Pencarian

Ratu Maksiat Telaga Warna 1

Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Bagian 1


RATU MAKSIAT TELAGA WARNA Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode: Ratu Maksiat Telaga Warna
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Tubuh tua renta dengan pundak memang-
gul sesosok tubuh seorang gadis itu, nampak ber-
lari dengan cepatnya laksana seekor kijang yang
muda. Sekali-kali melompati sungai, sepertinya
tubuh nenek tua itu terbang bukannya melompat.
Dan kali lebar itu pun dengan mudah dilang-
kahinya hanya dengan sekali genjot. Tubuh itu terus berlari dan berlari, yang
terkadang mendaki
bukit lalu menuruninya.
"Anak itu harus aku tolong! Anak inilah
yang dimaksudkan oleh mimpiku," nenek tua renta itu terus bergumam sendiri. "Ya,
anak ini ku-dapat seperti apa yang tersirap dalam mimpiku.
Anak ini pingsan akibat serangan kakaknya. Ah,
sungguh-sungguh aku bagaikan tak bermimpi.
Sepertinya aku ini benar-benar mengalami kenya-
taan." Tubuh gadis dalam gendongannya, sama sekali tidak bergerak dalam
pingsannya. Gadis itu tidak segera sadar, sepertinya ia benar-benar
mengalami goncangan jiwa yang kuat, yang men-
jadikan dirinya lemah. Gadis itu yang tak lain
Ningrum, yang secara tiba-tiba lenyap ternyata
kelenyapannya karena diambil oleh sang nenek
sakti tersebut. Ningrum memang terkapar ping-
san sewaktu kakaknya Tegalaras bentrok de-
ngannya. Ningrum yang waktu itu dalam penga-
ruh Dewi Lanjut Ayu, seketika terkulai lemas di-
hantam oleh ajian yang dilontarkan Tegalaras.
*Baca Penguasa Bukit Karang Bolong.*
Si nenek terus berlari, makin jauh dan
jauh meninggalkan Bukit Karang Bolong ke se-
buah tempat yang terpencil. Dan manakala sam-
pai pada sebuah telaga, nenek itu pun menghen-
tikan larinya. Telaga itu begitu indah, warnanya beraneka ragam, bak warna
pelangi. Menurut
dongeng, Telaga itu dulu untuk mandi para bida-
dari dari khayangan. Dan ketika salah seorang
bidadari kehilangan permatanya, menangislah
sang bidadari karena tak mampu kembali ke
Khayangan. Air matanya itulah yang menjadikan
air telaga itu berwarna, ditambah lagi dengan permata-permata yang terkandung di
dalamnya. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri,
dengan tubuh ringan si nenek pun melompat ke
tengah-tengah telaga yang ada di situ sehampar
tanah dengan gubug reot di tengahnya. Tanah itu-
lah tempat kediaman si nenek. Maka karena ber-
tempat tinggal di tengah telaga, nenek itu pun
bergelar Nenek Sakti Peri Telaga Warna.
Nenek itu sebenarnya seorang tokoh silat
yang pernah kondang namanya. Ia merupakan
seorang pendekar wanita yang beraliran sesat,
yang memiliki ilmu-ilmu iblis. Dulu ketika masa
jayanya, si nenek merupakan tokoh silat yang paling ditakuti karena
ketelengasannya dalam ber-
tindak. Ilmu racunnya sungguh tiada yang dapat
menandingi, bernama Ilmu Selaksa Racun. Maka
karena kehebatan racun tersebut, si nenek pun
mendapat sebutan Iblis Racun Telaga Warna, di
samping sebutan yang pertama sebagai Nenek
Sakti Peri Telaga Warna. Entah apa mulanya, ta-
hu-tahu si nenek yang tadinya beraliran lurus itu membelot pada aliran sesat.
* * * Nenek Iblis Racun nampak sibuk sendiri. Ia
nampak bolak balik ke tempatnya dan keluar un-
tuk mencari daun dan akar-akaran yang dapat di-
jadikan obat. Tubuh nenek itu melesat bagaikan
terbang, mencelat menyeberangi telaga dan den-
gan kedua kaki ringan berhenti menclok di atas
sebuah cabang pohon. Matanya yang tajam me-
mandang bagaikan mata burung elang, sepertinya
ingin mengawasi keadaan sekelilingnya.
"Hem, aku bingung harus mencari daun
dan akar-akaran itu. Aku tak menemukan daun
dan akar-akaran di tempat ini," guman si nenek seakan putus asa. "Apakah aku
harus kembali ke Bukit Karang Bolong untuk mencari dedaunan itu
dan sekaligus menunjukkan diriku pada kha-
layak ramai?"
Nenek itu masih saja tercenung bingung. Ia
bingung harus berbuat apa. Kalau ia harus kem-
bali menuju ke Bukit Karang Bolong, setidaknya
ia akan bertemu dengan masyarakat. Sedangkan
si nenek sendiri merasa enggan bila harus berte-
mu dengan massa yang telah mengetahui siapa
adanya dirinya. Setidaknya kehadirannya kembali
ke dunia persilatan akan mengundang para mu-
suh-musuhnya datang dan mencari-cari dirinya
lagi. Tapi bila ia tidak mencari daun dan akar-
akaran tersebut, maka nyawa seorang gadis yang
kelak akan menjadi muridnya harus melayang.
"Ya, apa pun resikonya, aku harus mencari
obat-obatan tersebut."
Tubuh si nenek pun kembali melompat tu-
run, lalu dengan langkah bagaikan seekor kijang, si nenek berlari melintasi
hutan belukar dengan
harapan kedatangannya tidak diketahui oleh
orang-orang yang menjadi musuh-musuhnya.
Tubuh si nenek terus melesat, tiada henti
ia berlari. Sepertinya si nenek sangat memburu
waktu. Waktu baginya merupakan segala keputu-
san. Terlambat saja ia menolong, maka tak ayal
lagi nyawa Ningrum akan melayang.
Demi mengingat hal itu, maka si nenek tak
hiraukan kaki-kakinya terseret oleh semak dan
tusukan duri-duri yang tajam. Ia juga tak hirau-
kan oleh semak yang menghalanginya, atau pun
suara-suara binatang liar berserabutan lari pon-
tang panting mendengar suara angin larinya. Te-
kadnya hanya satu, mencari obat-obatan untuk
sang gadis calon murid tunggalnya. Ya, selama ia menjadi seorang pendekar, ia
belum pernah sekali pun mengangkat seorang murid. Walau nama besarnya telah
malang melintang, namun karena di-
rinya selalu mengembara maka tak seorang pun
manusia diangkat olehnya menjadi murid. Dan
manakala ia mengasingkan di Telaga Warna itu-
lah maka ia mendapat wangsit untuk mengangkat
Ningrum sebagai muridnya.
Sebenarnya si nenek hendak mengangkat
Ningrum menjadi murid sejak lama, sebelum Nin-
grum terdampar oleh kenistaan akibat diperkosa
Tiga Hantu Kelangit atas suruhan Rengkana. Na-
mun untuk memintanya secara terus terang pada
Pramana, jelas ia tidak berani sebab ia tahu sendiri siapa adanya Pramana.
Pramana adalah to-
koh persilatan beraliran lurus, yang sangat me-
nentang para aliran sesat. Maka sudah dapat di-
bayangkan bagaimana bila dirinya meminta pada
Pramana secara terus terang. Bukannya akan
menimbulkan kebaikan, malah mungkin akan
menimbulkan bentrokan berdarah. Sebenarnya si
nenek mudah saja menghadapi Pramana, asalkan
Pramana tidak memiliki pedang pusaka Sukma
Layung. Ya, dengan pedang pusaka Sukma La-
yungnya Pramana akan mampu menghadapi to-
koh-tokoh persilatan aliran sesat. Jangankan diri si nenek, Datuk Raja Karang
yang merupakan tokoh sesat yang ditakuti saja harus mengakui
keunggulan Pramana. Memang bila dibandingkan
dengan ilmu Datuk Raja Karang, si nenek berada
setingkat di atasnya. Karena terkait oleh aturan golongan saja, menjadikan
keduanya tak dapat
saling menjajagi ilmu mereka.
Kini gadis itu telah berada di tangannya,
maka sebisa-bisanya ia harus mampu menolong
nyawa si gadis. Jalan satu-satunya ia harus
mampu mencarikan obat-obatan dari pohon Lem-
puyang Sakti. Sebuah pohon obat-obatan yang
sangat aneh. Lempuyang itu hanya ada dalam se-
kali bulan purnama. Dan biasanya banyaklah
orang yang berdatangan ke Bukit Karang Bolong
untuk mencarinya. Tidak mungkin tidak, maka
nantinya pun si nenek harus menghadapi orang-
orang yang juga menghendaki Lempuyang Sakti
tersebut. Nanti malam adalah malam bulan purna-
ma, maka tepatlah waktunya di mana Lempuyang
Sakti akan menampakkan diri. Dan hal itu ru-
panya sudah diperhitungkan oleh si nenek. Entah
mengapa, yang jelas kesemuanya seakan bertepa-
tan. Runtuhnya Penguasa Bukit Karang Bolong,
tepat waktunya ketika hendak menginjak bulan
purnama, sehingga si nenek tak lama-lama me-
nunggu untuk mendapatkan Lempuyang Sakti
tersebut. "Biarlah kehadiranku di dunia persilatan
diketahui oleh mereka, asalkan aku mampu men-
dapatkan Lempuyang Sakti tersebut," si nenek berkata sendiri: "Aku tak akan
mengijinkan siapa pun untuk dapat memiliki Lempuyang tersebut."
Langkah larinya makin dipercepat, seakan
si nenek benar-benar tak ingin Lempuyang Sakti
itu dapat dikuasai oleh orang lain, selain dirinya.
Si nenek terus menyelusuri hutan, sengaja ia ti-
dak ingin dirinya lebih dini dikenal oleh orang. Ia nampak begitu terburu,
sehingga ia lupa untuk
mengenakan topeng buat menjaga dirinya supaya
tidak dikenal oleh orang. Tapi sudah terlambat,
dan ia harus mau tak mau menunjukkan mu-
kanya. Muka yang sudah sangat dikenal benar
oleh para kawan dan lawannya. Muka yang
menggambarkan akhir kejayaannya, di mana se-
buah goresan lebar membuat mukanya yang dulu
cantik harus cacat.
