Gerhana Gunung Siguntang 2
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang Bagian 2
yang di tangannya yang cukup merepotkan Menurut
murid Tengkorak Darah yang berjuluk Dewi Karang
Samudera, pedang itu. terbuat dari Batu Bintang. Hhh!
Kalau dulu aku gagal mengorek siapa pemuda ini dan
ada hubungan apa dengan Malaikat Dewa, kali ini aku
harus mendapatkannya!"
Habis membatin dengan penuh kegeraman, si lelaki
tua berpunuk berambut. panjang itu memiringkan tu-
buhnya sedikit. Lalu dengan berdingkring kembali dia
mencelat ke muka.
Tirta sendiri langsung melesat pula dengan Pedang
Batu Bintang dikibaskan ke arah leher lawan. Bersa-
maan dengan itu, tangan kirinya yang telah terangkum
tenaga surya, dilepaskan ke muka.
Wuuusss! Terdengar pekikan tertahan dari lelaki tua berpu-
nuk. Dia berhasil mengelakkan kibasan Pedang Batu
Bintang. Dan segera mengibaskan kedua tangannya.
Kalau tadi setiap serangan dan lesatan tubuhnya di-
kawal hawa panas, kali ini serangkum angin berhawa
dingin luar biasa menderu dan segera menindih hawa
panas yang dilepaskan Tirta melalui tenaga surya.
Tirta yang melihat satu kesempatan terbuka, sege-
ra berputar dan menendang.
Des! Tubuh si Pengusung Jenazah terlempar ke bela-
kang dua tombak terhantam tendangan pemuda dari
Gunung Rajawali itu. Sedangkan Tirta yang memang
sudah mengetahui kesaktian si lelaki berpunuk, segera mengendalikan tubuh saat
dirasakan kakinya meng-
hantam batu cadas dan terhuyung.
Hanya sesaat dilakukannya, karena si Rajawali
Emas sudah mencelat kembali dengan menggerakkan
Pedang Batu Bintang yang semakin terang memancar-
kan sinar keemasan.
Blarrr! Sambaran pedang di tangan si Rajawali Emas me-
lenceng ketika angin dahsyat menderu dan menebar-
kan bau busuk seperti bau bangkai. Dan sentakan te-
naga yang melencengkan serangannya itu membuat si
Rajawali Emas surut ke belakang. Segera dialirkan
hawa murni yang dipadukan dengan tenaga surya pa-
da alat pernafasannya kalau tak ingin bau bangkai me-
lilit lehernya.
Rupanya, dalam keadaan yang kritis bagi si Pengu-
sung Jenazah, Mayang Harum mengibaskan kedua
tangannya ke arah Tirta, Serangan tiba-tibanya berha-
sil menahan gerakan Tirta pada si lelaki tua berpunuk.
Ketika kedua kaki si Rajawali Emas menginjak
bumi, terdengar seruannya panjang pendek, "Guru!
Mengapa kau biarkan aku ditahan oleh nenek jelek
bau bangkai itu" Mengapa kau diam saja, sih" Apakah
kau tega melihat muridmu yang ganteng ini terkapar
jadi mayat"!"
Bidadari Hati Kejam yang sebenarnya sejak tadi in-
gin membantu namun merasa tak enak karena jelas
pertarungan jadi tidak adil, mendumal dan membalas
membentak. "
"Bocah kebluk! Apa-apaan kau omong, hah"! Kalau
kau mampus, toh kau memiliki Kitab Pemanggil
Mayat" Kau bisa ku bangkitkan kembali dengan kitab
itu!" Tirta nyengir mendapati bentakan gurunya.
Di seberang, si Pengusung Jenazah tengah mengi-
baskan tangan kekasihnya yang menahan tubuhnya.
Kedua matanya dipentangkan ke arah Tirta, seperti
hendak menelan bulat-bulat tubuh si Rajawali Emas.
Kejap lain terdengar suaranya merandek, "Bocah
keparat berjuluk Rajawali Emas! Aku semakin yakin,
kalau kau ada hubungan dengan Malaikat Dewa! Ka-
takan, di mana manusia itu berada"!"
Tirta berbalik dan cuma nyengir. Lalu menatap gu-
runya. "Guru.... Dia bertanya apa sih" Aku tidak mendengarnya. Apakah kau mendengar?"
Bidadari Hati Kejam menggelengkan kepalanya. La-
lu katanya, "Tirta... aku ini sudah tua. Mana mungkin aku bisa mendengar cacing
bicara" Kau yang masih
muda seperti itu, mengapa tidak bisa mendengar?"
"O.... Jadi yang berbicara itu cacing ya, Guru" Kupikir kutu busuk! Sialan
betul!" Tanya-jawab yang dilakukan dengan maksud men-
gejek itu, membuat. wajah si Pengusung Jenazah
membesi. Kedua tangannya terkepal rapat. Rahangnya
mengatup kuat-kuat. Kejap lain terdengar suaranya
menggembor, "Rupanya kau memandang sebelah mata
kepada Sepasang Pemburu dari Neraka!"
"Wah! Kau salah besar tuh! Justru kami memejam-
kan mata erat-erat!" sambar Tirta.
"Peduli setan dengan omongan! Siapa pun kau
adanya, aku tak akan bertindak setengah lagi! Juga
kau, Perempuan berkonde!"
Bidadari Hati Kejam yang menikmati permainan
konyol dari muridnya mendadak celingukan. Lalu den-
gan tampang dibuat blo'on dia bertanya pada Tirta se-
telah beberapa saat, "Hei, Bocah kebluk! Siapakah yang dimaksud dengan perempuan
berkonde?"
Tirta menahan tawanya mendengar kata-kata gu-
runya yang sebenarnya jarang bergurau dan senang
sekali melontarkan kata dengan nada dibentak.
Dijawabnya pertanyaan si nenek berkonde, "Mana aku tahu" Yang ku tahu sih, kedua
orang itu" Eh!
Yang ada di kepala mereka sih bukan konde, ya" Teta-
pi kepala keduanya yang penjol!"
Masih memasang tampang blo'on si nenek ber-
konde membentak ke depan, "Hei, Orang-orang dungu yang punya otak di dengkul!
Apakah kalian sudah
sinting semua" Tak ada di sini perempuan berkonde!
Yang berkonde sebenarnya cuma aku! Tetapi, aku ini
keturunan bidadari dari kahyangan! Jadi kalian harus
memanggilku si Bidadari Berkonde! Itu baru tepat!"
Tirta ngakak sejadi-jadinya hingga seluruh tubuh-
nya berguncang.
Di seberang, Sepasang Pemburu dari Neraka saling
berpandangan. Masing-masing menyiratkan kemara-
han yang tinggi. Kejap kemudian, keduanya sudah
mencelat ke muka. Si Pengusung Jenazah menyerang
ke arah Rajawali Emas, sedangkan kekasihnya menye-
rang Bidadari Hati Kejam.
*** Bab 5 Di saat Sepasang Pemburu dari Neraka melancar-
kan serangan hebat pada Bidadari Hati Kejam dan Ra-
jawali Emas, di Gunung Siguntang Iblis Kubur benar-
benar mengamuk. Setiap kali tangan dan kakinya ber-
gerak, seketika terjadi getaran dahsyat yang menggu-
gurkan bebatuan dan jatuh berdebam. Dinding gu-
nung bagai bergoyang.
"Sontoloyo!" maki Manusia Pemarah dan terus mencecar dengan ilmu simpanannya
'Sinar Ungu'. Setiap kali sinar yang dilepaskan dari kedua telapak tangannya
melesat, terjadi hantaman keras yang mengeri-
kan. Kendati tubuh Iblis Kubur berulang kali terhajar sinar ungu yang menebarkan
hawa panas itu, namun
setiap kali pula manusia mayat itu berdiri tegak dan
melancarkan serangan sementara baju hitam kusam
yang dikenakannya sudah hangus di sana-sini.
Di sebelah kanan, manusia buntal yang berjuluk
Dewa Bumi sudah mempergunakan cangklong besar-
nya sebagai alat menyerang. Cangklong yang bila tak
dihisap tak mengeluarkan asap namun saat dihisap
dan dihembuskan mengeluarkan asap beraroma wangi
itu, dihisap dalam-dalam.
Asap lembut yang mengeluarkan aroma wangi, ti-
ba-tiba saja membesar dan menggumpal membentuk
gulungan. Semakin lama semakin bergulung-gulung,
pekat dan menghalangi pandangan. Iblis Kubur meng-
gereng setinggi langit dan menggerakkan kedua tan-
gannya ke atas.
Plasss! Satu sentakan kuat yang ditimbulkan dorongan te-
naganya memecah gumpalan asap putih itu. Begitu
hebatnya, karena dorongan tenaganya masih meluncur
deras ke arah Dewa Bumi.
Manusia yang tingginya hanya sepundak manusia
normal itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
yang seperti menyatu dengan leher. Saat menggerak-
kan kepalanya sebuah kalung yang sangat besar di le-
hernya bergerak hingga menimbulkan suara srang,
srang yang lembut. Bersamaan datangnya serangan Ib-
lis Kubur, digerakkannya tangan kirinya yang gempal
ke depan. Angin lembut yang tak terasa melesat keluar dan
memancarkan sinar yang cukup terang.
Blam! Blammm! Membentur serangan Iblis Kubur hingga menim-
bulkan letupan berkali-kali dan cahaya yang berpen-
dar-pendar. Iblis Kubur makin menggereng keras den-
gan kemarahan tinggi.
Sementara itu, sosok buntal berbaju batik yang
terbuka di dadanya entah karena tak bisa dikancing kebesaran perut atau memang
karena tak punya pakaian lagi, menampakkan bungkahan dadanya tak
ubahnya dada seorang wanita, telah berdiri tegak. Lalu dengan santainya
menghisap cangklong besarnya. Dan
menghembuskan asapnya ke depan. Menyusul asap
yang bergerak itu, Dewa Bumi menggerakkan tangan
kirinya. Kembali cahaya berpendar dan angin lembut yang
tak terasa melesat. Itulah jurus 'Sinar Dewa' yang cukup mengerikan.
Iblis Kubur mengeluarkan gerengan keras. Kedua
tangannya digerakkan dan mau tak mau rantai besar
yang terikat pada kedua tangannya menimbulkan sua-
ra menggidikkan.
Kabut hitam tiba-tiba saja melingkupi tubuhnya
dan kejap lain, kabut itu melesat menghantam gumpa-
lan asap yang dilepaskan Dewa Bumi. Sedangkan pu-
kulan 'Sinar Dewa' yang dilepaskan Dewa Bumi dipu-
puskan dengan hanya meniup.
Kembali letupan berkali-kali terdengar dan Gunung
Siguntang bergetar dahsyat.
Manusia Pemarah yang melihat serangan Dewa
Bumi dapat diputuskan, kembali mencecar dengan il-
mu 'Sinar Ungu'. Sementara itu, seorang dara jelita
berbaju putih dengan sulaman bunga mawar di bagian
dadanya yang sejak tadi memperhatikan pertarungan
itu, diam-diam bergidik dengan bulu kuduk mere-
mang. "Luar biasa kealotan tubuh manusia mengerikan
ini! Tak mengherankan sebenarnya karena dia adalah
mayat yang dibangkitkan! Setahuku Kitab Pemanggil
Mayat yang bisa membangkitkannya, berarti kitab itu
pula yang bisa mematikannya kembali."
Gadis yang memiliki wajah berbentuk bulat telur
dengan dagu agak menjuntai itu menarik napas pan-
jang. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang me-
merah indah. Sepasang alisnya hitam, dihiasi dengan
bulu mata lentik dan mata yang cerah terbuka. Ram-
butnya panjang hingga ke bahu, dibiarkan tergerai be-
gitu saja dan berkali-kali disingkapnya karena jatuh ke kening. "Sejak tadi aku
ingin membantu, tetapi Guru selalu melarang. Sekarang aku tidak peduli! Biar
bagaimanapun juga aku harus membantu! Cuma saja,
mengapa Guru tak menurunkan ilmunya yang me-
mancarkan sinar ungu yang dahsyat itu" Apakah ilmu
itu terlalu mengerikan hingga tidak diturunkan kepa-
daku?" batin si gadis lagi yang tak lain adalah Ayu Wulan adanya, Murid Manusia
Pemarah itu menahan na-
pas beberapa saat, sebelum akhirnya menerjunkan diri
ke kancah pertarungan.
Manusia Pemarah yang tengah mencecar dengan
ilmu 'Sinar Ungu' nya seketika membentak, "Ayu! Jangan gegabah! Lebih baik kau
menyingkir dari sini!"
"Tidak, Guru! Aku harus menghadapi juga manusia
celaka itu!" bentak Ayu Wulan tanpa menghiraukan la-rangan gurunya, segera
dilepaskannya jurus 'Sejuta
Pesona Bunga'. Saat itu juga menghampar aroma bun-
ga yang luar biasa menyejukkan hati, menindih aroma
wangi yang keluar dari asap yang dihembuskan oleh
cangklong Dewa Bumi.
Manusia Pemarah mendengus dan menderu pula
dengan ilmu 'Sinar Ungu' nya. Sementara Dewa Bumi
setelah menggeleng-gelengkan kepala karena jengkel
atau kagum atas kesaktian Iblis Kubur pun melesat
melancarkan serangan.
Diserang dari tiga penjuru dengan serangan tingkat
tinggi, tetap tak membuat Iblis Kubur terdesak! Setiap kali tubuhnya terhantam,
setiap kali pula dia bangkit kembali. Sementara bekas hantaman pukulan sakti
lawan menghilang begitu saja. Membuat ketiga orang
itu bertambah penasaran. Manusia Pemarah sejak tadi
sudah mengeluarkan makian. Dewa Bumi berkata-kata
dengan nadanya yang berayun-ayun. Sedangkan Ayu
Wulan agak memucat karena tenaganya cepat terku-
ras. Dan diam-diam rupanya pertarungan itu diperhati-
kan oleh satu sosok tubuh berbaju hijau lumut yang
tipis hingga menampakkan keindahan lekuk tubuhnya
yang molek. Sosok jelita dengan rambut dihiasi pernik keperakan itu tersenyum.
"Bagus! Mereka tak akan mampu menghadapi Iblis
Kubur! Manusia-manusia yang kerjanya hanya meng-
ganggu setiap keinginanku itu akan mampus saat ini
juga! Hmmm... apakah saat ini Manusia Agung Seten-
gah Dewa sudah hadir" Kalau memang sudah, menga-
pa dia tak muncul untuk menghadapi Iblis Kubur"
Apakah manusia itu sudah tak memiliki nyali lagi?"
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan berbaju hijau tipis yang tak lain adalah
Dewi Karang Samudera semakin melebar senyumnya.
Namun tiba-tiba senyumnya putus seperti direng-
gut setan saat kepalanya dialihkan ke sebelah selatan.
"Hmmm.... Rupanya Sepasang Pemburu dari Neraka
pun sudah berada di sini. Yang perempuan sedang
menyerang si nenek berkonde Bidadari Hati Kejam.
Sementara yang lelaki dan berjuluk si Pengusung Je-
nazah sedang menyerang.... Oh! Pemuda berjuluk Ra-
jawali Emas yang masih sempat kulihat kalau Kitab
Pemanggil Mayat berada padanya" Keparat! Kitab itu
harus kembali kepadaku untuk mengendalikan Iblis
Kubur. Kendati demikian, Iblis Kubur akan tetap pa-
tuh kepadaku bila dia melihat aku dan tak lewat dari
jarak sepuluh hari. Tetapi, ini kesempatan ku untuk
mendapatkan kembali Kitab Pemanggil Mayat."
Dewi Karang Samudera yang sebelumnya dibuat
putus nyalinya karena ilmu 'Pengendali Mata' yang di-
milikinya diketahui rahasianya oleh Sepasang Pembu-
ru dari Neraka, menatap dengan penuh kegeraman
tinggi. *** Rajawali Emas yang telah mengerahkan seluruh
ilmu yang dimilikinya pun akhirnya harus terhuyung
pula ketika hawa panas dan dingin yang melesat dari
serangan si Pengusung Jenazah menghantamnya den-
gan telak. Rupanya, si Pengusung Jenazah memang masih
memiliki beberapa kesaktian. Kalaupun sebelumnya
dia sempat dipermainkan Tirta, kali ini justru si pemu-da yang dibuat tunggang-
langgang. Berulang kali terdengar seruan tertahan dari mulut
nya dan sebisanya dibalasnya serangan lelaki berpu-
nuk itu dengan kibasan demi kibasan Pedang Batu
Bintang yang sebenarnya cukup membuat si Pengu-
sung Jenazah ngeri.
"Celaka! Mengapa tubuhnya sekarang menjadi
membal seperti itu. Gerakannya pun seperti melompat
lompat dengan lenturan tubuh yang sangat handal.
Gerakannya itu mengingatkan aku pada Raja Pocong
Hitam. Namun agak berbeda karena gerakan Raja Po-
cong Hitam seperti harus singgah dulu di tanah," maki Tirta sambil memutar tubuh
dengan cepat, menghindari gempuran aneh lelaki berpunuk yang tubuhnya
terus melompat dengan membal dan mengirimkan se-
rangan-serangan berbahaya.
Sementara itu, Bidadari Hati Kejam pun dibuat ha-
rus menguras seluruh kesaktiannya. Perempuan ber-
konde itu berkali-kali wajahnya menjadi pias saat
gempuran nenek berbaju hitam kusam menderu dan
mengeluarkan bau busuk seperti bangkai yang melilit
leher. "Sejak semula memang kuduga kalau kedua ma-
nusia celaka ini tak bisa dianggap sebelah mata. Dan lebih gila lagi, perempuan
sialan ini! Setiap kali terhantam pukulanku, dia selalu bisa tegak berdiri tanpa
kurang suatu apa. Aku yakin, hal itu disebabkan karena
sesungguhnya dia telah mampus. Karena berhasil di-
bangkitkan kembali saja hingga tubuhnya seperti tak
merasakan setiap serangan," dengus si nenek ber-
konde dalam hati dan terus mencoba membalas den-
gan senjata pengebutnya.
