Pencarian

Pembalasan Berdarah 2

Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah Bagian 2


hati perempuan tua berpakaian longgar warna putih bersih itu saat tangannya
tiba-tiba seperti digerakkan oleh
kekuatan lain. Nyi Selasih mencoba
menahan gerakan yang dirasanya aneh.
Namun semakin kuat menahan gerakan aneh itu, semakin kuat pula gerakan aneh itu
menariknya. Nyi Selasih akhirnya memutuskan
untuk mengikuti keanehan yang
sesungguhnya membuat hatinya
bertanya-tanya. Dibiarkannya saja
gerakan aneh itu membawa tangannya
menyelusuri setiap lekuk tubuh bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini.
Nyi Selasih merasakan kalau
otot-otot bocah kecil yang dirabanya
seperti bersembulan keluar, seperti
layaknya otot lelaki dewasa yang tengah melakukan pengerahan tenaga dalam penuh.
Malah ketika meraba susunan tulang bocah berusia sepuluh tahun itu, kegembiraan
hatinya menjadi berlipat-lipat
Dirasakan, susunan tulang itu begitu
sempurna. "Dia cerdas dan memiliki kemauan keras," terngiang kembali ucapan Eyang Legar.
"Hhh...."
Nyi Selasih kembali menarik napas
lega. Ya! Biar bagaimanapun juga, dia berharap agar bocah yang tengah terlelap
ini mampu mewarisi ilmu Pusaka Raja
Petir. Dengan begitu, Nyi Selasih akan mendapatkan penghargaan sebagai seorang
anak yang berbakti pada orang tua, dan sekaligus berbakti pada leluhur. Karena,
dia telah berhasil menyampaikan pusaka leluhurnya pada orang yang tepat.
Meskipun Nyi Selasih sendiri sadar,
kalau dihubungkan dengan ayahnya,
ataupun kakeknya, sesungguhnya Jaka
tidak terikat tali keluarga. Tapi pada leluhur-leluhur sebelumnya, Nyi Selasih
tidak bisa menduga. Mungkin saja
leluhur-leluhur Seroja, nenek Jaka
Sembada, masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengannya.
Suara ayam hutan yang
bersahut-sahutan membuat Nyi Selasih
sadar dari keterpakuannya di samping
tempat tidur Jaka. Kembali ditatapnya sekujur tubuh bocah yang tengah tertidur
pulas itu. Perempuan tua itu nampak
tersenyum puas. Dan dengan Iangkah
ringan, ditinggalkannya kamar bocah
cilik yang diharapkan dapat menjadi
pendekar yang menggegerkan dunia
persilatan. Pendekar digdaya welas asih dan tanpa tanding. Pendekar yang selalu
berpihak pada kebenaran, dan selalu
tampil sebagai penghancur kebathilan.
*** "Habiskan sarapanmu, Jaka. Biar
tenagamu pulih kembali. Pagi ini, aku akan menyuruhmu mempertontonkan apa-apa
yang telah kau terima dari Eyang Legar.
Ayo habisi. Jangan sungkan-sungkan. Tak perlu ada yang disungkankan di rumah
ini, Jaka. Rumah Eyang Putri adalah rumahmu juga," ujar Nyi Selasih.
"Baik, Eyang Putri," jawab Jaka sambil meneruskan sarapannya yang memang sudah
tinggal beberapa suap saja.
Selesai menyelesaikan tugasnya di
meja makan, Jaka digiring perempuan tua berpakaian longgar itu ke halaman luas
di belakang rumah.
Halaman belakang yang memang
diperuntukkan melatih diri itu begitu memukau mata bening milik Jaka Sembada.
Suasananya seperti sebuah alam bebas, yang sekelilingnya ditumbuhi
pohon-pohon besar berdaun lebat.
Letaknya berjajar rapi.
"Kau bisa memperlihatkannya padaku sekarang, Jaka," tukas Nyi Selasih
menghentikan keterpakuan Jaka.
Yang diperintah segera
menganggukkan kepala, kemudian maju ke tengah-tengah lapangan berumput tebal.
Sebentar Jaka memusatkan pikirannya.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, dan
napasnya ditarik kuat-kuat seraya
dibawanya ke perut pusat. Lalu, kekuatan dalam perut itu dialirkan ke seluruh
tubuh, setelah terlebih dulu matanya
yang terpejam dibuka.
Beberapa lama Jaka mempermainkan
napas yang bersumber pada perut pusat, dan memindah-mindahkannya pada
bagian-bagian yang diinginkannya. Dada, punggung, kaki, pangkal paha, betis, dan
kepalan tangan.
Seluruh permukaan wajah Jaka
berwarna kemerahan saat terus
mempermainkan napas dalam perut pusat.
Namun, sebentar kemudian wajahnya
kembali seperti sediakala ketika dari sela-sela giginya keluar desahan yang
begitu mirip ular mendesis.
Sekitar jarak tujuh tombak nampak
Nyi Selasih menyaksikan dengan seksama.
Mata tuanya menyorot begitu tajam,
menatap setiap gerakan pernapasan yang dilakukan Jaka tanpa berkedip sedikit
pun. Perempan tua itu semakin
membelalakkan matanya, menatap
otot-otot yang bersembulan dari kulit Jaka yang tak terbungkus baju. Dari kulit
Jaka Sembada yang putih bersinar,
otot-otot itu tertihat bagai lempengan baja. Sehingga, mulut Nyi Selasih tak
sadar berdecak kagum. Betul-betul
sempurna keberadaan bocah kecil ini.
Kembali Jaka Sembada memperagakan
ilmu olah kanuragan yang telah didapat dari si Hantu Pemburu Nyawa. Sepasang
tangan yang membentang lurus tengah
diperagakannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Kemudian, tangan kanan yang
terbentang lurus itu ditekuk sebatas
pangkal lengan dengan jari-jari terkepal rapat. Sementara tangan kirinya yang
masih membentang lurus dengan jari-jari terbuka, digerakkannya ke arah dada
seperti memberikan dorongan. Ya! Jaka memang tengah melakukan dorongan melalui
telapak tangan kiri yang terbuka,
terhadap telapak tangan kanannya yang terkepal.
Setiap dorongan tangan kiri Jaka
disertai helaan napas yang teratur,
serta liukan pinggang yang begitu
gemulai bak seorang penari.
Nyi Selasih kembali terpukau
menyaksikan kelenturan tubuh anak
didiknya. "Betul-betul bibit unggul," kata batin Nyi Selasih sambil terus memantau setiap
gerakan Jaka Sembada.
Entah sudah berapa jurus yang
dimainkan Jaka ketika tiba-tiba saja
perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu melemparkan benda bulat
kehitaman sebesar kepalan tangan lelaki dewasa. Lemparan itu demikian cepat
Namun desingan benda yang melayang di udara itu sempat tertangkap pendengaran
Jaka yang tengah memusatkan pikiran pada jurus-jurus yang didapat dari Eyang
Legar. Singgg...! Benda bulat kehitaman sebesar
kepalan lelaki dewasa itu bergerak
cepat, mencecar bagian tubuh Jaka yang mematikan. Namun belum sempat benda itu
menemui sasaran, tubuh bocah ini telah melenting lebih dulu ke udara sambil
melakukan salto dua putaran.
"Hup...!"
Tubuh Jaka Sembada kembali menjejak
tanah dengan ringan.
"Bagus!" puji Nyi Selasih
berteriak. Namun berbarengan dengan pujiannya
yang tidak main-main, meluncur kembali bulatan kehitaman sebesar kepalan orang
dewasa. Bahkan kali ini bulatan
kehitaman itu bertambah satu.
Kembali Jaka melentingkan tubuhnya,
menyaksikan serangan beruntun dari
perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu. Agak terkejut juga hati Jaka
melihat kedatangan benda bulat kehitaman yang disertai sebuah benda lain
berwarna kehitaman yang juga meluncur deras dan mencecar ulu hatinya.
Namun dengan ketenangan yang sempat
membuat Nyi Selasih terkagum-kagum, Jaka mampu menghindari dua benda yang hendak
melumatkan tubuhnya itu.
"Bagus!" puji Nyi Selasih lagi.
Maka sekali hentakan saja, tubuh Nyi
Selasih yang berada tujuh tombak di depan Jaka, kini sudah beberapa jengkal
saja. "Jaga ini...!" teriak Nyi Selasih tiba-tiba.
Mendapati serangan yang begitu
mendadak, Jaka menjadi sedikit kikuk.
Serangan mendadak yang seharusnya
ditangkis, kini malah dilepaskan. Karuan saja serangan yang berikutnya
membuatnya sukar mengelak.
Apalagi menangkis
serangan yang tidak main-main itu.
