Pencarian

Misteri Putri Peneluh 2

Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap Bagian 2


boneka buatan se-besar tubuh Ida, mengenakan pakaian tidur yang
biasa dipakai Ida. Lalu sementara Ajat terpana, dari belakangnya Ida
berteriak nyaring. Dan besok
pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : "Permainan apa pula, tadi
malam ?" Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para. Tetapi
di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung miring di
tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja diturunkan, atau
memang minyaknya sudah hampir habis. Namun dalam jilatan lampu
minyak yang bersinar suram itu, sempat juga ia lihat seekor tikus lagi
ngacir ke arah dapur. "Ini sudah keterlaluan !", Ajat bersungut-sungut.
ia bergegas membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak
dinyalakan. Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang,
membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : "Apa-apaan kau, Ida "
Sengaja memancing tikus-tikus untuk membuatku jijik dan marah "
Mengapa tidak ular saja sekalian " Atau hantu gentayangan ?"
Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.
Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak perempuan di ranjang. Ah, dia
sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan yang
melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-kuatnya. "Baik",
katanya. "Boleh saja. Aku kebetulan
sedang senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji,
tahu engga ?" Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : "Ye-aaaan !", lalu sebuah
pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung perempuan itu. Tidak
telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa ! pukulan kedua dengan kaki.
Tetapi sebelum mengenai sasaran, perempuan itu menggeliat
menghindar. Sambil lalui menangkap pergelangan kaki Ajat, membuatnya
jatuh terhempas di lantai. Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya
berkunang-kunang. "Apa-apaan ini, Ida " Kau yang menyakiti aku. Bukan ?"
"Ayolah, sayang. Naik sekarang", terdengar suara merdu, merangsang.
"Tidak mau !" "Tunggu apalagi Jat " Aku - sudah - tak tahan ..."
"Begitu cepat ?", Ajat bangkit sempoyongan." Rupanya kau ingin
dicambuki ya " Baik. Baik. Sebentar kuambilkan dulu !"
Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak
menghadap pintu. Jadi cahaya lampu minyak di ruang tengah,
menyinarinya sedikit. Dengan kesal dan birahi yang memang sudah
terbangkit, Ajat merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap
menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud. Tetapi
tangan itu seketika terdiam kaku, berhenti setengah jalan.
Setelah terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu minyak
dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh perempuan berdiri tegak
di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari Ida sempat ia
berpikir, sebentar cuma. Karena sosok tubuh di lemari itu, begitu rusak
mengerikan. Tubuh hancur tercabik-cabik, gaun tidur penuh bersimbah
darah dan sebagian isi perut terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh,
sehingga Ajat dapat mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali
mata yang melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan
matanya. "I - Ida !", bisik Ajat, kelu.
Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka, yang
mana Ida yang sebenarnya " Hanya ada satu Ida. Dan Ida yang
sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari, dan pelanpelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh Ajat yang
berteriak saking kaget dan
ngeri, ia dapat merasakan dengan tangannya da ging-daging mentah,
usus yang basah, kulit yang hancur, dan mencium bau amisnya darah,
sebenar-benarnya darah. Terdengar tawa renyai dari tempat tidur.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Hebat bukan, Jat ?"
Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari
cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua bulu di
tubuh merinding! seram. Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : "Benar-benar hebat. Lebih
hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu."
Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran.
Dan bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti Ajat
masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, bersih dan
mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas berseru tertahan : "Teratai,
kau ...!" "Hem. Kau mengenaliku seketika, ya " Bagus. Tidak seperti si Gono yang
keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang sudah ia tiduri,
sehingga ia lupa padaku. Aku senang mendengarnya, Jat. Jadi kupikir,
tak perlu aku menyiksamu berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami
setelah melihat Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia mengira kau
yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi - sedikit ekstra, tak apa
bukan ?" Tikus. Tikus-tikus yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja sudah
bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk mengerikan itu
bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar tidur, di dapur, di
ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah, dari pintu dan jendela yang
digerogoti. Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja di
tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. Karena amukannya sendiri,
dan karena serbuan tikus-tikus itu. Bangkai binatang itu berhamburan di
sana sini. Mereka yang berdatangan kemudian lari serabutan ketika
gerombolan tikus yang luar biasa banyaknya itu berhamburan untuk
meloloskan diri, sambil menggigit dan mencakar ke kiri kanan. Satu dua
orang bertahan dengan senjata golok atau pentungan berupa kayu,
tangkai sapu bahkan ada yang membawa linggis.
Seekor tikus putih menyelinap lewat pintu belakang.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh
binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan
milik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang
terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor
bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang
tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging
yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat
terkenal di desa itu. Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk
bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.
ENAM LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban sial di
tempat mayat Mar gono ditemukan, tidaklah seberapa berbahaya. Luka
itu diakibatkan polah mereka, mencakari tubuh sendiri dalam usaha
melawan serbuan daun-daun yang mereka sangka serbuan tikus. Pak
Mirta menyerahkan perawatan mereka sepenuhnya kepa da manteri
kesehatan Puskesmas. Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa yang
bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah Ajat. Luka
cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar akibat serbuan
tikus. Kuku serta taring binatang binatang itu tidak saja mengandung
racun. Tetapi juga mengandung pengaruh jahat roh yang menguasai tikus tikus itu.
Pak Mirta terpaksa menangani sendirian kelima orang korban yang
malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya mengobati mereka
satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang seorang, sekujur tubuh pak
Mirta panas berapi, seakan terbakar sampai ke ubun-ubun. Dari
kepalanya sampai ke luar uap tebal yang membuat orang yang melihat,
pada mundur dengan perasaan kuatir. Kemudian ia terkulai, letih sampai
ke jiwa-jiwanya. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.
Nining, salah seorang ponakannya yang datang untuk mengantarkan
makan siang yang dimasakkan isteri Dudung, baru saja ia paksa untuk
pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos karena gempar yang melanda
desa setelah mayat Ajat dan isterinya dikuburkan pagi hari itu juga.
Dudung sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara
panjang lebar. Kemudian Dudung ia suruh pulang, dengan dibekali sebilah
golok milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga apabila terjadi sesuatu.
Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja.
Malam tak lama lagi akan jatuh. Tetapi lurah desa itu tidak merasa
cemas akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya dengan
ajian yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh jahat, ia hanya
mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta keponakannya Nining yang
tinggal satu rumah dengan Dudung. Ajian yang sama telah ia taburkan
pula di sekitar rumah ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas.
Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. Tetapi tidak tahu apa
yang kurang itu. Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari luar.
Pak Mirta meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-suruk ke ruang
depan dan terkejut setelah a membuka pintu.
"Boleh masuk, pak Mirta ?"
"Ah. Mayang. Mengapa tidak ?", perasaan letih dan sakit di sekujur
tubuh pak Mirta, mendadak sontak hilang begitu melihat kehadiran
orang yang sudah lama ia impikan. "Tumben, berkunjung. Duduklah ya.
Kubuatkan minuman sebentar ..."
"Tak usah repot-repot, pak".
