Pencarian

Penguasa Danau Keramat 1

Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Bagian 1


PENGUASA DANAU KERAMAT Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyuti.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Penguasa Danau Keramat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Angin yang berhembus agak kencang membawa
hawa sejuk. Dan matahari yang mulai turun di sebelah barat, sinarnya seolah-olah
melengkapi kesempurnaan sebuah lukisan hari yang hampir senja.
Pemandangan indah di sekeliling Desa Waru-
wangi pun nampak. Hamparan sawah luas memperli-
hatkan paduan warna yang begitu pas untuk dipan-
dang. Begitu nikmat dan menyejukkan hati yang me-
mandangnya. Apalagi jika melepas pandangan ke sebe-
lah timur, maka nampak sebuah hamparan biru yang
sangat luas mirip gelaran permadani kebiruan. Seseka-li hamparan biru itu nampak
beriak jika angin kencang berhembus di atasnya. Hamparan kebiruan itu tak lain
sebuah danau indah yang bernama Danau Keramat.
Di tengah hamparan pemandangan indah itu
nampak tiga sosok lelaki bertubuh tinggi besar, padat, dan berotot. Ketiganya
hanya mengenakan selembar
cawat dari kulit ular sebagai penutup sebagian tubuh kekar mereka. Ketiga lelaki
bertubuh besar itu nampak melangkah memasuki wilayah
Desa Waruwangi.
Dilihat dari gerakan kaki mereka yang ringan
dan gesit, menandakan kalau mereka bukan orang
sembarangan. Apalagi ketika salah seorang di antara mereka, tiba-tiba mengumbar
tawa begitu keras. Sehingga Desa Waruwangi seperti tengah diguncang
gempa. Suara tawa itu juga membuktikan bahwa me-
reka orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi. Tidak berapa lama,
setelah tawa menggelegar dari mulut lelaki berpakaian cawat lenyap, tiba-tiba
muncul lima sosok lelaki gagah. Kelima sosok lelaki
gagah sudah berdiri tegak menghadang tiga lelaki berpakaian cawat dari kulit
ular. "Maaf! Sebenarnya, siapa Kisanak sekalian?"
tanya salah seorang lelaki berbadan kekar dan berwajah tampan. Dari
pertanyaannya yang begitu sopan,
nampaknya lelaki berwajah tampan itu tak ingin me-
nyinggung perasaan, sehingga menimbulkan keributan
dengan ketiga orang yang belum dikenal.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang gagah yang dimiliki desa ini!" sahut
salah seorang lelaki bercawat yang bagian kepalanya botak plontos, tak sedikit
pun ditumbuhi rambut.
Lelaki berkepala botak tak langsung menimpali
pertanyaan lelaki berwajah tampan berpakaian merah
muda. "Bagus! Bagus sekali! Aku suka dengan orang-orang gagah seperti kalian
yang bertanggung jawab
menjaga keamanan desa. Namun sayang, kegagahan
kalian tak berarti apa-apa bagi Tiga Raksasa Lembah Beracun!" sambung lelaki
berkepala botak, sambil tersenyum dan menoleh ke wajah kedua temannya.
Lelaki berwajah tampan berpakaian merah mu-
da nampak tak terpengaruh dengan ucapan lelaki yang besar badannya melebihi
ukuran manusia biasa. Wajah lelaki berpakaian merah muda masih nampak begi-
tu tenang, bahkan sedikit mengembangkan senyum di
bibirnya. "Maaf, Kisanak! Barusan kudengar kalau kalian
berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun. Terima kasih
atas perkenalan kalian. Untuk itu barangkali kalian juga perlu mengenal siapa
diriku. Namaku Lodaya Wa-ru, putra Kepala Desa Waruwangi. Dan kalau kalian
tak keberatan, boleh aku tahu nama-nama kalian yang sesungguhnya?" pinta lelaki
berwajah tampan yang mengaku bernama Lodaya Waru, putra Kepala Desa
Waruwangi. "Ha ha ha...! tutur katamu begitu sopan, Lo-
daya Waru. Itu yang membuatku suka memperkenal-
kan namaku dan juga nama kedua kawanku. Padahal,
aku tak pernah melakukan itu pada orang lain," sahut lelaki berkepala botak yang
rupanya orang utama dari Tiga Raksasa Lembah Beracun.
"Terima kasih kalau Kisanak bersedia melaku-
kan itu kepada kami," balas Lodaya dengan ramah.
Lelaki tinggi besar berkepala botak yang hanya
memakai sehelai cawat dari kulit ular menatap tajam wajah Lodaya. Wajah lelaki
berbola mata cekung ke dalam itu menyiratkan kebengisan. Wajahnya berahang
besar dan sepasang daun telinganya lebar. Pada daun telinganya nampak tergantung
sepasang anting-anting berbentuk gada. Dan sepasang bibirnya yang tebal
memperlihatkan gigi-giginya yang tak rata.
"Namaku Sobula," ucap lelaki berkepala botak memperkenalkan diri sambil
menggerakkan jempol kanannya ke dada dengan kepala terangguk-angguk.
Lelaki bernama Sobula itu kemudian memper-
kenalkan temannya yang bentuk tubuh dan pakaian
mereka hampir mirip. Yang membedakan hanya ram-
but di kepala. "Kawanku ini bernama Sedaka," tunjuk Sobula pada lelaki berambut jarang.
"Sedangkan kawanku yang paling muda ini bernama Garajas," sambung Sobula dengan
jari tangan yang menuding pada seraut
wajah kasar berambut tergerai lepas tak terurus. Di tangan lelaki itu tergenggam
sepasang gada bergerigi yang satu sama lain ditautkan dengan rantai baja.
Lodaya Waru kembali tersenyum, dan segera
membungkukkan sedikit badannya, setelah Sobula
memperkenalkan diri.
"Aku senang dapat berkenalan dengan Kakang-
kakang yang gagah," sambut Lodaya Waru lembut.
"Dan aku akan lebih senang lagi, jika Kakang sekalian ada di Desa Waruwangi
dengan segala sikap kebaikan
dan persahabatan," lanjut Lodaya Waru masih dengan tutur kata sopan dan teratur.
"Ha ha ha...!"
Sedaka tiba-tiba tertawa keras setelah menden-
gar ucapan putra Kepala Desa Waruwangi. Dan ketika
tawanya berhenti, gantian jari telunjuknya menuding ke wajah Lodaya Waru.
"Kau benar, Lodaya," ucap Sedaka mantap.
"Aku memang suka tinggal di desa ini dan suka sekali bersahabat dengan kalian,
asalkan kalian penduduk
desa ini, juga kepala desa, bersedia memenuhi permintaan kami Tiga Raksasa
Lembah Beracun," lanjut Sedaka tegas.
Mendengar ucapan lelaki bertubuh besar yang
bernama Sedaka, Lodaya Waru tercenung sejenak.
Namun kemudian...
"Dengan senang hati kami akan memenuhi
permintaanmu, Kakang Sedaka," jawab Lodaya Waru.
"Asalkan permintaan itu wajar dan kami mampu memenuhinya."
"Tentu saja wajar, Lodaya. Dan kalian semua
penghuni Desa Waruwangi pasti dapat memenuhi
permintaanku yang sederhana," sambut Sedaka.
"Dan kalau boleh ku tahu, apakah permin-
taanmu itu, Kakang Sedaka?" tanya Lodaya.
"Tak perlu kau tahu permintaanku!"
"Aku harus tahu!" sentak Lodaya mulai agak kesal. "Aku butuh jawaban langsung
dari kepala desa ini. Cepat antar kami menemuinya!" balas Sobula.
Lodaya tentu saja merasa direndahkan dengan
ucapan Sobula, hingga dirinya tak mampu memben-
dung kemarahannya. Wajah tampan lelaki putra kepa-
la desa itu nampak berubah merah padam. Otot-otot
wajah dan tangan pun mulai menegang.
"Kalian memang manusia bejat yang tak patut
diperlakukan baik-baik! Dengan sangat terpaksa, ha-
rus kuusir kalian dari desa ini!"
"Ha ha ha...!"
Sobula tertawa keras mendengar ucapan Lo-
daya Waru. "Apa yang kalian andalkan untuk mengusir
kami dari sini, Lodaya?" ejek Sobula dengan jumawa.
"Kurasa untuk menepuk sepasang nyamuk saja tanganmu tak mampu."
Merah padam wajah Lodaya Waru mendengar
ejekan Sobula yang begitu meremehkan dirinya.
"Jangan sombong kau, Sobula!" bentak Lodaya tanpa memakai sebutan 'kakang' yang
sejak awal di-pakainya untuk memanggil Sobula. "Apa kau lupa kalau di atas
dataran ada gunung, dan di atas gunung
ada mega?" lanjut Lodaya.
"Hmmm...., kesimpulannya kau merasa mampu
mengusir Tiga Raksasa Lembah Beracun, ya?" tanya Sobula masih terdengar
meremehkan. "Bukan itu yang ku maksud, Sobula. Namun,
aku dan penduduk Desa Waruwangi tak akan mem-
biarkan begitu saja orang-orang yang berniat meng-
ganggu ketenteraman. Apa pun akibatnya!" kilah Lodaya mantap.
"Baik! Jika begitu, aku ingin melihat bagaimana cara kalian menjaga desa ini
dari orang-orang yang
akan mengganggu ketenteraman!" jawab Sobula dengan angkuh sambil mendongak.
Lelaki bertubuh tinggi besar yang mengenakan
cawat dari kulit ular melangkah beberapa tindak ke
depan dengan begitu angkuh. Wajahnya yang bera-
hang besar nampak bengis. Dan matanya yang menjo-
rok ke dalam mencorong tajam menatap wajah Lodaya.
Sementara, kedua telapak tangannya telah mengepal
keras, memperlihatkan otot-otot yang bersembulan bagai lempengan tali baja.
"Biar aku yang menghadapi bocah bau kencur
itu, Kakang Sobula!" sergah Garajas sambil melilitkan senjatanya berupa sepasang
gada bergerigi yang terikat rantai baja.
Sobula menolehkan wajah pada Garajas, lelaki
bertubuh besar yang berambut kumal tak terurus. Wa-
jah Sobula sedikit pun tak menyiratkan kemarahan
atas permintaan kawannya.
