Pencarian

Hantu Seribu Tangan 2

Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan Bagian 2


kannya untuk melangkah dengan ringan.
*** Bab 5 "Kek! Kupikir padang yang membentang di ha-
dapan kita ini adalah Padang Seratus Dosa!!" terdengar seruan itu di penghujung
Hutan Seratus Kematian sebelah utara. Cukup keras menggema karena suasana
sunyi menggiriskan. "Kau lihat sendiri, bukan" Padang
itu begitu tandus dan gersang!"
"Sontoloyo!" sahutan keras bernada membentak itu terdengar dari mulut seorang
lelaki tua berpakaian putih kusam yang berdiri di sebelah kanan orang yang
pertama tadi bicara. Rambutnya yang putih tergerai
dihembus angin panas. Kumis dan jenggot putihnya
yang cukup panjang bergerak saat dia membentak.
Dan semakin bergerak tatkala bentakannya terdengar
lagi, "Apa kau pikir aku buta hingga tak tahu apa yang kulihat di hadapanku ini"
Jangan samakan aku dengan Mata Malaikat! Orang tua dungu yang hanya gara-
gara cinta mau mengorbankan segalanya!!"
Gadis berpakaian merah muda yang bersuara
pertama tadi merengut. Kendati demikian, dia justru
kelihatan bertambah cantik. Dara berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang
berambut panjang ini, mengenakan sebuah kalung yang justru melingkar di kepa-
lanya dan tepat di tengah keningnya sebuah berlian
berkilau bertengger.
"Kek! Apa selama ini kau tak pernah berkata
pelan tanpa melotot terus-terusan kayak begitu?" sentak si gadis yang tak lain
Dewi Berlian adanya. Setelah berjalan beberapa lama bersama si kakek berkuncir
yang tak lain Manusia Pemarah, dia sudah tidak bersi-
kap canggung lagi. Lalu sambungnya, "Apa mulutmu akan sariawan kalau kau tidak
membentak"! Dan ma-ta jelek mu itu mendadak jadi buta kalau kau tidak
melotot"!"
Manusia Pemarah mendengus mendengar kata-
kata gadis di sebelah kirinya. Dialihkan pandangannya lagi ke hamparan padang
tandus yang membentang di
hadapannya. Matanya agak menyipit karena panas
yang sangat menyilaukan.
Dewi Berlian jadi gemas karena pertanyaannya
yang sekaligus dimaksudkan untuk mengejek lelaki
tua berkuncir ini diacuhkan saja. Dengan mulut men-
gembung yang segera disentakkan, si gadis berseru la-
gi, lebih keras, "Kek! Kau dengar tidak kata-kataku ta-di"!" "Sontoloyo! Urusan
dengar atau tidak urusan belakangan! Urusan aku mau membentak dan melotot
urusan belakangan! Sekarang urusan yang ada di de-
pan kita yang harus dipikirkan!" sahut Manusia Pemarah dengan mata melotot.
Dewi Berlian merajuk. Tetapi pada dasarnya dia
memang bukan gadis manja, maka sebentar saja dia
merajuk. Dan sepasang matanya yang jernih kembali
dipentangkan ke depan sekarang.
Terdengar lagi ucapan Manusia Pemarah, tetap
dengan nada membentak, "Kau benar, Bocah Ayu. Tak salah lagi, Padang Seratus
Dosa yang membentang di
hadapan kita ini. Benar-benar kapiran! Apa yang dika-
takan Dewi Bulan, gurumu itu, ternyata benar
adanya!" "Kalau memang kau membenarkan kata-kata
tadi. Perjalanan menuju ke Goa Seratus Laknat sema-
kin dekat. Ayo, Kek! Aku sudah tidak sabar untuk me-
lihat orang yang berjuluk Hantu Seribu Tangan yang
telah membunuh kedua orangtua ku!! Dan aku yakin,
kau mau membantuku untuk membalaskan sakit hati
kedua orangtua ku yang tak pernah kulihat wajahnya,
bukan?" "Aku juga ingin tahu seperti apa rupa manusia
sontoloyo itu yang puluhan tahun lalu telah banyak
mencabut nyawa orang-orang sakti baik dari golongan
hitam maupun golongan putih! Tetapi... eh!" tiba-tiba Manusia Pemarah memutus
kata-katanya sendiri dan
seketika mengalihkan pandangan pada Dewi Berlian
yang mengerutkan keningnya.
Kejap lain murid Dewi Bulan ini sudah bersua-
ra, "Jangan melotot seperti itu!"
"Yang kau katakan tadi apa tidak salah?"
Sesaat si gadis tergugu tak mengerti, lalu ter-
dengar suaranya lagi, "Apanya yang salah" Aku memang mau mencari orang yang
telah membunuh ke-
dua orangtua ku?"
"Bukan mencari Rajawali Emas yang kau ce-
maskan?" Wajah Dewi Berlian memerah di'tembak' seperti
itu. Apa yang dikatakan si kakek memang benar. Ka-
rena di sudut hatinya yang paling dalam, asmara telah merebak. Asmara yang
membuatnya cemas dan sangat
merindukan Rajawali Emas. Tetapi hanya sesaat Dewi
Berlian tergugu, di kejap lain dia sudah membuka mu-
lut, "Kau ini keterlaluan, Kek! Kenapa jadi urusan itu yang dibawa-bawa" Mau
kucari dia atau tidak kan bukan urusan mu!"
"Huh! Sontoloyo! Mau berdusta pula"! Tetapi
urusan cinta atau tidak urusan belakangan! Cuma sa-
ja aku tak mau kau menjadi dungu seperti Mata Ma-
laikat yang rela menyiksa diri, bersumpah memejam-
kan kedua matanya hanya gara-gara cinta tolol hingga
saat ini! Rajawali Emas memang patut dicintai oleh gadis-gadis sepertimu! Sama
halnya dengan muridku.
Huh! Suatu saat, aku akan memperkenalkan muridku
yang kuinginkan berjodoh dengan Rajawali Emas!
Hmm,... Bocah Ayu! Aku melihat kelebatan kuning dari
Padang Seratus Dosa dan mengarah ke tempat kita ini.
Aneh! Kalau kebanyakan orang menghendaki melalui
Padang Seratus Dosa untuk tiba di Goa Seratus Lak-
nat, mengapa orang berpakaian kuning... hei! Dia juga mengenakan topeng perak
yang menutupi wajahnya"
Aneh! Mengapa orang itu justru kembali ke Hutan Se-
ratus Kematian" Apa yang terjadi" Apakah dia sudah
tiba di Goa Seratus Laknat" Atau dia tersesat di Pa-
dang Seratus Dosa dan memutuskan untuk kembali ke
Hutan Seratus Kematian?"
Dewi Berlian yang merasa heran mendengar ka-
ta-kata Manusia Pemarah tadi tentang muridnya,
urung membuka mulut tatkala melihat bayangan kun-
ing yang dimaksudkan oleh Manusia Pemarah.
Di lain kejap, didengarnya suara Manusia Pe-
marah berkata cukup cepat dan keras, "Bocah Ayu, kau bersembunyi sekarang! Aku
ingin tahu siapa
orang itu?"
"Apa-apaan sih, Kek" Bilang saja perempuan
itu kekasihmu hingga kau tak ingin aku mengenalnya!
Huh! Ada lakon lucu di hadapanku sekarang ini!!"
Kendati bersungut-sungut, Dewi Berlian berke-
lebat pula ke balik ranggasan semak belukar sebelah
kanan. Sementara itu, lelaki tua berkuncir itu mende-
gus dengan mata yang terus melotot. Lalu dialihkan
pandangannya lagi pada sosok perempuan berbaju
kuning dan bertopeng perak yang semakin mendekat
Manusia Pemarah sengaja menunggu di tempat
yang agak terbuka. Perempuan berbaju kuning cemer-
lang yang tak lain Dewi Topeng Perak adanya sudah
melihat Manusia Pemarah yang seperti menunggu.
"Kapiran! Kalau tak salah, manusia jelek yang
melotot itu berjuluk Manusia Pemarah! Hhh! Dari si-
kapnya seperti itu, jelas dia menunggu kedatanganku!
Percuma pula bila ku hindari diri dari hadapannya!
Lebih baik menemuinya!"
Dalam dua tarikan napas saja, Dewi Topeng Pe-
rak sudah tiba di hadapan Manusia Pemarah dan ber-
diri berjarak tiga tombak. Lelaki berkuncir yang mem-
punyai kebiasaan selalu membentak dengan mata yang
selalu melotot mengeluarkan suara.
"Perempuan bertopeng perak! Kau datang dari
Padang Seratus Dosa! Tetapi kembali lagi ke Hutan Se-
ratus Kematian ini! Urusan apa yang membuatmu
kembali, hah" Apakah kau sudah tak punya nyali un-
tuk meneruskan langkah ke Goa Seratus Laknat"!
Atau kau tersesat hingga tak menemukan goa itu"!"
