Pencarian

Misteri Batu Bulan 2

Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Bagian 2


biasa. "Guru pernah menceritakan tentang dirimu,
Orangtua."
"Bagus! Apakah kau sudah bertemu dengan gurumu?"
Dayang Pandan menganggukkan kepalanya.
"Apakah dia sudah mendapat petunjuk di mana
Kitab Pamungkas berada?"
Gadis berjubah putih itu menggelengkan kepalanya. Lalu diceritakan apa yang
dikatakan gurunya
saat bertemu dengannya dan dua saudaranya.
Iblis Tanpa Jiwa terdiam. "
"Huh! Aku tak tertarik mengikuti rencana Ratu
Jagat Raya untuk menyandera gadis bernama Ayu Wulan! Untuk saat ini, keinginanku
tetap Rajawali Emas.
Bila saja saat itu Wung Hadiguna tidak datang. sudah
kucabut nyawa pemuda dari Gunung Rajawali itu!" kata
Iblis Tanpa Jiwa dalam hati.
Lalu pandangannya kembali diarahkan pada
Dayang Pandan yang kini benar-benar tenang, menandakan dia tak lagi menaruh
takut. Dan gadis itu tidak
tahu, tatkala sepasang mata yang celong ke dalam itu
menyipit, ada binar birahi di sana.
"Mengapa aku begitu bodoh"!" desis si pemilik
mata celong itu dalam hati. "Mengapa harus terus memaksakan diri mengejar
Rajawali Emas! Bukankah di
sini ada makanan lezat tiada tara yang sudah tentu
harus kunikmati dan dapat menghilangkan kegeramanku barang sejenak" Peduli setan
dia murid Ratu Jagat Raya! Karena rupanya gadis ini sudah ditakdirkan
untuk menjadi tempat pelampiasanku!"
Dengan menyembunyikan niat busuknya, Iblis
Tanpa Jiwa berkata, "Di manakah Gurumu sekarang?"
Tanpa prasangka buruk Dayang Pandan berkata, "Aku tidak tahu di mana Guru
berada." "Lantas... kau sendiri hendak ke mana?"
"Sebenarnya aku menunggu dua saudaraku, Tetapi rasa-rasanya, mereka tak akan
datang." "Sialan! Bila saja keduanya datang yang kuyakini juga gadis montok macam gadis
itu, sudah tentu pestaku akan semakin meriah!" maki Iblis Tanpa Jiwa dalam hati.
Lalu berkata. "Bila kau tak tahu apa yang
harus kau lakukan sekarang, sebaiknya ikut denganku!"
Dayang Pandan yang tak tahu rencana apa yang
ada di benak Iblis Tanpa Jiwa segera menganggukkan
kepala. "Dengan cara mengikutinya, berarti urusanku
akan lebih mudah," katanya dalam hati.
Sepasang mata Iblis Tanpa Jiwa makin berbahaya dan menyiratkan birahi yang
dalam. "Kalau begitu... kita berangkat sekarang!" sahut
Iblis Tanpa Jiwa sambil memutar tubuh tanda siap bergerak.
Dayang Pandan segera menghempos tubuhnya.
Namun begitu tubuhnya mendekati Iblis Tanpa Jiwa,
mendadak saja dirasakan punggungnya disentuh se-
suatu. Menyusul dirasakan seluruh tulang belulangnya
seperti lolos dari seluruh tubuhnya. K6jap kemudian,
seperti seutas tali tubuhnya ambruk ke tanah.
"Kek! Apa yang kau lakukan"!" seru Dayang
Pandan kaget. Lebih kaget lagi tatkala melihat kilatan
birahi dari sepasang mata Iblis Tanpa Jiwa.
"Aku telah memutuskan untuk' bersenangsenang denganmu! Dan tak seorang pun yang dapat
menghalangi niatku!" sahut Iblis Tanpa Jiwa tersenyum
aneh. Kekagetan yang tadi melingkupi tubuh Dayang
Pandan kini berubah menjadi ketakutan. Sepasang matanya bergerak-gerak liar
dengan wajah pias.
"Guruku akan membunuhmu bila. kau melakukan itu padaku!"
"Justru gurumu yang dengan senang hati akan
menyerahkanmu padaku!" sahut Iblis Tanpa Jiwa sambil berlutut.
Kejap itu pula tangan kurusnya telah merobek
pakaian di bagian dada Dayang Pandan yang segera
perlihatkan dua busungan bukit putih mulus yang sekal.
Dayang Pandan berteriak-teriak keras dan ketakutan. Lebih ketakutan lagi tatkala
melihat Iblis Tanpa
Jiwa membuka pakaiannya sendiri.
Kejap kemudian, tubuhnya sudah menindih tubuh Dayang Pandan. "Aku menyukai
teriakan seorang
gadis! Karena, akan memberikan kenikmatan lebih padaku!"
Dayang Pandan yang tak menyangka akan terjadi peristiwa tangis seperti itu,
menggigit bibirnya kuatkuat tatkala Iblis Tanpa Jiwa merenggut paksa apa yang
dibanggakannya. Air mata kepedihan segera keluar dari
sepasang matanya.
Setengah penanakan nasi kemudian, Iblis Tanpa
Jiwa bangkit dari tubuh Dayang Pandan. Sambil tersenyum puas dikenakan
pakaiannya. "Sekarang, kau boleh mengikutiku!"
Habis kata-katanya, tubuhnya sudah melesat
cepat meninggalkan Dayang Pandan yang memaki setinggi langit. Dan mendadak saja
dia dapat menggerakkan tubuhnya. Rupanya, setelah selesai melampi-askan
nafsu bejatnya, diam-diam Iblis Tanpa Jiwa telah melepaskan totokannya.
Dengan pakaian acak-acakan, Dayang Pandan
lepaskan pukulan ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa.
Namun bisa dipastikan kalau yang ditakukannya hanya
sia-sia belaka.
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang
Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya
kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini
berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.
*** Bab 7 DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang
bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia
yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan
tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan
lurus dan dapat mengendalikan waktu.
Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok
tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi
semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini
entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai
suara binatang-binatang malam.
"Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana
tempat yang bernama Bulak Batu Bulan berada. Tetapi
sejauh ini belum juga ditemukan. Dewi Awan Putih...
apakah kau tak salah dengan apa yang kau dengar dari
gurumu?" Gadis berpakaian ringkas warna jingga segera
menolehkan kepalanya pada yang bertanya tadi. Dianggukkan kepalanya seraya
berkata, "Tidak! Sudah tentu
aku tidak salah mendengar. Nek. Tanda di mana Bulak
Batu Bulan berada, adalah jalan di bawah dua buah
bukit." Si nenek yang bertanya tadi terdiam. Sebagian
wajahnya ditenggelamkan oleh caping baja yang dikenakannya. Sementara itu,
pemuda berpakaian keemasan segera membuka mulut, "Kendati jalan yang kita
tempuh masih panjang, kita harus tetap menuju ke Bulak Batu Bulan. Bila tak ada
yang merasa lelah, lebih
baik kita teruskan langkah."
Sudah tentu tak ada yang merasa lelah. Malah
mereka ngotot untuk segera tiba di Bulak Batu Bulan.
Dan diam-diam Rajawali Emas membatin, "Orang yang
mengikuti tadi rupanya benar-benar sudah lenyap.
Mungkin dia telah mendahului ke Bulak Batu Bulan.
Kalau begitu, aku tak boleh membuang waktu lagi. Lagipula, waktu yang ditentukan
oleh Guru agar aku tiba
di Bulak Batu Bulan telah lewat. Tetapi, perasaanku tetap mengatakan ada sesuatu
yang aneh."
Selagi tak ada yang membuka mulut, sepasang
mata yang tertutup oleh sebuah topeng perak tak berkedip memandang ke depan.
Sejenak orang bertopeng
perak ini menggeram dalam hati, "Jahanam! Selagi aku
punya kesempatan untuk membalas dendam pada Rajawali Emas, lagi-lagi dia bersama
orang lain. Menilik
sikap keduanya, sudah tentu mereka akrab dengan Rajawali Emas. Keparat! Terpaksa
kutunda apa yang
kuinginkan. Tetapi... mereka menyebut-nyebut tentang
tempat yang bernama Bulak Batu Bulan. Tempat apakah itu" Dan ada urusan apa?"
Terdengar suara Hantu Caping Baja, "Memang,
sebaiknya kita segera meneruskan langkah. Aku khawatir akan ada manusia sesat
yang telah mendahului tiba
di sana dan mendapatkan petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada."
Perempuan bertopeng perak yang mengerahkan
tenaga dalamnya dan terhalang oleh semak belukar serta gelapnya malam, tersentak
kaget mendengarnya.
"Kitab Pamungkas! Bukankah kitab itu yang diinginkan oleh kakek keparat bernama
Buang Totang Samudero"! Pucuk dicinta ulam pun tiba! Kali ini aku
benar-benar rela menunda untuk membunuh Rajawali
Emas! Aku harus mendapatkan Kitab Pamungkas!"
Di depan sana, Rajawali Emas berkata, "Yang
kau katakan tadi benar. Kalau begitu, kita berangkat
sekarang!"
Habis kata-katanya, pemuda yang di punggungnya terdapat sebilah pedang
berwarangka keemasan itu
sudah mendahului. Menyusul berkelebatnya Dewi Awan
Putih dan Hantu Caping Baja.
