Pencarian

Upacara Maut 1

Raja Petir 06 Upacara Maut Bagian 1


UPACARA MAUT oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir dalam episode:
Upacara Maut 128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Udara siang ini terasa begitu panas. Saat itu
matahari tepat berada di atas kepala. Cahayanya yang terik menyengat seluruh
makhluk yang berada di ba-wahnya.
Namun di tengah panas yang menyengat itu,
tampak dua sosok tubuh berkelebat cepat menerobos
padang rumput yang cukup luas. Sosok-sosok itu sea-
kan tidak mempedulikan panas matahari. Mereka pun
berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. "Kau kelihatan bernafsu sekali, Kak," ujar gadis cantik berpakaian hijau seraya
melambatkan larinya.
Gadis cantik berpakaian ungu yang bernama
Laras Nini pun melambatkan larinya, dan menoleh pa-
da gadis di sebelahnya.
"Aku ingin tugas ini cepat selesai, Dewi," jawab Laras Nini, kembali menaikkan
tempo larinya. "Apa kau pikir semudah itu?" tanya Laras Dewi, membuat lari Laras Nini terhenti.
Gadis cantik berpakaian ungu itu menatap le-
kat wajah Laras Dewi.
"Kau tak yakin dengan kemampuan kita, De-
wi?" selidik Laras Nini dengan raut muka sedikit kesal.
"Tentu saja yakin," jawab Laras Dewi dengan senyum sedikit terkembang, gadis itu
maklum dengan perangai kakaknya yang cepat naik pitam.
"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Laras Nini dengan nada tinggi.
"Sekadar mengingatkan, agar jangan meremeh-
kan kemampuan orang lain, "jawab Laras Dewi kembali menggenjot larinya.
"Aku tidak meremehkan pimpinan Perguruan
Seribu Bunga, namun keyakinanku cukup beralasan
dapat meruntuhkan Nyai Dinda Dahlia. Bukankah se-
lama ini kita tak pernah dikalahkan oleh tokoh sakti sekalipun?" sangkal Laras
Nini. "Aku juga berharap demikian. Agar Ki Kustara
lebih yakin bahwa kita mampu berdiri sejajar dengan Pangeran Kala Hitam, Siluman
Hutan Dadak, bahkan
dirinya sendiri."
Laras Nini tak menanggapi ucapan Laras Dewi
yang rupanya cukup berkenan di hati. Gadis cantik
berpakaian ungu itu terus mempercepat lari. Mereka
yang berjuluk Dewi Racun Kembar melesat cepat tanpa menghiraukan sengatan sinar
matahari yang cukup terik
Sepeminum teh lamanya Dewi Racun Kembar
mengerahkan ilmu lari cepat. Mereka baru berhenti di depan sebuah bangunan yang
cukup megah. Pada bagian muka terpampang sebuah papan nama Perguruan
Seribu Bunga. "Nampaknya Nyai Dinda Dahlia tidak menjaga
ketat wilayah perguruannya, Kak," ujar Laras Dewi melihat pintu gerbang hanya
dijaga dua perempuan ber-
pakaian putih, keduanya nampak sedang membicara-
kan sesuatu. "Kelihatannya begitu, Dewi," jawab Laras Nini.
"Nampaknya mereka memandang sebelah mala
surat permintaan yang ditandatangani lima tokoh sak-ti. Atau... mungkin ini
sebuah perangkap," duga Laras Dewi. Memang sebelum keduanya mendatangi Perguruan
Seribu Bunga. Mereka telah lebih dulu mengirim surat permintaan yang
ditandatangani Setan Rimba
Bangkai, Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak,
Laras Nini juga Laras Dewi yang sesungguhnya berju-
luk Dewi Racun Kembar.
"Mungkin dugaanmu benar, tapi kita tak perlu
khawatir, seberapa besar kekuatan mereka dapat me-
nandingi kita," timpal Laras Nini begitu yakin.
Kedua gadis yang berjuluk Dewi Racun Kembar
lalu melangkah mendekati pintu gerbang, dan berhenti di depannya.
"Antarkan kami menghadap pimpinan kalian,"
ujar Laras Nini mantap.
Sinar matanya menatap tajam dua perempuan
seperempat abad, yang bertugas menjaga pintu ger-
bang Perguruan Seribu Bunga.
"Siapa Nisanak berdua, dan ada keperluan apa
ingin bertemu pimpinan kami?" tanya penjaga berwajah bulat. Tatapan matanya
menunjukkan kecurigaan
pada dua gadis yang berdiri di hadapannya.
Dewi Racun Kembar tersenyum mendengar
ucapan yang kurang bersahabat Dari senyum yang
nampak samar-samar, kemudian berkembang menjadi
tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga da-
lam cukup tinggi.
"Ha ha ha...!"
Kedua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu
Bunga tentu saja terkejut menyaksikan tingkah dua
gadis yang berpakaian ungu dan hijau. Dua penjaga
itu seketika merasakan telinganya berdengung hebat, kaki mereka pun bergetar
keras. Namun kejadian itu
tidak berlangsung lama karena Dewi Racun Kembar
segera menghentikan tawa.
"Terlalu picik pengetahuan kalian, hingga tak
mengenal siapa kami!" ucap Laras Nini keras.
"Ya. Dengar baik-baik dan catat di kepala ka-
lian, kami adalah dua gadis yang berjuluk Dewi Racun
Kembar!" tegas Laras Dewi.
Dua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu
Bunga agaknya memang tidak mengenal siapa Dewi
Racun Kembar. Keduanya tidak kelihatan terkejut sedikit pun ketika julukan yang
cukup tersohor itu didengarnya.
"Siapa pun kalian jika datang ke perguruan ini tidak menunjukkan tata krama yang
baik, kami akan
menolaknya, bahkan mengusirnya!" ucap penjaga yang lain tegas. Sikapnya nampak
sedikit lebih tenang.
Laras Nini tersentak mendengar ucapan yang
begitu meremehkan. Seketika itu juga, gadis itu me-
layangkan tamparan tangan kanannya ke muka penja-
ga Perguruan Seribu Bunga.
"Mulutmu tak pantas bicara seperti itu, Nisa-
nak!" Plak! Plak!
Begitu cepatnya tamparan tangan Laras Nini,
hingga gadis penjaga pintu gerbang itu tak mampu
menghindar. Dan gadis penjaga pintu gerbang yang
berwajah pucat itu, seketika ambruk ke tanah dengan kepala remuk terkena
tamparan keras Laras Nini
Kejadian itu sangat mengejutkan penjaga pintu
gerbang yang berwajah bulat, perempuan seperempat
abad itu segera mencabut senjata.
Srat! "Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa
temanku itu! Hiat!"
Dengan mengandalkan pedangnya, penjaga
Perguruan Seribu Bunga merangsek maju. Tebasan
senjatanya mengarah ke bagian tubuh Laras Nini yang mematikan, dilancarkan
dengan pengerahan tenaga
dalam penuh. Laras Nini menyaksikan kekalapan penjaga
Perguruan Seribu Bunga tetap berdiri tenang. Sikap-
nya seperti tak mau menghindari sambaran senjata
lawan. Akan tetapi, ketika beberapa rambut lagi senjata penjaga Perguruan Seribu
Bunga menggores kulit-
nya, Laras Nini bergerak cepat memiringkan tubuh.
Sementara tangan kanannya dengan jari terbuka be-
kerja cepat, mencekal pergelangan tangan gadis penja-ga.
"Hih!"
Krack! "Aaa...."
Penjaga Perguruan Seribu Bunga terpekik keti-
ka tangannya yang dicekal kuat diputar keras, hingga sambungan tangannya
terlepas. Dan Laras Nini tidak
berhenti sampai di situ, tanpa mempedulikan lenguh
kesakitan lawan segera digedornya punggung gadis itu.
Blak! "Aaa...!"
Lengking keras menyayat terdengar dari mulut
gadis berpakaian putih, seiring dengan itu tubuhnya terpental dan ambruk di
tanah tanpa nyawa.
Seringai dingin seketika nampak di wajah Laras
Nini, apa lagi ketika dari dalam bangunan bermuncu-
lan beberapa murid perguruan itu.
"Mana pimpinan kalian" Kenapa bersembunyi
seperti tikus comberan!" hardik Laras Nini pada murid-murid perguruan yang
terperangah menyaksikan dua
mayat temannya tergeletak mengerikan.
"Dewi Racun Kembar! Mulutmu terlalu busuk
dan tindakanmu tak ubahnya seperti iblis! Kenapa kalian bunuh saudaraku?" bentak
murid utama Perguruan Seribu Bunga, wajahnya merah menahan marah.
"Aku tak membunuhnya, Nisanak! Mereka yang
meminta ku untuk segera mengirim nyawanya ke akhi-
rat!" jawab Laras Nini tenang, di wajahnya masih nampak seringai dingin.
"Kurang ajar!"
"Hati-hati, Kak Warti," ucap murid utama Perguruan Seribu Bunga yang lain.
Wajahnya nampak tegang memandang dua ga-
dis muda di hadapannya. Dewi Racun Kembar ikut
menandatangani surat permintaan yang ditujukan pa-
da ketua Perguruan Seribu Bunga.
"Tentu saja, Adik Nila. Mereka sebenarnya bu-
kan tandingan kita, tapi kita harus mencegah keinginan gilanya," jawab gadis
yang dipanggil Warti.
"Cepat! Suruh keluar pimpinan kalian! Jangan
tunggu kesabaranku habis!" bentak Laras Dewi keras.
"Guruku tak ada di tempat!" balas Nila tak kalah keras.
"Hmmm.... Ternyata Nyai Dinda Dahlia seorang
pengecut, Kakak Laras," ujar Laras Dewi pada Laras Nini. "Tidak ada istilah
pengecut bagi guru dan murid-murid Perguruan Seribu Bunga, Dewi Racun Kem-
bar!" bentak Warti sengit.
"Lalu kenapa guru kalian tak mau keluar?"
"Telingamu ternyata sudah tuli! Sudah kukata-
kan, guruku tak ada di tempat!" ejek Nila.
Merah padam wajah Laras Dewi mendengar
ucapan Nila. Langkahnya hampir terayun kalau saja
Laras Nini tidak segera menahan.
