Pencarian

Pembalasan Berdarah 3

Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah Bagian 3


Blarrr...! Suara gaduh seketika terdengar di
pagi buta seperti ini. Belum lagi hilang keterkejutan penghuni sebuah
penginapan, suara lain yang tak kalah kerasnya terdengar.
"Ki Lunta! Keluarkan semua penghuni penginapanmu. Biar kukirim nyawa-nyawa
mereka ke neraka! Ki Lunta! Kau dengar!"
Brakkk...! Pemilik kedai dan penginapan yang
bernama Ki Lunta keluar tergesa-gesa.
Dugaannya yang kemarin terbukti kini. Di depannya, sekarang tengah berdiri sosok
angker berpakaian merah darah dengan
ikat kepala juga berwarna merah darah.
Kaki Ki Lunta seperti tak mampu
menahan bobot badannya. Lelaki tua itu merasakan seluruh tubuhnya menggigil
menyaksikan Gantangga berdiri di
hadapannya dengan senjata andalan yang sudah terlepas dari pinggang. Sepasang
senjata berbentuk palu bergerigi, dan terbuat dari logam keras berwarna hitam
legam itu tergenggam erat di tangan
kanannya. Belum lagi Ki Lunta berhasil
mengatasi rasa ketakutannya, sosok
angker itu telah mengayunkan senjata.
Bunyi bergemuruh seketika terdengar
disertai deru angin keras yang
menerbangkan kerikil-kerikil di
sekitarnya. Itu menandakan kalau sosok angker ini tidak main-main dengan
serangannya. Wukkk! Wukkk..!
"Mati aku," ujar Ki Lunta dalam hati. Wajah tuanya nampak semakin pucat, seperti
tanpa darah yang mengalir di
tubuhnya. Blarrr...! Sebuah meja di depannya hancur
berkeping-keping terhajar senjata
Gantangga. Dialah tangan kanan Ludah
Setan yang datang untuk menuntut balas atas kekalahan anak buahnya terhadap
Roka. Gantangga melangkah ke arah Ki Lunta
yang kini terkulai di lantai. Keringat dingin sebesar biji jagung semakin deras
mengaliri tubuhnya.
"Tamatlah riwayatku," gumam Ki
Lunta. Namun belum lagi langkah kaki Gantangga tiba di hadapan Ki Lunta,
tiba-tiba.... "Berhenti...!"
Tiba-tiba sebuah bentakan keras
telah menghentikan langkah Gantangga.
Dan seiring dengan terdengarnya bentakan itu, berkelebatlah sesosok bayangan
hijau ke arah Ki Lunta.
"Minggirlah, Ki Lunta. Biar
kuhadapi orang yang tak tahu sopan ini."
Mendapatkan kesempatan untuk
menyelamatkan diri, Ki Lunta secepatnya bergegas.
"Keberanianmu patut dipuji, Anak Muda," kata Gantangga seraya
memutar-mutar senjatanya periahan.
"Akan tetapi, keberanianmu bukan pada tempatnya. Kau tidak tahu, dengan siapa
berhadapan sekarang."
Mendapatkan gertakan yang seperti
itu, seketika Roka mengembangkan
senyumnya. "Siapa pun kau, dan setinggi apa pun kepandaianmu, selama aku berpijak pada
kebenaran rasanya aku tak akan lari.
Meskipun nyawa yang jadi taruhannya,"
sahut Roka, dingin.
"Ternyata kau punya nyali dua, Bocah Sombong! Rasanya aku tak sabar lagi ingin
mengunyah kedua nyalimu. Tahan
seranganku.... Hiyaaa!"
Wukkk! Wukkk...!
Menyaksikan lawannya yang sudah
menggunakan senjata, Roka segera
menggeser kakinya ke belakang.
"Hiaaat...!"
Wukkk! Wukkk...!
Blarrr! Dengan gerakan ringan, Roka
melenting seraya melakukan putaran dua kali di udara untuk menghindari hantaman
palu bergerigi yang dikirim Gantangga.
"Hup!"
Roka menjejakkan kakinya dengan
manis di luar penginapan.
"Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menyingkirkanku,
Gantangga!" tukas Roka sambil menarik keluar senjata andalannya berupa
sepasang arit keperakan.
Sret! Sret! Wukkk! Wukkk...!
"Hiyaaa...!"
Trang! Roka menangkis sambaran palu
bergerigi itu dengan senjatanya. Dan
betapa terkejutnya hati Gantangga ketika menyadari kalau tenaga dalam lawan
hampir seimbang dengannya. Tubuhnya
terjajar ke belakang tiga langkah,
sementara tangannya terasa linu.
"Boleh juga tenaga dalam bocah
ingusan ini!" desis Gantangga sambil membetulkan kakinya setelah terhuyung tiga
langkah ke belakang.
Pertarungan kembali berlanjut
setelah masing-masing mengetahui
kekuatan lawan. Hanya saja kali ini Roka yang
mengambil keputusan untuk
menyerang. "Hiaaat..!"
Sret! Sret! "Uts!!"
Gantangga mendoyongkan tubuhnya
menghindari sambaran senjata Roka yang mencecar ke perut. Sambaran itu berhasil
dielakkannya, namun sodokan sikut yang dilancarkan Roka kembali mengancam
wajahnya yang berahang keras.
Menyaksikan keadaan itu, Gantangga
segera melempar tubuhnya ke kanan. Mirip lompatan seekor harimau. Tubuhnya yang
kekar itu seketika bergulingan di tanah berdebu.
Akan tetapi, Roka tak begitu saja
membiarkan lawannya lolos. Dengan
gerakan yang sukar dilihat mata biasa, Roka kembali mencecar lawannya. Sepasang
senjata andalannya berputar-putar
cepat, mencecar bagian yang mematikan pada tubuh lawan.
"Hiyaaa!"
Srat! Srat! Srat!
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Roka terus mencecar tubuh Gantangga
yang kerepotan menghindari setiap
serangannya. Rupanya, Roka tahu caranya menghadapi lawan yang menggunakan
senjata palu bergerigi. Pertarungan
memang harus dilakukan dengan jarak
dekat. Sementara, lawan membutuhkan
pertarungan jarak jauh.
Di situlah keunggulan Roka. Hingga
pada jurus yang ke lima belas, tendangan yang dialiri pengerahan tenaga dalam,
berhasil disarangkan di tubuh lawan.
Bugkh! "Akh...!"
Tubuh Gantangga terpental sejauh
tiga batang tombak. Perutnya kontan
terasa melilit dan mual. Dari sudut
bibirnya tampak mengalir cairan berwarna merah. Dan sebelum Roka kembali
menyerang, Gantangga segera bangkit
sambil membenturkan kedua telapak
tangannya. Plak! Plak! Plak...!
Seiring tepukan tangan Gantangga,
berturut-turut lima sosok
bayangan berkelebat cepat mengurung Roka.
"Kali ini kau harus mampus, Bocah Ingusan!" bentak Gantangga setelah menyeka
darah yang mengalir di sudut
bibirnya dengan punggung tangan. Kini Gantangga kembah memutar-mutar senjata
andalannya. Wukkk.... Wukkk...!
Dalam keadaan terkurung seperti
itu, Roka segera meningkatkan
kewaspadaannya. Dengan ekor mata,
diperhatikannya empat orang lawan yang bersenjatakan pedang dan seorang lawan
yang senjatanya sama dengan senjata
Gantangga. Dialah Majakot, orang kedua setelah Gantangga.
"Seraaang...!"
Empat orang lawan bersenjata pedang
seketika merangsek maju. Secara
bersamaan, empat orang berpakaian merah itu menusukkan senjatanya ke
bagian-bagian mematikan tubuh Roka. Maka kembali Roka menggenjot tubuhnya.
Dengan bertumpu pada salah satu pedang lawan, dia melenting ke udara dan
bersalto dua kali.
"Hup!"
Roka mendarat ringan di tanah. Namun
belum lagi sempat menarik napas lega, senjata Majakot sudah datang mencecar
kepalanya. "Pecah kepalamu, Bocah!"