"Apa kau yang akan mencobanya, Adi Garajas?"
tanya Sobula. "Aku tak sudi tangan Kakang kotor oleh darah
bocah ingusan begini," sahut Garajas kasar sambil mendekati Sobula.
Kemudian, Sobula segera mengendurkan otot-
ototnya yang semula menegang kaku. Kemudian lelaki
bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu mundur beberapa tindak, memberi
kesempatan Garajas untuk
menguji kemampuan putra Kepala Desa Waruwangi
"Bersiaplah, Lodaya!" ucap Garajas ketika tubuhnya telah berdiri di depan
Lodaya. Lodaya tentu saja tak membiarkan tantangan
Garajas. Karena nampaknya, Lodaya telah dapat men-
gukur kekuatan yang dimiliki orang ketiga dari Tiga Raksasa Lembah Beracun. Dari
suara dan tatapan ma-ta yang tajam mencorong membuktikan ketinggian te-
naga dalam yang dimiliki, maka Lodaya tak ingin mencoba menghadapinya dengan
tangan kosong. Seketika
itu tangan Lodaya meraba tangkai pedang yang ter-
sampir di pundaknya.
Srat! Bersamaan dengan tercabutnya pedang Lodaya,
kelima orang pengawal setianya pun segera menghu-
nus senjata masing-masing di depan dada.
"Akan kubuktikan kemampuanku untuk men-
gusir orang bejat seperti kau, Garajas!" sentak Lodaya.
Bersamaan dengan ucapan itu, tubuh putra
Kepala Desa Waruwangi melejit cepat. Pedangnya yang berputar-putar di atas
kepala membentuk lingkaran
keperakan. Bunyi menderu menyertai lesatan pedang
Lodaya. Wuuuk! Wuuukkk..!
"Hiaaat..!"
Dengan segenap kekuatan tenaga dalamnya,
Lodaya mengibaskan senjata andalannya ke bagian
lambung Garajas yang masih nampak berdiri tenang.
Lelaki bercawat itu dengan gerakan cepat dan ringan mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, ketika melihat
serangan pedang Lodaya.
Wuuut! Dengan gerakan sepele Garajas mampu meng-
hindari serangan dahsyat yang dilakukan Lodaya Wa-
ru. Mata pedang milik putra Kepala Desa Waruwangi
yang mampu merobek kulit setebal apa pun hanya
menyambar angin,
Lodaya Waru geram bukan kepalang melihat
cara Garajas mengelakkan serangannya. Seketika itu
juga, lelaki berpakaian merah muda yang berwajah
tampan itu segera melancarkan serangan susulan yang lebih cepat. Kali ini
sasaran mata pedangnya mengarah ke leher Garajas.
"Hih!"
Lodaya menghentakkan kaki dan membabatkan
pedangnya dengan cepat.
Wuuuk...! "Uts!"
Melihat serangan susulan yang begitu cepat,
Garajas dengan cepat pula merundukan kepala. Se-
hingga pedang Lodaya kembali melesat tak mengenai
sasaran. Namun, rupanya Lodaya telah menduga gera-
kan yang dilakukan lawan. Bersamaan dengan baba-
tan pedangnya yang gagal, kakinya telah memutar
dengan cepat melancarkan tendangan menggeledek ke
pelipis kiri Garajas.
Garajas sempat tersentak menyaksikan gerakan
begitu cepat yang dilakukan pemuda berpakaian me-
rah muda. Akan tetapi, karena pengalamannya berta-
rung yang sudah tak terhitung, Garajas mampu me-
nanggapi tendangan dahsyat Lodaya dengan sikap te-
nang. Hanya dengan mengangkat tangan kirinya, Ga-
rajas melindungi pelipisnya dari terjangan kaki Lodaya.
Plak! "Akh...!"
Lodaya Waru terpekik kaget ketika tendangan
memutar yang dilakukan seolah membentur sebong-
kah logam keras. Seketika tubuhnya terhuyung sejauh tiga langkah dan sisi kanan
telapak kakinya terasa
berdenyut-denyut nyeri akibat benturan tadi.
"Gila!" maki Lodaya setelah kembali tegak berdiri. Kali ini putra Kepala Desa
Waruwangi itu lebih berhati-hati dalam melancarkan setiap serangan. Lodaya Waru
merasa, tenaga dalamnya berada setingkat


Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di bawah tenaga dalam yang dimiliki Garajas. Sejenak kemudian pemuda tampan
berpakaian merah muda
nampak diam termangu.
"Ha ha ha...! Kenapa diam seperti tikus air, Lodaya. Ayo, kembalilah menyerang
biar kau tahu ba-
gaimana cara bertahan yang baik!" tukas Garajas men-cemooh.
"Setan Belang!" maki Lodaya. "Apa kau pikir
sudah menang setelah berhasil mengelakkan seran-
ganku barusan" Terimalah ini! Hiaaat...!"
Lodaya Waru segera mengacungkan pedang ke
depan dada, tatapan matanya, tertuju lurus ke wajah Garajas yang tubuhnya jauh
lebih besar dari Lodaya.
Sementara, pergelangan tangannya melakukan gera-
kan memutar pedang dengan cepat. Gerakan memutar
itu kemudian berubah menyilang ke atas dan ke ba-
wah. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Lodaya,
hingga senjata di tangannya tak nampak wujud as-
linya. Yang nampak hanya garis-garis keperakan seiring gerakan tangan menyilang.
Itulah jurus andalan
Lodaya Waru yang bernama 'Pedang Penggusur Naga'.
Wuuung....! Wuuung...!
"Hiaaat...!"
Seketika tubuh Lodaya melejit cepat ke tubuh
Garajas yang masih terpaku menyaksikan kelihaian-
nya memainkan pedang. Sambaran pedang yang masih
terus bersilangan cepat tak jelas mengarah ke bagian tubuh yang mana dari
lawannya. Namun, jelas putaran pedang dalam jurus 'Pedang Penggusur Naga' nampak
tengah bergerak membelah.
Garajas mengakui kelihaian permainan pedang
Lodaya. Maka segera menimpali serangan itu dengan
jurus 'Seribu Langkah Raksasa'. Seketika itu juga tubuh raksasa Garajas melejit
dengan kecepatan tinggi.
Gerakan cepat yang tak terlihat mata biasa membuat
tubuh besar bercawat kulit ular itu sebentar menghilang, sebentar terlihat.
Sehingga seolah-olah Garajas mempunyai ilmu menghilang.
Wung! Wuuung! Bunyi mengaung dari sambaran pedang Lodaya
yang selalu membentur tempat kosong kerap kali ter-
dengar. Gerakan ini membuat Lodaya Waru harus
mengumbar tenaganya secara percuma. Karena itu Lo-
daya Waru ingin menghentikan serangan yang belum
menunjukkan hasil dalam menggempur Garajas.
Namun, baru saja Lodaya Waru hendak meng-
hentikan serangan terakhir. Garajas telah melakukan gerakan yang menurut Lodaya
akan mencelakakan dirinya sendiri.
Tubuh Garajas mencelat cepat menghadang
hantaman pedang Lodaya. Kedua tangannya melaku-
kan gerakan seolah hendak menangkap sambaran pe-
dang Lodaya Waru.
"Hih!"
Dengan cepat Lodaya menghentakkan pedang
menyambut lesatan tubuh raksasa itu. Tetapi..!
Traaak...! "Heh"!"
Lodaya terkejut ketika dua telapak tangan Ga-
rajas mampu menangkap pedangnya. Mata pedangnya
yang begitu tajam menempel pada telapak tangan ka-
nan, sementara punggung pedang yang tumpul terjepit telapak tangan kirinya.
Lodaya tentu saja mengambil perhitungan,
seandainya dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, telapak tangan kanan Garajas akan
terbelah mata pe-
dangnya yang begitu tajam.
Namun, ketika Lodaya melaksanakan maksud-
nya, kenyataan yang didapat begitu bertolak belakang.
Pedang kesayangan yang terjepit dua telapak tangan
Garajas sedikit pun tak bergeming. Padahal, putra Kepala Desa Waruwangi telah
mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya.
"Ha ha ha....! Tarik terus senjatamu, Lodaya!
Kalau kau mampu, dengan senang hati Tiga Raksasa
Lembah Beracun meninggalkan desa yang tenteram ini
tanpa harus mengusiknya sedikit pun," ujar Garajas dengan begitu angkuh
Lodaya termakan juga ucapan itu, maka den-
gan sisa-sisa tenaga yang ada, dicobanya untuk menarik kembali pedang yang
terjepit dua telapak tangan Garajas.
"Hiaaah...!"
Lodaya mengerahkan seluruh tenaga dalam un-
tuk menarik kembali pedangnya, namun gerakan itu
hanya sia-sia. Peluh telah membanjir di sekujur tubuh lelaki berpakaian merah.
"Ha ha ha...! Ayo tarik terus, Lodaya! Katanya kau mau menjaga ketenteraman desa
ini. Ayo, tarik terus! Biar aku cepat-cepat angkat kaki dari sini," ledek
Garajas dengan kepala yang terguncang-guncang karena tawa.
Lodaya merasa panas diejek seperti itu. Sekali
lagi tangannya dengan kuat menarik pedang dari jepitan tangan Garajas. Namun,
kembali usahanya gagal.
Pedangnya seperti terjepit batu karang yang sangat berat
"Baik Kalau kau tak mampu, gantian aku yang
akan menyerangmu," tukas Garajas.
Lelaki berambut gondrong tak terurus itu kini
memejamkan matanya. Bibirnya yang tebal berkomat-
komit cepat seperti tengah merapalkan sebuah mante-
ra, untuk mengerahkan ajian 'Racun Lembah Merah'.
Lodaya Waru, dengan jantung berdegup keras
memperhatikan apa yang akan dilakukan Garajas. Kali ini Lodaya mengerahkan
tingkat kewaspadaannya. Ti-ba-tiba hatinya terkejut melihat telapak tangan
Garajas berubah seperti bara. Apalagi, ketika sinar merah yang membara di
telapak tangan Garajas menjalar cepat ke batang pedang. Pikirannya segera
menangkap kalau sinar membara itu akan menjalar ke tubuhnya.
