Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


Ki Tumenggung mengangguk-angguk kecil meskipun sebenarnya dadanya masih berdegupan. Tetapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain daripada menerima tawaran Ki Linduk. Karena agaknya tidak dengan cara itu, sulit baginya untuk membawa Ki Linduk masuk kedalam perjuangan yang berat itu.
"Pikirkan Ki Tumenggung" berkata Ki Linduk kemudian
"aku kira pembagian ini adalah pembagian yang cukup adil. Tanpa ada kemungkinan untuk berselisih di kemudian hari, karena kita masing masing akan mendapatkan hak kita. Asal kita benar benar saling menghormati perjanjian yang kita buat."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka katanya
"Tetapi apakah aku dapat mengetahui kekuatanmu dan kekuatan Warak Ireng?"
Ki Linduk tertawa. Katanya" Kau lihat, bahwa padepokanku agak berbeda dengan padepokan gurumu. Disini aku mempunyai sepasukan cantrik yang bukan saja trampil bercocok tanam, membuka hutan dan berternak berbagai jenis binatang, tetapi mereka adalah prajurit prajurit."
"Apakah dalam keadaan sehari-hari mereka juga mempunyai pengalaman hanjarah-rayah sebagaimana prajurit menang perang?"bertanya Ki Tumenggung.
"Dalam kedudukan Ki Tumenggung sebagai seorang Senapati, maka Ki Tumenggung mempunyai kewajiban untuk menghancurkan kami"jawab Ki Linduk sambil tersenyum"tetapi biarlah hal itu kami lakukan. Terus terang, aku memang mempunyai kegemaran menimbun hartai benda, selain aku ingin menyebarkan pengaruh ilmuku agar ilmuku mempunyai daerah perkembangan yang luas di Tanah Pajang ini."
Wajah Ki Tumenggung itu memerah sesaat. Padepo"kan ini bukan lagi padepokan yang murni, tetapi sudah berubah menjadi sarang sekelompok perampok yang kuat dan besar dengan selimut sebuah padepokan. Sejenis dengan beberapa padepokan yang banyak terdapat di daerah terpencil.
Namun sebenarnyalah memang padepokan seperti itulah yang dikehendaki. Dengan demikian ia akan mendapat bantuan kekuatan yang berarti sehingga bersama sama mereka akan dapat memecahkan pertahanan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Ki Tumenggung tidak lagi dapat memilih. Jika Warak Ireng juga menerima syarat itu, ma"ka bersama-sama mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, terutama menghadapi pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.
Dengan demikian maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata
"Ki Sambijaya. Aku sadar, bahwa aku tidak akan mempunyai pilihan Iain. Tetapi bukankah hal ini masih harus dibicarakan pula dengan Ki Warak Ireng?"
Ki Linduk tertawa. Katanya"Keadaan dan kedudukan Warak Ireng tidak berselisih banyak dengan keadaan dan kedudukanku. Karena itu, kira kira iapun tidak akan berkeberatan melakukannya asal dengan imbalan yang jelas dan pasti. Bukan sekedar janji di kemudian hari."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Kata"nya"Baiklah Ki Linduk. Aku menerima persyaratan itu, tetapi dengan keterangan bahwa sedikitnya kita harus bertiga melakukan rencana ini, agar kita tidak justru dibinasakan oleh pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh."
"Bukan hanya itu Ki Tumenggung" jawab Ki Linduk" Jika Ki Tumenggung menerima syarat itu, maka kita bersama sama harus mengirimkan petugas sandi untuk mengamati daerah Tanah Perdikan itu. Dengan pasti kita dapat memperhitungkan kekuatan mereka. Beberapa kekuatan yang ada di barak pasukan khusus dan seberapa pada pasukan pengawal Tanah Perdikan"
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Ternyata Ki Linduk termasuk seorang yang berhati hati menentukan langkah. Karena itu malka kemudian jawabnya
"Baiklah Ki Linduk. Aku setuju. Kita bertiga, jika Warak Ireng sependapat, akan mengirimkan tiga orang untuk melihat dan memperhitungkan dengan pasti, seberapa kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu."
Ki Linduk mengangguk angguk. Lalu katanya "Kita memang perlu segera menghubungi Warak Ireng."
"Besok kita dapat menemuinya sahut Ki Tumenggung.
"Kita memerlukan perjalanan satu hari satu malam" jawab Ki Linduk.
"Kita akan menempuhnya- berkata Ki Tumenggung" semakin cepat semakin baik"
"Aku akan berbicara dengan orang orangku berkata Ki Linduk kemudian."
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggungpun berkata
"Bagaimana dengan prajurit prajuritku."
Ki Linduk tersenyum. Katanya "Biarlah para cantrik mengatur tempat lebih dahulu sebelum prajurit-prajurit-mu memasuki padepokan ini."
Ki Tumenggung tidak menyahut lagi, sementara Ki Lindukpun kemudian meninggalkan tempat itu, masuk keruang dalam. Dipanggilnya beberana orang cantrik dibawah pimpinan pututnya untuk membicarakan kemungkinan menerima para prajurit pengikut Ki Tumeng gung Purbarana di padepokan itu.
"Hati-hatilah" berkata Ki Linduk mereka adalah orang orang kelaparan. Karena itu, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan kita. Berjaga ja-galah menghadapi setiap kemungkinan. Namun sementara itu untuk mengurangi kebuasan mereka, biarlah, dise-diakan makan dan minum sekedarnya. Meskipun demikian kalian jangan lengah menghadapi orang-orang kelaparan itu.
Dengan demikian, maka putut yang tertua dari padepokan itupun telah mengatur para cantrik demgan cepat dan mapan. Mereka membagi kekuatan para cantrik pada tiga titik pusat yang berbeda letaknya. Sementara itu, mereka menyediakan tempat bagi para prajurit, pengikut Ki Tumenggung pada tempat yang berada di antara ketiga titik kekuatan para cantrik. Jika mereka berniat buruk, maka ketiga titik kekuatan para cantrik itu akan dapat menekan mereka dari tiga arah dan memper-gunakan alat yang akan dapat mengejutkan para prajurit.
Di tiga titik kekuatan itu terdapat semacam busur-busur raksasa yang ada didalam dinding rumah yang tidak nam-pak dari luar. Tetapi busur busur raksasa itu akan dapat melemparkan anak panah raksasa pula yang besarnya hampir seperti sebatang lembing. Busur-busur raksasa itu dapat diatur menghadap ke arah yang dikehendaki, kare"na dinding rumah itu berlubang-Iubang dibeberapa bagian. Selain rabang untuk meluncurkan anak panah, juga lubang untuk membidik bambu biasa, tetapi rumah-rumah khusus yang sebenarnya adalah tempat penyimpanan harta benda yang dikumpulkan dengan caranya oleh para pengikut Ki Linduk itu, dirangkapi dengan batang batang kayu yang disusun berjajar sampai kebatas atap. Batang batang kayu utuh sebesar lengan dan bertulang kayu-kayu yang lebih besar melintang.
Dalam pada itu, ketika para cantrik sudah selesai mengatur diri, maka Ki Lindukpun berkata kepada. Ki Tu"menggung yang berada di pendapa
"Maaf Ki Tumenggung. Para cantrik harus menyiapkan barak mereka yang kotor. Mereka harus membersihkannya dan memindah-kan barang barang mereka, sehingga beberapa barak akan dapat dipergunakan oleh para prajurit."
"Apakah sekarang mereka sudah diperkenankan masuk?"bertanya Ki Tumenggung.
"Silahkan. Tetapi masakan didapur masih belum siap. Kami mohon mereka sabar menunggu"berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian memerintahkan pengawal pengawalnya untuk menjemput para prajurit yang ditinggalkan di luar hutan.
Sebenarnyalah para prajurit itu mulai menjadi gelisah. Mereka sudah terlalu lama menunggu. Namun mereka belum mendapat isyarat apapun juga. Padahal mereka sudah mulai merasa sangat lapar dan haus.
Kedatangan kewan kawan mereka dari dalam hutan telah menumbuhkan satu harahan dihati para prajurit itu. Sebagaimana yang mereka bayangkan, bahwa mereka akan memasuki sebuah padepokan dan mendapat sambutan dan hidangan yang segar, sebagaimana sepasukan pahlawan dari medan perang.
" Apa yang harus kami lakukan?" bertanya seorang perwira kepada orang orang yang baru keluar dari padepokan.
" Kita mendapat perintah untuk memasuki padepokan" jawab salah seorang yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung untuk menjemput mereka.
Sesuatu terasa mekar dihati para prajurit itu. Mereka memang sudah menunggu terlalu lama. Lapar, haus dan letih. Jika kemudian mereka memasuki padepokan, maka mereka akan mendapat sambutan yang sangat baik.
Sejenak kemudian barisan itu sudah menyusup masuk kedalam hutan. Mereka mengikuti jalan sempit yang bah"kan kadang-kadang sangat sulit oleh sulur pepohonan dan semak-semak yang berduri.
Tetapi mereka harus menempuh jalan itu meskipun ada diantara mereka yang mengumpat umpat. Namun tidak ada pilihan, karena jalan yang harus mereka tempuh memang hanya satu jalur itu.
"Setan" geram salah seorang diantara para prajurit
"aku sudah lapar, haus dan letih. Sementara itu aku masih harus menyusuri jalan laknat ini."
"Mungkin jalan ini sangat panjang" geram yang lain.
"Aku bakar hutan ini" sahut yang pertama.
Mereka tidak berbicara lagi. Tetapi di wajah mereka terbayang keseganan dan bahkan kejengkelan untuk melanjutkan perjalanan. Namun demikian, mereka memang tidak akan dapat berhenti ditengah hutan. Mereka harus berjalan terus, sampai saatnya mereka sampai di padukuhan yang akan mereka tuju.
Dalam pada itu, ketika kesabaran mereka hampir habis, mereka melihat hutan menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian mereka muncul disebuah dataran yang cukup luasdikelilingi oleh hutan yang lebat.
Hampir bersorak beberapa orang bersama-sama berkata
"tulah padepokan itu"
"Ya" jawab salah seorang diantara mereka yang menjemput pasukan itu "itulah padepokan itu. Padepokan yang benar benar terpencil"
Prajurit-prajurit yang kelelahan itu seakan akan telah mendapatkan kekuatan mereka kembali. Langkah mereka tiba tiba saja menjadi semakin cepat menuju ke padepokan itu. Seakan akan dipadepokan itu telah ter-sedia minuman panas dengan gula kelapa dan makanan hangat bagi mereka.
Namun dalam pada itu, ketika mereka mendekati regol padepokan, jantung mereka mulai berdebaran. Mereka melihat kelompok-kelompok cantrik yang berada di luar regol dan kemudian tersebar di seputar padepokan. Cantrik cantrik itu sama sekali tidak berlari larian menyambut mereka sambil memuji mereka sebagai pahlawan yang datang dari medan perang. Tetapi para cantrik itu justru memandang mereka dengan penuh curiga. Bahkan para prajurit itu melihat bahwa para cantrik itu ternyata bersenjata.
Para prajurit itu merasa bahwa kedatangan mereka ke padepokan itu agak berbeda dengan saat mereka memasuki padepokan guru Ki Tumenggung Purbarana. Para cantrik yang ramah dan sambutan yang terasa hangat, meskipun akhirnya, padepokan itu menjadi neraka, karena para cantrik dan bahkan guru Ki Tumeng"gung itupun kemudian telah terbunuh dalam pertempuran yang nggegirisi.
Dalam pada itu, ketika para prajurit itu memasuki padepokan, suasnanya memang terasa tegang. Para prajurit itu tidak dapat berbuat sebagaimana mereka inginkan. Demikian mereka memasuki regol, maka beberapa orang cantrik telah mempersiapkan mereka menuju ke barak yang sudah disediakan. Barak yang sebenarnya tidak akan dapat menampung mereka seluruhnya. Tetapi dengan helai helai tikar diantara amben amben yang besar, maka diharapkan para prajurit itu akan mendapat tempat untuk berbaring. Sebagian dari para prajurit itu terpaksa berada diserambi dan ruang ruang sempit di barak itu.
Seorang prajurit yang melihat tempat itu mengumpat. Dengan lantang ia berkata
" He, kalian kira kami ini apa" Kalian masukkan kami sebagai sekelompok ternak didalam kandang. Berjejal-jejal seperti ini."
Seorang cantrik yang menggantar mereka memandang orang itu sejenak. Namun tiba tiba saja ia menjawab tidak kalah lantangnya "Inilah tempat yang dapat kami perbantukan kepada kalian. Terserah. Apakah kalian mau menerima atau tidak."
Beberapa orang prajurit yangmendengar jawaban itu serentak berpaling. Namun cantrik itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka. Dipandanginya saja prajurit yang telah mengumpatinya itu dengan tajamnya.
" He " prajurit itu menjadi marah " kalian membantu kami" Apa yang telah kalian lakukan" Seharusnya kalian menyediakan tempat yang lebih baik bagi kami. "
" Ingat " jawab cantrik itu " Senapatilah yang datang kepadepokan ini sambil merengek minta bantuan. Kalian jangan membuat persoalan disini. Kami adalah tuan rumah pemilik padepokan ini. Kami memberikan tempat kami agar kalian dapat berteduh dari titik-titik embun dimalam hari. Jangan salah menilai diri. Kalian bukannya datang untuk menyelamatkan kami. Kami tidak mempunyai persoalan apa-apa. Kalianlah yang memerlukan bantuan kami. Tempat, makan, minum dan pasukan."
Prajurit itu tidak dapat mengekang diri. Iapun telah meloncat menyerang. Namun ternyata cantrik itu tangkas juga. Ia sempat mengelak dan bahkan dengan kecepatan diluar dugaan, cantrik itu justru telah menyerang.
