Gerhana Gunung Siguntang 3
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang Bagian 3
kuserahkan kepada cucuku yang berjuluk Rajawali
Emas itu."
"Berat juga beban yang disandangnya," kata orang tua berbaju biru panjang
terbuka di bahu kanannya
yang kurus. "Tetapi kuakui, kalau kau sangat beruntung sekali mendapatkan pemuda
itu sebagai cucumu.
Mengapa kau tak menurunkan ilmumu kepadanya"
Kulihat, dua muridmu yang berjuluk Raja Lihai Langit
Bumi dan Bidadari Hati Kejam, telah menjadi guru dari pemuda itu. Kendati
demikian, kedua muridmu memiliki ilmu yang berbeda. Berarti, kau sengaja
menurun- kan ilmu-ilmu yang berlainan kepada kedua muridmu.
Dan tentunya, kau pun memiliki ilmu lainnya, bukan?"
Orang tua bersorban yang tak lain adalah Eyang
Sepuh Mahisa Agni alias si Malaikat Dewa kembali ter-
senyum. "Kupikir....Aku sudah terlalu tua untuk menurun-
kan ilmu kepadanya. Biarlah dia digembleng oleh dua
muridku. Bahkan Bwana pun boleh dikatakan gu-
runya sekaligus, karena dia pun telah mengajarkan ju-
rus-jurus yang pernah kuajarkan. Sampurno Pamung-
kas, bagaimana dengan muridmu yang berjuluk Ma-
nusia Pemarah itu?"
Ki Sampurno Pamungkas tertawa berderai. Sangat
keras sekali menggema di seantero puncak Gunung Si-
guntang. Tetapi, tak terdengar sampai ke bawah. Itu
menandakan dia bukan hanya mampu mengeluarkan
tenaga dalam, melainkan juga mengendalikannya.
"Seperti yang kau lakukan kepada kedua muridmu
Muridku pun tak sepenuhnya mendapatkan ilmu yang
kumiliki. Bahkan kupesankan kepadanya, bila dia
memiliki seorang murid, jangan menurunkan ilmu
'Sinar Ungu'. Karena, ilmu itu sangat berbahaya."
"Kalau begitu, kita masih memiliki sisa ilmu lain yang belum pernah diturunkan."
"Kau betul, Mahisa Agni," sahut Ki Sampurno Pamungkas atau Manusia Agung
Setengah Dewa. Suasana hening sesaat, yang terdengar hanya sua-
ra mengkirik Bwana saja.
Setelah beberapa saat, Ki Sampurno Pamungkas
membuka mulut, "Mahisa Agni... apakah salah bila ki-ta menurunkan sisa ilmu yang
kita miliki kepada pe-
muda yang bernama Tirta itu" Aku pun ingin men-
ganggapnya sebagai cucuku seperti kau pula. Bagai-
mana menurutmu?"
Eyang Mahisa Agni tersenyum.
"Sebenarnya, aku telah menurunkan ilmu simpa-
nan ku kepada pemuda itu, Sampurno Pamungkas."
"Hmmrn.... Mengapa tadi kau tak mengatakannya?"
"Karena, ilmu itu belum kubuka sehingga pemuda
itu belum bisa mempergunakannya."
"Ilmu apakah itu?"
"Ilmu itu adalah ilmu simpanan ku dari kemban-
gan setiap gerakan Bwana. Tetapi ilmu ini berupa ilmu yang sangat dahsyat-dan
langka. Ilmu itu kunamakan
'Inti Roh Rajawali*.
' Aku ingat sekarang. Dulu kau pernah mengatakan
kepadaku kalau kau telah berhasil menciptakan ilmu
itu. Di mana kau meletakkannya?" .
"Pada kedua rajahan burung rajawali di lengan kanan dan kiri si pemuda. Bila
sudah kubuka, maka dari
rajahan burung rajawali itu akan melesat sepasang ra-
jawali raksasa yang sangat ganas yang akan bisa
membantunya menghadapi lawan siapa pun juga." .
"Mengapa kau belum membukanya?"
"Karena, masih ada tugas yang akan ku embankan
kepadanya. Sampurno Pamungkas, ingatkah kau den-
gan Hantu Seribu Tangan yang memiliki Keranda Maut
Perenggut Nyawa?"
"Meskipun puluhan tahun tak pernah mendengar
lagi julukan manusia sesat itu, tetapi aku masih men-
gingatnya."
"Kita memang belum pernah bentrok dengan orang
yang berjuluk Hantu Seribu Tangan. Aku yakin, ilmu
yang dimilikinya semakin tinggi. Terutama, setelah dia mendapatkan benda aneh
yang disebut Keranda Maut
Perenggut Nyawa. Keranda yang kudengar didapatnya
dari dasar laut Samudera Biru yang sebenarnya ku
yakini milik Ratu Penguasa Lautan. Entah didapatkan
secara sah atau dia mencurinya. Yang pasti, Keranda
Maut Perenggut Nyawa telah banyak menelan korban.
Rata-rata dari orang golongan lurus yang memiliki il-mu tinggi. Sampai saat ini
yang kuketahui, kalau Han-
tu Seribu Tangan tak memiliki murid atau kambrat.
Dia tetap hidup menyendiri."
"Mengapa kau mencemaskan soal itu?"
"Hantu Seribu Tangan, akan muncul pada bulan
purnama kedua sejak bulan ini. Dia akan banyak me-
nelan korban. Dan setelah ku yakini semuanya, aku
akan membuka ilmu 'Inti Roh Rajawali' yang kuletak-
kan pada kedua rajahan di lengan kanan dan kiri pe-
muda bernama Tirta itu."
Lelaki tua kurus berbaju biru cerah panjang terbu-
ka di bahu kanan itu mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Jari-jemarinya semakin cepat menghitung tas-
bih yang memancarkan sinar putih bening di tangan
kanannya. Lalu katanya, "Mahisa Agni... kita memang sudah
tua untuk kembali ke dunia ramai. Bila yang kau ya-
kini itu benar, aku pun akan menurunkan ilmuku ke-
pada pemuda itu."
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadanya. La-
lu bagaimana dengan muridmu si Manusia Pemarah
itu?" "Kendati sejak pertama kali kutemui di Hutan Sa-
weran Mambang dia sudah memperlihatkan sifat-sifat
pemarah dan keras kepala, sesungguhnya dia berhati
lembut. Bila kita tak mengenalnya secara dekat, maka
kita akan tersinggung. Aku yakin, muridku itu bukan-
lah menjadi penghalang. Bahkan kudengar, kalau dia
menginginkan muridnya yang bernama Ayu Wulan un-
tuk berjodoh dengan si pemuda. Bagaimana menurut-
mu soal perjodohan itu?"
Eyang Mahisa Agni tersenyum.
"Aku tak paham segala soal perjodohan. Bukankah
sampai saat ini aku tidak pernah menikah?"
Ki Sampurno Pamungkas mendengus.
"Apakah secara tidak langsung kau menyindir ku?"
katanya dengan suara ditekan.
Eyang Mahisa Agni kembali tersenyum. Lalu berka-
ta dengan suaranya yang lembut.
"Kalau kau merasa seperti itu, bukan satu halan-
gan bagiku untuk mengatakannya kembali. Berarti, ki-
ta sebenarnya sama-sama tidak tahu soal perjodohan.
Bukankah sebenarnya hal ini telah kita alami pula, kalau secara diam-diam kita
memantau keadaan murid-
mu yang mencintai Kunti Pelangi" Kita tahu kalau ke-
duanya sama-sama keras kepala hingga percintaan
mereka tak pernah bersatu.
Kendati demikian, ku yakini kalau keduanya masih
menyimpan rasa cinta. Dan apa yang bisa kita laku-
kan" Kita tak bisa berbuat apa-apa, bukan" Dan satu
hal lagi. Muridku si Sirat Perkasa pun terlibat cinta se-
pihak dengan Cempaka, murid si Tengkorak Darah. Si-
rat Perkasa tak bisa menerima cinta muridnya si Teng-
korak Darah karena dia hanya menganggap perem-
puan itu tak lebih dari Kunti Pelangi, maksudku di-
anggap sebagai adiknya.
Tetapi rupanya Tengkorak Darah mengetahui kea-
daan itu. Dia datang menjumpai ku dan memaksa se-
gala urusan cinta muridnya dengan muridku. Aku tak
bisa berbuat apa-apa, bahkan tak mungkin kujanjikan
akan mengurusi segala sesuatu soal cinta antara ke-
duanya. Tetapi Tengkorak Darah justru murka dan
menyerangku. Akibatnya pertarungan pun terjadi. Ter-
paksa aku menurunkan tangan karena dia tak mau
mengerti. Tengkorak Darah tewas sementara saat itu
aku luka parah. Sampurno Pamungkas, maksudku
bercerita semua ini, karena aku tak tahu harus memu-
tuskan apa tentang segala perjodohan yang sebenar-
nya secara tidak langsung pun kuinginkan."
Ki Sampurno Pamungkas mengulapkan tangannya.
"Sudahlah. Aku tidak ingin segala urusan cinta jadi memusingkan otak kita yang
sudah menua. Urusan itu
tetap menjadi sebagian rahasia sang Pencipta. Kembali ke soal pemuda itu, aku
pun akan menurunkan ilmu
kepadanya. Sekaligus mengajarkannya untuk meng-
hancurkan Iblis Kubur."
"Bukankah dengan Kitab Pemanggil Mayat urusan
Iblis Kubur bisa diselesaikan?"
"Itu hanya membuang waktu saja. Karena Kitab
Pemanggil Mayat akan diperebutkan kembali oleh
orang-orang di bawah sana. Dan kulihat pemuda itu
tengah membantu muridmu si Kunti Pelangi dari se-
rangan Gumbarda, Manusia Mayat Muka Kuning dan
Dewi Kematian. Sementara Raja Lihai Langit Bumi se-
dang menghadapi serangan Dewi Karang Samudera. Di
lereng Gunung Siguntang, Manusia Pemarah, Dewa
Bumi, dan cucuku si Ayu Wulan sedang menghadapi
Iblis Kubur. Mahisa Agni, dapatkah kiranya muridmu
si Kunti Pelangi itu menghadapi tiga serangan dahsyat tanpa dibantu oleh pemuda
bernama Tirta itu?"
Eyang Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. "Su-
lit baginya untuk bertahan lebih lama. Menghadapi
Gumbarda sebenarnya dia cukup tangguh bisa men-
gimbanginya. Bila saja Gumbarda bersatu dengan ke-
kasihnya, tak akan bisa muridku itu mengatasinya.
Untungnya cucuku sudah datang hingga Sepasang
Pemburu dari Neraka tak bisa bersatu. Tetapi, aku
mengerti maksudmu, Sampurno Pamungkas." Habis
kata-katanya Eyang Sepuh Mahisa Agni mengangkat
tangan kanannya. Mulutnya sejenak berkomat-kamit
lalu ditiupnya tangan kanannya itu. Tiba-tiba saja dis-entakkannya tangannya ke
atas. Sinar putih yang agak
keemasan mencelat ke atas dan menukik ke arah Bi-
dadari Hati Kejam yang sedang melayani serangan Ma-
nusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian. "Den-
gan tenaga tambahan yang barusan kukirimkan, kura-
sa Bidadari Hati Kejam dapat mengatasi lawan-
lawannya. Kini, saatnya membawa pemuda itu ke sini."
Eyang Mahisa Agni berpaling pada Bwana yang se-
jak tadi mendekam.
"Bwana! Kau bawa majikanmu ke hadapan kami!
cepat kau bergerak. Jangan terlambat sedikit juga! Kau hanya kuberikan waktu
sepuluh kali kejapan mata dan
kau harus sudah tiba kembali di sini."
Bwana segera melesat dengan cepat. Koakan ke-
rasnya berkumandang dahsyat. Sentakan kedua
sayapnya yang menimbulkan angin raksasa menimpa
dua sosok tubuh yang tetap berdiri seperti tak menga-
lami gangguan apa-apa.
Kepakan sayap Bwana yang bisa mencabut lima
batang pohon besar sekaligus, hanya dianggap sebagai
hembusan angin belaka oleh kedua tokoh yang disega-
ni itu. Bahkan, sehelai rambut masing-masing pun tak
bergetar terkena terpaan kepakan kedua sayap Bwana!
*** Bab 9 .Ketika percakapan antara dua tokoh tinggi yang
disegani terjadi, Tirta sedang menahan serangan aneh
yang dilakukan si Pengusung Jenazah. Dari gerakan-
nya menahan tadi, dia mencelat ke depan sambil men-
gibaskan Pedang Batu Bintang.
Seketika menghampar sinar keemasan yang sangat
cemerlang sekali. Namun belum lagi dia berhasil mela-
kukannya, mendadak saja pemuda dari Gunung Raja-
wali itu memekik tertahan. Dan segera membuang tu-
buh ke samping tatkala hamparan angin mengerikan
berbau busuk tak ubahnya bangkai menderu ke arah-
nya. Rupanya, Mayang Harum sudah bergerak mem-
bantu setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Heiitt! Konyol juga kau perempuan jelek bau
bangkai! Main serang begitu saja, ya" Bandel!" maki Tirta sambil berjumpalitan
dan melepaskan pukulan
tangan kiri yang telah terangkum tenaga surya.
Mayang Harum mengeluarkan pekikan keras den-
gan sepasang mata melebar yang tak pernah berkedip.
Perempuan yang telah menjadi mayat dan dibang-
kitkan kembali dengan mempergunakan Kitab Pe-
manggil Mayat itu surut lima tindak dengan kengerian
yang sangat tampak.
Sementara itu, si Pengusung Jenazah sudah berse-
ru keras, "Mayang! Mendekat kepadaku! Kita cincang tubuh pemuda ini dengan jurus
'Tebar Maut'!"
Habis kata-kata lelaki tua berpunuk, tangan ka-
nannya dikibaskan ke arah Rajawali Emas. Wuuuttt!
Blammm! Rupanya saat lawan mengibaskan tangan ke arah-
nya, Tirta pun menggerakkan Pedang Batu Bintang
yang sekaligus memapaki derasnya angin yang melun-
cur. Namun kesempatan itu dipergunakan oleh Mayang
Harum untuk mendekati kekasihnya. Begitu tiba di
dekat si lelaki berpunuk, kedua tangan Mayang Harum
diputar ke atas, sementara Gumbarda memutar kedua
tangan ke kiri.
Tirta yang sudah tegak kembali mengerutkan ken-
ing lalu berseru, "Hei! Apa yang kalian lakukan" Apakah kalian sedang mengkhayal
bermain lompat tali"!"
Sepasang Pemburu dari Neraka tak menghiraukan
ejekan orang. Keduanya terus memutar kedua tangan
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke atas dan ke bawah. Beberapa saat berlalu, terlihatlah sinar merah
menggidikkan pada kedua telapak
tangan masing-masing orang. Kejap lain, sinar merah
tebal dan pekat itu berputar seiring gerakan yang dilakukan oleh Sepasang
Pemburu dari Neraka.
Bersamaan hal itu dilakukan, Bidadari Hati Kejam
yang sedang menyerang Manusia Mayat Muka Kuning
dan Dewi Kematian, tiba-tiba tubuhnya menegak. Ka-
ku beberapa saat dengan kedua mata terbeliak. Kepa-
lanya yang rada gepeng dan terdapat sebuah konde di-
rasakan seperti kemasukan sesuatu. Rupanya, tenaga
tambahan yang dilepaskan oleh Malaikat Dewa telah
masuk ke tubuhnya. Seketika si nenek berkonde me-
rasakan tenaganya berlipat ganda. Bahkan ilmu Tepu-
kan Cab Sukma' yang dilepaskan si perempuan berca-
dar dan sejak tadi mengganggu ruang geraknya, kini
sama sekali tak dirasakan. Dengan hebatnya dia
menggebah ke muka dengan senjata pengebut.
Kedua lawannya terkesiap mendapati kekuatan si
nenek berkonde yang berlipat ganda. Lelaki tua be-
rambut busuk dan berwajah kuning surut tiga langkah
ke belakang. Dadanya terhantam jotosan kuat si nenek
berkonde. "Celaka! Mengapa dia tiba-tiba begitu hebat" Kalau sejak tadi jurus 'Rangkai
Bunga Habisi Kumbang' yang
pernah mengalahkanku di Lembah Maut, tak memba-
wa arti banyak menghadapi ilmu Tepukan Cabut Suk-
ma Dewi Kematian, kali ini dia seperti enteng saja
menghadapinya."
Keheranan itu pun melanda Dewi Kematian. Pe-
rempuan bercadar dan berbaju sutera yang memiliki
tubuh montok terutama payudara dan pinggulnya,
bernapas lebih cepat. Gumpalan payudaranya yang in-
dah turun naik bagai mengundang orang untuk me-
megang. "Gila! Apakah si nenek ini mempunyai tenaga sim-
panan?" makinya jengkel. "Padahal aku ingin buru-buru menghabisinya untuk
merebut Kitab Pemanggil
Mayat yang berada di tangan Raja Lihai Langit Bumi
yang sedang bertarung dengan Dewi Karang Samude-
ra. Kulihat, perempuan berbaju hijau tipis itu seperti tak mampu menguasai
pertarungan. Ilmu 'Pengendali
Mata' nya yang aneh tak bisa menandingi kesaktian
Raja Lihai Langit Bumi. Tetapi urusan si nenek ber-
konde ini?"