Beberapa kali terjadi letupan keras di tempat itu
yang menggebah tanah hingga membubung, tinggi dan
membentuk beberapa lubang sedalam setengah tom-
bak. Tatkala si nenek tengah menghindari serangan
Mayang Harum, tubuh Tirta mencelat ke arahnya ka-
rena harus menghindari gempuran aneh si Pengusung
Jenazah. Saat itulah terjadi keanehan yang meskipun senga-
ja singkat namun sempat terlihat oleh sepasang mata
tajam si nenek berkonde. Karena begitu Tirta mencelat ke arahnya, sosok Mayang,
Harum yang tengah melancarkan serangan melompat ke samping, mengurung-
kan niatnya menghantam Bidadari Hati Kejam.
"Hmmm....Aku tahu sekarang!" gumam si nenek berkonde. "Tetapi, apakah benar?"
desisnya pula agak ragu-ragu. "Menurut muridku yang rada konyol ini, saat
bertarung dengan Iblis Kubur dia pun mempergunakan tenaga surya yang mengalir
dalam tubuhnya.
Tetapi Iblis Kubur tak mengalami apa-apa. Hanya sa-
ja.... Biar bagaimanapun juga aku harus mencoba! Ba-
rangkali karena kesaktian Iblis Kubur lebih tinggi dari nenek jelek bau bangkai
ini!" Lalu dia berseru sambil mencelat ke arah lelaki berpunuk, "Bocah kebluk!
Kita tukar lawan! Perempuan yang telah mampus dan dihi-dupkan kembali itu
rupanya jeri merasakan hawa pa-
nas dalam tubuhmu yang tentunya berasal dari Rum-
put Selaksa Surya. Biar lelaki berpunuk itu kuhajar!"
Mendapati seruan gurunya, Tirta memutar tubuh
di udara tiga kali. Dan begitu menukik, tangan kirinya yang telah terangkum
tenaga surya digerakkan ke arah
Mayang Harum. Astaga! Yang diperkirakan Bidadari Hati Kejam ter-
nyata benar. Karena Mayang Harum kelihatan sangat
panik. Sebelumnya, hal ini pun pernah terjadi saat
pertama kali Tirta bertarung dengan Sepasang Pembu-
ru dari Neraka. Perempuan yang telah dibangkitkan
dari kematiannya selama tiga puluh tahun lalu me-
mang jeri mendapati hawa panas yang mengalir dalam
tubuh Tirta. Hingga saat pertarungan pertama dia ha-
rus berulang kali menghindar. Keanehan itu tak ter-
tangkap oleh Tirta pertama kali. Sedangkan tenaga
surya yang dilepaskan pada lelaki berpunuk, tak
membawa pengaruh apa-apa. Karena lelaki berpunuk
itu menguasai ilmu 'Mengelupas Gunung Es' yang di-
ciptakan dan dipelajarinya seorang diri saat berpuluh tahun mengusung jenazah
kekasihnya untuk mencari
Kitab Pemanggil Mayat.
Kalau tadi Tirta dibuat tunggang-langgang oleh le-
laki berpunuk, kali ini dia terus menyerang dengan tenaga surya pada Mayang
Harum. Pedang Batu Bin-
tangpun dikibaskan sekuat tenaga. Hamparan sinar
keemasan itu cukup menyilaukan mata dan membuat
Mayang Harum berkali-kali memekik.
Hingga kemudian....
Craas! Paha kanannya tersambar ujung Pedang Batu Bin-
tang. Tak ada darah yang mengalir namun menyobek
dinding di paha kanan Mayang Harum.
Kendati demikian, perempuan berbaju hitam itu
masih kuat melancarkan serangan. Namun tak berani
untuk mendekat karena Tirta sudah menyerangnya
dengan tenaga surya. Lama-kelamaan Tirta berpikir
pula kalau tenaganya akan terkuras.
"Hmmm....Meskipun perempuan ini nampak jeri
dengan tenaga surya dalam tubuhku, tetapi dia masih
bisa menghindar menjaga jarak. Sementara anehnya,
Pedang Batu Bintang yang membuat si Pengusung Je-
nazah cukup jeri, tak membawa hasil apa-apa pada pe-
rempuan ini kendati dia telah tergores di beberapa bagian. Dasar bodoh! Pantas
Guru memanggilku dengan
sebutan kebluk. Bukankah perempuan berbaju hitam
ini adalah mayat yang dibangkitkan kembali dengan
mempergunakan Kitab Pemanggil Mayat" Berarti, dia
harus kumusnahkan kembali dengan mempergunakan
Kitab Pemanggil Mayat ini".
Di tempat lain, Bidadari Hati Kejam telah menemu-
kan bentuk penyerangannya. Dengan mempergunakan
senjata pengebutnya dan mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya, dia berhasil mengimbangi se-
rangan si Pengusung Jenazah.
Gerakan melompat membal yang diperlihatkan si
Pengusung Jenazah berulang kali berhasil dipatahkan
oleh Bidadari Hati Kejam. Kendati demikian, bukan be-
rarti Bidadari Hati Kejam berhasil menguasai perta-
rungan. Tubuhnya pun berkali-kali terkena hantaman
telak dari lawannya.
Tiba-tiba saja penciuman tajam si nenek berkonde.
menangkap aroma yang sangat Wangi merangsang,
disusul dengan bau tak sedap yang menyengat.
Wajah si nenek membesi.
"Kuharap dugaanku salah. Jangan sampai kedua
manusia celaka itu yang muncul. Bisa berabe saat ini
Karena aku belum berhasil menguasai pertarungan."
Aroma wangi merangsang dengan bau busuk ken-
dati tak mengalahkan bau bangkai yang menguar dari
tubuh Mayang Harum semakin menusuk hidung si
nenek berkonde bergantian.
"Celaka! Kini tak salah apa yang ku pikirkan! Jelas-jelas kedua manusia itu yang
datang. Aku yakin, me-
reka pasti akan menyerangku saat ini juga! Berarti,
aku harus menjaga jarak dari lelaki jelek berpunuk ini agar bisa menerima
serangan yang tiba-tiba."
Sebenarnya, bukan si nenek saja yang mencium
perubahan udara yang tiba-tiba, tetapi juga mereka
yang berada di sana. Hanya saja karena harus tetap
siaga menghadapi lawan masing-masing mereka tak
terlalu menghiraukan. Sementara Tirta sudah menjaga
jarak dan di tangan kirinya tergenggam Kitab Pemang-
gil Mayat. Tetapi bagi si nenek berkonde jelas ini suatu masa-
lah. Karena dia tahu, bau tak sedap yang semakin
mendekat disusul bau aroma merangsang itu berasal
dari orang yang mempunyai dendam kesumat yang
tinggi. Apa yang diduga si nenek berkonde memang benar
Karena tiba-tiba saja lima larik sinar kuning melesat dahsyat ke arahnya. Cepat
si nenek menggerakkan
senjata pengebutnya.
Wuuuttt! Pyar! Lima larik sinar kuning itu berbalik mental, me-
muncratkan cahaya cukup terang. Kejap lain menyu-
sul kabut berwarna kuning yang tebal.
Bidadari Hati Kejam kali ini melengak. Karena ber-
samaan datangnya kabut kuning yang bisa merontok-
kan seluruh jalan darah dalam tubuhnya, si Pengu-
sung Jenazah sudah mencelat melakukan serangan.
Terkesiap si nenek membuang tubuh ke belakang.
Kabut kuning tadi luput dari sasaran. Begitu pula se-
rangan Pengusung Jenazah yang hanya mengenai an-
gin. Bidadari Hati Kejam cepat berdiri tegak. Kepalanya ditolehkan ke samping.
Dilihatnya dua anak manusia
sedang berdiri.
Di sebelah kanan, berdiri seorang lelaki kurus
mencangkung tanpa baju yang menonjolkan tulang di
bagian dada dan perut. Rambutnya panjang tergerai di
punggung. Yang mengerikan dari wujud anehnya itu,
wajahnya berwarna kuning, lain dari warna kulit hi-
tamnya di sekujur tubuhnya. Wajah kuning yang din-
gin dan seperti mayat belaka. Lelaki yang tak lain Manusia Mayat Muka Kuning
itulah yang tadi melepaskan
serangan ke arah Bidadari Hati Kejam.
Sementara berdiri di sebelah Manusia Mayat Muka
Kuning, seorang yang mengenakan baju sutera yang
indah sekali, dengan belahan dada yang rendah hingga
memperlihatkan bungkahan buah dadanya yang besar
dan indah. Serta belahan baju bagian bawah hingga ke
pangkal paha dan memperlihatkan kedua paha yang
mulus menggiurkan. Wajahnya, ditutupi cadar dari su-
tera. Perempuan itu tak lain adalah Dewi Kematian.
"Benar dugaanku!" desis Bidadari Hati Kejam.
"Urusan makin jadi kapiran kalau begini!"
Di saat yang bersamaan, satu sosok tubuh berpa-
kaian putih-putih dengan selempang kain putih dari
bahu kanan ke pinggang kiri, menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tempatnya berdiri dengan pertarungan itu
cukup jauh. Diusapnya janggutnya yang berwarna pu-
tih dan seluruh bulu yang ada pada tubuhnya tetap
berwarna putih.
"Kunti Pelangi cukup hebat juga menghadapi lelaki berpunuk yang sempat kuingat-
ingat siapa dia. Kalau
tidak salah, Guru pernah mengatakan kepadaku ten-
tang Sepasang Pemburu dari Neraka lengkap dengan
ciri-cirinya. Aku yakin, lelaki berpunuk itu dan perempuan yang dalam jarak
cukup jauh ini mengeluarkan
bau seperti bangkai yang sedang bertarung dengan
muridku adalah Sepasang Pemburu dari Neraka. Meli-
hat pertarungan tadi, kendati ku yakini Kunti Pelangi tak akan mampu menguasai
si lelaki tua berpunuk,
namun dia cukup bisa mengimbanginya.
Bila saja Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi
Kematian tidak mengganggu pertarungan itu, Kunti bi-
sa pula menguasai pertarungan. Aku tahu, Manusia
Mayat Muka Kuning memiliki dendam tinggi pada Kun-
ti Pelangi. Urusannya bisa tidak beres untuk perem-
puan berkonde itu.
Aku harus.... Hmmm! Rupanya ada manusia yang
sedang berkelebat ke arah muridku. Dewi Karang Sa-
mudera. Melihat sikapnya, dia hendak membokong
muridku. Dan di tangan muridku itu kulihat ada se-
buah kitab dan seperti mengalirkan darah. Apakah itu
Kitab Pemanggil Mayat yang kini berada di tangan si
Rajawali Emas" Kalau begitu.... Tak boleh kubiarkan
hal ini terjadi!".
Di kejauhan, sosok berbaju hijau lumut yang tipis
menerawang dan bergerai saat tubuhnya berkelebat
semakin mendekat ke arah si Rajawali Emas. Sosok
tubuh hijau yang tak lain Dewi Karang Samudera tak
bisa lagi menahan diri untuk mendapatkan Kitab Pe-
manggil Mayat. Sejak pertama kali berkelebat sebenar-
nya dia sudah melihat kemunculan Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian.
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun tak dihiraukannya kedua manusia itu.
Yang diinginkannya adalah mengambil Kitab Pemang-
gil Mayat yang diketahuinya berada di tangan pemuda
berjuluk Rajawali Emas. Terlebih-lebih ketika melihat si pemuda nampaknya hendak
mempergunakan kitab
itu untuk mematikan Mayang Harum kembali. Sema-
kin menggebu-gebu keinginan Dewi Karang Samudera.
Tubuhnya semakin cepat diempos.
Dan.... Tap! Tangan kanannya menyambar ke pinggang Tirta
yang seketika mengeluarkan seruan tertahan. Cepat
dia berusaha mengendalikan keseimbangannya. Na-
mun satu tarikan kuat sangat luar biasa membuat
pemuda dari Gunung Rajawali itu jadi setengah ter-
huyung. Tarikan kuat yang dilakukan Dewi Karang
Samudera dilanjutkan dengan menggerakkan tangan
kirinya, menyambar Kitab Pemanggil Mayat di tangan
si Rajawali Emas.
"Heiii!"
Dengan sekali sentak tubuh Tirta terbawa. Kejap
lain tubuh Tirta sudah ambruk ke tanah dan terguling.
Sementara bayangan hijau itu memutar tubuh di uda-
ra. Di tangan kirinya tergenggam sebuah kitab usang
yang seperti mengalirkan darah. Bibirnya tersenyum
menyadari kalau Kitab Pemanggil Mayat telah berada
di tangannya. Namun senyuman di bibir merona indah itu tiba-
tiba lenyap bagai melihat makhluk asing yang sangat
mengerikan. Tatkala dirasakan satu sentakan menerpa
tangan kanannya.
Tanpa sadar kitab yang sudah agak usang dan se-
perti mengalirkan darah terlepas dari tangannya. Kejap lain, dilihatnya satu
sosok tubuh berpakaian serba putih menangkap kitab yang terlepas itu.
Lalu memutar tubuh dan berdiri tegak berjarak tiga
tombak dari tempat Dewi Karang Samudera yang telah
berdiri pula dengan kedua mata terbeliak. Seketika
terdengar makiannya serak dan dalam. "Raja Lihai Langit Bumi!"
*** Bab 6 "Cempaka.... Mengapa kau tak juga menyudahi se-
pak terjang mu yang telengas ini" Tak sadarkah apa
yang telah kau lakukan" Dengan membangkitkan Iblis
Kubur kau telah membuat kehancuran di rimba persi-
latan ini," sosok berwajah arif bijaksana berbaju putih bersih itu menggelengkan
kepalanya. Sepasang matanya yang teduh menyiratkan penyesalan yang dalam.
Perempuan berbaju hijau tipis dengan rambut ke-
perakan itu menggeram. Sepasang matanya yang ba-
gus namun memancarkan sinar licik lekat pada sosok
di hadapannya yang tak lain adalah Raja Lihai Langit
Bumi. "Sirat! Kukatakan sekali lagi, kalau semua ini adalah urusanku! Jangan coba-coba
halangi setiap keingi-
nanku! Sementara aku tetap menginginkan nyawamu!"
Raja Lihai Langit Bumi yang bernama asli Sirat
Perkasa, mengusap janggutnya dengan lembut.
"Rupanya, kesombongan telah membungkam selu-
ruh nurani mu, Cempaka," katanya memanggil nama asli Dewi Karang Samudera.
"Tidakkah kau sadari, kalau semua yang kau jalani itu tak pernah ada gunanya
bahkan hanya menyakitkan hatimu dan sesama?"
"Jangan berkhotbah di hadapanku!" geram Dewi Karang Samudera dengan pancaran
mata dingin. Di
kedua tangannya yang terkepal telah memancar sinar
putih bening. Perempuan yang masa mudanya dulu mencintai
Raja Lihai Langit Bumi namun tak kesampaian, hingga
saat ini mempunyai dendam yang tinggi pada lelaki bi-
jaksana itu. Sebelumnya, Dewi Karang Samudera ber-
maksud mempergunakan tangan Ratu Tengkorak Hi-
tam untuk mencelakakan Raja Lihai Langit Bumi. Te-
tapi, Ratu Tengkorak Hitam rupanya dibutakan oleh
nafsunya sendiri untuk merebut Pedang Batu Bintang.
Hingga akhirnya si nenek pengunyah susur adik kan-
dung dari Raja Pocong Hitam itu tewas di tangan si Rajawali Emas. Sementara,
Dewi Karang Samudera yang
mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dari gurunya si
Tengkorak Darah yang tewas di tangan Malaikat Dewa
pada puluhan tahun lalu, bergerak mencari makam
manusia keji yang dikalahkan oleh Manusia Agung Se-
tengah Dewa. Keinginan Dewi Karang Samudera mem-
bangkitkan Iblis Kubur, adalah untuk membantunya
menuntaskan segala dendam di hati.
Sebenarnya ilmu 'Pengendali Mata' yang dimili-
kinya cukup membuatnya merasa mampu menghadapi
Raja Lihai Langit Bumi. Hanya saja yang menge-
jutkannya, Raja Lihai Langit Bumi saat menyerangnya
tidak mempergunakan tenaga dalam. Sehingga perem-
puan berambut keperakan itu tak bisa mencuri ilmu
sakti Raja Lihai Langit Bumi yang lain.
Kembali perempuan berbaju hijau tipis dengan
rambut keperakan itu mengeluarkan bentakan.
"Sirat! Kuminta kepadamu untuk memberikan Ki-
tab Pemanggil Mayat itu kepadaku!"
Raja Lihai Langit Bumi hanya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Jangan menjadi si pesakitan, Cempaka. Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini!"
"Keparat! Kau membuatku bertambah muak!" Habis kata-katanya, Dewi Karang
Samudera sudah men-
celat dahsyat ke arah Raja Lihai Langit Bumi.
Berjarak sepuluh tombak, Tirta yang kini berdiri
tegak menggeram mengetahui siapa orang yang mena-
rik tubuhnya tadi.
