Pencarian

Rahasia Tonggak Sangga Buana 2

Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana Bagian 2


Juwita, adalah sosok lelaki yang nama besarnya ba-
nyak dibicarakan tokoh-tokoh persilatan.
"Lebih baik kita menghindari bertempur dengan-
nya, Jayu," ajak Ki Tunggul Sulada.
"Kau gentar menghadapinya, Ki?" tanya Dinan
Jayu kelepasan.
"Goblok!" maki Ki Tunggul Sulada panas. "Aku bukan gentar menghadapi dia. Tapi
ingin mencari cara
lain untuk melenyapkannya, sekaligus menamatkan
riwayat sainganmu itu!"
Lelaki berpakaian coklat dengan rambut panjang
tak terawat itu segera menghentakkan kakinya ke ta-
nah. Tubuhnya melesat ringan meninggalkan Dinan
Jayu yang masih menatap sosok Jaka.
"Ayo pergi, Goblok!" ajak Ki Tunggul Sulada marah. Mendapat bentakan seperti
itu, Dinan Jayu tak
lagi membuang waktu. Kakinya segera dihentakkan
kuat-kuat. Tubuhnya melesat, mencoba mengejar tu-
buh Ki Tunggul Sulada yang sudah bergerak lebih da-
hulu. Jaka tak sedikit pun mencegah kepergian dua
lawan Sirgaloka. Pemuda berjuluk Raja Petir itu memi-
lih melihat keadaan Sirgaloka. Dia tak ingin menanam
bibit permusuhan pada Dinan Jayu dan Ki Tunggul
Sulada. "Uhugkh!"
Sirgaloka kembali terbatuk ketika Jaka mendeka-
tinya. Tangan lelaki berpakaian sutera putih itu me-
megangi dadanya kuat-kuat yang terasa sesak bukan
main. "Kerahkan hawa murnimu, Sirgaloka. Aku akan
membantu dengan hawa murniku," perintah Jaka
sambil menempelkan telapak tangannya di punggung
Sirgaloka. Sirgaloka segera menjalankan perintah Jaka. Le-
laki tegap itu berusaha menguatkan diri dengan meme-
jamkan mata. "Uhugkh!"
Sirgaloka kembali terbatuk. Kali ini disertai den-
gan keluarnya darah kental Sirgaloka membuka kelo-
pak matanya. Dadanya kini terasa lega.
"Kau harus beristirahat, Sirgaloka. Ayo kita tinggalkan tempat ini," putus Jaka.
Sirgaloka tak segera menuruti ucapan Jaka. Rasa
nyeri masih terasa pada bagian dadanya.
"Ah. Maaf, Sirgaloka. Aku harus menggendong-
mu. Hop!" Dengan gerakan yang tidak tertangkap mata, Ja-
ka mengangkat tubuh lelaki berpakaian sutera putih
itu. Dan, membawanya pergi dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh tingkat tinggi.
*** 6 Sementara Jaka berlari cepat menggendong tu-
buh Sirgaloka menuju kediaman Ki Sunara, Ki Tung-
gul Sulada memarahi Dinan Jayu sambil berlari pergi.
"Huh! Mendapatkan seorang perempuan saja su-
kar sekali untukmu, Dinan!" omel Ki Tunggul Sulada.
Larinya diubah menjadi langkah biasa.
Dinan Jayu tak menimpali omelan lelaki yang te-
lah banyak mengajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi.
Dari Ki Tunggul Sulada, Dinan Jayu mendapatkan il-
mu-ilmu hebat dan berbahaya. Bahkan, sekarang ke-
pandaiannya boleh dibilang hampir sejajar dengan Ki
Tunggul Subda. Lelaki yang berjuluk Buaya Sungai
Tenggarong itu telah mewarisi seluruh kepandaian
yang dimilikinya.
"Lebih baik kau cari perempuan lain, Dinan," ujar Ki Tunggul Sulada pelan.
Namun ucapan itu terdengar seperti guntur
menggelegar di telinga Dinan Jayu. Lelaki itu nampak
terkejut. Rona wajahnya langsung merah, dan bola
matanya seperti hendak keluar.
"Itu tidak mungkin kulakukan, Ki," ucap Dinan Jayu takut-takut
Ki Tunggul Sulada menatap tak berkedip wajah
Dinan Jayu. "Aku mencintainya, Ki," ucap Dinan Jayu lagi tanpa mampu membalas tatapan Ki
Tunggul Sulada.
"Hm.... Cinta," gumam Ki Tunggul Sulada. "Sebenarnya siapa gadis yang kau cintai
itu?" "Anak Ki Sunara," jawab Dinan Jayu tegas.
"Sunara...?" ulang Ki Tunggul Sulada dengan
raut wajah menggambarkan rasa terkejut
"Ya. Sunara," ucap Dinan Jayu menegasi.
"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," tegas Ki Tunggul Sulada.
"Di jagat ini banyak lelaki bernama Sunara, Ki,"
kilah Dinan Jayu.
"Goblok! Aku bicara menurut firasat dan kepe-
kaan ku!" bentak Ki Tunggul Sulada.
Dinan Jayu menundukkan kepala.
"Sunara...," Ki Tunggul Sulada kembali mengulang nama yang baru didengarnya
dengan tatapan ma-
ta menerawang jauh ke depan.
"Apa kau pernah melihat Sunara menyimpan
atau memegang sebatang tombak berwarna merah da-
rah" Pada bagian hulunya berbentuk bulatan yang di-
kelilingi batu-batu mutiara warna-warni dan tombak
itu mengeluarkan sinar kemerahan?" tanya Ki Tunggul Sulada dengan tatapan mata
tertuju lurus ke depan.
Dinan Jayu dengan mata membelalak lebar men-
gawasi sosok Ki Tunggul Sulada. Hatinya terkejut
mendengar pertanyaan itu.
"Tombak, Ki?" tanya Dinan Jayu menegaskan
pertanyaan Ki Tunggul Sulada.
"Ya. Tombak! Kalau memang dia Sunara yang ku
maksud, maka dia memiliki senjata andalan Iblis Tom-
bak Merah yang selama ini ku buru," jawab Ki Tunggul Sulada.
Sesaat lamanya Dinan Jayu membiarkan ucapan
Ki Tunggul Sulada tanpa jawaban. Lelaki berpakaian
hijau yang pada bagian dadanya terdapat gambar dua
ekor buaya yang tengah bergulat, mencoba mengingat-
ingat sesuatu yang pernah dilihatnya di rumah Ki Su-
nara. "Ah. Ya, Ki. Aku ingat! Aku ingat!" ucap Dinan Jayu tiba-tiba.
Ki Tunggul Sulada tersentak mendengar ucapan
Dinan Jayu yang cukup keras.
"Ingat apa, Dinan?" tanya Ki Tunggul Sulada.
"Tombak yang kau maksudkan itu, Ki. Ya. Tom-
bak itu!" jawab Dinan Jayu penuh semangat "Ketika masih berhubungan dengan Nila
Juwita, aku bebas
masuk ke tempat tinggal Ki Sunara. Cuma satu ruan-
gan yang tak pernah ku masuki, yakni kamar pribadi
Ki Sunara. Suatu kali, ketika aku bersama Nila melin-
tas di depan kamar Ki Sunara, aku melihat pintu ka-
mar tak terkunci. Sekilas aku melihat Ki Sunara ten-
gah memegang sebatang tombak berwarna merah se-
perti darah. Hulunya bundar dan dikelilingi batu-batu
mutiara warna-warni.
Ki Tunggul Sulada tak berusaha memotong cerita
Dinan Jayu. Lelaki tua yang berpakaian coklat itu den-
gan seksama mendengarkan cerita Dinan Jayu.
"Ketika aku bertanya perihal nama senjata itu, Ki Sunara memberitahukannya
padaku," lanjut Dinan
Jayu. "Apa nama tombak itu, Dinan?" tanya Ki Tunggul Sulada penasaran.
"Kalau tidak salah, nama senjata itu Tombak
Sangga Buana," ucap Dinan Jayu pelan.
Ucapan Dinan Jayu yang pelan cukup menyen-
takkan Ki Tunggul Sulada. Wajah lelaki berusia seten-
gah baya itu nampak dijalari kegembiraan.
"Tombak Sangga Buana!" ulang Ki Tunggul Sula-da mantap. "Ha ha ha...!"
Ki Tunggul Sulada tertawa keras. Lalu ber-
jingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi gula-
gula. Menyaksikan tingkah gurunya seperti itu, Dinan
Jayu tak dapat berbuat apa-apa. Meski hatinya heran
dan ingin melemparkan pertanyaan.
"Kita harus dapat merebut Tombak Sangga Bua-
na, Dinan! Sudah lama aku memimpikan senjata maut
itu ada dalam genggamanku. Sekarang impian itu
akan segera terwujud," tukas Ki Tunggul Sulada mantap sesaat setelah tawa
kerasnya reda. "Sewaktu Iblis Tombak Merah hidup, sukar bagiku untuk mendapatkan
senjata dahsyat itu. Tapi sekarang...."