Rupanya bukan hanya kedua orang itu saja yang
keheranan, Bidadari Hati Kejam sendiri terperangah
ketika menyadari dia tak lagi terganggu oleh tepukan
maut Dewi Kematian Bahkan jurus 'Kabut Kuning'
yang dilepaskan oleh Manusia Mayat Muka Kuning bi-
sa dipecah luruhkah dengan sekali mengibaskan tan-
gan. Mendapati tubuhnya semakin kuat, si nenek ber-
konde tak mau bertindak ayal lagi. Dia pun menyerbu
ke muka. *** Berjarak sepuluh tombak dari sana, Sepasang
Pemburu dari Neraka yang sudah mengerahkan jurus
' Tebar Maut' yang memang biasa dipergunakan berdua pun sudah mencelat ke arah
Rajawali Emas. Sinar merah pekat melingkupi kedua tangan masing-masing.
Gumbarda alias si Pengusung Jenazah menyerang dari
bawah dengan gerakan menyusur tanah. Sementara
Mayang Harum menyerang dari atas.
Namun bertepatan dengan keduanya melompat ke
arah Tirta, mendadak gemuruh angin dahsyat terden-
gar. Membuat apa saja yang ada di bawahnya harus
bertahan untuk tidak tergeser dari kedudukannya. . , Tirta masih sempat
mendongak dan membatin,
"Aneh! Dari mana saja dia" Mengapa baru muncul sekarang?"
Belum lagi keheranan si Rajawali Emas terjawab,
mendadak saja kedua kaki Bwana yang melengkuk ta-
jam mencengkeram kedua bahu si Rajawali Emas.
Dan.... Wuusss! Blarrr! Blarrr!
Bersamaan Bwana membawa terbang tubuh maji-
kannya, dua serangan dari atas dan bawah yang dile-
paskan Sepasang Pemburu dari Neraka menghantam
tanah di mana tadi Tirta berada. Tanah itu langsung
rengkah. Debu-debunya membubung tinggi dan ketika
luruh kembali, tanah tadi sudah membentuk sebuah
lubang sedalam satu tombak dan mengeluarkan asap.
?"Keparat! Lagi-lagi dia bisa meloloskan diri!" geram si Pengusung Jenazah
dengan penuh kemuakan.
"Peduli setan dengan pemuda itu! Yang terpenting, adalah Kitab Pemanggil Mayat
yang berada di tangan
lelaki berbaju dan berselempang kain putih yang se-
dang bertarung dengan murid Tengkorak Darah, Keli-
hatan murid Tengkorak Darah akan kalah dalam tiga
kali gebrakan! Kita harus merebut kitab itu!"
"Tidak! Aku menginginkan kematian perempuan
berkonde yang aku tahu punya hubungan erat dengan
pemuda sialan itu! Bunuh nenek itu!"
Habis kata-katanya, si Pengusung Jenazah mence-
lat dan melepaskan ilmu 'Tebar Maut' nya. Seketika
menghampar sinar merah tebal yang menggidikkan.
Menyusul serangan yang sama yang dilancarkan oleh
Mayang Harum. *** "Bwana! Apa-apaan kau ini" Mengapa kau mem-
bawaku terbang?" seru Tirta yang berada dalam ceng-keraman kedua kaki Bwana.
Burung rajawali raksasa keemasan itu tak menja-
wab. Terus membawa Tirta ke puncak Gunung Sigun-
tang. Lalu melepasnya pada jarak lima tombak di data-
ran yang ada di puncak itu, agak jauh dari lubang
yang menganga lebar.
Sigap Tirta mempergunakan ilmu peringan tubuh-
nya yang segera dipadukan dengan tenaga surya.
Hingga dengan entengnya tubuhnya pun hinggap di
dataran yang cukup diselimuti kabut tebal.
"Bwana! Mau apa;... Oh!" seruan Tirta pada Bwana yang sudah mendekam pada jarak
dua tombak di sebelah kanannya terputus tatkala sepasang matanya me-
nangkap dua sosok tubuh yang tegak berdiri meman-
dangnya. " Aneh! Aku belum jelas apa maksud Bwana membawaku ke sini" Dan
siapakah dua orang tua
yang berdiri tegak memandangku?" batin si pemuda seketika lalu melanjutkan,
"Apakah....Hmm... menurut Bwana, yang meminta ku datang ke sini adalah Eyang
Sepuh Mahisa Agni. Sebelumnya, aku pun pernah
mendengar perintah dari orang di balik angin yang ku
yakini Eyang Sampurno Pamungkas dan menyuruhku
untuk datang ke Gunung Siguntang. Apakah keduanya
adalah...." Memutus kata-kata hatinya sendiri, Tirta segera menjatuhkan tubuh
bersujud. 'Terimalah sujud ku ini, Eyang berdua...." Dua sosok tubuh yang berdiri dan
memandangnya yang tak
lain adalah Eyang Sepuh Mahisa Agni dan Ki Sampur-
no Pamungkas saling pandang.
Eyang Sepuh Mahisa Agni membuka suara, "Cucu-
ku Tirta. Bukankah kau selama ini menginginkan un-
tuk berjumpa denganku" Nah! Kini kau sudah berha-
dapan denganku."
Menyambung kata-kata si Malaikat Dewa, Manusia
Agung Setengah Dewa membuka suara, "Dan saat percakapan kita terjadi belum lama
ini, kau pun meng-
hendaki untuk bertemu denganku, bukan" Akulah Ki
Sampurno Pamungkas."
Masih bersujud Tirta membatin "Benar dugaanku
kalau keduanya adalah orang-orang yang selama ini
sangat ingin kukenal. Mereka telah berada di sini. Dan aku yakin, Bwana
diperintah untuk membawaku ke
sini. Tetapi, dengan maksud apa" Bukankah saat ini
Guru sedang dalam kesulitan" Bisa jadi Sepasang
Pemburu dari Neraka pun mengeroyoknya."
"Tak usah mengkhawatirkan soal gurumu itu, Cu-
cu ku. Dia telah kuberi tenaga tambahan hingga bisa
mengatasi serangan yang datang!" Terdengar kata-kata Eyang Sepuh Mahisa Agni
yang membuat Tirta terce-kat. "Hebat! Eyang Guru bisa mengetahui kata-kataku
padahal kuucapkan dalam hati," batinnya lagi. Lalu katanya, "Kalau Eyang berdua
adalah orang-orang
yang selama ini ingin ku jumpa, mengapa tak segera
menyuruhku untuk berdiri. Kepalaku sudah sakit dan
pinggangku sudah terasa pegal."
Eyang Sepuh Mahisa Agni cuma tersenyum men-
dengar selorohan si pemuda, sedangkan Ki Sampurno
Pamungkas hanya mendengus.,
"Berdiri!" serunya dengan suara ditekan. Tirta segera berdiri dan menggeliatkan
pinggulnya. Dia nyengir sesaat.
"Cucuku...," kata Eyang Sepuh Mahisa Agni sambil menatap lekat pada si pemuda.
"Seperti kau ketahui, saat ini orang-orang penuh ambisi dan dendam telah
bermunculan. Hanya tiga orang yang menjadi momok
cukup mengerikan. Karena, masing-masing mempu-
nyai kelebihan dari kalian. Mereka adalah Iblis Kubur dan Sepasang Pemburu dari
Neraka. Kini, ku beban-kan tugas kepadamu untuk menghentikan sepak ter-
jang mereka."
Tirta melotot mendengar kata-kata Malaikat Dewa.
"Eyang Guru! Aku tahu kalau mereka sangat sulit
dikalahkan. Karena aku pernah bertarung pula dengan
masing-masing. Masa' iya sih kau tega membiarkan
cucumu yang ganteng ini jadi makanan empuk manu-
sia-manusia itu?"
"Selain mempunyai jiwa kependetaan yang tinggi,
pemuda ini termasuk konyol juga," kata Malaikat Dewa dalam hati. Lalu meneruskan
kata-katanya, "Sudah tentu kami tak akan membiarkan engkau menjadi bulan-bulanan
mereka. Sekarang dengar baik-baik. Tu-
gas sudah kami embankan. Apakah kau meneri-
manya?" Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu katanya tegas, "Baik! Aku menerima tugas itu!"
"Bagus!" ganti Manusia Agung Setengah Dewa yang berkata. "Itu namanya kau
menjunjung tinggi jiwa ke-pendekaran. Sekarang duduklah bersila."
Tak tahu apa maksud orang tua berbaju biru pan-
jang yang terbuka di bahu kanan, si Rajawali Emas
duduk. ... "Pejamkan kedua matamu!"
Masih tak mengerti apa maunya orang, Tirta me-
mejamkan kedua matanya. Di depan, Manusia Agung
Setengah Dewa melipat kedua tangannya di depan da-
da. Saat ini, matahari sudah semakin menurun. Pun-
cak Gunung Siguntang diliputi kegelapan dan hawa
dingin mencekam.
Tubuh Manusia Agung Setengah Dewa tiba-tiba
bergetar dan mendadak saja keringat sebesar biji ja-
gung berlelehan di seluruh tubuhnya. Tiba-tiba terlihat lontaran sinar warna
biru pekat dari ubun-ubun kepala dan menyentak masuk ke ubun-ubun, kepala si pe-
muda yang duduk bersila berjarak dua tombak di mu-
ka. Tubuh Tirta sejenak melengak. Sesaat kemudian
dirasakan hawa panas yang mengaliri sekujur tubuh-
nya. Hampir saja dialirkan tenaga surya untuk mena-
han hawa panas itu bila saja tak terdengar suara Ki
Sampurno Pamungkas, "Tutup jalan tenaga surya di tubuhmu! Biarkan hawa panas itu
merambati sekujur
tubuhmu." Segera ditutupnya tenaga surya yang berpusat pa-
da pusarnya. Namun akibatnya dari duduk bersila ta-
di, kini Tirta terguling ke belakang menahan rasa sakit yang mendadak mendera.
Perutnya. bagai diaduk-aduk
oleh tenaga yang sangat kasar. Jantungnya bagai dipe-
ras kuat-kuat. Paru-parunya bagai dirobek sembilu
yang sangat tajam.
Namun rasa sakit yang membuatnya mengejang
dan bergulingan itu, tak sekali pun keluar erangan da-ri mulutnya. Bwana yang
memperhatikan mengelua-
rkan suara mengkirik, tetapi segera terdiam ketika dilihatnya Malaikat Dewa
mengangkat tangan tanda agar
Bwana berdiam. Siksaan yang dirasakan Tirta itu pun berangsur-
angsur menghilang. Dari mengejang tubuhnya dan
bergulingan, dengan anehnya tubuh si pemuda kemba-
li duduk bersila. Dan seperti habis melakukan perjalanan sangat jauh tanpa makan
dan minum, si pemuda
merasakan keletihan yang luar biasa.
"Atur nafasmu perlahan," kata Ki Sampurno Pamungkas sambil tersenyum.
Perlahan-lahan Tirta mengatur jalan nafasnya. Dan
mendadak saja keletihan itu menghilang, berganti ke-
bugaran yang belum pernah dirasakannya. Dengan
kening berkerut diangkat kepalanya menatap Manusia
Agung Setengah Dewa.
"Eyang Sampurno Pamungkas.... Apakah yang te-
lah Eyang lakukan tadi kepadaku?"
"Cucuku...," sahut Eyang Sampurno Pamungkas.
"Aku baru saja memindahkan sebagian tenaga dalam-ku kepadamu dengan ku padukan
pada ilmu simpa-
nan ku 'Penolak Sejuta Racun'. Mulai sekarang jenis racun apa pun tak akan
memberi pengaruh apa-apa
kepadamu. Kendati demikian di dunia ini ada beberapa
racun yang sangat ganas. Bila tubuhmu tak bisa me-
nolak secara langsung, maka pergunakan ilmu
'Penolak Sejuta Racun' dengan cara mengusapkan ke-
dua telapak tanganmu bergantian. Bila kedua tangan-
mu sebatas lengan berwarna kehitaman, maka ilmu itu
sudah bekerja. Aka juga telah mengalirkan satu tenaga luar biasa padamu. Bila
dipadukan dengan tenaga
surya, maka setiap kali kau melakukan pukulan keku-
atanmu menjadi tiga kali lipat. Ilmu itu disebut
'Matahari Rangkul Jagat'. Ilmu ini sangat berbahaya,
Cucuku. Kau harus mempergunakannya dengan ber-
hati-hati."
"Maafkan aku, Eyang. Bagaimana caranya agar aku
bisa mempergunakan ilmu 'Matahari Rangkul Jagat'"
Dan apa akibatnya?"
Manusia Agung Setengah Dewa tersenyum.
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gerakkan kedua tanganmu pada arah yang berla-
wanan di depan dada. Tangan kanan masuk ke kiri
dan begitu pula sebaliknya. Setelah itu tahan nafasmu di dada. Kau akan melihat
apa yang terjadi. Mengenai
akibatnya... tanpa kau padukan dengan tenaga surya
tubuhmu akan memancarkan cahaya terang dan men-
geluarkan hawa panas yang luar biasa. Kau bisa mem-
bayangkannya sendiri bila kau padukan dengan tenaga
surya?" Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Diden-
garnya lagi Ki Sampurno Pamungkas berkata, "Kekuatan manusia mayat yang telah
dibangkitkan kembali
terletak pada kedua ibu jari kakinya. Bila kau berhasil menekannya, maka
setengah dari tenaganya akan
lumpuh. Bila kau mematahkannya, maka dia akan
mati kembali"
"Apakah setelah itu dia bisa dibangkitkan kembali
dengan Kitab Pemanggil Mayat?"
"Tidak salah. Berarti, kau harus mendapatkan ki-
tab itu dan menjaganya."
Tirta menganggukkan kepalanya. Lalu nyengir pa-
da Eyang Sepuh Mahisa Agni, "Eyang Guru! Aku per-misi dulu!"
Malaikat Dewa tersenyum bijak. Tatapannya tetap
teduh dengan suara yang terdengar tetap lembut.
"Tirta..,. Apakah selama ini kau tidak bertanya-
tanya mengapa aku membuat rajahan sepasang bu-
rung rajawali di lengan kanan dan kirimu?"
Mendengar ucapan orang, seketika Tirta mengang-
kat kedua lengannya yang berajah burung rajawali
berwarna keemasan. Menatapnya beberapa saat, lalu
mengangkat kepalanya dan menggeleng-geleng.
"Rajahan di kedua lenganmu itu bukan rajahan bi-
asa. Merupakan sebuah pangkal letak ilmu yang telah
kuberikan kepadamu."
"Ilmu apakah itu, Eyang Guru?"
"Ilmu itu belum kubuka, karena aku masih mem-
punyai tugas untukmu." Lalu seperti yang diceritakan pada Ki Sampurno Pamungkas,
Eyang Sepuh Mahisa
Agni menceritakan pada Rajawali Emas. "Berhati-
hatilah dalam menghadapi Hantu Seribu Tangan. Ka-
rena, dia memiliki sebuah benda yang disebut Keranda
Maut Perenggut Nyawa. Tugas sudah ku embankan
kembali di pundakmu. Sekarang dengar baik-baik. Di
kedua rajahan burung rajawali di tangan kanan dan
kirimu, telah kusimpan ilmu yang disebut 'Inti Roh Rajawali'. Ilmu langka yang
sangat dahsyat. Karena kau bisa melepaskan dua ekor burung rajawali berbentuk
roh dari kedua tanganmu."
"Oh! Bagaimana aku bisa melakukannya, Eyang
Guru?" "Mendekatlah. Dan ulurkan kedua tanganmu." Tirta melakukan yang diperintahkan
Eyang Sepuh Mahi-
sa Agni. Lelaki tua bersorban dan berbaju putih yang
penuh dengan sulaman bunga api itu menotok kesepu-
luh jari Tirta yang merasakan sakit dan nyeri luar biasa. Bahkan bukan hanya
tulang-tulang pada kesepu-
luh jarinya yang terasa linu. Tetapi pada tulang di seluruh tubuhnya. Ditahannya
sampai mengeluarkan
keringat cukup deras.
Setelah beberapa saat, Malaikat Dewa meniup ke-
dua telapak tangan Tirta.
"Ilmu 'Inti Roh Rajawali' bisa kau pergunakan. lakukan dengan cara memutar
tanganmu ke atas, lalu
bawah dan kembali ke atas. Setelah itu, kau usapkan
dua tanganmu satu sama lain. Dan tangan kanan kau
usapkan pada lengan kirimu, begitu pula sebaliknya!
