Pencarian

Tangan Tangan Setan 1

Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Apabila ada nama, tempat kejadian
ataupun cerita yang bersamaan,itu hanyalah suatu kebetulan belaka.Cerita ini adalah fiktif
'TANGAN-TANGAN SETAN Oleh: Abdullah Harahap Diterbitkan oleh : Gultom Agency, Jakarta
Cetakan pertama : 1993 Setting : M. Yohandl. Hak penerbitan :ada pada Gultom Agency
Dilarang memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit SATU MALAM belum begitu larut. Baru sekitar pukul
sembilan lewat beberapa menit. Di ruang tengah
sebuah rumah kost untuk kaum bujangan. tiga
orang pemuda tengah asyik menekuni siaran
warta berita di televisi Demikian tercurah perhatian
mereka kelayar tivi, sehingga tak seorang pun
menyadari adanya perubahan sikap seekor kucing
belang jantan yang meringkuk di jok satu-satunya
kursi kosong di ruangan itu.
Semula si kucing belang tidur mendengkur.
lalu mendadak. sepasang matanya nyalang terbuka. Binatang rumah itu peian~pelan berdiri.
Moncongnya mengeluarkan suara menggeram,
sementara bulu-bulu tubuhnya pada berdiri tegak.
Matanya yang bening berwarna kehijau-hijauan
menatap liar ke arah sebuah kamar tidur yang
pintunya terbuka. Orang yang seharusnya duduk
di kursi yang ditempati si kucing. tampak rebah
menelentang di atas sebuah ranjang kecil. la
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima-an, tidak terlalu tampan tetapi dengan dagu
yang kokoh pertanda kemauan keras.
Saat itu, Januar berbaring tanpa bergerak-gerak. Tubuhnya terbujur. Kaku. tak ubahnya
sesosok mayat yang dibiarkan dingin membeku.
Tetapi jelas ia masih hidup. Karena dadanya
kelihatan turun naik, Keras. tidak beraturan. Mulut
nya terbuka. memperdengarkan suara megap
megap. sementara dari lubang-lubang hidungnya
keluar suara nafas memburu. Sebenarnya, posisi
Januar ketika itu tidaklah persis benar posisi orang
mati. Kedua lengannya tergeletak horizontal di
atas perut. la memegang sebuah buku tebal.
dengan kesepuluh jarinya mencengkeram kedua
tepian buku. Betapa kuatnya ia mencengkeram
terlihat dari buku jari-jarinya yang memutih. Bah kan tekanan kukunya menyebabkan salah satu
bagian buku yang ia pegang, tampak lengkung
dan agaknya sudah robek sebagian tanpa ia
sadari. Tetapi Januar tidaklah sedang membaca buku
yang dimaksud. Betul ia membacanya. namun itu
beberapa detik sebelumnya. Kini. sepasang bola
matanya yang membelalak tanpa berkedip tidak
lagi terarah ke buku. Melainkan. ke langit-langit
kamar tidurnya. Tidak ada sesuatu yang aneh di
sana. Kecuali salah satu eternit telah retak, lalu
bercak kekuningan bekas air hujan yang menetes
dari bocoran atap. Walau demikian, Januar tetap
saja berbaring dengan posisi yang aneh itu. Terbujur kaku mencengkeram buku sekuat-kuatnya.
mulutnya megap dan nafas terengah-engah. Lalu.
matanya. Mata itu diwarnai teror!
Jauh di dalam sanubarinya. Januar ingin memekik. "Tolooongl" Namun lidahnya terasa kelu.
teramat kelu. Jauh di hati kecil. Januar ingin
meronta lantas lari terbirit-birit. Namun persendian
tubuh. kejang bagai disetrum. Telinganya menangkap suara hingar bingar televisi dl ruang
tengah. Lalu suara salah seorang temannya yang
juga mahasiswa "... wah. Itu sungguh pembunuhan biadab ..'
Seorang lainnya -Januar tahu itu pasti si
Naungan yang bekerja sebagai redaktur salah
satu surat kabar mingguan. memperdengarkan
komentar bernada pahit: 'Terlalu !' 'Namanya juga pembunuhan. Tentu saja..."
'Yang keterlaluan, bukan pembunuhnya !'
rungut Naungan. "Jadi"' ' "Banjir darahnya itu!"
"Namanya juga..."
"tak mengerti juga kau yang kumaksud. Begini. Koran atau majalah dilarang keras memuat
ganbar-gambar sadis. Tetapi mengapa televisi
yang notabene adalah milik...
Astaga! Apa pula yang mereka bicarakan itu !
"Tidakkah mereka dengar suaraku minta tolong"
jerit Januar. tertekan dalam hati. Oh, andai saja
dia bisa beringsut barang sedikit Atau, lepaskan
saja buku itu. Biar jatuh ke lantai. dan mereka
dengar! Hampir putus asa. Januar lalu teringat
pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang dapat
menolong. begitu keluh Januar... mula kesakitan
karena kekejangan yang terus mendera tubuhnya.
Jantungnya pun seakan sudah akan meledak, tak
_mampu membendung perjuangan raga maupun
jiwanya untuk melakukan sesuatu, walaupun itu
misalnya cuma suatu erangan lemah saja.
'Aku harus mengucapkan sesuatu. Biar dalam hati.
penguslr setan jahanam... tetapi...
! Apa bunyi ayat kitab suci itu" Padahal.
sehari-hari aku membacanya. Apakah..." Januar
semakin sesak nafas. Apakah ia akan mati dalam
beberapa detik mendatang ini; mati penasaran,
dengan rupa yang akan membuat ngeri setiap
orang" "Ayat suci itu... satu kalimat pendek saja.
Bismillah... aduh, bukan Sebelumnya! istigfar...
astaghfirulah... aduh. apa,... Audzubillah dan, tibatiba
Januar mendapatkannya- Dan dia melafazkannya
dengan suara yang di telinganya merupakan suatu
jeritan keras yang mampu menggoncangkan seisi
- rumah: 'Ya Allah. Jauhkan aku dari godaan setan' terkutukl'
Bersamaan dengan itu, di balik eternit terdengar suara berisik liar. Hanya sepersekian detik
terdengarnya bunyi yang aneh 'itu, lalu kemudian
disusul bunyi lain yang aneh itu, lalu kemudian
disusui bunyi lain yang lebih keras buku di tangan
Januar terhumbalang ke lantai. Pelan-pelan Januar mengusapkan telapak tangannya ke wajahnya yang pucat pasi. Menyadari, bahwa wajahnya
telah bersimbah peluh. Begitu pula sekujur tubuh.
la akhirnya dapat beringsut. Lunglai dan letih
sekali perasaan Januar, manakala ia mencoba
duduk di tepi ranjang. Mengatur nafas. Kelopak
matanya mengedip ngedip. memperhatikan teman-ternannya satu kost yang tertawa serempak.
Rupanya ada sesuatu yang lucu mereka lihat di
pesawat televisi warna ukuran 14 inci itu. ia juga
melihat sang kucing. Si belang, setelah menggeram lemah, bulu-bulu dl sekujur tubuhnya kembali ke posisi nommal. Tetapi mata kucing itu masih
tetap misterius. Tidak ke wajah Januar yang melangkah tersuruk-suruk keluar dari kamar. Kucing
itu justru menatap ke eternit di dalam kamar tidur
Januar. Setelah menggeram sekali lagi kucing itu
kemudian meluncur dari kursi dan menghilang di
dapur. Naungan yang pertama melihat kehadiran
Januar. Terbelalak sejenak, ia kemudian bertanya
setengah bergumam: "Mimpi buruk lagi, kawan"
Januar menarik nafas panjang. Lalu berkata
letih: "Aku sadar. Sesadar-sadarnya !'
Yang lain-lain segera berpaling, ikut memperhatikan wajah Januar yang masih memperlihatkan
sisa-sisa ketegangan. Sebelum seorang pun
membuka mulut, Januar sudah menjelaskan: 'Barusan tadi, aku mengalaminya lagi."
Tigor, teman satu kuliah Januar, menelan
ludah. Lantas bertanya setengah berbisik: 'Dimana. kali ini?"
'Di para-para' jawab Januar.
Ketiga orang temannya satu kost, sama mengawasi Januar. Seterusnya, mereka saling meng-
awasi satu sama lain. Cemas dan kuatir. Tigor
menyarankan: "Sebaiknya kita tunggu sampai
pagi tiba." Amsar. pemuda satunya lagi yang juga mahasiswa te tapi di perguruan tinggi lain, bergumam .
lirih "Apakah tidak lebih baik, kalau..."
ucapannya terputus manakala terdengar
ra ribut-ribut dari kamar tidur Januar. Datangnya
suara itu, tak mungkin lain: para-para. Si belang
entah sejak kapan telah naik rupanya ke para-para
dan kini mengeong dan menggeram liar. Ngeong
dan geraman kucing itu masih terdengar sampai
matahari terbit keesokan harinya. Sementara Januar duduk merungkut dengan wajah pucat di luar
rumah, tiga orang temannya bersama-sama naik
ke atap. Salah seorang dari mereka memekik
tertahan. Tigor yang paling berani. la menyodokk an kaitan bambu ke bagian atap yang gentingnya
telah mereka singkirkan. Kaitan itu diangkat Tigor lagi dengan hati-hati.
Lalu matahari pagi, seakan tersentak kaget
ketika tampak di ujung kait bambu itu meliuk lemah
bangkai seekor ular hitam berbintik-bintik kuning.
---- Meskipun tubuhnya kecil mana kurus pula,
orangtua itu memiliki kulit yang sehat dengan
wajah jernih berseri-seri. la eratkan ikatan sorbannya yang agak longgar. sambil matanya mengawasi Januar yang duduk berslia di atas sehelai
tikar. Cangkir teh di depan pemuda itu masih terisi
penuh. "Minumlah selagi masih hangat." orangtua itu
mempersilahkan. Setelah Januar mematuhi perintahnya. ia melanjutkan dengan nada bimbang
'Nak Nuar yakin bahwa semua itu bukan suatu
kebetutan belaka" Januar mengangguk. 'Yakin, Pak Zakaria,"
katanya berdesah. "sudah tiga kali aku mengalami
peristiwa serupa. Mengalami mimpi buruk di kala
pikiran dan jiwaku sadar. Ketiga-tiganya dengan
buntut yang sama: kami temukan bangkai-bangkai ular." Januar menghela nalas berat, terengah-engah sebentar. Wajahnya keruh ketika la mengingat kejadian-kejadian yang menimpa dirinya.
lanjut Januar, lirih: "tiga malam berturut-turut, Pak
Zakaria. Dan tiga ekor bangkai ular. Bangkai
pertama, di bawah jendela kamarku. Malam berikutnya, dl luar phtu... aku punya pintu keluar
masuk sendrl. Terakhir, yang di atas para itu."
"Bukan bangkai ular yang sama?"
"Jelas bukan, Pak. Besar maupun warna sisiknya berlain-lainan."
'Dan, kau melihat ular-ular itu dalam mimpimu....'
"Bukan mlmpl biasa, Pak Kecuali, bayangan
gaib di kala kita sadar dapat dikatakan mimpi..."
"Bayangan ular?"
'Sesuatu menyerupai ular. Sesuatu yang besar, hitam pekat Bagaikan lorong gelap. yang kian
dimasuki kian bertambah lebar, juga kian bertambah gulita. Rasanya aku terjebak ke lorong
gelap mengerikan itu. Pada saat bersamaan, aku
sadar bahwa suasana di sekelilingku terang benderang, atau ada-orangorang yang kukenal di
sekitarku. Apa yang terjadi di sekeliling. juga
kuketahui. Namun, arwahnya... segala sesuatu itu
mendadak ditelan kegelapan yang sangat gulita.
Di dalam kegelapan itu. aku merangkak sendirian.
Mencari jalan ke luar, yang selalu sia-sia. Lalu
kemudian kudengar suara seseorang. Sangat jauh
dan samar, sehingga aku tak pasti apakah itu
suara seorang lelaki atau seorang wanita. Orang
itu memanggil-manggil namaku. Jelas, suaranya
bernada takut dan mengharapkan aku dapat menolong dan melindunginya. Kemudian, dalam kegelapan itu, samar-samar aku lihat bayangan
seseorang mendatangi dari kejauhan. Sosoknya
begitu kabur. la berlari tunggang lenggang, sambil
menjerit-jerit ketakutan. Aku merasa ia melarikan
diri dari sesuatu. Sesuatu yang teramat mengerikan. Ketika ia hampir mencapai diriku... mendadak
kegelapan itu menelannya. Sayup-sayup, kudengar jerit tangisnya yang memilukan hati. la seperti
mengalami siksaan azab yang tidak tertan ggungkan. Sementara aku hanya terpaku kaku di temp atku. Kejang oleh ketegangan. beku oleh kengerian.
putus asa oleh tiadanya sesuatu usaha yang dapat
kuperbuat untuk menolong dia. Setelah itu, semuanya berakhir....'
"Tambah minumannya?" bisik ajengan Zakaria, lembut.
Januar yang bergemetaran membayangkan
gambaran buruk yang menghantuinya itu, menggelengkan kepala .la tidak terperangkap oleh
lorong gelap, atau terancam oleh bahaya mengerikan itu. Melihat senyum di bibir si orangtua.
Januar merasa aman dan terlindungi. 'Apalagi
yang ingin Bapak ketahui?" tanyanya hati-hati.
'orang yang berupa bayang-bayang itu. Kau
tak pasti. apakah la laki-laki atau perempuan,
suaranya pun tidak begitu jelas. Tetapi coba
'ingat-lngat, Nak. Apakah selama bayangan peristiwa itu berlangsung, kau merasa orang itu kau
kenali. atau paling kurang, ada ikatan batin
dengan dirimu?" Sekujur tubuh Januar mendadak terasa
dingin, 'Baru kuingat," bisiknya tersentak. 'Rasanya
aku mengenali dia. Seolah, aku dan dia, tak
terpisahkan." "Dia siapa, Nak Nuar"'
"Entahlah" "Jangan ragu-ragu, Nak!
'Yang pasti, begitu la lenyap... rasanya ada
sesuatu yang hilang dari diriku. Sesuatu yang
sangat besar artinya..."
"Dari alam pikiran, atau alam akalmu"
"Saya tak mengerti, maksud Pak Zakaria."
_"Begini. Alam akal, sifatnya mutlak, Kau menerima atau menolak sesuatu, karena kau ada,-
itu merupakan suatu kodrat. Bila alam pikiran,
sifatnya tidak tetap. Karena apa yang dipikirkan,
belum tentu dapat kita miliki. Kaitannya dengan
manusia, alam akal menunjuk pertalian darah,
Segudang alam pikiran. baru merupakan pertalian
batin...." Paru-paru Januar terasa kering. Dia dapat
menangkap penjelasan ajengan Zakaria. Dan,
kenyataan itu membuatnya tidak enak hati. Katanya setengah berbisik: 'Kalau tidak salah. dia ada
dalam alam pikian saya"
'Sekarang. Nak. Dia itu. siapa"
Sebelum menyebut nama, dan pertalian antara dirinya dengan si orang punya nama. Januar
geleng-geieng kepala. Dan suaranya riang ketika
ia menjelaskan: "Hubungan kami baik-baik saja.
Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan. Sekarang ia sedang pulang-kampung. Dijemput
orangtuanya. Dan...."


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dingin lagi sekujur tubuh Januar. Nada riang
lenyap dari suaranya ketika melanjutkan: "Waktu
dijemput, ia tak sempat pamit padaku. Kepulangannya begitu tiba-tiba, dan agaknya teramat
mendesak. Bahkan Oomnya dengan siapa ia tinggal di kota ini. tidak diberitahu apa-apa. Oomnya
itu menjelaskan padaku, bahwa ia dijemput ayahnya sendiri... yang tampaknya merasa cemas akan
sesuatu..." "Jadi dia itu... seorang kekasih" tanya ajengan Zakaria. lembut.
Januar menganggukkan kepala dengan kulit
muka bersemu merah. "Kami suddl berencana
untuk menikah, Pak Zakaria. Mengenai sikap
orang tuanya, tidak ada kesulitan. Meski kami
jarang bertemu, orangtuanya sudah memberi lampu hijau. Pendeknya. semua beres-beres saja..."
"Suaramu sumbang." Ajengan Zakaria berkata
tajam. Januar mau tak mau menelan ludah. la menjelaskan: 'Tadinya aku bermaksud menyusul, begitu kudengar kekasihku dibawa... tepatnya, di
nasihatkan. agar aku bersabar. Sang ayah meninggalkan pesan, bahwa puterinya akan diantar
kembali pada waktunya...!
'Kalau kau terus menunggu. Nak!" ajengan
Zakaria berubah sungguh-sungguh. Balk wajah
maupun setiap tekanan katanya 'Maka, besar
kemungkinan bayangan menakutkan itu akan
menjadi kenyataan." 'Maksud Bapak..." 'Kekaslhmu sedang menuju sesuatu," kata
orangtua itu. kuatir. "Mata hatiku dapat melihatnya
Ia menuju sesuatu yang besar dan jahat. Sesuatu.
yang akan menelannya hiduphidup dan membiarkan rohnya sengsara sampai ke akhir jaman.
Hidungku mencium bau busuk, Nak. Busuk dan
terkutuk!" DUA lSMIATY bersin lagi. Tiga kali berturut-turut.
Begitu kerasnya, sampai sekujur tubuh gadis itu
terguncang-guncang di bawah selimut. Perempuan setengah baya yang duduk terkantuk-kantuk
di sebelah tempat tidur, seketika membuka mata
lebar-lebar. Bertanya cemas: 'Masih kedinginan,
Nak?" "Dingin sekali, Bu...l" sahut lsmlaty dengan
nafas tersengal-sengal seraya mengurut-urut
dada yang terasa perih. 'Ibu balur lagi, ya?"
'Jangan, Bu. Kulitku tak tahan."Tetapi..., Astaga, barangkali apinya sudah
padam!" perempuan setengah baya itu bergegas
meninggalkan tempat duduknya. Dalam sekejap
ia telah berjongkok di pojok kamar dekat pintu.
Sambil menyesali diri bahwa tadi ia telah terlelap
selagi menunggui lsmlaty, perempuan itu mengais-ngais tumpukan abu dalam sebuah anglo
besi. Dengan pengungkit ia mengumpulkan sisa
barang yang masih menyala setelah lebih dulu
tumpukan abu ia singkirkan ke luar anglo. sehingga berserakan di lantai. la tambahkan beberapa potong lagi arang besar-besar ke dalam
anglo. Lalu meniupnya berulang-ulang sampai
bara api semakin membesar. Ketika ia kembali lagi
ke dekat lsmiaty. sebagian rambut perempuan itu
ditempati abu. sementara sudut-sudut matanya
tampak berair. "Lebih hangat sekarang, Nak?" tanyanya
penuh harap. Sebenarnya lsmiaty hampir bersln lagi. Namun
melihat keadaan ibunya. lsmiaty bertahan sekuat
tenaga. la memaksakan senyum di bibir, lantas
mengangguk pelan. Pada saat bersamaan, dari
kamar sebelah terdengar suara batuk-batuk kering. "Jangan-jangan ayah pun sakit, Bu." desah
lsmiaty kuatir. "Biarkan saja dia," ibunya menjawab datar.
Ada nada tak senang dalam suaranya ketika
menambahkan: "la dapat mengurus diri sendiri!"
'Barangkali ayah perlu ini..." lsmlaty bermaksud menyingkirkan salah satu selimut tebal yang
berlapis-lapis membungkus tubuhnya dan kaki
sampai sebatas leher. Tetapi ibunya mencegah
dengan pelototan mata. Sekilas lsmlaty menangkap warna kemerahan pada manik-manik mata
ibunya. Lebih merah dari bara api di anglo, sorot
mata ibunya tajam menghunjam. Dan senyum sinis
ibunya sungguh tak enak dipandang. lsmiaty
menggigil. ta keriapkan mata beberapa kali. Lalu
kembali memandang ke mata ibunya. Takut-takut
Sepasang mata perempuan setengah baya itu
ternyata saat la lihat, bening dan menyejukkan
hati. Senyuman bibirnya pun tak kurang menyamankan perasaan.
Perempuan itu berujar lembut: 'Hari sudah hampir pagi, Nak. Anglo itu tak perlu lagi ditunggui.
Biarlah aku tidur denganmu. Kalau kudekap, tubuhmu akan tetap hangat..." ia kemudian naik ke
tempat tidur, menyelusup ke bawah selimut, lalu
mendekap tubuh anaknya dengan kehangatan
kasih sayang seorang ibu. Dipeluk sedemikian
rupa, Ismiaty perlahan lahan kembali tertidur. la
lelap beberapa jam. Dan ketika membuka matanya, matahari siang hampir meninggalkan jendela
kamarnya yang terpentang lebar, memberi kesempatan pada hawa pegunungan yang hangat
merembes masuk ke dalam kamar.
Kamarnya telah dibersihkan dan di atas meja
kecil dekat tempat tidur tampak terhidang segelas
susu dan beberapa potong ubi goreng. Mungkin
telah diletakkan di situ semenjak pagi, karena
waktu disentuh Ismiaty ternyata minuman dan
penganan itu sudah dingin. Di kota, demi menjaga
kondisi tubuhnya Ismiaty memang sudah terbiasa
meminum segelas air, putih dingin setiap kali
bangun tidur. Tetapi susu, ia belum pernah. Mana
permukaannya sudah mengental pekat, karena itu
tentunya susu sapi murni. Namun setelah berpikir
sejenak, ia teguk juga minuman itu sedikit agar
ibunya yang telah bersusah payah membuatnya.
tidak berkecil hati. Seraya mengunyah sepotong ubi goreng, ia
bersalin pakaian. Keluar dari kamar ia bersijinjit ke
kamar. Ternyata tempat tidur di situ kosong dan
segala sesuatu di dalam kamar tampak sudah
rapih. Jadi ia tak perlu menguatirkan bahwa ayahnya memang sakit. la lalu beranjak ke kamar mandi
untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Di koridor
belakang ia berpapasan dengan ibunya yang baru
saja keluar dari dapur. Perempuan itu tersenyum
lega ketika melihat kehadiran puterinya. 'Mau
mandi sekarang. Mia?" ia bertanya.
'Mandi"!" Ismiaty tertegun. Sesaat tubuhnya
bergetar. 'Setelah apa yang kualami selama tiga
malam berturut-turut, Bu... kukira aku tak usah
mandi lagi siang hari... entah sampai kapan..." ia
mengawasi wajah ibunya, kemudian bertanya dengan suara tersendat: "Sampai kapan semua ini
harus kujalani, Bu?"
Wajah ibunya yang tadi ceria, mendadak berubah suram. la mendekati Ismiaty lantas memeluk
puterinya dengan air mata berlinang. Ada gambaran ketakutan dalam suaranya waktu la membujuk: "Seharian, Anakku. Ayahmu bilang, semuanya akan segera berakhir. Kau boleh pulang
kembali ke kota, dan..."
'Kalau aku bisa pulang..'
'Aduh, Nak. Jangan berkata seperti itu....'
"Lalu" Aku harus berkata apa lagi, Elu" Di kota
aku telah mengalami peristiwa-peristiwa menakutkan. Ayah kemudian datang. Memaksaku pulang
ke kampung, tanpa diperbolehkan memberitahu
siapa pun juga. Dan di sini, aku terus disuguhi
cerita-cerita yang lebih menakutkan lagi. Dipaksa
pula keluyuran tengah malam. Berendam di sungai
yang tidak saja airnya sedingin es, tetapi juga di
sekelilingku begitu gelap mengerikan. Andai saja
Ibu dengar bagaimana suara air terjun di depanku
berderum-derum seram, ibu pasti dapat merasakan jiwaku sangat terguncang. Dan....'
"Semua itu demi keselamatanmu, Mia," ibunya
terisak. "Atau demi kalian berdua!" Ismiaty menggugat.
"Aduh, Nak!" Ibunya bergemetaran demikian
hebat. Sampai kedua lututnya terasa lemas. lalu
tubuh perempuan itu setengah meluncur jatuh ke
lantai. dengan lengan lengan tetap berpelukan kekaki puterinya. "Jangan membenci kami sedemikian rupa. Mia. Andai... andai saja aku tahu bagaimana caranya... sudah sejak dulu-dulu aku bersedia merelakan diriku yang hina ini. demi anak-anakku. Kau sendiri tahu... upaya apa saja yang
telah kuperjuangkan. Apa pun rela kulakukan...
termasuk kesucian diriku yang hina dina ini. Tetapi
hasilnya" Kau pun tahu, Mia. Anak-anakku tetap
mati. Empat orang sudah, Mia. Empat orang
anak-anakku yang teramat kucintai..." perempuan
itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya yang digenangi air mata. Berbisik memohon: "Katakanl ah,
Mia. Katakanlah apa lagi yang mesti kuperbuat
demi nyawa satu-satunya anakku yang masih
tersisa?" Luluhlah seketika hati satu~satunya anak yang
masih tersisa itu. Ismiaty bersimpuh memeluk
ibunya yang sebenarnya sangat ia kasihi itu.
"Maafkan mulutku yang Iancang ini. Ibu. Aku
begitu tersiksa, sehingga..." ,,__
'Aku dan ayahmu lebih tersiksa lagi, Mia."
Ismiaty membantu ibunya berdiri. "Apakah
ayah baik-baik saja. Bu?"
"Kita harap saja begitu, Mia," jawab ibunya
seraya mcnyeka pipinya yang basah, waktu ia
bangun tadi pagi, ayahmu tampak lebih tua sekian
belas tahun. la tak ubahnya seorang tua renta
sakit-sakitan, yang tengah merangkak menjauhi
tepi kubur. Hanya untuk dapat melakukan satu hal
Saja di akhir hayatnya... sebelum ia benar-benar
merelakan tubuhnya diseret oleh tarikan gaib dari
liang kubur itu..." Ismiaty semakin luruh mendengarnya. 'Aku
tak melihat ayah di kamarnya' ia berkata.
"Ayahmu harus mengerjakan sesuatu. Mia.
Subuh-subuh tadi. ia sudah pergi."
"Astaga Mengapa aku tak dibangunkan"
'Ayahmu tidak hendak dibantu oleh Siapa pun

Mia," ibunya mencoba tersenyum. "Dan kau begitu
nyenyak....' "Begitu nyenyak. sehingga berdosa."
"Berdosa, Mia?"
'Bukankah aku kehilangan sholat Subuh. Bu?"
Dan sewaktu Ismiaty telah sendirian di kamar
mandi untuk mencuci pakaian, ia bertanya-tanya
dalam hati: "Tuhan, apakah semua ini bukan
sekedar mimpi buruk belaka" Dosa besar apa
yang telah kuperbuat, sehingga Kau berpaling dari
aku dan membiarkan kekuatan jahat bersimaha-rajalela di sekelilingku?"
--- Setelah berjalan kaki selama hampir setengah
hari, Dumadi. orang yang paling merasa berdosa
atas bencana yang terus menerus menimpa keluarganya. akhirnya tiba di sebuah padang terbuka
yang dikelilingi oleh hutan belantara. Padang
terbuka itu tampak kering dipanggang matahari
musim kemarau yang belum pernah sepanjang
dan segersang tahun ini. Suasana di sekitar sunyi
lengang. Tidak terdengar adanya kicau burung.
Apalagi makhluk-makhluk penghuni hutan. jangan
harap terlihat berkeliaran di sekitar padang yang
hanya ditumbuhi ilalang liar itu. Entah kekuatan
apa yang tersembunyi di bawah tanahnya, sehingga sebatang pohon pun konon tidak pernah
tumbuh di situ. Kekuatan gaib yang menguasai padang ilalang itulah yang belasan tahun silam diharapkan
Dumadi dapat menolongnya. waktu itu, keadaannya juga sekering dan sesunyi sekarang ini. Tetapi
karena pertama kali la menginjakkan kaki di padang itu hari sudah senja. Dumadi masih dapat
merasakan sisa-sisa hembusan angin segar yang
menyelinap segan dari rimbunan pepohonan raksasa di sekeliling. Sebelum matahari senja benar
benar lenyap di balik puncak gunung, waktu itu
Dumadi telah menemukan tempat yang ia cari.
Sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit
kecil. Gundul dan kelimis dari tetumbuhan apa
Pun jua. ' Ada sebuah batu besar dan pipih di sisi salah
satu gundukan tanah plontos itu Konon ditempatkan di situ oleh orang yang pertama kali
menemukan padang ilalang itu sekian ratus tahun
yang silam. Masa yang cukup panjang, namun
yang pernah menduduki batu pipih itu menurut
cerita hanya dalam jumlah belasan orang saja.
Karena setiap orang yang pernah berhasil menemui tempat terbuka yang sempit di tengah hutan
belantara yang jarang dijamah manusia itu, diharuskan menutup mulut rapat-rapat. Siapa punyang berani _membuka rahasia tempat itu, akan
menemui ajal secara mengerikan. Orang yang
belasan tahun silam nekad membuka rahasia itu
pada Dumadi. berani mengambil resiko itu demi
salah seorang cucu perempuan kesayangannya
yang diperisteri oleh Dumadi.
