Pencarian

Siasat Yang Biadab 2

Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Bagian 2


kesakitan. Segera saja Kendala Yoro berlari ke sana. Ha-
tinya mengatakan sesuatu yang tidak enak sedang terjadi. Benar saja dugaannya
itu. Meskipun dia sudah
menduga namun tak urung betapa terkejutnya dia me-
lihat beberapa warga desa yang menjaga di bagian belakang tengah mati-matian
menghadapi beberapa
orang yang dengan bengisnya membantai mereka. Dan
Kendala Yoro masih melihat seorang warga desa yang
ambruk dengan dada robek bersimbah darah akibat
sabetan senjata tajam orang-orang itu.
Di samping hatinya teriris, Kendala Yoro jug a
menjadi geram. Dan dia pun tidak bisa mendiamkan
hal itu terlalu lama lagi. Lalu dia pun bersalto beberapa kali untuk hinggap di
sana. Dan langsung mengha-
lau serangan-serangan kejam itu terhadap warga desa.
Namun dia terlambat, karena tiga orang warga desa itu telah menemui ajalnya.
Sementara itu pun berlarian beberapa orang
yang menjaga di sekeliling rumah itu. Mereka pun berdiri di samping Kendala Yoro
dengan mata terbelalak melihat kawan mereka yang mati dan pandangan geram
terhadap orang-orang yang membunuh mereka
itu! Kendala Yoro bisa bersikap lebih tenang meski-
pun dia geram bukan main. Hanya matanya saja yang
tidak bisa menutupi betapa geramnya dia. Kala dia
berkata, suaranya terdengar merandek sangar penuh
amarah. "Hhh! Agaknya orang-orang Sangkur Baja su-
dah sampai di sini pula" Tidakkah kalian menyesal telah membuat onar seperti
ini?" Salah seorang dari orang-orang yang berpa-
kaian merah-merah itu mendengus.
Dia bernama Pratiko. Seorang tangan kanan
dari Bojo Mayit.
"Hhh! Memang kesukaan kami berbuat hal se-
perti itu" Hmm... bila kau tidak suka dengan hal itu, mengapa kau hanya berdiam
diri saja tidak melarang
perbuatan kami, hah" Hmm... nampaknya kau lebih
baik bersiap-siap saja beristirahat di rumah untuk
menunggu ajal yang sebentar lagi akan tiba daripada harus berkeliaran seperti
ini!" "Aku akan merasa sia-sia hidup bila ku lihat
masih ada keangkaramurkaan di muka bumi ini! Apa-
lagi bila orang-orang keji seperti kalian yang telah melakukannya! Sampai mati
pun aku tak akan rela!"
"Hahaha... kau bermimpi, Orang tua! Kau lupa
siapa yang kau hadapi ini?"
"Sombong!"
"Karena memang sebentar lagi akan aku bukti-
kan, bahwa orang seperti kau lebih baik mampus saja!
Hajar dia!!"
Mendengar perintah itu, dua orang dari Per-
kumpulan Sangkur Baja segera maju menyerbu ke
arah Kendala Yoro. Kendala Yoro yang sejak tadi sudah siap menghadapi segala
sesuatunya pun segera me-nyambut serangan itu.
Dua serangan yang dilakukan dengan cepat
dan hebat itu berhasil dihindarinya dengan jalan mengelak. Dan dengan kecepatan
yang luar biasa pula dia menggerakkan tongkat yang dipegangnya dengan satu
gerakan yang hebat.
"Wuuut!"
"Wuuuutttt!!"
Dua kali tongkat itu bergerak. Namun dua la-
wannya bukanlah orang sembarangan, mereka berha-
sil menghindari serangan itu bahkan dengan cepatnya membalas. Namun Kendala Yoro
bukanlah seorang tua
yang kosong, pukulan tangan kanan lurus yang ditu-
jukan ke wajahnya di halaunya dengan sapuan tong-
katnya, lalu tongkat itu bergerak menyodok.
"Des!"
Serangan itu tepat mengenai sasarannya mem-
buat seorang lawannya harus menahan rasa sakit dan
mual di perutnya. Yang seorang lagi masih terus me-
nyerang. Namun dua kali Kendala Yoro menggerakkan
tongkatnya, dia pun harus mundur dengan tulang ker-
ing yang rasanya mau patah.
Kendala Yoro menyeringai pada Pratiko.
"Hmm... apakah kau masih mau menganggap
ringan orang tua seperti aku ini?"
Mendengar kata-kata itu dan melihat dua anak
buahnya harus mundur dalam beberapa gebrakan sa-
ja, wajah Pratiko memerah gusar. Dia menggeram he-
bat. "Bangsat! Kubunuh kau, Bangsat!!" serunya seraya menyerbu dengan gerakan cepat.
Tangan kanan- nya yang penuh tenaga mengarah pada wajah Kendala
Yoro. Kendala Yoro sendiri dengan sigapnya mengge-
rakkan tongkatnya untuk menghalau serangan itu. Se-
rentak Pratiko menarik tangannya, bersalto sekali dan meluncur kembali ke arah
Kendala Yoro, kali ini kaki kanannya yang siap menjebol dada Kendala Yoro.
Namun lagi-lagi Kendala Yoro menggerakkan
tongkatnya, kali ini dengan bersalto. "Trakkk!!"
Tongkat itu tepat menghantam kaki Pratiko.
Yang sedikit merasakan ngilu. Bila saja dia tidak me-nyalurkan tenaga dalamnya
ke kaki, maka kaki itu
niscaya akan remuk. Dia bersalto ke belakang dan kala hinggap di bumi dia
kembali merasakan ngilu di kakinya. Hal ini semakin membuatnya geram. "Bunuh
manusia itu!" serunya pada anak buahnya. Serentak mereka menyerbu ke arah
Kendala Yoro, namun para
penduduk desa yang bersiaga sejak tadi pun tak mau
ketinggalan. Serempak pula mereka menyerbu meng-
halau serangan mereka.
Di tempat itu pun terjadilah pertempuran yang
sengit dan hebat. Pratiko sendiri sudah kembali me-
nyerang Kendala Yoro. Keduanya kembali saling gem-
pur dengan hebat. Masing-masing memperlihatkan ke-
hebatannya. Meskipun sudah cukup berumur, namun
Kendala Yoro masih mampu bertahan bahkan memba-
las dengan gigih dan tak kalah hebatnya.
Pratiko sekali ini merasa kena batunya karena
tidak menyangka hal itu. Pikirnya tadi laki-laki berumur itu hanya mampu bertahan dalam beberapa ge-
brak saja. Namun sekarang terbukti kalau laki-laki itu mampu bertahan beberapa
lama. Hal ini semakin
membuat bertambah geram.
"Tak kusangka kau masih mampu bertahan,
Orang tua!" serunya geram sambil mempergencar serangannya.
"Hahaha... kini kau tahu bukan siapa aku se-
benarnya" Lebih baik kau menyerah dan minta maaf
padaku, Orang jahat! Untuk apa kau berbuat onar se-
perti ini terus menerus" Apakah kau sudah tidak
punya keinginan untuk berbuat baik, hah"!" balas Kendala Yoro sambil terus
menghindar dan balas menyerang.
"Kau tak perlu berkhotbah, Orang tua! Kau le-
bih baik yang menyerah dan membunuh diri di hada-
panku! Bila tidak kau lakukan, kau akan kubunuh!"
seru Pratiko sambil terus mengeluarkan segenap ke-
mampuannya. Kendala Yoro hanya tertawa saja.
"Membunuhku" Hahaha... sejauh ini saja kau
belum berhasil untuk memukul ku mundur, apalagi
untuk membunuhku! Hahaha... jangan bermimpi di
siang bolong, Orang jelek!"
Makin murkalah Pratiko. Kalap dia menyerang.
Namun hal itu malah memudahkan bagi Kendala Yoro
untuk menyerang dengan hebat, menekan dan mende-
sak. Sementara itu anak buahnya terus bertempur
dengan sengitnya melawan para penduduk desa yang
dengan gigih bertahan dan balas menyerang. Mereka
pun tak ingin dijadikan sasaran pukulan, tendangan
mau pun sabetan senjata yang dipegang oleh lawan-
lawannya. Mereka juga tidak ingin membiarkan orang-
orang itu hidup terus menerus dan membuat onar.
Makanya dengan penuh semangat yang membaja me-
reka terus membalas dan menyerang. Bagi mereka le-
bih baik mati daripada membiarkan orang-orang kejam itu hidup sepanjang masa.
Sedangkan pertarungan antara Kendala Yoro
dengan Pratiko terus berlangsung dengan serunya.
Kendala Yoro terus menyerang dengan hebat Pratiko
yang kelihatan mulai terdesak dengan hebat. Dan dua jurus kemudian terlihat
kalau Pratiko sudah mulai
terdesak hebat. Berkali-kali tongkat di tangan Kendala Yoro dengan cepat
berkelebat ke sana ke mari mence-car bagian-bagian tubuh dari Pratiko yang
dengan susah payah berusaha menghindar. Namun lambat laun
dia mulai dengan tetap terdesak. Hingga dua kali tongkat di tangan Kendala Yoro
mengenai sasarannya.
