Pencarian

Rahasia Tonggak Sangga Buana 1

Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana Bagian 1


RAHASIA TOMBAK SANGGA BUANA Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Rahasia Tombak Sangga Buana
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Alam terlihat kurang bersahabat sore ini. Langit
berwajah muram. Gumpalan-gumpalan awan hitam
pekat yang berarak, membuat Hutan Sagar yang mem-
batasi Desa Kuntup dan Desa Ledar gelap. Angin ber-
tiup cukup keras, membawa butiran es yang jatuh ber-
tebaran ke segala arah. Cuaca seketika berubah din-
gin. Samar-samar terdengar bunyi gemuruh di kejau-
han. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan deras
menyiram bumi. Glederg.... Glederg...!
Glar! Glar! Suara guntur kembali terdengar, mengiringi hu-
jan yang semakin lebat. Kilatan-kilatan lidah petir, sekejap menerangi alam.
Di tengah hujan lebat itulah tampak di kejauhan
empat orang lelaki gagah tengah menunggang kuda. Di
antara keempat lelaki gagah itu, sebuah kereta kuda
yang cukup mewah merangkak perlahan. Dua orang
kusir kereta kuda terlihat sedang mengendalikan ku-
da-kuda hitam yang nampak kelelahan.
"Heya...!"
Kedua kusir itu kembali menggebah binatang
pengangkut beban majikannya. Mereka sebenarnya ta-
hu kalau binatang-binatang itu telah lelah setelah me-
nempuh perjalanan yang cukup jauh. Perjalanan yang
kerap kali dilakukan Ki Sunara untuk menjajakan ba-
rang-barang antik perabot rumah tangga dan kain-
kain hias yang terbuat dari benang sutera, bahkan ada
yang terajut dari benang emas.
Hujan masih terus mengguyur bumi, mengguyur
kereta kuda seorang pedagang kayu. Dinding-dinding
kereta dihiasi dengan ukiran timbul yang tepiannya di-
beri warna kuning seperti emas.
Empat lelaki gagah yang mengawal kereta keliha-
tan tidak terpengaruh oleh air hujan yang seperti ter-
curah dari langit. Dengan tenang, mereka terus berge-
rak mengiringi laju kereta yang membawa sepasang
suami istri pedagang kaya. Sementara sepasang mata
mereka berkeliaran ke berbagai arah, mengawasi dae-
rah yang tengah dilaluinya.
Keempat lelaki bertubuh tinggi besar itu menge-
nakan pakaian yang cukup ketat, hingga menampak-
kan otot-ototnya yang melingkar-lingkar di badan tu-
buh tertentu. Wajah mereka yang keras bertambah
angker dengan sebaris kumis tebal.
Sementara itu, di dalam kereta kuda duduk ber-
himpitan sepasang suami istri. Sang istri yang meski
sudah berusia lima puluh satu tahun masih kelihatan
cantik. Matanya bersinar dengan kulit wajah putih.
Rambutnya yang belum ditumbuhi uban menandakan
dirinya begitu pandai memelihara tubuh. Sementara
sang Suami yang dua tahun lebih tua nampak masih
gagah. Rambutnya pun masih hitam.
Angin dingin yang menerobos masuk melalui lu-
bang-lubang kecil pada dinding kereta, membuat pe-
rempuan setengah baya itu merapatkan tubuhnya pa-
da suaminya. "Seharusnya kita tak menempuh jalan ini, Ka-
kang," ucap sang Istri sambil merangkul pundak suaminya.
"Memangnya kenapa, Sumirah?" tanya lelaki
berwajah kelimis sambil memandang istrinya.
"Entahlah, Kakang. Tiba-tiba perasaanku tak
enak," jawab Sumirah dengan kecemasan yang tak
mampu disembunyikan.
"Kau hanya terlalu letih."
"Mungkin kau betul, Kakang Sunara," timpal
Sumirah. "Kalau begitu, sebaiknya kau tidur saja. Aku ya-
kin tak ada gangguan dalam perjalanan pulang ini,
meski kita mengambil jalan pintas yang jarang dilalui
kereta pedagang," hibur Ki Sunara sambil merebahkan tubuh Sumirah di
pangkuannya. Ki Sunara melepas
tatapan matanya lurus ke depan. Tidak dipungkiri ka-
lau dirinya juga merasa gelisah seperti yang dirasakan Sumirah. Apakah rasa
gelisah ini timbul karena terlalu letih" Tanya hati Ki Sunara. Atau jangan-
jangan.... "Berhenti!"
Belum lagi pertanyaan itu terjawab, sebuah ben-
takan yang cukup keras terdengar dari arah depan,
seperti menghadang laju kereta. Bentakan keras itu
membangunkan Sumirah dari tidurnya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Sumirah cemas. Fira-satnya mengatakan kalau akan
terjadi sesuatu terha-
dap mereka. "Entahlah. Sumirah. Aku akan keluar untuk me-
lihatnya," Jawab Ki Sunara sambil hendak membuka
pintu kereta. "Sebaiknya kau jangan keluar dulu, Kakang. Jika
terjadi sesuatu, Santana dan kawan-kawannya pasti
akan mengatasi," tahan Sumirah.
Ki Sunara tak membantah keinginan istrinya.
Sementara di luar kereta tampak Santana dan ketiga
rekannya telah berlompatan dari kuda, menentang li-
ma lelaki berwajah angker yang menghadang perjala-
nan mereka. "Mengapa kisanak sekalian menghentikan perja-
lanan kami" Apakah Kisanak semua mempunyai ke-
perluan dengan kami?" tanya Santana dengan suara
berat. "Kucing gudik! Kami berlima bukan saja punya keperluan dengan kalian,
tapi juga tuntutan!" bentak
lelaki tinggi besar berwajah hitam legam sambil memi-
lin-milin kumisnya yang melintang. Di telinga kirinya
tersemat anting-anting berbentuk gembok.
"Tuntutan" Ah. Aku tak mengerti maksud Kisa-
nak," kilah Santana betul-betul tak mengerti.
"Kucing gudik! Kalian memang bodoh. Tak tahu-
kah kalau kau telah memasuki wilayah kekuasaan
orang lain"!" bentak lelaki berwajah pucat. "Kakang Jilunta, kita musnahkan saja
orang-orang bodoh itu!"
"Sabar Adi Gibara," tahan lelaki berwajah hitam yang ternyata bernama Jilunta.
Gibara tak berani menyangkal ucapan Jilunta.
Lelaki berwajah pucat itu kembali membenamkan sen-
jatanya yang sudah keluar sebagian.
"Aku masih memberi kesempatan pada kalian
untuk menghirup udara esok pagi, Kucing Gudik.
Dengan satu syarat yang harus kalian penuhi. Ting-
galkan kereta kuda itu. Setelah itu, kalian bisa pergi dengan selamat," ucap
Jilunta. "Apa tidak ada tawaran lain, Jilunta?" tanya Santana tenang.
"Kalian tinggal pilih harta atau nyawa," balik Jilunta, sambil meraba hulu golok
"Bagaimana kalau aku pilih nyawa. Jilunta?"
"Kurang ajar!" maki Gibara keras. Senjatanya kini telah lolos dari tempatnya.
"Biar kurobek mulut kucing gudik itu, Kakang Jilunta!"
"Lakukanlah!" sahut Jilunta, menyetujui.
Gibara langsung melompat mendengar keputu-
san pemimpinnya. Wajahnya menampakkan keben-
cian. Otot-otot tubuhnya seketika menegang. Lelaki
berpakaian rompi hitam itu mengibaskan senjatanya
ke arah dada Santana.
"Hih!"
Bet! Mendapat serangan seperti itu, Santana tidak
tinggal diam. Lelaki pengawal Ki Sunara dan Sumirah
itu bergerak cepat menghindari tebasan senjata Giba-
ra. Begitu cepat gerakan Santana hingga serangan Gi-
bara luput dari sasaran. Bukan hanya itu. Lelaki ber-
pakaian merah itu memberi serangan balasan melalui
tendangan menyilang ke pelipis Gibara.
Wukkk! "Uts!"
Hampir saja pelipis Gibara tersambar tendangan
keras. Untung kepalanya cepat dirundukkan. Angin
keras dari tendangan yang dilontarkan Santana mem-
buat rambut Gibara berkibar.
"Setan!"
Tiga rekan Gibara yang menonton pertarungan
itu berteriak bersamaan. Ketiga lelaki itu terkejut menyaksikan kebolehan lawan
Gibara. Maka ketika men-
dapat izin Jilunta, mereka membantu Gibara mengha-
dapi Santana. "Kucincang tubuhmu, Keparat!" bentak lelaki kurus yang baru turun ke arena
pertempuran. Lelaki ku-
rus bernama Dalatu itu langsung mengibaskan senja-
tanya ke leher Santana. Angin berciutan mengiringi ti-
banya sambaran senjata Dalatu.
"Awas, Kakang Santana!" teriak Wadika mempe-
ringatkan. Tubuh pengawal kereta kuda itu seketika
mencelat untuk memapaki sambaran senjata Dalatu.
"Haaat..!"
Trang! Tubuh Wadika terdorong dua langkah ke bela-
kang ketika senjatanya berhasil memapaki senjata Da-
latu. Wajah Wadika menyeringai menahan linu yang
mendera tangannya. Apa yang dirasakan Wadika, juga
dialami Datatu. Tubuh lelaki kurus itu tergempur dua
langkah ke belakang. Wajahnya menyeringai karena
rasa nyeri di tangan. Kekuatan tenaga dalam Dalatu
dan Wadika rupanya seimbang.
