkan raganya, dia pun sempat melihat
bagaimana makhluk itu mengunyah-ngunyah ulu
hatinya yang dilumuri darah segar....
*
PERISTIWA berdarah itu berlangsung dalam tempo
hanya beberapa detik saja. Puas melampiaskan
kebiadabannya, makhluk bertubuh manusia dengan
wujud serigala itu menengadah ke rembulan yang
seakan tersentak diam setelah menyadari tragedi apa
yang barusan berlangsung di bawah naungannya.
Makhluk itu memperdengarkan lolongan bergetar,
panjang dan lirih. Mendayu-dayu. Kemudian mayat
korbannya diseret, hanya dengan sebelah tangan
saja. Seakan mayat bertubuh tinggi kekar itu tak lebih
dari sekarung kapas belaka. Setelah mendudukkan
mayat yang tak karuan bentuknya itu disebelah
kemudi, sang mahluk kembali lagi ke semak belukar.
Pakaian yang berserakan ia kumpulkan dan
dibungkus dengan mantel yang terhampar di
rerumputan. la melemparkan bungkusan itu ke jok
belakang mobil, setelah mana ia lalu duduk di
belakang kemudi. Dengan mata tetap menyala merah kehijau-hijauan
serta bunyi geraman di moncongnya yang terbuka,
makhluk itu dengan keterampilan seorang pengemudi
jempolan memundurkan mobil ke jalan raya dan
kemudian melarikannya ke arah Subang. Tiba di
daerah tak berpenghuni dengan tikungan-tikungan
tajam serta jurang-jurang menganga di kiri kanan
jalan, mobil menurunkan kecepatan lantas berhenti
dengan bunyi menciut rem yang keras karena diinjak
mendadak begitu moncong mobil sudah menghadap
ke jurang gelap dan dalam di pinggir jalan.
Bungkusan tadi beserta sebuah tas wanita tampak
dilemparkan ke luar jendela mobil, jatuh di
rerumputan. Makhluk itu menyusul ke luar. la seret
mayat supaya posisi duduknya tepat di belakang
kemudi. Saluran bahan bakar ke tangki bensin
dilonggarkan. Lalu dengan sebuah geraman lirih,
makhluk itu mendorong bagian belakang mobil
dengan kekuatan luar biasa.
Sebelum mobil dan pemiliknya itu benar-benar jatuh
tunggang-langgang ke dalam jurang, sang makhluk
telah berlari meninggalkan tempat itu dengan
membawa serta tas dan bungkusan berisi
pakaiannya. Ia berlari dan terus berlari, begitu cepat
dan menakjubkan sehingga ketika terdengar bunyi
ledakan keras disusul nyala api menjilat udara
berkabut, makhluk itu sudah menyelinap sejauh
ratusan meter jauhnya. Namun larinya tidak juga
dihentikan, sampai akhirnya ia mendekati wilayah
yang dihuni penduduk setempat. la turun ke bawah
jalan, meraba-raba dalam kegelapan. Tanah lembab
dan basah yang teraba olehnya, diraup lalu
dimasukkan ke mulut, lalu dikunyah-kunyah bersama
akar-akar ilalang yang ikut tercabut. Terdengar suara
batuk-batuk tertahan. Batuk manusia, dari moncong
serigalanya. Setelah bunyi batuknya hilang, ia duduk
terengah-engah. Menunggu.
Detik demi detik berlalu sementara di atasnya ia
dengar langkah-langkah berlari serta suara-suara ribut
menuju ke arah jilatan api di kejauhan. Detik-detik
berikutnya, rasa sakit yang menyiksa itu muncul
dengan cepat. Sang makhluk meliuk-liukkan tubuh
menahan azab sengsara, tanpa berani mengeluarkan
suara jeritan betapapun menyakitkannya. la terus
meliuk, menggeliat, terkadang merayap di tanah
berumput sampai bulu-bulu pirang kecoklatan itu
perlahan-lahan sirna tak berbekas dan wajah
lancipnya kembali kewujud wajah seorang gadis
cantik rupawan! Masih menahan sisa-sisa rasa sakit ia buka
bungkusannya tanpa membuang tempo. Dengan
mantelnya, bagian-bagian tubuh yang kotor ia
bersihkan. Untunglah darah korban yang melekat di
tubuhnya tadi, secara ajaib ikut sirna bersama
sirnanya wujudnya sebagai serigala.
Satu menit kemudian, mantelnya dibuang jauh-jauh,
dan ia naik ke jalan raya dengan penampilan normal.
Memakai blus hijau ketat, rok merah hati, sepatu hak
tinggi dan tas tangan yang terbuat dari kulit.
Rambutnya sedikit awut-awutan begitu pula
dandanannya. Tetapi itu bukan soal. Dengan hati-hati
ia menyelinap lalu bergabung bersama penduduk
setempat yang ribut hilir mudik setelah mengetahui
kebakaran itu terjadi akibat ada sebuah mobil
terjerumus masuk ke dalam jurang.
Begitu melihat sebuah kendaraan penumpang
mendatang dari arah Subang,
ia langsung mencegat dan naik tanpa seorang pun menaruh curiga. Lewat di
tempat kecelakaan itu terjadi, kendaraan tertahan
oleh kerumunan manusia. Kondekturnya ke luar dan
supir ribut bertanya-tanya pada orang yang terdekat
dengan jendela depan mobil. Tak lama kemudian
kendaraan meluncur kembali, menuju perjalanan ke
Lembang. Hanya ada beberapa penumpang tetapi
mereka ributnya bukan main, menceritakan apa yang
barusan mereka lihat atau dengar.
Supir menggerutu tanpa alamat: "Pengemudi-
pengemudi zaman sekarang banyak yang merasa
dirinya punya nyawa cadangan. Tak perduli di tempat
ini terdapat tikungan-tikungan tajam, curam, dan
jurang-jurang yang siap menelan mangsanya yang
lalai....." "Ongkosnya, Neng!" kondektur menggamit lengan
Sumiyati yang duduk diam-diam. Wajahhya murung,
sedikit acuh tak acuh. Gadis itu merogo tasnya mencari uang kecil lalu
menyerahkannya pada si kondektur yang tiba-tiba
mengawasi wajahnya. Sumiyati berlagak tidak tahu
ia diperhatikan. la baru menoleh sewaktu kondektur
bertanya ingin tahu: "Mau ke mana Neng, malam-malam begini. Sendirian
pula lagi." "Anakku sakit keras!" Sumiyati dengan cepat
menjawab pertanyaan yang sudah ia perkirakan akan
muncul itu. "Aku terpaksa harus ke Lembang mencari
obat...." "Wah, Neng. Mana ada toko obat atau apotek buka
malam-malam begini?"
"Tak apa. Pemilik toko obat di Lembang kebetulan
kenalanku. Masih ada pertalian famili," Sumiyati
berkata dengan memaksakan senyum getir di bibir,
dengan sengaja memperlihatkan keberuntungannya
itu tidaklah berarti apa-apa mengingat anak yang
sakit di rumah. Menjelang Lembang, penumpang-penumpang lain
sudah pada turun. Tinggal Sumiyati. Supir tidak
membelokkan kendaraannya ke terminal dan
menawarkan untuk mengantar Sumiyati ke toko obat
atau rumah orang yang ia katakan kenalannya itu.
"Sekalian pulangnya nanti kau ikut dengan kami,
Neng," kata supir yang sudah berusia lanjut itu.
"Terima kasih. Bapak baik sekali. Tetapi kenalanku itu
punya mobil sendiri kok...," dan setelah mengucapkan
terimakasih sekali lagi, Sumiyati turun dari kendaraan
sambil matanya sibuk mencari kalau-kalau ada toko
obat terdekat. Kakinya terus pula melangkah. Tetapi
begitu kendaraan tadi membelok masuk ke terminal,
Sumiyati menghentikan langkahnya. la menunggu tak
terlalu lama sebelum kemudian naik ke kendaraan
lain yang menuju Bandung.
