Sumpah Berdarah 2
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap Bagian 2
dengan blek-bleknya yang sudah kosong. "Oh ya, Bu
Ida. Rasanya aku mencium bau tak sedap tadi di
dapur...." "Aku juga!" "Pasti bangkai tikus. Sebaiknya dibuang segera, Bu,
sebelum makin membusuk.., Nanti akan kutolong
membuangkannya, setelah pekerjaanku selesai..."
Ijang berjanji. "Ah. Biar saja oleh suamiku. Oh ya. Bagaimana
perkembangan mertuamu?"
"Sudah membaik, Bu Ida. Malah sudah turun lagi ke
sawah. Dukun patah tulang itu yang menganjurkan...."
"Hem. Tolong bilangin supaya Pak Wasdri hati-hati
menjaga kakinya." "Tak perlu dijaga, Bu. Tokh dibawa ke mana-mana!"
jawab Ijang, tertawa. "Permisi, Bu Ida. Salam pada
Bapak!" "Terima kasih, Ijang."
Sepeninggal Ijang, Zuraida tercenung. Ia tidak punya
sangkut paut dengan Abah Sobara ataupun
keluarganya. Tetapi cara kematiannya seperti yang
diceritakan Ijang, mengganggu pikiran Zuraida. Ada
orang yang melihat Suparti di sekitar rumah rentenir
itu, ketika bencana mengerikan itu baru terjadi. Si
nenek tua renta pun beberapa kali terlihat ketika
lubang galian yang kini sudah menutup sendiri itu,
dikerjakan suaminya berdua dengan Abah Jukardi.
Jukardi pun telah mati. Dan ada orang bilang pada
malam kematian Jukardi, perempuan tua itu
bergentayangan di jalan-jalan desa.
Apakah ada kaitan semua peristiwa ini dengan
Suparti. Jika ada, lantas apa"
Zuraida menggeleng bingung sendiri. Tak banyak
orang yang bisa diajak berbicara. Dan dari yang
sedikit itu, teramat sedikit pula keterangan yang
dapat ia kumpulkan mengenai seluk-beluk kehidupan
Suparti yang misterius itu. Yang membuat Zuraida tak
habis mengerti, mengapa hari-hari terakhir ini ia
semakin terangsang saja untuk mengetahui lebih
banyak tentang perempuan yang semakin ditakuti
penduduk itu. Tetapi, sudahlah. Murid-muridnya menunggu di sekolah!
Zuraida masuk ke dalam rumah, memastikan bahwa
hidangan untuk makan pagi suaminya sudah siap di
lemari makan. Jangan-jangan ia melupakan sambal...
Hem. Semuanya tinggal ambil, kalau perlu, tinggal
menyuapkan saja. Zuraida mengangguk puas, lalu
masuk ke kamar tidur. Salin pakaian, tanpa
menimbulkan suara berisik agar tidur Sukri tidak
terusik, suaminya membutuhkan istirahal total. setelah
; berhari-hari bekerja tanpa mengenal waktu. Tanpa
hasil pula! "Suamiku malang!" Zuraida membathin seraya
mengecup bibir Sukri, sebelum berlalu dari kamar. Di
sebelah bantal suaminya, ia letakkan pesan tertulis.
Memberitahu agar suaminya menyempatkan waktu
pergi melayat ke rumah keluarga Suradi. Juga tak
lupa mengingatkan: "Ada bau tak sedap di dapur.
Tolong diperiksa sumbernya, Kang Sukri!" Tentu saja,
pesan-pesan tertulis itu, diakhiri dengan cup sayang.
Zuraida mendorong sepeda motornya ke luar rumah.
Setelah agak jauh, barulah mesinnya dihidupkan.
Mesin motor bebek itu pun bergerung-gerung.
Mengejutkan. Sukri terjaga, jadinya. Membuka sepasang kelopak
matanya. Menatap liar ke sekitar tempat tidur. Untuk
memastikan dimana ia sedang berada, dan mimpinya
telah berakhir. Mimpi buruk yang tidak saja
mengerikan, tetapi juga bagaikan mencabik-cabik otot
bahkan tulang-belulang di sekujur tubuhnya.
Sukri kemudian menggeliat. Menguap lebar. Geliatnya
menyebabkan bantal di samping, terlempar ke lantai.
Membawa serta pesan tertulis Zuraida. Dengan
sekujur tubuh lesu dan mata masih mengantuk, Sukri
meluncur dari tempat tidur. Masih sempat ia lihat
motor bebek yang ditunggangi istrinya, lenyap di
kejauhan. Setelah itu ia pergi ke kamar mandi. Bak
masih melimpah oleh air hujan yang curah menderas
malam sebelumnya. Gentong yang kosong malam sebelumnya, telah terisi
penuh. Gentong yang sudah terisi itu mengingatkan
Sukri pada Wasdri yang patah kakinya. Wasdri
mengingatkan Sukri pada sawah warisan orang
tuanya. Sawah, seterusnya, mengingatkan Sukri pada
pertemuan yang mestinya berlangsung hari ini di
kantor kelurahan. Untuk membahas urusan irigasi
baru. Sukri harus ikut hadir. Terutama, karena saluran
irigasi yang akan dibuat itu, akan melewati sebagian
tanah miliknya. Habis mandi ia ganti pakaian di kamar. Pada saat
itulah, perutnya mulai terasa keroncongan. Sukri
begitu lapar, sampai tak tercium olehnya adanya bau
busuk yang ganjil menebar di sekitar dapur.
Tenang-tenang saja ia membuka lemari makan,
mengambil apa yang diinginkan lalu ditumpukkan di
piring, sesukanya saja. Saking lapar, Sukri memutuskan makan di meja dapur
saja. Ia tenggak dulu teh hangat, hampir setengah
gelas. Kemudian mulai makan sesuap demi sesuap,
sambil menduga-duga kiranya apa yang membuat
jalan pikirannya begitu pekat, sehingga ia hanya
mampu mengingat segala sesualu di sekeliling dirinya
dan kehidupannya, setahap demi setahap. Seakan
kerja otaknya melempem, lambat.
* Zuraida tahu ia sudah terlambat tiba di sekolah. Oleh
karena itu sepeda motor bebeknya ia tancap, namun
masih sempat pula ia membalas sapaan atau
anggukan beberapa pejalan kaki yang sudah
dikenalnya. Sewaktu akan lewat di jembatan,
kecepatan kendaraan ia kurangi.
Karena ujung jembatan di seberang, jalannya mulai
menurun dan seingatnya, akan membelok tajam.
Namun toh, tetap saja Zuraida hampir terpelanting.
Pas keluar belokan, sesuatu menghadang di depan
jalannya. Zuraida mengerem kuat, membuat ban
sepeda motornya menjerit kesakitan, dan kendaraan
roda dua yang kecil mungil itu selip sepersekian detik
sebelum akhirnya berhenti oleh bunyi hentakan mesin
yang menggerung lalu mati sendiri.
Zuraida tegak mengangkang diatas sepeda motornya.
Memandang berang ke depan. Dan orang yang
hampir saja membuat Zuraida terpelanting ke jurang
dalam di tepi jalan, mengangkangkan kakinya pula,
seraya kedua tangan berkacak pinggang. Wajah
tuanya yang keriput di bawah rambutnya yang acak-
acakan, tampak mengeras kaku.
Zuraida lantas ternganga sendiri setelah
mengenalinya. Semakin ternganga lagi Zuraida,
manakala perempuan kumuh itu mendahului buka
mulut. Dengan sebuah sentakan pendek tetapi kasar:
"Pergi!" "Apa?" "Pergi dari desa ini!" perempuan itu menegaskan kata-
katanya. "Bawa suamimu dari sini, dan enyahlah!"
"Tunggu dulu, Nek Parti..."
Suparti memotong cepat. "Jukardi sudah mampus.
Be DUA BELAS BAJURI duduk gelisah di atas mobil landrovernya.
la sedang dilanda perasaan gundah, ketika terasa
suatu denyut aneh dan menyakitkan di ubun-
ubunnya. Hanya sebentar dan ia tidak terlalu
menanggapi. Pikiran Bajuri lebih tercurah pada
kematian berturut-turut dua orang sahabat lamanya:
Jukardi, dan tadi malam Sobara.
Bajuri menunggu sampai dua orang centeng-
centengnya mendekati kerumunan orang yang
memadati pintu masuk halaman rumah Sobara.
Dahulu, Bajuri pun senantiasa melakukan hal yang
sama untuk majikannya, asisten perkebunan yang
orang Belanda itu. Karena dahulu, Bajuri juga seorang
centeng. Bedanya, Bajuri dulu hanya berbaju dan
bercelana sontog. Telanjang kaki pula. Sedang kedua
orang centengnya sekarang, berjaket kulit mahal,
celana jean ketat, dan sepatu kulit dengan lars
setinggi pertengahan betis. Centeng-centeng perlente!
Tetapi bagaimanapun, kehadiran mereka berdua
segera menimbulkan pengaruh. Kerumunan orang,
yang kebanyakan sebagai penonton sambil
bergunjing ketimbang ikut masuk ke rumah untuk
menyatakan belasungkawa... segera menyeruak
untuk memberi jalan. Kedua centeng Bajuri kemudian
berdiri tegak di kiri kanan jalan menyeruak itu.
Menunggu majikan mereka turun dari mobil.
Kemudian mengawalnya masuk sampai ke dalam
rumah. Langsung ke ruang tengah, di mana jenazah
Sobara dan Nawangsih sudah dikain-kafani. Suara-
suara rendah orang berbicara dan bisik-bisik
bergunjing, seketika menyepi. Bajuri mengangguk
pada seorang lelaki tengah baya, dengan kopiah
hitam di kepalanya. Juga tak lupa menghadiahkan
senyuman kaku. Anggukan Bajuri mendapat
sambutan yang sama. Tetapi tidak dengan senyum.
Lelaki berkopiah itu sudah semenjak lama waktu
berlalu, terang-terangan memperlihatkan perasaan
tidak senangnya tiap kali harus berdekatan dengan
Bajuri. Si lelaki adalah satu dari sedikit sekali orang
yang tidak terpengaruh oleh kedudukan maupun
kekayaan Bajuri. Dan entah sudah berapa banyak
pula uang Bajuri yang terbuang sia-sia. Dikarenakan
gagal dan gagal mendongkel orang itu dari
jabatannya sebagai lurah desa.
Ada kharisma tersendiri dibalik tubuh lelaki setengah
baya itu, yang tak pernah bisa diganggu-gugat tanpa
alasan-alasan yang masuk akal dan bisa diterima
semua orang. Kharisma, yang boleh jadi berasal dari
leluhurnya. Yang konon, mewarisi darah salah seorang
punggawa kepercayaan Prabu Pajajaran di masa
silam. Bajuri menelan ludah dan berjalan menuju jenazah
sahabat lamanya, Sobara. Disingkapkannya bagian
atas kain kafan yang menutupi si jenazah. Sekilas
cuma, tetapi sudah cukup untuk membuat perut Bajuri
terasa mual. Ia tidak lagi punya keberanian untuk
melihat jenazah satunya lagi. Lalu setengah
menyesalkan dan setengah menutupi kengeriannya,
Bajuri mengeluh: "Siapa yang berbuat sebiadab ini
padamu, Sobara?" "Apakah kau memang tidak tahu, Juragan Bajuri?"
terdengar jawaban bertanya. Tentu saja bukan dari
mulut Sobara. Melainkan dari mulut si lelaki berkopiah.
Bajuri memandang terkejut. "Apa maksudmu, Pak
Lurah?" Pak Lurah tersenyum. Tipis. Kemudian berbicara pada
orang di sebelahnya: "Siapa yang akan mengimami
sholat jenazah?" Bajuri terpaksa hanya bisa menggeram. Diam-diam.
Sementara kedua orang centengnya, tak kuasa
berkata apa-apa. Mereka tahu majikan mereka
sedang marah. Tetapi karena majikan tak
mengeluarkan perintah atau isyarat apa-apa, mereka
pun hanya bisa saling bertukar pandang. Menyimpan
kemarahan dalam hati masing-masing.
Lain halnya Asgar. Asgar sungguh tak dapat menyimpan kemarahan
yang ia bawa dari rumah ke pabrik pengolahan getah
ditengah perkebunan karet milik mertuanya, Bajuri.
Asgar yang sudah menginjak usia 45 tahun itu
tampak sudah setua Bajuri sendiri. Kecuali mungkin,
darah maupun sifatnya. Kemarahan membuat Asgar kurang hati-hati ketika
menyerpis mesin diesel di ruang utama pabrik. Kunci
besar dan berat di tangannya terlepas dan hampir
saja menimpa ujung jari kaki Asgar y
ang mengenakan sandal jepit. Bunyi jatuhnya kunci besar
itu berdentang mengejutkan dalam keheningan
pabrik. Seorang lelaki sebayanya yang ikut
mendampingi Asgar, sampai terdongak kaget.
"Jadah!" Asgar menyumpah.
Si pendamping menggelengkan kepala. "Sudah saya
bilang dari tadi, Tuan Asgar. Biar saya saja yang
mengerjakan itu nanti!" katanya mengingatkan,
setengah menegur. Sembari meneruskan
pekerjaannya mengisi minyak pelumas pada mesin
giling raksasa yang hampir menyita sepertiga ruangan
itu. Tak jauh dari mesin, terlihat lipatan karet mentah
bertimbun-timbun menggunung, nyaris mencapai
kerangka baja penyangga atap diatasnya. Di sebelah
lainnya tampak pula tong-tong penampung getah,
yang juga berukuran serba raksasa.
Asgar memungut kunci inggris dari lantai. Mengeluh:
"Semua sudah harus siap pakai begitu kawan-kawan
kita mulai masuk kerja, Pak Leman. Masa cuti satu
minggu berakhir siang hari ini, bukan?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mesin diesel itu sebenarnya masih berjalan baik,"
Soleman menanggapi setengah menyindir.
"Aku tahu!" rungut Asgar, memasang baut-baut pada
mesin. Lalu menguatkan pasangan itu dengan
bantuan kunci tadi. "Aku hanya mau memastikan
mesin ini dapat berjalan lancar. ltu saja!"
Soleman menyeringai. "Atau menghindari sesuatu,
Tuan!" "Memang!" "Bertengkar lagi, ya?"
"Lebih dari itu. Sukaesih malah mengancam akan
mengurangi bonus bulananku. Istri sialan itu!" Asgar
memukul kap mesin dengan marahnya. "Lupa,
bagaimana ia dulu mengejar-ngejarku tanpa malu-
malu!" "Maklum saja, Tuan. Waktu itu Tuan, insinyur pertama
diseluruh kecamatan ini. Tamatan ITB lagi!" Soleman
mengulum senyum. "Mana Tuan ganteng pula. Siapa
yang tak tergila-gila karenanya?"
Habis berujar demikian, senyuman Soleman pun
melenyap. la pandangi punggung majikannya. Masih
kekar, kokoh. Asgar pun masih memiliki sisa-sisa
kegantengan di masa lalunya. Masih banyak yang
mengejar-ngejar, apalagi setelah mendengar desa-
desus bahwa Asgar hampir tak pernah dipuaskan
istrinya di tempat tidur.
Konon Sukaesih terlalu menggebu-gebu, tak mampu
mengendalikan diri. Sehingga Sukaesih sudah keburu
mencapai puncak hasrat seksuilnya, ketika sang
suami justru baru mulai panas.
Maryati pun tahu itu. Maryati cantik, pesolek, senang mengikuti gaya dan
mode berpakaian orang kota. Dan hanya Asgar yang
mampu memenuhi keinginan Maryati. Tak perduli,
Asgar setua ayah Maryati sendiri. Ayah yang terpaksa
menyimpan dukacita yang dalam, ketika tadi malam
ia berterus terang: "Aku hamil, Ayah...!"
Soleman mengeluh. Lamat-lamat ia dengar Asgar juga mengeluh. Sebuah
keluhan marah: "Apa dia kira aku tak tahu ia itu tak
lebih dari anak haram Juragan Bajuri"!"
Soleman pun tersentak. "Astaga, Tuan Asgar. Yang kau bicarakan itu adalah
istri dan mertuamu sendiri...."
"Perduli amat!"
"Dan apa yang kau bicarakan itu, tak Iebih dari desas-
desus orang yang iri hati pada keberuntungan
keluargamu. Yang tak pernah dapat dibuktikan!"
Asgar tertawa kering. "Kakekku buktinya!"
"Oh ya?" "Sewaktu almarhum Togar, kakekku, masih hidup. Dia
pernah lepas omong. Menceritakan kenangan masa
lalunya. Ketika ia pernah berjaga-jaga di depan
sebuah dangau yang sunyi terpencil. Tahu kau siapa
yang dijaganya, Pak Leman?"
Soleman angkat bahu. "Juragan Bajuri, Pak Leman!" dengus Asgar, muak.
"Waktu itu dia masih jadi centeng di perkebunan ini.
Tetapi ia punya ilmu. Dan dengan mempergunakan
ilmunya itulah ia berhasil menyeret istri majikannya
ke dangau tadi. Lalu memperkosanya. Berulang-
ulang!" Asgar menyumpah serapah tak menentu. Sementara
Soleman merinding sendiri, mendengar apa yang
diceritakan oleh majikannya.
Soleman tanpa sadar menjangkau lap, menyeka
kotoran pelumas yang menyemeki lengan maupun
jari-jemarinya. Telinganya menangkap kalimat samar-
samar dari mulut Asgar, mengakhiri kisah kelabu di
masa silam itu: "... dari perkosaan menjiji
kkan itulah Sukaesih dilahirkan!" Soleman mendehem halus. Katanya, gugup: "Saya
mau pulang dulu, Tuan. Tiba-tiba ingat, sebelum
sarapan pagi tadi...."
Asgar selesai pula menyerpis mesin diesel. Kapnya
ditutupkan, lalu duduk terhenyak di sebuah kursi.
"Cepat kembali lagi, Pak Leman!"
"Saya, Tuan." Soleman sudah sampai diambang pintu besar dan
tinggi, yang terbuka sebelah. Cahaya mat ahari
merembes masuk lewat pintu itu, menghasilkan
bayang-bayang menyedihkan tubuh Soleman yang
berjalan terbungkuk-bungkuk. Lalu tiba-tiba menegun
terhenti, ketika mendengar panggilan lembut dari
mulut majikannya: "Pak Leman?" "Ya, Tuan?" Asgar mencoba tersenyum. "Tak perlu mencemaskan
putrimu, Pak Leman. Perkawinanku dengan Sukaesih
sudah menjelang ambruk. Jika itu akhirnya terjadi,
aku akan menikahi putrimu. Tolong sampaikan itu
pada Maryati, ya?" Baru jika. Dan akan! Dengan perasaan hancur berkeping-keping, Soleman
meninggalkan pabrik. Naik ke salah-satu truk yang
diparkir teratur di halaman. Mesin truk terbatuk-batuk,
hidup mati berulang-ulang sebelum kemudian dapat
juga djialankan Soleman menuju ke jalan raya jauh
di bawah sana. * DI tempat duduknya, Asgar berpikir keras. Ia sudah
bosan hidup di bawah bendera. Sudah bosan selalu
menerima perintah. Padahal, ia adalah kepala
keluarga. la juga sudah merindukan kehadiran
seorang dua keturunannya, yang tak pernah mampu
diberikan Sukaesih. Agaknya, Sukaesih terkena kutuk,
yang ditimpakan pada almarhum ibunya, Juragan
Juwarsih. Kutuk van Galen. Yang mesti sengsara karena
pengkhianatan istrinya. Seperti van Galen, Sukaesih
pun mandul. Dan sudah berulangkali dikhianati Asgar.
* Di rumah Asgar, atau tepatnya di rumah milik
keluarga istrinya, Sukaesih pun tak kurang marahnya
hari itu. Asgar tak tidur di rumah malam sebelumnya. Menurut
pelayan mereka, Asgar baru pulang pagi kemudian
pergi lagi tanpa menunggu Sukaesih bangun dari tidur.
"Dia bilang kemana, Nengsih?" Sukaesih bertanya
gusar. "Katanya sih ke pabrik, Juragan..."
"Hem. Akan kubuktikan sendiri ia memang ada di
pabrik. Bukan di rumah salah seorang perempuan
simpanannya!" Tanpa memperdulikan keterkejutan di wajah si
pelayan, Sukaesih memekik nyaring: "Asmitaaa!"
Dari Iantai bawah rumah besar, megah, antik karena
memang peninggalan jaman Belanda itu, terdengar
langkah berlari-lari menaiki tangga. Disertai sahutan:
"Saya, Nyonya...."
"Siapkan mobilku, Asmita!"
Asmita cepat berbalik, lari lagi ke bawah.
Mengeluarkan mobil majikannya dari garasi besar dan
luas, memanaskan mesinnya, kemudian berdiri
menunggu dengan setia. Penungguan yang ternyata
percuma. Karena tak lama kemudian, Sukaesih turun,
menyuruh Asmita menyingkir dan menyetir sendiri
mobilnya meninggalkan rumah.
Melihat wajah dan tingkah majikan perempuannya,
Asmita mengurut dada dengan kuatir. Sambil
mengawasi sang majikan berlalu dengan mobilnya,
Asmita bergumam sendiri: "Akan terjadi bencana,
agaknya!" * Bukan saja akan. Malah sudah! Dimulai dengan gelindingan sebuah kepingan logam di
lantai ruang utama pabrik. Meluncur dari pintu yang
terbuka sebelah itu, melingkar sebentar, kemudian
tergelimpang di dekat kaki Asgar yang terheran-heran
melihatnya. Dipungutnya kepingan logam itu. Diamat-amati di
depan mata. Lantas nyeletuk takjub:
"Uang emas tempo dulu. Astaga, tidak salahkah
penglihatanku?" Asgar kemudian berpaling ke pintu.
Sesosok tubuh tegak diambang pintu, membelakangi
sinar matahari. Asgar merasa pasti orang itu bukan
salah seorang karyawannya. Karyawannya akan
masuk langsung ke dalam. Tidak cuma berdiri
mematung di pintu, dengan sikap misterius. Orang itu
jelas seorang tamu tidak diundang. Yang
memberitahukan kehadirannya, dengan gelindingan
sekeping uang logam emas. Untuk apa"
"ltu milikmu, Togar!" orang itu berkata, datar.
"Maksudk u, mungkin jadi milikmu andai saja kepingan
di tanganmu, dan lebih banyak lagi kepingan emas
lainnya... tidak keburu terkubur akibat terjadinya
gempa. lngat bukan. Togar?"
Asgar bangkit dengan dahi mengerut. "Togar" ltu
adalah nama kakekku. Namaku. Asgar...."
"Ah. Jangan mengelak, Togar!" orang itu mendengus,
dengan nafas berat tersedak-sedak. "Kau ikut
memegangi kaki adik perempuanku ketika Sobara
memperkosanya!" "Hei... apa maksudmu sebenarnya?" Asgar berjalan ke
pintu, dengan wajah tak senang. Sang tamu tak
diundang melakukan hal yang sama. Dan bertemulah
mereka tak jauh dari pintu. Berhadap-hadapan muka.
Sinar matahari dari luar pintu dibantu bias terang dari
ventilasi ruangan di atas mereka, menerangi wajah
tamu tak diundang itu. Seorang laki-laki muda
berwajah keras dan kaku, dengan kelopa k mata
hampir tidak pernah mengerdip. Dan mata itu, layu,
seperti kehilangan gairah hidup.
"Anda siapa?" tanya Asgar, berusaha menahan diri.
"Aku Suparta. Masa iya kau sudah lupa!"
"Dengar, Suparta. Aku tak tahu siapa kau. Tak tahu
apa urusanmu denganku. Dan aku merasa tidak
pernah menyentuh kaki adik perempuanmu. Untuk
diperkosa orang lain pula. Kau merendahkan martabatku,
Suparta!" Orang itu menyeringai. "Berlagak jadi orang
terhormat, eh?" Hilanglah sudah kesabaran Asgar. "Pergi. Sebelum aku
menendangmu keluar!"
"Cobalah!" Ditantang begitu, Asgar menjatuhkan kepingan uang
emas di telapak tangannya, yang seketika itu juga ia
layangkan cepat sekali untuk menampar tamu yang
tidak pakai aturan sopan santun itu. Tamparan itu
mengenai sasaran. Namun tidak membuat wajah
sang tamu bergeming. Kecuali meninggalkan bekas
memerah di pipi, saking kerasnya Asgar menampar.
Dianggap remeh, Asgar naik pitam. Kedua tangannya
terkembang ke depan, menyambar leher lawannya.
Kali ini ada perlawanan. Sang lawan, yakni Sukri,
yang tadi tak mampu menghindari tamparan Asgar
karena lehernya terasa begitu kaku, kini sadar
nyawanya terancam. Secara naluriah ia menahan
serbuan tangan Asgar. Mendorongnya ke depan. Di
dalam tubuhnya, roh Suparta menclok diam-diam,
ingin menyaksikan sejauh mana kemampuan Sukri.
Terjadi betot-membetot, dorong-mendorong,
kemudian pukul-memukul. Pergulatan itu berlanjut
dan bergerak makin ke dalam pabrik. Kekuatan dua
orang yang berkelahi itu agaknya seimbang. Lalu
sebuah hempasan melontarkan tubuh Sukri,
membentur mesin diesel dan sempat menyentuh
tombol di luar kap mesin.
Terdengarlah bunyi menggemuruh.
Mesin-mesin giling raksasa itu pun berderak hidup.
Ban-ban lebar berdesis-desis melaju kearah roda-roda
penggiling. Bunyi menggemuruh dan lindasan roda-
roda mesin pada ban berjalan, menggugah perhatian
Suparta yang semula membiarkan Sukri berkelahi
sendirian. Maka, tatkala Asgar kembali menyerbu,
Asgar pun segera menyadari musuhnya secara
mendadak bertambah gesit dan perkasa. Tahu-tahu
saja tubuh Asgar sudah ditangkap, lalu diangkat pergi
ke arah mesin giling. Asgar terkejut dan meronta-ronta liar dalam usahanya
melepaskan diri. Tetapi wajah Sukri yang berubah
beringas, tampak semakin buas. Jeritan-ieritan,
pukulan, tendangan, tidak ia perdulikan. Dalam tempo
singkat tubuh Asgar sudah dihempaskan lalu ditekan
diatas ban berjalan. Asgar seketika panik, tangan-tangan yang menekan
tubuhnya begitu kokoh, bak besi penjepit yang tak
sudi melepaskan cengkeramannya. Tekanan
mencengkeram itu baru dilepaskan setelah Asgar tak
kuasa lagi menjerit. Karena kepalanya sudah lenyap
diantara roda-roda penggiling, disusul tubuh lalu
kakinya. Mesin sampai terhentak-hentak karena harus
bekerja ekstra keras dengan sasaran yan g digiling
yang tidak lazim dari biasa itu. Terdengar bunyi detak-
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
detuk tengkorak dan tulang pecah berpatahan,
kemudian remuk, dengan darah yang muncrat kian ke
mari. Sukri sudah melompat mundur sebelum kepala Asgar
lenyap di antara roda-roda penggiling. Menatap
kebinasaan itu dengan mata yang entah seja
k kapan berubah rona jadi merah bernyala-nyala. Bibir Sukri
menyeringai buas dan puas.
Setelah semuanya berakhir, tombol yang tadi
tersentuh tubuhnya ditekan. Mesin giling terhentak
mati. Anehnya, bunyi bergerung masih terdengar.
Makin lama, makin kuat. Sukri sampai heran sendiri.
Bukankah mesin diesel sudah tidak bekerja. Dan
mesin giling raksasa itu pun sudah berhenti berputar-
putar" Lalu bunyi menggerung itu bungkam tiba-tiba. Disusul
bunyi sesuatu dibuka lalu dihentak menutup.
Pintu mobil. Sukri berpaling ke pintu masuk ruang utama pabrik
pengolahan karet mentah itu, ketika ia dengar suara
langkah-langkah kaki mendekat ke dalam. Lalu
sesosok tubuh menerobos masuk. Sambil memanggil
dengan hardikan: "Asgar"!" Sukri berlindung dalam bayang-bayang gelap
disebelah lain mesin raksasa. lalu dari situ
memperhatikan si perempuan. Seketika. kepala Sukri
tegak, matanya pun terbuka nyalang. Mata yang
merah, semerah darah itu!
Sukaesih mendengar suara orang bernafas, lantas
menggeram dengan berangnya: "Insinyur tua karatan!
Jangan coba-coba bermain kucing-kucingan dengan
aku, Asgar!" Sukri keluar dari persembunyiannya. Menyapa,
dengan suara kering. Tersedak-sedak: "Kita... bertemu
lagi... Juwarsih...!"
Sukaesih membalikkan tubuh, dan melihat seorang
asing mendekatinya dengan wajah beringas, mulut
menyeringai, dan sepasang mata berwarna merah
bagaikan api neraka yang menyala-nyala. Uap dingin
menyapu wajah Sukaesih, menusuk tembus sampai
ke sumsum. "Apa... siapa kau?" Sukaesih bergerak mundur,
selangkah cuma. Karena sorot mata itu su dah
membiusnya dengan hebat, menuntut kepatuhan
yang tidak dapat dibantah.
Sukaesih tegak diam, menunggu dengan wajah pucat
pasi dan mulut serta mata membelalak ketakutan.
"Kau masih tetap cantik, Juwarsih. Sudah lama aku
rindu ingin bertemu. Kau pun rindu, bukan" Dari dulu
kau menghendaki kejantananku. Mengapa tidak kau
ambil sekarang, Juwarsih?"
Karena Sukaesih hanya diam ketakutan, suara
Suparta yang keluar melalui mulut Sukri, berubah
marah: "Mengapa diam, Juwarsih" Atau kau
bermaksud menjebak dan menghasutku lagi, seperti
yang dulu kau perbuat didepan suamimu?"
Dengan marahnya pula, tangan Suparta maju ke
depan, mencengkeram lalu membantingkan tubuh
Sukaesih ke lantai semen yang padat dan keras.
Bantingan itu melenyapkan pengaruh pukau dalam
diri Sukaesih. la mengaduh sakit manakala kepalanya
membentur lantai. Bangkit dengan kepala pusing dan
mata berkunang-kunang, ia mengerang: "Jangan...
Jangan... Aku tak tahu apa...."
Sia-sia saja. Tubuhnya sudah ditekan lagi. Dipaksa rebah di lantai.
Sukaesih meronta. Melolong-lolong minta tolong.
Lolongannya melenyap setelah kepala Sukaesih
terbuntang-banting oleh tamparan kejam tangan
Sukri. Sedikit pun Sukaesih tidak menyada ri, bahwa
ketika menampar itu, dari sudut-sudut mata Sukri
yang bernyala semerah darah... menetes butir-butir air
bening. Air mata Sukri, yang keluar akibat
kesengsaraan jiwa di alam bawah sadarnya.