Pada pertarungan lain, dua lelaki pengawal kere-
ta kuda berhadapan dengan dua anak buah Jilunta.
Pada awalnya kedua pengawal itu berhasil mengim-
bangi kepandaian lawan-lawannya. Namun, memasuki
jurus ketiga belas, mereka mulai terdesak. Tebasan
dan tusukan senjata lawan tak berhasil melukai tubuh
kedua pengawal itu. Hanya sodokan-sodokan tangan
kosong berkali-kali menghajar tubuh mereka.
Tapi, tak urung kekuatan mereka mengendur.
Keadaan itu dimanfaatkan anak buah Jilunta. Ketika
kesempatan itu terbuka, salah seorang anak buah Ji-
lunta menusukkan senjatanya ke perut seorang pen-
gawal. Crab! "Aaa...!"
Lengking kematian seketika terdengar menyayat
hati. Diiringi ambruknya seorang pengawal kereta ku-
da. "Aaa...!"
Kembali lengking kematian membubung ke ang-
kasa. Kali ini berasal dari mulut pengawal kereta kuda yang lain.
Di dalam kereta kuda, Ki Sunara tercekat men-
dengar teriakan itu. Tanpa meminta ijin Sumirah, lela-
ki berpakaian biru itu membuka pintu kereta dan me-
nyaksikan pertarungan yang telah memakan korban
dua anak buahnya.
"Kurang ajar!" geram Ki Sunara.
Saudagar kaya dari Desa Lebak Mera itu bermak-
sud meramaikan pertarungan Santana dan Wadika,
yang tengah menghadapi empat anak buah Jilunta. Ki
Sunara ingin menunjukkan kalau dirinya memiliki ke-
pandaian ilmu silat, yang didapatnya dari Ki Karmada-
na si Iblis Tombak Merah yang setelah insyaf lalu men-
gasingkan diri. Namun, gerakan Jilunta menghadang-
nya. "Kau harus berhadapan denganku, Kisanak!" tantang Jilunta sambil menepuk
dada. "Apa yang kau inginkan, hingga berani mengha-
dang perjalananku?" tanya Ki Sunara keras.
"Mulanya, harta. Tapi, anak buahmu mengingin-
kan nyawanya diserahkan padaku. Mungkin kau juga,
Kisanak!" ucap Jilunta tak kalah keras.
"Kau harus menebus kematian anak buahku,
Kadal Ireng!" sentak Ki Sunara tak kalah gertak.
"Heh"! Punya nyali juga kau!"
"Hiyaaa...!"
Jilunta berkelebat cepat melancarkan serangan
ke dada Ki Sunara. Angin menderu mengiringi datang-
nya tendangan lurus yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Menyaksikan serangan itu, Ki Sunara se-
gera bertindak tidak kalah cepatnya. Dengan lincah, lelaki berpakaian biru itu
mengelakkan serangan Jilun-
ta. "Hip!"
"Uts!"
"Hih...!"
Ki Sunara memiringkan tubuh, hingga tendangan
lurus Jilunta membentur tempat kosong. Bersamaan
dengan itu, sodokan sikut Ki Sunara mengarah ke leh-
er Jilunta. Plak! "Aaa...!"
Ki Sunara memekik tertahan. Sodokan sikutnya
berhasil dipapaki tangan Jilunta dengan cepat dan
kuat. Tubuh lelaki berpakaian biru itu terdorong mun-
dur dua langkah. Jilunta pun merasakan hal yang sa-
ma. Tapak kaki lelaki berwajah hitam dengan kumis


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintang itu terlihat mundur tiga langkah.
"Hih!"
Srat! Jilunta segera meloloskan senjatanya. Lelaki ber-
tubuh kekar itu tak ingin bermain-main dengan Ki Su-
nara yang telah diketahui kemampuannya. Jilunta in-
gin segera menyudahi pertarungan itu. Sunara pun te-
lah menghunus senjata.
Srat! Kedua lelaki itu saling bertatapan dengan tajam
dan penuh selidik. Seolah mereka sedang mengukur
kekuatan masing-masing. Tak berapa lama kemudian,
diiringi teriakan nyaring, Jilunta membuka serangan.
Tombak pendek bermata dua miliknya teracung ke
udara. "Hiyaaa...!"
"Hiaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Ki Sunara bergerak
maju dengan pedang siap menghunjam tubuh lawan.
Teriakan nyaring keluar dari mulut Ki Sunara. Angin
berciutan mengiringi tibanya kedua serangan itu.
"Hih!"
"Uts!"
Trang! Terdengar benturan dua benda keras. Percikan
bunga api keluar dari beradunya dua logam keras yang
dikerahkan dengan tenaga dalam penuh. Tubuh Ki
Sunara dan Jilunta terdorong mundur tiga langkah.
Wajah keduanya menyeringai kesakitan. Namun tanpa
mempedulikan rasa sakit, mereka kembali melancar-
kan serangan. "Hiyaaa...!"
Bet! "Uts!"
Ki Sunara lebih unggul karena senjatanya memi-
liki jangkauan yang lebih jauh. Pedangnya yang lebih
panjang dari tombak pendek bermata dua milik Jilunta
berkelebat cepat mendahului. Jilunta tentu tak ingin
kulitnya robek terbabat ujung senjata Ki Sunara. Tapi
untuk memapaki senjata lawan, Jilunta tak berani. Le-
laki berkumis tebal itu tahu kekuatan tenaga dalam Ki
Sunara cukup tinggi.
Jilunta melompat untuk menghindari sambaran
pedang Ki Sunara. Tubuh Jilunta bergerak ringan ber-
putaran dengan indahnya di udara. Ki Sunara melihat
peluang untuk menyarangkan senjatanya di tubuh Ji-
lunta. Tak ingin kehilangan kesempatan, saudagar
kaya itu berkelebat cepat mengejar tubuh Jilunta yang
berada di udara.
"Hiyaaa...!"
Trang! Ki Sunara tersentak melihat serangannya dikan-
daskan seseorang. Tubuh lelaki itu terhuyung dua
langkah ke belakang. Sedangkan orang yang memapa-
ki serangannya terdorong mundur empat langkah.
Keterkejutan Ki Sunara semakin bertambah keti-
ka mengetahui lelaki yang memotong laju serangan-
nya. Lelaki itu, bukankah lawan Santana dan Wadika"
Tanpa mempedulikannya, Sunara segera melempar
pandangan ke arah lain. Tatapan lelaki berpakaian bi-
ru itu berkeliling mencari sosok Santana dan Wadika.
"Ahhh...!"
Ki Sunara mendesah keras melihat tubuh Santa-
na dan Wadika tergeletak tak bergerak. Dari tubuh ke-
dua pengawal kepercayaannya nampak darah mengu-
cur. "Jahanam!" maki Ki Sunara geram.
Saudagar kaya itu ingin kembali menerjang la-
wan. Namun, apa yang dilihatnya membuat hatinya
sedikit gentar. Lima orang lelaki berdiri di hadapannya
dengan senjata terhunus. Saat itulah, tiba-tiba Sumi-
rah keluar dari dalam kereta dan menghambur ke arah
suaminya. Semakin bertambah kekacauan hati Ki Su-
nara. Lelaki itu mengkhawatirkan keselamatan Sumi-
rah yang tidak mengerti ilmu silat.
"Ha ha ha...! Walau kau dapat menyelamatkan
diri, tapi bukan jaminan dapat menyelamatkan tubuh
istrimu. Ha ha ha.... Dia akan menjadi santapan kami,
Sunara!" ucap Jilunta keras.
Ki Sunara menatap tajam wajah Jilunta. Disadari
kalau dirinya tak akan mampu menghadapi Jilunta
yang kini dibantu empat anak buahnya. Apalagi, den-
gan keberadaan Sumirah di sampingnya yang hanya
akan membuat pikirannya terpecah. Bukan mustahil
dalam beberapa gebrakan saja dirinya akan dapat di-
tundukkan. Namun, tak ada pilihan lain baginya. Ki
Sunara terpaksa melanjutkan pertarungan. Dia tak in-
gin mati percuma tanpa memberikan perlawanan.
"Kadal ireng! Kalian pikir akan mudah menyan-
tap istriku"! Aku tak gentar menghadapi kalian! Cuh...!
Tak akan pernah Sunara lari dari kenyataan yang pa-
hit bagaimanapun! Majulah kalian semua! Biar cepat
kukirim ke neraka!"
"Kakang...!" Sumirah tersentak mendengar ucapan suaminya.
"Ha ha ha.... Hebat juga keberanianmu, Sunara!
Di ujung kematian pun kau masih sempat sesumbar,"
ejek Jilunta. "Kakang Jilunta, kita habisi saja kucing gudik itu segera!" ajak Gibara tak
sabar. "Ayo, Gibara. Aku juga tak sabar," sambut Jilunta. Lelaki berwajah hitam dengan
kumis tebal melin-
tang itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk
mencincang tubuh Ki Sunara dan Sumirah. Empat
anak buah Jilunta segera bergerak cepat. Mereka lang-
sung mengepung sepasang suami istri itu.
"Kakang...!"
