Pencarian

Upacara Maut 2

Raja Petir 06 Upacara Maut Bagian 2


Apakah kau yang
berjuluk Raja Petir?" dengan susah payah Ketua Perguruan Saka Jati bertanya pada
Jaka Sembada. "Ah, namaku Jaka Sembada, Ki. Apakah kau,
Ki Jatirama?"
"Dari siapa kau tahu namaku, Raja Petir?" selidik ketua Perguruan Sakajati.
"Dari Paman Gumai Gumarang."
Kembali mata Ki Jatirama terbelalak.
"Adi Gumai Gumarang?" ulang Ki Jatirama,
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Sebaiknya kita urusi luka-lukamu lebih dahu-
lu, Ki. Barangkali aku bisa mengobatinya," usul Jaka Sembada.
"Aku terkena pukulan 'Bisa Kala Hitam' milik
Pangeran Kala Hitam, Raja Petir. Tanpa ku telan anti pukulan beracun itu,
mustahil bagiku dapat melihat
dunia sampai esok matahari terbit," jawab Ki Jatirama.
Ki Jatirama tidak bermaksud menolak niat baik
Jaka Sembada, laki-laki berusia lebih enam puluh tahun itu hanya khawatir jika
racun ganas yang ada di tubuhnya menjalar ke tubuh anak muda berpakaian
kuning keemasan yang dikenal dengan julukan Raja
Petir. "Maaf, Ki Jatirama. Menurutku, tidak ada seorang manusia pun yang mampu
mendahului kodrat
sang Pencipta Jagat Semesta, termasuk Pangeran Kala Hitam. Meski menurutnya
racun itu tidak akan membuat manusia bertahan hidup, namun itu bukan hal
yang mustahil bagi Dia yang memiliki roh abadi. Asalkan kita mau berusaha dan
tidak melupakan kebesa-
ranNya. Aku menolongmu, bukan karena merasa
mampu melakukan, tapi karena mengharap kebesaran
sang Pencipta Alam Raya," ucap Jaka Sembada dengan tatapan yang tak lepas dari
wajah Ki Jatirama.
Ki Jatirama tidak pernah menduga ucapan se-
perti itu keluar dari lelaki yang begitu muda usia, lelaki berjuluk Raja Petir
yang belakangan ini sering disebut-sebut tokoh persilatan.
Dalam hati lelaki itu menyesali diri, karena
termakan ucapan Pangeran Kala Hitam akan kegana-
san pukulan 'Bisa Kala Hitam'. Ki Jatirama pun me-
nyesali kepasrahannya pada keadaan, tanpa berusaha
mencari jalan keluar.
"Bersiaplah, Ki. Mudah-mudahan aku dapat
menjinakkan racun ganas yang berada di tubuhmu,"
ujar Raja Petir membangunkan Ki Jatirama dari pe-
nyesalannya. Ki Jatirama menggerakkan badan sedikit men-
dengar ucapan Jaka Sembada. Dengan tatapan mata
lurus ke depan, laki-laki tua pemimpin Perguruan Sakajati memperhatikan tindakan
Jaka Sembada. Ki Jatirama terkejut melihat perubahan pada
diri pemuda di hadapannya. Seluruh kepala hingga
dada terbalut sinar kurang keemasan, begitu pula dari lutut hingga ujung
kakinya. Cukup membuat Ki Jatirama semakin terperangah. Dan ketika selarik sinar
kuning meluncur dari rentangan tangan Raja Petir, Ki Jatirama terlonjak.
"Aaakh...!"
Selarik sinar kuning keemasan yang keluar dari
rentangan tangan Raja Petit membungkus tubuh tua
Ki Jatirama. Lelaki itu tidak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak menahan
rasa sakit yang sangat
Yang barusan dilakukan Raja Petir adalah se-
rangkaian ajian 'Kukuh Karang'. Ajian itu berfungsi untuk melumpuhkan berbagai
jenis racun ganas.
Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka me-
mandang kagum aji 'Kukuh Karang' Jaka Sembada.
Dengan mata terus tertuju ke tubuh Ki Jatirama keti-ganya menunggu kejadian
selanjutnya. "Aaa...!"
"Hoeeekh!"
Seiring dengan lenyapnya sinar kuning yang
membalut tubuh Ki Jatirama, jeritan menyayat dan
muntahan darah kental kehitaman keluar dari mulut
lelaki itu. Membuat Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka terkejut sekaligus
khawatir dengan keselamatan Ki Jatirama.
Lain halnya dengan Jaka Sembada. Pemuda
yang berjuluk Raja Petir itu bersyukur pada sang Pencipta Jagat Semesta yang
telah mengabulkan permo-
honannya. "Sebaiknya Ki Jatirama kita bawa ke rumahmu,
Nyai," usul Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia tidak segera menyahut Ketua
Perguruan Seribu Bunga itu masih terpaku meman-
dangi tubuh Ki Jatirama yang tergeletak diam.
"Ki Jatirama hanya pingsan, Nyai," ujar Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia segera menatap wajah Jaka
Sembada dengan penuh kekaguman.
"Sebaiknya memang begitu, Jaka Sembada.
Mudah-mudahan luka luar yang diderita Ki Jatirama
bisa sembuh dalam waktu singkat. Agar dapat mem-
bantu kita memerangi orang-orang yang ingin melak-
sanakan upacara maut"
"Semoga Ki Jatirama cepat sembuh dan dapat
membantu kita, Nyai. Aku yakin, kebatilan tidak akan seterusnya menang."
5 Pagi di kaki Gunung Kumborang nampak
sunyi. Kabut yang turun samar-samar, menebar hawa
dingin menusuk kulit. Namun kesunyian itu terusik
oleh teriakan dua gadis, yang berada di pundak dua lelaki berpakaian merah dan
hitam. "Lepaskan aku, Lelaki Setan! Lepaskan aku!"
teriak gadis berpakaian biru muda yang dipanggul lelaki berpakaian merah.
Berkali-kali gadis muda itu berteriak-teriak lan-
tang menggiriskan hari, tapi sia-sia saja teriakannya.
Laki-laki yang memanggulnya, Ki Kustara, hanya me-
nanggapi teriakan itu dengan kekehan yang terputus-
putus. "Hik hik hik...! Aku akan melepaskanmu setelah kita berada di puncak
Gunung Kumborang, Anak
Manis. Bersabarlah sedikit," ujar Ki Kustara yang dikalangan rimba persilatan
berjuluk Setan Rimba Bang-
kai. Gadis muda yang tak lain Seriti terus berteriak-
teriak. Cucu Ketua Perguruan Sakajati itu sedikit pun tak mampu menggerakkan
tubuhnya yang tertotok.
Perbuatan Seriti dilakukan juga oleh saudara
kembarnya. Dengan tubuh yang tak mampu digerak-
kan Ratih berteriak-teriak.
Seperti Setan Rimba Bangkai, Kindang Supa
pun tidak menurunkan gadis yang dipanggulnya. Lela-
ki yang berjuluk Pangeran Kala Hitam menimpahnya
dengan tawa kegirangan sambil sesekali menepuk
pinggul Ratih. "Ha... ha... ha.... Sabar Dara Kemayu, sabar.
Kau akan kuturunkan setelah berada di puncak nan-
ti," kata Kindang Supa sambil melirik ke arah Ki Kustara. Ki Kustara membalas
isyaratnya dengan meng-
hentakkan kaki kuat-kuat, lalu melenting indah beberapa kali. Setan Rimba Bangkai kembali menotolkan
kaki saat menjejak perut Gunung Kumborang. Berkali-
kali gerakan-gerakan lincah itu dilakukan Ki Kustara, hingga dirinya nampak
seperti segumpal kapas yang
diterbangkan angin.
Seriti yang ada di panggulan Ki Kustara tentu
saja merasakan kengerian yang sangat, cucu Ki Jati-
rama itu hanya dapat memejamkan mata. Tak dapat
dibayangkan jika dirinya terhempas dari ketinggian
Gunung Kumborang.
Begitu juga yang dialami Ratih. Dengan meme-
jamkan mata dan menguatkan hati, Ratih memasrah-
kan diri. "Ha ha ha, sekarang bukalah matamu, Anak
Manis. Kita sudah berada di puncak gunung, kau tak
perlu takut," ucap Ki Kustara.
Ki Kustara segera menurunkan gadis yang di-
panggulnya, begitu juga Kindang Supa. Namun kedua
lelaki itu belum melepas totokannya.
"Mengapa kalian membawa kami ke sini?" tanya Seriti marah.
"Kami memerlukan kalian, Anak Manis," jawab Kindang Supa.
"Ya. Dan kami sudah minta izin pada kakek ka-
lian, Ki Jatirama," tambah Ki Kustara.
"Kalian, Iblis Keji!" maid Ratih lantang, matanya memandang tajam ke Kindang
Supa dan Ki Kustara
berganti-ganti.
"Sebenarnya kami tak bermaksud membunuh
kakek kalian, Ki Jatirama menginginkan kematiannya.
Kalian berdua tahu aku minta secara baik-baik, tapi Ki Jatirama menghinaku.
Tentu saja aku marah, apa kalian mau dikatakan orang kurang waras?" dalih
Kindang Supa. "Kalian memang orang sinting!" jawab Ratih ke-
tus, "Kalau kalian waras, untuk apa melaksanakan upacara gila?"
"Kau tidak mengerti arti penting upacara maut, Anak Manis," ujar Ki Kustara.
"Di situlah letak kesintingan kalian!"
"Jangan membuatku marah, Seriti!" bentak
Kindang Supa tak sabar.
Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Pange-
ran Kala Hitam menatap tajam wajah Seriti.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga, jika
aku mau!" ancam Pangeran Kala Hitam.
"Lakukanlah! Kurasa itu lebih baik," tantang Ratih. Kindang Supa hanya dapat
menggeretakkan gi-gi mendengar ucapan Ratih, apalagi setelah dilihat Ki Kustara
menatapnya tajam.