Suasana menjadi panas. Beberapa orang prajurit siap membantu kawannya. Namun ketika mereka melihat keluar pintu, ternyata sekelompok cantrik berdiri dengan tegang memandangi kawannya yang telah mendapat serangan itu.
Nampaknya kedua belah pihak telah bersiap menghadapi segala kemungkinkan. Sementara itu praju"rit yang marah itu ternyata telah bergeser pula menghin-dari serangan cantrik yang marah pula.
Dalam keadaan yang hampir saja membakar itu, seo"rang perwira telah berteriak
"Hentikan." Prajurit yang sudah siap menyerang lagi itu tertegun. Dipandanginya perwira yang mendekatinya sambil memandanginya pula. Justru dengan sorot mata yang menyala.
"Orang dungu"geram perwira itu"kita sedang membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk beker-ja sama. Kenapa kalian justru saling menyerang?"
"Orang itu menghina aku"jawab prajurit itu.
Tetapi ketika perwira itu berpaling kearah cantrik itu, maka cantrik itu menyahut
"Orang itulah yang menghina kami. Dikiranya kami ini budaknya atau hambanya. De"ngan susah payah kami menyediakan tempat berteduh ba"gi kalian, karena kami kasihan melihat kalian berkeliaran dan tidur di tempat terbuka, berselimut langit dan embun. Namun tiba tiba orang itu membentak-bentak seenaknya saja."
Wajah perwira itupun menegang sesaat. Ternyata iapun tersinggung pula karenanya. Tetapi dengan cepat ia menguasai diri dan berkata
"Kita lupakan semua persoa"lan yang timbul ini. Kami akan menerima apa yang ada bagi kami."
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Ternyata ada ju"ga orang yang berperan diantara para pengikut Ki Tu"menggung Purbarana itu. Karena itu, maka cantrik itupun kemudian berka"ta
"Silahkan. Itulah yang dapat kami sediakan. Terserah penilaian kalian."
"Terima kasih"jawab perwira itu.
Cantrik itupun kemudian meninggalkan para prajurit yang hampir saja membuatnya kehilangan kekangan. Bahkan para cantrik yang lainpun hampir saja melibatkan dirinya sebagaimana para prajurit.
"Setan itu harus dibunuh"geram prajurit yang me"rasa terhina.
"Jangan membuat persoalan"potong perwira itu.
"Tetapi ia menghina aku. Bukan hanya aku, tetapi kami semuanya. Apakah dikiranya bahwa kami tidak akan dapat menumpas mereka seperti yang pernah kami lakukan."geram prajurit itu.
Tetapi prajurit itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali ketika tiba tiba saja perwira itu telah mengayunkan tangannya menampar wajahnya.
"Kau dengar"geram perwira itu"kita sedang melakukan tugas yang berat. Kita sedang mencari kemungkinan untuk menyelesaikan tugas itu. Sementara itu kau telah merusak suasana."
Prajurit itu menjadi tegang. Namun perwira itupun agaknya telah benar benar menjadi marah. Karena itu, maka katanya kemudian"Kau tidak menerima perlakuanku" Marilah, kita lepaskan pakaian keprajuritan kita dan kita lupakan susunan kepangkatan kita. Kau kira aku hanya berani bertindak karena pangkatku lebih tinggi da"ri pangkatmu?"
Bagaimanapun juga prajurit itu merasa segan menghadapi perwiranya meskipun seandainya mereka benar benar melepaskan pakaian keprajurit dan melupakan susunan kepangkatan. Karena bagaimanapun juga, bah"wa seorang perwira tentu memiliki kelebihan dari prajuritnya.
Karena itu, maka prajurit itupun sama sekali tidak menjawab.
Beberapa saat perwira itu berdiri menegang. Tetapi karena prajurit itu sama sekali tidak menjawab, maka iapun kemudian berkata
"Baiklah. Tetapi jangan kau lakukan lagi. Jika terjadi pertempuran antara isi padepo"kan ini dengan kita, maka memang akan terjadi pemban-taian seperti yang pernah kita lakukan. Tetapi kita tidak tahu, siapakah yang akan dibantai disini. Isi padepokan ini, atau justru kita. Karena isi padepokan irti jauh berbe-da dengan isi padepokan yang telah kita musnakan itu."
Prajurit itu tidak menjawab. Sementara itu perwira itupun kemudian meninggalkannya.
Demikian perwira itu pergi, maka prajurit itu mengumpat. Namun ia tidak berbicara apapun juga. De"ngan serta merta maka iapun telah merebahkan dirinya disebuah amben yang besar bersama beberapa orang
Balas " On 21 Maret 2009 at 15:10 IS Said:
Loh, kok cuma sepotong" Sik,tak jupul sisane.
Balas " On 21 Maret 2009 at 16:13 IS Said:
II-81 sing keri Prajurit itu tidak menjawab. Sementara itu perwira itupun kemudian meninggalkannya.
Demikian perwira itu pergi, maka prajurit itu mengumpat. Namun ia tidak berbicara apapun juga. De"ngan serta merta maka iapun telah merebahkan dirinya disebuah amben yang besar bersama beberapa orang ka"wannya.
Para prajurit yang lainpun tidak mengatakan se"suatu. Yang terjadi itu merupakan satu peringatan bagi mereka, bahwa mereka bukannya orang orang yang harus dihormati oleh siapapun juga.
Dalam pada itu, seorang prajurit yang kemudian masuk kedalam barak itu juga, duduk disebelah kawan"nya sambil berdesis "Kita berada dalam penjara"
"Kenapa?" bertanya kawannya.
"Kita melihat disetiap tempat, para cantrik mengawasi kita. Ada beberapa tempat yang menjadi pusat kekuatan para cantrik seandainya benar benar terjadi perselisihan" berkata prajurit itu.
"Kita memang harus menilai tempat ini sebaik baiknya" berkata kawannya pula.
"Ya. Jauh berbeda dengan padepokan yang sudah ki"ta hancurkan itu. Padepokan ini mempunyai susunan kekuatan yang terpelihara" berkata prajurit itu.
Kawannya mengangguk angguk. Ia merasa beruntung bahwa perkelahian itu tidak sempat terjadi, sehingga keadaan mereka tidak menjadi bertambah buruk. Bebe"rapa orang prajuritpun mulai memperhitungkan bahwa belum tentu mereka akan dapat menguasai padepokan itu seandainya teradi pertempuran. Belum tentu Ki Tumeng"gung Purbarana, meskipun dengan keris Kiai Santak, akan dapat mengalahkan Ki Linduk yang nampaknya me"mang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka mungkin sekali, sebagaimana dikatakan oleh perwira itu, justru para prajuritlah yang akan dibantai di padepokan itu.
"Tidak," berkata seorang prajurit didalam hatinya "Ki Tumenggung pernah mengatakan, dalam keadaan yang memaksa setelah semuanya berakhir, Ki Linduk dan pasukannya akan dimusnahkan. Dengan demikian menurut perhitungan Ki Tumenggung, maka pasukan Ki Tumenggung tentu lebih kuat dari pasukan Ki Linduk".
Demikian peristiwa yang terjadi di padepokan antara para prajurit dan para cantrik itu cepat sampai ke pemimpin tertinggi masing masing. Ternyata Ki Tumeng"gung Purbarana masih berusaha untuk tidak merusak suasana. Demikian pula Ki Sambijaya. Mereka masih me-letakkan satu harapan pada kerja sama yang akan mere"ka galang bersama orang yang disebut Warak lreng, yang memiliki watak dan tabiat serupa dengan Ki Sambijaya..
Sejak hari itu, maka para prajurit, pengikut Ki Tumenggung Purbarana telah berada di padepokan itu. Me"reka makan dan minum di padepokan itu pula yang disediakan oleh para cantrik. Betapa tidak ikhlasnya para cantrik memberikan makan dan minum kepada para prajurit yang telah menghina mereka itu, namun Ki Lin"duk telah memerintahkan kepada mereka agar mereka memberikannya juga.
Sementara itu. Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purba"rana telah membicarakan rencana mereka untuk pergi ke padepokan Warak Ireng. Mereka akan merencanakan langkah yang akan diambil bersama apabila Ki Warak I-reng sependapat.
"Aku yakin, bahwa Warak Ireng tidak akan berkebe"rattan" berkata Ki Linduk.
Namun dalam pada itu, sebelum keduanya benar benar akan pergi, baik Ki Tumenggung maupun Ki Linduk te"lah memanggil pemimpin pemimpin dari para pengikut"nya. Mereka mendapat petunjuk dan bahkan perintah untuk tetap saling menghormati.
"Jika terjadi sesuatu antara kedua golongan itu, ma"ka kalianlah yang bertanggung jawab" berkata Ki Lin"duk.
Sementara itu Ki Tumenggung berkata "Jangan korbankan cita cita yang besar ini untuk kepentingan diri sen"diri".
Demikianlah, maka akhirnya Ki Sambijaya dan Ki Tumenggung Purbarana telah memutuskan bahwa di keesokan harinya mereka akan pergi ke padepokan Ki Warak Ireng. Mereka memerlukan waktu satu hari satu malam.
Pada saat keduanya sudah siap, dan masing masing membawa tiga orang pengawal terpilih, maka mereka sekali lagi memberikan pesan kepada para pengikutnya, agar mereka tidak merusak suasana.
Di hari berikutnya, ketika fajar mulai membayang dilangit, maka Ki Tumenggung dan Ki Lindukpun telah siap dipunggung kuda masing masing. Enam orang pengawal telah siap pula mengikuti kedua orang pemim"pin mereka. Mereka akan menempuh perjalanan yang cukup jauh, yang akan mereka capai dalam jarak waktu sehari semalam. Namun dengan satu keyakinan, bahwa perjalanan itu akan menghasilkan sesuatu yang besar, yang akan sangat berarti bagi semua pihak yang terlibat dalam perjuangan itu.
Ketika iring iringan kecil itu meninggalkan regol padepokan, beberapa orang telah mengantar mereka dan melepas iring iringan itu pergi. Namun kemudian, betapapun juga, mereka yang ditinggalkan tidak dapat menyembunyikan perasaan masing masing. Namun para pemimpim mereka yang diserahi tanggung jawab telah berusaha untuk menjaga agar suasana tetap terpelihara.
"Perjalanan itu akan berlangsung paling sedikit dua hari dua malam" berkata salah seorang cantrik kepada kawan kawannya.
"Selama itu kita harus selalu bersiap siap" sahut ka"wannya, "prajurit prajurit yang kelaparan tetapi sombong itu mungkin dapat menjadi gila dan berbuat sesuatu yang berbahaya bagi kita".
"Apa yang kita takuti?" sahut cantrik yang pertama.
"Bukan takut, tetapi berhati hati" jawab kawan"nya, "bukankah ditiga barak khusus itu tersimpan hartai benda. Jika para prajurit itu mengetahui, mungkin mere"ka ingin merampok harta benda itu".
"Tidak mungkin" jawab cantrik yang pertama, "ba"rak itu dibangun sangat kuat. Ada beberapa jenis senjata yang akan dapat menghancurkan mereka sebelum mere"ka sempat mencapai barak itu".
"Senjata senjata itu tidak akan berarti apa apa jika kita tidak sempat mempergunakannya" jawab kawan"nya.
"Kenapa tidak". Setiap saat senjata senjata itu siap melontarkan nafas maut" jawab cantrik yang pertama.
"Siapa yang melontarkan?" bertanya kawannya.
"Para petugas. He, kenapa kau bertanya be"gitu?" cantrik itu justru bertanya.
"Nah, aku hanya ingin menegaskan bukankah kita harus berhati hati dan berjaga jaga" Bukan senjata senja"ta itu yang berjaga jaga. Tetapi kita yang akan mempergunakan senjata-senjata itu" jawab kawannya.
"Gila", geram cantrik itu, "sudah barang tentu"
"Sudah barang tentu kita harus berhati hati. Begitulah" berkata kawannya.
"Ya, ya, Begitulah" sahut cantrik yang jengkel.
Namun sebenarnyalah para cantrik benar benar ber-siaga sepenuhnya di tiga titik kekuatan mereka, disamping kawan kawannya yang tersebar dari sudut kesudut dengan pekerjaan mereka masing masing. Yang membersihkan halaman melakukannya sebagaimana harus mere"ka lakukan, Yang mengatur air, mengatur air itu seba"gaimana dilakukan sehari hari. Tidak ada perubahan sikap dan tingkah laku. Namun yang tidak nampak, di dalam barak barak penyimpanan harga benda segalanya telah disiapkan sebaik baiknya jika terjadi sesuatu. Senja"ta-senjata khusus telah terpasang, dan bahkan beberapa tali perangkap yang tidak diketahui oleh orang kecuali para cantrik. Sehingga dengan demikian, maka para prajurit itu tidak akan mampu berbuat apa apa seandai"nya mereka ingin berlaku curang.
Tetapi para perwira dari pasukan Ki Tumenggungpun berusaha untuk menjaga orang orangnya sebaik baiknya. Mereka berusaha untuk melakukan sebagaimana diperintahkan oleh Ki Tumenggung. Para prajurit tidak boleh merusak suasana. Mereka hanya boleh mempergunakan senjata sekedar untuk membela diri apabila mereka diserang.
Dengan demikian, betapa tegangnya, namun kedua belah pihak berusaha untuk membatasi diri masing ma"sing, sehingga kedua belah pihak sama sekali tidak akan bersentuhan.
Dalam pada itu Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk tengah memacu kuda mereka menuju kepadepokan. Ki Warak Ireng. Padepokan yang sudah dikenal baik baik oleh Ki Linduk, karena mereka memang sering berhubungan.