Ternyata kendaraan penumpang itu hanya sampai ke
Ledeng dekat kampus IKIP. Terpaksa ia ganti
kendaraan lagi. Baru setelah tiba di terminal Kebon
Kelapa ia masuk ke kamar mandi umum untuk
merapikan penampilannya. Dengan sebuah taksi ia
minta diantarkan ke hotel. Sekedar penjagaan diri, ia
turun sekitar seratus meter sebelum taksi mencapai
hotel. Nyatanya, penjagaan diri itu percuma saja.
*
SETELAH membuka pintu kamarnya dan menyalakan
lampu, Sumiyati hampir terpekik menyadari kehadiran
orang lain di kamar itu. Dari kursi berjok tebal dan
empuk yang didudukinya, Rukmana Hadinata
membuka mata lebar-lebar mengawasi masuknya
penghuni sah kamar hotel di mana ia telah lama
menunggu dengan mata terkantuk-kantuk. Wajah
perwira polisi itu tidak memperlihatkan gambaran
apa-apa. la tidak pula meminta maaf atau
menjelaskan bagaimana ia dapat masuk ke kamar
hotel yang ditempati Sumiyati. Jangankan sekedar
pintu kamar hotel. Apabila diperlukan dan disertai pula
surat perintah resmi, seorang petugas negara dengan
mudah dapat saja membuka lemari besi bank.
Menyadari situasi mengejutkan yang dihadapinya,
Sumiyati hanya tegak termangu-mangu dengan mulut
setengah terbuka menyatakan keheranannya.
Sebaliknya Rukmana Hadinata tidak kurang herannya.
Bukan heran oleh kemunculan Sumiyati. Melainkan
heran oleh ketenangan dirinya sendiri, yang beberapa
jam sebelumnya begitu tegang, disusul penantian
yang menjemukan, dan dibayang-bayangi oleh
gambaran mengerikan wujud sesosok makhluk
menakutkan. Dari sudut lain, penantian menjemuk
mengancingkan jaket kulitnya. Bersiap-siap untuk
pergi. "Tadinya aku berharap, suami yang hilang itu dapat
kutemukan dengan bantuanmu. Sayang, harapanku
tak lebih dari impian seorang pelamun, bukan" Kau
tahu mengapa, Neng" Karena aku meminta
kerjasamamu tidak secara resmi. Melainkan secara
pribadi. Karena, aku menganggap kita satu sama lain
telah saling mengenal dengan baik. Tetapi, Neng.
Barangkali, mulai besok pagi aku akan menemuimu
dalam pemunculan yang semestinya," ia tersenyum,
seraya bangkit dari duduknya. Bersiap-siap untuk
pergi. Di pintu, ia berhenti. "Oh ya, Neng. Masih ada satu hal
lagi. Salah seorang pembantuku telah mendatangi
sekretaris Eddi Bratamenggala. Dia bilang, yang
menelepon adalah kau. Bukan Eddi. Apa jawabmu?"
Sumiyati tersenyum untuk menyembunyikan
kenyataan bahwa ia terpaksa berpikir keras mencari
jawawan yang tepat. Kalau seorang polisi pengusut
ingin memancing sesuatu, sulit diduga umpan yang
digunakannya karena terkadang di luar kelaziman..
Bisa saja keterangan itu benar adanya, bisa juga
dusta besar tetapi berguna sebagai umpan. Sumiyati
sedikit banyak tahu mengenai hal itu. Maka ia
menjawab: "Anda agaknya lupa, Kapten. Tadi Saya
telah katakan, saya perlu menimbang-nimbang dulu
tawaran Eddi, bukan" Jadi, setelah saya membulatkan
hati, barulah telepon saya angkat. Sesuai dengan
permintaan Eddi...."
"Anak pintar!" Rukmana Hadinata geleng-geleng
kepala. Menyeringai sebentar, kemudian berlalu.
Selama beberapa saat, Sumiyati tidak mampu
bergerak di tempat duduknya. Syaraf-syarafnya
tegang, otot-otot tubuhnya mengencang seakan
bengkak mengerikan. Namun tidak ada bulu-bulu
warna rambut jagung mendadak tumbuh di sela-sela
pori-pori kulitnya. Lengan-lengannya tidak bertambah
panjang. Wajahnya pun tetap mulus, tidak


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan adanya gigi-gigi taring yang mencuat
haus darah... Setelah ketegangan itu akhirnya mengendur, dia tidak
pula menggeram atau melolong. Melainkan yang
terdengar tak lebih dari sebuah rintihan getir: "Ya
Tuhan. Kapan Kau menghentikan semua ini"!"
Perasaan sakit yang menyiksa kembali menggumpal
di kepalanya. Siksaan yang harus ia tahankan sampai
matahari terbit besok pagi, sebagaimana pernah ia
alami pada malam terbunuhnya Azis Partogi.
Untuk meringankan penderitaannya itu ia bergegas
bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kran kombinasi
merah dan biru dibukanya lebar-lebar, sehingga air
hangat mengucur deras ke bakuip. Setelah bakuip
penuh, ia masuk ke dalam. Berendam tanpa gerak-
gerak hampir selama dua jam. Kran ia biarkan tetap
terbuka supaya air tetap hangat.
la kemudian berusaha mengosongkan pikiran. Tetapi
selama seorang manusia masih hidup, maka otak
manusia itu akan tetap bekerja. Apalagi kalau ia tidak
biasa melakukan yoga. Paling yang dapat
diperbuatnya hanyalah membuang pikiran-pikiran
buruk di kepala. Sehingga hanya tersisa hal-hal yang
memang bermanfaat untuk dipikirkan. Salah satu di
antaranya ia lakukan pagi-pagi benar.
Sumiyati keluar dari kamar. Khawatir telepon kamar
disadap, ia pergi ke telepon umum tak jauh dari hotel.
Anton agaknya masih terkantuk-kantuk ketika
menerima teleponnya. Namun sebagaimana biasa
ucapan pertamanya adalah: "Aku bahagia kau mau
meneleponku lagi, Sum. Apa yang dapat kubantu?"
"Rencana kita itu, Bang Anton. Aku membatalkannya!"
kata Sumiyati. "Rencana yang mana?"
"Mengenai alilbiku. Tak perlu kuterangkan mengapa.
Yang penting, kalau ada yang bertanya maka kau
boleh berterus terang bahwa sepanjang sore dan
malam kemarin aku selalu bersamamu."
"Aneh, Sum, tetapi baiklah. Bagaimana dengan
rencana kita yang lain?"
"Kau boleh melamarku kapan-kapan, Bang Anton.
Tetapi sebelumnya, berilah aku tempo. Aku ingin
sendirian untuk beberapa hari...."
"Nah, itu lagi!"
"Jangan marah dulu, Bang. Tunggulah. Aku akan
memesan sarapan pagi yang enak untuk dimakan
pagi ini," kata Sumiyati tertawa.
Kembali ke kamar hotel, Sumiyati benar-benar tidak
dapat menikmati sarapan pagi yang dipesannya.
Bayangan Rukmana Hadinata tak lepas dari
pikirannya. Sebagai seorang pribadi, lelaki itu adalah
sahabat baiknya yang sangat menyenangkan. la pun
tak akan menyatakan keberatan, apabila sekali
waktu lelaki itu ingin mencumbunya. Sebagaimana
Sukiman dan beberapa lelaki lainnya pernah
mencumbunya pula. Tetapi sebagaimana ia katakan
tadi malam, mulai pagi hari ini Rukmana Hadinata
harus ia hadapi sebagaimana mestinya seorang
tersangka harus menghadapi seorang polisi.
Siksaan sakit itu muncul lagi.
Sumiyati merintih. *cb***
SETELAH meninggalkan hotel 'Kumala', sisa malam itu
dihabiskan Rukmana Hadinata dengan bergadang di
kantornya. la dihantui firasat yang kuat bahwa apa
yang telah ia ucapkan secara main-main pada Anita
Supardjiman akan segera menjadi kenyataan.