"Sabarlah, Kindang. Biarlah gadis-gadis itu
berkata seenak perutnya. Mereka kini berada dalam
kekuasaan kita, berarti pelaksanaan upacara maut
tinggal menunggu waktu saja," tahan Setan Rimba Bangkai.
"Sekarang kita temui Laras Nini, Laras Dewi,
dan Liku Grada. Barangkali mereka sudah berhasil
menjalankan tugas."
Lelaki berpakaian merah dengan senjata pe-
dang tumpul tertera menyilang di dada, segera melesat menyambar tubuh Seriti.
Demikian juga Kindang Su-pa. Keduanya berlari ke utara puncak Gunung Kumbo-
rang dengan memanggul dua korbannya.
*** "Apa"! Raja Petir berhasil menggagalkan usa-
hamu?" Keras pertanyaan Setan Rimba Bangkai setelah
meletakkan tubuh gadis kembar cucu Ki Jatirama.
Wajah Ki Kustara nampak merah padam me-
nahan marah. Siluman Hutan Dadak tidak segera menjawab.
Liku Grada tengah membayangkan wajah lelaki muda
berpakaian kuning keemasan, lelaki yang berjuluk Ra-ja Petir yang telah
menggagalkan usahanya.
"Kau bukan anak kemarin sore, Siluman Hutan
Dadak," perlahan ucapan yang keluar dari mulut Setan Rimba Bangkai "Aku tak
habis pikir, kau menyerah di tangan anak ingusan macam Raja Petir," lanjut Ki
Kustara dengan tatapan menusuk mata.
"Semula aku menganggapnya demikian, Ki,"
bantah Liku Grada. "Namun ternyata pemuda itu memiliki kesaktian cukup tinggi,
seperti cerita yang pernah kudengar dari tokoh-tokoh kalangan persilatan."
"Hmmm...."
"Apa yang dialami Kakang Liku Grada mungkin
saja, Ki. Kudengar Raja Petir memang memiliki ilmu
kesaktian yang cukup tinggi. Ah! Aku jadi makin pena-saran untuk menjajal
kemampuannya," timpal Laras Nini seraya mengacungkan kepalanya tinggi-tinggi.
"Aku juga pernah mendengar kehebatan pemu-
da itu, Nini. Tapi untuk mengalahkan Liku Grada tidak semudah membalik telapak
tangan," sangkal Ki Kustara.
"Kenyataannya Kakang Liku Grada berhasil di-
lumpuhkan. Cukup sebagai bukti kesaktian Raja Petir di atas Kakang Liku Grada.
Sebaiknya kita bereskan
dulu pemuda usil itu, Ki," usul Laras Dewi.
"Raja Petir...?" gumam Ki Kustara perlahan.
"Bagaimana menurutmu, Kindang?"
Pangeran Kala Hitam tidak segera menjawab.
Mata lelaki itu menatap wajah Dewi Racun Kembar
dan Liku Grada bergantian.
"Menurutku, lebih baik kita mencari pengganti
gadis yang gagal dibawa Adi Grada, Ki," jawab Pangeran Kala Hitam.
"Alasanmu?"
"Jika persyaratan upacara maut sudah terpe-
nuhi, kita bisa segera melaksanakan upacara, Ki. Mengenai Raja Petir, kalau ia
memang tidak suka pasti
akan datang menemui kita untuk membebaskan dara-
dara persembahan. Sementara gadis-gadis itu sudah
kita korbankan sebagai sesaji," papar Pangeran Kala Hitam. "Menurutku saran
Kakang Kindang bagus, Ki.
Biar aku yang mencari gadis pengganti. Kali ini aku harus berhasil!" ujar
Siluman Hutan Dadak memberi pendapat.
"Bagaimana jika Raja Petir kembali menghalan-
gi maksudmu, Liku Grada?" tanya Ki Kustara malah balik bertanya.
Liku Grada, alias Siluman Hutan Dadak marah
mendengar pertanyaan yang bernada meremehkan itu.
Tangan lelaki yang memegang tongkat bulat sabit
nampak menegang.
"Jangan meremehkan ku, Ki," ketus ucapan Li-ku Grada. "Jika kemarin aku berhasil
dikalahkan, bukan berarti sekarang aku harus kalah lagi. Kekalahan ku kemarin
karena aku meremehkannya, tapi sekarang.... Dengar Ki Kustara! Aku akan
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan gadis pengganti putri Wujang Kanta."
"Kupegang ucapanmu, Siluman Hutan Dadak,"
ujar Ki Kustara. "Carilah gadis pengganti yang urung kau dapatkan itu!"
"Tentu, Ki! Aku tak akan kembali ke puncak
Gunung Kumborang sebelum mendapatkan gadis
pengganti. Aku berangkat sekarang!"
Tanpa menunggu perintah Setan Rimba Bang-
kai, Liku Grada melesat cepat menuruni puncak Gu-
nung Kumborang. Berkat ketinggian ilmu meringankan
tubuh, lelaki bertubuh sedang itu tak menemui kesuli-tan mencapai kaki gunung
dalam waktu singkat.
Sementara pagi sudah berganti siang. Ki Kusta-
ra, Kindang Supa, dan Dewi Racun Kembar meman-
dangi gadis-gadis yang akan dijadikan persembahan
dalam upacara maut Gadis-gadis putri tokoh-tokoh
persilatan golongan putih yang berwajah cantik-cantik.
"Sekarang kalian akan kubebaskan dari toto-


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanku, Anak Manis. Bergabunglah dengan teman-
temanmu," ucap Ki Kustara.
Lelaki tua berusia enam puluh tahun lebih itu
tiba-tiba bergerak cepat Dan....
Tuk! Tuk! "Aaa...!"
Teriakan kaget terdengar saling susul. Ratih
dan Seriti menggelinjang sesaat. Pada saat berikutnya mereka sudah mampu bangkit
berdiri. "Nah! Sekarang lakukan, apa yang ingin kalian
lakukan. Melampiaskan kekecewaan, kekesalan, den-
dam atau yang lainnya. Silakan lakukan, jangan sungkan-sungkan," ujar Ki
Kustara. Kedua gadis itu hanya menatap tajam Setan
Rimba Bangkai. "Jangan menatap ku seperti itu, Anak Manis.
Bukankah aku telah memberi kebebasan pada kalian?"
"Kau memang iblis! Untuk apa kami dikumpul-
kan seperti ini?" sentak Seriti keras.
Ki Kustara tersenyum mendengar pertanyaan
itu. Setan Rimba Bangkai hanya menatap Seriti dan
Ratih berganti-ganti.
"Sebenarnya tak ada maksud tersembunyi dari
upacara maut yang sebentar lagi dilaksanakan, Anak
Manis," Jawab Ki Kustara. "Terus terang kukatakan maksud upacara itu hanya untuk
merongrong ketenangan tokoh-tokoh persilatan golongan putih, tokoh-tokoh yang
senang bicara soal kesucian dan kebena-
ran." "Kau tidak berhak merongrong ketenangan hidup mereka, Setan Tua!" bentak
Ratih. "Siapa bilang" Aku punya hak merongrong me-
reka, seperti juga mereka suka mengusik kesenangan
kami," bantah Setan Rimba Bangkai.
"Mereka mengusik karena merasa terusik!" balas Seriti.
"Ah! Kau tahu apa, Bocah Ingusan. Aku lebih
tahu dari kalian, bagaimana orang-orang golongan putih yang berlagak suci itu,
coba-coba jadi pahlawan dengan memerangi kebatilan. Padahal diri mereka sendiri
dipenuhi nafsu serakah. Aku dendam karena me-
reka telah melenyapkan seluruh keluargaku. Itulah
persoalannya!"
"Tapi kenapa kau bawa-bawa kami, yang tak
tahu apa-apa?" tanya Ratih.
"Sudah kubilang, aku hanya ingin merongrong
ketenangan hidup tokoh-tokoh golongan putih!" bentak Ki Kustara keras.
"Kalian bukan hanya merongrong, tapi telah
melakukan pembantaian pada Perguruan Sakajati!"
balas Seriti tak kalah keras.
"Itu karena Ki Jatirama tak mengindahkan
keinginanku," kilah Ki Kustara.
"Karena kau orang gila, Kustara!"
"Jangan kurang ajar padaku!"
Tubuh Ratih terjajar empat langkah ketika tan-
gan Setan Rimba Bangkai menghajar raut wajahnya.
"Ayo! Bicaralah seenakmu, biar kupenggal ke-
palamu sekarang juga!" hardik Setan Rimba Bangkai.
Wajah Ratih memerah, sedang Seriti hanya me-
nahan kegeraman melihat tingkah Ki Kustara yang te-
lah meloloskan pedang tumpul dari warangka yang
menyilang di dadanya.
"Nini, Dewi! Ikat kedua gadis kurang ajar itu, satukan dengan yang lain!"
perintah Ki Kustara pada Dewi Racun Kembar.
Dewi Racun Kembar dengan sigap menjalankan
perintah Setan Rimba Bangkai. Sekali saja Laras Nini dan Laras Dewi menghentak
kaki, tubuh keduanya
melesat ke arah Seriti dan Ratih.
Tuk! Tuk! "Akh!"
Kedua gadis itu terjungkal seketika, terkena to-
tokan Dewi Racun Kembar. Tubuh cucu Ki Jatirama
tak dapat berbuat apa-apa ketika Dewi Racun Kembar
membopongnya, dan memasukkan ke kerangkeng yang
telah dihuni dua gadis cantik seusia mereka.
"Keluarkan aku, Setan!" teriak Ratih. Namun teriakannya sia-sia saja karena Dewi
Racun Kembar pergi meninggalkannya.
6 Suasana sore nampak begitu indah. Angin ber-
tiup semilir ditingkahi suara burung-burung kecil ber-cericit, berlompatan dari
dahan ke dahan.
Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh tengah
menikmati udara sore. Mereka adalah seorang gadis
muda yang cantik jelita dan dua lelaki bertubuh tinggi tegap yang bisa
dipastikan pengawal gadis cantik berpakaian merah muda.
"Seekor kijang muda dan lima ekor kelinci
membuatku sangat bahagia hari ini, Kakang Prasena,"
kata gadis cantik seraya mengangkat seekor kelinci.
"Aku pun begitu, Paraswari," timpal lelaki yang dipanggil Prasena. "Namun aku
lebih bahagia lagi melihat kemajuan kepandaian memanah mu," tambah
Prasena dengan senyum terkembang.
"Ah! Itu berkat Kakang Prasena dan Kakang Ni-
lunja," kilah Paraswari sambil menoleh pada lelaki tegap yang berdiri di kiri
Prasena. "Bukan karena kami, Paraswari. Tapi karena
kau punya bakat kuat dan ketekunan dalam mempela-
jari ilmu panah," bantah Nilunja.
Paraswari tersenyum mendengar pujian Nilun-
ja. Namun senyum Paraswari terhenti oleh kedatangan lelaki berpakaian hitam yang
memegang tongkat ber-kepala bulan sabit. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Liku
Grada alias Siluman Hutan Dadak.
Kehadiran Liku Grada dengan tawa yang diser-
tai pengerahan tenaga dalam, membuat Paraswari dan
kedua pengawalnya menutup telinga. Beruntung tawa
Liku Grada tak berlangsung lama, hingga mereka ter-
bebas dari suara yang membuat gendang telinga ber-
dengung hebat "Siapa kau, Kisanak" Mengapa kau mengusik
kebahagiaan kami?" tanya Prasena dengan tatapan mata tajam menusuk, wajahnya
nampak tegang per-tanda kemarahan yang ditahan.
"Aku Liku Grada, tapi aku lebih senang dipang-
gil Siluman Hutan Dadak," jawab Liku Grada tenang, tatapan matanya menelusuri
sekujur tubuh Paraswari.
"Hmmm.... Kau cantik sekali," ucap Siluman Hutan Dadak tertuju pada Paraswari.
"Maaf, Liku Grada. Aku tak punya banyak wak-
tu berbincang-bincang denganmu, terimakasih atas
pujian mu," balas Paraswari sambil memberi isyarat pada Prasena dan Nilunja
untuk meninggalkan Liku
Grada. "Eit, tunggu dulu, Nisanak," tahan Siluman Hutan Dadak. "Aku belum
mengenal kalian, kenapa kalian pergi begitu saja dari hadapanku?"
"Sudah kubilang, aku tak punya banyak wak-
tu," tolak Paraswari.
"Jangan sombong begitu, Nisanak."
Siluman Hutan Dadak mencoba mencekal tan-
gan Paraswari, tapi gadis berpakaian merah muda itu lebih dahulu menghindar.
"Kuperingatkan kau, Liku Grada! Jangan ber-
buat kurang ajar pada putri majikanku!" ancam Nilunja seraya menuding wajah
Siluman Hutan Dadak.
Liku Grada terkekeh mendengar ancaman itu.
"Terhadap majikanmu pun aku berani berbuat
kurang ajar, Kisanak," kilah Liku Grada mantap.
Nilunja tersentak mendengar ucapan Liku Gra-
da. Dengan wajah memerah, Nilunja kembali mempe-
ringatkan Liku Grada.
"Kalau kau masih bicara tidak sopan, jangan
salahkan jika kurobek mulutmu!"
"Heh"! Apa kau bisa melakukan itu padaku?"
ejek Siluman Hutan Dadak dengan mencibirkan bibir.
"Kurang ajar! Ku sobek mulutmu!"
Seiring dengan ucapannya, tubuh Nilunja ber-
gerak cepat mengirimkan serangan. Tangan terkepal
kuat terarah ke mulut Siluman Hutan Dadak.
Melihat Nilunja merangsek maju, Liku Grada
segera mengambil sikap hati-hati karena belum dapat mengukur kekuatan tenaga
dalam lawan. Wuuut! "Eits!"
Liku Grada segera menarik kepalanya ke bela-
kang menghindari tonjokan Nilunja. Dari angin keras yang mengibarkan rambutnya,
Siluman Hutan Dadak
dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lawan. Maka
ketika serangan kembali datang, Liku Grada menang-
kis dengan tangan kiri.
Trak! Siluman Hutan Dadak terjajar selangkah sete-
lah benturan keras terjadi, sedikit rasa linu menjalari tangan kirinya.
Sementara Nilunja terjajar lima langkah. Tan-
gannya yang membentur tangan Liku Grada rasanya
seperti lumpuh. Cukup memberi gambaran tenaga da-
lam Nilunja di bawah Siluman Hutan Dadak.
Prasena yang menyaksikan kejadian itu menja-
di terkejut. Pemuda itu tak menyangka Nilunja kalah dalam mengadu tenaga dalam,
padahal Prasena tahu.
Nilunja memiliki tenaga dalam yang patut diperhitungkan. "Liku Grada, kurasa
antara kita tak ada permu-suhan, lalu kenapa kau berlaku seperti itu pada ka-
mi?" tanya Prasena dengan setenang mungkin.
"Antara kita memang tidak ada satu urusan,
Kisanak. Namun sekarang aku mempunyai keperluan
dengan kalian, terutama dengan gadis cantik itu," jawab Liku Grada sambil
menunjuk Paraswari.
"Keperluan apakah itu, Liku Grada?" tanya Prasena.
"Aku ingin membawa putri majikanmu ke pun-
cak Gunung Kumborang," jawab Liku Grada.
Prasena, Paraswari, dan Nilunja tentu saja ter-
kejut mendengar jawaban Siluman Hutan Dadak. Den-
gan wajah tegang mereka menatap wajah Liku Grada.
"Mau apa kau membawaku ke puncak Gunung
Kumborang?" selidik Paraswari.
"Nanti kau akan mengetahuinya, Nisanak," jawab Liku Grada.
"Kalau kau tidak mau menyebutkan tujuanmu
membawaku ke Gunung Kumborang, aku tak akan
meluluskan permintaanmu," tekan Paraswari.
"Setelah kukatakan, apakah kau mau ikut den-
ganku?" "Tergantung kepentinganmu, Liku Grada. Aku
akan mempertimbangkan kewajarannya."
"Baiklah," putus Liku Grada. "Di puncak Gunung Kumborang kami akan melaksanakan
upacara maut. Sebagai persembahannya, kami membutuhkan
gadis seperti kau, Nisanak."
Bagai tersengat ribuan lebah Paraswari, Prase-
na, dan Nilunja mendengar jawaban Liku Grada.
Mereka saling berpandangan heran.
"Itu permintaan gila, Liku Grada!" bantah Prasena. "Ya, itu keinginan gila. Aku
tak mungkin me-menuhinya," tambah Paraswari.
"Bagaimana kalau aku tetap memaksa?" tawar Liku Grada.
"Kau langkahi dulu mayat kami," jawab Prasena dan Nilunja bersamaan.
"Baik," ujar Liku Grada. "Aku tidak hanya akan melangkahi mayat kalian, lebih
dari itu pun aku bisa."
"Sombong!" sahut Nilunja.
"Bersiaplah!"
Siluman Hutan Dadak segera mengambil an-
cang-ancang melakukan serangan. Kedua kakinya
membentuk kuda-kuda rendah kokoh berpijak. Maka
ketika kaki belakang dihentakkan kuat-kuat, tubuh
Liku Grada melesat dengan jari-jari tangan terbuka
mengancam pelipis Prasena dan Nilunja.
Melihat gerakan Liku Grada yang cukup berba-
haya, Prasena dan Nilunja segera berpencar. Gerakan menghindar yang tak kalah
cepat, dilakukan kedua
pengawal Paraswari. Karuan saja serangan yang dila-
kukan Siluman Hutan Dadak menemui tempat kosong.
Namun gerakan Siluman Hutan Dadak yang cepat dan
tak terduga kembali dilakukan, kali ini Prasena yang menjadi sasaran.
Untuk menghindari pukulan Liku Grada, den-
gan terpaksa Prasena membanting tubuh ke kanan
dan melakukan totolan melalui tangan. Tubuh Prasena melenting dan melakukan
putaran dua kali.
Siluman Hutan Dadak yang melihat titik lemah
Prasena kembali bergerak cepat. Dengan melakukan
jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa' Siluman Hutan
Dadak mengejar tubuh lawannya.
"Hiaaa...!"
Bret! "Aaakh!"
Tubuh Prasena terdorong keras dihantam ter-
kaman lurus jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa'.
Tubuh yang terbungkus pakaian hijau itu kemudian
terbanting di tanah dengan luka di perut yang mengu-curkan darah.
"Hahaha.... Rupanya hanya sampai di situ ke-
mampuan yang kau miliki, Kisanak. Aku akan menun-
jukkan kemampuanku yang lebih dahsyat dapat men-
gantar nyawamu lebih cepat menemui malaikat maut"
kata Liku Grada.
Laki-laki itu memang tidak main-main dengan
ucapannya. Meski tahu Prasena terluka parah, Silu-
man Hutan Dadak tetap berkelebat dengan senjata
tongkat bulan sabit yang terayun di atas kepala.
Paraswari dan Nilunja terkejut menyaksikan
tindakan Liku Grada. Maka tanpa membuang waktu
lagi Paraswari segera membidikkan anak panahnya ke
tubuh Siluman Hutan Dadak yang tengah melayang ke
arah Prasena. "Hih!"
Twiiing..! Anak panah yang terlepas dengan kekuatan ta-
rikan penuh, meluruk deras mengancam tubuh Liku
Grada. Namun kepekaan Siluman Hutan Dadak mem-
beritahu bahaya yang mengancam dari belakang.