Wuttt...! "Uts!"
Roka menundukkan kepalanya. Senjata
andalan yang dilancarkan Majakot, lewat lima rambut di atas kepala Roka. Namun
tak urung dia merasakan angin keras yang seperti
mengangkat pori-pori kulit
kepalanya. Setelah Roka berhasil melepaskan
diri dari maut, dengan mengandalkan
kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, Roka mengirimkan serangan ke arah dada
Majakot yang lowong.
"Hiyaaa...!"
Sret! Sret! "Heh"!"
Roka menarik mundur serangannya
ketika sebilah pedang mengkilat memapak serangannya. Kemudian, tubuhnya yang
sudah berada di udara dibuang ke k-nan.
Seorang penyerang gelap yang hendak
memanfaatkan keadaan Roka, ternyata
bernasib sial. Pada saat membuang
tubuhnya ke kanan, Roka sudah dapat
mengambil kesimpulan kalau lawan akan memanfaatkan keadaannya yang kurang
menguntungkan. Maka....
"Hap!"
Bret!! "Aaakh...!"
"Keparat!" Gantangga memekik geram, giginya bergemeretak keras menahan
amarah yang meluap-luap. "Kau telah menghilangkan nyawa murid kesayanganku!
Maka kau harus menukar dengan nyawamu, Bocah Edan!"
"Hiya! Hiyaaa...!"
Gantangga dan Majakot merangsek
bersamaan. Keduanya tampak tengah
mempersiapkan jurus andalan untuk
melumat tubuh Roka.
"Kusayangkan kalau akhirnya kau
harus menerima kematian begitu cepat, Anak Muda. Untuk itu, sebut namamu.
Karena biar bagaimanapun juga, aku harus angkat jempol akan keberanianmu
menentang Ludah Setan, junjungan kami,"
ujar Gantangga dengan suara ditekan.
Roka mencibir mendengar ucapan
Gantangga. "Jurus apa yang kalian andalkan
hingga memiliki kesombongan seperti
itu?" tak kalah berat nada suara Roka.
"Bocah ingusan! Kau memang pantas menerima jurus 'Badai Gurun' yang akan
mengirimmu ke neraka. Ayo, Kakang! Lebih cepat bocah ingusan ini mampus, lebih
baik!" "Baik, Adi Majakot!"
Wukkk...! Wukkk...!
Terbelalak juga mata Roka
menyaksikan dua pasang senjata dari dua orang lawan yang kini tengah berputar
bersamaan di udara. Senjata berbentuk palu yang pada ujung gagangnya disambung
dengan rantai itu berputar di atas kepala begitu cepat. Hingga yang terlihat
kini hanya segulungan warna hitam yang
mengeluarkan angin deras.
Udara di sekitar tempat pertarungan
itu seketika menjadi dingin. Debu dan kerikil beterbangan tak tentu arah.
Pohon-pohon kecil yang ada di sekitarnya kontan bertumbangan.
Roka merasakan tubuhnya seperti
hendak diterbangkan. Namun dengan
segenap kemampuannya, dia berhasil
mengatasi. Akan tetapi bukan main
terkejutnya Roka ketika merasakan hawa dingin yang mendadak lenyap. Dan kini
telah berganti hawa panas yang timbul akibat berputarnya dua pasang senjata
berbentuk palu bergerigi dengan
kecepatan penuh.
Dengan mengerahkan hawa murni, hawa
panas yang keluar dari senjata yang terus berputar itu mampu diredam Roka.
Malahan, Roka kini sedang menyiapkan
serangan. Sepasang kakinya bertumpu
membentuk kuda-kuda gantung. Sedangkan tubuhnya digerak-gerakkan begitu
gemulai, layaknya padi yang tertiup
angin sepoi-sepoi. Ya! Roka tengah
menyajikan jurusnya yang bernama
'Gemulai Padi Menguning'.
Gerakan Roka yang semula nampak
gemulai kini menjadi mengejang. Seluruh permukaan wajahnya dialiri warna
kemerahan. Dan sebentar kemudian,
gerakannya yang begitu cepat berkelebat deras ke arah tubuh Gantangga.
"Hiaaa...!"
Seperti dalam mimpi, Gantangga
menerima serangan tak terduga yang


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilancarkan Roka. Maka segera dia
melempar diri ke kiri ketika sambaran sepasang arit Roka hendak memakan
lambungnya. Seiring lemparan tubuhnya, Gantangga sempat mengirim serangan
dengan palu bergeriginya.
Wukkk! Roka mengangkat sedikit kakinya
yang sudah berada di udara. Dan ketika menjejak tanah, tubuh Roka kembali
melenting mengejar Gantangga yang tengah bergulingan.
"Hiaaa. .!"
"Hiyaaa...!"
Bugkh! "Agkh!" Roka terpekik tertahan.
Tubuh anak muda berpakaian hijau itu
terjajar dua batang tombak ketika
menerima serangan gelap Majakot.
Seketika Roka merasakan dadanya sesak.
Tendangan yang dilancarkan lawan tadi terlalu keras menghantam dadanya. Darah
nampak merembes dari sudut bibirnya.
Belum lagi Roka mampu metawan sesak
di dadanya, Majakot kembali menyerang.
Rupanya dia tidak ingin membuang-buang kesempatan yang cukup baik
Wukkk.... Wukkk!
Majakot segera melepas senjata
andalannya kembali, mengarah ke tubuh Roka. Dan Roka hanya terpekik ketika
senjata bergerigi milik lawan sempat
menyerempet tubuhnya.
Brettt! "Akh!"
Pakaian Roka tampak koyak terkena
sambaran senjata lawan. Bahkan kulit
yang ikut terserempet,
sedikit mengeluarkan darah.
"Hiaaat...!"
Gantangga menyusulkan serangan
ketika melihat Roka terdesak hebat.
Tubuhnya yang tengah melayang di udara, mengirimkan sebuah tendangan bertenaga.
Suara yang cukup kuat terdengar
mengiringi hantaman kaki kekarnya.
Bug! "Akh!"
Roka kembali terpekik menerima
hantaman yang cukup keras. Tubuhnya
terpental sejauh tiga batang tombak.
Darah kental tampak keluar dari mulutnya yang terbatuk-batuk.
Melihat tubuh Roka yang tak mampu
bangkit, Gantangga dan Majakot
melancarkan serangan secara bersamaan.
Senjata mereka yang bergerigi tajam
berkelebat cepat mencecar batok kepala Roka.
"Hiaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Roka hanya terhenyak menyaksikan
kedua lawan yang merangsek maju. Dia
sudah pasrah menanti saat-saat ajal yang akan segera menjemput, tapi...
Trak! Trak...! *** 7 Sejengkal lagi senjata milik
Gantangga dan Majakot menghantam batok kepala Roka, tiba-tiba benturan keras
seketika terdengar. Tubuh Gantangga dan Majakot seketika terpental sejauh tiga
batang tombak. Kedua lelaki berpakaian merah darah itu merasakan tangannya
seperti lumpuh. Dan itu jelas tenaga
dalam mereka kalah dibanding orang yang memapak serangannya.
"Kurang ajar!" bentak Gantangga keras.
Seorang lelaki muda berusia sekitar
dua puluh tahun berdiri tegak disertai senyum di bibir. Wajah pemuda berpakaian
kuning keemasan dengan sabuk juga
berwarna keemasan melilit di pinggang, nampak begitu tampan. Hidungnya
berukuran sedang. Bola matanya tampak cemerlang. Kulit mukanya juga bersih, dan
berahang kuat. Pada pergelangan tangan kiri pemuda
itu nampak dua batang bambu kuning
sepanjang jengkal bocah berusia tiga
tahun. Dia kemudian kembali melepas
senyumnya. "Maafkan aku, Kisanak," ucapan yang bernada lembut seketika terdengar
melalui bibir tipis milik lelaki muda berpakaian warna kuning keemasan itu.
"Sebenarnya aku tak bermaksud
mencampuri urusanmu."
"Setan!" sentak Majakot seraya bangkit setelah mampu menguasai dirinya.
