Pencarian

Penunggu Jenazah 3

Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap Bagian 3


itu. Pernah sekali dua aku membantu bidan menolong
orang yang melahirkan, jadi apa boleh buat. Kupikir
toh aku bisa. O, Nak ljah, Nak ljah manis. Kau toh tak
akan menuduh ibu yang mencelakakanmu, bukan""
Perempuan tua itu tiba-tiba sesenggukan.
Kurdi menghela nafas. "Sudahlah, lbu sayang pada Nyi
ljah. Tentu ia tau, bukan ibu yang menyebabkan
kematiannya...." Bu Enjuh manggut-manggut. "Memang...." sedunya.
"Memang bukan aku. Melainkan...."
Tangisnya tiba-tiba terhenti. Ia menelan ludah,
berkalikali. Lantas: "Ah, begitulah. la kemudian mati. Dan
anaknya... Aku cuma melaksanakan amanat. Untung
Lurah lbing mau mengerti...."
"Amanat"" "Sebelum meninggal, ljah sempat berpesan. Kalau
anaknya terus hidup, harus cepat-cepat kusingkirkan
ke tempat jauh. Kalau anaknya mati aqar cepat-cepat
ku-kuburkan, sebelum dilihat orang... "
"Mengapa harus begitu""
"Anak itu... lahir cacat. Kepalanya besar. Mata indah
dan sempurna seperti ibunya. Akan tetapi... mulut dan
hidungnya bersatu. Dan... tangan-tangannya panjang
sampai ke tumit kaki, serta.... serta berbulu pula. lbu
hampir pingsan waktu melihatnya..." dan wajah
perempuan itu tiba-tiba pucat pasi. Ia memandang
Kurdi dengan mata menyesal. Lalu, seraya
menakupkan wajah di kedua telapak tangan, ia
menangis ilein berkata tersendat-sendat:
"Oh. Mengapa! Mengapa kuceritakan musibah
"mengerikan itu pada orang lain""
Kurdi membuang muka. Semenjak tadi ia menatap
mata perempuan tua itu sedemikian rupa sehingga
dengan kekuatan batinnya, ia berhasil memaksa si
perempuan untuk mengeluarkan perasaan hatinya.
Tentu saja ia tidak sampai hati untuk menerangkan
hal itu. Namun melihat rasa penyesalan di wajah Bu Enjuh mau tidak
mau Kurdi ikut pula menyesali diri sendiri. Tidak patut
ia mengusik duka cita yang dikandung Bu Enjuh
dengan menimbulkan perasaan berdosa.
Akhirnya Kurdi berusaha menghibur:
"Yang sudah, ya sudahlah, bu. Tak usah ditangisi..."
"Tetapi," ratap Bu Enjuh. "Aku telah berjanji pada Nak
ljah agar tidak...." la kemudian merahup mayat di
hadapan mereka seraya menangis tersedu-sedu.
"Anakku. Anakku. Maafkan ibu, nak. lbu telah lancang
mulut. Ibu telah melanggar janji, nak. Ooo, andaikata
kau masih hidup, ibu bersedia kau tempeleng.
Katakan, ljah. Katakan. Kau bersedia memaafkan
perempuan tua renta itu. ljah, katakanlah. ljah...!"
Tanpa sadar tangannya telah menggerakkan kain
selendang penutup mayat sehingga tersingkap bagian
atasnya. Seketika, mata Kurdi mengecil. Di hadapannya,
terbujur sesosok tubuh perempuan berumur sekitar
dua-puluh limaan. Berhidung bangir, dagu tergantung
lembut di bawah sepasang gondewa bibir mungil
yang penuh mencuat. Meskipun sudut-sudut bibir itu
bergaris tajam dengan kerut-kerut halus pertanda
betapa ia menderita di saat elmaut datang untuk
mencabut nyawanya, namun jelas terbayang betapa
indah bentuk mulut itu bila diam darah segar dan
hidup. Kurdi sampai menahan nafas. Dalam. Teramat
dalam.... Berulang-ulang. Tarikan nafasnya terdengar
semakin kentara manakala sepasang matanya yang
mengecil dan bersinar pucat itu, terpandang pada
sepasang bola mata yang bundar dengan manikmanik yang sudah mati. Bukan putih mata yang ia
lihat. Sungguh. Sepasang bola mata dalam lingkaran
hitam yang besar. Mata itu terpentang lebar.
Dengan ta'jub, Kurdi menyingkapkan seluruh kain
penutup mayat. Semakin jelas terlihat keadaan
perempuan muda bernama Nyi Ijah itu. Tubuhnya
montok berisi. Kulitnya berwarna putih kemerahmerahan. Benar. Putih, tidak pucat sama sekali, malah
kemerah-merahan. Yang jadi tanda ia telah mati,
hanyalah denyut jantung yang sudah berhenti serta
manik-manik mata yang sudah tidak bercahaya sama
sekali. "... kematian yang aneh," Kurdi bergumam. la
mencoba memusatkan konsentrasi. Tetapi tangis Bu
Enjuh yang tersendat-sendat mengganggu
konsentrasinya. Kurdi memegang bahu si perempuan. Memintanya
berdiri dan kemudian menuntunnya berjalan keluar
dari rumah. Di halaman, kegelapan malam yang
"sehitam pekat tak ubahnya tabir tebal dari sebuah
kehidupan yang tidak mengenal ampun. Lampu-lampu
minyak berkelap-kelip dengan lemah di sana-sini.
Sesaat Kurdi tertegun. Biasanya, bila penduduk takut
akan mereka perbesar sumbunya, sehingga kampung
jadi terang benderang dan hantu takut menampakkan
diri. Benar, waktu ia datang, jalan utama di kampung
itu diterangi oleh lampu-lampu minyak, akan tetapi
sekarang jalan utama itu bagaikan hilang. Bangunanbangunan rumah
penduduk di kiri-kanan jalan tak ubahnya barisan
raksasa-raksasa yang berjongkok diam-diam dalam
kegelapan. Kurdi tidak merasakan angin bertiup kala
itu. Akan tetapi, lampu-lampu minyak menari-nari liar,
makin lama makin lemah, dan mulai berpadaman
satu demi satu. Kurdi mencoba menembus kegelapan malam di
sekelilingnya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun.
Tidak dengan matanya. la melihat lewat perasaannya.
Seringai pendek terukir di bibir Kurdi.
"Si pengusik itu lagi," cetusnya serak. "Kau tak akan
berhasil. Tak akan....!"
Lalu pada si perempuan yang memandang heran
pada sikap Kurdi, ia bertanya dengan suara ramah:
"lbu tahu letaknya rumah pak lurah""
Bu Enjuh manggut-manggut.
"lbu berani jalan sendirian""
Anggukan lagi. Tegas. "Syukurlah. Nah, sekarang pergilah ke sana, dan
tidurlah di rumah pak lurah malam ini. la akan senang,
karena tadi ia pun berkata demikian. Tenangkan
pikiran ibu. Tidurlah. Bila ibu terbangun esok pagi,
mudah-mudahan segalanya berjalan selamat. Aku
bisa mengetahui di mana kubur suami Nyi ljah, dan
ibu boleh berlega hati arwah Nyi ljah tak akan
gentanyangan sebagai... sebagai kuntilanak!"
Dahi perempuan tua itu mengerut. "Anakku tak akan
jadi kuntilanak," desisnya. "Mereka yang mengatakan
begitu. Mereka terlalu..."
Kurdi mengangguk setuju. "Oleh karena ituah, mereka
harus kita yakinkan, bukan""
Bu Enjuh ragu-ragu, kemudian mengangguk. la
memegang tangan Kurdi sejenak. Memegangnya eraterat. Hati Kurdi terenyuh. Tak biasanya ia diperlakukan
oleh "langganan-langganannya" seakrab itu. Hati Kurdi
jadi tergoncang. Lama setelah Bu Enjuh menghilang
ditelan kegelapan malam, Kurdi baru mengerti.
Perempuan itu tidak bermaksud ramah terhadapnya.
Perempuan itu berlaku demikian, karena ia benarbenar berharap Kurdi bisa mengabulkan apa yang ia
inginkan. Agar arwah anak angkatnya tidak
gentayangan jadi kuntilanak. Tak lebih dari itu!
"Hem," desah Kurdi, lalu memutar tubuh masuk
kedalam rumah kembali. Ia kemudian menutupkan pintu. Telinganya masih
menangkap sempat dengus kuda dan lolongan anjing
yang lirih di halaman. Tetapi ia tidak sempat melihat,
bagaimana lampu-lampu minyak yang masih
menyala, padam seketika. Seolah-olah ada orang
yang meniupnya dengan keras.
Kurdi langsung ke tengah rumah, duduk bersimpuh
menghadapi mayat Nyi Ijah yang terbujur di atas
permadani. Goncangan-goncangan dalam dirinya
menyentak-nyentak kembali, waktu me mandangi
sekujur tubuh Nyi ljah, memandangi bibir mungil yang
mencuat itu, memandangi gelembung dada yang
diam tak bergerak-gerak itu. Sukar bagi Kurdi untuk
menahan diri agar tidak segera melaksanakan hajat
tiap kali ia berhadapan dengan mayat perempuan.
Bila saja sepasang mata Nyi ljah itu terpentang lebar,
tentulah Kurdi tidak bisa menahan diri. Memandang
"mata yang seolah-olah hidup itu, Kurdi merasakan
pengaruh ganjil dalam dirinya. Sesuatu yang
menimbulkan perasaan tidak enak, serta kecemasan
yang tersembunyi. Tangan Kurdi gemetar waktu mengeluarkan dupa dan
menyan dari saku bawah yang lebar dari kemejanya.
la letakkan benda-benda itu di antara lututnya dengan
tubuh mayat, di tempat mana kemudian ia juga
meletakkan sebuah pisau cukur, sehelai daun kelapa
muda dan tali dari pelepah pisang yang sudah kering.
Setelah ia rasa sudah tersedia segala peralatan, Kurdi
memasukkan bubuk menyan ke dalam dupa, lalu
menyalakannya dengan sebatang korek api.
Terdengar suara membersit halus, percikan-percikan
kuning berpencaran dari dupa, nyala korek api padam,
nyala di dupa membesar. Benggol dupa sebesar anak
jari kemudian ia sorongkan ke tengah-tengah nyala
api dupa. Percikan-percikan lagi, nyala api yang
padam, disusul oleh kebulan asap yang kian lama
kian menebal. Asap menyan itu ia hirup dalam-dalam, berulangulang. Lantas mulut Kurdi mulai kumat kamit
membaca mantera. Suaranya terdengar sangat
perlahan mulanya, kemudian makin keras dan di saat
berikutnya tubuh Kurdi tergoncang-goncang ke kiri
dan ke kanan. Dari mulutnya, mantera-mantera itu
terdengar seperti rentetan derak-derak roda kereta
yang terdengar sayup-sayup, sementara butir-butir
keringat sebesar jagung mulai berlelehan dari pori-pori
wajahnya. Pada saat asap menyan memenuhi
ruangan tengah rumah yang tidak begitu lebar itu,
Kurdi tiba-tiba membentak:
"Jangan pergi!"
Dengan sepasang mata tertutup rapat dan mulut
kembali kumat kamit membaca mantera, Kurdi
bergerak bersamaan dengan terdengarnya suara
bentakan yang kedua: "Kembali!" Kedua lengannya terpentang ke depan, dengan jari
jemari terkembang. Suatu saat jari jemari itu seperti
menyentuh sesuatu di atas sosok tubuh mayat Nyi
ljah, yang ia cengkeram kuat-kuat lalu ia tekan
sebisa-bisanya ke bawah. Sesuatu yang tidak terlihat
itu rupanya melakukan perlawanan sehingga
beberapa kali tubuh Kurdi doyong mau jatuh dan
pegangannya terlepas. Baru setelah ia berlutut,
sesuatu yang ia pegang rupanya tidak bisa lapas lagi.
Otot-otot dan urat-urat lengan Kurdi bersembulan,
demikian pula urat-urat lehernya yang banjir oleh
peluh. Bertumpu pada lutut, ia tekankan telapak
tangannya kembali seperti tadi. Terarah ke bawah,
makin lama makin dekat ke bagian dada si
perempuan. Seinci demi seinci, disertai dengan nafas
lelah dari hidung Kurdi, lalu:
"Hap!" Kedua telapak tangannya mendarat malah sedikit
terbenam di sepasang gelembung payudara Nyi ljah.
Masih tanpa membuka mata, Kurdi kemudian
meludahi. "Cuh!" Langsung ke dada Nyi ljah.
Tubuh mayat Itu tersentak, kemudian diam.
Kurdi menarik kedua telapak tangannya, membuka
matanya, memandangi mayat di hadapannya dengan
muka tegang. Wajah Kurdi yang pucat kini berubah
merah padam, berkilat-kilat oleh keringat. la tatap
sepasang mata yang terpentang lebar di wajah
mayat itu, lalu seraya menyeringai lebar Kurdi
mendesah: "Diamlah di jasadmu, roh perempuan manis. Kau tak
boleh lari lagi seperti tadi. Kau tak akan bisa. Tak
akan "bisa...." la hirup lagi asap menyan. Lalu mengatur nafas. Baru
berkata: "Rohmu masih berada di tubuhmu, perempuan manis.
Jadi aku tidak bersusah payah untuk me manggilkan
kembali. Mengapa" Mengapa rohmu tidak mau pergi,
tatkala kau sudah mati""
Mula-mula tidak ada reaksi. Baru setelah Kurdi
membentak: "Jawablah!" Bibir Nyi ljah mulai bergerak-gerak. Menggerimit.
Seperti desau angin, terdengar suara lemah seorang
perempuan: "... aku... aku tak mau... aku... aku tak sudi."
"ltu tak patut!"
"Aku ingin... berada di jasadku... di jasad anakku..."
"Anakmu telah dikubur."
"Jasadnya. Tidak rohnya. Kami... kami tidak mau
berpisah. Kami... kami masih ingin hidup... tetapi
kematian... kegelapan yang mengerikan... kenistaan
yang menyakitkan,... O, kau pengabdi setan...
ketahuilah, aku... aku masih ingin memperkenalkan
hidup ini pada anakku... aku... aku ingin ia merasakan
arti... hidup ini. Tetapi ia... ia mati. Dan aku... aku ia


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawa mati..." "Biarkan roh anakmu hidup tenteram di alam baka.