Sumirah gemetaran menahan rasa takut yang
amat sangat. Sungguh tak disangkanya kalau akan
menemui kematian yang mengerikan seperti ini. Tim-
bul rasa sesal di hatinya akan keengganannya berlatih
silat, seperti yang dilakukan putrinya, Nila Juwita. Ji-ka seandainya dia turut
mempelajari ilmu bela diri,
maka sedikit banyak dirinya akan mampu memberikan
perlawanan pada kelima perampok itu.
"Ha ha ha.... Inilah akibatnya berani main-main
dengan kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong.
Kau akan binasa sekarang juga, Sunara! Begitu juga
istrimu!" bentak Jilunta menakut-nakuti.
Ki Sunara merasa ngeri mendengar ucapan Jilun-
ta. Namun hatinya berusaha dikuatkan dengan men-
gangkat senjatanya tinggi-tinggi.
"Seraaang...!"
Perintah Jilunta menggema ke seluruh penjuru
angin. Empat anak buahnya segera berkelebat dengan
senjata terhunus di udara.
"Hiyaaa!"
"Heaaat!"
"Tahaaan...!"
*** 2 Keempat lelaki yang ingin mencincang tubuh Ki
Sunara dan Sumirah langsung menghentikan gera-
kannya. Tubuh mereka terlonjak mundur satu lang-
kah. Jilunta terkejut mendengar bentakan yang cukup
keras itu. Telinganya berdengung hebat oleh getaran
suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi. Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan
nampak berdiri di samping Ki Sunara. Sosok pemuda
berwajah tampan seperti putra mahkota itu berdiri
dengan tenang. Menampakkan kegagahannya yang
sempurna, namun tak berkesan sombong.
"Lancang sekali kau mencampuri urusan orang
lain, Kunyuk Kecil!" maki Jilunta geram. Sorot matanya mencorong tajam, terarah
ke wajah pemuda ber-
pakaian kuning keemasan itu.
"Ah. Aku mohon maaf jika Kisanak sekalian tidak
berkenan dengan apa yang kulakukan," ucap pemuda
berwajah tampan yang tak lain Jaka Sembada alias
Raja Petir. "Ucapan maafmu merupakan penghinaan bagi
kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong! Kau harus
membayar penghinaan itu dengan nyawa!" hardik Ji-
lunta. "Kisanak merasa terhina" Duh, aku jadi tak enak. Sekali lagi aku mohon
maaf." kilah Jaka dengan wajah tak berdosa.
Ki Sunara dan Sumirah yang menyaksikan ting-
kah lelaki muda di sebelahnya menjadi sedikit bin-
gung. Pemuda itu sepertinya seorang pemberani. Na-
mun, ucapan maafnya yang berkali-kali lebih menun-
jukkan kalau dirinya gentar menghadapi lima lelaki
yang mengaku kaki tangan Dua Buaya Sungai Tengga-
rong. "Kurang ajar! Kau telah mempermainkan kami!
Kupenggal kepalamu, Kunyuk!" bentak Jilunta geram.
"Biar aku yang menghadapinya, Kakang," pinta Gibara.
Jilunta menatap wajah Gibara sekilas.
"Lakukan, Gibara. Dan kau, Dalatu. Bantu Giba-
ra!" "Baik, Kakang Jilunta," ucap Dalatu.
Gibara dan Dalatu mengayunkan langkah tegap
ke arah Jaka Sembada. Pemuda berpakaian kuning
keemasan yang berjuluk Raja Petir itu memamerkan
ketenangannya di hadapan Gibara dan Dalatu yang
sudah menghunus senjata.
"Sebenarnya aku tak menginginkan pertarungan
ini, Kisanak," ucap Jaka mencoba menahan langkah
Gibara dan Dalatu. Ucapan Jaka berhasil menghenti-
kan langkah mereka. Namun, ucapan itu membuat
mata keduanya membelalak geram.
"Keparat! Kau menganggap kami terlalu remeh,
Anak Muda!" sentak Gibara sewot
"Aku tidak menganggap remeh kalian. Aku hanya
merasa tak punya urusan dengan kalian dan tak ingin
memperpanjang persoalan ini," kilah Jaka.
"Setan!"
Habis sudah kesabaran Gibara mendengar perka-
taan Jaka. Lelaki berpakaian rompi hitam itu men-
gayunkan senjatanya ke arah Raja Petir. Angin mende-
ru mengiringi kedatangan senjatanya.
"Hyaaa...!"
Bet! Bet! Jaka berkelit ringan tanpa menggeser kedudukan
kakinya. Serangan Gibara lolos beberapa jengkal dari
dada pemuda itu. Untuk menakut-nakuti Gibara agar
tak terlalu dekat dengannya, dengan kasar Jaka me-
nyodokkan tangannya ke ulu hati Gibara.
Sut! "Ikh"!"
"Uts!"
Gibara terpaksa menghentakkan kakinya untuk
menghindari sodokan tangan Jaka. Tubuh lelaki terba-
lut pakaian rompi hitam itu melejit lalu berputaran
dua kali dan mendarat dengan ringan satu batang
tombak di hadapan Jaka.
"Ayo kita cincang bersama-sama tubuh anak
muda itu!" ajak Gibara lantang.
"Ayo!"
"Ayo kita lumat tubuh lelaki sombong itu!" sahut yang lain.
Tiga rekan Gibara yang memang sudah menghu-
nus senjata, segera menyambut ajakan itu. Mereka se-
ketika merangsek maju. Senjata-senjata yang sudah
teracung di udara, siap dihunjamkan ke tubuh Jaka.
Raja Petir yang sudah dapat mengukur kekuatan
tenaga dalam lawan, tetap tegak tak bergerak. Ia hen-
dak menentang tebasan senjata mereka hanya dengan
mengerahkan sedikit kekuatan tenaga dalamnya. Apa
yang dilakukan Raja Petir membuat Ki Sunara dan
Sumirah terkejut bukan kepalang. Suami istri itu me-
rasa pemuda yang menolongnya terlalu sembrono jika
bersikap seperti itu.
"Awas, Anak Muda," ucap Ki Sunara memperin-
gatkan. Jaka menjawab peringatan Ki Sunara dengan se-
nyumnya. "Hiyaaa...!"
Trak! Trak...! Tubuh empat lelaki yang mendaratkan senja-
tanya ke bagian tubuh Raja Petir langsung berpenta-
lan. Jerit kesakitan mengawali ambruknya tubuh-
tubuh anak buah Jilunta itu.
Jilunta terkejut menyaksikan kenyataan itu.
Sungguh tak dapat dipercaya kekuatan yang dimiliki
anak muda berpakaian kuning keemasan itu. Jilunta
tahu kalau Gibara, Dalatu, dan dua anak buahnya
yang lain telah mengerahkan tenaga dalam sepenuh-
nya untuk melumat tubuh Jaka. Namun kenyataan-
nya" Empat anak buahnya tak berdaya menghadapi
pemuda itu. Ki Sunara dan Sumirah pun terkejut. Ke-
duanya tak menyangka kalau pemuda berpakaian
kuning keemasan itu memiliki kekebalan tubuh yang
luar biasa. "Sudah kubilang, aku tak suka bertarung dengan
kalian," ucap Jaka mantap. "Sudahi saja persoalan ini sampai di sini. Aku akan
membiarkan kalian pergi
tanpa ku usik."
"Jangan sombong, Kunyuk! Kau belum mengha-
dapiku!" bentak Jilunta kasar.
"Kalau aku dapat mempecundangimu?" goda Ja-
ka. "Kunyuk sombong!" maki Jilunta.
"Katakan, apa yang akan kau lakukan kalau aku
dapat menaklukkanmu?" tekan Jaka mantap.
"Aku akan mundur dan melaporkan semua ini
pada junjunganku. Dua Buaya Sungai Tenggarong."


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu?"
"Ya."
Jilunta segera mengambil ancang-ancang mulai
menyerang. Kaki kanannya bergerak satu langkah ke
depan dengan pedang terhunus di depan pinggang.
Sementara matanya membara menatap wajah pemuda
di hadapannya. "Kau harus mampus di tanganku, Kunyuk!
Heaaa...!"
Raja Petir yang ingin segera menyudahi pertaru-
ngan segera menyajikan ilmu andalannya. Sebuah il-
mu yang bukan dikeluarkan untuk menyerang Jilunta.
Aji 'Bayang-Bayang' digunakan Jaka untuk menghin-
dar sekaligus menguras tenaga dalam Jilunta.
Pada saat tubuh Jilunta masih berada di udara,
tubuh Raja Petir sudah bertambah jumlahnya. Lima
sosok lelaki berpakaian kuning keemasan tertangkap
penglihatan Jilunta.
Lelaki berwajah hitam dengan kumis melintang
itu sejenak ragu untuk menyerang. Jilunta tidak tahu
harus menyerang tubuh Jaka yang mana. Lima sosok
tubuh berpakaian kuning keemasan itu tampak berge-
rak-gerak ke sana kemari.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Tanpa pikir panjang, Jilunta langsung mene-
baskan senjatanya pada salah satu sosok Raja Petir.
Namun betapa murka hatinya melihat sambaran tom-
bak pendek bermata dua, yang selama ini menjadi sen-
jata andalannya hanya membentur bayangan kosong
saja. "Haaat..!"
Wut! Wut! "Hiaaa...!"
Rasa penasaran membuat Jilunta terus menu-
suk, membabat, dan menetakkan senjatanya bagai
seekor banteng luka. Namun serangan Jilunta yang
disertai pengerahan tenaga dalam hanya membentur
sosok kosong tubuh Jaka.
"Hhh... hhh... hhh...!
