Pencarian

Pergolakan Goa Teratai 2

Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Bagian 2


dengan menyamar?" batin Yudistira mencari jalan keluar yang terbaik. "Dengan
begitu aku akan bi-sa mendekati Harum Seroja, Nyi Randa, dan
Anugda. Lalu kusarankan agar mereka memberi
tahu letak penyimpanan Lempengan Teratai Emas
demi keselamatan" Ahhh....'" kembali Yudistira menarik napas dalam-dalam.
Kepalanya terasa
sangat penat. *** Pagi itu bertepatan dengan sinar matahari
yang menjarah bumi, sesosok tubuh berpakaian
putih berlari cepat. Cukup cepat juga lari sosok berpakaian putih berwajah buruk
itu. Wajahnya dipenuhi bekas luka terbakar. Dari cara sosok itu berlari tampaknya dia seorang
anggota persilatan.
Sosok berpakaian putih yang buruk rupa itu te-
rus berlari seolah ada yang mengejarnya. Tak terasa dia sudah begitu jauh
meninggalkan desa
asalnya, Desa Barakrapi.
Kini di depan mata lelaki buruk rupa itu
membentang sebuah mulut perkampungan yang
bernama Desa Galarasati. Desa itu berada di an-
tara Desa Barakrapi dan desa tempat Perguruan
Kepodang Emas berada. Lelaki berpakaian putih
itu memasuki mulut Desa Galarasati. Namun la-
rinya telah ditukar dengan langkah yang panjang-panjang.
"Hiaaa...!"
Trang! "Aaa...!"
Lelaki buruk rupa itu sesaat menghentikan
jalannya ketika telinganya sayup-sayup menden-
gar suara dentang senjata dan jerit kematian.
"Heh"!"
Lelaki berpakaian putih itu terkejut ketika
kembali mendengar pekik kesakitan. Sesungguh-
nya tak ada niat di hatinya untuk mengetahui
siapa yang tengah berkelahi, tapi dia memang harus melewati jalan tempat jeritan
itu berasal. "Hhh...!"
Sambil menarik napas berat, lelaki buruk
rupa itu melanjutkan perjalanannya. Langkahnya
tampak dipercepat.
"Hiaaa...!"
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
"Akh...!"
Tercengang lelaki buruk rupa itu menyak-
sikan pembantaian yang dilakukan sekelompok
lelaki berpakaian hitam terhadap orang-orang
yang diduganya penduduk Desa Galarasati. Di
antara lelaki berpakaian hitam tergeletak dua lelaki dengan luka parah pada
perutnya. Lelaki buruk rupa yang semula tidak berniat mencampuri
urusan itu tergetar juga hatinya. Perbuatan ter-kutuk itu mau tak mau harus
dicegahnya. "Biadab!" maki lelaki berpakaian putih itu.
"Hiaaat...!"
"Hentikaaan...!"
Seorang lelaki berpakaian hitam yang hen-
dak membabatkan senjatanya ke tubuh pendu-
duk Desa Galarasati terpaksa mengurungkan
niatnya ketika mendengar bentakan cukup keras.
Lelaki berpakaian hitam itu segera menoleh ke
arah bentakan dengan wajah garang tak terkira-
kan. Sementara matanya melotot hampir keluar.
"Gembel busuk!" maki lelaki itu ketika tatapan matanya membentur wajah buruk
lelaki berpakaian putih. "Lancang sekali kau mencampuri urusan kami, Gembel!" lanjut
lelaki berpakaian hitam yang rupanya senang merawat ku-
mis. Kumisnya begitu lebat hingga lubang hi-
dungnya hampir tak terlihat
"Maaf. Aku bukan gembel seperti yang ka-
lian perkirakan. Kalianlah yang berkelakuan bu-
suk!" balas lelaki berpakaian putih merasa tersinggung.
Lelaki berpakaian hitam yang tengah mem-
bantai penduduk segera mengepung lelaki berpa-
kaian putih. "Rupanya kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan sekarang ini, hah"!" tukas lelaki berkumis tebal dengan suara
ditekan. Tatapan mata
lelaki berpakaian hitam terkesan begitu mere-
mehkan. "Aku tahu dengan siapa sekarang ini ber-
hadapan!" kilah lelaki buruk rupa itu lantang dan mencerminkan ketenangan.
"Bukankah kalian
yang berjuluk Pengecut-pengecut Tak Tahu Ma-
lu?" "Kurang ajar! Kau benar-benar ingin cari mampus!" maki lelaki berkumis
lebat itu berang.
"Akan kulumat tubuhmu, Bangsat!"
"Jangan takabur, Kisanak!" timpal lelaki buruk rupa. "Pada penduduk yang lemah
kau bi-sa berkata seperti itu, tapi padaku" Harap kau
cabut ucapanmu tadi, atau keadaan ini malah
berbalik?"
"Setan! Cincang gembel sombong itu!" perintah lelaki berkumis lebat "Kasih tahu
padanya kalau Gerombolan Musang Hitam pantang dire-mehkan!"
Tiga lelaki berpakaian hitam meluruk ke
arah lelaki buruk rupa. Senjata mereka yang be-
rupa parang teracung di udara.
"Hiaaat...!"
"Heaaa...!"
"Hyaaa..!"
Lelaki berpakaian putih tenang saja meng-
hadapi gempuran tiga lelaki berpakaian hitam.
Dan ketika sambaran parang lawan mendekat,
dengan gerak cukup cepat dan lincah dia berhasil mementahkan serangan pertama
hanya dengan berkelit ke kanan, lalu melompat mundur.
"Kurang ajar!" maki salah seorang penyerangnya.
"Mampus kau sekarang! Hiyaaa...!"
Bettt! Bettt...!
"Uts!"
Kembali lelaki buruk rupa memiringkan
tubuhnya menghindari sambaran senjata yang
mengincar dada. Begitu sederhana gerakan lelaki itu. Bahkan sesaat setelah
kelebatan parang itu lewat di depan dadanya, lelaki buruk rupa melakukan gerakan
yang sama sekali tidak diduga la-
wan. "Rasakan ini. Hih!"
Plakkk! "Aaa...!"
Sebuah sodokan siku berhasil disarangkan
ke wajah penyerangnya. Lelaki berpakaian hitam
itu langsung terhuyung empat langkah ke bela-
kang. Tangannya memegangi wajah yang terkena
sodokan. Lelaki berkumis lebat yang menjadi Pimpi-
nan Gerombolan Musang Hitam kelihatan terkejut
menyaksikan ketiga anak buahnya tidak mampu
meringkus lelaki buruk rupa. Maka dengan geram
dia menyuruh anak buahnya yang lain membantu
penyerangan. "Kalian semua! Lumat tubuh jelek itu!" teriak lelaki berkumis lebat.
Satu, dua, tiga..., sepuluh lelaki berpa-
kaian hitam yang sejak tadi hanya menonton ber-
lompatan dengan senjata terhunus. Lelaki berwa-
jah buruk bukannya tidak menduga hal seperti
itu akan terjadi. Maka tanpa berpikir lama dica-butnya senjata yang tergantung
di punggung. Srattt! Sinar berkilauan terpancar dari batang pe-
dang lelaki buruk ketika tertimpa sinar matahari.
"Ayo! Majulah kalian semua. Pedangku
akan mengirim nyawa kalian lebih cepat!" tantang
lelaki buruk rupa geram.
Belasan anak buah Gerombolan Musang
Hitam bukannya ngeri melihat lawan menghunus
pedang yang begitu tajam, malah sebaliknya. Me-
reka ingin membuktikan bahwa mereka bisa me-
ringkus seorang gembel. Seketika itu pula bebe-
rapa pengepung merangsek maju dengan teria-
kan-teriakan yang memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
"Heaaa...!"
Lelaki buruk rupa pun demikian. Dia tidak
ingin ditundukkan anak buah Gerombolan Mu-
sang Hitam. Maka lelaki itu bergerak maju me-
nyongsong serangan lawan.
"Haaat...!"
Bettt! Trang, trang! Brebettt...! Bret!
Dua lelaki berpakaian hitam langsung ter-
jungkal ke tanah. Ujung pedang lelaki berpakaian putih berkelebat cepat dan
merobek perut dan
dada lawan. Kematian dua lelaki itu bukan membuat
serangan mengendur. Lelaki yang masih bertahan
dan mampu mengelakkan sambaran pedang lelaki
buruk rupa berusaha terus menggempur dan
mendesak. "Hiaaat...!"
"Uts!"
Sebuah serangan ganas yang melesat ke
arah leher lelaki buruk rupa berhasil dielakkan dengan merundukkan kepala. Namun
lelaki ber- pakaian putih itu terkejut ketika serangan cepat lewat tendangan lurus ke arah
jidat dilakukan lelaki berpakaian hitam yang lain.
"Heh"! Eits!"
Tap! Dengan kecepatan sambaran tangan yang
luar biasa, lelaki berpakaian putih berambut panjang itu mencekal pergelangan
kaki lawan. "Krk!"