Kau bisa melihat apa yang kemudian terjadi. Lakukan-
lah". Dengan agak gemetar dan hati yang cukup ciut,
Tirta melakukan apa yang diperintahkan Lelaki ber-
sorban putih itu.
Mendadak saja, tubuhnya mundur tiga tindak ke
belakang ketika dua bayangan raksasa keluar dari ke-
dua rajahan di tangan kanan dan kirinya.
Bayangan raksasa yang besarnya seperti Bwana itu
melayang-layang tanpa mengeluarkan suara. Tirta me-
natap takjub tak berkedip.
"Keduanya sangat patuh dan bisa kau perintahkan
apa saja! Sekarang, cara mengembalikannya. Tepuk-
kan kedua tanganmu lagi. Lalu usapkan seperti kau
memanggilnya."
Setelah Tirta melakukan seperti itu, kedua bayan-
gan rajawali itu menghilang dan melesat masuk.
"Eyang Guru!" serunya dengan napas tertahan dan
wajah memerah. "Bagaimana mungkin di kedua tan-
ganku ini mendekam dua roh rajawali raksasa?"
"Saat ini, aku belum bisa mengatakannya. Kelak,
aku akan mengatakannya."
"Mengapa Bwana kelihatan tenang saja" Tak ada
rasa kejut sedikit pun juga?"
"Pertanyaanmu itu akan kujawab kelak. Sekarang,
kau kuberi tahu cara menghentikan sepak terjang Se-
pasang Pemburu, dari Neraka. Kelemahan mereka se-
benarnya, jangan membuat mereka sampai bersatu.
Bila bersatu, sangat sulit mengalahkannya. Di samping itu, kesaktian mereka
terletak pada punggung bagian
bawah. Di atas pinggang sedikit. Bila kau berhasil
mematahkan tulang punggung keduanya, maka mere-
ka akan mati! Sekarang, kembalilah ke kancah perta-
rungan! Ingat, Hantu Seribu Tangan akan muncul ke-
lak. Cari dia, jangan sampai dia menemuimu lebih du-
lu." "Di mana aku harus mencarinya, Eyang?"
"Di sebuah tempat yang bernama Gua Seratus
Laknat. Ajaklah gurumu si Bidadari Hati Kejam serta."
"Begitu pula dengan Manusia Pemarah yang seka-
rang menjadi saudara seperguruanmu," menyambung
Eyang Sampurno Pamungkas. "Karena, perjalanan ini sangat panjang dan mengerikan.
Keduanya akan membantumu, karena. kau pun akan berlindung pada
mereka." Tirta mengeluh dalam hati.
"Bisa berabe urusan bila pergi bersama Guru dan
Manusia Pemarah. Tetapi, perintah sudah kuterima.
Aku harus melakukannya."
"Berhati-hatilah, Cucuku...."
Usai kata-katanya, lenyaplah tubuh Eyang Sepuh
Mahisa Agni, menyusul lenyap pula tubuh Ki Sampur-
no Pamungkas. Tirta segera menjatuhkan tubuh bersujud.
"Titah Eyang berdua, akan segera kujalankan."
Setelah itu, dia melompat ke punggung Bwana.
"Bawa aku turun, Bwana!"
*** Bab 10 Begitu tubuh Bwana menukik, Tirta segera melom-
pat dan hinggap tak jauh dari pertarungan antara Iblis Kubur dengan Manusia
Pemarah, Dewa Bumi, dan Ayu
Wulan. Ketiga orang itu sudah berusaha sekuat mungkin
untuk mengatasi manusia sesat yang semakin men-
gamuk itu. Lereng Gunung Siguntang telah porak-
poranda. Pepohonan tak lagi nampak. Semua tercabut
dan terpapas. Dinding Gunung Siguntang sudah me-
napakkan bongkahan-bongkahannya.
Ayu Wulan yang sebenarnya sejak tiba di tempat
itu sudah ingin menemui pemuda yang diam-diam di-
cintainya, segera melompat mundur dan mendekat be-
gitu dilihatnya pemuda itu muncul di dekatnya. Di
tangan kanan si gadis tergenggam sebuah cambuk
yang dipergunakan untuk menyerang Iblis Kubur tadi.
"Kang Tirta!" serunya dengan wajah yang mendadak memerah.
Tirta cuma nyengir saja.
"Apa kabarmu, Ayu?"
"Aku.... Baik, baik-baik saja!" "
"Bagus! Kupikir kau sakit. Kalau sakit kan aku bi-sa membopong mu."
Wajah Ayu Wulan semakin memerah. "Apakah
dengan kata-katanya itu Kang Tirta sebenarnya men-
cintai ku" Oh! Apakah dia masih ingat kata-kata Guru
yang menginginkan aku berjodoh dengannya" Tetapi,
aku telah berjanji pada Dewa Bumi untuk tidak terlalu tenggelam dalam perasaan
cinta." Di depan sana, Manusia Pemarah yang sebenarnya
sudah terkuras tenaganya membentak, "Pemuda keb-
luk! Mengapa kau diam saja, hah" Ke mana tadi kau
pergi" Kulihat kau disambar burung raksasa yang se-
dang terbang berputaran di atas" Bikin pusing kepala
saja suaranya yang berisik itu!"
"Wah! Kenapa aku yang jadi kena sasaran sih"
Kek! Apakah kau tidak mau membantu kekasihmu
yang sedang kerepotan menghadapi orang-orang cela-
ka itu!" "Sontoloyo! Bicara apa kau, hah" Ku sobek mulut-
mu!" maki Manusia Pemarah namun.... "Keparat busuk!" makinya sambil membuang
tubuh karena rantai besar Iblis Kubur sudah menderu ke arahnya.
Tirta cuma tertawa saja. Lalu mencelat ke muka.
Langsung dikerahkannya tenaga surya yang dipadu-
kan dengan ilmu baru yang didapatnya dari Manusia
Agung Setengah Dewa. Ilmu 'Matahari Merangkul Ja-
gat'. Mendadak saja tubuhnya seperti menyala, terang-
benderang dan menebarkan hawa yang sangat panas.
Tumbuhan yang tumbuh di sana langsung mengering.
Sejenak Tirta gelagapan mendapati apa yang terjadi
pada dirinya. "Luar biasa. Ilmu ini benar-benar sangat mengerikan. Entah apa yang akan terjadi
bila ku hantamkan
pada lawan. Tetapi menghadapi Iblis Kubur, ilmu ini
memang sangat patut digunakan."
Segera pemuda ini menggebah ke arah Iblis Kubur
yang sedang mencecar manusia buntal berjuluk Dewa
Bumi. Anehnya, tak ada angin yang keluar sama sekali
Tetapi terlihat dorongan cahaya panas yang sangat te-
rang. Terdengar gerengan kuat dari Iblis Kubur. Mulut,
nya terbuka dan seketika keluar angin yang mengge-
bubu menggidikkan, mencoba menahan sekaligus
mematahkan serangan Tirta. Namun....
Desss! Dewa Bumi, Manusia Pemarah, dan Ayu Wulan hal
nya memperhatikan dengan rasa terkejut. Di samping
merasakan perubahan hawa yang mendadak sangat
panas seperti neraka, juga karena sejak tadi mereka
menyerang, tak sekali pun melihat Iblis Kubur mun-
dur. Tapi kali ini Iblis Kubur mundur beberapa lang-
kah menghindari pukulan aneh yang dilontarkan si
pemuda. Dewa Bumi membatin kagum, "Luar biasa! Tenaga
apa yang dipergunakan pemuda itu hingga tubuhnya
menyala terang-benderang seperti itu?"
"Peemmudaa lakknaath! Illmuu iittu miillik Saam-
puurrnoo Paamunngkaass! Kaataakaann ddii maanaa
diiaa beerraddaa!" suara Iblis Kubur menghentak, dingin, serak, dan dalam.
Kali ini Tirta dengan jurus 'Matahari Rangkul Ja-
gat' yang membuat tubuhnya seperti menyala itu su-
dah tidak banyak bicara lagi. Kedua tangannya yang
sangat panas terus berusaha untuk mendapatkan ibu
jari kaki Iblis Kubur.
Menggereng hebat lelaki berbaju hitam kusam den-
gan kedua rantai di kaki dan di tangan. Dengan gera-
kan aneh diangkat kedua kakinya.
Sraaangngng! Rantai besi panjang menggebah, menyusur tanah
dan mengarah pada Tirta. Pemuda dari Gunung Raja-
wali itu tidak menghindar dan seolah tidak merasakan
rantai Iblis Kubur yang menghajar tubuhnya. Malah
pemuda yang bertubuh terang-benderang itu terus me-
rangsek ke arah kaki musuh.
"Sejak tadi tak ada yang menyerang kaki. Baru terbuka mata hati ini. Kalau ibu
jari kaki manusia laknat di depan, merupakan kelemahan yang tak terlihat!"
bersuara Dewa Bumi dengan nada yang berayun-ayun.
Lalu menghisap cangklong besarnya yang tak menge-
luarkan usap namun saat dihembuskan keluar asap
yang menebarkan aroma wangi.
Manusia Pemarah yang memperhatikan serangan
si Rajawali Emas selalu mengarah pada kedua ibu jari
Iblis Kubur pun melihatnya. Seketika dia menggebah
dengan pukulan 'Sinar Ungu' yang mengerikan. Me-
nyusul Dewa Bumi dengan jurus 'Sinar Dewa' dan
asap wangi yang dihembuskannya. Sementara Ayu
Wulan yang memang sudah kehabisan tenaga, hanya
duduk menjauh memperhatikan pertarungan itu. Da-
lam hatinya, dia berdoa agar pemuda yang dicintainya
tak mengalami celaka yang membahayakan.,
Mendapati kelemahannya diketahui lawan, Iblis
Kubur mengkelap dengan wajah bertambah pucat.
Dengan gerakan yang-sangat cepat dan menimbulkan
gemuruh, dia berusaha menghindari serangan yang
mengarah pada kedua ibu jari kakinya.
Namun ketiga lawannya yang telah mengetahui ke-
lemahannya berhasil mendesak. Dan....
Wuuttt! Crok! Crokkk! Tirta sudah menukik dengan gerakan yang sangat
cepat Bersamaan dengan itu menghampar sinar kee-
masan di tangan kanannya. Rupanya dia sudah men-
cabut Pedang Batu Bintang dan segera dibacokkan pa-
da kedua ibu jari Iblis Kubur.
Melolong setinggi langit manusia mayat yang di-
bangkitkan itu saat kedua ibu jarinya terpisah dan
mental entah ke mana setelah dibacok oleh Tirta. Seketika tubuhnya ambruk dan
bergulingan. Rantai besar
panjang di kedua tangan dan kakinya menimbulkan
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara yang sangat nyaring. Dan jatuh berdebam di le-
reng Gunung Siguntang. Terkapar dengan kedua mata
terbuka dan tangan dan kaki melebar. Manusia itu
mati untuk kedua kalinya.
Tamat sudah riwayat Iblis Kubur," desis Tirta sambil memasukkan Pedang Batu
Bintang ke warang-
kanya. Seketika itu juga tubuh Tirta sudah kembali
seperti, semula. Sinar terang-benderang di sekujur tubuhnya sudah lenyap seiring
jurus 'Matahari Merang-
kul Jagat' yang tidak dipergunakan lagi. Kejap lain Tirta sudah berkelebat ke
arah Bidadari Hati Kejam
sambil berseru, "Kalian beristirahatlah!"
"Sontoloyo!" maki Manusia Pemarah geram. Lalu mendumal dalam hati, "Apakah aku
sudah terlalu tua hingga untuk bernapas pun sangat susah?" Dan dia semakin
menggeram ketika mendengar suara Ayu Wulan yang cemas, "Guru! Bantulah Kang
Tirta!" "Sontoloyo! Mengapa kau tidak segera memban-
tunya, hah"!" bentak si Manusia Pemarah sementara Dewa Bumi hanya tersenyum saja
sambil menghisap
cangklong besarnya yang aneh.
Ayu Wulan cuma menundukkan kepalanya. Lalu
perlahan-lahan melirik Dewa Bumi yang kelihatan
mengangguk. Seperti menemukan apa yang diha-
rapkannya, gadis berbaju putih dengan sulaman bun-
ga mawar pada bagian dada kiri itu sudah berkelebat
menyusul si pemuda dari Gunung Rajawali.
*** Sementara itu, ketika mendengar lolongan keras
Iblis Kubur dan mendapati tubuh Iblis Kubur ambruk
bergulingan tak berkutik, perempuan berbaju hijau ti-
pis dengan rambut keperakan itu menegang wajahnya.
"Celaka! Seluruh rencanaku untuk meminta ban-
tuan Iblis Kubur guna membalas sakit hati pada lelaki keparat ini gagal! Dan aku
sendiri tak sanggup untuk
menghadapinya lebih lama lagi! Ilmu 'Pengendali Mata'
ku seakan tak banyak membawa arti. Raja Lihai Langit
Bumi yang sudah tahu kelemahan ilmu 'Pengendali
Mata' ku tak mempergunakan tenaga dalamnya. Be-
nar-benar sialan! Kitab Pemanggil Mayat tak bisa
kuambil kembali! Lebih baik minggat daripada nyawa
putus!" Raja Lihai Langit Bumi sejak tadi sebenarnya tidak
menyerang sepenuh hati. Karena lelaki bijaksana itu
tahu kalau kemarahan dan dendam yang menggunung
di hati Dewi Karang Samudera yang bernama asli
Cempaka harus dimusnahkan bukan dengan jalan ke-
kerasan, melainkan dengan kelembutan. Makanya dia
tidak menyerang sepenuh hati. Padahal bila dia men-
ginginkannya sejak tadi Dewi Karang Samudera yang
sudah kehilangan bentuk penyerangannya bisa dilum-
puhkan! "Tidakkah kau mau menyadari 'kalau tindakanmu
selama ini salah, Cempaka?" tanya Raja Lihai Langit Bumi sambil menghindari
terjangan sinar putih bening
yang dilepaskan oleh Dewi Karang Samudera.
Perempuan berambut keperakan itu mendengus
dengan menindih rasa cemas di dadanya.
"Sirat! Untuk kedua kalinya aku mengaku kalah!
Tetapi ingat, jalan masih panjang di antara kita!"
"Cempaka!"
Tetapi Dewi Karang Samudera sudah melesat men-
jauh dengan membawa sejuta dendam yang bertambah
menggunung pada Raja Lihai Langit Bumi.
Sementara lelaki berbaju putih dengan selendang
yang terselempang dari bahu kanan hingga kepinggang
kirinya menarik napas panjang. Sangat disesalinya si-
kap Dewi Karang Samudera yang tak mau menghenti-
kan segala urusan dendam.
"Cempaka....Sampai kapan kau akan didera oleh
dendammu yang berkepanjangan" Apakah kau tidak
tahu kalau dirimu justru akan binasa oleh dendammu
itu?" Lelaki bijaksana itu mengusap janggut putihnya.
Lalu menatap Kitab Pemanggil Mayat yang sejak tadi
berada di tangan kanannya. '
"Kitab inilah sumber dari segala petaka. Siapakah sekarang yang berhak
memegangnya" Apakah harus
kumusnahkan" Tetapi sangat sayang, karena kitab ini
termasuk jenis kitab yang langka."
Lalu ditengadahkan kepala menatap langit yang ke-
lam. Dipenuhi dengan gumpalan awan hitam.
"Aku tak pernah tahu, sampai kapan Cempaka
akan menyimpan dendamnya kepadaku."
Dan perlahan-lahan ditolehkan kepalanya ke arah
Bidadari Hati Kejam yang sedang bertahan sekaligus
menyerang empat terjangan itu. Ketika Raja Lihai Lan-
git Bumi memutuskan untuk membantu, dilihatnya
satu bayangan keemasan melesat dan mengarah pada
lelaki tua berpunuk dan perempuan yang menebarkan
bau busuk seperti bangkai yang sedang menyerang
dengan hamparan sinar merah menggidikkan.
Menyusul dilihatnya seorang gadis yang tak lain
Ayu Wulan adanya yang tiba-tiba menghentikan lang-
kahnya. Dan berdiri kaku dengan tatapan yang redup.
*** Bab 11 Begitu meluncur, si Rajawali Emas langsung men-
garahkan serangannya pada punggung Sepasang Pem-
buru dari Neraka. Sebenarnya, saat ini Bidadari Hati
Kejam tak mengalami desakan yang terlalu hebat.
Dengan tenaga tambahan yang dikirimkan Malaikat
Dewa, dia bisa bertindak lebih cepat. Kendati demi-
kian, serangan Sepasang Pemburu dari Neraka lah
yang cukup menyulitkannya. Terutama ilmu 'Tabur
Maut' yang dimiliki kedua orang itu.
Begitu dilihatnya tubuh Tirta mencelat dan mende-
ru ke arah punggung Sepasang Pemburu dari Neraka,
masing-masing orang yang diserang memutar tubuh
dan tak menginginkan punggungnya di hajar.
"Hei! Jangan berbalik"!",seloroh si Rajawali Emas.
