Mata Malaikat 1
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat Bagian 1
Bab 1 Di sela rimbunnya semak belukar, satu sosok
tubuh mendekam di sana. Kesunyian melanda sekitar
tempat itu. Angin berhembus dingin dan burung-
burung bercicitan di angkasa luar.
Senja sudah menghampar dan malam akan se-
gera menggantikan kedudukannya. Orang yang duduk
di balik semak belukar ini, nampak terdiam sama se-
kali. Tak mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan tari-
kan nafasnya pun tak terdengar.
"Urusanku untuk mencari jejak kekasihku ak-
hirnya harus kandas di sini. Urusan Hantu Seribu
Tangan telah membuka mata hatiku untuk mencari di
mana dia berada. Kendati selama ini tak punya urusan dengan kakak seperguruanku
itu, akhirnya aku tak
sabar pula untuk melihat secara langsung sepak ter-
jang telengasnya dengan mempergunakan Keranda
Maut Perenggut Nyawa."
Orang tua berbaju hijau penuh tambalan ini
mengusap dagunya. Membiarkan rambut panjangnya
yang putih dipermainkan angin. Di sisi kanannya ter-
golek sebatang tongkat berwarna putih.
Bila diperhatikan seksama, wajah yang dilapisi
kulit tipis itu ternyata memejamkan kedua matanya.
Tak sekali pun orang tua ini membuka matanya. Men-
dapati ciri yang ada pada diri si orang tua, jelas dia adalah Mata Malaikat.
Lelaki tua berusia tujuh puluh tahun yang
memang telah bersumpah tidak akan membuka kedua
matanya bila belum berjumpa dengan kekasihnya yang
berjuluk Dewi Segala Impian. Sampai hari ini, Mata
Malaikat masih belum tahu alasan yang pasti sehingga kekasihnya itu meninggalkan
dirinya puluhan tahun
yang lalu. Namun cinta yang dalam di hatinya terus
terpatri, hingga dia berjanji baru akan membuka ke-
dua matanya bila bertemu lagi dengan kekasihnya
yang akan dimintanya untuk menerangkan segala ala-
san mengapa hubungan mereka retak.
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya:
"Keranda Maut Perenggut Nyawa", selama puluhan tahun Mata Malaikat diburu orang-
orang rimba persila-
tan yang mencoba mengorek keterangan darinya ten-
tang keberadaan Hantu Seribu Tangan. Kendati Hantu
Seribu Tangan adalah kakak seperguruannya, namun
karena merasa masing-masing orang mempunyai jalan
sendiri-sendiri, Mata Malaikat tak pernah tahu di ma-na kakak seperguruannya itu
berada setelah mereka
berpisah dan meninggalkan Pendekar Bijaksana, orang
tua yang menjadi guru keduanya.
Namun, orang-orang yang ternyata mempunyai
tujuan berlainan untuk mencari Hantu Seribu Tangan,
terus mendesaknya untuk mengatakan di mana Hantu
Seribu Tangan berada. Sungguh, Mata Malaikat tak
tahu di mana kakak seperguruannya itu berada. Dan
rupanya, main kucing-kucingan yang terjadi antara dirinya dengan para
pengejarnya pun mulai berakhir,
tatkala tiga orang pengejarnya menemukan di mana
dia berada. Pertempuran sengit terjadi. Dan salah seorang pengejarnya yang
berjuluk Pemenggal Kepala ak-
hirnya tewas di tangannya. Sementara orang yang ber-
juluk Penabur Pasir luka parah dan segera disela-
matkan oleh temannya yang bernama Sandang Ku-
tung. Ada sedikit keheranan yang melanda diri orang
tua berbaju hijau penuh tambalan itu, karena orang
yang bernama Sandang Kutung tak melakukan apa-
apa kecuali mengancam akan muncul lagi untuk
membuat perhitungan dan berkelebat sambil memba-
wa tubuh Penabur Pasir yang terluka. Saat Mata Ma-
laikat memutuskan untuk menguburkan mayat Pe-
menggal Kepala, barulah disadari kalau pukulan sakti
'Sukma Neraka' yang dilepaskan oleh Penabur Pasir
mengenai dirinya.
Setelah luka dalam yang dideritanya sembuh
dan menguburkan mayat Pemenggal Kepala, orang tua
yang selalu memejamkan matanya itu pun mene-
ruskan langkah. Kali ini bertujuan untuk melacak je-
jak di mana Hantu Seribu Tangan berada. Orang tua
ini menarik napas panjang. "Kendati jalan masing-masing orang berlainan, tetapi
menerima kenyataan
kalau Hantu Seribu Tangan telah membelot dari jalan
lurus yang ditetapkan Guru, rasanya terpaksa aku ha-
rus turun tangan. Entah dari mana dia mendapatkan
benda aneh mematikan, yang diberi nama Keranda
Maut Perenggut Nyawa. Ah.... Selama ini aku dibuta-
kan oleh rasa penasaran untuk mencari Dewi Segala
Impian, untuk meminta keterangan yang jelas tentang
alasannya memutuskan hubungan ku dengannya.
Hingga rasanya, aku jadi terpaku dan seperti orang
dungu tak mempedulikan keadaan di sekeliling ku ka-
lau kejahatan yang ditimbulkan oleh kakak seperguru-
anku telah lama terjadi."
Orang tua ini terdiam seolah memikirkan masa-
lah yang sangat pelik yang singgah di benaknya. Sebelum dia berbuat apa-apa,
tiba-tiba saja telinganya menangkap derap langkah orang di kejauhan.
"Hmmm.... Siapa lagi yang muncul ini" Dalam
keadaan semacam ini, sangat sulit menentukan siapa
lawan dan siapa kawan. Baiknya, kutunggu saja dia di sini. Tetapi.... Hei! Aku
seperti mengenal gerakan orang yang lari ini" Kalau memang benar dugaanku,
urusan untuk segera mencari Hantu Seribu Tangan bisa ter-
tunda." Kejap berikutnya, orang tua berbaju hijau pe-
nuh tambalan ini sudah berkelebat dengan cepat ke
satu tempat. Setelah beberapa kejap berlalu, orang
yang berkelebat di kejauhan telah tiba di tempat di
mana Mata Malaikat berada tadi.
Orang yang baru muncul ini mengenakan pa-
kaian seorang resi berwarna kuning pekat. Kepalanya
segera di tolehkan ke sana kemari. Sebagian rambut-
nya tertutup sorban yang sewarna dengan pakaiannya.
Orang berwajah lonjong dengan sepasang mata bulat
besar ini terdiam beberapa saat. Hidungnya bagus.
Kendati sudah terlihat penuh diselimuti dengan keri-
put, namun sisa-sisa ketampanannya masih membias
jelas. Orang ini menggeram setelah beberapa saat ditelan kesunyian.
"Jahanam betul! Ke mana lagi perginya manu-
sia celaka itu" Aku yakin, ketika kulihat satu bayangan hijau penuh tambalan
berkelebat di Hutan Lorong
Jati adalah orang yang selama ini kucari. Orang yang telah membunuh adikku!!"
Di tempatnya, Mata Malaikat mengangguk-
anggukkan kepala. Lalu berkata dalam hati, "Tak salah dugaanku. Mengenali
suaranya, aku yakin orang itu
adalah Resi Wajah Dewa. Ah! Peristiwa puluhan tahun
rupanya menguak lagi. Seperti yang digeramkannya
tadi, dia masih terus berkeinginan membalas kematian adik kandungnya, Resi
Durjana Tangan Sakti. Resi itu memang mati di tanganku tatkala ku hentikan
maksudnya untuk mempermalukan tiga orang perawan
suci yang diculiknya entah dari mana. Kematian resi
durjana di tanganku itu, memang terdengar oleh Resi
Wajah Dewa, kakak kandung dari Resi Durjana Tan-
gan Sakti yang sudah puluhan tahun mencariku un-
tuk membalas dendam. Kalau memang urusan tak bi-
sa ku hindarkan, aku memang harus bertindak."
Lelaki tua berwajah tampan yang berjuluk Resi
Wajah Dewa itu kembali mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Yang nampak di kedua mata bulatnya
hanyalah kumpulan semak belukar dan beberapa jaja-
ran pohon. "Biarpun dunia kiamat, tak akan kuhentikan
maksud untuk membunuh manusia celaka berjuluk
Mata Malaikat. Dendam ku baru hilang bila melihatnya terkapar di tanah. Tetapi
di samping itu, aku menyirap kabar kalau saat ini banyak orang-orang rimba
persilatan yang mencari Hantu Seribu Tangan dengan seribu
satu macam alasan. Hanya yang ku yakini, kalau me-
reka hendak merebut Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Kudengar pula kalau Mata Malaikat diburu oleh orang-
orang itu untuk mendapat keterangan. Peduli setan
dengan semuanya! Keinginanku untuk membunuh
Mata Malaikat tetap terpatri dalam!!" Orang berbaju re-si ini terdiam kembali.
Matanya yang bersinar penuh
kejengkelan diedarkan lagi ke seluruh tempat. Lalu katanya, "Baiknya, kucari
terus jejak Mata Malaikat!"
Namun sebelum dia memutuskan untuk me-
ninggalkan tempat itu, terdengar satu suara yang cu-
kup keras, nyaring dan bertalu-talu, "Apakah penca-rianmu sudah berakhir, Resi
Wajah Dewa" Ataukah
kehidupan telah mengubah mu hingga kau tak lagi
menghiraukan aku yang sekian tahun menunggu ke-
datanganmu?"
Resi Wajah Dewa melengak dan seketika men-
dongak. Dilihatnya satu sosok tubuh duduk di cabang
sebuah pohon yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Detik berikutnya, terdengar seruannya yang
kencang dan bernada gembira, "Ratu Api!"
Perempuan setengah baya yang dipanggilnya
dengan sebutan Ratu Api tertawa. Wajahnya masih ke-
lihatan cantik. Bibirnya merah diberi pemoles. Sepa-
sang matanya teduh dan lembut, namun terkadang
bersinar garang. Rambutnya panjang sebahu diberi
ikat kepala di kening berwarna merah. Pakaian yang
dikenakannya pun berwarna merah. Terbuka di bagian
bahu dan terbelah hingga pangkal paha, memperli-
hatkan bungkahan kedua pahanya yang gempal dan
putih mulus. Perempuan setengah baya yang masih berwajah
cantik itu melompat turun. Saat melompat pakaian
bagian bawahnya yang terbelah itu terangkat naik dan memperlihatkan sesuatu yang
membuat Resi Wajah
Dewa menelan ludahnya.
"Keparat betul!" maki Resi Wajah Dewa dalam hati tetapi dengan nada yang
tersedak karena sesuatu muncul di tubuhnya.
Di tempatnya, Mata Malaikat terdiam. "Ratu
Api. Perempuan mesum dan kejam yang kerjanya
hanya memeras darah muda seseorang perjaka. Sekian
tahun aku tahu kalau Ratu Api menjadi pasangan tak
resmi dari Resi Wajah Dewa."
Di seberang, Ratu Api tertawa sambil menjilat
bibirnya dengan gerakan yang sangat merangsang.
"Lama tak jumpa, Resi Wajah Dewa. Kau masih
saja menggetarkan hatiku."
"Begitu pula denganku, Ratu. Kau tak pernah
lepas dari ingatanku." sahut Resi Wajah Dewa sambil tertawa.
"Meskipun aku tak tahu apa isi hatimu yang
sebenarnya, tetapi cukup lama kau meninggalkan ku,
Apakah kau sudah menemukan jejak Mata Malaikat
yang membunuh adikmu?"
"Aku sempat melihatnya barusan. Tetapi, seka-
rang tak kuketahui lagi di mana jejaknya,"
"Berada dalam posisi sejajar, kau tak akan me-
nemukan apa yang kau cari. Karena, ilmu peringan
tubuh telah menyebabkan orang yang kau cari menjadi
bayangan."
Orang berpakaian resi itu mengernyitkan da-
hinya. "Mengapa kau berkata seperti itu" Sepertinya sebuah peringatan, tetapi
terasa sekali penuh ejekan."
Lalu katanya, "Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu?"
"Berada di atas, kau akan bisa memandang
seantero tempat, cukup luas dan tak bisa terhalang
oleh apa pun."
Kali ini Resi Wajah Dewa benar-benar terdiam.
Kepalanya tiba-tiba saja di tolehkan ke sana kemari dengan kedua mata lebih
dipentangkan. Setelah beberapa saat, dialihkan pandangannya pada perempuan
berpakaian merah itu. Kejap berikutnya, diangguk-
anggukkan kepalanya seperti mengerti maksud Ratu
Api. Di tempatnya, Mata Malaikat mendesis, "Uca-
pan perempuan berjuluk Ratu Api menandakan dia ta-
hu di mana aku berada. Aku yakin, dia memang baru
muncul dan karena berada di atas, kemungkinan dia
melihat di mana aku berada."
Sementara itu, Resi Wajah Dewa sedang berka-
ta, "Kedatanganmu membuatku bergairah, Ratu." Lalu menyambung dengan suara
mendesah dan kedua ma-ta berbinar penuh birahi, "Bila tak ada yang perlu
diperhitungkan, bukankah kita punya waktu luang se-
karang, Ratu" Mengapa harus menyia-nyiakannya?"
Ratu Api membalas tatapan itu dengan tak ka-
lah bergairahnya. Dia berkata seraya melangkah satu
tindak, "Kapan pun kita selalu punya waktu. Dalam keadaan serumit apa pun.
Memang tak ada yang perlu
diperhitungkan. Kita bisa menikmati waktu lebih dulu.
Tak ada yang mengintip. Kendatipun ada, orang itu tak akan bisa melihat karena
kedua matanya tertutup."
Lalu sambungnya dalam hati, "Biar ku pancing Mata
Malaikat yang bersembunyi seperti kucing busuk di
balik semak di belakang sebuah pohon. Kendati kedua
matanya selalu terpejam, tetapi telinganya jelas terbuka lebar. Bisa saja orang
tua keparat itu langsung ku-serang. Tetapi, aku juga ingin merasakan cumbuan
Resi Wajah Dewa yang telah lama ku nanti. Lagi pula, aku tidak punya urusan
dengan Mata Malaikat. Hanya
saja, urusan Resi Wajah Dewa adalah urusanku juga."
Lalu dengan gerakan yang sangat penuh rang-
sangan dan desisan yang mendebarkan, Ratu Api
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mem-
biarkan dadanya yang membusung terpampang me-
nantang. Resi Wajah Dewa yang tahu maksud Ratu
Api, menyambutnya dengan penuh hangat. Tangan
kanannya dengan segera meremas dada busung Ratu
Api dan segera menyelinap melalui bahu yang terbuka.
Tangan kirinya menyingkap pakaian merah terbelah
hingga ke pangkal paha yang dipakai oleh Ratu Api.
Sementara mulutnya mengecup leher jenjang Ratu Api.
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh, kendati usianya sudah setengah baya tetapi
Ratu Api masih memiliki tubuh yang sangat indah.
Bahkan seluruh tubuhnya masih kenyal.
Mata Malaikat membatin lagi di tempatnya, "Je-
las sudah perempuan itu tahu keberadaanku. Kata-
katanya tadi penuh ejekan yang cukup membuatku ge-
ram. Dan suara-suara yang kudengar itu.... Kurang
ajar!!" Lalu tiba-tiba saja semak belukar yang berada di balik sebuah pohon
besar terpapas. Satu sosok tubuh mencelat keluar dan berdiri tiga tombak dari
ha- dapan Resi Wajah Dewa yang seketika menoleh dan
saat itu pula wajahnya berubah. Sementara Ratu Api
urung membuka pakaiannya. Di bibirnya tersungging
sebuah senyuman, menyadari kalau Mata Malaikat
akhirnya terpancing dan menampakkan diri.
Resi Wajah Dewa menatap tak berkedip pada
Mata Malaikat. Wajahnya membesi saat membatin,
"Kurang ajar! Aku tak tahu sama sekali kalau orang tua keparat yang telah
membunuh adikku ini masih
berada di sini! Bila saja Ratu Api tidak muncul, sudah tentu aku akan melewatkan
kesempatan yang telah
lama kutunggu untuk membalas kematian adikku Resi
Durjana Tangan Sakti." Detik berikutnya, orang berpakaian resi ini sudah
mengeluarkan bentakan keras,
"Mala Malaikat! Ajal sudah tiba di depan mata, dan kau tak akan bisa lari dari
kenyataan!"
Mala Malaikat berdiri tegak dengan bertelekan
pada tongkat putihnya. Kedua matanya lelap terpejam.
"Resi Wajah Dewa. Urusanku dengan adikmu
itu bukanlah sebuah urusan yang mudah. Adikmu
bermaksud mencelakakan tiga orang anak perawan
yang sudah tentu perbuatan tak benar adanya. Dan
aku tak bisa membiarkannya melakukan maksud."
