Pencarian

Hantu Seribu Tangan 1

Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan Bagian 1


Bab 1 Lelaki tua berbaju hijau penuh tambalan itu te-
rus berkelebat dengan cepatnya melewati padang tan-
dus yang disebut Padang Seratus Dosa. Rambutnya
yang putih panjang beriap-riap terbawa angin panas.
Anehnya, saat berkelebat itu, si kakek yang di tangan kanannya terdapat sebuah
tongkat berwarna putih
memejamkan kedua matanya. Bila melihat ciri yang
melekat pada si kakek, bisa dipastikan dia adalah Ma-
ta Malaikat. Dan di belakangnya, seorang nenek berkonde
yang mengenakan pakaian batik kusam pun melesat
dengan mulut menggerutu. Dalam beberapa kejap ma-
ta saja si nenek berkonde yang tak lain Bidadari Hati Kejam telah bisa
mengimbangi kecepatan lesatan Mata
Malaikat. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya,
"Jejak-jejak Kematian", Mata Malaikat menyelamatkan Bidadari Hati Kejam yang
dikeroyok oleh tiga dedeng-kot rimba persilatan: Penabur Pasir, Sandang Kutung,
dan Dewi Topeng Perak. Kendati bersusah payah
menghadapi tiga gebrakan lawannya, Bidadari Hati Ke-
jam masih bisa menunjukkan kelasnya. Penabur Pasir
tewas dalam pertarungan yang mengerikan itu. Setelah
Bidadari Hati Kejam yang terluka diobati oleh Mata
Malaikat, keduanya pun segera meneruskan perjala-
nan untuk mencari Hantu Seribu Tangan, kakak se-
perguruan Mata Malaikat yang berdiam di Goa Seratus
Laknat. Kedua orang berbeda kelamin yang sama-sama
tua ini, tak ada yang membuka mulut saat melewati
padang tandus yang sangat panas. Pasir-pasir yang
mereka pijak saat berkelebat, tak terlalu mereka rasakan. Masing-masing orang
menginginkan untuk segera
melalui Padang Seratus Dosa yang berhawa sangat pa-
nas ini. Sayup-sayup keduanya mendengar suara orang
merintih yang memilukan. Sesaat Bidadari Hati Kejam
seperti terdorong untuk melihat dan menyelamatkan
orang-orang yang merintih itu. Tetapi tatkala dilihatnya Mata Malaikat tak
mempedulikan, dia pun mene-
ruskan kelebatannya.
"Sinting! Siapa orang yang merintih itu" Men-
gapa Mata Malaikat tak bermaksud melihat dan meno-
long mereka" Hmmm... apakah dia mulai mencium se-
suatu yang tak mengenakan di sini" Benar-benar
mengherankan!" sungut si nenek berkonde dalam hati.
Kakek berpakaian warna hijau penuh tambalan
ini, terus saja berkelebat dengan cepatnya. Telinganya yang tajam memang
mendengar pula rintihan yang
memilukan itu. Tetapi dia tak peduli. Baginya yang
terpenting segera melewati dan menjauhi Padang Sera-
tus Dosa ini. Namun mendadak saja si nenek berkonde men-
geluarkan dengusan yang cukup keras, tatkala melihat
lima sosok tubuh berjajar berjarak tiga puluh tombak
dari hadapannya dengan sikap menghadang.
Dengusan itu didengar oleh Mata Malaikat yang
tetap memejamkan kedua matanya.
"Ada apa, Kunti?" tanyanya tanpa menghenti-
kan kelebatannya. "Apakah kau mendadak ingin buang hajat hingga kau mendengus
dan tak bisa menahan
lagi?" Lebih mendengus Bidadari Hati Kejam mendengar ejekan orang. Lalu dengan
suara keras dia mem-
bentak, "Kau terlalu dibutakan cinta mu pada Dewi
Segala Impian, dan begitu bodoh telah melakukan
sumpah untuk tidak lagi membuka kedua matamu!
Jadi kau tak bisa melihat orang-orang yang mengha-
dang di depan kita!"
"Aku memang tidak melihat karena kedua ma-
taku terpejam. Tetapi, aku bisa merasakan angin pa-
nas yang menderu itu seolah tertahan. Sejak tadi ku
rasakan angin selalu melaju kencang. Tetapi seiring
dengan terusnya kita berkelebat, kali ini deru angin
kurasa agak menyimpang. Aku yakin, tak ada pohon
atau batu besar di padang tandus sialan ini. Berarti, hanya ada orang yang bisa
menghalangi laju angin.
Dan aku yakin, orang yang menghadang itu lebih dari
tiga orang."
Kendati kagum dengan naluri yang dimiliki oleh
Mata Malaikat, seperti kebiasaannya Bidadari Hati Ke-
jam membentak, "Yang kau katakan itu memang be-
nar. Mereka berjumlah lima orang. Dan perlu kau ke-
tahui, mereka adalah orang-orang jelek celaka. Dewi
Topeng Perak, Sandang Kutung, Ratu Api, dan Bocah
Maut. Tetapi aku tidak tahu siapa gadis yang menge-
nakan pakaian biru yang kelihatannya genit meskipun
wajahnya dingin."
"Mengapa kau mengatakan genit?"
"Karena pakaiannya begitu ketat hingga mence-
tak dada serta pinggulnya. Sialan!"
Mata Malaikat hanya tersenyum saja.
"Apakah kita akan mundur dan berbalik meng-
hindar sekarang?" tanyanya namun tak mengharapkan si nenek berkonde mengiyakan
usulnya. Bidadari Hati Kejam kembali mengeluarkan
dengusan. "Urusan sudah di depan mata! Untuk apa
menghindar"!"
"Kau benar. Karena tentunya, Goa Seratus
Laknat' telah menanti kedatangan kita!"
Berjarak delapan tombak dari orang-orang yang
menghadang itu, masing-masing orang menghentikan
kelebatan. Dewi Topeng Perak dan Sandang Kutung sama-
sama mengeluarkan dengusan melihat kedua sosok
yang berkelebat tadi. Seperti yang mereka duga, tatka-la satu sosok tubuh
menyambar dan menyelamatkan
Bidadari Hati Kejam dari serangan mereka, Mata Ma-
laikat-lah yang telah menyelamatkan si nenek ber-
konde itu. Perempuan bertopeng perak yang menutupi wa-
jah hingga hidungnya, menggeram. Pakaian ketatnya
yang berwarna kuning semakin cemerlang tertimpa
hawa panas. Bibirnya yang disaput warna merah tipis
merapat. Dialah yang tadi pertama kali melihat dua kelebatan cepat dari arah
tenggara. Setelah gagal menemukan orang yang menye-
lamatkan Bidadari Hati Kejam, Dewi Topeng Perak dan
Sandang Kutung bertemu dengan Dewi Kembang
Maut. Lalu menyusul datangnya Ratu Api yang mele-
paskan api-apinya untuk menghajar Manusia Serigala
yang sejak lama membuntuti Sandang Kutung. Lalu
muncul Bocah Maut dengan gerakannya yang bergul-
ing di tanah. Karena masing-masing orang mempunyai
tujuan yang sama untuk mencari Mata Malaikat, me-
reka akhirnya memutuskan untuk bergabung. Dan
melesat melintasi
Hutan Seratus Kematian. Karena datangnya
dari arah, selatan, mereka lebih dulu tiba di Padang
Seratus Dosa. "Mata Malaikat! Sekian lama dicari, akhirnya
muncul juga untuk menerima kematian!" geram Dewi
Topeng Perak dengan suara bergetar. Wajahnya yang
tak diketahui bagaimana rupanya karena tertutup to-
peng perak, nampak tegang. Sesuatu yang selama ini
disimpan rapat dalam hatinya, seperti hendak mence-
lat keluar bertemu dengan Mata Malaikat. Sesuatu
yang dibaluri kerinduan dan dendam tinggi.
Mata Malaikat menelengkan kepala sambil ter-
senyum. "Hmmm.... Aku yakin, suara itu pernah kuken-
al. Bahkan sangat kukenal. Apakah Sunarsasi orang
yang berbicara barusan?"
Dewi Topeng Perak yang bernama asli Sunarsa-
si menggeram dingin.
"Tak salah yang kau katakan, Upasara. Me-
mang akulah orang yang berbicara tadi. Kini tiba saatnya untuk membayar segala
perbuatanmu yang lalu."
Sementara itu Bidadari Hati Kejam hanya
memperhatikan dengan hati mendumal tak karuan.
Tetapi, dia bisa melihat perubahan di kedua mata
orang berpupur putih saat Dewi Topeng Perak menja-
wab tadi. Dan sepasang matanya lebih bersinar tatkala Mata Malaikat berkata.
"Sunarsasi.... Apakah kau sudah lupa; kalau
aku tak bisa menerima cinta mu" Jangan memaksa-
kan soal cinta. Karena keadaan tak akan pernah men-
guntungkan bila hanya sepihak yang mencintai. Di
samping itu, kau tentunya sangat tahu kalau aku san-
gat mencintai kekasihku, Dewi Segala Impian!"
