Keranda Maut Perenggut Nyawa 3
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa Bagian 3
"Kawan... aku seorang penjudi. Tahukah kau
berapa jumlah tiga buah dadu di dalam batok kelapa
itu?" tanyanya tiba-tiba.
Tirta tersenyum, lalu menoleh ke sudut di ma-
na orang-orang masih ramai menunggu kehadiran si
pemuda. "Aku tak pandai berjudi. Jadi, aku tidak tahu
berapa jumlah bulatan dadu di dalam batok kelapa
itu," katanya kemudian.
Pemuda berbaju putih mendesah.
"Ah, sayang sekali. Padahal aku sedang bin-
gung." Dewi Berlian tak senang dengan segala sesuatu yang bersifat judi. Makanya
dia berkata, "Mengapa kau harus bertanya segala kepada kami yang tak mengerti
soal perjudian?"
Pemuda berbaju putih itu nyengir.
"Maaf. Karena aku lagi bingung."
Lalu dia berputar berkali-kali dan akhirnya
kembali duduk di tempatnya Setelah beberapa saat
memperhatikan batok kelapa di hadapannya dia berka-
ta diiringi tepukan dan sorakan ramai, "Buka! Aku ingin melihat keberuntungan
ku." Tetapi satu suara menahan tangan si pengocok!
dadu yang sejak tadi tidak sabar.
Tunggu!!" Semua mata menoleh, termasuk si pemuda ke
arah suara yang berasal dari mulut Ki Gombel. Ki
Gombel menyeringai sambil berkata pada si pemuda
"Keberuntungan akan datang padamu Anak Muda.
Aku menyukai ketabahan dan kuuletanmu saat ber-
main judi. Dan aku yakin, kau akan keluar dari kedai
ini dengan membawa uang yang banyak." Di saat ber-
kata-kata, Ki Gombel menekan kembali meja dari men-
galirkan tenaga dalamnya. Sungguh, dia tadi terkejut
ketika mendengar suara bergerak di dalam batok kela-
pa itu. Dan diam-diam dia membatin, "Pemuda ini jelas bukan orang sembarangan.
Dia tahu kalau dadu di dalam batok kelapa itu berubah. Perbuatannya yang tadi
bangkit meninggalkan meja, pasti tengah memikirkan
sesuatu. Nah, sekarang sudah berubah kembali angka
itu menjadi jumlah bulatan enam."
"Mengapa kau menahannya, Ki?" tanya si pe-
muda dengan wajah polos sambil menatap Ki Gombel.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas
keberuntunganmu." Ki Gombel menyeringai lebar "Bu-ka tetapi justru kata-katanya
diralatnya sendiri.!
'Tunggu!" Disambungnya kata-kata dalam hati, "Keparat! Jumlah dadu di dalam
batok kelapa itu telah!
berubah kembali. Siapa yang melakukannya" Pemuda
ini sama sekali tak kulihat melakukan apa-apa. Apa-
kah pikiranku tadi salah menduga pemuda ini tahu
apa yang terjadi di dalam batok kelapa itu" Jahanam
betul! Aku ingin tahu siapa orang yang ikut campur
urusan ini! Berarti, dia memang menantang Ki Gom-
bel!" "Orang tua, mengapa kau kembali menahan?"
tanya si pemuda dengan wajah lugu. "Tadi kau kata-
kan keberuntungan sudah berada di tanganku. Lalu,
mengapa kau sekarang seperti sengaja mengulur wak-
tu?" Lelaki berkumis menjuntai tanpa jenggot itu memerah mendengar kata-kata si
pemuda, yang seperti mengejeknya. Tetapi sebagai orang kepercayaan sang
bandar dan telah berulang kali membantu sang bandar
tambun mendapatkan uang yang sangat banyak, men-
geluarkan suara keras. Bukan hanya para penonton
perjudian itu saja yang memperhatikannya, orang-
orang yang berada di kedai itu pun menolehkan kepa-
la. Tirta yang sudah menyelesaikan makannya di-
am-diam jadi tertarik untuk melihat perjudian itu. Se-
telah membayar, diajaknya Dewi Berlian ke sana. Mu-
rid Dewi Bulan itu semula menolak, tetapi dia pun tak
ingin duduk seorang diri dan diperhatikannya bebera-
pa pasang mata menatapnya dengan liar.
"Sudah tiba keberuntunganmu, Anak Muda,"
kata Ki Gombel sambil menekan kembali meja dan
mengalirkan tenaga dalamnya. Kali ini, dia tak mele-
paskan tangannya dari sana,
Di dalam batok kelapa, bersamaan berubah lagi
jumlah bulatan pada tiga buah dadu, mendadak saja
kembali bergerak. Ki Gombel tercekat. Ditatapnya si
pemuda berbaju putih yang masih menatapnya.
"Gila! Siapa yang melakukan tindakan jahanam
ini" Pemuda itu kulihat tak melakukan apa-apa?" batinnya gusar. dan tanpa
sepengetahuan yang lainnya,
di dalam batok kelapa itu tiga buah dadu terus bergu-
lir berulang-ulang tanpa menimbulkan suara. Hanya
seorang saja yang tersenyum melihat hal itu. Dia ada-
lah Rajawali Emas.
"Hmmm.... Dari dulu sampai sekarang, perju-
dian, bukanlah cara yang baik untuk mendapatkan re-
zeki. Selalu saja ada yang curang. Lelaki berkumis
menjuntai tanpa jenggot itu rupanya mencoba mengu-
bah jumlah bulatan tiga buah dadu di dalam batok ke-
lapa," kata Tirta dalam hati. Dan senyumannya semakin mengembang ketika melihat
sesuatu yang menarik
perhatiannya. "Hebat! Pemuda ini bisa bersikap bodoh dengan terus memandang ke
arah orang yang menghisap rokok kawung dan sekarang sudah berkeringat.
Dengan dengkul kaki sebelah kanan yang ditempelkan
pada bagian bawah meja, pemuda berbaju putih ini
pun mengalirkan tenaga dalamnya untuk menahan ali-
ran tenaga dalam yang dialirkan lelaki berkumis men-
juntai pada tiga buah dadu dalam batok kelapa.
Hmm.... Aku ingin tahu apa yang terjadi berikutnya."
Begitulah yang terjadi. Tiga buah dadu di dalam
batok kelapa terus bergerak mengikuti keinginan Ki
Gombel dan si pemuda. Orang-orang yang semakin
ramai menonton bersorak-sorak tak sabar karena ter-
lalu lama menunggu.
Tirta membatin kembali, "Hmmm.... Bisa ku ra-
sakan kalau pemuda ini mengendorkan tenaga dalam-
nya. Apa yang sebenarnya hendak dilakukan?"
Pemuda berbaju putih itu memandang pada si
pengocok dadu. "Sudah buka! Aku sudah tidak sabar
untuk melihat keberuntungan ku!!" serunya cukup ke-
ras. Si pengocok dadu melirik pada Ki Gombel yang
diam-diam menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya
orang itu mendesis, "Rupanya yang iseng yang mena-
han aliran tenaga dalamku sudah menyerah. Terbukti
dadu-dadu di dalam batok kelapa itu tidak bergerak
lagi." Begitu mendapati isyarat dari Ki Gombel, si pengocok dadu membuka batok
kelapa. Puluhan pasang mata terbeliak lebar dengan mulut terbuka. Ki
Gombel sendiri mengusap-usap matanya tanpa sadar.
Dalam keterkejutan masing-masing orang, si pemuda
berteriak keras;
"Lho" Mengapa ketiga dadu itu lebur menjadi
serpihan" Ini tak mungkin.... Masa bodoh! Hahaha...
aku tetap beruntung karena tak ketahuan berapa jum-
lah dadu itu!!" Sambil tertawa si pemuda meraup uang taruhannya kembali dan
memasukkan di sebuah kan-tong kulit yang kemudian diselipkan di balik pakaian-
nya. Dia berdiri seraya berkata, "Karena ketiga dadu itu sudah hancur, aku
terpaksa tak melanjutkan lagi
permainan. Terima kasih, terima kasih, karena aku
sudah menang cukup banyak."
Sang bandar melotot marah pada Ki Gombel
yang kelihatan bingung. Dia sama sekali tak menyang-
ka kalau kedua dadu dalam batok kelapa yang tak
bergerak lagi itu sudah lebur menjadi serpihan. Di pi-
kirnya tadi, orang yang menghalangi maksudnya su-
dah menyerah. "Setan keparat! Orang itu ternyata memiliki te-
naga dalam yang lebih tinggi!!" geramnya dalam hati.
Lalu dengan kegeraman yang sama dia menoleh pada
pemuda berbaju putih yang sudah keluar dari kedai
itu. "Dia tak akan bisa melepaskan diri begitu saja. Dia
harus mengembalikan uang-uang yang dimenangkan-
nya sekaligus melepas nyawa busuknya!"
Sementara itu, Tirta juga sudah menyingkir da-
ri kedai. Dan berdiri bersama Dewi Berlian di muka ja-
lan masuk ke kedai. Tetapi pemuda dari Gunung Ra-
jawali itu tak berkata apa-apa, sampai kemudian Dewi
Berlian menegurnya.
"Kang Tirta" Apakah Kang Tirta sedang me-
nunggu orang yang memberikan sedekah?" goda si ga-
dis sambil tersenyum.
Tirta nyengir jelek.
Aku sedang memikirkan siapa pemuda berbaju
putih tadi."
"Memangnya kenapa?" tanya Dewi Berlian pula.
"Aku sendiri tidak tahu. Sebaiknya...." Tirta
mengurungkan kata-kata tatkala melihat Ki Gombel
keluar bersama tiga arang lelaki berwajah kasar. Di
pinggang ketiga orang itu terdapat sebilah parang be-
sar. Tirta berkata lagi pada Dewi Berlian ketika orang-
orang itu berlalu, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak. Lelaki setengah baya
berkumis menjuntai dan ti-ga orang yang mengiringinya pasti mempunyai maksud
tertentu dengan pemuda berbaju putih. Dewi, Aku in-
gin tahu apa yang akan terjadi. Juga, siapa pemuda itu
sebenarnya?"
"Kang Tirta.... Bukankah saat ini kita harus
mencari orang berjuluk Mata Malaikat untuk mencari
penjelasan di mana Hantu Seribu Tangan berada?"
tanya Dewi Berlian dan saat itu seorang gadis berwa-
jah cantik dengan rambut panjang dan sepasang mata
bulat tajam lewat hendak masuk ke kedai itu. Sejenak
telinga gadis berpakaian biru ketat sehingga bentuk
dada dan pinggulnya terbayang jelas berhenti melang-
kah. Lalu seolah tak tertarik dengan pembicaraan itu,
dia masuk ke kedai.
"Dewi, sambil lalu kita tetap mencarinya. Juga
mencari guruku dan Manusia Pemarah," sahut Tirta
sambil melirik gadis berbaju biru ketat tadi.
Mendapati jawaban yang cukup mengena, Dewi
Berlian akhirnya menganggukkan kepala. Lalu diiku-
tinya si Rajawali Emas yang sudah melesat ke arah Ki
Gombel dan ketiga lelaki yang mengiringinya tadi pergi.
Satu tarikan napas berlalu, satu sosok tubuh
mencelat keluar dari dalam kedai itu. Sosok gadis yang
mengenakan pakaian biru ketat tadi.
"Hmmm.... Pendengaranku sangat jelas tadi ka-
lau keduanya hendak mencari Mata Malaikat. Entah
siapa yang dimaksud dengan Hantu Seribu Tangan.
Tetapi.... Guru sudah memberi tugas padaku untuk
melacak keberadaan Mata Malaikat. Entah ada persoa-
lan apa antara Guru dengan orang berjuluk Mala Ma-
laikat itu. Baiknya, kuikuti saja ke mana perginya ke-
dua orang tadi"
Gadis berbaju biru ketat itu segera melesat
dengan kecepatan yang luar biasa.
*** Bab 9 Pemuda berbaju putih bersih yang baru saja
menang banyak dari hasil perjudian yang dilakukan-
nya, melangkah santai di sebuah jalan setapak yang
cukup jauh dari dusun yang dimasuki tadi. Di kanan
kirinya dipenuhi semak belukar setinggi dada dan pe-
pohonan yang cukup. tinggi. Sambil melangkah dia
bersenandung. Asal saja, karena lagu yang disenan-
dungkannya memang hanya asal keluar.
Tiba-tiba saja dia berhenti bersenandung, tetapi
tetap terus melangkah. Seulas senyum bertengger di
bibirnya. "Hmmm.... Benar dugaanku. Pasti akan ada
orang-orang yang mengikutiku. Tanpa kulihat aku ya-
kin, kalau mereka adalah orang-orang di kedai tadi.
Biar tahu rasa! Mereka berjudi tidak jujur! Mengandal-
kan kelicikan tinggi! Mereka pikir aku tidak tahu ba-
rangkali, kalau si pengocok dadu itu mempergunakan
tenaga dalam untuk mempermainkan dadu di dalam
batok kelapa" Pantas bandar bisa menang terus. Teta-
pi tatkala dia terus menerus kalah, lelaki berkumis
menjuntai berwajah setan tadi yang menggantikan ke-
dudukannya. Hmmm.... Biar kutunggu saja orang-
orang itu di sini!!"
Memutuskan demikian, si pemuda mengarah-
kan langkahnya ke bawah sebatang pohon. Lalu duduk
bersandar dengan kedua kaki berselonjor. Tangannya
bersedekap di dada dan matanya segera dipejamkan.
Selang beberapa saat, Ki Gombel dan tiga lelaki
yang mengikutinya tiba di tempat itu. Sepasang mata
Ki Gombel berbinar cerah dan mengandung kemara-
han melihat si pemuda tertidur.
"Bagus"! Rupanya dia tertidur disini! Tak sulit untuk mencabut nyawanya sekarang
dan mengambil uang taruhan yang dimenangkannya tadi," seringai lelaki berkumis menjuntai
sambil menganguk- anggukkan kepalanya. Ditolehkan kepala pada tiga le-
laki yang mengikutinya. "Bunuh pemuda celaka itu!"
Tiga parang besar sudah berada di tangan mas-
ing-masing orang dengan sekali cabut. Lalu dengan ge-
rakan tak sabar, ketiga lelaki yang diperintahkan itu
segera mengayunkan parang mereka secara se-
rempak. Wuuut! Wuuut! Wuuuttt!
Begitu ketiga parang mengayun, sosok si pe-
muda berguling tetap dengan mata terpejam.
Crak!! Secara bersamaan ketiga parang itu menghajar
pohon yang disandari si pemuda, sementara sosok si
pemuda tergolek dalam keadaan memejamkan ma-
tanya tak jauh dari mereka.
"Setan!" salah seorang memaki sambil menca-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
but parangnya yang menancap di batang pohon.
"Mungkin dia tengah bermimpi hingga tubuhnya ber-
guling dan selamat! Tetapi kali ini... dia tak akan lepas dari kematian!"
Serentak bersama kedua temannya, kembali
ketiganya mengayunkan parang besar di tangan.
Clap! Ketiga parang itu serentak nancap di tanah, di
mana si pemuda tadi terbaring. Serentak ketiga orang
itu saling pandang dengan tatapan melebar karena tak
melihat lagi di mana tubuh si pemuda yang siap dima-
kan parang masing-masing.
Belum lagi mereka mengerti apa yang terjadi,
tiba-tiba saja tubuh ketiganya bergulingan ke samping
setelah ditubruk oleh satu sosok tubuh.
"Wah! Maaf, ya" Aku tidak sengaja?" suara itu terdengar bersamaan tawa renyah.
Ketiga orang itu segera berdiri. Beringas dan
tak percaya mereka menatap tak berkedip pada pemu-
da berbaju putih yang tadi sengaja menubrukkan diri
pada orang yang paling dekat. Dan orang itu mau tak
mau menabrak tubuh kedua temannya.
Sementara itu, Ki Gombel menggeram dalam
hati, "Hebat! Pemuda ini jelas bukan orang sembaran-
gan!! Dan aku yakin sebenarnya dia tidak tidur tadi!"