"Itu bukan urusanmu, Mata Malaikat!" bentak Resi Wajah Dewa dengan suara
menggelegar dan wajah
memerah karena marah. Terutama mengingat kalau
sejak tadi Mata Malaikat berada tak jauh dari tempatnya dan sama sekali tak
diketahuinya. "Yang menjadi urusan sekarang, kau harus mati di tangan ku!!"
Habis kata-katanya, Resi Wajah Dewa Sudan
menggebrak ke depan siap menghantam kepala Mata
Malaikat yang berdiri tegak. Kedua mata orang tua
berbaju hijau penuh tambalan ini masih tetap terpe-
jam. Dan begitu dirasakan serangan lawan mendekat,
segera diangkat kedua tangannya. Desss! Desss!!
Dua pasang tangan dari masing-masing orang
beradu keras. Resi Wajah Dewa tersentak kaget dan
langsung surut tiga tindak ke belakang. Air mukanya
berubah dengan sepasang mata terpentang lebar lebih
garang menatap tak berkedip pada Mata Malaikat yang
masih berdiri tegak. Meski tak kurang suatu apa, teta-pi akibat benturan tadi
membuatnya cukup sadar ka-
lau lawan memiliki tenaga dalam tinggi. Terutama bila teringat kalau lawan bisa
saja bergerak kembali dengan menghantamkan tongkat di tangan nya. Resi Wa-
jah Dewa merasa diejek karena orang berbaju hijau
penuh tambalan itu tak segera melancarkan serangan
susulan. Terutama ketika dilihatnya bibir Ratu Api me-
nyunggingkan senyuman ejekan. Tak mau mengalami
malu lebih lama, dia sudah melompat dengan mengi-
rimkan tendangan lurus berkekuatan tenaga dalam
tinggi. Mata Malaikat hanya menelengkan kepala, tan-da dia sedang
memperhitungkan kekuatan serangan
lawan. Dan tiba-tiba saja orang tua ini melompat ke
belakang seraya menggerakkan tongkat putihnya.
Wuuutttt!! Resi Wajah Dewa memekik tertahan dan lang-
sung mencelat ke atas. Jotosan tangan nya dilepaskan.
Trak! Jotosannya itu dipapaki dengan tongkat yang
diayunkan kembali oleh Mata Malaikat. Terlihat Mata
Malaikat terjajar ke belakang dua tindak dengan tubuh gemetar. Sementara Resi
Wajah Dewa telah hinggap
kembali di tanah dengan kedua kaki dipentangkan.
Tak mau membuang waktu, selagi tubuh Mata
Malaikat bergetar, Resi Wajah Dewa sudah mencelat
lagi ke muka. Terlihat cahaya terang berpendar sekejap dari kedua tangan orang
berpakaian resi ini. Kejap
lainnya, menghampar angin berkekuatan tinggi disertai suara bergemuruh ke arah
Mata Malaikat. Mendapati lawan siap memusnahkannya, Mata
Malaikat kembali menggerakkan kedua tangan ke mu-
ka dengan cara mendorong dan bersamaan dengan itu
mengibaskan tongkatnya pula.
Gelombang angin yang lebih dahsyat pun mele-
sat dari kedua tangan Mata Malaikat dan berbenturan
dengan serangan Resi Wajah Dewa.
Blaam! Blaaamm!
Bertemunya dua pukulan sakti itu menyebab-
kan tempat itu sejenak bagai bergetar. Semak belukar seketika tercabut. Dedaunan
mengering dan tanah di
hadapan mereka muncrat satu tombak. Menyusul ter-
dengar suara 'trak' yang cukup keras. Ketika semua-
nya sirap, terlihat Mata Malaikat mundur dua tindak
sambil memegang dadanya. Tubuhnya bergetar cukup
hebat. Sementara di seberang, satu sosok tubuh ber-
guling ke belakang dengan teriakan yang keras. Sosok tubuh Resi Wajah Dewa yang
meraung sambil memegang kaki kirinya yang patah. Sorban yang dikenakan-
nya terlepas. Dan memperlihatkan bagian tengah kepa-
la Resi Wajah Dewa yang ternyata botak!
Rupanya, kaki kiri orang berpakaian resi itu
terhantam pukulan tongkat putih Mata Malaikat yang
seketika meremukkan tulang kakinya.
Dan tiba-tiba saja terdengar satu teriakan dah-
syat disertai hawa panas dan gulungan api yang men-
dadak muncul ke arah Mata Malaikat.
"Aku tak punya urusan denganmu! Tetapi, sia-
pa pun yang mencelakakan kekasihku harus berhadap
andengan ku!!"
*** Bab 2 Wuussss! Hawa panas dengan api yang bergulung dah-
syat itu membuat Mata Malaikat menegakkan kepala.
Untuk memapaki serangan yang tiba-tiba datang itu
jelas tak mungkin. Jalan satu-satunya adalah meng-
hindar. Akibatnya, api yang bergulung-gulung itu me-
nerkam semak belukar dan sebuah pohon yang lang-
sung terbakar. Rupanya, melihat Resi Wajah Dewa di-
buat tak berdaya, Ratu Api tak mau tinggal diam. Pe-
rempuan berpakaian jingga terbelah hingga pangkal
paha itulah yang melepaskan serangan.
Lalu dengan kegeraman yang semakin kentara,
Ratu Api kembali melepaskan pukulan 'Api Jahanam'-
nya yang dahsyat mengerikan. Mata Malaikat lagi-lagi menghindar dengan cara
melompat. Dalam dua tarikan
napas saja, tempat itu sudah dipenuhi kobaran api
dan hawa panas yang menyengat.
"Hebat!" desis Mata Malaikat dalam hati dan segera mengalirkan tenaga dalamnya
guna menahan getaran yang terjadi akibat berbenturan dengan Resi
Wajah Dewa tadi.
Sementara itu, Resi Wajah Dewa sambil mena-
han rasa sakit yang tak terkira, menotok urat yang ada di pangkal paha kirinya.
Lalu mengalirkan tenaga dalamnya. Kendati rasa sakit akibat remuknya kaki kiri
itu agak menghilang, namun wajah dan urat
lehernya masih menegang tanda dia menahan sakit.
Kepalanya di tolehkan dengan kedua mata lebih lebar.
Tajam menusuk. "Keparat! Pantas kalau adikku tewas di tangan-
nya. Kesaktiannya lumayan tinggi," batin orang ini yang mendadak menjadi kecut.
Namun keberaniannya
timbul kembali tatkala melihat bagaimana Ratu Api berusaha mendesak Mata
Malaikat. Segera di alirkan te-
naga dalamnya lagi dan perlahan-lahan rasa sakitnya
benar-benar lenyap.
Saat dia berdiri, tubuhnya kelihatan agak lim-
bung dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan. Karena memiliki tenaga dalam yang
tinggi, orang berpakaian
resi ini bisa berdiri tegak satu kaki. Kembali dilihatnya bagaimana Ratu Api
sedang mendesak Mata Malaikat
dengan mempergunakan api-apinya.
Api bertambah besar berkobar, dengan hawa
panas yang semakin menyengat. Tubuh masing-
masing orang seperti membayang. Mata Malaikat se-
lain berusaha membalas, juga berusaha memadamkan
api-api yang membakar apa saja.
"Rasanya, terpaksa aku harus mencabut nyawa
lagi. Padahal aku bermaksud hanya memberi pelajaran
pada mereka saja," gumamnya dengan perasaan tak menentu.
Memutuskan demikian, seraya menghindari se-
rangan bertubi-tubi yang dilancarkan perempuan ber-
pakaian merah terbelah hingga pangkal paha. Mata
Malaikat memutar tongkatnya seperti baling-baling.
Saat itu pula terjadi pusaran angin dingin yang sangat besar disertai percikan
sinar putih yang berpendar.
Suasana di tempat itu mendadak bagai digem-
pur oleh badai berkekuatan tinggi. Sebagian angin
yang datang memadamkan api yang berkobar dan se-
bagian lagi menderu ke arah Ratu Api yang langsung
mencelat ke samping. Tiga batang pohon tercabut, terlempar dan menimbulkan suara
berdebam keras. Dan
dari arah samping, sambil menggeram hebat, perem-
puan berpakaian merah itu kembali mendorong kedua
tangannya. Gulungan api menderu cepat dan bersa-
maan dengan itu, Mata Malaikat mengubah arah puta-
ran baling-balingnya.
Wuussshh! Api yang bergulung-gulung itu seketika padam.
Rupanya kali ini orang yang selalu memejamkan kedua
matanya memang tak mau bertindak ayal. Masih
menggerakkan tongkat putihnya hingga menimbulkan
hamparan angin kuat, tubuhnya mencelat ke depan
dengan pencalan satu kaki.
Ratu Api terpekik tertahan mendapati serangan
itu. Dia berusaha untuk menghindari serangan lawan.
Namun karena harus menghindar sementara angin
kuat itu masih berputar ke arahnya, tubuhnya menja-
di limbung terdorong desakan putaran angin dan,
Buuukkk! Dadanya tepat terkena jotosan Mata Malaikat.
Bila saja Ratu Api tidak menggulingkan tubuh, tak ay-al lagi kepalanya akan
terkepruk pecah karena Mata
Malaikat telah mengayunkan tongkatnya.
Wuuuttt! Kali ini Ratu Api menjadi kecut. Diam-diam dia
membatin resah sambil mengatur napas, "Sungguh di luar dugaanku kesaktian yang
dimiliki orang ini. Pukulan sakti 'Api Jahanam' yang ku pergunakan tak mem-
bawa arti sama sekali. Bahkan dia berhasil mengata-
sinya." Dan mendadak saja Ratu Api yang telah menjadi pias menolehkan kepala ke
arah kanan tatkala men
dengar suara bentakan keras dan tubuh yang berkele-
bat ke arah Mata Malaikat.
"Tahaaaannn!!" pekiknya keras.
Tubuh berkelebat cepat yang tak lain adalah
Resi Wajah Dewa tak bisa dihentikan. Rupanya, lelaki yang sudah merasa pulih
dari kesakitan yang sempat
menyiksanya, telah mengerahkan segenap sisa-sisa te-
naganya untuk menggempur Mata Malaikat. Dan dia
merasa yakin serangannya akan mengenai sasaran ka-
rena saat ini dilihatnya Mata Malaikat sedang berdiri tegak sambil mengatur
napas. Namun di luar dugaannya, orang tua yang sela-
lu memejamkan kedua matanya ini mengangkat kepa-
lanya. Bersamaan dengan itu, tongkatnya dikibaskan.
Wuuuut! Sinar putih yang sangat terang keluar bersa-
maan hamparan angin. Resi Wajah Dewa tak peduli.
Dia terus menerobos sambil menambah tenaganya.
Yang dilakukannya itu memang berhasil. Namun....
Satu jotosan yang dilepaskan Mata Malaikat
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, telah
menghantam telak dadanya. Menyusul satu tendangan
menghantam keras pinggangnya.
Krak! Terdengar suara berderak bersamaan tubuh
Resi Wajah Dewa ambruk. Rupanya, tulang iga orang
berpakaian resi itu patah tiga buah. Dan di dadanya
terlihat mengepulkan asap putih akibat pukulan yang dilepaskan Mata Malaikat.
Ratu Api berteriak menggelegar sambil melom-
pat ke arah Resi Wajah Dewa yang tergeletak. Dengan
perasaan cemas, marah, dan galau tak menentu, diba-
likkannya tubuh orang itu. Dilihatnya wajah orang
berbaju resi ini memucat. Darah mengalir dari bibir
dan hidungnya. "Resi!!"
Hanya seruan itu yang terlontar karena detik
lain disadarinya kalau orang di hadapannya telah te-
was. Menyadari hal itu, perempuan berbaju merah
menggeram setinggi langit dengan kedua tangan ter-
kepal. Dari tubuhnya seperti keluar api berkobar.
Mata Malaikat membatin, "Terpaksa hal ini ku-
lakukan padahal aku tak menginginkannya."
Lalu didengarnya suara Ratu Api yang mengge-
ram dengan mala terbeliak penuh kemarahan.
"Mata Malaikat! Urusan telah jadi panjang se-
karang! Kau tak akan pernah lepas dari tanganku!!"
Habis kata-katanya, tangan kirinya digerakkan ke arah mayat Resi Wajah Dewa.
Wirrr! Seketika mayat itu terbakar dan menimbulkan
bau sangit yang sangat keras. Usai membakar mayat
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Wajah Dewa, Ratu Api meninggalkan tempat itu
setelah sekali lagi mengumbar ancaman. Dendam telah
terpatri di hadapannya. Sekian tahun tak berjumpa
dengan kekasihnya, Resi Wajah Dewa, namun sekali
berjumpa dia harus menyaksikan kematian kekasih-
nya itu. Perempuan berpakaian merah ini berjanji pada dirinya untuk mencabut
nyawa Mata Malaikat. Namun
untuk saat ini, dia merasa lebih baik meninggalkan
tempat itu karena merasa tak mampu untuk menja-
lankan keinginannya. Dengan membakar mayat Resi
Wajah Dewa, itulah cara satu-satunya bagi Ratu Api
untuk melupakan wajah pias dan tubuh penuh luka
Resi Wajah Dewa yang telah menjadi mayat.
Mata Malaikat mendesah pendek, "Urusanku
menjadi bertambah! Tetapi niatku untuk melacak jejak Hantu Seribu Tangan tetap
akan kulakukan walau ba-gaimanapun susahnya."
Memutuskan demikian, setelah beberapa saat
berlalu, orang tua berpakaian hijau penuh tambalan,
yang selalu memejamkan kedua matanya, segera me-
langkah meninggalkan tempat itu.
*** Tiga kali waktu penanakan nasi telah berlalu.
Tempat itu telah diselimuti kegelapan malam. Gumpa-
lan awan hitam di angkasa berarak, bergerak perlahan dan menghalangi indahnya
sinar rembulan. Satu rombongan tiba di tempat itu. Seorang lelaki berpakaian
keraton mengangkat tangan kanannya, memberi tanda
agar rombongan berhenti di sana. Rombongan yang
terdiri dari sepuluh orang lelaki gagah dan sebuah
tandu yang digotong oleh empat orang dari sepuluh lelaki itu berhenti. Tandu
yang dibalut kain warna kuning cemerlang diletakkan dengan sangat hati-hati di
tanah. Lelaki gagah berpakaian keraton dengan sebi-
lah keris terselip di angkin besar yang melilit di pinggangnya memperhatikan
sekitarnya. Cuping hidung-
nya bergerak-gerak dan dia membatin, "Hmmm. Ku
cium bau busuk seperti daging terbakar. Bau sangit ini sangat tak mengenakan.
Sebaiknya ku lacak dulu daging apa yang terbakar dan mengeluarkan bau sangit
seperti ini." Lalu diperintahkannya pada yang lain untuk bersiaga. Di hadapan
tandu berbalut kain kuning
cemerlang itu, lelaki ini membungkuk. "Dewi.... Saya akan memeriksa dari mana
asalnya bau sangit yang
sangat menusuk ini. Apakah...."
"Tidak perlu, Gurat Cantika. Bau sangit itu be-
rasal dari tubuh seorang lelaki yang dibakar dengan
sengaja tetapi telah menjadi mayat," terdengar satu suara yang sangat merdu
sekali dari dalam tandu.
"Saya, Dewi," sahut orang yang bernama Gurat Cantika masih tetap membungkuk.
"Gurat Cantika. Tubuh yang terbakar itu ada-
lah Resi Wajah Dewa dan yang membakarnya adalah
kekasihnya sendiri si Ratu Api. Menurut perasaanku,
keduanya telah bertanding dengan Mata Malaikat.
Orang yang sampai hari ini masih kita cari jejaknya."
Apa yang dikatakan oleh orang di balik tandu
tak terlalu mengherankan lelaki berpakaian keraton.
Karena, dia tahu kesaktian orang di dalam tandu. Se-
belum dia berkata apa-apa, suara merdu itu terdengar kembali, "Gurat Cantika.
Rasanya, urusan kita akan
semakin panjang bila aku tak bergerak sendiri. Kini, kutugaskan padamu untuk
memimpin yang lainnya.
Aku akan menyelidik seorang diri."
"Dewi...." Gurat Cantika hendak membantah tetapi urung karena suara merdu itu
telah terdengar
kembali, "Selama ini, kalian para Penyamun Lembah Ma-
ti, telah setia menjadi pengikut ku. Kurasa, tiba saatnya kalian kuberikan
kebebasan untuk melangkah dan
bertindak sendiri."
"Dewi. Selama ini kami semua tak merasa teri-
kat dan tertimpa beban. Kami selalu menjunjung tinggi kesetiaan pada Dewi."