Perjalanan kedua orang pemimpin dengan para pengwalnya itu memang merupakan perjalanan yang panjang. Sehari semalam mereka akan menyusuri jalan jalan yang kadang kadang terjal berbatu-batu, kadang kadang licin dan kadang kadang rawa rawa berlumpur.
Namun bagi keduanya, perjalanan itu sama sekali bu"kan merupakan persoalan. Mereka adalah orang orang yang memiliki pengalaman pengembaraan yang luas, se"hingga pada mereka sama sekali tidak nampak kesulitan dan keluhan.
Namun demikian, untuk memberi kesempatan kuda kuda mereka beristirahat, maka sekali-sekali mere"kapun beristirahat juga. Bahkan kadang kadang mereka telah singgah pula di kedai kedai makan sementara kuda mereka mereka biarkan makan rerumputan segar di sebelah kedai itu.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Sambijaya, maka me"reka benar benar telah menempuh perjalanan satu hari satu malam, termasuk saat saat mereka beristirahat dan memberi kesempatan kuda mereka makan dan minum di parit parit yang berair jernih.
Demikianlah, menjelang dini hari, Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk bersama para pengiringnya telah mendekati padepokan Warak Ireng. Seperti padepo"kan Ki Linduk, padepokan inipun terletak agak terpencil. Tetapi tidak ditengah tengah hutan yang lebat. Padepokan Warak Ireng terletak diantara bukit bukit kecil berbatu padas. Nampaknya di tengah tengah padang yang gersang. Hanya ada beberapa batang pohon yang tumbuh.
Tetapi sebenarnya daerah itu bukannya daerah yang gersang seperti yang nampak pada padepokan Ki Warak Ireng. Diantara bukit padas itu terletak beberapa sumber air yang jernih, yang mengalir lewat parit parit yang dibuat alam sendiri. Kemudian parit parit kecil itu berga-bung menjadi aliran air yang lebih besar, sehingga akhir"nya di luar dalerah bukit berpadas itu terdapat sebuah sungai kecil yang berair jernih sekali.
Dari air itulah, padepokan Ki Warak Ireng dapat menggarap sawah yang cukup luas bagi isi padepokannya yang termasuk besar.
Namun dalam pada itu, beberapa puluh tonggak dari bukit bukit padas itu, terdapat bukit yang lain, yang diselubungi oleh sebuah hutan yang lebat. Bukit yang lebih be"sar dari bukit bukit padas itu merupakan sumber binatang buruan yang tidak kering keringnya bagi padepokan Ki Warak Ireng, disamping ternak yang mereka pelihara sendiri, disebuah padang rumput beberapa puluh tonggak dari padepokan mereka, dibawah bukit berhutan, dijaga oleh beberapa orang cantrik bergantian.
Para cantrik itu tidak perlu bersusah payah mencari rumput, karena dipandang penggembalaan itu rumput tumbuh dengan suburnya diatas tanah yang lembab.
Sebenarnyalah bahwa hutan yang menyelimuti pegunungan itu bukan saja memberikan binatang buruan, tetapi juga merupakan sebuah tempat penyimpahan air raksasa yang tidak kering keringnya pada segala musim.
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk bersama para pengiringnya telah memasuki daerah yang demikian.
Kedatangan mereka disaat matahari masih belum terbit memang telah mengejutkan. Beberapa orang can"trik yang bertugas berjaga jaga pada malam itu, telah bersiap siap ketika mereka mendengar derap kaki kuda mendekat.
Demikian kuda-kuda itu berhenti, maka beberapa orang cantrik telah berloncatan dengan tombak yang merunduk.
Ki Linduklah yang kemudian berada dipaling depan. Dibawah cahaya obor yang masih menyala, ia berusaha agar segera dapat dikenal oleh para cantrik itu.
"Apakah kalian telah menjadi buta", geram Ki Lin"duk, "buka mata kalian, siapakah aku?"
Para cantrik itu termangu mangu. Namun ternyata ada juga diantara mereka yang segera mengenalinya.
Dengan nada tinggi cantrik itu berseru "Ki Sambija"ya"
"Monyet itu mengenal aku" berkata Ki Sambijaya kepada Ki Tumenggung.
"Marilah", berkata cantrik itu tanpa merasa tersinggung "silahkan masuk"
"Apakah gurumu ada?" bertanya Ki Linduk.
"Tidak ada. Tetepi menurut pesannya, pagi ini guru akan kembali bersama beberapa orang diantara para can"trik yang lebih tua dari kami." jawab cantrik itu.
"Kemana?" bertanya Ki Linduk.
Cantrik itu termangu mangu sejenak. N imun kemu"dian jawabnya "Ada tugas yang harus dilakukannya."
Tetapi Ki Linduk tertawa. Katanya "Katakan saja, Ki Warak Ireng sendiri sedang memimpin murid-muridnya untuk merampok. Bukan begitu?"
Cantrik itu menegang sejenak. Tetapi Ki Linduk menyambung, "Jangan sakit hati. Gurumu memang melakukannya sebagaimana aku lakukan. Jika gurumu bukan perampok dan kalian tidak diajarinya merampok, aku tidak akan datang kemari sekarang ini bersama Ki Tumenggung Purbarana".
"Tumenggung?" ulang cantrik itu.
"Ya, Tumenggung. Kau tahu arti seorang Tumeng"gung. Ia tentu seorang prajurit. Tetapi Tumenggung Pur"barana ini tidak lagi mengakui dirinya sebagai seorang prajurit Pajang, karena ia sudah memberontak. Ia merasa dirinya prajurit Majapahit yang sedang berusaha bangkit kembali setelah tertidur nyenyak untuk beberapa pu"luh tahun", berkata Ki Linduk.
"Anak Setan" Ki Tumenggung itu menggeram.
Namun Ki Linduk tidak menghiraukannya. Katanya kemudian "Karena itu jangan takut terhadap Tumeng"gung yang seorang ini. Ia tidak datang kemari untuk menangkap kalian. Tetapi ia justru akan bekerja bersama kalian".
Cantrik itu mengangguk-angguk, sementara Ki Lin"duk berkata "Beri jalan aku masuk. He, apakah kalian su"dah merebus air. Kalian harus menjamu kami dengan we"dang jae yang hangat he?"
Cantrik yang sudah mengenal Ki Linduk dengan baik itupun segera mempersilahkannya masuk siikuti oleh Ki Tumenggung Purbarana dan para pengiringnya. Mere"ka telah duduk di pendapa sambil menunggu kedatangan Ki Warak Ireng. sementara itu, seorang cantrik telah menghidangkan benar-benar wedang jae dengan gula kelapa.
" Bagus", desis Ki Linduk "segarnya wedang jae. Sehari semalam kami menempuh perjalanan. Malam tadi rasa rasanya aku kedinginan diatas punggung kuda"
Ternyata bukan saja Ki Linduk yang merasa tubuhnya menjadi bertambah segar ketika mereka menghirup wedang jae dengan gula kelapa.
Namun dalam pada itu, seorang cantrikpun telah menemuinya sambil berkata
"Ki Sambijaya. Agaknya Ki Sanbijaya telah menempuh perjalanan yang melelahkan. Karena itu, jika Ki Sambijaya ingin beristirahat, kami persilahkan. Kami sudah menyediakan dua buah bilik yang dapat dipergunakan untuk beristirahat sambil menunggu kedatangan Ki Warak Ireng"
"Dimana Warak Ireng merampok?" bertanya Ki Linduk.
"Aku tidak tahu" jawab cantrik itu.
"Bohong. Kau tentu tahu" geram Ki Linduk.
"Aku tidak tahu", ulang cantrik itu "yang aku ta"hu, Ki Warak Ireng berangkat tiga hari yang lalu. Menurut rencana hari ini ia akan kembali. Selambat lambatnya malam nanti"
"Tapi jika ia tertangkap prajurit Mataram, maka ia tidak akan pernah kembali" berkata Ki Linduk.
Cantrik itu tertawa. Katanya, "Ki Warak Ireng tidak akan mungkin dapat ditangkap oleh siapapun juga".
"Kau kira aji Welut Putih itu dapat ditrapkan bagi lawan yang manapun juga?" bertanya Ki Linduk.
"Tetapi Ki Sambijaya tahu, bahwa kekuatan Ki Wa"rak Ireng tidak hanya terletak pada aji Welut Putihnya sa"ja, seolah-olah Ki Warak Ireng hanya mampu untuk melepaskan diri dari tangkapan tanpa mampu menyerang dan membinasakan lawan lawannya."
Ki Linduk tertawa. Katanya "Kau tentu membela gurumu. Tetapi baiklah. Dimana kami dapat beristirahat?"
Cantrik itupun kemudian telah mengantar Ki Linduk dan Ki Purbarana untuk beristirahat. Sebuah bilik diper"gunakan oleh Ki Linduk dan Ki Purbarana, sementara bi"lik yang lebih besar dipergunakan bagi para pengiring"nya.
"Nampaknya Padepokan ini penuh dengan orang orang yang sombong seperti padepokanmu" berkata Ki Purbarana kepada Ki Linduk.
"Kenapa ?" bertanya bki Linduk.
"Cantrik itu sombong sekali meskipun nampaknya ia cukup ramah", jawab Ki Tumenggung.
Ki Linduk tertawa. Katanya "Jika kau cepat tersinggung, maka sulit bagimu untuk bekerja bersama dengan Warak Ireng. Ia benar benar orang gila. Tetapi ia termasuk orang yang bertanggung jawab. Jika ia sudah sanggup, maka kesanggupannya akan dilakukan sebaik baiknya".
Ki Tumenggung Purbarana tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian membaringkan dirinya di sebuah amben bambu tanpa melepaskan kerisnya yang besar dan dise"but Kiai Santak. Keris itu hanya diputarnya dan terselip di depan dadanya.
Ki Linduk memperhatikan keris itu sekilas. Tetapi ia tidak tertarik untuk mengamatinya lebih lama, bahkan ia"pun kemudian telah berbaring pula diamben yang lain di dalam bilik itu juga.
Meskipun keduanya kemudian berbaring, tetapi ke"duanya ternyata tidak tertidur. Betapapun mereka mera"sa letih dan kantuk, namun masih ada sepercik kecurigaan diantara mereka, sehingga mereka telah mengerahkan kemampuan daya tubuh mereka untuk tetap tidak ter"tidur.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Warak Ireng tidak segera datang. Menjelang tengah hari, Ki Tumeng"gung Purbarana menjadi gelisah. Sejenak kemudian, ia"pun telah keluar dari biliknya dan bersama para pengi-ringnya justru pergi ke halaman belakang padepokan Wa"rak Ireng.
Beberapa orang cantrik yang tinggal di padepokan itu hanya mengamati mereka tanpa bertanya sesuatu. Bagi para cantrik mereka dianggap sebagai tamu yang tidak akan mengganggu ketenangan padepokan itu.
Di halaman belakang, Ki Tumenggung duduk di tepi sebuah kolam yang berair bening. beberapa jenis ikan nampak berenang hilir mudik. Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung yang letih itupun berkata "Hati hatilah. Jangan berbareng tertidur dibawah bayangan pepohonan yang segar ini."
Para pengiringnya mengerti maksud Ki Tumenggung. Karena itu, maka ketika Ki Tumenggung kemudian terti"dur dibawah sebatang pohon manggis, para pengiringnya
yang juga letih dan kantuk itu telah membagi tugas. Seo"rang diantara mereka harus berjaga-jaga. Bagaimana"pun juga, mereka berada ditempat yang asing, yang akan dapat terjadi banyak kemungkinan.
Sementara itu, Ki Linduk yang masih tetap berada didalam biliknya telah berpindah pula bersama para pe"ngiringnya dibilik yang lain. Baru didalam bilik itu Ki Lin"duk sempat tidur dengan pesan sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana.
Ketika matahari mulai turun, Ki Tumenggung menja"di semakin gelisah. Ternyata Warak Ireng masih belum datang.
Tetapi sebagaimana dipesankan kepada para cantrik, ia akan datang hari itu atau pada malam harinya.
Pada saat orang-orang yang menunggu itu sudah sam"pai kepuncak kejemuannya, maka tiba tiba saja terdengar seorang cantrik yang berdiri diatas sebuah tangga di sudut dinding padepokan itu berteriak, "Lihat, Ki Warak Ireng telah datang".
Beberapa orang cantrik telah mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata
"Turun. Aku ingin melihat."
Sebenarnyalah, di kejauhan nampak sekelompok orang orang berkuda berpacu mendekati padepokan itu. Para cantrik dari padepokan itu segera mengenal, bahwa
mereka adalah kawan kawannya.
Dalam, pada itu, maka Ki Tumenggung Purbarana dan para pengiringnya, demikian pula Ki Sambijaya telah berkumpul pula dipendapa. Sebentar lagi, orang yang ingin mereka temui itu akan datang dari satu kerja yang keras dan mempertaruhkan nyawanya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka debupun mengepul dihalaman. Seorang bertubuh kekar meskipun tidak begitu tinggi berkuda dipaling depan. Wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya, ditandai pula dengan beberapa gores luka yang membekas. Dibelakangnya beberapa orang pengikutnya segera berloncatan turun
dari kuda mereka, sementara para cantrik yang ada di padepokan itupun menjadi sibuk menerima kuda kuda mereka yang baru datang.
Dalam pada itu, Ki.Walrak Ireng yang masih duduk diatas kudanya melihat orang orang yang duduk dipendapa. Tiba tiba saja ia berteriak.."He, kau Linduk. Apa kerjamu disitu?".
Ki Linduk tersenyum. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sambil memandang ke arah Warak Ireng ia menjawab "Aku menunggumu. Kau tentu membawa hasil rampokan yang akan kau bagikan pula kepada kami".