Biarkan ia tetap suci seperti ketika ia masih kau
kandung." "Tetapi... aku ingin membopongnya. Aku ingin... ingin
memperlihatkan pada semua orang... inilah anakku,
inilah anakku. Aku ingin... anakku tahu... keadaan dunia
ini... siapa-siapa yang kukenal dan harus ia kenal..."
"Biarpun untuk itu kau harus terbang dari satu pohon
ke pohon lain di kala malam, dengan anakmu dalam
gendongan"" "... ya!" "Orang-orang tak akan sudi melihat anakmu. Mereka
melainkan menjauhi anakmu."
"... oh... Tak mungkin. Mereka kejam."
"Bukan. Bukan karena mereka kejam. Tetapi karena
mereka takut... takut pada rohmu yang
bergelantungan di pohon-pohon rindang, takut pada
tangis anakmu yang menyayat-nyayat tanpa
terlihat.... Tahukah kau sebutan apa yang mereka
berikan padamu, kalau kau teruskan niatmu itu""
Kurdi menyeringai, lantas melanjutkan dengan suara
kejam: "Kuntilanak! Kuntilanak! Kuntilanak!"
Mulut mayat Nyi Ijah terbuka lebar. Terdengar jerit
memilukan memecah kesepian malam itu:
"Tidaaaaaaakkkkk!"
Seluruh kampung terenggut diam. Malam terpaku
diam. Kuda dan anjing di halaman rumah Bu Enjuh,
tegak dengan diam. Pohon-pohon diam. Angin diam.
Gunung-gunung diam. Bahkan awan pekat yang
bergulung-gulung di langit, ikut terdiam. Tidak seorang
pun manusia yang ada di kampung itu, yang tidak
terdiam kala jerit memilukan itu terdengar, biarpun
ada di antara mereka yang saat itu tengah bermain
kartu dengan suara ribut untuk mengendurkan rasa
takut yang telah timbul semenjak mereka tahu Nyi
ljah telah mati di saat perempuan
itu melahirkan. Mereka sudah menduga Nyi ljah akan gentayangan
sebagai kuntilanak. Tetapi mereka tidak pernah
menduga, demikian memilukan dan mengerikan suara
jeritannya. Jeritan yang kemudian disusul oleh isak
tangis-isak tangis yang bagai merangkak dari satu
rumah kelain rumah, disertai suara memohon yang
lirih: "Kasihanilah aku. Kasihanilah anakku...!"
*** Suara Kurdi merendah. "Kalau begitu, tinggalkan dunia
ini. Tinggalkan dengan perasaan aman dan
tenteram..." "Tidak!" Suara yang lepas dari mulut mayat Nyi ljah
seperti suara orang sakit. "Aku tidak bisa. Aku...."
"Hem. Yang kau maksud sudah dikatakan oleh
mereka padaku. Kau Ingin dimakamkan disamping
makam suamimu, bukan""
Mulut mungil itu renyai sedikit. Malah sepasang
kelopak matanya, sempat mengerjap. Lalu:
"Ya.... Tetapi mereka... mereka tidak tahu. Aku sendiri
tidak pernah tahu di mana letaknya makam itu."
"... akan menunjukkannya padaku, perempuan manis,"
ujar Kurdi seraya tersenyum. Manis. "Maksudku,
rohmu...." Mulut Nyi ljah meringis. "Kalau kau melakukannya,
aku... aku akan sangat menderita, dan..."
"Kau ingin disemayamkan di samping suamimu""
"... ya!" "Kalau begitu, kau harus tabah!"
"Bukan itu saja. Aku...aku...."
"Jangan membantah!" Suara Kurdi berubah tajam.
"Kalau tidak, akan kubiarkan mereka menyebut kau
kuntilanak, dan menyebut anakmu anak kuntilanak!"
"Aaaa, tidaaaaak!" jerit Nyi Ijah, nyaring.
"Hussyyy, jangan menjerit lagi. Geger orang
sekampung kau buat!"
Wajah Nyi Ijah berubah memelas. Kurdi
menghembuskan asap menyan ke wajah perempuan
muda itu. Nyi Ijah terengah-engah. Kemudian
terbatuk-batuk. Keras. Sampai tubuhnya terangkat
dari permadani, seakan menghindar.
"... bau apa ini"" Jerit Nyi ljah tertahan. "Aku tak
tahan. Aku... aku tak kuat. Tolong bukakan pintu. Bukakan
jendela. Biar bau busuk ini pergi,... Tolonglah!"
"Dan rohmu ikut pergi"" Kurdi menyeringai. "Tidak.
Rohmu akan tetap ada dalam jasadmu, karena rohmu
yang akan menunjukkan di mana terletak makam
suamimu.... Bukan pekerjaan mudah. Tetapi selagi kau
"hidup, kau beramanat pada mereka, agar mayatmu
dimakamkan di samping makam suamimu. Amanat
itu adalah tutur katamu. Amanat itu adalah
sumpahmu. Kau tidak mungkin mundur lagi..."
"Sudah kubilang, aku tidak tahu..."
"Dengan bantuanku, kau pasti tahu!" tukas Kurdi,
tegas. "Sungguh""
"Aku berjanji. Tetapi diperlukan kerjasama..."
"Aku mencintai suamiku... Hanya ia... ia seorang
yang... yang memperhatikan dan memperlakukan
aku... sebagaimana layaknya ia memperhatikan dan
memperlakukan orang yang... yang ia kasihi. Hanya ia
seorang. Banyak laki-laki... ah. Banyak orang,.. aduh!
Aku tidak berani mengatakannya. Aku hanya bisa
mengatakan padamu, aku mencintainya dengan
segenap jiwa ragaku. Malah ketika keluar ganya
menentang keras hubungan kami... ia... ia berontak. la
bersedia mati... kemudian ia berjanji untuk sehidup
semati denganku, kalau tidak... Ia, ia pasti
mencintaiku. la pasti menungguku
dipersemayamannya. la...."
"Kau ragu terhadap cintanya, bukan""
"Aku... aku tidak perduli."
"Kau ragu. Berkatalah jujur. Kalau tidak, aku tidak
mungkin membantumu...."
"Kau harus membantuku!"
"Karena itu, perempuan manis, ceritakanlah sejujurjujurnya!"
"Mengapa kau ingin tahu""
"Supaya aku mengetahui bagaimana perkembangan
jiwa dari rohmu di saat-saat terakhir hidupmu.
Keadaan jiwamu itu penting sekali, agar aku bisa
menyesuaikan diri dengan kemampuanku...."
"Kau memperalatku. Memperalat roh orang yang
sudah mati!" sungut Nyi ljah. Tubuhnya gemetar.
"Apa boleh buat. Coba kau mati dalam keadaan
tenang, tidak penasaran seperti ini. Sudahlah. Tak
perlu lagi hal itu diungkit-ungkit. Ceritakan saja, apa
yang dialami jiwa dari rohmu semasa hidupmu,
menjelang kau mati..." Kurdi duduk bersila, seperti
layaknya seorang anak yang siap mendengar
dongeng dari sang nenek. Tetapi sebelum Nyi ljah
membuka mulut kembali Kurdi
cepat-cepat memperingatkan:
"Camkan. Hanya yang ada hubungan dengan
suamimu. Karena kearah dia-lah pekerjaanku akan
kulakukan...!" Nyi Ijah manggut-manggut. Benar-benar mengangguk!
*** Gara-gara persoalan harta, ayah Nyi ljah yang
keturunan tuan tanah, menceraikan ibu Nyi ljah yang
lahir dari keluarga penggarap sawah orang. Ayahnya
kemudian kawin dengan salah seorang anak sanak
famili yang tinggal di kota. Nyi ljah serta ibunya
ditinggalkan begitu saja di kampung, dan hanya boleh
bersyukur telah menerima sebuah rumah gubuk dan
dua kotak sawah sebagai tanda putus hubungan.
Tentu saja memiliki sawah sendiri meskipun cuma
dua kotak merupakan suatu kebanggaan dari
keluarga ibu Nyi Ijah yang selama hidup mereka
hanya menggantungkan hidup dari menggarap sawah
orang lain. Tetapi apalah artinya sawah dua kotak dan
sebuah rumah gubuk yang dimakan dan ditempati
bersama-sama oleh kakek nenek dan sanak keluarga
ibu Nyi ljah yang jumlahnya belasan orang. Dengan
cepat harta kekayaan yang tidak seberap a itu, ludas
tanpa bersisa sedikitpun. Ibunya kembali bekerja
sebagai penggarap di sawah orang, dan Nyi ljah yang
masih bocah terpaksa ikut belajar bergumul dengan
lumpur yang mengotori kulitnya yang putih bersih dan
"gagang ketam padi meleceti telapak tangannya yang
halus. Dengan suara memelas, ibunya kemudian
berkata: "Nak, kau di rumah saja. Memasak nasi untuk ibu,
atau menangkap kupu-kupu..."
Meningkat remaja, ibunya yang tampak jauh semakin
tua mengeluh: "Melihat wajah dan pembawaanmu, anakku,
mengingatkan ibu pada ayahmu. Orang memandang
wajahmu seraya tersenyum kagum. Orang
memperhatikan tingkah lakumu seraya geleng-geleng
kepala. Kau tidak pantas jadi anak petani. Pantasnya
kau jadi anak tuan tanah...!"
Ketika ibunya mau meninggal, tiada lagi harta
kekayaan yang bersisa untuk diberikan pada Nyi ljah
yang sedang ranum-ranumnya.
Dari pembaringan di mana perempuan tua yang
malang itu tergeletak lemah dengan nafas yang
tinggal satu-satu, ibu Nyi ljah mengulurkan tangan
untuk mengusap wajah anaknya.
"Anakku," ia berpesan. "Di kampung ini, kau akan
terlunta-lunta. lbu tak punya apa-apa yang bisa
ditinggalkan untuk kau makan dan kau pakai. Pamanpaman dan bibi-bibi serta uwa-uwamu yang masih
hidup, berkelana dari satu kampung ke lain kampung
untuk mengharap belas kasihan pemilik-pemilik
sawah yang membutuhkan para pekerja. Orang-orang seperti kita
tidak ada yang sanggup membelamu. Paling-paling
orang-orang kaya, yang ibu tahu dan arif, suka
mengganggumu. lbu malah sering ditawari bantuan.
lbu tahu maksud mereka. Tetapi ibu lebih tahu
pengalaman apa yang telah ibu jalani. Mereka akan
tetap menganggapmu anak melarat, yang hanya
patut dibelas kasihani, tetapi
tidak patut untuk duduk sejajar dengan mereka.
Suatu ketika, kau akan mereka lemparkan semenamena sebagaimana mereka pernah melempar ibu...."
Di antara isak tangisnya, Nyi Ijah mendengar pesan
terakhir sang ibu: "Anakku, hanya kepada satu oranglah kau bisa pergi.
Ayahmu." Lalu ibunya pun mati, tidak dengan tenang.
*** Dengan sedikit bekal yang dikumpulkan bersusah
payah oleh sanak famili ibunya, Nyi ljah pun
berangkat ke kota. la naik bus yang lewat menjelang
hari siang tak jauh dari kampung, dan tiba bersamaan
dengan datangnya malam ditengah-tengah kota.
Untuk beberapa saat lamanya Nyi ljah hanya
terbengong-bengong memandangi terminal bus,
kagum dan suasana di sekelilingnya. Pertokoan yang
ramai, gedung-gedung yang megah, pasar yang tidak
pernah diam, manusia yang hilir mudik dengan
pakaian aneka ragam yang bagus-bagus semuanya di
mata Nyi ljah. Terpandang sandal jepit di kaki dan rok dari bahan
tetrex murahan di tubuhnya, Nyi Ijah tersipu sendiri.
Wajahnya merah padam tiap kali beradu pandang
dengan orang-orang di terminal. Barulah ketika
seseorang menegur: "Cari siapa, Neng""
Nyi ljah tersentak. la pandangi si penanya. Ternyata
petugas de-el-el-de-terminal yang memandangi penuh
perhatian pada perawan ranum yang tampak sekali
baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar
itu. Dengan wajah menunduk malu dan tangan
mempermainkan kuku, Nyi ljah menjawab gemetar:
"Cari ayah, Pak...."
"Oo, sama-sama datang dari kampung""
"Siapa"" Nyi ljah gugup.
""Ayah eneng."
"Nama saya ljah, bukan Eneng...."
Petugas berkemeja putih bercelana biru itu terkekehkekeh. Habis kekehnya, ia berkata:
"Ayahmu. Aku bertanya, apakah ayahmu tadi datang
bersama-sama dengan Eneng... eh, Neng ljah."
Semakin Ijah tersipu. "... tidak," katanya. Lambat. Hampir-hampir tidak
terdengar. Tetapi geleng kepalanya cukup jelas
terlihat oleh si petugas. "Ayah saya tinggal di kota
ini...." "Tahu alamatnya""
ljah menyebutkan alamat ayahnya dengan mata
mengharap, semoga orang yang berhadapan
dengannya tahu di mana letaknya alamat ayahnya
tinggal, semoga orang itu kenal baik dengan ayahnya
pula. Tentulah sebagai orang kaya, ayahnya cukup
terkenal. Tetapi waktu ia sebut alamat dan kemudian
juga nama ayahnya, petugas de-el-el-de itu hanya
manggut-manggut, hampir-hampir tanpa perhatian.
Setelah menatap sejurus pada tubuh perawan yang
baru jadi di hadapannya, petugas terminal itu


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang tangan Nyi ljah. Si gadis tersentak kaget.
"Jangan takut," rungut si laki-laki sambil membalas
pandangan beberapa orang lainnya di terminal itu,
yang memperhatikan mereka semenjak tadi. "Akan
kuantarkan kau ke luar terminal, di sana banyak
becak yang bisa mengantarkan kau ke rumah
ayahmu...!" Dan kepada abang becak yang kendaraannya
kemudian dinaiki Nyi ljah, petugas de-eI-el-de itu
berpesan: "Sampai ketemu orang yang dicari, mang!"