"Akh!"
Pekik kesakitan terlontar ketika pergelan-
gan kaki anak buah Gerombolan Musang Hitam
dipelintir lelaki buruk rupa. Dan dengan cepat
mengirimkan totokan keras menggunakan lutut-
nya ke dada lawan yang naas itu.
"Hih!"
Duegkh!" "Aaa...!"
Kembali pekik kesakitan terdengar kali ini
diiringi dengan mentalnya sosok berpakaian hi-
tam yang terhajar sodokan lawan. Lelaki itu me-
rasa dadanya sesak dan tulangnya seperti mele-
sak ke dalam. Darah merembes dari sudut bibir-
nya. Seluruh anak buah Gerombolan Musang
Hitam terpaku di tempatnya menyaksikan seo-
rang temannya kembali terkulai di tanah. Mereka gentar dengan kepandaian ilmu
silat lelaki buruk rupa.
Pemandangan itu disaksikan penduduk
Desa Galarasati dengan sedikit lega. Para penduduk yang selama ini dirongrong
Gerombolan Mu- sang Hitam berharap lelaki buruk rupa dapat
menaklukkan lawan-lawannya. Dengan begitu tak
ada perampasan harta lagi seperti yang dialami
selama ini. Namun perasaan Pimpinan Gerombolan
Musang Hitam jauh berbeda dengan keinginan
penduduk. Lelaki berkumis tebal itu geram akan
sikap anak buahnya yang tiba-tiba menjadi pen-
gecut "Kenapa kalian bengong! Seraaang...!"
Teriakan yang cukup lantang itu membuat
anak buahnya tersentak. Saat itu juga mereka
meluruk ke arah lelaki buruk rupa.
"Hiaaa...!"
Pertarungan kembali berlanjut. Lima lelaki
berpakaian hitam berlompatan. Senjata mereka
ditebaskan, ditusuk, dan bahkan dilempar ke
arah tubuh lelaki berpakaian putih.
Trang! Trang! Trang!
"Aaa...!"
Pijar bunga api tercipta saat bertemunya
dua logam keras dengan kekuatan tenaga cukup
tinggi. Ditingkahi teriakan kesakitan orang-orang yang kalah dalam adu tenaga.
"Minggir semua!"
Wrrr...! Lelaki berkumis tebal, Pimpinan Gerombo-
lan Musang Hitam, tiba-tiba berteriak seraya
menghentakkan tangan setelah menyelinap ke ba-
lik pakaiannya.
Delapan orang berpakaian hitam yang
mendengar perintah itu tampaknya mengerti. Se-
cepatnya mereka berlompatan ke samping kiri
dan kanan. Membiarkan senjata rahasia pimpi-
nannya meluruk deras ke arah lelaki buruk rupa.
"Heh"!"
Lelaki buruk rupa terkejut menyaksikan
benda-benda pipih meluruk ke arahnya. Padahal
kedudukannya saat itu sangat sulit untuk meng-
hindar. Maka sebisanya dia memutar senjata.
"Hih!"
Wukkk! Wukkk! Trang, trang, trang...!
Crabs! "Aaa...!"
Lelaki buruk rupa terpekik keras. Salah sa-
tu senjata rahasia lelaki berkumis tebal menghujam dada sebelah kiri. Tubuhnya
terhuyung ke belakang tiga langkah. Sementara tangannya
menggenggam bagian yang tiba-tiba terasa sangat panas. "Ah!"


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bruk! Lelaki berpakaian putih yang wajahnya di-
penuhi bekas luka bakar itu ambruk ke tanah.
Dari mulutnya keluar erangan kesakitan. Kenya-
taan itu mengejutkan penduduk yang menyaksi-
kan jalannya pertarungan. Pupus sudah harapan
mereka yang menginginkan kebebasan dan keten-
teraman hidup. Sedangkan Pimpinan Gerombolan
Musang Hitam terlihat begitu bangga menyaksi-
kan lawan roboh.
"Ha ha ha.... Sudah kukatakan jangan be-
rani bermain-main dengan Gerombolan Musang
Hitam. Akibatnya" Ha ha ha.... Detik ini juga
nyawamu akan kukirim ke neraka, Gembel Bu-
suk!" ucap lelaki berkumis tebal.
"Biar aku yang menebas batang lehernya,
kakang Waraka," pinta seorang lelaki berpakaian hitam yang bertubuh tinggi
tegap. Lelaki berkumis tebal yang ternyata ber-
nama Waraka tersenyum mendengar permintaan
anak buahnya. "Biar aku saja yang melakukannya, Darya,"
larang Waraka. "Aku ingin mengetahui apakah leher gembel busuk itu cukup kuat
melawan keta-jaman parangku," Lanjut Waraka.
Srat! Waraka mengeluarkan senjata yang terselip
di pinggangnya.
"Bersiaplah kau melayat ke alam kubur,
Gembel Busuk!" bentak Waraka. Kakinya melangkah perlahan.
"Hiyaaa...!" Waraka memekik keras seraya mengacungkan senjatanya ke udara.
Plak! "Akh!"
Kejadian yang begitu cepat dan menge-
jutkan dialami Waraka. Sesaat lagi senjatanya
akan menghantam batang leher lelaki buruk ru-
pa, sesosok bayangan kurung keemasan melesat
cepat menghantam pergelangan tangannya. Pim-
pinan Gerombolan Musang Hitam itu terhuyung
empat langkah ke belakang. Sedang parang yang
tergenggam di tangannya terpental.
Penduduk Desa Galarasati yang menyaksi-
kan kejadian itu tampak terkejut. Namun di balik keterkejutan mereka terangkat
kembali harapan-nya untuk terbebas dari rongrongan Gerombolan
Musang Hitam. "Bangsat!" maki Waraka setelah mampu
berdiri. Sebelah tangannya masih memegangi
tangan kanannya yang linu bukan main.
Sosok muda berpakaian kuning keemasan
yang telah menyelamatkan lelaki buruk rupa
hanya tersenyum membalas makian Ketua Ge-
rombolan Musang Hitam.
"Maaf. Perbuatanku tadi semata karena ti-
dak tega menyaksikan kepala Kisanak ini ter-
penggal," ucap lelaki berpakaian kuning keemasan yang tidak lain Jaka Sembada.
"Kakang...," seorang gadis cantik berpakaian jingga yang menyertai Jaka bergerak
men- dekati kekasihnya.
"Kakang, orang itu tampaknya terkena ra-
cun. Biar aku yang menghadapi mereka. Sebaik-
nya Kakang menolongnya," pinta gadis cantik yang bernama Mayang Sutera.
Jaka menoleh menatap wajah Mayang Su-
tera yang kelihatan cemas.
"Hati-hati," sambut Jaka.
Langkah Jaka kemudian tertuju pada lelaki
buruk rupa yang tengah mengerang-ngerang me-
nahan sakit. Lempengan logam pipih berwarna hi-
tam tampak membenam di dadanya.
"Tahan sebentar, Kisanak. Akan kucabut
logam beracun ini," ucap Jaka seraya membung-kukkan tubuh.
Cab! "Aaa...!"
Pekik kesakitan yang cukup keras terden-
gar ketika tangan Jaka menghentak mengelua-
rkan logam pipih yang membenam di dada lelaki
buruk rupa. "Daya tahan tubuhmu hebat sekali, Kisa-
nak. Kalau tidak, nyawamu mungkin sudah me-
layang karena racun ganas ini," ucap Jaka me-mandangi lempengan logam pipih di
tangannya. 'Terima kasih atas pertolonganmu," ucap
lelaki buruk rupa dengan tersendat. Rasa sakit di dadanya sedikit pun belum
hilang. "Sebaiknya kau minum pil ini. Mudah-mu-
dahan racun ganas itu segera keluar dari tubuh-
mu," Jaka menyodorkan pil berwarna merah da-ri balik pakaiannya.
Lelaki buruk rupa tentu saja tidak menyia-
nyiakan pertolongan itu. Segera diraihnya pil
pemberian Raja Petir, dan langsung ditelannya.
Glekkk...! Sesaat setelah pil itu masuk ke mulut dan
melewati tenggorokannya, lelaki buruk rupa me-
rasakan khasiat obat Jaka. Hawa sejuk terasa
melingkar-lingkar di dalam perutnya. Kemudian
merambat perlahan ke dalam, dan berubah men-
jadi hawa dingin seperti es. Sesaat kemudian, lelaki buruk rupa merasakan hawa
panas menyen- gat dadanya. Kemudian.....
"Hoekkkh...!"
Kepala lelaki berpakaian putih itu tertun-
duk ke tanah. Darah kehitaman tumpah dari mu-
lutnya. "Hoekh...!"