"Lalu, apa namanya dengan tingkahmu yang barusan itu"!"
"Sekali lagi, aku mohon maaf,
Kisanak. Tingkahku yang barusan itu
semata terdorong oleh kecurangan yang telah kalian lakukan," timpal pemuda itu.
"Cari mampus!"
Menggelegar suara yang dikeluarkan
Gantangga, karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Sehingga
sempat membuat Ki Lunta yang sejak tadi menyaksikan pertarungan secara
tersembunyi menekap telinganya. Bahkan tubuhnya juga terdorong ke belakang
beberapa langkah.
Sementara pemuda berpakaian kuning
keemasan itu hanya mempertontonkan
sebaris giginya yang tertata rapi.
"Mati tidak bisa dicari, Kisanak.
Tetapi mati memang akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa."
"Setan belang! Hiyaaa...!"
Gantangga membuka serangan. Seluruh
tenaganya dikerahkan untuk menjatuhkan lawan yang jauh lebih muda.
Plak! Plak...! Pemuda berpakaian kuning keemasan
itu menangkis sodokan kiri kanan yang dilancarkan Gantangga. Ringan saja
gerakan yang dilakukannya, akan tetapi hasilnya sangat mengejutkan Gantangga.
"Bocah setan!" maki Gantangga geram. Dia kembali merasakan tubuhnya seperti
tersengat ratusan lebah.
"Seraaang...!" teriak Majakot ketika menyaksikan Gantangga terkulai di tanah.
Tiga orang bersenjata pedang yang
sejak tadi hanya sebagai penonton,
seketika merangsek maju. Tak ketinggalan Majakot yang barusan memberi aba-aba.
"Tahaan..!" bentak pemuda
berpakaian kuning keemasan,
menggelegar. "Lebih baik kalian pergi dari sini, daripada membuang nyawa
percuma!" "Bocah sombong!" maki Majakot geram. Tangannya kembali bergerak
memberi aba-aba.
"Jangan salahkan aku kalau umur
kalian hanya sampai di sini," pemuda berpakaian kuning keemasan itu
meloloskan sabuk yang melilit
pinggangnya. la memang ingin mengetahui
keampuhan sabuk yang belum pemah
dipergunakannya. Maka, cahaya
menyilaukan tampak mengiringi lolosnya sabuk. Bahkan cahaya itu mampu
menghentikan para penyerang yang
bergerak maju. Melalui gerakan manis, pemuda
berpakaian kuning keemasan itu memutar pergelangan tangannya. Dan kemudian,
sabuk kuning yang tercekal dilecutkan kuat-kuat
Glarrr...! Pohon sebesar pelukan dua lelaki
dewasa seketika rumbang seiring bunyi ledakan dahsyat. Bukan itu saja.
Seberkas sinar keperakan yang tercipta barusan pun mampu menghanguskan pohon
besar yang tumbang tadi.
"Raja Petir"!" terbeliak mata Ki Lunta menyaksikan kejadian di depan
matanya. Begitu juga yang dialami penghuni
penginapan yang turut menyaksikan
pertarungan. Benak mereka seketika
dijejali pertanyaan dan dugaan yang
simpang siur. "Dia pasti jelmaan Raja Petir" tebak lelaki kurus berkumis lebat.
"Ngaco!" bantah yang lain. "Raja Petir itu sudah tua. Lagi pula, orang yang mati
mana mungkin bisa hidup lagi."
"Mungkin ia keturunan Raja Petir.
Atau pasti cucunya," selak lelaki berambut keriting, dari belakang.
Mereka yang mendengar ucapan lelaki
berambut keriting serempak
menganggukkan kepala. Sementara, di
tempat lain Ki Lunta masih sibuk dengan pikirannya.
"Itu baru peringatanku, Kisanak.
Lebih baik kalian segera pergi jauh-jauh sebelum menyesal. Dan, jangan coba-coba
kembali lagi!" ujar pemuda berpakaian kuning keemasan, lantang.
"Bocah sombong!" maki Majakot
"Seraaang...!"
Tiga sosok berpakaian merah
langsung merangsek maju mendengar
perintah pemimpinnya. Namun belum lagi serangan mereka tiba, seberkas sinar
keperakan telah datang mendahului.
Seperti ada petir menyambar, ketiga
sosok berpakaian merah itu kontan
berpentaian beberapa tombak dengan
keadaan tubuh sebagian menghangus.
"Dia pasti pewaris Raja Petir,"
gumam Ki Lunta.
Ada perasaan lega seketika mengisi
dada. Ki Lunta berharap, dengan
kehadiran Raja Petir, ketakutan penduduk terhadap ulah Ludah Setan dan kaki
tangannya akan segera berakhir.
Sementara, Gantangga dan Majakot
yang menyaksikan nasib malang ketiga
anak buahnya, langsung merasa gentar.
Apalagi menyaksikan keadaan tubuh anak buahnya yang sebagian menghitam.
"Bagaimana" Apa kalian akan
melanjutkan pertarungan ini?" tanya pemuda berpakaian kuning keemasan,
tenang. "Hhh.... Kali ini kami mengaku
kalah. Tapi Ludah Setan, yang merupakan junjungan kami, tidak akan tinggal diam.
Kalian semua sebentar lagi akan melayat ke neraka. Camkan itu!"
Setelah berkata demikian, Gantangga
dan Majakot berkelebat pergi. Mereka
meninggalkan ketiga anak buahnya yang tewas begitu mengerikan.
*** "Kau hebat, Anak Muda."
Ki Lunta terbungkuk-bungkuk
menghampiri pemuda berpakaian kuning keemasan. Wajahnya sudah kembali biasa,
karena ketegangan sudah tidak
menghinggapinya.
Ki Lunta kembali membungkukkan
badan. Tapi kali ini disertai tundukan kepala sebagai tanda hormat dan terima
kasih. "Kalau tak ada dirimu, mungkin aku dan rumah penginapanku sudah rata dengan
tanah. Ah! Siapa namamu, Anak Muda" Aku sendiri bernama Ki Lunta. Biarlah aku
akan selalu mengingat budi baikmu yang tak ternilai ini."
Pemuda berpakaian kuning keemasan
itu mengembangkan sedikit senyumnya.
Wajahnya nampak lebih tampan ketika
sinar mentari pagi menerpanya.
"Pujianmu terlalu berlebihan, Ki.
Rasanya belum pantas aku menerimanya.
Apalagi, kau menyebut-nyebut budi baik barusan. Kukira, apa yang kulakukan
barusan hanyalah sebuah kewajiban yang memang harus dijalani. Manusia memang
diharuskan saling tolong-menolong, Ki Lunta."
Ki Lunta tersenyum simpul mendengar
kerendahan bicara anak muda di
hadapannya ini.
"Ah, ya. Namaku Jaka Sembada. Dan biasa dipanggil dengan sebutan Jaka,"
lanjut pemuda berpakaian kuning keemasan itu sambil menoleh ke arah Ki Lunta dan
Roka bergantian.
"Aku Roka," kata lelaki berpakaian hijau daun, ikut memperkenalkan diri.
"Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu."
"Melihat apa yang telah kau lakukan, aku jadi teringat seorang tokoh sakti
golongan putih yang berbudi luhur. Tokoh itu pernah malang-melintang di dunia
persilatan, yang disegani lawan dan
dihormati kawan," ujar Ki Lunta
kemudian. "Siapa nama tokoh itu, Ki?" selidik Jaka.
"Raja Petir," jawab Ki Lunta.
"Apakah kau pewarisnya?"
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan
Ki Lunta. "O ya, Ki Lunta. Apa kau telah kenal lama dengan kaki tangan Ludah Setan?"
tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
"Sudah," jawab Ki Lunta periahan.
"Mereka memang sudah lama menguasai desa ini."
"Penduduk desa ini tak ada yang
berani menentang?"
"Ludah Setan sudah benar-benar
menjadi setan di desa ini. Dia begitu bengis dan kejam. Siapa saja yang berani
membangkang, nyawa yang jadi
taruhannya," sahut Ki Lunta sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa senjata si Ludah Setan sama dengan senjata yang dipakai Gantangga dan
Majakot?" selidik Jaka lebih jauh.
