Pencarian

Sepasang Mata Iblis 1

Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Sepasang Mata Iblis Abdullah Harahap E-Book by Ratu-buku.blogspot.com
LAKI-LAKI itu agak terhuyung ketika tubuhnya dilanda angin
keras yang bertiup-tiup kencang dengan suara bersiut-siut. Untuk
sesaat ia tertegun. Ia tanamkan jari jemari kakinya dalam-dalam
ketanah berbatu yang sudah mulai luka. Tidak ada yang
memprotes. atau marah atau mendorong-dorongkan tubuhnya.
Bahkan tidak ada yang mengusik ketika ia menarik nafas panjang
berulang-ulang, dengan mana ia bisa mengembalikan kekuatan
tubuhnya yang telah semakin lemah. Akan tetapi. kakinya sudah
tidak begitu kuat lagi mencengkeram bumi. Tubuhnya sedikit
lirnbung. Tanpa dapat ia kuasai lagi. la kemudian jatuh
terjerembab. dengan wajah yang bengkak-bengkak lebih dulu
mencium tanah. Terdengar suara bergelak yang ramai, lelaki itu mencemooh:
"bangkit bung! Kami tak sudi menguburmu di tempat ini!"
Ia menjadi sangat marah. Tetapi, dengan kedua tangan terikat
kencang di belakang tubuhnya, ia tidak dapat berbuat apa-apa,
kecuali menyumpah serapah lewat mulutnya yang berbuih oleh
ludah bercampur darah. "Apa Apa yang kau nyanyikan barusan?" dengus suara yang tadi.
"Kurang ajar!" Bunyi kalimat itu saja sudah keterlaluan. Ini,
ditambah lagi dengan sebuah jambakan yang menyakitkan di
rambutnya, sehingga kulit kepalanya bagaikan akan terkelupas
1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
seketika. Lehernya terputar mengikuti gerakan tangan yang
menjambak itu, lalu ia bisa melihat wajah yang menyeringai
hanya beberapa inci di depan biji matanya. Mereka bertatapan
sejenak. Mengadu kekuatan mental. Tetapi bagaimanapun posisi
seseorang yang bebas jelas akan menang dibandingkan dengan
posisi orang lainnya yang terhumbalang di tanah dengan kedua
tangan terikat serta sekujur tubuh sakit-sakit akibat pukulanpukulan mengerikan yang telah ia terima beberapa saat
sebelumnya. Maka, orang yang malang melintang itu hanya bisa
diam ketika wajahnya yang sudah porak puranda itu disembur
dengan air ludah yang menjijikkan.
Kepalanya kemudian dihempaskan lagi. mencium tanah becek.
Disertai dengan suara tawa yang berderai kian ramai, seolah-olah
sebuah koor yang mengiringi musik yang ditimbulkan oleh bunyi
hujan dan angin topan yang tengah menyapu seluruh daerah itu.
"Ayoh, bangun! Atau mau kutendang lagi?"
"Ah. sudahlah.." cegah yang lain. "Simpan saja tenagamu untuk
berjalan pulang ke rumah menemui binimu yang cantik!"
Baik benar ucapan orang kedua itu. Tetapi alangkah buruk
perbuatannya. la renggut tangan yang terikat itu kuat-kuat,
sampai pemiliknya terasa seperti diangkat naik ke udara. Dan
baru saja kakinya kembali menjejak tanah. la sudah didorong
dengan kasar disertai hentakan, "Ayoh. Maju!"
Laki-laki yang malang itu berusaha sekuat tenaga agar tak sampai
terjerembab lagi seperti tadi. Bukan karena tidak ingin dijambak,
diludahi atau ditendang. Tetapi karena keinginan yang sangat
keras dalam dirinya. la ingin memperlihatkan pada orang-orang
terkutuk itu bahwa ia bukan seorang yang menjadi lemah karena
dipecundangi. la harus memperlihatkan betapa ia kuat dan tabah,
dan ia harus memusatkan jiwanya untuk sebuah pembalasan
dendam yang mengerikan. Sehingga, Orang-orang itu, atau
siapapun yang bernasib malang menjadi keturunan orang-orang
itu, akan menyesal pernah hidup di dunia yang kotor dan berbau
busuk ini. 2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Kakinya berdecak-decak di tanah becek. la terhuyung karena
terantuk batu, tetapi kemudian berhasil menguasai keseimbangan
tubuh. Pelan-pelan ia berjalan diikuti oleh tiga orang laki-laki
yang tidak mengenal belas kasihan barang sepercik pun di
belakangnya. Curah air hujan sebesar butir-butir jagung tidak
saja mengayupi tubuhnya tetapi juga terasa mencabik-cabik lukaluka menganga di wajahnya. la menggigit bibir menahan sakit.
terlupa bahwa bibirnya juga sedang bengkak membiru. Cepatcepat ia lepaskan hunjaman gigi pada bibirnya itu lalu mencaci
maki sepelan mungkin. Cukup untuk ia dengar sendiri. sekedar
pelipur lara rasa yang ia derita.
"Demi setan laknat di atas langit dan di bawah bumi," makinya
"Biarkan aku hidup setelah mati!" la tersenyum sendiri. Yah. Lucu
juga kedengaran di telinganya. Hidup setelah mati. Puisi mana lagi
yang terlebih indah dari itu, yang pernah diucapkan oleh penyairpenyair terkemuka di seantero jagat ini" Betul! Betul! Indah sekali
bunyinya. Demikian indah. sehingga berulang-ulang ia
mengucapkan caci makinya yang lama kelamaan terdengar
seperti sebuah lagu mars yang penuh semangat :
"Demi setan laknat di atas langit dan di bawah bumi!" Lalu:
"Biarkan aku hidup setelah mati!"
"Betul sekali," ia tersenyum lagi, lantas bergumam, "Aku akan
hidup setelah mati. Dan orang-orang terkutuk ini..."
Orang-orang terkutuk itu. serempak bak dikomando, berseru:
"Berhenti, bung!"
Kekompakan suara yang tidak dikompromikan lebih dahulu itu,
rupanya juga sangat lucu dan indah bagi mereka, sehingga ke tiga
orang itu saling pandang memandang, kemudian tertawa
bergelak. Tetapi. alangkah berkilat-kilat mata sebilah pedang
panjang. sebilah sangkur pembunuh, yang dicabut perlahan-lahan
dari sarungnya. Demikian pelahan, tampak jelas disengaja. Agar orang yang kelak
menerima letakan sangkur pembunuh itu, dan yang sebenar3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
benarnya tanpa sengaja, telah membalikkan tubuh untuk
menghadang ketiga orang algojo-algojonya dapat melihat dengan
jelas. Tetapi si empunya pedang menjadi kecewa. Karena dari sepasang
mata calon korbannya, tidak tampak rasa ketakutan, apalagi
warna kengerian. Sepasang mata itu memandang dengan tabah
tetapi tajam dan bersinar-sinar. Sepasang mata yang tidak pernah
mereka lihat sebelumnya. Sinarnya melebihi sinar mata pedang,
menembus kegelapan malam yang menghantu, menembus tabir
angin topan, membalut putus derai air hujan, menghunjam
langsung ke batok kepala.
"lblis!" ucap orang yang memegang pedang. "Aku bisa melihat
iblis di matamu!" Lalu pada kedua orang temannya ia berteriak lantang: "Kau
lihatlah matanya! Kalian lihatlah! Kita benar. Orang ini memang
anak setan Iblis laknat dalam jiwa leluhurnya, telah menitis dalam
dirinya. Ia pantas untuk menerima hukumannya. Dan
berbanggalah bahwa kita telah mendapat kehormatan untuk
melaksanakan hukuman itu...."
Lantas pada calon korbannya, ia memerintah tanpa berani
menatap pada sinar matanya:
"Berbalik, bung!"
Untuk sesaat, laki-laki itu masih diam. Hanya matanya yang
bergerak. Sepasang mata iblis, memandangi algojonya satu
persatu. Yang dipandang berusaha mengelak. Betapa pun, pada
saat-saat terakhir, jantung mereka mengkerut juga. Bukan soal
mudah untuk mencabut nyawa orang. Apalagi nyawa seseorang
yang leluhurnya mashur dengan ilmu-ilmu magis serta ilmu-ilmu
batin yang tidak setiap orang bisa memilikinya. Puas dengan apa
yang ia lihat, laki-laki itu kemudian berbalik, dengan tangantangannya yang terikat di belakang tubuh, ia cengkeramkan satu
sama lain. Kini, ia tidak takut lagi menghadapi kematian!
4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Dengan mata nyalang ia berusaha menembus kegelapan malam
yang menyelimuti lembah di bawah kakinya. Tempat ini letaknya
lebih dari lima kilometer dari rumahnya, dan tidak kurang dari
dua kilo meter dari rumah paling ujung dari kampung mereka.
Cukup jauh untuk melaksanakan eksekusi tanpa orang-orang
sekampung menjadi ngeri dan ketakutan karenanya. Tetapi jarak
itu juga demikian jauh untuk dilalui, sehingga tubuh dan
wajahnya yang sudah babak belur tidak akan mampu lagi
menempuh perjalanan yang lebih jauh. Sehingga, akhir dari
perjalanan ini. Meskipun dengan sebuah kematian, terasa lebih
enak dari hidup yang terombang-ambing, penuh penderitaan dan
kekecewaan dengan bumbu-bumbu kesakitan dari bengkakbengkak berdarah di tubuh serta luka-luka menganga di dalam
hati. "Jongkok!" Patuh ia berjongkok. "Salah!" umpat suara tadi. "Bukan begitu!"
Yang lain menyelak: "Bagaimana tak salah. Kau suruh jongkok Emangnya mau beol?"
Ucapan yang lucu. Tetapi aneh. ketiga orang itu tidak bisa tertawa
sama sekali. Lantas sipelawak itu meralat ucapan temannya:
"Bersimpuh, bung!"
Dengan patuh pula si terhukum memperbaiki posisi tubuhnya
yang salah. Dengam kedua tangan tetap terikat ke belakang, ia
hunjamkan kedua lutut ke tanah yang becek. t?tapi dengan posisi
yang berubah sedemikian rupa, sehingga kelak kalau leher
terpancung kepalanya tidak akan segera menggelinding jatuh ke
dalam kegelapan lembah nun jauh di bawah. Kemudian punggung
ia condongkan sedikit ke depan, dengan leher ditinggikan, dan
sebaliknya kepala direndahkan.
Tengkuk yang telanjang itu tidak putus sama sekali tebas. Kepala
itu baru terpisah dengan tubuhnya setelah ketiga orang itu silih
5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
berganti mengayunkan pedang, Tidak terdengar suara kesakitan
sedikitpun bahkan tidak suara keluhan.
Ketiga orang pelaksana hukuman mati itu menahan nafas dan
dengan mata terbelalak memperhatikan bagaimana kepala itu
jatuh ke tanah yang becek menggelinding dua kali. Kemudian
berhenti dengan leher rata dengan tanah. Terpacak di situ. Diam
mengerikan. Sepi sejenak. Angin seolah-olah segan untuk bertiup,
dan hujan tiba-tiba malas untuk tercurah. Ketiga laki-laki
pembunuh itu berdiri tegak dengan tubuh kaku disiram rintikrintik hujan yang mengiris-iris dengan dingin.
Lalu. petir tiba-tiba menyambar.
Ketiga orang itu terpekik, karena sesaat ketika petir menyambar,
tiga pasang mata mereka menangkap sesuatu yang menakutkan
pada kepala yang bagai terpacak di tanah itu. Apa yang membuat
jantung mereka kejut seketika, adalah sepasang mata di kepala
itu. Mata itu tidak tertutup. Tetapi tetap terbuka seperti halnya
saat terakhir tadi mereka melihatnya. Teduh. tetapi tajam
bersinar- sinar. Dan sinar itu seperti tidak ikut mati. Sepasang
mata iblis yang mengerikan itu, seblah-olah memandang mereka
sekaligus untuk mengingat-ingat. Sepasang mata yang bersinar
penuh dendam! Ketika gelap malam kembali melanda salah seorang di antara
mereka bergumam dengan suara parau, "..... lakukan... sesuatu!"
"Ap-paaa..." sahut yang lain.
"Kepala itu... matanya!"
Suara mereka bergalau tidak karuan, bercampur dengan angin
kencang yang kembali bertiup dan hujan yang menderas dari
langit. Sentakan alam itu menyentakkan pula jantung mereka
yang telah ciut membeku. Bersamaan dengan darah yang mulai
kembali mengalir dalam tubuh, mereka serempak melakukan apa
yang mereka anggap paling baik. Setelah saling berpandangan,
kemudian salah seorang maju ke depan. Tanpa memandang ke
bawah, pada sasarannya orang itu kemudian menarik mundur
6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
salah satu kakinya, kemudian secepat kilat melayangkannya ke
depan. Terdengar bunyi berdetuk yang ganjil. Petir menyambar lagi.
Sekilat saja. Tetapi sudah cukup menerangi apa yang tengah
terjadi. Kepala yang putus itu terbang di udara, kemudian jatuh
melayang ke dalam lembah bagaikan kegelapan.
Melayang, terus melayang, sampai"
*** "Kang ! Kang Pandi! Bangun! Banguuuuuun !"
Supandi tersentak bangun dengan wajah bersimbah peluh. la
terduduk di tempat tidur. Pucat, gemetar, serta sepasang matanya
melotot lebar, menyinarkan rasa takut yang tiada terperi.
"Kang Pandi?" Supandi menoleh ke samping, pada isterinya yang
memandangnya dengan panik. Perempuan itu mencengkeram
lututnya dengan kuat, sehingga Supandi merasakan kesakitan.
Tetapi perlahan-lahan ia bersyukur dalam hati. Justru
cengkeraman kuku-kuku jari-jemari isterinya yang telah berhasil
menyingkirkan dirinya dari lembah hitam mengerikan serta
kepala yang menggelinding jatuh itu..!
"Tuhanku!" ia mendesah, lega.
"Kau bermimpi buruk lagi?"
"Yaa." Isterinya tersenyum. "Hanya bunga-bunga tidur...."
Supandi mengangkat dagu, menatap tajam ke mata isterinya.
Suaranya memang terdengar lega, tetapi matanya masih
memandang dengan takut-takut. Katanya, "Bunga-bunga tidur"
Demi Tuhan. Liah. Aku merasa takut. lni bukan sekedar bungabunga tidur..."
7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
"Baiklah, bukan bunga-bunga tidur. Tetapi itu hanya sebuah
mimpi." "Mimpi buruk. Dan... mimpi yang sama Liah- Mimpi yang sama,
selama tiga malam berturut-turut. Dengan urutan peristiwa yang
sama pula. Sehingga aku amat mengenali setiap tokoh yang
muncul dalam mimpiku, andaikan suatu saat aku bisa bertemu
dengan mereka..." "Kang!" "Diamlah. Entah mengapa aku yakin, aku akan bertemu dengan
orang-orang itu... atau, keturunannya, barangkali."
"Aih, kang, jangan berpikir yang tidak-tidak..." Amalia berusaha
tersenyum, seraya mengusap keringat yang membanjir di wajah
suaminya. "Kubikinkan kopi kental untukmu yah.."
Supandi diam saja. Amalia meluncur turun dari tempat tidur.
Tetapi setelah kedua kakinya menjejak lantai, dengan wajah
kemerah-merahan dan senyum tersirat-sirat ia segera
menyambar kimononya yang terhampar di ujung tempat tidur,
dan tergesa-gesa mengenakannya. Setelah itu, ia membungkuk
sedikit, mencium pipi suaminya. lantas berbisik:
"Aku sangat puas malam ini, sayangku."
Masih tersenyum, puas, ia keluar dari kamar, meninggalkan
Supandi yang duduk termangu-mangu ditempat tidur. Ucapan
serta ciuman mesra dari isterinya tidak ia dengar atau rasakan
sama sekali. Benaknya masih dipenuhi oleh mimpi harimau.
Mimpi yang hampir-hampir nyata, mimpi yang sama. Tiga malam
berturut-turut. *** PAGI itu cerah dan segar- Supandi bergerak kejendela kamar
untuk menghangatkan tubuh dengan sinar matahari. Ia hirup
udam pagi dengan rasa nikmat yang sangat. seolah sepanjang
8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
malam paru-parunya bekerja teramat keras. Tubuh Amalia panas


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapi-api sempat membuat napas Supandi tasendat-sendat.
Tetapi apa yang paling menyiksa paru-parunya pada malam itu
adalah impian mengerikan itu. Dua hari yang lalu ia memang
sependapat dengan isterinya. Impian buruk itu hanyalah bungabunga! tidur belaka.
Cubit pahamu. bangun, lalu semuanya akan kembali seperti biasa.
Tetapi kemarin pagi, ia sudah mulai ragu.
Dan hari ini, ia malah sangat yakin. Impian tadi malam, adalah
sebuah pertanda. Banyak peramal yang berkata, bahwa impian
tentang kematian akan mendatangkan rejeki nomplok.