Sepeninggal mereka, orang bertopeng perak yang
mencuri dengar percakapan itu segera keluar dari tempatnya. Dengan sekali sentak
saja dia sudah berdiri tegak berjarak enam tindak dari tempatnya semula.
Pakaian panjang kuning cemerlang yang dikenakan perempuan bertopeng perak ini
berkibar dihembus angin
malam. Tampak pakaian di dadanya pernah robek, ka-
rena ditambal dengan kain merah. Kedua tangannya
mengepal dan bibirnya yang disaput gincu tipis menyeringai.
"Ini kesempatan yang tepat! Tak percuma kutinggalkan kakek keparat itu setelah
dia gagal menjalankan maksud! Lagi pula, aku masih beruntung karena ternyata
justru kakek sialan itu yang memperalatku!"
Perempuan berpakaian kuning cemerlang yang
tak lain Dewi Topeng Perak ini menggeram. Ingatannya
beralih pada Buang Totang Samudero. Secara tak disangka Dewi Topeng Perak memang
bertemu dengan Buang Totang Samudero yang sejak dulu menginginkannya. Dengan janji akan
diserahkan tubuhnya, Dewi
Topeng Perak merasa berhasil memperalat Buang Totang Samudero untuk membunuh
Rajawali Emas. Namun di luar dugaannya, justru dialah yang sebenarnya
diperalat oleh kakek berkulit hitam legam yang selalu
duduk bersila itu. Karena Buang Totang Samudero memang sedang mencari Rajawali
Emas untuk mendapatkan petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada.
Dan tatkala keduanya bertemu dengan Rajawali
Emas, Buang Totang Samudero gagal membunuh pemuda itu. Sudah tentu Dewi Topeng
Perak yang tak sengaja dipermalukan oleh Rajawali Emas menjadi
jengkel. Dia mengumpat habis-habisan hingga membuat
Buang Totang Samudero menjadi murka. Namun yang
mengejutkan Buang Totang Samudero, karena Dewi Topeng Perak sudah lenyap dari
pandangannya (Untuk lebih jelas, silakan baca serial Rajawali Emas dalam
episode: "Tumbal Nyawa Perawan").
"Hmmm... ini kesempatan bagus untuk mendapatkan Kitab Pamungkas. Petunjuk pun
kudapatkan begitu sempurna kendati tak sengaja. Sebaiknya, kuikuti saja keduanya...."
Tetapi sebelum perempuan bertopeng perak ini
bergerak, mendadak saja pendengarannya yang tajam
menangkap dua kelebatan tubuh ke arahnya.
Karena tak mau urusan menjadi panjang, Dewi
Topeng Perak segera masuk kembali ke tempat persembunyiannya semula. Lagi pula,
bila dia memaksakan diri untuk segera menyusul ketiga orang itu, dua
kelebatan yang entah siapa pasti akan melihatnya. Dan
yang dilakukannya barusan itu lebih banyak disebabkan karena dia sudah
mendapatkan petunjuk yang berarti. Biar bagaimanapun juga, Dewi Topeng Perak
kali ini menghendaki Kitab Pamungkas!
Dua kejapan mala berikutnya, tiba di sana dua
sosok tubuh. Yang mengenakan pakaian warna abuabu dan terbuka di bagian dada
hingga memperlihatkan dadanya yang bidang perdengarkan suara, "Rayi Sri
Kunting! Sebaiknya kita beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan! Dan
kupikir tempat ini cukup
aman!" Gadis berpakaian dan berikat kepala biru muda
menganggukkan kepalanya. Sedikit banyaknya tampak
kelelahan di wajahnya. Setelah pandangi si pemuda
yang tak lain Wulung Seta adanya, gadis manis yang di
punggungnya terdapat dua bilah pedang bersilangan
berkata, "Kakang Wulung... sekian lama kita jejaki tanah dan kita lalui
perjalanan, tetapi belum juga kita
mendapatkan kepastian di mana Bulak Batu Bulan berada. Bahkan, orang-orang yang
kita tanyai tak seorang
pun yang memberikan jawaban pasti."
Wulung Seta menarik napas pendek. Murid
mendiang Ki Alam Gempila ini untuk sesaat memandang gadis yang diam-diam
dicintainya. Namun dia tahu, kalau gadis itu mencintai Rajawali Emas.
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana
arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Li-
hai Langit Bumi tidak memberitahukan secara pasti.
Rayi... apakah kau pikir Tirta sudah tiba di sana?"
"Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang
diberikan oleh Raja Lihai Langit Bumi, seharusnya Kang
Tirta sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?"
"Aku tidak tahu pasti."
Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak
membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya
juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya
nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja
Lihai Langit Bumi juga
melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, orangtua
itu adalah salah seorang dari guru Rajawali Emas. Peduli setan! Bila aku
berhasil memiliki Kitab Pamungkas,
semua keinginanku termasuk membunuh Rajawali
Emas dan Buang Totang Samudero akan terlaksana
dengan mudah."
Karena terlalu gembira itulah tanpa sengaja kaki


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanan Dewi Topeng Perak menginjak sebuah ranting.
Sebenarnya sangat pelan, tetapi perempuan bertopeng
perak itu segera menegakkan kepala. Tetapi tatkala dilihatnya kedua remaja itu
tetap berkata-kata dan tak
mempedulikan suara pijakannya tadi, kini dia menjadi
tenang. Untuk saat ini, Dewi Topeng Perak merasa tak
perlu membuang tenaga percuma.
Di depan, Wulung Seta berkata, "Rayi... kita sudah sepakat untuk beristirahat
dulu di sini. Besok pagi,
barulah kita lanjutkan perjalanan."
Sri Kunting menganggukkan kepalanya;''' Wulung Seta berkata lagi, "Kalau
begitu... kau tunggu saja
dulu di sini. Aku hendak mencari makanan."
Sri Kunting menganggukkan kepalanya sambil
berkata, "Berhati-hati, Kakang Wulung."
Wulung Seta cuma tersenyum, tak berani terlalu
banyak berharap. Kejap kemudian, pemuda gagah ini
sudah berkelebat ke samping kanan.
Sri Kunting sendiri segera menyandarkan tubuhnya di
sebatang pohon. Baru dirasakan kalau kepenatan begitu menderanya. Ingatannya
kembali pada gurunya,
tatkala dia masih bersama-sama. Gadis ini mendesah
pendek. Gurunya telah tewas di tangan manusia sesat
berjuluk Seruling Haus Darah dan manusia sesat itu telah tewas di tangan
Rajawali Emas. Teringat akan Rajawali Emas, hati Sri Kunting
kembali diaduk-aduk perasaan tak menentu. Gadis ini
sangat merindukan pemuda itu. Dan disesalinya mengapa setiap kali berjumpa
kembali, semuanya berlangsung sedemikian cepat.
"Kang Tirta... apakah kau tidak tahu kalau aku
mencintaimu?" batinnya resah. Perasaan cinta kasihnya bertambah melingkar-
lingkar dalam. Keadaan ini
membuatnya tidak enak.
Gadis ini kembali tarik napas dalam-dalam. "Tidak, aku tidak boleh larut dalam
perasaan ini. Kendati
aku kerap berharap agar Kang Tirta...."
Kata-kata batin murid mendiang Pendekar Pedang ini terputus, tatkala terdengar
satu bentakan disertai menderunya gelombang angin di bagian kiri dari
tempatnya duduk. Belum lagi Sri Kunting menyadari
apa yang terjadi, terdengar letupan keras menyusul
rengkahnya semak belukar.
"Orang yang mengintip memiliki dua maksud!
Pertama bermaksud baik tanpa punya niatan apa-apa!
Kedua, kebiasaan yang sering dilakukan orang-orang
keparat! Dan menilik sikapmu itu, aku memilih yang
kedua!" Sri Kunting yang telah berdiri dengan membuka
kedua kakinya agak lebar, mengenali suara yang membentak itu. Dilihatnya satu
sosok tubuh berpakaian
kuning cemerlang melompat dan berdiri berjarak lima
langkah dari hadapannya.
Menyusul satu lompatan dari sosok tubuh yang
dikenali Sri Kunting, bergerak dengan gerakan bersalto
dan hinggap di samping kanan si gadis. ,
"Kakang Wulung... ada apa?" Sri Kunting segera
ajukan tanya. Sosok tubuh yang kini berdiri di samping kanan
Sri Kunting menjawab tanpa menoleh, sementara pandangannya tajam pada perempuan
bertopeng perak
yang sedang kertakkan rahangnya, "Semula aku tidak
tahu kalau ada manusia lain yang mencuri dengar percakapan kita! Tetapi aku
sempat mendengar suara ranting berderak tadi. Makanya kuputuskan untuk melihat.
Karena aku tak mau membuatmu tegang, aku bermaksud melihatnya sendiri. Dengan
berlagak mencari makan aku berputar. Dan kulihat perempuan bertopeng
perak itu."
"Mengapa kau menyerangnya?"
"Karena... melihat ciri perempuan itu, aku seperti teringat akan cerita Rajawali
Emas. Tentunya, dialah
yang berjuluk Dewi Topeng Perak."
Di seberang, Dewi Topeng Perak yang tak menyangka akan mendapatkan serangan
menggeram dingin. Seraya memandang tak berkedip ke depan, diamdiam dia membatin,
"Keparat! Rupanya si pemuda mendengar ranting yang kupijak! Sudah kepalang
tanggung! Mengikuti perginya Rajawali Emas pun percuma! Tetapi
aku tahu kalau mereka menuju ke Bulak Batu Bulan!
