Pencarian

Misteri Pembunuh Hantu 2

Dewi Ular 85 Misteri Pembunuh Hantu Bagian 2


"Zeona..."!" terlintas seraut wajah cantik mencurigakan dibenak Sandhi. Wajah itu makin lama makin jelas, makin membuat Sandhi yakin, Zeonalah pelakunya.
"Pasti dial" tegas suara Sandhi setelah meletakkan gagang telepon.
Buron yang sedang menata letak dua guci berisi roh roh yang diselamatkan itu segera berpaling menatapnya.
"Ada apa?" "Jimmy, temanku, tewas. Keadaan mayatnya seperti mayat situkang ojek kemarin. Pasti Zeona pelakunya!"
"Siapa itu Zeona?" Sandhi menjelaskan tentang pertemuannya dengan Jimmy dan Zeona. Dari semulaia sudah menaruh curiga, ada yang tidak beres dalam diri Zeona. Ia merasakan getaran aneh ketika menatap mata Zeona.
"Mungkin dia juga yang menjadi pembunuh hantu, atau pemburu roh-roh yang akan dijadikan anak buahnya Lokapura." -
"Menurutku... bukan," sangkal Buron tegas.
"Sepertinya ada dua kasus yang berbeda. Yang satu memburu roh halus, yang satu berusaha hidup dibumi ini dengan menyerap sari kehidupan manusia."
"Untuk apa dia bertahan hidup di alam ini" !"
"Pasti punya tujuan tertentu, walaupun mungkin juga atas perintah si Lokapura."
"Apapun alasannya, tindakan Zeona harus segera dihentikan. Kalau tidak, penghuni bumi un bisa habis lantaran sari kehidupannya dihirup terus olehnya. Ah, sayang...," Sandhi duduk dengan lemas.
"Sayang kenapa?"
"Sayang Kumala belum selesai urusannya dengan Dewa Nathalaga. Kalau ada Kumala, pasti Zeona sudah dihancurkan."
"Kamu pikir aku nggak mampu menghanc urkan Zeona?"
"Sejak kamu ketemu Dewa Nathalaga, kamujadi agak
sombong, ya" Udah sombong, sombong lagi!"
"Sekali-kali jadi orang sombong nggak apa kan" Pengen tahu bagaimana rasanya jadi orang sombong."
"Banyak musuhnya, tahu"!" seraya mening
galkannya. Ia masuk ke kamar, sementara Buron tersenyum tipis dari tempatnya jongkok di depan dua keramik setinggi setengah meter itu.
Lalu terpikir oleh Buron, bagaimana caranya supaya ia bisa bertemu dengan wanita muda, cantik dan Super montok itu" Sandhi tidak mempunyai informasi apa-apa tentang Zeona, tidak tahu di mana tinggalnya dan di mana tempat nongkrongnya. Satu-satunya cara Buron harus bisa menciptakan suatu rencana penjebakan.
"Aku harus menjebak dia, San."
"Caranya?" "Akuyakin Zeona membunuh korbannya dengan cara
mengajaknya bercinta. Jadi, aku harus bisa membuat dia bergairah dan berhasrat sekali untuk tidur denganku.".
"Iya, caranya gimana"!"
"Itu urusanku," jawab Buron sambil tersenyum menjengkelkan Sandhi. -
- Sebenarnya Sandhi ingin bicara langsung dengan Kumala Dewi. Tapi ia sadar dirinya tak mampu menembus alam gaib. Seandainya ia mampu menembus alam gaib seperti Buron, toh dia tidak akan dapat menemui Kumala di lapisan gaib atas Taman Makam Pahlawan. Bahkan buron sendiri tidak tahu kalau Kumala Dewi sudah dibawa pergi oleh Dewa Nathalaga, pindah kesisi alam lain, yang jarang dijangk au oleh para penghuni alam gaib. Lautan lahar memben tang sama luasnya dengan samudera dipermukaan bu mi. Laharyang bergolak bukan lahar dingin, melainkan l ahar panas yang sangat mendidih. Di tengah lautan lah ar mendidih itu terdapat sebongkah batu sangat besar, bentuknya seperti perahu terbalik. Di atas batu itulah D ewa Nathalaga berdiri dengan tenang seorang diri. Jeng gotnya yang panjang meriag-nap karena hembusan an gin kecil. Angin pembawa udara panas. Tidak adatumbu han yang mampu hidup di situ. Terkena anginnya saja bisa membuat sepotong kayu menjadi arang dalam waktu sekejap, apalagi harus jatuh ke genangan lahartersebut. Entah berapa derajat panas laharitu, yang jelas kabarnya sepotong besi jika dicelupkan dalam genangan lahar, sedetik kemudian diangkat sudah menjadi
kerak yang amat rapuh. . Lautan lahar yang luas dan bening itu bagaikan menelan seluruh kehidupan gaib. Hanya Dewanathaiaga yang ada di sana. Lalu, di manakah Dewi Ular berada"
Lima ekor burung gagak terbang diatas udara lautan lahar Arah yang dituju adalah udara di atas Dewa Nathalaga. Mata penuh kharisma memandang ke arah lima ekor burung gagak. Makin lama kelima burung itu makin dekat dengannya. Namun tiba-tiba dua ekor dari mereka terbang oleng. Menyerukan suara yang menggema. Keeaaak, keaaak, keaak..! Makin lama kedua burung itu makin rendah dan akhirnya jatuh ke genangan lahar. Namun sebelum keduanya menyentuh permukaan lahar, mereka sudah berubah menjadi panggang burung yang hangus. Sementara tiga lainnya sempat berputar-putar sesaat sambil menyerukan suara kerasnya, seakan menyesali atas jatuhnya kedua temannya itu.
Kini tiga burung melanjutkan terbangnya, sampai mendekati Dewa Nathalaga. Ketiganya hinggap di permukaan batu besar yang menyerupai perahu terbalik itu. Begitu ketiganya menyentuhkan kaki dibatu tersebut, maka perubahan wujud merekapun terjadi. Biaaab Tiga burung gagak itu menjelma menjadi sosok makhluk penghuni alam gaib. Yang satu berperawakan bungkuk,
kurus, tua, jenggotnya putih panjang sampai menyentuh tempatnya berpijak. Ia bermata cekung dan dingin. Terkesan angker. Ia menggenggam tongkat hitam penopang kebungkukan badannya. Sosok angker itu adalah gurunya para genderuwo yang dikenal dengan nama julukan: Sang Juru Gaib, alias Damung Suralayak, (Baca serial Dewi Ular dalam episode:"CINTA DARI AKHIR ZAMAN") - Sementara dua lainnya berperawakan tinggi besar, rambutnya panjang acak-acakan, kulit wajahnya merah kehitaman. Menyeramkan. Keduanya adalah murid kepercayaan Damung Suralaya. Agaknya ia bermaksud menemui Dewa Nathalaga bersama keempat muridnya, namun dua di antaranya tak sanggup menahan kekuatan hawa panas lautan lahar hingga tadi terpaksa jatuh dan menjadi hangus sebelum menyentuh permukaan lahar. Dewa Nathalaga tampak tetap tenang menerima hormat dari Sang Juru Gaib bersama kedua muridnya itu:
"Mengapa harus korbankan kedua muridmu kalau tak cukup mampu melintasi alam ini, Damung Suralaya?"
"Ampuni hamba, Hyang Nathalaga." -
"Apa maksudmu datang menemuiku di sun?"
"Hambamendengar kabar yang sangat tajam tentang rencana Hyang Nathalaga mengangkat Nyai Dewi Ular untuk menjadi senopati perang Mahagaib mendatang."
"Aku yang berhak memutuskan semua itu!"
"Benar, Hyang Dewa. Padukalah yang punya wewenang dalam perang Mahagaib itu. Tetapi hamba yang rendah ini ingin ajukan pendapat sederhana, semoga berkenan di hati Hyang Dewa Nathalaga" :
"Sebelum kau ajukan pendapatmu, aku sudah memahami maksudmu, Damung Suralaya."
"Jika begitu, izinkan hamba ajukan pertanyaan bodoh ini, Hyang Nathalaga." -
"Apakah aku harus menjawab?"
"Jika Paduka berkenan, hamba sangat menunggu jawabannya." Dewa Nathalaga memandang ke arah lain. Bergescr dua langkah dari tempatnya berdiri. Lalu bicara dengan sangat berwibawa, membuat Sang Juru Gaib dan kedua muridnya tetap menundukkan kepala, - .
"Kamu ingin tanyakan, kenapa bukan dirimu, sebagai Sang Juru Gaib, yang kupilih untuk menjadi senopati Perang Mahagaib nanti. Itu disebabkan, karena kamu bukan anak dewa. Hanya anak dewa yang bisa menandingi kesaktian Lokapura nanti. Kamu ingin ajukan pendapat, seyogyanya jangan Dewi Ular yang harus menandingi Lokapura, karena dia masih sangat muda. Justru karena dia masih muda, masih suci, dan anak tunggai, maka dia akan mampu mengemban tugas ini."
Hening tercipta sejurus. Kemudian, Damung Suralaya memberanikan bicara dengan sangat hati-hati sekali.
"Sesungguhnya, hamba siap berkorban lebih dulu sebelum Nyai Dewi Ular menjadi sasaran kekejiannya Dewa Kegelapan: Lokapura. Hamba siap menghadapi bahaya apapun, Hyang Nathalaga."
"Hmmm, kamu merasa punya kesaktian yang cukup untuk menandingi Lokapura" Itu tidak mungkin, Damung." Sang Juru Gaib tiba-tiba mengibaskan tongkatnya ke samping. Wess...! Percikan cahaya seperti serbuk pasir berwarna putih tersebar dari ujung tongkatnya,merambah permukaan lahar. Dalam sekejap saja permukaan lahar yang bergolak telah berubah menjadi padang pasir yang amat luas. Bahkan ketika Sang Juru Gaib mengibaskan kembali tongkatnya, padang pasir itu berubah menjadi padang rumput yang hijau luas menyegarkan. Udara pun menjadi teduh. Tak sepanas tadi.
"Kesaktianmu itu adalah kekuatan sihir, Damung Suralaya. Kekuatan sihir tidak dapat dipakai untuk melawan Lokapura, karena dia memiliki seribu gudang sihir yang lebih hebat dari yang kau iniliki."