"Bukankah sekarang ada Raja Petir, Ki?" tukas Dinan Jayu bermaksud mengingatkan.
"Goblok! Kau meragukan kemampuanku, heh"!"
bentak Ki Tunggul Sulada keras.
"Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Ki,"
bantah Dinan Jayu. "Aku hanya mengulang ucapanmu
yang mengatakan kalau dia bukan tokoh sembaran-
gan." "Hm...," Ki Tunggul Sulada bergumam mendengar bantahan Dinan Jayu. "Kalau
begitu, sekarang juga ki-ta temui Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga"
"Sebaiknya memang begitu, Ki," sambut Dinan
Jayu. "Mereka harus tahu bahwa Tombak Sangga Bua-
na berada di tangan murid tunggal Iblis Tombak Me-
rah," ucap Ki Tunggul Sulada penuh semangat "Kakang Wungu dan Kakang Dalu pasti
senang dengan kabar yang kubawa. Mereka akan dengan senang hati
membantu kita. Kau dapat memiliki putri Ki Sunara
dan aku memiliki Tombak Sangga Buana yang selama
itu kuidam-idamkan. Sedangkan Raja Petir" Ha ha
ha.... Dia pasti akan menemui ajalnya."
"Semoga begitu, Ki," sambut Dinan Jayu dengan wajah berseri.
"Ayo! Sekarang kita pergi ke kediaman Ki Wungu
Suta dan Ki Dalu Dungga," ajak Ki Tunggul Sulada.
Lelaki berpakaian coklat yang berjuluk Buaya
Sungai Tenggarong itu melesat lebih dulu dengan
menggunakan ilmu lari cepat tingkat menengah. Se-
mentara Dinan Jayu segera menyusul dengan tingkat
kecepatan lari yang seimbang.
Untuk sesaat lamanya kedua lelaki itu saling
berkejaran ke arah utara. Tapi pada saat selanjutnya,
mereka sudah berlari sejajar menuju kediaman Ki
Wungu Suta, yang di kalangan rimba persilatan ter-
kenal berjuluk Raka Macan Loreng. Dan, Ki Dalu
Dungga yang lebih dikenal dengan julukan Tapak Iblis
Utara. "Ayo kita lari lebih cepat, Dinan!" ajak Ki Tunggul Sulada. "Rasanya, aku sudah
tak sabar untuk mengabarkan berita baik ini."
"Ayolah, Ki," sambut Dinan Jayu seraya menam-
bah kecepatan larinya.
Ki Tunggul Sulada tersenyum melihat kesetiaan
Dinan Jayu. Keduanya segera mengempos larinya. Dan
sebentar kemudian, tubuh mereka menghilang di kele-
batan hutan jati.
*** "Ah...!"
Nila Juwita terkejut melihat kedatangan Raja Pe-
tir yang menggendong Sirgaloka. Wajah cantik putri
tunggal Ki Sunara itu menampakkan kecemasan yang
luar biasa. Tubuhnya agak gemetar saat menyongsong
tubuh Sirgaloka.
"Kakang Sirgaloka...," ucap Nila sedikit bergetar.
"Dia tidak apa-apa, Nila. Sirgaloka hanya perlu
bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya."
Ucapan Jaka memang berpengaruh besar. Nila Juwita
tak bertanya-tanya lagi. Wajahnya yang semula dipe-
nuhi kecemasan, kini dengan tenang menatap Sirgalo-
ka yang tengah duduk bersila. Mengatur hawa murni
untuk mengusir rasa sakit di bagian dadanya.
Untuk sesaat lamanya suasana di ruang tengah
tempat tinggal Ki Sunara senyap. Jaka dan Nila tak
sepatah kata pun berbicara. Keduanya tengah mem-
perhatikan semadi Sirgaloka.
"Budimu pada keluargaku sudah tak terhitung
lagi Jaka. Entah bagaimana aku harus membalasnya,"
ucap Ki Sunara yang tiba-tiba muncul dari balik lorong di samping kiri ruang
tengah. "Setelah kau selamatkan nyawaku dan Sumirah,
sekarang kau lakukan pula pada Sirgaloka," lanjut Ki Sunara sambil duduk di
antara Jaka dan Nila yang
tengah mengawasi Sirgaloka. Sementara Sumirah ten-
gah berada di ruang belakang.
Jaka menyunggingkan seulas senyum mendengar
perkataan lelaki setengah baya itu.
"Jangan berkata seperti itu, Ki," kilah Jaka merasa tak enak "Apa yang kulakukan
dan yang diterima Ki Sunara serta yang lainnya, sudah ketentuan yang telah
digariskan Sang Pengatur Alam Semesta. Kalau
pada saat ini aku menolong, mungkin dan itu bisa pas-
ti suatu saat aku membutuhkan pertolongan orang
lain. Baik langsung maupun tidak."
Ki Sunara termangu mendengar penuturan lelaki
muda nan digdaya itu.
"Jaka! Dengan kejadian yang menimpa diriku, pi-
kiranku jadi terbuka. Di dalam kehidupan ini, suatu
hal yang tak terduga atau tidak kita ingini justru se-
ringkali terjadi. Seperti halnya pertemuan kita kali ini.
Sebelumnya, aku minta maaf keterusterangan ku nanti
hanya akan menambah kerepotanmu. Namun sean-
dainya kau tak bersedia membantu, aku tak akan me-
rasa sakit hati," ujar Ki Sunara datar.
"Keterusterangan tentang apa, Ki?" selidik Jaka ingin tahu.
"Sebatang tombak pusaka yang sudah bertahun-
tahun berada d tanganku," jelas Ki Sunara tanpa ragu-ragu. "Tombak pusaka?"
gumam Jaka. "Ya. Tombak Sangga Buana."
"Rahasia apa yang terkandung dalam tombak
yang kau maksudkan itu, Ki?"
"Tiga tahun silam, secara tak sengaja aku berte-
mu dengan seorang lelaki yang berusia lima tahun le-
bih tua dariku. Lelaki itu mengaku bernama Karmada-
na dan berjuluk Iblis Tongkat Merah. Entah mengapa,
sedikit pun aku tak menaruh curiga padanya, meski
dia memakai julukan iblis. Mungkin aku terpana den-
gan tutur katanya yang sopan dan berkesan jujur. Se-
jak pertemuan itu, aku bergaul dekat dengan Iblis


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tongkat Merah."
Ki Sunara menghentikan ceritanya sebentar. Di-
tatapnya wajah Jaka dan Nila Juwita lekat-lekat. Sea-
kan-akan ingin mengetahui tanggapan kedua anak
muda itu mengenai cerita yang akan dipaparkannya.
"Pada awalnya, persahabatan ku dengan Karma-
dana biasa-biasa saja. Namun beberapa purnama ke-
mudian, Karmadana bermaksud menurunkan ilmu
ciptaannya padaku. Dan, dengan senang hati aku me-
nerima maksud baiknya. Meskipun dia berjuluk Iblis
Tongkat Merah yang sudah pasti memiliki ilmu-ilmu
keji tokoh golongan hitam. Menurutku, sebuah ilmu
bisa menjadi hitam atau putih tergantung pada tabiat
si pemilik ilmu itu. Kalau pemiliknya bertabiat buruk, maka bisa dipastikan
ilmu-ilmu yang dimiliki selalu
berkaitan dengan nyawa dan kematian. Namun jika
sebaliknya, maka ilmu itu sangat bermanfaat untuk
membela kebenaran."
Kembali Ki Sunara menghentikan ceritanya. Dita-
riknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan da-
danya yang terasa sesak. Dahinya tampak berkerut,
menandakan kalau ingatannya sedang dikuras untuk
mengingat kejadian yang telah lama dialaminya.
"Dengan alasan itulah, aku mau menerima segala
pelajaran ilmu silat yang diberikan Iblis Tombak Me-
rah. Dua tahun lebih aku digembleng Karmadana se-
cara rahasia. Sumirah, istriku pun tak pernah tahu hal itu." Nila Juwita yang sejak
semula tak lepas memandangi tubuh Sirgaloka, akhirnya berpaling menatap
wajah ayahnya. Sungguh tak disangka kalau ayahnya
pernah berguru pada seorang tokoh sesat golongan hi-
tam. "Namun, belakangan hubungan ku dengan Iblis
Tombak Merah diketahui Buaya Sungai Tenggarong,"
lanjut Ki Sunara.
"Buaya Sungai Tenggarong?" tanya Jaka, "Jadi pada waktu kau dikeroyok lima
lelaki yang mengaku
kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong, sebenar-
nya kau telah kenal dengan pemimpin mereka?"
"Ya. Nama asli Buaya Sungai Tenggarong adalah
Tunggul Sulada," jelas Ki Sunara.
"Lalu, apa yang dilakukan Buaya Sungai Tengga-
rong atas hubungan Ayah dengan Iblis Tombak Me-
rah?" tanya Nila.