Jaka ingin meyakini kemiripan
senjata yang pernah diceritakan Nyi
Selasih. "Sama persis," jawab Ki Lunta.
Ada kegeraman seketika mengisi
rongga dada Jaka. Pikirannya langsung tertuju pada cerita Eyang Legar dan Nyi
Selasih. Kata mereka, dirinya terkurung api yang melahap sebuah rumah, dua puluh
tahun yang lalu. Ayah Jaka telah dibunuh seseorang yang bernama Gandewa.
Sedangkan ibunya, diculiknya pula.
Bahkan rumah mereka dibakar. Padahal, Jaka yang saat itu masih bayi, terkurung
di dalamnya. Untung saja, dia sempat
diselamatkan Eyang Legar.
"Gandewa!" Jaka memekik dalam hati.
Tangannya tiba-tiba saja terkepal dan wajahnya yang tampan berubah kemerahan.
"Apa kau pernah bentrok dengan Ludah Setan?" tanya Roka yang sejak tadi
memperhatikan sikap Jaka.
"Ah... eh! Be..., belum," tergagap jawaban yang keluar dari mulut Jaka.
Lamunannya akan kejadian yang pernah


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimpa kedua orangtuanya terpenggal.
"Aku permisi ke dalam, Ki Lunta, Roka."
Jaka segera melangkah perlahan
menuju ke kamarnya. Dia memang ingin
menenangkan pikirannya. Ternyata
sebelumnya Jaka memang sedang menginap di situ.
*** "Rasakan pembalasanku nanti,
Gandewa!" batin Jaka memekik keras.
Pemuda itu bangkit dari
pembaringannya. Jari-jari tangannya
yang berisi nampak meraba-raba sabuk
warna kuning keemasan, yang bernama
Sabuk Petir. Kelak, sabuk itu akan
membuat para tokoh aliran hitam
tercengang. Jaka kembali membaringkan tubuhnya
setelah sekian lama berdiri tegak sambil mengelus elus Sabuk Petir yang melilit
pinggangnya. Dua mata cemerlang yang sangat
menopang ketampanan wajah Jaka, seketika terpejam. Dari pikirannya yang
menerawang jauh, kembali terdengar
ucapan Nyi Selasih yang menyatakan
kemungkinan masih hidupnya ibu kandung Jaka.
"Eyang Putri memang tidak dapat
memastikan kalau ibumu masih hidup,
Jaka. Tapi dari pemberitahuan yang
kudapatkan melalui Eyang Legar, ke-
mungkinan itu bisa saja terjadi. Karena di dalam rumahmu yang sedang dilalap
api, tak ditemukan mayat lain selain mayat ayahmu, yang bernama Sempani."
"Keparat!"
Kembali hati Jaka memekik.
Sementara pikiran lain terbersit, kalau si Ludah Setan telah merampas istri
orang. Ibu kandungnya sendiri!
Jaka kini telah terlelap sambil
membawa dendam nya ke dalam mimpi. Malam kian merambat larut. Dan sebentar lagi,
pagi datang menyingsing.
*** Matahari sudah keluar sepenuhnya
manakala Jaka Sembada berpamitan pada Ki Lunta.
"Aku keliling dulu sebentar, Ki.
Ingin lihat lihat keadaan di luar," pamit Jaka pada Ki Lunta yang tengah sibuk
membenahi rumah penginapannya yang
sedikit rusak akibat ulah kaki tangan Ludah Setan.
Ki Lunta mengangguk saja mendengar
ucapan Jaka. Mata tuanya menatap wajah tampan Jaka, seperti tak berkedip.
"Masih muda, ilmunya sudah tinggi,"
desah Ki Lunta dalam hati.
Firasat Ki Lunta sendiri mengatakan
akan terjadi perubahan besar dengan
hadirnya sosok muda yang memiliki
kepandaian tinggi. Ya, Ki Lunta memang sudah lama mengharapkan hadirnya sosok
tangguh yang akan mampu menandingi
kebengisan Ludah Setan dan para
begundalnya. Sementara Ki Lunta masih sibuk
berkhayal-khayal, sosok yang
diidam-idamkannya telah lenyap dari
hadapannya. Sosok Jaka Sembada yang kini telah pergi jauh meninggalkan
perbatasan Desa Jelaga.
Jaka terus melangkah ke arah Timur.
Kakinya yang kokoh bergerak cepat,
karena ilmu meringankan tubuhnya memang sudah tinggi. Sementara perbatasan Desa
Jelaga sudah jauh ditinggalkan. Dan Jaka baru berhenti ketika tiba-tiba....
Trang! Trang...!
"Haiiit...!"
Bugkh! "Akh...!"
Jaka langsung memasang
pendengarannya yang tajam. Dia memang seperti mendengar suara orang bertarung.
Maka bergegas kakinya melangkah ke arah suara pertarungan berasal. Dugaannya
memang tidak meleset Di hadapannya,
sekitar sepuluh batang tombak nampak
seseorang sedang dikeroyok.
"Seorang perempuan?" desis Jaka.
Maka dia segera saja mencari tempat
persembunyian untuk menyaksikan sebuah pertarungan yang kelihatannya tidak
seimbang itu. Dari jarak yang tidak begitu jauh,
Jaka terus mengikuti
jalannya pertarungan. la kagum melihat kepandaian yang dimilikt perempuan yang ternyata
masih begitu muda itu. Jaka
mengira-ngira, paling tidak usia gadis berpakaian warna hijau itu tak lebih dari
tujuh belas tahun.
"Hiyaaa...!"
Bugkh! "Aaakh...!"
Tendangan keras gadis itu mendarat
telak ke tubuh salah seorang pengeroyok yang jumlahnya belasan.
"Anak manis! Sungguh tak kusangka kalau kau menyimpan kepandaian yang
mengagumkan," kata
seseorang yang seketika menghadang serangan gadis
berpakaian hijau itu, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Tapi akan lebih mengagumkan jika
kali sudi ikut bersama kami. Gadis
secantikmu tak layak terjun di dunia
persilatan yang penuh kekerasan. Lebih baik, pergunakanlah kecantikanmu untuk
mereguk madu kebahagiaan bersamaku. Kau akan senang ikut bersamaku."
"Cis!"
Gadis berpakaian hijau itu meludahi
wajah laki-laki bercambang bauk yang
merupakan salah seorang pemimpin dari pengeroyok bersenjata pedang.
Lelaki setengah baya yang diludahi
itu segera memiringkan kepalanya.
Hingga, terjangan ludah gadis berpakaian hijau itu hanya lewat di samping kin
kepalanya. "Hiaaat...!"
Belum lagi lelaki bercambang bauk
siap, gadis berpakaian hijau itu kembali menyerang.
Trang...! Dua tubuh saling berpentalan ke
belakang sejauh tiga batang tombak.
"Gadis setan," maki lelaki setengah baya bercambang bauk itu. Dia merasakan
tangannya bergetar ketika memapak
serangan yang dilancarkan ke arah
lehernya. Sementara, gadis berpakaian hijau
itu merasakan hal yang sama. Serangannya terasa seperti membentur dinding baja.
Bahkan hampir saja pedangnya terlepas.
"Rupanya kau gadis keras kepala!"
bentak lelaki bercambang bauk lebat itu.
"Menghadapi anak buahku yang memiliki kepandaian rendah, kau boleh bangga.
Tapi menghadapi kami...."
Tiba-tiba lelaki setengah baya
bercambang bauk itu menjentikkan ujung jemari tangannya. Maka dua sosok
bayangan seketika berkelebat cepat, dan mendarat ringan di samping kiri dan
kanannya. "Bagus!" lantang suara yang keluar dari bibir tipis gadis berpakaian hijau itu.
"Majulah kalian semua! Biar lebih cepat kukirim ke neraka."
"Gadis sombong!" sentak salah seorang lelaki yang berdiri di samping kanan
lelaki bercambang bauk.
"Terimalah ini! Hiyaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Gadis berpakaian hijau itu
menyambut serangan lelaki yang barusan memakinya.