Ki Warak Ireng mengumpat. Tetapi iapun kemudian meloncat turun dari kudanya dan berlari naik kependapa. Tetapi langkahnya tertegun. Diamatinya Ki Tumeng"gung Purbarana dengan seksama.
"Aku pernah melihat orang ini sebelumnya" gumam Ki Warak Ireng.
Ki Linduklah yang menyahut "Mungkin. Ia adalah Ki Tumenggung Purbarana, seorang Senapati Pajang se"bagaimana Ki Tumenggung Prabadaru".
Ki Warak Ireng mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Aku ingat sekarang. Buat apa ia daang kemari?"
"Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan" berkata Ki Linduk.
Tetapi Ki Warak Ireng berkata "Aku pernah berbicara sebelumnya. Sebelum terjadi perang di Prambanan. Apalagi sekarang yang akan dibicarakan" Pajang telah runtuh dan Mataram telah berdiri. Apalagi?"
"Itulah yang akan kita bicarakan", berkata Ki Lin"duk "Karena itu, kita memerlukan waktu untuk dapat berbincang bincang. Jika kau sekarang masih letih atau kau ingin menyimpan barang barangmu hasil ker"jamu beberapa hari ini, lakukanlah. Kami tidak terge-sa-gesa".
"Tetapi apa yang akan dikatakan oleh Ki Tumeng"gung. Pembicaraan kita waktu itu tidak pernah mencapai titik temu. Bahkan rasa rasanya orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu merasa dirinya terlalu besar, sehingga akhirnya ia harus mengakui kekerdilannya dan mati di peperangan" sahut Ki Warak Ireng.
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan" ber"kata Ki Linduk
"Sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kita akan berbicara kemudian".
Ki Warak Ireng sudah berada di pendapa itu melang"kah surut. Katanya "Baiklah. Tetapi jangan mencoba memperbudak aku".
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Namun ke"tika ia memandang Ki Linduk, orang itu justru tersenyum. Katanya kepada Ki Tumenggung ketika Ki Warak Ireng sudah turun kembali kehalaman dan mulai mengatur orang-orangnya "Jangan cepat tersinggung jika kau ber"bicara dengan dengan Warak Ireng".
Ki Tumenggung menggeram. Katanya.."Tidak cepat tersinggung artinya berbeda dengan harga diri. Jika ia menghina aku, aku berhak membungkam mulutnya".
"Jadi apa maksudmu datang kemari" Mencari musuh" Bukankah kau pernah mengenalnya dahulu, sebagai kau pernah mengenal aku" Jika kau menentukan untuk bekerja bersama aku dan Warak Ireng itu tentu bukannya tanpa sebab. Akupun yakin, bahwa kau telah mempertimbangkannya baik-baik " berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Warak Irengpun justru menjadi sibuk mengatur orang orangnya serta barang barang yang didapatkannya dalam pengembaraannya beberapa hari itu. Namun nampaknya Warak Ireng kecewa atas hasil yang didapatkannya. Ia berharap untuk mendapatkan lebih banyak dari itu. Tetapi ternyata ia gagal mencapai sebagaimana direncanakan.
Meskipun demikian, ia berhasil membawa beberapa macam barang berharga. Meskipun dengan demikian ia terpaksa mengotori senjatanya dengan darah.
Warak Ireng baru selesai ketika di pendapa telah dinyalakan lampu. Namun demikian, sebagaimana kebiasaannya, Warak Ireng tidak merasa perlu untuk mandi lebih dahulu. Sambil mengusap keringatnya de"ngan ujung kainnya, iapun kemudian duduk dipendapa menemui Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk yang sudah menjadi jemu menunggunya. Tetapi wedang jae panas dan beberapa potong makanan telah menahan mereka untuk tetap duduk di pendapa, sampai saatnya Ki Warak Ireng menemui mereka.
"Perjalanan yang sial", gumam Warak Ireng.
"Kenapa?" bertanya Ki Linduk.
"Tidak ada apa apa yang berarti. Tetapi aku terpak"sa membunuh lagi kali ini." sahut Warak Ireng.
"Bukankah sudah menjadi kebiasaanmu?" berkata Ki Linduk.
"Tetapi hampir tidak berarti sama sekali" jawab Warak Ireng. Namun kemudian katanya "Sekarang, apa keperluan kalian datang kemari?".
"Biarlah Ki Tumenggung menguraikannya. Tetapi aku minta kau mendengarkan baik baik. Jangan kau jawab atau kau bantah sebelum keterangannya selesai. Mengerti?" berkata Ki Linduk.
"Setan kau", jawab Warak Ireng "itu terserah kepadaku. Jika aku menjadi jemu mendengarkan, maka aku akan menghentikannya".
"Terserah kau memang" jawab Ki Linduk, "tetapi persoalannya tidak akan jelas bagimu. Dan Mungkin kau menangkap sepotong persoalan yang justru tidak mena"rik. Agaknya itulah sebabnya, maka kadang kadang kau tidak tahu pasti apa yang kau lakukan".
"Linduk. Kau berada dirumahku. Kau jangan mengigau seperti itu" geram Ki Warak Ireng.
Tetapi Ki Linduk hanya tertawa saja. Katanya "Kita sudah saling mengenal dengan baik. Ki Tumenggung-pun pernah mengenalmu sebagaimana kau pernah me"ngenal Ki Tumenggung. Marilah kita bersikap wajar. Kau dengarkan kata kata Ki Tumenggung. Kemudian kita bi"carakan, apakah ada hal hal yang bermanfaat kita laku kan bersama atau tidak".
Ki Warak Ireng tidak menjawab. Namun kepalanya sajalah yang terangguk angguk.
"Nah, Ki Tumenggung. Katakan maksud kedatanganmu" berkata Ki Linduk kemudian.
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengatur perasaannya. Ia tahu, bahwa sikap Warak Ireng itu mungkin akan dapat menyakiti hatinya. Tetapi sebagaimana dipesankan oleh Ki Linduk, bahwa ia ti dak boleh cepat tersinggung.
Karena itu, maka Ki Tumenggungpun berkata
"Ki Warak Ireng. Mungkin kau pernah kecewa dalam hubungan yang pernah kita buat sebelumnya. Tetapi waktu itu segalanya lebih banyak tergantung kepada kakang Panji yang ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi bersama. Bahkan Kakang Panji itu terbunuh dipeperangan".
"Sekarang?" bertanya Ki Warak Ireng.
"Sekarang semua tanggung jawab ada padaku. Aku telah menentukan sikap tersendiri. Meskipun langkah yang diambil kakang Panji waktu itu lebih menguntungkan, tetapi aku masih tetap berharap bahwa usahaku justru akan berhasil ".
Ki Tumenggungpun kemudian menceriterakan rencananya dihubungkan dengan kemelut di daerah Timur. Bahkan seandainya Madiun tidak bergolak sekalipun Ki Tumenggung berharap akan dapat menyusun landasan perjuangan di sisi Barat Mataram.
"Jika kita berhasil menghancurkan pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka semuanya akan berjalan lancar. Aku tidak yakin, bahwa Agung Sedayu yang berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru benar benar seorang yang pantas ditakuti. Aku sendiri akan menghadapinya selain dengan ilmu yang sudah aku miliki, maka aku telah membawa sebilah keris yang menjadi sipat kandel guruku. Kiai Santak. Keris yang mempunyai watak yang tidak terlawan di peperangan. Bahkan seandainya aku harus berhadapan dengan Raden Sutawijaya sekalipun, aku tidak akan gentar, meskipun Raden Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senopati itu membawa Kangjeng Kiai Pleret..,"
"Jangan berbicara tentang dirimu sendiri saja" potong Ki Warak Ireng, "matangkan rencanamu".
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Iapun kemudian mengatakan permintaan Ki Linduk jika mereka kelak menduduki Tanah Perdikan Menoreh. Kekayaan yang ada di Tanah Perdikan itu akan dibagi tiga. Seper tiga untuk Ki Linduk, sepertiga untuk Ki Warak Ireng dan sepertiga untuk Ki Tumenggung sendiri sebagai modal kelanjutan perjuangannya.
Warak Ireng mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian berkata "Kenapa kau juga memerlukan keka"yaan yang ada di Tanah Perdikan itu Ki Tumenggung. Bukankah kau memerlukan tenaganya saja. Kau memerlukan anak anak mudanya untuk memperkuat pasukanmu. Bukan kekayaan".
"Tetapi perjuangan itu selanjutnya memerlukan beaya" desis Ki tumenggung.
Ki Warak Ireng termangu-mangu. Katanya kemudian "Kau memerlukan anak anak mudanya. Dari Tanah Prdikan Menoreh kau akan pergi ke Mangir dan memutuskan hubungan Mataram dengan Bagelan. Kau akan membangun kekuatan di Tanah Perdikan itu, di Bagelan dan di Mangir. Mungkin kau akan menyusuri pantai Selatan".
Halaman 66-67 tidak ada Ki Tumenggung Purbarana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau benar Ki Linduk. Kita memang harus kembali dahulu dan menunjuk dua orang yang pantas.
Jika demikian, biarlah dua orangku menunggu. Kalian kembali dan mengirimkan dua orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Orang orangmu akan singgah di padukuhan ini untuk kemudian bersama dua orangku yang sudah aku siapkan"
berkata Warak Ireng. "Baiklah" berkata Ki Linduk. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung "Jika kau memang tergesa-gesa, kita harus segera kembali".
Demikianlah, maka di pagi hari berikutnya, maka Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana pun telah mening"galkan padepokan itu kembali ke padepokan Ki Linduk. Mereka akan melaksanakan sebagaimana telah mereka sepakati bersama, memerintahkan enam orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, kehidupan terasa menjadi semakin tenang. Tidak lagi pernah terdengar orang-orang yang melakukan kejahatan. Kehidupanpun terasa menjadi semakin meningkat. Agung Sedayu, Prastawa dan Glagah Putih bekerja sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanah Perdikan Menoreh. Mereka banyak memperhatikan kemajuan yang dapat dicapai oleh Sangkal Putung, sehingga mereka berusaha untuk mengetrapkan yang mungkin bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Di samping kemajuan wadag yang nampak dan terasa oleh rakyat Tanah Perdikan itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang pimpinan Tanah Perdikan itu sedang menempa diri untuk meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Dengan demikian, maka waktu menjadi sangat berharga sekali bagi mereka. Ada kalanya mereka di sawah, di bendungan dan di tempat kerja yang lain.Namun pada waktunya mereka berada di sanggar untuk meningkatkan ilmu mereka.
Namun dalampada itu, Kiai Gringsing yang mempu"nyai kepercayaan yang lebih besar terhadap Agung Sedayu dari pada kepada Swandaru, baik dari segi kemampuan ilmu maupun dari segi kejernihan dan kebersihan berpikir, ternyata telah memutuskan untuk berada di Sangkal Putung. Ia tidak saja dapat membantu perkembangan ilmu Swandaru. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa Swandaru memerlukan pengarahan jiwani yang lebih saksama daripada Agung Sedayu. Swandaru ter"nyata mempunyai sikap yang terlalu keras, sebaliknya Agung Sedayu justru terlalu ragu untuk menentukan sikap. Namun agaknya dalam saat-saat tertentu Agung Sedayu berhasil mengambil keputusan yang menentukan. Sementara itu, Swandaru benar benar memerlukan kekangan yang terus menerus, sehingga apabila mungkin, akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidupnya, bukan sekedar pada satu persoalan tertentu.
"Bukankah kau dapat mengerti maksudku Agung Sedayu?" bertanya Kiai Gringsing pada saat ia siap berangkat ke Sangkal Putung.
"Aku mengerti guru" jawab Agung Sedayu, "jika saatnya aku sangat memerlukan, aku akan datang menghadap".
"Ya" " Kiai Gringsing mengangguk angguk namun akupun tidak akan berada di Sangkal Putung terlalu lama. Aku akan berada di padepokan kecil di Jati Anom. Hanya pada saat saat tertentu saja aku akan ber"temu dengan Swandaru untuk memberinya petunjuk petunjuk. Namun apabila hal itu diulang ulang, maka agaknya akan berpengaruh juga atas sikap dan pan"dangan hidupnya.
Agung Sedayu mengangguk kecil, sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya
"Sebenarnyalah sejak peristiwa di Prambanan itu, rasa rasanya aku sudah tidak diperlukan lagi, Aku ingin beristirahat dan tidak lagi melibatkan diri kedalam persolan persolanan yang akan dapat menimbulkan kekerasan. Tetapi ternyata bahwa dalam
saat saat tertentu hal seperti itu masih diperlukan. Aku tidak dapat sepenuhnya meninggalkan dunia kekerasan sebagaimana yang telah terjadi. Namun demikian, aku sudah berusaha untuk melakukannya".
"Ya guru" Agung Sedayu mengangguk angguk.
"Sementara itu, biarlah Kiai Jayaraga berada disini. Ia masih akan menempa Glagah Putih. Mudah mudahan ia berhasil. Meskipun demikian, kau harus tetap mengamatinya dengan sungguh sungguh".
"Ya guru" jawab Agung Sedayu pula.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah minta diri kepada Ki Gede, kepada Kiai Jayaraga, Sekar Mirah, Glagah Putih dan para pemimpin tanah Per"dikan Menoreh. Bahkan sempat juga minta diri kepada Ki Lurah Branjangan, yang untuk sementara masih tetap berada di barak Pasukan Khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya Agung Sedayu masih ingin menahan gurunya yang untuk beberapa saat yang tidak terlalu la"ma berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun agak"nya Kiai Gringsing memang ingin untuk beberapa saat lagi berada didekat Swandaru, untuk seterusnya tinggal di padepokan terpencilnya, di Jati Anom. Padepokan kecil yang dapat memberinya ketenangan.
Tetapi agaknya seperti yang dikatakannya, sulit sekali bagi Kiai Gringsing untuk benar benar memisahkan diri dari kericuhan sesamanya yang selalu saja terjadi.