Sepanjang jalan, abang becak itu banyak bertanyatanya. Dari mana asal Nyi ljah, siapa namanya,
berapa kali sudah ke kota, berapa umurnya dan
sebagainya dan sebagainya, yang hanya dijawab Nyi
ljah ?"Bab 3 dengan kata-kata pendek-pendek. la lebih tertarik
pada jalan-jalan lebar yang diterangi lampu-lampu
mercury, kendaraan-kendaraan hilir mudik, rumahrumah megah, toko-toko yang menjual banyak ragam
pakaian dan makanan. Nyi ljah semakin malu pada
apa yang ia kenakan di tubuh, dan semakin
merungkut pada perut yang melilit. la sudah lapar
sekali. Tadi dijalan, bus berhenti di rumah makan.
Banyak penumpang yang turun untuk makan. Tetapi
Nyi ljah lebih suka duduk diam-diam, karena dari
rumah ia sudah makan banyak-banyak agar tidak
kelaparan di jalan. Toh, nanti di kota, ayahnya pasti
akan memberi makanan yang banyak dan lezat-lezat.
".... nomor berapa rumahnya, Neng""
Pertanyaan abang becak itu menyadarkan Ijah dari
lamunannya. "Tiga dua...." sahutnya. "Inikah jalannya""
"Benar, Neng. Nah yang ini tiga belas, nomor ganjil.
Sebelah kanan, nah, nomor dua puluh dua. Barangkali
itu tuh, yang ada mobil diparkir di depannya..."
Bukan bayangan ayahnya punya mobil bagus yang
membuat jantung ljah berdenyut. Melainkan
bayangan ayahnya sendiri. la masih bocah ingusan ketika
ditinggalkan oleh ayahnya. ljah sudah lupa-lupa ingat,
bagaimana rupa sang ayah. Apakah ayahnya juga
demikian" Dan bagaimana sikap ayahnya nanti, bila ia
tahu ljah, anak yang merindukan dan sangat
mengharapkan pertolongannya, tiba-tiba berdiri di
hadapannya. Dada ljah berdebar kencang waktu becak berhenti di
depan rumah bernomor tiga puluh dua. Bersebelahan
dengan rumah yang ada mobil bagus di
pekarangannya tadi. Di sini tidak ada mobil. Tetapi
pekarangannya luas. Ada taman bunga. Dan patung
seorang perempuan dari pualam putih gemerlapan di
jilat lampu neon bundar tersembul di antara
rerumputan. Dengan menjinjing tas kecil yang ia bawa dari
kampung berisi dua helai pakaian ganti serta foto
lama ketika ia masih bayi dipangku ibu disebelah
ayahnya, Nyi ljah melangkahi jalan masuk
pekarangan yang dilapisi batu koral.
Rumah gedung itu sepi. Tidak ada orang di teras depan. Lewat jendela kaca
bertirai kain gordeng putih yang tipis, ia melihat
ruangan depan yang megah serta cemerlang, juga
tidak ada orang. Sesaat, ljah menoleh ke belakang.
Becak tadi sudah berangkat. Hanya samar-samar
terlihat melaju ditelan kegelapan malam, menghilang
di sebuah pengkolan. Tiada teman untuk berbicara.
"Tiada tempat lagi untuk bertanya. Tinggal pada diri
sendiri: bolehkah aku masuk" Ada ayah dirumah"
Masihkah ia mengakui aku datang bersandal jepit,
ber-rok yang sudah lusuh sepanjang perjalanan dari
kampung, serta muka kotor oleh debu" Apa pula kata
isteri ayahnya nanti" Istri ayahnya. la itu ibu tiri Nyi
ljah. lbu tiri. Wahai, seperti apa gerangan rasanya
beribu tiri" Dari radio Nyi ljah sering mendengar lagulagu sedih tentang ibu tiri yang....
Salak seekor anjing membuat Nyi ljah tersentak. la
terpaku ditempatnya berdiri, tepat di depan pintu, di
teras. Tangannya baru saja akan mengetuk pintu
tanpa melihat, atau kalaupun melihat tidak tahu
bagaimana menggunakan bel di dekat pintu itu,
ketika salak anjing yang lantang itu terdengar,
jantungnya sampai berhenti berdenyut, dan jalan
darahnya bagai terputus. Dengan wajah pucat ia memandang berkeliling. Liar
matanya mencari. Tetapi ia tidak melihat anjing
datang mengejar, atau menerkam. la hanya
mendengar gonggongannya yang tidak putus-putus,
semakin lama semakin lebar. Ia tak tahu itu garasi
samping. Nyi ljah menghela nafas. Kejutnya mereda, tetapi
takutnya tidak. la bergerak mundur. Siapa tau
sewaktu-waktu pintu lebar itu terbuka dan.... Dan
pintu lebar itu memang terbuka tiba-tiba, disertai
bentakan: "Bruno! Masuk!"
Gonggongan keras itu berhenti.
Jantung Nyi ljah berdenyut kembali. Darahnya
kembali pula mengalir. Didahului oleh seorang
perempuan gadis seumur Nyi ljah sendiri tampak
anjing itu menjulurkan kepalanya lewat sela-sela
daun pintu. Sebentuk kepala yang hampir sebesar kepala ljah sendiri,
berbulu hitam pekat, bermata merah menyala-nyala,
bermoncong sempit dengan gigi taring yang mencuat
ke luar dari mulut. Seekor boxer besar, yang membuat
Nyi ljah bergerak mundur menjauh.
"Hayo, Bruno masuk!" membentak lagi gadis yang
keluar dari pintu lebar itu, yang segera ia tutupkan
begitu anjing boxer tadi menarik kepalanya mundur
dari sela-sela daun pintu. Gadis itu kemudian
memandangi Nyi ljah dengan mata penuh selidik, dari
ujung rambut yang awut-awutan, sampai ke ujung
kakinya yang telanjang, berdebu. Sebaliknya, Nyi ljah
balas memandangi gadis tersebut. Bedanya, alangkah
jauh. Sandal si gadis bagus. Bajunya berwarna-warni,
indah sekali di mata ljah. Tubuhnya tampak manis.
Telinganya pakai anting-anting. Bibirnya merah
bersepu, pipinya semua putih berbedak.
"... cari siapa"" tanya si gadis, waktu mereka beradu
pandang. Nyi ljah mengatur nafas. Berusaha tenang:
"Ayah," sahutnya.
"Ya"" "Cari ayah." Kembali gadis itu memandangi sekujur tubuh Nyi ljah,
dari ujung rambut ke ujung kaki. Kembali pula Nyi
ljah membalas, memperhatikan si gadis. Tentulah ia
ini anak ayahnya dari isterinya yang sekarang. Jadi,
saudara tiri Nyi ljah. Pantaslah ia penuh selidik.
Pantas. la tentu tidak mau mengaku bahwa...
"Ayahmu" Siapa""
Nyi Ijah dongkol. la sebutkan nama ayahnya keraskeras.
Dari ruang tengah, tampak bayangan seorang laki-laki
berjalan keluar. Nyi ljah dan si gadis serempak menoleh waktu pintu
yang tadi mau diketuk ljah, terbuka.
""Mirah!" seru laki-laki itu setelah ke luar. "Apakah
taksi itu belum...." kalimatnya terputus begitu melihat ada
orang lain di samping gadis yang ia panggil dengan
nama Mirah. Lalu: "Siapa anak ini""
Setengah membungkuk, gadis di dekat Nyi ljah
menyahut: "Entah, Tuan. Katanya ia mencari ayahnya."
Dahi laki-laki berpakaian perlente itu mengerut.
"Ayahnya""
"Saya, Tuan," Ijah kini yang menyahut, mengikuti
panggilan si gadis terhadap laki-laki itu, malah juga
mengikuti gerak membungkuk yang sedikit kaku.
"Keluarga saya memberi tahu alamat ini pada saya...."
Laki-laki perlente itu memandangi Nyi ljah sejurus.
Lantas: "Benar nama jalannya""
"Benar, Tuan." "Nomor rumahnya""
"Saya, Tuan." "Apa"" "Benar, Tuan. Nomornya sama."
"Eh. Kok... siapa namanya""
ljah menyebutkan nama ayahnya. Laki-laki itu berpikir
sebentar, kemudian tersenyum. Jelas tidak ramah
sama sekali. Dipaksakan. Tetapi Nyi ljah tidak
merasakan senyuman yang terpaksa itu. la sudah
putus harapan karena tampaknya ia terbentur ke
alamat yang salah. Lebih-lebih lagi waktu si laki-laki
tiba-tiba berujar: "O, baru aku ingat. Memang dulu ia pemilik rumah ini,
sebelum kami beli..."
"Oh" "Kau siapa""
"Anaknya, Tuan."
"Oh, ya, ya. Tadi sudah kau bilang...." lantas pada
Mirah ia bersungut: "Eh, kenapa masih berdiri di situ"
Si boy lagi berak di kamar mandi. Ayo tunggui sana!"
Mirah membuka pintu lebar tadi, disambut salak
anjing, kemudian pintu tertutup kembali. Si laki-laki
perlente ikut pula memutar tubuh mau masuk ke
dalam rumah. "Tuan...." Laki-laki itu memandangi Nyi ljah dengan malas. "Apa
lagi"" "Ke mana pindahnya ayah saya""
"Wah. Mana aku tahu. Kalaupun tahu, aku sudah lupa.
la sudah pindah sepuluh tahun yang lewat... !" lantas
seraya bersungut-sungut sendirian:
"Brengsek benar taksi itu. Sudah sejam menunggu...."
dan pintu dihempas tertutup.
Nyi ljah berdiri termangu-mangu. Wajahnya semakin
pucat. Bukan karena salak anjing boxer mengerikan
itu masih terdengar dari balik pintu lebar disertai
suara kuku menggaruk-garuk daun pintu, akan tetapi
karena kepastian yang menghancurkan sisa-sisa
harapannya. Bahwa ayahnya telah lama pindah. Dan
tidak seorang pun tahu alamatnya yang baru.
Seharusnya aku tanyakan pada keluarga ayahku di
kampung, pikir Ijah seraya berjalan meninggalkan
rumah itu. Tetapi, ah. Mereka terlalu pongah. Baru
saja aku tampak di kejauhan, mereka sudah menutup
pintu. Padahal aku cuma sekedar lewat di depan
rumah. Diperlakukan seperti pengemis saja. Aduh, ibu,
ibu! Kau beruntung. Tidak mengalami nasib seperti
aku. Kemana ayah akan kucari" Kemana, ibu"
Tanpa terasa lagi, air mata Nyi ljah jatuh bercucuran,
ia berjalan dengan gontai. Kakinya lemah sekali,
kebingungan membuatnya lupa diri. Tiba-tiba matanya
"silau oleh cahaya silau, lantas telinganya menangkap
bunyi rem mendecit-decit nyaring, sebuah mobil
berhenti didepannya lalu dari kegelapan ia dengar
suara supir menyumpah-nyumpah:
"Jadah! Mau bunuh diri, bukan di sini tempatnya!"
Lalu mobil itu melaju lagi, setelah Nyi ljah buru-buru
menepi. Selintas ia masih sempat melihat bagaimana
mobil tadi membelok memasuki pekarangan rumah
yang baru ia tinggalkan. Tentulah taksi yang ditunggutunggu laki-laki itu sehingga tampak sangat begitu
kesal. Yang ia tahu, adalah hal yang sangat
bertentangan. Ketidaktahuan. Ke mana akan pergi!
"Becak, Neng""
Lagi-lagi Nyi ljah tersentak.
Sebuah becak melaju perlahan-lahan di sampingnya.
Nyi ljah memperhatikan pengendaranya, berharap
mudah-mudahan ia adalah abang becak yang tadi.
Ternyata bukan. Yang tadi sudah tua, berwajah
kelimis. Yang ini masih muda, bertubuh kekar, dengan
kumis melintang di atas bibirnya yang tebal. Seram
juga, tetapi Nyi ljah perlu seseorang untuk bertanya:
"Benarkan jalan ini jalan Pandu, Kang""
Dipanggil akang, abang becak itu tampak senang.
"Benar. Mengapa""
Kalau begitu, nomor rumah tadi juga benar. Tentulah
laki-laki parlente itu tidak berdusta. Ayahnya sudah
pindah. Entah ke mana. "Cari seseorang, Neng""
Nyi ljah tiba-tiba punya harapan lagi.
"Ya," katanya. "Mencari ayah saya," lantas ia sebut
nama ayahnya, berharap semoga abang becak itu
kenal. "Di mana tinggalnya ayahmu"" tanya abang becak,
sama sekali tanpa perhatian pada nama ayah Nyi
ljah. Jadi, orang inipun tidak tahu. Tidak kenal. ljah
semakin lemas. Lututnya mulai goyah. Tidak saja tubuh, akan
tetapi juga jiwanya mulai letih.
Abang becak itu menghentikan kendaraannya. "Naik
saja, Neng. Kita cari bersama-sama...."
ljah menurut saja. Ia tak tau mau ke mana pergi,
tetapi mudah-mudahan si abang becak bisa
menanyakan alamat ayahnya kesana kemari.
Mereka berputar-putar di bagian kota, namun


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian ljah pada suasana cemerlang dan megah
disekelilingnya sudah hilang. Tiada kekaguman lagi.
Tiada rasa takjub. Yang ada hanya kecemasan pikiran
kalut, dan keringat dingin yang
berlelehan di ketiak. Sampai tiba-tiba becak berhenti, dan pengendaranya
berkata: "Kita turun di sini saja, Neng."
Seketika, ljah melihat berkeliling. Mereka berada di
sebuah jalan aspal yang sudah rusak berat, tanpa
lampu-lampu mercury, tanpa gedung-gedung megah,
tanpa toko-toko yang gemerlapan. Gelap sepanjang
jalan, dan bau busuk yang pengap terlempar dari
sebuah selokan besar yang airnya kehitam-hitaman di
pinggir jalan. "Di sinikah ayahku tinggal"" tanya Nyi ljah,
memandang ke rumah-rumah disekitarny a. Rumahrumah dari dinding papan dengan atap-atap genteng
yang sudah lumutan. Ayahnya kan orang kaya, tidak
mungkin dia.... "Kita tak tahu di mana ayahmu tinggal, Neng. Aku
yang tinggal di sini. Mau ikut""
ljah kebingungan. Abang becak itu tersenyum lebar, seraya
memperhatikan sekujur tubuh dan wajah ljah dengan
mata lebar. ""Kau tentu lelah. Perlu istirahat. Mandi, makan, lalu
tidur..." Ya, ya, orang ini benar, pikir ljah, lantas turun dari
becak, berjalan mengikutkan laki-laki itu memasuki
salah sebuah rumah petak tak jauh dari selokan.