"Setan tua keparat! Kau boleh mengatakan se-
ribu kali kalau kau sangat mencintai Dewi Segala Im-
pian! Tetapi kali ini, jangan kau kemukakan alasan
sialan itu! Dewi Segala Impian telah meninggalkan di-
rimu tanpa alasan yang pasti. Dan hingga saat ini ti-
dak tahu di mana rimbanya."
Mata Malaikat yang mempunyai nama asli Upa-
sara itu kembali tersenyum saat berkata, "Ya. Dan itulah sebabnya ku pejamkan
kedua mataku sampai ber-
temu dengannya."
"Kau boleh berbangga dengan pendirianmu itu.
Tetapi yang ada di hatiku sekarang ini, adalah sebuah dendam. Cinta hanya sebuah
sampah busuk!!" Mata
Malaikat hanya tersenyum.
"Tetapi, kau pernah mencintai ku, bukan?"
Sementara itu, gadis yang mengenakan pakaian
biru ketat yang tak lain Dewi Kembang Maut adanya,
membatin, "Mata Malaikat mencintai guruku" Oh! Lalu Guru meninggalkannya" Ada
apa ini" Apakah ini sebabnya mengapa Guru menyuruhku untuk menca-
rinya" Tetapi untuk apa" Bukankah dia sudah me-
ninggalkannya?"
Sedangkan Bidadari Hati Kejam membatin,
"Aneh! Pandangan Sandang Kutung yang tadi tajam, mengapa kini kelihatan resah"
Dan nampaknya dia berusaha untuk tidak bersikap resah seperti itu. Hmm...
ada apa ini?"
Mata Malaikat berkata lagi, "Sunarsasi... men-
gapa kau menutupi wajahmu dengan topeng perak itu"
Apakah kau memang tak ingin dikenali lagi oleh orang-
orang rimba persilatan?"
"Nama asli ku telah lama tenggelam dengan
berkibarnya julukanmu. Tetapi sekarang, orang-orang
mengenalku dengan julukan Dewi Topeng Perak."
"Apakah dengan cara menutupi wajah, kau
berharap orang tak mengenalimu lagi" Paling tidak, diriku". Hmmm... Sunarsasi,
suaramu masih kuingat
betul. Percuma kau menutupi wajahmu dengan topeng
perak itu."
Sebelum Dewi Topeng Perak melanjutkan kata,
Ratu Api yang masih kelihatan cantik dan mengenakan
pakaian warna merah yang terbuka di kedua bahunya
dan terbelah hingga pangkal paha berkata dingin, "Kalau waktu itu kau berhasil
membunuh kekasihku, Resi
Wajah Dewa, kali ini kau tak akan berhasil menghin-
darkan maut yang akan kuturunkan, Mata Malaikat"!"
Mata Malaikat tersenyum kembali, kepalanya
bergerak ke kiri di mana Ratu Api berada di samping
kanan Sandang Kutung.
"Ratu Api. Seperti katamu waktu lalu, kau tak
punya urusan denganku, begitu pula sebaliknya. Resi
Wajah Dewa telah termakan oleh tindak tanduk adik-
nya yang berjuluk Resi Durjana Tangan Sakti. Menga-
pa tidak kita sudahi urusan panjang yang sebenarnya
tidak kita punyai ini?"
"Berbicaramu sudah kelewat batas, Mata Ma-
laikat! Kau harus membayar nyawa Resi Wajah Dewa!!"
Habis bentakannya, Ratu Api siap melepaskan puku-
lan 'Api Jahanam'-nya yang mengerikan. Tetapi urung
ketika orang berpupur putih yang mengenakan pa-
kaian coklat gombrang berkata,
"Menghancurkan dirimu saat ini sangat mudah,
Mata Malaikat. Tetapi, biarlah Dewi Topeng Perak, Ra-
tu Api, dan Bocah Maut yang menghadapimu. Dan
kau, Kunti Pelangi! Kau harus membayar nyawa Pena-
bur Pasir yang tewas di tanganmu!!"
"Sandang Kutung! Aku juga punya urusan den-
gannya!!" sambar Dewi Topeng Perak keras.
Sementara si nenek berkonde mengeluarkan
dengusan dengan mata disipitkan.
"Omongan mu sudah setinggi langit dan sebe-
sar gunung, Sandang Kutung! Urusan yang panjang
memang telah membentang di antara kita. Sudah se-
harusnya semuanya diselesaikan! Tetapi, ada satu per-
tanyaan yang tersirat di hatiku!"
"Aku suka mengabulkan permintaan terakhir
dari orang yang hendak kubunuh! Katakan!"
"Sandang Kutung. Wajahmu selalu tertutup
pupur putih yang kau gunakan. Katakan, siapa kau
sebenarnya?"
Sepasang mata tajam orang berpupur putih
dengan rambut panjang digelung ke atas itu melebar.
Tak disangkanya kalau pertanyaan itu yang didengar-
nya. Seraya menindih kegeramannya mendapati perta-
nyaan si nenek berkonde, dia menjawab sambil meng-
geram, "Belum saatnya kukatakan siapa aku. Tetapi, kau sudah mengenalku sebagai
Sandang Kutung."
"Sayangnya... aku menangkap satu isyarat
aneh yang sepertinya kau tutupi sejak lama. Banyak
yang tak nampak di depan mata dan membuat kita
penasaran. Seperti wajah di balik pupur putih itu."
"Jangan campuri urusan pribadiku, Kunti!!"
Si nenek berkonde tersenyum. "Hhh! Bila kau
tak mau mengatakannya, akan kukatakan apa yang


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuduga dalam hatiku ini. Apakah salah bila kukata-
kan...." "Nenek berkonde bau tanah! Lebih baik kau pergi ke akhirat!!"
Habis kata-katanya, Sandang Kutung sudah
berkelebat melesat ke arah Bidadari Hati Kejam. Tan-
gan kanan dan kirinya digerakkan dengan cepat.
Wuuut.! Wuuttt!
Dua rangkum angin deras menyambar ke arah
si nenek berkonde yang menggeram lalu melompat ke
samping. Saat melompat itu tangan kanannya dipen-
tangkan dan segera digerakkan dengan cepat.
Wusss! Sandang Kutung langsung merunduk dan men-
girimkan satu tendangan ke arah kepala Bidadari Hati
Kejam yang mengeluarkan dengusan seraya mengi-
baskan tangan kirinya.
Plak! Benturan yang sangat kuat terjadi. Sandang
Kutung terhuyung ke belakang dan hampir terjeng-
kang bila saja dia tak segera mengendalikan keseim-
bangan. Sementara Bidadari Hati Kejam hanya berdiri
tegak dengan pandangan tajam. Kendati demikian, tu-
buhnya agak bergetar.
"Jelas sekali kalau aku tak akan mampu meng-
hadapi nenek sialan ini. Tetapi, inilah kesempatan bagiku untuk membunuh nenek
lancang yang memaksa-
ku untuk mengatakan siapa aku sebenarnya!" geramnya dengan kemarahan yang
tinggi. Habis menggeram begitu, kedua tangannya di-
kibaskan ke atas dan dipentangkan ke kanan dan kiri.
Lalu dikatupkannya dan dengan teriakan mengguntur,
perempuan berbaju coklat gombrang itu sudah mener-
jang ke muka. Bidadari Hati Kejam mendengus. Tak mau di-
rinya dihajar, si nenek berkonde pun sudah menerjang
pula. Sementara itu Mata Malaikat yang sejak tadi
terdiam tetap dengan memejamkan kedua matanya,
menelengkan kepala. Diam-diam dia membatin, "Bidadari Hati Kejam sepertinya tahu
siapa orang berpupur
putih yang bernama aneh itu. Siapa dia sebenarnya"
Mengapa dia menyamarkan wajahnya dengan cara
memupur dirinya sendiri?" Lalu terdengar ucapannya dengan nada menyesali
keadaan, "Segala urusan sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan damai. Tak
per- lu membuka urusan lama saat ini. Masing-masing
orang bertujuan mencari Hantu Seribu Tangan!"
"Orang tua keparat! Apakah kau lupa, kalau
aku menghendaki kematianmu?" geram Ratu Api se-
raya maju selangkah.
"Kematian ada di tangan Yang Maha Kuasa.
Bukankah itu jalan yang paling utama?"
"Jangan menjual khotbah bila sudah ingin
mampus!!" Habis bentakannya, perempuan berbaju merah
terbuka di bagian bahu itu langsung mencelat ke mu-
ka. Saat berkelebat, pakaian panjangnya yang terbelah hingga ke pangkal paha
memperlihatkan bongkahan
pahanya yang putih mulus. Bocah Maut yang berdiri di
sisinya menelan ludah. Lalu menindih gejolak bira-
hinya yang mendadak muncul.