"Ampun Hyang Dewa..."
"Yang dibutuhkan bukan kekuatan sihir, melainkan kesaktian sejati. Bangsamu tidak akan pernah memiliki kesaktian sejati!"
"Bagaimana dengan kedua murid saya ini, Hyang Dewa Nathalaga?"
"Apa yang bisa mereka lakukan?" Damung Suralaya menengok kepada kedua muridnya.
"Tunjukkan...," hanya itu perintah pelan dan pendek darinya. Kedua muridnya saling beradu telapak tangan satu dengan satunya. Plaak, duaaaarrr...! Suara ledakan kuat terdengar, menggelegar dan menggema. Dalam sekejap kedua murid Damung Suralaya berubah menjadi sangat besar. Luar biasa besarnya hingga badan mereka menyerupai dinding benteng yang menutupi pandangan mata Dewa Nathalaga, mengurung rapat sekeliling batu tempat mereka berpijak. Tingginya sangat luar biasa, hingga tak terlihat dengan mudah bentuk kepala dan raut mukanya, selain serat-serat rambutnya yang berjuntaijuntai menyerupai pelepah pohon kelapa.
"Ampun, Hyang Dewa... jika Hyang Dewa izinkan, mereka berdua bisa menjadi seribu rupa dalam sekejap."
"Cukup. Lagi-lagi kau pamerkan sihir di depanku. Bagaimana kalau Lokapura dapat membuat kedua muridmu menjadi sekecil kacang tanah dengan sekali tawa, ha, ha, ha..."!" Zzzuuut...!Tiba-tiba kedua murid Damung Suralaya
menyusut sangat cepat sampai keduanya menjadi sangat kecil, seukuran sebutir kacang tanah di samping kaki Damung Suralaya. Sementara itu, padang rumput ciptaan sihirnya Damung Suralaya juga berubah menja di lautan lahar seperti sediakala. Tawa pendek Dewa N athalaga telah mematahkan kekuatan sihirnya Sang Jur u Gaib. Hal itu menandakan apa yang dimiliki Sang Juru Gaib masih belum sebanding dengan kesaktian yang d imiliki para dewa, terutama Dewa Kegelapan, yang me njadi musuh utama dewa-dewa penghuni Kahyangan. -
"Sekarang ini kau baru berhadapan denganku bukan Lokapura. Kalau kau berhadapan dengan Lokapura, dia bukan hanya mematahkan sihirmu, tapi juga menghancurkan jasad gaibmu. Paham?"
"Hamba paham, Hyang Nathalaga. Tapi hamba punya kesaktian yang lain, yang menurut hamba..."
"Cukup!" bentak Dewa Perang dengan suara bentakan tak terlalu keras, namun membuat kedua murid Sang Juru Gaib terpentaljauh, melayang dan hampir saja jatuh di permukaan lahar panas. Untung mereka segera berubah menjadi dua ekor burung gagak dan terbang ke batu besar, lalu hinggap disamping kanan-kiri Sang Juru Gaib. Berubah menjadi sosok seperti tadi lagi. Sang Juru Gaib sendiri tadi sempat tersentak mundur oleh kekuatan yang keluar dari suara bentakan Dewa
Nathalaga. Tetapi dengan tongkatnya ia mampu bertahan, seakan berhasil mencengkeram batu besar tempat mereka berpijak itu. Namun belakangan diketahui,tongkat itu terbenam dalam batu yang menyerupai bukit, dan tongkat itu sulit dicabut kembali Dengan mengerahkan kekuatan yang tertinggi, barulah tongkat itu berhasil dicabut dari kedalaman batu.
Menyadari segala usulnya dapat memancing kemarahan Dewa Nathalaga, dan menging at Dewa Nathalaga kalau marah sangat berbahaya bag i kehidupan makhluk jenis apapun, maka Damung Sural aya tidak berani coba-coha lagi mencalonkan diri untuk menjadi senopati perang. Dari raut wajahnya yang dise mbunyikan dengan sikap menunduk dapat diketahui ba hwa Damung Suralaya saat itu sangat ketakutan. Nam un rasa takutnya mampu dikuasai, sehingga ia masih m ampu bicara dengan nada sangat hati-hati sekali.
"Hamba dan kedua murid hamba ini mohon ampun beribu-ribu ampun atas kelancangan kami ini, Hyang Dewa. Sesungguhnya niat hamba ini hanya semata-mata ingin menunjukkan sikap persaudaraan hamba terhadap Nyai Dewi Ular pribadi. Hamba tidak relajika Nyai Dewi menjadi korban. Biar hamba lebih dulu yang berkorban sebelum Nyai Dewi." -
"Ya, aku mengerti!"
"Terima kasih, Hyang Dewa. Sekali lagi mohon ampun."
"Sudah, pergilah sana. Kuanggap tidak terjadi apaapa tadi."
"Hamba ingin pergi, tapi izinkan hamba bertemu dengan Nyai Dewi Ular lebih dulu, Hyang Dewa. Bolehkah?" Dewa Nathalaga diam berpikir menimbang-nimbang. Dia tahu hubungan Dewi Ulardengan Damung Suralaya cukup baik. Sangat bersahabat. Dia juga pernah mendengar Damung Suralaya membantu Dewi Ular beberapa kali. Sangatlah naifjika permohonan tadi ditolak hanya semata-mata merasa Kumala dan Damung Suralaya memutuskan untuk mengabulkan permohonan Sang Juru Gaib.
"Jika kau ingin bertemu dengan Kumala Dewi, bentangkan sihirmu. Berdirilah diatas permukaan sihirmu untuk bisa bertemu dengannya." Secara awam kata-kata itu sulit dipahami. Kedua murid Sang Juru Gaib sendiri tidak mengerti maksud katakata Dewa Nathalaga. Tetapi tidak demikian halnya dengan Sang Juru Gaib. Ia cukup paham dengan makna ucapan tadi. Maka, dengan cepat tangan kirinya yang tidak memeg angi tongkat berkelebat ke samping. Kekuatan
sihirnya dilepaskan, membentuk hamparan rumput yang * mengambang di atas permukaan lahar panas itu. Dengan cepat Sang Juru Gaib berpindah tempat, kini berdiri di atas hamparan rumput yang melayang di udara. Kedua muridnya mengikuti. Dewa Nathalaga menjentikkan jarinya. Wuuusssb...! Tercipta pula hamparan kabut menyerupai permadani lebar. Hamparan kabut itu juga melayang-layang di udara. Kemudian ia pindah ke atas Sana. -
"Kumala Dewi, keluariah... ada yang ingin bertemu denganmu!" kata Dewa Nathalaga, membuat Sang Juru Gaib dan kedua muridnya mencari-cari di permukaan lahar panas itu. Mereka bertiga menyangka Dewi Ular akan muncul dari salah satu tempat di permukaan lahar. Ternyata dugaan mereka salah Batu sebesar bukit menyerupai perahu terbalik itu bergerak-gerak. Permukaan lahar makin bergolak. Batu itu bertambah tinggi. Naik ke permukaan. Makin lama makin tinggi, sampai akhirnya bagian bawahnya yang datar tampak semua. Dan, kedua murid Damung Suralaya memandang heran, karena ternyata batu itu naik ke permukaan karena disangga dengan satu tangan halus berjari lentik, yaitu tangan si cantik Dewi Ular. Rupanya Kumala Dewi bukan saja disuruh bertapa di dalam lautan lahar yang sangat panas, namun juga ,
digencet menggunakan batu sebesar bukit dan ditunggui Dewa Nathalaga. Jika ada makhluk apapun berdiri diatas batu itu, maka Kumala yang terbenam tertindih batu tidak akan mampu menyingkirkan batu tersebut. Maka, ketika semuanya pindah dari atas batu, Kumala mampu muncul perlahan-lahan dengan menopang batu menggunakan satu tangan. Dia muncul dalam keadaan rapi, tanpa ada kerusakan sedikit pun pada pakaian maupun tubuhnya. Tidak ada yang basah, tidak ada yang terbakar. Kering dan tetap mulus. Batu besar seperti bukit itu lenyap dalam sekejap setelah tangan Kumala melemparkannya ke atas. Posisi berdirinya berada di gumpalan kabut, yang ditempati Dewa Nathalaga. Damung Suralaya dan kedua muridnya segera memberi hormat dengan sangat santun. "Ada apa menemuiku di sini, Damung Suralaya?"
"Nyai Dewi, akuhanyaingin berpesan, jika kelak Nyai Dewi tampil sebagai senopati Perang Mahagaib, izinkan diriku menjadi perisaimu. Aku dan murid-muridku siap melakukan belapati demi keberhasilan, Nyai Dewi" Kumala Dewi menyunggingkan senyum manisnya Ia merasa terharu mendengar kesetiaan sahabatnya itu.
"Terimakasih atas kesediaanmu. Aku tidak akan lupa dengan kesetiaan seperti ini, Damung Suralaya. Terus... apalagi yang ingin kausampaikan?"
"Cukup, hanya itu, Nyai Dewi. Terima kasih atas kepercayaannya nanti, dan sekarang aku serta kedua muridku mohon pamit."
"Damai sejahtera bersamamu, Damung Suralaya. Pergilah." Setelah pamit dengan Dewa nathalaga juga, Damung Suralaya dan kedua muridnya berubah menjadi tiga ekor burung gagak, seperti semula. Kemudian, mereka bertiga pergi meninggalkan lautan lahar.
"Aku kagum padamu, Kumala. Bisa bersahabat dengan segala makhluk." -
"Persahabatan adalah mahkota terindah bagiku, Eyang." Dewa Nathalaga manggut-manggut.
"Benar anggapanmu itu. Dan, aku merasa tidak memiliki mahkota seperti yang kau miliki itu, Kumala."
"Ah, Eyang tidak perlu rendah diri begitu. Bisa dimaklumi Eyang tidak bersahabat dengan semua makhluk karena Eyang adalah Dewa Perang yang harus dihormati oleh mereka. Dihormati dan disegani."
"Begitukah menurutmu?"
"Ya, Eyang. Dan... sekarang apakah aku harus terbenam kembali di kedalaman lahar dingin itu?"
"Lahar panas, Kumala."
"Aku tidak merasakan panasnya laharini, Eyang?"
"O, itu berarti Aji Cakra Salju sudah menyatu dengan sukmamu!"