Trang...! Dentang senjata beradu kembali
terdengar memekakkan telinga, disertai percikan bunga api dari benturan pedang
yang dialiri tenaga dalam penuh.
"Kurang ajar!" teriak lelaki yang tubuhnya terpental sejauh dua batang
tombak. "Habisi saja gadis keras kepala itu!
Jangan beri ampun!"
Belasan pengeroyok kelas rendah itu
seketika berhamburan menebaskan senjata ke bagian-bagian mematikan dari tubuh
gadis berpakaian hijau itu.
"Hait! Hup!"
Gadis yang ternyata memiliki
kemampuan tinggi, segera menggenjot
tubuhnya hingga melambung di udara.
Lalu, dia melakukan salto dua kali.
Akan tetapi belum lagi gadis itu
berdiri tegak, serangan pengeroyoknya kembali datang. Gadis cantik itu sedikit
pun tak gentar menghadapi pengeroyok
yang seperti hendak melumat tubuhnya.
Pedangnya yang berwarna keperakan
diputar-putarnya hingga menimbulkan
suara menderu. Gadis cantik yang sudah siap
menerima serangan, seketika terbelalak menyaksikan para pengeroyoknya seketika
menghentikan langkahnya. Namun,
pedang-pedang mereka langsung dilepas dengan pengerahan tenaga dalam lumayan.
Gadis itu terus memutar-mutar
pedangnya, hingga pedang-pedang lawan yang meluncur deras ke arahnya berhasil
dihalau. Trang! Trang! Trang!
Pedang-pedang itu terlontar ke kiri
dan kanan. Namun bersamaan dengan itu, tiga sosok bayangan melesat
susul-menyusul. Serangan yang dilakukan secara bergelombang membuat gadis cantik
berpakaian hijau itu kerepotan.
Kibasan-kibasan tangannya selalu saja dirasakan seperti membentur dinding
baja. Sehingga ia harus menguras seluruh tenaganya. Dan pada suatu
kesempatan.... Desss! Desss! Brugkh! "Aaakh...!"
Gadis berpakaian hijau itu terpekik
keras ketika dua tendangan lawan
mendarat telak di tubuhnya. Mulutnya
meringis menahan sakit yang amat sangat.
Dari bibirnya yang tipis nampak mengalir cairan berwarna merah.
"Hoeeek...!"
Cairan kental berwarna merah,
seketika keluar dari mulut gadis cantik yang terkulai di tanah itu. Nampaknya,
dia terluka dalam.
Sementara itu dari tempat
persembunyiannya, Jaka sempat geram
melihat lagak lelaki-lelaki pengeroyok yang mirip banci itu.
"Ha ha ha.... Rupanya hanya sebegitu saja kepandaian yang kau miliki! Semula
niatku ingin menikmati kecahtikanmu.
Tetapi karena kesombonganmu, aku menjadi tidak berselera. Kau harus mampus,
Gadis Liar!"
Selesai lelaki bercambang bauk itu
mengeluarkan cemoohan, dua orang
temannya seketika berkelebat dengan
pedang terayun di udara. Mereka memang berniat menghabisi nyawa gadis cantik
yang terkulai tak berdaya itu.
Menyaksikan pemandangan yang
terbentang di hadapannya, Jaka seketika merasakan darahnya naik ke ubun-ubun.
"Betul-betulcurang!" maki Jaka, seraya menggenjot tubuhnya kuat-kuat.
"Hiyaaat...!"
Tap! Tap! Sosok kuning yang berkelebat cepat
tiba-tiba saja sudah berhasil menangkap dua bilah pedang yang hendak merejam
tubuh gadis yang terkulai tanpa daya itu.
Maka, si pemilik senjata tentu saja
geram menyaksikan pedangnya sudah
berpindah tangan. Tubuhnya yang
terhuyung karena daya tarikan Jaka, tak dipedulikannya lagi. Kemudian langsung
saja tubuhnya berbalik, dan kembali
menyerang dengan tangan kosong.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pukulan keras dan tendangan yang
dialiri tenaga dalam penuh berhasil
dielakkan Jaka hanya dengan memiringkan tubuhnya ke kin dan kanan. Bahkan bukan
itu saja. Kaki kanan Jaka telak mendarat di bagian dada dan perut penyerangnya.
Kedua sosok itu kontan terjengkang
sejauh dua batang tombak. Jaka sendiri terkejut melihat akibat yang ditimbulkan
dari sepakan yang sedikit pun tidak
dialiri tenaga dalam. Bagaimana jadinya jika pengerahan tenaga dalam dikerahkan"
Menyaksikan kedua lawannya berhasil
dilumpuhkan, lelaki setengah baya
bercambang bauk segera memerintahkan
belasan anak buahnya untuk merangsek
maju. "Seraaang...!"
Pada berdirinya yang membelakangi
gadis cantik berpakaian hijau daun, Jaka nampak tengah menyiapkan sebuah jurus.
Tangannya yang terentang di bawah
pinggang, diangkat seiring tarikan
napasnya. Kedua tangan yang kini sudah berada di atas pinggang tiba-tiba
didorong ke depan secara perlahan-lahan.
Sementara jari-jari tangannya nampak
terbuka. Wusss...! Dari jari-jari tangan Jaka yang
terbuka, seketika mengeluarkan
segumpalan angin yang menggulung,
seperti sebuah pusaran. Karuan saja para penyerang yang memiliki kemampuan
rendah tak mampu mena-han angin yang menerpa tubuh mereka. Serangan yang semula
ditujukan pada satu titik, malah berubah ke lain arah. Bahkan di antara serangan
yang berubah arah itu harus meminta
korban. Srat! Srat! "Akh...!"
"Ugkh...!"
Dua sosok bersenjata pedang
seketika bergelimpangan di tanah dengan perut dan paha robek terserempet pedang


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya sendiri. Sedangkan keadaan
penyerang lain terpental dengan arah berlawanan satu sama lain.
Bukan main terkejutnya lelaki
setengah baya bercambang bauk
menyaksikan tindakan pemuda berpakaian warna kuning keemasan itu. Dia sendiri
merasakan tubuhnya bergetar hebat, saat merasakan hembusan angin yang keluar
dari telapak tangan pemuda di
hadapannya. Padahal, tenaga dalam telah dikeluarkannya.
"Kalau kalian bertarung secara
jantan, mungkin aku tak akan mencampuri urusan kalian," tukas Jaka, setelah
selesai mencoba jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi Selasih.
"Bocah usilan! Jangan kau bangga dulu. Tahanlah ini! Hiyaaa...!"
Lelaki setengah baya bercambang
bauk lebat itu meiejitkan tubuhnya.
Suara angin menderu mengiringi
serangannya yang disertai seluruh tenaga dalamnya.
Sementara Jaka tetap berdiri
seperti semula. Disaksikannya sendiri, bagaimana lelaki tinggi kekar itu
mengerahkan segenap kemampuannya.
Plak! Plak! Bug! "Ugkh...!"
Lelaki bercambang bauk itu seketika
terpental terkena sodokan tangan Jaka, setelah lebih dahulu berhasil memapak
pukulannya. Lelaki tinggi kekar itu
merasakan tangannya seperti lumpuh.
Barusan dia seperti habis memukul sebuah dinding baja saja.
"Kisanak! Seingatku, kita tak
pernah berurusan. Tapi kenapa kau begitu lancang mencampuri urusanku"!" sentak
lelaki bercambang bauk, kembali bangkit dengan pedang terhunus.
"Itu juga urusanku, Kisanak. Kau tahu kenapa" Karena kau tak jantan,
Kisanak. Kau lihat! Orang yang kau hadapi adalah seorang gadis yang masih belia.
Dan satu lagi, kalian sudah berani main keroyok. Kalian licik!"
"Hm.... Aku mengerti sekarang,"
tukas lelaki bercambang bauk itu. "Kau juga butuh kecantikan gadis itu bukan" Ha
ha ha.... Kita sama kalau begitu. Kenapa kita harus bertengkar" Bukankah kita
bisa memerintah gadis itu untuk melayani kita secara bergantian?"