Lodaya bermaksud menghindari jalaran sinar
merah itu dengan melepas cekalan pedangnya. Namun,
betapa terkejut, usahanya yang terakhir ini pun gagal, karena tangannya melekat
pada gagang pedang.
Sinar merah yang menjalar kini hampir mende-
kati gagang pedang Lodaya. Sementara putra Kepala
Desa Waruwangi itu telah mulai merasakan hawa pa-
nas yang menyengat menelusup masuk melalui ujung-
ujung jemari tangan.
"Aaakh!"
Lodaya terpekik ketika sinar merah yang men-
jalar itu menyentuh telapak tangan. Telapak tangannya pun kontan merah membara.
Bersamaan dengan
itu Garajas melepas jepitannya. Maka seketika itu ju-ga..., Bruuuk!
*** 2 Tubuh Lodaya Waru terjengkang hingga me-
nimbulkan bunyi yang cukup keras. Putra Kepala Desa Waruwangi tidak mempedulikan
pantatnya yang terasa
sakit. Dengan kedudukan tubuh tergeletak miring di
tanah, Lodaya memegangi tangannya yang terasa pa-
nas sekali. Dua lelaki pengawal putra Kepala Desa Waru-
wangi segera memberikan pertolongan kepada Lodaya.
Sedang dua lelaki lain maju menghadang Garajas den-
gan senjata terhunus.
"Ha ha ha...! Apa yang akan kalian lakukan pa-
daku, Cecurut-cecurut Kudisan"!" bentak Garajas pa-da dua lelaki pengawal
Lodaya. "Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-
tanmu, Iblis!" hardik lelaki berkumis tebal dengan alis
mata yang hampir tak ada. Lelaki itu bernama Janata.
"Bertanggung jawab?" tanya Garajas meledek.
"Kau yang seharusnya mempertanggungjawabkan ke-kurangajaranmu padaku, Kisanak!"
"Setan!" bentak Janata seraya hendak melompat menerjang.
"Tunggu!"
Sebuah bentakan keras keluar dari mulut So-
bula. Lelaki bertubuh raksasa dengan kepala plontos itu mengangkat sebelah
tangannya. "Lebih baik kau tidak menyerangnya, Kisanak.
Karena apa yang kau lakukan tidak akan menolong
majikanmu yang telah terkena racun lembah raksasa.
Dalam waktu tidak lebih dari satu kali peredaran matahari, majikanmu akan
menemui ajalnya," ujar Sobula.
Kedua pengawal setia putra Kepala Desa Wa-
ruwangi mengurungkan niatnya menyerang Garajas.
Teriakan yang keluar dari mulut Sobula cukup mem-
pengaruhi pikiran Janata. Seketika itu juga Janata
menolehkan kepala ke tubuh Lodaya yang tengah
mengerang kesakitan.
"Sekarang, cepat kalian angkat bocah sombong
itu. Dan antar kami mencari kepala desa ini!" ucap Sobula. "Cepat! Bocah itu
akan mampus kalau terlambat sedikit saja!" lanjut Sobula.
*** Janata dan tiga pengawal Lodaya yang lain se-
gera mengusung tubuh putra Kepala Desa Waruwangi,
sementara Tiga Raksasa Lembah Beracun mengikuti
langkah kaki Janata dan kawan-kawannya menuju
rumah kediaman Kepala Desa Waruwangi.
Tak lama kemudian mereka semua telah berada
tak jauh dari rumah Kepala Desa Waruwangi. Nampak
beberapa orang penjaga rumah majikannya segera me-
nyerbu Janata dan tiga kawannya yang tengah mengu-
sung tubuh Lodaya.
"Tuan Lodaya!" teriak seorang penjaga rumah kepala desa keras. "Apa yang terjadi
dengannya"!"
"Diamlah kau," cegah Janata seraya terus berjalan melewati tubuh penjaga rumah
Ki Reksopati. Begitu juga yang dilakukan Tiga Raksasa Lem-
bah Beracun, dengan sikap tenang Sobula, Sedaka,
dan Garajas melangkah perlahan. Tak dipedulikannya
tatapan permusuhan yang terpancar dari mata para
penjaga kediaman Ki Reksopati.
Kepala Desa Waruwangi yang melihat keadaan
putranya seperti itu terkejut bukan kepalang, marahnya seketika menggelegak tak
terbendung. "Siapa yang telah melakukan ini"!" tanya Ki Reksopati keras.
"Aku yang melakukannya, Ki," jawab Garajas yang seketika itu juga masuk ke
ruangan Ki Reksopati.
Sobula dan Sedaka mengikuti langkah kaki
orang ketiga dari Tiga Raksasa Lembah Beracun, me-
masuki ruangan Ki Reksopati Kepala Desa Waruwangi.
"Hmmm...."
Ki Reksopati menggumam perlahan ketika me-
nyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh tinggi kekar yang hanya mengenakan
sehelai cawat dari kulit ular.
Mata lelaki berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun yang menjabat sebagai Kepala Desa Waruwangi
seketika merayapi ketiga orang aneh di hadapannya.
"Siapa kalian, dan mengapa melakukan perbua-
tan ini pada anakku?" tanya Ki Reksopati dengan suara ditekan kuat
Mata Sobula membalas tatapan mata Ki Rekso-
pati yang menusuk tajam.
"Kami tiga lelaki gagah yang berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun. Apa yang kami
lakukan terha- dap diri anakmu itu semata karena kebaikanku untuk
memberi pelajaran atas kelancangan Lodaya," sahut Sobula tenang.
"Kelancangan apa yang telah dilakukannya?"
tanya Ki Reksopati menyelidik.
"Lodaya telah lancang mencegah apa yang telah
menjadi keinginan kami," jawab Sobula.
"Keinginan?" ulang Ki Reksopati. "Apakah itu?"
tanyanya kemudian.
Sobula kembali menatap dengan tajam wajah
tua Ki Reksopati. "Keinginan kami sesungguhnya sederhana saja, Ki. Tiga Raksasa
Lembah Beracun hanya berkeinginan menjadi pemimpin di Desa Waruwangi
ini," jawab Sobula tegas.
Keinginan gila! Hardik Kepala Desa Waruwangi
dalam hati. Matanya yang menampakkan sinar keter-
kejutan mencoba membalas tatapan mata lelaki berke-
pala botak "Ah!"
Ki Reksopati tersentak ketika mendapatkan ke-
kuatan tenaga dalam yang terpancar dari sinar mata
Sobula. Mata menjorok ke dalam itu seolah meman-
carkan suatu kekuatan yang aneh sekali.
"Bagaimana, Ki" Apa kau juga akan menentang
keinginan kami?" tanya Sobula.
Kepala Desa Waruwangi tak segera menjawab
pertanyaan yang keluar dari mulut lelaki berkepala botak. Pikirannya segera
bekerja keras untuk dapat mengatasi keadaan ini sebaik mungkin.
Ki Reksopati sesungguhnya menyadari kalau
ilmu silat yang dimilikinya tak berbeda jauh dengan ilmu silat yang dimiliki
Lodaya. Maka sebisanya Ki
Reksopati berusaha menghindari adu kekuatan dengan
orang-orang ini. Karena sudah jelas mereka memiliki kepandaian di atas Lodaya
Waru, yang juga berarti ju-ga berada di atas kepandaiannya.
"Kalau kau menentang keinginanku, maka bu-
kan saja Lodaya yang akan mati terkena keganasan
racun lembah raksasa. Namun, kau dan penduduk de-
sa ini akan mampus semua!" ancam Sobula.
Ki Reksopati tak menimpali ancaman Sobula,
Kepala Desa Waruwangi itu hanya mengalihkan tata-
pan matanya ke tubuh Lodaya yang tengah mengerang
kesakitan. "Aku akan memberikan penawar racun lembah
raksasa kalau kau menyetujui keinginanku, Ki," lanjut Sobula kali ini dengan
suara sedikit merendah.
Empat pengawal Lodaya Waru terkejut men-
dengar ucapan lelaki berkepala botak. Jelas ucapan-
nya itu mengingkari janjinya.
Licik! Maki Janata dalam hati. Ki Reksopati
kembali berpikir keras setelah mendengar tawaran lelaki berkepala gundul.
Tawaran itu ada baiknya demi keselamatan Lodaya dan juga dirinya beserta
penduduk Desa Waruwangi. Namun, apa jadinya jika desa
yang aman dan tenteram ini tiba-tiba harus dipimpin tiga manusia aneh bertubuh
mirip raksasa, dan berwajah beringas seperti ini.
"Baiklah, aku penuhi permintaan kalian," jawab Ki Reksopati mantap.
Empat pengawal setia Lodaya terkejut, men-
dengar keputusan Ki Reksopati yang menyetujui kein-
ginan Tiga Raksasa Lembah Beracun, terlebih dengan


Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lodaya Waru. Lelaki berpakaian merah muda itu sam-
pai membelalakkan matanya.
"Ayah!" suara Lodaya tertahan.
Ki Reksopati mencoba menenangkan anaknya.
Memang, hanya kepala desa itu yang tahu semua ren-
cana di benaknya. Ki Reksopati berharap kedatangan
Kakang Gumai Gumarang dalam waktu dekat ini, syu-
kur-syukur kedatangan itu disertai dengan ikut ser-
tanya Kakang Terala dan Seruni. Apalagi jika si Raja Petir pun ikut datang ke
sini. Sehingga harapan untuk dapat mengenyahkan keberadaan Tiga Raksasa Lembah
Beracun di Desa Waruwangi akan terwujud.
"Ha ha ha.... Bagus! Bagus. Kau memang seo-
rang kepala desa yang bijaksana, Ki Reksopati. Kau
masih memikirkan keselamatan anakmu dan pendu-
duk desamu. Nah, sekarang terimalah obat penawar
racun lembah raksasa ini," Sobula melempar sebuah benda bulat merah ke hadapan
Ki Reksopati. Ki Reksopati yang mengenakan pakaian khas
kepala desa warna putih segera menangkap obat yang
dilempar Sobula, dan segera diberikan pada putranya yang terkulai di sampingnya.