"Terima kasih. Tetapi, jejak orang yang kucari
telah kutemukan. Bahkan, seperti kita ketahui bersa-
ma, saat ini banyak orang-orang rimba persilatan tengah meributkan persoalan
Keranda Maut Perenggut
Nyawa dan Hantu Seribu Tangan. Aku juga tertarik
dengan urusan itu. Tetapi, urusanku dengan Mata Ma-
laikat yang harus ku dahulukan, Gurat. Tiba saatnya kita berpisah. Kebebasan
akan kalian dapatkan."
"Tetapi, Dewi...," seruan itu terdengar dari mulut sembilan lelaki lainnya
sambil bersikap membung-
kuk seperti yang dilakukan oleh Gurat Cantika. Salah seorang meneruskan, "Dewi,
kehidupan kami selama menjadi Penyamun Lembah Mati selalu dikejar oleh
orang-orang golongan lurus. Dan berkat bantuan Dewi
kami bisa hidup sampai hari ini. Bahkan, kami ber-
tambah maju setelah dipimpin oleh Dewi."
"Aku tak bisa memungkiri soal itu. Tetapi, aku
tetap memberikan kebebasan kepada kalian."
Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja
kain kuning yang menyelimuti tandu terkuak. Lalu me-
lesat satu sosok tubuh berpakaian kuning dari sana.
Lesatan itu sangat sukar diikuti oleh mata, karena
hanya terlihat sekejap. Tetapi yang berada disana bukan hanya membungkukkan
tubuh, melainkan bersu-
jud. "Kalian telah kubebaskan!!" terdengar seruan itu dari kejauhan.
Selang beberapa saat berlalu, Gurat Cantika
perlahan-lahan berdiri. Diusap wajahnya yang dipenu-
hi bulu. Lalu terdengar tarikan nafasnya perlahan.
"Bila memang kau menghendaki seperti itu De-
wi, kami tak bisa berbuat lain," bisiknya lirih. Lalu pa-da teman-temannya dia
berkata, "Kita tak bisa berbuat banyak. Selama ini Dewi mengajarkan kita cara-
cara melakukan tindakan yang kita inginkan. Kita akan
kembali ke Lembah Mati dan melakukan pembegalan
seperti biasa."
Tetapi sebelum orang-orang itu beranjak dari
sana, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras yang me-nyayat hati. Menyusul satu
sosok tubuh rubuh dengan
dada sobek. Dan seketika tubuhnya bersimbah darah.
Gurat Cantika tersentak dengan kedua mata lebih le-
bar. Dilihatnya pula tiga orang temannya mati dengan luka yang menganga lebar di
dada. Segera saja lelaki ini mencabut keris yang terse-
lip di belakang angkinnya dan memberi isyarat pada
lima orang temannya yang masih hidup agar bersiaga.
"Manusia pembokong keparat! Tampakkan mu-
ka biar kematian kau terima!!" bentaknya menggelegar.
Jeritan kembali terdengar keras dan dalam
waktu yang hanya beberapa kali kejapan mata saja,
hanya tinggal dirinya sendiri di tempat itu.
Dari rasa marah yang menggelegak tadi, diam-
diam orang ini menjadi kecut tak karuan. Wajahnya
pias dengan keringat yang mengaliri sekujur tubuhnya.
"Celaka! Siapa orang yang menurunkan tangan
telengas ini" Bila saja Dewi masih berada di sini, uru-
san tak akan menjadi mengerikan seperti sekarang!!"
batin Gurat Cantika dengan mata diedarkan ke sana
kemari. Tiba-tiba saja terdengar seruannya yang berna-da gembira ketika
dilihatnya satu sosok tubuh berpa-
kaian warna kuning panjang muncul dan berdiri berja-
rak tiga tombak dari hadapannya.
"Dewi!!"
Orang yang baru muncul itu adalah orang yang
berada di balik tandu berbalut kain kuning tadi. Tu-
buh orang ini tinggi semampai. Pakaian warna kuning
panjang yang dikenakannya sangat cemerlang. Dari
wujudnya yang sempurna dengan rambut hitam terge-
rai, hanya wajahnya yang tak bisa dilukiskan. Karena, perempuan ini mengenakan
topeng berwarna perak,
terbuka pada bagian mulut yang memperlihatkan se-
pasang bibir tipis tersaput gincu merah.
"Gurat. Ada apa ini?" seru orang di balik topeng perak itu.
"Dewi junjungan. Saya tak tahu apa yang terja-
di. Tahu-tahu teman-teman telah mati dengan cara
yang mengerikan."
"Jahanam! Ini tantangan buat Dewi Topeng Pe-
rak!" menggeram perempuan berbaju kuning. "Gurat!
Selidiki tempat ini!!"
Karena bersama Dewi Topeng Perak, Gurat
Cantika merasa lebih aman sekarang. Dia berkelebat
ke samping, tetapi mendadak saja tubuhnya terguling
dengan teriakan tertahan. Dirasakannya satu desiran
angin kuat menghantam kedua kakinya hingga ter-
sungkur. Begitu diangkat tubuhnya, dilihatnya perem-
puan bertopeng perak telah beradu di dekatnya.
"Dewi!!" seperti tersekat di tenggorokan suara Gurat Cantika. Kedua matanya
dipentangkan ke depan, menatap Dewi Topeng Perak dengan perasaan tak
menentu. Diliriknya ke sekelilingnya, lalu kembali dialihkan pandangan pada
perempuan di hadapannya.
Kejap lain, tiba-tiba saja satu pikiran singgah di benaknya. Dan tanpa sadar dia
surut ke belakang den-
gan wajah pias. Tangannya menuding bergetar pada
perempuan bertopeng perak. "Kau.... Kau yang membunuh mereka, Dewi...."
Terdengar suara desisan sinis. Sepasang mata
di balik topeng perak itu mendelik.
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu tadi,
kalau kau dan teman-temanmu akan mendapatkan
kebebasan" Dan jalan kebebasan sudah kutunjukkan,
bukan?" Gurat Cantika semakin tak menentu perasaan-
nya. Diperhatikannya teman-temannya yang bergeleta-
kan menjadi mayat dengan luka lebar di dada. Detik
berikutnya, dia sudah melesat ke depan dengan keris
dihunus diiringi teriakan menggelegar.
Perempuan bertopeng perak hanya mengelua-
rkan desisan saja. Lalu tanpa bergerak dari tempatnya, tangannya mengayun,
mendahului terjangan keris di
tangan Gurat Cantika.
Prak!! Tangannya tepat menghajar kepala Gurat Can-
tika yang seketika ambruk setelah mengeluarkan pekik kesakitan. Kepalanya pecah
dan mengalirkan darah
kental bercampur cairan putih.
"Hhhh! Aku sudah tak lagi membutuhkan ka-
lian! Selama ini, kalian kubiarkan hidup karena aku
memerlukan penyamaran dari kehadiranku kembali ke
dunia ramai ini. Dengan mengenakan pakaian orang-
orang keraton yang telah kubunuh, kehadiranku kem-
bali cukup berhasil selama ini, karena banyak yang
menduga kalau orang keratonlah yang berada di dalam
tandu. Kalaupun kebetulan ada yang memaksa, mere-
ka akhirnya mengenalku dengan julukan Dewi Topeng
Perak," desis perempuan bertopeng perak ini dingin.
Lalu lanjutnya dengan geraman yang keras, "Mata Malaikat! Sekian lama kucari,
kau harus membayar selu-
ruh hutangmu dengan nyawa tuamu! Sayangnya, aku
terlambat datang ke sini. Ketika tiba tadi, sebenarnya aku sudah mencium bau
sangit yang berasal dari sesuatu yang terbakar dari kejauhan. Dengan memper-
gunakan ilmu 'Pengulang Kejadian' aku bisa mengeta-
hui apa yang terjadi. Resi Wajah Dewa dan Ratu Api telah berjumpa dengan Mata
Malaikat. Sayangnya, Resi
Wajah Dewa harus mampus! Keparat!!"
Sepasang mata tajam di balik topeng perak itu
di edarkan ke seantero tempat. Tajam, menusuk, dan
mengerikan. "Sukar bagiku mengira-ngira ke mana perginya
Mata Malaikat. Kendati demikian, aku tak akan pernah melepaskannya!!"
Habis kata-katanya, tangan kanan perempuan
ini bergerak ke arah tandu.
Wuusss! Seketika menghampar angin keras yang mener-
bangkan tandu berbalut kain kuning. Jatuh berjarak
dua puluh tombak dari tempatnya dan seketika han-
cur berantakan.
Kejap lain, perempuan kejam berjuluk Dewi To-
peng Perak berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan begitu saja sepuluh sosok mayat dalam
keadaan terluka yang mengerikan.
*** Bab 3 Jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak
belukar, diselimuti kabut pagi. Udara berhembus me-
nusuk. Di ufuk timur, nampak sang fajar mulai mem-
biaskan cahayanya. Di kejauhan terdengar kokok
ayam jantan bersahutan. Seperti hendak mengabarkan
pada alam, kalau mereka telah melakukan tugas den-
gan baik. Belum lagi embun mengering, belum lagi bu-
rung-burung beterbangan, tempat yang sepi itu sudah
dipecahkan dengan satu suara, "Bagaimana kalau kita berhenti dulu di sini"!"
Tak berapa lama kemudian, muncul tiga sosok
tubuh dari jalan setapak yang dipenuhi rerumputan.
Masing-masing orang menghentikan langkah dan men-
gedarkan pandangan ke seantero tempat.
Pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih
dengan wajah tampan bertanya pada pemuda berpa-
kaian warna keemasan dengan sebilah pedang berwar-
na yang sama di punggungnya, "Tirta.... Bila memang kita memutuskan untuk
beristirahat di sini sebelum
meneruskan perjalanan, sebaiknya aku mencari bu-
rung atau ayam hutan sebagai pengisi perut."
Pemuda berbaju keemasan yang tadi menyuruh
berhenti, nyengir. Rambutnya gondrong acak-acakan.
Di keningnya terdapat ikat pinggang berwarna keema-
san. "Wah! Kau baik sekali, ya" Aku tidak menyuruh lho," sahutnya sambil membuka
kedua tangannya.
Pemuda berbaju putih bersih yang tak lain ada-
lah Cakra alias Pendekar Judi menyahut, "Dan kau beruntung bukan mempunyai
sahabat sepertiku ini" Te-
tapi ingat, Tirta! Jangan mentang-mentang kau ku
tinggal berdua bersama gadis itu, kau akan berbuat
macam-macam!"
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si pemuda tergelak-gelak.
"Kalaupun kubuat, paling cuma satu macam.
Bagaimana, Dewi?" sahutnya yang tak lain si Rajawali Emas adanya pada gadis
berbaju merah muda yang di
keningnya terdapat untaian kalung dan tepat di tengah keningnya sebuah berlian
bertengger. Gadis yang tak lain Dewi Berlian cuma men-
dengus dengan kedua mata melotot. Sejak perjalanan
mereka dari sebuah dusun di mana Pendekar Judi
memenangkan permainan judi, dia selalu digoda oleh
dua pemuda yang rada-rada gendeng itu. Kendati su-
dah merasa mulai kebal mendengar setiap godaan, te-
tapi tak urung wajah murid Dewi Bulan ini memerah.
Pemuda yang di kedua lengan kanan dan ki-
rinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna kee-
masan mengangkat tangannya pada Pendekar Judi.
Tuh! Kau lihat sendiri, bukan" Dengusannya
tadi menandakan dia mau!! Dan kau perlu ingat, jan-
gan iri dengan keberuntungan ku ini!"
Dan sebelum Pendekar Judi membalas seloro-
han Rajawali Emas, Dewi Berlian sudah melesat me-
ninggalkan dengan mulut cemberut. Baginya lebih baik memang menghindari kedua
pemuda tadi untuk sementara. Toh dia juga mau beristirahat pula.
Sepeninggal Dewi Berlian, Rajawali Emas ber-
kata, "Jelas sekarang bukan, kalau gadis itu hendak mencari tempat yang sepi
dulu?" Pendekar Judi terbahak-bahak keras. Lalu me-
lesat menjalankan maksudnya tadi. Tinggal si Rajawali Emas sendirian. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat. Lalu dibawa langkahnya ke sebatang po-
hon. Direbahkan tubuhnya di bawah pohon itu.
"Aku yakin, sosok yang kulihat membuntuti
pasti akan tiba di sini pula. Sebenarnya, aku tak mau berhenti. Tetapi, aku
penasaran siapa orang yang sejak di hutan sebelah timur sana masih membuntuti.
Jadi sengaja ku usulkan untuk beristirahat. Untung Dewi
Berlian pergi entah ke mana dan Pendekar Judi men-
cari burung atau ayam untuk dipanggang," desis pemuda dari Gunung Rajawali itu.
Lalu sambungnya,
"Tepat dugaanku. Kulihat tadi bayangan biru berkelebat ke balik semak. Hmm...
Siapa dia sebenarnya dan
mau apa?" Sosok perempuan muda berbaju biru yang ber-
sembunyi di balik semak, mementangkan kedua ma-
tanya yang bulat dan tajam. Rambutnya yang panjang
bergerak dipermainkan angin pagi.
"Aneh. Mengapa hanya tinggal pemuda berjuluk
Rajawali Emas itu saja" Ke mana perginya gadis berjuluk Dewi Berlian dan pemuda
berbaju putih berjuluk
Pendekar Judi?" gadis berbaju biru ketat itu membatin sambil mengedarkan
pandangannya ke sana-sini.
Seperti diketahui, tatkala Tirta dan Dewi Ber-
lian keluar dari kedai di mana mereka mengisi perut, gadis berbaju biru ketat
itu muncul. Langkahnya terhenti tatkala mendengar pembicaraan Rajawali Emas
dengan Dewi Berlian. Rajawali Emas bermaksud untuk
mengetahui siapa pemuda berbaju putih yang akhir-
nya diketahui berjuluk Pendekar Judi yang dengan te-
naga dalamnya mempermainkan seorang lelaki berna-
ma Ki Gombel. Tetapi, Dewi Berlian yang tak menyukai perjudian menolak dan
bermaksud untuk meneruskan
mencari Mata Malaikat. Namun ketika mendengar ala-
san Tirta, Dewi Berlian akhirnya mengikuti pula. Se-
mentara gadis berbaju biru ketat yang sudah masuk
ke dalam kedai keluar lagi. Tatkala perkenalan antara Rajawali Emas, Dewi
berlian, dan Pendekar Judi terjadi, gadis berbaju ketat itu pun mencuri dengar.
Begitu pula tatkala Rajawali Emas memanggil Bwana, burung
rajawali yang besarnya empat kali gajah dewasa itu,
dan diperintahkannya burung raksasa itu untuk mela-
cak Goa Seratus Laknat. (Untuk jelasnya baca: "Keranda Maut Perenggut Nyawa").
Ketika memutuskan untuk meneruskan perja-
lanan, Rajawali Emas sebenarnya diam-diam sudah
mengetahui ada seseorang yang mengikutinya. Dan ta-
di pun dia masih melihat bayangan biru ketat mengi-
kuti mereka. Makanya, dia memutuskan untuk ber-
henti dulu padahal bermaksud hendak mengetahui
siapa orang yang membuntutinya.
"Hmm.... Bila melihat gerakannya jelas dia bu-
kan orang sembarangan. Dan dari sosoknya yang tak
terlalu besar, aku yakin dia seorang gadis. Siapa dia"
Dan mau apa?" desis Tirta dalam hati dan diam-diam membuka sedikit matanya ke
arah semak belukar di
mana gadis berbaju biru ketat berada. "Gadis itu masih berada di sana. Sekilas
kulihat wajahnya yang jelita."
Sementara si gadis mendesis, "Aku tak suka
urusan membuntuti orang sebenarnya! Ingin ku ke-
pruk saja kepala pemuda ini sekarang! Tetapi, berita tentang di mana Mata
Malaikat berada belum kuda-patkan sekarang!! Sampai saat ini, aku tidak tahu
mengapa Guru menugaskanku untuk mencari dan
membunuh Mata Malaikat. Entah ada persoalan apa
antara Guru dengan orang berjuluk Mata Malaikat. Le-
bih baik aku.... Hei!! Di mana pemuda berbaju keema-
san itu berada?"
Sepasang mata gadis berbaju biru ketat itu me-
lebar dan menatap tak percaya karena orang yang se-
jak tadi di intipnya tak ada lagi di tempat.