Jilunta akhirnya menghentikan serangan. Tu-
buhnya terasa sangat lelah. Keringat membasahi seku-
jur tubuhnya. "Kau..., hhh.... Kau memang hebat, Anak Mu-
da...," ucap Jilunta terbata. "Tapi kau akan mampus di tangan Dua Buaya Sungai
Tenggarong. Aku akan melaporkan kejadian ini."
"Hm...," Jaka hanya bergumam mendengar uca-
pan Jilunta. "Sebutkan namamu, Anak Muda. Biar aku gam-
pang mencarimu?" pinta Jilunta dengan geram. "Aku
ingin tahu, apakah kau berani menghadapi junjungan-
ku!" "Namaku Jaka. Ku ingatkan, agar kalian jangan salah mencari nanti. Banyak
lelaki bernama Jaka di
atas jagat ini."
"Jaka...?" ulang Jilunta perlahan.
Demikian pula dengan Ki Sunara. Malah lelaki
berpakaian biru itu menghubungkan nama Jaka den-
gan Sembada. Apakah pemuda ini bernama Jaka Sem-
bada" Tanya hati Ki Sunara. Dia yang berjuluk Raja
Petir" Pantas....
"Katakan pada junjunganmu. Aku tak pernah
mencari urusan dengannya, apalagi menantangnya.
Akan tetapi, kalau Dua Buaya Sungai Tenggarong in-
gin mencariku, aku tidak akan menghindar," ujar Jaka kalem.
"Tunggu saja saatnya, Jaka! Tubuhmu akan me-
nyatu dengan tanah."
"Kau betul!" timpal Jaka. "Kalau ajal sudah datang, tubuhku memang akan menyatu
dengan tanah. Namun jika belum, jangan harap hal itu akan terjadi"
"Phuih...!"
Jilunta meludah ke tanah dengan kasar. Seben-
tar tatapan matanya tertuju ke arah Jaka dan Ki Su-
nara bergantian. Kemudian beralih pada anak buah-
nya yang sudah bangkit.
"Ayo!" ajak Jilunta sambil menghentakkan ka-
kinya kuat-kuat ke tanah.
Tubuh Jilunta melesat cepat. Gerakan lelaki ber-
pakaian rompi hitam itu cukup ringan. Menandakan
ilmu meringankan tubuhnya tidak rendah. Empat
anak buah Jilunta pun segera menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Tanpa menoleh lebih dulu ke arah Raja Pe-
tir dan Ki Sunara yang membiarkan mereka pergi.
"Hhh...."
Ki Sunara menarik napas lega setelah kelima le-
laki itu lenyap dari hadapannya. Begitu pula Sumirah.
Istri Ki Sunara itu merayapi wajah Jaka dengan rasa
terima kasih yang begitu banyak. Sumirah tak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi jika Jaka tidak
segera datang. "Terima kasih, Nak Jaka. Terima kasih sekali.
Tanpa kehadiranmu...."
"Aku hanya kebetulan lewat, Nyai," potong Jaka sopan. Saat itu Jaka memang
hendak kembali ke pen-ginapan untuk menemui Mayang Sutera.
Sumirah tersenyum mendengar ucapan pemuda
tampan itu. "Lalu, sekarang kau hendak ke mana?" tanya Ki Sunara.
"Aku pengembara, Ki. Kolong langit inilah ru-
mahku," polos ucapan Jaka.
"Hhh...!" Ki Sunara menarik napas mendengar
jawaban Jaka. Hingga Raja Petir heran.
"Ada apa, Ki?" selidik Jaka.
"Kalau kau tak berkeberatan, aku ingin kau men-
gunjungi kediamanku," pinta Ki Sunara.
"Ya. Nyai akan senang kalau Nak Jaka sudi men-
gunjungi kediaman kami," tambah Sumirah dengan
senyum terkembang cerah.
Jaka tidak segera menyetujui ajakan Ki Sunara
dan Sumirah. Tatapan pemuda yang berjuluk Raja Pe-
tir itu sekilas memandangi mayat-mayat yang berge-
limpangan. "Sebaiknya kita urus mayat-mayat itu, Ki," tukas Jaka. "Ah!" Ki Sunara tersedak
mendengar ucapan Ja-ka. "Aku hampir lupa mengurus mereka, Jaka. Kalau begitu,
kita kuburkan di daerah sini saja."
Jaka segera mengurus pemakaman mayat-mayat
pengawal Ki Sunara. Tak berapa lama kemudian,
mayat-mayat itu sudah terkubur semua.
"Ayo kita berangkat sekarang, Jaka," ajak Ki Sunara. Jaka mengikuti langkah Ki
Sunara dan Sumirah
yang berjalan menuju kereta kuda. Angin malam ber-
hembus kencang mengiringi derak suara kereta kuda
yang ditumpangi Jaka, Ki Sunara dan istrinya.
*** 3 "Ah, Ayah! Bukankah sudah berjanji akan pulang
pagi tadi" Mengapa sampai malam begini?" sambut gadis cantik berpakaian merah
muda. Gerak-gerik gadis yang berusia dua puluh tahun
itu terlihat sangat manja.
Ki Sunara tersenyum sambil menatap tubuh se-
mampai putrinya yang berkulit putih. Wajahnya yang
lonjong sangat serasi dengan hidungnya yang man-
cung. Apalagi, dengan bola mata membulat yang di-
tumbuhi bulu mata lentik. Menambah lengkap kecan-
tikan anak tunggal Ki Sunara itu.
"Aku sangat mengkhawatirkan Ayah dan Ibu,"
lanjut gadis itu lagi sambil menggelayuti lengan Ki Sunara. Menyaksikan semua
itu, Jaka hanya tersenyum.
"Kekhawatiranmu hampir terjadi, Nila," sambut Sumirah.
"Maksud Ibu?" tanya gadis bernama Nila itu
sambil membelalakkan mata.
Sumirah mengalihkan tatapannya pada Ki Suna-
ra. Seolah meminta pertimbangan suaminya, apakah
akan menceritakan kejadian yang telah mereka alami.
"Ah, Nak Jaka! Perkenalkan, ini Nila Juwita.
Anakku satu-satunya," ucap Ki Sunara mengalihkan
tatapan mata Sumirah.
"Iya. Hampir lupa kita mengenalkan Nak Jaka
dengan anak kita," tukas Sumirah malu-malu.
Jaka segera mengulurkan tangan untuk berkena-
lan dengan Nila Juwita. Selesai muda-mudi itu berke-
nalan, mata Sumirah kembali menatap wajah Ki Suna-
ra. Terlebih ketika Nila menanyakan ucapan
'kekhawatiran yang nyaris terjadi' yang barusan di-
ucapkan. Ketika kepala Ki Sunara terangguk, maka
mengalirlah cerita kejadian yang baru saja mereka
alami. "Begitulah, Nila. Tanpa kehadiran Nak Jaka,
mungkin Ibu dan Ayah sudah menjadi bangkai di tan-
gan lima lelaki yang mengaku kaki tangan Dua Buaya
Sungai Tenggarong. Seperti nasib Santana, Wadika
dan yang lainnya," tukas Sumirah mengakhiri ceri-
tanya. "Jadi, Kakang Wadika dan...."
"Mereka sudah dimakamkan di tempat kejadian
itu setelah Nak Jaka berhasil mengusir kelima peram-
pok itu," potong Sumirah.
Mata Nila Juwita kembali menatap wajah tampan
Jaka Sembada. "Kau hebat, Kakang Jaka," ucap Nila Juwita perlahan.
Jaka mendengar pujian gadis putri Ki Sunara be-
gitu tulus. Namun, tak urung membuatnya jadi serba
salah. "Aku tak akan sehebat itu jika yang kulakukan tidak mendapat restu Sang
Pencipta Jagat Raya ini,"
kilah Jaka menenteramkan hatinya.
"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Nila. Juga
kau, Nyai. Biar aku yang menemani Jaka malam ini,"
ucap Ki Sunara.
Sumirah dan Nila saling berpandangan sesaat.
Kemudian keduanya bangkit meninggalkan Ki Sunara
dan Jaka. Ketika tubuh Sumirah dan Nila menghilang
di balik pintu, mata Ki Sunara langsung tertuju ke wa-
jah tampan pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Apakah nama panjangmu Jaka Sembada?" tanya
Ki Sunara pelan, hampir mirip bisikan.
Jaka membalas tatapan Ki Sunara. Lelaki berusia
lima puluh tahun itu memang sejak tadi memendam
pertanyaan itu. Tepatnya sejak Jaka memperkenalkan
namanya pada kaki tangan Dua Buaya Sungai Tengga-
rong. "Betul, Ki," jawab Jaka.
"Ah!" Ki Sunara tersentak "Maafkan kalau sam-butan kami hanya seperti ini."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Tidak, Raja Petir. Aku hanya merasa tak enak,
menyambut lelaki yang punya nama besar sepertimu
dengan cara seperti ini," kilah Ki Sunara. Jaka tersenyum mendengar ucapan Ki
Sunara. "Apa bedanya
aku dengan tamu-tamumu yang lain, Ki?"
Ki Sunara tak menjawab pertanyaan Jaka. Lelaki
berpakaian biru itu begitu mengagumi keluhuran budi
Raja Petir. Tak salah kalau orang-orang kalangan per-
silatan, bahkan penduduk biasa membicarakan kehe-
batan dan keluhuran pekertinya.
