Pencarian

Tangan Tangan Setan 2

Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap Bagian 2


'Sudahlah, Nak." Dumadi menyeka air mata
yang melelehi pipi puterinya. 'Percayalah. Mia.
Entah bagaimana, aku tak tahu. Namun tertanam
dalam pikiranku, suatu keyakinan bahwa kau akan
tetap hidup, tetap selamat. Barangkali, Nak. ltu
dikarenakan kau lain dari kami. Dari aku. dari
ibumu. dari saudara-saudaramu yang telah meninggal. Kau begitu dekat dengan Tuhanmu.
Mungkin itulah sebabnya!"
'Lalu, Ayah..." 'Kau tidurlah. Biarkan Ayah sendirian Siapa
tahu, Tuhanmu masih memberi Ayah kesempatan..."
'Yakinlah. akan diberikanNya. Ayah." tukas
lsrniaty. Tegar. "Semoga aku tidak berdosa. dengan pemikiran bahwa syarat yang menakutkan
itu pun adalah juga kehendakNya!"
'Karena, Ayah. Musuh yang kita hadapi, bukanlah musuh sembarangan yang dapat dihadapi
manusia biasa semacam kita. Dia itu, Ayah... setan
penghuni neraka!" "Bagaimana kalau sebaliknya yang terjadi
Nak?" "Sebaliknya bagaimana, Ayah..."
'Bahwa pelaksanaan syarat itu, justru adalah
kehendak dari setan itu sendiri....'
"Semoga Tuhan melaknatnya, Ayah!"
Menggigil Dumadi mendengarnya, lengan-lengannya terasa kejang. Kaku, bagai ditusuk ribuan
jarum beracun. Sakitnya, tidak kepalang. Kenyerian itu berlangsung hanya sekejap. Sebelum
Dumadi sempat merintih, gangguan itu sudah
hilang dengan sendirinya.
Sebelum Dumadi dapat memahami maknanya, puterinya sudah beralih ke pembicaraan lain:
'Mengenai abang Januar. Ayah....'
'Oh, dia," Dumadi terhenyak. "Mengapa"'
'Adalah syarat pula sejak semula, agar aku
berusaha melupakan dia. Bukankah begitu, Yah?"
'Benar, Mia." 'Kukira aku bisa melakukannya, Ayah."
'Caranya?" 'Perkenankan aku bertemu dla. Untuk terakhir kali."
'Apa... apa yang akan kau lakukan, mia" tanya
Dumadi, mengandung kecurigaan.
lsmialy tersenyum pahit. "Aku tidak akan melakukan apa-apa, Ayah!"
'Jadi?" "Aku hanya akan berbicara dengannya."
'Bicara apa?" "Serahkan padaku, Ayah."
Dan malam itu, lsmiaty menangis sendirian ditempat tidurnya. Malam itu. ia bayangkan Januarberjalan meninggalkan dirinya. Meninggalkan lsmiaty, setelah lebih dulu meludahi mukanya.
Kemudian ia tertidur. Demikian kuat tarikan bathinnya memikirkan
Januar, sehingga dalam tidurnya pemuda itu benar benar muncul. Januar tidak meludahinya. Januar justru tersenyum padanya. Begitu manis.
meluluhkan hati. Januar lalu mendekat, berusaha
menggapai... dan suatu sentakan mengejutkan
tiba-tiba menarik tubuh Januar. Pemuda itu berusaha melawan sekuat tenaga, sementara lsmiaty
hanya berdiri terpana tanpa kuasa berbuat se
suatu. Lalu Januar makin hilang. Tempatnya dlgantikan Dumadi. ayahnya. Ayahnya tertawa ngakak, dari mulutnya keluar buih berbusa-busa,
baunya busuk memualkan. Wajah ayahnya berubah seperti anjing. Lidahnya terjulur panjang. .merah menjijikkan, berusaha menjilati tubuh
Ismiaty sampai ke bagian yang terlarang.
Ismiaty menjerit lalu tersentak bangun.
sekujur tubuhnya bermandikanpeluh dingin.
Lembab. Menusuk sampai ke sumsum.
"Ya Allah!" bisiknya. terengah-engah. "Tolonglah hambamu yang malang ini...!"
Sampai pagi mendatang. matanya tidak lagi
mau terpicing. Dadanya semakin sesak dan kering
kerontang. karena sepanjang sisa malam itu ia
diganggu oleh bayangan peristiwa beberapa
bulan sebelumnya. Waktu itu, Ismiaty baru saja meninggalkan
pacarnya yang kesekian, ketika jatuh cinta pada
Januar. Semakin intim dengan pemuda itu, semakin ia merasa bahwa lelaki mana pun selain
Januar tidaklah punya arti apa-apa dalam dirinya.
Dan. bahwa pacar-pacar nya sebelum Januar hanyalah sekedar iseng belaka. Pengisi waktu senggang dl luar jam-jam sekolah yang kadang-kadang
menjemukan. Lantas suatu hari. Januar lupa daratan. Setelah cumbuan yang memabukkan Januar bahkan
lsmiaty sendiri, pemuda itu mulai menggerayangl
pakaian dalam Ismiaty, berusaha menanggalkannya. Ismiaty segera ingat diri dan buru-buru melepaskah pelukan Januar seraya memperingatkan
pemuda itu agar mawas diri. Saat itulah Januar
berkata: "Bukankah engkau telah memberikannya
juga pada lelaki lain sebelum aku?"
Ismiaty menampar Januar sedemikian keras.
sampai pipi Januar berbalur merah bekas sengatan telapak tangan Ismiaty. Satu minggu lsmiaty tidak mau ditemui Januar. Seminggu berikutnya, ia bersedia ditemui. Tetapi menolak dicumbu, dan bicara pun hanya seperlunya. Januar
demikian menderita. sehingga akhirnya pemuda
itu jengkel lalu berkata dengan emosional: "Aku
telah berulangkali minta maaf. Aku pun telah '
bersumpah, tidak lagi lancang mulut menuduh
yang bukan-bukan. Apalagi yang harus kuperbuat,
Mia. Supaya kau bisa diyakinkan, bahwa aku
benar-benar telah berlaku tolol?" Sembari menceracau demikian, Januar menumbukkan tinjunya
ke batang pohon tempatnya menyandar. Buku
jarinya sampai mengucurkan darah.
Ismiaty terkejut. ia ambil tangan Januar. memperhatikan darah yang terus menetes. "Kau berdarah," katanya. "Aku pun harus berdarah!" Lalu
Ismiaty melepaskan satu peniti bajunya. la tusukkan ke jari telunjuk, sampai mengucurkan darah
pula. Kemudian. telunjuknya yang berdarah itu ia
usapkan ke buku jari Januar yang berdarah. "Inilah
lambang janji setia kita. Sayangku," ia berbisik.
lembut dan bahagia. Januar langsung merahup Ismiaty dalam pelukan mesra dan hangat. 'Aku lemah, Mia. Aku
tak berani berjanji apa-apa !' ia mengakui terus
terang. Pengakuan yang justru mambuat lsmiaty
semakin mencintai Januar. Seorang laki-laki yang
berjanji muluk-muluk, justru tidak patut dipercaya!
Lain halnya seorang wanita.
Dan hati wanita lsmiaty, berbisik lewat bibirnya
yang bergetar di telinga Januar: 'Telah kupersembahkan padamu darah cintaku, Bang Januar.
Kupersembahkan sebagai tanda, bahwa aku tetap
menjaga kesucian perawanku hanya untuk satu-satunya lelaki yang kelak menjadi suamiku. Kuberdoa, Bang Januar, kiranya engkaulah suami
yang kudambakan itu!"
DELAPAN PERTEMUAN itu seperti sudah disepakati bersama saja, sebelumnya. Selesai sarapan pagi,
dumadi berangkat ke Cikuda untuk berembuk
dengan Santika. Sementara Saniah beberes di
dapur yang tungkunya telah diperbaharui, lsmiaty
merapi-rapikan ruang tamu mereka yang sempit
dan berperabotan sederhana... lalu merias diri di
kamar. Selesai ibunya di dapur, selesai pula lsmiaty dandan, muncullah tamu yang ditunggu-
tunggu. Saniah yang pergi membukakan pintu untuk
tamu mereka. la berupaya sekuat daya untuk
berwajah cerah dan bersuara riang sewaktu melihat siapa yang datang. 'Ah, Paman kiranya.
Tumben. Mari. silahkan masuk. Oh, oh. Ada rupanya yang menemani Paman. Siapa ya?"
'Perkenalkan. Ini teman Amsar. Baru datang
kemarin sore dari kota," kakek Amsar menyambuti
pula dengan basa-basi yang sama kakunya. la
lalu menyisi, membiarkan Januar maju dua langkah untuk dapat menyalami tuan rumah.
'Senang berkenalan dengan ibu," kata Januar.
tulus ikhlas. Ia hampir saja menambahkan penjelasan bahwa ia sudah lama mendengar tentang
tuan rumah dari puterinya, lsmiaty, manakala tangan si perempuan tampak bergemetar hebat
http://cerita-silat.mywapblog.comdalam jabatan tangan Januar. wajah perempuan
itu meringis menahan sakit. Cepat-cepat Januar
melepaskan tangan, terkejut oleh situasi yang
dihadapinya. Lantas mengucapkan maaf terbata-bata karena merasa ia telah menyakiti tuan rumah.
"Ah... tidak. Tidak. Aku hanya sedikit tak enak
badan..." jawab Saniah, jeri dan gelisah. 'Duduklah. Aku akan ke dapur membuatkan minuman."
Kakek Amsar yang juga terheran-heran melihat tingkah Saniah, menasihatkan Januar untuk
duduk santai dan sabar. la sendiri kemudian
mengikuti Saniah ke dapur, dengan kantong plastik penuh isi di tangan. Setelah ia hanya berdua
dengan tuan rumah serta meletakkan oleh-oleh,
yang sengaja dibawa Januar dari kota, kakek
Amsar berbisik tajam: 'Mengapa kau ini, lyah"'
Saniah mengambil dua gelas dengan tangan
gemetar. "Entahlah" sahutnya bingung. 'Tahu-tahu saja tanganku kesemutan waktu menyalami
pemuda itu. Tetapi sekarang sudah normal kembali !
'Apakah sebelum bersalaman, tanganmu sudah kesemutan?"
"Tidak, Paman."
"Atau Januar menggenggam tanganmu kelewat keras?"
"tidak juga' "lalu " "`
"Yah.. Aku sendiri sangat bingung, Paman. Oh .
ya. Paman mau minum kopi kental seperti biasa?"
"Ya Jangan pakai gula."
'Januar itu..." "Kukira ia juga senang kopi. Tentunya. pakai
gula....' "Bukan itu maksudku, Paman."
Apa "
Wajah Saniah berubah cemas waktu berkata:
'Kuharap ia datang hanya untuk berkunjung. Tak
lebih." "ltulah tradisinya, bukan" sahut kakek amsar,
seraya mengusap-usap jenggotnya yang memutih. 'la baru pertama kali ke rumah kalian. Dan
mengenai lsmiaty....' 'Semoga anakku tidak goyah: desak Saniah,
sembari mengurut-urut dada. 'Kekuatiranrya tidak
dapat ia sembunyikan. Namun agaknya ia kemudian sadar diri, lantas buru-buru menambahkan:
"Jangan berprasangka apa-apa, Paman. Mia sangat kami butuhkan di rumah ini Kami sudah lama
menginginkan ia kembali...."
"Apakah itu maksudnya, la berhenti kuliah?"
'Seorang, gadis tidak perlu sekolah terlalu
tinggi. Paman. Toh, akhirnya bakal ke dapur juga.
Bakal disibukkan oleh anak-anaknya kelak. Tetapi
sebelum ia mendapatkan suami yang ooook, kami
ingin melepas rindu dulu. Selama ia masih betah
di rumah ini." 'Berbahagialah, iyah. Barangkali, justru Januarlah jodoh puterimu. Januar datang ke rumah
ini, tidak saja untuk memperkenalkan diri. la ingin
lebih dari itu." 'Lebih dari itu?" wajah Saniah berubah keruh.
Kakek Amsar, tak suka berbelit-belit. la langsung saja meloncat ke tujuan: "la bermaksud minta
http://cerita-silat.mywapblog.comijin pada kalian, untuk memboyong putermu pulang ke kota'
Hampir saja gelas berisi kopi panas yang
tengah diaduk pakai sendok oleh Saniah, terjatuh
kalau tak keburu ia pegangi dengan tangan lain.
"itu melanggar adat!" katanya, berusaha memperlihatkan nada keras dan marah. Tetapi yang
keluar dari mulutnya adalah suara setengah meratap. Meratapi nasib malang puterinya, sekaligus
meratapi kebahagiaan cibiran jantung belaian
matanya yang tinggal seorang itu. Aduhai, akhirnya ada juga lelaki yang akan memperisterl puterinya... tetapi. mungkinkah" Dilanda kegundah-gulanaan, Saniah mengerang: "Kalau saja Paman
tahu bencana apa yang bakal dihadapi lsmiaty...."
"Aku tahu. lyah." desak kakek Amsar seraya
menggenggam tangan Saniah yang gemetar. dan
berkata lebih lembut: "Meski kalian tidak pernah
berterus terang padaku, iyah... aku banyak mendengar, juga melihat,... Selama ini aku hanya
menduga-duga. Tetapi sekarang... ah. sudahlah.
Semoga apa yang telah dialami anak-anakmu
yang lain, tidak terjadi atas diri lsmiaty Untuk itulah
Januar datang. Ia bermaksud membawa lsmlaty
pulang ke kota, karena katanya ada seorang
ajengan berpengaruh di sana yang mungkin dapat
membantu. Ajengan itu, kalau tak salah namanya
Zakaria. konon masyur mengenai pengetahuannya mengenai hal-hal yang gaib..."
"la... maksudku, Januar... tahu?" Saniah terperangah.
"Mengenai kalian" Nol besar. percayalah. Tetapi ia telah mendapat sejumlah peringatan."
"Peringatan ?" "Ya, 'tiga ekor bangkai ular. Ular sungguhan.
lya. Ditambah satu ekor lagi, yang lebih besar,
lebih mengerikan. Dan yang seekor ini, aku percaya, pastllah ular setan!" .
Pucat pasilah wajah Saniah seketika. .
Dan. di ruang tamu. Januar lebih pucat lagi.
Ia telah bangkit dari duduknya untuk menyongsong dan memeluk rindu, ketika lsmlaty muncul
dengan langkah tegak tetapi justru menjauh ketika
akan didekati. Tanpa kata pendahuluan, gadis itu
langsung mengultimatum. '
"Kita sudahan sampai di sini, Bang Januar!"
Januar tertegun. Lalu tertawa. 'Sudahan "' ia
menyeringai. Lalu menambahkan dengan seloroh.
"Perlu koma nggak" _
"Aku sungguh-sungguh." bisik lsmiaty. tenang.
Barulah Januar terperanyak mendengar nada
suara lsmiaty yang dingin. Hambar. Lebih tahu diri
dia, karena lsmlaty tetap berusaha sejauh mungkin
dari jangkauan tangannya. Berdiri kaku bagai
patung yang dipahat sempurna. namun begitu
pucat, dengan tatapan mata yang teramat beku...
tanpa sinar kehidupan sedikit pun.