Rukmana tidak akan pernah mengenal Eddi
Bratamenggala, bila itu dimaksudkan dalam keadaan
hidup. Dengan pengertian lain bahwa Rukmana telah
gagal memenuhi janjinya pada wanita itu. Karena
kalaupun pada akhirnya lelaki itu mereka temukan,
maka yang akan mereka antarkan pada wanita itu
hanyalah mayat suaminya saja.
Tetapi apa lagi yang dapat diperbuat Rukmana" la
telah berusaha sebisa-bisanya. Perintah telah pula
disebarkan: "Cari dan temukan segera!"
Waktulah yang kemudian akan menentukan. Yakni
waktu perintah itu dikeluarkan dan waktu yang
sempat terbuang sebelumnya. Diperkiraka n, Eddi
Bratamenggala meninggalkan rumah sekitar pukul
tujuh malam kurang seperempat jam. Lima belas
menit berikutnya, ia tampak muncul di lobby hotel
"Kumala' lalu pergi bersama Nyonya Bustaman alias
Sumiyati. lnformasi itu diperoleh Rukmana Hadinata
pukul delapan kurang seperempat. Berarti waktu yang
terbuang sudah 45 menit, dan pada waktu itu
perintah belum disebarkan. Masih diperlukan
keterangan dan data tambahan dari Anita
Supardjiman untuk meyakinkan bahwa orang dan
mobil yang menjemput Sumiyati di hotel adalah benar
Eddi Bratamenggala dan mobil yang ia kemudikan
sendiri ketika meninggalkan rumah.
Perintah disebarkan pukul sembilan malam. Namun
masih ada waktu yang tercuri. Yakni, waktu yang
diperlukan para petugas patroli melacak orang atau
mobil yang dicari. Memang dalam tempo beberapa
menit telah masuk sejumlah laporan, tetapi sangat
diragukan kebenarannya. Informasi yang paling
akurat kemudian diperoleh dari seorang pelayan
wanita di restoran Bale Kambang. Si pelayan seketika
mengenali dan tidak ragu sedikit pun bahwa dua
orang yang ditanyakan polisi padanya adalah dua
sejoli yang bersantap malam dan ngobrol 'begitu intim
dan mesra' di meja nomor 12.
"Sayang kalian terlambat," ujar si pelayan. "Dua sejoli
itu sudah terbang ke rembulan sekitar setengah jam
yang lalu...." Keterangan pelayan wanita itu diperkuat pula oleh
penjaga parkir restoran. Setelahnya, jejak orang atau
mobil yang dicari mendadak hilang lenyap, seolah
kedua orang itu benar-benar menuju rembulan yang
kemudian menelan mereka begitu saja.
Batuk-batuk keras sampai kulit mukanya memerah
akibat kebanyakan merokok, Rukmana Hadinata
lantas menghitung-hitung. Waktu yang terbuang satu
jam. Yang tercuri, setengah jam. Satu setengah jam
oleh orang lain boleh dianggap tidak punya arti apa-
apa. Tetapi untuk Rukmana Hadinata, waktu satu
setengah jam itu dapat berani banyak. Satu setengah
jam adalah 90 menit. D an 90 menit adalah 5400 detik. Sedang nyawa manusia, dapat lenyap hanya
dalam tempo satu detik! Tidak. Rukmana tidak boleh menyesali diri telah gagal
memenuhi janjinya pada Anita Supardjiman. Sekali
lagi, ia telah berusaha sebisa-bisanya. Didorong naluri
polisinya yang khas, dengan tekad bulat ia menunggu
Sumiyati dan menjebak gadis itu lewat pertanyaan-
pertanyaan mengejutkan. Sumiyati tak percuma
seorang wartawati. la dapat menghindari jebakan-
jebakan yang dipasang Rukmana lewat jawaban-
jawaban yang berbalik menyudutkan Rukmana
sendiri. Sehingga Rukmana Hadinata terpaksa harus
mengakui secara jujur, bahwa ia menanyai gadis itu
tak lebih sebagai pribadi, sebagai seorang sahabat.
Bukan sebagai petugas. Bila ia tampil sebagai seorang
petugas, ia harus dilengkapi surat perintah resmi.
Tetapi bukti-bukti apa yang ia punyai untuk
memperoleh surat perintah resmi" Seorang suami
yang nakal pergi meninggalkan rumah, lalu bertemu
dan berkencan dengan seorang gadis cantik. ltu saja.
Oke, Rukmana Hadinata yakin kalau si suami itu
sudah mati. Lalu mayatnya mana"
Berdenyut belakang kepala Rukmana mengingat
serangan balik Sumiyati: "...bantulah si istri yang
ketakutan itu, Kapten. Bantulah ia menemukan
suaminya!" Memang itulah tujuan Rukmana Hadinata.
Menemukan Eddi Bratamenggala, melalui Sumiyati,
yang kerjasama yang ia harapkan ternyata tidak
tanggapi dengan mulus oleh si gadis. Sumiyati
mengelak dengan mudahnya: "Saya marah. Dia juga
marah. Lalu...." Rukmana Hadinata duduk tegak di kursinya. Berpikir:
Sumiyati marah. Eddi Bratamenggala juga marah. Jadi
mereka bertengkar. Begitu hebat, sehingg a kata
Sumiyati ia ditinggalkan Eddi di tengah jalan.
Alangkah kontras dengan keterangan si pelayan dan
penjaga parkir di restoran Bale Kambang: dua sejoli
yang bersantap dan ngobrol begitu intim dan mesra!
"Ohhh...!" Rukmana Hadinata terbenam lagi ditempat
duduknya. Tidak, ia bukan cemburu akan
keberuntungan Eddi. la juga pernah menikmati satu
dua kali keberuntungan yang sama, dengan gadis
yang sama. Intim, meski tidak mesra. la juga dapat
mengkonfrontir keterangan yang saling bertentangan
itu. Boleh, silakan. Lalu Sumiyati selalu akan siap
dengan jawaban yang jitu. Pas. Masuk akal pula.
Rukmana akan kembali tersudut. Kecuali kalau
Rukmana dibekali senjata yang ampuh: mayat Eddi
Bratamenggala! *cb***
RUKMANA HADINATA pasti akan semakin naik darah
bila ia nanti mengetahui bahwa birokrasi telah
menghambat otak jenius maupun naluri polisinya.
Identitas mobil Eddi Bratamenggala benar telah
disebarluaskan. Tetapi polisi desa di wilayah Subang
memerlukan waktu untuk turun ke bawah jurang
yang masih dalam keadaan terbakar karena api telah
menyebar semakin luas. Nomor plat mobil yang
ringsek dan tinggal kerangka, ia catat dalam bukunya.
la juga mencatat bahwa mayat yang dit emukan di
jok depan keadaannya begitu rusak mengerikan,
diduga kuat karena terbakar hangus.
Polisi setempat lalu minta bantuan atasannya di
Subang. Tetapi mobil dengan surat permintaan resmi.
Akhirnya yang dipakai adalah mobil derek milik
swasta. ltu pun menemui kesulitan soal pembayaran.
Administrasi keuangan memerlukan prosedur
pelaksanaan yang tidak gampang selain
menjemukan. Mobil dan jenazah di dalamnya baru berhasil diangkat
dari jurang sekitar tengah hari. Karena adanya dugaan
peristiwa itu menyangkut kecelakaan lalu lintas biasa
karena kecerobohan pengemudi, polisi Subang
beranggapan tak perlu tergesa-gesa. Orang yang
mereka tolong toh sudah mampus, jadi
pemberitahuan pada sanak familinya boleh menyusul
belakangan saja. Konon pula, identitas korban sulit
untuk dikenali karena baik mobil itu sendiri maupun
apa yang ada di dalamnya sudah hancur atau meleleh
sedemikian rupa. Pengenalan identitas korban
diperkirakan akan makan waktu tidak sedikit. Nomor
plat, rangka, dan mesin mobil itu memang diteruskan
juga ke Poltabes Bandung, karena jika nomor polisi
mobil korban adalah nomor polisi wil
ayah Bandung. Yang menerima, seksi kecelakaan lalu lintas. Oleh
seksi ini diteruskan lagi ke seksi yang menangani data
kendaraan bermotor. Kebetulan Operasi Zebra sedang
ditingkatkan, dan akibatnya pengusutan atas mobil
yang tertimpa kecelakaan itu jadi terbengkalai.