Namun Jaka bukanlah bocah yang
berotak bebal. Dalam keadaan yang
terjepit pun, dia masih memutar otak agar dapat keluar dari bahaya mengancam.
"Hip!"
Takkk! Takkk! Dengan kelebihan melenturkan
badannya, Jaka mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Sementara bagian penting yang
dicecar Nyi Selasih, dilindunginya
dengan gerakan melentur sambil
mengangkat pangkal pahanya ke sebelah kiri. Maka cecaran tangan Nyi Selasih
hanya membentur tempat kosong, beberapa rambut dari sasaran awalnya.
Sementara, kedua tangan Jaka yang
pada serangan awal berada di tanah, kini telah berada di kepala. Dia melindungi
dirinya dari incaran tangan maut Nyi Selasih yang mengarah ubun-ubunnya.
"Hebat..!" sanjung Nyi Selasih.
Kali ini tidak disertai serangan
mendadak. *** "Caramu mengelak dan menangkis
cukup sempurna, Jaka. Namun sayang, kau tak mencoba melancarkan serangan
balasan. Seharusnya, itu bisa kau
lakukan, Cucuku. Agar kau tidak mendapat tekanan terus-menerus," saran Nyi
Selasih mantap.
"Setangguh-tangguhnya pertahanan yang kau miliki, satu dua serangan pasti akan
menemui sasaran jika terus-menerus mendapatkan tekanan. Jadi,
sebaik-baiknya pertahanan, adalah
dengan melakukan penyerangan, Cucuku."
Jaka Sembada menundukkan kepala
saat mendapat nasihat yang baginya cukup berarti. Nasihat yang akan selalu
diingatnya. "Apakah Eyang Legar tidak memberi jurus menyerang?" tanya Nyi Selasih.
Jaka tidak menjawab. Namun
kepalanya yang menggeleng lemah cukup memberikan jawaban bagi pertanyaan Nyi
Selasih. "Kenapa?" tanya Nyi Selasih lagi.
Sesungguhnya Nyi Selasih sudah
tahu, kenapa Eyang Legar tidak memberi jurus-jurus serang mautnya pada Jaka.
Namun dia ingin tahu alasan yang
diberikan Eyang Legar pada bocah itu.
Jaka tak segera menjawab pertanyaan
itu. "Kenapa, Jaka" Apa Eyang Legar takut tersaingi" Atau mungkin Eyang Legar
tidak berniat mengangkat mu sebagai
murid, karena dirinya tak merasa
menyayangimu?" pancing Nyi Selasih memanasi.
Jaka mengangkat wajahnya perlahan.
Ditatapnya mata perempuan tua yang
berpakaian longgar warna putih itu.
Mendapat tatapan yang cukup tajam
dari bocah cilik di hadapannya, Nyi
Selasih merasakan kekikukan sesaat.
Hatinya terasa berdesir aneh, dan
jantungnya terasa berdetak tak teratur.
Dia juga merasa heran. Setiap kali bola matanya beradu pandang dengan bola mata
bocah cilik di hadapannya, selalu saja ada keanehan-keanehan yang
menyergapnya. "Eyang Legar begitu menyayangiku, Eyang Putri," agak parau jawaban yang keluar
dari bibir Jaka.
"Kalau Eyang Legar betul-betul
menyayangimu, kenapa dia tidak
menurunkan kepandaiannya kepadamu,
Jaka" Padahal, Eyang Legar memiliki
banyak jurus pamungkas yang disegani
lawan maupun kawan. Jurus-jurusnya
sangat mematikan, dan selalu mendebarkan hati pendekar-pendekar rimba
persilatan," Nyi Selasih masih terus memancing Jaka.
"Eyang Legar adalah tokoh
persilatan golongan hitam, Eyang Putri,"
kilah Jaka dengan kepala tertunduk penuh hormat
Nyi Selasih mengembangkan senyumnya
sesaat "Apa bedanya kepandaian golongan hitam dan golongan putih" Dalam soal
ilmu olah kanuragan, rasanya tak ada
perbedaan antara keduanya. Jadi, Eyang Legar tak punya alasan untuk tidak
menurunkan kepandaiannya padamu."
"Menurut Eyang Legar, namanya telah tercemar sebagai seorang tokoh yang
terlampau sering membuat kekacauan,
kekejaman, dan pembantaian. Jurus-jurus yang dimiliki Eyang Legar telah dikenali
tokoh-tokoh rimba persilatan sebagai
jurus yang keji," jelas Jaka.
"Itukah alasannya, sehingga dia tak mau menurunkan kepandaiannya padamu?"
"Eyang Legar tak ingin kalau aku terjun ke rimba persilatan dengan cap sebagai
pewaris ilmu golongan hitam."
Nyi Selasih tersenyum-senyum
mendengar penuturan bocah kecil di
hadapanhya. "Mendekatlah kemari, Jaka," pinta Nyi Selasih.
Jaka melangkahkan kakinya dan duduk
bersila di hadapan gurunya.
"Kapan Eyang mengajarkan
jurus-jurus menyerang?" tanya Jaka penuh hormat.
"Kau mulai tak sabar rupanya,
Cucuku."

Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Sudah tujuh kali fajar menyingsing,
dan itu berarti tinggal semalaman lagi Jaka menuntaskan pelajaran terakhirnya
yang diberikan Nyi Selasih. Pelajaran yang menurut Nyi Selasih memerlukan
kepekaan jasmani dan rohani.
Angin dingin dini hari tak lagi
mampu mengusik tubuh Jaka yang
terbungkus keringat. Sementara itu,
kokoh ayam hutan juga tak mampu
membangunkan seseorang dari
keterlenaannya dalam berlatih ilmu olah kanuragan. Dan sebentar kemudian,
sayup-sayup terdengar suara yang lembut namun begitu mantap merasuk gendang
telinga Jaka. "Cukup, Cucuku."
Jaka segera menghentikan
jurus-jurusnya, dengan dua telapak
tangan disatukan di depan muka, lalu
dibawanya turun periahan. Bocah kecil yang kini sudah berusia dua belas tahun
itu duduk bersila dengan dua telapak
tangan merapat di depan dada. Sebentar jalan napasnya diatur, kemudian
pandangannya dilepas jauh ke depan.
Tak lama kemudian, selarik bayangan
putih tiba-tiba berkelebat dan berhenti persis di depan bocah yang khidmat
tengah bersila itu.
"Kau telah berhasil menyerap
seluruh ilmu yang kumiliki, Cucuku.
Karena kecerdasan dan kegigihanmu,
pelajaran yang seharusnya terkuasai
dalam waktu lama, dapat dipersingkat
menjadi dua puluh empat bulan saja. Aku kagum dengan kecerdasan dan
kegigihanmu."
"Terima kasih, Eyang Putri."
"Apakah kau bangga dengan ilmu yang kau miliki sekarang, Jaka?"
Tak terdengar jawaban dari mulut
Jaka Sembada. "Kenapa kau tak menjawab?" selidik Nyi Selasih.
"Aku tak tahu harus menjawab apa, Eyang Putri," kilah Jaka, polos.
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tahu, sampai di mana kehebatan ilmu yang kupunyai sekarang.
Itulah sebabnya, mengapa aku tak bisa mengatakan apakah aku bangga atau
tidak." "Benar sekali ucapanmu, Cucuku.
Sekarang ini, memang bukan saatnya untuk berbangga diri. Kelak, sekalipun kau
telah hadir sebagai sosok yang disegani di kalangan dunia persilatan, kau pun
tak patut menyandang arti kebanggaan itu.
Karena, apa yang telah kau miliki,
sebenarnya bukanlah milikmu. Apa yang kau miliki saat ini adalah titipan dari
Yang Maha Kuasa."
Jaka terpekur mendengar
kebenaran-kebenaran yang diucapkan
gurunya. "Dan kau jangan kaget jika kukatakan kalau ilmu yang kau miliki belum
seberapa. Masih terlalu cetek jika
dibanding ilmu yang dimiliki tokoh-tokoh golongan hitam yang kini tengah
menguasai dunia persilatan."
Tersentak hati Jaka mendengar
penuturan gurunya. Kepalanya langsung diangkat. Kini, ditatapnya wajah gunanya
sekilas. Maka, Jaka bisa menemukan
kesungguhan ucapan yang keluar melalui bibir perempuan tua berpakaian longgar
warna putih itu.
"Kalau begitu, aku masih harus
berguru jika ingin menandingi kepandaian tokoh-tokoh golongan hitam itu, Eyang
Putri?" Perempuan berusia sekitar enam
puluh dua tahun itu menganggukkan
kepala. "Apakah Eyang Putri tahu, pada siapa lagi aku harus berguru?" desak Jaka.
Kembali perempuan tua berpakaian
longgar warna putih itu menganggukkan kepala.
'Terima kasih, Eyang Putri."