"Menurut Karmadana, sudah cukup lama Tung-
gul Sulada dan dua temannya menginginkan Tombak
Sangga Buana. Namun, itu tak pernah terwujud. Kar-
madana begitu pandai menghindari pertemuan dengan
Tunggul Sulada, Wungu Suta, dan Dalu Dungga," jelas Ki Sunara.
"Mengapa Iblis Tombak Merah menghindari per-
temuan dengan Tunggul Sulada dan dua temannya"
Bukankah Tombak Sangga Buana itu miliknya" Dan
kenapa tiga lelaki itu ingin memiliki tombak itu?" tanya Nila gencar. Rasa
penasaran membuat gadis cantik itu
bertanya seperti itu.
"Tombak Sangga Buana sebenarnya bukan milik
sah Iblis Tombak Merah. Senjata itu milik seorang to-
koh golongan putih yang berjuluk Panglima Tombak
Sakti. Karmadana, Tunggul Sulada dan Wungu Suta
yang bergelar Raja Macan Loreng serta Dalu Dungga
yang berjuluk Tapak Iblis Utara telah merebut Tombak
Sangga Buana dari tangan Panglima Tombak Sakti.
Tokoh itu sendiri tewas terbunuh."
Ki Sunara menghentikan ceritanya dan menatap
wajah putrinya dan wajah Jaka bergantian.
"Belakangan, kesadaran di dada Karmadana
tumbuh dan berkembang. Kesadaran yang menuju ke
arah kebaikan. Menurut Iblis Tombak Merah, adalah
sebuah bahaya besar jika Tombak Sangga Buana yang
berpamor mengiriskan berada di tangan mereka. Maka
secara diam-diam Karmadana mencuri tombak itu dari
tempatnya dan membawa lari. Setelah itu, Karmadana
mengasingkan diri dari dunia ramai. Untuk mengela-
bui Buaya Sungai Tenggarong, Raja Macan Loreng, dan
Tapak Iblis Utara, Karmadana mengambilku sebagai
muridnya lalu menyerahkan Tombak Sangga Buana
padaku. Namun, dia berpesan agar selanjutnya aku
hidup dalam penyamaran...."
"Penyamaran apa yang kau maksudkan itu, Ki?"
tanya Jaka, setelah Ki Sunara tidak melanjutkan ceri-
tanya lagi. Ki Sunara tak menjawab pertanyaan Jaka. Tan-
gan kanannya tiba-tiba meraba kumis tipis yang tera-
tur rapi. Dilepaskannya bulu-bulu hitam yang menem-
pel di bawah hidungnya. Selesai melepaskan kumis
palsunya, tangannya segera naik ke ujung pelipis.
Dengan gerakan seolah hendak menguliti kulit kepala,
Ki Sunara melepaskan topeng yang terbuat dari bahan
karet tipis yang berwarna sama dengan kulit aslinya.
Sebentuk wajah tampan namun tercoreng sebaris
bekas luka menghitam dipipi sebelah kanan terlihat
Jaka. Tokoh muda usia yang bergelar Raja Petir itu se-
benarnya tak begitu terkejut melihat wajah asli Ki Su-
nara. Tapi tatapan matanya yang tak berkedip mem-
buat Ki Sunara menjelaskan perihal bekas luka yang
tercetak di pipi kanannya.
"Luka ini akibat sayatan senjata Raja Macan Lo-
reng. Waktu aku dan Karmadana bertarung melawan
Tunggul Sulada dan dua temannya, beruntung kami
tak dapat dikalahkan. Karmada yang memang memiliki
ilmu lari cepat di atas kemampuan Tunggul Sulada,
Wungu Suta dan Dalu Dungga, segera merangkulku
dan membawa kabur menghindari pertarungan," papar Ki Sunara.
"Jadi, Iblis Tombak Merah sampai saat ini masih
hidup dan mengasingkan diri?" tanya Nila.
Ki Sunara mengangguk membenarkan perta-
nyaan anaknya. "Kalau Ki Sunara tidak keberatan, bolehkah aku
melihat Tombak Sangga Buana yang berpamor mengi-
riskan itu?" pinta Jaka lembut
"Dengan senang hati aku akan memperlihatkan-
nya padamu, Jaka. Bahkan kalau kau mau, aku lebih
suka kalau senjata itu kau miliki," jawab Ki Sunara
"Heh"!" Jaka terkejut mendengar ucapan itu.
"Kenapa senjata itu harus kau serahkan padaku. Ki?"
Ki Sunara tersenyum mendengar pertanyaan le-
laki muda yang berjuluk Raja Petir itu.
"Senjata itu sudah tak aman lagi jika berada di
tanganku, Jaka," jawab Ki Sunara.
"Maksud Ki Sunara?"
"Dinan Jayu pernah melihat Tombak Sangga Bu-
ana. Dan, secara tak sadar aku telah memberi tahu
nama senjata itu," jawab Ki Sunara. "Dengan tahunya Dinan Jayu akan senjata itu,
maka tidak mustahil ia
memberitahukannya pada Tunggul Sulada. Begitu pula
Buaya Sungai Tenggarong. Aku yakin betul dia akan
mengabarkannya pada Raja Macan Loreng dan Tapak
Iblis Utara. Dan aku juga yakin, sebentar lagi mereka
akan mendatangi kediamanku untuk merebut kembali
Tombak Sangga Buana."
Sementara, di saat Ki Sunara menghentikan ceri-
tanya, Sirgaloka telah selesai menyalurkan hawa mur-
ni untuk mengembalikan keadaan tubuhnya seperti
sediakala. "Kau bersedia membantuku mengatasi persoalan
ini, Jaka?" tanya Ki Sunara. Sesaat setelah menatap
wajah Sirgaloka yang sudah sedikit memerah.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Bukan berarti Jaka tengah mempertimbangkan
permintaan Ki Sunara, melainkan dia tengah mencari
cara untuk menyingkirkan tiga tokoh golongan hitam
yang pasti memiliki ilmu silat tinggi.
"Aku bersedia membantumu, Ki," putus kemu-
dian. Ki Sunara nampak menyunggingkan senyum se-
telah mendengar jawaban Raja Petir. Hatinya menjadi
sedikit lega, meski belum sepenuhnya. Tapi paling ti-
dak keinginan Tunggul Sulada, Raja Loreng, dan Ta-
pak Iblis Utara harus diperjuangkan dengan memper-
taruhkan nyawa. Orang yang dihadapi mereka kali ini
Raja Petir. Seorang tokoh muda yang namanya telah
melambung tinggi di seluruh jagat
Ki Sunara tiba-tiba bergerak hendak merangkul
tubuh Jaka. Apa yang dilakukan lelaki setengah baya
itu dibiarkan Jaka. Sesaat lamanya Ki Sunara me-
rangkul tubuh pemuda itu. Beberapa saat kemudian,
baru dilepaskannya.
"Terima kasih, Jaka. Hanya Sang Penguasa Alam
yang tahu bagaimana harus membalas budi baikmu."
Raja Petir terharu mendengar ucapan Ki Sunara.
"Kita sama-sama berdoa, Ki. Biar segala bentuk
keangkaramurkaan sirna dari muka bumi ini," tukas Jaka. "Tentu, Jaka. Tentu...."
*** 7 Ki Sunara beranjak menuju kamar khususnya.
Hanya sebentar lelaki setengah baya itu berada di sa-
na. Saat selanjutnya, Ki Sunara sudah berada di ha-
dapan Jaka dengan sebuah senjata yang bernama
Tombak Sangga Buana. Ki Sunara menggenggam hati-
hati senjata pusaka yang didapatnya dari Iblis Tombak
Merah itu. Kemudian disodorkannya pada Jaka.
"Telitilah baik-baik, Jaka. Tombak Sangga Buana
memiliki perbawa yang mengiriskan," ucap Ki Sunara, sesaat setelah menyerahkan
Tombak Sangga Buana
pada Raja Petir.
Jaka segera meneliti senjata yang berupa seba-
tang tombak merah darah. Hulunya berbentuk sebuah
bulatan dengan dikelilingi batu-batu mutiara warna-
warni. Tombak Sangga Buana memendarkan sinar
kemerahan yang mampu menyebarkan hawa dingin
cukup menyengat
"Senjata ini sangat berbahaya jika berada di tan-
gan tokoh sakti golongan hitam, Ki," ucap Jaka perlahan. "Ya. Sangat berbahaya
sekali," timpal Ki Sunara.
Sementara Raja Petir dan Ki Sunara tengah me-
mandangi Tombak Sangga Buana, di tempat yang ber-
beda dalam jarak sekitar ratusan depa jauhnya, Ki
Tunggul Sulada yang berjuluk Buaya Sungai Tengga-
rong, Ki Wungu Suta yang bergelar Raja Macan Loreng
dan Ki Dalu Dungga alias Tapak Iblis Utara nampak
tengah membicarakan sebuah benda yang sama. Tom-
bak Sangga Buana! Mereka memang sengaja berkum-
pul tempat tinggal Ki Dalu Dungga yang berada Desa
Cagarasa. "Kau tak salah dengar, Dinan?" tanya Ki Wungu Suta mencari ketegasan.