Dan kedua remaja ini nampaknya tahu banyak tentang
Bulak Batu Bulan! Bila mereka tak mau jawab pertanyaan, berarti kematianlah yang
tepat sebagai hadiah
untuk mereka!"
Menyusul bentakannya, "Orang muda lancang!
Tindakanmu sungguh tak mengenakkan dada! Dan su-
dah tentu kelancanganmu akan mendapat upah! Tetapi
aku bisa menahan bila kau dapat jawab pertanyaan!"
Wulung Seta segera menyahut, "Tak ada pertanyaan yang mesti diajukan, karena tak
ada jawab yang harus dikatakan! Lebih baik segera menyingkir dari sini!"
"Jahanam! Pemuda ini benar-benar ingin mampus rupanya!" geram Dewi Topeng Perak
sambil menindih kegeramannya. Lalu hardiknya keras, "Kalian sedang menuju Bulak
Batu Bulan! Katakan di mana tempat itu berada"!" .
Wulung Seta sunggingkan seringaian. "Apakah
dengan bertanya seperti itu kau sedang mencoba
membalikkan kenyataan, kalau kau mencoba membela
diri agar kami menyangka kalau kau tidak sedang mencuri dengar apa yang kami
bicarakan"! Huh! Permainan usang!"
Mengkelap wajah di balik topeng perak. Tak kuasa menahan amarah, perempuan
bertopeng perak ini
sudah mencelat ke depan disertai sentakan kedua tangannya. Dua gelombang angin
yang keluarkan suara
menggemuruh mengarah pada Wulung Seta dan Sri
Kunting. Serta-marta .sepasang remaja itu membuang
tubuh ke samping kanan dan kiri.
Blaaaarr! Tanah di mana tadi keduanya berdiri langsung
rengkah terhantam gelombang pukulan Dewi Topeng
Perak. Debu bercampur ranggasan semak berhamburan
di udara! Tak mau membuang waktu lagi, Dewi Topeng
Perak yang menggeram hebat, sudah kembali lancarkan
serangan. Kali ini ditujukan langsung pada Wulung Seta.
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap men-
dapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh
ke kiri. Bersamaan
dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.
Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas
menghindari gebrakan
Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya
sudah menderu deras ke
arah Wulung Seta.
Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita
ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.
Des! Des! Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng
Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah
dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya,
sepasang mata perempuan
berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.
Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke
belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan
yang terasa remuk.
"Aku tak boleh memberi kesempatan lagi," kata
Dewi Topeng Perak dalam hati. "Keduanya harus mampus secara bersamaan!"
Habis membatin begitu, perempuan sesat ini
menggeser kaki kanannya ke kiri. Menyusul kedua tangannya digerakkan ke depan.
Satu gelombang angin
dahsyat yang mencelat dari tangan kanannya mengarah
pada Wulung Seta, sementara satu gelombang angin
lainnya menderu ke arah Sri Kunting.
Kedua remaja ini segera berjumpalitan cepat.
Namun sebelum masing-masing orang menjejakkan kakinya di tanah, sambil tertawa
berderai, Dewi Topeng
Perak terus mencecar.
"Inilah upah yang kukatakan tadi!"
Malam senyap dan dingin itu kini mulai diusik
oleh keributan. Beberapa bagian tanah di sana pecah
dan membentuk lubang yang keluarkan asap. Debudebu dan ranggasan semak belukar
berhamburan di udara dan luruh kembali.
Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Seta
menggeram, "Keparat! Ini tak boleh dibiarkan!"
Berpikir demikian, sambil membuang tubuh
menghindari serangan perempuan bertopeng perak,
Wulung Seta segera menggerakkan kedua tangannya,
melepaskan pukulan 'Gerbang Marakayangan'!
Melihat Wulung Seta sudah melepaskan pukulan 'Gerbang Marakayangan', Sri Kunting
segera meloloskan sepasang pedangnya yang bersilangan di balik
punggungnya. Dengan gerakan yang cepat dimainkan
jurus 'Pedang Membelah Langit'.
Menghadapi dua serangan balik yang hebat itu,
membuat Dewi Topeng Perak terkesiap. Terutama gerakan dua buah pedang yang
dimainkan Sri Kunting dan
terus menerus bergerak ke atas dan menimbulkan suara menggemuruh.
Perempuan bertopeng perak ini segera perlihatkan kelincahannya. Namun, setelah
berhasil dihindarinya gempuran dua bilah pedang di tangan Sri Kunting, dia juga
harus menghindari gempuran Wulung Seta.
"Jahanam betul! Bila kekuatan keduanya digabungkan, cukup mengerikan kendati tak
begitu sempurna!" maki Dewi Topeng Perak. "Akan kubalas keduanya sekarang!"
Sebelum perempuan ini bertindak lebih lanjut,
satu gelombang angin mendahului melabrak, menyusul
pukulan 'Gerbang Marakayangan' yang seperti tembok
bergerak menimbulkan suara bergemuruh!
"Setan keparaattt!" maki Dewi Topeng Perak ke-
ras. Segera dirangkum seluruh tenaga dalamnya. Bersamaan makin mendekatnya
serangan Wulung Seta,
perempuan bertopeng perak ini sudah mendorong kedua tangannya.
Wussss! Blaaammm! Tempat itu seperti bergetar hebat. Bahkan Sri
Kunting mengurungkan niatnya menyerang dan bertahan dengan alirkan tenaga dalam
pada kedua kakinya
agar tidak goyah.
Terlihat tubuh Wulung Seta mencelat dua tombak ke belakang. Masih untung dia
tidak sampai jatuh
kendati saat berdiri kedua kakinya nampak goyah. Wajah pemuda berpakaian abu-abu
ini pucat pasi laksana
tanpa darah. Dadanya naik turun. Dari hidungnya
mengalir darah segar.
Melihat apa yang dialami Wulung Seta, Dewi Topeng Perak sudah menggebrak ke
depan. Namun harus
mengurungkan niat karena Sri Kunting sudah memotong gerakannya dengan pergunakan
jurus Pedang Membelah Langit'!
Kedua pedangnya bergerak laksana membelah
udara, menimbulkan suara yang keras. Dewi Topeng.
Perak mendengus. Sambil menggeram, disentakkan
tangan kirinya, menyusul tubuhnya melompat dan tangan kanan siap dihantamkan
pada kepala Sri Kunting.
Sri Kunting langsung membuang tubuh. Kendati berhasil dilakukan, tetapi kakinya
terkena sambaran gelombang angin dari pukulan Dewi Topeng Perak. Mau tak
mau kedudukannya menjadi goyah dan dia jatuh tersungkur.
Belum lagi dia dapat berdiri tegak, Dewi Topeng
Perak sudah menderu. Sri Kunting seperti termangu
melihat maut yang datang padanya. Napasnya seolah
terhenti dengan dada bergemuruh kuat.
Namun sebelum pukulan maut Dewi Topeng Perak mengenai tubuh gadis itu, Wulung
Seta yang melihat gelagat tak menguntungkan, dengan menahan
nyeri di dadanya telah menyambar Sri Kunting. Lantas
melarikannya dengan cepat.
Blaaammm! Pukulan yang dilepaskan Dewi Topeng Perak
menghantam tanah yang langsung bolong dan memuncratkan debu-debu ke udara.
"Jahanam keparat!" maki perempuan ini menyadari niatnya gagal sambil kertakkan
rahangnya. "Nyawa
kalian tak akan lepas lagi dari tanganku!"
Kejap itu pula sosok Dewi Topeng Perak sudah
berkelebat cepat.
*** Bab 8 TIGA tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di
sebuah jalan setapak. Ilalang setinggi lutut tumbuh di
kanan kiri. Jauh ke samping kanan, nampak menjulang sebuah gunung yang masih
tersaput kabut, karena pagi baru saja datang kembali. Riangnya suara burung-
burung seharusnya membuat ketiga orang itu sejenak dapat lupakan segala urusan.
Namun masingmasing orang memandang tak berkedip ke depan.
Memandang pada dua buah bukit yang masih
berjarak sekitar enam puluh tombak dari tempat mereka berdiri.
Yang berdiri di tengah langsung bersuara tak
sabar tanpa palingkan kepala, "Tirta... apakah pandanganku tidak salah?"Di depan
ada dua buah bukit. Dan
nampaknya, kita telah tiba di Bulak Batu Bulan."
Tirta yang berdiri di sebelah kanan yang bersuara tadi menganggukkan kepalanya.
Tanpa mengalihkan
pandangannya dari dua buah bukit itu, dia berkata,
"Kau benar, Ratna Sari. Sepertinya memang tempat itulah yang kita tuju. Mudah-
mudahan, di sanalah Bulak
Batu Bulan berada."
Kembali tak ada yang buka mulut. Orang yang
berdiri paling kiri dan tak lain Hantu Caping Baja
adanya, keluarkan desahan pendek, "Akhirnya... kita
berhasil juga mendapatkan petunjuk di mana Kitab
Pamungkas berada. Kitab yang belum lagi didapatkan
namun sudah menggegerkan rimba persilatan dan menebarkan silang sengketa yang
berkepanjangan. Rajawali Emas... apakah kita tidak segera ke sana?"
Pemuda dari Gunung Rajawali itu tak segera
menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju
lekat ke depan.
"Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat
sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat
petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengancam bila ada
yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak
jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru
sudah berada di sana?"
pikir Tirta. Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun
sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya
pada Rajawali Emas yang masih terdiam, "Apakah kau
memikirkan sesuatu?"
