Pencarian

Keranda Maut Perenggut Nyawa 2

Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa Bagian 2


"Celaka! Tiga ekor serigala!!" sentaknya terbeliak menyadari makhluk apa yang
ada di hadapannya.
Tiga pasang mata yang berasal dari tiga ekor
serigala setinggi pinggangnya itu maju selangkah demi
selangkah. Gerakan ketiga hewan buas itu begitu ang-
ker dan penuh ancaman. Tiga pasang mata merah ta-
jam mengarah pada Dewi Berlian yang tanpa sadar
bergidik pula. Dan tiba-tiba saja, tiga ekor serigala itu sudah
bergerak dengan cara menerkam diiringi gerengan
yang sangat menakutkan.
Dewi Berlian cepat bertindak dengan cara
membuang tubuh ke samping. Tubuhnya semakin ba-
sah diguyur air hujan. Ketiga hewan liar itu berbalik
arah. Kembali dengan dikawal gerengannya yang san-
gat keras, ketiganya menerkam kembali.
Dewi Berlian cepat menggerakkan kedua kaki
dan tangannya. Buk! Buk! Buk! Tiga hewan liar itu terhajar dan terpental ke be-
lakang. Namun anehnya, langsung hinggap dengan
keempat kaki terpentang dan tatapan yang semakin
melebar. "Luar biasa! Rupanya hewan ini tahan pukul
juga! Sepertinya aku terpaksa harus membinasakan
ke-tiganya!!" Belum habis kata-kata Dewi Berlian, ketiga hewan itu sudah
menerkam lagi. Gerengannya lebih
keras dengan air liur yang mengalir.
Kali ini Dewi Berlian tak mau bertindak ayal.
Ketiga hewan itu bisa mencabik-cabik tubuhnya den-
gan taring dan cakar yang tajam serta kuat. Bersa-
maan ketiga hewan itu melompat ke arahnya, dia pun
mencelat ke depan.
Kedua tangannya mendadak terlihat seperti
berkilauan, berpendar cukup terang. Rupanya si gadis
telah mempergunakan pukulan sakti 'Pusaran Kilau
Berlian' tingkat ketiga belas. Dan...
Buk! Buk! Buk! Dua ekor hewan liar itu melolong setinggi lan-
git. Tubuhnya menggelinjang berkelojotan dan kejap
lain terdiam tak berkutik. Sementara yang seekor lagi,
masih berusaha untuk berdiri. Tetapi lagi-lagi ambruk.
Pancaran sepasang mata hewan buas yang me-merah
itu sungguh mengerikan sekali.
Di tempatnya, Dewi Berlian menarik napas
pendek. Lalu mengusap wajahnya yang tertimpa air
hujan. Belum lagi dia berbuat apa-apa, mendadak de-
siran angin keras dari arah belakang menderu ke
arahnya. Murid Dewi Bulan itu dengan sigap merun-
duk seraya mengangkat tangan kanannya.
"Heeeiittt!"
Buk! Tubuhnya agak terhuyung menerima benturan
yang sangat keras itu. Matanya masih melihat satu so-
sok tubuh berputar ke belakang setelah gagal menye-
rangnya tadi. Dan hinggap dengan ringannya di; tanah
yang becek Begitu melihat siapa yang menyerangnya Dewi
Berlian lagi-lagi terhenyak. Karena, di hadapannya ada
satu sosok tubuh yang berdiri dengan cara merangkak.
Bukan seekor serigala atau hewan lainnya. Melainkan
manusia yang sedang mengeluarkan gerengan mirip
dengan serigala.
Di saat Dewi Berlian masih terpaku menyaksi-
kan wujud aneh orang dihadapinya, orang yang me-
rangkak itu telah melompat dengan cara menerkam.
Kuku-kuku tangannya mengembang dan dari mulut-
nya keluar teriakan mengerikan.
Dewi Berlian cepat bertindak dengan cara
membuang tubuh ke samping dan berputar ketika
orang itu menerjang ke arahnya lagi. Saat berputar itu
dan berkata dalam hati, "Apa yang dikatakan Guru ternyata benar. Banyak kejadian
aneh yang akan ku-
temui selama perjalananku ini. Orang penuh bulu
dengan gerakan mirip seekor serigala itu seolah pen-
jelmaan dari serigala saja. Matanya memerah dengan
air liur yang selalu menetes keluar dari mulutnya Apa-
kah.... Orang ini yang pernah kudengar dengan sebu-
tan Manusia Serigala?"
Karena masih dalam keheranannya si gadis
mendadak terkejut ketika orang itu kembali menerkam
ke arahnya. Bet!
Pakaian lengan kanan bagian atas sobek terke-
na cakaran tangan kanan orang itu. Terburu-buru si
gadis menggerakkan tangan kirinya, saat orang itu
menerkam kembali. Seperti menyadari serangan yang
datang, orang yang bergerak cepat dan menerkam ba-
gai seekor serigala itu melompat ke belakang dan hing-
gap dengan posisi merangkak.
"Celaka! Kalau hewan tadi ku bunuh bukan su-
atu masalah. Tetapi, orang ini" Apakah aku harus me-
nurunkan tangan telengas untuk menyelamatkan di-
ri?" batinnya bimbang. Sebagai seorang gadis apalagi baru pertama kali terjun ke
rimba persilatan, sungguh
membuat Dewi Berlian sulit melakukan apa yang akan
dilakukannya. Tetapi, dia pun tak mau mengambil risiko yang
tak mengenakan baginya. Makanya, begitu Manusia
Serigala menerjangnya kembali, dia pun melesat ke
muka. Mengelakkan cakaran kedua tangan lawan dan
melepaskan pukulannya tepat ke dada orang itu.
Des! "Grrrhhhhh!!" Orang itu terpelanting ke belakang. Namun sesaat kemudian dia
sudah menerkam kembali. Kali ini lebih cepat dengan kedua tangan
mengembang membentuk cakar.
"Rasanya, terpaksa aku harus menghentikan
perbuatan manusia aneh ini!" desis Dewi Berlian dan berdiri tegak dengan tatapan
tak berkedip ke arah
Orang yang sedang menerkamnya.
Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menda-
hului cepat, membuat orang itu tertahan sejenak. Lalu
dengan cepatnya Dewi Berlian melepaskan pukulan
tangan kanannya, tepat mendarat pada wajah orang
itu yang lagi-lagi terlempar ke belakang.
Dalam keremangan tempat, Dewi Berlian masih
bisa melihat kalau orang itu mengeluarkan darah dari
mulut dan hidungnya. Gerengan cukup keras terden-
gar, membuat bulu kuduk si gadis berdiri Ditunggu-
nya apa yang akan dilakukan orang itu lagi. Tetapi
orang itu justru bergerak meninggalkan tempat dengan
cara berlari mirip seekor serigala. Sementara serigala
yang terluka tadi pun menyusul dengan gerakan ter-
huyung. Dewi Berlian menarik napas panjang.
"Aneh! Makhluk apakah itu" Wujudnya seperti
manusia, tetapi gerakan dan gerengan yang keluar tak
ubahnya milik seekor serigala." Gadis berbaju merah muda itu memperhatikan
sekelilingnya. "Tubuhku sudah kepalang basah. Rasanya tak perlu lagi ber teduh.
Sebaiknya kuteruskan saja perjalanan mencari Mata
Malaikat."
Namun belum lagi gadis itu menjalankan mak-
sud, mendadak saja dilihatnya satu sosok tubuh ber
kelebat ke arahnya.
"Hmmm... Apalagi yang akan kuhadapi ini?"
*** Sosok tubuh yang dilihat oleh murid Dewi Bu-
lan itu kini menghentikan larinya tepat berjarak tiga
tombak di hadapan si gadis. Sosok pemuda yang baru
datang menyeringai.
"Wah! Dari kejauhan kudengar ribut-ribut,
mengapa cuma gadis manis yang berada di sini?" Mu-
lut pemuda yang baru datang itu langsung nyerocos
tak karuan. Rambut panjangnya yang agak acak-
acakan dan di keningnya terdapat ikatan berwarna
keemasan, disibakkannya ke belakang. Sikapnya se-
perti tak mempedulikan curahan hujan yang menerpa
tubuhnya. Di seberang Dewi Berlian menatap tak berkedip
pada pemuda yang baru datang. Dikarenakan kejadian
yang dialaminya tadi, membuat murid Dewi Bulan ini
jadi bersiaga. Suaranya tajam saat berkata-kata.
"Kalau memang sudah tahu seperti itu, menga-
pa tidak segera meninggalkan tempat?"
Pemuda itu menyeringai lebih lebar.