Apa yang diingat Sukaesih adalah terdengarnya suara
kain yang dirobek-robek dengan buas; pakaian
dalamnya direnggut lepas, kemudian laki-laki yang
tak dikenalnya itu memasuki tubuhnya dengan ganas.
Tusukan-tusukan yang menghujam-hujam itu luar
biasa menyakitkan. Seperti tusukan-tusukan besi
membara. Panas membakar, bahkan menghanguskan.
Sukaesih menjerit untuk terkahir kali dalam hidupnya.
Lalu tubuhnya pun terhentak diam. Tubuh yang
hangus, menghitam gosong.
Sukri bangkit dengan seringai puas di mulut tetapi
dengan lelehan air mata membanjiri pipi. Kemudian
melangkah gontai meninggalkan pabrik.
* TIGA BELAS UPACARA pemakaman jauh dari suasana berkabung.
Tidak sebagaimana lazimnya, yang terasa justru
suasana gelisah yang kemudian berkembang
memanas. Keadaan ini sudah mulai terasa semenjak
jenazah akan diberangkatkan dari rumah. Di sana-sini
orang pada berbisik resah setelah Juragan Bajuri
mengajukan diri sebagai salah seorang pembicara
pada akhir pemakaman. Lumrah, mengingat ia
sahabat paling dekat si almarhum, dan setelah lurah
dia pulalah orang kedua di desa itu yang patut
dihormati bahkan disegani.
Para pengantar jenazah masih ingat bagaimana pada
waktu pemakaman Jukardi, pemilik perkebunan karet
itu berpidato dengan nada menghasut: "Aku tak
percaya sahabatku Jukardi berpenyakit jantung.
Apalagi dibilang mati kedinginan..." ia tertawa
sumbang, lantas menuduh: "Semua ini perbuatan
sihir!" Sungguh pidato yang tidak layak, karena diutarakan
tidak pada tempatnya. Maka tak heran, sebelum
upacara pemakaman Sobara dan Nawangsih usai,
sudah banyak para pengantar yang menyingkir diam-
diam. Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan
dikemukakan Juragan Bajuri tidak jauh berbeda
dengan ketika ia berpidato pada waktu pemakaman
Jukardi. Barangkali, akan berbeda halnya jika saja
pemilik perkebunan itu berbicara pada waktu atau
tempat yang pantas, di kantor kelurahan misalnya.
Tetapi Bajuri tahu memanfaatkan kesempatan. Hanya
pada waktu pemakamanlah ia dapat menarik
perhatian banyak orang. Tanpa harus keluar uang
sepeser pun untuk membujuk mereka datang
berbondong-bondong mendengar pidatonya, seperti
ketika ia beberapa kali pernah melakukan hal serupa
di balai desa. Apa yang sudah diduga banyak orang segera menjadi
kenyataan. Mulanya Bajuri memang membicarakan tentang jasa-
jasa dan kebaikan almarhum semasa hidupnya. Tidak
ada yang merasa keberatan. Meski tahu almarhum
Sobara itu adalah rentenir yang tak segan-segan main
sita, setelah mencekik leher langganannya dengan
bunga utang yang menyesakkan nafas. Tetapi kita
patut berpegang pada Sabda Rasulullah, bukan"
Bahwa, ungkapkanlah hanya yang baik-baik saja
tentang mereka yang sudah meninggal.
Bajuri pun tahu itu. Dan Bajuri merasa dirinya tidak
bersalah, ketika ia melontarkan hal-hal yang buruk.
Karena orang yang ia bicarakan, bukan almarhum.
Melainkan orang yang masih hidup dan berkeliaran di
sekitar mereka. "... Suparti!" katanya tandas seraya mengitarkan
pandang ke sekeliling. Apa yang disaksika nnya,
adalah, lebih banyak batu-batu nisan dibanding para
pengantar jenazah yang tegak membisu untuk
mendengarkan pidatonya. Bajuri sempat gusar. Jengkel memikirkan, sebagian
pengantar jenazah diam-diam sudah menghilang
tanpa setahunya. Namun ia tekan perasaan gusarnya.
Masih banyak yang tinggal untuk mendengar apa
yang ingin diutarakannya. Katanya, melanjutkan: "Dia
terlihat di sekitar rumah Sukri, pada malam Jukardi
meninggal. Dia pun terlihat di sekitar rumah Sobara,
pada malam sahabatku yang malang ini juga
meninggal akibat perbuatan sihir! Sekaranglah
waktunya. Di tempat ini. Untuk disaksikan oleh
sahabatku yang ini..." ia menuding ke gundukan
kuburan Sobara. "Dan sahabatku yang di sana!"
tudingannya berpindah ke gundukan yang masih
memerah, di mana satu minggu sebelumnya jenazah
Jukardi dikuburkan. "Begitu!" Anggadireja tersenyum. Menunggu.
"Di depan kuburan mereka ini aku ingin mengajak
saudara-saudara sekalian. Untuk, bersama-sama
menyingkirkan orang yang menyebabkan kematian
mereka. Suparti! Dengan membakarnya hidup-hidup,
seperti dahulu dilakukan dengan patut oleh orang tua-
orang tua kita pada tukang teluh terkutuk itu... yakni,
ayah Suparti!" "Dosa orang tua bukan tanggungjawab anaknya,
Juragan," timpal Anggadireja, dingin.
"Tetapi Suparti mewarisi darah orangtuanya. Mewarisi
ilmu hitam yang jahat dari ayahnya!" Bajuri berkata
dengan nada tinggi. "Buktinya, lihat sendiri bagaimana
Jukardi dan kemudian Sobara mati. Nawangsih, lebih
mengerikan lagi. Atau adakah y
ang tidak menyenangkan ini!"
Sukri menegakkan kursi yang tergelimpang. Naik
keatasnya, kemudian menjemput kepala Suparta dari
atas baskom. Rambut Suparta dijinjing seperti biasa.
Setelah mana Sukri berjalan ke pintu dapur.
Selangkah lagi mencapai ambang pintu, ia dihentikan
oleh-omelan Suparta: "Hei! Kau mau menjadikan aku tontonan orang-orang
di luar sana, ya"!"
Sukri kembali lagi ke kursi. Disambarnya kardus bekas
pembungkus itu. Diletakkan di lantai. Lalu ke dalam
kardus itu ia jejalkan seenaknya kepala Suparta. Yang
tak pelak lagi, membuat wajah Suparta meringis, dan
mulutnya melontarkan makian pendek: "Jangan kasar
kau!" Sukri menutup kardus. Lalu mencari tali pengikat. Agar
kardus tidak sampai terbuka tanpa ia ketahui dalam
perjalanan, dan membuat kepala Suparta jatuh
terguling... dan, kemarahan yang pasti akibatnya akan
dialamatkan pada Sukri jua.
Sewaktu mengikat kardus dengan hati-hati, telinga
Sukri mendangar suara Suparta yang setengah
teredam: "Yah, lumayanlah!"
Mereka berdua pun pergi. Menuju perbukitan. Menuju
lereng gunung jauh di atas desa. Di bawah pengaruh
gaib Suparta yang menguasai dirinya secara total,
Sukri bahkan tak diberi kesempatan untuk
meyakinkan apakah Zuraida jatuh pingsan tanpa
mengalami cidera. Namun selama berjalan di antara
pepohonan menuju pendakian, ingatan Sukri tokh tak
lepas dari istrinya. Membuat airmata Sukri menetes
satu persatu. * Suparti menyeka air mata di pipi tuanya.
"Terima kasih atas pengertian dan perlindunganmu,
Angga," ujarnya, tersendat. "Entah bagaimana aku
harus membalas kebaikanmu selama ini...."
"Ah. Lupakanlah!" Anggadireja mengibaskan tangan,
tak senang. "Tetapi, sebelum kau menitipkan aku di kantor polisi..."
Suparti agak terengah mengucapkan kata-katanya.
"Terlebih dahulu, kita harus menemukan kepala
Suparta..." "Tentu! Tentu!"
"Jika ia dibiarkan tetap hidup, berkeliaran..." wajah
Suparti tidak saja memuram, tetapi juga
membayangkan perasaan cemas. "Akan sudah sangat
terlambat untuk menahannya, Angga. Bukan saja ia
akan membalas dendam pada manusia-manusia hina
yang menyebabkan kematian Suparta, dan
menyebabkan aku...."
"Apa yang kau pikir akan diperbuatnya, Parti?" cepat
sekali Anggadireja menukas. Tak ingin mendengar
lanjutan kata-kata Suparti barusan.
"la akan membantai lebih banyak lagi penduduk
desa!" "Astaga...." "Boleh percaya boleh tidak, Anggadireja. Tetapi
ingatlah. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku
berkomunikasi dengan roh-roh yang bergentayangan
di lereng gunung. Aku tak pernah berhasil mengajak
bicara roh saudaraku. Tampaknya ia selalu berusaha
menghindar. Atau tahu, bahwa aku sudah lama
berubah pikiran. Aku sudah lama mengubur dendam
kesumat...." "Memang harus begitu, Suparti."
"Aku dibisiki roh-roh gaib yang tak asing bagiku,
Angga. Mereka yang kemudian memberitahu aku apa
yang akan diperbuat Suparta. Dan mereka tak
mampu mencegah. Di alam roh, Suparta pun
menghindari mereka pula..."
"Mereka siapa, Suparti?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah dan ibu kami berdua!"
Anggadireja seketika tercenung. Dalam. Dan getir.
Ayah Anggadireja juga lurah, dahulunya. Seperti juga
kakeknya. Lalu buyutnya, yang dahulu merintis lalu
membangun desa ini. Yang mulanya tak lebih dari
rimba belantara yang belum pernah diinjak manusia.
Sudah semenjak jaman buyutnya, atau mungkin
ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya; daerah
sepanjang lereng gunung dan lembah dibawahnya,
konon dihuni roh-roh gaib dari jaman silam. Leluhur-
leluhur Anggadireja berhasil mengusir sebagian
terbesar roh-roh gaib itu. Sisanya, diajak berdamai.
Bekerjasama membangun desa, di mana kini
Anggadireja bertindak sebagai pemimpinnya.
Meneruskan tugas-tugas nenek moyang.
Namun segelintir orang-orang "pintar", telah
memanfaatkan kekuatan gaib roh-roh yang
mengucilkan diri di lereng gunung. Ayah Suparti dan
Suparta, salah satu diantaranya. Dengan tujuan-tuj
uan baik. Mengobati penyakit-penyakit aneh dan sering
menulari penduduk. Tetapi yang namanya memuja
roh-roh dan bukan memuja lalu mengabdi dengan
patuh pada Yang Maha Pencipta, mau tidak mau tetap
menimbulkan ekses. Sesekali, mau juga ayah Suparti
meladeni orang-orang yang beritikad tidak baik.
Selama, layanan itu tidak sampai merenggut nyawa
orang yang dikehendaki. Akibatnya, terjadi pertarungan gaib dengan saingan
yang irihati. Hasut dan fitnah pun disebar. Ayah
Suparti sudah bersedia menanggalkan ilmunya, atas
bujukan ayah Anggadireja. Tetapi musuh yang dengki,
tidak menyerah begitu saja. Mereka harus dibuat
yakin, sang saingan tidak lagi akan mencuri periuk
nasi mereka di hari kemudian.
Kalau suatu ketika, ayah Anggadireja pergi
menjalankan tugas rutin. Menghadap Bupati. Tanpa
kehadirannya, perlindungan terhadap ayah Suparti
pun melemah. Tengah malam buta, sekelompok besar
penduduk mendatangi rumah keluarga Suparti. Ayah
dan lbunya ditangkap, diseret ke kebun, kemudian
disiksa lalu dibakar hidup-hidup. Suparta, teman kental
sepermainan Anggadireja, pada malam kejadian
beruntung tidur bersama adik perempuannya di
rumah keluarga Anggadireja. Tidak ada penduduk
yang berani mengusik mereka. Apalagi setelah Lurah
kembali pulang dari kota.
Masih teringat oleh Anggadireja betapa ayahnya
menitikkan air mata setelah mengetahui ia telah
gagal salah satu misi yang diembannya sebagai
pemimpin rakyatnya. Memang itu bukanlah
kesalahannya. Tetapi matinya orangtua sahabat
Anggadireja, tetap saja membuat ayahnya bersedih.
"Padahal almarhum sudah bersedia kembali ke jalan
yang benar!" Itulah yang senantiasa dikeluhkan ayah
Anggadireja sampai ajal menjemputnya.
Kini, Anggadireja tidak rela menerima penyesalan
yang sama. Suparti harus ia selamatkan. Sekaligus,
seluruh warga desanya ikut pula terselamatkan. Dari
amukan roh Suparta. Membantai seisi penduduk desa.
Alasan dendam Suparta sudah jelas sekarang. Nyaris
setiap warga desa, masih mewarisi darah turunan
orang-orang yang dahulu kala membakar hidup-hidup
ayah dan ibu Suparta maupun Suparti. Dan dapat
dipastikan, Suparta tidak akan pllih bulu. Tidak akan
membeda-bedakan hubungan sanak dekat atau jauh.
Anggadireja mengeluh. Ia mengawasi Suparti sejenak, kemudian tersenyum
kecut. "Ada baiknya kau berpakaian yang sedikit
pantas, Parti. Jangan lupa. Yang akan kita kunjungi itu,
seorang guru sekolah...!"
Sebelum Suparti sempat memberi reaksi, Anggadireja
sudah memanggil istrinya. Dan yang dipanggil pun
muncul dengan apa yang diharapkan sang suami.
Tanpa harus diminta lebih dulu. la tahu betul siapa
suaminya. Siapa pula tamu mereka. Dan ia selalu pula
ingin bertindak bukan saja sebagai seorang istri yang
penuh pengertian. Tetapi juga sebagai istri seorang
Lurah, yang patut jadi panutan.
Sebelum mereka berlalu dari rumah, Anggadireja lebih
dulu bertanya untuk meyakinkan "Kita tidak akan
salah alamat, bukan begitu Parti?"
"Percayalah, Angga. Sukri telah menemukan apa yang
selama ini kucari. Memang belum kulihat dengan
mata kepala sendiri. Hanya baru kurasakan dengan
mata hati...." Keragu-raguan Anggadireja baru lenyap, setelah
mereka tiba di rumah yang dituju dan menemukan
penghuninya tengah menggeliat bangun dari
pingsannya di lantai dapur yang hancur berantakan.
Bau busuk itu pun masih tercium. Anggadireja sendiri
yang naik ke kursi, lalu mencecahkan jari jemarinya
ke permukaan baskom. Baskom, yang dasarnya
masih tersisa sedikit cairan kental. Bagai lendir.
Berwarna merah kehitam-hitaman.
Anggadireja pergi keluar rumah.
Jari jemarinya yang diselemaki cairan kental itu,
diarahkan terbuka menentang matahari senja yang
masih bersinar di ufuk Barat. Lalu perlahan-lahan,
cairan kental di jari jemari Anggadireja, mengabur,
kemudian sirna tanpa meninggalkan bekas.
Suparti, disaksikan Zuraida, melakukan hal yang
serupa pada baskom tadi. Hasilnya, sama.
Anggadireja pun mendesis karenanya: "... darah iblis!"
Mereka masuk lagi ke rumah. Mendiskusikan apa
yang harus dilakukan dan siasat apa yang harus
dijalankan. Jelas sudah, kata Suparti, bantuan
Anggadireja memang dlperlukan.
"Semasa hidupnya, Suparta banyak berhutang budi
padamu...." Anggadireja mengangguk paham. Zuraida yang tidak
dapat memahaminya. Ia pun bertanya: "Apa
urusannya hutang budi di sini?"
"Suparta akan kita ingatkan pada hutang budinya."
Suparti menjelaskan. "Kita harapkan saja, roh jahat
saudaraku bersedia diajak berdamai oleh roh
baiknya." Terlintas di benak Zuraida apa yang dlketahuinya dari
Kitab Suci: "Timbangan kebaikan seseorang akan
diukur dengan timbangan kejahatannya."
Mungkin disitulah kaitannya, pikir Zuraida. la bertanya
lagi: "Misalkan perdamaian itu tercapai. Apa
kemudian...?" "Kemudian, Bu Ida. Angga akan meminta saudaraku
melepaskan suamimu dengan sukarela, sebagai balas
hutang budinya," jawab Suparti tenang. "Begitu
saudaraku merelakan kau dan Angga membawa
suamimu pulang... dan tidak akan memperbudaknya
lagi, penyelesaian akhir akan kutanggulangi sendiri!"
Suparti lantas memberitahu apa yang akan
dilakukannya. Baik Anggadireja maupun Zuraida
sama-sama menarik nafas. Sama-sama memandang
kuatir pada perempuan renta itu, yang membalas
pandangan mereka berdua dengan senyuman tabah.
"... ada satu hal lagi yang masih membingungkan
aku," Zuraida akhirnya berkata. "Sungguh tak masuk
di akal. Kepala tanpa tubuh..." la bergidik seram, "...
bangkit dan hidup kembali. Lantas berkeliaran cari
mangsa...!" "Kepala Suparta hanyalah wujud pinjaman, Bu Ida,"
ujar Anggadireja, lembut. "Dalam diri kita semua, ada
dua kekuatan yang tak pernah berhenti bertarung.
Untuk saling menguasai. Tahu kekuatan apa yang
kumaksud, Bu lda?" "lman. Dan... Syeitan!"
Anggadireja tersenyum. "Benar sekali. Dan tergantung
pada diri kita untuk memllih yang mana. Tentu saja,
dengan menanggung resikonya sendiri-sendiri. Ada
pun Suparta..." la menarik nafas dalam, prihatin.
"Menjelang akhir hayatnya... terdorong oleh kebencian
dan nafsu amarah, pilihan Suparta jatuh pada syeitan.
Syeitan itulah, Bu Ida. yang kini berkeliaran. Dengan
meminjam wujud kepala Suparta. Membantu
melampiaskan dendam Suparta, sebagai imbalan
untuk pengabdiannya pada sang syeitan...."
Zuraida terhenyak. Penjelasan Anggadireja secara tidak langsung
mengingatkan Zuraida pada suaminya. Frustasi
menyebabkan Sukri percaya pada mimpi, percaya
pada ramalan-ramalan dukun. Sukri pun terdorong
nafsu tamak, apalagi setelah menemukan sekeping
uang emas tua itu. Apakah Sukri, dengan sadar atau
tidak, telah pula menentukan pilihannya"
"Ya Allah, Tuhanku!" bathin Zuraida berseru memohon.
"Lindungilah aku dan suamiku dari godaan syeitan
yang terkutuk!" * LIMA BELAS SUKRI terhenyak duduk di tepi jalan setapak.
Nafasnya tersengal-sengal kelelahan. Hati-hati sekali,
kardus pembungkus kepala Suparta ia letakkan di
sebelah ia duduk. Sejak berangkat dari rumah,
Suparta tak sekali pun menunjukkan pertanda ia
masih ada di dalam kardus. Dan masih hidup, tentu.
Yang ada cuma bobotnya yang semakin memberat
dalam jinjingan Sukri. Angin semilir menyapu wajah Sukri yang dibasahi
peluh. Tetapi keberadaan kardus yang tergeletak diam
membungkam di sebelahnya, membuat Sukri tidak
dapat menikmati hembusan angin maupun
pemandangan indah mempesona di sekitarnya.
Memandang ke bawah, tampak ujung jalan setapak
membelok hilang diantara pepohonan. Lebih ke
bawah lagi, yang tampak adalah dedaunan pohon-
pohon raksasa yang menjulang rimbun, menutupi
apapun juga yang tersembunyi di bawahnya.
Dalam keadaan lain, mungkin Sukri tidak mau
mempercayai matanya. Bahwa, ia telah berada di
tempat yang jauh lebih tinggi ketimbang pucuk
pepohonan yang rapat satu sama lain itu.
Sukri justru merasa dirinya mendadak kerdil. Tak
berdaya. Rasanya ia tidak akan sanggup untuk turun
lagi kebawah. Jika semua ini sudah berakhir. Atau tak
akan pernah berakhir" Dan Sukri tak akan pernah lagi
turun kebawah sana" Ke rumahnya" Ke samping
Zuraida yang setia dan penuh rasa cinta"
Sukri menggigit bibir dengan hati perih. Memalingkan
pandang ke arah lain. Dan hampir saja ia terpekik
kaget, manakala ia duduk persis di pinggiran jalan
setapak, tanpa penghalang apa-apa lagi di belakang
punggungnya. Kecuali langit senja di ufuk Barat yang
mengawasinya dengan kebungkaman yang
menyakitkan. Sukri melirik takut-takut kebawah, di balik
punggungnya. Tanah padat berbatu yang ia duduki,
hanya tersisa tak sampai selebar telapak tangan.
Selebihnya, adalah dinding jurang yang nyaris turun
dalam garis lurus kebawah sana, dan berakhir di
sebuah aliran sungai yang mestinya luar biasa besar.
Namun dari tempatnya duduk,
tampak tak lebih dari sebuah selokan yang melingkar-
lingkar seperti seekor ular berbisa. Sebentar hilang,
sebentar muncul di tempat lain, hilang lagi, muncul
lagi karena padatnya hutan yang mengapit sungai itu.
Timbul hasrat Sukri untuk berbuat sesuatu. Bukan
untuk terjun mandi di sungai yang terus merayap dan
merayap itu. Hasratnya begitu kuat mengajak,
mengundang, bahkan menarik-narik Sukri untuk tidak
menunda-nunda waktu lagi. Yakni, hanya dengan
memiringkan sedikit tubuhnya ke belakang. Lalu,
tinggal membiarkan daya tarik bumi menyeretnya
jatuh ke bawah. Setelah itu semuanya pun
berakhirlah sudah. Selamat tinggal Zuraidaku sayang!
Kutunggu kau di pintu sorga! Atau neraka!
Neraka yang mula-mula bergerak pelan, samar-samar,
kemudian menghentak diam dibalik bungkusan
kardus. Sedetik cuma. Detik berikutnya telinga Sukri
menangkap bunyi desah nafas berat ter sedak-sedak.
Nafas Suparta, yang agaknya terjaga dari tidur.
Sukri mengerling ke kardus. Kemudian mengerling lagi
ke jurang menganga, satu dua jengkal dari kardus.
Hanya dengan sedikit sentuhan pelan saja....
"Hehehe..!" terdengar Suparta mengekeh.
Tersiraplah darah Sukri. "Bermaksud melemparkan aku ke jurang dibawah
sana, Sukri?" Suparta langsung melancarkan tuduhan
pedas. "Jangan coba-coba, Sukriii!!"
Sukri hampir menangis karenanya.
"Ayo. Jalan lagi!"
Sukri bangkit perlahan-lahan. Mengatur nafasnya, dan
memandang sekali lagi ke lembah jauh dibawah
sana. Tampak desa tempat tinggalnya tak lebih dari
tumpukan kotak-kotak sebesar korek api, bergunduk-
gunduk diantara bukit-bukit yang berserakan. Ada
sebuah bangunan yang tampak lebih besar. Lebih
berbentuk. Pabrik penggilingan karet mentah itu.
* Semua orang menunggu di luar pintu pabrik, tanpa
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani mengeluarkan suara. Semakin banyak orang
datang. Tetapi justru hanya menambah kebungkaman
setiap mulut saja. Tidak seorang pun bergerak dari
tempatnya. Semua menunggu. Dengan tegang.
Akhirnya, dari kesunyian yang mencekam
di ruang utama pabrik pengolahan itu, terdengar desah nafas
berat. Disusul bunyi langkah-langkah kaki yang berat,
tersuruk-suruk. Juragan Bajuri yang dibiarkan sendirian
bersemedi dalam dukacita yang sangat, muncul di
pintu pabrik yang menganga terbuka. Dukacita sudah
lenyap dari wajahnya. Yang terlihat kini adalah wajah
keras. Beringas. la memandangi orang-orang yang
berkerumun diam di halaman pabrik. Lalu tanpa
berkata sepatah pun juga, berjalan ke landrovernya.
Sambil telapak tangannya menggenggam sesuatu.
Hanya Soleman yang tahu, apa yang ada dalam
genggaman tangan majikan mereka. Soleman yang
menemukannya. Keping uang emas tua, yang begitu
ia serahkan, tak dilepaskan lagi oleh Bajuri. Dan
hanya Soleman pula yang tahu apa hubungan
kematian majikan mudanya suami istri, dengan
penemuannya. Karena saat menimang-nimang
kepingan uang emas itu, ia menangkap bisikan dalam
dari mulut majikan tuanya:
"Parti. Tak salah lagi!"
Baru setelah itu Bajuri melolong. Menangisi matinya
putri tercinta. Dudung, centeng merangkap supir pribadai Bajuri
sudah siap bergerak. Tetapi Soleman yang sudah
mengabdi pada majikan mereka semenjak Soleman
masih bocah ingusan, menggelengkan kepala sebagai
isyarat agar Juragan Bajuri jangan diganggu.
Bajuri memang langsung naik ke belakang kemudi.
Lalu memacu landrovernya itu dengan kecepatan
tinggi, meninggalkan ratusan pasang mata
memperhatikan kepergiannya dengan kepala sama
dipenuhi tandatanya. Mereka baru tersadar, setelah Soleman berujar datar:
"Mari kita urus... apa yang masih tersisa di dalam
sana." Ucapan Soleman tidaklah berlebihan. Sukaesih yang
sebelumnya bertubuh sehat, montok berisi, dengan
kulit yang putih gemerlapan yang selalu ia bangga-
banggakan sebagai warisan dari van Galen, kini tak
lebih dari tulang belulang berlapis kulit yang gosong
menghitam, kisut menyedihkan. Apa yang tersisa dari
jenazah suami Sukaesih, lebih menyedihkan lagi.
Remukan-remukan yang untungnya masih terbungkus
dalam pakaian almarhum, yang sudah hitam oleh
minyak pelumas. Tetapi, lebih baik buang saja untuk
mencari apalagi menyatukan kembali sisa-sisa
kepalanya! Di rumah megah antik itu, setiap orang pelayan pun
buru-buru menyingkir tanpa ada yang memberi
perintah. Bajuri langsung masuk ke rumah, tertegun sejenak di
pintu masuk lantai utama. Terpandang olehnya
sebuah lukisan tua di dinding yang berseberangan
dengan pintu masuk. Lukisan diri Juwarsih yang
menatap ke arah Bajuri dengan mulut tersenyum
ceria, tetapi dengan sorot mata menuntut. Tentulah
yang dituntut Juwarsih, tanggung jawab Bajuri yang
pernah berjanji pada Juwarsih sebelum akhirnya
Juwarsih bersedia juga dinikahinya: "Jaga anakku
baik-baik!" Sebuah permintaan yang tidaklah terlalu sulit
melaksanakannya. Karenanya, bukankah anak
Juwarsih adalah anak Bajuri juga, meski terlahir dari
pemerkosaan" Bajuri baru memahami apa maksud
Juwarsih, setelah Sukaesih lahir dan beberapa hari
kemudian Juwarsih ditemukan meninggal di tempat
tidurnya karena minum racun. Juwarsih memutuskan
untuk bunuh diri ketimbang harus hidup selamanya
didampingi Bajuri. Juwarsih sebelumnya tetap
bertahan hidup, semata-mata karena tidak tega
membunuh bayinya sendiri. Barangkali juga Juwarsih
punya tujuan lain. Kehadiran si anak di sisinya, akan
selalu mengingatkan Bajuri pada perbuatannya di
masa lalu. Berhasil mempersunting Juwarsih, setelah lebih dulu
melenyapkan dua orang saingan beratnya, secara jitu
tetapi licik. Yakni suami si jelita, Mario van Galen. Dan
laki-laki pada siapa si jelita menyerahkan cinta
kasihnya, yaitu Suparta. Bajuri telah gagal merebut cinta kasih Juwarsih.
Sekarang Bajuri pun telah gagal mengemban amanat
Juwarsih. Putrinya tercinta, yang memiliki raut wajah
dan lekuk tubuh bak pinang dibelah dua dengan
Juwarsih, kini sudah pergi untuk bergabung dengan
ibu yang melahirkannya. Entah di alam roh sebelah
mana! Bajuri mengerang, sakit. Ke
mudian melangkah masuk ke kamar pribadinya, yang bersebelahan dengan
tangga yang menuju ke lantai atas. Tangga itu pernah
jadi saksi bisu ketika Sukaesih dicium pertama kali
oleh Asgar, putra salah seorang sahabat lama Bajuri.
Ketika memergoki putrinya bermesraan dengan putra
tunggal si Togar, Bajuri sudah sadar bahwa ia pun
akan segera kehilangan cinta kasih Sukaesih.
Di kamarnya, Bajuri membuka sebuah pet i tua.
Dari dalamnya ia keluarkan sebatang golok yang
sama tuanya. Hanya sekali golok itu dipergunakan
Bajuri. Yakni, ketika menebas batang leher pemilik
golok itu sendiri: Suparta.
Setelah sukses membunuh saingan beratnya yang
tangguh itu, Bajuri lalu menyimpan golok Suparta
sebagai kenang-kenangan. Dengan golok Suparta di tangan, Bajuri berjalan ke
jendela. Menatap ke bidang terbuka di ler eng gunung.
Ia tak dapat melihat apa-apa dari tempatnya
sekarang berdiri, kecuali batu-batu cadas yang
sebagian besar sudah berlumut. Namun Bajuri pernah
hadir disana. Tahu apa yang tertanam di sana. Tubuh
tanpa kepala Suparta. Dan segenggam kepingan uang
emas. Yang ditunggui Parti dengan setia. Bajuri tak
pernah tertarik untuk memiliki salah satu dari kedua-
duanya. Tidak kepingan uang emas yang terkubur
oleh longsoran tanah di depan gua. Lebih-lebih lagi
tubuh Suparta, yang jelas di mana letaknya terkubur.
Kayu tonggak pemancang tubuh Suparta sebelum
dibunuh, oleh ljah telah dimanfaatkan sebagai kayu
nisan. Yang tidak perlu lagi susah-susah membuat dan
memancangkannya ke tanah.
Bajuri mendengar semua itu dari mulut sahabat-
sahabatnya yang kembali naik ke lereng gunung.
Untuk mencari sepundi uang emas yang telah
dijatuhkan berceceran oleh Bajuri, sebagai hinaan
pada Suparta. Mereka telah gagal menggali di sana
menggali di sini. Disaksikan oleh Suparti yang sudah
setengah gila. Kuburan Suparta pun sempat pula mereka bongkar.
