Jejak Jejak Kematian 3
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian Bagian 3
mereka. Yang bersuara tadi, seorang gadis yang me
ngenakan pakaian merah muda dengan sebuah ber-
lian menjuntai tepat di tengah keningnya dan seka-
rang masih tertawa-tawa. Sementara yang seorang lagi,
seorang lelaki tua berambut dikuncir dengan pakaian
putih yang agak kusam.
Sejenak kehadiran kedua orang itu membuat
Pendekar Judi dan Angin Racun Barat terdiam.
Gadis yang di keningnya terdapat sebuah ber-
lian menghentikan tawanya dan membentak karena
kedua orang itu seperti tergugu,
"Pendekar Judi! Jangan bersikap seperti orang
dungu" Bila kau merasa terganggu, ya maaf saja! Ayo,
Kek! Daripada mengganggu orang yang sedang paca-
ran, lebih baik kita teruskan perjalanan! Aku yakin, inilah Hutan Seratus
Kematian! Huh! Di mana ya Kang
Tirta berada" Apakah dia sudah tiba di hutan ini pu-
la?" Si Kakek yang kedua matanya selalu melotot ha
nya mengeluarkan dengusan pendek. Dan berjalan
mendahului si gadis yang tengah nyengir pada Pende-
kar Judi. "Maaf ya, Kang Cakra.... Aku tidak bermaksud
mengganggu pacaranmu, lho. Sekarang kau bisa me-
neruskan bermesraanmu lagi!"
Lalu sambil tertawa, si gadis mulai melangkah.
Pendekar Judi justru menahan langkah keduanya,
"Tunggu!"
Gadis berpakaian merah muda itu menghenti-
kan langkah dan nyengir lagi. "Kenapa sih" Marah karena tiba-tiba aku dan Kakek
Manusia Pemarah mun-
cul di sini" Bukannya...."
"Maaf... aku tidak mengenalmu. Juga orang tua
yang kau juluki Manusia Pemarah," sahut si pemuda dengan suara bimbang.
Si gadis yang tak lain Dewi Berlian adanya me-
ngerutkan kening mendengar kata-kata orang yang
sama sekali tidak disangkanya. "Sinting! Kenapa dia jadi bersikap kaku seperti
itu" Apakah karena gadis di sisinya?" desisnya dalam hati. Sambil memperlihatkan
cengirannya lagi, dia berkata, "Wah! Baru beberapa ha-ri saja tak jumpa, sudah
berlagak bodoh. Aku menger-
ti, kok. Pokoknya...."
"Sekali lagi maaf, aku benar-benar tidak tahu
siapa kau adanya."
Kali ini Dewi Berlian mengerutkan keningnya,
sementara Manusia Pemarah yang sudah melangkah
sejauh tiga tombak, menghentikan langkahnya dan
mendengus. "Anak gadis! Kalau kau mau meneruskan perja-
lanan, ayo cepat! Kau tak perlu urusi orang yang se-
dang bermesraan! Apakah kau tidak berpikir, kalau
Rajawali Emas, pemuda yang kau cintai itu barangkali
saja sedang berada dalam pelukan seorang janda
kembang yang montok?"
Si gadis melotot gusar dengan bibir cemberut.
"Apa kau tidak dengar kata-kata pemuda ko-
nyol ini" Enak saja dia bilang tidak kenal dengan kita Mentang-mentang sudah
bersama seorang gadis, dia
jadi lupa"! Huh! Dipikirnya, kita mau mengganggu dia
pacaran apa?"
Tanpa menghiraukan kata-kata si gadis yang
sebenarnya cukup menyakitkan, pemuda berbaju pu-
tih itu mengatupkan kedua tangannya di dada.
"Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membi-
ngungkan kalian. Tetapi pada kenyataannya, justru
aku yang bingung melihat sikap kalian. Sungguh! Aku
tak mengenal kalian sama sekali."
Manusia Pemarah berkata dengan nada me-
nyentak, "Sontoloyo! Apa gurumu mengajarkan kau
untuk melupakan orang-orang yang kau kenal?"
"Tetapi, aku sama sekali tak mengenal kalian
sebelumnya. Dan baru kali ini berjumpa," sahut si pemuda dengan nada meyakinkan.
Sebelum Manusia Pemarah berkata, Dewi Ber-
lian sudah mendengus, "Baru beberapa hari berpisah, sudah lupa. Memang, biasanya
seperti itu bila sudah
berjumpa dengan pujaan. Sudahlah, Kang Cakra. Ka-
lau yang kau maksudkan ini adalah guyonan, jelas ti-
dak lucu sama sekali. Ayo, Kek! Kita tinggalkan orang
yang berubah menjadi dungu ini."
"Tunggu! Katakanlah kepadaku, siapa kalian
sebenarnya?"
Kali ini Dewi Berlian menghentakkan kaki ka-
nannya dengan jengkel. Lalu dengan suara ditahan ka-
rena geram, dia mendengus, ingat baik-baik! Nama ku
Dewi Berlian. Dan kakek ini Manusia Pemarah. Apa la-
gi yang hendak kau tanyakan, hah?"
"Bagaimana kalian bisa mengenalku?" aju si
pemuda tanpa menghiraukan geraman si gadis.
"Sinting! Jangan-jangan kau salah makan,
Kang Cakra. Atau... kesambet jin penunggu hutan ini.
Sudahlah. Aku tahu kau suka bergurau, tetapi aku ti-
dak suka dengan gurauanmu kali ini."
"Sungguh! Aku tidak sedang bergurau saat ini!"
Dewi Berlian membuka kedua matanya lebih lebar me-
natap wajah si pemuda yang nampak bersikukuh den-
gan kata-katanya.
"Kenapa dia jadi begini" Apakah gadis yang be-
rada di sisinya itu telah membuatnya lupa akan sega-
la-galanya?" tebak hati Dewi Berlian. Lalu katanya,
"Pendekar Judi. Ingatkah kau dengan Kang Tirta, pemuda yang berjuluk Rajawali
Emas?" Ingat" Rajawali Emas" Maaf, aku memang per-
nah mendengar julukan yang menggegerkan itu. Tetapi
aku tidak pernah berjumpa sama sekali dengannya,
sehingga aku tidak bisa mengingatnya."
"Apa-apaan sih kau ini?" sentak Dewi Berlian lagi. "Waktu pertama kali kita
bertemu, kau mengatakan sedang mencari Rajawali Emas. Karena gurumu
memerintahkanmu untuk membantu sekaligus me-
musnahkan Hantu Seribu Tangan:"
"Tidak. Guruku tidak pernah memerintahkanku
untuk mencari Rajawali Emas. Tetapi untuk mencari
Hantu Seribu Tangan, memang Guru memerintahkan-
nya kepadaku."
Tak peduli pandangan heran pemuda di hada-
pannya, Dewi Berlian meneruskan kata, "Waktu itu
kau mengatakan tidak tahu di mana Hantu Seribu
Tangan berada. Ketika Kang Tirta menanyakan tentang
Goa Seratus Laknat, kau mengatakan...."
"Tunggu! Aku tak pernah mengatakan apa-apa
kepadamu dan Rajawali Emas. Bertemu denganmu
pun baru kali ini. Dan aku belum pernah bertemu
dengan Rajawali Emas," sela Pendekar Judi yakin, sementara Angin Racun Barat
yang hanya mendengar-
kan percakapan itu mengernyitkan kening.
"Mengapa bicaramu jadi berbelit-belit, hah"!"
sentak Dewi Berlian gusar.
Sebelum Pendekar Judi yang dibiasi keheranan
menyahut, Manusia Pemarah sudah berkata dengan
kebiasaannya yang selalu membentak dan mata selalu
melotot, "Sontoloyo! Pendekar Judi! Urusan kau mengingat atau tidak siapa kami
dan Rajawali Emas, itu
urusan belakangan. Tetapi sekarang jawab perta-
nyaanku. Apa yang menyebabkanmu jadi plin-plan se-
perti ini, hah?"
Pemuda ini mengalihkan pandangannya pada
Manusia Pemarah.
"Kakek... aku tidak tahu apa yang dikatakan
oleh gadis itu. Aku belum pernah berjumpa dengan-
nya. Dan semua yang dikatakannya, cukup menghe-
rankan ku."
"Sontoloyo! Siapa kau sebenarnya"!"
"Namaku Cakra. Orang-orang sering memang-
gilku Pendekar Judi, murid dari Peramal Sakti."
"Sontoloyo! Kalau kau sudah mengakui semua "
itu, mengapa kau tak mengatakan yang sebenarnya,
kalau yang dikatakan gadis ini benar?"
Tidak! Aku tidak bisa mengakuinya karena aku
memang tak pernah melakukan apa yang dikatakan-
nya." Manusia Pemarah mengalihkan pandangan pa-
da Angin Racun Barat yang sejak tadi mengerutkan
keningnya. "Anak gadis! Siapa kau adanya?"
Merasa pertanyaan harus dijawab, semata un-
tuk memulihkan kesimpangsiuran yang terjadi, Angin
Racun Barat berkata, "Namaku Diah Srinti atau sering dijuluki Angin Racun Barat.
Guruku Iblis Cadas Siluman." "Sejak kapan kau bertemu dengan pemuda plinplan
ini"!"
"Baru beberapa hari".
"Ceritakan, bagaimana kau bisa bertemu den-
gannya"!"
Angin Racun Barat segera menceritakan apa
yang diminta Manusia Pemarah. Setelah itu, orang tua
berkuncir itu mengalihkan pandangan kembali pada
Pendekar Judi, "Mengapa kau bisa terluka, hah" Ceritakan!" Merasa keadaan memang
harus dijernihkan,
Pendekar Judi menjawab apa yang ditanyakan Manu-
sia Pemarah. Setelah dia selesai bercerita, dilihatnya Manusia Pemarah
mengerutkan kening, manggut-manggut lalu berjalan mondar-mandir seperti mandor
kurangkerjaan. Sementara itu, Dewi Berlian membentak, "Sin-
ting! Rupanya kau tak seperti yang kuduga selama ini.
Kau tega membuatku bingung dengan segala ucapan-
mu, Kang Cakra!"
"Dewi Berlian. Aku sama sekali tidak berdusta
dan tak bermaksud membuatmu bingung. Tetapi itu-
lah yang kualami sebenarnya."
"Apakah kau telah berlaku bohong pada gadis
di sebelahmu dan kau tak ingin dia tahu siapa kau se-
benarnya"!" sentak Dewi Berlian keras yang membuat wajah Angin Racun Barat
memerah. "Tak ada yang perlu kubohongi, Dewi Berlian.
Itulah keadaan sebenarnya."
"Hhh! Bila saja sebelumnya kita tak pernah ber-
jumpa, ingin rasanya kuhajar kau sampai babak be-
lur!" "Jangan berbicara kurang ajar!!" terdengar bentakan Angin Racun Barat
bersamaan langkahnya yang
bergerak satu tindak ke depan. Walaupun sebenarnya
dia bermaksud untuk menjernihkan segala kebingun-
gan ini, tetapi mendengar ucapan orang yang bernada
melecehkan pemuda yang dicintainya, hatinya tak
urung menjadi jengkel.
Dewi Berlian yang memang sudah kesal melihat
sikap Pendekar Judi, mementangkan kedua matanya
ke arah Angin Racun Barat.
"Urusan yang ada di hadapanku ini tak ada
urus-annya denganmu!!"
"Jangan bicara ngaco! Rupanya kau perlu di-
ajar adat!!"
Mengkelap wajah Dewi Berlian mendengar an-
caman orang. Dengan kegusaran yang nyata dia maju
selangkah. "Aku tak tahu ada urusan apa kau dengan pe-
muda yang mendadak menjadi dungu itu! Bila kau...."
Bentakan Sri Kedaton alias Dewi Berlian ter-
hempas begitu saja tatkala terdengar suara keras, di-
iringi dengan suara letupan, "Sontoloyo!!!"
Di sekitar tempat Manusia Pemarah berdiri, ta-
nah muncrat hingga ke paha. Rupanya, lelaki tua ber-
kuncir ini menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.
"Kek! Jangan mengejutkanku!!" seru Dewi Berlian sementara Angin Racun Barat yang
kesal dengan sikap Dewi Berlian menindih rasa kesalnya.
Manusia Pemarah tak menghiraukan seruan si
gadis. Dia justru berjalan mendekati Pendekar Judi
sambil berkata, tetap dengan mata melotot dan suara
membentak, "Orang muda! Kau mengatakan yang
membuatmu terluka adalah Iblis Seribu Muka?"
Dengan kening berkerut, Pendekar Judi men-
ganggukkan kepalanya.
"Aku tahu sekarang! Sontoloyo! Kenapa baru je-
las!!" "Kek! Apa-apaan sih kau bicara" Lebih baik kita tinggalkan pemuda
brengsek ini! Ke mana perginya guruku dan Bidadari Hati Kejam saja kita tak
tahu" Pa- dahal kita sudah mendahului melangkah!"
Manusia Pemarah melotot, "Jalan menuju Hu-
tan Seratus Kematian bukan jalan yang enak. Dan ten-
tunya bisa ditempuh dengan beragam jalan! Hhhh! Ma-
lah aku enak tidak bersama-sama nenek berkonde
yang suka membentak itu!!" Lalu dengan mata masih melotot, dialihkan
pandangannya pads Pendekar Judi,
"Orang muda! Tahukah kau siapa Iblis Seribu Muka?"
"Aku hanya tahu kalau dia mempunyai dendam
pada guruku. Dan itu pun baru kuketahui pada saat
dia bertemu denganku. Karena, Guru sendiri tak per-
nah mengatakan soal itu kepadaku," sahut Pendekar Judi sambil mengerutkan
keningnya. "Yang kau katakan tadi benar. Sontoloyo! Dasar
sialan! Kenapa aku baru mengingatnya?"
"Kek!" sambar Dewi Berlian. "Sejak tadi kau selalu mengatakan seperti itu tanpa
kau jelaskan dengan
segera! Apakah kau memang suka mempermainkan
kata-kata?"
"Urusan mempermainkan kata-kata atau tidak
urusan belakangan. Sekarang dengar baik-baik. Ketika
kau menceritakan siapa yang membuatmu hampir
mampus itu, rasanya aku memang pernah mendengar
julukannya. Ya, ya.... Iblis Seribu Muka. Orang yang
dikalahkan oleh Malaikat Judi dua puluh tahun silam.
Keparat! Rupanya orang itu masih hidup...."
"Lalu apa maksud kata-katamu ini, Kek?" tanya Pendekar Judi, dengan nada agak
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sabar. "Sontoloyo! Jangan potong ucapanku bila tak
ingin kugampar! Aku teringat akan keahlian Iblis Seri-
bu Muka dalam hal mengubah wajah. Atau boleh dika-
takan menyamar. Dia juga pandai menirukan suara
siapa saja yang dikehendakinya. Celaka! Jawaban su-
dah terpampang sekarang."
Dewi Berlian berkata, "Jadi maksudmu.... Pen-
dekar Judi yang pernah bertemu denganku dan Kang
Tirta, lalu bertemu denganmu dan Bidadari Hati Kejam
serta Guru, adalah Iblis Seribu Muka yang menyamar
sebagai Pendekar Judi?"
"Apa lagi, hah" Sudah jelas itu jawabannya!
Sontoloyo! Akan kupatah-patahkan lehernya karena
dia bikin aku hampir nelangsa ditelan segala kesim-
pang-siuran ini."
"Jadi... dia...."
"Sontoloyo! Sejak tadi kau terus berkata 'jadi',
'jadi' dan 'jadi'! Apa tidak bisa berkata lain, hah"!"
Pendekar Judi yang sekarang mulai jelas masalah yang
cukup membuatnya terheran-heran, hanya mengang-
guk-anggukkan kepala. Lalu katanya, "Kek! Jadi...."
"Sontoloyo! Kenapa kau jadi ikut-ikutan berka-
ta 'jadi', hah"!" sentak Manusia Pemarah dengan mata melotot memutus kata-kata
Pendekar Judi. Sebelum Pendekar Judi membuka mulut, Dewi
Berlian sudah berkata, "Kau sendiri tadi berkata 'jadi'."