Dilihatnya Ratu Api sedang mengibaskan len-
gan kanannya. Segera saja menghampar angin panas
ke arah Mata Malaikat yang menelengkan kepalanya.
Tangan kanannya yang memegang tongkat pu-
tihnya digerakkan dengan cara memutar.
Wusss! Sinar putih melesat dan membentuk lingkaran.
Menelingkupi hawa panas yang dilepaskan oleh Ratu
Api, sekaligus memupusnya. Tiba-tiba Mata Malaikat
melengak tatkala mendengar deruan menggebah di
atas pasir-pasir panas itu.
"Hmmm.... Bocah Maut tentunya telah ikut
campur urusan ini," desisnya dalam hati. Dari memutar tongkatnya tadi, mendadak
saja tongkatnya dilem-
parkan, menancap tiga tindak di hadapannya hingga
setengah, bagai sebuah patok.
Deru di atas tanah yang memang berasal dari
gulungan tubuh Bocah Maut yang kendati tak menge-
nakan pakaian, tetapi manusia cebol itu mampu me-
nahan pasir-pasir panas yang mau tak mau melekat
pada tubuhnya, mendadak membuang tubuh ke kiri
bila tak ingin gulungan tubuhnya di pasir itu meng-
hantam tongkat putih Mata Malaikat. Sementara itu,
dengan tekanan kaki kanannya, Mata Malaikat telah
menggenggam tongkat putihnya lagi yang tadi terta-
nam hingga setengah di pasir-pasir panas itu,
"Sialan! Kupikir dengan menyerangnya secara
tiba-tiba dia dapat kuhajar!" geram si cebol itu. Anggota tubuh di bagian
wajahnya yang rata-rata besar itu
seluruhnya seperti bergerak-gerak.
Ratu Api yang tadi mencelat dan hinggap di ta-
nah, tak mau bertindak ayal lagi. 'Api Jahanam'-nya
telah di lepaskan. Sedangkan Bocah Maut, dengan ge-
ramannya yang tinggi telah berguling kembali mengu-
langi serangannya yang gagal.
Dewi Topeng Perak yang juga menginginkan
kematian Bidadari Hati Kejam pun tak mau tinggal di-
am. Pikirnya, Mata Malaikat tak akan bisa menghindar
lagi sekarang. Berarti, menghabisi Bidadari Hati Kejam lebih diutamakan. Dengan
cara membantu Sandang
Kutung, dia berharap Bidadari Hati Kejam cepat me-
nemui ajal. Serangan-serangan maut dari kedua orang itu
pun segera menerjang Bidadari Hati Kejam dengan
masing-masing orang berkeinginan untuk menyelesai-
kan pertarungan dalam waktu singkat. Terutama Dewi
Topeng Perak yang berkeinginan untuk membunuh
Mata Malaikat. Gadis berbaju biru ketat yang memperlihatkan
busungan buah dadanya yang montok dan cuatan
pinggul yang menggairahkan, membatin, "Hmmm... ki-ni mulai agak jelas mengapa
Guru Dewi Segala Impian
memerintahkan ku untuk mencari dan membunuh
Mata Malaikat. Ternyata, di antara Guru dengan orang
tua yang selalu memejamkan kedua matanya itu telah
terjadi sebuah jalinan asmara. Lalu Guru meninggal-
kannya. Tetapi, yang membuatku bertambah bingung,
bila Guru sudah meninggalkan Mata Malaikat, menga-
pa dia menyuruhku mencari dan membunuhnya" Ada
urusan apa sekarang ini" Sayangnya, Guru tak hadir
di sini. Entah di mana dia berada. Cukup lama aku tak berjumpa dengannya. Tetapi
sekarang, Mata Malaikat
sudah di depan mata. Jelas kalau aku sendiri yang
menghadapinya tak akan mampu. Sebaiknya, ku li-
batkan diri bergabung bersama Ratu Api dan Bocah
Maut." Memikir demikian, Dewi Kembang Maut sudah mencelat ke muka dengan kedua
tangan membuka yang dihentakkan dengan keras.
*** Bab 2 Berjarak ratusan tombak dari pertempuran itu,
seorang pemuda mengenakan pakaian berwarna kee-
masan, mulai menginjakkan kakinya di bagian terakhir
dari Padang Seratus Dosa. Berjarak puluhan tombak
dari tempatnya berdiri, sepasang matanya yang tajam
melihat gugusan batu kapur yang sangat luas sekali,
yang sesekali terlihat kapur-kapur itu seperti terseret angin dan pecah
memburai. Diperhatikannya sekitar
tempat itu dengan seksama dan dalam keadaan ber-
siaga. Berjarak lima belas tombak di hadapannya, ber-
jajar pepohonan yang cukup tinggi.
Sementara itu, satu sosok berbaju putih me-
nyusul di belakang si pemuda berpakaian keemasan
yang tak lain Rajawali Emas adanya. Pemuda berbaju
putih yang baru menyusul itu berdiri di sebelah kiri, berjarak sepuluh tombak.
Rajawali Emas mengacung-kan kedua jempolnya pada orang berbaju putih itu.
Rajahan burung rajawali keemasan pada lengan kanan
dan kirinya, nampak sekali saat diacungkan jempol-
nya. Orang berbaju putih yang bukan lain Iblis Seribu Muka yang tengah menyamar
sebagai Pendekar Judi,
menganggukkan kepalanya.
Tatkala Tirta tertimbun pasir-pasir putih yang
panas itu semalaman di tengah Padang Seratus Dosa,
mendadak saja terdengar koakan dan kepakan sayap
Bwana. Dia berusaha untuk mengirimkan isyarat pada
Bwana, tetapi upaya yang dilakukannya gagal. Di saat
dia sedang memaki-maki keadaan yang menimpa di-
rinya, mendadak saja Bwana muncul kembali. Ru-
panya burung rajawali raksasa berwarna keemasan
yang mempunyai naluri tinggi itu, merasa heran men-
dapati sebuah gundukan pasir yang sebelumnya tak
pernah ada. Setelah terbebas dari timbunan pasir-pasir itu,
pemuda dari Gunung Rajawali bermaksud untuk me-
nunggangi Bwana menuju Goa Seratus Laknat tempat
Hantu Seribu Tangan berada. Tetapi urung tatkala di-
lihatnya satu sosok berbaju putih yang dikenalnya se-
bagai Pendekar Judi muncul. Entah karena apa, Tirta
menyuruh Bwana terbang sementara dia mengusulkan
satu permainan judi guna menghindari setiap anca-
man yang muncul di Padang Seratus Dosa, salah satu
tempat yang dikuasai oleh Hantu Seribu Tangan. Se-
mula Pendekar Judi palsu keheranan mendengar usul
yang ternyata cukup membingungkan. Tetapi kemu-
dian dia bisa mengerti. Tatkala Rajawali Emas sudah
mendahului, Iblis Seribu Muka pun segera mengiku-
tinya (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: " Jejak-jejak Kematian").
Masing-masing orang memperhatikan sekitar-
nya dengan penuh kesiagaan.
Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya ter-
dapat sebuah rajahan burung rajawali keemasan dan
di punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka
dipenuhi juntaian benang emas, membatin, "Tempat ini begitu angker sekali. Luas
dan dipenuhi dengan gugusan batu kapur. Hawa di sini pun tidak enak.
Mungkin karena kapur-kapur itu yang membuatnya
menjadi tidak segar. Hmm... kalau memang di sinilah
Goa Seratus Laknat berada, di bagian mana di antara
gugusan batu kapur yang luas ini goa itu berada.
Bwana yang pernah kuperintahkan untuk melacak
Goa Seratus Laknat kurasa tahu di mana goa itu bera-
da. Tetapi untuk saat ini, aku tak ingin memanggilnya dulu. Karena... aku telah
menemukan sesuatu yang
akan kumainkan."
Sementara Iblis Seribu Muka mendesis dalam
hati, "Aku yakin, di salah satu bagian gugusan batu kapur itulah Goa Seratus
Laknat berada. Tak perlu
saat ini untuk bersusah payah mencari. Biar kuikuti
saja ke mana Rajawali Emas mencarinya. Dalam kea-
daan menyamar sebagai Pendekar Judi, aku akan te-
tap aman. Bila Goa Seratus Laknat berhasil ditemukan
oleh Rajawali Emas, tibalah saat untuk membunuhnya
dan mengabdi pada Hantu Seribu Tangan dengan ha-
rapan bisa membantuku untuk menuntaskan segala
dendam pada Malaikat Judi."
Sementara itu, dari pandangannya yang men-
garah pada keadaan di hadapannya, Rajawali Emas
berseru seraya mengalihkan pandangannya pada pe-
muda yang berdiri di sebelah kirinya berjarak sepuluh tombak, "Cakra! Tahukah
kau di mana kira-kira letak Goa Seratus Laknat?"
Iblis Seribu Muka yang menyamar sebagai Pen-
dekar Judi menggelengkan kepalanya.