Lalu dengan mempergunakan kecepatannya, dia terus
mencecar kedua punggung masing-masing lawan dan
membawanya agak terpisah dari pertarungan Bidadari
Hati Kejam menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning
dan Dewi Kematian.
"Gumbarda! Tiba-tiba pemuda ini tahu kelemahan
kita!" seru Mayang Harum dengan wajah pucat dan
mata tak pernah berkedip. Berulang kali dia mencelat
dengan memutar tubuh, menghindari sambaran lawan
pada punggungnya.
Gumbarda mengeluarkan dengusan tinggi.
"Tak mungkin secepat itu pemuda ini bisa menge-
tahui letak kelemahan kita! Dan tak seorang pun yang
mengetahuinya. Kecuali... Malaikat Dewa!" sahut
Gumbarda alias si Pengusung Jenazah.
"Setan keparat! Dugaanmu kalau begitu sangat te-
pat, mengenai si pemuda yang ada hubungannya den-
gan Malaikat Dewa!"
"Peduli setan! Dialah yang setiap kali selalu menghalangi rencana kita!"
Selagi Sepasang Pemburu dari Neraka berbicara
dengan menyentak, keras, dan penuh kegugupan ka-
rena setiap kali harus menghindarkan punggung me-
reka dari serangan Tirta, pemuda ini sudah menderu
cepat Tenaga surya dilepaskan ke arah Mayang Harum
yang memang menciut ketakutan karena di dalam tu-
buhnya tidak ada hawa dingin seperti yang dimiliki
oleh Gumbarda. Sementara tangan kanannya melepas
pukulan 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa' ke arah
Gumbarda yang memekik keras.
Lelaki berpunuk ini memekik tertahan mendapati
hamparan angin dahsyat melabrak ke arahnya. Namun
Tirta yang tak mau bertindak ayal sudah menyusup
kembali dengan cepat. Dan....
Des! Lelaki berpunuk itu melengak dan terhuyung ke
belakang tatkala dadanya dengan telak terhantam pu-
kulan Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'. Saat terhuyung
dari mulutnya muncrat darah kental yang menghitam.
Mendapati kekasihnya dihajar orang, perempuan
berbaju hitam yang menebarkan bau sangat busuk itu
pun mencelat ke muka. Memang itulah yang ditunggu
Tirta sebenarnya. Begitu Mayang Harum menderu, si
pemuda dengan pencalan satu kaki, memutar tubuh
Melompat dan melewati tubuh Mayang Harum. Saat
itu juga, selagi masih berputar, tangan kanannya di-
hantamkan pada tulang punggung di atas pinggang
sedikit di tubuh Mayang Harum.
Bukkk! Prak! "Aaaakhhh!"
Terdengar tulang punggung perempuan itu patah
bersamaan dengan pekikan setinggi langit. Gerakan-
nya jadi tertahan dan seketika perempuan itu jatuh
tersungkur. Menimbulkan suara keras dan menggebah
debu-debu yang tertimpa tubuhnya.
Si Pengusung Jenazah yang merasa dadanya seper-
ti remuk terhantam pukulan si pemuda tadi, tak mem-
pedulikan rasa sakitnya lagi. Dengan teriakan meng-
guntur dia memburu ke arah kekasihnya yang tengah
bergulingan dengan gerengan liar mengerikan.
"Mayang Haruuum!"
Lelaki berpunuk itu cepat menangkap gerakan liar
kekasihnya. Di pangkunya kepala perempuan berbau
bangkai itu dengan rasa dendam, amarah, sedih dan
galau menjadi satu. Kedua matanya menyipit dengan
tubuh gemetar saat mendengar suara lirih penuh te-
kanan dengan kedua mata terbuka dari kekasihnya.
"Bunuh pemuda itu! Hidupkan aku kembali, Gum-
barda!" Terputus kata-katanya dan matilah perempuan itu
untuk kedua kalinya. Gumbarda menggigil sejadi-
jadinya dengan kedua tangan terkepal. Lalu dihentak-
kan kepala dan berteriak keras, memecah seantero
tempat dan seolah menembusi kepekatan malam yang
hanya dibantu sinar bulan belaka.
Perlahan-lahan dia berdiri sambil membopong
mayat kekasihnya. Matanya tajam, menyiratkan sejuta
dendam pada Rajawali Emas yang telah berdiri tegak
dengan kedua kaki dipentangkan.
"Ada tibanya kekalahan dan akan datang saat ke-
menangan. Kita berjumpa lagi kelak!" suara si Pengusung Jenazah menggeram. Lalu
dengan sekali sentak,
mayat kekasihnya telah diusungnya di atas pundak.
Anehnya, mayat itu tetap lurus kaku dan tak menjun-
tai. Lalu.... Wuuuttt! Dalam sekali berkelebat saja, tubuh si Pengusung
Jenazah sudah berlalu dari sana.
Tirta menarik napas panjang. "Seharusnya aku
memberi pelajaran pada si Pengusung Jenazah. Akan
tetapi, aku bukanlah orang kejam yang menurunkan
tangan pada orang yang sudah tak berdaya."
Ketika Tirta membalikkan tubuhnya untuk me-
nyaksikan pertarungan antara Bidadari Hati Kejam
menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewa
Kematian, di sana sudah berdiri Raja Lihai Langit Bu-
mi tetap dengan senyum bijaksananya. Di sebelah ka-
nan berdiri Manusia Pemarah yang mementangkan ke-
dua kaki dengan tatapan melotot gusar. Di sebelahnya, hanya setinggi ketiak si
Manusia Pemarah, berdiri De-wa Bumi dengan tubuhnya yang buntal seperti bola,
asyik menghisap cangklong besarnya.
"Guru! Mengapa kau m asih bertindak ayal" Apa-
kah karena sudah tua kau jadi tidak bisa bergerak ce-
pat"! seru Tirta sambil menyatukan kedua tangan di
depan mulut. Bidadari Hati Kejam menoleh sambil terus menye-
rang. "Bocah kebluk! Enak-enakan dia mengejek ku di
hadapan banyak orang! Urusan kedua manusia ini
urusan ringan sekarang! Ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'
perempuan bercadar sutera yang menebarkan bau me-
rangsang itu tak membawa arti apa-apa! Tubuhnya
sudah berkali-kali kuhajar tetapi dia rupanya memiliki ketahanan yang kedot
juga. Sialan! Bikin malu! Dadanya yang montok kencang itu berayun-ayun setiap
kali dia bergerak! Bikin mata para lelaki tua keparat yang berada di sini
semakin melotot saja! Dan... lebih sialan lagi! Ternyata baju sutera di bagian
pinggulnya sudah sobek besar! Memperlihatkan bungkahan pan-tatnya yang besar
menggairahkan! Keparat! Biar kuha-
bisi sekarang! Tetapi, Manusia Mayat Muka Kuning
terlebih dulu!"
Sejak diberi tenaga tambahan oleh Malaikat Dewa,
Bidadari Hati Kejam memang lebih banyak menguasai
pertarungan yang sebenarnya cukup melelahkan. Be-
rulang kali senjata pengebutnya menghantam lelaki
muka kuning yang sudah pias wajahnya dan merasa
yakin tak akan mampu bertahan lebih lama. Kendati
dia telah menciptakan ilmu penangkal jurus pengebut
milik si nenek berkonde, tetapi semakin lama tena-
ganya semakin berkurang sementara tenaga si nenek
berkonde seperti berlipat ganda.
Hingga diputuskan untuk melarikan diri dari sini.
Saat si nenek berkonde menyerangnya kembali, Manu-
sia Mayat Muka Kuning melompat ke arah Dewi Kema-
tian. Dan segera menyambar, tangan perempuan mon-
tok yang payudara dan pinggulnya nyata-nyata terlihat sekarang.
Lalu.... Wusss! Dengan gerakan yang sangat cepat sekali, Manusia
Mayat Muka Kuning melarikan diri seraya menarik
tangan Dewi Kematian. Bidadari Hati Kejam yang me-
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat sikap licik lawannya, segera bergerak mengi-
baskan senjata pengebutnya.
Wrrrrr! Bergulung hamparan angin panas dengan gerakan
yang luar biasa kencangnya. Dewi Kematian yang be-
rada di belakang Manusia Mayat Muka Kuning me-
nangkap isyarat kematian yang siap menderanya. Dia
tak mau mati konyol. Maka dengan segera dilepaskan
tangannya dari genggaman tangan lelaki muka kuning,
lalu mengempos tubuhnya ke samping. Bergulingan di
tanah dengan debu gunung. Tak dihiraukan kalau se-
luruh tubuhnya menjadi kotor.
Manusia Mayat Muka Kuning melengak begitu me-
nyadari kalau perempuan bercadar sutera itu mele-
paskan pegangannya. Tak menghentikan larinya dia
menoleh ke belakang. Tetapi....
Wrrrr! Prak! Prak! "Aaaakhhhh!"
Tubuh Manusia Mayat Muka Kuning terpental de-
ras ke depan. Suara tulang patah terdengar yang be-
rasal dari tulang iga dan paha kanannya. Lelaki be-
rambut bau busuk itu terguling menjerit kesakitan.
Dewi Kematian melesat dan berdiri tegak pada sisi
Manusia Mayat Muka Kuning yang masih kesakitan.
Sepasang matanya di balik cadar suteranya membulat.
"Hhhh! Manusia ini sebentar lagi akan mampus!
Bukan urusanku sekarang! Aku harus menyelamatkan
diri!" Tak dihiraukannya juluran tangan Manusia Mayat
Muka Kuning yang meminta bantuannya. Perempuan
bertubuh montok menggiurkan itu sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Dewi...," suara Manusia Mayat Muka Kuning pa-rau dan detik berikutnya tubuhnya
menggigil. Lalu di-
gigitnya bibirnya menahan rasa sakit yang mendera.
Kejap lain, nyawanya sudah menghilang.
*** "Bocah kebluk! Urusan apa kau mengejek ku,
hah?" maki Bidadari Hati Kejam sewot pada si Rajawali Emas. Tirta cuma nyengir
saja. "Guru! Apakah kau tidak malu marah-marah ke-
padaku selagi ada Manusia Pemarah di sini?"
"Setan kebluk! Urusan apa dengan lelaki tua jelek yang pemarah itu, hah"!"
bentak si nenek berkonde sambil melirik Manusia Pemarah yang sudah melotot.
"Sontoloyo! Kau masih mengatakan aku jelek, Kun-
ti" Apakah kau sendiri tidak jelek?" sambar lelaki tua berkuncir itu dengan
wajah ditekuk. Tirta tertawa, lalu mengulapkan tangannya sebe-
lum terjadi keramaian yang lebih panjang. Dicerita-
kannya kalau dia baru saja bertemu dengan Eyang Se-
puh Mahisa Agni dan Ki Sampurno Pamungkas. Juga,
diceritakan pula tugas yang diemban di pundaknya se-
karang. . "Raja Lihai Langit Bumi! Kau mempunyai ilmu
'Peraba Sukma'! Katakan di mana adanya Gua Seratus
Laknat...?" sentak Bidadari Hati Kejam pada lelaki berwajah bijaksana.
Raja Lihai Langit Bumi hanya tersenyum. "Seumur
hidupku, aku baru mendengar sebuah tempat yang
bernama Gua Seratus Laknat. Dan tentunya sulit ba-
giku untuk menentukan di mana gua itu berada," sa-hutnya dengan suara yang
bijak. Bidadari Hati Kejam mendengus. Sebelum dia
mengumbar kata-kata, terdengar suara Dewa Bumi
yang tetap berayun-ayun, "Mengapa harus saling men-duga, kalau tak ada yang
tahu" Lebih baik silakan me-
langkah untuk mencari tahu."
"Manusia buntal jelek!" sengat Bidadari Hati Kejam.
Dewa Bumi hanya terkekeh-kekeh saja sambil
menghisap cangklongnya yang besar. Lalu katanya,
"Kulihat ada bayang-bayang mendekat. Rasanya hati ini pun melekat. Seorang nenek
berbaju dari kulit harimau berwarna putih, dengan seorang gadis berwajah
bulat berbaju putih. Juga tiga murid datang mengha-
dap, yang seorang dilanda cinta yang kuat. Aku tak ingin membuat kecewa, biar
kusongsong mereka." Lalu kepalanya yang seakan tanpa leher itu ditolehkan ke
arah Ayu Wulan. 'Gadis manis.... Belum saatnya cinta
terbalas, kelak masih ada saat menjawab. Gurumu
hendak pergi bersama Rajawali Emas. dan Bidadari
Hati Kejam. Silakan ikut aku ke Pesanggrahan Mestika
dan kita songsong lima orang yang baru datang. Tiga
orang dari mereka, murid-murid nakal yang ku
punya." Lalu tanpa menghiraukan yang berada di sa-na, Dewa Bumi sudah melangkah
dengan gerakannya
yang lucu. Ayu Wulan menarik napas panjang, Sejak menden-
gar kata-kata Rajawali Emas tadi, hatinya sudah ne-
langsa. Ingin rasanya dia meminta diajak serta. Tetapi, nampaknya tugas yang
diemban oleh Tirta sangat berat, Entah apa yang bisa dilakukannya sekarang"
Tirta yang melihat kegalauan di hati gadis itu, per-
lahan-lahan mendekat.
"Ayu... aku tahu kau memikirkan soal perjodohan
itu, bukan" Tidak usah terlalu sering memikirkannya.
Kelak, kita akan bisa menemukan jawabannya. Apa-
kah kita harus bersatu, ataukah harus berpisah sela-
manya." Kata-kata Tirta yang sebenarnya lebih banyak un-
tuk menyenangkan gadis itu membuat Ayu Wulan ter-
senyum. Matanya mengerjap berkali-kali. Wajahnya
semakin membiaskan pesona kecantikan ditimpa sinar
bulan. "Kang Tirta... mudah-mudahan kita bertemu lagi,"
katanya. Lalu menoleh pada Manusia Pemarah, "Guru, tolong jaga Kang Tirta."
Tanpa menunggu sahutan gurunya Ayu Wulan sudah berlari menyusul Dewa Bumi
yang tengah menyongsong lima orang yang dikatakan-
nya tadi. "Sontoloyo!" dengus Manusia Pemarah namun di-am-diam bisa dirasakan pula
kedukaan di hati murid-
nya. Terdengar suara bijak Raja Lihai Langit Bumi,
"Tirta... di tanganku berada Kitab Pemanggil Mayat.
Kurasa hanya engkaulah yang pantas memilikinya."
"Guru... perjalanan yang akan kulakukan bersama
Guru Bidadari Hati Kejam dan Kakek Manusia Pema-
rah, kupikir bukanlah perjalanan ringan. Tanpa men-
gurangi rasa hormatku, maukah Guru menjaga kitab
itu untukku?"
Salah seorang guru si Rajawali Emas itu terse-
nyum. "Baiklah. Kitab ini akan kupegang."
Habis kata-katanya sosok Raja Lihai Langit Bumi
berkelebat lenyap dari pandangan. Yang tinggal, hanya tiga orang yang terdiam
dalam kepekatan malam.
Di sebelah timur Gunung Siguntang, seorang dara
berbaju merah sedang menahan gelegak di dadanya.
Seorang gadis berbaju biru menenangkannya.
"Kuatkan hatimu, Andini. Barangkali, kali ini kau memang belum dikehendaki Yang
Maha Kuasa untuk
bersama Rajawali Emas."
"Tetapi...."
Gadis berbaju biru merangkulnya. "Tabahkan ha-
timu." Tak jauh dari sana, Ayu Wulan yang berdiri tegak
sambil memperhatikan kedua gadis itu mendesah pen-
dek, 'Tentunya gadis yang berbaju merah itulah yang di maksud oleh Dewa Bumi
kalau sedang kasmaran
pada Kang Tirta. Melihat sikapnya, dia terlalu dalam
mencintai Kang Tirta."
Lalu dilihatnya dara berbaju biru yang tak lain
adalah Nandari mengajak gadis berbaju merah yang
tak lain Andini untuk berlalu dari sana. Ada keinginan yang kuat di hati Andini
untuk menoleh dan berlari
mendapati Rajawali Emas yang sudah melangkah ber-
sama Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah. Te-
tapi ditahan semua perasaan dan keinginannya den-
gan hati galau.
Ratu Harimau Putih dan muridnya Marbone, telah
meninggalkan tempat itu setelah mendengar kata-kata
Dewa Bumi tentang Dewi Karang Samudera melarikan
diri. Sedangkan Wisnu hanya diam memperhatikan sa-
ja. Lalu perlahan-lahan semuanya termasuk Ayu Wu-
lan, bergerak mengikuti langkah Dewa Bumi yang ber-
jalan dengan tangan kiri berada di belakang dan tan-
gan kanan menghisap cangklong besarnya. Asap yang
menebarkan bau wangi pun menyebar.
SELESAI RAJAWALI EMAS Segera terbit!!! Serial Rajawali Emas dalam episode:
KERANDA MAUT PERENGGUT NYAWA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lola Ariatna
Perawan Titisan Peri 1 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Pendekar Kelana 1
kuserahkan kepada cucuku yang berjuluk Rajawali
Emas itu."