"Benar-benar sontoloyo! Urusan 'jadi' atau ti-
dak, urusan belakangan. Hei, Orang Muda! Apa yang
hendak kau katakan tadi?"
"Kalau yang kau katakan benar, Kek, berarti
saat ini banyak orang yang tertipu oleh tindakan Iblis Seribu Muka yang menyamar
menjadi diriku. Urusan
bisa jadi berantakan."
"Kau benar, Orang Muda!" sahut Manusia Pe-
marah Lalu menoleh pada murid Dewi Bulan. "Bocah Ayu! Lebih baik kita tinggalkan
tempat ini sekarang!
Kepalaku bisa pecah memikirkan segala urusan sialan
ini!" "Kek! Bagaimana dengan Rajawali Emas?"
tanya Dewi Berlian.
"Sontoloyo! Apakah kau tidak bisa menghilang-
kan pemuda itu barang sejenak di hatimu, hah?"
Mendengar kata-kata itu, Dewi Berlian cemberut. Lalu
mendahului melangkah dengan cara menyentak. Ma-
nusia Pemarah mendengus.
"Perempuan! Selalu bikin pusing kepala! Begitu
pula dengan Bidadari Hati Kejam! Sontoloyo! Kenapa
aku jadi teringat pada nenek jelek keparat itu" Hhh!
Urusan cinta urusan belakangan!" desis Manusia Pemarah dengan kedua tangan
terlipat. Lalu melanjutkan
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bila saja Kunti Pelangi mau menerima
cintaku" Sontoloyo! Bagaimana bisa dia menerima cintaku padahal aku be-
lum mengutarakannya"!"
Pendekar Judi yang heran melihat tingkah
orang tua berkuncir itu berkata, "Pada siapa cinta akan kau utarakan, Kek?"
Si kakek terkejut dan seketika memalingkan
kepalanya dengan kedua mata melotot.
"Brengsek! Kau mencuri dengar kata-kataku,
hah" Benar-benar sontoloyo!!"
Sambil bersungut-sungut Manusia Pemarah
melangkah menyusul Dewi Berlian.
Pendekar Judi menarik napas pendek. Angin
Racun Barat mendekatinya.
"Kang Cakra... sekarang sudah jelas kalau ada
yang menyamar sebagai dirimu. Keadaan bisa membu-
ruk. Bila orang yang menyamar itu berbuat busuk,
maka tak mustahil kau yang akan terkena getahnya."
Pendekar Judi membenarkan kata-kata murid Iblis
Cadas Siluman. "Ya. Ini memang sebuah urusan yang tak gam-
pang. Tadi gadis yang berjuluk Dewi Berlian itu men-
gatakan, Iblis Seribu Muka yang menyamar menjadi
diriku sedang menuju Goa Seratus Laknat untuk men-
cari Hantu Seribu Tangan. Dengan kata lain, bila dia
berhasil menemukan goa itu, berarti dia berada di sa-
na. Dan tujuan kita saat ini pun ke tempat itu. Diah!
Lebih baik kita susul kakek yang selalu melotot dan
marah-marah dengan gadis berbaju merah muda itu!!"
Angin Racun Barat hanya menganggukkan ke-
palanya saja. Lalu bersama-sama kedua muda-mu-
di itu berkelebat cepat, meninggalkan Hutan Seratus
Kematian di bagian utara yang kembali dibungkus
sunyi. * * * Bab 10 TATKALA kesimpangsiuran yang melanda orang-orang di bagian utara Hutan Seratus
Kematian, di Padang
Seratus Dosa yang semula hanya berupa dataran tan-
dus tanpa sebuah pohon pun yang tumbuh dengan
pasir-pasir panas yang menyilaukan, kini nampak se-
buah gundukan pasir yang cukup tinggi.
Mengherankan, karena sebelumnya gundukan
pasir itu tidak ada. Akan tetapi, di dalam gundukan
pasir itulah saat ini Rajawali Emas tengah meringkuk
dengan tubuh yang terasa sakit. Butiran pasir-pasir
panas itu seakan melesak masuk ke dalam tubuhnya.
Kedua matanya dipejamkan bila tak ingin kemasukan
pasir-pasir panas.
Bagaimana hal ini bisa terjadi"
Tatkala Tirta memutuskan untuk berlalu dari
Padang Seratus Dosa karena diyakininya akan sema-
kin banyak jebakan demi jebakan yang ada, mendadak
saja pasir sepanjang dua tombak rengkah hingga
memperlihatkan tanah liat di dalamnya. Menimbulkan
suara yang menggidikkan, pasir yang seolah terangkai
menjadi sebuah permadani, bergerak meluruk ke arah
Tirta. Tercekat si pemuda mencelat menghindar den-
gan kedua mata terbentang lebar. Namun kejap lain
dia sudah tak terkejut kembali karena disadarinya pa-
sir-pasir yang rengkah dan terangkai seperti permada-
ni itu adalah salah satu permainan dari Hantu Seribu
Tangan, orang yang menguasai Hutan Seratus Kema-
tian, Padang Seratus Dosa dan Goa Seratus Laknat.
Akan tetapi, pasir-pasir itu terus menderu
hingga menimbulkan angin yang bertambah panas.
Tak mau dirinya ditelan pasir-pasir itu, Tirta segera
meng-gebrak dengan pukulan yang dialirkan tenaga
surya. Namun yang mengherankan, ketika tenaga
surya melabrak, pasir yang terangkai mirip permadani
itu memang pecah berantakan, tetapi hanya sekejap.
Karena di lain kejap, pasir-pasir itu kembali terangkai dan bergerak
menguruknya! Sekuat tenaga dan sebisanya Tirta menghindari
serbuan pasir-pasir terangkai itu sambil terus mele-
paskan tenaga selaksa surya yang dimilikinya. Namun
setiap kali tenaga surya berhasil melabrak, lagi-lagi
pasir-pasir itu kembali terangkai. Membuat pemuda
dari Gunung Rajawali ini mengutuk habis-habisan.
Dan yang benar-benar membuat Rajawali Emas
cukup terkejut, tatkala tiga buah rangkaian pasir
menderu dan menghalangi setiap gerakannya. Hampir
memakan waktu sepenanakan nasi dan senja yang te-
lah menjelma menjadi malam, namun suasana di Pa-
dang Seratus Dosa masih panas berganda, salah satu
rangkaian pasir seperti permadani itu berhasil mela-
brak kaki kanan Tirta hingga pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini jatuh tersungkur. Kejap berikutnya, dua
rangkaian pasir lainnya telah menimbunnya sebatas
dada! Dan terus semakin naik.
Gelagapan Tirta mencoba menghentakkan ke-
dua tangannya. Namun seperti dua buah tangan rak-
sasa, timbunan pasir itu justru semakin kuat mene-
kan. Tatkala hendak dikerahkan tenaga surya, menda-
dak saja tubuhnya terasa ngilu. Rupanya, tenaga
surya yang mengandung hawa panas tinggi itu tak bisa
dikerahkan, karena sulitnya Tirta mengatur napas dan
mengalirkan tenaga surya yang berpusat pada pusar-
nya. Kendati demikian, si pemuda masih bisa bernapas
walau tersendat. Ini disebabkan karena sesungguhnya
jalan nafasnya sudah terlatih.
Dan semalaman Tirta mendekam di timbunan
pasir-pasir panas itu. Sekujur tubuhnya yang kendati
masih bisa digerakkan secara paksa dengan menge-
rahkan seluruh tenaga, sudah sangat lelah sekali, se-
mentara nafasnya mulai terputus-putus.
"Benar-benar celaka. Apa yang bisa kulakukan
sekarang?" desisnya tetap dengan kedua mata terpejam. Hidungnya sudah mulai
kemasukan pasir-pasir
itu. Begitu panas sekali berada di dalam timbunan pa-
sir yang menekan kuat dirinya. Tatkala dicobanya un-
tuk mengerahkan tenaga surya, lagi-lagi tenaga panas
itu tak bisa dikerahkan. "Apakah aku harus mati sekarang" Celaka! Aku belum
kawin! Ah, kalau tahu begini,
mau saja aku menerima Ayu Wulan, murid Manusia
Pemarah yang mencintaiku. Atau pula Andini murid
dari Dewa Bumi. Benar-benar keparat! Seluruh tubuh-
ku terasa sukar digerakkan."
Selagi si pemuda membatin kalang kabut,
sayup-sayup pendengarannya menangkap suara koa-
kan yang sangat keras sekali di luar timbunan pasir-
pasir itu. "Bwana!" desisnya dalam hati. "Oh! Dialah mungkin satu-satunya yang bisa
menyelamatkanku.
Tetapi bagaimana aku bisa memberi isyarat padanya"
Celaka!" Dicobanya untuk memanggil, namun baru saja
mulutnya terbuka, pasir-pasir yang menekan tubuh-
nya seolah berbondong-bondong mencoba masuk. Ter-
buru-buru dikatupkan kembali mulutnya.
Kembali Rajawali Emas membatin dengan ke-
jengkelan yang luar biasa.
"Benar-benar edan! Tak mungkin aku bisa me-
manggil Bwana dalam keadaan seperti ini. Oh! Ku den-
gar teriakan Bwana semakin melemah dan berarti dia
sudah menjauh. Apa berarti aku benar-benar akan te-
was di sini?"
Kembali dicobanya untuk mengerahkan tenaga
surya. Tetapi, benar-benar tak kuasa dilakukannya.
Timbunan pasir itu seolah menjelma menjadi himpit-
an sebuah gunung! Napasnya bertambah sesak. Bah-
kan perlahan-lahan Tirta mulai merasakan tubuhnya
terus terdesak masuk ke dalam tanah.
"Kalau memang aku harus mati di sini, aku bi-
sa menerimanya. Tetapi siapa yang akan mengurus
Bwana, burung rajawali raksasa kesayanganku itu"
Hantu Seribu Tangan benar-benar membuktikan uca-
pannya. Entah dengan cara apa manusia keparat itu
mampu melakukan semua ini" Hmmm... apakah suara
rintihan yang kudengar sebelum kejadian keparat ini
tadi hanyalah permainan Hantu Seribu Tangan bela-
ka" Atau, suara itu berasal dari arwah orang-orang
yang pernah dikalahkannya" Benar-benar konyol!"
Selagi si pemuda memaki-maki dalam hati
menghadapi kenyataan pahit seperti ini, mendadak di-
dengarnya kembali suara koakan yang sangat dahsyat.
"Astaga! Bukankah itu, Bwana" Mengapa dia
kembali lagi" Apakah dia kebingungan karena tak me-
nemukanku" Atau... dia melihat sesuatu" Aku tahu,
naluri yang dimiliki oleh Bwana benar-benar bisa di-
andalkan."
Apa yang diduga Rajawali Emas memang benar.
Di angkasa burung rajawali raksasa itu terbang den-
gan koakan yang sesekali terdengar dan gemuruh an-
gin yang berasal dari kepakan kedua sayapnya. Me-
nerbangkan pasir-pasir putih yang panas di bawah-
nya. Sementara itu, Tirta berusaha untuk memberi-
kan isyarat pada Bwana. Namun lagi-lagi niatnya di-
urungkan, bila tak ingin pasir-pasir yang menimbun
tubuhnya masuk ke mulutnya saat dia memberi isya-
rat panggilan pada Bwana.
"Bwana ada di sekitar sini! Berarti dialah satu-
satunya yang bisa membebaskanku dari pasir-pasir ce-
laka ini. Hanya saja... oh! Gemuruh angin itu terdengar semakin kuat dan
mendekat. Hei!!"
Terkejut Rajawali Emas ketika merasakan an-
gin dahsyat menyambar pasir-pasir yang menimbun-
nya. Berulang kali hal itu terjadi sampai kepala Tirta mulai muncul di permukaan
pasir. Segera saja dialirkan tenaga surya begitu dia bisa bernapas dengan
normal. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau gemu-
ruh angin dahsyat itu berasal dari kepakan sayap
Bwana. Memang benar yang diduga Rajawali Emas.
Berjarak lima tombak dari tempatnya tertimbun pasir-
pasir panas itu, Bwana sedang mengibaskan sayap ka-
nannya sambil mengkirik keras.
Tirta segera berseru, "Cukup, Bwana! Kau bisa
menerbangkan aku kalau kau masih menggerakkan
sayap kananmu!!" Lalu dia berbangkis berkali-kali. Butir-butir pasir yang masuk
ke hidungnya berlompatan
keluar. Tetapi angin yang ditimbulkan oleh kepakan
sayap kanan Bwana membuat wajahnya perih bukan
main. Bwana menghentikan gerakan sayapnya. Dia
mengkirik kembali, kali ini bernada gembira. Sepasang
matanya yang merah besar itu, membulat cerah.
Tirta buru-buru melompat keluar dari timbu-
nan pasir. Dia terbelalak mendapati tanah rengkah se-
dalam satu meter dari tempatnya hingga tempat Bwa-
na berada. "Luar biasa!"
Hanya dengan sekali melompat, Rajawali Emas
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tiba di dekat Bwana. Didekapnya leher burung
rajawali raksasa keemasan itu dengan penuh kasih
sayang. Terima kasih, Bwana."
Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tirta melepaskan dekapannya. Lalu memandangi tem-
pat di mana dia terpendam yang kini telah terbentuk
lubang sedalam dua meter, sambil bersiaga bila ada
hal-hal yang tak diinginkan terjadi lagi. Dia yakin, kalau Padang Seratus Dosa,
salah sebuah tempat yang
dikuasai oleh Hantu Seribu Tangan masih menyimpan
segala misterinya.
"Gila! Semalaman aku terpendam di timbunan
pasir celaka itu. Hantu Seribu Tangan. Kau berhasil
menjalankan permainanmu, dan sekarang tibalah gili-
ranku untuk membalas!"
Lalu dipalingkan kepala pada Bwana, "Sekali
lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu."
Bwana mengkirik. Tirta tertawa.
"Jadi kau kembali bukan karena hendak me-
nyelamatkanku" Hahaha... kau kembali lagi hanya ka-
rena heran di padang tandus ini ada sebuah gundukan
pasir" Hahaha... kau lucu, Bwana!"
Bwana mengkirik lagi. Tirta menghentikan ta-
wanya. "Maaf. Aku bukan bermaksud menyinggung pe-
rasaanmu. Ya, ya... kau pasti akan berbuat seperti itu bila kau tahu aku
terbenam dan akan menemui ajal di
timbunan pasir. Tetapi untunglah nalurimu tinggi. Dan
secara tidak langsung menyelamatkanku."
Lalu dielusnya leher Bwana yang menjulurkan
kepalanya. "Kita jarang berjumpa, ya" Jarang pula ber-
cengkerama. Maafkan aku', Bwana. Bila urusan yang
tengah kuhadapi ini selesai, kita bisa bersama lebih
lama seperti dulu."
Bwana mengkirik pelan. Seketika Tirta meno-
lehkan kepalanya ke belakang, setelah mendengar ki-
rikan Bwana tadi. Dilihatnya sosok putih berkelebat ke arahnya.
"Hmmm.... Pendekar Judi. Rupanya dia telah
tiba di tempat ini. Apakah Dewi Berlian yang kutinggal bersamanya juga berada di
sini?" Orang yang dilihat Tirta dengan cepat sudah
berdiri dua tombak di hadapannya. Pemuda berbaju
putih yang dipenuhi keringat karena panas yang me-
nyengat ini nyengir. Dia mengangkat tangannya pada
Bwana sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada
Tirta. "Wah! Kupikir kau meninggalkan kami untuk mencari Dewi Kembang Maut,
tidak tahunya berada
disini?" Tirta balas nyengir. Tak sebutir keringat pun yang mengaliri tubuhnya.
Ini disebabkan karena tenaga surya yang dimilikinya memusnahkan setiap kerin-
gat yang mengalir.