"Sulit bagiku menentukan di mana goa sialan
itu berada! Guruku tak pernah mengatakan tentang
Goa Seratus Laknat! Namun dia memberi tugas kepa-
daku untuk membantumu mengatasi sepak terjang
Hantu Seribu Tangan!"
"Padang Seratus Dosa telah kita lalui tanpa
gangguan yang pasti! Kupikir, Hantu Seribu Tangan te-
lah bosan karena segala permainannya di Padang Se-
ratus Dosa berhasil ku atasi! Mungkin, dia telah mem-
persiapkan permainan barunya di sekitar tempat ini, di mana ku yakini Goa
Seratus Laknat berada!"
"Kalau begitu, sebaiknya segera saja kita lacak
tempat itu, Tirta!"
"Bagus! Aku pun menghendaki demikian. Kalau
begitu, sebaiknya... heii!"
Rajawali Emas memutus kata-katanya sendiri
tatkala mendengar suara berderak beberapa kali. Di
lain kejap, kakinya mundur satu tindak dengan kedua
mata terbeliak. Berjarak sepuluh tombak dari hada-
pannya, lima buah pohon besar mendadak saja terca-
but dari akarnya. Dan seperti memiliki sepasang kaki
layaknya manusia, lima pohon itu bergerak dengan
suara berdebam. Daun-daun pohon itu banyak yang
berguguran saat pohon-pohon itu bergerak!
Bukan hanya Rajawali Emas yang terperangah.
Iblis Seribu Muka yang menyamar sebagai Pendekar
Judi pun terkejut.
"Tirta! Permainan segera dimulai!"
"Kau benar! Kita hancurkan pohon-pohon itu!!"
Namun belum lagi keduanya bergerak, menda-
dak saja dua pohon yang berada di depan seperti me-
runduk dan mengayun!
Wrrrrr! Wrrrr!!
Dedaunannya banyak yang rontok saat mengi-
bas. Yang sebuah mengarah pada Rajawali Emas dan
yang sebuah lagi siap melabrak Pendekar Judi.
Masing-masing orang segera melompat meng-
hindar. Begitu menjejakkan kedua kakinya di tanah,
Rajawali Emas segera menggerakkan tangannya. Puku-
lan 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung' dilepaskan.


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blaaarrr! Pohon yang telah tegak itu seketika hancur ter-
hantam pukulan maut Rajawali Emas, salah sebuah
jurus yang diajarkan oleh Bwana di Gunung Rajawali.
Tirta yang tahu kalau pohon-pohon yang men-
dadak bergerak itu merupakan salah satu permainan
yang di ciptakan oleh Hantu Seribu Tangan, melompat
ke depan. Sebuah pohon dihajarnya kembali dengan
pukulan yang sama.
Sementara itu, Iblis Seribu Muka pun melaku-
kan yang sama. Kaki kanannya yang telah dialiri tena-
ga dalam disentakkan dan diinjakkan pada bagian ten-
gah pohon yang sedang menghajarnya. Pohon itu pa-
tah dengan menggugurkan dedaunan. Dengan penca-
lan satu kaki, Iblis Seribu Muka langsung mencelat
dengan cara berputar. Kaki kanannya kembali meng-
hajar pohon itu. Namun malang baginya, karena belum
lagi dia menguasai keseimbangannya akibat sentakan
kaki kanannya sendiri, pohon yang terakhir sudah
menderu dengan cara mendorong.
Iblis Seribu Muka memekik tertahan. Dia beru-
saha untuk menghindar. Tetapi jelas sekali kalau wak-
tu yang dipunyainya sangat sempit. Dan sebelum dis-
adari apa yang terjadi, satu sentakan kuat telah menghentikan laju pohon itu
sekaligus menghancurkannya.
Rupanya, Rajawali Emas sudah melompat den-
gan kedua kaki melurup. Dan menginjak pohon itu
hingga patah berderai. Iblis Seribu Muka sesaat meng-
geram. Tetapi kemudian diingatnya kalau dia sedang
dalam penyamaran sebagai Pendekar Judi. Buru-buru
dia berkata pada Tirta yang sedang tersenyum.
"Terima kasih atas bantuanmu, Tirta."
"Hei! Kau ini sedang bergurau atau apa, hah"
Sudah tentu saat ini kita harus saling membantu! Tadi sebenarnya aku tidak ingin
membantu, Lho! Biar tidak
ada saingan untuk mendapatkan Dewi Berlian!" selo-roh Rajawali Emas sambil
tertawa lebar. Orang di hadapannya membalas nyengir, tetapi
dalam hatinya mendesis geram, "Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Tirta. Aku
tahu Dewi Berlian mencin-taimu. Tetapi kau bersikap angin-anginan. Suatu saat,
aku akan memiliki murid Dewi Bulan itu tetap dengan
penyamaran sebagai Pendekar Judi, sebelum siapa
pun menyadari siapa aku sebenarnya."
Iblis Seribu Muka mendengar lagi kata-kata Ra-
jawali Emas, "Cakra! Kita tak bisa berdiam di sini terus menerus. Sebaiknya,
kita mulai melacak di mana Goa
Seratus Laknat berada. Apakah benar kalau... hei!!!
Tutup kedua matamu!!"
Mendadak saja batu-batu kapur yang berada
pada jarak tiga puluh tombak di hadapan mereka su-
dah menderu. Bongkahan kapur-kapur putih itu men-
celat dan menebarkan kapur-kapurnya yang bisa me-
medihkan kedua mata Masing-masing orang segera
menutup kedua mata, lalu mengibaskan tangan mere-
ka ke muka! Batu-batu kapur itu tertahan dan mence-
lat ke belakang. Mereka kembali membuka mata mas-
ing-masing dan melihat kalau batu-batu kapur itu su-
dah menderu kembali. Kali ini berjumlah puluhan. Ce-
pat, dahsyat, dan menimbulkan suara angin yang
menderu. Bahkan, salah satu batu kapur yang cukup be-
sar itu telah menghantam perut Iblis Seribu Muka. Ra-
jawali Emas segera mencelat menyambar tubuh orang
yang dikenalnya sebagai Pendekar Judi.
"Bertahan! Jangan sampai kau terhantam lagi!
Cakra! Sebaiknya kau berada di belakangku!!"
Memang itulah yang diharapkan oleh Iblis Seri-
bu Muka, sehingga dia tak perlu bersusah payah
menghadapi serangan-serangan aneh yang tiba-tiba
muncul. Dengan segala kegigihannya, pemuda dari Gu-
nung Rajawali itu berupaya menghalau sekaligus
menghancurkan batu-batu kapur yang seperti dilon-
tarkan oleh tangan raksasa dalam jumlah yang sangat
banyak. Tirta yang merasa tak mungkin menghindar,
karena di belakangnya Pendekar Judi berada dan dipi-
kirnya pemuda itu sedang kesakitan, harus berulang
kali pula terhantam batu-batu kapur itu.
"Celaka! Lama kelamaan tenagaku bisa terku-
ras menghadapi serbuan batu-batu konyol ini!!" geramnya dengan wajah cukup
tegang. Dan mendadak saja tangan kanannya digerak-
kan ke balik punggungnya. Lalu terdengar suara 'srak'
yang cukup keras. Bersamaan dengan suara itu, sinar
keemasan mencelat ke depan.
Wusss! Gelombang angin dan sinar keemasan yang
ternyata ditimbulkan oleh pedang yang dicabut Tirta
dari warangkanya memapas puluhan batu-batu kapur
yang terlontar dengan derasnya.
Pedang Batu Bintang, sebuah pedang yang be-
rasal dari batu sakti yang dinamakan Batu Bintang,
adalah sebuah pedang yang sangat sakti. Pedang itu
memancarkan sinar keemasan yang luar biasa terang-
nya. Di pangkal hulu pedang itu terdapat dua ukiran
kepala burung rajawali yang berlawanan arah semen-
tara di bagian bawahnya terdapat sebuah bintang yang
cemerlang. Mempergunakan Pedang Batu Bintang untuk
mengatasi serbuan batu-batu kapur yang selain terlon-
tar dengan derasnya juga memuncratkan kapur-kapur
yang bisa memedihkan sekaligus membutakan kedua
mata, pekerjaan Rajawali Emas agak sedikit mudah.
Entah sudah berapa banyaknya gumpalan ba-
tu-batu kapur sebesar kepalan itu terlontar dan han-
cur. Beberapa kejap kemudian, hujan batu-batu kapur
itu berhenti sama sekali. Kendati demikian, Tirta ma-
sih bersiaga. Sementara itu Iblis Seribu Muka diam-diam
menyunggingkan senyum aneh. "Hebat! Baru kali ini kulihat pedang yang begitu
hebat sekali. Rupanya, pedang yang selalu tergantung di punggung Tirta dengan
warangka yang penuh juntaian benang emas dan uki-
ran indah itu, adalah pedang yang benar-benar luar
biasa. Hmmm... aku yakin, bila aku memiliki pedang
itu, urusanku dengan Peramal Sakti atau si Malaikat
Judi akan lebih mudah di samping mengharapkan
bantuan Hantu Seribu Tangan."