"Sebaiknya kau beristirahat, Jaka. besok pagi ki-
ta lanjutkan pembicaraan ini. Kurasa Nila akan senang
mendapat teman sepertimu," tukas Ki Sunara menga-
lihkan pembicaraan.
"Bagaimana baiknya saja, Ki," ucap Jaka membe-ri tanggapan.
Ki Sunara sekilas mengembangkan senyum, se-
raya bangkit dari duduknya.
"Mari kuantar ke kamarmu, Jaka," ajak Ki Suna-ra. Tanpa diperintah dua kali,
Jaka segera mengekor
di belakang Ki Sunara.
*** Pagi nampak begitu indah. Hembusan angin se-
milir membelai kulit muka. Burung-burung kecil ber-
nyanyi dan melompat dari ranting satu ke ranting yang
lain. Jaka nampak menikmati suasana pagi yang begi-
tu indah ini. Di sampingnya duduk seorang gadis yang
tak lain Nila Juwita.
"Nila pernah mendengar beberapa kali nama dan
julukan Kakang disebut-sebut orang," ucap Nila Juwita memecah keheningan pagi.
"Pantas Kakang dapat dengan mudah menguar kaki tangan Dua Buaya Sungai
Tenggarong."
Dalam hati Nila, terpintas rasa suka dengan pe-
nampilan dan kepribadian pemuda berpakaian kuning
keemasan itu. Namun untuk menanamkan bibit cinta
pada diri pemuda yang telah menyelamatkan nyawa
kedua orangtuanya, Nila harus berpikir seribu kali. Dia tak ingin membuat hati
kekasihnya yang bernama Sirgaloka terluka.
"Orang-orang itu terlalu berlebihan menilai diri-
ku, Nila," sangkal Jaka lunak.
"Kurasa tidak, Kakang Jaka," bantah Nila.
"Kau telah menunjukkannya pada kami."
"Kakang rasa, apa yang telah Kakang tunjukkan
adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja," sangkal Jaka, seraya menatap wajah
Nila lekat-lekat
Nila baru hendak membalas bantahan Jaka keti-
ka tiba-tiba matanya menangkap kelebatan sosok ber-
pakaian hijau. Gadis itu sangat terkejut melihat sosok lelaki berpakaian hijau
yang kini berdiri tegak di hadapannya. Mata Nila terbelalak, merayapi sekujur
tubuh lelaki itu. "Dinan Jayu...!" ucap Nila perlahan.
Namun ucapan Nila yang pelan sempat tertang-
kap pendengaran Jaka dan lelaki berpakaian hijau
yang berdiri angkuh.
"Nila...!"
Lelaki berpakaian hijau yang bernama Dinan
Jayu menatap wajah Nila tak berkedip.
"Apa kabar, Nila?" tanya Dinan Jayu seraya melangkah perlahan mendekati Nila.
"Baik," jawab Nila.
Dinan Jayu mengalihkan pandangan matanya ke


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah Jaka. Sebuah pandangan menyelidik yang begitu
sarat dengan kecurigaan. Hati Dinan Jayu berdebar
keras ketika tatapannya tepat menusuk bola mata Ja-
ka yang bersinar cerah.
"Ah. Perkenalkan, dia Kakang Jaka," ucap Nila memecahkan kekakuan.
Jaka segera mengulurkan tangan ketika na-
manya disebut Nila. Namun Dinan Jayu tak segera
membalas uluran tangan Jaka. Mata Dinan Jayu tetap
menatap wajah Jaka.
"Namaku Jaka," ucap Jaka. "Keberadaanku di si-ni semata ada urusan dengan Ki
Sunara." "Aku Dinan Jayu," balas Dinan Jayu agak ketus.
"Nila kekasihku...."
Lelaki berpakaian hijau itu lalu berdiri dengan
angkuh. Wajahnya berahang kuat dan berkulit bersih,
begitu sesuai dengan keangkuhannya. Apalagi tatapan
matanya setajam mata elang. Sementara rambut hi-
tamnya terurus rapi, amat bertolak belakang dengan
keangkuhannya. Mendengar ucapan Dinan Jayu, Nila menjadi ri-
sih. Raut wajahnya langsung bersemu merah. Begitu
juga saat Dinan Jayu hendak merengkuhnya. Nila in-
gin menghindar, namun pemuda itu segera menahan-
nya. "Sudah lama kalian berhubungan?" tanya Jaka.
Nila langsung memelototi wajah Jaka ketika per-
tanyaan itu meluncur polos"
"Tiga tahun lebih," jawab Dinan Jaya
"Ooo...."
Jaka hanya membulatkan bibirnya mendengar
jawaban Dinan Jayu. Tapi, dia menemukan keganjilan
dalam sikap Nila. Teka-teki apa yang menyemaraki ke-
hidupan mereka" pikir Jaka. Kemudian, pemuda ber-
pakaian kuning keemasan itu segera beranjak ketika
Dinan Jayu mendekati Nila.
"Hendak ke mana, Kakang Jaka?" tahan Nila.
"Ah! Kalian berdua kan perlu bicara empat mata.
Aku harus tahu di...."
"Tidak, Kakang. Kakang Jaka di sini saja mene-
mani Nila," pinta Nila.
Gadis berpakaian merah muda itu hendak meng-
hampiri Jaka. Tapi, tangan Dinan Jayu telah lebih du-
lu mencegahnya.
"Biarkan dia pergi, Nila," ucap Dinan Jayu tak senang.
"Biarkan juga aku bersamanya, Kakang Dinan!"
ucap Nila keras.
Dinan Jayu menautkan sepasang alisnya, men-
dengar ucapan Nila Juwita.
"Kau tidak rindu padaku, Nila?" tanya Dinan
Jayu sedikit ditekan.
"Rindu?" ulang Nila dengan membelalakkan ma-
ta. "Semenjak kau menelantarkan hubungan kita, rin-du itu telah pupus, Kakang
Dinan!" "Kau bicara apa, Nila"!" bentak Dinan Jayu kasar. "Bicara kenyataan!" balas Nila
ketus. "Kau pasti telah menjalin hubungan dengan lela-
ki lain!" tuduh Dinan Jayu.
"Ada lelaki lain atau tidak, itu urusanku!" kilah Nila dengan wajah memerah.
"Katakan! Siapa lelaki itu, Nila" Apakah Jaka"!"
tanya Dinan Jayu dengan nada tinggi.
Jaka tak terkejut mendengar namanya disebut-
sebut Dinan Jayu. Pemuda itu memang sengaja beran-
jak tidak begitu jauh dari tempat Nila dan Dinan Jayu
bertengkar. Ucapan Dinan Jayu telah diperhitungkan-
nya. Sejak melihat tatapan curiga lelaki berpakaian hijau itu.
"Mau Kakang Jaka atau bukan, itu urusanku!"
bantah Nila. "Baik!" putus Dinan Jayu agak merendahkan te-kanan suaranya. "Tapi aku harus
mengetahui alasan-mu membelakangi diriku."
"Tanpa kuberi tahu pun seharusnya kau sudah
tahu. Bahkan lebih tahu," jawab Nila.
"Kau sekarang berubah, Nila!"
"Itu karena ulahmu, Kakang."
"Ulahku" Aku telah membuat ulah macam apa,
Nila?" "Sudah kukatakan, kau yang lebih tahu jawa-bannya!"
"Aku mengerti sekarang, Nila. Kau marah padaku
karena aku pergi tanpa seizinmu dan tanpa sekali pun
memberi kabar padamu, begitu kan?" papar Dinan
Jayu. Nila tak menanggapi ucapan lelaki berpakaian hi-
jau yang di belakang punggungnya tersembul gagang
senjata berkepala buaya.
"Itu kulakukan semata untuk memberimu keju-
tan, Nila. Kepergianku untuk menuntut ilmu bela diri.
Sekarang aku telah mendapatkannya. Aku ingin kita
hidup berdampingan dengan ilmu bela diri yang kumi-
liki. Bukan hanya kau yang memiliki kepandaian itu.
Aku ingin melindungimu, Nila. Bukan sebaliknya."
"Jadi selama ini Kakang berhubungan denganku,
Kakang merasa kulindungi?" tanya Nila.
"Setidaknya aku merasa begitu. Nila. Aku tak
pandai ilmu bela diri," bantah Dinan Jayu. "Tapi sekarang, tokoh sakti mana pun
akan kuhadapi."
"Aku tak memerlukan kehebatanmu dalam ilmu
bela diri, Kakang. Yang kuperlukan adalah perhatian-
mu. Namun kenyataannya" Kau telah menelantarkan-
nya. Kau terlampau berani menyepelekan. Hingga kau
pergi tanpa sepengetahuanku, tanpa kabar berita. Itu
cukup membuatku tersiksa."
"Maafkan aku, Nila," ucap Dinan Jayu pelan.
"Tanpa kau minta pun aku telah memaafkanmu,
Kakang. Tapi untuk melanjutkan hubungan kita yang
sudah hampir lima belas purnama terputus, kurasa itu
hal yang mustahil," jelas Nila tanpa sedikit pun menatap wajah Dinan Jayu.
"Itu cuma alasanmu saja, Nila! Kau pasti telah
memiliki laki-laki lain selama pengembaraanku!" ujar Dinan Jayu keras.
"Sudah kukatakan itu bukan urusanmu!" kilah
Nila. "Tapi aku harus tahu lelaki itu!" bentak Dinan Jayu. Jaka terkesiap
mendengar bentakan Dinan Jayu.