Liku Grada tentu saja tak ingin mati konyol
terkena panah Paraswari, maka diputuskannya tidak
menangkis luncuran anak panah itu Liku Grada memi-
lih menghindar dengan melempar tubuhnya ke arah


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berlawanan, lalu dengan gerakan ringan menotol tanah seraya melakukan
lentingan dua kali.
"Setan!" maki Liku Grada geram.
Ditatapnya wajah Paraswari dengan pandangan
menusuk. "Kali ini aku tidak main-main! Kalian harus
mampus. Dan kau, Nisanak! Akan kubawa ke puncak
Gunung Kumborang!"
Liku Grada kembali mengangkat tombak yang
di bagian ujungnya terdapat sebuah logam berbentuk
bulan sabit Seluruh otot Siluman Hutan Dadak mene-
gang. Dan giginya bergeletukan.
Paraswari dan Nilunja bersiap-siap menghadapi
serangan yang mungkin lebih dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Wruuut! Wusss! Tanpa menggeser letak kaki Siluman Hutan
Dadak mengebutkan tongkat bulan sabit hingga tercip-ta selarik sinar putih yang
meluruk deras ke arah Nilunja dan Prasena.
Sinar putih yang menebarkan hawa panas itu
meluruk dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa. Paraswari dan Nilunja
yang mengetahui hal itu terkejut bukan main.
Nilunja segera menghentakkan kaki dan berpu-
taran di udara dua kali untuk menghindar. Tetapi tidak dengan Prasena, lelaki
yang terluka parah itu tak lagi mampu menghindar.
Brasss...! "Aaakh!"
Jerit kematian terdengar bersamaan dengan
terpentalnya Prasena dengan wajah terbakar. Prasena hanya mampu menggeliat
sebentar lalu nyawanya terpisah dari raga.
Nilunja menyaksikan kematian Prasena murka
bukan main. Tanpa mempedulikan keselamatannya,
Nilunja meluruk maju menerjang Siluman Hutan Da-
dak dengan senjata terhunus.
"Mampus kau, Siluman Gila!" bentak Nilunja sambil membabatkan senjata ke leher
Liku Grada. Liku Grada tidak menganggap remeh serangan
lawan. Dengan cepat ditariknya leher ke belakang.
Wuuut! Serangan Nilunja lewat beberapa rambut dari
tenggorokan Liku Grada. Pada saat itulah kejelian Siluman Hutan Dadak memegang
peranan. Ketika dili-
hatnya pertahanan Nilunja kosong, lelaki itu mengge-
dor keras dada lawan. Akibatnya....
Blaaagkh! "Huaaak!"
Gedoran keras Liku Grada mendarat persis di
dada Nilunja. Tak urung tubuh pengawal Paraswari
terpental sejauh dua tombak. Darah segar muncrat da-ri mulutnya.
"Kakang Nilunja!" pekik Paraswari.
"Ha ha ha...!"
Liku Grada terkekeh menyaksikan tubuh lawan
tidak mampu bangkit.
"Tak perlu diratapi orang yang sudah mati, Ni-
sanak. Lebih baik kau ikut bersamaku ke puncak Gu-
nung Kumborang," pinta Liku Grada setelah tawanya lenyap. Paraswari menoleh,
matanya jalang merayapi
wajah Liku Grada.
"Lelaki Keparat!" maid Paraswari. "Kau telah membunuh orang kepercayaan ku, maka
kau harus menebusnya dengan nyawamu!"
"Ha ha ha...! Kamu tak akan bisa membuktikan
perkataan mu, Nisanak. Daripada kau buang-buang
tenaga percuma, bukankah lebih dari kau menuruti
keinginanku," tukas Liku Grada dengan mata mengerl-ing genit.
"Cuh! Aku tak rela menuruti keinginan gilamu.
Aku akan membunuhmu!"
Paraswari segera meraih anak panah yang ma-
sih tersisa. Dengan cepat anak panah itu diselipkan, kemudian dilepas kuat-kuat
ke tubuh Siluman Hutan
Dadak. Lelaki itu siap menyambut kedatangan anak
panah dengan putaran tongkatnya.
Twiiing,..! Wuuuk! Wuuuk! Trak! Satu anak panah dengan mudah dapat dipa-
tahkan, begitu juga anak panah yang lain. Paraswari merasa perbuatannya sia-sia,
maka tanpa mempedulikan keadaan, gadis cantik putri saudagar kaya dari
Desa Sindang Aru itu bergerak maju dengan pedang
terhunus. "Lelaki Bejat! Kau harus mampus!" bentak Paraswari seraya menebaskan pedangnya
ke tubuh Silu- man Hutan Dadak.
Liku Grada yang sudah dapat mengukur keku-
atan tenaga dalam Paraswari, tak bergeming sedikit
pun dari tempatnya. Hanya dengan mengerahkan te-
naga dalamnya yang berada jauh di atas Paraswari, Siluman Hutan Dadak membiarkan
tubuhnya terhajar
senjata lawan. Akibatnya....
Trak! "Aaa!"
Tubuh Paraswari terpental ketika tebasan sen-
jatanya membentur tubuh Liku Grada yang seperti lo-
gam keras. Paraswari merasa tangannya linu, sedang
senjatanya terpental jauh.
"Ha ha ha....! Sudah kubilang, apa yang kau lakukan hanya membuang tenaga
percuma, Nisanak.
Kusarankan agar kau mau pergi bersamaku ke puncak
Gunung Kumborang tanpa ku paksa."
"Cih! Pergilah kau sendiri, aku tak sudi ikut
denganmu," tentang Paraswari, tangannya masih merasakan linu yang menyengat.
"Baik kalau begitu! Aku yang akan memaksa-
mu," ujar Siluman Hutan Dadak.
Tanpa menunggu jawaban Paraswari, Liku
Grada melesat. Dua jarinya teracung ke tubuh putri
saudagar kaya dari Desa Sindang Aru. Liku Grada me-
lakukan totokan agar Paraswari mau menuruti keingi-
nannya. "Hih!"
Tuk! Tuk! "Aaa...!"
7 Tubuh Paraswari menggelinjang sesaat ketika
totokan keras Siluman Hutan Dadak tepat mengenai
sasaran. Tubuh gadis itu tergeletak diam, hanya ma-
tanya saja yang menatap marah Liku Grada.
"Kau memaksaku melakukan ini, Nisanak," ka-ta Liku Grada dengan tatapan mata
yang tak lepas merayapi sekujur tubuh sintal Paraswari.
"Kau memang lelaki setan!" maki Paraswari geram. Liku Grada alias Siluman Hutan
Dadak terse- nyum mendengar makian gadis cantik di hadapannya.
Kaki laki-laki berpakaian hitam itu terayun selangkah demi selangkah mendekati
tubuh Paraswari yang tergolek tak berdaya.
Paraswari melihat langkah kaki Liku Grada se-
makin dekat ketakutan bukan main. Apakah lelaki itu akan berbuat yang tidak
senonoh terhadapnya" Pertanyaan itu tiba-tiba membersit di benak Paraswari.
Keringat sebesar butiran jagung bermunculan di kulit-
nya. Paraswari merasakan tubuhnya bergetar hebat
saat satu langkah lagi Liku Grada dapat merengkuh-
nya. "Jangan lakukan yang tak pantas pada diriku, Liku Grada," pinta Paraswari
pada puncak ketakutan-nya.
Liku Grada menghentikan langkah mendengar
ucapan Paraswari. Lelaki berpakaian hitam dengan
tongkat yang bagian ujungnya terdapat logam keras
berbentuk bulan sabit segera menatap wajah cantik
Paraswari. "Kau pikir aku sebejat itu?" tanya Liku Grada tegas. Sedikit lega hati Paraswari
mendengar pertanyaan Siluman Hutan Dadak.
"Dengar, Nisanak. Dalam hal melenyapkan
nyawa orang, aku memang tak pernah berpikir dua
kali untuk melakukannya. Tapi dengan tuduhanmu
tadi" Huh! Aku akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Pantang bagiku
merusak kehormatan seo-
rang gadis!" tegas dan jelas ucapan Liku Grada.
"Apa kau ingin membunuhku juga?" tanya Paraswari.
Siluman Hutan Dadak menggelengkan kepala.
"Kau kubutuhkan untuk pelaksanaan upacara
maut, Nisanak. Jadi aku tak mungkin membunuhmu."
"Kau akan tetap membawaku ke puncak Gu-
nung Kumborang?" tanya Paraswari mencoba mengulur waktu.
Gadis itu berharap ada orang lewat di tempat
ini dan memberikan pertolongan padanya.
"Tentu, Nisanak. Sekarang juga, aku tak punya
banyak waktu."
"Hup!"
Siluman Hutan Dadak segera menotol kakinya
di tanah, sementara tangannya dengan cepat menyam-
bar tubuh Paraswari. Begitu cepatnya sambaran tan-
gan Liku Grada hingga Paraswari tahu-tahu sudah be-
rada dalam pondongannya.
Dengan gerakan ringan dan karena mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Siluman
Hutan Dadak melesat cepat hingga tak berapa lama
kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik pohon-
pohon besar yang berjajar.
Sore mendekati senja. Udara dingin mulai me-
nyergap kulit. Sementara langit sedikit menyisakan ro-na jingga, memberi tanda
malam sebentar lagi akan
menjelang. Di kaki Gunung Kumborang nampak sosok
bayangan hitam bergerak ringan dan cepat. Sosok itu begitu lincah mencelat dari
gundukan batu gunung
yang satu ke batu yang lain.
Sosok berpakaian hitam yang tak lain Siluman
Hutan Dadak terus bergerak menaiki Gunung Kumbo-
rang. Sosok itu tak mempedulikan ketakutan gadis
yang berada dalam pondongannya.
Paraswari memang takut bukan main, sedikit
pun tak berani membuka mata melihat keadaan di se-
kitarnya. "Hup!"