"Benar, Ki. Buktinya aku mampu menyebutkan
nama tombak itu, meski sudah lama aku mendengar-
nya dari Ki Sunara," jawab Dinan Jayu meyakinkan.
"Apa kau melihat di bagian pipi Sunara terdapat
sebaris bekas luka akibat goresan senjataku?" tanya Ki Wungu Suta penasaran.
Dinan Jayu menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Wungu Suta. Ki Dalu Dungga dan Ki Tunggul
Sulada terkejut melihat gelengan Dinan Jayu. Tapi, Ki
Tunggul Sulada cepat mengambil kesimpulan.
"Ah. Mungkin dia menyamar dengan menutupi
bekas luka sayatan aritmu, Kakang Wungu," duga Ki Tunggul Sulada.
"Ha ha ha.... Ucapanmu mungkin benar, Tung-
gul," selak Tapak Iblis Utara. "Lagi pula, pedulinya dengan dia. Yang terpenting
bagiku adalah Tombak
Sangga Buana itu berada di tangannya. Kita semua
yang berada di sini harus segera merebutnya!"
"Di mana tempat tinggal Sunara, Dinan?" tanya Ki Wungu Suta kemudian.
"Di desa tempatku tinggal, Ki. Desa Lebak Mera."
"Desa Lebak Mera" Hm... Besok kita datangi desa
itu, Kita rebut Tombak Sangga Buana!" cetus Ki Wun-gu Suta mantap.
"Lalu, bagaimana dengan Raja Petir?" tanya Ki Tunggul Sulada.
"Raja Petir?" ucap Ki Wungu Suta heran. "Apa urusannya kita dengannya, Adi
Tunggul?" tanya Ki Da-lu Dungga.
Ki Tunggul Sulada segera menceritakan kebera-
daan Raja Petir di kediaman Ki Sunara. Tentang keja-
dian yang menimpa Dinan Jayu bersama putrid tung-
gal Ki Sunara, yang baru menjalin hubungan cinta
dengan murid Perguruan Teratai Perak yang bernama
Sirgaloka. Juga mengenai bentroknya kaki tangan Ki
Tunggul Sulada dengan Raja Petir, ketika bermaksud
merampok kereta barang seorang saudagar kaya yang
ternyata Ki Sunara.
"Hm.... Jadi, Raja Petir sekarang berada di ke-
diaman Sunara?" tandas Ki Wungu Suta.
"Betul," jawab Ki Tunggul Sulada.
Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga terlihat sal-
ing pandang. Dua tokoh golongan hitam itu telah men-
getahui kehebatan Raja Petir. Meskipun secara lang-
sung mereka belum pernah mencoba kebolehan mas-
ing-masing, namun dari tokoh-tokoh persilatan sudah
didengarnya tentang kehebatan Raja Petir yang mam-
pu membungkam keangkaramurkaan tokoh-tokoh
tingkat tinggi golongan hitam.
"Kita harus menyingkirkan Raja Petir lebih dahu-
lu, Adi Tunggul," ucap Tapak Iblis Utara memberi usul.
"Kupikir juga begitu," sambut Ki Wungu Suta.
"Kita berempat pasti mampu mengalahkan Raja Petir.
Aku yakin, kali ini tokoh usilan itu akan terkubur di
tangan kita."
"Kalau begitu, besok pagi kita datangi Desa Lebak Mera," putus Ki Dalu Dungga.
"Lebih cepat lebih baik," sambut Ki Tunggul Sulada.
*** Pagi kali ini dihiasi hujan lebat yang turun me-
nyirami bumi. Fajar yang hendak keluar dari peraduan
memberi kesempatan pada awan-awan yang berarak
dan menjelmakan titik-titik air. Di tengah guyuran air hujan, tampak empat sosok
tubuh sedang melangkah
dengan sedikit tergesa. Mereka tak mempedulikan pa-
kaian yang basah kuyup terguyur air hujan. Tanpa ada


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percakapan sedikit pun, keempat lelaki yang tak lain
Dua Buaya Sungai Tenggarong, Raja Macan Loreng,
dan Tapak Iblis Utara terus memacu langkahnya. Tak
terasa mereka telah tiba di mulut Desa Lebak Mera.
"Inilah mulut Desa Lebak Mera," ucap Dinan
Jayu pada Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga.
"Rasanya, aku sudah tak sabar untuk segera me-
rebut Tombak Sangga Buana," timpal Raja Macan Lo-
reng seraya menambah kecepatan langkahnya.
Demikian pula, Tapak Iblis Utara dan dua Buaya
Sungai Tenggarong. Keempat lelaki itu kini sudah me-
masuki wilayah Desa Lebak Mera. Sementara, hujan
yang sejak pagi buta sudah mengucur deras kini mulai
reda. Dan, ketika keempat tokoh sesat golongan hitam
itu hampir mencapai tujuan, hujan berhenti sama se-
kali. Digantikan matahari yang kini menebarkan si-
narnya dengan leluasa.
"Bangunan cukup mewah itukah rumah Suna-
ra?" tanya Ki Wungu Suta dan jari telunjuk mengarah ke rumah besar yang terletak
delapan tombak darinya.
"Betul, Ki. Bangunan itulah tempat tinggal Ki Su-
nara," ucap Dinan Jayu membenarkan.
"Hei! Mengapa tiba-tiba wajahmu menjadi pucat?"
tanya Ki Dalu Dungga ketika matanya menangkap pe-
rubahan raut wajah murid kesayangan Ki Tunggul Su-
lada. Dinan Jayu menundukkan kepala mendengar
pertanyaan Tapak Iblis Utara itu.
"He he he.... Kau pasti tengah memikirkan Nila
Juwita ya, Dinan?" selak Ki Tunggul Sulada. Dinan Jayu mengangguk.
"Siapa Nila Juwita, Adi Tunggul?" tanya Ki Wungu Suta ingin tahu.
"Anak Sunara. Kekasihnya," jelas Ki Tunggul Sulada. "Ha ha ha....!" Raja Macan
Loreng tertawa keras.
Tubuhnya terguncang-guncang hebat "Kalau hanya itu kau tak perlu secemas itu,
Dinan. Selain gadis cantik
yang kau cintai itu, semua harus kita bunuh."
"Kau dengar ucapan Kakang Wungu, Dinan. Hari
ini, kau akan memiliki Nila Juwita sepenuhnya," timpal Ki Tunggul Sulada.
"Terima kasih, Ki," ucap Dinan Jayu sedikit mengangkat wajah.
Keempat lelaki yang bermaksud merebut Tombak
Sangga Buana itu kembali melanjutkan perjalanan me-
reka yang sempat terhenti. Beberapa ayunan kaki lagi
keempat lelaki itu sampai di halaman depan rumah Ki
Sunara. "Sunara! Keluar kau! Bawa Tombak Sangga Bua-
na curian itu ke hadapan kami!" teriak Ki Wungu Suta menggelegar, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Kalau kau tidak mau keluar, akan ku bakar ru-
mahmu!" tambah Tapak Iblis Utara.
Belum lagi gema ucapan Tapak Iblis Utara le-
nyap, dari dalam rumah itu muncul dua sosok lelaki
yang tak lain Ki Sunara dan Sirgaloka.
"Hm.... Sirgaloka! Kubunuh kau hari ini," gumam Dinan Jayu ketika melihat wajah
lelaki yang telah merebut Nila Juwita dari sisinya.
"Ha ha ha.... Ternyata kau memang Sunara! Co-
det di pipi kananmu itu kukenal betul. Sebuah hasil
karya manis senjataku," ucap Ki Wungu Suta diiringi tawa. "Aku memang Sunara,
Tua Bangka Gila!" balas Ki Sunara dengan suara tak kalah lantang. "Codet di pipi
kananku ini memang hasil kerjamu. Kau harus merasakan balasannya."
"Heh"!" Ki Wungu Suta terkejut melihat keberanian Ki Sunara. "Kurang ajar! Kau
memang pantas mampus, Sunara! Sekarang serahkan Tombak Sangga
Buana yang dicuri Iblis Tombak Merah, sebelum jasad
mu bersatu dengan tanah!"
"Jangan sombong. Raja Macan Loreng," ucap se-
buah suara dari dalam rumah Ki Sunara.
Ki Sunara tahu pasti kalau yang bicara adalah
Jaka Sembada. Tapi, tidak bagi Ki Wungu Suta dan ke-
tiga rekannya. Di benak mereka tersimpan pertanyaan,
siapa lelaki yang berbicara dengan penuh perbawa itu"
"Jangan bersembunyi seperti anjing buduk! Ke-
luarlah kalau kau memang ingin berhadapan dengan-
ku," hardik Raja Macan Loreng marah.
Tanpa diulang dua kali, keluarlah seorang pemu-
da terbungkus pakaian kuning keemasan. Penampilan
pemuda itu seperti seorang putra mahkota. Ketenan-
gan dan wajah tampannya membuat empat tokoh go-
longan itu tertegun sesaat. Apalagi, ketika menyaksi-
kan gagang senjata Jaka yang menggelantung di leher.