Bila ingat itu semua, kembali ia pun terin-
gat pada seorang pendekar yang tengah menjadi
buah bibir. Pendekar tersebut wajahnya benar-
benar mirip dengan orang yang dulu pernah di-
cintainya, namun bahkan merusak mukanya.
Orang tersebut tak lain si Eka Bilawa.
"Siapakah adanya pendekar muda itu?"
tanya hati si nenek manakala dulu ia pernah me-
lihat Jaka. "Wajahnya sungguh mirip dan sama dengan Eka Bilawa. Adakah ia
mempunyai tali ikatan" Atau barangkali ia titisan Eka Bilawa" Ah, tak mungkin Eka Bilawa
menitis pada seseorang.
Tapi, bukankah Eka Bilawa kekasih siluman?"
Sebenarnya dugaan si nenek Iblis Racun
benar adanya, bahwa Jaka Ndableg memang ke-
turunan Eka Bilawa, dialah anak satu-satunya
Eka Bilawa. Seorang lelaki yang sangat dicin-
tainya, namun telah menggores hatinya dengan
luka. Luka karena cintanya bertepuk sebelah tan-
gan, juga luka nyata yang mengukir mukanya
hingga menjadi buruk dan tak secantik dulu.
* * * Hari telah berganti dari siang menjadi sore
manakala si nenek sampai pada tempat yang di-
tuju. Panorama di pinggir pantai Bukit Karang
Bolong nampak indah, hal itulah yang sering
mengundang para orang-orang persilatan untuk
menikmati keindahan alam sekaligus mencari
Lempuyang Sakti. Keindahan Bukit Karang Bo-
long sempat hilang dan berganti dengan misteri
yang mengambil korban nyawa seseorang mana-
kala dalam genggaman Datuk Raja Karang dan is-
trinya. Juga manakala dalam genggaman Setan
Rambut Putih dan Ningrum, yang kini dalam ku-
asa si nenek Racun Iblis.
Samar-samar dari arah yang berlawanan
dengan si nenek beberapa orang berdatangan, ju-
ga dari arah lainnya. Mereka setelah hilangnya
Setan Rambut Putih dan Ningrum, kembali den-
gan keberanian mereka bermaksud mencari Lem-
puyang Sakti. Memang pohon itu sangat berguna
sekali bagi mereka. Pohon itu mampu menyem-
buhkan segala penyakit, baik itu oleh keracunan, maupun luka-luka akibat
bertarung. Bila pohon
Lempuyang Sakti berada di tangan mereka, nis-
caya mereka akan menjadi seorang yang tahan
terhadap segala macam racun. Itulah mengapa
mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan po-
hon tersebut, walaupun mereka harus membuang
nyawa untuk bersaing memperebutkan Lem-
puyang Sakti. Si nenek segera sembunyikan dirinya, ma-
nakala rombongan-rombongan itu makin dekat ke


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arahnya. Rombongan-rombongan yang terdiri dari
enam rombongan, ternyata merupakan rom-
bongan orang-orang persilatan. Dari arah Timur,
nampak rombongan Naga Sakti, disusul oleh
rombongan Bangau Putih. Keduanya merupakan
perguruan persilatan aliran lurus. Naga Sakti dipimpin oleh ketua tiganya yang
bernama Sukala Kerta atau Naga Biru. Sedangkan dari Bangau
Putih dipimpin oleh Atmaka Bisku atau Pendekar
dari Bangau Emas. Dari arah Selatan, nampak
dua rombongan yang terdiri dari Perguruan Sang-
sak Layang, dan perguruan Bengkek Moyang.
Dua perguruan itu merupakan dua perguruan
yang dipimpin oleh dua kakak beradik dari Nank-
ing. Kedua kakak beradik Pendekar China terse-
but, datang ke Pulau Jawa semata ingin berguru
pada seorang tokoh silat yang berilmu tinggi bernama Andika Budha, yaitu seorang
pendeta. Na- mun di balik kesemuanya, ternyata mereka ber-
dua memendam keinginan yang lain. Maka ma-
nakala keduanya telah mampu menguasai ilmu-
ilmu yang diwariskan oleh Andika Bhuda, dengan
tanpa mengenal kasihan keduanya menghukum
sang Pendeta. Dan sejak saat itu, kepemimpinan
perguruan pun berada di tangan keduanya.
Dasar keduanya orang-orang yang serakah,
tak berapa lama kemudian keduanya pun terjadi
silang sengketa yang isinya hanyalah mempere-
butkan kedudukan sebagai ketua utama. Namun
nampaknya kedua pendekar China itu masih
mempunyai rasa persaudaraan, sehingga kedua-
nya tak menghadapi perpecahan tali persauda-
raan. Keduanya sepakat untuk menjadikan dua
bagian perguruan tersebut, dan jadilah perguruan itu menjadi dua. Yang satu
bernama Sangsak
Layang, sementara yang lainnya bernama Beng-
kek Moyang. Nama-nama itu diambil dari nama
kedua pimpinannya. Kedua pimpinan yang meru-
pakan pendekar China, yang seorang bernama
San-Ak-Siong, sementara yang satunya Beng-Ik-
Mo-Ang. Namun karena lidah orang Jawa sukar
untuk menyebutkan nama-nama mereka, jadilah
mereka menyebutnya Sangsak Layang dan Beng-
kek Moyang. Sementara dari arah Utara, nampak se-
rombongan orang-orang yang terdiri dari kaum
wanita adanya. Rombongan tersebut tak lain dari
perguruan, Srigala Betina. Sebuah perguruan
yang sangat berhaluan aneh. Perguruan tersebut
tak menentu kedudukannya. Bila dirasa aliran lu-
rus yang dapat membantu mereka, ya, mereka
akan mengikuti segala yang diperintahkan oleh
aliran lurus. Namun, bila aliran sesat yang dianggap mampu melindungi mereka,
sudah pasti me-
reka akan memihak ke aliran sesat. Maka karena
sifat mereka begitu, mereka pun mendapat sebu-
tan sebagai perserikatan orang plinpan dan tak
mempunyai prinsip hidup.
Sementara dari arah Barat, di mana si ne-
nek Racun Iblis datang, nampak serombongan
orang yang juga datang dan menuju ke Bukit Ka-
rang Bolong. Mereka tak lain dari Perguruan Pe-
langi Putri, yaitu sebuah perguruan yang dipim-
pin oleh seorang wanita yang mengaku namanya
sebagai Bidadari Pelangi Sakti. Memang kesaktian Bidadari Pelangi Sakti bukanlah
isapan jempol belaka, ditunjang oleh sebuah kerajaan yang ra-
janya adalah suami sang Bidadari, makin kuatlah
kedudukan Perguruan Pelangi Sakti. Para anggo-
tanya juga bukan orang-orang sembarangan, di
dalamnya ada beberapa tokoh persilatan yang su-
dah banyak makan asam garam kehidupan. Di
antara yang saat itu ada Sumogung atau Pende-
kar Kipas Emas, Asmoro Lukito atau Pendekar
Tongkat Tengkorak, juga Sedya Kamayit atau
Pendekar Tanduk Menjangan Merah. Orang yang
paling akhir inilah yang beruntung dapat memiliki Tanduk Menjangan Merah, sebuah
senjata sakti dari tanduk menjangan yang berwarna merah
menyala. Senjata tersebut, mampu menghancur-
kan apa saja termasuk Bukit Karang Bolong yang
nampak kokoh. Orang-orang tersebut makin mendekat,
menuju ke sebuah tempat di sekitar Bukit Karang
Bolong. Tempat tersebut tak jauh dari sebuah
pondok yang sudah tiada berpenghuni. Pondok
tersebut dulu digunakan oleh Ningrum dan Setan
Rambut Putih untuk menggerakkan anak buah-
nya manakala mereka menjadi Penguasa Bukit
Karang Bolong. Kini orang-orang tersebut makin
mendekat, lalu mereka dengan tanpa saling tegur
sapa duduk bersilah mengelilingi sebuah pohon
lontar besar, yang di sampingnya berdiri pohon
beringin yang tidak kalah besarnya.
* * * Si nenek nampak meragu sehingga ia ter-
diam di persembunyiannya. Ia nampak berpikir
keras, bagaimana sebaiknya yang harus ia laku-
kan. Bila dirinya menampakkan diri, secara lang-
sung akan membawa kesusahan bagi dirinya un-
tuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.
"Hem, aku ada akal!" pekiknya dalam hati.
"Biarkan mereka bertarung. Dan manakala mere-
ka bertarung, sudah pasti mereka akan tak hi-
raukan kedatanganku."
Mata sang nenek yang tua itu memandang
tiada kedip ke dua pohon yang tengah mereka
semua kelilingi. Dua pohon yang sungguh dike-
ramatkan oleh para tokoh persilatan karena
mampu mengeluarkan Lempuyang Sakti. Mata
tua itu, sesaat memandang satu persatu pada
orang-orang yang ada di situ.
"Sungguh mereka bukanlah orang-orang
sembarangan!" batin si nenek. "Mereka tak lain tokoh-tokoh persilatan yang tak
boleh dianggap enteng. Seperti kedua pendekar China itu, mereka adalah murid-murid Andika Bhuda
yang ilmu ke-saktiannya sudah menggempar dunia persilatan.
Lalu pendekar dari Pelangi Sakti, mereka bertiga juga bukan pendekar kelas
kripik. Huh, kalau
aku harus menghadapi mereka, sungguhpun aku
mampu, namun aku harus menguras seluruh te-
nagaku untuk dapat mengalahkannya."
Waktu terus memacu, berganti dari sore
menjadi malam. Si nenek masih terus bertengger
di atas cabang sebuah pohon yang letaknya agak
jauh dari tempat mereka berkumpul. Nampak ma-
ta mereka terpejam, seakan mereka tengah mela-
kukan do'a. Ya, mereka memang tengah me-
lakukan do'a untuk supaya mendapatkan Lem-
puyang Sakti tersebut.