"Des!"
"Des!"
Tubuh Pratiko terhuyung karena dadanya di-
hantam dengan keras oleh dua sodokan yang cepat
dan dilakukan sekaligus oleh Kendala Yoro.
"Hahaha... bukankah tadi sudah kukatakan,
lebih baik kau menyerah saja daripada harus mati konyol sekarang! Jangan
bermimpi untuk bisa menga-
lahkan aku, Kawan!"
"Anjing buduk!" menggeram Pratiko sambil menyerang kembali dengan ganasnya.
Namun lagi-lagi dia
harus menerima pukulan keras dari tongkat yang di-
mainkan dengan hebatnya oleh Kendala Yoro.
"Des!"
Satu sodokan keras menggedor dada dari Prati-
ko yang kembali terhuyung. Kali ini dia merasakan
yang amat sakit sekali. Lalu "Huak!" Dia pun muntah darah. Kendala Yoro yang
sedang geram pun dengan
beringasnya bergerak maju untuk menghabisi diri Pratiko. Karena dia berpikir
manusia seperti Pratiko bila dibiarkan hidup akan terus membuat onar yang tak
pernah berkesudahan.
"Hhh! Mampuslah kau, Manusia jahanam!!"
Tubuh itu meluncur dengan deras ke arah Pra-
tiko. Siap untuk menghancurkannya. Tongkat yang
tergenggam di tangannya dipegang erat oleh dua tan-
gan dan siap untuk diayunkan ke kepala Pratiko yang hanya bisa menyaksikan dalam
keadaan pasrah. Bermaksud menghindar pun tiada guna lagi karena tu-
buhnya dirasakan amat sakit sekali.
Terdengar jeritan yang cukup keras. Namun
bukan dari mulut Pratiko, melainkan dari mulut Ken-
dala Yoro disusul dengan meluncurnya tubuhnya ke
belakang dengan deras.
"Aaaakkkhhh!!"
Dia ambruk dan dengan menahan rasa sakit-
nya dia berdiri tegak kembali. Matanya mencari-cari siapa yang telah menghalangi
serangannya. Dan mata
itu menangkap satu sosok tubuh yang tinggi kekar
dengan wajah menyeramkan di hadapannya. Dia ada-
lah Bojo Mayit atau ketua Sangkur Baja!
Kini manusia seram itu terbahak-bahak dengan
kerasnya. Perutnya yang buncit terguncang karena gerakan tubuhnya.
"Hahaha... kakek tua... lebih baik kau mampus
saja daripada menjual lagak di depanku, hah! Hmm...
aku sebenarnya cukup
bangga denganmu, dalam waktu yang setua ini
kau masih mampu untuk bertahan melawan tangan
kananku, bahkan kau bisa menjatuhkannya!"
Kendala Yoro sadar dengan siapa kini dia ber-
hadapan. Dia sebenarnya sudah lama mendengar na-
ma Bojo Mayit yang amat tinggi kesaktiannya. Namun
meskipun demikian dia tidak takut menghadapi ma-
nusia itu. Bahkan dia pun bermaksud untuk menjajal
sampai seberapa tinggi ilmu yang dimiliki Bojo Mayit yang namanya sudah
terdengar lama.
Dia mendengus dengan sikap yang gagah.
"Hhh! Rupanya kau yang bernama Bojo Mayit!
Bagus, aku pun sudah lama ingin menjajal keheba-
tanmu!" Mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Kendala Yoro, malah membuat
Bojo Mayit terbahak-bahak karena geli.
"Hahaha... kau rupanya amat pemimpi, Orang
tua!" serunya. "Kau tidak melihat betapa tingginya langit dan betapa dalamnya
lautan! Kau hanya akan
membuang nyawa dengan percuma!"
"Manusia keparat! Menghadapimu aku tidak
takut mati! Bahkan aku akan menyesali hidupku se-
panjang masa bila belum membunuhmu!" geram Kendala Yoro.
"Hahaha... mengapa tidak segera kau buktikan,
Monyet tua! Mengapa kau hanya berkomentar saja,
hah"!" Merah padam wajah Kendala Yoro mendengar ejekan seperti itu.
Dia mendengus. "Anjing buduk! Kita lihat nanti siapa yang akan mampus berkalang tanah!"
"Hahaha... aku suka sekali dengan kata-
katamu itu! Bagus, aku pun ingin tahu sampai di ma-
na kebenaran kata-katamu yang penuh bunga dan se-
sumbar itu!"
"Anjing!"
"Hahaha... mengapa kau masih berkomentar
dan memaki-maki saja, Monyet tua!!"
"Baik! Lihat serangan! Haaaiiiiittt!!!"
* ** 6 Sambil menjerit keras tubuh Kendala Yoro den-
gan derasnya meluncur ke arah Bojo Mayit yang masih tertawa. Tongkat di
tangannya siap bergerak menghantam kepala dari Bojo Mayit.
Namun meskipun sambil tertawa dengan san-
tai, serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro seakan dianggapnya hanyalah satu
serangan anak kecil belaka. Karena masih tetap tertawa, Bojo Mayit menggeser
posisi berdirinya. Serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro tidak mengenai
sasarannya. "Hahaha... tongkat untuk memukul anjing gila
kau gunakan kepadaku, Monyet tua!"
"Seetttaan!!"


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan geramnya Kendala Yoro memutar tong-
katnya kembali, mengincar sasaran pada kaki Bojo
Mayit. Ketua Sangkur Baja itu dengan lincahnya men-
gangkat kakinya dan dengan satu gerakan yang amat
luar biasa, bersamaan dengan mengangkat kakinya,
dia bersalto ke belakang sekali dan kaki kirinya men-gayun menghantam dada
Kendala Yoro. "Buk!"
Kendala Yoro tidak menyangka hal itu, sehing-
ga dadanya berhasil digedor oleh Bojo Mayit. Cukup
menyakitkan, mampu membuat dadanya sesak untuk
sementara. Bojo Mayit yang telah hinggap kembali di bumi,
terbahak-bahak melihat Kendala Yoro mengusap-
ngusap dadanya.
"Hahaha... bagaimana... apakah kau sudah
mengakui kehebatanku, Monyet tua!"
Sepasang mata tua itu menyipit dengan garang.
Hatinya penuh dendam dan begitu terbakar sekali.
"Sampai mati pun aku akan bertarung den-
ganmu, Manusia busuk!" serunya dengan suara yang amat geram sekali. Lalu dengan
kecepatan yang amat
cepat, Kendala Yoro kembali menyerang.
Namun kali ini Bojo Mayit tidak mau berbuat
ringan lagi, dia segera membalas perlakukan Kendala Yoro dengan gerakan yang
amat cepat pula menyerang.
Pertarungan itu jelas tidak seimbang, karena Bojo
Mayit sudah menggunakan ilmu kebal Sangkur Ba-
janya, hingga semua serangan yang dilakukan Kendala Yoro menjadi sia-sia belaka.
"Hahaha... tak satu pukulan atau pun senjata
yang bisa mengalahkan aku! Kau jangan terlalu ba-
nyak bermimpi yang terlalu indah dan muluk, Manusia busuk!" Kendala Yoro memang
telah melakukan semuanya dengan penuh susah payah. Namun dia masih
amat penasaran dengan hal itu. Kini dia pun bertekad untuk mengadu nyawa dengan
Bojo Mayit. Maka diayunkannya tongkatnya dengan gera-
kan yang amat cepat dan tangkas.
"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Bangsat!" "Hahaha... kau hanya mengorbankan nyawa
yang tak berguna, Monyet tua!" seru Bojo Mayit sambil terus menghindari
serangan-serangan yang dilakukan
oleh Kendala Yoro. Baginya hal itu adalah sebuah pengorbanan yang amat besar.
Bila pun dia harus mam-
pus di tangan Bojo Mayit dia tak akan pernah menyes-al menghadapi maut sekali
pun. Yang pasti dia akan
merasa satu pengorbanan yang amat besar.
"Anjing keparat! Sampai mati pun aku berani
mengadu jiwa denganmu!" serunya kalap sambil terus menyerang dengan membabi
buta. Namun hingga sejauh itu, Bojo Mayit tak per-
nah mengelak atau menghindar, dia hanya mengan-
dalkan ilmu kebalnya saja. Dan sampai sejauh itu pula semua serangan yang
dilakukan oleh Kendala Yoro
hanya sia-sia belaka.
Sementara itu warga desa yang mencoba untuk
menahan setiap serangan dari orang-orang itu pun
hanya bisa bertahan sejenak, karena tak lama kemu-
dian mereka pun harus mengorbankan nyawa. Namun
karena mati dengan penuh rasa bangga karena merasa
tidak percuma membuang nyawa sekalipun.