"Apa kau ingin membuat perhitungan dengan-
nya?" tanya Nila dengan tatapan geram.
"Setidaknya begitu, Nila. Lelaki itu telah melukai hatiku, menghancurkan
impianku, menghancurkan...."
"Ucapanmu itu tak pantas, Kakang Dinan. Siapa
pun lelaki yang menjadi kekasihku, dia tak pantas dis-
alahkan. Dia mencintaiku karena aku mencintainya.
Kalau Kakang ingin membuat perhitungan, akulah
orang yang tepat untuk itu!" tantang Nila. "Heh"!"
Mata Dinan Jayu terbelalak mendengar perka-
taan gadis cantik berpakaian merah muda itu.
"Apa kau pikir kepandaianmu dalam ilmu silat
akan selamanya berada di atasku, Nona Manis" Jan-
ganlah kau sombong seperti itu! Dinan Jayu yang be-
rada di hadapanmu sekarang, bukanlah Dinan Jayu
yang dulu mengkeret jika kau meraba hulu pedang.
Dinan Jayu sekarang adalah Dinan Jayu yang mampu
membinasakan seribu laki-laki macam dia." ujar Dinan Jayu dengan jari telunjuk
menuding ke arah Jaka.
Nila sangat terkejut melihat Dinan Jayu menga-
rahkan telunjuknya ke wajah Jaka yang berdiri di ke-
jauhan. Mata gadis cantik itu menampakkan kegera-
man yang luar biasa. Nila ingin marah, namun urung
ketika dari kejauhan dilihatnya senyum Jaka.
"Kalau kau memang mampu melakukannya, Ka-
kang. Sekarang tunjukkan padaku," tantang Nila.
Mendengar ucapan Nila, Jaka sempat tersentak.
Pemuda itu khawatir kalau Dinan Jayu akan meneri-
ma tantangan itu.
"Cintaku memang akan kupertaruhkan d ujung
pedang ini, Nila! Tetapi bukan terhadap perempuan
sepertimu! Ujung pedangku hanya kuperuntukkan ba-
gi lelaki yang berani mencintaimu! Katakan, siapa laki-laki itu. Akan ku tantang
dia secara jantan!" tegas dan lantang ucapan yang keluar dari mulut Dinan Jayu.
"Maaf, Dinan Jayu! Akulah lelaki yang telah be-
rani mencintai Nila Juwita!" terdengar sebuah suara cukup tegas.
Dinan Jayu tersentak. Dan cepat menoleh ke
arah Jaka. Dinan Jayu menduga yang barusan berbi-
cara adalah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Namun kenyataannya....
Tak jauh dari tempat Jaka berdiri, nampak seo-
rang lelaki berpakaian putih bertubuh tegap. Wajahnya
yang berahang kuat, dihiasi sebaris kumis tipis. Dinan Jayu terbelalak menatap
lelaki tampan yang telah dikenalnya.
"Sirgaloka?" ucap Dinan Jayu bergetar,
"Ya. Aku Sirgaloka, murid utama Perguruan Tera-
tai Perak. Bertahun-tahun aku menimba Ilmu dari Ki
Ajeng Guya, bukan untuk menjadi seorang pengecut
dengan membiarkan gadis yang dicintainya diperlaku-
kan semena-mena," sanggah lelaki berpakaian putih yang mengaku dari Perguruan
Teratai Perak "Hmhrrr...!"
*** 4 Dinan Jayu menatap wajah Sirgaloka dengan ge-
ram. Walaupun lelaki berpakaian putih itu murid Ki
Ajeng Guya yang mengetuai Perguruan Teratai Perak,
namun Dinan Jayu tidak gentar sedikit pun. Apalagi,
lelaki itu telah berani mencintai Nila Juwita.
"Sirgaloka...! Sungguh tak kusangka kau juga
menginginkan Nila. Rupanya, kau sengaja menarik Ni-
la menjadi murid Perguruan Teratai Perak. Kau dan Ki
Ajeng Guya berdalih memberikan ilmu-ilmu. Namun,
semua itu hanya kedok belaka. Ki Ajeng Guya hanya
ingin menjodohkanmu dengan Nila. Atau bahkan
mungkin kau yang merengek minta dijodohkan..." tuduh Dinan Jayu dengan sorot
mata berapi-api.
"Tuduhanmu tidak betul, Dinan Jayu. Kami, aku
dan Nila sama-sama mencintai dengan setulus hati.
Itulah yang benar," sangkal Sirgaloka tak kalah tajam.
"Berarti kita sekarang menjadi musuh, Sirgalo-
ka!" "Aku tidak mengharapkan demikian," bantah Sirgaloka,
"Kita bersaing untuk mendapatkan Nila. Itu be-
rarti kita harus saling menjatuhkan. Aku memperta-
ruhkan cintaku di ujung pedang ini!"
Srat! Dinan Jayu meloloskan senjata yang hulunya te-
rukir kepala buaya. Pedang yang terhunus itu memen-
darkan cahaya kehijauan. Nila tercekat menyaksikan
tindakan Dinan Jayu. Pikirannya mengatakan kalau
akan terjadi pertumpahan darah di pagi ini.
Srat! "Kupertaruhkan juga cintaku di ujung pedang!"
timpal Sirgaloka seraya mencabut pedang dari wa-
rangkanya. Kali ini bukan hanya Nila yang terkejut, akan te-
tapi juga Jaka. Pemuda yang berjuluk Raja Petir itu sejenak menatap tajam dua
lelaki yang telah sama-sama
menghunus pedang.
"Jika begitu, di ujung pedanglah kita tentukan
siapa yang berhak mendapatkan Nila Juwita," putus Dinan Jayu.
"Kalau itu memang maumu, aku setuju," timpal Sirgaloka.
"Bagaimana kalau di Bukit Naga kita pertaruh-
kan cinta kita?" tawar Dinan Jayu.
"Bukit Naga..,?" gumam Jaka.
"Aku setuju!" balas Sirgaloka seraya mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi.
"Hm.... Kutunggu kau esok saat fajar datang,"
tantang Dinan Jayu.
"Aku akan datang tepat pada waktunya, Dinan
Jayu!" "Hhh! Kau akan jadi bangkai esok pagi, Sirgalo-
ka!" ucapan keras Dinan Jayu diiringi dengan bunyi masuknya ujung pedang
bergagang kepala buaya ke
dalam warangkanya.
Cring! "Lihat saja nanti, Dinan Jayu! Siapa di antara ki-ta yang unggul."
"Baik!"
"Hup!"
Begitu cepat dan ringan gerakan yang diperton-
tonkan Dinan Jayu. Hanya sekali hentak saja tubuh
yang terbalut pakaian hijau itu telah melesat beberapa tombak jauhnya.
Nila Juwita tertegun menyaksikan kemampuan
Dinan Jayu. Sungguh tak disangka kalau lelaki yang
pernah dicintainya itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Nila merasa ilmu meringankan tubuh yang di-
pamerkan Dinan Jayu barusan jauh lebih baik dari il-
mu meringankan tubuhnya. Itu berarti tantangan Di-
nan Jayu harus diperhitungkan Sirgaloka.
"Kutunggu kedatanganmu di Bukit Naga, Sirgalo-
ka!" bergema ucapan jarak jauh yang dikirim Dinan Jayu. Ucapan jarak jauh itu
semakin membuat hati Ni-la yakin akan ketinggian ilmu Dinan Jayu.
*** "Ah!"
Sirgaloka terkejut ketika Nila memperkenalkan-
nya dengan Jaka.
"Maafkan aku, Kakang Jaka. Tadi aku telah ber-
sikap kurang sopan di hadapanmu," ucap Sirgaloka
agak tersendat.
"Kau tak melakukan kesalahan apa-apa, Kakang
Sirgaloka. Kenapa harus minta maaf?" tegas Jaka.
Sirgaloka tersipu mendengar ucapan pemuda
tampan berpakaian kuning keemasan itu.
"Dan tolong panggil aku Jaka saja, Kakang Sirga-
loka," lanjut Jaka.
"Panggil juga aku Sirgaloka, tanpa tambahan ka-
kang," timpal Sirgaloka.
Jaka menyetujui permintaan Sirgaloka. Meski dia
merasa kalau pemuda itu berusia lebih tua beberapa
tahun darinya. "Aku mengkhawatirkan tantangan Kakang Dinan
Jayu, Kakang Jaka," ucap Nila dengan raut wajah
membiaskan kecemasan.
"Kau menyangsikan kemampuanku, Nila?" tanya


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sirgaloka seraya mengembangkan senyum. Pemuda itu
ingin agar kekasihnya menganggap pertanyaannya se-
bagai lelucon belaka.
"Bukan begitu, Kakang. Aku hanya melihat ilmu
yang dimiliki Kakang Dinan Jayu tidak rendah. Itu te-
lah dibuktikannya ketika pergi meninggalkan kita. Ge-
rakannya demikian cepat dan ringan. Aku sendiri me-
rasa ilmu meringankan tubuhnya berada di atas ilmu
yang kumiliki," jelas Nila.
"Itu tidak berarti ilmu lain yang dimilikinya sama baik, Nila." sangkal
Sirgaloka. "Ucapanmu betul, Sirgaloka. Namun perkataan
Nila juga tidak salah. Menurutku, ucapan Nila hanya
sebuah peringatkan untukmu. Nila menginginkan kau
tidak meremehkan Dinan Jayu dan harus selalu bersi-
kap waspada, Aku sendiri menaruh curiga padanya,"
Jaka berusaha menengahi.