"Sabar, Dewi," cegah Laras Nini merentangkan tangan. Laras Dewi hanya bisa
menggertakkan gigi menahan kegeraman.
"Nisanak! Kalau guru kalian tak juga berkenan
keluar karena gentar menghadapi kami, kami tak akan
memaksa. Tapi tolong bawa ke hadapanku putri tung-
galnya. Kami membutuhkannya sebagai persembahan
upacara maut!"
"Dewi Racun Kembar! Ketahuilah, surat kalian
yang disampaikan secara keji itu sedikit pun belum
tersentuh tangan guru kami. Jadi kami tak sudi me-
layani permintaan sintingmu!" tukas Warti tidak mau kalah. Dewi Racun Kembar
sangat marah mendengar
ucapan itu. Tanpa pikir panjang keduanya langsung
menyerang dua murid utama Perguruan Seribu Bunga.
"Heaaa!"
Uts! "Heaaa!"
Serangan gencar dilakukan Dewi Racun Kem-
bar ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Kedua-
nya belum mengeluarkan jurus-jurus andalan hingga
murid-murid perguruan yang dipimpin Nyai Dinda
Dahlia masih bisa menghindari serangan-serangannya.
Memasuki jurus ke sebelas Dewi Racun Kembar
tak mau membuang tenaga percuma, keduanya segera
meningkatkan tempo serangan.
Suasana di halaman Perguruan Seribu Bunga
jadi lebih riuh. Denting senjata dan teriakan kegeraman tak henti-henti
terdengar. Bunga api kerap me-
mercik karena beradunya dua senjata dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi.
Trang! "Aaakh!"
Pekik kesakitan Nila terdengar seiring dengan
tubuhnya yang terjajar sejauh satu tombak, tangan
kanannya yang digunakan memapaki tebasan senjata
Laras Dewi bergetar hebat. Nila merasakan kelumpu-
han pada tangan kanannya, itu menandakan tenaga
dalam Laras Dewi jauh berada di atasnya.
"Kau harus mampus sekarang juga! Hiaaa...!"
Laras Dewi kembali berkelebat mengejar tubuh
Nila yang tak jejak berdiri. Kelebatan pedangnya yang cepat dan terarah
mengeluarkan bunyi gaung, membuat hati Nila tercekat sesaat
Wuuut! "Ih!"
Nila melempar tubuhnya ke kanan ketika pe-
dang Laras Dewi menghujam lambung. Seraya bergu-
lingan di tanah berumput halus, mata gadis itu tak lepas memperhatikan serangan-
serangan Laras Dewi
yang cepat bagai kilat. Dan ketika Nila merasakan tak ada lagi ruang gerak untuk
menghindar, dengan sangat terpaksa tangan kirinya disilangkan untuk mema-
paki tusukan senjata lawan.
Trang! "Aaakh!"
Kembali Nila terpekik ketika benturan keras
terjadi. Tangan kirinya merasakan kelumpuhan seperti yang kanan.
"Sekarang kau tidak bisa menghindar, Nisanak!
Jemputlah kematianmu!"


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laras Dewi kembali mengangkat pedang tinggi-
tinggi. Dengan wajah yang menyiratkan kebengisan,
matanya menatap tajam sekujur tubuh Nila yang ter-
pojok tak berdaya.
Diiringi lengkingan nyaring, tubuh sintal Laras
Dewi berkelebat dengan senjata terhunus. Sementara
Nila murid utama Perguruan Seribu Bunga sudah pa-
srah menghadapi ajal yang sebentar lagi datang me-
renggut, kedua kelopak matanya terpejam.
Siiing! Siiing! Siiing!
Nila kembali membuka kelopak mata ketika su-
ara berdesing itu tertangkap pendengarannya. Sedang Laras Dewi yang hampir
mendekati tubuh korbannya
terpaksa menolehkan kepala ketika mendengar desing
senjata yang berasal dari belakang tubuh.
"Huh!"
Dengan kegeraman yang luar biasa, gadis itu
segera mengurungkan niatnya melenyapkan nyawa Ni-
la. Pedangnya diputar cepat memapaki kedatangan tiga batang pedang yang meluncur
deras ke arah tubuhnya. Wuuut..!
Trang! Trang! Trang!
Tiga batang pedang yang dilempar tiga murid
Perguruan Seribu Bunga berpentalan ke berbagai arah.
Laras Dewi tersenyum dingin, menatap tiga murid Perguruan Seribu Bunga yang kini
tanpa senjata. Dengan kegeraman yang memuncak, tubuh La-
ras Dewi melesat ke arah tiga sosok tubuh yang masih terpaku melihat gerakannya
yang begitu cepat
"Hiaaa...!"
Bret! Bret! Bret!
"Aaa...!"
Tiga lengkingan menyayat terdengar susul-
menyusul membumbung ke langit, disertai ambruknya
tiga sosok tubuh murid Perguruan Seribu Bunga ke
tanah. Begitu menyedihkan keadaan mereka, luka di
bagian perut menganga lebar dan usus terburai keluar.
"Biadab!" maki Nila yang sudah mampu men-
guasai diri. Makian Nila terdengar Laras Dewi sehingga
membuat gadis itu berniat kembali menghilangkan
nyawa Nila. Untuk melakukannya Laras Dewi harus
lebih dulu menyingkirkan empat gadis yang berdiri di kiri kanan Nila dengan
senjata terhunus.
"Kali ini kau tak akan bisa lolos, Nisanak!" bentak Laras Dewi.
Tubuhnya kembali bergerak cepat, senjatanya
diputar-putar hingga menimbulkan bunyi dengung
yang memekakkan telinga.
Nguuung...! "Hiaaa!"
Trang! Trang! Bunyi denting senjata diiringi pekik kesakitan
kembali terdengar. Dua tubuh murid Perguruan Seribu Bunga terlihat limbung ke
belakang, mereka merasakan getaran hebat pada tangannya, seperti terkena
sengatan ribuan lebah.
Laras Dewi yang memang ingin membinasakan
seluruh penghuni Perguruan Seribu Bunga, segera
mengejar dua murid perguruan yang tengah merasa-
kan nyeri. "Hiaaa!"
Track! Track! Begitu derasnya hantaman pedang Laras Dewi
ke kepala mereka, hingga dua gadis berpakaian putih itu menggelepar di tanah
dengan kepala terbelah dua.
Darah bercampur otak terlihat bermuncratan memba-
sahi pakaian dan rerumputan halus.
Sementara pertarungan sengit pun terjadi anta-
ra Warti yang dibantu murid-murid Perguruan Seribu
Bunga yang lain, menghadapi Laras Nini yang sudah
menghunus senjata.
Korban banyak berjatuhan dari pihak murid-
murid Perguruan Seribu Bunga, yang rata-rata memi-
liki kemampuan ilmu bela diri di bawah Laras Nini.
Wajar jika setiap gerakan yang dilakukan gadis berjuluk Dewi Racun Kembar,
disertai pekik kesakitan dan ambruknya tubuh dengan bersimbah darah dari luka
tebasan senjata gadis itu.
Semakin lama pertarungan berlangsung, sema-
kin banyak korban berjatuhan. Warti yang dipercaya
menjaga Perguruan Seribu Bunga selama kepergian
Nyai Dinda Dahlia... memenuhi undangan sahabatnya
yang merayakan hari jadi kelima perguruannya, mere-
ka ngeri atas kebengisan Dewi Racun Kembar. Kalau
pertarungan ini terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin seluruh penghuni
perguruan ini binasa, tidak ter-kecuali dirinya.
Namun untuk menyerahkan putri tunggal Nyai
Dinda Dahlia, juga suatu hal yang mustahil. Maka
dengan berat hati, Warti mengambil keputusan tetap
melanjutkan pertempuran yang semakin berat sebelah.
Puluhan murid Perguruan Seribu Bunga telah
bergeletakan tanpa nyawa, sementara Laras Nini dan
Laras Dewi semakin mempertajam serangan-
serangannya. "Hiaaa! Hiaaa!"
Bret! "Aaa...!"
Korban kembali jatuh di pihak murid-murid
Perguruan Seribu Bunga. Nila dan Warti sekilas saling berpandangan, mereka
merasakan saat-saat keruntu-han perguruan sudah semakin dekat.
"Dewi Racun Kembar! Mengapa kalian bernafsu
sekali memusnahkan penghuni perguruan ini" Sedang
setahuku, kita tak pernah punya urusan!"
Ucapan yang keluar dari mulut Warti sebenar-
nya lebih mirip hardikan, namun hanya ditanggapi
dengan senyum dingin oleh Dewi Racun Kembar.
"Kedatanganku ke perguruan ini bukan untuk
memusnahkan seluruh penghuninya, Nisanak! Tetapi
hanya untuk seorang putri tunggal pimpinan kalian,
yang akan ku persembahkan dalam upacara maut
nanti!" bantah Laras Nini dengan sorot mata tajam.
"Keinginanmu itu sama saja dengan menantang
perguruan kami Dewi Racun Kembar!" balas Nila geram. "Itulah kesalahan kalian.
Kalau saja kalian bersedia menyerahkan gadis itu pada kami, niscaya banjir darah
seperti sekarang ini tidak akan terjadi," sangkal Laras Dewi dengan sorot mata
tajam menusuk. "Dan kehancuran Perguruan Seribu Bunga bukan keinginan
Dewi Racun Kembar, tapi keinginan kalian sendiri!"
"Bangsat licik!" hardik Nila dan bergerak menerjang Laras Dewi.
Pertempuran kembali berlanjut, kali ini dalam
tempo lebih cepat dan seru. Dua murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga tak lagi memikirkan keselamatan
diri. Dengan senjata terhunus keduanya bergerak ce-
pat. Tebasan dan tusukan pedang mereka terarah ke
bagian-bagian mematikan pada tubuh Dewi Racun
Kembar. Begitu pula yang dilakukan sisa-sisa murid
kelas dua perguruan itu yang jumlahnya jauh menyu-
sut. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi menja-
ga kewibawaan perguruan.