Selagi si gadis terbengong dengan perasaan tak
menentu, didengarnya satu suara dari sebuah dahan
pohon, "Wah! Begitu penasaran sekali ingin melihat wajahku rupanya, ya"
Sebenarnya mau ke mana,
Neng?" Si gadis cepat mengangkat kepala. Kalau tadi ke dua matanya membiaskan
keheranan, kali ini memancarkan kemarahan tinggi. Dilihatnya pemuda ber-
baju keemasan sedang bertengger di sebuah dahan
pohon sambil menggigit-gigit sebatang rumput.
"Hai, Pemuda!! Aku tak banyak cakap! Katakan,
di mana Mata Malaikat berada"!"
Kendati terkejut mendapati pertanyaan orang,
Tirta tersenyum-senyum sendiri.
"Tak ada untungnya bila aku menipu gadis se-
cantik kau! Tetapi sayangnya, yang kau tanya barusan aku tidak tahu sama
sekali!" Paras gadis berbaju biru ketat itu berubah.
"Ku ingatkan! Kesabaranku ada batasnya! Jan-
gan menjawab bertele-tele atau kau tak akan pernah
bertemu dengan kedua temanmu lagi!"
"Kalaupun aku tak bisa bertemu dengan mere-
ka, bukankah ada kau yang menemaniku?"
Si gadis menggeram. Nampak jelas dia berusa-
ha menindih gejolak amarah di dadanya. Rahangnya
dikatupkan rapat-rapat. Perlahan si gadis maju satu
langkah. "Aku, Dewi Kembang Maut, tak akan mundur
bila belum mendapat jawaban!!"
"Wah! Jadi julukanmu itu Dewi Kembang
Maut" Wiiihhh! Seram sekali, ya?" sahut Rajawali Emas masih tersenyum-senyum.
"Jadi.... Kau susah payah membuntuti aku dan kedua temanku tadi cuma
untuk memperkenalkan nama" Kalau itu sih, mengapa
harus pakai sembunyi segala" Kuterima perkenalan
mu dengan baik!!"
"Rupanya kau termasuk salah seorang dungu
yang tak mendengar ucapan orang! Akan kubuat kau
berkata dengan jujur!!" Si gadis membentak keras.
Kejap lain, kedua tangannya digerakkan ke de-
pan, melepaskan satu pukulan ke arah Tirta.
*** Hamparan angin terdengar menderu luar biasa
kerasnya. Merasa lawan adalah bukan orang biasa, si
gadis mempergunakan setengah tenaganya.
Di dahan pohon, melihat ganasnya serangan si
gadis, pemuda dari Gunung Rajawali segera mengang-
kat kedua tangannya pula.
Wuuuus!! Wuuussss!!
Dua rangkum angin keras menderu.
Blaammm!! Terdengar ledakan yang keras tatkala dua se-
rangan itu bentrok di udara. Si gadis yang mengaku
berjuluk Dewi Kembang Maut, terlihat surut tiga tom-
bak. Kedua tangannya dirasakan nyeri sekali. Semen-
tara itu, si Rajawali Emas memutar tubuh tatkala dirasakan angin menderu ke
arahnya. Prak! Dahan pohon yang didudukinya pecah beran-
takan dan sebagian batang pohon itu sempal.
"Hebat! Meskipun angin pukulannya tadi terha-
lang, namun sisa-sisanya masih bisa menghantam da-
han yang ku duduki," batin Tirta dalam hati, yang sudah duduk di dahan pohon
lain. Dewi Kembang Maut memandang tak berkedip
mendapati lawannya sudah pindah ke pohon lain.
"Keparat betul! Pemuda ini jelas bukan orang
sembarangan! Bagiku, dialah satu-satunya orang yang
bisa memberikan petunjuk kepadaku tentang Mata
Malaikat!" geramnya dalam hati. Setelah mengalirkan
tenaga dalamnya guna menghilangkan rasa nyeri pada
kedua lengan, si gadis membentak seraya melipatgan-
dakan tenaga dalamnya, "Urusan memang harus diselesaikan! Katakan, di mana Mata
Malaikat berada"!"
"Wah! Kau ini penasaran sekali, ya" Kan tadi
sudah kukatakan kalau aku.... Heiiittt!!"
Tirta menghentikan ucapannya dan langsung
melesat meninggalkan dahan pohon yang didudukinya
tatkala si gadis sudah mencelat ke depan seraya men-
dorong kedua tangannya.
Wuuuuttt! Praaakkk! Kembali dahan yang diduduki Tirta tadi lang-
sung pecah berantakan, sementara sebagian batang
pohon itu menjadi sempal dan sebagian daun pohon
itu berguguran. Bersamaan dengan itu, Dewi Kembang
Maut membalikkan tubuh. Dan menyusulkan satu se-
rangan berikutnya pada Tirta.
Tirta cepat melompat ke kiri. Dan....
Blaaarrr!! Semak belukar yang ada di belakangnya terca-
but hingga ke akar dan beterbangan entah ke mana.
Kali ini Tirta cukup tercekat mendapati serangan yang lebih mengerikan dari yang
pertama. "Edan! Gadis ini jelas tidak main-main! Aku in-
gin tahu mengapa dia begitu penasaran untuk menge-
tahui tentang Mata Malaikat sebenarnya"!" maki Tirta dalam hati. Lalu membuang
rumput yang tadi digigit-nya. Bersamaan Dewi Kembang Maut menderu
kembali, Tirta menekan perutnya sejenak. Sesuatu
bergejolak di sana. Tenaga surya yang berasal dari
Rumput Selaksa Surya yang dihisapnya tak sengaja,
yang berpusat di pusar bergolak. Lalu....
Wuusss!! Segera didorong kedua tangannya ke muka.
Hawa panas seketika menjelma dan udara yang dingin
mendadak berubah.
Blaaam! Blaaammm!
Kembali terdengar ledakan yang hebat akibat
benturan dua pukulan tadi. Tanah di mana terjadi
benturan itu muncrat setinggi tiga tombak. Semak be-
lukar langsung mengering dan menghitam. Tatkala
semuanya sirap, terlihat Dewi Kembang Maut surut
lima tombak ke belakang. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah segar yang segera dihapus dengan
punggung tangannya. Sementara Rajawali Emas mun-
dur dua tindak dengan tubuh bergetar.
Dewi Kembang Maut segera menggerakkan ke
dua tangannya ke atas dan ke bawah. Rupanya dia
hendak memulihkan keadaan dirinya. Kejap lain, dia
sudah melesat kembali.
Kali ini, Tirta hanya menghindar memperguna-
kan ilmu peringan tubuh yang dipadu dengan tenaga
surya yang bisa membuat tubuhnya seringan kapas.
Dalam perhitungannya, bila dia menurunkan tangan,
maka kemungkinan besar gadis ini bisa celaka. Bagi
nya, gadis ini bukanlah seorang musuh yang
harus diberi pelajaran.
Berkali-kali suara ledakan keras terjadi. Namun
bukan karena benturan pukulan. Melainkan karena
serangan Dewi Kembang Maut yang tak mengenai sa-
sarannya dan menghantam pepohonan yang langsung
tumbang berdebam dan menerbangkan semak belukar.
Saat pertarungan terjadi, Pendekar Judi dan
Dewi Berlian muncul. Rupanya, kedua muda-mudi ini
mendengar suara ledakan berulang-ulang yang cukup
keras. Keduanya cukup keheranan mendapati Tirta
sedang bertarung dengan gadis berbaju biru ketat. Lebih keheranan lagi karena
sepertinya pemuda dari Gu-
nung Rajawali itu hanya menghindar sementara la-
wannya terus mencecar habis-habisan.
Dewi Kembang Maut yang mendapati dirinya
tak mampu menaklukkan pemuda di hadapannya,
menghentikan serangan. Wajahnya pias namun kedua
matanya memancarkan sinar kemarahan tinggi. Kerin-
gat sudah membasahi sekujur tubuhnya.
"Untuk kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi,
kau tak akan bisa melepaskan diri dariku!!" Habis ka-ta-katanya yang diucapkan
dengan nada dingin penuh
kejengkelan, si gadis melesat meninggalkan tempat itu dengan membawa rasa malu
bercampur marah yang
tinggi. Rajawali Emas melihat Dewi Berlian hendak
menyusul, segera ditahannya.
"Tak perlu dikejar! Dia bukan orang berba-
haya!" Dewi Berlian pun kembali berdiri tegak. Lalu terlontar pertanyaan dari
mulutnya, "Siapa gadis itu, Kang Tirta?"
Tirta menjelaskan apa yang terjadi. Sementara
itu, diam-diam Pendekar Judi membatin, "Hebat! Tirta mengetahui kalau gadis itu
telah membuntuti sejak
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama, tetapi aku sama sekali tak mengetahuinya." Lalu katanya seraya mengangkat
tangan kanannya yang
terdapat lima ekor burung yang berhasil ditangkapnya,
"Urusan sudah selesai. Bagaimana bila burung-burung ini ku panggang dulu?"
Tirta cuma mengangguk-angguk. Lalu melang-
kah ke sebuah batang pohon. Dicabutnya sebatang
rumput dan mulai digigit-gigitnya. Dari dahinya yang berkernyit berkali-kali
jelas sekali kalau pemuda dari Gunung Rajawali itu tengah memikirkan sesuatu.
Dia berkata dalam hati, "Kulihat urusan semakin berkem-bang jauh, tetapi aku belum
juga menemukan Goa Se-
ratus Laknat dan orang yang berjuluk Mata Malaikat.
Apa yang pernah dikatakan Pendekar Judi waktu itu
memang benar, kalau bisa jadi Mata Malaikat tidak ta-hu di mana Goa Seratus
Laknat tempat Hantu Seribu
Tangan berdiam berada. Tetapi kendati demikian, aku
tak perduli. Hmm.... Di mana pula saat ini Guru dan
Manusia Pemarah berada?"
Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya ter-
dapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan,
menarik napas pendek. Lalu melanjutkan kata-
katanya dalam hati, "Kupikir, tak mungkin aku bisa bersama Pendekar Judi dan
Dewi Berlian terus menerus. Aku harus bertindak sendiri biar semuanya lebih
jelas dan terbuka di mata. Baiklah, bila ada kesempatan, aku akan meninggalkan
keduanya."
Saat ini Pendekar Judi sudah menyalakan api
dan segera memanggang burung-burung yang tadi di
burunya sambil bersiul-siul. Dalam waktu singkat saja aroma sedap sudah
menggelitik indera penciuman.
Sementara itu, sesuatu mengusik perasaan
Dewi Berlian tatkala mendapati Tirta seperti memikirkan gadis berbaju biru ketat
tadi. Tetapi segera ditindih perasaan anehnya itu dengan berlagak membantu
Pendekar Judi memanggang.
*** Bab 4 Orang berpakaian coklat pekat agak gombrang
itu berkelebat laksana angin. Gerakannya sungguh
luar biasa. Wajahnya yang tertutup pupur putih yang
tak bisa dilukiskan bagaimana rupa orang ini, selalu memandang ke depan. Menatap
dua sosok tubuh di
muka yang bergerak sangat cepat.
"Keparat! Sampai kapan aku harus mengikuti
dua manusia sialan itu!!" maki orang berpupur putih dengan rambut digelung ke
atas dalam hati. Kendati
sudah berkelebat sekian lama, namun nafasnya masih
teratur dan tubuhnya tak basah oleh keringat sedikit pun. Mendadak saja orang
yang ternyata Sandang
Kutung ini menghentikan langkahnya. Dan langsung
berkelebat ke balik semak. Sepasang matanya tajam
memperhatikan dua sosok tubuh yang berhenti berja-
rak sepuluh tombak di hadapannya.
"Kenapa berhenti?" bentakan itu terdengar cukup keras, seperti menerabas tempat
sunyi yang di penuhi pepohonan. Saat ini senja mulai menukik dan
siap menjelma menjadi malam. "Apakah kau sudah
merasa lelah untuk adu kecepatan berlari, hah?"
Menyusul bentakan yang pertama tadi, satu
bentakan lain terdengar, tak kalah kerasnya, "Nenek jelek berkonde! Siapa yang
bilang aku hendak menga-du ilmu peringan tubuh denganmu" Sontoloyo! Kalau
ngomong, otak dipakai!!"
Nenek yang mengenakan pakaian batik kusam
dengan sebuah konde di kepalanya mendelik. Seketika
terdengar bentakannya lagi, "Kurang ajar! Ku beset mulutmu nanti!"
"Urusan membeset mulutku atau tidak, urusan
belakangan!" suara yang keras itu terdengar lagi. "Lalu apa maksudmu berhenti di
sini"!" Kakek berbaju putih dengan rambut diikat seperti ekor kuda mendengus.
Tanpa menghiraukan pertanyaan orang yang dikelua-
rkan dengan cara membentak tadi, kepalanya diedar-
kan. Sepasang matanya yang kelabu dan celong ke da-
lam itu memutari seantero tempat. Seperti menyelidik.
Si nenek yang tak lain Bidadari Hati Kejam
adanya, mendengus melihat sikap si kakek yang ter-
nyata Manusia pemarah.
Seperti diketahui, kedua orang tua yang sama-
sama mempunyai sifat keras kepala ini, kehilangan jejak si Rajawali Emas.
Sebenarnya, Rajawali Emas sen-
diri memang sengaja meninggalkan keduanya yang se-
lalu bertengkar terus menerus, untuk menyelidiki tentang Seribu Tangan yang
berdiam di Goa Seratus Lak-
nat dan bermaksud kembali lagi. Hanya karena hujan
deras dan mendengar suara orang bertarung, Rajawali
Emas akhirnya terpisah dan gagal menemukan di ma-
na Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah berada.
Kedua orang tua yang sebenarnya sama-sama mem-
punyai perasaan saling mengasihi, akhirnya memu-
tuskan untuk mencari Rajawali Emas. Dan tanpa se-
pengetahuan mereka, orang berbaju coklat gombrang
dengan wajah dipenuhi pupur putih mengikuti langkah
keduanya karena tertarik mendengar percakapan me-
reka tentang Hantu Seribu Tangan. Karena, Sandang
Kutung-pun sedang mencari Hantu Seribu Tangan pu-
la karena satu sebab. (Untuk lebih jelasnya silakan ba-ca: "Keranda Maut
Perenggut Nyawa").
"Urusan Hantu Seribu Tangan urusan belakan-
gan. Yang ada di dekat kita, adalah urusan yang baru,"
kata Manusia Pemarah tanpa menoleh pada Bidadari
Hati Kejam. Anehnya, kendati kata-kata itu tak bisa dicer-
nakan secara langsung, si nenek berkonde seperti
mengerti maksud orang.
"Kau betul, Orang Tua Pemarah! Urusan Hantu
Seribu Tangan urusan belakangan! Kalau sudah tahu
urusan membentang di dekat kita, mengapa tak segera
bertindak?"
"Sontoloyo! Gelap kedua mataku memandang
hingga tak tahu apa yang harus dilakukan!" sahut Manusia Pemarah tetap dengan
nada membentak dan ke-
dua mata melotot.
"Kalau memang begitu adanya, mengapa tak
segera kau lihat siapa dia adanya?" sahut Bidadari Ha-ti Kejam sambil menatap
tajam pada Manusia Pema-
rah. Lelaki kurus berambut dikuncir ekor kuda itu
melotot merasa diperhatikan. Dia mendengus lulu ber-
kata, "Sontoloyo! Urusan menatap ku urusan belakangan! Sebaiknya...."
Habis kata-katanya, mendadak saja tangan ka-
nannya digerakkan ke arah samping.
Wussssh! Angin yang sangat keras menghampar dan
mengeluarkan suara menderu tinggi. Orang yang di
wajahnya terdapat pupur putih yang sejak tadi kehe-
ranan mendengar percakapan kedua tokoh aneh yang
sama-sama keras kepala ini, terkesiap dengan kedua
mata melebar, tatkala dirasakan angin yang melesat
dahsyat itu mengarah kepadanya.
Dengan pekikan tertahan, orang berpupur pu-
tih ini melompat keluar.
Blaarrr!! Semak belukar yang ada di hadapan orang ber-
pupur dengan rambut digelung ke atas tadi seketika
rengkah dan terpecah. Terdorong tiga tombak ke bela-
kang. Dari tempatnya, Manusia Pemarah berkata, te-
tap dengan nada membentak-bentak, "Sontoloyo! Rupanya bukan monyet yang kulihat
tadi, tetapi orang jelek seperti kuntilanak!!"
"Orang tua pemarah bau tanah!" maki Bidadari Hati Kejam. "Mana ada kuntilanak
bisa menginjak tanah! Dasar! Mata rabun mu itu lebih baik kau colok
biar menjadi buta! Dia bukan kuntilanak! Tetapi setan kuburan yang nyasar!!"