Rumah itu berlantai tanah ruang depan yang sempit
hanya diisi kursi rotan yang sudah reot, diterangi
lampu 25 watt. Ruang tengah merangkap ruang
makan dan ruang dapur, dengan perabotan ala
kadarnya, lalu sebuah kamar berpintu kayu yang
kapurnya sudah luntur. Orang itu mengatakan ia
tinggal sendirian dirumah ini, jadi ljah tak usah malumalu. la menyuruh ljah mandi ke sumur di belakang.
Tertawa dengan ramah di mulut, dan tersenyum nakal
di matanya yang tak berkedip memandangi
perawakan tubuh serta raut wajah Nyi Ijah.
*** "Kau bertele-tele," rungut Kurdi memotong cerita Nyi
Ijah yang terbujur diam dihadapannya. Mulut si mayat
kumat-kamit melontarkan sumpah serapah yang
samar-samar kedengaran. Kemudian:
".... aku menceritakan..." Nafasnya terdengar berat
dan lelah. "Menceritakan apa yang... yang ada
hubungannya dengan suamiku, seperti yang kau... kau
minta!" "Langsung saja!"
"Tidak. Kau harus tahu bagaimana mulany a aku
bertemu dia. Kau harus tahu bagaimana baiknya ia
padaku. Kau harus!" Suara Nyi ljah terdengar penuh
semangat. "Ia benar-benar seorang lelaki yang patut
didambakan wanita manapun di dunia ini. Ia...."
"Baik. Ia laki-laki terbaik. Tetapi ceritakan tentang dia
saja. Tak usah bawa-bawa nama tukang becak yang
tidak karuan itu." "Tanpa abang becak itu, tak akan aku bertemu
dengan suamiku!" desis mayat Nyi ljah. Marah.
"Hem!" Beberapa saat hanya terdengar nafas-nafas lelah saja.
Kurdi membiarkan. Kebulan dari dupa telah menipis. Ia
tambahkan sebonggol kecil lagi batu menyan.
Membersit bunyinya. Karena asap dupa tidak
membesar juga, Kurdi mengipas-ngipas dupa itu
dengan sarung hitam. Asap dengan cepat berkebul,
membawa bau khas yang mendirikan bulu roma
orang-orang yang tidak menyukainya. Dan ljah! la
terbatuk-batuk. "Asap itu!" katanya setengah merintih, di antara suara
batuk yang mengugoncang-goncang tubuhnya. "Asap
itu. Hentikan!" "Akan kuhentikan, begitu selesai ceritamu!"
"Baik. Baik. Akan kuteruskan. Tetapi asap itu, aduh...
huk... Uhuuk! Uhuuk...!"
Suara batuk Nyi ljah terdengar sampai ke luar rumah.
Bu Enjuh yang beberapa saat berselang mendengar
jeritan anak angkatnya yang sudah mati itu, kembali
tertegun di dekat sebuah batang pohon besar, hanya
beberapa meter lagi dari rumah pak lurah. la memutar
tubuh, memandang ke arah rumahnya di kejauhan.
Tetapi yang ia lihat hanya malam yang pekat,
kehitaman yang mencekam. Suara batuk-batuk
barusan tidak sekeras jeritan tadi. Namun, di malam
sesunyi sekarang, disaat mana jangankan tetanggatetangganya, bahkan
jengkerik pun pada takut untuk menimbulkan suara.
Suara batuk-batuk itu terdengar sangat jelas
memecah kesepian malam. ""Anakku...." bisik Bu Enjuh. Parau. "Apakah kau...."
la ingin berlari. Pulang. Untuk membuktikan bahwa
anak angkatnya tersayang tidak mati, akan tetapi
masih hidup. Atau si dukun penunggu jenazah itu
telah menghidupkannya kembali. Bu Enjuh ingin
berlari ke sana, secepatnya, sekuatnya. Tak perduli
apa nanti kata Kurdi. Tetapi waktu ia gerak-gerakkan
kaki, aduh, lemasnya. Otot-otot Bu Enjuh teramat
kejang. Tidak, ia tidak sanggup berlari ke rumah. Tidak
pula ia sanggup memandang muka Kurdi yang pasti
akan marah besar karena merasa diganggu. Lebih
baik ia teruskan perjalanan ke rumah pak lurah.
Bahkan untuk memutar tubuh kembali pun, otot-otot
kaki Bu Enjuh terasa lemah sekali. la tahu rumah pak
lurah tinggal beberapa langkah lagi. la kuat-kuatkan
hati. la kuat-kuatkan pula kaki. Suara kaki-kakinya
menjejak di tanah, biasanya tidak terdengar
samasekali. Tanah terlalu lembut untuk memantulkan
jejak-jejak kaki tua dan lemah, setua dan selemah
kaki Bu Enjuh. Namun di telinga perempuan tua itu,
suara-suara jejak kakinya di tanah terdengar
berdebum-debum, seperti langkah-langka h kaki
raksasa. la cemas memikirkan nasib anak angkatnya
di rumah. Tetapi kecemasan itu, perlahan-lahan
dirayapi perasaan takut oleh bunyi langkahnya sendiri.
Benar-benar berisik. Arwah-arwah yang selama ini
terbaring tenang dalam kegelapan, bisa bangkit
karena marah. Termasuk arwah anak-angkatnya.
Ah" Arwah anak-angkatnya"
Bu Enjuh tertegun sesaat.
Bagaimana kalau arwah anak-angkatnya yang
bangkit. Bila itu terjadi, tentu ia tidak melihat Nyi ljah
berjalan lemah gemulai mendatanginya, melainkan
berjalan tanpa menjejak di tanah. Mungkin terbang,
seraya menyeringai, tertawa terkikik-kikik,
menggendong mayat bayinya yang berbentuk aneh
itu.... Hiiii! "Tidak!" bisik Bu Enjuh, menghibur dirinya. "ljah tak
akan jadi kuntilanak. Tak...."
Suaranya terputus sampai disitu. la mend engar
sebuah suara. Suara yang aneh. Seperti orang batuk.
Bukan batuk Nyi Ijah, melainkan batuk lelaki. Kering
dan serak. Jelalatan mata Bu Enjuh melihat ke kiri ke kanan,
menembus kegelapan malam, ia menoleh ke
belakang terus membesarkan mata memandang ke
depan. Kegelapan semata. Paling-paling tampak
bayang-bayang pagar bambu... Ah, mungkin hanya
lamunanku saja, pikir Bu Enjuh lalu melan gkah lagi.
Pelahan, agar tak terdengar suara kakinya, agar tak
berisik membangkitkan arwah-arwah dikegelapan
malam, agar.... "Hheeeeiii...!"
Suara berat itu jelas sekali terdengar. Dekat di
telinganya. Sebelah kiri, Bu Enjuh menggigil.
"Lihat ke mariii...!"
"Ap... appaaa"" sentak Bu Enjuh, sengau, lalu
menoleh ke kiri. "... mendekatIah!"
Bu Enjuh mendekat. Ada kekuatan gaib yang
menyuruh mendekat, melewati pepohonan yang
hitam, memasuki kegelapan yang lebih hitam lagi.
Semakin dekat, semakin ia dengar suara ganjil itu.
Suara yang berat, letih, serak, desah-desah nafas
yang tersentak-sentak, mirip desah nafas kerbau yang
sekarat dengan leher yang putus disembelih...
*** Di rumah Bu Enjuh, mayat Nyi ljah melanjutkan
ceritanya dengan desah nafas yang sama letihnya;
Sebagai gadis kampung, hatinya polos tanpa
"prasangka. Abang becak itu ia anggap sebagai
penolong, dan besok pasti bersedia mencarikan
alamat yang baru dari ayahnya. Laki-laki ini begitu
baik. Membolehkannya ikut dengan becaknya tanpa
membayar. Coba kalau Nyi ljah harus jalan kaki!
Membawanya ke rumahnya. Coba, kalau tidak, di
mana ljah harus tidur" Disini, sebelum tidur ia malah
diberi makan sekenyang-kenyangnya. Sehingga
begitu ia baringkan tubuh di dipan kecil dalam kamar
satu-satunya di rumah petak itu, ia lantas terlelap
seperti seorang puteri yang habis bermain yang
melelahkan sepanjang hari.
Dalam tidurnya ia bermimpi. la lihat ayahnya datang.
la lupa-lupa ingat wajah ayahnya, hanya tahu dari
potret. Setahunya, ayahnya bermuka kelimis. Tetapi
yang datang ini, berkumis, dengan rambut awutawutan tak terurus. la mendekati Ijah, mengulurkan
tangannya. ljah berharap ayahnya memeluknya
seraya mengucapkan kata-kata:
"Anakku. Anakku yang malang, syukurlah kita
bertemu, Nak." ljah ingin berkata: "Ayah! Ayah. Dari mana kau ayah" Di mana kau
tinggal dan mengapa..."
ljah tersentak. Laki-laki yang ia sangka ayahnya itu, memang
memeluknya. Kuat sekali. Tetapi, laki-laki itu berbuat
dari sekedar memeluk. Ia juga mencium ljah. Bukan
saja di pipi, tetapi juga di leher, di bibir, bahkan jari
jemarinya yang kasar meremas-remas dada ljah yang
baru tumbuh. ljah terlonjak. Bangun dengan kaget.
Ternyata abang becak yang mengajaknya tidur di
rumah petak itu yang tengah menggeluti tubuhnya.
"Kang!" katanya. "Mau apa kau, Kang""
"Hem, diam-diamlah, anak manis. Kau akan senang."
"Kang, aduh!" Abang becak itu merenggut pakaian yang melekat di
tubuh Nyi ljah. Gadis itu mau menjerit, tetapi
mulutnya keburu di bungkam oleh si laki-laki.
"Kalau kau menjerit lagi, kupukul kau. Mengerti""
Dengan mata melotot ketakutan. Nyi ljah
mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah, berlakulah seperti anak manis. Kau telah
kutolong, dan aku akan terus menolongmu...!"
Tetapi ljah sempat juga memekik terta han, manakala
laki-laki durjana itu berhasil merenggut
keperawanannya. Gadis itu menangis, tidak saja oleh
rasa kesakitan, akan tetapi juga rasa sedih dan takut.
Laki-laki itu berulang kali melakukan hal yang sama
atas tubuh Nyi ljah, sehingga gadis itu hampir jatuh
pingsan. Ia tak bisa bangkit dari tempat tidur,
sewaktu pagi harinya abang becak itu keluar setelah
lebih dulu meninggalkan ancaman:
"Jangan coba-coba lari. Kau akan kubunuh, bila
kutemukan!" Jangankan lari. Turun saja dari tempat tidur ljah tak
sanggup. Mana pintu dikunci pula dari luar. Ia hanya
menangis sampai matanya bengkak terus menerus.
Akhirnya laki-laki itu datang, menyuruhnya mandi dan
berganti pakaian, memberinya makan nasi bungkus.
Tetapi ljah tidak bisa menikmati makanan yang dalam
keadaan lain pasti sangat enak itu. Ada goreng ayam,
ada gulai hati dan petai rebus.
"Bawa aku pergi dari sini. Bawa aku ke ayahku,"
tangisnya. Laki-laki itu tertawa. "Kau memang akan kubawa
pergi. Tetapi mana tahu aku, di mana ayahmu tinggal"
Tetapi, senangkanlah hatimu. Kau akan kubawa ke
sebuah rumah di mana kau bisa hidup senang...."
Dan laki-laki itu membawanya ke sebuah rumah yang
lumayan megah. Perempuan setengah baya pemilik
"rumah itu berwajah manis, bersenyum manis. Leher,
pergelangan tangan, jari jemari, telinga bahkan
pergelangan kakinya penuh dengan perhiasan emas
yang bagus-bagus. Rumahnya mempunyai banyak
kamar, dengan perabotan yang bagus-bagus. Anakanaknya, semua anak gadis, berperawakan, berwajah
dan berpakaian bagus-bagus. ljah pun kemudian
diberi pakaian dan kamar yang bagus. Perasaan sedih
dan sakit hatinya akan perbuatan si abang becak,
perlahan-lahan lenyap, sampai suatu malam, seorang
laki-laki datang ke kamarnya, menutup pintu bahkan
menguncinya sekalian. Dan laki-laki itu, berbuatlah hal
yang sama terhadap ljah. Memperkosanya!
"Telah kubeli kau dengan harga mahal dari penarik
becak itu!" rungut induk semangnya, ketika ljah
mengeluh keesokan harinya. "Karena itu, kau harus
menurut dengan patuh, apa saja pun yang diperbuat
laki-laki yang datang ke rumah ini, pada dirimu.
Mengerti"!" Dan laki-laki demi laki-laki, silih berganti menikmati


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh Nyi ljah. Di kamarnya, atau ke luar dari rumah,
naik mobil ke hotel atau ke luar kota. Begitu terus dari
hari ke hari, minggu ke minggu, sampai berbilang
tahun. la sudah melupakan ayahnya. Tetapi ia tidak
bisa melupakan sakit hatinya. Abang becak itu telah
menjual tubuhnya, dan hanya memberi sedikit bagian
saja, sekedar makan enak, dan bisa membeli pakaian
bagus serta sedikit perhiasan. ljah tak boleh memiliki
banyak uang, dan tiap kali menerima pembayaran
dari laki-laki yang mencarternya, harus menyetorkan
uangnya pada perempuan bermuka manis namun
berhati busuk itu. "Aku ingin keluar!" Pernah ia berkata dengan marah.
"Pergilah. Dan tukang-tukang pukulku akan menyilet
mukamu yang cantik biar cacat seumur hidupmu. Lalu
kau mereka lemparkan ke pinggir jalan supaya hidup
sebagai seorang pengemis. Masih mau pergi, oh""
Tidak. ljah tak mau mukanya disilet. la tak sudi
dilempar ke pinggir jalan.