"O, ya" Jadi...?"
"Sekarang sudah waktunya untuk mengambil pusaka itu, Kumala"
"Pusaka apa, Eyang?"
Dewa Nathalaga tersenyum kecil. Menepuk-nepuk pundak Kumala. Wajah galaknya memancarkan keceriaan sejati. -
*
Sebelum pergi menengok jenazah Jimmy, Sandhi Sempat mampir di warungnya Mang Ayom, karena ia butuh rokok, sekedar buat gagah-gagahan, Padahal aslinya dia memang bukan seorang perokok. Di saat singgah ke warung itulah ia mendengar percakapan di antara tukang ojek yang mangkal di warung tersebut. Rupanya mereka masih belum bosan membicarakan kematian seorang tukang ojek yang mayatnya sempat dilihat Sandhi dan Buronitu.
"Eh, dengar-dengar di Jakarta Utara sana,tadi malam juga ada kematian serupa," ujar Roman yang belum lama bergabung dalam pembicaraan tersebut.
"Ada pembunuhan yang korbannya seperti Saman,
"begitu?" "Iya. Mayatnya ditemukan kering dan tanpa darah setetes pun."
"Ah, masasih?" ujar yang lain.
"Benar itu," sahut Sandhi menimpali.
"Korbannya temanku sendiri, Bang. Ini sekarang aku mau berangkat ke rumah duka, sambil mau lihat apakah tepat seperti korban yang bernama Saman atau ada perbedaannya."
"Wah, gawat!" kata Gagan.
"Pasti pelakunya ": bernama Fidra." Sandh i kerut dahi.
"Fidra"!" "Iya, Bang.Tadinya sayalah yang nyaris jadi korban. Perempuan cantik, dadanya montok sekali itu, tadinya penumpang saya. Dia minta diantar kejalan Kenari.Tapi ditengah perjalanan ban depan motor saya kempes. Kebetulan Saman lewat,terus diambilalih sama si Saman Naah, habis itu baru saya dengar kabar Saman mati dalam keadaan menyedihkan." Mang Ayom menimpali,
"Waktu di sini perempuan muda itu sempat ditanya sama siGagan, bahwa diapunya nama Fidra, yakan, Gan?"
"Iya. Saya masih ingat, orang nama itu terasa indah sekali dan mudah saya ingat kok."
"Huhhh... jangan sok mesra lu!" sahut yang lain sambil menertawakan lagak Gagan yang bicaranya agak
romantis. Sandhi hanya tersenyum kecut mendengarnya, karena dalam hati ia segera bertanya-tanya tentang nama Fidra.
"Kalau benar pelakunya sama, kenapa yang di sini mengaku bernama Fidra, sedangkan Jimmy waktu itu pergi bersama Zeona?" Dia menanyakan ciri-ciri perempuan muda yang bernama Fidra itu. Gagan menjelaskan secara detil sekali. Maka, hati Sandhi pun berkesimpulan, Fidra adalah Zeona. Ciri-ciri sama persis.
"Apalah artinya nama, toh dia bisa berganti nama seratus kali dalam sehari," ujarnya dalam hati.
"Kayaknya informasi ini perlu diketahui Buron. Hmmm, aku pulang dulu deh, mau kasih tahu Buron." Ketika Sandhi baru saja memarkir mobil, Mak Bariah tampak berlari-lari dari garasi dengan wajah tegang.
"Ada apa dengan Mak Bariah tuh"! Kayaknya ada yang membuatnya sangat tegang?" Sandhi buru-buru turun dari mobil.
"San...! Cepetan, San...!"
"Ada apa, Mak?"
"Ada orang asing menyelinap masuk ke rumah."
"Hah:.."! Orang asing... bule, maksudmu?"
"Orang nggak dikenal, maksudku! Tapi... tapi dia memang mirip bule, San. Dia masuk kekamarmu!"
"Siapa ya?" Sandhi bergegas masuk lewat pintu serambi samping.
"Jangan-jangan dia itu rampok, San."
"Ah, masa rampok sesiang ini sih?" Sandhi segera menuju ke kamarnya. Tepat ketika itu seraut wajah tampan mirip bule berhidung mancung muncul. Sandhi segera menyerangnya dengan suaranya menghardik garang.
"Hey, mau apa lu"! Siapa lu"! Darimana lu masuk kemari, hah"!" Pria ganteng berbibir bersih tanpa nikotin berperawakan tinggi, tegap dan macho itu, hanya menyunggingkan senyum kalem melihat kemarahan Sandhi. Merasa disepelekan Sandhi segera mengangkat salah satu bangku plastik yang tidak jauh dari jangkauannya.
"Gue timpa lu kalan nggak mau ngaku, hah"!"
"Jangan sok galak lu, San! Nggak pantes lu berlagak sangar," lalu tawanya menghambur sambil ia melangkah ke ruang makan. -
"Ron..."!"panggil Sandhi.
"Itu elu, Ron?"
"Gimana" Ganteng nggak gue kalau begini?" -
"Sialan!"Sandhi segera memandang Mak Bariah yang tertegun bengong tanpa suara.
"Kira-kira Zeona bakal tertarik nggak ama gue kalau gue berpenampilan macho begini, hm?"
"Siapa dia, San?"
"Si jin usil! Buron."
"Astaga..."! Elu bisa berubah jadi ganteng begini, Ron?" -
"Yaah, namanyajuga anakjin, bisa aja, Mak,"timpal Sandhi dengan bersungut-sungut. Buron yang tertawa dengan suara tawanya yang masih sama. Penampilan boleh beda, tapi suara dan tawa masih tetap dikenali sebagai suara dan tawanya Buron. Sandhi dan Mak Bariah segera mengerti maksud Buron merubah penampilannya secara gaib menjadi setampan itu, hanya semata-mata ingin menjadi daya tarik bagi Zeona.
Masalahnya, apakah Zeona menyukai pria berpenampilan seperti bule, berkulit putih dan berhidung mancung dengan mata agak biru" Bagaimana kalau Zeona tidak tertarik dengantipe cowok seperti itu"
BARU saja malam tiba, angin sudah mulai kencang. Rumah Kumala yang banyak ditumbuhi pepohonan menjadi bergemuruh lantaran daun-daun pohon seperti sedang mengamuk. Jarum jam masih menunjuk keangka tujuh lewat sedikit. Buron sudah pergi berburu asmara maut. Sebelum pergi ia berpesan kepada Sandhi. |
"Malam ini kamu dirumah aja, jangan pergi kemana
mana "Lu kayak boss aja!" Sandhi betsungut-sungut.
"Temani Mak Bariah. Tapi jangan bilang kalau di dalam dua guci keramik itu aku menyimpan roh-roh yang nyaris jadi korban si pembunuh hantu."
"Kenapa nggak disimpan digudang aja sih?"
"Kumala memasang pagar gaib yang lebih kuat di dalam rumah. Bukan di gudang Jadi, roh-roh itu harus tetap berada di dalam lingkaran pagar gaib."
"Apakah roh Windy juga lu masukin dalam guci?" "Ya. Dan, lu nggak usah khawatir, mereka tak akan bisa muncul, karena tutup guci kuberi materai gaib yang
'nggak bisa dibuka oleh siapapun." |
"Bagaimana kalau guci itu pecah?"
"Kita bakal dimarahi Kumala." Hanya itu jawaban Buron. Tidak sesuai dengan jawaban yang diinginkan Sandhi. Ia buru-buru pergi dengan modal penampilan barunya. Ia memasang radar gaibnya untuk mendeteksi kekuatan gaib yang dimiliki . seorang gadis atau wanita muda berdada supermontok. Dengan radar gaibnya itu Buron melacak keberadaan Zeona, atau Fidra, atau entah siapa lagi nama samaran yang digunakan kakitangan Lokapura itu, Penampilannya yang ganteng bergaya bule diyakini bakal bisa menarik perhatian Zeona. Mak Bariah tidak mengetahui isi kedua guci tersebut. Maka, dengan tenangnya ia menyapu lantai sekitar guci, bahkan menggesernya ke kanan atau ke kiri tanpa rasa takut sedikitpun. Tetapi bulu kuduk Mak Bariah tampak sering merasakan merinding, terbukti ia sebentar-sebentar mengusap tengkuknya sambil menarik napas dalam.Hembusan angin bertambah kencang. Jaraknya sangat dekat antara hembusan ke satu dengan hembusan berikutnya. Mak Bariah menyangka cuaca tersebut akibat dari perubahan iklim. Tanda-tanda hujan mulai tiba. Sudah beberapa bulan hujan tak kunjung datang. Mungkin malam
itu adalah awal dari datangnya musim penghujan.
"San, pintu depan tutup aja."perintah Mak Bariah.
"Kayaknya hujan mau turun dengan deras nih." -
"Iya nih," jawab Sandhi sambil bergegas ke depan, tapi hatinya berkata lain,
"Apa benar mau turun hujan" Biasanya kalau mau turun hujan udaranya nggak sedingin ini" Justru akan terasa gerah. Tapi sekarang ini... angin kencang, udara dingin, hmmm..." Kayaknya ini bukan angin tanda-tanda akan turun hujan." Menjelang pukul sembilan mulai terdengar suara lolongananjing.Tetangga kanan-kiri mempunyai binatang piaraan anjing. Hewan-hewan itu kini saling melolong di antara deru hembusan angin. Sementara suasana malam itu sebenarnya sudah mulai dicekam sepi. Pantaslah jika Mak Bariah mulai curiga dengan tanda-tanda malam. karena terlalu sering menemukan keganjilan seperti itu.
"San..."! Sandhii...!"serunya dari dapur la bergegas menemui Sandhi yang sedang berada di kamarnya. Sandhi pun muncul mendengar seruan Mak Bariah yang sedikit bernada tegang itu. -
"Ada apasih, Mak" Malam-malam kok masih teriak juga"!"
"San, bulu kudukku dari tadi sering merinding. Kenapa ya?"
"Karena bulu kudukmu nempel di kulit, Mak. Kalau
bulu kudukmu nempel didinding ya nggak merinding." -
"Eeehh... diajak ngomong kok jawabnya seenaknya"!" geram Mak Bariah. Sandhi tertawa geli dengan menahan suaranya. Ia sekedar mencari ketenangan diri sendiri dengan kelakarnya itu, karena sebenarnya dari tadi jantungnya berdebar-debar menyadari tanda-tanda keganjilan alam malam itu. Apalagi ia sering melirik ke arah dua guci yang ada di ruang tengah tak jauh dari kamarnya, rasa khawatir tumbuh dan berkembang menjadikan dirinya diliputi kecemasan.