Mendapati selorohan Bidadari Hati Kejam yang
tetap diucapkan dengan nada membentak, Manusia
Pemarah hanya mengeluarkan dengusan. Sementara
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 17 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Dendam Empu Bharada 13
Bab 1 Di sela rimbunnya semak belukar, satu sosok
tubuh mendekam di sana. Kesunyian melanda sekitar
tempat itu. Angin berhembus dingin dan burung-
burung bercicitan di angkasa luar.
Senja sudah menghampar dan malam akan se-
gera menggantikan kedudukannya. Orang yang duduk
di balik semak belukar ini, nampak terdiam sama se-
kali. Tak mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan tari-
kan nafasnya pun tak terdengar.
"Urusanku untuk mencari jejak kekasihku ak-
hirnya harus kandas di sini. Urusan Hantu Seribu
Tangan telah membuka mata hatiku untuk mencari di
mana dia berada. Kendati selama ini tak punya urusan dengan kakak seperguruanku
itu, akhirnya aku tak
sabar pula untuk melihat secara langsung sepak ter-
jang telengasnya dengan mempergunakan Keranda
Maut Perenggut Nyawa."
Orang tua berbaju hijau penuh tambalan ini
mengusap dagunya. Membiarkan rambut panjangnya
yang putih dipermainkan angin. Di sisi kanannya ter-
golek sebatang tongkat berwarna putih.
Bila diperhatikan seksama, wajah yang dilapisi
kulit tipis itu ternyata memejamkan kedua matanya.
Tak sekali pun orang tua ini membuka matanya. Men-
dapati ciri yang ada pada diri si orang tua, jelas dia adalah Mata Malaikat.
Lelaki tua berusia tujuh puluh tahun yang
memang telah bersumpah tidak akan membuka kedua
matanya bila belum berjumpa dengan kekasihnya yang
berjuluk Dewi Segala Impian. Sampai hari ini, Mata
Malaikat masih belum tahu alasan yang pasti sehingga kekasihnya itu meninggalkan
dirinya puluhan tahun
yang lalu. Namun cinta yang dalam di hatinya terus
terpatri, hingga dia berjanji baru akan membuka ke-
dua matanya bila bertemu lagi dengan kekasihnya
yang akan dimintanya untuk menerangkan segala ala-
san mengapa hubungan mereka retak.
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya:
"Keranda Maut Perenggut Nyawa", selama puluhan tahun Mata Malaikat diburu orang-
orang rimba persila-
tan yang mencoba mengorek keterangan darinya ten-
tang keberadaan Hantu Seribu Tangan. Kendati Hantu
Seribu Tangan adalah kakak seperguruannya, namun
karena merasa masing-masing orang mempunyai jalan
sendiri-sendiri, Mata Malaikat tak pernah tahu di ma-na kakak seperguruannya itu
berada setelah mereka
berpisah dan meninggalkan Pendekar Bijaksana, orang
tua yang menjadi guru keduanya.
Namun, orang-orang yang ternyata mempunyai
tujuan berlainan untuk mencari Hantu Seribu Tangan,
terus mendesaknya untuk mengatakan di mana Hantu
Seribu Tangan berada. Sungguh, Mata Malaikat tak
tahu di mana kakak seperguruannya itu berada. Dan
rupanya, main kucing-kucingan yang terjadi antara dirinya dengan para
pengejarnya pun mulai berakhir,
tatkala tiga orang pengejarnya menemukan di mana
dia berada. Pertempuran sengit terjadi. Dan salah seorang pengejarnya yang
berjuluk Pemenggal Kepala ak-
hirnya tewas di tangannya. Sementara orang yang ber-
juluk Penabur Pasir luka parah dan segera disela-
matkan oleh temannya yang bernama Sandang Ku-
tung. Ada sedikit keheranan yang melanda diri orang
tua berbaju hijau penuh tambalan itu, karena orang
yang bernama Sandang Kutung tak melakukan apa-
apa kecuali mengancam akan muncul lagi untuk
membuat perhitungan dan berkelebat sambil memba-
wa tubuh Penabur Pasir yang terluka. Saat Mata Ma-
laikat memutuskan untuk menguburkan mayat Pe-
menggal Kepala, barulah disadari kalau pukulan sakti
'Sukma Neraka' yang dilepaskan oleh Penabur Pasir
mengenai dirinya.
Setelah luka dalam yang dideritanya sembuh
dan menguburkan mayat Pemenggal Kepala, orang tua
yang selalu memejamkan matanya itu pun mene-
ruskan langkah. Kali ini bertujuan untuk melacak je-
jak di mana Hantu Seribu Tangan berada. Orang tua
ini menarik napas panjang. "Kendati jalan masing-masing orang berlainan, tetapi
menerima kenyataan
kalau Hantu Seribu Tangan telah membelot dari jalan
lurus yang ditetapkan Guru, rasanya terpaksa aku ha-
rus turun tangan. Entah dari mana dia mendapatkan
benda aneh mematikan, yang diberi nama Keranda
Maut Perenggut Nyawa. Ah.... Selama ini aku dibuta-
kan oleh rasa penasaran untuk mencari Dewi Segala
Impian, untuk meminta keterangan yang jelas tentang
alasannya memutuskan hubungan ku dengannya.
Hingga rasanya, aku jadi terpaku dan seperti orang
dungu tak mempedulikan keadaan di sekeliling ku ka-
lau kejahatan yang ditimbulkan oleh kakak seperguru-
anku telah lama terjadi."
Orang tua ini terdiam seolah memikirkan masa-
lah yang sangat pelik yang singgah di benaknya. Sebelum dia berbuat apa-apa,
tiba-tiba saja telinganya menangkap derap langkah orang di kejauhan.
"Hmmm.... Siapa lagi yang muncul ini" Dalam
keadaan semacam ini, sangat sulit menentukan siapa
lawan dan siapa kawan. Baiknya, kutunggu saja dia di sini. Tetapi.... Hei! Aku
seperti mengenal gerakan orang yang lari ini" Kalau memang benar dugaanku,
urusan untuk segera mencari Hantu Seribu Tangan bisa ter-
tunda." Kejap berikutnya, orang tua berbaju hijau pe-
nuh tambalan ini sudah berkelebat dengan cepat ke
satu tempat. Setelah beberapa kejap berlalu, orang
yang berkelebat di kejauhan telah tiba di tempat di
mana Mata Malaikat berada tadi.
Orang yang baru muncul ini mengenakan pa-
kaian seorang resi berwarna kuning pekat. Kepalanya
segera di tolehkan ke sana kemari. Sebagian rambut-
nya tertutup sorban yang sewarna dengan pakaiannya.
Orang berwajah lonjong dengan sepasang mata bulat
besar ini terdiam beberapa saat. Hidungnya bagus.
Kendati sudah terlihat penuh diselimuti dengan keri-
put, namun sisa-sisa ketampanannya masih membias
jelas. Orang ini menggeram setelah beberapa saat ditelan kesunyian.
"Jahanam betul! Ke mana lagi perginya manu-
sia celaka itu" Aku yakin, ketika kulihat satu bayangan hijau penuh tambalan
berkelebat di Hutan Lorong
Jati adalah orang yang selama ini kucari. Orang yang telah membunuh adikku!!"
Di tempatnya, Mata Malaikat mengangguk-
anggukkan kepala. Lalu berkata dalam hati, "Tak salah dugaanku. Mengenali
suaranya, aku yakin orang itu
adalah Resi Wajah Dewa. Ah! Peristiwa puluhan tahun
rupanya menguak lagi. Seperti yang digeramkannya
tadi, dia masih terus berkeinginan membalas kematian adik kandungnya, Resi
Durjana Tangan Sakti. Resi itu memang mati di tanganku tatkala ku hentikan
maksudnya untuk mempermalukan tiga orang perawan
suci yang diculiknya entah dari mana. Kematian resi
durjana di tanganku itu, memang terdengar oleh Resi
Wajah Dewa, kakak kandung dari Resi Durjana Tan-
gan Sakti yang sudah puluhan tahun mencariku un-
tuk membalas dendam. Kalau memang urusan tak bi-
sa ku hindarkan, aku memang harus bertindak."
Lelaki tua berwajah tampan yang berjuluk Resi
Wajah Dewa itu kembali mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Yang nampak di kedua mata bulatnya
hanyalah kumpulan semak belukar dan beberapa jaja-
ran pohon. "Biarpun dunia kiamat, tak akan kuhentikan
maksud untuk membunuh manusia celaka berjuluk
Mata Malaikat. Dendam ku baru hilang bila melihatnya terkapar di tanah. Tetapi
di samping itu, aku menyirap kabar kalau saat ini banyak orang-orang rimba
persilatan yang mencari Hantu Seribu Tangan dengan seribu
satu macam alasan. Hanya yang ku yakini, kalau me-
reka hendak merebut Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Kudengar pula kalau Mata Malaikat diburu oleh orang-
orang itu untuk mendapat keterangan. Peduli setan
dengan semuanya! Keinginanku untuk membunuh
Mata Malaikat tetap terpatri dalam!!" Orang berbaju re-si ini terdiam kembali.
Matanya yang bersinar penuh
kejengkelan diedarkan lagi ke seluruh tempat. Lalu katanya, "Baiknya, kucari
terus jejak Mata Malaikat!"
Namun sebelum dia memutuskan untuk me-
ninggalkan tempat itu, terdengar satu suara yang cu-
kup keras, nyaring dan bertalu-talu, "Apakah penca-rianmu sudah berakhir, Resi
Wajah Dewa" Ataukah
kehidupan telah mengubah mu hingga kau tak lagi
menghiraukan aku yang sekian tahun menunggu ke-
datanganmu?"
Resi Wajah Dewa melengak dan seketika men-
dongak. Dilihatnya satu sosok tubuh duduk di cabang
sebuah pohon yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Detik berikutnya, terdengar seruannya yang
kencang dan bernada gembira, "Ratu Api!"
Perempuan setengah baya yang dipanggilnya
dengan sebutan Ratu Api tertawa. Wajahnya masih ke-
lihatan cantik. Bibirnya merah diberi pemoles. Sepa-
sang matanya teduh dan lembut, namun terkadang
bersinar garang. Rambutnya panjang sebahu diberi
ikat kepala di kening berwarna merah. Pakaian yang
dikenakannya pun berwarna merah. Terbuka di bagian
bahu dan terbelah hingga pangkal paha, memperli-
hatkan bungkahan kedua pahanya yang gempal dan
putih mulus. Perempuan setengah baya yang masih berwajah
cantik itu melompat turun. Saat melompat pakaian
bagian bawahnya yang terbelah itu terangkat naik dan memperlihatkan sesuatu yang
membuat Resi Wajah
Dewa menelan ludahnya.
"Keparat betul!" maki Resi Wajah Dewa dalam hati tetapi dengan nada yang
tersedak karena sesuatu muncul di tubuhnya.
Di tempatnya, Mata Malaikat terdiam. "Ratu
Api. Perempuan mesum dan kejam yang kerjanya
hanya memeras darah muda seseorang perjaka. Sekian
tahun aku tahu kalau Ratu Api menjadi pasangan tak
resmi dari Resi Wajah Dewa."
Di seberang, Ratu Api tertawa sambil menjilat
bibirnya dengan gerakan yang sangat merangsang.
"Lama tak jumpa, Resi Wajah Dewa. Kau masih
saja menggetarkan hatiku."
"Begitu pula denganku, Ratu. Kau tak pernah
lepas dari ingatanku." sahut Resi Wajah Dewa sambil tertawa.
"Meskipun aku tak tahu apa isi hatimu yang
sebenarnya, tetapi cukup lama kau meninggalkan ku,
Apakah kau sudah menemukan jejak Mata Malaikat
yang membunuh adikmu?"
"Aku sempat melihatnya barusan. Tetapi, seka-
rang tak kuketahui lagi di mana jejaknya,"
"Berada dalam posisi sejajar, kau tak akan me-
nemukan apa yang kau cari. Karena, ilmu peringan
tubuh telah menyebabkan orang yang kau cari menjadi
bayangan."
Orang berpakaian resi itu mengernyitkan da-
hinya. "Mengapa kau berkata seperti itu" Sepertinya sebuah peringatan, tetapi
terasa sekali penuh ejekan."
Lalu katanya, "Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu?"
"Berada di atas, kau akan bisa memandang
seantero tempat, cukup luas dan tak bisa terhalang
oleh apa pun."
Kali ini Resi Wajah Dewa benar-benar terdiam.
Kepalanya tiba-tiba saja di tolehkan ke sana kemari dengan kedua mata lebih
dipentangkan. Setelah beberapa saat, dialihkan pandangannya pada perempuan
berpakaian merah itu. Kejap berikutnya, diangguk-
anggukkan kepalanya seperti mengerti maksud Ratu
Api. Di tempatnya, Mata Malaikat mendesis, "Uca-
pan perempuan berjuluk Ratu Api menandakan dia ta-
hu di mana aku berada. Aku yakin, dia memang baru
muncul dan karena berada di atas, kemungkinan dia
melihat di mana aku berada."
Sementara itu, Resi Wajah Dewa sedang berka-
ta, "Kedatanganmu membuatku bergairah, Ratu." Lalu menyambung dengan suara
mendesah dan kedua ma-ta berbinar penuh birahi, "Bila tak ada yang perlu
diperhitungkan, bukankah kita punya waktu luang se-
karang, Ratu" Mengapa harus menyia-nyiakannya?"
Ratu Api membalas tatapan itu dengan tak ka-
lah bergairahnya. Dia berkata seraya melangkah satu
tindak, "Kapan pun kita selalu punya waktu. Dalam keadaan serumit apa pun.
Memang tak ada yang perlu
diperhitungkan. Kita bisa menikmati waktu lebih dulu.
Tak ada yang mengintip. Kendatipun ada, orang itu tak akan bisa melihat karena
kedua matanya tertutup."
Lalu sambungnya dalam hati, "Biar ku pancing Mata
Malaikat yang bersembunyi seperti kucing busuk di
balik semak di belakang sebuah pohon. Kendati kedua
matanya selalu terpejam, tetapi telinganya jelas terbuka lebar. Bisa saja orang
tua keparat itu langsung ku-serang. Tetapi, aku juga ingin merasakan cumbuan
Resi Wajah Dewa yang telah lama ku nanti. Lagi pula, aku tidak punya urusan
dengan Mata Malaikat. Hanya
saja, urusan Resi Wajah Dewa adalah urusanku juga."
Lalu dengan gerakan yang sangat penuh rang-
sangan dan desisan yang mendebarkan, Ratu Api
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mem-
biarkan dadanya yang membusung terpampang me-
nantang. Resi Wajah Dewa yang tahu maksud Ratu
Api, menyambutnya dengan penuh hangat. Tangan
kanannya dengan segera meremas dada busung Ratu
Api dan segera menyelinap melalui bahu yang terbuka.
Tangan kirinya menyingkap pakaian merah terbelah
hingga ke pangkal paha yang dipakai oleh Ratu Api.
Sementara mulutnya mengecup leher jenjang Ratu Api.
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh, kendati usianya sudah setengah baya tetapi
Ratu Api masih memiliki tubuh yang sangat indah.
Bahkan seluruh tubuhnya masih kenyal.
Mata Malaikat membatin lagi di tempatnya, "Je-
las sudah perempuan itu tahu keberadaanku. Kata-
katanya tadi penuh ejekan yang cukup membuatku ge-
ram. Dan suara-suara yang kudengar itu.... Kurang
ajar!!" Lalu tiba-tiba saja semak belukar yang berada di balik sebuah pohon
besar terpapas. Satu sosok tubuh mencelat keluar dan berdiri tiga tombak dari
ha- dapan Resi Wajah Dewa yang seketika menoleh dan
saat itu pula wajahnya berubah. Sementara Ratu Api
urung membuka pakaiannya. Di bibirnya tersungging
sebuah senyuman, menyadari kalau Mata Malaikat
akhirnya terpancing dan menampakkan diri.
Resi Wajah Dewa menatap tak berkedip pada
Mata Malaikat. Wajahnya membesi saat membatin,
"Kurang ajar! Aku tak tahu sama sekali kalau orang tua keparat yang telah
membunuh adikku ini masih
berada di sini! Bila saja Ratu Api tidak muncul, sudah tentu aku akan melewatkan
kesempatan yang telah
lama kutunggu untuk membalas kematian adikku Resi
Durjana Tangan Sakti." Detik berikutnya, orang berpakaian resi ini sudah
mengeluarkan bentakan keras,
"Mala Malaikat! Ajal sudah tiba di depan mata, dan kau tak akan bisa lari dari
kenyataan!"
Mala Malaikat berdiri tegak dengan bertelekan
pada tongkat putihnya. Kedua matanya lelap terpejam.
"Resi Wajah Dewa. Urusanku dengan adikmu
itu bukanlah sebuah urusan yang mudah. Adikmu
bermaksud mencelakakan tiga orang anak perawan
yang sudah tentu perbuatan tak benar adanya. Dan
aku tak bisa membiarkannya melakukan maksud."