'Tapi Eyang Putri tak tahu, apakah
kau akan mampu menyerap seluruh ilmunya atau tidak."
"Seberat itukah, Eyang Putri?"
"Ya! Warisan Raja Petir yang
turun-temurun tidaklah dapat dikuasai dalam waktu setahun atau dua tahun.
Mempelajari ilmu peninggalan Raja Petir, paling tidak membutuhkan waktu puluhan
tahun," jelas Nyi Selasih, sambil menatap wajah bocah di hadapannya.
Tampak ada kesungguhan yang terpancar dari wajah tampan milik Jaka. "Raja Petir
sendiri harus menunggu waktu lima belas tahun untuk menguasai ilmu leluhurnya
yang memang jarang dijumpai tandingannya di jagat ini."
"Selama itu, Eyang Putri?" selidik Jaka. Perempuan tua berpakaian longgar warna
putih itu mengangguk-anggukkan
kepala. "Benar. Namun Raja Petir pernah
berkata, hanya orang yang memiliki
tingkat kecerdasan tinggi yang akan
mampu menguasai ilmu warisan dalam
jangka waktu sepuluh tahun. Apakah kau sanggup belajar terus-menerus dalam
jangka waktu selama itu, Jaka?"
"Sanggup, Eyang Putri!" tegas jawaban yang keluar melalui bibir Bpis Jaka.
"Bagus!" puji Nyi Selasih. "Sebelum Raja Petir meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini, dia pernah berkata, kalau kelak akan
hadir seseorang yang memiliki kecerdasan luar biasa yang akan mampu menuruni
ilmu warisan leluhurnya hanya dalam waktu satu windu."
"Mudah-mudahan, Eyang Putri. Aku akan berusaha sekuat tenaga. O ya, Eyang Putri.
Siapakah Raja Petir itu
sebenarnya?"
"Ayah kandungku."
"Ayang kandung Eyang Putri?" ulang Jaka. "Kenapa ilmu itu tidak diwarisi pada
Eyang Putri?"
Perempuan tua berpakaian longgar
warna putih itu mengembangkan senyumnya sesaat
"Itulah keanehan ilmu yang
ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Keanehan?"
"Ilmu peninggalan Raja Petir tidak untuk diwarisi seorang perempuan. Namun,
tidak menutup kemungkinan bagi seorang perempuan keturunannya untuk
mempelajari. Hanya saja, tak akan mampu menguasai
lebih dari seperempat
pelajaran itu."
"Kenapa bisa begitu, Eyang Putri?"
"Menurut orang tuaku, ilmu itu
memang khusus diperuntukkan kaum
lelaki." Jaka tak bertanya lagi. Tubuhnya
terasa begitu letih setelah delapan
malam berturut-turut melatih diri.
"Kau siap mempelajarinya, Cucuku?"
tanya Nyi Selasih.
Jaka Sembada menganggukkan kepala.
*** 4 Keletihan belum seluruhnya hilang
dari dirinya, tapi Jaka harus kembali berhadapan dengan malam yang merangkak
semakin tua. Dan itu menandakan kalau dirinya harus segera berangkat bersama Nyi
Selasih. "Kau dengar suara apa itu, Cucuku?"
tanya Nyi Selasih sambil berkelebat
cepat menuju arah matahari terbenam.
Lari perempuan tua itu begitu cepat.
Jelas, kalau Nyi Selasih tengah
mempergunakan ilmu lari cepat yang
dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun, tidak sepenuhnya karena harus mengimbangi lari muridnya yang kini
mengenakan pakaian ketat warna kuning keemasan.
"Seperti suara air terjun, Eyang Putri," duga Jaka sambil tak mengurangi
kecepatan larinya.
"Sebentar lagi kita akan tiba di tempat tujuan."
"Senang sekali, Eyang Putri," ucap Jaka sambil meningkatkan kecepatan
larinya. Kini mereka tiba di depan sebuah
kubangan air yang tak begitu lebar.
Kira-kira telah berada sekitar enam
batang tombak, Nyi Selasih berhenti
tepat di depan sebuah batu besar yang terletak persis di tengah kubangan air
yang nampak begitu jernih. Jaka hanya mengikuti sambil memandang keheranan
pada pemandangan yang berada di
hadapannya. "Sungai apa namanya, Eyang Putri?"
tanya Jaka ingin tahu.
"Ini bukan sungai, Jaka. Tapi aliran air terjun yang tersasar."
"Aneh."
"Memang aneh. Terlebih, jika kau masuk ke dalamnya," jelas Nyi Selasih.
"Masuk" Ah! Airnya saja tak mencapai sebatas pinggang, Eyang Putri."
"Di situ pula letak keanehannya. Ayo kita turun," ajak Nyi Selasih seraya
menurunkan kakinya, menjejak air yang terasa begitu dingin.
Apa yang dilakukan Nyi Selasih,
diikuti Jaka. Sebentar kemudian, mereka sudah berada di batu besar yang berada
persis di tengah-tengah aliran air
terjun. Nyi Selasih lalu menempelkan
tangannya pada batu hitam yang bagian bawahnya sudah berwarna kehijauan. Maka
tak lama batu yang cukup besar itu
bergeser, dan berpindah sedikit dari
tempatnya. Jaka terperangah menatap kenyataan
yang ada di hadapannya. Sebuah lubang berukuran seperempat tombak terlihat
setelah batu itu tergeser.
"Masuklah ke dalamnya. Maka kau akan menemukan keanehan lagi di sana,"
perintah Nyi Selasih. "Tarik napasmu dalam-dalam, dan simpan di perut pusat.
Lalu keluarkan sedikit-sedikit jika kau tak mampu bertahan."
"Eyang Putri?"
"Eyang Putri akan mengikutimu dari belakang." Tanpa diperintah dua kali, Jaka
langsung membawa turun tubuhnya
untuk menyelam. Kemudian dia memasuki lubang yang menganga tak seberapa besar
itu. Suasana gelap segera menyergapnya kerika Jaka masuk ke dalamnya. Sepanjang
lubang yang layaknya disebut lorong itu terisi air yang sanggup membuat tubuh
menggigil. Jaka terus memusatkan perhatian
sambil mengatur pernapasannya. Dia terus menyelusuri lorong berair yang semakin
lama semakin membesar. Di belakangnya, tampak Nyi Selasih, putri tunggal
Almarhum Raja Petir mengikuti dari
belakang. Lorong yang semakin lama semakin
besar itu kini terbelah menjadi dua
jalur. Jaka tak tahu, harus memilih jalur yang mana. Namun dengan aba-aba yang
diberikan Nyi Selasih, dia tahu kalau harus mengambil jalan sebelah kanan.
Namun belum seberapa jauh Jaka
bergerak, sebongkah batu besar
menghadang perjalanannya. Maka kembali kepalanya menoleh ke arah Nyi Selasih.
Setelah mendapat petunjuk, segera
didorong batu yang ada di hadapannya.
Seiring terdorongnya batu besar
itu, Jaka kembali menjumpai keanehan. Di hadapannya kini terlihat anak tangga.
Beberapa saat lamanya dia terkesima,
namun sesaat kemudian tanpa ragu lagi segera menaiki anak tangga. Di
belakangnya, Nyi Selasih melakukan hal yang sama.
"Aku tak percaya kalau di bawah air yang tak seberapa dalam terdapat ruangan
seluas ini," ucap Jaka sambil menatap sekeliling ruangan. Tampak di setiap
sudutnya ditumbuhi pohon-pohon yang tak seberapa tinggi, namun memiliki buah
warna kemerahan yang cukup menantang
seleranya. Dari sudut yang dirimbuni pohon,
Jaka diajak Nyi Selasih untuk
menyaksikan pemandangan lain di sudut sebelah Utara.
Hampir berdecak mulut Jaka
menyaksikan pemandangan yang cukup
menakjubkan. Di hadapannya terbentang dinding melingkar dengan garis tengah
sekitar lima belas tombak lebih. Dan yang lebih mengejutkan, adalah sebuah tirai
putih yang tak lain air terjun yang
menutupi mulut goa tempat Jaka berada.
Sungguh mengagumkan.
Belum berapa lama Jaka menikmati
kekagumannya, lengannya sudah ditarik Nyi Selasih untuk menyaksikan apa yang ada
di sudut goa sebelah Timur.
Kembali Jaka terpukau menyaksikan
pemandangan aneh di hadapannya. Di situ tampak sebuah kuburan tua yang tertata
begitu rapi dan menebarkan aroma yang cukup menyengat Dan pada awalnya, kepala
Jaka terasa berdenyut-denyut ketika
mencium aroma wangi yang keluar dari
kuburan tua yang ada di hadapannya.
Bahkan hatinya pun terasa gelisah
seketika. Pikirannya seperti dibawa
terbang jauh. Dan kakinya....