Saniah, perempuan yang kala itu baru beberapa bulan diperistri Dumadi, suatu hari badannya tiba~tiba mati sebelah, mulut pun gagu tak
bisa bicara normal. Padahal ia tengah mengandung bayi pertama Dumadi. Seorang ahli kebathinan di kampung mereka memberitahu Dumadi,
bahwa penyakit Saniah 'dikirim' oleh seorang
dukun penganut ilmu hitam. Dengan bantuan si
ahli kebathinan dapat jugalah diketahui nama dan
alamat dukun jahat itu. Setelah bertempur dalam
beberapa jurus ilmu gaib, dukun jahat itu dapat
ditaklukkan oleh penolong Dumadi.
Dukun itu lalu mengaku, bahwa benar ia yang
mengirim penyakit lumpuh ke alamat Saniah. atas
permintaan seorang laki-laki yang cintanya pernah
ditolak mentah-mentah oleh Saniah. "Atas permintaannya pula, hanya dia seorang yang dapat
menyembuhkan penyakit Saniah," ujar dukun itu
terbatabata. 'Yakni, dengan cara menyemburkan
ludahnya sendiri ke bagian tubuh Saniah yang
terkena penyakit." Mengetahui dirinya dicari cari
oleh penduduk, lelaki yang patah hati itu 'cepat-cepat menyembunyikan diri ke dalam hutan. Baru
keesokan harinya ia ditemukan. Tetapi yang mereka temukan hanyalah mayatnya belaka. itu pun
sudah setengah hancur karena diterkam dan
dimakan harimau yang diketahui banyak berkeliaran di tempat itu
Putuslah sudah harapan Dumadi. Betapa pun
dibujuk maupun disiksa, dukun penganut ilmu
hitam yang mencelakakan Saniah tetap tidak dapat menolong lagi. Dukun jahat itu akhirnya mati
dikeroyok penduduk yang meluap amarahnya.
Dalam keputus-asaannya itulah muncul kakek
Saniah. "Aku dapat menunjukkan suatu cara dengan apa kau dapat menunjukkan penyakit istrimu," katanya pada Dumadi. 'Baiklah kuberitahu
kau sebuah tempat rahasia, di mana apa pun yang
kau minta... selama itu dalam batas-batas kewajaran yang berhak dimiliki seorang manusia...
mudah-mudahan dapat dikabulkan. Menemukan
tempat itu, tidaklah gampang. Resikonya, lebih
susah lagi." Setelah diberitahu resiko apa yang kelak bakal


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterimanya, Dumadi langsung membulatkan tekad. 'Demi Saniah. aku berani mengambil resiko
berbahaya itu," dan Dumadi sedikit pun tidak
sadar, bahwa kakek Saniah telah melanggar sumpah. Dengan sendirinya juga, sudah harus menempuh resiko yang sama. Beberapa hari lamanya
Dumadi berkeliaran di hutan belantara yang belum
dijaman manusia itu karena setiap kali ia selalu.;
tersesat. Sampai akhirnya, dalam keadaan kurus
dan sakit tiba juga ia di dekat gundukan tanah
plontos di padang ilalang itu, lantas duduk memuja
sejumlah mantera yang diajarkan oleh kakek Saniah. Dirapal terus menerus tanpa berhenti, se
hingga mulut Dumadi berbusa oleh ludah. dan
akhirnya kering kerontang sangat menyiksa. Tak
ada lagi suara yang dapat keluar dari celah celah
bibirnya yang membengkak kaku.
Baru kemudian terdengar suara kasar menyapa: 'Apa permintaanmu, manusia hina?"
Tersinggung juga Dumadi mendengar ucapan
yang menghina itu. Padahal ia telah bersusah
payah datang dengan menempuh segala resiko.
demi kesembuhan istrinya dan demi kehormatannya sebagai seorang suami. Namun sesuai anjuran kakek Saniah, ia tetap menahan diri. Tidak
berani membuka kelopak matanya. Yang aneh.
suaranya terdengar jelas dan lancar: 'istriku sakit.
Tolonglah !' "Hanya itu?" "Ya Hanya itu permintaanku."
'Kau kebetulan menemukan tempatku ini, atau
seseorang memberitahunya padamu?"
"Diberitahu seseorang."
"Terkutuklah dia !' Dumadi diam saja. Suara lawan bicaranya
lebih menarik perhatiannya. Diam-diam ia menduga, tentunya iawan bicaranya itu seorang perempuan. la lebih berharap lagi, perempuan itu
masih muda, cantik rupawan, sehingga ia punya
teman yang dapat menghiburnya di tempat yang
sunyi ini. Seorang teman yang tidak saja dapat
menghiburnya secara moril, tetapi juga secara
pisik. Pikiran yang muncul begitu saja itu, membuat Dumadi mendadak heran. Apa yang membuat ia tiba-tiba ingin mengkhianati Saniah, padahal ia sangat mencintai' istrinya itu"
"Aku paling tak senang diganggu lebih banyak
manusia-manusia hina dina macam engkau!" ujar
perempuan itu lagi, terdengar sangat jengkel.
'Tetapi karena kau sudah bertemu aku, apa boleh
buat. Kuingatkan kau, agar jangan memberi suatu
jalan pada orang orang lain untuk lain kali mengusik ketenanganku lagi. ltu syarat yang pertama.
Bersedia?" "Bersedia" 'Masih ada dua syarat lainnya." suara itu
berubah lembut. "Sebutkanlah" "Kau memang hina dina, karena mau mempercayai kekuatanku. ketimbang mempercayai kekuatan Yang Maha Kuasa. Namun aku percaya
pula, bahwa bagaimana pun hinanya, kau tetaplah
seorang jantan. Hanya seorang jantan yang tangguh yang berani menempuh segala resiko mendatangi tempatku yang terasing ini. Untuk itulah,
kau kuhadiahi sesuatu sebentar lagi. Sebuah
hadiah menyenangkan, sekaligus merupakan syarat kedua...."
'Apakah itu?" bisik Dumadi, teramat ingin tahu.
'Sabarlah. Karena lebih dulu kau harus ingat
pada syarat terakhir. Yakni, selama hadiah itu kau
nikmati, apa pun yang terjadi di sekeliling kita...
janganlah memperdulikannya. Apalagi berbuat hal
yang bukan-bukan..."
Setelah berpikir sejenak, Dumadi menyahut:
'Baiklah. Apa syarat kedua itu?"
'Kau harus menyetubuhi aku."
Permintaan blak-blakan itu membuat Dumadi
sempat juga tercengang. Ia mau mengutarakan
sesuatu. tetapi keburu didahului' lawan bicaranya.
"Bukalah matamu. Dan kau pasti tidak akan menyesal."
Ketika perlahan lahan ia buka matanya dan ia
biasakan dalam kegelapan temaram di bawah
jilatan sinar rembulan, tercekatlah kerongkongan
dumadi. Lawan bicaranya memanglah seorang
wanita, tidak pula pakai busana. Wanita itu rebahan di gundukan tanah hanya satu jangkauan
tangan dari tempat Dumadi duduk. Perempuan
yang tidak saja muda dan ranum, akan tetapi juga
cantik luar biasa. Seumur hidupnya, belum pernah
Dumadi melihat perempuan berwajah dan bertubuh serupawan itu.
"Bagaimana" bisik si perempuan, melontar
seutas senyum menggoda. "Aku...." Dumadi menelan ludah.
"Kau mau terus berbicara terus sampai pagi.
atau ingin segera menikmati hadiahmu?"
'Kuingin... menikmatinya."
lantas" Tunggu apalagi?"
Suatu tarikan gaib dari mata perempuan itu
membuat kekuatan tubuh Dumadi yang sebelum
nya telah berantakan selama dalam perjalanan
muncul kembali. Munculnya, menggebu-gebu. Pakaiannya tidak lagi ia tanggalkan secara sempurna. Saking tak kuat menahan gejolak birahi. ia
bahkan hampir merobek-robek pakaiannya hanya
karena ia begitu gugupnya sehingga lupa bagaimana membuka kancing celana secara benar.
Ketika ia memasuki tubuh perempuan itu,
Dumadi telah lupa segala-galanya. Lupa dirinya,
lupa Saniah yang sakit, lupa resiko yang kelak
harus la hadapi, bahkan lupa syarat apa saja yang
tadi telah ia janjikan untuk dipegang teguh. Menjelang puncak kenikmatan birahi, seorang anak
manusia tidak saja menjadi alpa, akan tetapi juga
sering kehilangan kendali diri. Suatu saat, Dumadi
mendengar suara berisik yang ganjil di dekat
dirinya dan perempuan yang lonjakan blrahinya
lebih hebat dari Dumadi itu. Semula Dumadi tidak
memperdulikannya. Tetapi suara itu terus mengganggu, bahkan makin berisik. Kemudian, gangguan itu lebih brutal lagi. Kaki maupun tangan
bahkan pinggang Dumadi seakan ada yang menjalarinya, saling berebut satu dengan yang lain.
Lidah- lidah kecil, dingin dan hidup terasa menjilati
punggungnya hingga tungkai. Lena benar menjilati
keringat yang membanjir sekujur tubuhnya.
Diganggu begitu rupa. Dumadi menjadi marah. la hentak-hentakkan tangan maupun kaki,
kemudian ia merentak bangkit dari tubuh si perempuan yang sebaliknya berusaha untuk tetap
memeluk Dumadi. 'Makhluk-makhluk tak tahu
diri !' Dumadi menggeram, sembari matanya membelalak mencari-cari dalam kegelapan semu itu.
Tampaklah olehnya beberapa sosok kecil hitam
berbentuk bulat dan panjang-panjang, meliuk-liuk
di tanah dan anehnya, bagai dikomando serempak naik dan berkumpul di atas batu pipih, tak
jauh dari tumpukan pakaian Dumadi. Semuanya
berjumlah lima ekor, berupa ular-ular hitam sebesar induk jari kaki Dumadi. Semua menatap
dengan matanya yang merah membara, semua
menjulurkan lidah masing-masing yang bercabang dua, keluar masuk moncong yang lancip
menjijikkan. Dumadi sempat kaget setelah mengetahui
makhluk-makhluk apa yang telah mengusik keasyikannya. Tetapi kekagetan itu berlalu hanya
satu helaan nafas saja. Luapan amarahnya belum
hilang, dan sorot lima pasang mata kecil merah
itu tampak menantang pula. Tanpa berpikir panjang lagi, Dumadi membungkuk memungut golok
di antara tumpukan pakaiannya. la sempat mendengar jeritan si perempuan, manakala Dumadi
membabatkan mata goloknya secara membabi
buta. Hanya dalam tempo sepersekian detik saja,
hancur lumatlah ke lima ekor ular di batu pipih itu,
direncah oleh mata golok yang sangat tajam.
Jeritan si perempuan kian menjadi-jadi.
Jerit itu bukanlah jenis jerit yang semula diharapkan Dumadi; jerit seorang perempuan yang
ketakutan setelah melihat mendadak ular ada di
dekatnya. Melainkan, semacam jerit kemarahan
bercampur lolongan tangis yang memilukan hati.
Di antara jerit tangisnya, terdengar suara lengkingan si perempuan mengumpat murka:
"Manusia biadab! Kau telah membunuh anak-anakkul'
28 TIGA DUMADI tegak mematung di sisi gundukan
tanah merah menyerupai kuburan yang telah
rekah dipanggang matahari musim kemarau. Sekian belas tahun telah berlalu, pikirnya, tetapi
peristiwa itu seakan baru terjadi tadi malam. Masih
terbayang di matanya tubuh perempuan muda itu
rebah telentang dengan posisi mengundang birahi
Dumadi sebagai seorang lelaki. Terngiang pula
bisikan merangsang si perempuan: "... tunggu apa
lagi"!" Durnadi gemetar. Kala itu, begitu gampangnya
diperbudak nalsu. Tak sedikit pun terpikirkan
olehnya bagaimana perempuan itu tiba-tiba telah
ada di dekatnya. Apalagi untuk memikirkan makhluk apa sebenarnya si penggoda nafsu itu. Ia baru
menyadari kesalahannya setelah gangguan itu
muncul dan goloknya bertubi-tubl mencincang
makhluk-makhluk melata di atas batu. Selain jerit
tangis si perempuan. kalau tak salah ia juga ada
mendengar suara-suara lain yang berasal dari
moncong makhluk-makhluk malang yang dibunuhnya. Bukan suara desis ular, melainkan keluhan-keluhan kesakitan anak-anak manusia yang
tengah sekarat. Lalu perempuan itu pun mengucapkan sumpah serapahnya: 'Kau terkutuk. Kau akan menerima pembalasan yang setimpal dengan perbuatanmu!"
Kemarahan Dumadi yang membabi buta terbang seketika. ia memutar tubuh memperhatikan si
perempuan yang tengah dilanda kemurkaan itu.
Perasaan gugup dan panik telah mempengaruhinya
manakala ia mendengar bahwa yang ia cincang
adalah anak-anak si perempuan. la semakin gugup
setelah melihat perubahan tengah berproses di
tubuh muda si perempuan bugil. Sambil terus menyumpah serapah, sisik-sisik hitam pekat bermunculan di kulit yang tadinya mulus itu. Kepala si
perempuan berubah lonjong. wajahnya terjulur keluar masuk memperdengarkan desis tajam di antara
sumpah serapahnya yang berkepanjangan.
'Sungguh menyesal aku... disetubuhi olehmu.
Karena begitu tubuhmu memasuki diriku... penyakit isterimu dengan sendirinya telah disedot
habis oleh bathinku. isterimu telah sembuh, manusia haram jadah!"
Tergetar juga Dumadi oleh kebahagiaan yang
diam-diam menyeruak hatinya mendengar penuturan si perempuan. Sebentar cuma. Sebab,
sebelum ia sempat mengutarakan sesuatu sebagai ucapan terimakasih. si perempuan sudah
mendahului dengan bentakan bentakan nyaring:
'Kau telah melanggar pantangan yang telah
kita sepakati tadi. Maka kau harus menerima
hukumanmu. isterimu akan melahirkan anak-anakmu, sebanyak anak-anak yang pernah lahir
dari rahimku. Lalu pada saatnya. mereka akan
kuambil satu persatu, setiap kali satu dari anakmu
itu mencapai umur yang sama dengan satu dari
anakku yang telah kau bunuh. Sebagaimana pula
yang kuderita malam ini. juga akan kau derita pada
waktunya. Anak-anakmu itu akan mati secara
mengerikan, di depan matamu sendiri. Tanpa
engkau sempat berbuat apa-apa untuk menolong
mereka. Lalu pada saat-saat yang paling akhir,
penyakit isterimu akan kukirim kembali. Dan kau,
manusia khianat. Pada waktu itu nanti... kau akan
beralih rupa menjadi makhluk paling hina. Setimpal dengan sifat-sifat khianatmu. Khianat pada
isterimu karena telah menyetubuhi diriku. Khianat
padaku, karena telah melanggar pantangan yang
telah kau sepakati. Khianat pada Tuhanmu. karena
telah mendatangi tempatku dan meminta bantuanku !'