"Begitu pula salah satu tujuanku. Hmm.... Kau
beruntung karena baru tiba di sini."
"Apa maksudmu?"
"Sudahlah. Tidak usah dibicarakan. Pendekar
Judi, di mana Dewi Berlian" Mengapa kau tidak ber-
samanya?" Pemuda berbaju putih itu menceritakan apa
yang terjadi sebelumnya.
"Bagus. Jadi kau sudah bertemu dengan guru-
ku Nenek Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah.
Juga guru Dewi Berlian."
"Tirta... sebaiknya kita segera melacak jejak
Goa Seratus Laknat."
Bukannya mengiyakan, Rajawali Emas justru
berkata pada Bwana, "Bwana... pergilah kau mendahuluiku menuju Goa Seratus
Laknat." Bwana mengeluarkan koakan pelan.
"Sebenarnya, aku tadi memutuskan untuk me-
nunggangimu. Hanya saja... sudahlah. Suatu saat
akan kujelaskan kepadamu, Pendekar Judi, kau agak
menyingkir dan kerahkan tenaga dalammu."
Pendekar Judi melakukan perintah Rajawali
Emas. Rajawali Emas sendiri menjauh dari Bwana
sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Bwana mengki-
rik lagi. Lalu dengan suara koakan yang sangat keras
dan angin dahsyat yang ditimbulkan oleh kedua. ke-
pakan sayapnya, burung rajawali raksasa itu melesat
tinggi. Sepeninggal Bwana, Rajawali Emas berkata pa-
da Pendekar Judi.
"Aku belum tahu di mana Goa Seratus Laknat
berada. Cakra, kau adalah murid Malaikat Judi, dan
tak heran bila kau pandai berjudi seperti yang kau la-
kukan di dusun tempat pertama kali kita bertemu. Bi-
sakah kau memainkan satu permainan yang tiba-tiba
muncul di benakku?"
Pendekar Judi menatapnya dalam.
"Permainan apa yang kau maksudkan?"
"Padang Seratus Dosa adalah sebuah padang
yang banyak menyimpan misteri. Dan padang ini di-
kuasai oleh Hantu Seribu Tangan. Sewaktu aku kecil
dulu, aku pernah bermain petak umpat. Bersama seo-
rang temanku, aku melakukan satu lompatan ke lom-
patan lain sambil berteriak cukup keras. Teriakan itu
akan membingungkan anak yang mencariku dan te-
manku. Dengan cara seperti itu pula selama semala-
man aku tak bisa ditemukan."
"Lalu apa maksudmu?"
"Kita akan bermain petak umpat."
"Aku belum mengerti."
"Permainan ini jelas berbeda dengan permainan
yang biasa kulakukan sewaktu kecil. Kita akan berge-
rak dengan cara berbeda. Aku akan bergerak duluan.
Sejauh lima belas tombak, kau menyusul. Aku tak pa-
ham permainan judi koprok yang mempergunakan tiga
buah dadu. Tetapi aku tahu jumlah kecil itu berarti di bawah sepuluh dan besar
di atas sepuluh. Bila kukatakan kecil, maka kau harus merapat-kan jarakmu ke-
padaku, bila kubilang besar, maka kau harus menjauh
dariku. Dengan cara seperti ini, kemungkinan permai-
nan yang diciptakan oleh Hantu Seribu Tangan di Pa-
dang Seratus Dosa ini bisa kita ketahui. Dengan cara
ini pula kita bisa menyelamatkan satu sama lain. Kau
paham?" Pemuda di hadapannya menganggukkan kepa-
la. "Aku mulai mengerti sekarang."
"Bagus. Bila kita sudah melampaui Padang Se-
ratus Dosa dan terus terang, aku tidak tahu apa yang
akan kita jumpai nanti, maksudku apakah kita lang-
sung menemukan Goa Seratus Laknat atau tidak, kau
harus berada disebelah kiriku berjarak lima belas tom-
bak." "Untuk apa?"
Bukannya menjawab, Tirta justru tersenyum.
"Disinilah letak permainan judi yang kucipta-
kan. Kau dijuluki Pendekar Judi, berarti kau lebih ta-
hu dari yang ku tahu, bukan?"
"Aku tidak tahu."
"Jangan merendah."
Wajah Pendekar Judi yang biasanya cerah dan
selalu bercanda sedikit berubah.
"Katakan kepadaku, apa maksudmu, Tirta?"
Entah karena melihat sikap Pendekar Judi yang
memang tidak tahu apa maksudnya atau tidak, pemu-
da berajah burung rajawali keemasan di lengan kanan
kirinya ini menjawab, "Dengan kau berada di sisiku,
berarti kau mendukungku. Begitu pula sebaliknya."
"Tetapi, mengapa aku harus berada di sisi kiri-
mu" Bukankah bila aku berada di sebelah kananmu
toh sama saja. Kita bisa saling membantu."
"Ini permainan judi, Cakra. Mustahil kau tak
mengetahuinya," kata Tirta sambil tersenyum.
Pemuda berbaju putih itu terdiam. Wajahnya
mengeras dengan tatapan agak tajam. Sepertinya dia
tengah berpikir keras untuk mengetahui apa maksud
Tirta. Di lain kejap dia tertawa dan bersikap seperti biasa, penuh kejenakaan.
"Ya, ya... aku tahu. Aku tahu. Bila seseorang
hendak bermain judi, dia harus berada di sebelah ka-
nan orang yang lebih pandai darinya. Tetapi bila dalam satu permainan judi,
orang itu bersatu dengan temannya untuk mengalahkan lawan-lawan judinya, dia ha-
rus berada di sebelah kiri. Dengan maksud, menindas
orang yang dipikirnya lebih pandai dan membiarkan
temannya masuk memenangkan permainan. Kau cer-
dik sekali, Tirta."
"Dan karena kita berdua, bersatu untuk meng-
hadapi Hantu Seribu Tangan, berarti kau bertugas se-
bagai pancingan, sementara aku akan menghadapi
Hantu Seribu Tangan."
"Kau cerdik sekali, Tirta."
Tirta tersenyum.
"Ini karena dirimu, Cakra. Sekarang, kita mulai
permainan yang telah kita sepakati ini. Ingat, lima belas tombak aku bergerak,
kau mulai bergerak. Dan
persempit jarak bila kukatakan kecil dan perlebar ja-
rak bila kukatakan besar. Kita harus melewati Padang
Seratus Dosa ini lebih dulu. Kita mulai!"
Habis kata-katanya, Tirta berkelebat cepat. Pe-
muda berbaju putih memperhatikan dengan seksama.
Dan mendadak saja bibirnya tersenyum. Pandangan-
nya yang selalu jenaka berubah tajam.
"Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Tirta.
Kau akan menyesal bila mengetahui siapa aku. Tak
kusangka kau begitu cerdik sekali mengemukakan
usul barusan. Bila sudah tiba di Goa Seratus Laknat,
bukannya kita saling menolong, tetapi justru nya-
wamu yang akan putus di sana. Bila aku sudah berte-
mu dengan Hantu Seribu Tangan, aku akan mengabdi
kepadanya dan meminta bantuan untuk membalaskan
dendamku pada Malaikat Judi. Hmmm.... Bagaimana
dengan murid Malaikat Judi yang kukalahkan itu"
Apakah dia sudah mampus akibat luka di dadanya"
Hhh! Persetan semua itu! Dengan menyamar sebagai
diri murid Malaikat Judi, aku bebas bergerak untuk
melacak jejak Hantu Seribu Tangan.
Sebenarnya, aku juga sungguh beruntung bisa
berkenalan dengan gadis jelita yang berjuluk Dewi Ber-
lian. Bila saja aku tak mempunyai keinginan untuk se-
gera menemukan Hantu Seribu Tangan, di saat ber-
duaan dengannya karena Rajawali Emas berlalu, ingin
sekali kugeluti tubuhnya yang montok dan lem-but itu.
Pasti sangat mengasyikkan. Tetapi, dengan tetap me-
nyamar sebagai Pendekar Judi, suatu saat aku pasti
akan dapat melakukannya."
Pemuda berbaju putih yang sesungguhnya ada-
lah Iblis Seribu Muka tersenyum aneh. Tanpa sadar
tangannya mengusap pipinya yang terkena pasir pa-
nas. "Keparat! Panas sekali pa.... Oh"
Untuk sesaat dia tercekat tatkala merasakan
pipi kanannya agak lengket. Segera dilihatnya telapak
tangannya. Ada sedikit cairan getah di sana.
"Jahanam! Aku tak sadar kalau panas yang
menyengat ini bisa melelehkan getah-getah yang kusa-
markan pada wajahku. Sialan! Apakah Tirta melihat-
nya?" sejenak orang ini terdiam dan mengingat-ingat.
"Hmm.... Pasti dia belum melihatnya dan aku yakin getah ini baru saja mencair
setelah Rajawali Emas berke-
lebat. Setan keparat!!"
Lalu dengan cepat diambilnya sebuah tabung
dari balik pakaiannya. Ditumpahkannya ke telapak
tangan kanannya. Lalu digerakkan tangan itu ke wa-
jahnya. Gerakannya sangat cepat sekali Iblis Seribu
Muka memang mempunyai keahlian menyamar yang
sangat tinggi. Tanpa bercermin lagi dia bisa melaku-
kannya. Sesaat, cairan getah yang meleleh dan sedikit
membuka samarannya di pipi kanan, telah mengering
dan menutup kembali. Tatkala dilihatnya sosok berpa-
kaian keemasan sudah hampir mencapai jarak lima
belas tombak, mulailah Iblis Seribu Muka yang me-
nyamar sebagai Pendekar Judi melesat menyusul
* * * Bab 11 ORANG penuh bulu hitam dengan sepasang mata me
merah mengerikan dan gigi-gigi runcing yang sangat
tajam, terus melompat dengan gerakan seperti seekor
serigala. Dari mulutnya yang kerap mengeluarkan air
liur terdengar suara gerengan yang pelan.
Orang yang bergerak aneh ini tiba-tiba saja
menghentikan gerakannya. Kepalanya ditolehkan ke
arah samping. Hidungnya yang cukup mancung nam-
pak bergerak-gerak seperti mengendus sesuatu. Di lain
kejap, dia sudah bergerak menyusup ke balik sebuah
semak. Setelah beberapa saat berlalu, muncullah satu
sosok tubuh di tempat itu. Sosok seorang nenek ber-
wajah cukup mengerikan. Hidungnya bulat dengan bi-
bir yang tebal. Rambutnya hitam panjang tergerai
awut-awutan. Mengenakan pakaian berwarna jingga.
Dari wujudnya yang mengerikan itu, ternyata dia ha-
nya memiliki telinga sebuah yang dicanteli anting tiga buah, Entah ke mana
telinga sebelah kanannya itu. Bi-la melihat ciri orang yang baru muncul ini,
jelas dia adalah Nyi Randa Barong atau yang berjuluk Iblis Ca-
das Siluman. Guru dari Angin Racun Barat ini memperhati-
kan sekelilingnya dengan seksama. Di lain kejap, dia
sudah mengeluarkan dengusan, "Setan keparat! Ke
mana perginya Malaikat Judi" Sinting! Dia bisa me-
ngecohku rupanya!!"
Setelah bertemu dengan Malaikat Judi di se-
buah pesisir, Nyi Randa Barong yang keluar dari ke-
diamannya yang bernama Cadas Siluman, segera ber-
kelebat setelah gagal memaksa Malaikat Judi menga-
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takan di mana Pendekar Judi berada. Hati Nyi Randa
Barong sebenarnya saat ini tengah gundah. Karena
Angin Racun Barat pergi begitu saja tanpa mengatakan
apa-apa. Akan tetapi, sedikit banyaknya Iblis Cadas Siluman tahu, kalau muridnya
meninggalkan Cadas Si-
luman dikarenakan Pendekar Judi yang menolak cin-
tanya. Merasa bertanggung jawab atas hilangnya An-
gin Racun Barat, Nyi Randa Barong pun meninggalkan
Cadas Siluman menuju Lembah Sumur Tua di mana
Malaikat Judi dan Pendekar Judi tinggal. Tetap, di
Lembah Sumur Tua, Iblis Cadas Siluman tak mene-
mukan orang yang dicarinya. Dia pun pergi dari sana
dan melihat bayangan Malaikat Judi yang menaiki se-
bilah papan untuk melewati Teluk Tenggorong. Dan
yang membuatnya geram, karena Malaikat Judi justru
meramalkan kalau muridnya akan berjodoh dengan
Manusia Serigala. Kendati agak bergetar mendengar-
nya karena Iblis Cadas Siluman tahu kemampuan me-
ramal dari Malaikat Judi atau yang dijuluki pula seba-
gai si Peramal Sakti, tetapi hatinya tak bisa menerima ramalan itu. Dia
bertekad, bisa memang berjumpa
dengan Manusia Serigala, dia akan membunuhnya
hingga ramalan itu pun pupus! (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca: "Mata Malaikat").
Si nenek berkuping sebelah ini kembali menge-
darkan pandangan. Sejauh mata memandang, yang
nampak hanya jajaran pepohonan belaka.
"Hhh! Malaikat Judi mengatakan kalau dia
hendak mencari muridnya yang telah tiga bulan me-
ninggalkan Lembah Sumur Tua, lebih dari waktu yang
di-tetapkannya. Dia juga mengatakan hendak mencari
Hantu Seribu Tangan, yang terlalu banyak menurun-
kan dosa dan darah. Jahanam betul! Urusanku bu-
kanlah Hantu Seribu Tangan, tetapi Pendekar Judi
yang menolak cinta muridku! Dan ramalan sialan yang
dituturkan oleh Malaikat Judi, sungguh membuatku
muak mendengarnya!! Apakah memang benar semua-
nya..." Si nenek tiba-tiba saja memutus kata-katanya sendiri. Telinganya yang
hanya sebelah itu nampak
bergetar. Lalu dia berkata dalam hati, "Setan alas! Aku seperti mendengar suara
orang bernapas, meskipun
sangat pelan sekali. Tetapi cara orang ini bernapas
sungguh aneh. Seperti tak mengalami getaran apa-apa.
Hhh! Di mana orang itu berada!"
Sepasang mata kelabu Iblis Cadas Siluman di-
pentangkan. Telinganya yang sebelah itu dibuka le-
bar-lebar. Kembali si nenek berpakaian jingga ini
membatin, "Gila! Apakah napas yang kudengar ini berasal
dari seekor hewan" Alunan nafasnya tak teratur, se-
perti terengah. Tetapi sangat pelan sekali. Bahkan bisa kurasakan, kalau perut
orang yang bernapas ini seperti tertekan. Tidak seperti kebanyakan orang bila
ber- napas." Dan mendadak saja, tangan si nenek mengibas
ke sebuah semak berjarak lima tombak dari sisi ka-
nannya berdiri.
Wuuusss!! Menghampar angin deras dengan kencangnya
dan melabrak semak yang dituju.
Blaaarr! Semak itu langsung rengkah beterbangan dan
tercabut hingga akar-akarnya. Bersamaan dengan an-
gin yang melesat tadi, satu sosok tubuh penuh bulu
melompat dari tempat itu dengan mengeluarkan geren-
gan keras. Dan lompatan yang dilakukan orang berbulu
yang bergerak seperti seekor serigala itu, mengarah
langsung pada Iblis. Cadas Siluman yang sejenak ter-
pana. Bersamaan dengan kedua tangan orang penuh
bulu bergerak hendak mencakar, si nenek langsung
mengangkat sebelah tangannya.
Buk! Dan dengan cara berputar dia menendang.
Des! Terjajar ke belakang orang penuh bulu itu. Te-
tapi hebatnya, dia langsung melompat dan hinggap di
tanah dalam posisi merangkak. Kedua mata merahnya
terbeliak gusar dengan air liur yang menetes
"Grrrrhhh!"