"Berat juga beban yang disandangnya," kata orang tua berbaju biru panjang
terbuka di bahu kanannya
yang kurus. "Tetapi kuakui, kalau kau sangat beruntung sekali mendapatkan pemuda
itu sebagai cucumu.
Mengapa kau tak menurunkan ilmumu kepadanya"
Kulihat, dua muridmu yang berjuluk Raja Lihai Langit
Bumi dan Bidadari Hati Kejam, telah menjadi guru dari pemuda itu. Kendati
demikian, kedua muridmu memiliki ilmu yang berbeda. Berarti, kau sengaja
menurun- kan ilmu-ilmu yang berlainan kepada kedua muridmu.
Dan tentunya, kau pun memiliki ilmu lainnya, bukan?"
Orang tua bersorban yang tak lain adalah Eyang
Sepuh Mahisa Agni alias si Malaikat Dewa kembali ter-
senyum. "Kupikir....Aku sudah terlalu tua untuk menurun-
kan ilmu kepadanya. Biarlah dia digembleng oleh dua
muridku. Bahkan Bwana pun boleh dikatakan gu-
runya sekaligus, karena dia pun telah mengajarkan ju-
rus-jurus yang pernah kuajarkan. Sampurno Pamung-
kas, bagaimana dengan muridmu yang berjuluk Ma-
nusia Pemarah itu?"
Ki Sampurno Pamungkas tertawa berderai. Sangat
keras sekali menggema di seantero puncak Gunung Si-
guntang. Tetapi, tak terdengar sampai ke bawah. Itu
menandakan dia bukan hanya mampu mengeluarkan
tenaga dalam, melainkan juga mengendalikannya.
"Seperti yang kau lakukan kepada kedua muridmu
Muridku pun tak sepenuhnya mendapatkan ilmu yang
kumiliki. Bahkan kupesankan kepadanya, bila dia
memiliki seorang murid, jangan menurunkan ilmu
'Sinar Ungu'. Karena, ilmu itu sangat berbahaya."
"Kalau begitu, kita masih memiliki sisa ilmu lain yang belum pernah diturunkan."
"Kau betul, Mahisa Agni," sahut Ki Sampurno Pamungkas atau Manusia Agung
Setengah Dewa. Suasana hening sesaat, yang terdengar hanya sua-
ra mengkirik Bwana saja.
Setelah beberapa saat, Ki Sampurno Pamungkas
membuka mulut, "Mahisa Agni... apakah salah bila ki-ta menurunkan sisa ilmu yang
kita miliki kepada pe-
muda yang bernama Tirta itu" Aku pun ingin men-
ganggapnya sebagai cucuku seperti kau pula. Bagai-
mana menurutmu?"
Eyang Mahisa Agni tersenyum.
"Sebenarnya, aku telah menurunkan ilmu simpa-
nan ku kepada pemuda itu, Sampurno Pamungkas."
"Hmmrn.... Mengapa tadi kau tak mengatakannya?"
"Karena, ilmu itu belum kubuka sehingga pemuda
itu belum bisa mempergunakannya."
"Ilmu apakah itu?"
"Ilmu itu adalah ilmu simpanan ku dari kemban-
gan setiap gerakan Bwana. Tetapi ilmu ini berupa ilmu yang sangat dahsyat-dan
langka. Ilmu itu kunamakan
'Inti Roh Rajawali*.
' Aku ingat sekarang. Dulu kau pernah mengatakan
kepadaku kalau kau telah berhasil menciptakan ilmu
itu. Di mana kau meletakkannya?" .
"Pada kedua rajahan burung rajawali di lengan kanan dan kiri si pemuda. Bila
sudah kubuka, maka dari
rajahan burung rajawali itu akan melesat sepasang ra-
jawali raksasa yang sangat ganas yang akan bisa
membantunya menghadapi lawan siapa pun juga." .
"Mengapa kau belum membukanya?"
"Karena, masih ada tugas yang akan ku embankan
kepadanya. Sampurno Pamungkas, ingatkah kau den-
gan Hantu Seribu Tangan yang memiliki Keranda Maut
Perenggut Nyawa?"
"Meskipun puluhan tahun tak pernah mendengar
lagi julukan manusia sesat itu, tetapi aku masih men-
gingatnya."
"Kita memang belum pernah bentrok dengan orang
yang berjuluk Hantu Seribu Tangan. Aku yakin, ilmu
yang dimilikinya semakin tinggi. Terutama, setelah dia mendapatkan benda aneh
yang disebut Keranda Maut
Perenggut Nyawa. Keranda yang kudengar didapatnya
dari dasar laut Samudera Biru yang sebenarnya ku
yakini milik Ratu Penguasa Lautan. Entah didapatkan
secara sah atau dia mencurinya. Yang pasti, Keranda
Maut Perenggut Nyawa telah banyak menelan korban.
Rata-rata dari orang golongan lurus yang memiliki il-mu tinggi. Sampai saat ini
yang kuketahui, kalau Han-
tu Seribu Tangan tak memiliki murid atau kambrat.
Dia tetap hidup menyendiri."
"Mengapa kau mencemaskan soal itu?"
"Hantu Seribu Tangan, akan muncul pada bulan
purnama kedua sejak bulan ini. Dia akan banyak me-
nelan korban. Dan setelah ku yakini semuanya, aku
akan membuka ilmu 'Inti Roh Rajawali' yang kuletak-
kan pada kedua rajahan di lengan kanan dan kiri pe-
muda bernama Tirta itu."
Lelaki tua kurus berbaju biru cerah panjang terbu-
ka di bahu kanan itu mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Jari-jemarinya semakin cepat menghitung tas-
bih yang memancarkan sinar putih bening di tangan
kanannya. Lalu katanya, "Mahisa Agni... kita memang sudah
tua untuk kembali ke dunia ramai. Bila yang kau ya-
kini itu benar, aku pun akan menurunkan ilmuku ke-
pada pemuda itu."
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadanya. La-
lu bagaimana dengan muridmu si Manusia Pemarah
itu?" "Kendati sejak pertama kali kutemui di Hutan Sa-
weran Mambang dia sudah memperlihatkan sifat-sifat
pemarah dan keras kepala, sesungguhnya dia berhati
lembut. Bila kita tak mengenalnya secara dekat, maka
kita akan tersinggung. Aku yakin, muridku itu bukan-
lah menjadi penghalang. Bahkan kudengar, kalau dia
menginginkan muridnya yang bernama Ayu Wulan un-
tuk berjodoh dengan si pemuda. Bagaimana menurut-
mu soal perjodohan itu?"
Eyang Mahisa Agni tersenyum.
"Aku tak paham segala soal perjodohan. Bukankah
sampai saat ini aku tidak pernah menikah?"
Ki Sampurno Pamungkas mendengus.
"Apakah secara tidak langsung kau menyindir ku?"
katanya dengan suara ditekan.
Eyang Mahisa Agni kembali tersenyum. Lalu berka-
ta dengan suaranya yang lembut.
"Kalau kau merasa seperti itu, bukan satu halan-
gan bagiku untuk mengatakannya kembali. Berarti, ki-
ta sebenarnya sama-sama tidak tahu soal perjodohan.
Bukankah sebenarnya hal ini telah kita alami pula, kalau secara diam-diam kita
memantau keadaan murid-
mu yang mencintai Kunti Pelangi" Kita tahu kalau ke-
duanya sama-sama keras kepala hingga percintaan
mereka tak pernah bersatu.
Kendati demikian, ku yakini kalau keduanya masih
menyimpan rasa cinta. Dan apa yang bisa kita laku-
kan" Kita tak bisa berbuat apa-apa, bukan" Dan satu
hal lagi. Muridku si Sirat Perkasa pun terlibat cinta se-
pihak dengan Cempaka, murid si Tengkorak Darah. Si-
rat Perkasa tak bisa menerima cinta muridnya si Teng-
korak Darah karena dia hanya menganggap perem-
puan itu tak lebih dari Kunti Pelangi, maksudku di-
anggap sebagai adiknya.
Tetapi rupanya Tengkorak Darah mengetahui kea-
daan itu. Dia datang menjumpai ku dan memaksa se-
gala urusan cinta muridnya dengan muridku. Aku tak
bisa berbuat apa-apa, bahkan tak mungkin kujanjikan
akan mengurusi segala sesuatu soal cinta antara ke-
duanya. Tetapi Tengkorak Darah justru murka dan
menyerangku. Akibatnya pertarungan pun terjadi. Ter-
paksa aku menurunkan tangan karena dia tak mau
mengerti. Tengkorak Darah tewas sementara saat itu
aku luka parah. Sampurno Pamungkas, maksudku
bercerita semua ini, karena aku tak tahu harus memu-
tuskan apa tentang segala perjodohan yang sebenar-
nya secara tidak langsung pun kuinginkan."
Ki Sampurno Pamungkas mengulapkan tangannya.
"Sudahlah. Aku tidak ingin segala urusan cinta jadi memusingkan otak kita yang
sudah menua. Urusan itu
tetap menjadi sebagian rahasia sang Pencipta. Kembali ke soal pemuda itu, aku
pun akan menurunkan ilmu
kepadanya. Sekaligus mengajarkannya untuk meng-
hancurkan Iblis Kubur."
"Bukankah dengan Kitab Pemanggil Mayat urusan
Iblis Kubur bisa diselesaikan?"
"Itu hanya membuang waktu saja. Karena Kitab
Pemanggil Mayat akan diperebutkan kembali oleh
orang-orang di bawah sana. Dan kulihat pemuda itu
tengah membantu muridmu si Kunti Pelangi dari se-
rangan Gumbarda, Manusia Mayat Muka Kuning dan
Dewi Kematian. Sementara Raja Lihai Langit Bumi se-
dang menghadapi serangan Dewi Karang Samudera. Di
lereng Gunung Siguntang, Manusia Pemarah, Dewa
Bumi, dan cucuku si Ayu Wulan sedang menghadapi
Iblis Kubur. Mahisa Agni, dapatkah kiranya muridmu
si Kunti Pelangi itu menghadapi tiga serangan dahsyat tanpa dibantu oleh pemuda
bernama Tirta itu?"
Eyang Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. "Su-
lit baginya untuk bertahan lebih lama. Menghadapi
Gumbarda sebenarnya dia cukup tangguh bisa men-
gimbanginya. Bila saja Gumbarda bersatu dengan ke-
kasihnya, tak akan bisa muridku itu mengatasinya.
Untungnya cucuku sudah datang hingga Sepasang
Pemburu dari Neraka tak bisa bersatu. Tetapi, aku
mengerti maksudmu, Sampurno Pamungkas." Habis
kata-katanya Eyang Sepuh Mahisa Agni mengangkat
tangan kanannya. Mulutnya sejenak berkomat-kamit
lalu ditiupnya tangan kanannya itu. Tiba-tiba saja dis-entakkannya tangannya ke
atas. Sinar putih yang agak
keemasan mencelat ke atas dan menukik ke arah Bi-
dadari Hati Kejam yang sedang melayani serangan Ma-
nusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian. "Den-
gan tenaga tambahan yang barusan kukirimkan, kura-
sa Bidadari Hati Kejam dapat mengatasi lawan-
lawannya. Kini, saatnya membawa pemuda itu ke sini."
Eyang Mahisa Agni berpaling pada Bwana yang se-
jak tadi mendekam.
"Bwana! Kau bawa majikanmu ke hadapan kami!
cepat kau bergerak. Jangan terlambat sedikit juga! Kau hanya kuberikan waktu
sepuluh kali kejapan mata dan
kau harus sudah tiba kembali di sini."
Bwana segera melesat dengan cepat. Koakan ke-
rasnya berkumandang dahsyat. Sentakan kedua
sayapnya yang menimbulkan angin raksasa menimpa
dua sosok tubuh yang tetap berdiri seperti tak menga-
lami gangguan apa-apa.
Kepakan sayap Bwana yang bisa mencabut lima
batang pohon besar sekaligus, hanya dianggap sebagai
hembusan angin belaka oleh kedua tokoh yang disega-
ni itu. Bahkan, sehelai rambut masing-masing pun tak
bergetar terkena terpaan kepakan kedua sayap Bwana!
*** Bab 9 .Ketika percakapan antara dua tokoh tinggi yang
disegani terjadi, Tirta sedang menahan serangan aneh
yang dilakukan si Pengusung Jenazah. Dari gerakan-
nya menahan tadi, dia mencelat ke depan sambil men-
gibaskan Pedang Batu Bintang.
Seketika menghampar sinar keemasan yang sangat
cemerlang sekali. Namun belum lagi dia berhasil mela-
kukannya, mendadak saja pemuda dari Gunung Raja-
wali itu memekik tertahan. Dan segera membuang tu-
buh ke samping tatkala hamparan angin mengerikan
berbau busuk tak ubahnya bangkai menderu ke arah-
nya. Rupanya, Mayang Harum sudah bergerak mem-
bantu setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Heiitt! Konyol juga kau perempuan jelek bau
bangkai! Main serang begitu saja, ya" Bandel!" maki Tirta sambil berjumpalitan
dan melepaskan pukulan
tangan kiri yang telah terangkum tenaga surya.
Mayang Harum mengeluarkan pekikan keras den-
gan sepasang mata melebar yang tak pernah berkedip.
Perempuan yang telah menjadi mayat dan dibang-
kitkan kembali dengan mempergunakan Kitab Pe-
manggil Mayat itu surut lima tindak dengan kengerian
yang sangat tampak.
Sementara itu, si Pengusung Jenazah sudah berse-
ru keras, "Mayang! Mendekat kepadaku! Kita cincang tubuh pemuda ini dengan jurus
'Tebar Maut'!"
Habis kata-kata lelaki tua berpunuk, tangan ka-
nannya dikibaskan ke arah Rajawali Emas. Wuuuttt!
Blammm! Rupanya saat lawan mengibaskan tangan ke arah-
nya, Tirta pun menggerakkan Pedang Batu Bintang
yang sekaligus memapaki derasnya angin yang melun-
cur. Namun kesempatan itu dipergunakan oleh Mayang
Harum untuk mendekati kekasihnya. Begitu tiba di
dekat si lelaki berpunuk, kedua tangan Mayang Harum
diputar ke atas, sementara Gumbarda memutar kedua
tangan ke kiri.
Tirta yang sudah tegak kembali mengerutkan ken-
ing lalu berseru, "Hei! Apa yang kalian lakukan" Apakah kalian sedang mengkhayal
bermain lompat tali"!"
Sepasang Pemburu dari Neraka tak menghiraukan
ejekan orang. Keduanya terus memutar kedua tangan
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke atas dan ke bawah. Beberapa saat berlalu, terlihatlah sinar merah
menggidikkan pada kedua telapak
tangan masing-masing orang. Kejap lain, sinar merah
tebal dan pekat itu berputar seiring gerakan yang dilakukan oleh Sepasang
Pemburu dari Neraka.
Bersamaan hal itu dilakukan, Bidadari Hati Kejam
yang sedang menyerang Manusia Mayat Muka Kuning
dan Dewi Kematian, tiba-tiba tubuhnya menegak. Ka-
ku beberapa saat dengan kedua mata terbeliak. Kepa-
lanya yang rada gepeng dan terdapat sebuah konde di-
rasakan seperti kemasukan sesuatu. Rupanya, tenaga
tambahan yang dilepaskan oleh Malaikat Dewa telah
masuk ke tubuhnya. Seketika si nenek berkonde me-
rasakan tenaganya berlipat ganda. Bahkan ilmu Tepu-
kan Cab Sukma' yang dilepaskan si perempuan berca-
dar dan sejak tadi mengganggu ruang geraknya, kini
sama sekali tak dirasakan. Dengan hebatnya dia
menggebah ke muka dengan senjata pengebut.
Kedua lawannya terkesiap mendapati kekuatan si
nenek berkonde yang berlipat ganda. Lelaki tua be-
rambut busuk dan berwajah kuning surut tiga langkah
ke belakang. Dadanya terhantam jotosan kuat si nenek
berkonde. "Celaka! Mengapa dia tiba-tiba begitu hebat" Kalau sejak tadi jurus 'Rangkai
Bunga Habisi Kumbang' yang
pernah mengalahkanku di Lembah Maut, tak memba-
wa arti banyak menghadapi ilmu Tepukan Cabut Suk-
ma Dewi Kematian, kali ini dia seperti enteng saja
menghadapinya."
Keheranan itu pun melanda Dewi Kematian. Pe-
rempuan bercadar dan berbaju sutera yang memiliki
tubuh montok terutama payudara dan pinggulnya,
bernapas lebih cepat. Gumpalan payudaranya yang in-
dah turun naik bagai mengundang orang untuk me-
megang. "Gila! Apakah si nenek ini mempunyai tenaga sim-
panan?" makinya jengkel. "Padahal aku ingin buru-buru menghabisinya untuk
merebut Kitab Pemanggil
Mayat yang berada di tangan Raja Lihai Langit Bumi
yang sedang bertarung dengan Dewi Karang Samude-
ra. Kulihat, perempuan berbaju hijau tipis itu seperti tak mampu menguasai
pertarungan. Ilmu 'Pengendali
Mata' nya yang aneh tak bisa menandingi kesaktian
Raja Lihai Langit Bumi. Tetapi urusan si nenek ber-
konde ini?"