Sementara itu, Tirta sudah memasukkan kem-
bali Pedang Batu Bintang ke warangkanya. Dia seketi-
ka menoleh. "Bagaimana keadaanmu, Cakra?" "Aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Terima
kasih atas ban-
tuanmu, Tirta." Lalu seperti menyesali keadaan, Iblis Seribu Muka mendesah,
"Guru menugaskanku untuk
membantumu. Tetapi pada kenyataannya, justru eng-
kau yang membantuku, Tirta." Tirta nyengir.
"Kau tak perlu berkata begitu. Untuk saat ini,
saling bantu memang sangat diperlukan. Kupikir... kita tak bisa terlalu lama di
tempat ini. Sebaiknya, kita segera melacak di mana Goa Seratus Laknat berada."
"Ya. Aku pun sudah tak sabar ingin membunuh
Hantu Seribu Tangan. Kemungkinan besar, guruku si
Malaikat Judi telah menunggu kedatanganku di Lem-
bah Sumur Tua."
"Kalau begitu, kita kembali menjaga jarak. Kau
berada di sebelah kiriku berjarak sepuluh tombak."
Tanpa banyak ucap, Iblis Seribu Muka yang
menyamar sebagai Pendekar Judi menganggukkan ke-
palanya. Lalu kembali mengambil tempat berjarak se-
puluh tombak dari samping kiri Rajawali Emas. Tatka-
la dilihatnya pemuda berpakaian keemasan lengan
pendek dengan celana kebiruan itu menganggukkan
kepalanya tanda melangkah, dia pun mulai melang-
kah. *** Bab 3 Pertarungan sengit yang terjadi di tengah-
tengah padang tandus yang sangat panas itu bertam-
bah sengit. Pasir-pasir putih yang panas telah banyak beterbangan tatkala
serangan demi serangan dilancarkan. Beberapa lubang terbentuk begitu saja
setelah terhantam pukulan sakti bertenaga dalam tinggi saat
gagal mengenai sasarannya. Masing-masing orang
yang berada di sana telah dipenuhi keringat dengan
tenaga yang mulai terkuras. Rasa haus mulai menyik-
sa. Tetapi tak ada yang mempedulikan. Karena, lengah
sedikit saja berarti maut.
Bidadari Hati Kejam yang menghadapi Sandang
Kutung dan Dewi Topeng Perak benar-benar menden-
gus. Dua lawannya yang masing-masing orang menu-
tupi wajah dengan topeng perak dan pupur putih yang
cukup tebal, tak mau membuang setiap kesempatan
yang datang. "Benar-benar kurang ajar!" maki si nenek berkonde seraya mencelat ke belakang
tatkala hamparan
angin dahsyat yang dilepaskan Sandang Kutung mela-
brak ke arahnya.
Begitu kedua kakinya menginjak pasir-pasir
panas itu, si nenek berkonde langsung mencelat ke
muka setelah berputar setengah lingkaran. Senjata
pengebutnya telah dipergunakan. Tak tanggung lagi,
jurus 'Rangkai Bunga Habisi Kumbang' telah dipergu-
nakan. yang sekarang sedang menyerang balik Dewi
Topeng Perak yang berkali-kali memekik tertahan. Di-
kejap lain, Sandang Kutung mengatupkan kedua tan-
gannya di depan dada. Kaki kanannya di geser seten-
gah lingkaran ke belakang. Kaki kirinya ditekuk siku-
siku. Kejap lain, terlihat kedua telapak tangannya mulai memerah dan tubuhnya
bergetar sedikit. Tangan-
nya yang memerah itu bukan hanya pada telapak tan-
gannya, melainkan hingga ke pergelangan tangan.
Hanya karena tertutup pakaian coklat gombrongnya
saja sehingga tidak nampak. Dan mendadak saja dari
kedua tangannya yang memerah itu mengeluarkan
asap yang sangat wangi sekali.
Di kejap lain, dia sudah menggebah dengan te-
riakan mengguntur ke arah Bidadari Hati Kejam. Ge-
rakannya seperti orang meluncur ke dalam sungai.
Dan anehnya, tubuhnya masuk ke dalam pasir-pasir
panas itu yang muncrat hingga setengah tombak!
Si nenek berkonde tercekat kaget. Dia sampai
terjingkat ke belakang, sekaligus menghindari seran-
gan Dewi Topeng Perak. Dan mendadak Saja kedua
kakinya yang menginjak pasir-pasir putih yang panas
itu tergetar. Segera saja dia terjingkat dan berguling ke belakang.
Menyusul terdengar suara cukup keras....
Brooolll!! Pasir-pasir putih di mana kedua kaki si nenek
berkonde tadi memijak, kini terangkat. Dan muncul
tubuh Sandang Kutung dengan gerakan tegak lurus
pada langit. Aroma wangi dari asap putih yang keluar
dari kedua tangannya yang memerah itu semakin kuat
menyebar. Bidadari Hati Kejam menggeram, "Sinting! Ilmu
apa yang dipergunakan orang berpupur putih itu"!"
Sandang Kutung mengeluarkan pekikan terta-
han dan buru-buru membuang tubuh ke samping. Di
saat Bidadari Hati Kejam memburu, Dewi Topeng Pe-
rak sudah menyerang hebat sekaligus menghalangi
niatnya untuk mencecar Sandang Kutung.
"Keparat!" maki Bidadari Hati Kejam seraya
memutar tubuh dan menggerakkan tangan kanannya
yang memegang senjata pengebut.
Sebelum dia berbuat, Dewi Topeng Perak yang
tahu kehebatan senjata pengebut di tangan si nenek
berkonde sudah keburu menghindar dan melurup
dengan kaki kanan siap menghajar pecah kepala si
nenek berkonde.
Bidadari Hati Kejam mengeluarkan dengusan.
Tangan kirinya diangkat.
Des! Benturan keras terjadi. Si nenek berkonde ter-
huyung ke belakang tiga tindak. Sementara Dewi To-
peng Perak setelah merasa seperti menghantam dind-
ing yang sangat tebal, langsung memutar tubuh dan
hinggap berjarak lima tombak dengan si nenek ber-
konde. Hanya sesaat Dewi Topeng Perak menghentikan
gerakannya. Setelah mengatur napas dan merasa
mampu untuk mengatasi si nenek berkonde yang tadi
sempat dibuatnya terhuyung, dia kembali menderu.
Sementara orang berpupur putih itu membatin
geram, "Kendati berdua dengan Dewi Topeng Perak, sangat sulit sekali mengatasi
kesaktian si nenek celaka itu. Tak ada jalan lain sekarang. Terpaksa aku harus
mengeluarkan ilmu pamungkasku yang tak banyak di-
ketahui orang, 'Terobos Bumi Tumbangkan Langit'."
Diperhatikannya bagaimana Bidadari Hati Ke-
jam Mata Malaikat yang sedang mendesak Ratu Api,
Bocah Maut, dan Dewi Kembang Maut seketika meno-
lehkan kepalanya tatkala mendengar suara dahsyat
tadi. Menyusul cuping hidungnya menangkap aroma
wangi sekali. Sejenak terlihat dia tergugu sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Aroma wangi itu... oh! Tak mungkin... tak
mungkin wangi itu berasal darinya...," si kakek yang selalu memejamkan kedua
matanya itu membatin dan
mendadak merasa hatinya sangat galau. Berulang kali
cuping hidungnya bergerak seolah menghendaki aroma
wangi itu tercium lebih banyak.
Serangan pada ketiga lawannya mendadak saja
jadi sedikit mengendor. Dan terlihat pula kalau men-


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadak saja orang tua berpakaian hijau penuh tamba-
lan itu menjelma menjadi orang dungu. Kesempatan
itu dipergunakan oleh Ratu Api untuk melepaskan pu-
kulan 'Api Jahanam'-nya yang mengerikan.
Mata Malaikat yang tiba-tiba saja menjadi ter-
ganggu pikirannya dengan aroma wangi yang seper-
tinya sangat dikenalnya, masih sempat bergerak. Nalu-
rinya seolah mengatakan ada bahaya yang mengancam
dan dia berhasil menghindari lesatan api-api itu. Teta-pi dia terhuyung tatkala
Bocah Maut sudah berguling
dengan gerakan yang sangat cepat dan menabrak ke-
dua kakinya. Sementara gadis berpakaian biru ketat
sudah mencelat dan mengirimkan satu pukulan ke da-
da Mata Malaikat.
Orang tua berbaju hijau penuh tambalan itu
terhuyung ke belakang. Dari hidungnya mengalir da-
rah segar. Anehnya, dia tak berbuat apa-apa. Justru
berdiri tegak dengan kepala ditelengkan dan cuping hidung
yang bergerak-gerak.