"Kau harus pindah. Perempuan itu memerasmu. Kau
pantas untuk hidup senang, dan diperlakukan sebagai
perempuan terhormat!" seseorang tiba-tiba berkata
begitu padanya. Dan orang itu terus menerus
menekankan hal demikian. Dan ia memang
memperlakukan ljah sebagai. perempuan terhormat.
Diajak keluar rumah makan minum di restoran,
masuk nite club, nonton, piknik, semua tanpa
memperlakukan tubuhnya sebagai mana diperlakukan
oleh laki-laki lain. Paling-paling laki-laki itu... yang
juga membayar sebagaimana laki-laki lain membayar Ijah,
hanya memeluk dengan lembut, dan mencium
dengan penuh kasih sayang, diakhiri dengan sebuah
kalimat pendek yang membuat Nyi ljah merasa hidup
kembali: "Aku akan memperisteri kau, sayangku!"
Dan laki-laki itu menebus Ijah dengan harga yang
mahal. Tetapi, ia juga kemudian hari terpaksa harus
menebus tekadnya untuk memperisteri ljah, dengan
harga yang jauh lebih mahal.
"Dia kan laki-laki yang kau maksud makamnya harus
harus kita Cari"" Lagi-lagi Kurdi menukas cerita Nyi ljah
dengan tidak sabar. "He-eh...." "Ceritakan kenapa ia mati. Ceritakan mengapa kau
tidak tahu di mana jenazahnya dimakamkan. Kau
menghabis-habiskan waktuku dengan kisahmu yang
berlarut-larut itu!"
Kembali mulut mayat yang terbujur di lantai bergerakgerak melontarkan sumpah serapan pertanda ia
sangat marah. "la laki-laki yang baik. la laki-laki yang harus
dihormati. la...." "Ya, aku tahu. Aku tahu!" rungut Kurdi. "Bagaimana
kematiannya terjadi""
"Mana aku tahu"" Suara mayat itu, letih dan marah.
"Sebabnya""
Kalau saja jasad itu hidup, tentulah sudah
tergoncanggoncang menahan amarah. Tetapi karena jasad itu
jasad mati, hanya mulut kemak-kemiknya saja yang
sanggup melontarkan sumpah serapah tidak
berkeputusan, sampai Kurdi ikut marah.
"Hentikan menghinaku, atau kau kubiarkan
gentayangan jadi kuntilanak menggendong mayat
bayimu kemana-mana!" bentaknya.
Mayat itu terbatuk. "Baiklah. Baiklah.... Kaulah yang harus bersabar
sedikit." "Eh, mayat terkutuk. Mau tawar menawar pula lagi!"
"Kumohon...." "Hem, lanjutkanlah."
*** Jauh di luar rumah, Bi Enjuh mendengar lanjutan dari
ucapan-ucapan aneh dari dalam kegelapan di
depannya: "Kau kembalilah ke rumah itu!"
Bu Enjuh membesarkan mata. Tetapi ia tidak melihat
apa-apa. "Kau, siapa"" tanyanya, takut.
"Tak perlu tahu. Kembalilah kesana, dan lihat apa
yang dilakukan oleh Kurdi laknat itu pada mayat anak
angkatmu!" "Mengapa... kau tidak pergi sendiri melihatnya""
Terdengar suara orang meludah. Lalu gerutuan marah:
"Jadah. Beras putih yang ia tebarkan mengelilingi
rumah itu. Aku tidak bisa mencarinya malam-malam
begini, dan memungutinya satu persatu. Aku tak bisa
menerobos ilmu sihir yang...."
"Sihir"" Bu Enjuh menggigil.
"Jadah"" makian lagi, lalu: "Hufff", seperti suara orang
meniup. Angin dingin menampar wajah Bu Enjuh,
sampai beku rasanya kulit mukanya. Begitu angin
"dingin itu lenyap, Bu Enjuh tidak ingin berkata apaapa lagi. Malah tidak ingat apa-apa lagi, siapa dirinya,
di mana ia berada, siapa orang itu, apa maunya. la
berdiri kaku, wajah kaku, pandangan mata kaku.
"Salahmu!" Terdengar lagi suara dari kegelapan.
"Terlalu ceriwis. Dasar nini-nini! Pergi sana, dan
lakukan apa yang kuperintahkan"!"
Angin bertiup lagi. Bu Enjuh memutar tubuh. Kaku. Dan perlahan sekali.
la melangkah. Kaku. Juga perlahan sekali. la telah
dijadikan robot hidup oleh makhluk asing yang
mempengaruhi jalan darah dan pikirannya. Dalam
keadaan biasa, dalam beberapa menit ia akan bisa
sampai di rumah. Tetapi dalam keadaan serupa itu,
mungkin banyak waktu yang ia perlukan.
"Nenek sialan!" maki suara dalam kegelapan. "Tulangtuangnya bisa bercopotan dipengaruhi ilmuku. Apa
boleh buat. Aku harus tahu apa yang dikerjakan
musuhku itu. Mudah-mudahan saja si nenek ini tidak
mundur dan berlari menjauh dari rumahnya, begitu
pengaruhku hilang di saat ia menginjakkan kaki
melewati garis ilmu si penunggu jenazah itu!"
*** Penunggu jenazah itu mendengarkan dengan sabar.
ljah kemudian menikah dengan lak-laki yang
mengangkatnya dari dunia hitam yang nista itu,
dengan mendapat tantangan keras dari or angtua si
laki-laki. Suaminya bukan saja tidak diaku anak lagi,
malah dikutuk agar hidup sengsara dan menderita,
selama ia bersikeras untuk berumah-tangga dengan
bekas pelacur bernama ljah itu.
"Mula-mula kutuk itu kami anggap sepi," ujar ljah lirih.
"Tetapi usaha suamiku, kekayaan yang kami miliki,
Iudas dengan cepat. Kami berusaha menghemat,
tetapi ada saja pengeluaran yang tidak terduga.
Suamiku seringkali jatuh sakit, dan aku semakin
disingkirkan tiap kali ia mulai sehat kembali..."
Karena panasaran, Nyi Ijah mendatangi seorang
dukun. "Suamimu diguna-gunai keluarganya," ujar dukun itu.
"Tolonglah aku melawan guna-guna itu," mohon ljah.
"Wah. Berat. Orang yang dipakai keluarga suamimu
bukan kaliberku. llmunya tinggi. Kau harus mencari
guru yang lebih tinggi dari dia."
"Siapa" Di mana tempatnya" Berapa biayanya"" desak
Nyi ljah tidak sabar. "Hampir-hampir tanpa biaya. Ia hanya memberikan
syarat-syarat tertentu. Akan kuberitahukan tempatnya
padamu!" Tempatnya jauh. Di lereng sebuah gunung yang
jarang dijamah manusia. Gurunya bukan sembarang
guru. Ijah harus menyerahkan tubuhnya untuk ditiduri
sebagai syarat utama, meskipun...
"Wah, telah larut malam!" protes Kurdi tiba-tiba
sewaktu ia dengar lolongan anjing yang lirih
menyayat tulang di luar rumah.
Lolongan itu disertai dengus kuda yang keras.
"Persingkat ceritamu. Hanya tentang suamimu, sudah
kubilang berkali-kali padamu!"
Mayat Nyi Ijah terdiam sebentar. Sepasang matanya
yang terbuka lebar dengan manik-manik yang sudah
mati, memandang langi-langit kamar dengan kosong.
Lalu: "... aku pulang ke rumah, setelah apa yang
kukehendaki kuperoleh. Tetapi di sana telah ada
mertuaku, dan banyak sekali orang. Ternyata suamiku
telah mati waktu mereka tiba dirumahku."
ljah dikutuk tidak saja oleh mertuanya, tetapi juga
kebanyakan orang di tempat itu. la dituduh telah
meninggalkan suami yang tengah sakit, dituduh
mencari laki-laki lain, melacurkan diri. la kemudian
"diusir, dan mayat suaminya dibawa pergi oleh
mertuanya, betapa pun ljah bersikeras untuk
memakamkan sendiri suaminya. Dalam keputusasaan,
Ijah lari pada gurunya ditengah hutan, dan
memperoleh jawaban: "Lawanku kalah. la marah, dan lupa diri. Gunagunanya ia rubah jadi sumpah kematian. ltulah
sebabnya begitu kau pulang, suamimu telah tiada."
ljah jadi putus asa. la ingin bunuh diri. Tetapi gurunya
berkata dengan tegas: "Kematian itu akan datang sendiri. Tetapi bukan
sekarang waktunya...!"
Dan kandungan di perut Nyi ljah, memberi dorongan
untuk menunda datangnya kematian itu.
"Anakku... harus hidup...." desis mayat Nyi ljah. "la
satu-satunya peninggalan suamiku. Satu-satunya yang
paling berharga di dunia ini. Karena itu aku pun...
harus hidup... demi anakku. Aku lalu meninggalkan
hutan, dan terdampar di kampung ini...." Mayat itu
menghentikan ceritanya dengan nafas lirih dan
teramat letih. "Tetapi ketika anakku lahir... ternyata
anakku... anakku...." Suara tangis menyayatkan hati,
menggaung di dalam rumah.
"Hem!" Berengut Kurdi. la mengembangkan kedua
tangannya. la putarkan secara bersilang di atas wajah
mayat Nyi Ijah. Suara tangis itu perlahan-lahan hilang,
mulut yang kemak-kemik itu kemudian berhenti. Yang
terdengar adalah suara Kurdi membaca mantera,
gerakan tangannya yang semakin liar, kemudian
bentakan yang halus: "Sekarang, sebagai imbalan bantuanku, kau harus
memenuhi syarat yang kukehendaki."
Mulut mayat itu bergerak-gerak:
"... ap-paaa""
"Kau harus bersedia kusenggamai!"
Terdengar pekik halus. Lalu:
"Tidak... aku tak sudi!"
"Harus!" Kurdi terkekeh. "Bukankah kau sudah biasa
begitu dengan banyak lelaki lain""
"Aku... aku tak keberatan. Tetapi kau harus tahu... aku
sedang kotor.... darahku, kotor... Lagipula, kau harus
tahu siapa guruku dan apa yang ia tentukan
sebagai..." "Aku tak perduli siapa gurumu. Kau telah mati jadi
kau bukan muridnya lagi."
Suara memelas dari mayat Nyi ljah, tiba-tiba berubah
jadi suara mengikik. Ya. Nyi Ijah tertawa mengikik. "Kau...." katanya
seraya terkikik-kikik. "Kau tak tahu sumpahku yang segera
akan terjadi... kau... penunggu jenazah terkutuk.
Teruskan niatmu, teruskanlah, dan kau akan
menyesal. Aku mengutukmu, aku...."
"Arwah yang kembali!" seru Kurdi keras mengatasi
suara ketawa mengikik dan sumpah serapah mayat
Nyi ljah. "Hangatilah jasadmu yang diam ini. Isilah
jalan darahnya kembali...!"
Habis berkata begitu, "Jress!" Kurdi menyayat urat
nadi lengan kirinya pakai pisau cukur. Darah menyembur,
bersimbah di dua jantung mayat. Terdengar pekik
nyaring, melengking-lengking.
Di luar rumah, penduduk kampung meringkuk dibalik
selimut masing-masing. Takut dan ngeri. Tidak ada
yang bergerak dari tempatnya. Termasuk Bu Enjuh,
yang sudah berada dalam garis pengaruh ilmu si
penunggu jenazah. Begitulah ia tiba di garis itu,
lenyaplah pengaruh ilmu dari orang yang bersembunyi
dalam kegelapan nun tak jauh dari rumah pak lurah.
Bu Enjuh tersadar dari kesima.
la dengar pekik Nyi ljah yang memilukan hati. la
"dengan lolongan anjing didekatnya, panjang dan lirih,
dengus kuda yang keras dan menyembur nyembur,
lantas merasakan ketakutan dalam dirinya. Lama ia
tertegun di tempatnya berdiri, sementara jeritan itu
perlahan-lahan menurun kemudian tidak terdengar
sama sekali. Yang terdengar hanya lolongan anjing,
dengan kuda, bersahut-sahutan, lalu terlihat bayangan
kereta dan peti mati di atasnya, hanya beberapa
langkah dari tempat Bu Enjuh berdiri.
Tubuhnya menggigil dengan hebat.
"... apa... apa yang harus kulakukan"" ia berbisik
ketakutan, memandang berkeliling, ke arah
kegelapan. Tidak. la tidak berani mengganggu Kurdi.
Tetapi di sana... dalam kegelapan, makhluk yang tidak
terlihat itu, suaranya yang mendirikan bulu roma, dan
pengaruh gaibnya yang membekukan tubuh dan
perasaan... Tidak, Bu Enjuh juga tidak berani kembali
kesana. la harus masuk ke dalam rumah. Rumah yang
terdekat, adalah rumahnya sendiri. Tak ada jalan lain.
Perlahan-lahan, ia masuk ke dalam rumah dengan


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjingkat-jingkat, berharap Kurdi tidak mendengar
lantas terusik pekerjaannya. Tetapi lolongan anjing si
penunggu jenazah yang kemudian menyentaknyentak tinggi membuatnya terkejut.
"Tolong!" Bu Enjuh menjerit tertahan, lantas
menghambur ke ruang tengah.
Di sana, ia tertegun. Dan terkesima kembali. Dia
melihat sebuah pemandangan yang sangat ganjil di
lantai, di atas hamparan permadani, ia lihat dua sosok
tubuh yang tidak mengenakan pakaian selembar pun
tengah bergelut. Masih sempat ia perhatikan baikbaik, apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh Nyi Ijah,
anak angkatnya yang sudah mati, tergeletak diam,
sementara Kurdi dengan liar menggagahinya....
"Ya Allah!" keluh Bu Enjuh, lantas dengan rona ngeri
tiada tara di wajahnya, perempuan itu seketika
menghambur ke luar rumah.
"Aaaak!" Kurdi menjerit mendengar seruan Bu Enjuh,
meloncat berdiri, menyambar pakaian dan sarung,
mengenakannya buru-buru. la terus berteriak
kesakitan seraya memegangi kedua telinga,
menutupnya rapat-rapat dengan telunjuk, sampai
kemudian tubuhnya menjadi tenang kembali. Pada waktu matanya ia
buka ia masih sempat melihat tubuh Bu Enjuh yang
berlari ke luar. Ia hampir saja berlari menyusul kalau
saja suaranya tidak menangkap perubahan pada
mayat Nyi ljah, yang tergeletak dengan posisi tidak
karuan di lantai. Tadi, kulit tubuh itu halus dan licin.