Selama bertahun-tahun Supandi mau mempercayainya. Sampai
pada suatu malam ia bermimpi kematian salah seorang sanak
saudaranya. Dan apa yang ia peroleh sebagai kenyataannya
adalah: dipecatnya ia dari kantor tempatnya bekerja. Tanpa uang
pesangon, apalagi pensiun. Masih untung ia tidak dipenjarakan.
Itupun berkat janji yang ia buat di hadapan orang-orang tertentu
termasuk kepala jawatan tempat ia bekerja, untuk menutup
mulut. Lebih baik ia berperan sebagai pion yang disingkirkan dari
meja catur. daripada harus hidup di belakang jeruji besi,
disingkirkan dari Amalia tercinta dan kehidupan yang lepas
bebas. Lalu kini. pengorbanan apa pula yang harus ia berikan"
Impian kematian yang datang dua tiga malam berturut-turut itu
pasti sebuah pertanda pula. Pertanda buruk seperti yang pernah
ia alami- Mimpi yang ini. jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Supandi gemetar. Sinar matahari pagi yang hangat, tidak mampu mempengaruhi
tubuhnya yang dingin. Peluh bersimbah di jidatnya, tetapi itupun
jelas peluh dingin. la menarik nafas berulang-ulang. la goyangkan
kepala keras-keras, untuk membuang perasaan gundah dan
ketakutan yang melanda dirinya secara aneh. Teringat pada apa
yang ia alami dalam tidurnya, reflek kedua tangan Supandi
terangkat ke atas, untuk memegangi lehernya masih utuh. Tidak
ada yang menebas. Tidak ada kepala yang menggelinding.
9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Kepalanya masih tetap melekat pada tubuhnya. la agak lega
karenanya. Namun tetap merasa cemas- Gontai, ia kemudian keluar dari
kamar, di atas meja makan. Bau masakannya merangsang seperti
rangsangan bau tubuh Amalia yang tiap kali menambah rasa
cintanya pada perempuan itu. Amalia tersenyum manis ketika
bertemu pandang dengan suaminya, lantas bergumam,
"Cepat mandi dong, kang Pandi. Aku sudah lapar..."
Ia membalas senyuman isterinya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian. mereka sudah duduk berdampingan di
dekat meja makan. Berdampingan, bukan berhadapan. Dengan
demikian sambil makan mereka bisa saling menyentuhkan badan,
saling mencubit. "Idiih. Lagi makan jangan gitu dong. kang?" sungut Amalia ketika
salah satu tangan Supandi mendarat di pahanya.
Selesai sarapan Supandi duduk membaca koran pagi yang baru
datang, Tidak ada berita yang hangat hari itu. Kegiatan
'pembersihan' baik melemparkan koran begitu saja dan tidak
mencicipi kopi kental yang dihidangkan oleh Amalia.
"Lebih baik ngurus diri sendiri," gerutunya.
Lantas berjalan masuk dalam rumah. Di dapur. Amalia sedang
sibuk beberes. la tidak melihat Supandi lewat, temu berjalan ke
gudang Baru ketika ia menumpukkan pakaian di sebuah bakul,
Amalia melihat suaminya lewat lagi. Kali ini, dengan sebuah pacul
di tangan kanan, serta sebuah sekop di tangan kiri.
"Mau menggali lagi, kang?"
"He-he...?" "Aku mau mencuci..."
"Pergilah!" Amalia memandang suaminya dengan mata khawatir.
10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kang?" "..hengg?" sahut Supandi dengan suara di hidung.
"Tutupi saja lagi sumur itu. kang."
Supandi tercengang. "Setelah tanahnya mulai lembab dan basah, pertanda air bakal
keluar?" tanyanya, setengah merupakan pernyataan protes.
"Aku... aku cemas, kang."
"Ah. Kau tentunya terpengaruh oleh ucapan pak lurah!"
Amalia mengambil kotak tempat sabun. Sabun, handuk dan
sebuah ember. Tetapi ia belum juga pergi ke tempat pencucian
umum di kampung itu. la tampak bingung. dan katanya
memperlihatkan rasa cemas. "Kang Pandi," ujarnya dengan suara
getir. "Sudah tidak ada lagi orang yang mau membantumu!"
"Bah. Aku bisa kerjakan sendiri!"
"Lantas jatuh lagi sebagai korban?"
Pertanyaan isterinya membuat Supandi yang sudah bersiap untuk
ke luar rumah jadi tertegun. Korban! Amalia bicara pula tentang
korban, sekarang ini. Tetapi, ah. Jelas bukan dimaksudkan Amalia
tentang pengorbanan Supandi di jawatan tempatnya bekerja
ketika mereka masih tinggal di kota. Tentu ada hubungannya
dengan sumur, karena ke sanalah Amalia telah melarangnya,
seperti juga pak lurah pernah melarang agar tidak menggali
sumur dalam radius lima ratus meter sekitar rumahnya, yang juga
mencakup letak empat buah rumah lain. Tetanga-tetangganya
juga tidak ada yang membuat sumur sendiri.
"Taruh di tempat kalian kering dan berbatu-batuan." begitu mulamula pak lurah menerangkan. Tetapi karena Supandi bersikeras,
pak lurah mengingatkan: "Lihat. Tanaman kelapa, mati. Cengkeh,
mati. Ubi, mati. Bahkan isterimu berkali-kali mengeluh, karena
banyak dari bunga-bunga itu tumbuh kurus karena kekeringan
air...." 11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Orang lain punya sumur sendiri. Aku" Tidak, pak lurah. Aku tidak
sanggup berletih-letih seumur hidup pergi ke pemandian umum,
mengangkut air ke kamar mandi di rumahku, sekedar hanya
cukup untuk cuci muka dan memasak. lagi pula, aku kasihan
melihat Amalia. Karena tak ingin melihatku kecapaian. ia lebih
suka mandi dan mencuci di tempat umum, padahal waktu kami di
kota..." "lni kampung Bukan kota."
"Tetapi..." "Nak," lurah menatapnya dengan tajam. "Tahukah kau, bahwa
banyak kematian yang terjadi di sekitar tempat tinggalmu?"
Supandi menarik nafas panjang. Ia tegak termangu-mangu di
depan dapur. Sendirian. Amalia telah pergi mencuci. Kecemasan
isterinya memang masuk akal, karena sesuai pula dengan
peringatan pak lurah. Seorang saudaranya, satu-satunya saudara
Supandi, meninggal ketika masih bayi di rumah ini. Ibunya
kemudian menyusul setahun kemudian. Dan beberapa bulan yang
lalu, ayahnya sakit keras dan memanggilnya pulang, Orang tua itu
kemudian mati dengan rasa puas setelah bertemu anak dengan
menantunya. la mati dengan meninggalkan sebuah rumah untuk
ditempati, dan beberapa petak sawah untuk digarap. Dua hal yang
sangat dibutuhkan oleh Supandi dan isterinya, setelah mereka
disingkirkan suara kejam di kota tempat tinggal mereka.
"Tetapi kematian-kematian itu wajar adanya." rungut Supandi
sendirian, seraya berjalan di pekarangan belakang rumahnya,
menuju sumur yang sudah hampir selesai digali. "Adikku karena
demam malaria. lbu karena menderita ditinggal mati sibungsu
kesayangannya. Dan ayah, karena sudah tua...!"
la kini berdiri di gundukkan tanah yang seperti bukit kecil, hasil
galian selama hampir satu minggu. Tetapi kini ia sendirian. Mulamula mereka berempat ketika sumur itu mulai digali. Pak Atma
tiba-tiba jatuh sakit, lalu tidak sanggup meneruskan pekerjaan.
Suryadi, mendadak lumpuh kedua kakinya ketika sedang berada
di dalam lubang galian. Suryadi buru-buru dikeluarkan. Tetapi
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kemudian ternyata, bukan saja kakinya yang lumpuh. Melainkan
juga jantungnya. la meninggal setelah berada di rumah orang
tuanya. Pak Jayusman yang di samping ikut menggali juga merangkap
sebagai tukang baca doa untuk kelancaran penggalian itu.
berkata: "Pekerjaan ini harus dihentikan."
Dan Supandi tidak bisa menahan orang tua yang baik hati itu.
Selama tiga hari ia sendiri dicengkeram kebingungan. Bukan
karena ia tidak percaya pada tahayul atau tempat-tempat yang
dianggap keramat, karena buktinya toh orang-orang masih berani
tinggal di atas tanah yang ditakuti itu. Melainkan karena.
perjuangan bathinnya. Antara keinginan meringankan pekerjaan
mengangkuti air dari tempat mandi umum ke dalam bak kamar
mandi, meringankan tugas sehari-hari Amalia. Dengan keinginan
untuk menghormati perasaaan orang-orang kampung. Tetapi
kasihan Amalia. Sudah terbiasa buka kraan, lalu cuuuuur- datang
air seberapa banyak ia kehendaki.
Kini, terpaksa harus antri di tempat cuci. dan menahan malu
mandi bersama orang-orang lain yang belum lama dikenalnya.
Belum lagi menghindari mata-mata yang usil, mengintip dari sela
rimbunan bambu.... Lalu tanah galian, mulai lembab dan basah.
Pertanda air akan keluar.
Tidak! la tidak boleh bekerja setengah-setengah. Orang yang sehat
suatu saat toh akan sakit, seperti halnya orang yang hidup suatu
ketika toh akan mati. Apa yang dialami pak Atma dan Suryadi
adalah kehendak alam. Dan Supandi tidak mungkin menahan
kehendak hati pak Jayusman. Tetapi ia masih muda. kuat dan
tidak ingin berputus-asa. Apalagi hanya tinggal sejengkal tanah
lagi... Supandi kemudian menurunkan tangga. Ember plastik besar ia
jatuhkan ke bawah, berikut sekop dan pacul. Lalu ia mulai
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menuruni anak-anak tangga. Perlahan-lahan, matahari yang
hangat mulai pergi dari tubuhnya. Cahaya pagi yang terang
bcrderang, enggan pula untuk ikut turun ke lubang yang begitu
dalam. Lima meter lebih. Dan harus ditutup kembali. Setelah
sekian kubik dan batu-batu kecil berhasil mereka keluarkan. Hem.
alangkah terlalunya saran yang bodoh itu!
Udara terasa lembab dan dingin di dalam lubang. Tetapi tidak
mempengaruhi semangat Supandi. la berharap hari ini air mulai
keluar. Biarkan dulu menggenang, kemudian taburkan pasir
beberapa ember. Lalu dua atau tiga hari lagi sesudahnya Amalia
akan bisa menimba air di sumur sendiri, dan selamat tinggal
tempat pemandian umum yang jorok dan berbau kotoran dari
selokannya yang sering mampet itu!
Supandi mengisi ember plastik dengan sebanyak-banyaknya
tanah, lalu mulai menaiki anak tangga demi anak tangga. Tiba di
atas. ia curahkan tanah itu di bagian yang belum membukit. Lalu
turun lagi. menggali, menyekop, naik, curahkan tanah dari ember
turun. naik turun lagi lalu naik pula untuk ke sekian kalinya...,
Entah untuk yang keberapa kali ia telah naik. Supandi tidak ingat
dan memang tidak pernah menghitungnya. Yang jelas, hampir
seluruh urat-urat di tubuhnya bersembulan keluar. Rambut,
wajah dan punggungnya yang telanjang kotor oleh tanah dan licin
Oleh peluh. Ketika itu dia telah mengisi ember plastik dengan
tanah sampai penuh, dan ia sudah siap memanjat tangga untuk
naik keatas. Pada saat itulah. ia melihat ada bayangan yang menerobos masuk
ke dalam lubang. Seketika itu juga ia menengadah. Tiba-tiba.
jantungnya menjadi ciut karena terkejut. Seraut wajah samarsamar tampak muncul di atas. Di bibir sumur. la pertajam
matanya dengan menyeka butir-butir tanah yang menghalang.
Pandangan itu kian jelas, dan tampaklah wajah seorang
perempuan tua yang sudah keriput dengan leher yang bagaikan
cagak kecil terpancang pada pundaknya yang kurus kering.
sedang memperhatikan dirinya didalam lubang.
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jarak ke atas lebih dari lima meter. Tetapi ia bisa menangkap
sinar mata perempuan itu dengan jelas. Sinar mata yang aneh,
dan sesungging senyum yang tidak menarik pada bibirnya yang
tipis, sesekali tertutup oleh rambut yang sudah memutih, tertiup
angin. "Nenek Ijah!" bisik Supandi tersendat. Mau apa perempuan tua
renta dan berpikiran tidak waras itu di sana" Perempuan itu
terkekeh-kekeh. dengan kilat mata yang menakutkan. Supandi
mulai dihinggapi rasa khawatir. Jangan-jangan inilah bukti mimpi
buruknya, kaki dan tangan kurus kering namun cukup kuat untuk
menggaruk-garuk serta mendorong dorong tumpukan tanah di
atas, menderu jatuh ke bawah, tak ubahnya bukit yang longsor
karena hujan. Dan Supandi tertanam hidup-hidup dalam sumur,
liang lahat yang ia gali untuk dirinya sendiri.
"Nek Ijah!" teriaknya dengan panic, "Menyingkirlah dari situ!"
Bukannya menyingkir, perempuan tua renta yang konon sudah
berumur lebih dai satu abad tetapi secara ajaib masih mampu
luntang- lantung itu, malah kian menjulurkan leher ke depan.
Tampaknya bukan tanah melainkan tubuhnya yang kurus kering
itulah yang bakal jatuh menimpa Supandi. Maka, tanpa ia pikir
panjang lagi, Supandi kembali berteriak :
"Awas, nek!" Seraya berteriak, ember plastik berisi tanah ia lemparkan, lantas
buru-buru menaiki anak tangga. Demikian buru-burunya,
sehingga pada anak tangga kelima kakinya terpeleset pada kayu
yang licin. Pegangannya terlepas, dan ia meluncur jatuh kembali
ke bawah dengan suara berdebuk yang keras begitu tiba di
permukaan tanah yang lembab dan becek.
Dari atas terdengar suara mengekeh yang semakin keras, tetapi
sumbang dan aneh. *** 15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terjatuh dengan pantat terlebih dahulu tiba di tanah. la
terhenyak merasa seolah-olah tulang punggungnya terlonjak ke
atas sehingga kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang- kunang. Dalam keadaan setengah sadar, ia masih
teringat akan bahaya yang sewaktu-waktu menimpanya. Oleh
karena itu ia tergesa-gesa berdiri kembali, seraya menepis-nepis.
pantat celananya yang lengket dan basah oleh lumpur. lamatlamat telinganya menangkap suara lain.
Suara seseorang berseru. Dengan cepat ia menengadah keatas.
Wajah nenek Ijah yang mengerikan itu telah lenyap. Hanya sayupSayup sampai masih terdengar suara mengekehnya, yang kian
menjauh. Terengah-engah Supandi menyandarkan punggungnya
ke dinding lubang, menarik napas panjang berulang-ulang. Kepala
digoyang-goyangkan untuk melenyapkan perasaan pusing.
"Kau tak apa-apa, kang Pandi?" tanya suara dari atas.
la segera mengenal suara Amalia. seraya tertengadah, ia
tersenyum. "Hanya sedikit pusing," katanya.
"Naiklah. Kau akan kubantu." Amalia menjejakan kaki di anak
tangga yang paling atas. "Diam di situ. Aku bisa naik sendiri."
Setelah sampai di atas Supandi duduk terhenyak di samping
isterinya yang berwajah pucat dan panic, "Hampir saja..."
gumamnya, lirih. "Aduh, kang Pandi," ujar isterinya setengah berseru karena lihat


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek pikun itu lewat. "Kusapa dia, tetapi ia tidak melihatku sama sekali ia terus
berjalan dan aku tidak memperdulikannya, sampai... sampai
kudengar teriakanmu. Wah! jantungku bagai copot rasanya,
waktu kulihat nenek Ijah berjongkok di pinggir sumur...!"
la kemudian menoleh, diikuti oleh Supandi. Di kejauhan tampak
nenek-nenek tua renta itu berjalan terbungkuk-bungkuk dengan
menyeret-nyeret sebelah kakinya yang pincang. Beberapa orang
16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
anak kecil meneriaki, mentertawai bahkan ada yang
melemparinya dengan batu. Entah kena entah tidak, tak seorang
pun yang tahu. Kebetulan seorang perempuan setengah baya
melihat perbuatan anak- anak yang nakal itu, lantas mengusir
mereka Jauh-Jauh. Tetapi perempuan itu tidak pula berusaha
menolong bahkan memperhatikan si nenek tua yang pikun,
melainkan buru-buru masuk ke dalam rumah setelah
menutupkan pintu cepat-cepat, seperti orang ketakutan.
"Ia belum tentu bermaksud mencelakakan kau, kang Pandi. Tetapi
aku demikian takut tadi."
"Orang sekampung juga takut dan menyingkir bila melihat dia.
Apalagi berjongkok di pinggir lubang. seraya tertawa, terkekehkekeh. Bagaimana aku tidak berteriak."
Amalia tersenyum mendengar ucapan suaminya. Pandangan
matanya tidak lepas dari nenek Ijah yang terus berjalan di antara
rumah-rumah penduduk tanpa seorangpun yang berani
mendekati maupun menegurnya.