Tanpa ragu Lodaya segera menelan obat pemu-
nah racun lembah raksasa. Beberapa saat lamanya,
setelah menelan obat, Lodaya merasa sakit yang men-
dera sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap. Seiring lenyapnya rasa sakit,
sinar merah yang membung-
kus telapak tangan pun segera sirna.
"Kau lihat sendiri, Ki. Obat pemunah racun
lembah raksasa itu begitu ampuh. Ini berarti sebuah jasa besar telah kuberikan
untuk menyelamatkan
nyawa anakmu. Dan sekarang kau harus membalas
jasa itu dengan mematuhi segala peraturan dan perintah dariku," ucap Sobula
tegas. "Ya. Jangan coba-coba membangkang atau
membantah keinginan kami!" tambah Sedaka yang sejak tadi berdiam diri.
"Betul. Kalau kalian coba-coba membantah, ta-
ruhannya kepala kalian," lanjut Garajas.
"Nah, sekarang tugasmu, umumkan pada selu-
ruh penduduk desa ini, bahwa kekuasaan Kepala Desa
Waruwangi sekarang di tangan Tiga Raksasa Lembah
Beracun. Umumkan juga pada mereka agar jangan co-
ba-coba membangkang perintah kami," perintah Sobula tegas.
Ki Reksopati termenung mendengar perintah
itu. "Cepat laksanakan perintahku, Ki! Dan setelah
itu, carikan tiga perempuan cantik untuk menemaniku dan juga kedua temanku itu!"
lanjut Sobula. Ki Reksopati melangkahkan kakinya perlahan
meninggalkan Tiga Raksasa Lembah Beracun. Semen-
tara Lodaya dan keempat pengawalnya mengekor dari
belakang dengan langkah lemas dan tak bergairah.
*** Sementara orang-orang kepercayaan Kepala
Desa Waruwangi tengah mengumpulkan para pendu-
duk di alun-alun, Ki Reksopati dan Lodaya duduk termenung di bawah sebatang
pohon yang berdaun rin-
dang. Suasana pagi yang indah tak lagi sempat dinikmati. Suara burung dan
hembusan angin dirasakan
sebagai pengiring sebuah duka cita bagi Ki Reksopati dan putranya.
Kurang lebih lima puluh tombak dari tempat
penduduk Desa Waruwangi yang baru setengah ber-
kumpul, nampak Danau Keramat yang kebiruan. Sua-
sana hari itu berubah tidak seperti biasanya. Angin yang semula berhembus
semilir tiba-tiba berhenti. Dan air danau yang biasanya beriak-riak tertiup
angin kencang, tiba-tiba saja berubah. Permukaan air Danau
Keramat mendadak bergolak-golak bagaikan air men-
didih di atas tungku pemanas.
Air yang semula kebiruan, kini terus bergolak
menimbulkan letupan-letupan kecil. Beberapa saat
lamanya air di bagian tengah Danau Keramat bergolak-golak, sebentar kemudian air
itu kembali tenang seperti sediakala, terus-menerus kejadian aneh itu
berlangsung. Orang-orang Desa Waruwangi pun sama terkejut
menyaksikan kejadian di danau.
"Pertanda apakah itu, Darmaji?" tanya salah seorang lelaki penduduk Desa
Waruwangi yang kebetulan melintas di sekitar Danau Keramat
Lelaki bertubuh gempal yang dipanggil Darmaji
tidak menjawab pertanyaan temannya yang bertubuh
tinggi kurus. Mata Darmaji masih mengawasi tengah
Danau Keramat yang barusan bergolak.
"Aku tak tahu pertanda apa ini, Bar," jawab Darmaji kepada kawannya yang bernama
Jembar. Jembar tak melanjutkan ucapannya. Setelah
menatap air danau yang barusan bergolak, Jembar
kemudian memegang bahu Darmaji.
"Perasaanku tak enak, Ji," ucap Jembar datar.
"Lebih baik cepat kita tinggalkan tempat ini!" lanjut Jembar cemas.
"Ayolah, Bar! Perasaanku juga begitu," timpal Darmaji sambil melangkah terburu-
buru. Namun baru empat langkah mereka berjalan.
Tiba-tiba bagian tengah Danau Keramat kembali bergolak. Kali ini letupan
terdengar lebih keras dari yang semula. Jembar dan Darmaji seketika menghentikan
langkahnya. Jantung kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi seperti hendak lepas ketika dari dalam air
yang bergolak dahsyat itu tiba-tiba muncul se-berkas bayangan kebiruan. Bayangan
itu melesat tinggi ke
angkasa dan berputar-putar beberapa kali sebelum
berhenti dengan ringan sekali di atas permukaan air.
Bayangan kebiruan itu tidak kembali masuk ke air da-
nau. Jembar dan Darmaji bagai tersihir setelah me-
nyaksikan kejadian aneh di depan mata mereka. Den-
gan mata kepala sendiri mereka menyaksikan sosok
itu melesat ke udara dan kemudian mendarat di atas
permukaan air tanpa harus terbenam ke dalamnya.
Darmaji dan Jembar berpikiran kalau sosok itu adalah hantu Danau Keramat
karenanya.... Kedua lelaki penduduk Desa Waruwangi hendak segera berlari mening-
galkan danau, namun kaki mereka terasa begitu berat seperti terbelenggu. Telapak
kaki Jembar dan Darmaji seperti menempel di pasir pinggir Danau Keramat
"Hi hi hi...! Kalian jangan pergi dulu, Kisanak!"
suara sosok berpakaian biru bergema dan memantul-
mantul dari tengah-tengah danau yang berjarak pulu-
han pal. Suara bergema itu memiliki daya kekuatan
yang aneh, hingga Jembar dan Darmaji tak mampu
bergeming sedikit pun dari tempatnya. Wajah mereka
melongo menatap sosok tubuh berpakaian serba biru
yang berjalan di atas air Danau Keramat
"Hi hi hi...! Jangan melongo seperti itu, Kisanak! Apa kalian kagum dengan
gerakanku ini?" tanya sosok berpakaian serba biru yang ternyata seorang lelaki
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Raut wajah lelaki itu begitu tampan. Alis hitam
tebal dan bulu mata lentik sangat mendukung bola
matanya yang hitam bening. Wajah lelaki berpakaian
biru itu sesungguhnya layak seperti wajah seorang
pangeran. Tubuhnya ramping, tinggi semampai. Ram-
butnya yang panjang tergerai, bergoyang-goyang di-
hembuskan angin.
Namun sayang, wajah tampan yang mirip seo-
rang pangeran, tampak begitu aneh. Karena selain kesan dingin tersirat di
wajahnya, juga rambutnya yang
panjang tergerai memiliki dua warna yang sangat me-
nyolok yakni hitam dan putih keperakan.
"Hi hi hi...! Kalian harus kenal denganku, Kisanak. Akulah penguasa tunggal
daerah ini Penguasa
Danau Keramat yang akan menggemparkan dunia per-
silatan. Akulah lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat," ujar sosok
berpakaian serba biru terdengar berkumandang di telinga Jembar dan Darmaji yang
masih terlongong bengong.
Jembar dan Darmaji hanya diam terpaku men-
dengar ucapan lelaki yang diduga menguasai ilmu ke-
saktian yang cukup tinggi. Buktinya lelaki yang mengaku berjuluk Penguasa Danau
Keramat mampu ber-
diam diri di dasar Danau Keramat, entah sudah berapa lama. Dan begitu jelas
terlihat mata Jembar dan Darmaji, sosok berambut panjang itu mampu berjalan
dengan ringan sekali di atas permukaan air Danau Keramat yang tenang tak beriak
"Hi hi hi...! Sebenarnya belum waktunya aku
muncul untuk turut meramaikan dunia persilatan, Ki-
sanak. Namun, karena desa terdekat dengan danau
tempatku berkuasa tengah kedatangan tamu yang
hendak berkuasa, aku menyempatkan diri untuk men-
genyahkan mereka semua. Atau kalau mereka mau
menyerah secara jujur, aku ingin mereka menjadi abdi setiaku," ujar Penguasa
Danau Keramat tegas. Suaranya yang lantang bergema sampai jauh. Getaran
yang ditimbulkan terasa di hati penduduk Desa Waru-
wangi. Kedua orang lelaki itu hanya berdiam diri terpaku mendengar ucapan sosok
yang berdiri di atas air dengan tenang.
"Karena kalian orang pertama yang kujumpai,
aku tak ingin melenyapkan nyawa kalian. Kabarkan
pada kepala desa dan seluruh penduduk Waruwangi
bahwa aku, Penguasa Danau Keramat, sebentar lagi
akan datang sebagai Penguasa Danau Keramat!" lanjut Penguasa Danau Keramat
sambil mengangkat tangan
kanan ke atas kepala.
Jembar dan Darmaji sempat berprasangka bu-
ruk dengan apa yang akan dilakukan lelaki berambut
putih hitam di hadapannya. Namun, sebuah pertunju-
kan aneh kembali nampak di mata mereka berdua.
Tangan lelaki berpakaian serba biru yang te-
rangkat ke atas kepala tiba-tiba menjenggut rambut-
nya sendiri yang panjang tergerai sampai pinggulnya.
"Haaah...!"
Tangan lelaki yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat terangkat ke atas, dan tiba-tiba menjenggut rambutnya sendiri yang
panjang tergerai.
"Haaah...!"
Jembar dan Darmaji terpekik keras ketika meli-
hat kepala lelaki itu terlepas dari tempatnya dan dicekal begitu saja oleh
pemiliknya! Jembar dan Darmaji terpekik kuat ketika meli-
hat kepala lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Ke-
ramat terlepas dari tempatnya. Tangan kanan lelaki
berpakaian serba biru mencekal rambut di kepala yang terpisah dari badannya.
Darah berceceran dari leher yang tergantung di tangan kanan.
Sekali lagi mata Jembar dan Darmaji menyak-
sikan kejadian aneh. Kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi terperanjat ketika tiba-tiba tubuh lelaki berpakaian serba biru yang
tadi berdiri di atas danau
mendadak lenyap dari pandangan. Sementara kepa-
lanya masih terlihat mengambang di udara, tanpa tangan yang memegangnya.