Melihat wajah Mayangsari yang pucat dan sinar matanya yang getir, pak
Mirta kemudian duduk dengan perasaan waswas di hadapan perempuan
itu. Bertanya lembut : "Aku gembira kau muncul di rumahku. Tetapi
biarlah, lupakan saja ke-aku- anku. Lebih baik kita bicara tentang kau,
Mayang. Ada sesuatu yang kau takutkan. Benar ?"
Mayangsari menatap lurus ke mata tuan rumah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kau pernah bilang", katanya, lirih. "Si Teratai sudah kembali".
Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang d matanya kematian
Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia
menjawab : "Ya Kenapa rupanya, Mayang ?"
"Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak Mirta ?"
"Mayang. Sudah kukatakan aku tidak ingin ..."
"Hatiku tidak saja terluka, pak Mirta. Tak usah mencemaskannya.
Hatiku kukira malah sudah mu lai membusuk. Membusuk oleh hasrat
menggebu karena ingin tahu siapa pembunuh ayah dan anak ku, dan di
mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah bernanah, oleh
keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati. Biar bukan oleh ta nganku
sendiri". "Mayang !", jantung pak Mirta berdetak. Apa yang diucapkan perempuan
itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun ketika sekarang
akhirnya ucapan itu terlontar, pak Mirta benar-benar terpukul. Sangat
terpukul. Semakin sirna harapannya untuk dapat melamar Mayangsari
jadi isteri-nya. "Kau terkejut bukan, pak ?"
"Aku ..." "Karena itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara mengenai
apa yang semestinya harus kita bicarakan Mayangsari menelan ludah, wa
jahnya tampak keruh. "Tadi aku ke warung. Biasa, belanja kebutuhan
dapur. Biasanya mereka memperlakukan aku dengan kasar. Mereka
membenciku, tetapi mereka tidak mungkin membenci uangku. Dan tadi ...
Mereka tidak lagi berlaku kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak
ketakutan ..." "Mengapa ?" "Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud permintaan
mereka." "Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, Mayang ?"
"Supaya aku mau turun tangan".
"Terhadap "' Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat
yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang datang dari
segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, disertai kekuatan
sihir !" "Astaga !", pak Mirta terkejut. "Kurang ajar. Lancang benar mereka
mengatakan !" "Apa salahnya, pak " Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang
mungkin lebih hina lagi :
kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat
menolong mereka lepas da-ri kesulitan yang membuat mereka semua
tidak dapat tidur Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun
masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : "Tahu, pak
Mirta " Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk
memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang
yang malang mencakari diri sendiri..."
"Itu sudah keterlaluan !", pak Mirta terlonjak
dari kursinya. "Aku akan mendatangi mereka.
Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku
sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuanku. Aku ..."
"Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta", potong
Mayangsari, tenang. Lurah desa itu terengah.
Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat.
Katanya : " ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang. Meringankan beban
penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu
apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ?"
"Aku tahu, pak Mirta", mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas redup
lagi dalam sekejap. "Karena
itu, mengapa tanggung-tanggung menolong " Kepalang basah !"
Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi harihari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama silam,
membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan: Baiklah. Akan
kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, setelah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mengetahui bagaimana perwujudan anakmu ketika kembali setelah
sekian tahun menghilang. Namun sebelumnya, bicaralah terus terang.
Kau tentunya datang menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat".
"Ya". "Apa itu ?" "Kolam tempat bermain anakku. Banyak teratai yang telah disingkirkan.
Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga. Pokoknya yang
berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih. Hanya anakku yang
pernah melakukan hal serupa itu. Ke tika ia masih hidup. Dan - setelah ia
datang dalam mimpiku".
"ia apa ?" "Datang dalam mimpiku". "Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya".
"Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka. Begitu
pula teratai teratai

Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ditemukan tergenggam di tangan mereka masing-masing. Pemilik
warung yang menceritakan Aneh, bukan " Ada yang memetik kuntumkuntum teratai yang masih baru dari kolam bermain anakku. Lalu
kuntum-kuntum teratai itu ditemukan sudah tergenggam di tangan
orang lain. Tangan mayat-mayat itu".
"Mungkin mereka sendiri yang mencurinya"
"Tak usah mengelak lagi, pak Mirta", keluh Mayangsari, tak sabar. "Kau
pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun berani
mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut terke na kutuk.
Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah jadi pertapa sehingga
kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri mengapa
membiarkan ia menurunkan ilmunya ke pada anakku, sehingga kutuk itu
terus berkepan jangan kelopak mata Mayangsari berlinang bu tir-butir
air bening. Katanya, terdesu-sedan : "Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari
kuburnya. Kau sen diri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakanlah pak
Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor tikus-tikus itu ?"
Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal.
"Bodoh", makinya.
"Ya pak ?" Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ... karena
aku ingin menolak bala ... ", ia kemudian mengangkat muka. Berkata
tegar: "Ya. Anakmu terdapat di antara tikus-tikus itu. Namun aku belum
pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti tikus, atau seperti apa ia dulu
adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wu-jut keduaduanya ..."
Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. "Syukurlah. Jadi aku tidak
lagi bertanya-tanya".
"Aneh. Kau kok tampak gembira", tanya pak Mirta, heran.
"Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah".
"Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ?"
"Apa maksud pak Mirta ?", balas Mayangsari bertanya.
"Kau pula yang sekarang menghindar", keluh pak Mirta, kecewa, ia sapu
wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh
perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : "Aku sudah lima puluh
tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau masih muda. Hanya karena
menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang.
Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah
lama tahu apa yang tersimpan di sanubariku", lurah menatap tamunya, sungkan. Kemudian
tersenyum. Lanjutnya : "Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu
diutara-kan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, Mayang. Aku
hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian.
Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang telah le-bih
dahulu pergi dari kita. Nah ...", pak Mirta me-nelan ludah. Puas, telah
mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan.
Maka, ia melancarkan serangan terakhir: "Mengapa kita tidak
menjalaninya bersama sama" Supaya kelak, bila salah seorang
mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir?"
Wajah Mayangsari bersemu merah.
ia tersenyum. Tetapi mulutnya tetap bungkam.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang", kata pak Mirta, sabar.
"Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang.
Ucapkan-lah, dengan kata-kata", dan dalam hati, andai ma-sih muda
kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga.
Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : teratai putih.
Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya
Mayangsari membuka mulut : Bukannya tidak mau, pak Mirta. Tetapi ..."
"Jadi kau tidak mau !", tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah tua, toh
hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
"Dengarkan dulu", Mayangsari membujuk. 'Aku pernah menyukaimu ...
Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku".
Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : "Tidak ada
istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !"
"Justru itulah sebabnya", wajah Mayangsari kembali murung. "Sekali
terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian kecewa dan
mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku kemudian
marah karena kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak
Mirta. Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan " Beberapa
dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau
pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan
yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh
mereka, lalu dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu.
Dan ayahku yang disalahkan".
"Kau pun masih tetap marah padaku", pak Mir ta merajuk.
"Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu kau
lakukan karena hati yang pa tah. Karena aku menerima lamaran suamiku,
mes ki tahu diam-diam kau juga mencintaiku."
"Aku tak melihat perbedaannya, Mayang".