Gagang senjata yang berukiran seperti gumpalan
awan. Itulah Pedang Petir, yang memiliki perbawa
amat dahsyat Ki Wungu Suta, Ki Dalu Dungga dan Ki Tunggul
Sulada langsung tersentak ketika melihat tangan ka-
nan pemuda berpakaian kuning keemasan menggeng-
gam senjata yang sudah bertahun-tahun mereka cari.
Tombak Sangga Buana!
"Apakah senjata ini yang kalian cari?" tanya Raja Petir seraya mengacungkan
tombak berwarna merah
darah yang menimbulkan pendar kemerahan.
Darah di tubuh Ki Wungu Suta dan Ki Dalu
Dungga seketika naik ke kepala. Keduanya segera ma-
ju tiga langkah.
"Cukup! Jangan teruskan langkah kalian kalau
tak ingin mati oleh senjata yang kalian cari ini," tahan Jaka sambil melakukan
gerakan menusuk dengan
ujung tombak disorongkan ke depan.
Raja Macan Loreng dan Tapak Iblis Utara mema-
tuhi larangan Jaka yang dikeluarkan dengan tegas.
Sepasang mata lelaki berpakaian kulit macan dan lela-
ki berpakaian hitam itu menatap wajah Jaka dengan
kegeraman luar biasa.
"Sebenarnya, aku tak ingin mempertahankan
senjata bagus ini. Senjata ini bukan milikku," ucap Jaka. "Kalau begitu,
serahkan senjata itu padaku. Selanjutnya, kalian bisa hidup bebas tanpa ku
ganggu," ucap Ki Dalu Dungga kasar.
"Senjata ini memiliki kekuatan yang begitu dah-
syat. Kalian tak pantas memilikinya," sergah Jaka.
Mata Ki Wungu Suta mendelik mendengar uca-
pan itu. "Setan! Kau harus mampus!" maki Ki Wungu Su-
ta geram. "Jaka Sembada tak takut mati. Raja Macan Lo-
reng!" balas Jaka tegas.
"Tapi sekarang kematianmu akan datang men-
jemput. Raja Petir!" tukas Ki Tunggul Sulada,
"Hiaaat..!"
"Yeaaat..!"
Tubuh Ki Tunggul Sulada langsung melesat me-
nerjang Jaka. Disusul Raja Macan Loreng, dan Ki Dalu
Dungga. "Berhenti...!"
Namun, belum lagi gerakan mereka mencapai
pada sasaran, sebuah bentakan berkekuatan tenaga
dalam tinggi telah memaksa ketiga tokoh beraliran se-
sat yang tengah berada di udara itu turun men-jejak
tanah. Tubuh Raja Macan Loreng, Tapak Iblis Utara
dan Buaya Sungai Tenggarong mundur satu langkah.
Orang-orang yang berada di sekitar rumah Ki
Sunara pun turut merasakan kedahsyatan bentakan
itu. Telinga mereka berdengung sangat kuat, hingga
menimbulkan rasa sakit
Tidak terkecuali Sumirah dan Nila Juwita yang
berada di ambang pintu. Tubuh Sumirah hampir ter-
banting ke belakang kalau tidak segera disanggah Nila.
Sumirah sedikit pun tidak memiliki kepandaian ilmu
silat, apalagi ilmu tenaga dalam. Untung bentakan itu
tidak berlanjut. Hingga Sumirah dan Nila Juwita dapat
menyaksikan kehadiran sosok lelaki berpakaian me-
rah. Namun, Sumirah masih merasa telinganya ber-
dengung. Tak berapa lama kemudian, sosok yang mengelu-
arkan bentakan dahsyat sekonyong-konyong melesat
dari belakang bangunan rumah Ki Sunara. Lalu men-
darat ringan sejauh dua tombak di samping Ki Sunara.
"Karmadana...!" ucap Ki Wungu Suta, Ki Dalu
Dungga, dan Ki Tunggul Sulada bersamaan, ketika
menatap sosok berpakaian merah yang berdiri di de-
pan mereka. Mata ketiga lelaki itu terbelalak tidak percaya. "Ki Karmadana...?"
ucapan bernada tak percaya pun terdengar dari mulut Ki Sunara.
*** 8 "Betul apa yang dikatakan Raja Petir, Wungu, Da-
lu dan kau Tunggul!" ucap sosok lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Sosok lelaki berpakaian merah itu masih nampak
gagah, meski sebagian rambutnya sudah memutih.
Tubuhnya yang terbungkus pakaian cukup ketat me-
nampakkan otot-ototnya yang kuat
"Karmadana! Apakah kemunculanmu untuk
mengambil Tombak Sangga Buana"!" tanya Ki Dalu
Dungga. "Ha ha ha.... Kau salah, Dalu! Untuk apa aku
mengambil senjata yang sudah berada di tangan orang
yang pantas memilikinya. Raja Petir adalah orang yang
paling cocok untuk menguasai senjata ampuh itu. Dia
seorang tokoh digdaya yang tidak sembarangan men-
gumbar kepandaian. Tokoh golongan putih yang bijak-
sana dan senang membela orang-orang lemah. Kupikir,
dialah orang yang pantas memiliki Tombak Sangga
Buana. Bukan kalian!" tegas perkataan yang keluar dari mulut Ki Karmadana yang
berjuluk Iblis Tombak
Merah. "Lalu untuk apa kau hadir di sini" Bukankah le-
bih baik kau bersembunyi seperti tikus comberan, se-
perti yang kau lakukan selama ini?" tukas Ki Tunggul Sulada.
"Untuk membantu mengamankan Tombak Sang-
ga Buana dari incaran manusia-manusia rakus seperti
kalian!" jawab Iblis Tombak Merah.
"Setan! Ternyata kau pun ingin cari mampus,
Karmadana!" maki Tapak Iblis Utara.
Lelaki bertubuh sedang yang mengenakan pa-
kaian hitam itu seketika bergerak cepat, menyerang Ib-
lis Tombak Merah yang sudah siap bertarung. Diiringi
teriakan nyaring, Tapak Iblis Utara melancarkan puku-
lan ke batok kepala Iblis Tombak Merah. Angin berci-
utan keras mengiringi serangan ganas Tapak Iblis Uta-
ra yang memainkan jurus 'Pukulan Iblis Murka'.
"Hiaaa...!"
Bettt! Bettt! Dengan ketenangan yang luar biasa, Karmadana
membawa mundur tubuhnya seraya menarik kepala
hingga melewati batas bahu. Gerakan lelaki berpa-
kaian serba merah itu sekilas nampak sederhana. Na-
mun, siapa sangka kalau gerakan itu mampu menye-
lamatkan nyawanya.
Sementara itu, Ki Dalu Dungga bukan main ge-
ramnya menyaksikan serangannya mampu dielakkan
lawan dengan begitu mudah. Dalam hati, dikaguminya
kemajuan ilmu Iblis Tombak Merah. Tapak Iblis Utara
menduga kalau Ki Karmadana memperdalam ilmu se-
lama dalam persembunyian-nya. Dengan kemarahan
yang sudah mencapai ubun-ubun, Tapak Iblis Utara
kembali melanjutkan serangan. Kali ini, tokoh sesat itu meloloskan senjata
andalannya yang berupa sebatang
tongkat berkepala tengkorak manusia.
"Jaga seranganku, Karmadana! Hiaaa...!"
Tapak Iblis Utara mengebutkan tongkatnya ke
arah iga lawan. Begitu kuat dan cepat kebutannya. Ta-
pi, kalah cepat dengan gerakan menghindar yang dila-
kukan Ki Karmadana.
Lelaki berpakaian serba merah itu telah lebih du-
lu menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat ke udara. Angin yang
timbul akibat gerakan kuat yang dilakukan Ki Karma-
dana mengeluarkan bunyi bergemuruh. Tubuh lelaki
itu berputaran indah di udara.
Jleg! "Hiaaa...!"
Bet! Bet! Sesaat setelah tubuh Ki Karmadana mendarat di
tanah, sebuah serangan susulan kembali harus diha-
dapinya. Maka tanpa pikir panjang, Ki Karmadana se-
gera meloloskan tombak pendek yang tersembunyi di
belakang tubuhnya. Lalu, memainkan serangkaian ju-
rus Tombak Sakti. Tombak pendek bermata dua dari
logam baja itu dimajukan menyilang untuk menangkis
sambaran tongkat Ki Dalu Dungga.
Trang...! Bunyi keras memekakkan telinga pun terdengar.
Benturan keras itu menimbulkan percikan bunga api.
"Ikh!"
Pekik tertahan keluar dari mulut Tapak Iblis Uta-
ra saat benturan keras itu terjadi. Tubuh lelaki terbalut pakaian hitam itu
mundur sejauh empat langkah.
Tapak Iblis Utara merasakan tangannya bergetar hebat
dan berdenyut nyeri.
Sementara Ki Karmadana hanya terhuyung mun-
dur sejauh dua langkah. Tenaga dalamnya memang se-
tingkat lebih tinggi dari Tapak Iblis Utara.