Lutut Jembar dan Darmaji semakin bergetar
kuat, mereka nampak sudah tak sanggup lagi mena-
han berat tubuh masing-masing. Seketika itu juga tubuh Jembar dan Darmaji
tersungkur di atas tanah
berpasir lembut.
"Hi hi hi...!"
Kepala tanpa badan itu tertawa menyeramkan.
Suaranya yang menggema seperti dari jarak puluhan
pal itu semakin membuat Jembar dan Darmaji ketaku-
tan. "Sudah kukatakan, aku tak akan membunuh kalian, jadi kalian jangan takut!"
terdengar suara dari mulut kepala yang melayang-layang di atas danau.
"Sekarang, cepat kalian pergi dari hadapanku!
Kabarkan apa yang menjadi keinginanku pada Kepala
Desa Waruwangi," lanjut Penguasa Danau Keramat.
Jembar dan Darmaji merasa sedikit lega men-
dengar ucapan kepala tanpa badan di hadapannya. La-
lu keduanya berusaha bangkit, tapi kenyataannya me-
reka sedikit pun tak mampu mengangkat tubuh mas-
ing-masing. Wajah Penguasa Danau Keramat tersenyum
menyaksikan tingkah dua lelaki di hadapannya.
"Baiklah, aku yang akan pergi dari hadapan ka-
lian. Namun, jangan kalian lupakan pesanku itu!" pesan Penguasa Danau Keramat,
sebelum pergi mening-
galkan kedua lelaki yang masih gemetaran.
Seketika kepala tanpa badan itu melesat begitu
cepat ke tengah Danau Keramat yang barusan bergo-
lak. Dan ketika kepala berambut gondrong itu menyentuh permukaan air danau,
seketika wujud yang cukup
mengerikan itu lenyap.
Jembar dan Darmaji saling berpandang sesaat.
Kemudian, tiba-tiba kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi seperti dijalari kekuatan baru. Tubuh mereka seketika mampu bangkit dan
berlari ngawur seperti
orang dikejar-kejar hantu.
*** 3 Dua lelaki bernama Jembar dan Darmaji terus
berlari cepat. Napasnya terdengar memburu kencang
dan peluh telah membasahi pakaian mereka.
Dari jarak sekitar delapan tombak, Ki Reksopati
dan Lodaya menyaksikan dua lelaki yang tengah berla-ri kencang mendekati mereka.
Kepala Desa Waruwangi
dan putranya yang tengah duduk di bawah pohon be-
sar, segera bangkit. Mata Ki Reksopati dan Lodaya Wa-ru menatap tajam kedua
orang yang berlari terburu-
buru. "Aduh..., Ki. Aduh, ora... orang itu, aduh...!"
Jembar yang tiba lebih dulu di hadapan Ki Reksopati segera bersimpuh. Napasnya
tersengal-sengal. Dan
dengan terbata-bata menyampaikan laporan kepada
Kepala Desa Waruwangi.
Ki Reksopati dengan keheranan memandangi
Jembar yang masih terengah-engah. Kemudian tata-
pan kepala desa segera beralih pada Darmaji yang tak berbeda dengan Jembar.
"Gawat, Ki. Waduh.... Gawat! Makhluk itu,
makhluk itu begitu menyeramkan," tukas Darmaji terbata-bata.
"Kepalanya Ki, kepalanya...!" sambung Darmaji sambil mengusap peluh yang
bercucuran di kening
dan lehernya. Ki Reksopati mengurut dada menyaksikan ting-
kah kedua warganya. Diduganya persoalan baru akan
muncul, sementara persoalan sulit yang tengah diha-
dapi belum menemukan jalan keluar.


Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa..." Tenang, tenangkan hati kalian!"
sahut Ki Reksopati, "Katakan apa yang telah terjadi atas kalian berdua," pinta
Ki Reksopati tegas sambil melangkah ke depan dua orang yang bersimpuh di
hadapannya. "Ya. Katakanlah dengan tenang, Kakang Jem-
bar, Kakang Darmaji. Jangan gugup seperti itu! Aku
akan membantu kalian jika kalian memang menemui
kesulitan," timpal Lodaya Waru.
Jembar dan Darmaji tak segera memenuhi
permintaan dua orang terhormat di Desa Waruwangi.
Kedua lelaki yang mengalami ketakutan hebat itu kini
tengah mencoba mengatur napas yang memburu. Se-
jurus kemudian, kedua lelaki warga Desa Waruwangi
nampak menghela napas dalam-dalam untuk menga-
tur degup jantung mereka.
"Lelaki itu muncul dari tengah Danau Keramat
yang tiba-tiba saja bergolak seperti air mendidih, Ki,"
ujar Jembar memberitahukan kejadian yang baru saja
dialami. "Lelaki" Muncul dari tengah Danau Keramat"
Ah, siapa dia, Jembar"!" tanya Lodaya tak sabar.
Jembar yang ditanya seperti itu segera melem-
par tatapannya ke wajah Lodaya. Sementara Ki Rekso-
pati hanya termenung mendengar kabar yang dibawa
kedua warganya. Pikiran Kepala Desa Waruwangi seke-
tika menerawang jauh ke suatu peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam. Waktu
itu usianya masih belia.
"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-
mat, Adi Lodaya," jelas Darmaji mendahului ucapan yang hendak keluar dari mulut
Jembar. Lodaya Waru terkejut mendengar penjelasan
yang diberikan Darmaji. Raut wajah putra kepala desa itu nampak tegang. Ternyata
begitu pula dengan Ki
Reksopati. Wajah penguasa Desa Waruwangi nampak
tegang. Hatinya begitu terkejut ketika julukan Penguasa Danau Keramat disebut
Darmaji. Sementara raut
muka lelaki setengah baya itu nampak dicekam rasa
cemas dan ketakutan. Namun, di hadapan Lodaya dan
kedua warganya, Ki Reksopati mencoba menyembu-
nyikan perasaannya. Dari mulutnya terdengar suara
mendesis pelan....
"Penguasa Danau Keramat..."!" tanya Ki Reksopati mirip sebuah bisikan.
"Ayah kenal dengan julukan itu?" tanya Lodaya Waru ketika sempat mendengar
ucapan Ki Reksopati.
Ki Reksopati menatap wajah Lodaya Waru la-
mat-lamat, kemudian tatapan mata itu beralih pada
wajah Darmaji. "Bagaimana ciri-ciri lelaki berjuluk Penguasa
Danau Keramat itu, Darmaji?" tanya Ki Reksopati tanpa mempedulikan pertanyaan
Lodaya. Darmaji menatap wajah Jembar sebelum men-
jawab pertanyaan Ki Reksopati. Lelaki berwajah agak keras itu seolah-olah tengah
minta persetujuan temannya.
"Wajahnya tampan, Ki. Dan rambutnya panjang
terurai, tapi aneh," jawab Darmaji.
"Aneh, apa maksudmu"!" tanya Lodaya sema-
kin penasaran. "Rambutnya ada dua warna, Adi Lodaya," beritahu Darmaji. "Pada bagian kepala
sebelah kanan rambutnya keperakan, sedang sebelah kiri hitam," lanjut Darmaji
mencoba menjelaskan yang telah dilihat-
nya. Sementara itu, Jembar mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan cerita Darmaji.
Sedang Ki Reksopati semakin termenung jauh
mendengar ciri-ciri Penguasa Danau Keramat yang di-
uraikan Darmaji.
Apa memang dia" Batin Ki Reksopati.
"Kau bisa memperkirakan, berapa usianya?" se-lidik Ki Reksopati penasaran.
Darmaji dan Jembar kembali saling meman-
dang ketika mendengar pertanyaan Kepala Desa Wa-
ruwangi. "Kira-kira lebih tua sedikit dari Adi Lodaya, Ki,"
Jembar yang menyahuti pertanyaan itu.
"Sekitar dua puluh lima tahun," tebak Ki Reksopati. Berarti, bukan Penguasa
Danau Keramat yang
sesungguhnya. Mungkin ada tokoh sakti lain yang
mampu menyerupai tokoh yang beberapa puluh tahun
silam sangat mengiriskan. Kepala Desa Waruwangi
mulai menduga-duga dalam hati.
"Sebutkan ciri-cirinya yang lain!" pinta Ki Reksopati semakin penasaran.
"Rasanya tidak ada, Ki," jawab Darmaji.
"Eh, kau lupa menyebutkan pakaiannya, Ji"
sangkal Jembar yang sejak tadi hanya diam menden-
gar penuturan kawannya.
"Eh, iya, Ki. Lelaki yang mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat itu mengenakan
pakaian serba biru," sambung Darmaji.
"Tidak ada lagi?" tanya Lodaya.
"Hmmm...," Jembar dan Darmaji bergumam
hampir bersamaan.
"Ada, ada. Lelaki itu bisa melepas kepalanya
sendiri dari badan dan seluruh badannya dapat meng-
hilang. Tinggal kepalanya yang berlumuran darah da-
pat bergerak-gerak sendiri. Hiii...!" Jembar menge-rutkan tubuhnya setelah
membayangkan sosok lelaki
begitu menyeramkan.
Ki Reksopati kembali termenung mendengar
penuturan Jembar. Hati Kepala Desa Waruwangi mulai
dihinggapi rasa keraguan benar dan tidaknya sosok
yang mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat.
Namun, dari ciri-ciri yang disebutkan Jembar belakangan, Ki Reksopati menarik
kesimpulan. Sosok lelaki
berusia dua puluh lima tahun itu murid Penguasa Da-
nau Keramat, yang kalau masih hidup, sekarang
mungkin sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun.
"Apa yang dikatakan ketika kalian mene-
muinya?" tanya Lodaya kepada Jembar dan Darmaji.
"Dia tidak senang ada orang lain yang ingin
menguasai Desa Waruwangi ini," jelas Jembar mulai agak lancar karena telah
hilang rasa gugupnya.
"Betul, Ki," sambung Darmaji. "Penguasa Danau Keramat berkata kalau dirinya akan
mengenyah- kan ketiga tamu yang ingin memaksakan kekuasaan
mereka di Desa Waruwangi. Lalu dirinya juga ingin
menjadi penguasa tunggal di desa ini."