Keanehan lain pun terjadi. Semakin berproses
tubuh perempuan itu ke bentuk sosok seekor ular
yang mempunyai sepasang tangan dan sepasang
kaki, semakin kabur pula perwujudannya. Dumadi
hanya bisa berdiri terpana. Takut dan sekaligus
merinding seram, sementara telinganya mendengarkan umpatan-umpatan yang kian lama kian
sayup-sayup: "Jangan berpikir kau akan mampu
melawan kehendakku. Usaha apa pun yang kalian
lakukan... hanya akan mendatangkan aib atau
bencana pada keluargamu. Aku... dapat mengetahui... semua itu... karena aku selalu... akan
mengikutimu. Aku akan tetap berada... di sampingmu... sedemikian dekatnya, tanpa kau tahu... dan..!
Dan, suara sang makhluk berakhir dalam
sebuah desis panjang, dingin menusuk tulang,bau memualkan sehingga Dumadi limbung kemudian muntah-muntah. Waktu uap dingin yang
memualkan itu lenyap, sosok sang makhluk pun
telah raib tanpa bekas. Dumadi menggigil dengan
hebat ketika ia menyadari arti dari setiap sumpah
serapah yang tadi ia dengar. la semakin menggigil
lagi ketika juga menyadari bahwa makhluk itu telah
hilang raib tanpa Dumadi sempat untuk memohon
ampunannya, memohon sang makhluk mencabut
sumpah serapahnya. Lutut Dumadi goyah begitu
kuatnya, sampai tubuhnya yang tinggi besar limbung bagai sebatang pohon kering dan tua. lalu
jatuh terjerembab di tanah. Ia merangkak. berusaha bangkit, didorong keinginan yang teramat
kuat untuk berusaha mencari ke mana raibnya
makhluk itu. la merayap sejengkal demi sejengkal.
Dan manakala tangannya terpegang pada sesuatu
yang keras. beku dan dingin, ia mempergunakan
benda itu sebagai penyangga. Akhirnya, perlahan-lahan ia dapat duduk. Bernafas tersengat-sangat.
lelah dan putus asa. la kerjapkan mata berulang-ulang untuk mengurangi denyut denyut menyakitkan pada kepalanya. Lambat laun. pandangan matanya semakin terang. Dibantu oleh bias matahari pagi
yang mengintai ragu~ragu dari balik puncak gunung. Mata Dumadi mencari dan mencari dengan
sia-sia. Hanya kehampaan padang yang ia temukan. serta gerombolan pepohonan raksasa yang
mengelilingi padang itu... semuanya tertegak kutu
sebagai saksi bisu. Kemudian. pandangan matanya jatuh pada benda penyangga tubuhnya yang
ternyata adalah batu pipih tempat dumadi sebelumnya memuja semedl.
Apa yang dilihatnya di permukaan batu pipih
itu, membuat Dumadi tersentak mundur dengan
wajah pucat pasi. Selain tumpukan pakaiannya.
la juga melihat tumpukan tulang belulang yang
berserakan memenuhi permukaan batu pipih yang
besar dan lebar itu. Sekilas pandang saja sudah
dapat dipastikan onggokan itu, bukanlah tulang
belulang ular, akan tetapi tulang belulang manusia . manusia dari berbagai usia, entah lelaki entah
perempuan 'Bukan... bukan manusia yang telah kubunuh..." keluh Dumadi terputus-putus. "Yang kubunuh... hanyalah ular. Aku tidak..." Keluhannya
tersendat hilang bersama dengan munculnya lidah
matahari menerangi padang itu lalu menjilati seluruh
_permukaan batu pipih. Agaknya, keanehan yang
seringkali teramat musykil, akan selalu ada di dunia
fana ini, Sinar mataharilah yang telah merubah
tulang belulang ular itu menjadi tulang belulang
nnanusia. Sinar matahari pula yang kemudian memusnahkan tulang belulang itu sehingga menjadi
debu hanya dalam beberapa kerjapan mata saja.
Angin pagi yang hangat perlahan-lahan datang
berhembus. Menerbangkan tumpukan debu putih
kekuningan itu ke berbagai penjuru,...
Memandang batu pipih dilapisi debu tipis itu.
Dumadi seketika merasa jeri. Manusia atau bukan,
ia telah membunuh makhluk-makhluk malang itu
dan merasakan akibatnya yang menyedihkan kehilangan empat dari lima orang anak kandungnya Satu-satunya yang masih tersisa, kini terancam mati pula Dan eksekusi hukuman mati itu
hanya tinggal beberapa hari lagi!
Dumadi menarik nafas panjang. la kumpulkan
keberaniannya dan berjalan mendekati g undukan


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah merah menyerupai kuburan itu. "Jangan
perdulikan yang mana 'maka yang mana kepala
kuburan itu ia ingat-ingat pesan orang yang
menyuruhnya. Maka Dumadi memilih salah satu
ujung gundukan tanah, lalu meletakkan bawaannya dalam bungkusan kain sarung. la keluarkan
satu persatu dengan hati-hati: sebuah kotak kardus yang terikat rapih. sebuah botol besar berisi
air. dua potong kayu cendana, sekantung tembakau, dan sehelai daun Sirih.
Setelah menimbang-nimbang sejenak. salah
satu kayu cendana itu ia pacakkan ke ujung
gundukan terdekat. Ia berjalan ke ujung berlawanan dan melakukan hal yang sama dengan
potongan kayu lainnya Tembakau ia keluarkan
dari kantung. Tembakau itu telah dijalin sedemikian rupa sehingga mirip tali yang cukup panjang. Tali dan tembakau itu ia bagi dua. Pangkal
dua tali ia letakkan sejajar di tanah dengan jarak
selebar telapak tangan sampai menyentuh masing-masing sisi kayu cendana yang pertama.
Kemudian bagian yang tersisa dari masing-masing
lalu itu ia letakkan mengitari gundukan tanah
sampai menyentuh masing-masing sisi kayu cendana yang kedua. Ujung-ujung tali ia letakkan pula
sejajar dengan lebar yang sama seperti pada
pangkal. la melakukannya dengan teliti agar masing-masing tali dari tembakau itu tidak ada yang
terkecuali pada pangkal dan ujung yang merupakan jalan masuk dan jalan keluar.
Selesai dengan tali tembakau, Dumadi melepas pengikat kotak kardus. la letakkan kardus
itu sedemikian rupa sehingga bagian tutupnya
yang setengah terbuka mengarah pada jalur masuk di pangkal tali. la lalu mundur beberapa
langkah. Duduk menunggu. Menit demi menit
berlalu. sebelum tutup kotak kardus itu didorong
terbuka dari sebelah dalam. Seekor tikus berbulu
putih sebesar anak kucing ke luar dari dalam
kotak, mencium-cium dengan curiga tanah dan
udara di sekelilingnya. Setiap kali moncongnya
yang kemerahan menyentuh tali, tikus putih itu
mencicit nyaring seperti kesakitan sambil menarik
moncongnya seketika, sementara tubuhnya bergetar seakan makhluk itu baru saja terkena arus
listrik. Dua kali tikus itu melakukan kesalahan yang
sama. Dua kali pula ia mundur kesakitan. masuk
ke dalam kotak kardus. Menit demi menit berlalu
pula, membuat jantung Dumadi tegang dan hatinya was-was. "Ayo Jangan diam saja Keluarlah...
keluar..." la berbisik penuh harap. Tikus besar itu
akhirnya keluar juga dari dalam kotak. Makhluk
itu mencakar-cakar sejenak dengan kuku-kuku
keempat kakinya. sebelum ia melangkah maju
pelahan-lahan... lurus ke arah kayu cendana. la
menciurn-cium kayu cendana itu beberapa waktu
lamanya. Agaknya, menyukai harumnya yang semerbak Dumadi lantas teringat apa yang dikatakan oleh orang yang menyuruhnya melakukan
semua itu: 'Bau cendana akan merangsang naluri alami
tikus itu untuk melakukan tugasnya!"
Benar saja. Tikus putih mulai mencakar-cakar
dengan kuku-kuku kaki depan, dibantu oleh gigitan taring-taringnya yang runcing tajam. Dumadi
akhirnya dapat juga tersenyum lega. Tikus itu telah
menggali tanah di depan kayu cendana. Menggali
dan terus menggali liang semakin dalam sehingga
beberapa saat kemudian tikus itu lenyap dari
pandangan Dumadi, menghilang di dalam gundukan tanah merah menyerupai kuburan itu. Tinggal suara kuku serta taring-taringnya mencakari
tanah saja yang terdengar samar-samar. Lalu
tiba-tiba. suara itu berhenti! -
Dumadi menjadi tegang kembali. Hanya ada
dua kemungkinan mengapa tikus itu tidak lagi
melakukan tugasnya. Kemungkinan pertama,
sang tikus merasa tenang dengan lubang galiannya yang hangat, lalu memutuskan untuk berkurung selama ia suka Kemungkinan kedua, tikus
itu telah mati. Mana pun dari' dua kemungkinan
itu yang terjadi, Dumadi tetap harus meyakinkannya. Maka. bergegas, ia jumput daun sirih yang
sehelai itu, lalu disusupkannya ke mulut lubang
tikus. Sumbat botol ia lepas. Lalu isinya ia kucurkan
ke permukaan daun sirih sehingga mengalir lancar
ke dalam liang yang digali sang tikus. Belum
setengah isi botol dikucurkan Dumadi, dari dalam
uang terdengar suara cicit nyaring berkepaniangan, disusul suara berisik: sl putih telah menggali
dan menggali lagi. Sebagaimana diharapk an. air
yang membawa serta khasiat daun sirih sangat
tidak disukai oleh sang tikus. Oleh karena itu harus
menjauhinya cepat-cepat. dengan beipamka"
pada bau yang disukainya: bau kayu cendana.
Tak berapa lama kemudian. kayu cendana di
ujung lain gundukan tanah tampak bergetar.. lalu
tumbang. Sang tikus buru-buru keluar, mencium
cium aroma cendana sebentar. Tetapi bau air yang
mengandung khasiat daun sirih rupanya ikUt juga
mencari jalan ke luar melalui lubang galian sang
tikus. Si putih mencicit marah lalu berlari lari menjauh dengan meniti kayu cendana.. terus menerobos jalur ke luar di antara dua 'uiung tali tembakau. Hanya dalam tempo sekeiap. tikus itu lenyap di balik semak ilalang.

Kenyataan yang berlangsung didepan matanya, mau tak mau membuat Dumadi murung dan
gelisah. Terbukti sudah, usaha mengganggu kuburan itu tidak membuat marah dan membangkitkan penghuninya. ltu hanya punya satu arti Saja
Yakni, apa yang dikatakan perempuan itu belasan
tahun silam terbukti sudah. Perempuan itu memang telah meninggalkan kuburannya dan pergi
mengikuti Dumadi.
'Aku akan tetap berada di sampingmu sedemikian dekatnya. Tanpa kau ketahui !' terngiang
lagi sumpah serapah perempuan itu, sebelum
tubuhnya raib ditelan kegelapan.
Memikirkan semua itu. bangkitlah kemarahan
Dumadi. ia tegak menengadah dengan tangan
mengepal. lalu berteriak lantang: 'Kalau kau selalu
di sampingku, mengapa kau biarkan aku mengotori dan menghina kuburanmu" Ayo! Perlihatkanlah dirimu! Hukumlah aku ! Heei... makhluk pendendam yang sangat terkutuk... mengapa kau
diam saja. hah?" Tiada reaksi dari teriakan marah Dumadi.
kecuali suara si pongang di kejauhan yang sahut
menyahut mengulang-ulang teriakannya: 'Kalau...
kau.. selalu.., di sampingku... mengapa..." dan
seterusnya. sampai suara si pongang itu akhirnya
lenyap. Meninggalkan kesunyian mencekam dl
sekeliling padang, sementara sinar matahari semakin memanggang ubun-ubun. Putus asa dan
sakit hati. Dumadi kemudian meninggalkan padang ilalang itu dengan langkah tersuruk-suruk
dan tubuh terbungkuk-bungkuk, dibebani oleh
ketakutan dan keletihan yang ia derita sekian
belas tahun,... EMPAT MATAHARI senja menghapus wajah Dumadi
yang murung manakala ia keluar dari keremangan hutan. Dari situ ada jalan setapak melalui
perbukitan, melalui jalan mana ia dapat tiba
di
rumah selepas Maghrib. Setelah ragu~ragu sejenak, Dumadi memilih jalan setapak lainnya ke arah
sungai. Di musim penghujan sungai di bagian situ
biasanya meluapi sawah-sawah penduduk sekitar.
tetapi di musim kemarau panjang sekarang ini.
airnya cukup dangkal untuk diseberangi hanya
dengan menyingsingkan kaki celana sampai sebatas lutut.
Sebelum naik ke seberang, lebih dulu Dumadi
meminum air sungai yang bening itu beberapa
teguk. Sekedar membasahi kerongkongan yang
kering. Perasaannya lebih segar ketika ia meneruskan perjalanan sampai tiba di jalan raya. la
menunggu sekitar lima menit. sampai sebuah bis
antar kota muncul dari pengkolan. Menit berikutnya ia sudah berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain. la kebagian tempat dekat pintu
tanpa harus merasa kecewa, karena sepanjang
perjalanan ia dapat menikmati hembusan angin
segar yang perlahan-lahan dapat mendinginkan
hatinya yang tengah bergejolak
Plkirannya menerawang pada isterinya Saniah
dan puterinya 'iSmiaty yang tentunya sedang gelisah menantikannya di rumah. Perutnya juga mulai
keroncongan minta diisi. Sedang uang di sakunya
hanya pas untuk ongkos satu kali jalan. Kuatir
perutnya semakin melilit, ketika tak lama kemudian
bis berhenti di mulut sebuah jalan desa. Dumadi
menggapai seorang anak penjaja makanan. Jalan
desa itu melewati kampung Dumadi, dan anak
penjaja makanan itu kebetulan satu kampung pula
dengannya. 'Minta goreng ketannya dua. Dung," katanya
tersenyum. 'Lho. Nggak turun di sini, Pak Madi?" tanya
anak. itu keheranan sambil membungkuskan
Penganan yang dipesan. Aku lagi _ada urusan di kampung Cikuda,"
jawab Dumadi. seraya menambahkan dengan
suara setengah berbisik. 'Uangnya nanti saja ya
Dung?" Anak penjaja makanan itu mulanya tampak
kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Katanya
berseloroh: "Ngutang lagi, Pak?"