Namun apa yang telah dilakukan murid-murid
Perguruan Seribu Bunga, bukan rintangan yang berar-
ti bagi dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun
Kembar. Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laras Nini dan
Laras Dewi melayani serangan murid-murid Perguruan
Seribu Bunga yang tengah berada pada puncak kege-
ramannya. Sebenarnya keadaan murid-murid Perguruan
Seribu Bunga yang seperti itu, memberikan keuntun-
gan yang tidak sedikit bagi Dewi Racun Kembar. Ter-
bukti dengan gerakan ringan dan sampokan tangan
yang terlihat seadanya, Dewi Racun Kembar mampu
membuat murid-murid Perguruan Seribu Bunga ka-
lang kabut menghindar.
Prak! "Akh!"
Lengking kematian kembali terdengar ketika ge-
rakan tangan Laras Nini menemui sasaran. Seorang
gadis bertubuh agak gempal menggelepar di lantai,
dengan kepala remuk terhajar kepalan tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi.
Untuk sesaat lamanya gadis itu mengerang, lalu erangan itu sirna seiring dengan
nyawanya yang meninggalkan raga.
"Nengsih!"
Nila terpekik melihat kematian gadis yang begi-
tu dekat dengannya. Geram bukan main hati Nila me-
nyaksikan kenyataan yang membentang di hadapan-
nya. Tanpa pikir panjang Nila menerjang Laras Nini, sedang Laras Dewi dibiarkan
bertempur dengan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang lain.
"Iblis Keparat! Mampus kau. Hih!"
"Uts!"
Tebasan senjata Nila yang mengarah ke bagian
lambung Laras Nini hanya membentur tempat kosong,
namun Nila tetap berkeras hati untuk dapat meroboh-
kan lawan. Pedangnya yang semula berada sejengkal di depan lambung lawan,
dihentakkan ke atas dan kemudian diluncurkan dengan keras ke ubun-ubun La-
ras Nini yang tak terlindung.
"Hiyaaa...!"
Wryuuut...! Tersedak perasaan Nila melihat serangannya
berhasil dielakkan Laras Nini hanya dengan sebuah
gerakan yang terlihat begitu sembarangan, bahkan serangan balasan yang tak
terduga sama sekali menjadi pil pahit bagi Nila.
"Ups!"
Nila segera menarik mundur tubuhnya bebera-
pa langkah ke belakang, tetapi Laras Nini tak mem-
biarkan lawannya menghindar. Dengan gerakan cepat,
Laras Nini kembali menggedor tubuh Nila dengan ten-
dangan menyilang ke arah leher.
"Mampus kau!"
Weees! Nila tercekat sesaat menyaksikan tendangan ki-
lat lawan. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar, namun kesempatan untuk
menangkis serangan masih
ada. Tanpa berpikir dua kali, Nila segera mengangkat tangan kirinya menahan laju
tendangan menyilang Laras Nini.
Blakh! "Ukh!"
Tubuh Nila terhuyung enam langkah ke bela-
kang ketika tendangan keras Laras Nini menghantam
pergelangan tangannya. Gadis itu merasa tangannya
seperti remuk. Tak terbayangkan seandainya tendan-
gan itu menghantam lehernya yang jenjang.
Menyaksikan tubuh Nila sempoyongan, keben-
gisan Laras Dewi semakin menjadi-jadi. Dengan pe-
dang terhunus, tubuhnya kembali melesat memburu
lawan yang berada dalam keadaan tidak menguntung-
kan. "Mampus kau!"
"Hih!"
"Brooolll...!"
Pedang Laras Nini ternyata tidak mengecewa-
kan pemiliknya. Ujungnya yang berkilat tertimpa sinar
matahari berhasil merobek dan mengeluarkan isi perut lawan. Mata Nila mendelik
menahan rasa sakit yang
sangat, sementara kedua telapak tangannya diguna-
kan untuk mendekap perut yang ususnya terburai.
Darah segar merembes dari jari-jari tangannya yang
indah. Hanya beberapa saat Nila mampu bertahan, sedikit kemudian tubuhnya
tergeletak kaku. Laras Nini nampak tersenyum puas menyaksikan kematian lawannya.
*** "Kurang ajar! Iblis terkutuk!" maki seseorang dengan lantang.
Pertarungan seketika terhenti saat suara hardi-
kan itu mengumandang, terlebih ketika sosok ramping berpakaian jingga berkelebat
cepat dan mendarat dengan manis.
Kehadiran gadis cantik berpakaian jingga
membuat Warti terkejut bukan main. Tidak disangka
putri gurunya kembali hari ini, meleset dari rencana semula yang baru akan
kembali dua hari lagi.
"Siapa Iblis-Iblis Betina itu, Kak Warti" Apa
maunya mereka mengacau perguruan kita?" tanya gadis cantik berpakaian jingga
seraya meraba hulu pe-
dangnya. "Wulan Sari.... Bukankah rencanamu masih
dua hari lagi tinggal bersama Bibi Nurita?" tanya Warti tanpa menjawab
pertanyaan putri gurunya.
"Perasaanku tak enak, Kak. Dan kenyataan-
nya.... Hei! Iblis keparat! Apa maumu membuat keonaran di tempatku?" tukas gadis
cantik yang dipanggil
Wulan Sari. "Kau pasti putri tunggal Nyai Dinda Dahlia."
Mantap suara yang keluar dari bibir Laras Nini,
lalu gadis itu tersenyum dingin menusuk.
"Apa pedulimu, Iblis! Kau harus menebus den-
gan nyawa untuk kekacauan yang telah kalian laku-
kan!" Marah Wulan Sari. Matanya menatap tajam kedua gadis cantik yang berjuluk
Dewi Racun Kembar.
Srat! "Wulan! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini,
biar aku yang menahan Dewi Racun Kembar keparat
itu!" saran Warti khawatir.
Wulan Sari terkejut mendengar ucapan murid
utama ibunya, matanya menatap Warti tak mengerti.
"Apa maksudmu, Kak?" tanya Wulan Sari pe-
lan. "Aku memerlukanmu, Wulan. Tapi Kak Warti-
mu tidak mengizinkan aku membawamu pergi," selak Laras Nini datar.
"Untuk apa kalian membawaku, aku tidak ken-
al dengan kalian," bantah Wulan Sari keras.
Jari-jari tangannya yang memegang hulu pe-
dang nampak menegang kaku.
"Untuk sebuah upacara maut, Wulan," jawab Laras Dewi sambil mengembangkan
senyum. "Upacara gila! Aku tak sudi ikut dengan kalian!"
"Sebaiknya kau pergi, Wulan. Kepandaian Dewi
Racun Kembar begitu tinggi, kita tak akan mampu


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkannya. Pergilah, biar aku yang menghalan-
gi," perintah Warti.
"Tidak, Kak! Kita harus sama-sama mengusir
iblis betina liar itu dan mereka harus membayar nyawa teman-teman kita," tolak
Wulan Sari sambil melang-
kah. "Jangan Wulan...."
"Hiaaa!"
Bet! Bet! "Hiaaa!"
Wulan Sari tak lagi mendengar teriakan Warti.
Dengan perasaan marah tubuhnya berkelebatan cepat,
pedang di tangannya berdesing-desing mencari sasa-
ran. Wulan Sari langsung memainkan jurus inti Perguruan Seribu Bunga untuk
melumpuhkan lawan.
"Hiaaa! Kau harus mampus, Iblis!"
Trak! "Aaa...!"
Tubuh Wulan Sari terjajar sejauh enam lang-
kah ketika tebasan senjatanya dipapak tangan kosong Laras Nini. Bibir gadis
cantik itu menyeringai menahan sakit, dan merasakan tangannya bergetar hebat
akibat benturan itu, menandakan tenaga dalam Laras Nini
jauh berada di atasnya.
"Iblis!"
Wulan Sari baru saja ingin kembali menyerang,
ketika Warti memburu dan melarangnya.
"Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, Wulan,"
pinta Warti penuh harap.
Wulan Sari tak membantah, gadis itu baru sa-
dar dengan siapa dirinya berhadapan. Tapi untuk pergi begitu saja, rasanya tidak
mungkin. Dewi Racun Kembar tak akan membiarkannya lolos.
"Aku yang akan menghalangi mereka, Wulan,"
ujar Warti melihat Wulan Sari belum juga mau beran-
jak. "Apa kau mampu menghalangiku?" selak Laras Dewi dengan tatapan mata penuh
ejekan. "Iblis sombong!"
"Tutup mulutmu!" hardik Laras Dewi jengkel.
Tanpa mempedulikan Laras Nini, gadis itu ber-
gerak cepat ke arah Warti yang berada jauh dari Wulan Sari. Begitu cepat gerakan
yang dilakukan Laras Dewi.
Angin menderu mengiringi serangan Laras Dewi. Den-
gan tangan-tangan yang membentuk cakar harimau,
nampak ada kekuatan lain yang mengiringi serangan
itu. "Hiyaaa...!"
Bret! "Iiikh!"
Warti tercekat ketika serangan yang dilakukan
Laras Dewi menyerempet punggung, padahal gadis itu
sudah berusaha kuat mengerahkan kecepatan gerak-
nya untuk menghindari serangan. Tapi kenyataan-
nya...." "Kau memang harus mampus, Warti. Kau terlalu lancang menghalangi maksud
suci ku!" "Hiyaaa...!"
Wuuut! "Uts!"
Laras Dewi membuang tubuhnya ke kanan
menghindari serangan Warti yang di luar dugaan. Be-
berapa kali Laras Dewi bergulingan di tanah, tapi sebentar kemudian tubuhnya
sudah mencelat ke atas
dan mendarat dengan manis.
Laras Dewi kembali mencelat hendak mener-
jang Warti, namun gerakannya terhambat oleh hadan-
gan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang masih
bertahan. "Setan jelek! Kalian harus lebih dulu mampus!
Hih!" Wuuut! Wuuut!
Bret! Bret! "Aaa...."
Lengking kematian terdengar susul-menyusul
ketika Laras Dewi bergerak cepat mempergunakan sen-
jata. Beberapa murid jatuh bergelimang darah hanya
dalam satu gebrakan saja.
Bukan main marah Warti dan Wulan Sari. Tan-
pa pilar lagi tubuh keduanya melesat menerjang Laras Dewi, tapi sayang,
keinginan kedua gadis itu terhalang Laras Nini yang berdiri menghadang.