Tetapi sewaktu menyaksikan apa yang terkubur di
depan mata mereka, sahabat-sahabat Bajuri jadi ngeri
dan mundur sendiri. "Bayangkan!" suatu hari Sobara memberitahu Bajuri
dengan wajah pucat. "Kami memang sudah tahu,
Suparta tidak lagi memiliki kepalanya. Tetapi ketika
kami menyaksikan apa yang tersimpan di dalam
kubur, pada tempat dimana semestinya tergeletak
kepala Suparta, kami lantas merinding sendiri...."
"Apa yang kalian lihat, Sobara?"
"Sebuah batu. Yang pas sebesar kepala Suparta!"
Berdiri memandangi lereng gunung dari balik jendela
rumahnya, Bajuri membuka telapak tangannya yang
dari tadi menggenggam terkatup. Tampaklah
kepingan uang emas berwarna kuning kecoklatan itu.
Tidak susah mencari lebih banyak kepingan yang
sama. Sudah lama Bajuri menduga, betapa mudah
cara menemukannya. Tinggal mengangkat batu, yang
dipergunakan Suparti sebagai pengganti kepala
saudaranya. Bajuri memang pernah terpikir untuk pergi
mengambilnya sendiri. Jika perlu dengan membunuh
Suparti. Pikiran itu dengan cepat ia buang jauh-jauh. Bajuri
tahu, adalah pantangan besar memandangi tubuh
tanpa kepala itu. Jika itu ia lakukan, ilmu pelenyap
sukma yang ia kuasai setelah menghirup darah dan
memoleskan darah Suparta pada sepasang matanya...
akan langsung menggelegak dari dalam tubuh Bajuri.
Gelegak itu akan terserap oleh roh Suparta. Dan roh
Suparta akan terus mengikuti kemana pun Bajuri
pergi. Lagipula, buat apa ia bersusah payah merampok apa
yang terkubur di balik batu, dalam kuburan Suparta"
Toh ia sudah memiliki sepundi uang emas yang sama
jumlahnya dengan yang terkubur bersama tubuh
Suparta. Sebelum eksekusi hukuman mati itu
dilaksanakan, mata-mata Bajuri di kantor kotapraja
sudah memberitahu berapa banyak uang hadiah yang
diperuntukkan buat siapa saja yang dapat membantu
menangkap Suparta, hidup atau mati.
ltu juga salah satu sebab, mengapa waktu itu Bajuri
menumpahkan isi pundi-pundi yang diterimanya dari
Letnan Belanda itu. Pura-pura mengejek Suparta,
diam-diam Bajuri menghitung keping demi kepingan
uang emas yang jatuh berhambur
an di depan lutut Suparta. Maka tahulah ia, hanya setengah dari jumlah
hadiah itu yang diberikan padanya. Setengah lainnya,
bermaksud dikangkangi sendiri oleh sang Letnan.
Kebenarannya langsung terbukti hari itu juga. Begitu
gempa disusul longsor mengamuk di sekitar mereka,
semua orang pun berlari menyelamatkan diri.
Bajuri, bagaimana pun, masih memiliki sedikit belas
kasihan. Tubuh Suparti yang pingsan ia seret ke dalam
gua. Atau, barangkali belas kasihan yang sedikit itu
pulalah yang kemudian menyelamatkan nyawa
Bajuri" Bajuri mengerjapkan matanya. Masih menatap dari
jendela ke lereng gunung diatas sana. Dan masih
terbayang ketika ia keluar dari gua, membiarkan
Suparti yang menggeliat siuman tinggal sendiri di
dalamnya. Kecuali Dadang yang terlempar mati ke
bawah lereng, sahabat-sahabatnya yang lain
kemudian ia temukan sudah lebih dulu tiba dengan
selamat di desa. Sebelumnya, dalam perjalanan turun gunung, Bajuri
menyempatkan diri menyelidiki. Dua ekor kuda ia
temukan setengah terkubur di lembah bersama
serdadu-serdadu pemiliknya. Dalam keadaan sudah mati dan di tempat
yang terpisah-pisah. Di sebuah padang terbuka, terpanggang oleh terik
matahari yang garang menggigit, ia temukan kuda
lainnya. Kuda itu dengan setia tengah menunggui
tuannya, si letnan korup, yang berbaring di tanah
dengan salah satu kaki remuk dan sisi kepalanya
terluka menganga. Letnan ltu masih sadar ketika
Bajuri datang mendekat. "Tolonglah..." hanya itu yang sempat terlontar dari
mulutnya. Kemudian Letnan itu pun terbang ke alam
barzah, menyusul dua serdadu lainnya. Dari kantong
di pelana kuda si letnan, Bajuri menemukan sebagian
uang hadiah yang semestinya menjadi hak miliknya.
Uang hadiah yang seketika membuatnya kaya. la tak
perlu lagi bekerja sebagai centeng. Dan dengan
penampilannya yang lebih gagah, lebih parlente,
semakin mudah ia mendekati Juwarsih. Yang ternyata
hanya bermanis madu dimukanya saja!
Komplotan Bajuri waktu itu memang sempat ribut
memprotes. Tetapi mereka semua bungkam tak
berdaya, setelah Bajuri mengingatkan perjanjian
mereka semula: "Bagianku adalah setengah dari keseluruhan uang
hadiah, bukan?" Namun toh ia lagi-Iagi sedikit berbaik hati, dengan
membagi setengah dari perolehannya untuk dinikmati
oleh para sahabatnya. Bagian yang terkubur di lereng
gunung pun kemudian mereka lupakan. Perang
membuat mereka sibuk. Dan selain perang, Bajuri pun
dibuat sibuk dalam upayanya mendekati dan
kemudian berhasil mempersunting Juwarsih.
"Terkutuklah kau, Juwarsih!" Bajuri membathin,
kecewa. "Pura-pura mencintaiku sebelum kau
putuskan untuk bunuh diri!"
Sebaliknya, cinta Bajuri pada Sukaesih, bukanlah cinta
pura-pura. Bajuri sudah berulangkali kawin cerai, tak
terhitung pula perempuan simpanannya. Namun aneh
bin ajaib, hanya Juwarsih seorang-lah yang mampu
memberikan sebuah kebanggaan yang pasti ingin
dimiliki setiap lelaki yang sudah berumahtangga.
Kebanggaan sebagai seorang ayah. ltu saia sudah
cukup untuk melahirkan cinta kasihnya pada
Sukaesih. Bajuri pun semakin mengasihi Sukaesih,
yang semakin tumbuh dan semakin dewasa...
semakin pula menyerupai Juwarsih, ibunya.
*
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ringkik kuda dari arah istal, membuyarkan lamunan
Bajuri. Lereng gunung di atas sana sudah tampak
temaram. Pertanda malam sudah menjelang. Dan itu
berarti, Bajuri tidak perlu bersusah-payah mencari
Suparta kian ke mari. Bajuri sudah mendengar hukum
yang berlaku untuk seorang penyihir: Seorang
penyihir, harus kembali ke tempat pertapaannya
begitu matahari sudah tenggelam!
Kuda di istal meringkik lagi. Tetapi Bajuri tidak
membutuhkan tenaga kudanya malam ini. Juga tidak
landrovernya. Kuda dan mobil memang diperlukan
untuk mengejar waktu. Atau untuk tiba dengan
mudah di tempat jauh, tanpa banyak membuang
tenaga. Namun buat Bajuri, kuda dan mobil miliknya
hanya diperlukan untuk urusan rutin. Hanya sebagai
pelengkap saja dalam penampilan di depan umum.
Persisnya, demi kehormatan belaka.
Dipandanginya golok di tangan. Lalu tersenyum.
Bergumam penuh kedengkian: "Tak dinyana bukan,
Suparta" Golok milikmu ini, bukan hanya memakan
batang lehermu. Sebentar lagi, Suparta, golokmu ini
akan menebas pula batang leher saudara
perempuanmu!" Bajuri pun bersemedi sejenak. Mengosongkan pikiran
secara total. Kemudian mengisinya kembali dengan
semua ajian dan mantera yang pernah ia miliki.
Setelah itu, ia telah melompat keluar jendela.
Langsung mengarah ke lereng gunung yang sudah
menggelap. Lompatan Bajuri ringan dan tangkas
seperti kijang. Tetapi, andaikata ada seekor kijang
jagoan melihatnya dan tergoda untuk beradu cepat
dengan Bajuri... silahkanlah mencobanya. Kijang itu
akan tersungkur kehabisan nafas, sementara otot-otot
tubuh Bajuri baru mulai memanas. Sosok Bajuri ketika
berlari, hanya tampak bagai bayangan berkelebat.
Seakan kakinya tak menjejak ditanah.
la tidak memerlukan tempo yang lama untuk tiba di
mulut rimba belantara. Baru setelah menempuh jalan
setapak yang mendaki begitu terjal, Bajuri
mengurangi kecepatan larinya dan mulai berjalan.
Dengan lompatan-lompatan tetap ringan.
Setelah melewati tiga pendakian dan dua penurunan,
Bajuri pun tiba di sebuah tempat terbuka. Dan
tanjakan berikutnya, akan membuat jeri orang yang
tak terlatih. Siapa pula yang tidak ciut nyalinya,
melihat tanjakan yang seperti tegak lurus ke atas"
Bajuri, berpedoman pada bias rembulan dan matanya
yang sudah terbiasa dalam kegelapan, mendongak
untuk menimbang-nimbang cara terbaik melewati
tanjakan itu. Dan tampaklah olehnya cahaya meliuk-
liuk di tengah tanjakan. Cahaya sebuah obor. Dan
bayang-bayang tiga sosok tubuh tengah mendaki.
Bajuri menajamkan pandang. Lantas tertegun.
* SUNGGUH suatu pengalaman menakjubkan.
Andaikata hanya mendengar dari mulut orang lain,
pastilah Zuraida menuduhnya seorang gombal,
pembual besar. Atau penggemar karatan buku komik
picisan. Lain halnya jika sudah dialami sendiri.
Tadi semasih di rumah, semangat Zuraida meluap-
luap. la akan pergi menolong suaminya dari ancaman
bahaya! Tetapi begitu ke luar rumah, dan melihat ke
lereng gunung yang jauh dan tinggi di atas mereka,
Zuraida langsung patah semangat. Apalagi kalau
sebelumnya ia tahu adanya tanjakan tegak lurus itu.
Nyalinya pasti menciut habis-habisan.
ltulah sebabnya mengapa Anggadireja menyuruh
Zuraida minum segelas air yang sudah disucikan
dengan doa oleh Anggadireja. Kemudian, setelah
meminta maaf lebih dulu, Anggadireja menyentuhkan
jari telunjuknya ke bagian-bagian tertentu di tubuh
Zuraida. Zuraida sempat bertanya untuk apa semua itu
dilakukan, Dan dijawab pendek saja: "Kita akan
menempuh perjalanan berat."
Sambil tak lupa Anggadireja menambahkan: "Mulailah
dengan Basmallah!" Hasilnya, menakjubkan. Meski masih tetap gentar, baru setelah cukup jauh
berjalan memasuki hutan, Zuraida kagum. Langkah
kakinya masih tetap enteng, dan betis eloknya tak
pula kebas. Ketika mereka beristirahat sejenak,
disempatkan Zuraida memandang ke bawah.
Ternyata jalan yang mereka tempuh tadi tidak
tampak sama sekali. Hitam kebiru-biruan. Zuraida pun
berdecak sendiri, mengetahui mereka sudah naik
setinggi itu. Tanpa sadar ia pun bergumam:
"Bagaimana mungkin?"
"Kekuasaan Allah, Bu Ida," jawab Anggadireja.
Suparti menambahkan: "Buat orang kota seperti kau,
Ida, masih banyak hal-hal lain di daerah terpencil ini...
yang akan membuatmu tercengang sendiri...."
Seperti bangkai kepala manusia di baskom misalnya,
pikir Zuraida. Yang kembali mengingatkannya pada
suaminya. lngatan pada Sukri membuat Zuraida
bangkit dengan wajah kuatir. Katanya: "Ayo kita
teruskan perjalanan. Jangan sampai kita terlambat...."
Zuraida menghentikan ucapannya, manakala ia
tangkap senyuman samar-samar di bibir dua orang
teman seperjalanannya. Barulah Zuraida sadar,
mereka berhenti untuk memberi Zuraida kesempatan
istirahat sejenak. Dan mereka pulalah yang
semestinya melontarkan ajakan Zuraida tadi.
Akibatnya, Zuraida tersipu sendiri.
Mereka pun meneruskan perjalanan tanpa banyak
berbicara. Anggadireja berjalan paling belakang
dengan obor di tangan. Zuraida di tengah. Paling
depan, Suparti. Perempuan renta itulah penunjuk
jalannya. Dan perempuan renta itu dapat membaca
setiap sudut lereng gunung yang mereka tempuh
semudah membaca telapak tangannya sendiri.
Bahkan Zuraida sering melihat, Suparti tidaklah
membutuhkan benar obor yang menerangi jalan
mereka. Di tengah perjalanan pada tanjakan tegak lurus itu,
Zuraida tokh tidak tahan juga. Tanpa malu-malu dia
meminta istirahat lagi. Ada perasaan ngeri di hatinya
ketika memandang ke bawah mereka. Sungguh ajaib
mereka dapat tiba dengan selamat di tempat yang
setinggi ini. Melewati tanjakan, yang ketika ia
perhatikan dari atas, awal tanjakan itu tak tampak
samasekali saking lurusnya. Zuraida yang bernafas
tersengal-sengal, jantung berdetak-detuk kencang,
matanya berkunang-kunang kelelahan... terkejut
sewaktu mendengar bisikan samar dari mulut Suparti:
"Dia ada disana!"
"Aku pun melihatnya," sahut Anggadireja,
mengangguk. Zuraida menajamkan pandang. Mengawasi tempat
terbuka di antara pucuk pepohonan. Tak tampak apa-
apa kecuali warna hitam kebiru-biruan dan setelapak
tanah kecoklat-coklatan. Setelapak, padahal ketika
melewatinya tadi, tanah coklat itu lebarnya cukup
untuk bermain sepakbola. "Siapa?" Zuraida bertanya, lirih.
Wajah-wajah tegang teman seperjalanannya
seketika mencemaskan Zuraida. Jawabannya
langsung terdengar. Datangnya dari bawah sana: "Supartiiiii!"
Gaung teriak lantang itu bergaung lalu memantul dari
satu bukit ke lain bukit. Menyentak-nyentak. Misterlus.
* "Suparti" " Bisikan tersedak itu terlontar dari bibir kisut Suparta.
Makhluk itu telah dikeluarkan dari kardus
pembungkusnya, dan kini tegak pada batang
lehernya, di sebuah batu pipih yang biasa
dipergunakan Suparti jika duduk-duduk bersantai di
luar gubuk. Mereka memang sudah sampai di tujuan. Suparta,
katanya, mencium bau keringat adik perempuannya
di segenap penjuru bidang tanah terbuka itu.
Sepasang mata lblisnya pun sudah memandangi
gubuk kecil itu dengan sinar kerinduan, kemudian
kekecewaan karena orang yang ia cari ternyata tidak
berada di tempat. Tak berapa jauh dari batu pipih tempat bertahta
kepala Suparta dengan nyamannya, api tampak
menyala-nyala di tumpukan kayu bakar kering, yang
sebelumnya ditemukan Sukri banyak terdapat di
sekitar gubuk Suparti. Sumber api diperoleh dari
tungku di dalam gubuk. Suparti mempergunakan kayu
bakar dari pohon pinus yang tahan lama. Tungku pun
disusun sedemikian rupa, sehingga dibawah
tumpukan abu, bara menyala tetap tersisa untuk
dipergunakan walau sudah cukup lama api tidak
dihidupkan. Sukri pun mendengar gaung suara sayup-sayup itu.
Tetapi pikirannya yang kosong, tak terlalu
menghiraukan. Apa yang ada dalam pikirannya,
hanyalah menggali dan menggali lagi lebih dalam
sebagaimana perintah yang diterimanya dari Suparta.
Kuburan yang ia gali sudah sedemikian tua, sehingga
tanahnya luar biasa keras, padat. Cangkul kecil milik
Suparti yang ia temukan di samping gubuk, bak
cangkul mainan saja jadinya. Menyedihkan memang.
Tetapi sebongkah demi sebongkah tanah bercampur
batu kerikil, berhasil juga diangkat Sukri yang sudah
bermandi peluh. Kepala Suparta bergetar lagi.
"Aku mengenali suara itu!" desisnya, tegang. ltulah
pertama kali suara Suparta terdengar tegang di
telinga Sukri. Tetapi lagi-lagi Sukri tak menghiraukan.
la terus saja membongkar kuburan tua itu. Ditingkahi
suara Suparta yang menggila: "Gali terus. Lebih cepat
lagi! Ayo, budak hina! Jangan berleha-leha begitu!
Cangkul lebih keras! Lebih keras lagi, tolol!"
Sukri menghunjamkan pacul ke gundukan kubur.
Sekuat tenaganya. Dengan nafas memburu. Seperti nafas Suparta yang
juga memburu. Nafas yang berat. Tersedak-sedak.
* Bajuri berteriak lagi; "Turun kau, nenek sihir. Hadapi
aku sekarang juga!" Dari tempatnya berdiri, Zuraida akhirnya dapat juga
melihat samar-samar gerakan sosok seseorang di
bawah sana. "Siapakah orang itu?"
"Juragan Bajuri," sahut Anggadireja dengan dahi
berkerut. "Kau tetap di sini saja, Parti. Biar aku yang
turun untuk memberi penjelasan padanya...."
Tetapi baru juga satu dua langkah ia turun,
Anggadireja sudah berkata lagi: "Tidak. Kalian berdua
jangan hanya menunggu. Kalian terus saja. Siapa
tahu, Bajuri tidak mau menerima penjelasanku. Ayo.
Cepatlah pergi!" "Dan kau?" bisik Suparti, kuatir.
"Aku dapat menjaga keselamatanku sendiri. Jika
Bajuri bertingkah, paling tidak aku dapat menahannya
selama mungkin. Sementara itu, Parti. Dapatkah kau
mengatasi sendiri saudaramu itu?"
"Akan kucoba...."
"Cobalah! Dan kau, Bu Ida. Sujudkan jiwamu
kehadapan Allah!" Tanpa menunggu komentar lagi, Anggadireja turun
dengan cepat ke bawah. "Hati-hatilah, Angga!" bisik Suparti lirih, lalu
menggenggam tangan Zuraida. "Mari!"
Zuraida memandang sekilas ke bawah. Dengan
kepala diliputi tanda tanya dan perasaan kuatir yang
kian menjadi. Lalu dengan obor yang barusan
disodorkan Anggadireja terpegang kuat di tangan
kanannya, ia mengikuti langkah Suparti naik lebih ke
atas. Sejak dari rumah tadi, Suparti terus memegangi
tangan Zuraida. Untuk menuntunnya tidak sampai
keluar dari jalur jalan setapak, dan menahan jika
Zuraida terpeleset. Pegangan tangan Suparti begitu
kuat, dan Zuraida benar-benar merasa terlindungi.
Tetapi kini tidak ada lagi Anggadireja. Sanggupkah
Zuraida" Menempuh perjalanan berat itu, mungkin
saja ia sanggup. Tetapi menghadapi sang syeitan"
Zuraida sendiri suda TUJUH BELAS SUKRI melihat berkeliling. Ketakutan.
Bayangan-bayangan apa itu yang membungkuk-
bungkuk mendekat. Mengintip dari balik kegelapan
malam" Oh... oh... hanya bongkah-bongkah batu dan
gundukan semak belukar. Tetapi yang berdiri diam,
dengan kaki-kakinya yang besar-besar dan tinggi" Ah,
batang-batang pepohonan raksasa, kiranya. Lalu suara
bisikan-bislkan lirih mencekam itu....
Ada suara terkekeh-kekeh. Seperti orang merasa geli.
Sukri menoleh dengan cepat. Yang tertawa mengekeh
ternyata Suparta yang diam-diam memperhatikan
tingkah laku Sukri. Makhluk diatas batu pipih itu
berkata mengejek: "Masih adakah... yang lebih
menakutkanmu... selain aku, Sukri?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lantas Suparta mengekeh lagi. Berkepanjangan.
Sukri pun makin bodoh jadinya.
"Angkat batu itu, Sukri!"
Dengan wajah hampa, Sukri menurunkan sebelah
kakinya ke liang kubur. Ternyata mudah saja
mengangkat batu hitam itu. Beratnya pun tidak
seberapa. Sukri menegakkan tubuh. Tangannya sudah
bergerak akan membuang batu jauh-jauh, ketika ia
melihatnya. Di bekas tempat batu terletak, tampaklah
setumpukan benda-benda menakjubkan. Benda-
benda yang dilihat Sukri dalam mimpinya, yang
kemudian dicarinya bersusah-payah dengan menggali
lubang yang dalam di samping rumahnya. Yakni,
setumpuk harta karun berupa kepingan uang emas
tua! "Kau lihat, bukan?" Suparta berujar senang. "Adikku
Suparti tidaklah semiskin sangkaan orang. Tetapi
Suparti tidak tertarik sedikit pun memanfaatkan
tumpukan uang emas itu. Tahu mengapa Sukri?"
Sukri antara mendengar dan tidak mendengar. Batu
hitam di tangannya ia buang ke tanah. Lantas seperti
orang linglung, kembali memandangi tumpukan harta
karun yang menantang untuk dirahup itu. Sungguh
mengherankan, sedikit pun Sukri tidak lagi tergoda
memilikinya. Perasaannya kosong, hampa. Apa yang
dimilikinya sekarang, hanyalah kepatuhan belaka.
Kepatuhan pada apa pun kemauan Suparta.
"ltu uang emas terkutuk, Sukri!" Suparta terdengar
menggeram. Tinggi. Bernada kebencian. "Uang itu
berlumur darah. Darahku, Sukri! Darah yang
menyembur dari batang leherku!"
Gaung suara Suparta disambut oleh tiupan angin yang
menjerit-jerit lirih menyayat. Tanah seakan bergetar.
Batang pepohonan raksasa di sekeliling seakan
bergoyang, terayun-ayun dalam kemarahan.
Rembulan pun mendadak hilang entah kemana. Awan
pekat hitam muncul berbondong-bondong di langit
kelam, seolah bertujuan mengepung seluruh
permukaan lereng gunung untuk maksud-maksud
jahat. "... apinya hampir padam, Sukri!" Suparta
mengingatkan. "Ayo. Tambahkan lagi kayu bakar.
Jangan sampai kau nanti tak dapat melihat, lalu tak
dapat melakukan dengan benar... tugas apa yang
nanti harus kau lakukan!"
Api berkobar-kobar lagi setelah Sukri menambahkan
kayu bakar. Dibantu oleh tiupan angin kencang.
Suparta melihat ke nyala api yang meliuk-liuk liar
dengan pandangan tak senang. Lantas mengeluh
pada diri sendiri: "Api. Sungguh tak enak
memikirkannya...." Pandangan Suparta kemudian beralih pada Sukri.
"Tahukah kau apa tugasmu, Sukri" Tugas terakhir
dalam pengabdlanmu padaku"!"
Sukri hanya berdiri mematung. Tanpa gairah. Suparta
pun tak mengacuhkannya. "Pertama-tama, Sukri..." bisiknya, menyay at. Tersedak-
sedak lebih cepat dari biasa, saking tak sabar.
"Pertama-tama, Sukri.... Angkatlah kepalaku ini.
Satukan dengan tubuhku di lubang kubur...."
Sukri mendekat dengan langkah gontai. Rambut
panjang tergerai itu dijambak, dan terangkatlah
kepala Suparta dari atas batu pipih. Disertai ancaman:
"Awas kau! Jika tak benar menempatkannya!"
Nyala api semakin berkobar.
Angin pun mulai membadai. Dan di langit kelam,
guntur tiba-tiba menggelegar....
* Gelegar guntur yang tiba-tiba itu mengejutkan Bajuri.
la lengah. Sekejap, cuma. Namun kelengahan yang
cuma sekejap itu telah membuat golok ditangannya
terlempar jatuh. Disusul sebuah sapuan kaki pada
rusuk. Sebelum kaki yang menyapu itu turun
menjejak tanah, kaki lainnya sudah melesat ke atas
dan menghantam keras dada Bajuri.
Bajuri terpekik. Jatuh terhempas, dengan punggung menghantam
batu besar di belakangnya. Pelan-pelan ia bangkit,
kemudian terduduk lemas. Tak bertenaga. Seraya
kepala diangkat, menatap lawannya yang tegak
menunggu. Berkata terengah-engah: "Aku
menyerah...." Anggadireja tidak sepenuhnya percaya. la hapal betul
siapa Juragan Bajuri yang mantan centeng itu. Tetap
bersikap waspada, Anggadireja mengatur nafasnya.
Lalu berujar tak sabar: "Kita sebenarnya tak perlu
membuang tenaga sia-sia seperti ini, Bajuri. Tak perlu
harus saling memusuhi...."
"... aku setuju," Bajuri mengangguk lemah. Sembari
diam-diam, ikut pula mengatur nafas. Diam-diam pula
ia berkonsentrasi. Merapal mantera-mantera jauh di
lubuk hati. "Karena itu, Bajuri. Sebelum aku pergi menyusul
Suparti, biarlah kujelaskan dulu bahwa musuhmu
sebenarnya..." "Percuma, Angga. Sukaesih sudah mati...!"
Anggadireja tersentak. "Apa?"
"Putriku, Angga. Dan juga menantuku, Asgar. Andai
kau lihat sendiri bagaimana mereka menemui ajal...!"
Bajuri mengeluh, panjang dan dalam. Karena
kesedihannya. Sekaligus untuk mengelabui
Anggadireja. Bunyi keluhan itu, sebenarnya sebuah
tarikan nafas dalam yang menjadi bagian dari
manteranya. Nafas yang mengandung kekuatan-
kekuatan mistis yang diwariskan turun temurun oleh
karuhun-karuhunnya. Adalah sungguh ironis,
mengingat karuhun Bajuri yang menguasai ilmu itu
pertamakali, justru sahabat kepercayaan punggawa
kerajaan Pajajaran yang dahulu kala membuka
daerah ini. Dan punggawa Kerajaan itu, adalah
karuhun Anggadireja. Bajuri sengaja memikirkan ironi itu. Untuk menekan
kesedihannya atas kematian putrinya tercinta,
Sukaesih. Memikirkan ironi itu, konsentrasinya bisa
lebih terpusat, dan pelan-pelan membuatnya mampu
tersenyum. Senyum yang diatur Bajuri sedemikian
rupa. Sehingga dimata Anggadireja tampak sebagai
ringis kesengsaraan yang tiada terperi.
Perasaan simpati melengahkan kewaspadaan
Anggadireja. la kena dikelabui. "Maaf mengenai
putrimu. Sungguh... aku tidak tahu..." la menarik nafas
panjang, kemudian mendekati Bajuri yang tampak
terkulai penuh kesengsaraan. "Apamu yang terluka,
Juragan Bajuri?" "Rusukku... patah...!" Bajuri mengerang. Erangan
mengandung ajian mistis. "Mari kuperiksa!"
Anggadireja membungkuk lalu meraba-raba rusuk
Bajuri, seraya menyalurkan tenaga dalam dengan
maksud mengurangi penderitaan orang yang ingin ia
tolong. Kasihan Bajuri. Putri tercintanya....
Perasaan belas kasihan Anggadireja berakibat fatal.
Tenaga gaib yang disaIurkannya, langsung disedot
sekuat-kuatnya oleh tenaga gaib Bajuri yang
sesungguhnya tidak menderita patah tulang. Sedotan
itu mengandung hawa panas luar biasa.
Anggadireja terkejut. Ia berusaha menarik tangannya kembali. ltu juga
suatu kekeliruan. Tarikan balik melemahkan posisinya.
Tangannya justru tak mampu ia selamatkan. Karena
tangannya itu dalam tempo singkat sudah melepuh,
terbakar. "Ilmu hitam. Astaga!" Anggadireja terkesiap.
"Hentikan, Bajuri. Kau...."
Bajuri menyeringai. Buas.
"Sudah lama aku ingin melakukannya padamu,
Angga! Baru sekarang dapat terlaksana!" Bajuri
tertawa mengikik. "Selama ini kau selalu
menghambat jalanku, Angga. Sejak Suparta masih
hidup. Dan...." Sengatan ilmu hitam itu sudah mencapai lengan.
Bahkan leher Anggadireja sudah mulai berubah jadi
hitam, mengepulkan asap. Pada detik-detik kritis
sebelum jantungnya ikut diserang, Anggadireja pun
berteriak: "Suparta! Dialah musuhmu, Bajuri! Dialah
yang membunuh putrimu! Suparta sudah bangkit dari
kuburnya...!" "... apa"!"
"Diatas sana, Bajuri... Suparta akan melakukan
persembahan berdarah. Untuk memburumu...."
Bajuri seketika membentak keras. Pegangan
Anggadireja terlepas, dan tubuh Iurah desa itu
terlontar berguling-guling di tanah lalu terhempas
membentur sebatang poho n. Tak pelak lagi, Anggadireja klenger. la bangkit duduk. Dengan susah
payah. Mengeluh: "Aku sudah melihat darahnya,
Bajuri. Darah iblis...."
Bajuri bangkit dengan tangkas. Kini ganti ia yang
mendekati musuhnya. Sambil tak Iupa menyambar
goloknya yang terhantar di tanah.
"Bagaimana terjadinya, Angga?"
Tersengal-sengal, Anggadireja menceritakan secara
ringkas bagaimana kepala Suparta yang sudah
terkubur sekian puluh tahun, ditemukan secara tidak
sengaja oleh Sukri. la pun memberitahu apa yang ia
dengar dari Suparti tentang kemungkinan apa yang
bakal terjadi. "Roh Suparta kehilangan jejakmu, Bajuri. Tetapi ia
sudah menemukan cara untuk memburumu. Melalui
raga Sukri. Raga yang hidup, Bajuri. Dengan roh yang
juga hidup. Tetapi... yang sudah menyatu selamanya
dengan roh Suparta. Dan kau,
Bajuri... Kau tak akan lagi bisa lari!"
* Sukri seperti tikus terjepit. Alam pikirannya benar
telah dikuasai mutlak oleh Suparta. Namun alam
bawah sadarnya masih tetap miliknya. Dan barusan,
dari lubang kuburnya, Suparta sudah mengatakan
bahwa alam bawah sadarnya itu pun akan dikuasai
pula. Jasad Suparta boleh mati terkubur. Tetapi rohnya
akan hidup selamanya. Dalam wujud nyata. Sebuah
wujud pinjaman yang akan bebas berkeliaran
kemana-mana tanpa menarik perhatian orang. Siang
malam. Kapan saja ia mau. Ke mana saja ia ingin
pergi. Pada siapa saja yang ingin ia datangi.