Iblis Cadas Siluman benar-benar terkejut meli-
hat orang yang sedang marah dengan posisi merang-
kak. "Sinting! Apakah dunia hendak kiamat?" seru-nya keras. "Orang penuh bulu
ini tindak tanduknya tak ubahnya seekor serigala saja. Dan dari wujud yang
ada pada dirinya, dia memang seperti seekor serigala
Keparat betul! Jangan-jangan yang jadi ramalan Ma-
laikat Judi membawa kenyataan. Hhh! Tak akan per-
nah kubiarkan muridku yang jelita ini menjadi jodoh
Manusia Serigala.'!"
Berpikir demikian, si nenek melesat dengan
sentakan yang cukup kuat. Dan orang berbulu yang
dijuluki si nenek Manusia Serigala, juga melompat
dengan gerengan kemarahan dan kedua tangan penuh
kuku runcing mengembang.
Si nenek berhasil menghindari sambaran cakar
yang mengerikan itu dengan cara memiringkan tubuh.
Sambil menghindar, dilepaskan satu pukulan penuh
tenaga dalam yang kuat. Tetapi Manusia Serigala, en-
tah mengandalkan nalurinya atau karena dia memang
berakal, memutar tubuh. Dan masih berputar, seperti
layaknya seekor kuda, dia melepaskan tendangan ke-
dua kaki belakang dengan cara membelakangi si ne-
nek. Iblis Cadas Siluman mendengus dan mengibas-
kan tangannya. Des! Des! Manusia Serigala tersungkur akibat benturan
yang cukup keras dan dia terkaing-kaing kesakitan
dengan air liur yang semakin banyak menetes.
Sebenarnya, si nenek bisa saja segera mengha-
bisi Manusia Serigala. Kendati dia mempunyai niat se-
perti itu, namun dia masih dibuat heran dengan ke-
munculan Manusia Serigala. Terutama akan ramalan
Malaikat Judi atau si Peramal Sakti yang sepertinya
membawa kenyataan.
Tetapi di lain kejap, Iblis Cadas Siluman tak
mau bertindak ayal. Tenaga dalamnya kali ini benar-
benar dialirkan. Dengan teriakan yang keras, disen-
takkan kedua tangannya dengan cara membuka tela-
pak tangan. Wuuut! Wuuuttt!
Dua gelombang angin menderu dengan menim-
bulkan suara bergemuruh. Berjarak empat tombak di
hadapannya, sepasang mata merah milik Manusia Se-
rigala semakin terbuka lebar. Dan dengan cepat dia
melompat ke samping.
Blaaar! Blaaarr!
Dua gelombang angin tadi menghantam dua
batang pohon yang langsung tumbang berdebam. Se-
mentara si nenek sudah berkelebat menyerang Manu-
sia Serigala. Dalam dua gebrakan saja, Manusia Serigala
berhasil dihajarnya hingga orang penuh bulu itu berte-
riak kesakitan layaknya seekor serigala. Tubuhnya
bergulingan. Dari hidung dan mulutnya mengalir da-
rah segar. Iblis Cadas Siluman langsung bergerak lagi.
Kali ini, jelas tak ada waktu lagi untuk Manusia Seri-
gala membebaskan diri dari segala intaian kematian.
Namun sebelum Iblis Cadas Siluman menjalan-
kan maksud, tiba-tiba satu hamparan sinar yang ber-
kilau diiringi angin keras terdengar menyambar dari
arah samping. Si nenek menggeram. Sambil kertak-
kan rahang, dengan gerakan yang sangat cepat Iblis
Cadas Siluman menyingkir dengan melompat ke samp-
ing kanan. Lalu dipalingkan kepala ke arah asal da-
tangnya sambaran angin tadi. Sepasang matanya
mendelik menyipit. Mulutnya terkatup rapat dengan
rahang mengeras.
Lima tombak dari tempatnya berdiri, Iblis Ca-
das Siluman melihat seorang perempuan berusia se-
tengah baya yang mengenakan pakaian panjang ber-
warna biru kehitaman. Wajah perempuan itu begitu
tenang sekali Mengenakan tudung kepala berbentuk
kerucut. Wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa
kecantikan di masa mudanya. Di pergelangan tangan
dan jari-jarinya, terdapat gelang dan cincin bertakhtakan berlian yang
berkilauan. Sejenak Iblis Cadas Siluman memperhatikan
orang yang baru datang. Lalu berkata dengan nada
jengkel, "Melihat ciri yang ada pada dirimu, aku yakin yang datang adalah Dewi
Bulan. Tetapi, urusan apa
hingga kau menahan seranganku untuk membunuh
makhluk aneh sialan itu"!"
Perempuan setengah baya dengan tudung ke-
pala berbentuk kerucut yang tak lain memang Dewi
Bulan adanya, tersenyum.
"Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Dan melihat ciri yang ada pada dirimu, tentunya eng-
kau-lah salah satu tokoh rimba persilatan yang banyak
di-kagumi orang, Iblis Cadas Siluman."
"Kau belum jawab pertanyaanku!!" sentak Iblis Cadas' Siluman dengan geram. Dan
begitu matanya menangkap gerakan Manusia Serigala yang hendak
melarikan diri, tangan kanannya segera digerakkan
dengan cepat. Wuusss! Dewi Bulan yang melihat gelagat tak mengun-
tungkan bagi orang penuh bulu itu, segera menyen-
takkan tangan kanannya pula.
Wuusss! Hamparan sinar berkilau tak ubahnya puluhan
butir berlian menjadi satu, melabrak angin yang dile-
paskan oleh Iblis Cadas Siluman.
Blaaam! Angin itu langsung pupus dan sinar berkilau
tadi buyar seketika. Manusia Serigala tak lagi mem-
buang waktu, dia segera melompat cepat melarikan diri
Sementara Iblis Cadas Siluman seketika memalingkan
kepala dengan wajah semakin berubah marah pada
Dewi Bulan. "Benar-benar tak tahu diuntung! Kau terlalu
lancang mencampuri urusanku, Dewi Bulan!" sengat-
nya dengan suara yang keras hingga menggugurkan
dedaunan. "Siapa pun adanya makhluk di muka bumi ini,
janganlah kita menurunkan tangan telengas sebelum
tahu siapa orang itu. Bila dia memang tergolong jahat, kita masih bisa
mengampuninya dengan syarat, orang
itu tak mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi bila dia
tetap keras kepala, tak ada jalan selain membunuh-
nya. Hanya saja, orang penuh bulu yang tadi hendak
kau hentikan kehidupannya, nampak sekali kalau dia
hanya sebagian makhluk aneh yang hidup di muka
bumi ini. Tak layak menurunkan tangan telengas pa-
danya," kata Dewi Bulan dengan sikapnya yang selalu tenang. "Jangan berkhotbah
di depanku, Dewi Bulan!"
geram Iblis Cadas Siluman sengit. Kedua tangannya
terkepal. "Aku hanya mencoba meluruskan apa yang ada
di hadapanku, Nyi Randa Barong."
Nyi Randa Barong alias Iblis Cadas Siluman
menggeram. "Apa yang dikatakannya memang benar. Tetapi
dia tidak tahu apa jadinya bila Manusia Serigala ku-
biarkan hidup. Hhh! Biarlah untuk sementara persoa-
lan Manusia Serigala kutunda. Bila bertemu kembali,
akan kulumat tubuhnya! Aku tak mau muridku berjo-
doh dengan orang penuh bulu itu!" Habis membatin
begitu, kembali kepalanya diangkat dengan sepasang
mata yang tetap dipentangkan tajam. "Dewi Bulan...
sebenarnya kau telah membuka urusan denganku! Te-
tapi terus terang, apa yang kau katakan bisa kubenar-
kan. Hanya saja, aku tak suka urusanku dicampuri
oleh orang lain!!"
"Aku bukan mencampuri urusan orang. Tetapi,
aku tidak suka melihat kematian di depan mataku."
"Jangan berlagak alim!!"
"Tadi kukatakan, kalau orang itu memang ke-
ras kepala dan memiliki naluri jahat setinggi langit,
mungkin tak salah bila kita membunuhnya."
"Sinting! Kau terlalu banyak berkhotbah!"
Habis memaki demikian, Iblis Cadas Siluman
berkelebat cepat meninggalkan Dewi Bulan yang hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Pada dasarnya, Iblis Cadas Siluman berhati
baik. Dan sebenarnya dia tidak terlalu banyak berbeda
dengan sifat Bidadari Hati Kejam. Entah ada Urusan
apa dia menginginkan nyawa Manusia Serigala. Sung-
guh, baru kali ini aku melihat Manusia Serigala yang
kupikir hanya sebuah legenda belaka.
Siapa sebenarnya orang penuh bulu yang tin-
dak tanduknya seperti seekor serigala. Dia tentunya
lahir dari rahim seorang anak manusia. Dan mengapa
dia bisa menjelma menjadi seperti seekor serigala"
Apakah ada sesuatu di balik rahasia ini" Hmmm....
Melihat ke mana perginya Iblis Cadas Siluman, seper-
tinya dia memang mencoba menembus Hutan Seratus
Kematian. Bila orang sudah tiba di sini, tempat mana
lagi kalau bukan Goa Seratus Laknat yang dituju" Se-
baiknya... aku segera saja meneruskan langkah!"
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memikir sampai di sana, perempuan berpa-
kaian panjang berwarna biru kehitaman itu segera
berkelebat pula. Meninggalkan tempat itu yang kemba-
li dibungkus sepi.
* * * Bab 12 DI penghujung Hutan Seratus Kematian sebelah teng-gara, dua sosok tubuh
menghentikan langkah masing-
masing. Yang seorang mementangkan kedua matanya
memandangi hamparan padang tandus yang sangat
panas. Sementara yang seorang lagi, lelaki tua yang
memejamkan kedua matanya, hanya bisa merasakan
terpaan angin panas yang sampai kepadanya.
"Kunti... apakah di hadapan kita membentang
Padang Seratus Dosa?" pertanyaan itu keluar dari mulut lelaki tua yang
mengenakan pakaian hijau penuh
tambalan. Dia berdiri dengan cara bertelekan pada
tongkatnya yang berwarna putih. Saat bertanya tadi,
dia memang memalingkan kepala, tetapi kedua. ma-
tanya tetap terpejam.
Nenek berkonde yang dipanggil tadi hanya
mengeluarkan dengusan.
"Mengapa kau tak membuka kedua matamu sa-
ja untuk melihat apa yang ada di hadapanmu?" sen-
taknya. Nenek berkonde yang tak Iain Bidadari Hati
Kejam itu kembali mengeluarkan dengusan.
Orang yang selalu memejamkan kedua matanya
dan tak lain Mata Malaikat hanya tersenyum saja. Se-
jak dia berhasil menyelamatkan Bidadari Hati Kejam
dari rangkaian serangan Penabur Pasir, Dewi Topeng
Perak, dan Sandang Kutung, di sebuah jalan setapak
yang dipenuhi ranggasan semak belukar dihentikan la-
rinya. Diturunkannya tubuh Bidadari Hati Kejam dan
langsung diperiksa. Memakan waktu hampir sepena-
nakan nasi, Mata Malaikat baru bisa menarik napas
panjang. Dan dia pun benar-benar harus menarik na-
pas panjang mendengar cerocosan kemarahan Bidada-
ri Hati Kejam saat si nenek berkonde itu siuman, yang
menyesali mengapa Mata Malaikat menolongnya. Mata
Malaikat sendiri tak menjawab, hanya tersenyum saja.
Setelah keadaan Bidadari Hati Kejam pulih, ke-
duanya pun segera melanjutkan perjalanan setelah ter-
jadi perbincangan yang ternyata satu sama lain mem-
punyai tujuan sama untuk mencari Goa Seratus Lak-
nat tempat Hantu Seribu Tangan berada.
Mata Malaikat menjawab masih tetap terse-
nyum, "Kedua mataku telah lekat, Kunti. Mungkin aku sendiri tidak tahu apakah
masih bisa kubuka atau tidak." "Hhh!!. Hanya gara-gara Dewi Segala Impian sa-ja
kau bersumpah melakukan tindakan konyol seperti
ini." "Itulah yang ada di hatiku. Kalau cintaku pa-
danya begitu dalam. Tetapi, bila aku bertemu kembali
dengannya dan dia menjelaskan alasan apa memu-
tuskan hubungan denganku, mungkin aku akan kem-
bali seperti sediakala."
"Kedua matamu mungkin sudah lengket bila
kau mencoba membukanya."
"Aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah men-
cobanya." "Sinting!"
"Bagaimana kisah cintamu dengan Manusia
Pemarah?" Si nenek berkonde langsung memalingkan ke-
palanya pada Mata Malaikat yang hanya tersenyum te-
tap dengan memejamkan kedua matanya. Sepasang
mata si nenek menjereng, lalu terdengar geramannya
kesal. "Pikiran apa yang merasuk dalam benakmu
hingga kau menanyakan soal itu?" bentaknya keras.
"Jangan berlagak pilon, Bidadari Hati Kejam.
Aku tahu kalau Manusia Pemarah sejak muda mencin-
taimu. Dan aku yakin, kau pun mempunyai perasaan
yang sama dengannya."
"Jangan berbicara soal cinta di usia senja se-
macam ini."
"Dengan kata lain, kau membenarkan kata-
kata-ku tadi?"
"Jahanam! Siapa yang membenarkan soal itu,
hah?" "Apakah kau tahu, kalau suaramu bergetar saat mengatakan kalimat tadi?"
Kali ini si nenek berkonde terdiam. Dadanya
yang rata naik turun dengan gerakan yang cepat.
"Napasmu sepertinya menahan gelombang rin-
du di dada, Kunti. Mengapa kau tidak mengambil ke-
sempatan di usia senja ini untuk bermesraan dan
mengikat janji dengan Manusia Pemarah?"
Si nenek kembali mendengus.
"Sinting bila aku melakukannya!"
"Cinta terkadang bisa membuat orang menjadi
sinting, Kunti. Aku yakin, Manusia Pemarah sebenar-
nya sangat mengharapkan dirimu. Dan aku tahu kalau
sifat kalian yang sama-sama keras kepala itulah yang
menyebabkan cinta tak pernah menyatu."
"Jangan berbicara soal cinta lagi," kata si nenek kali ini benar-benar bergetar
suaranya. Dadanya seperti disesakkan oleh keharuan dan kerinduan yang men-
dadak muncul. Sepasang matanya tahu-tahu berair
dan segera dihapusnya.
"Bukan maksudku untuk mengusik setiap per-
soalan hati. Tetapi, aku hanya ingin menegaskan ke-
padamu, mengapa aku memejamkan kedua mataku
ini. Disebabkan cintaku yang dalam pada Dewi Segala
Impian." Kali ini Bidadari Hati Kejam tak menjawab. Da-
danya semakin dibuncah sebuah perasaan asing yang
sebenarnya ketika dia masih muda dulu perasaan itu
pernah singgah.
Mata Malaikat yang diam-diam mengerti pera-
saan perempuan ini berkata, "Kita teruskan langkah sekarang untuk menembus
Padang Seratus Dosa. Aku
yakin padang tandus ini banyak menyimpan misteri.
Tetapi kita harus mencobanya. Tujuanku di samping
mencari Dewi Segala Impian, juga untuk menghenti-
kan sepak terjang telengas Hantu Seribu Tangan. Teru-
tama memusnahkan Keranda Maut Perenggut Nyawa
yang menjadi momok."
Lalu tanpa menunggu jawaban Bidadari Hati
Kejam, orang tua berpakaian hijau penuh tambalan ini
segera berkelebat ke muka.
Sementara itu, Bidadari Hati Kejam menarik
napas panjang. "Benarkah yang dikatakan Mata Malaikat tadi
Ah... rasanya terlalu sulit untuk kukatakan, kendati]
aku membenarkan pula yang dikatakannya," desisnya pelan. Namun tiba-tiba saja
dia kembali mendengus.
"Sinting! Apa-apaan aku bisa terbawa urusan
asmara dengan lelaki tua bau tanah yang pemarah itu!
Keenakan dia!"