Terpaksa Dumadi mendeliki anak itu. Malu
karena pembicaraan mereka didengar penumpang lain. 'Brengsekl' makinya. "Nanti malam
*lihatlah cuma dua potong ketan. kau ributnya
bukan main. Apa kau lupa, modal usaha ibumu
dulu aku juga yang bantu"l'-
Anak itu rnenyengir, kecut karena tidak menyangka dapat tegoran sepedas itu. la cepat
menjajakan penganannya pada penumpang lainnya. Dumadi memperhatikan anak
itu menjauh dengan senyum getir. Pelan-pelan ia
kunyah sepotong goreng ketan itu. Sambil lalu ia
perhatikan satu-satunya orang yang turun dari bis.
la adalah seorang pemuda berpakaian necis sebagai perlambang pemuda kota, dengan sebuah
ransel tergantung di punggung. Bis mulai melaju
kembali. Pemuda tadi dilihat Dumadi tengah menawar sebuah ojek sambil menyebutkan kampung
tujuannya. Ciasem. Dan itu adalah kampung Dumadi sendiri. Ingin tahu, ia lebih mengamat- amati
si pemuda. yang telah duduk di boncengan ojek
sepeda motor. Tampak sekilas wajah anak muda
itu. Goreng ketan di tangan Dumadi tak jadi masuk
ke mulut, setelah matanya menangkap wajah si
pemuda. la ingin lebih menyimaknya lagi. Sayang
Bis telah melaju cepat. sementara ojek yang membawa penumpang itu pun sudah menghilang dari
pandangannya. 'Kok ya rasa-rasanya kukenal dia" pikir Dumadi meneruskan mengisi perut yang kosong.
"Siapa ya. Di mana pula kami pernah bertemu"
Ah... barangkali juga ia hanya mirip-mirip seseorang yang kukenal. Mengapa pula harus kuributkan !"
Seorang anak kecil yang duduk di pangkuan
ibunya terdengar merengek. Dumadi berpaling.
Anak itu ternyata tengah memperhatikan bagaimana nikmatnya Dumadi mengunyah makanannya. ibunya sendiri sedang tertidur. tidak rnendengar rengekan anaknya. Dumadi tersenyum. la
sodorkan goreng ketan satunya lagi' ke tangan
anak itu. yang langsung menyambutnya dan ke
mudian menggigitnya dengan lahap.
Kegetiran kembali menyentuh dada Dumadi.
'Aku pernah punya anak seumur dia. Serakus dia
pula" pikirnya. Lalu terbayanglah kelakuan anaknya yang nakal itu sehabis letih bermain di rumah
tetangga sebelah, berlari-lari pulang dengan wajah
kotor dan tangan lebih kotor lagi. Rupanya habis
bermain lumpur. la minta makan pada Saniah.
ibunya. tetapi karena Saniah sedang di kamar
mandi. ia hanya membalas dengan teriakan: 'Kau
ambillah sendiri di lemari!"
Ketika Dumadi pulang dari sawah, ia dapati
isterinya yang sedang panik karena anak itu terbaring di kamar dengan suhu badan sangat panas.
Saniah menceritakan bahwa ia teledor menyuruh si
anak mengambil makanannya sendiri dari lemari,
tanpa mengetahui tangan anak itu dikotori lumpur.
Waktu Saniah keluar dari kamar mandi, ia lihat anak
mereka tengah berdiri di atas sebuah kursi yang
digeser rapat ke lemari makan. Anak itu langsung
mengambil apa saja yang menarik seleranya di
dalam lemari, mengunyahnya dengan rakus sambil
lelap berdiri pada kursinya. Baru setelah melihat
anaknya begitu kotor, Sarinah menegor. Anak itu lalu
ia mandikan sampai bersih, setelah itu baru disuruh
makan secara benar. 'Tahu-tahu saja ia muntah-muntah, Kang
Madi," Saniah terisak-isak. 'pastilah lumpur jorok
di jari jemarinya telah ikut termakan anak kita...!"
Setelah disuntik oleh seorang manteri kesehatan dan diberi tablet obat sakit perut, panas
anak itu menurun selama satu dua jam. Tetapi
malamnya, selain tubuhnya panas. perut anak itupun mendadak kembung. Makin jauh malam,
kembung di perut sl anak semakin membesar pula.
dumadi buru-buru mencari manteri kesehatan
yang sorenya menyuntik anaknya Tetapi yang
dicari tengah mengunjungi pasien dl kampung
lain. Tanpa pikir panjang lagi, Dumadl membawa
anaknya ke seorang dukun. Setelah diterangkan
asal mula kejadiannya. tentu saja dukun itu mencemooh: "Anakmu hanya sakit perut biasa. Perutnya kembung karena telah diberi obat yang salah!"
Dukun tengah mempersiapkan ramu-ramuan untuk diminum anak Dumadi yang terus
menggeliat dan mengerang-erang kesakitan itu,
manakala tiba-tiba erangan dan gerakan si anak
berubah jadi jerit kesakitan yang teramat sangat.
Kulit perutnya tiba-tiba tampak merah memblru
di beberapa tempat. Sebelum Dumadi maupun
dukun itu menyadari sesuatu. dari bagian-bagian
perut yang merah kebiruan itu, bermunculanlah
potongan-potongan kayu runcing berlumuran
darah. "Anakmu... anakmu terkena guna guna !' desah dukun, terbata-bata.
Dumadi hanya samar-samar mendengar
ocehan dukun itu, karena pada waktu bersamaan
tubuhnya telah melorot ke lantai. terjerembab lalu
pingsan. Begitu ia sluman dan mengetahui anaknya sudah meninggal. Dumadi langsung menangis. dan menjerit-tent setinggi langit.."
"Cikudai Hei. Pak. Bukankah tadi Bapak yang
tadi minta diturunkan Eh. mengapa pula
Bapak menangis?" Teguran supir bis menyadarkan Dumadi. Ia menghela nafas panjang. menyeka
air matanya disaksikan oleh penumpang-penumpang lainnya. Lalu bergegas turun dari bis, yang
rupanya telah berhenti semenjak tadi.
Ia masih harus menyeka matanya yang basah
berlinang ketika Dumadi tiba di depan sebuah
rumah kecil yang dikelilingi oleh kebun rambutan.
Baru setelah itu, tangannya yang gemetar terangkat untuk mengetuk pintu.
Pada waktu yang tidak jauh berselisih, di kampung Ciasem pintu sebuah rumah sederhana dibuka oleh seorang perempuan tua berwajah ramah.
Seorang pemuda tampan dan berpakaian perlente
'Waalaikumsalam. Cari siapa. Cep?"
'Apakah nenek ini neneknya Amsar?" si pemuda balas bertanya
'Astaga. cucuku yang brengsek itu. Apakah
dia...." "la baik-baik saja. Nek. Tetapi sedang ujian,
jadi..." 'Eh. masuklah. Masuklah," perempuan tua itu
melebarkan daun pintu. 'Oh ya,... Boleh dong orang
tua renta ini mengetahui nama teman cucuku?"
"Nama saya Januar, Nek.pemuda itu. Januar
mengulurkan tangannya disertai bungkukan badan untuk mencium tangan si perempuan tua yang
menyambut salamnya.

Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

--- Santika, tuan rumah yang menerima kedatangan Dumadl di kampung Cikuda, tidak memperlihatkan reaksi apa-apa pada wajahnya setelah
dilapori oleh Dumadl mengenai apa-apa yang
telah terjadi siang harinya di padang ilalang terpencil dalam kawasan hutan belantara itu. Setelah
tercenung diam sejenak, ia kemudian bergumam:
'Jadi sekarang sudah dapat kita pastikan, roh
jahat itu tidak lagi menghuni kuburnya."
Dumadl mengangguk mengiyakan. Lantas
bertanya, lesu: 'Lalu, sedekat bagaimana ia denganku" Benarkah ia selalu hadir di sampingku?"
'ltulah yang menjadi bahan pemikiranku," kata
Santika datar. Ia menatap dalam ke mata Dumadl.
Baru menambahkan: 'Kukira aku telah mempunyai
beberapa petunjuk, dari apa yang telah diam-diam
kupelajari selama ini. Hanya, untuk mengangkat
petunjuk itu ke permukaan agar kita dapat mengetahuinya dan dapat mengambil tindakan yang
jitu. diperlukan suatu pengorbanan..."
'Pengorbanan adalah bagian terbesar yang
mengisi hidupku...' desah Dumadi, tak sabar.
'Sekian lagi pengorbanan, buatku tak penting!
"Yang ini bukan main-main."
'Bagiku, tak ada bedanya'
"Jangan keburu nafsu, Madi."
"Dan, jangan membuatku semakin tersiksa
berlama-lama, Pak Santika. Bapak kan tahu, nyawa anakku semakin dekat ke ujung tanduk."
"ltulah dia. lsmiaty juga kali ini harus memberikan pengorbanan yang besar, teramat besar.
Mandi bugil di bawah air terjun pada tengah malam
buta. paling-paling hanya membuatnya terserang
itu, rematik, .paru-paru basah- semuanya itu masih dapat diobati: Pengorbanan yang akan kumaksud_Sesungguhnyalah. tak akan pernah dapat
diobati." Mendengar penuturan tuan rumah. Dumadi
terbungkam cukup lama. Nah.. Kau jadi tak yakin. bukan?" tantang
Santika. Dumadi menelan Iiurnya, Lalu bertanya dengan suara kering; "Apakah pengorbanan anakku
itu dapat menyelamatkan jiwanya?"
"Semoga begitu "
'Bapak sendiri .tak yakin, ya?" ejek Dumadi
lagi"! dengan pembicaraan mereka yang berbelit-
"Seperti kubilang tadi. Aku baru memperoleh
petunjuk saja. Cara mengatasinya nanti, kita urus
belakangan. Bagaimana?"
Lepas nafas panjang dari mulut Dumadi. Namun dadanya tetap kering. Sekering bisikannya;
katakanlah. apa yang aku dan anakku harus
lakukan?" Ketika Santika selesai mengatakannya, dada
dumadi bukan saja kering kerontang tetapi juga
Panas bagai dipanggang bara api
menyala. Wajahnya memerah padam sewaktu
dengan mata liar ia menatap tuan rumah, dan
setengah berteriak ia memaki: "Jadah ! Sungguh
haram jadah! itu keterlaluan! Sangat keterlaluan!
Najis. kalau aku melakukannya... Apa nanti sambutan dari anakku. Manusia apa aku ,nanti dianggapnya. Belum lagi sambutan isteriku...:
"isterimu" Santika tersenyum. samar-samar.
"Kau benar. Syarat lainnya, memang isterimu harus diberitahu lebih dulu."
"Dan la akan mencakar mukaku. Mungkin
membunuhku, ketimbang ia merelakan aku berbuat tak senonoh pada... Ya. ampun!" Dumadi
menangkupkan wajah di kedua telapak tangannya. Pundaknya tergetar, ia menangis sesenggukan seraya mengeluh lirih: "Daripada terhina
seperti itu, lebih baik kubiarkan puteriku mati saja !'
Acuh tak acuh. Santika menimpali: 'Mati mengerikan, Madi. Mungkin jauh lebih mengerikan
dari-kematian empat orang anak-anakmu sebelum
ini. Dan jangan kau lupa Kau masih terikat pada
kutuk. Begitu pula isterimu..."
"Aku dan isteriku rela menerima kutuk itu.
Asal..." "Puterimu selamat. bukankah?"
"Tetapi" "Jangan mendesakku. Pak Santika."
'Waktu kita tinggal sedikit, Madi!"
"Biarkanlah aku berpikir...."
"Baik Asal jangan kau lupa. tiga hari mendatang apa yang kita kuatirkan akan memperlihatkan dirinya, dengan segala kekejaman dan
kenistaannya Sebelum hari itu tiba. beritahukanlah aku hasil rundinganmu dengan Saniah dan
lsmiaty...! "Aduh... apa nanti kata mereka. kalau aku..."
Dumadi meratap lagi. "Aku belum selesai. Madi."
'Oh, oh, oh. Masih ada syarat lainnya. Yang
lebih nista" Yang menjijikkan" Ayo, Pak Santika.
Muntahkanlah semuanya Supaya kau puas dan...
ah! Jangan-jangan, kau memang telah lama berkomplot dengan perempuan jahanam itu untuk
menghancurkan kehidupanku dan keluargaku!"
Wajah Santika tetap datar mendengar tuduhan ltu. Ujamya, tenang; 'Barangkali kau lupa,
Madi. Berkat bantuankulah, dulu aku berhasil
membantumu mencari sumber penyebab lumpuhnya Saniah."
"Sehingga akhirnya aku terjerumus semakin
dalam" Dumadi tidak mau kalah. Ia melanjutkan,
begitu sengitnya: 'Karena bantuanmu pulalah. aku
diperbudak oleh roh jahat itu. Karena bantuanmu
pula, aku. isteriku, anak-anakku termakan kutuk!"
Santika tersenyum. sabar. Jawabnya: 'Kutuk
yang menimpa dirimu dan keluargamu bukan aku
penyebabnya, Madi. Kutuk itu terjadi, karena kau
telah melanggar syarat si perempuan. Dan mengenai kenekatanmu mendatangi padang tersembunyi itu. bukan pula atas saranku. Melainkan atas
saran kakek mertuamul' Dumadi terhenyak di kursinya. Benar. la sendiri yang nekad mendatangi kuburan keramat di
tengah hutan belantara itu. la sendiri yang telah
melanggar pantangan. Dan yang bertanggung
jawab atas diketahuinya oleh-Dumadi tempat rahasia itu, bukan Santika. Melainkan kakek Saniah.
Akhir dari semuanya itu, Dumadi telah merasakan
akibatnya. Begitu pula kakek Saniah. Turun dari
gunung. waktu itu segala perasaan panik dan
Patah begitu saja. disusul dahan di atasnya yang
dipakai kakek Saniah untuk berpegangan, Tubuh
orangtua itu meluncur jatuh ke bawah, dan langsung terhunjam di ujung-ujung pagar besi," se-
hingga tubuh orangtua itu boleh dikatakan terpotong dua begitu mengerikan.
Kakek Saniah nekad membuka rahasia kuburan si perempuan di padang terpencil itu, karena
kasihan pada cucunya Baru belakangan mereka
mengetahui, bahwa kakek Saniah nekad karena
ada sebab lain. Isterinya yang paling akhir dan
paling ia cintai. konon pernah ia pergoki berzinah
dengan lelaki lain. Ia tidak menceraikan isterinya
'itu. Ia memaafkannya, demi cintanya, demi kebutuhan morilnya memperoleh seorang pendamping
di sisa akhir hayatnya Tetapi keintiman mereka
telah keburu rusak. Pas ketika Saniah terserang
guna-guna, nenek Saniah yang masih muda rupawan itu. rupanya memaksa minta cerai sambi!
memberitahu, lelaki yang menzinahinya telah siap
untuk menikahinya, 'Mengapa diam saja. Madi?" suara lembut
Santika menyadarkan Dumadi. Ia terengah se
belum kemudian bergumam patah-patah:
'Maafkan, Pak Santika Seharusnya... aku
tadi... mengendalikan diri. Dan syarat yang tadi
Bapak haruskah. membuatku sangat malu pada
diriku sendiri." 'Nasi telah menjadi bubur. Madi!