"Hmmm.... Dewi Karang Samudera. Dan beruntun-
glah salah seorang guruku yang lainnya si Raja Lihai Langit Bumi datang. Kulihat
di tangannya tergenggam
Kitab Pemanggil Mayat. Tetapi... oh! Guru, Bidadari
Hati Kejam, kelihatan berada dalam permasalahan
yang tinggi. Manusia Mayat Muka Kuning yang mem-
punyai dendam padanya rupanya telah muncul pula
bersama perempuan berbuah dada besar itu. Apa yang
harus kulakukan sekarang" Tak mungkin Guru bisa
menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning, Dewi Ke-
matian, dan tentunya si Pengusung Jenazah sekali-
gus." Tirta melirik perempuan yang telah dibangkitkan
kembali dari kematiannya yang sedang menggeram tak
berkedip. "Perempuan ini jeri dengan tenaga surya dalam tubuhku. Bagus! Ini
berarti satu kemenangan,
kendati bagiku sulit untuk memusnahkannya. Aku
akan menunggu saja sekarang sekalian memulihkan
tenagaku lagi. Bila Kulihat pertarungan akan segera
dimulai, akan kubantu Guru menghadapi manusia-
manusia celaka itu! Hmmm.... Ke mana perginya,
Bwana" Sampai selama ini tak ada tanda-tanda dia
akan muncul" Brengsek! Apa yang sebenarnya dilaku-
kan Bwana?"
Berjarak lima belas tombak dari bagian kiri di ma-
na Tirta berdiri, lelaki muka kuning yang menebarkan
bau busuk dari rambutnya menggeram sambil tertawa
berderai. Lalu tiba-tiba menggantung tawanya sendiri.
"Bidadari Hati Kejam! Rupanya kematianmu tinggal di ujung tanduk! Jangan menjual
lagak di hadapanku
lagi!" Si nenek berkonde mendelik sewot.
"Orang tua muka kuning! Apakah kau berpikir ka-
lau keadaanku tidak menguntungkan" Rupanya kau
memang belum terlalu mengenal siapa aku! Apakah
kau ingin kubuat jungkir balik kembali seperti di Lembah Maut dulu?"
Wajah Manusia Mayat Muka Kuning semakin me-
mancarkan sinar kuning yang terang. Menandakan ka-
lau dia marah bukan main mendengar ejekan orang.
"Bidadari Hati Kejam! Lagakmu sangat tinggi hati sekali! Lihat serangan!"
Manusia Mayat Muka Kuning siap melakukan satu
gempuran hebat, tetapi urung dilakukan karena ter-
dengar suara dingin di sebelah kanannya.
"Nyawa perempuan berkonde itu berada di tangan-
ku! Jangan coba-coba melangkahi!"
Seketika dua pasang mata milik Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian menatap lurus ke
arah si lelaki berpunuk. Keduanya pun pernah berta-
rung dengan manusia itu ketika memperebutkan Kitab
Pemanggil Mayat.
Perempuan bercadar sutera yang berbaju sangat
rendah di bagian dada hingga menampakkan bungka-
han payudaranya yang montok itu berbisik, "Jangan bertindak tolol. Manusia ini
mempunyai kesaktian
yang tinggi. Kita pernah dibuat konyol olehnya. Lebih baik per-
gunakan siasat untuk bergabung. Bila dia setuju, ma-
ka keinginan kita untuk membunuh Bidadari Hati Ke-
jam akan mudah dilakukan. Lagi pula, tidakkah kau
melihat kalau Raja Lihai Langit Bumi sedang meme-
gang sebuah kitab yang ku yakini Kitab Pemanggil
Mayat?" Lelaki muka kuning membenarkan ucapan sahabat
sekaligus kekasihnya.
Lalu katanya pada si Pengusung Jenazah, "Lelaki
berpunuk. Apa kabarmu hari ini?"
Si Pengusung Jenazah mengeluarkan dengusan.
Samar dia menangkap suara menjilat dalam kata-kata
Manusia Mayat Muka Kuning.
"Urusan kita yang lalu belum selesai. Bergabunglah kalian dengan perempuan
berkonde itu, biar peker-jaanku cepat terselesaikan!"
Wajah Manusia Mayat Muka Kuning berubah se-
saat. Tetapi detik lain dia tertawa panjang sambil menindih kegeramannya
mendengar kata-kata lelaki ber-
punuk tadi. "Silang sengketa di antara kita rasanya harus dis-
elesaikan. Masing-masing orang menginginkan kema-
tian nenek berkonde itu. Mengapa kita tidak sekalian saja membinasakannya ?"
Menyusul kata-kata Manusia Mayat Muka Kuning,
Dewi Kematian maju selangkah. Tubuhnya sengaja di-
gerakkan. Hingga bungkahan pahanya dan balutan
kain sutera pada bagian pinggulnya bergetar. Payuda-
ranya yang montok itu pun bergoyang seiring aroma
wangi yang sangat merangsang menguar. Diam-diam
dipergunakan ajian pemikatnya yang disebut 'Lepas
Cadar Bidadari'. Diperhatikannya apa yang terjadi pa-
da lelaki berpunuk itu.
"Hmmm.... Rupanya rasa cintanya pada perem-
puan mayat yang telah dibangkitkan itu mampu meno-
lak jurus 'Lepas Cadar Bidadari'. Kendati begitu, apakah dia bisa menolak
tubuhku yang indah ini?"
Memikir sampai di sana, masih berusaha menge-
rahkan jurus 'Lepas Cadar Bidadari', Dewi Kematian
berkata dengan mulut yang membuka lebar sengaja
memperlihatkan lorong kemerahan dalam mulutnya
dan suara mendesah.
"Pengusung Jenazah.... Urusan antara kita me-
mang harus sudah selesai. Mengapa kita tak bisa ber-
sahabat" Dan kulihat kau masih gagah dalam usiamu
yang tentunya sudah sangat lanjut. Apakah dalam
usiamu yang semakin senja ini kau tak ingin menik-
mati suguhan indah dan mengasyikkan?" Saat berkata begitu, Dewi Kematian
menggerakkan payudaranya.
Bidadari Hati Kejam menggeram dalam hati, "Pe-
rempuan tidak tahu malu! Rupanya dia berusaha me-
mikat si Pengusung Jenazah untuk bergabung den-
gannya. Dari ucapan yang kudengar, aku yakin kalau
sebelumnya mereka pernah terjadi satu pertarungan.
Hhh! Mereka mau bergabung atau tidak, peduli setan!
Mereka harus kuhajar!"
Di seberang, Dewi Kematian terus merayu-rayu si
lelaki berpunuk yang kini tiba-tiba wajahnya berubah.
Sepasang matanya menyorotkan sinar merah dan keli-
hatan kalau dia sedikit gelisah. Dewi Kematian yang
menyadari kalau lelaki berpunuk itu mulai terpenga-
ruh oleh kemontokan tubuhnya, tersenyum dalam ha-
ti. "Sebagai lelaki, kau pasti tunduk kepadaku kendati jurus 'Lepas Cadar
Bidadari' tak berguna. Tetapi, setiap lelaki adalah kucing yang tak boleh
melihat daging di hadapannya."
Tak mau kalau rayuan itu semakin mengena dan
pandangannya dibuat bertambah nanar akibat gerakan
tubuh penuh rangsangan yang dilakukan oleh Dewi
Kematian, si lelaki tua berpunuk mengalihkan pan-
dangan pada satu tempat. Suaranya serak saat berka-
ta-kata, "Untuk sementara urusan kita bisa diselesaikan! Dan kini... Kita hajar
si nenek berkonde itu!"
Dewi Kematian menggenggam tangan Manusia
Mayat Muka Kuning, tanda menyatakan keberhasilan-
nya. Orang tua muka kuning yang menjadi sahabat
sekaligus kekasihnya menganggukkan kepala. Kejap
lain, secara bersamaan keduanya sudah menderu ke
arah Bidadari Hati Kejam. Menyusul lelaki berpunuk
yang sudah melesat pula dengan tubuh yang mene-
barkan hawa sedingin gunung es.
Bersamaan dengan itu, pemuda berbaju keemasan
dengan rajahan burung rajawali keemasan di lengan
kanan dan kirinya yang sejak tadi memperhatikan dan
menunggu, sudah mencelat pula ke depan.
Mengarah pada Manusia Mayat Muka Kuning dan
Dewi Kematian. Bab 7 Di sebuah hutan belantara yang jauh dari Gunung
Siguntang, lima sosok tubuh berhenti di tepi hutan itu.
Kepala masing-masing orang mendongak. Namun se-
perti yang sudah-sudah, masing-masing orang menarik
napas panjang. "Tak mungkin kita bisa mengejar Bwana kendati
kita memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna,"
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata seorang nenek berbaju. dari kulit harimau namun
berwarna putih. Wajah si nenek dipenuhi keriput den-
gan alis dan bulu matanya hitam legam dan lentik. Di
kedua pergelangan tangannya yang kurus terdapat ge-
lang warna putih yang berkilau. Baju pakaian bawah-
nya, sebuah kain warna hitam pekat. Rambut si nenek
panjang tak beraturan. Di lehernya terdapat sebuah
kalung seperti taring tajam.
Empat pasang mata lainnya memperhatikan dan
masing-masing mengakui apa yang dikatakan si nenek
tadi. Tetapi, gadis manis yang berbaju merah dengan
ikat pita merah berkata dengan nada tidak puas, "Tetapi, Ratu.....Apa yang harus
kita lakukan sekarang"
Sudah satu hari satu malam kita mencari jejak Bwana.
Tetapi, burung rajawali raksasa milik Kang Tirta itu
tak kita temukan juga."
Si nenek berkalung taring di lehernya tersenyum.
Andini....Apa yang kau tanyakan itu tak kuketahui pu-
la jawabannya. Tetapi samar ku sirap kabar, kalau
saat ini di Gunung Siguntang sedang terjadi kemelut."
Gadis yang ternyata Andini itu mengerutkan ke-
ningnya dan menatap si nenek lekat-lekat. "Kalau begitu...."
"Kita menuju ke sana," sahut si nenek yang tak
lain adalah Ratu Harimau Putih.
Gadis berbaju biru dengan mengenakan pita ram-
but biru namun berikat pinggang kebalikan dari warna
yang dikenakan Andini, menarik napas diam-diam.
Wajahnya bulat jelita dengan sepasang mata yang ba-
gus Kendati gadis berbaju biru itu bukanlah saudara
kembar dengan Andini, tetapi wajah keduanya begitu
mirip satu sama lain.
"Kecemasan Andini semakin nampak saja. Sejak
pertama kulihat, dia sering termenung sepeninggal Ra-
jawali Emas. Lalu dengan perginya Bwana secara tiba-
tiba dia semakin tambah terpukul. Ah, besar dugaan-
ku kalau dia memang mencintai Kang Tirta."
Pemuda tampan di sisinya dengan sebilah pedang
di punggung yang tak lain adalah Wisnu, satu-satunya
laki-laki dalam rombongan itu, mendekati gadis berba-
ju biru yang tak lain adalah Nandari. Dia berbisik lembut.
"Nandari,.. apakah kau melihat satu keanehan
yang dialami oleh Andini?"
Nandari mengangkat kepalanya, menatap wajah
tampan pemuda yang dicintai dan mencintainya. Lalu
perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.
"Ya. Apakah Kang Wisnu memperhatikannya juga?"
katanya balik bertanya.
Wisnu menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum
dia bicara, Nandari memotong, "Sudahlah. Kita tak usah membicarakan soal Andini
terlalu banyak. Lebih
baik kita hibur dia, Kang Wisnu."
Wisnu tersenyum simpatik. Lalu dengan genitnya
dikedipkan mata kanannya hingga membuat gadis
berbaju biru dan mempunyai sifat lembut itu menjadi
memerah wajahnya. Dan terburu-buru Nandari berlalu
dari sana mendekati Andini dari pada dibuat semakin
malu. "Bisa berabe kalau Kang Wisnu mendengar detak
jantungku yang menguat," katanya dalam hati.
Dua dara dan seorang pemuda itu tak lain adalah
murid-murid Dewa Bumi. Sementara Nandari mende-
kati Andini, Wisnu berkeliling di sekitar hutan itu. Sedangkan saat ini Ratu
Harimau Putih sedang berkata
pada seorang gadis jelita berwajah bulat mengenakan
baju putih dengan ikat pinggang warna kuning.
"Marbone....Perasaanku mengatakan kita sudah
sangat dekat pada adik seperguruanku. Hingga saat ini aku memang belum bertemu
kembali dengannya. Dan
tekadku untuk menghentikan ulah adik sepergurua-
nku yang kini berjuluk Dewi Karang Samudera sema-
kin nyala."
Gadis berbaju putih panjang itu tersenyum. Dia
adalah Marbone, salah seorang dari Tiga Pengiring Ra-
tu yang selamat, sementara dua orang lainnya tewas di tangan Dewi Karang
Samudera. "Ratu.... Bukannya hendak melancangi setiap uca-
panmu. Tetapi, aku pun ingin membalaskan sakit hati
dua saudaraku, Ratu."
Ratu Harimau Putih tertawa pelan. Mengusap ram-
but panjangnya. Lalu katanya lagi, "Marbone,... Setelah keinginanku tercapai
untuk menghentikan perbuatan
gila adik seperguruanku itu, aku akan kembali lagi ke Pulau Roti. Begitu pula
denganmu, Marbone."
"Ya, Ratu."
Ratu Harimau Putih mengalihkan perhatiannya ke
samping. Lalu berseru "Aku hendak menuju ke Gu-
nung Siguntang! Bila kalian bertiga ingin berpisah
sampai di sini, kuucapkan selamat jalan!"
"Tunggu!" seru Wisnu menahan. Lalu berkelebat mendekati dua gadis adik
seperguruannya. "Bagaima-
na, Nandari" Andini" Apakah kita juga akan menuju
Gunung Siguntang" Setelah perjumpaan kita dengan
Guru, sampai hari ini kita belum berjumpa lagi."
Nandari bukannya menjawab justru mengalihkan
pandangan pada Andini.
"Bagaimana kau, Andini?"
Andini terdiam beberapa saat. Lalu katanya seperti
pada dirinya sendiri, "Apakah... Kang Tirta berada di sana?"
Nandari menarik napas dulu sebelum menjawab,
"Kemungkinannya, iya!"
"Oh! Ya, aku mau ke sana!"
Lalu ketiganya pun bergerak mendekati Ratu Ha-
rimau Putih yang disisinya berdiri Marbone.
"Ratu.... Kami turut serta menuju ke Gunung Si-
guntang!" Ratu Harimau Putih tersenyum. Namun hanya se-
saat senyum itu bertengger di bibirnya, karena detik
lainnya si nenek berbaju dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu sudah
mengeluarkan satu bentakan,
keras dan menggugurkan dedaunan.
"Orang di balik pohon! Mengapa harus bersem-
bunyi" Bila ingin mengundang pesta turun lah serta ke sini! Bila hanya ingin
mencari penyakit silakan pergi!"
Seruan si nenek cukup mengejutkan empat muda-
mudi yang berada di sana. Masing-masing orang men-
gikuti arah pandangan si nenek.
Namun kejap lain, masing-masing orang termasuk
Ratu Harimau Putih tanpa sadar mundur satu langkah
dengan mulut terbuka. Dari balik sebuah batang po-
hon besar, satu sosok tubuh terbalut kain hitam dari
kepala hingga mata kaki melompat keluar. Gerakan
melompatnya sangat lincah sekali. Dan berdiri tegak
berjarak lima tombak dari kelima orang itu.
"Edan! Setan pocong mana yang kesasar di sini"!"
bentak Ratu Harimau Putih setelah pulih dari keterke-
jutannya. Orang berbalut kain hitam dengan ikatan di atas
kepalanya mengeluarkan suara gerengan. Wajahnya
sangat sulit dilihat. Yang nampak hanya kegelapan
semata, namun sepasang sinar menyala merah yang
tentunya keluar dari dua bola matanya sangat nam-
pak. Cukup angker dan menggidikkan.
"Nenek keparat yang mencari mampus! Siapa ka-
lian adanya, hah?" suara serak bernada amarah itu terdengar keras. Tak bisa
digambarkan bagaimana
bentuk mulut orang berbalut kain hitam pekat dari
kepala hingga ke kaki yang tak lain adalah Raja Pocong Hitam.
Setelah bertarung dengan Rajawali Emas untuk
menuntut kematian adik kandungnya si Ratu Tengko-
rak Hitam, Raja Pocong Hitam pun harus meninggal-
kan pertarungan karena dengan bantuan Bwana, Tirta
berhasil mengatasinya. Bukan main kegusaran yang
melanda orang berbalut kain hitam legam itu. Teruta-
ma, lelaki tua berambut panjang dengan jubah biru
pekat yang berlukis. Jubah Setan tewas dipatuk bu-
rung besar milik si Rajawali Emas.
Raja Pocong Hitam sudah tentu tak akan melupa-
kan kekalahan sekaligus sakit hatinya karena tak
mampu membalas kematian adik kandungnya. Di
otaknya telah tersusun sebuah rencana. Namun sebe-
lum dia tiba di tempat yang dituju, kehadirannya di
tempat itu diketahui si nenek berkalung taring.
Mendapati bentakan orang berbalut kain hitam pe-
kat, bukannya si nenek yang menyahut, justru Andini
yang mengeluarkan bentakan. Rasa rindunya untuk
bertemu dengan Tirta alias si Rajawali Emas sangat
mendesak di hatinya. Salah seorang murid Dewa Bumi
itu pun menjadi gusar tatkala mereka siap menuju ke
Gunung Siguntang, datang pengacau yang berbalut
kain hitam tanpa ketahuan bagaimana bentuk wajah-
nya. "Orang busuk bermata merah dan berkain hitam.
Tak layak kau mengetahui siapa kami! Lebih baik
minggat dari sini sebelum urusan menjadi kapiran!"
Terdengar suara merandek Raja Pocong Hitam. La-
lu dengan suara menindih kegusaran dia berkata, "Tak memperkenalkan diri
sepertinya tak layak. Tetapi, sebelum kalian mati, kalian mesti mengenal dulu
siapa orang yang berdiri di hadapan kalian ini! Raja Pocong Hitam!"