Kembali darah muncrat dari mulut lelaki
buruk rupa. Muntahan darah itu tidak sepekat
muntahan pertama. Tubuh lelaki itu tiba-tiba
menggigil seperti orang terserang demam hebat
Jaka segera mengangkat tubuhnya dan membawa
ke rumah penduduk yang terdekat
"Tolong berikan tempat istirahat untuk
orang ini," pinta Raja Petir pada seorang penduduk yang berusia lanjut
"Silakan-silakan!" sambut lelaki tua itu. "Di dalam saja," lanjutnya melangkah
mendahului Jaka. Sebuah rumah yang terawat rapi dimasuki
Jaka. Pada sebuah kamar yang terdapat balai-
balai bertikar pandan, tubuh lelaki buruk rupa
dibaringkan. "Maaf. Aku tidak bisa menungguinya. Ku-
harap Kisanak sudi menjaganya dan memberikan
segelas air hangat. Aku akan membantu kawanku
menyingkirkan keparat-keparat itu," ucap Jaka ramah. "Silakan, Tuan. Biar saya
yang mengurus Kisanak ini," jawab lelaki berusia empat puluh tahun itu.
Mendengar jawaban lelaki tua itu, Jaka se-
gera melesat keluar. Sementara pertarungan Ge-
rombolan Musang Hitam dan Mayang Sutera ber-
langsung seru. Mayang Sutera belum mengelua-
rkan jurus-jurus andalannya untuk menghalau
serangan beruntun Gerombolan Musang Hitam.
"Mampus kau, Gadis Liar!" maki seorang lelaki berpakaian hitam seraya
membabatkan pa-rangnya ke arah buah dada gadis cantik berpa-
kaian jingga itu.
Namun Mayang Sutera bukanlah tandin-
gan mereka. Hanya dengan menarik badannya
sambaran senjata lawan mampu digagalkan.
Bahkan tangan kirinya menyampok cepat.
Mayang Sutera mengirimkan serangan balasan.
"Awas, Kisanak!"
Plakkk! "Akh!"
Lawan Mayang Sutera langsung terjungkal.
Sambaran tangan gadis cantik itu menghantam
keningnya. Lelaki itu roboh dengan raungan yang tak henti-henti.
Mayang Sutera tidak sempat memperhati-
kannya. Saat itu seorang lawannya tengah berke-
lebat dengan senjata teracung ke arah kepala.
Plakkk! Dugkh! "Aaa...!"
Penyerang gadis itu ambruk ketika lelaki
berpakaian kuning keemasan melesat menyong-
songnya. Dengan kecepatan tinggi dipapakinya
pergelangan tangan lelaki berpakaian hitam. Lalu memberikan pukulan menyilang
dengan punggung tangan ke dada lawan.
Brukkk! Lelaki berpakaian hitam yang sial itu jatuh
berdebuk di tanah. Seiring dengan jatuhnya lelaki
itu, lelaki-lelaki berpakaian hitam yang menamakan dirinya Gerombolan Musang
Hitam menghen- tikan serangan mereka. Wajah anggota Gerombo-
lan Musang Hitam menunjukkan rasa ngeri.
"Kenapa kalian diam seperti sapi ompong!
Ayo, serang lagi aku!" ucap Mayang Sutera garang. Mata gadis cantik yang
berjuluk Dewi Payung Emas menatap wajah Waraka Pimpinan
Gerombolan Musang Hitam.
Waraka tidak membalas ucapan Mayang
Sutera. Tapi matanya berusaha menentang tata-
pan gadis cantik itu.
"Kali ini aku kalah, Perempuan Liar! Tapi
tidak untuk nanti. Aku akan datang kepadamu
dengan pasukanku yang lebih banyak dan kuat!
Ingat itu!" ucap Waraka. Suaranya terdengar penuh bara dendam.
"Aku tunggu gerombolanmu yang hanya
pantas menghadapi macan ompong!" balas
Mayang Sutera. "Huh!"
Waraka mendengus geram. "Ayo! Tinggal-
kan tempat ini!" perintah lelaki berkumis tebal itu pada anak buahnya.
"Hoppp!"
Tubuh Waraka melesat cepat ke arah uda-
ra. Diikuti anak buahnya di belakang. Jaka dan
Mayang Sutera hanya menatap kepergian Gerom-
bolan Musang Hitam seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
6 Di salah satu kamar rumah penduduk De-
sa Galarasati, tepatnya di kamar Ki Anumerga,
Jaka dan Mayang Sutera tengah berbincang-
bincang dengan lelaki buruk rupa yang sudah
terbebas dari racun ganas Ketua Gerombolan Mu-
sang Hitam. Ki Anumerga nampak tengah mem-
perhatikan wajah sepasang pendekar muda itu
dengan hati penuh kagum dan terima kasih.
Menurut Ki Anumerga, baru Jaka dan
Mayang Sutera yang berhasil menghentikan sepak
terjang Gerombolan Musang Hitam setelah berta-
hun-tahun mencengkeramkan kukunya dalam
kehidupan penduduk Desa Galarasati.
"Maaf, Ki Anumerga," ucap Jaka seraya menatap lembut wajah lelaki berkumis tipis
di hadapannya. "Kalau Ki Anumerga tidak keberatan, di kamar ini kami minta izin
untuk berbicara bertiga saja," lanjut Jaka hati-hati agar tidak ingin
menyinggung perasaan Ki Anumerga.
"Silakan, Nak Jaka. Silakan!" sambut Ki Anumerga.
"Ah. Terima kasih, Ki. Kuharap Ki Anumer-
ga tidak tersinggung." Jaka merasa tidak enak.
Permintaan Jaka terdengar ganjil di telinga
Mayang Sutera dan lelaki berpakaian putih. Na-
mun Mayang Sutera tidak ingin bertanya. Nanti
pun dia akan tahu keanehan itu.
"Aku tidak apa-apa, Nak Jaka. Aku keluar.
sekarang saja," ucap Ki Anumerga.
Sepeninggal Ki Anumerga, Jaka segera me-
natap wajah lelaki berpakaian putih di hadapan-
nya. "Aku melihat keanehan pada dirimu, Kisanak. Tapi sebelum kau memperkenalkan
nama- mu, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kau
bersedia menjawab?" tanya Jaka.
"Tentu saja Raja Petir," ucap lelaki buruk rupa. Lelaki berpakaian putih itu
tahu lelaki mu-da yang telah menyelamatkan nyawanya adalah
tokoh yang memang diharapkan dapat membe-
baskan Harum Seroja dan ibunya. Juga mence-
gah terjadinya penguasaan Goa Teratai oleh Tiga Iblis Sakti yang akan berakibat
terjadinya pergo-lakan di rimba persilatan. Lelaki buruk rupa
mengenali Jaka sebagai Raja Petir. Ini terlihat dari ciri-ciri yang sering
diucapkan tokoh-tokoh persilatan kenalannya, dan dari penduduk yang per-
nah menyaksikan sepak terjang Jaka.
Jaka menatap wajah lelaki buruk rupa
dengan tajam. Lalu dari mulutnya mengalir per-
tanyaan yang sedikit pun tidak terpikirkan
Mayang Sutera. "Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Kenapa
mengenakan topeng buruk itu?" tanya Jaka tenang. Rasa kaget sesaat terlihat pada
wajah lelaki berpakaian putih. Tapi kemudian dia mampu
menguasai perasaannya. Dengan lancar dijawab-
nya pertanyaan Jaka.
"Namaku Yudistira, Ketua Perguruan Pe-
dang Kumala," jawab lelaki buruk rupa yang ter-
nyata Yudistira. Tangannya lalu melepas topeng
karet tipis dari wajahnya. Sebuah penyamaran
yang nyaris sempurna.
Setelah melepas topengnya, cerita Yudistira
pun mengalir. Pemuda itu menceritakan tujuan
penyamarannya, juga musibah yang menimpa
Perguruan Kepodang Emas dari kekejaman Tiga
Iblis Sakti yang hendak merebut Lempengan Tera-
tai Emas, sebuah benda berbentuk bunga teratai
yang berfungsi sebagai alat pembuka pintu Goa
Teratai. Diceritakan pula bahwa di Goa Teratai
tersimpan ramuan keabadian berkhasiat menja-
dikan orang muda kembali dan tak akan pernah
mati. Sebuah pedang pusaka yang bernama Pe-
dang Bemang Salju dan harta karun yang tak ter-


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nilai harganya.
Mendengar cerita Yudistira, Jaka sempat
tertawa dalam hati. "Ramuan keabadian?" batin Jaka. "Apa ada ciptaan manusia
yang mampu mencegah kodrat yang telah digariskan Yang Ku-
asa" Mustahil! Tak ada orang tak akan mati. Ke-
matian adalah sesuatu yang sudah digariskan
sang Pencinta Jagad Raya untuk manusia yang
telah diberi kehidupan," lanjut suara hati Jaka.
"Kau percaya dengan ramuan keabadian
itu, Yudis?" tanya Jaka ingin tahu tanggapan lelaki berpakaian putih berwajah
tampan itu. "Entah, Raja Petir. Yang kuyakini kematian adalah suatu keharusan bagi manusia,"
jawab Yudistira.