Mengkelap wajah di balik topeng perak men-
dengar ejekan orang. Sambil menindih rasa gusar yang
dalam, perempuan bertopeng perak ini berkata, "Jangan asal membuka mulut! Semua
yang kulakukan adalah urusanku!"
"Sontoloyo! Aku bertanya baik-baik kau malah
marah-marah! Apa kau ingin ku gampar"!"
Di balik ranggasan semak, Dewi Berlian yang
tadi sedang memperhatikan dalam-dalam perempuan
bertopeng perak itu, kali ini menekap mulutnya agar
tak mengeluarkan tawa. Apa yang dikatakan oleh Ma-
nusia Pemarah tadi cukup lucu sebenarnya. Dia bilang
bertanya baik-baik, tetapi diucapkan dengan nada
membentak dan mata melotot!
Sementara itu, Dewi Topeng Perak menggeram
dalam hati, "Untuk saat ini aku tak mau terlibat urusan dengan si Manusia
Pemarah. Tak ada salahnya bi-
la kukatakan apa yang terjadi. Tetapi tidak, aku perlu menimbang beberapa hal.
Sebaiknya, kukatakan sa-ja...." Setelah menemukan apa yang hendak dikatakannya,
Dewi Topeng Perak berucap seraya maju se-
langkah, "Manusia Pemarah! Kau boleh mengatakan
aku pengecut! Tetapi, jangan sampai kudengar untuk
yang kedua kalinya! Aku memang tak meneruskan
langkah menuju Goa Seratus Laknat karena urusanku
sudah selesai untuk sementara sampai di sini!"
"Katakan, apa yang kau ketahui tentang Goa
Seratus Laknat?" seru si Manusia Pemarah tetap dengan nada membentak dan mata
melotot. "Aku tak tahu tentang goa yang kau tanyakan,
karena aku belum sampai di sana."
"Apakah kau bertemu dengan sesuatu atau se-
seorang dalam perjalananmu menuju Goa Seratus
Laknat?" Dewi Topeng Perak tertawa sumbang.
"Hanya orang bodoh yang mau mendatangi
tempat ini. Tidak, aku tidak berjumpa dengan siapa
pun juga kecuali dirimu sekarang ini, Manusia Pema-
rah. Juga orang yang bersembunyi di balik ranggasan
semak belukar itu!"
Sementara Dewi Berlian yang bersembunyi di
balik ranggasan semak terkejut, Manusia Pemarah
hanya bersikap tenang-tenang saja. Seolah kata-kata
yang penuh ejekan yang dilontarkan oleh Dewi Topeng
Perak hanya angin lalu.
Lalu dia berkata, "Perempuan bertopeng perak!
Segala ucapanmu saat ini ku benarkan! Kendati salah,
itu urusan belakangan! Cepat tinggalkan tempat ini
sebelum ku gampar!"
Benar-benar mengkelap Dewi Topeng Perak di-
buatnya. Dadanya yang membusung itu bergerak tu-
run naik. Tangan kanannya terkepal. "Benar-benar kapiran manusia sialan ini!
Tetapi tak ada gunanya
mencari urusan dengannya. Yang ku hendaki hanya-
lah menunggu waktu untuk membayar seluruh hutang
ku kepada Mata Malaikat. Juga Sandang Kutung yang
tak pernah kusangka kalau dia adalah Dewi Segala
Impian, perempuan keparat yang menjadi saingan ku!"
Habis membatin begitu, dia berkata sambil ter-
tawa berderai, "Memang tak perlu kita perpanjang se-
gala urusan membuang waktu ini. Kuucapkan selamat
jalan untukmu menuju Goa Seratus Laknat. Dan se-
moga... kau menemui ajalmu di sana, Lelaki Tua Pe-
marah!!" Wussss!! Tangan kanan Manusia Pemarah sudah berge-
rak dan seketika menghampar angin cukup kencang.
Tetapi sosok perempuan bertopeng perak itu sudah le-
nyap dari pandangannya. Dan ranggasan semak belu-
kar di belakang di mana tadi Dewi Topeng Perak berdi-
ri, terpapas ujungnya hingga rata.
"Sontoloyo! Ingin rasanya menghajar perem-
puan sialan itu! Tetapi, urusan menghajar atau tidak
urusan belakangan! Bocah Ayu! Apakah kau lupa jalan
keluar dari ranggasan semak belukar itu" Atau... kau
sedang mempergunakan kesempatan untuk mem-
buang hajat"!"
Dewi Berlian berdiri dengan bersungut-sungut.
Masih bersungut-sungut dia melangkah keluar.
"Kek! Kau ini tidak pernah sopan rupanya seu-
mur hidupmu, ya" Bicaramu suka ngaco meskipun
aku tahu kau baik hati! Tetapi, suaramu yang selalu
membentak dan matamu yang selalu melotot, terka-
dang bikin jengkel juga!"
"Benar-benar sontoloyo! Baru kali ini aku dile-
cehkan oleh anak gadis! Huh! Kalau saja aku tidak te-
ringat pada muridku yang sebaya dan secantikmu ini,
sudah ku tinggalkan kau di sini?"
"Kenapa tidak ditinggal saja?" tantang Dewi Berlian. Dan dia tahu sekali kalau
Manusia Pemarah
tak akan melakukan perbuatan itu.
"Sontoloyo! Kupikir jalan denganmu lebih baik
ketimbang si nenek berkonde! Tidak tahunya lebih pa-
rah! Ayo, Bocah Ayu! Kita terobos padang tandus itu!!"
Tanpa menunggu jawaban Dewi Berlian, Manu-
sia Pemarah sudah mendahului bergerak. Dewi Berlian
pun menyusul dengan bersungut-sungut, meninggal-
kan tempat yang dihembusi angin dingin dan kesu-
nyian yang cukup mencekam.
*** Gadis berpakaian biru ketat yang menampak-
kan busungan dadanya dan cuatan pinggulnya, meng-
hentikan larinya di sebelah timur Hutan Seratus Ke-
matian. Wajahnya yang jelita nampak begitu tegang,
dengan sepasang mata yang mengerjap berulang-ulang
seolah menutupi kesedihan yang melanda hatinya. Di-
tarik nafasnya , berkali-kali. Sekujur tubuhnya dipe-
nuhi keringat yang perlahan-lahan diusapnya dengan


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung tangannya.
Gadis yang tak lain Dewi Kembang Maut
adanya, kembali menarik napas panjang. Sungguh, dia
sama sekali tak menyangka kalau seluruh jalinan pe-
ristiwa yang dialaminya berakhir demikian.
Ternyata orang berpupur putih yang mengaku
bernama Sandang Kutung adalah gurunya sendiri.
Dan teka-teki yang selama ini selalu mengganggu ha-
tinya, mengapa gurunya memerintahkan untuk mela-
cak jejak Mata Malaikat sekaligus membunuh orang
tua yang selalu memejamkan kedua matanya itu, ter-
nyata karena sebuah asmara lalu yang tersisa.
Tetapi, mengapa kalau gurunya sudah mening-
galkan Mata Malaikat, masih berkeinginan untuk men-
carinya" Yang bisa diraba oleh gadis berpakaian biru
ini, kalau gurunya bermaksud menanyakan tentang di
mana Hantu Seribu Tangan berada. Kalau begitu,
orang itulah yang sekarang berada di balik tabir semua
ini. Dewi Kembang Maut yang kelihatan lelah dan
sedih itu melangkah dan duduk di sebuah pohon yang
tinggi dan rindang. Diselonjorkan kedua kakinya yang
terasa pegal. Perubahan udara yang panas di Padang Sera-
tus Dosa dan udara sejuk di Hutan Seratus Kematian
cukup membuatnya merasa lebih nyaman sekarang.
"Guru... mengapa justru merahasiakan semua
ini" Mengapa Guru menyuruhku kembali?" desis si gadis dengan wajah murung.
Pandangannya redup me-
natap kejauhan, tanpa tahu apa yang ditatapnya.
Digeleng-gelengkan kepalanya seakan hendak
membuang segala kegundahan di hatinya.
"Tidak! Aku tak akan pernah kembali! Lebih
baik, aku menjauh dari hutan ini sekaligus menjauh-
kan diri dari Guru! Guru telah membohongi ku! Secara
tidak langsung Guru telah menyakiti ku tanpa mau
menjelaskan alasan yang pasti!"
Kembali si gadis menarik napas panjang. Diin-
gatnya selama tujuh belas tahun dia hidup bersama
Dewi Segala Impian. Pertanyaan yang mendadak mun-
cul di hati gadis ini sekarang, tentang dirinya sendiri.
Sampai saat ini gurunya memang tak pernah menceri-
takan siapa dirinya kendati berulang kali dia bertanya pada gurunya. Yang dia
tahu, kalau dia sudah hidup
bersama gurunya.
"Guru... aku sebenarnya bisa menerima semua
ini. Tetapi, aku merasa telah kau bohongi. Mengapa
kau menghendaki nyawa Mata Malaikat" Mengapa"
Kalaupun demikian, mengapa tadi kau tak membu-
nuhnya" Kau justru mencoba untuk membunuh si ne-
nek berkonde yang berjuluk Bidadari Hati Kejam. Ada
apa ini, Guru" Ada hubungan apa sebenarnya kau
dengan Hantu Seribu Tangan?" si gadis terdiam beberapa saat.