"Kayaknya mau ada apa-apa ini, San?"
"Ah, perasaanmu mengada-ada, Mak." Tapi hati kecil Sandhi membenarkan dugaan tersebut
"Iya sih, kayaknya mau ada apa-apa. Aduuuh, mana nggak ada Buron, Kumala pergi, disini ada... entah berapa roh yang disimpan oleh si edan Buron dalam guci itu. Kalau terjadi apa-apa, gimana?"
"San, aku nggak berani tidur sendirian di kamarku."
"Jangan gila, Mak Masa Mak Bariah mau tidur sama aku. Habis dong perjakaku nanti."
"Eh,kalo ngomong jangan asal nganga ya Siapa yang mau ambil perjaka lu"!" Mak Bariah sewot. Sandhi senang. Paling tidak rasa kesai itu bisa mengalihkan perasaan takutnya si juru masak tersebut, sehingga ia -
akan sedikit tenang dari kecemasan rasa takutnya. Deru angin makin bergemuruh memenuhi alam. Lolong anjing bersahutan menoreh hati tiap orang yang mendengarnya. Mak Bariah nekad menggelar kasur lipat di kamar Sandhi dan tidur di situ, berusaha membuang rasa takutnya. Ia berharap bisa segera tidur dan tidak perlu mengetahui apa yang terjadi pada malam ini. Sandhi menyibukkan diri dengan acara teve. Ia sengaja mengeraskan suara teve untuk menutupi suara-suara menyeramkan di sekelilingnya. Tiba-tiba terdengar suara mengejutkan, kraaaaaak, gedebuuk...!
"Sandhiiii...!" teriak Mak Bariah sambil melompat bangun dan menemui Sandhi di ruang tengah. Sandhi sendiri juga kaget mendengar suara tersebut. Lebih kaget lagi begitu mendengar teriakan Mak Bariah, sehingga napasnya menjadi terengah-enga h lantaran jantungnya berdetak sangat cepat. - -
"Suara apa itu"!.Suara apa, San"!"
jangan panik segala gitu, ah! Bikin orang tambah stress aja kamu ini, Mak!" -
"Aku kaget!" "Aku juga kaget. Tapi lebih kaget lagi dengar teriakanmu!"
"Udah, udah... periksa dulu sana!"
"Periksa ke mana"!"
"Ke belakang, bego! Suara tadi datangnya dari belakang!"
"Pencuri apaan"! Itu suara dahan pohon mangga patah dan jatuh. Angin kencang begini bisa saja mematahkan dahan pohon!"
"Periksa dulu sana...!!" desak Mak Bariah membuat Sandhi mulai kesal. Ia berusaha menghilangkan rasa takut, tapi Mak Bariah justru menghadirkan ketakutan terus-menerus. Traaang...!Terdengar suara besi berbenturan. Mak Bariah dan Sandhi saling beradu pandang.
"Ada yang buka pintu pagar depan, San"!"bisik Mak Bariah.
"Tadi kayaknya udah aku kunci deh."
"Coba tengok sana." -
"Ah, idemu nggak enak semua, Mak."
"Maksudku, diintip dari balik gordyn aja!" Sambil mendesak begitu ia mendorong-dorong Sandhi agar memuju ke ruang depan. Lampu ruang depan dalam keadaan dipadamkan. Gordynnya ditutup rapat. Mak Bariah tetap saja ikut sambil memegangi kaos yang dipakai Sandhi. Ia juga ingin mengintip keadaan di luar, tapi rupanya rasa takut sangat mencekam jiwanya
sehingga butuh teman untuk sama-sama menyingkapkan gordyn depan.
"Nggak ada siapa-siapa, Mak."
"Nggak ada siapa-siapa tapi pintu pagar kenapa terbuka?" bisik Mak Bariah.
"Perhatikan gemboknya, nggak terkunci kan" Pintu yang samping juga terbuka dikit tuh."
"Wah, iya...!" "Kunci duln gih. Mungkin tadi kamu lupa nggak menguncinya." -
"Tunggu, tunggu....!"Sergah Sandhi."Mak mencium bau apa?" - Mak Bariah mengendus-endus. Lalu memukul punggung Sandhi.
"Setan lu! Lu kentut ya"!"
"Bukan! Enak aja!" Sandhi bersungut-sungut kesal.
"Bau busuk ini bercampur kayak bau belerang." Mak Bariah mengendus-endus lagi.
"O, iya. Waduh... pasti ada makhluk alam lainyang datang kemari, San Duuuuhh... gimana ini"!"Mak Bariah semakin ketakutan. - Traang, kiiiing...! Suara pintu pagar terbuka lagi. Mereka kembali mengintip dari balik gordyn. Tidak tampak siapa pun di sana. Tapi pintu pagar bergerak-gerak pertanda habis ada yang mendorong atau membukanya.
"Nggak ada siapa-siapa...," bisik Mak Bariah. Belum sempat Sandhi berkomentar sudah terdengar lagi suara pintu pagar didorong Traang, kliiing...! Mereka melihat pintu bergerak terbuka, tapi tidak tampak seorang pun yang melintasi pintu tersebut. Mak Bariah menjadi pucat pasi. Kakinya gemetaran. Ia yakin, ada sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata orang awam, yang kini sedang memasuki halaman rumah.
"Mak, ambilkan sarungnya Buron."
"Sarung" Buat apa sarung bau apek kayak gitu?"
"Udahlah, ambilkan di kamar. Aku mengawasi keadaan di luar." |
"Ah, syarap kali. lu, San...,"gerutu Mak Bariah walau tetap memaksakan diri untuk pergi ke kamar. Sandhi ingat kata-kata Buron beberapa waktu yang lalu, ketika ia kesal kepada Buron karena bau apek dari sarung yang dipakai Buron tiap mau tidur. Sandhi sudah berkali-kali mengingatkan agar Buron mencuci sarungnya, tapi Buron tidak pernah mau. Mak Bariah juga pernah mau mencucikan sarung itu, tapi ditolak oleh Buron. Kepada Sandhi Buron pernah bilang, bahwa sarung itu punya khasiat tersendiri. -
"Biar sarung gue udah kumel, dekil dan bau apek, tapi sarung ini punya kekuatan ilmu tersendiri, San Lu sabetin ke udara bisa keluarkan tenaga gaib, buat ngusir setan.
Kalau lu nggak percaya; coba aja!"
"Nggak sudi!"jawab Sandhi ketika itu. Ia khawatir akanjadi bahan tertawaan Buron. Ia curiga mau dikerjain Buron, sehingga ia lupakan masalah itu secepatnya. Kini, keadaan sangat terpaksa. Sandhi akan buktikan kata-kata Buron. Dalam keadaan seperti saat ini ia berharap kata-kata Buron bukan sekedar celoteh murahan saja. Maka ketika Mak Bariah sudah kembali dan menyerahkan sarung itu, Sandhi segera mengalungkannya di leher sambil menyeringai menahan bau tak sedap dari sarung yang sepengetahuannya sejak. beli hingga sekarang | belum pernah dicuci. | -
"Busyet! Ini sarung apa kantong sampah, baunya bikin perut gue mual, Mak." -
"Tadi aku aja ngeludah dikamar lu, San Nggak kuat baunya." - - -
"Yeeeh, gimana sih" Ngeludah di kamar"Wah, kaco jugalu, Mak!" .
"Habis, kataa..."
"Sssst, diam dulu, Mak!"sergah Sandhi dengan suara membisik.
"Aku dengar suara percakapan. Coba dengar baik-baik deh..." - Mak Bariah menelengkan kepala, menyimak suara di sekelilingnya. Selain suara deru angin dan lolongan anjing yang sesekali hilang, ternyata memang benar; ada
suara orang bicara di luar sana.
"... iya, aku tahu..."
"... mereka disini kan?" ... benar, mereka disini..."
"... tapi mereka terkungkung..."
"... karena mereka memang dilindungi..."
"... sepertinya mereka aman di sini..."
"... aku juga mau berlindung disini..."
"... hey, hey... dia mengetahui kita ada di sini..."
"... aduuh, gimana ini" Kita tidak bisa masuk ke rumah ini. .." - Bukan hanya percakapan dua orang yang mereka dengar, tapi lebih dari tiga orang. Ada suara lelaki ada pula suara perempuan. Tapi di luar sana Sandhi dan Mak Bariah tidak melihat wajah siapa pun. Tidak ada orang yang berdiri di halaman depan. Hanya saja, suara tadi sepertinya berasal dari luar dan di sekitar pintu pagar
"Mereka mencari perlindungan, seperti yang disini," kata Sandhi seperti bicara sendiri.
"Mereka siapa maksudmu?"
"Hmm, hmm... nggak. Bukan siapa-siapa kok,"Sandhi tak berani menjelaskan. Sebab jika iajelas kan bahwa di dalam rumah tersimpan banyak roh, past i akan membuat Mak Bariah semakin panik. Sandhi pun sebenarnya dapat menyimpulkan, bahwa diluar sana a da
beberapa roh yang menghindari ancaman dari suatu pihak, dan mereka mengetahui teman-temannya ada di dalam rumah. Mereka ingin mendapatkan perlindunganjuga agar selamat dari ancaman maut. Sayangnya, mereka tidak bisa masuk kedalam rumah dengan mudah, karena pagar gaib yang di pasang Kum ala sejak dulu kala.
"San, jujur aja luh... di luar ada hantu kan?"
"Hmm, hmmm... kira-kira begitu."
"Aduuuh, gawat Trus gimana nih"!"rasa takut Mak Bariah bertambah.
"Tenang saja, Mak. Mereka tidak mengganggu kita. Mereka cuma cari tempat untuk berlindung dari kejaran si pembunuh hantu."
"Pembunuh hantu"! Hantu itu sudah mati kenapa masih mau dibnnuh?"
"Kata Buron, hantu atau roh yang tidak mau dijadikan prajuritnya Dewa Kegelapan akan dihancurkan oleh si pembunuh hantu, sehingga mereka tidak akan ada dialam mana pun." -
"Hihhhh...!" Mak Bariah bergidik hingga tubuhnya terguncang.