Tak habis bingung. Januar duduk kembali. la
mempermainkan pinggiran taplak meja. justru dibagian yang ada retasannya sedikit. Terlalu kuat
Januar menarik-narik pinggiran taplak meja itu,
sehingga retasannya memperdengarkan bunyi sret.
sret. srettt... sampai koyak lebih dari setangkai
http://cerita-silat.mywapblog.comJanuar gugup dibuatnya.
Selain gugup, ia pun menjadi marah. Rungutnya: 'Apaapaan ini" Jauh-jauh aku datang..."
"Tak ada yang meminta, Bang," tukas ltmiaty
pendek. 'E-eee...." lsmiaty diam. Januar berkala jengkel: "Jangan mempermainkan aku, Mia?"
lsmiaty berkata sebenarnya waktu ia mendesah, menahan getir di tenggorokan: 'Supaya
aku tidak benar-benar mempermainkan Abang.
kunasihatkan agar Abang pulang dan anggaplah
kita tidak pernah bertemu."
"Mia !" "Kurang jelas?"
"Sangat tidak jelas!"
"Berani ambil resiko?"
"Oke !" Ingat janjiku, ketika kupadukan darah pada
jari-jemari kita berdua?"
"Tak pernah kulupakan. Tak akan pernah,"
wajah Januar memerah, hatinya bergetar, jiwanya
berbunga bunga. Lalu wajahnya memucat, hatinya membeku. bunga-bunga jiwanya berguguran
layu lalu mati, ketika lsmiaty menegaskan:
"Sumpah suciku dulu, Bang Januar. Kini. tak
lebih dari sekedar sumpah serapah. yang setiap


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat dapat kau pungut dari tong sampah..." dan,
dengan menahan jerit tangis dl dalam dada. lsmiaty menyampaikan rangkaian kalimat merhatikan yang telah ia untal begitu menyakitkan sepanjang malam' tadi: "Seorang suami yang kelak
berlaku bodoh memperisteri aku, sebaiknya mengetahui bahwa ia telah memperisteri seorang
perempuan yang jauh lebih hina dari seorang
pelacur!" Alangkah sepadannya kalimat itu! Seorang
pelacur hanya disetubuhi oleh orang lain. bukan
oleh ayah kandungnya sendiri! Boleh saja seorang
perempuan melacurkan diri karena keperawannya
pernah direnggut oleh ayah yang menyebabkan
ia lahir di dunia ini. Tetapi tetap saja pelacur itu
lebih mulia, lebih agung ketimbang lsmiaty. Pelacur itu, menyerahkan keperawanannya karenapaksaan, katakanlah perkosaan. atau tipuan, atau
bujukan. Semuanya di luar sadar dan di luar
kemauannya Akan tetapi, lsmiaty" la melakukannya atas kesadaran penuh. atas kemauannya
pula. Teringat sampai di situ, lsmiaty tidak tahan
lagi. Tanpa berkata ba atau bu, ia berpaling dan
langsung berjalan dengan muka tegak. Masuk kekamar tidurnya. Tetapi begitu pintu ia tutup, batas
kemampuan lsmiaty pun sampai pada puncaknya.
"la tidak menamparku... tidak meludahiku..., la
malah menatapku... tak percaya..." ia berbisik
dalam erangan menyakitkan. sementara sekujur
tubuhnya luruh dalam kehancuran total, yang tiada
tertanggungkan lagi. la berusaha mencapai tempat tidurnya. Namun baru satu langkah kakinya
digerakkan, kaki lain sudah tak bersedia membantu. Lemah, bagaikan lumpuh. Dan lsmiaty pun
http://cerita-silat.mywapblog.com
ambruk seketika. Tak sadarkan diri.
Bahkan dalam pingsannya, sudut-sudut mata
Ismiaty dilelehi butir-butir air bening,...
Januar melihat pintu tertutup. Januar mendengar keluhan Iirih Ismiaty. Ia pun menangkap
suara ambruknya tubuh ke lantai. Kesimanya oleh
sikap dan sambutan lsmiaty tadi, seketika lenyap.
la bangkit dari duduknya, bermaksud menghambur ke kamar tertutup itu. Tetapi niatnya dicegah
oleh sebuah suara tajam. Suara Saniah. yang baru
muncul dari dapur untuk menghidangkan minuman dan sempat menangkap situasi terakhir:
'Sudahlah, Nak. Biarkan dia!"
Dan sebelum Januar sempat mengeluarkan
protes. perempuan bertubuh kurus dan berwajah
penuh guratan penderitaan itu. sudah keburu
menambahkan: "Kau dengar apa yang dikatakannya, bukan" Ismiaty bukanlah seorang calon
isteri yang patut didambakan. Kau. pulanglah.
Dan... jangan melibatkan diri!"
"tetapi.. 'Maafkan. anak muda. Kami terpaksa mengecewakanmu: potong Saniah. Tegas. sambil berjalan ke pintu, membukanya lebar-lebar. Maksudnya jelas: enyahlah, haram jadah!
Sakit dan terhina, Januar melangkah ke luar.
ta tak tahu sejak kapan kakek Amsar telah
berada di sampingnya. Dan ia antara mendengar
dan tidak, ketika orangtua itu bergumam penuh
tanda tanya: 'Mengapa tangan si iyah semutan"
Apakah karena keris yang tersimpan di balik
kemejamu, Cucu" Tetapi... mengapa justru dia"
Bukankah..." serta serentetan pertanyaan lainnya.
yang tidak satu pun dijawab Januar. Karena Januar hampir-hmpir tak mendengarnya sama sekali!
SEMBILAN "TIDAK! Aku tidak terima !'
Penolakan bernada marah itu terlontar tanpa
sadar dari mulut Januar yang mengeras, membuat
terkejut kakek Amsar yang berjalan di sampingnya. Heran karena jawaban lain yang diperoleh
dari serentetan pertanyaannya, orangtua itu mendengus bingung:
'Tidak terima apanya. Cucu!"
Januar menghela nalas panjang. "Ah, maaf.
Kakek. Bukan apa-apa," bisiknya. Resah.
"Perlakuan lsmlaty padamu, ya?"
'Sudah tahu, kok masih tanya-tanya!" rungut
Januar "Eh Kok sewot!" kakek Amsar tersenyum.
"Kakek cuma menduga-duga. Soalnya. selagi Kakek ngobrol dengan Saniah di dapur, ada juga
sedikit-sedikit Kakek nguping pertengkaranmu dengan lsmiaty. Tak sengaja, sungguh!"
Agak dongkol selain malu, Januar nyeletuk:
"Sengaja atau tak sengaja, ya... tetap saja nguping
namanya." 'Nggak senang, Cucu?" .
"Habis....' "belum. Cucu. Belum habis!"
"Apanya yang belum habis?" Januar makin
keki. dipermainkan sedemikian rupa.
'Ya, itu. hubunganmu dengan lsmiaty. Bakal
memanjang. Kakek yakin. Juga mengandung bahaya!"
"Bahaya itu telah tercium sejak aku belum kesini, Kakek. Ditambah yang tadi malam. Lalu.
bahaya apalagi yang Kakek perkirakan bakal
mengancam diriku" Apa wujudnya, lain kali" Siapa
pula sumbernya?" "Entahlah, Mungkin..." kakek Amsar menahan
tuduhan yang terpikirkan olehnya. Lalu bertanya'
'Tahu mengapa Kakek suruh kau membekali diri
dengan keris itu selama kau dl desa ini?"
"Untuk melawan roh jahat, Kakek...."
'Uh. uh .Jangan syirik, Cucu. Nanti kualat.
Lebih pas kalau kau bilang. untuk menghadapi
penyerangan jahat. Apa pun wujudnya. Atau, siapapun orangnya. Keris itu pun baru boleh kau
pergunakan, kalau kau sudah tidak mampu membela diri secara pisik, dengan tangan kosong.
Karena salah-salah mempergunakan. keris itu dapat berbalik membahayakan dirimu sendiri. ltulah
keistimewaannya. Dan..." kakek Amsar berpaling
karena disapa seseorang yang berpapasan dengan mereka. Setelah membalas sapaan itu dengan ramah. kakek Amsar meneruskan, serius:
"Ada lagi keistimewaan lainnya!
"Apakah itu, Kakek?"
'Keris itu mengandung hawa panas. Hawa
panas itu mengalir pada tubuh orang yang memegangnya, atau menyimpannya di salah satu
bagian tubuhnya. Tanpa merasakannya Kau tidak
merasakan hawa panas mengaliri tubuhmu sejak
keris itu bersamamu, bukan?"
'Tidak' "Nah Tubuhmu mengandung hawa panas
yang misterius. Seandainya engkau memegang
atau bersentuhan dengan seseorang, maka orang
itu pun akan menerima saluran hawa panas yang
sama. Juga tanpa merasakannya. Kecuali, kalau
dalam diri orang lain itu tersembunyi satu dari dua
hal... atau, dua
duanya sekaligus. Yaitu, niat jahat
atas dirimu. Atau. ia bersekutu dengan roh jahat."
'Hampir tak masuk di akal." gumam Januar.
lugu. "Lalu bagimana kita tahu kalau orang itu....'
Januar terdiam tiba-tiba Langkahnya pun terhenti.
Suaranya bagai tersedak ketika berujar: 'Mustahil
dia...." "Teruskan, Cucu," desak kakek Amsar, kalem.
"Ucapkan terus apa yang terpikirkan olehmu.
Barangkali saja, kita berdua punya pemikiran yang
sama." Januar memandangi telapak tangan kanannya, sementara tangan kiri secara naluriah menyentuh keris yang tersembunyi di balik pinggang
celananya Kemudian, pandangannya beralih kemata kakek Amsar yang membalas tatapannya
dengan tenang. 'Katakanlah. Kakek. Apa yang
akan terjadi pada orang yang kusentuh itu?"
"la kesakitan. Karena hawa panas itu seakan
membakar hangus bagian tubuhnya yang tersentuh," jawab sl orangtua.
"Tetapi... ibunya lsmlaty...." Januar kebingungan. la meneruskan langkah, diikuti kakek Amsar
yang menunggu sabar lanjutan kata-kata Januar.
Pemuda itu berdiam diri saja selama beberapa
langkah, sampai akhirnya ia utarakan juga isi
hatinya: "Aku baru hari ini berkenalan dengan
ibunya lsmiaty. Tadi aku telah bersikap sesopan
mungkin ketika kita bertamu ke rumah mereka.
Telah pula kupenuhi tata tertib untuk tidak berkunjung seorang dari, tanpa didampingi seorang
kerabat mereka. Selama bergaul dengan lsmiaty,
aku pun berusaha menjaga diri sebaik aku bisa.
Benar, sekali dua aku teledor. Begitu pula sebaliknya. Bila itu terjadi, pada akhirnya kami selalu
saling memaafkan. Lantas... apa yang telah kuperbuat, sehingga ibu gadis itu sampai terluka
hatinya, marah mendendam diamdiam, lalu berniat melakukan sesuatu yang jahat atas diriku"
Bahkan penampilannya tadi ketika kami berkenalan, begitu lembut dan penuh sopan santun.
'tidak. Kakek. Aku tidak percaya...."
'Namun, Cucu," desah kakek Amsar, sabar.
"Sewaktu kau jabat tangannya. ia buru-buru menarik diri. bukan" Dengan wajah memperlihatkan
kesakitan!" "Lantas" Mengapa la berniat jahat terhadap
diriku?" "Mana aku tahu, Cucu. Barangkali saja. ia tidak
menyetujui hubunganmu dengan puterinya. Dan
bermaksud memutuskamya....'
"Jangan menambah susah diriku yang malang
ini, Kakek," dengus Januar. Gelisah. "Sekali dua,
lsmiaty pernah bilang bahwa orangtuanya sudah
mengetahui hubungan kami. Dan sambutan
orangtuanya, menurut lsmiaty adalah baik. Me
restui. Maka..." 'Maka, Cucu..." kakek Amsar berkata hati-hati.
'Kemungkinannya, adalah yang ke dual'
'Maksud Kakek?" "Kakek sendiri masih bingung. Tak sedikit pun
Kakek menduga, bahwa Saniah akan berbuat
senekad itu. Yakni... bersekutu dengan roh jahat.
Sayangnya. Kakek tidak begitu akrab dengan
mereka." "Mengapa" "Pertama-tama, karena mereka sudah lama
menutup diri. Jarang bergaul. Apakah itu dengan
keluarga dekat. Apalagi dengan orang lain. Hubungan keluarga antara kakek dan Sanlah pun,
bukan hubungan langsung. Begini. Cucu. isteri
dari' ayah Kakek, punya seorang saudara laki-laki.
Si lelaki ini, mempunyai tujuh orang anak. Tapi
hanya satu anak perempuan. Yang dengan sendirinya, sangat dimanja dan disayang orangtua
maupun saudara-saudaranya. Setelah anak perempuan satu-satunya itu menikah. ia cuma beruntung memperoleh seorang keturunan. Perempuan pula, yang segera menjadi tumpuan kasih
sayang semua keluarga. Nah, perempuan yang
kusebut terakhir, Saniahlah orangnya..."
"Hem..-.' Januar mereka reka dalam otaknya.
Lanjutnya: "Dan, lagi-lagi cuma punya satu keturunan. lsmiaty!"
'Keliru. Cucu. lsmiaty punya empat orang
saudara-saudaranya. Satu perempuan. tiga laki-|aki....'
'Aku juga ada mendengar itu, Kakek. Dari
Dia 'sendiri. Tetapi keempatnya sudah meninggal. Jadi. boleh dibilang
lsmiaty seorang anak tunggal....'
'Bukan tunggal, Cucu. Melainkan, yang tersisa."
"Tak ada bedanya "
"Ada, Cucu. Yang disebut tunggal, ya tunggal.
Tetapi yang disebut sisa, lain halnya. Umpamakan
saja gulai atau nasi yang tersisa di meja makan.
Sisa itu akan habis dibuang, atau habis dimakan..."
"Dibuang"?' Januar hampir tertawa. 'Siapa pula
yang akan membuang lsmiaty?"
"Aku sependapat, Cucu. Siapa pula yang akan
membuang satu-satunya keturunan yang masih
tersisa itu. Masalahnya sekarang. adalah: bagaimana kalau ada yang bakal memakannya?"
Untuk kedua kalinya, Januar tertegun. Berhenti melangkah. Menatap tercengang pada
orangtua yang menemaninya, sambil menggerimit: "Memakannya...?"
'Benar. Cucu. Memakan lsmiaty. Kita beri
istilah atau umpama. lsmiaty adalah tumbal. Seperti juga empat orang saudara-saudaranya. Semuanya mati sebagai tumbal. Mati secara kejam
dan mengenaskan.: "Kejam" Mengenaskan" Bagaimana maksud
Kakek?" 'Ah. Tak sampai hati Kakek menceritakannya
sekarang. Kapan-kapan sajalah. Dan kalau waktu
itu tiba. semoga yang menceritakannya padamu
adalah orang lain. Bukan Kakek!" jawab kakek
Amsar dengan suara tergetar dan wajah berubah
suram. Tak ingin dipandangi terus-terusan oleh
Januar yang semakin gelisah dan semakin tak
sabar. ia mendahului berjalan. Saat itu pula tampak seorang anak laki-laki tanggung ke luar dari
pekarangan sebuah rumah, membawa sebuah
bakul tertutup dan sebuah teko aluminium yang
pada mulutnya digantungkan sebuah mangkok.