"Tidak " Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi
mengakuimu jadi mu ridnya " Dan kemudian bersumpah, keturunannya
tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka,
setelah suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui
dengan menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci
diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku.
Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ?"
Lurah gemetar. Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran
tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali
memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : "Sudah kubilang. Aku ini bodoh !"
"Boleh aku pergi sekarang ?", suara Mayangsari
terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama
ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski
tidak sangat ia cintai. Pak Mirta terkejut. "Tunggu", cegahnya.
Mayangsari duduk diam. Menunggu.
"Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku
sekarang mendesakmu, bukan semata-mata karena hasrat bathin dan
jasmani sebagai laki-laki ..."
"Tak usah ragu. Katakanlah".
"Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain.
Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit " Marilah
kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, karena tahu
kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji".
"Aku mengerti", desah Mayangsari, getir. "Kita tetap menikah. Karena
itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku.
Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan
dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah
diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk
menggempur kedurjaan roh roh jahat..."
"Syukur, kau memahami", pak Mirta tersenyum.
Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : "Sayangnya, kau lupa
orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !"
Senyum pak Mirta, sirna seketika.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar untuk
hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat
yang mengucilkannya, memperhinakannya Mayangsari bergidik. " Jadi,
sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari
keinginan terkutuk itu, pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapasiapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk
menebus dosa-dosanya". Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
"Tebusan dosa", sahut Mayangsari, angkat pun-dak lalu bangkit dari
tempat duduknya. Berjalan ke pintu. "Sekarang aku tahu, si Margono
dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti".
Mayangsari kemudian pergi.
Tanpa pamit. Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah.
Berpikir ketakutan : "Tahukah dia " Tahukah dia ?"
ia jatuh terduduk. Mengeluh : "Tidak. Tidak mungkin".
Mengapa tidak mungkin " Taruhlah tidak ada yang membuka mulut.
Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu
kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri dengan
pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya naluri. Dan nalurinya
itu telah lama membisikkan ke telinga Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.
Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak
muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka menggagahi
pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia
terlibat. Membantu pasien-pasien ayah Mayangsari melampiaskan iri
hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak
pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri,
ayah si Dudung. ia baru tahu, setelah segala sesuatunya terlambat.
Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka
ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan.
Mirta telah membunuh adik kandungnya sendiri.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ia telah membunuh ayah Mayangsari. Secara' tak langsung ia ikut pula
membunuh orang lain nya : si Teratai. Margono. Ajat. Ida. Dan mungkin
pula Dudung serta anak isterinya.
"Aku harus menemui si Dudung !", jeritnya dalam hati, ketakutan.
Tetapi baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh ke
lantai. Semua siksaan yang terjadi ketika ia mengobati warga desanya
akibat serbuan tikus-tikus berkekuatan gaib itu, kembali muncul.
Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini ditambah pula oleh
kenyataan: Ma-yangsari menolak lamarannya !
Sekujur tubuhnya panas lagi.
Membara seperti semula. Kulit bagai melepuh, tulang bagai merapuh.
Dengan susah payah, ia kemudian merangkak ke kamarnya. Naik ke tempat tidur. Kemudian rebah dengan jasmani yang lu-luh lantak.
"Aku harus memusatkan pikiran", gumamnya.
Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya. Dari
jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih. Mungkin
bercampur hitamnya jelaga, karena dosa-dosanya di masa lalu. Tetapi,
benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa. Supaya pengaruh jahat
itu hilang. Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.
Dan ia kembali siap. EPISODE 3 TUJUH SUDAH lewat tengah malam, Dudung tak juga bisa tertidur, ia
berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin sekali,
sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-kerik dan
pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar, benar-benar
mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun bebunyian itu sudah
merupakan musik abadi di desa mereka malah seperti peninabobo yang
mengasyikkan bila malam mulai turut menyapu bumi.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Tak usah dipikirkan, Dung !", ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang
lalu. "Aku sudah me-manterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau
keluar sendirian dari rumah".
Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa rumah mereka akan aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa
ketika berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar
" Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan
ditujukan pada Dudung seorang.
Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi
perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut campur dalam usaha
pembunuhan kakek Teratai Putih, dan uwanya itulah yang paling getol
menuduh kakek Teratai Putih sebagai tukang teluh.
"Krontang ... !!"
Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam
mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar
lagi. ia menghela nafas. "Mengapa aku begitu takut ?", tanyanya dalam
hati. "Uwa telah memberikan mantera-mantera. Teratai Putih tak akan
berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku".
Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.
"Krrraaaak !" Terpentang lebar mata Dudung. Keringat membasahi jidatnya.
"Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !"
Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung dalam hati.
Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa
bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti !
Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !"
"Awas kau !", bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia meluncur
turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia
menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu lelap sekali tidurnya.
Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-sawah mereka.
Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir Dudung.
Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di dinding
kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari dekat
gantungan pakai an itu ia sambar sebuah golok. Gagang golok itu terbuat
dari akar rotan, berukir naga. Golok itu senjata keramat pemberian pak
Mirta. Terngiang kata-kata uwanya itu beberapa hari yang lalu :
"Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu, tunjukkan
parang ini ke mukanya. Ingat, tikus paling takut pada ular !"
"Hem", sungut Dudung perlahan. "Tidak ke Teratai, apa salahnya
kupergunakan golok ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !".
ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah rumahnya
gelap. Memang Nining sudah mematikan lampu sebelum naik tidur. Hanya
ada sedikit cahaya lembut dari bawah pintu kamar anak-anak mereka.
Dudung membiasakan matanya dalam gelap. Kemudian berjingkat ke
pintu kamar anak-anak itu, karena jendela-jendela ruangan tengah
tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorongnya sedikit, pintu kamar
terbuka. Dodo, anak mereka yang berumur tiga tahun tampak mering
kuk memeluk bantal guling, sementara adiknya Lina yang setahun lebih
muda, celentang dengan mulut terbuka. Dudung kurang tau siapa di
antara dua anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.
"Mungkin Lina salah tidur", pikirnya seraya tersenyum dan menutupkan
pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke kamar makan. Lampu
teplok di sana masih menyala. Tetapi kelap kelip nya telah semakin kecil.
Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu. Diintip
nya lewat kain tirai. Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela samping.
Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu. Merabanya.
Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur. Mungkin pencuri itu
masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi kerontang, entah tersepak kuali


Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siorang sial itu. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap sekali.
Tetapi ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. Golok di pinggang
ia pegang gagangnya, ia elus-elus, kemudian dicengkam dengan kuat. Siap
untuk sesewaktu ia layangkan, kalau si pencuri bermaksud menyerang.
Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang
mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan pungguh di
luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-nyanyian mereka.
Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.
"Bau apa itu ?", ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. "Bau wangi",
bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. "Bukan. Bukan di sini.
Tetapi di kamar mandi".
Dudung menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar mandi
terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih semerbak. Lalu
muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap. Datangnya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu kian banyak dan
banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah wujud sementara Dudung
berdiri dengan tubuh kaku dan gemetar saking terke jut dan takut. Rasa
terkejut dan takut itu tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia
tidak kuasa untuk bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang
menganga ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban
yang terjadi di dekatnya.
Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu telah membentuk wujud
seorang manusia berjenis perempuan. Wajahnya cantik dan menawan,
rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan pakaian tipisnya
seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan, yang menyelubungi
seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga kakinya pun tidak tampak.
" ... heran, Dung ?".
Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.
"He, Dudung !", ulang suara itu lebih keras.
Napas Dudung terlempar keluar. Keringat dingin telah membanjiri
tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus, ingin ia
lepaskan untuk bisa menyambar golok di pinggang. Tetapi aneh, seluruh
tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Siapa ... kau ?", bisiknya dengan gemetar. "Ah, masa lupa ... ?" "Siapa ?"
"Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama
meniduri aku, sebelum temanmu Margono ?"
Rasakan copot jantung Dudung.
"Tid ... daakkk!".
"Tidak apanya ?".
"Kau bukan si ... si Teratai".
"Lalu siapa " Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa dan cekik
leherku, jasadku kemudian menghilang " Sekarang, inilah aku.
Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan " Tetapi aku
kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan.
Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. Tetapi karena aku ingin kau
rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku.
Terserah padamu. Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut
seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu Teratai Putih tersenyum.
Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang. Rasa
takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti
mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini dapat
berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai lakilaki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang begitu melihat
keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari perempuan yang
cantik jelita itu. " ... bagaimana kau masuk ke sini ?", tanyanya lebih berani.
"Ah, gampang". "Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah".
Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung lelaki
itu berdegup tidak teratur. "Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini".
Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.
"Jangan !", sungut si perempuan. "Jangan sentuh itu. Kau tak
memerlukan golok itu untuk bisa meniduriku, bukan ?"
Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan itu benarbenar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. Golok itu ia cabut,
lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. Dudung
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tersenyum tipis. Katanya: "Kau tak akan bisa pergi lagi, Teratai Putih.
Lubang tempatmu muncul telah tertutup".
Teratai Putih balas tersenyum." ... aku akan pergi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah
berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga
tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku
masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia
Tercekat kerongkongan Dudung. "Tetapi ... tetapi ia berkata dengan
gagap. "Mengapa tak kau rayu aku, Dung " Mengapa?", si perempuan
menyeringai. Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai Putih.
Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih menyeringai,
semakin panjang serta semakin runcing gigi taringnya.
"Mengapa, Dung " Atau ... kau mau memperko-saku ?", sungut Teratai
Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh,
semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah
bagaikan darah. Darah Dudung berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya
kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak
mengeluarkan kata-kata menceracau ...
"Tidak ... ttitidak ... tidak !".
"Ayolah !", maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas. Matanya
bersinar-sinar. "Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dulu pada
diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ?"
Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu
terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi dengan
ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang dipakai
Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. Dudung
mencoba berteriak meminta tolong, tetapi tenggorokannya bagaikan
tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi menyebabkan tubuhnya goyah.
Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.
Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si perempuan
yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ketakutan, Dudung memperhatikan Teratai Putih yang mendekatkan
wajahnya ke wajah Dudung. Perempuan itu mulai mencium seluruh wajah
Dudung, tetapi si lelaki sudah demikian ketakutan sehingga tidak
terangsang sama sekali. Lebih-lebih ketika tenggorokannya mulai
dijelajahi oleh lidah Teratai Putih, ia mencoba memekik, tetapi taringtaring yang runcing telah menghunjam dalam, dalam sekali.
"Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !", barulah Dudung bisa menjerit. Kedua
kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke mari
menimbulkan bunyi ribut-ribut karena menyambar daun pintu kamar mandi yang
terbuat dari seng. Dengan mata terbeliak, Dudung melihat bagaimana
wujud perempuan itu berubah jadi bulat memanjang menggembung di
tengah dan ... tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain
sutera, seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...
Dudung memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya. Dan dari dalam
rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan perempuan memanggil-manggil
nama Dudung, langkah-langkah berlari dan ketika tiba di ambang pintu
kamar mandi, perempuan itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.
SUARA jeritan di belakangnya, membuat tikus putih besar yang sedang
menggerogoti bagian tubuh Dudung yang paling vital itu, terdongak, ia
kemudian meloncat. Demikian cepat dan tepat. Dalam satu loncatan saja,
tikus putih yang besar mengerikan itu telah hinggap pada Mira. Satu
cakaran telah cukup membuat Mira jatuh lunglai, pingsan karena kaget,
sekalipun lukanya berupa goresan kecil saja.
Tikus putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia berdiri di
atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung, kemudian cicitnya
yang keras dan nyaring menggema di kamar mandi dan seluruh rumah.
Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan tikustikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua berkumpul di ambang
pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang menimbulkan bunyi ribut di
dapur rumah Dudung, dan tikus-tikus itulah yang kemudian dengan diam
dan patuh mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan
mereka. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan
mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian beramai-ramai
menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian perlahan-lahan
menggotong golok yang tadi terlempar.
Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka seret
beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung
golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-tikus itu menarik
golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring
menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk,
bunyi cicit tikus saling bersahut-sahutan, dan kemudian tiada bunyi apaapa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....
Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di dadanya. Tak
lain dari tikus putih itu. Dudung coba menggerakkan tangan untuk
menghantam, tetapi sang tikus cuma menyeringai. Dudung benar-benar
kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana tikus itu berubah
wujud perlahan-lahan menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk
bersimpuh di dekat kepala Dudung.
" ... aku tahu kau masih hidup", bisik Teratai Putih di telinga Dudung.
"Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku pada
uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !"
Dudung tak bisa berkata-kata.
"Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor
di sana dan ... Ah, sudahlah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau
uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku
akan mengerahkan seluruh tikus tikus yang ada di daerah ini untuk
menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja
yang bisa dimakan penduduk !"
Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan manis
sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak
demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang
halus bergerak ke belakang kepalanya. Ketika turun kembali, telah
menggenggam beberapa kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
bunga itu ia genggamkan pada telapak tangan Dudung. Lalu, ia tersenyum
kembali. Manis dan mempesona.
"Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku", bisiknya
dengan lembut. Kemudian perlahan-lahan ia menghilang, meninggalkan
asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang pembuang an air.
Di saat berikutnya terdengar suara tikus menci-cit nyaring, lalu kecipak
air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh. Setelah itu
sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di luar sana,
perlahan-lahan kembali menggema me-musiki kesenyapan subuh. Makin
lama makin ramai. Kokok ayam pun ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang
kemudian muncul menyi nari bumi... .
Dudung merayap ke pintu. DELAPAN SEPANJANG malam Mayangsari tidak tidur, ia hanya duduk di sebuah
kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada kemau-annya untuk
berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil menunggu. Siapa tahu Teratai
Putih muncul lagi, dan bukan hanya sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat
anaknya. Memeluk dan menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun
bentuk perwujudannya. ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa korban berikut " Supaya
aku ikut menyaksikan ! Setelah aku tahu, barulah aku puas. Lalu aku rela
menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul kakekmu. Lalu kita akan
berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita cari suatu tempat, di mana lebih
banyak teratai dan aku akan menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya
tidak kau sukai. Untuk itulah selama ini Mayangsari mampu ber tahan supaya tetap
hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin menyaksikan,
mereka me nebus dosa. Tetapi malam ini, setelah ia berbincang-bincang
panjang lebar dengan pak Mirta, timbul kebimbangan dalam hati
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Mayangsari. Benar, ia tidak mampu jadi perempuan suci. ia bukan
seorang manusia yang sempurna, ia juga tak lepas dari dosa.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
Terngiang ucapan pak Mirta.
Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak.
Terhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh. Tetapi
mereka yang lain, yang Mayangsari yakin tidak ikut terlibat toh akhirnya
terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang lain yang luka luka.
Salah seorang ia dengan gagal diobati pak Mirta, dan mungkin malam ini
sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya sembilan anak
yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di antaranya masih terlalu
kecil untuk dapat memahami apa itu dosa.
Tetapi menyatukan darah dan bathin dengan
pak Mirta, wahai. Ayah Mayangsari pasti menggeliat resah di kuburnya.
Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : "Kita harap saja roh ayahmu
bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan sesuatu
perbuatan yang terpuji."
Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan terpuji.
Tetapi itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan pembalasan
dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik keluar ga. Nama baik "
Apa pula itu nama baik " Tak le bih dari selembar kertas basah. Satu
sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.
Mayangsari terpejam. Bimbang lagi. Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan kepala.
Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu " Seperti suara sesuatu tercebur
ke dalam air. Mayangsari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela ia
buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar rembulan
yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan itu jatuh
memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa hidup senang
bermain. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Permukaan kolam beriak. Mayangsari menajamkan pandangan matanya, lalu melihat benda-benda
kehitam-hitaman berenang dari tengah kolam, menyeret setangkai
besar rumpun teratai. Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia
mengetahui, benda-benda itu berupa tikus tikus sebesar kucing, yang
dengan taring-taringnya memetiki kuntum teratai putih yang masih
baru. Tercekat Mayangsari, karena perasaan bergalau. "Yang manakah anakku
?" Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan
berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : "Hei, nak ... !"
Beberapa ekor tikus yang tadi menggotong rumpun teratai, sama
terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain menggigit
tangkai kuntum teratai yang sudah dipetik lantas ngacir me-larikan diri,


Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diikuti tikus tikus yang lainnya.
"Tunggu !", teriak Mayangsari, lalu ia berlari ke pintu, membukanya dan
berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun tikus itu yang tampak
sekarang. Tinggal rumpun teratai yang kuntumnya baru dipetik. Rumpun
itu dibawa riak air, merayap kembali ke tengah kolam. Liar, mata
Mayangsari mencari-cari. Namun tak seekor pun makhluk tadi
kelihatan. "Jangan pergi !", hampir menangis perempuan itu, saking kecewa. "Aku
ingin melihatnya. Melihat anakku ..."
Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah, menyebutnyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya untuk bersua,
menjeritkan rin dunya yang lama tersiksa. Dari rumahnya ia pergi ke
jalan. Mencari-cari di sekitar rumah tetangga. Terus saja ia mencari,
dari satu rumah ke lain rumah, melihat-lihat ke kolong, ke belakang
kandang mengibas-ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu
pohon ke pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut
nama anaknya, dengan air mata yang mulai terurai.
Seluruh desa, hening. Lengang.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak sore hari
sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda. Bahkar, ternakternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah maut yang mengintai
dari tengah kegelapan malam. Di beberapa rumah korban perbuatan
Teratai, ia dengar isak tangis. Tetapi jendela dan pintu rumah-rumah itu
juga tertutup rapat. Lampu-lampu minyak dengan susah payah berusaha
melawan pengaruh kegelapan yang demikian dahsyat. Mayangsari
terus saja mencari. Mencari dan mencari.
"Teratai, anakku. Teratai, anakku. Di mana kau, nak ?"
Teratai. Teratai. Sekuntum teratai putih telah pula dipetik. Mungkinkah
itu berarti akan ada kor ban pula malam ini " Tetapi siapa " Ya Tuhan,
coba andaikata Mayangsari tahu. ia menyesali pikiran pendeknya, buruburu memanggil. Mestinya ia turun diam-diam dari rumah lalu mengikuti
ke arah mana tikus-tikus itu pergi membawa kuntum teratai.
Sambil menyesali diri, otak Mayangsari terus berjalan.
Margono sudah jatuh jadi korban. Kemudian Ajat. Siapa yang berikutnya
" Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus dipikirkan. Coba ini:
siapa orang yang kira-kira masih atau pernah satu komplotan dengan
Margono dan Ajat " Kakinya terus pula melangkah.
Dengan mata jelalatan. Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyeli-nap ke luar dan salah
satu rumah. Mayangsari bergegas memburu. Bayangan tadi bergegas
pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara pintu digedorgedor, lalu suara anak perempuan
yang berteriak-teriak histeris, "Tolonglah, Tolong
lah ! Tikus tikus itu menyerbu rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang
Dudung ..." Tak ada yang berani membuka pintu.
Setiap orang di dalam rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana
keadaan mayat Margono, lalu Ida dan Ajat apalagi. Kemudian orangorang lain yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Mirta. Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh
kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.
Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.
Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain.
Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak
dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong.
Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari, yang berlari
menyongsong. "Ada apa, nak " Kau Nining, bukan ?"
"Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka pucat
dan mata ngeri. "Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !"
"Nak, aku justru mau membantu", entah mengapa Mayangsri dapat
berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si Teratai,
anak kandung kesayangannya sendiri. "Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu".
"Tidak. Kau tak boleh masuk !"
"Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong
saudaramu, bukan " Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban Mayangsari
berlari-larian masuk ke rumah Dudung. Setelah ragu sebentar, Nining
kemudian mengikut di belakangnya.
Dudung tergeletak di ruang tengah.
Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai.
Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua anak
mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus
menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat
Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk, kedua orang bocah
itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan
wajah pucat ketakutan. "Apa yang terjadi ?", tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk
memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga selangkangannya.
Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kemaluan Dudung yang tinggal sepotong, ia hampir muntah. Mundur
beberapa tindak." Tuhanku !", desahnya, lirih. Baru sekaranglah ia menyaksikan sendiri hasil perbuatan roh jahat yang mereka
katakan perwujutan anaknya, si Teratai Putih. Selama ini ia cuma
mendengar. Dan mendengar, tidak seberapa akibatnya dibandingkan
dengan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Pelan-pelan, Dudung membuka matanya.
Nining tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan, berusaha
supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak melihat ayah mereka
bergerak sekarat. Takut-takut, Mayangsari mendekat.
"Mau mengatakan sesuatu, Dung ?"
Pandangan Dudung kabur, ia tidak dapat mengenali perempuan itu.
"Siapa kau ?" Mulanya Mayangsari mau memberitahu. Kemudian ia ingat ketakutan di
wajah Nining waktu mereka kepergok di luar rumah, ia ingat pula
kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke alamat dirinya. Dengan
menahan hati, Mayangsari mencoba tersenyum. Katanya : "Berbaring
sajalah. Akan kupanggilkan seseorang untuk mengobati luka-lukamu".
" ... pak Mir - taaa", ujar Dudung, terputus-putus.
"Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil..." "Jangan !"