"Perempuan malang. Sebetulnya, di manakah tinggalnya, kang?"
"Di lereng gunung." jawab Supandi. sambil menggerakkan dagu
kiri-kekanan bermandi sinar matahari yang panas memanggang
bumi. "la tidak punya sanak dan saudara kalau tak salah."
"Lantas, siapa yang menghidupinya?"
"Tuhan, tentu," Supandi tersenyum, nakal. Kemudian
melanjutkan, ".... tentu saja, seorang dua penduduk yang
pemberani berbelas kasih dan dermawan mengirimkan makanan
secara rutin untuknya. Aku sendiri ketika masih kecil pernah
menemani ayah mengirimkan sekantong beras dan beberapa
kerat ikan asin untuk nenek Ijah. Ayah bilang. nenek Ijah itu
sebenarnya baik. Hanya karena hidup menyendiri, orang takut
padanya. Apa lagi konon. karena leluhurnya dulu ada yang
dikenal sebagai tukang tenung... Tetapi ah, pekerjaanku sudah
terbengkalai. Mengapa tidak kau siapkan segera makan siang?"
17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Iya, ya !" isterinya tersadar. "Lagi aku harus segera pergi
mengajar." Seraya berkata begitu, ia bangkit berdiri dan berjalan
kembali menuju rumah. Supandi memperhatikan gerak-gerik
isterinya, yang berjalan lemah gemulai pinggulnya bergoyang
lembut ke kiri ke kanan. Pinggangnya ramping. Sepasang betisnya
yang putih indah, tampak berkilat-kilat dalam jilatan Cahaya
matahari. Kalau saja Amalia berbalik, akan tampak perutnya yang
rata, di atasnya sedikit menggelantung sepasang payudaranya
yang tidak begitu besar akan tetapi lembut dan menarik. Dan
wajahnya, sinar mata serta tarikan bibirnya kalau mengajak...
Ingin rasanya Supandi berlari mengejar untuk memeluk,
mencium dan mengajak isterinya masuk ke kamar. Tetapi di siang
hari begini... mana tubuhnya sendiri sangat kotor, dan pekerjaan
yang belum selesai... "Nanti malam saja deh. Biar sip," gumamnya sendirian, seraya
menyeringai. Senang. Bunyi pacul terhunjam ke dalam tanah
setelah ia turun kembali, terdengar bagaikan musik seronok
mengiringi lamunannya. Untunglah tanah yang ia gali lembut dan
basah. Malah air sudah merembes ke luar dari beberapa tempat.
Memang masih merupakan tetes-tetesan kecil, tak ubahnya air
mata seorang perawan yang merasa cemas dengan malam
pertamanya di atas tempat tidur.
Tetapi kalau ia menggali sedikit lebih dalam, ia berharap sore
nanti rembesan air itu sudah membesar. dan besuk pagi ia sudah
bisa menimba hasil kerjanya sendiri. Dan pak lurah pasti akan
terheran-heran... Crcceep! Paculnya agak tersekat, menyentuh benda aneh. Waktu ia angkat
tanah, dan menjatuhkannya ke dalam ember, samar-samar dalam
jilatan matahari siang yang menerobos sebagian masuk ke dalam
lubang ia melihat benang-benang hitam yang kotor, banyak sekali
terpotong-potong Benang" la membungkuk, dan menyentuh
benda-benda tipis itu. Karena belum puas. ia mencabutnya
18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sejumput, lantas menaikkannya ke arah cahaya matahari, tepat di
depan biji mata. "Rambut?" serunya, tertahan.
la tertegun sebentar. Bagaimana sampai ada rambut manusia di lubang sedalam ini.
Tanah di atasnya, keras dan berbatu-batu. Rambut itu tentu sudah
berumur puluhan bahkan siapa tahu, ratusan tahun. Ah yang
benar. Aku tidak pernah bercita-cita jadi seorang ahli purbakala,
dan tidak pernah menaruh minat pada penemuan fosil-fosil
leluhur manusia yang pertama-tama mendiami bumi. lagi pula,
mana ada rambut berumur ratusan tahun" Tentu tempat ini dulu
sebuah tempat rata, atau mungkin juga sebuah lubang pembuang
sampah. termasuk rambut orang yang dicukur. pikir Supandi.
Tetapi ketika ia perhatikan, ke tanah bekas paculnya tadi
terhunjam. dari mana tanah terangkat sebagian, ia menjadi
terpana. Rambut itu terlihat lebih banyak di sana. Warnanya
hitam pekat. seolah-olah tanah tempatnya tertanam tidak mampu
mengotori apalagi memusnahkannya. Semacam perasaan aneh
tiba-tiba menyerang dirinya. la tidak tahu, perasaan bagaimana.
Namun dapat ia rasakan, betapa nalurinya berteriak dengan keras
untuk memperingati dan memerintahkannya segera naik ke atas
lantas menutupi sumur itu kembali rapat-rapat sebagaimana
keadaannya semula sebelum digali. Namun, kakinya terpacak
begitu saja di tanah, tanpa dapat ia gerakkan sama sekali. Dan
tangannya gemetar! Tangannya bergerak. Bukan untuk mencapai tangga. Melainkan
untuk menyentuh rambut di dekat kakinya, seolah-olah ada
tarikan magnit yang luar biasa datang dari tempat tersembunyi di
balik rambut itu. Jari jemarinya menyentuh tempat dingin. tetapi
keras. Tidak sampai di situ saja.
Kekuatan ghaib itu dengan dahsyat telah menggerakkan jari
jemarinya lebih jauh. la kini, tanpa dikehendaki oleh hati kecilnya,
tanpa bisa mengendalikan diri. telah mulai menggali tanah di
sekitar rambut itu dengan jari jemarinya. Bukan dengan pacul,
19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
karena kekuatan gaib itu seolah-olah melarangnya
mempergunakan pacul. Amalia baru saja meletakkan baskom sayur di atas meja makan,
ketika ia dengar suara gerakan kaki terseret-seret di belakangnya.
lngatannya pada si nenek Ijah menyebabkan wajahnya berubah
pucat dengan ketakutan ia membalikan tubuh.
Lega. "Kukira siapa...!" la meneruskan pekerjaannya, seraya
memerintah: "Cepatlah bersihkan tubuhmu, selagi nasi masih
terkebul." Tetapi suaminya tidak bergerak-gerak dari tempatnya berdiri.
Waktu Amalia menoleh, kemudian memutar tubuh untuk dapat
memperhatikan suaminya lebih jelas, laki-laki itu memandangnya
dengan sinar matanya yang letih, berat seperti mengantuk.
Tegaknya tidak lurus, dengan kedua pundak turun, seolah-olah
beban berat tengah ia tanggungkan.
Amalia tersenyum. "Kau tentu sangat letih, kan. Mari, kubantu kau mandi."
Lalu, la memegang tangan suaminya yang kotor. Di luar
dugaannya, ia menyentuh tangan yang dingin. Bukan hangat
seperti halnya seorang yang telah menggerakkan tenaga untuk
bekerja di siang bolong. "Ada apa dengan kau, kang?" tanyanya, heran.
"Aku... aku menemukan..." sahut suaminya, gemetar dan parau.
"Air" Aku tahu, karena kulihat tangan dan kakimu penuh lumpur
yang basah. Dan, aduh...! Lihat, kau juga telah mengotori lantai
Ayo mari kubersihkan badanmu."
Lantas ia membimbing suaminya ke belakang, dan tiba di kamar
mandi langsung ia seblok sekujur tubuh Supandi dengan seember
besar air. Lumpur segera mengucur jatuh, dari ujung rambut,
wajah, leher menelusuri terus ke bawah, sampai lantai kamar
mandi berubah warna jadi coklat kehitam-hitaman. Ketika ia siap
20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untuk menyiramkan isi ember yang kedua, ketika Amalia
tertegun. Ia memandangi sepasang mata suaminya yang aneh.
Mata itu tidak berkedip waktu ia siramkan air di kepalanya.
Bahkan juga tetap terbuka ketika air lumpur mulai
menggenanginya. "Kang Pandi, kau...."
Dengan cemas, ia ambil segayung air. Lalu menyiuk isinya dengan
tangan yang langsung dibasuhkan ke sepasang mata suaminya
sampai bersih. Barulah ia bisa melihat warna mata suaminya.
Mata yang tetap terbuka nyalang, tetapi tanpa sinar sama sekali.
Mata yang kosong. mata yang hampa. Mata yang berputus asa.
Amalia menarik nafas. Pikirannya segera bekerja dengan cepat. la
tersenyum, lalu berkata dengan suara menghibur: "Hem. jadi,
yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi beberapa
tetes air. Sudahlah, kang. Aku juga pernah hilang, tidak usah
diteruskan usaha yang sia-sia itu Aku toh masih punya kaki untuk
berjalan ke tempat pemandian umum dan kini aku sudah mulai
mengenal tetangga-tetanggaku lebih baik. Aku tidak akan malumalu lagi kepada mereka...."
la kemudian melepaskan kaus oblong suaminya yang masih kotor,
lalu tangannya turun melepaskan kancing-kancing celana. Seraya
merundukkan wajah sedikit, ia berbisik, "Lihat, aku tidak akan
malu biarpun untuk...."
Dan begitu celana suaminya terlepas jatuh, Amalia terpengaruh
oleh rangsangan birahi. la dengan segera telah memeluk
suaminya lantas menciumi wajah dan bibir Supandi sepuas-puas
hati. Tetapi Supandi tidak membalasnya sama sekali, meskipun
sebelah tangannya sempat terangkat untuk memeluk pinggang
Amalia. Perempuan itu menjadi kecewa, namun segera menyadari
kekeliruannya. "Ah, maafkan aku, mas. Kamar mandi ini memang sangat kotor
untuk..." ia tertawa, lembut, meneruskan dengan manja. "Salahmu
sih, lumpur dibawa-bawa masuk ke rumah."
21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Setelah itu disiramkan air, tidak saja untuk suaminya, tetapi juga
untuknya sendiri. Karena ketika memeluk Supandi pakaian yang
ia kenakanpun telah dikotori sisa-sisa lumpur. Selesai mandi, ia
berikan sehelai handuk untuk Supandi, sementara handuk yang
lain ia belitkan ke tubuhnya.
"Makan siang sudah menanti," katanya, lalu ia menarik suaminya
masuk ke dalam rumah, terus ke kamar untuk memakai pakaian
ganti. Tetapi kamar tidur tidak sesempit dan sekotor kamar
mandi. Terlebih-lebih lagi, di tengah-tengah ada ranjang yang
lebar, berkasur empuk. dengan sprei yang bersih berwarna merah
muda, yang akan marah kalau dilewatkan begitu saja. Rangsangan
yang muncul tiba-tiba selagi di kamar mandi, menyelusup lagi ke
dalam diri Amalia. Pandangan mata suaminya tidak kosong
seperti tadi, tetapi sudah mulai bersinar-sinar. Dan sinar itu,
tampak sedikit jalang. Lupa untuk berpakaian mereka justru naik ke tempat tidur.
*** SATU jam kemudian Amalia melirik jam tangan di lengan kirinya
lantas berseru kaget, "Wah, aku sudah terlambat sekolah."
Ia segera membelitkan handuk kembali ke tubuhnya, kemudian
bergegas turun dan berlari ke kamar mandi. Ketika ia kembali,
Supandi masih tergolek di tempat tidur tertutup selimut sampai
ke dada. Sepasang matanya terpejam, dan dadanya bergerak
teratur. Ketika Amalia mendekat, suaminya tidak bergerak sama
sekali. Hanya dengan nafasnya yang terdengar, lembut dan
tenang, Amalia mengecup pipi Supandi dengan mesra, lalu
berpakaian dan berdandan serapih mungkin.
Setelah selesai, ia berbisik di telinga Supandi. "Kau memang
pantas untuk tidur nyenyak, sayangku. Aku pergi dulu ya"
Makanlah duluan kalau kau bangun sebelum aku pulang."
22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa memperdulikan apakah suaminya yang sedang tidur
mendengar ucapannya atau tidak, ia kemudian mengambil tasnya.
mengenakan kaca mata minus satu, lalu ke luar dari rumah. Suara
pintu ditutupkan Amalia seketika, membuka sepasang mata
Supandi. Lebar dan nyalang. Tetapi betapa lebarpun matanya
terbuka, tidak kelihatan sinar sama sekali. la memandangi langitlangit kamar, perabotan sampai ke setiap sudut, dengan mata
hampa. la hampir tidak ingat sama sekali bagaimana ia sampai
naik dan terbaring di atas tempat tidur. Setahunya ialah, begitu
keluar dari dalam lubang sumur matanya tidak segera mengenali
tempat dimana ia berada. Namun naluri kemanusiannya bekerja lebih kuat dari urat-urat
nadanya. Naluri itu menuntunnya masuk ke rumah, bertemu
Amalia yang menyapa dan menghiburnya begitu lembut dan
mesra, sekaligus mengingatkan dirinya bahwa ia berada di dalam
rumahnya sendiri. Lalu. mengapa matanya memandangi Amalia
sedemikian rupa" Sampai teramat sakit, teramat perih. karena
hampir tidak pernah berkedip. Meski sudah diguyur air, bahkan
digenangi lumpur. Mengapa ia memandangi Amalia dengan
sangat birahi, dan menyerah begitu saja ketika diseret Amalia ke
tempat tidur, meskipun nalurinya melakukan penolakan" la ingat,
betapa ganasnya ia beberapa saat berselang menggeluti isterinya,
sehingga Amalia sendiri tampak terheran-heran. Kemudian,
bersama perginya Amalia. Lenyap pulalah birahi yang bersarang
dalam dirinya. Ia mencoba duduk. Sekujur tubuhnya terasa letih dan berat untuk
digerakkan. la rentangkan tangan serta kaki untuk melenturkan
otot-otot tubuhnya yang kejang. Dengan menarik nafas berulangulang ia berhasil membuang gelembung-gelembung udara yang
kotor nyesak dari dalam paru-parunya. Setelah itu baru ia turun
dari tempat tidur berjalan ke jendela memandang ke luar.
Di halaman samping, beberapa jenis tanaman bunga isterinya
tumbuh tanpa keinginan untuk hidup lebih lama. Beberapa
tangkai malah kering, dengan dedaunan yang hijau kekuningkuningan bertaburan kian kemari. Sekelompok bunga ros
23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bersinar layu. merah kusam dalam panggangan matahari. Seratus
meter dl seberang taman yang gagal itu berdiri sebuah rumah tua.
Pintu belakang terbuka. Seorang laki-laki berumur kira-kira
setengah abad, berjalan ke sebuah kandang dan kemudian
menghilang di antara pepohonan karet dengan dua ekor kambing
mengekor di belakangnya. la coba mengingat-ingat. Dan berhasil. Orang tua itu adalah pak
Jayusman yang pernah menasehatinya agar penggalian sumur
dihentikan. Alangkah menyenangkan kalau nasihat orang tua
yang baik hati itu ia turuti. Dan juga menyenangkan, bahwa
dengan mengenali siapa orang tua itu berarti Supandi telah dapat


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenali dirinya sendiri. la berbalik. dan matanya mulai
bersinar memandang setiap sudut kamar yang sudah tidak asing
lagi baginya. Dari lemari, ia memilih pakaian yang terbaik untuk dikenakan.
Merapih-rapihkan diri di depan kaca sambil bergumam, "Aku
masih tetap aku yang kukenal selama ini!"
Di ruang tengah. ia melihat makan siang sudah lama terhidang
tanpa disentuh. Baskom nasi penuh. Ada goreng tahu, sayur
terong, dadar telur dan beberapa potong daging gepuk. Ketika ia
menyuruh Amalia menyediakan makan siang, sungguh Supandi
merasa sangat lapar. Tetapi kini, tidak sedikitpun seleranya
terbangkit melihat makanan yang terhidang itu.
la hanya meneguk teh setengah gelas. Ketika itulah pandangan
matanya beradu dengan jejak-jejak kaki berlumpur di permukaan
lantai. Arah datangnya dari belakang rumah, menimbulkan
genangan-genangan memanjang yang kini sudah mulai
mengering. Hem, betapa berat waktu itu kakinya melangkah.
Apakah ia berjalan dengan menyeret-nyeret kaki membawa
beban di kepalanya yang sangat mengerikan?" Amalia menduga ia
kecewa. karena sumur ternyata kering kerontang la ingat bahwa
ia berkata pada Amalia ia menemukan sesuatu. la belum sempat
memberitahukan apa yang ia ketemukan. Amalia sudah
memotong. 24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Air?" Dan karena sesuatu yang janggal dalam sikap Supandi, Amalia
juga kemudian menyimpulkan.
"Jadi yang kau temukan adalah lubang yang hanya berisi
beberapa tetes air..."
Apa kata Amalia selanjutnya"
"Aku juga sudah bilang, jangan teruskan usaha yang sia-sia itu."