"Ohhh...."
Rasanya tak kuat lagi Jaka menahan
kepalanya yang seketika berputar-putar.
Matanya pun berkunang-kunang dan kedua kakinya seolah-olah tak mampu menahan
bobotnya sendiri. Namun Jaka nampak
berusaha menahan sekuat tenaga. Seluruh inderanya dipusatkan untuk menangkal
pengaruh yang cukup kuat itu.
"Hiiip...."
Jaka nampak menarik napasnya
dalam-dalam. Seluruh tenaganya
dipusatkan di perut. Dia lalu
mengeluarkan napasnya sedikit demi
sedikit. Kemudian kembali dihirupnya
napas dalam-dalam.
Selang beberapa lama, Jaka kembali
menghembuskan napasnya. Nampak dia
tengah merangkai sebuah pernapasan
segitiga yang dipusatkan pada kepala, hidung, dan mata.
"Hip.... Yeaaa...!"
Dengan membuat kuda-kuda rendah,
dengan telapak tangan yang didorong
penuh kemuka, Jaka telah berhasil
mengusir pengaruh kuat yang ditimbulkan dari kuburan tua yang menebarkan aroma
wangi itu. "Apa yang tengah kau rasakan, Jaka?"
selidik nenek berpakaian longgar warna putih itu.
"Keadaanku sekarang menjadi lebih enak, Eyang Putri. Tubuhku terasa
menjadi begitu ringan sekarang.


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikiranku menjadi lebih jernih, dan
mataku menjadi seperti sepuluh kali
lipat terangnya. Seolah-olah aku mampu menembus ketebalan dinding goa ini,
Eyang Putri," jawab Jaka dengan hati masih diliputi tanda tanya atas keanehan
lain yang bam diterimanya. "Pengaruh apakah itu, Eyang Putri?"
Nenek berpakaian longgar warna
putih itu tersenyum bijaksana.
"Aku tak bisa menjelaskan
keanehan-keanehan yang kau alami
sekarang, Jaka. Namun aku yakin, suatu saat kau akan mendapat jawaban lewat
Pusaka Raja Petir yang sebentar lagi akan turun ke tanganmu."
"Pusaka?" gumam Jaka dalam hati.
"Pusaka Raja Petir" Oh.... Sebuah keberuntungan yang tak ternilai.
Tapi...." "Kau patut. dan pantas menerimanya, Jaka," tukas Nyi Selasih.
Sepertinya, perempuan tua itu telah
mampu membaca arah pikiran Jaka. Nyi
Selasih kemudian menggerakkan
langkahnya perlahan, mendekati kuburan tua yang menebar aroma yang begitu wangi.
Tanpa diperintah, Jaka segera
melangkah mendekati batu nisan yang
bertuliskan nama Raja Petir. Dia lalu duduk bersila dengan khidmat di samping
kanan kuburan tua yang terawat rapi itu.
"Menepilah sedikit, Jaka. Eyang
Putri akan menggeser makam ini,"
perintah Nyi Selasih tiba-tiba.
Jaka tanpa banyak cakap segera
menuruti. Padahal, ucapan Nyi Selasih barusan sempat pula memancing pertanyaan
dalam benaknya.
"Menggeser" Duh! Keanehan apa lagi ini?" ucap Jaka dalam hati. Namun matanya
sigap memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan nenek berpakaian longgar wama
putih itu. Suara berderit sesaat terdengar
mengisi ruangan goa. Jaka kembali
terkesima menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Ternyata makam Raja Petir tergeser. Dan sekitar delapan tombak
dari dasar makam, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang dinding atapnya terbuat
dari lempengan baja.
Jaka terus menyaksikan tanpa
mengeluarkan sepatah pertanyaan pun.
Baru ketika Nyi Selasih berhasil membuka atap baja yang membatasi ruang bawah
tanah, mata Jaka yang berbinar
menyaksikan kotak besi ukir berwarna
keemasan. "Di kotak keemasan itukah tersimpan pusaka Raja Petir, Eyang Putri?" tanya Jaka,
hati-hati sekali.
Nenek berpakaian longgar berwarna
putih itu tidak segera menjawab. Dia
hanya mengangkat kepalanya sedikit, lalu menebarkan seulas senyum kepada murid
tunggalnya. Namun Jaka mengerti
maksudnya. Senyum itu berarti mengiyakan pertanyaannya. Maka, kini Jaka tak
bertanya lagi demi menjaga kekhidmatan Nyi Selasih saat mengangkat kotak Pusaka
Raja Petir yang berwarna keemasan itu.
Begitu penuh hormat nenek itu
mengangkat kotak pusaka peninggalan
mendiang ayahnya. Kemudian dipondongnya kotak itu penuh hati-hati. Dan ketika
sudah berada di atas, kotak itu belum juga diletakkannya.
Jaka terkesima menyaksikan begitu
tinggi rasa hormat gurunya terhadap
benda itu. Maka ketika gurunya menggelar selembar kain beludru warna putih, Jaka
segera membantu dengan rasa hormat yang cukup tinggi.
Nyi Selasih segera meletakkan kotak
pusaka mendiang ayahnya di atas selembar kain beludru berwarna putih bersih,
setelah terlebih dahulu menggeser makam Raja Petir menjadi seperti sediakala.
"Kau tahu, Jaka. Betapa para leluhur Eyang Putri menaruh rasa hormat yang
tinggi terhadap benda pusaka ini. Dan merupakan suatu kehormatan yang besar jika
benda pusaka ini dapat terwarisi.
Dan kenyataannya memanglah demikian.
Para leluhur Eyang Putri mewarisi benda pusaka ini dengan segenap roh dan jasad
mereka. Dengan benda pusaka ini, mereka telah lahir sebagai sosok seorang
pendekar yang berpijak pada kebenaran, keadilan, dan rasa welas asih. Mereka
juga lahir sebagai seorang pendekar yang menentang keangkaramurkaan nomor satu.
Di mana ada kekejian dan kebejatan moral, di situlah sosok mereka hadir sebagai
penumpasnya." Jaka tertunduk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir nenek
berpakaian putih itu.
"Apakah kau sanggup mewarisinya?"
Jaka mengangkat kepalanya sedikit.
Ditatapnya wajah nenek berpakaian
longgar warna putih itu dengan seluruh permukaan wajah berwarna kemerahan dan
dijalari rasa panas.
"Kau sanggup, Cucuku?" tanya Nyi Selasih kemudian.
Sebuah anggukan periahan tertangkap
bola mata nenek tua berpakaian longgar warna putih itu. Nyi Selasih lalu
tersenyum. "Kau sanggup, Jaka?"
"Sanggup, Guru!"
*** Sinar kuning keemasan seketika
memendar memenuhi seluruh ruangan goa, kerika kotak pusaka peninggalan Raja
Petir dibuka Nyi Selasih dengan
hati-hati. Bahkan Jaka merasakan seluruh tubuhnya Jadi menggigil.
"Kerahkan hawa murni yang kau
miliki, Jaka," perintah Nyi Selasih.
Jaka segera menuruti perintah
gurunya. Dengan mengerahkan hawa murni, getaran pada badannya terasa mulai
berkurang. "Sebelum mempelajari atau
menggunakan peninggalan mendiang Raja Petir, terlebih dahulu kau harus
menyesuaikan diri dengan perbawa
peninggalan Raja Petir," jelas Nyi Selasih. Kemudian, diambilnya salah satu dari
tiga benda yang berada dalam kotak pusaka berwarna keemasan. "Terhadap
sabuk kuning keemasan ini, kau harus
mampu menyesuaikan diri. Sabuk kuning keemasan ini dikenal dengan sebutan
Sabuk Petir. Pengaruh dingin yang
ditimbulkannya cukup dahsyat Bahkan
dapat menimbulkan kelumpuhan total pada setiap orang yang memiliki tingkat olah
kanuragan rendah."
Nyi Selasih kemudian mengangkat
sepasang bambu warna kuning keemasan
sebesar ibu jari lelaki dewasa.
Sedangkan panjangnya, sejengkalan bocah berumur tiga tahun.
"Dan terhadap sepasang bambu warna kuning ini, masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri, Jaka. Bambu kuning yang di bagian tengahnya berlubang,
dapat mengeluarkan seberkas sinar
keperakan seperti petir. Bahkan juga
dapat menimbulkan ledakan dahsyat,
seperti guntur menggelegar sehingga
dapat merobek gendang telinga. Dan pada bambu yang tanpa lubang di tengahnya,
dapat mengeluarkan secercah sinar kuning keemasan. Bila sinar itu menyentuh
tubuh, kulit akan terasa mengelupas
dengan sendirinya," jelas Nyi Selasih lagi, sambil memotong tatapan Jaka yang
terkagum-kagum mendengarkannya.