"Yeaaah!"
Sekali lagi Siluman Hutan Dadak melakukan
totolan pada batu Gunung Kumborang, maka lentin-
gan terakhir yang manis diselesaikannya.
"Sekarang bukalah matamu, Paraswari. Pe-
mandangan indah dapat kau lihat di sini," ujar Liku Grada sebelum menurunkan
Paraswari. Gadis cantik itu tidak menuruti ucapan Liku
Grada. Meski orang yang memondongnya tidak lagi
melakukan lentingan-lentingan berbahaya, Paraswari
tetap memejamkan mata. Gadis ini tidak ingin melihat jurang menganga di bawah
sana. "Kalau kau tak percaya kita sudah sampai di
puncak Gunung Kumborang, aku akan menurunkan
mu sekarang," ucap Liku Grada walaupun ia mema-hami ketakutan gadis di
pondongannya. "Jangan!" larang Paraswari.
"Ha ha ha.... Rupanya kau masih betah berada
dalam pelukanku, Paraswari," sindir Siluman Hutan Dadak. Paraswari tentu saja
malu mendengar ejekan
itu, seketika itu juga membuka matanya dan dilihat-
nya puncak Gunung Kumborang.
"Aku tidak membohongi mu, bukan?" ujar Liku Grada sambil menurunkan tubuh
Paraswari. Paraswari tak menjawab ucapan Liku Grada,
bola matanya yang hitam pekat mengelilingi seluruh
sudut puncak Gunung Kumborang.
"Kita tak boleh berlama-lama di sini, Paraswari.
Kita harus cepat-cepat menemui Ki Kustara," ucap Li-ku Grada seraya meraih tubuh
Paraswari. "Hup!"
*** "Hik... hik... hik... Memang tak ku sangsikan janjimu, Liku Grada," sambut Ki
Kustara ketika Siluman Hutan Dadak menjumpainya dengan membawa
seorang gadis cantik putri saudagar kaya Desa Sin-
dang Ayu. "Satukan gadis itu dengan yang lain lalu kau
cepat kembali ke sini," perintah Ki Kustara alias Setan Rimba Bangkai.
Siluman Hutan Dadak tidak menunggu perin-
tah Ki Kustara dua kali, dibawanya Paraswari untuk
disatukan dengan gadis-gadis yang sudah ada dalam
kerangkeng. Sebelumnya Liku Grada telah membe-
baskan Paraswari dari pengaruh totokan.
Paraswari terkejut mendapatkan empat gadis
seusianya berada dalam kerangkeng yang cukup besar.
Dirinya semakin tak mengerti dengan ucapan Liku
Grada dan Ki Kustara.
Paraswari memandangi gadis-gadis dalam ke-
rangkeng satu-persatu. Putri saudagar kaya Desa Sindang Ayu tidak tahu yang
bersamanya adalah putri
tunggal tokoh-tokoh golongan putih. Mereka adalah
Wulan Sari, putri tunggal Ketua Perguruan Seribu
Bunga. Narita, putri Ketua Perguruan Kumbang Jan-
tan dan Seriti serta Ratih, cucu Ki Jatirama Ketua Perguruan Sakajati.
Paraswari tenggelam dalam kebingungan. Dan
Siluman Hutan Dadak bergegas melangkah menuju Ki
Kustara, Dewi Racun Kembar dan Pangeran Kala Hi-
tam yang menunggunya.
Siluman Hutan Dadak segera mengambil tem-
pat di sebelah Pangeran Kala Hitam ketika berada di hadapan Ki Kustara. Lelaki
berpakaian hitam itu menarik napas dalam-dalam.
"Kita harus segera mengambil kepastian men-
genai rencana kita," ujar Ki Kustara setelah tiga tegukan teh kehadiran Liku
Grada. Sejenak mata Dewi Racun Kembar, Pangeran
Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak merayapi Setan
Rimba Bangkai. Mereka menunggu keputusan apa
yang akan dikeluarkan lelaki tua, yang selama ini dianggap orang yang patut
dipegang perkataannya.


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita majukan upacara maut lebih awal satu
hari," usul Ki Kustara mantap.
"Aku setuju, Ki," dukung Laras Nini.
"Ya. Menurutku juga begitu, Ki. Dengan dima-
jukannya pelaksanaan upacara maut, maka pekerjaan
kita akan cepat selesai. Tinggal menghadapi Raja Petir
atau yang lain, jika mereka menuntut perhitungan,"
timpal Laras Dewi.
"Aku pun begitu, Ki," sahut Kindang Supa si Pangeran Kala Hitam.
"Aku setuju," tambah Liku Grada.
"Jika memang demikian, berarti tinggal dua ha-
ri lagi pelaksanaan upacara maut. Sekali lagi, tujuan upacara maut adalah
melampiaskan dendam dan menebar keonaran pada kalangan persilatan golongan
putih. Mulai hari ini, penjagaan dilipatgandakan terutama di puncak dan kaki
gunung. Waspadai semua
orang yang mencoba mendekati kaki Gunung Kumbo-
rang. Dan kirim nyawa mereka ke neraka jika tak mau menjauh dari tempat itu,"
putus Ki Kustara.
Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan
Siluman Hutan Dadak mengangguk-angguk tanda se-
tuju dengan keputusan Setan Rimba Bangkai. Dengan
begitu, upacara akan dilaksanakan pada purnama ke-
tiga hari kedua.
*** Sementara Ki Kustara alias Setan Rimba Bang-
kai melipatgandakan penjagaan di sekitar Gunung
Kumborang, lain halnya dengan Jaka Sembada dan
Nyai Dinda Dahlia.
Tokoh-tokoh sakti golongan putih itu tak lagi
mencemaskan Ki Jatirama yang sudah bebas dari ra-
cun ganas pukulan 'Bisa Kala Hitam'.
Ki Jatirama kini dapat berdiri tegak, meski di
tubuhnya nampak balutan-balutan.
"Mendengar ceritamu tadi, kurasa Ki Kustara
akan memajukan rencana pelaksanaan upacara maut,"
ucap Ki Jatirama dengan tatapan mata kosong ke luar
jendela. "Kenapa demikian, Kakang Jatirama?" tanya Nyai Dinda Dahlia.
Ketua Perguruan Sakajati menatap Nyai Dinda
Dahlia. Ki Jatirama memaklumi kekhawatiran Ketua
Perguruan Seribu Bunga karena putri tunggalnya be-
rada dalam tawanan Ki Kustara.
"Kegagalan Siluman Hutan Dadak menda-
patkan Perwari memberitahukan mereka bahwa tokoh-
tokoh golongan putih tidak setuju dengan upacara itu.
Di antara tokoh-tokoh itu seorang muda yang kesak-
tiannya tak dapat diragukan lagi yaitu Raja Petir yang sekarang berada di
hadapan kita."
"Hhh...."
Jaka Sembada menarik napas panjang men-
dengar ucapan Ki Jatirama. Sebenarnya pemuda itu
tak suka dengan puji-pujian semacam itu, hanya akan membuat dirinya terlena dan
besar kepala! "Diriku tak ada artinya tanpa bantuan kalian,"
kilah Jaka Sembada menghilangkan kerisihan.
Ki Jatirama tersenyum mendengar ucapan Raja
Petir. "Begitu santunnya ucapanmu, Raja Petir. Namun perlu kau ketahui,
kehadiranmu di tengah-tengah kami jadi penghalang bagi pelaksanaan upacara maut.
Itu pula salah satu alasan Ki Kustara memajukan wak-tu pelaksanaan upacara maut.
"Kapan kira-kira upacara itu akan dilaksana-
kan, Kakang Jatirama?"
Masih dipenuhi kekhawatiran pertanyaan Nyai
Dinda Dahlia. "Jika dugaanku benar, akan dilaksanakan pada
hari kedua purnama ketiga," jawab Ki Jatirama sambil mempermainkan jenggotnya
yang putih. "Kita tidak punya banyak waktu lagi kalau begi-tu," ujar Raja Petir seraya
menatap wajah cemas Nyai Dinda Dahlia.
"Apakah sekarang juga kita mendatangi puncak
Gunung Kumborang?" tanya Nyai Dinda Dahlia yang ditujukan entah pada siapa.
"Perjalanan menuju wilayah Gunung Kumbo-
rang memerlukan waktu satu hari penuh. Jika kita tidak terlambat, sekarang waktu
yang tepat untuk da-
tang ke puncak Gunung Kumborang. Itu pun harus
menggunakan ilmu lari cepat" jelas Ketua Perguruan Sakajati.
Karena khawatir keselamatan putrinya, Nyai
Dinda Dahlia melangkah lebih dulu. Namun langkah
Ketua Perguruan Seribu Bunga tertahan oleh ucapan
Raja Petir. "Tunggu sebentar, Nyai," cegah Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia menghentikan langkah dan
matanya tak berkedip memandang Jaka Sembada.
"Kita harus memikirkan keadaan Ki Jatirama,"
ucap Jaka Sembada melihat wajah Nyai Dinda Dahlia
menyimpan tanya.
"Ah! Aku tidak apa-apa, Raja Petir. Aku sudah
sehat," sanggah Ki Jatirama tak enak, apalagi melihat ketidaksabaran Ketua
Perguruan Seribu Bunga.
"Kurasa gerakanku tidak akan mengganggu lu-
ka-lukaku, aku pun sanggup bertarung dengan Ki
Kustara," lanjut Ki Jatirama.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang," putus Jaka Sembada.
Ketua Perguruan Seribu Bunga lebih dahulu
mengangkat kaki dan menghentak kuat ke tanah. Tu-
buh perempuan berpakaian jingga dengan ikat ping-
gang putih segera melesat. Ki Jatirama, Perwari, Pri-
maka, dan Jaka Sembada menyusul dengan tak kalah
cepat. Sebentar tubuh mereka nampak saling berkejaran, namun kemudian menghilang
di balik kegelapan
malam yang dingin menusuk.