"Kau benar, Yudis. Tak ada manusia yang
dapat mengelak dari kematian yang memang di-
takdirkan sang Pencipta dunia," ulas Jaka.
Mayang Sutera mengangguk membenarkan
ucapan kekasihnya.
"Raja Petir," panggil Yudistira.
"Jangan panggil aku dengan julukan itu,
Yudis," pinta Jaka.
"Ah, maaf. Kuharap kau suka kalau aku
panggil Jaka saja," timpal Yudistira.
"Tentu saja tidak. Aku malah mengingin-
kan panggilan itu," putus Jaka. "Katakanlah apa yang ingin kau ucapkan."
Yudistira memandang wajah Jaka dan
Mayang Sutera. "Sebenarnya suatu keberuntungan besar aku bertemu dengan sepasang
pende- kar yang begitu digdaya. Aku bermaksud menga-
jak kalian membebaskan kekasihku Harum Sero-
ja, dan ibunya yang ditawan Tiga Iblis Sakti. Dan mencegah kepergian Tiga Iblis
Sakti ke Goa Teratai untuk mengambil isi goa itu," pinta Yudistira.
"Kalau benda-benda yang berada di dalam Goa Teratai sampai dikuasai, malapetaka
bagi kehidupan orang-orang rimba persilatan, juga para penduduk."
Jaka tidak segera menjawab. Tapi itu tidak
berarti penolakan. Jaka merasa ini adalah seba-
gian dari tugasnya memberantas setiap bentuk
keangkaramurkaan di jagad ini.
"Sepenuhnya aku akan membantumu, Yu-
dis. Namun jangan terlalu berharap banyak dari
kami berdua. Kami adalah manusia yang memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Jadi kita sama-
sama berusaha dan berdoa," ucap Jaka bijaksa-
na. Yudistira terharu dengan ucapan pendekar
muda yang digdaya itu, hingga tak terucap lagi
kata-kata yang hendak disampaikannya.
"Ke mana kita harus berangkat sekarang,
Kakang Yudis?" tanya Mayang kemudian.
Yudistira menatap wajah Mayang Sutera.
"Kita ke Perguruan Kepodang Emas, Nini Mayang.
Semoga belum terjadi apa-apa di sana," jawab Yudistira.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang saja Yudis. Jauhkah letak Perguruan
Kepodang Emas?", tanya Jaka.
"Tidak, Jaka. Hanya membutuhkan waktu
tidak lebih dari setengah hari perjalanan biasa,"
jawab Yudistira.
"Ayolah kita berangkat," putus Mayang Sutera. "Ayolah!" sambut Yudistira.
Jaka, Mayang Sutera dan Yudistira mohon
diri pada Ki Anumerga. Ketiganya lalu bergerak
cepat menuju Desa Walang Teter.
*** Karena Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira
menggunakan ilmu lari cepat menuju Desa Wa-
lang Teter, tidak heran perjalanan setengah hari bisa dipersingkat menjadi
setengahnya. Di depan ketiganya kini terbentang mulut Desa Walang Teter. Dengan
langkah tenang Jaka dan Mayang
Sutera memasuki Desa Walang Teter. Namun ke-
tenangan tidak terlihat pada langkah Yudistira.
Ketua Perguruan Pedang Kumala itu kelihatan te-
gang. "Kakang Yudistira!" teriak seseorang dari arah depan. Sosok itu adalah
murid Perguruan
Kepodang Emas yang masih tersisa. Lelaki itu
berlari tergesa-gesa memburu Yudistira.
"Aku sudah tahu semuanya," ucap Yudistira mencoba menenangkan lelaki berpakaian
biru di hadapannya. "Tapi, Kakang...."
Yudistira tidak berusaha memotong kem-
bali ucapan lelaki berpakaian biru ketika mem-
perhatikan kecemasan di wajahnya semakin ken-
tara. "Ceritakan apa yang telah diperbuat iblis-iblis itu terhadap Harum Seroja
dan Nyi Randa,"
pinta Yudistira.
"Nyi Randa sudah tiada," jelas murid Perguruan Kepodang Emas.
"Ah!" tersentak Yudistira mendengar pem-beritahuan itu. "Bagaimana dengan
Harum?" ta-nyanya mengkhawatirkan gadis yang dicintainya.
"Dia..., dia...," lelaki berpakaian biru agak gugup saat ingin memberitahukan
keadaan putri Ki Bajang Genta.
"Katakan cepat! Apa yang terjadi pa-
danya"!" pinta Yudistira.
"Sabar, Yudis," relai Jaka melihat Yudistira begitu mendesak lelaki berpakaian
biru. "Hhh....!" murid Perguruan Kepodang Emas
itu menarik napas panjang. "Seroja dibawa lari iblis-iblis laknat itu, Kakang,"
jelas lelaki berpakaian biru setelah mampu menenangkan hatinya.
"Keparat!" maki Yudistira.
"Mereka berlari ke arah utara, Kakang. Ku-
duga mereka sudah mendapatkan yang dicarinya
dan menyandera Harum Seroja sebagai penunjuk
jalan," sambung lelaki berpakaian biru.
"Sebenarnya tanpa menyandera Harum Se-
roja iblis-iblis laknat itu sudah dapat menemukan letak Goa Teratai. Pada
Lempengan Teratai emas
sudah ada petunjuk letak goa tersebut. Hhh...!
Dasar Iblis Bejat!" rutuk Yudistira.
"Sudah lama iblis itu membawa lari Ha-
rum, Kisanak?" tanya Mayang Sutera tiba-tiba.
"Belum begitu lama, Nini," jawab murid Perguruan Kepodang Emas.
"Kalau begitu, kita kejar mereka. Ke arah
utarakan?" timpal Jaka memberi saran.
"Ayolah! Moga-moga kita dapat mengejar-
nya, dan Harum belum diperlakukan secara tidak
wajar," sambut Yudistira cemas.
"Ayo cepat, Kakang. Jangan kita mem-
buang-buang waktu," ujar Mayang Sutera, lalu melesat meninggalkan Desa Walang
Teter. Yudistira segera menghentakkan kaki. Di-
ikuti gerakan Jaka yang begitu ringan dan sem-
purna dalam menggunakan ilmu lari cepatnya.
"Hup!"
"Hop!"
Tiga sosok tubuh melesat cepat meninggal-
kan lelaki berpakaian biru dengan menggunakan
ilmu lari cepat yang sudah mencapai taraf sem-
purna, terutama Jaka alias Raja Petir.
*** Jarak puluhan pal sudah ditempuh Jaka,
Mayang Sutera, dan Yudistira. Tapi mereka belum menemukan tanda-tanda keberadaan
Tiga Iblis Sakti yang telah melarikan putri tunggal Ki Ba-
jang Genta. "Hhh...!"
Terdengar tarikan napas kekecewaan di se-
la-sela lari Yudistira.
"Tenang, Yudis," ujar Jaka mencoba menenangkan Yudistira. "Kita pasti bisa
mengejar iblis-iblis itu. Yakinlah!"
"Betul, Kakang Yudis," timpal Mayang Sutera. "Apalagi kalau kita tingkatkan
kecepatan lari kita. Ayo, Kakang!"
Mayang Sutera si Dewi Payung Emas me-
nambah kecepatan larinya. Tubuhnya kini berada
paling, depan. Yang dilakukan Mayang Sutera
membuat Yudistira kagum. Tanpa banyak cakap,
Yudistira menambah kecepatan larinya, diikuti
Jaka. "Itu mereka!" ucap Jaka setelah jarak puluhan pal dilaluinya.
"Tenang, Yudis dan kau Mayang," ujar Ja-ka mengingatkan. "Kita harus mengatur
jarak agar tidak tahu keberadaan kita," lanjut Jaka.
"Langsung kita cegah saja keinginan mere-
ka, Jaka," usul Yudistira tak sabar.
"Tidak, Yudis. Kita harus mengikutinya
sampai mereka menemui Goa Teratai. Aku juga
ingin tahu Goa Teratai itu," larang Jaka.
"Terserah kaulah. Yang penting kita jangan sampai kehilangan jejak," ucap
Yudistira dengan tatapan mata tak lepas dari tiga lelaki bertongkat yang tengah
berlari sambil mencekal pergelangan tangan gadis berpakaian merah dadu. "Tentu
saja tidak, Yudis," hibur Jaka.
Ketiga tokoh muda rimba persilatan golon-
gan putih itu kembali bergerak dengan menjaga
jarak yang cukup jauh. Kecuali jika akan berke-
lok, maka mereka mempercepat larinya agar tidak kehilangan jejak.