Sedangkan Kendala Yoro kembali merasakan
sia-sia menghadapi semua serangan yang dilakukan
oleh Bojo Mayit, karena ketua Sangkur Baja itu sudah mulai membalas menyerang
dan berkali-kali menu-runkan tangan telengasnya.
Hingga kemudian Kendala Yoro pun harus me-
nerima satu hajaran dari tangan yang kuat itu.
"Des!"
Dadanya dirasakan bagaikan digedor oleh satu
hantaman baja yang amat kuat sekali, yang sanggup
menghancurkan batu sebesar gajah. Bila saja Kendala Yoro tidak memiliki tenaga
dalam yang cukup lumayan, sudah tentu dadanya hancur digedor oleh pu-
kulan yang amat keras itu.
Namun tak urung dia merasakan sakit yang
amat luar biasa sekali.
Terbahak-bahak Bojo Mayit melihat keadaan-
nya. "Hahaha... Monyet tua... sudah ku katakan...
lebih baik kau membunuh diri saja di hadapanku da-
ripada harus mampus berkalang tanah dengan tubuh
yang mengerikan!"
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Kenda-
la Yoro mendengus. "Anjing buduk! Sekali pun aku mampus di tanganmu, aku tak
akan pernah menyesal!"
"Hahaha... kau hanya bisa berkomentar dan
besar mulut belaka! Buktikan bila kau memang mam-
pu untuk menghadapiku!"
"Anjing setttan! Mampuslah kau!!" seru Kendala Yoro kalap dan dengan beringas
dia kembali menyerang. Namun lagi-lagi serangannya harus mengalami
kegagalan, karena ilmu kebal yang dimiliki oleh Bojo Mayit menjadikan setiap
serangan dari Kendala Yoro
tak banyak artinya.
"Hahaha... teruskan seranganmu, Monyet tua!
Teruskan!!"
Hal itu semakin membuat Kendala Yoro menja-
di geram namun dia tidak bisa berbuat banyak lagi.
Karena sukar baginya untuk menaklukkan Bojo Mayit
yang begitu perkasa dengan ilmu kebalnya yang tiada bandingnya. Sungguh
merupakan sebuah ilmu kebal
yang cukup dan amat hebat dimiliki oleh Bojo Mayit.
Dan ini bagi Kendala Yoro hanyalah sebuah serangan
yang amat sia-sia belaka saja.
"Anjing buduk! Kau memiliki ilmu iblis yang
amat kejam dan mengerikan! Jahanam!" serunya yang berusaha untuk mencari titik
kelemahan dari Bojo
Mayit yang demikian hebat itu. Namun semuanya ha-
nyalah sia-sia belaka saja, karena dia tetap
tidak dapat mengungguli Bojo Mayit. Sebuah
serangan yang tak banyak gunanya bagi Kendala Yoro
yang terus menerus berusaha untuk mengalahkan
manusia itu. Bojo Mayit sendiri lama kelamaan menjadi bo-
san dengan sikap Kendala Yoro yang tak mau menga-
lah. Dia bahkan dengan ringannya menggerakkan tan-
gan kanannya untuk menangkis serangan gencar yang
dilakukan oleh Kendala Yoro.
Hingga suatu ketika, tongkat yang dipegang
oleh Kendala Yoro terpotong menjadi dua akibat kerasnya tenaga benturan yang
terjadi. "Trak!!" Potongan tongkat itu satu terpental ke angkasa satu lagi meluncur deras
ke arah Kendala Yo-ro yang menjadi terkejut bukan kepalang. Untungnya
dia masih bisa menguasai dirinya dengan seksama.
Meskipun sempat tergedor oleh ujung tongkat itu, dia masih bisa menangkis.
Namun di luar dugaannya, Bojo Mayit yang ti-
dak mau berbuat ayal lagi, dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata
meluncur dengan kecepatan yang cukup deras. Dua pukulan beruntun sekaligus
dengan cepat hendak dilakukannya.
Kali ini Kendala Yoro tidak bisa berbuat ba-
nyak. Maka tanpa ampun lagi dua pukulan yang men-
gandung tenaga dalam cukup lumayan itu menggedor
bagian dada dari tubuhnya.
"Des!"
"Des!"
Tubuh tua itu terhuyung ke belakang karena
dorongan yang cukup keras. Sementara Bojo Mayit
dengan ringannya telah bersalto ke belakang.
Tawanya mengumandang ke angkasa.
"Hahaha... sudah kukatakan sejak tadi, jangan
terlalu sesumbar dengan kebohongan yang amat san-
gat! Hhh! Kini terimalah ajalmu, Monyet tua!!"
Dengan diiringi oleh pekikan yang cukup keras
tubuh itu pun meluncur. Serangkum tenaga dalam
yang cukup tinggi tergenggam di kepalan tangan ka-
nannya, siap untuk di hajarkan pada Kendala Yoro
yang hanya bisa mandah dan pasrah menerima.
Memang tidak ada jalan lain lagi baginya untuk
menghindar. Tubuhnya sungguh-sungguh dirasakan
amat sakit sekali. Di samping itu dia pun seakan tidak mampu untuk bergerak.
Menatap pun rasanya sulit.
Namun memang Kendala Yoro seorang laki-laki
berumur yang telah matang oleh pengalaman hidup.
Dengan gagahnya dia membuka matanya perlahan-
lahan. Melihat tubuh dengan pukulan yang siap di-
hantamkan itu mengarah padanya. Melihat ajal yang
sebentar lagi menjemputnya.
"Gusti Allah... bila memang hari ini aku harus mati, maka pasti aku akan mati.
Tetapi bila Kau masih melindungiku dari maut, maka aku akan tetap hidup,"
doanya dalam hati.
Dan matanya tetap terbuka melihat ajal yang
datang! *** 7 "Haaaaiiiiittttt!!" Seruan Bojo Mayit menggema keras. Membelah angkasa yang!
sunyi dan keheningan
langit biru. Dan tanpa ampun lagi pukulan yang men-
gandung tenaga dalam tinggi itu pun mendarat ke sa-
sarannya. Terdengar pula pekikan keras yang menyayat
hati. Sungguh memilukan. Dan tubuh tua itu pun ter-
pental ke belakang dengan derasnya. Disusul dengan
darah yang terlontar kuat dari mulutnya. Tubuh itu
menabrak tembok yang ada di belakangnya. Lalu ter-
pental kembali ke depan dan ambruk.
Beberapa saat tubuhnya masih kuat di angkat.
Matanya memancarkan sinar dendam pada Bojo Mayit
yang terbahak. Gemetar tangan tua yang lemah tak
berdaya itu menunjuk, sebelum akhirnya terkulai dan meregang nyawa.
"Hahaha... tak seorang pun yang akan bisa
mengalahkan Bojo Mayit!!" serunya sombong dengan tawa yang menggelegar. Namun
tiba-tiba dia merandek kepada anak buahnya. "Hhh! Mengapa kalian masih berada di
sini, hah"! Cepat cari si tua Banyu Biru! Seret dia ke mari dan bunuh!!"
Para anak buahnya terkejut. Pratiko serentak
mengomando, "Cepaaaatttt!!"
Serentak pula mereka menerobos masuk ke da-
lam. Mengobrak-abrik rumah Juragan Banyu Biru.
Namun ketika mereka melongok ke kamar di mana
Banyu Biru terbaring, tidak nampak sosok itu di sana.
Kamar itu kosong melompong!
"Cari ke tempat lain!" seru Pratiko karena tidak mau Bojo Mayit akan menjadi
murka. Mereka pun berpencar ke penjuru rumah itu,
namun Banyu Biru tidak ditemukan. Jangankan un-
tuk menemukan orangnya, bayangannya saja pun ti-
dak nampak. Bojo Mayit yang mendengar pemberitahuan itu
dari Pratiko menggeram murka, "Bangsaaat!! Ke mana larinya keparat itu, hah"!"
Para anak buahnya tak ada yang berani berko-
mentar. Mereka hanya tundukkan kepala dengan sikap
tegang. Bila Bojo Mayit sudah seperti ini, maka semuanya akan bisa menjadi
berantakan. Makanya tak seo-
rang pun yang berani berkomentar. Mereka merasa le-
bih baik diam daripada kena sasaran kemarahan Bojo
Mayit. Dan benar saja dugaan mereka, dengan geram-
nya Bojo Mayit menghancurkan apa saja yang berada
di dekatnya hingga berantakan. Lalu terdengar bentakannya yang amat keras. "Cari
keparat itu sampai dapat!" Serentak para anak buahnya berlarian serabu-tan.
Merasa lebih baik menjauhi Bojo Mayit daripada kena sasaran!