8 Semilir angin pagi ditingkahi hujan rintik-rintik
membuat suasana bertambah dingin. Suasana itu
membuat orang-orang enggan beranjak dari pembarin-
gan. Hawa dingin yang menusuk kulit membuat mere-
ka semakin merapatkan selimut
Namun tidak bagi puluhan orang yang berjaga-
jaga di kaki Gunung Kumborang. Puluhan lelaki ber-
wajah kasar dan bengis nampak berkeliling di kaki
Gunung Kumborang, mereka tidak mempedulikan hu-
jan yang membasahi kepalanya.
"Untung hanya hujan rintik-rintik," kata seorang lelaki berpakaian hitam
berambut sedikit "Coba kalau hujan deras, kita basah kuyup."
"Sebentar lagi hujan pasti berhenti, Niruda. Ta-pi kita tetap waspada dan
mencurigai setiap orang
yang melintas di kaki gunung ini," balas lelaki yang lain. "Kau benar, Kilar.
Kita harus waspada kalau tidak ingin kepala kita terpisah dengan badan," sahut
lelaki yang bernama Niruda.
Kilar mengangguk-angguk mendengar perka-
taan Niruda. Keduanya melanjutkan tugas, berkeliling mengawasi setiap sudut kaki
Gunung Kumborang.
Sementara di lain tempat, di balik semak belu-
kar yang rimbun, Jaka Sembada, Ki Jatirama, Nyai
Dinda Dahlia serta Perwari dan Primaka tengah men-
gintai kegiatan puluhan lelaki yang berjaga-jaga di kaki Gunung Kumborang.
"Penjagaannya sangat ketat," bisik Nyai Dinda Dahlia. "Ya. Kita harus mencari
cara untuk mengelabui mereka," ujar Ki Jatirama.
"Biar aku yang menghampiri, Ki Jatirama. Aku
akan berpura-pura menanyakan letak Gunung Kum-
borang," usul Jaka Sembada.
Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia saling ber-
pandangan, begitu pula Perwari dan Primaka. Mereka
tidak menyangsikan usul Raja Petir, hanya sedikit ter-haru atas usul yang cukup
bijaksana itu. "Usulmu cukup bagus, Jaka," ujar Ki Jatirama.
"Tapi kau harus hati-hati,"
"Tentu, Ki," jawab Jaka Sembada.
Selesai dengan ucapannya, lelaki berpakaian
kuning keemasan menghentakkan kaki ke tanah. Dan
tubuhnya melesat cepat Ki Jatirama dan Nyai Dinda
Dahlia kagum melihat ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh Raja Petir.
"Berhenti!" bentak seorang penjaga kaki Gunung Kumborang ketika melihat Jaka
Sembada berja- lan mendekati. Jaka Sembada mematuhi bentakan itu.
"Mau ke mana pagi-pagi sekali melintasi daerah ini?" tanya lelaki yang bernama
Niruda. "Aku seorang pengembara yang mencari Gu-
nung Kumborang," jawab Jaka Sembada tenang.
"Hmmm.... Mau apa kau mencari Gunung
Kumborang?" selidik Kilar.
Jaka Sembada menatap wajah lelaki berpa-
kaian hitam yang berkumis tipis.
"Aku ingin bertemu Ki Kustara."
"Ingin bertemu, Ki Kustara?" ulang Niruda.
"Ya."
"Lebih baik kau kembali, Anak Muda. Ki Kusta-
ra sedang ada urusan penting, beliau tidak ingin di-ganggu," cegah Kilar.
"Ah! Namaku Jaka Sembada, Kisanak. Aku ada
urusan penting dengan beliau," desak Jaka Sembada.
"Aku tak bisa mengizinkan mu, Jaka Sembada.
Ki Kustara tidak ingin bertemu siapa pun hari ini," tolak Kilar sedikit keras.
"Tolonglah, Kisanak."
"Tidak bisa!" bentak Niruda keras.
Jaka Sembada berpura-pura terkejut menden-
gar bentakan Niruda.
"Tolong antarkan aku menemui Ki Kustara, Ki-
sanak. Atau aku akan menemui sendiri jika kalian takut kena marah," desak Jaka
Sembada. Niruda dan Kilar terperangah mendengar uca-
pan pemuda berpakaian kuning keemasan yang dira-
sanya sangat lancang.
"Lancang benar mulutmu, Anak Muda!" maid
Niruda. "Sekali lagi kau berani berkata seperti itu, aku tak akan segan-segan
memenggal kepalamu!"
"Jangan menakut-nakutiku, Kisanak," tukas Jaka Sembada memancing kemarahan
Niruda dan Kilar. "Kalau kalian tidak mengizinkan ku menemui Ki Kustara, tidak
apalah. Tapi tolong beritahu, apa yang dilakukan Ki Kustara di puncak Gunung
Kumborang."
"Heh!" Rupanya kepalamu minta dipenggal!"
hardik Niruda seraya meloloskan golok dari pinggang.
Jaka Sembada pura-pura takut, kakinya mun-
dur satu langkah.
"Tolong beritahu, Kisanak. Setelah itu aku akan pergi dari sini," desak Jaka
Sembada. Niruda semakin geram mendengar permintaan
itu. Dengan diiringi teriakan nyaring, lelaki berambut tipis itu menebaskan
goloknya ke leher Jaka Sembada.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Eits!"
Jaka Sembada berkelit ketika golok Niruda
mengancam leher. Serangan ganas Niruda yang dilan-
carkan dengan kekuatan tenaga penuh membentur
tempat kosong. Membuat darah penjaga kaki Gunung
Kumborang naik ke ubun-ubun.
Niruda dengan kemarahan menggelegak kem-
bali menerjang Jaka Sembada. Tebasan-tebasannya
kali ini disertai tenaga dalam, mencecar bagian-bagian mematikan tubuh Raja
Petir. Bagi Raja Petir yang memiliki ilmu silat jauh le-
bih tinggi, mudah saja mengelakkan serangan yang
bagaimanapun tajamnya. Terbukti, dengan mengge-
rakkan sedikit saja bagian tubuhnya yang menjadi sasaran senjata lawan, maka
senjata itu akan menemui
tempat kosong. Dan untuk memberi pelajaran pada le-
laki sombong bernama Niruda, Raja Petir menotok
punggung tangannya.
"Hih!"
Tuk! "Aaa!"
Golok dalam genggaman Niruda terlepas dan
pemiliknya merasa tangannya sukar digerakkan, rasa
linu begitu kuat menggigit-gigit.
Kilar melihat temannya dapat dipecundangi
dengan mudah segera berteriak memanggil teman-
temannya. Maka seluruh penjaga kaki Gunung Kum-
borang menghampiri dan mengurung Jaka Sembada
dengan senjata terhunus.
Jaka Sembada meneliti orang-orang yang men-
gurungnya. Kurang lebih lima puluh lelaki bersenjata golok dan pedang siap
merejamnya, namun pemuda
itu sedikit pun tak gentar.
"Serang...!"
Lima orang lelaki bersenjata golok berlompatan.
Laki-laki yang rata-rata berwajah bengis segera me-
rangsek Jaka Sembada dengan tebasan dan tusukan
yang mematikan Tetapi kelima lelaki itu tidak tahu dengan siapa
mereka berhadapan, seorang pemuda yang namanya
melambung di antara tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Siapa lagi kalau bukan
Raja Petir, yang dengan mudah menghindari setiap terjangan senjata maupun
kepalan lawan. "Hiyaaa!"
Bet! Bet! "Uts!"
Jaka Sembada mencondongkan tubuhnya ke
belakang ketika golok lawan mencoba merobek perut-
nya. Tapi belum lagi pemuda itu menegakkan diri, sebuah bokongan mencecar
punggungnya. Angin berdesir kuat menandakan pembokong-
nya sungguh-sungguh ingin membunuh Raja Petir.
Namun bukan Raja Petir, jika harus tunduk
pada anak buah Ki Kustara. Dengan mengerahkan se-
dikit tenaga dalam, pembokong itu merasakan akibat-
nya. "Hiyaaa...!"
Takh! "Aaa...!"
Lelaki itu terpental ke belakang ketika golok
yang diayunkan ke punggung Raja Petir seolah mem-
bentur logam keras. Dan merasakan nyeri pada perge-


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langan tangan. Sementara golok yang tadi digunakan
menghantam punggung Jaka Sembada terlempar en-
tah ke mana. Ki Jatirama, Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan
Primaka tentu saja tak ingin membiarkan Jaka Sem-
bada dikeroyok puluhan laki-laki dengan senjata terhunus. Setelah diputuskan
matang-matang, Ki Jatira-
ma dan Nyai Dinda Dahlia melesat cepat, menerjang lelaki pengeroyok Raja Petir.
Demikian juga Perwari dan Primaka.
Pertarungan terpecah menjadi tiga bagian. Sua-
ra dentang senjata yang beradu, pekik kegeraman dan jeritan menyayat yang
mengiringi kematian mewarnai
pertempuran yang tak seimbang.
Meski penjaga kaki Gunung Kumborang sepu-
luh kali lipat, namun tidak berarti apa-apa bagi Raja Petir, Ki Jatirama dan
Nyai Dinda Dahlia, karena kepandaian lawan berada jauh di bawah mereka. Tapi
tidak demikian dengan Perwari dan Primaka.
Gadis putri tunggal ketua Perguruan Wesi Wen-
ing dan kekasihnya kerepotan menghadapi keroyokan
penjaga kaki Gunung Kumborang, meski keduanya
memiliki ilmu silat setingkat di atas lawan-lawannya.
Hingga suatu saat...
"Hiyaaa...!"
Blagkh! "Ukh!"
Tubuh Primaka terjengkang ketika sebuah ten-
dangan menggeledek menghajar dada, darah nampak
merembes keluar dari sela-sela bibir.