"Curiga! Apa maksudmu, Kakang Jaka?" tanya
Nila tak mengerti
"Kecurigaan ku ada kaitannya dengan kejadian
yang menimpa ayahmu kemarin sore, Nila," jelas Jaka.
"Maksud Kakang dengan lima lelaki yang menga-
ku kaki tangan Dua Iblis Sungai Tenggarong?" tanya Nila. Jaka menganggukkan
kepala. Pemuda itu kagum
dengan kecerdikan putri Ki Sunara ini.
"Dua Iblis Sungai Tenggarong...?" ulang Sirgaloka pelan. Tatapannya menusuk mata
Nila. "Kakang Sirgaloka mengenal mereka?" tanya Nila.
Sirgaloka menjawab pertanyaan gadis itu dengan
gelengan kepala.
"Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-
sebut orang-orang persilatan," jawab Sirgaloka kemudian. "Kakang Jaka pernah
bertemu dengan dua buaya itu?" "Tidak, Nila."
"Lalu, di mana letak hubungan Kakang Dinan
Jayu dengan Dua Buaya Sungai Tenggarong, Jaka?"
selidik Sirgaloka.
Jaka menatap wajah Sirgaloka dan Nila bergan-
tian. "Kalau dugaanku tidak meleset, kukaitkan hubungan mereka dari pedang yang
dimiliki Dinan Jayu.
Kalian perhatikan kepala senjata Dinan Jayu?"
Nila dan Sirgaloka sating bertatapan. Keduanya
mengakui telah melihat gagang pedang Dinan Jayu
yang berukir kepala buaya. Sirgaloka dan Nila men-
ganggukkan kepala bersamaan.
"Kalian perhatikan juga pakaian di bagian dada
sebelah kiri Dinan Jayu?" tanya Jaka lagi.
Kali ini Sirgaloka dan Nila menggelengkan kepala.
"Gambar dua buaya sedang bergelut menghiasi
pakaian Dinan Jayu. Tepat di bagian dada sebelah ki-
ri," jelas Jaka.
"Jadi...?" ujar Nila sedikit ragu.
"Dinan Jayu adalah salah satu dari Dua Buaya
Sungai Tenggarong, yang belakangan ini mencemaskan
penduduk. Begitu?" selak Sirgaloka.
"Besar kemungkinan begitu," tegas Jaka.
"Kakang Dinan Jayu telah berguru pada orang
yang salah," gumam Nila. "Dia telah berguru pada seorang tokoh aliran hitam....
Ah!" Nila menarik napas dalam-dalam. Tatapan ma-
tanya tertuju lurus ke wajah Sirgaloka.
"Aku mencemaskanmu, Kakang. Aku yakin guru
Kakang Dinan Jayu akan mencampuri urusan murid-
nya," papar Nila.
Sirgaloka tak membantah ucapan kekasihnya.
Mata lelaki berpakaian sutera putih itu membalas ta-
tapan Nila yang menyiratkan kecemasan dalam.
"Kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin meng-
hadiri pertarunganmu dengan Dinan Jayu. Hanya un-
tuk menjaga kemungkinan yang ditakuti Nila. Yaaah....
Barangkali kehadiranku akan dapat membantumu,
Sirgaloka. Namun aku tak ingin kehadiranku diketahui
Dinan Jayu." pinta Jaka dengan nada merendah.
"Terima kasih, Jaka. Semua kuserahkan pada-
mu, bagaimana baiknya saja," kata Sirgaloka.
"Apakah aku boleh menyertaimu. Kakang Sirga-
loka?" tanya Nila Juwita penuh harap. Gadis cantik putri Ki Sunara itu berharap
kehadirannya dapat
memperingan beban Sirgaloka.
"Tidak, Nila. Ini urusan laki-laki. Aku tak ingin dikatakan pengecut dengan
mengajakmu serta," larang Sirgaloka.
"Memang lebih baik begitu, Nila," timpal Jaka.
"Hhh...!" Nila menarik napas dalam-dalam. Dita-
tapnya wajah Sirgaloka dan Jaka bergantian.
"Yaaah.... Aku hanya dapat berdoa untuk Kakang
berdua," ucap Nila akhirnya.
Ucapan dara manis berpakaian merah muda itu
terdengar lembut di telinga Sirgaloka. Lelaki muda itu menghampiri kekasihnya
dan digenggamnya tangan
Nila yang berkulit lembut
"Terima kasih atas doamu, Nila. Akan kuperta-
ruhkan cintaku demi kebersamaan cinta kita."
*** 5 Semburat kemerahan baru saja terlihat di langit
sebelah timur. Fajar datang dengan disambut hembu-
san angin basah. Suasana di sekitar Bukit Naga terasa
begitu dingin. Pepohonan yang tumbuh di sekitar tem-
pat itu seperti sengaja dikipaskan angin. Tanah di Bu-
kit Naga tidak rata dan lembab. Seolah ingin ikut men-
guapkan hawa dinginnya dari perut bumi.
Namun, rupanya bukan hanya angin basah yang
menyambut kedatangan fajar. Dua sosok tubuh tegap
tampak berdiri saling berhadapan. Dua sosok lelaki
yang tak lain Sirgaloka dan Dinan Jayu. Mereka sating
bertukar pandang. seolah sedang mengukur kekuatan
lawan. "Hm.... Tak kusangka kau bernyali besar, Sirga-
loka!" ejek Dinan Jayu.
"Guruku Ki Ajeng Guya, tidak mengajari ku men-
jadi seorang pengecut," timpal Sirgaloka. "Malah kupi-kir ucapanmu kemarin hanya
gertak sambal saja."
"Aku bukan lelaki bertampang pengecut seperti-
mu, Sirgaloka. Kau berani mendekati Nila di saat aku
tidak berada di sisinya. Lelaki macam apa kau, heh"!"
"Kau memang lelaki bertampang tukang tuduh,
Dinan! Kau juga lelaki yang mudah mengobral kese-
tiaan. Tapi tak mampu memberi kesetiaan yang telah
kau ucapkan. Kau siksa perasaan Nila selama berbu-
lan-bulan. Apakah itu yang disebut lelaki setia?" balas Sirgaloka sengit
Dinan Jayu tak membalas perkataan itu. Lelaki
berpakaian hijau itu hanya menatap tajam wajah Sir-
galoka. Seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh mu-
rid Perguruan Teratai Perak itu,
"Mulutmu memang busuk, Sirgaloka! Seperti juga
hatimu! Kebusukanmu akan kukubur sekarang juga.
Aku, Buaya Sungai Tenggarong, tak akan sungkan-
sungkan merampas nyawamu. Bersiaplah!" tukas Di-
nan Jayu. Tatapannya terlihat semakin membara.
"Hei"! Jadi kaulah yang berjuluk Buaya Sungai
Tenggarong?" tanya Sirgaloka pura-pura terkejut.
"Kau gentar dengan julukan itu?" ejek Dinan
Jayu pongah. "Ha ha ha.... Awalnya aku gentar mendengar ju-
lukan yang cukup gagah itu, Dinan Jayu. Tapi setelah
berhadapan dengan orang yang menyandangnya, ke-
gentaranku lenyap tanpa bekas. Menurutku, kau
hanya buaya dalam perkara perempuan," pedas ejekan yang keluar dari mulut
Sirgaloka. Wajah Dinan Jayu merah padam. Telinganya te-
rasa panas mendengar ejekan yang pedas itu.
"Kurang ajar! Heaaat...!"
Didahului bentakan kuat, tubuh Dinan Jayu me-
luruk cepat ke arah Sirgaloka. Telapak tangan Dinan
Jayu membentuk cakar kokoh, terarah ke bagian mata
lawan. Bet! Bet! "Uts!"
Mendapat serangan mendadak dan ganas, Sirga-
loka segera bergerak cepat dan lincah. Dengan mem-
bawa kakinya mundur selangkah, lelaki tegap itu me-
narik kepalanya sedikit. Sambaran cakar Dinan Jayu
lewat satu jengkal dari wajahnya.
Melihat serangannya berhasil dielakkan, Dinan
Jayu kembali menyerang lebih dahsyat. Serangan-
serangannya semakin dipercepat. Angin berciutan
mengawali serangan Dinan Jayu. Cakarnya yang san-
gat kokoh, mirip cakar seekor buaya. Itulah jurus
'Cakar Buaya Tenggarong'.
"Mampus kau, Sirgaloka!"
Bret! "Uts!"
"Tidak semudah yang kau duga, Dinan!" Sirgalo-ka kembali berhasil mengelakkan
serangan Dinan Jayu. Malah lelaki berpakaian sutera putih itu mampu
memberi serangan balasan yang cukup berbahaya ke
arah pelipis lawan.
"Hih!"
"Heh"!"
Dinan Jayu terkejut mendapat serangan yang tak
terduga. Secepat kilat lelaki berpakaian hijau itu membuang dirinya ke samping
kanan. Tubuh Dinan Jayu
menjauh dengan hentakan kuat, melenting ke udara
lalu berputaran dua kali, dan mendarat dengan manis.
Namun belum begitu lama kaki Dinan Jayu menginjak
di tanah, tubuh Sirgaloka sudah melesat cepat dengan
kedua belah tangan terentang yang dialiri tenaga da-
lam tinggi. Seolah ingin menebas leher lawannya. Sir-
galoka tengah memainkan jurus 'Teratai Terbang'.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! Trak! Tubuh Sirgaloka terpental balik ke belakang.