* * * Malam telah larut. Suara binatang malam ter-
dengar ramai bersahut-sahutan. Keadaan begitu men-
cekam sekali. Suasana di sekitar tempat itu menye-
ramkan. Suara air sungai yang mengalir perlahan me-
nambah keseraman itu. Belum lagi udara yang dingin
menusuk. Samar-samar terlihat satu sosok tubuh yang
bergerak lincah diterangi oleh sinar bulan menuju ke
gubuk jelek yang ada di sana. Lalu sosok tubuh itu
mengetuk pintu gubuk.
Tak lama terdengar pula suara ketukan mem-
balas dari dalam. Agaknya ketukan-ketukan itu seba-
gai isyarat bagi siapa yang datang. Hanya orang-orang itulah yang mengetahui
ketukan isyarat itu.
Perlahan. pintu gubuk itu terkuak setelah si
pendatang membalas ketukan isyarat pula.
Bila diperhatikan dari dekat, terlihatlah wajah
si pendatang wajah Nimas Andini atau Banci Murah
Senyum. Setelah berhasil memfitnah Pandu atau Pen-
dekar Gagak Rimang yang berkali-kali mengalahkan-
nya, dia pun segera menghilang beberapa saat.
Sementara dia masih tetap terus memantau
keadaan Goa Alas Bantan. Dan dia baru mengetahui
kalau Goa Alas Bantan kini dihuni oleh beberapa
orang. Itulah dia sebabnya mendatangi orang yang
menyuruhnya dengan membayar.
"Ada apa, Nimas" Mengapa kau menyuruhku
untuk datang malam ini ke sini?" tanya sosok tubuh yang wajahnya tertutupi oleh
kain hitam. Hanya sepasang matanya saja yang nampak bersinar. "Apakah kau sudah
berhasil mendapatkan Kitab Lembayung
Sakti yang kau sembunyikan di Goa Alas Bantan?"
"Belum, Sobat...."
"Hah" Lalu mengapa kau menyuruhku untuk
datang sekarang?" dengus sosok yang wajahnya tertutup kain hitam itu. Kali ini
sepasang matanya bersinar geram. Nimas Andini terbahak. Banci yang telah
menghancurkan Perguruan Perawan Mustika itu ber-
kata: "Hahaha... sabar, sabar... sebentar lagi aku pasti akan mendapatkannya..."
"Lalu ada apa sekarang?"
"Ada kabar yang baik sekali. Pendekar Gagak
Rimang tidak ada di Goa Alas Bantan."
"Lalu maksudmu?"


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Goa itu kini dihuni oleh empat orang laki-laki dan gadis yang hendak ku...
hihihi... ku cicipi dulu....
Bukankah hal ini malah memudahkan kita untuk
mendapatkan barang yang kau inginkan...?"
"Aku memang sudah lama menginginkan itu....
Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin mempelaja-
rinya." "Sebentar lagi, Sobat... sebentar lagi kau akan mendapatkannya. Setelah
itu, aku akan mencari Pendekar Gagak Rimang untuk kuhancurkan dan kubu-
miratakan!! Sepak terjangnya sangat mengganggu ke-
giatan orang-orang seperti kita! Dan Pendekar Gagak Rimang merupakan musuh abadi
kita!" seru Nimas Andini sambil terbahak-bahak.
Sosok berkedok hitam itu pun terbahak. Ba-
ginya tidak penting apa yang hendak dilakukan oleh
Nimas Andini, yang diinginkannya hanyalah Kitab
Lembayung Sakti yang telah dicurinya. Memang hingga saat ini belum terdengar
suara dari Perguruan Lembayung Sakti bahwa mereka telah kehilangan kitab
saktinya. Nanti kita akan mengikutinya dalam serial Pendekar Gagak Rimang yang
berjudul, (Petaka Kitab
Pusaka). "Bagus kalau begitu! Lalu kapan kau akan mu-
lai hendak mengambil kitab itu?" "Hihihi... kau nampaknya begitu tidak sabaran
sekali, Sobat...." kata Nimas Andini sambil tersenyum genit yang membuat si
Kedok Hitam menjadi mendengus.
"Kau minta upah lagi, hah?"
"Agaknya kau memang mengerti keinginanku
itu. Yah... aku memang meminta upah lagi," Kali ini Nimas Andini tersenyum malu-
malu. Padahal dia kini
takut bila hendak menculik perawan dan memperko-
sanya, seperti kebiasaannya. Karena dia kuatir akan bertemu dengan Pendekar
Gagak Rimang yang tengah
dicari oleh Barejo dan warga desanya karena fitnah
yang dilakukannya.
"Maafkan aku, Sobat... kali ini aku tidak bisa memberimu upah terlebih dulu
sebelum aku yakin kau
sudah mendapatkan Kitab Lembayung Sakti itu. Bu-
kannya aku melanggar janji, namun kau tak pernah
menepati janjimu pula. Bukankah adil sekarang bila
kita sama-sama tidak saling memenuhi?"
Nimas Andini terkikik.
"Bila begitu maumu, baiklah...." katanya kemudian. "Malam ini juga aku akan
kembali ke Goa Alas Bantan untuk mengambil kitab itu. Hihihi... ya, ya...
aku lupa... bukankah di sana ada seorang gadis yang amat cantik" Dia bisa
kujadikan pelampiasan nafsu
binatang ku sekarang!"
"Bila itu maumu terserah. Aku tidak perduli
kau mau apakan gadis itu. Yang ku inginkan hanyalah kitab pusaka itu. Kau
mengerti, Nimas?"
"Sudah tentu aku mengerti, Sobat.... Dan aku
akan memenuhi janji ku itu padamu."
"Bagus!"
"Dan kau jangan lupa dengan segala janjimu?"
"Bila kau mendapatkan kitab itu, maka aku
akan memenuhi janji ku. Percayalah...."
"Hihihi... sudah tentu aku percaya padamu.
Dan sudah tentu pula bukan bila kau percaya pada-
ku?" "Ya."
"Hihihi... kalau begini adil namanya. Kita tidak
saling mengikat dan terikat!"
Diam-diam dalam hati si Kedok Hitam menjadi
geram. Dia mengerti maksud dari kata-kata terselu-
bung Nimas Andini itu. Mengikat dan terikat. "Hhh!
Sudah tentu aku yang terikat padamu, Nimas... karena pada kaulah aku bergantung.
Kali ini aku akan tetap berbaik hati padamu. Namun lihat nanti, bila sudah
kudapatkan kitab itu, maka kau akan menerima gan-
jaran yang pantas akibat perbuatanmu yang selalu
mempermainkan aku!" geram si Kedok Hitam dalam hati. Karena jelas-jelas dialah
yang terikat oleh si Banci ini. Kalau si Banci ini memutuskan hubungan,
berarti gagal lah dia mendapatkan kitab sakti itu.
Namun dalam hatinya dia telah menyusun sua-
tu rencana untuk menyingkirkan dan membalas den-
damnya pada si Banci ini.
"Yah... kita memang tidak saling mengikat dan
terikat," desisnya menyembunyikan rasa geramnya.
"Namun sudah tentu kita tidak akan mengingkari janji, bukan?"
Si Banci terkikik dengan tersipu bak seorang
gadis belaka, "Mengapa kau berkata demikian, Sobat" Apa-
kah kau kuatir aku akan mengingkari janji?"
Semakin panas hati si Kedok Hitam mendengar
suara yang bernada mengejek itu.
"Ya, sudah tentu kau tidak akan mengingkari
janjimu. Namun aku tak ingin kita saling bertemu dalam permusuhan yang dalam,"
katanya tetap me-
nyembunyikan kegeramannya.
"Hihihi... dari nada suaramu, aku menangkap
kesan bahwa kau sebenarnya begitu marah sekali. Be-
narkah dugaanku ini, Sobat?"
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, sebaiknya
kau pergi saja sekarang untuk mengambil kitab itu.
Aku sudah tidak sabar ingin segera mempelajarinya!
Karena yang ku tahu, Perguruan Lembayung Sakti be-
lum ada yang mempelajari isi kitab itu...."
"Hihihi... baiklah bila itu maumu. Aku jelas
bersedia membantumu...." kata Nimas Andini terus terkikik. Dan tiba-tiba saja
tubuhnya telah lenyap dari pandangannya. Hanya suara kikiknya yang menggema
keras. Si Kedok Hitam mendengus. Lalu diam-diam
dia pun segera mengikuti ke mana Nimas Andini pergi!
* * * 8 Malam terus bergerak. Semakin lama semakin
muram. Langit pun seakan tak berbintang. Bulan telah tersaput oleh awan hitam
yang menggumpal dan digu-lung oleh angin.
Suasana amat mencekam.
Begitu pula dengan suasana Hutan Alas Bantan
begitu mengerikan. Siang maupun malam memang
keadaannya amat mengerikan sekali. Dalam Goa Alas
Bantan Ki Lurah Pandu Kelana tengah termenung. Su-
dah sehari semalam mereka berada di sini. Sebenarnya Ki Lurah hendak pergi sore
tadi, sebelum malam datang. Namun Sekar Perak tertidur pulas. Jelas sekali kalau
gadis itu amat mengantuk. Dari raut wajahnya
masih membayang duka yang amat sangat, membekas
pula hingga ke keningnya yang nampak berkerut da-
lam tidur menandakan dia amat gelisah.