Andai saja ia menuruti perkataan Amalia jauh sebelum hari itu. di
mana ia menemukan sesuatu dalam sumur. Apakata Amalia kalau
ia terangkan apa sebenarnya yang telah ia temukan" Amalia tentu
tidak akan percaya. Amalia akan mentertawakannya. Tetapi kalau
Amalia percaya" Atau, karena tidak percaya lantas pergi ke sumur untuk
membuktikan kebenaran perkataan suaminya" Amalia pasti jatuh
pingsan. Shock. Amalia akan terguncang jiwanya. Amalia akan
terganggu syarafnya. Padahal, Amalia telah berkorban banyak
ketika Supandi menikahinya, kemudian ketika Supandi tidak bisa
lagi memberi jatah bulanan demi berasapnya terus dapur mereka
karena Supandi dipecat dari kantor. Amalia juga terpaksa
mengorbankan hidup tenang dan damai di kota dengan hidup
menderita di kampung Supandi yang terpencil.
Tidak. Amalia tidak boleh menderita lebih banyak. Amalia tidak
boleh tahu apa yang ditemukan Supandi di dalam sumur. Ia keluar
dan tertegun setelah berada di belakang rumah. Tidak sampai
sepuluh meter dari tempatnya berdiri, tampak bukit tanah galian
berwarna coklat kemerah-merahan. Bercampur gundukan batu
kehitaman-hitaman. Di balik tabir bukit mini itu terletak lubang
sumur yang telah digali menetapi dalam hampir enam meter Pak
Jayusman yang tak pernah lupa berdoa itu, selamat.
Tetapi pak Atmo jatuh sakit, demikian parah sehingga mantera
obat di kampung tak berdaya menghadapinya. Pak Atmo baru
sembuh setelah diberi minum air yang dimanterai oleh seorang
25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dukun. Dan Suryadi" Anak muda yang selanjutnya! itu, lumpuh
kaki dan jantungnya, kemudian mati. Kini, hanya tinggal dirinya
seorang. Orang ke empat yang ikut menggali sumur, orang
terakhir yang masih terus mengerjakan penggalian itu dan orang
yang paling berkepentingan terhadapnya. Supandi. seperti pak
Atmo dan pak Jayusman. masih hidup. tetapi kalau disuruh
memilih. Supandi lebih suka bertukar tempat dengan Suryadi!
"Dan Amalia menambah jumlah persediaan janda," gumam
Supandi sendirian. Kecut, dan pahit. "Lagi pula Suryadi telah
mati...! Lalu. apakah tidak ada sesuatu yang lain dapat ia
lakukan?" la berpikir keras. Sambil berpikir. ia mendekatkan diri ke sumur.
Mula-mula kakinya berjalan dengan cepat dan tegap. Tetapi
semakin dekat ke sumur, semakin berat kakinya melangkah. Tiba
di bukit tanah ia tinggal menggerakkan kaki dan tangan sedikit
saja. Gundukan tanah itu akan longsor ke bawah, dan tumpukan
batu itu akan memadatkan seperti semula. Namun uap dingin
yang terlempar ke luar dari dalam lubang uap yang dengan
dahsyat berhasil menaklukkan cahaya matahari yang panas
memanggang telah membekukan persendian tubuh. bahkan jalan
darahnya. la berusaha sekuat tenaga melawan pengaruh ganjil itu.
Otot-otot tubuhnya sampai bersembulan ke luar. dan keringat
merembes dari seluruh pori-pori kulit, mengeluarkan butir-butir
peluh yang besar-besar. Dalam perjuangan bathin yang luar biasa.
dari mulutnya terlontar teriakan lantang:
"Tidaaaak ...!"
Dan teriakan itu mengendurkan otot-ototnya yang kejang.
melancarkan peredaran darahnya yang membeku, mengisi paruparunya yang kosong, melapangkan jantungnya yang menyempit.
Seperti orang kesurupan. ia memutar tubuh. berlari masuk ke
dalam rumah terjun kembali ke atas tempat tidur, dan kemudian
menyelimuti tubuhnya rapat-rapat dengan sepasang mata yang
terpejam lebih rapat lagi. Namun pada akhirnya. perjuangan
bathin yang amat sangat beratnya itu mau tidak mau
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
merembeskan butir-butir air bening dari sela-sela kelopak
matanya yang mengatup. *** DENTANG lonceng di halaman sekolah memberitahukan bahwa
pelajaran untuk sore itu telah berakhir. Amalia memandang ke
seluruh kelas, kemudian bertanya dengan suara lantang: "Sudah
selesai semua?" Koor segera berkumandang dalam kelas. "Sudaaaaah buuuuuu ....
..!" "Nah. Besok semua harus sudah memperlihatkan pe-er itu kepada
ibu. Sekarang kamu boleh pulang..."
Sorak-sorai anak-anak muridnya membuat kelas jadi ramai.
Semua serabutan menuju pintu. saling dahulu mendahului.
Seorang anak perempuan terpekik karena ada yang menginjak
kakinya. Untung yang menginjak bertelanjang kaki. sedangkan
kaki yang terinjak kebetulan memakai sandal jepit. Tapi tak urung
kedua anak ingusan itu bertengkar, sehingga Amalia terpaksa
memelototkan mata. Anak-anak itu berhenti bertengkar.
kemudian merunduk ketakutan.
"Ayo kau, Andi. Minta maaf pada Suci"
Andi mengulurkan tangannya. Mulutnya bergumam
mengucapkan maaf yang tidak terdengar jelas. Suci menerima
uluran tangan itu, lantas keduanya tertawa-tawa, berlari keluar
seraya terus berjabatan tangan. Amalia hanya geleng-geleng
kepala. la bereskan buku-bukunya lalu memasukkan ke dalam tas.
Hari masih pukul empat sore. Tadinya ia bermaksud menjenguk
salah seorang muridnya yang tidak hadir karena sakit keras.
Tetapi begitu keluar dari kelas, ia disambut oleh warna langit
yang pekat. Padahal satu jam yang lalu. matahari masih nyalang
menantang. Perubahan cuaca di kampung memang agak asing
baginya. Terpaksa ia membatalkan niat untuk menjenguk
27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
muridnya yang sakit dan terus saja berjalan menempuh arah
menuju rumahnya. la tidak ingin berhujanan, dan lebih-lebih lagi
tidak ingin membiarkan Supandi sendirian di rumah. Entah
mengapa perasaan Amalia tidak enak saja ketika ia tinggalkan
rumah. lelah-lebih kalau mengingat sikap suaminya yang agak
ganjil begitu masuk rumah setelah menghentikan pekerjaannya
menggali sumur. Tidak pemah dilihat Amalia suaminya berputus asa serupa hari
itu. Di tengah jalan seorang menyapanya, "Pulang ngajar, bu Lia
"!" Amalia menoleh, dan mengenali orang itu. "Oh. Pak Wasdri. Dari
sawah?" ia balas bertanya.
"Iya, bu. Padi sudah menua. Besok merupakan hari yang sibuk.
Tolong beritahu pak Pandi. besok padi mulai diketam."
"He-kang.." ia mau meneruskan perjalanannya, tetapi segera
teringat sesuatu dan berbalik lagi menghadap penggarap sawah
mereka itu. "Berapa orang besok yang bekerja?"
"Mungkin lima. Paling banyak delapan."
Jadi besok Amalia harus menyediakan makan siang untuk sebelas
orang. Maksimum delapan pekerja, suami isteri pak Wasdri dan
suaminya sendiri- pikir Amalia sambil berjalan pulang. Tambahan
dirinya menjadi dua belas. Bukan jumlah yang banyak akan tetapi
karena ia tidak punya pembantu di rumah. Maka apa yang
barusan diucapkan pak Wasdri memang benar: besok merupakan
hari yang sibuk. Mudah-mudahan saja kesibukan itu akan
membantu suaminya menghilangkan pikiran gundah akibat
harapannya yang kandas di dalam sumur.
la menemukan suaminya masih berbaring di tempat tidur. Ketika
ia masuk ke dalam rumah. Agak kecewa sedikit perasaan Amalia
karena melihat Supandi masih sempat berpakaian rapih akan
tetapi tidak sempat mengepel lantai yang kotor. Namun ia sadar
betapa letih suaminya beberapa hari belakangan ini. Oleh karena
itu. setelah berganti pakaian. menyimpan kacamata, ia kemudian
28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengepel lantai. Habis itu menghangatkan makan siang yang
rupanya belum disentuh Supandi.
Amalia baru saja selesai mandi ketika ia temukan suaminya sudah
duduk menghadapi meja makan.
"Aku lapar..." gumam Supandi. dengan suara berat dan lirih.
Amalia cepat-cepat berpakaian, kemudian menghidangkan makan
siang yang tertunda itu di atas meja. Benar saja. Suaminya makan
dengan lahap sekali. Amalia senang melihatnya. Tetapi juga
merasa sedikit gundah, karena selama makan, suaminya lebih
banyak diam. Beberapa kali mereka bertemu pandang. tetapi
suaminya selalu berusaha mengelak. Namun jelas Amalia dapat
melihat bahwa mata suaminya kemerah-merahan.
Jadi ia tak tidur selama ditinggalkan Amalia!
"Kang?" "Ngng.." sahut Supandi, tanpa memandang isterinya. Tetapi ah,
buat apa Amalia menyinggung soal sumur itu lagi" toh akan
menambah sakit hati suaminya saja. lebih baik ia mencari
pembicaraan lain untuk memecahkan kesepian yang tidak
mengenakkan hati itu. Apa misalnya" Oh ya. ia ingat sekarang!
"Pak Wasdri bilang besok padi akan diketam."
"Hem!" "Akang akan ikut mengawasi pekerjaan mereka bukan" Ikut
mengontrol pembagian hasil?" la berharap suaminya menaruh
minat. Tetapi Supandi hanya menjawab: "Percayakan saja tugas itu pada
pak Wasdri." lalu kembali masuk ke kamar tidur. "Aku kira aku
tidak enak badan." "Kupijitkan ya?"
"Engga usah." 29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia agak tersinggung ditinggalkan begitu saja. Tetapi
semenjak suaminya dipecat dari kantor, Supandi telah berubah
dari seorang suami yang lemah lembut menjadi seorang laki-laki
yang emosional. Dapat saja Amalia memperlihatkan sikap yang
sama. Tetapi mana pernah sebuah pertengkaran membawa hasil
yang menyenangkan, biarpun salah seorang keluar sebagai
pemenang. Karena itu, harus ada yang kalah. Dan Amalia masih
tetap berpegang erat pada prinsip bahwa suami adalah kepala
rumah tangga dan seorang isteri adalah ekornya. Memang bukan
kedudukan yang enak. Tetapi selama sang kepala belum
menginjak sang ekor apa boleh buat. Biarlah ia mengalah demi
tetap langgengnya hubungan kepala dengan 'ekor itu demi rumah
tangga mereka. Dengan Sabar, ia membereskan meja makan. Biasanya Supandi
ikut membantu. Kadang-kadang ikut cuci piring. Tetapi suaminya
tidak keluar-keluar lagi dari kamar. Barangkali suaminya benarbenar sakit. Tetapi sikapnya yang keterlaluan itu patut dibalas,
biarkan kesakitan itu ia tangung sendiri. Bukanlah Supandi juga
menolak untuk dipijiti. Oleh karena itu, mumpung belum hujan.
Amalia keluar dari rumah dan pergi berbelanja ke warung untuk
persiapan makan siang orang-orang yang bekerja di sawah, esok
hari. *** MALAM turun bersama hujan renyai-renyai. Udara sedikit lembab
oleh hawa yang keluar dari permukaan bumi yang telah sekian
lama kering dan tiba-tiba disiram air. Amalia sesekali terbatukbatuk waktu mempersiapkan bahan pelajaran untuk esok hari
bagi murid-muridnya di sekolah. Sebenarnya ia ingin tidur saja.
akan tetapi besok ia tidak punya waktu karena masih harus
memikirkan isi perut petani-petani yang akan mengetam padi di
sawah mereka. Namun lama kelamaan ia mengantuk juga, lebihlebih setelah udara lembab itu diusir oleh hawa dingin yang
menusuk tulang. la memutuskan untuk tidur saja.
30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ketika masuk ke kamar tidur, ia temui suaminya berbaring di
tempat tidur dengan sepasang matanya terbuka lebar. menatap
kosong ke langit-langit kamar. Jidat suaminya basah oleh peluh.
Perasaan tersinggung Amalia lenyap seketika. Digantikan oleh
rasa kasih sayang seorang isteri yang mencintai suami.
"Kang...." "Hmm?" Supandi menoleh. Terengah. Agak kaget oleh kehadiran
Amalia yang tidak didengarnya.
"Kupijit ya?" Suaminya menarik nafas panjang mencoba tersenyum. Dan kali
ini tidak menolak ketika seluruh bagian tubuhnya digosok Amalia
dengan minyak angin kemudian diurut dengan teratur. Ketika
masih sebesar anak-anak muridnya di sekolah, Amalia sering
memijit ayahnya dengan upah sepuluh perak sekali pijit. Tak
heran, jari-jemarinya bergerak dengan terlatih, sehingga mata
Supandi beberapa kali terpejam keenakan. Kalau saja pikirannya
tidak terganggu oleh apa yang telah di temukan dalam sumur,
tentulah pijitan Amalia itu bisa merangsang birahinya.
Tetapi sekarang. jangankan terangsang, Untuk memperlihatkan
rasa terimakasihpun. ia tidak ingat sama sekali. Matanya terus
saja terpejam, dengan gerak dadanya yang turun naik dengan
teratur. Oleh karena itu Amalia menyangka suaminya telah
tertidur dengan nyenyak. la tersenyum puas dan bangga akan
hasil pekerjaannya, kemudian berbaring di samping suaminya. la
menarik selimut menutup tubuh dari ujung jari kaki sampai ke
batas leher, membaca doa-do'a selamat dalam hati, sampai kantuk
menyerang kembali. Tidak sampai lima menit, ia telah jatuh tidur.
Lelap sekali. Tidak ia sadari. begaimana suaminya berbaring dengan gelisah.
Sebentar membalik ke kiri, sebentar ke kanan. Sebentar duduk.
sebentar berbaring lagi. Sesekali ia perhatikan isterinya yang
sudah nyenyak tidur. Maka, ia berusaha untuk tidak menimbulkan


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara berisik waktu turun dari ranjang, kemudian mengambil
rokok dan menyulutnya sebatang. Begitu bernafsu ia menyedot
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rokok itu, sehingga sekali kerongkongannya tersumbat. la
terbatuk dengan keras. Amalia menggeliat sebentar di tempat
tidur. tetapi tidak terusik oleh suara batuk suaminya. Takut ia
batuk-batuk lagi. Supandi memutuskan untuk keluar dari kamar.
la duduk di kursi sofa rotan diruang tengah, setelah lebih dulu
membikin segelas kopi kental untuk dirinya sendiri. Betapa
inginnya ia tidur lelap seperti isterinya, bergulung di bawah
selimut. Akan tetapi bayangan mengerikan itu setiap detik
muncul di kepalanya mencengkeram dengan kuat- tidak mau
lepas. Sudah mulai larut. pikirnya. Sebentar lagi tengah malam. Dan ia
harus melakukan sebuah tugas yang entah mengapa tidak
sanggup ia tolak. Sesuatu telah berakar di benaknya. Sesuatu yang
demikian kuat memperlibatkan kekuasaaan yang tidak terlawan
atas diri Supandi. Sesuatu itu merasuki dirinya ketika tadi siang ia
tidak kuasa melawan kehendak tangannya mencakar liar ke
dalam tanah di lubang sumur yang tengah ia gali. Jari jemarinya
mengorek tanah seperti diperintah oleh semacam kekuatan gaib
yang tersimpan di dalam tanah yang ia gali.
Jelas terbayang di matanya. bagaimana tadi siang ia menemukan
lebih banyak rambut, hitam, lebat, panjang dan tertanam kuat
pada sebuah batok kepala manusia. Demi Tuhan. Dalam lubang
yang ia temukan, terdapat sebuah batok kepala manusia yang
masih utuh. hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang ia
temukan. Saking terkejut dan ngeri. ia jatuh terduduk di dalam
lubang, memperhatikan batok kepala manusia itu, yang wajahnya
menghadap langsung ke wajah Supandi. Wajah yang juga masih
utuh. Walaupun tampak kotor oleh tanah. Tidak mencium bau
banyir sama sekali sebagaimana biasanya bau mayat. Tetapi ada
sesuatu yang berubah dalam lubang itu. Udara yang menjadi
sangat dingin dengan tiba-tiba. Udara yang sedingin lemari es.
Supandi duduk terengah-engah tidak tahu apa yang akan ia
perbuat. la malah tidak kuasa untuk berpikir. Yang ia lakukan
hanyalah memandangi batok kepala itu, menatap wajah yang
menghadap ke wajahnya itu. Wajah seorang laki-laki, yang
32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
umurnya tidak bisa ia duga. Kulitnya kehitaman-hitaman di balik
kotoran tanah berwarna dekil, dahinya lebar, dengan kulit yang
sudah berkerut-kerut. Demikian juga pipi kulit di bawah mata, di
sekitar bibir, bahkan bibir itu sendiri, berkerut-kerut. Kelopak
matanya yang terkatup juga berkerut-kerut. Pemandangan itu
terlalu mengerikan untuk dilihat. Tetapi Supandi tidak jatuh
pingsan, meskipun ia ingin mengalami hal itu. Hati kecilnya.
meneriakkan perkataan 'lari' berulang-ulang. lari! Lari! Larilah
cepat! Tetap ia tetap tertunduk menunggu dengan diam, seolaholah akan ada perintah yang diberikan untuk ia kerjakan.