Rupanya bukan hanya kedua orang itu saja yang
keheranan, Bidadari Hati Kejam sendiri terperangah
ketika menyadari dia tak lagi terganggu oleh tepukan
maut Dewi Kematian Bahkan jurus 'Kabut Kuning'
yang dilepaskan oleh Manusia Mayat Muka Kuning bi-
sa dipecah luruhkah dengan sekali mengibaskan tan-
gan. Mendapati tubuhnya semakin kuat, si nenek ber-
konde tak mau bertindak ayal lagi. Dia pun menyerbu
ke muka. *** Berjarak sepuluh tombak dari sana, Sepasang
Pemburu dari Neraka yang sudah mengerahkan jurus
' Tebar Maut' yang memang biasa dipergunakan berdua pun sudah mencelat ke arah
Rajawali Emas. Sinar merah pekat melingkupi kedua tangan masing-masing.
Gumbarda alias si Pengusung Jenazah menyerang dari
bawah dengan gerakan menyusur tanah. Sementara
Mayang Harum menyerang dari atas.
Namun bertepatan dengan keduanya melompat ke
arah Tirta, mendadak gemuruh angin dahsyat terden-
gar. Membuat apa saja yang ada di bawahnya harus
bertahan untuk tidak tergeser dari kedudukannya. . , Tirta masih sempat
mendongak dan membatin,
"Aneh! Dari mana saja dia" Mengapa baru muncul sekarang?"
Belum lagi keheranan si Rajawali Emas terjawab,
mendadak saja kedua kaki Bwana yang melengkuk ta-
jam mencengkeram kedua bahu si Rajawali Emas.
Dan.... Wuusss! Blarrr! Blarrr!
Bersamaan Bwana membawa terbang tubuh maji-
kannya, dua serangan dari atas dan bawah yang dile-
paskan Sepasang Pemburu dari Neraka menghantam
tanah di mana tadi Tirta berada. Tanah itu langsung
rengkah. Debu-debunya membubung tinggi dan ketika
luruh kembali, tanah tadi sudah membentuk sebuah
lubang sedalam satu tombak dan mengeluarkan asap.
?"Keparat! Lagi-lagi dia bisa meloloskan diri!" geram si Pengusung Jenazah
dengan penuh kemuakan.
"Peduli setan dengan pemuda itu! Yang terpenting, adalah Kitab Pemanggil Mayat
yang berada di tangan
lelaki berbaju dan berselempang kain putih yang se-
dang bertarung dengan murid Tengkorak Darah, Keli-
hatan murid Tengkorak Darah akan kalah dalam tiga
kali gebrakan! Kita harus merebut kitab itu!"
"Tidak! Aku menginginkan kematian perempuan
berkonde yang aku tahu punya hubungan erat dengan
pemuda sialan itu! Bunuh nenek itu!"
Habis kata-katanya, si Pengusung Jenazah mence-
lat dan melepaskan ilmu 'Tebar Maut' nya. Seketika
menghampar sinar merah tebal yang menggidikkan.
Menyusul serangan yang sama yang dilancarkan oleh
Mayang Harum. *** "Bwana! Apa-apaan kau ini" Mengapa kau mem-
bawaku terbang?" seru Tirta yang berada dalam ceng-keraman kedua kaki Bwana.
Burung rajawali raksasa keemasan itu tak menja-
wab. Terus membawa Tirta ke puncak Gunung Sigun-
tang. Lalu melepasnya pada jarak lima tombak di data-
ran yang ada di puncak itu, agak jauh dari lubang
yang menganga lebar.
Sigap Tirta mempergunakan ilmu peringan tubuh-
nya yang segera dipadukan dengan tenaga surya.
Hingga dengan entengnya tubuhnya pun hinggap di
dataran yang cukup diselimuti kabut tebal.
"Bwana! Mau apa;... Oh!" seruan Tirta pada Bwana yang sudah mendekam pada jarak
dua tombak di sebelah kanannya terputus tatkala sepasang matanya me-
nangkap dua sosok tubuh yang tegak berdiri meman-
dangnya. " Aneh! Aku belum jelas apa maksud Bwana membawaku ke sini" Dan
siapakah dua orang tua
yang berdiri tegak memandangku?" batin si pemuda seketika lalu melanjutkan,
"Apakah....Hmm... menurut Bwana, yang meminta ku datang ke sini adalah Eyang
Sepuh Mahisa Agni. Sebelumnya, aku pun pernah
mendengar perintah dari orang di balik angin yang ku
yakini Eyang Sampurno Pamungkas dan menyuruhku
untuk datang ke Gunung Siguntang. Apakah keduanya
adalah...." Memutus kata-kata hatinya sendiri, Tirta segera menjatuhkan tubuh
bersujud. 'Terimalah sujud ku ini, Eyang berdua...." Dua sosok tubuh yang berdiri dan
memandangnya yang tak
lain adalah Eyang Sepuh Mahisa Agni dan Ki Sampur-
no Pamungkas saling pandang.
Eyang Sepuh Mahisa Agni membuka suara, "Cucu-
ku Tirta. Bukankah kau selama ini menginginkan un-
tuk berjumpa denganku" Nah! Kini kau sudah berha-
dapan denganku."
Menyambung kata-kata si Malaikat Dewa, Manusia
Agung Setengah Dewa membuka suara, "Dan saat percakapan kita terjadi belum lama
ini, kau pun meng-
hendaki untuk bertemu denganku, bukan" Akulah Ki
Sampurno Pamungkas."
Masih bersujud Tirta membatin "Benar dugaanku
kalau keduanya adalah orang-orang yang selama ini
sangat ingin kukenal. Mereka telah berada di sini. Dan aku yakin, Bwana
diperintah untuk membawaku ke
sini. Tetapi, dengan maksud apa" Bukankah saat ini
Guru sedang dalam kesulitan" Bisa jadi Sepasang
Pemburu dari Neraka pun mengeroyoknya."
"Tak usah mengkhawatirkan soal gurumu itu, Cu-
cu ku. Dia telah kuberi tenaga tambahan hingga bisa
mengatasi serangan yang datang!" Terdengar kata-kata Eyang Sepuh Mahisa Agni
yang membuat Tirta terce-kat. "Hebat! Eyang Guru bisa mengetahui kata-kataku
padahal kuucapkan dalam hati," batinnya lagi. Lalu katanya, "Kalau Eyang berdua
adalah orang-orang
yang selama ini ingin ku jumpa, mengapa tak segera
menyuruhku untuk berdiri. Kepalaku sudah sakit dan
pinggangku sudah terasa pegal."
Eyang Sepuh Mahisa Agni cuma tersenyum men-
dengar selorohan si pemuda, sedangkan Ki Sampurno
Pamungkas hanya mendengus.,
"Berdiri!" serunya dengan suara ditekan. Tirta segera berdiri dan menggeliatkan
pinggulnya. Dia nyengir sesaat.
"Cucuku...," kata Eyang Sepuh Mahisa Agni sambil menatap lekat pada si pemuda.
"Seperti kau ketahui, saat ini orang-orang penuh ambisi dan dendam telah
bermunculan. Hanya tiga orang yang menjadi momok
cukup mengerikan. Karena, masing-masing mempu-
nyai kelebihan dari kalian. Mereka adalah Iblis Kubur dan Sepasang Pemburu dari
Neraka. Kini, ku beban-kan tugas kepadamu untuk menghentikan sepak ter-
jang mereka."
Tirta melotot mendengar kata-kata Malaikat Dewa.
"Eyang Guru! Aku tahu kalau mereka sangat sulit
dikalahkan. Karena aku pernah bertarung pula dengan
masing-masing. Masa' iya sih kau tega membiarkan
cucumu yang ganteng ini jadi makanan empuk manu-
sia-manusia itu?"
"Selain mempunyai jiwa kependetaan yang tinggi,
pemuda ini termasuk konyol juga," kata Malaikat Dewa dalam hati. Lalu meneruskan
kata-katanya, "Sudah tentu kami tak akan membiarkan engkau menjadi bulan-bulanan
mereka. Sekarang dengar baik-baik. Tu-
gas sudah kami embankan. Apakah kau meneri-
manya?" Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu katanya tegas, "Baik! Aku menerima tugas itu!"
"Bagus!" ganti Manusia Agung Setengah Dewa yang berkata. "Itu namanya kau
menjunjung tinggi jiwa ke-pendekaran. Sekarang duduklah bersila."
Tak tahu apa maksud orang tua berbaju biru pan-
jang yang terbuka di bahu kanan, si Rajawali Emas
duduk. ... "Pejamkan kedua matamu!"
Masih tak mengerti apa maunya orang, Tirta me-
mejamkan kedua matanya. Di depan, Manusia Agung
Setengah Dewa melipat kedua tangannya di depan da-
da. Saat ini, matahari sudah semakin menurun. Pun-
cak Gunung Siguntang diliputi kegelapan dan hawa
dingin mencekam.
Tubuh Manusia Agung Setengah Dewa tiba-tiba
bergetar dan mendadak saja keringat sebesar biji ja-
gung berlelehan di seluruh tubuhnya. Tiba-tiba terlihat lontaran sinar warna
biru pekat dari ubun-ubun kepala dan menyentak masuk ke ubun-ubun, kepala si pe-
muda yang duduk bersila berjarak dua tombak di mu-
ka. Tubuh Tirta sejenak melengak. Sesaat kemudian
dirasakan hawa panas yang mengaliri sekujur tubuh-
nya. Hampir saja dialirkan tenaga surya untuk mena-
han hawa panas itu bila saja tak terdengar suara Ki
Sampurno Pamungkas, "Tutup jalan tenaga surya di tubuhmu! Biarkan hawa panas itu
merambati sekujur
tubuhmu." Segera ditutupnya tenaga surya yang berpusat pa-
da pusarnya. Namun akibatnya dari duduk bersila ta-
di, kini Tirta terguling ke belakang menahan rasa sakit yang mendadak mendera.
Perutnya. bagai diaduk-aduk
oleh tenaga yang sangat kasar. Jantungnya bagai dipe-
ras kuat-kuat. Paru-parunya bagai dirobek sembilu
yang sangat tajam.
Namun rasa sakit yang membuatnya mengejang
dan bergulingan itu, tak sekali pun keluar erangan da-ri mulutnya. Bwana yang
memperhatikan mengelua-
rkan suara mengkirik, tetapi segera terdiam ketika dilihatnya Malaikat Dewa
mengangkat tangan tanda agar
Bwana berdiam. Siksaan yang dirasakan Tirta itu pun berangsur-
angsur menghilang. Dari mengejang tubuhnya dan
bergulingan, dengan anehnya tubuh si pemuda kemba-
li duduk bersila. Dan seperti habis melakukan perjalanan sangat jauh tanpa makan
dan minum, si pemuda
merasakan keletihan yang luar biasa.
"Atur nafasmu perlahan," kata Ki Sampurno Pamungkas sambil tersenyum.
Perlahan-lahan Tirta mengatur jalan nafasnya. Dan
mendadak saja keletihan itu menghilang, berganti ke-
bugaran yang belum pernah dirasakannya. Dengan
kening berkerut diangkat kepalanya menatap Manusia
Agung Setengah Dewa.
"Eyang Sampurno Pamungkas.... Apakah yang te-
lah Eyang lakukan tadi kepadaku?"
"Cucuku...," sahut Eyang Sampurno Pamungkas.
"Aku baru saja memindahkan sebagian tenaga dalam-ku kepadamu dengan ku padukan
pada ilmu simpa-
nan ku 'Penolak Sejuta Racun'. Mulai sekarang jenis racun apa pun tak akan
memberi pengaruh apa-apa
kepadamu. Kendati demikian di dunia ini ada beberapa
racun yang sangat ganas. Bila tubuhmu tak bisa me-
nolak secara langsung, maka pergunakan ilmu
'Penolak Sejuta Racun' dengan cara mengusapkan ke-
dua telapak tanganmu bergantian. Bila kedua tangan-
mu sebatas lengan berwarna kehitaman, maka ilmu itu
sudah bekerja. Aka juga telah mengalirkan satu tenaga luar biasa padamu. Bila
dipadukan dengan tenaga
surya, maka setiap kali kau melakukan pukulan keku-
atanmu menjadi tiga kali lipat. Ilmu itu disebut
'Matahari Rangkul Jagat'. Ilmu ini sangat berbahaya,
Cucuku. Kau harus mempergunakannya dengan ber-
hati-hati."
"Maafkan aku, Eyang. Bagaimana caranya agar aku
bisa mempergunakan ilmu 'Matahari Rangkul Jagat'"
Dan apa akibatnya?"
Manusia Agung Setengah Dewa tersenyum.
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gerakkan kedua tanganmu pada arah yang berla-
wanan di depan dada. Tangan kanan masuk ke kiri
dan begitu pula sebaliknya. Setelah itu tahan nafasmu di dada. Kau akan melihat
apa yang terjadi. Mengenai
akibatnya... tanpa kau padukan dengan tenaga surya
tubuhmu akan memancarkan cahaya terang dan men-
geluarkan hawa panas yang luar biasa. Kau bisa mem-
bayangkannya sendiri bila kau padukan dengan tenaga
surya?" Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Diden-
garnya lagi Ki Sampurno Pamungkas berkata, "Kekuatan manusia mayat yang telah
dibangkitkan kembali
terletak pada kedua ibu jari kakinya. Bila kau berhasil menekannya, maka
setengah dari tenaganya akan
lumpuh. Bila kau mematahkannya, maka dia akan
mati kembali"
"Apakah setelah itu dia bisa dibangkitkan kembali
dengan Kitab Pemanggil Mayat?"
"Tidak salah. Berarti, kau harus mendapatkan ki-
tab itu dan menjaganya."
Tirta menganggukkan kepalanya. Lalu nyengir pa-
da Eyang Sepuh Mahisa Agni, "Eyang Guru! Aku per-misi dulu!"
Malaikat Dewa tersenyum bijak. Tatapannya tetap
teduh dengan suara yang terdengar tetap lembut.
"Tirta..,. Apakah selama ini kau tidak bertanya-
tanya mengapa aku membuat rajahan sepasang bu-
rung rajawali di lengan kanan dan kirimu?"
Mendengar ucapan orang, seketika Tirta mengang-
kat kedua lengannya yang berajah burung rajawali
berwarna keemasan. Menatapnya beberapa saat, lalu
mengangkat kepalanya dan menggeleng-geleng.
"Rajahan di kedua lenganmu itu bukan rajahan bi-
asa. Merupakan sebuah pangkal letak ilmu yang telah
kuberikan kepadamu."
"Ilmu apakah itu, Eyang Guru?"
"Ilmu itu belum kubuka, karena aku masih mem-
punyai tugas untukmu." Lalu seperti yang diceritakan pada Ki Sampurno Pamungkas,
Eyang Sepuh Mahisa
Agni menceritakan pada Rajawali Emas. "Berhati-
hatilah dalam menghadapi Hantu Seribu Tangan. Ka-
rena, dia memiliki sebuah benda yang disebut Keranda
Maut Perenggut Nyawa. Tugas sudah ku embankan
kembali di pundakmu. Sekarang dengar baik-baik. Di
kedua rajahan burung rajawali di tangan kanan dan
kirimu, telah kusimpan ilmu yang disebut 'Inti Roh Rajawali'. Ilmu langka yang
sangat dahsyat. Karena kau bisa melepaskan dua ekor burung rajawali berbentuk
roh dari kedua tanganmu."
"Oh! Bagaimana aku bisa melakukannya, Eyang
Guru?" "Mendekatlah. Dan ulurkan kedua tanganmu." Tirta melakukan yang diperintahkan
Eyang Sepuh Mahi-
sa Agni. Lelaki tua bersorban dan berbaju putih yang
penuh dengan sulaman bunga api itu menotok kesepu-
luh jari Tirta yang merasakan sakit dan nyeri luar biasa. Bahkan bukan hanya
tulang-tulang pada kesepu-
luh jarinya yang terasa linu. Tetapi pada tulang di seluruh tubuhnya. Ditahannya
sampai mengeluarkan
keringat cukup deras.
Setelah beberapa saat, Malaikat Dewa meniup ke-
dua telapak tangan Tirta.
"Ilmu 'Inti Roh Rajawali' bisa kau pergunakan. lakukan dengan cara memutar
tanganmu ke atas, lalu
bawah dan kembali ke atas. Setelah itu, kau usapkan
dua tanganmu satu sama lain. Dan tangan kanan kau
usapkan pada lengan kirimu, begitu pula sebaliknya!
Kau bisa melihat apa yang kemudian terjadi. Lakukan-
lah". Dengan agak gemetar dan hati yang cukup ciut,
Tirta melakukan apa yang diperintahkan Lelaki ber-
sorban putih itu.