"Itu bukan urusanmu, Mata Malaikat!" bentak Resi Wajah Dewa dengan suara
menggelegar dan wajah
memerah karena marah. Terutama mengingat kalau
sejak tadi Mata Malaikat berada tak jauh dari tempatnya dan sama sekali tak
diketahuinya. "Yang menjadi urusan sekarang, kau harus mati di tangan ku!!"
Habis kata-katanya, Resi Wajah Dewa Sudan
menggebrak ke depan siap menghantam kepala Mata
Malaikat yang berdiri tegak. Kedua mata orang tua
berbaju hijau penuh tambalan ini masih tetap terpe-
jam. Dan begitu dirasakan serangan lawan mendekat,
segera diangkat kedua tangannya. Desss! Desss!!
Dua pasang tangan dari masing-masing orang
beradu keras. Resi Wajah Dewa tersentak kaget dan
langsung surut tiga tindak ke belakang. Air mukanya
berubah dengan sepasang mata terpentang lebar lebih
garang menatap tak berkedip pada Mata Malaikat yang
masih berdiri tegak. Meski tak kurang suatu apa, teta-pi akibat benturan tadi
membuatnya cukup sadar ka-
lau lawan memiliki tenaga dalam tinggi. Terutama bila teringat kalau lawan bisa
saja bergerak kembali dengan menghantamkan tongkat di tangan nya. Resi Wa-
jah Dewa merasa diejek karena orang berbaju hijau
penuh tambalan itu tak segera melancarkan serangan
susulan. Terutama ketika dilihatnya bibir Ratu Api me-
nyunggingkan senyuman ejekan. Tak mau mengalami
malu lebih lama, dia sudah melompat dengan mengi-
rimkan tendangan lurus berkekuatan tenaga dalam
tinggi. Mata Malaikat hanya menelengkan kepala, tan-da dia sedang
memperhitungkan kekuatan serangan
lawan. Dan tiba-tiba saja orang tua ini melompat ke
belakang seraya menggerakkan tongkat putihnya.
Wuuutttt!! Resi Wajah Dewa memekik tertahan dan lang-
sung mencelat ke atas. Jotosan tangan nya dilepaskan.
Trak! Jotosannya itu dipapaki dengan tongkat yang
diayunkan kembali oleh Mata Malaikat. Terlihat Mata
Malaikat terjajar ke belakang dua tindak dengan tubuh gemetar. Sementara Resi
Wajah Dewa telah hinggap
kembali di tanah dengan kedua kaki dipentangkan.
Tak mau membuang waktu, selagi tubuh Mata
Malaikat bergetar, Resi Wajah Dewa sudah mencelat
lagi ke muka. Terlihat cahaya terang berpendar sekejap dari kedua tangan orang
berpakaian resi ini. Kejap
lainnya, menghampar angin berkekuatan tinggi disertai suara bergemuruh ke arah
Mata Malaikat. Mendapati lawan siap memusnahkannya, Mata
Malaikat kembali menggerakkan kedua tangan ke mu-
ka dengan cara mendorong dan bersamaan dengan itu
mengibaskan tongkatnya pula.
Gelombang angin yang lebih dahsyat pun mele-
sat dari kedua tangan Mata Malaikat dan berbenturan
dengan serangan Resi Wajah Dewa.
Blaam! Blaaamm!
Bertemunya dua pukulan sakti itu menyebab-
kan tempat itu sejenak bagai bergetar. Semak belukar seketika tercabut. Dedaunan
mengering dan tanah di
hadapan mereka muncrat satu tombak. Menyusul ter-
dengar suara 'trak' yang cukup keras. Ketika semua-
nya sirap, terlihat Mata Malaikat mundur dua tindak
sambil memegang dadanya. Tubuhnya bergetar cukup
hebat. Sementara di seberang, satu sosok tubuh ber-
guling ke belakang dengan teriakan yang keras. Sosok tubuh Resi Wajah Dewa yang
meraung sambil memegang kaki kirinya yang patah. Sorban yang dikenakan-
nya terlepas. Dan memperlihatkan bagian tengah kepa-
la Resi Wajah Dewa yang ternyata botak!
Rupanya, kaki kiri orang berpakaian resi itu
terhantam pukulan tongkat putih Mata Malaikat yang
seketika meremukkan tulang kakinya.
Dan tiba-tiba saja terdengar satu teriakan dah-
syat disertai hawa panas dan gulungan api yang men-
dadak muncul ke arah Mata Malaikat.
"Aku tak punya urusan denganmu! Tetapi, sia-
pa pun yang mencelakakan kekasihku harus berhadap
andengan ku!!"
*** Bab 2 Wuussss! Hawa panas dengan api yang bergulung dah-
syat itu membuat Mata Malaikat menegakkan kepala.
Untuk memapaki serangan yang tiba-tiba datang itu
jelas tak mungkin. Jalan satu-satunya adalah meng-
hindar. Akibatnya, api yang bergulung-gulung itu me-
nerkam semak belukar dan sebuah pohon yang lang-
sung terbakar. Rupanya, melihat Resi Wajah Dewa di-
buat tak berdaya, Ratu Api tak mau tinggal diam. Pe-
rempuan berpakaian jingga terbelah hingga pangkal
paha itulah yang melepaskan serangan.
Lalu dengan kegeraman yang semakin kentara,
Ratu Api kembali melepaskan pukulan 'Api Jahanam'-
nya yang dahsyat mengerikan. Mata Malaikat lagi-lagi menghindar dengan cara
melompat. Dalam dua tarikan
napas saja, tempat itu sudah dipenuhi kobaran api
dan hawa panas yang menyengat.
"Hebat!" desis Mata Malaikat dalam hati dan segera mengalirkan tenaga dalamnya
guna menahan getaran yang terjadi akibat berbenturan dengan Resi
Wajah Dewa tadi.
Sementara itu, Resi Wajah Dewa sambil mena-
han rasa sakit yang tak terkira, menotok urat yang ada di pangkal paha kirinya.
Lalu mengalirkan tenaga dalamnya. Kendati rasa sakit akibat remuknya kaki kiri
itu agak menghilang, namun wajah dan urat
lehernya masih menegang tanda dia menahan sakit.
Kepalanya di tolehkan dengan kedua mata lebih lebar.
Tajam menusuk. "Keparat! Pantas kalau adikku tewas di tangan-
nya. Kesaktiannya lumayan tinggi," batin orang ini yang mendadak menjadi kecut.
Namun keberaniannya
timbul kembali tatkala melihat bagaimana Ratu Api berusaha mendesak Mata
Malaikat. Segera di alirkan te-
naga dalamnya lagi dan perlahan-lahan rasa sakitnya
benar-benar lenyap.
Saat dia berdiri, tubuhnya kelihatan agak lim-
bung dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan. Karena memiliki tenaga dalam yang
tinggi, orang berpakaian
resi ini bisa berdiri tegak satu kaki. Kembali dilihatnya bagaimana Ratu Api
sedang mendesak Mata Malaikat
dengan mempergunakan api-apinya.
Api bertambah besar berkobar, dengan hawa
panas yang semakin menyengat. Tubuh masing-
masing orang seperti membayang. Mata Malaikat se-
lain berusaha membalas, juga berusaha memadamkan
api-api yang membakar apa saja.
"Rasanya, terpaksa aku harus mencabut nyawa
lagi. Padahal aku bermaksud hanya memberi pelajaran
pada mereka saja," gumamnya dengan perasaan tak menentu.
Memutuskan demikian, seraya menghindari se-
rangan bertubi-tubi yang dilancarkan perempuan ber-
pakaian merah terbelah hingga pangkal paha. Mata
Malaikat memutar tongkatnya seperti baling-baling.
Saat itu pula terjadi pusaran angin dingin yang sangat besar disertai percikan
sinar putih yang berpendar.
Suasana di tempat itu mendadak bagai digem-
pur oleh badai berkekuatan tinggi. Sebagian angin
yang datang memadamkan api yang berkobar dan se-
bagian lagi menderu ke arah Ratu Api yang langsung
mencelat ke samping. Tiga batang pohon tercabut, terlempar dan menimbulkan suara
berdebam keras. Dan
dari arah samping, sambil menggeram hebat, perem-
puan berpakaian merah itu kembali mendorong kedua
tangannya. Gulungan api menderu cepat dan bersa-
maan dengan itu, Mata Malaikat mengubah arah puta-
ran baling-balingnya.
Wuussshh! Api yang bergulung-gulung itu seketika padam.
Rupanya kali ini orang yang selalu memejamkan kedua
matanya memang tak mau bertindak ayal. Masih
menggerakkan tongkat putihnya hingga menimbulkan
hamparan angin kuat, tubuhnya mencelat ke depan
dengan pencalan satu kaki.
Ratu Api terpekik tertahan mendapati serangan
itu. Dia berusaha untuk menghindari serangan lawan.
Namun karena harus menghindar sementara angin
kuat itu masih berputar ke arahnya, tubuhnya menja-
di limbung terdorong desakan putaran angin dan,
Buuukkk! Dadanya tepat terkena jotosan Mata Malaikat.
Bila saja Ratu Api tidak menggulingkan tubuh, tak ay-al lagi kepalanya akan
terkepruk pecah karena Mata
Malaikat telah mengayunkan tongkatnya.
Wuuuttt! Kali ini Ratu Api menjadi kecut. Diam-diam dia
membatin resah sambil mengatur napas, "Sungguh di luar dugaanku kesaktian yang
dimiliki orang ini. Pukulan sakti 'Api Jahanam' yang ku pergunakan tak mem-
bawa arti sama sekali. Bahkan dia berhasil mengata-
sinya." Dan mendadak saja Ratu Api yang telah menjadi pias menolehkan kepala ke
arah kanan tatkala men
dengar suara bentakan keras dan tubuh yang berkele-
bat ke arah Mata Malaikat.
"Tahaaaannn!!" pekiknya keras.
Tubuh berkelebat cepat yang tak lain adalah
Resi Wajah Dewa tak bisa dihentikan. Rupanya, lelaki yang sudah merasa pulih
dari kesakitan yang sempat
menyiksanya, telah mengerahkan segenap sisa-sisa te-
naganya untuk menggempur Mata Malaikat. Dan dia
merasa yakin serangannya akan mengenai sasaran ka-
rena saat ini dilihatnya Mata Malaikat sedang berdiri tegak sambil mengatur
napas. Namun di luar dugaannya, orang tua yang sela-
lu memejamkan kedua matanya ini mengangkat kepa-
lanya. Bersamaan dengan itu, tongkatnya dikibaskan.
Wuuuut! Sinar putih yang sangat terang keluar bersa-
maan hamparan angin. Resi Wajah Dewa tak peduli.
Dia terus menerobos sambil menambah tenaganya.
Yang dilakukannya itu memang berhasil. Namun....
Satu jotosan yang dilepaskan Mata Malaikat
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, telah
menghantam telak dadanya. Menyusul satu tendangan
menghantam keras pinggangnya.
Krak! Terdengar suara berderak bersamaan tubuh
Resi Wajah Dewa ambruk. Rupanya, tulang iga orang
berpakaian resi itu patah tiga buah. Dan di dadanya
terlihat mengepulkan asap putih akibat pukulan yang dilepaskan Mata Malaikat.
Ratu Api berteriak menggelegar sambil melom-
pat ke arah Resi Wajah Dewa yang tergeletak. Dengan
perasaan cemas, marah, dan galau tak menentu, diba-
likkannya tubuh orang itu. Dilihatnya wajah orang
berbaju resi ini memucat. Darah mengalir dari bibir
dan hidungnya. "Resi!!"
Hanya seruan itu yang terlontar karena detik
lain disadarinya kalau orang di hadapannya telah te-
was. Menyadari hal itu, perempuan berbaju merah
menggeram setinggi langit dengan kedua tangan ter-
kepal. Dari tubuhnya seperti keluar api berkobar.
Mata Malaikat membatin, "Terpaksa hal ini ku-
lakukan padahal aku tak menginginkannya."
Lalu didengarnya suara Ratu Api yang mengge-
ram dengan mala terbeliak penuh kemarahan.
"Mata Malaikat! Urusan telah jadi panjang se-
karang! Kau tak akan pernah lepas dari tanganku!!"
Habis kata-katanya, tangan kirinya digerakkan ke arah mayat Resi Wajah Dewa.
Wirrr! Seketika mayat itu terbakar dan menimbulkan
bau sangit yang sangat keras. Usai membakar mayat
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Wajah Dewa, Ratu Api meninggalkan tempat itu
setelah sekali lagi mengumbar ancaman. Dendam telah
terpatri di hadapannya. Sekian tahun tak berjumpa
dengan kekasihnya, Resi Wajah Dewa, namun sekali
berjumpa dia harus menyaksikan kematian kekasih-
nya itu. Perempuan berpakaian merah ini berjanji pada dirinya untuk mencabut
nyawa Mata Malaikat. Namun
untuk saat ini, dia merasa lebih baik meninggalkan
tempat itu karena merasa tak mampu untuk menja-
lankan keinginannya. Dengan membakar mayat Resi
Wajah Dewa, itulah cara satu-satunya bagi Ratu Api
untuk melupakan wajah pias dan tubuh penuh luka
Resi Wajah Dewa yang telah menjadi mayat.
Mata Malaikat mendesah pendek, "Urusanku
menjadi bertambah! Tetapi niatku untuk melacak jejak Hantu Seribu Tangan tetap
akan kulakukan walau ba-gaimanapun susahnya."
Memutuskan demikian, setelah beberapa saat
berlalu, orang tua berpakaian hijau penuh tambalan,
yang selalu memejamkan kedua matanya, segera me-
langkah meninggalkan tempat itu.
*** Tiga kali waktu penanakan nasi telah berlalu.
Tempat itu telah diselimuti kegelapan malam. Gumpa-
lan awan hitam di angkasa berarak, bergerak perlahan dan menghalangi indahnya
sinar rembulan. Satu rombongan tiba di tempat itu. Seorang lelaki berpakaian
keraton mengangkat tangan kanannya, memberi tanda
agar rombongan berhenti di sana. Rombongan yang
terdiri dari sepuluh orang lelaki gagah dan sebuah
tandu yang digotong oleh empat orang dari sepuluh lelaki itu berhenti. Tandu
yang dibalut kain warna kuning cemerlang diletakkan dengan sangat hati-hati di
tanah. Lelaki gagah berpakaian keraton dengan sebi-
lah keris terselip di angkin besar yang melilit di pinggangnya memperhatikan
sekitarnya. Cuping hidung-
nya bergerak-gerak dan dia membatin, "Hmmm. Ku
cium bau busuk seperti daging terbakar. Bau sangit ini sangat tak mengenakan.
Sebaiknya ku lacak dulu daging apa yang terbakar dan mengeluarkan bau sangit
seperti ini." Lalu diperintahkannya pada yang lain untuk bersiaga. Di hadapan
tandu berbalut kain kuning
cemerlang itu, lelaki ini membungkuk. "Dewi.... Saya akan memeriksa dari mana
asalnya bau sangit yang
sangat menusuk ini. Apakah...."
"Tidak perlu, Gurat Cantika. Bau sangit itu be-
rasal dari tubuh seorang lelaki yang dibakar dengan
sengaja tetapi telah menjadi mayat," terdengar satu suara yang sangat merdu
sekali dari dalam tandu.
"Saya, Dewi," sahut orang yang bernama Gurat Cantika masih tetap membungkuk.
"Gurat Cantika. Tubuh yang terbakar itu ada-
lah Resi Wajah Dewa dan yang membakarnya adalah
kekasihnya sendiri si Ratu Api. Menurut perasaanku,
keduanya telah bertanding dengan Mata Malaikat.
Orang yang sampai hari ini masih kita cari jejaknya."
Apa yang dikatakan oleh orang di balik tandu
tak terlalu mengherankan lelaki berpakaian keraton.
Karena, dia tahu kesaktian orang di dalam tandu. Se-
belum dia berkata apa-apa, suara merdu itu terdengar kembali, "Gurat Cantika.
Rasanya, urusan kita akan
semakin panjang bila aku tak bergerak sendiri. Kini, kutugaskan padamu untuk
memimpin yang lainnya.
Aku akan menyelidik seorang diri."
"Dewi...." Gurat Cantika hendak membantah tetapi urung karena suara merdu itu
telah terdengar
kembali, "Selama ini, kalian para Penyamun Lembah Ma-
ti, telah setia menjadi pengikut ku. Kurasa, tiba saatnya kalian kuberikan
kebebasan untuk melangkah dan
bertindak sendiri."
"Dewi. Selama ini kami semua tak merasa teri-
kat dan tertimpa beban. Kami selalu menjunjung tinggi kesetiaan pada Dewi."