Kakek Amsar melihat anak itu lalu memanggilnya:
"Jang, Ujang sini sebentar!"
Anak itu mendekat dan bertanya sopan: "Ada
ayahmu, ya?" "Saya, Embah." 'Nah. Tolong bilangin ayahmu. Embah tak kesawah sampai sore nanti. Jadi. kalau sudah tiba
giliran Embah, tolong bilang ayahmu agar membuka pintu air ke kolam Embah yang di sebelah
Utara 'Baiklah. Embahf jawab anak itu. kemudian
berlalu sambil tak lupa mengawasi Januar dengan
pandangan ingin tahu. Anak itu rupanya berpikir-pikir: "Siapa orang itu" Sedang mengapa dia"
Sakit" atau kehilangan sesuatu?"
Januar memang masih tertinggal beberapa
langkah di belakang kakek Amsar. Begitu kaget.
ia mendengar penuturan sang kakek, sehingga ia
hanya berdiri termangu-mangu. Linglung. dengan
wajah pucat dan gelisah. Baru setelah kakek
Amsar menegur, ia tersadar dan buru-buru mengikuti langkah orangtua itu meneruskan perjalanan
pulang ke rumah. Nenek Amsar sedang sibuk memasak makan
siang mereka di dapur. Suaminya menghenyakkan pantat di sebuah kursi goyang dari rotan,
berhenti sebentar untuk menggulung tembakau
dengan kertas papier. Siap satu gulung. ia menawarkan pada Januar: 'Mau "'
Januar geteng kepala. "Saya tak merokok.
Kakek." "Bagus itu. Selain menyehatkan, orang muda
macam kau memang seharusnya menghemat.
Apalagi orang seperti kau. Kuliah sambil bekerja
untuk dapat membelanjai diri sendiri. Tidak seperti
si Amsar. Sebegitu didapat, sebegitu pula dihabiskan. Celakanya. kalau ia mulai merengek.
neneknya kalang kabut. Jadilah Amsar tidak pernah berubah'
Januar diam saja. Segelas kopi yang sebelumnya telah dihidangkan nenek Amsar untuknya ia ambil dengan jari jemari gemetar. Karena
masih panas, ia hanya menghirupnya secicip,
lantas meletakkannya kembali. ia awasi dulu kakek Amsar yang tengah menikmati tembakaunya
dengan mata terpejam sambii juga menikmati
goyangan kursinya yang naik turun ke depan ke
belakang secara teratur. Setelah menduga-duga
bahwa orangtua itu sebenarnya tidak bermaksud
mengalihkan pembicaraan secara sengaja, Januar


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelan ludah beberapa kali.
Baru bertanya: "Percayakah Kakek, empat
orang sandera-saudara tsmiaty memang telah
mati sebagai tumbal?"
"Dibilang tidak percaya, mereka toh mati se
cara misterius. Dibilang percaya, juga sulit..! jawab kakek Amsar, tanpa membuka kelopak matanya yang terpeiam. 'Karena kalau disebut tumbal.
maka wumbal untuk apa" Umumnya, orang yang
nekad menuntut ilmu gaib, sehingga terpaksa
mengorbankan anak-anaknya, sukarela atau tidak
sebagai tumbal... punya tujuan-tujuan tertentu.
misalnya. supaya sakti mandraguna. Awet muda.
Tetap cantik kalau ia perempuan. gagah dan
tampan kalau la lakilaki. Bisa pula dengan tujuan
supaya ia bisa kaya raya mendadak. Atau. jadi
dukun. Apa itu dukun putih, atau dukun hitam.
Tetapi Saniah?" kakek Amsar membiarkan goyangan kursinya berhenti. Tetap rebah bagaikan
tidur, ia melanjutkan. 'Sampai sekarang ini. paling
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tetapi tadi
kau lihat sendiri, bukan" Seakan. ia sepuluh atau
lima belas tahun lebih tua. Rupanya pun, semakin
jauh dari cantik. Tidak seperti masa mudanya dulu.
la juga tak pernah bersikap atau bertindak jadi
dukun. Sakti" la pernah diserang penyakit lumpuh
sebelah badan, yang entah siapa mengobatinya.
ia sembuh dalam tempo singkat. Ingin kaya?"
kakek Amsar membuang puntung tembakau sigaretnya ke asbak Mengisap sisanya. tanpa sadar
bahwa puntung sigaret itu telah lama padam.
sejak masih perawan. Saniah' sudah menerima harta warisan yang menggiurkan banyak
orang. Lalu ia ketemu jodoh. Suaminya, tak kurang
kaya seperti Saniah sendiri. Mereka berdua sama-sama ulet. Tak heran, kalau kekayaan mereka
makin bertambah-tambah saja. Tetapi..." kakek
Amsar terdiam sebentar. Kelopak matanya terbuka, malas. la menatap Januar dengan pan-
dangan mengembang. seperti juga pikirannya
yang mengambang. 'Kau lihat sendiri keadaan
mereka sekarang. bukan" Sekarang mereka hampir sama miskinnya dengan tukang kebun mereka
dahulunya. Kalau engkau membuka pintu depan
rumahnya ini. Cucu... kau tentunya melihat rumah
di seberang jalan. Rumah gedong besar, mewah,
berpekarangan luas. Sekarang rumah itu milik pak
Lurah. Sebagai ganti uang gadaian yang tak dapat
ditebus oleh Dumadi dan Saniah. Contoh lain.
waktu kita tadi akan ke rumah kekasihmu. kita
menyeberangi sebuah titi. Kalau kita tidak membelok setelah titi, maka kita akan terus berjalan
sampai ke bukit-bukit di atas sana Bukit cengkeh
yang teramat luas. Teramat subur. itu juga dulunya
milik Saniah dan suaminya, Dumadi. Masih kurang" Mereka dahulu adalah orang pertama yang
mempunyai mobil di desa ini. Sekarang" Sepeda
saja pun tak punya. Banyak lagi lainnya. Semua
habis. Yang habis dimakan, berapalah. Tetapi
yang habis dipakai berdukun atau segala macam
usaha untuk melepaskan diri dan anak mereka
dari kutuk. itulah yang paling menyedihkan.
Dan.. 'Kutuk, Kakek" 'Begitulah. konon," jawab kakek Amsar, datar.
"Mengapa mereka sampai dikutuk?"
"Sulit mengatakannya. Desas desus yang berkembang telah sejak lama di desa ini, makin kesini makin kacau balau. Tentu saja, semakin
ia turun dari kursinya. bergegas ke dapur
sambil menggerutu ke alamat sang isteri. Dari arah'
dapur terdengar suara ribut sang kakek memanggil-manggil dengan sia-sia, sehingga Januar
terpaksa ikut turun tangan ikan goreng sudah
gosong di atas kuali yang terlarang. Asapnya
megepul-ngepul hitam, menyesakkan nafas. Januar mengangkat kuali itu dari tungku seraya -terbatuk-batuk. Tak lama kemudian, nenek Amsar
muncul dari pintu belakang sambil senyum-senyum ditahan.
"Dari mana saja, pikun?" bentak kakek Amsar
Berang. ' Ada urusan. jenggot kambing!" sahut isterinya. tak kalah sengit.
"Urusan apa begitu lama"'
'Berang sang kakek. SEPULUH USAI makan siang, kakek Amsar pergi meninggalkan rumah. Katanya. untuk menemui beberapa kenalan. Sebelum pergi, ia berpesan pada
Januar: "Kau diam sajalah di rumah. Menenang~nenangkan pikiran. Dan. tetaplah ingat-ingat. Walau keris itu ada di tanganmu. hendaklah engkau
selalu berserah diri pada Allah. Berdoa. semoga
engkau tetap dalam lindunganNya !'
Setelah membantu nenek Amsar beberes,
Januar duduk-duduk di beranda belakang. Merenungi perjalanan cintanya bersama lsmiaty, dan
kaitannya dengan apa yang ia alami akhir-akhir
ini. Begitu pula cerita-cerita aneh kakek Amsar.
tak luput dari renungannya. la keluarkan keris dari
tempatnya. Ditariknya ke luar dari sarungnya.
dengan mata kepalanya, ia telah melihat sendiri
keampuhan dari benda tajam itu. Entah sudah
berapa kali ia mengantar-amati keris tersebut
semenjak dipercaya kakek Amsar untuk memegangnya. Namun, tetap saja Januar tidak ada
melihat keanehan' atau sesuatu yang luar biasa.
Keris itu begitu sederhana. Tampak seadanya.
atau menurut pandangan Januar. pembuatnya
tentulah kurang menjiwai seni menempa benda
tajam Gagangnya terbuat dari kayu hitam yang
keras dan kuat. Kiri kanannya berukir. tetapi tanpa
motif yang jelas. Mungkin makna motil uklran pada
gagang keris itu, hanya si pembuatnya saja yang
tahu. Mata kerisnya sendiri terbuat dari besi biasa
Barangkali juga dengan campuran sedikit tembaga. Sebagaimana dikatakan kakek Amsar, :--
sedikit pun ia tidak merasakan hawa panas mengalir
dari keris itu ke dalam tubuhnya. Sungguh, tiada
istimewa secuil pun Januar pastilah menganggapnya sebagai barang rongsokan belaka, kalau
tidak terbukti keampuhan benda tajam itu dari dua
kejadian. Sirnanya ular besar mengerikan yang
tahu-tahu saja nyasar ke kamar tidur, dan gambaran kesakitan pada wajah ibunya lsmiaty yang
buru-buru menarik tangannya sewaktu bersalaman dengan Januar... _
"Bukan hadiah menarik hati, sependapatkah
kau, Cucu" tegur suara lembut ramah terdengar
di belakangnya. Rupanya nenek Amsar sudah ada
dl situ diam-diam. Perempuan tua itu duduk disebelah Januar. Meludahkan sisa tembakau sirih ,
dari mulutnya. Menggantinya dengan yang baru
mengunyah, mengisap. menikmatinya dengan
sungguh-sungguh. 'Hadiah, Nek?" tanya Amsar tak mengerti.
'Keris itu. Cucu, adalah hadiah dari seseorang
yang sudah lama almarhum. Eyang Zainuddin
dulunya guru mengaji yang cukup terkemuka di
Banten. Kakekmu termasuk salah seorang murid
kesayangannya. Sebelum eyang Zainuddin 'meninggal dunia. pada murid-murid kesayangan
beliau membagi-bagikan hadiah. Ada yang dapat
bagian sajadah buatan Persia. Ada Kitab suci
yang ditulis tangan. Ada kalam bergagang emas.
Macam-macamlah. Ada pun kakekmu. yah... hadiahnya keris itulah..."
'Mengapa justru kakek kebagian senjata
tajam?" 'Karena kakekmu bukan tukang berkelahi.
Bukan jawara. Padahal. kami tinggal di daerah
yang dahulunya dibuka oleh kaum perantauan.
Orang-orang hukuman yang dibuang oleh salah
seorang raja Pajajaran. Di masa silam, selain
bibit-bibit permusuhan senantiasa timbul antar
sesama penduduk. juga sebagian dari mereka
masih menganut kepercayaan mistik. Kepercayaan itu. sampai sekarang pun masih dianut oleh
sebahagian tetangga kita di sekitar sini Jadi.
Eyang Zainuddin agaknya berpendapat. hanya
keris inilah yang pantas sebagai hadiah buat
kakekmu." "untuk berkelahi?"
"untuk menjaga diri, Cucu. Dari serangan
pisik. Terutama. serangan yang tak tampak oleh
mata biasa Serangan gaib dan sangat jahat..."
'Aneh, seorang guru agama memiliki keris
semacam ini, eyang Zainuddin jugakah yang
membuat ini. Nenek?"
'Bukan. Beliau juga memperolehnya sebagai
tanda mata dari seseorang. Menurut kisah-kisah
yang kami dengar. orang itu dikenal sebagai tabib
yang telah melanglang buana ke berbagai penjuru
dunia. la dapat pula menghilang. kapan saja dan
di mana saja ia mau. Ketika bertemu dengan eyang
Zainuddin. tabib itu menantang debat mengenai
setelah manusia mati. Tabib itu kalah berdebat .
Namun, karena ia telah terikat pada
leluhur untuk tidak beralih kepercayaan biar apapun yang terjadi, maka ia tetap menolak mengikuti
ajaran yang disebarkan eyang Zainuddin.
Sang tabib kemudian duduk bersila di
sehelai tikar, di hadapan eyang Zainuddin. .
mengaku kekalahannya. Dan sebagai orang taklukan. ia bersedia mengabdikan diri sebagai hamba dan penjaga yang setia pada sang penakluk.
Mengabdi dalam arti. bukan soal anutan kepercayaan. Melainkan dalam bentuk benda mati,
sesuai dengan apa yang dikatakannya bahwa "
setelah mati semenjak ia dikalahkan eyang Zainuddin. Sebelum eyang Zainuddin memahami apa.
maksud orang itu, sang tabib sudah mengatur sikap
bersemedi. Dan tahu-tahu saja tubuhnya raib. Dan
di atas tikar yang sebelumnya diduduki tabib itu.;
tergeletak sebilah keris. ltu, yang kau pegang
Cucu!" - Saking kagetnya mendengar kalimat terakhir.
Januar hampir saja melemparkan keris di tangannya tanpa sengaja. Entah karena saat itu udara_memang tengah panas-panasnya, atau mendadak
ia demam. tak tahulah. Yang jelas. Januar merasakan hawa panas meresap ke sekujur tubuhnya, bahkan seolah sampai ke sumsum di dalam
tulang belulang. Aliran darahnya naik turun begitu
cepat, bergejolak, menggelegak.
"Ada apa. Cucu?" tanya nenek Amsar . .
ketika melihat kulit wajah Januar memerah seperti
tomat masak. Januar menghela nafas. Hawa panas itu pun mereda perlahan-lahan.
kemudian suhu badannya terasa normal kembali.
"Setelah ada di tangan Kakek." ujarnya menghindari pertanyaan tadi. "... pernahkah keris ini
melukai.; atau. membunuh orang?"
"Belum" 'Kakek tentunya menghadapi banyak musuh.
ketika mula-mula kakek dan nenek menetap di
desa ini. Musuh yang terlihat maupun yang tidak
terlihat: desak Januar, ingin tahu.
"Setiap manusia punya musuh, Cucu." jawab
nenek Amsar. "Kalau tidak musuh di luar dirinya...
tentulah musuh itu ada dalam dirinya sendiri. ltulah
yang disebut dengan godaan atau pengaruh
setan" "Dan kakek?" "Dia bukannya orang yang mudah digoda
pengaruh setan. Cucu. Memang kadang-kadang
ia suka marah, atau berseloroh kelewat batas.
tetapi kalau sudah ingat. cepat memperbaiki diri.