Sepasang matanya menyorotkan sinar sedih,
memandang kejauhan seolah sengaja menenggelamkan
diri dalam kehampaan. Setelah menarik napas dia ber-
kata lagi, lebih pelan, "Maafkan aku. Guru. Untuk saat ini, aku tak bisa
memenuhi permintaanmu. Bahkan,
aku tak akan menemuimu lagi. Entah kalau Yang Ma-
ha Kuasa menuntun ku kepadamu lagi. Yang kuingin-
kan sekarang, membuka tabir siapa diriku sebenar-
nya...." Memutuskan demikian, si gadis yang tengah gundah diiringi rasa kesal
terhadap, gurunya sendiri
berdiri. Di buangnya napas kuat-kuat seakan hendak
menyingkirkan kegundahan di hatinya. Lalu ditariknya
udara segar melalui hidung dalam-dalam.
Namun belum lagi dia melaksanakan niat,
mendadak saja telinganya mendengar suara orang ber-
cakap-cakap. Kejap berikutnya, Dewi Kembang Maut
sudah melompat ke balik semak.
*** Percakapan yang didengarnya tadi semakin la-
ma semakin mendekat. Dengan hati-hati sekali Dewi
Kembang Maut menyibakkan sedikit semak di mana
dia bersembunyi. Seketika dia mendengus pelan meli-
hat siapa orang yang bercakap-cakap itu.
"Hmmm... aku ingat pemuda yang berbaju pu-
tih itu. Kalau tak salah, julukannya Pendekar Judi.
Pemuda yang muncul bersama seorang gadis yang ber-
juluk Dewi *** 6 Berlian saat aku dikalahkan oleh Rajawali
Emas tatkala memaksanya untuk mengatakan ke ma-
na perginya Mata Malaikat. Tetapi siapa gadis berpa-
kaian ringkas biru kehitaman itu" Ke mana perginya
gadis yang hendak mengejarku tetapi ditahan oleh Ra-
jawali Emas?"
(Untuk mengetahui peristiwa di mana Dewi
Kembang Maut dikalahkan oleh Rajawali Emas lalu
munculnya Pendekar Judi dan Dewi Berlian, silakan
baca: " Mata Malaikat").
Orang yang muncul itu memang Pendekar Judi.
Sementara dara berpakaian biru kehitaman dengan
rambut dikepang dua itu adalah Angin Racun Barat,
murid dari Iblis Cadas Siluman.
Kedua orang itu menghentikan langkah dan
memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi dengan ja-
jaran pohon tinggi dengan dedaunan yang rimbun.
Berjarak sekitar dua puluh tombak, keduanya melihat
padang tandus yang sangat luas.
Terdengar pertanyaan Angin Racun Barat tanpa
mengalihkan pandangan ke depan, "Kang Ca-
kra... apakah padang itu yang disebut Padang Seratus
Dosa?" Pendekar Judi memandang ke depan sejenak, lalu mengalihkan pandangannya
pada Angin Racun
Barat dan menganggukkan kepalanya.
"Kupikir, memang tempat itulah yang disebut
Padang Seratus Dosa, Diah."
Angin Racun Barat yang bernama Diah Srinti
mengalihkan pandangan pada pemuda tampan yang
berdiri di sisinya. Sesaat dirasakan gemuruh hatinya
yang mendadak bertalu-talu. Tetapi buru-buru ditin-
dihnya rasa galau yang muncul tiba-tiba.
"Kang Cakra... kita gagal mengikuti jejak Manu-
sia Pemarah dan Dewi Berlian yang telah membuka
mata kita kalau ada orang yang menyamar sebagai di-
rimu. Rasanya, lebih baik kita meneruskan langkah
saja." Dewi Kembang Maut yang mendengarkan per-
cakapan itu mengerutkan keningnya.
"Ada orang yang menyamar sebagai Pendekar
Judi" Hmm... siapakah orang itu" Apakah Pendekar
Judi yang pertama kali kulihat saat aku dikalahkan
oleh Rajawali Emas adalah Pendekar Judi palsu?" Sesaat gadis berbaju biru ketat
itu terdiam, menimbang
dan berpikir keras. Kejap lain, dia sudah mendengus.
"Kurang ajar! Aku yakin, keduanya tahu kalau aku bersembunyi di sini. Dan gadis
yang dipanggil Diah itu sengaja membuka ucapan sebagai pancingan agar aku
muncul. Keparat!"
Berpikir seperti itu, Dewi Kembang Maut me-
lompat keluar dari balik ranggasan semak. Tepat ber-
diri tiga tombak di hadapan Pendekar Judi dan Angin
Racun Barat. Masing-masing orang memandang ke arah Dewi
Kembang Maut yang sedang menyipitkan kedua ma-
tanya dan bersuara angker.
"Kita berjumpa lagi di sini, Pendekar Judi! Uru-
sanku dengan Rajawali Emas rasanya harus kau yang
menyelesaikan!!"
Murid Malaikat Judi yang pernah dipecundangi
oleh Iblis Seribu Muka yang memendam pada gurunya
itu menarik napas panjang. Sambil memandang gadis
yang berdiri di hadapannya yang mementangkan ke-
dua kakinya, Pendekar Judi mendesah dalam hati.
"Kata-kata gadis ini barusan jelas menandakan
kalau dia pernah berjumpa denganku, sementara aku
sama sekali tak merasa berjumpa dengannya. Kalau
begitu, siapa lagi kalau bukan Iblis Seribu Muka yang menyamar sebagai diriku
yang pernah berjumpa dengannya" Sulit rasanya menerangkan tentang itu, se-
perti yang pernah terjadi pada Dewi Berlian. Masih untung Manusia Pemarah bisa
menemukan jalan keluar
kendati suaranya selalu gusar, membentak dan penuh
kemarahan. Rasanya, aku harus berhati-hati biar tak
ada salah pengertian." Lalu dengan suara pelan penuh persahabatan, Pendekar Judi
berkata, "Nona berbaju biru. Kau sudah mengetahui siapa aku. Tentunya kau
bertanya siapa gadis di sebelah ku ini, bukan?"
"Urusan yang akan kita selesaikan, tak ada
urusannya dengan gadis itu! Persetan kau mau menga-
takannya atau tidak"!" sentak Dewi Kembang Maut dengan mata disipitkan.
Mengkelap wajah Angin Racun Barat menden-
gar kata-kata yang melecehkannya. Tetapi sebelum dia
membuka mulut dan bergerak, tangan kanan Pendekar
Judi sudah terentang menghalangi tubuhnya. Perbua-
tan itu hanya disambut dengusan saja oleh Dewi Kem-
bang Maut, sementara Angin Racun Barat menindih
kegeramannya. "Kendati kulihat kau tak merasa ada penting-
nya atau tidak mengenai gadis di sebelah ku ini, aku tetap akan mengatakannya.
Gadis ini bernama Diah
Srinti atau yang dikenal dengan julukan Angin Racun
Barat. Siapa kami adanya telah kau ketahui. Tak salah bukan bila kami ingin tahu
siapa engkau sebenarnya?"
Dari wajah dingin yang dihiasi dengan bunca-
han kemarahan, kening gadis berpakaian biru ketat itu mengerut.
"Aneh! Dia seperti melupakan siapa aku"
Hmm... apakah yang dikatakan gadis di sebelahnya ta-
di benar kalau ada yang menyamar sebagai Pendekar
Judi?" Untuk sesaat Dewi Kembang Maut terdiam. Tetapi mengingat dia pernah
dikalahkan oleh Rajawali
Emas dan melihat kehadiran Pendekar Judi di sana,
juga untuk melampiaskan kegundahan sekaligus kege-
ramannya akibat peristiwa yang cukup membuatnya
luka di Padang Seratus Dosa, murid Dewi Segala Im-
pian ini sudah menerjang dengan tangan kanan lurus
ke muka. Wuuuuttt! Pendekar Judi yang tak mau urusan menjadi
panjang karena diyakininya urusan ini hanya kesalah-
pahaman belaka, melompat ke samping kanan.
Praaakkk! Batang pohon di belakang Pendekar Judi sem-
pal dan sebagian daun pohon itu berguguran terhan-
tam sambaran angin serangan gadis berpakaian biru
ketat. Bersamaan dengan itu, Dewi Kembang Maut
membalikkan tubuh. Dan menyusulkan satu serangan
berikutnya pada Pendekar Judi.
Lagi-lagi Pendekar Judi memutuskan untuk
menghindar. Akibatnya....
Blaaarrr!! Semak belukar yang ada di belakangnya terca-
but hingga ke akar dan beterbangan entah ke mana.
Kali ini Pendekar Judi agak terkejut mendapati seran-
gan yang lebih mengerikan dari yang pertama.