"Sebaiknya kalian hadapi aku, jangan ganggu
mereka," papar Laras Nini dingin.
"Huh!"
Tanpa membantah ucapan Laras Nini, Wulan
Sari segera menerjang dengan ganas. Tebasan dan tu-
sukan pedangnya berkali-kali dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh,
tak heran jika bunyi
yang mengiringi serangan membuat telinga sakit.
"Hiyaaa!"
Wuuut! Bet! Lima belas jurus telah digelar Wulan Sari, na-
mun sejauh itu ujung pedangnya tak mampu sedikit
pun menggores kulit Laras Nini yang hanya bergerak
menghindar, tanpa memberikan serangan balasan.
Namun tidak bagi Warti, murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga itu berkali-kali kena hantaman ka-ki dan tangan Laras Nini
yang bergerak cepat dan sukar diikuti arahnya.
"Hiyaaa...!"
Blaaagkh! "Aaa...."
Tubuh Warti terlontar sejauh dua tombak keti-
ka tendangan menggeledek mendarat telak di perut-
nya. Tubuh sintal yang terbalut pakaian putih nampak
terkulai di tanah. Dari mulutnya mengalir cairan merah. "Hoeeekh...!"
Darah segar seketika dimuntahkan Warti, ma-
tanya berputar-putar dan kulit wajahnya berubah pu-
cat laksana mayat
Bersamaan dengan terbujurnya tubuh Warti ke
tanah, di lain tempat Laras Dewi berhasil melumpuh-
kan lawan terakhirnya. Lengkap sudah kematian selu-
ruh murid-murid Perguruan Seribu Bunga.
"Kau masih belum bersedia ikut dengan kami,
Wulan?" desak Laras Dewi setelah membersihkan pedangnya dari noda darah.
Wulan Sari, putri tunggal ketua Perguruan Se-
ribu Bunga hanya menatap tajam Dewi Racun Kembar,
lalu beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan
mengenaskan. Mayat murid-murid Perguruan Seribu
Bunga yang begitu setia mempertahankan kewibawaan
perguruan dari rongrongan pihak luar.
Kembali Wulan Sari menatap Dewi Racun Kem-
bar, gambaran kegeraman tersirat pada wajah Wulan
Sari. "Kalian Iblis betina keji, aku tak sudi ikut bersama kalian! Lebih baik
aku matt menyusul mereka!"
hardik Wulan Sari sambil mengacungkan pedang yang
tergenggam erat
"Hmmm.... Jadi kau tak takut mati, Wulan?"
ejek Laras Nini seraya menyungging senyum.
"Aku tak pernah menolak kedatangan maut,
seperti halnya aku tak pernah menolak ajakan mu bertarung!" jawab Wulan Sari.
"Baiklah. Jangan menyesal!" Selesai dengan ucapannya Laras Nini segera bergerak
maju. Tanpa mempergunakan senjata gadis itu menerjang Wulan
Sari yang menghunus pedang.
Sebuah pukulan keras Laras Nini yang terarah
ke dada lawan tak menjumpai sasaran. Wulan Sari
tanpa telengas menebaskan senjatanya ke tangan La-
ras Nini. Karuan saja Laras Nini menarik pulang tangannya. Laras Nini segera
menotolkan kakinya ke ta-
nah, tubuhnya seketika mencelat ke atas dan meluruk cepat dengan tangan
membentuk cakar harimau, terarah ke ubun-ubun Wulan Sari.
Dan Wulan Sari tidak mampu berbuat banyak,
karena dari depan Laras Dewi melancarkan serangan
yang cukup mengerikan. Pedang dara cantik itu bergerak mencecar lambungnya.
Merasa tak mampu lagi mengelakkan serangan,
Wulan Sari nekat memapaki serangan Laras Nini den-
gan tangan kosong, sedangkan tusukan pedang Wulan
Sari dipapaki dengan pedang.
"Hih!"
Wuuut! Tuk! Tuk!
Wulan Sari terpekik ketika tubuhnya terkena
totokan yang dilancarkan Laras Nini dan Laras Dewi.
Tubuh Wulan Sari seketika tak mampu digerakkan.
Sungguh dirinya tak menyangka serangan dahsyat
yang dilancarkan Dewi Racun Kembar hanya tipuan
belaka. "Hahaha.... Saat kematianmu belum datang, Wulan. Kami membutuhkan mu
untuk upacara maut
nanti, jadi mana mungkin kami membunuhmu," papar Laras Nini sambil mendekati
Wulan Sari yang terkulai terkena totokan.
"Sebaiknya kita lekas pergi dari sini, Kak Nini.
Aku khawatir ada orang yang melihat perbuatan kita.
Hanya akan menimbulkan persoalan baru yang dapat
memperlambat rencana kita saja," ujar Laras Dewi ke-
tika melihat Laras Nini masih ingin bermain-main dengan Wulan Sari.
"Sebaiknya memang begitu, Dewi. Ayo, hup!"
"Hup!"
Dewi Racun Kembar segera melesat meninggal-
kan halaman Perguruan Seribu Bunga yang berubah
menjadi arena mayat. Laras Nini bergerak dengan ringan meski dibahunya
terpanggul Wulan Sari.
2 Angin panas berhembus keras menerpa tubuh
pemuda berpakaian kuning keemasan. Pemuda itu tak
mempedulikan sengatan matahari yang bersinar sedi-
kit garang. Tiba-tiba kepalanya ditelengkan. Pendengarannya yang tajam sayup-
sayup mendengar rintihan
kesakitan yang memilukan.
"Sepertinya dari arah selatan," kata pemuda itu dalam hati.
Pemuda berwajah tampan itu mencoba meya-
kinkan hatinya, sebentar kemudian tubuhnya melesat
cepat menuju tempat rintihan yang didengarnya.
"Biadab!" hardik pemuda yang tak lain Jaka Sembada yang dalam rimba persilatan
dikenal sebagai Raja Petir.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan terku-
tuk ini" Akh!"
Jaka Sembada segera menghampiri sosok tu-
buh yang tiba-tiba saja menggeliat.
"Tolong selamatkan Wulan, Anak Muda. Oh, ia
dilarikan ke arah sana," kata sosok tubuh yang ternyata Warti.
Meskipun keadaan tubuhnya terluka parah,
murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berusaha
mengangkat tangan dan menunjuk ke utara.
"Siapa Wulan?" tanya Jaka Sembada tak mengerti. "Putri guru kami. Tolong
selamatkan Wulan, Anak Muda," ucap Warti tersendat
Tanpa bertanya lagi Jaka Sembada langsung
melesat ke arah yang ditunjuk murid utama Perguruan Seribu Bunga. Begitu
cepatnya kelebatan tubuh Jaka
Sembada hingga sekejap mata menghilang dari hada-
pan Warti. Warti yang tadi bertarung dengan Laras Nini
ternyata tidak mati. Memang gadis itu terluka parah terkena hajaran Dewi Racun
Kembar. Laras Nini salah ketika menyangka Warti ambruk ke tanah karena tewas,
sesungguhnya gadis itu hanya pingsan. Dan sa-
dar kembali ketika Dewi Racun Kembar membawa lari
Wulan Sari. Jaka Sembada mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk mengejar orang yang telah melarikan Wu-
lan. Tetapi telah jauh pemuda itu berlari, belum juga dijumpai tanda-tanda sosok
yang dicarinya.
"Orang itu pasti memiliki kepandaian yang cu-
kup tinggi," bisik Jaka Sembada sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Pemuda itu berharap menemukan penculik gadis yang bernama Wulan.
Cukup lama Jaka Sembada mengedarkan pan-
dangan tetapi tidak juga menemukan tanda-tanda
yang dapat dijadikan pegangan. Akhirnya pemuda itu
memutuskan kembali menjumpai gadis murid Pergu-
ruan Seribu Bunga.
Jaka Sembada melesat cepat mempergunakan
ilmu lari cepatnya yang sudah mencapai taraf kesem-
purnaan, tak heran jika tak berapa lama kemudian
sampai tujuan. Tetapi betapa terkejutnya Jaka Semba-da melihat gadis berpakaian
putih yang tadi ditemu-
kannya masih hidup sudah tidak ada lagi.
Keheranan Jaka Sembada segera membawa ta-
tapan matanya ke pintu perguruan yang tertutup. Da-
lam hatinya Jaka Sembada menduga seseorang telah
menolong gadis yang terluka parah itu dan memba-
wanya masuk ke bangunan Perguruan Seribu Bunga.
Keinginan Jaka Sembada untuk mengetahui kejadian
yang sesungguhnya, membuat pemuda itu melangkah-
kan kaki melewati pintu utama Perguruan Seribu Bun-
ga. "Mungkin pemuda itu iblisnya, Tari! Kita harus meringkus dan meminta
tanggungjawabnya atas perbuatan keji ini!"
Dua sosok tubuh tiba-tiba mendarat tak jauh
dari hadapan Jaka Sembada. Sosok-sosok tubuh itu
ternyata dua gadis berpakaian putih. Mereka meman-
dang tajam ke Jaka Sembada.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-
tan kejimu, Kisanak!" hardik perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun
yang bernama Tari.
Mendengar ucapan bernada tuduhan seperti
itu, Jaka Sembada hanya bisa memamerkan sesungg-
ing senyum menawan.
"Perbuatan keji" Ah! Rasanya aku tak melaku-
kannya, Nisanak" kilah Jaka Sembada kemudian dengan sikap tenang.
"Pendusta! Sudah ketahuan masih juga tak
mau mengaku, aku akan memaksamu agar mengakui!"
bentak Tari keras.
Tubuhnya yang berdiri satu setengah tombak di
hadapan Jaka Sembada segera berkelebat cepat. Pe-
dang yang berada di tangan gadis murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga itu berkelebat cepat ke arah leher Jaka Sembada. Ketika
pembantaian yang dilakukan


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Racun Kembar terjadi, Tari tak ada. Gadis itu turut pergi bersama gurunya.
Dengan ketenangan tinggi Jaka Sembada me-
nyaksikan gerakan menebas yang dilakukan Tari.
"Heaaa...!"