"Terima kasih. Tetapi, jejak orang yang kucari
telah kutemukan. Bahkan, seperti kita ketahui bersa-
ma, saat ini banyak orang-orang rimba persilatan tengah meributkan persoalan
Keranda Maut Perenggut
Nyawa dan Hantu Seribu Tangan. Aku juga tertarik
dengan urusan itu. Tetapi, urusanku dengan Mata Ma-
laikat yang harus ku dahulukan, Gurat. Tiba saatnya kita berpisah. Kebebasan
akan kalian dapatkan."
"Tetapi, Dewi...," seruan itu terdengar dari mulut sembilan lelaki lainnya
sambil bersikap membung-
kuk seperti yang dilakukan oleh Gurat Cantika. Salah seorang meneruskan, "Dewi,
kehidupan kami selama menjadi Penyamun Lembah Mati selalu dikejar oleh
orang-orang golongan lurus. Dan berkat bantuan Dewi
kami bisa hidup sampai hari ini. Bahkan, kami ber-
tambah maju setelah dipimpin oleh Dewi."
"Aku tak bisa memungkiri soal itu. Tetapi, aku
tetap memberikan kebebasan kepada kalian."
Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja
kain kuning yang menyelimuti tandu terkuak. Lalu me-
lesat satu sosok tubuh berpakaian kuning dari sana.
Lesatan itu sangat sukar diikuti oleh mata, karena
hanya terlihat sekejap. Tetapi yang berada disana bukan hanya membungkukkan
tubuh, melainkan bersu-
jud. "Kalian telah kubebaskan!!" terdengar seruan itu dari kejauhan.
Selang beberapa saat berlalu, Gurat Cantika
perlahan-lahan berdiri. Diusap wajahnya yang dipenu-
hi bulu. Lalu terdengar tarikan nafasnya perlahan.
"Bila memang kau menghendaki seperti itu De-
wi, kami tak bisa berbuat lain," bisiknya lirih. Lalu pa-da teman-temannya dia
berkata, "Kita tak bisa berbuat banyak. Selama ini Dewi mengajarkan kita cara-
cara melakukan tindakan yang kita inginkan. Kita akan
kembali ke Lembah Mati dan melakukan pembegalan
seperti biasa."
Tetapi sebelum orang-orang itu beranjak dari
sana, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras yang me-nyayat hati. Menyusul satu
sosok tubuh rubuh dengan
dada sobek. Dan seketika tubuhnya bersimbah darah.
Gurat Cantika tersentak dengan kedua mata lebih le-
bar. Dilihatnya pula tiga orang temannya mati dengan luka yang menganga lebar di
dada. Segera saja lelaki ini mencabut keris yang terse-
lip di belakang angkinnya dan memberi isyarat pada
lima orang temannya yang masih hidup agar bersiaga.
"Manusia pembokong keparat! Tampakkan mu-
ka biar kematian kau terima!!" bentaknya menggelegar.
Jeritan kembali terdengar keras dan dalam
waktu yang hanya beberapa kali kejapan mata saja,
hanya tinggal dirinya sendiri di tempat itu.
Dari rasa marah yang menggelegak tadi, diam-
diam orang ini menjadi kecut tak karuan. Wajahnya
pias dengan keringat yang mengaliri sekujur tubuhnya.
"Celaka! Siapa orang yang menurunkan tangan
telengas ini" Bila saja Dewi masih berada di sini, uru-
san tak akan menjadi mengerikan seperti sekarang!!"
batin Gurat Cantika dengan mata diedarkan ke sana
kemari. Tiba-tiba saja terdengar seruannya yang berna-da gembira ketika
dilihatnya satu sosok tubuh berpa-
kaian warna kuning panjang muncul dan berdiri berja-
rak tiga tombak dari hadapannya.
"Dewi!!"
Orang yang baru muncul itu adalah orang yang
berada di balik tandu berbalut kain kuning tadi. Tu-
buh orang ini tinggi semampai. Pakaian warna kuning
panjang yang dikenakannya sangat cemerlang. Dari
wujudnya yang sempurna dengan rambut hitam terge-
rai, hanya wajahnya yang tak bisa dilukiskan. Karena, perempuan ini mengenakan
topeng berwarna perak,
terbuka pada bagian mulut yang memperlihatkan se-
pasang bibir tipis tersaput gincu merah.
"Gurat. Ada apa ini?" seru orang di balik topeng perak itu.
"Dewi junjungan. Saya tak tahu apa yang terja-
di. Tahu-tahu teman-teman telah mati dengan cara
yang mengerikan."
"Jahanam! Ini tantangan buat Dewi Topeng Pe-
rak!" menggeram perempuan berbaju kuning. "Gurat!
Selidiki tempat ini!!"
Karena bersama Dewi Topeng Perak, Gurat
Cantika merasa lebih aman sekarang. Dia berkelebat
ke samping, tetapi mendadak saja tubuhnya terguling
dengan teriakan tertahan. Dirasakannya satu desiran
angin kuat menghantam kedua kakinya hingga ter-
sungkur. Begitu diangkat tubuhnya, dilihatnya perem-
puan bertopeng perak telah beradu di dekatnya.
"Dewi!!" seperti tersekat di tenggorokan suara Gurat Cantika. Kedua matanya
dipentangkan ke depan, menatap Dewi Topeng Perak dengan perasaan tak
menentu. Diliriknya ke sekelilingnya, lalu kembali dialihkan pandangan pada
perempuan di hadapannya.
Kejap lain, tiba-tiba saja satu pikiran singgah di benaknya. Dan tanpa sadar dia
surut ke belakang den-
gan wajah pias. Tangannya menuding bergetar pada
perempuan bertopeng perak. "Kau.... Kau yang membunuh mereka, Dewi...."
Terdengar suara desisan sinis. Sepasang mata
di balik topeng perak itu mendelik.
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu tadi,
kalau kau dan teman-temanmu akan mendapatkan
kebebasan" Dan jalan kebebasan sudah kutunjukkan,
bukan?" Gurat Cantika semakin tak menentu perasaan-
nya. Diperhatikannya teman-temannya yang bergeleta-
kan menjadi mayat dengan luka lebar di dada. Detik
berikutnya, dia sudah melesat ke depan dengan keris
dihunus diiringi teriakan menggelegar.
Perempuan bertopeng perak hanya mengelua-
rkan desisan saja. Lalu tanpa bergerak dari tempatnya, tangannya mengayun,
mendahului terjangan keris di
tangan Gurat Cantika.
Prak!! Tangannya tepat menghajar kepala Gurat Can-
tika yang seketika ambruk setelah mengeluarkan pekik kesakitan. Kepalanya pecah
dan mengalirkan darah
kental bercampur cairan putih.
"Hhhh! Aku sudah tak lagi membutuhkan ka-
lian! Selama ini, kalian kubiarkan hidup karena aku
memerlukan penyamaran dari kehadiranku kembali ke
dunia ramai ini. Dengan mengenakan pakaian orang-
orang keraton yang telah kubunuh, kehadiranku kem-
bali cukup berhasil selama ini, karena banyak yang
menduga kalau orang keratonlah yang berada di dalam
tandu. Kalaupun kebetulan ada yang memaksa, mere-
ka akhirnya mengenalku dengan julukan Dewi Topeng
Perak," desis perempuan bertopeng perak ini dingin.
Lalu lanjutnya dengan geraman yang keras, "Mata Malaikat! Sekian lama kucari,
kau harus membayar selu-
ruh hutangmu dengan nyawa tuamu! Sayangnya, aku
terlambat datang ke sini. Ketika tiba tadi, sebenarnya aku sudah mencium bau
sangit yang berasal dari sesuatu yang terbakar dari kejauhan. Dengan memper-
gunakan ilmu 'Pengulang Kejadian' aku bisa mengeta-
hui apa yang terjadi. Resi Wajah Dewa dan Ratu Api telah berjumpa dengan Mata
Malaikat. Sayangnya, Resi
Wajah Dewa harus mampus! Keparat!!"
Sepasang mata tajam di balik topeng perak itu
di edarkan ke seantero tempat. Tajam, menusuk, dan
mengerikan. "Sukar bagiku mengira-ngira ke mana perginya
Mata Malaikat. Kendati demikian, aku tak akan pernah melepaskannya!!"
Habis kata-katanya, tangan kanan perempuan
ini bergerak ke arah tandu.
Wuusss! Seketika menghampar angin keras yang mener-
bangkan tandu berbalut kain kuning. Jatuh berjarak
dua puluh tombak dari tempatnya dan seketika han-
cur berantakan.
Kejap lain, perempuan kejam berjuluk Dewi To-
peng Perak berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan begitu saja sepuluh sosok mayat dalam
keadaan terluka yang mengerikan.
*** Bab 3 Jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak
belukar, diselimuti kabut pagi. Udara berhembus me-
nusuk. Di ufuk timur, nampak sang fajar mulai mem-
biaskan cahayanya. Di kejauhan terdengar kokok
ayam jantan bersahutan. Seperti hendak mengabarkan
pada alam, kalau mereka telah melakukan tugas den-
gan baik. Belum lagi embun mengering, belum lagi bu-
rung-burung beterbangan, tempat yang sepi itu sudah
dipecahkan dengan satu suara, "Bagaimana kalau kita berhenti dulu di sini"!"
Tak berapa lama kemudian, muncul tiga sosok
tubuh dari jalan setapak yang dipenuhi rerumputan.
Masing-masing orang menghentikan langkah dan men-
gedarkan pandangan ke seantero tempat.
Pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih
dengan wajah tampan bertanya pada pemuda berpa-
kaian warna keemasan dengan sebilah pedang berwar-
na yang sama di punggungnya, "Tirta.... Bila memang kita memutuskan untuk
beristirahat di sini sebelum
meneruskan perjalanan, sebaiknya aku mencari bu-
rung atau ayam hutan sebagai pengisi perut."
Pemuda berbaju keemasan yang tadi menyuruh
berhenti, nyengir. Rambutnya gondrong acak-acakan.
Di keningnya terdapat ikat pinggang berwarna keema-
san. "Wah! Kau baik sekali, ya" Aku tidak menyuruh lho," sahutnya sambil membuka
kedua tangannya.
Pemuda berbaju putih bersih yang tak lain ada-
lah Cakra alias Pendekar Judi menyahut, "Dan kau beruntung bukan mempunyai
sahabat sepertiku ini" Te-
tapi ingat, Tirta! Jangan mentang-mentang kau ku
tinggal berdua bersama gadis itu, kau akan berbuat
macam-macam!"
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si pemuda tergelak-gelak.
"Kalaupun kubuat, paling cuma satu macam.
Bagaimana, Dewi?" sahutnya yang tak lain si Rajawali Emas adanya pada gadis
berbaju merah muda yang di
keningnya terdapat untaian kalung dan tepat di tengah keningnya sebuah berlian
bertengger. Gadis yang tak lain Dewi Berlian cuma men-
dengus dengan kedua mata melotot. Sejak perjalanan
mereka dari sebuah dusun di mana Pendekar Judi
memenangkan permainan judi, dia selalu digoda oleh
dua pemuda yang rada-rada gendeng itu. Kendati su-
dah merasa mulai kebal mendengar setiap godaan, te-
tapi tak urung wajah murid Dewi Bulan ini memerah.
Pemuda yang di kedua lengan kanan dan ki-
rinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna kee-
masan mengangkat tangannya pada Pendekar Judi.
Tuh! Kau lihat sendiri, bukan" Dengusannya
tadi menandakan dia mau!! Dan kau perlu ingat, jan-
gan iri dengan keberuntungan ku ini!"
Dan sebelum Pendekar Judi membalas seloro-
han Rajawali Emas, Dewi Berlian sudah melesat me-
ninggalkan dengan mulut cemberut. Baginya lebih baik memang menghindari kedua
pemuda tadi untuk sementara. Toh dia juga mau beristirahat pula.
Sepeninggal Dewi Berlian, Rajawali Emas ber-
kata, "Jelas sekarang bukan, kalau gadis itu hendak mencari tempat yang sepi
dulu?" Pendekar Judi terbahak-bahak keras. Lalu me-
lesat menjalankan maksudnya tadi. Tinggal si Rajawali Emas sendirian. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat. Lalu dibawa langkahnya ke sebatang po-
hon. Direbahkan tubuhnya di bawah pohon itu.
"Aku yakin, sosok yang kulihat membuntuti
pasti akan tiba di sini pula. Sebenarnya, aku tak mau berhenti. Tetapi, aku
penasaran siapa orang yang sejak di hutan sebelah timur sana masih membuntuti.
Jadi sengaja ku usulkan untuk beristirahat. Untung Dewi
Berlian pergi entah ke mana dan Pendekar Judi men-
cari burung atau ayam untuk dipanggang," desis pemuda dari Gunung Rajawali itu.
Lalu sambungnya,
"Tepat dugaanku. Kulihat tadi bayangan biru berkelebat ke balik semak. Hmm...
Siapa dia sebenarnya dan
mau apa?" Sosok perempuan muda berbaju biru yang ber-
sembunyi di balik semak, mementangkan kedua ma-
tanya yang bulat dan tajam. Rambutnya yang panjang
bergerak dipermainkan angin pagi.
"Aneh. Mengapa hanya tinggal pemuda berjuluk
Rajawali Emas itu saja" Ke mana perginya gadis berjuluk Dewi Berlian dan pemuda
berbaju putih berjuluk
Pendekar Judi?" gadis berbaju biru ketat itu membatin sambil mengedarkan
pandangannya ke sana-sini.
Seperti diketahui, tatkala Tirta dan Dewi Ber-
lian keluar dari kedai di mana mereka mengisi perut, gadis berbaju biru ketat
itu muncul. Langkahnya terhenti tatkala mendengar pembicaraan Rajawali Emas
dengan Dewi Berlian. Rajawali Emas bermaksud untuk
mengetahui siapa pemuda berbaju putih yang akhir-
nya diketahui berjuluk Pendekar Judi yang dengan te-
naga dalamnya mempermainkan seorang lelaki berna-
ma Ki Gombel. Tetapi, Dewi Berlian yang tak menyukai perjudian menolak dan
bermaksud untuk meneruskan
mencari Mata Malaikat. Namun ketika mendengar ala-
san Tirta, Dewi Berlian akhirnya mengikuti pula. Se-
mentara gadis berbaju biru ketat yang sudah masuk
ke dalam kedai keluar lagi. Tatkala perkenalan antara Rajawali Emas, Dewi
berlian, dan Pendekar Judi terjadi, gadis berbaju ketat itu pun mencuri dengar.
Begitu pula tatkala Rajawali Emas memanggil Bwana, burung
rajawali yang besarnya empat kali gajah dewasa itu,
dan diperintahkannya burung raksasa itu untuk mela-
cak Goa Seratus Laknat. (Untuk jelasnya baca: "Keranda Maut Perenggut Nyawa").
Ketika memutuskan untuk meneruskan perja-
lanan, Rajawali Emas sebenarnya diam-diam sudah
mengetahui ada seseorang yang mengikutinya. Dan ta-
di pun dia masih melihat bayangan biru ketat mengi-
kuti mereka. Makanya, dia memutuskan untuk ber-
henti dulu padahal bermaksud hendak mengetahui
siapa orang yang membuntutinya.
"Hmm.... Bila melihat gerakannya jelas dia bu-
kan orang sembarangan. Dan dari sosoknya yang tak
terlalu besar, aku yakin dia seorang gadis. Siapa dia"
Dan mau apa?" desis Tirta dalam hati dan diam-diam membuka sedikit matanya ke
arah semak belukar di
mana gadis berbaju biru ketat berada. "Gadis itu masih berada di sana. Sekilas
kulihat wajahnya yang jelita."
Sementara si gadis mendesis, "Aku tak suka
urusan membuntuti orang sebenarnya! Ingin ku ke-
pruk saja kepala pemuda ini sekarang! Tetapi, berita tentang di mana Mata
Malaikat berada belum kuda-patkan sekarang!! Sampai saat ini, aku tidak tahu
mengapa Guru menugaskanku untuk mencari dan
membunuh Mata Malaikat. Entah ada persoalan apa
antara Guru dengan orang berjuluk Mata Malaikat. Le-
bih baik aku.... Hei!! Di mana pemuda berbaju keema-
san itu berada?"
Sepasang mata gadis berbaju biru ketat itu me-
lebar dan menatap tak percaya karena orang yang se-
jak tadi di intipnya tak ada lagi di tempat.