Tatkala satu pikiran singgah di benaknya, wajah lelaki
berkumis menjuntai itu berubah. "Jahanam! Aku ya-
kin, pemuda inilah yang tadi menahan tenaga dalam-
ku! Keparat betul!"
Tak membuang waktu lagi, Ki Gombel sudah
menderu ke arah si pemuda dengan kedua tangan di-
kembangkan. Angin deras mendahului pukulannya. Si
pemuda bergerak melompat sambil berteriak keras,
"Waduh! Jangan galak-galak begini!!"
Ki Gombel terus mencecar hebat. Angin yang
keluar dari tangannya memapas beberapa semak yang
langsung terpental. Si pemuda sepertinya kebingungan
menerima serangan itu. Wajahnya seperti orang dungu
yang linglung. Ki Gombel terus mencecar dengan hebatnya
sampai akhirnya si pemuda menjerit-jerit, "Ampun!
Ampun! Jangan bunuh aku!!"
Mendapati si pemuda ketakutan seperti itu dan
menganggap serangannya sangat membuat si pemuda
cemas, Ki Gombel merasa dirinya sudah berada di atas
angin. Terutama ketika tiga lelaki yang bersamanya
memburu pula dengan parang di tangan masing-
masing. Si pemuda terus menghindar dengan kedua
tangan ditakupkan di kepala dan berteriak-teriak min-
ta ampun. Namun sampai beberapa saat lamanya, tak
satu pun serangan yang datang mengenai sasaran. Ki
Gombel semakin penasaran. Tubuhnya berkelebat ce-
pat ke sana kemari. Kendati demikian, tetap saja se-
rangannya tak bisa mengenai si pemuda yang bergerak
cepat sambil berteriak minta ampun.
Ki Gombel semakin bernafsu. Dia tak percaya
kalau orang yang sudah ketakutan seperti itu masih
bisa meloloskan diri dari serangan yang dilakukan-
nya. Juga serangan tiga parang tajam yang mengarah
bersamaan. Serangannya pun dipercepat. Kali ini pukulan-
nya seperti menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup
kuat. Berkali-kali semak belukar terpapas. Berulang
kali tanah terhajar angin pukulannya dan muncrat se-
tinggi dua depa. Akan tetapi, tak satu pun serangan-
nya yang mengenai sasaran.
"Tahan!!" seru Si Gombel tiba-tiba sambil
menghentikan serangannya. Ketiga lelaki yang bersa-
manya pun menghentikan gerakan mereka dengan,
napas terengah-engah dan wajah yang dipenuhi ke-
ringat. Di seberang, si pemuda masih melompat-
lompat tak karuan. Sementara jeritan minta ampunnya
masih terdengar. Beberapa kejap berlalu, seperti baru
menyadari kalau serangan yang datang sudah berhen-
ti, si pemuda juga menghentikan gerakannya. Ditu-
runkan kedua tangan yang mengatup di kepalanya
perlahan-lahan. Lalu dia berdiri tegak sambil nyengir.
"Rupanya kalian mau mengampuniku, ya" Te-
rima kasih. Kalau memang tak ada persoalan lagi, tak
salah bukan bila aku melanjutkan perjalanan?" kata si pemuda sambil tersenyum.
Ki Gombel melebarkan kedua matanya, tak
berkedip sekali pun memandang ke arah si pemuda.
Sejenak dikernyitkan dahinya dengan perasaan tak
menentu. "Setan keparat! Mengapa sampai sejauh ini tak
satu pun seranganku yang mengenainya" Padahal pe-
muda celaka ini terus menerus menjerit ketakutan"
Gila! Apakah dia benar-benar berada dalam lindungan
Dewi Keberuntungan hingga sampai saat ini selamat
dari maut?" kata Ki Gombel dalam hati dengan. wajah yang semakin berubah memerah
dan kedua kepalan
yang tergenggam erat. Detik berikutnya, wajahnya
mendadak berubah memerah. Nafasnya terdengar
mendengus-dengus ketika tiba pada satu pikiran yang
membuatnya menggeram. "Keparat! Apa yang dilaku-
kannya tadi bukanlah keberuntungan dan ketakutan!
Pemuda ini memang menghindari serangan! Kalau be-
gitu, dia sengaja mempermainkan aku!"
Lalu terdengar kata-katanya, tinggi, dalam dan
penuh kegeraman, "Cecar dia sampai mampus!!"
Tiga lelaki yang masih kelelahan, segera menja-
lankan perintah. Tiga parang mengayun kembali den-
gan cepatnya. Bersamaan dengan itu, si pemuda kem-
bali melompat-lompat sambil berteriak ketakutan.
Tetapi kali ini, seperti tak sengaja dilakukan-
nya, dia menubruk tubuh salah seorang dari penye-
rangnya yang memegang parang besar hingga bergu-
lingan. Lalu menjegal yang seorang dan memukul yang
seorang lagi dengan gerakan sempoyongan. ,
Ketiga penyerangnya yang memang sudah kele-
lahan, jatuh pingsan saat itu juga. Si pemuda kembali
menghentikan gerakannya dan mengintip dari kedua
balik siku yang menekuk di depan wajahnya.
Di balik rimbunnya semak, sepasang mata yang
mengintip menyeringai lebar melihat apa yang dilaku-
kan si pemuda. Sementara sepasang mata lainnya
yang berada di dekatnya, memperlihatkan sinar mata
jemu. Terdengar suara si pemuda berbaju putih sam-
bil menurunkan kedua tangannya, "Wah! Mengapa pa-
da pingsan begitu"'Hiii! Jangan-jangan.... Di sini ada
dedemit iseng!!"
Ki Gombel yang memang sengaja tak menye-
rang untuk memperhatikan lebih jelas, marah besar
tatkala yakin kalau pemuda ini sengaja mempermain-
kannya. Dengan teriakan marah dia menyerang ke
arah si pemuda yang kembali berteriak-teriak minta
ampun, lalu dengan sikap seperti tak sengaja si pemu-
da menubruk mendorong, menjegal memukul dan me-
nendang Ki Gombel yang tiba-tiba saja terlihat wajah-
nya menjadi sembab merah karena benjolan.
Lelaki berkumis menjuntai itu berteriak kesaki-
tan dan mundur dengan napas terengah-engah. Pan-
dangannya bertambah tajam saat memandang ke arah
si pemuda yang sedang mengejeknya dengan serin-
gaian lebar. "Kenapa berhenti" Kau sudah mengampuniku,
ya" Terima kasih, selembar nyawaku yang sangat ku-
sayang ini masih kau berikan kesempatan lebih lama
berdiam dalam tubuhku!"
"Jahanam! Jelas aku tak mampu menghada-
pinya! Pemuda ini sengaja bersikap ketakutan seperti
itu padahal dia sebenarnya memang menghindar bah-
kan membalas menyerang. Seharusnya aku tahu siapa
pemuda ini di saat teringat kalau dialah yang menahan
dan mempermainkan ku di kedai tadi," geram Ki Gom-
bel dalam hati. Lalu dengan suara keras menutupi ke-
kecutannya dia membentak, "Kali ini aku mengampuni nyawamu, Pemuda Keparat!
Tetapi ingat, bila kulihat
lagi tampangmu, maka kematian yang akan kau teri-
ma!" Si pemuda justru mendadak berteriak, tetapi
kali ini tidak dengan menutupi wajahnya dan justru
dia berteriak sambil tersenyum lebar, "Ampuunnn!
Ampuuun! Jangan bunuh aku! Jangan!! Maafkan aku!
Aku tidak bersalah! Aku tidak berdosa! Maukah kau
memaafkan aku"!"
Ki Gombel menggeram menyadari kalau si pe-
muda mengejeknya habis-habisan. Lalu dengan sikap
yang diusahakan untuk terlihat tegar, dia berbalik
hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi langsung ja-
tuh tersuruk karena kakinya terkait akar sebuah po-
hon yang menyembul keluar." Bruk!
"Hati-hati!" seru si pemuda sambil tertawa.
Ki Gombel berdiri dengan kedua mata terbeliak
marah. Wajahnya dipenuhi tanah, yang dibersihkan-
nya dengan gerakan kacau. Dia hanya mendengus dan
berlalu meninggalkan tempat itu dengan rasa marah
dan malu yang dalam.
Si pemuda berteriak, "Hoooiii! Jadi kau benar
mengampuniku"!"
Ki Gombel sudah kehilangan muka sama Seka-
li. Dia tak berani untuk membalas ejekan si pemuda
yang sedang terbahak-bahak lebar. Yang dipikirkan le-
laki berkumis menjuntai itu, apa yang harus dikata-
kannya pada sang bandar kalau dia tak bisa mengam-
bil uang yang dimenangkan si pemuda"
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ki Gombel
merasa sangat ketakutan sekali. Tetapi, dia akan men-
gatakan kalau pemuda itu telah tewas dibunuhnya
sementara dia gagal menemukan uang yang ternyata
disembunyikan si pemuda.
Di tempatnya, pemuda berbaju putih itu masih
terbahak-bahak. Lalu seperti tak tahu juntrungannya,
masih terbahak-bahak dia berkata, "Sejak tadi kuperhatikan kalian telah
mengintip" Mengapa tak keluar
untuk memperkenalkan diri?"
Dua pasang mata yang mengintip tadi melen-
gak. Lalu sama-sama melompat keluar dari balik se-
mak. *** Bab 10 "Wah! Rupanya kalian ya" Mengapa harus
mengintip?" sambut si pemuda berbaju putih sambil
tertawa begitu melihat dua sosok tubuh berdiri di ha-
dapannya. Yang seorang mengenakan pakaian keema-
san dengan sebilah pedang di punggungnya, sementa-
ra yang seorang lagi perempuan mengenakan pakaian
merah muda. Pemuda yang mengenakan pakaian keemasan
yang tak lain Tirta adanya berkata sambil nyengir.
"Hebat! Hebat sekali permainan yang kau perlihatkan tadi!! Aku jadi makin
penasaran untuk mengenalmu.
Terutama, setelah gadis yang bersamaku ini memak-
saku untuk berkenalan denganmu!!"
Gadis berpakaian merah muda yang tak lain
Dewi Berlian mendadak melotot gusar pada Rajawali
Emas. Tetapi urung membuka mulut karena si pemu-
da berbaju putih sudah bersuara dengan cengiran di-
bibirnya. "Sejak pertama melihat kalian di kedai itu, aku
juga ingin mengenal siapa kalian adanya Terus terang,
aku belum bisa menduga siapa gadis manis yang se-
dang cemberut itu. Dan biar ku tebak siapa kau
adanya, Sobat. Melihat pakaian yang kau kenakan dan
rajahan burung rajawali pada lengan kanan-kirimu
aku yakin, engkaulah orang yang selama ini kucari.
Salahkah bila kukatakan engkaulah orang yang berju-
luk Rajawali Emas" Aku pun yakin kalau kukatakan
pedang yang ada di punggungmu itu adalah Pedang
Batu Bintang" Kalau aku salah, kau boleh menggan-
tung ku di pohon!"
Meskipun heran mendapati si pemuda di hada-
pannya mengenalinya, Tirta tertawa mendengar kata-
kata terakhir si pemuda. Lalu ujarnya sambil meman-
dang ke depan, "Yang kau katakan tadi tidak salah.
Dan salahkah aku bila ingin tahu siapa kau adanya"
Kalau aku salah, kau boleh menjerat leherku dengan
benang!" Pemuda berbaju putih terbahak-bahak.
"Namaku Cakra. Aku datang dari Lembah Su-
mur Tua, Guruku berjuluk Peramal Sakti, atau juga
sering dijuluki Malaikat Judi. Sementara, orang-orang
menjulukiku Pendekar Judi."
"Pantas bila kau memenangkan perjudian tadi,"
kata Tirta dan menyambung, "Kau mengenaliku tadi.
Apakah kau memang sengaja mencariku?"
"Tak salah. Guru menyuruhku untuk mene-
muimu. Padahal terus terang, aku lebih suka bila ha-
rus menemui gadis cantik seperti yang berdiri di samp-
ing-mu," kata pemuda berjuluk Pendekar Judi sambil nyengir. Lalu sambungnya,
"Suatu malam, aku dipanggil menghadapnya. Menurut ramalannya, ada seo-
rang pendekar muda berjuluk Rajawali Emas yang se-
dang mencari Keranda Maut Perenggut Nyawa milik
Hantu Seribu Tangan. Guru juga memberi tahu ciri-ciri
pendekar itu. Aku tidak mengerti mengapa Guru men-
gatakan aku bisa membantunya. Bantuan apa yang
akan kuberikan dan mengapa aku harus memban-
tunya, Guru tak mengatakan sama sekali.
Aku hanya ditugaskan mencarinya dan mem-
bantunya. Dan ternyata, aku bertemu dengan kau di
kedai tadi. Sebenarnya, ketika aku bertanya tentang
perjudian tadi padamu, hanyalah ingin meyakinkan
Siapa kau adanya dan aku bermaksud untuk mem-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buntuti mu. Tetapi, urusan perjudian tadi pasti ber-
buntut. Dan rupanya, kaulah yang datang kepadaku.
Rajawali Emas, selamat bertemu denganku."
"Kita sudah saling kenal. Sekarang dengar baik-
baik Gadis yang bersamaku ini aku tidak tahu nama-
nya. Tetapi dia berjuluk Dewi Berlian. Entah mengapa
dijuluki demikian aku juga tidak tahu. Mungkin saja
ada berlian lain yang tersembunyi di sela-sela tubuh-
nya yang kelihatannya rada-rada 'ehm-ehm' se-lain
berlian yang ada di jidatnya yang licin mulus itu."
"Kang Tirta!!" Dewi Berlian melotot lagi. Berada di antara dua pemuda yang sama-
sama rada gendeng
ini memang harus kebal muka bila mendengar seloro-
han masing-masing orang.
"Dia membentak tadi karena rasa sayangnya
kepadaku," kata Tirta pada Cakra alias Pendekar Judi tanpa melirik sedikit pun
pada Dewi Berlian yang makin melotot. "Eiittt! Kau tidak perlu iri, Pendekar
Judi!" godanya kemudian.
"Mengapa aku harus iri" Toh aku masih punya
kesempatan melihat wajahnya yang cantik, bukan?"
balas Pendekar Judi menyahuti selorohan Rajawali
Emas. Kedua pemuda itu terbahak-bahak sementara
Dewi Berlian cemberut dengan wajah tertekuk. Di se-
buah tempat yang terhalang pepohonan dan rimbun-
nya semak sepasang mata yang memperhatikan sejak
tadi mendesis dalam hati, "Beruntung aku ini. Yang kuduga memang benar kalau
mereka hendak mencari
Mata Malaikat Akan terus kuikuti ke mana mereka
pergi. Guru telah memberi tugas kepadaku untuk
membunuh orang berjuluk Mata Malaikat. Sampai saat
ini aku tidak tahu mengapa Guru menugaskan seperti
itu. Hmm.... Di mana Guru berada sekarang" Dia sela-
lu pergi dan muncul kembali. Lalu pergi lagi. Begitu se-terusnya, sampai lima
bulan belakangan ini aku berpi-
sah dengannya belum juga bertemu.
Selang beberapa saat, Tirta menceritakan apa
yang menjadi tujuannya. Diceritakan pula tujuan Dewi
Berlian yang kini bersama dengannya.
"Aku tidak tahu di mana Goa Seratus Laknat
berada. Guru tak menceritakan tentang goa itu kepa-
daku," kata Pendekar Judi kemudian.
"Itu petunjuk yang kuketahui, kalau Hantu Se-
ribu Tangan berdiam di Goa Seratus Laknat. Hanya
sayangnya, aku juga tidak tahu di mana tempat itu. Di
samping itu, aku pun belum pernah mendengar sepak
terjang Hantu Seribu Tangan yang telengas, yang ke-
mungkinan bisa kita pakai sebagai jejak untuk mene-
mukan di mana dia berada."
Pendekar Judi menatap sesaat pada Rajawali
Emas sebelum berkata, "Guru hanya menceritakan,
kalau Hantu Seribu Tangan sangat suka mengadu il-
mu. Dan dia seperti membuka diri bagi orang-orang
yang menginginkan Keranda Maut Perenggut Nyawa
miliknya. Guru juga meramalkan, dalam waktu dekat
ini, akan banyak nyawa orang-orang rimba persilatan
yang akan lenyap di Keranda Maut itu."