"Gadis ini benar-benar memiliki bara dendam
yang tinggi. Entah ada urusan apa dia sebelumnya
dengan Pendekar Rajawali Emas yang banyak dibica-
rakan orang. Tetapi melihat pancaran kemarahan di
kedua matanya yang sepertinya terbersit keraguan,
aku menangkap kalau gadis ini sebelumnya telah
mengalami peristiwa yang membuat hatinya luka. Se-
baiknya... hei!!"
Pendekar Judi tercekat tatkala melihat Angin
Racun Barat sudah menggebrak dengan teriakan ting-
gi, "Rupanya kau tak pernah mau mendengar kata-
kata orang lain! Baik! Akan kulayani dirimu sampai
sekian ratus jurus!!"
Mendapat serangan orang, Dewi Kembang Maut
yang sebenarnya hanya hendak melampiaskan kegun-
dahan di hatinya menerjang pula dengan tak kalah
dahsyat. Dua orang gadis yang bertempur itu, sungguh
melebihi amukan puluhan kerbau liar.
Tinggal Pendekar Judi yang menarik napas
panjang dan mencoba mencari sela yang tepat untuk
memisahkan keduanya. Tetapi setelah lima belas jurus
berlangsung, dia belum menemukan apa yang dica-
rinya. Blaaam! Blaaammm!
Terdengar ledakan yang hebat akibat benturan
demi benturan yang terjadi. Menyusul berulang kalinya tanah rengkah dan muncrat
setinggi setengah tombak.
Ranggasan semak belukar sudah banyak yang terpa-
pas dan ambrol hingga ke akarnya.
Beberapa jurus berlangsung, mendadak saja
kedua gadis itu mundur masing-masing lima langkah.
Keduanya memandang lawan dengan geram. Kejap
lain, terdengar teriakan mengguntur seiring dengan kelebatan dua tubuh yang
cepat. Pendekar Judi tercekat. Dia tak ingin salah seo-
rang dari kedua gadis itu terluka. Maka dengan cepat
dan penuh risiko, tubuhnya melesat seraya menyen-
takkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri.
Masing-masing orang tertahan serangannya
dan mundur tiga tindak. Angin Racun Barat merasa-
kan dadanya seketika sesak bukan main, keseimban-
gannya goyah dan dia jatuh terduduk seraya meme-
gang dadanya. Sedangkan Dewi Kembang Maut yang
sebenarnya belum pulih dari lelah yang menderanya,
terlihat dari mulut dan hidungnya mengalir darah se-
gar yang segera di hapus dengan punggung tangannya.
Pendekar Judi yang mengambil risiko tadi, me-
rasa darahnya seolah mencelat ke ubun-ubun. Wajah-


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya seketika memerah. Kedua tangannya ngilu bukan
alang kepalang dengan napas terputus-putus. Segera
saja dikerahkan tenaga dalamnya guna memulihkan
rasa sakit yang dideritanya.
Terdengar bentakan Dewi Kembang Maut se-
raya memegang dadanya dengan tangan kanan.
"Sampaikan salamku pada Rajawali Emas, ka-
lau suatu saat aku akan membunuhnya!!"
Habis bentakannya, dia berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
"Tunggu!!" Pendekar Judi mencoba menahan,
tetapi bayangan gadis berpakaian biru ketat itu sudah lenyap dari pandangan.
Murid Malaikat Judi ini menarik napas panjang. Lalu berkata dalam hati, "Ah,
memang sukar untuk menjelaskan keadaan yang sebe-
narnya untuk saat ini. Gadis itu masih menganggap
diriku Pendekar Judi palsu yang telah memancing ke-
marahannya. Entah karena apa."
Angin Racun Barat yang juga telah memulihkan
keadaannya berkata, agak sinis, "Kang Cakra! Tak usah kau urusi perempuan keras
kepala yang tak mau
mendengarkan ucapan orang lain itu! Bila dia mau
mempergunakan otaknya dan mendinginkan hatinya,
tentunya dia mengerti kalau urusan yang dimulainya
adalah sebuah awal kesalahan."
Pendekar Judi mengalihkan kepalanya pada
Angin Racun Barat. Tak mempedulikan kata-kata ga-
dis itu barusan dia justru bertanya, "Bagaimana keadaanmu, Diah?"
Mendengar pertanyaan bernada mencemaskan
dari pemuda yang dicintainya, Diah Srinti alias Angin Racun Barat menarik napas.
Diam-diam dirasakan
sukmanya seperti melambung. Namun, saat ini dicoba
untuk menindih rasa senangnya itu, mengingat kalau
Pendekar Judi tidak bisa mencintainya sebagaimana
layaknya percintaan seorang lelaki dan perempuan.
"Aku baik-baik saja, Kang Cakra."
"Diah... rasanya aku semakin tak sabar untuk
berjumpa dengan Iblis Seribu Muka yang menyamar
sebagai diriku. Rasanya pula, urusanku akan semakin
membentang selain menunaikan perintah Guru. Kalau
kau memang tak apa-apa, sebaiknya kita meneruskan
langkah sekarang."
Perlahan-lahan Angin Racun Barat berdiri. Lalu
ditariknya napas dalam-dalam. Diarahkan pandan-
gannya yang penuh dengan sorot cinta kasih pada
Pendekar Judi Masih dengan tatapan seperti itu, di-
anggukkan kepalanya.
Diam-diam Pendekar Judi mengeluh pelan. Di
kejap lain, keduanya sudah berkelebat menuju Padang
Seratus Dosa. *** Bab 7 GUGUSAN batu kapur mulai diselimuti kere-
mangan senja. Angin semakin lebih kuat bertiup. Ka-
lau sebelumnya udara tak segar, kali ini semakin tak
segar. Beberapa kapur putih beterbangan terhembus
angin. Samar-samar menguar aroma wangi dari satu
tempat yang sulit ditentukan.
Rajawali Emas yang melangkah mendahului,
menghentikan langkah. Sepasang matanya yang tajam
memperhatikan sekelilingnya seraya membatin,
"Hmm... aroma wangi cukup santer tercium. Aroma
yang mendadak saja muncul. Dan seperti aroma ke-
menyan, yang dibaluri bau-bau kapur yang membuat
udara tidak sedap. Aku seolah menyirap akan ada ba-
haya yang datang."
Berjarak sepuluh tombak di sisi kiri pemuda
dari Gunung Rajawali itu, Iblis Seribu Muka yang me-
nyamar sebagai Pendekar Judi mencium aroma yang
sama. "Kupikir... ini salah satu tanda tentang adanya Hantu Seribu Tangan di
sekitar gugusan batu kapur
ini. Entah dari mana asal aroma wangi kemenyan ini.
Yang jelas... mungkin dari salah satu gugusan batu
kapur ini. Hmm... berarti perjalanan sudah bertambah
dekat. Tak sabar aku untuk segera berjumpa dengan
orang itu untuk meminta bantuannya. Dan menun-
taskan semua urusan termasuk penyamaran ku ini."
Sambil mengarahkan pandangan pada Rajawali Emas,
orang ini berseru,
"Tirta! Apakah aroma kemenyan yang tercium
ini menandakan keberadaan Hantu Seribu Tangan"!"
Tirta tak menjawab. Matanya makin bersiaga
memperhatikan sekelilingnya.
"Sulit menebak dugaan, Pendekar Judi. Tetapi
tatkala aku pertama kali bertemu dengan Hantu Seri-
bu Tangan, tak ku cium aroma wangi kemenyan ini.
Jangan-jangan, wangi ini berasal dari...."
"Tirta! Apa yang kita lakukan sekarang?" suara Iblis Seribu Muka memutus kata-
kata hati Rajawali
Emas. Kali ini Rajawali Emas menolehkan kepala, se-
mentara hidungnya semakin kuat mencium aroma
wangi kemenyan itu. Matanya seperti mencoba me-
nembus hati orang yang tadi berbicara. Lalu katanya,
"Cakra! Yang terbaik sebenarnya menunggu! Tetapi ini membuang waktu! Lebih
baik... tunggu sebentar!"
"Hmm... apa yang hendak dilakukannya?" desis Iblis Seribu Muka.
Di sebelah kanannya, Rajawali Emas telah du-
duk bersila sambil rangkapkan kedua tangan di dada.
Iblis Seribu Muka memperhatikan dengan sejuta
tanya. Beberapa kejap berlalu, dilihatnya Rajawali
Emas telah berdiri kembali dan berseru ke arahnya,
"Cakra! Permainan judi yang kita rencanakan, kita mulai!"
"Gila! Permainan apa lagi yang akan dimulainya
ini" Aku memang mengerti sedikit permainan judi. Te-
tapi sulit bagiku untuk menebak permainan judi seper-
ti apa yang dimaksudkan Tirta. Mungkin, bila Pende-
kar Judi ash yang diajak berbicara dan mewujudkan
pikirannya, mungkin tak terlalu sulit menduga. Tetapi tak ada salahnya bila
kutanyakan seperti yang sebelumnya kulakukan."