Selagi si gadis terbengong dengan perasaan tak
menentu, didengarnya satu suara dari sebuah dahan
pohon, "Wah! Begitu penasaran sekali ingin melihat wajahku rupanya, ya"
Sebenarnya mau ke mana,
Neng?" Si gadis cepat mengangkat kepala. Kalau tadi ke dua matanya membiaskan
keheranan, kali ini memancarkan kemarahan tinggi. Dilihatnya pemuda ber-
baju keemasan sedang bertengger di sebuah dahan
pohon sambil menggigit-gigit sebatang rumput.
"Hai, Pemuda!! Aku tak banyak cakap! Katakan,
di mana Mata Malaikat berada"!"
Kendati terkejut mendapati pertanyaan orang,
Tirta tersenyum-senyum sendiri.
"Tak ada untungnya bila aku menipu gadis se-
cantik kau! Tetapi sayangnya, yang kau tanya barusan aku tidak tahu sama
sekali!" Paras gadis berbaju biru ketat itu berubah.
"Ku ingatkan! Kesabaranku ada batasnya! Jan-
gan menjawab bertele-tele atau kau tak akan pernah
bertemu dengan kedua temanmu lagi!"
"Kalaupun aku tak bisa bertemu dengan mere-
ka, bukankah ada kau yang menemaniku?"
Si gadis menggeram. Nampak jelas dia berusa-
ha menindih gejolak amarah di dadanya. Rahangnya
dikatupkan rapat-rapat. Perlahan si gadis maju satu
langkah. "Aku, Dewi Kembang Maut, tak akan mundur
bila belum mendapat jawaban!!"
"Wah! Jadi julukanmu itu Dewi Kembang
Maut" Wiiihhh! Seram sekali, ya?" sahut Rajawali Emas masih tersenyum-senyum.
"Jadi.... Kau susah payah membuntuti aku dan kedua temanku tadi cuma
untuk memperkenalkan nama" Kalau itu sih, mengapa
harus pakai sembunyi segala" Kuterima perkenalan
mu dengan baik!!"
"Rupanya kau termasuk salah seorang dungu
yang tak mendengar ucapan orang! Akan kubuat kau
berkata dengan jujur!!" Si gadis membentak keras.
Kejap lain, kedua tangannya digerakkan ke de-
pan, melepaskan satu pukulan ke arah Tirta.
*** Hamparan angin terdengar menderu luar biasa
kerasnya. Merasa lawan adalah bukan orang biasa, si
gadis mempergunakan setengah tenaganya.
Di dahan pohon, melihat ganasnya serangan si
gadis, pemuda dari Gunung Rajawali segera mengang-
kat kedua tangannya pula.
Wuuuus!! Wuuussss!!
Dua rangkum angin keras menderu.
Blaammm!! Terdengar ledakan yang keras tatkala dua se-
rangan itu bentrok di udara. Si gadis yang mengaku
berjuluk Dewi Kembang Maut, terlihat surut tiga tom-
bak. Kedua tangannya dirasakan nyeri sekali. Semen-
tara itu, si Rajawali Emas memutar tubuh tatkala dirasakan angin menderu ke
arahnya. Prak! Dahan pohon yang didudukinya pecah beran-
takan dan sebagian batang pohon itu sempal.
"Hebat! Meskipun angin pukulannya tadi terha-
lang, namun sisa-sisanya masih bisa menghantam da-
han yang ku duduki," batin Tirta dalam hati, yang sudah duduk di dahan pohon
lain. Dewi Kembang Maut memandang tak berkedip
mendapati lawannya sudah pindah ke pohon lain.
"Keparat betul! Pemuda ini jelas bukan orang
sembarangan! Bagiku, dialah satu-satunya orang yang
bisa memberikan petunjuk kepadaku tentang Mata
Malaikat!" geramnya dalam hati. Setelah mengalirkan
tenaga dalamnya guna menghilangkan rasa nyeri pada
kedua lengan, si gadis membentak seraya melipatgan-
dakan tenaga dalamnya, "Urusan memang harus diselesaikan! Katakan, di mana Mata
Malaikat berada"!"
"Wah! Kau ini penasaran sekali, ya" Kan tadi
sudah kukatakan kalau aku.... Heiiittt!!"
Tirta menghentikan ucapannya dan langsung
melesat meninggalkan dahan pohon yang didudukinya
tatkala si gadis sudah mencelat ke depan seraya men-
dorong kedua tangannya.
Wuuuuttt! Praaakkk! Kembali dahan yang diduduki Tirta tadi lang-
sung pecah berantakan, sementara sebagian batang
pohon itu menjadi sempal dan sebagian daun pohon
itu berguguran. Bersamaan dengan itu, Dewi Kembang
Maut membalikkan tubuh. Dan menyusulkan satu se-
rangan berikutnya pada Tirta.
Tirta cepat melompat ke kiri. Dan....
Blaaarrr!! Semak belukar yang ada di belakangnya terca-
but hingga ke akar dan beterbangan entah ke mana.
Kali ini Tirta cukup tercekat mendapati serangan yang lebih mengerikan dari yang
pertama. "Edan! Gadis ini jelas tidak main-main! Aku in-
gin tahu mengapa dia begitu penasaran untuk menge-
tahui tentang Mata Malaikat sebenarnya"!" maki Tirta dalam hati. Lalu membuang
rumput yang tadi digigit-nya. Bersamaan Dewi Kembang Maut menderu
kembali, Tirta menekan perutnya sejenak. Sesuatu
bergejolak di sana. Tenaga surya yang berasal dari
Rumput Selaksa Surya yang dihisapnya tak sengaja,
yang berpusat di pusar bergolak. Lalu....
Wuusss!! Segera didorong kedua tangannya ke muka.
Hawa panas seketika menjelma dan udara yang dingin
mendadak berubah.
Blaaam! Blaaammm!
Kembali terdengar ledakan yang hebat akibat
benturan dua pukulan tadi. Tanah di mana terjadi
benturan itu muncrat setinggi tiga tombak. Semak be-
lukar langsung mengering dan menghitam. Tatkala
semuanya sirap, terlihat Dewi Kembang Maut surut
lima tombak ke belakang. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah segar yang segera dihapus dengan
punggung tangannya. Sementara Rajawali Emas mun-
dur dua tindak dengan tubuh bergetar.
Dewi Kembang Maut segera menggerakkan ke
dua tangannya ke atas dan ke bawah. Rupanya dia
hendak memulihkan keadaan dirinya. Kejap lain, dia
sudah melesat kembali.
Kali ini, Tirta hanya menghindar memperguna-
kan ilmu peringan tubuh yang dipadu dengan tenaga
surya yang bisa membuat tubuhnya seringan kapas.
Dalam perhitungannya, bila dia menurunkan tangan,
maka kemungkinan besar gadis ini bisa celaka. Bagi
nya, gadis ini bukanlah seorang musuh yang
harus diberi pelajaran.
Berkali-kali suara ledakan keras terjadi. Namun
bukan karena benturan pukulan. Melainkan karena
serangan Dewi Kembang Maut yang tak mengenai sa-
sarannya dan menghantam pepohonan yang langsung
tumbang berdebam dan menerbangkan semak belukar.
Saat pertarungan terjadi, Pendekar Judi dan
Dewi Berlian muncul. Rupanya, kedua muda-mudi ini
mendengar suara ledakan berulang-ulang yang cukup
keras. Keduanya cukup keheranan mendapati Tirta
sedang bertarung dengan gadis berbaju biru ketat. Lebih keheranan lagi karena
sepertinya pemuda dari Gu-
nung Rajawali itu hanya menghindar sementara la-
wannya terus mencecar habis-habisan.
Dewi Kembang Maut yang mendapati dirinya
tak mampu menaklukkan pemuda di hadapannya,
menghentikan serangan. Wajahnya pias namun kedua
matanya memancarkan sinar kemarahan tinggi. Kerin-
gat sudah membasahi sekujur tubuhnya.
"Untuk kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi,
kau tak akan bisa melepaskan diri dariku!!" Habis ka-ta-katanya yang diucapkan
dengan nada dingin penuh
kejengkelan, si gadis melesat meninggalkan tempat itu dengan membawa rasa malu
bercampur marah yang
tinggi. Rajawali Emas melihat Dewi Berlian hendak
menyusul, segera ditahannya.
"Tak perlu dikejar! Dia bukan orang berba-
haya!" Dewi Berlian pun kembali berdiri tegak. Lalu terlontar pertanyaan dari
mulutnya, "Siapa gadis itu, Kang Tirta?"
Tirta menjelaskan apa yang terjadi. Sementara
itu, diam-diam Pendekar Judi membatin, "Hebat! Tirta mengetahui kalau gadis itu
telah membuntuti sejak
Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama, tetapi aku sama sekali tak mengetahuinya." Lalu katanya seraya mengangkat
tangan kanannya yang
terdapat lima ekor burung yang berhasil ditangkapnya,
"Urusan sudah selesai. Bagaimana bila burung-burung ini ku panggang dulu?"
Tirta cuma mengangguk-angguk. Lalu melang-
kah ke sebuah batang pohon. Dicabutnya sebatang
rumput dan mulai digigit-gigitnya. Dari dahinya yang berkernyit berkali-kali
jelas sekali kalau pemuda dari Gunung Rajawali itu tengah memikirkan sesuatu.
Dia berkata dalam hati, "Kulihat urusan semakin berkem-bang jauh, tetapi aku belum
juga menemukan Goa Se-
ratus Laknat dan orang yang berjuluk Mata Malaikat.
Apa yang pernah dikatakan Pendekar Judi waktu itu
memang benar, kalau bisa jadi Mata Malaikat tidak ta-hu di mana Goa Seratus
Laknat tempat Hantu Seribu
Tangan berdiam berada. Tetapi kendati demikian, aku
tak perduli. Hmm.... Di mana pula saat ini Guru dan
Manusia Pemarah berada?"
Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya ter-
dapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan,
menarik napas pendek. Lalu melanjutkan kata-
katanya dalam hati, "Kupikir, tak mungkin aku bisa bersama Pendekar Judi dan
Dewi Berlian terus menerus. Aku harus bertindak sendiri biar semuanya lebih
jelas dan terbuka di mata. Baiklah, bila ada kesempatan, aku akan meninggalkan
keduanya."
Saat ini Pendekar Judi sudah menyalakan api
dan segera memanggang burung-burung yang tadi di
burunya sambil bersiul-siul. Dalam waktu singkat saja aroma sedap sudah
menggelitik indera penciuman.
Sementara itu, sesuatu mengusik perasaan
Dewi Berlian tatkala mendapati Tirta seperti memikirkan gadis berbaju biru ketat
tadi. Tetapi segera ditindih perasaan anehnya itu dengan berlagak membantu
Pendekar Judi memanggang.
*** Bab 4 Orang berpakaian coklat pekat agak gombrang
itu berkelebat laksana angin. Gerakannya sungguh
luar biasa. Wajahnya yang tertutup pupur putih yang
tak bisa dilukiskan bagaimana rupa orang ini, selalu memandang ke depan. Menatap
dua sosok tubuh di
muka yang bergerak sangat cepat.
"Keparat! Sampai kapan aku harus mengikuti
dua manusia sialan itu!!" maki orang berpupur putih dengan rambut digelung ke
atas dalam hati. Kendati
sudah berkelebat sekian lama, namun nafasnya masih
teratur dan tubuhnya tak basah oleh keringat sedikit pun. Mendadak saja orang
yang ternyata Sandang
Kutung ini menghentikan langkahnya. Dan langsung
berkelebat ke balik semak. Sepasang matanya tajam
memperhatikan dua sosok tubuh yang berhenti berja-
rak sepuluh tombak di hadapannya.
"Kenapa berhenti?" bentakan itu terdengar cukup keras, seperti menerabas tempat
sunyi yang di penuhi pepohonan. Saat ini senja mulai menukik dan
siap menjelma menjadi malam. "Apakah kau sudah
merasa lelah untuk adu kecepatan berlari, hah?"
Menyusul bentakan yang pertama tadi, satu
bentakan lain terdengar, tak kalah kerasnya, "Nenek jelek berkonde! Siapa yang
bilang aku hendak menga-du ilmu peringan tubuh denganmu" Sontoloyo! Kalau
ngomong, otak dipakai!!"
Nenek yang mengenakan pakaian batik kusam
dengan sebuah konde di kepalanya mendelik. Seketika
terdengar bentakannya lagi, "Kurang ajar! Ku beset mulutmu nanti!"
"Urusan membeset mulutku atau tidak, urusan
belakangan!" suara yang keras itu terdengar lagi. "Lalu apa maksudmu berhenti di
sini"!" Kakek berbaju putih dengan rambut diikat seperti ekor kuda mendengus.
Tanpa menghiraukan pertanyaan orang yang dikelua-
rkan dengan cara membentak tadi, kepalanya diedar-
kan. Sepasang matanya yang kelabu dan celong ke da-
lam itu memutari seantero tempat. Seperti menyelidik.
Si nenek yang tak lain Bidadari Hati Kejam
adanya, mendengus melihat sikap si kakek yang ter-
nyata Manusia pemarah.
Seperti diketahui, kedua orang tua yang sama-
sama mempunyai sifat keras kepala ini, kehilangan jejak si Rajawali Emas.
Sebenarnya, Rajawali Emas sen-
diri memang sengaja meninggalkan keduanya yang se-
lalu bertengkar terus menerus, untuk menyelidiki tentang Seribu Tangan yang
berdiam di Goa Seratus Lak-
nat dan bermaksud kembali lagi. Hanya karena hujan
deras dan mendengar suara orang bertarung, Rajawali
Emas akhirnya terpisah dan gagal menemukan di ma-
na Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah berada.
Kedua orang tua yang sebenarnya sama-sama mem-
punyai perasaan saling mengasihi, akhirnya memu-
tuskan untuk mencari Rajawali Emas. Dan tanpa se-
pengetahuan mereka, orang berbaju coklat gombrang
dengan wajah dipenuhi pupur putih mengikuti langkah
keduanya karena tertarik mendengar percakapan me-
reka tentang Hantu Seribu Tangan. Karena, Sandang
Kutung-pun sedang mencari Hantu Seribu Tangan pu-
la karena satu sebab. (Untuk lebih jelasnya silakan ba-ca: "Keranda Maut
Perenggut Nyawa").
"Urusan Hantu Seribu Tangan urusan belakan-
gan. Yang ada di dekat kita, adalah urusan yang baru,"
kata Manusia Pemarah tanpa menoleh pada Bidadari
Hati Kejam. Anehnya, kendati kata-kata itu tak bisa dicer-
nakan secara langsung, si nenek berkonde seperti
mengerti maksud orang.
"Kau betul, Orang Tua Pemarah! Urusan Hantu
Seribu Tangan urusan belakangan! Kalau sudah tahu
urusan membentang di dekat kita, mengapa tak segera
bertindak?"
"Sontoloyo! Gelap kedua mataku memandang
hingga tak tahu apa yang harus dilakukan!" sahut Manusia Pemarah tetap dengan
nada membentak dan ke-
dua mata melotot.
"Kalau memang begitu adanya, mengapa tak
segera kau lihat siapa dia adanya?" sahut Bidadari Ha-ti Kejam sambil menatap
tajam pada Manusia Pema-
rah. Lelaki kurus berambut dikuncir ekor kuda itu
melotot merasa diperhatikan. Dia mendengus lulu ber-
kata, "Sontoloyo! Urusan menatap ku urusan belakangan! Sebaiknya...."
Habis kata-katanya, mendadak saja tangan ka-
nannya digerakkan ke arah samping.
Wussssh! Angin yang sangat keras menghampar dan
mengeluarkan suara menderu tinggi. Orang yang di
wajahnya terdapat pupur putih yang sejak tadi kehe-
ranan mendengar percakapan kedua tokoh aneh yang
sama-sama keras kepala ini, terkesiap dengan kedua
mata melebar, tatkala dirasakan angin yang melesat
dahsyat itu mengarah kepadanya.
Dengan pekikan tertahan, orang berpupur pu-
tih ini melompat keluar.
Blaarrr!! Semak belukar yang ada di hadapan orang ber-
pupur dengan rambut digelung ke atas tadi seketika
rengkah dan terpecah. Terdorong tiga tombak ke bela-
kang. Dari tempatnya, Manusia Pemarah berkata, te-
tap dengan nada membentak-bentak, "Sontoloyo! Rupanya bukan monyet yang kulihat
tadi, tetapi orang jelek seperti kuntilanak!!"
"Orang tua pemarah bau tanah!" maki Bidadari Hati Kejam. "Mana ada kuntilanak
bisa menginjak tanah! Dasar! Mata rabun mu itu lebih baik kau colok
biar menjadi buta! Dia bukan kuntilanak! Tetapi setan kuburan yang nyasar!!"
Mendapati selorohan Bidadari Hati Kejam yang
tetap diucapkan dengan nada membentak, Manusia
Pemarah hanya mengeluarkan dengusan. Sementara
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 17 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Dendam Empu Bharada 13