Joko yang sejak tadi memperhatikan Ki Lurah
yang termenung, perlahan-lahan mendekatinya.
"Ki Lurah...." desisnya pelan karena tidak ingin melihat Ki Lurah tersentak
kaget. Ki Lurah Pandu Kelana tersenyum, menoleh
pada Joko. "Ada apa, Joko?"
"Apakah kita tidak sebaiknya meninggalkan
tempat ini" Perasaanku tidak enak dan mengatakan
telah terjadi sesuatu di rumah Juragan Banyu Biru se-peninggal kita."
Ki Lurah mendesah.
"Kau benar, Joko... perasaanku pun mengata-
kan telah terjadi sesuatu di sana... Memang, aku pun berniat hendak kembali,
namun Dik Sekar masih tertidur pulas...."
"Aku kuatir dengan keadaan teman-teman di
sana, Ki Lurah," kata Joko pula.
"Ya, aku pun demikian adanya. Namun aku ti-
dak ingin kita membawa Dik Sekar dalam keadaan se-
perti itu. Jiwanya sedang labil dan aku menyesal telah memberitahunya tentang
keadaan ayahnya sekarang.
Biarlah dia tidur terlebih dulu, kemarin seharian dia hanya duduk termenung
saja...." Belum lagi Joko menjawab, tiba-tiba Ki Lurah
menekap mulut pemuda itu dan langsung menempel-
kan jari telunjuk ke bibirnya. "Jangan berisik," desisnya lalu perlahan-lahan
dia bangkit. Telinganya yang cukup terlatih menangkap suara orang yang datang.
Tidak hanya satu orang, bisa beberapa orang. Karena suara-suara yang tertangkap
oleh telinganya berupa
suara orang bercakap-cakap.
Joko yang mengerti mengapa Ki Lurah Pandu
Kelana bersikap seperti itu, segera membangunkan ti-ga orang temannya. Dan
langsung berbisik. "Jangan ribut! Ada yang datang! Kita bersiap-siap sekarang!"
Serentak ketiganya bangkit dan menyiapkan
golok mereka. Lalu berhati-hati melangkah ke mulut
goa di mana Ki Lurah Pandu Kelana berada di sana.
"Ada apa, Ki Lurah," tanya salah seorang.
"Jangan ribut, aku mendengar ada orang yang
datang ke sini...." sahut Ki Lurah dengan membisik pu-la. Lalu dia kembali
menajamkan pendengarannya.
Dan telinganya semakin yakin kalau dia jelas-jelas
mendengar suara orang yang datang.
"Hhh! Goa apa lagi ini, Pratiko!" Terdengar suara bernada geram, dan berkesan
malas-malasan. "Sudah kukatakan agar segera mencari Banyu Biru! Aku
sudah tidak sabar untuk membunuhnya! Hhh! Anjing
keparat! Ke mana perginya Sekar Perak gadis impian
ku itu"!"
Pratiko hanya bisa menyembunyikan kepalanya
saja. Tadi pun kakinya tidak sengaja memasuki Hutan Alas Bantan. Entah mengapa
dia sepertinya yakin kalau di hutan sanalah Juragan Banyu Biru berada. Atau bila
beruntung bisa bertemu dengan Sekar Perak-gadis pujaan dari Bojo Mayit.
Tiba-tiba dia berseru. "Hei! Bukankah di balik rimbunnya pepohonan itu mirip
sebuah goa" Coba kulihat sebentar!" Pratiko berlari menuju tempat itu. "Hei,
benar! Ketua, benar ini sebuah goa!" serunya.
Orang-orang itu pun berjalan ke arah Pratiko.
Bojo Mayit terbahak-bahak. "Hahaha... bagus, bagus...
goa itu bisa kita jadikan sebagai tempat beristirahat semalaman!"
Orang-orang itu tertawa. Sementara di dalam
goa itu Ki Lurah Pandu Kelana berbisik dengan sikap
waspada. "Joko... bangunkan Dik Sekar. Jangan sampai dia terkejut. Berbahaya."
Joko segera melaksanakan perintah itu. Tak
lama kemudian dia sudah kembali ke tempat semula
bersama Sekar Perak. Sebelum Sekar Perak bertanya,
Ki Lurah sudah berkata: "Dik Sekar... nampaknya keadaan gawat sekarang...."
"Mengapa, Ki Lurah?"
"Hmm... yah... aku memang harus memberita-
hukan siapa yang datang sebenarnya...."
"Siapa, Ki Lurah?" Kali ini bukan hanya Sekar Perak yang bertanya, tetapi
semuanya. Hampir serem-pak. "Hmm... mereka adalah orang-orang Sangkur Baja. Dan
salah seorang adalah Bojo Mayit, ketua
Sangkur Baja," kata Ki Lurah Pandu Kelana pelan.
Namun tak urung Sekar Perak menjerit. Un-
tunglah Ki Lurah cepat menekapkan tangannya ke mu-
lut Sekar Perak.
"Jangan tegang, Dik Sekar.... Kami akan beru-
saha menyelamatkanmu. Joko, nasib Dik Sekar berada
di tanganmu sekarang. Bila kami sedang melawan me-
reka, kau berusahalah untuk menyelamatkan Sekar
perak." "Baik, Ki Lurah...." kata Joko patuh.
Sementara ketegangan di hati Sekar Perak se-
makin menjadi-jadi. Betapa mengerikannya. Manusia
laknat yang telah menyebabkan semua keonaran ini
terjadi, kini telah tiba di sini. "Oh Tuhan... bila ini semua kehendak-Mu... aku
rela menerimanya," desisnya di hati pasrah.
Sementara itu pula terdengar suara Bojo Mayit.
"Bujang Toko... periksa keadaan goa itu! Dan aku tidak mau terjadi sesuatu di
sana sebelum kita mengetahui
ada apa di dalam goa yang cukup mengerikan itu."
Anak buahnya yang bernama Bujang Toko itu
pun segera melangkah. Langkahnya bagaikan seorang
jumawa yang amat hebat. Kakinya pun perlahan mulai
masuk ke Goa Alas Bantan. Gelap menyeruaknya. Ma-
tanya mencari dan tangannya menggapai-gapai. Na-
mun dia amat terkejut ketika kakinya melangkah lagi, tiba-tiba dirasakannya
tangannya ada yang menarik.
Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba dirasakannya sesuatu yang keras
menghantam tengkuknya. Dan dia pun tak ingat apa-
apa lagi. Pingsan!
Ki Lurah Pandu Kelana berbisik. "Seret dia ke
sana!" Sementara di luar Bojo Mayit menunggu dengan kesal. "Bujang Toko! Sedang
apa kau di dalam sa-na, hah"! Cepat keluar!! Hei, Bujang! Mau mampus
kau rupanya!"
Suaranya menggema di seluruh hutan, menga-
getkan binatang-binatang malam yang sedang berke-
liaran sehingga mereka langsung berlari masuk ke sarang kembali.
Yang lainnya mendengus dalam hati. Konyol si
Bujang Toko ini! Pikir mereka. Mau mampus rupanya!
Namun yang dipanggil tidak muncul-muncul
juga. Hal ini semakin membuat Bojo Mayit menggeram
marah. "Kusuro! Periksa tempat itu! Dan bunuh manusia laknat itu!"
Yang diperintah kali ini tergesa-gesa melaku-
kannya. Dia ngeri sebenarnya mendapatkan perintah
untuk membunuh Bujang Toko, namun dia lebih ngeri
lagi bila harus mampus dengan kepala terpenggal.
Dia masih sayang nyawanya. Apalagi teringat
istri mudanya yang baru saja dinikahinya. Masih hangat-hangatnya.
Kakinya pun tergesa melangkah. Namun sama
seperti yang dialami oleh Bujang Toko, dia pun merasakan tangannya ditarik dan
lehernya dihantam puku-
lan keras dari belakang. Dia pun jatuh pingsan.
"Sudah dua orang yang kita lumpuhkan," desis Ki Lurah Pandu Kelana dalam gelap.
Karena peneran-gan yang ada di sana sudah dipadamkan. "Mudah-
mudahan orang-orang itu terus berbuat seperti-ini. Ki-ta akan bisa
melumpuhkannya satu persatu. Ini me-
mudahkan kita untuk menaklukkan mereka."
"Benar, Ki Lurah," desis Joko.
Di luar goa sana Bojo Mayit menjadi semakin
geram sekali. Karena yang ditunggu tidak keluar juga.
"Anjing keparat! Mau mampus rupanya kalian
berdua!!" geramnya penuh amarah. "Hhh! Berani sekali kalian melawan kehendakku!
Lebih baik kalian mampus di dalam goa itu! Daripada harus susah payah ku bunuh!