"Apakah perlu satu dua orang mengawani perjalanan guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Ah, tidak" jawab Kiai Gringsing, "biarlah aku ber-jalan sendiri. Aku kira tidak akan ada hambatan apapun diperjalanan. Keadaan berangsur baik dan tidak banyak pula orang yang akan mengenali diperjalanan."
Kiai Jayaraga yang datang bersama Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan itupun bertanya, "Kau tidak ingin membawa aku lagi bersamamu ke Sangkal Putung?"
"Buat apa kau aku bawa sekarang?" sahut Kiai Gringsing, "besok, jika mendekati saat panen pohung mungkin tenagamu aku perlukan".
Kiai Jayaraga tertawa. Katanya "Pada saat itu aku akan datang mengunjungi Sangkal Putung."
"Bukan di Sangkal Putung, tetapi di padepokan kecilku di Jati Anom", jawab Kiai Gringsing sambil tertawa pula.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah dilepas oleh orang orang Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Sangkal Putung. Namun ia masih berbisik ditelinga Agung Sedayu "Aku percayakan kitab itu padamu, meskipun aku tahu, semua isinya sudah terpahat di hatimu. Pada saatnya baru aku akan datang mengambilnya dan menyerahkannya lagi kepada Swandaru".
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, "Aku akan menjaga se-baik baiknya guru".
Kiai Gringsingpun mengangguk angguk. Ia memang mempunyai kepercayaan yang sangat besar terhadap Agung Sedayu yang pada dasarnya memiliki watak yang berbeda dari Swandaru. Namun sebagai seorang guru ia memang harus bertindak adil, namun dalam batas batas yang dimungkinkan oleh nuraninya.
Sejenak kemudian, maka seekor kuda telah lepas meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Diatas punggung kuda itu, Kiai Gringsing menempuh perjalanan seo"rang diri menuju ke Sangkal Putung. Perjalanan yang ti"dak terlalu jauh, tetapi juga bukan perjalanan yang pendek.
Ketika Kiai Gringsing meninggalkan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, maka dihadapannya terbentang bulak yang panjang. Bulak yang berwarna hijau oleh hijaunya tetanaman yang subur.
"Tanah ini rasa-rasanya menjadi semakin subur" berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. "ternya"ta bahwa kerja anak anak mudanya tidak sia-sia. Sebagai"mana Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh telah memberikan semakin banyak kepada para penghuninya sebagai jerih payah kerja mereka yang sungguh sungguh".
Udara di bulak panjang terasa segar menyapu wajahnya yang sudah berkeriput oleh garis garis umur. Namun demikian, Kiai Gringsing masih tetap seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Perjalanan Kiai Gringsing itu semakin lama menjadi semakin jauh dari padukuhan induk. Sekali sekali ia berte"mu dengan seseorang yang telah mengenalnya dan menyapanya. Dengan ramah Kiai Gringsing selalu menja"wab setiap pertanyaan dari orang orang itu.
Namun dalam pada itu. maka saat Kiai Gringsing ber"kuda seorang diri menjauhi Tanah Perdikan Menoreh, mendekati arus Kali Praga, maka seseorang tengah berjalan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah yang berbeda. Seorang pejalan kaki yang telah menempuh per"jalanan yang jauh. Meskipun orang itu telah meningkat semakin tua, tetapi langkahnya masih tetap, Langkah yang sangat meyakinkan.
"Apakah aku sudah memasuki tlatah Tanah Perdi"kan Menoreh?" bertanya orang itu kepada diri sendiri.
Namun akhirnya orang itu memang bertanya kepada seorang petani, "Ki Sanak. Daerah ini termasuk kekua"saan mana?"
Petani itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya " "Ki Sanak berada di Tanah Perdikan Meno"reh".
Orang yang sedang menempuh perjalanan itu mengangguk angguk sambil berdesis,
"Terima kasih. Ter"nyata aku masih dapat mengenali arahnya. Tetapi aku kurang mengerti batasnya."
Ketika orang itu meneruskan perjalanannya, maka iapun menjadi semakin mantap. Ia memang mengenal kembali atas ingatannya tentang Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia baru mengenal dalam satu perjalanan pengembaraan. Yang tidak diketahuinya, memang seba"gaimana dikatakannya, batas batas dari Tanah Perdikan itu.
Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara, maka orang itu dapat mengenali arah menuju ke padukuhan induk. Ia melihat jalur jalan yang lebih besar dari jalur jalan yang lain, sehingga orang itu dapat mengambil kesimpulan, arah yang manakah yang harus dianutnya.
Berlawanan dengan Kiai Gringsing yang menjadi semakin jauh, maka orang itupun semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan.
"Mudah mudahan kehadiranku tidak menimbulkan persoalan yang sebaliknya. Tetapi memang mungkin sekali orang orang Tanah Perdikan ini justru mencurigai aku"
berkata orang itu didalam hatinya.
Tetapi orang itu berjalan terus. Ia sudah bertekad untuk memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Diterima atau tidak diterima.
Beberapa saat kemudian orang itupun telah berdiri didepan sebuah regol yang lebih besar dari regol padukuhan yang lain. Dengan demikian, maka iapun menduga, bahwa ia telah berada didepan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka iapun kemudian dengan hati yang berdebar debar telah memasuki regol itu. Disebelah regol terdapat sebuah gardu yang kosong disiang hari.
Orang itupun kemudian berjalan terus menyusuri jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah rumah yang berhalaman luas dan berpintu gerbang lebih besar dari rumah rumah yang lain.
Menilik bentuknya, maka orang itu dapat menduga, bahwa rumah itu adalah rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, ia memang harus meyakinkannya. Ketika seorang anak muda keluar dari regol, maka orang itupun menghentikannya sambil bertanya,
"Anak muda! Apakah rumah ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh?"
Anak Muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ramah ia menjawab -"Ya Ki Sanak. Rumah ini adalah rumah Ki Gede Menoreh".
"O", orang itu mengangguk angguk, "sokurlah. Aku telah sampai kepada alamat yang aku tuju. Apakah anak muda mengetahui, apakah Ki Gede ada di rumahnya".
"Ada Ki Sanak. Aku baru saja menghadap. Marilah, aku antar Ki Sanak menemui Ki Gede," jawab anak muda itu.
"Terima kasih anak muda" jawab orang itu. Tetapi iapun kemudian bertanya "Tetapi apakah anak muda ini keluarga dari Ki Gede?"
Anak muda itu termangu-mangu. Kemudian jawabnya "Agaknya memang demikian Ki Sanak. Tetapi rumahku terletak disebelah".
Orang itupun mengangguk angguk. Kemudian ka"tanya "Mudah mudahan aku tidak merepotkanmu anak muda".
"O, tidak. Meskipun rumahku terletak disebelah, te"tapi hampir setiap saat aku berada di rumah Ki Gede untuk beberapa macam hal, selain aku memang termasuk keluarganya", jawab anak muda itu.
Demikianlah, maka anak muda itupun telah memba"wa orang yang baru datang itu memasuki regol rumah Ki Gede. Dipersilahkannya orang itu duduk dipendapa. Kemudian, sebagaimana dirumahnya sendiri, maka anak muda itupun masuk keruang dalam untuk mencari Ki Ge"de.
Sejenak kemudian, anak muda itu telah keluar mengiringkan seorang yang rambutnya telah mulai memutih.
"Inilah Ki Gede Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak ingin menghadap Ki Gede?" berkata anak muda itu.
Orang yang baru saja datang itupun kemudian membungkuk hormat sambil berkata,
"Maafkan aku Ki Gede. Aku telah memberanikan diri datang ke Tanah Perdikan dan langsung menghadap Ki Gede. Untunglah aku ber"temu dengan anak muda ini, yang agaknya termasuk keluarga Ki Gede sendiri".
"Ya Ki Sanak. Anak muda ini adalah anakku sen"diri, meskipun bukan anak kandung" jawab Ki Gede.
"Ki Gede", berkata orang itu, "perkenankanlah aku memperkenalkan diriku. Namaku Bagaswara. Orang yang sudi memanggilku, Kiai Bagaswara" berkata orangitu.
"Kiai Bagaswara" ulang Ki Gede.
"Ya, Ki Gede. Aku datang dari sebuah padepokan yang jauh", jawab Kiai Bagaswara.
"Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak mengunjungi Tanah Perdikan ini. Aku memang yang menjadi Kepa"la Tanah Perdikan ini" jawab Ki Gede.
"Jika tidak keberatan, apakah aku boleh mengenal anak muda ini?" bertanya Kiai Bagaswara pula.
Anak muda itu mengangguk hormat pula sambil men"jawab "Namaku Agung Sedayu, Kiai".
"Agung Sedayu",ulang Kiai Bagaswara dengan nada tinggi, "yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru?"
Wajah Agung Sedayu menegang. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Karena itu, maka kepalanyapun telah menunduk dalam dalam.
"Apakah ada yang keliru anak muda?" bertanya Kiai Bagaswara yang menjadi ragu ragu.
"Tidak Kiai", jawab Agung Sedayu "Kiai benar".
"Tetapi nampaknya ada yang kurang berkenan diha-ti anak muda"
berkata Kiai Bagaswara. "Tidak apa apa Kiai. Aku hanya sedang merenungi diriku sendiri. Agaknya namaku memang sudah cacat di seluruh tanah ini" " berkata Agung Sedayu.
"Kenapa?" " Kiai Bagaswara menjadi heran, bahkan Ki Gedepun menjadi heran pula.
"Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaan anak muda, apa salahnya anak muda berterus terang. Mungkin aku memang harus mohon maaf untuk satu kesalahan yang tidak aku sadari".
"Kiai tidak bersalah. Sebenarnyalah bahwa aku su"dah dikenal oleh banyak orang sebagai seorang pembunuh. Alangkah senangnya untuk menjadi terkenal sebagai seorang penolong atau sebagai seorang yang menyebarkan kepandaian dan ketenteraman hati. Tetapi aku me"mang banyak dikenal sebagai seorang yang mengotori tanganku dengan pembunuhan pembunuhan atas sesama",
jawab Agung Sedayu. Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. "Aku memang harus mohon maaf kepadamu anak muda. Ternyata bahwa aku belum mengenal sifat dan watakmu. Ji"ka aku menyebutnya dengan serta merta, sama sekali ti"dak terkesan di hatiku, bahwa anak muda adalah seorang pembunuh. Tetapi semata mata sebagai ungkapan kekagumanku atas sifat sifatmu sebagai seorang kesatria yang telah dengan sungguh sungguh memerangi kejahatan. Bukankah dengan terrbunuhnya Ki Tumenggung Prabadaru dan kemudian orang yang disebut kakang Panji keadaan menjadi bertambah tenang?".
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian iapun justru berkata
"Akulah yang harus minta maaf atas sikapku Kiai. Tetapi aku memang kadang kadang
merasa menyandang cacat atas tingkah lakuku. Sengaja atau tidak sengaja, aku sudah membunuh banyak sekali orang-orang yang mungkin tidak seharusnya dibunuh".
Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pembantu Ki Gede menghidang kan minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah tamunya dipersilahkan minum dan makan sekedarnya, Ki Gede bertanya
"Kiai Bagaswara. Kehadiran Kiai di Tanah Perdikan ini tentu bukannya tanpa maksud. Jika Kiai berasal dari sebuah padukuhan yang jauh, maka kehadiran Kiai tentu membawa satu pesan yang mungkin sangat penting bagi kami di Tanah Perdikan ini, atau keperluan lain yang tentu sama pentingnya".
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Kata"nya, "Adalah kebetulan bahwa disini hadir angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa kedatanganku membawa pesan yang sangat penting. Aku sadar bahwa mungkin sekali ceriteraku dapat dianggap sebagai ceritera yang ngaya wara. Tetapi aku ingin meyakinkan, bahwa aku datang dengan satu maksud yang baik bagi Tanah Per"dikan ini".
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata " "Apakah pesan itu hanya boleh kami dengar berdua, atau mungkin orang orang lain dapat mendengarnya?"
"Bagiku sama saja Ki Gede. Asal mereka adalah orang-orang terpercaya di Tanah Perdikan ini. Namun jika mereka tidak ada sekarang, maka apa salahnya jika hal ini aku sampaikan lebih dahulu kepada Ki Gede dan angger Agung Sedayu".
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia memang masih belum ingin melibatkan Kiai jayaraga terlalu jauh. Sedangkan Ki Waskita belum lama telah mening"galkan tanah Perdikan Menoreh untuk menengok rumah"nya yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan. Karena itu, maka Ki Gedepun berkata
"Baiklah Kiai. Biarlah pesan itu kami terima berdua. Nanti pada saatnya, pesan itu akan aku bicarakan dengan orang-orang yang aku anggap penting di Tanah Perdikan ini".
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya " "Baiklah Ki Gede. Aku menyampaikan hal ini dengan niat yang baik. Mudah mudahan dapat diterima dengan baik pula".
Demikianlah, maka Kiai Bagaswarapun mulai menceriterakan rencana dan gerakan yang sudah dilakukan oleh seorang Tumenggung yang bernama Tumenggung Purbasana. Seorang Tumenggung yang kecewa dan yang telah mulai dengan langkah langkah yang akan dapat menyulitkan kedudukan Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi menurut pendengarannya dari beberapa orang pengikut Ki Tumenggung yang berhasil dihubungi dan bahkan berhasil ditarik dari lingkungan mereka. Ki Tumenggung akan bergerak bersama dua orang yang namanya banyak disebut sebut dilingkungan orang orang yang menempuh jalan sesat. Mereka adalah Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya dan Ki Warak Ireng.