.atau minta maaf. Ada pun menghadapi musuh-musuh di luar dirinya, ia cukup mempertebal iman.
Kalau lmanmu teguh, Cucuku. maka setan akan
buru-buru menyingkir sebelum berpapasan dengan dirimu!"
Petuah itu sangat mengena di hati Januar.
"Setan itu pemah hampir memperbudak diriku..!
ia berbisik. setengah sadar.
'Kapan. Cucu?" 'Suatu ketika. Tak lama setelah aku dan ls
miaty jatuh cinta Mujurlah didikan oomnya yang
keras namun bijaksana, terutama dalam soal
moral dan kesucian diri seseorang. telah tertanam
dalam pada jiwa lsmiaty. Dan sang setan -
terpaksa mundur teratur...."
Kuluman tembakau di mulut nenek Amsar
bergerak cepat. Matanya berbinar-binar. Penanda, ia memahami maksud Januar. Tidak ingin
mengungkit-ungkit sifat buruk seseorang, nenek
Amsa: lantas memutuskan tidak memberi
komentar apa-apa. la lalu menjuruskan pembicaraan ke hal yang
lebih menarik hati: 'Bagaimana asal muasal kamu
ketemu lalu intim dengan Mia?" tanyanya. tanpa
nada mendesak. Januar tersenyum. masalah yang tengah ia hadapi. Kiranya, tidak ada salahnya
untuk membuka salah satu rahasia hidupnya.
Rahasia cinta. Amsar, penghuni baru di tempat kost mereka...
suatu hari membawa serta seorang gadis pulang
ke rumah. Dengan senyum-senyum bangga maklum selain semampai, gadis itu berwajah rupawan
pula, Amsar terus saja memboyong si gadis kedalam kamar tidurnya. Pintu langsung pula di-
tutup. Sehingga Januar yang tengah menekuni
bahan-bahan kuliah, hanya bisa geleng-geleng
kepala sambil memuji keberuntungan Amsar.
Belum juga waktu lampau lebih dari satu
menit, dari balik pintu terdengar suara memaki-maki. Disusul pintu serempak terbuka bagai akan
direnggut lepas dari engselnya. Gadis itu menghambur lari meninggalkan kamar dan berpapasan
dengan Januar yang kebetulan pula akan ke luar
rumah. dengan maksud semula tidak mau kehadirannya mengganggu keasyikan Amsar. Wajah
gadis itu tampak merah padam. rambutnya kusut,
dan salah satu kancing blusnya lepas terbuka.
Terdorong sifat usil, Januar lantas menegur:
"Kok minggat buru-buru, Neng?"
"Minggat nenekmul' sambut gadis itu, sewot.
Didampret macam itu, Januar ikut sewot. Disambarnya lengan si gadis, lalu mendengus cukup dekat sehingga wajah mereka hampir saling bersentuhan. Lalu dengan geram. Januar berkata:
"Marah sih marah. Neng. Tetapi nenekku jangan
dibawa-bawa dong!" "Lepaskan tanganku!" jerit si gadis. "Kalau
tidak....' "Kalau tidak apa?" tantang Januar. 'Kau akan
menciumku, ya?" Ejekan brengsek itu seketika menimbulkan
akibat memalukan. Crutt..." pipi Januar dihinggapi
sesuatu. Sesuatu yang basah. Murka karena diludahi, Januar melepaskan cengkeramannya
pada lengan si gadis. Namun tangan yang tadinya
mencengkeram, dengan cepat terangkat lalu melayang secepat kilat. Dan mendarat dengan deras
di pipi sang gadis. Gadis itu membelalak. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya menggerimit
mau mengucapkan sesuatu. Tetapi tak jadi. Sebagai gantinya, hanya air matanya saja yang
mengalir ke luar. Lalu tanpa pamit lagi, sang gadis


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menghambur lari meninggalkan Januar
yang masih merepet sembari melap semburan
ludah di pipinya. la makin jengkel saja, ketika ia
dengar suara Amsar tertawa di belakangnya.
'Kena juga kau oleh anjing betina itu," sindir
Arnsar. 'Anjing betina, hah. Lalu kau jamannya, begitu?" rungut Januar, tak senang. "Dan kalau kau
ini seekor anjing jantan, mestinya kau seekor
anjing yang pantasnya dikebiri!"
'E-ee. kok bilang begitu?"
'Karena nafsu bejatmu yang tidak terkendali,
aku kena getahnya. Seumur hidup, baru kali ini
aku diludahi orang!"
'Kasihan...." 'Apa kau bilang" Sifat berseloro Amsar reda seketika. 'Maaf,
kawan?" katanya sungguh-sungguh. "Aku hanya
main-main saia." Melihat Januar masih bersungut-sungut juga. Amsar memancing: 'Perutku lapar.
Pingin sate ayam. Apakah kamu juga lapar?"
Januar diam saja. Tetapi ketika Amsar kembali tak lama kemudian dengan sebungkus besar sate ayam lengkap pakai lontong, mau juga Januar duduk bersama-sama menghadapi meja makan. Sambil me-
lahap sate ayam. Januar bertanya ingin tahu:
"Siapa sih gadismu itu?"
"Mahasiswi baru di fakultas. la terlambat mendaftar, tadinya Berkat aku akhirnya ia diterima.
Berkat aku pula, ia tak dihukum karena sering
bolos waktu diplonco. Aku telah keluar banyak
uang untuk mengajaknya nonton. piknik, belum
lag' keluar masuk bar, dan sesekali memberinya
hadiah berharga. Baru tadi aku minta imbalan
nyata dari dia. Eh-baru juga diraba, ia sudah
kesetanan. Hampir saja iniku kena tendangl' Amsar menuding selangkangannya. 'Mujur. aku jagoannya kalau soal berkelit seperti belut!" lalu
Amsar tertawa membahak. Kemudian wajahnya
berubah murung. 'Sekarang aku merasa sangat
malu..! tambahnya. "Kalau ia buka mulut. bisa
gempar orang sekampung kami."
'Oh. Jadi, dia itu masih temanmu satu
kampung! 'He-eh. Malah ada pertalian famili.
'Astaga ! Dan, kau hampir saja memperkosanya....' Januar geleng kepala.
'Tak ada maksudku sejauh itu. Inginku cuma
peluk, cium, dan raba-raba sedikit. ltu saja."
'Kau mencintainya, Amsar?"
'Tidak. Aku kan sudah punya pacar tetapi'
'isteri saja masih bisa diganti. Apalagi pacar?"
'Lalu mengapa tadi kau....'
"iseng kawan. Cuma isengl'
"Iseng yang mencelakakan' rungut Januar
sembari meraba pipinya, bekas diludahi si gadis.
"Untuk apa yang diperbuatnya padaku, Amsar.
Gadis itu harus meminta maaf secara lisan!"
"Apa" Si Mia minta maaf ?"
"Oh. Jadi namanya Mia."
"Ismiati, lengkapnya. Ada minat. kawan"
"minat apaan" "Alaaa, jangan pura-puralah.'
'Sialan. Aku belum..."
'Sudah waktunya. Nuar!" potong Amsar. 'Sudah waktunya kau punya kekasih. Kuliahmu hampir berakhi r. Mana kau sudah punya pekerjaan
tetap Penghasilanmu pun kalau tak salah, lumayanlah kalau hanya sekedar menanggung seorang isteri."
'lsteri" Siapa bilang aku akan menikah?"
"Aku...." 'Bah. Bahkan calonnya pun belum lahir kedunia."
'Sudah. Sudah lahir. Dan begitu lahir. sudah
pula ia meludahimu."
"Bangsat kau, Amsar!"
"Bangsat yang sekali waktu bersedia juga jadi
mak comblang, kawan..."
"Setelah kau tadi menghina dia" Jangan-jangan, melihat mukamu pun ia tak lagi bakal
sudi !' ` "Berani taruhan?"
"0ke!' Januar tidak bersungguh-sungguh. Tetapi sebaliknya, Amsar berjuang keras untuk memenangkan taruhannya. Belakangan baru Januar tahu.
bahwa amsar telah mendatangi gadis itu dirumah oom tempat menumpang sigadis ia meminta maaf atas periakuan kasarnya pada Ismlaty. dengan berdalih bahwa kejadian
ini tak perlu berlangsung kalau amsar tidak
terbujuk rayuan setan. 'lsmiaty sewaktu-waktu bisa
kalap. Tetapi. ada waktunya ia dapat berubah
selembut sutera; suatu ketika Amsar mmjelaskan
sifat si gadis. baru setelah ismiati selembut sutera barulah amsar mengungkit perlakuan tidak patut ismiati telah meludahi muka januar.Mulanya ismiati berkeras, hal itu ia lakukan karena januar menghalangi jalan keluar.Selain pintar berkelit, amsar juga pintar bersilat lidah.
Ismiati mengalah dan mengadakan janji temu dengan januar. dibawah empat mata - amsar menambahkan
.karena itulah syarat yang ditentukan Januar!" tegasnya berdusta,
Jalannya penemuan, bukan main!
Karena tak sudi datang ke tempat kost Januar
di mana Amsar telah berlaku tak senonoh. sedang
januar ogah kerumah ismiati.
.kembali amsar pegang kendali. amsar membeli 2 tiket bioskop.Pada saat yg ditentukan, januar muncul di dekat pintu masuk bioskop. Seolah tak sengaja berpapasan dengan Amsar yang baru saja membeli tiket diloket
ditemani oleh Ismiaty. Terjadilah
tegur sapa yang kaku. Lalu Amsar mendadak sakit
perut. Mules, katanya. la tak dapat menemani
lsmiaty menonton. "Kebetulan aku sudah terlanjur beli tiket," katanya pada Januar. 'Mau mempergunakan selembar?"
'Dan, yang selembar lagi" Januar berlagak
pilon. Amsar membalik pada lsmiaty. Bertanya: "Kurobek saja, atau kau anggap mubazir, mia?"
'Mubazir ' jawab gadis itu. tersipu-sipu.
Dan jadilah Januar dan lsmiaty menonton
berdua. Duduk berdampingan hampir dua jam
lamanya di dalam gedung penunjukkan. Tanpa
sekali pun bersentuhan. Pembicaraan pun hanya
satu dua kalimat kaku dan pendek-pendek. Tentang lilm yang mereka saksikan.
Bukan soal saling maaf memaafkan.
bagaimana seterusnya?" tanya nenek Amsar. setelah berlalu waktu cukup lama Januar
diam, teringat kenangan manis itu.
'Ya... jadi!" desah Januar. tergetar.
"Apanya yang jadi?"
"Masa nenek nggak tahu..."
'Nggak " "walah...Nenek kan pernah muda."
'iya. Tapi cara kami dulu, lain dengan cara '
kalian sekarang..." 'Lantas. Bagaimana asal muasal Nenek yang
begitu cantik. bisa terikat pada jenggot kambing
itu?" 'Dulunya, kakekmu belum punya jenggot,"
rungut si nenek tersinggung. "Tetapi perkara berangasan model si Amsar, memang kakekmulah
dedengkotnya...." Berangasan tempo doeloe. Tentang rahasia cinta. Tempo doeloe pula.
Januar sih senang saja mendengar kisah panjang
sang nenek. Lumayan sebagai melipur hatinya
yang gundah gulana. Dan. waktu terus juga berlalu.
Membuat manusia terkadang lalai. Lupa bahwa misteri hidup dan kehidupan, tak pernah ikut
berlalu... SEBELAS DI CIKUDA. berlangsung pula pembicaraan
mengenai hal yang sama, tentang misteri
hidupan. Yang liku-Iikunya ada kalanya sulit
dimengerti manusia terutama, apabila ia sendiri
ikut terlibat,... "... jadi, Saniah setuju?" tanya Santika tenang
seperti biasanya. "Mulanya memang tidak. Pak Santika," jawab
Dumadi, resah. 'lalu tiba-tiba, matanya
dan....' api tungku. Tentu saia. bayangan nyala bara atau
api itu memantul pada bola matanya..."
'Bola mata atau manik-manik mata?"
"Tak kupbrhatikan benar. Karena..." Dumadi
tiba-tiba menangkap sesuatu. Wajahnya menjadi
kaku. Dengan suara kering, ia berkata tak senang.
"Kalau Bapak menuduh Saniah yang..."
ucapannya dipotong oleh perkataan Santika'
yang tegas. tanpa kompromi. "Ingat pesan si
penghuni kubur itu sebelum ia raib dari depanmu
Madi" Ia akan selalu mengikutimu. ia akan selalu
ada di sampingmu. Begitu dekat, tanpa kau ke
tahui...! 'Tetapi, Saniah! Mustahil!" sekujur tubuh Dumadi bergemetar. 'itu sudah kelewatan, Pak Santika. Aku tidak mau terima !'
"Coba pikir...."
'Berpikir apa?" bentak Dumadl, marah. "Berpikir bahwa isteriku sendirilah yang membunuhi
anak-anak kami" Membunuhi darah dagingnya
sendiri. yang begitu susah ia kandung, ia lahirkan,
ia rawat sepenuh cinta kasih seorang ibu?"
"Aku tidak menduga jelek pada Saniah. Madi."
"Tetapi Bapak tadi mengatakan..."
"Ibu macam apa yang merelakan kegadisan
puteri kesayangannya direnggut oleh suaminya
sendiri. yang nota bene adalah ayah kand ung
puterinya itu, Madi"
"Saniah pastilah tidak rela, kalau bukan nyawa
puteri kami yang jadi taruhannya..."
'Saniah memang tidak. Madi."
'Bapak mengacaukan pikiranku!"
"Yang menyetujui rencana kita itu, Madi. bukan
Saniah. Melainkan. sesuatu yang diam diam selama sekian belas tahun bersemayam di tubuh
Saniah. Sekian belas tahun menempati raga isterimu. untuk pada waktunya bangkit lalu melamplaskan dendamnya melalui raga isterimu puia....
Karena itulah, Madi. Mengapa begitu lama waktu
berlalu. begitu banyak usaha yang kita lakukan,
selalu berakhir sia-sia. Karena apa pun yang kita
rencanakan, selalu diketahui roh jahat itu, melalui
telinga isterimu..."
"Kalau memang demikianlah yang terjadi,
akan kulumat makhluk jahanam itu karena telah
menyiksa raga isteriku. selain telah membuat
jiwanya menderita tanpa akhir....'
'Kalau. Madi. ia tidak lebih dulu melumatkan
kau dan isterimu. Belum lagi, Ismiaty."
'Kalau begitu, keselamatan jiwa puteriku iuga
terancam. Saniah... maksudku, roh yang menghuni jasad Sanlah. tentunya juga telah mengatahui
rencana kita pada malam yang menentukan ltu....'
Santika tersenyum sabar. Katanya: "Mengetahui kau akan memperkosa anakmu, itu betul.
Makanya ia setuju sekali. Karena yang bakal kau
perbuat sejalan dengan harapannya: membuat
keluargamu tercemar, menanggung aib selama
sekian turunan... itu pun, apabila lsmiaty masih
beruntung hidup dan beruntung mempunyai keturunan!"