Dan benar saja! Sesuatu tiba-tiba bergerak. Lemah. Samar-samar. Tapi gerakan itu
kian lama kian jelas bersamaan dengan udara dalam sumur yang
kian lama kian dingin menusuk. Dengan mata terpentang lebar.
Bagaimana sepasang mata yang lain di dalam sumur itu perlahanlahan terbuka. Rasa takut dan ngeri yang dengan luar biasa
melanda diri Supandi, memuncak ketika itu. Segenap daya yang
mampu ia kumpulkan akhirnya dapat menggerakkan persendian
kakinya. la terlonjak berdiri.
Dan siap untuk menaiki tangga ketika.... mata itu mulai bersinar!
Supandi terpaku seketika. Tak ubahnya sebatang tonggak yang
dipatokkan dengan kejam terhunjam dalam ke bumi. Diam. Tak
berdaya. Lalu sesuatu seolah menyelusup lewat batok kepalanya
sendiri, menyentuh langsung ke pusat sarafnya di dalam otak.
Sesuatu yang merupakan sebuah perintah, "duduklah kembali!"
Suara yang menyentuh langsung ke otak itu, berat dan lirih.
Sayup-sayap sampai. Tetapi pengaruhnya demikian dahsyat.
sehingga Supandi tidak sanggup untuk menggerakkan tangan
maupun kakinya untuk mendekati apalagi menaiki tangga. Ia juga
telah berusaha untuk tetap berdiri. Berusaha melawan perintah
gaib itu Seluruh otot-otot tubuhnya mengejang oleh perlawanan
yang luar biasa. Namun dari bulu-bulu kuduknya yang berdiri
tegak ia merasakan suatu tarikan yang sangat kuat untuk tidak
berpaling dari arah datangnya suara gaib itu, Terletak di depan
33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kakinya. Bibir keriput dari batok kepala itu kini ikut bergerak
terbuka... memperlihatkan dua baris gigi yang tersusun rapih,
yang warnanya tidak tampak putih lagi, melainkan sudah kuning
kehitam-hitaman. Mulut itu menyeringai.
"Duduklah!" ia dengar perintah ulang, Tetapi bukan berasal dari
mulut yang tengah menyeringai kejam itu. Melainkan dari
pancaran sinar matanya yang menyentuh langsung ke otak
Supandi! "Tid....", protes mulut Supandi yang pucat tidak berdarah terhenti
begitu saja. Dan segala sesuatu di dalam hati nuraninya didalam
jiwanya, di dalam phisiknya, ikut terhenti .selama beberapa saat
yakni saat-saat matanya tanpa bisa ia hindari lagi. telah beradu
langsung dengan sepasang mata yang berkilau-kilauan dari batok
kepala itu. Kilauan yang tajam. Dengan warna yang sukar untuk ia
lupakan. Seperti percikan api yang hidup sempurna : merah
kehiru-biruan! Suatu kepatuhan yang luar biasa. merasuk dalam jiwa Supandi. la
duduk perlahan-lahan. Bersila. Dengan sikap hormat dan takut!
"Teruslah pandang mataku" otaknya kembali menerima perintah
telepathie itu. Supandi tidak mengerdipkan kelopak matanya barang sekejappun
juga, betapapun hati kecilnya berteriak-teriak histeris "Tutup
matamu! Tutup matamu! Tutup....!"
"Sejak saat ini. kau telah jadi budakku, siapapun kau adanya. Aku
sudah pernah mengatakan pada mereka... bahwa aku... suatu saat
aku akan bangkit kembali...?"
Otak Supandi berdenyut-denyut, berusaha mencerna kata demi
kata yang terpancar langsung lewat sinar mata itu. Pada saat yang
sama. otaknya juga berusaha untuk menangkap gerakan-gerakan
lemah mulut yang kini ternganga itu. Supandi melihatnya samarsamar. Melihat sebentuk lidah yang bergerak-gerak tidak teratur.
Lidah yang berwarna merah seperti darah.
34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kau... kau dengar apa... apa yang kukatakan?"
Supandi menganggukkan kepala.
"Ucapkan ya!" "...ya... aku.."
"Nah. Begitu," seringai yang lebih kejam bermain di depan mata
Supandi. "Aku tahu..." otak Supandi kembali harus mencerna kata
demi kata dari alam gaib itu. "Akan tiba saatnya... seseorang akan
membalas... kan aku dari siksaan kubur yang terkutuk ini. Aku..!
mulut itu sekonyong-konyong bernafas megap-megap. "Aku
letih..." katanya, lalu matanya terpejam.
Dan saat itu pulalah, Supandi sadar akan dirinya kembali. la sudah
memejamkan mata, dan sudah siap untuk lari ke atas menuruti
perintah hati kecilnya, ketika sekonyong-konyung mata berwarna
merah kebiru-biruan itu terpentang lebar kembali dan sisa-sisa
pengaruhnya dalam diri Supandi, kembali ikut bangkit.
"Diam di tempatmu. budak!" betapa hinanya sebutan itu! Tetapi
dengan sikap hormat dan takut, Supandi diam di tempatnya. Tak
ubahnya sebuah patung batu dalam posisi duduk yang baru saja
selesai dipahat. "Aku letih... hampir seratus tahun lamanya... aku tersiksa seperti
ini. Tetapi sekarang,... aku bebas... bebas... dan kau, budak, kau
akan menuruti segala perintahku, sejak saat ini...! Kau tidak akan
dapat memperdaya diriku, meskipun tidak terjangkau oleh sinar
mataku lagi. Karena karena sebahagian dari rohku yang terluntalunta telah memasuki jiwamu itu"
Otak supandi menangkap suara terkekeh-kekeh serak dan parau.
Lalu: "Pergilah!"
Supandi tersentak. "Ya.."
"Pergilah pada isterimu. Aku... aku sudah merindukan kehangatan
tubuh perempuan. Pergi, cepat. pergilah!"
35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
la dapat berdiri. Ia gerakkan tangan. la mampu memegang tangga.
Dan ia sudah akan naik, ketika.. "lngat!" memperingatkan suara
lirih itu. "Tengah malam nanti kau harus kembali. Aku
membutuhkan tempat yang lebih nyaman dan hangat dari tanah
berlumpur yang kotor ini!"
*** SUATU sentakan yang melenyut belakang kepala Supandi.
Demikian mendadak sehingga kepalanya tersentak agak ke
belakang. Rokok yang sedang ia sedot, terlepas jatuh dari selasela bibirnya. Pangkal pahanya terasa panas menggigit. Refleks,
salah satu tangannya menepiskan puntung rokok yang
menimbulkan lingkaran hitam di paha celananya. Abunya
berserpihan kian kemari, menimbulkan bau pernak.
"Sudah waktunya. budak!" telinganya berdenging oleh sebuah
perintah dari jarak jauh.
Telepathie yang mengerikan itu membuat Supandi menggigil
dengan wajah pucat tidak berdarah jiwanya berontak. Tetapi
otaknya beku, tidak mau bekerja. Denyut jantungnya berpacu
kencang menggebu-gebu. Tetapi sia-sia saja. Hanya keletihan dan
kepatuhan yang pelahan-lahan terasa merasuki dirinya.
Gontai. ia berdiri, dan berjalan tersuruk-suruk ke arah pintu
belakang rumah. Dekat pintu, ia tertegun. Kakinya menyentuh
sebuah bakul besar. Waktu ia perhatikan, ternyata berisi kain
jemuran Amalia, belum sempat dilipat apa lagi disetrika. Diantara
tumpukan kain itu ia melihat sebuah selendang yang masih haru.
Selendang itu segera disambarnya, lalu keluar dari pintu
belakang. Lolong anjing dikejauhan menyambut kehadirannya. Hujan sudah
mulai menderas. Angin kencang bertiup membawa sentuhan air
hujan itu, menerpa dadanya yang setengah telanjang. la menggigil
lagi lebih hebat, dengan pemberontakan yang perlahan-lahan
mulai padam dalam jiwanya. Dengan mata hampa, ia tengadah,
36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menatap langit yang hitam kelam. Lolong anjing menggema lagi di
kejauhan. Sayup-sayup, lemah dan memilukan tulang, Lututnya
yang semula gemetar, dikuatkan oleh pengaruh ganjil yang
menerpa jiwanya. Supandi kemudian setengah berlari menerobos hujan,
terbungkuk-bungkuk menuju lubang sumur di belakang
rumahnya. Genangan lumpur merembes kian kemari dan galian
tanah yang basah tersiram hujan. la hampir tergelincir ketika
menuruni tangga. "... aku tahu kau akan datang." ia disambut oleh suara berat dan
lirih yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Dalam lubang
sumur, gelap seperti dalam hutan. Tetapi sinar mata yang merah
kebiru-biruan itu jelas tampaknya menyambut kemunculannya.
"Tunggu apa lagi?"
Tanpa usaha perlawanan. Supandi membungkuk. Dengan sebelah
tangan, ia korek bagian yang masih menahan batok kepala itu.
Sebuah benda yang berat dan dingin seketika berada di atas
telapak tangannya. Batok kepala itu segera ia selimuti dengan
selendang isterinya, lantas bagai tupai ia memanjat kembali ke
atas. Dari bawah, ia dengar suara bergemuruh yang kian lama
kian deras. Rupanya dari lubang tempat batok kepala itu
terpacak, menyembur ke luar air yang sangat deras. Sumur itu
memiliki sumber mata air yang subur!
Akan tetapi, begitu Supandi menjejakkan kaki di pinggir lubang
tanah yang ia jejak perlahan-lahan bergerak.
"Menyingkir!" sayup-sayup ia mendengar suara yang tersekat.
"Aku tak sudi terkubur hidup sekali lagi!"
Lincah sekali. sepasang kaki Supandi melakukan loncatanloncatan di atas tanah yang becek tanpa terpeleset sama sekali.
Tidak sampai satu menit ia telah masuk ke dalam rumah, dengan
selendang Amalia membungkus batok kepala seorang manusia
yang pasti pernah dikutuk semasa hidupnya.
*** 37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SETELAH berada di dalam rumah, justru Supandi menjadi
kebingungan. Selendang batok kepala manusia yang mengerikan
itu tergantung-gantung di salah satu tangannya, sementara
tangan lain menyeka air hujan yang membasahi wajah. Pakaian
yang ia kenakan melekat basah ke tubuhnya. kotor oleh lumpur.
Tetapi bukan itu yang membingungkan Supandi.
Melainkan pintu kamar tidur yang terpentang lebar. Bagaimana
kalau Amalia terbangun dan melihat apa yang ia bawa masuk ke
rumah" Celakanya, kepala yang terbungkus itu tidak berkata apaapa. Diam membeku. Seolah-olah menyuruh Supandi mengambil
keputusan sendiri. Dengan tubuh yang menggigil wajah pucat dan
gigi gemeletuk kedinginan serta ketakutan. Supandi memeras
otaknya di mana tempat yang layak untuk kepala mansuia
mengerikan tapi pengaruhnya tak bisa ia tolak. Akan ia simpan"
Dalam lemari pakaian" ltu lemari bersama Isterinya bebas
membukanya. membongkar segala isinya. Di bawah tempat tidur!
Amalia, maafkan aku. Peluklah aku, tetapi aku tidak akan
membiarkan kau tidur di atas sebuah batok kepala yang telah
menjahanami diriku ini, keluh Supandi dalam hati. Sakit sekali.
Lewat pintu belakang yang terbuka. ia melihat dapur. Tempat itu
adalah tempat Amalia sehari-hari menyibukkan diri. jadi bukan
tempat untuk menyimpan sebuah rahasia. Nah itu gudang. Di
sebelah dapur. Supandi bergerak ke sana. Tetapi tatkala pintu
gudang ia buka, diterangi oleh lampu teplok yang tergantung di
salah satu tiang koridor belakang, ia melihat tumpukan goni-goni.
Sebuah peti besar berisi beberapa perabotan rumah tangga yang
tidak terpakai, lalu sebuah kompor cadangan yang sesekali
dipakai Amalia untuk memasak makanan bila tiba waktunya
menyiapkan santapan petani-petani menggarap sawah mereka.
ltu berarti padi! Dan besok petani-petani itu akan mulai
mengetam kemudian menjemur dan bagian untuk Supandi
sebagai pemilik sawah, akan ditumpukkan ke dalam gudang
seperti biasa. Persetan, ke mana aku akan menyimpan benda
mengerikan ini" Demikian Supandi berpikir keras. Ia mundarmandir tidak menentu, dari ruang tengah ke ruang belakang. dari
38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapur ke gudang, bahkan ke kamar mandi. Satu hal yang jelas
tidak mungkin ia lakukan- hanyalah menanam saja kepala itu
kembali di salah satu tempat di sekitar rumahnya. Entah
mengapa, hati nuraninya tidak mengijinkan ia melakukan
perbuatan itu. Hati nurani" Bukankah lebih tepat dikatakan.
jiwanya" jiwa yang telah dititisi sebagian pemilik batok kepala
yang terbungkus dalam selendang isterinya.
Beberapa kali ia menarik nafas, dan suatu saat tertengadahlah
karena putus asa. Justru ketika itu matanya beradu dengan lubang
tirap ke para-para rumah. Matanya yang kosong, tiba-tiba berseri
secara aneh. Jiwanya merasakan kesenangan yang tidak ia
nikmati sepenuhnya, tetapi betapapun. ia telah menentukan
sebuah jalan. Bungkus berisi kepala itu ia letakkan di atas meja. la harus naik
mempergunakan tenaga. Tetapi, ah. itu ada suara ranjang
berderit. Supandi gemetar dan semakin pucat. Dengan tegang, ia
berdiri menunggu Amalia ke luar dari kamar...


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi suara itu sepi lagi Amalia mungkin cuma terganggu oleh
impian di kala tidur. Sebuah mimpi burukkah" Mimpi melihat
suaminya sedang... Tidurlah yang nyenyak. Amalia!
Supandi kembali ke belakang rumah. Tetapi ia tidak menemukan
tangga. Setelah lama mencari, baru ia teringat tangga itu
tertinggal di dalam lubang sumur. Disambung dengan tangga pak
Suryadi, agar lebih panjang masuk ke dalam lubang. Memerlukan
tempo untuk mengangkat dan melepaskan sambungannya. lagi
pula ia tidak sudi lagi menempuh hujan deras dan tanah becek
berlumpur. Sayup-sayup lolungan anjing mengalun lagi dari
kejauhan. Lolongan kematian!
Supandi terlonjak, masuk kembali ke rumah. Ia pandangi
bungkusan berisi kepala manusia di atas meja. Meja! Ah, mengapa
ia tidak memikirkannya dari tadi! Dengan hati-hati agar kepala itu
tidak sampai jatuh menggelinding, sekaligus tidak mengusik
Amalia dari tidurnya. Supandi menggeser meja makan persis ke
39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tempat di mana di atasnya terdapat lubang tirap ke para-para
rumah. Dengan bantuan sebuah kursi, ia berhasil naik sampai
sepertengahan dada berada di dalam para yang berbau pengap
dan gelap. Namun cukup aman untuk menyimpan majikannya
yang menakutkan itu. Ia kemudian turun, mengambil lampu yang tergantung di tembok.
Dengan tangan yang lain menjinjing bungkusan berisi batok
kepala itu. Supandi kembali naik ke atas meja, terus ke kursi, lalu
sebentar kemudian ia telah berada di para-para rumah. Para-para
itu terbuat dari bambu yang dianyam, telah berumur belasan
tahun tetapi masih utuh dan rapih, kecuali oleh debu, sarang labalaba yang mengotorinya di sana sini. Supandi berjingkat dengan
tubuh membungkuk dari kaso-kaso yang satu ke kawat kase yang
lain. Disebuah sudut yang agak bersih dan lapang, diantara dua buah
kase-kase yang letaknya merapat satu sama lain. Begitu
bungkusannya ia buka, begitu kelopak mata yang mengerut itu
membuka. Warna merah kebiru-biruan menerpa matanya. Dan
seulas senyum tipis. namun tidak ramah sama sekali dihadiahkan
untuk Supandi. "Agak bau... tetapi nyaman..." terdengar suara berat dan lirih yang
dialamatkan ke para-para rumah lewat telinga Supandi.
la diam. Terpaku. Kaku. Setelah memandang berkeliling Sepasang
mata yang aneh itu kembali menatap ke mata Supandi.
"Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu, anak
muda....." makhluk itu tidak menyebutkan "budak" lagi. Tetapi
Supandi belum boleh berlega hati. Karena makhluk itu telah
melanjutkan kata- katanya lagi. Kata-kata berbentuk dan bernada
perintah, "Aku akan memasuki jiwamu, dalam tidurmu... kau
harus membalaskan sakit hatiku... dan menyempurnakan..
kematianku....!" "Kem.. kematianmu?"