'Ya. Yaa. Nasi telah menjadi bubur..." keluh
Dumadi, menyetujui. 'Tetapi, Madi. Sekurang-kurangnya, masih
bisa dimakan. bukan?"
'Ah...." 'lsmiaty harus kita selamatkan. Madi. Lagipula,
aib itu tidak perlu diketahui orang lain..."
Tidak" Bagaimana kelak, dengan suaminya?"
'Suaminya dapat diberi berbagai alasan yang
masuk akal. Lagipula, mengapa kita harus berpikir
mengenai sesuatu yang belum pasti" Karena
upaya terakhir kita pun, masih berupa rencana.
Karena itu, berdo'alah. Semoga aku diberi petunjuk lain yang dapat merubah rencana itu. Atau
paling kurang, tidak akan berakibat separah itu..."
Dumadi mengurut dadanya, yang bagaikan
ditusuk-tusuk ribuan jarum. Mengendus, gelisah:
"Yah... apa yang terjadi, terjadilah. Hanya, bagaimana aku harus mengutarakannya pada anakku
dan ibunya.: Santika lalu memberinya saran yang ganjil:
'Pada lsmi , barulah boleh.,kau katakan pada
saat-saat terakhir. Ada pun pada Saniah, isterimu,... Ajaklah ia berbincang-blncang malam ini
juga. Jangan di dalam rumah, agar tidak keburu
dikuping lsmiaty. Duduk-duduklah di luar rumah.
Pura-pura menikmati sinar rembulan. Lalu. besok.
beritahukan aku reaksi isterimu. Sampai ke reaksi
yang sekecil-kecilnya!"
Pikiran Dumadi masih kalut, sehingga keganjilan saran itu tidak diperhatikannya benar. Ia
hanya mengingat cara-caranya saja, kemudian
bangkit dan pamit untuk pulang. Di pintu, ia
mendadak membalikkan tubuh dan memandang
tuan rumah dengan wajah malu-malu.
"Ada yang terlupa. Madi?" tanya Santika. tersenyum.
'Aku kehabisan uang untuk ongkos pulang,"
jawab Dumadi, tersipu. 'Tolonglah Bapak pinjami
aku barang lima ratus rupiah."
LIMA CUKUP lama Dumadi menunggu sebelum ada
bis lewat. Turun dari bis dl mulut desa, ia kehabisan ojek pula sehingga terpaksa meneruskan
sisa perjalanan dengan mengandalkan kedua
kakinya yang boleh dibilang sudah kehabisan
tenaga Larut malam barulah ia tiba di rumah. Pintu
dibuka oleh Saniah yang tidak bertanya apa-apa.
kecuali memperlihatkan senyuman lega karena
sang suami akhirnya pulang juga.
'Akang tentunya lapar ya,' gumam Saniah
lembut. "Tunggulah sebentar, Biar kupanaskan
dulu gulainya." Dan sesaat kemudian Saniah
sudah menghilang ke dapur.
Dumadi menghenyakkan tubuhnya yang seakan sudah hancur berantakan di sebuah kursi.
Sambil menunggu ia kembali berpikir dengan
gelisah: "Kepada isteri semacam itukah harus
kuminta ijin melakukan perbuatan yang pasti di
kutuknya habis-habisan !'
la berpaling kaget mendengar ada pintu dlbuka dan tahu-tahu Ismiaty sudah ada di depannya. dengan sebuah pertanyaan yang mengagetkan; "Ayah menyesalinya, bukan?" Sebelum Du-
madi sempat mencerna pertanyaan itu, Ismiaty
sudah mengajukan pertanyaan lain: "Bagaimana
Ayah menghapusnya" Bingung, Dumadi balas bertanya: "Menghapus apa. Nak?"
'Kaos oblong itu,' jawab anaknya seraya tersenyum.
Oh. oh! Ismiaty tersenyum! Setelah anaknya
yang malang itu hampir seminggu ini selalu murung, ketakutan, atau marah-rnarah tanpa sebab.
Ada apa ini" "Apa tadi kau bilang, Nak?"
'Kaos oblong. Masa Ayah lupa!?"Aku tak punya..."
"Bukan punya Ayah. Tetapi punya... Januar
jawab Ismiaty, dengan kedua pipi mendadak bersemu merah. 'Sebentar, kuambilkanl' Lantas gadis itu berlari-lari masuk kembali ke kamar tidurnya. Secepat ia pergi. secepat itu pula ia sudah
datang lagi. Katanya: 'Untuk menghibur-hibur diri.
tadi aku membaca salah satu buku saku yang
sengaja kubawa dari kota. Rupanya ke buku itulah
sempat kuselipkan foto Januar. lni, Ayah. Perhatikanlah..! Ismiaty menyodorkan selembar loto
setengah badan seorang pemuda tampan dan
enerjik. Pemuda itu bertelanjang sebatas pinggang, menonjolkan otot otot muda dan kuat serta
wajah ditetesi keringat. Sambil mengamat-amati foto si pemuda, Dumadi bergumam heran: "Kau tadi bicara soal kaos
oblong, Mia." "Hei !" Ismiaty lebih heran lagi. "Lupakah Ayah.
kalau Ayah telah mencoret-coret foto ini dengan
mempergunakan spidolku?"
"Kapan?" Waktu Ayah menjemputku. Di rumah oom
Tarian. Aduh. Ayah main kurakura dalam perahu.
ya" Karena diam diam Ayah telah menyesali sifat
usil Ayah yang sempat membuatku merajuk tak
mau dibawa pulang" Tak usah malu-malu.
Sesekali mengakui kesalahan. tak apa toh?"
'Tetapi, Nak..." lsmiaty merenggut tak sabar foto itu dari
tangan ayahnya. la letakkan di meja makan. Lalu
dengan ujung-ujung kuku jari telunjuknya, la
menggores-gates di lembaran loto itu. Goresan
meliuk-liuk. Satu goresan melingkar dl bawah
leher. Satu ia tarik dari pundak kiri sampai kepinggang. Tarikan yang sama ia lakukan pula dari
pundak kanan, juga sampai ke pinggang. Tarikan
meliuk-liuk. Untuk menguatkan maksud goresan
kukunya. ia menjelaskan "Secara beginilah Ayah
mencoretkan spidolku waktu itu. Karena aku
ngambeg, Ayah lalu menghiburku dengan mengatakan, seorang gadis remaja tak pantas menyimpan foto pemuda telanjang. Karena itu Ayah
mencoret coretnya sedemikian rupa untuk menutupi ketelanjangannya. Lalu kupikir-pikir, tak
apalah. Coretan-coretan Ayah membuat Januar
seakan akan tengah memakai kaos oblong. Kaos
transparan..." "Ah... ah ya. Baru kuingat sekarang! komentar
Dumadi. Wajahnya memperlihatkan perasaan
malu karena perbuatannya yang kekanak kanakan itu. "Jadi diam diam kau bawa juga foto pacarmu ya?"
"Tak boleh orangnya, fotonya pun jadilah."
bisik lsmiaty tersinggung. la teringat betul pesan
ayahnya waktu itu. agar tidak memberitahu Januar
bahwa ia akan pulang kampung seminggu dua
minggu. Januar tak boleh tahu. Kuatir Januar
memaksa ikut, paling tidak, datang menjemput.
Kalau datangnya setelah semua urusan beres dan
segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.
tak apalah. Ayahnya tidak berkeberatan. Tetapi
kalau Januar tiba-tiba muncul selagi mereka masih
melakukan pekerjaan mereka yang aneh di kampung ini, bisa berantakan semuanya. Karena jangankan kehadiran orangnya. Memikirkan Januar
saja, Ismiaty tidak diperbolehkan. lsmiaty. sebagaimana diingatkan oleh ayahnya, harus benar-
benar memusatkan diri serta pikirannya hanya
pada apa yang harus ia jalani. demi keselamatan
jiwanya sendiri. Teringat ke situ, lsmiaty mempergunakan kelengahan ayahnya yang tampak tengah berpikir-
pikir, untuk menyambar potret Januar dari' meja.
Potret itu ia pegang erat~erat di tangan yang ia
silangkan di balik punggungnya. Setengah hati,
ia lalu berkata: 'Ayah sudah melihatnya. bukan"
Garis-garis spidol itu sudah hilang. Jadi Ayah
diam-diam sudah mengetahui, potret Januar kubawa. Lalu Ayah mengambilnya, menghapus coretan-coretan itu, dan menyimpannya kembali di


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam buku sakuku. Yang kuherankan, Ayah.
Bagaimana cara Ayah menghapus coretan spidol
itu. sehingga tidak sedikit pun meninggalkan
bekas." "Aku tak pernah..."
Ucapan Dumadi diputus oleh isterinya yang
rupanya telah muncul dari dapur semenjak tadi
dan diam-diam menguping pembicaraan mereka.
"Sudahlah, Mia. Ayahmu capai dan lapar. Besok
sajalah hal itu kalian bicarakan lagi. Mau makan
di sini saja, Kang Madi" Atau di dapur, sambil
menghangatkan tubuh dekat tungku?"
"Di dapur saja," jawab Dumadi, sambil memperhatikan ke dua lengan anaknya yang menghilang di balik punggung gadis itu. Sebelum bangkit dari kursinya, Dumadi berkata hati-hati: 'Tinggal
kau seorang anak kami yang masih tersisa, lsmiaty. Sudah cukup banyak usaha yang aku dan
ibumu lakukan selama ini untuk menyelamatkan
empat orang saudara-saudaramu yang kami sangat cintai. Maka dari itu. jawablah, Anakku. Haruskah gagal pula usaha kami untuk menyelamatkan
satu-satunya yang masih tersisa itu?"
Duk! Terpukul keras dada lsmiaty mendengar
pertanyaan itu. Lebih-lebih setelah melihat sudut-sudut mata ayahnya basah dilinangi butir-bulir air
bening. Sementara di belakangnya, ia dengar
suara ibunya menarik nafas berat dan getir. Setelah menimbang-nimbang sejenak, kedua lengan
ia tarik dari punggung. Lalu foto Januar ia letakkan
di meja, seraya bergumam lirih: "Maafkan aku,
Ayah. ini, simpanlah oleh Ayah."
Dumadi merasa dirinya semakin tua dan renta,
manakala ia saksikan anak perempuannya membalikkan tubuh dengan lesu lalu berjalan tertatih-tatih masuk ke kamar tidurnya. Baru setelah pintu
kamar tidur itu ditutup dari dalam, ia mampu
bernafas meski tidak terlalu normal. la menghindari pandangan duka di mata isterinya. dengan
mengamat-amati potret Januar yang tergeletak di
meja makan. Sepasang mata pemuda itu bersinar
terang dan tajam, seakan menegur dan mempersalahkan Dumadi. Bibir pemuda itu yang ter-
senyum tipis, seakan melontarkan ejekan menantang: "Kalau memang tak suka padaku, me-
ngapa aku tak kau bakar saja?"
Marah karena kebingungan dan kegelisahannya, Dumadi bangkit dari kursi sembari menyambar potret itu dan membawanya serta ke dapur,
dilringkan oleh Saniah yang tampak cemas. Duduk
di depan tungku perapian yang masih menyala.
Dumadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Menyimpan potret itu baik-baik, atau melemparkannya ke tungku. Saniah mengawasi diam-diam
selagi menyendukkan gulai panas ke nasi yang
sebelumnya telah ia sediakan di piring. la tambahkan pula dua potong tempe goreng. Lalu piring
itu ia sodorkan ke tangan suaminya, tanpa berkata
sepatah pun juga. Dumadi akan meletakkan potret Januar di
lantai. dan telah memutuskan untuk menyimpannya nanti baik-baik demi menjaga perasaan puterinya tersayang, ketika ia teringat sesuatu. Diamat-amatinya potret itu dengan teliti. la bayangkan,
pemuda bertelanjang dada itu kini mengenakan
celana jean dengan baju kaos lusuh akibat perjalanan jauh. la bayangkan pula ada sebuah
ransel, model tentara di punggungnya. Dan tiba-tiba, Dumadi dijangkiti perasaan jengkel tiada
terperi. 'Anak tak tahu diri itu!" ia memaki. Potret
Januar diremas remasnya. dengan keinginan
ingin menghancurkan anak muda itu sampai lumat. belum puas, lembaran toto yang kumuh itu
ia lontarkan ke dalam tungku menyala. "Sudah
kuduga Anak itu akan datang juga akhirnya.
Benarlah apa kata orang. Cinta itu buta. Sedemikian butanya, sehingga anak itu tak sadar
bahwa kedatangannya justru dapat mencelakakan Ismiaty!"
Saniah tidak mengomentari apa-apa. la menyadari kemarahan suaminya. Dan hanya bisa
menatap ke tungku. Melihat bagaimana potret
Januar menyala dimakan api. Nyala api senantiasa
menimbulkan asap. Tetapi asap yang ditimbulkan
nyala api yang membakar potret Januar, bukanlah
asap yang biasa terlihat. Asap itu berwarna hitam
pekat. menggembung dalam satu lingkaran aneh,
lalu meliuk panjang, mengarah lurus ke atap dapur
yang tidak berpara. Liukan asap hitam itu meliuk-liuk pula setiba di atap, seakan mencari jalan
keluar dengan gerakan tak sabar. Asap itu tidak
buyar sedikit pun. manakala menyelinap lewat
celah-celah genteng dan kemudian lenyap tak
berbekas,... Menyaksikan warna, bentuk, dan gerakan
asap itu, Saniah terkesiap. Sepasang matanya
membelaiak tajam dan berubah menjadi merah,
semakin merah, lalu mulutnya yang memperdengarkan suara erangan tajam, setelah mana terulas senyum misterius. Ia baru berpaling waktu
merasakan piring di tangannya seperti disentakkan. Rupanya Dumadi telah mengambilnya, lalu
makan dengan suapan-suapan tak sabar.
Dumadi tak sabar bukan karena ia sudah
teramat lapar. Dumadi tak sabar, karena gambaran
pemuda yang tadi sore ia lihat turun dari bis.
membuatnya sangat cemas. Entah di mana pemuda itu menginap malam ini. Yang jelas, ia akan
segera muncul di rumah mereka itu harus dicegah'. _
"Kurang ajar benar" gerutunya sambil mengunyah.
"Tenanglah, Kang.." bujuk Saniah. Sikapnya
sudah kembali seperti semula. Matanya pun bening, meski tergores juga gambaran penderitaan
yang seakan tidak berhenti melanda dirinya. la
usap pipi suaminya, dlkecup lembut dan berkata
menghibur. 'Kalau kau makan seperti itu. Kang
Madi. Kuanggap kau tidak menyukai masakanku."