Kejap lain, si nenek berkonde sudah berkelebat!
menyusul.... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Payung Sengkala 10 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Dewi Ular 7
mereka. Yang bersuara tadi, seorang gadis yang me
ngenakan pakaian merah muda dengan sebuah ber-
lian menjuntai tepat di tengah keningnya dan seka-
rang masih tertawa-tawa. Sementara yang seorang lagi,
seorang lelaki tua berambut dikuncir dengan pakaian
putih yang agak kusam.
Sejenak kehadiran kedua orang itu membuat
Pendekar Judi dan Angin Racun Barat terdiam.
Gadis yang di keningnya terdapat sebuah ber-
lian menghentikan tawanya dan membentak karena
kedua orang itu seperti tergugu,
"Pendekar Judi! Jangan bersikap seperti orang
dungu" Bila kau merasa terganggu, ya maaf saja! Ayo,
Kek! Daripada mengganggu orang yang sedang paca-
ran, lebih baik kita teruskan perjalanan! Aku yakin, inilah Hutan Seratus
Kematian! Huh! Di mana ya Kang
Tirta berada" Apakah dia sudah tiba di hutan ini pu-
la?" Si Kakek yang kedua matanya selalu melotot ha
nya mengeluarkan dengusan pendek. Dan berjalan
mendahului si gadis yang tengah nyengir pada Pende-
kar Judi. "Maaf ya, Kang Cakra.... Aku tidak bermaksud
mengganggu pacaranmu, lho. Sekarang kau bisa me-
neruskan bermesraanmu lagi!"
Lalu sambil tertawa, si gadis mulai melangkah.
Pendekar Judi justru menahan langkah keduanya,
"Tunggu!"
Gadis berpakaian merah muda itu menghenti-
kan langkah dan nyengir lagi. "Kenapa sih" Marah karena tiba-tiba aku dan Kakek
Manusia Pemarah mun-
cul di sini" Bukannya...."
"Maaf... aku tidak mengenalmu. Juga orang tua
yang kau juluki Manusia Pemarah," sahut si pemuda dengan suara bimbang.
Si gadis yang tak lain Dewi Berlian adanya me-
ngerutkan kening mendengar kata-kata orang yang
sama sekali tidak disangkanya. "Sinting! Kenapa dia jadi bersikap kaku seperti
itu" Apakah karena gadis di sisinya?" desisnya dalam hati. Sambil memperlihatkan
cengirannya lagi, dia berkata, "Wah! Baru beberapa ha-ri saja tak jumpa, sudah
berlagak bodoh. Aku menger-
ti, kok. Pokoknya...."
"Sekali lagi maaf, aku benar-benar tidak tahu
siapa kau adanya."
Kali ini Dewi Berlian mengerutkan keningnya,
sementara Manusia Pemarah yang sudah melangkah
sejauh tiga tombak, menghentikan langkahnya dan
mendengus. "Anak gadis! Kalau kau mau meneruskan perja-
lanan, ayo cepat! Kau tak perlu urusi orang yang se-
dang bermesraan! Apakah kau tidak berpikir, kalau
Rajawali Emas, pemuda yang kau cintai itu barangkali
saja sedang berada dalam pelukan seorang janda
kembang yang montok?"
Si gadis melotot gusar dengan bibir cemberut.
"Apa kau tidak dengar kata-kata pemuda ko-
nyol ini" Enak saja dia bilang tidak kenal dengan kita Mentang-mentang sudah
bersama seorang gadis, dia
jadi lupa"! Huh! Dipikirnya, kita mau mengganggu dia
pacaran apa?"
Tanpa menghiraukan kata-kata si gadis yang
sebenarnya cukup menyakitkan, pemuda berbaju pu-
tih itu mengatupkan kedua tangannya di dada.
"Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membi-
ngungkan kalian. Tetapi pada kenyataannya, justru
aku yang bingung melihat sikap kalian. Sungguh! Aku
tak mengenal kalian sama sekali."
Manusia Pemarah berkata dengan nada me-
nyentak, "Sontoloyo! Apa gurumu mengajarkan kau
untuk melupakan orang-orang yang kau kenal?"
"Tetapi, aku sama sekali tak mengenal kalian
sebelumnya. Dan baru kali ini berjumpa," sahut si pemuda dengan nada meyakinkan.
Sebelum Manusia Pemarah berkata, Dewi Ber-
lian sudah mendengus, "Baru beberapa hari berpisah, sudah lupa. Memang, biasanya
seperti itu bila sudah
berjumpa dengan pujaan. Sudahlah, Kang Cakra. Ka-
lau yang kau maksudkan ini adalah guyonan, jelas ti-
dak lucu sama sekali. Ayo, Kek! Kita tinggalkan orang
yang berubah menjadi dungu ini."
"Tunggu! Katakanlah kepadaku, siapa kalian
sebenarnya?"
Kali ini Dewi Berlian menghentakkan kaki ka-
nannya dengan jengkel. Lalu dengan suara ditahan ka-
rena geram, dia mendengus, ingat baik-baik! Nama ku
Dewi Berlian. Dan kakek ini Manusia Pemarah. Apa la-
gi yang hendak kau tanyakan, hah?"
"Bagaimana kalian bisa mengenalku?" aju si
pemuda tanpa menghiraukan geraman si gadis.
"Sinting! Jangan-jangan kau salah makan,
Kang Cakra. Atau... kesambet jin penunggu hutan ini.
Sudahlah. Aku tahu kau suka bergurau, tetapi aku ti-
dak suka dengan gurauanmu kali ini."
"Sungguh! Aku tidak sedang bergurau saat ini!"
Dewi Berlian membuka kedua matanya lebih lebar me-
natap wajah si pemuda yang nampak bersikukuh den-
gan kata-katanya.
"Kenapa dia jadi begini" Apakah gadis yang be-
rada di sisinya itu telah membuatnya lupa akan sega-
la-galanya?" tebak hati Dewi Berlian. Lalu katanya,
"Pendekar Judi. Ingatkah kau dengan Kang Tirta, pemuda yang berjuluk Rajawali
Emas?" Ingat" Rajawali Emas" Maaf, aku memang per-
nah mendengar julukan yang menggegerkan itu. Tetapi
aku tidak pernah berjumpa sama sekali dengannya,
sehingga aku tidak bisa mengingatnya."
"Apa-apaan sih kau ini?" sentak Dewi Berlian lagi. "Waktu pertama kali kita
bertemu, kau mengatakan sedang mencari Rajawali Emas. Karena gurumu
memerintahkanmu untuk membantu sekaligus me-
musnahkan Hantu Seribu Tangan:"
"Tidak. Guruku tidak pernah memerintahkanku
untuk mencari Rajawali Emas. Tetapi untuk mencari
Hantu Seribu Tangan, memang Guru memerintahkan-
nya kepadaku."
Tak peduli pandangan heran pemuda di hada-
pannya, Dewi Berlian meneruskan kata, "Waktu itu
kau mengatakan tidak tahu di mana Hantu Seribu
Tangan berada. Ketika Kang Tirta menanyakan tentang
Goa Seratus Laknat, kau mengatakan...."
"Tunggu! Aku tak pernah mengatakan apa-apa
kepadamu dan Rajawali Emas. Bertemu denganmu
pun baru kali ini. Dan aku belum pernah bertemu
dengan Rajawali Emas," sela Pendekar Judi yakin, sementara Angin Racun Barat
yang hanya mendengar-
kan percakapan itu mengernyitkan kening.
"Mengapa bicaramu jadi berbelit-belit, hah"!"
sentak Dewi Berlian gusar.
Sebelum Pendekar Judi yang dibiasi keheranan
menyahut, Manusia Pemarah sudah berkata dengan
kebiasaannya yang selalu membentak dan mata selalu
melotot, "Sontoloyo! Pendekar Judi! Urusan kau mengingat atau tidak siapa kami
dan Rajawali Emas, itu
urusan belakangan. Tetapi sekarang jawab perta-
nyaanku. Apa yang menyebabkanmu jadi plin-plan se-
perti ini, hah?"
Pemuda ini mengalihkan pandangannya pada
Manusia Pemarah.
"Kakek... aku tidak tahu apa yang dikatakan
oleh gadis itu. Aku belum pernah berjumpa dengan-
nya. Dan semua yang dikatakannya, cukup menghe-
rankan ku."
"Sontoloyo! Siapa kau sebenarnya"!"
"Namaku Cakra. Orang-orang sering memang-
gilku Pendekar Judi, murid dari Peramal Sakti."
"Sontoloyo! Kalau kau sudah mengakui semua "
itu, mengapa kau tak mengatakan yang sebenarnya,
kalau yang dikatakan gadis ini benar?"
Tidak! Aku tidak bisa mengakuinya karena aku
memang tak pernah melakukan apa yang dikatakan-
nya." Manusia Pemarah mengalihkan pandangan pa-
da Angin Racun Barat yang sejak tadi mengerutkan
keningnya. "Anak gadis! Siapa kau adanya?"
Merasa pertanyaan harus dijawab, semata un-
tuk memulihkan kesimpangsiuran yang terjadi, Angin
Racun Barat berkata, "Namaku Diah Srinti atau sering dijuluki Angin Racun Barat.
Guruku Iblis Cadas Siluman." "Sejak kapan kau bertemu dengan pemuda plinplan
ini"!"
"Baru beberapa hari".
"Ceritakan, bagaimana kau bisa bertemu den-
gannya"!"
Angin Racun Barat segera menceritakan apa
yang diminta Manusia Pemarah. Setelah itu, orang tua
berkuncir itu mengalihkan pandangan kembali pada
Pendekar Judi, "Mengapa kau bisa terluka, hah" Ceritakan!" Merasa keadaan memang
harus dijernihkan,
Pendekar Judi menjawab apa yang ditanyakan Manu-
sia Pemarah. Setelah dia selesai bercerita, dilihatnya Manusia Pemarah
mengerutkan kening, manggut-manggut lalu berjalan mondar-mandir seperti mandor
kurangkerjaan. Sementara itu, Dewi Berlian membentak, "Sin-
ting! Rupanya kau tak seperti yang kuduga selama ini.
Kau tega membuatku bingung dengan segala ucapan-
mu, Kang Cakra!"
"Dewi Berlian. Aku sama sekali tidak berdusta
dan tak bermaksud membuatmu bingung. Tetapi itu-
lah yang kualami sebenarnya."
"Apakah kau telah berlaku bohong pada gadis
di sebelahmu dan kau tak ingin dia tahu siapa kau se-
benarnya"!" sentak Dewi Berlian keras yang membuat wajah Angin Racun Barat
memerah. "Tak ada yang perlu kubohongi, Dewi Berlian.
Itulah keadaan sebenarnya."
"Hhh! Bila saja sebelumnya kita tak pernah ber-
jumpa, ingin rasanya kuhajar kau sampai babak be-
lur!" "Jangan berbicara kurang ajar!!" terdengar bentakan Angin Racun Barat
bersamaan langkahnya yang
bergerak satu tindak ke depan. Walaupun sebenarnya
dia bermaksud untuk menjernihkan segala kebingun-
gan ini, tetapi mendengar ucapan orang yang bernada
melecehkan pemuda yang dicintainya, hatinya tak
urung menjadi jengkel.
Dewi Berlian yang memang sudah kesal melihat
sikap Pendekar Judi, mementangkan kedua matanya
ke arah Angin Racun Barat.
"Urusan yang ada di hadapanku ini tak ada
urus-annya denganmu!!"
"Jangan bicara ngaco! Rupanya kau perlu di-
ajar adat!!"
Mengkelap wajah Dewi Berlian mendengar an-
caman orang. Dengan kegusaran yang nyata dia maju
selangkah. "Aku tak tahu ada urusan apa kau dengan pe-
muda yang mendadak menjadi dungu itu! Bila kau...."
Bentakan Sri Kedaton alias Dewi Berlian ter-
hempas begitu saja tatkala terdengar suara keras, di-
iringi dengan suara letupan, "Sontoloyo!!!"
Di sekitar tempat Manusia Pemarah berdiri, ta-
nah muncrat hingga ke paha. Rupanya, lelaki tua ber-
kuncir ini menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.
"Kek! Jangan mengejutkanku!!" seru Dewi Berlian sementara Angin Racun Barat yang
kesal dengan sikap Dewi Berlian menindih rasa kesalnya.
Manusia Pemarah tak menghiraukan seruan si
gadis. Dia justru berjalan mendekati Pendekar Judi
sambil berkata, tetap dengan mata melotot dan suara
membentak, "Orang muda! Kau mengatakan yang
membuatmu terluka adalah Iblis Seribu Muka?"
Dengan kening berkerut, Pendekar Judi men-
ganggukkan kepalanya.
"Aku tahu sekarang! Sontoloyo! Kenapa baru je-
las!!" "Kek! Apa-apaan sih kau bicara" Lebih baik kita tinggalkan pemuda
brengsek ini! Ke mana perginya guruku dan Bidadari Hati Kejam saja kita tak
tahu" Pa- dahal kita sudah mendahului melangkah!"
Manusia Pemarah melotot, "Jalan menuju Hu-
tan Seratus Kematian bukan jalan yang enak. Dan ten-
tunya bisa ditempuh dengan beragam jalan! Hhhh! Ma-
lah aku enak tidak bersama-sama nenek berkonde
yang suka membentak itu!!" Lalu dengan mata masih melotot, dialihkan
pandangannya pads Pendekar Judi,
"Orang muda! Tahukah kau siapa Iblis Seribu Muka?"
"Aku hanya tahu kalau dia mempunyai dendam
pada guruku. Dan itu pun baru kuketahui pada saat
dia bertemu denganku. Karena, Guru sendiri tak per-
nah mengatakan soal itu kepadaku," sahut Pendekar Judi sambil mengerutkan
keningnya. "Yang kau katakan tadi benar. Sontoloyo! Dasar
sialan! Kenapa aku baru mengingatnya?"
"Kek!" sambar Dewi Berlian. "Sejak tadi kau selalu mengatakan seperti itu tanpa
kau jelaskan dengan
segera! Apakah kau memang suka mempermainkan
kata-kata?"
"Urusan mempermainkan kata-kata atau tidak
urusan belakangan. Sekarang dengar baik-baik. Ketika
kau menceritakan siapa yang membuatmu hampir
mampus itu, rasanya aku memang pernah mendengar
julukannya. Ya, ya.... Iblis Seribu Muka. Orang yang
dikalahkan oleh Malaikat Judi dua puluh tahun silam.
Keparat! Rupanya orang itu masih hidup...."
"Lalu apa maksud kata-katamu ini, Kek?" tanya Pendekar Judi, dengan nada agak
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sabar. "Sontoloyo! Jangan potong ucapanku bila tak
ingin kugampar! Aku teringat akan keahlian Iblis Seri-
bu Muka dalam hal mengubah wajah. Atau boleh dika-
takan menyamar. Dia juga pandai menirukan suara
siapa saja yang dikehendakinya. Celaka! Jawaban su-
dah terpampang sekarang."
Dewi Berlian berkata, "Jadi maksudmu.... Pen-
dekar Judi yang pernah bertemu denganku dan Kang
Tirta, lalu bertemu denganmu dan Bidadari Hati Kejam
serta Guru, adalah Iblis Seribu Muka yang menyamar
sebagai Pendekar Judi?"
"Apa lagi, hah" Sudah jelas itu jawabannya!
Sontoloyo! Akan kupatah-patahkan lehernya karena
dia bikin aku hampir nelangsa ditelan segala kesim-
pang-siuran ini."
"Jadi... dia...."
"Sontoloyo! Sejak tadi kau terus berkata 'jadi',
'jadi' dan 'jadi'! Apa tidak bisa berkata lain, hah"!"
Pendekar Judi yang sekarang mulai jelas masalah yang
cukup membuatnya terheran-heran, hanya mengang-
guk-anggukkan kepala. Lalu katanya, "Kek! Jadi...."
"Sontoloyo! Kenapa kau jadi ikut-ikutan berka-
ta 'jadi', hah"!" sentak Manusia Pemarah dengan mata melotot memutus kata-kata
Pendekar Judi. Sebelum Pendekar Judi membuka mulut, Dewi
Berlian sudah berkata, "Kau sendiri tadi berkata 'jadi'."