Angin Laut Kidul berhembus, menerpa tu-
buh-tubuh diam dalam hening. Rasa dingin
menggigil menyentak tulang sungsum di tubuh
mereka semua, tetapi sepertinya mereka tak hi-
raukan. Mata mereka masih tertutup, rapat sea-
kan tak ingin menghilangkan bayangan keberha-
silan. Ketika hari telah larut, dan manakala rem-bulan purnama telah seatas
kepala yang menja-
dikan bayangan mereka jauh lebih pendek dari
yang sebenarnya, nampak sinar menyala terang
berwarna merah keluar dari akar-akar pohon lon-
tar di depan mereka. Bagai terbangun dari tidur, mata mereka seketika memanah ke
arah sinar tersebut. Tak luput juga mata si nenek. Mata itu memandang kaget ke arah
datangnya sinar.
"Inikah Lempuyang Sakti itu?" gumam hati si nenek takjub.
"Lempuyang Sakti...!" semua yang ada di situ memekik. Serentak semuanya loncat
berdiri dengan mata tak pindah dari tempat datangnya
sinar membara. Angin menerpa tubuh mereka makin ken-
cang, sehingga tubuh si nenek yang berada di
atas pohon nampak bergoyang-goyang seirama
dengan ayunan gerak pohon. Angin terus mende-
ru-deru, sepertinya hendak menerbangkan apa
saja yang berada di situ. Dan memang benar,
orang-orang yang berilmu jauh di bawah, lang-
sung melesat tertiup angin. Orang-orang tersebut menjerit-jerit minta tolong,
namun tidak seorang pun yang mampu menolong mereka. Orang-orang
itu sendiri tengah menghadapi maut yang akan
merenggut nyawa mereka bila mereka tidak waspada.
Bersamaan dengan makin membesarnya
angin tersebut, makin bertambah pula sinar me-
rah yang menyala. Tanah di sekitar tempat itu
membongkah, retak dan pecah. Dari dalam peca-
han tanah, muncul sesosok tubuh tinggi besar
dan menyeramkan berbareng dengan munculnya
Lempuyang Sakti yang berada di depannya.
"Hua, ha, ha...! Apakah kalian semua ingin
memiliki Lempuyang Sakti ini?" tawanya membahana, menjadikan alam yang seketika
itu hening pecah seketika. "Kalian boleh memilikinya, asalkan kalian mampu mengalahkan
diriku." "Siapakah kau adanya!" bentak Sedya Kamayit si Pendekar Tanduk Menjangan Merah.
"Kenapa kau tiba-tiba mengangkangi pohon tersebut"!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata kau seorang pem-
berani! Ayo, ambillah pohon ini, bila memang
engkau pemberani!" mahluk menyeramkan itu
berkata: "Namaku Wuling Genta. Akulah Iblis Pulau Kembar. Dan apa bila kalian
ingin memiliki pohon ini, maka kalian harus mengalahkan aku
terlebih dahulu. Aku akan mengucapkan terima
kasih pada kalian yang mampu mengalahkan
aku, sehingga aku dapat diampuni oleh rajaku."
"Wuling Genta, mengapa kau bertindak
macam-macam!" kembali Pendekar Menjangan
Merah membentak. "Kalau kau ingin diampuni
oleh rajamu, mengapa kau tidak minta ampun"
Lalu apa hubungannya dengan bangsa manusia?"
"Hua, ha, ha...! Ketahuilah oleh kalian,
bangsa manusia. Aku telah mendapat sebuah pe-
taka, dikarenakan aku telah melanggar larangan
yang dibuat oleh bangsamu. Karena rajaku per-
nah berhutang budi pada bangsamu, maka raja-
ku akan mengampuni diriku dan mau menerima
diriku bila aku telah terkena ajian yang dimiliki oleh manusia. Dan menurut
rajaku, kelak aku
akan dapat dikalahkan hanya oleh seorang wanita
yang mempunyai ajian tersebut," Wuling Genta menerangkan, menjadikan semua yang
ada di si-tu seketika terpaku diam. "Nah, bagi siapa yang merasa wanita dan
memiliki Ajian Racun Kelabang, maka aku akan menyerahkan pohon itu
untuknya!"
"Bedebah! Rupanya kau banyak membuang
waktu, Wuling!" Pendekar Tanduk Menjangan Merah nampak tak sabar. Diambilnya
senjata Tan- duk Menjangan Merah, lalu dengan tanpa banyak
ngomong lagi tubuhnya melesat menyerang. "Akulah yang akan mengirimu ke tempat
asalmu. Hiat...!" "Manusia bodoh!" bentak Wuling Genta
marah, sehingga matanya nampak menyorot ba-
gaikan menyala. "Kau tak akan mampu mengha-
dapi diriku walau kau memiliki Tanduk Menjan-
gan Merah. Senjata itu tiada artinya bagiku. Nah, terimalah Laksa Iblisku.
Hiat...!" Tersentak kaget semua yang ada di situ
termasuk si nenek Iblis Racun yang mengerti
bahwa hanya Ningrumlah yang memiliki ajian ter-
sebut bersama gurunya. Dalam hati si nenek se-
ketika membatin, "Bagaimana ini" Apakah mungkin aku membawa Ningrum ke mari" Ah,
percu- ma!" Si nenek tampak berpikir untuk mencari
akal, ia tak hiraukan pekikan-pekikan orang-
orang yang berada di situ yang kini tengah bertarung dengan Iblis-iblis ciptaan
Wuling Genta. Memang dahsyat ajian yang dilontarkan Wuling
Genta. Dari sinar hitam pekat itu keluar selaksa atau sepuluh ribu mahluk-mahluk
menyeramkan yang langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi,
mereka yang berada di situ pun kocar kacir di-
buatnya. "Aku ada akal!" pekik si nenek girang dalam hati. "Aku akan mencoba merayu Iblis
itu, se-moga iblis itu mempercayai ucapanku."
Tengah mereka semua dalam kepanikan
diserang oleh Iblis-iblis yang seperti tiada bakal mati, seketika tubuh si nenek
berkelebat seraya
membentak: "Hentikan!"
"Siapa kau adanya, Nenek butut!" bentak Wuling Genta.
"Nenek Iblis Racun!" tersentak semua yang ada di situ.
"Itulah namaku," jawab si nenek tanpa menerangkan siapa adanya dirinya, karena
ia mera- sa seruan orang-orang yang melihatnya sudah te-
rasa cukup untuk menjawab.
"Apa yang engkau inginkan, Nenek Butut!"
"Aku akan menunjukkan orang yang mam-
pu menyempurnakan dirimu untuk dapat diteri-
ma di kerajaanmu lagi!"
"Kau tidak mendusta, Nenek Butut"!"
"Tidak!"


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuling Genta nampak terdiam, seakan ia
tengah berusaha membaca jalan pikiran yang ada
pada benak si nenek. Matanya memandang tajam,
sepertinya hendak menembus mata si nenek yang
telah tua. "Siapa dia, Nenek Butut"!" kembali Wuling Genta bertanya.
"Dia adalah Penguasa Bukit Karang Bolong
ini. Dia bernama Ningrum. yang kini tergeletak
luka dalam oleh hantaman ajian yang dilancarkan
kakaknya."
Membelalak mata Wuling Genta mendengar
nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Memang
kedatangannya ke Bukit Karang Bolong untuk
menemui orang tersebut. Dikarenakan orang yang
dicari telah tiada, maka Wuling Genta pun segera menunggu Lempuyang Sakti dengan
harapan ada seseorang yang mampu menunjukkan kebera-
daan Penguasa Bukit Karang Bolong
"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi ingat,
bila kau mendusta, maka kau tahu sendiri apa
yang bakalan engkau peroleh dari dustamu!" Wuling Genta mengancam. "Nah, ayo
tunjukkan di mana Penguasa Bukit Karang Bolong berada?"
"Baik! Baik akan aku tunjukkan, namun
apakah engkau akan terus membiarkan anak
buahmu merajalela" Dan apakah engkau akan
meninggalkan Lempuyang Sakti yang memang di-
perlukan oleh Penguasa Bukit Karang Bolong?" si nenek mengingatkan: "Sebaiknya
perintahkan pa-da anak buahmu untuk menghentikan pertarun-
gan itu, dan secepatnya pergi dari sini."
"Baiklah kalau itu yang engkau mau," Wul-
ing Genta segera menarik kembali ajiannya, maka
dalam sekejap saja 10.000 prajuritnya lenyap
dengan seketika. "Ayo, kita berangkat sekarang."
"Baiklah! Mari kita berangkat," jawab si nenek. Tanpa memperdulikan lagi orang-
orang yang hanya terbengong sendiri melihat kepergian
keduanya, si nenek dan Wuling Genta pun segera
melesat pergi dengan membawa Lempuyang Sakti
yang memang diperlukan untuk mengobati Nin-
grum. Orang-orang tersebut dengan penuh kele-
suhan dan luka-luka akibat serangan para Iblis
yang jumlahnya selaksa segera pula meninggal-
kan tempat tersebut tanpa membawa hasil. Dan
Bukit Karang Bolong yang angker itu pun kembali
sepi, bagaikan menelan segala keindahan yang
ada. *** 2 Tubuh kedua orang itu bergerak bagaikan
tiupan angin malam, merambah malam yang pe-
kat menuju ke sebuah tempat. Tempat yang ke-
duanya tuju tidak lain dari tempat di mana sang
nenek tinggal. Tempat tersebut tidak lain Telaga Warna. Dan kedua orang tersebut
tak lain si nenek bersama Wuling Genta yang membawa Lem-
puyang Sakti. "Masih jauhkah, Nenek?"
"Tidak! Sebentar lagi kita sampai," jawab si nenek. Wuling Genta tak menanya
lagi, dan dengan segera keduanya kembali berkelebat. Langkah
mereka kini bukannya lari lagi, namun langkah
mereka kini bagaikan terbang.
"Itu dia tempatku," si nenek menunjukkan jarinya ke sebuah telaga yang airnya
berwarna hingga memantulkan cahaya bulan bagaikan si-
nar pelangi beraneka ragam.