Dumadi menjadi lebih tenang.
Pikirannya pun terus berjalan; "sekaranglah
saatnya. Di sini. Tak usah di luar sana. Memandang rembulan huh. Apa pula maksud Santika"
Menyuruh kami bercinta cintaan sedang bahaya
kian dekat mengancam"
Dongkol. ltulah perasaan yang mendorong
Dumadi nekat berbicara saat itu dengan isterinya.
Sebelum menghabiskan makanannya. ia sudah
berucap tanpa tedeng aling-aling:
"Aku harus memperkosa lsmiatyl'
Saniah tersentak. Di luar. asap hitam yang aneh itu pun ter
semak-semak. Melluk liar, sebentar ke sana, sebentar ke sini. Tak lama kemudian, kepulan asap
hitam memanjang itu bergerak melewati atap
demi atap rumah. Asap itu seperti hidup. Punya
mata, punya arah tujuan. Gerakannya yang aneh,
membuat angin malam berhenti berhembus, dan
pepohonan yang dilaluinya tertegak diam. bahkan
rembulan pun tak berani beringsut...,
ENAM PADA waktu bersamaan. dl dalam sebuah
rumah sederhana berdinding setengah tembok.
seorang laki-laki berusia lima puluhan, bersujud
tenang di atas sajadah Dalam sujudnya, ia membersihkan diri dan mensucikan jiwanya dengan
Seuntai permohonan: hendaklah aku tidak kau
jadikan manusia musyrik ya Allah. Apa pun yang
ada di tanganku sekarang ini, tak lebih dari
sekedar benda mati belaka. Benda buatan manusia, makhlukmu yang hina dina. Akan tetapi ya
Allah. Dengan kebesaran dan kemuliaan nama-Mu, aku percaya. benda mati ini kiranya dapat
membantu kami melepaskan diri dari cengkeraman syeitan yang terkutuk!"
Wajah lelaki itu tampak damai waktu ia duduk
dari sujudnya. Gagang sebilah keris tergenggam
erat di telapak tangan kirinya, sementara telapak
tangan kanan memegang lembut sebuah kitab
suci ukuran mini. Kemudian ia duduk bersila.
membaca doa suci. la telah membaca do'a
do'a yang sama ketika sore tadi la selesai membaca sepucuk surat dari Amsar. cucunya, yang
dititipkan anak itu pada salah seorang sahabat
baiknya yang mulai malam ini menjadi tamu terhormat di rumah mereka.
Dalam suratnya itu seperti biasa Amsar me
minta dengan halus; "Ikan yang ada di kolam
Kakek tentunya sudah siap dipanen. Ingin sekali
aku mencicipinya barang satu atau dua ekor saja.
Tetapi kalau ikannya di kirim tentu akan busuk
setelah tiba di tanganku. Oh ya, Kek. Minggu
depan aku harus sudah mulai membuat skripsi..."
Agaknya, Amsar telah berlagak lupa, bahwa
sekarang ini justru sedang bulannya menebar
benih ke kolam. Dan ia tahu betul, uang hasil
panen sebelumnya senantiasa disimpan kakeknya dengan apik. Selain untuk kebutuhan sehari-hari kakek nenek Amsar sampai musim panen
berikutnya, disisakan pula sebagian untuk keperluan mendadak, misalnya ya, seperti yang
dikatakan Amsar: membuat skripsi.
Waktu membaca permulaan surat cucunya itu,
tadi sore sepulang dan' sawah. lelaki itu mau tak
mau harus tersenyum simpul. Apalagi Amsar menulis pula didaalnya Kek. Kali ini aku tak berkirim
kue. Nggak sempat ke toko. Tetapi bersama surat
ini, saya kirim kakek dan nenek hadiah istimewa.
Selain hadiah itu besar dan hidup. ia juga punya
kisah yang sangat istimewa. Hadiah itu namanya
Januar" Kakek Amsar menunggu Januar usai makan
malam, sebelum ia mengisyaratkan tentang isi
surat yang ia baca. Mereka kemudian berbincang-bincang panjang lebar. setelah mana Januar ia
persilahkan tidur karena tamunya itu tentulah
sudah letih dan mengantuk. Si kakek sendiri.
masih berbincang-bincang dengan isterinya. sampai isterinya akhirnya juga menguap lalu meninggalkanya sendirian. la pergi mengambil wudhu,
dan karena memang sudah waktunya, ia lalu
bersholat tahajjud. Setelah sholat, barulah ia ambil
keris itu dari tempatnya disimpan, mensucikannya
atas nama Tuhan. dan bermaksud untuk menyimpannya kembali sebelum tidur. Sedikit pun ia tidak
menduga, bahwa keris itu akan bertugas seketika
itu juga..., Setelah berbaring di tempat tidur, Januar
justru tidak bisa terpejam. Merasa dirinya telah
semakin dekat dengan lsmiaty, pikirannya menerawang tidak menentu. la betul-betul keki karena
gadis itu minggat dari tempat oomnya tanpa pamit
pada Januar. Kecuali kalau ia meninggalkan sepucuk surat walau hanya berisi sebaris dua kalimat
sebagai petunjuk. Januar akan maafkan keteledoran lsmiaty. la betul-betul sangat emosi, kalau
tak keburu disabarkan Amsar: "Coba temui omnya. lsmiaty tak akan pergi begitu saja kalau tidak
ada apa-apanya." Dan begitu mendengar cara ganjil yang ditempuh lsmiaty dan ayahnya untuk bergegas
pulang kampung. Januar menjadi tak sabar dan
memutuskan akan segera menjemput gadis itu.
Paling tidak melihat bahwa gadis itu selamat
sampai di kampung. Lalu muncullah gangguan-gangguan misterius itu. Tekana tekanan syarat
yang aneh sehingga Januar seakan bermimpi
padahal ia dalam keadaan sadar, sepenuh-penuhnya sadar. Wajahnya yang kuyu menarik perhatian ajengan Zakaria waktu suatu hari mereka
selesai menunaikan sholat Jum'at di masjid. Kuatir
ia terpengaruh hal-hal mistik, Januar lantas mengakui terus terang pengalamannya dengan ketiga
ekor bangkai ular itu. Dan apa kata ajengan
Zakaria: "Tiada hal-hal yang musykil di dunia ini.
selama Tuhan masih menghendaki-Nya."
la telah teringat dalam persoalan lsmiaty. Persoalan apa, Januar masih buta sama sekali. Namun bagaimana sampai ia dilibatkan. ajengan
Zakaria juga yang memberi petunjuk: "Cinta yang
tulus dan dalam, dapat mempersatukan dua sosok
tubuh, meski satu sama lain terpisah cukup jauh.
Tubuh itu, menyatu dalam rohani mereka."
Dan itu berarti, meski minggat tanpa kabar
berita, lsmiaty tetap berharap Januar memaafkannya, lsmiaty tetap mengingatnya, mencintainya,
dan sadar atau tidak. membutuhkan pertolongannya. Kini, Januar telah datang. Tetapi pertolongan
apa yang harus ia berikan" Sedang untuk bertemu
lsmiaty saja tidak mudah. Amsar telah mengingatkan: "Jangan menganggap dirimu di kota, kalau
kau nanti tiba di Ciasem. Berkunjung ke rumah
keluarga seorang gadis tak boleh sendirian, kalau
itu merupakan kunjungan pertama. Membawanya
ke luar rumah, lebih repot lagi!"
Syukurlah, nenek Amsar telah menawarkan
diri untuk mendampingi Januar berkunjung ke
rumah keluarga lsmiaty. Keluarga gadis itu bukan
orang asing di mata keluarga Nnsar, begitu pula
sebaliknya. Jalan untuk itu sudah terbuka. Tinggal
memikirkan jalan. bagaimana Januar dapat mengajak lsmiaty meninggalkan rumah orangtuanya"
Kalau terpaksa. biarlah hanya beberapa menit
saja. Menit-menit yang sangat berharga untuk
sepasang kekasih dapat melepas rindu. tanpa
kehadiran orang lain... Tengah menyusun siasat cara bertemu itulah,
Januar mendengar daun jendela kamar tidurnya
diketuk-ketuk dari sebelah luar. Pemuda itu sampai terloncat kaget dari tempat tidurnya. Siapa pula
orang yang mengetahui ia ada di rumah ini, dan
ingin bertemu tengah malam buta begini" Mengapa pula harus lewat jendela" Ataukah diam-diam Amsar telah mengirim kurir. Amsar ingin
menciptakan surprises, dan diam-diam mengatur
pertemuan kilat dengan lsmiaty setiba Januar di
kampung gadis itu. Januar tak percaya dengan ide itu. Lebih tak percaya lagi kalau lsmiaty berani nekad meninggalkan rumahnya tengah malam buta begini. Kalau
itu yang terjadi, sungguh bertentangan dengan
bualan Amsar mengenai tata tertib berpacaran di
kampung mereka. Pasti ada orang lain. Orang
yang mengetuk jendela yang salah..
Ketukan itu pun telah berhenti. sesaat Januar
turun dari ranjang. Di luar tak terdengar suara apapun Sunyi sepi. Lengang, mencekam. Sungguh
aneh, kalau tiada terdengar suara hembusan
angin yang menggerakkan dedaunan pohon besar dan rimbun di luar jendela kamar tidur yang ditempati Januar. Padahal beberapa saat sebelumnya. desau angin di luar sana begitu berisik
dan menggetarkan hati Hem. Apakah tadi ia ada mendengar lolongan
anjing di kejauhan. Lolong memilukan, panjang
bergetar dalam irama-irarna yang khas penanda
anjing itu meihat atau mencium bau hantu yang
gentayangan. Tidak ia dengar suara anjing atau
pun binatang lainnya. Malam ini teramat gelap dan
terlalu lengang. Ataukah itu pengaruh kebisingan
kota yang mendadak berubah dengan suasana
sebuah kampung terpencil semacam Ciasem ini"
Januar memutuskan bahwa ia salah dengar
dan lebih baik tidur saja kembali. Namun suatu
dorongan aneh memaksanya berjalan ke jendela.
Tertegun sejenak di situ. sebelum tangannya terangkat. la lepaskan kunci selot jendela sambil
menajamkan kuping. Tak ada suara apa pun diluar. Tidak orang, tidak juga angin menerpa dedaunan. Mestikah ia teruskan membuka jendela"
Waaah. kepalang basah!" desah Januar. dan
daun jendela pun ia pentangkan lebar-lebar. Hawa
dingin merembes masuk menerpa pori-pori kulit
wajahnya. Di luar jendela. sebenarnya rembulan
bersinar meski tak begitu terang. Tetapi karena
pohon mangga besar yang rimbun di luar jendela
itu. Januar hanya dapat menangkap kegelapan
yang menghitam pekat. Ada bayang-bayang berkelebat sekilas tertangkap olehnya. Tetapi setelah
ia simak, ternyata hanya bayang -bayang dedaunan dalam jilatan rembulan.
'Bangsat. Kukira apa...' meskipun dalam hati.
Yakin tidak ada orang di luar dan ia tadi tentunya
terpengaruh halusinasi oleh kegelapan malam dan
suasana lengang mencekam itu. Januar menggapai daun jendela untuk menutupnya kembali.
Pada saat itulah ia mendengar desis panjang dan
tajam lalu samar samar melihat gerakan sesuatu
terjilat oleh rembulan. Ada sesuatu menghantam


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah daun jendela yang sudah setengah tertutup.
Daun jendela itu terhempas dengan suara keras
ke bingkainya. sementara Januar secara naluriah
menghindar ke samping. Kemudian sepi. Mencekam. Apakah tadi yang berdesis lalu berkelebat
begitu cepatnya itu" Benarkah bahwa ia mendengar suara berdebuk halus" Dan suara itu.
ada... Astaga, suara berdebuk samar-samar itu
memang terdengar dari arah lantai kamar tidurnya.
Uh. uh, mengapa tadi ia memadamkan lampu
begitu masuk kamar" Coba kalau...
Terdengar suara desisan lagi. Agaknya dipojok sebelah klri. Dan itu berarti, di atas ranjang
tidurnya ! Januar terpekik. la sadar kalau ia diancam sesuatu Tetapi ia
tidak tahu apa yang mengancam dirinya. Yang ia
tahu adalah memikirkan jalan lolos. Ia berpikir
keras kemudian menduga-duga arah pintu. Lalu
ia menguatkan hatinya yang ciut dan beringsut
seinci demi seinci. Desis itu makin jelas di telinganya dan samar-samar pula matanya yang
sudah terbiasa dengan kegelapan. dapat menangkap bayangan sesuatu yang besar dan hitam,
bergunduk di tengah tempat tidur.
Benda hitam itu menggeliat lalu mengangkat
kepalanya. Januar menelan ludah. ingin berteriak. Tetapi
lidahnya kelu. Syaraf-syarafnya menegang kaku.
Tahulah ia sekarang, bahwa gangguan yang ia
alami beberapa hari belakangan ini, telah muncul
lagi. Dan saat ini. teramat dekat. Dekat sekali
sehingga Januar yakin kali ini tidak ada lagi jalan
untuk meloloskan diri. Sedetik, ia masih sempat
teringat pada pesan ajengan Zakari; "Bacalah
Tau'uz atau taawwudz. Ta'uz bacaan paling pendek dan...." Ingatan Januar bekerja keras, namun
lidahnya dan bibirnya tidak mau membant u. Semuanya kelu. Semuanya kaku. Sementara benda
hitam memanjang itu, perlahan-lahan meliuk...
pada saat yang kritis itulah pintu kamar dihempas terbuka dari setelah luar. Terdengar
suara bertanya kuatir "Ada apa. Cucu" Lalu
tahu tahu terdengar bunyi klik satu kali, dan lampu
kamar itu pun menyala terang benderang. Silau
mata Januar dibuatnya, namun ia tidak berani
berkedip. Dan menjeritlah Januar saking kaget
dan ngeri, ketika ia lihat benda apa yang bergerak
gerak di tempat tidur. Ternyata seekor ular besar
dan panjang. Kulitnya hitam pekat, namun tanpa
sisik! Sepasang mata merah menyala di kepala
lonjong ular besar aneh itu berkilat-kilat oleh
terpaan cahaya lampu. Setengah tubuhnya masih
melingkar di kasur. sedang bagian atasnya, setelah berpaling ke arah datangnya orang ketiga
kemudian meliuk lagi dalam putaran seram mengarah ke sasaran semula: Januar, yang berdiri
terpaku ke dinding papan, tanpa kuasa bergerak.
Gambaran seekor ular besar, tanpa sisik selembarpun sudah terlalu berat untuk ditanggung mentah
http://cerita-silat.mywapblog.com
Tuan rumah yang baru saja menyerobot masuk hanya setarikan nafas saja menegun: "Diam
saja, Cucuku. Jangan berbuat sesuatu yang memaksanya untuk langsung menyerbu...!