'Kalau begitu, apa kiranya yang tidak boleh
didengar oleh Saniah... eh. si jahanam itu?"
"Kelanjutannya !"
'Jelaskanlah. Akan kulaksanakan sesempurna mungkin, demi kelanjutan hidup puteriku !'
"Darah perawanlah kuncinya. Madi."
'Darah"' 'Darah perawan. Percikan dari kesucian anak
gadismu sendiri. Yang ditumpahkan oleh kesucian
cinta seorang ayah....' Dumadi lemas lagi. "Jadi, aku tetap harus...
harus memerawani anak gadisku sendiri," keluhnya. menggigil.
"Demikianlah bunyi Wangsit yang kuterima.
Madi." "Pastikan Bapak?"
'Mau mendengar?" desah Santika. menantang.
"Dengar apa?" 'Wangsit itu." 'Aku.., bisa?" Dumadi tercengang. 'Aku ini
kosong. Tak punya ilmu apa-apa..."
"Kau dapat mendengarnya, melalui aku."
Caranya?" Tak lama kemudian, mereka berdua teiah
duduk berhadap-hadapan. Dibatasi oleh garis
sepanjang setengah meter berupa untaian biji-biji
melinjo, bawang merah, bawang putih. cabe merah, cabe gembol. kunyit, jahe, dan kemiri. Masing-masing sebanyak tujuh buah, dan dikaitkan dengan seutas benang hitam. Dupa menyan mengepulkan asap berbau sengit di batas garis
sebelah dalam dari posisi Santika. Sementara
Dumadi duduk bersila diam-dlam dengan mata
terbuka nyalang memperhatikan dan telinga tajam
mendengarkan, Santika mulai bersemedi. Kedua
lengan ditangkupkan bersilang di depan dada.
Makin lama suaranya makin hilang. tinggal nafasnya yang mengendus-endus. lalu menghisap. menyedot. Asap menyan dari pedupaan seakan ditarik tenaga gaib, masuk menyelusup lewat lubang~lubang hidung Santika.
Dumadi melihat. asap menyan itu kemudian
tahu-tahu telah keluar melalui ubun-ubun Santika.
berubah warna dari abu keputih-putihan menjadi
kuning kemerah-merahan. serta baunya pun semakimm semerbak. Membuat perut Dumadi nual,
meliiit-Iilit mau muntah karena yang ia cium mirip
bau bangkai manusia. dumadi sudah tak tahan
menanggung bau itu, ketika dari mulut Santika
terdengar suara kecil seorang bocah perempuan:
"Ayah... darah..."
Dumadi tertegun. 'Anakku. Suniani !" bisiknya,
terperanjat. Seakan tak mendengar bisikan Dumadi, dari
mulut Santika terdengar suara lain. Suara anak
' laki-laki tanggung: "Ayah... suci..."
'Danu. astaga... hampir berteriak Dumadi karena kagetnya.
Santika tetap tidak terpengaruh. Bibirnya bergetar lagi terbuka sedikit, disusui rintihan sedih.
' "Ayah... perawan!" rintihan seorang pemuda remaja yang sakit-sakitan.
'Kau kau itu. Sobaraiii' Dumadi mengerang-erang, air matanya meleleh tanpa ia sadari. Teringat anaknya yang kedua di bawah ismiaty. yang
lahir cacat karena ketika masih dikandung pernah
dipaksa digugurkan oleh Saniah. Saniah ingin
satunya keturunan. yakni ismiaty. Bukan lima.
sebagaimana dikehendaki roh yang juga berputera lima orang itu. lima orang. ataukah lima
ekor... ular" Saniah beberapa kali mengeluarkan
darah dari rahimnya. Namun toh, Sobara lahir juga
Santika bernafas panjang pendek.
Lalu, terdengar suara nyaring, sedikit lantang,
seorang bocah ingusan. Bocah nakal yang tumbuh segar bugar, sampai suatu hari perutnya
gembung, membesar dan semakin membesar
hanya dalam tempo tak sampai dua jam, dan
kemudian benda-benda tajam menembus ke luar
dari balik perut yang menggunung itu. Suara Doni,
yang terakhir kali melahap makanan di lemari
sambil berdiri bersijingkat di kursi dengan tangannya yang kotor berlumpur


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah... cinta..."
Duduk Dumadi menjadi goyah. Tak tahan
mendengar suara satu demi satu anaknya yang
telah bergiliran meninggal, kini menyentuh telinga,
menyusup sampai ke ulu hati, menembus terus
ke Jantung... Dumadi terengah-engah. wajahnya
bersimpah peluh campur air mata. Lengan kiri
maupun lengan kanannya terangkat, jari jemarinya
mengembang, seakan ingin memeluk udara kosong dalam usaha menggapai roh anak-anaknya.
Ketika lengan-lengan Dumadi terjulur tanpa sadar
melewati garis batas di hadapannya, untaian garis
berupa biji-biji maupun buah itu tergetar hebat.
lalu terangkat perlahan-lahan untuk kemudian melesat menghantam udara kosong di atas mereka.
Santika yang masih tetap bersemedi dengan
mata terpejam, tiba-tiba mengeluh kesakitan. dari
pori-pori kulit wajahnya keluar keringat bercampur
darah segar, yang menetes dan terus menetes
mengaliri leher, menggenangi baju. melembabi
kain sarung. lalu menyentak-nyentakkan lutut-lutut Seketika itu juga Santika berteriak keras
mengejutkan meneriakkan semacam perkataan
aneh yang sukar dimengerti Dumadi. Lalu, dengan
menepiskan kedua lengannya yang sebelumnya
bersilang di depan dada, Santika membentak
keras, Untaian kalung tetumbuhan itu pun seketika
itu juga jatuh ke lantai. Diam tak bergerak. Santika
membuka matanya. Berujar. lirih: 'Hampir saia...!
'Hampir saja apa. Pak Santika?" desah
Dumadi yang telah mampu menahan diri.
"Roh anak-anak itu."
'Anak-anakku. Pak Santika !'
"Aku tahu..., Aku sengaja memanggil mereka,
untuk ikut membantu keselamatan satu-satunya
saudara mereka yang masih hidup. Kakak mereka,
lsmiaty. Andai kalung... ia menunjuk ke benda
yang tadinya sebagai garis batas: 'Andai ini sampai pecah berantakan di udara, maka roh anak-anakmu akan berbalik melawan kita. Ada roh lain,
yang lebih kuat. menguasai roh anak-anak malang
itu, berusaha mempengaruhi. memperbudak mereka..."
Merinding bulu kuduk Dumadl mendengarnya "Roh apa. Pak Santika?"
Santika menyeka keringat bercampur darah
yang membasahi wajahnya Berujar dengan suara
menahan sakit, dan kali ini terdegar cemas: "Roh
yang pernah memperbudakmu pula, Madi."
'Demi setan..." "Kau memanggil setan, Madi?" Santika mengerutkan dahi.
'Maafkan. Pak." "Mengapa kau langgar garis batas itu?"
"Aku... tak tahu. Aku bahkan... tak ingat apakah aku baru melanggar garis batas... Ah. barangkali, aku tak sadar. Rasanya, ingin aku memeluk
anak-anakku...." "Mereka semua sudah meninggal. Madi'
'Ya. Ya. Mereka semua telah mati." Dumadi
mengiyakan, dengan leher t?rtekuk, dan air mata
kembali mengambang. "Sudahlah Santika merrtbuiuk. "Kau dengar
semuanya, Madi" "Kudengar Pak."
"Dapat kau merangkaikannya?"
'Entahlah. Begitu membingunkan....'
"Aku jarang bertemu anak-anakmu semasa
hidup mereka. Madi .Jadi mana pernah aku ingat
suara-suara mereka. Sebelum ini, aku telah melakukan hal serupa dengan bantuan salah seorang
muridku. Dialah yang menyampaikan apa-apa
yang tidak kusadari terlontar dari mulutku. la juga
tak mengenali anak-anakmu. Tetapi sekarang.
dengan kau sebagai pendamping. aku yakin sudah. Merekalah yang berbisik melalui bathinku.."
Bisikan-bisikan membingungkan. Empat roh sekaligus, Madi. Jadi tak mampu aku menguasai
mereka berlama-lama. Jadi hanya itulah yang
dapat kita dengar. Darah. Suci. Perawan. Cinta.
Satu hal saja yang sama: mereka menyebut kata
'ayah'. Aku kemudian merangkaikan semua yang
kudengar. Cukup sulit, sampai akhirnya aku tiba
pada kesimpulan, mereka memaksudkan darah
perawan. yang dialirkan oleh cinta suci. Cinta SUCI
ltu, tak pelak lagi hanyalah dari orangtua pada
anaknya. Cinta suci ayah lsmiaty. Kau. Dumadi
Kau sendirilah yang harus mengalirkan darah
perawan anak gadlsmu...!"
DUA BELAS DUMADI meninggalkan Clkuda lewat tengah
hari. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah,
hatinya diliputi perasaan masygul. la memang
sudah lama tidak memperdulikan bencana apapun yang bakal menimpa dirinya dan Sanlah.
Kapan saja maut datang menjemput. mereka slap
menerima kehadirannya... biar bagaimana pun
menyakitkan atau mangerikannya bentuk kematian itu. Hanya satu hal yang ia dan Saniah harapkan: hendaklah maut itu tidak keburu datang
sebelum mereka yakin bahwa anak mereka selamat dari ancaman kutuk.
Akan tetapi. syarat terakhir yang diharuskan
Santika sungguh teramat berat untuk dilaksanakan Dumadi. Dan syarat ltu agaknya tidak dapat
lagi dihindari. Karena yang menyebutkannya bukan Santika sendirl, melainkan roh-roh putera-
puteri kesayangan Dumadi.
'... yang kita hadapi bukanlah makhluk hidup.
Bukan makhluk nyata' demikian tadi Santika
menjelaskan. "Dia ltu berupa roh dari seseorang.
atau roh makhluk dari masa lampau. Untuk mengetahui kemauan roh itu. maka kita harus bertanya pada roh pula. Lantas, kalau kita akan
mencari kelemahannya. maka kita harus minta
bantuan pada roh-roh yang pernah menjadi kor
ban kejahatannya... yang dengan sendirinya. sangat membenci dan menginginkan kematian roh
jahat itu sebagai balasannya. Sebuah kematian
yang setimpal. Menurutkan hukum timbal balik,
hukum alam...." Meskipun agak aneh kedengarannya, Dumadi
masih dapat mencernanya. Namun. mengapa
anak-anaknya itu menyebutkan syarat begitu
rupa" Tidakkah anak-anak itu mencintai kakak
mereka, lsmiaty" Tidak pulakah mereka s adar.
betapa teramat bejat perbuatan yang dilakukan
seorang ayah kalau sampai tega menyetubuhi
puteri kandungnya sendiri"
'Haruskah melalui cara itu. Pak Santika" Tidak
dapat melalui cara lain" sempat juga Dumadi
berharap. "Kau maksud. tidak melalui persetubuhan
langsung" Bukankah suatu kontak jasmani?"
'Ya !' 'Mempergunakan sebuah benda sebagai alat?"
'Ya' 'Dumadi.. ujar Santika tak bernafsu. "Cara itu
memang lebih terhormat. Dapat pula diterima
calon suami Mia kelak, andai pada akhirnya Mia
harus menerangkan dengan jujur sebab-sebab ia
tidak perawan lagi sebelum naik ke jenjang pelaminan. Hanya, Madi. Barangkali kau meremehkan
bunyi kalimat syarat itu. Cinta suci, Madi. Cinta
suci seorang ayah, tidak akan pernah dimiliki
orang lain. Konon pula. sebuah benda mati !"
Turun dari bis di pertigaan jalan menuju desanya, Dumadi semakin masygul saja. Ia akan se
gera bertemu Ismiaty. dan..., Saniah! Mengapa"
Mengapa roh jahat itu tega memilh raga Saniah
sebagai tempat menyembunyikan diri dari pengetahuan Dumadi" Mengapa bukan orang lain"
Kembali Santika harus membuka pikiran Darnadi
yang kusut, dengan penjelasan:
'Bukankah ia bilang, ia akan selalu mengikutimu" Selalu mendampingimu" Agar ia mengetahui
sepak terjangmu. Mengetahui jalan pikiranmu.
Jadi. rencana atau usaha apa pun yang akan kau
lakukan ia selalu dapat mencegahnya. Roh jahat
itu tidak bodoh, Madi. Dia pun menyadari kenyataan hidup manusia. Siapa pun. Dan di mana
pun juga. Tempat paling tepat seorang suami
mengadu atau mengeluh, hanyalah pada isterinya
seorang...." Pantas. Pantaslah kematian demi kematian itu
datang juga menimpa putera-puterinya. Tanpa
Dumadi mampu mencegah. Kalau emosi yang
diturutkan. sepatutnyalah Dumadi membenci Saniah. Sampai hati Saniah mengorbankan anak-anak kandungnya sendiri. Membiarkan mereka
semua mati penasaran. Namun kalau dipikir-pikir,
sebenarnya Saniah tidak bersalah la tidak tahu,
bahkan tidak menyadari seujung rambut pun juga.
bahwa melalui tangannya sendirilah anak-anak
kesayangannya mereka menemui ajal. Rupanya,
sebagai imbalan sembuhnya penyakit Saniah dulu
harus ditebus teramat mahal.
"Saniah malang..." desah Dumadi getir selagi
duduk di boncengan ojek sepeda motor yang
ngebut ke alamat yang dituju.
ia meneruskan. dengan suara dibuat-buat cemas
"Jangan terlalu cepat. Roy. Pelan-pelan sajalah...!
"Sekarang lagi jamnya marema, Pak Madi. Aku
harus memanfaatkannya. Lumayan deh untuk menutupi kekurangan setoran hari kemarin."
'Yah. Kalau kita celaka, bagaimana....'
'Aku orangnya selalu berhati-hati, Pak Madi."
"Kau iya. Orang lain. belum tentu."
'Nah. Kalau itu terjadi, yang salah bukan aku.
Tetapi orang lain!" dan si pengojek tertawa ngakak
sambil menambah kecepatan sepeda motornya
di antara kendaraan kendaraan lain yang hilir
mudik. Maklum, waktunya bubaran kantor, sekolah, pasar, dan banyak lagi kegiatan lain di
daerah kecamatan yang penduduknya memang
termasuk padat itu. - Di tanjakan curam berbatu-batu, Dumadi turun
dari' ojek. la membayar ongkos sambil menggerutu
mengatakan bahwa perut dan pantatnya sakit-sakitan dibuat si pengojek. Anak muda itu cuma
ngakak dan ngebut lagi ke arah semula. Dumadi
menarik nafas memperhatikan sepeda motor yang
terbuntang banting di jalan jelek. Kalau kendaraan
itu cepat ringsek, yang rugi bukan si pengojek.