"Tetapi..." "Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-teriak
histeris : "Tolonglah. Tolong-leherku sudah putus ?"
Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.
Tetapi itu bukan jawaban yang pantas. Mayangsari mengatakan yang
lebih pantas : "Hanya luka sedikit".
"Sedikit " Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat
tangannya, tetapi tidak mampu. "Oh ... oh ... aku merasa lumpuh seluruh
badan. Aku akan mati... matiDudung mulai menangis, tersedu-sedu.
Nining cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi menjauh ke
dapur. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk dapat mengintai ke
ruang tengah. Kalau-kalau perempuan sihir itu berbuat sesuatu terhadap
saudaranya ... ! Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Dengarkan !", Dudung menggapai tangan Mayangsari. "Temuilah pak
Mirta. Katakan ... katakan ... si Teratai yang membunuhku. Dia ... dia ...
Tikus busuk ! Tikus haram jadah itu juga melukai Mira. Mira ... mana
Mira " Miraaaa".
Mayangsari melongok lewat pintu kamar.
Mira menggeliat, kemudian diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a
Mayangsari dengan tulus. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak bersalah ! "Isterimu
baik baik saja", katanya, ter bata-bata. "Kau tadi menyebut nama pak
Mirta. Apakah dia ... "
"Dia, menunggunya !"
"Dia siapa " Menunggu siapa ?"
"Si Teratai". "Di mana ?", merinding bulu punduk Mayangsari, membayangkan ia akan
bertemu dengan anaknya. "Katakanlah, di mana ?"
"Setelah purnama ... ", Dudung semakin lemah suaranya. Terpaksa
Mayangsari mendekatkan kuping ke mulut Dudung, dan mendengar apa
yang dipesankan oleh Teratai Putih kepada pak Mirta. "Bunuh ... ",
rungut Dudung, geram. "Bunuh gadis terkutuk itu untukku ... !"'. Lalu
kepalanya terku lai. Dudung telah menyusul Margono. Menyusul Ajat.
Mayangsari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Tubuh
setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram untuk terus ia
lihat. Mayangsari berpaling. Dan matanya bertemu dengan mata Nining.
Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua beberapa
tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubahnya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur permohonan,
bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat kekeliruan.
ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang masih bocah. Mata
bening, polos tak berdosa.
Mayangsari berpaling lagi.
Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang masih terkulai di lantai.
Mayangsari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam Nining
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menyusul. Diam-diam pula Nining membantu Mayangsari mengangkat
tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya, kemudian
menyelimutinya baik-baik. Tubuh perempuan itu panas, tetapi luka di
lehernya tampak cuma goresan kecil belaka. Mungkin ia akan tertolong,
apabila secepatnya didatangkan bala bantuan.
"Kalian tunggu di sini", kata Mayangsari kepada Nining. Gadis tanggung
itu menatapnya dengan mulut bungkam. "Akan kupanggil pak Mirta untuk
mengobati Mira." Mayangsari melangkah ke pintu depan.
Lalu berhenti, ketika mendengar suara Nining : "Bu Mayang".
"Ya, nak ?" "Bukan kau yang mengerahkan tikus-tikus mengerikan itu. Benarkah, bu
Mayang ?" Mayangsari tersenyum ke arah Nining.
Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan
persahabatan. Mayangsari sampai terenyuh, dan menyeka matanya
ketika meninggalkan rumah Dudung, memaki-maki marah tiap kali
melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam rumah masing-masing.
Kemudian, langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa. Tangannya
menggenggam golok yang tadi dipegang oleh Dudung selagi sekarat.
Mayangsari tahu betul kalau golok itu milik pak Mirta. ia mengambilnya
tadi dari tangan Dudung, tanpa sadar mengapa ia harus melakukannya.
Jadi, Mirta terlibat ! Mayangsari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin. Sebeku dan
sedingin malam berbau kabut, berbau kematian. Mirta yang dulunya
pemalu. Mirta yang jatuh cinta untuk pertama kali setelah ia berusia
tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai justru baru mencapai
setengah usia Mirta sendiri. Mirta yang sadar, bahwa ia dan keluarganya
cuma anak penggarap sawah dengan upah yang tak seberapa. Mirta yang
terpaksa mundur teratur, setelah anak majikannya bergerak lebih
cepat, melamar Mayangsari.
ia teringat ketika suatu hari berjumpa di kali.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari sawah.
Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.
"Baru pulang, pak ?", tanya Mayangsari.
Itulah selalu yang membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena
Mayangsari selalu memanggilnya dengan sebutan "bapak". Mengapa tidak
" Usia mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup
sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
"Ya, Mayang". "Ayo. Sama-sama ".
Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas
pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi
tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, Mayangsari
sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari sudah jauh di atas bukit,
dan memandang padanya seraya tertawa-tawa.
Mirta memang orang yang sabaran, dulunya
Pernah ia memergoki Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di
sebuah dangau. Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa :
"Maaf. Aku kebetulan lewat".
Mayangsari tersipu malu. Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak. "Mau
ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip", katanya. "Tetapi
lain kali, bilang-bilang dong".
Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.
Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula
ia menyindir : "Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan
akan bercumbu !" Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal.
Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia
biarkan sandal itu melayang ke
wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi
dan Mayangsari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.
"Aku tak sengaja", berkata Mayangsari.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan senang
hati..." "Nanti kulempar lagi !", Mayangsari mengancam.
"Boleh. Tetapi dengan hati".
Dan mereka tertawa. Tanpa Mayangsari tahu, Mirta berkata sungguhsungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.
Suatu malam, Mayangsari terlambat pulang, ia rupanya habis kencan
dengan calon ayah Teratai Putih dan karena si kekasih habis bertengkar
dengan calon mertua, tidak berani mengantar Mayangsari sampai ke
rumah. Kebetulan mereka bertemu Mirta yang sudah diangkat murid
oleh ayah Mayangsari. "Dari mana saja kalian ?", sang ayah langsung menyenggak.
Sebelum Mayangsari sempat menjawab, Mirta sudah berkata :
"Maafkan, pak. Saya membawa Mayang nonton reog di desa Banjarsari.
Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu beberapa teman
yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami
ngobrol. Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama
kepada Mayang. Habis ngobrol, eh, sudah gelap ..."
"Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah
membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat
membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu,
membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu dihukum".
Mirta benar-benar dihukum.
Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya, di
tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu lamanya
Mirta jatuh sakit karena demam dan penyakit gatal-gatal pada kulitnya.
Mayangsari sering mengunjungi, merawat dan memberinya makan, sambil
tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf. Mirta hanya tertawa.
"Anggap saja pengalaman", katanya. Dan setelah ia sembuh, ia
mendatangi ayah Mayangsari. Berjanji, tidak akan membawa Mayangsari
lain kali, tanpa seijin keluarga.
Dan itu benar. Mirta tak mungkin mengajak Mayangsari pergi ke
tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani orang-


Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang, dan setahun
kemudian lahirlah Teratai Putih.
Mirta mulai menjauhkan diri.
Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda
muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang
malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya
Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena hanya pernah jatuh cinta
pada satu perempuan saja, sebagaimana halnya Mayangsari hanya jatuh
cinta pada satu laki-laki saja.
Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian diangkat jadi kepala desa.
Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah
sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia
membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal dan Mirta menunggu
masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada Mayangsari :
"Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang".
Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.
Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta : "Katanya
mau berhenti membujang".
"Kau mau menghentikan aku ?", balas Mirta.
Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-sungguh.
Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : "Bapak ini berseloro. Lucu !"
Mirta ternyata bisa juga marah.
ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari
berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : "Pernah aku
kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !" Kasar suaranya, kasar
sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang kepalang.
"Ada apa dengan kau, Mirta ?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku".
"Membalas ?" "Ya. Dengan ini", lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah
Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, kemudian
hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah mampu mengobati
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah Mayangsari mati, luka itu
tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah Mayangsari
mengeluarkan sumpahnya. Mayangsari yang mendengarnya kemudian,
terkejut, ia lalu berterus terang mence-ritakan mengapa Mirta sakit
hati pada ayahnya. "Anak bodoh", bentak ayah Mayangsari. "Coba kau beritahu aku dari
dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap !"
Dan Mirta telah dipecat sebagai murid.
Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah
Mayangsari kambing hitamnya.
Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari mendapatkan cap yang
sama. Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari berusaha
menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia sadari, ia turut
berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang
mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.
Mayangsari mengeluh. Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah
itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. Dudung sudah
mati. Tetapi bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta
yang dapat menolong. Mayangsari tertegun. Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.
BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah
siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang dipegang
Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja.
"Apakah Dudung sudah
ia tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya
telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !
"Pak Mirta ..."
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
sekali ketika Mayangsari berkata : "Kau ingin aku melakukan perbuatan
terpuji, bukan ?" Pak Mirta diam. Belum dapat menangkap makna kata-kata Mayangsari.
"Dudung berpesan ... ", Mayangsari kemudian meneruskan pesan yang
dimaksud. "Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan anak-anaknya
Mayangsari gemetar. "Anak-anak itu harus diselamatkan".
"Juga anak-anak lain", pak Mirta mulai mengerti.
"Ya. Juga anak-anak lain", Mayangsari menyetujui.
"Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya
moralku ..." Mayangsari mencoba tersenyum. Ujarnya : "Pertalian bathin dan darah,
tidak selamanya melalui perkawinan, pak Mirta. Ada banyak cara yang
bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !"
Gaung suara Mayangsari belum hilang, tetapi golok yang terpegang di
tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke dalam
lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.
Pak Mirta terkejut. ia melompat ke depan, memeluk Mayangsari dan berusaha menarik
keluar golok itu dari lambung si perempuan. Tetapi Mayangsari
mencegahnya. Dengan mata setengah terkatup menahan sengsara,
Mayangsari berkata terputus-putus "Manterailah, pak Mirta.
Manterailah darah yang mengalir dari dari jantungku membasahi
golokmu. Aku ... aku merindukan Teratai. Ingin bertemu ... dengannya.
Tadinya ... kukira, kami akan .... Tetapi, dengan cara ini..."
Tubuh Mayangsari terkulai diam.
Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak Mirta untuk
memeluk Mayangsari, tetap terpendam sia-sia. Dan ketika kini
keberuntungan itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya ber hak memeluk jasadnya
saja. Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
PENUTUP BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon karet,
ketika bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati sebuah makam
besar di antara sejumlah makam-makam lainnya yang jauh lebih kecil.
Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam sehingga
gundukan makam tampak semakin mengembung. Bayangan kurus
memanjang itu terhenti sejenak di kepala makam. Lalu, tiba-tiba :
"Cuih ! Cuih !", ia meludah. Sekali ke kiri, sekali ke kanan. "Ini aku,
Mirta, datang memenuhi panggilanmu". ia diam mendengarkan. Tidak ada
sahutan. "Cuih ! Cuih !", meludah lagi pak Mirta. "Ataukah kau tidak mau
menepati janjimu ?". Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak
Mirta. Seketika ia tertegun.
"Aku di sini, murid yang tak membalas budi !"
Pak Mirta menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita,
berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih yang
menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan malam yang
remang-remang dijilat rembulan.
" ... Teratai Putih !, membisik pak Mirta.
"Kau juga ingat padaku, pak Mirta".
"Karena kau yang mengundangku datang".
"Kau tidak takut ?".
Pak Mirta sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. Kemudian meludah. "Ah
... ah ... ". Teratai Putih menjauh. "Bau ludahmu tidak enak".
"Kau yang kini takut ya ?", sungut pak Mirta dengan suara keras.
Si gadis tersenyum. "Tidak" ! katanya. "Karena aku sudah diberitahu
kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau menghembuskan nafas
terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak ditemukan orang di dalam
dangau, lima tahun yang lampau ?"
"Hem", pak Mirta bersungut-sungut.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan ?"
Si gadis tertawa. " ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta. Tetapi tidak ada yang
bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak,
bukan " Karena kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan
mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama
dengannya, sampai ke liang kubur, pak Mirta".
Laki-laki tua itu manggut-manggut. "Pantas", gumamnya.
"Pantas apanya ?"
"Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran
dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata
dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut
dimakamkan". "Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan
untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan
seorang tukang teluh " Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang
kematian kepala desa " Karena memang orang itu mati karena perbuatan
..." "Diam !", Pak Mirta membentak. Tetarai Putih menyeringai. " ... tentu
saja tidak. Karena kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan
penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya
sainganmu di desa dan sepuluh desa
sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah
mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orangorang sakit yang membutuhkan pengobatan.
Laki-laki itu mengangkat wajah.
"Apa perdulimu ?", katanya tersinggung.
"Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan
rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan kemudian
ikut terlibat dalam pembunuhan kakek".
"Aku tak ikut", pak Mirta membantah.
"Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan manteramantera".
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku. Salahnya
sendiri, mengapa ia tidak melawan".
Teratai Putih tersenyum. Perih. "Kakek tak mau membunuh muridnya
sendiri, pak Mirta. Dan ia tidak mau menjatuhkan tangan kepada orangorang yang tidak bersalah, tetapi tersesat karena bujuk-anmu itu. Dan
ia merasa pernah berdoa padamu ..."
"Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ?"
"Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku". Pak Mirta manggutmanggut. "Aku mengerti",
katanya. "Tetapi tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan
maksud untuk mengatakan hal sepele itu saja, bukan ?"
Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah.
... aku terlanjur bersumpah pada kakekku, pak Mirta. Untuk membalas
dendam pada orang-orang yang telah membunuh kakek dan memperkosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud menciderai orang yang
tidak bersalah. Tetapi bagiku, kau tetap bersalah. Kakek amat marah
padamu, tetapi ia telah mati. ia tidak mungkin membalaskan dendamnya.
Karena itu, selama lima tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling
menguji diri. Menguji keampuhan masing-masing. Dan ketika waktunya
kami kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ..."
Kedua kaki pak Mirta menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah di
bawahnya merekah. Lututnya gemetar, tetapi bukan pertanda takut
Karena dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar biasa. "Kau
menganggapku remeh, neng !", sungutnya. Lalu meludah ke kiri dan ke
kanan terus ke muka dan ke belakang.