"Telaga Warna...!"
"Ya, Telaga Warna."
"Di mana gadis itu, Nek?"
"Dia tengah terbaring di gubugku yang ada
di tengah telaga itu," si nenek menerangkan. "Kita harus melompati telaga ini
untuk sampai di tengah." Tercengang juga Wuling Genta mendengar ucapan si nenek.
Bagaimanapun, sungguh sulit
bagi orang biasa untuk mampu menyampaikan
dirinya di tengah telaga yang luas itu hingga tiba di sebuah pulau. Kini Wuling
Genta tahu, bahwa
si nenek bukanlah tokoh silat dari golongan ma-
nusia biasa. Dirinya sendiri kini tengah berpikir bagaimana untuk melompat
sebegitu jauhnya,
padahal dirinya adalah Iblis. Kalau si nenek ini mampu, sungguh ilmu meringankan
tubuhnya bukan lagi ilmu yang sempurna, bahkan jauh pal-
ing sempurna hingga sukar untuk ditandingi.
"Kenapa?" si nenek bertanya demi melihat Wuling Genta terdiam bengong. Rupanya
si nenek mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Iblis
yang kini menjelma menjadi manusia karena ke-
salahan yang dilakukannya. "Apakah engkau masih memikirkan bahwa aku telah
berbohong pa- damu" Dan kau menganggap aku mengada-ada?"
"Ya!"
"Hi, hi, hi...!"
"Mengapa engkau tertawa, Nenek Peot"!"
bentak Wuling Genta agak tersinggung.
"Lucu! Sungguh lucu!" nenek itu bergu-
mam sendiri, menjadikan Wuling Genta seketika
pelototkan matanya makin bertambah sewot ka-
rena menyangka si nenek benar-benar hendak
mempermainkannya. Maka dengan agak marah
Wuling Genta kembali membentak.
"Ingat, Nenek Peot! Bila kau ternyata ber-
dusta, maka kau tahu apa akibatnya, bukan"!"
"Hi, hi, hi...!" si nenek kembali cekikikan.
"Aku tidak berdusta. Aku hanya geli melihat kau yang sebagai Iblis terkejut
melihat telaga ini. Nah, kalau kau tidak mempercayaiku, maka aku akan
menunjukkan pada dirimu bahwa aku mampu
menuju ke tengah telaga di mana pulau itu bera-
da." Setelah berkata begitu, si nenek tanpa hiraukan Wuling Genta segera
melompat. Dan ba-
gaikan terbang saja, si nenek berlari di atas air, tanpa kakinya menginjak air
barang sekali pun.
Hal itu menjadikan Wuling Genta terlon-
glong longlong keheranan.
"Apakah aku mampu?" tanyanya kurang
yakin. "Ayo, Wuling Genta. Apakah kau takut?"
Wuling Genta terdiam. Ia bimbang dengan ke-
mampuan dirinya.
"Akan aku coba. Bila aku harus di sini te-
rus, mana mungkin aku mampu menemui Pengu-
asa Bukit Karang Bolong?" Bagaikan diberi keberanian, tiba-tiba Wuling Genta
tanpa pikir pan-
jang lagi segera melompatkan dirinya ke atas air.
Namun sungguh tidak ia duga, ternyata air telaga itu bagaikan sebuah tanah saja
menerima tubuhnya. Hal ini mengakibatkan Wuling Genta kembali
terheran-heran tak mengerti.
Si nenek rupanya mengerti apa yang men-
jadikan keheranan Iblis berbentuk manusia itu.
Maka dengan didahului oleh tawa cekikikan, si
nenek kembali berseru: "Ketahuilah olehmu,
bahwa air telaga ini akulah yang mengatur. Bila
engkau tidak aku kehendaki, maka dengan sendi-
rinya tubuhmu akan amblas ke dalam air, lalu
mati dengan tubuh terkoyak-koyak oleh hiu-hiu
dan buaya-buaya Iblisku. Hi, hi, hi...!"
Kini Wuling Genta sadar, bahwasannya
nenek ini tidak boleh di anggap enteng. Ilmu ne-
nek ini ternyata jauh melebihi ilmu yang ia miliki sebagai iblis. Kini Wuling
Genta pun menurut, ia dengan cepat melaju mengejar si nenek yang telah jauh
meninggalkannya.
* * * Kedua orang itu segera melompat naik ke
atas pulau yang berada di tengah telaga. Mereka
segera melangkahkan kaki mereka menuju ke se-
buah gubug reot yang terbuat dari anyaman rum-
put yang tumbuh di sekitar pulau tersebut.
"Itu rumahku."
"Jadi Penguasa Bukit Karang Bolong ada di
sana?" "Ya...!" jawab si nenek pendek, melangkahkan kakinya seiring dengan
Wuling Genta yang
kini nampak tidak banyak tingkah setelah me-
nyadari siapa adanya si nenek yang ternyata me-
miliki ilmu tinggi.
Keduanya memasuki gubug tersebut. Kini
Wuling Genta dapat melihat isi gubug tersebut. Di salah satu dipan tergeletak
pingsan seorang gadis cantik, yang diketahuinya adalah Penguasa Bukit
Karang Bolong. "Diakah orangnya. Nek?"
"Benar! Dialah orang yang engkau cari,"
jawab si nenek dengan wajah lesu. "Mana Lempuyang Sakti itu biar aku racik dulu
untuk obat- nya. Dia tak akan dapat tertolong bila telah sehari mengalami luka tersebut."
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan
dirinya?" Si nenek tarik napas berat demi mendengar
pertanyaan Wuling Genta. Matanya memandang
pada tubuh Ningrum yang masih tergeletak dalam
keadaan pingsan karena ditotok jalan darahnya.
Lalu dengan singkat si nenek pun menceritakan
hal apa yang telah terjadi pada Ningrum dari awal hingga akhir.
"Kalau begitu, aku akan mencari orang
yang bernama Jaka Ndableg, sebab dialah yang
harus bertanggung jawab atas hancurnya Kekua-
saan Penguasa Bukit Karang Bolong."
"Untuk apa?" si nenek bertanya tak mengerti. Di dalam nada pertanyaannya, jelas
tersimpan sebuah nada yang berat. Ya! Si nenek mera-
sakan betapa Jaka Ndableg mirip dengan Eka Bi-
lawa, kekasihnya. Walau ia telah terluka oleh Eka Bilawa, namun hatinya
mengatakan bahwa rasa
cintanya masih membekas. Dan bila ia melihat
Jaka, timbullah rasa rindu dan dendam pada Eka
Bilawa. Rindu akan cintanya, dendam akan per-
buatan Eka Bilawa yang telah membuat mukanya
jadi rusak. Memang semua karena salahnya sen-
diri. Ia tidak mau menuruti kata-kata Eka Bilawa agar ia jangan menurunkan
tangan setannya.
Hanya karena ia telah berbuat jahat pada orang
yang telah membuat keluarganya menderita, Eka
Bilawa tak mau menerimanya kembali bahkan
menghukumnya. Jelas ia menentang. Namun
sungguh tentangan dia itulah yang mengaki-
batkan segalanya terjadi. Dia terus mengumbar
nafsu setan, membunuh dan menyiksa setiap le-
laki. Sampai akhirnya Eka Bilawa kembali datang
dan langsung menghukumnya kembali. Corengan
bekas luka itu, sampai kini tiada hilang. Coren-
gan tersebut sengaja ia biarkan untuk mengenang
segala pahit dan manisnya kehidupan dirinya.
"Agar dia kapok, dan tidak seenaknya ber-
tindak." "Apakah kau mampu?" tanya si nenek dengan nada tak yakin.
"Hua, ha, ha...! Wuling Genta tak akan da-
pat terkalahkan oleh manusia!" jawab Wuling Genta menyombong, menjadikan si
nenek hanya mampu kulum senyum. "Kau tak percaya?"
"Bukannya aku tak percaya. Namun dia
bukanlah orang sembarangan. Ayahnya saja
mampu mengalahkan aku."
"Hua, ha, ha...! Ayahnya kalau masih hi-
dup pun akan aku hadapi. Biar mereka tahu sia-
pa adanya aku. Hua, ha, ha...!" Wuling Genta bergelak sombong. Si nenek hanya
terdiam bisu, ia
tak dapat mengatakan apa-apa, sebab ia tahu
sendiri siapa adanya Wuling Genta. Tapi ia pun
tidak mau menghadapi Jaka Ndableg dengan be-
gitu saja, sebab yang pasti ilmu pemuda itu ka-
tanya tinggi. Hal kedua karena ia melihat sesuatu di wajah Jaka. Wajah yang
mengingatkan dirinya
kembali mengingat pada seorang bekas kekasih-
nya, yaitu Eka Bilawa. Namun untuk mencegah
Wuling Genta, rasanya ia juga tidak mungkin.
Maka hanya desahan pasrah si nenek akhirnya
berkata: "Itu terserah kamu."
"Baiklah! Aku akan membuktikannya pa-
damu, juga pada Penguasa Bukit Karang Bolong
bahwa aku akan mampu membuatnya mengakui
kehebatanku. Dan perlu kau ketahui, bahwa
adikku, Setan Rambut Putih telah dibinasakan
olehnya." "Jadi Setan Rambut Putih adikmu?" tanya si nenek dengan mata berkerut kaget.
Tidak disangka, kalau Wuling Genta adalah kakak dari Se-
tan Rambut Putih. Kalau adiknya saja sudah se-
demikian tinggi ilmunya, apalagi dengan Wuling
Genta sendiri"
"Ya! Aku adalah kakaknya."
"Kalau memang begitu, memang kau perlu
menuntut balas," ucap si nenek pasrah. Kini di hatinya bukan rasa rindu lagi,
namun rasa dendamnya yang muncul. Kebencian bila mengingat
apa yang telah dilakukan Eka Bilawa padanya,
menjadikan si nenek darahnya bagaikan mengge-
letar-geletar. "Kalau engkau mampu, maka secara tidak langsung kau telah
mengobati sakit hati
Penguasa Bukit Karang Bolong akibat suaminya
mati di tangan pendekar tersebut."