Kalaupun pada akhirnya laporan mengenai
kecelakaan lalu lintas itu sampai ke meja Rukmana
malam harinya, itu pun hanya secara kebetulan. Salah
seorang petugas intel kebetulan sedang ngobrol
dengan petugas di seksi kecelakaan lalu lintas, yang
menyangkut obrolan sambil lalu dan kemudian
menjurus pada kegiatan Operasi Zebra.
"Kecelakaan memang dapat dikurangi. Namun toh
tetap saja terjadi!" gumam petugas seksi lalu lintas.
"Contohnya, yang di Subang itu. Padahal mobilnya
konon dari jenis yang mahal dan mewah, jenis
Corolla...." Teman ngobrol petugas seksi lalu lintas seketika
menjadi tertarik, karena mereka justru tengah
ditugaskan mencari sebuah mobil Corolla dari jenis
yang disebutkan temannya ditemukan di dalam
jurang. Datanya lalu dicocokkan, dan setengah berlari-
lari si petugas intel pergi menghadap Komandannya.
la langsung melapor: "Bapak benar, Kapten. Kita sudah
terlambat...." Rukmana Hadinata yang bermaksud pulang ke rumah
karena ada janji nonton bersama istri dan anak-
anaknya, langsung saja mengangkat telepon.
Sungguh menyedihkan. la lupa menelepon istrinya di
rumah. Yang ia telepon adalah Anita Supardjiman, Barman
Bratamenggala, dan sebelum waktu berangkat tiba ia
masih teringat untuk memanggil juga dokter Singgih.
Meski tidak diberitahu terang-terangan bahwa
suaminya sudah meninggal, Anita Supardjiman
langsung jatuh pingsan selagi masih berbicara di
telepon. Dengan sendirinya, kehadiran Anita
Supardjiman untuk mengenali korban yang terbaring
di kamar mayat Rumah sakit Subang, terpaksa
ditangguhkan. Barman Bratamenggala mentalnya lebih kuat, meski
selama perjalanan ia hanya duduk mematung dengan
wajah pucat kebiru-biruan. Wajah orang tua itu


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin membiru setelah ia mengenali arloji, cincin,
kalung bermedalion emas dengan bentuk rajawali,
serta luka bekas jatuh waktu bocah pada tengkorak
belakang putranya. Benar, orang tua yang malang itu
masih dalam keadaan hidup dan sadar. Tetapi
penampilannya tak kalah buruk dan menakutkan
dengan mayat yang ada di lantai kamar mati.
Digeletakkan begitu saja, terbungkus sehelai tikar
pandan yang sudah usang. Akan halnya dokter Singgih, hanya bisa mengeluh: "lni
bukan mayat. Tetapi sisa mayat!" bisiknya di telinga
Rukmana Hadinata. "Harapan kita cuma satu, itupun
tipis. Berdoa sajalah, semoga bagian dalam tubuh
mayat ini tidak ikut hancur atau terbakar...."
Barman Bratamenggala tidak ikut menunggu hasil
otopsi. Hanya ditemani sopir dan bodyguardnya yang
bernama Alex, ia pulang lagi ke Bandung tanpa
mengacuhkan janji Rukmana Hadinata bahwa
jenazah puteranya akan dikirimkan segera setelah
otopsi diselesaikan. Dibantu dua orang kolega yang bertugas di rumah
sakit Subang, dokter Singgih bekerja dengan
kecepatan dan keterampilan seorang ahli. Sebelum
matahari terbit keesokan harinya, Rukmana Hadinata
telah menerima laporan yang ia tunggu-tunggu dari
sahabatnya yang berkepala botak itu. Laporan dokter
Singgih singkat saja: "Ulu hatinya lenyap!"
*cb***
Akan tetapi, pada waktu itu Sumiyati sedang dalam
perjalanan pulang ke kampungnya di Ciamis dengan
didampingi oleh Bu ljah yang kelihatan murung dan
sangat berduka cita. Menjelang tengah malam
sebelumnya, ljah membuka pintu rumah majikannya
karena ada tamu yang ia anggap sangat penting dan
kemudian ia antarkan ke hotel tempat Sumiyati
mengurung diri. Tentu saja Sumiyati sudah menduga
akan bertemu lagi dengan Barman Bratamenggala.
Namun tidak ia sangka akan secepat itu. Lebih tidak
ia sangka lagi, adalah apa-apa yang dituturkan oleh
bankir yang calon Gubernur itu.
".... aku telah tiga kali menikah," demikian antara lain
diceritakan oleh Barman Bratamenggala,
telah lebih dulu menjelaskan bahwa ia barusan saja melayat
jenazah putranya. Dari Subang ia tidak lansung pulang
untuk melapor pada istri ke tiganya, dengan siapa
selama ini ia hidup tentram dan bahagia, karena
hanya dari istri ketiganya itulah ia akhirnya
memperoleh seorang keturunan. Selama perjalanan
dari Subang ia telah memutuskan apa yang terbaik ia
lakukan. Terbaik dari sedikit hal-hal baik yang pernah
ia lakukan seumur hidup, menurut Barman
Bratamenggala. Dari caranya bertutur jelas terlihat
bahwa ia percaya putranya memang hanya
mengalami kecelakaan lalu lintas biasa. Tak ada
tanda-tanda ia mencurigai putranya telah mati
terbunuh. "Jadi dapat kau bayangkan, betapa kelahiran putraku
lebih bernilai dari seluruh isi bank dimana aku menjadi
anggota dewan komisaris. Bahkan lebih bernilai
apabila dikumpulkan isi bank di seluruh dunia lalu
ditawarkan pula sebagai pengganti putraku satu-
satunya itu," kata Barman. "Adalah kekeliruanku juga,
kalau kemudian aku memanjakannya. Berbuat apa
saja demi kebahagiaannya. Apa pun kesalahannya,
kuampuni dan kututup-tutupi dari orang lain. Kalau
perlu, aku akan melindunginya meski untuk itu harus
menipu banyak orang lain termasuk menipu diriku
sendiri!" Sambil berbicara, ia duduk bergerak-gerak di kursinya.
Sementara Alex duduk cukup dekat dan cukup
waspada untuk berjaga-jaga bila sesewaktu
bantuannya diperlukan majikan yang ia hormati itu.
Suaranya terbata-bata, tampak dikuatkan hatinya
sedemikian rupa, untuk memperlihatkan bahwa
gerbang kehancuran yang tiba-tiba harus dimasuki
tengah berusaha ia hindari. Dan itu bukanlah sesuatu
yang mudah, apalagi untuk seorang tua yang ingin
melihat putra tunggal yang ia kasihi suatu ketika
kelak akan menjadi orang yang sukses. Lebih sukses
dari dia sendiri. "Kau pikir, Sumiyati. Untuk apa aku melepaskan
sebagian kesempatan memiliki materi lebih banyak,
dengan niat terjun ke karier politik" Aku tahu, tidak
bakal ada kesempatanku untuk memperoleh jabatan
lebih tinggi dari seorang Wakil Gubernur. Namun
dengan jabatan itu, didukung oleh kekuatan finansial
yang kumiliki, aku akan berusaha sekeras mungkin
agar karier anakku terus menanjak. Bayangan bahwa
semua itu akan mampu kucapai, sedikit pun tidak
kuragukan. Hambatannya cuma satu. Eddi, sama
seperti aku, kering dari benih-benih keturunan. Ia
belum sempat memberikan aku seorang cucu. Dan
tiba-tiba, ia telah meninggalkan aku begitu saja.
Bahkan tanpa pamit...."
Air mata menetes di pipi yang mulai keriput itu.