Jaka kemudian mengalihkan
tatapannya ke arah kotak kayu itu.
Sungguh tak disangka kalau
senjata-senjata di dalamnya mempunyai pengaruh dahsyat seperti itu.
"Itulah beberapa manfaat dari
peninggalan Raja Petir yang kuketahui.
Selebihnya, dapat diketahui dari kitab pusaka ini," Nyi Selasih mengangkat kitab
pusaka yang terbalut sutera
berwarna kuning keemasan. "Yang
kuketahui, kitab pusaka ini hanya
menyajikan inti-inti ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian inti menghindari
serangan lawan. Di antaranya, adalah
ajian 'Bayang-Bayang' dan aji 'Kukuh
Karang' yang mampu meredam setiap jenis senjata atau segala ajian yang dimiliki
tokoh-tokoh aliran hitam."
Mata tua pendekar wanita pada
zamannya itu masih tetap cerah menatap wajah Jaka. Sebentar suasana jadi
hening. Sedangkan Jaka menanti diam
membisu, dengan kepala tertunduk.
"Harapanku, kau mampu menuruni apa yang diwarisi mendiang Raja Petir dalam kurun
waktu tidak lebih dari satu
dasawarsa. Bahkan kalau memungkinkan, kau mesti berhasil menyelesaikan tugas
yang maha berat ini dalam waktu satu
windu. Delapan tahun, Cucuku. Karena
itu, bersungguh-sungguhlah! Dunia
persilatan butuh pendekar digdaya,
beraliran putih, agar berpijak pada
kebenaran dan keadilan. Pendekar yang berani menentang keangkaramurkaan dan
kelaliman."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Eyang Putri," tegas Jaka, mantap.
*** Tujuh purnama telah dilalui Jaka
untuk menyesuaikan diri dengan benda
pusaka peninggalan Raja Petir. Tak ada lagi rasa menggigil yang menerpa
tubuhnya ketika kotak pusaka warna
kuning emas dibuka. Demikian pula ketika sabuk warna kuning keemasan yang
dikenal sebagai Sabuk Petir dililitkan ke
Pinggangnya. Tak lagi dirasakan kalau sabuk itu seolah-olah ingin mengeluarkan
isi perutnya. Jaka sendiri sesungguhnya takjub
terhadap benda pusaka yang diwarisinya kini. Sebuah sabuk warna kuning
keemasan. Dan apabila dipergunakan,
dapat mengeluarkan seberkas sinar
keperakan layaknya sebuah petir yang
mampu menghanguskan sesuatu yang
disambarnya. Begitu juga terhadap sepasang bambu
kuning yang terikat di pergelangan
tangan kirinya, yang mempunyai kegunaan berbeda.
Di lain pihak, Nyi Selasih begitu
bangga menyaksikan kepesatan perubahan yang dialami Jaka. Hingga tak terasa,
delapan puluh sembilan purnama kembali menggelinding, mengimbangi kepesatan
Jaka dalam mempelajari dan mewarisi
peninggalan Almarhum Raja Petir. Dan
pada malam purnama terakhir....
"Kerahkan seluruh kemampuanmu
mengolah aji 'Kukuh Karang', Jaka. Eyang Putri akan melempar pedang ini dengan
kekuatan tenaga dalam penuh. Pusatkan seluruh kepekaanmu," ujar Nyi Selasih.
Tanpa diperintah dua kali, Jaka
segera mengangkat kedua tangannya ke
atas kepala. Kemudian napasnya ditarik tanpa menimbulkan bunyi, seiring
rentangan tangannya yang menimbulkan
bunyi gemeretak. Otot-otot baja Jaka
seketika nampak bersembulan seiring
mengepalnya jari-jari tangan. Kemudian, dibawa kedua tangannya ke depan dada
secara menyilang.
Sinar kuning yang membungkus kepala
hingga dada, dan sinar kuning yang
membungkus lutut hingga ujung kaki,
nampak memancar setelah Jaka tuntas
menyelesaikan gerakannya dengan
pengerahan tenaga dalam penuh. Dan, di hadapannya kini sekitar lima tombak
berdiri Nyi Selasih. Tangan kanannya
tampak menggenggam sebilah pedang
pendek. Mulanya, wajah Nyi Selasih merah
padam. Namun sebentar kemudian, wajahnya berubah menjadi begitu keras. Dari
tubuhnya yang nampak menggigil, terlihat kalau perempuan tua itu tengah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Hiyaaat"
Singgg...! Pedang pendek yang tergenggam di
tangan nenek berpakaian longgar warna putih itu seketika terlepas.
Kecepatannya sungguh sukar diikuti mata biasa. Dan senjata itu terus meluruk
deras ke arah Jaka yang telah siap dengan aji 'Weduk Sukmaraga'nya. Suara deru
angin yang keluar dari pedang pendek yang tengah melayang itu mampu
menyingkirkan kerikil-kerikil sebesar ibu jari lelaki dewasa. Dan ketika pedang
pendek itu menyentuh kulit Jaka, maka....
Trak! Percikan bunga api seketika
menerangi ruangan goa. Benturan benda yang terlempar disertai kekuatan tenaga
dalam penuh membuat pedang pendek itu terlempar jauh dan membentur dinding
goa. Bahkan pedang pendek itu kini
terpecah jadi dua bagian.
Jaka nampak puas dengan apa yang
telah didapatnya. Wajahnya yang tampan nampak bersinar cerah setelah melepas
napasnya yang tertahan di perut
Akan tetapi, kecerahan wajah Jaka
menjadi sima manakala Nyi Selasih tampak tengah terkulai. Maka, segera
dihampirinya, nenek itu.
"Kau tidak apa-apa, Eyang Putri?"
tanya Jaka cemas.
Nenek berpakaian longgar warna
putih itu menggelengkan kepalanya dengan bibir terkulum senyum. "Tidak apa-apa,
Cucuku. Tidak apa-apa. Aku hanya
merasakan sekujur tubuhku tidak dialiri sedikit tenaga pun. Aku terlalu penuh
mengaliri tenagaku ke dalam pedang
pendek itu. Tapi aku puas, Cucuku. Puas sekali."
Nyi Selasih kemudian menyeka
keringatnya yang sebesar butiran jagung, lalu kembali mengembangkan senyum.
Rupanya dia puas menyaksikan Jaka yang tiba-tiba duduk di hadapannya dengan
keadaan kaki menyilang dan kepala
tertunduk. "Terima kasih, Eyang Putri. Terima
kasih," ucap Jaka parau.
"Pada pencipta jagat semesta inilah
seharusnya kau mengucapkan kalimat itu, Cucuku. Bukan kepadaku. Sebab tanpa
jalan Yang Maha Kuasa, aku ini bukan
apa-apa." Jaka semakin menundukkan kepala.
Betapa sesungguhnya perempuan tua di
hadapannya ini sangat dihormatinya. Dia telah mendidiknya hingga menjadi seperti
sekarang ini. Begitu besar jasanya....
Sebutir air menggulir dari balik
kelopak mata Jaka. Air mata haru atas ketulusan hati seorang perempuan tua di
hadapannya.

Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok, sebelum matahari terbit, kau sudah harus meninggalkan tempat ini.
Berjalanlah menuju Utara. Di sana, kau akan menemui hal yang dapat menempa
dirimu untuk menjadi seorang pendekar bijaksana. Di sana pula kau dapat
menemukan kelaliman-kelaliman yang
tengah merajalela. Maka, gunakan
kesempatan untuk mengamalkan apa yang telah didapatkan selama ini. Tampilkan
dirimu sebagai seorang pendekar yang
selalu membela kebenaran. Dan saranku, jangan gunakan Pusaka Raja Petir selagi
masih bisa mempergunakan cara lain.
Terkecuali, memang terpaksa."
Jaka mengangkat kepalanya perlahan.
Air matanya sudah kering sejak tadi. Dan ketika permukaan wajahnya mencium
punggung Nyi Selasih, tubuhnya terasa bergetar hebat Pikirannya pun terbawa arus
deras perasaannya. Haruskah dia
berpisah dengan orang yang begitu
dicintai dan dihormatinya"
*** 5 Selaret sinar kuning seketika
menyibak tirai putih yang menutupi mulut goa. Beberapa saat, tirai putih itu
menggantung akibat terkena sibakan sinar kuning yang diciptakan Jaka. Namun
ketika selarik bayangan kuning yang
ditimbulkan akibat gerakan Jaka dengan ilmu lari cepatnya, tirai putih yang
menggantung itu kembali meluruk ke bawah dan kembali menutup mulut goa.
"Selamat tinggal, Eyang Putri! Kita pasti akan berjumpa lagi," ucap Jaka seiring
lesatan tubuhnya meninggalkan goa yang ditutupi air terjun. Suaranya terdengar
menggema terpantul
dinding-dinding goa.