Kuhancurkan goa keparat itu!!!"
Tiba-tiba Bojo Mayit terdiam. Matanya berkon-
sentrasi. Kedua tangannya bersatu di dada. Siap me-
lontarkan tenaga dalamnya yang tinggi.
Sementara di dalam goa Ki. Lurah Pandu Kela-


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na menjadi amat terkejut. "Lekas, lekas keluar! Goa ini akan dihancurkannya!!"
serunya mengomando sambil melesat keluar.
Serentak yang lainnya keluar. Joko langsung
menarik dengan keras tangan Sekar Perak yang mau
tak mau terpaksa mengikutinya. Dua kali dia terjatuh.
Bojo Mayit yang sedang berkonsentrasi penuh
mengurungkan gerakan tangannya untuk menghan-
curkan goa itu, karena matanya menangkap beberapa
sosok tubuh yang berlarian ke luar.
"Bangsat! Siapa pula kalian"!" serunya dengan suara mengguntur.
Ki Lurah Pandu Kelana yang merasa sudah
percuma untuk menyembunyikan diri terus menerus
menghentikan larinya, begitu pula dengan yang lain.
"Joko... terus kau bawa lari Dik Sekar!" desisnya. Namun terlambat, karena mata
belo Bojo Mayit
telah melihat sosok Sekar Perak. Dia terbahak.
"Hahaha... tak kusangka, dinda ku Sekar Perak
rupanya bersembunyi di sini" Hahaha... bagus, ba-
gus... Dinda, mengapa kau melarikan diri dari Kanda, hah" Mengapa, Dindaku"
Tidak tahukah kau bahwa
Kanda mu ini telah lama mencari dan merindui mu,
Dindaku?" Ki Lurah Pandu Kelana terus berseru, "Joko!
Mengapa kau masih berada di sini, hah" Cepat kau
pergi dari sini!"
Namun lagi-lagi terlambat, karena dengan seka-
li bersalto Bojo Mayit sudah berdiri di hadapan mere-ka. Menghalangi langkah
Joko yang hendak menarik
tangan Sekar Perak.
"Hahaha... tak kusangka dan tak kuduga... ka-
lau akan berjumpa denganmu, Dinda Sekar.... Haha-ha.... Tuhan memang maha adil.
Ya, ya... sudah tentu dengan hal seperti ini kau sudah pasti akan menjadi
jodohku!" Wajah Sekar Perak memerah antara geram dan
jijik. Dia geram bila teringat manusia inilah yang
menghancurkan keluarganya. Yang membuatnya terpi-
sah dari ayahnya. Yang membuatnya harus berpisah
dari ibunya selama-lamanya.
Dan yang membuatnya jijik, karena manusia
bejat inilah yang melamarnya.
"Oh, Tuhan... mengapa peristiwa mengerikan
ini Kau berikan padaku?"
"Manusia keparat! Belum cukup puaskah kau
menghancurkan keluargaku"! Belum cukup puaskah
kau berbuat onar terus menerus di muka bumi ini"!"
serunya berang dengan kemarahan yang amat sangat.
"Hohoho... mengapa kau membentak ku seperti
itu, Dinda ku" Bukankah aku calon suamimu ter-
sayang" Kemarilah kau...."
"Setan belang! Lebih baik aku mati daripada
menjadi istrimu!" geram Sekar Perak.
"Hohoho... tak akan pernah bisa kau menghin-
dar dariku, Manisku?"
Ki Lurah Pandu Kelana yang sejak tadi mem-
perhatikan, langsung melangkah ke depan, sambil lalu dia berbisik pada Joko.
"Bila ada kesempatan, larikan Sekar Perak!" Lalu dia berkata pada Bojo Mayit.
"Hhh! Bojo Mayit... kau masih belum puas juga membuat
onar di muka bumi ini! Lebih baik enyahlah kau dari sini sebelum kemarahanku
semakin menjadi!"
"Hahaha.... Ki Lurah, kaulah yang berulangkali menggagalkan keinginanku. Kau
pula yang menggerakkan warga desa untuk bersatu menentang keingi-
nanku! Hhh! Aku tak akan pernah membiarkan ada
yang menghalangi keinginanku!"
"Bojo Mayit! Siapa pun orangnya akan menen-
tang keinginanmu itu! Keinginan busuk yang tak akan pernah dimaafkan oleh Gusti
Allah! Lebih baik kau
pergi ke neraka!"
Merah padam wajah Bojo Mayit. Udara yang
dingin malah membuat darahnya semakin mendidih.
"Bangsat! Aku jadi penasaran ingin melihat il-
mu yang kau miliki itu!"
"Hhh! Aku pun jadi penasaran ingin menyaksi-
kan sendiri semua yang kau banggakan, Manusia bu-
suk!" "Anjing keparat!. Bunuh manusia itu!" seru Bo-jo Mayit berang.
Dengan serentak Pratiko bergerak bersama dua
orang temannya. Begitu mendengar Bojo Mayit mem-
beri perintah, Ki Lurah Pandu Kelana segera bersalto ke tempat yang agak lapang.
Meskipun gelap, matanya yang cukup terlatih untuk melihat dalam gelap bisa
melihat tiga laki-laki yang mengurungnya dengan senjata yang siap didaratkan
pada tubuhnya. Di samping itu dia pun bermaksud memberi
kesempatan bagi Joko untuk melarikan Sekar Perak
dari manusia kejam itu. Baginya jiwa Sekar Peraklah yang paling penting
sekarang. Pratiko mendengus.
"Lurah tua! Mampuslah kau!!" serunya seraya menyerang dengan pukulan yang
beruntun yang siap
akan dilakukannya.
Ki Lurah pun bersiaga dengan mata was-pada.
* ** 9 Ki Lurah Pandu Kelana tidak mau mengambil
resiko yang berbahaya. Dia menggeser sedikit tubuh-
nya. Serangan yang dilakukan oleh Bojo Mayit memang luput dari sasaran. Namun
serangan yang lain pun
berdatangan. Membuat Ki Lurah Pandu Kelana harus
segera mengubah posisi.
Perkelahian tiga lawan satu itu pun terjadi den-
gan sengitnya. Sementara itu Bojo Mayit terkekeh pada Sekar Perak yang tengah
dilindungi oleh empat orang warga desa. Belum lagi mereka sadar, Bojo Mayit
sudah menggerakkan tangannya.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Tiga sosok tubuh terpental dan mampus tanpa
sempat tahu tangan atau kaki yang menghantam da-
danya, tanpa sempat menjerit pula.
Sekar Perak terpekik. Joko mendengus geram.
Dia tidak menyangka kalau Bojo Mayit akan menye-
rang dengan cepat seperti itu. Sungguh suatu ilmu
yang amat hebat sekali dimiliki oleh Bojo Mayit.
Gerakannya tidak terlihat, namun sungguh
berbahaya sekali. Meskipun demikian dia tidak takut untuk menghadapinya,
sekalipun Joko tahu bahwa dia
tak akan mampu menghadapi manusia itu.
"Manusia keparat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!!" geramnya sambil meloloskan goloknya.
Namun lagi-lagi tanpa sempat terlihat gerakan apa
yang dilakukan oleh Bojo Mayit, tubuh Joko mendadak terpental dan mampus.
Bojo Mayit terbahak.
"Hahaha... mampuslah kalian semua!"
Kini matanya yang kejam dan jalang tertuju
pada Sekar Perak. "Hhh! Bila kau masih belum bersedia juga menjadi istriku,
lebih baik ku perkosa kau!!"
desisnya sambil melangkah mendekati Sekar Perak
yang mundur ketakutan.
"Jangan, jangan ganggu aku, Orang jahat!"
Bojo Mayit hanya terkekeh. Dan dengan tiba-
tiba dia melompat menyergap. Sekar Perak tak bisa
menghindar lagi. Tubuhnya jatuh tertindih tubuh Bojo
Mayit yang besar dan kekar itu.
Dia meronta. "Lepaskan, lepaskan aku!!"
"Hehehe... tak akan pernah kau akan kule-
paskan!" desisnya lalu dengan garangnya dia merobek baju bagian dada dari Sekar
Perak hingga nampaklah
bukit dadanya yang putih mencuat indah.
"Lepaskah, lepaskan aku!!" seru gadis itu kala Bojo Mayit menciumi bagian
dadanya dengan penuh
nafsu sambil terkekeh.
"Hehehe... tak akan pernah... hehehe...
heigkh!!" Tiba-tiba tawanya terputus karena dirasakannya sesuatu menghantam
bagian punggungnya.
Dengan geram dia menoleh dan melihat sosok
tubuh yang sedang tersenyum genit. Dia adalah Nimas Andini atau Banci Murah
Senyum. "Siapa kau, hah"!" serunya sambil berdiri. Nimas Andini terkikik.
"Hihihi... agaknya kau tidak mengenali ku, Bojo Mayit?" Bojo Mayit mendengus.