"Berarti kita harus cepat. Satu-satunya cara, di
samping kita harus melacak Goa Seratus Laknat, juga
mencari orang yang berjuluk Mata Malaikat. Orang itu-
lah satu-satunya petunjuk untuk mengetahui di mana
Goa Seratus Laknat berada," sahut Rajawali Emas.
Sesaat kesunyian meraja.
"Bagaimana bila Mata Malaikat sendiri tidak
tahu?" kata Pendekar Judi mengemukakan satu perta-
nyaan yang tak terduga dan memecah kesunyian.
Tirta melengak dan terdiam sejenak mendapati
kata-kata orang. Dewi Berlian meliriknya dengan tata-
pan yang sama. "Apa yang dikatakan Pendekar Judi memang
benar Bagaimana bila Mata Malaikat sendiri tidak ta-
hu" Berarti, perjalanan untuk menemukan Goa Sera-
tus Laknat akan bertambah panjang," pikir Tirta mem-benarkan kata-kata sobat
barunya. Lalu melanjutkan
kata-katanya tetap dalam hati, "Untuk mempersingkat perjalanan, apakah tak
sebaiknya aku memanggil
Bwana, burung rajawali raksasa keemasan yang san-
gat ku sayangi" Dengan menungganginya, mungkin
perjalanan akan bisa dipercepat" Tetapi, arah mana
yang harus kutempuh?"
Mendapati pertanyaannya belum mendapat ja-
wab, Pendekar Judi berkata, "Walaupun kemungkinan
itu ada, tak salah bila kita tetap mencari orang yang
berjuluk Mata Malaikat."
Tirta menganggukkan kepalanya.
"Kau benar. Kita memang harus mencarinya
walaupun kita tak tahu di mana Mata Malaikat berada
dan seperti apa rupanya. Tetapi.... Kita menyingkir du-
lu dari sini Kita cari tempat yang agak terbuka."
"Apa yang hendak kita perbuat di tempat ter-
buka, Kang Tirta?" tanya Dewi Berlian yang sejak tadi belum membuka mulut dan
hanya mendengarkan
ucapan demi ucapan dari kedua pemuda di dekatnya.
"Tentunya, aku tidak akan memelukmu, bu-
kan?" seloroh Tirta sambil nyengir. Lalu melanjutkan sambil tertawa, "Kalau kau
memang mau ku peluk,
mengapa harus mencari tempat yang terbuka" Bukan-
kah di pojokan sana ada semak belukar yang cukup
tertutup dan gelap?"
Dewi Berlian mengeluarkan dengusan sambil
cemberut. Pendekar Judi tertawa-tawa lebar. Lalu ke-
duanya segera melesat mengikuti ke mana perginya
Rajawali Emas yang telah mendahului. Sosok yang
mengintip pun berkelebat pula menyusul dengan gera-
kan yang sangat ringan.
Tak berapa lama, ketiganya sudah berada di
tempat yang terbuka. Tempat yang dipenuhi rerumpu-
tan dan semak belukar. Dan di salah satu semak itu-
lah, sosok tak diundang yang mengikuti ketiganya ber-
sembunyi. Sepasang matanya yang bagus namun ta-
jam, memperhatikan ke depan.
Sementara itu, tanpa menghiraukan pandangan
keheranan dari kedua sobat barunya, si pemuda ber-
baju keemasan berdiri tegak. Kepalanya ditengadahkan
ke angkasa, seolah mencari sesuatu.
Kejap lain, dia menepukkan kedua tangannya
sebanyak tiga kali. Lalu di sela-sela tepukannya, tan-
gannya disorongkan ke atas. Cahaya merah yang cu-
kup terang memercik tinggi di angkasa.
"Apa yang dilakukan, Kang Tirta?" desis Dewi
Berlian dalam hati.
"Aku yakin, Tirta sepertinya sedang mengisya-
ratkan sesuatu. Entah pada siapa isyarat itu diperun-
tukkan" Mungkin untuk gurunya yang berjuluk Bida-
dari Hati Kejam dan Manusia Pemarah yang sampai
saat ini tak diketahui di mana jejaknya," batin Pendekar Judi sambil menatap ke
arah si Rajawali Emas.
Orang berbaju biru ketat yang bersembunyi di
balik semak pun membatin, "Dari ketiganya hanya
pemuda yang sepertinya sedang memberi isyarat entah
pada siapa yang pernah kudengar namanya. Guru
pernah menceritakan tentang pemuda itu yang memi-
liki senjata Pedang Batu Bintang. Huh! Di mana Guru
berada saat ini" Mengapa dia menyuruhku untuk
mencari dan membunuh Mata Malaikat" Ada persoa-
lan apa sebenarnya guruku yang berjuluk Dewi Segala
Impian itu dengan Mata Malaikat?"
Beberapa saat berlalu dalam kesunyian. Tiga
orang muda yang berada di tempat terbuka itu saling
mengunci mulut. Dan mendadak saja Pendekar Judi
serta Dewi Berlian mendongakkan kepala ke angkasa
ketika terdengar koakan yang sangat keras di kejau-
han. Gadis berbaju biru ketat pun mendongak pula ke
asal suara dahsyat tadi.
"Kraaaagghhh!!"
Menyusul satu bayangan raksasa berwarna
keemasan membedah angkasa. Angin tiba-tiba beru-
bah menjadi dahsyat. Rasanya menampar wajah ketiga
orang di bawah sana. Juga merebahkan rerumputan
dan mencabut beberapa semak belukar.
Selang beberapa saat, bayangan raksasa tadi
menukik ke bawah. Angin semakin bertambah dah-
syat. Kejap berikutnya, suasana kembali seperti biasa.
Hanya saja, beberapa rerumputan dan semak belukar
tak lagi di tempatnya.
Berjarak sepuluh tombak dari hadapan keti-
ganya, satu sosok besar tubuh penuh bulu rebah di
atas rumput dan mengeluarkan suara mengkirik.
Dewi Berlian membuka matanya lebih lebar
dengan pandangan tak percaya.
"Luar biasa. Baru kali ini kulihat seekor burung
rajawali yang begitu besar. Empat kali dari gajah de-
wasa besarnya. Apakah burung ini peliharaan Kang
Tirta?" Pendekar Judi menggeleng-gelengkan kepala.
"Hampir tak bisa kupercaya bila tak melihatnya sendiri. Rupanya yang dilakukan
Rajawali Emas tadi me-
mang sebuah isyarat yang diperuntukkan pada burung
rajawali raksasa ini."
"Gila! Yang diceritakan Guru tentang pemuda
berjuluk Rajawali Emas itu memang benar! Dia memi-
liki seekor burung rajawali raksasa yang bernama
Bwana!" Gadis berbaju biru ketat di balik semak mendesis dalam hati.
Sementara itu, dengan rasa gembira si Rajawali
Emas mendekati Bwana yang mengkirik pelan.
"Apa kabarmu, Bwana?"
Seperti mengerti ucapan orang Bwana men-
ganggukkan kepala sambil mengkirik lirih. Paruh bu-
rung itu besar dan kokoh. Melengkung kuat dengan
ujung runcing tajam. Lehernya penuh dengan bulu
tebal berwarna keemasan bercampur kemerahan. Di
atas, kepalanya terdapat jambul berwarna keemasan
yang sangat terang. Bulu burung di bagian badan ber-
warna keemasan bercampur kemerahan dan kebiruan.
Di sayapnya berwarna keemasan bercampur warna
abu-abu. Yang paling menarik adalah ekornya, yang
lebar panjang berwarna keemasan. Utuh seperti jam-
bul di atas kepalanya. Kedua kakinya yang sebesar ka-
ki manusia dewasa itu tampak kering dan sekeras ba-
ja, agak bersisik dan jari-jarinya mekar dengan Kuku-
ku-ku runcing yang tajam dan melengkung pula. Bola
matanya yang besar berwarna kemerahan.
Tirta berkata lagi, "Bagus kalau keadaanmu
baik-baik. Bwana.... Saat ini, aku tengah mencari tem-
pat yang disebut Goa Seratus Laknat. Kuminta ban-
tuan-mu untuk mencari goa itu."
Lagi-lagi Bwana mengkirik.
"Tidak, aku tidak tahu di mana letak goa itu.
Karena itulah aku meminta bantuanmu. Apa" Oh, ti-
dak. Aku tidak bisa ikut serta denganmu, Bwana. Aku
masih harus mencari orang berjuluk Mata Malaikat di
samping mencari ke mana perginya Guru dan Manusia
Pemarah. Oh, iya, ya.... Aku mengerti. Aku pun rindu
kepadamu, Bwana."
Dengan penuh kasih sayang dirangkulnya leher
Bwana. "Maafkan aku, Bwana. Kali ini kita tak bisa bersama lebih dulu. Banyak
masalah yang belum bisa
ku mengerti sebenarnya. Aku harus mencari kejela-
sannya." Kembali Bwana mengkirik pelan. Kejap beri-
kutnya, dia sudah melayang di angkasa kembali. Te-
riakannya keras membedah alam. Dan angin dahsyat
yang ditimbulkan dari dua kepakan sayapnya kembali
mencabut beberapa rerumputan dan semak belukar.
"Kraaghhh!" Tirta memandangi kepergian Bwana dengan senyuman lebar. Selama lima
tahun dia hidup ber-
sama burung rajawali raksasa itu di Gunung Rajawali.
Secara tidak langsung, Bwana-lah yang membesar-
kannya dari usia dua belas tahun sampai tujuh belas
tahun. Bwana pula yang mengajarkan beberapa ilmu
kesaktian padanya. Boleh dikatakan, Bwana adalah
gurunya yang pertama, (Baca: "Geger Batu Bintang") sebelum dia menjalankan
wasiat Malaikat Dewa untuk
berguru pada Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Lan-
git Bumi (Baca: "Wasiat Malaikat Dewa" dan "Raja Lihai Langit Bumi").
Sepeninggal Bwana, pemuda yang di lengan
kanan dan kirinya terdapat rajahan burung rajawali
keemasan kembali pada Pendekar Judi dan Dewi Ber-
lian yang memperhatikan dengan pandangan takjub.
Dan seperti baru menyadari kalau dia belum memper-
kenalkan Bwana pada Pendekar Judi dan Dewi Ber-
lian, Tirta meminta maaf.
"Tidak jadi masalah. Aku benar-benar tak habis
pikir tentang burung rajawali milikmu itu, Kang Tirta,"
kata Dewi Berlian masih dengan tatapan kagum.
Pendekar Judi berkata sambil tertawa-tawa,
"Bila kau memiliki burung yang lebih kecil aku mau memeliharanya. Kalau burung
tadi, bagaimana aku bi-sa memberi makan?"
"Kalau hanya burung yang kecil mengapa kau
meminta kepadaku, Pendekar Judi" Bukankah kau
sudah memiliki burung yang kecil?" Sahut Tirta sambil tertawa pula.
Pendekar Judi terbahak-bahak mengerti ke
mana arahnya ucapan Rajawali Emas.
"Kalau hanya burung yang kecil itu, tak perlu
ku kasih makan. Tetapi bila tiba waktunya, jelas akan
kuberi makan dan ku masukkan ke dalam sangkar-
nya." Kedua pemuda itu tertawa bersamaan Dewi
Berlian yang tak mengerti apa yang tengah keduanya
bicarakan, menoleh pada Pendekar Judi dan bertanya,
"Kau memiliki burung yang kecil, Kang Cakra?"
Pendekar Judi menoleh sesaat, lalu terbahak-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahak. "Ya, ya!"
"Boleh aku melihatnya?"
"Wah! Kalau itu jangan! Kau pasti akan lari
tunggang langgang nanti!" sahut Pendekar Judi dan diiringi Rajawali Emas dengan
tawa yang semakin besar.
"Mengapa" Burungmu hitam mengerikan ya"
Seperti burung gagak?"
Semakin pecah tawa kedua pemuda yang rada-
rada gendeng itu. Sementara Dewi Berlian cuma ter-
bengong sambil mengernyitkan dahi. Di balik semak
gadis berbaju biru ketat yang mendengar ucapan ke-
dua pemuda itu menggeram, "Sialan! Kurang ajar seka-li mulut kedua pemuda itu!
Dan begitu bodohnya si
gadis tidak tahu kalau dia sedang dipermainkan! Bila
saja aku tak ingin mengikuti ke mana mere ka pergi,
sudah kutampar mulut kedua pemuda kurang ajar
itu!!" *** Bab 11 Orang berbalut kain hitam dari atas hingga ke
telapak kaki, terus bergerak dengan cara melompat-
lompat. Berulang kali orang itu menghentikan langkah.
Wajahnya yang tak nampak dengan sepasang mata
memerah nampak berubah.
"Keparat betul! Mengapa aku tetap berada di
sini-sini juga padahal sudah sekian jarak ku lalui?" geram orang berwujud pocong
yang tak lain adalah Raja
Pocong Hitam. Lalu melanjutkan, "Hujan telah berhen-ti! Hingga tempat ini
menjadi becek."
Kepalanya bergerak ke sana kemari. Yang nam-
pak hanya jajaran pepohonan tinggi dengan dedaunan
yang sangat lebat. Dan suara angin yang menggeresek
dedaunan. "Kurang ajar! Rasanya aku memang hanya
memutari tempat ini!!" geram Raja Pocong Hitam setelah menyadari kalau dia
berdiri di tempat semula. "Gi-la! Mengapa aku bisa lupa arah mana yang harus ku-
tempuh?" Setelah beberapa saat berpikir, tiba-tiba ter-
dengar desisan orang berbalut kain hitam itu.
"Bodoh! Bukankah aku harus mencari tiga po-
hon kembar" Pohon kembar yang berdiri di bagian ten-
gah di antara dua pohon lain itulah petunjuk yang bisa
kugunakan untuk sampai di Padang Seratus Dosa. La-
lu meneruskan langkah menuju Goa Seratus Laknat."
Kakak kandung mendiang Ratu Tengkorak Hi-
tam yang tewas di tangan Rajawali Emas, bergerak lagi
dengan cara melompat-lompat. Cukup lama dia men-
cari tiga pohon kembar. Selang beberapa saat sepasang
mata merahnya menangkap tiga pohon yang sama
bentuk dan tingginya berjarak tiga tombak dari tem-
patnya berdiri. ,
"Bagus! Berarti, aku harus lurus terus mengi-
kuti pohon yang berada di tengah."
Mulailah Raja Pocong Hitam bergerak mengiku-
ti arah pohon yang terletak di tengah dua pohon yang
sama. Tiga penanakan nasi berlalu. dan Raja Pocong
Hitam telah keluar dari Hutan Seratus Kematian. Di
hadapannya membentang sebuah padang yang sangat
tandus. Kendati saat ini hari sudah memasuki senja,
namun panas di padang itu sangat menyengat sekali.
"Sampai di sini aku ingat. Aku harus mengikuti
arah matahari. Berarti perjalananku untuk mencapai
Goa Seratus Laknat, harus mengarah ke barat," desis lelaki berbalut kain hitam
pekat itu. Dengan tetap bergerak secara melompat-
lompat, Raja Pocong Hitam melesat cepat. Panas bu-
kan main teriknya. Membuat tubuh di balik kain hitam
itu berkeringat. Namun, dendam yang dalam terhadap
Rajawali Emas karena telah membunuh adik kan-
dungnya membuat orang yang sampai saat ini tak di-
ketahui bagaimana tampangnya itu, terus bergerak
Cukup lama Raja Pocong Hitam melalui Padang
Seratus Dosa. yang tandus. Dan samar-samar dia
mendengar teriakan minta ampun dari berbagai tem-
pat. Namun tak dipedulikannya hal itu.
Tepat malam datang, lelaki berbalut kain hitam
itu tiba di sebuah tempat yang dipenuhi gugusan batu
kapur. Orang ini menghentikan langkahnya.