"Sejak Eddi lahir ke dunia, seingatku aku menangis
hanya satu kali saja...," katanya lagi. "Yakni saat aku
pertamakali mengambilnya dari susu ibunya dan
kemudian membawanya ke pelukanku. Aku tertawa.
Tetapi aku juga menangis. Aku bersenandung... Tahu
apa yang kunyanyikan" Nina bobo... Nina bobo, oh,
nina bobo. Kalau tidak bobo..."
Barman Bratamenggala benar-benar
menyenandungkan lagu dimaksud, sambil mulutnya
sesekali memperdengarkan tawa bahagia sementara
air matanya terus mengucur berderai-derai. "Istriku
kemudian bilang aku tak pantas menyebut Nina Bobo.
Anakku laki-laki. Jadi sejak itu, aku bernyanyi... Eddi,
bobo, oh... Eddi bobo...."
Kelopak matanya mengerjap. Lalu menyeringai, ganjil.
"Hei, Aku melantur, ya?" ia merintih. Dipandanginya
Sumiyati lurus-lurus. "Aku juga mendambakan anak
perempuan. Seperti kau. Tetapi aku tak beruntung...
Karena itulah aku langsung menemuimu larut malam
begini. Aku bermaksud... kau tidak memanggilku
dengan sebutan Tuan. Tetapi, Bapak. Hanya bapak.
Memanggilku Ayah, aku tak berani berharap. Benar,
bukan?" Sumiyati diam. Tak beraksi, meski jiwanya ikut
merintih. "Baiklah," orang tua itu meneruskan. "Masih ada satu
lagi alasanku datang menemuimu...," ia menerawang
sejenak. Lalu: "Dengan tak punya apa-apa lagi di
dunia ini tak ada yang melindungi. Termasuk... diriku
sendiri. Aku tidak lagi memerlukan kekayaanku,
walaupun cuma satu sen saja. Karier politik" Untuk
si apa" Toh Eddi sudah mati... Jadi, kau adalah orang
pertama pada siapa aku memberitahu akan
melakukan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan
orang lain. Bahkan tidak olehku sendiri... Aku akan
pergi ke gedung Pengadilan. Aku akan minta mereka
memenjarakan aku. Aku akan mengakui semuanya.
Termasuk, ketika aku melindungi kejahatan putraku
telah merenggut nyawa ibumu..."
Sumiyati masih diam. Tetap diam. Sementara Alex kelihatan tercengang. Takjub.
Reaksi Alex terlihat oleh Barman Bratamenggala. Lalu
ia kembali mengawasi Sumiyati:
"Hei. Mengapa kau tidak ikut takjub, Anak Cantik"
Apakah kau tidak bergembira dengan apa yang kau
dengar" Mengapa kau tidak menari-nari....?"
Tiba-tiba saja, mulut Sumiyati terbuka. Jawabnya:
"Pantaskah saya tertawa di atas penderitaan orang
lain, Tuan Barman?" Jawaban itu memukul si orang tua begitu kerasnya.
Barman Bratamenggala melongo, kemudian megap-
megap. Alex cepat berdiri dan menanyakan apakah
majikannya baik-baik saja.
"Bawa aku pulang, Alex" bisik si orang tua gemetar.
Barangkali jawaban polos dan lugu tanpa maksud
apa-apa dari Sumiyati, adalah penyebab Barman
Bratamenggala mengakhiri hidupnya. Pantaskah
seseorang tertawa di atas penderitaan orang lain"
Berapa kali sudah Barman tertawa di atas penderitaan
banyak orang" Entahlah. Yang pasti, setengah jam
setelah tamu-tamunya pergi, telepon di kamar hotel
Sumiyati berdering. Alex yang menelepon. Didahului
makian: "Kau harus bertanggung jawab untuk semua
ini, Nona. Tuan Barman Bratamenggala, bunuh diri lima
menit yang lalu!" *cb***
BERITA kecelakaan lalu lintas di Subang itu hanya
termuat dalam kolom kecil di halaman dua surat
kabar yang terbit pagi harinya. Tetapi berita kematian
Barman Bratamenggala menjadi headline utama surat
kabar yang terbit di Bandung dan dua surat kabar
lainnya di Jakarta. Dalam salah satu berita itu
Sumiyati membaca alinea berbunyi: "Di atas meja
kerja korban, terhampar sehelai surat pernyataan
yang ditandatangani korban. la diperbolehkan
menyimpan senjata miliknya dengan status pinjaman
barang bukti kepolisian. Sungguh ironi, polisi
memperbolehkan senjata itu diambil lagi oleh
pemiliknya. Karena justru senjata itulah yang
kemudian dipergunakan korban untuk menembak
kepalanya sendiri!" Sumiyati mengetahui isi surat kabar itu dalam
perjalanan pulang ke Ciamis. Di lampu merah ia
sempatkan membeli surat kabar, dan sempat melihat
headline-nya sebelum lampu hijau menyala.
Sementara matanya tertuju pada lalu lintas di jalan
yang mereka tempuh, ia minta ljah membacakan
berita-berita yang menyangkut punahnya dua dari
sekian generasi Bratamenggala itu.
Selesai membacakan isi surat kabar, ljah mendesah
lirih. Katanya: "Bukan tanggung jawabmu, kalau toh
pada akhirnya Tuan Barman mengambil keputusan
yang memalukan itu...."
"Aku tetap terlibat di dalamnya, Bu," jawab Sumiyati
getir. "Lambat laun kau akan melupakannya juga, Nak."
"Tetapi Kapten Rukmana tidak akan, bukan?"
"Apa sih yang dapat ia perbuat?"
"Kau tak tahu siapa dia, Bu. Rukmana Hadinata
bukanlah orangnya yang mau menyerah begitu saja.
Seperti sudah kukatakan tadi malam, Rukmana
mungkin saja tidak dapat membuktikan
keterlibatanku dengan kematian Azis Partogi serta
Eddi Bratamenggala. Apa lagi, dengan Barman. Ia
tidak pula dapat memaksakan situasi di mana aku
terpaksa memperlihatkan wujudku yang lain. Tetapi
Bu, ia akan terus mengikuti setiap gerak-gerikku
maupun langkahku. la akan menunggu. Menunggu
dengan kesabaran seorang polisi berpengalaman.
Menunggu sampai aku, disadari atau tidak, suatu
ketika akhirnya membuat kekeliruan. la melakukan
hal itu bukan karena ia membenci aku. la
melakukannya, semata-mata karena ia selalu menarik
garis batas dalam dirinya. Kapan ia dapat bersikap
sebagai seorang sahabat, kapan pula ia terpaksa
harus bersikap sebagai orang yang mengemban tugas
negara...." "Tanpa memperdulikan apa yang selama ini kau
perempuan itu lebih senang mengisi waktu dengan
menziarahi kuburan suami serta anak-anaknya.
Harlas segera dipanggil untuk mendampingi dan
melindunginya dari hal-hal yang tidak dikehendaki.
Setelah mereka hanya tinggal berdua saja, sambil
menyicipi kopi tubruk dan ubi rebus yang dihidangkan
istri tuan rumah, Sukiman merasa lebih leluasa
mengemukakan hal-hal yang baginya masih
merupakan tanda tanya. Pertanyaan pertama yang
lepas dari mulutnya adalah: "Bukankah leluhur-leluhur
Mang Karta sudah berhasil mengusir roh penghuni
Gunung Kawi itu?" "Rohnya memang sudah, Nak Maman. Tetapi sifat-
sifatnya masih tetap bersisa," jawab Karta prihatin.
"Tak ubahnya sehelai baju yang robek. Biarpun
diperbaiki oleh seorang penjahit yang sangat terampil,
bekas robekan itu tetaplah ada..."
"Tetapi mengapa bekas yang ditinggalkannya pada
Pak Suharyadi begitu mengenaskan hati?" tanya
Sukiman lagi, ingin tahu. "Malah kini juga, Mia terkena
getahnya!" ia menambahkan.