Mendadak saja, tubuhnya mundur tiga tindak ke
belakang ketika dua bayangan raksasa keluar dari ke-
dua rajahan di tangan kanan dan kirinya.
Bayangan raksasa yang besarnya seperti Bwana itu
melayang-layang tanpa mengeluarkan suara. Tirta me-
natap takjub tak berkedip.
"Keduanya sangat patuh dan bisa kau perintahkan
apa saja! Sekarang, cara mengembalikannya. Tepuk-
kan kedua tanganmu lagi. Lalu usapkan seperti kau
memanggilnya."
Setelah Tirta melakukan seperti itu, kedua bayan-
gan rajawali itu menghilang dan melesat masuk.
"Eyang Guru!" serunya dengan napas tertahan dan
wajah memerah. "Bagaimana mungkin di kedua tan-
ganku ini mendekam dua roh rajawali raksasa?"
"Saat ini, aku belum bisa mengatakannya. Kelak,
aku akan mengatakannya."
"Mengapa Bwana kelihatan tenang saja" Tak ada
rasa kejut sedikit pun juga?"
"Pertanyaanmu itu akan kujawab kelak. Sekarang,
kau kuberi tahu cara menghentikan sepak terjang Se-
pasang Pemburu, dari Neraka. Kelemahan mereka se-
benarnya, jangan membuat mereka sampai bersatu.
Bila bersatu, sangat sulit mengalahkannya. Di samping itu, kesaktian mereka
terletak pada punggung bagian
bawah. Di atas pinggang sedikit. Bila kau berhasil
mematahkan tulang punggung keduanya, maka mere-
ka akan mati! Sekarang, kembalilah ke kancah perta-
rungan! Ingat, Hantu Seribu Tangan akan muncul ke-
lak. Cari dia, jangan sampai dia menemuimu lebih du-
lu." "Di mana aku harus mencarinya, Eyang?"
"Di sebuah tempat yang bernama Gua Seratus
Laknat. Ajaklah gurumu si Bidadari Hati Kejam serta."
"Begitu pula dengan Manusia Pemarah yang seka-
rang menjadi saudara seperguruanmu," menyambung
Eyang Sampurno Pamungkas. "Karena, perjalanan ini sangat panjang dan mengerikan.
Keduanya akan membantumu, karena. kau pun akan berlindung pada
mereka." Tirta mengeluh dalam hati.
"Bisa berabe urusan bila pergi bersama Guru dan
Manusia Pemarah. Tetapi, perintah sudah kuterima.
Aku harus melakukannya."
"Berhati-hatilah, Cucuku...."
Usai kata-katanya, lenyaplah tubuh Eyang Sepuh
Mahisa Agni, menyusul lenyap pula tubuh Ki Sampur-
no Pamungkas. Tirta segera menjatuhkan tubuh bersujud.
"Titah Eyang berdua, akan segera kujalankan."
Setelah itu, dia melompat ke punggung Bwana.
"Bawa aku turun, Bwana!"
*** Bab 10 Begitu tubuh Bwana menukik, Tirta segera melom-
pat dan hinggap tak jauh dari pertarungan antara Iblis Kubur dengan Manusia
Pemarah, Dewa Bumi, dan Ayu
Wulan. Ketiga orang itu sudah berusaha sekuat mungkin
untuk mengatasi manusia sesat yang semakin men-
gamuk itu. Lereng Gunung Siguntang telah porak-
poranda. Pepohonan tak lagi nampak. Semua tercabut
dan terpapas. Dinding Gunung Siguntang sudah me-
napakkan bongkahan-bongkahannya.
Ayu Wulan yang sebenarnya sejak tiba di tempat
itu sudah ingin menemui pemuda yang diam-diam di-
cintainya, segera melompat mundur dan mendekat be-
gitu dilihatnya pemuda itu muncul di dekatnya. Di
tangan kanan si gadis tergenggam sebuah cambuk
yang dipergunakan untuk menyerang Iblis Kubur tadi.
"Kang Tirta!" serunya dengan wajah yang mendadak memerah.
Tirta cuma nyengir saja.
"Apa kabarmu, Ayu?"
"Aku.... Baik, baik-baik saja!" "
"Bagus! Kupikir kau sakit. Kalau sakit kan aku bi-sa membopong mu."
Wajah Ayu Wulan semakin memerah. "Apakah
dengan kata-katanya itu Kang Tirta sebenarnya men-
cintai ku" Oh! Apakah dia masih ingat kata-kata Guru
yang menginginkan aku berjodoh dengannya" Tetapi,
aku telah berjanji pada Dewa Bumi untuk tidak terlalu tenggelam dalam perasaan
cinta." Di depan sana, Manusia Pemarah yang sebenarnya
sudah terkuras tenaganya membentak, "Pemuda keb-
luk! Mengapa kau diam saja, hah" Ke mana tadi kau
pergi" Kulihat kau disambar burung raksasa yang se-
dang terbang berputaran di atas" Bikin pusing kepala
saja suaranya yang berisik itu!"
"Wah! Kenapa aku yang jadi kena sasaran sih"
Kek! Apakah kau tidak mau membantu kekasihmu
yang sedang kerepotan menghadapi orang-orang cela-
ka itu!" "Sontoloyo! Bicara apa kau, hah" Ku sobek mulut-
mu!" maki Manusia Pemarah namun.... "Keparat busuk!" makinya sambil membuang
tubuh karena rantai besar Iblis Kubur sudah menderu ke arahnya.
Tirta cuma tertawa saja. Lalu mencelat ke muka.
Langsung dikerahkannya tenaga surya yang dipadu-
kan dengan ilmu baru yang didapatnya dari Manusia
Agung Setengah Dewa. Ilmu 'Matahari Merangkul Ja-
gat'. Mendadak saja tubuhnya seperti menyala, terang-
benderang dan menebarkan hawa yang sangat panas.
Tumbuhan yang tumbuh di sana langsung mengering.
Sejenak Tirta gelagapan mendapati apa yang terjadi
pada dirinya. "Luar biasa. Ilmu ini benar-benar sangat mengerikan. Entah apa yang akan terjadi
bila ku hantamkan
pada lawan. Tetapi menghadapi Iblis Kubur, ilmu ini
memang sangat patut digunakan."
Segera pemuda ini menggebah ke arah Iblis Kubur
yang sedang mencecar manusia buntal berjuluk Dewa
Bumi. Anehnya, tak ada angin yang keluar sama sekali
Tetapi terlihat dorongan cahaya panas yang sangat te-
rang. Terdengar gerengan kuat dari Iblis Kubur. Mulut,
nya terbuka dan seketika keluar angin yang mengge-
bubu menggidikkan, mencoba menahan sekaligus
mematahkan serangan Tirta. Namun....
Desss! Dewa Bumi, Manusia Pemarah, dan Ayu Wulan hal
nya memperhatikan dengan rasa terkejut. Di samping
merasakan perubahan hawa yang mendadak sangat
panas seperti neraka, juga karena sejak tadi mereka
menyerang, tak sekali pun melihat Iblis Kubur mun-
dur. Tapi kali ini Iblis Kubur mundur beberapa lang-
kah menghindari pukulan aneh yang dilontarkan si
pemuda. Dewa Bumi membatin kagum, "Luar biasa! Tenaga
apa yang dipergunakan pemuda itu hingga tubuhnya
menyala terang-benderang seperti itu?"
"Peemmudaa lakknaath! Illmuu iittu miillik Saam-
puurrnoo Paamunngkaass! Kaataakaann ddii maanaa
diiaa beerraddaa!" suara Iblis Kubur menghentak, dingin, serak, dan dalam.
Kali ini Tirta dengan jurus 'Matahari Rangkul Ja-
gat' yang membuat tubuhnya seperti menyala itu su-
dah tidak banyak bicara lagi. Kedua tangannya yang
sangat panas terus berusaha untuk mendapatkan ibu
jari kaki Iblis Kubur.
Menggereng hebat lelaki berbaju hitam kusam den-
gan kedua rantai di kaki dan di tangan. Dengan gera-
kan aneh diangkat kedua kakinya.
Sraaangngng! Rantai besi panjang menggebah, menyusur tanah
dan mengarah pada Tirta. Pemuda dari Gunung Raja-
wali itu tidak menghindar dan seolah tidak merasakan
rantai Iblis Kubur yang menghajar tubuhnya. Malah
pemuda yang bertubuh terang-benderang itu terus me-
rangsek ke arah kaki musuh.
"Sejak tadi tak ada yang menyerang kaki. Baru terbuka mata hati ini. Kalau ibu
jari kaki manusia laknat di depan, merupakan kelemahan yang tak terlihat!"
bersuara Dewa Bumi dengan nada yang berayun-ayun.
Lalu menghisap cangklong besarnya yang tak menge-
luarkan usap namun saat dihembuskan keluar asap
yang menebarkan aroma wangi.
Manusia Pemarah yang memperhatikan serangan
si Rajawali Emas selalu mengarah pada kedua ibu jari
Iblis Kubur pun melihatnya. Seketika dia menggebah
dengan pukulan 'Sinar Ungu' yang mengerikan. Me-
nyusul Dewa Bumi dengan jurus 'Sinar Dewa' dan
asap wangi yang dihembuskannya. Sementara Ayu
Wulan yang memang sudah kehabisan tenaga, hanya
duduk menjauh memperhatikan pertarungan itu. Da-
lam hatinya, dia berdoa agar pemuda yang dicintainya
tak mengalami celaka yang membahayakan.,
Mendapati kelemahannya diketahui lawan, Iblis
Kubur mengkelap dengan wajah bertambah pucat.
Dengan gerakan yang-sangat cepat dan menimbulkan
gemuruh, dia berusaha menghindari serangan yang
mengarah pada kedua ibu jari kakinya.
Namun ketiga lawannya yang telah mengetahui ke-
lemahannya berhasil mendesak. Dan....
Wuuttt! Crok! Crokkk! Tirta sudah menukik dengan gerakan yang sangat
cepat Bersamaan dengan itu menghampar sinar kee-
masan di tangan kanannya. Rupanya dia sudah men-
cabut Pedang Batu Bintang dan segera dibacokkan pa-
da kedua ibu jari Iblis Kubur.
Melolong setinggi langit manusia mayat yang di-
bangkitkan itu saat kedua ibu jarinya terpisah dan
mental entah ke mana setelah dibacok oleh Tirta. Seketika tubuhnya ambruk dan
bergulingan. Rantai besar
panjang di kedua tangan dan kakinya menimbulkan
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara yang sangat nyaring. Dan jatuh berdebam di le-
reng Gunung Siguntang. Terkapar dengan kedua mata
terbuka dan tangan dan kaki melebar. Manusia itu
mati untuk kedua kalinya.
Tamat sudah riwayat Iblis Kubur," desis Tirta sambil memasukkan Pedang Batu
Bintang ke warang-
kanya. Seketika itu juga tubuh Tirta sudah kembali
seperti, semula. Sinar terang-benderang di sekujur tubuhnya sudah lenyap seiring
jurus 'Matahari Merang-
kul Jagat' yang tidak dipergunakan lagi. Kejap lain Tirta sudah berkelebat ke
arah Bidadari Hati Kejam
sambil berseru, "Kalian beristirahatlah!"
"Sontoloyo!" maki Manusia Pemarah geram. Lalu mendumal dalam hati, "Apakah aku
sudah terlalu tua hingga untuk bernapas pun sangat susah?" Dan dia semakin
menggeram ketika mendengar suara Ayu Wulan yang cemas, "Guru! Bantulah Kang
Tirta!" "Sontoloyo! Mengapa kau tidak segera memban-
tunya, hah"!" bentak si Manusia Pemarah sementara Dewa Bumi hanya tersenyum saja
sambil menghisap
cangklong besarnya yang aneh.
Ayu Wulan cuma menundukkan kepalanya. Lalu
perlahan-lahan melirik Dewa Bumi yang kelihatan
mengangguk. Seperti menemukan apa yang diha-
rapkannya, gadis berbaju putih dengan sulaman bun-
ga mawar pada bagian dada kiri itu sudah berkelebat
menyusul si pemuda dari Gunung Rajawali.
*** Sementara itu, ketika mendengar lolongan keras
Iblis Kubur dan mendapati tubuh Iblis Kubur ambruk
bergulingan tak berkutik, perempuan berbaju hijau ti-
pis dengan rambut keperakan itu menegang wajahnya.
"Celaka! Seluruh rencanaku untuk meminta ban-
tuan Iblis Kubur guna membalas sakit hati pada lelaki keparat ini gagal! Dan aku
sendiri tak sanggup untuk
menghadapinya lebih lama lagi! Ilmu 'Pengendali Mata'
ku seakan tak banyak membawa arti. Raja Lihai Langit
Bumi yang sudah tahu kelemahan ilmu 'Pengendali
Mata' ku tak mempergunakan tenaga dalamnya. Be-
nar-benar sialan! Kitab Pemanggil Mayat tak bisa
kuambil kembali! Lebih baik minggat daripada nyawa
putus!" Raja Lihai Langit Bumi sejak tadi sebenarnya tidak
menyerang sepenuh hati. Karena lelaki bijaksana itu
tahu kalau kemarahan dan dendam yang menggunung
di hati Dewi Karang Samudera yang bernama asli
Cempaka harus dimusnahkan bukan dengan jalan ke-
kerasan, melainkan dengan kelembutan. Makanya dia
tidak menyerang sepenuh hati. Padahal bila dia men-
ginginkannya sejak tadi Dewi Karang Samudera yang
sudah kehilangan bentuk penyerangannya bisa dilum-
puhkan! "Tidakkah kau mau menyadari 'kalau tindakanmu
selama ini salah, Cempaka?" tanya Raja Lihai Langit Bumi sambil menghindari
terjangan sinar putih bening
yang dilepaskan oleh Dewi Karang Samudera.
Perempuan berambut keperakan itu mendengus
dengan menindih rasa cemas di dadanya.
"Sirat! Untuk kedua kalinya aku mengaku kalah!
Tetapi ingat, jalan masih panjang di antara kita!"
"Cempaka!"
Tetapi Dewi Karang Samudera sudah melesat men-
jauh dengan membawa sejuta dendam yang bertambah
menggunung pada Raja Lihai Langit Bumi.
Sementara lelaki berbaju putih dengan selendang
yang terselempang dari bahu kanan hingga kepinggang
kirinya menarik napas panjang. Sangat disesalinya si-
kap Dewi Karang Samudera yang tak mau menghenti-
kan segala urusan dendam.
"Cempaka....Sampai kapan kau akan didera oleh
dendammu yang berkepanjangan" Apakah kau tidak
tahu kalau dirimu justru akan binasa oleh dendammu
itu?" Lelaki bijaksana itu mengusap janggut putihnya.
Lalu menatap Kitab Pemanggil Mayat yang sejak tadi
berada di tangan kanannya. '
"Kitab inilah sumber dari segala petaka. Siapakah sekarang yang berhak
memegangnya" Apakah harus
kumusnahkan" Tetapi sangat sayang, karena kitab ini
termasuk jenis kitab yang langka."
Lalu ditengadahkan kepala menatap langit yang ke-
lam. Dipenuhi dengan gumpalan awan hitam.
"Aku tak pernah tahu, sampai kapan Cempaka
akan menyimpan dendamnya kepadaku."
Dan perlahan-lahan ditolehkan kepalanya ke arah
Bidadari Hati Kejam yang sedang bertahan sekaligus
menyerang empat terjangan itu. Ketika Raja Lihai Lan-
git Bumi memutuskan untuk membantu, dilihatnya
satu bayangan keemasan melesat dan mengarah pada
lelaki tua berpunuk dan perempuan yang menebarkan
bau busuk seperti bangkai yang sedang menyerang
dengan hamparan sinar merah menggidikkan.
Menyusul dilihatnya seorang gadis yang tak lain
Ayu Wulan adanya yang tiba-tiba menghentikan lang-
kahnya. Dan berdiri kaku dengan tatapan yang redup.
*** Bab 11 Begitu meluncur, si Rajawali Emas langsung men-
garahkan serangannya pada punggung Sepasang Pem-
buru dari Neraka. Sebenarnya, saat ini Bidadari Hati
Kejam tak mengalami desakan yang terlalu hebat.
Dengan tenaga tambahan yang dikirimkan Malaikat
Dewa, dia bisa bertindak lebih cepat. Kendati demi-
kian, serangan Sepasang Pemburu dari Neraka lah
yang cukup menyulitkannya. Terutama ilmu 'Tabur
Maut' yang dimiliki kedua orang itu.
Begitu dilihatnya tubuh Tirta mencelat dan mende-
ru ke arah punggung Sepasang Pemburu dari Neraka,
masing-masing orang yang diserang memutar tubuh
dan tak menginginkan punggungnya di hajar.
"Hei! Jangan berbalik"!",seloroh si Rajawali Emas.