"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Sampaikan
pada Adik iparku ini bila dia telah siuman bahwa aku akan mencari Jaka Ndableg."
Setelah berkata begitu, secara kilat Wuling
Genta berkelebat meninggalkan si nenek yang
masih terpaku menuju ke luar. Si nenek hanya
dapat menarik napas panjang, membiarkan Wul-
ing Genta dengan segala dendamnya akan menca-


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Nama yang telah menjadikan adiknya binasa,
yang merupakan musuh bebuyutan para Iblis.
Bagi Wuling Genta, Jaka harus disingkirkan
dari dunia. Ya, Jaka harus disingkirkan agar para Iblis mampu mencengkeramkan
kuku-kukunya di
dunia. * * * Setelah kepergian Wuling Genta, segera si
nenek pun menuju ke dapur untuk meracik obat-
obatan yang dibuat dari Lempuyang Sakti. Sinar
Lempuyang Sakti terus menyorot tajam, menjadi-
kan mata si nenek harus menyipit sempit tertim-
pa sinar tersebut hingga silau.
Bara api menyala, menjilat-jilat sebuah ku-
ali yang terpanggang di atasnya. Nenek tua renta itu duduk sabar sambil sekali-
kali tangannya mengaduk-aduk isi kuali tersebut. Walau telah di-rebus, namun sinar yang keluar
dari Lempuyang Sakti itu masih saja nampak. Bahkan semakin
panas, semakin besar sinar yang keluar.
"Sungguh bukan obat sembarangan. Hem,
pantas banyak orang yang berusaha mendapat-
kannya," gumam si nenek dengan tangan kembali mengaduk-aduk isi kuali. Mulutnya
sesekali ko-mat kamit, entah apa yang tengah dibacakan pa-
da kuali tersebut.
Sementara di balai depan, nampak sesosok
gadis Ningrum masih terbaring dalam keadaan
menggeletak. Ningrum nampaknya masih ping-
san. Sebenarnya Ningrum harus telah sadar dari
tadi, namun dikarenakan si nenek sengaja men-
totoknya hingga Ningrum pun masih dalam kea-
daan pingsan. Memang tepat apa yang dilakukan
si nenek, sebab bila tidak begitu niscaya aliran darah Ningrum akan mampu
membunuh diri Ningrum hanya dalam waktu singkat.
Dari belakang nampak si nenek berjalan
mendekati tubuh Ningrum yang masih tergele-
tak. Di tangan si nenek terdapat sebuah batok ke-
lapa yang berisikan ramuan obat tersebut. Bibir
tua renta itu menguarai senyum, lalu berkata:
"Ningrum, kau akan sembuh. Kau akan menjadi muridku. Teruskan segala apa yang
telah aku lakukan di masa-masa mudaku dulu. Hi, hi...! Kau
cantik, anggun bak ratu bidadari."
Ningrum sebenarnya mendengar apa yang
dikatakan oleh si nenek, tapi karena ia dalam
keadaan tertotok hingga ia tak mampu berkata-
kata. Matanya perlahan membuka, memandang
pada si nenek yang tersenyum senang.
"Sabar, Anakku. Kau akan sehat, dan ten-
tunya kau akan mau menjadi muridku, bukan?"
ucap si nenek. "Akan aku turunkan segala ilmu yang aku miliki padamu. Aku
berharap kau akan
menjadi seorang ratu. Ya, seorang ratu yang sak-
ti." "Tuk, tuk, tuk!"
Tak disadari oleh Ningrum, seketika tangan
si nenek bergerak dengan cepat membuka to-
tokan yang ada di leher dan tubuh Ningrum. Saat
itu juga Ningrum nampak menggeliat. Tubuhnya
terasa ngilu, dan bila bernapas dadanya terasa
sesak. Darahnya bagaikan terserang oleh salju
yang dingin, lalu berubah menjadi panas yang
membahana. Hal itu menjadikan Ningrum merin-
gis menahan sakit, lalu dengan suara berat ia pun berkata: "Nenek, siapakah
engkau adanya" Lalu kenapa dengan diriku?"
"Hi, hi, hi! Kau ada di tempatku. Kau aku
tolong manakala tempatmu Bukit Karang Bolong
diporak porandakan oleh Tegalaras kakakmu
dengan Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman
Darah." "Bagaimana dengan nasib Setan Rambut
Putih, Nek?"
"Dia mati oleh Pendekar Siluman Darah,"
jawab si nenek.
Nampak keterkejutan di wajah, Ningrum
demi mendengar bahwa Setan Rambut Putih yang
berilmu tinggi dapat dengan mudah dibinasakan
oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. "Ah...!"
dengan berat Ningrum mendesah.
"Untuk itulah, mengapa kakaknya datang.
Wuling Genta namanya. Ia datang untuk memin-
ta pertolonganmu. Dia minta agar engkau mau
menyempurnakan dirinya agar dapat kembali ke
alamnya." "Hoak, hoak, hoak...!" Ningrum seketika muntah-muntah, menjadikan si nenek
seketika kerutkan keningnya. Si nenek walau pun tidak
pernah nikah, namun sebagai seorang tua ia tahu
bahwa Ningrum kini telah hamil. Ya, Ningrum
ternyata telah hamil dalam kesehatannya yang
sangat tidak menguntungkan.
"Kau hamil rupanya," si nenek berkata.
Ningrum hanya mampu mengangguk men-
giyakan. "Ah, mengapa hal itu mesti terjadi?" keluh si nenek seperti pada diri sendiri.
"Apakah engkau melakukannya dengan Setan Rambut Putih,
Nak?" Ningrum kembali mengangguk. Tak terasa air matanya meleleh, membasahi
pipinya yang nampak pucat. "Sungguh aku tak menyadarinya, sebab waktu itu aku dalam keadaan
terbelenggu. Batinku dalam guncangan berat. Aku begitu ter-
pukul dengan apa yang telah menimpa diriku.
Hem, Rengkana keparat, aku akan menghukum-
nya! Ya, aku akan menghukumnya. Walau aku
kini sealiran dan masih mempunyai ikatan seper-
guruan, tapi tindakannya padaku harus aku ba-
las." Si nenek hanya tersenyum. Ia berjalan makin mendekat, lalu dengan penuh
kasih dibe- lainya rambut Ningrum dengan tangan kanannya,
sementara tangan kirinya masih memegang batok
berisi ramuan obat yang telah dipersiapkan.
"Kau boleh melakukan apa semua, tapi kau
harus sembuh dari sakitmu. Bila kau telah sem-
buh, dan memiliki ilmu-ilmuku, maka kau akan
menjadi seorang pendekar wanita yang sukar un-
tuk ditandingi oleh siapa pun. Nah, untuk itu minumlah ini, Cah ayu."
"Apa itu, Nek?"
"Ini obat untuk menyegarkan dirimu. Dan
obat ini sangat berguna bagi dirimu untuk me-
nyangkal racun apapun juga. Minumlah, jangan
kau takut aku akan menipumu, sebab aku sendiri
ingin menjadikan dirimu sebagai pewaris ilmu-
ilmuku." Disodorkannya batok berisi ramuan obat-
obatan itu ke Ningrum yang segera menerimanya
walau dengan mata memandang pada si nenek.
Sesaat Ningrum mencium bau obat tersebut, lalu
setelah kembali memandang pada si nenek, Nin-
grum pun segera meminum obat tersebut.
"Aaah...!" Ningrum memekik, badannya terasa bagaikan dibakar oleh api, panas dan
terasa menyengat. Hal itu menjadikan si nenek tersentak kaget. Namun si nenek
tak mampu berbuat apa-apa, sebab ia sendiri bingung. Dalam keadaan se-
perti itu, tiba-tiba wajah Ningrum berubah meme-
rah laksana membara. Matanya tajam meman-
dang bagaikan memendam bara api.
Si nenek tersentak, manakala tiba-tiba
Ningrum bangkit dan langsung menyerang den-
gan ajian Racun Kelabang. Sungguh ajian terse-
but begitu dahsyat, sehingga si nenek yang tahu
kehebatannya tak mau main-main. Segera dilem-
parkannya tubuh kering tua itu menghindar.
"Duar...!"
Bergidig juga si nenek menyaksikan apa
yang terjadi. Seekor tikus yang waktu itu tengah berjalan, seketika mencicit
terhantam ajian tersebut. Dari sinar ungu itu, seketika muncul berpu-
luh-puluh kelabang yang langsung menggerogoti
tubuh tikus itu. Sungguh pemandangan yang
mampu menegaknya bulu kuduk bagi yang meli-
hatnya. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Nin-
grum kembali terkulai pingsan, kalau saja Nin-
grum tidak pingsan lagi, niscaya si nenek akan
kembali diserangnya. Dan bukan mustahil, si ne-
nek harus menguras tenaga untuk menghindari
atau balas menyerang yang akhirnya sia-sia bela-
ka. "Sungguh bukan ilmu sembarangan," gu-
mam si nenek. Perlahan ia mendekati tubuh Nin-
grum yang terkulai, lalu dengan hati-hati sekali dirabanya getaran jantung
Ningrum. "Dia masih hidup. Hem, ternyata dia hanya mengalami rasa
panas yang teramat sangat akibat obat tersebut
bekerja." Dengan sabar dan penuh rasa kasih si ne-
nek menunggui Ningrum yang masih tergeletak.
Waktu begitu berjalan, seakan cepat merambat,
menjadikan hari pun akan segera berganti dengan
hari lagi. Dan manakala ayam jantan dari kejau-
han lamat-lamat terdengar, nampak Ningrum
kembali siuman. Kini cahaya matanya tidak lagi
redup, namun menyala penuh semangat.
"Maafkan kelakuanku, Nek?"
"Tidak mengapa. Aku menyadari kalau kau
mengalami begitu karena hawa panas yang ter-
amat sangat akibat obat tersebut bekerja," jawab si nenek. "Kini kau telah
sembuh, dan mulai hari ini kau resmi menjadi muridku. Aku akan menurunkan segala
apa yang aku miliki padamu. Sejak
saat ini pula, resmilah engkau aku beri nama Ra-
tu Telaga Warna."