Selalu, si empunya ojek. Dumadi memutar tubuh. Melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi titian bambu yang terayun-ayun. kemudian tlba dijalan setapak menuju
rumahnya. Bagaimana ia harus bersikap pada
Saniah" Mampukah ia berlaku tidak janggal, ber
kata tidak semestinya, atau mencuri pandang
tanpa mencurigakan" Untunglah lsmiaty ada di
rumah. Anak manja itu. dari dulu kalau tidur di
rumah selalu ingin ditemani ibunya. Coba. andaikata malam ini dan malam berikutnya. Dumadi
terpaksa tidur di sisi Saniah. sedangkan ia tahu
bahwa dalam tubuh Saniah...,
'Makhluk terkutuk! Haram jadah sialan!" maki
Dumadi. Gusar Tapi. ah ! Kalau ia emosi, bisa-bisa nanti di
rumah ia bertingkah tak wajar. Lebih baik memikirkan hal-hal lain. Yang lebih bermanfaat. Misalnya. mengenai pemuda bernama Januar itu. Datangkan Januar menemui lsmiaty. sepeninggal
Dumadi tadi pagi" Berhasil pulakah isrniaty mengusirnya sebagaimana dijanjikan anak gadis itu"
Dumadi belum pernah bertemu muka dengan
Januar. meskipun sebenarnya ada keinginan untuk itu. Dari cerita-cerita anak gadisnya baik melalui surat maupun kalau kebetulan pulang kampung, ia dengar Januar itu seorang pemuda baik
serta mau bertanggung jawab. Buktinya, walau ia
masih harus kuliah, Januar toh juga bekerja.
Dengan demikian. Januar tidak menambah beban
orangtuanya di kampung. Bahkan menurut lsmiaty, Januar malah setiap awal bulan setia dan
rajin mengirim sedikit uang untuk adik-adiknya.
Mungkin. Januar memang bakal suami yang
sepadan untuk lsmiaty. Tetapi kehadirannya di saat-saat kritis begini,...
Dumadi menghentikan langkah ketika ia lihat
'seekor anjing menghadang jalannya. Anjing itu
berbulu putih dengan bintik-bintik hitam. berekor
pendek. Tubuhnya tidak terlalu besar. tetapi tam-pak kuat dan kokoh. Gonggongannya pun membuat jantung ciut. Apalagi. sambil menggonggong.
sepasang mata anjing itu memandang liar dan
galak ke mata Dumadi. Anjing, merupakan salah satu makhluk hidup
di dunia ini, yang menempati bagian tersendiri
dalam hidup Dumadi. Waktu ia masih merangkak,
Dumadi menjerit-jerit karena seekor anjing tetangga menggigit mainannya. Seekor anjing lain
merampok pula potongan paha ayam di tangan
Dumadi yang masih bocah ingusan Setelah jadi
remaja tanggung, Dumadi mengganggu beberapa
ekor anak anjing. Lalu induk anjing itu mengejar
dan sempat menggigit betisnya, sebelum si pemilik anjing muncul sebagai dewa penyelamat.
Pada tahun-tahun berikutnya setelah Dumadi
menikah dan punya anak, bibit permusuhan antara
Dumadi dengan jenis makhluk yang satu itu terasa
makin meningkat saja. Mengikuti petunjuk seorang dua kerabat. Dumadi telah berusaha sedapat mungkin untuk bersikap tenang. Diam tak
bergerak. Tidak mengayun tangan dengan sikap
mencurigakan. Tidak pula memperlihatkan pandangan benci, dengan cara 'Dumadi pura-pura
memalingkan ke arah mana saja asal tidak melihat
ke si anjing. Beberapa kali usaha itu mendatangkan hasil juga. la dan anjing yang ditemuinya
dalam perjalanan, dapat berpisah tanpa satu sama
lain bentrok lebih dulu. Namun banyak kali. Dumadi tidak' tahan dengan suara gonggongan anjing yang menghadang. Lebih-lebih kalau ada anjing yang nekat
menyerangnya. Bila itu tidak dapat dielakkan lagi,
Dumadi lantas menyambit makhluk pengganggu
dimaksud. Mungkin karena terlalu kencang menyambit, sasarannya jitu pula... beberapa ekor dari
anjing itu kemudian sekarat. Mati dengan kepala
retak, bahkan ada yang pecah.
Kalau cuma sekedar anjing kampung biasa
yang berkeliaran tanpa tuan yang jelas. tak apalah
Tetapi kalau kebetulan yang mati itu anjing penjaga rumah, anjing gembala. persoalannya jadi
lain Setelah beradu mulut dengan yang empunya
anjing. Dumadi terpaksa memberi ganti rugi. Sebagian kekayaan Dumadi dihabiskan untuk menebus bangkai seekor anjing. Harga termahal
yang pernah dibayamya, adalah untuk seekor
anjing ras milik pak Camat.
Anjing ras jenis doberman yang gagah itu
tengah berlari-lari pagi bersama tuannya dl alun~alun kecamatan. ketika suatu hari Dumadi berpapasan tidak sengaja. Anjing besar menakutkan
itu. setelah melihat Dumadi langsung menyalak
sedemikian rupa hebatnya, sehingga berdiri bulu
punduk Dumadi. Tak dapat dikuasai tuannya.
anjing itu terlepas dan langsung menyerbu ke arah
Dumadi. Dumadi kebetulan baru membeli golok
baru dari pasar. Reflek, goloknya dikeluarkan dan
dipergunakan membela diri. Dumadi tidak cidera.
Tetapi anjing itu, sekarat di trotoir dengan darah
membanjir dan kepala hampir belah dua.
Lawan' Dumadi, seorang Camat. Konon kesayangan pak Bupati pula.
Sedang ia sendiri. hanyalah rakyat kebanyakan. Sialnya pula, pada waktu kejadian ia dituduh
dengan sengaja membawa-bawa senjata tajam,


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang waktu itu dilarang keras
oleh aparat keamanan. Alasan apa pun yang
dikemukakan Dumadi sebagai pembelaan dari, ia
tetap kalah. Tak ada saksi untuk membenarkan
Pembelaannya. kecuali si pemilik anjing sendiri.
Dumadi dipojokkan sedemikian rupa. Seolah~olah
dia telah usil mengganggu anjing yang sedang
tenang-tenang berjalan dengan tuannya, terikat
pula .Anjing itu marah. Tuannya berusaha menenangkannya. Tetapi gagal. sehingga anjing itu
mati. Dumadi terancam masuk penjara karena
membawa-bawa senjata tajam di tempat umum
dan membunuh binatang kesayangan orang lain.
dumadi tidak mau repot-repot. Lagipula waktu itu
ia masih kaya. Maka, terpaksalah dengan tidak
rela ia harus mengorbankan uang jutaan rupiah.
Sebagai ganti rugi pada si pemilik anjing, dan
sebagian untuk menebus hari-hari yang mesti ia
lalui di balik jeruji Dumadi bersikap tenang, manakala anjing
hitam berbintik-bintik putih itu menggeram keras,
memperlihatkan tanda-tanda bahwa binatang itu
tidak rela menyingkir begitu saja. Mulanya Dumadi
akan memaling. agar sorot mata mereka tidak
beradu dan kebencian memancar dl matanya.
Namun setelah melihat anjing hitam itu malah akan
menyerang. Dumadi menjadi kesal. Mana, pikiran
mengenai anak isterinya tengah menggejolaki
jiwa. 'Oke, Bung!" bisik Dumadi pada anjing jantan
itu. "Mari kita bermain-main sebentar..!
la mengambil ancang-ancang. Tak ada senjata di tangannya. Sialnya, tak pula ada batu.
potongan kayu dl sekitar. yang cukup dekat untuk
disambar. Setelah menggeram sekali lagi, anjing
itu tiba-tiba meloncat ke depan. Moncongnya yang
terbuka memperlihatkan taring-taring tajam menakutkan, terarah pada leher calon mangsanya.
secara naiuriah Dumadi mengelak ke samping.
Sambil mengelak, ia ayunkan lengan-lengannya
yang entah mengapa, saat itu terasa ringan dan
gerakannya gesit pula. Leher Dumadi selamat dari serangan bahaya.
Lain halnya leher sang anjing. Tangkas sekali,
dua telapak tangan Dumadi tahu-tahu saja telah
mendarat di leher makhluk itu, dan menguncinya
dengan cekikan yang kuat. Anjing itu meronta-ronta Suara menyalaknya hilang, digantikan oleh
rintihan kesakitan dan putus asa. Sesaat ketika
mata Dumadi beradu dengan sepasang mata
anjing itu, terjadilah apa yang seharusnya terjadi !
Sang anjing mendadak lemas. sekujur tubuhnya
bergemetaran. Sorot matanya yang tadi tampak
biasa-biasa saja, terbalik-balik sehingga tampak
putihnya. Rlntlhannya pun tambah lenyap.
'Oh, tidak. Jangan keburu mati dulu," bisik
Dumadi berang. "Aku tak punya uang sekarang
ini untuk membayar bangkaimu !"
Lalu leher anjing dilepaskan
Binatang itu jatuh berdebuk di tanah. kelojotan sebentar. sementara Dumadi mundur beberapa tindak. Berjaga-jaga pada kemungkinan
anjing itu masih cukup segar dan bertambah
galak. Beberapa detik menegangkan berlalu,sampai perlahan-lahan anjing itu merayap berdiri.
Sempoyongan di atas empat kakinya.
Sedetik. anjing itu menatap ke mata Dumadi..
Kalau tadi yang tampak putih matanya, kini manik~manik mata sang anjing kelihatan menga ndung
cahaya merah berkilauan, Merah saga. Dumadi
sampai tercengang. karena belum pernah ia melihat seekor anjing bermata merah saga. Sebelum
keheranannya hilang, anjing itu, tiba-tiba sudah
melolong. Meiolong panjang dan lirih ke arah
matahari yang hampir terbenam.
Lalu kaki-kakinya menekuk lurus ke depan.
Kepalanya turun merendah. Sejajar dengan kakinya. Seperti sikap menyembah. Pasrah...!
Kemudian. dengan beberapa kali loncatan,
anjing hitam berbintik putih-putih tersebut sudah
menyeruak ke balik semak belukar. Larinya cepat
sekali. menuju rimbunan pepohonan. Kemudian,
lenyap ditelan kegelapan dalam naungan pepohonan rimbun itu.
Sayupsayup, lolongnya terdengar lagi di kejauhan.
Lolong panjang. Lirih. TIGA BELAS MENJELANG magrib kakek Amsar muncul di
rumah dengan wajah letih dan sinar mata gundah.
Begitu pun, ia coba juga tersenyum pada Januar
yang membuka pintu. "Senang melihat kau baik-baik saja. Cucu: ujarnya, membesarkan hati. Lalu
pada isterinya, ia berteriak minta disediakan makan. Buru-buru permintaannya dikabulkan si nenek. la berusaha melayani suaminya sedapat-dapatnya, namun toh masih kena damprat: "Sayurnya kok asin banget! Rupanya. biar sudah
kering dan peot.. kau masih ingin kawin lagi ya"
"Belum" isterinya malah menggoda.
"Kalau masih laku sih. Silahkan saja!"
"Siapa bilang tak laku?"
"Pantatmu ! 'Lho, kok....' "Pantatmu sudah kering. Dan pasti asin seperti
sayur ini' Dari ingin marah. si nenek justru tersenyum.
la menembak dengan jitu: "Nah Sayurku toh kau
makan. Jadi, kau juga masih suka pantatku...!" Si
nenek lalu tertawa meringkik sambil membereskan
meja karena suaminya sudah selesai makan. Sebelum suaminya
sempat membalas, ia sudah
keburu ngacir ke belakang
Januar menunggu makian panjang pendek
kakek Amsar mereda. Perutnya sampai mules
menahan ketawa. Baru kemudian menegur halus:
"Pitanya sudah habis. Kakek"
'Belum' 'Habiskanlah..! "Mana bisa. Nenekmu ngacir duluan...."
"Masih ada aku di sini. Kakek."
'Uh. Perkara apa pula maka aku harus marah-marah padamu, Cucu?"
"Kukira akulah penyebab Kakek letih dan
marah-marah Kalau tak ada aku. Kakek tak perlu
keluyuran seharian ini. Omong-omong, Kakek.
Apa oleh-oleh yang Kakek bawa"
Orangtua itu menghela nafas berat. Berdesah:
"Banyak Namun tetap membingungkan..."
"Misalnya " Kakek Amsar melinting sebatang sigaret. la
akan menawarkan pada Januar, tetapi tak jadi.
"Syukur kau tak merokok! katanya "Tembakauku
tak cepat habis. Tidak seperti si Amsar... Eh.
kudengar kabar dia akan kawin. Apa benar?"
"Masih rencana, Kakek."
"Hem Dia sih memang pintar menyusun rencana. Aku tahu betul. dia punya rencana lain.
Karena masih kuliah. belum punya kerja... maka
biaya pernikahannya nanti pasti ditimpakan padaku. Hem... jangan harap ya!'__
Januar diam saia. Sebagaimana pernah dikatakan Arnsar, kakeknya toh bakal menyerah.
Senjata Amsar termasuk ampuh: neneknya. Lagipula, bukan itu pembicaraan yang dikehendaki
Januar. Karena itu dia tidak mengomentari apa-apa Sadar. orangtua di depannya sengaja berputar-putar dengan maksud meredakan kegelisahannya sendiri.
Kakek Amsar menghisap sigaretnya berulang-ulang. isapan kuat, sehingga ia sempat terbatuk-batuk. Setelah nafasnya berjalan normal kembali
ia pun bergumam ;'Bicara soal cucu kelewat di
sayang kakeknya, Saniah adalah contoh paling
tepat. Saniah memperoleh bagian terbesar warisan kakeknya. setelah orangtua yang malang itu
meninggal..., 'Malang, Kakek?" "Teramat malang, malah. Karena selain menyerahkan harta demi cintanya pada sang cucu
ia juga terpaksa harus menyerahkan jiwanya!"
"Aku... aku tak mengerti."
'Mulanya, aku pun begitu Cucu. Sudah lama
sekali aku tidak memperdulikan lagi kabar burung
mengenai keluarga Saniah. Mereka makin menutup diri saja Tak mau ditawari bantuan. Kalau
didesak, malah balik tak suka. Kami dapat mengurus diri sendiri, demikianlah kata mereka selalu.
Minatku baru tergugah kembali. setelah kau
datang." "Maafkan, Kakek. Aku telah merepotkan
kalian..." "Merepotkan"' kakek Amsar membelalak.
"Malah aku senang. Dengan adanya kau, maka
aku punya alasan kuat untuk mendesak mereka
sekali lagi. Silahkan mereka mengurus diri sendiri.
kalau itu yang mereka mau. Tetapi mereka tidak
kuperbolehkan meremehkan jiwa orang lain. Aku
akan menentangnya. Biarpun apa yang terjadi?"
'Aku baik-baik saja. Kakek." bisik Januar.
tenang. "Aku tidak akan apa-apa...!
'Tidak, Cucu" Lupakah kau apa yang telah
dkatakan ajengan Zakaria, yang kau telah ceritakan padaku" Kejadian-kejadian yang kau alami di
kota, adalah sebuah peringatan agar kau tidak
melibatkan diri Kau memaksa terlibat. Dan apa
yang kau alami di rumahku ini" Peringatan lagi.