"Kalau sudah tiba di sini, akan dengan mudah
ku-temukan Goa Seratus Laknat. Aku masih ingat,
Goa itu berada di balik gugusan batu karang sebelah
kanan." Tak lama kemudian, Raja Pocong Hitam telah
berdiri di depan sebuah goa yang cukup besar. Dari
tempatnya berdiri, yang nampak hanya kegelapan se-
mata. Sepasang mata merahnya memancarkan binar
gembira. "Tibalah saatnya untuk membalas dendam pa-
da Rajawali Emas." Habis membatin begitu, orang berbalut kain hitam pekat
menjatuhkan tubuhnya dengan
posisi bersujud. Lalu terdengar suaranya, keras, kare-
na dipantulkan kembali oleh gugusan batu ka-pur.
"Hantu Seribu Tangan sahabatku, aku datang untuk menyambangimu!!"
Tak ada sahutan apa-apa. Entah mengapa Raja
Pocong Hitam menjadi berdebar. Dia menunggu den-
gan hati kebat-kebit dan tak sabar.
Karena belum juga mendapati sahutan, Raja
Pocong Hitam berseru lagi, "Sahabat! Bila masih ada hati yang tertambat,
sambutlah kedatanganku ini dengan rasa penuh kerabat!!"
Tetap tak ada sahutan apa-apa. Suara yang ke-
ras tadi kembali menggema di seantero tempat.
"Apakah saat ini Hantu Seribu Tangan tak ada
di tempat", Atau... aku salah menemukan Goa Seratus
Laknat" Tidak. Tiga puluh tahun yang lalu aku per
nah diajaknya ke goa celaka yang tersembunyi ini Aku
masih ingat betul dan tempat ini sama sekali tak men-
galami perubahan. Lalu mengapa dia tak menyahuti
seruan ku?"
Selagi Raja Pocong Hitam membatin tak menen-
tu, tiba-tiba saja angin berubah menjadi dingin, me
nusuk tulang dan menghempaskan beberapa batu ka-
pur. Raja Pocong Hitam semakin menekan kepa-
lanya pada tanah tanpa bergeming sedikit juga
"Bagus, Bukankah perubahan angin menanda-
kan kemunculannya" Tetapi, di manakah dia berada?"
Orang berbalut kain hitam pekat itu berseru lagi,
"Hantu Seribu Tangan! Aku datang untuk minta, ban-
tuan!" Perubahan angin semakin terasa, semakin bertambah dingin menggidikkan.
Tiba-tiba, terdengar sua-
ra keras, "Kuterima kedatanganmu, Raja Pocong Hi-
tam. Kau seperti membangunkan ku dari tidur!!" .
"Hmmm.... Dia telah mendengar suaraku," desis Raja Pocong Hitam dalam hati. Lalu
perlahan-lahan berdiri. Sepasang matanya semakin memperlihatkan
sinar kemerahan saat memandang ke dalam goa. Den-
gan kegembiraan yang terasa, orang itu berseru lagi,
"Maaf bila aku mengganggu kesendirian mu. Tetapi,
hanya engkaulah orang yang bisa membantuku."
"Katakan apa keinginanmu?" suara keras itu
kembali terdengar, tetapi entah dari mana orang yang
bersuara berada. Bahkan terdengar bukan dari dalam
goa yang pekat dan gelap.
Dengan kegembiraan yang meluap, Raja Pocong
Hitam mengatakan maksud kedatangannya.
"Apakah kau bersedia membantuku?" tanyanya
setelah selesai bertutur.
"Lama tak ku jajaki tempat lain. Lama ku diami
tempat ini. Tetapi, telingaku telah mendengar julukan
Rajawali Emas. Malang nian nasib adik kandung-mu
itu!" Suara itu terdengar lagi. Tetap sulit ditemukan
dari arah mana datangnya suara itu.
"Apakah kau merasa tak mampu menghadapi
orang yang berjuluk Rajawali Emas?"
Raja Pocong Hitam terdiam, tanda tak suka
mendengar pertanyaan orang yang bernada mengejek.
Tetapi dia menjawab juga, "Kesaktiannya sangat tinggi dan membuatku lintang
pukang. Bila kau memang
mengabulkan permintaanku, aku akan mengabdi ke-
padamu, Sahabat."
Suara tawa menggema kembali entah dari ma-
na. Bersamaan dengan itu terdengar suara, "Sebagai sahabat, tentu saja aku mau
membantu. Apalagi bantuan ini akan kuberikan untukmu, Raja Pocong Hi-
tam." "Terima kasih, terima kasih."
"Tetapi, ada satu syarat yang akan ku ajukan."
"Oh!" Tubuh Raja Pocong Hitam melengak Teta-
pi sejurus kemudian dia berkata, "Syarat apakah yang hendak kau ajukan,
Sahabat'?"
"Aku telah menciptakan satu ilmu baru di da-
lam Keranda Maut Perenggut Nyawa. Aku mengingin-
kan-kau masuk ke dalamnya."
"Gila! Apa-apaan ini" Mengapa dia mengajukan
syarat yang tidak-tidak?" batin Raja Pocong Hitam
dengan hati yang kembali kebat-kebit. Lalu berseru
"Sahabat" Bukannya aku banyak tanya. Apakah tak
mengalami satu risiko yang membahayakan bila aku
masuk ke dalam Keranda Maut itu?"
"Sudah tentu tidak. Keranda Maut yang kumili-
ki hanya ku peruntukkan pada orang-orang yang me-
mang ingin kubunuh Bukan dirimu. Ingat, kau adalah
sahabatku. Tak mungkin aku melakukan satu hal
yang membahayakan mu. Pikirkanlah! Bila kau tidak
mau mengabulkan syarat yang ku ajukan, aku pun tak
ingin membantumu! Dan ingat, aku tak ingin diganggu
lagi dalam urusan kecil semacam ini! Karena, aku ten-
gah menunggu kedatangan orang-orang rimba persila-
tan ke Goa Seratus Laknat ini. Cukup lama aku tak
mencabut nyawa orang! Dan Keranda Maut ku, akan
menjadi tempat paling akhir tanpa kuburan bagi
orang-orang rimba persilatan."
Raja Pocong Hitam terdiam. Jelas dia menim-
bang-nimbang syarat yang cukup mengkederkannya,
Masuk ke Keranda Maut milik Hantu Seribu Tangan
cukup membuatnya tak bisa berkutik Dia tahu kesak-
tian Keranda Maut itu, kendati dia belum pernah meli-
hat secara langsung orang yang masuk ke dalam dan
apa akibatnya. Hanya yang jelas, orang yang telah ma-
suk ke sana tak akan bisa keluar lagi. Dan berarti itu-
lah tempat kematian mereka.
Tetapi, kematian adik kandungnya di tangan
Rajawali Emas dan bagaimana dia dipecundangi pe-
muda berajah burung rajawali berwarna keemasannya
di lengan kanan dan kiri, telah mengikat keras hatinya.
Bertaburan sejuta dendam yang ingin dituntaskan.
Lalu dengan suara yakin dia berkata, "Baiklah!
Aku menerima syarat yang kau ajukan!!"
Meledaklah satu tawa yang lagi-lagi sukar di-
tentukan dari mana tempatnya. Kejap lain, satu benda
menderu dahsyat dari dalam goa. Terbang dengan ke-
cepatan yang luar biasa dan hanya nampak bagai satu
benda hitam pekat yang melayang-layang. Angin yang
ditimbulkan benda hitam itu membuat suasana ber-
tambah dingin mengerikan. Udara mendadak berubah
diharumi wewangian kemenyan. Tak berapa lama ke-
mudian, benda itu berhenti melayang dan jatuh berja-
rak tiga tombak dari tempat Raja Pocong Hitam berdiri.
Sebuah benda yang lebih besar dan panjang
dari ukuran seorang manusia dewasa. Sebuah benda
hi-tam pekat yang terbuat dari besi yang sangat kuat.
Benda itu memiliki jari-jari besi yang melengkung ke
atas. Di bawahnya terdapat deretan besi yang berjajar
untuk tubuh yang rebah di sana. Dari benda yang tak
lebih dari kurung batang dengan dua pintu besi di
masing-masing ujung itulah aroma wewangian keme-
nyan menguar. Raja Pocong Hitam memperhatikan dengan hati
tercekat benda yang cukup besar yang melayang-la-
yang itu. "Benda itukah yang selama ini menjadi momok
menakutkan selain Hantu Seribu Tangan sendiri" Dan
salahkah aku yang mau menerima syarat yang di-
ajukan Hantu Seribu Tangan" Wewangian kemenyan
dari benda itu sepertinya mengandung kekuatan magis
yang menakutkan."
Selagi Raja Pocong Hitam membatin tak menen-
tu, satu suara kembali terdengar.
"Masuklah kau di dalam keranda itu, Raja Po-
cong Hitam."
Raja Pocong Hitam mengarahkan pandangan ke
Goa Seratus Laknat kendati pun asal suara yang di-
dengarnya dari berbagai tempat.
"Tak salahkah syarat yang kau ajukan tadi, Sa-
habat?" Kali ini suara orang berbalut kain hitam itu penuh getaran. Menandakan
dia sangat ketakutan.
"Sebagai seorang sahabat, tak mungkin aku
mencelakakanmu. Masuklah."
Raja Pocong Hitam masih terpaku di tempat-
nya. Hatinya luar biasa ketakutan dan dipenuhi ke-
bimbangan kuat. Dan sebelum dia melakukan apa-
apa, mendadak saja terdengar suara 'Srang'. Dilihat-
nya pintu keranda itu terbuka sebuah. Menyusul satu
ke-jadian yang mengejutkan terjadi. Hawa panas yang
luar biasa bertabur dengan wewangian kemenyan me-
nyengal menderu dari Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Melengak orang berbalut kain hitam itu dan
tanpa sadar melompat ke belakang untuk menghindari
panas yang membuat tubuhnya seperti terbakar. Na-
mun detik lain, hawa panas itu terus mengejar dan
melingkari tubuhnya. Sebelum Raja Pocong Hitam
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja satu tenaga
raksasa menyedotnya untuk masuk ke keranda itu,
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei!!" Pias wajah yang tak pernah kelihatan itu sambil mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menahan
sedotan hawa panas yang selain menyengat tubuhnya
juga menyeretnya ke arah Keranda Maut. "Sahabat!
Mengapa jadi seperti ini?"
Tak ada sahutan apa-apa. Raja Pocong Hitam
menggeram dan terus mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk bertahan dari sedotan hawa panas
yang sangat kuat.
Breet! Breett!!
Kain hitam di bagian kakinya tertarik dan so-
bek hingga pangkal paha dan sobekan kain hitam itu
masuk ke dalam Keranda Maut yang seketika lebur
menjadi serpihan. Sementara nampaklah sepasang ka-
ki kurus penuh bulu milik Raja Pocong Hitam yang
semakin ketakutan.
Dan sekali sentak saja, sisa kain hitam yang
membalut tubuhnya, tertarik lepas dan kembali masuk
ke dalam Keranda Maut diiringi teriakan ketakutan da-
ri si pemiliknya.
Sekarang nampaklah wujud Raja Pocong Hitam
yang sangat mengerikan. Bentuk tubuh yang hanya
pernah dilihat oleh Ratu Tengkorak Hitam yang tewas
di tangan Rajawali Emas.
Tubuh lelaki itu tinggi kurus dipenuhi bulu-
bulu yang berdiri. Seluruh tubuhnya penuh dengan
tonjolan tulang. Hanya mengenakan cawat hitam Bila
diperhatikan dengan seksama, ternyata tubuhnya ber-
sisik kehitaman, agak samar karena bulu jarang yang
memenuhi tubuhnya. Dan wajahnya sungguh menge-
rikan sekali. Hidungnya melesak ke dalam. seperti be-
kas luka. Kedua matanya turun ke bawah dengan si-
nar merah yang nyalang. Telinganya gompal sebelah
sementara rambutnya berdiri jarang. Sungguh, wujud-
nya sangat mengerikan sekali. Orang ini berteriak ke-
takutan, "Sahabat! Apa yang kau lakukan"!"
Dan satu sentakan hawa panas lainnya telah
merontokkan seluruh bulu pada tubuh Raja Pocong
Hitam, dan terus menyeretnya masuk ke dalam keran-
da. Raja Pocong Hitam menahan tarikan kuat itu den-
gan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun
detik berikutnya tubuhnya sudah berada di dalam Ke-
randa Maut itu dan begitu tubuhnya rebah di sana,
pintu keranda itu tertutup. "Sahabat! Apa yang kau lakukan?" Tak ada sahutan apa
pun juga. Raja Pocong
Hitam merasakan hawa panas yang sangat luar biasa
sekali memanggang tubuhnya. Tubuhnya kelojotan liar
diiringi teriakan yang sangat menyayat hati, tak ubah-
nya seperti lolongan serigala yang tertembak oleh pem-
buru. Hanya sesaat tubuh Raja Pocong Hitam berge-
rak kesakitan, karena kejap lainnya terdengar suara
ledakan yang sangat keras sekali dari dalam keranda
itu. Blaaammm! Tubuh Raja Pocong Hitam pecah, lebur menjadi
serpihan. Kendati keranda itu berbesi jarang, tetapi tak satu pun pecahan tubuh
Raja Pocong Hitam yang ter-
pental keluar. Hanya saja terlihat, serpihan tubuh
orang itu, lenyap perlahan-lahan dan menghilang sama
sekali. Barulah terdengar suara keras diiringi tawa
kuat yang menggema di seantero tempat, "Tak seorang pun yang bisa membuatku
menjadi budaknya kendati
dia seorang sahabat. Bahkan, kedua orang tuaku bila
masih hidup pun akan kubunuh bila berani meminta
atau memerintahkan ku! Tetapi, aku berterima kasih
kepadamu, Raja Pocong Hitam. Kalau pemuda ber-
juluk Rajawali Emas pun sedang mencariku. Berarti,
dia tengah mencari jejak kematiannya sendiri.
Lama aku tak keluar dari Goa Seribu Laknat
karena kupikir tak menemukan lawan sepadan. Tetapi
sekarang, orang-orang yang hanya memiliki ilmu se-
jengkal mencoba merebut Keranda Maut ku ini.
Hmm.... Kulihat Penabur Pasir pun muncul. Orang
yang istrinya ku perkosa lima puluh tahun yang lalu
itu rupanya hendak membalas dendam kepadaku. Dia
beruntung karena saat kejadian itu tak berada di tem-
pat hingga masih bisa hidup sampai sekarang. Aku
memang sengaja memberitahukan siapa orang yang
memperkosa dan membunuh istrinya dengan" mening-
galkan guratan pada tanah.
Kulihat pula Bidadari Hati Kejam dan Manusia
Pemarah. Keduanya memang tak pernah kuketahui di
mana selama ini mereka berdiam, hingga tak pernah
ku tantang mengadu kesaktian. Tetapi sejak lima ta-
hun belakangan ini keduanya mulai malang melintang
lagi di rimba persilatan. Sulit kuukur kesaktian mere-
ka. Kendati demikian, dengan bantuan Keranda Maut
ku, nyawa keduanya jelas milikku.
Lalu pemuda berbaju putih yang berjuluk Pen-
dekar Judi. Dewi Berlian dan Rajawali Emas. Menga-
syikkan sekali Mereka akan mampus di tanganku.
Dengan begitu, tibalah saatnya bagiku untuk keluar
lagi dan merajai rimba persilatan ini.
Hmmm.... Mata Malaikat rupanya mulai men-
coba-coba melacak jejak ku. Bagus! Aku tak se-
gan-segan untuk membunuhnya. Tetapi.... Siapa lelaki
berpupur putih yang mengenakan pakaian berwarna
coklat gombrang" Aku tak mengenalnya. Peduli setan!
Orang-orang yang kulihat tiga malam lalu dalam tapa
ku, akan mampus di sini!!"
Begitu suara tadi habis, mendadak saja keran-
da hitam pekat yang baru saja menelan korban berge-
rak sangat cepat. Melesat masuk ke dalam goa seperti
kecepatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Kejap berikutnya, tempat itu sepi sama sekali.