Habis membatin demikian, sambil memandang
pada Rajawali Emas, Iblis Seribu Muka berseru, "Permainan apa yang akan kita
lakukan, Tirta?"
Di tempatnya, Rajawali Emas nyengir. "Kau se-
lalu merendah dan membuatku tidak enak, Cakra.
Bukankah kau yang lebih pandai bermain judi daripa-
da ku?" "Keparat! Kalau Rajawali Emas berlaku seperti
ini terus menerus, bisa jadi rahasiaku akan terbong-
kar," membatin Iblis Seribu Muka dengan geram. Lalu memasang wajah penuh tanya
dia berseru, "Tirta... untuk saat ini, bukanlah waktu yang tepat untuk ber-
main teka-teki. Lebih baik kau terangkan apa mak-
sudmu sehingga kita tak banyak membuang waktu?"
Di tempatnya, Rajawali Emas kembali nyengir.
Sementara aroma wangi kemenyan itu semakin kuat
tercium, seraya tertawa pendek dia berseru, "Kau benar-benar membuatku tidak
enak, Cakra. Jangan ter-
lalu merendah! Kupikir... eh! Jangan-jangan, kau bu-
kan Pendekar Judi sebenarnya?"
Deg! Seperti berhenti detak jantung Iblis Seribu Mu-
ka mendengar kata-kata pemuda dari Gunung Rajawa-
li itu. Sesaat dia bersiaga penuh. Tetapi setelah mendapati wajah Tirta yang
nyengir dan tawanya yang ke-
ras, dia bisa menarik napas lega.
"Keparat! Dia membuatku tegang! Tetapi aku
yakin, kalau dia belum tahu siapa aku sebenarnya. Ka-
ta-kata yang terucap tadi menunjukkan dia hanya me-
rasa aku bersikap merendah. Tetapi permainan judi
yang hendak dilakukannya ini benar-benar bikin kepa-
laku pusing. Keparat!" Iblis Seribu Muka tertawa pendek, "Kau benar-benar
mencoba memancing keingin-
tahuan ku, Tirta!! Tetapi terus terang, aku memang tidak tahu!"
Tirta tertawa, lalu katanya, "Dalam permainan
judi koprok yang mempergunakan tiga buah dadu, se-
tiap pemain harus menyebut jumlah dadu yang akan
keluar. Nah! Kau perhatikan gugusan batu kapur yang
semakin diselimuti senja."
Iblis Seribu Muka mengalihkan pandangannya
ke depan. Dihitungnya gugusan batu kapur di hada-
pannya. Sambil mengalihkan pandangan kembali pada
Rajawali Emas, dia berseru, "Semuanya sudah kuperhatikan! Kurang lebih berjumlah
tujuh belas gugusan
batu kapur!"
"Itulah permainan judi yang kita lakukan, Ca-
kra! Kita belum tahu di mana letak Goa Seratus Lak-
nat berada! Tetapi tentunya lima pohon yang bergerak
dan batu-batu kapur yang melayang tadi itu adalah
permainan Hantu Seribu Tangan. Sekarang, kita cipta-
kan permainan sendiri untuk menandingi permainan
Hantu Seribu Tangan!!"
"Bagaimana caranya"!"
"Apakah kau masih belum bisa menebak sete-
lah kau hitung jumlah gugusan batu kapur itu?"
"Ayolah, Tirta! Kau jangan membuatku penasa-
ran!" seru Iblis Seribu Muka dengan rahang mengembung. Dan hampir saja dia
mengeluarkan bentakan te-
tapi segera diingatnya kalau dia sekarang sedang me-
nyamar sebagai Pendekar Judi. Dengan kegeraman
tinggi orang ini mendengus dalam hati, "Keparat! Kalau begini terus menerus,
bisa-bisa penyamaran ku akan
terbongkar."
"Cakra... sekarang kita ubah permainan judi
koprok tiga dadu menjadi dua dadu yang berjumlah
dua belas. Kita bagi dua! Seorang satu dengan jumlah
enam. Tetapi, perhitungan kita memasuki jalur ganjil dan genap. Maksudku, aku
akan memeriksa gugusan
batu kapur ini, terhitung memulai yang ganjil. Dan
kau memeriksa yang genap. Maksudku, gugusan per-
tama aku yang memulai, lalu yang ketiga, dan kelima
sampai kesebelas. Sementara kau memulai dari gugu-
san kedua, keempat, dan keenam sampai kedua belas."
"Mengapa harus seperti itu"!" seru Iblis Seribu Muka yang kendati mulai meraba
apa yang diinginkan
Rajawali Emas, tetapi masih belum bisa menemukan
maksud seluruhnya.
"Ini permainan judi! Siapa yang beruntung dan
siapa yang kurang beruntung! Karena aku yakin, di sa-
lah satu gugusan batu kapur di sini Goa Seratus Lak-
nat berada. Setelah kita tak menemukan, kita berganti tempat dan mencari lagi.
Dengan cara seperti itu, kita bisa saling bantu bila ada sesuatu yang tak
mengenakan!" "Bagaimana dengan jumlah gugusan batu kapur yang lima lagi?" tanya
Iblis Seribu Muka pula.
"Kita akan menyelidiki bersama!"
"Apakah tidak sebaiknya kita menyelidiki dulu
dari mana aroma wangi kemenyan ini?"
"Kau ini membuatku malu, Cakra. Kau benar-
benar hendak menguji ku rupanya. Cakra! Secara ti-
dak langsung, kita akan menyelidik dari mana asalnya
aroma wangi kemenyan itu! Kupikir, tentunya berasal
dari Goa Seratus Laknat yang belum kita ketahui di
mana tempatnya. Dan karena terbawa angin, aroma
wangi ini menyebar!"
"Setan keparat! Dia benar-benar mempermain-
kan ku!!" sengat Iblis Seribu Muka dalam hati. Lalu katanya, "Jadi kau merasa
kalau aroma wangi kemenyan ini berasal dari Goa Seratus Laknat" Kalau begitu,
aroma ini tentunya berasal dari tubuh Hantu Seribu
Tangan"!"
Tirta menggelengkan kepalanya.
"Tidak."
"Atau... aroma Goa Seratus Laknat sendiri?"
Kali ini Tirta tidak menjawab. Dia berkata da-
lam hati, "Kalau memang berasal dari Goa Seratus Laknat, tentunya sejak tadi
sudah tercium. Aku punya
dugaan, kalau aroma wangi kemenyan ini berasal dari
Keranda Maut Perenggut Nyawa yang juga berada di
Goa Seratus Laknat. Hmmm... akan kuajak Cakra un-
tuk memainkan permainan yang kuciptakan lagi sejak
permainan pertama di Padang Seratus Dosa. Aku ha-
rus mengetahui sesuatu yang ada dalam benakku."
Seraya memandang Iblis Seribu Muka, Rajawali
Emas berseru, "Kita mulai, Cakra! Karena aku mendapat bagian yang ganjil, maka
aku yang bertugas meme-
riksa lebih dulu. Setelah melihat tanda dariku, kau
memeriksa gugusan batu kapur yang kedua dan begitu
seterusnya!"
Iblis Seribu Muka menganggukkan kepalanya.
Di lihatnya Tirta mulai bergerak ke arah kanan.
"Benar-benar cerdik Rajawali Emas ini. Tetapi
sayangnya, dia tak terlalu cerdik karena tak mampu
menebak siapa aku. Bagus, dengan cara seperti ini ke-
dudukanku masih berada di atas."
Tatkala dilihatnya Rajawali Emas memberi tan-
da, Iblis Seribu Muka bergerak. Setelah masing-masing orang menyelidik gugusan
batu kapur, keduanya kembali ke tempat semula.
"Kosong!!" seru Rajawali Emas.
"Aku pun tak menemukan ada goa di sekitar
sini! Kalau begitu, kita berganti tempat, Tirta!!"
Tirta tersenyum. "Untuk apa"!"
Iblis Seribu Muka mengernyitkan dahinya.
"Bukankah tadi kau katakan, setelah kau men-
jajaki urutan ganjil sedangkan diriku urutan genap ki-ta bertukar tempat?"
Rajawali Emas tertawa.
"Ah, kau ini! Kau benar-benar membuatku jadi
tidak enak! Kau memang teman yang baik yang selalu
merendah, Cakra!!"
Mendengar kata-kata orang, Iblis Seribu Muka
terdiam dan mengurungkan kelebatannya. Diperhati-
kannya pemuda berpakaian keemasan yang sedang
nyengir. "Permainan judi apa lagi yang dimaksudkannya
sekarang?" desisnya mulai waswas, khawatir penyamarannya mulai tersingkap.
Tetapi tatkala terdengar sua-ra Tirta, lagi-lagi Iblis Seribu Muka tersenyum


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lega. "Kau benar-benar sahabat sejati, Cakra. Kenda-
ti aku tahu kau sangat pandai berjudi, tetapi kau tidak berlaku sombong. Justru
aku yang tidak enak. Atau,
kau bertanya seperti itu karena kau ingin menguji, bukan?" Iblis Seribu Muka
tertawa panjang.