"Leluhur-leluhur kami tidak pernah berhenti berusaha,
Nak Maman. Selain mengusir roh itu, mereka juga
telah berjuang untuk menekan akibat yang
ditinggalkannya. Leluhur yang ada tiga generasi di
atas kami misalnya, berhasil menyempurnakan
penangkal kutukan itu. Sehingga yang terkena
kutukan tidak lagi setiap anak yang lahir tetapi tinggal
seorang saja dari sekian anak-anak yang kelak
dilahirkan. Seperti halnya sebuah baju yang robek
tadi, mengikis habis kutukan itu adalah tidak mungkin.
Apa yang dapat diperbuat oleh leluhur kami hanyalah
berusaha membantu meringankan beban keturunan


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang kurang beruntung itu. Ada dua cara
yang bisa ditempuh. Pertama, cara yang akan kita
lakukan nanti malam...," Karta terdiam sejenak.
Tampak gelisah. Setelah menghela nafas dan
menggoyangkan kepala untuk menyingkirkan
bayangan-bayangan tak menyenangkan, ia
melanjutkan: "Cara lain, berusaha sekuat tenaga
menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit dendam kesumat. Menekannya
sedemikian rupa sehingga dendam kesumat itu dapat
ditahan, tidak dilampiaskan. Caranya, Nak Maman,
kedengaran mudah saja. Tetapi kenyataannya, tak
kurang sulit..." "Cara apa itu, Mang Karta" Dan mengapa bukan cara
itu yang kita tempuh untuk menyelamatkan Mia?"
tanya Sukiman bernafsu. "Kami telah mencobanya dengan Mia, Nak Maman.
Juga dengan Suharyadi. Caranya adalah mempertebal
ketahanan rohani dengan pendalaman agama,
pendalaman iman seorang muslim. Tetapi namanya
juga manusia biasa, tidak akan terlepas dari
kesalahan-kesalahan. Suharyadi misalnya. Apakah Mia
sudah menceritakan padamu tentang permusuhan
saudaraku yang tertua itu dengan si Durasin?"
"Sudah, Mang. Sepintas lalu. Persoalan manipulasi
yang dilakukan Pak Durasin, bukan?"
Sebelum menjawab, Karta melirik ke pintu kamar
tidur Sumiyati. Volume suaranya tak berubah ketika
mengingatkan Sukiman agar jangan membiarkan
kopinya menjadi dingin. Sukiman mengangkat
gelasnya, dan mendengar suara paman Sumiyati
berubah lebih rendah. Jelas tak ingin didengar oleh
keponakannya: "Sebenarnya," bisik Karta. "Masih ada satu persoalan
lain. Hal ini tidak pernah kami beritahukan pada Mia.
Khawatir, jiwa mudanya tergoncang lalu ia berontak.
ltu berbahaya. Karena si Durasin itu punya pengaruh
kuat, selain juga punya tukang-tukang pukul yang
tega merenggut nyawa orang lain hanya demi
imbalan sebuah jam tangan, misalnya. Juga dengan
perhitungan, demi menjaga kestabilan jiwa Mia.
Dendam kesumat ayahnya, tidak boleh mengalir ke
dalam diri Sumiyati..."
"Persoalan apakah itu, Mang Karta?" Sukiman latah
berbisik pula. "Terjadinya di zaman peperangan."
"Peperangan?" "Benar. Perang melawan penjajah. Suharyadi pernah
ditempatkan di basis perjuangan yang paling rawan.
Yakni di batas daerah yang diduduki kaum gerilya dan
daerah yang diduduki para penjajah. Kalau kau
pernah bertugas di basis serawan itu, Nak Maman,
kau akan tahu membedakan mana golongan pejuang
s ejati. Mana pula golongan pejuang yang ingin
mencari keuntungan dari peperangan, golongan yang
berjuang demi menyelamatkan diri sendiri, golongan
yang semata-mata mencari popularitas belaka,
sampai ke golongan yang diam-diam menusuk kawan
dari belakang atau golongan pengkhianat. Ketika
Suharyadi diangkat sebagai pegawai negeri di
perkebunan negara itu, pimpinan dinas kehutanan
kabupaten baru saja diganti. Kepala yang baru
namanya Durasin. Nama itu pernah didengar pernah
dikenal pula orangnya oleh Suharyadi. Tetapi Durasin
yang mana" la baru tahu, setelah terjadi peristiwa
manipulasi itu. Seperti kau sudah dengar, Suharyadi
tidak sudi diajak kerjasama. la lalu disuruh
menghadap kepala dinas kehutanan. Maksud semula
Suharyadi akan ditawari kenaikan pangkat bila
bersedia mendukung si pelaku manipulasi itu. Mereka
lalu bertemu muka. Dan dengan seketika, Suharyadi
mengenal pimpinannya itu sebagai Durasin yang
pernah ia ketahui di zaman perjuangan dulu
merupakan golongan yang ingin mencari untung
sendiri. Orang macam ini, Nak Maman..., demi
popularitas bersedia menjatuhkan nama baik bahkan
kalau perlu mengorbankan nyawa teman sendiri.
Bedanya dengan pengkhianat, ia melakukannya untuk
diri sendiri bukan untuk musuh. Begitu mereka saling
mengetahui siapa diri masing-masing, petaka pun tak
dapat lagi dihindari. Suharyadi bertengkar dengan
kepala dinas kehutanan itu. Akibatnya, Suharyadi
dipecat secara halus yakni dipaksa mengundurkan diri.
Sebelumnya, ia juga diancam dan disiksa oleh tukang-
tukang pukul si Durasin. Suharyadi menjadi frustrasi.
Ia tidak tahan menanggung beban berat itu, dan
imannya pun goyang. Selanjutnya, kau tentu sudah
mengerti..." Sukiman manggut-manggut dengan helaan nafas
panjang. "Dan Mia...," desahnya, kelu.
"Anak malang itu," lidah Karta juga mendadak terasa
kelu. "Kami telah berupaya, tetapi keadaan
menghendaki lain. Mia memang mengikuti pendidikan
di sekolah umum. Tetapi mengingat kebiasaan leluhur,
ia juga dimasukkan ke pesantren. Mia anak yang
baik. Rajin, tekun, disayangi banyak orang. Di
lingkungan keluarga, ia paling dekat dengan ibunya.
Bahkan sampai ia duduk di sekolah lanjutan atas, Mia
masih sering memaksa tidur dengan ibunya. Maka
tidaklah mengherankan kalau Mia sangat mengasihi
dan memuja kakak iparku itu secara berlebihan.
Semua itu, tiba-tiba buyar berantakan. Kebiadaban
manusia-manusia yang termasuk golongan yang
kusebutkan tadi, kembali menimbulkan petaka. lbu
yang dikasihi dan dipuja Mia, sekonyong-konyong
direnggut dari sisinya. Direnggut begitu kejam dan
mengerikan. Sudah demikian, manusia-manusia yang
bertanggung jawab atas kematian ibunya,
memanipulasi fakta pula sebagaimana si Durasin
memanipulasi fakta-fakta kejahatan yang
diperbuatnya. Mia yang lembut, Mia yang periang,
tiba-tiba hilang kesabarannya. Jiwa mudanya
terguncang keras. lmannya goyah. Dan apa yang
pernah terjadi pada Ayahnya, terjadi pulalah pada
dirinya. Syukurlah, dengan bantuan ljah dan
suaminya, kami masih dapat menekan akibat yang
timbul pada diri Sumiyati. Siapa menduga, di kota ia
mengalami hal-hal yang lebih buruk lagi. Aku telah
mendengar apa yang diperbuatnya pada Azis Partogi.
Dan aku percaya sepenuhnya, Azis Partogi tidak akan
mengalami nasib buruk kalau ia tidak melakukan
kekerasan atau menghinakan Mia...."