Dan manusia pertama yang sangat ingin
didatanginya... "... istrimu, Sukri! Dia boleh juga!" Suparta menyeringai
gembira. "Aku jadi terangsang... ketika menyaksikan
bagaimana ia mengangkangi tubuhmu dengan
bernafsu... hehehe!"
lstrinya. ltulah satu-satunya milik Sukri yang masih
tersisa di dunia ini. Dan, tikus yang sudah terjepit itu
pun nekad mempertahankan diri.
"Tidak. ltu tidak boleh kau lakukan, makhluk terkutuk!"
Sukri menjeritkan lolongan putus asa. Cangkul yang
ada di sebelahnya ia sambar. Lalu ia pun
menghunjamkannya kearah kepala Suparta di dasar
lubang kubur. Dengan hunjaman keras membabi buta. Sukri lupa,
bahwa alam pikiran maupun seluruh otot-otot
tubuhnya sudah diperbudak. Dan seorang budak,
harus patuh pada apa pun kemauan tuannya.
Memang, itulah yang kemudian terjadi.
Sebelum mata pacul menyentuh kepala Suparta,
gagangnya sudah berputar membalik dalam
genggaman kedua telapak tangan Sukri. Tangan
maupun lengan Sukri dipaksa mengikuti. Gerakannya
lambat, namun tak dapat dilepaskan, bahkan juga
dihindari. Dengan mata melotot ketakutan, Sukri
melihat terdongak bagaimana mata pacul di
tangannya, tahu-tahu saja sudah siap menghunjam
lagi dari atas. Terarah langsung ke kepala Sukri
sendiri! "... matilah... aku..." alam bawah sadar Sukri, mengeluh
ngeri. Menyuruhnya memejamkan mata agar tidak
menyaksikan datangnya kematian yang boleh
dibilang sama dengan bunuh diri itu.
Mampu juga kelopak mata Sukri memejam. Pacul itu
pun melayang turun. Melakukan suatu putaran lain,
sehingga ketika mendarat di kepala Sukri... yang
menghantam adalah punggung pacul.
Namanya juga terbuat dari besi. Dihantamkan dengan
keras pula. Memang tidak sampai meremukkan.
Hanya sedikit merobek kulit kepala Sukri. Yang
dengan cepat menimbulkan benjolan, disertai rasa
nyeri yang alang kepalang. Sukri pun membungkuk
tersungkur. Dengan mata berkunang-kunang. Mata
yang sialnya, mengarah ke lubang kubur. Dan
terlihatlah bukan satu, tetapi tujuh, sebelas, bahkan
puluhan kerangka dan kepala Suparta melayang-
layang di depannya. Menari, tertawa, mengejek,
menyumpah serapah. Pacul di tangan Sukri jatuh ke tanah. Bayangan
kerangka dan kepala Suparta yang menari-nari itu
pun lambat laun saling bertaut, mula-mula kacau,
kemudian semakin membentuk. Hanya seonggok
kerangka dan sepotong kepala saja. Yang setelah
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringkik lagi, berkata mencemooh: "Sudah
kuperingatkan, Sukriii.... Jangan coba-coba mengatur
keinginanku!" Air mata Sukri pun rembes, membasahi pipinya. Air
mata putus harap! Suparta tidak berbelas kasihan. Suparta langsung
menyentak: "Gigit urat nadimu!"
* Anggadireja mengerahkan tenaga dalam, kini untuk
menyembuhkan diri sendiri. Aliran darah di sekujur
tubuhnya pelan-pelan mengalir kembali. Memang
belum normal, namun jelas klep jantungnya masih
dapat bekerja dengan baik. llmu hitam itu telah ditarik
kembali oleh Bajuri. Telapak tangan mau pun kulit
lengan Anggadireja masih mengelupas.
"Tetapi dalam satu dua jam akan kembali normal,"
begitu dikatakan Bajuri. Dan kali ini, mau tidak mau
Anggadireja terpaksa mempercayai juragan
perkebunan yang masih berjiwa centeng itu. Satu dua
jam memang tidak lama. Tetapi itu berarti,
Anggadireja tak dapat membantu menyelamatkan
hidup warga desanya, yang terancam bahaya
pemusnahan. ltu sudah sangat menyedihkan. Hatinya semakin sedih
lagi mengingat apa yang dilakukan Bajuri untuk
menarik serangan ilmu hitam dari tubuh Anggadireja.
Lurah desa itu harus menjulurkan lidahnya keluar.
Mulut Bajuri menyembur....
Entah Bajuri itu orang sialan atau orang yang
beruntung; yang jelas, dialah orang pertama yang
pernah meludahi kepala desanya. Diterima dengan
sukarela pula! Bajuri sendiri, tak sempat lagi memikirkan apakah ia
orang sial atau beruntung. Yang ada dalam pikirannya,
hanyalah mengejar waktu. Jika ia terlambat tiba,
tamatlah riwayatnya. Tetapi jika ia masih dapat
memburu waktu, maka ia akan tetap hidup. Dan
sekaligus dapat membalaskan dendam atas kematian
Sukaesih, putrinya tercinta.
Bajuri terus melesat. Melebihi kecepatan badai angin
yang mengayun pepohonan raksasa di sekitarnya. la
hampir saja melabrak dua sosok tubuh yang
mendadak tampak berlari-lari di depan jalannya.
Bajuri berkelit sedikit, terus melesat lagi. Semakin
cepat. Di belakangnya, Bajuri mendengar sebuah
suara yang sudah tak asing lagi baginya.
"... ah. Kaukah itu, Angga?"
Suparti. Dialah itu. Tetapi Bajuri tidak lagi
memperdulikan Suparti. la sudah dapat melihat kerlip
cahaya perapian. Ia pun melihat bayang-bayang
tubuh seorang laki-laki tengah membungkuk ke
depan. Lalu Bajuri mendengarnya.
"Kucurkan darahmu... darahmu... darahmu...!"
Suara sang iblis. lblis yang benar-benar sangat haus darah.
Sudah terlambatkah Bajuri"
* DELAPAN BELAS DENGAN menahan rasa sakit yang timbul, Sukri
menggigit pergelangan lengan kanannya. Ia lakukan
tidak sepenuh hati, karena alam bawah sadarnya
terus menentang. Ketika Sukri menjauhkan mulutnya,
memang tampak Iuka berdarah. Darah itu pun
menetes jatuh. Kemudian lenyap di sela-sela belulang
kerangka di liang kubur. Nyaris tidak meninggalkan
bekas apa-apa! Suparta pun menjerit kesurupan: "Nadimu, budak hina!
Bukan daging lenganmu! Aku bilang nadimu... gigit
sampai putus... Hiilih... Hiiiiih!"
Hih-nya Suparta hih mengandung mantera. Sepasang
matanya semakin membara. Memancarkan uap panas
yang menyapu sepanjang lengan kanan Sukri,
menekan pula di kepala. Tanpa dapat ditahan lagi,
pergelangan lengan kanan dan mulut Sukri pun saling
mendekat sendiri. Sukri memohon: "Jangan... jangan..."
Lalu ia pergunakan tangan kiri untuk menahan tangan
kanannya. la betot tangan kanannya ke bawah.
Tetapi tangan kanan Sukri lebih kuat lagi menarik ke
atas, sementara mulut Sukri terbuka lebar. Gigi-gigi
taring Sukri pun sudah siap menghujam dengan
buasnnya. Sukri membelalak ngeri, saat gigi taringnya
menyentuh pada nadi.... Lalu, tap...! Sepasang lengan yang kokoh sudah lebih dahulu
mencengkeram. Seseorang merangkul Sukri dari
belakang. Tangannya yang satu mencengkeram dan
menarik turun pergelangan kanan Sukri. Tangan lain
menjambak rambut lalu menarik kepala Sukri ke
belakang. Leher Sukri seakan mau patah. la pun
menjerit tersiksa. Suparta yang sedang komat-kamit kesurupan,
memandangi Sukri terheran-heran. Pada saat itu, di
bekas darah Sukri tadi menetes, tampak asap tipis
mengepul keatas, dan terdengar suara menggelegak.
Kulit wajah Suparta sudah mulai kemerah-merahan,
dan hanya dengan beberapa tetes darah Sukri,
kekuatannya sudah bertambah dari biasa.
Namun toh, Suparta tidak mampu melihat apa-apa.
Kecuali lengan-lengan budaknya, Sukri, turun dengan
cepat. kepala Sukri pun terdongak seakan dibetot ke
belakang. Lantas, tahu-tahu seluruh tubuh Sukri sudah
melenyap dari pandangan mata Suparta!
Mata Suparta menjadi liar. Mencari-cari. "Sukk....riiii"!"
Tak ada sahutan. Yang ada hanya helaan nafas Sukri
yang tertahan. Seperti dibekap. Suparta merapal ajian
yang makin lama makin nyaring, disambut tempik
sorak angin badai yang membuat pepohonan di
sekitar berderak-derak. Guntur menggelegar lagi,
berkepanjangan. Lalu setelah asap tipis dari celah-celah ker angka dada
Suparta kian mengecil, Suparta membentak keras.
Dengan kekuatan barunya, kepala Suparta sudah
meninggalkan tulang batang lehernya. Mencelat ke
atas, melayang-layang di udara dengan mata
bergerak liar. Akhirnya ia melihat Sukri. Setengah berlutut di tanah,
dengan mata terbuka lebar tetapi mulut terkatup
sangat rapat, rapat sekali. Suparta menatap curiga.
Pelan-pelan kepalanya pun melayang ke arah Sukri.
Memperhatikan wajah Sukri yang pucat pasi,
bermandi keringat. Mengapa begitu rapat mulut Sukri
terkatup" Bibirnya itu... ditarik dari dalam, atau ditekan
dari luar" Wajah Suparta terus mendekati wajah Sukri, sampai
hidung mereka hampir bersentuhan. Angin badai
menerbangkan rambut Suparta kian kemari,
menyapu, menerpa, mengibas, bahkan menampar-
nampar wajah Sukri. Tetapi wajah itu tak bergeming.
Tiba-tiba Suparta menyadari sesuatu. Mata Sukri. Mata
itu bukan menyorot hampa dalam kepatuhan. Mata
itu membersit hidup, dalam ketakutan.
Lalu telinga Suparta menangkap siutan angin. Siutan
yang tak lain dari biasa. Seperti irisan sembilu. Dan
persis pada saat katupan bibir Sukri membuka dan
Sukri terengah mengambil nafas, Suparta mencelat
menghindar. Hanya sepersekian detik sebelum mata golok yang
tajam, membelah dua kepalanya!
ltulah keistimewaan ilmu pelenyap sukma yang
dimiliki Bajuri. Roh jahat Sukri boleh saja melihat
leluasa makhluk hidup manapun yang diinginkannya.
Tetapi tidak Bajuri, yang telah membentengi
sukmanya dari jangkauan roh Suparta. Karena roh
dapat melihat raga melalui pancaran sukma, dengan
sendirinya raga Bajuri yang tidak memancarkan
sukma... tak berhasil dilacak sel-sel jaringan mata roh
Suparta. ltulah yang barusan terjadi. Suparta hanya mampu
melihat Sukri yang duduk dengan mulut terbekap.
Tetapi tidak melihat, bahwa yang membekap mulut
Sukri adalah telapak tangan Bajuri. Bajurilah yang tadi
menyeret dengan renggutan keras tubuh Sukri dari
pinggir liang kubur. Dan kini, Bajuri siap untuk melancarkan serangan
berikutnya, setelah golok ditangannya gagal
membelah dua kepala Suparta.
Mata Sukri! ltulah kuncinya. Suparta bergerak melayang,
meloncat-loncat dengan berpedoman pada gerakan
ekor mata Sukri. Sukri sendiri tidak menyadari, bahwa
ekor matanya yang terus mengikuti gerakan Bajuri
dengan pandangan kuatir, telah dimantaatkan oleh
Suparta. la terus saja melihat penolongnya yang tadi
muncul entah darimana itu. Golok ditangan Bajuri
diam-diam ia harapkan mampu membunuh lawan.
Sambil membathin, mengikuti gerakan golok ditangan
Bajuri. Mendukung: "Tebas sekarang!"
Lalu: "Hantam!"
Kemudian: "Pancung! Pancung! Pancung!"
Teriakan bathin Sukri mendukung si penolong,
memancar lewat sinar matanya. Pancaran itulah kunci
penembus yang dimanfaatkan Suparta untuk
mengelak dan mengelak, melesat di udara, meloncat-
loncat di tanah. Sembari memikirkan siasat cara
membela diri lebih baik. Kalau mungkin,
melumpuhkan lawan yang tidak terlihat olehnya itu.
Suparta tiba-tiba mencelat keatas.
Lantas menclok di dahan sebatang pohon besar.
Memandang kebawah, asal pandang saja, karena
tidak tahu disebelah mana musuhnya berada. Lantas
sambil menyeringai lebar, ia menggeram: "Jadi kau
datang... mengantar nyawa, Bajuri!"
Tak ada sahutan. Yang ada, sepasang mata Sukri. Bersinar semakin
hidup. Melihat ngeri ke dahan di mana kepala Suparta
menclok. Lalu mata Sukri turun ke bawah, sejajar
tanah. Melihat Bajuri yang mengambil ancang-ancang
di bawah tempat menclok Suparta. Bajuri kemudian
meloncat tinggi keatas, diikuti oleh gerakan mata
Sukri. Kini, kepala Suparta sudah terkurung diantara
kedua kaki Bajuri yang mendarat ringan tanpa suara
di dahan pohon yang tinggi itu. Bajuri memiringkan
tubuh sedikit ke belakang. la menjaga keseimbangan
tubuhnya dengan sempurna, untuk kemudian
goloknya diangkat pelan-pelan. Gagang golok di
kedua tangan. Suparta menunggu. Dengan berdebar. la masih
menyeringai, sekedar memperlihatkan ia belum
mencurigai serangan mematikan itu. Lalu, pada saat
sinar mata Sukri menurun sedikit mengikuti gerakan
golok di genggaman Bajuri, Suparta meringkik keras
dan cepat sekali melesat pergi dari kedudukannya.
Golok Bajuri hanya menghantam angin kosong. Bajuri
hilang keseimbangan. la limbung jatuh, terpekik di
luar sadar, lalu dengan tangkas mengatur posisinya di
tanah. la kemudian mencari musuhnya.
Terlambat! Suparta, setelah melesat dari dahan tempatnya
menclok, melayang lurus dan langsung ke arah Sukri.
Dan tahu-tahu saja, wajah Suparta sudah merapat
lagi di wajah Sukri. Mencibir, mengejek, mengancam,
dengan sorot matanya terus merasuk ke dalam jiwa
Sukri. Disusul desisan tajam: "Terimakasih kau membantuku tadi,
budak tolol!" Ucapan terima kasih yang menyedihkan. Disusul
perintah menyakitkan: "Sekarang, goblok! Lawan dia
untukku!" Bajuri bersungut marah: "Bangsat!"
Suparta tertawa kearah dari mana ia mendengar
suara tetapi tidak melihat orang yang mengeluarkan
suara. "Ayo, Bajuri. Sebelum mengangkangiku seperti
tadi lagi... langkahi dulu mayat budakku!"
Suparta meringkik membahana.
Bumi bergetar oleh sambaran kilat yang
menghanguskan sebatang pohon di lereng lembah.
Gelegar guntur ikut pula membentur dinding gunung.
Badai angin membuat tubuh Sukri terayun-ayun
ketika ia bangkit, menjangkau pacul di tanah,
kemudian bergerak mendekati Bajuri.
"Jangan takut, Sukri. Kita gempur dia bersama-sama!"
jerit Suparta, dalam ringkik
panjang kesenangan. Benar saja. Hempasan angin tidak lagi menggoyahkan
Sukri. Kuda-kudanya pas, pegangannya di pacul
kokoh, matanya saja yang kehilangan gairah hidup.
Bajuri memperhatikan lawan barunya ini dengan
waspada. Anak muda di depannya, biar dia jagoan
berkelahi... dalam keadaan biasa akan dianggap
enteng oleh Bajuri. Tetapi dibalik kehampaan mata
Sukri, terpancar hawa nafsu ingin membunuh dari roh
Suparta. Bajuri merapal mantera. Melacak lalu menembus ke
alam bawah sadar Sukri, membisikkan kata-kata
lembut: "Dengarkan aku, Nak. Kau tahu aku
bermaksud menolongmu, bukan" Hawa nafsumu,
Nak. Hawa nafsumu-lah yang harus kau lawan. Bukan
aku...!"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suparta yang sudah duduk santai di batu pipih,
meringkik: "Jangan dengarkan dia! Bunuh sekarang!
Sebelum dia membunuhmu!"
Bajuri tidak menyerah: "Terbalik, Sukri. Dialah yang
harus kita bunuh. Kita, dengar" Kita serbu dia
sekarang...." "Yiiiiiiilii... hhhh!" Suparta meringkik lirih menyayat,
menutup pintu masuk ke alam bawah sadar Sukri.
Disusul hentakan: "Sekarang, tolol!"
Sukri pun menghantamkan senjata pacul di
tangannya. Bajuri cepat menghindar. Tetapi Sukri tidak memberi
kesempatan. la terus menyerbu tanpa harus mengatur
posisi lebih dulu. Bahkan hampir tak perlu menggambil
nafas. Sadarlah Bajuri bahwa lawannya yang ini,
bukan lawan sembarangan. Apalagi didukung pula
oleh kekuatan gaib Suparta.
Baiurl habis akal. Dari habis akal, ia pun habis sabar. Kepongahan
seorang juragan dan mental centengnya pun muncul
sudah "Hem. Rupanya kau ingin diberi pelajaran, ya"
Sambutlah ini!" Bajuri menyambarkan goloknya. Disambut gagang
pacul. Dorong mendorong, lepas, saling terjang lagi.
Sekali, Bajuri terkena tendangan di perut. ltu
membuatnya naik pitam, apalagi sisi tangan Sukri
kemudian menghantam hidungnya pula sampai
mengeluarkan darah. Suparta meringkik semakin senang. Bagaimana tidak.
Di mata Suparta, tentu saja tampak menggelikan.
Karena Sukri tampak berkelahi sendirian, menerjang-
nerjang udara kosong. Semakin liar. la tidak menyadari, nyala api di dekatnya semakin
berkobar-kobar karena tiupan angin badai. Lalu,
diantara suara topan badai itu terdengar suara lain.
Suara pekik tertahan seseorang, diikuti suara orang
lainnya lagi, berseru lantang: "Hentikan!"
Tidak tahu pada siapa seruan itu ditujukan. Yang pasti,
masing-masing bereaksi menuruti hati sendiri-sendiri.
Suparta berpaling terperanjat, karena ia mengenali
suara adik perempuannya. Dan benarlah, Suparti
sudah muncul di pinggir lapangan pertandingan,
dengan seorang perempuan muda cantik yang
memandang pucat dan ngeri Sukri yang beradu
nyawa dengan Bajuri. Perhatian Suparta yang teralih,
mengalihkan pula arus gaibnya dalam diri Sukri.
Apalagi Sukri pun sudah mendengar pekik tertahan
dari mulut istrinya, Zuraida.
Sukri lengah. Dan Bajuri bereaksi menurutkan mental centengnya.
la membentak sambil mengirimkan sebuah pukulan
dahsyat. Pacul di tangan Sukri terlempar entah ke
mana. Dada Sukri sakit alang kepalang. Tubuhnya pun
terdorong. Jatuh berguling-guling ke tanah, dan
terhempas langsung ke arah perapian yang berkobar-
kobar. Tubuh Sukri pastilah sudah dimangsa api, jika
tidak sebuah batu besar yang mencuat di tanah,
menahan laju tubuhnya. Bajuri belum puas. la terus mengejar. Tanpa Sukri,
akan lebih mudah buat Bajuri menempur dan
memusnahkan kepala Suparta. Bunuh dulu anak
muda itu! Dan itulah yang dilakukan Bajuri, begitu ia
sudah berada di dekat tubuh Sukri yang terkulai tanpa
daya. Goloknya diangkat tinggi. Ujung mata golok
yang runcing siap dihujamkan ke lambung Sukri yang
menggeliat bangun. Lalu dlsertai jerit ngeri:
"Jangaaaaan!" terdengar bunyi jressss!
Yang menjerit itu Suparti. Sambil menghambur cepat
ke depan. Dan tiba pada saat yang tepat, berdiri
menahan antara tubuh Sukri dan Bajuri. Ujung golok
menembus dengan gerakan miring, langsung di dada
kerempeng Suparti. Menembus
setengah membelah, menyembur-nyembur darah. Dari dada, maupun dari
punggung Suparti. "Parti... apa..."! kepala Suparta melolong-lolong.
Apa yang tampak olehnya, mula-mula tubuh Sukri
berguling menjauh. Kemudian tubuh adik
perempuannya terhentak begitu saja, dengan dada
dan punggung menyemburkan darah. Ia tak melihat
apa yang membuat dada dan punggung adik
perempuannya mengeluarkan darah. Dia melihat
adiknya, Suparti. Setelah sekian puluh tahun.
Melihatnya lagi. Tampak tua renta, menyedihkan.
Dengan dada setengah belah pula, menyemburkan
darah! Sementara Suparta melolong-lolong sambil meloncat-
loncat mengerikan, karena ia tak lebih dari sebuah
kepala sampai sebatas leher saja... Bajuri bertindak.
Lepas dari keterkejutan melihat siapa yang termakan
goloknya, Bajuri bergerak mundur. Golok dibetot dan...
tersangkut. Salah satu sisi gagang golok ikut
menembus dada Suparti, saking derasnya hunjaman.
Sisi gagang golok itu pun tertahan di antara tulang
dada Suparti, ketika Bajuri coba membetotnya keluar.
Bajuri baru saja memutuskan untuk membiarkan saja
golok itu, ketika serangan gelap sekonyong-konyong
sudah menerpanya. Serangan itu datang dari jari-
jemari runcing berkuku panjang tajam. Hampir tak
terlihat rupanya sudah terangkat ke atas. Lalu jari-
jemari berkuku mengerikan itu, menusuk, kemudian
melesak ke sepasang mata Bajuri. Kemudian, dengan
sama cepatnya jari-jemari itu telah keluar lagi,
membawa serta sepasang biji mata, yang langsung
dilemparkan ke kobaran api di dekatnya. Bajuri pun
melolong. Sembari mundur-mundur menekap
matanya yang sudah kosong. Pegangannya di gagang
golok lepas, dan tubuh kerempeng Suparti pun iatuh
terhempas di tanah. la bersusah payah memiringkan
kepala ke arah saudaranya yang masih meloncat-
loncat liar di atas batu pipih.
"Kini kau... dapat melihat musuhku, Kang Parta...!"
Suparti berkata terputus-putus. "Tuntaskanlah
dendammu." Benar. Ketika Suparta menoleh, terlihatlah musuh
besarnya tengah meraung-raung sengsara. Mundur
tak beraturan. Dan sebelum tubuh Bajuri terlempar ke
jurang, cepat Suparta melesat ke udara. Tahu-tahu
saja kepala Suparta sudah menclok di atas kepala
Bajuri. Rambutnya yang panjang bergerai-gerai itu
memilin, terus membelit melingkari leher Bajuri.
Sadar oleh serangan baru itu, Bajuri berusaha
memegangi apa yang mendarat kemudian
mendekam di kepalanya. Melolonglah lagi Bajuri
setelah tahu itu adalah kepala Suparta. la berusaha
memukuli kepala itu. * Sukri sebenarnya juga tidak ingin melihat. Namun
sisa-sisa pengaruh roh gaib Suparta masih melecut-
lecut ototnya. Memaksanya untuk ikut menyaksikan.
Dan apa yang disaksikannya adalah, kepala Bajuri
terenggut lepas dari batang lehernya. Darah pun
menyebur-nyembur. Tubuh Bajuri limbung, jatuh
terhempas ke tanah. Berkelojotan sejenak, kemudian
terkapar diam. Ada pun kepalanya, seperti masih sanggup melepas
lolongan akhir. Lolong kematian. Lalu kepala Bajuri dibawa terbang oleh Suparta yang
meringkik panjang, melayang hilang di kegelapan.
Yang terdengar hanya ringkikannya, dan jerit kepuasannya.
"Mengembaralah. Bajuri.... Nikmatilah kesengsaraan...
yang selama ini kurasakan....!"
Sukri masih terpana oleh pesona menyeramkan tadi.
la mendengar perintah Suparti agar lari
menyelamatkan diri. Lambat sekali otaknya mencerna
apa yang dikatakan Suparti. Dan ketika akhirnya
otaknya mau diajak kerjasama dan menangkap apa
maksud Suparti, semua ternyata sia-sia.
Ringkik Suparta sudah mendatangi lagi dari
kegelapan! * Lalu muncullah tubuh tanpa kepala Suparta. Dari
antara dua batang pohon, meluncur ke tanah, lalu
meloncat-loncat mendekati tubuh adik perempuannya.
Entah kekuatan apa yang masih dapat membantu
perempuan tua renta itu mampu bertahan.
Atau, mungkinkah jantungnya tidak terkena, dan
masih memiliki sisa-sisa kehidupan"
"Adikku malang!" Suparta meratap tersedak-sedak.
"Mengapa... ka u lakukan perbuatan bodoh itu...?"
Suparti memaksakan senyum pada saudara laki-
lakinya, yang hanya kepala saja itu. "Aku ingin
mengubur semuanya, Kang Parta. Mengubur dendam...
kebencian... kekecewaan..."
Suparta menangis! Meratap lirih: "Mestinya kau biarkan aku... hidup
kembali.... Untuk mendampingimu lagi.... Akan
kubawakan daging menjangan muda untukmu... lalu
kakimu...." "Boleh aku memelukmu, Kang Parta?" Suparti
memohon. Sadar, ajalnya sudah mendekat.
Seketika itu juga kepala Suparta meloncat ke dada
saudara perempuannya. Rambut panjangnya bergerak
memilin, cepat namun hati-hati. Mudah sekali. Golok
itu sudah tercabut, kemudian dilemparkan jauh-jauh
oleh rambut Suparta. Kemudian, rambut itu membelai-
belai pipi adik perempuannya.
"Bertahanlah, Parti..."
"Kau tahu. Kau ingin kembali, bukan" Untukku?"
"Benar, Parti."
"Kalau itu maumu..." Suparti merangkul kepala
saudara laki-lakinya, erat dan hangat. Rangkulan yang
tidak dilepaskan lagi, tanpa Suparta mencurigai apa-
apa. "Maafkanlah aku, Kang Parta!"
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Suparti
bangkit. Tidak untuk berdiri. Melainkan untuk
melemparkan tubuhnya. Dengan kepala Suparta
terangkul erat di dada. Langsung ke arah api.
Menengkurap kuat-kuat. * Api memercik. Bersorak mistis. Meningkahi jerit kematian dari mulut Suparti: "Dari api
kembali ke api!" Suparta yang terlambat menyadari niat adik
perempuannya hanya bisa melolong-lolong dari balik
bara dan nyala api yang semakin berkobar, merah
menyerupai darah, kemudian kuning, lalu biru, merah
tua, ungu, meliuk-liuk campur aduk. Terhentak-hentak.
Disertai hentakan mayat Suparti oleh dorongan-
dorongan kepala saudara laki-lakinya yang berjuang
meraih hidup di alam nyata.
Hentakan-hentakan tubuh Suparti melemah lalu
terhenti. Tinggal lolongan Suparta yang terdengar. Bergaung
tersedak-sedak. Melompat dari satu bukit ke lain
bukit. Kemudian lenyap dalam hardikan marah guntur,
petir, dan hujan yang tumpah dari langit kelam.
Bumi menggelepar-gelepar.
Sukri terlempar. Menyeret serta Zuraida. Keduanya
sama menjerit, lalu bangkit terhuyung-huyung.
* PENUTUP HARI berikutnya, tercipta lembah baru. Tempat
terbuka itu sudah runtuh dengan dahsyat ke lembah
dibawahnya. Yang tersisa hanyalah segunduk besar
batu cadas, yang tertanam dalam dinding gunung. Tak
ada yang tersisa lagi dari hunian Suparti. Semuanya
sudah hancur. * Menjelang sore, sebuah wajah tua dan lelah muncul
di sisi salah satu ceruk batu yang luar biasa besar itu.
Disertai sapaan lembut: "Murid-muridmu menunggu
dibawah sana, Bu Ida...."
Mereka kehilangan tubuh dan kepala Bajuri. Namun
secara ajaib mereka temukan gundukan kerangka
Suparta, bersama dengan kepalanya yang tinggal
tengkorak mati. Masih terangkul erat dalam pelukan
jenazah Suparti. Kerangka dan jenazah dua bersaudara itu mereka
kuburkan secara layak. Sepulang dari pemakaman, Zuraida bergumam lega.
"Semuanya berakhir sudah...."
"Belum!" Zuraida maupun Sukri, suaminya, sama menoleh pada
Anggadireja. Lurah desa itu tersenyum misterius.
"Akan kukutipkan pada kalian ayat 39 surat Al Hijr
yang artinya..." Anggadireja merenung khidmat:
"Setan takkan pernah menyerah. Dia akan datang
lagi setiap saat, untuk menyesatkan manusia dari
jalan Tuhan. Dan dia pantang menyerah, kecuali
oleh orang-orang yang beriman...!"
Zuraida tersenyum pada suaminya.
Sukri hanya mampu melepas seringai.
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecut. * Di sisi lain dari lereng gunung berhutan perawan itu,
seekor ular hijau merayap di rerumputan. Meliuk-liuk
lalu tiba-tiba berhenti. Ular hijau itu mengangkat
kepalanya, menatap ke satu arah, dengan lidah
terjulur liar keluar masuk moncongnya.
Terjepit di antara akar-akar melingkar sebatang pohon
beringin tua, tampaklah sesosok makhluk tegak kaku
di tanah gelap, lembab dan basah. l
tu adalah sebuah kepala manusla. Tanpa tubuh. Kepala Bajuri, dengan
mulut terkatup rapat, dan kelopak mata mengeriput
kaku. Sang ular berdesis. Kelopak mata Bajuri membuka pelan. Memancarkan
sinar merah. Semerah darah.... Ular hijau itu terkejut. Kemudian melesat hilang...
TAMAT _____________________________________
Maaf sebagian kata dan kalimat di Bab terakhir ini
ada beberapa yang hilang. Tapi walaupun demikian
tidak mengurangi maksud dari jalan cerita kisah ini.