Tapi baru tiga penanakan nasi Jaka,
Mayang Sutera, dan Yudistira menguntit Tiga Iblis Sakti, mendadak ketiganya
menghentikan lari
mereka ketika mendengar suara tawa menggele-
gar sambung-menyambung.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Jaka, Mayang Sutera juga Yudistira mera-
patkan diri ke sebatang pohon besar. Sepasang
mata mereka memperhatikan keadaan yang akan
terjadi. Ketika suara tawa itu hilang, nampak berkelebat bayangan kecoklatan
menghadang lari Ti-
ga Iblis Sakti.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
"Dua Setan Muka Ular"!" teriak orang termuda Tiga Iblis Sakti. "Mau apa kalian
mengha- dang perjalananku?" tanya Iblis Tongkat Merah geram. "Hmh...!"
Dua lelaki berpakaian coklat yang dipanggil
Dua Setan Muka Ular menggeram bersamaan.
"Apa kau pikir cuma Tiga Iblis Sakti yang
menginginkan Lempengan Teratai Emas?" tanya orang tertua Dua Setan Muka Ular.
Lelaki berwajah tirus mirip ular itu mencorongkan matanya ke wajah Sancasona.
"Kami juga menginginkannya.
Sudah lama sekali hal itu kami impikan. Seka-
ranglah kesempatan yang paling baik. Kudengar
kau sudah memperoleh lempengan itu dengan
membinasakan seluruh isi Perguruan Kepodang
Emas," lanjut orang tertua Dua Setan Muka Ular.
"Kalau kau menginginkan lempengan itu,
berarti kematianlah yang kalian cari!" sentak Sancasona keras.
"Jangan meremehkan Dua Setan Muka
Ular, Iblis Gila!" balas orang kedua dari Dua Setan Muka Ular berang.
Merah seluruh permukaan wajah Sancaso-
na ketika julukannya diganti dengan Iblis Gila.
"Kakang Parada! Sumbat mulut busuk itu!"
ucap Sancasona keras. "Biar Kakang Sandala yang menjaga gadis itu."
Parada si Iblis Tongkat Biru segera melesat
menghadapi orang kedua dari Dua Setan Muka
Ular. "Akan kubelah kepalamu dengan tongkat-mu, Setan Dekil!" maid Parada.
"Hiaaa...!"
Serbuan Parada ke arah orang kedua dari
Dua Setan Muka Ular ternyata diikuti Sancasona.
Lelaki muda berpakaian merah darah itu melesat
cepat menuju orang pertama Dua Setan Muka
Ular. "Hiyaaa...!"
7 Pertarungan antara Dua Setan Muka Ular
menghadapi Sancasona dan Parada berlangsung
dalam tempo tinggi. Tampaknya mereka ingin per-
tarungan cepat selesai. Tak heran jika pertarungan cepat itu tidak dapat
disaksikan dengan mata biasa. Bayang biru, merah, dan hitam berlesatan cepat.
Teriakan dan bunyi senjata yang luput dari sasaran berbaur jadi satu.
Bagi Dua Setan Muka Ular mungkin inilah
pertarungan yang paling dahsyat. Hanya dalam
waktu singkat mereka berdua harus mengelua-
rkan jurus-jurus andalan. Itu dilakukan Dua Se-
tan Muka Ular agar tak menemui kekalahan da-
lam waktu singkat.
Begitu juga Sancasona dan Parada. Mereka
tidak menyangka Dua Setan Muka Ular mampu
mengimbangi jurus-jurus mereka yang terkenal
dahsyat. "Mampus kau, Setan!" teriak Sancasona seraya melayangkan tongkat ke arah kepala
lawan. Wukkk...! Bunyi bergemuruh mengiringi datangnya
sambaran tongkat yang terangkum dalam jurus
'Pukulan Lelang Nyawa'. Begitu dahsyat serangan Iblis Tongkat Merah. Namun yang
lebih mengagumkan gaya mengelak yang dilakukan lawan.
"Uts!"
Dengan meliuk seperti seekor ular, tubuh
orang pertama Dua Setan Muka Ular bergerak
lincah menghindari tebasan tongkat merah San-
casona. Liukan gemulai itu dibarengi dengan ge-
rakan tangan menotol tanah. Kemudian melompat
ke atas dan berputaran dua kali.
Jlig! Tubuh orang pertama yang beralis kemera-
han itu mendarat ringan di tanah. Sementara ma-
tanya menatap Sancasona dengan tatapan mele-
ceh. "Tak semudah yang kau inginkan untuk menjatuhkan Dua Setan Muka Ular, Iblis
Dungu!" ejek lelaki beralis kemerahan memanaskan hati
Iblis Tongkat Merah.
"Kurejam mulut busukmu, Setan Buduk!"
balas Sancasona memaki.


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brut!"
Bukan main jengkelnya Sancasona me-
nyaksikan kelakuan orang tertua Dua Setan Mu-
ka Ular. Lelaki beralis kemerahan itu tiba-tiba
membalikkan tubuh dan menyorongkan pantat-
nya hingga menimbulkan bunyi yang keluar dari
lubang dubur. Dia kentut.
"Setan gila!" maki Sancasona geram.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang waktu Iblis Tongkat Me-
rah kembali melesat. Tongkat merahnya teracung
ke udara. Wukkk! "Heh"!"
Terkejut lelaki beralis merah mendapatkan
serangan Sancasona. Serangan itu lain dari se-
rangan sebelumnya. Serangan Sancasona terang-
kum dalam jurus 'Tongkat Pemecah Gelombang'.
Menyebarkan hawa dingin menyengat yang dira-
sakan orang tertua dari Dua Setan Muka Ular se-
perti membungkus kulitnya.
"Iblis!" maki lelaki beralis kemerahan.
Srat! Wukkk! Wukkk! Wukkk...!
Orang pertama dari Dua Setan Muka Ular
membabatkan pedang ularnya untuk mengusir
hawa dingin. Pekerjaan yang dilakukannya ter-
nyata tidak sia-sia. Hawa dingin itu dapat diusir dari tubuhnya. Namun pada saat
itu Sancasona kembali melancarkan serangan.
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Trang! "Aaakh!"
Percikan bunga api tercipta ketika bentu-
ran sebilah pedang dan sebatang tongkat terjadi.
Pekik kesakitan pun menyemaraki suara dentang
senjata. Dua sosok tubuh yang mengadu kekua-
tan tenaga dalam itu tergempur mundur.
Setan Muka Ular yang menggunakan pe-
dang ular tergempur, sedangkan Sancasona si Ib-
lis Tongkat Merah hanya beringsut dua langkah.
Dari kejadian itu bisa disimpulkan kalau kekua-
tan tenaga dalam Iblis Tongkat Merah lebih tinggi.
Jaka Sembada yang menyaksikan perta-
rungan dari tempat terlindung, dapat memastikan pertempuran Sancasona melawan
orang tertua dari Dua Setan Muka Ular akan berkesudahan
dengan unggulnya Iblis Tongkat Merah. Pemuda
itu melihat keunggulan Sancasona dalam bera-
gam gerakan yang dimiliki, di samping kelebihan daya tahan tubuh, dalam hal ini
pernapasannya terlihat begitu sempurna.
Dengan tergempurnya Dua Setan Muka
Ular, Sancasona semakin menambah keganasan
serangannya. "Kau harus mampus di tanganku, Setan
Usil!"' bentak Iblis Tongkat Merah. Kakinya kemudian menghentak ke tanah, dan
tongkatnya yang sudah hilang bentuk berputar-putar di uda-
ra. Wukkk! Wukkk! Wukkk..!
Bret! "Uts!"
Sebisanya orang tertua Dua Setan Muka
Ular membanting tubuhnya menghindari samba-
ran tongkat merah Sancasona yang terarah ke ba-
tok kepalanya. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu bergulingan di tanah.
Melihat lawannya bergulingan, Sancasona
tidak mau membuang kesempatan baik. Pemuda
itu segera menggeser kakinya. Lalu bersiap-siap memberikan serangan susulan yang
bernama 'Tongkat Iblis Memanggang Kepala'. Maka....
Sing...! Di luar dugaan Jaka, Sancasona melempar
tongkat merah berkeluk sembilannya dengan ke-
kuatan penuh. Cab! Tongkat merah itu membenam di tanah se-
jengkal dari kepala Dua Setan Muka Ular. Namun
tidak terlihat kekecewaan di wajah Sancasona
melihat serangannya gagal. Juga ketika tiba-tiba orang tertua dari Dua Setan
Muka Ular mencekal
gagang tongkat merahnya, Sancasona hanya ter-
senyum. "Akh!"
Suara pekikan terdengar ketika telapak
tangan Dua Setan Muka Ular menggenggam sen-
jata Iblis Tongkat Merah. Tenaganya seperti terse-dot kekuatan yang ada pada
tongkat. Semakin dia berusaha melepaskan pegangan, semakin kuat
daya sedot yang dirasakan. Apalagi ketika berniat mencabut tongkat yang terbenam
di tanah itu. "Akh!" lagi-lagi teriakan keluar dari mulut Dua Setan Muka Ular.
"Mampus kau sekarang, Setan! Hiyaaa...!"