"Kakang Prima!" teriak Perwari panik.
Gadis itu ingin menghampiri Primaka, namun
sebuah serangan mengancamnya. Sebatang pedang
yang berkilat tertimpa matahari mengancam pelipis-
nya. Perwari terkesiap menyaksikan sambaran pe-
dang yang begitu deras. Sebenarnya masih ada kesem-
patan bagi Perwari untuk membuang tubuh ke kanan,
tapi dari sisi kanan tampak seorang lelaki meluruk
dengan golok teracung di atas kepala.
Perwari tak dapat berbuat apa-apa kecuali me-
nunggu ajal datang menjemput. Dan pada saat yang
genting, sesosok tubuh berpakaian kuning melesat cepat ke arah penyerang
Perwari. Sosok tubuh yang tak lain Raja Petir langsung mengirimkan pukulan keras
berturut-turut "Hiaaa!"
Des! Des! "Aaa!"
Lengkingan menyayat terdengar berturut-turut
mengiringi dua sosok tubuh yang terpental deras dan jatuh berdebum ke tanah.
Brak! Brak! Dua penjaga kaki Gunung Kumborang tewas
seketika. *** Sementara di kaki Gunung Kumborang terjadi
pertarungan sengit, sebuah upacara tengah dilaksanakan di puncak Gunung
Kumborang. Suasana menyeramkan dan menegangkan ter-
jadi di puncak gunung, di mana perayaan upacara
maut tengah berlangsung. Puluhan lelaki berseragam
hitam longgar mengelilingi api unggun yang berkobarkobar. Dan di atas kobaran
api tergantung sebuah ke-
rangkeng besi berisi seorang dara cantik bernama Wulan Sari.
Korban ketiga upacara maut meronta-ronta da-
lam kerangkeng besi. Tubuh Wulan Sari bersimbah pe-
luh, pakaiannya basah oleh keringat. Sementara lima sosok tubuh berjubah merah
yang tak lain Ki Kustara si Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun Kembar, Pangeran
Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak tersenyum
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kelima
sosok berjubah merah begitu menikmati geliatan dan
teriakan-teriakan Wulan Sari yang menyayat.
"Turunkan lagi kerangkeng itu!" perintah Setan Rimba Bangkai lantang.
Empat lelaki kekar pengendali rantai kerang-
keng segera mengulur rantai sepanjang seperempat
tombak. Wulan Sari semakin memekik keras, lengkin-
gannya seperti hendak meruntuhkan gunung, namun
bagi Ki Kustara suatu kenikmatan tersendiri. Lelaki itu tersenyum menyaksikan
gadis dalam kerangkeng
menggeliat kepanasan.
Pada saat gadis dalam kerangkeng besi tidak
lagi mampu bertahan, sesosok bayangan kuning tiba-
tiba berkelebat cepat, menyambar kerangkeng besi
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Setan Rimba Bangkai terperangah menyaksikan
kejadian itu, terlebih ketika melihat keempat pengendali rantai tercebur ke
dalam kobaran api unggun.
Dan Setan Rimba Bangkai makin terperangah
melihat kemunculan Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dah-
lia. "Hmmm.... Tak kusangka kau mampu bertahan
hidup, Jatirama," ejek Ki Kustara.
"Tentu saja, Kustara! Aku datang menuntut
kematian murid-muridku dan musnahnya bangunan
perguruan yang ku bangun dengan susah payah," hardik Ki Jatirama geram.
"Hmmm.... Kau tidak menuntut kematian cu-
cumu?" "Apa!?"
Tersedak Ki Jatirama mendengar pertanyaan
Setan Rimba Bangkai, wajahnya seketika berubah me-
rah padam. Tangannya menegang kaku dan nafasnya
memburu. "Keparat kau, Kustara!" Dengan kemarahan
meluap-luap Ki Jatirama menerjang lelaki berjubah
merah yang berjuluk Setan Rimba Bangkai. Angin
menderu mengiringi terjangan Ketua Perguruan Saka-
jati yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sementara di tempat lain, Jaka Sembada ber-
hadapan dengan Kindang Supa yang berjuluk Pange-
ran Kala Hitam dan Liku Grada si Siluman Hutan Da-
dak. Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Da-
dak melakukan serangan bersamaan dari berbagai
arah, memaksa Raja Petir mengeluarkan jurus
'Pukulan Pengacau Arah'. Jaka Sembada ingin menye-
lesaikan pertarungan secepatnya! Pemuda itu tidak ingin melihat Ki Jatirama dan
Nyai Dinda Dahlia menjadi korban keganasan Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun
Kembar dan puluhan lelaki yang tadi mengelilingi api unggun.
"Hiyaaa...!"
Wusss! "Uts!"
Kindang Supa dan Liku Grada segera mem-
buang tubuh ke arah yang berlawanan ketika melihat
Raja Petir kembali melancarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Tapi mereka tidak
mengetahui Jaka Semba-
da melakukan pukulannya dengan kecepatan dua kali
lipat. Ketika Kindang Supa dan Liku Grada bergulingan, berturut-turut Raja Petir
melepas jurus 'Pukulan Pengacau Arah'
"Hiyaaa...!"
Wrrr... Wrrr! Dua gelombang angin bergulung-gulung melu-
ruk tubuh Siluman Hutan Dadak dan Pangeran Kala
Hitam. Gelombang angin itu bagai sebuah pusaran
yang dahsyat, hingga ketika tubuh lawan terhajar, dua lengkingan menyayat pun
segera membumbung tinggi.
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Tubuh Liku Grada dan Kindang Supa terlihat
melayang bagai segumpal kapas terlanda angin. Pada
saat itu pula nyawanya meninggalkan raga. Dan ketika jasadnya jatuh berdebum ke
bumi, tubuh keduanya
langsung menegang kaku.
Selesai menghabisi Pangeran Kala Hitam dan
Siluman Hutan Dadak, Raja Petir segera melesat ke
tengah pertarungan Nyai Dinda Dahlia dan Dewi Ra-
cun Kembar. "Akulah lawanmu, Dewi Racun Kembar!" teriak Jaka Sembada mengambil alih
pertarungan. Sementara Ketua Perguruan Seribu Bunga
menghadapi para pengikut Ki Kustara.
"Huh! Jangan sombong, Raja Petir. Aku sudah
sejak tadi menunggu bertarung denganmu, tapi kau
memilih dua lelaki yang bukan tandingan mu!" balas Laras Nini.
"Majulah kalian bersama, aku tidak segan-
segan mengirim kalian ke lubang kubur," timpal Jaka Sembada.
"Kurang ajar!" maki Laras Dewi.
"Sebaiknya lelaki sombong sepertinya jangan
diberi hati, Kak."
"Ya, Nyawanya akan kita cabut sekarang juga,"
sahut Laras Nini.
Kedua gadis cantik berjuluk Dewi Racun Kem-
bar segera meraba hulu pedang. Tak lama kemudian....
Srat! Srat! Laras Nini dan Laras Dewi meloloskan senja-
tanya dan menyilangkan di depan dada.
"Hmmm.... Jangan menyesal jika nyawamu me-
layang di tempat ini. Raja Petir!"
"Buktikan ucapanmu, Gadis Angkuh!" tantang Raja Petir.
Hati Dewi Racun Kembar terbakar mendengar
ucapan Jaka Sembada. Tanpa banyak cakap lagi dan
disertai lengkingan keras, Dewi Racun Kembar me-
rangsek maju bersamaan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Dua kali Jaka Sembada melentingkan tubuh-
nya. Sangat manis gerakan lelaki yang berjuluk Raja Petir itu. Lejitan-
lejitannya sangat ringan, menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuhnya.
Dewi Racun Kembar semakin geram melihat se-
rangan mereka dapat digagalkan dengan mudah.
"Gerakanmu memang lincah, Raja Petir!" ejek Laras Nini. "Tapi kau tidak akan
mampu menghindari serbuk maut Dewi Racun Kembar!"
Selesai dengan perkataannya, Laras Nini men-
gerling pada Laras Dewi. Kemudian keduanya bergerak cepat memasukkan tangan ke
balik pakaian. "Hih!"
"Hih!"
Werrr! Werrr! Serbuk berwarna merah seketika menyambar
ke wajah Jaka Sembada. Begitu cepatnya serbuk ber-
bau amis itu menyebar hingga Raja Petir tak sempat
mengelak. Dengan segenap kemampuan pemuda itu
mencoba meredam bau anyir serbuk beracun Dewi Ra-
cun Kembar. Walaupun begitu Jaka Sembada merasa-
kan keganasan serbuk maut Dewi Racun Kembar. Raja
Petir merasakan sekujur tubuhnya gatal-gatal.
Dan dengan liciknya, Dewi Racun Kembar me-
manfaatkan kelemahan Raja Petir yang sibuk menga-
tasi pengaruh serbuk mautnya. Dua tendangan meng-
geledek berturut-turut dilancarkan ke tubuh Jaka
Sembada. "Hiyaaa!"
Diegkh! Diegkh!
"Aaa...!"
Jaka Sembada memekik tertahan saat dua ten-
dangan keras mendarat di punggung dan pinggulnya.
Tubuhnya langsung terhempas sejauh satu tombak.
Darah nampak keluar dari sela-sela bibirnya.
"Ha ha ha...! Nyawamu ada di ujung pedangku,
Raja Petir! Bersiaplah menuju alam baka!" ucap Laras Nini. "Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
*** Melihat Laras Mini dan Laras Dewi menerjang
bersamaan dengan senjata terhunus, tak ada jalan lain bagi Jaka Sembada selain
membuka sabuk kuning
yang melilit pinggangnya.
Sinar kuning menyilaukan seketika berpendar-
pendar dari sabuk kuning keemasan yang tergenggam
di tangan Raja Petir. Bersamaan dengan lolosnya sa-
buk kuning, rasa gatal akibat serbuk maut Dewi Ra-
cun Kembar lenyap.