Ki Gede dan Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa rasanya setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Bagaswara mengandung kesungguhan, sehingga baik Ki Gede maupun Agung Sedayu langsung dapat mempercayainya.
Namun dalam pada itu, Ki Gede bertanya " "Kiai Bagaswara, apakah Tumenggung itu tahu pasti keadaan Tanah Perdikan ini?"
Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya " "Aku kurang tahu Ki Gede. Namun agaknya Ki Tumenggung itu digerakkan oleh gejolak yang tidak tertanamkan didalam dadanya".
Dalam pada itu, Kiai Bagaswarapun sempat menceritakan tingkah laku Ki Tumenggung sehingga gurunya sendiri telah dibunuhnya. Tetapi karena Kiai Bagaswara tidak menyaksikan, maka ia tidak dapat berceritera ten"tang padepokannya yang menjadi abu.
"Kiai", berkata Ki Gede kemudian "apakah kita tidak justru menunggunya saja, agar mereka datang ke Tanah Perdikan ini" Sebagaimana yang mungkin Kiai Bagaswara mengetahui, disini ada pasukan yang meru"pakan pasukan khusus dari mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan khusus yang mempunyai kemampuan yang sudah teruji. Jika Ki Tumenggung itu datang, maka mungkin sekali kita justru akan dapat menangkapnya".
"Memang mungkin dapat terjadi demikian Ki Gede. Tetapi yang masih belum kita ketahui dengan pasti, seberapa kekuatan pasukan Ki Linduk dan Ki Warak Ireng". berkata Kiai Bagaswara
"kedua orang itu tidak mendirikan sebuah padepokan dengan niat yang jujur, untuk mengembangkan pengetahuan dan olah kanuragan dengan tujuan yang baik. Tetapi padepokan mereka tidak lebih dari sarang segerombolan brandal yang berbahaya".
Ki Gede mengangguk angguk. Lalu katanya " "Kami mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan ini Kiai. Adalah kewajiban bagi kami untuk bersiap-siap mengha dapi segala kemungkinan. Tetapi apakah Kiai dapat menyebut ancar ancar waktu yang dapat kita pergunakan untuk mempersiapkan diri?"
"Menurut dugaanku, mereka akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya dengan pasti" jawab Kiai Bagaswara.
Kitab 181, halaman 66-67 tan pergi ke Pegunungan Sewu dan menduduki Pasantenan, sementara itu kau berharap Madiun sudah menghisap kekuatan Pajang dan Jipang. Sedangkan para Adipati di Pasisir kau harap akan tetap tinggal diam menunggu akhir dari pergolakan itu.
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara itu Ki Lindukpun tertawa. Katanya, "Agaknya kau juga sudah menyusun rencana untuk melakukan hal yang serupa dengan Ki Tumenggung Purbarana."
"Tidak. Aku tidak bermimpi sejauh itu. Tetapi aku dapat menebak arah perhitungan Ki Tumenggung." jawab Ki Warak Ireng.
"Jadi bagaimana pendapatmu?" bertanya Ki Linduk.
"Bagaimana dengan kau Linduk?" Warak Ireng ganti bertanya.
"Aku sudah menyanggupinya jika kau bersedia."
Warak Ireng merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Akupun tidak berkeberatan. Tetapi dengan janji, hanya sampai Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan berbicara lagi jika kita akan melangkah selanjutnya. Karena jika Ki Tumenggung menjadi kuat, tidak mustahil kau dan aku akan dibantai di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun jika demikian aku akan menantangnya berperang tanding jika ia berani."
"Gila" potong Ki Tumenggung, "kau kira aku tidak berani melakukan perang tanding."
Tetapi K Linduk menengahi, "Itu akan terjadi kelak di Tanah Perdikan Menoreh. Baru satu kemungkinan"
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Warak Ireng berkata, "Jika kau sudah setuju Linduk, akupun setuju dengan syarat seperti yang aku katakan. Sementara itu, kita akan melihat apakah kita akan mungkin memasuki Tanah Perdikan Menoreh, dan menggulung pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan itu, sebelum kita menduduki seluruh Tanah Perdikan."
"Tanah Perdikan itu satu-satunya sasaran yang paling baik. Jauh lebih baik dari Sangkal Putung atau Jati Anom, karena letaknya di antara Mataram dan Pajang, sehingga akan timbul banyak kesulitan kemudian."
"Kita memang harus memperhitungkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Kecuali pasukan khusus, juga anak yang bernama Agung Sedayu" berkata Ki Linduk.
Demikianlah, meskipun melalui masa-masa yang tegang, namun akhirnya ketiga orang itupun dapat men"capai satu persesuaian pendapat. Mereka sepakat untuk memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan membagi Tanah Perdikan Menoreh menjadi daerah yang menentukan pembagian harta benda yang tersimpan di Tanah Perdikan itu.
Untuk itu, maka ketiga orang itu sepakat, untuk menugaskan enam orang yang akan mendahului mereka pergi ke Tanah Perdikan. Masing-masing pihak diwakili oleh dua orang yang mendapat kepercayaan penuh untuk menilai kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, dan sekaligus membagi Tanah Perdikan Menoreh menjadi tiga bagian, berdasarkan pedukuhan yang ada.
"Kapan orang-orang itu akan berangkat" bertanya Ki Linduk.
"Secepatnya" berkata Ki Tumenggung, "aku sudah tidak sabar menunggu."
"Besok?" bertanya Ki Linduk.
"Ya. Dua orang itu akan mendapat batasan waktu agar mereka tidak bekerja sekehendak hati mereka." berkata Ki Tumenggung.
"Tetapi yang dua orang itu belum ada disini" berkata Ki Linduk, "dua di antara pengiringku tidak akan dapat melakukan tugas di Tanah Perdikan itu. Mereka harus orang-orang yang benar benar dapat mewakili aku.
Ki Tumenggung Purbarana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau benar Ki Linduk. Kita memang harus kembali dahulu dan menunjuk dua orang yang pantas.
Jika demikian, biarlah dua orangku menunggu. Kalian kembali dan mengirimkan dua orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Orang orangmu akan singgah di padukuhan ini untuk kemudian bersama dua orangku yang sudah aku siapkan"
berkata Warak Ireng. "Baiklah" berkata Ki Linduk. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung "Jika kau memang tergesa-gesa, kita harus segera kembali".
Demikianlah, maka di pagi hari berikutnya, maka Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana pun telah meninggalkan padepokan itu kembali ke padepokan Ki Linduk. Mereka akan melaksanakan sebagaimana telah mereka sepakati bersama, memerintahkan enam orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, kehidupan terasa menjadi semakin tenang. Tidak lagi pernah terdengar orang-orang yang melakukan kejahatan. Kehidupanpun terasa menjadi semakin meningkat. Agung Sedayu, Prastawa dan Glagah Putih bekerja sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanah Perdikan Menoreh. Mereka banyak memperhatikan kemajuan yang dapat dicapai oleh Sangkal Putung, sehingga mereka berusaha untuk mengetrapkan yang mungkin bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Di samping kemajuan wadag yang nampak dan terasa oleh rakyat Tanah Perdikan itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang pimpinan Tanah Perdikan itu sedang menempa diri untuk meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Dengan demikian, maka waktu menjadi sangat berharga sekali bagi mereka. Ada kalanya mereka di sawah, di bendungan dan di tempat kerja yang lain.Namun pada waktunya mereka berada di sanggar untuk meningkatkan ilmu mereka.
Namun dalampada itu, Kiai Gringsing yang mempunyai kepercayaan yang lebih besar terhadap Agung Sedayu dari pada kepada Swandaru, baik dari segi kemampuan ilmu maupun dari segi kejernihan dan kebersihan berpikir, ternyata telah memutuskan untuk berada di Sangkal Putung. Ia tidak saja dapat membantu perkembangan ilmu Swandaru. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa Swandaru memerlukan pengarahan jiwani yang lebih saksama daripada Agung Sedayu. Swandaru ternyata mempunyai sikap yang terlalu keras, sebaliknya Agung Sedayu justru terlalu ragu untuk menentukan sikap. Namun agaknya dalam saat-saat tertentu Agung Sedayu berhasil mengambil keputusan yang menentukan. Sementara itu, Swandaru benar benar memerlukan kekangan yang terus menerus, sehingga apabila mungkin, akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidupnya, bukan sekedar pada satu persoalan tertentu.
"Bukankah kau dapat mengerti maksudku Agung Sedayu?" bertanya Kiai Gringsing pada saat ia siap berangkat ke Sangkal Putung.
"Aku mengerti guru" jawab Agung Sedayu, "jika saatnya aku sangat memerlukan, aku akan datang menghadap".
"Ya" " Kiai Gringsing mengangguk angguk namun akupun tidak akan berada di Sangkal Putung terlalu lama. Aku akan berada di padepokan kecil di Jati Anom. Hanya pada saat saat tertentu saja aku akan bertemu dengan Swandaru untuk memberinya petunjuk petunjuk. Namun apabila hal itu diulang ulang, maka agaknya akan berpengaruh juga atas sikap dan pandangan hidupnya.
Agung Sedayu mengangguk kecil, sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya
"Sebenarnyalah sejak peristiwa di Prambanan itu, rasa rasanya aku sudah tidak diperlukan lagi, Aku ingin beristirahat dan tidak lagi melibatkan diri kedalam persolan persolanan yang akan dapat menimbulkan kekerasan. Tetapi ternyata bahwa dalam
saat saat tertentu hal seperti itu masih diperlukan. Aku tidak dapat sepenuhnya meninggalkan dunia kekerasan sebagaimana yang telah terjadi. Namun demikian, aku sudah berusaha untuk melakukannya".
"Ya guru" Agung Sedayu mengangguk angguk.
"Sementara itu, biarlah Kiai Jayaraga berada disini. Ia masih akan menempa Glagah Putih. Mudah mudahan ia berhasil. Meskipun demikian, kau harus tetap mengamatinya dengan sungguh sungguh".
"Ya guru" jawab Agung Sedayu pula.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah minta diri kepada Ki Gede, kepada Kiai Jayaraga, Sekar Mirah, Glagah Putih dan para pemimpin tanah Perdikan Menoreh. Bahkan sempat juga minta diri kepada Ki Lurah Branjangan, yang untuk sementara masih tetap berada di barak Pasukan Khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya Agung Sedayu masih ingin menahan gurunya yang untuk beberapa saat yang tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun agaknya Kiai Gringsing memang ingin untuk beberapa saat lagi berada didekat Swandaru, untuk seterusnya tinggal di padepokan terpencilnya, di Jati Anom. Padepokan kecil yang dapat memberinya ketenangan.
Tetapi agaknya seperti yang dikatakannya, sulit sekali bagi Kiai Gringsing untuk benar benar memisahkan diri dari kericuhan sesamanya yang selalu saja terjadi.
"Apakah perlu satu dua orang mengawani perjalanan guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Ah, tidak" jawab Kiai Gringsing, "biarlah aku ber-jalan sendiri. Aku kira tidak akan ada hambatan apapun diperjalanan. Keadaan berangsur baik dan tidak banyak pula orang yang akan mengenali diperjalanan."
Kiai Jayaraga yang datang bersama Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan itupun bertanya, "Kau tidak ingin membawa aku lagi bersamamu ke Sangkal Putung?"
"Buat apa kau aku bawa sekarang?" sahut Kiai Gringsing, "besok, jika mendekati saat panen pohung mungkin tenagamu aku perlukan".
Kiai Jayaraga tertawa. Katanya "Pada saat itu aku akan datang mengunjungi Sangkal Putung."
"Bukan di Sangkal Putung, tetapi di padepokan kecilku di Jati Anom", jawab Kiai Gringsing sambil tertawa pula.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah dilepas oleh orang orang Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Sangkal Putung. Namun ia masih berbisik ditelinga Agung Sedayu "Aku percayakan kitab itu padamu, meskipun aku tahu, semua isinya sudah terpahat di hatimu. Pada saatnya baru aku akan datang mengambilnya dan menyerahkannya lagi kepada Swandaru".
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, "Aku akan menjaga se-baik baiknya guru".
Kiai Gringsingpun mengangguk angguk. Ia memang mempunyai kepercayaan yang sangat besar terhadap Agung Sedayu yang pada dasarnya memiliki watak yang berbeda dari Swandaru. Namun sebagai seorang guru ia memang harus bertindak adil, namun dalam batas batas yang dimungkinkan oleh nuraninya.
Sejenak kemudian, maka seekor kuda telah lepas meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Diatas punggung kuda itu, Kiai Gringsing menempuh perjalanan seorang diri menuju ke Sangkal Putung. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, tetapi juga bukan perjalanan yang pendek.
Ketika Kiai Gringsing meninggalkan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, maka dihadapannya terbentang bulak yang panjang. Bulak yang berwarna hijau oleh hijaunya tetanaman yang subur.
"Tanah ini rasa-rasanya menjadi semakin subur" berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. "ternyata bahwa kerja anak anak mudanya tidak sia-sia. Sebagaimana Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh telah memberikan semakin banyak kepada para penghuninya sebagai jerih payah kerja mereka yang sungguh sungguh".
Udara di bulak panjang terasa segar menyapu wajahnya yang sudah berkeriput oleh garis garis umur. Namun demikian, Kiai Gringsing masih tetap seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Perjalanan Kiai Gringsing itu semakin lama menjadi semakin jauh dari padukuhan induk. Sekali sekali ia bertemu dengan seseorang yang telah mengenalnya dan menyapanya. Dengan ramah Kiai Gringsing selalu menjawab setiap pertanyaan dari orang orang itu.
Namun dalam pada itu. maka saat Kiai Gringsing berkuda seorang diri menjauhi Tanah Perdikan Menoreh, mendekati arus Kali Praga, maka seseorang tengah berjalan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah yang berbeda. Seorang pejalan kaki yang telah menempuh perjalanan yang jauh. Meskipun orang itu telah meningkat semakin tua, tetapi langkahnya masih tetap, Langkah yang sangat meyakinkan.