Sancasona melejit cepat bagai kilat. Kekua-
tannya yang bertumpu pada kaki kanan menen-
dang lurus. Akibatnya....
Buegkh "Aaa...!"
Tubuh Dua Setan Muka Ular terpental de-
ras. Tendangan kaki kanan Sancasona mendarat
telak di dada. Lelaki tertua dari Dua Setan Muka
Ular merasakan tulang-tulang dadanya melesak
ke dalam hingga menembus jantung.
Bruk! "Hoekh!"
Dua Setan Muka Ular ambruk ke tanah
dengan muntahan darah yang tak terbendung.
Sesaat lelaki berpakaian coklat itu tersengal. Dan selanjutnya sudah mengejang
di tanah. Nyawa
orang tertua Dua Setan Muka Ular pergi mening-
galkan raga. Benar dugaan Jaka kemenangan akhirnya
berpihak pada Iblis Tongkat Merah. Sebenarnya
Jaka tidak tega melihatnya. Tapi untuk melaku-
kan pertolongan rasanya tidak mungkin. Tokoh-
tokoh golongan hitam itu bisa berbalik menye-
rangnya. Kemudian melanjutkan pertarungan
memperebutkan Lempengan Teratai Emas.
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali mengudara. Kali
ini akibat tertembusnya kepala orang kedua dari Dua Setan Muka Ular yang
bertarung menghadapi Iblis Tongkat Biru. Tombak biru berkeluk sembilan tampak
membenam tepat di ubun-ubun
Dua Setan Muka Ular. Tubuh lelaki itu terbujur
kaku tanpa nyawa.
"Hhh...," Parada menarik napas. Langkahnya terayun mendekati Sancasona dan
Sandala yang tengah menawan Harum Seroja.
"Sebaiknya kita segera ke Goa Teratai, Ka-
kang. Sebelum kita jumpai lagi tokoh-tokoh yang berniat merebut Lempengan
Teratai Emas," ucap Sancasona pada Parada dan Sandala.
"Begitulah lebih baik," sambut Iblis Tongkat Hitam yang tidak ikut bertarung.
"Betul! Kita harus lebih dulu mendapatkan
isi goa itu. Setelah itu kita siap menghadapi tantangan dari tokoh mana pun,
untuk memperta-
hankan dan memamerkan apa yang telah kita pe-
roleh. Ayo kita berangkat sekarang," timpal Iblis Tongkat Biru.
Tiga Iblis Sakti kembali melanjutkan perja-
lanan mereka menuju Goa Teratai. Ketiganya
menggunakan ilmu lari cepat. Sementara gadis
cantik berpakaian merah dadu yang menjadi ta-
wanan mereka berada di atas pundak Iblis Tong-
kat Hitam. Gadis cantik kekasih Yudistira itu
menjadi lemah karena beberapa bagian tubuhnya
telah ditotok. Raja Petir, Mayang Sutera, dan Yudistira
yang telah memperhatikan gerak-gerik Tiga Iblis Sakti segera bergerak cepat
menguntit perjalanan tiga lelaki tokoh sesat itu menuju Goa Teratai.
8 Hari menjelang sore ketika langkah-
langkah Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira terus bergerak cepat dan ringan.
Langkah tanpa suara
itu untuk mencegah terciumnya jejak mereka
mengikuti perjalanan Tiga Iblis Sakti. Peluh ber-ceceran di kening Yudistira.
Pakaian Pimpinan
Perguruan Pedang Kumala itu basah oleh kerin-
gat. Ketika matahari telah bergeser ke barat, ti-
ga lelaki yang berjuluk Tiga Iblis Sakti menjejak-kan kaki di Bukit Teratai.
Sebuah tempat yang lebih tinggi dari dataran di sekelilingnya. Ditumbuhi pohon-
pohon besar dan semak belukar yang
merambat dan menumpang hidup pada pohon-
pohon yang lain. Bukit Teratai hampir tidak pernah didatangi manusia, paling
tidak dalam waktu puluhan purnama.
"Menurut tulisan yang tertera pada Lem-
pengan Teratai Emas di sinilah letak Goa Teratai, Kakang," ucap Iblis Tongkat
Merah. Bola matanya beredar mengelilingi sudut-sudut Bukit Teratai.
Iblis Tongkat Hitam memperhatikan Lem-
pengan Teratai Emas yang disodorkan Sancasona.
"Betul. Tapi kita harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin daerah sekitar Goa
Teratai banyak terdapat jebakan maut," tukas Iblis Tongkat Hitam memperingatkan.
"Kau betul, Kakang Sandala," ujar Iblis Tongkat Biru membenarkan.
"Kalau begitu bebaskan gadis cantik itu da-ri totokanmu, Kakang Sandala,"
perintah Sancasona. Iblis Tongkat Hitam segera menurunkan
tubuh Harum Seroja yang berada dalam pondon-
gannya. "Kau ingin membebaskan dia sebagai um-
pan?" selidik Iblis Tongkat Biru.
Yudistira yang menyaksikan pemandangan
itu dari tempat tersembunyi menjadi cemas akan
keselamatan kekasihnya. Yudistira tidak tega me-
nyaksikan tubuh Harum Seroja digeletakkan begi-
tu saja di tanah.
"Hhh...."
Yudistira menarik napas khawatir.
"Tenanglah, Yudis," bisik Jaka menenangkan Yudistira. "Kita akan bergerak kalau
mereka hendak berbuat macam-macam pada Harum."
"Akh!"
Terdengar lenguhan tertahan ketika Iblis
Tongkat Hitam melepaskan totokan di tubuh Ha-
rum Seroja. Gadis cantik berpakaian merah dadu
itu tampak bergerak-gerak. Matanya memandang
marah pada tiga lelaki di hadapannya.
"Bunuh saja aku. Mengapa kalian bawa
aku ke tempat ini"!" bentak Harum Seroja ketika telah mampu bangkit.
"Siapa yang sudi membunuh gadis cantik
sepertimu, heh"!" tanya Sancasona dengan men-gerling genit. "Kau akan kujadikan
pendamping hidupku!"
"Setan!" maki Yudistira dalam hati mendengar ucapan Iblis Tongkat Merah.
Kupecahkan kepalamu nanti.
Sementara Jaka dengan mata tak berkedip
memandang kejadian itu. Raja Petir telah bersiaga untuk segera memberi
pertolongan, jika Tiga Iblis Sakti melakukan perbuatan tak senonoh pada
gadis itu. "Katakan! Apa kau pernah menjelajahi
tempat ini?" tanya Parada.
"Huh! Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
dengus Harum Seroja kesal.
"Goblok! Jangan rewel. Katakan saja!" bentak Parada naik darah.
Harum Seroja tidak berkata-kata lagi men-
dengar bentakan Parada yang cukup keras.
"Baiklah. Kuyakini di tempat ini banyak
terdapat jebakan maut. Nah! Kalau kau tidak mau menjawab, sekarang juga tubuhmu
akan kulem-par ke depan sana untuk menguji apakah ada je-
bakan atau tidak"!" gertak Parada.
"Aku belum pernah menginjak daerah ini,"
jawab Harum Seroja.
"Hm.... Bagus," puji Sancasona. Lelaki berjubah merah itu lalu membungkuk meraih
rant- ing kayu yang cukup besar. Dilemparkannya
ranting itu ke sebuah jalan yang diapit dua pohon jati yang cukup besar.
Gusrak! Terdengar bunyi berderak ketika ranting
yang dilempar Sancasona jatuh di semak-semak.
Tiba-tiba.... Zzzsss! Zzzsss...!
Dua ekor ular sebesar paha keluar dari ba-
lik semak-semak. Ular-ular itu mengangkat tu-
buhnya tinggi-tinggi ketika penciuman dan mata mereka menangkap sosok asing
menginjak Bukit
Teratai. "Cuma dua ekor ular besar, Kakang," ucap Sancasona.
"Biar aku yang menangani ular-ular berbi-
sa itu," ucap Sandala.
Lelaki berjubah hitam itu melangkah maju
dengan tongkat menuding ke arah kedua ular be-
sar itu. "Seranglah aku!" perintah Sandala keras.
Ular-ular itu seolah mengerti ucapan San-
dala. Begitu suara Iblis Tongkat Hitam lenyap,
ular-ular itu seperti terbang menyerang Iblis
Tongkat Hitam. Wukkk! Bletak! Crot! Hanya sekali Iblis Tongkat Hitam mengi-
baskan senjatanya, tapi akibatnya cukup menga-
gumkan. Serangan dua ular besar itu mampu di-


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halau. Kedua binatang melata itu menggeletak di tanah dengan kepala pecah dan
bolong. "Menurut perkiraanku tidak ada perangkap
yang terpasang. Jadi kita bisa melintasinya sekarang juga," ucap Sancasona.
"Mudah-mudahan begitu," timpal Sandala.
"Namun kita harus tetap meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan."