"Benar-benar sontoloyo! Urusan 'jadi' atau ti-
dak, urusan belakangan. Hei, Orang Muda! Apa yang
hendak kau katakan tadi?"
"Kalau yang kau katakan benar, Kek, berarti
saat ini banyak orang yang tertipu oleh tindakan Iblis Seribu Muka yang menyamar
menjadi diriku. Urusan
bisa jadi berantakan."
"Kau benar, Orang Muda!" sahut Manusia Pe-
marah Lalu menoleh pada murid Dewi Bulan. "Bocah Ayu! Lebih baik kita tinggalkan
tempat ini sekarang!
Kepalaku bisa pecah memikirkan segala urusan sialan
ini!" "Kek! Bagaimana dengan Rajawali Emas?"
tanya Dewi Berlian.
"Sontoloyo! Apakah kau tidak bisa menghilang-
kan pemuda itu barang sejenak di hatimu, hah?"
Mendengar kata-kata itu, Dewi Berlian cemberut. Lalu
mendahului melangkah dengan cara menyentak. Ma-
nusia Pemarah mendengus.
"Perempuan! Selalu bikin pusing kepala! Begitu
pula dengan Bidadari Hati Kejam! Sontoloyo! Kenapa
aku jadi teringat pada nenek jelek keparat itu" Hhh!
Urusan cinta urusan belakangan!" desis Manusia Pemarah dengan kedua tangan
terlipat. Lalu melanjutkan
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bila saja Kunti Pelangi mau menerima
cintaku" Sontoloyo! Bagaimana bisa dia menerima cintaku padahal aku be-
lum mengutarakannya"!"
Pendekar Judi yang heran melihat tingkah
orang tua berkuncir itu berkata, "Pada siapa cinta akan kau utarakan, Kek?"
Si kakek terkejut dan seketika memalingkan
kepalanya dengan kedua mata melotot.
"Brengsek! Kau mencuri dengar kata-kataku,
hah" Benar-benar sontoloyo!!"
Sambil bersungut-sungut Manusia Pemarah
melangkah menyusul Dewi Berlian.
Pendekar Judi menarik napas pendek. Angin
Racun Barat mendekatinya.
"Kang Cakra... sekarang sudah jelas kalau ada
yang menyamar sebagai dirimu. Keadaan bisa membu-
ruk. Bila orang yang menyamar itu berbuat busuk,
maka tak mustahil kau yang akan terkena getahnya."
Pendekar Judi membenarkan kata-kata murid Iblis
Cadas Siluman. "Ya. Ini memang sebuah urusan yang tak gam-
pang. Tadi gadis yang berjuluk Dewi Berlian itu men-
gatakan, Iblis Seribu Muka yang menyamar menjadi
diriku sedang menuju Goa Seratus Laknat untuk men-
cari Hantu Seribu Tangan. Dengan kata lain, bila dia
berhasil menemukan goa itu, berarti dia berada di sa-
na. Dan tujuan kita saat ini pun ke tempat itu. Diah!
Lebih baik kita susul kakek yang selalu melotot dan
marah-marah dengan gadis berbaju merah muda itu!!"
Angin Racun Barat hanya menganggukkan ke-
palanya saja. Lalu bersama-sama kedua muda-mu-
di itu berkelebat cepat, meninggalkan Hutan Seratus
Kematian di bagian utara yang kembali dibungkus
sunyi. * * * Bab 10 TATKALA kesimpangsiuran yang melanda orang-orang di bagian utara Hutan Seratus
Kematian, di Padang
Seratus Dosa yang semula hanya berupa dataran tan-
dus tanpa sebuah pohon pun yang tumbuh dengan
pasir-pasir panas yang menyilaukan, kini nampak se-
buah gundukan pasir yang cukup tinggi.
Mengherankan, karena sebelumnya gundukan
pasir itu tidak ada. Akan tetapi, di dalam gundukan
pasir itulah saat ini Rajawali Emas tengah meringkuk
dengan tubuh yang terasa sakit. Butiran pasir-pasir
panas itu seakan melesak masuk ke dalam tubuhnya.
Kedua matanya dipejamkan bila tak ingin kemasukan
pasir-pasir panas.
Bagaimana hal ini bisa terjadi"
Tatkala Tirta memutuskan untuk berlalu dari
Padang Seratus Dosa karena diyakininya akan sema-
kin banyak jebakan demi jebakan yang ada, mendadak
saja pasir sepanjang dua tombak rengkah hingga
memperlihatkan tanah liat di dalamnya. Menimbulkan
suara yang menggidikkan, pasir yang seolah terangkai
menjadi sebuah permadani, bergerak meluruk ke arah
Tirta. Tercekat si pemuda mencelat menghindar den-
gan kedua mata terbentang lebar. Namun kejap lain
dia sudah tak terkejut kembali karena disadarinya pa-
sir-pasir yang rengkah dan terangkai seperti permada-
ni itu adalah salah satu permainan dari Hantu Seribu
Tangan, orang yang menguasai Hutan Seratus Kema-
tian, Padang Seratus Dosa dan Goa Seratus Laknat.
Akan tetapi, pasir-pasir itu terus menderu
hingga menimbulkan angin yang bertambah panas.
Tak mau dirinya ditelan pasir-pasir itu, Tirta segera
meng-gebrak dengan pukulan yang dialirkan tenaga
surya. Namun yang mengherankan, ketika tenaga
surya melabrak, pasir yang terangkai mirip permadani
itu memang pecah berantakan, tetapi hanya sekejap.
Karena di lain kejap, pasir-pasir itu kembali terangkai dan bergerak
menguruknya! Sekuat tenaga dan sebisanya Tirta menghindari
serbuan pasir-pasir terangkai itu sambil terus mele-
paskan tenaga selaksa surya yang dimilikinya. Namun
setiap kali tenaga surya berhasil melabrak, lagi-lagi
pasir-pasir itu kembali terangkai. Membuat pemuda
dari Gunung Rajawali ini mengutuk habis-habisan.
Dan yang benar-benar membuat Rajawali Emas
cukup terkejut, tatkala tiga buah rangkaian pasir
menderu dan menghalangi setiap gerakannya. Hampir
memakan waktu sepenanakan nasi dan senja yang te-
lah menjelma menjadi malam, namun suasana di Pa-
dang Seratus Dosa masih panas berganda, salah satu
rangkaian pasir seperti permadani itu berhasil mela-
brak kaki kanan Tirta hingga pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini jatuh tersungkur. Kejap berikutnya, dua
rangkaian pasir lainnya telah menimbunnya sebatas
dada! Dan terus semakin naik.
Gelagapan Tirta mencoba menghentakkan ke-
dua tangannya. Namun seperti dua buah tangan rak-
sasa, timbunan pasir itu justru semakin kuat mene-
kan. Tatkala hendak dikerahkan tenaga surya, menda-
dak saja tubuhnya terasa ngilu. Rupanya, tenaga
surya yang mengandung hawa panas tinggi itu tak bisa
dikerahkan, karena sulitnya Tirta mengatur napas dan
mengalirkan tenaga surya yang berpusat pada pusar-
nya. Kendati demikian, si pemuda masih bisa bernapas
walau tersendat. Ini disebabkan karena sesungguhnya
jalan nafasnya sudah terlatih.
Dan semalaman Tirta mendekam di timbunan
pasir-pasir panas itu. Sekujur tubuhnya yang kendati
masih bisa digerakkan secara paksa dengan menge-
rahkan seluruh tenaga, sudah sangat lelah sekali, se-
mentara nafasnya mulai terputus-putus.
"Benar-benar celaka. Apa yang bisa kulakukan
sekarang?" desisnya tetap dengan kedua mata terpejam. Hidungnya sudah mulai
kemasukan pasir-pasir
itu. Begitu panas sekali berada di dalam timbunan pa-
sir yang menekan kuat dirinya. Tatkala dicobanya un-
tuk mengerahkan tenaga surya, lagi-lagi tenaga panas
itu tak bisa dikerahkan. "Apakah aku harus mati sekarang" Celaka! Aku belum
kawin! Ah, kalau tahu begini,
mau saja aku menerima Ayu Wulan, murid Manusia
Pemarah yang mencintaiku. Atau pula Andini murid
dari Dewa Bumi. Benar-benar keparat! Seluruh tubuh-
ku terasa sukar digerakkan."
Selagi si pemuda membatin kalang kabut,
sayup-sayup pendengarannya menangkap suara koa-
kan yang sangat keras sekali di luar timbunan pasir-
pasir itu. "Bwana!" desisnya dalam hati. "Oh! Dialah mungkin satu-satunya yang bisa
menyelamatkanku.
Tetapi bagaimana aku bisa memberi isyarat padanya"
Celaka!" Dicobanya untuk memanggil, namun baru saja
mulutnya terbuka, pasir-pasir yang menekan tubuh-
nya seolah berbondong-bondong mencoba masuk. Ter-
buru-buru dikatupkan kembali mulutnya.
Kembali Rajawali Emas membatin dengan ke-
jengkelan yang luar biasa.
"Benar-benar edan! Tak mungkin aku bisa me-
manggil Bwana dalam keadaan seperti ini. Oh! Ku den-
gar teriakan Bwana semakin melemah dan berarti dia
sudah menjauh. Apa berarti aku benar-benar akan te-
was di sini?"
Kembali dicobanya untuk mengerahkan tenaga
surya. Tetapi, benar-benar tak kuasa dilakukannya.
Timbunan pasir itu seolah menjelma menjadi himpit-
an sebuah gunung! Napasnya bertambah sesak. Bah-
kan perlahan-lahan Tirta mulai merasakan tubuhnya
terus terdesak masuk ke dalam tanah.
"Kalau memang aku harus mati di sini, aku bi-
sa menerimanya. Tetapi siapa yang akan mengurus
Bwana, burung rajawali raksasa kesayanganku itu"
Hantu Seribu Tangan benar-benar membuktikan uca-
pannya. Entah dengan cara apa manusia keparat itu
mampu melakukan semua ini" Hmmm... apakah suara
rintihan yang kudengar sebelum kejadian keparat ini
tadi hanyalah permainan Hantu Seribu Tangan bela-
ka" Atau, suara itu berasal dari arwah orang-orang
yang pernah dikalahkannya" Benar-benar konyol!"
Selagi si pemuda memaki-maki dalam hati
menghadapi kenyataan pahit seperti ini, mendadak di-
dengarnya kembali suara koakan yang sangat dahsyat.
"Astaga! Bukankah itu, Bwana" Mengapa dia
kembali lagi" Apakah dia kebingungan karena tak me-
nemukanku" Atau... dia melihat sesuatu" Aku tahu,
naluri yang dimiliki oleh Bwana benar-benar bisa di-
andalkan."
Apa yang diduga Rajawali Emas memang benar.
Di angkasa burung rajawali raksasa itu terbang den-
gan koakan yang sesekali terdengar dan gemuruh an-
gin yang berasal dari kepakan kedua sayapnya. Me-
nerbangkan pasir-pasir putih yang panas di bawah-
nya. Sementara itu, Tirta berusaha untuk memberi-
kan isyarat pada Bwana. Namun lagi-lagi niatnya di-
urungkan, bila tak ingin pasir-pasir yang menimbun
tubuhnya masuk ke mulutnya saat dia memberi isya-
rat panggilan pada Bwana.
"Bwana ada di sekitar sini! Berarti dialah satu-
satunya yang bisa membebaskanku dari pasir-pasir ce-
laka ini. Hanya saja... oh! Gemuruh angin itu terdengar semakin kuat dan
mendekat. Hei!!"
Terkejut Rajawali Emas ketika merasakan an-
gin dahsyat menyambar pasir-pasir yang menimbun-
nya. Berulang kali hal itu terjadi sampai kepala Tirta mulai muncul di permukaan
pasir. Segera saja dialirkan tenaga surya begitu dia bisa bernapas dengan
normal. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau gemu-
ruh angin dahsyat itu berasal dari kepakan sayap
Bwana. Memang benar yang diduga Rajawali Emas.
Berjarak lima tombak dari tempatnya tertimbun pasir-
pasir panas itu, Bwana sedang mengibaskan sayap ka-
nannya sambil mengkirik keras.
Tirta segera berseru, "Cukup, Bwana! Kau bisa
menerbangkan aku kalau kau masih menggerakkan
sayap kananmu!!" Lalu dia berbangkis berkali-kali. Butir-butir pasir yang masuk
ke hidungnya berlompatan
keluar. Tetapi angin yang ditimbulkan oleh kepakan
sayap kanan Bwana membuat wajahnya perih bukan
main. Bwana menghentikan gerakan sayapnya. Dia
mengkirik kembali, kali ini bernada gembira. Sepasang
matanya yang merah besar itu, membulat cerah.
Tirta buru-buru melompat keluar dari timbu-
nan pasir. Dia terbelalak mendapati tanah rengkah se-
dalam satu meter dari tempatnya hingga tempat Bwa-
na berada. "Luar biasa!"
Hanya dengan sekali melompat, Rajawali Emas
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tiba di dekat Bwana. Didekapnya leher burung
rajawali raksasa keemasan itu dengan penuh kasih
sayang. Terima kasih, Bwana."
Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tirta melepaskan dekapannya. Lalu memandangi tem-
pat di mana dia terpendam yang kini telah terbentuk
lubang sedalam dua meter, sambil bersiaga bila ada
hal-hal yang tak diinginkan terjadi lagi. Dia yakin, kalau Padang Seratus Dosa,
salah sebuah tempat yang
dikuasai oleh Hantu Seribu Tangan masih menyimpan
segala misterinya.
"Gila! Semalaman aku terpendam di timbunan
pasir celaka itu. Hantu Seribu Tangan. Kau berhasil
menjalankan permainanmu, dan sekarang tibalah gili-
ranku untuk membalas!"
Lalu dipalingkan kepala pada Bwana, "Sekali
lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu."
Bwana mengkirik. Tirta tertawa.
"Jadi kau kembali bukan karena hendak me-
nyelamatkanku" Hahaha... kau kembali lagi hanya ka-
rena heran di padang tandus ini ada sebuah gundukan
pasir" Hahaha... kau lucu, Bwana!"
Bwana mengkirik lagi. Tirta menghentikan ta-
wanya. "Maaf. Aku bukan bermaksud menyinggung pe-
rasaanmu. Ya, ya... kau pasti akan berbuat seperti itu bila kau tahu aku
terbenam dan akan menemui ajal di
timbunan pasir. Tetapi untunglah nalurimu tinggi. Dan
secara tidak langsung menyelamatkanku."
Lalu dielusnya leher Bwana yang menjulurkan
kepalanya. "Kita jarang berjumpa, ya" Jarang pula ber-
cengkerama. Maafkan aku', Bwana. Bila urusan yang
tengah kuhadapi ini selesai, kita bisa bersama lebih
lama seperti dulu."
Bwana mengkirik pelan. Seketika Tirta meno-
lehkan kepalanya ke belakang, setelah mendengar ki-
rikan Bwana tadi. Dilihatnya sosok putih berkelebat ke arahnya.
"Hmmm.... Pendekar Judi. Rupanya dia telah
tiba di tempat ini. Apakah Dewi Berlian yang kutinggal bersamanya juga berada di
sini?" Orang yang dilihat Tirta dengan cepat sudah
berdiri dua tombak di hadapannya. Pemuda berbaju
putih yang dipenuhi keringat karena panas yang me-
nyengat ini nyengir. Dia mengangkat tangannya pada
Bwana sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada
Tirta. "Wah! Kupikir kau meninggalkan kami untuk mencari Dewi Kembang Maut,
tidak tahunya berada
disini?" Tirta balas nyengir. Tak sebutir keringat pun yang mengaliri tubuhnya.
Ini disebabkan karena tenaga surya yang dimilikinya memusnahkan setiap kerin-
gat yang mengalir.
"Begitu pula salah satu tujuanku. Hmm.... Kau
beruntung karena baru tiba di sini."