"Andai aku punya alasan kuat dan diberi hak untuk
itu," Sukiman menggeram. "Aku sendirilah yang akan
mengurus si Azis itu. Juga Eddi Bratamenggala, serta
Ayahnya yang hebat itu. Mestinya sebelum turun
tangan terhadap Eddi, aku dipanggil Mia untuk
membantu. Yang aku heran, mengapa Mia harus
merasa bersalah pula atas kematian Barman
Bratamenggala..." "Sebagai manusia yang utuh, Nak," Karta
menjelaskan. "Mia tetaplah seorang gadis berjiwa
lembut!" lembing tadi. la pergi ke dapur mencari golok,
sementara Karta sibuk mencari pacul dan sekop.
ljah melihat mereka pergi dan dia pun bangkit dari
duduknya. "Aku, pun ada kerjaan penting," gumamnya sambil
memaksakan senyum ke arah Sukiman dan Sumiyati.
ljah pergi mengambil air wudhu, masuk kekamar dan
bersujud di sejadah. Suaranya gemetar ketika ia tiba pada saat berdoa:
"Mungkin apa yang akan kulakukan malam ini dapat
melanggar kodrat, ya Allah. Mungkin pula selama aku
hidup bersama Sumiyati, aku telah gagal
mengembalikannya ke jalan yang benar. Ada sesuatu
dalam dirinya, yang berada di luar kekuasaan dan
kemampuanku untuk melawannya. Aku akan
mencobanya malam ini, ya Allah. Aku harus. Demi
Ayahnya, yang pernah menyelamatkan hidupku pula.
Apabila yang akan kulakukan ini salah dan tidak
Engkau ridhoi, beritahukanlah padaku. Atau, hukumlah
aku!" Airmatanya kemudian menitik di sejadah.
Ia tiba-tiba merasa takut. Takut pada Tuhan. Ia juga
tiba-tiba teringat pada almarhum suaminya yang
dimasa hidupnya tak pernah lalai menasehati istri
serta anak-anaknya agar menjauhi hal-hal yang
dilaknat Tuhan. Ijah bertambah gemetar. Bertambah takut. *cb***
BAIK SUMIYATI maupun Sukiman tidak ingat siapa
yang lebih dulu menyeret diri yang lain sehingga tahu-
tahu saja mereka sudah rebah di tempat tidur dalam
kamar Sumiyati. Gelegar guntur mengejutkan gadis
itu dan melarikan perasaannya ke dalam dekapan
kuat serta hangat dari kekasihnya. Ledakan petir ikut
mendorong pelukan mereka semakin erat, dan
mengundang mereka pada suatu perpaduan tubuh
yang abadi. Sumiyati tidak memprotes apa-apa sewaktu jari-
jemari kekasihnya menjelajahi sekujur tubuhnya, dan
pelan-pelan menanggalkan pakaiannya sampai tak
tersisa sehelai benang pun. Kelopak mata gadis itu
terpejam rapat manakala tubuh Sukiman mencari-cari
tubuhnya, dan pelan-pelan memasukinya. Hanya satu
kali gadis itu merintih, itu pun rintihan halus dan
samar-samar. Selebihnya ia diam dan hanyut dibawa
arus hayali. Ia larut dan semakin larut dalam setiap
menit yang berlalu maupun hendusan nafas yang
keluar. Dan setiba di puncak pendakian yang penuh
hayali itulah, si gadis akhirnya merintih sekali lagi...,
suatu rintihan panjang, dan tersendat-sendat.
Guntur kembali menggelegar.
Tetapi Sumiyati tidak lagi gemetar. Dan kini ia punya
keberanian untuk mengutarakan apa yang
tampaknya tak lebih dari sebuah impian kosong:
"Kuharap, ini bukan terakhir kalinya kita lakukan. Kang
Maman..." Si pemuda menyelimuti kekasihnya. Diciumnya
lembut bibir yang merah basah itu. Lalu berbisik di
telinganya: "Kita akan melakukannya, Mia. Lagi, dan
lagi. Lebih indah, lebih syahdu. Dan kita akan punya
anak-anak yang lucu, atau barangkali nakal setengah
mati..." "Anak-anak," Mia tersenyum. "Apakah laki-laki, Kang
Maman?" "Dan perempuan, Mia."
"Namanya?" "Sudah tersedia. Telah sekian tahun aku
memikirkannya." "Sekian lama?" "Ah, Mia. Apalah artinya waktu yang berlalu, apabila
pada akhirnya impian kita tercapai...."
"Kang Maman. Mimpi apa kau hari-hari belakangan
ini?" "Aku tak ingat. Dan kau, Mia?"
"lbu. Aku selalu memimpikan ibuku akhir-akhir ini.
Bahkan tadi, sebelum aku dibangunkan Bu ljah... aku
melihat lbu datang dalam tidurku. la berkata....," suara
Sumiyati merendah dan diakhiri helaan nafas panjang.
"Apa kata ibumu, Mia?"
"la kedinginan...."
"Lalu?" "Ia bilang, ia ingin memelukku. Seperti dulu aku selalu
dipeluknya setiap kali menjelang tidur. Dan ia masih
memelukku, setiap kali pula aku bangun esok
paginya. Ia lantas akan tersenyum. Dan berkata
lembut: Kau mimpi tadi malam ya" Lalu kemudian
dia...." Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Disusul suara
ljah memberitahu: "Sudah hampir tengah malam, Nak
Mia!" Sumiyati tidak segera bangkit dari tidurnya. la
mengusap pipi Sukiman, dan berbisik lirih: "Ciumlah
aku, Kekasih." Sukiman menciumnya. Ciuman paling lembut, paling indah, yang pernah ia
singgahkan di bibir kekasihnya. Sampai Sumiyati
menitikkan air mata dibuatnya. Dan ketika mereka
meninggalkan rumah diiringkan oleh Ijah, gadis itu
masih tetap menitikkan airmata. Tak seorang pun
melihatnya. Malam begitu gelap gulita. Walaupun ada
kilat menyambar, sinar kilat itu seakan menjauhi
wajah Sumiyati dengan perasaan segan.
Tiada hujan turun, walau setitik pun.
Dan rembulan bersembunyi pula entah dimana.
Bintang-bintang sibuk mencari. Dari tempat gelap
yang satu ke tempat gelap lainnya. Tanpa menyadari
bahwa bintang-bintang itu sendiri ikut tertelan dalam
kegelapan. Kemudian tampak setitik cahaya kecil dan lemah.
Semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin kuat.
Berasal dari sebuah lampu petromak yang diletakkan
di antara batu-batu nisan. Salah satu batu nisan itu
tergeletak diam di rerumputan, setengah tertutup oleh
timbunan tanah galian. Ada sebuah liang kubur menganga. Dan di dalamnya,


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaring serangkaian tulang kerangka dan tengkorak
manusia. Kerangka maupun tengkorak itu jelas telah
disusun kembali dengan susah payah sesuai dengan
tempat tulang-tulang atau tengkorak berlepotan tanah
itu semestinya terletak. Karta serta Harlas menyisi diam-diam. Memberi
tempat pada Sumiyati untuk melihat ke dalam liang
kubur yang diterangi samar-samar oleh lidah-lidah
cahaya lampu petromak. Gadis itu berdiri tertegun,
kaku tak bergerak, dengan mata memandang nanar,
tak berkedip. la sangat mendambakan ingin melihat ibunya
kembali. Tetapi bukan dalam wujud tulang-belulang dan
tengkorak yang demikian rupa menyedihkan
keadaannya. "Marilah kita memulainya," ljah berbisik gemetar. Dia
masih ketakutan. Dan ketakutan itu semakin
bertambah-tambah setelah ia menangkap pandangan
tersembunyi di balik sinar mata majikannya. la dapat
menyelami, di balik mata si gadis tersembunyi suatu
keinginan yang kuat. Teramat kuat malah.
Apa yang dilihatnya, membuat Ijah merasa cemas.