"Hey, hey, lihat itu, Mak...!" tangan Sandhi masih menyingkap gordyn, dari singkapan itu mereka dapat memandang keluar. Mereka melihat cahaya perak melayang-layang di atas jalan beraspal yang kala itu
tampak lengang. Cahaya perak yang menyerupai bola bekel itu tiba-tiba memancarkan bias sinarnya kebeberapa penjuru. Claap! Maka, saat itu pula roh-roh yang semula ingin mencoba masuk ke dalam rumah tampak nyata di mata mereka. Roh-roh yang terdiri dari dua lelaki dan tiga wanita itu tampak seperti dihujam tombak ketika terkena bias sinar perak tadi.
"Aaahk, oohhgggrr, aaaahhk...!" Mereka saling memekik sesaat, kemudian lenyap menjadi serpihan cahaya. Dan, lenyap pula bayangan sosok mereka. Hancur selamanya. Terdengar pula suara ratapan dari sisi balik pohon cemara hias. "Jangan... jangan hancurkan aku... aku tidak mau jadi prajurit kalian... aku tidak mau ikut campur urusan kalian... ooh, jangan...!" Cahaya perak seperti bola bekel itu mendekati pohon cemara hias. Ada dua suara yang merintih di sana, tapi takjelas wujudnya. |
"Kasihan sekali...,"gumam suara Sandhi."Mak,aku coba menolong mereka. Aku akan keluar. Tutup pintunya, ya?"
"Jangan sok berani kamu, bego!"
"Mereka tersiksa, akan dihancurkan. Kasihan, Mak..." Sandhi nekad keluar. Ia tak sadar bahwa ia mulai
punya keberanian sejak mengenakan kalung sarungnya Buron. Sarung itu pun tanpa disadari telah membantu kejiwaannya menumbuhkan nyali, hingga rasa takut berkurang cukup banyak. Tak heran jika Sandhi mekad keluar tanpa menghiraukan larangan dari Mak Bariah. Sandhi berlari ke halaman depan, mendekati pohon cemara hias. Cahaya perak sebesar bola bekel itu berhenti diudara, seperti mata setan yang mengetahui kemunculan Sandhi. Maka, dengan cepat Sandhi melepas sarung dan mengibaskannya. Wuuuusssstt...!
"Pergi kau, Jahanam!" teriaknya penuh keberanian. Di luar dugaan juga, kibasan sarung Buron itu mengeluarkan percikan bunga api yang menerjang cahaya perak. Craaap...! Blaaart...!Terjadi suatu ledakan yang membuat Sandhi tersentak mundur dengan rasa kaget luar biasa. Ledakan itu membuat cahaya perak juga terdorong mundur, namun tidak mengalami kehancuran sedikit pun. Hanya saja, roh-roh yang melarikan diri darinya kini mulai tampak sejak terjadinya suara ledakan tadi. Sandhi mulai bisamelihat sosok bayangan roh yang bersembunyi di bawah cemara hias, Dua wanita ada di sana, satu lelaki ada di bawah pohon lain
"Tolong kami... tolong selamatkan kami dari ancamannya...!" Wajah pucat dan mata cekung dari roh lelaki itu bicara
pada Sandhi, namun Sandhi tidak bisa menjawab apaapa karena perhatiannya tertuju pada cahaya perak yang kini mulai membesar menjadi seukuran bola tenis. Pada saat itu bias cahayanya menyembur ke arah Sandhi. Dengan cepat Sandhi bangkit dan mengibaskan sarungnya Buron lagi. Wuuuussst, claaap... bleegaaar...!
"Aoohkk...!" Sandhi terlempar hingga membentur tiang teras. Ledakan keras tadi membuat wajahnya jadi merah. Ia seperti berada dalam ledakan petasan yang cukup besar. Perih terasa di sekujur tubuhnya. Darah keluar dari lubang hidungnya. Dadanya sesak, hingga ia sulit bernapas. Ketika ia ingin bangkit, ia tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hooeek...!" "Yaaah, mampus deh si Sandhi..."!" cemas Mak Bariah dengan sedih. Ia menjadi sangat bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun melihat Sandhi semakin parah, ia memberanikan diri keluar dan berlari menghampiri Sandhi.
"Cepat masuk! Ayo, masuk..! Bego sih kamu!" Tiba-tiba sinar perak terpancar kembali dari cahaya sebesar bola tenis itu. Sandhi sempat melihat kilatan cahaya perak itu tertuju ke arahnya, maka secepatnya ia
mendorong Mak Bariah ke samping,
"Awaaas...!" , Bruussk...! Keduanya saling terkapar berjatuhan. Tapi mereka lolos dari cahaya perak. Sementara bias cahaya yang tadi muncul bersamaan dengan yang tertuju kepada Sandhi telah berhasil mengenai tiga bayangan hantu yang berlindung di balik pohon. Ketiganya hancur dan lenyap tanpa bekas, tanpa suara lagi.
"Ma... masuk kamu, Mak...!"
"Ka... kamu juga...! Cepat...!" Sandhi merangkak berusaha mengambil sarungnya Buron yang tadi terlepas darinya. Mak Bariah merangkak menuju pintu. - Namun tiba-tiba cahaya perak itu berubah menjadi besar, berbentuk tangan yang menampar pinggang Sandhi. Bwuuuss, bbuuhhk...! -
"Uuuhhhkk...!" Gubraaaak..! Sandhi terlempar membentur bangku teras. Ia menggeliat kesakitan sambil mengerang. Pinggangnya seperti mau jebol. Tulang rusuknya seperti patah semua. Mak Bariah hanya bisa menjerit untuk kemudian teikulai lemas tanpa bisa bergerak, namun tidak pingsan. Angin yang berhembus dari bentuk tangan cahaya perak tadi telah melumpuhkan sendi-sendinya, hingga hanya sebagian kecil saja dari tubuhnya yang
masih bisa bergerak. Lemah. Zzzzuuubs...!! Tiba-tiba cahaya perak itu menyala dengan sangat terang. Seperti mengalami ledakan tanpa bunyi. Namun dalam waktu hanya sekian detik cahaya itu padam. Dan tampak sesosok makhluk yang kakinya berbulu, telapak kakinya seperti bebek, kulitnya bersisik, kepalanya seperti kuda namun bertanduk dan berambut panjang Tingginya sekitar 7 meter, dengan tangan panjang berbulu dan berkuku runcing seperti mata pisau. Sekujur
tubuhnya berwarna perak, menyala seperti mengandung
fosfor. "Hhgggrrrr...!" Ia menggeram dengan seringai mengerikan. Mak Bariah tak kuat menahan rasa takut. Pingsan. Sandhi menguatkan diri, berusaha untuk menjauh dengan beringsut pelan-pelan. Tapi tangan besar makhluk perak itu segera berhasil menyambar. Paha Sandhi kena cekal. Diangkat dan dilemparkan seperti boneka membentur pohon. Bruuusk...! - -
"Aaahhhkk....!!" Sandhi memekik tertahan dengan kepala berdarah.
"Dimana merekaaa...!!" geramnya dengan mata lebar merah menyala.
"Ak... aku... tidak tahu maksudmu... oouhhkk...!"
"Keluarkan mereka dari persembunyiannya! Mereka
milikku! Aku tahu mereka ada di sini! Tapi siapa yang pasang pagar laknat ini, membuatku sulit masuk kedalam untuk mengambilnya! Keluarkan mereka!!" Sandhi paham sekali yang dimaksud makhluk itu adalah roh-roh yang disembunyikan Buron dalam kedua guci kramik itu. Tapi Sandhi berlagak bego dan tidak mau banyak komentar. Dia hanya mencoba memeras otak untuk mencari jalan bagaimana menghindari amukan makhluk menyeramkan itu. Dia hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Mak Bariah. Dia tidak khawatir akan keutuhan guci-guci itu sebab ternyata makhluk tersebut tidak mampu menembus pagar gaibnya Kumala Dewi. -
"Keluarkan merekaaaa...!! Haaaagggrr...!!" Gubrraaak, praaaak, brrrukk...! Makhluk itu mengamuk. Atap teras sempat dihancurkan Namun dia sendiri terpental begitu lebih dekat lagi kearah pintu rumah. Mak Bariah nyaris tertimpa reruntuhan atap teras. Untung hanya kaki kirinya yang kejatuhan sepotong kaso. Tidak Berbahaya.


Dewi Ular 85 Misteri Pembunuh Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mmaaak... baa... bangun, Maaak...!" Sandhi berusaha merayap menghampiri Mak Bariah yang masih tetap pingsan. Tapi tiba-tiba makhluk perak itu sudah kembali menghampirinya dengan satu kaki besar diangkat siap untuk menginjak Sandhi seperti ia menginjak seekor
kecoa. Blegaaaar...! Makhluk itu terpekik serak.
"Haaaagggrrrrrkk. ..!"
Ia melambung ke atas, sangat tinggi. Terjungkal jungkal di atas sana, hingga akhirnya jatuh berdebam di jalanan beraspal. Bluumm...! Suaranya masih terdengar gaduh, dan ia berusaha bangkit kembali.
Makhluk besar mengerikan itu ternyata mengalami serangan yang sangat diluar dugaannya. Seberkar sinar hijau menghantam punggungnya dan membuatnya terlempar ke atas seperti boneka dibuang begitu saja. Pada saat itu Sandhi segera melihat seraut wajah cantik sudah berdiri di pucuk cemara hias. Raut wajah cantik itu tak lain adalah wajah Kumala Dewi yang masih mengenakan jubah hijau dengan rambut disanggul rapi, sebagaimana penampilan formilnya sebagai sosok bidadarijelita.
Wuussst...! Kumala Dewi turun dari pucuk cemara. Proses melayang turun telah membuat ia berubah pakaian. Kini ia berpakaian seperti manusia biasa. Celana ketat dan lentur sebatas betis dan blus cekak warna hijau muda yang lekat dengan badan, hingga bentuk tubuhnya yang amat sexy menggiurkan itu terlihat jelas.
"Kumala..."! Syukurlah kau datang..."