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kematianku!" jawab makhluk itu tegas. "Sempurnakanlah
kematianku... dengan membalaskan dendam kesumatku... dan dan
mempersatukan anggota tubuhku..."
"Tetapi... dimana.... di mana..."
"Aku sendiri tidak tahu... tidak tahu. Aku letih... aku sangat
kesakitan...,pedang itu... iiih-hhii...." sepasang mata berwarna api
terpejam sesaat, lalu ketika terbuka lagi. keluar perintahnya yang
terakhir untuk malam itu.
"Tinggalkan aku sendirian."
Supandi mundur dengan pelahan-lahan dan hati-hati. la
kemudian turun dari para-para, tanpa terlepas sedikitpun dari
perhatian sepasang mata di batok kepala yang ia tinggalkan
terhampar berlapiskan selendang Amalia. la sempat melirik mata
yang memancar mengerikan itu ketika akan turun, dan Sadar,
bahwa sejak saat itu, ia bukan lagi Supandi yang pernah dikenal
orang selama ini. Bukan lagi Supandi yang dicintai Amalia....
*** KESABARAN Amalia kembali diuji ketika ia bangun esok paginya.
Supandi tidur mendengkur di sampingnya, bergulung dalam
selimut. Tidak pernah ia tidur seperti itu selama ini. Dengkurnya
sangat keras tersentak-sentak seperti orang kehilangan nafas.
Suara mendengkur yang agak seram itulah yang membangunkan
Amalia. Tadinya ia mengira suara yang ia dengar adalah laguan
aneh yang beberapa hari belakangan ini selalu mengganggu tidur
suaminya. Dengan ketakutan, Amalia menggoyangkan tubuh
suaminya. Tetapi Supandi tidak terusik sama sekali. la tetap tidur, nyenyak
sekali. dan mendengkur semakin keras!
Perasaan kesal memenuhi kepala Amalia ketika ia turun dari
tempat tidur, lewat ventilasi jendela ia tahu hari sudah pagi. la
harus bangun, dan harus bekerja. Hari ini hari yang sibuk, masih
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ia ingat apa yang dikatakan wak Wasdri kemarin. Dan Supandi
justeru tidur mendengkur. sedangkan ia adalah satu-satunya
orang yang bisa dimintai bantuan oleh Amalia. Kekesalan hati
Amalia kian menjadi-jadi waktu ia berada di ruangan tengah. Meja
telah ia bersihkan tadi malam, tetapi sekarang ada terlihat tetestetes lumpur yang sudah mengering Bahkan ketika ia perhatikan
lebih jelas, tampak perbedaan yang nyata dari sudut-sudut meja.
Genangan lumpur yang lebih banyak baru saja dibersihkan dari
meja itu. Tetapi seorang lelaki, bahkan seorang yang apik dalam
soal kebersihan rumah. Dan warna kekuning-kuningan jelas
meninggalkan bekas lumpur telah dibersihkan dari meja
Demikian juga lantai, telah dikepel. Padahal kemarin sudah
dikepel sampai mengkilap oleh Amalia. Apa-apaan kang Pandi
malam tadi" Jejak-jejak kaki berlumpur telah lepas dari perhatian suaminya.
Jejak-jejak itu memenuhi lantai korridor belakang, dapur dan
gudang. Bahkan kamar mandi! Dan pakaian yang dikenakan
suaminya tadi malam, tertumpuk di lantai kamar mandi, Kotor
oleh lumpur. "Ya ampun." dengus Amalia. la bermaksud pergi ke kamar tidur,
menarik Supandi dari ranjang dan melampiaskan kemarahan
sepuas hati. Kalau suaminya membantah, ia akan mendebatnya
habis-habisan, memakinya, mengumpatnya. Biarlah ekor dan
kepala itu bertengkar hebat, biarlah ekor dan kepala itu berpisah
satu sama .... Berpisah"
"Ya Tuhan," ucap Amalia terengah-engah. "Ampunilah niat
jahatku yang terkutuk ini!" la semakin menyesal ketika matanya
menandang ke belakang rumah. Bermandi cahaya pagi yang
terang-terang ayam, ia melihat ke arah lubang sumur hasil galian
suaminya. Bukit tanah galian itu telah lenyap. Ketika Amalia
meninggikan leher, ia juga melihat bahwa lubang sumur telah
tertimbun. Lubang-lubang yang lebih lebar tetapi dangkal serta
bentuknya tidak karuan, terdapat disana sini.
Hujan lebat tadi malam tentulah telah menjadikan tanah di
sekitar lubang sumur itu longsor hebat. Suaminya yang akhir42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akhir ini demikian bersemangat dengan pekerjaannya. Tentulah
tadi malam telah bangun dengan perasaan cemas kemudian
melihat apa yang telah terjadi. Untuk meyakinkan diri Supandi
pasti telah berlari ke arah sumur sehingga ia mandi hujan dan
lumpur. Tiba di rumah, mondar-mandir dengan kecewa dan
semakin putus asa. Barangkali sempat pula tengkurap di meja.
"Tetapi... ia tidur nyenyak, mendengkur lagi" pikir Amalia selagi
menyiapkan makan pagi. "Apakah tertimbunnya kembali sumur
itu merupakan anti klimaks, sehingga kang Pandi gembira atau
tidak, yang jelas Supandi masih meringkuk di bawah selimut
ketika makan pagi telah terhidang di atas meja, bahkan setelah
Amalia kembali dari tempat pemandian umum. Ia lihat seseorang
duduk mencangkung dekat sumur.
Tetapi orang itu bukan Supandi, melainkan pak Wasdri yang
segera bangkit menyongsong Amalia. "Tampaknya longsor telah
mengakhiri segala desas-desus," kata petani itu.
Amalia tersenyum. "Setidak-tidaknya, telah membuat suamiku
bisa tertidur nyenyak!" sahutnya.
"Oh ya" Syukurlah, Tetapi...."
"Maaf pak Wasdri, Kang Pandi mungkin tak ikut kesawah. Tapi
tadi malam ia berpesan bahwa ia percayakan pak Wasdri bisa
mengatasi segala kesulitan."
"Aku senang mendengarnya," kata orang tua itu. "Dan eh, apa
perlu saya suruh anak perempuan saya membantu bu Lia
menyediakan makan siang?"
"Untuk berapa orang pastinya?"
"Enam. Plus aku dan isteriku. Empat yang kupilih, adalah tenagatenaga ahli..."
"Kalau begitu, biarlah si Esih di rumah saja menemani adikadiknya!" Amalia menolak dengan halus.
*** 43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Selesai Amalia menjemur pakaian Supandi belum bangun juga.
Kesal, Amalia berceloteh sendirian,
"Sialan! Apa kang Pandi tak perduli sama perut orang" Setan
benar. Biar aku makan duluan, agar ia tahu rasa!"
Tetapi ia belum sempat masuk ke rumah, ketika seseorang ia lihat
mendekat ke bekas lubang sumur, terbungkuk-bungkuk,
menyeret sebelah kakinya yang timpang. Nenek Ijah! Hem, mau
apa pula perempuan tua renta dan pikun itu di sana" Bagaimana
ia bisa muncul begitu saja" Amalia tidak melihatnya sama sekali
datang dari jurusan Utara, pada jalan yang berhadapan dengan
pekarangan belakang rumah mereka.
"Hai. nek." sapanya, seraya mendekati perempuan tua itu. Nenek
Ijah bergerak, menoleh. Wajahnya yang keriput dan kotor
kehitam-hitaman, bukan sebuah pemandangan yang enak untuk
dilihat. Lebih-lebih sinar matanya yang kecil seperti mata burung
elang mengintai mangsa. Mulutnya terkatup, tidak menjawab. dan
sikapnya tidak bersahabat. Ciut juga hati Amalia.
".... mari masuk ke rumah, nek..!" ia mengajak, meskipun hatinya
tidak merasa tenteram melihat kehadiran perempuan itu. Sinar
mata nenek Ijah memandangi lebih lunak.
Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya. Tetapi gumam lirih
yang tidak berketentuan, "Kosong lagi. Apa yang ada di tanah
tertutup. Tetapi rasa-rasanya memang akan kutemukan disini..."
"Apa yang kau cari nek?" tanya Amalia ingin tahu.
Nenek tua itu memandang Amalia lurus-lurus, lalu "Emas."
Jawabnya. Pelan hampir-hampir berupa bisikan. "Emas hatiku!" ia
melanjutkan. Amalia tercengang Jangan-jangan benar kata orang. bahwa nenek
ini tidak waras. Ia ingin bertanya lebih lanjut. Tetapi perempuan
tua itu sudah bergerak menjauh dan pergi, tanpa menoleh-noleh.
Menyeret sebelah kakinya yang timpang.
*** 44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI terengah-engah dalam tidurnya. Bayangan seseorang -apakah orang itu dirinya sendiri" -- samar-samar bergerak dalam
remang-remang senja yang temaram, Lambat dan hati-hati.
Bayangan itu bahkan bagai menari-nari di antara batang-batang
pohon karet yang menjulang tinggi. dengan daun-daunnya yang
rimbun menambah gelap jalan yang ia lalui. Angin bertiup
kencang, dingin menggigilkan tulang. Bayangan itu mengendap
terus. rasanya lama dan jauh sekali.
Sampai akhirnya, seolah ada sebuah tenaga gaib yang
menyentakkan tubuhnya, bayangan itu sekonyong-konyong
terhempas jatuh... Oh, tidak. Tidak. Bayangan orang itu tidak
jatuh. melainkan berjongkok dengan tiba-tiba, bersamaan dengan
terdengarnya suara percakapan yang sayup-sayup terbawa angin.
Orang itu berhenti sejurus. Menahan napas. Kini suara
percakapan tadi terdengan lebih jelas:
".... akang berjanji palsu!" ujar seorang perempuan, dengan suara
lirih dan kecewa. "Mengapa kau bilang begitu. Nengsih?" sahut suara lainnya. Lakilaki. Berat dan agak parau.
"Buktinya akang belum melamarku juga...."
"Tapi isteriku.."
"Bukankah akang sudah berjanji akan menceraikannya!"
"Aduh, Nengsih. Mana mungkin" la sedang hamil tua dan..."
"Dan aku" Kang. aku.. aku juga sudah hamil. Mama sudah mulai
curiga, kang... tetapi belum bertanya-tanya, kalau semua orang
sampai tahu, aduh. kang.. Namaku dan keluargaku akan
tercemar..." suara perempuan itu kini setengah menangis.
"Husy. jangan cengeng. Aku akan bertanggung jawab. Percayalah,"
si lelaki menghibur. "Sunguh" "He-chan" 45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tetapi..." "Ngg, kau tak percaya akang ya?"
Tidak ada sahutan. Sepi. Sesaat. Dua. Tiga..
Lalu. terdengar berkeresak-keresek. disertai suara mengaduh
yang halus dan manja. Mendengar suara-suara yang ganjil itu,
bayangan orang yang bersembunyi di balik semak belukar
bergerak lebih dekat, menguakkan semak lebat yang menghalangi
pemandangan dia... Dan ia segera menarik mundur kepalanya ke belakang, duduk
terhenyak. Sepasang matanya membesar dan dadanya naik turun
dengan cepat. la mengaturnya, bahkan meremasnya. la
merasakan sakit yang amat sangat. la ingin menjerit, ingin marah,
ingin memaki-maki. ingin berbuat apa saja. Tetapi yang mampu ia
lakukan hanyalah duduk terhenyak dengan sekujur tubuh terasa
luluh. Hatinya hancur. Teramat hancur. dan sudut-sudut matanya
mulai basah oleh butir-butir air hujan.
Entah berapa lama ia dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu. la
baru tersadar waktu terdengar suara perempuan itu lagi, "Sudah
ah.. kang" lirih dan manja. Manja sekali.
"Mh, sebentar dong..."
"Kang, aduh.." Bayangan orang di balik semak belukar yang gelap' itu menggigil
dengan hebat. la tak sudi melihat perbuatan orang-orang terkutuk
itu lagi. la tak sudi mendengar ucapan-ucapan mereka yang kotor
dan busuk. Ia harus pergi. Harus!
Lalu pelahan-lahan, bayangan yang itu bergerak mundur..
mundur, terus mundur. Setelah agak jauh. baru ia berdiri,
memutar tubuh, kemudian mulai berlari. Berlari, berlari... terus
berlari, sampai kakinya terasa seperti akan lepas dari
persendiaan tubuhnya, sampai jantungnya tidak kuat lagi
menggebu... Namun ia terus berlari, malah kalau mungkin. ia akan
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berlari sampai malaikat-maut datang mencabut nyawanya dari
raganya. Matanya perih, pandangannya menjadi gelap. Pekat. gelap, dan di
antara kegempaan itu beribu-ribu warna bermain-main simpangsiur. Merah, jingga, lembayung. kuning. merah tua. hitam.. merah
menyala seperti darah. Bergelombang-gelombang, seperti ombak
yang menggulung dilanda topan, menerpa dengan dahsyat,
menenggelamkan tubuhnya dengan kejam. Dalam keadaan yang
putus asa. Ombak itu perlahan-lahan reda, warna-warni yang
mengerikan itu pelahan-lahan berubah lembut. manis dan indah.


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la merasa seperti melayang-layang dan kakinya yang berlari
terasa amat ringan. Entah berapa lama waktu telah berlalu ketika itu. Dan ia tidak
peduli. Tidak mau tahu. Dengan perasaan nyaman, kakinya mulai
berhenti berlari. dan kini berjalan santai ke arah pinggir sebuah
sungai. Udara cerah, langit biru jernih, angin bertiup sepoi-sepoi
basah. Suara air sungai menerpa batu terdengar seperti nyanyian
merdu yang merangsang, Rangsangan itu datang dari sesosok
bayangan perempuan yang sedang duduk tercenung di atas
sebongkah batu besar dan pipih. Sepasang kakinya yang indah
terjuntai ke bawah, dipermainkan air yang menjilat-jilat betisnya
yang mulus dengan mesra. Ketika ia mendekat, perempuan itu menoleh. Sepasang matanya
yang bulat, tampak redup. Bertentangan sekali dengan alam di
sekitarnya, bahkan dengan kesemarakan tubuh dan rambutnya
yang berkibar-kibar ditiup angin. Mata yang bulat dan redup itu,
basah. dan tetesan-tetesan air bening melebihi kedua belah
pipinya yang halus. "Apa yang kau tangisi, Nengsih?" ia bertanya.
Gadis itu menunduk, dan tangisnya meledak. la lalu bergerak
turun ke air, mendekati gadis itu, dan merangkulnya dengan
lembut. Gadis itu membalasnya, menangis di dadanya. Ia belai
rambutnya yang panjang bergelombang. ia usap bahunya yang
47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
halus dan hangat. ia angkat dagunya yang lembut dan mulus. Bibir
yang merah dan basah itu, terbuka sedikit.
Napasnya yang hangat menggebu-gebu keluar, menarik-narik
kelelakiannya yang sudah terbuai. Dan ketika pelan-pelan ia cium
bibir yang merekah itu, seseorang tahu-tahu, sudah berseru dari
kejauhan : "Hai, apa yang kalian kerjakan di situ, eh?"
la terdongak, dan di atas tanah yang ketinggian, bukan saja satu.
melainkan dua. tiga, empat... ah, mengapa demikian banyak orang
telah berada di sana" Ketika ia perhatikan, tiba-tiba sekali ia bisa
mengenali salah seorang di antara mereka yang menunjuk-nunjuk
ke arah dirinya dan gadis itu. Orang itulah yang barusan tadi
berseru, dan orang itulah yang kini bersuara lebih keras
mengatasi suara orang-orang lainnya:
"Zinahi Terkutuk! Biadab! Jadi, kau yang membuntingi dia.
yaaaa?"" Mendengar tuduhan itu. ia jadi terkesiap. Tiba-tiba ia sadar,
bahwa ia telah terjebak. Dengan gugup, ia membantah, "Bukan
aku... bukan..." "Ha?" jerit orang itu, dan yang lain-lainnya berteriak marah.
"Sudah kami buktikan di depan mata. masih membangkang eh?"
Lalu. orang-orang itu bergerak turun, berlari-lari mendekat. Lakilaki malang itu menjauhi si perempuan dan dalam keadaan panik
ia berteriak, "Tanya si Nengsih! Tanya si Nengsih!"
Orang-orang kampung yang sudah mengepungnya itu, tertegun.
Lalu seorang bertanya, "Siapa yang membuntingi kau. nengsih?"
Si gadis mengangkat kepalanya memandangi orang-orang itu satu
persatu, dan berhenti agak lama pada wajah orang yang
menggumulinya. Diantara pepohonan karet, orang yang berjanji
akan menceraikan isterinya sendiri, orang berjanji akan
48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengawininya, orang yang kini memandanginya dengan sinar
mata tajam, buas dan penuh ancaman. Nengsih bergidik sedikit,
kemudian matanya beralih pada laki-laki yang telah menciumnya,
dan kini berdiri gemetar diantara pengepung.
Dari mulut Nengsih, terdengar bisikan, "Tar-jo. Dia yang ..."