Kepala Desa Waruwangi dan putranya Lodaya
sama-sama termenung setelah mendengar penuturan
dari kedua warganya. Cukup lama juga anak-beranak
itu saling berdiam diri.
"Lalu bagaimana dengan para penduduk yang
telah kita kumpulkan di alun-alun itu, Ayah?" tanya Lodaya mengusik keterpakuan.
"Apakah kita tetap akan mengumumkan pada mereka, bahwa Tiga Raksasa Lembah
Beracun sebagai penguasa Desa Waruwan-
gi ini?" "Entahlah, Lodaya. Rasanya aku belum dapat memutuskan segalanya dalam
waktu sesempit ini," jawab Ki Reksopati dengan tatapan mata yang diliputi
perasaan kecewa dan sedih.
"Tapi...," ucapan Lodaya Waru terputus.
Ki Reksopati mengangkat tangan sebagai syarat
agar Lodaya tidak meneruskan ucapannya. Sementara
tatapan mata Kepala Desa Waruwangi tertuju pada
dua lelaki warga Desa Waruwangi yang tengah berlari ke arahnya.
"Semua penduduk sudah berkumpul di alun-
alun, Ki," ucap salah seorang yang berpakaian hijau daun. Ki Reksopati tidak
menanggapi laporan lelaki yang memang telah ditugasi untuk mengumpulkan
penduduk. Pikirannya kini tengah berputar mencari
keputusan yang tepat.
Dahi Ki Reksopati berkerut ketika pikirannya
seperti terkuras untuk mencari jalan keluar dari persoalan besar ini. Sebagai
kepala desa, Ki Reksopati merupakan tokoh yang paling disegani di Desa Waruwan-
gi. Kini dirinya tengah kebingungan menghadapi dua
persoalan besar yang datang secara bersamaan. Kepa-
lanya tertunduk beberapa lama. Namun kemudian se-
gera diangkatnya kepala dan mengeluarkan suara yang sangat mengejutkan.
"Seluruh warga yang telah berada di alun-alun, suruh kembali ke rumah masing-
masing. Bubarkan
mereka dengan tertib dan katakan agar tak satu pun
di antara mereka yang berada di luar rumah," putus Ki Reksopati tegas.
Dua lelaki yang ditugasi mengumpulkan pen-
duduk tak membantah keputusan Ki Reksopati. Mere-
ka segera membalikkan badan dan berlari menuju
alun-alun, meski seribu pertanyaan melintas di benak masing-masing.
"Tidakkah keputusan Ayah terlalu berbahaya
bagi kita dan warga desa ini?" tanya Lodaya Waru agak ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti, Lodaya. Dan kita sama-
sama berdoa pada sang Pemelihara Jagat, agar kehan-
curan tak melanda desa kita yang damai," ucap Ki Reksopati datar.
Lodaya Waru, lelaki muda usia yang memiliki
kepandaian ilmu silat cukup tinggi hanya menunduk-
kan kepala mendengar ucapan orang tuanya. Dirinya
menyadari, pada saat-saat yang gawat seperti ini, pada saat di mana manusia tak
lagi mampu mengatasi persoalan yang ada, hanya kepada sang Pencipta Alam-
lah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Dengan langkah lunglai Ki Reksopati mening-
galkan Lodaya Waru yang masih diam terpaku di tem-
patnya. Pemuda berpakaian merah muda itu belum
begitu tenteram atas keputusan yang dikeluarkan
ayahnya. Namun untuk membantahnya dirinya tak
mampu, karena merasa tak dapat menentukan kepu-
tusan lain yang lebih baik.
Akhirnya dengan langkah tak bergairah Lodaya
Waru mengikuti langkah kaku Ki Reksopati. Kakinya
melangkah dengan berat menuju tempat kediamannya.
*** Belum lagi Ki Reksopati dan putranya mema-
suki pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang keras.
"Kau telah melakukan kesalahan besar, Rekso-
pati!" Ki Reksopati dan Lodaya menoleh ke tempat asal suara, namun sedikit pun
mereka tak menemui
sosok orang yang telah berbicara cukup kasar. Namun, nampaknya Ki Reksopati tahu
siapa pemilik suara keras itu. "Keluarlah, Adi Sobula!" perintah Ki Reksopati
sopan. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada kalian. Dan ini menyangkut apa
yang menjadi keingi-
nanmu," lanjut Kepala Desa Waruwangi dengan suara yang tenang.
Tanpa diminta dua kali, tiga lelaki bertubuh
tinggi besar keluar dari persembunyian mereka.
"Sebenarnya aku tak ingin tahu apa pun alasan
yang kau kemukakan, Tua Bangka!" hardik Sobula setelah berdiri tegak di hadapan
Ki Reksopati. "Tapi karena aku masih membutuhkan tenagamu, maka ku
putuskan aku ingin tahu, apa yang menyebabkanmu
membubarkan para penduduk yang telah kau kum-
pulkan di alun-alun tadi!" lanjut Sobula.
"Ada tokoh sakti melarangku melakukan apa
yang menjadi keinginanmu, Sobula," jelas Ki Reksopati. "Dia menyatakan tak rela
ada orang yang bermaksud menguasai Desa Waruwangi ini," lanjut-nya.
"Kurang ajar!" ucap Sobula menggelegar. "Kata-
kan siapa dia!"
"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-
mat," sahut Ki Reksopati terus terang.
"Penguasa Danau Keramat"!" ulang tiga lelaki yang berjuluk Tiga Raksasa Lembah
Beracun bersamaan. "Siapa itu Penguasa Danau Keramat?"
"Ya. Penguasa Danau Keramat. Dia bermaksud
mengenyahkan keberadaan kalian di desa ini," lanjut Ki Reksopati memanasi.
Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi sengaja
menjelaskan hal itu, karena dirinya ingin agar Tiga Raksasa Lembah Beracun
bentrok dengan lelaki yang
mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat. Dengan
harapan dapat kesempatan baginya untuk menyusun
kekuatan guna mengusir mereka. Apalagi jika Kakang
Gumai Gumarang datang bersama Seruni dan Raja Pe-
tir, maka bisa dipastikan kekuatan yang didapat se-
makin kokoh. Sobula, orang pertama dari tiga lelaki berjuluk
Tiga Raksasa Lembah Beracun terpengaruh ucapan
yang dilontarkan Ki Reksopati. Wajah Sobula nampak
merah padam, jelas kalau lelaki bertubuh besar itu
marah atas tantangan Penguasa Danau Keramat.
"Aku akan menghancurkannya, Reksopati,"
ujar Sobula geram. "Katakan di mana kediamannya?"
"Tiga pal jauhnya dari sini, Adi Sobula. Di sebelah timur," jelas Ki Reksopati.
"Hmmm... "
Sobula, orang pertama dari Tiga Raksasa Lem-
bah Beracun menggumam perlahan. Kemudian tata-
pan matanya beralih pada Sedaka dan Garajas.
"Kita satroni dia sekarang, Adi Sedaka?" tanya Sobula seolah minta pertimbangan.
"Tentu saja, Kakang. Kita harus enyahkan si
Penguasa Danau Keramat itu sekarang juga!" sahut
Sedaka mantap. "Betul, Kakang. Kita tak perlu mengulur-ulur
waktu hanya untuk menyingkirkan orang yang tak ta-
hu diri itu!" sambut Garajas tak mau kalah.
"Hi hi hi...!"
Seiring dengan selesainya ucapan Garajas, ter-
dengar sebuah suara yang cukup keras dan bergema.
Suara tawa itu seolah datang dari jarak ratusan pal jauhnya.
Sobula, Sedaka, dan Garajas tersentak kaget
begitu mendengar tawa yang mengandung kekuatan
aneh. Begitu juga dengan Ki Reksopati. Namun, benak lelaki Kepala Desa Waruwangi
itu langsung menduga
kalau tawa itu ada hubungannya dengan sosok yang
pernah diceritakan Jembar dan Darmaji.
Hanya beberapa saat suara tawa itu bergema
sampai pelosok Desa Waruwangi. Namun, suara dah-
syat itu cukup menyebabkan rasa ketakutan para
penduduk desa yang berada di dalam rumah.
Dan setelah tawa itu lenyap, sebuah bayangan
kebiruan melesat dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa. Bayangan
kebiruan melesat cepat dan
mendarat tanpa menimbulkan bunyi, sekitar lima
tombak di depan Tiga Raksasa Lembah Beracun dan Ki
Reksopati. "Hi hi hi...! Tak usah kalian susah-susah me-


Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyantroni kediamanku! Cukup aku yang datang ke si-
ni, kalau hanya untuk menyingkirkan kalian Tiga Raksasa Lembah Beracun," ucap
sosok lelaki berpakaian serba biru.
Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat
itu nampak berdiri pongah dengan sikap menantang.
*** 4 Sobula, Sedaka, dan Garajas yang mendengar
ucapan sosok berpakaian serba biru, seketika merasakan darahnya naik ke ubun-
ubun. Mata Tiga Raksasa
Lembah Beracun menyorot tajam menatapi wajah lela-
ki berambut hitam dan putih keperakan di depannya.
Sobula melangkah satu tindak ke belakang.
Matanya terus merayapi sekujur tubuh lelaki muda
berpakaian serba biru.
"Jadi bocah ingusan seperti kau yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat?" tanya Sobula dengan nada meremehkan. "Ha ha ha...!
Seharusnya kau berpikir seribu kali untuk menantang Tiga Raksasa Lembah
Beracun yang sudah kesohor kesaktian-nya," lanjut Sobula sambil berkacak
pinggang dengan angkuh.
"Tua Bangka tak tahu diri!" balas sosok yang berjuluk Penguasa Danau Keramat.
"Nama asliku
Benggala Sewu. Dan aku berjuluk Penguasa Danau
Keramat. Aku memang anak kemarin sore, jika di-
bandingkan kalian bertiga. Namun, sebagai tokoh-
tokoh sakti, seharusnya kalian sudah dapat mengukur siapa diriku, dan sejauh
mana tingkat kesaktianku.