"Apa maksudmu?"
"Sudahlah. Tidak usah dibicarakan. Pendekar
Judi, di mana Dewi Berlian" Mengapa kau tidak ber-
samanya?" Pemuda berbaju putih itu menceritakan apa
yang terjadi sebelumnya.
"Bagus. Jadi kau sudah bertemu dengan guru-
ku Nenek Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah.
Juga guru Dewi Berlian."
"Tirta... sebaiknya kita segera melacak jejak
Goa Seratus Laknat."
Bukannya mengiyakan, Rajawali Emas justru
berkata pada Bwana, "Bwana... pergilah kau mendahuluiku menuju Goa Seratus
Laknat." Bwana mengeluarkan koakan pelan.
"Sebenarnya, aku tadi memutuskan untuk me-
nunggangimu. Hanya saja... sudahlah. Suatu saat
akan kujelaskan kepadamu, Pendekar Judi, kau agak
menyingkir dan kerahkan tenaga dalammu."
Pendekar Judi melakukan perintah Rajawali
Emas. Rajawali Emas sendiri menjauh dari Bwana
sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Bwana mengki-
rik lagi. Lalu dengan suara koakan yang sangat keras
dan angin dahsyat yang ditimbulkan oleh kedua. ke-
pakan sayapnya, burung rajawali raksasa itu melesat
tinggi. Sepeninggal Bwana, Rajawali Emas berkata pa-
da Pendekar Judi.
"Aku belum tahu di mana Goa Seratus Laknat
berada. Cakra, kau adalah murid Malaikat Judi, dan
tak heran bila kau pandai berjudi seperti yang kau la-
kukan di dusun tempat pertama kali kita bertemu. Bi-
sakah kau memainkan satu permainan yang tiba-tiba
muncul di benakku?"
Pendekar Judi menatapnya dalam.
"Permainan apa yang kau maksudkan?"
"Padang Seratus Dosa adalah sebuah padang
yang banyak menyimpan misteri. Dan padang ini di-
kuasai oleh Hantu Seribu Tangan. Sewaktu aku kecil
dulu, aku pernah bermain petak umpat. Bersama seo-
rang temanku, aku melakukan satu lompatan ke lom-
patan lain sambil berteriak cukup keras. Teriakan itu
akan membingungkan anak yang mencariku dan te-
manku. Dengan cara seperti itu pula selama semala-
man aku tak bisa ditemukan."
"Lalu apa maksudmu?"
"Kita akan bermain petak umpat."
"Aku belum mengerti."
"Permainan ini jelas berbeda dengan permainan
yang biasa kulakukan sewaktu kecil. Kita akan berge-
rak dengan cara berbeda. Aku akan bergerak duluan.
Sejauh lima belas tombak, kau menyusul. Aku tak pa-
ham permainan judi koprok yang mempergunakan tiga
buah dadu. Tetapi aku tahu jumlah kecil itu berarti di bawah sepuluh dan besar
di atas sepuluh. Bila kukatakan kecil, maka kau harus merapat-kan jarakmu ke-
padaku, bila kubilang besar, maka kau harus menjauh
dariku. Dengan cara seperti ini, kemungkinan permai-
nan yang diciptakan oleh Hantu Seribu Tangan di Pa-
dang Seratus Dosa ini bisa kita ketahui. Dengan cara
ini pula kita bisa menyelamatkan satu sama lain. Kau
paham?" Pemuda di hadapannya menganggukkan kepa-
la. "Aku mulai mengerti sekarang."
"Bagus. Bila kita sudah melampaui Padang Se-
ratus Dosa dan terus terang, aku tidak tahu apa yang
akan kita jumpai nanti, maksudku apakah kita lang-
sung menemukan Goa Seratus Laknat atau tidak, kau
harus berada disebelah kiriku berjarak lima belas tom-
bak." "Untuk apa?"
Bukannya menjawab, Tirta justru tersenyum.
"Disinilah letak permainan judi yang kucipta-
kan. Kau dijuluki Pendekar Judi, berarti kau lebih ta-
hu dari yang ku tahu, bukan?"
"Aku tidak tahu."
"Jangan merendah."
Wajah Pendekar Judi yang biasanya cerah dan
selalu bercanda sedikit berubah.
"Katakan kepadaku, apa maksudmu, Tirta?"
Entah karena melihat sikap Pendekar Judi yang
memang tidak tahu apa maksudnya atau tidak, pemu-
da berajah burung rajawali keemasan di lengan kanan
kirinya ini menjawab, "Dengan kau berada di sisiku,
berarti kau mendukungku. Begitu pula sebaliknya."
"Tetapi, mengapa aku harus berada di sisi kiri-
mu" Bukankah bila aku berada di sebelah kananmu
toh sama saja. Kita bisa saling membantu."
"Ini permainan judi, Cakra. Mustahil kau tak
mengetahuinya," kata Tirta sambil tersenyum.
Pemuda berbaju putih itu terdiam. Wajahnya
mengeras dengan tatapan agak tajam. Sepertinya dia
tengah berpikir keras untuk mengetahui apa maksud
Tirta. Di lain kejap dia tertawa dan bersikap seperti biasa, penuh kejenakaan.
"Ya, ya... aku tahu. Aku tahu. Bila seseorang
hendak bermain judi, dia harus berada di sebelah ka-
nan orang yang lebih pandai darinya. Tetapi bila dalam satu permainan judi,
orang itu bersatu dengan temannya untuk mengalahkan lawan-lawan judinya, dia ha-
rus berada di sebelah kiri. Dengan maksud, menindas
orang yang dipikirnya lebih pandai dan membiarkan
temannya masuk memenangkan permainan. Kau cer-
dik sekali, Tirta."
"Dan karena kita berdua, bersatu untuk meng-
hadapi Hantu Seribu Tangan, berarti kau bertugas se-
bagai pancingan, sementara aku akan menghadapi
Hantu Seribu Tangan."
"Kau cerdik sekali, Tirta."
Tirta tersenyum.
"Ini karena dirimu, Cakra. Sekarang, kita mulai
permainan yang telah kita sepakati ini. Ingat, lima belas tombak aku bergerak,
kau mulai bergerak. Dan
persempit jarak bila kukatakan kecil dan perlebar ja-
rak bila kukatakan besar. Kita harus melewati Padang
Seratus Dosa ini lebih dulu. Kita mulai!"
Habis kata-katanya, Tirta berkelebat cepat. Pe-
muda berbaju putih memperhatikan dengan seksama.
Dan mendadak saja bibirnya tersenyum. Pandangan-
nya yang selalu jenaka berubah tajam.
"Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Tirta.
Kau akan menyesal bila mengetahui siapa aku. Tak
kusangka kau begitu cerdik sekali mengemukakan
usul barusan. Bila sudah tiba di Goa Seratus Laknat,
bukannya kita saling menolong, tetapi justru nya-
wamu yang akan putus di sana. Bila aku sudah berte-
mu dengan Hantu Seribu Tangan, aku akan mengabdi
kepadanya dan meminta bantuan untuk membalaskan
dendamku pada Malaikat Judi. Hmmm.... Bagaimana
dengan murid Malaikat Judi yang kukalahkan itu"
Apakah dia sudah mampus akibat luka di dadanya"
Hhh! Persetan semua itu! Dengan menyamar sebagai
diri murid Malaikat Judi, aku bebas bergerak untuk
melacak jejak Hantu Seribu Tangan.
Sebenarnya, aku juga sungguh beruntung bisa
berkenalan dengan gadis jelita yang berjuluk Dewi Ber-
lian. Bila saja aku tak mempunyai keinginan untuk se-
gera menemukan Hantu Seribu Tangan, di saat ber-
duaan dengannya karena Rajawali Emas berlalu, ingin
sekali kugeluti tubuhnya yang montok dan lem-but itu.
Pasti sangat mengasyikkan. Tetapi, dengan tetap me-
nyamar sebagai Pendekar Judi, suatu saat aku pasti
akan dapat melakukannya."
Pemuda berbaju putih yang sesungguhnya ada-
lah Iblis Seribu Muka tersenyum aneh. Tanpa sadar
tangannya mengusap pipinya yang terkena pasir pa-
nas. "Keparat! Panas sekali pa.... Oh"
Untuk sesaat dia tercekat tatkala merasakan
pipi kanannya agak lengket. Segera dilihatnya telapak
tangannya. Ada sedikit cairan getah di sana.
"Jahanam! Aku tak sadar kalau panas yang
menyengat ini bisa melelehkan getah-getah yang kusa-
markan pada wajahku. Sialan! Apakah Tirta melihat-
nya?" sejenak orang ini terdiam dan mengingat-ingat.
"Hmm.... Pasti dia belum melihatnya dan aku yakin getah ini baru saja mencair
setelah Rajawali Emas berke-
lebat. Setan keparat!!"
Lalu dengan cepat diambilnya sebuah tabung
dari balik pakaiannya. Ditumpahkannya ke telapak
tangan kanannya. Lalu digerakkan tangan itu ke wa-
jahnya. Gerakannya sangat cepat sekali Iblis Seribu
Muka memang mempunyai keahlian menyamar yang
sangat tinggi. Tanpa bercermin lagi dia bisa melaku-
kannya. Sesaat, cairan getah yang meleleh dan sedikit
membuka samarannya di pipi kanan, telah mengering
dan menutup kembali. Tatkala dilihatnya sosok berpa-
kaian keemasan sudah hampir mencapai jarak lima
belas tombak, mulailah Iblis Seribu Muka yang me-
nyamar sebagai Pendekar Judi melesat menyusul
* * * Bab 11 ORANG penuh bulu hitam dengan sepasang mata me
merah mengerikan dan gigi-gigi runcing yang sangat
tajam, terus melompat dengan gerakan seperti seekor
serigala. Dari mulutnya yang kerap mengeluarkan air
liur terdengar suara gerengan yang pelan.
Orang yang bergerak aneh ini tiba-tiba saja
menghentikan gerakannya. Kepalanya ditolehkan ke
arah samping. Hidungnya yang cukup mancung nam-
pak bergerak-gerak seperti mengendus sesuatu. Di lain
kejap, dia sudah bergerak menyusup ke balik sebuah
semak. Setelah beberapa saat berlalu, muncullah satu
sosok tubuh di tempat itu. Sosok seorang nenek ber-
wajah cukup mengerikan. Hidungnya bulat dengan bi-
bir yang tebal. Rambutnya hitam panjang tergerai
awut-awutan. Mengenakan pakaian berwarna jingga.
Dari wujudnya yang mengerikan itu, ternyata dia ha-
nya memiliki telinga sebuah yang dicanteli anting tiga buah, Entah ke mana
telinga sebelah kanannya itu. Bi-la melihat ciri orang yang baru muncul ini,
jelas dia adalah Nyi Randa Barong atau yang berjuluk Iblis Ca-
das Siluman. Guru dari Angin Racun Barat ini memperhati-
kan sekelilingnya dengan seksama. Di lain kejap, dia
sudah mengeluarkan dengusan, "Setan keparat! Ke
mana perginya Malaikat Judi" Sinting! Dia bisa me-
ngecohku rupanya!!"
Setelah bertemu dengan Malaikat Judi di se-
buah pesisir, Nyi Randa Barong yang keluar dari ke-
diamannya yang bernama Cadas Siluman, segera ber-
kelebat setelah gagal memaksa Malaikat Judi menga-
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takan di mana Pendekar Judi berada. Hati Nyi Randa
Barong sebenarnya saat ini tengah gundah. Karena
Angin Racun Barat pergi begitu saja tanpa mengatakan
apa-apa. Akan tetapi, sedikit banyaknya Iblis Cadas Siluman tahu, kalau muridnya
meninggalkan Cadas Si-
luman dikarenakan Pendekar Judi yang menolak cin-
tanya. Merasa bertanggung jawab atas hilangnya An-
gin Racun Barat, Nyi Randa Barong pun meninggalkan
Cadas Siluman menuju Lembah Sumur Tua di mana
Malaikat Judi dan Pendekar Judi tinggal. Tetap, di
Lembah Sumur Tua, Iblis Cadas Siluman tak mene-
mukan orang yang dicarinya. Dia pun pergi dari sana
dan melihat bayangan Malaikat Judi yang menaiki se-
bilah papan untuk melewati Teluk Tenggorong. Dan
yang membuatnya geram, karena Malaikat Judi justru
meramalkan kalau muridnya akan berjodoh dengan
Manusia Serigala. Kendati agak bergetar mendengar-
nya karena Iblis Cadas Siluman tahu kemampuan me-
ramal dari Malaikat Judi atau yang dijuluki pula seba-
gai si Peramal Sakti, tetapi hatinya tak bisa menerima ramalan itu. Dia
bertekad, bisa memang berjumpa
dengan Manusia Serigala, dia akan membunuhnya
hingga ramalan itu pun pupus! (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca: "Mata Malaikat").
Si nenek berkuping sebelah ini kembali menge-
darkan pandangan. Sejauh mata memandang, yang
nampak hanya jajaran pepohonan belaka.
"Hhh! Malaikat Judi mengatakan kalau dia
hendak mencari muridnya yang telah tiga bulan me-
ninggalkan Lembah Sumur Tua, lebih dari waktu yang
di-tetapkannya. Dia juga mengatakan hendak mencari
Hantu Seribu Tangan, yang terlalu banyak menurun-
kan dosa dan darah. Jahanam betul! Urusanku bu-
kanlah Hantu Seribu Tangan, tetapi Pendekar Judi
yang menolak cinta muridku! Dan ramalan sialan yang
dituturkan oleh Malaikat Judi, sungguh membuatku
muak mendengarnya!! Apakah memang benar semua-
nya..." Si nenek tiba-tiba saja memutus kata-katanya sendiri. Telinganya yang
hanya sebelah itu nampak
bergetar. Lalu dia berkata dalam hati, "Setan alas! Aku seperti mendengar suara
orang bernapas, meskipun
sangat pelan sekali. Tetapi cara orang ini bernapas
sungguh aneh. Seperti tak mengalami getaran apa-apa.
Hhh! Di mana orang itu berada!"
Sepasang mata kelabu Iblis Cadas Siluman di-
pentangkan. Telinganya yang sebelah itu dibuka le-
bar-lebar. Kembali si nenek berpakaian jingga ini
membatin, "Gila! Apakah napas yang kudengar ini berasal
dari seekor hewan" Alunan nafasnya tak teratur, se-
perti terengah. Tetapi sangat pelan sekali. Bahkan bisa kurasakan, kalau perut
orang yang bernapas ini seperti tertekan. Tidak seperti kebanyakan orang bila
ber- napas." Dan mendadak saja, tangan si nenek mengibas
ke sebuah semak berjarak lima tombak dari sisi ka-
nannya berdiri.
Wuuusss!! Menghampar angin deras dengan kencangnya
dan melabrak semak yang dituju.
Blaaarr! Semak itu langsung rengkah beterbangan dan
tercabut hingga akar-akarnya. Bersamaan dengan an-
gin yang melesat tadi, satu sosok tubuh penuh bulu
melompat dari tempat itu dengan mengeluarkan geren-
gan keras. Dan lompatan yang dilakukan orang berbulu
yang bergerak seperti seekor serigala itu, mengarah
langsung pada Iblis. Cadas Siluman yang sejenak ter-
pana. Bersamaan dengan kedua tangan orang penuh
bulu bergerak hendak mencakar, si nenek langsung
mengangkat sebelah tangannya.
Buk! Dan dengan cara berputar dia menendang.
Des! Terjajar ke belakang orang penuh bulu itu. Te-
tapi hebatnya, dia langsung melompat dan hinggap di
tanah dalam posisi merangkak. Kedua mata merahnya
terbeliak gusar dengan air liur yang menetes
"Grrrrhhh!"