"Kalau memang yang kau mau seperti itu, ya
aku lakukan!" Lalu dengan segera dia berbalik. Tapi kejap itu pula dibalikkan
tubuhnya kembali menghadap Dewi Berlian. "Apakah kita tak perlu saling kenal
dulu?" " "Siapa pemuda ini sebenarnya" Bila melihat si-kapnya yang rada-rada
gendeng, aku yakin dia sebe-
narnya pemuda yang bisa diajak berkawan. Mengena-
kan pakaian berwarna keemasan dengan sebuah pe-
dang di punggungnya yang juga berwarna keemasan.
Dan di tangan kanannya, kulihat pula ada rajahan se-
pasang burung rajawali yang berwarna sama. Apakah
aku harus mengatakan siapa aku ini?"
Selagi si gadis menimbang-nimbang, pemuda
yang tak lain adalah Tirta alias si Rajawali Emas. men-
gangkat kedua bahunya.
"Kalau tidak mau pun tak jadi masalah. Dan
karena tak ada lagi yang perlu dibicarakan, sebaiknya
aku meninggalkan tempat ini.... Hei!!" Pemuda dari Gunung Rajawali itu terbuka
mulutnya lebih lebar.
Pandangannya lekat menatap dua ekor serigala yang
sudah mati. Lalu pandangannya dialihkan kepada si
gadis. "Apakah kedua hewan itu yang menimbulkan
keributan hingga kudengar dari kejauhan?"
Dewi Berlian hanya menganggukkan kepalanya.
Lalu berkata, "Tak ada yang perlu dibicarakan, sebaiknya kita berpisah di sini!"
Rajawali Emas mengangguk-angguk.
"Begitu juga boleh!"
Lalu dilihatnya gadis berbaju merah muda yang
telah basah dan seperti melekat di tubuhnya itu berke-
lebat cepat meninggalkan Tirta yang terbengong.
"Melihat gerakannya, aku yakin gadis itu bukan
orang sembarangan. Wajahnya cantik. Dan tubuhnya
tadi.... Wah! Benar-benar aduhai! Sayang aku tidak
mengetahui namanya." Kejap lain, pemuda itu mena-
tap berkeliling. "Busyet! Ke mana lagi arah yang kutempuh untuk menemui Guru dan
Manusia Pemarah"
Apa yang sedang dilakukan kedua orang tua itu" Ber-
tengkar terus menerus atau sedang bermesraan" Pasti
masih bertengkar.
Daripada kepalaku pusing mendengar perteng-
karan keduanya, tadi terpaksa mereka ku tinggalkan
Aku penasaran mendengar cerita Guru dan Manusia
Pemarah tentang si Mata Malaikat" Untuk mencari
Hantu Seribu Tangan sampai saat ini masih berada da-
lam bayangan belaka. Sebaiknya aku.... Sialan! Gara-
gara hujan lebat dan aku mendengar suara seperti
orang bertempur, aku jadi lupa jalan mana yang harus
ku tuju untuk menemukan Guru dan Manusia Pema-
rah" Brengsek! Mana tidak ada tempat berteduh lagi"
Eh! Siapa ya gadis manis tadi" Apakah dia tahu jalan
keluar dari hutan dalam suasana hujan dan gelap se-
perti ini" Pasti dia tahu, karena dia langsung berkele-
bat ke arah timur. Sebaiknya, kususul saja dia!"
Pemuda dari Gunung Rajawali itu pun segera
berkelebat ke arah Dewi Berlian melesat tadi.
*** Bab 5 Pagi telah menghampar dalam cahaya merah
sang fajar. Suasana begitu nyaman dan seolah dipe-
nuhi aroma bunga. Butiran embun yang berpadu den-
gan air hujan masih menyinggahi dedaunan, yang ten-
tunya akan lenyap tatkala sang fajar akan menjelma
menjadi Raja Siang.
Satu sosok tubuh berhenti di tempat yang agak
terbuka. Di sekelilingnya dipenuhi ranggasan semak
belukar setinggi dada dan pepohonan yang besar.
Gadis yang tak lain Sri Kedaton alias Dewi Ber-
lian memperhatikan sekelilingnya dengan pandangan
tajam. Tempat yang cukup sunyi ini membuatnya me-
rasa harus berhati-hati.
"Hujan sudah berhenti sejak tadi. Tetapi, aku
belum juga berhasil menemukan jalan keluar dari hu-
tan celaka ini. Perjalananku untuk mencari Mata Ma-
laikat rasanya semakin jauh saja," gadis itu mendumal tak karuan. Lalu dirasakan
tubuhnya yang agak leng-ket karena pakaian yang dikenakannya masih agak
basah. "Aku harus mengeringkan pakaianku ini. Ku-
rasa tempat ini cukup aman. Tetapi sebaiknya, kucari
dulu buah-buahan yang bisa ku makan sebagai peng-
ganjal perut."
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Pucuk di-
cinta ulam pun tiba, karena berjarak tiga tombak dari
hadapannya terdapat sebuah pohon manggis hutan
Dengan hanya mengibaskan tangan kanannya,
buah-buah manggis itu pun berjatuhan.
Setelah mengisi perut, si gadis berkelebat ke
balik semak. Diperhatikan sekelilingnya. Setelah kem-
bali diyakini tempat itu aman, perlahan-lahan Dewi
Berlian membuka pakaiannya. Dan diletakkannya di
atas sebuah semak pada bagian bawah.
Kini gadis itu hanya mengenakan pakaian da-
lam berwarna biru muda. Semakin nyata lekuk tubuh-
nya yang sangat sempurna.
Si gadis pun duduk di sebuah batang pohon.
Di-usap wajahnya sambil menarik napas.
"Perjalanan ini sangat melelahkan sebenarnya.


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi, aku tetap ingin tahu rupa orang yang telah
membunuh kedua orang tuaku. Menurut cerita Guru,
kedua orang tuaku berjuluk Sepasang Pengantin Ab-
adi. Ah, tentunya mereka sangat rukun membina hu-
bungan suami istri hingga dijuluki demikian."
Dewi Berlian berusaha untuk membayangkan
bagaimana rupa kedua orang tuanya. Dia tersenyum
sendiri ketika membayangkan seraut wajah tampan
dan cantik milik kedua orang tuanya.
"Bila saja mereka masih hidup.... Alangkah ba-
hagianya aku bisa bertemu dan bersama-sama orang
yang telah melahirkanku ini...."
Mungkin karena terlalu lelah dan harus me-
nunggu pakaiannya kering, membuat Dewi Berlian
menguap berkali-kali. Dia berusaha menahan rasa
kantuknya dengan cara membayangkan kembali rupa
kedua orang tuanya. Tetapi, angin berhembus semilir,
membuat kantuknya tak bisa lagi ditahan. Sesaat ke-
mudian, gadis itu pun terlelap bersandar di sebuah ba-
tang pohon. Waktu sepenanakan nasi pun berlalu, tetapi
Dewi Berlian masih belum terjaga.
Kejap lain, mendadak saja dua sosok tubuh
muncul di sana dan tegak berdiri di hadapan si gadis
yang tertidur. Orang yang bertubuh tinggi kurus den-
gan. baju gombrang dengan jubah panjang warna hi-
tam; memandang pada kawannya yang mengenakan
pakaian coklat pekat dengan wajah yang dipenuhi pu-
pur warna putih yang berdiri di sebelahnya.
Lelaki berjubah hitam yang di pinggang kanan-
nya terdapat sebuah pundi cukup besar tertawa.
"Baru saja sembuh dari hajaran Mata Malaikat,
aku sudah dihadapkan pada satu hidangan yang san-
gat lezat. Ini sebuah rezeki yang tak mungkin ditolak.
Sandang Kutung, apakah kau setuju dengan kata-
kataku ini?" Habis melontarkan pertanyaan begitu, lelaki berjubah hitam itu
meneruskan ucapan dalam ha-
ti, "Aku tak pernah tahu bagaimana wajah orang ini sebenarnya. Selalu ditutupi
pupur putih yang sulit
menduga seperti apa wajahnya. Julukannya pun tak
kuketahui. Hanya saat .bertemu, dia sudah bersama
dengan Pemenggal Kepala. Rasanya, dia juga punya
urusan dengan Hantu Seribu Tangan. Nama orang ini
pun cukup aneh. Sandang Kutung. Namun, dalam se-
puluh tahun belakangan ini, nama itu cukup membuat
orang jeri bila berhadapan."
Orang berpakaian coklat pekat gombrong den-
gan rambut digelung ke atas itu menggeram sambil
melirik tajam mendapati pertanyaan orang. Matanya
dijerengkan. "Aku tak ingin melakukan apa yang hendak
kau lakukan. Tetapi, bila kau memang menginginkan-
nya, mengapa harus bertanya segala?" katanya dengan suara dingin.