Tirta mengangguk.
"Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang
disebut Bulak Batu Bu-
lan, kita memang sebaiknya segera ke sana."
Habis kata-kata itu terucap, sosok Rajawali
Emas sudah berkelebat mendahului. Menyusul Hantu
Caping Baja dan Dewi Awan Putih. Gadis jelita yang di
pinggang rampingnya melilit seutas tali itu nampak begitu bersemangat. Setelah
sekian waktu menempuh perjalanan, rasa-rasanya mereka akan tiba di tempat yang
dituju. Delapan kali tarikan napas berlalu saat Tirta
kembali hentikan kelebatannya. Begitu pula dengan
Hantu Caping Baja dan Dewi Awan Putih. Pandangan
mereka tak berkedip pada dua buah bukit besar di hadapan. Di antara jarak kedua
bukit itu, terdapat jalan
yang cukup luas, kira-kira tiga tombak lebarnya.
Tirta diam-diam membatin, "Bila Dewi Awan Putih tak salah mendengar cerita
gurunya, tentunya tempat inilah jalan menuju ke Bulak Batu Bulan. Tetapi...
mengapa perasaanku selalu mengatakan ada yang salah" Apakah mengenai tempat
bernama Bulak Batu Bulan atau hal lainnya, aku tidak tahu...."
Hantu Caping Baja berkata tak sabar, "Untuk
apa lagi kita berdiam diri di sini" Tempat yang kita tuju
sudah ada di depan mata! Bukankah sudah seharusnya
kita mendapatkan Batu Bulan sebagai petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada?"
Dewi Awan Putih menganggukkan kepalanya.
"Kau benar. Nek. Kita tak boleh buang waktu lagi."
Tirta merasa kata-kata keduanya lebih ditujukan padanya. Dia hanya berkata,
"Hati-hati...."
Dengan mendahului langkah Hantu Caping Baja
dan Dewi Awan Putih, Rajawali Emas melangkah berhati-hati. Indera penglihatan
dan pendengarannya dibuka
lebar-lebar. Tatkala kedua kakinya mulai menginjak celah awal dari kedua bukit
itu, dirasakan angin berhembus begitu dingin dan kencang.
"Aneh! Sejak tadi kurasakan angin begitu semilir" Mengapa di sini begitu
berlainan" Seharusnya,
terhalang oleh dua buah bukit, angin tak dapat bertiup
kencang seperti ini. Menilik keadaan ini, jelas tersimpan misteri yang membuatku
penasaran untuk
mcmecahkannya."
Perubahan udara itu pun dirasakan oleh Hantu
Caping Baja dan Dewi Awan Putih. Mereka terus melangkah. Suasana dingin dan
sepi. Ditingkahi tak seorang pun yang buka mulut. Naungan sinar surya pagi
hari tak dapat tcmbusi tempat itu. Hingga terasa sangat
gelap dan angker.
Melewati celah yang kira-kira berjarak sekitar tiga puluh tombak itu, mereka
tiba di sebuah tempat
yang terbuka. Kendati terbuka, suasana di sana tetap
dingin. Angin berhembus kencang dan keangkeran meraja dalam.
Tirta menghentikan langkahnya. Menyusul kedua orang yang berada di belakangnya.
Masing-masing orang edarkan pandangan dan katupkan mulut rapatrapat.
Tirta membatin, "Sangat angker tempat ini. Ah,
aku jadi penasaran ingin mengetahui misteri apa yang
tersimpan di sini. Juga, apakah Guru sudah tiba" Kalaupun sudah, aku tak
melihatnya."
Dewi Awan Putih berkata dalam bisikan, tangannya menuding ke samping kanan,
"Tirta... apakah
aku salah melihat" Bukankah batu di samping kanan
kita itu berbentuk bulan sabit?"
Tirta segera arahkan pandangan pada batu besar yang ditunjuk oleh Dewi Awan
Putih. Hantu Caping
Baja yang juga melihat segera buka mulut, "Kau benar,
Anak gadis. Batu itu berbentuk seperti bulan sabit. Bisa
jadi batu itulah yang dinamakan Batu Bulan. Berarti...."
Hantu Caping Baja memutus kata-katanya sen-
diri. Tirta yang menyambung, "Bila memang tidak salah,
berarti di sanalah terdapat petunjuk untuk menemukan
Kitab Pamungkas. Kita segera ke sana."
Kembali masing-masing orang meneruskan
langkah, tetap dengan kewaspadaan tinggi. Tak lama
kemudian mereka telah berdiri berjarak dua langkah
dari batu yang berbentuk bulan sabit. Batu itu besar,
setinggi dada manusia dewasa. Berwarna hitam pekat.
Dan anehnya, batu itu sangat rata tanpa lubang atau
tonjolan seperti batu biasa! Menebarkan aroma wangi
yang cukup tercium.
Bukan hanya batu aneh yang ada di hadapannya yang membuat Tirta tertegun.
Berjarak lima tombak
dari tempat Batu Bulan berada, dilihatnya dua tapak
kaki besar yang sangat dikenalnya, agak melesak dalam
ke tanah. "Tapak kaki Bwana. Berarti, Bwana memang sudah tiba di tempat ini. Kemungkinan
besar kalau Guru
juga telah tiba di sini. Lantas, ke mana keduanya" Apakah mereka sudah
meninggalkan tempat itu" Tetapi
mengapa" Apakah ini masih merupakan rangkaian rahasia yang disimpan Bwana?"
Tirta terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata batinnya kembali, "Petunjuk di
mana Kitab Pamungkas berada, ada di bawah Batu Bulan ini. Menilik kedudukan batu
ini, tak sulit untuk
mendorongnya. Tetapi, bahaya telah mengancam seperti
yang diceritakan oleh Dewi Awan Putih."
"Aku akan mendorongnya," terdengar suara Dewi Awan Putih bergairah. Menyusul dia
sudah menempelkan kedua tangannya di batu hitam itu. "Luar
biasa! Batu ini sangat halus sekali!" serunya terkagumkagum.
Kejap lain sudah dialirkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Rajawali Emas yang melihat apa yang
hendak dilakukan Dewi Awan Putih bersiaga penuh un-
tuk bergerak menyelamatkan gadis itu bila terjadi sesuatu hal.
Tetapi yang mengejutkan kemudian, gadis berbaju jingga itu tak mampu mendorong
Batu Bulan! Sejenak Dewi Awan Putih terkesiap dan pandangi Batu
Bulan dengan kening berkerut.
"Aneh! Mengapa batu ini tidak bergeser juga?"
desisnya heran. Lalu dikerahkan kembali tenaga dalamnya, bahkan dilipatgandakan.
Namun batu hitam yang halus itu tetap tak bergeser dari tempatnya.
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Tirta membatin tatkala
menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan
dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.
Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar
aku coba untuk menggulingkannya!"
Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan
masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si
nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat
dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan
biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam
itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu
tetap tak bergeser!
Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama
mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga
dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.
Tirta membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti
mengisyaratkan satu
bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersamasama mendorong batu ini.
Dan bersiap bila ada bahaya
yang mengancam. Jadi, jangan sepenuhnya mencurahkan pikiran untuk dapat
mendorong batu ini."
Kejap itu pun tiga pasang tangan telah menem-
pel pada Batu Bulan. Setelah mendengar aba-aba Rajawali Emas, masing-masing
orang segera kerah-kan tenaga dalam dan mendorong. Namun batu itu tetap tak
bergeser! "Edan! Kekuatan apa yang menahannya hingga
batu ini tak bergeming!" maki Hantu Caping Baja keras.
"Kita coba lagi!" seru Tirta. Dan seraya kerahkan
tenaga surya, dicobanya mendorong kembali batu itu.
Tetapi jangankan bergeser, bergeming saja tidak!
Kali ini masing-masing orang segera mengangkat
tangan dari batu itu dengan kening berkerut sekali pun
perasaan takjub pada Batu Bulan.
"Benar-benar bukan batu sembarangan!" kata
Tirta dalam hati. "Apakah Bwana akan kupanggil untuk
meminta bantuannya menggeser Batu Bulan ini" Tetapi... menilik bekas tapak kaki
di sana, jelas Bwana sudah tiba di sini. Entah di mana dia berada. Mungkinkah
dia sudah berlalu bersama Guru?"
Untuk sekian lama tak ada yang membuka mulut. Dan selagi kesunyian menggigit,
mendadak mereka
mendengar suara bergerak berasal dari Batu Bulan!
Makin tak berkedip pandangan masing-masing
orang. Lalu lamat-lamat perubahan sangat kentara pada wajah mereka. Karena,
mendadak saja dari Batu Bulan mencelat sinar warna hitam mengerikan yang
keluarkan suara bergemuruh dahsyat!
Rajawali Emas cepat tersadar. Sembari melompat ke samping kanan, dia berseru
keras, "Selamatkan
diri kalian masing-masing!"
Seketika Dewi Awan Putih dan Hantu Caping
Baja berlompatan ke sana kemari. Pancaran sinar hitam
yang mengandung hawa panas itu semakin menebar terang. Dua buah bukit besar yang
ada di sana, sempal
dan bergetar terhantam serbuan sinar hitam yang
membuat tempat itu bertambah pekat. Pecahan ba-
tunya berhamburan, berpentalan sangat jauh.
"Celaka! Ternyata belum lagi batu itu tergeser,
bahaya sudah datang!" desis Tirta sambil terus bergulingan menjauh. "Aku harus
bertindak!"