*cb***
lJAH membuka bungkusan yang dibawanya dan
mengeluarkan sehelai kain putih yang jelas
diperuntukkan sebagai kain kafan. Karta menerima
kain kafan itu lalu turun ke liang lahat bersama
Harlas. Dengan teliti dan hati-hati kain kafan ditutupkan ke
penghuni liang lahat. Sedemikian rupa sehingga tak
sepotong tulang pun yang tidak tertutupi.
ljah seterusnya menyerahkan serangkai tasbih merjan
berkilauan yang oleh Karta diletakkan melingkar di
salah satu bidang permukaan kain kafan. Sukiman
melihat bahwa tasbih itu diletakkan melingkari bagian
di mana semestinya terdapat jantung manusia, bila
dimisalkan yang tertutup kain kafan itu adalah sosok
tubuh manusia yang utuh. la lalu membantu Karta dan
Harlas naik ke atas. Sebelum pergi menjauhi liang
lahat Harlas melirik ke satu arah di dekat Sukiman.
Pemuda itu ikut melirik dan tahulah ia bahwa mata
lembing itu telah diberi bergagang batang tombak.
Panjang batang lembing itu tak sampai setengah
meter dan terbuat dari sepotong kayu. Mungkin
diambil dari cabang-cabang pepohonan rendah yang
banyak terdapat di sekitar kompleks pekuburan desa
itu. Memandangi lembing dengan mata besinya yang
berkilat suram dalam jilatan lampu pet romak, dada
Sukiman bergetar. Ketika melihat tulang-belulang dan
tengkorak ibu Sumiyati di liang kubur yang telah digali
kembali oleh paman-paman gadis itu, Sukiman tidak
merasakan pengaruh apa-apa. Beda halnya ketika ia
melihat mata lembing yang sudah diberi gagang itu.
Jantungnya seakan menclos begitu saja. Tak kuat
menahan pengaruh gaib yang tiba-tiba menghantui
dirinya. Tanpa sadar ia melirik pada gadis yang berdiri
di sebelahnya. Sumiyati diam tak bergerak. Entah
tahu atau tidak bahwa ia dilirik. Dan yang dilirik
adalah lambungnya, searah jantung.
"Tidak. ltu tidak akan terjadi!" Sukiman menjerit dalam
batinnya. "Semoga saja tidak terjadi suatu kesalahan
dalam upacara rituil dan gila-gilaan ini!"
Dan bila segala sesuatunya berjalan lancar serta
mulus sebagaimana mereka semua kehendaki,
Lembing Penebus Dosa itu tak perlu disentuh
Sukiman. Sumiyati boleh ia bawa pulang, dan pada
ibunya Sukiman akan berseru-seru riang gembira: "Ini
menantumu datang!" Bayangan-bayangan yang masih berupa harapan, tipis
pula lagi, lenyap oleh suara kumat-kamit ljah diantara
bunyi gelegar guntur dan ledakan petir. Anehnya
bunyi menggelegar dan meledak-ledak itu kian lama
kian menyepi dan kemudian hilang sama sekali.
Tinggal mendung yang masih tetap tergantung di
langit kelam, seolah mencengkeram rembulan serta
bintang gumintang dalam kepekatan pelukannya
yang hitam legam. Suara kumat-kamit di mulut ljah semakin jelas
terdengar, dan berakhir dengan bentakan keras:
"Datanglah roh yang abadi sempurnakanlah ragamu
yang tersia-sia ini!"
Sembari membentak, perempuan itu meluruskan
lengan kirinya ke depan sehingga berada di
permukaan liang lahat, sejajar dengan letak tasbih
yang melingkar di bawahnya. Pada saat bersamaan,
tangan kanan perempuan itu terjulur pula ke depan.
Terdengar bunyi 'jres' yang lembut, ketika benda
tajam, mungkin silet, yang dipegang tangan kanan
ljah menggores dan melukai nadi lenga
n kirinya. Darah seketika menyembur, jatuh berceceran
ditengah lingkaran biji-biji tasbih. Mulut ljah kembali
kumat-kamit ketika ia menarik mundur tangan-
tangannya. Karta dan Harlas buru-buru mendekat. Dan sementara
ljah terus kumat-kamit seperti orang tak sadarkan diri,
kedua orang paman Sumiyati dengan cepat dan
terampil membebat lengan kiri si perempuan untuk
menghentikan aliran darah yang terus menyembur-
nyembur deras. Setelah sempat terkejut oleh gerakan yang
ditimbulkan kedua paman Sumiyati, Sukiman
berpaling kembali ke liang lahat di bawahnya. Dan
matanya terbelalak lebar dan makin lebar ketika
menyaksikan gerakan-gerakan aneh dibawah kain
kafan. Gerakan-gerakan itu menyerupai gerakan
sesuatu yang membesar dan membesar sampai ke
bentuk yang wajar. Dimulai dari arah tul ang-tulang
jari kaki, naik keatas sampai ke bagian kepala.
Tanpa sadar Sukiman mencari lalu mencengkeram
lengan gadis yang tetap diam tak bergerak
disebelahnya. Tak ada penolakan. Namun juga tanpa
reaksi apa-apa, pertanda Sumiyati tidak terpengaruh
oleh gangguan tiba-tiba dari tangan Sukiman. Mata
gadis itu tertuju lurus ke liang lahat, seakan matanya
itu berusaha menyingkapkan kain kafan dengan
seketika. Dan ketika ljah menyuruhnya turun ke liang
lahat, sinar mata Sumiyati tampak menyimpan
harapan dan kebahagian tersembunyi. la pasti sudah
terjun ke liang lahat kalau tangannya tidak kebetulan
dicengkeram oleh Sukiman.
"Sabar, Anakku. Sabar," desah ljah sambil mengawasi
gerak-gerik Sumiyati dengan perasaan khawatir.
Perempuan setengah umur itu berusaha mencari-cari
mata majikannya, ingin melihat sinar mata gadis itu.
Tetapi Sumiyati telah turun ke liang lahat seolah tanpa
menyadarinya. Bahkan juga tanpa merasakan bahwa
ia turun dengan dibantu hati-hati oleh Sukiman, Karta,
maupun Harlas. cara. Kecuali hanya menatap ke liang lahat dibawahnya, yang perlahan-
lahan mulai disinari matahari.
Di liang lahat itu tertumpuk sesosok mayat lelaki yang
keadaannya mengerikan. la jelas Sukiman. Tangannya
masih menggenggam batang lembing. Batang lembing
itu menembus lambung sosok tubuh lainnya. Tubuh
berbulu tebal panjang, dengan wajah serigalanya
membayangkan azab sengsara di saat kematian
datang merenggut. Dan diantara kedua sosok tubuh yang berlainan rupa
maupun wujud itu, tampak berserakan tulang
belulang ibu Sumiyati. Tengkorak almarhumah telah
berpindah tempat, mungkin oleh terjangan-terjangan
kaki dalam pergulatan hidup dan mati dinihari
sebelumnya. Tengkorak berlepotan tanah dan
dibercaki darah hitam pekat itu terpuruk di sudut liang
lahat. Lubang-lubang matanya yang hitam dan
hampa, menatap ke atas. Arah tatapannya, sungguh
ajaib, searah dengan tempat tiga sosok tubuh yang
diam tak bergerak-gerak di salah satu sisi atas liang
lahat. Mata tengkorak itu seakan menuduh.
ljah malah menganggapnya sebagai suatu kutukan.
Sedang Karta dan Harlas, hanya terpaku dibuatnya.
Mereka berdua tidak dapat mengelakkan pandangan
menuduh dari rongga mata tengkorak kakak ipar
mereka. Karta dan Harlas mengakui kekuatan kutukan itu.
Sungguh malang. Tak seorang pun dari leluhur mereka
dari sekian generasi di atas sana, tampil sebagai
pembela. Bahkan bekas anak buah Karaeng Galesung
memilih tetap diam. Tidak mau ikut campur. Pangkal
petaka memang bermula dari tangan pelaut Makasar
itu. Tetapi keputusan akhir, bukanlah terletak di
tangannya. Juga tidak ditangan generasi-generasi
penerusnya. Atau tangan siapa saja yang hidup dan
mati dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu
berikutnya. Kelak apabila generasi terakhir akhirnya
musnah juga, barulah mereka sadar dan menemukan
sendiri kebenaran, di tangan siapa adanya keputusan
akhir itu! TAMAT Misteri Manusia Kera 2 Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar Siasat Yang Biadab 2
^