Ucapan Nengsih tenggelam di antara teriakan-teriakan marah
dari enam orang laki-laki berwajah buas, dan teriakan ketakutan
dari seorang laki-laki yang tidak berdaya. Badai tiba-tiba
menggelegar di pinggir sungai itu. Badai pukulan, tinju,
tendangan. caci maki, sumpah serapah. Badai kemarahan yang
bercampur dengan badai keputus asaan...
"Aduuuuuhu. ampuuuuuun!" seraya mengaduh. Supandi terlonjak
dari tidurnya. Seakan menghindari datangnya hujan pukulan.
Kepala ia rundukkan dan kedua tangan bergerak liar kian kemari
berusaha melindungi diri. la berlaku demikian lama, sampai
kemudian ia merasa letih tanpa menghasilkan sesuatu. Perlahanlahan gerakannya berhenti. la menoleh ke sekeliling dan segera
sadar bahwa ia berada dalam kamar tidur. Sendirian.
"Ya Tuhan.." ucapnya dengan suara kering.
"Syukurlah semua itu cuma impian..." Tetapi ketika ia melap
keringat! yang membanjiri jidatnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
"Mimpi" Dan begitu nyata?" bisiknya, lantas tubuhnya mulai
gemetar. "Seperti malam-malam yang lalu..." la coba mengingat
kembali impian yang datang secara berturut-turut itu.
Hujan yang deras. langkah-langkah kaki yang diseret. Suara
cekakakan dan mengejek. Dan seseorang yang dipaksa berjalan
dengan kedua tangan terikat ke belakang sambil sesekali
mendapat tambahan tendang dan tinju. Suara orang memerintah
agar berjongkok. Lalu meralatnya agar bersimpuh.. lalu lagi,
kilatan pedang di udara, dan kepala yang menggelindirlg jatuh.
Sebelum kepala itu melayang ke lembah, lenyap ditelan kegelapan
malam. Masih sempat sepasang matanya yang terbuka lebar,
menatap algojo- algojonya satu persatu, sehingga pembunuh49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pembunuh itu sama bergidik ketakutan. Jelas tampak wajah lakilaki yang kepalanya sudah putus dari badannya itu.
Wajah orang yang juga tampak dalam impian"
Supandi sebelum tadi ia terbangun.
Wajah yang sama. Dan kini ia tahu namanya,
Tarjo! *** DENGAN badan yang letih lesu, Amalia tiba di rumah menjelang
tengah hari. Yang pertama-tama menarik perhatinnya adalah
bekas sumur yang sudah menimbun sendiri itu. Lalu rumahnya
yang sepi. Ketika ia buka pintu dan masuk ke dalam, sarapan pagi
masih lengkap di atas meja. tak disentuh. Keadaan di dapur
berantakan, karena sehabis memasak hidangan untuk pekerjapekerja di sawah, ia tidak keburu membereskannya. Rasa letih
dan lesu. Amalia kini bertambah dengan rasa pusing, melihat
keadaan yang berantakan itu. la lantas bergegas masuk ke kamar,
dengan muka yang merah menahan marah.
"Nyenyak tidurnya, paduka?" ia bertanya dengan suara setengah
berteriak. dan jelas dengan nada menyindir.
Supandi yang termangu-mangu di tempat. Wajahnya tampak
pucat, bibirnya kering, dan sinar matanya kosong. Kakinya yang
menjuntai di pinggir tempat tidur, gemetar. Tak sepatah katapun
yang ke luar dari mulutnya. Akan tetapi, keadaannya sudah cukup
menjelaskan segala sesuatu pada Amalia. yang seketika itu juga
menyesali cemoohan yang terlanjur ke luar dari mulutnya.
Setelah tertegun sejenak memperhatikan keadaan suaminya,
Amalia menghambur ke tempat tidur. Memeluk laki-laki itu eraterat, mendekapkan wajahnya yang pucat itu ke dadanya yang
hangat. la kembali menyadari bahwa semenjak suaminya frustasi
akibat dipecat dari kantor. Supandi membutuhkan kasih sayang
seorang ibu dari pada kasih sayang seorang isteri.
50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Maafkan aku, sayangku." Amalia berbisik lembut. "Aku tak tahu,
kalau kau sedang sakit..."
Di dadanya. terasa kepala Supandi bergerak-gerak menggeleng.
"Mimpi buruk lagi. yang?"
Kepala itu mengangguk, lambat-lambat. Amalia berusaha tertawa.
Lembut menghibur. "Ah, jangan dipikirkan lagi. Ayoh, bangkitlah. Aku akan
menemanimu mandi, kemudian makan, perutku sudah lapar."
Bagaimanapun, kehadiran Amalia di sisinya sedikit banyak telah
membantu hadirnya semangat Supandi kembali. Tak ubahnya
seorang anak kecil yang ketakutan dan kini mendapat
perlindungan dari ibunya yang penuh kasih. Supandi kemudian
menurut ketika diajak oleh Amalia ke luar dari kamar. Tetapi ia
hanya menemani suaminya sebentar di kamar mandi.
"Kau mandilah ya" Aku akan menghangatkan makanan, dan
menyiapkan pakaian gantimu..."
Lalu ia keluar dan pergi ke dapur. Tetapi sebelum mengerjakan
sesuatu, pikirannya terpecah pada keadaan suaminya. Impian
buruk apa lagi yang mengganggu Supandi, setelah pemenggalan
kepala yang mengerikan itu" Amalia bergidik, lantas bergumam..
"Aku harus tabah. Jangan menambah lemah mental kang Pandi.
Dan aku sebentar lagi harus pergi ke sekolah..." Dan, iapun mulai
bekerja. Terburu-buru. la begitu lelah sepanjang hari. Begitu
banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Pagi-pagi membersihkan
seisi rumah. Mencuci. Lalu memasak hidangan makan siang untuk
setengah lusin orang. Mengantarkannya ke sawah. Ikut mengawal
petani-petani mengetam, dan sempat pula melihat pembagian
hasi. Pulang ke rumah, masih harus membereskan segala
sesuatunya yang berantakan.
Lalu kini harus mengajar. Di depan kelas, matanya terasa sangat
berat. sehingga bunyi lonceng tanda pelajaran terakhir, benarbenar merupakan hadiah paling menarik untuknya pada hari itu.
51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa menunggu. ia lantas bergegas pulang, Amalia hanya sempat
omong-omong sebentar dengan suaminya.
Begitu malam mulai jatuh ia telah naik ketempat tidur. Begitu
kepalanya menyentuh bantal, ia segera menguap. Sekali. Dua.
Tiga. Banyak sekali. la tidak sempat menghitungnya. Karena ia
sudah jatuh tidur selagi mulutnya masih menguap...
Demikian lelap Amalia tertidur, sehingga ia tidak mendengar
suara berisik dari meja dan kursi yang bergeser di ruang tengah.
Lalu ada suara langkah-langkah kaki di atas para. Karpus yang
melapisi langit-langit lepas dari beberapa tempat. Sebagian jatuh
di atas selimut yang menutup tubuh Amalia. sebagian lagi ke
tempat di sampingnya yang kosong. Tempat yang seharusnya
ditiduri oleh suaminya, Supandi.
Ranjang berderit ketika Amalia menggeliat sedikit. Sepi dan diam
menyentak seketika di atas para. Lalu suara langkah-langkah kaki
lagi dan serpihan-serpihan kapur berupa remeh-remeh putih
kekuning-kuningan bertambah banyak jatuh. Kembali suara meja
dan kursi digezerkan di ruang tengah. langkah-langkah kaki lagikemudian suara pintu dibuka lantas ditutupkan kembali dengan
hati-hati. Anehnya, dalam tidurnya. Amalia masih pula menguap!
*** Sampai perih mata Supandi karena berkali-kali ia pejamkan tanpa
hasil. Selalu matanya terbuka lagi, terbuka lagi. Lebar dan
nyalang. Dan tiap kali kelopak matanya terbuka, tiap kali pula
terasa ada suatu tarikan magnit yang seakan berusaha untuk
mencabutnya sampai-sampai air matanya merembes ke luar. la
berbaring lemah di samping Amalia yang sudah tidur. Akhirnya
suatu kekuatan gaib seolah memaksanya turun dari tempat tidur.
Entah mengapa ia langsung pergi ke ruang tengah, menggeser
meja ke bawah lubang para dan menempatkannya sebuah kursi di
52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bawahnya lalu naik. la tidak mengerti, mengapa harus itu yang ia
lakukan. Pikirannya tidak bisa bekerja sama sekali otaknya beku.
Syarafnya hanya bergerak menurutkan sebuah perintah yang
datangnya tidak lewat selaput telinga tetapi langsung menyentuh
otak. Seakan-akan, apapun yang harus ia lakukan, sudah tertulis
nyata di otaknya itu, tanpa ia harus memikirkannya lagi. Namun
hati kecilnya masih mampu bekerja. Tetapi demikian lemah.
demikian tidak berdaya. Sehingga hati kecilnya rasanya bisa
berteriak-teriak dengan putus asa.
"Kau sudah diperbudak!"
Kau sudah diperbudak" Sebagai seorang budak yang patuh ia
berjongkok di depan batok kepala yang kotor dan berkeriput itu.
la menunggu dengan patuh menunggu dengan perasaan cemas
dan takut. Bulu kuduknya meremang Jantungnya menggebu
dengan cepat sama cepat dengan teriakan lelah disanubarinya.
"Lari. Cepat lari. Tinggalkan mahluk terkutuk itu!"
Kakinya lebih terkutuk lagi. Kaki yang bergerak menurutkan
perintah otaknya untuk naik ke atas para, dan setelah berhadaphadapan dengan batok kepala manusia bernama Tarjo itu, justeru
menjadi lumpuh tanpa daya. Kelopak mata yang berkerut-kerut
itu perlahan-lahan bergerak. Dan warna merah kehiru-biruan
bagai sinar lazer yang tiba-tiba ditembakkan, membentuk
sepasang garis lurus langsung ke mata Supandi yang tidak
berkedip walau sepicingpun, meskipun hati kecilnya berteriakteriak dengan marah:
"Tutup! Tutup matamu, jahanam!"
Terlambat sudah. Karena lewat sinar mata itu otaknya sudah
menangkap sebuah kalimat pertanyaan :
"Sudah kau lihat dalam mimpimu apa yang telah terjadi?"
Supandi menelan ludah. la ingin membuka suara, namun hanya
mampu menggerak kepala. la mengangguk-angguk.
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Nengsih adalah cinta pertamaku. Aku begitu tergila-gila padanya.
Aku tahu, ia lebih menggilai pengawas onderneming yang kaya
raya tetapi sudah punya bini dan anak selusin itu.. Aku terpaksa
menikahinya... Tetapi haram aku menjamah tubuhnya. Bangsat
pengkhianat itu.. dengan anak haram jadah dalam perutnya... Apa
yang lebih baik kau lakukan" Menceraikannya, bukan?"
Lagi. Supandi manggut-manggut, tanpa sempat berpikir apakah
memang itulah jalan yang terbaik. Menikahi si perempuan busuk,
kemudian menceraikannya begitu saja. Barangkali memang itulah
satu-satunya jalan terbaik. Toh si perempuan hanya
membutuhkan seorang laki-laki untuk dicap sebagai ayah dari
anak haramnya. Setelah itu, gampang baginya mencari laki-laki
lain. la masih muda. Cantik. dan bertubuh montok setelah beranak
satu... "Sekarang adalah bagianku!" suara gaib itu menyentuh otak
Supandi lagi. "Bawa aku ke sana!"
Supandi semula akan membungkus batok kepala itu dengan
selendang Amalia, tetapi batok kepala itu seakan berteriak marah:
"Biarkan aku menghirup udara yang lebih segar!"
Ia hanya kebingungan sebentar. Dengan cepat ia telah bisa
mengambil keputusan. Rambut di batok kepala itu panjang
tergerai. la menjambaknya dengan tangan gemetar.
rnenggumpalkannya di dalam telapak tangannya, kemudian
mengangkat lunak kepala itu dengan hati-hati. Tak ubahnya
mengangkat dinamit yang masih aktif, yang salah sentuh saja
sedikit, bisa meledak... sia-sia Supandi mengingat di mana letak
tempat yang ia lihat dalam impiannya tadi pagi. la dilahirkan di
desa ini, dan sebelum dibawa merantau ke kota oleh pamannya, ia
sempat menjelajah ke desa-desa di sekitarnya bersama anak-anak
yang sebarya dengan dia. Tetapi saat-saat manis itu telah lama
berselang. la mungkin sudah lupa keadaan desa-desa yang pernah
ia kunjungi. Lebih-lebih lagi, desa yang lihat dalam mimpinya,
suasananya adalah suasana kira-kira seratus tahun yang telah
54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lampau. Dan meskipun barangkali sempat dikunjungi Supandi,
tentulah keadaannya sudah jauh berubah. Apalagi sekarang!
Namun, ajaib. Otaknya seperti mendapatkan petunjuk. Kedua
kakinya melangkah dengan tetap, dengan tujuan yang pasti.
Melangkah demikian enak dan ringan. Bahkan sesekali ia berlari,
tanpa merasakan letih. Setiap otot di tubuhnya seakan tiba-tiba


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menyerap tambahan tenaga, entah darimana datangnya.
Dalam gelap pekat, apalagi karena ia harus menjauhi jalan umum
dan menerobos semak belukar dan hutan rimba. Bulan yang pucat
bersinar lemah, tetapi hal itu tidak menghalangi Supandi. la terus
berlari seolah harus berpacu dengan waktu. Balok kepala yang ia
jinjing, berayun-ayun kian kemari. Angin malam bersiut-siut.
Dingin, menusuk. *** DARMANTO berjalan hilir mudik di kamar tidurnya. Entah sudah
berapa batang rokok yang sudah ia habiskan. ia tidak ingat lagi.
Sudah pula ia berulang kali menuangkan kopi yang ia reguk
panas-panas, namun kegelisahannya tidak juga mereda. Sesekali
ia berhenti kalau mendengar isterinya, Saerah mengerang-erang
kesakitan. "Aduhh, kanh... Tolonglah, akang...?"
Bergegas Darmanto mendekati isterinya, dan bertanya dengan
gugup: "Sudah mau keluar" Sudah mau keluar?"
Saerah mengelus perutnya yang membukit menjawab dengan
suara setengah menangis: "Iya, kang. Rasanya...."
"Tahan dulu! Jangan dulu! Sebentar lagi paraji datang!"
Isterinya menggigit bibir, berusaha mengangguk. Darmanto
melap keringat yang membasahi wajah isterinya. Memijit-mijit
55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tubuh perempuan itu di bagian-bagian tertentu, seraya
mengucapkan kata-kata menghibur. Ketika ia sendiri sudah
sangat berkeringat dan sangat butuh dihibur, isterinya
bergumam: "Gerakannya sudah berhenti, kang...!"
"Bagaimana rasanya?"
"Sudah lebih enak?"
Sekarang. Saerah sudah tertidur. Tetapi sewaktu-waktu bayi
dalam kandungannya pasti bergerak lagi, dan Saerah akan
mengerang-ngerang kesakitan. Bahkan menjerit-jerit minta
tolong. Darmanto bisa membayangkan penderitaan Saerah. Itu
adalah kandungannya yang pertama, namun telah berumur
hampir sepuluh bulan. Belum juga brojol ke luar.... Malam ini
kandungan isterinya demikian liar gerakannya. Darmanto bahkan
melihat sendiri bagaimana bagian-bagian tertentu dari perut
isterinya seperti ditendang- tendang dari dalam. Adiknya
Damiadi, sudah satu jam pergi untuk memanggil paraji tetapi
belum pulang-pulang juga. Mungkin paraji sedang mengurus
perempuan lain yang mau melahirkan. Memang ia dengar-dengar,
ada sekitar lima orang yang sedang menunggu datangnya bayi di
kampung mereka... Darmanto berjalan ke dapur, seraya menghirup kopi dengan
pikiran melantur kian kemari.
"Aku tak percaya segala macam omong kosong itu!" gerutunya
sendirian. "Kandungan Saerah mungkin saja hanya karena
kelainan phisik semata..."
Sepuluh tahun sudah ia menikahi perempuan itu. tetapi belum
juga memperoleh keturunan. Mantri Kesehatan di kampung
mereka mengatakan mungkin salah seorang antara suami isteri
itu mandul adanya. Ingat benar Darmanto bagaimana ia marah
mendengar tuduhan itu. Hampir saja Mantri kesehatan ia pukul,
kalau tak disabar-sabarkan oleh Saerah. Dengan mengorbankan
gajinya sebulan sebagai juru tulis desa, Darmanto memboyong
56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
isterinya ke kota. la terpaksa pulang lagi ke kampung untuk
menggadaikan dua kotak sawah, karena dokter spesialis
kandungan di kota meminta biaya besar untuk mengubah
susunan kandungan isterinya yang kata dokter itu, menyimpang.
Tetapi setelah isterinya pulang dari opname di Rumah Sakit itu
lewat lima tahun, belum juga isterinya mengandung sehingga
sesekali sempat Darmanto mendoakan hal bukan-bukan yang ia
tujukan kepada si dokter.
"Semoga uangku yang ia makan membuat perutnya busuk dan
bernanah....l" Darmanto mengisap sebatang rokok lagi.