Sebelum dia melakukan apa-apa, mendadak
terdengar seruan kesakitan dari Dewi Awan Putih.
"Aaaakhhhh!"
Tubuhnya yang tadi melompat, kini ambruk dan
bergulingan. Kaki kirinya terserempet sinar hitam itu.
Sakitnya bukan alang kepalang.
Tirta berseru pada Hantu Caping Baja yang sedang bergulingan pula di dekat tubuh
Dewi Awan Putih,
"Selamatkan gadis itu!"
Entah mendengar atau tidak seruan Rajawali
Emas, tubuh Hantu Caping Baja terus bergulingan
menjauh. "Celaka! Apa yang dilakukan nenek berpakaian
gombrang itu"!" maki Tirta terkejut. Dengan cepat dia
melompat ke depan, menghindari pendaran sinar hitam
yang mencelat ke berbagai penjuru dari Batu Bulan.
Menyusul tubuhnya segera bergulingan ke arah
Dewi Awan Putih. Tatkala tangan kanannya hendak
menyambar tubuh gadis itu, Tirta bergulingan kembali
ke arah yang berlawanan.
Blaammm! Sinar hitam itu telah menghantam tanah yang
sangat dekat sekali jaraknya dengan Dewi Awan Putih.
Gadis yang sedang kesakitan itu cepat pejamkan kedua
mata seraya bergulingan.
"Benar-benar celaka! Aku harus nekat!" desis
Tirta. Tanpa pedulikan keselamatan dirinya, pemuda
dari Gunung Rajawali ini kembali bergulingan ke arah
Dewi Awan Putih disertai seruan keras, "Julurkan tanganmu, Ratna!"
Dengan susah payah dan menahan sakit, Dewi
Awan Putih yang tahu kalau Tirta berusaha menyelamatkannya, memaksakan diri
untuk menjulurkan tangan kanannya.
Gerakan yang dilakukan Tirta sangat cepat. Begitu tangan kirinya berhasil
menyambar tangan kanan
Dewi Awan Putih, tangan kanannya segera ditepakkan
ke tanah hingga debu mengepul ke udara. Saat itu juga
tubuhnya mumbul ke udara disertai tarikan pada tangan kanan Dewi Awan Putih yang
seketika berada dalam pelukannya.
Bersamaan dengan itu, tubuh Tirta berputar
dua kali dan jatuh bergulingan di tanah. Bertumpang
tindih dengan Dewi Awan Putih.
Selagi bergulingan seperti itu, mendadak Tirta
merasakan satu gelombang angin menderu ke arahnya!
"Heiii!" menjerit tertahan pemuda ini sambil melenting ke atas. Bersamaan dengan
itu, tangan kirinya
lepaskan pukulan 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung'
tatkala sinar hitam yang menebarkan hawa panas menderu ke arahnya.
Blaaammm! Pecah sinar hitam itu, memburai ke beberapa
penjuru. Sementara Tirta sendiri melayang deras ke belakang. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Kendati
demikian, rangkulannya pada tubuh Dewi Awan Putih
tidak terlepas.
Karena keadaannya yang goyah, Tirta tak lagi
mampu kuasai keseimbangan. Tubuhnya pun ambruk!
Pada saat itu, sinar hitam yang mencelat dari Batu Bulan menderu ke arahnya!
Dewi Awan Putih yang menahan nyeri pada kaki
kirinya, segera kerahkan tenaga. Dengan merangkul Tirta kuat-kuat, digulingkan
tubuhnya ke belakang.
Blaaammm! Tanah langsung rengkah menebarkan debu-
debu ke udara. Bersamaan dengan itu, Dewi Awan Putih terus bergulingan seraya
membawa tubuh Tirta.
Perlahan-lahan Tirta mulai sadar kembali. Masih
berangkulan dia berbisik, "Ratna Sari... selamatkan dirimu!"
"Tidak! Kita telah pergi bersama-sama, mati pun
harus bersama-sama!"
Tirta mendesah pendek. Dilihatnya bagaimana
Hantu Caping Baja masih bergulingan disertai makianmakian kerasnya.
"Keadaan semacam ini tak kubayangkan sama
sekali. Yang kubayangkan bahaya yang akan datang bila Batu Bulan tergeser.
Berarti... tak ada jalan lain. Aku
harus mencobanya...."
Berpikir demikian, mendadak saja Tirta melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan
Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya
keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling
ke depan.

Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tirta langsung melompat ke udara, berputar dua
kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan
wajah tegang dan kesiagaan
tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua
tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas.
Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain.
Lalu diusapkan tangan kanannya pada lengan kirinya
yang terdapat rajahan burung rajawali keemasan. Dengan gerakan yang sangat cepat
pula, ganti dia mengusap rajahan burung rajawali keemasan di lengan
kanannya. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja dua
bayangan raksasa melesat dari kedua rajahan burung
rajawali keemasan yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa
mengeluarkan suara
sama sekali. Rupanya Rajawali Emas telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Rajawali'.
Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Gunung Rajawali ini
berseru, "Dua Roh Rajawali! Angkat dan bawa jauh-jauh batu yang mengeluarkan
sinar hitam itu!"
*** Bab 9 PADA saat yang bersamaan, di sebuah jalan setapak,
nampak berkelebat satu bayangan hitam. Kelebatan
orang ini sungguh aneh. Karena dia dalam keadaan duduk bersila. Kendati
demikian, kedua kakinya yang satu
sama lain bertekuk itu, tak kalah hebatnya dengan kedua kaki normal saat
berkelebat. Tatkala tubuhnya menyentuh tanah, saat itu pula tubuhnya sudah
membal kembali. Orang yang ternyata berkulit hitam ini dan tak
lain Buang Totang Samudero adanya, terus melesat diiringi geramnya, "Keparat! Ke
mana lagi perginya perempuan jahanam bertopeng perak itu"!"
Lelaki tua berkulit hitam legam yang selalu bersila dengan tubuh agak membungkuk
namun kepalanya tegak lurus dengan langit kembali menggeram,
"Persetan dengan perempuan itu sekarang! Persetan pula dengan Rajawali Emas! Aku
tak terlalu membutuhkan Kitab Pemanggil Mayat, karena sesungguhnya aku
tahu petunjuk kedua Kitab Pamungkas!"
Seperti kita ketahui, Buang Totang Samudero
ternyata tidak diperalat oleh Dewi Topeng Perak. Justru
kebalikannya yang terjadi. Lelaki tua berkulit hitam legam itu menginginkan
tubuh Dewi Topeng Perak, pe-
rempuan yang dicintainya sejak lama. Di samping itu
juga ternyata dia sedang memburu Rajawali Emas untuk mendapatkan Kitab Pemanggil
Mayat sebagai petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Namun sesungguhnya, dia
menyembunyikan sesuatu. Kalau dia telah
tahu di mana petunjuk kedua dari Kitab Pamungkas,
berada di Bulak Batu Bulan!
Kalau selama ini dia tak segera memburu, karena pikirnya tak seorang pun yang
tahu tentang Bulak
Batu Bulan. Di samping itu, dia lebih menginginkan hasrat birahinya pada Dewi
Topeng Perak. Tetapi sekarang, lelaki tua yang selalu duduk
bersila ini sudah langsung menuju sasaran, ke Bulak
Batu Bulan! "Beruntung aku sebenarnya, karena aku mencuri dengar percakapan Dewi Pesisir
Utara dengan muridnya yang berjuluk Dewi Awan Putih. Padahal niatku
mendatangi Dewi Pesisir Utara untuk mendapatkan petunjuk itu. Hh! Mana kutahu
kalau dia saat itu sedang
sekarat! Persetan dengan semuanya! Aku harus ke Bulak Batu Bulan!"
Selagi orang aneh yang selalu berisik itu berkelebat mendadak saja terdengar
suara, "Bila kau tak
mengajakku serta ke sana, berarti kematian akan kau
terima, Buang Totang Samudero!"
Seketika lelaki hitam legam ini menghentikan
kelebatannya. Tubuhnya duduk bersila di atas rumput.
Kepalanya langsung dipalingkan ke kanan. Pelipisnya
bergerak-gerak, sementara dagunya sedikit diangkat.
Dilihatnya seseorang telah berdiri tegak dengan
kedua tangan bersedekap berjarak delapan langkah.
"Hmm... rambut lelaki tua ini putih panjang,
menutupi sebagian wajah dan bahunya. Matanya dalam
ke rongga. Mulutnya keriput dan kulitnya sangat tipis.
Pakaian yang dikenakannya coklat kusam yang sangat
gombrang. Hmmm... siapa lagi manusianya yang memiliki ciri semacam ini kalau
bukan Iblis Tanpa Jiwa!" desis Buang Totang Samudero dengan tatapan tak berkedip
ke depan. "Keparat! Tentunya dia sudah mendengar
apa yang kukatakan! Berabe! Aku tak menghendaki berjumpa dengan manusia satu
ini! Kendati demikian...
aku tak memberi kesempatan pada orang lain yang
menginginkan Kitab Pamungkas. Setinggi apa pun ilmu
yang dimiliki orang ini, akan kuhadapi dia!"
Habis berkata dalam hati, Buang Totang Samudero perlihatkan seringaian, "Tak
kusangka, Iblis Tanpa
Jiwa yang menjual lagak lancang menghadang perjalananku! Bila tak punya
pekerjaan lain, mengapa harus
iseng menghadang"!"