Yang tinggal hanya wewangian kemenyan yang masih
menyengat. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Pedang Kiri 12 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Lencana Pembunuh Naga 7
"Kawan... aku seorang penjudi. Tahukah kau
berapa jumlah tiga buah dadu di dalam batok kelapa
itu?" tanyanya tiba-tiba.
Tirta tersenyum, lalu menoleh ke sudut di ma-
na orang-orang masih ramai menunggu kehadiran si
pemuda. "Aku tak pandai berjudi. Jadi, aku tidak tahu
berapa jumlah bulatan dadu di dalam batok kelapa
itu," katanya kemudian.
Pemuda berbaju putih mendesah.
"Ah, sayang sekali. Padahal aku sedang bin-
gung." Dewi Berlian tak senang dengan segala sesuatu yang bersifat judi. Makanya
dia berkata, "Mengapa kau harus bertanya segala kepada kami yang tak mengerti
soal perjudian?"
Pemuda berbaju putih itu nyengir.
"Maaf. Karena aku lagi bingung."
Lalu dia berputar berkali-kali dan akhirnya
kembali duduk di tempatnya Setelah beberapa saat
memperhatikan batok kelapa di hadapannya dia berka-
ta diiringi tepukan dan sorakan ramai, "Buka! Aku ingin melihat keberuntungan
ku." Tetapi satu suara menahan tangan si pengocok!
dadu yang sejak tadi tidak sabar.
Tunggu!!" Semua mata menoleh, termasuk si pemuda ke
arah suara yang berasal dari mulut Ki Gombel. Ki
Gombel menyeringai sambil berkata pada si pemuda
"Keberuntungan akan datang padamu Anak Muda.
Aku menyukai ketabahan dan kuuletanmu saat ber-
main judi. Dan aku yakin, kau akan keluar dari kedai
ini dengan membawa uang yang banyak." Di saat ber-
kata-kata, Ki Gombel menekan kembali meja dari men-
galirkan tenaga dalamnya. Sungguh, dia tadi terkejut
ketika mendengar suara bergerak di dalam batok kela-
pa itu. Dan diam-diam dia membatin, "Pemuda ini jelas bukan orang sembarangan.
Dia tahu kalau dadu di dalam batok kelapa itu berubah. Perbuatannya yang tadi
bangkit meninggalkan meja, pasti tengah memikirkan
sesuatu. Nah, sekarang sudah berubah kembali angka
itu menjadi jumlah bulatan enam."
"Mengapa kau menahannya, Ki?" tanya si pe-
muda dengan wajah polos sambil menatap Ki Gombel.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas
keberuntunganmu." Ki Gombel menyeringai lebar "Bu-ka tetapi justru kata-katanya
diralatnya sendiri.!
'Tunggu!" Disambungnya kata-kata dalam hati, "Keparat! Jumlah dadu di dalam
batok kelapa itu telah!
berubah kembali. Siapa yang melakukannya" Pemuda
ini sama sekali tak kulihat melakukan apa-apa. Apa-
kah pikiranku tadi salah menduga pemuda ini tahu
apa yang terjadi di dalam batok kelapa itu" Jahanam
betul! Aku ingin tahu siapa orang yang ikut campur
urusan ini! Berarti, dia memang menantang Ki Gom-
bel!" "Orang tua, mengapa kau kembali menahan?"
tanya si pemuda dengan wajah lugu. "Tadi kau kata-
kan keberuntungan sudah berada di tanganku. Lalu,
mengapa kau sekarang seperti sengaja mengulur wak-
tu?" Lelaki berkumis menjuntai tanpa jenggot itu memerah mendengar kata-kata si
pemuda, yang seperti mengejeknya. Tetapi sebagai orang kepercayaan sang
bandar dan telah berulang kali membantu sang bandar
tambun mendapatkan uang yang sangat banyak, men-
geluarkan suara keras. Bukan hanya para penonton
perjudian itu saja yang memperhatikannya, orang-
orang yang berada di kedai itu pun menolehkan kepa-
la. Tirta yang sudah menyelesaikan makannya di-
am-diam jadi tertarik untuk melihat perjudian itu. Se-
telah membayar, diajaknya Dewi Berlian ke sana. Mu-
rid Dewi Bulan itu semula menolak, tetapi dia pun tak
ingin duduk seorang diri dan diperhatikannya bebera-
pa pasang mata menatapnya dengan liar.
"Sudah tiba keberuntunganmu, Anak Muda,"
kata Ki Gombel sambil menekan kembali meja dan
mengalirkan tenaga dalamnya. Kali ini, dia tak mele-
paskan tangannya dari sana,
Di dalam batok kelapa, bersamaan berubah lagi
jumlah bulatan pada tiga buah dadu, mendadak saja
kembali bergerak. Ki Gombel tercekat. Ditatapnya si
pemuda berbaju putih yang masih menatapnya.
"Gila! Siapa yang melakukan tindakan jahanam
ini" Pemuda itu kulihat tak melakukan apa-apa?" batinnya gusar. dan tanpa
sepengetahuan yang lainnya,
di dalam batok kelapa itu tiga buah dadu terus bergu-
lir berulang-ulang tanpa menimbulkan suara. Hanya
seorang saja yang tersenyum melihat hal itu. Dia ada-
lah Rajawali Emas.
"Hmmm.... Dari dulu sampai sekarang, perju-
dian, bukanlah cara yang baik untuk mendapatkan re-
zeki. Selalu saja ada yang curang. Lelaki berkumis
menjuntai tanpa jenggot itu rupanya mencoba mengu-
bah jumlah bulatan tiga buah dadu di dalam batok ke-
lapa," kata Tirta dalam hati. Dan senyumannya semakin mengembang ketika melihat
sesuatu yang menarik
perhatiannya. "Hebat! Pemuda ini bisa bersikap bodoh dengan terus memandang ke
arah orang yang menghisap rokok kawung dan sekarang sudah berkeringat.
Dengan dengkul kaki sebelah kanan yang ditempelkan
pada bagian bawah meja, pemuda berbaju putih ini
pun mengalirkan tenaga dalamnya untuk menahan ali-
ran tenaga dalam yang dialirkan lelaki berkumis men-
juntai pada tiga buah dadu dalam batok kelapa.
Hmm.... Aku ingin tahu apa yang terjadi berikutnya."
Begitulah yang terjadi. Tiga buah dadu di dalam
batok kelapa terus bergerak mengikuti keinginan Ki
Gombel dan si pemuda. Orang-orang yang semakin
ramai menonton bersorak-sorak tak sabar karena ter-
lalu lama menunggu.
Tirta membatin kembali, "Hmmm.... Bisa ku ra-
sakan kalau pemuda ini mengendorkan tenaga dalam-
nya. Apa yang sebenarnya hendak dilakukan?"
Pemuda berbaju putih itu memandang pada si
pengocok dadu. "Sudah buka! Aku sudah tidak sabar
untuk melihat keberuntungan ku!!" serunya cukup ke-
ras. Si pengocok dadu melirik pada Ki Gombel yang
diam-diam menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya
orang itu mendesis, "Rupanya yang iseng yang mena-
han aliran tenaga dalamku sudah menyerah. Terbukti
dadu-dadu di dalam batok kelapa itu tidak bergerak
lagi." Begitu mendapati isyarat dari Ki Gombel, si pengocok dadu membuka batok
kelapa. Puluhan pasang mata terbeliak lebar dengan mulut terbuka. Ki
Gombel sendiri mengusap-usap matanya tanpa sadar.
Dalam keterkejutan masing-masing orang, si pemuda
berteriak keras;
"Lho" Mengapa ketiga dadu itu lebur menjadi
serpihan" Ini tak mungkin.... Masa bodoh! Hahaha...
aku tetap beruntung karena tak ketahuan berapa jum-
lah dadu itu!!" Sambil tertawa si pemuda meraup uang taruhannya kembali dan
memasukkan di sebuah kan-tong kulit yang kemudian diselipkan di balik pakaian-
nya. Dia berdiri seraya berkata, "Karena ketiga dadu itu sudah hancur, aku
terpaksa tak melanjutkan lagi
permainan. Terima kasih, terima kasih, karena aku
sudah menang cukup banyak."
Sang bandar melotot marah pada Ki Gombel
yang kelihatan bingung. Dia sama sekali tak menyang-
ka kalau kedua dadu dalam batok kelapa yang tak
bergerak lagi itu sudah lebur menjadi serpihan. Di pi-
kirnya tadi, orang yang menghalangi maksudnya su-
dah menyerah. "Setan keparat! Orang itu ternyata memiliki te-
naga dalam yang lebih tinggi!!" geramnya dalam hati.
Lalu dengan kegeraman yang sama dia menoleh pada
pemuda berbaju putih yang sudah keluar dari kedai
itu. "Dia tak akan bisa melepaskan diri begitu saja. Dia
harus mengembalikan uang-uang yang dimenangkan-
nya sekaligus melepas nyawa busuknya!"
Sementara itu, Tirta juga sudah menyingkir da-
ri kedai. Dan berdiri bersama Dewi Berlian di muka ja-
lan masuk ke kedai. Tetapi pemuda dari Gunung Ra-
jawali itu tak berkata apa-apa, sampai kemudian Dewi
Berlian menegurnya.
"Kang Tirta" Apakah Kang Tirta sedang me-
nunggu orang yang memberikan sedekah?" goda si ga-
dis sambil tersenyum.
Tirta nyengir jelek.
Aku sedang memikirkan siapa pemuda berbaju
putih tadi."
"Memangnya kenapa?" tanya Dewi Berlian pula.
"Aku sendiri tidak tahu. Sebaiknya...." Tirta
mengurungkan kata-kata tatkala melihat Ki Gombel
keluar bersama tiga arang lelaki berwajah kasar. Di
pinggang ketiga orang itu terdapat sebilah parang be-
sar. Tirta berkata lagi pada Dewi Berlian ketika orang-
orang itu berlalu, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak. Lelaki setengah baya
berkumis menjuntai dan ti-ga orang yang mengiringinya pasti mempunyai maksud
tertentu dengan pemuda berbaju putih. Dewi, Aku in-
gin tahu apa yang akan terjadi. Juga, siapa pemuda itu
sebenarnya?"
"Kang Tirta.... Bukankah saat ini kita harus
mencari orang berjuluk Mata Malaikat untuk mencari
penjelasan di mana Hantu Seribu Tangan berada?"
tanya Dewi Berlian dan saat itu seorang gadis berwa-
jah cantik dengan rambut panjang dan sepasang mata
bulat tajam lewat hendak masuk ke kedai itu. Sejenak
telinga gadis berpakaian biru ketat sehingga bentuk
dada dan pinggulnya terbayang jelas berhenti melang-
kah. Lalu seolah tak tertarik dengan pembicaraan itu,
dia masuk ke kedai.
"Dewi, sambil lalu kita tetap mencarinya. Juga
mencari guruku dan Manusia Pemarah," sahut Tirta
sambil melirik gadis berbaju biru ketat tadi.
Mendapati jawaban yang cukup mengena, Dewi
Berlian akhirnya menganggukkan kepala. Lalu diiku-
tinya si Rajawali Emas yang sudah melesat ke arah Ki
Gombel dan ketiga lelaki yang mengiringinya tadi pergi.
Satu tarikan napas berlalu, satu sosok tubuh
mencelat keluar dari dalam kedai itu. Sosok gadis yang
mengenakan pakaian biru ketat tadi.
"Hmmm.... Pendengaranku sangat jelas tadi ka-
lau keduanya hendak mencari Mata Malaikat. Entah
siapa yang dimaksud dengan Hantu Seribu Tangan.
Tetapi.... Guru sudah memberi tugas padaku untuk
melacak keberadaan Mata Malaikat. Entah ada persoa-
lan apa antara Guru dengan orang berjuluk Mala Ma-
laikat itu. Baiknya, kuikuti saja ke mana perginya ke-
dua orang tadi"
Gadis berbaju biru ketat itu segera melesat
dengan kecepatan yang luar biasa.
*** Bab 9 Pemuda berbaju putih bersih yang baru saja
menang banyak dari hasil perjudian yang dilakukan-
nya, melangkah santai di sebuah jalan setapak yang
cukup jauh dari dusun yang dimasuki tadi. Di kanan
kirinya dipenuhi semak belukar setinggi dada dan pe-
pohonan yang cukup. tinggi. Sambil melangkah dia
bersenandung. Asal saja, karena lagu yang disenan-
dungkannya memang hanya asal keluar.
Tiba-tiba saja dia berhenti bersenandung, tetapi
tetap terus melangkah. Seulas senyum bertengger di
bibirnya. "Hmmm.... Benar dugaanku. Pasti akan ada
orang-orang yang mengikutiku. Tanpa kulihat aku ya-
kin, kalau mereka adalah orang-orang di kedai tadi.
Biar tahu rasa! Mereka berjudi tidak jujur! Mengandal-
kan kelicikan tinggi! Mereka pikir aku tidak tahu ba-
rangkali, kalau si pengocok dadu itu mempergunakan
tenaga dalam untuk mempermainkan dadu di dalam
batok kelapa" Pantas bandar bisa menang terus. Teta-
pi tatkala dia terus menerus kalah, lelaki berkumis
menjuntai berwajah setan tadi yang menggantikan ke-
dudukannya. Hmmm.... Biar kutunggu saja orang-
orang itu di sini!!"
Memutuskan demikian, si pemuda mengarah-
kan langkahnya ke bawah sebatang pohon. Lalu duduk
bersandar dengan kedua kaki berselonjor. Tangannya
bersedekap di dada dan matanya segera dipejamkan.
Selang beberapa saat, Ki Gombel dan tiga lelaki
yang mengikutinya tiba di tempat itu. Sepasang mata
Ki Gombel berbinar cerah dan mengandung kemara-
han melihat si pemuda tertidur.
"Bagus"! Rupanya dia tertidur disini! Tak sulit untuk mencabut nyawanya sekarang
dan mengambil uang taruhan yang dimenangkannya tadi," seringai lelaki berkumis menjuntai
sambil menganguk- anggukkan kepalanya. Ditolehkan kepala pada tiga le-
laki yang mengikutinya. "Bunuh pemuda celaka itu!"
Tiga parang besar sudah berada di tangan mas-
ing-masing orang dengan sekali cabut. Lalu dengan ge-
rakan tak sabar, ketiga lelaki yang diperintahkan itu
segera mengayunkan parang mereka secara se-
rempak. Wuuut! Wuuut! Wuuuttt!
Begitu ketiga parang mengayun, sosok si pe-
muda berguling tetap dengan mata terpejam.
Crak!! Secara bersamaan ketiga parang itu menghajar
pohon yang disandari si pemuda, sementara sosok si
pemuda tergolek dalam keadaan memejamkan ma-
tanya tak jauh dari mereka.
"Setan!" salah seorang memaki sambil menca-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
but parangnya yang menancap di batang pohon.
"Mungkin dia tengah bermimpi hingga tubuhnya ber-
guling dan selamat! Tetapi kali ini... dia tak akan lepas dari kematian!"
Serentak bersama kedua temannya, kembali
ketiganya mengayunkan parang besar di tangan.
Clap! Ketiga parang itu serentak nancap di tanah, di
mana si pemuda tadi terbaring. Serentak ketiga orang
itu saling pandang dengan tatapan melebar karena tak
melihat lagi di mana tubuh si pemuda yang siap dima-
kan parang masing-masing.
Belum lagi mereka mengerti apa yang terjadi,
tiba-tiba saja tubuh ketiganya bergulingan ke samping
setelah ditubruk oleh satu sosok tubuh.
"Wah! Maaf, ya" Aku tidak sengaja?" suara itu terdengar bersamaan tawa renyah.
Ketiga orang itu segera berdiri. Beringas dan
tak percaya mereka menatap tak berkedip pada pemu-
da berbaju putih yang tadi sengaja menubrukkan diri
pada orang yang paling dekat. Dan orang itu mau tak
mau menabrak tubuh kedua temannya.
Sementara itu, Ki Gombel menggeram dalam
hati, "Hebat! Pemuda ini jelas bukan orang sembaran-
gan!! Dan aku yakin sebenarnya dia tidak tidur tadi!"