Melalui pengerahan tenaga dalam
yang tinggi, Nyi Selasih membalas ucapan muridnya.
"Selamat jalan, Cucuku. Jaga dirimu baik-baik!"
*** Sepuluh tahun setelah Jaka
diselamatkan Eyang Legar dari kurungan api telah terlewatkan. Dan entah ke mana
bocah yang telah menjadi pemuda tampan itu mengembara.
Hari merambat begitu cepat,
menuntun sang surya pada ketinggiannya.
Sementara di tempat lain, dia berdiri tepat di atas ubun-ubun, dengan sinarnya
yang pongah seperti hendak membakar apa saja yang ada di bawahnya. Sebuah
perkampungan yang nampak masih
dikelilingi pepohonan besar pun, tak
urung terselimut hawa panas yang
menerobos lewat celah-celah dedaunan.
"Rasanya hari ini begitu lain ya, Kang?" kata seorang lelaki pendek sambil
meraih gelas minumnya.
"Ya. Mungkin sebentar lagi akan
turun hujan," timpal lelaki berpakaian serba hitam.
Ditilik dari cara duduk dan cara
berpakaiannya, tampaknya mereka adalah orang-orang persilatan yang tengah
berada dalam sebuah kedai dan sekaligus tempat penginapan.
"Huh! Kenapa penginapan ini terlalu rendah atapnya. Begitu sempit," umpat lelaki
bertubuh pendek lagi.
Diseruputnya minumannya, lalu
diletakkannya kembali seraya menarik
napas dalam-dalam.
Sementara di lain tempat, pada meja
yang terletak di sudut ruangan, nampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
tahun sedang asyik menikmati hidangan di hadapannya. Dia mengenakan pakaian wama
hijau daun. Sepasang arit tampak
terselip di kiri-kanan pinggangnya.
Rupanya, dia merasa tidak terganggu oleh pembicaraan tamu lain yang bertubuh
pendek. "Kang," panggil lelaki bertubuh pendek itu. "Hari ini perasaanku tak enak.
Semenjak kita tinggal di
penginapan ini, hatiku dag dig dug tak karuan. Akan ada apa ya, Kang?"
Lelaki berpakaian serba hitam
tersenyum-senyum mendengar ucapan
rekannya yang bertubuh pendek.
"Kau terlalu perasa, Wiratma,"
tukasnya sambil mengusap kepala
rekannya. "Aku tahu, kenapa jantungmu dag dig dug seperti itu."
Lelaki bertubuh pendek yang bernama
Wiratma itu mengernyitkan dahinya.
"Kau pasti terlalu memikirkan si Mirah. Ha ha ha...," ledek lelaki berpakaian
serba hitam itu seraya
terbahak-bahak.
Lelaki muda berpakaian hijau daun
itu menoleh. Disaksikannya kelucuan
lelaki berpakaian hitam yang tengah
terbahak-bahak.
"Sabar ya, Wiratma. Tak lama lagi kita akan sampai di padepokan. Dan
berarti, sebentar lagi kau akan bertemu si Mirah yang menurutmu perempuan yang
paling pandai membuat sambal. Ha ha
ha...." "Bukan itu, Kang Jalu. Bukan itu!"
selak Wiratma sambil menahan guncangan tawa rekannya.
"Lalu, apa?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam yang ternyata
bernama Jalu. "Firasatku mengatakan, kalau akan terjadi sesuatu di tempat ini," jelas Wiratma.
"Ngaco!"
"Dia benar, Kisanak!" tukas laki-laki tinggi besar yang tiba-tiba saja muncul di
halaman penginapan.
"Firasat temanmu yang mirip bola itu sungguh tajam. Di tempat ini, jika kalian
semua tidak menuruti keinginanku, maka akan terjadi banjir darah!"
Kemunculan lelaki tinggi besar
berpakaian merah darah itu cukup
mengejutkan Ki Lunta yang kebetulan
keluar dari kamarnya. Laki-laki tua
pemilik kedai dan penginapan ini kenal, siapa lelaki tinggi kekar berpakaian
merah itu. "Ah! Maaf, Tuan Bontan. Sekali ini, tolong jangan ganggu tamu-tamuku," ratap Ki
Lunta terbata-bata.
Lelaki bertubuh kekar yang ternyata
bernama Bontan itu tersenyum sinis.
"Berani betul kau berkata seperti itu, Ki Lunta! Kau tahu, apa akibatnya atas
ucapanmu yang jelek barusan?"
Lelaki tinggi kekar berpakaian
merah darah itu adalah kaki tangan
Gantangga, seorang tokoh sesat yang
menguasai daerah ini. Dia kemudian
menepuk dada kiri dan kanannya. Tak lama setelah tepukan itu, berkelebat tiga
bayangan merah yang tahu-tahu telah
berdiri tegak di sarnping kiri-kanannya.
"Sarkam, Jalil, Warman! Beri
pelajaran pada kakek peot itu!" perintah Bontan.
Tiga laki-laki berpakaian merah
yang baru datang itu segera menuruti
perintah Bontan. Sekali lesatan saja
mereka sudah berada di hadapan Ki Lunta.
Dan itu semua tanda kalau Sarkam, Bayong, dan Warman cukup menguasai ilmu bela
diri. "Di hadapan kami, sebaiknya kau
tutup mulut, Ki Lunta!" sentak Sarkam sambil mengarahkan tinjunya.
Ki Lunta tak mampu mengelak ketika
tinju Sarkam yang cukup keras mendarat di wajahnya. Tubuh laki-laki tua itu
terhuyung ke belakang. Namun, pemilik penginapan dan rumah makan itu masih
mampu menguasai diri, hingga tidak
terjerembab. Hanya saja, tak urung dari wajahnya yang terkena pukulan keras
Sarkam tadi mengalir juga darah dari
sela-sela bibirnya.
Sarkam kembali melangkah
menghampiri Ki Lunta. Tangannya yang
masih terkepal erat, kembali diarahkan ke wajah Ki Lunta. Laki-laki tua pemilik
kedai itu hanya mampu terbeliak.
"Terimalah ini, Kakek Peot!"
Trak! "Ukh...!"
Sarkam terpekik ketika sebuah benda
menghadang tangannya. Kontan tangannya terasa seperti kesemutan. Wajah Sarkam
pun seketika berubah merah.
"Kurang ajar!" maki Sarkam. Matanya yang seperti ingin keluar, ditujukan ke arah
lelaki pendek yang berdiri di dekat lelaki berpakaian serba hitam, yang
menghalangi serangannya. "Berani betul kau menghalangi keinginanku, Gentong
Busuk!" Sarkam langsung melancarkan
serangan ke arah lelaki bertubuh pendek yang telah menggagalkan niatnya itu.
Sebuah sodokan tangannya yang mengarah ke ulu hati lelaki bertubuh pendek itu
hanya menemui tempat kosong. Wajah
Sarkam semakin merah. Kembali pukulannya diarahkan ke wajah lelaki bertubuh
pendek yang bernama Wiratma itu.
Wiratma memang sudah siap menerima
serangan. Maka tubuhnya segera
direndahkan. Dan bersamaan dengan itu, jari-jari tangannya yang membentuk
seperti kerucut, disodokkan ke ulu hati Sarkam yang melompong.
"Akh...!"
Sarkam kontan terhuyung ke belakang
terkena sodokan tangan Wiratma.
"Mau coba-coba menyerang lagi"!"
tantang Wiratma.
Sarkam mendengus geram. Langsung
pinggangnya diraba. Maka, seberkas sinar putih berkilatan keluar dari sarungnya.
Sarkam kini telah menghunus golok, siap melancarkan serangan kembali.
"Terimalah ini, Gentong Busuk!"
pekik Sarkam marah.
Golok yang ada di genggamannya
langsung ditebaskan ke arah leher
Wiratma. Namun, kembali lelaki bertubuh pendek itu merendahkan tubuhnya. Maka
tebasan golok Sarkam kembali membentur tempat kosong.
Dan pada saat tubuhnya merendah,
Wiratma cepat menyodokkan sikut kanannya ke ulu hati Sarkam.
"Aaakh...!"
Sarkam kontan terpekik menerima
sodokan sikut kanan lelaki bertubuh
pendek itu. Maka tubuhnya kembali
terjajar ke belakang.
Menyaksikan Sarkam kewalahan
menghadapi lelaki bertubuh pendek, Jalil dan Warman datang membantu dengan golok
terhunus. "Hiaaat..!"
Melihat keadaan yang tak
menyenangkan ini, lelaki berpakaian
serba hitam yang memang saudara
seperguruan Wiratma juga segera
membantu. "Rupanya kalian senang main
keroyok!" dengus Jalu sambil menghunus senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau pun ingin
cepat-cepat mampus!" bentak Jalil.