Terimakasih buat semuanya. Semoga Anda semua
terhibur... Salam.. Editor teks: Careuh Bulan
Pendekar Naga Mas 4 Animorphs - Alternamorphs 1 The First Journey Thalita 4
dengan blek-bleknya yang sudah kosong. "Oh ya, Bu
Ida. Rasanya aku mencium bau tak sedap tadi di
dapur...." "Aku juga!" "Pasti bangkai tikus. Sebaiknya dibuang segera, Bu,
sebelum makin membusuk.., Nanti akan kutolong
membuangkannya, setelah pekerjaanku selesai..."
Ijang berjanji. "Ah. Biar saja oleh suamiku. Oh ya. Bagaimana
perkembangan mertuamu?"
"Sudah membaik, Bu Ida. Malah sudah turun lagi ke
sawah. Dukun patah tulang itu yang menganjurkan...."
"Hem. Tolong bilangin supaya Pak Wasdri hati-hati
menjaga kakinya." "Tak perlu dijaga, Bu. Tokh dibawa ke mana-mana!"
jawab Ijang, tertawa. "Permisi, Bu Ida. Salam pada
Bapak!" "Terima kasih, Ijang."
Sepeninggal Ijang, Zuraida tercenung. Ia tidak punya
sangkut paut dengan Abah Sobara ataupun
keluarganya. Tetapi cara kematiannya seperti yang
diceritakan Ijang, mengganggu pikiran Zuraida. Ada
orang yang melihat Suparti di sekitar rumah rentenir
itu, ketika bencana mengerikan itu baru terjadi. Si
nenek tua renta pun beberapa kali terlihat ketika
lubang galian yang kini sudah menutup sendiri itu,
dikerjakan suaminya berdua dengan Abah Jukardi.
Jukardi pun telah mati. Dan ada orang bilang pada
malam kematian Jukardi, perempuan tua itu
bergentayangan di jalan-jalan desa.
Apakah ada kaitan semua peristiwa ini dengan
Suparti. Jika ada, lantas apa"
Zuraida menggeleng bingung sendiri. Tak banyak
orang yang bisa diajak berbicara. Dan dari yang
sedikit itu, teramat sedikit pula keterangan yang
dapat ia kumpulkan mengenai seluk-beluk kehidupan
Suparti yang misterius itu. Yang membuat Zuraida tak
habis mengerti, mengapa hari-hari terakhir ini ia
semakin terangsang saja untuk mengetahui lebih
banyak tentang perempuan yang semakin ditakuti
penduduk itu. Tetapi, sudahlah. Murid-muridnya menunggu di sekolah!
Zuraida masuk ke dalam rumah, memastikan bahwa
hidangan untuk makan pagi suaminya sudah siap di
lemari makan. Jangan-jangan ia melupakan sambal...
Hem. Semuanya tinggal ambil, kalau perlu, tinggal
menyuapkan saja. Zuraida mengangguk puas, lalu
masuk ke kamar tidur. Salin pakaian, tanpa
menimbulkan suara berisik agar tidur Sukri tidak
terusik, suaminya membutuhkan istirahal total. setelah
; berhari-hari bekerja tanpa mengenal waktu. Tanpa
hasil pula! "Suamiku malang!" Zuraida membathin seraya
mengecup bibir Sukri, sebelum berlalu dari kamar. Di
sebelah bantal suaminya, ia letakkan pesan tertulis.
Memberitahu agar suaminya menyempatkan waktu
pergi melayat ke rumah keluarga Suradi. Juga tak
lupa mengingatkan: "Ada bau tak sedap di dapur.
Tolong diperiksa sumbernya, Kang Sukri!" Tentu saja,
pesan-pesan tertulis itu, diakhiri dengan cup sayang.
Zuraida mendorong sepeda motornya ke luar rumah.
Setelah agak jauh, barulah mesinnya dihidupkan.
Mesin motor bebek itu pun bergerung-gerung.
Mengejutkan. Sukri terjaga, jadinya. Membuka sepasang kelopak
matanya. Menatap liar ke sekitar tempat tidur. Untuk
memastikan dimana ia sedang berada, dan mimpinya
telah berakhir. Mimpi buruk yang tidak saja
mengerikan, tetapi juga bagaikan mencabik-cabik otot
bahkan tulang-belulang di sekujur tubuhnya.
Sukri kemudian menggeliat. Menguap lebar. Geliatnya
menyebabkan bantal di samping, terlempar ke lantai.
Membawa serta pesan tertulis Zuraida. Dengan
sekujur tubuh lesu dan mata masih mengantuk, Sukri
meluncur dari tempat tidur. Masih sempat ia lihat
motor bebek yang ditunggangi istrinya, lenyap di
kejauhan. Setelah itu ia pergi ke kamar mandi. Bak
masih melimpah oleh air hujan yang curah menderas
malam sebelumnya. Gentong yang kosong malam sebelumnya, telah terisi
penuh. Gentong yang sudah terisi itu mengingatkan
Sukri pada Wasdri yang patah kakinya. Wasdri
mengingatkan Sukri pada sawah warisan orang
tuanya. Sawah, seterusnya, mengingatkan Sukri pada
pertemuan yang mestinya berlangsung hari ini di
kantor kelurahan. Untuk membahas urusan irigasi
baru. Sukri harus ikut hadir. Terutama, karena saluran
irigasi yang akan dibuat itu, akan melewati sebagian
tanah miliknya. Habis mandi ia ganti pakaian di kamar. Pada saat
itulah, perutnya mulai terasa keroncongan. Sukri
begitu lapar, sampai tak tercium olehnya adanya bau
busuk yang ganjil menebar di sekitar dapur.
Tenang-tenang saja ia membuka lemari makan,
mengambil apa yang diinginkan lalu ditumpukkan di
piring, sesukanya saja. Saking lapar, Sukri memutuskan makan di meja dapur
saja. Ia tenggak dulu teh hangat, hampir setengah
gelas. Kemudian mulai makan sesuap demi sesuap,
sambil menduga-duga kiranya apa yang membuat
jalan pikirannya begitu pekat, sehingga ia hanya
mampu mengingat segala sesualu di sekeliling dirinya
dan kehidupannya, setahap demi setahap. Seakan
kerja otaknya melempem, lambat.
* Zuraida tahu ia sudah terlambat tiba di sekolah. Oleh
karena itu sepeda motor bebeknya ia tancap, namun
masih sempat pula ia membalas sapaan atau
anggukan beberapa pejalan kaki yang sudah
dikenalnya. Sewaktu akan lewat di jembatan,
kecepatan kendaraan ia kurangi.
Karena ujung jembatan di seberang, jalannya mulai
menurun dan seingatnya, akan membelok tajam.
Namun toh, tetap saja Zuraida hampir terpelanting.
Pas keluar belokan, sesuatu menghadang di depan
jalannya. Zuraida mengerem kuat, membuat ban
sepeda motornya menjerit kesakitan, dan kendaraan
roda dua yang kecil mungil itu selip sepersekian detik
sebelum akhirnya berhenti oleh bunyi hentakan mesin
yang menggerung lalu mati sendiri.
Zuraida tegak mengangkang diatas sepeda motornya.
Memandang berang ke depan. Dan orang yang
hampir saja membuat Zuraida terpelanting ke jurang
dalam di tepi jalan, mengangkangkan kakinya pula,
seraya kedua tangan berkacak pinggang. Wajah
tuanya yang keriput di bawah rambutnya yang acak-
acakan, tampak mengeras kaku.
Zuraida lantas ternganga sendiri setelah
mengenalinya. Semakin ternganga lagi Zuraida,
manakala perempuan kumuh itu mendahului buka
mulut. Dengan sebuah sentakan pendek tetapi kasar:
"Pergi!" "Apa?" "Pergi dari desa ini!" perempuan itu menegaskan kata-
katanya. "Bawa suamimu dari sini, dan enyahlah!"
"Tunggu dulu, Nek Parti..."
Suparti memotong cepat. "Jukardi sudah mampus.
Be DUA BELAS BAJURI duduk gelisah di atas mobil landrovernya.
la sedang dilanda perasaan gundah, ketika terasa
suatu denyut aneh dan menyakitkan di ubun-
ubunnya. Hanya sebentar dan ia tidak terlalu
menanggapi. Pikiran Bajuri lebih tercurah pada
kematian berturut-turut dua orang sahabat lamanya:
Jukardi, dan tadi malam Sobara.
Bajuri menunggu sampai dua orang centeng-
centengnya mendekati kerumunan orang yang
memadati pintu masuk halaman rumah Sobara.
Dahulu, Bajuri pun senantiasa melakukan hal yang
sama untuk majikannya, asisten perkebunan yang
orang Belanda itu. Karena dahulu, Bajuri juga seorang
centeng. Bedanya, Bajuri dulu hanya berbaju dan
bercelana sontog. Telanjang kaki pula. Sedang kedua
orang centengnya sekarang, berjaket kulit mahal,
celana jean ketat, dan sepatu kulit dengan lars
setinggi pertengahan betis. Centeng-centeng perlente!
Tetapi bagaimanapun, kehadiran mereka berdua
segera menimbulkan pengaruh. Kerumunan orang,
yang kebanyakan sebagai penonton sambil
bergunjing ketimbang ikut masuk ke rumah untuk
menyatakan belasungkawa... segera menyeruak
untuk memberi jalan. Kedua centeng Bajuri kemudian
berdiri tegak di kiri kanan jalan menyeruak itu.
Menunggu majikan mereka turun dari mobil.
Kemudian mengawalnya masuk sampai ke dalam
rumah. Langsung ke ruang tengah, di mana jenazah
Sobara dan Nawangsih sudah dikain-kafani. Suara-
suara rendah orang berbicara dan bisik-bisik
bergunjing, seketika menyepi. Bajuri mengangguk
pada seorang lelaki tengah baya, dengan kopiah
hitam di kepalanya. Juga tak lupa menghadiahkan
senyuman kaku. Anggukan Bajuri mendapat
sambutan yang sama. Tetapi tidak dengan senyum.
Lelaki berkopiah itu sudah semenjak lama waktu
berlalu, terang-terangan memperlihatkan perasaan
tidak senangnya tiap kali harus berdekatan dengan
Bajuri. Si lelaki adalah satu dari sedikit sekali orang
yang tidak terpengaruh oleh kedudukan maupun
kekayaan Bajuri. Dan entah sudah berapa banyak
pula uang Bajuri yang terbuang sia-sia. Dikarenakan
gagal dan gagal mendongkel orang itu dari
jabatannya sebagai lurah desa.
Ada kharisma tersendiri dibalik tubuh lelaki setengah
baya itu, yang tak pernah bisa diganggu-gugat tanpa
alasan-alasan yang masuk akal dan bisa diterima
semua orang. Kharisma, yang boleh jadi berasal dari
leluhurnya. Yang konon, mewarisi darah salah seorang
punggawa kepercayaan Prabu Pajajaran di masa
silam. Bajuri menelan ludah dan berjalan menuju jenazah
sahabat lamanya, Sobara. Disingkapkannya bagian
atas kain kafan yang menutupi si jenazah. Sekilas
cuma, tetapi sudah cukup untuk membuat perut Bajuri
terasa mual. Ia tidak lagi punya keberanian untuk
melihat jenazah satunya lagi. Lalu setengah
menyesalkan dan setengah menutupi kengeriannya,
Bajuri mengeluh: "Siapa yang berbuat sebiadab ini
padamu, Sobara?" "Apakah kau memang tidak tahu, Juragan Bajuri?"
terdengar jawaban bertanya. Tentu saja bukan dari
mulut Sobara. Melainkan dari mulut si lelaki berkopiah.
Bajuri memandang terkejut. "Apa maksudmu, Pak
Lurah?" Pak Lurah tersenyum. Tipis. Kemudian berbicara pada
orang di sebelahnya: "Siapa yang akan mengimami
sholat jenazah?" Bajuri terpaksa hanya bisa menggeram. Diam-diam.
Sementara kedua orang centengnya, tak kuasa
berkata apa-apa. Mereka tahu majikan mereka
sedang marah. Tetapi karena majikan tak
mengeluarkan perintah atau isyarat apa-apa, mereka
pun hanya bisa saling bertukar pandang. Menyimpan
kemarahan dalam hati masing-masing.
Lain halnya Asgar. Asgar sungguh tak dapat menyimpan kemarahan
yang ia bawa dari rumah ke pabrik pengolahan getah
ditengah perkebunan karet milik mertuanya, Bajuri.
Asgar yang sudah menginjak usia 45 tahun itu
tampak sudah setua Bajuri sendiri. Kecuali mungkin,
darah maupun sifatnya. Kemarahan membuat Asgar kurang hati-hati ketika
menyerpis mesin diesel di ruang utama pabrik. Kunci
besar dan berat di tangannya terlepas dan hampir
saja menimpa ujung jari kaki Asgar y
ang mengenakan sandal jepit. Bunyi jatuhnya kunci besar
itu berdentang mengejutkan dalam keheningan
pabrik. Seorang lelaki sebayanya yang ikut
mendampingi Asgar, sampai terdongak kaget.
"Jadah!" Asgar menyumpah.
Si pendamping menggelengkan kepala. "Sudah saya
bilang dari tadi, Tuan Asgar. Biar saya saja yang
mengerjakan itu nanti!" katanya mengingatkan,
setengah menegur. Sembari meneruskan
pekerjaannya mengisi minyak pelumas pada mesin
giling raksasa yang hampir menyita sepertiga ruangan
itu. Tak jauh dari mesin, terlihat lipatan karet mentah
bertimbun-timbun menggunung, nyaris mencapai
kerangka baja penyangga atap diatasnya. Di sebelah
lainnya tampak pula tong-tong penampung getah,
yang juga berukuran serba raksasa.
Asgar memungut kunci inggris dari lantai. Mengeluh:
"Semua sudah harus siap pakai begitu kawan-kawan
kita mulai masuk kerja, Pak Leman. Masa cuti satu
minggu berakhir siang hari ini, bukan?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mesin diesel itu sebenarnya masih berjalan baik,"
Soleman menanggapi setengah menyindir.
"Aku tahu!" rungut Asgar, memasang baut-baut pada
mesin. Lalu menguatkan pasangan itu dengan
bantuan kunci tadi. "Aku hanya mau memastikan
mesin ini dapat berjalan lancar. ltu saja!"
Soleman menyeringai. "Atau menghindari sesuatu,
Tuan!" "Memang!" "Bertengkar lagi, ya?"
"Lebih dari itu. Sukaesih malah mengancam akan
mengurangi bonus bulananku. Istri sialan itu!" Asgar
memukul kap mesin dengan marahnya. "Lupa,
bagaimana ia dulu mengejar-ngejarku tanpa malu-
malu!" "Maklum saja, Tuan. Waktu itu Tuan, insinyur pertama
diseluruh kecamatan ini. Tamatan ITB lagi!" Soleman
mengulum senyum. "Mana Tuan ganteng pula. Siapa
yang tak tergila-gila karenanya?"
Habis berujar demikian, senyuman Soleman pun
melenyap. la pandangi punggung majikannya. Masih
kekar, kokoh. Asgar pun masih memiliki sisa-sisa
kegantengan di masa lalunya. Masih banyak yang
mengejar-ngejar, apalagi setelah mendengar desa-
desus bahwa Asgar hampir tak pernah dipuaskan
istrinya di tempat tidur.
Konon Sukaesih terlalu menggebu-gebu, tak mampu
mengendalikan diri. Sehingga Sukaesih sudah keburu
mencapai puncak hasrat seksuilnya, ketika sang
suami justru baru mulai panas.
Maryati pun tahu itu. Maryati cantik, pesolek, senang mengikuti gaya dan
mode berpakaian orang kota. Dan hanya Asgar yang
mampu memenuhi keinginan Maryati. Tak perduli,
Asgar setua ayah Maryati sendiri. Ayah yang terpaksa
menyimpan dukacita yang dalam, ketika tadi malam
ia berterus terang: "Aku hamil, Ayah...!"
Soleman mengeluh. Lamat-lamat ia dengar Asgar juga mengeluh. Sebuah
keluhan marah: "Apa dia kira aku tak tahu ia itu tak
lebih dari anak haram Juragan Bajuri"!"
Soleman pun tersentak. "Astaga, Tuan Asgar. Yang kau bicarakan itu adalah
istri dan mertuamu sendiri...."
"Perduli amat!"
"Dan apa yang kau bicarakan itu, tak Iebih dari desas-
desus orang yang iri hati pada keberuntungan
keluargamu. Yang tak pernah dapat dibuktikan!"
Asgar tertawa kering. "Kakekku buktinya!"
"Oh ya?" "Sewaktu almarhum Togar, kakekku, masih hidup. Dia
pernah lepas omong. Menceritakan kenangan masa
lalunya. Ketika ia pernah berjaga-jaga di depan
sebuah dangau yang sunyi terpencil. Tahu kau siapa
yang dijaganya, Pak Leman?"
Soleman angkat bahu. "Juragan Bajuri, Pak Leman!" dengus Asgar, muak.
"Waktu itu dia masih jadi centeng di perkebunan ini.
Tetapi ia punya ilmu. Dan dengan mempergunakan
ilmunya itulah ia berhasil menyeret istri majikannya
ke dangau tadi. Lalu memperkosanya. Berulang-
ulang!" Asgar menyumpah serapah tak menentu. Sementara
Soleman merinding sendiri, mendengar apa yang
diceritakan oleh majikannya.
Soleman tanpa sadar menjangkau lap, menyeka
kotoran pelumas yang menyemeki lengan maupun
jari-jemarinya. Telinganya menangkap kalimat samar-
samar dari mulut Asgar, mengakhiri kisah kelabu di
masa silam itu: "... dari perkosaan menjiji
kkan itulah Sukaesih dilahirkan!" Soleman mendehem halus. Katanya, gugup: "Saya
mau pulang dulu, Tuan. Tiba-tiba ingat, sebelum
sarapan pagi tadi...."
Asgar selesai pula menyerpis mesin diesel. Kapnya
ditutupkan, lalu duduk terhenyak di sebuah kursi.
"Cepat kembali lagi, Pak Leman!"
"Saya, Tuan." Soleman sudah sampai diambang pintu besar dan
tinggi, yang terbuka sebelah. Cahaya mat ahari
merembes masuk lewat pintu itu, menghasilkan
bayang-bayang menyedihkan tubuh Soleman yang
berjalan terbungkuk-bungkuk. Lalu tiba-tiba menegun
terhenti, ketika mendengar panggilan lembut dari
mulut majikannya: "Pak Leman?" "Ya, Tuan?" Asgar mencoba tersenyum. "Tak perlu mencemaskan
putrimu, Pak Leman. Perkawinanku dengan Sukaesih
sudah menjelang ambruk. Jika itu akhirnya terjadi,
aku akan menikahi putrimu. Tolong sampaikan itu
pada Maryati, ya?" Baru jika. Dan akan! Dengan perasaan hancur berkeping-keping, Soleman
meninggalkan pabrik. Naik ke salah-satu truk yang
diparkir teratur di halaman. Mesin truk terbatuk-batuk,
hidup mati berulang-ulang sebelum kemudian dapat
juga djialankan Soleman menuju ke jalan raya jauh
di bawah sana. * DI tempat duduknya, Asgar berpikir keras. Ia sudah
bosan hidup di bawah bendera. Sudah bosan selalu
menerima perintah. Padahal, ia adalah kepala
keluarga. la juga sudah merindukan kehadiran
seorang dua keturunannya, yang tak pernah mampu
diberikan Sukaesih. Agaknya, Sukaesih terkena kutuk,
yang ditimpakan pada almarhum ibunya, Juragan
Juwarsih. Kutuk van Galen. Yang mesti sengsara karena
pengkhianatan istrinya. Seperti van Galen, Sukaesih
pun mandul. Dan sudah berulangkali dikhianati Asgar.
* Di rumah Asgar, atau tepatnya di rumah milik
keluarga istrinya, Sukaesih pun tak kurang marahnya
hari itu. Asgar tak tidur di rumah malam sebelumnya. Menurut
pelayan mereka, Asgar baru pulang pagi kemudian
pergi lagi tanpa menunggu Sukaesih bangun dari tidur.
"Dia bilang kemana, Nengsih?" Sukaesih bertanya
gusar. "Katanya sih ke pabrik, Juragan..."
"Hem. Akan kubuktikan sendiri ia memang ada di
pabrik. Bukan di rumah salah seorang perempuan
simpanannya!" Tanpa memperdulikan keterkejutan di wajah si
pelayan, Sukaesih memekik nyaring: "Asmitaaa!"
Dari Iantai bawah rumah besar, megah, antik karena
memang peninggalan jaman Belanda itu, terdengar
langkah berlari-lari menaiki tangga. Disertai sahutan:
"Saya, Nyonya...."
"Siapkan mobilku, Asmita!"
Asmita cepat berbalik, lari lagi ke bawah.
Mengeluarkan mobil majikannya dari garasi besar dan
luas, memanaskan mesinnya, kemudian berdiri
menunggu dengan setia. Penungguan yang ternyata
percuma. Karena tak lama kemudian, Sukaesih turun,
menyuruh Asmita menyingkir dan menyetir sendiri
mobilnya meninggalkan rumah.
Melihat wajah dan tingkah majikan perempuannya,
Asmita mengurut dada dengan kuatir. Sambil
mengawasi sang majikan berlalu dengan mobilnya,
Asmita bergumam sendiri: "Akan terjadi bencana,
agaknya!" * Bukan saja akan. Malah sudah! Dimulai dengan gelindingan sebuah kepingan logam di
lantai ruang utama pabrik. Meluncur dari pintu yang
terbuka sebelah itu, melingkar sebentar, kemudian
tergelimpang di dekat kaki Asgar yang terheran-heran
melihatnya. Dipungutnya kepingan logam itu. Diamat-amati di
depan mata. Lantas nyeletuk takjub:
"Uang emas tempo dulu. Astaga, tidak salahkah
penglihatanku?" Asgar kemudian berpaling ke pintu.
Sesosok tubuh tegak diambang pintu, membelakangi
sinar matahari. Asgar merasa pasti orang itu bukan
salah seorang karyawannya. Karyawannya akan
masuk langsung ke dalam. Tidak cuma berdiri
mematung di pintu, dengan sikap misterius. Orang itu
jelas seorang tamu tidak diundang. Yang
memberitahukan kehadirannya, dengan gelindingan
sekeping uang logam emas. Untuk apa"
"ltu milikmu, Togar!" orang itu berkata, datar.
"Maksudk u, mungkin jadi milikmu andai saja kepingan
di tanganmu, dan lebih banyak lagi kepingan emas
lainnya... tidak keburu terkubur akibat terjadinya
gempa. lngat bukan. Togar?"
Asgar bangkit dengan dahi mengerut. "Togar" ltu
adalah nama kakekku. Namaku. Asgar...."
"Ah. Jangan mengelak, Togar!" orang itu mendengus,
dengan nafas berat tersedak-sedak. "Kau ikut
memegangi kaki adik perempuanku ketika Sobara
memperkosanya!" "Hei... apa maksudmu sebenarnya?" Asgar berjalan ke
pintu, dengan wajah tak senang. Sang tamu tak
diundang melakukan hal yang sama. Dan bertemulah
mereka tak jauh dari pintu. Berhadap-hadapan muka.
Sinar matahari dari luar pintu dibantu bias terang dari
ventilasi ruangan di atas mereka, menerangi wajah
tamu tak diundang itu. Seorang laki-laki muda
berwajah keras dan kaku, dengan kelopa k mata
hampir tidak pernah mengerdip. Dan mata itu, layu,
seperti kehilangan gairah hidup.
"Anda siapa?" tanya Asgar, berusaha menahan diri.
"Aku Suparta. Masa iya kau sudah lupa!"
"Dengar, Suparta. Aku tak tahu siapa kau. Tak tahu
apa urusanmu denganku. Dan aku merasa tidak
pernah menyentuh kaki adik perempuanmu. Untuk
diperkosa orang lain pula. Kau merendahkan martabatku,
Suparta!" Orang itu menyeringai. "Berlagak jadi orang
terhormat, eh?" Hilanglah sudah kesabaran Asgar. "Pergi. Sebelum aku
menendangmu keluar!"
"Cobalah!" Ditantang begitu, Asgar menjatuhkan kepingan uang
emas di telapak tangannya, yang seketika itu juga ia
layangkan cepat sekali untuk menampar tamu yang
tidak pakai aturan sopan santun itu. Tamparan itu
mengenai sasaran. Namun tidak membuat wajah
sang tamu bergeming. Kecuali meninggalkan bekas
memerah di pipi, saking kerasnya Asgar menampar.
Dianggap remeh, Asgar naik pitam. Kedua tangannya
terkembang ke depan, menyambar leher lawannya.
Kali ini ada perlawanan. Sang lawan, yakni Sukri,
yang tadi tak mampu menghindari tamparan Asgar
karena lehernya terasa begitu kaku, kini sadar
nyawanya terancam. Secara naluriah ia menahan
serbuan tangan Asgar. Mendorongnya ke depan. Di
dalam tubuhnya, roh Suparta menclok diam-diam,
ingin menyaksikan sejauh mana kemampuan Sukri.
Terjadi betot-membetot, dorong-mendorong,
kemudian pukul-memukul. Pergulatan itu berlanjut
dan bergerak makin ke dalam pabrik. Kekuatan dua
orang yang berkelahi itu agaknya seimbang. Lalu
sebuah hempasan melontarkan tubuh Sukri,
membentur mesin diesel dan sempat menyentuh
tombol di luar kap mesin.
Terdengarlah bunyi menggemuruh.
Mesin-mesin giling raksasa itu pun berderak hidup.
Ban-ban lebar berdesis-desis melaju kearah roda-roda
penggiling. Bunyi menggemuruh dan lindasan roda-
roda mesin pada ban berjalan, menggugah perhatian
Suparta yang semula membiarkan Sukri berkelahi
sendirian. Maka, tatkala Asgar kembali menyerbu,
Asgar pun segera menyadari musuhnya secara
mendadak bertambah gesit dan perkasa. Tahu-tahu
saja tubuh Asgar sudah ditangkap, lalu diangkat pergi
ke arah mesin giling. Asgar terkejut dan meronta-ronta liar dalam usahanya
melepaskan diri. Tetapi wajah Sukri yang berubah
beringas, tampak semakin buas. Jeritan-ieritan,
pukulan, tendangan, tidak ia perdulikan. Dalam tempo
singkat tubuh Asgar sudah dihempaskan lalu ditekan
diatas ban berjalan. Asgar seketika panik, tangan-tangan yang menekan
tubuhnya begitu kokoh, bak besi penjepit yang tak
sudi melepaskan cengkeramannya. Tekanan
mencengkeram itu baru dilepaskan setelah Asgar tak
kuasa lagi menjerit. Karena kepalanya sudah lenyap
diantara roda-roda penggiling, disusul tubuh lalu
kakinya. Mesin sampai terhentak-hentak karena harus
bekerja ekstra keras dengan sasaran yan g digiling
yang tidak lazim dari biasa itu. Terdengar bunyi detak-
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
detuk tengkorak dan tulang pecah berpatahan,
kemudian remuk, dengan darah yang muncrat kian ke
mari. Sukri sudah melompat mundur sebelum kepala Asgar
lenyap di antara roda-roda penggiling. Menatap
kebinasaan itu dengan mata yang entah seja
k kapan berubah rona jadi merah bernyala-nyala. Bibir Sukri
menyeringai buas dan puas.
Setelah semuanya berakhir, tombol yang tadi
tersentuh tubuhnya ditekan. Mesin giling terhentak
mati. Anehnya, bunyi bergerung masih terdengar.
Makin lama, makin kuat. Sukri sampai heran sendiri.
Bukankah mesin diesel sudah tidak bekerja. Dan
mesin giling raksasa itu pun sudah berhenti berputar-
putar" Lalu bunyi menggerung itu bungkam tiba-tiba. Disusul
bunyi sesuatu dibuka lalu dihentak menutup.
Pintu mobil. Sukri berpaling ke pintu masuk ruang utama pabrik
pengolahan karet mentah itu, ketika ia dengar suara
langkah-langkah kaki mendekat ke dalam. Lalu
sesosok tubuh menerobos masuk. Sambil memanggil
dengan hardikan: "Asgar"!" Sukri berlindung dalam bayang-bayang gelap
disebelah lain mesin raksasa. lalu dari situ
memperhatikan si perempuan. Seketika. kepala Sukri
tegak, matanya pun terbuka nyalang. Mata yang
merah, semerah darah itu!
Sukaesih mendengar suara orang bernafas, lantas
menggeram dengan berangnya: "Insinyur tua karatan!
Jangan coba-coba bermain kucing-kucingan dengan
aku, Asgar!" Sukri keluar dari persembunyiannya. Menyapa,
dengan suara kering. Tersedak-sedak: "Kita... bertemu
lagi... Juwarsih...!"
Sukaesih membalikkan tubuh, dan melihat seorang
asing mendekatinya dengan wajah beringas, mulut
menyeringai, dan sepasang mata berwarna merah
bagaikan api neraka yang menyala-nyala. Uap dingin
menyapu wajah Sukaesih, menusuk tembus sampai
ke sumsum. "Apa... siapa kau?" Sukaesih bergerak mundur,
selangkah cuma. Karena sorot mata itu su dah
membiusnya dengan hebat, menuntut kepatuhan
yang tidak dapat dibantah.
Sukaesih tegak diam, menunggu dengan wajah pucat
pasi dan mulut serta mata membelalak ketakutan.
"Kau masih tetap cantik, Juwarsih. Sudah lama aku
rindu ingin bertemu. Kau pun rindu, bukan" Dari dulu
kau menghendaki kejantananku. Mengapa tidak kau
ambil sekarang, Juwarsih?"
Karena Sukaesih hanya diam ketakutan, suara
Suparta yang keluar melalui mulut Sukri, berubah
marah: "Mengapa diam, Juwarsih" Atau kau
bermaksud menjebak dan menghasutku lagi, seperti
yang dulu kau perbuat didepan suamimu?"
Dengan marahnya pula, tangan Suparta maju ke
depan, mencengkeram lalu membantingkan tubuh
Sukaesih ke lantai semen yang padat dan keras.
Bantingan itu melenyapkan pengaruh pukau dalam
diri Sukaesih. la mengaduh sakit manakala kepalanya
membentur lantai. Bangkit dengan kepala pusing dan
mata berkunang-kunang, ia mengerang: "Jangan...
Jangan... Aku tak tahu apa...."
Sia-sia saja. Tubuhnya sudah ditekan lagi. Dipaksa rebah di lantai.
Sukaesih meronta. Melolong-lolong minta tolong.
Lolongannya melenyap setelah kepala Sukaesih
terbuntang-banting oleh tamparan kejam tangan
Sukri. Sedikit pun Sukaesih tidak menyada ri, bahwa
ketika menampar itu, dari sudut-sudut mata Sukri
yang bernyala semerah darah... menetes butir-butir air
bening. Air mata Sukri, yang keluar akibat
kesengsaraan jiwa di alam bawah sadarnya.