Dari orang yang berada di sana, hanya Ratu Hari-
mau Putih yang cukup melengak mendengarnya. Ka-
rena, sebagai tokoh yang usianya sudah menumpuk,
Ratu Harimau Putih pernah pula mendengar julukan
santer yang cukup mengerikan. Tetapi, hanya bebera-
pa tahun saja julukan Raja Pocong Hitam terdengar.
Selebihnya lenyap begitu saja. Hanya sesekali memang
julukan itu masih terdengar. Ratu Harimau Putih pun
tahu, kalau orang berbalut kain hitam ini bukan bera-
da dalam golongan lurus.
Wisnu yang merasa gelagat tak menguntungkan di
depan mata, segera maju dua langkah. Pemuda yang
memang tak mau mencari urusan ini berkata dengan
suara lembut. "Salam dari kami semua untukmu, Raja Pocong Hi-
tam. Maafkan kami bila kami terlalu buta hingga tak
mengetahui siapa kau adanya. Bila memang masing-
masing punya urusan, silakan tinggalkan tempat. Dan
membawa damai dalam jiwa."
Kata-kata pemuda tampan berbaju terbuka di ba-
gian dada itu disambut oleh tawa berderai orang ber-
balut kain hitam. Menyusul suaranya yang dingin sete-
lah memutus tawanya sendiri.
"Orang muda! Sikapmu mengingatkan aku pada
pemuda berjuluk Rajawali Emas yang pandai memba-
wa diri! Apakah kau merasa akulah yang buta dari
ucapanmu barusan?"
Mendengar ucapan orang, masing-masing yang be-
rada di sana terdiam. Menatap ke arah Raja Pocong Hi-
tam tanpa kedip.
Andini yang memang merindukan si Rajawali
Emas, segera membuka mulut memecah keheningan,
"Apa yang kau ketahui tentang Rajawali Emas?"
Sangat sulit memang untuk menilai bagaimana
mimik Raja Pocong Hitam, kecuali sinar matanya yang
memancarkan sinar merah menyala. Hingga yang be-
rada di sana tak mengetahui apa yang tersirat di balik wajah gelap Raja Pocong
Hitam. "Melihat sikap gadis berbaju merah ini, nampaknya memang ada sesuatu. Dan aku
merasa yakin, kalau
kelima orang, ini adalah sahabat atau paling tidak
mengenal pemuda berjuluk Rajawali Emas. Dan aku
yakin mereka rata-rata bukanlah orang yang kosong.
Bertarung menghadapi mereka sekarang adalah se-
buah kebodohan kendati aku yakin bisa menghabisi
mereka sekaligus. Cuma nampaknya si nenek berbaju
terbuat dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu jelas bukan orang
sembarangan. Karena bekas serangan
si Rajawali Emas masih ku rasakan, begitu pula dengan kondisi ku yang belum
pulih. Maka, aku harus
berhati-hati," kata Raja Pocong Hitam dalam hati sambil menimbang-nimbang.
Sesaat keadaan hening lalu
keluar suaranya yang dingin, serak dan dalam, "Pemu-
da itu telah tewas!"
"Apa"!" menghambur suara tegang dari mulut Andini. Sesaat tubuhnya nampak
bergetar hebat. Kedua
tangannya terkepal. Dan tiba-tiba saja wajahnya yang
tadi tegang menjadi kuyu. .
Nandari cepat menghampirinya, merangkul dan
berbisik, "Jangan percaya ucapan yang belum terbukti." Sementara Wisnu dengan
wajah berang melompat ke arah Raja Pocong Hitam. Tangan kanannya dikibaskan ke
muka. "Setan berbalut kain hitam! Bicaramu membuatku
muak!" geramnya murka karena dia tahu apa yang
akan terjadi pada Andini bila mendengar berita buruk
tentang pemuda yang dicintainya.
"Aku bicara apa adanya!" sahut Raja Pocong Hitam dan....
Pluk! Tubuhnya melompat dengan gerakan ringan ke
samping. Jotosan tangan kanan Wisnu Hanya menge-
nai angin. Tetapi pemuda yang sejak tadi menindih ke-
jengkelannya kali ini benar-benar kalap. Biar bagai-
manapun juga, Andini yang memiliki sifat ceriwis dan
kini berubah tak ubahnya gadis pingitan, adalah salah seorang gadis yang
disayanginya meskipun rasa
sayangnya sangat berlainan dengan sayangnya pada
Nandari. Saat digerakkan tangan kirinya, angin lembut yang
tak terasa menghampar bersamaan cahaya yang cukup
terang. Raja Pocong Hitam mengeluarkan pekikan terta-
han. Dan tiba-tiba saja entah bagian mana dari tu-
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhnya yang digerakkan kaki atau tangan, segera
menderu angin panas bersamaan kabut hitam yang
cukup tebal. Blam! Blammm! Terdengar suara ledakan dua kali yang sangat ke-
ras diiringi dengan muncratnya cahaya terang dan ka-
but hitam pekat tadi. Membuat suasana di hutan yang
mulai gelap karena matahari sudah masuk ke pera-
duannya, sedikit menerang.
Wisnu merasakan tangan kirinya tersentak, kese-
mutan dan gemetaran. Segera diusirnya rasa sakit
yang mulai menderanya. Bersamaan dengan itu, ter-
dengar pekikan keras dari sebelah kanan.
"Manusia berjuluk Raja Pocong Hitam! Kau telah
membuka bibit permusuhan di antara kami!"
Gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna
kuning sudah menderu. Rupanya, Ratu Harimau Putih
pun tidak suka mendengar kalimat orang. Dia yakin
yang dikatakan Raja Pocong Hitam hanya berita bo-
hong belaka. Maka segera diisyaratkan pada muridnya
yang tinggal seorang untuk membantu Wisnu.
Raja Pocong Hitam menggeram. "Hmm.... Rupanya
aku memang harus bertarung kembali. Jahanam betul!
Padahal keadaanku belum pulih!" makinya sambil
menghindar dengan jalan melompat.
Bersamaan tubuhnya menghindari serangan Mar-
bone, Wisnu sudah meloloskan pedangnya dan meng-
gebah dahsyat. Menyusul Marbone dengan gerakan
meluruk masuk dari bawah.
Dua serangan yang dilancarkan sekaligus itu
membuat kegusaran Raja Pocong Hitam semakin me-
ninggi. Tetapi keduanya jelas bukanlah tandingannya.
Maka dalam dua gebrak berikutnya, kakak kandung
dari mendiang Ratu Tengkorak Hitam telah berhasil
membuat keduanya tersurut dengan dada yang nyeri
bukan main. Sementara Wisnu yang sudah merasakan
nyeri sejak pertama kali bentrok tadi, dari hidung dan mulutnya mengalirkan
darah. "Kalian telah memaksaku untuk bertindak telengas! Dan perlu kalian ketahui,
kalau aku benar-benar
akan menurunkan tangan sekarang!"
Tiba-tiba saja tubuh Raja Pocong Hitam berkelebat
sangat cepat, melompat dari satu tempat ke tempat
lain dengan cara mengejutkan. Membuat Marbone dan
Wisnu harus berteriak cukup keras dan sebisanya
membalas. "Rupanya, manusia ini memang sengaja mencari
gara-gara. Sikap Andini jelas sekali bisa diketahui oleh siapa pun kalau dia
mencintai pemuda berjuluk Rajawali Emas," batin Ratu Harimau Putih sambil mem-
perhatikan ke depan. Setelah beberapa saat, dia pun
menggebah ke muka.
Seberkas sinar keperakan melesat keluar begitu si
nenek menggerakkan tangannya. Menyusul suara ge-
rengan bak seekor harimau terluka.
Raja Pocong Hitam segera menghentikan rangkaian
serangan anehnya pada Wisnu dan Marbone. Segera
dia berkelebat ke arah Ratu Harimau Putih. Bersa-
maan dengan kelebatan tubuhnya, menghampar kabut
hitam yang cukup menggidikkan.
Sinar keperakan yang dilepaskan Ratu Harimau
Putih meletup terhantam kabut hitam yang digebah
Raja Pocong Hitam. Si nenek dari Pulau Roti terkesiap dan mengeluarkan pekikan
tertahan. Namun hanya
sesaat hal itu terjadi, karena begitu kedua kakinya
hinggap di tanah, si nenek sudah mencelat dengan ke-
dua tangan membentuk cakar. Mengancam bagian ke-
pala Raja Pocong Hitam yang tiba-tiba saja melompat
ke belakang. Pluk! Bersamaan dengan itu kembali kabut hitam men-
celat ke depan.
Pyarrr! Sambaran cakar Ratu Harimau Putih tertahan ge-
bahan Raja Pocong Hitam. Kali ini rupanya Ratu Hari-
mau Putih telah melipat gandakan tenaga dalamnya.
Hingga dia hanya tertahan sejenak dan.... Brettt!
Cakar kanannya telah merobek kain hitam. di ba-
gian punggung lawan. Lalu hinggap sambil meremas
kain hitam itu.
Dengan kedua mata menyipit, Ratu Harimau Putih
menggeram, "Katakan berita tentang kematian Rajawali Emas bohong belaka! Maka
kuampuni nyawa bu-
sukmu itu!"
Raja Pocong Hitam menggeram. Sukar bagi si ne-
nek untuk mengetahui apakah lawan dalam keadaan
terluka atau tidak, karena sekujur tubuhnya dibalut
kain hitam pekat itu.
"Apa yang kukatakan benar adanya! Rajawali Emas
telah tewas!"
"Kalau memang benar, katakan siapa yang telah
membunuhnya?" kata Ratu Harimau Putih sementara
yang lainnya menunggu jawaban dari orang berbalut
kain hitam pekat. Ratu Harimau Putih sebenarnya
mempunyai maksud dari pertanyaannya, sekadar me-
mancing kejelasan tentang kabar tewasnya Rajawali
Emas dari mulut Raja Pocong Hitam.
Sementara orang berbalut kain hitam itu membatin
"Seperti sudah kuduga, kalau keadaanku yang terluka akibat pertarungan dengan
Rajawali Emas, tak akan
mungkin bisa memenangkan pertarungan ini. Bila saja
tidak terluka, tentunya aku bisa menghabisi mereka.
Dasar sial! Tenaga dalamku sukar ku alirkan! Biar ba-
gaimanapun juga, untuk saat ini lebih baik menghin-
dar dulu dari pertarungan." Setelah membatin begitu Raja Pocong Hitam berkata,
"Aku tak tahu siapa yang telah menewaskannya. Karena, aku menemukan tubuhnya di
hutan dekat Gunung Siguntang."
"Lalu bagaimana kau mengenalinya sebagai Pende-
kar Rajawali Emas?" tanya Ratu Harimau Putih pula.
"Siapa yang tak pernah mendengar julukan yang
dalam waktu terakhir ini cukup menggegerkan rimba
persilatan! Kendati aku belum tahu bagaimana ru-
panya, tetapi aku tahu dari ciri-cirinya," sahut Raja Pocong Hitam seperti
menemukan tambang emas dari
setiap jawabannya.
Dilihatnya si nenek berbaju dari kulit harimau te-
tapi berwarna putih, terdiam. Dari keningnya yang
berkerut jelas dia tengah menjerihkan jawaban orang.
"Rasanya aku bisa menenangkan keadaan untuk
sesaat. Kelihatan kalau nenek celaka itu mempercayai
kata-kataku. Bagus, berarti tinggal selangkah lagi aku meninggalkan tempat ini.
Biar bagaimanapun juga,
kematian adik kandungku harus kubalas pada Raja-
wali Emas. Yah.... Keranda Maut Perenggut Nyawa
akan menjadi tempat kematiannya!" Lalu dengan suara dalam, serak, dan dingin,
orang berbalut kain hitam
pekat yang telan robek di bagian punggungnya namun
tak menampakkan bagian kulitnya berkata, "Semua
tanya telah kujawab! Berarti tak ada persoalan lagi!
Aku akan segera meninggalkan tempat ini!"
Ratu Harimau Putih tak menjawab. Begitu pula
dengan orang-orang yang berada di sana. Wisnu sendi-
ri tengah sibuk mengatasi rasa nyeri di dadanya se-
mentara Marbone sudah duduk bersemadi dengan
tangan mengatup di dada.
Nandari masih berada di samping Andini yang me-
mandang ke arah Raja Pocong Hitam dengan tatapan
mengkelap. Sebenarnya gadis berbaju merah itu ingin
sekali menghajar orang yang telah menambah rasa pe-
dih di hatinya tentang si Rajawali Emas. Tetapi, dia
seakan kehilangan tenaga untuk melakukannya.
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara Ratu
Harimau Putih, "Tak ada lagi yang perlu diurus! Silakan....!'
Belum habis kata-kata Ratu Harimau Putih, orang
berbalut kain hitam itu telah lenyap dari pandangan.
Begitu cepat lompatan tubuhnya sehingga mereka tak
tau ke mana perginya Raja Pocong Hitam.
Berjarak lima puluh tombak dari sana, satu sosok
tubuh berbalut kain hitam terus bergerak dengan cara
melompat-lompat tak ubahnya gerakan pocong belaka
Wajahnya yang tak pernah terlihat itu menarik ga-
ris lurus pada bibir. Sepasang matanya yang meman-
carkan_ sinar merah semakin menyala.
"Urusan memang harus ditunda karena keadaanku
tak menguntungkan. Tetapi dendam ku pada Rajawali
Emas harus tetap ku bayarkan. Terutama karena dia
telah merenggut nyawa adik kandungku. Hmm.... Ke-
randa Maut Perenggut Nyawa akan diisi kembali oleh
sebuah nyawa. Sekarang, giliran nyawa Rajawali Emas.
Mudah-mudahan Hantu Seribu Tangan pemilik keran-
da maut akan mau membantu lagi seperti yang sudah-
sudah." Sepeninggal Raja Pocong Hitam, suasana di tepi
hutan itu sunyi senyap. Sampai dipecahkan oleh suara
Ratu Harimau Putih, "Tak ada gunanya bila kita hanya mempercayai kata-kata
seseorang. Lebih baik kita tetap pergi menuju ke Gunung Siguntang seperti tujuan
semula. Andini, bagaimana keadaanmu"@
Sungguh begitu mengibakan keadaan Andini. Teta-
pi gadis itu pun bersikap tegar. Kendati dia sedih tetapi
tak nampak air matanya keluar. Lalu dianggukkan ke-
palanya. "Kita bisa segera pergi ke sana!"
*** Bab 8 Sebenarnya, ke mana Bwana pergi"
Setelah Rajawali Emas melompat turun, burung ra-
jawali raksasa keemasan yang diminta oleh pemiliknya
untuk berputaran di angkasa, justru melesat menga-
baikan perintah si Rajawali Emas..
Bwana terus melesat tinggi dengan kepakan
sayapnya yang menimbulkan angin dahsyat dan koa-
kan yang sangat keras. Detik berikutnya tubuhnya su-
dah lenyap di balik julangan Gunung Siguntang.
Di puncak gunung yang terdapat semacam data-
ran, burung raksasa itu menukik dan hinggap. Berja-
rak lima tombak dari tempatnya, terdapat lubang besar yang mengeluarkan asap
berbau belerang berbaur
dengan kabut putih yang cukup pekat.
Tak ada yang dilakukan burung raksasa itu kecuali
menatap ke muka dengan bola mata bundarnya.
Selang beberapa saat terdengar suara, "Selamat datang, Bwana. Apa kabarmu?"
Mendapati pertanyaan tanpa wujud itu Bwana
mengeluarkan suara mengkirik pelan. Bergembira ka-
rena sebenarnya dia memang tengah menunggu seseo-
rang. "Bagus! Keadaanku pun baik-baik saja. Bagaimana
kabar pemilik mu si Malaikat Dewa, Bwana?"
Bwana mengkirik lagi.
"Oh! Dia pun akan datang ke sini" Tetapi, di mana
dia sekarang?"
Bukannya Bwana yang menjawab, tiba-tiba terden-
gar satu suara, "Sampurno Pamungkas. Aku sudah berada di sini. Apa kabarmu
sekarang?"
Terdengar suara tawa pelan.
"Mahisa Agni.. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu sendiri?"
"Puluhan tahun tak jumpa, kulihat kau begitu awet muda."
"Begitu pula dengan kau. Apakah kita akan berbi-
cara seperti ini sehingga kulihat Bwana kebingungan?"
Habis ucapan itu, mendadak saja entah dari mana
datangnya telah berdiri satu sosok tubuh tinggi dari
kuakan kabut, Mengenakan baju berwarna kebiruan,
cerah, panjang hingga menjuntai ke tanah. Tangan ka-
nannya nampak memegang tasbih yang berwarna pu-
tih bening. Dan bahu kanan orang berwajah bijaksana
dengan rambut putih panjang tanpa kumis dan jenggot
itu, terbuka. Menampakkan bahu yang agak kurus. Di
pinggangnya terikat sebuah selendang warna-warni.
Kejap lain, berjarak tiga tombak telah berdiri satu
sosok tubuh bersorban dan berbaju putih bersih yang
penuh dengan sulaman percikan api. Wajahnya sangat
bijaksana sekali dengan pancaran mata yang teduh.
Lelaki berusia seratus dua puluh tahun itu terse-
nyum. "Lama tak berjumpa, sekali berjumpa harus men-
dapatkan urusan. Sampurno Pamungkas.... Apa yang
akan kau lakukan terhadap Iblis Kubur?"
Lelaki di hadapan orang tua bersorban putih yang
berusia sama itu balas tersenyum.
"Mahisa Agni. Urusan Iblis Kubur akan kuserah-
kan kepada cucumu yang telah memiliki Kitab Pe-
manggil Mayat. Kulihat pula, Sepasang Pemburu dari
Neraka telah muncul. Apakah yang akan kau laku-
kan?" "Urusan Sepasang Pemburu dari Neraka pun akan
Pendekar Setia 2 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Kasih Diantara Remaja 10
yang di tangannya yang cukup merepotkan Menurut
murid Tengkorak Darah yang berjuluk Dewi Karang
Samudera, pedang itu. terbuat dari Batu Bintang. Hhh!