"Tak ada yang kumaksudkan untuk menguji.
Katakanlah apa maksudmu."
"Wah! Kau benar-benar membuatku jadi malu
sendiri, Cakra! Apakah tadi saat kau menyelidik gugu-
san batu kapur, kau melewatkan bagian yang ganjil?"
Iblis Seribu Muka terdiam. "Sudah tentu tidak.
Secara tidak langsung aku juga melihat bagian-bagian
gugusan batu kapur lainnya. Keparat! Dia benar-benar
cerdik! Aku jadi bertambah tegang sebenarnya seka-
rang" Apakah dia memang tidak tahu siapa aku, atau
dia sedang menyelidik siapa aku?"
"Hei! Kau tidak menjawab!"
"Kau benar! Aku juga melihat gugusan batu
kapur lainnya dan tak melihat adanya Goa Seratus
Laknat!" "Kalau begitu, bukankah kita tak perlu lagi un-
tuk menyelidikinya?"
Ya! Kau benar!"
Rajawali Emas tersenyum. "Sebaiknya, kita
bersama-sama menyelidik lima buah gugusan batu
kapur yang lainnya! Hmm... aroma wangi kemenyan ini
semakin santer saja! Mudah-mudahan, kita bisa me-
nemukan di bagian gugusan batu kapur itulah Goa Se-
ratus Laknat berada. Cakra! Kita bersiaga penuh. Jan-
gan sampai pada akhirnya kita terje... awaassss!!!"
Rajawali Emas memutus kata-katanya sendiri.
Sementara itu Iblis Seribu Muka menolehkan kepala ke
kiri. Orang ini terpekik tertahan tatkala merasakan
sambaran angin panas yang sangat kuat sekali. Segera
saja dia membuang tubuh ke samping dengan cara
bergulingan, di lain kejap tangan kanannya telah di-
hentakkan ke depan.
Blaaarrr!! Gugusan batu kapur terhantam sedikit dan ka-
pur-kapur itu berguguran. Tetapi, tak ada seorang pun yang keluar dari sana.
Sementara itu, Rajawali Emas
sudah berkelebat ke sisi kanan Iblis Seribu Muka.
"Berhati-hati. Ada orang yang mengirim seran-
gan." "Siapa dia, Tirta?"
"Aku belum bisa menebak. Tetapi...."
Kata-kata Rajawali Emas terpenggal tatkala sa-
tu suara nyaring diiringi makian yang sangat keras
terdengar. Menyusul satu sosok tubuh telah berdiri
berjarak tiga tombak dari hadapan keduanya.
Masing-masing orang memandang tak berkesip
pada lelaki tua yang berambut panjang awut-awutan
itu. Orang yang baru datang ini memiliki sepasang ma-
ta yang sipit dengan bibir tebal yang agak mencuat.
Hidungnya cukup mancung, tetapi tepat di tengah-
tengahnya ada bekas luka yang agak lebar. Tangan ki-
rinya lurus berada di sebelah paha. Sementara tangan
kanannya yang agak aneh, karena di ujungnya terda-
pat besi berbentuk cakar, berada di depan dada. Orang ini mengenakan pakaian
berwarna putih kemerahan
yang sudah sangat kusam.
*** Bab 8 Untuk sesaat Rajawali Emas memperhatikan
orang yang baru muncul itu. Lalu berbisik, "Cakra...
kenalkah kau siapa orang aneh ini?"
Iblis Seribu Muka yang menyamar sebagai Pen-
dekar Judi menggelengkan kepala. "Aku tak pernah mengenalnya. Tirta... jangan-
jangan, orang inilah Hantu Seribu Tangan?" Lalu sambungnya dalam hati, "Celaka!
Mengapa dia muncul di sini pada saat yang tidak tepat?" Tirta yang pernah
berjumpa dengan Hantu Seribu Tangan terdiam. Sepasang matanya lurus pada
orang yang baru muncul itu yang sedang tertawa pen-
dek sambil menatap tajam pada Iblis Seribu Muka.
Kendati kedua matanya sipit, namun sorot matanya
keras dan penuh dendam pada Iblis Seribu Muka.
Mulut besar yang mencuat ke atas itu membu-
ka sedikit, sejurus kemudian terdengar suaranya
menggembor keras, "Pendekar Judi! Kita berjumpa lagi di sini! Kalau dua bulan
lalu kau membuat istriku ma-lu, kali ini kau tak akan kuberi kesempatan untuk
hi- dup lebih lama!!"
Rajawali Emas berbisik, "Dia mengenalmu, Ca-
kra. Apakah kau mengenalnya juga?"
"Tirta tak boleh tahu ada urusan apa antara
aku dengan orang ini. Tetapi rasanya, urusan semakin
sulit dihindari. Jalan satu-satunya, hanyalah berlaku bodoh! Setan! Mengapa dia
harus hadir di saat seperti
ini"!" batin Iblis Seribu Muka. Lalu berkata, "Aku tidak mengenalnya sama
sekali." "Tetapi dia jelas mengenalimu."
"Mungkin banyak orang yang mengenalku, te-
tapi aku sama sekali tidak tahu siapa dia." Lalu seraya maju satu langkah dia
berkata, "Orang aneh yang mau mampus! Urusan apa yang ada di antara kita"!"
Sepasang mata orang itu semakin bertambah
sipit. Lalu terdengar gerengannya dengan tangan ka-
nan yang terdapat besi berbentuk cakar mengacung,
"Jangan berlagak bodoh! Nyawamu kini sudah berada di tanganku!"
"Sinting! Sebutkan nama sehingga aku tahu
ada urusan apa di antara kita!" sentak Iblis Seribu Muka yang seketika menyesali
karena suaranya terle-wat keras. Di liriknya Rajawali Emas yang sepertinya
tak mengambil pusing dengan bentakannya tadi.
"Mungkin kau melupakan namaku, tetapi ten-
tunya kau ingat kalau hidungku luka ini karena ulah
mu!!" "Jawab pertanyaan!!"
"Baik! Orang yang sudah ingin mampus bi-
asanya sering berlaku bodoh!" bentak orang berpakaian putih merah itu geram.
"Julukanku Cakar Setan!
Dan kau telah mempermalukan istriku dua bulan lalu
hingga dia membunuh diri! Kendati aku berbeda go-
longan dengan gurumu, tetapi aku tak pernah punya
urusan dengannya! Hanya saja, kau telah menjual
nama busuk di hadapanku hingga istriku merenggut
nyawanya sendiri karena tak kuasa menahan derita
setelah kau permalukan!!"
Bukannya Iblis Seribu Muka yang melengak,
justru Rajawali Emas yang seketika menolehkan kepa-
lanya. Diam-diam dia tersenyum dan mendesis dalam
hati, "Mulai tergambar sekarang. Permainan akan semakin kujalankan. Tetapi, aku
juga harus berhati-hati dengan kemunculan Hantu Seribu Tangan yang
sejak aku dan Pendekar Judi tiba di sini belum jelas di mana dia berada."
Iblis Seribu Muka terdiam dengan rahang men-
gatup. "Benar-benar bisa terbuka penyamaran ku sekarang. Tak tahu diuntung!
Mengapa di saat ada Ra-
jawali Emas di sisi ku dia muncul di sini"! Keparat!
Kupikir dia sudah mampus saat menghalangi lariku
setelah ku perkosa istrinya yang kemudian hendak
membunuh diri!"
"Pendekar Judi! Kini kematian siap menjemput
mu!!" Habis berkata begitu orang ini angkat kaki kanannya dan dipijakkan ke
tanah. Seketika tanah itu seperti bergerak, ada sesua-
tu yang meluncur deras ke arah Iblis Seribu Muka
yang seketika mengerahkan tenaga dalamnya melalui
kedua kaki. Tenaga dalam yang dipancarkan itu pun mele-
sat melalui tanah dan bertumbukan dengan lesatan
tenaga dalam Cakar Setan.
Blaaar! Akibat pertemuan dua tenaga dalam kuat itu,
tanah yang bergaris lurus antara tempat Cakar Setan
dan Iblis Seribu Muka rengkah dan muncrat. Menyu-
sul angin deras menderu tegak lurus ke atas dan me-
nimbulkan letupan keras.
"Cih! Ilmu picisan seperti itu berani dia pamer-
kan kepadaku!" sentak Iblis Seribu Muka dalam hati.
Sementara Rajawali Emas mendesis, "Cukup
hebat!" Cakar Setan menggeram. Di kejap lain, dia su-
dah melesat dengan tangan kanan membeset ke arah
leher Iblis Seribu Muka yang segera menundukkan ke-
pala lalu mengangkat tangan kanannya. Prak!
Bentrokan kembali terjadi. Iblis Seribu Muka
terhuyung tiga tombak sementara Cakar Setan melent-
ing ke belakang dan begitu kedua kakinya menginjak
tanah, orang ini sudah meluncur kembali. Saat melun-
cur itu tangan kanannya yang terdapat cakar terbuat
dari besi digerak-gerakkan hingga menimbulkan suara
bengis dan kilatan cahaya yang cukup terang.