Iblis Cadas Siluman benar-benar terkejut meli-
hat orang yang sedang marah dengan posisi merang-
kak. "Sinting! Apakah dunia hendak kiamat?" seru-nya keras. "Orang penuh bulu
ini tindak tanduknya tak ubahnya seekor serigala saja. Dan dari wujud yang
ada pada dirinya, dia memang seperti seekor serigala
Keparat betul! Jangan-jangan yang jadi ramalan Ma-
laikat Judi membawa kenyataan. Hhh! Tak akan per-
nah kubiarkan muridku yang jelita ini menjadi jodoh
Manusia Serigala.'!"
Berpikir demikian, si nenek melesat dengan
sentakan yang cukup kuat. Dan orang berbulu yang
dijuluki si nenek Manusia Serigala, juga melompat
dengan gerengan kemarahan dan kedua tangan penuh
kuku runcing mengembang.
Si nenek berhasil menghindari sambaran cakar
yang mengerikan itu dengan cara memiringkan tubuh.
Sambil menghindar, dilepaskan satu pukulan penuh
tenaga dalam yang kuat. Tetapi Manusia Serigala, en-
tah mengandalkan nalurinya atau karena dia memang
berakal, memutar tubuh. Dan masih berputar, seperti
layaknya seekor kuda, dia melepaskan tendangan ke-
dua kaki belakang dengan cara membelakangi si ne-
nek. Iblis Cadas Siluman mendengus dan mengibas-
kan tangannya. Des! Des! Manusia Serigala tersungkur akibat benturan
yang cukup keras dan dia terkaing-kaing kesakitan
dengan air liur yang semakin banyak menetes.
Sebenarnya, si nenek bisa saja segera mengha-
bisi Manusia Serigala. Kendati dia mempunyai niat se-
perti itu, namun dia masih dibuat heran dengan ke-
munculan Manusia Serigala. Terutama akan ramalan
Malaikat Judi atau si Peramal Sakti yang sepertinya
membawa kenyataan.
Tetapi di lain kejap, Iblis Cadas Siluman tak
mau bertindak ayal. Tenaga dalamnya kali ini benar-
benar dialirkan. Dengan teriakan yang keras, disen-
takkan kedua tangannya dengan cara membuka tela-
pak tangan. Wuuut! Wuuuttt!
Dua gelombang angin menderu dengan menim-
bulkan suara bergemuruh. Berjarak empat tombak di
hadapannya, sepasang mata merah milik Manusia Se-
rigala semakin terbuka lebar. Dan dengan cepat dia
melompat ke samping.
Blaaar! Blaaarr!
Dua gelombang angin tadi menghantam dua
batang pohon yang langsung tumbang berdebam. Se-
mentara si nenek sudah berkelebat menyerang Manu-
sia Serigala. Dalam dua gebrakan saja, Manusia Serigala
berhasil dihajarnya hingga orang penuh bulu itu berte-
riak kesakitan layaknya seekor serigala. Tubuhnya
bergulingan. Dari hidung dan mulutnya mengalir da-
rah segar. Iblis Cadas Siluman langsung bergerak lagi.
Kali ini, jelas tak ada waktu lagi untuk Manusia Seri-
gala membebaskan diri dari segala intaian kematian.
Namun sebelum Iblis Cadas Siluman menjalan-
kan maksud, tiba-tiba satu hamparan sinar yang ber-
kilau diiringi angin keras terdengar menyambar dari
arah samping. Si nenek menggeram. Sambil kertak-
kan rahang, dengan gerakan yang sangat cepat Iblis
Cadas Siluman menyingkir dengan melompat ke samp-
ing kanan. Lalu dipalingkan kepala ke arah asal da-
tangnya sambaran angin tadi. Sepasang matanya
mendelik menyipit. Mulutnya terkatup rapat dengan
rahang mengeras.
Lima tombak dari tempatnya berdiri, Iblis Ca-
das Siluman melihat seorang perempuan berusia se-
tengah baya yang mengenakan pakaian panjang ber-
warna biru kehitaman. Wajah perempuan itu begitu
tenang sekali Mengenakan tudung kepala berbentuk
kerucut. Wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa
kecantikan di masa mudanya. Di pergelangan tangan
dan jari-jarinya, terdapat gelang dan cincin bertakhtakan berlian yang
berkilauan. Sejenak Iblis Cadas Siluman memperhatikan
orang yang baru datang. Lalu berkata dengan nada
jengkel, "Melihat ciri yang ada pada dirimu, aku yakin yang datang adalah Dewi
Bulan. Tetapi, urusan apa
hingga kau menahan seranganku untuk membunuh
makhluk aneh sialan itu"!"
Perempuan setengah baya dengan tudung ke-
pala berbentuk kerucut yang tak lain memang Dewi
Bulan adanya, tersenyum.
"Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Dan melihat ciri yang ada pada dirimu, tentunya eng-
kau-lah salah satu tokoh rimba persilatan yang banyak
di-kagumi orang, Iblis Cadas Siluman."
"Kau belum jawab pertanyaanku!!" sentak Iblis Cadas' Siluman dengan geram. Dan
begitu matanya menangkap gerakan Manusia Serigala yang hendak
melarikan diri, tangan kanannya segera digerakkan
dengan cepat. Wuusss! Dewi Bulan yang melihat gelagat tak mengun-
tungkan bagi orang penuh bulu itu, segera menyen-
takkan tangan kanannya pula.
Wuusss! Hamparan sinar berkilau tak ubahnya puluhan
butir berlian menjadi satu, melabrak angin yang dile-
paskan oleh Iblis Cadas Siluman.
Blaaam! Angin itu langsung pupus dan sinar berkilau
tadi buyar seketika. Manusia Serigala tak lagi mem-
buang waktu, dia segera melompat cepat melarikan diri
Sementara Iblis Cadas Siluman seketika memalingkan
kepala dengan wajah semakin berubah marah pada
Dewi Bulan. "Benar-benar tak tahu diuntung! Kau terlalu
lancang mencampuri urusanku, Dewi Bulan!" sengat-
nya dengan suara yang keras hingga menggugurkan
dedaunan. "Siapa pun adanya makhluk di muka bumi ini,
janganlah kita menurunkan tangan telengas sebelum
tahu siapa orang itu. Bila dia memang tergolong jahat, kita masih bisa
mengampuninya dengan syarat, orang
itu tak mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi bila dia
tetap keras kepala, tak ada jalan selain membunuh-
nya. Hanya saja, orang penuh bulu yang tadi hendak
kau hentikan kehidupannya, nampak sekali kalau dia
hanya sebagian makhluk aneh yang hidup di muka
bumi ini. Tak layak menurunkan tangan telengas pa-
danya," kata Dewi Bulan dengan sikapnya yang selalu tenang. "Jangan berkhotbah
di depanku, Dewi Bulan!"
geram Iblis Cadas Siluman sengit. Kedua tangannya
terkepal. "Aku hanya mencoba meluruskan apa yang ada
di hadapanku, Nyi Randa Barong."
Nyi Randa Barong alias Iblis Cadas Siluman
menggeram. "Apa yang dikatakannya memang benar. Tetapi
dia tidak tahu apa jadinya bila Manusia Serigala ku-
biarkan hidup. Hhh! Biarlah untuk sementara persoa-
lan Manusia Serigala kutunda. Bila bertemu kembali,
akan kulumat tubuhnya! Aku tak mau muridku berjo-
doh dengan orang penuh bulu itu!" Habis membatin
begitu, kembali kepalanya diangkat dengan sepasang
mata yang tetap dipentangkan tajam. "Dewi Bulan...
sebenarnya kau telah membuka urusan denganku! Te-
tapi terus terang, apa yang kau katakan bisa kubenar-
kan. Hanya saja, aku tak suka urusanku dicampuri
oleh orang lain!!"
"Aku bukan mencampuri urusan orang. Tetapi,
aku tidak suka melihat kematian di depan mataku."
"Jangan berlagak alim!!"
"Tadi kukatakan, kalau orang itu memang ke-
ras kepala dan memiliki naluri jahat setinggi langit,
mungkin tak salah bila kita membunuhnya."
"Sinting! Kau terlalu banyak berkhotbah!"
Habis memaki demikian, Iblis Cadas Siluman
berkelebat cepat meninggalkan Dewi Bulan yang hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Pada dasarnya, Iblis Cadas Siluman berhati
baik. Dan sebenarnya dia tidak terlalu banyak berbeda
dengan sifat Bidadari Hati Kejam. Entah ada Urusan
apa dia menginginkan nyawa Manusia Serigala. Sung-
guh, baru kali ini aku melihat Manusia Serigala yang
kupikir hanya sebuah legenda belaka.
Siapa sebenarnya orang penuh bulu yang tin-
dak tanduknya seperti seekor serigala. Dia tentunya
lahir dari rahim seorang anak manusia. Dan mengapa
dia bisa menjelma menjadi seperti seekor serigala"
Apakah ada sesuatu di balik rahasia ini" Hmmm....
Melihat ke mana perginya Iblis Cadas Siluman, seper-
tinya dia memang mencoba menembus Hutan Seratus
Kematian. Bila orang sudah tiba di sini, tempat mana
lagi kalau bukan Goa Seratus Laknat yang dituju" Se-
baiknya... aku segera saja meneruskan langkah!"
Rajawali Emas 11 Jejak-jejak Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memikir sampai di sana, perempuan berpa-
kaian panjang berwarna biru kehitaman itu segera
berkelebat pula. Meninggalkan tempat itu yang kemba-
li dibungkus sepi.
* * * Bab 12 DI penghujung Hutan Seratus Kematian sebelah teng-gara, dua sosok tubuh
menghentikan langkah masing-
masing. Yang seorang mementangkan kedua matanya
memandangi hamparan padang tandus yang sangat
panas. Sementara yang seorang lagi, lelaki tua yang
memejamkan kedua matanya, hanya bisa merasakan
terpaan angin panas yang sampai kepadanya.
"Kunti... apakah di hadapan kita membentang
Padang Seratus Dosa?" pertanyaan itu keluar dari mulut lelaki tua yang
mengenakan pakaian hijau penuh
tambalan. Dia berdiri dengan cara bertelekan pada
tongkatnya yang berwarna putih. Saat bertanya tadi,
dia memang memalingkan kepala, tetapi kedua. ma-
tanya tetap terpejam.
Nenek berkonde yang dipanggil tadi hanya
mengeluarkan dengusan.
"Mengapa kau tak membuka kedua matamu sa-
ja untuk melihat apa yang ada di hadapanmu?" sen-
taknya. Nenek berkonde yang tak Iain Bidadari Hati
Kejam itu kembali mengeluarkan dengusan.
Orang yang selalu memejamkan kedua matanya
dan tak lain Mata Malaikat hanya tersenyum saja. Se-
jak dia berhasil menyelamatkan Bidadari Hati Kejam
dari rangkaian serangan Penabur Pasir, Dewi Topeng
Perak, dan Sandang Kutung, di sebuah jalan setapak
yang dipenuhi ranggasan semak belukar dihentikan la-
rinya. Diturunkannya tubuh Bidadari Hati Kejam dan
langsung diperiksa. Memakan waktu hampir sepena-
nakan nasi, Mata Malaikat baru bisa menarik napas
panjang. Dan dia pun benar-benar harus menarik na-
pas panjang mendengar cerocosan kemarahan Bidada-
ri Hati Kejam saat si nenek berkonde itu siuman, yang
menyesali mengapa Mata Malaikat menolongnya. Mata
Malaikat sendiri tak menjawab, hanya tersenyum saja.
Setelah keadaan Bidadari Hati Kejam pulih, ke-
duanya pun segera melanjutkan perjalanan setelah ter-
jadi perbincangan yang ternyata satu sama lain mem-
punyai tujuan sama untuk mencari Goa Seratus Lak-
nat tempat Hantu Seribu Tangan berada.
Mata Malaikat menjawab masih tetap terse-
nyum, "Kedua mataku telah lekat, Kunti. Mungkin aku sendiri tidak tahu apakah
masih bisa kubuka atau tidak." "Hhh!!. Hanya gara-gara Dewi Segala Impian sa-ja
kau bersumpah melakukan tindakan konyol seperti
ini." "Itulah yang ada di hatiku. Kalau cintaku pa-
danya begitu dalam. Tetapi, bila aku bertemu kembali
dengannya dan dia menjelaskan alasan apa memu-
tuskan hubungan denganku, mungkin aku akan kem-
bali seperti sediakala."
"Kedua matamu mungkin sudah lengket bila
kau mencoba membukanya."
"Aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah men-
cobanya." "Sinting!"
"Bagaimana kisah cintamu dengan Manusia
Pemarah?" Si nenek berkonde langsung memalingkan ke-
palanya pada Mata Malaikat yang hanya tersenyum te-
tap dengan memejamkan kedua matanya. Sepasang
mata si nenek menjereng, lalu terdengar geramannya
kesal. "Pikiran apa yang merasuk dalam benakmu
hingga kau menanyakan soal itu?" bentaknya keras.
"Jangan berlagak pilon, Bidadari Hati Kejam.
Aku tahu kalau Manusia Pemarah sejak muda mencin-
taimu. Dan aku yakin, kau pun mempunyai perasaan
yang sama dengannya."
"Jangan berbicara soal cinta di usia senja se-
macam ini."
"Dengan kata lain, kau membenarkan kata-
kata-ku tadi?"
"Jahanam! Siapa yang membenarkan soal itu,
hah?" "Apakah kau tahu, kalau suaramu bergetar saat mengatakan kalimat tadi?"
Kali ini si nenek berkonde terdiam. Dadanya
yang rata naik turun dengan gerakan yang cepat.
"Napasmu sepertinya menahan gelombang rin-
du di dada, Kunti. Mengapa kau tidak mengambil ke-
sempatan di usia senja ini untuk bermesraan dan
mengikat janji dengan Manusia Pemarah?"
Si nenek kembali mendengus.
"Sinting bila aku melakukannya!"
"Cinta terkadang bisa membuat orang menjadi
sinting, Kunti. Aku yakin, Manusia Pemarah sebenar-
nya sangat mengharapkan dirimu. Dan aku tahu kalau
sifat kalian yang sama-sama keras kepala itulah yang
menyebabkan cinta tak pernah menyatu."
"Jangan berbicara soal cinta lagi," kata si nenek kali ini benar-benar bergetar
suaranya. Dadanya seperti disesakkan oleh keharuan dan kerinduan yang men-
dadak muncul. Sepasang matanya tahu-tahu berair
dan segera dihapusnya.
"Bukan maksudku untuk mengusik setiap per-
soalan hati. Tetapi, aku hanya ingin menegaskan ke-
padamu, mengapa aku memejamkan kedua mataku
ini. Disebabkan cintaku yang dalam pada Dewi Segala
Impian." Kali ini Bidadari Hati Kejam tak menjawab. Da-
danya semakin dibuncah sebuah perasaan asing yang
sebenarnya ketika dia masih muda dulu perasaan itu
pernah singgah.
Mata Malaikat yang diam-diam mengerti pera-
saan perempuan ini berkata, "Kita teruskan langkah sekarang untuk menembus
Padang Seratus Dosa. Aku
yakin padang tandus ini banyak menyimpan misteri.
Tetapi kita harus mencobanya. Tujuanku di samping
mencari Dewi Segala Impian, juga untuk menghenti-
kan sepak terjang telengas Hantu Seribu Tangan. Teru-
tama memusnahkan Keranda Maut Perenggut Nyawa
yang menjadi momok."
Lalu tanpa menunggu jawaban Bidadari Hati
Kejam, orang tua berpakaian hijau penuh tambalan ini
segera berkelebat ke muka.
Sementara itu, Bidadari Hati Kejam menarik
napas panjang. "Benarkah yang dikatakan Mata Malaikat tadi
Ah... rasanya terlalu sulit untuk kukatakan, kendati]
aku membenarkan pula yang dikatakannya," desisnya pelan. Namun tiba-tiba saja
dia kembali mendengus.
"Sinting! Apa-apaan aku bisa terbawa urusan
asmara dengan lelaki tua bau tanah yang pemarah itu!
Keenakan dia!"
Kejap lain, si nenek berkonde sudah berkelebat!
menyusul.... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Payung Sengkala 10 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Dewi Ular 7