"Oh, terimakasih, Nek. Terimalah sembah-
ku sebagai rasa terimaka kasihku padamu yang
telah sudi menerima diriku sebagai muridmu.
Aku berjanji akan meneruskan apa yang menjadi
kehendakmu."
"Ah, tak usahlah kau berlaku begitu,
Anakku. Bukankah kita senasib?" tanya si nenek yang menjadikan Ningrum seketika
itu kerutkan kening tak mengerti. Mata Ningrum yang jeli dan
lentik indah itu memaku pandangannya pada wa-
jah si nenek. "Maksudmu, Nek?"
"Kita senasib. Dulu aku pun sepertimu.
Aku terseret oleh arus kehidupan, oleh kebejadan orang lelaki yang telah
memperkosaku. Aku dendam, namun kekasihku menghendaki agar aku
tak perlu membalas. Tapi segalanya tak aku hi-
raukan. Aku membunuh lelaki tersebut, menjadi-
kan kekasihku marah dan akhirnya membuat lu-
ka bagi diriku. Ya luka hati, ya luka fisikku. Kau lihat bekas luka ini bukan?"
Ningrum mengangguk menginyakan.
"Inilah luka yang aku alami. Memang se-
mua kesalahanku, tapi aku merasa bahwa semua
lelaki pada umumnya sama, yaitu ingin menang
sendiri. Dan menganggap bahwa wanita harus
mengalah. Ah, sungguh pikiran picik," si nenek berkata bagaikan mengeluh akan
nasib dirinya sendiri. Sementara Ningrum nampak tiada reaksi,
dia diam tanpa kata. "Bagaimana, Anakku" Apakah kau mau meneruskan cita-citaku
menghu- kum kaum lelaki?"
Ningrum kembali tercengang diam. Me-
mang benar semua lelaki pada umumnya sama,
egois dan tidak mau mengerti hati wanita. Tapi
untuk menghukum, sungguh ia tidak mampu. Ia
juga masih mendambakan kasih sayang dari seo-
rang lelaki. Seorang lelaki yang pernah dite-
muinya manakala ia tengah dalam kuasa Nyi Lan-
jut Ayu, saat dirinya membela sang guru. Tanpa
disadari olehnya, bibirnya seketika menggumam
sebuah nama: "Jaka... Jaka Ndableg."
"Kenapa, Anakku?"
"Ah, ti-tidak. Baiklah, aku akan menuruti
apa katamu, Nek."
"Oh, sungguh kau anak yang baik." Dengan penuh rasa kasih dipeluk dan diciumnya
Ningrum. Tak terasa, air mata nenek Racun Iblis me-
nangis, menitikkan air mata kegembiraan. Ter-
nyata usahanya untuk mendapatkan orang yang
akan mewarisi segala ilmunya juga mau mene-
ruskan cita-citanya kini telah ia ketemukan.
*** 3 Wuling Genta yang tengah mencari Jaka
Ndableg, nampak masih berjalan menyusuri pe-
matang sungai yang membentang panjang. Den-
damnya pada Jaka Ndableg yang telah membu-
nuh adiknya, Setan Rambut Putih, menjadikan
dirinya tak hiraukan siapa adanya dirinya sebe-
narnya. Tengah ia berjalan menyusuri sungai, tiba-
tiba lima orang berloncatan menghadang dirinya.
Hal ini menjadikan Wuling Genta tersentak kaget
seraya melompat mundur.
"Siapakah kalian adanya" Mengapa kalian
mencegat jalanku?"
Kelima orang bertopeng angker itu nampak
tersenyum cibirkan bibirnya, yang sengaja di-
arahkan pada Wuling Genta. Perlahan kelima
orang itu melangkah, mendekat ke arah Wuling
Genta yang terdiam tanpa reaksi.
"Kau mau lewat di sini?" tanya seorang dari kelimanya.
"Ya!" jawab Wuling Genta.
"Kau punya kuncinya?" kembali orang tersebut bertanya.


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuling Genta kerutkan kening, tak tahu
apa yang dimaksudkan oleh kelima orang yang
meng-hadangnya. "Hem, aku yakin kalau mereka ini adalah para begal. Mereka
rupanya tak tahu
siapa adanya diriku sebenarnya," gumam hati Wuling Genta. "Tapi biarlah, biar
mereka hendak mau apa padaku."
"Aku tidak mengerti ucapanmu, Ki Sanak,"
Wuling Genta berkata: "Aku hanyalah seorang pengelana, manalah mungkin aku
membawa kunci segala macam" Kalaulah kalian hendak
meminta sesuatu, katakanlah apa yang kalian
minta." Seketika kelima begal itu tertawa bergelak-gelak demi mendengar ucapan
Wuling Genta yang
dianggapnya lucu. Dan memang ucapan Wuling
Genta bagi mereka adalah hal kelucuan. Jarang
orang yang dihadang mereka mau mengatakan
apa yang mereka minta, tetapi, orang ini sung-
guh-sungguh lancang.
"Ketahuilah olehmu, orang tolol! Kami ada-
lah Panca Ruba Merah. Kami bekerja sehari-hari
sebagai pemungut pajak bagi siapa saja yang
hendak melewati daerah ini," orang pertama tadi kembali berkata.
"Ya! Kami memang dari dinas pajak," orang kedua dari Ruba Merah menyambung.
"Maka itu, berikan apa yang kau bawa pada kami. Atau kalau tidak, maka
nyawamulah yang harus diting-
galkan." "Hem, kalian kira kalian mampu menggere-
takku!" "Kami tidak menggeretakmu. Kami akan melakukannya bila kau ngebandel!"
bentak Ruba pertama. "Kami juga tak akan segan-segan men-cincangmu!"
"Lakukanlah bila kalian mampu," Wuling Genta tersenyum mengejek, menjadikan
kelima Ruba Merah itu saling pandang dan salah seorang
dari kelimanya dengan gusar membentak.
"Bedebah! Monyet busuk, rupanya kau
mencari mampus!"
"Aku bukanlah monyet. Tapi kalianlah mo-
nyet." Tersentak seketika kelima Ruba Merah, manakala dengan tiba-tiba wajah
mereka berubah menjadi wajah kera yang menyeramkan. Maka
dengan kemarahan yang meluap-luap, kelimanya
dengan mengukuk seperti monyet serentak me-
nyerang dengan golok yang ada di tangan mereka.
Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Wuling Genta gentar atau pun takut. Bahkan
dengan bergelak-gelak tawa ia terus mengelakkan
serangan mereka. Dan manakala ada kesempa-
tan, dengan tanpa mengenal rasa kasihan Wuling
Genta pun hantamkan ajiannya. Tanpa ampun
lagi, kini kelimanya harus dikeroyok habis-
habisan oleh selaksa Iblis yang keluar dari sinar milik Wuling Genta.
"Masihkah kalian akan melawanku?" Wul-
ing Genta berkata: "Aku akan mengampuni ka-
lian, asalkan kalian mau menjadi pengikut-
pengikutku. Akulah Wuling Genta, Iblis Bukit
Gundul. Hua, ha, ha...!"
Mendengar Wuling Genta menyebutkan
siapa adanya dirinya, serta merta kelima Ruba
Merah pun segera meminta ampun. Kelimanya
segera sujudkan tubuh mereka, menyembah ke
hadapan Wuling Genta yang masih tertawa berge-
lak-gelak penuh kemenangan. Dan dengan segera
kembali ditarik ilmunya, yang dengan segera pula mahluk-mahluk iblis itu lenyap
seketika. "Nah, kembalilah kalian pada bentuk semula."
Bareng dengan habisnya ucapan Wuling
Genta seketika kelima orang begal tersebut kem-
bali berubah ujud menjadi orang lagi. Kelimanya
masih nampak menyembah, seakan kelimanya te-
lah pasrah pada apa yang bakal Wuling Genta la-
kukan. Kelimanya masih menundukkan kepala,
tak berani untuk menentang pandang pada Wul-
ing Genta. "Kalian mau menjadi pengikutku?" tanya Wuling Genta. "Kalau kalian mau, niscaya
kalian tidak akan ada yang mengalahkan."
"Benarkah itu?" tanya Rupa pertama.
"Aku tak akan membohongi kalian," jawab Wuling Genta meyakinkan mereka. "Bila
kalian menjadi hambaku, niscaya kesaktian kalian akan
bertambah dengan sendirinya. Bagaimana, apa-
kah kalian mau menerima?"
Ditatapnya lekat-lekat satu persatu dari ke-
lima Ruba Merah yang masih menunduk. Ditung-
gunya segala apa yang akan keluar dari mulut ke-
lima Ruba Merah tersebut.
"Baiklah, kami menerima menjadi hamba-
mu," jawab kelimanya serentak.
Wuling Genta seketika keluarkan gelak ta-
wanya, demi mendengar pengakuan kelima Ruba
Merah yang mau menjadi hamba-hambanya. Bu-
kankah dengan demikian ia akan mampu meng-
gantikan adiknya menjadi penguasa di dunia ini"
Ya, memang itulah yang ia kehendaki, menjadi
penguasa di bumi. Tapi kini ia harus terlebih dahulu menyingkirkan Jaka Ndableg
bila ingin cita-
citanya berjalan dengan tenang dan mulus, sebab
tidak mungkin tidak bahwa Jaka Ndableg pastilah
akan menghalangi cita-citanya.
"Jaka Ndableg, aku harus menyingkirkan-
nya!" rengutnya penuh kebencian. "Adakah kalian yang mengetahui di mana adanya
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" ta-
nyanya pada kelima Ruba Merah.
"Ampun, Tuan. Pendekar itu tak menentu
tempatnya."
"Hem, bagaimana kalau kita cari."
"Untuk apa, Tuan" Bukankah kita akan
sia-sia saja" Sebab tidak mungkin kita dapat
mengalahkannya," Ruba kedua angkat bicara,
menjadikan Wuling Genta seketika melotot ma-
rah. Ia merasa bahwa dirinya begitu direndahkan
dengan Jaka Ndableg.