"Terima ini!"
"Hiaaat...!"
"Uts!"
Trang! Trang...!
Jalu kini slbuk menangkis serangan
yang bertubi-tubi. Begitu juga yang
dialami Wiratma. Maka pertarungan tak seimbang pun terjadi ketika lelaki
tinggi kekar yang bernama Bontan ikut turun ke gelanggang pertarungan. Hingga
pada suatu kesempatan, Bontan melihat bidang lowong di perut Wiratma.
Kesempatan itu benar-benar
dimanfaatkannya. Maka.,..
Blesss! "Aaakh...!"
Wiratma kontan terpekik keras.
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan
tangan kanan mendekap perutnya yang
terkena tusukan senjata Bontan.
"Kau..., jahanam!"
Menyaksikan temannya tergeletak
bermandikan darah, Jalu semakin naik
pitam. "Terimalah ini, Jahanam!"
"Hiyaaa...!"
Trang! "Hiya! Hiyaaa...!"
Trang! Trang! Bug.... Bret! Lelaki berpakaian hitam itu
terhuyung tiga langkah, setelah rusuk kanannya terserempet senjata Sarkam.
"Keparat...!" maki Jalu tanpa mempedulikan
rusuknya yang sedikit
mengeluarkan darah.
Bontan kembali menerjang. Senjata
nya diayun-ayunkan ke arah leher lelaki berpakaian hitam.
Bet! "Hup...!"
Jalu membawa turun kepalanya.
Beberapa rambut lagi, kepala lelaki
berpakaian hitam itu terpisah dari
badannya. Tapi untungnya, gerakannya
sedikit lebih cepat dari penyerangnya.
Namun siapa sangka kalau gerakan kaki Sarkam datang begitu cepat ke arah
dadanya. Dug! "Akh...!"
Jalu terhuyung sejauh tiga batang
tombak. Karena tak kuasa menahan
tendangan yang cukup keras, maka
tubuhnya yang limbung segera saja
menghantam meja yang ditempati anak muda berpakaian hijau daun.
Meja yang tertimpa tubuh kekar milik
Jalu hancur seketika. Maka mau tak mau makanan yang ada di atasnya berpentalan
tak tentu arah. Bahkan di antaranya ada yang mengotori pakaian anak muda yang
menempati meja itu.
Melihat kenyataan yang terbentang
di depan matanya, lelaki lain yang
berpakaian merah darah segera memburu lawannya yang sudah tak berdaya. Dia
memang bermaksud menghabisi nyawa lelaki berpakaian serba hitam ini.
"Hiyaaat...!"
"Tunggu!"
Secara mendadak, Jalil menghentikan


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakannya. Goloknya yang sudah terayun di udara, seketika terhenti.
"Apa maumu, Anak Muda"!" sentak Jalil pada anak muda berpakaian hijau daun.
"Rupanya kau ingin cari mampus juga, heh"!"
"Sabar, Kisanak," ucap anak muda berpakaian hijau itu sabar.
"Sesungguhnya, aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya
berkewajiban mencegah penginapan ini
dari banjir darah."
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" sentak Sarkam. "Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan
sekarang, heh!"
"Ya. Sekarang ketahuilah! Kami
adalah kaki tangan Ludah Setan yang tak pernah segan berurusan dengan nyawa.
Termasuk nyawamu! Bersiaplah!" timpal Warman.
"Sabar, Kisanak. Sabar. Jadi
manusia itu harus memiliki banyak
kesabaran, karena akan membawa kita pada keselamatan. Kuulangi lagi, sebetulnya
aku tak bermaksud mencampuri urusan
kalian. Aku hanya tidak senang kalau di penginapan ini terjadi pertumpahan
darah. Darah itu amis, Kisanak. Aku
paling tidak suka dengan bau amis," kata pemuda itu, seraya berdiri.
"Bedebah...!"
"Sabar!" anak muda berpakaian hijau daun itu kembali mengangkat tangannya.
"Baiklah aku berterus terang. Aku merasa terganggu dengan ulah kalian. Pertama,
kalian semua telah membuat tempat
penginapan ini kotor dan rusak. Kedua, secara tak langsung kalian telah
mengotori pakaianku. Dan yang ketiga, kalian telah melakukan pembunuhan di
tempat ini, di hadapanku. Kalian semua harus bertanggung jawab!"
"Keparat..!"
"Anak muda sombong! Terimalah ini!
Hiyaaa...!"
"Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu
memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka
tusukan golok yang mengarah ke perutnya tentu saja menemui tempat kosong. Bukan
itu saja. Sikutnya dengan begitu cepat menghantam pelipis penyerangnya.
Bletak! "Ughhh...!"
Sarkam terpental sejauh dua batang
tombak. Namun serangan berikutnya harus dihadapi anak muda berpakaian hijau daun
yang belum sempat merubah kedudukannya.
"Kurang ajar! Hiyaaat...!"
Tebasan golok ke arah pinggang,
dapat dihindari anak muda berpakaian
hijau itu dengan gerakan amat lentur.
Lalu dengan lugas, tubuhnya digenjot ke atas. Dia melakukan lentingan
menakjubkan seraya berputar dua kali di udara.
Menyaksikan kebolehan anak muda
berpakaian hijau daun itu, darah Bontan terasa mendidih. Dia yang merasa sudah
banyak makan asam garam dunia persilatan, jelas merasa direndahkan.
"Kurang ajar! Hei, Anak Muda! Jangan bangga dulu setelah berhasil terlepas dari
serangan yang dilakukan anak
buahku. Hm..., akan segera kucincang
dagingmu. Bersiaplah!"
Mendengar ancaman yang tidak
main-main, lelaki muda berpakaian hijau daun itu segera merubah letak
berdirinya. "Hiaaat...!"
"Hup!"
"Hei pengecut! Jangan kabur. Hup!"
Setelah melejitkan tubuhnya dengan
kecepatan penuh, anak muda berpakaian hijau itu mendaratkan kakinya di luar
halaman penginapan dengan manis. Itu
menandakan kalau ilmu meringankan
tubuhnya cukup tinggi.
"Hup!"
Begitu pula lelaki berpakaian merah
darah yang bernama Bontan. Dia kini telah mendarat di hadapan anak muda
berpakaian hijau daun itu dengan manis.
"Aku bukan pengecut, Kisanak! Aku hanya tak ingin menyaksikan tempat
penginapan milik Ki Lunta berantakan.
Kau tahu, Kisanak" Nanti malam aku ingin tidur nyenyak di kamar penginapan itu."
"Kadal gudik! Terimalah ini....
Hiyaaat!" "Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu
menggeser tubuhnya ke belakang
menghindari sabetan golok lawan. Namun belum betul mengatur keseimbangan
tubuhnya, serangan lain datang hendak membabat punggungnya.
Takkk! Buggg! Di luar dugaan, anak muda berpakaian
hijau daun itu cepat membalikkan
tubuhnya untuk menangkis serangan si
pembokong. Bukan itu saja tindakannya.
Si pembokong pun harus rela menerima
sambaran tangan yang cukup keras dari anak muda itu.
Pada saat yang bersamaan, Sarkam
mengayunkan goloknya dari belakang.
Angin mendem kuat ketika keluar dari
gerakan Sarkam. Jelas, Sarkam
melakukannya dengan seluruh tenaga.
Merasakan adanya bahaya mengancam,
anak muda itu merendahkan tubuhnya.
Melalui cetah ketiak nya, dia dapat
menyaksikan gerakan yang dilakukan
Sarkam. "Hiyaaa...!"
"Hair!"
Desss! Desss! "Aaakh...!"
Melalui kecepatan gerakan yang luar
biasa, anak muda berpakaian hijau daun itu melakukan tendangan belakang yang tak
mampu dihindari Sarkam. Akibatnya, tubuh Sarkam terlempar sejauh tiga
batang tombak. Menyaksikan tubuh Sarkam yang
terjerembab dan tak bangkit lagi, Bontan segera saja meningkatkan serangannya.
Bahkan Jalil dan Warman diperintah untuk menyerang pula.
"Hiyaaat...!"
Trang! Trang..!
Bret! "Uuugkh...!"
*** Jalil dan Warman terkejut
menyaksikan pimpinan mereka dengan
begitu mudah dapat ditundukkan anak muda berpakaian hijau daun itu. Dengan
gerakan cepat, tubuh Jalil melejit untuk menangkap tubuh Bontan yang terpental
ke arahnya. "Hup!"
Sekuatnya Jalil menahan tubuh
Bontan. Namun tak urung, tubuhnya
terdorong juga. Memang begitu keras
tendangan anak muda berpakaian hijau
muda itu setelah
terlebih dahulu
membabat perut Bontan dengan senjatanya yang mirip arit.