Barangkali, serbuan pertama yang salah itulah
yang membuat makhluk mengerikan di tempat
tidur telah jatuh terhempas tadi, dan belum sempat
memulihkan tenaganya ketika pintu dibuka dari
luar oleh kakek Arnsar. Si orang tua kumat~kamit membaca do'a. dan keris yang masih tergenggam
di tangannya. terangkat perlahan-lahan. Begitu
lambatnya. sehingga Januar hampir mati ketakutan
melihat gerakan' ular yang tertangkap oleh
matanya. Sang makhluk, pulih sudah tenaganya Tanpa
memperdulikan si pengganggu, leher makhluk itu
meliuk mundur dengan moncong terbuka memperlihatkan taring-taring putih kemilau dan sebaris
lidah panjang bercabang berwarna merah darah.
Lidah itu terjulur masuk sekali. mendesis lagi keluar. bersamaan waktu dengan liukan mundur
, mencapai posisi paling tepat dan kuat untuk
memeluk mangsanya. 'Bismillah...!' kakek Amsar berbisik mantap.
Kerisnya ia lontarkan ke tempat tidur. Sungguh suatu lontaran sembarangan. karena mestinya kepala makhluk itulah yang harus dituju.
Namun akibatnya benar-benar mentajubkan.
Meskipun yang terkena hanyalah sisi bagian
makhluk yang masih bergulung, tampaklah suatu
pancaran bagai percikan api, disusul bunyi ber
getar keras memekakkan telinga seperti ada mercon meledak. Terdengar bunyi raungan nyaring
yang jenisnya sukar ditebak. Entah raungan binatang, ataukah raungan manusia
Raungan itu pendek saja
Dan begitu lenyap, sosok makhluk itu pun
sirna. Kasur di atas tempat tidur tampak hampa.
Spreinya memang awut-awutan sedikit. namun
jelas itu dikarenakan pergerakan tubuh Januar
sewaktu menaikinya, berbaring gelisah di atasnya
lalu terionjak turun ketika tadi mendengar ada
bunyi ketukan di daun jendela.
Tak ada bekas: Tak ada bau sang makhluk
Kecuali sebilah keris yang tergeletak diam... seakan tak berdaya.
Seolah olah di atas kasur itu sebelumnya
memang tidak ada apa-apa. Di luar. angin pelahan-lahan berhembus. Dedaunan pohon menggerit berisik, dan seekor anjing menyalak dari
rumah tetangga sebelah. Dari tempat tidur, dua
pasang mata manusia di kamar milik Amsar dan
malam ini dihuni orang lain... terangkat dan bertaut
dalam sorot pandang membeku.
http://cerita-silat.mywapbl og.com
TUJUH BERSAMAAN waktu lenyapnya makhluk berwujud ular besar di rumah kakek Amsar. bara api
di tungku dapur rumah Dumadi mendadak bergemeretak. Ribut. Saat berikutnya. terdengar suara desis keras dan tajam. Bagai disiram seember
air, bara menyala itu tahu-tahu padam begitu saja.
Hitam. menjadi arang. Tidak cukup sampai di situ.
batu-batu tungku pun bergetar pula, beradu satu
sama lain dengan suara hingar bingar.
mundur!" bisik Dumadi, waspada seketika.
Perlahan-lahan ia bangkit. mundur selangkah
demi selangkah menjauhi tungku.
Saniah mendengar peringatan suaminya.
Akan tetapi ia tetap saja duduk di tempatnya
Terpukau, dengan wajah dicekam teror. Matanya
terbelalak ketakutan memandangi bagaimana
tumpukan arang hitam legam di dalam tungku.
tiba-tiba bergerak-gerak. Kian detik, ger akan itu
kian liar jua. Seolah di bawahnya tersembunyi
makhluk hidup yang tengah menggelepar. Sekali
lagi terdengar suara desis. Kali ini lebih panjang,
teramat lirih bagaikan suara makhluk sekarat yang
tersiksa. Kemudian, bebatuan tungku berderak-derak,
lalu pecah berantakan. Potongan-potongan kayu
bakar yang masih tersisa. tampak terangkat per
lahan-lahan. secara naluriah Dumadl melompat
ke muka. "Awasi" teriaknya. cemas. la sambar
lengan isterinya. diseret mundur dengan cepat.
` Pada waktu itu juga, tumpukan bara berhamburan
kian kemari. Potongan demi potongan kayu bakar
ikut pula berhamburan. Potongan terbesar. yang
ujungnya .juga sudah menjadi arang, melesat ke
arah Saniah. Reflek, Dumadi melompat lagi kedepan. melindungi istrinya
Ujung kayu yang hitam legam itu lantas menghantam dada Dumadl dengan kerasnya. Dumadi
berteriak kaget bahkan sakit. Entah tangan gaib~apa yang melemparkan potongan kayu bakar itu,
sampai Jumadi terdorong begitu kuat. la bagaikan
dilontarkan ke belakang. menghantam tubuh lstrinya, sehingga mereka berdua jatuh berhimpitan di lantai dapur setelah lebih dulu menabrak
dinding sehingga papannya berderak pecah.
"Ya Allah!" terdengar suara pekik ngeri menyayatkan hati. Sesosok tubuh tahu-tahu telah
menghambur ke dapur dan buru-buru menolong
kedua orang suami isteri yang jatuh terhumbalang
itu. Mula-mula ia seret Saniah keluar dari dapur
dan dibaringkan di ruang tengah. Menyusul ia
berlari lagi ke dapur untuk membantu Dumadi.
Tetapi lelaki itu telah bangkit. sempoyongan seraya memperlihatkan kesakitan teramat sangat
pada wajahnya yang pucat pasi. la segera mengenali puterinya. mencoba tersenyum, tetapi gagal karena hanya seringai derita saja yang tergurat
di bibirnya. "Semuanya sudah berakhir agaknya,
http://cerita-silat.mywapbl og.com
Suaranya. tercekam. Apa yang dikatakan Dumadi memang benar.
setelah lsmiaty menghambur masuk ke dapur.
suasana dl situ mendadak sepi. Tak terdengar
suara apa-apa lagi. Tidak pula tampak gerakan
gerakan yang menakutkan, kecuali suasana dapur
yang berantakan. Tungku perapian sudah tidak
menentu lagi .bentuknya Tanah bekas tungku itu
tadinya ditempatkan. rupanya ikut terbongkari
memperlihatkan lubang menganga. Namun. dilubang itu pun juga tidak tampak makhluk yang
menyebabkan semua kegemparan itu.
'Bagaimana ibumu, Mia?"
'Pingsan, Ayah." "Ayo. Kita tolong dia."
Bersama-sama mereka gotong tubuh Saniah
ke kamar. Dibaringkan di tempat tidur. Setelah
ribut mencari-cari, akhirnya lsmiaty menemukan
minyak gosok, yang setelah dioleskan dl depan
lubang-lubang hidungnya, Saniah pun mulai
siuman.
_ "Apa... apa yang... terjadi?" ia mengeluh. Lalu
ia lihat suaminya setengah bersimpuh di dekat
tempat tidur. Tangan lelaki itu menekap dada.
"Kang Madi, aduh. Apa..." Tetapi lsmiaty keburu
menyuruh ibunya diam dan lebih baik mencoba
tidur untuk menenangkan diri. Setelah itu lsmraty
bergegas mendekati ayahnya. .
'Apanya yang sakit. Ayah" Mari. Mia lihat..."ujarnya kuatir.
"Bukan main!" desah Dumadi getir dan tampak
kebingungan. "Padahal ujung kayu yang meng
hantamku, sudah hangus mengarang!"
Tetapi akibatnya memang bukan main. Bagian
kemeja Dumadi yang dihantam potongan kayu
bakar itu, robek atau tepatnya boleh dibilang
bolong karena hangus. Kulit dadanya tampak
melepuh. juga seperti hangus dihantam bara api
menyala. "Ambilkan kecap. Mia: keluh Dumadi menahan sakit.
Setelah luka melepuh itu dibaluri kecap oleh
ismiaty, barulah Dumadi bisa bernafas lega. "Lebih
dingin sekarang," bisiknya. 'Tadinya, seperti dipanggang saja!" Walaupun la berkata demikian
wajah Dumadi tetap memperlihatkan kebingungan. Jelas ia lihat dengan mata kepala sendiri.
bahwa ujung potongan kayu yang menghantam
dadanya berwarna hitam Iegam. berarti sudah
tidak mengandung bara api lagi. Tetapi mengapa
baju dan kulit dadanya hangus terbakar"!
Untuk membuang pikiran gundah, la bertanya
pada puterinya: "Tadinya kukira kau sudah tidur.
Nak. Bagaimana kau tiba-tiba sudah muncul didapur" Apakah kau juga melihat keanehan yang
terjadi pada tungku itu?"
"Aku melihatnya, Ayah."
'Jadi sesaat sebelum itu..." ayahnya memandang curiga.
lsmiaty tersenyum. Di bibir. Akan tetapi di balik
sinar matanya. ia menangis. Terbata-bata, ia menjelaskan 'Setelah tadi Ayah kutinggalkan, aku
masih penasaran. Akan Ayah apakankah potret
Januar. Kulihat Ayah dan ibu pergi ke dapur. Aku
lantas nguntit diam-diam. Maafkan aku, Ayah. Aku
tak bermaksud..." "Jadi kau juga mendengar pembicaraan kami!"
"Ah ya Sedikit-sedikit..." lsmiaty berpura-pura
dengan senyuman bibirnya. 'Benarkah Januar ada
di kampung kita sekarang ini. Ayah?"
"Itu tidak penting, Nak,'_bisik Dumadi kecut.
"Kau tentunya juga mendengar percakapan lainnya Tentang..." Dumadi tidak meneruskan kata-katanya. la melirik ke tempat tidur. dan melihat
Saniah membalikkan tubuh menghadap tembok.
Pundak istrinya tampak terguncang-guncang,
meski isak tangisnya tidak terdengar. Dumadi
menarik puterinya keluar dari kamar itu. Setelah
menutup pintu, ia ajak lsmiaty duduk. `
Beberapa saat lamanya mereka saling beradu
pandang. lsmiaty tampak tegar. sehingga Dumadi
luruh jiwanya. ia merunduk. pundaknya pun terguncang. lalu berkata menyesali diri: 'Alangkah
terkutuknya aku ini. Ayah macam apa aku ini...
sudah kubilang pada pak Santika, bahwa..."
"Itukah syarat yang harus kita jalani Ayah?"
Nada suara lsmiaty yang tenang dan datar.
membuat Dumadi semakin tersuruk semakin dalam. Ia Ingin berdalih, memberikan berbagai
alasan atau kemungkinan. Tetapi lidahnya sudah
terlalu kelu untuk berbicara. Akhirnya ia hanya
mampu diam. bernafas tersengaI-sengal menahan
gejolak perasaan jiwanya yang dibebani dosa.
'Itukah. Ayah?" ulang lsmiaty. lebih tegas.
"Kata pak Santika....'
Ismiaty memotong tak sabar: 'Kita bertiga
telah sama-sama menaruh kepercayaan serta hidup mati kita pada beliau. Jadi, kalau syarat itu
yang beliau katakan harus kita jalani, ya Tuhan.
Mudah-mudahan dosa kita semua diampuniNyal"
'Astaga, Nak !' Dumadi mengerang. "Kau...mau?"
( keenakan lo dumadi ! dah tua lagi..dasar brengsek ! mending buat pembaca cersiL... Eh ! pembaca ada yg mau nggak "! ha..ha..ha.. )
lsmiaty menarik nafas panjang. Tubuhnya tergetar, suaranya apalagi: 'Mula-mula kudengar
percakapan kalian, Ayah, aku hampir pingsan.
Rasanya, kuingin bumi tempatku berpijak belah.
Aku terseret ke dalam, dan berakhirlah sudah
semuanya. Dalam kepanikanku itulah, mendadak
terjadi sesuatu pada tungku. Aku begitu terkesima.
Lupa pada diriku sendiri. Bahkan lupa untuk
segera bertindak. Aku terlambat untuk menyeret
ibu dari tempat duduknya. Sedang Ayah...."
"Jangan pikirkan aku, Mia!" desah Dumadi
gusar. "Pikirkanlah dirimu sendiri. Bayangkan, kalau aku harus melakukan sesuatu atas dirimu.
Melakukan... ya ampun. Alangkah hina dan terkutuknya. Menjijikkan, Mia. Andai diperkenankan,
lebih baik kubiarkan saja kau.... Oh, Nak. Daripada
harus melakukan itu, apalah artinya sebuah kematian?"
lsmialy menyahut, murung dan suram: "Aku
juga lebih suka mati, Ayah. Tetapi setelah kulihat
cara kematian adik-adikku,... Aku tak pernah melupakan apa yang pernah kulihat. Ayah. Kejadian-kejadian yang senantiasa menteror diriku. ltulah


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebabnya, ketika Ayah datang menjemputku kekota dan menceritakan sebab sebenarnya dari
kematian mereka... aku lantas pasrah. Aku... lantas, tiba-tiba takut mati..."
"Kau akan tetap hidup, Nak," ujar Dumadi
tersendat, seraya membelai kedua belah pipi
anaknya. "Apa pun akan aku dan ibumu korbankan, demi keselamatanmu. Hanya kau satu-satunya harapan kami yang masih tersisa. Dan
pak Santika begitu yakin bahwa kau akan tertolong..." ia menarik nafas berulang-ulang, berpikir
sejenak. Lalu, berdesah bimbang: 'Mengenai syarat mengerikan itu, Nak. Kuharap pak Santika tidak
bersungguh-sungguh. Kalau tak salah. ia bilang
bahwa ia masih mencari jalan lain. Maka itu, Nak.
Berdo'alah pada Tuhanmu..."
"Tuhan kita semua Ayah !'
Dumadi menggelengkan kepala. 'Tidak, Nak.
Telah lama Tuhan berpaling dari aku dan ibumu.
Telah lama pula kami mengingkariNya. Seperti
dikatakan makhluk terkutuk di padang tandus itu.
Bahwa, aku telah mengkhianati Tuhanku. Jadi
sungguh tak pantaslah kiranya, aku memohon
ampunanNya lagi..." 'Tuhan Maha Pengampun, Ayah. Bermohonlah agar....'
'Telah kucoba beratus-ratus, bahkan ribuan
kali, Mia. Dan apa yang dilakukan Tuhan" Anak-anakku mati satu demi satu. Mati penasaran.
DibiarkanNya makhluk terkutuk itu mencabuti nyawa anak-anakku. Dengan cara sedemikian kejam
dan mengerikan..." "Ayah !" Jagal Iblis Makam Setan 3 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui 3 Kehidupan 3 Dunia 3
^