"Manusia bejat!" bentak gadis yang berada di belakang Jaka.
Gadis berwajah cantik itu hendak
bangkit menerjang. Namun baru saja
mencoba bangkit, dirinya sudah kembali terkulai di tanah.
"Aku tak akan menuruti ucapan lelaki gila itu, Nisanak. Malahan aku akan
memberesinya segera. Biar jagat ini tak lagi dipenuhi lelaki hidung belang macam
dia," ujar Jaka seraya menunjuk lelaki setengah baya bercambang bauk. Sebentar
kemudian, dia sudah melepas sabuk kuning keemasan yang melillt di pinggangnya.
Lelaki yang ditunjuk Jaka kontan
merasa gentar hatinya. Itu dapat dilihat dari berdirinya yang tak lagi tegak.
"Siap-siaplah kau, Kisanak. Aku
akan segera mengubur tubuhmu!" geram Jaka. Tubuhnya dirundukkan sedikit,
karena tengah menciptakan kuda-kuda
penuh untuk menyajikan sebuah serangan.
Blarrr! Sebatang pohon besar sebesar dua
pelukan tangan lelaki dewasa, seketika tumbang terkena sambaran seberkas sinar
keperakan seperti petir yang keluar
seiring hentakan sabuk kuning keemasan yang digerakkan Jaka.
Lelaki bercambang bauk seketika
melentingkan tubuhnya, menghindari
terpaan pohon yang cukup besar. Dia
melakukan salto dua kali di udara,
kemudian mendarat di tanah dengan kaki tak lagi sempurna. Lelaki itu nampak
semakin kentara kegentarannya. Dia tidak mampu membayangkan seandainya pukulan
itu mengenai tubuhnya.
"Oh.... Kau, kaukah Raja Petir?"
suara laki-laki bercambang bauk itu
terdengar agak gemetar.
"Kenapa, kau takut dengan Raja
Petir?" tanya Jaka, melepas senyumnya.
la merasa julukan itu terlalu hebat untuk dirinya yang baru terjun di rimba
persilatan. Lelaki bercambang bauk itu
menundukkan kepalanya perlahan-lahan.
Namun sebentar kemudian, sudah kembali terangkat dengan tatapan mata sedikit
terbelalak. "Aku laki-laki, Raja Petir.
Meskipun sekarang aku kalah, aku tetap menyimpan dendam padamu. Suatu saat
nanti, aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan"
Tanpa malu-malu lagi lelaki
bercambang bauk itu memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan arena
pertarungan. Sementara, Jaka
menyaksikan kepergian pengeroyok itu
dengan pandangan mencemooh.
"Aku akan menanti perhitunganmu, Kisanak!" leceh Jaka.
Setelah tubuh lelaki bercambang
bauk hilang tertelan kelebatan
pepohonan, tatapan mata Jaka beralih
pada gadis cantik berpakaian hijau yang masih terkulai di tanah.
"Kau terluka dalam, Nisanak."
Gadis cantik berpakaian hijau itu
mengangkat kepalanya dengan tangan masih mendekap dada.
"Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Petir," ujar gadis berpakaian hijau itu
sambil berusaha bangkit berdiri.
Jaka menundukkan kepalanya
mendengar panggilan gadis cantik di
depannya. Dirinya jelas masih merasa
sungkan dipanggil seperti itu. Raja
Petir" Memang sebuah julukan yang amat angker kedengarannya.
"Ugkh...!" tangan gadis berpakaian hijau itu kembali mendekap dadanya
ketika berusaha bangkit. "Maukah kau mengantarku, Raja Petir?"
Jaka tak segera
menanggapi permintaan gadis dihadapannya. Sekilas diamatinya paras gadis yang berkulit
putih lembut itu.
"O, ya. Namaku Seruni, dan tempat tinggalku tak begjtu jauh dari
perbatasan desa ini," lanjut gadis itu memperkenalkan diri. "Sebenarnya, aku
mampu kembali ke tempat tinggalku
seorang diri. Tapi, aku khawatir
berjumpa lagi dengan laki-laki yang
barusan menyerang, dan mengaku anak buah Ludah Setan. Dalam keadaan seperti ini,
rasanya aku tak mampu menghadapi
mereka." Jaka mengembangkan senyum mendengar
penuturan Seruni yang terang-terangan.
"Kalau kau tak bersedia, aku tak memaksa," lanjut Seruni sambil bersusah payah
mengangkat badannya.
Seruni memang mampu berdiri. Namun
tubuhnya yang oleng, segera saja
disangga Jaka. "Aku akan mengantarmu, Seruni." Sambil melangkahkan kakinya
perlahan, gadis cantik bernama Seruni itu menceritakan hal bentroknya dengan
lelaki bercambang bauk tadi.
"Lelaki bercambang bauk itu
mengatakan kalau daerah perbatasan ini ada dalam wilayah kekuasaannya. Setiap
orang yang lewat di wilayah kekuasannya, harus membayar upeti. Kalau seorang
laki-laki, maka seluruh hartanya harus ditinggalkan. Dan kalau seorang
perempuan, harus bersedia dibawa ke
hadapan junjungannya. Ludah Setan."
"Biadab!" maki Jaka sambil terus melangkahkan kakinya.
*** 8 Pendopo Perguruan Hijau Kemuning
nampak begitu luas. Jaka nampak tengah berbincang-bincang dengan seorang
lelaki tua berpakaian serba putih.
Rambut, kumis, dan jenggot lelaki itu sebagian berwarna putih.
"Jadi kau anak Sempani, Jaka?" tanya orang tua yang ternyata bernama Terala,
minta penegasan.
Jaka menganggukkan kepala.
Begitulah cerita yang pernah
kudengar."
"Jadi ada kemungkinan, ibumu
bernama Purwakanti," duga Terala.
Tersentak Jaka mendengar dugaan
lelaki yang ternyata ayah Seruni.
"Dari mana Ki Terala tahu nama ibu kandungku?"
"Jangan panggil aku seperti itu, Jaka. Aku terhitung paman denganmu."
Terala langsung memeluk tubuh Jaka
yang belum lepas rasa keheranannya. Baru setelah Terala menjelaskan perkara yang
sebenarnya, Jaka dapat memaklumi apa
yang dikatakan lelaki tua berusia
sekitar lima puluh tahun itu.
"Dulu, kami. Paman, ayahmu, dan
Gandewa sama-sama menuntut ilmu olah
kanuragan pada Perguruan Soka Merah, di bawah bimbingan Eyang Seleguri. Di
antara kami, hanya Gandewa yang memiliki watak keras. Rasa ingin memiliki begitu
besar menguasai jiwanya, termasuk pada hal-hal yang kurang baik," tutur Terala,
memulai ceritanya.
Dan memang, sikap Gandewa itu
terbukti ketika sosok lain hadir sebagai murid baru Perguruan Soka Merah. Dia
seorang wanita muda dan cantik. Namun, siapa yang dapat menyangka kalau
kehadiran gadis muda dan cantik itu
mendatangkan perpecahan. Terutama,
antara Gandewa dan Sempani yang
diam-diam menyemai bibit asmara. dan
ternyata perpecahan itu semakin
meruncing ketika Purwakanti memilih Sempani sebagai pujaan hatinya.
Gandewa waktu itu tak dapat berbuat
apa-apa menerima kenyataan ini. Apalagi, Eyang Seleguri merestui hubungan
Sempani dan Purwakanti. Maka darah di hati
Gandewa tentu saja menggelegak. Benci dan dendam langsung menyeruak masuk ke
dalam jiwanya yang keras. Gandewa bukan saja membenci Sempani, tapi juga
membenci Terala dan Eyang Seleguri.
Lalu secara diam-diam, Gandewa
pergi meninggalkan perguruan dengan
membawa dendam membara. Dia kemudian
datang kembali ke perguruan itu setelah dua tahun berselang dalam rangka
menuntaskan dendamnya.
Gandewa dulu memang telah berubah.