"Hhh! Rupanya kau banci yang kerjanya selalu mengganggu kesenangan
orang lain!"
"Aku bukannya bermaksud mengganggu kerja-
mu, namun aku tidak ingin melihat kau menikmati tu-
buh gadis incaran ku itu... hihihi... kau mengerti bukan maksudku?"
Bojo Mayit menggeram. Sementara Sekar Perak
beringsut ketakutan. Sekar Perak merapikan letak ba-junya. Semula dia bersyukur
karena ada yang meno-
longnya, namun begitu dia mengetahui yang meno-
longnya Nimas Andini, yang dua kali berkelahi dengan Pendekar Gagak Rimang, dia
hanya bisa mendesah
panjang. Tiba-tiba dia jadi teringat dengan Pandu. Pemuda yang telah membuatnya
jatuh hati. "Gusti Allah... mengapa Kakang Pandu harus
menjauh dariku?" desisnya dan dia yakin akan merasa lebih tenang bila yang
datang itu adalah pemuda yang dicintainya. Namun sekarang, pemuda itu entah di
mana berada. Bojo Mayit mendengus marah. Dia jengkel me-
lihat sikap Nimas Andini yang seperti menantangnya.
"Kau membuatku muak, Nimas!"
"Hihihi begitu pula dengan aku bila kau masih
ingin meneruskan niat busukmu itu!" terkikik Nimas Andini. "Hihihi... janganlah
berbuat nekat di depanku, Bojo Mayit! Kau akan merasakan akibatnya bila terus
melakukannya!"
"Anjing keparat! Mampuslah kau!!" seru Bojo Mayit sambil menggeram dengan hebat
dia pun menyerang Nimas Andini yang sambil terkikik bersalto
menghindar. "Hihihi... tak kusangka kita akan bertarung seperti ini, Bojo Mayit!"
Pertarungan memang tidak bisa dihindarkan
lagi. Keduanya bertarung dengan hebat. Masing-
masing mengeluarkan ilmu yang teramat dahsyat. Bojo Mayit sendiri sudah
menggunakan ilmu kebalnya
Sangkur Baja. Sementara Nimas Andini pun menye-
rang dengan jurus Dewa Ular Putihnya. Jurus yang di-dapatnya dari kitab yang
ditemukannya di Goa Alas
Bantan. Hingga suatu kali keduanya memekik keras
sambil menerjang dengan hebatnya. Masing-masing te-
lah merangkum tenaga sakti di tangan. Siap untuk
sating membunuh.
Dan keduanya sudah nekat untuk mengadu ji-
wa. Namun tiba-tiba berkelebat sosok tubuh dan
langsung bergerak ke arah keduanya. Dan langsung
memapaki serangan yang di lancarkan keduanya.
"Des!"
"Des!"
Keduanya terpental ke belakang. Dan masing-
masing muntah darah. Benturan tenaga pendatang itu
amat kuat sekali. Dan keduanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang.
Seorang pengemis bongkok! Yang sekarang se-
dang menyeringai pada keduanya.
"Hehehe... untuk apa kalian harus membunuh
diri seperti itu" Agaknya kalian sudah tidak sayang dengan nyawa kalian
sendiri...." terkekeh si pengemis.
Bojo Mayit mengeram. "Bangsat! Siapa pula
kau, hah"!" bentaknya dengan kejengkelan yang amat luar biasa.
"Hehehe... aku hanyalah seorang pengemis
bongkok yang tak punya arti apa-apa!"
Lain halnya dengan Nimas Andini yang terke-
keh. "Hehehe... tahu rasa kau sekarang, Bojo Mayit!
Itulah akibatnya bila suka memperkosa anak orang!
Hihihi... namun cara kerjamu itu sungguh buruk seka-li, Bojo Mayit!"
"Hhh! Bukankah kau demikian pula, Banci je-
lek"!" "Hehehe... cara kerjaku lain. Aku memang memperkosa, namun orang lain
yang terkena getahnya!" sahut Nimas Andini bangga.
"Apa maksudmu?"
"Hihihi... Pendekar Gagak Rimang... dialah yang terkena getahnya akibat ulah ku
memperkosa perawan
desa yang bernama Priatsih!"
Bojo Mayit mendengus.
"Hhh! Aku tidak punya pikiran sejelek itu!"
Sementara itu si pengemis tersentak. Diakah
yang memperkosa Priatsih, putri dari Barejo" Anjing terkutuk! Tiba-tiba saja si
pengemis menggerakkan kedua tangannya. Dan perlahan-lahan tubuhnya mene-
gak. "Banci keparat! Rupanya kau yang telah memfitnah aku, hah"!" suara si
pengemis berubah. Tangannya menarik topeng yang menutupi wajahnya.
Dan... terlihatlah wajah Pandu si Pendekar Gagak Rimang! Nimas Andini terkejut.
Sekar Perak tersentak.
Mulutnya kontan bersuara: "Kakang Pandu!!"
Murid Eyang Ringkih Ireng yang menyamar se-
bagai seorang pengemis, tersenyum pada Sekar Perak.
"Kau aman sekarang, Rayi...."
"Kakang...."
Pandu berbalik pada Nimas Andini yang terke-
jut. Pendekar Gagak Rimang mendengus.
"Hhh! Kali ini kau tak akan kuampuni, Nimas!"
seru Pandu dengan suara sangar.
Meskipun terkejut namun Nimas Andini tetap
tenang. Dia malah berkata pada Bojo Mayit. "Hihihi...
kau beruntung, Bojo Mayit! Kau bisa melihat langsung laki-laki bodoh yang
menjadi korban perbuatanku!"
Bojo Mayit pun terbahak. "Hahaha... rupanya
kaulah yang bergelar Pendekar Gagak Rimang! Bagus!
Kau akan mampus sekarang!"
"Hihihi... bagus, bagus, Bojo Mayit.... Kita harus bersatu menghadapi manusia
ini!" terkikik Nimas Andini dengan nada memancing, karena dia tetap merasa tak
akan mampu menghadapi pemuda perkasa ini
seorang diri. Pandu mendengus. Dia membuka baju penya-
marannya. Dan nampaklah tangkai golok Cindarbuana
dan capingnya yang membuat tubuhnya menjadi


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bongkok. Lalu dia kembali mengenakan caping itu. Kali ini terlihat jelas sosok
pendekar perkasa itu.
"Hhh! Kau memang pandai menghasut, Banci!
Bagus! Aku pun ingin melihat sampai di mana keheba-
tan manusia yang selalu membuat onar! Kaulah
orangnya, Bojo Mayit!!"
Bojo Mayit menggeram murka. "Manusia kepa-
rat! Mampuslah kau!!" geramnya sambil melompat menyerang. Sepasang tangannya
yang kekar telah ter-
himpun tenaga Sangkur Baja. Dia tidak mau bertindak ringan lagi karena dia tahu
siapa yang dihadapinya.
Nama Pendekar Gagak Rimang memang pernah ter-
dengar oleh telinganya. Pendekar budiman yang selalu menolong kaum yang
tertindas. Maka dia pun tak mau
bertindak tanggung lagi.
Pandu merasakan desiran an gin yang amat ke-
ras sekali kala tangan itu bergerak mengancamnya.
Dengan jurus Gagak Terbang. Lalu dia pun menghin-
dari serangan itu. Namun belum lagi dia hinggap di
bumi, Nimas Andini sudah menyerbu dengan jurus
Dewa Ular Putih.
Dua lawan yang kini menjadi kawan, masing-
masing mengeluarkan kehebatannya untuk menggem-
pur murid Eyang Ringkih Ireng. Pertarungan sengit
terjadi.. Mereka saling serang dengan ganas. Masing-masing berambisi untuk
menjatuhkan lawan. Bahkan
dengan cara yang keji dan licik sekalipun.
Sementara itu Ki Lurah Pandu Kelana sudah
menjatuhkan lawan-lawannya. Dan Pratiko yang masih
berusaha bertahan pun harus mampus ketika golok di
tangan Ki Lurah membabat lehernya hingga buntung.
"Mampuslah kau!" dengusnya dengan dada
kembang kempis. Lalu dia pun memperhatikan perta-
rungan yang sedang terjadi. Dia tidak tahu siapa sebenarnya pemuda bercaping
itu. Namun melihat gelagat-
nya pemuda itu berada di pihaknya. Dia pun berdoa
untuk keselamatan pemuda gagah itu.
Pertarungan itu semakin lama semakin sengit.
Pandu sendiri lama-lama merasakan desakan demi de-
sakan yang datang beruntun. Silih berganti dengan
gencarnya. Dia pun sudah menggunakan Pukulan Si-
nar Putihnya, yang mampu membuat kedua lawannya
harus kocar-kacir dan kesempatan itu digunakannya
untuk menghindar. Menjaga jarak. .
"Hhh! Sepertinya aku tidak bisa bertindak
tanggung-tanggung lagi terhadap kalian!" dengusnya.