Orang yang berdiri tegak itu kertakkan rahangnya. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak. Mulutnya mengembung sejenak sebelum keluar ucapan, "Tunjukkan jalan
kepadaku, di mana Bulak Batu Bulan berada"!"
"Kapiran! Dia memang benar-benar mendengarnya!" maki Buang Totang Samudero dalam
hati. Lalu katanya, "Masing-masing orang punya urusan yang harus diselesaikan sendiri!
Tetapi bila ada orang lain yang
campuri urusan orang, sudah tentu tak akan bisa dimaafkan!"
"Keparat!" mengguntur suara lelaki tua berpakaian coklat kusam gombrang.
"Rupanya kau sudah
tak sabar untuk menjemput ajal!"
"Berabe!" dengus Buang Totang Samudero dalam
hati. "Tetapi biar bagaimanapun juga, akan kuhadapi
dia!" Hari ini julukanmu akan kuubah menjadi Iblis
Tanpa Nyawa!"
Habis bentakannya, Buang Totang Samudero
sudah melesat ke arah Iblis Tanpa Jiwa, tetap dengan
posisi bersila. Mendahului lesatan tubuhnya, telah
menggebrak angin dahsyat.
Iblis Tanpa Jiwa hanya kertakkan rahang. Sertamerta digerakkan kedua tangannya.
Serangan angin deras menggebrak dahsyat ke serangan Buang Totang
Samudero. Lelaki berkulit hitam legam itu terkesiap mendapati serangan Iblis Tanpa Jiwa
lebih ganas. Kendati demikian, dia tak bermaksud menghindar. Dilipatgandakan
tenaga dalamnya.
Blarrr! Terdengar suara ledakan dahsyat begitu kedua
pukulan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu bertemu. Tanah di mana
bertemunya dua pukulan terbongkar dengan membumbungkan bongkarannya di
udara. Tubuh Buang Totang Samudero meluncur deras
ke belakang. Lalu dengan kesigapan tinggi, tubuhnya
melenting ke atas dan hinggap kembali di atas tanah.
Sementara itu, Iblis Tanpa Jiwa hanya mundur satu
tindak dengan tubuh bergetar. Dan keningnya nampak
dikernyitkan tatkala melihat tubuh Buang Totang Samudero yang bersila dan tadi
menyentuh tanah kali ini
berada sejengkal di atas tanah!
"Hmmm... rupanya dia ingin membuktikan kehebatanku! Bagus! Akan kucabut nyawanya
sekarang!"
Segera digerakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuuttl! Seberkas sinar hitam melesat cepat dari kedua
tangan kurus Iblis Tanpa Jiwa. Namun sebelum berkas
sinar hitam berkelebat, serangkum angin ganas menggebrak mendahului!
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam.
Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru
angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya se-
berkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!
Blaaar! Blaaarr!
Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan
muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai
tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok
Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya
telah tegak berdiri.
Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada
sejengkal di atas
tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
"Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya
tegang. Tetapi di lain
kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi,
aku akan tetap bertahan!"
Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh
Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah melesat kembali ke
depan. Dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas
tubuh Iblis Tanpa Jiwa, dengan sepasang kaki yang
bersila kini agak merenggang sedikit. Rupanya, Buang
Totang Samudero bermaksud menjepit kepala Iblis Tanpa Jiwa!
Iblis Tanpa Jiwa menggeram dingin. Cepat dihindarinya kelebatan sinar kuning dan
merah itu. Bersamaan dia melakukan hindaran, kedua tangannya diputar ke udara
hingga memperlihatkan warna hitam berkilat-kilat.
Bersamaan dengan kedua kaki Buang Totang
Samudero hendak menjepit kepalanya, kedua tangannya disentakkan ke atas.
Heiiii!" menjerit tertahan lelaki berkulit hitam itu
dan segera mengurungkan niat untuk menjepit kepala
Iblis Tanpa Jiwa. Segera diputar tubuhnya ke belakang.
Tetapi, lelaki tua berpakaian gombrang coklat
kusam itu, tak mau bertindak ayal. Segera saja dia
memburu ke depan didahului dorongan kedua tangannya yang segera mencelat sinar
hitam berkilat-kilat.
"Terimalah kematianmu, Keparaaaattt!"
Putus nyali Buang Totang Samudero sekarang.
Kepiasan sangat kentara sekali di wajahnya. Rasanya
tak mungkin untuk hindari serangan itu. Kendati demikian, dia tak mau mampus
dengan cara seperti itu.
Namun sebelum ditakukannya sesuatu mendadak saja satu deru angin yang mengandung
hawa dingin dan panas telah menderu ke arah Iblis Tanpa Jiwa.
Serta merta Iblis Tanpa Jiwa palingkan kepala ke kanan. Kedua tangannya yang
tadi siap mencabut nyawa
Buang Totang Samudero, segera didorong ke kanan.
Blaaammmm! Bumi laksana diguncang gempa dahsyat tatkala
benturan keras terjadi. Tanah tampak bergetar dan terbongkar, sementara semak
belukar tercabut dari akarnya dan mengangkasa. Beberapa batang pohon
bertumbangan berjarak hingga lima belas tombak dan jatuh menggemuruh.
Akibat guncangan itu, tubuh Buang Totang Samudero terpental ke belakang dan baru
berhenti setelah
menabrak sebatang pohon! Begitu tubuhnya jatuh
kembali ke depan, lelaki hitam legam ini jatuh pingsan.
Yang sebenarnya dapat memancing tawa adalah, kedudukan tubuh Buang Totang
Samudero. Tubuhnya jatuh
menungging dengan kepala mendahului menghantam
tanah. Sementara kedua kakinya yang bersila, seperti
menekan tanah kuat-kuat!
Iblis Tanpa Jiwa memutar tubuh dan bersuara
lantang, "Jahanam! Orang yang berani mengganggu kesenanganku, kematian akan
diterima!"
"E, copot, copot! Kenapa dia harus pakai teriak
macam begitu"! Apa dipikirnya aku tuli" Hei, Anak gadis! Apakah gendang
telingamu tidak pecah mendengar
suara orang jelek itu"!"
*** Iblis Tanpa Jiwa arahkan pandangan dalamdalam pada orang yang bersuara tadi.
Diam-diam dia membatin, "Menilik cirinya... jelas dia adalah Manusia Angin,
sahabat Wong Hadiguna!
Setan keparat! Biar aku tidak tahu setinggi apa kesaktiannya, aku tak akan
mcngurungkan niat membunuh
Buang Totang Samudero!"
Orang yang baru datang itu nampak acuh saja
mendapati pandangan tajam Iblis Tanpa Jiwa. Namun
gadis berjubah biru pekat yang rambutnya diikat oleh
pita warna sama, diam-diam bergetar melihat tatapan
mengerikan dari orang berpakaian gombrang warna
coklat kusam. Menyusul orang itu membentak, "Tak kusangka
kalau kita akan berjumpa, Manusia Angin"!"
Si orang tua kurus dengan kepala lonjong itu
nampak acuh saja seolah tak mendengar bentakan
orang. Malah dengan enaknya dia usap-usap kepalanya
yang dihiasi oleh rambut yang cukup tandus. Hanya
ada sejumputan kecil, tetapi di belakang panjang hingga
punggung. Mengkelap Iblis Tanpa Jiwa menyadari bentakannya hanya dianggap angin lalu oleh
orang tua yang tingginya hanya sedadanya. Dengan geram dia membentak, "Siapa yang lancang, maka
dia akan mampus!"
Lalu terlihat diputar kedua tangannya ke udara
hingga nampak hitam berkilat-kilat. Gadis berjubah biru pekat yang tak lain
Dayang Harum adanya berseru,
"Kek! Dia mau menyerangmu"!"
"E, copot, copot!" seru Manusia Angin terkejut.
Kepalanya seketika menoleh pada Dayang Harum. "Busyet! Kenapa pakai bentak-
bentak seperti itu"!"
Dayang Harum mendengus. "Apakah kau tidak
lihat orang itu akan menyerang"!"
"Kalau kau yang melihat, mengapa tidak membantuku" Kau kan bisa menyelamatkan
aku! Tapi jangan main bentak seperti tadi! Benar-benar busyet! Telingaku bisa
copot nanti!"
Dayang Harum menggerutu. Dilihatnya orang
tua yang berpakaian biru kehijauan ini kembali acuh
tak acuh. Di pinggangnya terdapat sebuah ikat pinggang yang cukup tebal, terbuat
dari kulit warna putih.
Dan di sepanjang lingkaran ikat pinggangnya terdapat
gambar hembusan angin.
"Aneh! Aku benar-benar tak mengerti akan sikapnya" Kalau begitu, biar kuhadapi
lelaki tua berpakaian gombrang warna coklat itu!"
Habis berpikir demikian, si gadis segera maju
dua tindak ke depan. Belum lagi dia keluarkan suara,
Manusia Angin sudah membentak, "Hei! Apa-apaan kau
ini"! Siapa yang menyuruhmu menghadapinya"!"
Tanpa menoleh Dayang Harum menyahut geram, "Karena kau tak mau menghadapinya!"


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa"!"
"Manusia itu harus diajar adat!"
"Iya, untuk apa"!"
"Agar dia tahu kesewenang-wenangannya akan
tuntas!" "Lantas untuk apa"!"
Kali ini Dayang Harum palingkan pandangan.
Seketika dia mendengus gusar, "Mengapa kau terus
menerus bertanya seperti itu, Kek"! Apakah tidak ada
pertanyaan lainnya"!"