"Dapat cuti...!" Hanya itu jawaban Kumala. Ia tak mau banyak bicara dulu dengan Sandhi, karena ia harus segera mengejar lawannya. Dengan ringan sekali Kumala melayang melompati pagar dan tahu-tahu sudah ada di jalanan beraspal. Jalanan itu menjadi jalanan mati, Sepi. Tanpa kendaraan dan orang satupun yang lewat. Entah mengapa bisa kebetulan begitu. Atau mungkin memang Kumala menciptakan suasana tersebut agar tak ada pihak lain yang menyaksikan pertarungannya.
"Biadab kau, Dewi Ulaaaarrr...!!".
"Hmm, aku mengenalimu sebagai kaki tangannya Lokapura. Kau yang bernama Draco, penguasa roh-roh yang mati penasaran, bukan?"
"Kalau kau sudah mengetahui diriku, sebaiknya keluarkan mereka dari dalam rumahmu. Mereka adalah milikku!"
"0, aku malah nggak tahu kalau mereka ada di dalam rumahku. Jika benar begitu, berarti mereka adalah pihak yang wajib kulindungi -
"Kuhancurkan jasadmu, gadis keparaaat...!! Haaaagggrrr...!" Draco mengeluarkan sinar merah seperti kobaran api dari mulut, dan kedua matanya. Ketiga sinar itu menerjang Dewi Ular. Namun dengan ringannya Dewi Ular
.. melambung ke atas. Wuuust...! Tapi bayangan sosok tubuhnya masih tertinggal di tempatnya berdiri. Sinar merah Draco membentur bayangan sosok tubuh Kumala dan terjadilah ledakan menggelegar. Sinar merah itu padam seketika. Bayangan Kumalapun hilang. Sementara jasad dirinya segera diam diudara setinggi kepala Draco.
2aaaab...! Entah apa yang dilemparkan Kumala dari tangannya. Yang jelas Draco tampak kewalahan menghindarinya. Duaaar...! Salah satu dari kedua : tanduknya patah karena dihantam energi tak bersinar dari tangan Kumala tadi.
Pertarungan itu menjadi semakin seru, karena Draco mengeluarkan berbagai macam kesaktiannya. Tapi serangan Draco selalu dapat dipatahkan oleh Kumala Dewi. Bahkan gadis cantik berwajah imut-imut itu segera melayang cepat bagaikan anak panah dan menembus dada Draco hingga jebol kebelakang. Wiizzzt, binuusss...!
"Hijia"aaggghhhrrrr...!!" Draco mendelik dengan tubuh tegang, mengejang kuat-kuat. Dadanya bolong seperti goa. Asap putih mengepul dari tempat yang bolong itu. Sementara itu Kumala hinggap diatas besi pagar yang runcing-runcing. Tangannya menggenggam sesuatu yang ternyata adalah jantung lawannya. Jantung itu diremas. Draco semakin mengerang menyentak-nyentak. Jantung itu kian diremas hingga pecah, menghamburkan asap
hitam. Draco pun tumbang tak berkutik lagi. Jasadnya berubah menjadi kepulan asap hitam yang kemudian lenyap dihembus angin malam. Namun meski pun jasad Draco sudah lenyap, suaranya masih tertinggal dan menggema memenuhi alam sekeliling tempat itu.
"Jangan merasa bangga atas kemenanganmu, Dewi Ular...! Aku memang kau kalahkan, tapi belum tentu kau
dapat kalahkan istriku." - Lalu, terdengar suara menggema itu berteriak panjang.
"Zeooomaaaa... balaskan dendamkuuu...!!"
Lambat laun gema itu pun hilang. Malam menjadi bening kembali. Sandhi masih sempat berkerut dahi. Kini ia tahu, bahwa Zeona ternyata istri Draco yang punya misi mengacaukan kehidupan manusia dimuka bumi ini. Tapi bukankah Zeona sekarang sedang ditangani Buron" Apakah Buron berhasil mengalahkan Zeona" Atau justru Jin Layon itu yang hancur di tangan Zeona"
MENCARI Zeona bukan hal sulit bagi Buron. Ia terbang tanpa jasad, lalu menyebarkan radar gaibnya. Zeona pasti memiliki sinyal gaib sangat besar. Ketika radar gaib Buron menangkap adanya sinyal gaib, maka ia pun mendekati tempat itu. Lalu, menampakkan diri sebagai pria tampan, macho, berpotongan bule romantis.
"Gawat. Hampir aja aku lupa. Aku harus menutup jalur gaibku, supaya tidak tertangkap radar gaibnya Zeona. Kalau nggak gitu, ntar dia tahu siapa diriku, bahaya!" Sebuah supermarket menjadi sasaran kemunculan Buron. Sebagai layaknya manusia biasa, Zeona juga mengenal budaya belanja. Entah bersama siapa dia berada di dalam supermarket itu, yang jelas Buron harus segera menemukannya dengan bekal ciri-ciri yang sudah di berikan oleh Sandhi sebelum ia pergi. Wanita itu berambut pendek, bermata bundar membelalak, berhidung mancung, dan ... yang paling menonjol adalah berdada super montok.
"Supermontok itu ukurannya berapa, ya" Apa seperti
..."kutanyakan pada pelayan di counter BH sih" Malu maluin, Hmm, pokoknya cari aja wanita yang dadanya paling besar," pikir Buron sambil berjalan pelan-pelan menyusuri lorong-lorong dagangan. Tanpa sengaja seorang gadis berambut cepak menabrak dirinya karena berjalan sambil memperhatikan dagangan. Buron hampir jatuh akibat ditabrak gadis itu, sementara si gadis yang tidak membawa troliy atau pun keranjang terpaksa menggeragap kaget. Dua biskuit di tangannya dan satu pack permen yang dipegangnya jatuh berantakan dilantai.
"Oh, maaf... sorry...,"Buron buru-buru memunguti barang-barang tersebut.
"Saya yang minta maaf. Saya yang nabrak kok. Maaf, ya..."
"Wow, cantik banget nih cewek,"pikir Buron sambil memperhatikan dengan senyum memikat. Senyum itu adalah senyum yang sudah dibumbui dengan kekuatan ilmu pemikat, sehingga mudah membuat lawan jenisnya kasmaran.
"Sendirian belanjanya?"
"Tadi sih bertiga sama teman, tapi temanku yang dua keburu pulang. Jadiyaah... aku sendirian. Kenapa?"gadis itu menatap penuh kagum. Tersenyum penuh makna.
"Kebetulan aku juga sendirian.?"Bahasa Indonesiamu lancar sekali. Sudah lama di Indonesia?"
"Mmmm,yaaah... cukup lama. Mulai saya berusia... 7 tahun."
"Ooo, pantas. Udah kayak orang Betawi aja."
Buron tertawa renyah dan familiar sekali, sambil berkata dalam hatinya,
"Wah, jangan-jangan ini nih yang bernama Zeona. Aku nggak berani menggunakan radarku
nanti tertangkap sinyalnya oleh dia. Tapi kalau melihat
dadanya sesak begitu, kayaknya memang ini wanita yang dimaksud Sandhi."
"Kamu tinggal dimana."
"Aku kost di dekat kampus."
"O, masih kuliah?"
"Semester akhir. Kamu?"
"Aku udah selesai kuliah."
"Dari mana?" "Dari... dari Jakarta."
"Maksudku, dari fakultas apa?"
"Hmmm... kebatinan."
"Idiih," gadis itu tertawa kecil
"Mana ada fakultas kebatinan." -
"Maksudku... maksudku...,"Buron bingung sesaat
"Fakultas itu yang ada apa saja sih?" -
"Dari kedokteran, ekonomi, atau FISIP?"
","Tepat sekali. Aku dari FISIP"
"Ooo... gitu dong. Masa' tadi bilangnya dari
kebatinan." "Yaah, FISIP itu kan singkatan dari Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Pelet...." -
Keduanya sama-sama tertawa. Keduanya jadi cepat akrab. Buron melangkah mendampingi langkah gadis berhidung bangir itu.
"O, ya... kita belum kenalan. Nggak keberatan kan kenalan sama aku?" kata Buron sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Tapi gadis berpinggul indah itu tidak menyambutnya.
"Kuno, ah. Kenalan nggak harus berjabat tangan. Panggil saja aku: Pussy."
"Pussy" Kok kayak kucing?"
"Itu panggilan akrabku."
"Tapi bagus juga panggilan itu. Kau bisa memanggiiku: Guguk."
"Apa..."Guguk" Idiih... kok kayak anjing?"
"Itu memang nama anjingku. Namaku sendiri... Yesson."
"Yesson" Hmm, nama yang bagus. Mudah diingat dan..." -
"Dan apa?" "Dan sexy,hii, hihihi..."Buron membatin,
"Sexy" Kok penilaiannya sampai ke situ" Wah, bener nih anak. Nggak salah lagi, pasti dialah yang bernama Zeona, atau Fidra, atau Pussy, atau entah siapa lagi..."
"O, ya... masih ada yang mau kamu beli?"
"Nggak. Cukup ini aja, ah," jawab Pussy. "Kamu
sendiri?" "Aku memang nggak bermaksud belanja apa-apa. Cuma sekedar jalan-jalan. Di rumah suntuk. Bagaimana kalau kita minum di... difoodcourt aja, okey?"
"Boleh.Tapi jangan lama-lama." -
"Kalau lama kenapa?"
"Nanti kamu ditunggu-tunggu istri lho."
"Hmmm, diplomasi cemburu mulai berjalan nih,"pikir Buron, lalu dia berkata,
"Aku belum punya istri, dan baru sebulan yang lalu putus dari pacar. Jadi kamu nggak usah khawatir."
"O, ya... sama dong. Aku baru dua bulan yang lalu putus dari pacarku. Hampir aja aku frustasi,tapi untung masih menggunakan akal sehat, jadi yaaah... enjoy aja beginilah." Mereka pesan minuman dan makanan kecil, duduk di area foodcourt. Tak henti-hentinya Buron melirik ke arah dada Pussy yang menggiurkan. Masih kencang dan menantang. Tapi ia selalu waspada terhadap gerak-gerik
14:"Pussy mengingat gadis itu adalah calon musuhnya. Ia sangat hati-hati menyembunyikan getaran gaibnya agar Pussy tak dapat mengenali siapa dirinya sebenarnya. Setidaknya ia tak ingin membuat Pussy menaruh kecurigaan sedikit pun atas perkenalan mereka. .