Tatkala satu pikiran singgah di benaknya, wajah lelaki
berkumis menjuntai itu berubah. "Jahanam! Aku ya-
kin, pemuda inilah yang tadi menahan tenaga dalam-
ku! Keparat betul!"
Tak membuang waktu lagi, Ki Gombel sudah
menderu ke arah si pemuda dengan kedua tangan di-
kembangkan. Angin deras mendahului pukulannya. Si
pemuda bergerak melompat sambil berteriak keras,
"Waduh! Jangan galak-galak begini!!"
Ki Gombel terus mencecar hebat. Angin yang
keluar dari tangannya memapas beberapa semak yang
langsung terpental. Si pemuda sepertinya kebingungan
menerima serangan itu. Wajahnya seperti orang dungu
yang linglung. Ki Gombel terus mencecar dengan hebatnya
sampai akhirnya si pemuda menjerit-jerit, "Ampun!
Ampun! Jangan bunuh aku!!"
Mendapati si pemuda ketakutan seperti itu dan
menganggap serangannya sangat membuat si pemuda
cemas, Ki Gombel merasa dirinya sudah berada di atas
angin. Terutama ketika tiga lelaki yang bersamanya
memburu pula dengan parang di tangan masing-
masing. Si pemuda terus menghindar dengan kedua
tangan ditakupkan di kepala dan berteriak-teriak min-
ta ampun. Namun sampai beberapa saat lamanya, tak
satu pun serangan yang datang mengenai sasaran. Ki
Gombel semakin penasaran. Tubuhnya berkelebat ce-
pat ke sana kemari. Kendati demikian, tetap saja se-
rangannya tak bisa mengenai si pemuda yang bergerak
cepat sambil berteriak minta ampun.
Ki Gombel semakin bernafsu. Dia tak percaya
kalau orang yang sudah ketakutan seperti itu masih
bisa meloloskan diri dari serangan yang dilakukan-
nya. Juga serangan tiga parang tajam yang mengarah
bersamaan. Serangannya pun dipercepat. Kali ini pukulan-
nya seperti menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup
kuat. Berkali-kali semak belukar terpapas. Berulang
kali tanah terhajar angin pukulannya dan muncrat se-
tinggi dua depa. Akan tetapi, tak satu pun serangan-
nya yang mengenai sasaran.
"Tahan!!" seru Si Gombel tiba-tiba sambil
menghentikan serangannya. Ketiga lelaki yang bersa-
manya pun menghentikan gerakan mereka dengan,
napas terengah-engah dan wajah yang dipenuhi ke-
ringat. Di seberang, si pemuda masih melompat-
lompat tak karuan. Sementara jeritan minta ampunnya
masih terdengar. Beberapa kejap berlalu, seperti baru
menyadari kalau serangan yang datang sudah berhen-
ti, si pemuda juga menghentikan gerakannya. Ditu-
runkan kedua tangan yang mengatup di kepalanya
perlahan-lahan. Lalu dia berdiri tegak sambil nyengir.
"Rupanya kalian mau mengampuniku, ya" Te-
rima kasih. Kalau memang tak ada persoalan lagi, tak
salah bukan bila aku melanjutkan perjalanan?" kata si pemuda sambil tersenyum.
Ki Gombel melebarkan kedua matanya, tak
berkedip sekali pun memandang ke arah si pemuda.
Sejenak dikernyitkan dahinya dengan perasaan tak
menentu. "Setan keparat! Mengapa sampai sejauh ini tak
satu pun seranganku yang mengenainya" Padahal pe-
muda celaka ini terus menerus menjerit ketakutan"
Gila! Apakah dia benar-benar berada dalam lindungan
Dewi Keberuntungan hingga sampai saat ini selamat
dari maut?" kata Ki Gombel dalam hati dengan. wajah yang semakin berubah memerah
dan kedua kepalan
yang tergenggam erat. Detik berikutnya, wajahnya
mendadak berubah memerah. Nafasnya terdengar
mendengus-dengus ketika tiba pada satu pikiran yang
membuatnya menggeram. "Keparat! Apa yang dilaku-
kannya tadi bukanlah keberuntungan dan ketakutan!
Pemuda ini memang menghindari serangan! Kalau be-
gitu, dia sengaja mempermainkan aku!"
Lalu terdengar kata-katanya, tinggi, dalam dan
penuh kegeraman, "Cecar dia sampai mampus!!"
Tiga lelaki yang masih kelelahan, segera menja-
lankan perintah. Tiga parang mengayun kembali den-
gan cepatnya. Bersamaan dengan itu, si pemuda kem-
bali melompat-lompat sambil berteriak ketakutan.
Tetapi kali ini, seperti tak sengaja dilakukan-
nya, dia menubruk tubuh salah seorang dari penye-
rangnya yang memegang parang besar hingga bergu-
lingan. Lalu menjegal yang seorang dan memukul yang
seorang lagi dengan gerakan sempoyongan. ,
Ketiga penyerangnya yang memang sudah kele-
lahan, jatuh pingsan saat itu juga. Si pemuda kembali
menghentikan gerakannya dan mengintip dari kedua
balik siku yang menekuk di depan wajahnya.
Di balik rimbunnya semak, sepasang mata yang
mengintip menyeringai lebar melihat apa yang dilaku-
kan si pemuda. Sementara sepasang mata lainnya
yang berada di dekatnya, memperlihatkan sinar mata
jemu. Terdengar suara si pemuda berbaju putih sam-
bil menurunkan kedua tangannya, "Wah! Mengapa pa-
da pingsan begitu"'Hiii! Jangan-jangan.... Di sini ada
dedemit iseng!!"
Ki Gombel yang memang sengaja tak menye-
rang untuk memperhatikan lebih jelas, marah besar
tatkala yakin kalau pemuda ini sengaja mempermain-
kannya. Dengan teriakan marah dia menyerang ke
arah si pemuda yang kembali berteriak-teriak minta
ampun, lalu dengan sikap seperti tak sengaja si pemu-
da menubruk mendorong, menjegal memukul dan me-
nendang Ki Gombel yang tiba-tiba saja terlihat wajah-
nya menjadi sembab merah karena benjolan.
Lelaki berkumis menjuntai itu berteriak kesaki-
tan dan mundur dengan napas terengah-engah. Pan-
dangannya bertambah tajam saat memandang ke arah
si pemuda yang sedang mengejeknya dengan serin-
gaian lebar. "Kenapa berhenti" Kau sudah mengampuniku,
ya" Terima kasih, selembar nyawaku yang sangat ku-
sayang ini masih kau berikan kesempatan lebih lama
berdiam dalam tubuhku!"
"Jahanam! Jelas aku tak mampu menghada-
pinya! Pemuda ini sengaja bersikap ketakutan seperti
itu padahal dia sebenarnya memang menghindar bah-
kan membalas menyerang. Seharusnya aku tahu siapa
pemuda ini di saat teringat kalau dialah yang menahan
dan mempermainkan ku di kedai tadi," geram Ki Gom-
bel dalam hati. Lalu dengan suara keras menutupi ke-
kecutannya dia membentak, "Kali ini aku mengampuni nyawamu, Pemuda Keparat!
Tetapi ingat, bila kulihat
lagi tampangmu, maka kematian yang akan kau teri-
ma!" Si pemuda justru mendadak berteriak, tetapi
kali ini tidak dengan menutupi wajahnya dan justru
dia berteriak sambil tersenyum lebar, "Ampuunnn!
Ampuuun! Jangan bunuh aku! Jangan!! Maafkan aku!
Aku tidak bersalah! Aku tidak berdosa! Maukah kau
memaafkan aku"!"
Ki Gombel menggeram menyadari kalau si pe-
muda mengejeknya habis-habisan. Lalu dengan sikap
yang diusahakan untuk terlihat tegar, dia berbalik
hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi langsung ja-
tuh tersuruk karena kakinya terkait akar sebuah po-
hon yang menyembul keluar." Bruk!
"Hati-hati!" seru si pemuda sambil tertawa.
Ki Gombel berdiri dengan kedua mata terbeliak
marah. Wajahnya dipenuhi tanah, yang dibersihkan-
nya dengan gerakan kacau. Dia hanya mendengus dan
berlalu meninggalkan tempat itu dengan rasa marah
dan malu yang dalam.
Si pemuda berteriak, "Hoooiii! Jadi kau benar
mengampuniku"!"
Ki Gombel sudah kehilangan muka sama Seka-
li. Dia tak berani untuk membalas ejekan si pemuda
yang sedang terbahak-bahak lebar. Yang dipikirkan le-
laki berkumis menjuntai itu, apa yang harus dikata-
kannya pada sang bandar kalau dia tak bisa mengam-
bil uang yang dimenangkan si pemuda"
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ki Gombel
merasa sangat ketakutan sekali. Tetapi, dia akan men-
gatakan kalau pemuda itu telah tewas dibunuhnya
sementara dia gagal menemukan uang yang ternyata
disembunyikan si pemuda.
Di tempatnya, pemuda berbaju putih itu masih
terbahak-bahak. Lalu seperti tak tahu juntrungannya,
masih terbahak-bahak dia berkata, "Sejak tadi kuperhatikan kalian telah
mengintip" Mengapa tak keluar
untuk memperkenalkan diri?"
Dua pasang mata yang mengintip tadi melen-
gak. Lalu sama-sama melompat keluar dari balik se-
mak. *** Bab 10 "Wah! Rupanya kalian ya" Mengapa harus
mengintip?" sambut si pemuda berbaju putih sambil
tertawa begitu melihat dua sosok tubuh berdiri di ha-
dapannya. Yang seorang mengenakan pakaian keema-
san dengan sebilah pedang di punggungnya, sementa-
ra yang seorang lagi perempuan mengenakan pakaian
merah muda. Pemuda yang mengenakan pakaian keemasan
yang tak lain Tirta adanya berkata sambil nyengir.
"Hebat! Hebat sekali permainan yang kau perlihatkan tadi!! Aku jadi makin
penasaran untuk mengenalmu.
Terutama, setelah gadis yang bersamaku ini memak-
saku untuk berkenalan denganmu!!"
Gadis berpakaian merah muda yang tak lain
Dewi Berlian mendadak melotot gusar pada Rajawali
Emas. Tetapi urung membuka mulut karena si pemu-
da berbaju putih sudah bersuara dengan cengiran di-
bibirnya. "Sejak pertama melihat kalian di kedai itu, aku
juga ingin mengenal siapa kalian adanya Terus terang,
aku belum bisa menduga siapa gadis manis yang se-
dang cemberut itu. Dan biar ku tebak siapa kau
adanya, Sobat. Melihat pakaian yang kau kenakan dan
rajahan burung rajawali pada lengan kanan-kirimu
aku yakin, engkaulah orang yang selama ini kucari.
Salahkah bila kukatakan engkaulah orang yang berju-
luk Rajawali Emas" Aku pun yakin kalau kukatakan
pedang yang ada di punggungmu itu adalah Pedang
Batu Bintang" Kalau aku salah, kau boleh menggan-
tung ku di pohon!"
Meskipun heran mendapati si pemuda di hada-
pannya mengenalinya, Tirta tertawa mendengar kata-
kata terakhir si pemuda. Lalu ujarnya sambil meman-
dang ke depan, "Yang kau katakan tadi tidak salah.
Dan salahkah aku bila ingin tahu siapa kau adanya"
Kalau aku salah, kau boleh menjerat leherku dengan
benang!" Pemuda berbaju putih terbahak-bahak.
"Namaku Cakra. Aku datang dari Lembah Su-
mur Tua, Guruku berjuluk Peramal Sakti, atau juga
sering dijuluki Malaikat Judi. Sementara, orang-orang
menjulukiku Pendekar Judi."
"Pantas bila kau memenangkan perjudian tadi,"
kata Tirta dan menyambung, "Kau mengenaliku tadi.
Apakah kau memang sengaja mencariku?"
"Tak salah. Guru menyuruhku untuk mene-
muimu. Padahal terus terang, aku lebih suka bila ha-
rus menemui gadis cantik seperti yang berdiri di samp-
ing-mu," kata pemuda berjuluk Pendekar Judi sambil nyengir. Lalu sambungnya,
"Suatu malam, aku dipanggil menghadapnya. Menurut ramalannya, ada seo-
rang pendekar muda berjuluk Rajawali Emas yang se-
dang mencari Keranda Maut Perenggut Nyawa milik
Hantu Seribu Tangan. Guru juga memberi tahu ciri-ciri
pendekar itu. Aku tidak mengerti mengapa Guru men-
gatakan aku bisa membantunya. Bantuan apa yang
akan kuberikan dan mengapa aku harus memban-
tunya, Guru tak mengatakan sama sekali.
Aku hanya ditugaskan mencarinya dan mem-
bantunya. Dan ternyata, aku bertemu dengan kau di
kedai tadi. Sebenarnya, ketika aku bertanya tentang
perjudian tadi padamu, hanyalah ingin meyakinkan
Siapa kau adanya dan aku bermaksud untuk mem-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buntuti mu. Tetapi, urusan perjudian tadi pasti ber-
buntut. Dan rupanya, kaulah yang datang kepadaku.
Rajawali Emas, selamat bertemu denganku."
"Kita sudah saling kenal. Sekarang dengar baik-
baik Gadis yang bersamaku ini aku tidak tahu nama-
nya. Tetapi dia berjuluk Dewi Berlian. Entah mengapa
dijuluki demikian aku juga tidak tahu. Mungkin saja
ada berlian lain yang tersembunyi di sela-sela tubuh-
nya yang kelihatannya rada-rada 'ehm-ehm' se-lain
berlian yang ada di jidatnya yang licin mulus itu."
"Kang Tirta!!" Dewi Berlian melotot lagi. Berada di antara dua pemuda yang sama-
sama rada gendeng
ini memang harus kebal muka bila mendengar seloro-
han masing-masing orang.
"Dia membentak tadi karena rasa sayangnya
kepadaku," kata Tirta pada Cakra alias Pendekar Judi tanpa melirik sedikit pun
pada Dewi Berlian yang makin melotot. "Eiittt! Kau tidak perlu iri, Pendekar
Judi!" godanya kemudian.
"Mengapa aku harus iri" Toh aku masih punya
kesempatan melihat wajahnya yang cantik, bukan?"
balas Pendekar Judi menyahuti selorohan Rajawali
Emas. Kedua pemuda itu terbahak-bahak sementara
Dewi Berlian cemberut dengan wajah tertekuk. Di se-
buah tempat yang terhalang pepohonan dan rimbun-
nya semak sepasang mata yang memperhatikan sejak
tadi mendesis dalam hati, "Beruntung aku ini. Yang kuduga memang benar kalau
mereka hendak mencari
Mata Malaikat Akan terus kuikuti ke mana mereka
pergi. Guru telah memberi tugas kepadaku untuk
membunuh orang berjuluk Mata Malaikat. Sampai saat
ini aku tidak tahu mengapa Guru menugaskan seperti
itu. Hmm.... Di mana Guru berada sekarang" Dia sela-
lu pergi dan muncul kembali. Lalu pergi lagi. Begitu se-terusnya, sampai lima
bulan belakangan ini aku berpi-
sah dengannya belum juga bertemu.
Selang beberapa saat, Tirta menceritakan apa
yang menjadi tujuannya. Diceritakan pula tujuan Dewi
Berlian yang kini bersama dengannya.
"Aku tidak tahu di mana Goa Seratus Laknat
berada. Guru tak menceritakan tentang goa itu kepa-
daku," kata Pendekar Judi kemudian.
"Itu petunjuk yang kuketahui, kalau Hantu Se-
ribu Tangan berdiam di Goa Seratus Laknat. Hanya
sayangnya, aku juga tidak tahu di mana tempat itu. Di
samping itu, aku pun belum pernah mendengar sepak
terjang Hantu Seribu Tangan yang telengas, yang ke-
mungkinan bisa kita pakai sebagai jejak untuk mene-
mukan di mana dia berada."
Pendekar Judi menatap sesaat pada Rajawali
Emas sebelum berkata, "Guru hanya menceritakan,
kalau Hantu Seribu Tangan sangat suka mengadu il-
mu. Dan dia seperti membuka diri bagi orang-orang
yang menginginkan Keranda Maut Perenggut Nyawa
miliknya. Guru juga meramalkan, dalam waktu dekat
ini, akan banyak nyawa orang-orang rimba persilatan
yang akan lenyap di Keranda Maut itu."