"Tak mungkin dia.... Tak mungkin.... Tetapi...
aroma wangi itu... aku yakin, aku yakin sekali sangat mengenalnya. Aroma itu
tentunya berasal dari ilmu
'Terobos Bumi Tumbangkan Langit'. Dan suara-suara
ledakan seperti sebuah tenaga yang menerobos tanah
dan mencelat ke atas, tentunya.... Okh!"
Kata-kata hati Mata Malaikat terputus tatkala
dirasakan satu gebahan dahsyat menderu ke arahnya.
Rupanya Bocah Maut tak mau melewatkan kesempa-
tan di depan matanya. Kendati dia cukup keheranan
melihat Mata Malaikat terdiam dan seolah tak berkein-
ginan lagi untuk mempertahankan nyawanya, dia tak
mau peduli. Wusss!! Tanpa bergerak dari tempatnya, Mata Malaikat
mengibaskan tongkat putihnya.
Sraaatt! Serangkum angin menderu diiringi sinar putih
yang terang ke arah Bocah Maut yang seketika menga-
lihkan gulingan tubuhnya ke kanan.
"Keparat!!" maki manusia cebol itu dengan wajah menekuk. Kedua tangannya
terkepal. Dilihatnya
Ratu Api dan Dewi Kembang Maut sudah menyerang
kembali. Lalu dia pun bergerak kembali dengan cepat-
nya. Mata Malaikat yang sempat tertegun dengan
kening berkerut tadi, benar-benar melayani serangan
demi serangan yang datang itu tanpa bersiaga penuh.
Akibatnya, berulang kali pukulan lawan-lawannya
mengenai sasaran. Masih untung api-api yang dile-
paskan oleh perempuan berpakaian merah itu tak
mengenai dirinya.
Bidadari Hati Kejam yang sedang kelimpungan
menghadapi serangan aneh dari Sandang Kutung dan
harus bersiaga penuh menerima serangan Dewi To-
peng Perak, mengeluarkan dengusan tatkala melihat
Mata Malaikat seperti membiarkan dirinya dihajar.
"Edan! Benar-benar sudah sinting dia!!" den-gusnya dalam hati. "Mengapa orang
tua yang termakan cinta busuk dari Dewi Segala Impian itu seperti membiarkan
tubuhnya dihajar" Sinting! Dia sudah mau
mampus rupanya!!"
Lalu seraya menghindari serangan Sandang
Kutung, si nenek berkonde mencelat ke arah Bocah
Maut yang sedang menyerang Mata Malaikat.
Kaki kanannya digerakkan dengan cepat.
Wuuut! Bocah Maut yang sedang berguling melengak.
Tetapi dia masih bisa menghindari tendangan si nenek
berkonde. Tubuhnya berputar dan kembali menderu
ke arah Mata Malaikat. Seperti menyadari kalau si ne-
nek berkonde membantunya, Mata Malaikat terjingkat.
Lalu tongkatnya digerakkan, bertepatan dengan men-
dekatnya tubuh Bocah Maut.
Des! Akibatnya, Bocah Maut terpental ke belakang
tak ubahnya sebuah bola belaka.
Sementara itu si nenek berkonde sedang men-
gibaskan tangan kirinya ke arah Dewi Kembang Maut
yang seketika urung menurunkan serangan dan terbu-
ru-buru melompat ke samping. Bersamaan dengan itu
pula tangan kanannya yang memegang senjata penge-
butnya di kibaskan. Angin deras menderu, memadam-
kan api-api yang dilepaskan perempuan berpakaian
merah. Kejap lain, tubuh Mata Malaikat sudah disam-
barnya dan hinggap lima belas tombak dari kelima la-
wannya. "Sinting! Kenapa kau membiarkan dihajar,
hah" Kalau kau sudah mau mampus, silakan mampus
sendiri! Tetapi, jangan kau bikin kepalaku pusing dan urusanku tambah banyak
karena harus mengurus dan
menguburkan mayatmu nanti!!" geram si nenek ber-
konde sambil bersiaga.
Mata Malaikat cuma menarik napas pendek.
"Kunti... aku seperti mengetahui sesuatu seka-
rang. Orang yang kucari sudah dekat," katanya agak terbata, disesali oleh
kerinduan dan penantian yang telah lama dijalani.
Bidadari Hati Kejam mendengus dan memben-
tak, "Sialan! Apa maksud ucapanmu itu, hah"!"
Tanpa mempedulikan bentakan si nenek ber-
konde, Mata Malaikat mengajukan pertanyaan yang
cukup membuat Bidadari Hati Kejam harus menge-
rutkan kening, "Adakah di antara kita ini orang yang baru hadir?"
"Sudah berulang kali kukatakan, buka kedua
matamu hingga kau bisa melihat apa yang ada di ha-
dapanmu! Tak perlu memikirkan soal Dewi Segala Im-
pian! Yang ada di padang tandus ini, hanya kita dan
kelima orang itu. Hei... awaaasss!!"
Si nenek berkonde sudah mencelat ke samping
tatkala dua serangan yang dilancarkan oleh Bocah
Maut dan Dewi Kembang Maut datang. Sedangkan Ma-
ta Malaikat sendiri menghindar sambil mengibaskan
tongkat putihnya.
Bocah Maut dan gadis berpakaian biru ketat
terpental ke belakang. Tubuh Bocah Maut bergetar he-
bat sementara Dewi Kembang Maut muntah darah dua
kali. Sandang Kutung sudah menggebah kembali den-
gan ilmu anehnya yang sekaligus mengerikan itu,
'Terobos Bumi Tumbangkan Langit'. Dia kembali ma-
suk ke dalam pasir-pasir putih yang panas, dan mun-
cul dengan tegak lurus pada langit yang menerobos
pasir-pasir dari bawah. Aroma wangi yang menguar itu
semakin tercium oleh Mata Malaikat.
"Kunti! Yakinkah kau tak ada orang lain di si-
ni?" serunya seraya menghindari serangan Ratu Api yang geram melihat keadaan
Bocah Maut yang nampak cukup parah.
"Sinting! Berapa kali harus ku jelaskan hah"!"
balas Bidadari Hati Kejam dengan bentakan yang san-
gat keras sekali.
"Tidak mungkin. Ya, ya... aku bisa... oh! Kalau
begitu.... Permata, engkau-kah yang berada di sini"!"
seruan Mata Malaikat yang tiba-tiba seolah menyentak
hati masing-masing orang dan pertarungan mendadak
saja terhenti. Masing-masing orang memandang berkeliling,
karena merasa heran dengan nama yang disebutkan
Mata Malaikat. Lalu sama-sama mengalihkan pandan-
gan pada Mata Malaikat lagi.
Dewi Topeng Perak menggeram. "Hmm.... Per-
mata. Dewi Segala Impian. Apa-apaan Upasara berkata
seperti itu" Apakah dia sudah menjadi sinting karena
tak kuasa menahan setiap serangan sehingga urusan
cinta busuknya dengan Dewi Segala Impian naik kem-
bali ke permukaan?"
Sementara itu Bidadari Hati Kejam mendesis,
"Permata" Siapa orang itu" Mengapa Mata Malaikat memanggil nama itu" Dan rasanya
tak mungkin dia
berucap tanpa maksud. Pasti dia mengetahui sesuatu
di sini. Tetapi apa" Apakah... oh! Kulihat Sandang Kutung seperti gelisah
sekali. Kedua tangannya kini tak lagi memerah seperti tadi. Dan aroma wangi yang
menguar seolah lenyap. Apakah...."
"Permata! Di manakah kau"!" seruan Mata Ma-
laikat memutus desisan hati si nenek berkonde seraya
menelengkan kepalanya berulang kali. "Lama kucari.
Apakah sekarang kau tak ingin menjelaskan mengapa
kau memutuskan hubungan denganku?"
Suara itu parau, dan cukup membuat hati tre-
nyuh. Tetapi Bidadari Hati Kejam justru mendengus.
"Tak ku sangka, kalau urusan cinta sedemikian rumit-nya. Mata Malaikat salah
seorang yang masuk dalam
petaka cinta sialan."
Selagi orang-orang di sana bertanya-tanya sia-
pa gerangan orang yang dimaksudkan Mata Malaikat,
tiba-tiba terdengar suara, pelan, dingin namun penuh
getaran, "Upasara. Aku berada di sini.... Lama kita tak
bertemu dan kita sudah sama-sama tua sekarang."
*** Bab 4 Masing-masing orang segera mengalihkan pan-
dangan pada Sandang Kutung yang barusan berkata-
kata. Orang berpupur putih dengan mengenakan pa-
kaian coklat gombrang itu, nampak berusaha tegar.
Diusahakan untuk tak membalas tatapan orang-orang
di sana. Sementara Mata Malaikat menelengkan kepa-
lanya. "Permata... kaukah itu?"
Sandang Kutung bersuara lagi, tidak seperti
suara laki-laki yang selalu diucapkannya, melainkan
suara seorang perempuan yang penuh getaran, " Ya.