Kalau dulu aku gagal mengorek siapa pemuda ini dan
ada hubungan apa dengan Malaikat Dewa, kali ini aku
harus mendapatkannya!"
Habis membatin dengan penuh kegeraman, si lelaki
tua berpunuk berambut. panjang itu memiringkan tu-
buhnya sedikit. Lalu dengan berdingkring kembali dia
mencelat ke muka.
Tirta sendiri langsung melesat pula dengan Pedang
Batu Bintang dikibaskan ke arah leher lawan. Bersa-
maan dengan itu, tangan kirinya yang telah terangkum
tenaga surya, dilepaskan ke muka.
Wuuusss! Terdengar pekikan tertahan dari lelaki tua berpu-
nuk. Dia berhasil mengelakkan kibasan Pedang Batu
Bintang. Dan segera mengibaskan kedua tangannya.
Kalau tadi setiap serangan dan lesatan tubuhnya di-
kawal hawa panas, kali ini serangkum angin berhawa
dingin luar biasa menderu dan segera menindih hawa
panas yang dilepaskan Tirta melalui tenaga surya.
Tirta yang melihat satu kesempatan terbuka, sege-
ra berputar dan menendang.
Des! Tubuh si Pengusung Jenazah terlempar ke bela-
kang dua tombak terhantam tendangan pemuda dari
Gunung Rajawali itu. Sedangkan Tirta yang memang
sudah mengetahui kesaktian si lelaki berpunuk, segera mengendalikan tubuh saat
dirasakan kakinya meng-
hantam batu cadas dan terhuyung.
Hanya sesaat dilakukannya, karena si Rajawali
Emas sudah mencelat kembali dengan menggerakkan
Pedang Batu Bintang yang semakin terang memancar-
kan sinar keemasan.
Blarrr! Sambaran pedang di tangan si Rajawali Emas me-
lenceng ketika angin dahsyat menderu dan menebar-
kan bau busuk seperti bau bangkai. Dan sentakan te-
naga yang melencengkan serangannya itu membuat si
Rajawali Emas surut ke belakang. Segera dialirkan
hawa murni yang dipadukan dengan tenaga surya pa-
da alat pernafasannya kalau tak ingin bau bangkai me-
lilit lehernya.
Rupanya, dalam keadaan yang kritis bagi si Pengu-
sung Jenazah, Mayang Harum mengibaskan kedua
tangannya ke arah Tirta, Serangan tiba-tibanya berha-
sil menahan gerakan Tirta pada si lelaki tua berpunuk.
Ketika kedua kaki si Rajawali Emas menginjak
bumi, terdengar seruannya panjang pendek, "Guru!
Mengapa kau biarkan aku ditahan oleh nenek jelek
bau bangkai itu" Mengapa kau diam saja, sih" Apakah
kau tega melihat muridmu yang ganteng ini terkapar
jadi mayat"!"
Bidadari Hati Kejam yang sebenarnya sejak tadi in-
gin membantu namun merasa tak enak karena jelas
pertarungan jadi tidak adil, mendumal dan membalas
membentak. "
"Bocah kebluk! Apa-apaan kau omong, hah"! Kalau
kau mampus, toh kau memiliki Kitab Pemanggil
Mayat" Kau bisa ku bangkitkan kembali dengan kitab
itu!" Tirta nyengir mendapati bentakan gurunya.
Di seberang, si Pengusung Jenazah tengah mengi-
baskan tangan kekasihnya yang menahan tubuhnya.
Kedua matanya dipentangkan ke arah Tirta, seperti
hendak menelan bulat-bulat tubuh si Rajawali Emas.
Kejap lain terdengar suaranya merandek, "Bocah
keparat berjuluk Rajawali Emas! Aku semakin yakin,
kalau kau ada hubungan dengan Malaikat Dewa! Ka-
takan, di mana manusia itu berada"!"
Tirta berbalik dan cuma nyengir. Lalu menatap gu-
runya. "Guru.... Dia bertanya apa sih" Aku tidak mendengarnya. Apakah kau mendengar?"
Bidadari Hati Kejam menggelengkan kepalanya. La-
lu katanya, "Tirta... aku ini sudah tua. Mana mungkin aku bisa mendengar cacing
bicara" Kau yang masih
muda seperti itu, mengapa tidak bisa mendengar?"
"O.... Jadi yang berbicara itu cacing ya, Guru" Kupikir kutu busuk! Sialan
betul!" Tanya-jawab yang dilakukan dengan maksud men-
gejek itu, membuat. wajah si Pengusung Jenazah
membesi. Kedua tangannya terkepal rapat. Rahangnya
mengatup kuat-kuat. Kejap lain terdengar suaranya
menggembor, "Rupanya kau memandang sebelah mata
kepada Sepasang Pemburu dari Neraka!"
"Wah! Kau salah besar tuh! Justru kami memejam-
kan mata erat-erat!" sambar Tirta.
"Peduli setan dengan omongan! Siapa pun kau
adanya, aku tak akan bertindak setengah lagi! Juga
kau, Perempuan berkonde!"
Bidadari Hati Kejam yang menikmati permainan
konyol dari muridnya mendadak celingukan. Lalu den-
gan tampang dibuat blo'on dia bertanya pada Tirta se-
telah beberapa saat, "Hei, Bocah kebluk! Siapakah yang dimaksud dengan perempuan
berkonde?"
Tirta menahan tawanya mendengar kata-kata gu-
runya yang sebenarnya jarang bergurau dan senang
sekali melontarkan kata dengan nada dibentak.
Dijawabnya pertanyaan si nenek berkonde, "Mana aku tahu" Yang ku tahu sih, kedua
orang itu" Eh!
Yang ada di kepala mereka sih bukan konde, ya" Teta-
pi kepala keduanya yang penjol!"
Masih memasang tampang blo'on si nenek ber-
konde membentak ke depan, "Hei, Orang-orang dungu yang punya otak di dengkul!
Apakah kalian sudah
sinting semua" Tak ada di sini perempuan berkonde!
Yang berkonde sebenarnya cuma aku! Tetapi, aku ini
keturunan bidadari dari kahyangan! Jadi kalian harus
memanggilku si Bidadari Berkonde! Itu baru tepat!"
Tirta ngakak sejadi-jadinya hingga seluruh tubuh-
nya berguncang.
Di seberang, Sepasang Pemburu dari Neraka saling
berpandangan. Masing-masing menyiratkan kemara-
han yang tinggi. Kejap kemudian, keduanya sudah
mencelat ke muka. Si Pengusung Jenazah menyerang
ke arah Rajawali Emas, sedangkan kekasihnya menye-
rang Bidadari Hati Kejam.
*** Bab 5 Di saat Sepasang Pemburu dari Neraka melancar-
kan serangan hebat pada Bidadari Hati Kejam dan Ra-
jawali Emas, di Gunung Siguntang Iblis Kubur benar-
benar mengamuk. Setiap kali tangan dan kakinya ber-
gerak, seketika terjadi getaran dahsyat yang menggu-
gurkan bebatuan dan jatuh berdebam. Dinding gu-
nung bagai bergoyang.
"Sontoloyo!" maki Manusia Pemarah dan terus mencecar dengan ilmu simpanannya
'Sinar Ungu'. Setiap kali sinar yang dilepaskan dari kedua telapak tangannya
melesat, terjadi hantaman keras yang mengeri-
kan. Kendati tubuh Iblis Kubur berulang kali terhajar sinar ungu yang menebarkan
hawa panas itu, namun
setiap kali pula manusia mayat itu berdiri tegak dan
melancarkan serangan sementara baju hitam kusam
yang dikenakannya sudah hangus di sana-sini.
Di sebelah kanan, manusia buntal yang berjuluk
Dewa Bumi sudah mempergunakan cangklong besar-
nya sebagai alat menyerang. Cangklong yang bila tak
dihisap tak mengeluarkan asap namun saat dihisap
dan dihembuskan mengeluarkan asap beraroma wangi
itu, dihisap dalam-dalam.
Asap lembut yang mengeluarkan aroma wangi, ti-
ba-tiba saja membesar dan menggumpal membentuk
gulungan. Semakin lama semakin bergulung-gulung,
pekat dan menghalangi pandangan. Iblis Kubur meng-
gereng setinggi langit dan menggerakkan kedua tan-
gannya ke atas.
Plasss! Satu sentakan kuat yang ditimbulkan dorongan te-
naganya memecah gumpalan asap putih itu. Begitu
hebatnya, karena dorongan tenaganya masih meluncur
deras ke arah Dewa Bumi.
Manusia yang tingginya hanya sepundak manusia
normal itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
yang seperti menyatu dengan leher. Saat menggerak-
kan kepalanya sebuah kalung yang sangat besar di le-
hernya bergerak hingga menimbulkan suara srang,
srang yang lembut. Bersamaan datangnya serangan Ib-
lis Kubur, digerakkannya tangan kirinya yang gempal
ke depan. Angin lembut yang tak terasa melesat keluar dan
memancarkan sinar yang cukup terang.
Blam! Blammm! Membentur serangan Iblis Kubur hingga menim-
bulkan letupan berkali-kali dan cahaya yang berpen-
dar-pendar. Iblis Kubur makin menggereng keras den-
gan kemarahan tinggi.
Sementara itu, sosok buntal berbaju batik yang
terbuka di dadanya entah karena tak bisa dikancing kebesaran perut atau memang
karena tak punya pakaian lagi, menampakkan bungkahan dadanya tak
ubahnya dada seorang wanita, telah berdiri tegak. Lalu dengan santainya
menghisap cangklong besarnya. Dan
menghembuskan asapnya ke depan. Menyusul asap
yang bergerak itu, Dewa Bumi menggerakkan tangan
kirinya. Kembali cahaya berpendar dan angin lembut yang
tak terasa melesat. Itulah jurus 'Sinar Dewa' yang cukup mengerikan.
Iblis Kubur mengeluarkan gerengan keras. Kedua
tangannya digerakkan dan mau tak mau rantai besar
yang terikat pada kedua tangannya menimbulkan sua-
ra menggidikkan.
Kabut hitam tiba-tiba saja melingkupi tubuhnya
dan kejap lain, kabut itu melesat menghantam gumpa-
lan asap yang dilepaskan Dewa Bumi. Sedangkan pu-
kulan 'Sinar Dewa' yang dilepaskan Dewa Bumi dipu-
puskan dengan hanya meniup.
Kembali letupan berkali-kali terdengar dan Gunung
Siguntang bergetar dahsyat.
Manusia Pemarah yang melihat serangan Dewa
Bumi dapat diputuskan, kembali mencecar dengan il-
mu 'Sinar Ungu'. Sementara itu, seorang dara jelita
berbaju putih dengan sulaman bunga mawar di bagian
dadanya yang sejak tadi memperhatikan pertarungan
itu, diam-diam bergidik dengan bulu kuduk mere-
mang. "Luar biasa kealotan tubuh manusia mengerikan
ini! Tak mengherankan sebenarnya karena dia adalah
mayat yang dibangkitkan! Setahuku Kitab Pemanggil
Mayat yang bisa membangkitkannya, berarti kitab itu
pula yang bisa mematikannya kembali."
Gadis yang memiliki wajah berbentuk bulat telur
dengan dagu agak menjuntai itu menarik napas pan-
jang. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang me-
merah indah. Sepasang alisnya hitam, dihiasi dengan
bulu mata lentik dan mata yang cerah terbuka. Ram-
butnya panjang hingga ke bahu, dibiarkan tergerai be-
gitu saja dan berkali-kali disingkapnya karena jatuh ke kening. "Sejak tadi aku
ingin membantu, tetapi Guru selalu melarang. Sekarang aku tidak peduli! Biar
bagaimanapun juga aku harus membantu! Cuma saja,
mengapa Guru tak menurunkan ilmunya yang me-
mancarkan sinar ungu yang dahsyat itu" Apakah ilmu
itu terlalu mengerikan hingga tidak diturunkan kepa-
daku?" batin si gadis lagi yang tak lain adalah Ayu Wulan adanya, Murid Manusia
Pemarah itu menahan na-
pas beberapa saat, sebelum akhirnya menerjunkan diri
ke kancah pertarungan.
Manusia Pemarah yang tengah mencecar dengan
ilmu 'Sinar Ungu' nya seketika membentak, "Ayu! Jangan gegabah! Lebih baik kau
menyingkir dari sini!"
"Tidak, Guru! Aku harus menghadapi juga manusia
celaka itu!" bentak Ayu Wulan tanpa menghiraukan la-rangan gurunya, segera
dilepaskannya jurus 'Sejuta
Pesona Bunga'. Saat itu juga menghampar aroma bun-
ga yang luar biasa menyejukkan hati, menindih aroma
wangi yang keluar dari asap yang dihembuskan oleh
cangklong Dewa Bumi.
Manusia Pemarah mendengus dan menderu pula
dengan ilmu 'Sinar Ungu' nya. Sementara Dewa Bumi
setelah menggeleng-gelengkan kepala karena jengkel
atau kagum atas kesaktian Iblis Kubur pun melesat
melancarkan serangan.
Diserang dari tiga penjuru dengan serangan tingkat
tinggi, tetap tak membuat Iblis Kubur terdesak! Setiap kali tubuhnya terhantam,
setiap kali pula dia bangkit kembali. Sementara bekas hantaman pukulan sakti
lawan menghilang begitu saja. Membuat ketiga orang
itu bertambah penasaran. Manusia Pemarah sejak tadi
sudah mengeluarkan makian. Dewa Bumi berkata-kata
dengan nadanya yang berayun-ayun. Sedangkan Ayu
Wulan agak memucat karena tenaganya cepat terku-
ras. Dan diam-diam rupanya pertarungan itu diperhati-
kan oleh satu sosok tubuh berbaju hijau lumut yang
tipis hingga menampakkan keindahan lekuk tubuhnya
yang molek. Sosok jelita dengan rambut dihiasi pernik keperakan itu tersenyum.
"Bagus! Mereka tak akan mampu menghadapi Iblis
Kubur! Manusia-manusia yang kerjanya hanya meng-
ganggu setiap keinginanku itu akan mampus saat ini
juga! Hmmm... apakah saat ini Manusia Agung Seten-
gah Dewa sudah hadir" Kalau memang sudah, menga-
pa dia tak muncul untuk menghadapi Iblis Kubur"
Apakah manusia itu sudah tak memiliki nyali lagi?"
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan berbaju hijau tipis yang tak lain adalah
Dewi Karang Samudera semakin melebar senyumnya.
Namun tiba-tiba senyumnya putus seperti direng-
gut setan saat kepalanya dialihkan ke sebelah selatan.
"Hmmm.... Rupanya Sepasang Pemburu dari Neraka
pun sudah berada di sini. Yang perempuan sedang
menyerang si nenek berkonde Bidadari Hati Kejam.
Sementara yang lelaki dan berjuluk si Pengusung Je-
nazah sedang menyerang.... Oh! Pemuda berjuluk Ra-
jawali Emas yang masih sempat kulihat kalau Kitab
Pemanggil Mayat berada padanya" Keparat! Kitab itu
harus kembali kepadaku untuk mengendalikan Iblis
Kubur. Kendati demikian, Iblis Kubur akan tetap pa-
tuh kepadaku bila dia melihat aku dan tak lewat dari
jarak sepuluh hari. Tetapi, ini kesempatan ku untuk
mendapatkan kembali Kitab Pemanggil Mayat."
Dewi Karang Samudera yang sebelumnya dibuat
putus nyalinya karena ilmu 'Pengendali Mata' yang di-
milikinya diketahui rahasianya oleh Sepasang Pembu-
ru dari Neraka, menatap dengan penuh kegeraman
tinggi. *** Rajawali Emas yang telah mengerahkan seluruh
ilmu yang dimilikinya pun akhirnya harus terhuyung
pula ketika hawa panas dan dingin yang melesat dari
serangan si Pengusung Jenazah menghantamnya den-
gan telak. Rupanya, si Pengusung Jenazah memang masih
memiliki beberapa kesaktian. Kalaupun sebelumnya
dia sempat dipermainkan Tirta, kali ini justru si pemu-da yang dibuat tunggang-
langgang. Berulang kali terdengar seruan tertahan dari mulut
nya dan sebisanya dibalasnya serangan lelaki berpu-
nuk itu dengan kibasan demi kibasan Pedang Batu
Bintang yang sebenarnya cukup membuat si Pengu-
sung Jenazah ngeri.
"Celaka! Mengapa tubuhnya sekarang menjadi
membal seperti itu. Gerakannya pun seperti melompat
lompat dengan lenturan tubuh yang sangat handal.
Gerakannya itu mengingatkan aku pada Raja Pocong
Hitam. Namun agak berbeda karena gerakan Raja Po-
cong Hitam seperti harus singgah dulu di tanah," maki Tirta sambil memutar tubuh
dengan cepat, menghindari gempuran aneh lelaki berpunuk yang tubuhnya
terus melompat dengan membal dan mengirimkan se-
rangan-serangan berbahaya.
Sementara itu, Bidadari Hati Kejam pun dibuat ha-
rus menguras seluruh kesaktiannya. Perempuan ber-
konde itu berkali-kali wajahnya menjadi pias saat
gempuran nenek berbaju hitam kusam menderu dan
mengeluarkan bau busuk seperti bangkai yang melilit
leher. "Sejak semula memang kuduga kalau kedua ma-
nusia celaka ini tak bisa dianggap sebelah mata. Dan lebih gila lagi, perempuan
sialan ini! Setiap kali terhantam pukulanku, dia selalu bisa tegak berdiri tanpa
kurang suatu apa. Aku yakin, hal itu disebabkan karena
sesungguhnya dia telah mampus. Karena berhasil di-
bangkitkan kembali saja hingga tubuhnya seperti tak
merasakan setiap serangan," dengus si nenek ber-
konde dalam hati dan terus mencoba membalas den-
gan senjata pengebutnya.