"Ada! Tapi untuk apa"!"
Belum lagi Dayang Harum membuka mulut, Iblis Tanpa Jiwa sudah membentak keras,
"Kematian akan kau terima, Manusia Angin!"
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan
kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang
mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam
berkilat-kilat menggebah ke arahnya.
Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka
segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula
dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!
Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras
dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa.
Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan
tertahan, "Keparat busuk!"
Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas
tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke
kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat!
Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah"!"
Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang
dilakukannya, Dayang
Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga.
Gadis ini berbuat yang sama dengan edarkan pandangan. Tetapi tak seorang pun
yang muncul. Tatkala kepalanya dialihkan pada Manusia Angin, kakek yang
tingginya sebahu dada Dayang Harum, nampak acuh tak
acuh saja. "Aneh! Siapa yang memutus serangan Iblis Tanpa Jiwa tadi?" tanya Dayang Harum
dalam hati. "Mendapati serangan yang tak berbentuk itu, bisa dipastikan
kalau dia bukan orang sembarangan. Apakah... janganjangan... Manusia Angin yang
melakukannya" Tetapi sikapnya tetap saja acuh tak acuh."
Iblis Tanpa Jiwa yang mengkelap dengan kedua
pelipis bergerak-gerak itu memaki dalam hati, "Tak seorang pun yang muncul di
sini. Serangan tak nampak
yang tadi memapaki seranganku itu sungguh sukar ditebak dari mana asalnya. Tak
ada perubahan apa pun.
Atau... hmm, apakah tidak mungkin Manusia Angin
yang melakukannya?"
Sejenak pandangan geram Iblis Tanpa Jiwa
mengarah pada Manusia Angin yang tetap bersikap
acuh. "Sukar bila hanya menduga-duga saja. Sebaiknya... kucoba saja dengan
menjadikan gadis berjubah
biru itu sebagai sasaran."
Memikir demikian, dan tak mau gagal, Iblis Tanpa Jiwa lipatgandakan tenaga
dalamnya. Kedua lengannya yang berubah semakin hitam bertambah berkilatkilat.
Kejap itu pula segera didorong kedua tangannya
ke depan. Segera saja menggebah angin bergemuruh
tinggi disertai mencelatnya sinar hitam berkilat-kilat ke
arah Dayang Harum yang tersentak kaget.
Namun lagi-lagi sebelum dia gerakkan kedua
tangannya untuk lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es',
mendadak saja serangan yang dilancarkan Iblis Tanpa
Jiwa putus di tengah jalan.
Blaaammmm! Kali ini lebih keras letupan yang terdengar dan
memburainya sinar hitam pekat yang berkilat-kilat. Sosok Iblis Tanpa Jiwa
terhuyung dua tindak ke belakang.
Pandangannya tetap diarahkan pada Manusia Angin
yang tetap bersikap acuh tak acuh. Malah kakek aneh
itu tersenyum-senyum sendiri.
"Keparat! Kendati aku tak melihat bagaimana serangan itu datang, dapat
kupastikan sekarang kalau
yang memapaki seranganku tadi adalah Manusia Angin!
Tak kusangka kalau ilmunya sedemikian tinggi! Persetan sekarang! Biarlah Buang
Totang Samudero masih
bernapas! Aku harus selekasnya mencari dan menuju
tempat bernama Bulak Batu Bulan!"
Berpikir demikian, lelaki tua berpakaian gombrang warna coklat ini sudah memutar
tubuh. Kejap itu
pula dia melesat meninggalkan tempat itu.
"Hei!" seru Dayang Harum yang tersadar dari ketersimaannya segera melompat.
"Buat apa kau mengejarnya, Anak gadis" Biarkan saja dia pergi! Lagi pula, apa
urusannya kau menahan segala keinginan orang"!"
Mendengar suara Manusia Angin menahannya,
Dayang Harum urungkan niat. Seketika dia membalikkan tubuh. Dipandanginya si
kakek yang di pinggangnya melilit ikat pinggang tebal yang terbuat dari kulit
warna putih yang terdapat gambar hembusan angin.
"Mengapa kau melepaskannya, Kek"!" tanya
Dayang Harum. "E, copot, copot! Mengapa kau bilang aku melepaskannya" Memangnya sejak tadi dia
kuikat?" "Maksudku... manusia seperti dia tak boleh dikasihani! Dia hanya...."
"Benar!" seru Manusia Angin memutus katakata Dayang Harum. "Tetapi... apakah
manusia seperti
kau boleh dikasihani?"
Dayang Harum mendesah pelan. Teringat bagaimana sebelumnya dia adalah gadis yang
sangat kejam. Lalu buru-buru gadis ini menindih segala ingatannya, terutama
tatkala mendengar kata-kata Manusia
Angin, "Manusia semacam Iblis Tanpa Jiwa memang tak
patut dikasihani, karena dia tak memiliki lagi nurani
dan kerjanya hanya membuat darah tumpah! Tetapi
siapa peduli dia masih hidup atau tidak" Anak gadis!
Kalau kau masih ingin ikut denganku, ayo kita segera
teruskan langkah! Manusia jelek berjuluk Iblis Tanpa
Jiwa, ke mana lagi kalau bukan Bulak Batu Bulan yang
dituju"!"
jal"!"
"Tunggu, Kek! Aku punya pertanyaan menggan-
"Busyet! Apakah kau tidak kesakitan dengan barang yang mengganjal itu?"
Tak mempedulikan selorohan si kakek, Dayang
Harum berkata, "Engkaukah orangnya yang dua kali
menahan serangan Iblis Tanpa Jiwa?"
"Mengapa kau menduga begitu?"
"Karena tak ada orang lain di sini."
"Kau lihat manusia jelek yang nungging itu?"
sahut Manusia Angin sambil menunjuk. "Nah! Siapa tahu dia yang melakukannya"
Mengapa kau tidak bertanya saja padanya?"
Dayang Harum palingkan kepala pada Buang
Totang Samudero yang pingsan dengan keadaan menungging. Tatkala dia palingkan
kepalanya lagi dan
hendak ajukan tanya, dilihatnya Manusia Angin sudah
berjalan. "Aneh! Sungguh aneh! Tetapi aku yakin, kalau
dialah yang memapaki serangan Iblis Tanpa Jiwa tadi!"
Kejap berikutnya, gadis jelita berjubah biru pekat ini segera menghempos tubuh
menyusul Manusia
Angin. Tempat itu kembali dicekam sepi. Hanya tinggal
sosok Buang Totang Samudero yang pingsan ditemani
oleh tanah yang rengkah!
*** Bab 10 DUA roh rajawali raksasa yang mendadak keluar dari
lengan kanan kiri Rajawali Emas, segera berputar.
Tatkala didengarnya perintah dari Rajawali Emas, tetap
tanpa keluarkan suara, dua roh rajawali raksasa itu cepat menukik. Yang satu
dari arah kanan dan satunya
lagi dari arah kiri.
Sungguh menakjubkan apa yang terjadi kemudian. Sebelah kaki kiri dari roh
rajawali yang meluruk
dari sebelah kanan, langsung mencengkeram erat batu
yang menebarkan sinar-sinar hitam ganas itu dan sekali
sentak saja batu yang sejak semula diusahakan untuk
digeser tidak bergeming, kali ini sudah terangkat dalam
cengkeraman roh rajawali raksasa. Sedangkan yang melesat dari sebelah kiri,
langsung terbang berputaran di
atas bayangan rajawali yang mencengkeram batu hitam
tadi. Sambil berputaran seperti melindungi, roh rajawali itu terus melayang ke atas.
Menyusul roh rajawali
yang mencengkeram batu hitam tadi.
Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya
mulai mereda karena
semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang.
Mendapati hal itu, Rajawali Emas menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir
ketegangan ini."
Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum ber
henti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar
suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul
rengkahnya tanah di beberapa
penjuru. Rajawali Emas seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih,
"Menyingkir!"
Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak
percaya melihat dua bayangan rajawali raksasa yang
keluar dari lengan kanan kiri Tirta, segera bertindak cepat. Kedua kakinya
dijejakkan di atas tanah, saat itu
pula tubuhnya mumbul ke angkasa!
Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat,
membujur dan memburu disertai suara menggemuruh
yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disertai suara berderak yang sangat
keras. Beberapa buah pohon
langsung tumbang dan masuk ke dalam rengkahan tanah yang cukup lebar memanjang.
"Gila! Mungkin ini bahaya yang dimaksud oleh
Dewi Pesisir Utara! Lebih mengerikan ketimbang sinarsinar hitam tadi!" seru
Tirta sambil mencari tempat berdiri di antara tanah-tanah yang rengkah.
Pandangan masing-masing orang seperti tertutup karena debu-debu yang terbang
tadi sangat pekat
sekali. Tatkala debu-debu itu luruh kembali, kengerian
akibat berderak dan rengkahnya tanah terhenti. Saat
itu pula keadaan menjadi sunyi.
Namun yang mengejutkan kemudian dari tempat batu hitam yang dibawa oleh dua
bayangan rajawali
entah ke mana, kini nampak sebuah lubang. Dari lubang itulah menyembur asap
kuning yang menyumbat
indera penciuman. Masing-masing orang yang kini berdiri di antara tanah-tanah
yang rengkah itu segera menutup jalan napas sekuat mungkin.
"Celaka! Tak mungkin kami bisa menahan napas
terlalu lama! Jalan satu-satunya adalah menyingkir dari
tempat ini!" desis Tirta dalam hati.