Sepasang mata orang berwajah tirus dengan
pundi di pinggang kanannya yang tak lain Penabur Pa-
sir adanya, mengerjap beberapa kali dan matanya me-
nyusuri tubuh Dewi Berlian yang hanya dibalut pa-
kaian dalam. Ludahnya berkali-kali ditelan dan jakun-
nya turun naik. Sejenak dia mengalihkan tatapannya
pada orang yang dipanggil dengan sebutan Sandang
Kutung. "Kalau memang seperti ini, mengapa kau masih
berada di sini?"
Sandang Kutung memandang tajam mendapati
ejekan orang. Dia hanya menggeram sesaat, lalu berke-
lebat entah ke mana meninggalkan tempat itu.
"Bila saja aku belum bersumpah untuk berga-
bung denganmu guna mendapatkan Keranda Maut Pe-
renggut Nyawa milik Hantu Seribu Tangan, sudah ku-
biarkan kau mampus akibat pukulan Mata Malaikat,"
gerutu orang berpupur putih pada wajahnya.
Sementara itu Penabur Pasir masih menyusuri
tubuh molek Dewi Berlian dengan tatapan yang sema-
kin lama semakin memerah. Nafasnya yang tadi perla-
han kini berubah mendengus-dengus. Pandangannya
bertambah liar.
Tanpa membuang waktu lagi dan tak menghi-
raukan ke mana perginya orang berpupur putih, dia
segera membungkuk dan merebahkan tubuhnya di
atas tubuh Dewi Berlian. Tangan kanannya bergerak
liar meraba dada si gadis yang masih terlelap dengan
dengusan napas yang bertambah memburu.
Mungkin dikarenakan tidurnya sudah terlalu
lalu ma dan tiba saatnya untuk terjaga, .Dewi Berlian
membuka kedua matanya. Saat itu pula dirasakan ada
tangan liar yang panas meremas-remas dadanya. Se-
ketika kedua mata murid Dewi Bulan itu terbeliak le-
bar dan dengan cepat disentakkan kedua tangannya
pada tubuh kurus yang terbalut baju dan jubah hitam
panjang itu. "Kurang ajar!!"
Wuuuttt! Wuuttt!
Usai mendorong, Dewi Berlian menggerakkan
kembali kedua tangannya. Hamparan cahaya kemi-
lauan yang terang dan dibalut dengan hawa panas
menderu ke arah Penabur Pasir yang sedang menghin-
dar. Blaaam! Blaaamm!
Pukulan sakti 'Pusaran Kilau Berlian' luput dari
sasarannya dan menghantam dua batang pohon seka-
ligus yang langsung rengkah dan jatuh berdebam me-
nimbulkan suara bergemuruh.
Dewi Berlian seketika berdiri dengan tatapan
murka ke arah Penabur Pasir yang terbahak-bahak.
"Gadis Manis. Mengapa kau jadi garang seperti
ini hah, padahal tadi kudengar dengusan nafasmu
yang sudah seirama dengan keinginanku?"
"Manusia terkutuk! Mampuslah kau!!" Dewi
Berlian kembali bermaksud menyerang orang di hada-
pannya dengan pukulan sakti 'Pusaran Kilau Berlian'.
Tetapi segera diurungkan maksudnya ketika menyada-
ri kalau dirinya hanya mengenakan pakaian dalam be-
laka. Tersentak dan panik serta dengan wajah meme-
rah kedua tangannya didekapkan pada tubuhnya.
"Okkhhh!!"
Mendapati gadis itu jadi kalang kabut sendiri,
Penabur Pasir mengeluarkan tawa yang keras.
"Mengapa harus malu, bila keinginan kita bisa
bertemu," katanya penuh ejekan dan jakunnya sema-
kin turun naik "Bukankah saling membagi jalan yang terbaik?"
"Celaka! Aku tak mungkin bisa menghajar ma-
nusia terkutuk ini dalam keadaan seperti ini?" geram Dewi Berlian sambil melirik
pakaiannya yang telah kering. Posisinya dari pakaiannya itu sangat tidak men-
guntungkan. Rambatan kemarahan karena tubuhnya
sempat diraba tadi semakin menjalar tinggi.
Mendapati si gadis melirik pakaiannya dengan
cemas, Penabur Pasir yang berada sangat dekat den-
gan pakaian itu terbahak-bahak. "Mengapa kau tak segera mengambil pakaian ini"
Tetapi, kau lebih enak di-
pandang dengan hanya mengenakan pakaian dalam
saja." "Setan terkutuk! Keadaanku sangat sulit sekali!" maki Dewi Berlian
kembali dengan pandangan memerah tajam tanda kemarahannya semakin meninggi.
"Mengapa aku harus tertidur, hingga kedatangan manusia busuk ini tidak
kuketahui?"
Penabur Pasir yang merasa posisinya mengun-
tungkan, kembali mengumbar tawa hingga tubuh ku-
rusnya bergoncang. Diam-diam Dewi Berlian menarik
napas panjang. Dia memperhitungkan jaraknya den-
gan lelaki berjubah hitam itu.
Kejap lain, lelaki di hadapannya bergerak den-
gan cara menerkam. Dewi Berlian tersentak. Seharus-
nya dia bisa menahan pukulan itu dengan melepaskan
pukulan saktinya. Tetapi, dia tak mau kalau kedua
tangannya dilepaskan dari dekapan pada tubuhnya!
Gadis itu tak sudi kalau tubuhnya yang hanya menge-
nakan pakaian dalam saja dilahap bulat-bulat oleh se-
pasang mata kelabu Penabur Pasir. Maka jalan satu-
satunya hanya berusaha menghindar dan mengambil
jarak mendekati pakaiannya.
Maksudnya itu kandas karena Penabur Pasir
jelas mengetahui keinginannya. Dengan masih menye-
rang sambil tertawa-tawa, dia mengibaskan tangannya
menghalangi gerakan si gadis, hingga mau tak mau si
gadis harus melompat ke belakang.
"Hanya sekali saja kubiarkan kau bisa bermain-
main. Selebihnya, kita bisa bersatu dalam pacuan bi-
rahi tinggi!" seringai Penabur Pasir sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam
pundi yang telah di
buka-nya. Ketika diangkat, tangan kanannya itu bera-
da dalam posisi menggenggam.
Dibawanya tangan kanan yang telah meng-
genggam butiran pasir hitam ke mulutnya. Terlihat
mulutnya berkemak-kemik dan ditiupnya tangannya
berulang kali. Dari tempatnya Dewi Berlian membatin tegang
"Aku yakin, dia akan melakukan sesuatu yang tidak
kusangka. Entah apa gunanya pasir dalam geng ga-
man tangan kanannya itu. Celaka kalau dia men coba
membius ku. Sulit bagiku menghindar dengan kea-
daan seperti ini."
Kendati merasa seperti itu, Dewi Berlian tak
mau menanggung risiko. Tatkala tangan Penabur Pasir
bergerak dan melemparkan pasir-pasir dalam gengga-
mannya, Dewi Berlian cepat bergerak ke samping dan
menggerakkan kedua tangannya ke depan.
Wusss! Hamparan sinar berkilauan menggebah diiringi
dengan angin dahsyat yang keluar. Memapas pasir-
pasir hitam yang dilemparkan Penabur Pasir.
Pasir-pasir itu langsung bermentalan entah ke
mana, sementara Dewi Berlian kembali menekapkan
tangannya pada dada dengan wajah agak tegang.
Penabur Pasir terbahak-bahak.
"Luar biasa! Sangat menyenangkan sekali meli-
hat gerakan benda lembut di dadamu, Anak Manis.
Kau semakin membuatku tak sabaran!"
Tubuh gadis yang hanya berbalut pakaian da-
lam yang tipis itu sungguh sangat mengundang sekali.
Membuat si Penabur Pasir semakin tak karuan pera-
saannya. Keinginannya untuk mendapatkan gadis itu
semakin menjadi-jadi.
Dengan cepat Dewi Berlian menggerakkan tan-
gannya ke arah Penabur Pasir yang sudah mencelat ke
muka sambil menebarkan pasir-pasirnya kembali. Pa-
sir-pasir hitam yang telah diberi jampi dan berubah
menjadi racun birahi menyebar cepat ke arah murid.
Dewi Bulan. Dewi Berlian yang bertarung sambil berusaha
menutupi bagian-bagian tubuhnya menjadi tak bisa
tenang. Kalaupun dia berusaha menyerang dan seperti
membiarkan tubuhnya lepas dari dekapannya sendiri,
serangan yang dilancarkan oleh Penabur Pasir Justru
mengarah pada dada dan pangkal pahanya. Semakin
membuat si gadis kelimpungan sekaligus sangat ma-
rah. Dalam dua gebrak berikutnya dia sudah .kembali
terkurung. Dan....
Pasir-pasir yang dilemparkan oleh orang berju-
bah hitam itu menerpa ke wajahnya. Indera penci-
umannya menangkap aroma wangi yang sangat me-
rang-sang. Kejap kemudian, tubuh si gadis jatuh ter-
duduk dengan kepala terkulai.