Dia dulu memiliki ilmu olah kanuragan di bawah Terala. Tapi dalam waktu dua
tahun, di bawah tempaan Lengkong Pendekar
Sesat, perkembangan ilmu olah
kanuragannya begitu pesat.
Kedatangan Gandewa ke Perguruan
Soka Merah sesungguhnya tidak sendiri.
Dia telah berkomplot dengan tokoh sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat.
Awalnya, Ketua Perguruan Soka Merah
mampu meredam amukan Gandewa. Tapi
ketika Regita, Angkara, Jatianom, dan Barrot turun gelanggang, seluruh
penghuni Perguruan Soka Merah tak lagi memiliki kemampuan mengusir orang-orang
sesat itu. Seluruh murid Perguruan Soka Merah terbantai, kecuali Terala,
Sempani, dan Purwakanti. Eyang Seleguri pun tewas dalam kejadian itu.
Keheningan seketika tercipta
setelah Terala menghentikan ceritanya.
Seorang lelaki sebaya Terala tiba-tiba menghampiri dengan sikap begitu hormat
"Bagaimana keadaan Seruni, Kakang Gumai?" tanya Terala, khawatir. Sejak
meninggalnya ibu Seruni, Terala memang melipat gandakan kasih sayang pada putri
tunggalnya. "Dia harus semadi untuk memulihkan keadaannya, Adi Terala," jawab Gumai.
"Oh ya, Paman Terala. Apakah kau juga mempunyai murid yang bernama Roka?"
"Betul"
"Akh!"
Jaka tiba-tiba tersentak. Ingat
Roka, ia jadi ingat Ki Lunta dan ancaman kaki tangan Ludah Setan.
"Maaf, Paman. Aku harus pergi.
Permisi." Tubuh Jaka seketika berkelebat
cepat. Gerakan-nya yang ringan
menandakan kalau ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai taraf sempurna.
Terala tertegun menyaksikan
kemampuan pemuda itu. Sesungguhnya tak disangka kalau anak semuda Jaka telah
memiliki kesempurnaan ilmu meringankan tubuh.
"Kau tunggui Seruni, Kakang Gumai.
Aku ingin menyusul Jaka."
Tanpa berkata dua kali, tubuh lelaki
berusia lima puluh tahun itu berkelebat cepat. Ilmu meringankan tubuhnya tak
beda jauh dengan yang dimiliki Jaka.
*** Jaka menghantamkan kepalannya ke
udara, menyaksikan penginapan milik Ki Lunta yang sudah rata dengan tanah. Api
masih memercik dari sisa-sisa bangunan yang terbakar.
"Gandewa, biadaaab...!"
Jaka berteriak keras ketika
menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat di sebatang pohon besar. Keadaan
dua tubuh itu sungguh menggiriskan.
Bumi seperti berguncang hebat
seiring teriakan Jaka. Pohon-pohon kecil di sekitarnya bertumbangan. Terala yang
sudah berhasil menemui jejak Jaka,
terlihat limbung. Dia terpaksa menutup kedua telinganya.
Perlahan Jaka menghampiri mayat
Roka dan Ki Lunta yang terikat di pohon sebesar tiga kali pelukan tangan lelaki
dewasa. Tubuh Roka yang tanpa kaki dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, membuat
tekad Jaka untuk melumat Gandewa semakin kuat. Ditambah lagi, Beberapa bilah
pedang yang tertanam di tubuh mereka.
"Gandewa biadaaab...!"
Raja Petir berteriak keras ketika menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat
disebuah batang pohon besar.
Tubuh Roka yang tanpa kaki, dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, terikat
dibatang pohon dengan beberapa bilang pedang menancap ditubuh!
"Betul-betul biadab!" maki Jaka.
Belum lagi Jaka selesai meletakkan
mayat Ki Lunta, dua sosok manusia
berpakaian merah seketika melesat ke
arahnya. Dengan senjata sepasang palu bergerigi berantai baja, mereka mengirim
serangan begitu cepat.
"Uts! Hip!"
Tubuh Jaka melenting seraya
berputaran dua kali di udara. Tubuhnya yang bergerak ringan, sudah menjejakkan
kaki ke tanah. Dan dengan secepat kilat pula, dikirimkannya pukulan jarak jauh.
"Hiya! Hiyaaa...!"


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blarrr! Sebatang pohon besar tumbang
terkena pukulan jarak jauh yang
dilancarkan Jaka. Namun kedua lawannya mampu mengelak dengan melempar tubuhnya
ke arah yang berlawanan.
Jaka bermaksud mengirim kembali
serangannya ketika tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Tawa panjang seketika terdengar
memekakkan telinga. Jaka segera
mengurungkan niatnya. Dengan sedikit
mengerahkan tenaga dalam, dicobanya
mengusir kebisingan tawa orang yang tak diketahui keberadaannya.
Seiring lenyapnya tawa yang
disertai pengerahan tenaga dalam itu, tiba-tiba berlompatan puluhan sosok
berpakaian merah dengan pedang terhunus.
Maka Jaka yang dipenuhi kewaspadaan
tinggi, melirik satu pesatu sosok yang mengepungnya. Malahan, Jaka
menghitungnya dalam hati.
"Hm.... Lima puluh lebih," batin Jaka. "Aku harus menguras tenaga untuk mengusir
semuanya."
Jaka kembali menatap tajam sosok
berpakaian merah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Itu bisa dibuktikan
dari cara mereka yang hadir tanpa
menimbulkan suara.
"Kenapa tidak sekalian Gandewa yang turun tangan"!" sentak Jaka disertai
pengerahan sebagian tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengukur sejauh mana
tenaga dalam yang dimiliki para
pengepung yang berjumlah lima puluh
orang lebih itu.
"Hanya segitu?" tanya Jaka perlahan ketika menyaksikan pengepungnya mundur ke
belakang. "Ternyata kau punya kepandaian
juga, Anak Muda!"
Sosok kekar berkepala botak dengan
bekas luka memanjang di pipi sebelah kiri seketika hadir di antara para
pengepung Jaka. Pakaiannya merah dengan senjata sepasang palu bergerigi warna
hitam berantai baja yang dililitkan di
pinggang. Dia tak lain adalah Gandewa yang berjuluk Ludah Setan, seorang tokoh
sesat yang menjadi momok di dunia
persilatan. "Apakah kau yang disebut-sebut anak buahku sebagai si Raja Petir, Anak Muda?"
tanya Gandewa seperti meremehkan.
Sesungguhnya dia tak yakin kalau pemuda di hadapannya ini dijuluki Raja Petir.
Sepengetahuannya, Raja Petir adalah
tokoh tua yang sudah lama meninggal.
Bukan anak muda seperti di hadapannya sekarang ini yang berjuluk Raja Petir.
Begitu pula dengan Terala. Dari
tempat persembunyiannya, orang tua itu meragukan kepandaian Jaka
dalam menghadapi Gandewa. Keinginannya untuk terjun membantu Jaka seketika tercetus.
Namun, ternyata pikiran jernihnya
melarang. Dalam urusan yang gawat
seperti ini, Terala tak mau mengambil tindakan sembrono. Dia ingin melihat
dulu, sejauh mana kemampuan Jaka dalam menghadapi si Ludah Setan. Terala akan
turun ke arena pertempuran jika keadaan menginginkan.
Belum lagi pikiran Terala tuntas,
empat sosok berpakaian merah menyerang Jaka secara bersamaan Dari tempat
persembunyiannya, Terala sempat
terhenyak menyaksikan ulah Jaka yang
tidak mempedulikan serangan
lawan-lawannya.
Trak! Trak...! Tubuh empat penyerang itu
berpentalan, sedangkan senjata yang
dihantamkan ke tubuh Jaka patah menjadi dua bagian!
"Kenapa hanya empat orang saja yang maju" Coba kalian semua maju! Keroyoklah
aku, biar lebih cepat memberesi kalian semua!"
Seperti diberi aba-aba, para
pengepung Jaka segera merangsek maju.
Mereka telah termakan ucapan Jaka yang memang tidak main-main.