Aku berada di sini, Upasara."
"Dewi Segala Impian!!" terdengar seruan keras Dewi Topeng Perak bernada terkejut
seraya mundur satu tindak. Bidadari Hati Kejam mengangguk-
anggukan kepalanya sambil merapatkan bibirnya. "Ya, ya... semula, aku memang
sudah menduga siapa Sandang Kutung adanya. Melihat gelagat dia tak mau me-
nyerang Mata Malaikat, juga perubahan wajahnya saat
Mata Malaikat berbicara dengan Dewi Topeng Perak,
aku sudah menduga seperti itu. Hmmm... kini aku ta-
hu mengapa Mata Malaikat bisa menduga kalau Per-
mata alias Dewi Segala Impian berada di sini. Ten-
tunya, dengan ilmu aneh yang dikeluarkan oleh Dewi
Segala Impian. Terutama aroma wangi yang menguar
itu. Keparat!"
Sedangkan Dewi Kembang Maut untuk bebera-
pa lama mengerutkan keningnya. Hatinya untuk bebe-
rapa saat dibuncah perasaan tak menentu. Lalu sambil
menatap tak percaya pada orang berpupur putih dan
berpakaian gombrang itu gadis ini berkata pelan,
"Guru?" Sandang Kutung mengalihkan pandangannya pada Dewi Kembang Maut. Dari
sikapnya yang berusaha untuk tak membalas tatapan orang-orang yang
menatapnya dengan bermacam pikiran, dia tersenyum.
Lalu perlahan-lahan dia menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Tangannya terangkat ke atas, membuka gelun-
gan rambutnya yang seketika tergerai hingga pinggang.
Lalu dihapusnya pupur putih pada wajahnya setelah
kedua telapak tangannya ditaburkan sebuah bubuk
putih dari sebuah tabung kecil yang diletakkan kemba-
li di balik pakaian gombrangnya.
Kejap lain, terlihatlah seraut wajah yang jelita.
Kulit pada seluruh wajahnya kuning langsat. Masih
kenyal dan menggairahkan. Hidungnya mancung den-
gan sepasang bibir tipis yang tanpa disaput apa-apa
sudah memerah. Sepasang matanya cerah dengan bu-
lu mata yang lentik dan alis yang tebal. Sangat berbeda jauh wujud perempuan ini
dengan samarannya sebagai Sandang Kutung.
Setelah itu, dibukanya pakaian gombrang cok-
latnya. Ternyata di balik pakaiannya itu terdapat se-
buah pakaian berwarna biru tua panjang yang terbelah
hingga empat bagian hingga ke pinggang. Di balik pa-
kaian panjang bagian bawah, terdapat celana panjang
warna hitam. Sungguh, sebuah getaran yang aneh kini
merasuki hati masing-masing orang. Di samping Dewi
Segala Impian memang mempunyai wajah dan bentuk
tubuhnya yang indah, sepertinya juga memiliki sebuah
pesona yang sangat sukar ditepiskan.
Sambil menatap Dewi Kembang Maut, Dewi Se-
gala Impian berkata, "Ratni Dewi... urusan telah terbuka sekarang. Lebih baik
kau kembali."
"Tetapi, Guru... mengapa" Mengapa harus ter-
jadi semua ini?" tanya gadis berbaju biru ketat itu dengan dada yang terasa
sesak. Sesak karena masih terasa sakit akibat seran-
gan balasan Mata Malaikat dan sesak karena dia sama
sekali tak menyangka kalau akhirnya jadi begini. Se-
pasang matanya lekat memandang sosok Sandang Ku-
tung yang telah membuka penyamarannya. Sementara
Bocah Maut menelan ludahnya melihat wujud perem-
puan cantik tak jauh dari hadapannya.
"Kau masih terlalu muda untuk mengetahui
semua ini, Muridku...."
"Aku tak mengerti. Guru. Jelaskan kepada-
ku...." "Terlalu banyak dan panjang yang harus dije-laskan. Lebih baik kau
kembali ke tempat kita...."
"Tetapi, Guru.... Aku...."
"Ratni... suatu saat, kau akan mengerti tentang
semua ini...." "Guru...."
"Ini perintah, Ratni!!" suara itu menggelegar.
Sepasang mata yang bagus itu menyipit. Lalu terden-
gar desisannya dingin, ditekan, "Jangan banyak bertanya lagi!!"
Dewi Kembang Maut yang bernama asli Ratni
Dewi menggigil mendengar bentakan itu. Seumur hi-
dupnya, baru kali ini dia mendengar gurunya memben-
tak. Setelah menatap dengan tatapan nanar dan tubuh


Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang agak bergetar, gadis berpakaian biru ketat itu segera berlalu dari tempat
itu. Kembali ke arah semula, menuju Hutan Seratus Kematian.
Orang-orang terpana di sana. Hanya sepasang
mata Dewi Topeng Perak yang menatap tajam pada
Dewi Segala Impian. Hatinya membatin geram, "Benar-benar keparat! Jadi selama
ini aku berkawan pada
orang yang ternyata saingan ku untuk mendapatkan
cinta Upasara! Hhh! Kalau tahu begini, sejak pertama
kali bertemu aku sudah membunuhnya."
Masing-masing orang mendengar suara Mata
Malaikat, "Permata... puluhan tahun aku berada dalam kesunyian dan kehampaan
hidup. Sekian puluh tahun
aku berusaha untuk menemukan dirimu. Apakah se-
karang kau masih melarikan diri juga untuk menje-
laskan mengapa kau meninggalkan ku?"
Sementara Dewi Segala Impian yang menyamar
sebagai Sandang Kutung menarik napas panjang, Bi-
dadari Hati Kejam justru mendengus.
"Cinta, bikin orang celaka."
"Mata Malaikat... tak seharusnya kuperguna-
kan ilmu Terobos Bumi Tumbangkan Langit' yang ten-
tunya masih kau ingat betul. Mengenai pertanyaanmu,
belum waktunya bagiku untuk menjelaskan segera
urusan yang ada di antara kita. Karena, waktulah yang akan mengatakannya."
"Aku bukan mengemis cinta darimu, Permata.
Bila kau memang tak menghendaki diriku lagi, aku
menerima. Hanya saja, beri alasan yang sekian lama
kutunggu darimu hari ini. Sehingga aku bisa meneri-
ma semua keadaan ini."
"Kukatakan tadi, aku tak bisa mengatakannya
sekarang. Jangan memaksaku, Upasara!!"
"Dalam usia yang sudah di ambang malam,
urusan masih tertahan. Apakah tak ada keinginan di
hatimu untuk mengemukakannya sekarang?"
Sepasang mata Dewi Segala Impian mengerjap-
ngerjap, menyusul air bening yang mengembang. Kejap
lain, buru-buru dia berkata sambil menindih kega-
lauan yang mendadak meraja di hatinya, "Jangan paksa aku, Upasara. Bila
kukatakan belum waktunya,
maka kau harus menunggu."
"Dewi...."
"Persoalan cinta bukan urusanku! Kau harus
tetap mampus, Mata Malaikat!!" terdengar suara keras itu dan menyusul gebahan
tubuh pada pasir-pasir putih. Rupanya, Bocah Maut yang dihajar oleh Mata Ma-
laikat tadi tak mau membuang waktu. Dia sudah ber-
guling siap mengirimkan hajaran keras.
Orang-orang di sana terpana. Mata Malaikat
siap menggerakkan tongkatnya. Namun satu deru an-
gin yang sangat hebat menderu dan menahan sekali-
gus melabrak gulingan tubuh Bocah Maut.
Memekik keras manusia cebol yang sama sekali
tidak menduga akan ada serangan dari orang yang di-
anggap kawannya. Tubuhnya terpental hebat ke bela-
kang. Pekikan itu rupanya tanda ajal telah menjemput.
Begitu tubuhnya berhenti berguling, dia meraung ke-
sakitan. Dalam dua kejap berikutnya, raungannya me-
lemah seiring dengan gulingan tubuh yang terhenti. Di kejap lain, nyawanya lepas
dari badan. Ratu Api berteriak mengguntur mendapati apa
yang menimpa Bocah Maut. Mengkelap wajah perem-
puan berpakaian merah menyala itu pada Dewi Segala
Impian yang tadi melepaskan pukulan dahsyat yang
tidak disangka pada Bocah Maut.
"Dewi Segala Impian! Kupikir kita sejalan dalam
segala urusan! Tetapi sekarang, kau sudah membuka
tirai permusuhan! Untuk saat ini, urusan bisa selesai!
Tetapi aku bersumpah, suatu saat aku akan muncul
untuk mencabut nyawamu!!"
Habis mengancam demikian, Ratu Api mencelat
ke arah Bocah Maut. Sambil membopong tubuh manu-
sia cebol yang telah menjadi mayat itu, dialihkan kembali pandangannya pada Dewi
Segala Impian yang se-
dang menatap dingin.