Rupanya, pertarungan yang terjadi bukan hanya
antara mereka berdua saja. Tapi, sudah menjalar anta-
ra Dua Buaya Sungai Tenggarong dan Raja Macan Lo-
reng menghadapi Raja Petir, Ki Sunara, dan Sirgaloka.
Sirgaloka dan Dinan Jayu nampak saling gem-
pur. Kedua lelaki yang bertarung demi seorang gadis
itu saling menunjukkan kebolehannya. Permainan pe-
dang Dinan Jayu dalam jurus 'Pedang Dasar Kedung'
begitu cepat, dan selalu terarah pada bagian-bagian
mematikan di tubuh lawannya. Sementara Sirgaloka
mengimbangi dengan gerakan-gerakan menghindar


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang manis. Namun, di balik gerakan menghindar itu
tersembunyi sebuah serangan yang mengancam kese-
lamatan Dinan Jayu. Sebuah jurus dahsyat yang ber-
nama 'Pedang Inti Teratai'.
"Terimalah balasan seranganku, Dinan! Heaaa...!"
Wuuung...! Pedang di tangan Sirgaloka berkelebat cepat ke
leher Dinan Jayu. Serangan tiba-tiba itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun Dinan
Jayu dengan manis mengelak dengan merendahkan
tubuhnya sambil memberikan sampokan ke ulu hati
lawan. "Heh"!"
Sirgaloka terkejut melihat kelincahan Dinan
Jayu. Lawannya itu ternyata masih sempat memberi-
kan serangan balasan di saat dirinya terancam. Na-
mun, keterkejutan Sirgaloka tak membuatnya lengah.
Dengan gerakan cukup manis, Sirgaloka menangkis
serangan balasan Dinan Jayu dengan bagian tengah
telapak kakinya.
"Hih!"
Plak! Benturan keras pun terjadi. Sambaran tangan
Dinan Jayu berhasil dipapaki telapak kaki Sirgaloka.
Tubuh dua lelaki yang tengah dimabuk api asmara itu
masing-masing terdorong tiga langkah. Kekuatan tena-
ga dalam mereka telah mencapai taraf yang sama.
Sementara pada pertarungan lain, Raja Petir ten-
gah dikeroyok Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada.
Dua lelaki yang berhasrat merampas Tombak Sangga
Buana dari tangan Jaka, nampak begitu bernafsu un-
tuk segera menjatuhkan lawannya. Ki Wungu Suta
yang bersenjatakan arit, berusaha mendesak Jaka
dengan babatan-babatan yang terarah ke bagian me-
matikan tubuh Raja Petir.
Begitu pula dengan Ki Tunggul Sulada. Trisula
hitam yang berada di tangannya, berkali-kali mengin-
car jantung dan ubun-ubun Jaka. Namun, incaran-
incaran senjata Ki Tunggul Sulada sejauh ini belum
menemui hasil. Dengan menggunakan jurus 'Lesatan
Lidah Petir' Jaka mampu membendung serangan-
serangan ganas kedua lawannya.
"Heaaat..!"
"Yeaaah...!"
Rasa penasaran membuat Ki Tunggul Sulada dan
Ki Wungu Suta gelap mata. Tanpa memikirkan siapa
lawan yang tengah dihadapi, keduanya kembali me-
rangsek maju. Senjata-senjata mereka teracung di
udara, penuh kekuatan tenaga dalam.
Menyaksikan amarah lawan yang tak terkendali,
Jaka mengembangkan senyum. Raja Petir ingin men-
guji lawannya dengan mengeluarkan pukulan jarak
jauh yang didapatnya dari Nyi Selasih, yaitu 'Pukulan
Pengacau Arah'.
Kaki kanan Jaka segera ditarik satu langkah ke
belakang. Sedangkan tangan kanannya yang tanpa
senjata diletakkan di atas pinggang. Ketika tangan ka-
nan Raja Petir yang dialiri kekuatan tenaga dalam di-
hentakkan, keluarlah angin yang bergulung-gulung,
meluruk deras ke arah Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul
Sulada yang tengah meluruk ke arahnya.
Wusss...! "Heh"!"
Raja Macan Loreng dan Buaya Sungai Tengga-
rong tercekat melihat angin dahsyat bergulung-gulung
menyebarkan hawa panas, melesat cepat menyongsong
mereka. Angin itu seperti pusaran maut yang siap me-
nelan apa saja yang menghadangnya.
Tanpa pikir panjang, Ki Wungu Suta dan Ki
Tunggul Sulada melempar tubuhnya ke lain arah,
menghindari terjangan angin maut yang tercipta dari
telapak tangan kanan Jaka. Keduanya bergulingan di
tanah beberapa kali. Pada saat kedua tokoh sesat itu
bergulingan di tanah, sesosok bayangan biru melesat
memasuki arena pertempuran.
"Maaf, Raja Petir. Namaku Ki Ajeng Guya, guru
Sirgaloka," ucap sosok berpakaian biru yang kini berdiri di sisi kiri Jaka.
"Kalau kau tak keberatan, aku akan menghadapi Buaya Sungai Tenggarong."
"Silakan," balas Jaka sopan.
*** 9 Ki Tunggul Sulada yang sudah bangkit berdiri
terkejut menyaksikan sosok berpakaian biru yang ber-
diri di sisi kiri Raja Petir. Sosok itu adalah milik Ketua Perguruan Teratai
Perak. "Siapa kau" Apa kau juga ingin merebut Tombak
Sangga Buana?" tanya Ki Tunggul Sulada di tengah de-ru napasnya yang memburu.
Telunjuk lelaki yang ber-
juluk Buaya Sungai Tenggarong ini menuding senjata
yang berada di tangan kiri Jaka.
"Namaku Ajeng Guya. Buaya Darat! Sedikit pun
aku tak berhasrat memiliki senjata yang bukan hak-
ku," jawab Ki Ajeng Guya. "Kedatanganku ke sini untuk menuntaskan urusanmu
dengan Sirgaloka, murid-
ku." "Hm.... Jadi Sirgaloka muridmu?" tanya Ki Tunggul Sulada bernada
meremehkan. "Pantas lagakmu
pun seperti banci!"
Ki Ajeng Guya tersenyum mendengar ucapan Ki
Tunggul Sulada.
"Menurut cerita yang kudapat dari Sirgaloka. Kau
yang sudah tua bangka seperti itu masih mencampuri
urusan anak muda, urusan cinta. Apakah bukan seba-
liknya kau yang harus disebut banci"!" balik Ki Ajeng Guya. "Cobalah berkaca
dengan kelakuanmu, Buaya
Buntung!" Ki Tunggul Sulada geram bukan kepalang men-
dengar ucapan balik Ketua Perguruan Teratai Perak
itu. Seketika itu juga tubuhnya melejit menyerang Ki
Ajeng Guya. Sebuah pukulan lurus ke dada di-
lancarkan Ki Tunggul Sulada, setelah lebih dahulu
mengeluarkan pekik kemarahan yang meluap. Pukulan
itu adalah "Tinju Raja Buaya'.
"Haaat..!"
Bettt! Tubuh Ki Ajeng Guya melejit ke samping kanan
menghindari serangan lawan. Tapi, sungguh tak dis-
angka kalau dua jengkal lagi serangan Ki Tunggul Su-
lada mendarat Buaya Sungai Tenggarong menghenti-
kan gerakannya secara mendadak. Kemudian meru-
bahnya menjadi tendangan cepat yang tertuju ke dada.
Ki Ajeng Guya yang terkejut menyaksikan kece-
patan perubahan serangan lawan, tak sempat berbuat
sesuatu. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya, Ketua Perguruan Teratai Perak itu
memapaki tendangan keras Ki Tunggul Sulada.
Plakkk! Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Dua tu-
buh yang masing-masing terbalut pakaian biru dan hi-
jau terpental deras dan jatuh berdebuk di tanah.
Bruk! Bruk! "Aaa...!"
Di tengah bunyi berdebuk itu terdengar jerit ke-
matian melengking tinggi. Semua yang terlibat pertem-
puran menoleh sesaat ke arah jeritan yang menyayat
hati itu. "Hah"!"
Ki Tunggul Sulada terkejut menyaksikan tubuh
Ki Dalu Dungga tergeletak bersimbah darah. Kepala
laki-laki berjuluk Tapak Iblis Utara itu tertancap sebi-lah tombak kecil.
Rupanya, Ki Karmadana berhasil
menyudahi perlawanan lawan.
Kematian Tapak Iblis Utara berpengaruh pada Ki
Tunggul Sulada, Ki Wungu Suta dan Dinan Jayu. Se-
mangat bertarung mereka mulai menurun. Dinan Jayu
terlihat mulai terdesak hebat. Berkali-kali serangan
Sirgaloka memaksanya terus-menerus mundur, tanpa
sedikit pun memberikan serangan balasan. Hingga su-
atu ketika serangan Sirgaloka tak mampu dielakkan-
nya. "Hiaaa...!"