Lalu dengan mempergunakan kecepatannya, dia terus
mencecar kedua punggung masing-masing lawan dan
membawanya agak terpisah dari pertarungan Bidadari
Hati Kejam menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning
dan Dewi Kematian.
"Gumbarda! Tiba-tiba pemuda ini tahu kelemahan
kita!" seru Mayang Harum dengan wajah pucat dan
mata tak pernah berkedip. Berulang kali dia mencelat
dengan memutar tubuh, menghindari sambaran lawan
pada punggungnya.
Gumbarda mengeluarkan dengusan tinggi.
"Tak mungkin secepat itu pemuda ini bisa menge-
tahui letak kelemahan kita! Dan tak seorang pun yang
mengetahuinya. Kecuali... Malaikat Dewa!" sahut
Gumbarda alias si Pengusung Jenazah.
"Setan keparat! Dugaanmu kalau begitu sangat te-
pat, mengenai si pemuda yang ada hubungannya den-
gan Malaikat Dewa!"
"Peduli setan! Dialah yang setiap kali selalu menghalangi rencana kita!"
Selagi Sepasang Pemburu dari Neraka berbicara
dengan menyentak, keras, dan penuh kegugupan ka-
rena setiap kali harus menghindarkan punggung me-
reka dari serangan Tirta, pemuda ini sudah menderu
cepat Tenaga surya dilepaskan ke arah Mayang Harum
yang memang menciut ketakutan karena di dalam tu-
buhnya tidak ada hawa dingin seperti yang dimiliki
oleh Gumbarda. Sementara tangan kanannya melepas
pukulan 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa' ke arah
Gumbarda yang memekik keras.
Lelaki berpunuk ini memekik tertahan mendapati
hamparan angin dahsyat melabrak ke arahnya. Namun
Tirta yang tak mau bertindak ayal sudah menyusup
kembali dengan cepat. Dan....
Des! Lelaki berpunuk itu melengak dan terhuyung ke
belakang tatkala dadanya dengan telak terhantam pu-
kulan Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'. Saat terhuyung
dari mulutnya muncrat darah kental yang menghitam.
Mendapati kekasihnya dihajar orang, perempuan
berbaju hitam yang menebarkan bau sangat busuk itu
pun mencelat ke muka. Memang itulah yang ditunggu
Tirta sebenarnya. Begitu Mayang Harum menderu, si
pemuda dengan pencalan satu kaki, memutar tubuh
Melompat dan melewati tubuh Mayang Harum. Saat
itu juga, selagi masih berputar, tangan kanannya di-
hantamkan pada tulang punggung di atas pinggang
sedikit di tubuh Mayang Harum.
Bukkk! Prak! "Aaaakhhh!"
Terdengar tulang punggung perempuan itu patah
bersamaan dengan pekikan setinggi langit. Gerakan-
nya jadi tertahan dan seketika perempuan itu jatuh
tersungkur. Menimbulkan suara keras dan menggebah
debu-debu yang tertimpa tubuhnya.
Si Pengusung Jenazah yang merasa dadanya seper-
ti remuk terhantam pukulan si pemuda tadi, tak mem-
pedulikan rasa sakitnya lagi. Dengan teriakan meng-
guntur dia memburu ke arah kekasihnya yang tengah
bergulingan dengan gerengan liar mengerikan.
"Mayang Haruuum!"
Lelaki berpunuk itu cepat menangkap gerakan liar
kekasihnya. Di pangkunya kepala perempuan berbau
bangkai itu dengan rasa dendam, amarah, sedih dan
galau menjadi satu. Kedua matanya menyipit dengan
tubuh gemetar saat mendengar suara lirih penuh te-
kanan dengan kedua mata terbuka dari kekasihnya.
"Bunuh pemuda itu! Hidupkan aku kembali, Gum-
barda!" Terputus kata-katanya dan matilah perempuan itu
untuk kedua kalinya. Gumbarda menggigil sejadi-
jadinya dengan kedua tangan terkepal. Lalu dihentak-
kan kepala dan berteriak keras, memecah seantero
tempat dan seolah menembusi kepekatan malam yang
hanya dibantu sinar bulan belaka.
Perlahan-lahan dia berdiri sambil membopong
mayat kekasihnya. Matanya tajam, menyiratkan sejuta
dendam pada Rajawali Emas yang telah berdiri tegak
dengan kedua kaki dipentangkan.
"Ada tibanya kekalahan dan akan datang saat ke-
menangan. Kita berjumpa lagi kelak!" suara si Pengusung Jenazah menggeram. Lalu
dengan sekali sentak,
mayat kekasihnya telah diusungnya di atas pundak.
Anehnya, mayat itu tetap lurus kaku dan tak menjun-
tai. Lalu.... Wuuuttt! Dalam sekali berkelebat saja, tubuh si Pengusung
Jenazah sudah berlalu dari sana.
Tirta menarik napas panjang. "Seharusnya aku
memberi pelajaran pada si Pengusung Jenazah. Akan
tetapi, aku bukanlah orang kejam yang menurunkan
tangan pada orang yang sudah tak berdaya."
Ketika Tirta membalikkan tubuhnya untuk me-
nyaksikan pertarungan antara Bidadari Hati Kejam
menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewa
Kematian, di sana sudah berdiri Raja Lihai Langit Bu-
mi tetap dengan senyum bijaksananya. Di sebelah ka-
nan berdiri Manusia Pemarah yang mementangkan ke-
dua kaki dengan tatapan melotot gusar. Di sebelahnya, hanya setinggi ketiak si
Manusia Pemarah, berdiri De-wa Bumi dengan tubuhnya yang buntal seperti bola,
asyik menghisap cangklong besarnya.
"Guru! Mengapa kau m asih bertindak ayal" Apa-
kah karena sudah tua kau jadi tidak bisa bergerak ce-
pat"! seru Tirta sambil menyatukan kedua tangan di
depan mulut. Bidadari Hati Kejam menoleh sambil terus menye-
rang. "Bocah kebluk! Enak-enakan dia mengejek ku di
hadapan banyak orang! Urusan kedua manusia ini
urusan ringan sekarang! Ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'
perempuan bercadar sutera yang menebarkan bau me-
rangsang itu tak membawa arti apa-apa! Tubuhnya
sudah berkali-kali kuhajar tetapi dia rupanya memiliki ketahanan yang kedot
juga. Sialan! Bikin malu! Dadanya yang montok kencang itu berayun-ayun setiap
kali dia bergerak! Bikin mata para lelaki tua keparat yang berada di sini
semakin melotot saja! Dan... lebih sialan lagi! Ternyata baju sutera di bagian
pinggulnya sudah sobek besar! Memperlihatkan bungkahan pan-tatnya yang besar
menggairahkan! Keparat! Biar kuha-
bisi sekarang! Tetapi, Manusia Mayat Muka Kuning
terlebih dulu!"
Sejak diberi tenaga tambahan oleh Malaikat Dewa,
Bidadari Hati Kejam memang lebih banyak menguasai
pertarungan yang sebenarnya cukup melelahkan. Be-
rulang kali senjata pengebutnya menghantam lelaki
muka kuning yang sudah pias wajahnya dan merasa
yakin tak akan mampu bertahan lebih lama. Kendati
dia telah menciptakan ilmu penangkal jurus pengebut
milik si nenek berkonde, tetapi semakin lama tena-
ganya semakin berkurang sementara tenaga si nenek
berkonde seperti berlipat ganda.
Hingga diputuskan untuk melarikan diri dari sini.
Saat si nenek berkonde menyerangnya kembali, Manu-
sia Mayat Muka Kuning melompat ke arah Dewi Kema-
tian. Dan segera menyambar, tangan perempuan mon-
tok yang payudara dan pinggulnya nyata-nyata terlihat sekarang.
Lalu.... Wusss! Dengan gerakan yang sangat cepat sekali, Manusia
Mayat Muka Kuning melarikan diri seraya menarik
tangan Dewi Kematian. Bidadari Hati Kejam yang me-
Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat sikap licik lawannya, segera bergerak mengi-
baskan senjata pengebutnya.
Wrrrrr! Bergulung hamparan angin panas dengan gerakan
yang luar biasa kencangnya. Dewi Kematian yang be-
rada di belakang Manusia Mayat Muka Kuning me-
nangkap isyarat kematian yang siap menderanya. Dia
tak mau mati konyol. Maka dengan segera dilepaskan
tangannya dari genggaman tangan lelaki muka kuning,
lalu mengempos tubuhnya ke samping. Bergulingan di
tanah dengan debu gunung. Tak dihiraukan kalau se-
luruh tubuhnya menjadi kotor.
Manusia Mayat Muka Kuning melengak begitu me-
nyadari kalau perempuan bercadar sutera itu mele-
paskan pegangannya. Tak menghentikan larinya dia
menoleh ke belakang. Tetapi....
Wrrrr! Prak! Prak! "Aaaakhhhh!"
Tubuh Manusia Mayat Muka Kuning terpental de-
ras ke depan. Suara tulang patah terdengar yang be-
rasal dari tulang iga dan paha kanannya. Lelaki be-
rambut bau busuk itu terguling menjerit kesakitan.
Dewi Kematian melesat dan berdiri tegak pada sisi
Manusia Mayat Muka Kuning yang masih kesakitan.
Sepasang matanya di balik cadar suteranya membulat.
"Hhhh! Manusia ini sebentar lagi akan mampus!
Bukan urusanku sekarang! Aku harus menyelamatkan
diri!" Tak dihiraukannya juluran tangan Manusia Mayat
Muka Kuning yang meminta bantuannya. Perempuan
bertubuh montok menggiurkan itu sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Dewi...," suara Manusia Mayat Muka Kuning pa-rau dan detik berikutnya tubuhnya
menggigil. Lalu di-
gigitnya bibirnya menahan rasa sakit yang mendera.
Kejap lain, nyawanya sudah menghilang.
*** "Bocah kebluk! Urusan apa kau mengejek ku,
hah?" maki Bidadari Hati Kejam sewot pada si Rajawali Emas. Tirta cuma nyengir
saja. "Guru! Apakah kau tidak malu marah-marah ke-
padaku selagi ada Manusia Pemarah di sini?"
"Setan kebluk! Urusan apa dengan lelaki tua jelek yang pemarah itu, hah"!"
bentak si nenek berkonde sambil melirik Manusia Pemarah yang sudah melotot.
"Sontoloyo! Kau masih mengatakan aku jelek, Kun-
ti" Apakah kau sendiri tidak jelek?" sambar lelaki tua berkuncir itu dengan
wajah ditekuk. Tirta tertawa, lalu mengulapkan tangannya sebe-
lum terjadi keramaian yang lebih panjang. Dicerita-
kannya kalau dia baru saja bertemu dengan Eyang Se-
puh Mahisa Agni dan Ki Sampurno Pamungkas. Juga,
diceritakan pula tugas yang diemban di pundaknya se-
karang. . "Raja Lihai Langit Bumi! Kau mempunyai ilmu
'Peraba Sukma'! Katakan di mana adanya Gua Seratus
Laknat...?" sentak Bidadari Hati Kejam pada lelaki berwajah bijaksana.
Raja Lihai Langit Bumi hanya tersenyum. "Seumur
hidupku, aku baru mendengar sebuah tempat yang
bernama Gua Seratus Laknat. Dan tentunya sulit ba-
giku untuk menentukan di mana gua itu berada," sa-hutnya dengan suara yang
bijak. Bidadari Hati Kejam mendengus. Sebelum dia
mengumbar kata-kata, terdengar suara Dewa Bumi
yang tetap berayun-ayun, "Mengapa harus saling men-duga, kalau tak ada yang
tahu" Lebih baik silakan me-
langkah untuk mencari tahu."
"Manusia buntal jelek!" sengat Bidadari Hati Kejam.
Dewa Bumi hanya terkekeh-kekeh saja sambil
menghisap cangklongnya yang besar. Lalu katanya,
"Kulihat ada bayang-bayang mendekat. Rasanya hati ini pun melekat. Seorang nenek
berbaju dari kulit harimau berwarna putih, dengan seorang gadis berwajah
bulat berbaju putih. Juga tiga murid datang mengha-
dap, yang seorang dilanda cinta yang kuat. Aku tak ingin membuat kecewa, biar
kusongsong mereka." Lalu kepalanya yang seakan tanpa leher itu ditolehkan ke
arah Ayu Wulan. 'Gadis manis.... Belum saatnya cinta
terbalas, kelak masih ada saat menjawab. Gurumu
hendak pergi bersama Rajawali Emas. dan Bidadari
Hati Kejam. Silakan ikut aku ke Pesanggrahan Mestika
dan kita songsong lima orang yang baru datang. Tiga
orang dari mereka, murid-murid nakal yang ku
punya." Lalu tanpa menghiraukan yang berada di sa-na, Dewa Bumi sudah melangkah
dengan gerakannya
yang lucu. Ayu Wulan menarik napas panjang, Sejak menden-
gar kata-kata Rajawali Emas tadi, hatinya sudah ne-
langsa. Ingin rasanya dia meminta diajak serta. Tetapi, nampaknya tugas yang
diemban oleh Tirta sangat berat, Entah apa yang bisa dilakukannya sekarang"
Tirta yang melihat kegalauan di hati gadis itu, per-
lahan-lahan mendekat.
"Ayu... aku tahu kau memikirkan soal perjodohan
itu, bukan" Tidak usah terlalu sering memikirkannya.
Kelak, kita akan bisa menemukan jawabannya. Apa-
kah kita harus bersatu, ataukah harus berpisah sela-
manya." Kata-kata Tirta yang sebenarnya lebih banyak un-
tuk menyenangkan gadis itu membuat Ayu Wulan ter-
senyum. Matanya mengerjap berkali-kali. Wajahnya
semakin membiaskan pesona kecantikan ditimpa sinar
bulan. "Kang Tirta... mudah-mudahan kita bertemu lagi,"
katanya. Lalu menoleh pada Manusia Pemarah, "Guru, tolong jaga Kang Tirta."
Tanpa menunggu sahutan gurunya Ayu Wulan sudah berlari menyusul Dewa Bumi
yang tengah menyongsong lima orang yang dikatakan-
nya tadi. "Sontoloyo!" dengus Manusia Pemarah namun di-am-diam bisa dirasakan pula
kedukaan di hati murid-
nya. Terdengar suara bijak Raja Lihai Langit Bumi,
"Tirta... di tanganku berada Kitab Pemanggil Mayat.
Kurasa hanya engkaulah yang pantas memilikinya."
"Guru... perjalanan yang akan kulakukan bersama
Guru Bidadari Hati Kejam dan Kakek Manusia Pema-
rah, kupikir bukanlah perjalanan ringan. Tanpa men-
gurangi rasa hormatku, maukah Guru menjaga kitab
itu untukku?"
Salah seorang guru si Rajawali Emas itu terse-
nyum. "Baiklah. Kitab ini akan kupegang."
Habis kata-katanya sosok Raja Lihai Langit Bumi
berkelebat lenyap dari pandangan. Yang tinggal, hanya tiga orang yang terdiam
dalam kepekatan malam.
Di sebelah timur Gunung Siguntang, seorang dara
berbaju merah sedang menahan gelegak di dadanya.
Seorang gadis berbaju biru menenangkannya.
"Kuatkan hatimu, Andini. Barangkali, kali ini kau memang belum dikehendaki Yang
Maha Kuasa untuk
bersama Rajawali Emas."
"Tetapi...."
Gadis berbaju biru merangkulnya. "Tabahkan ha-
timu." Tak jauh dari sana, Ayu Wulan yang berdiri tegak
sambil memperhatikan kedua gadis itu mendesah pen-
dek, 'Tentunya gadis yang berbaju merah itulah yang di maksud oleh Dewa Bumi
kalau sedang kasmaran
pada Kang Tirta. Melihat sikapnya, dia terlalu dalam
mencintai Kang Tirta."
Lalu dilihatnya dara berbaju biru yang tak lain
adalah Nandari mengajak gadis berbaju merah yang
tak lain Andini untuk berlalu dari sana. Ada keinginan yang kuat di hati Andini
untuk menoleh dan berlari
mendapati Rajawali Emas yang sudah melangkah ber-
sama Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah. Te-
tapi ditahan semua perasaan dan keinginannya den-
gan hati galau.
Ratu Harimau Putih dan muridnya Marbone, telah
meninggalkan tempat itu setelah mendengar kata-kata
Dewa Bumi tentang Dewi Karang Samudera melarikan
diri. Sedangkan Wisnu hanya diam memperhatikan sa-
ja. Lalu perlahan-lahan semuanya termasuk Ayu Wu-
lan, bergerak mengikuti langkah Dewa Bumi yang ber-
jalan dengan tangan kiri berada di belakang dan tan-
gan kanan menghisap cangklong besarnya. Asap yang
menebarkan bau wangi pun menyebar.
SELESAI RAJAWALI EMAS Segera terbit!!! Serial Rajawali Emas dalam episode:
KERANDA MAUT PERENGGUT NYAWA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lola Ariatna
Perawan Titisan Peri 1 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Pendekar Kelana 1