Apa yang diingat Sukaesih adalah terdengarnya suara
kain yang dirobek-robek dengan buas; pakaian
dalamnya direnggut lepas, kemudian laki-laki yang
tak dikenalnya itu memasuki tubuhnya dengan ganas.
Tusukan-tusukan yang menghujam-hujam itu luar
biasa menyakitkan. Seperti tusukan-tusukan besi
membara. Panas membakar, bahkan menghanguskan.
Sukaesih menjerit untuk terkahir kali dalam hidupnya.
Lalu tubuhnya pun terhentak diam. Tubuh yang
hangus, menghitam gosong.
Sukri bangkit dengan seringai puas di mulut tetapi
dengan lelehan air mata membanjiri pipi. Kemudian
melangkah gontai meninggalkan pabrik.
* TIGA BELAS UPACARA pemakaman jauh dari suasana berkabung.
Tidak sebagaimana lazimnya, yang terasa justru
suasana gelisah yang kemudian berkembang
memanas. Keadaan ini sudah mulai terasa semenjak
jenazah akan diberangkatkan dari rumah. Di sana-sini
orang pada berbisik resah setelah Juragan Bajuri
mengajukan diri sebagai salah seorang pembicara
pada akhir pemakaman. Lumrah, mengingat ia
sahabat paling dekat si almarhum, dan setelah lurah
dia pulalah orang kedua di desa itu yang patut
dihormati bahkan disegani.
Para pengantar jenazah masih ingat bagaimana pada
waktu pemakaman Jukardi, pemilik perkebunan karet
itu berpidato dengan nada menghasut: "Aku tak
percaya sahabatku Jukardi berpenyakit jantung.
Apalagi dibilang mati kedinginan..." ia tertawa
sumbang, lantas menuduh: "Semua ini perbuatan
sihir!" Sungguh pidato yang tidak layak, karena diutarakan
tidak pada tempatnya. Maka tak heran, sebelum
upacara pemakaman Sobara dan Nawangsih usai,
sudah banyak para pengantar yang menyingkir diam-
diam. Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan
dikemukakan Juragan Bajuri tidak jauh berbeda
dengan ketika ia berpidato pada waktu pemakaman
Jukardi. Barangkali, akan berbeda halnya jika saja
pemilik perkebunan itu berbicara pada waktu atau
tempat yang pantas, di kantor kelurahan misalnya.
Tetapi Bajuri tahu memanfaatkan kesempatan. Hanya
pada waktu pemakamanlah ia dapat menarik
perhatian banyak orang. Tanpa harus keluar uang
sepeser pun untuk membujuk mereka datang
berbondong-bondong mendengar pidatonya, seperti
ketika ia beberapa kali pernah melakukan hal serupa
di balai desa. Apa yang sudah diduga banyak orang segera menjadi
kenyataan. Mulanya Bajuri memang membicarakan tentang jasa-
jasa dan kebaikan almarhum semasa hidupnya. Tidak
ada yang merasa keberatan. Meski tahu almarhum
Sobara itu adalah rentenir yang tak segan-segan main
sita, setelah mencekik leher langganannya dengan
bunga utang yang menyesakkan nafas. Tetapi kita
patut berpegang pada Sabda Rasulullah, bukan"
Bahwa, ungkapkanlah hanya yang baik-baik saja
tentang mereka yang sudah meninggal.
Bajuri pun tahu itu. Dan Bajuri merasa dirinya tidak
bersalah, ketika ia melontarkan hal-hal yang buruk.
Karena orang yang ia bicarakan, bukan almarhum.
Melainkan orang yang masih hidup dan berkeliaran di
sekitar mereka. "... Suparti!" katanya tandas seraya mengitarkan
pandang ke sekeliling. Apa yang disaksika nnya,
adalah, lebih banyak batu-batu nisan dibanding para
pengantar jenazah yang tegak membisu untuk
mendengarkan pidatonya. Bajuri sempat gusar. Jengkel memikirkan, sebagian
pengantar jenazah diam-diam sudah menghilang
tanpa setahunya. Namun ia tekan perasaan gusarnya.
Masih banyak yang tinggal untuk mendengar apa
yang ingin diutarakannya. Katanya, melanjutkan: "Dia
terlihat di sekitar rumah Sukri, pada malam Jukardi
meninggal. Dia pun terlihat di sekitar rumah Sobara,
pada malam sahabatku yang malang ini juga
meninggal akibat perbuatan sihir! Sekaranglah
waktunya. Di tempat ini. Untuk disaksikan oleh
sahabatku yang ini..." ia menuding ke gundukan
kuburan Sobara. "Dan sahabatku yang di sana!"
tudingannya berpindah ke gundukan yang masih
memerah, di mana satu minggu sebelumnya jenazah
Jukardi dikuburkan. "Begitu!" Anggadireja tersenyum. Menunggu.
"Di depan kuburan mereka ini aku ingin mengajak
saudara-saudara sekalian. Untuk, bersama-sama
menyingkirkan orang yang menyebabkan kematian
mereka. Suparti! Dengan membakarnya hidup-hidup,
seperti dahulu dilakukan dengan patut oleh orang tua-
orang tua kita pada tukang teluh terkutuk itu... yakni,
ayah Suparti!" "Dosa orang tua bukan tanggungjawab anaknya,
Juragan," timpal Anggadireja, dingin.
"Tetapi Suparti mewarisi darah orangtuanya. Mewarisi
ilmu hitam yang jahat dari ayahnya!" Bajuri berkata
dengan nada tinggi. "Buktinya, lihat sendiri bagaimana
Jukardi dan kemudian Sobara mati. Nawangsih, lebih
mengerikan lagi. Atau adakah y
ang tidak menyenangkan ini!"
Sukri menegakkan kursi yang tergelimpang. Naik
keatasnya, kemudian menjemput kepala Suparta dari
atas baskom. Rambut Suparta dijinjing seperti biasa.
Setelah mana Sukri berjalan ke pintu dapur.
Selangkah lagi mencapai ambang pintu, ia dihentikan
oleh-omelan Suparta: "Hei! Kau mau menjadikan aku tontonan orang-orang
di luar sana, ya"!"
Sukri kembali lagi ke kursi. Disambarnya kardus bekas
pembungkus itu. Diletakkan di lantai. Lalu ke dalam
kardus itu ia jejalkan seenaknya kepala Suparta. Yang
tak pelak lagi, membuat wajah Suparta meringis, dan
mulutnya melontarkan makian pendek: "Jangan kasar
kau!" Sukri menutup kardus. Lalu mencari tali pengikat. Agar
kardus tidak sampai terbuka tanpa ia ketahui dalam
perjalanan, dan membuat kepala Suparta jatuh
terguling... dan, kemarahan yang pasti akibatnya akan
dialamatkan pada Sukri jua.
Sewaktu mengikat kardus dengan hati-hati, telinga
Sukri mendangar suara Suparta yang setengah
teredam: "Yah, lumayanlah!"
Mereka berdua pun pergi. Menuju perbukitan. Menuju
lereng gunung jauh di atas desa. Di bawah pengaruh
gaib Suparta yang menguasai dirinya secara total,
Sukri bahkan tak diberi kesempatan untuk
meyakinkan apakah Zuraida jatuh pingsan tanpa
mengalami cidera. Namun selama berjalan di antara
pepohonan menuju pendakian, ingatan Sukri tokh tak
lepas dari istrinya. Membuat airmata Sukri menetes
satu persatu. * Suparti menyeka air mata di pipi tuanya.
"Terima kasih atas pengertian dan perlindunganmu,
Angga," ujarnya, tersendat. "Entah bagaimana aku
harus membalas kebaikanmu selama ini...."
"Ah. Lupakanlah!" Anggadireja mengibaskan tangan,
tak senang. "Tetapi, sebelum kau menitipkan aku di kantor polisi..."
Suparti agak terengah mengucapkan kata-katanya.
"Terlebih dahulu, kita harus menemukan kepala
Suparta..." "Tentu! Tentu!"
"Jika ia dibiarkan tetap hidup, berkeliaran..." wajah
Suparti tidak saja memuram, tetapi juga
membayangkan perasaan cemas. "Akan sudah sangat
terlambat untuk menahannya, Angga. Bukan saja ia
akan membalas dendam pada manusia-manusia hina
yang menyebabkan kematian Suparta, dan
menyebabkan aku...."
"Apa yang kau pikir akan diperbuatnya, Parti?" cepat
sekali Anggadireja menukas. Tak ingin mendengar
lanjutan kata-kata Suparti barusan.
"la akan membantai lebih banyak lagi penduduk
desa!" "Astaga...." "Boleh percaya boleh tidak, Anggadireja. Tetapi
ingatlah. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku
berkomunikasi dengan roh-roh yang bergentayangan
di lereng gunung. Aku tak pernah berhasil mengajak
bicara roh saudaraku. Tampaknya ia selalu berusaha
menghindar. Atau tahu, bahwa aku sudah lama
berubah pikiran. Aku sudah lama mengubur dendam
kesumat...." "Memang harus begitu, Suparti."
"Aku dibisiki roh-roh gaib yang tak asing bagiku,
Angga. Mereka yang kemudian memberitahu aku apa
yang akan diperbuat Suparta. Dan mereka tak
mampu mencegah. Di alam roh, Suparta pun
menghindari mereka pula..."
"Mereka siapa, Suparti?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah dan ibu kami berdua!"
Anggadireja seketika tercenung. Dalam. Dan getir.
Ayah Anggadireja juga lurah, dahulunya. Seperti juga
kakeknya. Lalu buyutnya, yang dahulu merintis lalu
membangun desa ini. Yang mulanya tak lebih dari
rimba belantara yang belum pernah diinjak manusia.
Sudah semenjak jaman buyutnya, atau mungkin
ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya; daerah
sepanjang lereng gunung dan lembah dibawahnya,
konon dihuni roh-roh gaib dari jaman silam. Leluhur-
leluhur Anggadireja berhasil mengusir sebagian
terbesar roh-roh gaib itu. Sisanya, diajak berdamai.
Bekerjasama membangun desa, di mana kini
Anggadireja bertindak sebagai pemimpinnya.
Meneruskan tugas-tugas nenek moyang.
Namun segelintir orang-orang "pintar", telah
memanfaatkan kekuatan gaib roh-roh yang
mengucilkan diri di lereng gunung. Ayah Suparti dan
Suparta, salah satu diantaranya. Dengan tujuan-tuj
uan baik. Mengobati penyakit-penyakit aneh dan sering
menulari penduduk. Tetapi yang namanya memuja
roh-roh dan bukan memuja lalu mengabdi dengan
patuh pada Yang Maha Pencipta, mau tidak mau tetap
menimbulkan ekses. Sesekali, mau juga ayah Suparti
meladeni orang-orang yang beritikad tidak baik.
Selama, layanan itu tidak sampai merenggut nyawa
orang yang dikehendaki. Akibatnya, terjadi pertarungan gaib dengan saingan
yang irihati. Hasut dan fitnah pun disebar. Ayah
Suparti sudah bersedia menanggalkan ilmunya, atas
bujukan ayah Anggadireja. Tetapi musuh yang dengki,
tidak menyerah begitu saja. Mereka harus dibuat
yakin, sang saingan tidak lagi akan mencuri periuk
nasi mereka di hari kemudian.
Kalau suatu ketika, ayah Anggadireja pergi
menjalankan tugas rutin. Menghadap Bupati. Tanpa
kehadirannya, perlindungan terhadap ayah Suparti
pun melemah. Tengah malam buta, sekelompok besar
penduduk mendatangi rumah keluarga Suparti. Ayah
dan lbunya ditangkap, diseret ke kebun, kemudian
disiksa lalu dibakar hidup-hidup. Suparta, teman kental
sepermainan Anggadireja, pada malam kejadian
beruntung tidur bersama adik perempuannya di
rumah keluarga Anggadireja. Tidak ada penduduk
yang berani mengusik mereka. Apalagi setelah Lurah
kembali pulang dari kota.
Masih teringat oleh Anggadireja betapa ayahnya
menitikkan air mata setelah mengetahui ia telah
gagal salah satu misi yang diembannya sebagai
pemimpin rakyatnya. Memang itu bukanlah
kesalahannya. Tetapi matinya orangtua sahabat
Anggadireja, tetap saja membuat ayahnya bersedih.
"Padahal almarhum sudah bersedia kembali ke jalan
yang benar!" Itulah yang senantiasa dikeluhkan ayah
Anggadireja sampai ajal menjemputnya.
Kini, Anggadireja tidak rela menerima penyesalan
yang sama. Suparti harus ia selamatkan. Sekaligus,
seluruh warga desanya ikut pula terselamatkan. Dari
amukan roh Suparta. Membantai seisi penduduk desa.
Alasan dendam Suparta sudah jelas sekarang. Nyaris
setiap warga desa, masih mewarisi darah turunan
orang-orang yang dahulu kala membakar hidup-hidup
ayah dan ibu Suparta maupun Suparti. Dan dapat
dipastikan, Suparta tidak akan pllih bulu. Tidak akan
membeda-bedakan hubungan sanak dekat atau jauh.
Anggadireja mengeluh. Ia mengawasi Suparti sejenak, kemudian tersenyum
kecut. "Ada baiknya kau berpakaian yang sedikit
pantas, Parti. Jangan lupa. Yang akan kita kunjungi itu,
seorang guru sekolah...!"
Sebelum Suparti sempat memberi reaksi, Anggadireja
sudah memanggil istrinya. Dan yang dipanggil pun
muncul dengan apa yang diharapkan sang suami.
Tanpa harus diminta lebih dulu. la tahu betul siapa
suaminya. Siapa pula tamu mereka. Dan ia selalu pula
ingin bertindak bukan saja sebagai seorang istri yang
penuh pengertian. Tetapi juga sebagai istri seorang
Lurah, yang patut jadi panutan.
Sebelum mereka berlalu dari rumah, Anggadireja lebih
dulu bertanya untuk meyakinkan "Kita tidak akan
salah alamat, bukan begitu Parti?"
"Percayalah, Angga. Sukri telah menemukan apa yang
selama ini kucari. Memang belum kulihat dengan
mata kepala sendiri. Hanya baru kurasakan dengan
mata hati...." Keragu-raguan Anggadireja baru lenyap, setelah
mereka tiba di rumah yang dituju dan menemukan
penghuninya tengah menggeliat bangun dari
pingsannya di lantai dapur yang hancur berantakan.
Bau busuk itu pun masih tercium. Anggadireja sendiri
yang naik ke kursi, lalu mencecahkan jari jemarinya
ke permukaan baskom. Baskom, yang dasarnya
masih tersisa sedikit cairan kental. Bagai lendir.
Berwarna merah kehitam-hitaman.
Anggadireja pergi keluar rumah.
Jari jemarinya yang diselemaki cairan kental itu,
diarahkan terbuka menentang matahari senja yang
masih bersinar di ufuk Barat. Lalu perlahan-lahan,
cairan kental di jari jemari Anggadireja, mengabur,
kemudian sirna tanpa meninggalkan bekas.
Suparti, disaksikan Zuraida, melakukan hal yang
serupa pada baskom tadi. Hasilnya, sama.
Anggadireja pun mendesis karenanya: "... darah iblis!"
Mereka masuk lagi ke rumah. Mendiskusikan apa
yang harus dilakukan dan siasat apa yang harus
dijalankan. Jelas sudah, kata Suparti, bantuan
Anggadireja memang dlperlukan.
"Semasa hidupnya, Suparta banyak berhutang budi
padamu...." Anggadireja mengangguk paham. Zuraida yang tidak
dapat memahaminya. Ia pun bertanya: "Apa
urusannya hutang budi di sini?"
"Suparta akan kita ingatkan pada hutang budinya."
Suparti menjelaskan. "Kita harapkan saja, roh jahat
saudaraku bersedia diajak berdamai oleh roh
baiknya." Terlintas di benak Zuraida apa yang dlketahuinya dari
Kitab Suci: "Timbangan kebaikan seseorang akan
diukur dengan timbangan kejahatannya."
Mungkin disitulah kaitannya, pikir Zuraida. la bertanya
lagi: "Misalkan perdamaian itu tercapai. Apa
kemudian...?" "Kemudian, Bu Ida. Angga akan meminta saudaraku
melepaskan suamimu dengan sukarela, sebagai balas
hutang budinya," jawab Suparti tenang. "Begitu
saudaraku merelakan kau dan Angga membawa
suamimu pulang... dan tidak akan memperbudaknya
lagi, penyelesaian akhir akan kutanggulangi sendiri!"
Suparti lantas memberitahu apa yang akan
dilakukannya. Baik Anggadireja maupun Zuraida
sama-sama menarik nafas. Sama-sama memandang
kuatir pada perempuan renta itu, yang membalas
pandangan mereka berdua dengan senyuman tabah.
"... ada satu hal lagi yang masih membingungkan
aku," Zuraida akhirnya berkata. "Sungguh tak masuk
di akal. Kepala tanpa tubuh..." la bergidik seram, "...
bangkit dan hidup kembali. Lantas berkeliaran cari
mangsa...!" "Kepala Suparta hanyalah wujud pinjaman, Bu Ida,"
ujar Anggadireja, lembut. "Dalam diri kita semua, ada
dua kekuatan yang tak pernah berhenti bertarung.
Untuk saling menguasai. Tahu kekuatan apa yang
kumaksud, Bu lda?" "lman. Dan... Syeitan!"
Anggadireja tersenyum. "Benar sekali. Dan tergantung
pada diri kita untuk memllih yang mana. Tentu saja,
dengan menanggung resikonya sendiri-sendiri. Ada
pun Suparta..." la menarik nafas dalam, prihatin.
"Menjelang akhir hayatnya... terdorong oleh kebencian
dan nafsu amarah, pilihan Suparta jatuh pada syeitan.
Syeitan itulah, Bu Ida. yang kini berkeliaran. Dengan
meminjam wujud kepala Suparta. Membantu
melampiaskan dendam Suparta, sebagai imbalan
untuk pengabdiannya pada sang syeitan...."
Zuraida terhenyak. Penjelasan Anggadireja secara tidak langsung
mengingatkan Zuraida pada suaminya. Frustasi
menyebabkan Sukri percaya pada mimpi, percaya
pada ramalan-ramalan dukun. Sukri pun terdorong
nafsu tamak, apalagi setelah menemukan sekeping
uang emas tua itu. Apakah Sukri, dengan sadar atau
tidak, telah pula menentukan pilihannya"
"Ya Allah, Tuhanku!" bathin Zuraida berseru memohon.
"Lindungilah aku dan suamiku dari godaan syeitan
yang terkutuk!" * LIMA BELAS SUKRI terhenyak duduk di tepi jalan setapak.
Nafasnya tersengal-sengal kelelahan. Hati-hati sekali,
kardus pembungkus kepala Suparta ia letakkan di
sebelah ia duduk. Sejak berangkat dari rumah,
Suparta tak sekali pun menunjukkan pertanda ia
masih ada di dalam kardus. Dan masih hidup, tentu.
Yang ada cuma bobotnya yang semakin memberat
dalam jinjingan Sukri. Angin semilir menyapu wajah Sukri yang dibasahi
peluh. Tetapi keberadaan kardus yang tergeletak diam
membungkam di sebelahnya, membuat Sukri tidak
dapat menikmati hembusan angin maupun
pemandangan indah mempesona di sekitarnya.
Memandang ke bawah, tampak ujung jalan setapak
membelok hilang diantara pepohonan. Lebih ke
bawah lagi, yang tampak adalah dedaunan pohon-
pohon raksasa yang menjulang rimbun, menutupi
apapun juga yang tersembunyi di bawahnya.
Dalam keadaan lain, mungkin Sukri tidak mau
mempercayai matanya. Bahwa, ia telah berada di
tempat yang jauh lebih tinggi ketimbang pucuk
pepohonan yang rapat satu sama lain itu.
Sukri justru merasa dirinya mendadak kerdil. Tak
berdaya. Rasanya ia tidak akan sanggup untuk turun
lagi kebawah. Jika semua ini sudah berakhir. Atau tak
akan pernah berakhir" Dan Sukri tak akan pernah lagi
turun kebawah sana" Ke rumahnya" Ke samping
Zuraida yang setia dan penuh rasa cinta"
Sukri menggigit bibir dengan hati perih. Memalingkan
pandang ke arah lain. Dan hampir saja ia terpekik
kaget, manakala ia duduk persis di pinggiran jalan
setapak, tanpa penghalang apa-apa lagi di belakang
punggungnya. Kecuali langit senja di ufuk Barat yang
mengawasinya dengan kebungkaman yang
menyakitkan. Sukri melirik takut-takut kebawah, di balik
punggungnya. Tanah padat berbatu yang ia duduki,
hanya tersisa tak sampai selebar telapak tangan.
Selebihnya, adalah dinding jurang yang nyaris turun
dalam garis lurus kebawah sana, dan berakhir di
sebuah aliran sungai yang mestinya luar biasa besar.
Namun dari tempatnya duduk,
tampak tak lebih dari sebuah selokan yang melingkar-
lingkar seperti seekor ular berbisa. Sebentar hilang,
sebentar muncul di tempat lain, hilang lagi, muncul
lagi karena padatnya hutan yang mengapit sungai itu.
Timbul hasrat Sukri untuk berbuat sesuatu. Bukan
untuk terjun mandi di sungai yang terus merayap dan
merayap itu. Hasratnya begitu kuat mengajak,
mengundang, bahkan menarik-narik Sukri untuk tidak
menunda-nunda waktu lagi. Yakni, hanya dengan
memiringkan sedikit tubuhnya ke belakang. Lalu,
tinggal membiarkan daya tarik bumi menyeretnya
jatuh ke bawah. Setelah itu semuanya pun
berakhirlah sudah. Selamat tinggal Zuraidaku sayang!
Kutunggu kau di pintu sorga! Atau neraka!
Neraka yang mula-mula bergerak pelan, samar-samar,
kemudian menghentak diam dibalik bungkusan
kardus. Sedetik cuma. Detik berikutnya telinga Sukri
menangkap bunyi desah nafas berat ter sedak-sedak.
Nafas Suparta, yang agaknya terjaga dari tidur.
Sukri mengerling ke kardus. Kemudian mengerling lagi
ke jurang menganga, satu dua jengkal dari kardus.
Hanya dengan sedikit sentuhan pelan saja....
"Hehehe..!" terdengar Suparta mengekeh.
Tersiraplah darah Sukri. "Bermaksud melemparkan aku ke jurang dibawah
sana, Sukri?" Suparta langsung melancarkan tuduhan
pedas. "Jangan coba-coba, Sukriii!!"
Sukri hampir menangis karenanya.
"Ayo. Jalan lagi!"
Sukri bangkit perlahan-lahan. Mengatur nafasnya, dan
memandang sekali lagi ke lembah jauh dibawah
sana. Tampak desa tempat tinggalnya tak lebih dari
tumpukan kotak-kotak sebesar korek api, bergunduk-
gunduk diantara bukit-bukit yang berserakan. Ada
sebuah bangunan yang tampak lebih besar. Lebih
berbentuk. Pabrik penggilingan karet mentah itu.
* Semua orang menunggu di luar pintu pabrik, tanpa
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani mengeluarkan suara. Semakin banyak orang
datang. Tetapi justru hanya menambah kebungkaman
setiap mulut saja. Tidak seorang pun bergerak dari
tempatnya. Semua menunggu. Dengan tegang.
Akhirnya, dari kesunyian yang mencekam
di ruang utama pabrik pengolahan itu, terdengar desah nafas
berat. Disusul bunyi langkah-langkah kaki yang berat,
tersuruk-suruk. Juragan Bajuri yang dibiarkan sendirian
bersemedi dalam dukacita yang sangat, muncul di
pintu pabrik yang menganga terbuka. Dukacita sudah
lenyap dari wajahnya. Yang terlihat kini adalah wajah
keras. Beringas. la memandangi orang-orang yang
berkerumun diam di halaman pabrik. Lalu tanpa
berkata sepatah pun juga, berjalan ke landrovernya.
Sambil telapak tangannya menggenggam sesuatu.
Hanya Soleman yang tahu, apa yang ada dalam
genggaman tangan majikan mereka. Soleman yang
menemukannya. Keping uang emas tua, yang begitu
ia serahkan, tak dilepaskan lagi oleh Bajuri. Dan
hanya Soleman pula yang tahu apa hubungan
kematian majikan mudanya suami istri, dengan
penemuannya. Karena saat menimang-nimang
kepingan uang emas itu, ia menangkap bisikan dalam
dari mulut majikan tuanya:
"Parti. Tak salah lagi!"
Baru setelah itu Bajuri melolong. Menangisi matinya
putri tercinta. Dudung, centeng merangkap supir pribadai Bajuri
sudah siap bergerak. Tetapi Soleman yang sudah
mengabdi pada majikan mereka semenjak Soleman
masih bocah ingusan, menggelengkan kepala sebagai
isyarat agar Juragan Bajuri jangan diganggu.
Bajuri memang langsung naik ke belakang kemudi.
Lalu memacu landrovernya itu dengan kecepatan
tinggi, meninggalkan ratusan pasang mata
memperhatikan kepergiannya dengan kepala sama
dipenuhi tandatanya. Mereka baru tersadar, setelah Soleman berujar datar:
"Mari kita urus... apa yang masih tersisa di dalam
sana." Ucapan Soleman tidaklah berlebihan. Sukaesih yang
sebelumnya bertubuh sehat, montok berisi, dengan
kulit yang putih gemerlapan yang selalu ia bangga-
banggakan sebagai warisan dari van Galen, kini tak
lebih dari tulang belulang berlapis kulit yang gosong
menghitam, kisut menyedihkan. Apa yang tersisa dari
jenazah suami Sukaesih, lebih menyedihkan lagi.
Remukan-remukan yang untungnya masih terbungkus
dalam pakaian almarhum, yang sudah hitam oleh
minyak pelumas. Tetapi, lebih baik buang saja untuk
mencari apalagi menyatukan kembali sisa-sisa
kepalanya! Di rumah megah antik itu, setiap orang pelayan pun
buru-buru menyingkir tanpa ada yang memberi
perintah. Bajuri langsung masuk ke rumah, tertegun sejenak di
pintu masuk lantai utama. Terpandang olehnya
sebuah lukisan tua di dinding yang berseberangan
dengan pintu masuk. Lukisan diri Juwarsih yang
menatap ke arah Bajuri dengan mulut tersenyum
ceria, tetapi dengan sorot mata menuntut. Tentulah
yang dituntut Juwarsih, tanggung jawab Bajuri yang
pernah berjanji pada Juwarsih sebelum akhirnya
Juwarsih bersedia juga dinikahinya: "Jaga anakku
baik-baik!" Sebuah permintaan yang tidaklah terlalu sulit
melaksanakannya. Karenanya, bukankah anak
Juwarsih adalah anak Bajuri juga, meski terlahir dari
pemerkosaan" Bajuri baru memahami apa maksud
Juwarsih, setelah Sukaesih lahir dan beberapa hari
kemudian Juwarsih ditemukan meninggal di tempat
tidurnya karena minum racun. Juwarsih memutuskan
untuk bunuh diri ketimbang harus hidup selamanya
didampingi Bajuri. Juwarsih sebelumnya tetap
bertahan hidup, semata-mata karena tidak tega
membunuh bayinya sendiri. Barangkali juga Juwarsih
punya tujuan lain. Kehadiran si anak di sisinya, akan
selalu mengingatkan Bajuri pada perbuatannya di
masa lalu. Berhasil mempersunting Juwarsih, setelah lebih dulu
melenyapkan dua orang saingan beratnya, secara jitu
tetapi licik. Yakni suami si jelita, Mario van Galen. Dan
laki-laki pada siapa si jelita menyerahkan cinta
kasihnya, yaitu Suparta. Bajuri telah gagal merebut cinta kasih Juwarsih.
Sekarang Bajuri pun telah gagal mengemban amanat
Juwarsih. Putrinya tercinta, yang memiliki raut wajah
dan lekuk tubuh bak pinang dibelah dua dengan
Juwarsih, kini sudah pergi untuk bergabung dengan
ibu yang melahirkannya. Entah di alam roh sebelah
mana! Bajuri mengerang, sakit. Ke
mudian melangkah masuk ke kamar pribadinya, yang bersebelahan dengan
tangga yang menuju ke lantai atas. Tangga itu pernah
jadi saksi bisu ketika Sukaesih dicium pertama kali
oleh Asgar, putra salah seorang sahabat lama Bajuri.
Ketika memergoki putrinya bermesraan dengan putra
tunggal si Togar, Bajuri sudah sadar bahwa ia pun
akan segera kehilangan cinta kasih Sukaesih.
Di kamarnya, Bajuri membuka sebuah pet i tua.
Dari dalamnya ia keluarkan sebatang golok yang
sama tuanya. Hanya sekali golok itu dipergunakan
Bajuri. Yakni, ketika menebas batang leher pemilik
golok itu sendiri: Suparta.
Setelah sukses membunuh saingan beratnya yang
tangguh itu, Bajuri lalu menyimpan golok Suparta
sebagai kenang-kenangan. Dengan golok Suparta di tangan, Bajuri berjalan ke
jendela. Menatap ke bidang terbuka di ler eng gunung.
Ia tak dapat melihat apa-apa dari tempatnya
sekarang berdiri, kecuali batu-batu cadas yang
sebagian besar sudah berlumut. Namun Bajuri pernah
hadir disana. Tahu apa yang tertanam di sana. Tubuh
tanpa kepala Suparta. Dan segenggam kepingan uang
emas. Yang ditunggui Parti dengan setia. Bajuri tak
pernah tertarik untuk memiliki salah satu dari kedua-
duanya. Tidak kepingan uang emas yang terkubur
oleh longsoran tanah di depan gua. Lebih-lebih lagi
tubuh Suparta, yang jelas di mana letaknya terkubur.
Kayu tonggak pemancang tubuh Suparta sebelum
dibunuh, oleh ljah telah dimanfaatkan sebagai kayu
nisan. Yang tidak perlu lagi susah-susah membuat dan
memancangkannya ke tanah.
Bajuri mendengar semua itu dari mulut sahabat-
sahabatnya yang kembali naik ke lereng gunung.
Untuk mencari sepundi uang emas yang telah
dijatuhkan berceceran oleh Bajuri, sebagai hinaan
pada Suparta. Mereka telah gagal menggali di sana
menggali di sini. Disaksikan oleh Suparti yang sudah
setengah gila. Kuburan Suparta pun sempat pula mereka bongkar.