Penabur Pasir menghentikan gerakannya dan
memperhatikan gadis di hadapannya yang nampak
kuyu seolah tak tahu apa yang terjadi.
"Sebentar lagi, kau akan jatuh ke tanganku."
Perubahan pada tubuh Dewi Berlian mulai
nampak. Kalau tadi dia begitu tegang, takut dan ma-
rah, kali ini tatkala diangkat kepalanya, wajahnya me-
rona merah. Pandangannya berkilat-kilat penuh rang-
sangan yang kuat, Kejap lain terdengar suaranya yang
mendesah-desah, "Tuan... maukah Tuan menolong-
ku" Aku.... Aku membutuhkan sekali bantuan Tuan..."
Dengan seringaian lebar Penabur Pasir melang-
kah dan menjulurkan kedua tangannya.
"Anak manis.... Sudah tentu aku akan meno-
long-mu dengan suka rela. Ayolah, mengapa kita harus
membuang waktu?"
Gadis yang telah terkena pengaruh pasir-pasir
sakti milik orang kurus berbaju dap berjubah hitam
yang telah dirapal dengan ajian pengasihan itu, mene-
rima juluran tangan orang di hadapannya. Seperti
mendapat durian runtuh, Penabur Pasir langsung
membopongnya dan merebahkan tubuh si gadis di ba-
wah sebatang pohon.
Tangan kiri yang kurus milik Penabur Pasir me-
rayap di paha mulus Dewi Berlian sementara tangan
kanannya bergerak ke arah dada. Nafasnya semakin
mendengus dengan dada bergerak turun naik.
Breet! Hanya sekali sentak, pakaian si gadis di bagian
dada langsung robek. Memperlihatkan payudara putih
membusung dan bergerak turun naik.
Penabur Pasir terbahak-bahak dengan serin-
gaian yang bertambah lebar. Tanpa membuang waktu
lagi, direbahkan tubuhnya hendak menindih tubuh
Dewi Berlian yang menggelinjang tak tahu apa yang
terjadi. Namun gerakan lelaki berwajah tirus itu terta-
han. Karena tiba-tiba saja dari arah samping diden-
garnya angin keras menderu ke arahnya.
Seketika kepala Penabur Pasir menoleh. Den-


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan keluarkan pekikan tertahan, lelaki ini menggerak-
kan kedua tangannya pula.
Wuuuttt! Blaaamm! Hamparan angin keras yang keluar dari doron-
gan kedua tangannya menghantam deru angin yang
datang. Menimbulkan suara yang sangat keras. Dari
tempat bertemunya dua pukulan itu, tanah muncrat
setinggi satu tombak dan untuk beberapa saat meng-
halangi pandangan. Sementara Dewi Berlian yang be-
rada dalam pengaruh Penabur Pasir mengeluarkan de-
sahan yang menggelisahkan hati.
"Jahanam! Siapa orang yang ingin mampus di
ta-nganku"!" bentak Penabur Pasir sambil berdiri tegak dan berusaha membuka
kedua matanya lebih lebar.
Begitu tanah yang muncrat tadi sirap, sepasang
mata liar yang marah itu menangkap satu sosok tubuh
berdiri berjarak tiga tombak di hadapannya. Sosok seo-
rang pemuda yang berdiri sambil menghisap sebatang
rumput di bibirnya.
*** Bab 6 Dari tempatnya, sepasang mata Penabur Pasir
seperti hendak melompat keluar mendapati siapa yang
melakukan serangan tadi dan sekaligus menghalangi
maksudnya pada Dewi Berlian yang masih mendesis-
desis penuh rangsangan.
"Gila! Masih begitu muda orang yang menye-
rangku ini. Tetapi pukulannya tadi cukup menanda-
kan kepandaian yang dimiliki pemuda celaka ini. Siapa
dia sebenarnya?" geram Penabur Pasir dalam hati,
dengan tatapan tak berkedip pada pemuda yang berdi-
ri di hadapannya. Lalu sejurus kemudian, dia melang-
kah satu tindak dan mengeluarkan bentakan, 'Tak ku-
sangka, kalau seorang anak muda tak tahu betapa ja-
langnya kehidupan ini! Lancang menghalangi niat Pe-
nabur Pasir, maka kematianlah akibatnya!!"
Pemuda yang berdiri tegak itu mengangkat ke-
dua alisnya yang hitam legam. Tangan kanannya men-
gambil rumput yang digigit-gigitnya tadi. Lalu di bua-
ngnya. Saat tangan kanannya terangkat tadi, ter-lihat
"sebuah rajahan burung rajawali berwarna keemasan.
Rajahan burung rajawali itu terdapat di tangan kirinya
pula. Kejap lain keluar kata-kata, "Aku tak suka
men-campuri urusan orang sebenarnya. Tetapi, bila
keadaan sangat memaksa, mau tak mau aku menjadi
lancang seperti yang kau katakan tadi."
"Sikapnya begitu tenang sekali. Aku jadi pena-
saran ingin tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi, pemuda
ini benar-benar mencari mampus!" Habis membatin
demikian, Penabur Pasir membentak kembali "Aku su-
ka sekali mengingat nama seseorang sebelum ku bu-
nuh! Karena, menambah pembendaharaan ke-matian
orang-orang dungu di hadapanku! Sebutkan nama!"
Pemuda berbaju keemasan dengan sebuah pe-
dang di punggungnya yang berwarangka penuh benang
keemasan itu kembali mengangkat alisnya.
"Aku suka sekali mengucapkan nama sebenar-
nya. Tetapi, rasanya terlalu sayang bila namaku ku-
sebutkan pada orang busuk seperti kau!!"
Meradang Penabur Pasir mendapati kata-kata
orang. Terutama, mengingat keinginannya tadi diha-
langi pemuda ini. Tanpa buang waktu lagi, lelaki ber-
jubah hitam itu sudah menggebah ke muka. Kabut hi-
tam dikawal angin kencang yang luar biasa, meluncur
ke arah si pemuda yang tak lain adalah Tirta alias si
Rajawali Emas. Rupanya, dia sudah mengeluarkan
pukulan sakti 'Sukma Neraka'-nya yang hebat.
Wuuut! Wuuut! "Untuk saat ini seharusnya aku menyela-
matkan gadis yang pernah kujumpai ini. Rupanya dia
juga belum berhasil keluar dari hutan celaka ini. Teta-
pi, orang yang mengaku berjuluk Penabur Pasir harus
kuberi pelajaran dulu!"
Memikir sampai di sana, pemuda dari Gunung
Rajawali itu pun mengembangkan kedua tangannya,
lalu dihantamkan ke depan.
Wuuut! Wuuut!! Sebuah tenaga dahsyat didahului angin meng-
gebu-gebu keras menderu ke depan.
Kabut hitam yang dilepaskan Penabur Pasir
ambyar dan beterbangan. Menyusul suara ledakan
yang cukup keras tatkala dua sambaran angin berte-
mu. Blaam!! Tubuh Rajawali Emas terhuyung ke belakang.
Di depan sana, Penabur Pasir terhuyung-huyung
mundur tiga langkah sebelum dia berdiri tegak kembali
dengan kedua mata melotot lebar.
Dadanya dirasakan sesak sekali.
"Luar biasa! Tenaga pukulannya begitu hebat
sekali! Peduli setan! Pemuda celaka ini sudah mengha-
langi keinginanku! Hhh! Ke mana perginya Sandang
Kutung keparat"!"
Dengan kemarahan memuncak, Penabur Pasir
melipatgandakan tenaga dalamnya. Kembali pukulan
sakti 'Sukma Neraka' dilepaskan. Menyusul hamparan
kabut hitam pekat, tangan kanan dan kirinya pun di-
gerakkan kembali. Kali ini pasir-pasir yang berada da-
lam pundinya bertebaran ke arah Tirta laksana anak
panah dilepaskan dari jarak dekat.
Tirta terhenyak mendapati dua serangan seka-
ligus yang cukup mengkederkan. Dengan cepat dika-
tupkan kedua tangan menjadi satu di dada. Lalu dite-
kan perutnya. Sebuah tenaga panas yang berpusat pa-
da pusarnya menyentak kuat. Bersamaan merambat-
nya panas pada sekujur tubuhnya, kedua tangannya
pun didorong ke depan.
Gelombang tenaga panas luar biasa menderu.
Kabut hitam yang dilepaskan Penabur Pasir lagi-lagi
ambyar. Menyusul butiran pasir hitamnya yang seketi-
ka tertahan dan muncrat ke atas, lalu kembali luruh.
Orang berbaju dan berjubah itu terkesiap me-
rasakan panas yang menggelora. Orang ini segera me-
mutar tubuh ke atas, dua kali berlompatan, lalu men-
gangkat kedua tangan dan berputar lagi untuk hinggap
di tanah dengan kedua kaki terpentang.