Beberapa kali terjadi letupan keras di tempat itu
yang menggebah tanah hingga membubung, tinggi dan
membentuk beberapa lubang sedalam setengah tom-
bak. Tatkala si nenek tengah menghindari serangan
Mayang Harum, tubuh Tirta mencelat ke arahnya ka-
rena harus menghindari gempuran aneh si Pengusung
Jenazah. Saat itulah terjadi keanehan yang meskipun senga-
ja singkat namun sempat terlihat oleh sepasang mata
tajam si nenek berkonde. Karena begitu Tirta mencelat ke arahnya, sosok Mayang,
Harum yang tengah melancarkan serangan melompat ke samping, mengurung-
kan niatnya menghantam Bidadari Hati Kejam.
"Hmmm....Aku tahu sekarang!" gumam si nenek berkonde. "Tetapi, apakah benar?"
desisnya pula agak ragu-ragu. "Menurut muridku yang rada konyol ini, saat
bertarung dengan Iblis Kubur dia pun mempergunakan tenaga surya yang mengalir
dalam tubuhnya.
Tetapi Iblis Kubur tak mengalami apa-apa. Hanya sa-
ja.... Biar bagaimanapun juga aku harus mencoba! Ba-
rangkali karena kesaktian Iblis Kubur lebih tinggi dari nenek jelek bau bangkai
ini!" Lalu dia berseru sambil mencelat ke arah lelaki berpunuk, "Bocah kebluk!
Kita tukar lawan! Perempuan yang telah mampus dan dihi-dupkan kembali itu
rupanya jeri merasakan hawa pa-
nas dalam tubuhmu yang tentunya berasal dari Rum-
put Selaksa Surya. Biar lelaki berpunuk itu kuhajar!"
Mendapati seruan gurunya, Tirta memutar tubuh
di udara tiga kali. Dan begitu menukik, tangan kirinya yang telah terangkum
tenaga surya digerakkan ke arah
Mayang Harum. Astaga! Yang diperkirakan Bidadari Hati Kejam ter-
nyata benar. Karena Mayang Harum kelihatan sangat
panik. Sebelumnya, hal ini pun pernah terjadi saat
pertama kali Tirta bertarung dengan Sepasang Pembu-
ru dari Neraka. Perempuan yang telah dibangkitkan
dari kematiannya selama tiga puluh tahun lalu me-
mang jeri mendapati hawa panas yang mengalir dalam
tubuh Tirta. Hingga saat pertarungan pertama dia ha-
rus berulang kali menghindar. Keanehan itu tak ter-
tangkap oleh Tirta pertama kali. Sedangkan tenaga
surya yang dilepaskan pada lelaki berpunuk, tak
membawa pengaruh apa-apa. Karena lelaki berpunuk
itu menguasai ilmu 'Mengelupas Gunung Es' yang di-
ciptakan dan dipelajarinya seorang diri saat berpuluh tahun mengusung jenazah
kekasihnya untuk mencari
Kitab Pemanggil Mayat.
Kalau tadi Tirta dibuat tunggang-langgang oleh le-
laki berpunuk, kali ini dia terus menyerang dengan tenaga surya pada Mayang
Harum. Pedang Batu Bin-
tangpun dikibaskan sekuat tenaga. Hamparan sinar
keemasan itu cukup menyilaukan mata dan membuat
Mayang Harum berkali-kali memekik.
Hingga kemudian....
Craas! Paha kanannya tersambar ujung Pedang Batu Bin-
tang. Tak ada darah yang mengalir namun menyobek
dinding di paha kanan Mayang Harum.
Kendati demikian, perempuan berbaju hitam itu
masih kuat melancarkan serangan. Namun tak berani
untuk mendekat karena Tirta sudah menyerangnya
dengan tenaga surya. Lama-kelamaan Tirta berpikir
pula kalau tenaganya akan terkuras.
"Hmmm....Meskipun perempuan ini nampak jeri
dengan tenaga surya dalam tubuhku, tetapi dia masih
bisa menghindar menjaga jarak. Sementara anehnya,
Pedang Batu Bintang yang membuat si Pengusung Je-
nazah cukup jeri, tak membawa hasil apa-apa pada pe-
rempuan ini kendati dia telah tergores di beberapa bagian. Dasar bodoh! Pantas
Guru memanggilku dengan
sebutan kebluk. Bukankah perempuan berbaju hitam
ini adalah mayat yang dibangkitkan kembali dengan
mempergunakan Kitab Pemanggil Mayat" Berarti, dia
harus kumusnahkan kembali dengan mempergunakan
Kitab Pemanggil Mayat ini".
Di tempat lain, Bidadari Hati Kejam telah menemu-
kan bentuk penyerangannya. Dengan mempergunakan
senjata pengebutnya dan mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya, dia berhasil mengimbangi se-
rangan si Pengusung Jenazah.
Gerakan melompat membal yang diperlihatkan si
Pengusung Jenazah berulang kali berhasil dipatahkan
oleh Bidadari Hati Kejam. Kendati demikian, bukan be-
rarti Bidadari Hati Kejam berhasil menguasai perta-
rungan. Tubuhnya pun berkali-kali terkena hantaman
telak dari lawannya.
Tiba-tiba saja penciuman tajam si nenek berkonde.
menangkap aroma yang sangat Wangi merangsang,
disusul dengan bau tak sedap yang menyengat.
Wajah si nenek membesi.
"Kuharap dugaanku salah. Jangan sampai kedua
manusia celaka itu yang muncul. Bisa berabe saat ini
Karena aku belum berhasil menguasai pertarungan."
Aroma wangi merangsang dengan bau busuk ken-
dati tak mengalahkan bau bangkai yang menguar dari
tubuh Mayang Harum semakin menusuk hidung si
nenek berkonde bergantian.
"Celaka! Kini tak salah apa yang ku pikirkan! Jelas-jelas kedua manusia itu yang
datang. Aku yakin, me-
reka pasti akan menyerangku saat ini juga! Berarti,
aku harus menjaga jarak dari lelaki jelek berpunuk ini agar bisa menerima
serangan yang tiba-tiba."
Sebenarnya, bukan si nenek saja yang mencium
perubahan udara yang tiba-tiba, tetapi juga mereka
yang berada di sana. Hanya saja karena harus tetap
siaga menghadapi lawan masing-masing mereka tak
terlalu menghiraukan. Sementara Tirta sudah menjaga
jarak dan di tangan kirinya tergenggam Kitab Pemang-
gil Mayat. Tetapi bagi si nenek berkonde jelas ini suatu masa-
lah. Karena dia tahu, bau tak sedap yang semakin
mendekat disusul bau aroma merangsang itu berasal
dari orang yang mempunyai dendam kesumat yang
tinggi. Apa yang diduga si nenek berkonde memang benar
Karena tiba-tiba saja lima larik sinar kuning melesat dahsyat ke arahnya. Cepat
si nenek menggerakkan
senjata pengebutnya.
Wuuuttt! Pyar! Lima larik sinar kuning itu berbalik mental, me-
muncratkan cahaya cukup terang. Kejap lain menyu-
sul kabut berwarna kuning yang tebal.
Bidadari Hati Kejam kali ini melengak. Karena ber-
samaan datangnya kabut kuning yang bisa merontok-
kan seluruh jalan darah dalam tubuhnya, si Pengu-
sung Jenazah sudah mencelat melakukan serangan.
Terkesiap si nenek membuang tubuh ke belakang.
Kabut kuning tadi luput dari sasaran. Begitu pula se-
rangan Pengusung Jenazah yang hanya mengenai an-
gin. Bidadari Hati Kejam cepat berdiri tegak. Kepalanya ditolehkan ke samping.
Dilihatnya dua anak manusia
sedang berdiri.
Di sebelah kanan, berdiri seorang lelaki kurus
mencangkung tanpa baju yang menonjolkan tulang di
bagian dada dan perut. Rambutnya panjang tergerai di
punggung. Yang mengerikan dari wujud anehnya itu,
wajahnya berwarna kuning, lain dari warna kulit hi-
tamnya di sekujur tubuhnya. Wajah kuning yang din-
gin dan seperti mayat belaka. Lelaki yang tak lain Manusia Mayat Muka Kuning
itulah yang tadi melepaskan
serangan ke arah Bidadari Hati Kejam.
Sementara berdiri di sebelah Manusia Mayat Muka
Kuning, seorang yang mengenakan baju sutera yang
indah sekali, dengan belahan dada yang rendah hingga
memperlihatkan bungkahan buah dadanya yang besar
dan indah. Serta belahan baju bagian bawah hingga ke
pangkal paha dan memperlihatkan kedua paha yang
mulus menggiurkan. Wajahnya, ditutupi cadar dari su-
tera. Perempuan itu tak lain adalah Dewi Kematian.
"Benar dugaanku!" desis Bidadari Hati Kejam.
"Urusan makin jadi kapiran kalau begini!"
Di saat yang bersamaan, satu sosok tubuh berpa-
kaian putih-putih dengan selempang kain putih dari
bahu kanan ke pinggang kiri, menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tempatnya berdiri dengan pertarungan itu
cukup jauh. Diusapnya janggutnya yang berwarna pu-
tih dan seluruh bulu yang ada pada tubuhnya tetap
berwarna putih.
"Kunti Pelangi cukup hebat juga menghadapi lelaki berpunuk yang sempat kuingat-
ingat siapa dia. Kalau
tidak salah, Guru pernah mengatakan kepadaku ten-
tang Sepasang Pemburu dari Neraka lengkap dengan
ciri-cirinya. Aku yakin, lelaki berpunuk itu dan perempuan yang dalam jarak
cukup jauh ini mengeluarkan
bau seperti bangkai yang sedang bertarung dengan
muridku adalah Sepasang Pemburu dari Neraka. Meli-
hat pertarungan tadi, kendati ku yakini Kunti Pelangi tak akan mampu menguasai
si lelaki tua berpunuk,
namun dia cukup bisa mengimbanginya.
Bila saja Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi
Kematian tidak mengganggu pertarungan itu, Kunti bi-
sa pula menguasai pertarungan. Aku tahu, Manusia
Mayat Muka Kuning memiliki dendam tinggi pada Kun-
ti Pelangi. Urusannya bisa tidak beres untuk perem-
puan berkonde itu.
Aku harus.... Hmmm! Rupanya ada manusia yang
sedang berkelebat ke arah muridku. Dewi Karang Sa-
mudera. Melihat sikapnya, dia hendak membokong
muridku. Dan di tangan muridku itu kulihat ada se-
buah kitab dan seperti mengalirkan darah. Apakah itu
Kitab Pemanggil Mayat yang kini berada di tangan si
Rajawali Emas" Kalau begitu.... Tak boleh kubiarkan
hal ini terjadi!".
Di kejauhan, sosok berbaju hijau lumut yang tipis
menerawang dan bergerai saat tubuhnya berkelebat
semakin mendekat ke arah si Rajawali Emas. Sosok
tubuh hijau yang tak lain Dewi Karang Samudera tak
bisa lagi menahan diri untuk mendapatkan Kitab Pe-
manggil Mayat. Sejak pertama kali berkelebat sebenar-
nya dia sudah melihat kemunculan Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian.
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun tak dihiraukannya kedua manusia itu.
Yang diinginkannya adalah mengambil Kitab Pemang-
gil Mayat yang diketahuinya berada di tangan pemuda
berjuluk Rajawali Emas. Terlebih-lebih ketika melihat si pemuda nampaknya hendak
mempergunakan kitab
itu untuk mematikan Mayang Harum kembali. Sema-
kin menggebu-gebu keinginan Dewi Karang Samudera.
Tubuhnya semakin cepat diempos.
Dan.... Tap! Tangan kanannya menyambar ke pinggang Tirta
yang seketika mengeluarkan seruan tertahan. Cepat
dia berusaha mengendalikan keseimbangannya. Na-
mun satu tarikan kuat sangat luar biasa membuat
pemuda dari Gunung Rajawali itu jadi setengah ter-
huyung. Tarikan kuat yang dilakukan Dewi Karang
Samudera dilanjutkan dengan menggerakkan tangan
kirinya, menyambar Kitab Pemanggil Mayat di tangan
si Rajawali Emas.
"Heiii!"
Dengan sekali sentak tubuh Tirta terbawa. Kejap
lain tubuh Tirta sudah ambruk ke tanah dan terguling.
Sementara bayangan hijau itu memutar tubuh di uda-
ra. Di tangan kirinya tergenggam sebuah kitab usang
yang seperti mengalirkan darah. Bibirnya tersenyum
menyadari kalau Kitab Pemanggil Mayat telah berada
di tangannya. Namun senyuman di bibir merona indah itu tiba-
tiba lenyap bagai melihat makhluk asing yang sangat
mengerikan. Tatkala dirasakan satu sentakan menerpa
tangan kanannya.
Tanpa sadar kitab yang sudah agak usang dan se-
perti mengalirkan darah terlepas dari tangannya. Kejap lain, dilihatnya satu
sosok tubuh berpakaian serba putih menangkap kitab yang terlepas itu.
Lalu memutar tubuh dan berdiri tegak berjarak tiga
tombak dari tempat Dewi Karang Samudera yang telah
berdiri pula dengan kedua mata terbeliak. Seketika
terdengar makiannya serak dan dalam. "Raja Lihai Langit Bumi!"
*** Bab 6 "Cempaka.... Mengapa kau tak juga menyudahi se-
pak terjang mu yang telengas ini" Tak sadarkah apa
yang telah kau lakukan" Dengan membangkitkan Iblis
Kubur kau telah membuat kehancuran di rimba persi-
latan ini," sosok berwajah arif bijaksana berbaju putih bersih itu menggelengkan
kepalanya. Sepasang matanya yang teduh menyiratkan penyesalan yang dalam.
Perempuan berbaju hijau tipis dengan rambut ke-
perakan itu menggeram. Sepasang matanya yang ba-
gus namun memancarkan sinar licik lekat pada sosok
di hadapannya yang tak lain adalah Raja Lihai Langit
Bumi. "Sirat! Kukatakan sekali lagi, kalau semua ini adalah urusanku! Jangan coba-coba
halangi setiap keingi-
nanku! Sementara aku tetap menginginkan nyawamu!"
Raja Lihai Langit Bumi yang bernama asli Sirat
Perkasa, mengusap janggutnya dengan lembut.
"Rupanya, kesombongan telah membungkam selu-
ruh nurani mu, Cempaka," katanya memanggil nama asli Dewi Karang Samudera.
"Tidakkah kau sadari, kalau semua yang kau jalani itu tak pernah ada gunanya
bahkan hanya menyakitkan hatimu dan sesama?"
"Jangan berkhotbah di hadapanku!" geram Dewi Karang Samudera dengan pancaran
mata dingin. Di
kedua tangannya yang terkepal telah memancar sinar
putih bening. Perempuan yang masa mudanya dulu mencintai
Raja Lihai Langit Bumi namun tak kesampaian, hingga
saat ini mempunyai dendam yang tinggi pada lelaki bi-
jaksana itu. Sebelumnya, Dewi Karang Samudera ber-
maksud mempergunakan tangan Ratu Tengkorak Hi-
tam untuk mencelakakan Raja Lihai Langit Bumi. Te-
tapi, Ratu Tengkorak Hitam rupanya dibutakan oleh
nafsunya sendiri untuk merebut Pedang Batu Bintang.
Hingga akhirnya si nenek pengunyah susur adik kan-
dung dari Raja Pocong Hitam itu tewas di tangan si Rajawali Emas. Sementara,
Dewi Karang Samudera yang
mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dari gurunya si
Tengkorak Darah yang tewas di tangan Malaikat Dewa
pada puluhan tahun lalu, bergerak mencari makam
manusia keji yang dikalahkan oleh Manusia Agung Se-
tengah Dewa. Keinginan Dewi Karang Samudera mem-
bangkitkan Iblis Kubur, adalah untuk membantunya
menuntaskan segala dendam di hati.
Sebenarnya ilmu 'Pengendali Mata' yang dimili-
kinya cukup membuatnya merasa mampu menghadapi
Raja Lihai Langit Bumi. Hanya saja yang menge-
jutkannya, Raja Lihai Langit Bumi saat menyerangnya
tidak mempergunakan tenaga dalam. Sehingga perem-
puan berambut keperakan itu tak bisa mencuri ilmu
sakti Raja Lihai Langit Bumi yang lain.
Kembali perempuan berbaju hijau tipis dengan
rambut keperakan itu mengeluarkan bentakan.
"Sirat! Kuminta kepadamu untuk memberikan Ki-
tab Pemanggil Mayat itu kepadaku!"
Raja Lihai Langit Bumi hanya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Jangan menjadi si pesakitan, Cempaka. Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini!"
"Keparat! Kau membuatku bertambah muak!" Habis kata-katanya, Dewi Karang
Samudera sudah men-
celat dahsyat ke arah Raja Lihai Langit Bumi.
Berjarak sepuluh tombak, Tirta yang kini berdiri
tegak menggeram mengetahui siapa orang yang mena-
rik tubuhnya tadi.