"Hem!" gumamnya. "Barangkali doaku yang tak pantas itu yang
menyebabkan semua ini terjadi."
Tetapi apakah memang demikian" Telah berapa orang dukun dan
ahli-ahli kebatinan yang mereka datangi. Hampir semua
memberikan jawaban yang sama:
"Ini mungkin pembawaan kutuk turunan..."
Hampir gila rasanya Darmanto kalau ingat semua itu. la
mempersetankan ucapan mereka, dan hanya memohon agar
mereka membantu. Itu saja. Lalu seorang dukun yang tersohor
memberikan ramu-ramuan untuk diminum dan sebagian dipakai
menyiram tubuh kalau isterinya mandi. Kandung telur Darman
bahkan sempat diurut-urut oleh dukun itu, setelah mana ia
berkata dengan suara puas:
"Kau akan segera dapat keturunan. Tiduri isterimu malam ini
dengan membiarkan jendela terbuka sampai pagi..." dukun itu
malah sempat berseloroh: "Makin dingin makin enak bukan?"
Dan dua bulan kemudian. Saerah berhenti haid.
"Dan kini sudah hampir sepuluh bulan, tetapi anak yang
kurindukan itu belum mau juga melihat bapaknya, sungut
Darmanto lagi. Apakah ada yang salah dalam ramuan dukun itu"
57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Atau sesuatu yang salah dari pekerjaan dokter di kota" Atau
dukun-dukun serta ahli kebathinan itu memang mengatakan hal
yang sebenarnya" Ingin rasanya Darmanto mempersetankan
semua itu. Tetapi sambil menunggu paraji datang, apa salahnya menganalisa
hal itu. Lalu otaknya mulai bekerja keras menyusun silsilah
keturunan mereka berdua. Keturunannya sendiri. dan garis
keturunan Saerah... Nenek Darmanto sempat menginjak usia delapan puluh tujuh
tahun. Sebelum beliau meninggal dunia dengan tenang. la pernah
bersuami hanya satu dan anaknya hampir selusin. Ia dulu pernah
kawin lagi. Tetapi konon menurut desas-desus, buyut Darmanto
sempat main gila dengan seorang anak kuli penderes karet.
Namun entah bagaimana, desas desus itu lenyap begitu saja
setelah anak gadis penderes karet itu kawin dengan orang lain.
Kalau tak salah, begitu menurut cerita nenek Darmanto, gadis
penderes itu diceraikan suaminya setelah anak mereka lahir. la
kemudian kawin lagi dengan laki-laki lain, dan beroleh beberapa
orang keturunan. Akan halnya anak perempuan yang ia bawa dari
perkawinan yang pertama, lama sekali baru mendapat jodoh.
Karena tersiar kabar bahwa perempuan itu dilahirkan haram.
Baru setelah menginjak usia tiga puluh tahun, si anak perempuan
yang bernama Parijah dan sempat menjadi teman bermain nenek
Darmanto, dilamar seorang laki-laki pendatang dari desa lain.
Lima tahun setelahnya mereka memperoleh keturunan juga
seorang anak perempuan. Anak itu cantik. pembawaannya menyenangkan. Namun entah
bagaimana, gagal saja setiap usaha orang tuanya untuk
menikahkannya. Setelah berumur dua puluh enam tahun, barulah
anak perempuan yang bernama Sumirna itu mendapat jodoh.
Malang baginya, seperti juga ibu dan neneknya, ia baru
memperoleh keturunan setelah usia perkawinannya melewati
masa 7 tahun. la meninggal ketika melahirkan anaknya, disusul
oleh nenek anak itu, sehingga si bayi merupakan keturunan
terakhir dari generasi si penderes karet.
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari hasil hubungan haramnya dengan buyut Darmanto. Juga
anak itu perempuan, dan diberi nama Saerah oleh kepala desa
yang merasa kasihan akan nasibnya yang yatim piatu. Karena
Darmanto bekerja sebagai juru tulis desa. ia jadi sering bertemu
dengan Saerah. Mereka kemudian saling jatuh cinta. Semua orang
menyetujui dan merestui hubungan mereka berdua, termasuk
nenek Darmanto. Malah neneknya yang paling berbahagia dari
semua orang. "Kalau kau nikahi si Erah," demikian sering neneknya berkata
sebelum meninggal. "Berarti kau kembalikan nama baik
leluhurmu. Darah turunan kita bersatu kembali. Semoga kalian
berbahagia..!" Rukun tenteram, hanya satu saja kekurangannya. Kalau nenek
Saerah baru menikah setelah berumur tiga puluh lima dan ibunya
dua puluh enam, tetapi Saerah menikah ketika mekar-mekamya
remaja: tujuh belas. Tetapi sebaliknya kalau nenek Saerah baru
dapat anak setelah lima tahun kawin dan ibunya setelah tujuh,
kini ia sudah menikahi Saerah selama sepuluh tahun, barulah
harapan mereka untuk mendapat keturunan, bisa terpenuhi.
"Mudah-mudahan doa nenek terkabul!" bisik hatinya. "Siapa tahu
dengan bersatunya kembali darah turunan, kebahagiaan yang
tidak sempat dicicipi leluhur Saerah, mulai sekarang malah ia
nikmati sepuas-puasanya..." lantas dengan hati yang agak
terhibur, Darmanto meninggalkan dapur.
Ketika melewati kamar, ia tidak mendengar apa-apa. Tentulah
Saerah belum diganggu lagi jabang bayinya. Darmamto bergerak
ke ruang depan. la membuka pintu. dan memandang ke kegelapan
di luar rumah. Lama benar si Darmadi pergi. Apakah paraji
sedang menunggu yang akan lahir di rumah lain, dan Darmadi
dengan sabar ikut pula menungguinya"
Sepi sekali di luar rumah. Gelap pula lagi. Sayup sayup, ia
mendengar suara lolongan anjing. Lirih, seperti nneratapi
rembulan yang pucat. Darmanto segera menutup pintu kembali. la
hirup lagi kopinya dan berjalan ke kamar tidur untuk menemani
59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saerah. Tetapi baru saja ia duduk di pinggir tempat tidur tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk dari luar. Ah, tentulah itu Darmadi
membawa paraji. Damianto meletakkan cangkir kopinya di atas
meja, lalu berjalan menuju pintu depan. Senyum ramah seorang
tuan rumah bermain di bibirnya ketika membuka pintu. Dan...
Dan. Sebuah kepala manusia tanpa badan tergantung-gantung di
udara tepat didepan biji matanya!
*** UNTUK selama beberapa detik. Darmanto berdiri terpana dengan
jantung yang berdebur. Namun kesadarannya tidak segera lenyap
secepat lenyapnya warna darah dari wajahnya yang telah
berubah pucat pasi. Matanya yang terbelalak lebar sempat
memperhatikan bahwa rambut di batok kepala itu mengeras
lurus ke atas dan samar-samar ia melihat sebuah lengan dengan
jari-jemari mencengkeram bagian atas rambut itu. Lengan yang
hanya tampak sebahagian itu gemetar hebat, sehingga batok
kepala manusia itu terayun-ayun lemah di udara, tampak sangat
kotor dan berkerut-kerut di sana sini.
Darmanto tidak mau berpikir panjang. Tangannya yang masih
memegang daun pintu mengencang. Ia sudah siap
membantingkan pintu itu sampai tertutup, ketika sekonyongkonyong kelopak mata yang berkerut-kerut di depan biji matanya
sendiri, mulai bergerak terbuka. Bersamaan dengan itu pula, bibir
keriput dari kepala itu ikut bergerak memperlihatkan seringai
yang melemahkan persendian tubuh Darmanto. Bau busuk
menyerang hidungnya, udara di sekelilingnya menjadi lembab
dan dingin membeku. la gemetar. dan tetap berusaha dengan
susah payah untuk menutupkan pintu.
Tetapi sepasang mata yang ganjil itu mulai bersinar. Sinar api
yang sempurna: merah kebiru-biruan. Tetapi itu bukan api. Tidak
terasa uap panas, melainkan kedinginan yang teramat sangat.
Tidak ada kelap-kelip, melainkan cahaya yang lurus menembus ke
bola mata Darmanto sendiri, menembus batok kepalanya,
60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menyentuh sampai ke otak yang syaraf-syarafnya seketika bagai
diputuskan dengan kejamnya. Lalu. otaknya yang seperti mau
pecah itu, menangkap sebuah perintah tanpa suara: "Mundur!"
Darmanto berusaha mengatupkam kelopak matanya. Tetapi
gagal. Tangannya bergerak menutupkan daun pintu. Juga gagal.
Kakinya goyah, berusaha untuk lari. Juga gagal. Lalu sebuah
kepatuhan yang tidak terbatas menyelusupi seluruh jiwanya.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun juga, ia lantas bergerak
mundur menjauhi pintu. la terus mundur, mundur, sampai
pinggangnya membentur tembok di belakangnya.
Ia tersadar di sana dengan punggung yang dingin, dan jantung
yang bekerja teramat cepat dan keras. Demikan cepat dan
demikian keras, sehingga berada di luar kemampuannya.
Dan ketika seseorang muncul di ambang pintu, dengan kepala
manusia tanpa badan itu terjinjing di tangannya, jantung
Darmanto tak mampu lagi untuk bekerja secara nonnal.
Tubuhnya menggelosor jatuh, berdebuk menimpa lantai ubin.
Diam tidak bergerak-gerak lagi.
Supandi melangkah maju dan setelah berada di dalam segera
menutupkan pintu. Selama beberapa saat, ia memperhatikan lakilaki yang tergeletak di lantai itu. la ingin tahu, apakah laki-laki itu
telah mati, atau hanya pingsan. Tetapi pikirannya tidak mau
bekerja. Bahkan kecemasanpun sama sekali tidak terasa dalam
hatinya. ".... kang?" dari kamar tidur terdengar suara perempuan.
Supandi tertegun. "Apakah mereka sudah datang, kang Manto?"
Supandi bimbang sesaat. Tetapi otaknya telah mendapat perintah
yang tidak bisa dibantah: "Bawa aku padanya!"
Seperti seorang budak yang penurut, Supandi berjalan dengan
langkah-langkah gemetar ke arah sebuah kamar dari mana
terdengar suara si perempuan. Pintunya terbuka. Dengan jelas
61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Supandi melihat bayangan sesosok tubuh perempuan yang
sedang hamil tua, berbaring di atas tempat tidur. Ketika ia
melangkah masuk, dengan kepala mahluk terkutuk itu terjinjing
di tangan, perempuan itu segera melihatnya.
Tidak ada jerit sama sekali.
Sepasang mata perempuan itu hanya terbuka lebar-lebar seperti
mau terlempar ke luar. Perempuan itu bahkan berusaha untuk
bangkit, mungkin didorong oleh naluri atau mungkin hanya
didorong oleh sentakan kaget semata. Tetapi secepat bangkit,
secepat itu pula matanya tertutup, lalu tubuhnya terhempas jatuh
kembali di atas kasur. Pingsan.
Supandi diam. Menunggu. Lalu. "Letakkan aku di sana. Cepat!"
Supandi bergerak ke tempat tidur. Lalu meletakkan kepala
manusia terkutuk itu di samping si perempuan yang terkapar
diam di atas tempat tidur.
"Buka kainnya!"
Supandi membuka kain perempuan itu.
"Angkat ke atas!"
Supandi menarik kain perempuan itu ke atas.
"Lebih ke atas lagi. Lagi...!"
Kini bagian bawah tubuh perempuan itu tidak tertutupi sehelai


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benangpun juga. Otak Supandi menyentuh syarat-syarat di
sekujur tubuhnya. la lalu bergerak tanpa perintah lagi. Kepala itu
di angkat, lalu ia telakkan di antara selangkangan si perempuan.
Setelah yakin kepala itu menghadap langsung ke rahim
perempuan malang itu, kain yang ia pegang kemudian ia
lepaskan. Kemudian ia mundur. Bergerak menjauh, tetapi
62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terkutuk benar, ia tidak kuasa untuk mengalihkan matanya dari
pemandangan mengerikan yang akan berlangsung.
Kain yang menutupi bagian bawah perempuan ia bergerak-gerak.
Mula-mula lambat, kemudian liar dan semakin liar, sesekali
tcrlonjak-lonjak. Telinga Supandi seperti mendengar suara
menghisap - ataukah itu suara mulut menghirup" - lalu si
perempuan tiba-tiba membuka lebar kedua matanya. Bersamaan
dengan itu. tubuhnya terlonjak dengan hebat. Sebuah pekik
kesakitan yang menyayat tulang, lepas dari mulutnya yang kering
dan pucat. Pekik kesakitan itu hanya terdengar sejenak, untuk
kemudian lenyap meninggalkan kesepian yang sunyi menyentak.
Perempuan itu terhempas jatuh di tempat tidurnya.
Entah pingsan. Entah mati.
Sesuatu terlonjak-lonjak lagi di bawah kain.
Lalu diam. "Keluarkan aku sekarang!"
Dengan lutut gemetar dan mata berlinangkan butir-butir air.
Supandi bergerak maju. la singkapkan kain yang menutupi bagian
bawah tubuh perempuan itu. Semula ia menduga akan melihat
darah yang bersimbah. Tapi tidak. Tidak ada darah sama sekali.
Yang ada hanyalah kepala mahluk terkutuk itu yang matanya
menyorot langsung ke mata Supandi. yang bibirnya menyeringai
lebar. Bibir yang kini sudah kemerah-merahan. Ada darah
menetes membasahi dagunya...
Tidak. Masih ada sebentuk benda lain. Yakni, segumpal benda
lembut tak lebih besar dari kepalan tangan. Terdiri dari kulit
membalut daging sepasang tangan yang kecil-mungil, sepasang
kaki, dan sebuah kepala dengan rambut yang gomplok subur
tetapi dengan kelopak mata terkatup dan bibir yang membentuk
garis tajam, seolah ditarik darh dalam oleh sebuah kekuatan gaib.
Bayi itu tidak berwarna merah seperti lazimnya bayi yang baru
lahir. Melainkan pucat, dengan kulit yang kering. Tidak ada suara
63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tangis sama sekali. Tangis orok yang beruntung masih mendapat
tempat di pojok dunia yang sudah sempit dan berbau busuk ini.
*** Pintu depan masih terbuka ketika Darmadi tiba bersama seorang
paraji perempuan. Mula-mula kedua mereka tidak
memperlihatkan hal itu. Mereka barulah merasa heran ketika
melihat Darmanto duduk mencangkung di lantai. dengan
punggung bersandar ke tembok. la tidak bangkit untuk
menyongsong adik dan paraji itu. la malah tidak bergerak sama
sekali. la hanya memandang kedatangan mereka dengan tatapan
mata kosong tidak bersinar sama sekali.
"Apa kerjamu ini, kang?" tanya Darmadi, heran.
Darmanto tidak menyahut. Perasaan tidak enak menyelusup dalam diri Darmadi. Ia segera
berlari ke kamar tidur, diikut oleh ibu Paraji. Di ambang pintu
yang menganga lebar, mereka sama tertegun. Kakak ipar Darmadi
berbaring ditempat semula Darmadi terakhir melihatnya. Tetapi
sebuah perubahan besar telah terjadi atas diri Saerah. Wajah
Saerah pucat tidak berdarah. Tubuhnya diam, tidak
memperlihatkan tanda-tanda hidup sama sekali. Lebih aneh lagi,
perutnya yang menggunung tampak sudah kempes.
Lama mereka berdua terpana di ambang pintu, sampai kemudian
ibu Paraji yang mula-mula sadar lalu bergerak mendekati tempat
tidur. Kain yang menutupi bagian bawah tubuh Saerah, ia angkat
dengan tangan gemetar. Ketika kain itu terlepas dari tangannya,
ibu Paraji menjerit, lalu lari pontang-panting ke luar dari rumah
yang menakutkannya itu. Darmadi merasakan sekujur tubuhnya dingin. Sesaat ketika ibu
Paraji tadi menyingkapkan kain kakak iparnya, matanya sempat
menangkap benda aneh di sana. la tidak melihat adanya darah...
64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dengan menguat-nguatkan hati. Darmadi kembali ke ruang
depan" Abangnya masih duduk mencangkung di tempatnya semula. la
melihat ke arah Darmanto. Dan tampaknya ia mendengarkan
dengan serius pertanyaan adiknya:
"Apa yang terjadi, kang manto?"
Sesaat, tidak ada jawaban. Lalu, pelan pelan bibir Darmanto yang
kering membuka. Terdengar suaranya yang parau: "Siapa kau?"
Tengah malam buta itu, seluruh kampung menjadi gempar.
*** HAMPIR tigapuluh kilo meter dari kampung yang tengah dilanda
kegemparan itu. Amalia menghirup udara pagi yang cerah ketika
ia membuka jendela kamar tidurnya. Betapa nyaman dan
tenangnya suasana di sekeliling, sehingga ia untuk beberapa saat
termangu-mangu dengan kagum. Alangkah jauh berbeda dengan
Kisah 47 Ronin 2 Bandit Penyulam Pendekar 4 Alis Buku 2 Karya Khu Lung Pendekar Mata Keranjang 19
^