Tetapi sewaktu menyaksikan apa yang terkubur di
depan mata mereka, sahabat-sahabat Bajuri jadi ngeri
dan mundur sendiri. "Bayangkan!" suatu hari Sobara memberitahu Bajuri
dengan wajah pucat. "Kami memang sudah tahu,
Suparta tidak lagi memiliki kepalanya. Tetapi ketika
kami menyaksikan apa yang tersimpan di dalam
kubur, pada tempat dimana semestinya tergeletak
kepala Suparta, kami lantas merinding sendiri...."
"Apa yang kalian lihat, Sobara?"
"Sebuah batu. Yang pas sebesar kepala Suparta!"
Berdiri memandangi lereng gunung dari balik jendela
rumahnya, Bajuri membuka telapak tangannya yang
dari tadi menggenggam terkatup. Tampaklah
kepingan uang emas berwarna kuning kecoklatan itu.
Tidak susah mencari lebih banyak kepingan yang
sama. Sudah lama Bajuri menduga, betapa mudah
cara menemukannya. Tinggal mengangkat batu, yang
dipergunakan Suparti sebagai pengganti kepala
saudaranya. Bajuri memang pernah terpikir untuk pergi
mengambilnya sendiri. Jika perlu dengan membunuh
Suparti. Pikiran itu dengan cepat ia buang jauh-jauh. Bajuri
tahu, adalah pantangan besar memandangi tubuh
tanpa kepala itu. Jika itu ia lakukan, ilmu pelenyap
sukma yang ia kuasai setelah menghirup darah dan
memoleskan darah Suparta pada sepasang matanya...
akan langsung menggelegak dari dalam tubuh Bajuri.
Gelegak itu akan terserap oleh roh Suparta. Dan roh
Suparta akan terus mengikuti kemana pun Bajuri
pergi. Lagipula, buat apa ia bersusah payah merampok apa
yang terkubur di balik batu, dalam kuburan Suparta"
Toh ia sudah memiliki sepundi uang emas yang sama
jumlahnya dengan yang terkubur bersama tubuh
Suparta. Sebelum eksekusi hukuman mati itu
dilaksanakan, mata-mata Bajuri di kantor kotapraja
sudah memberitahu berapa banyak uang hadiah yang
diperuntukkan buat siapa saja yang dapat membantu
menangkap Suparta, hidup atau mati.
ltu juga salah satu sebab, mengapa waktu itu Bajuri
menumpahkan isi pundi-pundi yang diterimanya dari
Letnan Belanda itu. Pura-pura mengejek Suparta,
diam-diam Bajuri menghitung keping demi kepingan
uang emas yang jatuh berhambur
an di depan lutut Suparta. Maka tahulah ia, hanya setengah dari jumlah
hadiah itu yang diberikan padanya. Setengah lainnya,
bermaksud dikangkangi sendiri oleh sang Letnan.
Kebenarannya langsung terbukti hari itu juga. Begitu
gempa disusul longsor mengamuk di sekitar mereka,
semua orang pun berlari menyelamatkan diri.
Bajuri, bagaimana pun, masih memiliki sedikit belas
kasihan. Tubuh Suparti yang pingsan ia seret ke dalam
gua. Atau, barangkali belas kasihan yang sedikit itu
pulalah yang kemudian menyelamatkan nyawa
Bajuri" Bajuri mengerjapkan matanya. Masih menatap dari
jendela ke lereng gunung diatas sana. Dan masih
terbayang ketika ia keluar dari gua, membiarkan
Suparti yang menggeliat siuman tinggal sendiri di
dalamnya. Kecuali Dadang yang terlempar mati ke
bawah lereng, sahabat-sahabatnya yang lain
kemudian ia temukan sudah lebih dulu tiba dengan
selamat di desa. Sebelumnya, dalam perjalanan turun gunung, Bajuri
menyempatkan diri menyelidiki. Dua ekor kuda ia
temukan setengah terkubur di lembah bersama
serdadu-serdadu pemiliknya. Dalam keadaan sudah mati dan di tempat
yang terpisah-pisah. Di sebuah padang terbuka, terpanggang oleh terik
matahari yang garang menggigit, ia temukan kuda
lainnya. Kuda itu dengan setia tengah menunggui
tuannya, si letnan korup, yang berbaring di tanah
dengan salah satu kaki remuk dan sisi kepalanya
terluka menganga. Letnan ltu masih sadar ketika
Bajuri datang mendekat. "Tolonglah..." hanya itu yang sempat terlontar dari
mulutnya. Kemudian Letnan itu pun terbang ke alam
barzah, menyusul dua serdadu lainnya. Dari kantong
di pelana kuda si letnan, Bajuri menemukan sebagian
uang hadiah yang semestinya menjadi hak miliknya.
Uang hadiah yang seketika membuatnya kaya. la tak
perlu lagi bekerja sebagai centeng. Dan dengan
penampilannya yang lebih gagah, lebih parlente,
semakin mudah ia mendekati Juwarsih. Yang ternyata
hanya bermanis madu dimukanya saja!
Komplotan Bajuri waktu itu memang sempat ribut
memprotes. Tetapi mereka semua bungkam tak
berdaya, setelah Bajuri mengingatkan perjanjian
mereka semula: "Bagianku adalah setengah dari keseluruhan uang
hadiah, bukan?" Namun toh ia lagi-Iagi sedikit berbaik hati, dengan
membagi setengah dari perolehannya untuk dinikmati
oleh para sahabatnya. Bagian yang terkubur di lereng
gunung pun kemudian mereka lupakan. Perang
membuat mereka sibuk. Dan selain perang, Bajuri pun
dibuat sibuk dalam upayanya mendekati dan
kemudian berhasil mempersunting Juwarsih.
"Terkutuklah kau, Juwarsih!" Bajuri membathin,
kecewa. "Pura-pura mencintaiku sebelum kau
putuskan untuk bunuh diri!"
Sebaliknya, cinta Bajuri pada Sukaesih, bukanlah cinta
pura-pura. Bajuri sudah berulangkali kawin cerai, tak
terhitung pula perempuan simpanannya. Namun aneh
bin ajaib, hanya Juwarsih seorang-lah yang mampu
memberikan sebuah kebanggaan yang pasti ingin
dimiliki setiap lelaki yang sudah berumahtangga.
Kebanggaan sebagai seorang ayah. ltu saia sudah
cukup untuk melahirkan cinta kasihnya pada
Sukaesih. Bajuri pun semakin mengasihi Sukaesih,
yang semakin tumbuh dan semakin dewasa...
semakin pula menyerupai Juwarsih, ibunya.
*
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ringkik kuda dari arah istal, membuyarkan lamunan
Bajuri. Lereng gunung di atas sana sudah tampak
temaram. Pertanda malam sudah menjelang. Dan itu
berarti, Bajuri tidak perlu bersusah-payah mencari
Suparta kian ke mari. Bajuri sudah mendengar hukum
yang berlaku untuk seorang penyihir: Seorang
penyihir, harus kembali ke tempat pertapaannya
begitu matahari sudah tenggelam!
Kuda di istal meringkik lagi. Tetapi Bajuri tidak
membutuhkan tenaga kudanya malam ini. Juga tidak
landrovernya. Kuda dan mobil memang diperlukan
untuk mengejar waktu. Atau untuk tiba dengan
mudah di tempat jauh, tanpa banyak membuang
tenaga. Namun buat Bajuri, kuda dan mobil miliknya
hanya diperlukan untuk urusan rutin. Hanya sebagai
pelengkap saja dalam penampilan di depan umum.
Persisnya, demi kehormatan belaka.
Dipandanginya golok di tangan. Lalu tersenyum.
Bergumam penuh kedengkian: "Tak dinyana bukan,
Suparta" Golok milikmu ini, bukan hanya memakan
batang lehermu. Sebentar lagi, Suparta, golokmu ini
akan menebas pula batang leher saudara
perempuanmu!" Bajuri pun bersemedi sejenak. Mengosongkan pikiran
secara total. Kemudian mengisinya kembali dengan
semua ajian dan mantera yang pernah ia miliki.
Setelah itu, ia telah melompat keluar jendela.
Langsung mengarah ke lereng gunung yang sudah
menggelap. Lompatan Bajuri ringan dan tangkas
seperti kijang. Tetapi, andaikata ada seekor kijang
jagoan melihatnya dan tergoda untuk beradu cepat
dengan Bajuri... silahkanlah mencobanya. Kijang itu
akan tersungkur kehabisan nafas, sementara otot-otot
tubuh Bajuri baru mulai memanas. Sosok Bajuri ketika
berlari, hanya tampak bagai bayangan berkelebat.
Seakan kakinya tak menjejak ditanah.
la tidak memerlukan tempo yang lama untuk tiba di
mulut rimba belantara. Baru setelah menempuh jalan
setapak yang mendaki begitu terjal, Bajuri
mengurangi kecepatan larinya dan mulai berjalan.
Dengan lompatan-lompatan tetap ringan.
Setelah melewati tiga pendakian dan dua penurunan,
Bajuri pun tiba di sebuah tempat terbuka. Dan
tanjakan berikutnya, akan membuat jeri orang yang
tak terlatih. Siapa pula yang tidak ciut nyalinya,
melihat tanjakan yang seperti tegak lurus ke atas"
Bajuri, berpedoman pada bias rembulan dan matanya
yang sudah terbiasa dalam kegelapan, mendongak
untuk menimbang-nimbang cara terbaik melewati
tanjakan itu. Dan tampaklah olehnya cahaya meliuk-
liuk di tengah tanjakan. Cahaya sebuah obor. Dan
bayang-bayang tiga sosok tubuh tengah mendaki.
Bajuri menajamkan pandang. Lantas tertegun.
* SUNGGUH suatu pengalaman menakjubkan.
Andaikata hanya mendengar dari mulut orang lain,
pastilah Zuraida menuduhnya seorang gombal,
pembual besar. Atau penggemar karatan buku komik
picisan. Lain halnya jika sudah dialami sendiri.
Tadi semasih di rumah, semangat Zuraida meluap-
luap. la akan pergi menolong suaminya dari ancaman
bahaya! Tetapi begitu ke luar rumah, dan melihat ke
lereng gunung yang jauh dan tinggi di atas mereka,
Zuraida langsung patah semangat. Apalagi kalau
sebelumnya ia tahu adanya tanjakan tegak lurus itu.
Nyalinya pasti menciut habis-habisan.
ltulah sebabnya mengapa Anggadireja menyuruh
Zuraida minum segelas air yang sudah disucikan
dengan doa oleh Anggadireja. Kemudian, setelah
meminta maaf lebih dulu, Anggadireja menyentuhkan
jari telunjuknya ke bagian-bagian tertentu di tubuh
Zuraida. Zuraida sempat bertanya untuk apa semua itu
dilakukan, Dan dijawab pendek saja: "Kita akan
menempuh perjalanan berat."
Sambil tak lupa Anggadireja menambahkan: "Mulailah
dengan Basmallah!" Hasilnya, menakjubkan. Meski masih tetap gentar, baru setelah cukup jauh
berjalan memasuki hutan, Zuraida kagum. Langkah
kakinya masih tetap enteng, dan betis eloknya tak
pula kebas. Ketika mereka beristirahat sejenak,
disempatkan Zuraida memandang ke bawah.
Ternyata jalan yang mereka tempuh tadi tidak
tampak sama sekali. Hitam kebiru-biruan. Zuraida pun
berdecak sendiri, mengetahui mereka sudah naik
setinggi itu. Tanpa sadar ia pun bergumam:
"Bagaimana mungkin?"
"Kekuasaan Allah, Bu Ida," jawab Anggadireja.
Suparti menambahkan: "Buat orang kota seperti kau,
Ida, masih banyak hal-hal lain di daerah terpencil ini...
yang akan membuatmu tercengang sendiri...."
Seperti bangkai kepala manusia di baskom misalnya,
pikir Zuraida. Yang kembali mengingatkannya pada
suaminya. lngatan pada Sukri membuat Zuraida
bangkit dengan wajah kuatir. Katanya: "Ayo kita
teruskan perjalanan. Jangan sampai kita terlambat...."
Zuraida menghentikan ucapannya, manakala ia
tangkap senyuman samar-samar di bibir dua orang
teman seperjalanannya. Barulah Zuraida sadar,
mereka berhenti untuk memberi Zuraida kesempatan
istirahat sejenak. Dan mereka pulalah yang
semestinya melontarkan ajakan Zuraida tadi.
Akibatnya, Zuraida tersipu sendiri.
Mereka pun meneruskan perjalanan tanpa banyak
berbicara. Anggadireja berjalan paling belakang
dengan obor di tangan. Zuraida di tengah. Paling
depan, Suparti. Perempuan renta itulah penunjuk
jalannya. Dan perempuan renta itu dapat membaca
setiap sudut lereng gunung yang mereka tempuh
semudah membaca telapak tangannya sendiri.
Bahkan Zuraida sering melihat, Suparti tidaklah
membutuhkan benar obor yang menerangi jalan
mereka. Di tengah perjalanan pada tanjakan tegak lurus itu,
Zuraida tokh tidak tahan juga. Tanpa malu-malu dia
meminta istirahat lagi. Ada perasaan ngeri di hatinya
ketika memandang ke bawah mereka. Sungguh ajaib
mereka dapat tiba dengan selamat di tempat yang
setinggi ini. Melewati tanjakan, yang ketika ia
perhatikan dari atas, awal tanjakan itu tak tampak
samasekali saking lurusnya. Zuraida yang bernafas
tersengal-sengal, jantung berdetak-detuk kencang,
matanya berkunang-kunang kelelahan... terkejut
sewaktu mendengar bisikan samar dari mulut Suparti:
"Dia ada disana!"
"Aku pun melihatnya," sahut Anggadireja,
mengangguk. Zuraida menajamkan pandang. Mengawasi tempat
terbuka di antara pucuk pepohonan. Tak tampak apa-
apa kecuali warna hitam kebiru-biruan dan setelapak
tanah kecoklat-coklatan. Setelapak, padahal ketika
melewatinya tadi, tanah coklat itu lebarnya cukup
untuk bermain sepakbola. "Siapa?" Zuraida bertanya, lirih.
Wajah-wajah tegang teman seperjalanannya
seketika mencemaskan Zuraida. Jawabannya
langsung terdengar. Datangnya dari bawah sana: "Supartiiiii!"
Gaung teriak lantang itu bergaung lalu memantul dari
satu bukit ke lain bukit. Menyentak-nyentak. Misterlus.
* "Suparti" " Bisikan tersedak itu terlontar dari bibir kisut Suparta.
Makhluk itu telah dikeluarkan dari kardus
pembungkusnya, dan kini tegak pada batang
lehernya, di sebuah batu pipih yang biasa
dipergunakan Suparti jika duduk-duduk bersantai di
luar gubuk. Mereka memang sudah sampai di tujuan. Suparta,
katanya, mencium bau keringat adik perempuannya
di segenap penjuru bidang tanah terbuka itu.
Sepasang mata lblisnya pun sudah memandangi
gubuk kecil itu dengan sinar kerinduan, kemudian
kekecewaan karena orang yang ia cari ternyata tidak
berada di tempat. Tak berapa jauh dari batu pipih tempat bertahta
kepala Suparta dengan nyamannya, api tampak
menyala-nyala di tumpukan kayu bakar kering, yang
sebelumnya ditemukan Sukri banyak terdapat di
sekitar gubuk Suparti. Sumber api diperoleh dari
tungku di dalam gubuk. Suparti mempergunakan kayu
bakar dari pohon pinus yang tahan lama. Tungku pun
disusun sedemikian rupa, sehingga dibawah
tumpukan abu, bara menyala tetap tersisa untuk
dipergunakan walau sudah cukup lama api tidak
dihidupkan. Sukri pun mendengar gaung suara sayup-sayup itu.
Tetapi pikirannya yang kosong, tak terlalu
menghiraukan. Apa yang ada dalam pikirannya,
hanyalah menggali dan menggali lagi lebih dalam
sebagaimana perintah yang diterimanya dari Suparta.
Kuburan yang ia gali sudah sedemikian tua, sehingga
tanahnya luar biasa keras, padat. Cangkul kecil milik
Suparti yang ia temukan di samping gubuk, bak
cangkul mainan saja jadinya. Menyedihkan memang.
Tetapi sebongkah demi sebongkah tanah bercampur
batu kerikil, berhasil juga diangkat Sukri yang sudah
bermandi peluh. Kepala Suparta bergetar lagi.
"Aku mengenali suara itu!" desisnya, tegang. ltulah
pertama kali suara Suparta terdengar tegang di
telinga Sukri. Tetapi lagi-lagi Sukri tak menghiraukan.
la terus saja membongkar kuburan tua itu. Ditingkahi
suara Suparta yang menggila: "Gali terus. Lebih cepat
lagi! Ayo, budak hina! Jangan berleha-leha begitu!
Cangkul lebih keras! Lebih keras lagi, tolol!"
Sukri menghunjamkan pacul ke gundukan kubur.
Sekuat tenaganya. Dengan nafas memburu. Seperti nafas Suparta yang
juga memburu. Nafas yang berat. Tersedak-sedak.
* Bajuri berteriak lagi; "Turun kau, nenek sihir. Hadapi
aku sekarang juga!" Dari tempatnya berdiri, Zuraida akhirnya dapat juga
melihat samar-samar gerakan sosok seseorang di
bawah sana. "Siapakah orang itu?"
"Juragan Bajuri," sahut Anggadireja dengan dahi
berkerut. "Kau tetap di sini saja, Parti. Biar aku yang
turun untuk memberi penjelasan padanya...."
Tetapi baru juga satu dua langkah ia turun,
Anggadireja sudah berkata lagi: "Tidak. Kalian berdua
jangan hanya menunggu. Kalian terus saja. Siapa
tahu, Bajuri tidak mau menerima penjelasanku. Ayo.
Cepatlah pergi!" "Dan kau?" bisik Suparti, kuatir.
"Aku dapat menjaga keselamatanku sendiri. Jika
Bajuri bertingkah, paling tidak aku dapat menahannya
selama mungkin. Sementara itu, Parti. Dapatkah kau
mengatasi sendiri saudaramu itu?"
"Akan kucoba...."
"Cobalah! Dan kau, Bu Ida. Sujudkan jiwamu
kehadapan Allah!" Tanpa menunggu komentar lagi, Anggadireja turun
dengan cepat ke bawah. "Hati-hatilah, Angga!" bisik Suparti lirih, lalu
menggenggam tangan Zuraida. "Mari!"
Zuraida memandang sekilas ke bawah. Dengan
kepala diliputi tanda tanya dan perasaan kuatir yang
kian menjadi. Lalu dengan obor yang barusan
disodorkan Anggadireja terpegang kuat di tangan
kanannya, ia mengikuti langkah Suparti naik lebih ke
atas. Sejak dari rumah tadi, Suparti terus memegangi
tangan Zuraida. Untuk menuntunnya tidak sampai
keluar dari jalur jalan setapak, dan menahan jika
Zuraida terpeleset. Pegangan tangan Suparti begitu
kuat, dan Zuraida benar-benar merasa terlindungi.
Tetapi kini tidak ada lagi Anggadireja. Sanggupkah
Zuraida" Menempuh perjalanan berat itu, mungkin
saja ia sanggup. Tetapi menghadapi sang syeitan"
Zuraida sendiri suda TUJUH BELAS SUKRI melihat berkeliling. Ketakutan.
Bayangan-bayangan apa itu yang membungkuk-
bungkuk mendekat. Mengintip dari balik kegelapan
malam" Oh... oh... hanya bongkah-bongkah batu dan
gundukan semak belukar. Tetapi yang berdiri diam,
dengan kaki-kakinya yang besar-besar dan tinggi" Ah,
batang-batang pepohonan raksasa, kiranya. Lalu suara
bisikan-bislkan lirih mencekam itu....
Ada suara terkekeh-kekeh. Seperti orang merasa geli.
Sukri menoleh dengan cepat. Yang tertawa mengekeh
ternyata Suparta yang diam-diam memperhatikan
tingkah laku Sukri. Makhluk diatas batu pipih itu
berkata mengejek: "Masih adakah... yang lebih
menakutkanmu... selain aku, Sukri?"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lantas Suparta mengekeh lagi. Berkepanjangan.
Sukri pun makin bodoh jadinya.
"Angkat batu itu, Sukri!"
Dengan wajah hampa, Sukri menurunkan sebelah
kakinya ke liang kubur. Ternyata mudah saja
mengangkat batu hitam itu. Beratnya pun tidak
seberapa. Sukri menegakkan tubuh. Tangannya sudah
bergerak akan membuang batu jauh-jauh, ketika ia
melihatnya. Di bekas tempat batu terletak, tampaklah
setumpukan benda-benda menakjubkan. Benda-
benda yang dilihat Sukri dalam mimpinya, yang
kemudian dicarinya bersusah-payah dengan menggali
lubang yang dalam di samping rumahnya. Yakni,
setumpuk harta karun berupa kepingan uang emas
tua! "Kau lihat, bukan?" Suparta berujar senang. "Adikku
Suparti tidaklah semiskin sangkaan orang. Tetapi
Suparti tidak tertarik sedikit pun memanfaatkan
tumpukan uang emas itu. Tahu mengapa Sukri?"
Sukri antara mendengar dan tidak mendengar. Batu
hitam di tangannya ia buang ke tanah. Lantas seperti
orang linglung, kembali memandangi tumpukan harta
karun yang menantang untuk dirahup itu. Sungguh
mengherankan, sedikit pun Sukri tidak lagi tergoda
memilikinya. Perasaannya kosong, hampa. Apa yang
dimilikinya sekarang, hanyalah kepatuhan belaka.
Kepatuhan pada apa pun kemauan Suparta.
"ltu uang emas terkutuk, Sukri!" Suparta terdengar
menggeram. Tinggi. Bernada kebencian. "Uang itu
berlumur darah. Darahku, Sukri! Darah yang
menyembur dari batang leherku!"
Gaung suara Suparta disambut oleh tiupan angin yang
menjerit-jerit lirih menyayat. Tanah seakan bergetar.
Batang pepohonan raksasa di sekeliling seakan
bergoyang, terayun-ayun dalam kemarahan.
Rembulan pun mendadak hilang entah kemana. Awan
pekat hitam muncul berbondong-bondong di langit
kelam, seolah bertujuan mengepung seluruh
permukaan lereng gunung untuk maksud-maksud
jahat. "... apinya hampir padam, Sukri!" Suparta
mengingatkan. "Ayo. Tambahkan lagi kayu bakar.
Jangan sampai kau nanti tak dapat melihat, lalu tak
dapat melakukan dengan benar... tugas apa yang
nanti harus kau lakukan!"
Api berkobar-kobar lagi setelah Sukri menambahkan
kayu bakar. Dibantu oleh tiupan angin kencang.
Suparta melihat ke nyala api yang meliuk-liuk liar
dengan pandangan tak senang. Lantas mengeluh
pada diri sendiri: "Api. Sungguh tak enak
memikirkannya...." Pandangan Suparta kemudian beralih pada Sukri.
"Tahukah kau apa tugasmu, Sukri" Tugas terakhir
dalam pengabdlanmu padaku"!"
Sukri hanya berdiri mematung. Tanpa gairah. Suparta
pun tak mengacuhkannya. "Pertama-tama, Sukri..." bisiknya, menyay at. Tersedak-
sedak lebih cepat dari biasa, saking tak sabar.
"Pertama-tama, Sukri.... Angkatlah kepalaku ini.
Satukan dengan tubuhku di lubang kubur...."
Sukri mendekat dengan langkah gontai. Rambut
panjang tergerai itu dijambak, dan terangkatlah
kepala Suparta dari atas batu pipih. Disertai ancaman:
"Awas kau! Jika tak benar menempatkannya!"
Nyala api semakin berkobar.
Angin pun mulai membadai. Dan di langit kelam,
guntur tiba-tiba menggelegar....
* Gelegar guntur yang tiba-tiba itu mengejutkan Bajuri.
la lengah. Sekejap, cuma. Namun kelengahan yang
cuma sekejap itu telah membuat golok ditangannya
terlempar jatuh. Disusul sebuah sapuan kaki pada
rusuk. Sebelum kaki yang menyapu itu turun
menjejak tanah, kaki lainnya sudah melesat ke atas
dan menghantam keras dada Bajuri.
Bajuri terpekik. Jatuh terhempas, dengan punggung menghantam
batu besar di belakangnya. Pelan-pelan ia bangkit,
kemudian terduduk lemas. Tak bertenaga. Seraya
kepala diangkat, menatap lawannya yang tegak
menunggu. Berkata terengah-engah: "Aku
menyerah...." Anggadireja tidak sepenuhnya percaya. la hapal betul
siapa Juragan Bajuri yang mantan centeng itu. Tetap
bersikap waspada, Anggadireja mengatur nafasnya.
Lalu berujar tak sabar: "Kita sebenarnya tak perlu
membuang tenaga sia-sia seperti ini, Bajuri. Tak perlu
harus saling memusuhi...."
"... aku setuju," Bajuri mengangguk lemah. Sembari
diam-diam, ikut pula mengatur nafas. Diam-diam pula
ia berkonsentrasi. Merapal mantera-mantera jauh di
lubuk hati. "Karena itu, Bajuri. Sebelum aku pergi menyusul
Suparti, biarlah kujelaskan dulu bahwa musuhmu
sebenarnya..." "Percuma, Angga. Sukaesih sudah mati...!"
Anggadireja tersentak. "Apa?"
"Putriku, Angga. Dan juga menantuku, Asgar. Andai
kau lihat sendiri bagaimana mereka menemui ajal...!"
Bajuri mengeluh, panjang dan dalam. Karena
kesedihannya. Sekaligus untuk mengelabui
Anggadireja. Bunyi keluhan itu, sebenarnya sebuah
tarikan nafas dalam yang menjadi bagian dari
manteranya. Nafas yang mengandung kekuatan-
kekuatan mistis yang diwariskan turun temurun oleh
karuhun-karuhunnya. Adalah sungguh ironis,
mengingat karuhun Bajuri yang menguasai ilmu itu
pertamakali, justru sahabat kepercayaan punggawa
kerajaan Pajajaran yang dahulu kala membuka
daerah ini. Dan punggawa Kerajaan itu, adalah
karuhun Anggadireja. Bajuri sengaja memikirkan ironi itu. Untuk menekan
kesedihannya atas kematian putrinya tercinta,
Sukaesih. Memikirkan ironi itu, konsentrasinya bisa
lebih terpusat, dan pelan-pelan membuatnya mampu
tersenyum. Senyum yang diatur Bajuri sedemikian
rupa. Sehingga dimata Anggadireja tampak sebagai
ringis kesengsaraan yang tiada terperi.
Perasaan simpati melengahkan kewaspadaan
Anggadireja. la kena dikelabui. "Maaf mengenai
putrimu. Sungguh... aku tidak tahu..." la menarik nafas
panjang, kemudian mendekati Bajuri yang tampak
terkulai penuh kesengsaraan. "Apamu yang terluka,
Juragan Bajuri?" "Rusukku... patah...!" Bajuri mengerang. Erangan
mengandung ajian mistis. "Mari kuperiksa!"
Anggadireja membungkuk lalu meraba-raba rusuk
Bajuri, seraya menyalurkan tenaga dalam dengan
maksud mengurangi penderitaan orang yang ingin ia
tolong. Kasihan Bajuri. Putri tercintanya....
Perasaan belas kasihan Anggadireja berakibat fatal.
Tenaga gaib yang disaIurkannya, langsung disedot
sekuat-kuatnya oleh tenaga gaib Bajuri yang
sesungguhnya tidak menderita patah tulang. Sedotan
itu mengandung hawa panas luar biasa.
Anggadireja terkejut. Ia berusaha menarik tangannya kembali. ltu juga
suatu kekeliruan. Tarikan balik melemahkan posisinya.
Tangannya justru tak mampu ia selamatkan. Karena
tangannya itu dalam tempo singkat sudah melepuh,
terbakar. "Ilmu hitam. Astaga!" Anggadireja terkesiap.
"Hentikan, Bajuri. Kau...."
Bajuri menyeringai. Buas.
"Sudah lama aku ingin melakukannya padamu,
Angga! Baru sekarang dapat terlaksana!" Bajuri
tertawa mengikik. "Selama ini kau selalu
menghambat jalanku, Angga. Sejak Suparta masih
hidup. Dan...." Sengatan ilmu hitam itu sudah mencapai lengan.
Bahkan leher Anggadireja sudah mulai berubah jadi
hitam, mengepulkan asap. Pada detik-detik kritis
sebelum jantungnya ikut diserang, Anggadireja pun
berteriak: "Suparta! Dialah musuhmu, Bajuri! Dialah
yang membunuh putrimu! Suparta sudah bangkit dari
kuburnya...!" "... apa"!"
"Diatas sana, Bajuri... Suparta akan melakukan
persembahan berdarah. Untuk memburumu...."
Bajuri seketika membentak keras. Pegangan
Anggadireja terlepas, dan tubuh Iurah desa itu
terlontar berguling-guling di tanah lalu terhempas
membentur sebatang poho n. Tak pelak lagi, Anggadireja klenger. la bangkit duduk. Dengan susah
payah. Mengeluh: "Aku sudah melihat darahnya,
Bajuri. Darah iblis...."
Bajuri bangkit dengan tangkas. Kini ganti ia yang
mendekati musuhnya. Sambil tak Iupa menyambar
goloknya yang terhantar di tanah.
"Bagaimana terjadinya, Angga?"
Tersengal-sengal, Anggadireja menceritakan secara
ringkas bagaimana kepala Suparta yang sudah
terkubur sekian puluh tahun, ditemukan secara tidak
sengaja oleh Sukri. la pun memberitahu apa yang ia
dengar dari Suparti tentang kemungkinan apa yang
bakal terjadi. "Roh Suparta kehilangan jejakmu, Bajuri. Tetapi ia
sudah menemukan cara untuk memburumu. Melalui
raga Sukri. Raga yang hidup, Bajuri. Dengan roh yang
juga hidup. Tetapi... yang sudah menyatu selamanya
dengan roh Suparta. Dan kau,
Bajuri... Kau tak akan lagi bisa lari!"
* Sukri seperti tikus terjepit. Alam pikirannya benar
telah dikuasai mutlak oleh Suparta. Namun alam
bawah sadarnya masih tetap miliknya. Dan barusan,
dari lubang kuburnya, Suparta sudah mengatakan
bahwa alam bawah sadarnya itu pun akan dikuasai
pula. Jasad Suparta boleh mati terkubur. Tetapi rohnya
akan hidup selamanya. Dalam wujud nyata. Sebuah
wujud pinjaman yang akan bebas berkeliaran
kemana-mana tanpa menarik perhatian orang. Siang
malam. Kapan saja ia mau. Ke mana saja ia ingin
pergi. Pada siapa saja yang ingin ia datangi.