Begitu bernafsu Tari ingin membunuh Jaka
Sembada. Dapat dilihat dari deru angin yang mengirin-gi setiap gerakannya yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Utsss! Hanya dengan memiringkan badannya sedikit,
serangan yang dilancarkan Tari lewat beberapa rambut dari leher Jaka Sembada.
Tentu saja Tari marah bukan main melihat serangannya dengan begitu mudah dipa-
tahkan. Tanpa merubah kedudukan, Tari kembali men-
gibaskan pedang ke lambung pemuda itu yang kali ini menghindar dengan menotolkan
kaki ke tanah. Ringan
saja totolan yang dilakukan Jaka Sembada, tubuhnya
melambung ke udara seraya berputaran dua kali dan
menjejak kembali di tanah dengan manis.
"Sudah kubilang bukan aku yang melakukan-
nya, Nisanak," ucap Jaka Sembada mencoba meredakan kesalahpahaman ini.
"Dasar pengecut!" bentak gadis berwajah ce-kung yang sejak tadi hanya
menyaksikan temannya
menyerang Jaka Sembada.
"Bukti kuat telah menyatakan kau sebagai
pembunuh keji, cuma kau yang berada di antara
mayat-mayat saudara seperguruanku, lalu siapa lagi
yang akan ku salahkan selain kau, Kisanak! Mengaku-
lah, dosamu sudah terlalu besar!"
"Nisanak, keberadaanku di tempat ini hanya
kebetulan. Aku tak mungkin berada di tempat ini
seandainya tidak mendengar jeritan dan erangan lirih,"
sangkal Jaka Sembada
"Pengecut busuk!" hardik gadis berwajah ce-kung keras. "Ayo kita ringkus lelaki
ini, Tari!"
"Ayo, Suti!"
Kedua gadis itu merangsek maju dengan senja-
ta terhunus. Dari serangan yang dilancarkan, Jaka
Sembada dapat mengukur sampai di mana kemam-
puan mereka memainkan senjata. Makanya dengan ke-
tenangan luar biasa, pemuda itu menghindari terjan-
gan senjata tanpa melukai pemiliknya.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
"Ups!"
Dengan bergerak ringan ke kiri dan ke kanan,
kemudian melompat dan merunduk, Jaka Sembada
menghindari serangan yang dilakukan Tari dan Suti.
Apa yang dilakukan Jaka Sembada bukan
membuat kedua murid Perguruan Seribu Bunga sadar,
mereka malah semakin yakin kalau lelaki tampan in-
ilah yang membuat petaka di perguruan mereka. Maka
serangan-serangan yang dilakukan kedua gadis itu
semakin ganas. Lelaki tampan berpakaian kuning keemasan
berpikir keras, bagaimana membuat kedua gadis itu
mempercayai pengakuannya. Maka ketika serangan itu
kembali memburu, Jaka Sembada segera mengalirkan
kekuatan tenaga dalamnya ke seluruh permukaan ku-
lit. Pemuda itu berharap dengan cara ini kedua gadis itu dapat mengerti, bahwa
dirinya bukan lelaki yang gampang menurunkan tangan besi.
"Heaaa! Heaaa!"
Trak! Trak! "Aaakh....!"
Tari dan Suti terpekik ketika merasakan senjata
mereka seperti membentur logam keras, kedua tangan
bergetar dan tubuh mereka terhuyung limbung lima
langkah ke belakang.
Pekikan kuat yang keluar dari bibir kedua gadis
membuat seseorang melesat keluar dari dalam bangu-
nan Perguruan Seribu Bunga. Sosok berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya
di sisi Suti dan Tari
yang terduduk di tanah menahan getaran hebat yang
masih dirasakan.
"Guruuu...." Panggil Tari dan Suti bersamaan.
Perempuan berpakaian jingga dengan ikat pinggang
putih memandang kedua muridnya, dan sesaat kemu-
dian mengalihkan pandangan pada Jaka Sembada.
Cukup lama perempuan setengah baya yang disebut
guru itu memandangi Jaka Sembada.
"Ciri-ciri yang kau miliki mirip seperti yang
pernah kudengar dari sahabat-sahabatku dan orang-
orang kalangan persilatan. Kalau aku tidak salah,
kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya perempuan itu dengan sikap penuh hormat
"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab Jaka
Sembada mantap yang lebih suka dipanggil nama da-
ripada julukannya.
"Akh!" tersedak perempuan berpakaian jingga mendengar pengakuan Jaka Sembada,
raut mukanya nampak sedikit berubah. "Maafkan kelakuan kedua muridku, Jaka Sembada."
"Ah, tak mengapa Nyai. Aku maklum karena
saat ini mereka sedang berduka," kilah Jaka.
Perempuan separuh baya yang menjadi Ketua
Perguruan Seribu Bunga tersenyum.
"O ya, Nyai. Apakah Nyai yang telah memin-
dahkan gadis yang terluka parah" Belum lama aku
melihatnya di tempat ini," tanya Jaka Sembada.
"Yang kau maksudkan pasti Warti," jawab perempuan setengah baya. "Ia ada di
dalam, tapi sayang aku tak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka terlalu
parah." Jaka Sembada tersentak mendengarnya.
"Apakah Nyai sudah mendapat keterangan?"
Ketua Perguruan Seribu Bunga menatap wajah
Jaka Sembada. "Sebaiknya kita bicara di dalam saja, Jaka
Sembada." "Apa tidak sebaiknya kita mengubur mayat-
mayat ini lebih dahulu?" usul Jaka Sembada.
"Ya. Sebaiknya memang begitu, Raja Petir."
*** Hujan rintik-rintik telah reda seiring dengan se-
lesainya Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia, diban-
tu Tari dan Suti menguburkan jenazah murid-murid
Perguruan Seribu Bunga. Peluh membasahi dahi Jaka
Sembada meski angin dingin berhembus.... Dan Nyai
Dinda Dahlia nampak sangat berduka atas kematian
murid-muridnya. Kini hanya tinggal Tari dan Suti yang dimilikinya.
"Siapa yang telah melakukan pembantaian ini,
Nyai?" tanya Jaka Sembada setelah mereka duduk di ruang dalam perguruan.
Nyai Dinda Dahlia tidak menjawab. Namun dari
gerakan tangan yang menyelinap ke balik pakaiannya, Jaka Sembada mengerti maksud
pimpinan Perguruan
Seribu Bunga ingin menunjukkan sesuatu.
"Bacalah," ujar Nyai Dinda Dahlia sambil menyodorkan benda berwarna coklat yang
tergulung. Dari bentuknya, benda yang disodorkan Nyai
Dinda Dahlia merupakan sebuah surat yang ditulis di atas kulit kayu.
Dengan perasaan sedikit terkejut Jaka Semba-
da menerima benda itu. Dibacanya isi surat, beberapa saat kemudian diserahkan
kembali pada Nyai Dinda
Dahlia. "Aku juga memiliki surat yang sama, Nyai." Dan Jaka Sembada menyodorkan
segulungan kulit kayu ke
hadapan Nyai Dinda Dahlia.
Kini Nyai Dinda Dahlia yang terkejut, melihat
benda yang sama disodorkan Jaka Sembada. Bunyi
surat itu: Ki Jatitama. Aku membutuhkan kedua putri mu untuk per-
sembahan upacara maut. Kuharap kau sudi memenuhi permintaanku jika tak ingin
melihat perguruanmu me-nyatu dengan tanah.
Tertanda; Setan Rimba Bangkai, Siluman Hutan
Dadak, Pangeran Kala Hitam dan Dewi Racun Kembar.
"Kalau saja aku yang menerima langsung surat
permintaan gila ini, mungkin kejadiannya tak akan se-buruk ini," sesal Nyai
Dinda Dahlia seraya menyerahkan kembali surat untuk Ki Jatirama Ketua Perguruan
Saka Jati, pada Jaka Sembada.
"Jadi Nyai baru tahu, surat itu untuk Nyai?"
Nyai Dinda Dahlia mengangguk.
"Mungkin sewaktu aku ke rumah sahabatku,
surat itu datang. Entah bagaimana caranya. Dugaan-
ku, disampaikan dengan jalan kekerasan."
"Nyai kenal orang-orang yang menandatanga-
ni?" "Hanya Ki Kustara yang berjuluk Setan Rimba
Bangkai dan Kindang Supa dengan julukan Pangeran
Kala Hitam."
"Apa Nyai juga tahu tujuan upacara maut itu?"
Nyai Dinda Dahlia menggelengkan kepala. Se-
bagai orang yang bergelut dikalangan dunia persilatan, Nyai Dinda Dahlia sering
menemukan keinginan-keinginan aneh dari tokoh-tokoh persilatan. Khusus-
nya tokoh golongan hitam, namun untuk mengetahui
tujuan mereka memang harus mengikuti keinginan
mereka sampai akhir.
"Apa hubunganmu dengan Ki Jatirama, Raja
Petir?" tanya Nyai Dinda Dahlia.
"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan ke-
tua Perguruan Saka Jati, Nyai. Kenal namanya pun
melalui surat ini," jawab Jaka Sembada.
"Lalu dari mana kau dapatkan surat itu?"
"Dari paman ku, Nyai. Beliau menugaskan aku
agar membantu Ketua Perguruan Saka Jati," jelas Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia mengangguk angguk kepala
mendengar penjelasan lelaki tampan berpakaian kun-
ing keemasan. "Maaf, Nyai. Aku harus pergi ke Perguruan Sa-
ka Jati, sekarang juga. Aku khawatir datang terlam-
bat," pamit Jaka Sembada.
"Aku juga akan ke Perguruan Saka Jati, Jaka.
Barangkali di sana aku akan mendapat kabar di mana
putri ku disembunyikan," ujar Nyai Dinda Dahlia.
"Oh, jadi Wulan putri mu, Nyai?" Nyai Dinda Dahlia menganggukkan kepala.
Baiklah, kalau begitu. Kita sama-sama ke Per-
guruan Saka Jati, setelah itu kita cari putri tunggalmu, Nyai," ajak Jaka
Sembada lalu melangkah keluar. Diikuti Nyai Dinda Dahlia, setelah memberi
perintah pa-da Tari dan Suti agar tetap tinggal di perguruan selama
kepergiannya. *** Matahari tepat berada di atas kepala, sinarnya
yang menyirami mayapada terasa begitu menyengat.