Kurasa ucapan kalian tadi hanya bertujuan membe-
sarkan hati kalian yang sesungguhnya ciut!"
"Kurang ajar!" maki Sedaka mendengar ucapan lelaki yang mengaku bernama Benggala
Sewu. "Coba buktikan ucapanmu itu, Benggala! Ayo,
kita adu kesaktian!" selak Garajas dengan garang.
"Majulah kalian bersama-sama, agar aku tak
banyak membuang waktu," tutur Benggala Sewu semakin membuat Tiga Raksasa Lembah
Beracun dikua- sai nafsu angkara murka yang tak tertahan.
Sobula yang merasa dirinya sebagai pemimpin
dari tiga lelaki berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun, merasa terhina dengan
ucapan Benggala Sewu. Dengan lantang lelaki bertubuh bagai raksasa itu memba-
lasnya. "Jangan sombong kau, Benggala! Menghadapi-ku saja kau belum tentu mampu,
apalagi jika kami
merangsek secara bersamaan. Ayo, majulah! Cukup
hadapi aku saja!" dengan suara lantang Sobula menantang musuhnya.
"Jangan menyesal kalau kau harus mampus di
tanganku!" balas Benggala Sewu geram.
*** Sobula yang kejengkelannya memuncak segera
memberikan penyerangan tajam ke tubuh Benggala.
Senjatanya berupa sepasang gada berduri yang saling terikat rantai baja,
berputar-putar kencang di atas kepala. Wuuuk...! Wuuuk...!
Bunyi berkesiutan seketika terdengar dari se-
pasang gada berduri yang kini lenyap bentuk aslinya.
Yang nampak hanya sinar keperakan yang melingkar-
lingkar di atas kepala Sobula.
Wruuuk! Wruuuk! Wruuuk!
Benggala Sewu, lelaki berusia tak lebih dari dua
puluh lima tahun yang berjuluk Penguasa Danau Ke-
ramat hanya meladeni Sobula dengan seulas senyum
yang terkembang. Lelaki berambut dua hitam dan pu-
tih keperakan itu nampak berdiri dengan tenang.
"Hiaaa...!" teriakan keras dari mulut Sobula.
Tubuh Sobula seketika melejit begitu cepat, dan
senjatanya yang berputar-putar cepat, seketika di-
ayunkan menuju kepala Benggala Sewu.
Wuuuk! Bunyi angin yang mengiringi sambaran sepa-
sang gada terdengar.
"Heit!"
Pemuda berpakaian serba biru yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat, dengan cepat mendoyong-
kan tubuh ke belakang, ketika senjata Sobula sejengkal lagi menghancurkan
kepalanya. Begitu ringan dan lentur gerakan yang dilakukan Benggala Sewu. Dan
serangan ganas yang dilancarkan lelaki besar bercawat kulit ular hanya membentur
menghantam tempat kosong. Namun, gerakan yang dilakukan Benggala Se-
wu nampaknya sudah terbaca Sobula, pemimpin Tiga
Raksasa Lembah Beracun itu. Lelaki berkepala botak
yang besar tubuhnya satu setengah kali ukuran ma-
nusia biasa, kembali melancarkan serangan maut ke
tubuh Benggala Sewu. Sementara itu tubuh pemuda
berambut panjang itu tengah melengkung, dengan ber-
tumpu pada dua tangan terbalik menyentuh tanah,
dan kepala terdongak yang juga hampir menyentuh
tanah. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, Sobula melancarkan tendangan kaki kanan
lurus ke kemaluan Benggala Sewu. Sebuah teriakan
nyaring mengiringi serangan lelaki botak yang berjuluk Raksasa Lembah Beracun.
"Hiaaat..!"
Wuuut...! Benggala Sewu yang paham akan kelicikan la-
wannya, dengan cepat mengeluarkan ilmu yang dina-
makan 'Jagat Tembus Pandang'. Sebuah, ilmu langka
yang jarang dimiliki tokoh-tokoh sakti rimba persilatan.
Sobula, lelaki bertubuh raksasa dan berkepala
botak plontos tersentak kaget melihat ilmu langka yang
dimainkan lawannya. Tendangan dahsyat yang diper-
kirakan akan mendarat telak di bagian tubuh memati-
kan Benggala Sewu, ternyata membentur tempat ko-
song. Yang membuat Sobula tak habis pikir ketika
tubuh Benggala Sewu yang sedikit pun tak bergeser
dari tempatnya. Dan tendangan keras yang dilakukan-
nya memang tepat sekali mengenai sasaran.
"Ilmu Setan!" umpat Sobula dengan jengkel.
Umpatan Sobula ternyata dibalas seulas senyum yang
terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam
dan putih keperakan, yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat. Senyuman Benggala Sewu bagi Sobula berarti
sebuah ejekan, membuat lelaki berkepala botak itu
semakin naik amarahnya. Maka, tanpa mempedulikan
kepandaian lawan yang berada di atasnya, Sobula
kembali melancarkan serangan berbahaya.
"Hiaaat...!"
Sambaran tangan yang membentuk sebuah ca-
karan kokoh, berkelebat cepat ke leher Benggala Sewu.
Bunyi bercericit mengawali kedatangan serangan lelaki bercawat kulit ular.
Benggala Sewu yang sudah dapat mengetahui
kemampuan Sobula, nampak hanya tenang-tenang sa-
ja. Dibiarkannya sambaran tangan lelaki berkepala
plontos itu maju lebih dekat lagi. Lalu...
Traaakkk! Jari-jari tangan Benggala Sewu yang juga
membentuk cakar kokoh seketika berkelebat memapak
sambaran tangan Sobula. Karuan saja ruas-ruas jari
tangan Benggala Sewu dan Sobula saling bertemu. Dan Benggala Sewu segera memutar
pergelangan tangannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Krrrkkk...! Sebuah bunyi seperti tulang-tulang berpatahan
pun seketika terdengar, ditingkahi oleh suara pekik kesakitan yang keluar dari
mulut Sobula. "Aaakhhh...!"
Ketika itu juga sebuah hantaman telak tiba-tiba
mendarat di dada bidang lelaki bertubuh besar yang
hanya berpakaian cawat dari kulit ular. Pekik keras membumbung ke langit
seketika kembali terdengar.
Dan tubuh besar Sobula terpental beberapa langkah.
Ki Reksopati terbelalak kagum, melihat keheba-
tan ilmu yang dimiliki Penguasa Danau Keramat. Na-
mun tidak demikian halnya dengan Sedaka dan Gara-
jas. Dua lelaki adik seperguruan Sobula terbelalak kaget menyaksikan Sobula
dikalahkan hanya dalam be-
berapa jurus dan dalam waktu begitu singkat
Melihat kenyataan itu, Sedaka dan Garajas se-
gera menghambur ke Benggala Sewu untuk mengada-
kan perhitungan.
"Hi hi hi...! Sabar, sabar. Kalian jangan terburu nafsu menyerangku. Tidakkah
kalian pikirkan keselamatan kawanmu itu?" tahan Benggala Sewu seraya menunjuk
tubuh Sobula yang tengah berkelojotan.
Suara yang keluar dari mulut Penguasa Danau
Keramat memang berpengaruh kuat pada kemantapan
hati Sedaka dan Garajas. Dua lelaki berpakaian cawat dari kulit ular itu
mengalihkan tatapan pada tubuh
Sobula yang berkelojotan.
"Kakang Sobula!" teriak Garajas seraya menghambur ke tubuh Sobula yang
menggelepar di tanah.
Hoeeek!" Sobula memuntahkan darah merah kehitaman
ketika Garajas memegang bahunya.
"Kau terluka dalam, Kakang," ucap Garajas khawatir.
Sobula kembali terbatuk, namun darah tak ke-
luar lagi dari mulut lelaki berkepala botak,
"Hati-hati. Setan itu memiliki ilmu tinggi dan licik," ujar Sobula tersendat-
sendat "Kau dan Sedaka harus bersama-sama menghadapi setan itu," lanjut Sobula
dengan dua telapak tangannya yang mendekap
dada yang bagai melesak ke dalam.
Setelah meyakini keadaan Sobula yang tidak
begitu parah, Garajas kembali mencelat cepat dan berdiri di samping Sedaka. Kini
kedua tubuh tinggi besar yang hanya berpakaian cawat dari kulit ular, berdiri
tegak menghadap ke Benggala Sewu.
"Kita hancurkan sama-sama bocah setan ini,
Kakang!" ajak Garajas mantap.
"Bersiaplah!" sambut Sedaka sambil melompat tiga langkah ke samping kanan
menjauhi tubuh Garajas. "Badai Lembah Beracun!" pekik Sedaka keras.
Sepasang gada bergerigi yang ditautkan rantai
baja serta-merta berputar dengan cepat di atas kepala lelaki bertubuh raksasa
dengan rambut jarang. Begitu cepat perputaran senjata berduri itu, hingga wujud
aslinya tak terlihat. Hanya sinar kehijauan yang kini berputar-putar di atas
kepala Sedaka. Wuuuk..! Wuuuk..!
Angin menderu dari gerakan senjata itu mene-
barkan aroma wangi yang menyengat hidung. Debu
langsung mengepul membumbung tinggi dan batu-
batu kerikil pun beterbangan tak tentu arah karena
dahsyatnya angin akibat senjata Sedaka. Terlebih ketika Garajas melakukan hal
yang sama seperti dilaku-
kan Sedaka. Batu-batu sebesar kepalan tangan bayi
pun ikut terangkat dari tempatnya berpentalan ke segala arah.
Dua lelaki yang berjuluk Raksasa Lembah Be-
racun tengah mengerahkan serangkaian ilmu yang
bernama 'Raksasa Penakluk Seribu Naga'.
Begitu dahsyat jurus Badai Lembah Beracun
yang tengah dimainkan Sedaka dan Garajas. Kejadian
itu rupanya cukup membuat hati Ki Reksopati kecut
untuk tetap terus menyaksikan jalannya pertarungan.
Kepala Desa Waruwangi segera melesat menjauhi are-
na pertempuran yang telah melibatkan racun-racun
ganas. Benggala Sewu yang mendapatkan terpaan an-
gin kencang beraroma wangi menyengat segera mela-
kukan gerakan-gerakan perlahan dengan kedua tan-
gan bersilangan di depan wajah dan dada. Seketika
lingkaran sinar kebiruan muncul membayang di depan
dada dan wajah lelaki muda yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat. "Hiaaat..!"