"Itu memang sudah keharusan, Kakang,"
sambut Sancasona seraya melangkah memasuki
jalan yang terapit dua pohon jati.
Sandala dan Parada yang memegang tan-
gan Harum Seroja mengikuti langkah Sancasona
dengan kewaspadaan penuh. Empat sosok tubuh
itu memasuki Bukit Teratai lebih jauh. Sementara Jaka, Mayang Sutera, dan
Yudistira mengikuti
pada jarak yang sama.
*** Setelah berjalan lima pal ke dalam Bukit
Teratai, di depan Tiga Iblis Sakti membentang dataran rumput yang tidak seberapa
luas. Panjang dan lebarnya tidak lebih dari empat dan lima batang tombak.
"Di situlah letak Goa Teratai, Kakang,"
ucap Sancasona seraya memperhatikan Lempen-
gan Teratai Emas di genggamannya.
"Ya. Mudah-mudahan kau tidak keliru me-
nerjemahkan petunjuk yang tertera pada lempen-
gan itu, Sanca," ucap Iblis Tongkat Hitam.
"Kalau begitu, mungkin saja letak Goa Te-
ratai berada di dalam tanah," ucap Sancasona la-gi.
"Kita dekati saja daerah padang rumput
itu," saran Iblis Tongkat Biru.
Tanpa melemparkan sanggahan, Sancaso-
na bergerak menuju tanah datar berumput di ha-
dapannya. "Kakang...!" teriak Sancasona ketika melihat sesuatu di tengah tanah berumput
itu. Parada dan Sandala segera menghampiri
Sancasona yang tengah mengorek-ngorek tanah
dengan jari tangannya.
"Ini pasti Goa Teratai. Aku lihat di dalam tanah ini ada sebuah lempengan logam
tebal. Mungkin pintu goa," tukas Sancasona. "Ayo kita singkap tanah ini lebih lebar."
Parada dan Sandala pun ikut mengorek-
ngorek tanah. "Sancasona, lihat!" ucap Parada. Di atas logam baja itu terdapat gambar teratai
yang menon- jol ke dalam. Besarnya sama dengan Lempengan
Teratai Emas. Sancasona segera melihat hasil penemuan
Parada. "Kau betul, Kakang. Coba kupasang Lem-
pengan Teratai Emas ini," putus Sancasona. Tangannya kemudian bergerak ke arah
gambar lem- pengan teratai yang terdapat di dinding baja.
Namun belum lagi tangan Sancasona yang
memegang Lempengan Teratai Emas menyentuh
dinding baja, sesosok bayangan kuning tiba-tiba melesat.
Jlig! Sosok kuning keemasan itu berdiri tegak di
depan Tiga Iblis Sakti.
"Jangan mimpi kalian akan mendapatkan
isi Goa Teratai, Kisanak!" ucap sosok berpakaian kuning keemasan yang tidak lain
Raja Petir. Jlig! Jlig...! Begitu ucapan Jaka selesai, Mayang Sutera
dan Yudistira melesat dari tempat persembunyian dan berdiri tegak di samping
Jaka. Sancasona yang memang tidak mengha-
rapkan kedatangan orang lain marah bukan
main. Saat itu juga dia mengurungkan niatnya
menempelkan Lempengan Teratai Emas pada
permukaan dinding baja.
"Setan! Bocah usil! Berani betul kau men-
gusik pekerjaanku!" bentak Iblis Tongkat Merah.
"Aku tidak akan berbuat usil kalau kalian
tidak mengganggu kehidupan orang lain, kehidu-
pan gadis itu!" balas Jaka dengan tenang.
"Cari mampus!" bentak Parada menimpali kemarahan Sancasona.
"Mati tidak bisa dicari, Kisanak. Tapi kematian memang sudah ditakdirkan sang
Penguasa Alam ini," sanggah Jaka. "Mudah-mudahan hari inilah batas kehidupan kalian!"
"Bedebah laknat! Berani kau meremehkan
Tiga Iblis Sakti?" hardik Parada jengkel.
"Sancasona, perhatikan lelaki muda itu,"
ucap Iblis Tongkat Hitam yang tidak terpancing
kemarahan. "Bukankah ciri-cirinya mirip tokoh muda yang akhir-akhir ini menjadi
momok orang-orang rimba persilatan, khususnya golongan ki-
ta?" "Raja Petir, maksudmu?" '
"Ya. Dia pasti Raja Petir," sahut Sandala.
"Hm.... Pantas dia berani bicara sombong seperti itu," ucap Sancasona.
"Hei...! Kenapa kalian berbisik-bisik" Se-
dang merundingkan tanah untuk tempat mengu-
burkan bangkai kalian"!" ejek Jaka menyaksikan percakapan pelan Sancasona dan
Sandala. "Sudah lama sekali Tiga Iblis Sakti ingin
bertemu dengan tokoh muda sepertimu. Raja Pe-
tir. Sekarang, pucuk dicinta ulam tiba. Karena kau yang mencari kami, itu
berarti kematian sesaat lagi akan menjemputmu," ucap Sancasona meremehkan.
"Aku tidak yakin dengan ucapanmu," bantah Jaka.
"Kita buktikan saja!" ucap Sancasona lantang.
"Benar," timpal Jaka. "Tapi jangan menyesal kalau isi Goa Teratai akhirnya
menjadi bagian-ku." "Cuh!"
Sancasona membuang ludah ke tanah.
Kemudian kakinya bergerak maju satu langkah.
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Lelaki berjubah merah itu melejit cepat ba-
gai kilat. Tongkat merah berkeluk sembilannya
berada di udara melewati kepala. Dan terayun deras ke kepala Raja Petir.
Wukkk! "Uts!"
Jaka melompat menghindari sambaran
Sancasona yang menimbulkan hawa dingin cukup
kuat. Serangan pembuka Iblis Tongkat Merah
mampu dielakkan Jaka. Tapi lelaki muda berpa-
kaian merah itu tidak mau membiarkan buruan-
nya lolos. Seketika itu juga serangan keduanya
menyusul tak kalah ganas.
"Mampus kau. Raja Sundel!"
Wukkk! "Hop!"
Mendapat serangan ganas yang begitu ce-
pat. Jaka segera mengeluarkan jurus 'Lejitan
Lidah Petir'. Akibatnya, semua serangan yang dilancarkan Iblis Tongkat Merah
selalu membentur
tempat kosong. Hingga Sancasona semakin mur-
ka. Jurus-jurus andalannya segera disajikan un-
tuk membungkam kegesitan Jaka.
"Hiyaaa...!"
Iblis Tongkat Merah kembali meluruk ma-
ju. Kali ini tongkatnya tidak digunakan untuk
menyerang. Tangannya yang terkepal kuat me-
layang ke arah dada Jaka.
Bet! "Uts!"
Dugkh! "Heh!"
Jaka terkejut ketika mendapati gerakan
Sancasona hanya tipuan belaka. Ternyata tongkat merah juga menjadi andalan utama
lawannya. Sa-tu sodokan tongkat yang mendarat di bahunya
memperlihatkan tanda cukup jelas ketika Jaka
menyingkap pakaiannya. Dilihatnya tanda keme-
rahan pada kulit bahu.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba Sancasona tertawa keras. "Kau rasakan ilmu 'Tongkat
Merah Beracun'ku. Raja Geblek! Sepeminum teh lagi nyawa-
mu akan melayang ke neraka!" ucap Sancasona jumawa.
Jaka tidak menimpali ucapan Sancasona.
Pemuda itu menunggu kebenaran ucapan Iblis
Tongkat Merah sampai sepeminum teh yang di-
janjikan. "Bagaimana, Iblis" Apa kau lihat tubuhku
tergeletak jadi bangkai setelah sepeminum teh
yang kau katakan?" ejek Jaka ketika waktu yang dijanjikan Sancasona telah lewat.
"Hmh...!"
Iblis Tongkat Merah menggeram melihat
keadaan Jaka tidak berubah sedikit pun. Sung-
guh tidak disangka kalau Jaka mampu bertahan
dari pukulan 'Tongkat Merah Beracun', yang se-
lama ini diyakini selalu meminta nyawa dalam
waktu singkat. Tapi kenyataannya"
"Kau memang hebat. Raja Gendeng! Tapi
apa kau mampu menahan ajian 'Iblis Murka'" Ke-
luarkan seluruh kepandaianmu agar tidak me-
nyesal mati di tanganku," tukas Iblis Tongkat Merah menutupi keterkejutannya
menyaksikan ke-
hebatan Raja Petir.
"Keluarkan seluruh ilmumu, Iblis Kurap,"
balas Jaka mengejek. "Aku bersedia melayanimu."
Sancasona segera melakukan gerak pem-
buka dari ajian 'Iblis Murka'. Wajah lelaki berusia dua puluh lima tahun itu
menjadi merah. Namun
sebaliknya, bagian bawah tubuhnya berubah ke-
hijauan. Jaka yang menyaksikan kejadian itu hanya
menggelengkan kepala.