Wajah yang sebagian tertutup caping itu memerah ka-
rena marah dan geram. Hatinya terbakar. Jiwanya be-
rontak untuk memusnahkan kedua manusia busuk ini
dari muka bumi.
Perlahan malam pun berganti. Fajar di ufuk
Timur sana sudah menampakkan biasnya. Kokok
ayam jantan di kejauhan terdengar silih berganti. Bersahut-sahutan.
"Hihihi... kau sudah terdesak hebat, Bocah gan-teng!" terkikik Nimas Andini.
"Dan sebentar lagi kau akan mampus sekarat!!"
suara Bojo Mayit tak kalah garangnya.
"Hh! Kita lihat sekarang, siapa yang akan
mampus! Kalian berdua atau aku! Kalian sungguh
memuakkan sekali!!" seru Pandu geram.
Kedua lawannya terbahak.
"Kita lihat siapa yang masih bisa menikmati
matahari siang nanti!!" seru Bojo Mayit. Lalu dia segera mengeluarkan ilmu
Sangkur Bajanya tingkat tinggi.
Terangkum di tangan dan seluruh tubuhnya yang
menjadi kebal. Sementara Nimas Andini pun mengeluarkan il-
mu Dewa Ular Putihnya dalam tingkat tinggi. Mulutnya mendesis-desis bagaikan
ular. Dan sepasang matanya
menyala berkilat-kilat penuh amarah yang berkobar.
"Hihihi... sebentar lagi nama Pendekar Gagak
Rimang akan punah dari muka bumi ini!! Hihihi... tak ada harapan lagi, tak akan
ada harapan lagi...."
Pandu sendiri merasakan bahaya yang men-
gancam dirinya begitu berat sekali. Memang tak ada jalan lain. Sambil mendesis
dalam hati dia pun menge-
luarkan pukulan andalannya. Pukulan Cakar Gagak
Rimang yang amat dahsyat warisan dari gurunya
Eyang Ringkih Ireng.
"Maafkan aku, Eyang... nampaknya tidak ada
jalan lain bagiku untuk menghadapi mereka," desisnya di hati. "Aku tidak mau
mati konyol, Eyang.... Malam ini... aku yang mati ataukah mereka yang mati....
Ber-katilah aku, Eyang.... Sekali lagi maafkan aku, Eyang...
maafkan aku...."
Kini tenaga Cakar Gagak Rimang pun tersalur
di kedua tangannya. Siap untuk menumpahkan semu-
anya. Tenaga yang amat sakti. Yang bisa menghancur-
kan gunung batu yang kokoh.
"Nimas Andini... dan kau Bojo Mayit, agaknya
kita memang harus melihat siapakah yang bisa melihat matahari siang nanti!" seru
Pandu gagah. "Hihihi... jangan terlalu sesumbar, Bocah! Nasibmu berada di tangan kami hari
ini!!" terkikik Nimas Andini. "Hihihi... itulah akibatnya bila sok menjadi
pahlawan dan berani menentang perbuatan kami!"
"Berdoalah semoga kau masih sempat bernafas
sehari lagi!" seru Bojo Mayit sambil terbahak. "Namun rasanya, sudah tidak ada
harapan lagi bagimu untuk
bisa mendapatkan hal itu, Anjing! Bernafaslah sepuas-
puasmu sekarang ini, selagi kau bisa melakukannya!!"
Pandu hanya memicingkan matanya. Dia sebe-
narnya tidak merasa pasti kalau akan bisa menandingi kedua manusia ini. Memang
tidak ada jalan lain lagi.
Karena belum lagi Pandu bisa memikirkan lebih pan-
jang lagi, tiba-tiba terdengar pekikkan keras yang beruntun. Bertalu-talu.
Mengerikan. Dua sosok tubuh melesat cepat bagaikan anak
panah mengarah padanya.
Pandu sendiri segera mengempos tubuhnya
bersamaan dengan teriakannya yang keras pula.
Ki Lurah Pandu Kelana hanya memperhatikan
dengan hati cemas. Sebuah tenaga sakti akan melawan dua tenaga sakti sekaligus.
Mampukah" Sementara Sekar Perak hanya bisa memejam-
kan matanya dengan kengerian yang amat sangat.
Tiba tubuh itu pun saling menerjang!!
* ** 10 Tanpa ampun lagi ketiga tubuh itu pun saling
menghantam dengan kerasnya. Terdengar bunyi suara
keras bagaikan ledakan. Daun-daun pun berguguran.
Bahkan ada beberapa cabang pohon yang tumbang.
Dari tempat ketiganya bertemu dengan pukulan yang
amat mengerikan, terlihat asap tebal mengepul bersatu dengan debu yang mampu
membuat mata menjadi bu-ta sejenak.
Mendadak saja dari balik asap dan debu tebal
itu, terpental tiga sosok tubuh ke belakang. Diiringi dengan jeritan masing-
masing. Dan ketiganya ambruk dengan berdebam.
Nimas Andini langsung mampus dengan luka
mengoyak bagian dada.
Pandu harus merasakan sakit yang luar biasa.
Meskipun dia masih mampu bertahan, namun rasa
nyeri di dadanya menyengat bukan main.
Hanya si Bojo Mayitlah yang kemudian bangun
setelah ambruk ke tanah. Dia terkekeh. Ilmu kebal
Sangkur Bajanya mampu melindungi tubuhnya.
"Hehehe... kini mampuslah kau, Pandu!!" geramnya sambil menyerbu menyerang
Pandu. Pandu sudah merasa tidak mampu lagi untuk menghindar
maupun menangkis serangan itu.
Tubuh Bojo Mayit meluncur dengan deras.
Terdengar pekikan yang amat hebat sekali. Be-
gitu memilukan hati.
"Aaaakkhhhh!!!"
Tubuh Bojo Mayit ambruk. Kepalanya mengge-
linding. Pandu mendesah. Di tangannya telah tergenggam Golok Cindarbuana yang di
ujungnya masih me-
netes darah segar. Bila saja dia terlambat mencabut golok itu, maka mampuslah
dia. Sekar Perak yang tadi menutup mata karena
ngeri, saat membuka matanya menjadi kaget, karena
dia melihat pemuda yang dicintainya masih hidup
meskipun terluka parah.
Berlari dia memburu dan menjatuhkan tubuh-
nya ke pelukan Pandu. "Kakang...."
Pandu menahan sakit yang luar biasa di da-
danya. Sementara Ki Lurah Pandu Kelana mendesah
panjang. Namun belum lagi mereka bisa menikmati kea-
daan itu, tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh dan hinggap tak jauh dari
mereka. Sosok tubuh itu mengenakan pakaian ringkas dengan wajah tertutup kedok
hitam. Dia terkekeh melihat mayat Nimas Andini. "Hehehe... itulah akibatnya bila
berani mempermainkan
aku, Nimas...." Lalu dia mendengus pada orang-orang yang memperhatikannya. "Hhh!
Bagus, Anak muda!
Kau meringankan tugasku untuk membunuh manusia
itu! Dan kau memudahkan pula bagiku untuk men-
gambil Kitab Lembayung Sakti yang disembunyikan si
Banci ini di dalam Goa Alas Bantan.... Hahaha...."
Pandu mendengus. Rupanya itulah rahasia Goa
Larangan ini. Namun dia pun tidak menginginkan ma-
nusia berkedok itu mengambil Kitab Lembayung Sakti.
Maka ketika si Kedok Hitam melompat hendak masuk
ke dalam goa, dengan cepat Pandu mengibaskan tan-
gannya. Dan meluncurkan pukulan sinar putih yang
melesat dengan cepat.
Si Kedok Hitam tidak melihat hal itu. Maka
tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar dan hangus.
Jeritannya tinggi menyayat hati.
"Aaaakkkhhh!!"
Lalu ambruk tak bernyawa.
Pandu mendesah. Dia sebenarnya tidak ber-
maksud membunuh, namun si Kedok Hitam agaknya
terlalu bernafsu sekali. Ki Lurah Pandu Kelana bergerak menghampiri dan mencabut
kedok yang menutupi
wajah orang itu.
Pekikannya terdengar: "Juragan Banyu Biru!!"
Mendengar suara itu, Sekar Perak seketika me-
noleh, dan melihat wajah ayahnya di balik kedok itu.
"Bapaaaakkkk!"
Memburu dia berlari. Menangis tersedu-sedu.
Ki Lurah mendesah panjang dan kala dia menoleh ke
arah Pandu pemuda itu sudah tidak nampak di tem-
patnya. Tangis Sekar Perak berkepanjangan.
Lagi Ki Lurah mendesah: "Tak kusangka.... Ju-
ragan Banyu Biru sendirilah yang mengatur semua
ini...." Matahari pun nampak buram bersinar.
TAMAT E-Book by Aku Keisel Manusia Harimau Merantau Lagi 2 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Keris Pusaka Sang Megatantra 4
^