"Apakah aku sudah memasuki tlatah Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya orang itu kepada diri sendiri.
Namun akhirnya orang itu memang bertanya kepada seorang petani, "Ki Sanak. Daerah ini termasuk kekuasaan mana?"
Petani itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya " "Ki Sanak berada di Tanah Perdikan Menoreh".
Orang yang sedang menempuh perjalanan itu mengangguk angguk sambil berdesis,
"Terima kasih. Ternyata aku masih dapat mengenali arahnya. Tetapi aku kurang mengerti batasnya."
Ketika orang itu meneruskan perjalanannya, maka iapun menjadi semakin mantap. Ia memang mengenal kembali atas ingatannya tentang Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia baru mengenal dalam satu perjalanan pengembaraan. Yang tidak diketahuinya, memang sebagaimana dikatakannya, batas batas dari Tanah Perdikan itu.
Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara, maka orang itu dapat mengenali arah menuju ke padukuhan induk. Ia melihat jalur jalan yang lebih besar dari jalur jalan yang lain, sehingga orang itu dapat mengambil kesimpulan, arah yang manakah yang harus dianutnya.
Berlawanan dengan Kiai Gringsing yang menjadi semakin jauh, maka orang itupun semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan.
"Mudah mudahan kehadiranku tidak menimbulkan persoalan yang sebaliknya. Tetapi memang mungkin sekali orang orang Tanah Perdikan ini justru mencurigai aku"
berkata orang itu didalam hatinya.
Tetapi orang itu berjalan terus. Ia sudah bertekad untuk memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Diterima atau tidak diterima.
Beberapa saat kemudian orang itupun telah berdiri didepan sebuah regol yang lebih besar dari regol padukuhan yang lain. Dengan demikian, maka iapun menduga, bahwa ia telah berada didepan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka iapun kemudian dengan hati yang berdebar debar telah memasuki regol itu. Disebelah regol terdapat sebuah gardu yang kosong disiang hari.
Orang itupun kemudian berjalan terus menyusuri jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah rumah yang berhalaman luas dan berpintu gerbang lebih besar dari rumah rumah yang lain.
Menilik bentuknya, maka orang itu dapat menduga, bahwa rumah itu adalah rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, ia memang harus meyakinkannya. Ketika seorang anak muda keluar dari regol, maka orang itupun menghentikannya sambil bertanya,
"Anak muda! Apakah rumah ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh?"
Anak Muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ramah ia menjawab -"Ya Ki Sanak. Rumah ini adalah rumah Ki Gede Menoreh".
"O", orang itu mengangguk angguk, "sokurlah. Aku telah sampai kepada alamat yang aku tuju. Apakah anak muda mengetahui, apakah Ki Gede ada di rumahnya".
"Ada Ki Sanak. Aku baru saja menghadap. Marilah, aku antar Ki Sanak menemui Ki Gede," jawab anak muda itu.
"Terima kasih anak muda" jawab orang itu. Tetapi iapun kemudian bertanya "Tetapi apakah anak muda ini keluarga dari Ki Gede?"
Anak muda itu termangu-mangu. Kemudian jawabnya "Agaknya memang demikian Ki Sanak. Tetapi rumahku terletak disebelah".
Orang itupun mengangguk angguk. Kemudian katanya "Mudah mudahan aku tidak merepotkanmu anak muda".
"O, tidak. Meskipun rumahku terletak disebelah, tetapi hampir setiap saat aku berada di rumah Ki Gede untuk beberapa macam hal, selain aku memang termasuk keluarganya", jawab anak muda itu.
Demikianlah, maka anak muda itupun telah membawa orang yang baru datang itu memasuki regol rumah Ki Gede. Dipersilahkannya orang itu duduk dipendapa. Kemudian, sebagaimana dirumahnya sendiri, maka anak muda itupun masuk keruang dalam untuk mencari Ki Gede.
Sejenak kemudian, anak muda itu telah keluar mengiringkan seorang yang rambutnya telah mulai memutih.
"Inilah Ki Gede Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak ingin menghadap Ki Gede?" berkata anak muda itu.
Orang yang baru saja datang itupun kemudian membungkuk hormat sambil berkata,
"Maafkan aku Ki Gede. Aku telah memberanikan diri datang ke Tanah Perdikan dan langsung menghadap Ki Gede. Untunglah aku bertemu dengan anak muda ini, yang agaknya termasuk keluarga Ki Gede sendiri".
"Ya Ki Sanak. Anak muda ini adalah anakku sendiri, meskipun bukan anak kandung" jawab Ki Gede.
"Ki Gede", berkata orang itu, "perkenankanlah aku memperkenalkan diriku. Namaku Bagaswara. Orang yang sudi memanggilku, Kiai Bagaswara" berkata orangitu.
"Kiai Bagaswara" ulang Ki Gede.
"Ya, Ki Gede. Aku datang dari sebuah padepokan yang jauh", jawab Kiai Bagaswara.
"Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak mengunjungi Tanah Perdikan ini. Aku memang yang menjadi Kepala Tanah Perdikan ini" jawab Ki Gede.
"Jika tidak keberatan, apakah aku boleh mengenal anak muda ini?" bertanya Kiai Bagaswara pula.
Anak muda itu mengangguk hormat pula sambil menjawab "Namaku Agung Sedayu, Kiai".
"Agung Sedayu",ulang Kiai Bagaswara dengan nada tinggi, "yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru?"
Wajah Agung Sedayu menegang. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Karena itu, maka kepalanyapun telah menunduk dalam dalam.
"Apakah ada yang keliru anak muda?" bertanya Kiai Bagaswara yang menjadi ragu ragu.
"Tidak Kiai", jawab Agung Sedayu "Kiai benar".
"Tetapi nampaknya ada yang kurang berkenan diha-ti anak muda"
berkata Kiai Bagaswara. "Tidak apa apa Kiai. Aku hanya sedang merenungi diriku sendiri. Agaknya namaku memang sudah cacat di seluruh tanah ini" " berkata Agung Sedayu.
"Kenapa?" " Kiai Bagaswara menjadi heran, bahkan Ki Gedepun menjadi heran pula.
"Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaan anak muda, apa salahnya anak muda berterus terang. Mungkin aku memang harus mohon maaf untuk satu kesalahan yang tidak aku sadari".
"Kiai tidak bersalah. Sebenarnyalah bahwa aku sudah dikenal oleh banyak orang sebagai seorang pembunuh. Alangkah senangnya untuk menjadi terkenal sebagai seorang penolong atau sebagai seorang yang menyebarkan kepandaian dan ketenteraman hati. Tetapi aku memang banyak dikenal sebagai seorang yang mengotori tanganku dengan pembunuhan pembunuhan atas sesama",
jawab Agung Sedayu. Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. "Aku memang harus mohon maaf kepadamu anak muda. Ternyata bahwa aku belum mengenal sifat dan watakmu. Jika aku menyebutnya dengan serta merta, sama sekali tidak terkesan di hatiku, bahwa anak muda adalah seorang pembunuh. Tetapi semata mata sebagai ungkapan kekagumanku atas sifat sifatmu sebagai seorang kesatria yang telah dengan sungguh sungguh memerangi kejahatan. Bukankah dengan terrbunuhnya Ki Tumenggung Prabadaru dan kemudian orang yang disebut kakang Panji keadaan menjadi bertambah tenang?".
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian iapun justru berkata
"Akulah yang harus minta maaf atas sikapku Kiai. Tetapi aku memang kadang kadang
merasa menyandang cacat atas tingkah lakuku. Sengaja atau tidak sengaja, aku sudah membunuh banyak sekali orang-orang yang mungkin tidak seharusnya dibunuh".
Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pembantu Ki Gede menghidang kan minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah tamunya dipersilahkan minum dan makan sekedarnya, Ki Gede bertanya
"Kiai Bagaswara. Kehadiran Kiai di Tanah Perdikan ini tentu bukannya tanpa maksud. Jika Kiai berasal dari sebuah padukuhan yang jauh, maka kehadiran Kiai tentu membawa satu pesan yang mungkin sangat penting bagi kami di Tanah Perdikan ini, atau keperluan lain yang tentu sama pentingnya".
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Adalah kebetulan bahwa disini hadir angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa kedatanganku membawa pesan yang sangat penting. Aku sadar bahwa mungkin sekali ceriteraku dapat dianggap sebagai ceritera yang ngaya wara. Tetapi aku ingin meyakinkan, bahwa aku datang dengan satu maksud yang baik bagi Tanah Perdikan ini".
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata " "Apakah pesan itu hanya boleh kami dengar berdua, atau mungkin orang orang lain dapat mendengarnya?"
"Bagiku sama saja Ki Gede. Asal mereka adalah orang-orang terpercaya di Tanah Perdikan ini. Namun jika mereka tidak ada sekarang, maka apa salahnya jika hal ini aku sampaikan lebih dahulu kepada Ki Gede dan angger Agung Sedayu".
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia memang masih belum ingin melibatkan Kiai jayaraga terlalu jauh. Sedangkan Ki Waskita belum lama telah meninggalkan tanah Perdikan Menoreh untuk menengok rumahnya yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan. Karena itu, maka Ki Gedepun berkata
"Baiklah Kiai. Biarlah pesan itu kami terima berdua. Nanti pada saatnya, pesan itu akan aku bicarakan dengan orang-orang yang aku anggap penting di Tanah Perdikan ini".
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya " "Baiklah Ki Gede. Aku menyampaikan hal ini dengan niat yang baik. Mudah mudahan dapat diterima dengan baik pula".
Demikianlah, maka Kiai Bagaswarapun mulai menceriterakan rencana dan gerakan yang sudah dilakukan oleh seorang Tumenggung yang bernama Tumenggung Purbasana. Seorang Tumenggung yang kecewa dan yang telah mulai dengan langkah langkah yang akan dapat menyulitkan kedudukan Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi menurut pendengarannya dari beberapa orang pengikut Ki Tumenggung yang berhasil dihubungi dan bahkan berhasil ditarik dari lingkungan mereka. Ki Tumenggung akan bergerak bersama dua orang yang namanya banyak disebut sebut dilingkungan orang orang yang menempuh jalan sesat. Mereka adalah Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya dan Ki Warak Ireng.
Ki Gede dan Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa rasanya setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Bagaswara mengandung kesungguhan, sehingga baik Ki Gede maupun Agung Sedayu langsung dapat mempercayainya.
Namun dalam pada itu, Ki Gede bertanya " "Kiai Bagaswara, apakah Tumenggung itu tahu pasti keadaan Tanah Perdikan ini?"
Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya " "Aku kurang tahu Ki Gede. Namun agaknya Ki Tumenggung itu digerakkan oleh gejolak yang tidak tertanamkan didalam dadanya".
Dalam pada itu, Kiai Bagaswarapun sempat menceritakan tingkah laku Ki Tumenggung sehingga gurunya sendiri telah dibunuhnya. Tetapi karena Kiai Bagaswara tidak menyaksikan, maka ia tidak dapat berceritera tentang padepokannya yang menjadi abu.
"Kiai", berkata Ki Gede kemudian "apakah kita tidak justru menunggunya saja, agar mereka datang ke Tanah Perdikan ini" Sebagaimana yang mungkin Kiai Bagaswara mengetahui, disini ada pasukan yang merupakan pasukan khusus dari mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan khusus yang mempunyai kemampuan yang sudah teruji. Jika Ki Tumenggung itu datang, maka mungkin sekali kita justru akan dapat menangkapnya".
"Memang mungkin dapat terjadi demikian Ki Gede. Tetapi yang masih belum kita ketahui dengan pasti, seberapa kekuatan pasukan Ki Linduk dan Ki Warak Ireng". berkata Kiai Bagaswara
"kedua orang itu tidak mendirikan sebuah padepokan dengan niat yang jujur, untuk mengembangkan pengetahuan dan olah kanuragan dengan tujuan yang baik. Tetapi padepokan mereka tidak lebih dari sarang segerombolan brandal yang berbahaya".
Ki Gede mengangguk angguk. Lalu katanya " "Kami mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan ini Kiai. Adalah kewajiban bagi kami untuk bersiap-siap mengha dapi segala kemungkinan. Tetapi apakah Kiai dapat menyebut ancar ancar waktu yang dapat kita pergunakan untuk mempersiapkan diri?"
"Menurut dugaanku, mereka akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya dengan pasti" jawab Kiai Bagaswara.
JILID 182 Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Aku percaya kepada kesungguhan Kiai.
Karena itu, aku tidak berkeberatan, jika Kiai bersedia untuk tinggal dirumah ini. Disini Kiai akan dapat berbicara dengan beberapa orang tertua Tanah Perdikan dan beberapa orang tamuku yang lain, diantaranya adalah seorang yang bernama Kiai Jayaraga. "
"Kiai Jayaraga " wajah Kiai Bagaswara menegang.
"Apakah yang dimaksud kiai Jayaraga guru Ki Tumenggung Prabadaru" "
"Ya. " jawab Ki Gede ragu-ragu.
"Jadi orang itu ada disini sekarang" "bertanya Kiai Bagaswara pula.