Tenaga surya yang dilepaskan Tirta, menghan-
tam pepohonan yang ada di sana yang hangus seketika
dan sisa hamparan angin panas itu menghantam po-
hon-pohon berikutnya yang langsung tumbang me-
nimbulkan suara berdebam.
Penabur Pasir sejenak tertegun seakan tak per-
caya dengan pandangan matanya. Mulutnya berkemik
cepat. Dan tanpa sadar dari mulutnya keluar desisan
keras. "Anak muda! Katakan siapa kau sebenarnya"!"
Tirta yang berdiri tegak berjarak tiga tombak di
depan orang berjubah hitam ini membatin, "Pukulan
kabut hitamnya tak begitu berbahaya karena bisa ku
halau dengan tenaga surya yang kulepaskan tadi. Te-
tapi butiran pasir yang dilepaskannya sangat berba-
haya sekali. Bertubi-tubi bagai biji timah panas. Ku rasakan tadi beberapa butir
pasir gagal ku halau dan
sempat melesat masuk pada lengan kananku yang
mendadak terasa panas."
Rupanya, saat benturan tadi terjadi, beberapa
butir pasir yang dilepaskan. orang berjubah hitam itu
melesat masuk ke lengan kanan si Rajawali Emas.
Mendadak saja dari wajah pemuda ini keluar butiran
keringat. Tubuhnya mendadak bergetar. Dia nampak
berusaha untuk menahan getaran hebat dalam tubuh-
nya. Lalu sambil mementangkan kedua mata dan
menyunggingkan senyum ejekan pemuda ini berkata,
"Sudah kukatakan tadi, orang busuk seperti kau ini tak pantas untuk mengetahui
siapa aku?" Lalu dia melanjutkan dalam hati sambil memandang Dewi Berlian
yang masih mendesis-desis penuh rangsangan tak ta-
hu apa yang terjadi, "Aku harus menyelamatkan gadis yang tengah dimabuk birahi
ini. Entah apa yang dilakukan Penabur Pasir sehingga si gadis bersikap demi-
kian. Untungnya, aku tiba di sini sebelum semuanya
terlambat."
Di seberang, Penabur Pasir menyipitkan kedua
matanya. Lalu terlihat kepalanya mengangguk-angguk
Di bibirnya tersungging seringaian lebar.
"Anak muda! Kali ini tak ku paksa kau untuk
menyebutkan nama! Tak perlu menutupi keadaan ka-
rena aku tahu apa yang telah menimpamu. Butiran
pasir neraka ku itu rupanya telah masuk ke lengan
kanan mu. Bagus! Hawa panas yang diakibatkan oleh
pasir-pasir itu akan menjalar ke seluruh tubuh mu
dan akan merejam serta menghanguskan jantung!
Nyawa mu hanya bertahan selama lima kali penana-
kan nasi! Berarti, sebelum malam datang, kau sudah
akan menemui ajal!"
"Peduli setan dengan kata-katanya!" kata Tirta dalam hati dan didengarnya lagi
ucapan orang di hadapannya yang semakin penuh ejekan.
"Kali ini, aku tak perlu banyak membuang te-
naga untuk melihat kematianmu. Karena pasir-pasir
kesayanganku akan segera mencabut nyawamu! Kepu-
tusan sudah kudapat. Kau bisa membawa gadis ini,
karena aku tahu kau pun menginginkannya!!"
Setelah mengeluarkan tawa ejekan yang sangat
keras, tubuh si Penabur Pasir segera meninggalkan
tempat itu. Sambil berkelebat dia mendesis dalam hati,
"Meskipun pasir-pasir neraka ku telah masuk ke- tubuhnya, aku yakin akan sulit
mengalahkannya. Kare-
na, pasir-pasir itu tidak akan langsung bekerja. Hanya
panas yang mendera. Berarti, pemuda celaka itu masih
tetap tangguh. Dapat ku rasakan dari serangannya ba-
rusan. Benturan tadi sebenarnya membuat jalan napas
dan darahku menjadi kacau. Aku harus lebih dulu
memulihkan keadaan bila ingin selamat. Biarlah ku
tinggalkan pemuda itu karena toh dia akan mati dalam
lima waktu penanakan nasi! Hhh! Ke mana perginya
lelaki yang berpupur seperti banci itu"!" Sementara itu, Tirta semakin merasakan
panas yang bagai merejam
seluruh anggota tubuhnya.
"Gila! Panas ini sangat mengganggu sekali.
Hmm.... Sebaiknya ku tahan dulu dengan tenaga
'Selaksa Surya'."
Perlahan-lahan pemuda itu duduk bersila. Ke-
tika dia akan memulai, mendadak saja urung karena
mendengar desisan penuh birahi dari Dewi Berlian
yang nampak kali ini mengejang-ngejang penuh eran-
gan. Perasaan Tirta sungguh tak menentu sekarang.
"Gila! Lama kelamaan kulihat gadis itu semakin
hebat didera birahi. Dari gelijangannya telah berubah
menjadi gerakan liar yang bisa membahayakannya.
Aku yakin, Penabur Pasir telah mempengaruhinya. En-
tah dengan cara bagaimana. Rasanya, aku harus me-
nyelamatkan dan memunahkan dorongan birahi dari
gadis ini."
Tak memperdulikan lagi keadaan dirinya yang
hanya memiliki waktu lima kali penanakan nasi, per-
lahan-lahan Tirta mendekati Dewi Berlian. Diambilnya
pakaian si gadis dari bawah sebuah semak. Tatkala
hendak dikenakannya pada gadis itu, mendadak saja
si gadis menariknya hingga tubuh si pemuda jatuh di
tubuh yang montok dan lembut itu.
Sejenak Tirta gelagapan. Lebih gelagapan lagi
karena tanpa sadar Dewi Berlian menciuminya disertai
erangan tinggi. Sejenak Tirta melengak dengan pera-
saan tak menentu. Berada di atas tubuh yang hanya
mengenakan pakaian dalam saja, sungguh suatu hal
yang tak mudah menemukan jalan keluarnya. Teruta-
ma ketika kepalanya ditekan oleh si gadis tepat di da-
danya. "Tidak! Aku tidak boleh larut dalam keadaan ini" Gadis ini harus
kuselamatkan."
Sebisanya Tirta melepaskan rangkulan Dewi
Berlian. Lalu dengan Cepat kedua tangannya menekan
tangan Dewi Berlian ke tanah. Pandangan mata yang
berkilat penuh birahi itu berpendar-pendar dalam ta-
tapan Tirta. Keluhan tertahan disertai desisan terden-
gar dari mulut si gadis.
"Sungguh berat menghadapi keadaan ini. Tetapi
biar bagaimanapun, aku harus menyelamatkannya.
Dan jangan sampai terperosok...."
*** Bab 7 Ke mana perginya orang berpupur putih yang
mengenakan baju coklat gombrong itu"
Setelah mendengar keinginan Penabur Pasir,
Sandang Kutung langsung meninggalkan tempat di
mana seorang gadis jelita sedang pulas tertidur dengan
pakaian dalam. Wajah di balik pupur putih yang me-
nutupi rupanya itu sebenarnya berubah. Dia ber-ulang
kali menggeram mengingat kata-kata Penabur Pasir
dan terus menjawab.
Tahu-tahu tubuh orang ini sudah berada di
tempat sangat jauh dari tempat semula, masih berada
di hutan perawan yang luas.
"Keparat betul orang berjuluk Penabur Pasir!
Tak seharusnya kuobati saat luka parah akibat seran-
gan Mata Malaikat. Kesaktian Mata Malaikat semakin
tinggi. Bahkan gabungan ilmu Penabur Pasir dengan
Pemenggal Kepala tak mampu menghadapinya. Untuk
saat ini, aku memang harus merahasiakan siapa diriku
sebenarnya. Aku harus terus tampil sebagai Sandang
Kutung sebelum bertemu dengan Hantu Seribu Tan-
gan." Orang berpupur ini menarik napas panjang,
seperti mencoba membuang segala pikiran yang me-


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nindih dadanya. Namun tiba-tiba saja kepalanya dito-
lehkan ke satu tempat. Kejap lain, dia sudah melompat
ke sebuah pohon dan berada di balik rimbunnya se-
mak Kepalanya ditelengkan. Pendengarannya di buka
lebih lebar. "Hmmm.... Suara yang terdengar itu seperti
bentakan-bentakan yang keras. Satu orang perempuan
dan satu laki-laki. Aku ingin tahu siapa mereka."
Orang berbaju coklat itu terdiam menunggu di
balik rimbunnya semak Sepasang matanya dijajarkan
ke arah kiri. Kejap beberapa saat, nampak dua sosok
tubuh keluar dari gerumbulan semak.