Kini tampak kasar, berbulu kehitam-hitaman, makin
lama makin lebar, memenuhi seluruh tubuh kecuali
bagian-bagian tertentu. Dahi Nyi ljah menyempit,
hidung dan mulutnya melebar. Dari sudut-sudut
mulutnya keluar taring-taring tajam dan panjang.
*** Kurdi jatuh terduduk di lantai. Sekujur tubuhnya lemas
dan gemetar. Ya, tidak perduli lagi apakah Bu Enjuh
lari ke salah sebuah rumah dan dengan ribut
menceritakan apa yang tadi ia saksikan. Ia tidak
perduli. Bahkan bila pun penduduk nanti datang
beramai-ramai untuk membunuhnya, Kurdi juga tidak
perduli. Toh nanti ia bisa mempengaruhi pikiran
perempuan itu agar bercerita lain di hadapan semua
orang. la akan gunakan dan ia percaya, orang-orang
akan mengiyakan bila ia tuduh:
"Perempuan tua mengatakan!"
Ia akan mempengaruhi mereka semua. Akan membuat mereka percaya.
Kini, ia sendiri yang terpengaruh. Tidak percaya
dengan apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya
sendiri. Perempuan muda yang terbujur mati di lantai,
payudaranya basah oleh darah bercampur keringat
Kurdi, tengah menistanya!
Terdengar suara mengekeh berat dari mulut mayat:
"... muridku... sudah memperingatkan kau. Tetapi kau
tidak mau dengar. Kau...."
Kurdi memusatkan pikiran. Memusatkan jiwa. Kala,
seraya memejamkan mata, ia menyenggak:
"Katakan, siapa kau gerangan!"
"Aku gurunya!" "Mengapa kau mengusik pekerjaanku" Bukankah
muridmu sudah mati dan tidak layak lagi kau ganggu
gugat"" Suara terkekeh itu menggema lebih berat. Lalu:
"Kau yang mengusikku. Mengusik jasad muridku.
Pengabdiku, bila mati, tepat tengah malam dan
berubah jasad seperti jasadku. Tetapi kau
menggagalkan pekerjaanku. Kau menggoda muridku.
Aku terpaksa memunculkan wujudku pada jasadnya.
Supaya kau tahu kau tidak patut menjamah
tubuhnya. Hanya aku. Hanya aku yang berhak
menjamahnya...." "Pantas. Pantas bayi Nyi ljah yang sudah mati,
berujud sebagian manusia, sebagian kera, demikian
menurut yang kudengar...."
"Terkutuk. Bayi itu percampuran kasihku dengan benih
suami perempuan ini. la lahir membawa jiwa
ayahnya, tetapi membawa perwujudanku sekaligus.
Untunglah ia mati. Orang akan membencinya bila ia
hidup dan aku tidak bersedia didekatinya sebagai
ayah kedua itu akan membuatku celaka. Biarlah ia
mati serupa itu. Mati tanpa terusik oleh kekuatan
apapun, kecuali penciptanya. Hanya yang ini
pengabdiku yang muda, cantik dan patuh ini, harus
kubawa. Sekarang juga!"
""Tidak. Itu tidak boleh kau lakukan!" dengus Kurdi.
"Aku berhak!" "Tetapi kita harus saling menghormati pekerjaan kita
satu sama lain. Aku melaksanakan amanat. Amanat
orang yang mau meninggal. Amanat Nyi ljah. Aku
harus memenuhinya karena aku telah berjanji..."
"Apa amanatnya itu, eh""
"la ingin dimakamkan di samping makam suaminya!"
"Hem..." "Pergilah. Kumohon, pergilah. Waktuku tinggal
sedikit...!" "Tetapi...." "Kumohon padamu, siapapun jua kau adanya.
Manusia biasa seperti aku, atau setan seperti yang
kuabdi. Aku tidak tahu muridmu masih menjadi
hakmu, setelah ia mati. Sungguh, aku tidak tahu...
kini, pergilah. Jangan mengusik pekerjaanku, dan akupun
tidak akan mengusik keinginanmu. Kau boleh ambil
muridmu ini kembali, apabila tugasku telah
kuselesaikan." Lama tak terdengar jawaban.
Kurdi hampir-hampir tak sabar. Mantera-manteranya
ia bacakan sekuat-kuat ia bisa, asap pedupaan
menyan ia hembus semampu ia dapat. Terdengar
suara batuk-batuk, suara helaan nafas berat, lantas
suara seperti igauan: "... kukira kau benar. Aku akan mengambil muridku
dari makamnya nanti. Tugasmu tidak gampang,
bukan"" "Aku akan berusaha. Kau telah mengusikku, dan
masih ada orang lain di luar sana yang bermaksud
mengusikku. Orang itu tidak menghormatiku, mungkin
karena aku juga ia kira tak pernah tidak menghormati
pekerjaannya. Tetapi aku menghormatimu. Aku telah
meminta maaf. Kumohon, agar kaupun
menghormatiku barang sedikit...."
Terdengar tawa parau. Mengakak, diselang-seling oleh
suara mengik-ngik-ngik-ngik, suara kera besar yang
banyak berkeliaran di hutan-hutan terlarang. Kurdi
merasakan sekujur tubuhnya bersimbah peluh dingin,
kemudian angin gersang menyapu ruangan itu, dan
ketenangan kembali pada dirinya. la membuka
matanya, memperhatikan berkeliling ruangan, mene mbus asap
menyan yang berkebul, baru kemudian memusatkan
pikiran kembali seraya bergumam lemah lembut:
"Nyi ljah, perlihatkanlah wujudmu yang asli."
Lalu: "Puah!" la meludah ke dada mayat.
Terdengar rintihan kesakitan, suara erang yang
terengah-engah, lalu sepi menyentak.
Kurdi membuka matanya. Di lantai, terbaring jasad
Nyi ljah. Tiada bulu-bulu hitam yang lebat, tiada
kening yang sempit, hidung dan mulut yang lebar,
ataupun taring tajam mengerikan. Yang ada hanyalah
sesosok tubuh lemah, berkulit halus dan licin, berbibir
bagus, berdahi manis, berhidung indah... dengan
sepasang mata yang masih tetap terpentang lebarlebar, persis seperti mata yang dilihat Kurdi atau
dilihat orang-orang, dikala perempuan muda yang
malang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kurdi terperangah. Lelah.
"Sekarang." bisiknya lemah, ditujukan ke arah jantung
Nyi ljah. "Hai kau roh yang telah sempat
gentayangan, pergilah. Tunjukkanlah di mana letak
mayat suami perempuan ini, tunjukkanlah kedalam
pikiranku. Tunjukkanlah, hai kau roh yang
penasaran...!" la bersimpuh, membaca mantera perlahan-lahan
sambil memusatkan jalan pikirannya. Ada hentakan-
"hentakan halus di belakang kepala, pada otak Kurdi,
kemudian lecutan-lecutan keras sehingga tubuh Kurdi
terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Angin keras
bertiup dalam ruangan, membuyarkan asap menyan
yang berkebul-kebul, berputar seperti angin puyuh di
atas ubun-ubun Kurdi. Ketika desau angin itu berhenti
dengan sendirinya, Kurdi menganggukkan kepala.
"Aku tahu. Aku tahu sudah..." desahnya. Lirih. Dan
letih. Kemudian, ia membaca mantera lagi, lalu diam. Tiada
suara apa-apa lagi yang terdengar dalam ruangan.
Apalagi di luar rumah. Anjing Kurdi merintih perlahan.
Kuda didekatnya menghentak-hentakkan kaki dengan
enggan. Lolongan anjing dan hentakan kaki kuda itu
demikian halusnya sampai-sampai tidak terdengar
oleh telinga biasa. Apalagi telinga penduduk desa itu,
yang sedang menciutkan tubuh sekecil mungkin, agar
tidak terlihat dan terjamah oleh hantu mengerikan
yang sewaktu-waktu bisa muncul.
Namun, sayup-sayup telinga mereka menangkap
suara asing. Suara teriakan minta tolong, suara orang
berlari-lari, mengarah ke rumah pak lurah.
"..... Bu Enjuh sudah ketemu kuntilanak Nyi ljah," bisik
semua orang ketakutan. Memang Bu Enjuh yang berlari-larian seraya menjeritjerit minta tolong itu. la menggedor pintu rumah demi
pintu rumah, yang tidak satupun penghuni nya
bersedia membuka. Akhirnya, dalam keputusasaan,
Bu Enjuh berlari dalam kegelapan ke arah rumah pak
Lurah. Beberapa kali kakinya terantuk pagar, terantuk
batu, terantuk akar-akar pohon yang melintang jalan.
Tetapi ia terus berlari, jatuh bangun. Sampai suatu
saat, tepat di tempat di mana ia tadi mendengar
suara ganjil, tubuhnya terpaku diam, dan suara itu
kembali terdengar: ".... h h e e i i i, kemarilah...!"
Tiupan angin dingin itu menyapu wajah Bu Enjuh. la
mendekat, digerakkan oleh kekuatan gaib.
".... apa yang kau lihat di rumahmu""
Perempuan tua yang malang itu, menceritakannya.
Lebih tepat dikatakan, mengeja kata demi kata,
tentang apa yang disaksikannya.
"Puih," suara meludah. "Aku tahu sudah. Pergi, pergi
kau sana, perempuan tua renta!"
Tiupan angin dingin kembali, dan Bu Enjuh sadar dari
kesima. Begitu sadar, ia menjerit lagi, dan berusaha
lari. Tetapi jeritan itu tertahan di kerongkongan,
lututnya goyah tak mau digerakkan. Dalam sekejap,
tubuh perempuan tua yang malang itu limbung. la
jatuh ke tanah tanpa suara, kecuali erang sakit dan
ngeri yang terlontar dari mulutnya, sesaat sebelum
kepalanya membentur benda keras di permukaan
tanah. "Wah, celaka!" gumam suara dalam kegelapan.
Cemas. "Aku harus cepat-cepat menyingkir dari tempat ini!"
Lolongan anjing, menggema dikejauhan. Tinggi,
mendaki ke balik awan pekat, di mana rembulan
sedang menyembunyikan diri dengan segala
kecemasannya. Awan hitam itu mulai bergerak, perlahan, kemudian
makin cepat. Petir tiba-tiba menyambar. Guntur
menggelegar. Tak lama kemudian, hujan deras pun
turun menyiram bumi yang masih diam ternganganganga itu....
Hujan baru berhenti pada waktu pagi datang. Tetapi
penduduk kampung itu baru berani ke luar rumah
masing-masing, setelah matahari terbit dan ternakternak ribut berkeliaran mencari makan. Orang-orang
melupakan pekerjaannya, dan bergerombol-gerombol
menuju rumah Bu Enjuh. Mereka ingin tahu, peristiwa
"apa saja yang terjadi sepanjang malam yang
mengerikan itu. Dan bagaimana halnya dengan Kurdi,
si penunggu jenazah"
Penunggu jenazah itu sedang berdiri di luar rumah,
ketika orang-orang berdatangan. la baru saja melepas
pembalut dari daun kelapa muda di pergelangan
tangan kiri yang ia tentangkan ke arah matahari
terbit. Tiada luka sayatan, tiada bekas sama sekali. la
menarik nafas lega, memperhatikan orang-orang yang
datang dengan wajah dingin dan sukar dibaca.
Sepi mencekam seketika orang-orang itu berhadapan
dengan Kurdi. Sampai pak lurah yang memulai:
"... Pak Kurdi selamat""
Barulah Kurdi tersenyum. Ramah, dan sedikit kecut.
"Berkat do'a kalian," ujarnya, lemah. "Wajah-wajah
kalian membuat aku bertanya-tanya. Gerangan apa
yang membuat kalian cemas""
"Kunti...." seseorang membuka mulut, tetapi segera
menutupnya kembali dengan wajah yang pucat pasi.
"Maksud saya, apakah mayat Nyi ljah masih di
tempatnya...." "Oh. Masih. Masih."
"Syukurlah." "... rohnya"" seseorang nyeletuk pula. Dan terkejut
sendiri oleh pertanyaannya, sementara beberapa
orang lain menyesali si pembicara yang terlanjur buka
mulut tanpa dipikir panjang itu.
Kurdi mengernyitkan dahi. Heran.


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah kalian semua tahu, orang mati ditinggalkan
oleh rohnya"" Orang tadi mengangguk. Yang lain-lain pun ikut
mengangguk. "Nah, rohnya pergi. Ke alam baka, tentu. Aku mengerti
apa yang tersirat di balik kepala beberapa orang di
antara kalian. Percayalah. Aku berjanji roh itu tidak
akan kembali atau gentayangan di antara kalian.
Bukankah untuk tujuan itu kalian memanggilku ke
mari"" Orang-orang mengangguk lagi. Dan pak lurah
mengiyakan dengan mulut: "Memang benar, Pak Kurdi. Juga kami ingin
meyakinkan, bahwa mayat perempuan malang itu
disemayamkan di samping makam suaminya."
Kurdi manggut-manggut. "Memang itulah tugasku,"
katanya. "Kalau begitu, kami percaya. Pak Kurdi Istirahatlah
dulu. Kami akan memandikan jenazah, sebelum Pak
Kurdi bawa pergi." Kurdi mau melangkah masuk ke rumah, waktu pak
lurah nyeletuk: "Mana Bu Enjuh""
Kurdi angkat bahu. "Ia tinggalkan aku semalam.
Katanya mau ke rumahmu. Tidakkah ia ke sana
malam tadi"" Orang-orang pada bengong. Kemudian ribut mencari.
Dan tak jauh dari rumah pak lurah, di antara batangbatang pohon kelapa, orang menemukan Bu Enjuh. la
rebah di atas tanah berlumpur, dengan belakang
kepala tepat berada di permukaan sebuah batu besar
dan tajam. Perempuan itu telah mati. Pada wajahnya tidak
terlihat gurat-gurat kesakitan melainkan penderitaan
yang ditimbulkan oleh rasa takut yang luar biasa.