"Keparat!" maki Jalil setelah mengatur keseimbangan tubuhnya.
Lelaki berperawakan sedang itu
kembali hendak menerjang anak muda
berpakaian hijau daun itu, tetapi....
"Tahan, Jalil!" sentak Bontan sambil mendekap luka sabetan di
perutnya. "Rasanya kau tak akan mampu meladeni anak muda usilan itu. Lebih baik
mundur. Kita akan membuat perhitungan nanti."
Jalil mengurungkan niatnya.
Sekarang dia baru merasakan kalau anak muda berpakaian hijau daun itu memang
bukan tandingannya. Ditatapnya mata anak muda itu dengan sinar mata
menggiriskan. Sebentar kemudian, giginya terdengar
bergemeretak menahan amarah,
menyaksikan tubuh Sarkam yang tergeletak tanpa nyawa dan tubuh Bontan yang
terluka parah. "Hai, Anak Muda Usilan! Dengarlah!
Kami kaki tangan Ludah Setan tak pernah menganggap persoalan ini selesai sampai
di sini. Kami bersumpah akan segera
kembali menemui kadal buduk sepertimu, untuk menuntut balas. Kau dengar itu"!"
Dengan tangan bertolak pinggang,
anak muda berpakaian hijau daun itu
menyunggingkan senyum mengejek ke arah lawannya.
"Pulang, dan mengadulah kepada
pimpinanmu. Aku yang bernama Roka akan selalu
menunggu kedatanganmu," tantang pemuda itu.
"Bocah sombong!" maki Jalil.
"Warman! Kau bopong mayat Sarkam. Biar aku memapah Kakang Bontan."
Warman segera melaksanakan perintah
temannya. Dengan cepat diangkatnya mayat Sarkam. Sementara, Jalil memapah Bontan
dengan Iangkah terhuyung-huyung.
Belum lagi jauh Jalil meninggalkan
anak muda yang telah mempecundanginya, kepalanya menoleh, menatap penuh dendam
pada anak muda berpakaian hijau daun itu.
Sedangkan anak muda berpakaian
hijau daun itu hanya tersenyum-senyum geli saja menyaksikan tingkah lawannya.
"Sampaikan salamku untuk Ludah
Setan, Ludah Jin, dan ludah-ludah
lainnya! Katakan, Roka menunggu di
tempat ini!"
Mendengar ejekan yang memerahkan
telinga itu, Jalil segera membuang
tatapannya. Dadanya terasa sesak
dipenuhi bara dendam.
"Awas kau! Rasakan balasanku nanti, Anak Muda Bau Tengik!" gerutu Jalil sambil
terus memapah tubuh Bontan.
Sementara, anak muda berpakaian
hijau daun yang bernama Roka itu
berpaling, setelah terlebih dahulu
mengusap-usap debu yang mengotori
pakaiannya. *** Roka kembali memasuki ruangan
penginapan yang tengah dibenahi
pemiliknya. Ki Lunta, si pemilik
penginapan sederhana ini,
melirik sekilas ke arah anak muda yang tengah duduk kembali. Dia segera menarik
napasnya dalam-dalam, sebelum kakinya melangkah menghampiri Roka.
"Tindakanmu terlalu berani, Anak Muda," kata Ki Lunta periahan. Wajah tuanya
nampak jelas begitu pucat.
"Apa tindakanku barusan salah, Ki?"
selidik Roka dengan alis terangkat.
Ki Lunta tak menjawab pertanyaan
itu. Wajah tuanya tertunduk seketika, dan napasnya ditarik dalam-dalam.
"Kau takut kaki tangan Ludah Setan kembali lagi ke sini, Ki?" tanya Roka.
Anak muda berpakaian hijau daun itu
menatap wajah lelaki tua, di hadapannya.
Dia tersentak menyaksikan wajah Ki Lunta yang semakin pucat.
"Kau sakit, Ki?" Roka memegang bahu Ki Lunta yang terasa begitu dingin.
Lelaki tua berumur sekitar enam
puluh tahun itu menggelengkan kepala.
"Tindakan yang kau ambil barusan sebenarnya tidak salah, Anak Muda."
"Ah! Panggil saja aku Roka, Ki." Ki Lunta mengangguk.
"Kau terlalu berani berurusan
dengan Ludah Setan, Roka. Aku tidak
yakin, kepandaian yang kau miliki mampu menandingi kesaktiannya."
"Setinggi apakah kesaktian Ludah Setan itu, Ki?" selidik Roka.
Mendengar ucapan Ki Lunta, Roka
merasa dirinya direndahkan. Mungkin
dikira dirinya tak mampu menandingi
kehebatan Ludah Setan.
Mendengar pertanyaan Roka, dahi Ki
Lunta sedikit berkerut.
"Sukar mengukur kesaktian si Ludah Setan yang sudah betul-betul menjadi
setan di desa ini. Puluhan tokoh sakti, terutama tokoh dari aliran putih telah
dibinasakannya. Bahkan belum lama ini, seorang tokoh yang cukup dikenal
kedigdayaannya harus menyerahkan
selembar nyawanya ke tangan Ludah Setan.
Kau tahu siapa tokoh itu, Roka?"
Roka menggeleng mendengar
pertanyaan Ki Lunta. Memang, dia tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Ludah
Setan. Roka memang baru saja menamatkan pelajaran ilmu olah kanuragan di
Perguruan Hijau Kemuning.
"Macan Kumbang dari Selatan," tegas Ki Lunta kemudian.
Roka tersentak mendengar nama besar
Macan Kumbang dari Selatan yang disebut Ki Lunta telah mati dibunuh oleh Ludah
Setan. Meskipun dirinya belum pernah
menyaksikan kehebatannya, namun melalui mulut guru
besarnya, Roka penah
mendengar kehebatan dan kedigdayaan yang dimiliki Macan Kumbang dari Selatan.
Dia adalah pendekar berusia setengah baya yang sudah malang melintang di rimba
persilatan. Bergetar juga hati Roka mendapatkan
kenyataan seperti itu. Akan tetapi,
siapa yang dapat menduga kalau
kejadiannya jadi seperti sekarang ini"
Roka mengerutkan dahinya. Otaknya tengah berpikir keras.
"Ludah Setan," gumam Roka dalam hati. "Sesakti apa pun, aku harus menghadapimu."
"Kau menyesal, Roka?"
Pertanyaan Ki Lunta bagai petir
menggelegar di telinga Roka. Ditatapnya wajah Ki Lunta dalam-dalam. Roka
menggeretakkan giginya sebelum bicara.
"Apa kau pikir aku ini seorang
pengecut, Ki?" tukas Roka ketus. Sifat kependekarannya seketika muncul. "Siapa
pun si Ludah Setan dan setinggi apa pun kesaktiannya, aku akan tetap menunggunya
di tempat ini. Pantang bagiku menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah. Aku
telah menantang si Ludah Setan, dan
berarti harus pula menghadapinya."
Ki Lunta terkejut mendengar ucapan
anak muda berpakaian hijau daun yang
begitu tegas itu. Dia kelihatannya tidak main-main dengan ucapannya.
"Aku kagum dengan keberanianmu,
Roka. Tetapi...."
"Tetapi apa, Ki?" selak Roka cepat


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk sementara ini, Rasanya kau tak akan berhadapan langsung dengan
Ludah Setan. Kau harus lebih dulu
berhadapan dengan Gantangga."
"Siapa itu Gantangga, Ki?"
"Tangan kanan Ludah Setan," jelas Ki Lunta.
"Seandainya aku mampu mengalahkan Gantangga?"
Ki Lunta tak menimpali pertanyaan
Roka. Kakinya malah melangkah ke arah lelaki berpakaian hitam yang telah
selesai membalut luka-lukanya.
"Seharusnya kejadian ini tidak
terjadi, Kisanak," kata Ki Lunta pada lelaki berpakaian serba hitam yang
bernama Jalu. "Akan tetapi, siapa yang dapat mencegah suratan yang telah
digariskan sang Pencipta...?"
Jalu tak menimpali ucapan Ki Lunta.
Sepertinya, dia membenarkan perkataan yang keluar melalui mulut lelaki tua di
hadapannya itu. Itulah sebabnya, ketika Ki Lunta sudah tidak berkata lagi, Jalu
mohon pamit. "Aku pamit, Ki," ucap Jalu datar. , Ki Lunta menganggukkan kepalanya.
Sementara, Roka hanya memandang wajah Jalu yang kini sudah memondong temannya
itu. "Hup!"
Dengan gerakan ringan, Jalu melesat
dari hadapan Ki Lunta. Namun tak lama kemudian, suaranya yang dikirim lewat
pengerahan tenaga dalam terdengar Ki
Lunta dan Roka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Roka!"
*** Bencana Tanah Kutukan 2 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk 14
^