"Orang tua pemarah bau tanah! Ini gara-gara
kau! Ke mana perginya muridku yang kebluk itu,
hah"!" si nenek berkonde yang mengenakan pakaian
batik kusam menghentikan langkah, melotot pada
orang tua berkuncir ekor kuda.
Si kakek yang berhenti melangkah, pun melotot
tajam. "Sontoloyo! Apakah kau sudah mendadak tuli, hah"! Berulang kali kukatakan
kepadamu kalau aku
tidak tahu ke mana Tirta pergi"!
"Setan tua! Jangan bicara sembarangan!!"
"Nenek jelek pembentak! Urusan ke mana per-
ginya muridmu itu urusan belakangan! Yang terpent-
ing sekarang, kita harus mencari di mana Hantu Seri-
bu Tangan berada! Manusia keparat yang ku yakini
kakak seperguruan dari Mata Malaikat!!"
Mendengar kata-kata si kakek yang tak lain
Manusia Pemarah, si nenek berkonde yang tak lain Bi-
dadari Hati Kejam mendumal dan membuang pandan-
gan jauh-jauh. Sesaat dia masih mendumal tak karuan. Lalu
katanya, "Hantu Seribu Tangan. Bikin kepalaku jadi pusing, Bikin urusan jadi
kapiran. Di mana dia berada
sulit diketahui. Yang kita tahu, hanya sebuah tempat
yang bernama Goa Seratus Laknat." Tiba-tiba si nenek menoleh kepada Manusia
Pemarah yang langsung
mendengus, "Apakah muridku itu sudah pergi menye-
lidiki Hantu Seribu Tangan seorang diri?"
"Sontoloyo! Kau bertanya barusan karena kau
memang dungu atau kau memang tidak tahu?" seru
Manusia Pemarah dengan tatapan yang terus menerus
melotot. "Mana bisa aku menjawab pertanyaanmu ba-
rusan." "Setan tua! Kau selalu mencari gara-gara! Ingin rasanya satu waktu aku
menggempurmu habis-habisan!" geram Bidadari Hati Kejam dengan mulut
berbentuk kerucut.
Manusia Pemarah mengeram tetapi tak menge-
luarkan suara. Di atas sebuah pohon, orang berpupur berkata
dalam hati, "Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pema-
rah. Urusan apa mereka mencari Hantu Seribu Tan-
gan" Apakah mereka menghendaki pula Keranda Maut
Perenggut Nyawa, atau karena ada masalah lain" Lalu,
siapa yang dimaksud pemuda kebluk tadi" Dari uca-
pan yang terdengar, aku yakin sebelumnya mereka
bertiga. Cuma saat ini, keduanya tengah kehilangan si
pemuda." Di bawah, Manusia Pemarah berkata, "Apakah
tidak sebaiknya kita keluar dari hutan ini dan segera
mencari Hantu Seribu Tangan?"
"Bagaimana dengan muridku?" sambar Bidada-
ri Hati Kejam tetap dengan mulut berbentuk kerucut.
"Entah di mana pemuda itu berada sekarang.
Tapi aku yakin, dia bisa mengatasi rintangan yang
menghadang!" kata Manusia Pemarah kendati sua-
ranya pelan tetap dengan tekanan dalam. "Sontoloyo!
Mengapa aku bisa mencintai nenek jelek pembentak
ini" Jahanam betul! Biar ku usahakan untuk menin-
dih perasaan cinta, tetap saja rasa itu tumbuh makin
besar!" sambung Manusia Pemarah dalam hati.
Sementara itu, mendapati usul orang, Bidadari
Hati Kejam terdiam. Kejap lain dia mengangguk-
anggukkan kepalanya. "
"Kupikir, memang itulah yang terbaik Kita sege-
ra saja pergi meninggalkan tempat ini."
"Bagus! Urusan bisa kita persingkat!"
Habis kata-katanya, Manusia Pemarah sudah
melesat mendahului, si nenek berkonde yang mengge-
ram. "Keparat! Dia ingin tahu kehebatanku dalam
ilmu berlari rupanya"!" geram si nenek lalu melesat menyusul.
Sepeninggal keduanya, Sandang Kutung me-
loncat turun dari pohon dengan ringannya.
"Keduanya hendak mencari Hantu Seribu Tan-
gan. Dari ucapan yang terdengar aku yakin, kalau ke-
duanya belum mengetahui di mana Hantu Seribu Tan-
gan berada. Ini kesempatan baik. Biar kususul mere-
ka, siapa tahu akan membawaku ke Hantu Seribu
Tangan. Goa Seratus Laknat" Di mana tempat itu be-
rada?" Orang berpupur terdiam sesaat seperti menimbang keputusannya sendiri.
Lalu terdengar dengusan-
nya, "Peduli setan dengan Penabur Pasir! Mungkin saat ini dia sudah selesai
menjalankan keinginannya
pada gadis malang itu!.
Detik berikutnya, Sandang Kutung sudah ber-
kelebat ke arah perginya Manusia Pemarah dan Bida-
dari Hati Kejam.
*** Saat ini, dengan susah payah dan menahan se-
luruh gejolak yang mendadak muncul di dadanya, si
Rajawali Emas berusaha untuk menindih semua pera-
saan itu. Ditekannya kedua tangan Dewi Berlian di
atas tanah Bersamaan dengan itu, dialirkannya panas
yang berasal dari tenaga surya yang berpusat di pu-
sarnya. Tetapi baru saja tenaga surya dialirkan dan
hendak dipindahkan ke tubuh Dewi Berlian, tiba-tiba
saja terdengar keluhan tertahan dari pemuda berbaju
keemasan itu. Mulutnya mengembung besar. Terburu-buru
di- lepaskan kedua tangannya yang menekan tangan
Dewi Berlian. Dibawa kepalanya ke kiri. Dari gembun-
gan mulutnya, menyembur keluar darah merah yang
kental. Seketika dirasakan nyeri yang sangat luar biasa pada dadanya.
"Celaka! Rupanya tenaga surya tak bisa ku
pindahkan ke tubuh gadis ini. Mungkin karena terta-
han hawa panas yang berasal dari pasir-pasir keparat
milik orang yang berjuluk Penabur Pasir."
Sementara itu, begitu kedua tangannya dile-
paskan, Dewi Berlian yang masih berada dalam penga-
ruh birahi tinggi menubruknya dan menariknya hingga
bergulingan. Gadis ini menciumi sekujur tubuh Tirta
yang menjadi gelagapan.
"Gila! Sikap gadis ini justru lebih gawat dari
hawa panas yang masuk ke tubuhku. Apa yang harus
ku lakukan sekarang?"
Pemuda itu terus berusaha melepaskan rang-
kulan dan ciuman liar dari Dewi Berlian. Tetapi, deka-
pan kedua tangan si gadis ternyata tak mudah dile-
paskan. Begitu kuat merangkul kedua lehernya. Bila
dipaksakan, akan membuat si gadis kesakitan. Jalan
satu-satunya, Tirta terpaksa menotok tubuh Dewi Ber-
lian yang seketika jatuh. terbaring dalam keadaan te-
lentang. Kendati tak bisa bergerak lagi, dari mulutnya
terus mengeluarkan desisan-desisan penuh rangsan-
gan. Dengan cepat segera dikenakannya pakaian ga-
dis itu kembali. Kali ini tidak begitu sulit dilakukan.
"Aku harus cepat bergerak. Sebenarnya waktu-
ku masih cukup lama dari siksaan hawa panas akibat
pasir-pasir yang dilepaskan Penabur Pasir tadi untuk
lebih dulu membebaskan gadis ini dari siksaan yang
dideritanya. Tetapi, justru aku tak mampu menahan
rasa panas yang keluar dan berbentrokan bila ku coba
mengobati gadis ini dulu. Aku yakin, dengan bantuan
hawa panas tenaga surya mampu menghentikan sik-
saan yang dialami gadis yang sampai saat ini belum
kuketahui namanya."