Dan ketika serangan Dewi Racun Kembar da-
tang, Jaka Sembada memutar pergelangan tangan.
"Hiyaaa!"
Ctar! Ctar! Glaaarrr! Glaaarrr!
Bunyi gemuruh terdengar seiring bergeraknya
pergelangan tangan Raja Petir, yang memainkan sabuk petirnya dalam jurus 'Petir
Membelah Malam'. Seberkas sinar keperakan menyambar laksana petir.
Laras Nini dan Laras Dewi yang berada di uda-
ra, tak mampu berbuat banyak menghindari serangan
Jaka Sembada yang datang mendadak dan begitu ce-
pat. Tubuh mereka terhempas deras diiringi lengkin-
gan kematian yang menyayat. Tubuh kedua gadis itu
hangus seperti terhajar petir.
"Aaa...!"
Terkejut Jaka Sembada mendengar jeritan me-
lengking yang datang dari belakang. Pemuda itu segera membalikkan badan. Raja
Petir melihat Nyai Dinda
Dahlia limbung, terhajar serangan lawan. Sementara
dari arah lain tiga lelaki pengikut Setan Rimba Bangkai menyongsong dengan
senjata teracung ke udara.
Raja Petir segera melesat menuju Ketua Pergu-
ruan Seribu Bunga dan menghalau penyerang Nyai
Dinda Dahlia dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'
Tiga lelaki dengan golok terhunus terpental, di-
hajar angin bergulung yang keluar dari telapak tangan Jaka Sembada. Begitu deras
terjangan angin pusaran
itu, hingga tubuh lawan-lawannya rebah tak bernyawa.
Belum selesai Jaka Sembada merubah letak
berdirinya, empat lelaki menyongsong ke arahnya. Kali ini Raja Petir tidak
meladeni dengan jurus yang sama.
Tubuhnya berkelit menghindari tebasan dan tusukan
senjata lawan, sambil melancarkan totokan.
"Hih!"


Raja Petir 06 Upacara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuk! Tuk! Tubuh keempat penyerangnya tergolek tidak
berdaya, terkena totokan Jaka Sembada yang datang-
nya tidak terlihat mata.
Sementara pertarungan antara Ki Kustara dan
Ki Jatirama nampak mulai tidak seimbang. Ki Jatira-
ma terdesak hebat Berkali-kali pukulan Setan Rimba
Bangkai menghajar tubuh ketua Perguruan Sakajati.
Darah mengalir dari sela-sela bibir Ki Jatirama.
"Kau hadapi anak buah Ki Kustara yang tinggal
sedikit itu, Nyai. Aku akan membantu Ki Jatirama,"
ujar Jaka Sembada.
"Baik, Raja Petir," sahut Nyai Dinda Dahlia.
Jaka Sembada berkelebat tepat pada saat pe-
dang tumpul Ki Kustara hendak membelah batok ke-
pala Ki Jatirama. Tangan Jaka Sembada bergerak ce-
pat memapak pergelangan tangan Ki Kustara.
Trak! "Aaa...!"
Ki Kustara terkejut bukan main melihat seran-
gannya berhasil dipapaki seseorang. Tubuhnya terjajar tiga langkah dan tangannya
bergetar hebat Mata Ki Kustara menatap Jaka Sembada tajam,
giginya bergemeratakan menandakan kegeramannya
yang memuncak atas perbuatan pemuda berpakaian
kuning keemasan di hadapannya.
"Hmmm.... Kau pasti, Raja Petir. Tenaga da-
lammu cukup tinggi. Tapi ketahuilah, Setan Rimba
Bangkai akan menguburmu sekarang juga!" lantang ucapan lelaki tua itu.
"Bersiaplah, Raja Petir!"
Laki-laki tua yang berjuluk Setan Rimba Bang-
kai segera merubah kuda-kudanya. Kaki lelaki itu terangkat dua langkah ke
belakang membentuk kuda-
kuda gantung. Kedua tangannya beradu dan diusap-
usap cepat. Dan asap putih kehitaman mengepul dari
gosokan dua telapak tangan Ki Kustara. Lelaki beru-
mur enam puluh tahun lebih itu sedang mengerahkan
ajian 'Lebur Jasad'.
"Grrrrkkk...!"
Cerrrsss...! Asap putih kehitaman tiba-tiba meluruk cepat
ke arah Jaka Sembada yang sudah siap menghalau
dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Dan....
"Hiaaa!"
Wrrr! Tercekat hati Raja Petir melihat segulungan an-
gin deras yang keluar dari telapak tangannya tidak
mampu menghalau asap putih kehitaman yang melun-
cur ke arahnya. Jaka Sembada segera membuang tu-
buhnya ke kanan menghindari terjangan asap putih
kehitaman yang mengandung hawa panas menyengat.
Sambil melompat, tangan pemuda itu menotol
tanah kuat-kuat Tubuhnya melenting dan berputaran
dua kali. "Ups!"
Raja Petir mendarat dengan manis pada jarak
tiga tombak, namun serangan-serangan Ki Kustara
masih tetap mengancam. Asap putih kehitaman kem-
bali meluruk deras ke arahnya.
"Sungguh aneh ajian Ki Kustara. Aku harus
mencari titik lemahnya," bisik Jaka Sembada sambil
berpikir mencari jalan keluar.
"Haruskah ku kerahkan jurus 'Serbuk Petir Pe-
lebur Raga'" Atau...."
Dengan perkiraan yang tepat. Raja Petir segera
menyambut aji 'Lebur jasad' ciptaan Ki Kustara dengan aji 'Kukuh Karang'
miliknya. Seluruh kepala hingga dadanya terbalut sinar
kuning keemasan, begitu juga lutut hingga ujung kaki.
Sinar kuning keemasan yang membungkus bagian-
bagian tubuh Raja Petir terus berpendar dan ketika sinar putih kehitaman
menerjang, maka....
Pruf! Sinar putih kehitaman itu seperti tertelan tu-
buh Jaka Sembada, sementara tubuh pemuda itu se-
dikit pun tidak terpengaruh hawa panas yang menyen-
gat Kenyataan itu membuat Setan Rimba Bangkai
tidak percaya. Tak seorang pun mampu menahan
ajiannya selama ini, namun terhadap Raja Petir..."
Dengan kegeraman yang meluap-luap, Setan
Rimba Bangkai melesat cepat bagai kilat. Ki Kustara mencoba menembus sinar
kuning keemasan di tubuh
Jaka Sembada, dengan pedang tumpulnya yang sangat
dibanggakan. "Hiyaaa...!"
Trak! Sleps! Senjata Ki Kustara yang menghantam tubuh
Jaka Sembada tidak dapat ditarik pulang. Lelaki tua itu coba mempertahankan
senjatanya yang tersedot
tenaga Raja Petir. Tapi makin kuat Ki Kustara mengerahkan tenaga, semakin kuat
pula sedotan tenaga Ja-
ka Sembada. Kesempatan, itu dipergunakan Jaka Sembada.
Dengan sekali gerak, tangan kanan Raja Petir meng-
gendor dada Ki Kustara.
"Hih!"
Blagkh! "Aaa...!"
Lengking kematian menyayat, membumbung ke
langit Tubuh Ki Kustara terpental deras dengan tulang dada hancur. Suara
berderak terdengar ketika tubuh
lelaki tua yang berjuluk Setan Rimba Bangkai jatuh ke bumi, saat itu juga
tubuhnya menjadi bangkai.
Di tempat lain Ketua Perguruan Seribu Bunga
tengah menyelesaikan lawan terakhirnya. Perempuan
berpakaian jingga itu menebaskan senjata ke perut
pengikut Ki Kustara, maka....
"Hiaaa!"
Bret! "Akh!"
Tubuh lelaki berpakaian hitam seketika lim-
bung, dengan darah mengucur deras dari perutnya
yang terluka cukup dalam. Lelaki itu hanya mampu
bertahan beberapa saat, lalu tubuhnya meregang ka-
ku. Seiring dengan kematian lawan terakhirnya,
Nyai Dinda Dahlia melesat menghampiri tubuh pu-
trinya, yang tergeletak tak jauh dari api unggun yang masih menyala.
"Wulan, Wulan Sari!" panggil Nyai Dinda Dahlia keras sambil menggoyang-goyangkan
tubuh anaknya. Setelah berkali-kali perempuan setengah baya
itu berbuat demikian, baru disadarinya anaknya sudah tiada. "Wulaaannn...!"
pekik keras seketika melambung tinggi, Gunung Kumborang seperti hendak run-
tuh. "Sudahlah, Nyai. Tak perlu disesali apa yang telah ditentukan Gusti Pencipta
Alam Semesta," bujuk Ki Jatirama sambil membopong mayat Ratih.
Dan di sisi Ki Jatirama berdiri Seriti, saudara
kembar Ratih, dengan isak tangis tertahan.
"Cucu yang sangat kukasihi juga menghadap-
Nya, Nyai. Tapi aku berusaha tabah dan menerima ke-
tentuan sang Pencipta," lanjut Ki Jatirama sambil menahan kesedihan yang sangat
"Betul, Nyai. Kita memang harus menerima dan
merelakan semua yang telah digariskan-Nya," ujar Ja-ka Sembada mencoba
membesarkan hati Nyai Dinda
Dahlia. "Sekarang sebaiknya kita turun gunung untuk segera mengurus jenazah
Wulan Sari dan yang lainnya." Sesaat Nyai Dinda Dahlia menatap wajah Jaka
Sembada dan Ki Jatirama bergantian. Kemudian tangannya bergerak membopong
jenazah anaknya dan
berjalan gontai turun Gunung Kumborang.
Angin bertiup semilir mengiringi kepergian me-
reka, seolah memberi lambaian selamat jalan. Dan
puncak Gunung Kumborang kembali sunyi.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Ratu Wajah Maya 2 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Iblis Ular Hijau 1
^