*** Mayat Nyi ljah sudah dimasukkan ke dalam peti mati,
ketika Kurdi mendengar tentang kematian Bu Enjuh.
Orang-orang menjadi gempar seketika. Kurdi
menghela nafas. Lega. Mati adalah pilihan yang paling
terbaik bagi perempuan itu. la sudah tua renta, tidak
punya sanak famili, serta anak angkat
kesayangannya telah pula mendahuluinya. Setidaktidaknya, kematian perempuan itu jelas sangat
menguntungkan Kurdi. Bu Enjuh bisa membahayakan
dirinya, karena perempuan tua itu adalah satusatunya saksi hidup yang pernah melihat dengan
mata kepala sendiri apa yang diperbuat Kurdi
terhadap jenazah perempuan yang ia tunggui. Hanya
satu-satunya orang. Dan orang itu kini telah mati.
Dengan menyimpan keinginan untuk tersenyum, Kurdi
kemudian bergegas mengikuti orang-orang yang
berlari-larian kearah mana mayat Bu Enjuh
diketemukan. Dalam hati ia bertanya-tanya. Mengapa
perempuan itu kembali lagi ke rumah, malam tadi"
Kekuatan apa yang mendorongnya" Takut ke luar
sendirian" Atau karena ingin berdekatan dengan anak
angkat kesayangannya, meski Nyi ljah sudah tak
mungkin ia ajak tertawa dan bersenda gurau"
Kepenasaran Kurdi terpenuhi setelah ia menyeruak di
antara orang banyak dan melihat raut wajah Bu
Enjuh. Lagi-lagi Kurdi menarik nafas. Gumamnya:
".... perempuan malang!"
Orang-orang di dekatnya menoleh. Mata mereka
memancarkan keinginan agar Kurdi mengulangi
ucapannya yang samar-samar mereka dengar. Tetapi
Kurdi hanya berdiam diri, lantas satu dua orang di
antara mereka yang berkerumun itu ikut mengulang
apa yang diucapkan Kurdi:
"Perempuan malang!"
Pak lurah berbisik: "Perempuan ini tidak mati begitu saja. Tentu ada
sebab-sebabnya""
Seorang menyahut: "Benar, Ia terjatuh. Kepalanya menimpa batu. Pecah.
Lalu ia mati." "Ah, kau. Kau kira semudah itu" Tak kau lihat raut
wajahnya yang mengerikan" Sebelum matinya, ia
pasti telah melihat sesuatu yang dahsyat. Sesuatu
yang menteror jiwanya. Aku kira, ia malah telah mati
sebelum kepalanya jatuh menghantam batu!" pak
lurah menoleh pada Kurdi. la pandang penungu
jenazah itu dengan sorot mata tajam, lantas
mendesah. "Apakah dugaan saya salah, Pak Kurdi""
Kurdi geleng-geleng kepala.
"Tidak!" jawabnya. "Kau benar. la telah melihat
"sesuatu yang mengerikan..." dan itu adalah apa yang
kulakukan atas mayat Nyi ljah tadi malam,
pikirannya, seraya melanjutkan: "Ada makhluk asing
berkeliaran disekitar tempat ini tadi malam...!"
Sepi menyentak seketika. Lalu: "Kuntil..." ucap seseorang, seperti tidak disengaja.
"Bukan!" potong Kurdi. "Mayat Nyi Ijah tak lepas dari
penjagaanku sepanjang malam. la tak mungkin
berkeliaran di luar...."
"Jadi...""
"Makhluk asing. Dan yang ia kehendaki sebenarnya
bukan perempuan malang ini. Tetapi aku!"
Lalu Kurdi bergegas meninggalkan tempat itu. Pak
lurah mengikutinya, setelah memerintahkan
warganya mengangkat mayat Bu Enjuh ke rumahnya.
la tidak mengerti kenapa mayat Nyi ljah tahu-tahu
telah berada dalam peti mayat, dan ketidakmengertiannya itu ia ungkapkan terang-terangan
pada Kurdi. "Apa tak sebaiknya almarhumah kita sembahyangkan
lebih dahulu"" Kurdi membalas pandangan tak enak dari pak lurah.
Tanyanya: "Apakah mayat Nyi Ijah kalian sembahyangkan pula
sebelum dikuburkan""
Pak lurah terdiam. Kemudian, dengan gelisah ia
menyahut: "ltu... lain soalnya. Amanat dan...."
"Anaknya lain. lbunya pun lain," rungut Kurdi, lalu:
"Hys, heiyyaaa," Tali kekang ia sentak, disusul
pukulan pecut sekali dua. Kuda di depan kereta meringkik.
Kedua kaki depannya terangkat tinggi ke atas, kemudian
menjompak dengan dahsyat di permukaan tanah
yang lembab dan basah. Beberapa saat kemudian...
hampir-hampir tak disadari orang-orang yang ada di
tempat itu, Kurdi dengan sahabat-sahabatnya yang
setia itu telah menghilang membawa mayat Nyi ljah
dalam peti mati. Kurdi acuh tak acuh saja terhadap
setiap orang yang ia lalui dan mengangguk padanya.
Itu bukan anggukan hormat. Melainkan anggukan
takut. Dan mata mereka! Mata yang penuh
kecurigaan! Mata yang menggambarkan
ketidaksukaan. Persetan! Karena tidak ingin berpapasan dengan muka-muka
yang ia benci seperti itu Kurdi mengambil keputusan
meninggalkan jalan besar. Sebenarnya dengan mudah
ia mengikuti jalan utama desa. Jalannya lebar, halus
dan rata meskipun tidak diaspal dan agak becek di
sana sini bekas hujan. Tetapi, sekali lagi dan
senantiasa selalu begitu, ia pastilah akan berpapasan
dengan penduduk yang tidak akan melepaskan
perhatian mereka pada dirinya, sahabat-sahabatnya,
kuda dan anjing yang setia itu, serta terutama peti
mati di bak belakang kereta.
Tidak, ia tidak suka pandangan mereka, seperti
mereka juga tidak suka memandangnya. la ambil
jalan memintas. Berlubang-lubang, permukaannya
seperti habis dilanda gempa, ditumbuhi onak dan duri,
melalui semak belukar, anak-anak sungai bahkan air
sungai yang sedang meluap, tanpa ada jembatan
diatasnya di mana ia bisa melaju dengan santaI. Ia
menyukai jalan memintas yang buruk serta menyiksa
itu. Dengan demikian, ia bisa menghindari penduduk,
menghindari pandangan-pandangan tidak suka serta
menjijikkan itu. Mungkin ia akan tiba lebih lama
dibanding dengan bila ia menempuh jalan utama,
tetapi ia tidak perduli. Soal waktu, adakalanya
menentukan, adakalanya boleh diabaikan. Menunggui
"jenazah, waktu Kurdi terbatas. Tetapi membawa
jenazah untuk dikuburkan di tempat yang semestinya,
ia tidak perlu tergesa-gesa. Pokoknya sampai di
tempat tujuan. Maklum akan kebiasaan tuannya, kuda penarik yang
gagah itu terus berpacu tanpa kenal lelah, diikuti oleh
anjing besar berkulit hitam legam dengan matanya
yang hijau kemerah-merahan itu tidak sekalipun
meredup kecapaian. Ternak-ternak yang sedang
merumput tak jauh dari kampung demi kampung
yang mereka lewati, terpaku diam memperhatikan
makhluk-makhluk asing itu lewat. Binatang-binatang
hutan menjauhkan diri. Ada pengaruh aneh keluar
dari sorot mata sahabat-sahabat Kurdi yang
mentakjubkan itu, terhadap binatang lain. Pengaruh
yang jangankan makhluk-makhluk sejenis, bahkan
manusia yang sempal melihatnya pun tidak akan
pernah tahu, apa... Hanya Kurdi yang tahu. Karena yang memberi makan
anjing itu dengan bangkai ayam yang telah ia jampe.
la yang memberi kuda itu memamah bulu-bulu ayam
yang telah diludahi. Terutama karena sebelum
meninggal, ayahnya telah mengamanatkan:
"Makhluk-makhluk ini warisan turun temurun. Apa
yang kuberikan pada mereka, adalah apa yang
diberikan ayahku pada mereka, atau moyangku pada
mereka. Kau pun harus memberikan itu pada
mereka...." Warisan turun temurun! Dan satu-satunya yang tidak diketahui Kurdi, sudah
berapa puluh atau ratus tahunkah umur kedua ekor
makhluk itu. Anjing dan kuda itu telah sebesar
sekarang, ketika Kurdi dilahirkan, dan kemudian
menjadi sahabat-sahabatnya, ketika ia menangisi
mayat ibunya yang meninggal waktu ia masih bocah
ingusan. Anjing dan kuda itu juga yang
menemaninya, ketika ayahnya mati meninggalkan
pesan: "Kita mewarisi kutuk yang ditimpakan pada nenek
moyang kita, anakku. Kau ditakdirkan jadi penunggu
jenazah seperti juga telah ditakdirkan padaku, pada
kakekmu, pada moyangmu. Takdir kedua yang harus
kau jalani: membujang seumur hidupnya, atau
isterimu mati ketika kau masih sayang-s ayangnya
padanya, ketika anak-anakmu masih memerlukan
bimbingannya. Tetapi moyangmu manusia biasa.
Kakekmu manusia biasa. Aku pun manusia biasa.
Sebagai manusia, moyangmu, kakekmu, ayahmu ini,
merindukan teman untuk bersenda, teman untuk
bercumbu. Karena itu, anakku. Sebagai manusia, aku
tahu suatu ketika kau akan berusaha menolak takdir.
Sebelum kau melakukan itu, anakku, ingatlah, suatu
ketika kau akan kehilangan orang yang paling kau
sayangi dan cintai di dunia ini. Kau akan sendirian
kembali. Kesepian kembali. Tak ada yang
melindungimu. Tak ada yang mengasihimu. Hanya
dirimu sendiri, anakku. Dirimu sendiri...""
Lalu ayahnya mati. Dan Kurdi tidak ingin menolak takdir itu. la masuk ke
kamar tempat selama ini ayahnya bersemedi,
kakeknya bersemedi, dan moyangnya bersemedi. Ia
bakar menyan di dupa. Ia tebarkan ramu-ramu
kembang di atas tikar yang ia duduki. Lalu ia
bersimpuh, menyembah tengkorak yang tidak pernah
ia tahu milik siapa tetapi ia tahu telah ada di situ
semenjak ia lahir ke dunia ini. Kemudian
menghaturkan sumpah: "Kuikuti takdirku, suatu ketika aku akan mati. Kutolak
takdir, aku pun mati, tetapi orang lain akan ikut mati.
Karena itu, aku tak mau orang lain ikut mati karena
aku. Biarlah aku mati dalam kesepianku, dalam
"kesendirianku. Kuterima takdirmu!"
Ia kemudian menyembelih seekor ayam jaman
berbulu putih, berparuh putih, bertaji putih. Darahnya
ia masukkan ke dalam rongga telinga tengkorak,
mengalir di antara kedua baris gigi benda itu,
membasahi tikar yang kemudian ia jilati dengan jijik,
dan lama kelamaan dengan bernafsu. Bulu-bulu ayam
itu ia ludahi, demikian pula bangkainya, yang
kemudian ia berikan sebagai santapan sahabatnya
yang misterius itu. Ayam putih itulah, satu-satunya makhluk yang pernah
dibunuh Kurdi, sepanjang hidupnya ia biarkan ular
menyelinap di semak belukar, biarpun kakinya telah
dipatuk. Ia biarkan nyamuk menggigit kulit, biarpun
itu berarti darah terhisap dari tubuh serta kulitnya
menjadi gatal-gatal. Bahkan ia biarkan seekor kijang
melarikan diri meskipun sudah terperangkap di dalam
rumah dan ia sudah teramat lapar serta ingin
mengunyah daging. Dengan sabar ia bersemedi di bawah pohon-pohon,
menunggu buahnya jatuh untuk dimakan. Dengan
sabar, ia menanti kabar seseorang telah mati,
menunggu ada orang mengirim darah bangkai ayam.
Godaan paling dahsyat yang hampir-hampir tidak bisa
ia lewatkan, adalah kehadiran seorang perempuan.


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mira nama perempuan itu. semasih kecil, Kurdi
sesekali bermain ke tengah kampung meskipun
dilarang ayahnya. Penduduk di mana ia datang,
menjauhi bahkan sering mengusirnya. Tetapi tidak
Mira. Gadis kecil itu sering mengantarkan makanan
untuknya tanpa setahu orang-tuanya. Mereka selalu
bertemu diam-diam, bermain diam-diam, bercinta
pula, dengan diam-diam, sampai tiba-tiba ayah Kurdi
mati, dan ia harus melepaskan Mira untuk diboyong
oleh lelaki lain. Ia tahu betul. Mira tidak pernah
mencintai laki-laki itu, ia hanya mencintai Kurdi,
melebihi cintanya kepada orangtuanya sendiri. Hanya
karena Kurdi ingat pada kutuk yang menimpa
keluarganya, ia kemudian rela melepaskan Mira untuk
dijamah laki-laki lain. Mira kemudian kawin dengan laki-laki lain itu. Tetapi
kekasih Kurdi yang malang itu, tidak bisa melepaskan
kenang-kenangan manisnya dengan laki-laki yang ia
cintai. Pada saat suaminya menjamah tubuhnya, ia
merasa jijik, marah, benci, sakit hati. Ia merasa orang
telah menodai tubuhnya. menodai jiwanya. Ia merasa
ia telah menodai cintanya. Mira putus asa, melarikan
diri dari rumah. Kemudian terjun ke sungai yang
sedang meluap oleh banjir. Alam dan cinta mereka
yang tulus jualah yang mempertemukan Kurdi dengan
mayat Mira yang terdampar di muara. Sebelum mayat
itu disambar buaya, Kurdi yang panik mengikuti arus
sungai setelah mendengar Mira bunuh diri, cepat-cepat
menariknya ke pinggir. la tangisi kekasihnya. Ia peluk
dan cium kekasihnya. Ketika itulah, sebuah naluri yang ganjil merasuk
dalam diri Kurdi. la tidak saja menangisi, memeluk,
menciumi tubuh Mira yang telah menjadi mayat itu. la
kemudian melakukan apa yang pernah ia ingin
lakukan bersama kekasihnya namun tidak jadi mayat
itu, ia gauli. Mula-mula dengan segenap rasa cinta
serta dendam rindu, namun lama kelamaan sematamata karena didorong birahi. Tetapi dari hari ke hari,
mayat Mira mengalami proses alami. Mira mulai
membusuk, kemudian daging di seluruh tubuh
perempuan itu mulai dimakan ulat. Betapa pedihnya
hati Kurdi, karena ia tidak boleh membunuh ulat-ulat
yang telah merusak keindahan tubuh kekasihnya. Ia
biarkan ulat itu melampiaskan nafsu biadabnya,
ditemani oleh cacing tanah, binatang melata, sampai
Mira tinggal tulang-tulang berserakan belaka dan
"dengan sudut-sudut mata yang basah, Kurdi
melemparkan tulang belulang Mira kembali ke tengah
sungai, seraya bergumam lirih:
"Selamat jalan, kekasihku. Pergilah, ke mana kau
ingin pergi. Kurelakan kau kini...."