"Cobalah dekati diriku !"
Si gadis tersenyum. "Kau lupa aku jijik dengan
bau ludahmu. Tetapi mereka tidak, pak Mirta", teriak si gadis, ia
bergerak ke makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan
sigap. Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar
dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor tikus
berloncatan ke luar. Pak Mirta terkejut. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ia mengeluarkan goloknya. Tetapi tikus-tikus itu tidak menjadi takut
karenanya, malah semakin mendekat juga kepadanya, ia meludah
berulang-ulang. Tikus-tikus itu tetap menyerang.
"Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan
ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-temanmu
di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa, pak Mirta. Tikus
biasa. Lawanlah mereka".
Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara si
gadis tertawa nyaring dan lengking, tikus-tikus itu telah meloncati
tubuh pak Mirta. Mereka mencakar dengan kuku dan menggigit dengan
gigi di tempat-tempat tikus itu hinggap. Beberapa ekor di antaranya
tertebas oleh golok pak Mirta, jatuh bergulingan di tanah dengan
meninggalkan bunyi mencicit yang menyayat tulang. Tetapi tikus-tikus yang keluar dari lubang makam Itu semakin banyak juga.
Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di mana ia
tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari lingkungan semburan
ludah nya, kekuatannya akan punah, tetapi tikus-tikus itu semakin
banyak sehingga ia tidak kuasa melawan dorongan mereka, ia mundur,
terus mundur. Dan suatu saat ia mengangakan mulut, berteriak:
"Ular-ular itu ! Ular-ular itu !"
Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan. Kemudian obor
menerangi kompleks pemakaman yang remang-remang itu. Beberapa
penduduk berkeluaran dari persembunyiannya, masing-masing berteriak
mengucapkan kata-kata : "Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !"
Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara rombongan
penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan ke tanah. Tutupnya
terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai macam yang atas petunjuk
pak Mirta telah ditangkapi penduduk sementara menunggu waktu
pertemuannya dengan Teratai Putih. Mula-mula ular-ular itu diam tak
bergerak. Mungkin karena kaku, terkejut. Kemudian perlahan-lahan
mulai merayap. Merayap Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu, meski
ular-ular tadi lebih tertarik pada bau tikus. Binatang melata itu terus
saja merayap ke arah pak Mirta yang sedang berjuang membebaskan
diri dari keroyokan tikus-tikus.
Tikus-tikus itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit riuh
rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi itu. Lari
serabutan. Namun ular-ular yang telah mengerung di sekitar mendadak
berubah ganas lalu meliuk semakin cepat memburu mangsa. Pak Mirta
cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan kepala untuk
menghindari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia lihat puluhan ekor
ular memperoleh santapan ratusan ekor tikus-tikus besar dan gemukgemuk. Sebagian masih mampu melawan. Beberapa ular itu tercabik,
mati. Namun naluri seekor tikus tetap saja naluri tikus. Meski lebih
banyak dari penyerangnya, sebagian besar binatang-binatang pengerat
itu telah lari menyelamatkan diri.


Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terkutuk. Akal bulus terkutuk !", terdengar suara mengumpat.
Pak Mirta menoleh. Tetapi ia tidak melihat Teratai Putih, ia hanya
melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi, kemudian
merendah dan merendah hampir rata ke tanah.
"Tikus putih", bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus putih
itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta berteriak :
"Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu kembali ke
desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !"
Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh berlari
larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah mereka sangat
banyak, mengapa tidak berani " Musuh pun tampaknya sudah kalang
kabut. Tinggal satu. Satu, tetapi yang paling berbahaya !
Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok mereka
mengurung arah hilang nya tikus putih itu. Bila terlihat bayangannya,
mereka datang merapat dan memaksanya lari ke tempat terbuka.
Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara merintih,
menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. Tetapi menjerit-jerit
ribut sebagaimana anak perempuan yang terperangkap di sarang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
harimau yang kelaparan. Yang aneh, makhluk itu tidak berusaha
menyerang para pengepungnya. ia baru menggeram-geram marah kalau
melihat pak Mirta, berusaha melepaskan diri dari kepungan agar dapat
mendekati lurah desa itu.
Sebaliknya, pak Mirta yang datang dengan dipapah beberapa orang priya
bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri senantiasa berusaha agar
terlindung di balik tubuh orang-orang yang memapahnya. Suatu
perbuatan pengecut, tetapi ia selamat dan para penolongnya tidak
menyadari kepenge-cutan lurah mereka.
Dengan jeritan putus asa, akhirnya tikus putih itu melakukan lompatan
panjang melalui kepala orang-orang yang mengepungnya. Terus kabur
menaiki tebing, menuju daerah bekas longsor di mana masih terdapat
lubang-lubang dan rongga-rongga guha untuk bersembunyi.
"Golokku. Ke sinikan golokku pak Mirta berteriak.
ia menyapu wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima
golok yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : "Darahmu masih
melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan aku kekuatan
untuk menebus dosaku".
Lagi, suatu sikap pengecut.
Meminta bantuan Mayangsari untuk membunuh anak Mayangsari sendiri.
Pak Mirta merasa malu. Tetapi kepalang basah, ia terus saja membaca
mantera. Sekali sekali ia berseru memerintahkan orang yang
memapahnya agar mengangkat ia ke sana, ke sini, mengikuti getaran golok dan bayangan tikus putih hilang
menyelinap. Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu liang yang
gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas, terbakar. Matanya
terpejam menahan azab, lalu bergumam : "Biarlah ibumu yang
menjemputmu, Teratai Putih", lalu ia meludah sekitar mulut lubang dan
sekaligus melemparkan goloknya jatuh melayang-layang dalam kegelapan
lubang. Sesaat sepi. Menyentak. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kemudian terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan panjang
yang mendirikan bulu roma.
semua yang ada di tempat itu, terpaku kaget dan ngeri.
Malah ada yang sampai terkencing di celana. "Di sini si cantik Teratai
Putih mati dan bermukim keluh pak Mirta pelan, begitu suara lolongan
itu tinggal gaung lemah nun jauh entah di mana. Orang tua itu
menengadah, menatap warga desanya yang terheran-heran mendengar
apa yang ia utarakan "Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya.
Dan ibunya. Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu
besar untuk ditebus ..."
Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.
Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang dimaksud lurah
mereka. Tetapi tak ada bedanya. Tak ada. Karena, serbuan tikus-tikus
itu telah mencabik hampir sekujur tubuh pak Mirta. Racun dari kuku
serta taring makhluk-makhluk itu telah menjalar di sekujur persendian,
mengalir di semua pembuluh darah dan kemudian mende kam di
jantungnya. Ketika orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan di
bawah sinar obor, barulah me reka terkejut melihat kulit tubuh pak
Mirta telah berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu telah
meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan kematian Margono,
Dudung maupun Ajat. Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mir ta, jatuh ke tanah.
Berkelip sebentar. Lalu padam. Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka me ngeluarkan selain golok
juga seonggok tulang be lulang.
"Teratai Putih", seseorang berbisik. Matahari tersentak di balik bukit.
TAMAT Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Koleksi ebook inzomnia Api Di Bukit Menoreh 7 Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Kisah Para Pendekar Pulau Es 19
^