"Hmmm.... Dewi Karang Samudera. Dan beruntun-
glah salah seorang guruku yang lainnya si Raja Lihai Langit Bumi datang. Kulihat
di tangannya tergenggam
Kitab Pemanggil Mayat. Tetapi... oh! Guru, Bidadari
Hati Kejam, kelihatan berada dalam permasalahan
yang tinggi. Manusia Mayat Muka Kuning yang mem-
punyai dendam padanya rupanya telah muncul pula
bersama perempuan berbuah dada besar itu. Apa yang
harus kulakukan sekarang" Tak mungkin Guru bisa
menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning, Dewi Ke-
matian, dan tentunya si Pengusung Jenazah sekali-
gus." Tirta melirik perempuan yang telah dibangkitkan
kembali dari kematiannya yang sedang menggeram tak
berkedip. "Perempuan ini jeri dengan tenaga surya dalam tubuhku. Bagus! Ini
berarti satu kemenangan,
kendati bagiku sulit untuk memusnahkannya. Aku
akan menunggu saja sekarang sekalian memulihkan
tenagaku lagi. Bila Kulihat pertarungan akan segera
dimulai, akan kubantu Guru menghadapi manusia-
manusia celaka itu! Hmmm.... Ke mana perginya,
Bwana" Sampai selama ini tak ada tanda-tanda dia
akan muncul" Brengsek! Apa yang sebenarnya dilaku-
kan Bwana?"
Berjarak lima belas tombak dari bagian kiri di ma-
na Tirta berdiri, lelaki muka kuning yang menebarkan
bau busuk dari rambutnya menggeram sambil tertawa
berderai. Lalu tiba-tiba menggantung tawanya sendiri.
"Bidadari Hati Kejam! Rupanya kematianmu tinggal di ujung tanduk! Jangan menjual
lagak di hadapanku
lagi!" Si nenek berkonde mendelik sewot.
"Orang tua muka kuning! Apakah kau berpikir ka-
lau keadaanku tidak menguntungkan" Rupanya kau
memang belum terlalu mengenal siapa aku! Apakah
kau ingin kubuat jungkir balik kembali seperti di Lembah Maut dulu?"
Wajah Manusia Mayat Muka Kuning semakin me-
mancarkan sinar kuning yang terang. Menandakan ka-
lau dia marah bukan main mendengar ejekan orang.
"Bidadari Hati Kejam! Lagakmu sangat tinggi hati sekali! Lihat serangan!"
Manusia Mayat Muka Kuning siap melakukan satu
gempuran hebat, tetapi urung dilakukan karena ter-
dengar suara dingin di sebelah kanannya.
"Nyawa perempuan berkonde itu berada di tangan-
ku! Jangan coba-coba melangkahi!"
Seketika dua pasang mata milik Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian menatap lurus ke
arah si lelaki berpunuk. Keduanya pun pernah berta-
rung dengan manusia itu ketika memperebutkan Kitab
Pemanggil Mayat.
Perempuan bercadar sutera yang berbaju sangat
rendah di bagian dada hingga menampakkan bungka-
han payudaranya yang montok itu berbisik, "Jangan bertindak tolol. Manusia ini
mempunyai kesaktian
yang tinggi. Kita pernah dibuat konyol olehnya. Lebih baik per-
gunakan siasat untuk bergabung. Bila dia setuju, ma-
ka keinginan kita untuk membunuh Bidadari Hati Ke-
jam akan mudah dilakukan. Lagi pula, tidakkah kau
melihat kalau Raja Lihai Langit Bumi sedang meme-
gang sebuah kitab yang ku yakini Kitab Pemanggil
Mayat?" Lelaki muka kuning membenarkan ucapan sahabat
sekaligus kekasihnya.
Lalu katanya pada si Pengusung Jenazah, "Lelaki
berpunuk. Apa kabarmu hari ini?"
Si Pengusung Jenazah mengeluarkan dengusan.
Samar dia menangkap suara menjilat dalam kata-kata
Manusia Mayat Muka Kuning.
"Urusan kita yang lalu belum selesai. Bergabunglah kalian dengan perempuan
berkonde itu, biar peker-jaanku cepat terselesaikan!"
Wajah Manusia Mayat Muka Kuning berubah se-
saat. Tetapi detik lain dia tertawa panjang sambil menindih kegeramannya
mendengar kata-kata lelaki ber-
punuk tadi. "Silang sengketa di antara kita rasanya harus dis-
elesaikan. Masing-masing orang menginginkan kema-
tian nenek berkonde itu. Mengapa kita tidak sekalian saja membinasakannya ?"
Menyusul kata-kata Manusia Mayat Muka Kuning,
Dewi Kematian maju selangkah. Tubuhnya sengaja di-
gerakkan. Hingga bungkahan pahanya dan balutan
kain sutera pada bagian pinggulnya bergetar. Payuda-
ranya yang montok itu pun bergoyang seiring aroma
wangi yang sangat merangsang menguar. Diam-diam
dipergunakan ajian pemikatnya yang disebut 'Lepas
Cadar Bidadari'. Diperhatikannya apa yang terjadi pa-
da lelaki berpunuk itu.
"Hmmm.... Rupanya rasa cintanya pada perem-
puan mayat yang telah dibangkitkan itu mampu meno-
lak jurus 'Lepas Cadar Bidadari'. Kendati begitu, apakah dia bisa menolak
tubuhku yang indah ini?"
Memikir sampai di sana, masih berusaha menge-
rahkan jurus 'Lepas Cadar Bidadari', Dewi Kematian
berkata dengan mulut yang membuka lebar sengaja
memperlihatkan lorong kemerahan dalam mulutnya
dan suara mendesah.
"Pengusung Jenazah.... Urusan antara kita me-
mang harus sudah selesai. Mengapa kita tak bisa ber-
sahabat" Dan kulihat kau masih gagah dalam usiamu
yang tentunya sudah sangat lanjut. Apakah dalam
usiamu yang semakin senja ini kau tak ingin menik-
mati suguhan indah dan mengasyikkan?" Saat berkata begitu, Dewi Kematian
menggerakkan payudaranya.
Bidadari Hati Kejam menggeram dalam hati, "Pe-
rempuan tidak tahu malu! Rupanya dia berusaha me-
mikat si Pengusung Jenazah untuk bergabung den-
gannya. Dari ucapan yang kudengar, aku yakin kalau
sebelumnya mereka pernah terjadi satu pertarungan.
Hhh! Mereka mau bergabung atau tidak, peduli setan!
Mereka harus kuhajar!"
Di seberang, Dewi Kematian terus merayu-rayu si
lelaki berpunuk yang kini tiba-tiba wajahnya berubah.
Sepasang matanya menyorotkan sinar merah dan keli-
hatan kalau dia sedikit gelisah. Dewi Kematian yang
menyadari kalau lelaki berpunuk itu mulai terpenga-
ruh oleh kemontokan tubuhnya, tersenyum dalam ha-
ti. "Sebagai lelaki, kau pasti tunduk kepadaku kendati jurus 'Lepas Cadar
Bidadari' tak berguna. Tetapi, setiap lelaki adalah kucing yang tak boleh
melihat daging di hadapannya."
Tak mau kalau rayuan itu semakin mengena dan
pandangannya dibuat bertambah nanar akibat gerakan
tubuh penuh rangsangan yang dilakukan oleh Dewi
Kematian, si lelaki tua berpunuk mengalihkan pan-
dangan pada satu tempat. Suaranya serak saat berka-
ta-kata, "Untuk sementara urusan kita bisa diselesaikan! Dan kini... Kita hajar
si nenek berkonde itu!"
Dewi Kematian menggenggam tangan Manusia
Mayat Muka Kuning, tanda menyatakan keberhasilan-
nya. Orang tua muka kuning yang menjadi sahabat
sekaligus kekasihnya menganggukkan kepala. Kejap
lain, secara bersamaan keduanya sudah menderu ke
arah Bidadari Hati Kejam. Menyusul lelaki berpunuk
yang sudah melesat pula dengan tubuh yang mene-
barkan hawa sedingin gunung es.
Bersamaan dengan itu, pemuda berbaju keemasan
dengan rajahan burung rajawali keemasan di lengan
kanan dan kirinya yang sejak tadi memperhatikan dan
menunggu, sudah mencelat pula ke depan.
Mengarah pada Manusia Mayat Muka Kuning dan
Dewi Kematian. Bab 7 Di sebuah hutan belantara yang jauh dari Gunung
Siguntang, lima sosok tubuh berhenti di tepi hutan itu.
Kepala masing-masing orang mendongak. Namun se-
perti yang sudah-sudah, masing-masing orang menarik
napas panjang. "Tak mungkin kita bisa mengejar Bwana kendati
kita memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna,"
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata seorang nenek berbaju. dari kulit harimau namun
berwarna putih. Wajah si nenek dipenuhi keriput den-
gan alis dan bulu matanya hitam legam dan lentik. Di
kedua pergelangan tangannya yang kurus terdapat ge-
lang warna putih yang berkilau. Baju pakaian bawah-
nya, sebuah kain warna hitam pekat. Rambut si nenek
panjang tak beraturan. Di lehernya terdapat sebuah
kalung seperti taring tajam.
Empat pasang mata lainnya memperhatikan dan
masing-masing mengakui apa yang dikatakan si nenek
tadi. Tetapi, gadis manis yang berbaju merah dengan
ikat pita merah berkata dengan nada tidak puas, "Tetapi, Ratu.....Apa yang harus
kita lakukan sekarang"
Sudah satu hari satu malam kita mencari jejak Bwana.
Tetapi, burung rajawali raksasa milik Kang Tirta itu
tak kita temukan juga."
Si nenek berkalung taring di lehernya tersenyum.
Andini....Apa yang kau tanyakan itu tak kuketahui pu-
la jawabannya. Tetapi samar ku sirap kabar, kalau
saat ini di Gunung Siguntang sedang terjadi kemelut."
Gadis yang ternyata Andini itu mengerutkan ke-
ningnya dan menatap si nenek lekat-lekat. "Kalau begitu...."
"Kita menuju ke sana," sahut si nenek yang tak
lain adalah Ratu Harimau Putih.
Gadis berbaju biru dengan mengenakan pita ram-
but biru namun berikat pinggang kebalikan dari warna
yang dikenakan Andini, menarik napas diam-diam.
Wajahnya bulat jelita dengan sepasang mata yang ba-
gus Kendati gadis berbaju biru itu bukanlah saudara
kembar dengan Andini, tetapi wajah keduanya begitu
mirip satu sama lain.
"Kecemasan Andini semakin nampak saja. Sejak
pertama kulihat, dia sering termenung sepeninggal Ra-
jawali Emas. Lalu dengan perginya Bwana secara tiba-
tiba dia semakin tambah terpukul. Ah, besar dugaan-
ku kalau dia memang mencintai Kang Tirta."
Pemuda tampan di sisinya dengan sebilah pedang
di punggung yang tak lain adalah Wisnu, satu-satunya
laki-laki dalam rombongan itu, mendekati gadis berba-
ju biru yang tak lain adalah Nandari. Dia berbisik lembut.
"Nandari,.. apakah kau melihat satu keanehan
yang dialami oleh Andini?"
Nandari mengangkat kepalanya, menatap wajah
tampan pemuda yang dicintai dan mencintainya. Lalu
perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.
"Ya. Apakah Kang Wisnu memperhatikannya juga?"
katanya balik bertanya.
Wisnu menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum
dia bicara, Nandari memotong, "Sudahlah. Kita tak usah membicarakan soal Andini
terlalu banyak. Lebih
baik kita hibur dia, Kang Wisnu."
Wisnu tersenyum simpatik. Lalu dengan genitnya
dikedipkan mata kanannya hingga membuat gadis
berbaju biru dan mempunyai sifat lembut itu menjadi
memerah wajahnya. Dan terburu-buru Nandari berlalu
dari sana mendekati Andini dari pada dibuat semakin
malu. "Bisa berabe kalau Kang Wisnu mendengar detak
jantungku yang menguat," katanya dalam hati.
Dua dara dan seorang pemuda itu tak lain adalah
murid-murid Dewa Bumi. Sementara Nandari mende-
kati Andini, Wisnu berkeliling di sekitar hutan itu. Sedangkan saat ini Ratu
Harimau Putih sedang berkata
pada seorang gadis jelita berwajah bulat mengenakan
baju putih dengan ikat pinggang warna kuning.
"Marbone....Perasaanku mengatakan kita sudah
sangat dekat pada adik seperguruanku. Hingga saat ini aku memang belum bertemu
kembali dengannya. Dan
tekadku untuk menghentikan ulah adik sepergurua-
nku yang kini berjuluk Dewi Karang Samudera sema-
kin nyala."
Gadis berbaju putih panjang itu tersenyum. Dia
adalah Marbone, salah seorang dari Tiga Pengiring Ra-
tu yang selamat, sementara dua orang lainnya tewas di tangan Dewi Karang
Samudera. "Ratu.... Bukannya hendak melancangi setiap uca-
panmu. Tetapi, aku pun ingin membalaskan sakit hati
dua saudaraku, Ratu."
Ratu Harimau Putih tertawa pelan. Mengusap ram-
but panjangnya. Lalu katanya lagi, "Marbone,... Setelah keinginanku tercapai
untuk menghentikan perbuatan
gila adik seperguruanku itu, aku akan kembali lagi ke Pulau Roti. Begitu pula
denganmu, Marbone."
"Ya, Ratu."
Ratu Harimau Putih mengalihkan perhatiannya ke
samping. Lalu berseru "Aku hendak menuju ke Gu-
nung Siguntang! Bila kalian bertiga ingin berpisah
sampai di sini, kuucapkan selamat jalan!"
"Tunggu!" seru Wisnu menahan. Lalu berkelebat mendekati dua gadis adik
seperguruannya. "Bagaima-
na, Nandari" Andini" Apakah kita juga akan menuju
Gunung Siguntang" Setelah perjumpaan kita dengan
Guru, sampai hari ini kita belum berjumpa lagi."
Nandari bukannya menjawab justru mengalihkan
pandangan pada Andini.
"Bagaimana kau, Andini?"
Andini terdiam beberapa saat. Lalu katanya seperti
pada dirinya sendiri, "Apakah... Kang Tirta berada di sana?"
Nandari menarik napas dulu sebelum menjawab,
"Kemungkinannya, iya!"
"Oh! Ya, aku mau ke sana!"
Lalu ketiganya pun bergerak mendekati Ratu Ha-
rimau Putih yang disisinya berdiri Marbone.
"Ratu.... Kami turut serta menuju ke Gunung Si-
guntang!" Ratu Harimau Putih tersenyum. Namun hanya se-
saat senyum itu bertengger di bibirnya, karena detik
lainnya si nenek berbaju dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu sudah
mengeluarkan satu bentakan,
keras dan menggugurkan dedaunan.
"Orang di balik pohon! Mengapa harus bersem-
bunyi" Bila ingin mengundang pesta turun lah serta ke sini! Bila hanya ingin
mencari penyakit silakan pergi!"
Seruan si nenek cukup mengejutkan empat muda-
mudi yang berada di sana. Masing-masing orang men-
gikuti arah pandangan si nenek.
Namun kejap lain, masing-masing orang termasuk
Ratu Harimau Putih tanpa sadar mundur satu langkah
dengan mulut terbuka. Dari balik sebuah batang po-
hon besar, satu sosok tubuh terbalut kain hitam dari
kepala hingga mata kaki melompat keluar. Gerakan
melompatnya sangat lincah sekali. Dan berdiri tegak
berjarak lima tombak dari kelima orang itu.
"Edan! Setan pocong mana yang kesasar di sini"!"
bentak Ratu Harimau Putih setelah pulih dari keterke-
jutannya. Orang berbalut kain hitam dengan ikatan di atas
kepalanya mengeluarkan suara gerengan. Wajahnya
sangat sulit dilihat. Yang nampak hanya kegelapan
semata, namun sepasang sinar menyala merah yang
tentunya keluar dari dua bola matanya sangat nam-
pak. Cukup angker dan menggidikkan.
"Nenek keparat yang mencari mampus! Siapa ka-
lian adanya, hah?" suara serak bernada amarah itu terdengar keras. Tak bisa
digambarkan bagaimana
bentuk mulut orang berbalut kain hitam pekat dari
kepala hingga ke kaki yang tak lain adalah Raja Pocong Hitam.
Setelah bertarung dengan Rajawali Emas untuk
menuntut kematian adik kandungnya si Ratu Tengko-
rak Hitam, Raja Pocong Hitam pun harus meninggal-
kan pertarungan karena dengan bantuan Bwana, Tirta
berhasil mengatasinya. Bukan main kegusaran yang
melanda orang berbalut kain hitam legam itu. Teruta-
ma, lelaki tua berambut panjang dengan jubah biru
pekat yang berlukis. Jubah Setan tewas dipatuk bu-
rung besar milik si Rajawali Emas.
Raja Pocong Hitam sudah tentu tak akan melupa-
kan kekalahan sekaligus sakit hatinya karena tak
mampu membalas kematian adik kandungnya. Di
otaknya telah tersusun sebuah rencana. Namun sebe-
lum dia tiba di tempat yang dituju, kehadirannya di
tempat itu diketahui si nenek berkalung taring.
Mendapati bentakan orang berbalut kain hitam pe-
kat, bukannya si nenek yang menyahut, justru Andini
yang mengeluarkan bentakan. Rasa rindunya untuk
bertemu dengan Tirta alias si Rajawali Emas sangat
mendesak di hatinya. Salah seorang murid Dewa Bumi
itu pun menjadi gusar tatkala mereka siap menuju ke
Gunung Siguntang, datang pengacau yang berbalut
kain hitam tanpa ketahuan bagaimana bentuk wajah-
nya. "Orang busuk bermata merah dan berkain hitam.
Tak layak kau mengetahui siapa kami! Lebih baik
minggat dari sini sebelum urusan menjadi kapiran!"
Terdengar suara merandek Raja Pocong Hitam. La-
lu dengan suara menindih kegusaran dia berkata, "Tak memperkenalkan diri
sepertinya tak layak. Tetapi, sebelum kalian mati, kalian mesti mengenal dulu
siapa orang yang berdiri di hadapan kalian ini! Raja Pocong Hitam!"