Diliriknya Dewi Awan Putih yang nampak mulai kepayahan untuk menahan napas lebih
lama. Ini disebabkan karena dia harus menahan rasa sakit pada kaki kirinya.
"Aku harus bertindak! Apa pun yang terjadi!" desis Tirta dan mendadak saja kedua
tangannya didorong
ke bawah, lepaskan pukulan 'Lima Kepakan Pemusnah
Rajawali'! Seketika menggebah lima gelombang angin besar
yang seketika membongkar tanah. Bersamaan dengan
itu, sosok Rajawali Emas mencelat kemuka. Tanahtanah yang memuncratkan debu
sangat tebal seperti
mengikuti kelebatannya. Berjarak setengah tombak dari
menyemburnya asap kuning itu, Tirta menepukkan kedua tangannya yang telah
dialirkan tenaga surya.
Seketika debu-debu tebal yang beterbangan tadi,
luruh menutupi semburan asap kuning. Kendati tak sepenuhnya berhasil menutupi
asal semburan asap kuning itu, tetapi cukup membuat asap kuning tidak menyembur
deras seperti tadi.
Seketika dibuka jalan napasnya dan ditariknya
udara dalam-dalam. Dewi Awan Putih langsung jatuh
ambruk, hanya beberapa jengkal dari tanah yang rengkah terbelah.
Hantu Caping Baja segera mendekati Tirta. "Di
mana petunjuk Kitab Pamungkas berada?"
Tirta yang masih mengatur napas hanya menunjuk lubang yang terjadi tatkala batu
hitam tadi diangkat
oleh dua roh rajawali, yang masih menyemburkan sisasisa asap warna kuning.
"Kalau memang petunjuk itu berada di sana, bagaimana caranya kita menghindari
semburan asap kuning itu?" kata Hantu Caping Baja seperti bergumam.
"Itu pula yang sedang kupikirkan."
Tak ada yang membuka mulut. Sekujur tubuh
keduanya kotor.
Hantu Caping Baja berkata, "Kita sudah tiba di
sini. Sudah kepalang basah. Apa pun yang terjadi kita
akan tetap mencobanya, Rajawali Emas."
"Kau benar. Kupikir, hanya ada satu cara yang
dapat dipergunakan untuk... hei! Sisa-sisa asap kuning
itu semakin lama semakin menghilang. Oh! Aku tahu
sekarang! Asap kuning itu dapat ditaklukkan dengan
debu-debu yang menutupinya. Menyingkir dari sini.
Nek!" Tanpa banyak kata lagi, Hantu Caping Baja menyingkir. Tirta segera kerahkan
tenaga dalam. Lalu dis-
entakkan debu-debu yang menutupi lubang yang terjadi
tadi. Wrrrrr! Seketika debu-debu itu terangkat tatkala dua gelombang angin tinggi yang
dilepaskan Tirta menerbangkannya. Tatkala semuanya sirap, nampak kembali lubang
di mana batu hitam tadi berada. Hantu Caping
Baja segera mencelat kembali ke tempat semula. Bersama dengan Rajawali Emas,
masing-masing orang melihat ke dalam lubang itu.
"Apa yang kalian lihat"!" seru Dewi Awan Putih
dari tempatnya.
Tak ada yang bersuara. Karena masing-masing
orang tak melihat sesuatu yang menarik kecuali tanah
di bagian dalam lubang itu yang berwarna kuning.
"Gila! Apakah tidak salah semua ini?" maki Hantu Caping Baja tak sabar. Terburu-
buru dengan kedua
tangannya dia menggali lubang itu bertambah dalam.
Namun tak ada sesuatu yang menarik perhatian. "Apakah ini hanya gurauan
belaka"!" makinya kembali.
Sementara itu Rajawali Emas terdiam dengan
kening dikernyitkan.


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa tempat ini kosong" Padahal menurut
Dewi Awan Putih dari cerita gurunya, petunjuk itu berada di bawah batu hitam
yang kuyakini Batu Bulan
adanya. Atau jangan-jangan... bukan itu batu yang seharusnya dituju" Tetapi, tak
ada batu lain di sekitar sini. Bahaya yang mengancam setelah Batu Bulan digeser,
memang terbukti. Bahkan lebih mengerikan dari sinar-sinar hitam yang keluar dari
Batu Bulan. Bila semuanya...."
Mendadak saja Rajawali Emas memutus kata
batinnya sendiri. Keningnya nampak semakin kuat berkerut. Lalu perlahan-lahan
terlihat kedua matanya
mulai terpentang lebar seiring dengan kerutan pada ke-
ningnya melenyap.
Hantu Caping Baja yang melihat perubahan wajah pemuda dari Gunung Rajawali itu
cerah tak tahan
untuk tidak bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"
Tirta masih terdiam seolah tak mendengar pertanyaan orang. Nampak dia masih
berusaha berpikir.
Sampai kemudian terdengar suaranya, "Bodohnya!
Mengapa baru sekarang terpikirkan?"
"Hei, apa maksudmu"!" tanya Hantu Caping Baja tak sabar.
Tirta segera mengangkat wajahnya.
"Sudah tentu kita tidak akan mendapatkan petunjuk di tempat Batu Bulan tadi
berada." "Jelaskan lebih rinci!"
"Apa yang diceritakan Dewi Awan Putih memang
terbukti. Tetapi sekarang, bagaimana bila petunjuk itu
justru pada Batu Bulan itu sendiri?"
"Aku belum mengerti!"
"Leluhur Dewi Pesisir Utara yang menciptakan
Kitab Pamungkas. Kemungkinan besar pula dialah yang
menciptakan Kitab Pemanggil Mayat. Aku tidak tahu
bagaimana kebenarannya. Yang pasti hanya itu dugaan
yang...." "Jangan berbelit-belit!"
"Kemungkinan besar, Dewi Pesisir Utara tak
mendapatkan penjelasan yang sebenarnya tentang Batu
Bulan dan petunjuk Kitab Pamungkas. Aku tidak tahu
mengapa. Tetapi... tak ada salahnya bila kita buktikan
dugaanku ini!"
"Rajawali Emas! Apakah maksudmu petunjuk
itu ada pada Batu Bulan itu sendiri?" berseru Dewi
Awan Putih yang telah duduk berselonjor.
Rajawali Emas menganggukkan kepalanya. Segera didongakkan kepala. Diedarkan
pandangan ke segenap penjuru langit yang mulai disengati sinar mata-
hari. Mendadak saja dia menepuk tangannya tiga kali.
Seiring dengan tepukannya berakhir, nampaklah dua
roh rajawali di angkasa yang seperti bayang-bayang betake. Di kaki kiri roh
rajawali yang berada di bawah,
masih tercengkeram Batu Bulan. Cuma bedanya, kali
ini tak ada sinar-.sinar hitam yang keluar seperti sebelumnya. Kendati demikian,
batu itu nampak bertambah
hitam. Tirta palingkan kepala ke kanan dan segera berseru pada Hantu Caping Baja,
"Tolong bantu Dewi Awan
Putih agak menyingkir dari .sini."
"Apa yang hendak kau lakukan"!"
"Jangan banyak tanya!"
Dengan menggerutu nenek yang wajahnya tertutup sebagian caping lebar terbuat
dari baja ini segera
menjalankan perintah Tirta.
Tirta melihat dulu sekelilingnya. Setelah dirasakan cukup aman dan menghela
napas berkali-kali, dengan keyakinan penuh kembali didongakkan kepala disertai
seruan, "Dua roh rajawali! Lepaskan batu itu!"
Habis ucapannya terdengar, Rajawali Emas
mencelat ke belakang sekitar lima tombak dengan wajah
tegang. Sementara itu, batu hitam yang tercengkeram di
kaki kiri salah satu dari bayangan rajawali raksasa segera meluncur deras ke
bawah disertai suara yang cukup kencang. Nampak ada pendaran sinar hitam tatkala
batu itu terus meluncur!
Keanehan yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Apa pun yang jatuh dari atas
tentunya akan terjadi lontaran kuat tatkala menyentuh bumi. Namun
yang terjadi dengan batu itu sungguh mengherankan.
Karena begitu batu itu menyentuh tanah, seperti
sehelai kapas saja batu itu hinggap. Tak ada sebutir debu pun yang terbang
akibat jatuhnya batu hitam itu.
Tak ada suara yang mengejutkan tatkala batu itu jatuh
ke tanah. Batu hitam itu tetap tegak berdiri seperti semula sementara pendaran
sinar hitam yang tadi nampak lenyap seketika.
Masing-masing orang pandangi batu itu dengan
seksama disertai rasa heran yang dalam. Untuk beberapa saat tak ada yang berani
segera mendekati batu itu.
"Rajawali Emas! Di manakah letak kesungguhan
dari dugaanmu tadi?" terdengar seruan Hantu Caping
Baja mengejek. Tirta tak mempedulikannya. Dalam hati dia berkata, "Jangan-jangan... dugaanku
salah. Mungkin memang di tempat Batu Bulan semula petunjuk dari Kitab
Pamungkas berada. Apakah tempat itu harus digali lebih dalam lagi.
Namun mendadak saja terdengar suara berderak
yang sangat pelan. Menyusul suara berderak yang seperti menggebah tempat. Batu
Bulan itu bergetar dan
semakin lama semakin hebat. Kejap berikutnya, mendadak saja batu itu pecah
berpentalan....
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Tembang Tantangan 24 Dewa Arak 64 Satria Sinting Ratu Maksiat Telaga Warna 1
^