"Berarti kita harus cepat. Satu-satunya cara, di
samping kita harus melacak Goa Seratus Laknat, juga
mencari orang yang berjuluk Mata Malaikat. Orang itu-
lah satu-satunya petunjuk untuk mengetahui di mana
Goa Seratus Laknat berada," sahut Rajawali Emas.
Sesaat kesunyian meraja.
"Bagaimana bila Mata Malaikat sendiri tidak
tahu?" kata Pendekar Judi mengemukakan satu perta-
nyaan yang tak terduga dan memecah kesunyian.
Tirta melengak dan terdiam sejenak mendapati
kata-kata orang. Dewi Berlian meliriknya dengan tata-
pan yang sama. "Apa yang dikatakan Pendekar Judi memang
benar Bagaimana bila Mata Malaikat sendiri tidak ta-
hu" Berarti, perjalanan untuk menemukan Goa Sera-
tus Laknat akan bertambah panjang," pikir Tirta mem-benarkan kata-kata sobat
barunya. Lalu melanjutkan
kata-katanya tetap dalam hati, "Untuk mempersingkat perjalanan, apakah tak
sebaiknya aku memanggil
Bwana, burung rajawali raksasa keemasan yang san-
gat ku sayangi" Dengan menungganginya, mungkin
perjalanan akan bisa dipercepat" Tetapi, arah mana
yang harus kutempuh?"
Mendapati pertanyaannya belum mendapat ja-
wab, Pendekar Judi berkata, "Walaupun kemungkinan
itu ada, tak salah bila kita tetap mencari orang yang
berjuluk Mata Malaikat."
Tirta menganggukkan kepalanya.
"Kau benar. Kita memang harus mencarinya
walaupun kita tak tahu di mana Mata Malaikat berada
dan seperti apa rupanya. Tetapi.... Kita menyingkir du-
lu dari sini Kita cari tempat yang agak terbuka."
"Apa yang hendak kita perbuat di tempat ter-
buka, Kang Tirta?" tanya Dewi Berlian yang sejak tadi belum membuka mulut dan
hanya mendengarkan
ucapan demi ucapan dari kedua pemuda di dekatnya.
"Tentunya, aku tidak akan memelukmu, bu-
kan?" seloroh Tirta sambil nyengir. Lalu melanjutkan sambil tertawa, "Kalau kau
memang mau ku peluk,
mengapa harus mencari tempat yang terbuka" Bukan-
kah di pojokan sana ada semak belukar yang cukup
tertutup dan gelap?"
Dewi Berlian mengeluarkan dengusan sambil
cemberut. Pendekar Judi tertawa-tawa lebar. Lalu ke-
duanya segera melesat mengikuti ke mana perginya
Rajawali Emas yang telah mendahului. Sosok yang
mengintip pun berkelebat pula menyusul dengan gera-
kan yang sangat ringan.
Tak berapa lama, ketiganya sudah berada di
tempat yang terbuka. Tempat yang dipenuhi rerumpu-
tan dan semak belukar. Dan di salah satu semak itu-
lah, sosok tak diundang yang mengikuti ketiganya ber-
sembunyi. Sepasang matanya yang bagus namun ta-
jam, memperhatikan ke depan.
Sementara itu, tanpa menghiraukan pandangan
keheranan dari kedua sobat barunya, si pemuda ber-
baju keemasan berdiri tegak. Kepalanya ditengadahkan
ke angkasa, seolah mencari sesuatu.
Kejap lain, dia menepukkan kedua tangannya
sebanyak tiga kali. Lalu di sela-sela tepukannya, tan-
gannya disorongkan ke atas. Cahaya merah yang cu-
kup terang memercik tinggi di angkasa.
"Apa yang dilakukan, Kang Tirta?" desis Dewi
Berlian dalam hati.
"Aku yakin, Tirta sepertinya sedang mengisya-
ratkan sesuatu. Entah pada siapa isyarat itu diperun-
tukkan" Mungkin untuk gurunya yang berjuluk Bida-
dari Hati Kejam dan Manusia Pemarah yang sampai
saat ini tak diketahui di mana jejaknya," batin Pendekar Judi sambil menatap ke
arah si Rajawali Emas.
Orang berbaju biru ketat yang bersembunyi di
balik semak pun membatin, "Dari ketiganya hanya
pemuda yang sepertinya sedang memberi isyarat entah
pada siapa yang pernah kudengar namanya. Guru
pernah menceritakan tentang pemuda itu yang memi-
liki senjata Pedang Batu Bintang. Huh! Di mana Guru
berada saat ini" Mengapa dia menyuruhku untuk
mencari dan membunuh Mata Malaikat" Ada persoa-
lan apa sebenarnya guruku yang berjuluk Dewi Segala
Impian itu dengan Mata Malaikat?"
Beberapa saat berlalu dalam kesunyian. Tiga
orang muda yang berada di tempat terbuka itu saling
mengunci mulut. Dan mendadak saja Pendekar Judi
serta Dewi Berlian mendongakkan kepala ke angkasa
ketika terdengar koakan yang sangat keras di kejau-
han. Gadis berbaju biru ketat pun mendongak pula ke
asal suara dahsyat tadi.
"Kraaaagghhh!!"
Menyusul satu bayangan raksasa berwarna
keemasan membedah angkasa. Angin tiba-tiba beru-
bah menjadi dahsyat. Rasanya menampar wajah ketiga
orang di bawah sana. Juga merebahkan rerumputan
dan mencabut beberapa semak belukar.
Selang beberapa saat, bayangan raksasa tadi
menukik ke bawah. Angin semakin bertambah dah-
syat. Kejap berikutnya, suasana kembali seperti biasa.
Hanya saja, beberapa rerumputan dan semak belukar
tak lagi di tempatnya.
Berjarak sepuluh tombak dari hadapan keti-
ganya, satu sosok besar tubuh penuh bulu rebah di
atas rumput dan mengeluarkan suara mengkirik.
Dewi Berlian membuka matanya lebih lebar
dengan pandangan tak percaya.
"Luar biasa. Baru kali ini kulihat seekor burung
rajawali yang begitu besar. Empat kali dari gajah de-
wasa besarnya. Apakah burung ini peliharaan Kang
Tirta?" Pendekar Judi menggeleng-gelengkan kepala.
"Hampir tak bisa kupercaya bila tak melihatnya sendiri. Rupanya yang dilakukan
Rajawali Emas tadi me-
mang sebuah isyarat yang diperuntukkan pada burung
rajawali raksasa ini."
"Gila! Yang diceritakan Guru tentang pemuda
berjuluk Rajawali Emas itu memang benar! Dia memi-
liki seekor burung rajawali raksasa yang bernama
Bwana!" Gadis berbaju biru ketat di balik semak mendesis dalam hati.
Sementara itu, dengan rasa gembira si Rajawali
Emas mendekati Bwana yang mengkirik pelan.
"Apa kabarmu, Bwana?"
Seperti mengerti ucapan orang Bwana men-
ganggukkan kepala sambil mengkirik lirih. Paruh bu-
rung itu besar dan kokoh. Melengkung kuat dengan
ujung runcing tajam. Lehernya penuh dengan bulu
tebal berwarna keemasan bercampur kemerahan. Di
atas, kepalanya terdapat jambul berwarna keemasan
yang sangat terang. Bulu burung di bagian badan ber-
warna keemasan bercampur kemerahan dan kebiruan.
Di sayapnya berwarna keemasan bercampur warna
abu-abu. Yang paling menarik adalah ekornya, yang
lebar panjang berwarna keemasan. Utuh seperti jam-
bul di atas kepalanya. Kedua kakinya yang sebesar ka-
ki manusia dewasa itu tampak kering dan sekeras ba-
ja, agak bersisik dan jari-jarinya mekar dengan Kuku-
ku-ku runcing yang tajam dan melengkung pula. Bola
matanya yang besar berwarna kemerahan.
Tirta berkata lagi, "Bagus kalau keadaanmu
baik-baik. Bwana.... Saat ini, aku tengah mencari tem-
pat yang disebut Goa Seratus Laknat. Kuminta ban-
tuan-mu untuk mencari goa itu."
Lagi-lagi Bwana mengkirik.
"Tidak, aku tidak tahu di mana letak goa itu.
Karena itulah aku meminta bantuanmu. Apa" Oh, ti-
dak. Aku tidak bisa ikut serta denganmu, Bwana. Aku
masih harus mencari orang berjuluk Mata Malaikat di
samping mencari ke mana perginya Guru dan Manusia
Pemarah. Oh, iya, ya.... Aku mengerti. Aku pun rindu
kepadamu, Bwana."
Dengan penuh kasih sayang dirangkulnya leher
Bwana. "Maafkan aku, Bwana. Kali ini kita tak bisa bersama lebih dulu. Banyak
masalah yang belum bisa
ku mengerti sebenarnya. Aku harus mencari kejela-
sannya." Kembali Bwana mengkirik pelan. Kejap beri-
kutnya, dia sudah melayang di angkasa kembali. Te-
riakannya keras membedah alam. Dan angin dahsyat
yang ditimbulkan dari dua kepakan sayapnya kembali
mencabut beberapa rerumputan dan semak belukar.
"Kraaghhh!" Tirta memandangi kepergian Bwana dengan senyuman lebar. Selama lima
tahun dia hidup ber-
sama burung rajawali raksasa itu di Gunung Rajawali.
Secara tidak langsung, Bwana-lah yang membesar-
kannya dari usia dua belas tahun sampai tujuh belas
tahun. Bwana pula yang mengajarkan beberapa ilmu
kesaktian padanya. Boleh dikatakan, Bwana adalah
gurunya yang pertama, (Baca: "Geger Batu Bintang") sebelum dia menjalankan
wasiat Malaikat Dewa untuk
berguru pada Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Lan-
git Bumi (Baca: "Wasiat Malaikat Dewa" dan "Raja Lihai Langit Bumi").
Sepeninggal Bwana, pemuda yang di lengan
kanan dan kirinya terdapat rajahan burung rajawali
keemasan kembali pada Pendekar Judi dan Dewi Ber-
lian yang memperhatikan dengan pandangan takjub.
Dan seperti baru menyadari kalau dia belum memper-
kenalkan Bwana pada Pendekar Judi dan Dewi Ber-
lian, Tirta meminta maaf.
"Tidak jadi masalah. Aku benar-benar tak habis
pikir tentang burung rajawali milikmu itu, Kang Tirta,"
kata Dewi Berlian masih dengan tatapan kagum.
Pendekar Judi berkata sambil tertawa-tawa,
"Bila kau memiliki burung yang lebih kecil aku mau memeliharanya. Kalau burung
tadi, bagaimana aku bi-sa memberi makan?"
"Kalau hanya burung yang kecil mengapa kau
meminta kepadaku, Pendekar Judi" Bukankah kau
sudah memiliki burung yang kecil?" Sahut Tirta sambil tertawa pula.
Pendekar Judi terbahak-bahak mengerti ke
mana arahnya ucapan Rajawali Emas.
"Kalau hanya burung yang kecil itu, tak perlu
ku kasih makan. Tetapi bila tiba waktunya, jelas akan
kuberi makan dan ku masukkan ke dalam sangkar-
nya." Kedua pemuda itu tertawa bersamaan Dewi
Berlian yang tak mengerti apa yang tengah keduanya
bicarakan, menoleh pada Pendekar Judi dan bertanya,
"Kau memiliki burung yang kecil, Kang Cakra?"
Pendekar Judi menoleh sesaat, lalu terbahak-
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahak. "Ya, ya!"
"Boleh aku melihatnya?"
"Wah! Kalau itu jangan! Kau pasti akan lari
tunggang langgang nanti!" sahut Pendekar Judi dan diiringi Rajawali Emas dengan
tawa yang semakin besar.
"Mengapa" Burungmu hitam mengerikan ya"
Seperti burung gagak?"
Semakin pecah tawa kedua pemuda yang rada-
rada gendeng itu. Sementara Dewi Berlian cuma ter-
bengong sambil mengernyitkan dahi. Di balik semak
gadis berbaju biru ketat yang mendengar ucapan ke-
dua pemuda itu menggeram, "Sialan! Kurang ajar seka-li mulut kedua pemuda itu!
Dan begitu bodohnya si
gadis tidak tahu kalau dia sedang dipermainkan! Bila
saja aku tak ingin mengikuti ke mana mere ka pergi,
sudah kutampar mulut kedua pemuda kurang ajar
itu!!" *** Bab 11 Orang berbalut kain hitam dari atas hingga ke
telapak kaki, terus bergerak dengan cara melompat-
lompat. Berulang kali orang itu menghentikan langkah.
Wajahnya yang tak nampak dengan sepasang mata
memerah nampak berubah.
"Keparat betul! Mengapa aku tetap berada di
sini-sini juga padahal sudah sekian jarak ku lalui?" geram orang berwujud pocong
yang tak lain adalah Raja
Pocong Hitam. Lalu melanjutkan, "Hujan telah berhen-ti! Hingga tempat ini
menjadi becek."
Kepalanya bergerak ke sana kemari. Yang nam-
pak hanya jajaran pepohonan tinggi dengan dedaunan
yang sangat lebat. Dan suara angin yang menggeresek
dedaunan. "Kurang ajar! Rasanya aku memang hanya
memutari tempat ini!!" geram Raja Pocong Hitam setelah menyadari kalau dia
berdiri di tempat semula. "Gi-la! Mengapa aku bisa lupa arah mana yang harus ku-
tempuh?" Setelah beberapa saat berpikir, tiba-tiba ter-
dengar desisan orang berbalut kain hitam itu.
"Bodoh! Bukankah aku harus mencari tiga po-
hon kembar" Pohon kembar yang berdiri di bagian ten-
gah di antara dua pohon lain itulah petunjuk yang bisa
kugunakan untuk sampai di Padang Seratus Dosa. La-
lu meneruskan langkah menuju Goa Seratus Laknat."
Kakak kandung mendiang Ratu Tengkorak Hi-
tam yang tewas di tangan Rajawali Emas, bergerak lagi
dengan cara melompat-lompat. Cukup lama dia men-
cari tiga pohon kembar. Selang beberapa saat sepasang
mata merahnya menangkap tiga pohon yang sama
bentuk dan tingginya berjarak tiga tombak dari tem-
patnya berdiri. ,
"Bagus! Berarti, aku harus lurus terus mengi-
kuti pohon yang berada di tengah."
Mulailah Raja Pocong Hitam bergerak mengiku-
ti arah pohon yang terletak di tengah dua pohon yang
sama. Tiga penanakan nasi berlalu. dan Raja Pocong
Hitam telah keluar dari Hutan Seratus Kematian. Di
hadapannya membentang sebuah padang yang sangat
tandus. Kendati saat ini hari sudah memasuki senja,
namun panas di padang itu sangat menyengat sekali.
"Sampai di sini aku ingat. Aku harus mengikuti
arah matahari. Berarti perjalananku untuk mencapai
Goa Seratus Laknat, harus mengarah ke barat," desis lelaki berbalut kain hitam
pekat itu. Dengan tetap bergerak secara melompat-
lompat, Raja Pocong Hitam melesat cepat. Panas bu-
kan main teriknya. Membuat tubuh di balik kain hitam
itu berkeringat. Namun, dendam yang dalam terhadap
Rajawali Emas karena telah membunuh adik kan-
dungnya membuat orang yang sampai saat ini tak di-
ketahui bagaimana tampangnya itu, terus bergerak
Cukup lama Raja Pocong Hitam melalui Padang
Seratus Dosa. yang tandus. Dan samar-samar dia
mendengar teriakan minta ampun dari berbagai tem-
pat. Namun tak dipedulikannya hal itu.
Tepat malam datang, lelaki berbalut kain hitam
itu tiba di sebuah tempat yang dipenuhi gugusan batu
kapur. Orang ini menghentikan langkahnya.