Bahkan hanya dengan bercinta... tanpa pernah
menikah... orang yang paling disayangi pun harus
mati! *** Roda kereta beradu dengan batu besar, membuat peti
mati di bak belokan bergerak dengan suara berisik.
Kurdi menoleh. Hari telah mulai senja ketika itu, dan
samar-samar ia lihat tubuh peti mati agak tersingkap,
ia melihat paha mayat itu tersembul. Mulus, putih dan
halus. Kurdi menelan ludah. Birahinya datang tibatiba.
Kereta segera ia hentikan. Kudanya mendengus
kesenangan. *** Setelah mengganjal bagian depan kereta pakai
sepotong kayu agar posisi bak belakang tetap rata,
Kurdi membiarkan kudanya menjauh ke semak
belukar, mencari rumput-rumput segar. Kurdi
menggeliat, mengendurkan otot-ototnya yang kejang.
Rintihan anjing di dekat kakinya membuat ia
tersenyum. "Kau cemburu lagi!" berengut Kurdi. "Kalalu tak suka,
kau boleh menghindar, sahabatku yang baik..."
Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor, lalu menjilati
kaki Kurdi yang telanjang setelah mana kemudian
berlari-lari kecil, menjauh ke tempat di mana tadi
kuda penarik kereta menghilang di balik semak
belukar diantara pohon-pohon raksasa yang
menjulang menjangkau langit. Sesaat Kurdi
menghirup udara senja yang segar. la menatap ke
arah bukit di balik bayangan pepohonan. Bukit itu
berwarna kelabu, berpeluk sisa-sisa kehan gatan
matahari yang baru saja kembali ke peraduan. Angin
berhembus sepoi-sepoi basah, membuat mata Kurdi
terasa berat. "Hem," pikirnya. "Malam belum jatuh."
Lalu ia duduk dengan merebahkan punggung ke roda
kereta. Dalam sekejap, matanya telah rapat, dan
dengkur yang keras lepas dari hidungnya. Rupanya ia
tidak kuat menahan kantuk dan tidak berwaspada.
Kurdi baru tersentak bangun waktu kudan ya
mendengus dengan keras, dan anjingnya melolong
tinggi, mengalun tanpa irama, memecah kesepian di
sekeliling mereka, menusuk-nusuk sampai sumsum
Kurdi. Tersentak, ia bangkit berdiri. Bulan mengintai di
sepenggalahan langit, diantara rimbunan dedaunan.
Awas, mata Kurdi tajam memandang ke sekitanya.
Tak ada apa-apa, kecuali kegelapan bayangan
pepohonan dan dedaunan yang menimbulkan bercakbercak hitam di atas rerumputan. Dari balik semak
belukar, dengus kuda itu terdengar lagi, disambut oleh
lolong anjing yang lirih.
Kurdi melirik ke atas bak kereta.
Peti mati itu masih terletak di sana. Dan waktu ia
meloncat naik, mayat Nyi ljah pun masih terbaring di
dalam, tutup peti yang sedikit terbuka menyingkap
kain yang menutupi paha perempuan itu. Warna putih
yang mulus itu, tampak samar-samar. Kurdi menelan
ludah, tubuhnya menggigil sesaat. Semenjak ia
menyetubuhi mayat kekasihnya, Kurdi selalu
bergairah tiap kali melihat tubuh mayat yang lain.
Perempuan, tentu, muda. Baru beranak satu. Banyak
darahnya yang keluar waktu melahirkan anaknya
yang kemudian mati itu, akan tetapi bentuk tubuhnya
"tidak terpengaruh karenanya. Kurdi telah melihatnya.
Bahkan telah menjamahnya, tadi malam.
Kini, hasrat untuk menjamah mayat itu, kembali
bergolak. Tutup peti mati ia geser sampai lepas, kemudian ia
letakkan di samping. Tubuh Nyi Ijah jelas-jelas kini
terbaring di hadapannya. Menantang.
Kurdi menelan ludah untuk kesekian kalinya, lalu
tengadah menatap rembulan. Ia kumat kamit
membaca mantera, setelah mana kemudian ia
keluarkan pisau lipat dari saku kemeja.
Mentera-mentera yang keluar dari mulutnya kian
keras, kian cepat, hampir-hampir tanpa aturan, diiringi
oleh gerakan-gerakan tubuhnya yang bergoyang
keras, ke kiri dan ke kanan.
"Kembalilah, roh yang telah pergi. Hangatilah jasadmu
yang terbaring ini!" tiba-tiba ia berseru tertahan. Lalu,
"jres," urat nadi lengan kirinya ia sayat. Dari lengan
kirinya itu, luka segera menganga, darah mengucur
jatuh langsung di arah jantung mayat Nyi ljah.
Angin tiba-tiba berhembus keras.
Ada suara orang menangis. Suara perempuan. Lirih,
seperti sedang sakit hati, lalu tubuh perempuan di
dalam peti mati tersentak-sentak, tak ubahnya orang
yang terkejut di kala tidur tetapi tidak dapat bangun
untuk melepaskan diri dari kejutan-kejutan yang
menyiksa itu. Dari semak belukar, terdengar kuda
meringkik berkali-kali, sahut bersahut dengan lolongan
anjing yang lengking dan nyaring.
Jidat Kurdi basah oleh peluh ketika ia tutup lengan
kirinya yang luka dengan helai daun kelapa kering
yang telah dilemaskan dan selalu sudah tersedia di
saku kemejanya. Setelah membalut lengan kirinya
dengan pelepah daun kelapa, ia kemudian
mengikatnya erat-erat mempergunakan tali pelepah
pisang. Mulutnya berhenti kumat kamit, dan matanya
yang terpejam sementara membaca mantera, kini terbuka. Nyalang. la
menyeringai waktu memperhatikan gerakan-gerakan
halus di dada Nyi Ijah yang menggelembung padat.
Tanpa sadar, lidah Kurdi membasahi bibirnya yang
kering. Ia kemudian masuk ke dalam peti mati. Kedua
kakinya rapat diantara kedua kaki Nyi Ijah. Dengan
gerakan tidak sabar ia lepaskan pakaian yang
melekat di tubuhnya, kemudian merebahkan diri di
atas tubuh Nyi Ijah. Dari balik semak belukar, anjing dan kuda itu
memperhatikan dengan dua pasang mata mereka
yang bersinar-sinar menembus kegelapan malam.
Binatang-binatang itu melihat peti mati di bak kereta,
bergerak-gerak liar. Binatang-binatang itu kembali
memperdengarkan suara, sahut bersahut, sampai tak
lama kemudian peti mati diatas bak kereta tiba-tiba
tidak bergerak, dan angin pun seperti berhenti
berhembus. Tau-tau saja, Kurdi telah meloncat berdiri
dari peti mati, seraya mengenakan pakaiannya buruburu.
".... Siapa kau"" tanyanya, keras dan lirih.
Anjing dan kuda di balik semak belukar, memandang
tajam ke sesosok bayang-bayang yang keluar dari
kegelapan, tak jauh dari kereta. Tampaknya seperti
sebatang pohon tua yang buntung dengan akar-akar
mencakar kian ke mari, merayap di antara
pepohonan. Kurdi melihat munculnya sosok hitam itu.
Persis bayangan asing itu berada di tempat terbuka
sehingga wujudnya bersiram cahaya rembulan,
segera Kurdi mengenalinya.
"Ki Sanca!" ia mendengus.
Anjing dan kuda di balik semak belukar, ikut pula
mendengus. Ki Sanca menolehkan wajahnya yang
tanpa hidung serta kedua belah tulang pipinya
"menganga oleh bekas luka, ke arah semak belukar. Ia
meludah, jijik, acuh tak acuh pada sahabat-sahabat
Kurdi, dan lebih mementingkan berhadapan muka
dengan si penunggu jenazah yang kini sudah
meluncur turun dari kereta.
Suara sengau yang berat. keluar dari mulut Ki Sanca:
'"... jadi, kau ternyata manusia yang lebih busuk dari
aku!" Kalaulah waktu itu siang, Ki Sanca akan melihat
bagaimana kulit muka Kurdi merah padam sampai ke
daun daun telinganya, sekujur tubuhnya gemetar
marah dan malu luar biasa. Seseorang telah
mengetahui rahasianya, itu tidak boleh terjadi. Kalau
sampai terjadi, tidak akan ada lagi penduduk yang
datang untuk minta tolong. Tidak akan ada lagi
mayat-mayat yang harus ia tunggui. Tidak akan ada
lagi sesajen-sesajen dari orang-orang yang
membutuhkan bantuannya menunggui mayat sanak
keluarga mereka. Bahkan, penduduk kemudian akan
beramai-ramai mencarinya. Beramai-ramai
membunuhnya. Barangkali juga, mereka tidak berani
turun tangan. Takut, itu pun tidak berarti, Kurdi akan
terlepas dari siksaan. Tidak ada lagi darah-darah
sesajen untuk memuaskan nafsu lapar serta dahaga.
Tidak ada bangkai untuk disantap sahabatsahabatnya. Tidak ada mayat perempuan untuk...
Kurdi mungkin bisa menggali
kuburan-kuburan, mencari mayat-mayat yang ia
kehendaki. Tetapi ia tidak menyukai pekerjaan itu.
Dan di dalam kuburan-kuburan yang ia gali, tidak ada
darah sesajen. Tidak ada bangkai untuk sesajen.
"Terkutuk! Haram jadah! Setan hina dina!" ia
menyumpah serapah. Ki Sanca tertawa. Bergelak. Ia melangkah lebih dekat.
Gerakannya pincang. la menyeret sebelah kakinya.
"... kau telah membuatku jadi manusia yang tidak
sempurna wujudnya," ia balas menyumpah.
"Perbuatanmu tidak akan kubiarkan, Kurdi. Kau harus
mengalami bagaimana sakit dan menderitanya jadi
laki-laki yang tidak punya hidung, laki-laki yang punya
pipi rusak menakutkan, laki-laki yang tergantunggantung tanpa tenaga dari kaki-kakinya. Sesudah itu,
aku akan membuatmu malu. Membuatmu tersiksa,
dengan apa yang kusaksikan barusan..."
"Hem. Hem." Ki Sanca menyeringai lebar. "Sudah
kesampaiankah hajatmu pada tubuh mayat itu. Kalau
belum, kau boleh meneruskan. Siapa tahu, aku
bukannya jijik dan mau muntah, tetapi ikut pula
bergairah..." Lantas ia tertawa. Terkekeh-kekeh.
"Bangsat!" maki Kurdi.
"Kita sama-sama bangsat. Aku membangsati orang
hidup, dan kau membangsati orang mati. Jadi, tak
usah kau tamatkan kata-kata terpuji itu kepadaku,
karena bisa-bisa kembali ke alamat si p engirim!"
"Mau apa kau"" Kurdi berusaha menyabarkan diri.
"Sudah kukatakan tadi. Membalas perbuatanmu,
setelah itu...." "Jadah. Kau tak akan bisa menjamahku!"
"Tidak" Kau laki-laki. Tetapi, aku juga laki-laki,
bukan"" "Jangan coba!" "Justru aku ingin...."
"Kubunuh kau!" "Kau tak akan! Setahu yang kudengar, kau tak akan
membunuh, apalagi melukai makhluk apapun di dunia
ini. Kalau kau lakukan, matamu akan buta, otot-otot
tubuhmu akan berhenti bekerja, dan otakmu akan
membatu di kepalamu. Kau akan tersiksa detik demi
detik, sampai maut menggerogoti tubuhmu. Atau


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau tak salah pula, sampai binatang-binatang
"peliharaanmu, mengoyak-ngoyak kemudian
mengunyah-ngunyah jasadmu. Betulkah itu""
Kurdi menggigil. "Kau tahu banyak," desisnya. "Tetapi kau pun tentu
tahu aku bisa membunuhmu, tanpa menurunkan
tangan..." Kembali Ki Sanca melepas tawa mengekeh. Ia
tampaknya amat senang, sehingga ia terbungkukbungkuk oleh kesenangan serta tawanya yang tidak
berhenti-henti. Mungkin air matanya sampai jatuh
bercucuran, karena ketika ia kemudian berhenti
tertawa lantas tengadah menatap lawannya, kedua
belah pipinya yang rusak mengerikan itu, berkilat-kilat
oleh butir-butir air. Ia terengah-engah waktu
mengejek: "Kau akan menggunakan kekuatan bathinmu, bukan"
Kau lupa, Kurdi. Bathinku akan melawanmu. Dan
kalau bathinku kalah, serta aku sampai terbunuh
karenanya, maka itu pun, berarti kau telah
membunuhku juga, jadi, kau tak akan menggunakan
ilmumu yang terkutuk. Aku"" ia tertawa lagi, bergelak,
kemudian melanjutkan dengan suara rendah dan
tajam. "Aku bebas mempergunakan senjata apa saja
yang kumaui. Ilmu yang meresap dalam di bathinku,
dan ini..." la mencabut sebuah golok dari balik
kemejanya. "Dengan ilmuku aku akan membuat kau
tidak berdaya. Dengan golokku, aku akan
Api Di Bukit Menoreh 8 Animorphs - 28 Eksperimen The Experiment Banjir Darah Di Bukit Siluman 3
^