"Hiaaat...!"
Sedaka dan Garajas memekik keras diiringi
dengan loncatan bersamaan yang berlainan sasaran.
Gada bergerigi yang berputar deras di atas kepala Sedaka tertuju melingkar ke
bagian kepala Benggala Se-wu. Sedangkan senjata Garajas menyambar cepat ke
pinggul Benggala Sewu.
Seperti semula, Benggala Sewu nampak tak
memperlihatkan ketegangan. Apalagi dirinya merasa,
ilmu 'Selimut Danau Biru' akan mampu meredam ju-
rus 'Badai Lembah Beracun'. Maka dengan sikap te-
nang Benggala Sewu menunggu serangan itu datang
mendekat. Prets! Prets! Sambaran sepasang senjata gada menghantam
kepala lawan dengan cepat dan keras sekali.
"Heh"!"
Sedaka yang menghantamkan sepasang gada
bergeriginya tepat di kepala Benggala Sewu sempat
tercengang. Hantaman senjatanya yang jelas mengenai bagian penting tubuh
Benggala Sewu ternyata hanya
membentur sinar kebiruan. Sedangkan Benggala Sewu
menghilang dari tempatnya. Cuma bunga api berpijar
yang dapat disaksikan Sedaka.
"Ilmunya hebat, Kakang. Kita harus berhati-
hati," tukas Garajas yang juga mengalami hal yang sama dengan Sedaka.
"Ilmunya memang hebat, Adi Garajas. Akan te-
tapi kita belum seluruhnya mengerahkan kemampuan
kita. "Ilmu Raksasa Merangkul Topan' dan 'Ilmu Raksasa Sakti'," kilah Sedaka
agak kesal dengan ucapan adik seperguruannya.
"Betul Kakang. Namun kita harus waspada
menghadapi ilmu-ilmu anehnya!" bantah Garajas.
"Hi hi hi...! Perkecil lagi suara kalian, agar aku tak lagi mampu mendengar
ucapan-ucapanmu. Hi hi
hi...! Kalian masih menyimpan dua jurus andalan, rasanya tetap akan sia-sia
saja. Lebih baik kalian menyerah dan jadilah pengikutku yang setia. Aku,
Penguasa Danau Keramat, dengan senang hati akan mengampuni kesalahan kalian,"
ucap Benggala Sewu sambil terkekeh lucu.
"Kurang ajar! Jangan kau besar kepala dulu,
Benggala! Ilmu-ilmu kami belum semuanya kau hada-
pi," bentak Sedaka berang.
"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, ilmu-ilmu kalian akan percuma menandingi
kekuatanku. 'Ilmu Raksasa
Merangkul Topan' dan 'Ilmu Raksasa Sakti' yang kalian miliki hanyalah pantas
diperlihatkan bagi anak-anak kemarin sore yang baru belajar ilmu kesaktian,"
papar Benggala Sewu pongah.
Sedaka dan Garajas merasa terhina mendengar


Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapan itu. Wajah mereka yang sudah merah malah
menjadi bertambah merah, dan mata keduanya pun
terlihat menyorot tajam penuh nafsu. Jelas kedua lelaki bertubuh besar itu
merasa sakit hati dengan ucapan yang dilontarkan lelaki yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat. "Akan kubuktikan kalau kau pasti binasa oleh
serangkaian jurus 'Raksasa Penakluk Seribu Naga',
Benggala! Bersiaplah!" ucap Sedaka dengan begitu sengit. "Ayo, Adi Garajas!"
Dua lelaki berambut jarang dan gondrong seke-
tika mempertemukan kedua belah telapak tangan. Ke-
dua lelaki bertubuh raksasa mengeluarkan tenaga da-
lam guna mengerahkan 'Ilmu Raksasa Merangkul To-
pan'. Tubuh Sedaka dan Garajas nampak bergetar
hebat. Sehelai cawat yang mereka kenakan ikut bergerak-gerak, seperti hendak
melorot ke bawah.
Tiba-tiba saja...
"Hiaaattt...!"
Kedua lelaki bertubuh raksasa itu berteriak
menggelegar. Tubuh Sedaka tiba-tiba saja melenting ringan
secara menyilang, melewati kepala Benggala Sewu.
Dan kemudian tubuh Raksasa Sedaka mendarat tanpa
suara tepat di belakang tubuh Benggala Sewu.
Lelaki berpakaian serba biru yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat dapat membaca maksud la-
wan yang salah satunya berdiri di belakangnya.
Hmmm..., gumam Benggala Sewu dalam hati.
Belum sempat Benggala Sewu melakukan tin-
dakan apa pun, tiba-tiba tubuh Sedaka yang berada di belakang berubah wujud.
Begitu juga dengan Garajas yang masih berdiri dua tombak di hadapannya.
Wujud-wujud raksasa jelmaan itu mengurung
Benggala Sewu. Wujud Sedaka dan Garajas kini berpu-
taran, semakin lama perputaran yang dilakukan se-
makin cepat dan cepat. Hingga akhirnya yang ada
hanya selingkaran bayangan berputar-putar mengu-
rung tubuh lelaki muda berpakaian serba biru. Laksa-na sebuah angin topan yang
bergerak dengan kecepa-
tan tinggi. Benggala Sewu segera menghadapi lawannya
hanya dengan melakukan gerakan tangan perlahan ke
kepala dan mencengkeram rambutnya yang tergerai.
Lalu..., Krrrk!
Benggala Sewu memuntir kepalanya sendiri
hingga tercabut dari badan. Darah merah pun segera
berceceran dari kepala yang terlepas itu. Dan sebuah senyum dingin terlihat dari
wajah Benggala Sewu.
Beberapa saat saja pemandangan seperti itu
terlihat, namun sesaat berikutnya tubuh Benggala Se-wu yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat lenyap.
Yang tinggal hanya sebuah kepala berceceran darah
melayang-layang di udara. Itulah wujud sang Penguasa Danau Keramat yang
sesungguhnya. *** 5 Pertarungan antara Sedaka, Garajas mengha-
dapi Penguasa Danau Keramat terus berlangsung seru.
Kedua Raksasa Lembah Beracun mengerahkan selu-
ruh kemampuan untuk menaklukkan lawannya yang
memiliki tingkat ilmu kesaktian lebih tinggi. Buktinya setiap serangan yang
dilancarkan Sedaka dan Garajas selalu dapat dimentahkan Benggala Sewu,
sebaliknya serangan-serangan lelaki muda yang berjuluk Pengua-
sa Danau Keramat sesekali menghantam telak tubuh
Sedaka dan Garajas.
Pertarungan maut itu berlangsung begitu cepat.
Tak terasa mereka telah bergeser jauh dari tempat
tinggal Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi.
Sementara, dari kejauhan nampak melesat be-
gitu cepat dua bayangan menuju rumah Ki Reksopati.
Dua bayangan yang seperti saling berkejaran itu ke-
mudian sama-sama mendarat di pekarangan rumah
Kepala Desa Waruwangi.
"Suasana di sini seperti bekas terjadi pertarungan hebat, Paman," ucap sosok
berpakaian kuning keemasan. Di bagian leher lelaki itu nampak berge-lantung
gagang sebuah pedang yang begitu indah.
"Nampaknya begitu, Jaka," jawab sosok lelaki yang dipanggil paman.
Dua lelaki yang tak lain Jaka si Raja Petir dan
Gumai Gumarang nampak sating menatap sejenak.
"Suasana di sini juga nampak begitu sepi, apa
Ki Reksopati...?"
"Silakan masuk, Kakang Gumai." Tiba-tiba Ki Reksopati muncul di ambang pintu.
Sementara dugaan
Gumai Gumarang langsung pupus.
"Kau tidak datang bersama Nini Seruni, Ka-
kang?" tanya Ki Reksopati ketika Gumai Gumarang bergerak mendekati Ki Reksopati.
"Aku sempat mengkhawatirkanmu, Adi Rekso-
pati. Kupikir kau.... Ah sudahlah!" selak Gumai Gumarang tanpa mempedulikan
pertanyaan Ki Reksopati.
"Kedatanganmu sangat tepat sekali, Kakang
Gumai. Warga desa ini, terutama aku sangat membu-
tuhkan tenaga, pikiran serta kemampuan yang Kakang
miliki," papar Ki Reksopati langsung menuju ke sasaran pembicaraan. Hatinya
nampak masih menyimpan
kegelisahan yang hebat.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di desa
ini?" tanya Gumai Gumarang menyahut ucapan Ki
Reksopati. "Kau tak melihat pertempuran mereka?" batik Ki Reksopati.
"Siapa mereka?" tanya Gumai Gumarang tak
menjawab pertanyaan Ki Reksopati.
Ki Reksopati tersenyum mendengar pertanyaan
Gumai Gumarang.
"Sebaiknya kita bicara di dalam, Kakang. Oya,
lelaki gagah dan tampan ini apakah muridmu?" tanya Ki Reksopati.
Jaka yang mendapatkan pertanyaan Ki Rekso-
pati sempat tersenyum, namun segera disembunyikan
senyumannya itu.
"Jangan sembarang bicara kau, Adi Reksopati!"
tukas Gumai Gumarang sambil sedikit menoleh ke wa-
jah Jaka di sampingnya.
Ki Reksopati sempat terkejut juga mendengar
suara lelaki yang dipanggilnya Kakang.
"Lalu...?"
"Di dalam akan kujelaskan pertanyaanmu itu,"
sergah Gumai Gumarang seraya melangkahkan kaki
lebih dulu. *** "Namanya Jaka. Dialah yang berjuluk Raja Pe-
tir," ucap Gumai Gumarang setelah duduk di kursi be-rukir dalam ruangan Ki
Reksopati. Wajah Ki Reksopati seketika berubah menden-
gar pemberitahuan Gumai Gumarang. Dengan pera-
saan tak enak, Kepala Desa Waruwangi menatapi wa-
Telapak Setan 3 Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara Pendekar Pemetik Harpa 32
^