Sambaran tangannya yang mengarah leher Dinan Jayu
mampu ditangkis lelaki berpakaian hijau itu. Suara
pekik tertahan mengiringi luncuran tubuh Sirgaloka,
yang terdorong kekuatan tenaga Dirtan Jayu. Tetapi
Sirgaloka bukan lelaki yang baru kemarin mempelajari
ilmu silat. Dengan gerakan manis, lelaki tegap itu
mampu mematahkan daya dorong luncurannya.
"Setan alas!" maki Dinan Jayu sambil memegangi pergelangan tangannya yang terasa
linu. Lelaki bersenjatakan sebatang pedang dengan hulu berukir kepala
buaya itu mengalami hal yang sama dengan Sirgaloka.
Pijakan kaki Dinan Jayu terlihat sudah berpindah em-
pat langkah dari kedudukan awal.
Srat! Setelah rasa linu di tangannya berkurang, Dinan
Jayu meloloskan pedangnya yang seketika memendar-
kan cahaya kehijauan. Sekilas tatapan Dinan Jayu ter-
tuju tajam ke mata Sirgaloka. Sebentar kemudian, mu-
lutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.
"Kali ini kau akan kubuat mampus, Sirgaloka!
Pedang Cadas Tenggarong ini akan mengakhiri riwayat
hidupmu!" lantang ucapan yang keluar dari mulut Dinan Jayu.
Sirgaloka tak membalas ucapan Dinan Jayu den-
gan kata-kata. Tatapan matanya tertuju tajam ke wa-
jah Dinan Jayu. Sebagai tanda bahwa dirinya tak gen-
tar menghadapi Pedang Cadas Tenggarong. Dan, itu
diperkuat Sirgaloka dengan meloloskan pedang dari
warangkanya. Srat! "Kau memang berani mati, Sirgaloka!" ejek Dinan Jayu. "Umurku bukan di tanganmu,
Buaya Darat!" balas Sirgaloka.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Dinan Jayu melesat lebih dahulu. Pedang
yang memendarkan sinar kehijauan teracung di atas
kepala. Dan, ketika pedang itu ditebaskan ke arah Sir-
galoka.... Bet! Bet! "Uts!"
Sirgaloka terhenyak mendapat serangan pedang
Dinan Jayu yang menyebarkan hawa dingin menyen-
gat. Hawa dingin itu begitu cepat menusuk seakan
sanggup menghentikan peredaran darahnya.
Sirgaloka segera mengerahkan tenaga murninya
untuk mengusir pengaruh dingin jurus 'Pedang Dasar
Kedung'. "Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Puncak dari pengerahan tenaga murni Sirgaloka,
adalah berkelebatnya kebutan pedang putihnya den-
gan kekuatan tenaga dalam tinggi. Hawa dingin yang
mencoba membungkus tubuh Sirgaloka seketika sirna.
Namun belum lama hawa dingin itu sirna, serangan
berikutnya sudah datang. Dinan Jayu kembali menu-
suk dengan pedangnya yang merentang mengancam
tubuh Sirgaloka.
"Hiyaaa...!"
Trang! Percikan bunga api keluar dari benturan dua
senjata yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi. Ke-
dua tubuh pemilik senjata itu terlempar beberapa
langkah. Wajah keduanya nampak mengguratkan rasa
sakit Dinan Jayu yang sejak awal menganggap remeh
Sirgaloka semakin terbakar hatinya. Tanpa mempedu-
likan rasa sakit, Dinan Jayu kembali bangkit. Sambil
menggereng keras dan dengan kemarahan yang tak
terkendali, tubuh Dinan Jayu berkelebat seraya mem-
babatkan senjatanya ke tubuh Sirgaloka.
Sirgaloka yang sudah bersiap-siap menghadapi
kemungkinan itu berusaha untuk tetap tenang.


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena ketenangannya itu, Sirgaloka dapat meli-
hat celah kelemahan pada diri Dinan Jayu. Dan ketika
serangan Dinan Jayu datang, Sirgaloka segera berkelit
seraya memberikan serangan balasan lewat tendangan
lurus, yang terarah ke bagian tubuh Dinan Jayu yang
terbuka. "Hiaaa...!"
Diekh! "Aaa...!"
Tubuh Dinan Jayu terhempas ketika tendangan
lurus Sirgaloka dengan keras mendarat di rusuk ki-
rinya. Sebuah tendangan yang dimainkan dalam jurus
'Menentang Angin'. Tubuh yang terbalut pakaian hijau
itu terpental sejauh satu setengah tombak, dan men-
darat di tanah dengan menimbulkan bunyi berdebuk.
Dinan Jayu menyeringai merasakan tulang rusuknya
seperti berpatahan, begitu juga tulang belakangnya.
Sirgaloka tidak mau memberi kesempatan pada
Dinan Jayu untuk berlama-lama merasakan sakit. Tu-
buh lelaki tegap itu kembali berkelebat dengan pedang
terayun di udara.
Dengan geram dan didahului teriakan melengk-
ing nyaring, Sirgaloka menerjang maju.
"Hiaaa...!"
Trakk Bugk! Bugk! "Aaa...!"
Tubuh Sirgaloka tiba-tiba terpental deras sebe-
lum senjatanya menghajar tubuh Dinan Jayu yang su-
dah tak berdaya. Sosok bayangan berpakaian coklat
kehitaman telah menghadang laju pedang Sirgaloka.
Sekaligus menggedor dada Sirgaloka dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Brukkk! "Uhugkh!"
"Hoeeek...!"
Tubuh Sirgaloka terhempas deras dan jatuh ber-
debuk dengan memuntahkan cairan merah. Sirgaloka
mengalami luka dalam yang cukup parah. Sambil me-
megangi dadanya yang terasa sesak bukan main, Sir-
galoka mengangkat kepala.
"Ah...!"
Dengan dada berdenyut-denyut nyeri, Sirgaloka
mencoba menatap wajah lelaki yang telah menggagal-
kan serangannya. Lelaki itu berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun lebih. Tubuhnya yang agak gemuk ber-
diri dengan angkuh. Di tangan lelaki itu tergenggam
sebatang trisula hitam. Lelaki penolong Dinan Jayu
yang berjenggot tebal dengan ikat kepala hitam, mena-
tap Sirgaloka dengan sinar mata merendahkan.
"Kemampuan ilmu silat yang kau miliki cukup
baik, Anak Muda," ucap lelaki berpakaian coklat dan berambut gondrong tak
terurus itu. "Tetapi untuk menghadapi Ki Tunggul Sulada si Buaya Sungai
Tenggarong, kau harus belajar lebih banyak lagi!"
Sirgaloka membalas ucapan Ki Tunggul Sulada
dengan tatapan mata yang menyorot tajam. Tatapan
mata Sirgaloka penuh bara dendam.
"Uhugkh.... Tua bangka licik!" maki Sirgaloka dengan terbatuk.
"Berkatalah sepuasmu, Anak Muda. Sebentar lagi
nyawamu akan melayang ke neraka!" balas Ki Tunggul Sulada.
Hati Sirgaloka, sedikit bergetar mendengar uca-
pan Ki Tunggul Sulada. Dirinya tak akan mampu
memberi perlawanan jika Ki Tunggul Sulada menye-
rangnya. Sirgaloka berharap Raja Petir akan muncul, se-
perti janjinya kemarin yang akan menyertainya dari
tempat bersembunyi. Tetapi sampai sekarang....
"Haaat..!"
Sirgaloka menggeser kakinya sedikit ketika meli-
hat Ki Tunggul Sulada bergerak hendak merenggut
nyawanya. Tekad lelaki berpakaian sutera putih itu
hanya satu. Akan tetap menghindar meski kesempatan
untuk itu sedikit sekali. Sirgaloka tak ingin menjemput kematiannya dengan
berpasrah diri. Ketika serangan
Ki Tunggul Sulada semakin dekat, Sirgaloka mencoba
berkelit dengan sekuat tenaga. Akan tetapi....
Trak! "Akh!"
Sebuah benda bulat sebesar telur puyuh tiba-tiba
melesat dan menghantam trisula Ki Tunggul Sulada,
yang sejengkal lagi melumat tubuh Sirgaloka. Tubuh
Ki Tunggul Sulada terdorong dua langkah ke belakang.
Pekik tertahan terdengar seiring dengan seringai wajah lelaki berpakaian coklat
itu. "Jaka," desis Sirgaloka lega.
"Jaka..."!" geram Dinan Jayu. Lelaki berpakaian hijau itu bermaksud menyerang
Jaka Sembada. Namun tindakannya lebih dahulu dicegah Ki Tunggul Su-
lada. "Jangan gegabah, Jayu," larang Ki Tunggul Sulada sambil mencekal tangan
Dinan Jayu. "Ki..,."
Dinan Jayu ingin membantah ucapan Ki Tunggul
Sulada. Tapi, belalakkan mata lelaki berpakaian coklat itu membuat hati Dinan
Jayu kecut "Dia bukan tandinganmu, Jayu," jelas Ki Tunggul Sulada sedikit geram.
"Siapa dia sesungguhnya, Ki?" tanya Dinan Jayu penasaran.
"Raja Petir."
"Raja Petir..."!" ulang Dinan Jayu terkejut
Lelaki berpakaian hijau itu tidak percaya kalau
Jaka, yang pernah berbincang-bincang dengan Nila
Pedang Kiri 7 Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah Perawan Buronan 2
^