Namun sengatan matahari tidak menghambat perjala-
nan dua sosok tubuh yang tak lain Raja Petir dan Nyai Dinda Dahlia.
"Kurasa ada maksud-maksud tak baik dalam
upacara maut, tidak jelas dalam rangka apa mereka
mengadakan upacara itu," gumam Nyai Dinda Dahlia pada diri sendiri.
Jaka Sembada bukan tidak mendengar ucapan
yang lebih pantas disebut bisikan, pemuda itu me-
nanggapi ucapan Nyai Dinda Dahlia karena mendengar
kelanjutannya. "Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan pu-
tri ku. Raja Petir," lanjut Nyai Dinda Dahlia, kali ini dengan ucapan yang
terdengar jelas.
"Kurasa upacara maut itu belum dimulai, Nyai,"
hibur Jaka Sembada. "Berdasarkan surat yang dikirim ke lain perguruan, aku
berkesimpulan, tidak hanya
seorang gadis yang dibutuhkan sebagai kelengkapan
upacara gila itu."
"Aku sependapat denganmu, Raja Petir. Tapi
perlu kau ingat, tokoh-tokoh yang menandatangani surat terkutuk itu adalah tokoh
golongan hitam. Bukan hal yang mustahil mereka menghalalkan segala cara
untuk memuaskan diri," bantah Nyai Dinda Dahlia.
"Aku tak menyangkal kecemasanmu, Nyai. Se-
panjang pengalamanku, sebuah upacara bersifat sa-
kral, jika dilaksanakan untuk memuja dewa atau se-
suatu yang dianggap patut dijunjung tinggi dan dihor-mati keberadaannya. Upacara
itu akan didukung oleh
sesuatu yang masih utuh sifatnya. Kalau sesuatu itu berwujud seorang gadis, maka
gadis itu adalah gadis pilihan, gadis yang kesuciannya tidak diragukan lagi,
gadis baik-baik, bahkan kalau mungkin gadis yang
memiliki kemampuan ilmu silat," papar Jaka Sembada sambil mempercepat ayunan
kakinya. "Sebaiknya kita mempercepat perjalanan ini,
Nyai," lanjut Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia tanpa membantah segera
merubah langkahnya, menjadi sebuah lari dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jaka Semba-
da mengikuti apa yang dilakukan perempuan setengah
baya yang mengenakan pakaian longgar warna jingga.
Pemuda itu memaklumi kecemasan yang menggelayuti
hati Ketua Perguruan Seribu Bunga.
Wrrrt... Dengan sekali sentak Jaka Sembada mampu
menyejajarkan diri dengan Nyai Dinda Dahlia yang berlari lebih dahulu. Keduanya
berlari dengan menggunakan ilmu lari cepat. Namun....
"Uts!"
"Ups!"
Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia sama-
sama menotolkan kakinya ke tanah dengan cepat dan
keras. Tubuh keduanya melambung, dan dengan me-
lakukan salto dua kali keduanya mendarat dengan
manis. "Ah, kenapa kalian berlari seperti orang dikejar
setan, Nisanak" Hampir saja kita berbenturan," ujar Nyai Dinda Dahlia dengan
nada agak ditekan.
"Ah, eh... ma... maafkan kami, Nyai," jawab gadis cantik berpakaian kuning
gading, usianya tak lebih dari tujuh belas tahun.
"Apa ada yang mengejarmu, Anak Manis." Lembut pertanyaan Nyai Dinda Dahlia
setelah menyadari
ketakutan gadis cantik di hadapannya.
"Ya, kami sedang dikejar lelaki yang memiliki
kepandaian jauh di atas kami, Nyai," jawab lelaki mu-da yang menyertai gadis
cantik berpakaian kuning
gading. "Kami tak mampu menghadapinya, karena itu kami lari. Aku mengkhawatirkan
keselamatan Adik


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perwari." "Apa kalian punya kesalahan, hingga dikejar-
kejar seperti ini?" tanya Nyai Dinda Dahlia pada gadis yang bernama Perwari.
"Tidak, Nyai. Lelaki itu telah memporak-
porandakan perguruan kami dan membinasakan
ayahku," Perwari menundukkan kepala, teringat kembali
kematian ayahnya yang mengerikan.
"Apa kau tahu tujuan lelaki itu mengacau per-
guruan...."
"Wesi Wening," selak lelaki yang berdiri di sebelah Perwari.
"Wesi Wening?" ulang Nyai Dinda Dahlia. "Jadi, kalian anaknya murid Ki Wujang
Kanta?" "Nyai, mengenal ayahku?" tanya Perwari sambil menatap mata Ketua Perguruan
Seribu Bunga. "Mengenal secara mendalam memang tidak.
Tapi Nyai pernah berbincang-bincang dengan beliau
beberapa bulan yang lalu, bahkan bersama-sama men-
cegah kekacauan di Kampung Segu," jelas Nyai Dinda
Dahlia. "Maaf, apa Dik Perwari dan...."
"Primaka."
"Ya. Apa kalian mengenal lelaki yang mengejar
kalian?" selak Jaka Sembada setelah beberapa saat lamanya menjadi pendengar.
"Lelaki itu berjuluk Siluman Hutan Dadak," jawab Primaka.
"Siluman Hutan Dadak?" ulang Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia bersamaan, lalu
mereka saling memandang.
"Apa yang diinginkannya dari Ki Wujang Kan-
ta?" selidik Jaka Sembada.
"Aku," jawab Perwari.
"Kau" Oh, Siluman Hutan Dadak ingin mempe-
ristri mu, begitu?" pancing Nyai Dinda Dahlia.
"Siluman Hutan Dadak menginginkan diriku
untuk dipersembahkan dalam upacara maut," jelas Perwari.
"Nasibmu sama dengan anakku Wulan Sari,"
berat suara yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Seribu Bunga. "Namun nasib
baik tak menyertainya, Wulan Sari berhasil dilarikan orang yang menyelenggarakan
upacara gila itu,"
"Ha ha ha.... Itu bukan upacara gila, Nyai!"
Keempat orang itu terperangah mendengar sa-
hutan yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga
dalam tinggi, menunjukkan orang itu memiliki kepan-
daian tinggi. Sekejap kemudian, sosok yang berbicara itu
menampakkan diri.
"Ha ha ha.... Kau mau lari ke mana, Perwari"
Ke ujung dunia pun akan kukejar."
"Aku akan menghalangimu, Siluman Laknat!"
bentak Nyai Dinda Dahlia tegas.
"Ow! Apa kau mampu, Nyai?" tanya lelaki berpakaian merah menyala dengan sorot
mata meremeh- kan. "Jangan besar kepala, Siluman Hutan Dadak!"
bentak Nyai Dinda Dahlia geram.
"Hei! Di mana kita pernah berkenalan, Nyai"
Atau... nama besarku yang membuatmu mengenalku?"
"Aku mengetahui namamu dari secarik surat
sinting yang kau tandatangani," beber Nyai Dinda Dahlia.
"Ow! Siapa kau sebenarnya, Nyai?"
"Tak perlu tahu siapa aku, Siluman Laknat!
Yang jelas kau harus ku enyahkan dari muka bumi,
karena persekongkolan mu menculik putri tunggalku."
"Ha ha ha.... Aku mengerti sekarang. Ha ha
ha..., kaukah yang bernama Nyai Dinda Dahlia?"
"Jangan banyak bicara! Sekarang juga kau ha-
rus mampus di tanganku!"
Diiringi pekikan nyaring, Nyai Dinda Dahlia
menerjang sosok berpakaian merah menyala. Gera-
kannya cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, menandakan serangan yang
dilancarkan tidak main-main. Angin menderu yang mengiringi serangan Ketua
Perguruan Seribu Bunga membuat Siluman Hutan
Dadak bersikap hati-hati. Meski belum mengetahui
dengan pasti kekuatan tenaga dalam lawan, namun di-
rinya tak berani memapaki serangan yang datang.
Wesss.... "Uts!"
Siluman Hutan Dadak yang sesungguhnya ber-
nama Liku Grada segera memiringkan badan ketika
sampokan tangan Nyai Dinda Dahlia mengarah deras
ke ulu hati. Seraya menggeser kaki kanan, Liku Grada bergerak cepat, namun
kecepatan gerak Nyai Dinda
Dahlia sempat membuatnya terkejut. Begitu cepat ge-
rakan tangan Nyai Dinda Dahlia berputar, hingga
mendadak sudah berada beberapa rambut di depan
wajah Siluman Hutan Dadak.
"Heh...?"
Cepat-cepat Liku Grada melempar tubuh ketika
dirasakan percuma memiringkan kepala, dilihatnya serangan-serangan Ketua
Perguruan Seribu Bunga begi-
tu cepat berpindah sasaran.
Melihat serangannya berhasil dielakkan lawan,
Nyai Dinda Dahlia tidak menghentikan serangan. Tu-
buh perempuan itu kembali melesat, mengejar Silu-
man Hutan Dadak yang sudah kembali tegak.
"Hiaaa...!"
Track! Tak ada pekik kesakitan ketika dua tangan
yang dialiri kekuatan tenaga dalam beradu keras, yang terdengar hanya suara
benturan keras seperti beradunya dua batang logam.
Tubuh Nyai Dinda Dahlia terhuyung sejauh
dua tombak. Di wajah perempuan usia setengah abad
lebih itu terlihat seringai kesakitan, dan sebelah tangannya memijat pergelangan
tangan yang terasa linu.
Demikian juga Siluman Hutan Dadak, lelaki
penyelenggara upacara maut itu tak menyangka keku-
atan tenaga dalam Nyai Dinda Dahlia tak berbeda jauh dengan tenaga dalam yang
tadi dikeluarkan hanya seperempat bagian saja.
"Dahlia! Kusarankan padamu jangan meng-
ganggu acara ku. Pantang bagiku mendiamkan orang-
orang yang ingin menggagalkan rencanaku!" hardik Li-ku Grada si Siluman Hutan
Dadak. "Walaupun kau tak melibatkan putri ku dalam
upacara gila itu, aku akan tetap menghalangi niat kejimu, Siluman Laknat!
Pantang bagiku mendiamkan
kejahatan berlangsung di muka bumi ini!" jawab Nyai Dinda Dahlia tegas, membuat
kemarahan Siluman Hutan Dadak memuncak.