Lalu tanpa melirik lagi pada Dewi Berlian, pe-
muda dari Gunung Rajawali itu duduk bersila. Saat ini
adalah waktu yang tepat untuk mempergunakan ilmu
yang diajarkan Eyang Sampurno Pamungkas alias Ma-
nusia Agung Setengah Dewa. ilmu 'Penolak Sejuta Ra-
cun'. (Untuk lebih jelasnya bagaimana Tirta menda-
patkannya, silakan baca: "Gerhana Gunung Sigun-
tang"). Perlahan-lahan Tirta menarik napas. Lalu men-
gusapkan tangannya satu sama lain. Di lain kejap,
tangannya berubah menjadi kehitaman. Sasaran per
tama adalah menahan hawa panas yang berasal dari
lengan kanannya. Menyusul dialirkannya pada seluruh
tubuhnya. Dirasakan satu sentakan yang sangat kuat se-
kali tatkala ilmu 'Penolak Sejuta Racun' mengalir ke
tangan kanannya, membuatnya menjerit tertahan ka-
rena panas yang dirasakannya sekarang seperti tusu-
kan pisau yang sangat tajam. Tanpa mempedulikan
rasa sakit yang menyiksa, Tirta terus mengalirkan te-
naga nya yang dipadu ilmu 'Penolak Sejuta Racun'. Da-
lam dua tarikan napas saja, terlihat asap putih men-
gepul dari kepalanya.. Sekujur tubuhnya pun sudah
dialiri keringat sebesar biji jagung. Cukup lama juga
waktu yang dipergunakan Tirta, Setelah dua puluh ta-
rik napas, barulah dirasakan panas yang berasal dari
pasir-pasir orang berjubah hitam tadi agak menghilang
Dan lama kelamaan lenyap sama sekali. Kendati be- gi-
tu, lengan kanannya masih dirasakan sangat lelah
Tatkala didengarnya desisan Dewi Berlian, se-
ketika Tirta menoleh. Kedua matanya terbeliak lebar
ketika mendapati tubuh gadis itu memerah seperti
udang direbus. "Gawat! Keadaan gadis ini cukup membahaya-
kan!" Bergegas Tirta memegang tubuh si gadis dan detik itu pula tangannya
diangkat karena seperti memegang bara yang luar biasa panasnya.
"Mengapa tubuhnya jadi sepanas ini?" desisnya terkejut sambil memperhatikan
wajah Dewi Berlian
yang kendati sudah semerah udang rebus, tetapi tetap
mengeluarkan desisan. "Sebaiknya, ku tahan panas
dalam tubuh gadis ini dengan tenaga surya. Aku yakin,
hawa panas yang disebabkan 'Pasir-Pasir Neraka' milik
si Penabur Pasir tak akan menghambat pengobatan ku
pada gadis ini."
Apa yang diduga Rajawali Emas memang benar.
Perlahan-lahan dialirkannya tenaga surya ke tubuh
Dewi Berlian. Desisan si gadis memang mulai melemah
dengan panas yang mulai mereda. Tetapi hanya sesaat,
karena detik berikutnya panas di tubuh gadis itu jus
tru menjadi-jadi.
' Celaka! Aku tak bisa menemukan dari mana
sumber panas ini" Aku yakin, dia seperti diracun. Te-
tapi, racun apa yang telah menimpanya?" Diperasnya otaknya untuk mengatasi
keadaan di hadapannya. La-lu terdengar suaranya agak ragu-ragu, "Apakah pasir-
pasir itu pula yang menyebabkannya" Tetapi kalau
memang iya, mengapa gadis ini bisa menjadi birahi be-
gini" Hmmm.... Apakah 'Penolak Sejuta Racun' bisa
kupergunakan untuk membantu gadis ini?" Pemuda
dari Gunung Rajawali itu terdiam sesaat. Lalu desisnya
sambil menarik napas panjang, "Aku tidak tahu apa-
kah dia terkena racun birahi ataukah satu sebab lain
yang dilakukan si Penabur Pasir. Aku juga tidak tahu
apakah ilmu 'Penolak Sejuta Racun bisa kuperguna-
kan untuk menyelamatkan gadis ini?"
Memutuskan demikian, Tirta kembali menahan
napas. Lalu kedua tangannya diusapkan satu sama
lain. Kembali terlihat kedua tangannya berubah men-
jadi kehitaman yang mengkilat. Lalu seperti menekan
udara di dada, perlahan-lahan Tirta menggerakkan ke-
dua tangannya berulang kali di atas wajah Dewi Ber-
lian. Perlahan-lahan nampak sinar hitam yang lembut
melingkupi wajah Dewi Berlian.
Dua tarikan napas berikutnya, sepasang mata
si gadis terbuka lebih lebar. Menyusul teriakan yang
sangat keras sekali, menandakan gadis itu sangat ke-
sakitan. Tetapi Tirta tak menghentikan gerakannya
sampai kemudian sinar kehitaman yang menyelimuti
kedua tangannya menghilang sama sekali. Bersamaan
dengan itu, beliakan mata dan teriakan Dewi Berlian
lenyap. Kepala gadis ini tergolek lemah dengan kedua
mata terpejam, Tirta mendesah lega. "Kelihatannya aku me-
mang bisa menolakkan racun pada orang lain dengan
ilmu 'Penolak Sejuta Racun'. Oh! Warna merah terang
yang membias di tubuh si gadis perlahan-lahan meng-
hilang. Bagus, berarti aku memang berhasil."
Perlahan-lahan Tirta membuka totokannya pa-
da tubuh Dewi Berlian yang ternyata tertidur.
"Cukup menegangkan semua ini," desisnya ke-
mudian. Dipandanginya sekeliling tempat. "Tak mungkin aku mencari Guru dan
Manusia Pemarah saat ini.
Karena, bisa saja si Penabur Pasir atau orang lain yang bermaksud jahat pada
gadis ini. Entah kemana perginya orang berjuluk Penabur Pasir itu. Dia sudah
ter- lalu sombong meninggalkanku begitu saja saat terkena
'Pasir-pasir Neraka'-nya. Hmmm... Sambil menunggu
gadis ini siuman, baiknya aku mencari makanan du-
lu." *** Bab 8 Senja telah datang ketika Dewi Berlian terban-
gun dari tidurnya. Gadis ini merasa kepalanya sangat
berat. Bahkan sepasang matanya sangat berat untuk
di-buka. Tetapi mendadak saja gadis ini menyentakkan
tubuh, memaksa untuk bangkit sambil membuka ke-


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua matanya tatkala mengingat sesuatu yang mengeri-
kan. Kejap lain kembali dia rebah dengan keluhan ter-
tahan. Tirta yang duduk di dekatnya buru-buru berka-
ta, "Jangan banyak bergerak dulu. Karena kau masih lemah." Mendengar suara orang
di dekatnya, Dewi Berlian memaksa membuka kedua matanya.
"Oh desisnya pelan, tertahan sambil menutup
matanya. Kembali rasa pusing menyengat kepalanya.
Tirta hanya terdiam. Sebaiknya, dia memang
membiarkan gadis itu dulu. Karena pikirnya, bila gadis
itu sudah cukup lama terjaga, maka rasa pusing di ke-
palanya akan hilang.
Setelah beberapa saat berlalu, dilihatnya gadis
itu membuka kedua matanya. Dan perlahan-lahan
bangkit dengan kedua kaki masih diselonjorkan. Gadis
yang berotak cerdik itu segera tahu apa yang terjadi.
Terutama tatkala melihat dia tidak lagi hanya menge-
nakan pakaian dalam. Kendati demikian, di edarkan
pandangannya. "Ke mana orang berjuluk Penabur Pasir. itu?"
tanyanya pelan setelah mengalihkan pandangan pada
pemuda di hadapannya.
"Tak usah memikirkan tentang dia. Yang pen
ting, kau telah selamat dari gangguannya," kata Tirta sambil tersenyum. Lalu
tanpa diminta diceritakan apa
yang telah terjadi. Tetapi, tentu saja dia tak menceritakan bagaimana gadis itu
diamuk birahi. Bagaimana dia harus mengendalikan diri meli-
hat keadaan si gadis yang akan dengan sukarela diper-
lakukan seperti apa pun. Terutama bila teringat payu-
dara montok yang putih bersih karena pakaian dalam
yang dikenakan si gadis sebelumnya telah dirobek Pe-
nabur Pasir. Karena pikirnya gadis itu dalam keadaan
tidak sadar dan tentunya tak tahu apa yang terjadi
dengan dirinya.
Dewi Berlian menatap. pemuda di hadapannya
dalam-dalam. "Terima kasih atas pertolonganmu, Saudara."
"Namaku Tirta."
Dewi Berlian yang yakin kalau pemuda yang
pernah bertemu dengannya ini bukan orang jahat ber-
kata, "Kau boleh memanggilku dengan sebutan Dewi
Berlian." "Kau tentunya lapar. Sebaiknya kau makan du-
lu." Tirta memberikan sisa daging burung yang, tadi
dipanggangnya. Sambil menunggui si gadis menikmati
daging burung itu, Tirta bertanya siapa dan sedang
melakukan apa gadis ini.
Merasa tak ada salahnya menceritakan siapa
dirinya dan apa yang hendak dicarinya, Dewi Berlian
pun mengatakannya. Tirta melengak sambil menatap
lurus ke depan setelah Dewi Berlian menutup penu-
turannya. "Gadis ini pun bermaksud mencari Mata Malai-
kat?" Hmm... Tragis betul apa yang dialami sebenarnya. Kedua orang tuanya yang
tak bisa diingat lagi ba-
gaimana rupanya, telah tewas di tangan Hantu Seribu
Tangan. Tak ada salahnya bila kukatakan pula tuju-
anku." Habis membatin begitu, Tirta pun menceritakan pula tujuannya yang
didengarkan si gadis dengan seksama. Setelah selesai mendengar kata-kata Tirta
ke- mudian Dewi Berlian ganti menatapnya.