Lebih dekat. Lebih berbahaya. Karena bahaya itu
justru semakin kau dekati pula. ltulah soalnya'
Setelah terdiam sejenak, Januar memutuskan:
'Aku bisa mundur setiap saat, Kakek....'
'Mundur " 'Ya. Aku harus memikirkan kuliahku. Juga
pekerjaanku. Bolos terlalu lama. bisa menyulitkan!"
"Kau... menyerah?" bisik kakek Amsar. terkejut.
"Apa boleh buat. Aku tak ingin Kakek dan
nenek ikut terlibat pula. Ikut menempuh bahaya...
yang aku tak tahu apa. Tetapi bahaya itu jelas
ada." "Aku sendiri yang ingin melibatkan diri, Cucu!"
"Demi aku!" desah Januar. Luruh.
'Nah. Agaknya kau lupa ya" Ismiaty itu, bagaimana pun masih terhitung cucuku pula. Aku
berniat menolongnya. Dan kalau kau tidak bersedia membantu, yah... apa pula hakku memaksamu"
Ditantang begitu. Januar lantas terpojok.
"Demi Mia. apa pun akan kulakukan, Kakek!" ia
berujar landas, bersemangat.
'Kalau begitu." kakek Amsar tersenyum. 'Masing-masing kita punya kepentingan..."
'Jadi, kita harus joint," sambut Januar, sependapat.
"Apa"' 'Joint Kerjasama." 'Ah. Makin terdidik bangsa kita. rupanya makin senang mempergunakan bahasa asing. Bahasa ibunya. diabaikan..!
Bersemu merah wajah Januar mendengarnya.
la ingin membela diri. Tetapi bukan sekarang
'waktunya. Maka ia kembali ke pokok persoalan:
'Mengenai orangtua yang malang itu, Kakek.
Orangtua yang berkorban begitu banyak untuk
ibunya Mia. Bagaimana kejadiannya"
"Agak berbelit. Cucu. Tetapi baiklah kucoba
menceritakannya secara sederhana.
Katanya, ia telah berkeliling seharian untuk
mendapatkan keterangan yang lebih pasti dan
nyata, dari beberapa orang kerabat dekat. la tidak
mau berpegang hanya pada kabar burung belaka.
Lalu la mengulang sejarah lama mengenai keluarga Saniah. Bermula dari penyakit lumpuh yang
tiba~tiba menyerang diri Saniah. Penyakit itu 'dikirim' oleh seorang dukun jahat, atas permintaan
seorang lelaki yang pernah dikecewakan Sanlah.
Hanya si lelaki sendiri yang dapat menarik kembali
penyakit jahat kirimannya. Sayang ia sudah mati
sebelum ilmu jahatnya sempat ditarik, sementara
dukun yang bekerjasama dengannya tidak pula
mampu berbuat apa-apa. '... maka, suatu hari. suami Saniah yakni
Dumadi. menghilang dari kampung ini. Hampir
sepuluh hari lamanya. Sementara isterinya yang
sakit, berusaha ditolong oleh dua tiga orang dukun
ternama, namun tak satu pun berhasil. Penyakit
Saniah justru semakin berat. karena suaminya
belum pulang-pulang juga..." kakek Amsar tercenung membayangkan peristiwa masa silam itu.
"Kala itu. ia tengah mengandung bayi pertamanya.-
Yang kemudian kau kenal, yakni lsmlaty...!
Penyakit yang semakin menyiksa ditambah
suami pergi pula tanpa kabar berita, membuat
Saniah semakin parah keadaannya. la baru agak
terhibur waktu kakeknya berkata: 'Bersabarlah.
lyah. suamimu pergi demi kau. Untuk kesembuhanmu. Terus terang, akulah yang menyuruhnya pergi ke suatu tempat di balik gunung. Kesuatu padang ilalang, di tengah rimba raya. la
harus mengerjakan sesuatu di sana....' Ketika
Saniah mendesak mengapa suaminya begitu lama
belum pulang juga. sang kakek menjelaskan:
'Sebenarnya, kalau waktu itu ia memang berangkat siang-siang dari sini. Maka ia akan tiba di
tempat tujuannya pada sore hari. Ia diharuskan
tinggal sepanjang malam. Lalu paginya, ia mestinya sudah dapat pulang ke rumah. Tetapi. iyah.
Mungkin karena panik memikirkan keadaan dirimu, ia melupakan satu dua petunjuk yang kuberikan untuk dapat mencapai tempat itu dengan
cepat dan mudah. Jadi. agaknya ia tersesat. Itu
saja. Namun percayalah, Cucuku. suamimu akan
segera kembali. Aku kenal suamimu, dan aku tahu
ia akan berhasil. Dan kau, Cucuku. pasti sembuh.
Sehat seperti sediakala...!
Ucapan kakek Saniah kemudian terbukti.
Suatu malam, Saniah bangkit sendiri dari
tempat tidurnya. la meloncat turun dengan muka
terheran-heran. Lalu berlari-lari membangunkan
semua orang di rumahnya. Berteriak-teriak suka-cita mengatakan ia sudah sehat kembali. la sampai
melonjak-lonjak. Menari-nari riang gembira. Baru
ia menahan diri setelah ada yang mengingatkan
bahwa ia harus hati-hati. demi jabang bayi yang
dikandungnya. Kakaknya cepat diberitahu. Malam itu juga
sang kakek datang ke rumah cucu kesayangannya. la datang tergopoh-gopoh. la peluk dan ciumi
Saniah dengan perasaan bahagia. Kemudian ia
menangis. ia meminta semua anggota keluarga
yang kebetulan hadir, berkumpul saat itu juga.
Wajahnya berubah serius. Suaranya pun tegang
ketika ia berkata: 'Ajalku sudah dekat !'
Tentu saja. semua yang hadir dibuatnya terkejut alang kepalang. Bahkan kegembiraan Saniah. sampai ikut hilang. la dan keluarga yang
lainnya. memandangi orangtua itu dengan pandangan tak percaya. Si kakek, biar sudah berusia
lanjut. masih tetap segar dan kuat. la pun sehat
walafiat saja. Semua keluarganya tahu, bahwa
orangtua itu memiliki ilmu kebal senjata tajam,
selain itu kebal pula terhadap segala macam
penyakit. Memahami pandangan bertanya-tanya
di sekelilingnya," la lalu menjelaskan:
"ilmuku sudah punah!"


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bertambah bingung para pendengarnya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia melanjutkan penjelasannya. Sedemikian rupa ia menyusun
kata demi kata, sehingga tidak sampai melukai
hati Saniah. Tidak pula ada yang teringat mengaitkan penjelasannya dengan diri cucu kesayangannya itu. Katanya: "Setelah Saniah sembuh, maka
aku tahu bahwa Dumadi telah berhasil menemui
tempat yang dicari. Berhasil memperoleh keinginannya. Ia seorang suami yang baik. Seorang
calon ayah yang bertanggungjawab. Dan aku...
apalah aku ini. Aku harus menerima karmaku. Aku
harus rela menerima ajal..
Ributlah yang hadir memprotes. Bertanya kacau baiau. sehingga kakek Saniiah terpaksa menyuruh mereka semua diam. 'Janganlah kalian
membuatku bertambah pusing!" senggaknya. Setelah semua diam. ia berbicara lebih lembut:
"Kalian mestinya bersyukur. Karena ada pun maksudku menyuruh kalian berkumpul sekarang ini.
adalah untuk menerangkan pembagian harta kekayaanku !"
Bagian terbesar dari harta kekayaannya, jatuh
pada cucunya Saniah. Yang lain maklum. Lagipula, mereka masih kebagian harta warisan yang
bukan sedikit jumlahnya. Lalu sebagaimana ia
katakan. besoknya Dumadi pulang ke rumah.
Keadaannya yang compang-camping. kurus
pucat... segera dilupakan orang setelah terjadi
bencana. Kakek Saniah jatuh dari pohon, tubuhnya menimpa pagar besi sampai hampir terpotong
dua..." 'Mengerikanl' bisik Januar. bergidik. Seram.
"Kau cuma mendengar." sahut kakek Amsar.
"Apalagi aku. Waktu kejadian itu, aku sedang
bertamu di rumahnya. Jadi aku melihat dengan
mata kepala sendiri. bagaimana darahnya..." kakek Amsar menggelengkan kepala dengan gelisah. "Sudahlah Kejadian itu sudah lama berlalu.
Tak baik diingat-ingat..."
Setelah berdiam diri beberapa waktu lamanya.
kakek Amsar melinting lagi sebatang sigaret, sementara isterinya muncul mengantarkan minuman
panas dan sepiring ketela rebus yang diberi bumbu serutan kelapa muda dan gula merah. Meskipun sangat menarik selera, mana udara malam
terasa sangat dingin dl dalam rumah. tidak ada
yang berniat mencicipi hidangan yang telah dibuat
dengan susah payah oleh perempuan tua itu.
'Kakek?" tanya Januar. Pelan saja. namun
terdengar mengejutkan dalam keadaan sunyi
mencekam itu. "Apa kaitannya dengan keadaan
yang kita hadapi sekarang ini?"
Kakek Amsar batuk-batuk kecil.
Jawabnya: 'Hari ini aku memperoleh gambaran lebih jelas mengenai kabar burung itu. Bahwa
memang Dumadi pemah menghilang. Bertapa di
gunung. Memuja semedi. Bersekutu dengan
setan!" Januar terhenyak. Calon mertuanya. bersekutu dengan setan.
Astaga! 'Tidak jelas tempat macam apa dan setan apa
yang dipuja Dumadi," lanjut kakek Amsar, tenang.
'Kata orang. banyaklah keinginan yang dia katakan
pada pujaannya itu. Namun satu hal saja yang
pasti. Yakni. agar isterinya sembuh..
"Lalu tukas nenek Amsar yang rupanya tak
sabar. 'Benar pulakah kabar yang kudengar mengenai apa sebabnya anak mereka mati seorang
demi seorang, hartanya pun ludes sedikit demi
sedikit?" Suaminya mengangguk mengiyakan. 'Kebenaran yang pasti. hanya ada di tangan Tuhan.
Tetapi dari' berbagai kenyataan yang berlangsung,
serta melihat pula kemungkinan kemungkinan
yang terjadi bila seseorang sesat lalu mengingkari
Tuhan..., Bukan mustahil bahwa Dumadi termakan
kutuk. Konon karena dua sebab la menempuh
ilmunya setengah-setengah. Atau, ia telah melanggar pantangan?"
Januar berusaha mencerna cerita itu sebisa-bisanya Kemudian bertanya tak mengerti: 'Apa
pula kaitannya dengan peristiwa yang k ita alami
tadi pagi" Mengapa justru Saniah... eh. ibunya Mia
yang terkena pengaruh hawa panas dari keris"
Mestinya kan suaminya"
"Nah ltulah yang gagal kudapatkan hari ini.
Cucu. Setiap orang yang kutanyai, sama menyatakan heran. Lalu seseorang kemudian mem-
beri petunjuk agar kita bertanya pada alamat yang
tepat. Aku kemudian pergi ,ke alamat tersebut.
Tetapi orang yang kutemui 'kebetulan sedang
pergi. Orang rumahnya bilang, baru pulang sekitar
tengah malam ini. Jadi. kuputuskan pulang saja,
dan menemui dia lagi besok pagi-pagi benar."
'Siapa orang itu, Kakek?"
"Namanya Santika. Penduduk Cikuda. Sebenarnya. dia ltu orangnya baik budi. Banyak menolong orang yang membutuhkan bantuannya.
Apakah itu untuk menyembuhkan penyakit, untuK
mendapatkan jodoh. Tak kurang pula yang hanya
"Hanya apa. Kakek?"
'Aku agak enggan meminta bantuannya."
"Lho !" "Nanti dulu, Kakek!" potong Januar. Bernafsu.
"Apa salahnya kita minta bantuannya" Bukankah
Hadist Rasulullah juga mengatakan: "Tuntutlah
ilmu, walau ke negeri Cina sekalipun!"
'Tetapi !' "Kita berhadapan dengan kekuatan gaib dan
jahat, Kakek. Kita punya keris, benar. Tapi Kakek
sendiri yang bilang, keris ini cuma sebuah benda
mati belaka. Pada akhirnya, kita hanya dapat
memohon pertolongan dari Tuhan. Mudah-mudahan aku ini termasuk golongan yang beriman
dan dikasihi Tuhan. Namun bagaimanapun, aku
tetaplah seorang manusia biasa. Dengan segala
kelemahannya. Jadi, terus-terang saja Menurut
apa yang kualami akhir-akhir ini, ditambah cerita
Kakek barusan... aku belum yakin apakah aku
cukup kuat menghadapi marabahaya dl depanku.
Aku yakin akan kebesaran Tuhan. Kakek. Tetapi
adalah tidak mudah untuk benar-benar merasa
cukup yakin akan kemampuan diri sendiri. '
maksudku. menghadapi kekuatan jahat yang mengancam lsmialy. Mengancam kita pula !'
Kakek Amsar tersenyum. "Kau seorang jujur, Cucu." ujarnya, tulus.
'Coba kalau Amsar macam kau..."
"Jangan menyepelekan cucuku !' timpal nenek
di sebelahnya. tak senang. 'la anak baik! Dan...."
'Sebentar !' cepat-cepat Januar menengahi.
"Kakek tadi belum mengemukakan pendapat. Bersediakah Kakek kita datangi bersama-sama orang
bernama Santika itu?"
"Mengapa pula tidak" Biar tadi kubilang enggan. bukankah tadi kukatakan aku teiah mendatangi rumahnya" Enggan ya enggan. Aku dapat
menyimpannya... untuk sementara. Karena seorang cucuku!"
"Dua, Kakek?" desah Januar, terbodoh. "Tetapi cuma Mia seorang yang..."
'Ooo, begitu. Jadi kau tak bersedia kuangkat
sebagai cucu, ya?" Januar pun mati kutu dibuatnya!
EMPAT BELAS SAMBIL memikirkan keganjilan yang dilihatnya
pada anjing hitam berbintik-bintik putih itu, Dumadi
meneruskan perjalanan mendaki jalan setapak ke
rumahnya. Semakin jauh ia berjalan, semakin
jarang rumah-rumah di sekitarnya. Setelah harta
kekayaannya ludes, ia masih beruntung punya
sebidang kecil tanah di kaki bukit. jauh terpencil
dari para tetangga. Di situlah ia beberapa waktu
lalu membangun sebuah gubuk sederhana untuk
tempat bernaung anak isterinya. Untuk keperluan
sehari-hari ia juga masih punya sebidang kebun
buah-buahan. kebun kopi. ketela yang diseling
dengan jagung. Ismiaty yang semangat belajarnya
tetap tidak tergoyahkan. beruntung pula dibawa
dan disekolahkan seorang kenalan baik Dumadi kekota dan disana ismiati ketemu jodoh. Januar.."
"Eh" sentak Dumadi pada diri sendiri. "Ada
apa dengan diriku ini" Tadi sedang memikirkan
Januar. muncul anjing itu. Sekarang. sedang memikirkan sang anjing. muncul pula bayangan Januar. Kalau saja Ismiaty tahu, pasti aku habis
dicakamya. Dianggap menghina..."