"Bodoh"!" bentaknya marah. Seketika semua Ruba Merah terdiam tak berani kembali
membuka kata. "Aku yang akan melenyapkan dirinya dari muka bumi ini. Apakah
kalian tak ingin ketenangan untuk bertindak?"
"Ingin, Tuan...!" jawab mereka serempak.
"Nah, kalau begitu, aku akan menyingkir-
kannya. Kalian tak perlu khawatir, bahwa aku
Wuling Genta akan kalah olehnya. Dia boleh saja
mampu membinasakan adikku, tapi padaku... di-
alah yang akan menemui kebinasaan, sebab aku
adalah Iblis yang tidak mungkin dapat ditaklukan oleh manusia."
"Sombong!" maki kelima Ruba Merah da-
lam hati. Dan walaupun di hati mereka berkata
begitu, namun di mulut mereka yang takut jelas
sebaliknya. Maka bagaikan seorang yang sudah
terkena sihir kelimanya hanya mengangguk men-
giyakan. "Bagaimana, apakah kalian masih belum
yakin bahwa aku akan mampu membinasakan-
nya?" kembali Wuling Genta bertanya.
"Percaya. Kami percaya bahwa tuan akan
mampu membinasakannya."
"Hua, ha, ha...! Bagus! Rupanya kalian
adalah hamba-hamba yang baik. Mari, kita cari
Jaka Ndableg. Dan nanti kalian boleh melihat
siapa yang bakal hancur. Aku atau dia."
Tanpa berani membantah, kelimanya pun
dengan menurut segera mengikuti tuannya pergi
untuk mencari Jaka Ndableg. Walau dalam hati
mereka bimbang, namun dikarenakan rasa takut,
mereka pun hanya menurut mengikuti ke mana
tuannya pergi. Mereka sebenarnya tak percaya,
bahwa tuannya akan mampu mengalahkan Jaka
Ndableg walau tuannya merupakan Iblis. Sebab
Jaka Ndableg bukanlah pendekar sembarangan.
Adiknya saja sudah kalah, mengapa Jaka tak
akan mampu mengalahkannya"
* * * Jaka Ndableg saat itu tengah duduk-duduk
merenung di sebuah pohon rambutan. Tangan-
nya sesekali mengibas-kibaskan semut yang den-
gan nakalnya telah mengganggu keenakannya
makan buah rambutan yang telah masak.
"Semut sialan! Apakah engkau kira aku ini
pencuri!" rungutnya marah, dan kembali tangannya mengibaskan seekor semut yang
nakal. "Setan! Rupanya semut-semut ini bandel!"
Segera Jaka memetik kembali buah rambu-
tan yang telah berwarna merah. Dikupas kulit-
nya, lalu dengan enaknya Jaka menyantap ram-
butan tersebut. Karena keasyikan makan rambu-
tan, sehingga Jaka sampai tidak menghiraukan
bahwa sejak tadi ada seseorang tua renta berpa-
kaian serba putih dengan jenggot putih pula
memperhatikannya. Jaka terus saja asyik meme-
tik buah rambutan, dengan sesekali tangannya
mengibas semut yang nemplok.
"Hem...!"
Jaka tersentak dan memandang ke arah
datangnya suara deheman tersebut. Matanya
yang tajam seketika memandang seorang lelaki
tua yang tengah berdiri di bawahnya, dengan
memperhatikan dirinya.
"Oh, Ki Gedong Wulung. Maafkan atas ke-
tidaktahuan saya," Jaka berkata, lalu dengan segera tubuhnya melayang turun
bagaikan terbang
dan hinggap di tanah dengan entengnya. "Terimalah salam hormatku." Jaka menjura
hormat. "Jaka, apakah engkau tidak mendengar
adanya bahaya?"
"Maksudmu, Ki?" Jaka balik bertanya.
"Apakah kau tidak mendengar adanya se-
seorang dari bangsa Iblis yang kini mencarimu?"
Bagaikan cuek Jaka terus melalap rambu-
tan yang sengaja dibawanya turun. Ucapan Ki
Gedong Wulung bagaikan berlalu begitu saja,
menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu ge-
lengkan kepala. Batin Ki Gedong Wulung bergu-
mam. "Dasar anak ndableg. Dengan orang tua sa-ja dia bagaikan acuh. Hem,
sungguh-sungguh
pemuda aneh."
"Ah, maaf, Ki. Bukannya aku tidak men-
dengar ucapanmu, tapi sungguh sayang rambu-
tan ini. Ya, terpaksa aku harus makan dulu, bu-
kan?" Ucapan Jaka begitu seenaknya, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu
gelengkan kepala kembali. Sungguh ndableg, dan memang
benar nama yang diberikan oleh guru-guru mere-
ka yaitu Jaka Ndableg atau Jaka yang suka ndab-
leg. "Wah enak benar rambutannya, Ki," gu-
mam Jaka sendiri.
"Jaka, aku bukan ingin membicarakan ma-
salah rambutan, tetapi aku ingin memberikan pa-
damu sebuah berita." Ki Gedong Wulung sudah agak mangkel melihat tingkah Jaka.
"Kau dengar aku ingin membicarakan berita, Jaka"!"
Jaka tersentak mendengar seruan Ki Ge-
dong Wulung, sehingga dengan seketika Jaka
berkata: "Waduh, Ki. Mengapa berteriak-teriak begitu" Aku belum tuli, Ki."
"Aku tahu, bahwa engkau belum tuli, na-
mun ndablegmu sudah kelewatan. Apakah eng-
kau akan membiarkan semua bencana dan maut,
menimpa dirimu, Jaka?"
"Wah, jelas tidak dong, Ki."
"Nah, untuk itulah aku ingin memberitahu-
kan padamu bahwa kini petaka tengah terjadi di
desa Kenanga. Desa tersebut kini telah dijarah
oleh seorang Iblis yang tak lain kakak Setan
Rambut Putih. Tujuannya mencari petaka, tidak
lain untuk mengundangmu datang. Dia bertekad
hendak membinasakan dirimu, Jaka."
"Wah, apakah dia itu Tuhan, sehingga den-
gan sendirinya dapat menentukan hidup matinya
diriku, Ki?" tanya Jaka dengan kalem, menjadikan Ki Gedong Wulung hanya
gelengkan kepala.
Sudah terasa susah ia mengajak omong dengan
Jaka. "Ah, kehidupan di dunia memang macam-
macam saja ya, Ki?"
"Untuk itulah, Jaka. Kalau kau tidak sege-
ra datang, niscaya korban makin akan bertambah
banyak." "Baiklah, Ki. Kalau memang dia menghen-
daki diriku, memang selayaknya akulah yang me-
nemuinya."
Habis berkata begitu, bagaikan kilat Jaka
tiba-tiba telah menghilang dari pandangan Ki Ge-
dong Wulung yang hanya mampu gelengkan ke-
pala. Ia begitu terkesima dengan apa yang dili-
hatnya. Betapa tidak! Dalam sekejap saja tubuh
Jaka tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya.
"Sungguh pemuda luar biasa. Ilmunya
sangat tinggi, tapi kendablegannya benar-benar
kelewatan," Ki Gedong Wulung hanya dapat gelengkan kepala lagi dan dengan
kembali terus menggelengkan kepala manakala ingat Jaka, Ki
Gedong Wulung pun berlalu meninggalkan tempat
kebunnya. * * * Jaka Ndableg terus berlari menuju ke kam-
pung yang diceritakan oleh Ki Gedong Wulung
yaitu desa Kenanga. Desa yang menjadi sasaran
Wuling Genta untuk menarik perhatiannya. Hari


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu hujan gerimis menyirami bumi, menjadikan
malam makin bertambah larut dan gelap, seper-
tinya malam itu ingin mengabadikan sesuatu ke-
pekatan yang selalu menyelimuti hidup setiap
manusia. "Sungguh-sungguh tak ada habisnya ben-
cana di muka bumi bila hari belum kiamat. Tapi
aku tak mau tinggal diam, sebab sudah menjadi
tugasku sebagai umat manusia untuk memberan-
tas Iblis," Jaka bergumam dalam hati. Langkahnya makin dipercepat, sebab ia
tidak ingin malam akan menghambat dirinya. Kini dengan ilmu larinya yaitu ajian
Angin Puyuh, Jaka melesat lak-
sana angin yang bertiup dengan cepatnya.
Hujan masih turun rintik-rintik, menjadi-
kan tubuh Jaka seketika basah terguyur oleh si-
raman air. Namun hal itu bukannya menjadikan
Jaka harus menyerah pada keadaan. Dalam be-
naknya hanya ada satu tujuan, yaitu secepatnya
menanggulangi segala kegelisahan rakyat desa
Kenanga akibat teror dan bencana yang dilaku-
kan oleh Wuling Genta.
"Ternyata yang namanya Iblis tak akan ada
mau mengerti dan mengalah. Hilang satu, muncul
lainnya. Huh, dasar Iblis. Apapun alasannya, dia toh berkehendak menyesatkan
manusia." Jaka
merungut-rungut sendiri sembari terus berlari.
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Kilat dan ledakan halilintar, seketika mene-
rangi bumi. Hal itu menjadikan Jaka seketika
mampu melihat bayangan lima orang berkelebat
memasuki desa Kenanga. Segera Jaka pun berke-
lebat cepat menyusul bayangan kelima orang ter-
sebut. Tak lama antaranya, terdengar teriakan
orang meminta tolong.
"Tolong...!"
"Sudah aku duga, memang mereka pasti
akan berbuat kurang ajar pada gadis! Hem, dasar
setan belang hidungnya. Eh, setan hidung be-
lang!" umpat Jaka memaki sendiri. Jaka segera
menyelinap di balik rumpun bambu lebat, ber-
sembunyi dan mengintai kelima orang tersebut
yang terus menyeret seorang gadis untuk menu-
ruti ajakan mereka.
"Kau harus ikut aku!" terdengar seseorang membentak.
"Tidak! Aku tidak mau!" gadis itu memekik.
"Kau harus mau, sebab bila tidak maka
kau akan kami, bunuh!"
"Bunuh saja aku! Ayo, bunuh!" gadis itu nampak keberaniannya, menantang pada
kelima orang yang menyeretnya. Sementara dari penjuru
desa berhamburan warga lainnya ke luar dari ru-
mah demi mendengar teriakan sang gadis.