"Kalau sudah tiba di sini, akan dengan mudah
ku-temukan Goa Seratus Laknat. Aku masih ingat,
Goa itu berada di balik gugusan batu karang sebelah
kanan." Tak lama kemudian, Raja Pocong Hitam telah
berdiri di depan sebuah goa yang cukup besar. Dari
tempatnya berdiri, yang nampak hanya kegelapan se-
mata. Sepasang mata merahnya memancarkan binar
gembira. "Tibalah saatnya untuk membalas dendam pa-
da Rajawali Emas." Habis membatin begitu, orang berbalut kain hitam pekat
menjatuhkan tubuhnya dengan
posisi bersujud. Lalu terdengar suaranya, keras, kare-
na dipantulkan kembali oleh gugusan batu ka-pur.
"Hantu Seribu Tangan sahabatku, aku datang untuk menyambangimu!!"
Tak ada sahutan apa-apa. Entah mengapa Raja
Pocong Hitam menjadi berdebar. Dia menunggu den-
gan hati kebat-kebit dan tak sabar.
Karena belum juga mendapati sahutan, Raja
Pocong Hitam berseru lagi, "Sahabat! Bila masih ada hati yang tertambat,
sambutlah kedatanganku ini dengan rasa penuh kerabat!!"
Tetap tak ada sahutan apa-apa. Suara yang ke-
ras tadi kembali menggema di seantero tempat.
"Apakah saat ini Hantu Seribu Tangan tak ada
di tempat", Atau... aku salah menemukan Goa Seratus
Laknat" Tidak. Tiga puluh tahun yang lalu aku per
nah diajaknya ke goa celaka yang tersembunyi ini Aku
masih ingat betul dan tempat ini sama sekali tak men-
galami perubahan. Lalu mengapa dia tak menyahuti
seruan ku?"
Selagi Raja Pocong Hitam membatin tak menen-
tu, tiba-tiba saja angin berubah menjadi dingin, me
nusuk tulang dan menghempaskan beberapa batu ka-
pur. Raja Pocong Hitam semakin menekan kepa-
lanya pada tanah tanpa bergeming sedikit juga
"Bagus, Bukankah perubahan angin menanda-
kan kemunculannya" Tetapi, di manakah dia berada?"
Orang berbalut kain hitam pekat itu berseru lagi,
"Hantu Seribu Tangan! Aku datang untuk minta, ban-
tuan!" Perubahan angin semakin terasa, semakin bertambah dingin menggidikkan.
Tiba-tiba, terdengar sua-
ra keras, "Kuterima kedatanganmu, Raja Pocong Hi-
tam. Kau seperti membangunkan ku dari tidur!!" .
"Hmmm.... Dia telah mendengar suaraku," desis Raja Pocong Hitam dalam hati. Lalu
perlahan-lahan berdiri. Sepasang matanya semakin memperlihatkan
sinar kemerahan saat memandang ke dalam goa. Den-
gan kegembiraan yang terasa, orang itu berseru lagi,
"Maaf bila aku mengganggu kesendirian mu. Tetapi,
hanya engkaulah orang yang bisa membantuku."
"Katakan apa keinginanmu?" suara keras itu
kembali terdengar, tetapi entah dari mana orang yang
bersuara berada. Bahkan terdengar bukan dari dalam
goa yang pekat dan gelap.
Dengan kegembiraan yang meluap, Raja Pocong
Hitam mengatakan maksud kedatangannya.
"Apakah kau bersedia membantuku?" tanyanya
setelah selesai bertutur.
"Lama tak ku jajaki tempat lain. Lama ku diami
tempat ini. Tetapi, telingaku telah mendengar julukan
Rajawali Emas. Malang nian nasib adik kandung-mu
itu!" Suara itu terdengar lagi. Tetap sulit ditemukan
dari arah mana datangnya suara itu.
"Apakah kau merasa tak mampu menghadapi
orang yang berjuluk Rajawali Emas?"
Raja Pocong Hitam terdiam, tanda tak suka
mendengar pertanyaan orang yang bernada mengejek.
Tetapi dia menjawab juga, "Kesaktiannya sangat tinggi dan membuatku lintang
pukang. Bila kau memang
mengabulkan permintaanku, aku akan mengabdi ke-
padamu, Sahabat."
Suara tawa menggema kembali entah dari ma-
na. Bersamaan dengan itu terdengar suara, "Sebagai sahabat, tentu saja aku mau
membantu. Apalagi bantuan ini akan kuberikan untukmu, Raja Pocong Hi-
tam." "Terima kasih, terima kasih."
"Tetapi, ada satu syarat yang akan ku ajukan."
"Oh!" Tubuh Raja Pocong Hitam melengak Teta-
pi sejurus kemudian dia berkata, "Syarat apakah yang hendak kau ajukan,
Sahabat'?"
"Aku telah menciptakan satu ilmu baru di da-
lam Keranda Maut Perenggut Nyawa. Aku mengingin-
kan-kau masuk ke dalamnya."
"Gila! Apa-apaan ini" Mengapa dia mengajukan
syarat yang tidak-tidak?" batin Raja Pocong Hitam
dengan hati yang kembali kebat-kebit. Lalu berseru
"Sahabat" Bukannya aku banyak tanya. Apakah tak
mengalami satu risiko yang membahayakan bila aku
masuk ke dalam Keranda Maut itu?"
"Sudah tentu tidak. Keranda Maut yang kumili-
ki hanya ku peruntukkan pada orang-orang yang me-
mang ingin kubunuh Bukan dirimu. Ingat, kau adalah
sahabatku. Tak mungkin aku melakukan satu hal
yang membahayakan mu. Pikirkanlah! Bila kau tidak
mau mengabulkan syarat yang ku ajukan, aku pun tak
ingin membantumu! Dan ingat, aku tak ingin diganggu
lagi dalam urusan kecil semacam ini! Karena, aku ten-
gah menunggu kedatangan orang-orang rimba persila-
tan ke Goa Seratus Laknat ini. Cukup lama aku tak
mencabut nyawa orang! Dan Keranda Maut ku, akan
menjadi tempat paling akhir tanpa kuburan bagi
orang-orang rimba persilatan."
Raja Pocong Hitam terdiam. Jelas dia menim-
bang-nimbang syarat yang cukup mengkederkannya,
Masuk ke Keranda Maut milik Hantu Seribu Tangan
cukup membuatnya tak bisa berkutik Dia tahu kesak-
tian Keranda Maut itu, kendati dia belum pernah meli-
hat secara langsung orang yang masuk ke dalam dan
apa akibatnya. Hanya yang jelas, orang yang telah ma-
suk ke sana tak akan bisa keluar lagi. Dan berarti itu-
lah tempat kematian mereka.
Tetapi, kematian adik kandungnya di tangan
Rajawali Emas dan bagaimana dia dipecundangi pe-
muda berajah burung rajawali berwarna keemasannya
di lengan kanan dan kiri, telah mengikat keras hatinya.
Bertaburan sejuta dendam yang ingin dituntaskan.
Lalu dengan suara yakin dia berkata, "Baiklah!
Aku menerima syarat yang kau ajukan!!"
Meledaklah satu tawa yang lagi-lagi sukar di-
tentukan dari mana tempatnya. Kejap lain, satu benda
menderu dahsyat dari dalam goa. Terbang dengan ke-
cepatan yang luar biasa dan hanya nampak bagai satu
benda hitam pekat yang melayang-layang. Angin yang
ditimbulkan benda hitam itu membuat suasana ber-
tambah dingin mengerikan. Udara mendadak berubah
diharumi wewangian kemenyan. Tak berapa lama ke-
mudian, benda itu berhenti melayang dan jatuh berja-
rak tiga tombak dari tempat Raja Pocong Hitam berdiri.
Sebuah benda yang lebih besar dan panjang
dari ukuran seorang manusia dewasa. Sebuah benda
hi-tam pekat yang terbuat dari besi yang sangat kuat.
Benda itu memiliki jari-jari besi yang melengkung ke
atas. Di bawahnya terdapat deretan besi yang berjajar
untuk tubuh yang rebah di sana. Dari benda yang tak
lebih dari kurung batang dengan dua pintu besi di
masing-masing ujung itulah aroma wewangian keme-
nyan menguar. Raja Pocong Hitam memperhatikan dengan hati
tercekat benda yang cukup besar yang melayang-la-
yang itu. "Benda itukah yang selama ini menjadi momok
menakutkan selain Hantu Seribu Tangan sendiri" Dan
salahkah aku yang mau menerima syarat yang di-
ajukan Hantu Seribu Tangan" Wewangian kemenyan
dari benda itu sepertinya mengandung kekuatan magis
yang menakutkan."
Selagi Raja Pocong Hitam membatin tak menen-
tu, satu suara kembali terdengar.
"Masuklah kau di dalam keranda itu, Raja Po-
cong Hitam."
Raja Pocong Hitam mengarahkan pandangan ke
Goa Seratus Laknat kendati pun asal suara yang di-
dengarnya dari berbagai tempat.
"Tak salahkah syarat yang kau ajukan tadi, Sa-
habat?" Kali ini suara orang berbalut kain hitam itu penuh getaran. Menandakan
dia sangat ketakutan.
"Sebagai seorang sahabat, tak mungkin aku
mencelakakanmu. Masuklah."
Raja Pocong Hitam masih terpaku di tempat-
nya. Hatinya luar biasa ketakutan dan dipenuhi ke-
bimbangan kuat. Dan sebelum dia melakukan apa-
apa, mendadak saja terdengar suara 'Srang'. Dilihat-
nya pintu keranda itu terbuka sebuah. Menyusul satu
ke-jadian yang mengejutkan terjadi. Hawa panas yang
luar biasa bertabur dengan wewangian kemenyan me-
nyengal menderu dari Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Melengak orang berbalut kain hitam itu dan
tanpa sadar melompat ke belakang untuk menghindari
panas yang membuat tubuhnya seperti terbakar. Na-
mun detik lain, hawa panas itu terus mengejar dan
melingkari tubuhnya. Sebelum Raja Pocong Hitam
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja satu tenaga
raksasa menyedotnya untuk masuk ke keranda itu,
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei!!" Pias wajah yang tak pernah kelihatan itu sambil mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menahan
sedotan hawa panas yang selain menyengat tubuhnya
juga menyeretnya ke arah Keranda Maut. "Sahabat!
Mengapa jadi seperti ini?"
Tak ada sahutan apa-apa. Raja Pocong Hitam
menggeram dan terus mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk bertahan dari sedotan hawa panas
yang sangat kuat.
Breet! Breett!!
Kain hitam di bagian kakinya tertarik dan so-
bek hingga pangkal paha dan sobekan kain hitam itu
masuk ke dalam Keranda Maut yang seketika lebur
menjadi serpihan. Sementara nampaklah sepasang ka-
ki kurus penuh bulu milik Raja Pocong Hitam yang
semakin ketakutan.
Dan sekali sentak saja, sisa kain hitam yang
membalut tubuhnya, tertarik lepas dan kembali masuk
ke dalam Keranda Maut diiringi teriakan ketakutan da-
ri si pemiliknya.
Sekarang nampaklah wujud Raja Pocong Hitam
yang sangat mengerikan. Bentuk tubuh yang hanya
pernah dilihat oleh Ratu Tengkorak Hitam yang tewas
di tangan Rajawali Emas.
Tubuh lelaki itu tinggi kurus dipenuhi bulu-
bulu yang berdiri. Seluruh tubuhnya penuh dengan
tonjolan tulang. Hanya mengenakan cawat hitam Bila
diperhatikan dengan seksama, ternyata tubuhnya ber-
sisik kehitaman, agak samar karena bulu jarang yang
memenuhi tubuhnya. Dan wajahnya sungguh menge-
rikan sekali. Hidungnya melesak ke dalam. seperti be-
kas luka. Kedua matanya turun ke bawah dengan si-
nar merah yang nyalang. Telinganya gompal sebelah
sementara rambutnya berdiri jarang. Sungguh, wujud-
nya sangat mengerikan sekali. Orang ini berteriak ke-
takutan, "Sahabat! Apa yang kau lakukan"!"
Dan satu sentakan hawa panas lainnya telah
merontokkan seluruh bulu pada tubuh Raja Pocong
Hitam, dan terus menyeretnya masuk ke dalam keran-
da. Raja Pocong Hitam menahan tarikan kuat itu den-
gan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun
detik berikutnya tubuhnya sudah berada di dalam Ke-
randa Maut itu dan begitu tubuhnya rebah di sana,
pintu keranda itu tertutup. "Sahabat! Apa yang kau lakukan?" Tak ada sahutan apa
pun juga. Raja Pocong
Hitam merasakan hawa panas yang sangat luar biasa
sekali memanggang tubuhnya. Tubuhnya kelojotan liar
diiringi teriakan yang sangat menyayat hati, tak ubah-
nya seperti lolongan serigala yang tertembak oleh pem-
buru. Hanya sesaat tubuh Raja Pocong Hitam berge-
rak kesakitan, karena kejap lainnya terdengar suara
ledakan yang sangat keras sekali dari dalam keranda
itu. Blaaammm! Tubuh Raja Pocong Hitam pecah, lebur menjadi
serpihan. Kendati keranda itu berbesi jarang, tetapi tak satu pun pecahan tubuh
Raja Pocong Hitam yang ter-
pental keluar. Hanya saja terlihat, serpihan tubuh
orang itu, lenyap perlahan-lahan dan menghilang sama
sekali. Barulah terdengar suara keras diiringi tawa
kuat yang menggema di seantero tempat, "Tak seorang pun yang bisa membuatku
menjadi budaknya kendati
dia seorang sahabat. Bahkan, kedua orang tuaku bila
masih hidup pun akan kubunuh bila berani meminta
atau memerintahkan ku! Tetapi, aku berterima kasih
kepadamu, Raja Pocong Hitam. Kalau pemuda ber-
juluk Rajawali Emas pun sedang mencariku. Berarti,
dia tengah mencari jejak kematiannya sendiri.
Lama aku tak keluar dari Goa Seribu Laknat
karena kupikir tak menemukan lawan sepadan. Tetapi
sekarang, orang-orang yang hanya memiliki ilmu se-
jengkal mencoba merebut Keranda Maut ku ini.
Hmm.... Kulihat Penabur Pasir pun muncul. Orang
yang istrinya ku perkosa lima puluh tahun yang lalu
itu rupanya hendak membalas dendam kepadaku. Dia
beruntung karena saat kejadian itu tak berada di tem-
pat hingga masih bisa hidup sampai sekarang. Aku
memang sengaja memberitahukan siapa orang yang
memperkosa dan membunuh istrinya dengan" mening-
galkan guratan pada tanah.
Kulihat pula Bidadari Hati Kejam dan Manusia
Pemarah. Keduanya memang tak pernah kuketahui di
mana selama ini mereka berdiam, hingga tak pernah
ku tantang mengadu kesaktian. Tetapi sejak lima ta-
hun belakangan ini keduanya mulai malang melintang
lagi di rimba persilatan. Sulit kuukur kesaktian mere-
ka. Kendati demikian, dengan bantuan Keranda Maut
ku, nyawa keduanya jelas milikku.
Lalu pemuda berbaju putih yang berjuluk Pen-
dekar Judi. Dewi Berlian dan Rajawali Emas. Menga-
syikkan sekali Mereka akan mampus di tanganku.
Dengan begitu, tibalah saatnya bagiku untuk keluar
lagi dan merajai rimba persilatan ini.
Hmmm.... Mata Malaikat rupanya mulai men-
coba-coba melacak jejak ku. Bagus! Aku tak se-
gan-segan untuk membunuhnya. Tetapi.... Siapa lelaki
berpupur putih yang mengenakan pakaian berwarna
coklat gombrang" Aku tak mengenalnya. Peduli setan!
Orang-orang yang kulihat tiga malam lalu dalam tapa
ku, akan mampus di sini!!"
Begitu suara tadi habis, mendadak saja keran-
da hitam pekat yang baru saja menelan korban berge-
rak sangat cepat. Melesat masuk ke dalam goa seperti
kecepatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Kejap berikutnya, tempat itu sepi sama sekali.
Yang tinggal hanya wewangian kemenyan yang masih
menyengat. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Pedang Kiri 12 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Lencana Pembunuh Naga 7