"Ilmu setan," suara hatinya berujar.
"Hiyaaa...!"
Slat! Slat..! Sinar merah dan hijau berturut-turut me-
lesat dari tangan kiri Sancasona yang menghen-
tak. Dua sinar itu meluruk deras ke arah Raja Petir yang sudah siap menghalaunya
dengan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Hih!"
Wrrr...! Serangkum angin bergulung bagai pusaran
angin tercipta saat tangan Jaka menghentak. Ma-
ka.... Presss...!
"Heh"!"
Jaka terkejut menyaksikan angin pukulan-
nya tidak mampu mengusir sinar ciptaan Sanca-
sona yang terus meluruk ke arahnya. Mau tak
mau Jaka kembali mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-
dah Petir', Jaka melesat menghindari terjangan
sinar merah dan hijau.
"Heh"!"
Kembali Jaka terkejut ketika berhasil
menghindari sinar-sinar itu. Kedua sinar itu seperti memiliki mata, dan mengejar
Jaka ke mana pun dirinya melesat.
"Hebat!" puji Jaka dalam hati.
Jlig! Raja Petir segera mendarat di tanah ketika
sinar-sinar itu berhasil dijauhinya. Cepat tokoh muda yang digdaya itu
menciptakan aji 'Kukuh
Karang' untuk melindungi diri.
Maka ketika sinar merah dan hijau kembali
meluruk deras, membentur sinar kuning keema-
san yang membungkus tubuh Jaka, keanehan
seketika terlihat mengejutkan Sancasona.
Prefs! Presfs...!
Dua sinar ciptaan Sancasona seperti teng-
gelam di kemilauan sinar kuning tubuh Jaka. Ke-
nyataan itu membuat Iblis Tongkat Merah tidak
percaya. Seharusnya jika seseorang terhantam aji
'Iblis Murka,' maka saat itu juga tubuhnya han-
gus terbakar. Tapi tidak terhadap tubuh Jaka"
Karena murkanya, Sancasona bergerak memberi-
kan serangan susulan.
Jaka yang sekilas memperhatikan jalannya
pertarungan Mayang Sutera dan Sandala mence-
maskan keselamatan gadis yang dikasihinya itu.
Maka Jaka segera memutuskan untuk secepatnya
menghentikan perlawanan Sancasona.
Ketika lejitan Sancasona semakin dekat,
Jaka meloloskan Sabuk Petirnya. Dan saat perge-
langan tangannya bergerak, seberkas sinar kepe-
rakan melesat cepat ke arah tubuh Sancasona.
Slat! Glar! "Aaa...!"
Sancasona terpental balik tertahan sinar
keperakan Raja Petir melalui jurus 'Petir Membelah Malam' yang mengenai dadanya
dengan telak. Nyawa Iblis Tongkat Merah melayang meninggal-
kan raga saat itu juga.
Bruk! Jasad Sancasona jatuh ke bumi dengan
sebagian tubuh menghitam.
Kematian Sancasona sangat mengejutkan
Parada dan Sandala. Keduanya langsung meng-
hentikan serangan gencar mereka terhadap
Mayang Sutera dan Yudistira. Mereka mengham-
piri mayat lelaki berpakaian merah yang hangus
terbakar. "Sancasona! Kau.... Ah! Tidaaak!" Parada memekik kalap.
"Raja Petir!" bentak Sandala seraya menuding Jaka. "Kau harus bertanggung jawab
atas kematian saudaraku yang begitu kucintai. Kau ha-
rus menyerahkan nyawamu sekarang juga!
Hiyaaa...!"
Tubuh Iblis Tongkat Hitam mencelat den-
gan tongkat hitam berkeluk sembilan berkelebat


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat mengancam kepala Jaka.
Wukkk! Bet! "Uts!"
Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah
Petir', Jaka melejit menghindari serangan Iblis Tongkat Hitam. Namun lelaki
berjubah hitam yang sudah dirasuki iblis itu terus memburu tu-
buh Jaka. Hingga pukulan tongkatnya terpaksa
ditangkap Jaka.
Wukkk! Tap! Adegan tarik menarik pun terjadi ketika
senjata Iblis Tongkat Hitam tertangkap tangan
Jaka. Berkat penguasaan tenaga dalam Jaka yang
lebih tinggi terlihat Iblis Tongkat Hitam tertarik ke depan. Seketika itu juga
Raja Petir melepaskan
genggamannya pada ujung tombak.
Plash! Wusss! Iblis Tongkat Hitam terdorong keras ke be-
lakang. Keseimbangannya telah hilang termakan
tenaganya sendiri.
Di luar dugaan, mendadak Yudistira men-
celat menyongsong tubuh Iblis Tongkat Hitam
dengan pedang terhunus.
"Terimalah ganjaranmu, Iblis! Hiyaaa...!"
Trash! Tak ada jeritan yang terdengar ketika Pe-
dang Kumala Yudistira memenggal kepala Sanda-
la. Detik itu juga nyawa Iblis Tongkat Hitam melayang ke akherat.
Bruk! Tubuh tanpa kepala Iblis Tongkat Hitam ja-
tuh berdebum di tanah.
"Keparaaat...!"
Iblis Tongkat Biru memekik histeris me-
nyaksikan kematian Sandala. Seiring dengan pe-
kikannya, Iblis Tongkat Biru meluruk ke arah Yudistira dengan tongkat biru
berkeluk sembilan teracung di udara.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Bersamaan dengan itu, Mayang Sutera
mencelat mengejar sosok Parada dari samping
kanan. Trak! Bles! "Aaa...!"
Pekik kematian kembali terdengar. Perut
Iblis Tongkat Biru tertembus Pedang Kumala mi-
lik Yudistira. Yudistira yang ikut menyongsong serangan
Iblis Tongkat Biru segera menghujamkan tusukan
pedangnya setelah payung baja milik Mayang Su-
tera menangkis tongkat Parada. Lelaki berjubah
biru itu kini menggelepar-gelepar memegangi pe-
rutnya yang mengucurkan darah. Hanya sesaat
Iblis Tongkat Biru meregang nyawa. Saat berikutnya tubuh terbalut jubah biru itu
sudah menge- jang kaku. "Hhh...!"
Jaka menarik napas panjang. Dan Yudisti-
ra segera meraih Lempengan Teratai Emas dari
balik jubah Iblis Tongkat Merah.
"Sebaiknya lempengan ini kau yang me-
nyimpannya, Jaka," ucap Yudistira seraya menyerahkan Lempengan Teratai Emas pada
Raja Petir. Jaka menerimanya tanpa banyak bicara.
"Kakang...," Harum Seroja memburu tubuh Yudistira dan merangkulnya dengan erat.
"Kuatkan hatimu, Harum," ujar Yudistira membelai rambut gadis cantik berpakaian
merah dadu itu. "Sebaiknya kumusnahkan saja lempengan
ini agar tidak menjadi sengketa kelak di kemu-
dian hari," tukas Jaka mengejutkan Yudistira.
Namun Ketua Perguruan Pedang Kumala menya-
dari kebenaran ucapan itu.
"Kalau menurutmu itu jalan terbaik sila-
kan. Raja Petir," ucap Harum Seroja.
"Baik. Menyingkirlah kalian agak jauh,"
pinta Jaka. Lalu meloloskan pedang yang mengge-
lantung di lehernya.
Yudistira, Harum Seroja, dan Mayang Sute-
ra segera berpindah dari tempatnya. Jaka pun
mengangkat Pedang Petirnya. Seketika itu juga....
Gludug.... Gludug.... Glederg....!
Suara gemuruh terdengar di kejauhan.
Seiring dengan itu suasana di sekitar Goa Teratai semakin gelap. Lidah-lidah
petir menjilati ujung pedang milik Jaka yang memendarkan sinar kemerahan.
Dan ketika suasana kembali seperti semu-
la, tangan kiri Jaka segera melempar Lempengan
Teratai Emas tinggi-tinggi. Dan tangan kanannya yang menggenggam Pedang Petir
secepatnya men-gibas. Maka....
Trang! Trang! Trang...!
Lempengan Teratai Emas yang terbuat dari
emas murni terbelah menjadi empat bagian. Ke-
mudian dibuangnya pecahan emas itu ke empat
penjuru angin. "Terima kasih atas pertolonganmu, Raja Pe-
tir. Juga kau, Mayang," ucap Harum Seroja melangkah menghampiri sosok anggun
Mayang Su- tera. "Kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Harum," elak Mayang Sutera.
"Hari hampir malam. Sebaiknya kita ting-
galkan tempat ini sekarang," ucap Jaka.
"Kau betul, Jaka. Ayo," seru Yudistira.
Dua pasang muda-mudi itu pun bergerak
meninggalkan Goa Teratai. Angin malam yang
berhembus agak keras mengiringi kepergian me-
reka. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Eng Djiauw Ong 1 Telapak Setan Karya Khu Lung Nyai Tandak Kembang 2
^