"Hmmm.... Rupanya kau tergolong manusia si-
luman, Dahlia! Aku jadi tak peduli denganmu. Aku
memang sedang memberantas orang-orang yang suka
mencampuri urusan orang lain, seperti kau!"
"Lakukanlah kalau kau mampu, Siluman Gila!"
bentak Nyai Dinda Dahlia keras.
Wajah Siluman Hutan Dadak langsung berubah
tegang, mendengar hinaan yang dilontarkan Nyai Din-
da Dahlia "Kurang ajar! Kau mampus, Perempuan Lak-
nat!" Selesai dengan ucapannya, tubuh Liku Grada bergerak bagai kilat.
Senjatanya yang berupa tongkat dengan bagian ujung terdapat logam keras
berbentuk bulan sabit mulai mengambil peranan. Tongkat itu di-kibaskan keras ke leher
Ketua Perguruan Seribu Bun-
ga. Jaka Sembada menyaksikan serangan dahsyat
yang dilakukan Siluman Hutan Dadak sedikit terke-
siap, ada sedikit keinginan untuk mengambil alih pertarungan. Namun keinginan
itu segera diurungkan me-
lihat Nyai Dinda Dahlia sudah siap menghadapi serangan Liku Grada. Lagi pula
pemuda itu tak ingin Nyai Dinda Dahlia merasa direndahkan karena perbuatannya.
"Hati-hati, Nyai," pesan Jaka Sembada. Nyai Dinda Dahlia tak sempat menjawab.
Tubuhnya yang terbalut pakaian jingga dengan ikat pinggang putih se-
ketika bergerak cepat menghindari terjangan tongkat lawan. "Hiaaa!"
"Utzs!"
Nyai Dinda Dahlia menghentakkan kaki kuat-
kuat saat tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak
mencecar pahanya. Dengan melakukan hentakan me-
nyilang, tubuh ketua Perguruan Seribu Bunga mence-
lat dan berputar dua kali di udara kemudian mendarat dengan manis. Nampak di
depan dada Nyai Dinda
Dahlia telah menyilang sebatang pedang yang mem-
biaskan sinar keperakan.
Siluman Hutan Dadak agaknya menganggap
remeh senjata yang membentengi dada Nyai Dinda
Dahlia, Liku Grada tersenyum mengejek.
"Kau andalkan senjata mainan anak-anak,
Dahlia" He he he...! Kuharap kau tidak menyesal jika hari ini nyawamu melayang."
"Jangan sombong, Siluman Sesat!"
"Akan kubuktikan sekarang! Hiaaa...!"
Siluman Hutan Dadak kembali mencelat den-
gan senjata tongkat bulan sabitnya yang terayun di udara. Sementara Nyai Dinda
Dahlia sudah mengambil
keputusan untuk memapaki kibasan tongkat bulan
sabit Liku Grada.
"Hiaaa...!"
Trang! "Aaa...!"
Nyai Dinda Dahlia memekik tertahan ketika te-
basan tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak be-
radu dengan pedangnya.
Tubuh Ketua Perguruan Seribu Bunga seketika
terhuyung sejauh dua tombak. Wajahnya menyeringai
merasakan nyeri di tangannya. Nyai Dinda Dahlia me-
rasakan sebuah kekuatan telah menelusup melalui
tangannya, menebarkan hawa dingin menusuk.
"Ha ha ha.... Sudah kubilang, simpan saja mai-
nan anak-anak itu. Jangan kau gunakan untuk mena-
kut-nakuti orang, Dahlia!" ejek Siluman Hutan Dadak.
Ketua Perguruan Seribu Bunga hanya menden-
gus marah mendengar ejekan yang menyakitkan. Nyai
Dinda Dahlia tak mau membalas ejekan itu, karena
sedang berusaha mengatasi hawa dingin yang menelu-
sup semakin jauh ke tulang sumsum.
"Kau harus mampus, Dahlia. Bersiaplah!"
Tanpa mempedulikan kenyerian yang dialami
Ketua Perguruan Seribu Bunga, Siluman Hutan Dadak
melesat, menerjang Nyai Dinda Dahlia dengan tongkat bulan sabit yang mengarah ke
batok kepala. "Hiaaa...!"
3 Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan
yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menampak-
kan wajah cemas. Jaka Sembada yang berjuluk Raja
Petir, sejak menyaksikan terdesaknya Ketua Perguruan Seribu Bunga sebenarnya
ingin mengambil alih pertarungan. Tapi diurungkan melihat Nyai Dinda Dahlia
masih dapat melakukan perlawanan, meski berulang-
kali direpotkan oleh serangan-serangan dahsyat Siluman Hutan Dadak.
Namun sekarang" Jaka Sembada segera mele-
sat cepat melihat Ketua Perguruan Seribu Bunga tak
lagi mampu menghindari serangan Liku Grada. Pada
saat-saat kritis seperti itu apa yang dilakukan Raja Petir cukup tepat. Dengan
sekali hentakan kaki, tubuh-
nya telah berada di depan Nyai Dinda Dahlia seraya
melakukan gerakan menyampok pergelangan tangan
Siluman Hutan Dadak.
"Hiyaaa!"
Plak! "Aaa...!"
Liku Grada memekik tertahan saat sebuah ke-
kuatan dahsyat membentur pergelangan tangannya.
Dorongan tenaga yang menghantamnya membuat tu-
buhnya tak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Si-
luman Hutan Dadak terhuyung empat langkah ke be-
lakang. Dengan tatapan mata membara dan sebelah
tangan mengelus pergelangan tangan lain karena rasa nyeri, Siluman Hutan Dadak
mendengus kesal. Dari
sela bibirnya keluar desisan berat.
"Hhhsss.... Bocah Edan! Berani benar kau
mencampuri urusanku?" sentak Liku Grada, matanya tajam mencorong mencoba
menembus kekuatan batin
Raja Petir. "Maaf, kukira persoalan ini bukan lagi urusan-
mu, Siluman Hutan Dadak. Kalau kau melakukan ke-
laliman, kau harus berurusan dengan sekelompok
orang yang tak suka kelaliman. Termasuk aku!" bantah Jaka Sembada mantap.
"Ngrrrh.... Bicaramu seperti orang bijak yang
sebenarnya tak mengenal kebijakan, Anak Setan! Yang kau lakukan tadi sebuah
kelancangan, tahu! Dan kelancangan itu harus kau tebus dengan nyawamu!"
"Kurasa tidak begitu, Liku Grada. Aku tak me-
rasa telah melancangi mu. Yang kulakukan tadi hanya kewajiban. Apa aku harus
berpangku tangan melihat
orang lain ketakutan, membiarkan nyawanya teran-
cam?" tandas Jaka Sembada.
Kalap hati Siluman Hutan Dadak mendengar
ucapan pemuda itu, otot-ototnya seketika menegang
kaku. Dan mulutnya mengeluarkan desisan kemur-
kaan. "Akrrrkh...!"
Liku Grada meraung geram seraya melejit kuat
menuju Jaka Sembada. Tangan kiri Siluman Hutan
Dadak membentuk cakar kuat. Sementara tangan ka-
nannya yang menggenggam tongkat bulan sabit te-
rangkat ke atas, terayun keras ke batok kepala Raja Petir. "Hiaaa...!"
Bet! Wruuut! "Ups!"
Terkejut juga hari Jaka Sembada merasakan
sambaran angin yang melintas lima rambut dari kulit tubuhnya, sebentuk angin
dingin yang begitu menusuk menerpa. Raja Petir segera mengerahkan hawa
murni untuk mencegah kebekuan otot-otot tubuhnya.
Setelah itu melompat ke belakang, mengambil jarak.
"Liku Grada. Aku tak ingin berurusan dengan-
mu. Asalkan kau mau merubah kebiasaanmu, terma-
suk penyelenggaraan upacara maut. Kuharap kau mau
menghentikannya, demi kebaikan kita semua. Kalau


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau setuju, kita tak perlu bertarung," bujuk Jaka Sembada.
"Hhh...! Ternyata kau tak sejantan dan sehebat yang kudengar selama ini, Raja
Petir. Baru Siluman Hutan Dadak yang kau hadapi, kau sudah khawatir
kehilangan nyawa, tanggalkan saja julukanmu itu!"
ejek Liku Grada tak sopan.
Raja Petir tidak merasa risih dengan ejekannya
yang hanya untuk memancing kemarahan. Dan Jaka
Sembada telah menyiapkan balasan yang lebih meme-
rahkan telinga.
"Siluman Hutan Dadak! Kuakui kau memang
hebat, namun sayang, kehebatanmu kau rundukkan
ke bawah. Kau tak mengakui bahwa di atas langit ma-
sih ada langit dan langit. Grada! Kalau kau mampu
menundukkan Nyai Dinda Dahlia, bukan berarti kau
mampu menundukkan ku. Kemampuanku jauh berada
di atasmu, Siluman Hutan Dadak. Kepalaku lebih ting-gi kedudukannya darimu,"
ejek Jaka Sembada.
"Ngrrrhhh...! Bocah besar kepala. Kau telan sa-ja ucapanmu, aku akan menguburmu
sekarang juga!"
Siluman Hutan Dadak mencelat cepat, kali ini
tenaganya dilipatgandakan untuk menghancurkan ke-
pala Jaka Sembada.
Angin bersiutan menghantar terjangan tongkat
bulan sabit Liku Grada, yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Begitu dahsyat ayunan
tongkat hingga menimbulkan seberkas sinar putih
yang meluruk deras ke arah Raja Petir.
Hhhmmm.... Setelah mengukur kekuatan serangan lawan.
Raja Petir segera menghindari terjangan senjata Liku Grada. Ringan saja gerakan
tokoh muda yang memiliki ilmu kesaktian cukup tinggi itu. Sekali bergerak Jaka
Sembada mampu mengambil jarak tiga tombak. Namun tubuhnya kembali dilempar ke
kanan ketika sinar putih yang keluar dari logam di ujung tombak Liku
Grada meluncur deras ke arahnya.
Jaka Sembada melompat seraya bersalto. Dan
pada saat itu, Liku Grada dengan cepat meluruk maju, melancarkan pukulan keras
ke punggung Jaka Sembada. "Hiaaa!"