Sadar bahaya besar mengancamnya, Iblis Seri-
bu Muka tak mau bertindak ayal. Secepat kilat dia
angkat kedua tangannya menangkis dan membalas
menghantam dengan pukulan bertenaga dalam penuh.
Namun sebelum dilakukannya, Cakar Setan
sudah mengubah serangannya. Kedua kakinya dige-
rakkan. Des! Des!
Tepat menghantam Iblis Seribu Muka yang ter-
huyung ke belakang dengan sepasang mata terbeliak
gusar. "Sebenarnya, aku bisa saja menandingi sekaligus membunuh orang celaka
ini. Tetapi, bila kupergu-
nakan ilmu yang ku punyai, Rajawali Emas tentunya
bisa menduga siapa aku sebenarnya. Karena Pendekar
Judi tak memiliki ilmu yang kejam. Keparat! Jalan sa-
tu-satunya hanya mencoba membalas dengan seran-
gan tak guna dan menutupi siapa aku sebenarnya!"
Berpikir sampai di sana, Iblis Seribu Muka
membalas dan menghindar. Tetapi sudah tentu Cakar
Setan yang sangat mendendam sekali mengingat is-
trinya di perkosa dan membunuh diri tak mau bertin-
dak ayal. Dengan gerengan yang bertambah keras dan
gerakan yang semakin membabi buta, orang bertangan
besi berbentuk cakar ini menggebah dahsyat. Setiap
kali tangan besinya bergerak, terdengar suara membe-
set yang cukup mengerikan, membuat Iblis Seribu
Muka menjadi pontang-panting.
Kegeraman yang tinggi bertambah dalam mera-
ja di hatinya. Hampir saja dia keluarkan seluruh ilmu yang di milikinya. Saat
ini yang dicemaskannya justru kehadiran Rajawali Emas, yang sudah tentu akan
merasa heran bila dia keluarkan ilmu-ilmunya yang ke-
jam. Karena bertarung seperti asal saja, namun be-
rusaha untuk menghindari setiap serangan, beberapa
kali jotosan dan tendangan lawan menghantamnya te-
lak. Masih untung dia bisa menghindari setiap cakaran yang dilepaskan oleh Cakar
Setan. Sementara itu Rajawali Emas membatin sambil
sunggingkan senyum, "Hmmm... permainan sudah se-
lesai, Pendekar Judi. Aku ingin tahu siapa kau sebe-
narnya. Tetapi, biar kulihat dulu kelanjutannya."
Saat itu Iblis Seribu Muka berusaha meminta
bantuan Rajawali Emas sambil menghindar pontang-
panting. "Tirta! Mengapa kau diam saja, hah"!"
"Heran! Menghadapi orang semacam itu saja
kau tidak becus, Cakra! Tetapi perlu kau ketahui, aku tak suka mencampuri urusan
orang lain! Apalagi urusanmu begitu dalam sekali!"
"Orang jelek ini berbicara dusta! Kau tak perlu
mendengarnya"!"
"Setan judi keparat!" bentak Cakar Setan dan bergerak dengan cara berputar
berulang kali. Setiap
kali anggota tubuhnya bergerak, setiap kali pula ter-
dengar angin menderu. "Apa kau pikir setelah mem-perkosa istriku dan membuatku
celaka, kau masih bi-
sa mengatakan aku berdusta, hah"! Jahanam betul!
Bila saja saat itu aku tak mencemaskan keadaan istri-
ku, sudah tentu kau telah menjadi mayat!!"
"Setan!!" geram Iblis Seribu Muka dalam hati.
Dia benar-benar tak bisa kuasai lagi kemarahannya.
"Bila saja saat itu aku tak hendak melanjutkan perjalanan untuk mencari Hantu
Seribu Tangan, akan ku-
layani manusia sialan ini! Ilmu tak seberapa, mau jual tampang!" Dan mendadak
saja orang yang menyamar
sebagai Pendekar Judi ini berseru, "Tirta! Di samping kananmu!!" Seketika
Rajawali Emas menoleh ke kanan, bersamaan dengan itu Iblis Seribu Muka yang te-
lah mempersiapkan pukulan 'Dua Jalan Balik' mengi-
baskan tangan kanan dan kirinya secara bersamaan.
Angin panas dari tangan kanannya menderu ke
atas dan berbalik ke arah Rajawali Emas yang tercekat dan segera membuang tubuh
ke kiri. Sementara angin
panas yang melesat dari tangan kirinya menyentak ke
arah Cakar Setan yang seketika membuang tubuh. Te-
tapi pukulan aneh yang dilepaskan oleh Iblis Seribu
Muka tadi, selalu dapat bergerak dua kali. Tatkala lu-put pada sasaran, angin
panas yang hebat itu berbalik dan menghantam punggung Cakar Setan yang berteriak
keras. Mulutnya seketika mengembung dan dia
muntah darah berkali-kali.
Mendengar teriakan itu, Rajawali Emas segera
menolehkan kepala. Seketika keningnya dikernyitkan
melihat Cakar Setan terhuyung ke depan.
"Aneh! Tadi kulihat orang itu berada di atas an-
gin, lalu mengapa dia jadi terhuyung" Mendapati di
mana dia berdiri dan bagian mana yang terkena haja-
ran, sulit menentukan kalau pukulan itu berasal dari
Cakra. Kalau begitu, siapa yang melakukannya" Dan
serangan yang datang ke arah ku tadi...."
Kata-kata Tirta terputus tatkala terdengar te-
riakan Iblis Seribu Muka dengan kedua tangan menya-
tu siap dipukulkan ke kepala Cakar Setan.
"Heaaaa! Orang celaka yang suka memfitnah
orang, lebih baik mampus!!" serunya dengan kedua tangan di kembangkan dan
disentakkan ke depan.
Wusss! Wuuuss!!
Plak! Plak!!

Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Seribu Muka tersentak kaget dan segera
melompat mundur tiga tindak. Tangan kanannya dira-
sakan sangat ngilu. Tatkala dilihatnya, memerah agak
membengkak. Dipentangkan kedua matanya pada Ra-
jawali Emas yang berkelebat dan menahan serangan-
nya. "Tirta! Mengapa kau menahan seranganku,
hah?" serunya dengan kegusaran yang tak bisa ditutupi.
Rajawali Emas tersenyum.
"Lawanmu sudah tak berdaya. Tak patut mem-
bokong seperti itu."
"Dia memfitnahku, Tirta!"
"Setan judi keparat!" terdengar bentakan Iblis Seribu Muka yang kendati telah
berdiri tegak tetapi
masih merasa sakit luar biasa di punggungnya. "Kete-nangan selama ini kumiliki
bersama istriku! Sudah
dua tahun aku mengundurkan diri dari rimba persila-
tan setelah bertemu dengan istriku itu! Tetapi, kau
mendadak muncul di saat istriku sedang mandi di
sungai. Dengan kebiadaban busuk kau memperko-
sanya hingga dia merasa lebih baik mengambil jalan
membunuh diri daripada dirundung malu! Apakah ini
sebuah fitnah?"
"Kalau begini semakin kacau saja. Aku harus
membunuhnya. Hmm... biar kupergunakan lagi puku-
lan 'Dua Jalan Balik' yang kelihatannya mampu men-
gelabui Tirta. Sebaiknya kutunggu kesempatan yang
tepat. Setelah membuang napas, Iblis Seribu Muka
berseru, "Cakar Setan! Sejak tadi kukatakan kau salah orang! Aku sama sekali tak
pernah melakukan apa
yang kau tuduhkan"!"
"Orang muda! Kau akan kualat tujuh turunan
karena berani berdusta pada perbuatan busuk yang te-
lah kau lakukan! Dua bulan aku melacak jejak mu dan
tanpa ku sengaja aku tiba di tempat yang dipenuhi gu-
gusan batu kapur ini!"
Rajawali Emas berpikir, "Aneh sebenarnya bila
dia bisa selamat tiba di sini. Apakah dia tak sengaja telah melalui Hutan
Seratus Kematian, lalu melewati Pa-
dang Seratus Dosa dan tiba di sini" Kalau dia masih
hidup tanpa gangguan dari Hantu Seribu Tangan,
sungguh luar biasa. Tetapi, aku ingat sekarang. Tiga
tempat yang banyak menyimpan misteri itu berada da-
lam genggaman tangan Hantu Seribu Tangan yang ba-
ru dihidupkan kembali sejak bertemu denganku di Hu-
tan Seratus Kematian. Menurut Pendekar Bijaksana,
Hantu Seribu Tangan menantang orang-orang yang
memiliki ilmu tinggi. Tetapi kupikir Cakar Setan tak
terlalu mengerikan. Bisa ku tebak sekarang mengapa
dia selamat sampai di sini Karena tak sengaja dan tak mempunyai maksud apa-apa
dengan Hantu Seribu
Tangan." Iblis Seribu Muka merapatkan rahangnya. Se-
pasang matanya disipitkan. "Tak mungkin mengelabui Rajawali Emas sekarang
seperti tadi. Tetapi...."