"Benarkah?"
"Ya. Itulah yang hendak kulakukan. Dewi, bila
keadaanmu sudah lebih baik, rasanya kita harus ber-
pisah di sini."
"Oh! Kang Tirta! Apakah kau tak mau menga-
jakku untuk mencari gurumu yang berjuluk Bidadari
Hati Kejam dan Manusia Pemarah seperti yang kau ce-
ritakan" Dan kebetulan pula kita mencari orang yang
berjuluk Mata Malaikat, bukan?"
Tirta mengusap-usap rambutnya.
"Kalau begini jadinya berabe. Aku yakin gadis
yang mengaku murid Dewi Bulan ini jelas bukan orang
sembarangan. Julukan Dewi Bulan dan Dewi Berlian
memang baru kali ini kudengar. Tetapi.... Ah! Tak ada
salahnya memang," kata Tirta dalam hati. Lalu sambil menganggukkan kepalanya,
dia berkata, "Baiklah kalau begitu. Hanya saja, kita tetap mempunyai jalan
masing-masing. Dalam arti, kau bebas meninggalkan
aku dan begitu pula sebaliknya."
Dewi Berlian tersenyum.
"Tak jadi masalah."
Bagi Tirta sendiri, memang bukan suatu masa-
lah. Karena dia sendiri tak ingin Dewi Berlian menga-
lami nasib sial seperti tadi. Tak lama kemudian, kedu-
anya pun sudah melangkah meninggalkan tempat itu.
Tujuan pertama si Rajawali Emas, jelas untuk men-
jumpai kembali Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pe-
marah. Sementara saat melangkah, Dewi Berlian
membatin, "Melihat tutur sapanya, jelas Kang Tirta memiliki kesopanan tinggi.
Sayangnya, aku tidak tahu
apa julukannya. Lagi pula.... Oh! Apakah tadi dia juga
melihatku yang hanya mengenakan pakaian dalam sa-
ja?" Wajah Dewi Berlian tiba-tiba memerah. Tetapi
dia merasa beruntung karena Tirta yang terus melang-
kah tanpa mengucapkan sepatah kata sambil mengin-
gat-ingat jalan mana yang akan dilaluinya untuk men-
jumpai gurunya dan Manusia Pemarah, tak meliriknya
sekali pun. Namun, sampai hamparan malam telah mem-
bentang, Tirta tak menemukan kedua orang yang di"
carinya. Lalu diputuskan untuk keluar dari hutan ini.
*** Pagi telah menghampar ketika Rajawali Emas
dan Dewi Berlian tak sengaja tiba di sebuah dusun
yang cukup ramai. Mereka memasuki sebuah kedai
yang rupanya hanya satu-satunya kedai di sa-
na. itu pun cukup banyak didatangi orang. Bila meli-
hat beberapa ekor kuda yang ditambatkan di luar ke-
dai itu, berarti banyak pula pendatang yang mengisi
perut di sana. Terdengar pula suara-suara ramai di sudut ke-
dai. Rupanya, di bagian kedai paling ujung itu terdapat sebuah perjudian.
Seorang pemuda berbaju putih dengan rambut panjang tergerai bebas, sedang menang
berkali-kali dalam permainan judi koprok itu. Bandar
judi yang memperhatikan sejak tadi sambil menghisap
kawung, nampak gelisah sekali. Dia seorang lelaki se-
tengah baya berwajah kasar dan mengenakan baju hi-
tam dengan ikat pinggang merah. Sepasang matanya
yang besar berulang kali melirik si pemuda tampan
yang sesekali bertepuk tangan atau bersorak bila dia
menang. Lalu diraupnya sejumlah uang yang di-
menangkan. "Menyenangkan sekali. Sangat menyenangkan,
desisnya berulang-ulang. Tangannya menyambar tuak,
lalu menenggaknya. Di belakangnya, seorang gadis
mengenakan baju biru tipis memijit-mijit lehernya dan
sesekali mengeluarkan bisikan merayu. Tetapi si pe-
muda tak menghiraukan rayuan itu.
lelaki yang memainkan dadu di dalam sebuah
batok kelapa, berulang kali mengusap keringatnya dan
melirik takut-takut pada sang bandar yang memperha-
tikannya dengan tatapan tajam. Sementara be- berapa
orang yang tadi turut serta, sudah bangkit dari tempat
duduk masing-masing. Mereka lebih suka memperha-
tikan kemujuran si pemuda yang tentunya dengan ta-
tapan iri. Si pemuda berbaju putih bersih itu berkata
sambil tertawa, "Sekarang, ku lipat gandakan taruhan ku." Dengan sangat cekatan
lelaki kurus itu memainkan batok kelapa yang di dalamnya berisi tiga
buah dadu. Terdengar bunyi 'koclok-koclok' berulang
kali, sebelum akhirnya batok kelapa itu ditangkupkan
di meja. Si pemuda mengusap-usap kedua tangannya
dengan sikap tak sabar. Lalu katanya, "Aku meminta biji kecil! Di bawah
sepuluh!" Sementara yang lainnya bersorak ramai, "Kecil!
Kecil! Kecil!!"
Lelaki kurus yang tangannya kini berada di me-
ja melirik ke arah sang bandar. Begitu dilihatnya si
bandar menganggukkan kepala, segera dibukanya ba-
tok kelapa itu dengan wajah pias.
Bersamaan dengan itu terdengar seruan ramai
dari penonton, "Kecciiiillll!!"
Si pemuda berbaju putih pun bersorak. Melihat
dua buah dadu menunjukkan tiga bulatan dan sebuah
lagi dua bulatan.
"Haya! Bagus! Aku menang lagi!!" Lalu dengan tangan terentang, dia kembali
meraup uang yang dimenangkannya.
Sang bandar berbisik pada seorang pemuda
berwajah licik di sampingnya.
"Panggil Ki Gombel."
Pemuda yang diperintah sang bandar tadi sege-
ra berlalu dan kembali lagi bersama seorang lelaki
berwajah cekung. Kumisnya panjang menjuntai tanpa
jenggot. Orang kurus bernama Ki Gombel itu menghi-
sap rokok kawung pula. Begitu melihat kemunculan-
nya, lelaki berwajah tirus yang memainkan batok kela-
pa berisi dadu tersenyum cerah. Dia berkata yakin,
"Pasang taruhan mu, Anak Muda."
"Dengan senang hati. Sangat senang hati. Ku
lipat gandakan taruhan ku lagi."
Si pemuda menyodorkan semua uang yang ada
di mejanya. Lalu mengusap-usap kedua tangannya. Le-
laki berwajah tirus segera menggerakkan kedua tan-
gannya dengan kelincahan yang sama. Hanya sekarang
bibirnya selalu tersenyum. "Kau akan ludes Anak Mu-da," geramnya dalam hati.
Setelah beberapa kali menggerakkan tiga buah
dadu dalam batok kelapa, lelaki berwajah tirus me-
nyentakkan tangannya ke meja.
Plak! Batok kelapa berisi tiga buah dadu itu terte-
lungkup di meja. Si anak muda tersenyum sambil ber-
kata "Aku minta biji di atas sepuluh!!"
Bersamaan dengan itu, Ki Gombel memegang
ujung meja dengan tangan kanannya. Dia tersenyum
seperti mengetahui jumlah angka dadu di balik batok
kelapa. Perlahan-lahan dialirkan tenaga dalamnya ke
meja. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga,
tiga buah dadu di dalam batok kelapa yang menunjuk-
kan jumlah empat belas berputar. Yang satu menun-
juk bulatan empat yang dua lagi menunjuk bulatan sa-
tu. Jumlahnya jadi enam.
Ki Gombel tersenyum merasa selesai menjalan-
kan tugasnya. Sementara para penonton sudah tak
sabar menunggu sedangkan si anak muda terus men-
gusap-usap kedua tangannya.
Tetapi ketika lelaki pengocok dadu hendak
mengangkat batok kelapa di hadapannya, mendadak si
pemuda berkata, "Tunggu! Jangan dibuka dulu. Aku
mau menenangkan pikiran."
Lalu tanpa menghiraukan tatapan protes dari
mata si pengocok dadu, pemuda itu bangkit dan berja-
lan berkeliling seperti kurang kerjaan. Ketika melintasi meja di mana Rajawali
Emas dan Dewi Berlian sedang
menyantap hidangan, dia melirik. Tirta balas melirik
Dan nyengir pula seperti yang dilakukan si pemuda.
Pendekar Elang Salju 9 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Naga Pembunuh 14
^