Blagkh! "Ugkh!"
Raja Petir terhuyung ketika pukulan keras Si-
luman Hutan Dadak menerjang punggung. Nyai Dinda
Dahlia, Perwari dan Primaka tercekat menyaksikan
kenyataan itu. Jaka Sembada mampu berdiri tegak
kembali. Hati Nyai Dinda Dahlia, Primaka dan Perwari
kagum melihat ilmu yang kini disuguhkan Raja Petir.
Sebuah ajian yang bernama 'Aji Bayang-Bayang'.
Berbeda dengan Siluman Hutan Dadak melihat
ilmu yang diperlihatkan Raja Petir. Lelaki berpakaian hitam yang berusia
setengah abad lebih itu berdiri tegang. Matanya tak berkedip menatap sosok Jaka
Sem- bada yang kini menjadi lima kali lipat banyaknya. Lelaki yang berjuluk Siluman
Hutan Dadak itu tengah memilih, mana wujud Jaka Sembada sesungguhnya.
Pada saat itulah, kelima sosok Jaka Sembada
meluruk maju bersamaan dengan tangan terkepal,
menyerang ulu hati Siluman Hutan Dadak.
Kebingungan seketika melanda hati Liku Gra-
da, karena belum bisa memastikan sosok lawan yang
sesungguhnya. Akhirnya, dengan sebisanya lelaki berpakaian hitam dengan senjata
tongkat bulan sabit
memapaki serangan lawan.
"Hih!"
Plasss! "Heh?"
Terkejut bukan main Liku Grada, melihat pa-
pakannya hanya membentur bayangan. Dan kesempa-
tan itu dipergunakan Jaka Sembada untuk melancar-
kan sodokan tangan yang mendarat telak di ulu hati.
Des! "Uuugkhhh...!"
Tubuh Siluman Hutan Dadak terdorong deras.
Isi perutnya dirasakannya ingin keluar. Mual dan kepalanya berkunang-kunang.
"Hoeeekh!"
Cairan darah seketika membasahi pakaian Si-
luman Hutan Dadak yang terjerembab di tanah, wa-
jahnya terlihat pucat.
Sebenarnya mudah bagi Raja Petir untuk kem-
bali melancarkan serangan mematikan ke arah Silu-
man Hutan Dadak, namun tidak dilakukan Jaka Sem-
bada karena Liku Grada tidak siap tempur. Beberapa
saat lamanya Jaka Sembada membiarkan Liku Grada
memulihkan diri.
"Kau memang hebat, Raja Petir," ujar Siluman Hutan Dadak parau. "Tapi hanya saat
ini, karena aku akan membuat perhitungan denganmu," lanjut Liku Graha. "Tidak
ada yang hebat di muka bumi ini, Liku Grada. Semua makhluk ciptaan Yang Maha
Kuasa pasti akan mati. Kalau sekarang kau kalah, bukan berarti aku hebat, tapi semata
karena Yang Maha Kuasa tak mengizinkan perbuatanmu yang di luar batas ke-
manusiaan. Untuk apa upacara sesat itu kalian laku-
kan" Kalau untuk memuja sesuatu yang kau anggap
sakral, kurasa masih banyak cara lain untuk menga-
gungkannya."
Bijak perkataan yang keluar dari bibir anak
muda berpakaian kuning keemasan.
"Aku tak perlu khotbah mu!" bantah Siluman Hutan Dadak sambil bangkit "Ingat
baik-baik, Raja Petir! Aku akan membuat perhitungan atas kekalahan ku ini,"
lanjut Siluman Hutan Dadak seraya menatap tajam Jaka Sembada.
Dan Jaka Sembada tak membiarkan tatapan
penuh bara dendam itu, seraya membalas tatapannya
sesungging senyum disuguhkan pada Liku Grada yang
kemudian melempar pandangannya pada Nyai Dinda
Dahlia, Perwari dan Primaka.
"Kalian juga akan mampus nanti!" ancam Siluman Hutan Dadak.
Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tidak
menanggapi ancaman Siluman Hutan Dadak yang di-
ucapkan dengan dendam membara. Ketiga orang yang
telah diselamatkan Raja Petir hanya menatap Liku
Grada. Beberapa saat kemudian, Siluman Hutan Da-
dak bergerak pergi.
"Ingat! Kalian pasti akan kubuat mampus!"
Kembali ancaman Siluman Hutan Dadak ter-
dengar. 4 Sore nampak semakin senja, dan warna jingga
menyemburat di kaki langit. Angin yang berhembus
dingin seolah memperingatkan Raja Petir dan Nyai
Dinda Dahlia mengenai rencana mereka.
"Tak perlu dipikirkan sekali ancaman itu, Nyai,"
ujar Raja Petir setelah beberapa saat tubuh Siluman Hutan Dadak lenyap.
"Aku sedang memikirkan keselamatan Wulan
Sari, Jaka," kilah Nyai Dinda Dahlia.
"Upacara maut tidak akan dilaksanakan tanpa
kelengkapan persyaratan yang diperlukan. Menurutku, orang-orang gila yang
melaksanakan upacara itu belum berhasil mendapatkan semua gadis yang diperlu-
kan. Buktinya, Perwari belum di tangan mereka. Mu-
dah-mudahan begitu juga dengan putri Ki Jatirama,"
hibur Jaka Sembada.
"Ah...."
Nyai Dinda Dahlia seperti dikejutkan dengan
sesuatu. "Apa kita akan meneruskan perjalanan malam
ini, Jaka?"
"Malam baru saja datang, Nyai. Kita masih
mempunyai kesempatan datang ke Perguruan Sakajati.
Kurasa perguruan itu tak begitu jauh dari sini," jawab Jaka Sembada.
"Lalu bagaimana dengan Perwari dan Primaka?"
tanya Nyai Dinda Dahlia.
"Kami ikut Nyai dan Raja Petir," jawab Perwari mendahului. "Barangkali tenaga
kami diperlukan, selain itu kami juga ingin ikut serta mencegah pelaksanaan
upacara maut"
"Baiklah kalau begitu. Tapi kita harus menge-
luarkan tenaga lebih agar cepat sampai di Perguruan Sakajati," ujar Jaka
Sembada. "Aku mengerti," sahut Nyai Dinda Dahlia, "Ayo, Hup!" Perempuan setengah baya itu
menghentakkan kaki. Begitu sederhana gerakan Ketua Perguruan Seribu Bunga, namun
membawanya melesat cepat me-
ninggalkan Jaka Sembada, Perwari dan Primaka.
"Ayo Perwari, Primaka," ajak Jaka Sembada seraya bergerak menyusul Nyai Dinda
Dahlia yang bera-
da tujuh tombak di depan.
Perwari dan Primaka tak mau ketinggalan, den-
gan ringan keduanya berkelebat menyusul Nyai Dinda
Dahlia dan Raja Petir.
*** Suasana terang-benderang terlihat dari jarak
puluhan tombak. Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dah-
lia segera menghentikan langkahnya. Dan wajah cemas Nyai Dinda Dahlia ditujukan
pada Jaka Sembada, begitu juga Primaka dan Perwari.
"Ah! Kita terlambat, Nyai," sesal Jaka Sembada seraya memandang Nyai Dinda
Dahlia. Perempuan itu menatap langit yang menyem-
burat merah karena kobaran api.
"Kau yakin kobaran api itu berasal dari bangu-
nan Perguruan Sakajati?"
"Aku yakin sekali, menurut Paman Gumai Gu-
marang letak Perguruan Sakajati memang di situ. Ayo kita ke sana, barangkali
masih ada nyawa yang bisa ki-ta selamatkan," ajak Jaka Sembada lalu bergerak
melangkah. Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka men-
gikuti dari belakang.
Braaakkk! "Ikh!"
Jaka Sembada menggereng kesal seiring den-
gan runtuhnya bangunan utama Perguruan Sakajati.
Namun kekesalan tidak membuatnya terpaku, me-
mandangi Perguruan Sakajati yang porak-poranda di-
makan api. Jaka Sembada bergerak cepat menembus
kobaran api yang sudah agak reda. Api menjilati sisa-sisa bangunan yang mudah
terbakar. Pemuda itu coba mengamati mayat-mayat yang
bergeletakan, mereka adalah murid-murid Perguruan
Sakajati. "Ukh!"
Kembali Jaka Sembada menggeram marah
mendapatkan tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Betapa
keji perbuatan ini, bisik pemuda itu dalam hati. Jaka Sembada menduga yang
melakukan kekejian ini ada-
lah orang-orang yang bermaksud melaksanakan upa-
cara maut. Dugaannya itu didasarkan pada kenyataan
bahwa Ketua Perguruan Sakajati menerima surat dari
mereka. "Akh!"
Jaka Sembada tersentak mendengar suara dari
selatan bangunan Perguruan Sakajati. Bergegas Raja
Petir mendatangi tempat suara itu datang. Dan pemu-
da itu terdiam tak mengerti, melihat Nyai Dinda Dahlia membiarkan lelaki tua
berpakaian putih tergeletak
dengan tubuh penuh luka, di beberapa bagian tubuh-
nya terdapat bercak-bercak hitam.
"Akh! Kaukah, Ki Jatirama?" tanya Jaka Sembada sambil mendekati lelaki tua
berpakaian putih.
Di luar dugaan, lelaki yang memang Ki Jatira-
ma ketua Perguruan Sakajati mengangkat tangan den-
gan telapak tidak terbuka penuh.
Jaka Sembada dapat membaca isyarat Ki Jati-
rama, langkahnya segera terhenti.
"Jangan sentuh aku, Anak Muda," terbata ucapan yang keluar dari mulut Ki
Jatirama. "Apakah yang melakukan semua ini orang-
orang gila yang hendak melaksanakan upacara maut
Ki?" Agak terbelalak mata ketua Perguruan Sakajati
mendengar pertanyaan Jaka Sembada. Namun hanya
sesaat, kemudian selang setegukan teh, mata Ki Jatirama menatap redup Jaka
Sembada. "Ciri-ciri mu mirip dengan yang kudengar dari orang-orang persilatan, Anak Muda.
Rahasia Kampung Garuda 14 Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian Kasih Diantara Remaja 1
^