"Ya Kiai. Kiai Jayaraga sekarang ada di Tanah Perdikan Menoreh "jawab Ki Gede pula.Wajah Kiai Bagaswara menjadi tegang. Dipandanginya Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu berganti-ganti. Namun kemudian ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri "
Apakah kehadirannya disini tidak menimbulkan kesulitan, justru karena muridnya telah terbunuh oleh anggar Agung Sedayu" "
Namun dalam pada itu, Ki Gedelah yang menjawab " Kiai, agaknya sesuatu telah terjadi didalam diri Kiai Jayaraga. Ia mengerti bahwa muridnya telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Bukan saja ki Tumenggung Prabadaru, tetapi juga muridnya yang lain, yang menjadi bajak laut diperairan yang garang di sela-sela tanah dan benua. Namun
Kiai Jayaraga ternyata mempunyai sikap yang berbeda dengan murid-muridnya. "
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sokurlah. Sebenarnya aku sudah mengenalnya. Di saat terakhir, yang aku tahu, Kiai Jayaraga telah mengasingkan diri disebuah padepokan terpencil. Itupun jika dapat disebut padepokan, karena yang didiami adalah sekedar sebidang tanah dengan pagar kayu yang tinggi dihuni olehnya sendiri."
" Dengan seorang muridnya " sahut Ki Gede.
" O " Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya sementara Ki Gede meneruskan " muridnya itupun terbunuh pula oleh saudara seperguruan Agung Sedayu.
Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya " agaknya memang demikian Ki Gede. Menilik sifat-sifat nya, Kiai Jayaraga memang mempunyai sikap yang berbeda dengan murid-muridnya. "
" Tetapi murid-muridnya telah menyakiti hatinya " berkata Ki Gede. Lalu " Sekarang ia telah mengambil seorang murid lagi.
la berada dirumah Agung Sedayu "jawab Ki Gede " biarlah Agung Sedayu memanggilnya. Mungkin kita akan berbicara sekaligus tentang niat Ki Tumenggung Purbarana yang ingin menguasai sisi sebelah Barat dari Mataram, sebelum kita berbicara dengan Ki Lurah Branjangan. "
" Baiklah, nanti biarlah aku ajak Kiai Jayaraga datang kemari bersama Sekar Mirah, Ki Gede. Mungkin sekarang, saatnya bagi Kiai Bagaswara untuk beristirahat, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. " berkata Agung Sedayu.
" Aku setuju Agung Sedayu, biarlah Kiai Bagaswara beristirahat di gandok, sementara kau dapat memberitahukan kepada Kiai Jayaraga. Sore nanti, ajak Kiai Jayaraga kemari bersama isterimu. Biarlah kita berbicara tentang kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan ini karena tingkah Ki Tumenggung Purbarana. Jika perlu sekali, maka besok atau lusa, kita akan memberitahukan pula kepada Ki Waskita. "
" Siapakah Ki Waskita itu" " bertanya Kiai Bagaswara.
" Masih ada hubungan darah dengan aku - jawab Ki Gede " ia termasuk seorang tetua di Tanah Perdikan ini.
Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu, Kiai Bagaswarapun dipersilahkan untuk beristirahat di gandok setelah membersihkan diri di pakiwan. Kemudian Agung Sedayupun telah minta diri untuk kembali kerumahnya.
Dalam pada itu, Sekar Mirah yang lagi sibuk di dapur, telah dipanggil oleh Agung Sedayu untuk berbicara serba sedikit tentang apa yang didengarnya di rumah Ki Gede.
- Dimana Kiai Jayaraga sekarang" " bertanya Agung Sedayu kepada isterinya.
" Di sanggar, bersama Glagah Putih " jawab Sekar Mirah " hari ini mereka tidak berlatih di alam terbuka. "
" Biarlah. Nanti pada saatnya Kiai Jayaraga akan mendengar " berkata Agung Sedayu yang kemudian mengatakan apa yang telah diceriterakan oleh Kiai Bagaswara.
" Ki Gede dan kakang langsung dapat mempercayainya" " bertanya Sekar Mirah.
" Menilik sikap dan kata katanya, maka kami mempercayainya "jawab Agung Sedayu.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Mirah mengangguk- angguk. Katanya " Agaknya masih saja persoalanpersoalan yang tumbuh susul menyusul. Jika orang itu menyinggung kemelut di tlatah kekuasaan para adipati di daerah Timur, maka nampaknya orang yang bernama Purbarana itu mempunyai perhitungan yang cukup cermat. Tetapi apakah orang itu sudah dapat memperhitungkan kekuatan kita disini.
" Entahlah "jawab Agung Sedayu " namun agaknya persoalan ini akan menjadi persoalan yang cukup gawat, karena ki tumenggung itu telah berhubungan dengan dua orang pemimpin padepokan, yang menurut Kiai Bagaswara sebenarnya adalah pemimpin sekelompok Brandal yang menyebut sarangnya sebagai sebuah padepokan.
Tetapi menurut gambaran Kiai Bagaswara, padepokan itu memang mempunyai ciri-ciri sebagai sebuah padepokan yang lain. Padepokan itu mempunyai barak-barak bagi para cantrik, mempunyai tanah garapan dan mempunyai peternakan. Ada beberapa bangsal untuk menurunkan ilmu dan pengetahuan, kesusasteraan dan kejiwaan, ada beberapa sanggar untuk berlatih olah kanuragan, dan ada beberapa sanggar pamujan. Namun ternyata bahwa isi dari padepokan itu adalah segerombolan brandal dan perampok yang sudah lama mengusutkan nama Pajang dan kini Mataram didaerah-daerah yang terpisah dari Kota Raja. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya " Kita memang perlu membicarakannya dengan sungguh-sungguh bersama Ki Gede. Tetapi bukankah kita menunggu Kiai Jayaraga keluar dari sanggar. "
" Sore nanti kita akan bertemu dengan Ki Gede, sekarang tamu itu sedang beristirahat " jawab Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka Sekar Mirah pun telah kembali pula kedapur dan Agung Sedayu pergi ke padukuhan sebelah untuk melakukan tugasnya pula.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Jayaraga dan Glagah Putih keluar dari sanggar dan Agung Sedayu sudah kembali dari tugas tugasnya, pada saat mereka bersama sama makan di sebuah amben besar, maka Agung Sedayu sudah mulai menyinggung persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Bagaswara serta tentang kehadiran orang itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh.
Berita itu memang mengejutkan Kiai Jayaraga. Dengan nada tinggi ia bertanya"Jadi Bagaswara sekarang ada disini?"
"Ya Kiai"jawab Agung Sedayu, sementara itu Sekar Mirahpun bertanya " Menurut pengenalan Kiai atas Kiai Bagaswara itu, apakah kira-kira semua keterangannya dapat dipercaya?"
Kiai Jayaraga merenung sejenak. Namun kemudian katanya sambil menganggukangguk"
Ia orang yang menurut pengenalanku, termasuk orang yang baik. Aku kira ia tidak mengada-ada dengan ceriteranya. Apalagi bahwa Ki Tumenggung Purbarana sudah sampai hati membunuh gurunya sendiri dan pasukannya telah membantai seisi padepokan. Ternyata bahwa masih ada orang yang malang melampaui kemalanganku.
Aku sudah merasa disakiti hatiku oleh murid-muridku. Namun ternyata masih ada orang yang aku kenal baik bukan saja disakiti hatinya, tetapi bahkan dibunuh oleh muridnya sendiri."
"Jadi Kiai mempercayainya?"desak Sekar Mirah.
"Aku mempercayainya Mirah" jawab Kiai Jayaraga" dan akupun sependapat dengan keterangan yang diberikan oleh Bagaswara tentang Ki Linduk yang juga disebut Sambijaya dan Warak Ireng."
"Kiai juga sudah mengenal keduanya?"bertanya Agung Sedayu.
"Aku mengenalnya meskipun tidak terlalu banyak. Tetapi pengenalanku atas mereka, memang sebagaimana dikatakan oleh Kiai Bagaswara itu." jawab Kiai Jayaraga.
Dengan demikian, maka bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Tanah Perdikan Menoreh memang benar benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Segala persiapan tidak boleh tertunda terlalu lama, karena setiap saat bahaya itu memang akan dapat mengancam dan menerkam Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka sebagaimana direncanakan sore hari menjelang senja, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi kerumah Ki Gede untuk menemui Kiai Bagaswara.
Sebenarnyalah, ketika Kiai Bagaswara dan Kiai Jaya raga bertemu, ternyata mereka memang sudah saling mengenal sebelumnya.
Banyak ceritera yang dapat mereka ceriterakan tentang diri masing masing. Namun yang kemudian menjadi pokok persoalan dalam pertemuan itu adalah rencana Tumenggung Purbarana untuk menyerang Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, ternyata mereka sepakat untuk dengan segera menyampaikan masalah itu kepada pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena agaknya pasukan khusus itu akan menjadi sasaran utama untuk melumpuhkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata orang orang yang sedang berbicara tentang bahaya yang mungkin akan melanda Tanah Perdikan Menoreh itu sependapat, bahwa mereka akan pergi pada saat itu juga. Selagi senja baru saja lewat dan hari masih belum terlalu malam.
"Mudah mudahan Ki Lurah Branjangan bersedia menerima kami berkata Ki Gede.
Demikianlah, beberapa orang telah pergi ke barak pasukan khusus untuk menyampaikan persoalan yang dibawa oleh Kiai Bagaswara kepada Ki Lurah Branjangan.
Memang sudah diduga sebelumnya, bahwa Ki Lurah Branjangan tidak begitu saja mempercayainya. Namun dalam pada itu, Ki Gedepun berkata Tetapi lebih baik kita berhati hati Ki Lurah."
"Akupun yakin, bahwa Kiai Bagaswara mengatakan sebagaimana yang diketahui berkata Kiai Jayaraga "Jika serangan itu urung, tentu ada perkembangan rencana Ki Tumenggung Purbarana."
"Tetapi sebodoh bodoh Tumenggung Purbarana, tentu ia akan dapat belajar dari pengalaman dalam pertempuran di Prambanan. Kekuatan Pajang di Prambanan waktu itu benar benar merupakan kekuatan raksasa. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat memecahkan pertahanan Mataram. Bahkan akhirnya pasukan Pajang dapat digulung, -berkata Ki Lurah Branjangan.
Namun dalam pada itu, hampir diluar dugaan, Agung Sedayupun berkata"Tetapi Ki Lurah. Kita juga harus belajar dari pengalaman itu. Seandainya Kangjeng Sultan mempunyai sikap lain, apakah tidak terjadi akhir yang lain pula di Prambanan?"
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Gedepun berkata"Kematian kakang Panji juga merupakan salah satu unsur, kenapa Pajang dapat dihancurkan oleh pasukan Mataram"
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya"Jadi, bagaimana pertimbangan kalian?"
"Kita anggap bahwa hal Itu benar-benar akan terjadi " berkata Ki Gede " karena itu, kita harus benar-benar bersiap meskipun persiapan itu tidak perlu kita pertontonkan kepada rakyat Tanah Perdikan ini, karena hal yang demikian akan dapat menimbulkan kegelisahan. Belum lama kita menikmati ketenangan. Tiba-tiba ketenangan itu sudah mulai diusik lagi."
Ki Lurah mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata"Aku sependapat dengan Ki Gede. Kita justru bersiap dengan diam diam sehingga tidak boleh seorangpun yang digelisahkan karenanya. Aku akan mengatur anak anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan sementara itu terserah kepada kebijaksanaan Ki Lurah tentang pasukan khusus ini."
Ki Lurah mengangguk-angguk pula sambil berkata"Baiklah. Aku akan menentukan langkah-langkah yang patut aku ambil menghadapi kemungkinan ini."
"Terima kasih Ki Lurah"Agung Sedayulah yang menyahut"kita akan bersama-sama menghadapi persoalan ini. Tidak mustahil bahwa mereka akan mengirimkan orang-orangnya
untuk mengamati keadaan sebelum mereka benar benar akan datang."
Ternyata dugaan itu tidak saja tumbuh dihati Agung Sedayu. Ki Lurah Branjanganpun berkata " Ki Tumenggung Purbarana adalah seorang Senopati. Ia tidak akan melakukan
satu pekerjaan besar dengan tergesa-gesa. Karena itu, maka bukan saja satu kemungkinan bahwa ia akan mengirimkan beberapa orang untuk mengamati keadaan,
tetapi hal itu merupakan satu rangkaian dari pekerjaan besar yang akan dilakukan, kecuali jika Ki Tumenggung itu sudah menjadi pikun. -
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu,
yang lainpun berpendirian seperti itu juga.
Karena itu, maka Ki Gede berkata " Dengan demikian, maka akan menjadi satu pola
pekerjaan kita, bahwa persiapan ini harus kita lakukan dengan diam-diam.
Kecuali agar tidak menggelisahkan rakyat Tanah Perdikan, maka kita memang
memancing agar Ki Tumenggung itu datang ke Tanah Perdikan ini. Bukan karena satu
keinginan untuk saling membunuh atau melepaskan dendam dan sakit hati, tetapi
bagiku lebih baik Ki Tumenggung itu datang kemari, karena disini ada pasukan khusus
yang akan dapat menghadapinya. Jika Ki Tumenggung dan kawan-kawannya dapat
ditangkap, maka kita sudah membantu untuk ketenangan Mataram yang baru
membenahi diri. Apalagi jika perhitungan Ki Tumenggung itu benar, bahwa disisi Timur
dari Mataram terjadi kemelut yang akan dapat membahayakan persatuan Mataram
sebagai penerus Pajang. "
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk
angguk. Katanya " Hal ini harus kita terima sebagai satu tugas. Tetapi bagaimanapun
juga, aku akan melaporkannya kepada Panembahan Senopati di Mataram atau
seseorang yang ditunjuknya. "
Dengan demikian, maka baik Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan khusus
Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maupun Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan
Menoreh telah mendapatkan kesepakatan. Mereka akan dengan segera melakukan
persiapan-persiapan yang terselubung. Sementara itu, Ki Lurah akan mengirimkan
petugas untuk melaporkan rencana Ki Tumenggung Purbarana itu benar-benar telah
Rahasia Kampung Garuda 8 Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Naga Berkepala Empat 2
^