Menghadapi pengeroyoknya yang
berjumlah tidak sedikit, Jaka segera
meloloskan sebuah bambu kuning yang
berlubang di bagian tengahnya. Lalu,
diselipkannya bambu itu di sela-sela
bibirnya. Slats! Slats! Slats!
Seberkas sinar keperakan melesat
cepat dari lu-bang bambu kuning yang
terhembus napas Jaka. Sinar keperakan itu seperti sambaran petir. Maka
akibatnya.... Giant! Glarrr! Glarrr!
Tiga ledakan dahsyat seketika
terjadi. Para pengeroyok yang semula
merangsek maju, seketika berguguran ke tanah.
Sementara, Terala yang menyaksikan
pertarungan dari tempat tersembunyi,
merasakan hal yang sama. Namun berkat ketinggian tenaga dalamnya, ia berhasil
mengatasi ledakan dahsyat yang mampu
merobek gendang telinganya. Namun di
balik keberhasilan Terala, tersimpan
keterkejutan yang luar biasa di hatinya.
"Raja Petir"!" itulah suara keterkejutan Terala.
Menyaksikan ketidakberdayaan anak
buahnya, darah Gandewa atau yang lebih dikenal sebagai si Ludah Setan naik ke
ubun-ubun. Dan tiba-tiba dia memekik
keras sambil melepaskan ludah mautnya yang berwarna kemerahan, dan terpecah
menjadi lima bagian. Masing-masing
pecahan ludah, mencecar ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Jaka.
"Hiaaa! Cuh! Cuh...!"
Si Ludah Setan kembali melancarkan
serangan manakala serangan pertamanya berhasil dielakkan Jaka.
"Uts! Hip!"
Jaka kembali melenting menghindari
teipaan ludah maut milik Gandewa.
Blarrr...! Pohon besar tumbang terterjang
ludah maut ciptaan Gandewa. Bukan itu saja yang sempat mengejutkan Jaka. Pohon
yang terkena sambaran ludah maut itu
nampak hangus! "Aku harus berhati-hati," kata batin Jaka.
Pemuda itu langsung saja menyiapkan
aji 'Kukuh Karang' untuk meredam
kehebatan Ludah Setan. Seluruh kepala hingga dadanya seketika terbalut sinar
warna kuning keemasan. Begitu juga pada bagian lutut hingga ujung kaki. Hanya
bagian ulu hati hingga pangkal paha saja yang tak terbalut sinar kuning
keemasan. Gandewa mengira, pada bagian yang
tak terbalut sinariah kelemahan aji
'Kukuh Karang' milik Jaka Sembada.
Makanya, dia mencecar bagian itu. Namun setelah sekian kali ludah mautnya tak
mampu menembus tubuh Jaka, segera saja dikeluarkannya aji 'Dewa Api'. Maka dari
telapak tangannya seketika tercipta
gumpalan-gumpalan api yang bebas
menerjang tubuh Jaka.
Namun bukan main geramnya hati
Gandewa menyaksikan aji 'Dewa Api'nya tak mampu berbuat banyak. Kegeraman
Gandewa ternyata memancing Jaka untuk mengambil alih penyerangan.
Dengan menggunakan sebilah bambu
kuning yang terdapat di tangan kirinya, Jaka melakukan penyerangan.
Gandewa segera menyajikan aji
'Dinding Setan' untuk menangkis serangan lawan. Dan memang, serangan yang
dilakukan Jaka telah berhasil diredam Gandewa. Begitu juga dengan pukulan
jarak jauh yang dilancarkannya. Aji
'Dinding Setan' milik Gandewa memang
lebih ampuh. Menyaksikan serangan Raja Petir
yang tak mampu menembus ajiannya, tawa Gandewa seketika meledak.
"Ha ha ha...! Rupanya hanya segitu saja kemampuanmu! Terhadap anak buahku, kau
bolah saja unjuk gigi, Raja Petir.
Tapi terhadapku.... Ha ha ha...."
"Tak ada jalan Iain," desis Jaka.
Pemuda itu segera meloloskan
lilitan Sabuk Petir dari pinggangnya.
Maka seketika sinar kuning keemasan
memendar dari sabuk yang terlepas dari pinggang Jaka.
"Hati-hatilah, Setan Gundul!"
teriak Jaka lantang. "Jurus 'Petir Membelah Malam' akan segera mengirimmu ke
alam kubur! Hiaaa....!"
Ctarrr! Blarrr...! Bunyi bergemuruh seketika terdengar
seiring bergeraknya pergelangan tangan Jaka yang memainkan Sabuk Petirnya dalam
jurus 'Petir Membelah Malam'. Seberkas sinar keperakan pun menyambar seperti
petir. Dan hasilnya, aji 'Dinding Setan'
yang dibuat Gandewa berhasil dibobol.
Gandewa sendiri nampak terpental sejauh tiga batang tombak.
"Gandewa! Sebelum dirimu kukirim ke alam baka, alangkah baiknya kau
mengetahui siapa diriku. Kau ingat
peristiwa dua puluh tahun silam,
Gandewa" Kau ingat Sempani, Purwakanti"
Kau ingat bayi merah yang kau biarkan terkurung api"! Ketahuilah, Gandewa!
Akulah bayi merah itu. Akulah putra
Sempani yang berhasil kau bunuh, dan
Purwakanti yang telah kau miliki secara paksa. Dan sekarang, aku datang untuk
menuntut balas, Gandewa. Camkan itu!"
Bukan main terkejutnya hati Gandewa
mendengar penuturan lawannya. Sungguh tak dikira kalau lawannya kini adalah
putra tunggal Sempani yang telah
dibunuhnya. "Bersiap-siaplah untuk mampus,
Setan Gundul!" bentak Jaka, geram. Dia kembali menggerak-gerakkan pergelangan
tangannya untuk memainkan jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
"Hiyaaa...!"
Seiring teriakan Jaka, seiring itu
pula tercipta jurus ampuh 'Sabuk Petir Pelebur Raga'. Akibatnya Gandewa jadi
terkesima menyaksikan apa yang dilakukan lawannya. Namun nalurinya
mengajarkannya untuk bertahan. Maka
dengan tangan kanan, Gandewa menciptakan jurus 'Badai Gurun' untuk meredam
serangan Jaka. Ctar! Ctar! Blarrr...! Bunyi menggelegar kembali mengisi
jagat raja, mengiringi terpentalnya
sosok Gandewa dengan tangan kanan
terpisah dari tempatnya. Tangan kanan Gandewa memang telah putus terhantam
jurus maut 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
Gandewa menggeram keras menerima
kenyataan itu. Pada saat yang gawat untuk mempertahankan nyawanya, segera
diciptakannya ludah mautnya.
"Cuh! Cuh...!"
Jaka tak mengira kalau Gandewa masih
mampu melancarkan serangan dari jarak jauh. Maka tubuhnya seketika itu juga
dilentingkan ke udara dan berputaran
beberapa kali untuk menghindari
terjangan ludah maut Gandewa.
Melihat kesempatan itu, Gandewa
segera mempergunakan akal liciknya. Pada saat lawannya sibuk mengelakkan
serangan, dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi,
tubuhnya melesat kabur.
"Hai, Setan Gundul! Jangan kabur!"
teriak Jaka keras.
Langkah kaki Jaka yang ringan,
seketika diciptakan untuk mengejar
Gandewa. Namun setelah seratus tombak mengejar, seketika Jaka menghentikan
larinya. Niatnya diurungkan untuk terus mengejar Gandewa, orang yang telah
menghilangkan nyawa ayahnya.
Kenapa Jaka Sembada membatalkan pengejarannya" Apakah dia yakin kalau Gandewa
akan tewas di perjalanan"
Atau, itu hanya siasat Jaka untuk memancing Empat Setan Goa Mayat yang telah
berkomplot dengan Gandewa dalam pembunuhan orangtuanya dan memusnahkan Perguruan
Soka Merah"
Untuk mendapat gambaran yang lebih
jelas, silahkan simak serial Raja Petir dalam episode :
"Empat Setan Goa Mayat".
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Suling Emas Dan Naga Siluman 25 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bunga Penyebar Maut 3
^