Bugkh! "Ugkh...!"
Tubuh Dinan Jayu terhuyung ketika tendangan
keras Sirgaloka mendarat telak di perutnya. Rasa mual
yang dirasakan Dinan Jayu mengiringi ambruknya tu-
buh murid Ki Tunggul Sulada itu.
Bruk! Melihat kesempatan baik itu, Sirgaloka bermak-
sud menghabisi nyawa lawan. Tubuhnya berkelebat
dengan pedang teracung di udara.
"Hiaaa...!"
"Jangan, Kakang Sirga!" larang sebuah suara.
Sirgaloka yang tengah berada di udara seketika
menghentikan gerakannya. Kepalanya ditolehkan ke
arah datangnya suara yang sudah cukup dikenalnya.
Tampak Nila Juwita berlari menghampiri.
"Jangan bunuh dia, Kakang," ucap Nila sambil merangkul pinggang Sirgaloka.
"Ah! Kau, Nila. Kenapa kau melarangku untuk
membunuhnya?" tanya Sirgaloka lembut. Namun na-
pasnya yang memburu terdengar jelas.
"Aku tak ingin kau menjadi seorang pembunuh,"
jawab Nila. Sirgaloka mengembangkan senyum. Rasa cembu-
ru yang sempat mengisi hatinya seketika sirna.
"Baiklah" ucap Sirgaloka sambil membawa tubuh Nila menjauhi Dinan Jayu yang
tengah terkulai menahan sakit
Pertarungan yang sudah mereda membuat Ki
Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada salah tingkah.
Maksud hati mereka hendak merebut kembali Tombak
Sangga Buana sedikit mengendur. Tapi, untuk menga-
lah dalam perebutan itu adalah hal yang mustahil.
Maka, setelah mengumpulkan segenap semangat yang
ada, Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada kembali
bangkit meneruskan pertempuran.
Ki Wungu Suta yang menaruh dendam pada Iblis
Tombak Merah, memilih lelaki itu sebagai lawannya.
Seketika, tubuhnya berkelebat cepat menyerang Ki
Karmadana. "Hiyaaa...!"
Sementara Ki Wungu Suta tengah bertempur me-
lawan Ki Karmadana, dengan liciknya Ki Tunggul Su-
lada membokong Sirgaloka dan Nila Juwita dengan
senjata rahasia yang belum sempat dikeluarkannya.
Maka ketika tubuhnya bergerak, dari balik lengan pa-
kaiannya yang sedikit longgar meluncur puluhan sen-
jata rahasia berbentuk kuku-kuku buaya.
Wrrr...! Sirgaloka yang tengah merangkul pinggang Nila
Juwita tak melihat luncuran senjata rahasia yang
mengandung racun ganas itu. Luncuran senjata raha-
sia itu begitu cepat datangnya. Hingga....
"Heh"!"
Jaka terkejut saat menangkap luncuran puluhan
senjata rahasia ke arah Sirgaloka dan Nila Juwita itu.
Nalurinya yang peka membuatnya cepat menggerak-
kan tangan untuk memainkan jurus 'Pukulan Penga-
cau Arah'. "Sirga, Nila! Awasss...!"
Wusss...! Serangkum angin keras melesat cepat ke arah
senjata-senjata rahasia Ki Tunggul Sulada. Sementara
Sirgaloka dan Nila Juwita membuang diri. Hingga....
Prats! Prats! Prats!
Puluhan senjata rahasia itu berpentalan ke ber-
bagai arah, ketika serangkum angin deras yang tercip-
ta dari jurus 'Pukulan Pengacau Arah' Raja Petir da-
tang menyambut. Ki Tunggul Sulada kaget menyaksi-
kan senjatanya dapat dilumpuhkan.
"Aaakh...!"
Keterkejutan Ki Tunggul Sulada semakin bertam-
bah ketika sebuah jeritan melengking tinggi keluar dari mulut Dinan Jayu. Ki
Tunggul Sulada segera menghampiri tubuh muridnya.
"Ah...!"
Ki Tunggul Sulada tak mengira kalau senjata ra-
hasianya menghilangkan nyawa muridnya sendiri. Ru-
panya, puluhan senjata beracun yang berbentuk kuku
buaya itu beberapa di antaranya nyasar ke tubuh Di-
nan Jayu, ketika berpentalan terusir pukulan Jaka.
Tubuh lelaki berpakaian hijau itu seketika berubah hi-
jau. Pengaruh racun itu demikian dahsyat. Hingga saat
itu juga nyawa Dinan Jayu pergi meninggalkan raga.
"Hmhhh..,!" Ki Tunggul Sulada menggereng kuat melihat kenyataan itu.
Dengan menghunus senjata, tokoh sesat itu me-
lejit menyerang Jaka. "Hiaaa...!"
"Tahan!"
Sebuah bentakan keras terdengar.
Ki Tunggul Sulada dengan sangat terpaksa men-
gurungkan niatnya. Suara bentakan itu memiliki per-
bawa kuat. Wajah Buaya Sungai Tenggarong terlihat
begitu geram. Tiba-tiba melesat tiga sosok tubuh berpakaian
putih. Gerakan yang dilakukan mereka begitu indah
dan ringan, mencerminkan ketinggian ilmunya. Begitu
juga cara mereka mendarat di tanah, ringan dan tanpa
menimbulkan suara.
Ki Tunggul Sulada terperangah beberapa saat.
Apalagi ketika mengetahui di antara tiga sosok tubuh
itu satu di antaranya seorang perempuan yang berpa-
ras cantik. Dua lelaki dan seorang perempuan yang
baru datang itu menatap wajah Buaya Sungai Tengga-
rong lekat-lekat


Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan kami, Kisanak," ucap perempuan ber-
paras cantik. Tubuh perempuan itu padat berisi, sesuai dengan
tingginya. Matanya bulat bercahaya yang menampak-
kan kilat kebengisan. Rambutnya panjang hitam dike-
pang kelabang, dan pada ujungnya terdapat dua buah
pisau pipih yang masing-masing berwarna hitam dan
merah. "Kami adalah Tiga Hantu Lembah Pucung yang
tidak bermaksud menghalangimu melenyapkan bocah
sombong itu!" lanjut perempuan cantik itu sambil menuding wajah Jaka.
"Betul, Kisanak," timpal lelaki berpakaian putih yang berambut jarang dan
berkumis lebat "Kami tak bermaksud mencegahmu membunuh Raja Petir. Tapi
kami ingin ikut melenyapkan tokoh yang selama ini
merintangi langkah golongan hitam."
"Kenapa kalian ingin membunuhnya?" tanya Ki
Tunggul Sulada.
"Dendam!" jawab perempuan cantik berpakaian
putih. Jaka tak berusaha mengomentari pembicaraan
itu. Ingin diketahuinya lebih dulu alasan pasti Tiga
Hantu Lembah Pucung turut campur dalam pertarun-
gan ini. Dendam apa yang dimaksud mereka.
"Ya. Dendam!" sambut lelaki berpakaian putih yang bertubuh ringkih. "Kami ingin
menuntut balas atas kematian saudara seperguruan kami, Hantu Putih
Lembah Pucung!"
Ki Tunggul Sulada tak lagi angkat bicara setelah
mendengar jawaban tegas Tiga Hantu Lembah Pucung.
Ki Tunggul Sulada kini melempar tatapannya ke arah
Jaka. Tiga Hantu Lembah Pucung pun menatap lurus
wajah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Raja Petir! Kenalilah! Namaku Saraswati dan ke-
dua rekanku Saladra serta Madaga. Kami bertiga sau-
dara seperguruan Hantu Putih Lembah Pucung! Bu-
kankah kau mengenalnya?" ujar perempuan cantik itu.
"Ya. Dia sudah lebih dulu pergi ke neraka!" (Untuk lebih jelasnya, silakan baca
serial Raja Petir dalam episode "Asmara Sang Pengemis").
"Bangsat!" maki Saladra sambil mencabut pe-
dang. "Kita ringkus sekarang saja bocah usil itu!"
"Ayo!" sambut Saraswati dan Madaga.
Tiga Hantu Lembah Pucung bergerak mengurung
Jaka. Dibantu Ki Tunggul Sulada yang tak mau ke-
tinggalan mencincang tubuh Raja Petir.
"Hiaaa...!"
Teriakan pertama keluar dari mulut Saladra. Le-
laki itu memang memiliki watak bengis dan tak saba-
ran. Tubuhnya melesat dengan mengarahkan pedang-
nya ke batang leher Raja Petir. Demikian pula Saras-
wati dan Madaga.
Tiga serangan yang datang dari arah yang berbe-
da harus dihadapi Jaka. Dan ketika tiba-tiba dengan
teriakan keras tubuh Ki Tunggul Sulada melesat me-
nerjangnya, lengkap sudah empat penjuru angin diku-
asai lawan-lawan Raja Petir.