"Boleh tahu nggak, kenapa sih kamu putus sama pacarmu" Emang ada cowok yang lebih ganteng dari kamu, sampai pacarmu melepaskan kamu" Bodoh amat pacarmu itu." Buron cengar-cengir bingung mengarang jawaban
"Nggak tahu kenapa, yang jelas...". Yang jelas Barqn harus berhenti bicara, karena matanya memandang ke arah lain, menemukan seraut wajah cantik yang sedang mencari tempat untuk duduk. Wajah cantik itu milik wanita muda, berhidung mancung, bermata membelalak indah, mengenakan rok terusan yang ketat badan sebatas paha. Mini sekali. Dari busananya yang ketat itu tampak jelas bentuk payudaranya yang besar dan sangat menonjol. Super montok.
"Yaaah... ada yang lebih montok dari Pussy Jangan jangan dialah yang bernama Zeona" Jang an-jangan Pussy gadis biasa" Benar-benar anak kampu s"!Waduh, celaka kalau gini..."!" Sebentar-sebentar mata Buron memandang ke dada Pussy, juga ke dada wanit a yang kini duduk berjarak
empat meja darinya. Ia membandingkan ukuran dada Pussy dengan dada wanita itu. Ternyata memang benar,. bahwa dada Pussy lebih kecil dibandingkan dada wanita yang ada di seberang sana .Gerak mata wanita itu juga tampak liar dan mesum. Seperti sedang mengincar mangsa untuk dibawanya berpesta kencan dalam sebuah kamar. -
"Hey, kenapa bengong sih" Apa yang kamu pikirkan, Yesson?" *
"Hmm, hmm... nggak, anu... hmm...," Buron bingung menjawab. Benaknya mencoba berputar-putar untuk mencari jalan supaya bisa meninggalkan Pussy dan berpindah mendekati wanita bergaum ketat
"Terpaksa aku gunakan kekuatanku sedikit buat mengelabuhi Pussy,"pikir Buron. Maka,sambil berlagak bicara tentang penyebab putusnya dengan sang pacar, diam-diam Buron membuka jalur gaibnya. Dia melihat ada HP di dompetnya Pussy. Dia melihat angka-angka yang di-save dalam HPitu. Maka, menggunakan angka angka itu Buron mencoba mengelabui Pussy Handphone berdering. Pussy buru-buru mengambilnya.
"Waduh, sorry... ada telepon dari adikku. Sebentar, ya?"
"Silakan,"tapi dalam hati Buron berkata,
"Syukuriah, adiknya."
"Ya, kenapa" Hallo, Mia..." Mia...?" Buron mengirimkan suara tangis wanita. Suara tangis itu masuk ke dalam handphone dan didengar Pussy. Suara itu membuat Pussy cemas. Handphone dimatikan oleh kekuatan Buron. Kekuatan itu buru-buru disimpan dan disembunyikan, karena takut tertangkap oleh radar gaib yang ada di sekitar tempat tersebut. -
"Duuh, ada apa,ya" Adikku telepon tapi cuma nangis, nggak bisa bilang apa-apa."
"Apa ada yang sakit?"
"Mamaku sedang sakit. Duuh, jangan-jangan ada apa-apa dengan mamaku. Hmmm, Yes... bagaimaua kalau aku pulang duluan" Kamu kecewa nggak?"
"O, nggak apa-apa. Silakan. Kamu memang harus cepat pulang, tapi mudah-mudahan nggak terjadi apa-apa dengan mamamu."
"Thanks atas pengertianmu. O, ya... aku beri nomor teleponku, dan teleponlah aku besok, ya?"
"Boleh," jawab Buron sambil membiarkan Pussy cepat-cepat memulis nomor HP-nya di selembar keatas strok dari kasir. Buron mengantarkan sampai depan supermarket. Kemudian, ia buru-buru kembali ke tempat tadi, merasa lega masih melihat si wanita berdada super montok masih sendirian, menghisap cocacola lewat pipa plastik yang tersedia.
"Sekarang giliran memperdaya wanita itu. Hmm, gimana caranya" Tapi kayaknya dari tadi dia belum melirik ke tempatku. Dia belum melihat aku d uduk bersama Pussy."
Dengan mencoba pesan minuman baru, lalu membawanya duduk di tempat kosong tak jauh dari wanita tersebut, akhirnya Buron mendapatkan buruannya. Bermula dari adu pandangan mata. Saling menukar senyum malu-malu, akhirnya mereka berhasil saling berdekatan. Bahkan ketika Buron memperkenalkan diri sebagai eksekutif muda bernama Yesson, wanita itu tak segan-segan menyebutkan namanya. |
"Zeona Fidrate..."
"Tepat sekali," pikir Buron. Namun, buru-buru ia buang pikiran itu sebelum terbaca oleh kekuatan batin Zeona.
"Kamu tinggal di mana, Zeona?"
"Di apartemen."
"Bersama kekasihmu?" -
"Sendiri. Kenapa" Mau ikut tinggal diapartemenku?"
Sebuah tantangan yang sudah diduga sebelumnya oleh Buron. Jawaban yang muncul dari Buron pertama tama adalah senyum menawan. Zeona menikmati senyum itu dengan tatapan mata yang terkesan cool, tapi sebenarnya penuh gairah.
"Apa yang kudapatkan dari apartemen nanti?"
"Apa yang kau mau, Yesson. Apa saja yang kau mau. akan kau dapatkan. Sebut saja."
Yesson melebarkan senyumannya. Matanya sengaja mematap dalam-dalam untuk menciptakan debaran yang makin membakar gairah Zeona.
"Jauhkah apartemenmu?"
"Lumayan.Tapi ada yang lebih dekat dari sini, kalau kau mau." -
"Apartemen?" "Bukan. Hotel."
"Kita kehotel?" -
"Nggak ada salahnya kan?"
Lega hati Buron sebenarnya. Zeona sudah tak sabar. Ia memberi alternatif hotel karena ingin segera bercumbu dan menghirup sari kehidupan mangsanya. Pancingan Buron cukup berhasil. Hotel yang terdekat berjarak 5 kikometer Hotel itu hotel berbintang dengan fasilitas taraf internasional.
"Kita naik taxi kehotel itu, okey?"
"Aku bawa mobil,"kata Zeona. Dia bergegas bangkit lebih dulu, Yesson mengikutinya. Mereka menuju tempat parkir yang cukup luas diluar gedung. Tempat parkir itu agak gelap. Hanya ada beberapa mobil di sana, karena memang hari sudah mulai larut malam. Sebentar lagi tempat itu akan tutup.
"Itu mobilku," sambil Zeona menunjuk Babybenz warna biru metalik ia masuk lebih dulu. Anehnya, tanpa membuka kunci pintu lebih dulu. Buron sudah tidak heran, tapi semakin yakin bahwa Zeona bukan manusia biasa. Ia pun menyusul masuk. Duduk di jok samping sopir. Zeona siap menyalakan mesin mobil
Tapi tiba-tiba ia urungmenghidupkan mesin mobil. Ia memandang Yesson dengan senyum yang sangat menggoda.
"Kenapa?" tanya Yesson.
"Mesin mobil ini aneh. Dia nggak bisa dihidupkan cuma dengan kunci kontak."
"Lalu, dengan apalagi dia bisa hidup?"
"Dengan sebuah ciuman."
"Ah..." "Cium aku dulu, biar mesin mobilnya hidup," bisik
Zeona sambil mendekatkan wajahnya. Bibirnya yang menantang itu sengaja dibuat merekah menggairahkan, Matanya sedikit dipejamkan. Yessoh berlagak kikuk, malu-malu. - -
"Please...," suara Zeona makin mendesah, tapi tangannya sudah mulai meraba paha Yesson. Maka, dengan berlagak gemetar Buron pmn mencium kening Zeona. Ciuman itu merayap ke hidung, karena tangan Zeona pun merayap lebih ke atas *, Dengan sedikit
|gerakan mendongak, Zeona berhasil menyentuhkan bibirnya ke bibir Yesspm. Bertepatan dengan itu tangan Zeona menyentuh sesuatu yang terasa di pangkuan Yesson. Kecupan bibir dilakukan. Pelandan penuh perasaan. Tangan Zeona makin merem as, menandakan ia menahan suatu debaran hati yang s angat indah. Yesson melumat bibir itu. Tapi dibalas deng an lumatan yang lebih hebat Zeona memainkan lidahn ya hingga menimbulkan gerakan bibir yang sangat ber gairah sekali Tempat parkir yang gelap dan kaca mobil yang hitam membuat Zeona merasa bebas tanpa takut dilihat siapapun dari luar mobil. Namun pada saat itu m ereka mendengar suara menggema hingga tembus ke dalam mobil. Suara itu tidak dikenali Buron, tapi sangat akrab ditelinga Zeona.
"Zeooomaaa... balaskan dendamkuuu...!i"
"Hahh..."! Draco..."!" Zeona tersentak kaget. Menghentikan segala aktifitas gairahnya. Buron segera sadar akan dirinya dan mengenali nama Draco sebagai nama kaki tangan Dewa Kegelapan. Zeona menatap Buron dengan tajam. Buron cemas, khawatir penyamarannya mulai diketahui. Maka, dengan cepat ia gunakan kembali kekuatan gaibnya. Ia mulai aktifkan kesaktiannya. Dengan satu dorongan kuat menggunakan kedua tangan Zeena berhasil dilemparkan keluar mobil
Melayang mundur menjebol kaca depan, Wuuus, praaaakk...!
"Jahanaaaaam...!!"teriak Zeona dengan liar. Yesson buru-buru melompat keluar lewat kaca depan yang sudah hancur. Wuuut. Dan ketika ia menapakkan kakinya di tanah ia sudah berubah menjadi pemuda berambut kucai, sosok Buron biasanya. Bukan sosok pria bule. "Mungkin kau belum mengenaliku. Zeona."
"Aku sudah mengenalimu dari saat kau duduk di samping mejaku tadi. Karena itulah aku ingin segera menghancurkan dirimu tanpa harus membawa mu kehotel atau apartemenku. Kau bangsajin keparat K au bisa sembunyikan kekuatanmu tapi tidak tahu kalau penciumanku sangat mengenali baru darah jin!"