Dan manusia pertama yang sangat ingin
didatanginya... "... istrimu, Sukri! Dia boleh juga!" Suparta menyeringai
gembira. "Aku jadi terangsang... ketika menyaksikan
bagaimana ia mengangkangi tubuhmu dengan
bernafsu... hehehe!"
lstrinya. ltulah satu-satunya milik Sukri yang masih
tersisa di dunia ini. Dan, tikus yang sudah terjepit itu
pun nekad mempertahankan diri.
"Tidak. ltu tidak boleh kau lakukan, makhluk terkutuk!"
Sukri menjeritkan lolongan putus asa. Cangkul yang
ada di sebelahnya ia sambar. Lalu ia pun
menghunjamkannya kearah kepala Suparta di dasar
lubang kubur. Dengan hunjaman keras membabi buta. Sukri lupa,
bahwa alam pikiran maupun seluruh otot-otot
tubuhnya sudah diperbudak. Dan seorang budak,
harus patuh pada apa pun kemauan tuannya.
Memang, itulah yang kemudian terjadi.
Sebelum mata pacul menyentuh kepala Suparta,
gagangnya sudah berputar membalik dalam
genggaman kedua telapak tangan Sukri. Tangan
maupun lengan Sukri dipaksa mengikuti. Gerakannya
lambat, namun tak dapat dilepaskan, bahkan juga
dihindari. Dengan mata melotot ketakutan, Sukri
melihat terdongak bagaimana mata pacul di
tangannya, tahu-tahu saja sudah siap menghunjam
lagi dari atas. Terarah langsung ke kepala Sukri
sendiri! "... matilah... aku..." alam bawah sadar Sukri, mengeluh
ngeri. Menyuruhnya memejamkan mata agar tidak
menyaksikan datangnya kematian yang boleh
dibilang sama dengan bunuh diri itu.
Mampu juga kelopak mata Sukri memejam. Pacul itu
pun melayang turun. Melakukan suatu putaran lain,
sehingga ketika mendarat di kepala Sukri... yang
menghantam adalah punggung pacul.
Namanya juga terbuat dari besi. Dihantamkan dengan
keras pula. Memang tidak sampai meremukkan.
Hanya sedikit merobek kulit kepala Sukri. Yang
dengan cepat menimbulkan benjolan, disertai rasa
nyeri yang alang kepalang. Sukri pun membungkuk
tersungkur. Dengan mata berkunang-kunang. Mata
yang sialnya, mengarah ke lubang kubur. Dan
terlihatlah bukan satu, tetapi tujuh, sebelas, bahkan
puluhan kerangka dan kepala Suparta melayang-
layang di depannya. Menari, tertawa, mengejek,
menyumpah serapah. Pacul di tangan Sukri jatuh ke tanah. Bayangan
kerangka dan kepala Suparta yang menari-nari itu
pun lambat laun saling bertaut, mula-mula kacau,
kemudian semakin membentuk. Hanya seonggok
kerangka dan sepotong kepala saja. Yang setelah
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringkik lagi, berkata mencemooh: "Sudah
kuperingatkan, Sukriii.... Jangan coba-coba mengatur
keinginanku!" Air mata Sukri pun rembes, membasahi pipinya. Air
mata putus harap! Suparta tidak berbelas kasihan. Suparta langsung
menyentak: "Gigit urat nadimu!"
* Anggadireja mengerahkan tenaga dalam, kini untuk
menyembuhkan diri sendiri. Aliran darah di sekujur
tubuhnya pelan-pelan mengalir kembali. Memang
belum normal, namun jelas klep jantungnya masih
dapat bekerja dengan baik. llmu hitam itu telah ditarik
kembali oleh Bajuri. Telapak tangan mau pun kulit
lengan Anggadireja masih mengelupas.
"Tetapi dalam satu dua jam akan kembali normal,"
begitu dikatakan Bajuri. Dan kali ini, mau tidak mau
Anggadireja terpaksa mempercayai juragan
perkebunan yang masih berjiwa centeng itu. Satu dua
jam memang tidak lama. Tetapi itu berarti,
Anggadireja tak dapat membantu menyelamatkan
hidup warga desanya, yang terancam bahaya
pemusnahan. ltu sudah sangat menyedihkan. Hatinya semakin sedih
lagi mengingat apa yang dilakukan Bajuri untuk
menarik serangan ilmu hitam dari tubuh Anggadireja.
Lurah desa itu harus menjulurkan lidahnya keluar.
Mulut Bajuri menyembur....
Entah Bajuri itu orang sialan atau orang yang
beruntung; yang jelas, dialah orang pertama yang
pernah meludahi kepala desanya. Diterima dengan
sukarela pula! Bajuri sendiri, tak sempat lagi memikirkan apakah ia
orang sial atau beruntung. Yang ada dalam pikirannya,
hanyalah mengejar waktu. Jika ia terlambat tiba,
tamatlah riwayatnya. Tetapi jika ia masih dapat
memburu waktu, maka ia akan tetap hidup. Dan
sekaligus dapat membalaskan dendam atas kematian
Sukaesih, putrinya tercinta.
Bajuri terus melesat. Melebihi kecepatan badai angin
yang mengayun pepohonan raksasa di sekitarnya. la
hampir saja melabrak dua sosok tubuh yang
mendadak tampak berlari-lari di depan jalannya.
Bajuri berkelit sedikit, terus melesat lagi. Semakin
cepat. Di belakangnya, Bajuri mendengar sebuah
suara yang sudah tak asing lagi baginya.
"... ah. Kaukah itu, Angga?"
Suparti. Dialah itu. Tetapi Bajuri tidak lagi
memperdulikan Suparti. la sudah dapat melihat kerlip
cahaya perapian. Ia pun melihat bayang-bayang
tubuh seorang laki-laki tengah membungkuk ke
depan. Lalu Bajuri mendengarnya.
"Kucurkan darahmu... darahmu... darahmu...!"
Suara sang iblis. lblis yang benar-benar sangat haus darah.
Sudah terlambatkah Bajuri"
* DELAPAN BELAS DENGAN menahan rasa sakit yang timbul, Sukri
menggigit pergelangan lengan kanannya. Ia lakukan
tidak sepenuh hati, karena alam bawah sadarnya
terus menentang. Ketika Sukri menjauhkan mulutnya,
memang tampak Iuka berdarah. Darah itu pun
menetes jatuh. Kemudian lenyap di sela-sela belulang
kerangka di liang kubur. Nyaris tidak meninggalkan
bekas apa-apa! Suparta pun menjerit kesurupan: "Nadimu, budak hina!
Bukan daging lenganmu! Aku bilang nadimu... gigit
sampai putus... Hiilih... Hiiiiih!"
Hih-nya Suparta hih mengandung mantera. Sepasang
matanya semakin membara. Memancarkan uap panas
yang menyapu sepanjang lengan kanan Sukri,
menekan pula di kepala. Tanpa dapat ditahan lagi,
pergelangan lengan kanan dan mulut Sukri pun saling
mendekat sendiri. Sukri memohon: "Jangan... jangan..."
Lalu ia pergunakan tangan kiri untuk menahan tangan
kanannya. la betot tangan kanannya ke bawah.
Tetapi tangan kanan Sukri lebih kuat lagi menarik ke
atas, sementara mulut Sukri terbuka lebar. Gigi-gigi
taring Sukri pun sudah siap menghujam dengan
buasnnya. Sukri membelalak ngeri, saat gigi taringnya
menyentuh pada nadi.... Lalu, tap...! Sepasang lengan yang kokoh sudah lebih dahulu
mencengkeram. Seseorang merangkul Sukri dari
belakang. Tangannya yang satu mencengkeram dan
menarik turun pergelangan kanan Sukri. Tangan lain
menjambak rambut lalu menarik kepala Sukri ke
belakang. Leher Sukri seakan mau patah. la pun
menjerit tersiksa. Suparta yang sedang komat-kamit kesurupan,
memandangi Sukri terheran-heran. Pada saat itu, di
bekas darah Sukri tadi menetes, tampak asap tipis
mengepul keatas, dan terdengar suara menggelegak.
Kulit wajah Suparta sudah mulai kemerah-merahan,
dan hanya dengan beberapa tetes darah Sukri,
kekuatannya sudah bertambah dari biasa.
Namun toh, Suparta tidak mampu melihat apa-apa.
Kecuali lengan-lengan budaknya, Sukri, turun dengan
cepat. kepala Sukri pun terdongak seakan dibetot ke
belakang. Lantas, tahu-tahu seluruh tubuh Sukri sudah
melenyap dari pandangan mata Suparta!
Mata Suparta menjadi liar. Mencari-cari. "Sukk....riiii"!"
Tak ada sahutan. Yang ada hanya helaan nafas Sukri
yang tertahan. Seperti dibekap. Suparta merapal ajian
yang makin lama makin nyaring, disambut tempik
sorak angin badai yang membuat pepohonan di
sekitar berderak-derak. Guntur menggelegar lagi,
berkepanjangan. Lalu setelah asap tipis dari celah-celah ker angka dada
Suparta kian mengecil, Suparta membentak keras.
Dengan kekuatan barunya, kepala Suparta sudah
meninggalkan tulang batang lehernya. Mencelat ke
atas, melayang-layang di udara dengan mata
bergerak liar. Akhirnya ia melihat Sukri. Setengah berlutut di tanah,
dengan mata terbuka lebar tetapi mulut terkatup
sangat rapat, rapat sekali. Suparta menatap curiga.
Pelan-pelan kepalanya pun melayang ke arah Sukri.
Memperhatikan wajah Sukri yang pucat pasi,
bermandi keringat. Mengapa begitu rapat mulut Sukri
terkatup" Bibirnya itu... ditarik dari dalam, atau ditekan
dari luar" Wajah Suparta terus mendekati wajah Sukri, sampai
hidung mereka hampir bersentuhan. Angin badai
menerbangkan rambut Suparta kian kemari,
menyapu, menerpa, mengibas, bahkan menampar-
nampar wajah Sukri. Tetapi wajah itu tak bergeming.
Tiba-tiba Suparta menyadari sesuatu. Mata Sukri. Mata
itu bukan menyorot hampa dalam kepatuhan. Mata
itu membersit hidup, dalam ketakutan.
Lalu telinga Suparta menangkap siutan angin. Siutan
yang tak lain dari biasa. Seperti irisan sembilu. Dan
persis pada saat katupan bibir Sukri membuka dan
Sukri terengah mengambil nafas, Suparta mencelat
menghindar. Hanya sepersekian detik sebelum mata golok yang
tajam, membelah dua kepalanya!
ltulah keistimewaan ilmu pelenyap sukma yang
dimiliki Bajuri. Roh jahat Sukri boleh saja melihat
leluasa makhluk hidup manapun yang diinginkannya.
Tetapi tidak Bajuri, yang telah membentengi
sukmanya dari jangkauan roh Suparta. Karena roh
dapat melihat raga melalui pancaran sukma, dengan
sendirinya raga Bajuri yang tidak memancarkan
sukma... tak berhasil dilacak sel-sel jaringan mata roh
Suparta. ltulah yang barusan terjadi. Suparta hanya mampu
melihat Sukri yang duduk dengan mulut terbekap.
Tetapi tidak melihat, bahwa yang membekap mulut
Sukri adalah telapak tangan Bajuri. Bajurilah yang tadi
menyeret dengan renggutan keras tubuh Sukri dari
pinggir liang kubur. Dan kini, Bajuri siap untuk melancarkan serangan
berikutnya, setelah golok ditangannya gagal
membelah dua kepala Suparta.
Mata Sukri! ltulah kuncinya. Suparta bergerak melayang,
meloncat-loncat dengan berpedoman pada gerakan
ekor mata Sukri. Sukri sendiri tidak menyadari, bahwa
ekor matanya yang terus mengikuti gerakan Bajuri
dengan pandangan kuatir, telah dimantaatkan oleh
Suparta. la terus saja melihat penolongnya yang tadi
muncul entah darimana itu. Golok ditangan Bajuri
diam-diam ia harapkan mampu membunuh lawan.
Sambil membathin, mengikuti gerakan golok ditangan
Bajuri. Mendukung: "Tebas sekarang!"
Lalu: "Hantam!"
Kemudian: "Pancung! Pancung! Pancung!"
Teriakan bathin Sukri mendukung si penolong,
memancar lewat sinar matanya. Pancaran itulah kunci
penembus yang dimanfaatkan Suparta untuk
mengelak dan mengelak, melesat di udara, meloncat-
loncat di tanah. Sembari memikirkan siasat cara
membela diri lebih baik. Kalau mungkin,
melumpuhkan lawan yang tidak terlihat olehnya itu.
Suparta tiba-tiba mencelat keatas.
Lantas menclok di dahan sebatang pohon besar.
Memandang kebawah, asal pandang saja, karena
tidak tahu disebelah mana musuhnya berada. Lantas
sambil menyeringai lebar, ia menggeram: "Jadi kau
datang... mengantar nyawa, Bajuri!"
Tak ada sahutan. Yang ada, sepasang mata Sukri. Bersinar semakin
hidup. Melihat ngeri ke dahan di mana kepala Suparta
menclok. Lalu mata Sukri turun ke bawah, sejajar
tanah. Melihat Bajuri yang mengambil ancang-ancang
di bawah tempat menclok Suparta. Bajuri kemudian
meloncat tinggi keatas, diikuti oleh gerakan mata
Sukri. Kini, kepala Suparta sudah terkurung diantara
kedua kaki Bajuri yang mendarat ringan tanpa suara
di dahan pohon yang tinggi itu. Bajuri memiringkan
tubuh sedikit ke belakang. la menjaga keseimbangan
tubuhnya dengan sempurna, untuk kemudian
goloknya diangkat pelan-pelan. Gagang golok di
kedua tangan. Suparta menunggu. Dengan berdebar. la masih
menyeringai, sekedar memperlihatkan ia belum
mencurigai serangan mematikan itu. Lalu, pada saat
sinar mata Sukri menurun sedikit mengikuti gerakan
golok di genggaman Bajuri, Suparta meringkik keras
dan cepat sekali melesat pergi dari kedudukannya.
Golok Bajuri hanya menghantam angin kosong. Bajuri
hilang keseimbangan. la limbung jatuh, terpekik di
luar sadar, lalu dengan tangkas mengatur posisinya di
tanah. la kemudian mencari musuhnya.
Terlambat! Suparta, setelah melesat dari dahan tempatnya
menclok, melayang lurus dan langsung ke arah Sukri.
Dan tahu-tahu saja, wajah Suparta sudah merapat
lagi di wajah Sukri. Mencibir, mengejek, mengancam,
dengan sorot matanya terus merasuk ke dalam jiwa
Sukri. Disusul desisan tajam: "Terimakasih kau membantuku tadi,
budak tolol!" Ucapan terima kasih yang menyedihkan. Disusul
perintah menyakitkan: "Sekarang, goblok! Lawan dia
untukku!" Bajuri bersungut marah: "Bangsat!"
Suparta tertawa kearah dari mana ia mendengar
suara tetapi tidak melihat orang yang mengeluarkan
suara. "Ayo, Bajuri. Sebelum mengangkangiku seperti
tadi lagi... langkahi dulu mayat budakku!"
Suparta meringkik membahana.
Bumi bergetar oleh sambaran kilat yang
menghanguskan sebatang pohon di lereng lembah.
Gelegar guntur ikut pula membentur dinding gunung.
Badai angin membuat tubuh Sukri terayun-ayun
ketika ia bangkit, menjangkau pacul di tanah,
kemudian bergerak mendekati Bajuri.
"Jangan takut, Sukri. Kita gempur dia bersama-sama!"
jerit Suparta, dalam ringkik
panjang kesenangan. Benar saja. Hempasan angin tidak lagi menggoyahkan
Sukri. Kuda-kudanya pas, pegangannya di pacul
kokoh, matanya saja yang kehilangan gairah hidup.
Bajuri memperhatikan lawan barunya ini dengan
waspada. Anak muda di depannya, biar dia jagoan
berkelahi... dalam keadaan biasa akan dianggap
enteng oleh Bajuri. Tetapi dibalik kehampaan mata
Sukri, terpancar hawa nafsu ingin membunuh dari roh
Suparta. Bajuri merapal mantera. Melacak lalu menembus ke
alam bawah sadar Sukri, membisikkan kata-kata
lembut: "Dengarkan aku, Nak. Kau tahu aku
bermaksud menolongmu, bukan" Hawa nafsumu,
Nak. Hawa nafsumu-lah yang harus kau lawan. Bukan
aku...!"
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suparta yang sudah duduk santai di batu pipih,
meringkik: "Jangan dengarkan dia! Bunuh sekarang!
Sebelum dia membunuhmu!"
Bajuri tidak menyerah: "Terbalik, Sukri. Dialah yang
harus kita bunuh. Kita, dengar" Kita serbu dia
sekarang...." "Yiiiiiiilii... hhhh!" Suparta meringkik lirih menyayat,
menutup pintu masuk ke alam bawah sadar Sukri.
Disusul hentakan: "Sekarang, tolol!"
Sukri pun menghantamkan senjata pacul di
tangannya. Bajuri cepat menghindar. Tetapi Sukri tidak memberi
kesempatan. la terus menyerbu tanpa harus mengatur
posisi lebih dulu. Bahkan hampir tak perlu menggambil
nafas. Sadarlah Bajuri bahwa lawannya yang ini,
bukan lawan sembarangan. Apalagi didukung pula
oleh kekuatan gaib Suparta.
Baiurl habis akal. Dari habis akal, ia pun habis sabar. Kepongahan
seorang juragan dan mental centengnya pun muncul
sudah "Hem. Rupanya kau ingin diberi pelajaran, ya"
Sambutlah ini!" Bajuri menyambarkan goloknya. Disambut gagang
pacul. Dorong mendorong, lepas, saling terjang lagi.
Sekali, Bajuri terkena tendangan di perut. ltu
membuatnya naik pitam, apalagi sisi tangan Sukri
kemudian menghantam hidungnya pula sampai
mengeluarkan darah. Suparta meringkik semakin senang. Bagaimana tidak.
Di mata Suparta, tentu saja tampak menggelikan.
Karena Sukri tampak berkelahi sendirian, menerjang-
nerjang udara kosong. Semakin liar. la tidak menyadari, nyala api di dekatnya semakin
berkobar-kobar karena tiupan angin badai. Lalu,
diantara suara topan badai itu terdengar suara lain.
Suara pekik tertahan seseorang, diikuti suara orang
lainnya lagi, berseru lantang: "Hentikan!"
Tidak tahu pada siapa seruan itu ditujukan. Yang pasti,
masing-masing bereaksi menuruti hati sendiri-sendiri.
Suparta berpaling terperanjat, karena ia mengenali
suara adik perempuannya. Dan benarlah, Suparti
sudah muncul di pinggir lapangan pertandingan,
dengan seorang perempuan muda cantik yang
memandang pucat dan ngeri Sukri yang beradu
nyawa dengan Bajuri. Perhatian Suparta yang teralih,
mengalihkan pula arus gaibnya dalam diri Sukri.
Apalagi Sukri pun sudah mendengar pekik tertahan
dari mulut istrinya, Zuraida.
Sukri lengah. Dan Bajuri bereaksi menurutkan mental centengnya.
la membentak sambil mengirimkan sebuah pukulan
dahsyat. Pacul di tangan Sukri terlempar entah ke
mana. Dada Sukri sakit alang kepalang. Tubuhnya pun
terdorong. Jatuh berguling-guling ke tanah, dan
terhempas langsung ke arah perapian yang berkobar-
kobar. Tubuh Sukri pastilah sudah dimangsa api, jika
tidak sebuah batu besar yang mencuat di tanah,
menahan laju tubuhnya. Bajuri belum puas. la terus mengejar. Tanpa Sukri,
akan lebih mudah buat Bajuri menempur dan
memusnahkan kepala Suparta. Bunuh dulu anak
muda itu! Dan itulah yang dilakukan Bajuri, begitu ia
sudah berada di dekat tubuh Sukri yang terkulai tanpa
daya. Goloknya diangkat tinggi. Ujung mata golok
yang runcing siap dihujamkan ke lambung Sukri yang
menggeliat bangun. Lalu dlsertai jerit ngeri:
"Jangaaaaan!" terdengar bunyi jressss!
Yang menjerit itu Suparti. Sambil menghambur cepat
ke depan. Dan tiba pada saat yang tepat, berdiri
menahan antara tubuh Sukri dan Bajuri. Ujung golok
menembus dengan gerakan miring, langsung di dada
kerempeng Suparti. Menembus
setengah membelah, menyembur-nyembur darah. Dari dada, maupun dari
punggung Suparti. "Parti... apa..."! kepala Suparta melolong-lolong.
Apa yang tampak olehnya, mula-mula tubuh Sukri
berguling menjauh. Kemudian tubuh adik
perempuannya terhentak begitu saja, dengan dada
dan punggung menyemburkan darah. Ia tak melihat
apa yang membuat dada dan punggung adik
perempuannya mengeluarkan darah. Dia melihat
adiknya, Suparti. Setelah sekian puluh tahun.
Melihatnya lagi. Tampak tua renta, menyedihkan.
Dengan dada setengah belah pula, menyemburkan
darah! Sementara Suparta melolong-lolong sambil meloncat-
loncat mengerikan, karena ia tak lebih dari sebuah
kepala sampai sebatas leher saja... Bajuri bertindak.
Lepas dari keterkejutan melihat siapa yang termakan
goloknya, Bajuri bergerak mundur. Golok dibetot dan...
tersangkut. Salah satu sisi gagang golok ikut
menembus dada Suparti, saking derasnya hunjaman.
Sisi gagang golok itu pun tertahan di antara tulang
dada Suparti, ketika Bajuri coba membetotnya keluar.
Bajuri baru saja memutuskan untuk membiarkan saja
golok itu, ketika serangan gelap sekonyong-konyong
sudah menerpanya. Serangan itu datang dari jari-
jemari runcing berkuku panjang tajam. Hampir tak
terlihat rupanya sudah terangkat ke atas. Lalu jari-
jemari berkuku mengerikan itu, menusuk, kemudian
melesak ke sepasang mata Bajuri. Kemudian, dengan
sama cepatnya jari-jemari itu telah keluar lagi,
membawa serta sepasang biji mata, yang langsung
dilemparkan ke kobaran api di dekatnya. Bajuri pun
melolong. Sembari mundur-mundur menekap
matanya yang sudah kosong. Pegangannya di gagang
golok lepas, dan tubuh kerempeng Suparti pun iatuh
terhempas di tanah. la bersusah payah memiringkan
kepala ke arah saudaranya yang masih meloncat-
loncat liar di atas batu pipih.
"Kini kau... dapat melihat musuhku, Kang Parta...!"
Suparti berkata terputus-putus. "Tuntaskanlah
dendammu." Benar. Ketika Suparta menoleh, terlihatlah musuh
besarnya tengah meraung-raung sengsara. Mundur
tak beraturan. Dan sebelum tubuh Bajuri terlempar ke
jurang, cepat Suparta melesat ke udara. Tahu-tahu
saja kepala Suparta sudah menclok di atas kepala
Bajuri. Rambutnya yang panjang bergerai-gerai itu
memilin, terus membelit melingkari leher Bajuri.
Sadar oleh serangan baru itu, Bajuri berusaha
memegangi apa yang mendarat kemudian
mendekam di kepalanya. Melolonglah lagi Bajuri
setelah tahu itu adalah kepala Suparta. la berusaha
memukuli kepala itu. * Sukri sebenarnya juga tidak ingin melihat. Namun
sisa-sisa pengaruh roh gaib Suparta masih melecut-
lecut ototnya. Memaksanya untuk ikut menyaksikan.
Dan apa yang disaksikannya adalah, kepala Bajuri
terenggut lepas dari batang lehernya. Darah pun
menyebur-nyembur. Tubuh Bajuri limbung, jatuh
terhempas ke tanah. Berkelojotan sejenak, kemudian
terkapar diam. Ada pun kepalanya, seperti masih sanggup melepas
lolongan akhir. Lolong kematian. Lalu kepala Bajuri dibawa terbang oleh Suparta yang
meringkik panjang, melayang hilang di kegelapan.
Yang terdengar hanya ringkikannya, dan jerit kepuasannya.
"Mengembaralah. Bajuri.... Nikmatilah kesengsaraan...
yang selama ini kurasakan....!"
Sukri masih terpana oleh pesona menyeramkan tadi.
la mendengar perintah Suparti agar lari
menyelamatkan diri. Lambat sekali otaknya mencerna
apa yang dikatakan Suparti. Dan ketika akhirnya
otaknya mau diajak kerjasama dan menangkap apa
maksud Suparti, semua ternyata sia-sia.
Ringkik Suparta sudah mendatangi lagi dari
kegelapan! * Lalu muncullah tubuh tanpa kepala Suparta. Dari
antara dua batang pohon, meluncur ke tanah, lalu
meloncat-loncat mendekati tubuh adik perempuannya.
Entah kekuatan apa yang masih dapat membantu
perempuan tua renta itu mampu bertahan.
Atau, mungkinkah jantungnya tidak terkena, dan
masih memiliki sisa-sisa kehidupan"
"Adikku malang!" Suparta meratap tersedak-sedak.
"Mengapa... ka u lakukan perbuatan bodoh itu...?"
Suparti memaksakan senyum pada saudara laki-
lakinya, yang hanya kepala saja itu. "Aku ingin
mengubur semuanya, Kang Parta. Mengubur dendam...
kebencian... kekecewaan..."
Suparta menangis! Meratap lirih: "Mestinya kau biarkan aku... hidup
kembali.... Untuk mendampingimu lagi.... Akan
kubawakan daging menjangan muda untukmu... lalu
kakimu...." "Boleh aku memelukmu, Kang Parta?" Suparti
memohon. Sadar, ajalnya sudah mendekat.
Seketika itu juga kepala Suparta meloncat ke dada
saudara perempuannya. Rambut panjangnya bergerak
memilin, cepat namun hati-hati. Mudah sekali. Golok
itu sudah tercabut, kemudian dilemparkan jauh-jauh
oleh rambut Suparta. Kemudian, rambut itu membelai-
belai pipi adik perempuannya.
"Bertahanlah, Parti..."
"Kau tahu. Kau ingin kembali, bukan" Untukku?"
"Benar, Parti."
"Kalau itu maumu..." Suparti merangkul kepala
saudara laki-lakinya, erat dan hangat. Rangkulan yang
tidak dilepaskan lagi, tanpa Suparta mencurigai apa-
apa. "Maafkanlah aku, Kang Parta!"
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Suparti
bangkit. Tidak untuk berdiri. Melainkan untuk
melemparkan tubuhnya. Dengan kepala Suparta
terangkul erat di dada. Langsung ke arah api.
Menengkurap kuat-kuat. * Api memercik. Bersorak mistis. Meningkahi jerit kematian dari mulut Suparti: "Dari api
kembali ke api!" Suparta yang terlambat menyadari niat adik
perempuannya hanya bisa melolong-lolong dari balik
bara dan nyala api yang semakin berkobar, merah
menyerupai darah, kemudian kuning, lalu biru, merah
tua, ungu, meliuk-liuk campur aduk. Terhentak-hentak.
Disertai hentakan mayat Suparti oleh dorongan-
dorongan kepala saudara laki-lakinya yang berjuang
meraih hidup di alam nyata.
Hentakan-hentakan tubuh Suparti melemah lalu
terhenti. Tinggal lolongan Suparta yang terdengar. Bergaung
tersedak-sedak. Melompat dari satu bukit ke lain
bukit. Kemudian lenyap dalam hardikan marah guntur,
petir, dan hujan yang tumpah dari langit kelam.
Bumi menggelepar-gelepar.
Sukri terlempar. Menyeret serta Zuraida. Keduanya
sama menjerit, lalu bangkit terhuyung-huyung.
* PENUTUP HARI berikutnya, tercipta lembah baru. Tempat
terbuka itu sudah runtuh dengan dahsyat ke lembah
dibawahnya. Yang tersisa hanyalah segunduk besar
batu cadas, yang tertanam dalam dinding gunung. Tak
ada yang tersisa lagi dari hunian Suparti. Semuanya
sudah hancur. * Menjelang sore, sebuah wajah tua dan lelah muncul
di sisi salah satu ceruk batu yang luar biasa besar itu.
Disertai sapaan lembut: "Murid-muridmu menunggu
dibawah sana, Bu Ida...."
Mereka kehilangan tubuh dan kepala Bajuri. Namun
secara ajaib mereka temukan gundukan kerangka
Suparta, bersama dengan kepalanya yang tinggal
tengkorak mati. Masih terangkul erat dalam pelukan
jenazah Suparti. Kerangka dan jenazah dua bersaudara itu mereka
kuburkan secara layak. Sepulang dari pemakaman, Zuraida bergumam lega.
"Semuanya berakhir sudah...."
"Belum!" Zuraida maupun Sukri, suaminya, sama menoleh pada
Anggadireja. Lurah desa itu tersenyum misterius.
"Akan kukutipkan pada kalian ayat 39 surat Al Hijr
yang artinya..." Anggadireja merenung khidmat:
"Setan takkan pernah menyerah. Dia akan datang
lagi setiap saat, untuk menyesatkan manusia dari
jalan Tuhan. Dan dia pantang menyerah, kecuali
oleh orang-orang yang beriman...!"
Zuraida tersenyum pada suaminya.
Sukri hanya mampu melepas seringai.
Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecut. * Di sisi lain dari lereng gunung berhutan perawan itu,
seekor ular hijau merayap di rerumputan. Meliuk-liuk
lalu tiba-tiba berhenti. Ular hijau itu mengangkat
kepalanya, menatap ke satu arah, dengan lidah
terjulur liar keluar masuk moncongnya.
Terjepit di antara akar-akar melingkar sebatang pohon
beringin tua, tampaklah sesosok makhluk tegak kaku
di tanah gelap, lembab dan basah. l
tu adalah sebuah kepala manusla. Tanpa tubuh. Kepala Bajuri, dengan
mulut terkatup rapat, dan kelopak mata mengeriput
kaku. Sang ular berdesis. Kelopak mata Bajuri membuka pelan. Memancarkan
sinar merah. Semerah darah.... Ular hijau itu terkejut. Kemudian melesat hilang...
TAMAT _____________________________________
Maaf sebagian kata dan kalimat di Bab terakhir ini
ada beberapa yang hilang. Tapi walaupun demikian
tidak mengurangi maksud dari jalan cerita kisah ini.
Terimakasih buat semuanya. Semoga Anda semua
terhibur... Salam.. Editor teks: Careuh Bulan
Pendekar Naga Mas 4 Animorphs - Alternamorphs 1 The First Journey Thalita 4