Belum lagi Iblis Seribu Muka memutuskan apa
yang hendak dilakukannya, mendadak aroma wangi
kemenyan semakin santer menguar. Menyusul satu
suara angker yang keras, bersamaan dengan lima
buah pohon tumbang dan gugusan batu kapur di seki-
tar sana bergetar.
"Bosan menunggu permainan yang tengah ka-
lian jalankan! Kini, tinggal menanti ajal yang sebentar lagi datang! Orang-orang
celaka, selamat datang! Rajawali Emas! Kita bertemu kembali di sini!!"
*** Bab 9 Masing-masing orang membuka mata lebih le-
bar. Memperhatikan sekeliling mereka dengan kewas-
padaan tinggi. Apa yang diduga Rajawali Emas tentang
kemunculan Cakar Setan yang sedang mundur tiga
tindak dengan wajah bingung dan tegang, memang be-
nar. "Gila! Siapa yang bersuara penuh ancaman
itu?" desis Cakar Setan dalam hati. Lalu menggeram dingin, "Keparat! Urusan
siapa yang berteriak tadi bukan urusanku. Manusia berjuluk Pendekar Judi ini
harus membayar segala apa yang dilakukannya!
Hmm... aroma wangi kemenyan ini sungguh memua-
kkan!" Seketika dipalingkan kepalanya ke arah orang yang tetap disangkanya
Pendekar Judi. Matanya yang
sipit semakin menyipit, dan memancarkan sinar ang-
ker penuh dendam. Tinjunya terkepal. Kejap lain, tan-
pa banyak keluarkan suara, orang ini sudah mener-
kam dengan cara mengibaskan cakarnya!
Iblis Seribu Muka yang tadi dibaluri rasa tegang
dan gembira mendengar suara yang diyakininya beras-
al dari Hantu Seribu Tangan tersentak merasakan be-
setan angin keras ke arah lehernya. Cekatan dia mena-
rik kepalanya, lalu melepaskan jotosan dari bawah.
Cakar Setan memiringkan tubuhnya. Cakar be-
sinya membeset menimbulkan suara nyaring.
"Keparat!" maki Iblis Seribu Muka terkejut dan siap membalas. Namun mendadak
saja aroma wangi
kemenyan yang sejak tadi tercium, bertambah santer.
Menyusul satu suara mengerikan dari sebuah
tempat. Lalu nampaklah sebuah benda panjang hitam
pekat yang melayang-layang. Angin yang ditimbulkan
benda hitam itu membuat suasana bertambah dingin
mengerikan. Iblis Seribu Muka dan Cakar Setan
menghentikan serangan masing-masing. Keheranan
lebih jelas di wajah Cakar Setan. Rajawali Emas tern-
ganga. Tanpa disadarinya bulu kuduknya meremang.
Tak berapa lama kemudian, benda yang lebih
besar dan panjang dari ukuran seorang manusia de-
wasa itu, berhenti melayang dan jatuh berjarak tiga
tombak dari tempat masing-masing orang yang me-
mandang dengan kedua mata membesar. Membujur
dan menebarkan suasana angker.
Sebuah benda hitam pekat yang terbuat dari
besi yang sangat kuat. Benda itu memiliki jari-jari besi yang melengkung ke
atas. Di bawahnya terdapat dere-tan besi berjajar untuk tubuh yang rebah di
sana. Dari benda yang tak lebih dari kurung batang dengan dua
pintu besi di masing-masing ujung itulah aroma wangi
kemenyan menguar.
"Benda itukah yang selama ini menjadi momok
menakutkan selain Hantu Seribu Tangan sendiri?" desis Rajawali Emas dan diam-
diam dia mengalirkan te-
naga surya pada kedua tangannya. "Tepat dugaanku, kalau aroma kemenyan itu
berasal dari benda yang tak
lain Keranda Maut Perenggut Nyawa!"
"Hmmm.... Hantu Seribu Tangan jelas berada di
sekitar sini. Dia sudah menunjukkan Keranda Maut
Perenggut Nyawa yang mengerikan itu," batin Iblis Seribu Muka dengan senyuman
aneh di bibirnya.
Sedangkan Cakar Setan terkesiap beberapa ke-
jap sebelum mendesis dengan suara bergetar, "Benda apakah ini" Dan dari mana
asalnya" Mendadak muncul begitu saja! Kulihat, kedua orang muda ini tak terlalu
heran kendati wajah mereka membiaskan kete-
gangan tinggi. Jangan-jangan... kehadiran mereka di
tempat ini, untuk mencari benda itu!"
Dan sebelum dia melakukan apa-apa, menda-
dak saja.... Sraaang! Dilihatnya pintu keranda itu terbuka sebuah.
Menyusul satu kejadian yang mengejutkan. Hawa pa-
nas yang luar biasa bertabur dengan aroma wangi ke-
menyan menyengat menderu dari Keranda Maut Pe-
renggut Nyawa ke arahnya.
Cakar Setan melengak kaget disertai teriakan
keras. Tanpa sadar dia melompat ke belakang untuk
menghindari panas yang membuat tubuhnya seperti
terbakar. Namun kejap Iain, hawa panas itu terus
mengejar dan melingkari tubuhnya. Sebelum Cakar
Setan menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja satu tenaga raksasa menyedotnya
untuk masuk ke keranda
itu secara paksa.
"Hei!!" teriaknya dengan wajah memucat sambil kerahkan tenaga dalamnya untuk
menahan sedotan
hawa panas yang selain menyengat tubuhnya juga
menyeretnya ke arah benda hitam yang mengeluarkan
aroma kemenyan.
Breet! Breett!!
Pakaian yang dikenakannya sobek dan tersedot
masuk ke benda hitam panjang itu yang seketika lebur
menjadi serpihan diiringi teriakan ketakutan dari
orang ini. Rajawali Emas tersentak. Dengan ketegangan
yang tinggi, pemuda dari Gunung Rajawali ini telah
mencelat ke arah Cakar Setan dan menahan tubuh-
nya. "Tahan! Jangan menyerah!" desis Tirta dengan suara agak terengah. Dirasakan
pula satu sedotan
dahsyat yang membuat tubuhnya bergetar. Giginya
merapat dengan rahang mengatup keras. Astaga! Ra-
jawali Emas yang biasanya bila berkeringat maka ke-
ringat itu akan langsung mengering akibat kekuatan
tenaga surya dalam tubuhnya, tetapi kini keringat itu mengalir deras.
Tenaga gaib yang berasal dari keranda itu terus
menggebah, hingga bukan hanya tubuh Cakar Setan
yang mulai terseret, tubuh Rajawali Emas pun terse-
dot. Kedua kakinya yang menginjak tanah kini telah
masuk hingga ke batas lutut dan terseret paksa hingga tanah ambrol.
"Celaka! Tarikan tenaga dari keranda itu sangat
sulit sekali ditahan!" maki Rajawali Emas dengan wajah yang bertambah pucat.
Seluruh tenaga surya yang
di milikinya dikerahkan. Tetapi tubuhnya yang mena-
han Cakar Setan sudah tak mampu lagi berbuat apa-
apa. Perlahan-lahan terus terseret. Napas Tirta mulai terasa sesak. Aliran
darahnya kacau. Keringat semakin banyak mengalir. Tanpa disadarinya, hidungnya
mengalirkan darah segar. "Celaka! Aku tak bisa menahan tarikan dahsyat dari
keranda itu! Kalau kulepas kedua tangan ku, Cakar Setan tak akan tertolong!"
Semakin diusahakan untuk menahan sekaligus
menyelamatkan Cakar Setan yang sudah memucat
laksana mayat, semakin terseret pemuda tampan ini.
Kedua tangannya yang melingkar di perut Cakar Setan
semakin terasa panas. Urat-uratnya menegang.
Cakar Setan mendesah dan bersuara satu-satu,
"Orang muda... aku berterima kasih karena kau masih mau menolongku.... Tetapi
percuma. Sedotan tenaga
aneh dari keranda itu tak bisa ditolak.... Lebih baik lepaskan...."
"Tidak!! Bertahanlah!" "Orang muda... kau bisa celaka!" "Bertahanlah! Kerahkan
tenaga dalammu!!" se-ru Tirta keras.
"Napas ku sudah sesak. Aku tak mampu mela-
kukannya!"
"Jangan putus asa!"
Suara Cakar Setan makin terputus-putus.
"Jangan bertindak bodoh! Kau akan ikut celaka!"
"Bertahan!!" seru Tirta bagai menggeram.
"Orang muda... jarak kita dengan keranda itu
bertambah dekat seiring dengan tarikan yang bertam-
bah kuat! Satu pesanku, kau bunuh orang berjuluk
Pendekar Judi itu!"
"Kau tak tahu siapa orang itu!!"
Cakar Setan mendesah pendek dengan tubuh
yang semakin terasa sakit. Darah seolah menumpuk di
Si Dungu 2 Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi Jodoh Rajawali 34
^