"Sialan... Rupanya dia sudah mengenaliku dari tadi," geram hati Buron. Namun ia masih berusaha untuk tenang. -
"Sekarang karena kau sudah mengawali, maka aku harus menghancurkan dirimu, jin keparat...! HeecegWeeesss...! Zeona melemparkan kepingan cahaya berbentuk daun. Warnanya keemasan. Gerakannya begitu cepat sehingga Buron tak sempat menangkis namun hanya bisa menghindar Blaaab.:! Ia menghilang dan muncul di sisi lain. Daun berbentuk kepingan emas itu
menghantam mobil yang tadi nyaris merenggutjiwa Buron. Blaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi, menggemparkan orang di sekitar tempat itu. Tapi tak satu pun ada yang berani mendekat. Mereka hanya bisa memandang dengan terbengong tegang. -
"Kuingatkan padamu, Zeona... kembalilah ketempat asalmu dan jangan lagi mengganggu kehidupan manusia dimukabumi ini!"
"Keparat dengan saranmu, jin biadab! Tugasku membuat tiap manusia menjadi roh, dan roh-roh mereka akan dijadikan prajurit laskar Istana Hitam oleh suamiku, Draco. Namun tadi kudengar suara Draco meratap, berarti dia dalam bahaya yang mematahkan kesabaranku. Kini sekarang semua manusia akan kubuat binasa dengan kesaktianku, haang!"
Kedua tangan Zeona menyentak ke samping Tubuhnya mengeluarkan cahaya perak kebiru-biruan. Cahaya itu menyebar ke berbagai arah. Seperti ledakan bom atom. Buron melihat betapa bahayanya sinar itu. Dapat mematikan siapa pun yang terkena. Dan dapat melebar terus sampai ke mana-mana. Maka, ia segera memadamkan cahaya maut tersebut dengan merubah diri menjadi sinar kuning, mirip meteor, dan inelesat cepat memutari tubuh Zeona. Dengan begitu cahaya yang dari tubuh Zeona terhalang oleh cahaya kuning yang kecepatannya melebihi gangsing itu Yang terjadi adalah dentuman dahsyat akibat perpaduan dua jenis kesaktian itu. Blegaaaarrrrrrr. ...! Prraaang, parrang, pra aang...! Praaak, pyaaar...! Sebegitu dahsyatnya ledakan tadi, membuat setiap kaca menjadi pecah. Kaca yang di pakai dinding supermarket itu hancur, begitu pula kaca- kaca tiap mobil yang ada ditempat parkir. Tubuh Buron sendiri terlempar membentur sisi samping sebuah mobil box, hingga box itu penyok ke dalam. Benturan kuat te rsebut membuat tubuh Buron terlempar lagi hingga me nabrak mobil lain. Lalu ia jatuh terkapardengan wajah menjadi hitam hangus, begitupula warna di sekujur tub uhnya. Pakaiannya pun menjadi compang-camping dalam keadaan hitam hangus. Zeona juga mengalami luka akibat ledakan tadi. Tapi tidak seberapa parah. Ia masih bisa berdiri walau agak limbung dan terengah-engah. Matanya menjadi merah menampakkam murkanya yang sangat besar "Tamat sudah riwayatmu, jin biadaaab...! Haaaarrrrgg...!" Zeona memukulkan kesaktiannya ke arah tanah. Tanah terbelah seperti kain dirobek dengan gunting. Krraaaak...! Buron terperosok jatuh ke belahan tanah.
-."Ketika itu dengan cepat tanah bergerak merapat kembali. Buron terjepit sebatas dada. Ia digencet oleh belahan bumi yang makin lama semakin kuat, seakan ingin meremukkan sekujur tubuhnya. -
"Uuuaaahhkkkk...!!"Buron berteriak menahan sakit. Ia kerahkan kesaktiannya untuk lepas dari gencetan bumi. Tapi Zeona mengendalikan kekuatan bumi hingga Buron pun sulit meloloskandiri.
"Semakin kau meronta semakin terhisap kesaktianmu oleh bumi!Takada waktu lagi untuk selamatkan diri kau, jin biadab! Haahhk!" -
"Akkhhhrrr...!" Buron mengerang kejang. Ternyata memang benar, semakin ia meronta, ia kehilangan kesaktiannya. Tenaga semakin menipis. Tak ada harapan lagi bagi Buron untuk bisa selamat. Ternyata kesaktian dari Dewa Nathalaga terhisap semua oleh kekuatan bumi di saat ia tadi mengerahkan kekuatannya untuk lolos
"Badai guntur...!!"teriak Zeona dengan mengangkat satu tangan. - Blegaaar,gleeerr, jelegaaarrr...!
Badai guntur benar-benar terjadi. Kilatan cahayanya menyambar kepala Buron. Memang belum ada yang tepat mengenai kepala, tapi bangkai mobil di belakangnya hancur seketika dan serpihannya menghantam kepala Buron bertubi-tubi. Tak urung kepala itupun berlumuran darah yang berwarna kehitam-hitaman. Sementara guntur menghujani Buron, angin panas berhembus menyengat tiap kulit manusia. Itulah sebabnya tak seorangpun berani muncul di areal parkir karena merasa kulitnya seperti, tersiram air panas. Mereka berdesak-desakan masuk ke suatu tempat berlindung dari sengatan angin panas. Wuuussst, jegaaarrrrrrr....! Cahaya hijau datang menerjang Zeona dari samping kiri. Zeona terpental bersamaan dengan terjadinya ledakan dahsyat yang kesekian kalinya. Ketika cahaya ledakan itu padam, tampaklah seraut wajah cantik berambut panjang diikat ke atas asal-asalan, sisanya terjuntai ke bawah. Wajah cantik itu tak lain adalah Kumala Dewi. Rupanya dalam keadaan tak berdaya Buron memanggil Dewi Ular dengan kekuatan batinnya. Dewi Ular yang habis menyelesaikan pertarungannya dengan Draco segera menangkap sinyal bahaya itu, maka ia pun segera meluncur melalui jalur gaibnya. Ia melihat Buron dalam keadaan bahaya, maka tanpa basa-basi lagi ia menerjang Zeona. Terpentainya Zeona membuat kekuatan gaibnya kendor Jepitan bumi terasa sedikit longgar. Dengan sisa kekuatannya Buron berhasil lolos dari jepitan Bumi.
"Menjauh dari sini, Buron!"perintah Kumala dengan sikap tenang.
."Buron tak dapat berdiri. Ia merayap menjauhi tempat itu dengan susah payah. Sementara itu perhatian Kumala tetap tertuju kepada Zeona yang agaknya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Draco.
"Kau...!"geram Zeona.
"Pasti kau si jahanam Dewi Ular!" -
"Benar. Aku hanya ingin sarankan agar kamu tinggalkan alam ini. Jangan ganggu kehidupan di sini, karena jika kau melanggarnya kau akan berhadapan denganku, Zeona." -
"Persetan dengan lagak bijakmu itu, haaagggrrrr...!!" Zeona mengamuk membabibuta. Kesaktiannya dilepaskan secara beruntun. Dewi Ular hanya menahan dan menangkisnya. Tanpa melakukan serangan balasan. Tempat di sekitar mereka sudah semakin berantakan akibat pertarungan maut itu. Badai guntur memang sudah berhasil dihentikan oleh Kumala Dewi,tapi amukan Zeona. sedikit sulit dikendalikan, sehingga Kumala akhirnya memberikan serangan balasan. Seberkas sinar hijau' menyerupai cakram melesat dari tangan kanan Kumala. Claaap...! Blegaaaarrr...! Zeona berhasil menahannya dengan membungkus diri menggunakan cahaya perak kebiruan. Ia segera melayang menerjang Dewi Ular Bertepatan dengan itu Dewi Ular pun melesat ke arahnya. Di udara mereka beradu
kekuatan. Masing-masing keluarkan cahaya kesaktian. Blaaaaaaannnggg.....!!! Bumi bergetar bagaikan dilanda gempa dahsyat. Mengerikan sekali gelombang ledakan tadi. Pada saat itu Buron kebingungan sendiri karena ia tidak melihat Kemala lagi. Yang ia lihat adalah sosok Zeona yang berubah wujud menjadi raksasa betina. Besar dan tinggi dengan wajah mengerikan sekali. Zeona mengerang ngerang sambil memandang ke sana-sini mencari lawannya. Namun tiba-tiba seberkar sinar hijau keluar dari dalam dadanya. Claaap...! Sinar hijau itu berubah bentuk menjadi Kumala Dewi yang sudah menggenggam sesuatu. Jantungl -
"Aaaahhhkkkrrrr...!!" - Raksasa betina jelmaan Zeona mengerang keras keras ketika jantungnya diremat hancur oleh Dewi Ular, seperti meremas benda dari tanah liat. Hancurnyajantung itu membuat Zeona tumbang. Menyemburkan asap kehitam-hitaman, dan lenyap meninggalkan suarajeritan yang menggema. Kini alam mulai tenang kembali. Hembusan angin tak lagi kencang, udara tak lagi panas. Petir sudah lenyap dari tadi. Kini yang tersisa hanya suara rintihan lirih dari mulut Buron. Dewi Ular menghampirinya dengan langkah tenang, anggun dan bersahaja.
"Ada yang bisa kubantu?"tanyanya berkelakar
"Ada dua pertanyaan yang ingin kutahujawabannya."
"Bukan dia pembunuh hantu, tapi ada pihak lain yang bertugas..." -
"Draco, suami Zeona, dialah si pembunuh hantu. Sudah kubereskan."
"O, bagus sekali kerjamu."
"Kerjamu juga bagus. Bagus untuk tonton an."
"Lalu, kenapa kau muncul juga akhirnya?"
"Dapat izin menengok keadaan rumah oleh Eyang Nathalaga. Tapi habis ini aku haruskembali."
"Kembali ke mana?" -
"Mengambil pusaka tua."
"Pusaka apa?" -
"Hey, kau cuma punya dua pertanyaan, katanya. Kenapa sekarang lebih dari tiga?" -
"Sial!" "Ayo, kita pulang...!"Kumala membantu Buron untuk berdiri. Hawa suci disalurkan ke tubuh Buron, membuat luka Buron pun terobati dalam waktu singkat. Tapi Buron masih penasaran, pusaka apa yang akan diambil oleh Dewi Ular nanti" -
SElESAI ebook by novo edit teks Saiful B http://cerita-silat.mywapblog.com
Bendera Darah 1 Hatiku Milikmu Karya Fatimah Syarha Mohd Noordin Rahasia Pedang Berdarah 2
^