"Ingat kata-kataku itu, Perempuan Busuk Pe-
rusak Cinta!!" seru Ratu Api dan berkelebat kembali masuk ke Hutan Seratus
Kematian. Bidadari Hati Kejam mendesis, "Tiga orang te-
lah berlalu dan tak meneruskan langkah menuju Goa
Seratus Laknat. Pertanda apakah ini?"
Sementara itu, Dewi Topeng Perak tengah
menggeram, "Kau pandai memainkan segala peranan
mu, Permata. Bahkan kau bisa mengelabui ku! Tetapi
sekarang, urusan lama di antara kita akan dimulai
kembali!!"
Perempuan jelita berpakaian biru tua itu men-
desis dingin, "Sunarsasi! Kau pun pandai memainkan peranan mu! Sayangnya,
Upasara lebih dulu mengetahuinya! Bila kau menghendaki urusan sekarang, bisa
kita selesaikan!!"
Dewi Topeng Perak menggeram. Dia berusaha
menindih segala kegeraman dalam dadanya
"Untuk saat ini, kubiarkan urusan hingga men-
gembang panjang! Selesaikan urusanmu dengan Mata
Malaikat dan Hantu Seribu Tangan! Tetapi ingat, kau
pun akan berhadapan denganku!" Setelah keluarkan ancaman tinggi, perempuan
bertopeng perak itu menolehkan kepala pada Mata Malaikat, "Upasara! Cinta yang
ada di hati telah berbunga benci dan berbuah
dendam. Buah itu telah terpetik sebagian. Kau masih
punya urusan dengan kekasihmu yang telah membua-
tku menjadi orang dungu! Setelah urusanmu selesai,
urusan kita harus diselesaikan!! Kelak, buah dendam
itu akan terpetik seluruhnya!"
Setelah berkata demikian, Dewi Topeng Perak
melesat meninggalkan tempat itu menuju Hutan Sera-
tus Kematian. "Empat orang telah berlalu dari sini. Bukan
menuju Goa Seratus Laknat," kata Bidadari Hati Kejam dalam hati.
Terdengar helaan napas Mata Malaikat tanpa
menghiraukan ancaman perempuan bertopeng perak
tadi, "Permata... bila kau tak mau menjelaskan ala-sanmu meninggalkan ku,
katakan, urusan apa kau
mencariku dengan cara menyamar sebagai Sandang
Kutung?" "Pertanyaan itu bisa kujawab. Aku mengingin-
kan penjelasan di mana Hantu Seribu Tangan berada."
Sesaat, orang tua yang selalu memejamkan ma-
tanya terdiam. Kejap lain, dia sudah ajukan perta-
nyaan. "Ada urusan apa kau dengan Hantu Seribu
Tangan?" "Jangan banyak tanya! Itu urusanku!!" bentak Dewi Segala Impian keras.
"Kau telah memendam sekian banyak urusan
yang tak terselesaikan! Apakah saat ini pun kau hen-
dak menutupi pula mengapa kau mencari Hantu Seri-
bu Tangan?"
"Upasara... jangan memancing kemarahanku!"
"Buah kemarahan sebenarnya telah masak. Te-
tapi masih ada sebagian yang belum masak betul. Se-
lama kita berhubungan, tak pernah kudengar kau
punya urusan dengan Hantu Seribu Tangan. Bahkan,
di saat kau memutuskan hubungan denganku lalu
menghilang tanpa kabar, aku pun tidak mendengar
kau punya urusan dengan kakak seperguruanku itu.
Permata, jawab pertanyaanku itu biar rasa penasaran
hilang sebagian."
"Kau benar-benar memancing kemarahanku,
Upasara!!"
Bidadari Hati Kejam yang sejak tadi diam saja
mendengus, "Sinting! Mengapa semuanya jadi berbelit-belit"!" "Nenek berkonde!
Urusan kita bisa disudahi untuk sementara sampai di sini! Tetapi, kendati aku
tak menyukai Penabur Pasir yang mati di tanganmu,
suatu saat aku akan meneruskan segala perhitungan
di antara kita atas kematiannya!"
Membesi wajah si nenek berkonde mendengar
kata-kata orang. Dia hampir saja membuka mulut, te-
tapi didahului oleh Mata Malaikat, "Dewi... cintaku kepadamu terlalu dalam,
hingga sekian puluh tahun aku
melaksanakan sumpah dengan memejamkan kedua
mataku...."
"Persetan dengan urusan sumpahmu, Upasa-
ra!" putus Dewi Segala Impian. Lalu tanpa menghiraukan Mata Malaikat dan
Bidadari Hati Kejam lagi, pe-
rempuan jelita itu sudah berkelebat menuju Goa Sera-
tus Laknat. Saat berkelebat, barulah memburai air ma-
tanya "Maafkan aku, Upasara.... Maafkan aku...."
Upasara alias Mata Malaikat terdiam. Angin
panas menerpa wajahnya. Lalu terdengar katanya se-
perti pada dirinya sendiri, "Kau benar, Kunti. Aku telah menjadi dungu dan
dibutakan oleh segala cinta."
Bidadari Hati Kejam hanya mendengus saja.
Didengarnya lagi kata-kata Mata Malaikat, "Namun aku menangkap satu dentang aneh
yang akan terjadi.
Kali ini, aku seolah mendengar suara rahasia yang ada di antara Dewi Segala
Impian dan Hantu Seribu Tangan Entah rahasia apa. Tetapi, aku ingin tahu urusan
apa yang terjadi di antara mereka...."
"Aku tak mau tahu urusanmu! Dan aku tak
mau tahu apa yang hendak kau lakukan sekarang
atau nanti! Bila kau masih mau berdiam di sini dan
benar-benar menjadi dungu, silakan! Sekali lagi kuka-
takan, itu bukan urusanku! Aku hendak meneruskan
langkah menuju Goa Seratus Laknat!"
Mata Malaikat menarik napas panjang, "Begitu
pula denganku...."
Lalu kedua orang itu segera berkelebat ke arah
perginya Dewi Segala Impian. Bidadari Hati Kejam
sampai keluarkan dengusan berkali-kali. Dia benar-
benar tak mengerti tentang urusan cinta. Tetapi men-
dadak saja dia teringat pada Manusia Pemarah, lelaki
pemarah yang sampai setua ini masih mencintainya.
Diam-diam si nenek berkonde jadi resah sendiri. Na-
mun di kejap lain, dia sudah menyumpah-nyumpah
dan menindih segala ingatan yang muncul tentang
Manusia Pemarah.
Lima tarikan napas berlalu dan Padang Seratus
Dosa kembali dirajam sepi, mendadak saja pasir-pasir
berjarak dua puluh tombak dari tempat pertarungan
tadi terangkat perlahan. Satu sosok tubuh tinggi besar keluar dari sana.
Orang berkepala plontos yang baru muncul dari
pasir-pasir panas itu menggeram. Bibirnya tebal den-
gan hidung besar. Mata kirinya, tertutup sebuah kulit warna putih yang dikaitkan
di belakang kepala. Dia
mengenakan pakaian putih yang terbuat dari bulu he-
wan. Terbuka di bahu sebelah kanan. Di lehernya
menggantung sebuah kalung berbandul taring sebesar
pergelangan lengan yang berkilau-kilau tertimpa panas di padang tandus itu.
Kedua lengannya yang gempal
dan besar terdapat sebuah gelang yang sepertinya ter-
buat dari taring-taring seekor hewan. Begitu pula dengan pergelangan kedua
kakinya "Tak kusangka, sekian tahun dicari ternyata
berjumpa di sini! Bidadari Hati Kejam! Aku yakin, kau tak akan pernah menyangka
kalau aku masih hidup!
Dengan ilmu 'Mati Tanah' yang membuatku bisa ter-
benam di jenis tanah apa pun juga dan kekuatan pen-
dengaranku bila sudah terbenam di tanah, aku bisa
tahu apa yang terjadi. Sebenarnya, saat pertarungan di antara orang-orang itu
terjadi tadi, aku sudah melihatnya. Lalu dengan bergerak mempergunakan ilmu
'Mati Tanah' menyusur di dalam tanah dan mendekam
sambil mendengarkan semua yang terjadi, aku berhasil
lolos dari pandangan dan tak seorang pun yang men-
getahui kedatanganku.
Hmm... masing-masing orang menuju Goa Se-
ratus Laknat untuk mencari Hantu Seribu Tangan.
Persetan dengan urusan itu! Yang kuinginkan adalah
nyawa Bidadari Hati Kejam!! Nenek berkonde keparat!
Beruang Mambang akan datang mencabut nyawamu!!"
Orang berkepala plontos tinggi besar ini memi-
cingkan kedua matanya. Kejap lain, dia sudah berge-
rak. Sungguh hebat apa yang diperlihatkannya, tu-
buhnya yang besar itu seolah tak mengganggu gera-
Rajawali Emas 8 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pendekar Seribu Diri 3
^