"Itu mereka! Itu mereka!"
"Jangan biarkan para penculik itu hidup!"
"Cincang...!"
"Bakar...!"
Warga yang sudah marah itu dengan senja-
ta apa adanya segera merangsek, dan dengan
membabi buta menyerang kelima orang tersebut.
Namun bagaikan melayani anak kecil, kelima
orang tersebut dengan gampangnya menjatuhkan
satu demi satu warga desa Kenanga. Tapi seman-
gat warga desa Kenanga patut mendapat acungan
jempol, sebab mereka bagaikan tak mengenal rasa
takut. Satu nyawa melayang, sepuluh orang me-
rangsek menyerang. "Suit...!"
Terdengar suitan manakala mereka tengah
terlibat pertempuran. Dan bersamaan dengan ha-
bisnya suitan nyaring melengking tersebut, se-
buah bayangan dari balik rumpun bambu berke-
lebat dan langsung menyerang kelima orang yang
segera melompat mundur. Wajah keempat orang
lainnya seketika memerah, manakala tahu siapa
adanya orang yang datang. Dari mulut mereka
seketika terdengar seruan kaget. "Jaka Ndableg!"
"Inikah orangnya?" tanya orang yang bertu-buh tinggi besar, yang tidak lain
Wuling Genta. "Kebetulan! Memang aku tengah mencarimu,
Anak muda! Kau telah membunuh adikku, maka
aku pun kini yang akan membunuhmu. Bersiap-
lah!" Jaka tersenyum kecut dan berkata: "Siapa-pun adanya kau, dan apapun
alasanmu, aku akan tetap menghukum kalian yang telah berlaku
sewenang-wenang pada rakyat yang tak berdosa."
"Sombong!" gertak Wuling Genta.
"Wah, rasanya aku sebagai manusia tidak
kenal sombong. Mungkin kaulah yang sebagai ib-
lis. Bukankah Iblis itu mempunyai watak som-
bong dan congkak seperti dirimu. Hem, jangan
harap selama aku masih hidup bangsamu mam-
pu menjadi raja di muka bumi ini."
"Bedebah!" betapa gusar dan marahnya
Wuling Genta mendengar ucapan Jaka yang tera-
sa menyudutkan bangsanya. "Kau harus mati,
Anak sombong!"
"Oh, apakah kematianku ada di tanganmu"
Aku rasa tidak, Iblis. Kematianku hanyalah Tu-
han yang menentukan, bukan dirimu. Kau adalah
biang kemungkaran dan kekafiran, maka Tuhan
akan selalu mengutukmu!"
"Bangsat!" Wuling Genla bukan alang kepa-
lang marahnya pada Jaka. Dia yang sudah terba-
kar oleh api dendam dan marah, tanpa banyak
omong lagi segera berkelebat menyerang Jaka.
Tak ayal, segala serangannya kini langsung me-
ngeluarkan segenap ajian yang dimiliki.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Wuling
Genta pun tak mau main-main. Segera ia pun
memapaki serangan Wuling Genta dengan segala
kemampuan yang ada pada dirinya.
"Terimalah kematianmu, Anak sombong!"
Wuling Genta sudah tak terkira lagi marahnya.
"Terimalah ajianku ini! Ajian Selaksa Iblis.
Hiat...!" "Hem, rupanya engkau hendak main-main,
Iblis!" rungut Jaka menimpali. "Baiklah, aku akan melayani segala permainan
Iblis mu. Nah, terimalah ini. Petir Sewu, hiat...!"
Dua larikan sinar berkelebat cepat. Sinar
pecah-pecah laksana petir dan memang petir
adanya keluar dari telapak tangan Jaka menjadi-
kan ledakan-ledakan hebat.
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Bunyi petir menyambar-nyambar pada la-
rikan sinar hitam legam, yang keluar dari telapak tangan Wuling Genta. Tapi
rupanya ajian Petir
Sewu bagaikan tiada arti untuk menghadapi Se-
laksa Iblis. Jaka tersentak kaget, manakala dari lari-
kan sinar hitam legam itu keluar ribuan mahluk
mirip tuyul menyerang ke arahnya.
"Setan! Jangan kira engkau akan mampu
menakut-nakuti aku! Nah, ini aku sembahkan
untuk kalian. Ajian Tapak Bahana. Hiat!"
Tangan Jaka tiba-tiba merah membara ba-
gaikan menyala bara. Seketika tangan itu diputar, dan...! "Wuut, wuut, wuut...!"
"Aung...!" terdengar pekikan mahluk mirip tuyul itu manakala ajian Tapak Bahana
mendarat pada tubuhnya. Seketika tubuh mahluk tersebut
hancur, sirna dari pandangan. Namun manakala
Jaka tengah dalam keadaan dikeroyok, serta mer-
ta Wuling Genta berkelebat dan hantamkan pu-
kulan tenaga dalamnya. Tanpa ayal lagi tubuh
Jaka pun mental ke belakang beberapa tombak.
Dari mulutnya kini melelehkan darah segar.
Betapa murkanya Jaka seketika itu, se-
hingga ia pun nampak beringas. Kemarahannya
seketika tersalur menuju ke benaknya, yang lang-
sung mendera otaknya. Maka manakala tuyul-
tuyul itu hendak kembali menyerangnya, serentak
Jaka menggeretak membahana. Dan berbareng
dengan hal itu, tiba-tiba tubuh Jaka membesar
laksana raksasa. Ya, memang Jaka kini telah
menjadi ujud seorang raksasa yang sungguh be-
sar dan dahsyat. Itulah Buto Dewa Wisnu. Tan-
gannya yang besar, seketika meraup sepuluh ribu
kurang lima mahluk-mahluk menyerupai tuyul.
Dan dengan beringas, dilumatkan kesepuluh ribu
mahluk tersebut hingga benar-benar lumat.
Setelah mampu melumatkan tuyul-tuyul
tersebut, serta merta Jaka segera melangkah
mendekati Wuling Genta. Wuling Genta mencoba
menyerang, namun dengan cepat Buto Dewa Wis-
nu mendahuluinya. Tubuh Wuling Genta di-
cengkeramnya, lalu dengan menggeretak tubuh
itu digigitnya hingga hancur. Dan ketika merasa
Wuling Genta memang benar-benar telah mati,
Jaka segera melemparkannya ke Laut Selatan. Ya,
di sanalah tubuh Wuling Genta tak akan dapat
muncul lagi, sebab di Laut Selatan itulah kubu-
ran bagi para dedemit, iblis dan segalanya.
Semua orang yang berada di situ seketika
minggir, hanya seorang gadis saja yang masih me-
megangi kaki Jaka yang gedenya bukan alang ke-
palang. Jaka seketika memungut gadis itu, lalu
disingkirkannya agak jauh. Setelah menyingkir-
kan tubuh gadis itu Jaka pun segera kembali tiwi-krama. Tanpa dapat dicegah,
Jaka yang telah
kembali pada keadaan semula segera melesat
pergi setelah melihat para warga tengah mengarak keempat Ruba Merah.
*** 4 Pagi begitu cerah, manakala terdengar dari
kejauhan suara seorang wanita memekik-mekik.
Bersamaan dengan pekikan tersebut, tubuh wani-
ta itu berkelebat-kelebat laksana burung seriti.
Sejenak gadis cantik yang tak lain Ningrum
adanya melayangkan tubuhnya ke udara, lalu
dengan menukik kepala di bawah dan kaki di atas
serta tangan melurus Ningrum hantamkan dua
tangannya ke arah sebuah batu.
"Hiat...!"
"Duar!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, ber-
barengan dengan meledaknya batu sebesar ker-
bau itu hancur berkeping-keping hingga serpi-
hannya berhamburan ke udara. Sungguh dahsyat
sekali hantaman yang dilakukan oleh Ningrum.
Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau
manusia yang terkena pukulan tersebut, pastilah
tubuhnya akan menjadi abu. "Bagaimana, Nek?"
"Hebat! Sungguh hebat!" puji si nenek yang melihatnya dari kejauhan. "Tak aku
sangka, kalau kau secepat ini menguasai ilmu-ilmu yang
aku ajarkan. Kini kau boleh bangga, sebab den-
gan kau menguasai ajian Lebur Jagad, kau tak
akan tertandingi lagi. Di samping itu pula, ajian Racun Kelabang Ungumu sangat
menunjang. Nah, sekarang kau boleh melaksanakan apa yang
telah aku perintahkan padamu. Carilah mangsa
sebanyak-banyaknya."
"Bagaimana kalau Jaka turun tangan,
Nek?" tanya Ningrum meragu.
"Kau tak perlu khawatir. Kau memiliki se-
galanya. Lawanlah bila ia memang harus kau la-
wan. Sementara pedang Sukma Layung, nanti
malam aku akan mencurikannya untukmu."
"Tapi, apakah ayah tidak akan marah?"
Si nenek tersenyum kecut, lalu katanya
kemudian: "Kenapa kau mesti takut, Anak manis"
Kau adalah ratu, maka kau akan berkuasa atas
segalanya."
Ningrum tersenyum mendengar ucapan gu-
runya. Memang dialah yang akan menjadi ratu,
Ratu Telaga Warna. Sementara di kandungannya
kini tampak membesar. Bayi yang ia kandung
memang kini membesar saja.
"Pantaskah aku menjadi Ratu, Nek?"
"Kenapa tidak?" si nenek balik bertanya.
"Kau cantik dan memiliki ilmu yang tinggi. Lelaki mana pun pasti akan tergila-
gila padamu. Bukankah bocah yang ada di kandunganmu meminta
hal yang luar biasa" Bocah itu kelak akan meng-
gegerkan dunia persilatan. Belum juga ia lahir,
permintaanya sangat menggidikkan bulu kuduk.
Dan mampu membuat semua lelaki tergetar bila
mendengarnya!"
Ningrum tercenung diam, memikirkan ten-
tang kandungannya yang aneh. Sejak perutnya
Kembalinya Raja Tengkorak 2 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Pedang Awan Merah 2
^