Dumadi tersenyum kecut Tiba dirumah dumadi pas lihat istrinya baru keluar dari dalam kamar tidur puteri mereka.Wajah
perempuan itu tampak pucat. Kepulangan suaminya disambut Saniah hanya dengan pandangan
getir. Kemudian perempuan itu terus saja berlalu
ke dapur dengan langkah-langkah lesu.
Perasaan kuatir seketika melanda Dumadi.
Ada apa ini" Ternyata persoalan berat yang harus dihadapi
Dumadi bukan cara bagaimana ia harus bersikap
wajar di depan Saniah. Persoalan justru muncul
dari puteri mereka. lsmiaty terbaring di tempat
tidurnya. Berwajah lebih pucat dari Saniah. Kelopak mata lsmiaty membengkak. pertanda ia
habis menangis. Mungkin sepanjang hari!
Bergegas Dumadi mendekati tempat tidur.
Rambut puterinya diusap dengan penuh kasih
sayang. 'Ada apa. Nak?" pertanyaan yang mengganjal tadi, segera dilontarkan Dumadi.
Pundak gadis itu lantas terguncang.
Ia sesenggukan. Berkata terputus-putus.
"Aku... kukira aku tak sanggup lagi... Ayah!"
'Hei. Apa yang kau bicarakan ini, lsmiaty"
Dumadi bertambah cemas. "Kita sudah melangkah
terlalu jauh. Sudah kepalang basah untuk mundur
sekarang. Lalu. apa yang membuat engkau mendadak berubah pikiran"
"Tidak ada yang berubah, Ayah," tangis lsmiaty. "Aku hanya tak sanggup... menghadapinya." ~
'Menghadapi apa" Janganlah membuat Ayah
kebingungan. Nak." bujuk Dumadi seraya duduk
di pinggir tempat tidur. Lengan-lengan lsmiaty
yang dingin bergemetaran. ia urut dengan lembut.
'Katakanlah. Barangkali. Ayah dapat membantu..."
"Justru karena menuruti kemauan Ayah. aku
jadi begini. Jadi serba salah. Kalau kuturuti kata
hati, maulah aku sekarang pergi mencari dia dan
meminta maaf atas perlakuanku yang kasar padanya. Tetapi kalau kuturuti akal sehat... Auh, Ayah'
lsmiaty merahup tangan ayahnya. Memegangnya
kuat-kuat dengan pipi dibasahi air mata. "Justru
itulah yang tak sanggup kuhadapi Ayah. Aku takut
mati, benar. Tetapi aku lebih takut lagi kehilangan
Januar !' Disebutnya nama itu. membuat Dumadi tergetar.
Lengannya terasa mengejang tiba-tiba. Kaku.
Menyakitkan. "Hem," Dumadi menggeram, antara sadar dan
tidak. "Dia jadi juga datang, eh?"
'Benar. Ayah." "Pendampingnya "
'Kakek Amsar sendiri!"
"Dia"' Dumadi terkejut. "Kok bisa dia?"
'Ayah barangkali lupa. Bang Nuar satu tempat
kost dengan Amsar. Maka. dengan sendirinya..."
'Hem. Aku rnengerti !' geram Dumadi lagi.
"Orangtua usil itu. Dari dulu selalu mau ikut campur
urusan orang. Apa saja yang dia tanyakan padamu, Nak?"
"Tak sepatah pun. Ia ngobrol dengan ibu. Aku
dengan bang Nuar...."
"Kau berhasil mengusimya, bukan?"
lsmiaty sesenggukan lagi. "Aku bahkan telah
melukai hatinya. Aduh, Ayah. itulah yang aku tak
sanggup memikirkannya sepanjang hari ini Aku
menyesal... sangat menyesali perbuatanku! Kalau
tadi malam kupikir panjang-panjang... tak al- ar' .."
'Sudahlah, Nak." Dumadi menghibur. "yang
penting, dia pergi."
'Dengan hati terluka. Ayah."
"Sama saja!" "Buat Ayah. memang sama saja. Tetapi buat
aku. Ayah..., Oh. Justru aku semakin memikirkan
dia. Kalau toh aku harus kehilangan bang Nuar.
mengapa harus secara demikian hina" Tolonglah,
Ayah.." Berikan aku sekali lagi kesempatan bertemu dia."
'Uh. Buat apa" "Minta maaf "lsmiaty...." 'Tolonglah, Ayah." lsmiaty menarik tangan
ayahnya ke mulutnya. Menciuminya bertubi-lubi.
"kalau permlntaanku ini tak Ayah kabulkan... upacara gaib menakutkan itu... akan sia-sia belaka.
Karena sukar bagiku melupakan wajah bang Nuar
yang begitu terhina, ketika tadi ia kutinggalkan di
depan....' Setelah termenung-menung cukup lama. Dumadi bergumam: "Kau tidurlah. Biar Ayah berpikir
dulu. Besok pagi, barangkali- Ayah sudah bisa
memutuskan....' 'Dan. Ayah," desak Ismiaty dengan air mata
berlinang. "Keputusannya tidak bisa lain. Aku
harus bertemu bang Nuar. Walau hanya sekejap!"
Dumadi ingin marah. Tetapi ditahannya. la selimutl anaknya baik-baik. Dahi. pipi, matanya dicium. Sementara jiwa
Dumadi menjerit: 'Semuanya bisa berantakan.
Anakku! Kau akan kehilangan nyawa... Tetapi
kalau sebelum mati kau masih sempat mencicipi
sepercik kebahagiaan..., Tidak, Nak. Tidak. Kau
tidak boleh mati. Tidak boleh mati seperti cara
adik-adikmu menemui ajalnya. Aku sudah tak
sanggup..." Terharu biru perasaan Dumadi ketika ia berlalu
dari kamar puterinya. Apa yang mesti ia perbuat
sekarang" Dumadi terkejut ketika Saniah tiba-tiba
sudah ada di dekatnya. Perempuan itu meletakkan
segelas kopi kental panas di meja. Lalu memandangi suaminya, dengan sorot mata getir. itu
bukan pandangan makhluk jahat dan terkutuk.
Yang dilihat Dumadi, adalah pandangan mata
penuh iba kasihan dari seorang ibu. Terlebih-lebih
lagi kalimat yang kemudian meluncur dari bibir
Saniah yang gemetar: 'Sehari ini, Kang Madi. Anak
kita jatuh pingsan tiga kali..."
Dumadi terhenyak. Semakin hancur... Januar tidak mengerti bagaimana ia bisa
sampai dl tempat sunyi terpencil itu. rerumputan
disekelilingnya tidak berwarna hijau sebagai
lazimnya. melainkan hitam. Bebungaan lia r bertebaran di sana sini, daunnya merah atau putih,
sedang kelopak bunganya justru hijau. la terus
berjalan dengan bingung. Langkahnya tersauk
saruk. Tanpa tujuan. Dan tahu-tahu saja sebuah
telaga sudah terhampar di depannya. Air telaga
itu keruh, coklat kekuning-kuningan. Ada sebuah
pulau kecil di tengah telaga. Sebuah pohon besar


Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti beringin tumbuh di atasnya. Dedaunannya
rimbun. dan,... Itu bukan daun. Yang terlihat oleh
Januar adalah rimbunan buah-buahan, tanpa
daun sama sekali. Selagi lagi Januar tercengang, ia dengar suara
berkecipaknya air. Januar berpaling. Mencari-cari dengan matanya yang silau oleh terkaman matahari. Matahari
itu merah semerah darah, berkilau sangat tajam,
sehingga pakaian dm kulit tubuh Januar pun
berubah warna semerah darah. Setelah terpana
sebentar, Januar akhirnya dapat melihat darimana
datangnya suara keclpak air itu. Ternyata seorang
gadis sedang berteduh di bawah pohon yang
tumbuh di tengah telaga. Sebelah tangan gadis
itu menyiuk air, lalu diminum... sebelah tangannya
yang lain terus memetik buah-buahan yang tergantung rendah di atas kepalanya. Buah sebesar
apel tetapi warnanya biru itu. dikunyah si gadis
sambil ia terus juga meminum air telaga yang
begitu kotor dan keruh. "Heei...!" Januar berseru. menyapa.
Gadis itu menoleh. Astaga, dia ternyata lsmlaty!
Belum sempat Januar menyebutkan nama
kekasihnya itu, mendadak air telaga bergolak.
Gadis itu terperanjat dan menarik kakinya dari
dalam air. la bergerak mundur. merapat ke batang
pohon. Lalu dari telaga, muncullah sepasang
lengan. Lengan perempuan, namun tak tampak
anggota tubuhnya. Tangan-tangan ltu terjulur kedepan, berusaha menggapai lsmiaty. Karena gadis itu terus saja mundur. sepasang lengan yang
muncul dari kedalaman telaga terus mengejar...
mulur. semakin panjang. Saking ngerinya, lsmialy
tak kuasa bergerak. la bertahan dengan punggung rapat ke batang pohon besar di belakangnya. Lalu, mendadak gadis itu memekik-mekik
histeri. Entah bagaimana, dari' batang pohon menyembul sepasang lengan pula. Lengan lelaki,
kekar berotot, mencengkeram tubuh lsmiaty dan
berusaha menariknya naik ke atas pohon. Tetapi
kaki lsmiaty tertahan oleh cengkeraman lengan
halus memanjang yang menyerbu dari dalam
telaga. Januar terkesima menyaksikan bagaimana
lsmiaty berjuang melawan kekuatan dua pasang
lengan yang saling tarik menarik itu. Yang satu
berusaha mengangkat si gadis, yang lain berusaha membetot. Hlsteris, lsmiaty menjerit-meminta tolong:
"Bang Nuar...- Bang Nuar! Jangan biarkan
mereka... membunuhku.... Tolonglah, Bang
Nuar...!" Tanpa berpikir panjang lagi, Januar terjun ke
tengah telaga. la berenang. Berenang dengan sia-sia. karena
tubuhnya mendadak terasa sangat berat, berat
luar biasa. Perlahan-lahan tubuhnya terseret kedasar telaga. Januar megap-megap kehabisan
tenaga. Natasnya tinggal satu-satu. dan,...
'Heeel, bangun! Bangun!" seru seseorang
seraya mengguncang-guncang tubuh Januar
yang seketika terlonjak bangun. Pemuda itu duduk
di tempat tidur dengan nafas tersengal-sengal,
serta wajah bersimbah peluh dingin.
"Mimpi apa kau, Cucu?" tanya orang itu ingin
tahu. 'Mimpi !' Januar menghela nafas panjang. Berulang-ulang, sampai pernafasannya perlahan-lahan normal kembali. 'Syukur Alhamdulillah. aku
cuma bermimpi kiranya..."
Kakek Amsar. yang malam ini bersikeras tidur
satu kamar dengan Januar, tertawa kecil. 'Kau
megap-megap barusan. Habis berenang. ya?"
"Aku melihat dia, Kakek!"
"Dia siapa?" 'Mia....' 'Oh. Lantas?" _
'Dia dikeroyok dua pasang lengan. Lengan
lengan aneh dan mengerikan. Yang sepasang.
lengan perempuan. Sepasang lagi, lengan laki
laki. Tetapi... kalau melihat wujudnya, kukira dua
pasang lengan itu pastilah jelmaan tangan-tangan
setan..." "Lupakanlah, Cucu. Kau cuma..."
"ndak, Kakek. Aku tak bisa. Begitu jelas tergambar semuanya. Begitu nyata kudengar teriakan Mia minta tolong. la menyebut namaku. Memanggil-manggil aku. Memohon agar aku tidak
membiarkan ia dibunuh mereka..."
"Mereka siapa. Cucu?"
"Tangan-tangan setan itu?"
"Tangan lelaki. Tangan perempuan..." kakek
Amsar tercenung. 'Bagaimana kejadiannya,
Cucu" Coba kita simak. Siapa tahu. punya makna.
Bukan sekedar bunga-bunga tidur belaka..."
Selesai Januar menggambarkan jalan kejadian dalam mimpinya, kakek Amsar bergumam
resah: 'Mia minum dari telaga itu. Makan dari
pohon. Apakah itu maksudnya adalah..." kakek
Amsar terdiam. wajahnya semakin resah. Suaranya tegang waktu ia meneruskan: "Seorang anak
menyusu pada ibunya. Dan diberi makan oleh
ayahnya. Ya Allah" kakek Arnsar terkejut sendiri.
"Janganlah itu maknanya. Jangan, ya Allah!"
Januar ikut tegang. "Maksud Kakek..."
"Tidak. Aku tak percaya itu, Cucu. Lagipula,
rasanya amat musykil. Mereka begitu keras berjuang. Jungkir balik membela anak-anak mereka
selama ini. Sampai mereka habis-habisan! Tidak.
Mereka tidak mungkin berniat membunuh satu-satunya puteri mereka yang tersisa. Aku lebihsependapat, apabila,... Hee, Cucu. Mau ke mana
kau?" Januar sudah meloncat turun dari' tempat
tidur. mengenakan sepatunya buru-buru. 'Aku
akan ke sana." jawabnya. gemetar.
'Kerumah 'Mia Aku harus melindungi dia dari kebuasan
tangan~tangan iahat yang mengerikan itu!" Januar
menyambar keris yang ia selipkan dl bawah bantalnya, dan disimpan di balik tali pinggang celana.
la sambar pula jaketnya yang tergantung di dinding. Sambil mengenakannya dengan bergegas,
la mendengus: 'Aku pergi, Kakek."
Dl luar rumah, Januar langsung disergap kegelapan malam berhawa dingin menggigit. Sesaat
matanya liar mengawasi suasana sunyi menyentak dl sekitar. Kuatir. kalau-kalau dari balik kegelapan itu muncul lagi makhluk-makhluk aneh yang
berusaha menyerangnya. Mengikutkan naluri, telapak tangan ia selipkan ke balik jaket. Gagang
keris ia genggam erat. Januar baru saja akan melangkah, waktu
terdengar suara di belakangnya:
"Kita memerlukan lnl...."
Kakek Amsar sudah berdiri di sampingnya,
dengan sebuah lampu senter di tangan yang satu.
dan sebatang golok di tangan yang lain. Orangtua
itu tersenyum melihat nada protes dl mata Januar.
Katanya datar: "Tak usah repot-repot mengatakan
kau tak ingin menyusahkan aku. Kakek mana yang
rela membiarkan cucunya menghadapi bahaya
sendirian" Hayo. Jangan mematung saja. Kita
serbu musuh!" 'Musuh. Kakek?" desah Januar sambil berjalan menerobos kegelapan malam di bawah
naungan rembulan yang bersinar adem, temaram.
'Aku tidak berkata begitu."
' 'Lalu. Mengapa kau nekad juga?"
"Aku... aku cuma ingin melindungi Mia."
'Dari apa. Cucu" "Entahlah" Orangtuanya?" "Aku tidak ingin menuduh....'
:Tetapi dugaanmu ke sana, bukan?"
itu cuma mimpi, Kakek. Mimpi buruk..." Januar mengadu gelisah. la terlalu emoslonil menangga pi mimpinya tadi. Langsung saja bertindak.
Arwah Candi Miring 2 Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Kapak Setan Kubur 1
^