Sirgaloka dan Nila Juwita yang ingin membantu
Raja Petir mengurungkan niatnya. Mereka tak ingin
menyinggung perasaan Jaka. Lagi pula, mereka belum
melihat pemuda berpakaian kurang keemasan itu ke-
walahan. Sementara Jaka tetap tenang menanggapi ser-
buan lawan-lawannya. Ditunggunya serangan lawan
datang lebih dulu.
"Hiaaat..!"
"Uts!"
"Hop!"
Tubuh Raja Petir melejit bagai kilat ketika lawan
pertama yang menyerangnya mendaratkan babatan
pedangnya ke arah leher. Jaka berputaran di udara se-
telah tadi mengeluarkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Keempat lawannya terkagum-kagum menyaksikan ke-
cepatan gerak Raja Petir. Namun mereka tak putus
asa, terus mengejar tubuh Jaka.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Ops!"
Sambaran-sambaran pedang Tiga Hantu Lembah
Pucung terus berkelebatan mencecar tubuh Jaka. Tapi
tak satu pun yang mampu menyentuh tubuh pemuda
itu. Angin berciutan menimpali serangan yang mem-
bentur tempat kosong.
"Brengsek! Bisa habis napasku kalau terus
menghindar!" maki Jaka dalam hati.
"Hiaaa...!"
"Hop!"
Ketika serangan Ki Tunggul Sulada datang, Raja
Petir menggenjot tubuhnya melenting ke belakang. Ja-
ka ingin mengambil jarak bertarung. Tubuhnya me-
lenting jauh ke belakang. Dan ketika mendarat, Ki
Tunggul Sulada kembali memburunya.
"Haaat..!"
"Hiaaa...!"
Kali ini. Raja Petir tidak menghindari serbuan
Buaya Sungai Tenggarong. Tubuhnya mencelat dengan
mengeluarkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak! Diegkh...! Setelah menangkis dua serangan Ki Tunggul Su-
lada, Jaka dengan gerakan luar biasa cepat menyo-
dokkan lututnya ke dada tokoh sesat itu.
"Aaakh...!"
Buaya Sungai Tenggarong menjerit keras. Sodo-
kan lutut Jaka dilakukan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Brak! Tubuh Ki Tunggul Sulada jatuh berderak ke ta-
nah. Darah segar bermuncratan dari mulutnya. Seke-
tika itu juga nyawa Ki Tunggul Sulada melayang.
Tiga Hantu Lembah Pucung tampak tidak terke-
jut melihat kematian Ki Tunggul Sulada. Malah keliha-
tan senang, karena mereka akan leluasa melenyapkan
Raja Petir. Dengan pemikiran itu, Tiga Hantu Lembah Pu-
cung kembali meneruskan serangan. Kali ini, serangan
yang datang bagai gelombang samudera yang tak per-
nah putus. Ya! Itulah jurus andalan mereka 'Gelom-
bang Samudera'.
Senjata-senjata Saraswati, Saladra, dan Madaga
berdesingan bagai suara lebah. Bentuk senjata-senjata
itu hilang. Hanya gulungan sinar-sinar putih yang ter-
lihat "Hiaaa...!"
Wuuung! Wuuung!
Berkali-kali serangan itu hampir mendarat di leh-
er dan dada Jaka. Namun, Raja Petir yang tetap men-
gandalkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' masih mampu
membebaskan diri dari maut. Tetapi ketika serangan
lawan dirasakan semakin ganas, Jaka segera menge-
rahkan jurus 'Menggiring Awan' untuk menimpali se-
rangan itu. "Hiaaa...!"
Jaka mengembangkan tangannya dengan kekua-
tan tenaga dalam penuh. Pukulannya diarahkan pada
Saraswati, yang menurutnya sebagai sumber kekuatan
Tiga Hantu Lembah Pucung. Maka, seketika itu juga...
"Hiaaa...!"
Blep! Blep! "Heh..."!"
Raja Petir terkejut ketika pukulan yang dikerah-
kan dengan tenaga dalam itu, seperti menyentuh ben-
da kenyal ketika mendarat di perut Saraswati. Semen-
tara, perempuan jelita itu tersenyum melihat keterke-
jutan Jaka yang tak mampu menembus ilmu 'Lembah
Dalam Lumpur' miliknya.
"Hi hi hi ...!" Saraswati tertawa terkikik. "Hari ini kau akan mampus. Raja
Petir! Apa pun ilmu yang kau
keluarkan, tidak akan bermanfaat untuk menjatuhkan
kami. Lakukan sekali lagi kalau kau tak percaya."
Usai berkata begitu, Saraswati meraih tangan Sa-
ladra. Kemudian Saladra segera meraih tangan Mada-
ga. Dan, tangan-tangan mereka saling bertautan mem-
bentuk kekuatan gabungan.
"Ayo lakukan, Raja Petir! Keluarkan ilmumu yang
paling hebat!" ucap Saraswati pongah.
"Jangan salahkan aku jika kalian mampus seka-
rang!" timpal Jaka sambil meloloskan Sabuk Petir dari pinggangnya. Sinar
kehijauan memancar dari sabuk
petir di tangannya.
"Lakukanlah! Jangan malu-malu!" ucap Saraswa-ti bergema.
"Baik! Hiaaa...!"
Jaka berteriak kuat sambil mengerahkan jurus
inti 'Petir Membelah Malam'. Maka....
Slaps...! Glegar...! Bunyi ledakan keras terjadi saat sinar yang mirip
lidah petir menyambar tubuh Tiga Hantu Lembah Pu-
cung. Tapi, bukan main terkejutnya Raja Petir me-
nyaksikan lawan masih berdiri tegak di tempatnya.
Tanpa tergeser sedikit pun! Apalagi melukai tubuh me-
reka. "Hi hi hi.... Masih adakah Ilmu yang lain, Jaka?"
tanya Saraswati. "Keluarkan saja senjata yang menggelantung di lehermu. Untuk
apa disimpan. Tunjukkan
kehebatan pedang itu pada kami!"
Setelah mempertimbangkan permintaan sombong
Saraswati, Jaka segera mengeluarkan senjata pusa-
kanya, Pedang Petir.
"Jangan menyesal kalian!" ucap Jaka berat. Suasana di sekitar tempat pertarungan
seketika berubah
gelap. Suara guntur terdengar saling bersahutan di ke-
jauhan. Angin bertiup keras. Dan, lidah petir menjilat-jilat pedang Jaka yang
teracung ke udara dan memen-
darkan sinar kemerahan. Seiring dengan suasana alam
yang kembali terang dan tak terdengar lagi suara gun-
tur di kejauhan, Raja Petir bergerak sambil memekik
keras. "Hiaaat..!"
Tiga Hantu Lembah Pucung terkejut menyaksi-
kan kedahsyatan ilmu Jaka. Mereka ingin menghindar,
namun serangan Jaka terlalu cepat datangnya. Hing-
ga.... Bret! Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tiga lengkingan panjang seketika terdengar
membubung ke angkasa. Tak lama setelah itu tubuh
Saraswati, Saladra dan Madaga bertumbangan ke ta-
nah dengan perut menganga lebar terbabat senjata pu-
saka Jaka. Tiga Hantu Lembah Pucung langsung me-
nemui ajal! Jaka menarik napas lega. Senjatanya kembali di-
kalungkan ke leher, setelah terlebih dahulu dibersih-
kan dari darah yang mengotori ujung pedangnya.
"Aaakh...!"
Lengking menyayat kembali terdengar. Lengkin-
gan itu ternyata keluar dari mulut Ki Wungu Suta.
Kening tokoh sesat itu tertembus ujung tombak Ki
Karmadana. "Hhh...!"
Ki Karmadana menarik napas menyaksikan ke-
matian Ki Wungu Suta. Setelah mencabut senjatanya
yang terbenam di kepala Raja Macan Loreng, Ki Kar-
madana segera menghampiri Raja Petir.
"Terima kasih, Raja Petir. Kau telah menyela-
matkan Tombak Sangga Buana. Kalau kau mau, sim-
panlah senjata itu," ucap Ki Karmadana.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Iblis Tombak
Merah. "Menurut Ki Sunara, selama ini kau mengasing-
kan diri dari keramaian rimba persilatan. Nah. Seka-
rang asingkanlah pula Tombak Sangga Buana ini. Jan-
gan biarkan senjata dahsyat ini jatuh ke tangan orang-
orang tak bertanggung jawab," ucap Jaka, menimpali ucapan Ki Karmadana.
"Ah, ya. Ki Karmadana, Ki Sunara, dan Ki Ajeng.
Sudah terlalu lama aku meninggalkan Mayang. Aku
khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku permisi se-
karang!" lanjut Jaka mohon diri.
Belum lagi ada jawaban dari orang-orang yang
berada di tempat itu, tubuh Jaka sudah melesat cepat
"Hop!"
Jaka pergi dengan menggunakan ilmu lari cepat-
nya. Dalam sekejapan saja, tubuh tokoh muda yang
berjuluk Raja Petir itu telah lenyap dari tatapan mata Ki Karmadana, Ki Ajeng
Guya, Ki Sunara dan yang
lainnya. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Remaja 12 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Makam Bunga Mawar 32
^