Dari orang yang berada di sana, hanya Ratu Hari-
mau Putih yang cukup melengak mendengarnya. Ka-
rena, sebagai tokoh yang usianya sudah menumpuk,
Ratu Harimau Putih pernah pula mendengar julukan
santer yang cukup mengerikan. Tetapi, hanya bebera-
pa tahun saja julukan Raja Pocong Hitam terdengar.
Selebihnya lenyap begitu saja. Hanya sesekali memang
julukan itu masih terdengar. Ratu Harimau Putih pun
tahu, kalau orang berbalut kain hitam ini bukan bera-
da dalam golongan lurus.
Wisnu yang merasa gelagat tak menguntungkan di
depan mata, segera maju dua langkah. Pemuda yang
memang tak mau mencari urusan ini berkata dengan
suara lembut. "Salam dari kami semua untukmu, Raja Pocong Hi-
tam. Maafkan kami bila kami terlalu buta hingga tak
mengetahui siapa kau adanya. Bila memang masing-
masing punya urusan, silakan tinggalkan tempat. Dan
membawa damai dalam jiwa."
Kata-kata pemuda tampan berbaju terbuka di ba-
gian dada itu disambut oleh tawa berderai orang ber-
balut kain hitam. Menyusul suaranya yang dingin sete-
lah memutus tawanya sendiri.
"Orang muda! Sikapmu mengingatkan aku pada
pemuda berjuluk Rajawali Emas yang pandai memba-
wa diri! Apakah kau merasa akulah yang buta dari
ucapanmu barusan?"
Mendengar ucapan orang, masing-masing yang be-
rada di sana terdiam. Menatap ke arah Raja Pocong Hi-
tam tanpa kedip.
Andini yang memang merindukan si Rajawali
Emas, segera membuka mulut memecah keheningan,
"Apa yang kau ketahui tentang Rajawali Emas?"
Sangat sulit memang untuk menilai bagaimana
mimik Raja Pocong Hitam, kecuali sinar matanya yang
memancarkan sinar merah menyala. Hingga yang be-
rada di sana tak mengetahui apa yang tersirat di balik wajah gelap Raja Pocong
Hitam. "Melihat sikap gadis berbaju merah ini, nampaknya memang ada sesuatu. Dan aku
merasa yakin, kalau
kelima orang, ini adalah sahabat atau paling tidak
mengenal pemuda berjuluk Rajawali Emas. Dan aku
yakin mereka rata-rata bukanlah orang yang kosong.
Bertarung menghadapi mereka sekarang adalah se-
buah kebodohan kendati aku yakin bisa menghabisi
mereka sekaligus. Cuma nampaknya si nenek berbaju
terbuat dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu jelas bukan orang
sembarangan. Karena bekas serangan
si Rajawali Emas masih ku rasakan, begitu pula dengan kondisi ku yang belum
pulih. Maka, aku harus
berhati-hati," kata Raja Pocong Hitam dalam hati sambil menimbang-nimbang.
Sesaat keadaan hening lalu
keluar suaranya yang dingin, serak dan dalam, "Pemu-
da itu telah tewas!"
"Apa"!" menghambur suara tegang dari mulut Andini. Sesaat tubuhnya nampak
bergetar hebat. Kedua
tangannya terkepal. Dan tiba-tiba saja wajahnya yang
tadi tegang menjadi kuyu. .
Nandari cepat menghampirinya, merangkul dan
berbisik, "Jangan percaya ucapan yang belum terbukti." Sementara Wisnu dengan
wajah berang melompat ke arah Raja Pocong Hitam. Tangan kanannya dikibaskan ke
muka. "Setan berbalut kain hitam! Bicaramu membuatku
muak!" geramnya murka karena dia tahu apa yang
akan terjadi pada Andini bila mendengar berita buruk
tentang pemuda yang dicintainya.
"Aku bicara apa adanya!" sahut Raja Pocong Hitam dan....
Pluk! Tubuhnya melompat dengan gerakan ringan ke
samping. Jotosan tangan kanan Wisnu Hanya menge-
nai angin. Tetapi pemuda yang sejak tadi menindih ke-
jengkelannya kali ini benar-benar kalap. Biar bagai-
manapun juga, Andini yang memiliki sifat ceriwis dan
kini berubah tak ubahnya gadis pingitan, adalah salah seorang gadis yang
disayanginya meskipun rasa
sayangnya sangat berlainan dengan sayangnya pada
Nandari. Saat digerakkan tangan kirinya, angin lembut yang
tak terasa menghampar bersamaan cahaya yang cukup
terang. Raja Pocong Hitam mengeluarkan pekikan terta-
han. Dan tiba-tiba saja entah bagian mana dari tu-
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhnya yang digerakkan kaki atau tangan, segera
menderu angin panas bersamaan kabut hitam yang
cukup tebal. Blam! Blammm! Terdengar suara ledakan dua kali yang sangat ke-
ras diiringi dengan muncratnya cahaya terang dan ka-
but hitam pekat tadi. Membuat suasana di hutan yang
mulai gelap karena matahari sudah masuk ke pera-
duannya, sedikit menerang.
Wisnu merasakan tangan kirinya tersentak, kese-
mutan dan gemetaran. Segera diusirnya rasa sakit
yang mulai menderanya. Bersamaan dengan itu, ter-
dengar pekikan keras dari sebelah kanan.
"Manusia berjuluk Raja Pocong Hitam! Kau telah
membuka bibit permusuhan di antara kami!"
Gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna
kuning sudah menderu. Rupanya, Ratu Harimau Putih
pun tidak suka mendengar kalimat orang. Dia yakin
yang dikatakan Raja Pocong Hitam hanya berita bo-
hong belaka. Maka segera diisyaratkan pada muridnya
yang tinggal seorang untuk membantu Wisnu.
Raja Pocong Hitam menggeram. "Hmm.... Rupanya
aku memang harus bertarung kembali. Jahanam betul!
Padahal keadaanku belum pulih!" makinya sambil
menghindar dengan jalan melompat.
Bersamaan tubuhnya menghindari serangan Mar-
bone, Wisnu sudah meloloskan pedangnya dan meng-
gebah dahsyat. Menyusul Marbone dengan gerakan
meluruk masuk dari bawah.
Dua serangan yang dilancarkan sekaligus itu
membuat kegusaran Raja Pocong Hitam semakin me-
ninggi. Tetapi keduanya jelas bukanlah tandingannya.
Maka dalam dua gebrak berikutnya, kakak kandung
dari mendiang Ratu Tengkorak Hitam telah berhasil
membuat keduanya tersurut dengan dada yang nyeri
bukan main. Sementara Wisnu yang sudah merasakan
nyeri sejak pertama kali bentrok tadi, dari hidung dan mulutnya mengalirkan
darah. "Kalian telah memaksaku untuk bertindak telengas! Dan perlu kalian ketahui,
kalau aku benar-benar
akan menurunkan tangan sekarang!"
Tiba-tiba saja tubuh Raja Pocong Hitam berkelebat
sangat cepat, melompat dari satu tempat ke tempat
lain dengan cara mengejutkan. Membuat Marbone dan
Wisnu harus berteriak cukup keras dan sebisanya
membalas. "Rupanya, manusia ini memang sengaja mencari
gara-gara. Sikap Andini jelas sekali bisa diketahui oleh siapa pun kalau dia
mencintai pemuda berjuluk Rajawali Emas," batin Ratu Harimau Putih sambil mem-
perhatikan ke depan. Setelah beberapa saat, dia pun
menggebah ke muka.
Seberkas sinar keperakan melesat keluar begitu si
nenek menggerakkan tangannya. Menyusul suara ge-
rengan bak seekor harimau terluka.
Raja Pocong Hitam segera menghentikan rangkaian
serangan anehnya pada Wisnu dan Marbone. Segera
dia berkelebat ke arah Ratu Harimau Putih. Bersa-
maan dengan kelebatan tubuhnya, menghampar kabut
hitam yang cukup menggidikkan.
Sinar keperakan yang dilepaskan Ratu Harimau
Putih meletup terhantam kabut hitam yang digebah
Raja Pocong Hitam. Si nenek dari Pulau Roti terkesiap dan mengeluarkan pekikan
tertahan. Namun hanya
sesaat hal itu terjadi, karena begitu kedua kakinya
hinggap di tanah, si nenek sudah mencelat dengan ke-
dua tangan membentuk cakar. Mengancam bagian ke-
pala Raja Pocong Hitam yang tiba-tiba saja melompat
ke belakang. Pluk! Bersamaan dengan itu kembali kabut hitam men-
celat ke depan.
Pyarrr! Sambaran cakar Ratu Harimau Putih tertahan ge-
bahan Raja Pocong Hitam. Kali ini rupanya Ratu Hari-
mau Putih telah melipat gandakan tenaga dalamnya.
Hingga dia hanya tertahan sejenak dan.... Brettt!
Cakar kanannya telah merobek kain hitam. di ba-
gian punggung lawan. Lalu hinggap sambil meremas
kain hitam itu.
Dengan kedua mata menyipit, Ratu Harimau Putih
menggeram, "Katakan berita tentang kematian Rajawali Emas bohong belaka! Maka
kuampuni nyawa bu-
sukmu itu!"
Raja Pocong Hitam menggeram. Sukar bagi si ne-
nek untuk mengetahui apakah lawan dalam keadaan
terluka atau tidak, karena sekujur tubuhnya dibalut
kain hitam pekat itu.
"Apa yang kukatakan benar adanya! Rajawali Emas
telah tewas!"
"Kalau memang benar, katakan siapa yang telah
membunuhnya?" kata Ratu Harimau Putih sementara
yang lainnya menunggu jawaban dari orang berbalut
kain hitam pekat. Ratu Harimau Putih sebenarnya
mempunyai maksud dari pertanyaannya, sekadar me-
mancing kejelasan tentang kabar tewasnya Rajawali
Emas dari mulut Raja Pocong Hitam.
Sementara orang berbalut kain hitam itu membatin
"Seperti sudah kuduga, kalau keadaanku yang terluka akibat pertarungan dengan
Rajawali Emas, tak akan
mungkin bisa memenangkan pertarungan ini. Bila saja
tidak terluka, tentunya aku bisa menghabisi mereka.
Dasar sial! Tenaga dalamku sukar ku alirkan! Biar ba-
gaimanapun juga, untuk saat ini lebih baik menghin-
dar dulu dari pertarungan." Setelah membatin begitu Raja Pocong Hitam berkata,
"Aku tak tahu siapa yang telah menewaskannya. Karena, aku menemukan tubuhnya di
hutan dekat Gunung Siguntang."
"Lalu bagaimana kau mengenalinya sebagai Pende-
kar Rajawali Emas?" tanya Ratu Harimau Putih pula.
"Siapa yang tak pernah mendengar julukan yang
dalam waktu terakhir ini cukup menggegerkan rimba
persilatan! Kendati aku belum tahu bagaimana ru-
panya, tetapi aku tahu dari ciri-cirinya," sahut Raja Pocong Hitam seperti
menemukan tambang emas dari
setiap jawabannya.
Dilihatnya si nenek berbaju dari kulit harimau te-
tapi berwarna putih, terdiam. Dari keningnya yang
berkerut jelas dia tengah menjerihkan jawaban orang.
"Rasanya aku bisa menenangkan keadaan untuk
sesaat. Kelihatan kalau nenek celaka itu mempercayai
kata-kataku. Bagus, berarti tinggal selangkah lagi aku meninggalkan tempat ini.
Biar bagaimanapun juga,
kematian adik kandungku harus kubalas pada Raja-
wali Emas. Yah.... Keranda Maut Perenggut Nyawa
akan menjadi tempat kematiannya!" Lalu dengan suara dalam, serak, dan dingin,
orang berbalut kain hitam
pekat yang telan robek di bagian punggungnya namun
tak menampakkan bagian kulitnya berkata, "Semua
tanya telah kujawab! Berarti tak ada persoalan lagi!
Aku akan segera meninggalkan tempat ini!"
Ratu Harimau Putih tak menjawab. Begitu pula
dengan orang-orang yang berada di sana. Wisnu sendi-
ri tengah sibuk mengatasi rasa nyeri di dadanya se-
mentara Marbone sudah duduk bersemadi dengan
tangan mengatup di dada.
Nandari masih berada di samping Andini yang me-
mandang ke arah Raja Pocong Hitam dengan tatapan
mengkelap. Sebenarnya gadis berbaju merah itu ingin
sekali menghajar orang yang telah menambah rasa pe-
dih di hatinya tentang si Rajawali Emas. Tetapi, dia
seakan kehilangan tenaga untuk melakukannya.
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara Ratu
Harimau Putih, "Tak ada lagi yang perlu diurus! Silakan....!'
Belum habis kata-kata Ratu Harimau Putih, orang
berbalut kain hitam itu telah lenyap dari pandangan.
Begitu cepat lompatan tubuhnya sehingga mereka tak
tau ke mana perginya Raja Pocong Hitam.
Berjarak lima puluh tombak dari sana, satu sosok
tubuh berbalut kain hitam terus bergerak dengan cara
melompat-lompat tak ubahnya gerakan pocong belaka
Wajahnya yang tak pernah terlihat itu menarik ga-
ris lurus pada bibir. Sepasang matanya yang meman-
carkan_ sinar merah semakin menyala.
"Urusan memang harus ditunda karena keadaanku
tak menguntungkan. Tetapi dendam ku pada Rajawali
Emas harus tetap ku bayarkan. Terutama karena dia
telah merenggut nyawa adik kandungku. Hmm.... Ke-
randa Maut Perenggut Nyawa akan diisi kembali oleh
sebuah nyawa. Sekarang, giliran nyawa Rajawali Emas.
Mudah-mudahan Hantu Seribu Tangan pemilik keran-
da maut akan mau membantu lagi seperti yang sudah-
sudah." Sepeninggal Raja Pocong Hitam, suasana di tepi
hutan itu sunyi senyap. Sampai dipecahkan oleh suara
Ratu Harimau Putih, "Tak ada gunanya bila kita hanya mempercayai kata-kata
seseorang. Lebih baik kita tetap pergi menuju ke Gunung Siguntang seperti tujuan
semula. Andini, bagaimana keadaanmu"@
Sungguh begitu mengibakan keadaan Andini. Teta-
pi gadis itu pun bersikap tegar. Kendati dia sedih tetapi
tak nampak air matanya keluar. Lalu dianggukkan ke-
palanya. "Kita bisa segera pergi ke sana!"
*** Bab 8 Sebenarnya, ke mana Bwana pergi"
Setelah Rajawali Emas melompat turun, burung ra-
jawali raksasa keemasan yang diminta oleh pemiliknya
untuk berputaran di angkasa, justru melesat menga-
baikan perintah si Rajawali Emas..
Bwana terus melesat tinggi dengan kepakan
sayapnya yang menimbulkan angin dahsyat dan koa-
kan yang sangat keras. Detik berikutnya tubuhnya su-
dah lenyap di balik julangan Gunung Siguntang.
Di puncak gunung yang terdapat semacam data-
ran, burung raksasa itu menukik dan hinggap. Berja-
rak lima tombak dari tempatnya, terdapat lubang besar yang mengeluarkan asap
berbau belerang berbaur
dengan kabut putih yang cukup pekat.
Tak ada yang dilakukan burung raksasa itu kecuali
menatap ke muka dengan bola mata bundarnya.
Selang beberapa saat terdengar suara, "Selamat datang, Bwana. Apa kabarmu?"
Mendapati pertanyaan tanpa wujud itu Bwana
mengeluarkan suara mengkirik pelan. Bergembira ka-
rena sebenarnya dia memang tengah menunggu seseo-
rang. "Bagus! Keadaanku pun baik-baik saja. Bagaimana
kabar pemilik mu si Malaikat Dewa, Bwana?"
Bwana mengkirik lagi.
"Oh! Dia pun akan datang ke sini" Tetapi, di mana
dia sekarang?"
Bukannya Bwana yang menjawab, tiba-tiba terden-
gar satu suara, "Sampurno Pamungkas. Aku sudah berada di sini. Apa kabarmu
sekarang?"
Terdengar suara tawa pelan.
"Mahisa Agni.. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu sendiri?"
"Puluhan tahun tak jumpa, kulihat kau begitu awet muda."
"Begitu pula dengan kau. Apakah kita akan berbi-
cara seperti ini sehingga kulihat Bwana kebingungan?"
Habis ucapan itu, mendadak saja entah dari mana
datangnya telah berdiri satu sosok tubuh tinggi dari
kuakan kabut, Mengenakan baju berwarna kebiruan,
cerah, panjang hingga menjuntai ke tanah. Tangan ka-
nannya nampak memegang tasbih yang berwarna pu-
tih bening. Dan bahu kanan orang berwajah bijaksana
dengan rambut putih panjang tanpa kumis dan jenggot
itu, terbuka. Menampakkan bahu yang agak kurus. Di
pinggangnya terikat sebuah selendang warna-warni.
Kejap lain, berjarak tiga tombak telah berdiri satu
sosok tubuh bersorban dan berbaju putih bersih yang
penuh dengan sulaman percikan api. Wajahnya sangat
bijaksana sekali dengan pancaran mata yang teduh.
Lelaki berusia seratus dua puluh tahun itu terse-
nyum. "Lama tak berjumpa, sekali berjumpa harus men-
dapatkan urusan. Sampurno Pamungkas.... Apa yang
akan kau lakukan terhadap Iblis Kubur?"
Lelaki di hadapan orang tua bersorban putih yang
berusia sama itu balas tersenyum.
"Mahisa Agni. Urusan Iblis Kubur akan kuserah-
kan kepada cucumu yang telah memiliki Kitab Pe-
manggil Mayat. Kulihat pula, Sepasang Pemburu dari
Neraka telah muncul. Apakah yang akan kau laku-
kan?" "Urusan Sepasang Pemburu dari Neraka pun akan
Pendekar Setia 2 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Kasih Diantara Remaja 10